SURAT CINTA UNTUK STARLA THE MOVIE Review

“The best relationships are the ones that you didn’t expect to be in.”

 

 

Saat ini malam hari, suasana sepi sekali. Kamu sendirian di dalam kafe, hanya ditemani oleh aroma khas campuran susu dan kopi panas di dalam cangkir yang putih mengkilat. “Tuk. Tuk. Tuk.” Sayup-sayup kamu mendengar suara aneh dari luar toko. Ketukan pelan itu terus terdengar, temponya teratur. Cepat dan mantap. Berdentum masuk ke telinga, seolah-olah suara itu berasal dari dalam kepalamu. Bunyi apa itu? Pikiran buruk mulai menghantui pikiranmu. Suara setankah. Atau lebih buruk lagi, itu suara maling?! Apa yang kamu lakukan berikutnya tergantung kepribadianmu.

Kalo kamu waras, maka kamu akan ngunci pintu, berdiam di dalam toko, dan menghubungi polisi.

Kalo kamu penakut, maka kamu akan pulang ke rumah, tak lupa mengunci pintu.

Kalo kamu kebanyakan nonton film horor, maka kamu akan langsung tunggang langgang pulang begitu ketukan ketiga terdengar.

Tapi kalo kamu berani, seperti Starla, kamu akan ngambil tongkat baseball, keluar dari toko demi mencari dan menggebuk sumber suara misterius yang bisa berasal dari apa saja tersebut.

 

Begitulah Hema dan Starla pertama kali bertemu. Dua remaja ini almost instantly saling jatuh cinta. Hema membuat perbandingan mereka seperti bulan dan bintang. Perumpaman itu gak malu-malu diakui oleh film, nama Hema Chandra literally berarti bulan emas dan nama Starla bukan berarti dia penggemar kopi sehingga namanya diplesetin dari Starbucks. Starla adalah star, bintang, yang ditemukan oleh Hema. Bintang yang membuatnya bersinar, kata Hema di atas helipad. Doo, romantis banget si Hema bikin mata penonton cewek berbinar-binar pengen semua.

Naturally, kita akan melihat bintang jika hidung kita dihantam oleh tongkat baseball

 

Bagi penggemar yang udah ngikutin Hema dan Starla dari saat mereka masih di youtube series, pastilah film ini adalah sebuah lanjutan kisah yang menghapus rasa penasaran. Film ini menceritakan kelanjutan dari cinta yang tumbuh dalam semalam itu. Konflik apa yang menanti mereka. Pertanyaan terbesar pada film ini adalah apakah yang Hema dan Starla rasakan itu benar-benar rasa cinta. Aku gak ngiikutin seriesnya, satu-satunya pengetahuanku tentang materi ini adalah bahwa Surat Cinta untuk Starla berasal dari sebuah lagu. Dan ketika aku menonton film ini, buatku justru membuat film punya daya tarik sendiri.

Kita akan dilempar begitu saja ke tengah-tengah romansa mereka. Kita yang awam, akan bertanya siapa sih mereka, kenapa pacarannya sweet banget. Mereka kerap menyebut ‘enam jam malam itu’, dan ini membuat kita penasaran apa yang terjadi kepada mereka dalam kurun waktu itu. Film untungnya enggak repot-repot menceritakan dengan flashback, kita actually belajar tentang hubungan mereka secara perlahan melalui dialog-dialog. Melalui interaksi para karakter. Kita bahkan enggak tahu siapa mereka, kenapa Hema bawa-bawa mesin tik. Kita menonton Hema dan Starla ‘berparade’ keliling kota, mengunjungi tempat-tempat hip di Jakarta dan Bandung, dan layer-layer serta backstory tersebut terkuak dari sana.

Biasanya, hal yang udah kita rencanakan bakal berbuah pahit, rencana tersebut batal. Justru hal-hal yang dilakukan dengan mendadak lah yang jatohnya lebih berkesan. Mungkinkah hal tersebut berlaku juga dalam urusan cinta? Pengalaman setahun pacaran (yang dijodohkan) Starla enggak ada apa-apanya dengan apa yang ia rasakan bersama Hema hanya dalam enam jam. Cinta bisa datang sama mendadaknya dengan saat dia terputus. Masalahnya adalah dapatkah hati kita mengenali ketika ia datang. Mana yang bulan, mana yang bintang.

 

Jefri Nichol dan Caitlin Halderman are great together. Mereka punya chemistry yang click! Mereka juga mampu memainkan rentang emosi yang jauh. Helmanya si Jefri bisa berubah dari cowok yang terlihat berandal menjadi cowok yang marah pengen tahu siapa dirinya dengan mulus dalam sekejap mata. Memainkan tokoh yang manja, yang menggembungkan pipinya kalo lagi jealous, hingga nangis penuh emosi, Caitlin mampu menampilkannya tanpa terasa dilebay-lebaykan. Langkah bagus dari film ini dengan membuat kedua tokoh enggak satu dimensi, aku suka ketika Hema dengan filosofi moral antara penggambar mural dengan pembuang sampah sembarangan ngejugde gitu aja mengatai Starla adalah anak yang suka masuk mall. Apa yang salah dengan anak mall? Kita bisa tumbuh peduli, kita menginginkan kedua remaja ini berakhir sebagai pasangan, sebab mereka tampak so cute bersama. Namun sesungguhnya alasan tersebut belumlah cukup untuk membuat sebuah film yang menarik.

Film ini bereksperimen dengan strukturnya. Alih-alih tiga babak penceritaan yang biasa, film tampak berjalan tanpa arah, maksudku separuh pertama film mereka hanya pacaran. Basically adalah set up yang panjang sebelum dramatisasi pecah di bagian akhirnya. Dan hal ini bisa sangat mengganggu. Kita enggak tahu motivasi mereka. Perihal pembuatan mural-mural, tidak ada misi yang integralkan dengan perjalanan karakter. Mereka melakukannya karena suka. ‘Daging’ film ini ada di pertengahan akhir cerita, yang sebenarnya bisa saja seluruh struktur cerita film ini dirombak ulang sehingga inti cerita tersebut lebih ditonjolkan, yang tentu saja membuat film menjadi lebih menarik dan terarah.

ngegambar orang sebagai permintaan maaf, pffft good luck with that

 

Selain pemberani, Starla juga seorang tukang tidur yang amat sangat pulas. Beneran, ini adalah trait tokoh Starla. Dia bisa tertidur di kursi pengemudi di tengah jalan dan terbangun besok pagi saat mobilnya diderek. Dia pulas sehabis jalan-jalan, dan gak bisa dibangunkan oleh Hema, sehingga Hema yang tak tahu alamatnya terpaksa membawa Starla menginap di rumah. Begitulah film menggarap poin-poin cerita. Mereka menaruh perhatian dan minat lebih untuk membuat narasi yang over-the-top. Jambret bisa datang tiba-tiba hanya karena mereka butuh Hema untuk tampil heroik. Yang mana menurutku cukup lucu lantaran ketika momen emosional yang alami datang, film malah menurunkan intensitasnya – membuatnya jadi bagian dari komedi, membuatnya tampak justru sebagai adegan yang menyenangkan. Aku bicara soal adegan ketika lagi bikin mural, Hema dan Starla dikejar polisi. Eventually mereka terpisah, dan Starla tertangkap, jadi Hema ikut menyerahkan diri – dia berlari ke depan moncong mobil polisi. That whole sequence, seharusnya menghasilkan emosi yang kuat, memancarkan intensitas yang genuine. Tapi film malah menegasi efeknya dengan menampilkan latar musik pop yang asyik, untuk kemudian diikuti oleh adegan interogasi yang kocak.

Konsekuensi real life dari aksi mereka selalu dikecilkan. Polisi dalam film ini  adalah badut. Mereka lambat, gampang ditipu – kepala polisi percaya aja kalo yang berbuat vandalism selama ini adalah kembaran Hema. Rintangan asli dari hubungan mereka datang dari saingan cinta. Ngeliat cowok jalan sama cewek lain adalah alasan yang tepat untuk meninggalkan mobil di tengah jalan dan membuat pengguna jalan lain marah-marah. Sebenarnya aku heran kenapa film ini menonjolkan sisi komedi di sepuluh menit awal. Ada adegan kejar-kejaran yang sangat komikal yang bahkan berlebihan untuk sebuah komedi romantis.

Film ini benar-benar membuatku terkejut ketika ada penampakan juara Gadis Sampul 2016 yang jadi cameo (Carmela, good for youuu), eh salah, maksudku, film ini took me by surprise ketika cerita berubah menjadi konflik keluarga yang unnecessarily ribet di bagian akhir. Yang dicari Hema bisa jadi bukan cinta, melainkan ibunya. Starla juga jadi tampak selfish banget. Sepuluh menit pertama yang kocak mendadak jadi beralasan karena memang film ini agak mengesampingkan logika dan memang tersusun atas dasar mengada-ada. Ada twist yang semak oleh kebetulan. Aku duduk di sebelah kelompok abg yang bersorak “umur kita pas!” ketika tulisan ‘untuk 13 tahun ke atas’ nongol di awal film. Di tengah-tengah film, aku mendengar sebelahku bercanda ke teman-temannya, dia ngarang ending cerita. Teman-temannya sontak ngakak karena teori anak tersebut memang konyol, aku sampai ikutan ngikik malah. Dan guess what, tebakan anak tersebut tepat seratus persen. Cerita bergulir sesuai dengan apa yang ia guyonkan. Jadi kalian bisa bayangkan sendiri gimana begonya kalo poin cerita kalian bisa ditebak dari separo jalan film oleh abg yang lagi bercanda sama temen-temennya.

 

 

Dimainkan dengan kompeten, ini adalah cerita cinta yang penuh pesona buat kawula muda. Kita bisa melihat bahwa ini berangkat dari materi yang menarik. Tapi kenyataannya, masih banyak yang perlu dirombak – ditata ulang dari struktur penceritaan. It was a mess, dramatisasi semakin menjadi-jadi as the film goes on. Tone ceritanya juga persis kayak anak remaja, labil. Dan twistnya enggak sungguh-sungguh diperlukan. Mengada-ada. Sesungguhnya ada cara lain untuk membungkus cerita, untuk menguji hubungan kedua anak muda ini dengan lebih menarik dan logis. Film ini kayak menuliskan surat kepada remaja yang berpesan bahwa dalam cinta, kalian seperti bulan dan bintang di langit; semua di bawah kalian tak jadi soal.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for SURAT CINTA UNTUK STARLA THE MOVIE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

PITCH PERFECT 3 Review

“Life is not a competition.”

 

 

 

Hidup memang keras. Kalian boleh saja bagian dari grup nyanyi yang aca-awesome sewaktu di kampus, namun tetap berakhir gak sukses di pekerjaan yang juga gak keren-keren amat. Masing-masing anggota Barden Bella terbukti ngalamin ini. Bahkan Beca yang udah mewujudkan mimpinya jadi musik produser, keluar dari pekerjaan. Idealismenya enggak ketemu jalan nyambung ama ide kreatif klien. Jadi, para Bella sekarang punya waktu luang untuk ngumpul-ngumpul lagi. Mereka kangen nyanyi bareng. Diundang oleh ayah Aubrey yang tentara, Bella ikut tur USO – nyanyi keliling Eropa. Tapi tentu saja yang namanya tur, bukan mereka saja yang meramaikan acara. Barden Bella bertemu dengan grup musik lain, dan ‘teman-teman’ baru mereka itu actually bermain dengan alat musik. Ada grup rocker cewek, band country, juga duo musik elektronik. Mengetahui tur ini bisa saja adalah penampilan bareng terakhir mereka, Bella bertekad mempersembahkan yang terbaik. Supaya mereka terpilih sebagai band pembuka di acara puncak tur bersama pemusik DJ Khaled.

Aku sudah nonton Pitch Perfect (2012) lebih banyak dari yang seharusnya. Oke, aku ‘mungkin’ pernah muterin film ini nonstop seharian sambil belajar bikin sketch kala itu.. Aku-muternya-hampir-tiap-hari, aku ngaku. I was so surprised by that film. Kocak, pemainnya likeable, ceritanya seger banget – jika kita melihat ke belakang ke dunia perfilman saat itu -, anak kuliahan yang ingin mengerjakan yang ia suka – tentu kita bisa relate ke sana. Aku suka suara Anna Kendrick, aku juga suka lagu Cup yang kukasih Best Musical Performance untuk My Dirt Sheet Awards, Rebel Wilson’s antics, lagu-lagu mash upnya, kaki Alexis Knapp, ada banyak yang bisa disukai dari sana. Aku bahkan tahu The Breakfast Club (1985) dari film ini. Pitch Perfect actually adalah urutan paling wahid di daftar film favoritku tahun 2012. Dan tiga tahun setelah itu, sekuel film ini muncul. Nyaris dari nada ke nada, dari beat ke beat, filmnya mirip. Dan buatku Pitch Perfect 2 (2015) merupakan sedikit kekecewaan, but you know, kita gak bisa benar-benar mencibir mendengar lagu Flashlight dan melihat penampilan panggung DSM.

Tapi serius, aku gak pernah berharap Pitch Perfect dibikin sekuelnya. Apalagi jadi trilogi seperti kenyataan sekarang ini. Musik yang asik dan unik dan komedi dead-pan, itulah kekuatan utama franchise ini. Dan bahkan semua itu bisa jadi repetitif dan menjemukan jika terus dilakukan tanpa ada perubahan. Sepuluh menit pembuka film Pitch Perfect 3, kita mendengar akapela lagu Toxic, Barden Bella nyanyi di kapal alih-alih panggung, dan kemudian Fat Amy terjun dari langit-langit. Tak lama kemudian kapal tersebut meledak, para Bella loncat ke air.  And I was like, wow, MEREKA BERBEDA SEKARANG!

Stacie gak ikutaaaan huhuuu

 

Pitch Perfect 3 tampaknya mendengarkan koor suara penggemar, dan mereka dengan berani mengambil langkah gede untuk melakukan pembaruan di sana sini pada ceritanya. Mereka menambahkan elemen action, mereka menambahkan hal untuk dilakukan oleh para Bella selain bernyanyi dan melontarkan lelucon yang gitu melulu-melulu. Regarding menyanyi, film ini menaikkan permainan mereka. Untuk pertama kalinya, Barden Bella tampak gak yakin dengan akapela. Tidak banyak akapela yang kita dapatkan di sini, at least enggak sebanyak di dua film pendahulunya. Dan ini sesungguhnya bisa jadi pedang bermata dua; penonton yang ingin melihat mereka bernyanyi akapela akan jadi sedikit kurang puas, tapi untuk penonton yang menginginkan musik; well, film ini punya musik-musik bagus dari genre yang lebih beragam.

Jika kita melihat kembali dari film pertama, bila kita melihat gambaran utuh serial ini, Pitch Perfect 3 bekerja efektif sebagai bagian penutup. Mereka menggali masa lalu. Tokoh-tokoh mendapat penutup buat arc mereka, dan arc itu berlangsung dari film yang pertama. Beberapa tokoh mestinya bisa dipresentasikan dengan lebih baik lagi, tapi secara keseluruhan, film ini berhasil membungkus cerita  sama seperti yang dilakukan Cars 3 (2017) terhadap franchise Cars. At it’s heart, ini adalah tentang keluarga,  bahwa keluarga harus saling support, walaupun kadang tak selalu bersama. Dalam film sebelumnya, Bella sudah mengestablish bahwa mereka adalah keluarga, namun di sini mereka harus belajar memperluas keluarga mereka, bukan lagi semata soal tradisi. Satu adegan yang aku suka adalah ketika band lain mendadak nyanyi bareng, mereka melanggar aturan permainan Riff-Off, dan cewek-cewek kita enggak mengerti kenapa para pesaing mereka melakukan hal tersebut.

Barden Bella, terutama Beca, yang sudah berkompetisi dari dua film pertama, gagal untuk melihat bahwa hidup yang sebenarnya bukanlah sebuah perlombaan. Terutama dalam keluarga. Kita tidak saling bersaing dengan keluarga. Jikapun ada, maka lawan kita sesungguhnya adalah waktu. Karena kemenangan dalam hidup adalah ketika kita sebagai keluarga bersikap saling mendukung, tidak mengecewakan satu sama lain.

jadi kalo menang, jangan besar kepala

 

Ceritanya sendiri jadi terasa sangat padat, bukan dalam artian yang bagus. Kita melihat banyak cerita sampingan, di antaranya ada Fat Amy yang ketemu dengan bokapnya, ada Aubrey yang pengen ketemu sama bokapnya, ada Chloe yang lagi berflirt-flirt ria sama tentara pemandu mereka. Juga ada cerita tentang dua komentator acara (duet Elizabeth Banks-John Michael Higgins memberikan banyak sumbangan komedi) yang bernapsu untuk mendokumentasikan detik-detik kejatuhan Beca dan teman-teman. Mereka ngikutin ke mana Barden Bella pergi dengan komentar-komentar sarkas yang berhasil memancing gelak tawa penonton di studio. Kehadiran elemen-elemen narasi tersebut dibutuhkan dan integral sama tubuh besar cerita, cerita-cerita tersebut tidak tercampur dengan benar. Flownya enggak mulus.  Film ini berusaha menampung banyak, tapi penulisan tidak mampu merangkai semuanya dengan baik.

Dan tetap saja ada yang tokoh yang gak kebagian, mereka hanya dapat sepatah dua patah kalimat. Hailee Steinfeld is barely there, aktris ini underutilized banget padahal kita udah melihat sebagus apa dia jika diberikan kesempatan. Malahan, kebanyakan pemain film di sini menyuguhkan akting yang membuat kita berharap mereka dapat unjuk kebolehan di film yang terstruktur lebih baik. Rebel Wilson, khususnya, sangat bersinar di film ini. Komedi-komedi yang bekerja baik itu datang darinya. Dia juga hilarious di bagian aksi.

 

 

Berusaha menjadi lebih besar, film ini nekat menjadikan root yang udah bikin dirinya digemari penonton sebagai nomor dua. Film ini melakukan seperti apa yang dilakukan oleh tokoh utamanya; ngemash up genre, sayangnya kadang yang miss terasa lebih banyak dibandingkan yang hit. Bagaimana pun juga, sebagai penutup, film ini berhasil menunaikan tugasnya. Ceritanya terasa konklusif. Messy sebagai diri sendiri, akan tetapi film ini cukup bersinkronisasi dengan dua film sebelumnya. Jikapun ada masalah yang kita temui, maka itu adalah lantaran seri ini enggak perlu banget dibikin sekuel sedari awal. Lebih baik dari yang kedua, namun itu enggak berarti banyak.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PITCH PERFECT 3.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

AYAT-AYAT CINTA 2 Review

“Real people aren’t perfect.”

 

 

 

Tinggi-tinggi sekolah, ujungnya di dapur juga. Orang jaman dulu begitu tuh pandangannya, cewek gausah belajar pinter-pinter, tahan deh mimpi-mimpi itu, salurkan semuanya untuk jadi ibu rumah tangga yang baik. Istri yang berdedikasi. Tapi ya itu flashback bertahun-tahun yang lalu. Sekarang udah 2017. Pemikiran orang semakin dewasa. Banyak yang sudah berubah. Sembilan tahun yang lalu aja, waktu film Ayat-Ayat Cinta yang pertama keluar, aku masih belum peduli sama film. Apalagi film Indonesia.  Tapi ternyata aku tidak perlu khawatir saat menonton sekuelnya ini. Karena bagi Ayat-Ayat Cinta 2, waktu berjalan di tempat. Kita malah musti sedikit menyejajarkan diri ke belakang untuk dapat menikmati film ini.

Bukan berarti tidak ada yang berubah dalam kehidupan Fahri (ekspresi melotot Fedi Nuril kadang-kadang kocak juga). Sekarang pria ini adalah seorang dosen di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Menjadi muslim di sana berarti menjadi minoritas. Fahri harus berurusan dengan pandangan-pandangan menghakimi, kerendahhatiannya tak dipandang oleh orang-orang yang marah atas peristiwa terorisme yang di berbagai belahan dunia. Tetangga Fahri, misalnya, Keira (Chelsea Islan sepertinya dilahirkan dengan dandanan pemain biola, cocok banget) dan adiknya blak-blakan menuding Fahri teroris. Mereka ‘meneror’ mobil Fahri sebagai wujud kebencian. Namun hal ini tidak mengusik si sabar Fahri segede kepergian Aisha menghantuinya. Sang istri diduga menjadi korban pengeboman di Palestina dan sejak itu Fahri gundah dengan kekosongan di hatinya. Kharisma cowok ini membuatnya populer di kalangan cewek-cewek, apalagi mahasiswinya, tapi dia menolak mereka semua.

Di saat film-film kekinian berlomba menulis tokoh wanita yang independen dan punya ‘strength’, film ini membuat tokoh-tokoh wanitanya terlibat dalam semacam kompetisi demi mendapatkan hati Fahri. Bahkan Sabina (Dewi Sandra banyak berekspresi dengan matanya saja), muslimah berkerudung yang ditampung Fahri sebagai asisten rumah tangga, tampak sedikit banyak memendam sesuatu terhadap Fahri. Dan kemudian muncullah Hulya (cowok mana sih yang keberatan kalo Tatjana Saphira yang motong pembicaraan mereka?) yang punya ‘keunggulan’ sebagai sepupu Aisha. Dengan cepat mereka menjadi akrab. So I guess, kita semua kudu penasaran, siapa yang akan dipilih oleh Fahri.

Tatjana dan Chelsea satu film, rahmat mana lagi yang engkau dustakan?

 

Atmosfernya terasa sangat grande, tata musiknya, gambarnya, desain produksi film ini termasuk di level atas. Penampilan aktingnya juga tepat mengenai sasaran nada dan emosi yang ingin disampaikan – kecuali adik cowok si Keira. Duduk di studio, di lautan penonton berambut panjang dan sebagian besar lainnya berhijab (aku paling ganteng dong!), babak set up film ini cukup menarik buatku. Ada beberapa aspek seperti Fahri yang beribadah di dalam kelas sebelum mengajar – enggak di belakang kelas, dia harus banget melakukannya di depan mata semua murid yang berasal dari latar yang berbeda-beda – yang tampak intriguing. Aku juga suka gimana mereka memanfaatkan cadar ke dalam penceritaan.  Namun, lama kelamaan, frekuensi aku menguap dengan mata kering menjadi semakin sering. Sampai ke titik aku tidak tahan melihat Fahri, karena tokoh utama idaman wanita ini begitu membosankan. Dia terlalu jauh dari kita.

Tokoh-tokoh superhero seperti Wonder Woman, mati-matian ditulis sangat grounded agar mereka tampak seperti manusia biasa, diselipkan adegan-adegan kecil yang memanusiawikan mereka, tidak melulu mereka superpower. Thor yang dewa, dibikin jadi konyol dalam Thor: Ragnarok (2017) juga dengan alasan ini; supaya kita relate ke dia. Ayat-Ayat Cinta 2, sebaliknya, punya Fahri yang seorang manusia biasa namun dibuat setinggi mungkin, semulia mungkin, tokoh ini punya kebaikan dan kesabaran kayak Nabi Muhammad sekaligus diceritakan punya ketampanan yang membuat wanita tergila-gila kayak Nabi Yusuf, sempurna sekali. Dia lebih baik dari superhero manapun. Fahri’s thing is he does right things. Sedikit saja kekurangan, mungkin bikin dia miskin atau apa, bisa membuat cerita lebih menarik. Membuat perjalanannya lebih compelling. Satu-satunya cela karakter Fahri di film ini adalah dia nutupin perasaannya sendiri.

Terlalu sempurna adalah kecacatan. Dan hal itu tidak membuat film yang bagus.

 

Benar film ini mengeksplorasi komentar sosial perihal Islam di mata publik; film ini relevan karena menyinggung isu-isu seperti bagaimana kedudukan wanita di mata Islam, bagaimana pandangan Islam terhadap perang dan terorisme. Akan tetapi, seperti yang di-foreshadow oleh salah satu adegannya, film ini tidak mengeksplorasinya lebih dalam. Film tidak menjatuhkan ‘bola’ kesempatan itu. Dia menusuknya dan mengempeskan semua hal-hal menarik yang mestinya dapat dikandung oleh cerita. Rintangan-rintangan yang dialami Fahri selesai dengan gampang, dalam rentang waktu satu adegan sahaja. Fahri punya semua jawaban. Menurutku bagus juga kebaikan dan amal soleh yang dilakukan oleh Fahri yang actually bicara tentang siapa Fahri kepada orang-orang, namun ini membuat dia seperti missing-in-action. Seperti ketika ditanya mahasiswa sok-pinter di kelas, Hulya yang memotong dan menyelesaikan jawaban. Pada sekuen adegan debat ilmiah yang dengan cepat menjadi personal, Fahri sama sekali gak membela diri, seorang nenek yang eventually stand up for him, membuatku kepikiran mungkin sebaiknya film ini mengganti tokoh utamanya.

Ketika mengadaptasi novel menjadi film, keputusan kreatif sepenuhnya di tangan pembuat film. Akan selalu ada tuntutan untuk setia dan sesama mungkin dengan novel sumbernya, namun pada dasarnya film berbeda dengan novel. Ada aturan-aturan penulisan screenplay; ada kewajiban untuk menjadikan film sebagai perjalanan tokoh. Tokoh kita harus engage penonton. Perubahan-perubahan kreatif demi alasan tersebut, hukumnya wajib untuk dilakukan. Katakanlah karena terlalu sempurna – sedangkan tokoh utama yang menarik adalah yang sedikit ‘bengkok’, Fahri enggak mesti jadi tokoh utama. Cerita bisa ditranslasi ke dalam sudut pandang tokoh lain. Keira bisa menjadi tokoh utama yang menarik di cerita ini – jika mereka mau mengubah arcnya sedikit. Atau Sabina. Aku gak mau spoiler banyak, but I tell you this: perhatikan tokoh ini baik-baik.

Asal jangan Hulya sih. Maksudku, tokoh ini karakternya apa sih? Apa yang ia lakukan, apa motivasi terdalamnya? Hulya adalah wanita yang pintar. Dia cukup mandiri. Tapi dia cuma ngikutin ke mana Fahri pergi. That’s it. Itulah karakter Hulya. Dia muncul gitu aja, dan undur diri dalam sirkumstansi yang random banget. Mereka harusnya bisa mengonstruksi konfrontasi final dengan lebih baik, di set up dengan lebih perhatian, tapi enggak. Bagian itu terjadi di suatu rest area pom bensin. Kebetulan yang mencengangkan, mukjizat,  pemirsa!

Perbuatan baik dapat pahala, perbuatan jahat bakal dikasih Fahri piala

 

 

Film ini ‘malas’ seperti itu. Sungguh ironis lantaran film ini lewat salah satu dialognya yang bukan eksposisi menasehati kita dengan  “Niat baik tanpa effort, dapat merusak hasil.” Dan turns out, film ini adalah perwujudan dari kalimat tersebut. Naskah film pada ujungnya hanya mengerucut menjadi drama-drama romansa yang over–the-top. Emosinya begitu melodramatis. Contoh simpel film ini favoring ke dramatis yang sintesis adalah mereka membuat adegan seorang ustadz yang berjalan dengan slow motion di dalam mesjid. Dibuat mendekat perlahan supaya tampak intens. I mean, natural aja di mesjid kan memang jalannya pelan-pelan, dan untuk membuat si ustadz tampak marah, mereka malah memelankan lagi yang udah pelan itu.  It really takes away the moment, karena padahal kalo mau bikin adegan yang ngekonflik  ya sekalian bikin ustadznya setengah berlari geram menuju Fahri.

Aku gak bisa menyimpulkan arc tokoh Fahri. Apa yang ia pelajari dari kejadian-kejadian penuh twist yang terjadi padanya. Aku semula mengira ini adalah soal Fahri yang belajar bahwa terlalu sempurna itu enggak baik, dia harus jujur pada diri sendiri.  Bahwa  tidak ada orang-orang nyata yang sempurna. Tapi enggak. Di akhir hari, film ini bicara tentang betapa pentingnya penampilan fisik. Mestinya cinta itu karena hati – cantik jelek tidak jadi soal. Di sini, kita punya seorang wanita yang merasa sudha begitu rusak physically, dia bersembunyi dari suaminya, dan dia setuju untuk berubah – out of insecurity – dan demi menyenangkan orang lain. Buatku it  just feels so wrong.

Dan ya, aku setuju dengan kalian yang menyebut ending film ini menggelikan. Ini adalah momen penting pada film. Banyak tokoh yang hidupnya berubah karena proses setelah ending tersebut. Tapi ketika kita melihat ke belakang, film ini bertempat di Britania Raya alasannya bukan lagi karena di sana adalah tempat dengan kebudayaan yang beragam, dengan perbedaan yang meriah. Melainkan agar aspek operasi di akhir cerita jadi mungkin untuk terjadi. Dan ini benar-benar menurunkan nilai dan kepentingan film.

Melihat Fahri yang begitu tinggi menjunjung toleransi, takpelak mengundang buah pemikiran; benarkah kita harus menoleransi yang tidak toleran? Jika dipikir-pikir, toleransi adalah sebuah paradoks. Katakanlah jika di bulan puasa kita menghormati yang tidak berpuasa – warung bebas dibuka, orang-orang tetap makan minum di jalan, maka di mana jadinya letak toleransi terhadap yang lagu berpuasa? Karl Popper, seorang filosofis, bilang ketika kita extend toleransi shingga ornag-orang bisa openly intolerance, maka yang toleran akan hilang bersama dengan sikap toleransi itu. Kesimpulannya adalah kebablasan toleransi akan membunuh sikap itu sendiri, dan guna mempertahankan toleransi kita butuh untuk enggak toleran terhadap yang gak-toleran.

 

 

 

Fahri bilang kita kadang harus mundur sedikit untuk dapat melompat lebih lanjut. Tapi film ini mengambil kemunduran yang terlalu jauh, dan akhirnya jatuh. Ini adalah film yang bagus jika ditonton di jaman Siti Nurbaya masih disuruh kawin. Dibawa ke jaman kekinian, generasi now, tokoh-tokoh film ini sangat outdated. Isu kekiniannya ditinggalkan begitu saja demi drama dan romansa yang digali berlebih-lebihan. Bicara tentang putting women in pedestal, namun twist film ini mendorong jatuh para wanita itu dari pedestalnya dalam setiap kesempatan. Tapinya lagi, mungkin kita memang masih berada di jaman jahiliyah sehingga masih bisa terbuai oleh ayat-ayat drama seperti ini.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for AYAT-AYAT CINTA 2

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

CALL ME BY YOUR NAME Review

“Without continuity, men would become like flies in summer”

 

 

FILM INI ENGGAK LURUS. Kalian tahu, sebuah film ditulis dengan mengacu kepada struktur penceritaan. Ada kaidah-kaidah dalam merangkai poin cerita. Ketika seseorang menulis naskah, maka traditionally, dia kudu ngikutin peraturan. Sepuluh menit pertama film harus bisa melandaskan apa motivasi tokoh utamanya, harus ada pengenalan antagonis, kemudian meit-menit berikutnya disambung dengan kejadian yang harus diatasi oleh tokoh utama – ada ‘inciting incident’ yang menjadi awal rintangan yang dialami oleh perjalanan tokoh utama. Call Me by Your Name tidak pernah straight ngikut aturan nulis screenplay itu. Ceritanya dengan sengaja ngelantur ke mana-mana. Terkadang terasa film ini bercerita dengan sangat malas. Tokoh-tokohnya berkeliaran gitu aja di sepanjang musim panas itu. Aku adalah orang yang bisa dibilang konservatif, aku suka jika semua runut sesuai format karena mengapa mengubah sesuatu yang tak rusak. Meskipun begitu, aku enggak necessarily menentang pembaharuan. Terutama jika hal-hal baru tersebut beralasan.

Pada film ini, semua pilihan menyimpang yang diambil – yang dilakukan – regarding to the storytelling, mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Film ini bahkan bukan sebuah perjalanan, ini adalah sebuah discovery. Dan film ini sangat romantis dalam melakukannya.

 

Elio disuruh mengantar Oliver ke kamar tamu yang bersebelahan dengan kamar tidurnya. Itu artinya Elio harus berbagi kamar mandi dengan pria Amerika asing tersebut. Oliver datang ke Itali sebagai asisten penelitian, dia bekerja di bawah ayah Elio, musim panas itu dia ditugasin buat bantu-bantu. Elio yang mendadak jadi kebagian tugas ‘memandu tamu’ menjadi dekat dengan Oliver. Mereka naik sepeda mengunjungi berbagai tempat. Oliver ketemu banyak orang. Elio pun mengamati, semua orang – kerabat, keluarga, sahabat – suka dengan pribadi Oliver. Semakin dekat dan akrabnya hubungan mereka, Elio merasakan sesuatu pada dirinya yang tak pernah ia tahu.

kemudian dia juga sadar, di rumahnya banyak lalat

 

 

Selagi kita melihat tokoh-tokoh itu mengeksplorasi banyak hal tentang hubungan mereka, film ini menjelma menjadi sesuatu yang terasa amat nyata. Timothee Chalamet dan Armie Hammer punya chemistry yang menggelora sebagai Elio dan Oliver. Arahan sutradara Luca Guadagnino membawa yang terbaik dari penampilan mereka. Adegan terakhir – tujuh menit shot kamera ke wajah Elio – benar-benar bercerita banyak, sebuah adegan yang tak bisa tercapai jika ditangani dan dimainkan dengan ngasal.

Menelaah kembali film ini, setiap momen random, Eliot hanya duduk di pinggir kolam menulis musik, mereka bercengkerama di pesta, mereka ngobrol di meja makan sarapan telur, perasaan lingkungan sekitar film ini kerasa seolah kita berada di sana. Menonton mereka enggak kayak menonton film, tokoh-tokoh ini begitu bebas – mereka tidak bergerak sesuai struktur – lokasinya gerah, dan semua itu tertangkap dengan sangat baik. Saat mereka duduk di kafe pinggir jalan, misalnya. sense of realism menguar kuat sebab film menggunakan desain suara yang apa adanya, Ellio harus membesarkan suaranya karena ada mobil yang lewat, dan suara mobil itu pun enggak dihilangkan, penonton dibiarkan mendengar seolah kita ikut duduk di dekat Ellio dan Oliver.

Cerita film ini tidak membuka seperti pada film kebanyakan. Malahan, film ini bisa menjadi membosankan oleh sebab pace cerita yang sengaja banget dilambat-lambatin. Kita melihat aktivitas mereka setiap hari, kadang mereka Cuma duduk saja melihat pemandangan, kemudian mereka berenang tanpa alasan, adegan-adegan itu tampak hadir begitu saja. Beberapa dari adegan tersebut tampak memiliki makna dan ada juga beberapa yang tampak pretentious, yang kita sama sekali gak bisa menebak ni sutradara ngeliatin visual doang apa gimana. Call Me by Your Name banyak memperlihatkan adegan yang gak perlu kita lihat, akan tetapi dalam konteks film ini tidak ada satu adegan yang less important dibanding adegan yang lain. Film ini ingin memperlihatkan apa yang para tokoh lakukan di jendela timeline cerita, dan memang itulah yang kita lihat. Para karakter tidak diberikan arc yang jelas, malahan kita tidak pernah benar-benar diberitahu siapa mereka pada awalnya. Khususnya si Oliver, film hanya memberikan informasi sebatas yang kita perlu tahu, dan betapa menurutku akan lebih baik jika kita diberikan sedikit lebih banyak backstory sehingga kita bisa lebih terattach kepada mereka, film tetap membuat mereka berjarak. Emosi itu sedikit demi sedikit terbangun, dan di babak ketiga, dampak kejadian-kejadian tersebut akan menyergap kita. Karena sesungguhnya ini adalah cerita yang kompleks, terutama karena film juga tidak memberikan jawaban yang mudah kepada karakter-karakternya taas situasi yang mereka rasakan.

Jadi pada akhirnya apa yang tadinya jauh dan terlihat menyebalkan, dengan pacing lambat, karakter yang asing, lokasi yang indah tapi panas, film ini berubah menjadi sesuatu yang susah untuk kita abaikan. Seperti lalat yang berdengung di telinga. Film ini akan berseliweran di kepala kita.

serius deh, “banyak lalat di kotamuuhuu, gara-gara ka-mu~”

 

Dengan arahan yang sangat detil, dengan dialog-dialog yang dirangkai precise sehingga membuat kita tertarik untuk terus mengikuti, sungguh aneh kenapa kita melihat banyak lalat di dalam nyaris setiap frame. Ada lalat di mana-mana. Di buku catatan Elio. Di pinggir kolam. Di piano.  Mungkin lokasi syuting mereka benar-benar tempat yang penuh lalat, dan mereka gak mau jatoh konyol dengan menghapusnya dengan CGI. Tadinya aku berpikir begitu. Bahwa lalat itu cuma kebetulan, atau malah hanya hiasan untuk menambah kesan nyata; film ini begitu nyatanya sehingga para penonton seolah seperti lalat yang ada di sana menyaksikan langsung segala peristiwa. Namun kemudian di adegan ending yang tujuh menit close up wajah Elio itu, kehadiran lalat di sini sangat on-point. Jadi, aku berpikir, pastilah ini si sutradara sengaja! Agak bego sih ngomongin lalat, tapi sepertinya film ini menggunakan METAFORA LALAT dalam membungkus ceritanya. Bahwa lalat datang dan pergi, seperti musim panas buat Elio dan Oliver. Kurun kecil namun berarti besar bagi mereka, di mana mereka menemukan sesuatu di dalam diri mereka. Waktu tersebut, apa yang mereka punya di momen itu, berakhir just like that.

Pemenang Best Picture Oscar tahun 2017, Moonlight, punya tema yang sama dengan Call Me by Your Name. Tentang anak muda yang ga yakin sama hal yang ia temukan ada pada dirinya, tentang lifestyle yang berkonflik dengan keadaan sekitarnya. Elio diceritakan punya pacar, seorang gadis yang sudah jadi teman baiknya sejak kecil, dan kita lihat bagaimana Elio actually ‘membandingkan’ antara cewek ini dengan Oliver. Ada konflik di sini atas apa yang ia rasakan dengan sekitarnya, namun tidak seperti pada Moonlight, tokoh-tokoh Call Me by Your Name tidak mendapat konfrontasi. Mereka tidak punya banyak hal untuk dkhawatirkan. Kesulitan yang sekiranya timbul dari pilihan hidup mereka tidak terasa kuat. Menurutku, film ini perlu suntikan drama sedikit lagi. Mestinya ada lebih banyak rintangan di luar kurun waktu kejadian dan situasi yang memisahkan mereka.

 

 

 

Jika cukup open-minded, kita akan bisa menghargai pilihan yang diambil oleh penceritaan sebagai sebuah film. Karena ia memang sengaja dibuat enggak lurus. Dan aku bahkan belum ngomongin orientasi tokohnya. Namun yang pelru diingat adalah lewat pengarahan dan penampilan akting yang benar-benar baik, film ini tidak meminta respek tersebut. Real, dikonstruksi dengan indah, film ini hanya memperlihatkan sesuatu aspek yang tidak lagi bisa kita abaikan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for CALL ME BY YOUR NAME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BATTLE OF THE SEXES Review

“Gender equality is not a woman’s issue. It is a human issue.”

 

 

Meskipun cowok secara fisik banyak yang lebih kuat, cewek kalo udah ngamuk bisa lebih garang. Tidak ada gender yang lebih superior. Begitupun tidak ada ras, suku, agama, ataupun ideologi yang lebih baik daripada yang lain. Semua golongan punya kelemahan, makanya hal tersebut tidak lantas membuat golongan tertentu jadi inferior. Sebab semuanya akan saling membutuhkan; Wanita adalah satu-satunya gender yang bisa menciptakan kehidupan, namun mereka butuh Pria melaksanakan proses tersebut.

 

Tapinya lagi, jika memang demikian – pria dan wanita diciptakan sama – kenapa petenis wanita dibayar jauh lebih rendah daripada pria? Kenapa, di tahun 1973 itu, dirinya dan rekan-rekan seprofesi harus mengalah kepada dominasi pria dengan alasan tenis adalah olahraga fisik? Maka Billie Jean King lantas berjuang. Dirinya yang sudah mengantongi banyak gelar juara, membentuk acara tenis tandingan, yang kesemua atllitnya perempuan. Dan kemudian peristiwa penting dalam sejarah olahraga, khususnya tenis, itu terjadi; seorang veteran dan mantan juara, Bobby Riggs, menantang petenis wanita demi membuktikan bahwa pria, bahkan yang sudah gaek seperi dirinya, lebih baik dan pantas untuk dihargai lebih tinggi daripada petenis wanita.

Sisanya memang sudah tertulis dalam buku sejarah, dan film ini tahu untuk enggak bikin kita bosan dengan kisah hidup Billie Jean. Alih-alih membahas tokoh ini sedari kecil, film memfokuskan kita kepada peristiwa-peristiwa yang membuild up pertandingan tenis cowok lawan cewek yang udah mengubah pandangan dunia olahraga terhadap perbedaan gender.  Sehubungan dengan itu, kita juga melihat cerita romansa Billie Jean yang sempat dirahasiakan ke publik. Billie Jean yang sudah bersuami, menemukan dirinya menumbuhkan perasaan kepada seorang penata rambut wanita, dan elemen ini actually integral dengan perkembangan karakter Billie Jean. Kita bisa ngerasain konflik internal di dalam dirinya tumbuh karena dia sudah ngedevelop perasaan yang sangat mendalam kepada wanita ini, namun dia juga menyintai suaminya, dan apakah memilih yang satu dibanding yang lain membuatnya juga sama dengan pihak yang ingin dia buktikan sesuatu atau apakah pilihan itu dapat dimaknai sebagai dia memang memegang teguh persamaan dan kesetaraan gender.

aku punya temen cewek yang bisa membuat babak belur….. nilai-nilaiku di dalam kelas

 

Banyak pujian yang dilayangkan kepada film ini sesungguhnya dialamatkan kepada para pemain, terutama dua aktor leadnya. Emma Stone bukan hanya mirip sama Billie Jean King yang asli, namun ketika kita melihatnya berkacamata dan pegang raket itu, kita tidak lagi melihat Emma Stone. Pendekatan yang diambill oleh Stone untuk menghidupkan karakter ini adalah dia mempersembahkan diri sebagai publik figure yang ‘tertutup’. Billie Jean tampak sedikit pemalu. Tetapi jika bahan obrolan sudah menyangkut petenis wanita yang dianggap kurang menjual, dia akan tersulut while maintaining apa yang dia percaya. “Di situlah letak salahnya kalian. Aku bertanding bukan untuk menunjukkan wanita lebih baik. Aku ingin membuktikan bahwa kami sama.” jawabnya saat ditanya wartawan.

Steve Carell juga bermain dengan sama meleburnya sebagai veteran 55 tahun yang melihat pertandingan tenis mereka lebih sebagai sebuah panggung hiburan. Sikap dan aksen Carell sebagai Riggs di sini kadang tampak kayak Gru di Despicable Me banget, tapi ini hanya membuktikan bahwa Carell masih bisa tampil menghibur. Bobby Riggs punya kebiasaan berjudi, dan ini digali oleh film sebagai motivasi dan konflik personalnya. Demi mengembalikan lampu sorot ketenaran itu, Riggs menantang petenis wanita yang lebih muda. Bagi Riggs, ini adalah tindakan gamble yang paling menguntungkan. Karena, menang atau kalah bertanding, dia tetap ‘menang’. Popularitasnya sudah terestore dengan segala publikasi itu, dan orang ini tahu betul bagaimana memainkan ‘peran’nya di dalam pertandingan itu. Bagi Billie Jean, sebaliknya, satu-satunya cara ‘menang’ adalah dengan menang. Jika dia kalah, bukan hanya dipermalukan, dia juga tidak akan bisa lagi hidup tenang lantaran apa yang ia percaya tidak bisa ia capai.

 

Dan dalam menggali seteru tersebutlah Battle of the Sexes tidak pernah benar-benar menjadi sebuah smash yang memuaskan.

Antagonis adalah orang yang menjadi rintangan, orang yang menghalangi protagonis mencapai tujuan personalnya. Antagonis ini enggak selalu mesti selalu jahat, sebagaimana protagonist juga bukan selamanya baik. Film yang menarik adalah film yang bisa mengaburkan jahat-baik itu. Battle of the Sexes terlalu ringan dalam menggali elemen cewek melawan cowoknya. Bahkan terasa lebih komikal dari pada Barden Bella melawan Treblemaker di film Pitch Perfect (2012). Pihak Riggs, dan produser, dan cowok-cowok oposisi dibuat sangat close-minded sehingga terasa dibuat-buat, hampir seperti bergerak dalam konteks mereka sengaja melakukannya. Ada upaya untuk memanusiawikan si Riggs, memperlihatkan hubungan dia dengan istri dan anaknya; ada masalah di dalam keluarga Riggs sehubungan dengan kebiasaannya berjudi, hanya saja anehnya terasa dibuat-buat – apalagi jika kita membandingkannya dengan motivasi personal Billie Jean.

kalo ada yang bisa dipelajari dari film-film 2017, maka itu adalah hormati wanita. Titik.

 

Perasaan disingenuous yang dikuarkan film ini sampai pada titik aku tidak lagi menganggap pertandingan itu kontes beneran. Beberapa waktu, aku merasa Riggs tidak tampak pengen menang, dia tampak hanya ingin memancing ‘heat’ supaya pertandingan mereka jadi lebih appealing buat banyak orang. Hampir seperti gimmick. Dan mungkin memang seperti itu; bahwa mungkin tadinya Riggs sengaja berakting sugar daddy dan segala macam supaya penonton semakin tertarik, dan di tengah-tengah game – demi melihat kesungguhan Billie Jean, naluri olahragawannya kepincut, dan dia serius berusaha untuk menang, tapi ini hanya membuat stake perjuangan Billie Jean mengendur. Perjuangannya seperti diatur oleh sekelompok orang dan dia enggak sadar akan hal itu.

Dan lebih kepada pria melawan wanita, pertandingan mereka malah terasa seperti pertandingan antarumur. Ketika film memperlihatkan Billie Jean berlatih dengan determinasi, Riggs ditunjukkan sedang berpesta. Untuk persiapan, Riggs tidak latihan dan hanya menelan berbagai vitamin. It works dalam konteks dia sesumbar, dia menyepelekan wanita. Tapi tentu saja, ada faktor umur dan kesehatan yang mengambil tempat karenanya. Poinku adalah, pertandingan penting tersebut, tidak lagi benar-benar tampak penting karena outcomenya bisa dipengaruhi oelh banyak hal. Film tidak berhasil membuat equality, ataupun simpelnya, pertarungan gender mencuat di sini. Dan secara struktur, ini disebabkan oleh film hanya mengembangkan personal goal. Sedangkan story goalnya, satu tujuan yang secara paralel ingin dicapai oleh seluruh tokoh, kurang mendapat pengembangan atau kurang diperhitungkan – spektrum goalnya bisa menjadi terlalu luas.

Dalam pertandingan tenis, skor nol disebut dengan ‘love’. Penjelasan yang ada adalah kata tersebut berasal dari bahasa Perancis yang berarti telur. Namun jika dikaitkan dengan konteks cerita film ini, love itu benar-benar literally berarti cinta. Karena dalam tenis, kadang hanya cinta yang kita punya; hanya cinta yang membuat orang-orang seperti Billie Jean King dan Bobby Riggs berjuang.

 

 

 

Penampilan akting yang kuat, perseteruan yang menarik – hampir-hampir seperti build up feud di WWE minus kekerasan dan talk trash – film ini akan menarik buat banyak penonton. Ini jauh dari film yang buruk. Cerita dengan pesan yang mudah dicerna. Dia juga punya kepentingan, karena maslaah yang dihadapi Billie Jean di tahun 1973 tersebut masih belum hilang dan tuntas hingga sekarang, Karenanya aku menyayangkan penggalian kurang berdaging. Seolah tokoh Bobby Riggs yang menulis film ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BATTLE OF THE SEXES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017.

THE MOUNTAIN BETWEEN US Review

“Long-term relationships, the ones that matter, are all about weathering the peaks and the valleys.”

 

 

 

Berada dalam sebuah relationship adalah sebuah kerja keras. Mempertahankan hubungan itu udah kayak berjuang bertahan hidup. The Mountain Between Us adalah cerita tentang keduanya; cerita survival dua orang yang terdampar di pegunungan bersalju. Sekaligus sebuah cerita romansa tentang dua orang yang tak menyangka mereka harus bekerja sama, saling support satu sama lain, demi melewati situasi yang sulit.

 

Penerbangan di Bandara Idaho terkendala oleh cuaca. Semua jadwal ditunda oleh kemungkinan datangnya badai salju. Membuat seorang jurnalis fotografi, Alex (tentu saja Kate Winslet bisa meranin cewek yang tangguh), seperti orang kebakaran jenggot. Besok dia akan menikah, jadi mana sudi terkunci di bandara. Tak beberapa jauh darinya, seorang dokter bernama Ben (ini adalah peran romantis pertama bagi Idris Elba) juga tampak angot ngobrol sama petugas bandara. Ada pasien yang harus segera ia tangani. Senang ngeliat ada orang dengan tujuan yang sama, Alex ngajakin Ben untuk berangkat dengan menyewa pesawat kecil. Mungkin takdir memang ingin melihat mereka bersama, pesawat carteran mereka jatuh, dan mereka mendarat dengan amat sangat tak-mulus di puncak gunung salju. Kondisi yang kritis, kaki Alex terluka, pilotnya tewas, untung Ben seorang dokter, dan di pesawat ada beberapa persedian makanan. Dan anjing si pilot yang setia. Namun sesungguhnya yang mereka punya hanyalah percakapan di antara mereka berdua yang sama sekali orang asing. Mereka harus belajar saling mengenal, saling membantu, dengan harapan mereka bisa selamat dari situasi yang berbahaya tersebut.

Di sana gunung, di sini gunung. Di tengah-tengah ada aku dan kamyuuu

 

Fakta bahwa Winslet dan Elba adalah pemain film yang fantastis membuat kita seketika peduli sama kedua tokoh mereka. Kita pengen liat Alex dan Ben selamat. Dan di atas itu semua, kita pengen jawaban yang sweet terhadap pertanyaan yang mendegup di hati kita; Alex dan Ben bakalan jadi sepasang kekasih gak sih? Film dengan cermat melandaskan betapa kedua orang ini tidak digariskan untuk hidup bersama. Ben sudah beristri, dan Alex, jika enggak nyangkut di gunung, pastilah sudah jadi istri orang. Yang harus digali oleh film ini adalah bagaimana proses mereka menjadi dekat, bukan saja karena mereka harus bekerja sama supaya bisa hidup, juga karena perasaan akrab itu timbul secara lebih personal.

Kate Winslet dan Idris Elba tidak akan menyuguhkan penampilan yang mengecewakan, aku pikir kita semua sudah tahu itu, dan tentu saja kita mengharapkan penampilan yang luar biasa menyakinkan dari mereka berdua. Elba seperti biasanya memang bermain menawan. Tokohnya adalah seorang yang punya masa lalu yang menyakitkan, dan kita dapat merasakan dia begitu terhantui karenanya. Winslet juga bermain dengan segenap hati, namun tokohnya di sini agak sedikit annoying buatku. Alex bukan penampilan terbaiknya. Masalah ini terutama datang dari penulisan, juga arahan yang enggak berhasil menggali apa yang cerita seperti ini perlukan.

Justru, aspek romansa di antara merekalah yang terutama melongsorkan film. Alih-alih mengolahnya dengan menarik, dialog-dialog film ini terdengar cheesy. Pencerminan survival di gunung dengan bertahan di dalam cinta dibuat sangat obvious sehingga tak menarik minat untuk menyimak pembicaraan mereka. Penulisan karakternya lemah, poin poin keputusan mereka dipancing oleh adegan-adegan yang overly melodramatis. Misalnya ketika mereka cari-carian di hutan, Alex teriak-teriak manggil nama Ben, dan kemudian dia jatuh ke dalam air, byuurrr, Ben pun terjun menyelamatkannya. Beneran, menulisnya saja aku sudah nyengir. Tapi adegan itu bukan apa-apa dibandingkan adegan ending film ini. Wuihhh, maha nyengir deh! Aku enggak ingat kapan terakhir kali aku melihat adegan secheesy itu di film Barat. Geli ngeliatnya haha!

 

Film ini sebenarnya punya sinematografi yang cakep. Gunung es dan padang putih itu ditembak dari sudut pandang yang membuat kita lupa narik napas. Sayangnya, keindahan tersebut tidak dibarengi dengan arahan yang unik. Ada perbedaan mendasar antara sinematografi dengan directing, kalian tahu, kadang kita sering bingung apa bedanya; kalo kita melihat film yang cantik, kita sering bertanya-tanya sendiri ini kerjaan sutradaranya atau karena kamera dan pemandangannya yang bagus sih. Well yea, kalo kita bekerja dengan sinematografer yang handal , maka tentu saja mereka akan memberikan hasil gambar yang menakjubkan. Kalo kita motion pemandangan, terang saja hasilnya kece. Nah,  tugas sutradara adalah berkomunikasi dengan juru kamera mengenai pengambilan gambar yang punya energi, yang punya kepentingan yang sesuai dengan film,  yang tujuannya tentu saja supaya film mengalir dengan benar. Supaya pacing dan pengadeganannya menarik. The Mountain Between Us punya gambar-gambar yang jelita, tetapi diarahkan dengan membosankan. Hampir tidak ada visi dari penempatan, ataupun dari flow narasi.

Naik kapal, nabrak gunung es. Naik pesawat, jatuh di gunung salju ckckck

 

Sebagai film survival, juga film ini tidak mampu mencapai keefektifan yang tinggi. Penyelesaian untuk masalah-masalah yang kedua tokoh ini hadapi dalam rangka bertahan hidup tampak sangat convenience; tampak mudah. Mereka nemu pondok kosong, mereka dapat persediaan makan sehingga mereka bisa bertahan tiga hari. Angka tiga tampaknya memang jadi angka keramat di sini, karena kaki Alex yang terkilir dapat sembuh setelah dia berjalan di dalam salju selama tiga hari. Ajaib, memang, film menyuruh kita untuk mempercayai itu. Para tokoh tidak pernah tampak benar-benar takut, mereka memang menyebut ingin hidup, tetapi mereka tidak kelihatan mencemaskan nasib mereka. Perjuangan hidup mereka tidak tertonjolkan. Praktisnya, mereka selalu menemukan apa yang mereka butuhkan. Dan mereka punya anjing yang paling patuh dan paling setia sedunia. Aku gak bisa membayangkan gimana perjuangan si anjing ngikutin sepasang manusia yang penuh drama ini. I mean, buat Alex dan Ben aja salju yang mereka lewati udah setinggi lutut, gimana cara si anjing berjalan ngikutin mereka coba.

Kita enggak bisa yakin kita bakal terdampar sama siapa. Tapi kita bisa memilih; untuk berjuang bersama, untuk mengalami ups-downs bareng, survival dalam cinta adalah soal siapa yang bertahan di sampingmu bahkan ketika situasi menjadi serba-berat.

 

 

 

Sungguh mengecewakan film ini gagal baik sebagai cerita cinta maupun kisah bertahan hidup. Penampilan akting yang baik, tampilan visual yang cantik, tentu saja membuat kita mengharapkan sebuah film yang sama bagusnya. Hanya saja film ini tersandung oleh arahan yang biasa banget. Ada banyak kebetulan, perjuangan para tokoh terlihat dimudahkan. Malahan, film ini menjadi terlalu cheesy untuk dianggap sebagai drama yang serius.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE MOUNTAIN BETWEEN US.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SUSAH SINYAL Review

“Time is precious.”

 

 

Tak bisa disangkal, hidup di generasi kekinian sekarang ini kita lebih sering berkomunikasi lewat sosial media ketimbang ngobrol langsung face-to-face. Ngobrol lewat internet. Makanya jika disuruh milih antara gak ada sinyal atau gak ada pacar, maka tentu kita bakal memilih mendingan gak ada pacar. Karena dengan sinyal, pacar bisa didapat. Haha engga semua ding, poinku adalah; sinyal udah jadi kebutuhan pokok. Apalagi buat anak muda, pasti gak bakal betah nongkrong di tempat yang sinyal wifinya ilang timbul. Bisa ketinggalan banyak informasi dong, kak, kalo gak ada sinyal.

Kiara yang masih SMA itu juga sama. Kalo enggak lagi curhat sama neneknya, Kiara akan menyelam ke dunia maya; untuk sekedar ngevlog atau nyanyi lagu ciptaan sendiri. Kiara (Aurora Ribero yang mirip Sasha Banks main bagus banget di debutnya) udah gak bisa dipisahin deh sama hape. Pernah smartphonenya disita lantaran ketahuan guru lagi main instagram di kelas, Mama Kiara lantas dipanggil ke sekolah. Menghadap guru BP. Tentu saja tidak ada asap tanpa ada api, selidik punya selidik ternyata masalah Kiara bersumber dari hubungannya yang enggak akrab dengan si Mama. Mama Kaira, Ellen (Adinia Wirasti tackles her notes perfectly), sibuk bekerja sebagai pengacara. Dia sudah bercerai dengan suami, dan tentu saja hal tersebut seringkali jadi kayu bakar ributnya Kiara dengan Ellen. Solusinya satu, mereka harus pergi liburan, ngabisin waktu bersama sebagai keluarga. Dan ini berarti Ellen harus meninggalkan urusan kerjaan, dan Kiara kudu ngorbanin seleksi online kontes bakat yang ia ikuti, sebab tempat liburan yang mereka kunjungi cukup terpencil.

aduh, si the-line-where-the-sky-meets-the-sea gabisa calls me nih

 

Susah Sinyal singkatnya adalah film tentang wanita yang mandiri, yang harus ngurusin putrinya yang juga mandiri, sehingga menimbulkan banyak ketegangan di antara mereka. Aku sedikit teringat sama Rachel di komik Animorphs, Rachel juga suka ‘berantem’ sama ibunya yang pengacara. Ada banyak heartfelt moment dari hubungan Kiara dengan Ellen. It is also a fish-out-of-water comedy, karena kedua tokoh utama tersebut ditempatkan di dalam lingkungan yang sama sekali berbeda dengan ‘habitat’ mereka, mereka harus menyesuaikan diri sekaligus berusaha beakrab-akrab ria satu sama lain – menjalin kembali hubungan ibu anak yang renggang. Dan akan ada banyak komedi datang dari gimana orang kota jika ditempatkan di tempat yang jauh dari semua kecanggihan.

Nah loh, jadi peran Ernest Prakasa di film ini apa dong?

Dia meranin rekan kerja Ellen dan mostly berfungsi sebagai amunisi komedi. Ernest is good at laughing at himself, dan kita dibawa tertawa bersamanya.  Kali ini, peran Ernest sebagai seorang tokoh memang gak banyak. Tapi peran di belakang layar, aku bisa bilang bahwa di Susah Sinyal ini Ernest benar-benar menaikkan permainannya. Kocak, serius, emosional, bukanlah hal yang gampang untuk menggabungkan ketiga hal tersebut. Timingnya harus benar-benar pas, jika tidak, film akan terasa episodik dan enggak menyatu mulus. Susah Sinyal precise banget pada editing penceritaan komedi. Ernest tahu di mana dan gimana harus memanfaatkan rekan-rekan stand up nya sehingga mereka tampil mencuri perhatian namun juga berusaha untuk tidak mengorbankan emosi pada inti cerita. Astri Welas kocak sekali di sini sebagai pemilik hotel tempat mereka menginap. Arie Kriting membuat momen-momennya sendiri. Tokoh-tokoh pendukung di film ini memang punya kelakuan aneh, tapi lelucon dan candaan mereka sangat fresh dan kekinian. Susah Sinyal semakin excel di departemen komedi berkat anekdot-anekdot dan selera humor yang  benar-benar mengena.

Kematangan juga ditunjukkan oleh Ernest dari segi pembangunan layer dan treatment beberapa adegan. Konflik internal karakter bisa datang dari pekerjaan, dan di film ini kita melihat gimana pekerjaan Ellen sebagai pengacara, yang of course kita tahu pengacara selalu menang adu argumen, dibentrokan dengan ketidakmampuan Ellen berkomunikasi dengan putrinya sendiri. Kasus yang ditangani Ellen, yang awalnya dia tolak karena gak mau ngurusin perseoalan sepele artis, sesungguhnya paralel dengan yang ia alami, menjadikan kasus itu sangat personal baginya. Pemilihan lokasi resort di Sumba juga dibuat beralasan. Kiara memilih Sumba sebagai tempat liburan, dan kita bisa meihat bahwa keinginannya ke Sumba adalah refleksi terhadap keinginan Kiara untuk dekat dengan sang ibu. Ellen adalah Sumba bagi Kiara; ‘tempat yang ingin dia kunjungi, tempat yang cantik dan indah, tapi juga tempat yang susah untuk melakukan komunikasi.   Aku suka sekali adegan terakhir film ini di mana kedua tokoh utama kita akhirnya bisa terkonek kembali sebagai keluarga justru di tempat yang gak ada sinyalnya.

 

Ada satu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ada satu yang lebih berharga ketimbang duit beratus-ratus juta. Ada satu hal yang bisa kita berikan kepada orang lain, yang bisa kita habiskan demi orang lain, dan sama sekali tidak membuat kita rugi. Hal itu adalah waktu. Tidak ada pembandingnya, waktu-waktu yang kita habiskan demi berada bersama orang yang kita cinta. Duit bisa dicari, tapi waktu – kita tidak mencari waktu. We make time. Dan itulah sebabnya kenapa waktu begitu tak ternilai. Jika kalian ingin menunjukkan rasa cinta kepada seseorang, berikan waktumu untuk mereka.

 

product placementnya mengalir mulus semilir angin di pantai

 

Di babak awal, agak sedikit susah buat kita ngegrasp konteks cerita, ada sedikit tonal issue sih di sini, komedinya bisa sedikit membuat distraksi, tapi begitu kita paham, film ini seketika menjadi lebih menyenangkan untuk ditonton. Tapinya lagi, juga ada sedikit masalah pada pacing. Kita dibawa bergerak dari excitement ngeliat mereka liburan dan berusaha konek, untuk kemudian dikembalikan lagi ke suasana kantor, dan kemudian balik ke Sumba. Perasaan naik turunnya adalah perjalanan yang sedikit bumpy. Struktur mestinya bisa dibangun dengan lebih baik lagi. Karena dengan apa yang kita tonton, cerita menyisakan banyak aspek yang hanya untuk di satu momen itu aja, yang tidak dipanen ‘buahnya’. Kiara dengan Abe misalnya. Kita paham affection Kiara kepada Abe bergerak dalam konteks Kiara ingin melawan mamanya, tapi dengan penceritaan yang terpenggal, aspek cerita ini lebih terasa kayak poin yang ditinggalkan. Ada banyak adegan yang jatohnya malah seperti untuk komedi semata, padahal enggak. Mereka bekerja di dalam konteks, akan tetapi penceritaan yang banyak mengambil detour membuat kepentingan mereka berkurang. Bahkan elemen fish-out-of-waternya juga tak pernah bekerja maksimal. Kedua tokoh utama kadang menjadi hal paling terakhir yang menarik atensi kita dibandingkan porsi komedi.

Film actually lebih ke komedi, dengan sedikit mengorbankan tokoh-tokoh sentral. Dan ‘lucunya’, hanya dua karakter sentral itu yang diberikan arc. Tokoh-tokoh pendukung tidak punya storyline, mereka di sana untuk pemantik kelucuan. Jadi, ya, inti film ini mengalah kepada elemen yang tidak didevelop penuh, dan resultnya adalah yang inti juga jadi tak maksimal.

 

 

Mengesampingkan teknis, film ini akan gampang sekali untuk disukai karena sebagai sebuah film komedi, ini adalah film yang pecah banget. Jokesnya mengena, relevan karena memang diniatkan sebagai pandangan terhadap isu kekinian seputar sosial media. At heart, ini adalah tentang hubungan ibu dan putrinya, gimana anak cewek selalu menganggap ibu sebagai ‘musuh’, dan bagaimana mereka saling terhubung kembali hati ke hati.  Ernest kembali bicara tentang masalah komunikasi dalam keluarga; Jika di Cek Toko Sebelah (2016) ia menekankan pada father-son di mana dalam interaksi mereka lebih memilih diam, menghindari konfrontasi, maka di film ini yang ditekankan adalah mother-daughter suka berinteraksi dengan konfrontasi gede karena they don’t know how to talk with each other. Namun, dari segi struktur, film ini adalah sedikit kemunduran dari Cek Toko Sebelah. Pacing mestinya bisa lebih lancar lagi. Terutama dari itu, enggak seperti judulnya, film ini bakal menjangkau penonton yang luas.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for SUSAH SINYAL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We got the Piala Maya for Blog Kritik Film Terpilih 2017

JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE Review

“Life isn’t hard, Megaman is.”

 

 

Dalam video game kita akan dikejar-kejar zombie kelaparan. Ditembaki robot-robot kalap. Melompat dari satu jurang ke jurang lain. Kalo gagal, kita mati, sure di jaman now ada save point,  tetapi dulu kita harus mengulang kembali dari awal setiap kali game over. Beberapa game bisa menjadi begitu bikin stress sampe joystick pada rusak. Nintendoku dulu kabel stiknya nyaris putus karena kugigit-gigit ngamuk mati melulu main Circus Charlie di level tali ayunan itu. Namun betapapun susahnya, kita tetap suka melarikan diri ke dalam dunia video game kalo lagi mentok di kehidupan nyata. Anehnya kita bisa refreshing setelah mati berulang kali di dalam video game.

Kayak Spencer dan teman-temannya. Mereka didetensi harus bersihin gudang sekolah bareng-bareng. Kata gurunya sih supaya mereka tahu siapa diri mereka. Di sela-sela kerjaan gak asyik itu, Spencer menemukan mesin video game jadul dengan kaset cartridge bertuliskan Jumanji. Spencer yang jago main video game seumur-umur belum pernah mendengar nama itu, ataupun belum pernah melihat konsol yang begitu antik. Jadi, dia dan Fridge dan Bethany dan Martha mencoba permainan tersebut. Dan seperti salah satu episode film Boboho jaman dulu, mereka berempat tersedot ke dalam layar. Spencer yang kini berwujud The Rock, dan teman-temannya yang juga berubah tampang menjadi karakter game yang sudah mereka pilih, harus bertualang menembus hutan. Mencari dan mengembalikan permata Jaguar yang hilang supaya bisa pulang. Masing-masing mereka cuma punya tiga nyawa, tiga kali kesempatan untuk gagal, sebuah angka yang minim sekali mengingat hutan arena bermain mereka dihuni oleh berbagai binatang buas, serta satu geng bandit yang pemimpinnya bisa mengendalikan hewan-hewan tersebut.

Video game terlihat gampang karena kita sudah tahu apa tujuan kita bermain. Mengalahkan monster. Mencari harta karun. Menyelamatkan putri raja. Kita jadi tertantang buat menyelesaikannya. Ketika tivi dimatikan, tombol power konsol ditekan dan lampunya mati, kita balik ke kehidupan nyata di mana kita tidak mengerti ngapain sih kita di dunia ini. Apa misi yang diberikan kepada kita di sini Hidup sangat kompleks, kita harus memahami diri sendiri, menciptakan sendiri tujuan hidup kita. Itulah kenapa kita menganggap hidup lebih susah. Tujuan itu sama sekali tidak terlay out seperti pada video game. Tapi begitu kita tahu siapa kita, mau jadi apa kita, hidup tidak lebih susah daripada menjatuhkan raja Koopa ke dalam lava. Hidup adalah rimba yang sebenarnya, hanya jika kita tersesat.

Breakfast Club, now in a fully rendered-8 bit

 

Tadinya kupikir film ini adalah remake dari Jumanji 1995 yang ada Robin Williamsnya. Ternyata enggak, ini lebih sebagai sebuah sekuel, dan sort of a reboot. Papan permainan Jumanji yang dimainkan oleh Kirstern Dunst ditampilkan kembali di film ini. Kita lihat gimana si papan merasa ketinggalan jaman dan mengubah diri menjadi kaset dan konsol video game. Dan dari sinilah film mengeksplorasi banyak hal-hal keren yang menyenangkan yang timbul dari gimana manusia masuk ke dalam video game. Oke aku nerd, bahkan sampe sekarang aku habisin waktu luang dengan main video game, jadi mungkin kalian menyangka aku bisa sedikit bias menilai film yang udah nyaris kayak adaptasi video game ini. Tapi enggak sebias itu juga sih, film ini memang TONTONAN MENGASYIKKAN DALAM KONTEKS VIDEO GAMENYA.

Para tokoh di sini dibuat bisa melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing, persis kayak status di video game, dan mereka bekerja sama dengan memanfaatkan aspek ini. Interaksi mereka dengan tokoh tiang garam juga kocak banget. Eh pada tahu ‘Tokoh Tiang Garam’ gak sih? itu loh, di game-game petualangan kan selalu ada tokoh-tokoh yang gak bisa kita mainin, dan diprogram untuk ada di game buat memberikan informasi. Di luar dialog-dialog yang sudah diprogramkan, mereka enggak bisa ngomong hal lain lagi. Jadi kalo kita ajak ngomong terus, ya ucapannya itu-itu melulu. Nah, dalam film, elemen ini jadi salah satu pemancing ketawa yang dibuat dengan sangat menyenangkan. Namun dari konteks-konteks video game yang seru tersebut juga muncul berbagai plothole pada universe yang menjadi kelemahan film.

Salah satu aspek paling seru dari Jumanji: Welcome to the Jungle adalah karakternya.  Jadi kan remaja-remaja itu tersedot ke dalam dunia game, dan mereka sekarang berwujud seperti avatar yang mereka pilih. Dan pada beberapa, tubu mereka sangat bentrok ama sifat asli. Dwayne Johnson hanya kekar di luar. Di dalam otot-ototnya, The Rock adalah Spencer – si kutu buku bertubuh kecil yang sangat penakut, bahkan tupai aja bisa bikin dia jejeritan histeris. Jack Black sangat kocak di film ini; dia adalah cewek paling populer di sekolah, yang kerjaannya main hape melulu, dan dia terperangkap di dalam tubuh tambun pembaca peta. Jadi bisa dibayangkan betapa ngakaknya melihat penampilan akting Jack Black di film ini. Tokoh yang diperankan Karen Gillan punya arc yang menarik; di dunia nyata ia adalah cewek yang benci olahraga, namun di game dia seorang petarung, jadi dia dibuat tertarik untuk menggerakkan tubuhnya dalam cara-cara yang bikin berkeringat.

Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart. Komedian ini sendirinya kocak banget, kita bisa betah duduk berjam-jam nonton dia menghina dirinya sendiri, dan itulah salah satu kekuatan utama pesona kocaknya. Di film ini, Kevin Hart kembali memancing jokes dari sana, dan buatku malah jadinya biasa aja, dia tidak melakukan sesuatu yang baru di sini. Dia sama The Rock banteringnya persis kayak di Central Intelligence (2016), Hart mengejek tinggi badannya sendiri yang kalah jauh ama The Rock. Kevin Hart kocak namun dia pretty much bermain sebagai dirinya sendiri, dan ini kalah menarik dibandingkan aktor-aktor lain yang benar-benar membanting image mereka memainkan karakter yang di luar kebiasaan.

Keberanian enggak ada hubungannya ama ukuran tubuh

 

Kalo di Jumanji dulu kita ternganga ngeliat badak berlarian dari rumah ke jalanan, sekarang kita akan melihat berbagai sekuens aksi yang mengalir lancar berkat keunggulan teknologi. Orang-orang bertebangan ke sana kemari. Stun work di sini amat impresif, meskipun pada beberapa sekuens, film lebh mengutamakan efek CGI. Akan ada banyak adegan yang menampilkan efek yang obvious, yang menurutku adalah disengaja sebagai cara film untuk terlihat sebagai dunia video game. Aku sedikit menyayangkan film ini melewatkan kesempatan untuk tampil kayak di salah satu episode Rick and Morty di mana Rick terjebak dalam dunia simulator. Di serial kartun itu kita melihat Rick berjalan di dunia yang hanya sekitarnya saja yang terender kumplit, begitu dia melihat ke ujung jalan dia hanya melihat polygon, pemandangan sekitar Rick terender seiring dia berjalan karena begitulah lingkungan dalam simulator atau dunia game berjalan. Menurutku, jika perihal render dunia diimplementasikan ke dalam Jumanji ini, tentulah akan semakin banyak hal keren dan kekocakan yang bisa digali.

Bermain-main dengan struktur video game, seperti yang aku singgung di atas, film ini mengambil beberapa pilihan aneh yang bukan saja menjadikan ceritanya tampak tak-lagi seperti video game, melainkan juga jadi membuat ceritanya punya plothole. It’s cool ketika film ini menggunakan flashback dan mengatakannya sebagai adegan cutscene pada video game. Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya. Ini bertentangan dengan konsep video game karena mestinya tidak ada pengembangan dunia lain di luar pengetahuan tokoh utama. Ini sebenarnya soal perspektif, kita seharusnya melihat hal dari sudut pandang Spencer yang jadi tokoh video game, bukannya sebagai pemain. Tapi film tidak pernah menjelaskan kenapa ada cutscene yang tidak diketahui oleh Spencer. Pun juga tidak menerangkan seperti apa persisnya dunia buatan Jumanji. Karena kalo dipikir-pikir, video game yang mereka mainkan mengembangkan programnya sendiri, game ini berevolusi sesuai dengan keadaan pemain yang termasuk ke dalamnya. Karena semua kejadian yang mereka alami seperti sudah diatur, mereka ketemu Missing Piece, mereka bisa menyelesaikan satu stage karena stage tersebut terlihat diprogram untuk diselesaikan empat orang. Bagaimana kalo ternyata ada, katakanlah dua orang, yang memainkan game sebelum mereka. Apakah hal akan berbeda buat Missing Piece? Apakah settingan skill mereka juga berganti. Mestinya film bisa melandaskan aturan mainnya dengan lebih kuat.

Soal arc cerita sebenarnya aku juga bingung, apa yang ingin dicapai oleh film ini. Karena jika menurutku poros utama film ini bicara tentang gimana anak-anak itu belajar memberanikan diri berjuang di dunia nyata, maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.

 

 

Film ini seperti video game, kita akan bersenang-senang dengannya. Perfectly enjoyable dengan penampilan peran yang sebagian besar unik. Aku sendiri cukup capek terbahak-bahak sepanjang durasi. Bagaimanapun juga, ketika dipikirkan baik-baik, ada beberapa hal yang mengganjal. Semua yang kelemahan yang kutulis di sini , in fact, baru kepikiran ketika aku mulai menulis. Kita bisa menutup kekurangan ini dengan memberikan alasan sendiri, tentunya, karena semuanya bisa terjadi di dunia video game. It’s just kupikir film bisa menggali dan melandaskan dunia ceritanya dengan lebih baik lagi. Siapa sih yang enggak mau lebih baik, ya gak?
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Clash of Champions 2017 Review

 

Juara di WWE, berarti kalian kudu siap mempertahankan sabuk emas melawan penantang macam apapun. Namun begitu, di acara Clash of Champions, ada hal lain yang lebih gede yang dipertaruhkan oleh WWE; kemampuan mereka untuk menciptakan drama dan kejutan. Dan ‘lawan’ mereka tentu saja adalah para penonton – penggemar setia jaman now – yang semakin hari semakin pinter.

 

Kejutan yang dihadirkan oleh Clash of Champions sebagai acara brand Smackdown di Boston malam itu adalah; tidak ada kejutan. Setiap hasil akhir pertandingan, siapa pemenangnya, kenapa mereka menang, sudah bisa ditebak oleh fans. WWE, sebagai sebuah bisnis olahraga-hiburan paham betul bahwa yang terpenting adalah bukan apa yang mereka ceritakan, melainkan bagaimana mereka menceritakan. Bagaimana mereka mengolah sesuatu narasi yang sudah ketebak menjadi sebuah pementasan yang intens dan membuat penonton terinvest ke dalamnya. Jadi, beberapa pertandingan di Clash of Champions dirancang penuh oleh drama. Toh, terkadang WWE memang nekat, bercerita dengan mengorbankan aksi adalah resiko yang tak ragu untuk mereka ambil. Pada akhirnya, semua bergantung kepada pilihan kita; ingin menyaksikan gulat profesional sebagai olahraga kompetisi atau bergulat dengan logika dan menikmati itu semua sebagai suguhan film aksi, atau malah, suguhan sinetron.

Natalya dan Genk Juara

 

Dulu masih gampang untuk kita, sebagai penonton, nonton WWE dan flat out tenggelam dalam dramanya. Dulu kita masih sabar untuk suspend our belief selama dua jam acara berlangsung. Aku masih ingat tahun 2000an awal dulu, satu episode Smackdown didedikasikan untuk membangun cerita gimana D-Generation X mengatur acara dengan seenak udel. Pertandingan di acara itu semuanya jelek-jelek, enggak ada yang bersih, dan kita dapat stipulasi norak semacam The Rock dan Mankind harus bertarung memperebutkan kontrak kerja yang digantung di atas pole. Back then, semua penonton menikmatinya. Orang dulu tidak peduli gimana aslinya Kurt Angle adalah atlet beneran, dan digunakan dengan cara yang memalukan – dibuat sebagai pengecut – di televisi. Tetapi tentu saja, sebagai penonton kita punya ekspektasi, dan makin ke sini, penonton semakin cerdas. Kita ingin bisa menikmati acara ini dalam level yang lebih tinggi. Sekarang, semua orang sudah jadi ‘smark’. Smart-Mark. Penonton yang tahu WWE itu udah ada skenario, tapi masih menuntut supaya WWE tampak senyata mungkin. Ketidakpuasan kita inilah yang jadi lawan berat WWE dalam upaya mereka mempertahankan apa yang terbaik yang bisa mereka lakukan; ngedeliver hiburan dalam kemasan aksi yang mendebarkan.

Faktanya adalah susah untuk mengejutkan – memberikan kejutan yang  menyenangkan bagi – fans kekinian. Arus informasi berputar pesat, di internet kita bisa dengan gampang menemukan situasi real maupun kayfabe terkini, rumor-rumor, tentang apa yang terjadi belakang layar WWE. Kita tahu Daniel Bryan akan terlibat dalam storyline Kevin Owens dengan Shane McMahon, bahkan sebelum pertandingan tag team mereka di Clash of Champions diresmikan. Dan saat ulasan ini ditulis, santer sudah kabar kalo this whole match didedikasikan buat kembalinya Bryan beraksi di dalam ring Wrestlemania April nanti. Attitude era penuh oleh match-match ‘terlalu skenario’ seperti yang kita lihat pada match Owens dan Zayn melawan Orton dan Nakamura di sini. Namun apa yang dulu kita bilang seru, sekarang kita bilang kurang ajar. Keempat pegulat yang bertanding sesungguhnya bukan fokus. Alih-alih itu, match ini adalah tentang Shane dengan Bryan, yang digariskan bakal cekcok di saat mereka berdua berperan sebagai wasit. Walaupun penceritaan match ini sangat baik, mereka ngebuild up konflik – bagian favoritku adalah ketika Shane menghentikan hitungannya atas pin yang dilakukan oleh Zayn, yang memnggiring kita ke akhiran yang keren, tapi aksinya tampak salah tempat. Sekuens para wasit itu mengganggu. Nakamura dan Orton gak kebagian spot, dan ini bukan match yang baik karenanya.

Kita lebih menghargai kejuaraan United States yang mempertemukan Baron Corbin sebagai juara bertahan melawan Bobby Roode dan Dolph Ziggler. Meskipun penambahan Ziggler ke dalam partai tersebut tidak berhasil diceritakan dengan menarik. Kita gembira dengan outcomenya, padahal kita sudah bisa menebak – Ziggler dikabarkan bakal hengkang jadi wajar WWE menjamin Ziggler untuk tetap tinggal dengan memberinya sabuk. Kita overlooked bukti-bukti bahwa Ziggler ini sudah lama sekali berada di zona gak-relevan, dan setiap title reignnya sebelum ini selalu berujung tumpul. Tentu saja kita menyukai match ini karena aksinya. Cepet, finishingnya enak dilihat. Sedikit melibatkan storyline artinya kita tahu dengan begini, para superstar tidak terlalu cedera imagenya.

Tapi tentu saja , WWE lebih ngeri jika superstarnya cedera beneran lantaran kebanyakan aksi yang berlebihan. Jadi WWE tentu saja hampir selalu mengambil keputusan sekalipun ada aksi, mereka akan membuatnya singkat. Makanya kita dapat squash match. Untuk menjaga hal tetap menarik, dalam acara ini kita melihat konsep pertandingan yang baru, yakni fatal 4-way tag team di mana kontestan dari keempat kubu masuk bersamaan dan mereka hanya boleh meng-tag partner sendiri. Banyak gerakan-gerakan dan taktik unik yang tercipta dari sini. Setiap superstar pada dasarnya diberi jangka waktu singkat untuk unjuk kebolehan, yang dimanfaatkan dengan sangat baik oleh  Big E dan Chad Gable. Aku suka banget liat Chaos Theory si Gable, I mean, di sini performa Gable membuktikan kalo WWE sudah salah langkah meninggalkan dirinya demi cerita Anak Kurt Angle di brand Raw. Rusev dan Aiden English juga membuktikan kepada WWE bahwa mereka masih bisa over, meskipun berangkat dari momentum yang serabutan. Fans bener-bener suka sama Rusev Day. Menurutku, pertandingan inilah yang paling dekat dengan sebuah kejutan yang mampu dihadirkan WWE pada Clash of Champions.

Ayo jadikan Rusev Day sebagai hari libur nasional

 

Aku enggak tahu kenapa mereka menyebutnya sebagai Lumberjack padahal karena semua pesertanya cewek maka yang lebih tepat adalah Lumberjill, namun yang jelas, partai yang juga adalah perebutan kejuaraan wanita tersebut adalah yang paling fail dari keseluruhan acara. Dramanya totally enggak bekerja. Penampilan Natalya terlalu dibuat-buat. Sebagai face, Charlotte tampak seperti sebuah miscast yang lebih parah daripada Sasha Banks. Konsep Lumberjacknya juga klise banget. Stipulasi ini dipilih supaya mereka bisa ngepush semua talent di divisi cewek sekaligus, hanya saja eksekusinya sangat serabutan.  Sampai ke poin aku melihat Liv Morgan memukul Ruby Riott yang notabene adalah rekannya sendiri.  Sedari bel berbunyi tidak pernah terasa kalo ini adalah pertandingan kejuaraan, kalo ini adalah cerita Natalya yang mengancam status juara Charlotte.

Yang paling layak kita apresiasi adalah Jinder Mahal dan AJ Styles yang berlaga di partai utama. Tadinya aku excited melihat Mahal jadi juara, kemudian dia tak mampu membuktikan keunikannya sebagai antagonis yang bermarwah, dan match-matchnya boring semua. Akan tetapi, di sini, dengan kerja sama dari AJ Styles, Mahal terlihat benar-benar berusaha. Match mereka memang tampak membosankan lantaran menjelang partai ini kita disuguhi oleh gimmick-gimmick dan segala tetek bengek drama. Kehadiran Styles membuat elemen aksi pertandingan ini enak untuk dilihat dan diikuti. Styles ngejual serangan orang dan mengeksekusi gerakan sendiri dengan sama fenomenalnya. Kontribusi Mahal buat pertandingan, tentu saja adalah menggerakkan roda drama dengan peran heelnya. Dan Mahal tidak melakukannya dengan berlebihan kali ini. Gangguan Singh Brothers enggak langsung mengakhiri match, kayak yang sudah-sudah. Terlihat sekali matangnya koordinasi antarkedua superstar.

 

 

 

Menurutku, Clash of Champions ini benar-benar bentrok. Aku suka apa yang orang tidak suka, aku eneg ngeliat apa yang orang lain cheer. Kupikir itu karena aku yang sudah terbiasa nonton film menganggap WWE lebih seperti tontonan dengan cerita dan karakter. Namun keseluruhan, terasa seperti WWE menggunakan rumus drama dan aksi yang berbeda pada setiap match supaya penonton tetap tertarik sebab mereka tahu tidak ada surprise yang bisa mereka datangkan di sini. Semua sesuai dengan yang kita harapkan. Semua memenuhi prediksi dan teori yang bergentayangan di internet. Paling tidak, masih lumayan masuk akal, dan WWE berhasil membuatnya cukup menyenangkan.
The Palace of Wisdom menobatkan AJ Styles melawan Jinder Mahal sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Result:
1. TRIPLE THREAT WWE UNITED STATES CHAMPIONSHIP Dolph Ziggler jadi juara baru ngalahin Baron Corbin dan Bobby Roode
2. FATAL 4-WAY WWE SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos bertahan atas The New Day, Chad Gable dan Shelton Benjamin, serta Aiden English dan Rusev.
3. LUMBERJACK WWE SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte tetep juara mengalahkan Natalya
4. TAG TEAM The Bludgeon Brothers membunuh Fashion Police Breezango!!
5. TAG TEAM DENGAN SHANE MCMAHON DAN DANIEL BRYAN SEBAGAI WASIT Kevin Owens dan Sami Zayn dinobatkan menang dari Randy Orton dan Shinsuke Nakamura
6. WWE CHAMPIONSHIP Maharaja kita tap out kena Calf Crusher dari AJ Styles.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE KILLING OF A SACRED DEER Review

“Justice is doing for others what we would want done to ourselves.”

 

 

Rusa keramat itu bisa saja pernikahan, atau anak, atau pasangan hidup. Objek pada judul film ini jelas sebuah metafora. Namun kata kerjanya mengisyaratkan sebuah pesan yang jelas. Jangan membunuh. Membuat orang menjadi tidak bahagia karena kehilangan sesuatu adalah perbuatan yang tercela. Dosa. Nyawa itu milik Tuhan, Beliau yang mengatur. Dan itu berarti jika seseorang menghilangkan nyawa orang lain, maka orang tersebut sudah ikut campur kerja si Maha Pencipta. Betapa sombong dan takaburnya manusia yang meletakkan tangannya ke dalam urusan Tuhan, ke dalam urusan nyawa. Namun bagaimana jika pekerjaan ‘meniru’ Tuhan itu memang ada – bukan hanya ada, sekaligus juga dianggap mulia? Para dokter menyembuhkan orang-orang yang sakit, on the other hand, banyak juga tidak mampu mereka selamatkan. Apakah mereka, para dokter, musti bertanggungjawab atas kegagalan mereka?  Apakah mereka harus diberikan konsekuensi? Apakah yang mereka gagal lakukan, adalah sebuah tindak pembunuhan?

The Killing of a Sacred Deer mengeksplorasi tentang  konsekuensi dan keadilan, dan film ini menggalinya dari tempat yang tak terduga. Rumah sakit putih berkilat adalah panggung yang berdarah di film ini. Dan kita sebagai penonton, akan terperangkap di sana. Dibuatnya sedemikian rupa sehingga kita tidak tahu lagi mana jawaban yang memuaskan. Kadang frustasi juga menonton ini karena tokoh film ini begitu pandai mendem emosi, sangat subtil, walaupun ada kejadian menyeramkan yang menyelimuti mereka.

Sedari permulaan, film ini sudah aneh banget. Collin Farrel yang brewokan berperan sebagai dokter bedah yang diam-diam bertemu dengan cowok yang masih berusia enambelas tahun. Martin namanya. Dokter Steven mengajak Martin makan di luar, jalan-jalan, membelikan remaja itu jam tangan anti-air yang harganya selangit. Ketika ditanyai oleh kolega, Steven mengatakan bahwa Martin adalah teman sekelas putrinya. Padahal enggak. Kita tahu Martin belum pernah bertemu dengan keluarga Steven; istri yang juga dokter handal, putri yang baru nginjak usia remaja, dan putra yang rambutnya gondrong, mereka enggak tahu ayah mereka diam-diam pergi menemui Martin. Hmm ada apa ini? Aku tidak bisa menebak ini cerita tentang apa. Tapi semakin berjalan waktu, lapisan cerita itu semakin membuka, kita dibelokkan berkali-kali oleh pengungkapan yang semakin sinister, hingga sampailah kita melihat keluarga harmonis itu dirundung masalah yang tak mampu dijelaskan oleh otak-otak jenius Steven dan istrinya. Anak-anak mereka kejatuhan penyakit aneh!

dokter tangannya bagus, tulisan tangannya yang jelek

 

Dari yang tadinya perasaan iba berubah menjadi ketakutan. Dari yang tadinya sopan, kehadiran Martin yang tak diundang menjadi sebentuk ancaman. Sutradara Yorgos Lanthimos dengan sangat hati-hati ngecraft ritme dan tutur penceritaan, membuat kita tetap tertarik Desain musik dan suara yang dipakai sepanjang film sukses berat menghasilkan atmosfer yang creepy. Kamera yang menangkap pemandangan-pemandangan simetris-but-not-really, menciptakan sensasi ketimpangan yang secara tersirat memperkuat konflik pada tema keseimbangan, dan kita tahu keseimbangan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh cerita.  Akan ada banyak orang yang enggak sanggup menyelesaikan menonton film ini lantaran beberapa adegan memang sangat menantang moral kita, enggak semua yang dihadirkan di sini politically correct. Tokoh-tokoh di sini akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang bakal bikin kita gak nyaman, lantas kita tertawa. Seperti ketika putri Dokter Steven berkata kepada adiknya yang enggak bisa berdiri “kalo kamu mati, musik player kamu buat aku ya, plisss”. Yang paling gebleg terang saja adalah adegan menjelang terakhir yang involving senapan, penutup wajah, dan duct tape.

If anything, film ini mau bilang bahwa karma itu ada. Senyata hukum aksi dan reaksi pelajaran fisika.  Jika kita berbuat kejahatan, maka kejahatan itu akan balik menimpa kita. Membenarkan perkataan Mahatma Gandhi “mata dibalas mata hanya akan membuat seluruh dunia buta”, film ini punya sistem penyeimbangan neraca sendiri. Jika seseorang membunuh, dia menghilangkan nyawa orang, maka pembalasn dari tindakannya bukanlah keluarga si pembunuh balas dibunuh oleh keluarga korban. Melainkan si pembunuh harus membunuh keluarganya sendiri. Dengan cara demikian, yang berdosa tetap satu orang sehingga keadilan tertinggi bisa tercapai tanpa harus membawa banyak orang ke lembah kejahatan.

 

 

Perjalanan tokoh Steven akan membuat kita balik mengantagoniskan dirinya, meski kita tahu kesusahan yang ia lewati. Kita kasihan tapi kita juga geram kepada dirinya yang tidak mengambil tindakan yang benar. Untungnya film ini diberkahi oleh beragam penampilan yang hebat, enggak sebatas berada di pundak Farrel dan Nicole Kidman saja. Aktor-aktor muda juga bermain dengan sangat meyakinkan. Setiap anggota ditulis dengan matang, ada build up yang diberikan terhadap mereka. Sehingga ketika hal menjadi ruwet di dalam lingkaran mereka, kita turut merasakan kecamuk yang bergelora di balik tenangnya mereka. It’s heartbreaking melihat Steven pada akhirnya harus memilih; Ketika dia menyadari kenapa putra bungsunya yang selama ini sedikit  gak-nurut mendadak mengubah cita-cita menjadi sesuai dengan kehendak dirinya; Pandangan matanya conflicted banget, dia gak yakin yang mereka lakukan benar, juga tersirat keraguan, sebab kalian tahu,

jika kita berkorban, maka korbankanlah yang terbaik yang kita punya.

 

 

Film ini adalah adaptasi bebas dari mitologi dewa-dewi Yunani, yang actually sempat disebukan di dalam narasi. Kisah tentang Raja Agamemnon yang sudah membunuh salah satu rusa kesayangan Artemis, sehingga Dewi Pemburu itu marah dan meminta Agammemnon untuk mengorbankan putrinya. Film ini memang tidak pernah serta merta bilang Steven adalah Agamemnon, ataupun bahwa Martin adalah Artemis, tapi jelas sekali film ini menyuarakan hal yang sama. Jangan lakukan kepada orang lain hal yang tidak mau kau lakukan kepada diri sendiri.

Akan tetapi, tidak seperti Mother! (2017) yang menceritakan kembali kisah di Kitab Suci dengan cerita sendiri dan actually punya tujuan, glaring with symbolisms sehingga kita tahu ceritanya sudah pasti tidak berada di dunia logika, The Killing of a Sacred Deer adalah film gagasan yang benar-benar vague. Ceritanya terlihat bertempat di dunia biasa, namun kita mendapat hal mengerikan – gaib kalo boleh dibilang – dan film ini tidak memberikan penjelasan, misalnya penjelasan penyakit apa yang menjangkiti keluarga Steven. Atau bagaimana Martin tampak bisa mengontrol penyakit tersebut. Dan menurutku ini menjadi kelemahan sebab mengurangi kesan real. Kita sudah sengaja dibuat sedikit terdeatch demi menyampaikan kengerian, dan ditambah dengan kejadian seputar penyakit, film ini semakin terasa jauh. Aku pikir, The Lobster tahun 2016 lalu yang juga digarap oleh Lanthimos masih lebih terasa relatable padahal ceritanya tentang masa depan di mana semua orang bisa berubah menjadi binatang.

 

 

 

Sesungguhnya semua orang pasti ada saja keanehannya. Kenormalan adalah hal yang amat langka bagi film ini, makanya jika kalian juga punya kelainan, yakni suka nonton film-film aneh dan berani, film ini tentu adalah pilihan yang rugi untuk dilewatkan. Karena penceritaannya yang begitu menantang. Mengerikan, menyedihkan, bikin geram, tak pelak film ini bakal bikin kita merenung setelah menontonnya. Membuat kita berpikir ulang mengenai apa itu keadilan yang sebenarnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KILLING OF A SACRED DEER.

 

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.