INCREDIBLES 2 Review

“All parents are super heroes.”

 

 

Dipersalahkan padahal kita tahu kita melakukan sesuatu yang benar itu  memang rasanya menyebalkan. Kita sudah berjuang, tapi orang-orang salah mengerti apa yang kita lakukan. Karena semua itu memang soal perspektif. Apalagi pada dasarnya, seringkali kita semua menilai dari hasil. Dalam dunia criminal misalnya, kita pengen penjahat segera ditangkap dan dijebloskan ke dalam bui. Namun kita kerap kesal melihat cara kerja polisi yang lamban, bertele-tele dengan segala prosedur itu. Di lain pihak, keberadaan pihak yang main hakim sendiri, yang bertindak di atas hukum, seringkali dituduh meresahkan.

Katakanlah, pahlawan super.

Kehancuran yang mereka sebabkan bukan tidak mungkin lebih gede dari yang diakibatkan oleh penjahat yang hanya ingin merampok bank. Not to mention, penjahat yang cerdik itu juga tidak seratus persen berhasil ditangkap. Karena kejadian seperti demikianlah, superhero-superhero di film Incredibles 2 dicap undang-undang sebagai sesuatu yang dilarang. Keluarga Bob Parr yang sudah kita kenal baik (mereka dan kerabat mereka tak berubah banyak semenjak terakhir kali kita melihat mereka empat belas tahun silam) termasuk yang dicekal keberadaannya lantaran mereka semua berkekuatan super. Mereka disuruh hidup normal, menghentikan profesi menangkap penjahat karena itu sama saja dengan mereka melanggar hukum.

Pahlawan dan penjahat sebenarnya adalah masalah perbedaan perspektif. Pahlawan bagi satu orang bukan tidak mungkin penjahat bagi beberapa orang lain yang melihatnya dalam ssudut pandang dan alasan yang berbeda. Dan terkadang, untuk membuat hal lebih menarik, media menyederhanakan atribut dan kelemahan mereka untuk menyetir sudut pandang kita – membuat kita melihat mereka semakin ke entah pahlawan atau penjahat.

 

Yang dengan berani disampaikan oleh animasi sekuel buatan Brad Bird ini adalah bahwa terkadang untuk memperbaiki peraturan, kita harus melanggar aturan tersebut terlebih dahulu. Bob dan Hellen diajak kerjasama oleh pasangan kakak beradik yang punya perusahaan telekomunikasi untuk mengembalikan citra baik superhero ke mata masyarakat. Mereka bermaksud merekam semua aksi menumpas penjahat lewat kamera kecil yang dipasang di kostum, supaya pemirsa sekalian dapat melihat langsung sudut pandang superhero, apa yang tepatnya rintangan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam upaya menegakkan kebenaran. Tak peduli harus melanggar bejibun peraturan dalam prosesnya. Tapi untuk melakukan itu, superhero yang dipasangi kamera haruslah main aman, enggak yang gasrak gusruk terjang sana sini seperti Mr. Incredible. Maka, jadilah Elastigirl yang dipilih sebagai perwakilan superhero. Dan selama Elastigirl jadi the face of a good cause, memerangi tokoh penjahat baru bernama Screenslayer yang bisa menghipnotis orang-orang lewat monitor apapun, Bob Parr terpaksa kudu diam di rumah – menjadi bapak rumah tangga yang baik, ngurusin tiga anaknya yang bandel, yang baru merasakan gejolak remaja, dan yang baru tumbuh gigi.. eh salah, baru tumbuh kekuatan super.

sekalian aja Elastigirl bikin vlog pembasmian penjahat

 

Incredibles 2 membuktikan perbedaan besar kualitas antara sebuah sekuel yang dipatok kontrak dengan sekuel yang benar-benar dipikirkan dengan matang. Maksudku, lihat saja bagaimana sekuel yang jaraknya deket-deket kayak sekuel Cars, atau bahkan ada yang jaraknya cuma setahun kayak sekuel Jailangkung – mereka adalah franchise yang diniatkan harus punya sekuel yang keluar dalam batas waktu yang dekat, jadi pembuatnya belum sempat mengolah cerita dengan benar-benar baik. Sebagian besar kasus malah sengaja membagi satu cerita besar menjadi tiga agar bisa punya trilogi. Pembuat Incredibles, Brad Bird, semenjak film The Incredibles (2004) rilis sudah mengatakan akan ada sekuelnya, hanya saja dia tidak akan membuatnya sampa dia merasa punya cerita yang lebih baik, atau paling enggak sama baiknya dengan film yang pertama.

Penantian kita toh benar-benar terbayar tuntas.

Ini adalah salah satu terbaik yang ditelurkan oleh Pixar. Dikeluarkan dengan pesan yang relevan dengan tidak hanya iklim superhero, namun juga keadaan sosial dan poltik di jaman sekarang. Incredibles 2 adalah film anak-anak, namun tidak merendahkan mereka. Film ini mengajak anak-anak untuk memikirkan perihal yang cerdas dan serius. Tentang baik dan jahat, tentang peran keluarga. Brad Bird menceritakan filmnya dengan efektif dan penuh gaya. Sure, percakapan yang ada sebenarnya tergolong berat. Misalnya ada debat antara Elastigirl dengan Mr. incredible soal bagaimana dia akan menyelamatkan anak-anak dengan meninggalkan mereka di rumah. Film begitu mempercayai anak-anak kecil yang menonton bahwa mereka bisa memahami ini. Dan ketika kita menunjukkan respek kepada orang, respek itu akan berbalik kembali kepada kita. Itulah yang terjadi antara film ini dengan anak kecil penontonnya. Bukan hanya adikku saja yang antusias menyaksikannya, studio tempatku menonton hampir penuh dengan bisik anak-anak yang berdiskusi kepada orangtuanya, gumaman approval dari mereka ketika superhero melakukan aksi heroik, dan teriakan seru ketika mereka mengalahkan penjahat. Untuk sekali itu, aku tidak keberatan bioskop menjadi berisik.

Sama seperti ceritanya, animasi film ini juga menunjukkan kedalaman yang luar biasa. Helaian rambut Elastigirl terender dengan sempurna. Kita bahkan dapat serat-serat kain kostum para superhero dengan jelas. Porsi aksi digarap dengan menyerupai aksi live action. Pergerakannya sangat mengalir, cepat, dan tidak membingungkan. Ada begitu banyak momen aksi yang membuat kita menahan napas, karena indah dan menariknya animasi yang digambarkan. Sekali lagi, sama seperti ceritanya, animasi film ini pun terlihat dewasa. Teknik lightning yang digunakan membuat intensitas setiap adegan tampak menguat berkali lipat. Favoritku adalah adegan flashback tentang keluarga Deavor; tonenya sangat precise namun tidak melupakan hakikatnya sebagai film anak-anak.

Teknik visual seperti ini membuatku teringat sama film-film anime berkualitas yang membuat kita bertanya ini kartun anak apa dewasa sih. Incredibles 2 masih tetap konyol, seperti film anak-anak biasanya, ada lelucon kentut dan segala macam, tapi dia bekerja di dalam konteks yang benar. Like, kalo kita berurusan dengan bayi, maka tidak bisa tidak kita akan bertemu dengan popok dan segala macam isinya. Sehubungan dengan anime, tentu saja aku yang lagi getol-getolnya ngikutin anime My Hero Academia menemukan kesamaan antara pesan dan beberapa karakter. Seperti gimana pandangan penjahatnya terhadap para superhero, ada karakter yang kekuatannya sama. Kekuatan teleportasi kayak game Portal itu benar-benar keren. Yang stand out dilakukan oleh film ini adalah gimana dia tidak serta merta membuat superhero dan lantas ahli, ada kevulnerablean manusiawi yang dihadirkan saat superhero gagal menargetkan kekuatannya, dan mencobanya kembali.

Pertukaran tugas dalam rumah tangga tidak dihadirkan sekedar untuk komedi dan gimmick saja. Film ini menghormati kedua pekerjaan yang dilakukan oleh orangtua dengan menukar peran ibu dan ayah. Karena kalo kita pikirkan secara mendalam, tugas sebagai orangtua bagaimanapun juga adalah misi superhero yang sesungguhnya dalam dunia nyata. Bagaimana mereka seringkali tampak kejam dan antagonis di mata anak-anaknya adalah bukti nyata perspektif hero-villain itu bekerja. Butuh kesabaran dan kerja yang ekstra super untuk menjaga anak-anak, menyelamatkan kebutuhan mereka, membesarkan mereka, dan semua itu tergali lewat bagian cerita Bob Parr di rumah. Tentu, menjaga dan mengawasi itu terdengar jauh kalah keren dari bertindak menghajar penjahat. Itulah yang dikeluhkan oleh Bob, dia ingin beraksi. Itu juga yang bikin Violet kesel, kenapa saat melawan musuh harus dia yang disuruh menjaga Jack-Jack, si bayi.

Dilindungi bukan berarti lemah. Mendapat tugas sepele bukan berarti karena kita kurang mampu mengerjakan yang lebih. Karena sebenarnya, menjadi superhero bukan seberapa mentereng tugas dan alat-alat yang kita gunakan. Superhero adalah soal seberapa berat tanggungjawab yang berani kita emban. Berapa banyak amanat yang sanggup kita penuhi.

 

Paralel dengan pembelajaran protagonis, di film ini kita dapat tokoh antagonis yang juga membenci bagaimana penduduk hanya suka menjadi penonton, hanya suka mengawasi superhero yang mereka elu-elukan. Villain film ini berpendapat superhero membuat orang-orang menjadi semakin lemah, tidak bisa melindungi – membuat keputusan untuk diri sendiri. Dia ingin menghukum semua orang yang hanya mau menonton dengan kekuatan hipnotis melalui monitor. Melalui tokoh ini, film juga bicara mengenai ajakan untuk menikmati dunia secara langsung. Ketergantungan terhadap monitor – kalo ada yang belum sadar, kita menatap layar nyaris seluruh waktu dalam sehari kita terjaga sekarang – bahwa kita baru percaya kalo melihat sesuatu yang tayang di monitor, alih-alih melihat dan mengalami langsung, adalah suatu hal yang tak sehat. Panjahat dalam film ini punya motivasi yang bagus. Hanya saja personanya sendiri, gimana film berputar di sekitarnya, tampak lemah. Film memasukkan twist, but not really. Tidak ada surprise yang kurasakan ketika menonton ini. Semua elemen cerita tampak jelas berujung ke mana, siapa akan menjadi apa. Kupikir film yang berfokus pada dilema superhero sebenarnya tidak perlu ada yang dicap literal sebagai penjahat, I would be fine jika ini totally tentang drama keluarga superhero saja. Tapi ini kan juga dibuat sebagai film anak-anak jadi mereka harus punya tokoh yang dijahatkan.

Namanya saja udah terbaca “Evil Endeavor”, mengungkap kedoknya jauh sebelum twist terjadi

 

 

 

 

Film lebaran terbaik yang aku tonton tahun ini, dengan nilai yang jauh di atas. Pixar menunjukkan kematangan sekaligus konsistensi yang luar biasa dalam persembahannya ini. Animasi yang aku tidak tahu ternyata bisa lebih dalem dan menggugah lagi berhasil mereka hadirkan. Cerita superhero yang mengangkat sudut pandang yang jarang dilakukan, terlebih dalam film untuk anak-anak. Tokoh-tokohnya menarik, aksinya seru, kocak, dan jangan heran dan sampai kewalahan saat nonton ini adik-adik kita akan melontarkan pertanyaan yang cerdas. Karena film ini memberikan pesan dan bahan pemikiran yang berbobot di balik aksi kartunnya; untuk kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INCREDIBLES 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

JAILANGKUNG 2 Review

“The captain goes down with the ship.”

 

 

 

Jailangkung 2 dibuka dengan tak bisa lebih menarik lagi buatku yang sudah hopeless mengingat performa film pertamanya tahun lalu. Kita dibawa mundur ke Sumatera tahun 1948, ke sebuah anjungan kapal besar yang sedang rame orang-orang menaikkan muatan. Mengenyahkan pandangan menembus asap komputer – sebuah efek malas yang tidak diperlukan, jika mau harusnya mereka bikin asap beneran – maka kita akan melihat nama kapal yang bakal bikin para penggemar misteri dunia menggelinjang heboh. Kapal S.S. Ourang Medan. Kapal hantu ‘legendaris’ yang cerita tentangnya sudah barang tentu dikenal para pelaut di seluruh dunia. Diceritakan kapal ini ditemukan dengan seluruh awaknya mati dalam ekspresi ketakutan, sebelum akhirnya kapal tersebut terbakar dalam cara yang sama anehnya. Aku membaca tentang kapal ini beberapa tahun yang lalu dari blog Enigma, kalian bisa baca artikel lengkapnya di sini. Karena Jailangkung 2 menghadirkan misteri ini cukup mendetil, kecuali bagian lokasi yang disesuaikan meskipun gak begitu masuk akal. Tapi paling tidak film ini benar-benar menempel tentang kapal itu sesuai dengan mitos yang diberitakan, hingga ke pesan-pesan morsenya. So actually I was interested, sampai ke pertanyaan itu timbul; bagaimana cara mereka mengikat misteri kapal itu dengan mitos jailangkung yang menjadi tajuk utama cerita?

Jawabannya adalah, mereka tidak bisa.

Jailangkung 2 nyaris membahas tentang jailangkung itu sendiri. Film ini berusaha memasukkan begitu banyak misteri, tetapi mereka begitu tak mampu membangun cerita sehingga durasi yang hanya delapan-puluh-menit lebih sedikit saja terasa amat membosankan. Jailangkung 2 kembali mengambil Mati Anak sebagai entitas yang harus dikalahkan. Ceritanya langsung tancap gas menyambung film yang pertama. Dengan flashback yang menghighlight kejadian di film pertama, film berusaha membuat penonton yang nyasar ke bioskop menonton ini mengerti apa yang terjadi. Kita melihat Bella (Amanda Flawless… eh salah, Rawles) masih berkutat menjaga keutuhan keluarganya dengan mencemaskan sang ayah dan adik yang masih merindukan almarhumah ibu mereka. Kali ini rundung keluarga mereka ditambah oleh kakak Bella yang berperilaku aneh (aneh as in bisa memporakporandakan meja makan hanya dengan melotot) semenjak ia mengasuh anak-tanpa-ayah yang ia lahirkan di pekuburan pada episode cerita yang silam

Setelah melihat si bayi bertumbuh dengan cepat menjadi anak seusia adiknya, Bella lantas melakukan riset bersama pacar tersayang, Rama (Jefri Nichol kembali memerankan tokoh eksposisi yang tak punya tugas apa-apa selain membawa follower instagramnya yang bejibun untuk nonton) yang punya akses ke buku-buku klenik semacam ensiklopedia hantu. Si Mati Anak tentu saja tidak diterima di keluarga Bella. Stake datang dari adik Bella yang kesepian karena kakak-kakaknya sibuk sama hantu. Si adik yang ngikutin jejak sang ayah, terobses sama kernduan akan ibunya, main jailangkung dan kemudian hilang ke alam goib. To fix all of this occult problems, Bella dan Rama tetap membaca buku dan internet sampai menemukan informasi bahwa Mati Anak yang dituduh Bella jadi sumber semua ini bisa dikendalikan dengan sebuah mustika yang hilang. Masalah dari mustika yang hilang itu adalah, tidak ada yang tahu tempatnya di mana. Jadi, Bella menabrak seorang anak baru yang ternyata mengetahui di mana mereka bisa menemukan the same exact mustika yang mereka butuhkan tersebut. Yup, tak perlu jenius untuk bisa menebak, Bella dan Rama harus terjun ke dasar selat untuk mencari mustika yang jadi penyebab kapal S.S. Ourang Medan tenggelam.

saking berantakan, aku nonton nyaris jungkir balik kayak setannya

 

Sesungguhnya cerita Jailangkung 2 ini bisa saja menjadi menarik. Di tangan pembuat film yang lebih kompeten, Jailangkung 2 jelas akan berdurasi lebih panjang demi memfasilitasi elemen-elemen cerita yang ada dengan lebih baik, untuk mengembangkan tokoh-tokohnya, membuat mereka lebih dari sekedar di sana tanpa karakterisasi. Pembuat film yang peduli terhadap ceritanya tentu akan mengerti kakak Bella yang begitu terattach sama si anak setan akan bisa menjadi tokoh utama yang lebih layak. Pembuat film yang memegang teguh idealisme ceritanya sejatinya paham bahwa psikologis adik Bella yang pada satu adegan tampak creepy sekali main boneka sendirian sambil bertanya “Mana Ibumu? Mana ibumu?” akan memberikan sudut pandang dan penggalian cerita yang lebih menantang. Tapi tidak, film ini berpendapat lain. Mereka hanya peduli sama angka jumlah perolehan penonton, jadi tokoh dan fokus haruslah ke yang cakep, yang muda, yang lagi hits, dan punya jumlah penggemar aktif di sosial media yang banyak, meskipun tokoh-tokoh tersebut tidak diberikan bobot atau hal yang benar-benar make sense untuk dilakukan. Alih-alih menggali cerita dari drama yang berakar trauma, film mendudukkan kita di belakang Bella yang dikejar-kejar pasukan ghoul/demit kuburan. Beberapa adegannya aku akui serem, aku suka ama adegan di supermarket, namun semua kesereman tersebut terasa sia-sia, pointless, karena kejadian menyangkut tokoh-tokoh di rumahlah yang sebenarnya lebih berarti.

Seorang kapten tidak dibenarkan untuk duluan meninggalkan kapal yang tenggelam. Dia haruslah yang terakhir pergi, karena dia yang  bertanggungjawab atas tenggelamnya kapal. Kita bisa menarik perbandingan antara kapal dengan keluarga. Dalam kasus ini keluarga Bella sudah akan tenggelam karena masalah yang  bermula dari sang kapten, ayah mereka, bermain jailangkung. Mengetahui hal tersebut, Bella adalah penyelamat yang mampu bertindak di luar sang kapten; memastikan ‘kapal’ keluarga mereka tidak bermasalah sehingga bakal tenggelam lagi.

 

Isi film ini tak lain dan tak bukan adalah eksposisi dan kejadian seram yang pointless. Semua ‘petualangan’ mereka dibuat mudah. Tokoh paranormal, investigasi lewat internet, itu semua tak lebih dari device untuk maju cerita dengan begitu gampang. Permainan perannya begitu minimalis. Kemajuan dari film sebelumnya adalah Bella actually menjadi orang yang hit the last nail ke hantunya, tapi kejadiannya dibuat begitu gampang – tidak ada tantangan. Yang ada hanyalah twist yang semakin membuat kita teringat sama film Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati (2018) yang sama parahnya. Para pemain hanya perlu untuk pasang tampang cemas dan takut sepanjang waktu. Tapi aku mengerti. Kalo aku bermain di film seperti ini, aku pastinya juga akan merasa cemas terus menerus. Aku akan mencemaskan karirku, karena film ini sama sekali tidak membantu apa-apa untuk pemain-pemainnya.  Naskahnya tidak memberikan tantangan, tidak memberikan kesempatan. Ada alasannya pemain waras seperti Butet Kertaradjasa tidak muncul lagi di film ini. Tidak ada pengembangan karakter di sini. Hubungan Bella dan Rama hanya diperlihatkan sebatas mengikat gelang keberuntung sesaat sebelum mereka menyelam. Film berusaha menampilan sedikit tantangan cinta dari orang ketiga, tapi itupun terasa datar dan tampak film menyerah di tengah jalan.

doooo betapa romantis bakal satu masker berduaaa

 

Penulisannya begitu malas dan ngasal. Banyak sekali dialog yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Untuk menyelamatkan kalian semua dari menonton film ini, berikut aku salin beberapa kutipan yang keluar dari mulut tokohnya:

“Papa enggak mau kamu mikirin urusan soal itu” – Pemborosan kalimat , Papaaaaa

“Buku ini menarik, Bell” / “Tentang apa?” / “Membahas salah satunya tentang Mati Anak” / “Kalo itu aku sudah tahu!” –Nice try, Ram. Nice try.

“Ambil obor itu dan alihkan perhatiannya” / “Tapi di sini enggak ada obor, Bu” / “Obor itu ada di tanganmu, Verdi” –Lah Ibu, ngasih obor aja belibet amat, mau membuat saya tampak bego ya?!

 

 

 

 

Film ini bagaikan kapal yang tenggelam. Namun tidak seperti S.S. Ourang Medan, film tenggelam dengan sebab yang kita ketahui. Sebab kaptennya tidak kompeten, namun begitu salut karena si kapten tidak meninggalkan kapalnya begitu saja. Masih kelihatan sisa-sisa perlawanan dari sang kapten berupa adegan-adegan dengan visual yang creepy. Akan tetapi, tentu alangkah baiknya lain kali sang kapten berani dengan tegas menolak untuk membawa kapalnya menuju nasib naas yang kita semua sudah bisa lihat.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

KUNTILANAK Review

Stepparents can be awesome because their love is a choice.

 

 

Bersetting di rumah asuhan yang interiornya dihiasi pajangan-pajangan antik, Kuntilanak berhasil mengejutkanku  – atau kita semua yang belum pernah menyaksikan trailernya – lewat tokoh utama ceritanya yang tak disangka-sangka. Anak kecil loh, dalam film horor. Manalagi film Indonesia yang berani melakukan itu, coba.

Dinda (Sandrinna Michelle diberikan kesempatan untuk membuktikan aktor cilik mampu bermain lebih dari sekedar korban yang perlu diselamatkan), tertua dari lima bocah yang diangkat anak oleh Mama Donna sejak setahun yang lalu, masih mengalami kesulitan untuk mengamini mereka semua sebagai sebuah keluarga. Padahal dia pengen banget, dia pengen punya keluarga, dia ingin berterimakasih kepada Donna. Dalam isaknya Dinda meminta maaf karena ia tidak tahu kenapa ia tidak bisa memanggil “Mama” kepada wanita tersebut. Gadis cilik ini pun berjanji bakal menganggap yang lain sebagai saudara. Pembuktian janjinya lantas tertantang saat sebuah cermin kuno dipasang di dalam rumah sebagai kejutan untuk Donna yang harus pergi ke Amerika. Suara aneh terdengar memanggil Dinda dan anak-anak yatim piatu tersebut tatkala malam. Nyanyian Lengsir Wengi berkumandang mengisi kediaman mereka. Yah, tahulah hal-hal serem yang dating sebagai penghantar penampakan kuntilanak mengerikan yang bermaksud untuk membawa mereka semua satu per satu ke dalam cermin.

kuntilanak sikap wewe gombel

 

Kuntilanak bermain dengan jejeran tokoh anak kecil yang asik. Film ini memberi kesempatan kepada tokoh anak-anak tersebut untuk mengambil keputusan sendiri. Ada yang hobi banget baca buku klenik, sehingga sedikit banyak ia mengerti tentang ‘musuh’ yang bakal mereka hadapi. Tingkah polah mereka semua dibuat sangat menggemaskan. Tentu saja, anak yang paling kecil, dapat dengan mudah memancing gelak tawa penonton, lewat kata-katanya yang kelewat dewasa maupun reaksinya yang polos. Film  berusaha mengeksplorasi hantu dari sudut pandang anak-anak. Mereka, layaknya anak kecil biasa, pengen beli mainan tapi gak punya uang. Jadi, mereka ikut sayembara yang diselenggarakan oleh acara horror di tv; motoin penampakan kuntilanak! Mereka berlima beneran pergi menyusur hutan, menuju rumah angker tempat asal cermin jahat yang dipajang di rumah mereka, dalam misi mulia mengambil potret kuntilanak. Mereka melakukan investigasi sendiri, mereka berusaha memanggil si hantu, tingkah mereka yang begitu innocent tak pelak terasa menyegarkan sekaligus juga menimbulkan rasa peduli kita kepada mereka. Kita tidak ingin mereka bernasib naas. We fear for them. Namun seringnya, kekhawatiran dan kecemasan itu berubah menjadi gelak tawa karena mereka begitu polos. “Kalau ketemu Kuntilanak, langsung difoto ya!” Begitu ringannya perintah salah satu anak saat Dinda berpencar, seolah melihat Kuntilanak itu segampang melihat kancil di hutan saja.

Tapinya lagi, segala kepolosan yang jadi lucu jika kita melihatnya dalam sudut pandang anak-anak benar-benar berjalan dalam garis tipis batas kebegoan. Ada satu adegan ketika Ambar, anak yang paling kecil diculik, dan Dinda melawan sang hantu dengan basically bilang, kami keluarga, culik satu culik semua. Ketika tiba saatnya memperlihatkan tokoh dewasa, barulah segala unsur lucu itu hilang dan film berubah menjadi total bego. Cerita memperkenalkan kita pada dua tokoh dewasa selain Donna.

Yang pertama ada Aurelie Moeremans yang berperan sebagai Lydia, yang dimintai tolong oleh Donna untuk menjaga anak-anak selama ia pergi.  Dan Lydia ini adalah baby sitter paling tak kompeten, paling parah dalam perkerjaannya, di seluruh dunia. Sedari awal saja sudah diungkap dia pernah kepergok pacaran oleh anak-anak. Percakapan mereka membuat kita berasumsi Lydia sedang kedapatan berciuman atau sesuatu yang lebih parah. Kebiasaan dia berpacaran ini lantas berlanjut dengan kita melihat adegan Dinda dan anak-anak asuhan literally bikin rencana untuk menggagalkan Lydia pacaran ketika menjaga mereka. Dan ngomong-ngomong soal menjaga, tidak sekalipun kita melihat Lydia melaksanakan tugasnya itu. Dia selalu absen di adegan-adegan untuk pengembangan karakter. Kita hanya melihat anak-anak. Di momen penting, Lydia malah pamit untuk kuliah sampe sore, meninggalkan Dinda cs di rumah sendirian. Membuat semakin parah adalah Lydia tidak pernah tampak peduli sama anak-anak ini. Dia tidak percaya sama cerita mereka tentang penampakan kuntilanak. Suatu plot poin yang sudah usang di dalam genre horror; orang dewasa yang tidak percaya kepada anak-anak. Dan ini membuat tokoh Lydia menjadi salah satu tokoh paling tak berguna yang pernah kutonton.

Tokoh pacar Lydia juga tak kalah tiada bergunanya. Cowok ini bekerja sebagai host acara televisi yang menyelidiki tempat-tempat angker. Dalam suatu episode acaranya lah, dia melihat cermin kuno dan  ia mengetahui tempat itu santer sebagai sarang kuntilanak, namun dengan sengaja membawa benda tersebut ke rumah Donna. Melihat tindakannya itu, aku bahkan tidak yakin tokoh ini tahu satu ditambah satu jawabannya sama dengan dua.

cermin tarsah versi horror

 

Aku mencoba untuk melihat film ini dalam tingkatan yang lebih dalam. Clearly, film ini bicara tentang keluarga, khususnya orangtua. Meskipun mungkin bagi sebagian besar kita keberadaan ibu dan ayah tampak sepele, namun tidak semua orang punya ibu dan ayah. Tokoh-tokoh dalam film ini either yatim, atau piatu, atau bahkan keduanya. Kuntilanak menggambarkan dengan caranya sendiri bagaimana ketiadaan sosok ibu bisa begitu mengguncang keluarga. It’s hard, bagi sang ayah, apalagi buat sang anak.

Bocah-bocah malang korban kuntilanak itu, mereka cuma ingin bersama dengan ibu. Satu hal yang perlu diingat adalah ketika kita mencari pengganti ibu atau orangtua, bukan berarti kita benar-benar menukar posisi mereka. Tak perlu khawatir kita tidak bisa menumbuhkan cinta, karena if anything, cinta yang ada bisa saja tumbuh lebih besar, karena ini adalah cinta yang kita pilih.

 

Aku bukan ahli dunia perhantuan atau apa, aku tidak dalam kapasitas bisa mengatakan film ini kurang riset atau gimana, namun aku merasa sedikit ganjil terhadap mitos kuntilanak yang diceritakan. Kuntilanak adalah jenis hantu yang paling aku takuti, like, kalo lagi mimpi buruk pasti tak jauh dari aku diuber-uber sama kuntilanak yang ketawa ngikik bilang bacaan ayat-ayat kursiku enggak mempan. Serius deh, bahkan mengetik namanya saat nulis ulasan ini aja aku merinding disko sendiri. Jadi, mendengar nama si kunti disebut dengan bebas, berkali-kali oleh anak kecil di film rasanya sedikit lucu, membuatku berjengit sambil geli-geli sendiri. Dan aku tidak pernah tahu, kuntilanak suka menculik anak-anak, film ini pun tidak menjelaskan motivasi di balik si hantu. Kita tidak mendapat gambaran dari cerita latar atau asal-usul cermin dan penghuninya itu. Film tampak mengangkat mitos kuntilanak dari tanah Jawa, lengkap dengan pakaian adat dan lagu Lengisr Wengi, juga ada paku di puncak kepala. Tapi aku tidak merasa penggalian mitos dan motivasi karakter utama benar-benar menyatu dengan klop dan berjalan paralel.

Film tampak seperti membuat aturan main sendiri. Misalnya pada adegan ending, berkaitan dengan hal yang dilakukan oleh Dinda untuk mengalahkan kuntilanak. I was led to believe, tokoh Dinda akan berkembang menjadi anak yang kesulitan mengakui pengganti ibunya ke semacam membuat sosok ibu bagi dirinya sendiri. Yang jika dikaitkan dengan mitos kuntilanak dan pakunya, aku mengira Dinda akan mendapat ibu baru berupa kuntilanak yang sudah ia ‘jinakkan’. Film sayangnya tidak jelas dalam membahas hal ini. Kita melihat cerita ditutup dengan foto keluarga yang di-close up, tapi aku tidak menemukan keanehan pada mama yang ada pada foto tersebut. Pertanyaannya adalah apakah mama di situ adalah mama kuntilanak, atau mama Donna yang sudah kembali dari Amerika. Menurutku film butuh paling enggak satu adegan yang menunjukkan bagaimana nasib mama Donna, sebab setelah kepergiannya, tokoh ini tidak ada pembahasan lagi.

 

 

Ini adalah salah satu dari film horror Indonesia belakangan ini yang tampil lebih baik (walaupun itu bukan exactly sebuah prestasi), dia mengolah tokoh dan elemen dengan cukup detil dan menutup. Selera humor pembuatnya jelas tinggi, juga keberaniannya mengangkat tokoh utama anak kecil dalam sajian horor. I think kekurangan film ini mainly datang dari penceritaan yang sedikit terlalu melebar. Ada banyak bagian yang mestinya dihilangkan saja; seperti bagian mimpi dua kali, ataupun jumpscare yang melibatkan kucing hitam yang sama dua kali. Menurutku cerita ini bisa dibuat lebih ketat dan terarah, misalnya dengan memulainya dari perburuan foto kuntilanak oleh para anak kecil, terus kemudian berkembang menjadi kita mengenal siapa mereka, dan apa yang harus mereka lakukan. Tone ceritanya agak sedikit kurang bercampur, setelah kita melihat adegan berdarah di awal, cerita menjadi penuh efek suara-suara lucu untuk mengangkat nuansa kocak dan kekanakan. Desain hantunya pun tampak terlalu generik, padahal film ini tampak lumayan dari segi artistik. Mestinya mereka bisa menguarkan gaya sendiri, enggak harus bercermin – apalagi di cermin setan – dari gaya film yang sudah-sudah.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for KUNTILANAK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM Review

“Stupidity and greed will kill off humans”

 

 

Ada yang punah pada Jurassic World: Fallen Kingdom, dan itu bukan dinosaurusnya.

 

Dua puluh lima tahun setelah Jurassic Park (1993), teori chaos yang dibicarakan oleh Dr. Ian Malcolm sekarang sudah menjadi prophecy yang terwujud nyata. Dan beban dilema moral itu kembali jatuh kepada manusia sebagaimana ancaman kepunahan sekali lagi membayangi dinosaurus. Gunungapi di pulau atraksi dinosaurus, Isla Nublar menunjukkan aktivitas tak menyenangkan, mengancam kehidupan kadal-kadal prasejarah buatan yang tinggal di sana. Tanggung jawab tentu saja ada di tangan manusia, sebagai pihak yang telah menciptakan mereka. Setiap tindakan ada konsekuensi, ada satu pertanyaan raksasa lagi yang bikin manusia mikir dua kali – yakin mau nyelametin makhluk-makhluk yang secara insting menjadikan manusia sebagai menu sarapan, makan siang, dan tak ketinggalan makan malam mereka?

Jurassic World: Fallen Kingdom tampak seakan bersiap membuka ruang diskusi bertajuk debat antara ketamakan melawan tanggungjawab. Karena hal tersebutlah yang menjadi motivasi para tokohnya. Claire (segala kekacauan dinosaurus itu jadi terlupakan demi ngelihat Bryce Dallas Howard), mengambil alih posisi tokoh utama kita kali ini, aktif dalam organisasi pecinta alam yang ingin menyelamatkan dinosaurus sebagai bagian dari makhluk hidup. Berhasil mendapat sponsor keuangan dari seorang bapak tua yang sakit-sakitan di rumah gedongannya, Claire membujuk Owen (kenapa dia begitu kocak? Tentu saja karena dia adalah Chris Pratt) untuk mengadakan ekspedisi penyelamatan ke Isla Nublar. Maksud hati kerja sama tiga orang ini adalah menyelamatkan sebanyak mungkin dinosaurus dari pulau yang bakalan banjir lava panas itu, memindahkan mereka ke tempat baru yang aman dan terjamin.

sayangnya cerita tentang dilema moral tadi tak bisa ikut terselamatkan

 

Enggak sampai sepuluh menit malah, pembahasan yang mestinya berbobot tersebut ditinggalkan begitu saja. Ketika tim ekspedisi sampai di pulau, seketika film menjadi aksi kejar-kejaran, dan lewat midpoint, cerita kembali berubah tone; kali ini menjadi semacam monster thriller di ruang sempit. Claire dan Owen harus mengeluarkan para dinosaurus yang tadinya mereka pikir mereka selamatkan, dari mansion yang diambil alih oleh pihak-pihak yang melelang para dinosaurus dengan tujuan mulia menjadikan mereka sebagai senjata militer. Porsi monster thriller ini bisa saja menjadi keren, karena kita tahu sutradara J.A. Bayona sudah pengalaman bikin thriller di tempat tertutup, yang kita perlukan sekarang adalah hook dan cerita yang menarik. Dari sekian banyak kemungkinan elemen cerita yang berpotensi menarik untuk digali – aku pribadi sebenarnya tertarik mengenai bahwa tidak hanya satu kelompok yang mampu menciptakan dinosaurus – film ini malah kembali mengeksplorasi soal penggunaan dinosaurus untuk kepentingan militer. Elemen cerita yang sudah muncul di Jurassic World (2015) dan tidak ada orang yang aku kenal yang menganggap cerita tersebut keren. I mean, ceritanya begitu gak make-sense, sebab tidak dalam dunia manapun kita menemukan militer melatih binatang cerdas untuk berperang, let alone langsung loncat ke milih dinosaurus.

Dinosaurus. Dinosaurus. Dinosaurus. Lebih dari menyelamatkan mereka, film tampak berusaha begitu keras menempatkan mereka semua di wajah kita just so they could ‘save’ them for more films. Aku mengerti ketika kita membuat film tentang dinosaurus, seketika dinosaurus menjadi hal yang esensial. Filmnya harus punya dinosaurus, karena itulah yang ingin dilihat oleh penonton.  Tapi film sesungguhnya adalah bagaimana cara menceritakan tentang sesuatu tersebut, dalam hal ini dinosaurus. Fallen Kingdom penuh dengan sekuen manusia lari terbirit-birit dikejar oleh dinosaurus buas, tetapi tidak ada yang terasa memorable karena diolah dengan mentah tanpa build-up. Satu-satunya obat pada film ini adalah arahan dan perspektif dari sang sutradara dalam menampilkan adegan-adegan yang bikin bulu kuduk meremang. Tapi pada dasarnya film ini adalah lima belas menit terakhir The Lost World: Jurassic Park (1997) yang dipanjangin hingga mengisi sebagian besar durasi dua-jam. Film Jurassic Park, sebagai perbandingan, setiap sekuen yang mengandung si T-Rex dibuat dengan benar-benar ngebuild up si monster sendiri, kita melihat dia di kandang, lepas dari kandang, hingga ke shot ikonik T-Rex mengaum di museum, mereka tidak sekadar memejeng dinosaurus di layar, ada pembangunan cerita yang terasa intens, yang membendung antisipasi dan kengerian kita terhadap T-Rex. Pada The Lost World juga begitu, dari trailer yang menggantung, ke kejaran dua ekor T-Rex, ke bayinya, ke kota-kota, mereka tidak hanya muncul. Ada terasa seperti tahapan yang menghimpun kengerian dan akhirnya memuncak menjadi sekuen atau adegan yang mengesankan. Hal seperti demikian tidak kita temukan pada Fallen Kingdom. Adegan-adegannya ya tampak datar, mereka hanya menunjukkan dinosaurus. Yang mana semakin terasa mengecewakan karena mereka kini bekerja dengan teknologi CGI dan animatronik yang semakin memadai dan meyakinkan. Selain Blue si Raptor baik, mereka enggak benar-benar ngebuild up keberadaan para dinosaurus.

Ankylosaurus itu sepertinya dibeli Indonesia untuk membantu perbaikan jalan

 

Ada beberapa gambar yang impresif. Secara directorial, film ini lebih baik dri Jurassic World yang kamera asal ngerekam yang penting gambarnya keren punya. Hanya saja lebih seringnya, film ini melakukan shot-shot yang visually dipersembahkan untuk nostalgia film Jurassic Park terdahulu.  Tanpa diback up oleh pembangunan cerita, throwback yang begitu in-the-face itu malah jatoh datar dan tidak benar-benar ngefek membuat film menjadi berbobot. Adegan tim ekspedisi melihat Brontosaurus, misalnya. Tubuh cerita film ini tampak begitu mirip dengan The Lost World; paruh pertama di hutan, paruh terakhir di hunian manusia. Bahkan ada beberapa adegan yang mirip sama adegan di Jurassic Park III (2003). Dosa terbesar film ini, sebagai bagian dari trilogi Jurassic World, bagaimanapun juga adalah ketidaksinambungan cerita yang muncul lantaran trilogi ini sendiri tidak mengacknowledge kejadian di Jurassic Park 2 dan 3. Hal ini membuat karakter yang muncul kembali serta aspek cerita yang dihadirkan tampak ‘aneh’. Jika gunungapi Isla Nublar mau meletus, kenapa repot-repot nyari tempat mindahin dinosaurus, ampe ke pemukiman manusia segala – kan bisa dikembalikan ke Isla Sorna saja, yang sudah kita semua ketahui dari Jurassic Park terdahulu tidak memiliki gunung berapi.

Ketamakan pangkal kepunahan. Tamak yang sesungguhnya adalah ketika kita mengeksploitasi sesuatu demi kepentingan sendiri, sehabis-habisnya, dan ketika sesuatu yang kita usahakan tersebut berbalik menjadi sesuatu yang salah, kita berpaling mangkir dari tanggungjawab terhadapnya.

 

Bukan berarti film ini menajamkan karakter manusianya. Mereka dibuat sama blandnya dengan para dinosaurus maupun dengan cerita. Jika disebut “Jurassic Park”, maka yang terlintas pertama kali di pikiran kita pastilah dinosaurus, tapi percakapan dan yang dilakukan oleh tokoh manusianyalah yang membuat film tersebut menjadi berbobot. Kita melihat Dr. Grant membuang artefak kuku Raptor sebagai simbol dia move on dan lebih memilih keluarga. Tidak ada yang seperti demikian pada Fallen Kingdom. Sebagai tokoh utama, Claire diolah dengan lebih baik daripada saat di Jurassic World. Dia membuat pilihan besar, tetapi beberapa detik kemudian film memutuskan untuk menegasi pilihannya tersebut. Kemampuan tokoh ini pun sepertinya diturunkan. Aku tidak mengerti kenapa dia yang mantan operator taman musti balik ke taman yang sama ditemani oleh anak baru yang mengoperasikan komputer segala macem unuknya. Bicara tentang anak baru tersebut, cowok ini adalah tokoh paling annoying di sepanjang film. Dia muncul teriak-teriak panik doang, dia takut pada semua hal; ketinggian, T-Rex, komentar cerdasnya adalah bahwa lava itu panas. Jelas dia dimasukkan untuk komedi, namun yang bikin kita gagal paham adalah kenapa film ini menganggap dia lucu, kenapa dengan adanya Chris Pratt di jajaran cast mereka, film masih perlu menggali komedi dengan cara yang annoying seperti ini.

Owen di tangan Chris Pratt memang tampak keren, dia salah satu yang bikin kita betah nonton film ini. Relasinya dengan Blue akan membuat kita semua kangen sama binatang peliharaan kita di rumah. Porsi drama, komedi, dan aksi berhasil dia tackle dengan sempurna. Sayangnya, tokoh Owen tidak berkembang sama sekali. Sejak awal kemunculan, dia tampak tak berubah dari film pertama. Saat film ini berakhir pun, dia masih orang yang sama. Dia tidak belajar apapun, dia tidak berkembang ke manapun. Begitu juga dengan tokoh antagonis manusia dalam film ini; dibuat begitu satu dimensi, penjahatnya adalah bos corporate yang hanya mau uang, that’s it. Ada tokoh anak kecil yang diungkap punya background menarik. Treatment terhadap si anak dengan dinosaurus yang dilakukan oleh film, ada satu adegan di mana pantulan wajah si anak di kaca seolah menyatu dengan wajah Indoraptor, membuat kita berteori seru begitu selesai menyaksikan film ini. Aku banyak mendengar bahwa orang-orang menganggap film ini terlalu ‘sadis’ dan gelap buat penonton cilik, dan aku gak setuju. Fallen Kingdom justru tampak jinak, beberapa adegan pemangsaan tampak dibuat ditahan-tahan, apalagi kalo bukan demi mencapai rating tayang yang lebih ringan.

 

 

Sama seperti manusia yang berusaha melakukan tindakan yang mulia namun pada akhirnya kita melakukan lebih banyak hal yang salah ketimbang yang benar, film ini pun hanya terselamatkan dari ‘kepunahan total’ berkat kemampuan dari sang sutradara. Ada beberapa momen yang fun, film ini masih cocok untuk ditonton seru-seruan waktu liburan, tapi tidak akan pernah berbekas lama. Karena screenplay film ini benar-benar berantakan. Teramat sangat datar, tokoh-tokohnya tidak banyak perkembangan, hingga film ini tampak tak menimbulkan kesan yang berarti. Hanya seperti filler menjelang cerita yang sebenarnya yang ingin mereka ceritakan tentang bagaimana dinosaurus akhirnya dimanfaatkan manusia untuk kehidupan rakyat banyak.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

OCEAN’S 8 Review

“Let something be its own thing”

 

 

Sejujurnya aku ngeri. Aku tidak akan pernah bisa mengerti sejauh mana cewek rela terjun demi mendapatkan apa yang mereka mau – dalam kasus Debbie Ocean, ingin mengambinghitamkan cowok yag menjebloskannya ke penjara. Maksudku, tentu kita sukar sekali misahin unsur feminisme pada jaman kekinian, semuanya tentang pemberdayaan sekarang ini; namun Ocean’s 8 yang notabene adalah versi cewek dari Ocean’s Eleven tanpa tedeng aling-aling memperlihatkan tokoh-tokohnya memanfaatkan ketidaksamarataan gender sebagai senjata utama. “Cowok diperhatikan orang, cewek enggak.” kurang lebih begitu kata Debbie yang merupakan adik dari Danny dari tokoh utama trilogi asalnya. “untuk sekali ini kita ingin semua orang tidak memperhatikan kita” dia menutup rapat rencana perampokan permata geng cewek mereka, dengan isyarat keras kenapa tidak ada laki-laki di dalamnya.

Bergantung kepada sikap kesatria para pria yang segan masuk ke dalam kamar mandi wanitalah, Debbie merancang rencana perampokan permata di acara Met Gala itu dari bilik sel isolasi saat masih di dalam penjara. Ocean’s 8 bercerita dengan mengambil sudut pandang seorang wanita yang di dalam dirinya sudah mengalir darah penipu ulung. Yang tentu saja diback-up dengan kemampuan infiltrasi, penyamaran, dan berbahasa yang luar biasa. Dengan cepat kita dibuat tahu sejempolan apa kehebatan si Debbie ini. Dijual sebagai spin-off, sesungguhnya film ini bertindak sebagai sekuel dari trilogi rebootan filmnya Frank Sinatra; ceritany merupakan kelanjutan dari timeline cerita garapan Steven Sodenbergh, bertempat di ‘dunia’yang sama, dan Ocean’s 8 berhasil setidaknya mengimbangi trilogi tersebut dalam segi gaya dan keasyikan menonton.

Bukan karena keglamoran dan hingar bingar pesta dengan segala perhiasannya yang membuat mereka tertarik untuk melakukan perampokan berencana, melainkan karena mereka tahu persis bagaimana perangkap feminisme dalam dunia glamor itu bekerja di dunia nyata

 

 

Semua hal pada film ini, mulai dari perencanaan hingga actual heist – bahkan aftermath nya pun tampak sangat mewah. Dari kacamata sutradara Gary Ross, kita bisa paham kenapa film ini punya kepentingan untuk tampil ngepas ama trilogi pendahulunya. Jika kita menonton semua film dalam franchise ini berurutan, kita tidak akan menemukan ketimpangan yang mencolok. Karena dia benar-benar bekerja dengan mengikuti formula yang sudah ada. Keasyikan menonton film ini terutama datang dari jajaran castnya, obviously. Hampir-hampir mereka semua adalah papan atas Hollywood. Sandra Bullock dan Cate Blanchett begitu luar biasa charming dan fantastis. Chemistry para pemain meyakinkan sekali, tidak ada titik lemah dalam departemen akting. Mereka semua tampak fabulous dari segi akting maupun penampakan. I mean, wardrobe film ini benar-benar niat , seperti menyaksikan fashion show yang berselera tinggi. Anne Hathaway cakep banget, aku suka melihat duonya dengan tokoh Helena Bonham Carter di sini. Tadinya yang menghawatirkan buatku adalah Rihanna, karena dia yang punya jam terbang akting yang paling kurang di antara nama gede yang lain. Namun untungnya film tampak mengerti akan hal tersebut, jadi mereka memainkan Rihanna ke dalam peran yang tepat; tokohnya adalah seorang hacker jalanan yang gak suka banyak bicara. Rihanna sukses memerankannya, dia tidak mewujudkan kekhawatiranku menjadi kenyataan. Aku sudah suka Sarah Paulson sejak American Horror Story season 2, dan setiap kali dia tampil di layar dia membawa rasa bangga dan tidak pernah mengecewakan.

bisa jadi referensi baju baru abis lebaran nih buat cewek-cewek hihi

 

 

Segala kecantikan, keglamoran, dan kekerenan dan keseruan teaming up tersebut tampaknya digunakan untuk membuat mata kita silau. Untuk mengelabui kita dari ‘perampokan’ sebenarnya yang dilakukan oleh film. Aku enggak membenci, malahan sangat terhibur olehnya, tapi fakta bahwa film ini sesungguhnya tidak menawarkan apa-apa yang baru di baliknya – tidak ada kepentingan sepertinya selain untuk meneruskan franchise sukses – membuatku tak tanggung-tanggung kecewa. Apa yang mestinya sebuah lanjutan, dengan gimmick gender flipping dan semua itu, malah terasa tak lebih dari sebagai sebuah remake. Film ini meniru apa-apa yang dilakukan Soderbergh pada Ocean’s Eleven (2001) nyaris beat per beat. Lihat saja adegan pembukanya; Sandra Bullock menghadap kamera, ia sedang ditanyai mengenai apa yang akan ia lakukan jika dibebaskan oleh petugas kepolisian yang hanya kita dengar suaranya, persis seperti pada film pertama. Ocean’s 8 tidak tampak berusaha menjadi film sendiri, mereka basically mengembangkan film ini dari kerangka poin cerita yang sama dengan film pertama, hanya mengganti pemeran pria dengan wanita. Menukar uang dengan permata.

Ada banyak teknik zoom dan wide shot panjang sama seperti yang dilakukan Soderbergh. Meskipun teknik demikian bukan semata cap dagang Soderbergh, tapi mengingat film ini adalah produk keempat dari sebuah franchise, kita dibuat untuk mau tak mau melihat bagaimana film ini begitu keras berusaha untuk tampil mengikuti alih-alih menjadi diri sendiri. Jika kita punya perombakan besar-besaran, dengan cast dan bahkan crew yang sudah begitu berbeda, membuat hasil akhirnya sebagai produk yang gitu-gitu aja buatku tak bukan adalah sebuah kesia-siaan. Paling enggak, seharusnya mereka membuat film ini tidak sedemikian gampang untuk dibandingkan dengan film yang pertama – terlebih dengan segala versi cowok dan versi cewek ini.

Sekuen perampokan permata di Met Gala memang akan selalu seru, namun tidak disuguhkan sesuatu yang baru. Bahkan tidak ada stake yang benar-benar membuat kita peduli di sana. Kita tahu mereka akan berhasil, kita hanya duduk di sana ngikutin dengan merasa senang. Seperti yang sudah kita rasakan berkali-kali. Akan jauh lebih menarik jika ada intensitas dalam sekuen tersebut ketimbang sekadar melihat orang berseliweran sambil tersenyum berahasia dan sesekali melihat kameo bintang-bintang. Film ini kurang bumbu penjahat yang menyakinkan, halangan yang terasa benar-benar mampu untuk menggagalkan rencana mereka. Semuanya tampak begitu gampang buat mereka, dan di titik ini aku udah enggak begitu pasti entah hal hal tersebut dikarenakan tokohnya memang dibuat terlalu pinter atau filmnya sendiri yang dibuat dalam mode easy karena tokoh-tokohnya cewek semua.

atau mungkin pembuat filmnya memang ingin film ini di-ignore seperti kata Debbie

 

Sebuah film spin-off atau sekuel sebaiknya berani untuk digarap menjadi berdiri sendiri, tidak lantas meniru. Sepertinya memang kita harus membiarkan sesuatu menjadi dirinya sendiri. Karena semua udah ada tempatnya masing-masing. Cewek ya jadi cewek aja, cowok pun sebaiknya jadi cowok aja. Jangan jadi sesuatu yang bukan diri kita.

 

 

 

Setiap kali aku nonton film kayak gini, rasanya selalu aneh, lantaran ini sebenarnya termasuk dalam film yang susah dikategorikan ke dalam rating angka. Film ini dibuat dengan estetika yang benar; strukturnya enggak ngaco, pemain-pemainnya bekerja dengan baik dan luar biasa meyakinkan. Bahkan penampilan mereka pun bagus, bajunya kece-kece. Ini adalah film yang menyenangkan, namun menyenangkan yang sama yang sudah kita rasakan paling enggak tiga kali. Tuntutan untuk menjadi lebih baik, menjadi hal yang baru akan selalu ada, dan film ini gagal memenuhi kedua hal tersebut. Baik dan menyenangkannya hanya dalam batasan meniru yang sudah ada. Hingga menimbulkan pertanyaan, kalo begitu kenapa film ini mesti ada? Dan saat pertanyaan tersebut kita sadari ada di benak kita, uang di dompet sudah keburu hilang, karena film semacam ini adalah heist gemerlap yang sebenarnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for OCEAN’S 8.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ALAS PATI: HUTAN MATI Review

“Good friends don’t let you do stupid things…alone”

 

 

Tentu kita akan melakukan hal-hal bego saat bersama teman-teman. Kita masih muda. Akan membosankan sekali jika kita gak mengambil resiko dan ga melanggar semua peraturan itu. Hampir seperti masing-masing kita berlomba untuk menjadi yang paling ngaco, kita bangga melakukan sesuatu yang tak banyak orang lain bisa. Masuk kelas tepat waktu layaknya murid normal? Well, kita akan buktiin bisa masuk telat, lewat jendela belakang, demi mendapat elu-eluan dari teman satu genk; Hebaaaat. Berani banget, ih. Kemudian teman-teman akan meniru, bola bergulir, dan menimbulkan efek yang semakin membesar. Dengan mencoba tampil beda, ingin mendapat pengakuan – dalam masa kekinian; mau dapat view dan follower banyak – tak sadar kita menjadi contoh yang buruk.

Kita tidak bisa menilai diri sendiri. Orang bilang, pergaulanlah yang membentuk kita. Tapi pada kenyataannya, kita tidak pernah selalu sepasif itu. Sedikit banyaknya, baik buruknya perbuatan, kita kerap memberikan pengaruh. Kedewasaan dan pengalamanlah yang bakal ngajarin kita untuk berpikir matang dahulu sebelum bertindak.

 

Dalam konteks tersebut, sebenarnya Alas Pati punya dasar cerita yang menarik untuk dikembangkan dari karakternya. Ini adalah tentang seseorang yang menyadari dia sudah memberikan pengaruh yang buruk dalam lingkaran pertemanannya, dan berhubung ini film horor, ia memplajari hal tersebut dari sebuah kejadian naas mengerikan yang literally terus menghantuinya.Nikita Willy dan teman gengnya sudah dikenal di kampus sebagai kelompok songong yang suka mengupload video-video viral berisi kenekatan ekspedisi mereka. Dimotivasi oleh dahaga akan ketenaran siber, juga uang yang didapat darinya, mereka pergi ke pedalaman Jawa Timur. Ke sebuah pekuburan adat tradisional di dalam hutan yang terkenal angker. Disebut tidak ada yang dapat kembali dari sana, tokoh utama kita semakin tertantang. Mereka menemukan tempat tersebut dan make fun of it. Tentu saja ada korban jatuh. Mereka kabur ke habitat asal mereka (yang kuasumsikan adalah Jakarta, karena di mana lagi kita banyak menemukan anak muda spoiled yang belagu, right?) . Tapi tidak tanpa makhluk-makhluk dan kejadian poltergeist menyeramkan yang ngikutin.

Respect. Satu hal yang tidak berani dipunya oleh anak muda

 

Pada awalnya, Alas Pati tampak bakal dibangun menjadi horor yang ‘berbudaya’’ dengan actually punya sesuatu yang ingin disampaikan. Set-nya udah kayak settingan sebuah game Fatal Frame yang baik; Mereka punya urban legend yang dikunjungi. Mencakup ritual di pemakaman di mana makam-makam didirikan di atas platform kayu di daerah terbuka di tengah hutan terpencil. Ada mayat-mayat yang seperti dimumifikasi dengan mata terjahit di sana. Bahkan tokoh kita menggunakan kamera dan teknologi lain untuk melihat hantunya. Aku sudah siap diterpa cerita trauma personal yang dikaitkan dengan pembahasan ritual Alas Pati itu sendiri. Tapi film Alas Pati tidak pernah membahas ritual tempat tersebut dengan lebih dalam, praktisnya hanya dijadikan alas cerita saja. Horor yang kita dapatkan, sebaliknya, adalah cerita horor biasa yang bisa saja terjadi kalo judul film ini diganti. Mereka bahkan enggak perlu ke hutan itu, trigger cerita ini bisa terjadi di mana saja. Satu-satunya pengikat tokoh-tokoh ini mesti kembali ke lokasi itu adalah karena Nikita Willy mengambil kalung dari salah satu mayat dan memakainya layaknya kalung sendiri. Dan kita enggak tahu kenapa dia melakukan hal tersebut, mengapa dia nekat mengambil kalung dari mayat.

Jika kalian suka film di mana tokohnya mempelajari suatu misteri, kemudian berjuang melawan misteri tersebut karena ternyata bersangkut paut dengan masa lalu kelamnya sebagai seorang manusia, maka sebaiknya kalian jangan mengharap banyak kepada film ini. Ya, memang, tokoh utama kita akan menyadari dan mencemaskan apa yang sudah ia lakukan membawa dampak buruk bagi teman-temannya, tapi kita tidak melihat ia memilih untuk bertanggung jawab sendiri. Dia tetap ‘kabur’dan ketika udah kepepet, dia mulai berpikir lurus demi batang lehernya sendiri. Tidak ada eksplorasi. Film melewatkan kesempatan besar, mereka bisa saja membangun mitos sendiri soal ritual Alas Pati, yang mana seratus persen akan membuat film ini menjadi horor yang solid. Bayangkan betapa berbobotnya film jika durasi diisi oleh tokoh-tokoh yang actually melakukan sesuatu. Take action alih-alih bereaksi terhadap kondisi diteror hantu melulu.

Babak kedua film ini hanya diisi oleh tokoh yang bergantian diteror hantu. Dan setiap sekuen tersebut berakhir mereka revert back ke denying apa yang terjadi dan kembali meyakinkan diri mereka untuk menutupi apa yang mereka lakukan. Makanya film terasa sangat membosankan ketika sudah di bagian tengah. Kita praktisnya sama saja melihat hal yang sama berulang-ulang kali. Film terlalu malas untuk menciptakan cerita yang berlapis. I mean, bukan saja elemen ritual yang dibiarkan dingin. Ada satu poin di mana ada seseorang yang mengupload video mengenai kejadian yang mereka semua tutupi dari orangtua dan publlik. Dengan panik mereka mencoba menurunkan video tersebut dari linimasa, menghapusnya dari internet, dan that’s it. Poin ini enggak ada reperkusinya. Entah bagaimana tidak ada orang yang melihat video tersebut. Tidak ada pembahasan kenapa video tersebut bisa terupload. Film just drop it, tidak berujung kemana-mana selain para tokoh jadi ribut saling tuduh.

Tapi paling enggak, peta yang mereka gunakan sudah jauh meyakinkan dari peta Ular Tangga (2017)

 

Film justru melompati hal-hal seru untuk diceritakan. Misalnya lagi saat perjalanan mereka menuju Alas Pati. Seluruh perjalanan ke tempat terpencil itu dibuat begitu mudah. Hanya ada satu kali mereka mencemaskan enggak bawa pengaman. Tapi kemudian kita dicut langsung menuju mereka sampai di lokasi. Membuat film ini tampak enggak kompeten, seolah cerita yang mau mereka usung jauuuuuhhh lebih gede dari kemampuan pembuat filmnya. Mereka tidak bisa membuat mitos seputar Alas Pati, mereka tidak bisa membuat misteri yang lebih eksploratif , mereka tidak bisa membuat perjalanan yang intens. Adegan di sepuluh menit pertama – yang ditutup dengan Nikita Willy melempar botol mineral tepat kena kepala temannya yang berlari menjauh, konyol! – sungguhlah berperan dengan super efektif sebagai tangisan minta tolong dari film untuk kita memperhatikan bahwa mereka gak bisa membuat cerita yang benar-benar terasa intens dan mencengkeram. Di menit tersebut kita melihat Nikita Willy ditantang main panjat tembok sama temennya; editingnya sungguh-sungguh begitu bland, kita tidak merasakan kompetisinya, yang dilakukan film ini hanyalah mereka merekam ekspresi meringis pemain dan kemudian memainkan musik rock sebagai penghantar emosi. There’s nothing pada kamera dan editnya yang menguar emosi.

Ketergantungan terhadap musik dan suara keras inilah yang bikin film ini sungguh tampak nyebelin. Usaha mereka cuma di bagian itu, dan mereka pikir itu sudah cukup. Bahkan saat menangani adegan inti yang pembuat film percaya bakal laku keras pun, film tampak begitu malas. Rambut yang dipakai hantu ‘beneran’ di sini clearly gak ada bedanya ama wig yang dipakai tokohnya si Stefhanie Zamora waktu ia nakut-nakutin temennya. Juga di bagian akhir film, ada adegan ngebut-ngebutan di mobil yang jelas malesin buat ditake ulang jadi mereka masukin ngasal aja potong-potongan adegan, alhasil itu plat mobil berubah-ubah dari B 459 PM menjadi B 9 PM dalam setiap shot.

 

 

 

 

Diibaratkan, film ini adalah teman kita di sekolah yang kerjaannya bolos, nyontek, sok ngartis, tapi punya penggemar banyak karena dia kece. Dia tidak melakukan apapun dengan potensi yang ia punya. Harapan kita tentu saja adalah semoga film ini gak lantas menjadi pengaruh buruk buat ranah perfilman horor tanah air.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ALAS PATI: HUTAN MATI

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LIMA Review

“You can only kill ideology with a better idea.”

 

Meski pelajaran ini adalah mata pelajaran yang namanya paling sering berubah, toh ajarannya tetap seputar bagaimana menjadi warga negara yang budiman dan bertata susila. Sejak dari namanya masih PMP, lima dasar negara yang diajarkan kepada kita gak pernah berubah. Negara Indonesia ini supposedly berpedoman kepada lima poin rumusan yang mencakup semua spektrum kebermasyarakatan, karena di sini kita hidup sebagai warga majemuk. Bhinneka Tunggal Ika, semboyan kita. Dan bukan sekedar simbol kata semata; dengan gampang, setiap dari kita ngerasain perbedaan-perbedaan di dalam lingkungan keseharian kita. Aku sendiri tumbuh besar di masa tatkala lingkunganku ngerayain Idul Fitri dan Natalan bareng. Tukar menukar krat minuman kaleng sudah jadi hal biasa. Saling berkunjung, bergantian memandangi kaligrafi dan salib adalah pemandangan sehari-hari. Jadi, apa yang kita pelajari di sekolah, bisa langsung dipraktekkan.

Namun, soal-soal ujian PPKn tersebut kerap terlalu gampang. I mean, kuncinya jelas; jawab yang baik-baik. Dijamin bener. Kalo ada temen beda agama yang sakit, ya dijenguk. Kalo ada yang lagi ibadah, ya jangan ribut. However, film Lima ini nunjukin persoalan enggak sesederhana itu di kehidupan. Film ini mengajak kita membuka mata lebar-lebar. Literally menghantarkan kita kepada contoh-contoh kasus ribet yang bisa timbul dari kemajemukan masyarakat. Dan bagaimana kadang kita terlalu kaku dalam menempatkan ideologi. Toleransi yang bisa disalah arti, juga sebaliknya ketidaktoleransian bukan semuanya berarti semena-mena.

dan sampai sekarang aku belum hapal butir-butir Pancasila

Namun jangan khawatir film ini enggak lantas jadi sama boringnya dengan mantengin dua jam pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan di dalam kelar. Lima punya cara bertutur yang unik. Sebagai tubuh besar cerita, kita akan mengikuti satu keluarga yang multikultural. Dalam satu atap itu, mereka kompakan untuk mempercayai agama sesuai keyakinan masing-masing. Konflik yang kita jumpai adalah permasalahan yang dihadapi oleh putra-putri keluarga tersebut berkenaan dengan profesi mereka yang juga menuntut untuk terus berpikiran terbuka, menanggapi hal-hal yang mungkin saja bertentangan dengan pemahaman dan kepercayaan mereka.

Film ini seperti antara omnibus dengan sebuah multi-plot kind of film. But it is safe to say, Prisia Nasution sebagai tokoh kakak pertama bernama Fara yang juga adalah seorang pelatih atlet renang, yang jadi tokoh utama pada cerita ini. Karena arc cerita miliknyalah yang paling melingkar. Dia bergiliran sebagai pelaku dan sebagai yang dikenai pelik seputar keberagaman dan bagaimana jalan terbaik untuk menyingkapinya. Pada dasarnya, apa yang kita lihat terjadi kepada si kakak dan adik-adiknya, dan juga asisten rumah tangga mereka, adalah contoh-contoh yang mewakili lima sila dalam Pancasila. Jadi, pengtigababakan film ini disejalankan ama lima episode cerita, bayangkan cerita pendek dengan tokoh utama yang beda-beda, yang membentuk gambaran besar seperti lambang lima sila membentuk perisai Pancasila di dada Burung Garuda lambang negara kita.

Yea, kalo mau dibilang kekurangan, lima cerita yang terasa seperti episode-episode inilah yang menjadi masalahku buat film Lima. Mereka seharusnya bisa mengolah cerita sehingga benar-benar berjalan mulus tanpa ada sekat di antaranya. Membuat tokoh-tokoh cerita mengalami kejadian yang benar-benar menampakkan pengembangan tokohnya. Membuat setiap episode itu punya bobot lebih dan merangkai dengan lebih sempurna tanpa terasa bergiliran. Alih-alih demikian, tidak tampak ada sangkut paut yang mendalam antara ceria satu dengan cerita yang lain. Satu-satunya yang menjadi perekat, selain fakta bahwa mereka satu keluarga, adalah bahwa secara emosional tokoh-tokoh sudut pandang film ini masih berkabung – mereka tergerak oleh perasaan kehilangan terhadap tokoh Ibu yang meninggal di babak awal.

Babak tersebut, didedikasikan untuk mewakili sila Ketuhanan yang Maha Esa, buatku adalah bagian yang paling meyakinkan. Aku tadinya berpikir film akan berpusat mengenai masalah kematian Ibu ini, karena Ibu diset sebagai karakter yang kompleks dan punya peran yang besar bagi tokoh-tokoh yang lain. Ibu adalah seorang yang keluar dari Islam, untuk kemudian masuk Islam lagi, bahkan menjadi Haji. Dia juga diberikan hibi unik suka memakai kuteks. Dia pun punya rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Segala ini berdampak ketika proses penguburan jenazahnya. Film sudah menarik sendirinya jika didedikasikan ke aspek ini, kayak, misalkan film ini dibuat dengan premis ‘keluarga yang ingin menguburkan ibunya tapi terhalang oleh status agama dan wasiat si almarhum’ saja sudah terdengar sebagai cerita yang lebih dari mumpuni. Lima menggarap bagian ini dengan meyakinkan, aura suram menguar kuat dari Kakak dan dua adiknya, bahkan ada satu adegan ketika anak-anak cowok sang ibu mengecat kuku mereka dengan kuteks sebagai penghormatan terakhir. Dan ketika adegan penguburannya, aku merasakan suatu kekaguman di hatiku. Menurutku, apa yang terjadi di sana, seorang meninggal dan mendapat penghormatan dari berbagai ritual agama itu begitu menakjubkan, sudah seperti seagung Dumbledore yang kematiannya dihadiri dan dihormati oleh berbagai makhluk magical.

can I have mermaids at my own grave?

Namun, masih banyak pesan dalam daftar misi film Lima. Aku sempat kaget bahwa masalah pemakaman ini beres, dan cerita move on gitu aja. Babak dua film membahas tentang kehidupan Fara, dan Aryo, dan Adi, yang respectively mencerminkan sila kedua hingga keempat. Bagian cerita Fara tentang polemik pengiriman atlet renang ke Sea Games nyata-nyata adalah bagaimana pandangan film ini tentang isu nonpribumi-pribumi yang sempat dan masih hangat melanda kehidupan sosial dan politik kita. Film ini berusaha memberikan jalan tengah dari pertanyaan kenapa mesti pribumi jika ada nonpribumi yang terang-terangan lebih baik. Film berusaha memberikan solusi alternatif dengan mengajak kita untuk memutar sudut pandang;

Tidak ada yang mutlak sebagai yang terbaik. Tidak orang, tidak juga pandangan dan ideologi. Malahan sebaliknya, kita bisa mencapai yang lebih baik dengan mau mempertimbangkan banyak hal, dengan mau bekerja ekstra. Bunuh ideologi, dengan dan hanya bisa dengan, ide yang lebih baik.

Sayangnya, cerita-cerita yang lain tidak mendapat pembahasan yang sama memuaskannya. Bahkan penampilan heartfelt dari Yoga Pratama juga tak mampu membuat cerita bagiannya mencuat sama tinggi. Hanya tampak seperti pesan bahwa idealisme bisa merugikan kalo kita gak berani ataupun enggak mau melakukan adaptasi. Cerita adik paling bungsu juga seperti kehilangan bagian penutup, arc si tokoh tidak terasa terselesaikan, terlebih karena tokohnya sendiri dibuat begitu annoying. Dan apalagi kalian tahu, karakter yang annoying instantly a turn-off buatku. Di babak terakhirlah film menjadi totally dicekokin ke tenggorokan kita. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu diwakili oleh film dengan, yak, adegan persidangan anak miskin yang mencuri buah coklat di kebun perusahaan besar. Film berusaha menjabarkan bagaimana hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah, tapi sebagian besar yang dilakukan oleh film adalah menguatkan unsur dramatisasi, seperti tentu saja kita bersimpati sama orang kecil. Langkah yang diambil film tidak lagi tampak berani, lebih kepada drama ketimbang sentilan seperti yang sudah dilakukan di cerita-cerita awal. Meskipun kuakui, mengakhiri cerita dengan debat di ruang sidang, adalah resiko tersendiri yang diambil oleh film, karena to be honest, adegan sidang tidak pernah membuat penonton excited.

 

 

Yang kusuka dari film ini adalah ketika menjawab dan memberikan sudut pandangnya terhadap masalah yang timbul dari kemajemukan, film tidak pernah mengambil langkah ngejudge. Memang, beberapa tokoh dibuat ngotot akan pandangan mereka sehingga terkadang nampak outright evil, tapi di saat yang bersamaan kita juga diperlihatkan darimana pandangan tersebut berasal, sehingga kita memahami apa sih yang sebenarnya terjadi. Film ini dengan berani menggambarkan setiap isu sosial politik yang lagi hangat, tapi tidak sekalipun ada pihak yang direndahkan. Tidak ada yang terlalu antagonis. Tapi bagaimana pun juga, sebagai sebuah film semestinya ia bisa tampil lebih baik lagi, bisa berjalan lebih mulus dan keluar dari kotak episodik.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LIMA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE GIFT Review

“If you can’t find light in the darkness, be the light in the darkness.”

 

 

Sisi terang dari kegelapan ialah dia membuat, ah tidak, memaksa kita untuk merasakan dengan lebih kuat. Kalian tentu sadar kita sering termerem-merem sendiri ketika mengingat kenangan yang indah, menghayati lagu yang klop buat mewakili jatuh cinta, atau bahkan saat sedang mencicipi makanan yang begitu lezat. Ada kenyamanan yang bisa ditemukan seseorang di dalam kegelapan. Apalagi buat seseorang seperti Tiana, cewek di awal tiga-puluhan yang masih sering terkenang trauma keluarga pada masa kecilnya. Tiana menjadikan kegelapan sebagai tempat pelarian. Bukan karena dengan kegelapan dia tidak bisa melihat kenyataan, melainkan karena kegelapan menghantarkannya kepada cahaya impian. Dan secercah cahaya itulah yang dia jadikan tujuan; sesuatu yang Tiana usahakan untuk terwujud.

Dewasanya, Tiana tumbuh menjadi seorang penulis novel. Mentok nyari ide ngerangkumin cerita novel terbaru, dia melangkahkan kaki ke Yogyakarta. Tiana ingin tinggal lagi di sana, karena di kota itulah kehidupannya dengan segala kenangan berawal. Jadi, malam pertama Tiana ngontrak, dia begitu terganggu sama suara musik rock yang diputar kenceng-kenceng. Ketika mencari sumbe suara untuk melayangkan protes itulah, pertama kalinya Tiana melihat sosok Harun – putra dari pemilik kontrakan.  Harun yang kehilangan penglihatan karena kecelakan menarik-narik tali penasaran di dalam diri Tiana. One thing leads to another, Harun merasakan affection yang mendalam dari Tiana. Perasaan mereka berdua bisa saja saling beresonansi, tapi hidup selalu menawarkan sesuatu tak peduli kita butuh atau tidak. Seorang teman masa kecil, datang menawarkan cahaya baru bagi hidup Tiana. Memaksa wanita ini untuk sekali lagi masuk ke dalam lemari, mencari titik terang masalah dari dalam kegelapan yang begitu hangat baginya.

di sela semua itu, sempat-sempatnya Hanung nyeletuk soal gak musti melulu idealis dalam bikin cerita. Sliiiccckkk!

 

The Gift mungkin akan membuat kita bertanya-tanya, hadiah atau berkah apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh film ini. Tentu, mata adalah salah satu anugerah terindah. Akan tetapi, perasaan dan emosi yang ditangkap oleh hati kita dapat dengan gampang mengalahkan lima panca indera sekaligus. Sering sekali kita melihat Tiana memejamkan matanya, entah itu ketika dia bersiap dihantam gelombang flashback ataupun ketika dia berusaha menajamkan perasaannya. Pada adegan awal saja, kita menyaksikan Tiana naik becak melewati jalanan kota Yogyakarta, mendeskripksikan betapa ia merindukan tempat tersebut, menyebut suasana dan lingkungannya yang indah, tetapi dengan masih mengenakan kacamata hitam. To be honest, sekuen pembuka ini terasa pretentious buatku; aku merasa susah untuk ikut ketarik masuk ke dalam yang Tiana rasakan karena yang aku lihat di depan mataku adalah seorang cewek yang menulis hal-hal bagus tentang kota yang ia datangi, tanpa benar-benar melihat objek yang ia tulis. Tapi film ini toh berhasil membuatku terus memikirkan ceritanya hingga tiba giliran aku yang menyusuri kota dalam perjalanan pulang dari bioskop. Aku terlambat melihat konteksnya, dan begitu menyadarinya, aku bisa melihat film ini dari cahaya yang lebih terang.

Ada alasannya kenapa Tiana menggambarkan kehangatan Jogja dengan perumpaman tangan wanita tua yang keriput. Karena itulah yang ia rasakan, dengan menutup matalah ia melihat. Tiana adalah tokoh yang berpikir dia bisa melihat lebih baik, perceiving apapun objek dan masalah dengan lebih baik, dengan tidak literal melihatnya dengan mata. Sebagai wanita yang mandiri, setiap kali membuat suatu keputusan, Tiana akan menutup matanya, membayangkan apa yang bisa ia pikirkan untuk mengatasi masalahnya. Bahkan, Tiana lebih suka curhat dengan sahabatnya lewat telefon. Sementara aku suka gimana sutradara berhasil mengarahkan dua versi Tiana (kecil dan dewasa) sehingga tampak meyakinkan sebagai satu orang yang sama – tepuk tangan juga buat kedua pemainnya, Ayushita Nugraha dan Romaria Simbolon berhasil mendeliver emosi terutama di momen-momen ketika seolah yang mereka lihat adalah sesuatu yang begitu berat mereka ingin mundur ke dalam bayang-bayang. Actually, saking meyakinkannya pertumbuhan karakter Tiana, aku geram juga film tidak benar-benar membahas apa eksaknya yang dilalui Tiana. Kita memang akan dibawa menggali lebih dalam masa lalu Tiana, tapi terlalu menyebar, dan film menyinggung beberapa yang justru malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan dan penasaran. Relationshipnya dengan ibu panti yang diperankan oleh Christine Hakim, misalnya, sepertinya heartfelt sekali – aku pengen tahu gimana tepatnya mereka berpisah, gimana Tiana keluar dari panti. Aku pengen melihat lebih banyak bagaimana dia bisa berubah dari ‘anak lemari’ menjadi seorang cewek yang enggak totally politically correct.

Sebagai tokoh utama, karakter Tiana ini memang rada tricky untuk dikembangkan. Tiana diplot sebagai sebagai cewek yang egois di awal cerita, dan berakhir dengan melakukan pengorbanan gede yang menunjukkan betapa banyak karakter ini belajar dalam jangka waktu dua jam kurang. Tapi kita supposed untuk peduli terhadap karakternya, supaya ketika dia berubah, emosi yang dipancarkan itu sampe dengan sukses. Membuat kita juga turut menyayangkan apa yang ia lakukan. Di sinilah letak ‘susahnya’, kita harus diyakinkan untuk peduli di saat dia mendekati Harun, hanya karena Tiana penasaran kepada cowok itu. Itulah alasan kenapa Tiana mendekati Harun; dia yang selama ini menemukan kenyamanan dalam memejamkan mata, bertemu dengan seorang pria yang benar-benar tidak bisa melihat. Tiana sempat mempertanyakan dirinya sendiri, apakah dia berdosa? Namun selain itu, film juga tampak kesulitan untuk terus memperlihatkan kondisi tokoh utama yang begini. Makanya, romansa di film ini terasa loncat-loncat. Tiana dan Harun hampir seperti mendadak jadi saling cinta, kemudian mendadak pula mereka bertengkar. Bahkan kepergian Tiana dari Harun juga terasa abrupt. Susah mematri lampu simpati itu ke Tiana jika hubungannya yang berdasar penasaran doang itu harus lemat-lemat diperlihatkan

Mau mata normal, mata minus, tunanetra, ataupun malah buta warna, kita tidak akan pernah benar-benar melihat suatu hal dengan jelas, jika kita tidak menyertainya dengan berusaha untuk merasakan, peduli sama apa yang kita lihat. Dan jika kita terus saja tidak dapat menemukan cahaya untuk ‘melihat’, jadilah cahaya itu sendiri.

 

 

Pun begitu, momen-momen indah kebersamaan mereka tetap bisa terbangun. Adegan meraba wajah yang dibuat begitu dekat sehingga kita nyaris bisa mendengar degup jantung mereka. Pembangunan adegan ini tampak dipikirkan dengan seksama, permulaan Tiana yang sengaja mengalah adu suit memberikan bobot yang lebih gede. Momen tersebut membantu melandaskan suatu hal yang penting terhadap mereka berdua; bahwa mereka sebenarnya berbeda. Harun  adalah orang yang selalu bisa melihat kenyataan, bahkan sebelum matanya buta. Inilah cikal bakal konflik dari hubungan mereka; Tiana ingin nyaman-nyaman berdua dalam kegelapan, so to speak, dia senang membiarkan Harun dalam ‘gelap’ atas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Harun selalu bisa melihat. Nyaris dialah cahaya itu sendiri.  Seperti yang actually disebut dalam salah satu ribut-ribut mereka, ini bukan semata soal control, ini adalah soal gimana Harun membuyarkan kegelapan yang ingin dipertahankan oleh Tiana. Dan Tiana tidak suka ini, seperti halnya dia juga menganggap Arie, sahabat kecil yang cinta mati ama dia, terlalu menyilaukan buatnya.

Karena itulah saat menonton ini aku tidak bisa melihat kenapa mereka harus jadian, aku tidak merasa perlu untuk melihat mereka berakhir bersama. Aku juga tidak dapat merasakan konfrontasi mereka. Well, terasa keras sih, sebab setiap konfrontasi disuarakan dengan begitu lantang, teriak-teriak penuh emosi. Feelingnya yang gak dapet. Tapi kita gak bisa percaya Tiana setelah ia baru saja terang-terangan berbohong. Bukan cinta sebenarnya dirasakan oleh Tiana kepada Harun. Bukan pula rasa bersalah. Alasan kenapa dia menjadi begitu ingin termasuk ke dalam hidup Harun adalah dia ingin menunjukkan cahaya kepada Harun, dia ingin berguna, namun sikap Harun selalu dapat melihat terus saja menantang keinginan Tiana.

Tutup mata kiri, ada dua jari. Tutup mata kanan, loh susternya kok ilang whoaaaaa??!!!

 

Soal penampilan sih, Reza Rahadian juara banget meranin Harun. Malahan saking meyakinkannya sebagai seorang tunanetra, kamera tidak berani menangkap wajahnya dari depan pada adegan pertama kali Tiana face-to-face dengan Harun saat diundang sarapan bareng. Kamera ngesyut dari belakang, ataupun hanya sebatas dagu, meskipun sudut pandang film ini adalah Tiana, dan cewek itu sudah melihat wajah Harun di depannya. I guess, kalo disyut dari depan juga (sesuai pandangan Tiana), konteks yang diniatkan – Tiana enggak ngeh Harun buta – bisa buyar lantaran Reza sangat total bermain sebagai orang buta. Yang tidak aku mengerti dari Harun adalah bagaimana dia bisa menulis dengan huruf yang perfectly centered; pas di tengah-tengah kertas. Mungkin sih, dia dibantu si Mbok atau asisten rumah yang lain, tapi tokoh ini terlihat bukan tipe orang yang mau minta bantuan kalo sudah menyangkut urusan pribadi. Dan jika kita masih bicara soal cinta, Harun indeed jadi beneran genuinely sama Tiana. Yang mana membuat adegan-adegan ia nangis di akhir itu terasa nyesek. Masalah ada apa di Kaliurang juga masih berakhir dengan tanda tanya.

 

 

Untuk sebuah kisah hubungan antara insan-insan manusia yang tragis, yang mengambil batasan pandangan sebagai tema, film ini tampak sungguh luwes dalam penggarapannya. Setiap adegan diambil dengan sudut-sudut yang dengan subtil mendukung cerita, seperti adegan konfrontasi lewat pantulan cermin-cermin itu. Ada juga kamera goyang-goyang yang aku gak mengerti kepentingannya apa. Film ini penuh berisi penampilan akting yang luar biasa meyakinkan. Yang mendorong cerita yang sebenarnya tidak begitu make sense dan lumayan mengandalkan factor kebetulan ini dapat terus mencengkeram untuk diikuti. Lebih dari kisah percintaan, film ini bekerja terbaik sebagai tontonan perilaku manusia dalam mengatasi trauma masa lalu yang kemudian membentuk pribadi dan keputusan mereka. Karena, afterall, kita ingin bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE GIFT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SOLO: A STAR WARS STORY Review

“Trust is a two way street”

 

 

Terserah kita, sebagai penonton yang terhanyut oleh petualangan luar angkasa ketika menonton Star Wars original, mau milih pengen kuat kayak Luke Skywalker atau mau sekeren Han Solo. Buatku, jawabannya selalu adalah Han Solo. Dia lucu, jago nembak dan nerbangin pesawat, dan dia sombong akan hal tersebut. Sesuatu yang hebat pada tokoh ini adalah gimana dalam skenario cerita fantasi yang larger-than-life itu dia terasa seperti orang biasa yang lagi nongkrong di planet nun jauh di sana. Han bukan pejuang Jedi, dia hanya seorang penyelundup barang. Tapi melihat dari teman gaulnya yang monster berbulu, kita tahu Han Solo sudah melewati banyak petualangan seru; yang membuat tokoh berandal ini lebih menarik ini.

Jadi, tentu saja natural bagi studio yang punya hak nyeritain kisahnya pengen menggali lebih banyak soal petualangan solo dari seorang Han Solo. Dan setelah melalui banyak kemelut produksi, bolak-balik diarahkan banyak orang sebelum akhirnya Ron Howard mendapat kredit final sebagai sutradara, film yang memperlihatkan kepada kita seperti apa Han Solo sewaktu masih muda akhirnya mendarat juga. Sebagai sebuah aksi petualangan, film ini sangat exciting. Akan ada banyak adegan kejar-kejaran dengan kendaraan yang hanya bisa kita bayangkan, entah itu ketika Han melarikan diri atau mau menyelamatkan sesuatu, dengan keseruan yang terbangkit oleh menit-menit terakhir skill kenekatan Han Solo yang beruntung itu menunjukkan tajinya. Adegan di kereta api dan adegan kabur dari monster dengan Millennium Falcon itu sungguh luar biasa menyenangkan. Ya, dengan serunya film ini akan memberikan jawaban seputar kehidupan awal dari Han sebelum adegan pertama di Star Wars episode IV (1977), tentang bagaimana dia bisa berteman dengan Chewbacca, asal usul dirinya bisa berada di balik kursi pilot pesawat angkasa paling ngehits di dunia – Millennium Falcon – yang tentu saja kita juga akan melihat interaksi Han dengan Lando Calrissian. Kita akhirnya akan melihat langsung peristiwa menarik gimana tepatnya Han memenangkan Millennium Falcon dari taruhan dengan Lando. Pretty much apa yang kita suka dari karakter Han Solo, kesombongannya, skillnya, keberuntungannya, akan diangkat dalam film ini.

dan ada droid yang mendambakan kesetaraan hak antara mesin dengan manusia hihihi

 

 

Yang sering luput dari pembicaraan rangorang ketika ngegosipin Han Solo adalah mengenai sikapnya yang suka jengkel dengan ketidakkompetenan makhluk di sekitarnya. Selain kocak, jago, tengil, dan segala macam sikapnya yang charming tersebut, Han Solo cukup ‘galak’ ketika ada orang yang tidak melakukan sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Ada banyak kejadian yang menunjukkan trait karakternya ini dalam film-film Star Wars terdahulu, seperti misalnya ketika Han bete ngejelasin cara kerja Force kepada Rey dan Finn di Star Wars The Force Awakens, “That’s not how the Force works!”. Han Solo punya sedikit superiority complex, namun dia susah mengekspresikannya oleh sebab deep inside, dia adalah orang yang lebih memilih untuk rileks dan melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dalam Solo: A Star Wars Story inipun aspek karakter itu nyaris lupa diangkat. Film actually mengerti, mereka mengolah cerita dengan tema kepercayaan terhadap orang lain, yang berusaha mereka sangkutkan dengan sikap grumpy Han terhadap orang sekitar, like, lewat film ini kita akan mengerti kenapa Han Solo lebih suka bertindak sendiri – atau paling enggak kenapa dia hanya percaya berat kepada Chewie.  Hanya saja, aspek ini dimainkan oleh film dengan datar, lebih kepada sebagai komedi dan tidak benar-benar membuat aspek ini sebagai kedalaman yang berarti bagi si tokoh sendiri.

Dibesarkan di bawah naungan geng bandit di pipa-pipa bawah tanah menjadikan Han Solo punya insting untuk selalu bekerja sama dengan orang lain. Akan tetapi, apa yang ia lakukan lebih sering mengharuskannya untuk mempercayai diri sendiri, berimprovisasi tidak menurut sama perintah. Konflik inilah yang membebani Han Solo pada hari-hari awal petualangannya. Kepercayaan adalah jalan dua-arah. Simpelnya, jika kita tidak percaya kepada orang lain, maka pada gilirannya, mereka pun akan mengalami kesusahan untuk mempercayai kita. Han Solo pada akhirnya membuat perhitungan ini menjadi lebih sederhana lagi; dia memasukkan keberuntungan dalam ekuasi yang harus ia percaya.

 

 

Sebenarnya Solo ini dapat menjadi cerita yang menarik, dengan pertimbangan bahwasanya ia adalah cerita yang tidak benar-benar harus terkait langsung dengan trilogi original. Akan tetapi, jika kita menggarap sebuah prekuel dari cerita yang sudah dikenal luas, maka akan selalu ada tuntutan – akan selalu ada beban, lantaran cerita yang sedang kita bikin sudah tertambat oleh cerita yang lain. Mau tak mau kita harus mengembangkan cerita baru ini ke arah yang orang sudah tahu, dan jika ada beda dikit aja, kesinambungan cerita gedenya akan terganggu. Dan kalo sudah begitu, siap-siap menghadapi celotehan protes terutama dari para fans. Yang mau aku bilang adalah, butuh nyali untuk menggarap prekuel. Yang sayangnya, nyali ini tidak aku temukan dalam film Solo.

Jarang sekali film ini membahas dalem tentang Han Solo itu sendiri, meskipun kalo mikir logika ini adalah cerita tentang dirinya. Kita hanya melihat petualangan demi petualangan, tanpa ada bobot karakter di dalamnya. Film ini secara berhati-hati membuat kejadian, sehingga jika kita nonton film ini kemudian dilanjutkan dengan film Star Wars yang pertama, tidak ada cerita ataupun interaksi tokoh yang terasa janggal. Tidak ada kontinuitas yang dicoreng. But at the same time, apa yang film ini accomplished regarding tokoh Han Solo itu sendiri; nol besar. Han Solo tidak diberikan aspek yang baru kita lihat, dengan lain kata; tidak ada development. Mereka hanya mengeksplorasi hal-hal yang ingin kita minta, yang mana membuat film ini terasa seperti fans service semata, tanpa menempuh resiko apa-apa. Seolah mereka sebenarnya tidak punya sesuatu yang ingin diceritakan lagi dari Han Solo sebagai seorang karakter, selain petualangan-petualangan itu.

Salah satu alasan Harrison Ford menginginkan Han Solo meninggal di Return of the Jedi adalah karena dia merasa karakter ini enggak punya banyak kedalaman sehingga dengan membuatnya melakukan pengorbanan, Han Solo bisa mendapat peningkatan karakter. Dan kita melihat keinginan Ford ini dikabulkan pada The Force Awakens, dan kita bisa rasakan sendiri gimana kematian itu menambah banyak bagi Han sebagai seorang karakter. Dia jadi punya sesuatu yang lebih dalam untuk kita rasa. Dalam Solo kali ini, sayangnya, tokoh Han Solo tidak berusaha untuk digali lagi. Plot tokohnya tipis. Tidak banyak ruang gerak yang diberikan kepada Alden Ehrenreich untuk menerbangkan karakter ini. Dia hanya senyum smug, ngedipin sebelah mata, nunjuk-nunjuk, seperti yang dilakukan oleh Han Solo yang kita kenal. Sepatu yang ditinggalkan oleh Harrison Ford buat tokoh ini adalah sepatu yang besar, dan arahan cerita yang tidak berani mendorong batasan ini membuat Han si Alden tampak tak lebih dari seperti parodi dari Han Solo yang asli. Interaksi Han Solo dengan tokoh-tokoh yang lain pun terasa terbatas. Dia punya hubungan romansa dengan cewek dari masa kecilnya yang turns out menjadi salah satu elemen gede dalam cerita (yang tampaknya berlanjut ke sekuel). Han diberikan tokoh mentor yang ngajarinnya soal dunia selundup-selundupan, tapi sama sekali tidak tampak seperti demikian, mereka malah tampak seperti teman satu tim. Dengan Lando dan Chewie-lah, film menemukan titik terang. Donald Glover sebagai Lando adalah pilihan yang tepat, dia tidak tampak bermain menjadi seperti aktor  lain yang memainkan tokoh Lando, dia memberikan sentuhan lain buat karakter yang kita kenal ini.

“This is Sabbac, don’t catch you slippin’ now”

 

 

 

Bukan berarti ini adalah film yang jelek. Aku sendiri enggak akan ragu untuk nonton ini dua kali. Adegan-adegan aksi petualangannya seru, film ini tahu cara ngebuild stake sehingga membuat para tokoh utama kelihatan menghadapi sesuatu yang actually bisa gagal. Hanya saja film ini mengecewakan karena tidak berani mengembangkan sesuatu yang baru. Alih-alih punya cerita Han Solo yang ingin digali, membuatnya semaki dalem sebagai sebuah karakter, film lebih memilih untuk sekedar memperlihatkan asal muasal adegan-adegan yang kita tahu. Tanpa menempuh resiko. One way or the other, apa yang mereka lakukan di sini membuat aku percaya kepentingan eksistensi film ini tak lebih dari sekadar karena uang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SOLO: A STAR WARS STORY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

REVENGE Review

“Revenge is the single most satisfying feeling in the world”

 

 

Apa yang rasanya manis dan berwarna merah, tapi bukan apel? Balas dendam jawabannya.

Sebagian besar dari kita pasti pernah memikirkan skenario membalas budi jahat yang seseorang lakukan kepada kita – setidaknya untuk beberapa menit. Kita berfantasi gedein otot untuk memukul rata hidung mancung yang telah merebut cewek demenan. Kita membayangkan hidup sukses, kemudian membeli perusahaan dan memecat si bos sok galak, di depan seluruh karyawan. Kita mengarang cerita-cerita dahsyat seputar keinginan untuk menggetok orang-orang yang sudah memperlakukan kita salah. Dan kita puas karenanya. Balas dendam, bagi sebagian besar orang, dilampiaskan dalam bentuk cerita, karena kita lebih memilih untuk move on dengan kehidupan kita. Makanya, cerita-cerita tentang balas dendam selalu adalah cerita yang digemari, dari Hamlet ke Carrie, ke Gone Girl. Dan sekarang estafetnya berlanjut ke Revenge; thriller sadis buatan sutradara baru asal Perancis, Coralie Fargeat.

Revenge ini bagaikan hidangan dingin yang disajikan Fargeat demi menjawab isu kesetaraan wanita berkaitan dengan pelecehan dan berbagai tindak injustice terhadap cewek. Ceritanya tentang Jen (salut buat Matilda Lutz yang memainkan adegan-adegan intens nan fisikal) yang lagi menghabiskan waktu romantis bersama pacarnya yang kaya di rumah gede di tengah-tengah entah di mana. Kalian ingat kampanye baru-baru ini soal pemerkosaan bukan semata disebabkan oleh baju yang dipake oleh korban? Well, yea, yang jelas, baju adalah salah satu roda gigi dalam perkara yang terjadi pada Jen. Tidak mengharapkan bakal ada orang lain di sana, Jen tampaknya hanya ngepack baju-baju minim. Membuat dua orang teman cowoknya yang kebetulan berkunjung menelan ludah berkali-kali. Keramahan dan sikap playfulnya tentu saja ditangkap dengan makna berbeda lantaran Jen melakukannya dengan pakaian yang lebih banyak kebuka ketimbang tertutup. Tak ayal, Jen diperkosa. Pacarnya pun ternyata bukan pangeran berkuda putih. Khawatir akan ancaman Jen mengadu kepada sang istri, cowok Jen yang sudah berkeluarga ini malah berusaha mengenyahkan Jen selamanya. Usaha mereka gagal. Malang bagi mereka sih, karena Jen bukan termasuk dari sebagian orang yang suka berfantasi soal balas dendam. Jen adalah sebagian lagi yang tidak puas sebelum darah dibayar dengan darah.

gambaran telak bagaimana cewek masih dianggap disposable oleh cowok

 

 

Pertanyaan berikutnya:

Tau gak, perbedaan antara hukuman ama balas dendam alias main hakim sendiri?

 

Hukuman pada dasarnya diberikan sebagai ganjaran agar pelaku jera, supaya mereka bisa mengambil pelajaran dari apa yang sudah mereka lakukan. Pekerjaan menghukum ini adalah pekerjaan terhormat, diberikan kepada yang berwenang. Sedangkan, main hakim sendiri dalam rangka balas dendam enggak punya tujuan semulia itu. Balas dendam adalah supaya pelaku menderita sebesar-besarnya. Supaya mereka merasakan sakit dan perih dan terhina yang kita rasakan, bahkan lebih besar lagi. Inilah yang dicari oleh Jen. Ini jualah yang ingin direkam oleh kamera Fargeat. Menghasilkan sebuah film yang demikian sadis aku berulang kali menyipitkan mata tatkala menonton film ini. Enggak ada yang ditahan-tahan, semua kekerasan dan luka-luka yang terpikirkan oleh pembuat film diwujudkan ke ujung hidung kita. Layar yang seketika penuh warna warni, dengan setting rumah yang mulus bersih seketika menjadi padang tandus berbatu, bersimbah merah.

Transformasi Jen digambarkan dengan begitu drastis. Pada menit-menit awal cerita, film memperkenalkan kita kepada tokoh yang  holywood banget. Helikopter yang tadinya berupa titik, kemudian mendekat. Kemudian turunlah penumpangnya; pria macho kaya dan cewek pirang berkacamata hitam, sambil ngemut lollipop. Di titik ini, kita melihat Jen benar-benar sebagai cewek muda yang kerjaannya godain laki-laki. Biar kekinian, kita boleh menyebutnya pelakor. Kamera dengan lincahnya memposisikan mata kita pada pinggang Jen yang mengenakan rok pendek yang kian melambai seolah mengundang pria-pria asing yang tak dikenalnya mendekat. Tapi tak pernah diperlihatkan lebih daripada itu, kamera dan sudut pengambilannya dibuat seolah menantang kita untuk berpikir macem-macem padahal kita mengerti Jen tidak benar-benar berniat melakukan lebih jauh dari sekadar flirt canda-candaan.

Setelah mid-point, Jen benar-benar berubah. Bahkan warna rambutnya menjadi berbeda setelah semua debu, tanah, dan darah itu menempel. Film berusaha melambangkan perubahan Jen sebagaimana burung phoenix; lahir dari abu. Ada sekuen Jen di dalam gua, dengan penerangan api unggun, berusaha menyembuhkan diri sendiri. Literally ada gambar burung di kaleng yang ia gunakan untuk membakar luka parahnya; gambar yang kemudian menjadi tato sebagai semacam simbol mockingbird yang beneran terbuat dari darah dan daging. Kemampuan memancing perhatian cowok yang dimiliki Jen beralih fungsi menjadi kemampuan mereka keluar ke jangkauan bidikan senjata api rampasannya. Jen masih vulnerable di dalam dan luar, namun dia sudah mengerti apa yang harus ia lakukan. Dirinya tak lagi memandang diri sebagai pemuas, dia ingin memuaskan diri sendiri akan dahaga pembalasan.

predator yang diburu

 

Perspektiflah yang membuat ‘cerita lama’ ini tampil begitu fresh. Baik itu sudut pandang tokoh utamanya, maupun sudut pandang sang sutradara. Kamera akan seringkali mematri mata kita ke gambar-gambar yang bikin gak nyaman. Kita akan ‘dipaksa’ melihat mulut pria berdecap-decap mengunyah coklat bar, bagian putihnya yang lengket sengaja dijadikan fokus, supaya kita merasakan ke-uneasy-an, ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Jen. Shot-shot dekat semacam ini membuat film pantas untuk dipelototin. Favoritku adalah ketika mereka ngeclose up semut, kemudian tiba-tiba tetesan darah jatuh mengenainya, diiringi dengan suara yang bikin makin gak enak pula. Banyak imagery unsettling seperti demikian ditampilkan oleh film, yang membuatku penasaran sama karya-karya lain yang ditelorkan oleh Fargeat. Maksudku, jika fantasi rape-revenge yang brutal aja bisa dibuat olehnya sedemikian menarik dan menghibur, gimana hasilnya kalo dia garap film yang lebih serius, kan.

Meskipun survival kucing-kucingan ini diceritakan dengan sangat menghibur, toh seperti halnya balas dendam itu sendiri, akan ada sebagian orang yang gak bakal terpuaskan sama film ini. Bahkan mungkin sebagian orang gak bakal mau bertahan nonton ini sampai habis. Revenge, sesungguhnya, adalah sajian yang enak dinikmati jika kita mau ngesuspend our disbelief. Karena banyak adegan-adegan sadis di film ini yang amat sangat tak masuk di akal. Ada satu adegan di mana Jen seharusnya sudah mati, tapi film ini dia dibuat masih bisa hidup lagi. Masih kuat melaksanakan aksi dendamnya, pula. Cerita menggunakan drug sebagai jalan keluar, yang sebenarnya hanya tempelan, sehingga membuat kejadian di film ini sebenarnya dipermudah.  Tapi sejujurnya, film juga tidak pernah meminta kita untuk menganggap dirinya sebagai sesuatu yang masuk akal. Shot-shot di awal yang seolah perlambangan, kayak apel yang dibiarkan membusuk, sebenarnya turut berfungsi untuk melandaskan tone cerita di mana semuanya akan menjadi ‘membusuk’ as in kita bakal melihat orang yang isi perutnya nyaris tumpah tapi masih sanggup lari-larian.

 

Jadi, pertanyaan terakhirnya adalah:

Kenapa balas dendam itu begitu memuaskan?

Jawabannya adalah karena dengan berhasil balas dendam, kita merasa yang salah sudah dibenarkan. Kita melakukan sesuatu yang jelek, memang benar, tapi itu semua demi tujuan yang kita anggap mulia.

 

 

 

Dan pada gilirannya, kenapa nonton film yang begini tak masuk akal dan merendahkan moral bisa begitu memuaskan? Kupikir jawaban untuk yang satu ini akan lebih kompleks lagi. Sebab, film ini berhasil diceritakan dengan sudut pandang yang segar. Karakter-karakter dalam film ini dengan cepat bertukar peran, dan sama seperti kita, masuk akal atau tidak, kebetulan atau bukan, kita akan puas melihat perjuangan mengembalikan keadilan, tidak peduli seberapa brutalnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for REVENGE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017