MEGAN LEAVEY Review

“Whoever said diamonds are a girl best friend, never owned a dog.”

 

 

Anjing dapat merasakan ketakutan seseorang. Aku tahu teori itu seratus persen benar. Aku hanya enggak tahu apakah kalimat tersebut seharusnya bisa menenangkan orang yang takut sama anjing. Maksudku, setiap kali papasan sama anjing di jalan, lututku malah semakin lemas terutama jika teringat saran “Jangan takut, nanti anjingnya tahu kalo kau takut”. Arya kecil memang sering dikejar anjing-anjing tetangga, malah aku bersumpah istilah yang tepat adalah Arya kecil sering dibully anjing tetangga. Karena mereka tahu aku gugup dan takut banget sama mereka.

Bukan hanya rasa takut, para ahli berpendapat bahwa anjing bisa mengetahui perasaan atau emosi seseorang. Kemampuan ini sejalan dengan penciuman anjing yang luar biasa tajam. Mereka dapat membaui adrenalin, pheromone, ataupun senyawa lain yang menguar dari manusia. Saat anjing menggonggongi orang tak-dikenal, bisa saja karena mereka mencium senyawa yang keluar dari perasaan negatif manusia. And they didn’t like to sniff those feelings. Orang yang sedang disalaki biasanya antara sedang cemas, gelisah, sedih, atau sedang merasa bersalah.

 

Bahkan ketika kita membawa anjing jalan-jalan, getaran perasaan yang kita alami bisa sampai ke anjing melalui tali leash mereka. “Semua yang kau rasakan mengalir di tali itu,” Sersan Andrew Dean menasehati Megan Leavey seperti itu ketika Megan terihat tidak nyaman dipasangkan dengan anjing paling galak di camp pelatihan mereka, “Aku tidak bisa mengajarkan gimana hubungan tercipta di antara kalian” lanjut Sersan Andrew. Mempertahankan hubungan sosial, berakrab-akrab ria jelas bukan kelebihan yang dimiliki Megan. Malahan, alasan cewek ini ikutan gabung di US Marine Corps awalnya adalah semata karena dia males berhubungan sama manusia. Megan dipecat dari berbagai pekerjaan. Dia berantem melulu sama ibunya. Dan sekarang Megan justru harus dealing with anjing pelacak bom yang belum apa-apa sudah menggigit separoh bokongnya.

Apapun yang terjadi jangan nurunin celana di depan K-9. Apalagi nungging!

 

Film ini diangkat dari kisah nyata VETERAN PERANG DAN ANJING PAHLAWAN, bersama mereka sudah berhasil menemukan sejumlah besar bom dan ranjau, dan menyelematkan nyawa banyak orang. Pada beberapa kesempatan, film ini bisa menjadi sedikit too much buat para penyayang binatang. Terutama penyayang anjing. Sekuens perang yang dihadirkan sangat intens. Kita dapat banyak build up yang sangat menegangkan. Megan dan anjingnya, Rex, berjalan di depan garis depan mengendus bom, mencari ranjau dan peledak tersembunyi yang lain. You know, adegan-adegan yang membuat kita mendapati diri berdoa dalam hati “semoga anjing itu enggak terluka”. Kita begitu terinvest terhadap keselamatan mereka dan itu disebabkan oleh penampilan akting yang sangat hebat dari Kate Mara (Megan Leavey adalah penampilan terbaiknya sejauh yang pernah kutonton) dan dari anjing (mungkin juga anjing-anjing) yang memerankan Rex.

Elemen pelacak bom memberikan semacam pengalaman baru buat kita.  Ada sudut pandang segar yang orisinil sebab kita melihat perang dari bagian militer yang belum banyak dieksplorasi sebelumnya. Kita melihat Megan dan Rex berlatih. Anjing diajarkan untuk mengenali peledak, dan tentara pendampingnya harus belajar bagaimana memberikan perintah, membimbing, memberi anjing-anjing itu pujian, dan merawat – jika diperlukan – memberikan pertolongan medis. Dari sinilah bond mereka yang sangat menyentuh hati itu berkembang. Film ini melakukan kerja yang fantastis dalam menunjukkan gimana hubungan yang dalam bisa tumbuh dan terjalin antara manusia dengan hewan. Dengan terasa sangat real. Namun begitu, beberapa orang mungkin akan menangkap film ini sebagai terlalu overdramatis. Menurutku, hanya penyayang binatang yang benar-benar bisa mengerti bonding tersebut.

Jikapun aku penyayang binatang, maka obviously aku bukan penggemar anjing. Bisa dibilang I’m more of a cat person. Tapi aku tetap tersentuh oleh film ini, sebab aku bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Megan ketika unexpected bonding terjadi. Dulu pernah ada kucing hitam yang terluka ngabur cari perlindungan ke kamar kosanku. Lukanya parah, kakinya patah. Karena takut kalo-kalo tuh kucing isdet di balkon kamar dan mikirin betapa repotnya harus menguburkan dan segala macem, kucing itu aku kasih makan. Eh setelah sembuh, bukannya pergi, dia malah betah di kamar. Masalahnya adalah aku juga enggak berani-berani amat sama kucing, sementara kucing yang satu ini liarnya bukan main. Mungkin dia ngajak main, tapi kukunya enggak pernah dimasukin. Kaki dan tanganku penuh luka goresan. Saking liarnya, kucing item jantan itu aku kasih nama Gelap Jelita dengan harap supaya jadi jinak. Namun enggak ngaruh. Jadi aku ngerti deh ketakutan yang dialami Megan ketika disuruh masangin perban ke Rex yang pernah menggigit tentara lain sampai tangan tuh orang patah. Dan ketika nonton film ini, mau-tak-mau aku teringat sama kucing itu.

Wajah nginyemmu ketika mereka bawa pulang tulang-tulang sebagai balas jasa

 

Belum lama ini di Netflix tayang film Okja (2017) yang juga menceritakan tentang hubungan antara manusia dengan binatang. Namun, di balik kisah manis anak kecil dengan babi mutan peliharaannya itu, terasa ada ambisi lain yang turut dibicarakan oleh film. Megan Leavey terasa lebih manusiawi karena film ini hanya memfokuskan tentang gimana manusia yang begitu mendambakan hubungan sosial dan apa yang terjadi ketika dia mendapatkannya dari makhluk hidup lain. Film ini lebih mengeskplorasi feeling tanpa benar-benar menjadi cengeng atau sappy. Persahabatan dalam Okja terhalang oleh komentar soal perangai konsumtif dan ekonomis manusia. Dalam Megan Leavey, persahabatan manusia dan hewan ini terhalang oleh aspek teknikal; di mana anjing veteran perang – terutama yang galak kayak Rex – dicap berbahaya jika kembali hidup di masyarakat. Ada tema perang yang digunakan untuk mewarnai narasi dengan sedikit elemen budaya – gimana perlakuan negara muslim terhadap anjing – tapi itu dibahas dengan ringan, tanpa menjadi terlalu hitam-dan-putih.

Siapapun yang berkata berlian adalah teman terbaik wanita, pastilah belum pernah memelihara anjing. Atau belum pernah mendengar cerita tentang Megan Leavey.

 

Kehidupan normal Megan juga diberikan kesempatan untuk tampil. Kita melihat hubungannya dengan orangtua, masalah pribadinya. Juga ada kisah cinta dengan sesama tentara. Hanya saja romansa ini tidak benar-benar pergi ke mana-mana. Seolah hanya untuk menunjukkan perubahan personal Megan setelah dia menyintai Rex. Lebih sering daripada enggak, transisi kehidupan Megan ini terlihat dipercepat. Misalnya, ketika dia abis dipecat, kemudian dia melihat dua tentara masuk toko, dan dia kontan jadi berniat masuk angkatan bersenjata juga. Lalu ada sedikit masalah bullying, yang kalo di naskah ini adalah bagian ‘tantangan pertama’, yang berakhir begitu saja. Aku mengerti film ingin memperlihatkan banyak sisi kehidupan Megan. Durasi keseluruhan film sudah nyaris dua jam, sehingga terkadang mereka sengaja mempercepat proses. Menggunakan montase untuk menjelaskan momen-momen emosional, ataupun dengan menggunakan teks. Ini dapat menjadi menyebalkan sebab kita ingin merasakan progres tokohnya, mengalami transisi itu secara langsung.

 

 

Kita tidak butuh penciuman setajam anjing untuk dapat mengendus sense of realism perasaan dan emosi yang terkandung dalam film ini. Menghadirkan drama excellent soal hubungan persahabatan manusia dan hewan dengan tidak pernah menjadi terlalu cengeng. Namun tetap bakal menarik-narik hati kita, terutama para penyayang binatang. Penampilan aktingnya memukau, sekuens aksinya sukses bikin kita khawatir.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for MEGAN LEAVEY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

BAYWATCH Review

“If you think you’re too big for small jobs, maybe you’re too small for big jobs”

 

 

Tugas penjaga pantai bukan sekedar berlari-lari di pasir dengan memakai pakaian renang. Bahkan kalopun tampang kalian kece dan jago berenang, bukan berarti bisa langsung diterima jadi anak buah Mitch Buchannon. Seperti juga kerjaan laih, ada keahlian spesifik yang harus dikuasai, dan terutama kita harus ngeset prioritas utama; keselamatan pengunjung, di atas segalanya.

Matt Brody pikir dia sudah lebih dari berkualifikasi. Ketika rekruitan baru harus di’audisi’ dulu, Matt malah duduk santai, mamerin motor keren, kacamata hitam, dan otot perutnya. Higher ups boleh saja sudah otomatis melantik dirinya sebagai anggota Baywatch, namun ‘Letnan’ Mitch still giving him a hard time. Terutama karena Mitch tidak melihat Matt sebagai pribadi yang menghormati pekerjaan penjaga pantai, Matt masih terlalu mikirin diri sendiri. Jadi, kedua orang ini enggak akur. But then of course, pantai mereka enggak jauh dari masalah. Ada kasus penyelundupan narkoba, dan di samping menyelamatkan orang-orang dari tenggelam dan tergulung ombak, Mitch dan Matt pada akhirnya harus bekerja sama demi membongkar drug case yang sudah menjatuhkan banyak korban tersebut.

lebih bagus lagi jadi penjaga pantai yang bisa berslow-motion ria

 

Semua orang punya pekerjaan, dan tentunya masing-masing dari kita akan melakukan yang terbaik atas apa yang kita usahakan, Pekerjaan boleh saja dinilai dengan gaji, akan tetapi tidak semestinya kita mengecilkan pekerjaan, menghargainya hanya dari apa yang kita tahu tentangnya. Sekecil apapun, jika dimaknai dengan sesungguh hati, maka akan menjadi gede. Penjaga pantai mungkin memang enggak punya yurisdiksi seperti polisi, tapi pada esensinya adalah sama-sama pekerjaan yang melindungi. It is as important. Pekerjaan apapun yang kita lakukan hendaknya dikerjakan sungguh-sungguh, jangan hanya asal dapet sesuap nasi.

 

Ketika kita dapat lumba-lumba CGI berakrobat dengan latar tulisan Baywatch gede sebagai sekuen pembuka, maka dosa akan ada di tangan kita apabila kita tetap nerusin nonton film ini dengan harapan bakal mendapat cerita yang bergizi. Yea, dalam film ini kita akan banyak melihat otot, daging, dan bagian-bagian tubuh lain lebih dari yang kita pedulikan. Yea, ini adalah film berdasarkan serial tv jadul yang populer bukan karena kejeniusan penulisan ceritanya. Yea, singkatnya ini adalah film bego, Kita sudah mengharapkan itu. Film ini pun tahu how awful they are. Dan mereka mengEMBRACE KE’BEGO’AN.  Ketika kita berada di dasar, tidak ada jalan lain selain ke atas. Film ini, however, nekat untuk terjun ke dasar lebih jauh lagi. Dijadikan sutradara Seth Gordonlah ini sebagai komedi yang sangat raunchy, banyak lelucon ‘jorok’, dan bagi kita yang menontonnya siap mencatat segala hal-hal negatif, we will absolutely get that.

Oke, honestly aku nonton ini karena pengen liat Alexandra Daddario. She’s good, ehm matanya bening aneeettt, tapi part cewek ini seperti yang sudah diharapkan dalam film-film genre action-komedi begini; not much. Yang sedikit mengejutkan adalah tokoh Ronnie yang diperankan oleh Jon Bass. Biasanya, tokoh tipe gini bakal hanya jadi comedic relief yang annoying, dan benar, komedi vulgar banyaknya datang dari dia, tapi Ronnie benar-benar pengen masuk ke dalam tim, dan kita melihat usahanya. Jika Mitch menyelamatkan orang-orang di pantai, maka Dwayne Johnson menyelamatkan keseluruhan film ini. Well, mungkin agak kurang berhasil, tapi bener deh, The Rock membuat film ini tampak lebih baik. Selalu kocak ngeliat The Rock diberikan kelenturan untuk ngeledek nama orang, seperti yang biasa dia lakukan di WWE dulu. Banteringnya dengan Zac Efron adalah salah satu dari sedikit sekali bright spot dalam film ini.  Menghibur melihat Zac dan The Rock saling ‘pamer otot’, berusaha saling mengungguli. Mereka berkompetisi dalam serangkaian tes fisik, dan kekonyolan dari situlah yang pengen kita liat. First half of the movie definitely entertaining, film ini menuaikan tugasnya dengan lebih baik ketika ia tetap di ranah aksi komedi yang konyol. Makanya, ketika film malah pindah ngedevelop aktivitas tokoh antagonis, jadi terasa ngedrag. Kita pengen segera balik ke Mitch dan kawan-kawan

Dan mandi di pantai. Dan tenggelam. Dan diselamatkan oleh Daddario

 

Sebenarnya enggak semudah nulis yang jelek-jelek aja ketika mengulas film ini. Secara teknis, memang ini adalah  film yang jelek. Di lain pihak, film ini berusaha untuk menjadi jelek. Source materialnya parah, dan film ini gak berniat untuk menjadi lebih dari itu. So in way, dia berhasil mencapai tujuannya. Buat penggemar serial tvnya, aka nada suntikan nostalgia dari cameo. Aku bukan fan, jadi kemunculan David Hasselhoff dan Pamela Anderson enggak sampe hilarious banget buatku. Secara keseluruhan, film ini kadang lucu, dan setengah bagian pertamanya lumayan seru. Saat film ingin membahas aspek yang membuatnya sedikit keluar dari komedi konyol, ia jadi terbentur.

Benturan paling keras adalah ketika film ini menghandle adegan aksi. Baik itu pas berantem ataupun saat adegan penyelamatan. Terdapat banyak penggunaan CGI dan masing-masing terlihat lebih tidak meyakinkan dibandingkan efek sebelumnya. Green screennya agak kasar. Api dan asap saat adegan kebakaran tidak pernah terlihat realistis. Sekuen berantem pukul-pukulan ditangani dengan banyak adegan close up dengan lebih banyak lagi pergantian angle. Sungguh sebuah langkah yang tidak perlu. Karena, sekali lagi, kita bicara tentang The Rock di sini. Dwayne Johnson bukan hanya sudah terlatih trash talking orang. CVnya yang bertuliskan mantan pegulat WWE seharusnya sudah lebih dari mengisyaratkan bahwa orang ini sudah terbiasa ‘berpura-pura’ kelahi dan direkam dalam wide shot. Ngejual adegan berantem sudah menjadi keahlian The Rock, ketika dia beraksi, kita enggak perlu capek-capek ngedit; memotong dan nyambungin adegan untuk membuat berantemnya intens. Dalam film ini, however, mereka mengacuhkan hal tersebut dan memecah adegan berantem menjadi banyak potongan adegan sehingga jadinya annoying, kita susah mengikuti.

 

 

Film ini tidak takut untuk menjadi absurd. It’s bad, but it was intended to be bad. Singkat kata, nonton film ini adalah guilty pleasure. Humornya jorok. Bagian aksinya konyol, tapi digarap mengecewakan. Pengungkapan kasusnya ala Scooby Doo. Karakternya meski tipis (penokohannya loh, bukan baju renangnya) tapi setiap dari mereka didorong oleh motivasi. Dan dari segi teknis film, it was bad. Tapi toh kita bisa juga sedikit terhibur.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for BAYWATCH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

CARS 3 Review

“Those who can’t do, teach.”

 

 

What is your goal in life? Well, entah itu jadi seniman sukses, orang kaya, selebriti tenar, penulis hits, kita mestinya ngeset tujuan kita segede-gedenya. Lupakan jadi yang biasa-biasa aja. Apalagi berhenti mengejar keinginan tersebut. Teruslah ngegeber gas untuk mengejar  mimpi mulia yang kita punya. Lightning McQueen tahu persis akan hal ini. Sebagai pembalap dia enggak bisa untuk enggak meniatkan diri menjadi juara satu. Untuk menjadi yang tercepat. Makanya, dia terus mendorong dirinya untuk menjadi lebih baik dan lebih cepat. McQueen punya ‘mantra penyemangat’ sendiri yang selalu dia ikrarkan setiap kali hendak mulai balapan.

It is about self empowerment. Kita harus punya mindset juara. Akan tetapi, yang diingatkan oleh Cars 3 kepada kita semua adalah definisi juara sebenarnya lebih dari piala semata.

 

Cars adalah franchise kedua dari Pixar – selain Toy Story – yang udah sampai pada film ketiga. Cars pertama tayang di tahun 2006 dan entah sudah berapa kali aku menonton film ini. Bukan karena suka banget, melainkan karena film itu adalah satu-satunya yang bisa mendiamkan tangisan adek bungsuku. Jadi dulu, nyaris setiap hari dvd Cars disetel di rumah. Filmnya sih oke. Apakah butuh sekuel?  Jawabannya tentu saja tidak, jika kita melihat betapa ‘kacaunya’ Cars 2 (2011). Bisa jadi Cars 2 adalah film Pixar terburuk yang pernah dibuat. Aku mengerti sekuel sebaiknya memang dibuat berbeda dengan film orisinalnya. Cars 2 punya nyali untuk tampil beda. Tetapi, mengubah dari apa yang tadinya film tentang mobil balap menjadi film tentang mobil yang jadi mata-mata, dengan practically memasangkan karakter paling annoying di sejarah Pixar sebagai tokoh utama, jelas bukan langkah yang brilian.

Cars 3 sepertinya sadar akan kekhilafan mereka.

Film kali ini dikembalikan ke jalan yang lurus.Kembali ke soal mobil balapan, separuh bagian awal Cars 3 nyaris terasa seperti Pixar mencoba menyematkan kata maaf. Mater, dalam film ini, didorong jauh ke latar. Dia cuma muncul di beberapa adegan singkat, hanya supaya fansnya enggak ngamuk. Itu juga kalo ada hihi. Selebihnya kita akan mengikuti McQueen as dia belajar untuk mengingat kembali apa yang membuat dia menjadi pembalap in the first place.

Kalian bisa jadi apa saja. Jadilah mobil balap.

 

Lightning McQueen yang disuarakan oleh Owen Wilson sudah semakin tua. Sebenarnya tidak ada yang salah dengannya, dia masih bisa melaju cepat. Hanya saja, teknologi semakin berkembang. Jadi, McQueen mulai sering kalah. Mobil-mobil balap generasi baru bermunculan, dengan teknologi paling mutakhir terpasang pada mereka. Zamanlah yang sekarang harus dipacu oleh McQueen. Dia lantas belajar untuk menjadi pembalap yang lebih baik, dia pergi berlatih ke sebuah tempat canggih yang sudah disediakan oleh sponsor. Di sana, McQueen dilatih oleh seorang pelatih bernama Cruz. Which is a fresh, interesting new character yang berhasil menyeimbangkan kementokan karakterisasi McQueen sendiri.

Trailer film ini menyugestikan seolah Cars 3 diberikan arahan yang lebih serius. Film ini tampak hadir lebih gelap, kita melihat McQueen terpelintir rusak, sebelum akhirnya terbanting ke jalan. Nyatanya, film ini basically MIRRORING KEJADIAN PADA FILM PERTAMA. Di mana kala itu McQueen adalah pembalap baru dan dia bertemu – kemudian diajarkan banyak – oleh Doc Hudson. Relationship McQueen dan Hudson akan banyak dieksplorasi dalam Cars 3 karena adalah aspek yang penting, essentially McQueen sekarang berada di posisi Hudson. An old, tired race car. Kita akan melihat McQueen berlatih untuk menjadi lebih kencang, untuk menjadi lebih baik. Dia bersedia belajar menggunakan teknologi baru yang somehow tidak berjalan begitu baik buatnya. Bersama pelatih barunya, McQueen balapan di pantai berpasir. Mereka berdua ikutan demolition derby. McQueen benar-benar mencoba untuk mencari ke dalam dirinya, apa yang membuatnya jadi pembalap. Di bagian latihan ini, film picks ups considerably. Ada pesan yang baik di sini, dan menjelang akhir semuanya menjadi surprisingly menyentuh dengan sebuah keputusan yang diambil. Mungkin banyak yang bisa menebak ke mana arah cerita, tapi tetep aja kerasa sangat touching karena kita akhirnya melihat karakter McQueen berputar satu lap, he comes full circle di akhir cerita. Dan menurutku, ending film ini sangat memuaskan.

Jika enggak ada manusia, kenapa mobil-mobil itu punya pegangan pintu?

 

While penonton cilik mungkin akan ileran ngeliat mobil-mobil baru nan mengkilap – Cars 3 tampak mulus seperti biasa, jika tidak lebih – penonton yang lebih dewasa bakalan sedikit berkontemplasi dibuat oleh pesan yang terkandung di dalam narasi.

Apakah kelak kita akan undur diri dengan sukarela, menyerahkan obor itu kepada generasi berikutnya, atau apakah kita akan terus melaju dalam jalan yang kita tahu ada ujungnya, risking everything just to keep up? Keseluruhan pembelajaran Cars 3 adalah tentang warisan. Kapan harus berhenti, merelakan, dan menyadari bahwa bukan semata kemenangan yang akan abadi. It’s our excellency.

 

Jika setiap mobil punya akselerasi, maka film ini pun ada. Antara film baru di’starter’ dengan kita mulai menikmati cerita, sesungguhnya memakan waktu yang enggak cepet. Paruh pertama film ini boring banget. Ada banyak lelucon yang jatoh bebas menjadi datar sedatar-datarnya. Kalian tahu, serial Cars selalu memancing jokes dan anekdot seputar personifikasinya terhadap dunia manusia. Yang memang sekilas terdengar amusing, tapi kalo dipikir-pikir rada gak make sense.

Banyak yang membandingkan film ini dengan sekuel-sekuel Rocky. Aku agak berbeda dengan pendapat itu, karena buatku, Cars 3 lebih kepada personal McQueen. Dia enggak necessarily pengen mengalahkan Storm, si mobil balap yang lebih muda namun rada angkuh dan kasar. McQueen ingin buktikan kalo dia sendiri masih mampu berlari di lintasan itu, bahwa dia adalah pembalap yang punya tujuan hanya satu. Aspek ‘ketika si muda menjadi tua’ ini bisa kita tarik garis lurus dengan keadaan Pixar sekarang. Bagi anak-anak, Cars adalah Pixar. Sedangkan bagi kita yang udah nonton lebih duluan, Cars adalah franchise Pixar yang paling ‘lemah. Bandingkan saja dengan Toy Story (1995). Pixar sudah exist cukup lama, dia sudah enggak ‘muda’ lagi, dan kita bisa lihat karya mereka juga enggak sekonsisten dulu lagi briliannya. Cars 3 adalah usaha Pixar menunjukkan mereka still can go wild-and-young. Tapi pertanyaan yang harus kita tanyaka adalah, akankah kita melihat successor ataupun rival baru yang lebih muda, yang bakal membuktikan bahwa mereka lebih baik dari Pixar?

 

 

 

Tidak banyak ‘pergantian gigi’ seperti yang kita kira, namun tak pelak ini adalah kisah mentorship yang menyentuh. It work best as a bigger picture, jika kita menonton ini setelah menonton film yang pertama. Bagusnya pun kurang lebih sama, deh. Kita bisa ngeskip Cars 2 entirely dan enggak akan banyak nemuin lobang di continuity. Penokohan membuat karakter lama jadi punya depth baru. Even newcomer diberikan penulisan yang lebih nendang lagi. Tapi leluconnya kinda datar, it’s hard enough membayangkan peraturan universe mobil-mobil itu. Dent pada konsep, dan Pixar berusaha sebaik mungkin menggali apa yang mereka bisa dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CARS 3.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ATOMIC BLONDE Review

“A secret makes a woman, woman.”

 

 

Perang informasi dan spionase selalu adalah soal fleksibilitas moral, atau bahkan meniadakan moral sejenak, hanya untuk menghancurkan musuh.

 

Makanya, historically setelah Perang Dunia Kedua, secret services MI6 mulai merekrut pria-pria pemakai narkoba, alkoholik, dan para homoseksual untuk dijadikan mata-mata. Lagian, kelompok orang-orang yang dianggap gampang menanggalkan moral tersebut sudah luar biasa berpengalaman dalam menyimpan rahasia. Kalo soal moral sih, yang namanya manusia ya jelas bukan malaikat. Namun, sebenarnya, cewek lebih ampuh dalam menyimpan rahasia. Serius, cewek mana pun yang tahu banyak akan berkata bahwa mereka belum pernah melihat ke dalam hati pria. Dan lagipula aku punya teman cowok yang kalo bohong pasti langsung ketahuan karena terlalu banyak ngedip dan keringetan, persis Nick di serial New Girl.

Di luar kemasannya yang mirip John Wick versi cewek, Atomic Blonde yang diadaptasi dari graphic novel The Coldest City adalah cerita tentang mata-mata. Kalo biasanya di akhir setiap review aku bilang, “in life there are winners and there are losers”, maka film ini punya petuah yang sedikit berbeda. Di dunia dengan orang-orang yang memakai nama alias itu, hanya ada kebohongan dan kebenaran. Kelemahan adalah ketika seseorang mempercayai orang lain. Jadi, jangan heran akan ada BANYAK TWIST-AND-TURN dalam cerita Atomic Blonde.

Paralel dengan setting sejarahnya yang menjelang peruntuhan Tembok Berlin, film ini bilang bukan senjata yang membuat kita saling tak-percaya. Senjata ada karena kita enggak bisa percaya pada siapa-siapa. Charlize Theron adalah agen mata-mata bernama Lorraine Broughton, dia tersohor oleh kemampuan penyamaran sekaligus keahlian kombatnya. Oleh atasan dan CIA, Lorraine diminta untuk berangkat ke Berlin demi menemukan List ‘penting’ berisi nama-nama orang yang diduga double-agent. Di Berlin, Lorraine akan dibantu oleh Percival (sekali lagi James McAvoy devilishly menghibur). Mereka juga harus melindungi seorang agen yang rumornya sudah hafal isi List tersebut, sehingga dia juga ikutan buron oleh orang-orang jahat.

Bukan List of Jericho loh ya!

 

Meskipun ini lebih kepada sebuah cerita mata-mata yang kompleks dengan ledakan aksi, maaaan, enggak usah ragu deh sama sekuens berantemnya. Setiap masing-masing mereka dihandle dan difilmkan dengan gaya keren, juga intens. The shots were beautiful. Lorraine bener-bener menghajar banyak orang. Kabarnya, Theron menampilkan sebagian besar adegan aksinya tanpa peran pengganti, which is incredibly amazing! Atomic Blonde digarap oleh salah seorang sutradara John Wick (2014). Dan David Leitch sekali lagi membuktikan kepiawaiannya mengarahkan adegan pertarungan tangan kosong, ataupun kejar-kejaran mobil. Bandingkan deh editing dan gerak kamera pada sekuens aksi film ini dengan Kidnap (2017). Oke, aku akan nunggu sampai sakit kepala kalian mereda setelah ngeliat adegan Kidnap.

Udah?

Well, Leitch membuat setiap bak-bik-buk terlihat menakjubkan. Gerak kameranya mulus sejalan dengan arah mata kita. Particularly sekuen pertarungan di tangga, yang kemudian berlanjut di jalanan Berlin yang ramai oleh warga yang demo. It is such a blast. Salah satu porsi aksi sinema yang paling stand out di tahun 2017.

Theron excellent banget. Ada sesuatu dari tokoh Lorraine yang membuat kita terinvest. Ya, cerita memang mengeksploitasi dirinya yang seorang cewek, but again, itu untuk menunjukkan cewek adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan spy yang badass. Lorraine ditulis sangat dingin. Personanya udah Ice Queen banget. Itu bukan hanya karena kita ngeliat dia dua kali mandi berendem dalam es batu, ataupun minumnya selalu es kosong campur Vodka. Karakter ini seolah diselubungi misteri. Dia pintar, kata-katanya tajam, tindakannya tangkas, dia membuktikan dirinya adalah orang yang tepat untuk tugasnya. Tapi ada secercah vulnerabilitas di dalam pribadi cewek ini yang kadang terlihat. Film ini mencerminkan personality Lorraine lewat penggunaan warna. Most of the time, di momen-momen cool, Lorraine akan didominasi oleh warna biru seperti kita melihatnya di bawah air dari balik akuarium. Kemudian semburat merah akan lantas mewarnai sosok ini, entah itu api dari pemantik ataupun cahaya neon, dan sekilas kita melihatnya kembali sebagai ‘manusia biasa’. Pun begitu, Lorraine enggak selalu langsung menang berkelahi. Adegan pertama kita melihat tokoh ini, dia dalam keadaan babak belur. Karakter dan treatmentnya sendiri akan membuat kita tetap tertarik, kayak cowok kalo lagi naksir ama cewek kece yang jutek.

 

Namun tertarik enggak bisa membawa kita jauh-jauh amat. Sebab selalu ada saatnya kita ingin belajar lebih banyak tentang karakter tersebut. Hingga menjelang babak akhir, aku enggak pernah benar-benar mengerti apa sih motivasi si Lorraine. Ataupun kenapa banyak orang mengincar daftar nama yang menjadi masalah tersebut. Oke, Lorraine dan teman-temannya ingin mengamankan List, dan bad guys pengen menjualnya, tapi inner motivasi dari kenapa mereka bersedia melakukan itu adalah hal yang bikin kita berjuang untuk mengerti. Dunkirk (2017) membuktikan bahwa kita bisa kok mengikuti karakter hanya di momen yang sedang berlangsung saat itu. Hanya saja, Atomic Blonde tidak berhasil membuat rasa tertarik kita terpuaskan. Investasi kita terhadap karakter tidak membuahkan apa-apa karena kita struggling berat memahami kompleksititas ceritanya.

Penulisan tokoh-tokoh seolah dibuat sengaja untuk mengecoh kita, it full of turns. Setiap mereka diperkenalkan sebagai sesuatu dan pada akhirnya mereka ternyata adalah ‘sesuatu’ yang lebih besar. Sesuatu yang berbeda. Kita enggak diberikan banyak waktu untuk mengenal mereka. Kita dapat dream sequence untuk Lorraine. Tapi itu belum cukup. Selebihnya, untuk karakter-karakter minor, perubahan mereka terjadi begitu saja. Misalnya tokoh si Sofiia Boutella. Dia juga bermain sangat baik, namun masih belum termanfaatkan dengan sama baiknya. Relationship Delphine dengan Lorraine dapat memberikan layer yang lain pada narasi, tapi film tidak mengeskplorasinya. Cuma sebatas, there we did it.

Sofia Nutella, Charlize Terong, James McD. Oke aku lapeeerrrr

 

Film ini mengecewakan ku dari segi sudut pandang bercerita. Petualangan dengan tokoh-tokoh yang penuh muslihat, aksi yang mendebarkan, menjadi berkurang intensitasnya lantaran film menggunakan flashback. Mereka memilih untuk bertutur dengan cara Lorraine duduk diinterogasi, untuk kemudian dia menceritakan apa yang sudah terjadi. Banyak film yang juga memakai cara bercerita seperti ini, kita diperlihatkan kondisi tokoh utama sekarang seperti apa untuk kemudian kita mundur sembari dia menceritakan kisahnya. Aku enggak begitu suka cara begini karena ketegangan film jadi berkurang. Kita melihat Lorraine matanya hitam abis ditonjok, sekujur badannya dihiasi borok luka, akan tetapi kita tahu dia akan baik saja. Because she sit was there to tell the tale. Jadi, setiap berantem yang kita lihat akan bikin kita, like, “wuiihhh idih!… ah, tapi dia selamat kok.” Cerita film ini bisa menjadi lebih exciting, tensi serta stakenya lebih gede jika dimulai lurus aja dari awal ke akhir, tanpa perlu bolak-balik antara present dengan timeline sebelumnya. Lagipula, setiap kali cerita balik ke ketika Lorraine diinterogasi, segalanya terasa berjeda. Sekuens di ruang interogasi itu kering dan hampa banget, kita pengen cepet-cepet balik ke bagian Lorraine melakukan sesuatu yang badass.

Satu lagi gaya yang diambil oleh Atomic Blonde, yang menurutku agak berlebihan, adalah penggunaan musiknya. While it is nice denger lagu-lagu upbeat dari 80an – pilihan lagunya bagus – namun timing pemakaian lagu ini terasa memberatkan film lebih daripada membantunya. Soundtrack film ini ABRASIVE sekali, seolah menjadi bagian dari narasi. Seperti ketika Lorraine masuk ke bar, lagu rock itu kemudian berganti gitu saja jadi musik jazz ketika ada yang menyalakan pemantik api saat Lorraine duduk di meja bar. Ada dua atau tiga kali kejadian, di mana musik latar pelan banget, dan ketika Lorraine mulai menghajar orang, musiknya menggede sendiri begitu saja. Mereka tampaknya ingin bikin lagu-lagu itu standout, akan tetapi sepertinya bukan ide yang bagus sebab lagu-lagu itu tidak menambah kepada narasi, ataupun benar-benar penting untuk pengembangan karakter.

 

 

 

Not to say film ini style over substance. It does have a complex spy story. Dan gaya film ini memang keren luar biasa. Banyak shot ciamik. Sekuens aksi yang nampol. Tapi film ini bukan orang Jerman yang enggak bikin kesalahan simpel. Terdapat banyak pilihan editing yang tampak seperti ‘just because they can’ alih-alih yang benar dibutuhkan untuk kepentingan cerita; susunan narasi yang bolak-balik dan terasa amburadul, membuat kita sering terlepas. Apalagi di bioskop Indonesia, sensornya banyak, jadi makin terlepas, deh kita. Dan musik yang sangat menggebu-gebu, meski kepentingannya enggak segede itu buat narasi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ATOMIC BLONDE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku

 

Buat kamu-kamu (apalagi yang cowok) yang berencana mengubah dunia, maka lakukanlah cita-cita mulia tersebut sebelum kamu menikah. Karena, kata mas Muh Rio Nisafa dalam buku ini, setelah nikah nanti jangankan dunia, ngeganti channel tivi saja kita udah enggak bisa!

Wuih, seserem itukah dunia rumah tangga?

Ngomong-ngomong, Muh Rio Nisafa ni safa, sih? Aku tadinya mengenal beliau hanya sebagai komika atau stand up comedian yang sama-sama terdaftar sebagai peserta Nulis Lupus Bareng kloter Jogja. Bedanya; mas Rio juara satu, sedangkan aku juara ‘cheerleader’. Setelah baca buku kedelapannya ini, aku jadi tahu kalo Mas Rio juga seorang kepala keluarga yang sudah delapan tahun menikah. Dan amat-sangat berbahagia karena statusnya tersebut.

Warna warni kehidupan berkeluarga tergambar ceria di sini. Ini bukan cerita fiksi, makanya komedi yang dihadirkan terasa kena sekali. Terlihat benar, akur dengan profesinya, Mas Rio memandang kehidupan sebagai panggung komedi. Termasuk, eh ralat, apalagi kehidupan berumah tangga. Dalam buku ini disebutkan menjadi AYAH PENUH SUKA DAN SUKA. Namun bukan berarti enggak ada dukanya. Happy Family tidak melulu bikin jealous para jomblo yang masih gagal move on dengan segala kespesialan yang didapat oleh pasangan yang sudah menikah. Meski memang sih, cukup banyak senggolan manja yang membandingkan enaknya sudah menikah dibandingkan masih pacaran. Riak-riak kecil perbedaan akan selalu hadir karena pernikahan hakikinya adalah menyatukan dua perbedaan; dua tingkah laku, dua kebiasaan, dua kehendak keluarga, dua pandangan hidup. Semua perbedaan toh tidak mesti jadi momok, tidak harus dianggap duka, karena bercermin dari pengalaman yang dituturkan jenaka oleh buku ini, perbedaan dalam rumah tangga adalah hal-hal yang patut disyukuri dan, eventually,  patut untuk  ditertawakan bersama.

pedoman suami siaga (siap-antar-ganteng)

 

Buku adalah buah pikir dari penulis. Basically, buku adalah anak dari pengarangnya. Meskipun sudah beranak buku delapan kali, Mas Rio baru punya satu anak manusia. Pengalaman mendapat anugerah gede tersebut diceritakan dengan asyik dan penuh bangga. Ada lima bab besar (hush, bukan buang air, jorok ih!) dalam buku ini, dengan satu bab didedikasikan tentang putra pertamanya. Dan dalam tiga bab sebelum itu pun kita sudah seperti terset up kepada momen kelahiran ini, dimulai dari Yahnda dan Manda ngerjain PR Fisika.

Anak dapat kita umpamakan sebagai sebuah buku kosong yang bakal menuliskan sendiri ceritanya. Tapi karena anaknya sendiri masih kecil, Mas Rio khusus di buku ini memproyeksikan sedikit dirinya, dan mungkin sedikit harapan, dan kita sebagai pembaca mendapatkan bantering imajiner yang super kocak antara Yahnda dengan si kecil Fano. Seperti yang bisa kita baca saat mereka pergi liburan ke waterpark. Ataupun ketika Fano dibanding-bandingin dengan presiden. Personally, aku ngakak sejadi-jadinya di bagian cerita ada anak bernama Sekar, yang nama panjangnya ternyata adalah Sekarang Kita Pulang! ahahahaha

Buat seorang stand up comedian, kepekaan terhadap isu-isu politik dan sosial selalu merupakan senjata utama. Happy Family luwes sekali memasukkan pancingan terhadap aspek-aspek tersebut, untuk kemudian mengolah dan menyelesaikannya dengan punch line yang bertenaga dan tepat sasaran. Banyak subbab pendek yang mampu menghabiskan setengah jam waktu sebab kita akan tergelak oleh lucunya dan betapa benarnya perbandingan gila yang diambil oleh penulis. Membaca ini akan terasa seperti menonton solo show dari seorang komika yang menceritakan apa yang jadi pikirannya, dengan layer rumah tangga yang pas sehingga terasa begitu relevan serta memikat. Terutama, tidak ada keluhan di sini. Ketika Yahnda curhat soal satu-satunya waktu dia dapat ngobrol dengan istri adalah ketika hape bininya lowbatt dan sedang di-charge, kita ikut tergelak sebab kita tahu memang begitulah kehidupan di jaman modern. Anekdot-anekdot segar dan tebakan kocak seperti beda kopi enak dengan kopi mahal mengalir lancar.

Sketsa-sketsa komedi singkat ala kolom humor di pinggir halaman TTS menghiasi halaman di bab akhir. Menghantar kita melalui penutup yang ringan, namun membuat kita ingin membacanya berulang kali. Berbagai macam skenario Raisa kenalan sama keluarga pacarnya, speerti pada iklan,tak pelak adalah salah satu bagian terbaik buku. Pacaran memang indah, tapi dunia rumah tangga enggak kalah serunya.

As a whole, jika kalian lagi duduk nyante sore hari di depan rumah, buku ini bisa jadi santapan yang enggak kalah menarik dari goreng pisang. Bukan cuma yang udah nikah loh, yang bakal terhibur. Candaannya sarat, akrab, dan yang paling penting; kocak. Sekali baca saja kita tahu kalo buku ini ditulis oleh seorang komika, gaya tulisannya persis kayak gaya tutur yang biasa kita tonton di acara stand up komedi. Unik, tapi terkadang memang sedikit mengganjal, khususnya bila kita mengahrapkan struktur yang lebih konvensional seperti novel atau personal literature yang biasa. Kuncinya ada di editing, you know, like, susunan cerita. Apalagi genre komedi banyak mengandalkan repetisi sebagai salah satu jokesnya. Buku ini melakukan dengan cukup bagus. Akan tetapi, ada beberapa editing dari sisi teknis seperti sejumlah besar typo yang terlupa untuk dibenerin dan penggunaan sudut pandang yang seperti kurang konsisten, ada bab yang pake ‘gue’, ada yang pake ‘saya’.

 

 

Buat yang mau menambahkan buku Lucu ini ke koleksi pustaka, ataupun lagi nyari pedoman menjalani hidup berumah tangga, bisa langsung pesan ke pengarang yang katanya pernah digodain SPG ini di twitter.com/rio_nisafa atau facebook.com/rio.nisafa

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS Review

“History is written by the victors.”

 

 

Apalah artinya sejarah, cuma dongeng yang disepakati bersama. Dulu banget Napoleon pernah berkata begitu. Kalimat yang enak banget buat diperdebatkan, namun berdering benar dalam film science fiction terbaru garapan Luc Besson yang diadaptasi dari komik asal Perancis.

 

Satu ras alien nyaris punah lantaran planet hunian mereka meledak, sebagai korban dari peperangan antargalaksi. Bayangkan Batman berantem dengan Superman di tengah kota. Gedung yang hancur, nah seperti itulah nasib planet cantik yang kita lihat di adegan pembuka film ini. Catatan tentang peristiwa naas tersebut dihapus oleh sekelompok orang jahat yang enggak ingin ‘prestasi’nya diketahui umum karena bakal berpengaruh terhadap apa yang sudah mereka usahakan selama ini. Mayor Valerian mendapat premonition tentang peristiwa itu. Bersama partner in crimenya, Sersan Laureline yang kece, Valerian mencoba memecahkan apa yang terjadi sekaligus berusaha untuk membantu segelintir penyintas ras tersebut mengembalikan peradaban, menyelematkan mereka dari kemusnahan.

Valerian and the City of a Thousand Planets seharusnya dijuduli Valerian and the City of a THOUSAND AWWWWWW. Visual film ini benar-benar spektakuler. Kita bisa dengan gampang nulis artikel internet semacam “Seribu Hal yang Menakjubkan di Valerian” karena memang ada sangat banyak penampakan yang bikin kita takjub. Efek CGInya terender mulus banget. Film ini dengan sukses menghidupkan fantasi penggemar science fiction di seluruh dunia; ada banyak jenis alien yang muncul dan desain mereka semua amat kreatif. Yang membuat rasa tertarikku semakin terpancing adalah sense optimis yang terkandung di dalam ceritanya. Universe dalam film ini berpusat di sebuah stasiun luar angkasa luar biasa besar. Ribuan alien dan manusia tinggal harmonis di sana. Montase di awal membuat kita mengerti gimana perdamaian semesta itu  bisa tercapai. It’s weird, but it’s okay to dream, kan ya. I mean, toh membuatnya menjadi relevan dengan kondisi dunia. Di mana kita mengharapkan hal yang sama bisa terjadi di dunia. Film ini pun berhasil meletakkan kita ke dalam perspektif baru; sudut pandang survivor yang sebenarnya enggak ada kaitan langsung dengan perang.

Gajah sama gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah.

 

Ini adalah petualangan luar angkasa yang seperti gabungan Avatar, The Matrix, dan yes, Star Wars. Meskipun begitu, film ini masih terasa orisinil. I have to say beberapa sekuens aksi film ini bakal bikin kita menahan napas. Valerian memanfaatkan konsepnya dengan baik, kita dapat menikmati contohnya di adegan kejar-kejaran antardimensi di Pasar. Di bagian tengah juga ada sekuen yang amazingly stunning di mana Valerian dengan suit pelindungnya berlari gitu aja, ‘menembus’ dinding-dinding, dan kita ngikutin dia melewati beragam environment dengan cepat. Permainan CGI yang luar biasa. Memang sih, beberapa  terasa seperti gabungan beberapa hal yang sudah pernah kita lihat, tetapi tetap teramat menarik karena dipersembahkan dengan lumayan unik. Adegan yang menyenangkan, nonetheless. Film ini punya banyak aspek untuk kita sukai.

Dalam kartun Dragon Ball kita belajar kalo sebuah planet intinya udah hancur, maka tidak butuh waktu lama buat keseluruhan planet tersebut runtuh dan menjadi debu di tata surya. Ini jualah yang menjadi masalah pada film Valerian; Inti narasi film ini tidak pernah benar-benar kuat. Jika kita liat dari dasar storytellingnya banget, maka kita akan menemukan kekecewaan. Narasi mengalami banyak pergantian tone, dan lebih sering ketimbang enggak, ceritanya highly uneven. Ada satu poin dalam narasi ketika kita mendadak diperkenalkan kepada tokoh yang diperankan oleh Rihanna. Kita ngeliat kebolehannya dia menari sembari instantly ganti kostum (udah kayak musik video), yang kemudian membawa kita ke adegan penyusupan yang kocak dan inovatif, untuk kemudian berakhir dramatis. Tonenya berganti dengan cepat, dan clashnya kentara sekali.

Valerian terutama bercerita dengan mengandalkan humor, dan untuk sebagian besar waktu enggak ada penonton yang tertawa. Ketika Valerian dan Laureline berinteraksi – Valerian menggoda, dan Laureline menepis dengan mau mau tapi dingin – humornya enggak nyampe. Datar. It just doesn’t work. And a lot of that datang dari ketiadaan chemistry di antara dua tokoh lead kita. Bantering keduanya kayak enggak punya jiwa. Kalaulah boleh diadu, permainan akting Cara Delevingne lebih meyakinkan daripada Dan DeHaan. Tokohnya pun memang lebih menarik Laureline sih. Bisalah disejajarin ama hero-hero wanita yang lagi hits sekarang. Cara memainkan tokohnya dengan level fierce yang pas, sehingga para penonton yang cowok pun bakal ikut penasaran ‘ngedapetin’ hatinya. Sebaliknya, Valerian malah terlihat seperti anak remaja yang pengen banget menjadi keren seperti Han Solo. Tokoh utama kita ini mestinya adalah seorang yang cocky, semau gue, lady-killer, dan ketika dibutuhkan; dia cakap beraksi. Tapi tidak sedetikpun dari dua jam lebih film ini aku percaya dan yakin kalo tokoh ini adalah space adventurer paling keren sealam semesta. Dan DeHaan adalah aktor yang cakap, tapi di film ini dia sangat enggak pas dengan peran yang ia dapatkan.

“ella ella eh eh”

 

Pretty much seluruh momen film ini disyut di hadapan green screen. CGI efeknya menawan. Gambarnya halus. Downsidenya memang adalah aktor-aktor yang terlibat bakal kesusahan untuk stay in character. Dan DeHaan serta Cara Delevingne cakep banget di kamera, beautiful people yang kamera udah jinak deh sama mereka. Namun berinteraksi dengan  practically nothing bukanlah hal yang gampang untuk dilakukan. Kedua aktor kadang terlihat off, maka terang saja kita enggak begitu tersedot kepada petualangan mereka. Relationship mereka kayak dipaksakan, dialog yang mengisi ‘pacaran’ mereka berdua antara humor gak-kena dengan kalimat puitis seputar tumbuhnya rasa cinta yang bikin kita meringis geli.

 

Ketika dua kubu atau lebih beradu, pemenang dari benturan tersebut akan mengukuhkan diri. Dibuatlah catatan kemenangan gimana heroiknya peristiwa yang mereka alami. Sementara yang kalah, akan menjadi catatan kaki. Mereka ada dalam belas kasihan pihak yang, katakanlah, hidup untuk menceritakan kisahnya. Terlebih buat pihak yang jadi colaterral damage, yang sengaja dikorbankan. Mereka enggak akan disebut sampai ada celah bagi pemenang untuk memanfaatkan mereka demi keuntungan sendiri.   

 

 

Masih ada banyak kesenangan yang bisa didapat dari menonton film ini. Punya tampilan yang cantik, semarak oleh warna dan efek yang mulus. Mampu membangun universe yang spektakular dan benar-benar hidup. Film ini akan menumbuhkan banyak pengikut yang setia dan sangat passionate, yang masih akan membicarakan film ini bahkan setelah bertahun-tahun. Para penggemar yang masih akan cinta dan enggak akan peduli bahwasanya penceritaan film ini sangat uneven. Banyak pergantian tone, menghantarkan kepada humor yang enggak bekerja dari tokoh lead yang hampir punya sedikit sekali chemistry.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE STORY OF 9O COINS short film Review

 

Kita sering melupakan betapa pentingnya janji, seperti kita sering melupakan bahwa film pendek tidak kalah pentingnya dengan film panjang. Ataupun bahwa ulasan atau review itu lebih dari sekedar sarana publikasi. Beberapa waktu lalu aku pernah buka pintu kerjasama buat aspiring filmmakers yang punya film pendek dan ingin direview. Namun sampe sekarang, Alhamdulillah, belum ada satu pun yang menghubungi. But to my surprise, malah filmmaker luar yang dengan hormat dan humblenya mempersembahkan karya debutorialnya untuk direview.

Michael Wong, indie director asal Malaysia, emailed me, dan dia punya satu film indah yang menurutku sangat penting untuk dishare. Not necessarily karena film pendek ini udah berprestasi di berbagai festival film internasional; which includes the Best Foreign Short & Best Actress at Los Angeles Independent Film Festival Awards, Best Drama & Best Cinematography at Los Angeles Film Awards, Best Foreign Short Film at Ukrainian International Short Film Festival, Rising Star Awards at Canada International Film Festival, an Official Finalist at London Film Awards, among others. Aku pikir, film pendek ini begitu penting dan sangat relatable buat begitu banyak orang, karena ini adalah cerita yang mengingatkan kita kepada janji.

And in hard times, this film can be a reminder to people of why they are in love in the first place.

 

Wang Yuyang dalam opening film pendek ini ditolak cintanya oleh Chen Wen. Jadi sebagaimana lumrahnya seorang cowok pejuang cinta, Wang Yuyang enggak menyerah. Dia mendeklarasikan sebuah ‘proposal’ yang lain; bahwa dia akan memberikan koin berbungkus amplop kecil kepada Chen Wen setiap hari. Kesepakatannya adalah; di hari ke sembilan-puluh, Wang Yuyang akan menanyakan kembali apa yang sekarang ditolak oleh Wen. Jika masih ditolak, koin tersebut akan mereka gunakan untuk beli minum kemudian pisah untuk selamanya. If somehow Wen menerima (Yuyang berkata penuh harap banget saat ngejelasin ini), maka koin tersebut akan digunain buat ngurus surat nikah. Sutradara Michael Wong tidak mengambil langkah bertele dan memanfaatkan 9 menitan durasi dengan sangat efektif. Romansa yang mengalir dari kedeketan mereka berdua tergambar lewat visual dan sinematografi yang niscaya ampuh bikin penonton cewek meleleh. Enggak butuh berepisode-episode sinetron untuk membuat kita mengerti bahwa cinta lambat laun tumbuh di antara mereka.

Apalah cinta tanpa pilihan. Dan saat konflik itu tiba,  The Story of 90 Coins doesn’t shy away dari fakta bahwa setiap manusia pada akhirnya harus memilih jalan sendiri. Oleh tuturnya, kita dibuat mengerti apa yang membebani dua sisi mata uang  –  yes , I’ve just punted it in – yakni Wen dan Yuyang. I think film ini punya kemampuan untuk beresonansi berbeda terhadap each penonton. It could sparks a healthy discussion di antara cowok dan cewek. To be frank, it’s hard not to pick a side when you’re watching a story as true and relatable as this. Menurutku, bukan hanya trust yang berpengaruh besar dalam menggali lubang di antara dua manusia ini. Semuanya kembali ke masalah seberapa besar seseorang menghargai janji.

it’s not just another mars and venus problem

 

Aku pastilah sudah hidup bak raja, tinggal dalam kamar bergelimang keripik kentang dan coklat jika Mamaku menepati janji-janjinya sekarang, “Udah, jangan rebutan! Nanti Mama belikan sepuluh lagi”. Dulu waktu kecil, setiap kali aku dan adikku berantem soal makanan (baca: setiap dua jam sekali, setiap hari!) – mainly because aku laper melulu dan my little evil sister pelit bukan kepalang – Mama akan menjanjikan beliin aku lagi hanya supaya kami berhenti saling lempar barang-barang.

Jadi, ya, karena sering diphpin begitu, aku tumbuh dengan tekad untuk sebisa mungkin nepatin janji betapa pun beratnya. Aku pernah janji gak ngehubungin orang, and I fulfilled that before we are friends again setelah setahun. Nelangsa, ya. Susah, memang. Tapi, aku berhasil enggak ingkar.  Aku mengerti bahwa bagi sebagian besar, janji diumbar dengan gampang saja karena itu adalah jalan keluar termudah. And it will instantly work. Diajakin ngumpul, tapi kalian lagi pengen me-time? “Insya Allah gue datang yaa”. Diundang acara, tapi gak enak nolaknya sebab nanti giliran kalian yang bikin acara kalian takut temen itu ‘bales dendam’ gadatang? “Okeee, tapi aku rada telat kayaknya.”- and then you never show up, atau ngecancel di menit-menit terakhir.

Anak muda sekarang kan memang suka gitu, dia yang memulai, dia yang mengakhiri. Dia yang berjanji, dia pula yang mengingkari.

Eh, kenapa jadi lagu dangdut?

 

Film ini berkata “Don’t let a promise just be a beautiful memory”. Apa yang terjadi pada Wen dan Yuyang di akhir cerita menunjukkan kepada kita bahwa terkadang kita enggak ingat, or we do not even realize, that we take our dearest for granted. Kadang kita bisa menjadi begitu selfish. Dan oleh karena itu juga, bahwa kadang kita sering mengucapkan sesuatu tanpa benar-benar memaksudkannya .

 

Film ini akan menegur kita dengan manis. One could argue that montase kenangan di bagian akhir dapat menjadi terlalu sappy, tapi menurutku hal tersebut bekerja cukup baik dengan tone yang sudah dibangun oleh film. Kita bisa melihat beda antara karakter, yang mana menandakan penulisannya fokus. My little problem, well it is not really a problem sih, but I do think bagian ending film pendek ini sebenarnya enggak perlu-perlu amat. Narasi bisa berjalan tanpa kita harus tahu apa jawaban yang terlontar dari mulut Chen Wen. Aku lebih suka cerita yang membuat kita menebak, namun perlakuan film pendek dengan film panjang memang sedikit berbeda. Biasanya film pendek diakhiri dengan ‘kejutan’ atau sesuatu hal yang menohok banget, this short did just that. Dia mereveal semua supaya note dramatis dan emosional yang dihasilkan bisa maksimal terpush.

Aku senang dapat kesempatan tahu dan nonton film pendek ini. Aku merasa terhormat sudah dimintai pendapat mengulasnya sebagai ulasan short film pertama di mydirtsheet.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 stars for THE STORY OF 90 COINS.

 

 

Buat yang pengen nonton filmnya dan tahu lebih banyak bisa ikuti salah satu link di bawah ini:

a) Short film streaming link: http://www.vimeo.com/143267832/
b) Facebook page: www.facebook.com/thestoryof90coins/
c) IMDb page: www.imdb.com/title/tt5182914/

 

That’s all we have for now.
Kesempatan masih terbuka loh buat yang punya film pendek dan pengen diulas, ataupun pengen discreening di Warung Darurat Bandung; silahkan hubungi kami lewat email.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

THE DOLL 2 Review

“Hey, Girl, open the walls, play with your dolls, we’ll be a perfect family.”

 

 

Rumah tangga yang ideal itu adalah rumah tangga yang kayak ditampilkan oleh rumah boneka. Coba deh intip rumah tangga yang dipajang di kamar adek cewekmu, ada ayah, ada ibu, ada anak, yang duduk ngumpul, mungkin di ruang tv. Yang beraktivitas bersama. Bibir plastik mereka dibentuk ceria.

 

Persis seperti begitu jualah keadaan keluarga Maira (Luna Maya dalam sebuah peran yang sangat unconventional, and she nailed every emotions). Bedanya pada jumlah orang, di rumah Maira juga tinggal asisten rumahtangga, Yani yang rajin. Keluarga kecil Maira tampak harmonis. Maira dan suami, Aldo (Herjunot Ali perlu bekerja lebih giat dalam urusan ekspresi) sering menghabiskan waktu bersama putri mereka, Kayla, yang demen ngerekam aktivitas sehari-hari dengan handycam. Main cari harta karun, menghitung kartu memori video bidikan Kayla, tiada hari tanpa nemenin Kayla dengan boneka kesayangannya, Sabrina, deh. Sayangnya, hari-hari itu sirna. Maira kehilangan Sabrina dalam sebuah kecelakaan; mobil yang membawa mereka bertiga tabrakan. Keharmonisan keluarga ini merenggang as Maira terus kepikiran Kayla. Sampai-sampai dia merasakan ‘kehadiran’ di rumahnya, kejadian ganjil mulai terjadi. Maira kerap melihat boneka Sabrina bergerak, berpindah tempat, mengajak dirinya bermain. Hal ini membuat Maira dan Aldo harus ‘bekerja’ sebagai keluarga kembali demi menuntaskan misteri sekaligus mengembalikan kehangatan di rumah mereka.

Ada sedikit psychological nudge dalam narasi, di mana Maira terlihat enggak benar-benar yakin apakah yang dilihatnya memang penampakan hantu atau berasal dari perasaan duka dan kehilangannya yang amat mendalam. Sahabat dan suami Maira malah enggak pernah melihat Sabrina beraksi dengan mata kepala sendiri. Langkah normal dan logis buat menyelesaikan masalah ‘boneka ku; hidup!’ tentu saja adalah dengan menyingkirkan that said doll, Sabrina dari rumah. Karena Sabrina adalah objek yang menghubungkan Maira dengan Kayla, membuat ibu ini tidak bisa melupakan kejadian tragis yang menimpa putri kecilnya itu. Membuat Maira enggak bisa move on. Dan di sinilah film The Doll 2 mengejutkanku. Cerita berkembang ke arah yang sama sekali berbeda. Yea it could destroy the movie entirely, lantaran reasoning dan menggarapnya masih dengan cara ‘menyembunyikan karakter’, you know, kayak sengaja biar gak ketebak sama penonton doang – enggak really terbuild up. Namun aku suka dengan sekuens berdarah-darah yang timbul dari pengungkapan ini. Revealing di menjelang babak tiga, katakanlah twistnya, benar-benar turn the movie around.  Mengubah film yang tadinya lebih ke DRAMA HOROR, MENJADI ACTION SLASHER yang lebih membabi buta daripada Membabi-Buta (2017). Membuatku memikirkan ulang segala catatan yang udah kupetik sepanjang film.

ide buat pesta Halloween: lomba karaoke Lingsir Wengi.

 

 

Sepuluh menit pertama adalah waktu penting yang sempit buat narasi melandaskan mood, tone cerita, motivasi, dan stake yang akan dihidangkan. Aku masuk ke sekuel ini siap mencerca lantaran sepuluh menit pertama mereka habiskan untuk memperlihatkan kejadian akhir di film The Doll (2016). It was like a clip penuh oleh jumpscare, dialog eksposisi, dan elemen dari film-film horor luar yang jauh lebih sukses. Dan tadinya aku mengira adegan itu dimasukkan buat penonton yang belum pernah nonton film pertamanya, penonton seperti aku, semacam langkah buat nyambungin cerita lah. Tapi setelah aku melihat babak ketiga, setelah revealing yang membanting setir arah film, memasukkan adegan awal seperti itu bukan hanya supaya make sense, namun juga jadi langkah yang perlu banget. Karena itu adalah cara film ini untuk ngeset, ngasih tau kita kalo yang kita tonton sebenarnya adalah horor yang slasher abis. It was brutal, mereka memanfaatkan rating 17+ dengan maksimal. Adegan berdarahnya enggak nahan-nahan. Perut ditusuk-tusuk, badan dibanting-banting, aku seketika seger nontonnya. It was full of scream. Yea, kupikir sutradara Rocky Soraya sebagian besar mendapat pengaruh dari seri slasher buatan Wes Craven, Scream.

Dan mereka gak bisa ngesetup itu dengan sekaligus harus menyemen keharmonisan keluarga Maira. Film ini butuh cuplikan, dan itu adalah cara yang aman. Untuk selanjutnya, film mengambil waktu untuk memperlihatkan keharmonisan keluarga Maira. Kita benar-benar melihat perbedaan Maira antara sebelum dengan sesudah kecelakaan. Namun perihal kerenggangan rumah tangga, bahwasanya Maira tidak really merhatiin Aldo seperti yang direveal di akhir, tidak pernah tergambar jelas. Sekali lagi, setelah melihat film ini – aku banyak berpikir ulang – menurutku, kekurangeksploran build up soal hubungan Maira dan Aldo adalah disengaja sebab film ingin bekerja dalam ruang memperlihatkan keluarga mereka benar seperti keluarga boneka. Plastik. Terlihat harmonis dari luar sampai bikin iri pembantunya, namun di baliknya mereka punya masalah.

Let’s talk about design boneka Sabrina; I’m not a fan. Banyak orang mimpi buruk tentang boneka karena wajah boneka biasanya menunjukkan ekspresi yang statis. Seram datang setelah diliat-liat biasanya ekspresi minimalis boneka tersebut seolah berubah. Namun di sini, mereka overdid it, pengen nyaingin boneka film negara luar, eh malah membuat Sabrina jadi kurang seram. I mean, boneka standar kayak Susan aja sebenarnya udah seram kok. Dilihat dari betapa meyakinkannya praktikal efek yang digunakan dalam bagian-bagian yang gory, juga dalam make-up hantu, film ini punya SENSE HOROR YANG BAGUS. Jadi aku toh cukup tertarik juga menunggu untuk melihat apa sih yang bisa mereka lakukan dengan si Sabrina. Dan aku sedikit kecewa, lantaran selain matanya yang bergerak dan ngeluarin darah, mereka enggak bikin Sabrina bisa ngelakuin banyak hal.

Sebagian besar adegan berdarah, adegan horornya, dishot dengan bagus. Favorit film ini adalah ngambil view dari atas kipas angin di tengah ruangan, dan memang paduan kipas berputar dengan bercak darah yang diseret menghasilkan gambar yang cukup mengerikan. Film ini juga banyak bermain dengan cermin, yang mungkin adalah simbol subtil, but I guess it was played just for the cool effect.

“aku bukan boneka, bonekaaa~~”

 

Kebanyakan memasukkan elemen dan tropes horor lain menjadi beban yang menghalangi film ini untuk jadi lebih gede lagi. Separuh awal dihabiskan untuk membuat kita kaget oleh false jumpscare; udah ngagetin, bukan setan pula. Cuma orang yang datang bawa keranjang cucian. Padahal seperti yang kubilang tadi, film ini punya sense of horor yang ciamik. Seperti pada adegan akhir antara Maira dengan hantu Kayla. Untuk sekali ini, Kayla diliatin tanpa diiringi suara musik keras, dan hasilnya sungguh sebuah adegan serem sekaligus touching. Beautiful! Arc Maira sebagai ibu yang kehilangan anak, juga arc Kayla sendiri sebagai anak yang dirampas dari kasih sayang, selesai dengan menyeluruh. Adegan yang powerful; melihat ibu menunjukkan cinta kepada anak yang tampangnya menyeramkan, dan ultimately casting her away, merelakan. Ah seandainya semua adegan seram film ini mendapatkan perlakuan seperti adegan tersebut…

Ini adalah cerita tentang ibu yang kehilangan anaknya. Mengeksplorasi seberapa dalam orang terjatuh dalam duka, struggle untuk –bukan melupakan- hanya untuk menyimpannya sedalam kita bisa menjalankan hidup tanpa terusik oleh rasa kehilangan. Dan it doesn’t shy away dari fakta bahwa ketika kita kehilangan seseorang yang teramat disayangi, kita ingin menuntut balas.

 

Film inipun terlihat pengen menjadi banyak sekaligus. Bahkan beberapa adegan direkam dengan shaky cam, you know, sebab film horor kebanyakan berkamera goyang-goyang. Sepertinya ini dijadikan ciri khas, film ini adalah GABUNGAN GENRE HOROR; dalam cerita ini kita dapatkan elemen drama, horor hantu, slasher bunuh-bunuhan, dan even psikologis – enggak semuanya toh bekerja dengan baik, mainly disebabkan oleh penulisan yang gak bisa mengimbangi dan menampung semuanya. Kualitas dialog dalam film ini enggak begitu menonjol, masih mengandalkan eksposisi yang menurunkan nilai adegan. Misalnya, ada karakter yang sudah terbangun dari Kayla, dia nyebut dia suka bangun tengah malam, nonton dan buang air kecil. Later setelah dia meninggal, Maira mendengar suara tv dan siraman air di kamar mandi pada tengah malam. Sebenarnya kan itu adalah adegan yang seram, kita menyimpulkan yang didengar Maira bisa jadi adalah hantu anaknya, namun film malah memutuskan supaya hal subtil yang visual kayak gini diperjelas oleh dialog yang menerangkan semua. Juga terlalu banyak adegan “Tadi Kayla di sini. Ada boneka juga, liat deh,” dan ta-daa! bonekanya hilang. Totally a waste of dialogue yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk build up ke twistnya.

Beberapa aspek cerita gak berujung apa-apa, seperti wish yang diucapkan oleh Aldo, yang membuat kita teringat akan Krampus (2015) atau malah permintaan ulang tahun Danur (2017) yang dibuat oleh film seolah bagian yang penting, they literally ngesyut asapnya beberapa detik kayak mau ngebuild up sesuatu, tapi tidak pernah ada efek nyata pada cerita. Ada juga sih, usaha untuk merasionalkan beberapa hal yang janggal pada narasi. Kayak teman Maira yang gak percaya takhayul, namun justru dia yang menyarankan mencari pemanggilan arwah lewat medium di internet. Namun tetap saja, hanya berakhir menambah paparan ketimbang memperkuat karakter minor. Dan menurutku, mereka benar-benar membuang kesempatan pada adegan kecelakaan, they should have sold it more convincing. Akting dan pengadegan di sana kurang intens, like, mereka melaju di dalam mobil yang remnya blong, itu adalah hal yang mengerikan, namun penampilan aktingnya enggak membuat kita ngeri yang maksimal, tabrakannya enggak ‘dijual’ dengan spesial.

 

 

It worked as a stand-alone movie; aku belum nonton yang pertama dan masih bisa ngikutin. Malahan bisa berkembang menjadi seri slasher/horor tanah air yang sangat bagus, jika tetap mempertahankan gimmick boneka digabung terus mengeksplorasi hubungan antara ibu dan anak. Unsur budaya lokal yang cukup kental juga membuat film ini jadi punya sudut pandang sendiri. Dan please… kurangi elemen-elemen film lain, dan tinggalkan sepenuhnya trope-trope horor usang yang membuat film jadi sebuah wahana enggak seram alih-alih tontonan yang creep out on us. Aku enggak tahu harus mengharapkan apa, dan berakhir dengan really surprised dan mildly entertained oleh babak terakhir yang gut-busting. Film ini memilih langkah dan arahan yang beralasan, namun masih ketutup dan terbebani oleh keinginannya untuk menjual banyak hal. Punya good sense of horror, bekerja baik sebagai drama, dan even better sebagai slasher. hanya saja dia ingin terlihat perfect untuk menyembunyikan kelemahan aspek pada narasi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE DOLL 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

TO THE BONE Review

“She has dreams to be an envy, so she’s starving”

 

 

 

You know, “Covergirls eat nothing.”
She says, “Beauty is pain and there’s beauty in everything.”
“What’s a little bit of hunger?”
“I can go a little while longer,” she fades away

 

I gotta to be honest, pertama kali dengar lirik lagu Alessia Cara tersebut, aku merasa seperti sedang mengiris bawang merah yang banyak banget. Aku sungguh berharap enggak ada teman-temanku yang pernah pingsan karena sengaja gak makan. I can’t imagine being girls di jaman sekarang, I mean, dengan segala tuntutan sosial itu; harus putih, harus langsing. Anorexia sendirinya adalah problem yang serius. Dan setelah nonton film To the Bone yang MEMBAHAS ANOREXIA SECARA MENDALAM DAN SANGAT JUJUR, aku jadi semakin ngeri. Karena Anorexia enggak selamanya hanya karena si cewek pengen terlihat cantik. Seperti Ellen, ketika dia dikomentari ibu tirinya yang khawatir “Cantik enggak dirimu menurut kamu?” Ellen memandang foto diri yang tinggal kulit membalut tulang, dan menjawab “Enggak”. Anorexia berkaitan dengan masalah psikologis yang bisa berasal dari apa saja. Ellen yang dealing with severe anorexia terutama harus menyadari dan mengaccept dulu trauma yang membuat dia menjadi begitu anti sama makanan.

Film ini enggak menahan diri soal urusan penceritaan, semuanya digambar blak-blakan oleh narasi. Bukan hanya membahas apa dampak eating disorder terhadap si penderita, baik secara fisik dan psikologis. Film juga mengeksplorasi akibatnya terhadap keluarga dan orang-orang yang benar-benar peduli terhadap si penderita. Ellen dibujuk untuk mengikuti pengobatan khusus di mana cewek berdarah seni tinggi ini harus tinggal bersama beberapa orang yang juga mengidap berbagai kelainan enggak-mau makan. Ada cewek yang diam-diam ngumpulin muntahnya di bawah ranjang, ada cewek yang begitu parah sehingga harus dikasih asupan lewat tube, ada juga wanita yang tengah mengandung bayi tapi masih ogah makan sehingga membahayakan nyawa si janin. To the Bone bukanlah film light-hearted di mana semua penghuni rumah inap dokter yang metodenya sangat radikal itu pada akhirnya akan menjadi sahabat dan semuanya berakhir happy ending.

kalo bisa milih, gak ada lagi orang di dunia ini yang kita percaya untuk nasihatin kita, to make us feel better, selain Keanu Reeves

 

Sekilas, memang sepertinya plot yang dihadirkan agak dilebih-lebihkan, seakan memancing yang susah-susah dari keadaan mental yang menyedihkan dari seseorang yang insecure atas dirinya. Film ini akan terasa too much dan terlalu jauh, namun sebenarnya ini adalah cerita yang SANGAT AKURAT DALAM PORTRAYALNYA mengenai penderita Anorexia. Ellen bahkan enggak mau menggigit makanan, let alone menelannya. Dia menolak ide mencerna apapun yang mengandung banyak kalori. Ellen udah kayak kamus gizi berjalan, dia hapal kandungan kalori dalam setiap makanan, just so dia bisa menghindarinya. Dia mengukur lingkar lengannya, dan bila ia rasa jadi sesenti lebih gede, Ellen akan membakar kalori – seberapa pun yang tersisa di tubuhnya – dengan berlari naik turun tangga. Dan sit up sampai punggungnya lecet. Konyol? Maybe, namun enggak ada yang corny soal anorexia. Karena ini adalah penyakit nyata, ada orang-orang di luar sana, cewek dan cowok, yang mengalaminya. Aku memang enggak kenal orang anorexia, tapi setelah menonton ini aku ngeri juga bahwa aku bisa saja termasuk di antara mereka.

Aku enggak pernah insecure soal penampilan. Namun dulu berat badanku mencapai 72 kilogram, dan itu membuatku kesulitan bergerak. Apa-apa capek, apa-apa keringetan. Mandi aja aku keringetan ngangkat gayung. Jadi aku mulai menurunkan berat sehingga sampe sekarang sukses bertahan di angka 50. Tapi kebiasaanku makan sejak misi ‘diet’ itu nyaris sama seperti yang dialami oleh Ellen, meski enggak seekstrim itu. Aku completely discarded sarapan off of my daily menu. Aku sebisa mungkin ngehindari daging dan gula. Apalagi gorengan. Dan kalo kepepet memakan salah satu dari hal tersebut, aku akan bingung sendiri mikirin gimana bakar kalorinya. Biasanya setiap pagi aku akan lari di tempat sambil nonton WWE. Yang dilanjut dengan push-up, squat jump, dan sit up. Alih-alih lingkar lengan seperti Ellen, aku mengukur lingkar pinggang – tidak boleh lebih dari 3.5 jengkal!! Aku bahkan mencibir ide bahwa manusia harus banget makan tiga-dua kali sehari; bayangkan berapa banyak hal produktif yang bisa dilakukan saat kita nyempetin duduk di meja kantin selama 30 menit.  Aku pun masih ingat reaksi keluarga dan teman-teman ketika aku muncul di hadapan mereka dengan ‘wujud baru’, persis seperti reaksi keluarga dan teman-teman Ellen. “Kurusan banget, ih”, “Mirip tengkorak”, ibuku nodongin makan setiap limabelas menit sekali, sampai my dad jadi punya topik baru dalam ceramah rutinnya. Jadi aku tahu betapa akuratnya film To the Bone ini, dan buat aku yang bukan penderita aja, film ini udah disturbing secara personal.

Setelahnya, aku jadi pengen makan banyaaaaakk sekalliiiiii

 

Sutradara Marti Noxon pun tampaknya paham soal ini. Dia tahu langkah dan keadaannya, dia tahu perlu sekali mengarahkan film ini untuk enggak menjadi politically correct, walaupun cerita yang digarapnya melintasi subyek yang enggak mudah untuk dibahas. Kudu hati-hati, dan Noxon mutusin untuk tidak menyembunyikan apapun. Tidak ada gunanya membahas tema ini dengan bersopan-sopan. Tokoh-tokoh dalam film ini mengatakan ataupun melakukan hal-hal yang tergolong perbuatan tak-senonoh, mereka bicara kasar, dan tak sekalipun film ini berusaha mengoreksi mereka. They just do it, dan kita mengerti. Bahwa mereka-mereka ini sedang dalam titik terendah hidup mereka, di mana mereka bahkan enggak bisa mastiin mereka masih hidup minggu depan atau enggak. Cara yang dilakukan film ini sukses menempatkan kita sebagai penonton di mana kita bisa merasakan penderitaan mereka, that they no longer care about things.

Dan untuk menyembuhkan mereka, lebih tepatnya membantu mereka menemukan keinginan untuk sembuh, film ini tidak mendatangkan dokter yang sekedar menanyakan kabar dan bermanis-manis ria menaikkan mood pasien, ngasih obat, lalu pulang. Dokter Beckham yang diperankan oleh Keanu Reeves ditulis dengan amat baik, karakternya sangat entertaining, dan Keanu Reeves really nailed this character. Dia akan menatap pasiennya lekat-lekat di mata, dia enggak akan peduli dengan perasaan, dia cuma mau mereka melihat ke dalam diri, dan literally akan bilang persetan dengan pikiran kalian sendiri yang membuat kalian enggak mau makan.

Tadinya aku sempet kepikiran kalo Emma Roberts bisa jadi pilihan yang bagus buat meranin tokoh Ellen. Tapi toh lama kelamaan as I watch this through, kerja Lily Collins benar-benar membuatku terkesan. Penampilannya di sini stand out banget. Dia rela jadi kurus buat peran ini, tapi bukan berat badannya aja yang bikin ia tampak mencuat, dia hidup sekali di dalam karakternya. Collins membawakan tokoh ini dengan sangat tertutup dan was-was, yang mana merupakan perilaku yang tepat buat orang yang benar-benar mengalami kondisi mental seperti tokoh ini. Like, Ellen enggak mau disentuh oleh orang, dia ingin dibiarkan sendiri. Aspek karakter inilah yang diportray oleh Collins dengan meyakinkan, membuatnya sangat bersinar. Ada adegan antara Ellen dengan ibu kandungnya (Lili Taylor fantastis dan kupikir dia adalah aktris yang sangat underrated sekarang ini) yang sangat merenyuhkan hati menjelang akhir. Ini adalah jenis adegan yang beresiko tinggi, terlihat bagus di naskah namun eksekusinya bisa jadi sangat komikal dan merusak semuanya. Untungnya, akting dan delivery kedua pemain yang terlibat berhasil mengangkat adegan tersebut, menghasilkan momen yang indah dan magis. Dan membuat arc keduanya comes full circle.

Saat muda adalah waktu yang paling susah untuk kehilangan sosok ibu. Ellen berpisah dengan ibu kandungnya, yang ternyata adalah seorang lesbian. Dan ini dijalankan selaras oleh narasi dengan keengganan Ellen untuk makan. Deep inside, dia enggak mau ‘makan’ yang lain. Karena sebenarnya Ellen’s craving for mother figure. Ellen ingin jadi sesuatu yang membuat orang-orang ingin mengasuhnya. To be an envy for her mother. The real one.

 

Ada satu lagi tokoh yang menarik, yaitu Luke; pasien cowok satu-satunya di rumah inap tempat Ellen berobat. Alex Sharp memainkan tokoh ini dengan sangat charming. Karakternya adalah penari dari London yang patah kaki, yang membuat karirnya kandas, sehingga dia menyiksa diri dengan enggak makan. Akan butuh waktu sebelum kita bisa meapresiasi karakternya secara maksimal, karena memang di awal-awal dia sedikit lebay. Dia memaksa Ellen makan coklat, dan sebagainya. Oleh karena kita terinvest begitu banyak kepada Ellen, maka reaksi kita kepada Luke pun akan sama dengan reaksi Ellen kepadanya. Tetapi niscaya, karakter ini akan grew on us, arcnya pun juga sangat tertulis rapi. Luke kadang menyapa Ellen sebagai peri kecil, dan dari situ ada adegan di akhir yang terasa agak terlalu orchestrated. Teatrikal banget. Terasa enggak sesuai dengan keseluruhan film, seperti menyelipkan sesuatu yang terlalu rumit di antara padanan yang kelam. Dan bagian akhir itulah satu aspek dalam film ini yang enggak sreg buatku.

 

 

 

 

Bikin kita terpesona sejak adegan pertamanya, ini adalah film yang tertulis dengan amat baik, mengeksplorasi psikologis orang-orang yang punya pandangan menarik tentang kebutuhan makan. Dan dihidupkan oleh permainan akting yang luar biasa. Topiknya yang suram dan disturbing dan acapkali inappropriate dibahas dengan hati-hati namun tidak pernah menyembunyikan apapun. Keblakblakan film ini akan menyelematkan semua orang yang sempat kepikiran untuk mengambil keputusan serupa yang menghancurkan diri sendiri. Tak pelak, film ini akan membekas lama. Sampai ke tulang belulang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TO THE BONE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY Review

“Actions are the seed of fate deeds grow into destiny.”

 

 

Adalah prestasi yang membanggakan jika sebuah film dinanti-nanti sekuelnya lantaran para penonton sangat jatuh hati kepada karakter yang ditampilkan.  Penonton ingin melihat lebih banyak dari karakter-karakter tersebut. Seperti yang terjadi pada Filosofi Kopi (2015), perjalanan persahabatan Ben dan Jody begitu hangat dan kental sehingga dibikinlah cangkir kedua, eh maksudnya film kedua ini. And keep in mind, bahwa tadinya Filosofi Kopi berangkat dari cerita pendek. Sekarang, berkembang menjadi kedai kopi beneran, brand bisnis beneran, tak pelak – ini sudah menginspirasi banyak orang, khususnya anak-anak muda, bahwa berbisnis itu keren. Bahkan aku juga sekarang udah membuka kafe eskrim di Bandung, di mana aku nyiapin dan served people myself. Meski memang backstory buka usahaku lebih mirip seperti Max Black’s ketimbang Ben dan Jody yang kekinian.

Bisnis ada seninya. It’s not just about math ataupun sekedar statistik keuntungan-kerugian. Bisnis juga adalah soal cinta. Kita bisa belajar begitu banyak, sehingga pengembangan bisnis sejatinya adalah pengembangan diri sendiri.

 

 

Dalam sekuel inipun diceritakan kesuksesan Filosofi Kopi milik Ben dan Jody membuat menjamurnya anak muda yang bikin kedai kopi serupa. Filosofi Kopi sudah menjadi semacam legenda, “Mitos,” kata Luna Maya. Jadi bahan obrolan di antara barista-barista yang terinspirasi, kopinya jadi tolak ukur standar tinggi. The Legend now wants to return home. Bisnis roadtrip mereka enggak jalan ke mana-mana, meski memang mereka udah keliling Indonesia memasyarakatkan kopi selama dua tahun belakangan. Jadi, Ben dan Jody kembali ke kedai di Melawai. Mereka harus kembali struggle nyari investor sebab beli properti enggak murah. Dan oleh karena ini adalah film sekuel, maka harus ada ide baru dan stake harus dipergede. Sehingga Filosofi Kopi, ultimately, mengekspansi gerai kedai mereka ke kota Jogja, mereka harus ngehire orang-orang baru, dan persahabatan Ben dan Jody teraduk-aduk karenanya.

dan Luna Maya datengnya telat melulu

 

Ada dua tokoh baru yang menambah cita rasa cerita Filosofi Kopi 2. To be honest tho, aku enggak begitu mengerti dinamika cinta segi kotak di antara Ben-Tarra-Jody-Brie-Ben sebab meski memang keempat ini punya karakter, relationship mereka tidak benar-benar terflesh out dengan baik. Ben dan Jody, they are funny, kita percaya persahabatan udah mengakar kuat pada mereka. Namun saat-saat mereka berantem, mereka berpisah, mereka reunite, terasa lebih seperti tuntunan sekuens naskah ketimbang terdevelop secara natural, you know, terbentuk dari interaksi actual dan genuine di antara mereka. Padahal elemen inilah yang penting lantaran film kali ini is LESS ABOUT RUNNING A PLACE AND MORE OF A STORY ABOUT CHARACTERS.

Karakter Tarra yang diperankan oleh Luna Maya adalah investor yang aim big but really strict untuk urusan bisnis, dia gakenal orangtua dan teman kalo udah nyangkut bisnis, keopimisannya membuat Tarra cukup menarik. Tarra merupakan padanan yang pas buat Paman Gober, alias Jody. Karakter tokoh pendiem-nan-calming milik Rio Dewanto ini lebih mudah kita relasikan, as opposed to Ben. Dalam film ini tergambar jelas bahwa jika Ben adalah sosok yang kita inginkan untuk menjadi, maka Jody adalah sosok yang mewakili realita; dia adalah siapa kita turn out to be. Dan aku senang di film ini Jody dapat jatah unjuk kebolehan ‘ngegombal’ di depan cewek dalam sebuah adegan simbolik yang dihandle dengan baik.

Brie si barista baru, however, kita baru mengerti dia siapa di paruh akhir. Karakternya menarik; she was a fan, tapi dia ngabisin sebagian besar shift kerjanya dibentak-bentak oleh Ben. Namun dia punya cara tersendiri yang ia yakini dalam bikin kopi. Aku sendiri enggak pernah ngefan sama teknik cerita yang sengaja nyimpen satu karakter untuk ‘revealing’ tanpa pernah ngebuild revealing tersebut. So yea, personally, aku pikir Brie bisa menjadi sudut pandang yang (lebih) menarik sebagai tokoh utama cerita, Nadine Alexandra pun pastinya capable diberikan role ini, jika kita lihat gimana usahanya menghidupkan Brie.

Now let’s talk about Ben. Chicco Jerikho breaths in this character, udah senyawa bangetlah pokoknya. Ben adalah orang yang sangat ahli, sekaligus amat menyintai apa yang ia kerjakan. Kita sering mendapati Ben mengelus-elus alat pembuat kopi, dia memegang biji kopi dengan penuh hormat, dia memperlakukan kedai dan segala atributnya seperti anak menghartakarunkan mainan kesayangan. Maka kita paham darimana ‘trust issues’nya datang, Ben enggak segampang Jody dalam mempekerjakan barista-barista baru. Ia enggak sembarangan menerima orang. Namun kadang, sifat Ben membuat kita enggak mengerti apa motivasi dirinya, like, filosofi-filosofi yang ia berikan kepada cewek-cewek yang beli – apakah murni dari hati ataukah semacam gombalan itelijen? Di sinilah letak menariknya karakter Ben; kita enggak pasti sehingga kita selalu ingin tahu dia lebih dalam. When he’s being a jerk, kita kesel beneran. Dan ketika ia jatoh, kita bersimpati.

 

Anak kecil, katanya, tidak berdosa as dosa-dosa mereka ditanggung oleh orangtua. Ajaran agama bilang begitu. Tapi di sini, di dunia fana penuh judgment, yang terjadi adalah kebalikannya. Dosa orangtua biasanya diterus-terusin ke anaknya. Bapaknya maling, anaknya yang menanggung malu. Bapaknya jahat, anaknya yang bertanggungjawab. Dan berapa banyak dari kita yang nyalahin orangtua yang menuntut banyak, atas ketidakberanian kita mengejar mimpi sendiri? Padahal kita  bakal tumbuh menjadi apa ditentukan oleh aksi kita sendiri. Benihnya mungkin ditanam dalam pengaruh orangtua, namun tindakan kita yang menentukan bakal tumbuh menjadi apa.

 

 

Sebagai sebuah film, Filosofi Kopi 2 mampu untuk berdiri sendiri.  Semua elemen ceritanya terconclude dengan baik. Kamera sukses berat jalan-jalan menghasilkan gambar-gambar yang terlihat festive sekaligus elegan. Aku notice musiknya, padahal biasanya musik adalah aspek yang paling sering kulewatin – ketika Ben nerima telepon di sekitar tengah cerita, musik kerennya ngingetinku sama musik di A Clockwork Orange nya Stanley Kubrick. Konten budaya turut diracik larut ke dalam penceritaan. Dibandingkan film yang pertama, wilayah cerita kali ini terasa lebih luas. Bukan saja karena mereka memang ceritanya lagi ekspansi, namun juga terasa lebih gede dari segi karakter. Akan tetapi, sebagai sekuel, as in kita melihat kedua film ini dalam gambar yang lebih gede yang bersambung, pertumbuhan atau perkembangan karakternya terasa muter di situ-situ aja. Apa yang dialami oleh Ben dan Jody di film yang kedua ini, pernah mereka alami sebelumnya. Ben dan Jody berantem lagi. Ben dan orangtuanya lagi. They just reharsh the plot. Mereka bahkan memasukkan penggalan film pertama saat adegan di kebun kopi, karena film ini benar-benar mengeksplor kembali hal yang sama. They might as well masukin flashback Ben kecil dari film pertama karena dapat membuat cerita film ini bekerja lebih baik.

Tidak ada sense of discovery, Ben dan Jody tidak terasa belajar hal yang baru di sini. Tidak ada momen seperti mereka terperangah nemuin resep kopi yang enak dari seseorang yang enggak mereka expect sebelumnya kayak di film pertama. Well, di film ini ada momen ketika Ben akhirnya ngakuin kopi buatan Brie enak, hanya saja enggak cukup believable karena di poin itu cerita ngebuild up Ben yang kehilangan Jody yang udah bareng Tarra, jadi segala Ben’s accepting towards Brie itu malah jadi kayak supaya Ben punya ‘cewek’. Menjadikan film ini semacam menegasi yang pertama, iya sih di sini mereka menyebut-nyebut aspek (dan tokoh) dari film pertama, namun Filosofi Kopi 2 –menilik dari plotnya- bisa saja bekerja sebagai origin atau malah remake dari yang pertama.

Plotnya enggak efektif. Mereka sudah sangat menarik berubah menjadi kedai kombi yang jualan berkeliling Indonesia, untuk kemudian malah kembali ke Jakarta. Setelah di sana pun terusan ceritanya adalah mereka kembali ‘jalan-jalan’ ke Jogja hingga ke Toraja. Kenapa gak sekalian cerita roadtrip aja? Motivasi yang membuat Ben dan Jody pengen balik ke Jakarta juga enggak kuat, datangnya dari anak buah yang mengundurkan diri. And speaking about that, ketika mereka balik buka filkop di Jakarta, anak buah yang tadinya berhenti malah kerja lagi bareng mereka, tanpa banyak pendekatan ataupun reasoning yang berbobot emosi – I mean, what about your dreams, Aldi? (or Didi? Amdi? Sorry didn’t really catch the name).

Pace film juga sedikit bermasalah, filmnya terasa panjang. Ada banyak adegan yang melambatkan film, dan seolah-olah rela dimasukin demi kepentingan iklan produk saja. Adegan kayak Jody masukin sabun cuci muka ke dalam tas sebelum nyusul ke Jogja sebenarnya enggak berarti apa-apa. And while we at it, kakaknya Jody juga enggak ada ngaruhnya selain mercikin sedikit komedi yang nyaris cultural. Iklan orang alias cameo juga ada, dan digunakan sebagai device yang memudahkan karakter. Kayaknya setiap persahabatan bisa langsung baikan deh kalo yang nasihatinnya adalah Joko Anwar.

Here’s for the next pitch: Filosofi Kopi v.s. Starbucks !!

 

Sempat ada sayembara menulis sekuel Filosofi Kopi, dan dua cerita pemenang kompetisi itulah yang dijadikan ide buat difilmkan. Nyatanya, Filosofi Kopi 2 terlihat seperti those good ideas, the whole of them, digabungin bersama. Emosinya gak benar-benar tersampaikan lantaran film melanglang membahas banyak. Aku bukannya mau nuduh ideku ada di sana, ataupun ideku lebih bagus, karena it was absolutey ridiculus. Ceritaku involving Ben pergi ke kontes barista sedunia jadi mereka butuh nyari barista baru, hanya saja Ben enggak sembarangan nerima orang, dia gak percaya ama kopi orang, dan cerita akhirnya resolve dengan Filosofi Kopi baik-baik saja tanpa dirinya – Jody akhirnya bisa bikin kopi juga. Resolusi cerita dalam film ini, aku gak mau spoiler banyak, mirip-mirip seperti itu, hanya saja ketika Jody melakukan sesuatu, dampaknya tidak begitu wah. Dari sisi Ben, arc nya tertahan untuk bergulir lantaran Ben dan Jody not really together di akhir cerita. It does giving something new buat karakter Ben. Film akan menjadi lebih menarik jika bagian ini datang lebih cepat, dibuild up dengan lebih matang, alih-alih menghabiskan paruh awal dengan mondar-mandir berusaha mengestablish set up yang sebenarnya toh sudah ada sejak film pertama.

 

 

 

Jika dulu masalahnya ada di rasa – penggarapan cerita Filosofi Kopi pertama enggak terasa begitu berbeda di luar tema dan premisnya, maka kali ini masalah terletak pada bahan kopi. Tapi jangan salahkan film originalnya jika sekuel enggak bisa untuk tampil lebih baik. Still, ‘kopi’ ini kemasannya mewah. Trendi. Membuatnya gampang untuk disukai. Dan orang-orang akan banyak suka ama film ini, terutama karena karakter-karakternya yang asik banget dijadiin role model. Regarding film ini, aku punya filosofi sendiri. Filosofi Piring Kopi; Dulu waktu kecil, aku selalu disaranin minum kopi di piring datar kecil yang jadi tatakan karena aku selalu membakar lidahku sendiri minum kopi yang panas. Film ini adalah piring itu, kopi atau cerita yang dituang di atasnya dengan cepat menjadi dingin, dan berkuranglah kenikmatannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 for FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.