A STAR IS BORN Review

“Life is like a seesaw ride”

 

 

 

Sekalipun kelihatannya demikian, kesuksesan tak pernah murni suatu kebetulan. Nyatanya ia adalah rangkaian dari berbagai pilihan dan usaha yang kita buat. Yang terhubung dengan jalinan kehidupan orang lain. Jika Jackson Maine enggak kebelet minum malam itu, dia enggak akan mampir ke bar, dan tidak akan pernah bertemu dengan Ally. Atau bahkan jika aku yang berada di sepatu Jack, aku mungkin akan segera keluar begitu sadar bar yang kumasuki adalah bar waria, I would never met Ally at all. Bakat Ally pun tidak akan pernah diketemukan, dia tidak akan pernah jadi penyanyi sukses. Cinta hangat antara Jack dan Ally tidak bakal pernah kita saksikan. ‘Penyakit’ Jack-lah yang actually ngeset things in motion. Tapi akankah karir Jack masih tetap bersinar jika ia tidak pernah bertemu Ally. Apakah jika sukses kita terhubung dengan orang lain, maka kegagalan kita juga ada sangkut pautnya dengan orang lain?

Malang, memang, kisah cinta mereka harus membuat hidup seperti bermain jungkat-jungkit. Sendirian, gak bakal seru. Perlu dua orang untuk menikmatinya, tapi ini adalah sebuah kondisi di mana yang satu akan berada di bawah saat yang satunya lagi menggapai angkasa. Kondisi inlah yang sebenarnya membuat romansa Jack dan Ally begitu kuat; karena kita tahu segala macam emosi; hasrat, cinta, gairah, harapan, kesedihan, kecemburuan, melimpah ruah. Ini rupa dari cinta sejati

 

A Star is Born menceritakan kisah Jack si penyanyi rock country terkenal yang berada di ambang karirnya lantaran dia enggak bisa berhenti minum-minum. Dia bertemu dengan Ally dan bakatnya yang seketika membuat Jack terpesona. Hubungan dua orang ini, babak pertama film, penuh oleh momen-momen yang sangat menakjubkan. Aku sejujurnya jealous dengan mereka; aku berharap suatu saat bisa merasakan apa yang mereka alami. You know, jatuh cinta kepada seseorang karena kita begitu ter-mindblown oleh kemampuan mereka. Kemampuan musik yang dimiliki Ally membuat Jack merasa saklar hidupnya menyala kembali secara emosi dan creatively. Dan bagi Ally, Jack lebih dari kesempatan yang selama ini ia tunggu-tunggu. Mereka saling tertarik passionately, mereka ingin mencapai keagungan kreatif itu bersama-sama. Kita akan dibawa ke berbagai panggung penuh emosi, dan tentu saja musik-musik keren.

Bagian favoritku, dan kurasa sebagian besar kalian juga bakal setuju, adalah ketika Ally diajak ikutan nyanyi di panggung Coachella – di depan begitu banyak penonton. Ally yang selama ini hanya nyanyi di bar, dia mengaku tidak bisa masuk panggung pertunjukan karena hidungnya dinilai produser kegedean (hidung Ally, actually, akan membawa kita ke momen lain yang sama menyentuhnya), dan tau-tau dia diberikan kesempatan untuk menunjukkan bakat dan suara hatinya – menyanyikan lagu yang ia tulis sendiri. Perasaan yang dialami Ally saat itu, luapan emosi yang membuncah, yang ia salurkan lewat nyanyian, benar-benar membuatku merinding.

“Haaaa~ooooaaa~ooooaaaa~ooooo… Aku bertanya pada manusia tak ada jawabnyaaa”

 

 

Penggemar serial American Horror Story pasti masih ingat gimana intensnya Lady Gaga memainkan wanita immortal haus darah, namun begitu rapuh karena trauma masa lalu kala dia masih berupa manusia biasa. Dalam film romansa musik ini, Lady Gaga membawa keintensan emosi yang bahkan lebih kuat lagi. Meskipun, Ally tampak dibuat berdasarkan Lady Gaga sendiri. Dengan talenta seorang penampil yang luar biasa, suara yang begitu powerful, dan sedikit banyak Lady Gaga punya pengalaman sebagai seorang waitress, Ally seperti peran yang sempurna yang dibuat khusus untuk dirinya. Lady Gaga tampak bermain dengan sepenuh hati dan dia benar-benar menonjok hati kita (bukan wajah, untungnya) lewat permainan perannya di sini. Dia yang salah satu musisi paling hebat dunia, juga menunjukkan potensi yang enggak kalah gempitanya sebagai aktris.

Chemistry antara Lady Gaga dengan Bradley Cooper begitu menguar sehingga tampak mereka seperti pasangan beneran. Tidak terasa seperti akting. Kayak, kamera merekam hal yang sungguh-sungguh terjadi. Poin-poin cerita, kejadian-kejadian yang mereka lalui, sebenarnya formulaic. Terlebih ini adalah remake keempat dari source yang sama; A Star is Born orisinalnya adalah film keluaran tahun 1937. Seorang veteran yang tertarik sama bakat muda, tapi pada akhirnya keadaan mereka berbalik. Aku belum nonton satupun A Star is Born versi yang lain, tapi cerita dalam film ini, aku bahkan teringat adegan tangga di film The Artist (2011) olehnya. Apa yang diceritakan oleh film ini bukan sesuatu yang baru, tapi cara mereka dipersembahkan, penampilan-penampilan aktingnya, begitu kuat sehingga terasa bahkan lebih fresh dan nyata ketimbang biografi Bohemian Rhapsody (2018). Sangat mengesankan apa yang berhasil dicapai oleh Bradley Cooper dalam debut penyutradaraannya. Aku percaya Cooper bisa jadi sutradara hebat jika dia tetap mempertahankan gaya dan momentum filmmaking. Dia punya bakat luar biasa dalam mengontruksi adegan film.

Cooper, yang juga bermain sebagai Jack, membuktikan dia lebih dari sekedar aktor lucu di film komedi dan superhero. Cooper sebagai Jack menunjukkan banyak range emosi dan kedalaman akting. Dia enggak over-the-top memainkan seorang yang mabuk, walaupun ada satu adegan saat penyerahan Grammy naskah menuntutnya untuk menjadi pemabuk ‘jenis’ begitu. Cooper, ngerinya, tampak berusaha sadar bahkan saat kita tahu kepalanya mulai bergoyang-goyang. Dia tampak masih fungsional, dan kita takut – khawatir – dia akan mengambil keputusan yang salah. Ada kesubtilan dalam penampilannya. Cara dia berpindah dari seseorang yang ingin Ally berhasil menjadi seseorang yang sadar keberhasilan Ally tidak akan pernah sesuai dengan yang ia maksudkan, karena ia sadar bisnis mereka tak lagi sama, menghasilkan emosi yang begitu kuat menyentuh. Perjalanan Jack benar-benar dibuat terbalik dengan Ally dalam cara yang meremukkan hati – Jack semakin malu menyadari dirinya sedangkan Ally pada akhirnya berani menatap kita saat dirinya bernyanyi. Mengarahkan tokoh yang lain pun, Cooper sama pahamnya. Dia tidak membuat manajer Ally sebagai korporat satu-dimensi yang hanya peduli sama uang.

Ada satu lagi tokoh dan penampilan yang menurutku pantas untuk diganjar piala; yakni penampilan Sam Elliot sebagai abang dari Jack. Dia membantu Jack menyiapkan konser-konser, tapi harus berurusan dengan sikap negatif Jack, yang semuanya tidak ia tahu kenapa ditumpahkan Jack kepadanya. Penampilan akting yang diberikan Elliot kepada tokoh ini begitu contained, dia khawatir dan menahan marah di saat bersamaan. Speechnya kepada Ally terdengar begitu mendalam. Adegan di mobil ketika dia ‘menjawab’ tak langsung kata hati Jack yang telah sadar adalah satu lagi dari sekian banyak momen kuat dalam film ini.

Di satu sisi ada seniman yang direnggut oleh industri, dibentuk dan dibungkus menjadi sesuatu yang bukan lagi dirinya yang sebenarnya. Di sisi lain ada seniman yang sudah lama berkecimpung di industri sehingga dia punya banyak untuk dibagikan kepada bakat muda baik dan buruknya, tapi dia sudah terlalu lelah. Ada komentar yang kuat tersirat dalam cerita film ini tentang bagaimana industri hiburan – musik dalam kasus film ini – mengubah bakat dan kreativitas itu menjadi bahan konsumsi alih-alih sesuatu yang murni dari hati; bahwa seniman merasa jadi punya tanggung jawab terhadap penggemarnya.

 

coba sekali-kali kalo ketemu artis di jalan, alih-alih foto bareng untuk pamer di instagram, ajaklah dia ngobrol tentang ide-idenya, ide-ide kalian.

 

 

Bahkan dengan durasi yang mencapai dua jam lebih, film masih sedikit kesulitan menyeimbangkan pace di kala cerita butuh lompatan waktu. Ada momen seperti adegan di meja makan teman Jack, yang terasa agak terburu-buru. Seperti ada jarak development karakter yang tidak kita lihat, karena kita tidak merasakan bahwa ternyata beberapa waktu sudah dilompati oleh narasi. Masalah kecil pada penuturan sih sebenarnya, yang mungkin juga kalopun perkembangan hidup tokoh itu lebih difelsh out toh tidak menambah banyak kepada bobot, tapi tetep terasa ada yang mulus dalam perjalanan narasinya.

 

 

 

Selain hal tersebut, aku tidak menemukan kekurangan lagi dalam film ini. Akting-aktingnya memukau. Dalam dunia yang sempurna, kita akan dapat tiga nominasi Oscar dari segi penampilan, bahkan mungkin ditambah satu lagi dari kategori lain. Tapi kalo cuma satu yang masuk pun, aku gak masalah. Karena setidaknya film ini harus dapat satu ganjaran award. Musik-musiknya juga sangat asik, menyentuh dan paralel dengan cerita. Ada satu lagu Jack yang seolah ia tulis untuk dirinya sendiri di masa depan. Penulisan dan penampilan yang sangat cantik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A STAR IS BORN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kenapa kita suka foto bareng sama artis? Seberapa penting menurut kalian, gimmick terhadap penampilan seorang penyanyi atau seniman?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BOHEMIAN RHAPSODY Review

“I feel like an outsider when I’m with my family”

 

 

Is this the real life?

Is this just fantasy?

Bohemian Rhapsody menjanjikan biografi seorang, kalo enggak mau disebut sebuah band, legenda musik rock. Namun kita hanya akan mengapung di atas rangkaian demi rangkaian perjalanan karya dan karir mereka, alih-alih dibawa menyelami kisahnya.

 

Terlahir dengan gigi ekstra ke dalam keluarga Parsi India, Farrokh dalam film Bohemian Rhapsody, hanya bangga dengan bawaan lahir yang pertama kali disebut. Menurutnya, empat gigi tambahan itu membantu menambah range vokal, senjata rahasia di balik kemampuan bernyanyi yang tak bisa disamai oleh siapapun di dunia (termasuk oleh Rami Malek, pemerannya sendiri). Dia dengan cepat mengganti nama menjadi Freddie, dan kemudian menjelang hari-hari terkenalnya, melengkapinya dengan Mercury. Menyempurnakan personanya yang mercurial; one-of-a-kind nan tak bisa ditebak.

Bahkan sebelum jadi anak band saja, keflamboyanan Freddie sudah mulai terlihat. Ini menjadi poin kunci cerita. Film tidak menerangkan dengan jelas apakah sikap dan gaya narsistiknya itu natural atau sebagai bentuk perlawanan kepada keluarganya yang konservatif, tapi yang jelas dalam lingkaran keluarga biologisnya sendiri, Freddie tidak merasa berada di tempat yang benar. Dia menemukan teman-teman band sebagai pelipur kesendirian, di mana dia merasa dirinya dibutuhkan. Queen sebagai band luar biasa dengan lagu-lagu yang susah untuk dikategorikan genrenya merupakan cerminan dari perjuangan Freddie itu sendiri, yang didukung oleh rekan-rekan anggota lainnya; keluarganya, kata Freddie. Tapi, Freddie adalah outsider seumur hidup. Cerita banyak mengeksplorasi kehidupan seksual penyanyi ini; di mana relasi asmaranya dengan seorang sahabat cewek berakhir setelah dugaan Freddie seorang homoseksual terjawab. Menjadi susah bagi Freddie untuk keep up with his families ketika keluarga bandnya tersebut beneran punya keluarga masing-masing di balik panggung, sesuatu yang tak bisa ia punya. Tapi paling enggak, dalam dua-puluh-menit konser amal terbesar tahun 1985 itu, Freddie si outsider menjadi juara dunia.

He will rock you!

 

Definitely, kisah Freddie Mercury memang punya potensi untuk diangkat menjadi biopic lumayan tragis yang penuh oleh nilai-nilai kekeluargaan. Tapi anehnya, elemen tersebut justru kurang mendapat perhatian, karena film ingin melingkupi banyak hal sekaligus. Mereka ingin mengajak kita bernostalgia juga, bernyanyi bersama lagu-lagu Queen, melihat pembuatannya. Tidak akan cukup waktu untuk ini semua. Jadi, aku mengerti kenapa film ini mendapat skor yang lumayan rendah, meski setiap orang yang kutanyai mengaku sangat ingin menontonnya. Sebagai sebuah film, Bohemian Rhapsody hanya tampil setengah-setengah, tidak ada elemen yang digali dengan sempurna. Formula yang digunakan begitu standar, dan ini ironis mengingat ada adegan di mana Freddie memaksa produser musik untuk berani memasarkan lagu mereka, karena Queen begitu unik dan menolak diseragamkan dengan formula yang ada.

Tapi, tahu enggak sih, kita gak harus nyesuaiin selera sama objektifitas para kritikus. Kita boleh aja suka sama yang gak bagus. Maksudku, aku sendiri setuju Bohemian Rhapsody bukanlah sebuah film yang hebat. Tapi hal yang paling membuatku kecewa saat menonton ini adalah bahwa kita gak boleh ikutan bernyanyi di dalam bioskop. Aku menikmati perjalanan Queen dalam merekam lagu, bagaimana mereka actually memasarkan lagu Bohemian Rhapsody yang basically enam-menit campuran kata-kata aneh, dan sekuen penutup di konser Live Aid itu, aku harus mencengkeram lengan kursiku erat-erat dalam upaya menahan diri untuk enggak berdiri dan nyanyi di atas kursi. Bisa melihat sesuatu secara kritis, bukan berarti menghalangi kita untuk menikmati sesuatu tersebut secara subjekif.

Tidak ada cela dalam penampilan Rami Malek sebagai Freddie Mercury. Jika pada film ini, Freddie berkata dia merasa sudah memenuhi takdirnya sebagai penampil, penyanyi di hadapan jutaan orang. Maka, Malek dalam film ini seperti sudah garis tangannya untuk memainkan sosok Freddie Mercury. Dan dia telah memenuhi panggilan tersebut. Seperti, dia terlahir di dunia demi film ini. Biar kita-kita yang lahir setelah jaman Queen tahu, seperti apa sosok legendaris ini baik keseharian maupun gaya panggungnya. Segala gestur, pembawaan, sikap, kecuali dialog sih ya – soalnya kadang penulisannya terdengar cheesy – fantastis sekali, kita percaya dia adalah Freddie.

kalo kalian mencari tontonan untuk halloween, kalian salah orang – freddie nya bedaaaa

 

 

Jatuh dalam perangkap biopik yang merasa perlu menceritakan sesuatu sedari awal, penceritaan film ini gak lebih menarik daripada Chrisye (2017). Buat Bohemian, ini bikin geregetan karena kita tahu ada banyak dari Freddie Mercury yang menarik untuk diangkat dan dijelajahi. Kita penasaran dari mana ia mendapat inspirasi penampilannya di atas panggung. Kita penasaran bagaimana ilham menulis lagu datang. Tapi film tidak memberikan ini. Proses kreatif Queen dalam menghasilkan lagu-lagu unik hanya diperlihatkan sebatas montase. Pun hanya ada beberapa adegan Freddie mengulik lirik di atas kertas. Sedari awal bikin band, mereka sudah terdengar seperti Queen; udah jago. Tapi mungkin juga memang begitu hebatnya Queen; mungkin mereka bisa menciptakan koreo, aksi panggung, konsep dengan sekali duduk. Mungkin Freddie memang jenius sehingga ide lagu Bohemian Rhapsody bisa muncul begitu saja di dalam kepalanya.

Kita tidak melihat cukup banyak siapa dirinya sebelum nge-band. Status keluarganya sebagai imigran tidak dikaitkan ke dalam konteks outsider yang menjadi identitas Freddie. Kita juga tidak diperkenalkan dengan betul-betul kepada anggota band yang lain. Mereka hanya ada di sana, dan meskipun sering beradu argumen dengan Freddie – mereka kadang terlihat terganggu bahkan menyindir penampilan Freddie – kita tidak pernah dibawa masuk ke dalam kepala ataupun melihat ‘masalah’ mereka. Hubungan Freddie dengan ayah dan ibunya adalah elemen yang penting, pengaruh mereka terasa dalam pembentukan karakter Freddie. Tapi pembahasan tentang mereka sedikit sekali. Mereka cuma muncul ketika naskah membutuhkan suntikan drama. Kita tidak pernah melihat bagaimana keluarga mereka ‘bekerja’ sebenarnya.

Bahagialah bagi yang punya orangtua yang mau mengerti pilihan kita, tanpa membandingkan dengan apa yang menurut mereka lebih baik. Karena Freddie tidak. Jangankan pilihan pasangan, main musik saja sudah dianggap masa depan suram oleh ayahnya. Tapi terkadang, tak ada salahnya kita mendengar nasihat mereka. Like, jika dalam anjuran mereka tidak ada yang ‘salah’ kenapa tidak coba diikuti. Dengan cara kita sendiri sekalipun.

 

 

Melihat dari konteks yang sudah dilandaskan pada adegan pembuka, sebenarnya film bekerja dengan pas di dalam konteksnya. Dan nantinya akan maju sesuai dengan pembelajaran yang dialami oleh Freddie. Awalnya kita melihat cerita ini dari sudut pandang dirinya di mana dialah spotlightnya. Perbedaan pov antara saat dia menuju panggung di awal dengan menjelang akhir film menunjukkan perubahan karakter Freddie. Di awal, dia melihat dirinya sebagai satu orang, dia enggak perhatian penuh ama sekitar. Makanya kita enggak diperkenalkan benar-benar dengan anggota band yang lain, sebab Freddie hanya ‘melihat’ mereka. Segala proses rekaman, manggung, masalah percintaan, kita melihatnya dari mata Freddie sebagai ‘one-man person’. Barulah setelah dia menyadari apa itu keluarga, saat dia benar-benar melihat dirinya bagian dari keluarga, sudut pandang dia dalam cerita ini berubah, dan kita merasakannya.

 

 

 

 

Jadi, film ini bisa saja mengeksplorasi lebih banyak dan detil tentang dunia Freddie Mercury, tapi itu akan mengeluarkannya dari roda konteks. Karena ini adalah tentang Freddie si outsider yang tadinya memandang dirinya sebagai terpisah, menjadi bagian dari keluarga. Menurutku, film secara spesifik sengaja mengambil penceritaan seperti demikian. Sengaja meninggalkan banyak hal penting yang ingin kita ketahui – serius deh, kita tidak beli tiket buat ngeliat penampilan musik ‘boongan’, kita dateng buat pengen tahu cerita humanis seorang legenda di balik layar – karena mereka ingin menempatkan kita di dalam kepala Freddie Mercury. Mungkin tidak sesuai dengan tontonan yang kita harapkan, tapi ini sajian “easy come, easy go” yang enak dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BOHEMIAN RHAPSODY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa lagu Queen favorit kalian? Apakah menurut kalian film ini juara atau hanya “another one bites the dust”?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

WWE Evolution Review

 

Menonton televisi di ruang keluarga bisa menjadi hal yang sangat awkward jika kita sekeluarga meyaksikan acara seperti Smekdon. Aku masih ingat, waktu kecil, setiap kali superstar cewek nongol di layar, aku udah ketar-ketir sendiri. Lantaran aku tahu orangtuaku pasti akan menyuruh untuk segera matiin tuh tv. Begitulah peran superstar cewek dulunya, hanya ada di sana dengan nyaris tanpa pakaian. Mereka hanya penyedap-mata. Tampil di segmen-segmen vulgar semacam tanding di kolam lumpur, ataupun main strip poker. Waktu berjalan, superstar yang bener-bener bisa gulat mulai bermunculan, namun posisi superstar cewek di WWE semakin rendah saja. Mereka hanya tampil di pertandingan dua-menit, yang mana digunakan penonton buat jeda ke kamar mandi atau ngisi ulang camilan. Mereka berganti istilah menjadi Diva – yang praktisnya berarti bintang panggung, bukan lagi ‘petarung’ semata.

Bisnis gulat hiburan adalah bisnis patriarki. Panggung buat pria-pria berotot gede, maskulin, jagoan yang menyelematkan cewek. Tapi tentu saja, seperti berbagai aspek di dunia, ada yang memperjuangkan kesetaraan. Billie Jean-Billie Jean mulai bermunculan di atas ring, wanita juga bisa melakukan apa yang cowok lakukan. Enggak ada alasan untuk dinomer duakan. Kita dapat menelusuri jejak revolusi gulat pro cewek dari jaman G.L.O.W (Glorious Ladies of Wrestling), tapi susah juga sih menunjuk siapa yang pertama mencetuskan revolusi Diva di WWE. Entah itu dipionir oleh pencapaian Trish Stratus yang mengawal karir ringnya dari valet menjadi juara dunia wanita beberapa kali, atau oleh AJ Lee yang dengan berani ngetweet soal jatah match remeh yang diberikan kepada dirinya dan rekan-rekan seperjuangan, atau karena perjuangan superstar-superstar NXT seperti Paige, The Four Horsewomen, yang mati-matian dalam bertanding – Alexa Bliss dan Sasha Banks yang menjadi dua superstar cewek pertama yang diijinkan bertanding di Arab Saudi, atau dari ide kepala Stephanie McMahon sendiri. Itu semua sudah tidak berarti lagi karena perjuangan mereka sudah terwujud. Revolusi itu sudah menjadi nyata. Wanita-wanita WWE sudah berevolusi perannya. Mereka tidak lagi penghibur dan pengisi waktu rehat. Mereka adalah atraksi utama. Mereka, kini, punya acara sendiri. Semua pertandingannya adalah pertandingan superstar wanita. Semua waktu dan tempat itu disediakan buat mereka. Semua mata dunia tertuju ke acara revolusioner; WWE Evolution.

“I’m the man!”

 

Kalo kalian sering berkunjung ke blog ini, pastilah kalian tahu, begitu demennya melihat orang-orang cantik yang berprestasi, aku sampai bikin award sendiri di akhir tahun. I was so excited for this show, gak peduli banyak terdengar prediksi-prediksi miring bahwa acara ini tak ubahnya cara lain WWE menjual pagelaran penuh botch. Pandangan superstar cewek enggak seahli superstar cowok tentu masih ada. Fakta bahwa WWE juga tampak setengah-setengah mempromosikan, membuild up acara ini turut seperti sebuah bukti tak-terbantahkan bahwa superstar cewek tidak mampu menyuguhkan pertunjukan semenarik superstar cowok. Evolution ini, menjawab semua keraguan tersebut dengan sangat anggun. Aku gak ragu mengatakan ini adalah salah satu pay-per-view terbaik WWE sepanjang tahun belakangan. Tentu,  it could be better – ada beberapa hal yang tak bisa dipenuhi ataupun diganti oleh WWE karena kondisi serta keadaan yang mendarurat dan it indeed hurts the show – tapi secara menyeluruh, acara ini sungguh menghibur.

Cewek-cewek, berhentilah bergoyang untuk dunia. Karena sesungguhnya dengan prestasi, dengan kekuatan, sudah saatnya bagi kalian untuk menggoyang dunia.

 

 

Aku beneran surprise ternyata aku menyukai acara ini. Sejujurnya, aku hanya optimis sama dua pertandingan; Final Mae Young Classic antara Toni Storm melawan Io Shirai, dan Smackdown Women’s Championship Becky Lynch melawan Charlotte. Aku tidak pernah mimpi pertandingan tag team cewek, apalagi Battle Royalnya, akan membuatku meloncat-loncat teriak seru. But I did, meloncat-loncat teriak seru, pada setiap pertandingan yang ada di acara ini. Well, kecuali satu sih.  Aku kasihan sama Alexa Bliss yang enggak jadi bertanding karena concussion – partai pembuka yang semestinya tentang past melawan future, Bliss melawan Trish, jadi begitu jauh melenceng. Berevolusi menjadi partai tag team yang enggak memenuhi konteksnya. Untuk sebagian besar partai ini, aku hanya duduk diam. Namun bahkan match tersebut punya titik terang, berupa Mickie James dan Trish yang seolah tidak pernah terpisah dan melanjutkan kembali pertempuran klasik mereka.

Mereka seharusnya mengubah pertandingan menjadi Trish dan Lita melawan Sasha Banks dan Bayley. Tapi kurasa mereka mengincar jumlah match yang lebih banyak. Dan setelah melihat pertandingan 6-Women Tag Team antara Banks, Bayley, Natalya melawan Riott Squad (sentuhan bagus nongol dengan kostum ala tokoh horor!) aku tidak lagi bisa bilang ini adalah pilihan yang baru. Match mereka terasa fresh, walau sudah sering diulang dengan variasi berbeda. Salah satu momen yang kusuka adalah ketika Bayley yang sedang berlari melakukan serangan bawah turnbuckle, diintercept oleh Sarah Logan dari sudut matinya. Timing yang sangat seksama. Dan aku juga suka gimana mereka memainkan elemen blind-tag ke dalam pertandingan, membuatnya begitu penting dan integral.

Tidak ada cutscene-match. Setiap match memang ada fungsinya, berhasil memenuhi fungsi tersebut, dan semuanya tetap terasa penting. Battle Royal dua puluh cewek itu sebenarnya tak lebih dari ajang komedi dan nostalgia persembahan WWE kepada fans. Nia Jax, banyak yang bilang, enggak butuh untuk mendapatkan kemenangan di sini. Tapi aku melihat justru sebaliknya. Mereka sudah ngeset Jax untuk kontender berikutnya, jadi mereka punya slot kosong di acara ini yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada cara yang lebih baik mengakomodasi semua komedi, aksi, dan superstar selain Battle Royal. Supaya kita dapat menyaksikan superstar cewek dari berbagai era bertanding numplek di dalam ring. Alundra Blayze, itu sumpah aku kaget sekali dia hadir. Sajian komedinya efektif, enggak terasa sereceh dan segaje standar WWE yang biasa. Eliminasi-eliminasi yang terjadi tidak terasa diburu-buruin. Semua peserta punya peran dan mini arc tersendiri. Menjelang akhir, aku gelinjangan hebat begitu sadar Zelina Vega sama sekali belum tereliminasi, aku benar-benar berpikir cewek ini bakal menang; storyline matchnya benar-benar work out.

Yang paling mendekati cutscene-match dalam acara ini adalah Kejuaraan NXT di mana Kairi Sane mempertahankan sabuknya dari Shayna Basreng… eh sori lagi laper, Baszler, maksudnya. Partai ini berisi elemen interferensi, sendirinya adalah ‘filler’ sebagai pelanjut seteru, tapi diolah dengan baik. Penampilan kedua pesertanya sangat prima, sehingga story ini terasa maju dengan natural. Partai ini tetap terasa penting. Begitupun dengan partai Final Mae Young Classic; aku bener-bener suka match ini. Tapi, match ini hanya bekerja jika kita mengikuti build-upnya yakni acara turnamen itu sendiri sedari awal. Dan kelihatan jelas dari antusias penonton di arena, mereka tidak benar-benar ngikutin. Tapi buatku, it was a hell of a match. Build upnya tentang Storm yang berjuang sejak tahun lalu melawan Io Shirai, Genius in the Sky, yang digadang terhebat di Jepang. Hard-hitting lawan High-flying. Semua itu terconclude menjadi hasil yang dramatis, kita benar-benar tidak tahu siapa yang bakal menang, dan buatku yang duduk di sana menyilangkan jari berharap Storm menang, match ini begitu mendebarkan. Aftermath matchnya pun mengharukan sekali; aku suka gimana mereka ngasih bunga dan piala ke Storm seolah dia baru saja memenangkan kontes kecantikan.

Bahkan pialanya lebih cantik daripada piala Gadsam yang baru

 

 

Aku masih mendengar orang-orang kecewa, WWE tidak membuat Becky Lynch melawan Charlotte sebagai partai utama acara ini. Aku pun tadinya kesel juga sih, aku paham nilai jual Nikki Bella dan Ronda Rousey, tapi aku tadinya berpikir kualitas pertandingan mereka tidak akan pantas diganjar posisi utama. Ternyata, partai Kejuaraan Wanita Raw tersebut sungguh di luar ekspektasi. In a good way. Mereka memainkan cerita dengan baik. Mereka diberikan penulisan yang lebih ‘berusaha’ dibandingkan pertandingan Ronda yang biasanya. Nikki pun kelihatan banget effortnya memainkan karakter. Aku masih gak percaya aku sempet percaya Nikki bisa memenangkan ini. That’s how good the writing is. Dari segi penampilan, ya mereka masih sesuai dugaan sih; bantingan dan ofensif Ronda masih terlihat ‘enggak-aman’ tapi enggak lagi begitu menggangguku.

Justru Last Woman Standing antara Lynch dan Charlotte yang kadang membuatku terlepas dari acara.  Pertempuran mereka lebih brutal yang bisa kita harapkan. Mereka ngeset kekerasan dalam pertandingan cewek naik satu level. Lynch membuktikan dia salah satu heel terpanas tahun ini. Dia tidak membawa karakternya ke arah pengecut, melainkan terus menggali elemen bahwa dia adalah warrior yang sesungguhnya. Tapi ada rasa pertandingan ini sedikit panjang dan tidak seketat seharusnya. Aku melihat wasit ‘membantu’ memberikan kursi dengan kakinya kepada Lynch saat spot Figure-8 pakai tangga. Charlotte yang sebenarnya belum benar-benar berdiri ketika tertimbun kursi, tapi wasit tetap menghentikan hitungan. There’s some stretch here and there. Yang membuatku sedikit mengurangi keasikan nontonnya.

 

 

 

 

Ketika benar-benar diberikan waktu dan kesempatan, wanita-wanita WWE ini berhasil membuktikan mereka pantas disebut sebagai revolusioner. Evolution adalah show yang masih ditemukan cegukan di sana- sini; Alicia Fox lupa nge-break pin itu konyol sekali, tapi jika mau dikata berantakan; acara ini adalah berantakan yang menyenangkan. Semuanya terasa penting, pertunjukannya jadi terasa seger. Aku gak keberatan jika setiap tahun kita menyaksikan acara khusus superstar cewek seperti begini.
The Palace of Wisdom memilih Toni Storm melawan Io Shirai sebagai Match ot the Night.

 

 

 

 

Full Results:
1. TAG TEAM Trish Stratus dan Lita mengalahkan anak buah Alexa Bliss; Mickie James dan Alicia Fox
2. TWENTY WOMEN BATTLE ROYAL FOR CHAMPIONSHIP OPPORTUNITY Nia Jax memastikan dirinya menang dengan melempar Ember Moon keluar ring
3. MAE YOUNG CLASSIC FINALS Toni Storm jadi juara ngalahin Io Shirai
4. SIX WOMEN TAG TEAM  Sasha Banks, Bayley, Natalya ngalahin Riott Squad
5. NXT WOMEN’S CHAMPIONSHIP Shayna Baszler merebut sabuk Kairi Sane
6. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP LAST WOMAN STANDING Becky Lynch sukses bertahan atas Charlotte Flair
7. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey menghajar Nikki Bella 

 

 

That’s all we have for now.
Siapa menurut kalian superstar cewek terhebat sepanjang masa? Siapa favorit kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

BLACKKKLANSMAN Review

“There is life after hate.”

 

 

 

Manusia bisa jadi adalah satu-satunya spesies yang ngucilin sesamanya atas alasan berpikir bahwa golongan mereka lebih hebat daripada sebagian golongan lain yang berbeda. Mungkin aku salah, mengingat toh memang hewan ada yang punya sistem hierarki ala kasta, tapi rasa-rasanya aku belum pernah mendengar seekor zebra ngomong “Eh Kucrit, yang laen pada putih belang item, elu malah item garis-garis putih. Sono lu, nguli di pojokan!”. Aku belum pernah ngelihat singa albino dilemparin kerikil ama teman-temannya, diolok-olok “Anak bule! Anak bule!” (lagian siapa juga yang berani ngelempar singa hihihi) Dan aku seratus persen yakin belum pernah nemuin berita di koran tentang hewan-hewan kebun binatang menggelar aksi protes menuntut untuk enggak dikandangkan bareng hewan-hewan oposisi partai politiknya.

Tapi kita, karena kemampuan berpikir yang lebih canggih dengan kesadaran dan nurani yang lebih berkembang, gemar melakukan diskriminasi. Manusia tidak bertumbuh dalam kesamaan. Kondisi yang berbeda-beda, menyebabkan ketidakmerataan menjadi fitrah bagi manusia. Dan ini menciptakan perbedaan yang lebih jauh lagi. Ada orang-orang yang memandang perbedaan sebagai kekuatan, karena tujuannya adalah mencapai kesetaraan, seperti semboyan negara kita. Namun ada juga, perbedaan tidak seharusnya di-embrace; hanya ada satu kesempurnaan yakni kelompok mereka.

nonton bokep aja kadang kita suka rasis; lebih suka barat daripada jepang atau sebaliknya

 

 

KKK yang kalo dipanjangin berbunyi Ku Klux Klan adalah salah satu contoh dalam sejarah sebuah organisasi yang punya paham ekstrim mengenai kesempurnaan kelompok mereka; ras kulit putih. Berdiri sejak 1865, mereka ini anti semuanya deh, anti-Islam, anti-Yahudi, anti-komunis, anti-LGBT, anti-immigrant, mereka ini menjunjung tinggi supremasi kulit putih bangsa Amerika. Throughout history, kita dapat membaca kiprah mereka membantai warga kulit hitam, bahkan sesama kulit putih yang melindungi kulit hitam, dan catatan klan ini masih berlanjut hingga sekarang. Memang terdengar seperti dalam cerita-cerita horor sih ya, bahkan anggota klan ini tampil dengan seragam berupa topeng dan jubah putih, lengkap dengan simbol mereka. Aksi KKK memuncak di tahun 1960an, dan mendapat perlawanan dari african-american di Amerika. Marthin Luther King muncul, Malcolm X turun tangan. Menyerukan persamaan hak; bahwa manusia tetaplah manusia yang punya derajat yang sama.

Cerita yang diangkat oleh Spike Lee dalam film ini adalah bentuk ‘perjuangan’ yang berbeda. Begitu outrageous, malah. Sehingga membuatku terheran; betapa kerennya kejadian ini pernah beneran terjadi, dan saking kerennya sampai-sampai “kok baru kali ini loh ini difilmkan?” BlacKkKlansman menceritakan tentang Ron Stallworth (John David Washington berhasil keluar dari bayang-bayang bokapnya, Denzel, yang bermain di Malcolm X – film lain tentang Ku Klux Klan garapan Spike Lee), ia adalah seorang polisi yang berusaha menyusup ke dalam sebuah kelompok lokal yang diketahui bagian dari KKK, ia ingin tahu apa rencana mereka, sehingga bisa menyetop kekacauan sedini mungkin. Menariknya adalah, Ron adalah orang kulit hitam. Pada tahun segitu, sudah cukup dipandang miring gimana dia bisa dilantik sebagai anggota polisi. Apalagi gimana cara dia masuk ke dalam KKK tanpa diberondong peluru? Ron berkomunikasi dengan para anggota lewat telefon. Mencoba berakrab-akrab ria, menjadi teman mereka, memahami jalan pikiran dan langkah mereka. Dan ketika dibutuhkan untuk hadir ke dalam pertemuan KKK, Ron ‘diwakilkan’ oleh rekan polisinya, Flip Zimmerman (Adam Driver suprisingly kocak di sini), yang memang sih relatif aman karena dia berkulit putih, tapi bukan berarti tak ada resiko karena Flip seorang Yahudi. Sungguh gila situasi yang mereka alami. Film ini sejatinya punya cerita yang berlatar begitu kelam, namun oleh sang sutradara, semuanya dipresentasikan dengan keseimbangan hiburan yang menakjubkan.

Sebagian besar keasyikan kita menonton dua jam film ini berkat interaksi antara John David dengan Adam Driver. Mereka beradu pikiran soal bagaimana mereka akan melakukan penyusupan tersebut. Ada lapisan akting yang terjadi di sini. You know, John David musti berusaha terdengar sebagai orang kulit putih saat bicara di telefon, dia menutupi dialeknya. Film juga memancing kita dengan pertanyaan, seberapa beda sih gaya bicara golongan ini. Aku suka gimana polisi yang ditanyai oleh Ron soal perbedaan suaranya tidak bisa menjawab di mana persisnya letak perbedaan tersebut, dan sebaliknya, si Grand Wizard – pemimpin – KKK punya teori sendiri gimana cara membedakan dialek mereka, padahal kita melihat sendiri dia sedang ditipu mentah-mentah saat menjabarkan teori cerdasnya tersebut. Juga Adam Driver yang harus berakting sebagai orang yang berakting membenci kulit hitam dengan segala resikonya karena setiap pertemuan KKK, tokoh yang ia perankan selalu diancam dugaan dan ditodong oleh alat pendeteksi kebohongan.

kau tidak bisa pake Jedi Force, loh, di sini

 

 

Tapi bukan lantas berarti tokoh utama kita, si Ron, enggak benar-benar terekspos oleh bahaya. Dia pun masih harus menyusup ke dalam lingkaran orang-orang rasnya sendiri. Perannya dengan Flip sama, berundercover ria menjadi seorang yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri. Ron actually ingin menggiring saudara-saudara sebangsanya untuk melihat bahwa menyerukan “Black Power” bukan berarti musti bertindak sama dengan ‘musuh’ yang mereka lawan. Bahwa tidak semua polisi brengsek, bahwa kesetaraan itu bukan berarti ‘jika keinginan minoritas tidak dipenuhi, maka itu disebut semena-mena dan tidak toleransi’.

Ron yang kulit hitam menyusup di antara orang-orang kulit hitam. Flip yang kulit putih, juga berpura-pura di antara kulit putih. Tapi mereka berdua punya pandangan berbeda dari kelompok mereka. Inilah tema yang mendasari film ini; gimana wujud kita, rupa kita, akan mengarah kepada asumsi tindakan yang kita lakukan. Gimana orang-orang menilai apa yang kita percayai dari fisik semata. Beginilah kita setiap hari. Kita melihat yang berkulit gelap, berambut keriting, berbibir tebal, kita akan berpikir mereka tidak akan menjawab salam dengan Walaikumsalam. Kita melihat yang bermata sipit, kita mengira mereka jago main bulutangkis. Asumsi-asumsi fisik tersebut, tidak bisa dihilangkan karena fitrah kita adalah perbedaan. Yang harus disadari adalah asumsi-asumsi tersebut toh bisa digunakan untuk mejembatani hubungan yang lebih baik antara sesama manusia.

 

 

Bukan hanya dua aktor tersebut yang menyuguhkan penampilan akting luar biasa, bahkan aktor-aktor yang memerankan anggota KKK, ataupun polisi ‘babi’, mereka disuruh komit untuk melakukan ataupun mengucapkan sesuatu yang bakal bikin kita menyipit ngeri. Dan mungkin juga, jijik. Satu adegan, kita akan risih duduk mendengar apa yang sudah dilakukan oleh salah satu tokoh. Di adegan berikutnya, ketidaknyamanan itu sirna karena betapa kocaknya film ini mempersembahkan diri. Ron pernah ditanyai “apa yang kau lakukan jika nanti polisi di sini memanggilmu negro?” dan jawaban Ron akan mengundang tawa yang keras. Isu rasisme dipersembahkan oleh film ini sebagai sesuatu yang aneh dan berbahaya, maka penceritaan pun dibuat sama seperti demikian. Film akan membuat kita tertawa sekaligus waspada akan bahaya dari situasi, yang masih relevan sampai sekarang. Potongan adegan dari kejadian nyata situasi pemerintahan Trump di akhir film, membuat kita sadar kengerian yang sedang dihadapi oleh warga di sana. Tapi bukan berarti kita yang di sini aman-aman saja.

Untuk mencapai keseimbangan tone cerita seperti demikian, tentu saja ada keputusan yang diambil oleh Spike Lee, yang membuat cerita sedikit berbeda dari kejadian nyata. Ada aspek-aspek yang didramatisir, dilebih-lebihkan, dibuat menjadi lucu. Pendekatan yang diambil Lee adalah pendekatan bercerita yang lumayan mainstream. Dibuat untuk menyenangkan hati penonton. Ada ‘hukuman’ buat ‘orang jahat’. Ada imbalan buat yang baik. Pacing cerita, tak pelak, jadi sedikit terganggu dengan up dan down yang terkadang diulur demi romantisasi. Beberapa orang mungkin akan mengritik kekurangakuratan film ini. Tapi sebagai pembelaan, buatku tidak masalah apabila film yang diangkat dari kejadian dan orang nyata, diberi sedikit bumbu-bumbu untuk menyampaikan maksud cerita. Karena yang penting adalah pesan cerita. BlacKkKlansman penting untuk ditonton oleh sebanyak mungkin orang, dan cerita yang gelap ini enggak akan ditonton orang jika stay dark. Harus ada cahaya menyenangkan yang bersinar ke dalam ceritanya.

 

 

 

Menakjubkan gimana film ini berhasil mencapai keseimbangan sempurna antara kelucuan dengan tragedi. Tak muluk jika kita sebut ini adalah karya terbaik Spike Lee semenjak Inside Man (2006). Dari yang kita tertawa sampai menitik air mata, film akan membawa kita merneung menahan air mata lewat potret kemanusiaan yang tidak banyak berubah hingga sekarang. Cerita sepenting ini berhasil dibawa ke ranah merakyat. Jikapun ada sesal, maka itu adalah kenapa film ini enggak tayang di bioskop Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLACKKKLANSMAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Gimana sih menurut kalian hubungan antara kecerdasan dengan superioritas manusia? Apakah ilmu padi itu cuma mitos?

Menurut kalian, apa yang dipikirkan orang ketika mereka menyuarakan kebencian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

JAGA POCONG Review

“The worst regret we can have in life is not for the wrong things we did, but for the right things we did for the wrong one.”

 

 

 

Pernah gak sih kalian pengen membantu orang lain dan seketika merasa menyesal setelah menawarkan bantuan tersebut? Sebaiknya jangan ampe pernah sih, yaa.. soalnya itu hal yang enggak baik. Membantu orang itu kudu ikhlas. Tidak boleh ada niat apa-apa kecuali buat meringankan beban yang ditawarin bantuan. Dan enggak boleh menggerutu jika ternyata orang tersebut mengharapkan bantuan yang lebih besar dari yang kita duga. Kayak Suster Mila yang sabar banget. Kerjaannya sehari-hari merawat pasien di rumah sakit. Bahkan ketika shiftnya sudah selesai dan dalam persiapan hendak balik ke rumah pun, Mila tak menolak diamanatkan untuk memberikan perawatan ke rumah pasien. Tapi sejujurnya, jika dihadapkan oleh situasi seperti Mila; ketika ia terlambat sampai di rumah pasien yang jauhnya minta ampun dan menemukan jawaban “Tolong jaga pocong ibu saya” atas pertanyaan “Ada yang bisa saya bantu?” niscaya aku akan menolak dengan halus, mengutuk pelan di dalam hati karena udah sok baik, dan pergi secepatnya dari tempat itu tanpa pernah menoleh lagi haha..

Tapi itu hanya salah satu dari banyak perbedaanku dengan tokoh Mila dalam film Jaga Pocong ini. Mau tahu satu lagi perbedaan antara kami? Aku gak akan pernah mengecek lemari yang terbuka sendiri. Anyway, pekerjaannya sebagai perawat membuat Mila enggak egois dan, tentu saja, berani. Mila merawat orang yang masih hidup, maupun yang sudah mati. Film ini dengan perlahan memperlihatkan Mila yang begitu telaten. Dia dimintai tolong oleh pria asing memandikan jenazah, kemudian mengafani mayat ibu tirinya. Tak sekalipun Mila menolak. Dia bahkan enggak kabur gitu aja ninggalin Novi, anak pemilik rumah yang kamarnya di lantai atas, begitu peristiwa-peristiwa ganjil terjadi dalam rumah tersebut. Bahkan setelah terang-terangan melihat Novi dirasuki hantu pun, Mila tetap kembali untuk anak tersebut.

alih-alih jenazah yang kena azab, di sini tokoh kita yang dirundung oleh ketakutan yang nyata

 

 

Pada mulanya, film ini tampak begitu membanggakan. Ada begitu banyak aspek yang aku suka dari film ini. Film ini terasa berbeda dengan horor-horor lain yang beredar belakangan ini. Nuansanya udah kayak horor psikologis. Kita dibenamkan begitu saja ke dalam masalah Mila, kita tidak tahu siapa dirinya, dan ekspektasi yang timbul adalah film bakal punya penjelasan yang cerdas dan masuk akal. Gimana pacenya yang deliberately dibuat lambat, memberikan kesempatan kepada kita untuk mengumpulkan benih-benih ketakutan sekaligus membuka mata mencari petunjuk dan kepingan puzzle cerita. Kita dibuat sama butanya dengan Mila. Aku suka gimana film ini enggak menggunakan elemen seperti film horor dengan keadaan sempit kebanyakan. Mila disuruh menjaga rumah beserta pocong dan seluruh isinya, dan film tidak membatasi Mila – juga kita – dalam mengeksplorasi rumah dengan foto-foto nyeremin yang membuat kita bertanya dalam hati kok pemilik rumahnya beda ama yang ada di pigura? Tidak ada ruangan yang diwanti-wanti tidak boleh dibuka, dan ini hanya akan membuat kengerian itu semakin menjadi lantaran kita tidak tahu pasti apa yang harus diantisipasi.

Perhatian kita akan segera terpusat pada jenazah fresh yang terbaring di atas tikar di lantai, tepat di tengah-tengah rumah. Ketakutan hadir dengan sangat efektif, misalnya ketika Mila melihat salah satu kapas yang menutup lubang hidung si jenazah lepas begitu saja. Dan setelah beberapa adegan kemudian, seluruh tali pocongnya lepas. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Untuk urusan menakuti, film bijaksana sekali memakai suara dan musik. Gambar-gambarnya pun diperhatikan dengan seksama. Perhatikan gimana Mila enggak begitu saja memasangkan kembali kapas ke dalam lubang hidung jenazah. Ada gestur dan tindak ekstra yang ia lakukan untuk menunjukkan rasa takut luar biasa yang sedang ia tahan.

Salah satu adegan paling emosional di film ini adalah ketika Mila menangis terduduk di lantai. It was an usual Acha’s signature powerful crying scene. Tapi tampak begitu conflicted. Karena kita melihat penyesalan di dalam dirinya. Untuk pertama kali dalam dunia profesionalnya, Mila menyesal setuju untuk membantu orang. Film dan tokoh Mila ini dapat menjadi sangat menarik apabila terus menggali sisi kemanusiaan yang miring seperti demikian.

 

 

Atmosfer di paruh pertama film terasa begitu unsettling. Ini adalah horor yang sangat contained, menawarkan kepada kita begitu banyak pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku bahkan tidak merasa mengenal Mila, keputusan-keputusan yang ia ambil terlihat so selfless. Aku menemukan kontras antara karakter Mila sebelum sampai di rumah tersebut dengan saat dia sudah mengalami banyak hal di rumah itu. Mila awalnya, terasa hanya just doing her job, kita melihat dia hanya memandang dari jauh ketika anak yang ia rawat meninggal dunia. Tapi ketika di rumah, dia jadi begitu peduli dengan keselamatan Novi, yang berjalan dengan bantuan alat dan punya asma. Mungkin Mila ingin ‘menebus’ diri apa gimana, yang jelas aku menunggu-nunggu arc tokoh ini berkembang. Informasi kenapa dia dan apa artinya ‘perjalanan’ yang ia tempuh di film ini. Dan di poin inilah aku merasa, sejauh ini, Jaga Pocong nyatanya adalah film horor yang paling membuatku kecewa di tahun 2018.

Tepatnya, setelah adegan mimpi di pertengahan film, kekhawatiranku mulai merekah. Harapanku ini bakal jadi cerita psikologis, semacam tentu saja kita bakal membayangkan yang bukan-bukan jika disuruh tinggal bersama pocong semalaman, menjadi sirna seketika. Film seperti sudah berpindah fokus, berpindah treatment, tone ceritanya menjadi berubah, bagian tengah film hingga penghabisan seperti dibuat oleh orang yang berbeda. Atau mungkin pembuatnya lelah membangun, dan memutuskan untuk menendang runtuh semuanya. Acha Septriasa adalah aktris yang cakap (dan cakep), ini adalah horor pertamanya, dia sepertinya sudah siap melakukan apa saja atas nama horor, dan apa yang film ini minta untuk dia lakukan? Memanggil nama Novi dengan berbagai ekspresi ketakutan yang berbeda. “Kamu di mana?”, “Novi, jangan lari”, “Novi, bentar lagi kamu ulangtahun ya” Ada banyak kalimat yang bisa diucapkan orang yang lagi ketakutan mencari temannya yang kabur, tapi film nulisnya males banget. Dialog Acha sebagian besar cuma nama Novi, thok. Betapa tersia-siakan talentanya.

ganti aja judulnya jadi Jaga Novi

 

 

Teknik menakutinya berubah menjadi sangat standar. Kamera yang mengarah ke kiri, memperlihatkan tidak ada apa-apa, kemudian dengan segera geser ke kanan, dan kita semua sudah tahu ada apa di kanan si tokoh. Hantunya pun kadang tak konsisten. Mila diteror oleh pocong, yang malah bukan pocong si ibu. Pada satu adegan, si kecil Novi berubah menjadi makhluk dengan make-up mengerikan, badannya patah-patah kayak orang kesurupan, dia manjat tembok segala macem, dan mengaku dengan suara serak dia adalah penunggu rumah ini. Tapi nyatanya, momen ini sama sekali enggak masuk ke dalam cerita, karena nantinya di Pengungkapan, kita tahu mereka ‘hantu’ yang seperti apa – mereka adalah keluarga ‘dukun’ yang menginginkan tubuh yang lebih muda, jadi momen kesurupan yang tadi jatohnya seperti si Novi sedang berbohong. Dan oh boy, bukan satu kali dia berbohong. Dari segi kreatif, ini menjadi bukti film berusaha memasukkan banyak hal kekinian; hantu kesurupan, dukun dan praktik ritual, twist, dan mereka enggak lagi mikirin cerita yang koheren.

Twistnya sih sebenarnya cukup seksama ditanam. ‘Apa’nya pun masuk akal di dalam konteks cerita. Ada indikasi rumah sakit tempat Mila bekerja punya andil dalam kejadian di film ini. Hanya saja, kenapa mesti Mila, tidak bisa diceritakan oleh film ini. Keseluruhan film adalah scam/rencana jahat dari penghuni rumah (yang bisa diasumsikan bekerja sama dengan rumah sakit), dan Mila hanya bidak yang terseret-seret di sana. Tidak ada kepentingan, tidak ada bentrok personal yang membuat Mila punya alasan untuk ada di sana. Sekalipun membuat keputusan, ia tampak mengambil pilihan yang bego. Film menjawab “kenapa harus Mila” dengan begitu konyol sehingga aku tertawa di dalam bioskop. “Karena memang harus kamu”, kata si jahat sambil berpose menunjuk supaya kelihatan keren. It was just so lazy. Mereka bisa saja mengarang konflik dan backstory yang lebih personal buat Mila, tapi enggak. Malah terang-terangan bilang ya karena harus kamu… ahahaha ini yang nulis scriptnya anak kecil – ini yang nulis ceritanya si Novi?

..

Oke, aku minta maaf, Novi, aku yakin kamu dan anak-anak lain lebih pinter dan imajinatif dari penulisan film ini.

 

 

Setelah semua kebegoan itu pun, film sesungguhnya masih punya kesempatan untuk menjadi terrifying. Bayangkan kamu terbangun dalam tubuh yang sudah mati. Pengalaman yang menyeramkan, kan ya. Kita tidak bisa melakukan apapun, kita sadar dengan apa yang terjadi di sekitar kita, kita tahu apa yang bakal terjadi, tapi kita begitu powerless. Ini bisa jadi sudut pandang yang menarik. Tapi sutradara Hadrah Daeng Ratu seperti tidak mampu dalam mengeksplorasi bagian ini. Kita hanya mendapatkan versi basic; Mila bangun bukan sebagai Mila. Film tidak cukup kompeten dan berani membuat adegan yang sureal, kita tidak ikut merasakan kengerian dikubur hidup-hidup. Mereka malah membuatnya aneh – membuatnya bertentangan dengan ‘peraturan’ film – dengan dua wajah Mila, alih-alih satu. Karena sutradara tidak tahu cara membuat adegan ini dengan benar dan meyakinkan; mereka takut penonton tidak mengerti jika bukan wajah Mila yang tampak di dalam liang lahat.

 

 

Film ini punya potensi buat jadi salah satu, jika bukan horor terbaik di tahun 2018. Aku melihat penggarapan yang mumpuni di awal-awal, cara membangun kengerian, bagaimana mereka merepresentasikan pocong dan segala ketakutan tersebut. Tapi setelah pertengahan, film menjadi konyol. Eksplorasi cerita ditinggalkan begitu saja. Film seperti menyerah di tengah jalan. The writing is lazy. Mereka seperti menulis yang dikejar deadline; awalnya bagus, kemudian diselesaikan dengan serampangan. Cerita film jadi tidak nyambung dan kembali ke jalur biasa-biasa saja. Pada akhirnya, film ini malah semenggelikan episode buku Goosebumps dengan twistnya yang over-the-top.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JAGA POCONG.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Ada yang ngitung gak berapa kali nama Novi disebut dalam film ini?

Pernahkan kalian menyesal membantu orang lain karena menurut kalian mereka ternyata enggak berterima kasih dan enggak pantas dibantu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

THE NIGHT COMES FOR US Review

There are some things far more frightening than death

 

 

 

Malam sepertinya tidak akan pernah berkonotasi dengan kata sepi dalam kamus Timo Tjahjanto. Malam, bagi film-filmnya, adalah panggung pertunjukan segala kegilaan. Bayangkan pentas bakat di sekolah, hanya saja pesertanya bukan anak kecil mungil melainkan kebrutalan segala jenis. Langit malam Timo akan bergema oleh kata-kata serapah. Dan ya, malam dalam judul film ini pun, sejatinya begitu hitam pekat; oleh darah.

Kita mungkin hanya bisa membayangkan gimana menyenangkannya bagi para aktor diajak suting film laga oleh Timo. Karena kita tahu kita bisa mengharapkan adegan-adegan kekerasan yang esktrim, yang tidak biasa diminta untuk dilakukan. Timo really has a knack for these kind of actions. Bagaikan jari yang tidak semestinya dibengkokkan ke belakang, Timo akan mendorong tulang-tulang tersebut – dia akan mendorong para aktornya untuk melakukan berbagai hal yang berakibatnya pada ‘patah’nya image normal yang tadinya melekat. Kita sudah lihat apa yang ia lakukan terhadap Pevita Pearce dan Chelsea Islan di horor gore Sebelum Iblis Menjemput (2018). Dan itu belum seujung kukunya dengan apa yang ia tugaskan kepada Julie Estelle, Dian Sastro, Hannah Al Rashid, bahkan kepada pemain-pemain pria seperti Abimana Aryasatya, Dimas Anggara, dan banyak lagi cast yang aku yakin semuanya pasti having fun banget disuruh berdarah-darah.

Jangan mandi kembang, mending mandi darah

 

Kerja kamera begitu jor-joran membuat setiap sekuen aksi bikin kita ngotot untuk melotot, meski mungkin perut mulai melakukan penolakan-penolakan ringan. Tusuk-tusukan, patah-patahan, dan kemudian crott! darahnya keluar. Semua tampak begitu maknyuss. Film ini luar biasa aware dengan environmentnya, setiap jengkal bisa dijadikan sudut pandang yang menarik buat ngeliat orang berantem, setiap benda-benda yang paling lumrah sekalipun – seperti papan ‘awas lantai basah’ itu – dimanfaatkan sebagai senjata membela diri yang hanya bisa dituntaskan dengan membunuh lawannya. Hal inilah yang menjadi point menarik dari film ini. Semua aspek; benda, lokasi, tokoh, udah seperti bidak catur yang posisinya udah dipikirkan dengan seksama demi mengkreasikan adegan berantem yang bisa dinikmati. Dan pada prakteknya, kamera akan mondar-mandir ke sana kemari, memastikan setiap frame penuh oleh aksi. Di belakang, di depan. Pergerakan yang nonstop, beberapa adegan film ini akan membuat kita teringat apa yang dilakukan master Akira Kurosawa dalam Seven Samurai (1954); aksi yang berkedalaman. Di film inipun kita melihat orang bunuh-bunuhan di depan, sementara di belakangnya tokoh lain sedang berusaha berlindung dari massa dengan menggunakan meja sebagai tameng. Transisi dari apa yang tadinya background kemudian menjadi fokus, digarap dengan begitu mulus dan menyatu.

Namun sayangnya kita gak bisa memberikan pujian yang serupa untuk cerita film ini. I mean, it is so basic dan meninggalkan begitu banyak elemen, karakter, yang tidak dieksplorasi. Semua tokoh yang muncul di film ini, hanya ada di sana untuk memenuhi ‘takdir’ mereka sebagai petarung. Mereka, dengan gaya dan teknik keren masing-masing, ada untuk berantem sadis, dan mati. Kalopun enggak mati, mereka pergi keluar dari pandangan kita tanpa banyak penjelasan. Tokoh-tokoh di film ini, tentu mereka punya relasi. Kita bisa mengaitkan siapa temannya siapa, anggota geng mana, tapi mereka terlalu satu dimensi. Kita tidak pernah diminta untuk peduli kepada mereka dari cerita siapa mereka, apa motivasinya. Oke, kalo memang ngotot buat terus memuji, aku pikir aku sudah menemukan kalimat yang tepat untuk mengutarakan kelemahan besar The Night Comes for Us sehingga kedengarannya seperti kelebihan.

Ini dia:

Film The Night Comes for Us akan bisa kita anggap sedikit lebih baik jika kita menontonnya dengan berpura-pura bahwa ini adalah adaptasi dari video game pertarungan. Tokoh-tokohnya; mereka kelihatan seperti tokoh game fighting, kita menyukai mereka karena jurus dan penampilan, tapi kita tidak merasa apa-apa saat mereka mati karena toh kita bisa memilih tokoh yang lain, yang akan segera muncul. Siklus film ini kayak siklus berantem di game fighting. Kita hanya nekan-nekan tombol, kita gak peduli sama cerita tokohnya – bahkan di game kita biasanya juga ngeskip cerita in-game and straight to killing. Begitulah film ini terasa buatku. Menurutku akan menarik sekali jika Timo Tjahjanto suatu saat mau dan dapat kesempatan menggarap adaptasi video game berantem kayak King of Fighters, Tekken, atau bahkan Bloody Roar dan Mortal Kombat mengingat kekhususan talentanya dalam menggarap aksi gorefest yang mengalihkan penggemar dari pentingnya bangunan cerita.

Aku gak akan bisa lupa pemandangan Julie Estelle ngeRKO Taslim ke wastafel! ahahaha

Elena kayak versi sakit dan worn-out dari superstar WWE Rhea Ripley

 

Tokoh utama cerita ini adalah Joe Taslim. Ito yang ia perankan adalah salah seorang dari anggota pembunuh andalan mafia Triad, yang disebut Six Seas. Bisa kita bilang, Ito cari makan dengan membunuh-bunuh keluarga orang. Dalam adegan awal, kita melihat Ito mengalami pergulatan moral dalam salah satu misi mulianya. Alih-alih menghabisi anak cewek penduduk kampung yang sedang ia bantai, Ito turn heel kepada Triad. Hal ini membuat Ito dan si gadis cilik diburu. Ito meminta bantuan kepada geng ‘pasukan’ lamanya; geng yang sudah ia tinggalkan padahal mereka dulu bercita-cita masuk Six Seas bareng. Konflik Ito dengan Arian yang diperankan oleh Iko Uwais sebenarnya cukup menarik. Tidak ada kedamaian dalam malam orang seperti Ito. Keberadaannya tercium, dan bermacam-macam pembunuh, bahkan tak terkiranya jumlahnya bermunculan. Cerita film ini saja udah kayak fantasi liar dari trope film-film mafia; ada pengkhianatan, rasa iri dan gak-seneng, orang yang jadi sadar karena keinosenan anak kecil. Penceritaannya sangat mengganjal sehingga terasa sekali perbedaan mencolok antara ketika bagian aksi dengan bagian eksposisi. Film akan jatuh menjadi begitu membosankan ketika film berusaha bertutur selalu tentang kejadian yang terjadi sebenarnya. Mereka tidak membahas siapa dan kenapa, dua poin paling penting yang bisa membuat cerita menjadi menarik. Semakin film bergulir, semua yang diucapkan para tokoh jadi hanya seperti throw-away saja, ada kelompok Lotus lah, ada tokoh kayak The Operator yang punya misi tapi dari siapa gak pernah dibahaslah.

Ada banyak cara untuk membuat orang mati, dan meskipun kau tidak bisa membunuh apa yang sudah mati, pada kenyataannya banyak hal yang lebih mengerikan daripada kematian. Ito paham akan hal ini bahkan sebelum dia mulai bergabung dengan Six Seas. Bahwa manusia bukan hancur ketika dia mati, tetapi justru ketika hidupnya sudah tidak lagi sesuai apa yang ia yakini.

 

 

Menurutku lucu sekali gimana film ngebuild up soal keanoniman Six Seas di teks pembuka film, dan kemudian kita melihat semua orang yang dikenal Ito tahu dia anggota Six Seas. Dari cerita dan actually beberapa aspek yang aku temukan saat nonton ini, aku toh memang merasa film ini sebenarnya bisa berkiprah lebih oke lagi. Film ini memang bekerja dalam fantasi dan logika sadisnya sendiri, tapi aku menemukan beberapa keputusan yang buatku, sebenarnya bisa mereka hindari. Seperti pada menit 17:59 ke 18:00, adegan mobil yang menepi dan kemudian dua tokoh turun. Sangat terang sekali bahwa adegan yang mestinya kesinambungan tersebut digabung dari dua waktu yang berbeda; tadinya malam, eh detik berikutnya kayak udah mau pagi. Dan lokasinya bahkan jelas-jelas sudah bukan di tempat yang sama. Kenapa mereka tidak benar-benar menggunakan shot yang kontinu beneran aja untuk adegan ini? Padahal tidak ada narasi yang disembunyikan.

Kemudian pada saat adegan-adegan berantem. Film ini sering membuat kondisi tak-menguntungkan buat tokoh-tokoh baik, mereka dikeroyok banyak orang, mereka harus selamat dari kondisi puluhan lawan satu. Tapi kita tidak exactly melihat keroyokan tersebut. Aku enggak tahu, mungkin karena keterbatasan kemampuan aktor – dan mereka gak mau pake stuntman supaya bagus, tapi adegan berantem dalam film ini masih terlihat seperti bergiliran. Tidak benar-benar real time. Musuh akan menunggu sampe temannya koit, baru maju ke depan. Ini hanya membuat either penjahat-penjahatnya tampak bego atau berantemnya jadi gak make sense, bahkan dalam standar aksi gore fantasi seperti ini. Suspensnya jadi off, dan usaha film untuk membuat kita tegang kembali? Yup, you guessed it; dengan erangan dan teriakan kata-kata kasar.

Banyak adegan yang mencoba meraih ketinggian emosional, tapi enggak bekerja dengan efektif. Sebagian besar karena kita tidak peduli ama karakternya. Dan bagian endingnya, hah! film mencoba ngecreate apa yang The Devil’s Rejects (2005) sudah lakukan dengan musik lagu Free Bird yang sulit dikalahkan ke-awesome-annya.

 

 

 

Untuk tontonan yang seram-seram menghibur, apalagi buat suasana halloween kayak sekarang, film ini adalah pilihan yang tepat. Dia punya trik-trik yang diolah dengan sangat passionate, dengan gaya dan taste yang khas, sehingga menghasilkan sebuah treat yang asik untuk dinikmati. Jika sutradaranya diganti menjadi yang taste enggak sekuat ini, dengan cerita dan materi yang sama, film ini akan jatuh tertumpuk di dasar kenistaan, lantaran ceritanya tidak dikembangkan maksimal. Kita akan cepat gusar kalo menonton ini dengan mengharapkan cerita yang lebih koheren dan adegan yang enggak terlalu dibuat-dibuat.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE NIGHT COMES FOR US.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, siapa saja anggota Six Seas dalam film ini? Apakah Morgan Oey salah satunya? Pertarungan siapa yang paling kalian sukai?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

GENERASI MICIN Review

“The kids are alright”

 

 

Terkadang, kita suka menggunakan jargon atau ungkapan-ungkapan untuk melabeli hal yang tidak sepenuhnya kita mengerti, memberikannya semacam ilusi bahwa kita sudah memahami hal tersebut. Sama teman aja, kita suka ngasih mereka nickname, supaya memanggil mereka terasa lebih akrab. Untuk satu hal, memang label seperti demikian itu bagus, karena sejatinya adalah usaha kita untuk mencari tahu – bukannya menjauhi. Namun yang perlu diingat adalah, mengenali orang atau hal tidak sepatutnya berhenti di satu label atau jargon saja. Kita harus ingat masih ada aspek lain yang belum kita ketahui dari mereka.

Generasi Z, misalnya. Generasi yang terlahir dari tahun 1995 hingga 2012, dalam artian para remaja saat ini, mereka kita baptis dengan sebutan Generasi Micin. Karena dari yang kita lihat, memang anak-anak jaman now kelakuannya pada aneh. Istilah tersebut hadir dikaitkan dengan konsumsi micin alias MSG yang dapet konotasi negatif sebagai bahan penyedap yang membodohkan. Kerjaan anak generasi ini nonton hape sepanjang waktu, curhat enggak jelas di sosial media, gampang ribut sama hal remeh temeh dan bahkan hoax, serta segalanya mereka mau yang instan-instan. Bandingkan dengan kita, Generasi Millenial, yang lebih menghargai proses ketimbang hasil. Kita lebih menghargai pengalamannya. Semua itu adalah sebagai akibat dari kita hidup melewati berbagai perkembangan teknologi; kita ada saat masa emas pertelevisian, masa kemunculan telepon dan handphone, kita ngikutin perubahan komputer dari disket, kita dengerin musik dari pita kaset hingga teknologi teranyar. As opposed to Generasi Micin yang sejak lahir sudah dimanjakan oleh kenyamanan. Tapi tentu saja, itu tidak berarti mereka tidak lebih pintar daripada kita. Bukan berarti mereka yang menurut kita manja, tidak bisa lebih kritis daripada kita. Faktanya, seorang jurnalis New York Times sempet surprise melihat  justru remaja-remaja yang sangat vokal dan berani menggalakkan gerakan AntiSenjata di tengah konflik kepemilikan senjata api di Amerika beberapa waktu yang lalu. “Are Today’s Teenager Smarter and Better Than We Think?” katanya menuliskan judul artikel tentang Generasi Kekinian.

Fajar Nugros, lewat balutan komedi, mempersembahkan kepada kita film Generasi Micin sebagai jendela untuk memandang remaja-remaja lebih jauh dari layar smartphone dan akun media sosial mereka. Memperlihatkan tantangan yang remaja hadapi di dunia yang terus berputar. Tidak ada yang salah dengan anak-anak jaman sekarang.  Bahwa sebenarnya tidak ada generasi yang lebih hebat daripada yang lainnya. Setiap generasi, pada kenyataannya, akan selalu menghasilkan remaja-remaja yang melakukan hal-hal menakjubkan terhadap zaman mereka.

 

Kevin mirip-mirip Raditya Dika 

 

Kevin Anggara (youtuber dan penulis buku ini memainkan dirinya sendiri) memasuki tahun ketiga di SMU Harapan Mrs. Ana. Sekolah adalah tempat paling membosankan baginya, dia pengen tahun terakhirnya ini menjadi waktu yang paling berkesan. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Temannya sudah duluan tenar bikin vlog keseharian di sekolah. Dia enggak cukup fasih untuk ikutan klub Inggris bareng cewek sahabat masa kecilnya. Kevin lumayan socially awkward sehingga satu-satunya dia terlihat ‘fasih’ bicara adalah ketika dia gugup dan serabutan ngomong berbagai hal dari Naruto hingga Pintu Ajaib Doraemon. Kevin lebih nyaman curhat di blog, yang sekarang sudah tak ia lakukan lagi lantaran malu dikatain alay. Dia merasa sudah cukup dengan dilabeli #tertuduhmicin. Jadi apa yang Kevin lakukan demi mengisi hari-hari terakhir di sekolah? Dia ikutan website prank, dia ngajakin teman-teman sekelasnya (literally tiga orang) untuk berbuat jahil kepada guru-guru dan penghuni sekolah. Peringkat dan status Kevin di website tersebut boleh saja meroket, tapi orang-orang di sekitar Kevin jadi susah karena ulahnya. Hubungan Kevin dengan sahabat kece yang diam-diam ia taksir tersebut jadi renggang. Kevin harus melakukan sesuatu sebelum dia benar-benar membuat kecewa Ayah dan Ibunya. Juga seisi sekolahnya.

Film mencoba memberikan gambaran perbandingan antara generasi Z dengan Millennial, atau bahkan dengan generasi X yang jauh lebih ‘tua’. Kita akan melihat keluarga Kevin, gimana sudut pandang ayahnya yang buka toko sehari-hari tentang bisnis dan moral. Kevin actually punya ‘paman’ yang masih muda, tinggal serumah dengan mereka, dan banyak adegan yang mencakup Kevin dengan pamannya dengan ayah ibunya merupakan komentar mengenai gimana bedanya cara ‘kerja’ hal-hal dalam setiap generasi. Menjelang akhir, kita akan melihat adegan debat berbahasa inggris yang membahas topik dan ‘pembelaan’ terhadap generasi Micin. Dan ini sebenarnya mengecewakan buatku, karena komentar terhadap pandangan antargenerasi tersebut semestinya bisa dihadirkan dengan lebih baik. Film punya tokoh-tokoh yang sudah cukup mewakili, mereka seharusnya bisa memikirkan cara yang lebih mulus dalam menceritakan tema, dalam membangun cerita sesuai konteks yang dipunya. Menggunakan lomba debat yang adegannya hanya peserta ngomong bergantian, bahkan tanpa benar-benar ada debat pendapat yang dramatis, membuatnya hanya seperti dakwah yang enggak exactly mulus menyatu dengan keseluruhan film. Ohiya, dan si Kevin enggak ikut ambil bagian dalam debat tersebut.

Yang membuat penulisan cerita ini tampak membingungkan adalah posisi Kevin, si tokoh utama, yang enggak jelas ada di mana. Secara umur, dia termasuk generasi micin, tapi dia tidak bersikap seperti demikian. Bahkan poster film ini cukup mengundang pertanyaan, I mean, di IMDB dan situs LSF judul resminya adalah Generasi Micin, namun coba lihat posternya; aku sendiri merasa judul film ini memang lebih cocok jika ditambah dengan ‘vs. Kevin’. Karena Kevin berbeda dengan teman-temannya yang beneran mencerminkan pola pikir dan tindak generasi Z.

Salah satu keunggulan Generasi Z adalah gimana mereka dengan gampangnya mengekspresikan diri. Segala tool dan fasilitas yang ada itu, mereka gunakan untuk berkarya. Mereka paham untuk tidak malu dengan diri sendiri. Mereka dikatakan lebih narsis karena memang mereka sangat menghargai tinggi diri sendiri.

 

Teman Kevin ada yang bikin vlog dengan konten joget-joget absurd, ada juga yang begitu suka ama Korea dan dia tidak punya masalah mengekspresikan diri sebagai K-Popers (meskipun untuk sebagian besar waktu aku tidak mengerti candaan yang diucap oleh si Dimas ini). Dia berjoget di game center, sedangkan Kevin disuruh ikutan, malah malu. Alay, katanya. Untuk alasan yang sama juga Kevin berhenti menulis blog. Malahan, Kevin tidak melakukan apa-apa selain pasang tampang I-don’t-wanna-be-here sepanjang waktu. Dia bersungut “tidak ada yang mengerti dunia gue”, tapi dunia apa? Yang kita lihat kerjaannya setiap hari adalah mengurung diri di kamar bermain game sepak bola. Kevin tak-menarik, terlihat fake (dia tak pernah terlihat beneran jahil ataupun beneran angsty atau apapun). Didukung permainan akting yang bland yang membuatku bertanya-tanya sendiri kenapa mereka tidak menggunakan aktor beneran aja, Kevin adalah tokoh utama yang begitu uninspired.

Kita bahkan enggak tahu kenapa dia milih masuk IPA sementara teman-teman yang lain, yang segenerasi, berbondong masuk IPS. Berbeda dengan teman-temannya, Kevin masih punya mindset melakukan sesuatu untuk menghasilkan impresi dari orang lain. Dia ikutan website prank biar dianggap keren. Dia melakukan hal bukan untuk mengekspresikan diri, makanya dia ini sering banget berkilah “malu dibilang alay”. Tahukah kamu; Di luar sebuah perbuatan yang salah, malu hanya ada karena kita memikirkan pendapat orang lain tentang kita. Menjelang akhirpun, Kevin sepertinya belum menyadari ‘harga’ dari generasinya sendiri. Dia hanya berhenti ngeprank dan kembali menulis setelah dijauhi oleh teman-temannya. Dia berpikir kompetisi itu penting, dan film yang mengambil sudut pandangnya sebagai fokus, mendukung Kevin dengan membuat sekolah mereka menang kompetisi dalam setiap cabang. Seolah kemenangan adalah hal yang penting, mengimpresi berada di atas sekedar mengekspresikan diri. Dan ini semua terjadi bahkan setelah dia mendapat wejangan dari ayahnya seputar banyak lebih berharga dari ‘uang’.

semenarik itukah musik dan komentar dalam video game sepak bola sehingga harus banget pasang headphone?

 

 

Misi film ini adalah memperlihatkan keunggulan generasi yang selama ini diremehkan, hanya karena mereka belum punya cukup waktu untuk membuktikan diri. Tapi susah untuk konek dan percaya kepada suara tersebut lantaran dunia yang diperlihatkan terlalu laughable dan susah dianggap serius. Menurutku, tone cerita tidak musti terlalu over untuk mencapai komedi. Guru-guru yang ketiduran sambil berdiri, yang bicara sambil bernyanyi, yang mendikte buku pelajaran tanpa mengetahui anak muridnya yang hanya empat orang keluar dari kelas, kelewat bego sehingga tidak lagi lucu – hanya berfungsi sebagai distraksi dari isi cerita. We could have normal teachers and still make a funny story, right? Membuat yang lain ‘gak normal’ bukan lantas menjadikan subjek cerita ‘normal’. Lewat sudut pandang Kevin, film tidak benar-benar berhasil memperlihatkan kebolehan generasi Z. Pembelaan yang dilakukan film terhadapnya adalah dengan mengatakan generasi ini menghadapi tantangan yang lebih besar; mereka langsung dijugde begitu berbuat salah, nama mereka seketika bisa hancur di social media, dan semacamnya. Akan tetapi, bukankah kehidupan – apapun generasinya memang begitu? Ibaratnya, segala yang kita usahakan toh memang bisa dalam sekejap mata musnah karena bencana seperti gempa, kebakaran, ataupun kematian.

 

 

 

 

Film ini pun sepertinya lebih ingin mengimpress people, alih-alih mengekspresikan suaranya tentang perbedaan antargenerasi. Atau mungkin, justru film ingin memperlihatkan bahwa manusia tidak seharusnya dibagi-bagi ke dalam kelompok generasi? Yang jelas, ending film ini yang tampak draggy hanya seperti ingin memperlihatkan Kevin sayang banget ama Chelsea. Dan itu tak ada hubungannya dengan keseluruhan eksplorasi cerita. Delivery komedinya lebih sering miss ketimbang hit, dan menurutku hal tersebut erat hubungannya dengan kualitas penampilan akting dari beberapa pemainnya. Tema menarik seperti ini, seharusnya penulisan bisa dilakukan dengan lebih baik lagi.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for GENERASI MICIN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa generasi remaja sekarang mendapat bad rap sehingga dijuluki sebagai Generasi Micin? Apakah kita didefinisikan oleh generasi kelahiran?

Apakah kemajuan teknologi ada hubungannya dengan deteoritas manusia? Have smartphones destroyed a generation?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HALLOWEEN Review

Be the person you needed when you were younger

 

 

 

Jangan macem-macem dengan orang gila. Terutama orang gila yang ditahan karena membunuh para babysitter remaja, bahkan kakaknya sendiri. Jangan dekati dia. Jangan diajak bicara. Jangan kasih lihat topeng yang dipakainya beraksi. Dan terutama, jangan berusaha melakukan mediasi antara si Gila dengan korbannya. Pertama, hal tersebut bisa tampak sebagai solusi bego seperti yang dilakukan Grab menangani kasus driver mesum. Dan kedua, bisa saja sekarang si korban sudah sama gilanya!

Trauma tidak berakhir begitu saja seselesainya masalah. Trauma dapat berdampak jangka panjang dan mempengaruhi bukan saja korbannya, melainkan juga orang-orang di sekitar korban. Perjuangan dan efek dari kekerasan terhadap korban nun jauh setelah peristiwa mengerikan itu terjadi menjadi tema utama yang dibahas dalam Halloween, menjadikan film ini salah satu dari jarang sekali horor slasher yang benar-benar punya makna mendalam

 

Halloween garapan David Gordon Green, menebas mati semua sekuel dari Halloween buatan John Carpenter (1978), karena ceritanya ini melompati empat-puluh tahun setelah kejadian 1978. It is a direct sequel. Halloween 2 enggak pernah terjadi. Halloween H20 apalagi. Halloween Rob Zombie pun dengan sangat menyesal, lantaran aku suka film-filmnya, ke laut aje. Dan kita melihat langsung dampak trauma selamat dari kejaran Myers tersebut kepada Laurie Strode. Bahkan film ini juga menepis aspek Laurie adalah adek dari Myers seperti yang selama ini kita ketahui. Laurie (Scream Queen legendaris Jamie Lee Curtis bertransformasi menjadi nenek paling badass) masih terus terbayang-bayang Myers, meskipun si maniak tersebut sudah bertahun-tahun mendekam di tahanann. Laurie, secara masuk akal, menjadi wanita yang paranoid. Dia melatih dirinya supaya menjadi lebih kuat, dia mempersiapkan banyak hal, dia mengurung diri di dalam rumah yang ia bangun penuh dengan senjata, ruang bawah tanah rahasia, praktisnya dia mengubah hunian menjadi benteng perang karena ia percaya Myers akan keluar dari penjara dan kembali mengejarnya. Jika ada satu kata orang yang ia percayai, maka itu adalah “Just kill it” ucapan Dr. Loomis yang sudah lama menyerah mempelajari Michael Myers.

Dan sekarang kita punya tiga film berjudul Halloween, selamat bersenang-senang membedakannya

 

 

Laurie Strode dan masalah ketakutannya menjadi hal terbaik yang dipunya oleh Halloween 2018 ini. Film akan memperlihatkan gimana hubungan Laurie dengan keluarganya. Laurie menjadi ‘jauh’ dengan anak perempuannya, yang ia besarkan dengan latihan menembak dan segala situasi panik lainnya. Karen, si anak, tentu saja jengah dengan ketakutan dan keterlalusiapin ibunya. Ada tensi dalam hubungan ibu dan anak ini. Sementara, anak Karen, Allyson; alias cucunya Laurie mencoba untuk menjembatani, untuk menghubungkan kembali keluarga mereka. Ada banyak orang yang terlibat dalam plot film ini. Aku berharap mereka lebih fokus dalam bercerita, karena apa yang kita dapat di sini sebenarnya sangat terpecah. Laurie punya perspektif yang kuat, kita butuh lebih banyak pembahasan mengenai dirinya. Tetapi film berusaha menyeimbangkan tiga tokoh beda generasi, sehingga ceritanya menjadi kurang fokus. Dalam sebuah perjalanan pindah ke penjara, bus tahanan yang mengangkut Myers dan dokter barunya kecelakaan. Menyebabkan Myers kabur dan kembali ke kota lamanya, dia mengejar bukan hanya Laurie – tapi juga seluruh keturunannya. Kita hanya bisa berasumsi Myers tahu keadaan Laurie dari mencuri dengar berita saat dia berada dalam tahanan.

Yang ingin dilakukan Laurie adalah mempersiapkan keluarganya akan trauma yang sudah menyerangnya. Laurie ingin anaknya, cucunya, bisa membela diri saat keadaan menjadi buruk – sehingga mereka tidak menjadi sehancur dirinya.

 

 

At first, sepertinya film akan membawa kita ke semacam pertukaran peran. Obsesi Laurie soal kembalinya Myers sempat menggoda benakku dengan kemungkinan gimana kalo ternyata kali ini Laurie yang memburu Myers, gimana kalo topeng itu dikenakan oleh Laurie dan actually Myers harus bertahan hidup darinya. It’s kinda silly thought, namun sebagai pembelaan aku merasakan elemen komedi dalam arahan film ini. Dan toh, menjelang masuk babak tiga kita beneran melihat – aku gak mau spoiler banyak – seseorang tak terduga memungut dan mengenakan topeng Myers. Buatku it should be a legit story point, namun film membuatnya hanya jadi semacam aspek sampingan yang dianulir dan dilupakan sesegera mungkin aspek tersebut diperlihatkan. Maksudku, cukup menarik kita dikasih lihat segala precaution yang diambil Laurie membuat dia tampak ‘jahat’ di mata anaknya. Sudut pandang Karen juga sebenarnya lumayan menarik. Aku tidak akan masalah jika film ini mengambil Karen sebagai tokoh utama. Tapi film seperti kesulitan menyeimbangkan porsi cerita. Dan ultimately, film harus menyerah kalah kepada kebutuhan untuk tampil meta dan tampak menarik di mata penonton muda. Alih-alih berpusat pada drama kejiwaan wanita yang membuang segalanya demi menjamin keselamatan diri dan orang yang ia sayangi, film merasa perlu untuk kembali memperlihatkan kehidupan remaja; drama pacaran mereka, dengan tokoh-tokoh pendukung yang hanya ada di sana sebagai penyumbang warna merah untuk pisau Myers.

Halloween yang kesulitan tampil konsisten dalam bercerita tidak pernah punya waktu lagi untuk membangun atmosfer. Penggunaan musik ngagetin juga cukup banyak kita dapati di film ini, dan ini menyedihkan mengingat original Halloween adalah film yang sunyi, yang dengan berani memperlihatkan adegan ngagetin begitu saja tanpa suara non-diegetic. Dan menurutku inilah kesalahan film yang paling fatal yang paling mengecewakan. Tidak ada suasana yang membuatnya terasa mencekam, apalagi terasa berbeda. Padahal adegan opening film ini sangat unsettling; kita melihat Myers yang diam tak bergeming – bersusah payah menahan diri – ketika disodorin topeng, sementara orang-orang gila dan anjing-anjing penjaga di sekitarnya pada melolong gila. The rest of this film tidak pernah lagi mencapai kengerian yang serupa. Suasana Halloween film ini tidak banyak berbeda dengan malam halloween yang kita lihat di Goosebumps 2: Haunted Halloween (2018), bahkan adegan di pesta pada kedua film ini hampir sama persis.

dan yang keselnya kedua cowok brengsek di dua film itu sama-sama enggak kena ‘hukuman’

 

Ada banyak adegan yang diniatkan untuk persembahan kepada Halloween orisinil, tapi atmosfernya tidak terasa. Jadi seperti hanya meniru. Green seharusnya menyadari bahwa sinematografi yang menyamai dan musik ikonik yang diputar ulang tidak serta merta mampu mereplika atmosfer secara keseluruhan. Bahkan ada juga adegan-adegan yang seperti direka ulang dari sekuel-sekuel Halloween yang semestinya sudah dianggap tidak ada, seperti adegan di bilik toilet yang mirip sekali dengan adegan di Halloween H20 (1998). Serta cukup aneh gimana para tokoh di film ini menganggap Myers seperti legenda paling mengerikan, mengingat di dunia cerita ini Myers ditahan 40 tahun, dan korbannya hanya lima orang remaja – rasanya gak sesuai dengan reputasinya, apalagi di satu adegan ada tokoh anak muda yang terang-terangan bilang yang dilakukan Myers gak begitu sadis untuk ukuran jaman sekarang.

Kiprah Green dalam membesut cerita komedi dan drama kadang hadir dalam film ini. Particularly dalam drama seputar keluarga Laurie, yang mana menurutku, kita butuh lebih banyak dari yang beneran kita dapatkan. Untuk komedinya, sayangnya, cukup mengganggu. Ada banyak adegan lucu yang jatohnya enggak perlu dan hanya mengusik tone seram yang sedang dibangun. Misalnya ketika cucu Laurie bertemu dengan Myers, kita diselingi adegan humor dua orang polisi yang sedang membicarakan bekal makanan mereka. Betapa sebuah distraksi yang membuat kita terlepas dari suasana. Ada banyak adegan semacam itu dalam film ini, membuat tone cerita juga sama tidak seimbangnya.

 

Selain topeng yang terlihat otentik seram dan presence dirinya yang seolah menelan bulat-bulat kita semua, yang terutama membuat Michael Myers fenomenal adalah dulunya, tindak pembunuhan yang ia lakukan bisa dilihat sebagai bentuk metafora dari akibat bobroknya moral remaja. Meta horor slasher yang ditetapkan oleh film Halloweennya John Carpenter adalah remaja yang berhubungan di luar nikah, yang mabuk-mabukan, akan jadi korban dari Myers. Sementara Laurie Strode yang inosen dari pergaulan semacam itu berhasil selamat dan jadi jagoan. Dalam film Halloween kali ini, korban Myers tidak terbatas pada remaja yang melakukan perbuatan amoral. Myers ngestalk pelajar cupu, dia membantai seorang ibu rumah tangga, sebenarnya secara tematis hal tersebut diniatkan sebagai kontra dari segala kesiapan Laurie; bahwa kemalangan bisa datang kapan saja di mana saja.

Karena hal tersebutlah, Myers adalah antagonis sempurna buat protagonis Laurie di film ini; tragedi tidak bisa diantisipasi.

 

 

 

 




Aksi kekerasan dalam film ini brutal, pembunuhannya kreatif – baik itu menyuguhkan hal baru ataupun merombak adegan yang lama dan menjadikannya sebagai referensi subtil. Mengatakannya sekuel Halloween terbaik enggak necessarily adalah prestasi yang membanggakan. Sebab eksplorasi yang dilakukan film seharusnya lebih jauh daripada ini. Ada elemen trauma dan drama keluarga yang mestinya bisa diceritakan lebih banyak dibanding pembunuhan orang-orang tak berdosa. Film ini punya banyak tokoh, dan sebagian mereka diperkenalkan sesaat sebelum Myers menikam mereka, sehingga banyak elemen dalam film yang terasa pointless. Film ini seharusnya meniru Michael Myers yang dalam mencari korban dia memilih satu dan fokus mengejarnya sampe sukses; film seharusnya memilih satu sudut pandang dan fokus di sana aja. Buatku, sudut pandang yang harus digali film ini tentu saja Laurie, atau bisa juga Karen. Jangan keduanya – atau malah tiga sekaligus. Sebagai horor, film ini masih tetap menyenangkan. Kita bisa nonton ini dengan hanya meniatkan pengen melihat maniak membunuhi orang-orang. Hanya saja, aku melihat potensi yang tidak berhasil mereka gali dengan baik di sini. Dan itu mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for HALLOWEEN.

 




That’s all we have for now.
Halloween versi siapa favoritmu? Buatku pribadi aku paling suka Halloween 1978, lalu Halloween Rob Zombie, Halloween 2, dan baru Halloween 2018 ini.

Apa yang menurut kalian menyebabkan Michael Myers bisa bangkit berkali-kali? Apakah karena kesumatnya kepada Laurie? Kenapa dia begitu suka membunuhi orang-orang? Apa dia bakal bangkit lagi?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017



APOSTLE Review

“Security is a false god.”

 

 

 

Tidak ada orang yang lebih pantas menyusup ke dalam sekte reliji sesat selain Thomas Richardson. Bukan saja karena sekte tersebut sudah menculik adik perempuannya, menyandera sang adik untuk tebusan. Tetapi juga karena Thomas dijamin ampuh tidak akan terpengaruh dan balik mengimani ajaran sesat tersebut. Gak mungkin lah yaow! Thomas sudah membuang jauh-jauh keimanannya terhadap agama. Dulunya dia seorang yang taat, tapi setelah pengalaman mengerikan, Thomas sadar agama cuek bebek; tidak menolongnya. Bayangkan Andrew Garfield dalam film Silence (2017), nah Thomas adalah versi ‘keras’ dari tokoh tersebut. Malahan, film ini secara keseluruhan adalah versi brutal, penuh dengan darah, kengerian, dan banyak lagi yang bakal bikin kita merasa perlu untuk mempercayai sesuatu yang bisa memberikan keselamatan.

Tentu saja, semua kemudahan yang dibayangkan Thomas enggak terwujud di dunia nyata. Dai enggak bisa sekadar menyamar, membebaskan adiknya, dan pergi melenggang dengan damai. Penghuni Erisden, pulau kultus terasing yang ia susupi, tidak sepolos yang ia bayangkan. Ada sesuatu yang beneran menyeramkan sedang terjadi di sana. Tuhan yang diserukan oleh si Nabi Palsu bisa jadi bukan sekedar onggokan benda yang terbuat dari kayu. Panen dan hasil alam pulau tersebut rusak, Nabi di Pulau Erisden yakin do’a tak lagi mencukupi permintaan Tuhan mereka. Darah harus dikorbankan.

The Goddess I know; she will give us some Twisted Bliss

 

Bahkan sebelum kaki Thomas menginjak pulau sarang cult, kita sudah dihampiri oleh banyak misteri. Tanda-tanda kengerian itu sudah ditanamkan dengan seksama, menjalin ke dalam benang-benang cerita. Intensitas suspens cerita itu terus meningkat sejalannya narasi. Kita melihat ada sesuatu di bawah lantai kayu yang menantikan tetesan darah jatuh ke bawah. Kita melihat tumbuhan hijau serta merta menjadi layu di tembok rumah. Kita melihat binatang ternak yang lahir dalam kondisi mengerikan. Paruh pertama film ini begitu efektif menghimpun misteri, membuat kita menerka-nerka apa yang sesungguhnya terjadi. Kita memeriksa ritual-ritual tersebut lewat mata Thomas. Dan mata tersebut actually yang menjadi tanda pertama buatku, betapa aku tidak bisa konek dengan tokoh Thomas.

Bagiku sangat over-the-top gimana Dan Stevens membawakan perannya tersebut. Thomas diniatkan sebagai orang yang sudah melihat begitu banyak hal mengerikan, sehingga ia skeptis terhadap kegiatan kultus yang ia saksikan pada pulau itu. Thomas berpikir dia sudah melihat semua. Dia kira semua orang di sana, termasuk si Nabi Palsu, hanya menjual bualan dan harmless dibandingkan dirinya yang bisa membela diri. Stevens memainkan Thomas dengan melotot sepanjang waktu. Dia sok galak. Thomas hanya seperti tubuh, tanpa jiwa, karena kita tidak dibawa menyelam bersamanya. Susah untuk mengikuti tokoh ini, dengan kita actually mengetahui lebih banyak dari yang ia ketahui. Beberapa adegan ganjil, kita tidak melihatnya dari sudut pandang Thomas. Kita hanya melihat bersama Thomas saat adegan-adegan di mana tokoh ini tampak kurang usaha, dan diselamatkan oleh keberuntungan. Kita tahu lebih dulu darinya, dan ini membuat tindakan sang tokoh susah untuk kita dukung.

Ada satu adegan ketika seluruh penduduk pria yang baru datang dipanggil ke rumah ibadah. Para Pemimpin Kultus mencurigai ada mata-mata di antara mereka. Jadi untuk membuktikan siapa si ‘serigala berbulu domba’ si Nabi Palsu menyuruh mereka satu persatu mereka melafalkan ayat dari kitab reliji mereka. Film ingin membangun suspens, kita supposedly khawatir giliran Thomas semakin dekat, you know, ini soal hidup atau mati ditembak di tempat. Hanya saja susah untuk peduli kepada Thomas, karena karakternya yang tidak diperlihatkan mau bersusah payah belajar ‘menyamar’. Thomas terasa distant dan gak mengundang simpati. Outcome dari adegan tersebut juga terasa kayak kebetulan. Dan ada satu adegan lagi di mana tindak Thomas tampak begitu reckless dan gak berfungsi apa-apa selain device narasi yang terlalu diada-adain; untuk suatu alasan, Thomas menggambar denah desa, menandai rumah mana harus diselidiki, but there’s only one house yang ia curigai. – dan desa di pulau tersebut enggak begitu besar. Tindakan ini malah lebih bego daripada Neville Longbottom yang mencatat semua password ruang rekreasi Gryffindor pada secarik kertas dalam cerita Harry Potter and the Prisoner of Azkaban.

Setiap ajaran sesat, setiap kefanatikan, bermula dari satu hal keraguan. Manusia tertarik kepada agama bukan sekadar karena takut akan kematian. Mass acceptance sebuah ajaran diperoleh sebab ajaran tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan. Di tengah kekacauan dan musibah, kondisi aspek kehidupan yang mulai meragukan, orang pertama yang menawarkan tata tertib akan dipandang sebagai juru selamat. Karena manusia begitu desperate dengan order. Apostle adalah film yang membesarkan rasa desperate manusia tersebut. Perjalanan Thomas sebagai literally penyelamat desa, adalah metafora dari keadaan tersebut – seskeptis apapun, kita bakal butuh untuk percaya pada sesuatu.

 

 

Paruh kedua film ini ‘dilukis’ Gareth Evans dengan warna merah. Sutradara ini terkenal akan kepiawaiannya menggarap adegan-adegan aksi yang bikin mata melotot. Dalam Apostle, meski porsi aksinya kurang, tapi itu tidak berarti mata – dan ultimately, perut  – kita bisa rileks menonton ini. Penggemar body horor bakal terpuaskan lantaran poin-poin cerita yang bakal terungkap akan terus diiringi oleh adegan gore yang brutal. Kamera pun bijaksana sekali, dia tahu kapan harus memperlihatkan semua, paham sudut mana yang paling pas bikin kita yang ngeri melihatnya tetap mengintip layar dari balik jari-jari, dan kapan musti cut-away. Ada satu adegan penyiksaan yang paling membekas di dalam kepalaku; adegan yang melibatkan alat pengebor kepala.

major headache

 

Berkebalikan dengan Thomas yang over-the-top, para pemimpin cult buatku terasa kurang nyampe dalam membawakan kengerian dari cara pandang mereka yang wicked. Justru Nabi dan para petinggi itu yang seharusnya berakting sedikit over, karena kita perlu merasakan betapa ganjilnya ajaran mereka. Bahkan motivasi para apostle itu kian konyol menjelang akhir. Sayangnya pembawaan mereka terasa tidak sejajar, kita tidak ngeri mendengarnya. Kita jijik. Kita geram. Sebab, film sepertinya memang berniat jujur, dia tidak menanamkan red-herring, sedari awal kita sudah dipahamkan bahwa ada kekuatan lain yang lebih mengerikan. Film tidak bisa bekerja selain cara yang sudah kita lihat ini. Kebrutalan dan ketidakaturan adalah seni di sini. Maka film akan benar-benar membagi penontonnya, terutama setelah pertengahan cerita di mana semua darah dan isi tubuh itu dicurahkan. Buatku, paruh akhir film memang lebih mengasyikkan, sementara paruh pertamanya sebenarnya lebih kuat dari sisi cerita. Bagian akhir film, tidak lebih berisi dari sekadar ber-gore ria. Efek-efeknya terlihat begitu fantastis; gak perlu disebutin lagi sebenarnya betapa Evans tampak sangat passionate untuk tipe film seperti ini.

Dari kekerasan terhadap binatang, insiden ayah kandung dengan anak kandungnya, film ini tak pelak penuh oleh adegan yang berpotensi disturbing buat banyak orang. Ada sedikit kemiripan dengan Mother! (2017) ketika film curi-curi berdakwah soal gimana manusia merupakan ‘mesin kehancuran’ yang tak tahu berterima kasih dalam memanfaatkan hasil alam; film ini bahkan punya semacam sosok ibu-alam versi mereka sendiri. Hanya saja, elemen-elemen cerita film ini tidak klop dengan benar-benar koheren. Dalam bercerita, film menggunakan banyak momen ‘pingsan’ sebagai penyambung narasi. Dan sesungguhnya, hal tersebut memang membuat film konsisten terhadap konteksnya; di sini kita punya cerita yang dengan berani menantang realita – gimana kepercayaan umum dirubuhkan oleh hal supranatural, dan tokoh yang sering ditarik keluar dari kenyataan mendukung ide tersebut. Tapi di lain pihak, ini tidak membuat penceritaan yang rapi.

 

 

 

 

Film ini bisa saja dibuat dengan lebih lurus terhadap kaidah film. Tokohnya bisa dibuat lebih simpatik. Disturbingnya bisa dikurangi. Adegannya bisa dibuat lebih koheren. Tapi hasilnya tidak akan senendang yang kita saksikan ini. It wouldn’t work as strong as this. Karena film ini hadir bukan untuk menyenangkan semua orang. Akan tetapi, sesungguhnya film ini siap untuk mengumpulkan pengikut yang mempercayai karya-karya Gareth Evans yang sangat unsettling.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for APOSTLE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa sebenarnya yang terjadi kepada Thomas di akhir cerita? Apakah dia bahagia, apakah dia menemukan kembali keimanannya – ataukah dia sudah terangkat statusnya menjadi semacam ‘Tuhan’?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN Review

Write as well as you can and finish what you start.

 

 

 

Kalo ada film yang bisa kumaafkan memakai fake jumpscare, maka film itu haruslah memiliki kata Goosebumps pada judulnya. Sebab dari buku-bukunya, Goosebumps memang banyak memakai adegan serem yang berkonsep ‘ternyata cuma salah lihat atau dikagetin sama teman’. Bahkan tak jarang kita akan menemukan satu buku Goosebumps yang aktual monsternya hanya muncul di bagian akhir, sedangkan sebagian besar isinya berisi sang tokoh ‘salah sangka’ melihat monster. Mungkin saja aku terdengar sedikit bias terhadap judul ini. Tapi sebagai pembelaan, susah untuk tidak memandang tinggi guru yang udah ngajarin kita banyak hal.

Dan buatku, Goosebumps tak ubahnya buku pelajaran, dan R.L. Stine adalah gurunya.

 

Menginspirasiku untuk menggunakan imajinasi dan menuliskannya di kertas kala aku masih SD (baca juga Delapan Buku Goosebumps Paling Serem Favoritku), aku senang melihat gimana Goosebumps menjelma menjadi sebuah film yang mengumpulkan semua makhluk seram itu dan actually menceritakan mereka punya beef ama R.L. Stine. Film Goosebumps (2015) sangat menyenangkan, dan suprisingly gak jelek. Aku suka gimana film membangun ceritanya berputar kepada R.L. Stine dan kaitannya dengan pekerjaannya sebagai penulis cerita horor anak-anak. Sekuelnya ini, meski aku sedikit kecewa karena tokoh sang pengarang – R.L. Stine hanya muncul di menjelang akhir (dan mau-tak-mau kita harus mengakui peran Jack Black cukup besar menghidupkan tokoh ini), masih ada sangkut pautnya dengan kegiatan menulis. Dalam kapasitas horor fantasi yang fun, ceritanya seperti berusaha meraih anak-anak untuk mengeluarkan imajinasi mereka – baik itu melalui tulisan, ataupun projek karya ilmiah di kelas – tanpa harus takut gagal. Yang terutama menarik bagiku adalah film ini bermain dengan ide ‘gimana jika penulis seikonik R.L. Stine mengalami writer’s block‘ yang ultimately film ini berusaha memberi jawaban terhadap pertanyaan ‘apa yang harus kita lakukan kalo kita gak tahu harus menulis apa?’

Sarah (Tokoh Madison Iseman ini memang terlalu ‘tua’ untuk ukuran protagonis cerita Goosebumps) bingung musti nulis apa untuk esai pendaftaran universitas. Topik mengenai rasa takut harus ia jabarkan, namun otaknya nge-blank. Halaman Word nya komputernya tetap kosong. Ide memang kadang datang dari sumber yang tak terduga. Sonny (Jeremy Ray Taylor mirip Jack Black cilik), adik Sarah, yang membuka usaha bersih-bersih sampah menemukan ‘harta karun’ saat dia dan temannya menerima job untuk membersihkan sebuah rumah tua. Yang ternyata adalah bekas rumah R.L. Stine. Mereka menemukan buku yang terkunci dan boneka ventriloquist yang mendadak muncul saat buku tersebut dibuka – kita semua tahu siapa boneka itu! Slappy yang mereka bawa pulang, dengan segera menimbulkan kekacauan di kota. Slappy menghidupkan seluruh kostum monster dan dekorasi halloween demi membangun keluarganya sendiri. Keluarga yang tak pernah ia dapatkan lantaran R.L. Stine, sama seperti Sarah, tidak mampu menyelesaikan cerita yang ia tulis. Sekarang Sarah dan Slappy mesti berlomba ‘menuliskan’ ending dari buku horor R.L. Stine yang terlupakan tersebut.

“buku kok dikunci?” hah, anak sekarang belum pernah megang diari sih ya

 

Resep cerita yang bagus adalah terdapat keparalelan antara motivasi para tokohnya, protagonis dan antagonis menginginkan hal yang sama namun mereka punya pandangan dan cara yang berbeda dalam mencapainya. Goosebumps 2: Haunted Halloween, nun jauh di dalam sana, punya aspek tersebut. Sarah seorang creative writer muda yang ingin bisa menyelesaikan tulisan tentang apa yang ia takuti. Sonny yang ingin bisa menyelesaikan proyek kelasnya. Dibentrokkan dengan Slappy, tokoh cerita khayalan, yang ingin cerita dirinya tidak menggantung. Aspek menarik dalam narasi film ini sayangnya tertutup oleh elemen monster-monster, yang enggak konyol sih, hanya saja terlihat remeh karena tidak terasa digarap dengan serius. Seperti tidak ada passion dalam arahannya. Mereka hanya tampak ingin menyelesaikan proyek sekuel ini dan tidak benar-benar memperhatikan – atau mungkin juga enggak sreg – dengan material ceritanya. You know, karena menyelesaikan sesuatu yang sudah dimulai itu adalah hal yang penting. Film ini seperti terjebak dalam konundrum yang ia ciptakan sendiri, sehingga berujung kepada hasil akhir yang membuat kita berpikir “kenapa jadinya malah begini?”

Ingat ketika masih kecil selalu dibilangin “makan harus dihabisin, kalo enggak nanti nasinya nangis?” Well, kalo cerita horor enggak diselesaikan, maka Slappy akan sedih dan bikin sendiri cerita versi dirinya. Dan – mengutip buku – Slappy will fight dirty. Jangan takut untuk menuntaskan apa yang sudah kita mulai.  Tanggung jawab bukanlah rintangan, bukanlah momok. Kita tidak disebut gagal karena salah. Kita gagal karena tidak menyelesaikan.

 

Efek CGI pada film ini terlihat seperti penurunan dari efek pada film yang pertama. Dan bahkan pada film pertama efeknya tidak benar-benar luar biasa. Ada rasa terburu-buru jika kita melihat gimana film kali ini bergulir. Banyak adegan yang kurang rapi, efek yang belum clear benar. Budget sepertinya memang menunjukkan ‘suara’nya di sini. Pada adegan-adegan seperti Slappy di kaca mobil, Gummy Bear yang menyerang manusia, efeknya terasa seperti film televisi. Dan itu bisa jadi adalah pujian terhebat yang bisa kita kasih buat film ini; film televisi untuk keluarga yang begitu menyenangkan. Perfectly fine to watch, tidak menurunkan IQ kita sekeluarga. Nostalgia penggemar bukunya juga tidak akan tercoreng. Tapi mainly, itu karena film ini tidak melakukan banyak hal sebanyak yang mestinya ia lakukan.

Selalu seru melihat monster berkeliaran sekeliling kota. Akan tetapi, selain sebagai upaya untuk memperlihatkan kembali monster-monster klasik Goosebumps, menyatukannya dengan tradisi halloween, kita tidak melihat banyak alasan lain monster-monster tersebut ada di sana. Keberadaan mereka tidak terasa spesial, lantaran mereka enggak benar-benar ngapa-ngapain dengan tokoh utama kita. Kita bisa menonton ini dengan membuang bagian tengahnya – ngeskip ke ‘markas’ Slappy dan tetap mengerti isi cerita. Yang dilakukan Slappy cukup mengerikan, terutama buat anak kecil; sebenci apapun kita menyangka terhadap keluarga, kita tidak mau kejadian buruk menimpa keluarga. Kedatangan R.L. Stine sendiripun sebenarnya tidak terlalu penting, tapi menurutku karena film ‘salah menempatkan’ posisi tokoh ini. Dia bisa saja masuk lebih awal, dan memberikan lebih banyak peran dan makna daripada sekedar paparan jawaban. Tapi kupikir, sekali lagi ini masalah budget, jadi film tidak bisa mendapatkan Jack Black untuk waktu yang lebih lama.

siapa yang menelepon Sonny nyuruh bersihin rumah Stine tak pernah disinggung lagi hingga akhir

 

 

Ken Jeong turut bermain di film ini. Dan perannya juga tidak banyak berperan dan menambah bobot dalam cerita. Dia bermain sama persis dengan peran-perannya di film lain. Sebagai tetangga Sarah dan Sonny yang terobsesi banget dengan ngedekor rumah untuk acara halloween – laba-laba raksasa buatannya jadi monster paling keren yang dihidupin Slappy – aku mengira dia bakal punya peran yang lebih besar. Tapi sama seperti pada Crazy Rich Asians (2018)Ken Jeong ada untuk sesekali menyiramkan lelucon.

 

 

 

Hampir setiap kesempatan, film mengambil keputusan yang seperti tidak berfaedah apa-apa. Malah ada satu subplot tokohnya yang lebih cocok sebagai cerita seri buku karangan R.L. Stine yang lain, Fear Street (versi remaja dari Goosebumps). Romansa remaja pada dasarnya tak punya tempat dalam halaman Goosebumps. Film ini sesungguhnya bisa melakukan lebih banyak, hanya saja arahannya seperti tidak punya passion dan sekedar ingin menyelesaikan cerita. Pun begitu, ini bukan film yang jelek dan ngasal total. Aku suka aspek tentang menulis yang dikandungnya. Elemen monsternya pun cukup seru dan bisa merangkul semua anggota keluarga yang menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa yang biasanya kalian lakukan ketika mengalami Writer’s Block? Pernahkan kalian merasa pengen menyerah dalam melakukan sesuatu? Apa yang kalian lakukan saat itu, did you actually finish what you’ve done, atau meninggalkannya? 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017