“Poverty is the mother of crime”

Hidup bermasyarakat memang seharusnya memudahkan. Tinggal beramai-ramai, sehingga bisa saling bantu kalo ada kesusahan. Namun bagaimana kalo sekelompok orang yang tinggal berjejelan di satu tempat itu semuanya sama-sama susah? Semuanya sama-sama gak punya duit, sama-sama berjuang demi masih bisa melihat mentari hari esok. Bagaimana jika – jika negara adalah ibu – mereka sama-sama orang yang motherless, dalam artian gak mendapat perhatian negara. Potret rumah susun yang dihadirkan Joko Anwar dalam sekuel remake Pengabdi Setan buatannya membuat kita tersentak akan hal tersebut. Tampaknya itu juga sebabnya kenapa latar situasi politik Indonesia zaman petrus 80an dijadikan warna yang menghiasi latar cerita. Pengabdi Setan 2: Communion adalah cara Joko Anwar menggambarkan horornya kehidupan yang harus dijalani orang-orang yang terpinggirkan.
Rini beserta Bapak dan dua adiknya kini tinggal di rumah susun di Jakarta Utara. Bukan exactly tempat tinggal yang ideal. Rumah susun itu sangat sederhana, liftnya aja macet-macet (keseringan disesaki penghuni), pembuangan sampahnya sering mampet, banyak preman, plus terletak di lokasi rawan banjir. Tapi, seperti yang dibilang Bapak, tempat itu rame. Jadi Rini berusaha untuk tenang. Empat tahun mereka tinggal di sana, dengan adik-adik, Toni dan Bondi, yang sudah gede, Rini bermaksud pergi mengejar pendidikan. Sayangnya, masih ada satu lagi ke’angker’an rusun yang ternyata dulunya pekuburan tersebut. Di hari yang harusnya jadi hari terakhir Rini di sana sebelum pergi kuliah, terjadi freak accident di lift yang menewaskan sejumlah penghuni. Malamnya, setelah yasinan untuk beberapa penghuni di hunian masing-masing, hujan deras dan banjir membuat rusun mati lampu. Mengisolasi Rini dan beberapa penghuni ke dalam gelap gulita dan hal-hal misterius. Rusun itu praktisnya berubah menjadi rumah hantu 14 lantai!

Well yea, kalo mau memandang film ini sebagai wahana rumah hantu, Pengabdi Setan Communion memang rumah hantu yang lebih seru dan lebih epic dibandingkan film pertamanya. Film kali ini lebih memantapkan diri sebagai pengalaman horor di tempat yang menyeramkan. Joko enggak tanggung-tanggung menargetkan untuk ini, karena film sekuel pertamanya ini ia hadirkan dalam teknologi IMAX. Sebuah terobosan dalam perfilman Indonesia, karena film ini actually adalah film lokal pertama, bahkan se-Asia Tenggara yang dibuat dengan teknologi audio visual super gelegar. Maka sebagian besar durasi akan diisi oleh adegan-adegan seram yang didesain untuk menunjang experience tersebut. Bagaimana pak sutradara melakukannya?
Joko bermain dengan ketakutan paling basic manusia; takut akan kegelapan. Ia dengan teganya membuat visual yang gelap. Pengcahayaan saat sudah di bagian cerita yang hantu-hantuan akan sangat minim. Entah itu hanya dari senter, api korek, ataupun kilatan sesaat dari petir yang menyambar dari luar gedung. Ini menghasilkan suasana horor yang begitu imersif. Aku bahkan gak berani noleh ke kiri-kanan; karena juga menonton di suasana gelap, kumerasa jadi ikut berada di bangunan itu bersama para karakter. Yang jelas, kegelapan itu membuat batas penglihatan yang natural untuk meletakkan penampakan-penampakan, nonton ini emosi kita diaduk antara takut, kesel karena gelap, sekaligus agak seneng juga karena at least hantu-hantu seram itu gak kelihatan semua (dasar penakut hihihi). Untuk soal membuat shot dan adegan menjadi superhoror, Joko Anwar memang jagonya. Dengan jam terbang dan referensi sebanyak yang ia miliki, adegan-adegan seram yang lebih grounded seperti orang masuk ke ruangan yang ada mayat berkafan di lantai, ataupun simply berjalan dalam gelap, jadi suguhan horor yang segar dan fun. Sedangkan untuk adegan-adegan seram yang lebih ‘fantasi’ dalam artian ketika menyelami ketakutan personal para karakter, film ini melakukan dengan agak sedikit in the face. Misalnya pada adegan karakter yang diganggu saat shalat. Like, Joko kayak ngambil referensi dari horor lain, dan membuat versinya sendiri, kayak mau bilang ‘beginilah horor itu seharusnya dilakukan!’ Explorasi ‘rumah hantu’ yang dilakukan film ini memang sangat luas.
Film ini butuh ritme yang lebih baik untuk mengakomodir itu semua. These scares were great, tapi jor-joran terus akan bikin penonton ‘capek’ dan tidak lagi melihat semuanya sebagai perjalanan horor. Melainkan ya, sebagai wahana yang sudah diantisipasi. Mana lagi nih hantunya? Problem seperti ini kayak yang sering terjadi pada show wrestling, yang setiap matchnya selalu diisi oleh spot-spot spektakuler. Seru, memang, tapi membebalkan rasa. Membuat spot, atau dalam kasus film ini, membuat adegan horor tersebut jadi less-special dari yang seharusnya. Ritme dalam film, salah satunya bisa dicapai melalui karakter. Dan memang Pengabdi Setan Communion berusaha melakukan itu. Kali ini dihadirkan beberapa karakter baru, beberapa orang penghuni rusun yang akhirnya menjadi teman dari ‘tim inti’ Rini, Toni, dan Bondi. Para karakter baru diberikan latar cerita, seperti anak kecil yang tinggal bareng ibunya di rusun karena kabur dari ayahnya, lalu ada teman geng si Bondi yang beserta adiknya kerap dipukuli oleh ayahnya sendiri, atau perempuan muda yang digosipin bukan cewek baek-baek lantaran kerjaannya pergi malam-pulang pagi, dan ada juga cowok preman yang suka godain si perempuan tersebut. Selain menambah rame (interaksi karakter-karakter muda ini bahkan ngingetin aku sama geng protagonis di serial Netflix Stranger Things – sama-sama anak 80an pula!) karakter-karakter baru dengan horor personal mereka jadi penambah lapisan dan membuat ritme jadi agak sedikit enak. Karena actually bahasan mereka lebih menarik daripada tim inti yang masih berkutat di misteri Ibu – dan ayah – yang hanya melanjutkan misteri yang sengaja gak dibahas di film pertama. Dengan kata lain, sudah telat untuk membuat kita peduli kepada mereka, apalagi karena sekarang ada karakter-karakter baru yang lebih menarik.
Most of them characters adalah orang-orang yang motherless. Lantas, menyamakan dengan mindset orang-orang di tahun 80an itu, bahwa negara adalah ibu bagi rakyatnya. Maka jika ibu harusnya merawat anak, berarti negara juga harusnya mengurus kepentingan rakyatnya. Kejadian di film ini memperlihatkan kerusuhan terjadi di tempat orang-orang miskin yang dibiarkan begitu saja. Udah tahu mau kena banjir pun, gak ada tindakan untuk menolong. Tempat tak terawat yang orang-orangnya rebutan naik lift, bahkan rebutan uang receh. Horor di situ lahir dari kemiskinan, dan ibu dari itu semua, sumber dari itu semua adalah negara yang tak peduli.
Karakter perempuan yang dianggap ga-bener yang diperankan meyakinkan oleh Ratu Felisha adalah yang paling menarik. Yang actually paling diflesh out dengan cara yang gak gamblang. Yang subtil, sehingga kita enak untuk ngikutinya. Info mengenai personal karakter ini dihadirkan lewat sebuah horor psikologis yang melibatkan perbincangan radio. Dan kita dibuat menyimpulkan sendiri apa yang terjadi di hidupnya sebenarnya. Ini adalah contoh karakter dalam cerita horor yang bagus, konfliknya personal, bahasannya closed dan gak melebar ke mana-mana, flaw dan sisi lemah karakternya pun kelihatan. Lebih mudah peduli sama karakter ini dibandingkan sama karakter Rini yang jadi tokoh utama. Memang, peran Tara Basro di sini diberikan lebih banyak daging. Kali ini dia punya motivasi personal pengen kuliah, dia bikin pilihan untuk ninggalin keluarganya, tapi saat hell broke loose nanti Rini hanya bereaksi yang intinya cuma survive. Malah bisa dibilang status tokoh utama si Rini, dibagi dua dengan karakter Budiman, wartawan yang tahu rahasia rusun tersebut, yang actually jadi kunci keselamatan Rini dan kawan-kawan. Naskah anehnya membagi porsi, Budiman beraksi dari luar, sementara Rini ditempatkan di TKP, dan hanya bereaksi dari semua kegilaan di tempat itu.

Jadi ritme lewat karakter tidak benar-benar tercapai, karena hanya beberapa yang actually menarik, dan itupun gak benar-benar inline dengan journey utama. Sedangkan journey utamanya sendiri tidak benar-benar baru, bahkan film melakukannya lewat formula yang masih mirip dengan film pertama. Ada stake waktu, horor bakal memuncak di jam dua belas malam, ada misteri anak setan atau bukan, dan bahkan ada porsi yang membahas agama. Sama seperti pada film pertama, film kedua ini juga ingin menunjukkan bahwa agama tidak lantas dapat menolong orang. Sebenarnya ada teguran real yang ingin diucapkan oleh film. Bahwa agama bukan lantas menyerahkan diri kepada Tuhan, alias lantas pasrah enggak usah usaha. Hanya saja, film melakukan sindiran ini dengan tone yang berbeda dengan keseluruhan film. Jika yang lain disinggung sebagai horor, atau sebagai karakter yang flawnya personal sehingga terasa real dan relate, karakter ustadz di sini digambarkan nyaris seperti komikal. Sehingga apa yang mestinya adalah teguran, malah tampak kayak ejekan, atau at least kayak suatu masalah yang dibiarkan seolah tak ada solusi. Seolah malah jadi pengen bilang agama gak sanggup menolong, padahal yang disiratkan sebenarnya adalah agama tidak menolong karena manusianyalah yang salah dalam beragama.
Ketika bicara horor, sebenarnya kuncinya adalah build up. Inilah yang akhirnya jadi penentu ritme film ini jatohnya mulus dan enak atau tidak. Communion punya build up yang aneh. Dari adegan prolog awal saja, yang kita melihat pemandangan barisan pocong bersujud duluan ketimbang gambaran/deskripsi orang yang melihat itu konon rambutnya memutih, build up film ini terasa ganjil, kalo gak mau dibilang kurang proper. Mestinya kan, kita digambarin dulu efek bagi yang melihat, biar kita membangun antisipasi seseram apa sesuatu di dalam ruangan itu. Keseluruhan film memang nanti majunya dengan build up aneh kayak gini (kecuali momen horornya). Misalnya ada bagian Toni kayak mau ribut dengan preman, tapi lantas menguap gitu aja, kecancel karena kejadian kecelakaan lift. Lalu yang paling parah adalah bagian ending. Setelah semua intensitas dan revealing horor itu, film berakhir kayak “Eh, waktunya udah habis nih, yuk hero muncul, kita bereskan ceritanya” Penyelesaian puncaknya datang gitu aja. Tau-tau ada penyelamat yang menolong mereka semua (tanpa susah payah pula) karena durasi sudah hampir habis! Ini fatal sih sebenarnya. Kebetulan masih bisa dimaklumi kalo digunakan untuk menempatkan karakter ke dalam masalah, tapi untuk mengeluarkan mereka dari masalah diharamkan untuk melakukannya dengan solusi yang kayak kebetulan. Haram!!
Melihatnya sebagai wahana rumah hantu, memang film ini lebih seru daripada film pertamanya. Scarenya lebih beragam, lebih efektif, lebih imersif. Tujuannya untuk dijual dengan teknologi IMAX membuat film ini kuat dari segi wahana horor. Tapi sebagai keseluruhan penceritaan, film masing tersandung masalah-masalah yang sama dengan film pertama, dan aku bahkan gak yakin overall ini lebih baik dari film pertama yang benar-benar fokus di masalah keluarga. Film kedua ini bahasannya lebih gede. Latarnya juga berusaha dikuatkan. Lore misterinya juga. Tapi masalah yang timbul dari ‘lebih gede’ itu juga lebih banyak. Karakter utamanya kalah menarik. ada yang lebih beraksi, ritme juga kurang mulus karena build up yang aneh. Puncak dosanya ya di ending; kali ini Joko Anwar cukup membuat cerita yang menutup sih, hanya saja penyelesaian datang gitu aja. Basically protagonisnya saved by the bell, alias oleh durasi yang mau habis. Ending film oleh karena itu jadi sangat lemah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PENGABDI SETAN 2: COMMUNION
That’s all we have for now.
Joko Anwar menggunakan anagram ke dalam salah satu karyanya, yang juga direferensikan di film ini. Apakah menurut kalian nama ibu yang diungkap di Pengabdi Setan 2 juga anagram? Kira-kira apa maknanya?
Share teori kalian tentang film ini di comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



























