LIAM DAN LAILA Review

“Some third person decides your fate: this is the whole essence of bureaucracy”

 

 

Pertanyaan pertama yang dilontarkan kepada Liam ketika dia menginjak ranah Minangkabau adalah “Apa agamamu?” Facebook boleh jadi sudah ketinggalan jaman, begitu pesatnya dunia bergerak. Namun adat istiadat tetap harus dipijak, dengan agama sebagai dasarnya. Bagi manusia seberadab Liam, pertanyaan tersebut bukanlah terdengar seperti kekangan. Melainkan garis yang musti ia kejar. Bukan pula sekedar syarat baginya untuk menikahi Laila. Tetapi merupakan tujuan hidup. Banyak pasangan seperti Liam dan Laila; yang mengusahakan perbedaan mereka tidak dijadikan penghalang. Saat aku menonton ini, pasangan yang duduk di barisan depanku juga pasangan bule dan wanita Indonesia. Mereka berbeda agama. “Film tadi membuka hati saya akan cinta yang sesungguhnya” kata si pria bule dengan mantap menggunakan bahasa Indonesia.

Bukan hanya agama, cinta juga sebenarnya enggak bisa main-main. Bukan karena Laila, maka Liam jadi pindah keyakinan.  Laila ‘hanyalah’ simbol cinta yang ditemukan oleh Liam dalam perjalanannya mencari cinta yang ia yakini sepenuh hati. Inilah yang membuatnya kontras dengan keluarga niniak mamak Laila. Mereka terlalu memandang tinggi adat, melampaui agama yang mestinya mereka lindungi dengan adat tersebut. Di akhir film, sesungguhnya bukan Liam yang banyak belajar agama dari mereka. Melainkan mereka yang secara tak sadar, diajarin cara meyakini oleh Liam.

 

Liam (Jonatan Cerrada cukup kocak, logat bule ama logat orang padang berbahasa Indonesia ternyata mirip haha) nekat datang untuk meminang Laila (Nirina Zubir, sebaliknya, tampak cukup mengesankan tampil serius dan emosional dengan berbahasa minang). Di depan kandang singa, Liam mengutarakan maksud hatinya. Dia ingin masuk Islam, dan memperistri Laila, cewek yang ia kenal di facebook, yang sudah mengajarinya banyak hal tentang agama penuh damai ini. Tapi tentu saja pindah agama bukan urusan yang sepele. Pun menerima orang asing, bule pula, ke dalam keluarga Gadang yang erat tradisi. So yea, cerita film ini bisa dibilang sanak dari cerita Crazy Rich Asians (2018)Di mana Liam harus membuktikan kesungguhannya memeluk Islam. Dia harus membuktikan dirinya dapat dipercaya. Karena dari sisi keluarga, selalu ada prasangka dan kecemasan. Apalagi di jaman sekarang. Kenalan lewat sosial media aja sudah dinilai sebagai cukup mencurigakan. Dengan visanya yang habis dalam tiga-puluh hari, waktu turut mengejar Liam. Dia harus segera mengikrarkan keyakinannya, sebelum didaulat pantas untuk mengucapkan ijab kabul.

Dan cowok pengusaha daging di Perancis ini menghabiskan 4 hari dari waktunya yang berharga dengan diam di kamar hotelnya (Hotel Mersi, pardon my french hihi) menunggu keputusan rapat keluarga Laila.

kirain bakal ada candaan klasik “Paris – Pariaman dan Sekitarnya” hihi

 

It’s really hard to pinpoint siapa yang dijadikan fokus utama cerita ini. Secara natural, aku pikir Liam akan jadi sudut pandang tubuh cerita; kita melihat tokoh ini muncul duluan di layar, dia diberikan batas waktu, dia yang punya misi untuk membuktikan diri. Tapi cerita tidak segera membuat tokoh ini menjadi tokoh utama. Dia gak ngapa-ngapain sebagian besar cerita. Dia hanya dibantu, ditempatkan dalam situasi, dan dia nurut aja karena memang dia tidak punya tempat untuk melawan adat. Liam akan melalui berbagai tata cara masuk Islam, dia membaca syahadat, kemudian disunat, tapi pilihan-pilihan yang tokoh ini ambil jarang sekali menambah atau bahkan punya kepentingan untuk bobot cerita. Untuk alasan kelucuan, dan menambah intensitas sekenanya kita akan melihat Liam yang masih bersarung abis sunatan dikejar-kejar satpam yang mengira dia mau kabur.

Mungkin karena dia cowok, jadinya harus less-drama apa gimana, tantangan yang diberikan film kepada Liam hanya berupa tantangan birokrasi. Dia dipersulit untuk masuk Islam. Dia harus bolak-balik Jakarta-Sumbar demi mengurus surat tanda belum menikah. Bahkan dia harus menunggu suratnya tersebut ditandatangan. Ada satu petugas KUA yang bakal bikin kita pengen mendalami ilmu palasik supaya bisa menyedot habis darahnya di tengahmalam, dan aspek ini pun enggak pernah terasa dua-sisi. It’s just.. birokrasi jelek, dan Liam dipersulit karena ketakutan tak wajar kepada penduduk asing. Semua hal tersebut tidak pernah tampak benar-benar menarik karena dari sisi keluarga besar Laila, kita tahu ada bentrokan pandangan yang sengit. Dan Liam bahkan tidak tahu soal itu. Dia tidak boleh – dan tidak pernah datang – setiap keluarga Laila mengadakan pertemuan di Rumah Gadang. Actually, ini tradisi Minangkabau, tradisi keluarga di sana memang ketat banget. Dan di keluarga Laila, semuanya diputuskan oleh Mak Tuo, sebagai anggota keluarga paling tua. Mak Tuo inilah yang paling ‘meragukan’ Liam – bayangkan ibu camer di Crazy Rich Asians, tetapi tanpa domino dan lebih banyak kata-kata kiasan – final words ada di dia, dan Liam bahkan enggak pernah ketemu dengan beliau hingga akhir film di mana semuanya, tentu saja, berakhir baik-baik saja.

siapa anak yang disenyumin Liam di Masjid? Kenapa kamera begitu on-point ngesyut mukanya?

 

Laila, dibangun sebagai karakter dengan sedikit lebih baik. Kita juga diperlihatkan pekerjaannya apa, gimana dia adalah cewek yang mandiri, berpikiran terbuka, dan lebih maju dari beberapa keluarganya yang lain. Orang-orang di sekitar rumahnya mulai bergosip soal masalah jodohnya yang membuat rumah mereka selalu ribut di malam hari. Namun, Laila sendiri juga tidak bisa berbuat banyak. Karena ya urusan adat istiadat tadi itu. Kita tidak akan melihat baik Liam maupun Laila melakukan sesuatu yang tergolong menarik. Mereka tidak pernah melanggar batas apapun. Hal terjauh yang dilakukan Laila adalah mengomel sambil menangis mengenai jodohnya yang selalu ditentang karena hal-hal tak-penting yang terus saja dibesar-besarkan dalam rapat keluarga.

Mungkin ambo salah, mungkin memang indak ado tokoh utama di siko. Atau mungkin judulnya hanya pengalihan sebab bisa jadi ini adalah cerita tentang paman Laila, Jamil (David Chalik juga menunjukkan lapisan akting saat dengan tepat menunjukkan ‘kekakuan’ orang minang berbahasa Indonesia) yang berusaha memperjuangkan, bukan hanya kelancaran birokrasi di negeri ini, melainkan juga kesempitan pandang mengenai adat istiadat. Karena Jamil lah yang eventually orang yang paling banyak berkorban dan bertindak dalam cerita. Begini, seperti yang dijelasin Laila, dalam tradisi mereka Paman adalah salah satu yang bertanggung jawab menyukseskan acara pernikahan kemenakan wanita. Jamil yang aparat negara, mempertaruhkan pekerjaannya dengan pergi kemana-mana membantu Liam, memastikan semuanya lancar, demi Laila.

 

 

Birokrasi nyusahin yang sudah menjadi tradisi, juga sebaliknya kadang tradisi udah kayak birokrasi – yang asal ditegakkan, walaupun kita tidak lagi melihat kemasukakalannya 

 

Filmnya sendiri sebenarnya lucu. Paling tidak, buat aku yang mengerti candaan dan bahasa orang Minang. Gimana orang di sana menyebut semua motor dengan “Onda” alias honda, misalnya. Berikut kukasih tahu, bahasa minang itu sendiri kata-kata dalam satu kalimatnya sebenarnya lebih lucu daripada keseluruhan arti kalimat tersebut. Juga bagaimana setiap orang minang punya cara tersendiri dalam mengucapkannya. Sajian yang menyegarkan, karena kita jarang sekali dibawa mengintip budaya dari Sumatera sana. Dan Minangkabau punya banyak untuk digali, selain kulinernya. Juga sempat ada candaan gimana abang Laila meledek Liam pelit, dan itu lucu karena stereotipe yang ada ialah orang minang yang terkenal pelit. Hanya saja, aku pikir, kita perlu melihat lebih dalam dari ceritanya sendiri, yang mana sangat relevan. Seharusnya lebih dari sekadara menyinggung birokrasi, tradisi, paling tidak porsi pembahasannya kedua sisinya dibuat lebih berimbang lagi.

 

 

 

 

Bukannya film tak boleh mengambil banyak perspektif. Justru sebenarnya bagus gimana film ini memperlihatkan semua tokoh ‘bertarung’ dalam ‘pertempuran’ mereka masing-masing. Bahkan si Mak Tuo tadi diberikan antagonis berupa datuk-datuk seniornya yang merasa dikucilkan. Para pemeran pun berhasil membawa warna tersendiri; dan di sinilah letak kekuatan film ini. Dia tampil sebagai warna yang baru dari cerita mengenai cinta yang terhalangi. Tapi film butuh sudut pandang utama sebagai tulang punggung cerita. Jika ini tentang Liam, maka seharusnya kita melihat origin si Liam – siapa dia sebelum masuk Islam, gimana hidupnya, seharusnya dieksplorasi supaya kita bisa merasakan perubahan terhadap si tokoh lebih dalam daripada sekedar dia sekarang sudah benar-benar memeluk Islam dan jadi suami orang Minang.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for LIAM DAN LAILA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa disusahkan oleh birokrasi, entah itu di lingkungan kampus atau dalam pekerjaan?

Seberapa penting sih, menurut kalian, menjaga tradisi? Jika sebuah kapal diganti seluruh bodinya, kecuali mesin, apakah itu kapalnya baru atau masih kapal yang lama – jika sebuah tradisi diperbaharui disesuaikan dengan keadaan jaman, apakah itu berarti tradisi yang lama tadi sudah hilang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

SOMETHING IN BETWEEN Review

“I’m searching for you, though I’ve met you not.”

 

 

 

Keenam kalinya bermain dalam film yang sama – lebih dari tiga film sebagai pasangan, chemistry Jefri Nichol dan Amanda Rawles tidak bisa lebih manis daripada ini. Seperti tidak ada apa-apa lagi di antara mereka; sebagai kekasih, akting mereka tampak sangat natural. Di Something in Between, mereka actually diberikan sesuatu yang serupa tapi tak sama untuk dimainkan. Sebab film ini bakal tak seperti kelihatannya. Jika Aruna & Lidahnya (2018) diam-diam memasukkan satu adegan spiritual (-ngeh gak yang manaa?), maka roman remaja garapan Asep Kudinar ini punya cerita yang totally dibangun dari konsep spiritual.

Dan yang ingin kusampaikan ini sebenarnya bukan spoiler. Meski memang film bakal ngereveal penjelasan mengenai apa yang terjadi di akhir, namun sedari menit-menit awal kita bisa menggunakan logika merangkai sendiri kesimpulan yang pun sebenarnya enggak benar-benar ditutupi tentang bagaimana dunia dalam cerita ini bekerja. Cerita bermula dari seorang cowok bernama Abi yang begitu terganggu dengan mimpi-mimpinya. Dia membuat sketsa tentang kejadian, tempat, dan orang-orang yang ia lihat di mimpinya. Tapi ada seorang gadis yang tidak bisa ia gambar wajahnya. Untuk mendapatkan closure mengenai mimpi anehnya tersebut, dia minta ijin meninggalkan rumah dan keluarganya di London. Dia pergi ke Jakarta, mencari tepatnya sekolah yang ia lihat dan gambarkan. Tentu saja dengan harapan, dia bisa bertemu dengan orang-orang yang ia lihat di mimpinya, terutama si cewek misterius, sehingga hidupnya bisa tenang.  Ketika dia menginjakkan kaki di lokasi yang benar, dari reaksi orang-orang di sekolah yang melihat dirinya – bahwasanya dulu ada murid di sana yang sangat mirip dengan Abi – jelas bahwa Abi sedang mengalami kenangan orang lain di dalam kepalanya. Ini bukan kasus seorang yang hilang ingatan, karena keluarga Abi juga tidak mengenali gambar-gambar yang ia buat. Dan semua kejadian tersebut sudah terjadi menjelang dua-puluh menit awal.

ah gue pikir gue jago gambar

 

 

Something in Between, to my surprise, lebih seperti versi yang lebih sederhana dari anime Your Name yang fenomenal di tahun 2016 lalu (top film 2016 versi My Dirt Sheet!) ketimbang cinta-cintaan anak sekolah yang bisa. Walaupun memang film ini menyerah kepada keinginannya untuk menjadi seperti Dilan 1990 (2018) yang sukses mengeset tren supaya tokoh cowok kudu bad boy baik hati yang suka ngegombal dengan tingkah yang dinilai aneh, tetapi Something in Between punya sesuatu yang lebih untuk ditawarkan. Film ini mencoba bicara tentang tema-tema spiritual seperti reinkarnasi, eksistensi, pencarian, di balik lapisan asmaranya. Bahkan ada bagian mengenai simbolisasi tangga yang dibicarakan dalam level kecil-kecilan, as opposed to Your Name yang adegan endingnya dibesarkan dengan simbol tangga. Untuk alasan tersebut, Something in Between sudah menjelma sebagai salah satu tontonan remaja paling dalem, dalam soal lapisan ceritanya, yang bisa kita dapatkan dari film Indonesia kekinian. Napas film ini adalah napas segar, pembuatnya juga cukup cerdas. Film ini bisa saja mengapitalisasi kefavoritan penonton akan cerita remaja dan hal-hal spiritual, in a good way.

Fakta bahwa banyak aktor senior di antaranya seperti Slamet Raharjo, Djenar Maesa Ayu, Yayu Unru,  mau ikutan bermain mungkin dapat kita artikan sebagai bentuk persetujuan mereka kepada Nichol dan Rawles; bahwa dua bintang remaja ini sudah bermain di level akting yang ‘matang’. Film bertumpu kepada hubungan antara tokoh Nichol dan Rawles. Nilai plusnya adalah mereka bermain dengan sangat meyakinkan. Unyunya mereka pacaran jadi daya pikat utama. Gimana tokoh Nichol mengejar hati tokoh Rawles. Film membuat tantangan yang dekat sama lingkungan anak sekolah; di mana seorang anak dari kelas biasa pengen masuk kelas unggul demi bareng gebetannya, semua drama sekolah yang bisa dipancing dari aspek ini membuat cerita punya suara tersendiri. Huruf gede tapinya adalah, film jadi terlalu fokus kepada porsi cerita ini. Mengapa pula hal tersebut menjadi masalah, tanyamu? Karena film enggak seharusnya tentang mereka berdua. Atau tepatnya; enggak seharusnya tentang tokoh mereka berdua pada saat itu.

Jadi begini, setelah sampai di sekolah yang ia gambar, Abi mendengar cerita tentang cowok yang mirip dengan dirinya – Gema. Adegan Abi menyusuri tempat-tempat yang penting pada hidup Gema di-intersplice dengan adegan kehidupan Gema di sekolah. Dan bagian cerita Gema ini, dia bertemu Maya – cewek tanpa wajah dalam gambar Abi, dia berusaha jadi pacarnya, mengalami berbagai tantangan (yang semuanya selesai dengan gampang), mengambil sebagian besar waktu cerita. Seolah ini film tentang Gema, bukan lagi tentang Abi yang mencari tahu siapa Gema. Yang kita ikuti adalah motivasi Gema, bukan Abi. Padahal Abi lah tokoh utama cerita. Tetapi tokoh ini jadi seperti tidak punya kehidupan sendiri sebagai Abi. Kita tidak pernah diperlihatkan siapa teman-teman Abi, bagaimana reaksi keluarganya begitu fakta tentang Abi dan Gema terungkap. Dia benar-benar sudah meninggalkan kehidupannya di London sana.

Abi hanyalah kotak kosong yang menggemakan karakter Gema.

 

 

Film seharusnya bercerita lebih banyak tentang gimana Abi dealing with the facts bahwa dirinya adalah reinkarnasi Gema. Bagian ini memang dibahas sedikit di akhir dan tak pelak lebih menarik. Kita akan melihat gimana dia harus mencari Maya di masa sekarang. Gimana dia berinteraksi dengan teman-teman Gema. Abi semacam muncul gitu aja di kota Gema, dan gimana reaksi sekitar cukup tergambarkan, meski porsinya mengalah banyak. Konflik yang dialami oleh ‘Maya’ yang baru jauh lebih menarik dibanding Abi. Suara tentang masalah eksistensi itu, like, siapa diri kita jika kita ternyata hanyalah sambungan dari keberadaan orang lain tentu lebih menantang daripada melihat apakah dua remaja ini pada akhirnya akan bersama. Maka dari itu juga, pointless membuat cerita jadi seolah menitikberatkan kepada apa yang sebenarnya terjadi. Adegan di rumah sakit di mana semua pemain ‘kebetulan’ ada di sana, sungguh overkill; tidak perlu. Kita tidak perlu untuk dipastikan bagaimana cara kerja arwah mereka terbang dan masuk ke bayi. Kita bisa menyimpulkan itu sendiri, bahkan tidak jadi soal mengenai jarak mereka, fokus dan apa mestinya digali adalah apa yang terjadi ketika kita mengetahui bahwa kita ditakdirkan bersama – namun bersama yang bukan sebagai pilihan kita sendiri.

Kita sungguh akan mengejar apa yang penting bagi kita. Jika itu cinta, kita tidak ingin dipisahkan darinya, kita ingin selamanya bersama. Akan tetapi, bagaimana jika yang kita kejar tersebut, yang ingin kita pertahankan itu, bukan benar-benar keinginan milik kita? Menakjubkan sejauh apa kita bertindak demi sesuatu yang kadang tidak kita ketahui ‘wujud’ aslinya.

 

Yang membuat film ini stuck di antara dua posisi adalah kecenderungannya untuk memfasilitasi kemalasanberpikir penonton. Walaupun cerita kita untuk remaja, bukan berarti harus bercerita dengan terlalu menuntun. Emangnya remaja pada bego semua apa. Dialog pada film ini banyak yang menjelaskan hal-hal yang sebenarnya tak pelru lagi dijelasin. Seperti pada adegan ketika Abi dan sepupunya menunggu chat dari seseorang. Kita sudah tahu pertanyaan mereka tidak dibalas, cerita juga sudah membangun ‘bunyi notifikasi’ pada adegan ini, tetapi naskah masih merasa perlu untuk menambahkan dialog “dia tidak menjawab pertanyaan kita”. Film ini sering bercerita dengan eksesif seperti demikian. Padahal semua yang dilakukan para tokoh, every little things comes full circle.

Aku bahkan sudah berniat ingin menjegal film ini dari aspek waktu cerita, you know, aku merasa bisa saja enggak mungkin si tokoh adalah reinkarnasi, jadi aku benar-benar memperhatikan petunjuk waktu yang disebar oleh film. Dan tahu apa, film ini dengan teliti dan tidak terburu-buru dalam menyebarkan informasi waktu; tanggal pada nisan, petunjuk umur tokoh cewek, perkiraan usia anak sahabat Gema, dan semua itu cocok dihubungkan – timelinenya bener. Jadi ya sungguh disayangkan aja sih, karena film sebenarnya cukup detil dalam membangun elemen cerita, tapi masih terlalu menuntun dan nyuapin dalam bercerita. Juga masih banyak trope-trope cerita remaja yang dimasukkan demi narasinya maju dengan gampang, seperti saingan cinta yang jahat begitu saja. Kadang pilihan yang dilakukan tokoh, terlihat aneh dan tanpa alasan, kecuali supaya cerita berlanjut ke poin plot berikutnya.

 

 

 

Mengejutkan akhirnya ada cerita remaja yang mengangkat hal berbeda sehubungan dengan romansanya sendiri. Film ini ditutup dengan nada yang sama dengan film Your Name. Yang membuat kecewa adalah ternyata film tak sepenuhnya berani untuk ‘move on’ dari berbagai trope dan kemudahan dalam bercerita. Film ini masih menganggap penontonnya yang kebanyakan remaja tak mampu berpikir dan menyimpulkan sendiri. Hal ini membuat dirinya tersangkut di antara bagus yang biasa aja dengan bagus yang luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SOMETHING IN BETWEEN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengejar sesuatu demi orang lain?

Bagaimana menurut kalian tentang tren remaja gombal di perfilman masa-masa ini? Apakah sebaiknya film remaja tetap dibiarkan ringan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

EIGHTH GRADE Review

“Confidence is not ‘they will like me’, confidence is ‘I’ll be fine if they don’t’.”

 

 

 

Seorang youtuber, yang kerjaannya nyerocos di depan kamera, ngasih nasihat ini itu kepada sejumlah viewer dan subscriber, memenangkan penghargaan berupa Anak Cewek Paling Pendiam di Kelas. Aneh, namun juga sekaligus tidak-aneh. Karena beginilah realita kita.

 

Seminggu lagi, Kayla yang anak kelas delapan bakal lulus dan siap memasuki masa SMA. Dan untuk menyintasi masa-masa yang mengerikan, itu Kayla harus bisa tampil konfiden. Hidupnya yang memalukan tidak boleh kelihatan sama orang. Kita semua – anak-anak maupun dewasa – yang pernah berusaha untuk jadi populer karena kita tahu tampang kita enggak keren, badan kita enggak tinggi dan enggak atletis, rambut kita lepek setiap waktu, sehingga kita merasa malu bahkan untuk ngomong keras-keras di antara teman-teman, tapi kita masih tetap mencoba untuk reaching out, pasti merasakan hubungan yang kuat terhadap Kayla. Karena kita tahu betapa sengsaranya hidup sebagai anak tiga belas tahun.

Sudah banyak film yang mengambil tema seperti begini. Namun Eighth Grade mengambil pendekatan yang berbeda. Tokoh utama kita tak lebih tua daripada tokoh di buku cerita Goosebumps, you know, yang masalahnya cuma diganggu setan. Kayla, however, sebagai seorang generasi kekinian menghadapi masalah yang jauh lebih kompleks dari anak-anak tahun ’90-2000an. Karena keberadaan internet dan sosial media. Jadi, Eighth Grade menggali dari sudut pandang yang baru, dan sangat relevan dengan keadaan masa sekarang. Mengetahui itu semua, film ini pun tak main-main dalam menuliskan ceritanya. Kejadian dalam Eighth Grade terasa sangat realistis, sungguh-sungguh otentik. Kita akan melihat apa yang dilakukan Kayla juga dilakukan mungkin oleh adek kita, keponakan kita, atau mungkin malah kita sendiri. Di satu adegan, Kayla dandan cakep, mencatok rambutnya hingga ikal, kemudian dengan amat berhati-hati dia kembali ke tempat tidur – merebahkan diri, untuk kemudian berpose centil selfie dengan kamera smartphone. “I woke up like this” captionnya di Instagram. Silahkan tanya kepada diri kita sendiri: Berapa kali kita melakukan hal yang serupa; mengarang apa yang mau kita perlihatkan, mencoba membuat kita tampak menarik di sosial media?

bahkan meracau pada review ini pun karena aku ingin terlihat pintar

 

 

Film ini tidak dibuat supaya kita bisa memecahkan persoalan anak kecil yang baru mau jadi ABG. Bo Burnham tidak mengarahkan Kayla untuk menjadi lebih baik dengan keluar dari zona introvert. Tidak ada solusi seperti demikian ia hadirkan. Film ini memperlihatkan kepada kita, mungkin juga mengingatkan, bagaimana rasanya menjadi sekecil Kayla. Aku seketika teringat masa-masa sekolahku, di mana semua anak literally lebih gede daripada diriku. Dan percayalah, dari tempat aku berada kala itu, kepercayaan diri sungguh jauh jaraknya. Aku harus senantiasa memporsir diri, I have to do better than others, nilaiku harus lebih bagus, dan pada tingkatan lebih lanjut aku merasa harus lebih lucu, harus lebih unik daripada yang lain. Yang pada akhirnya hanya akan membuat diriku menjadi semakin aneh di mata anak-anak yang lain. Dan exactly pelajaran itulah yang bisa kita tangkap dari cerita Kayla dalam Eight Grade.

Kita menyangka kita perlu untuk punya banyak teman dulu baru bisa konfiden menjadi diri sendiri. Kita mati-matian berusaha membuat orang lain percaya bahwa kita ini pede, kita ini orang yang menarik untuk dijadikan teman. Lihat aku, follower ku banyak. Lihat aku, hidupku asik. Best things happened to me, let’s be my friend. Tapi kita semua salah jika kita mengira konfiden itu pemberian dari orang lain. Sebelum kita bisa meyakinkan orang lain, kita sejatinya harus percaya dulu kepada diri sendiri. Diri kitalah yang mestinya kita yakinkan, bukan teman-teman. Apa yang dilakukan Kayla terhadap dirinya di akhir cerita, tak pelak begitu indah. Jika ada satu orang yang harus kita yakinkan, maka itu adalah diri kita sendiri.

 

 

Semua itu ditangkap dengan sangat menarik. Film ini tahu bagaimana memvisualisasikan ketakutan anak seusia Kayla terhadap lingkungan sosial. Shot yang sangat menarik ketika Kayla menatap keluar dari balik pintu kaca, kamera memperlihatkan teman-temannya lagi pesta, tertawa-tawa di kolam renang, tapi begitu sampai ke kita, perasaan yang ada seolah Kayla sedang menyaksikan zombie-zombie bangkit dari kubur. Eksperiens yang dirasakan Kayla benar-benar tersampaikan kepada kita. Sepanjang film, Kayla gak selalu ‘galau’. Ada momen ketika dia diundang ke pesta, ketika dia diajak hang-out ke mall sama teman-teman yang sedikit lebih tua. Pada momen-momen seperti ini kita turut dibuat merasakan kesenangan Kayla. And while at it, kita dapat merasakan kecemasan yang perlahan timbul. Karena Kayla juga sebenarnya masih insecure. Semua merupakan pengalaman baru baginya, ‘out there’ ia deskripsikan sebagai tempat yang masih belum ‘nyaman’, tapi dia tahu untuk harus berani pergi ke sana.

Sekuen di dalam mobil benar-benar dieksekusi dengan kuat, buatku susah aja untuk disaksikan. Arahannya begitu tepat. Semua yang dirasakan Kayla, semua tentang adegan-adegan tersebut membuatku menahan napas. Karena bukan saja film ini paham mengenai apa yang dirasakan oleh Kayla, film ini juga membiarkan Kayla menjadi Kayla. Menjadi anak menginjak remaja sebenar-benarnya. Kita melihat dia berusaha terlihat lebih dewasa, tapi aura anak kecil – sikap dan cara pandangnya yang masih bocah itu tetap saja menguar. Film ini bergantung kepada Kayla dan aktor muda Elsie Fisher bermain dengan sangat luar biasa. She’s completely real. Aku hanya bisa membayangkan seberapa berat baginya memainkan semua emosi tersebut; dengan usia yang dekat dengan permasalahan yang ia perankan.

Lewat perangai Kayla, film ini mengomentari soal perilaku orang di sosial media. Kayla bicara di channel youtubenya soal bagaimana untuk menjadi percaya diri, bagaimana membawa diri dalam bergaul, tapi di dunia nyata dia sendiri tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Semua yang ia jadikan tips itu benar, hanya saja melakukannya tidak segampang membicarakannya. Oleh film, kita akan mendengar narasi suara Kayla berbicara di youtube. Sementara visualnya dikontraskan dengan kita melihat Kayla really having a hard time mencoba melakukan apa yang ia ‘sedang’ katakan. Ini enggak serta merta membuat Kayla terlihat hipokrit, film ini tidak ngejudge kita, melainkan kita bisa melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang menyedihkan. Dan fakta bahwa film tidak pernah benar-benar menyinggung jumlah pemirsa yang menyaksikan youtube Kayla membuat semua terasa lebih miris lagi. Semua itu menambah teramat banyak, bekerja dengan sangat baik dalam lingkup konteks ceritanya.

Status: “Otw” / Reality: masih ngulet cantik di kasur

 

Kita melihat Kayla in her private self – yang ditulis dengan sangat nyata. Kita juga dikasih lihat hubungan Kayla dengan keluarga dan lingkungan sekolah. Di kedua elemen inilah letak batu sandungan buat Eighth Grade. Kayla tinggal bersama ayahnya, kita melihat gimana hubungan keluarga teramat penting bagi karakter Kayla. Ada adegan dengan dialog yang sangat menawan datang dari Kayla dengan ayahnya, yang buatku terasa sedikit berkurang kejlebannya karena si Ayah ini ditulis sedikit terlalu ‘baik’. Semua hal pada film ini ditulis dan terasa begitu real, kecuali sikap ayahnya. Practically he was the best dad ever. Aku mengerti mungkin film gak mau jadi mainstream dengan masukin orangtua yang pemarah, yang ikut-ikutan jadi palu yang ngegencet tokoh utama, sementara film ini membicarakan soal bagaimana semua itu adalah sudut pandang Kayla semata. Tapi ada yang gak klop dari sifat ayahnya yang membuat keotentikan cerita menjadi berkurang.

Dalam lapisan Kayla dengan teman-teman sekolahnya, film tidak bisa mengelak dari menggunakan formula yang sudah usang. Mereka mencoba untuk membuatnya sekocak dan semenyenangkan mungkin, dan aku menghargai usaha tersebut. Kayla tentu saja dibuat naksir sama cowok paling keren di kelas. Setiap kali Kayla melihat anak ini, kita akan mendapat close up mata dan dentuman musik techno, ya kekinian banget. Lucu sih. Kita melihat Kayla memikirkan apapun supaya bisa ngobrol dengan si cowok, sementara ada anak cowok lain yang berusaha temenan sama Kayla dan kita semua pasti udah tahu cowok mana yang mestinya dijadiin temen oleh Kayla.

 

 

 

Penulisan yang cerdas, dengan komedi dan komentar yang tajam soal kehidupan sosial media masa kini menjadi faktor utama kita terhibur menonton film ini. Hampir semua bagian terasa sangat real. Kita semua mengerti ama Kayla karena kita pernah berada di dalam sepatunya. Film ini membawa kita kembali ke masa mengerikan itu, dengan memperlihatkan tantangan baru yang dihadapi oleh anak-anak. Aku sangat menikmati film ini, karena dia tidak meremehkan anak-anak, pun tidak memberikan jalan keluar yang mudah.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EIGHTH GRADE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana kehidupan kalian di usia 13 tahun? kira-kira masih ingat tidak hal apa yang menurut kalian paling penting di umur segitu? apa yang paling menakutkan buat kalian dulu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

ARUNA & LIDAHNYA Review

“Just add water and stir.”

 

 

 

Aruna ngerasa semua makanan gak ada yang benar-benar spesial enak di poin hidupnya yang sekarang. Padahal Aruna ini cewek yang hobi banget makan. Waktu kecil aja kuda catur dimakan ama dia. Tapi sekarang dia kebingungan, dia sulit mencicip makanan. Bukan karena dia sariawan. Aruna merasa ada yang kurang, tetapi dia tidak tahu apa. Aruna pengen masak nasi goreng mboknya, but she can’t get it right. Atau paling tidak, ia merasa enaknya enggak sama

Aruna & Lidahnya adalah perjalanan Aruna mencari rasa. Tapi bukan dalam artian klise gimana seorang merasa bosan dengan hidupnya dan berangkat menemukan percikan. Aruna perfectly fine. Dia senang dengan hidup. Lingkungan persahabatannya erat, mereka sering ngumpul dan makan bareng sambil ngobrol haha hihi tentang apa saja. Kerjaannya juga lancar. Dia cakap dalam apa yang ia lakukan, baik itu sebagai ahli wabah maupun seorang pecinta masakan. Dan tentu saja dia mencintai pekerjaannya tersebut. Dalam film ini kita akan melihat Aruna dikirim kantornya untuk menginvestigasi penyebaran wabah flu burung hingga ke Borneo sana. Aruna mengajak sahabat-sahabatnya, Bono si chef dengan segudang insight mengenai masakan (bayangkan filosofi kopi, namun makanan alih-alih secangkir kopi) dan Nadheza yang nulis buku kritik masakan, sehingga mereka bisa sekalian wisata kuliner. Dalam tugas rangkap liburannya tersebut, Aruna disupervisi langsung oleh Farish, cowok yang ia taksir but she never really do anything about him before. Hidup Aruna meriah dan penuh bumbu. Hanya saja ia masih merasa hambar. Dalam tingkatan ini, film bersuara seperti nyanyian Alessia Cara di lagu Growing Pains. Aruna tidak merasakan apa yang seharusnya ia rasa. Masalah psikologis inilah yang berusaha untuk diselesaikan oleh Aruna.

jadi ini bukan cerita tentang Aruna dan lidahnya yang sariawan

 

 

Aruna sendiri sudah seperti masakan. Terlihat simpel, namun sebenarnya kompleks. Film ini berhasil menggali kedalaman dari tokoh ini, menggunakan banyak hal sebagai device. Sedari ceritanya saja, film sudah punya banyak lapisan. Aruna harus bernagivasi di antara masalahnya dengan para sahabat, dengan cowok yang ia taksir – di mana dia ngarep untuk punya hubungan yang normal, semua itu sembari dia berusaha memecahkan ‘misteri’ di balik laporan penyelidikan flu burung yang ia dapati tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Aruna berkoneksi dengan banyak orang. Melihatnya berinteraksi, apakah itu ngobrol sambil makan ataupun bicara tentang makan sambil kerja, adalah apa yang membuat film ini terasa asik. Sifatnya ini (dan potongan rambut) membuatku teringat sama Otome di The Night is Short, Walk on Girl (2018), bedanya Otome bertualang dengan mencoba minuman.

Dian Sastrowardoyo merupakan cast yang tepat buat Aruna; dari caranya bertutur yang sedikit jutek tapi lucu, gimana cara dia kerap mempertanyakan sesuatu dengan nada yang ironis. Perannya di sini juga turut memberikan rasa baru bagi pengalaman akting Dian, karena Aruna bakal sering breaking the fourth wall, menjelaskan langsung kepada kita penonton mengenai yang ia pikirkan. Aruna mungkin tidak sepenuhnya ‘jujur’ kepada sahabatnya, dan ketika dia begitu kita akan menjadi orang yang pertama kali ia kasih tau apa yang sebenarnya ia rasakan lewat ekspresi yang ia perlihatkan langsung kepada kita. Yang paling aku suka adalah adegan-adegan mimpi Aruna yang dibuat bernuansa surealis. Quirky dan creepy di saat yang bersamaan!

Meski kadang audionya terdengar aneh, keakraban tokoh-tokoh yang tertangkap oleh kamera terlihat betul-betul meyakinkan. Mereka beneran terlihat seperti sahabat sejak lama. Kalian tahu gimana kalian dan teman segeng kalo udah ngumpul, nyerocos bareng di tempat makan, ngobrolin apa aja sampe mulut pada item? Nah seperti itu jualah geng Aruna ini terasa. Dialog-dialog mereka membahas tentang hidup terdengar akrab. Film berusaha memasukkan lumayan banyak isu yang berkaitan dengan tema cinta, dan bahkan pandangan mengenai sakit dan fungsinya dari berbagai sudut. Yang mana bisa saja terdengar menjadi pretentious jika disampaikan secara sembarangan dan tanpa perhitungan akting yang matang. This is not the case in this film. Ambil pasangan manapun dari film ini, entah itu Aruna dan Bono, Aruna dan Nad, atau bahkan Bono dan Farish, semua pemain mampu menyampaikan bantering yang emosinya nyampe. Fakta bahwa Nicholas Saputra dan Dian Sastro di sini berperan bukan sebagai pasangan kekasih saja sudah cukup untuk bikin film terasa seger.

Dalam hidup, mungkin semua bumbu sudah kita dapatkan. Kita melakukan apa yang kita suka. Kita bersama orang-orang yang kita cinta. Tetapi jika bumbu-bumbu tersebut tidak diaduk, tetap aja akan hambar jadinya. Inilah yang ingin disampaikan oleh bawah sadar Aruna lewat mimpi-mimpi aneh tersebut. Ini jualah yang dipelajari Aruna dari sahabatnya yang suka selingkuh. That she doesn’t confront her life enough. Bahwa Aruna butuh untuk mengaduk bumbu-bumbu pada hidupnya, baru kemudian bisa mencicip rasa.

 

Masing-masing kita bisa menikmati film ini dalam takaran yang berbeda-beda. Segitu kompleksnya cerita yang disajikan oleh Edwin ini. Kita bisa kenyang oleh berbagai kuliner lokal yang ditampilkan, mulai dari sop buntut, nasi goreng, soto lamongan, hingga mie kenyal yang ada kepitingnya itu. Sejujurnya, di awal aku sempat annoyed juga, karena pada menit-menit awal setiap adegan film ini selalu menampilkan orang yang lagi makan. Aku pikir itu bakal dijadikan semacam gimmick; bahwa film bersikeras menemukan cara ‘pintar’ ngelihatin orang makan alih-alih bercerita. Tapi kemudian, ceritanya baru masuk, dan lambat laun film menjadi enak untuk dinikmati. Ya, walaupun beberapa makanan seperti masuk kecepetan dan gak benar-benar integral sama cerita sih, tapi kupikir itu masalah editingnya. Yang mau menikmati isu sosial dan kesehatannya, juga silahkan. Aruna & Lidahnya cukup kritis membahas permasalahan ini, meski narasi bagian ini terasa sangat lambat majunya. Setelah lewat mid-point, mereka masih membahas soal menyebarkan ketakutan; pembahasan mengenai hal tersebut gak benar-benar maju. Paling sedap, sih, memang ketika cerita diaduk oleh hubungan keempat tokoh sentral. Permasalahan humanis ‘orang kantoran’ romantis yang begitu relatable dan ditangani secara dewasa membuat film yang tadinya stale di awal, menjadi enak untuk diikuti.

yang mindblown adalah sedari awal Aruna sebenarnya sudah bener dalam memasak nasi goreng, she just can’t taste it yet

 

 

Sebaliknya, diaduk tanpa ada bumbu juga bakal menghasilkan sesuatu yang sama hambarnya. Seperti bagian pembuka film ini, aku gak yakin mereka mengambil keputusan yang benar dengan mengawali film dari potongan adegan di masa depan, hanya supaya film terlihat seru. Akan lebih baik jika film bercerita dengan linear saja. Dimulai dari awal Aruna masak sop buntut, terus ke akhir. Dan by the way, antara kalimat Aruna pas makan sop buntut itu dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan, benar-benar menunjukkan progresi sudut pandang karakternya. Entah kenapa, film malah memulai dari potongan adegan di mobil, kemudian cut back seolah alurnya mundur dan kita akan kembali melihat potongan adegan di awal tadi di tengah-tengah cerita as the story progress. Jadinya openingnya terasa gak ngefek aja, karena kita belum tahu siapa ‘bumbu-bumbu’ tersebut.

Pada Posesif (2017) aku merasa keputusan mengakhiri film dengan freeze frame adalah keputusan yang cheesy. Edwin kembali melakukan hal yang serupa pada Aruna dan Lidahnya. Kali ini, tidak jatuh over-the-top. Mungkin mengakhiri film dengan freeze frame dijadikan semacam signature oleh Edwin, aku gak yakin karena baru dua ini filmnya yang aku tonton, tapi aku bisa respek keputusan itu sekarang. Malahan tidak lagi jadi soal, asalkan Edwin ke depannya terus menggali sisi psikologis dari drama-drama keseharian yang dekat seperti ini.

 

 

 

 

 

Film ini sendirinya pun terasa seperti sepiring masakan yang penuh bumbu (penampilan, sinematografi, bahkan musik), tapi perlu diaduk lebih sering lagi. Atau mungkin diaduk dengan timing yang lebih diperhatikan lagi. Ada bagian-bagian ketika ceritanya terasa stale. Dan baru benar-benar nikmat setelah konflik-konflik para tokoh saling berhimpitan satu sama lain. Butuh waktu untuk kita beneran mulai peduli sama tokoh-tokohnya. Dan ya, film ini terasa lebih panjang dari durasi sebenarnya. Tapi ya bener juga sih, kalo dinikmati bersama-sama, tentulah film ini akan terasa sangat lezat. Menurutku memang cara terbaik menikmati film ini adalah dengan bareng-bareng bersama sahabat, atau mungkin sama pacar. You certainly will have a good time watching this. Sajian merakyat yang berselera tinggi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ARUNA & LIDAHNYA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Ditanyain Chef Bono tuh, “apa opini lo soal makanan?”

Kalo aku sih, memang aku rada setuju sama Aruna di awal. Buatku makan itu sama kayak nonton, my only concern ya ke makanan atau filmnya aja, tidak peduli siapa temennya. Tapi sejujurnya, aku gak suka makan di tempat yang ramai. Waktu sekolah dulu aja, kalian akan jarang sekali menemukan aku di kantin. Aku jengkel mendengar suara denting alat makan dan suara obrolan. Aku lebih suka makan sambil nonton atau baca buku. Dan ini jadi konflik ketika aku harus membuka kafe eskrim, di mana aku harus merasakan suasana ruang makan yang ‘berisik’ itu nyaris 24 jam sehari. Itu ceritaku tentang makan, sekali lagi, bagaimana cerita dan pendapat kalian?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS Review

“It’s not what you say, it’s what people hear.”

 

 

Anggota keluarga, entah kenapa, suka bikin kita malu di depan umum. Hampir seperti misi mereka untuk berlomba-lomba melakukan hal di tempat yang banyak orang, yang pada akhirnya membuat kita pengen hilang ditelan bumi. Paman si Lewis menjemputnya, masuk ke dalam bis, dengan mengenakan kimono. Di lain kesempatan, Lewis dijemput oleh Paman ke sekolah dengan mobil butut. Merasa belum cukup mempermalukan Lewis di depan teman baru yang susah payah diperolehnya, Paman kemudian menawarkan diri untuk tancap gas – hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi kepada mobil tersebut jika distarter keras-keras.

Sesungguhnya, Paman Jonathan ingin memperlihatkan kepada Lewis bahwa menjadi aneh itu adalah sesuatu yang hebat. We have to embrace our quirkiness. Tapi Lewis adalah anak cowok yang sedang dalam masa perkembangan yang sulit. Orangtuanya baru saja meninggal. Membuat Lewis harus pindah ke kota lain untuk tinggal bersama pamannya. Dalam sebuah rumah dengan banyak jam, beraneka jenis, nemplok di setiap jengkal dindingnya. Lewis sendiri sebenarnya sudah cukup aneh, dia mengenakan kacamata pilot ke mana-mana. Buku favoritnya saja kamus tebel. Tapi bagi Lewis, Paman dan Wanita berbaju ungu sahabat pamannya tersebut luar biasa aneh. Tidak ada peraturan di bawah atap rumah mereka. Lewis boleh makan cookies kapan aja. Kenapa enggak jadiin cookies sebagai menu makan malam, ujar pamannya sambil tersenyum. Dan kenapa pula tidak boleh ada kacang di dalam cookies?

Itu semua belum apa-apa dibandingkan dengan keanehan yang terjadi di rumah tersebut pada malam hari. Lewis sempat takut, karena bukan hanya suara jam di dinding, melainkan rumah dan seisinya itu sepertinya punya nyawa sendiri. Salah satu tema cerita penting yang bisa kita lihat dari film ini datang dari gimana Lewis berusaha menyeimbangkan hidupnya. Dia pengen terlihat normal biar bisa punya temen di sekolah, dan ketika pulang ke rumah bersama Pamannya, dia harus berurusan dengan segala keanehan yang ada karena ternyata Pamannya adalah seorang Warlock. Tentu saja, Lewis pengen belajar semua ilmu sihir yang bisa ia dapatkan dari sang Paman. Apalagi karena dia ingin membantu Pamannya memecahkan misteri mencari alat pengembali waktu yang tersimpan di suatu tempat di dalam rumah tersebut.

Lewis yang perbendaharaan katanya begitu kompleks lantaran suka ‘makan’ kamus, tetap mengalami kesulitan dalam mempelajari ilmu sihir. Sihir bukan sekedar merapal kata-kata aneh. Ini bukan masalah seberapa fancy kata yang kita gunakan. Adalah cara menggunakannya yang menjadi poin penentu. Semua yang kita lakukan, cara tersendiri yang kita lakukan saat menanganinya lah yang menjadi hal terpenting. Karena itulah yang didengar oleh orang lain, yang membuat kita berbeda dan ternotice oleh mereka. Yang membuat kita unik, dari situlah datangnya kekuatan kepercayaan diri.

 

Aspek paling menarik yang dipunya oleh film ini adalah fakta bahwa dirinya dibuat oleh sutradara yang punya rekam jejak menangani film-film horor ngegore dan gak nyaman untuk dilihat semacam Hostel (2005) dan Grindhouse (2007). Kita akan benar-benar melihat ‘sihir’ gaya khas Eli Roth diimplementasikan ke dalam cerita fantasi adaptasi novel yang ditujukan untuk konsumsi anak kecil. Dan Roth berhasil. The House with a Clock in Its Walls menjelma menjadi film anak-anak yang dengan berani mendorong batas kekanakan itu sendiri. Imaji-imaji creepy masih dapat kita saksikan di sini. Salah satu yang membekas bahkan oleh kepala dewasaku adalah pemandangan bayi dengan wajah Jack Black. Boneka-boneka automaton yang mendadak hidup itu juga sukses bikin anak kecil di sebelahku menutup matanya dengan dus popcorn. Langka, di jaman sekarang, fantasi anak-anak dibuat dengan gaya seram sebagai poin vokal. Bahkan Goosebumps (2015) saja enggak berani untuk tampil seram, ia lebih menekankan sisi petualangan fantasinya, padahal kita tahu source film tersebut adalah buku horor untuk anak-anak. House with a Clock, enggak punya masalah dalam memperlihatkan gambar-gambar bernuansa seram. Menonton film fantasi ini mengingatkanku kepada serial horor Are You Afraid of the Dark? yang dulu sering kurental VCD-nya.

CLB – Crybaby Little Bastard

 

Set film luar biasa imajinatif. Rumah itu penuh tempat-tempat rahasia, dengan benda-benda sihir yang memanjakan khayalan kita. Semua elemen artistik digunakan efektif untuk menguatkan karakter para tokoh cerita, memberikan mereka bukan hanya misteri melainkan juga sedikit tambahan kedalaman. Untuk menyeimbangkan visualisasi yang menghoror buat fantasi anak kecil, Eli Roth menebar lelucon di sana sini. Lewat practical jokes, memang agak kelewat kekanakan. Kita melihat poop joke diulang-ulang. Tapi kita bisa paham kepentingannya adalah untuk membuat film tetap ringan bagi penonton cilik.

Lewat dialog, lelucon film dipercayakan kepada Paman Jonathan yang begitu eksentrik. Jack Black adalah pilihan yang tepat, malahan bisa dibilang sedikit di atas kualifikasi untuk perannya tersebut. I mean, aku suka komedi Jack Black. Tik-tok dialognya dengan Cate Blanchett – yang mana juga sangat hebat, dengan range emosi yang lebih luas – selalu sukses jadi sumber tawa buat film ini. Jika ada aktor yang harus kupercaya mainin tokoh yang begitu unik dan tidak peduli apa kata orang tentang dirinya, aku juga akan memilih Jack Black. Di film ini, entah karena begitu nyaman dengan perannya, ataupun karena diberikan arahan yang membebaskan, Black seringkali tampak terlalu dominan. Dia di atas tokoh yang lain. Pada adegan bersama dengan tokoh utama, kita bisa melihat jelas kejomplangan permainan aktingnya. Lewis yang diperankan Owen Vaccaro tidak pernah berhasil menjadi menarik setiap ada Paman satu adegan dengannya. In fact, Lewis malah tampak seperti bocah cengeng yang menangis begitu saja karena tiba-tiba ia teringat almarhum ibunya. Sedih memang ketika kita kehilangan orangtua, tetapi transisi tone cerita enggak mulus karena Jack Black mengeset rentang yang terlampau tinggi. Jarak antara fantasi dengan momen realita itu kemudian terasa terskip begitu saja karena pemain muda kita tidak mampu mengimbangi.

Untuk sebagian waktu, aku memang menikmati kejutan-kejutan kecil yang dipunya oleh film ini. Aku sama sekali enggak tahu Kyle MacLachlan turut ambil peran, dan ya seperti di terakhir kali aku melihat penampilannya di Twin Peaks season 3 (2017), aktor senior ini totally mantep mainin tokoh yang creepy, dia begitu ‘di luar dunia ini’. Toh ada beberapa kesempatan yang, buatku, film ini terlalu berusaha membuat kejutan alih-alih bercerita dengan asik. Seperti pada separuh bagian awal, ada tokoh-tokoh yang diset sebagai red herring; kita gak yakin mereka jahat atau beneran baik, yang keputusan untuk membuat mereka demikian terasa enggak konsisten dan membingungkan. Ada elemen reverse psychology yang dijadikan device, seperti sebuah hal yang penting. Misalnya ketika Paman mengajarkan ilmu sihir kepada Lewis dengan mengatakan bahwa anak itu gak mungkin bisa karena sihir begitu rumit untuk dipelajari, yang kita tangkap konteksnya adalah dia percaya Lewis mampu dan sengaja bilang begitu supaya Lewis semakin tertantang dan bersemangat. Namun di lain kesempatan, Paman menyuruh Lewis untuk tidak membuka kabinet yang terkunci. Yang membuat kita kebingungan, apakah konteks yang sama masih berlaku, atau itu benar-benar larangan. Apalagi kemudian kita melihat ada tokoh lain yang menyuruh Lewis untuk membuka kabinet. Sehingga penuturan cerita menjadi sedikit kusut, enggak benar-benar jelas apa yang harusnya kita rasakan bersama si Lewis.

mungkin kita bisa tanya kepada Magic 8-Ball kenapa film ini seperti versi kurang asik dari serial Gravity Falls

 

 

Banyak penyihir yang lebih dewasa dan lebih bijak dari Lewis sudah terbuai oleh kekuatan ressurection, film juga tidak berhasil dengan baik menyampaikan sisi menyentuh dari seorang anak yang ingin melihat orangtuanya satu kali lagi. Struktur, poin ke poin cerita, mestinya bisa dirapikan sedikit lagi dengan lebih memfokuskan kepada perkembangan emosi tokoh utama alih-alih rangkaian kejadian fantastis. Sekuen regroup film ini tidak bekerja sama sekali buatku. Mereka kehilangan rumah tidak kelihatan seperti mereka akhirnya belajar sesuatu, malah lebih terasa sebagai sebuah detour yang melepaskanku dari pegangan cerita. Konflik dari tokoh antagonis juga tidak benar-benar memposisikan Lewis, dan tentu saja kita, ke dalam sebuah dilema. Yang mana adalah kekuatan sebenarnya dari cerita. Alih-alih merasa, kita hanya mendapatkan penjelasan dari tokoh jahat, mengenai bagaimana kondisi mengerikan tersebut semestinya menjadi menarik buat Lewis.

 

 

 

Aku suka gimana film ini berani menggandeng tangan anak-anak untuk melewati dunia fantasi yang bukan sekedar seru melainkan juga mengerikan. Bahkan lebih creepy dari The Nun (2018), misterinya juga asikan ini. Beberapa adegannya memenuhi fungsi untuk memberikan mimpi buruk buat anak kecil. It also has a nice lesson too, mengenai gimana membawa diri dalam pergaulan – bahwa penting untuk menjadi diri sendiri, seberapapun anehnya. Mestinya Goosebumps dibuat dengan nuansa begini. Tontonan sempurna buat anak kecil yang ingin mempelajari gimana caranya untuk berani. Petualangannya juga asik untuk diikuti. Bagi orang dewasa, film ini bisa menjadi sedikit over; leluconnya, tokoh utama yang cengeng dan annoying, ceritanya juga bakal bikin kita pengen bergerak buat merapikannya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa keluarga kalian punya kebiasaan aneh yang kalian gak mau teman-teman pada tahu tentangnya? Kenapa, menurut kalian, kita merasa malu kalo ketahuan oleh orang lain?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE FIRST PURGE Review

“Politics have no relation to morals.”

 

 

 

Untuk melepas penat kerja sepekan, kita perlu waktu libur satu hari. Liburan diciptakan supaya dinamika performa kita harmonis; agar stres yang menumpuk, mumet dan kebosanan yang terhimpun selama hari-hari rutinitas, dapat terlampiaskan. Sehingga kita merasa lega, dan siap untuk dihujani dengan tugas dan kerjaan berikutnya. Semua perlu liburan sebagaimana butuh kerja. Orang yang kurang piknik, akan gampang marah-marah, isi twitnya dijamin bakalan nyolot ga tentu arah hihi

Konsep melepas beban tersebut juga berlaku dalam praktek kehidupan sosial yang lebih luas. Kriminalitas yang terjadi di masyarakat mungkin salah satunya disebabkan oleh pelaku yang merasa terbebani oleh peraturan. Jadi, mereka melakukan kejahatan sebagai bentuk penyaluran. Supaya mereka bisa lega dan dapat melanjutkan menjadi orang yang baik hari berikutnya. Maka, sudah semestinyalah, perlu diberikan waktu khusus untuk semua orang supaya bisa melampiaskan nafsu bejat mereka, tanpa perlu takut kena hukuman. Kurang lebih kayak liburan, cuma yang ini adalah libur dari kebaikan. Dunia dijamin menjadi tempat yang lebih baik jika hal tersebut dilakukan. Benarkah demikian?

Sejak diluncurkan tahun 2013 yang lalu, The Purge sudah berusaha untuk membawa kita berdiskusi ke ranah yang menyeramkan soal apakah sebaiknya disediakan waktu khusus di mana semua orang bisa melanggar hukum semaunya. Aku sendiri sangat tertarik dengan tema moral dan hubungan sosial yang dibincangkan oleh film ini, makanya setiap ada sekuelnya yang keluar, aku selalu menonton dengan antusias. Mengerikan memang, membayangkan gimana cara kerja Malam Purge di dunia nyata. Kota yang dengan lantas berubah menjadi seperti wasteland di dunia Mad Max; dengan geng-geng haus darah berkuasa di setiap bloknya. Aku bergidik sendiri mengingat gimana jadinya kalo di Indonesia beneran ada yang kayak gini. Apa aku akan bikin gang sendiri, atau malah jadi duluan yang terbunuh haha

What’s your favorite Purge movie? / The first Purge / Oo yang baru / Bukaan, film yang pertamaaa

 

 

The First Purge membawa kita melihat reaksi masyarakat Staten Island ketika mereka mengetahui tempat tinggal mereka dijadikan tempat uji coba Purge oleh partai New Founding Fathers, yang mana membuat mereka semua adalah tikus percobaannya. Para warga bebas untuk memilih enggak ikutan dan mengungsi sebentar ke daerah lain. Atau; mereka bisa tinggal di rumah dengan dibayar, dan bahkan dibayar lebih gede lagi jika ikutan berpartisipasi melepas stres dalam 12 jam bebas hukum tersebut. Ini adalah elemen yang sudah banyak diperbincangkan orang saat film pertama Purge keluar. Benerkah orang-orang akan langsung bunuh-bunuhan jika membunuh dilegalkan. Tapi kita – apalagi kalo sudah menonton American Animals (2018) – tahu lebih baik. Berbuat jahat itu tak segampang dan semenarik yang kita bayangkan. Malahan, hanya ada satu orang yang diperlihatkan oleh The First Purge sebagai yang benar-benar menikmati Purge sebagai ajang pemuas nafsu bunuh-bunuhan. Penduduk yang lain, ya mereka menjarah, merampok, melakukan vandalisme, tapi setelah itu mereka lantas berpesta. Tidak ada darah yang diteteskan. Kondisi yang seperti ragu-ragu, reaksi pertama terhadap percobaan Purge, inilah yang membuat separuh awal The First Purge terasa segar.

Film ingin menunjukkan kemanusiaan belumlah sirna dari dunia, sesakit apapun keadaan sepertinya. Bahwa chaos sejatinya tidak terjadi begitu saja. Melainkan karena dirancang. Program Purge tidak akan berhasil jika tidak ada pihak yang menyetir, yang menyebarkan ketakutan, yang menggunakannya sebagai alat politik. Yang menyebabkan manusia begitu berbahaya bukan karena insting bertahan hidup, melainkan karena manusia adalah makhluk yang berpolitik. 

 

 

Film ini juga bermain-main dengan trope di dalam semestanya sendiri. Seperti kenapa peserta Purge selalu memakai topeng. Kenapa masih menutupi identitas padahal pada malam Purge semua tindak kejahatan dilegalkan. The First Purge mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengaitkannya dengan sisi psikologis. Bahwa mungkin rasa malu itu masih ada. Menyadari ikut serta karena punya dendam yang tak berani diselesaikan dengan baek-baek, mengakui bahwa mengikuti nafsu binatang adalah perbuatan tercela, bahwa membunuh, merampok, memperkosa, sekalipun legal masihlah tindakan yang tidak pantas dibanggakan. Maka orang-orang lebih suka memakai topeng. Untuk meyakinkan bahwa mereka pada malam Purge bukanlah mereka yang sebenarnya. Di samping masalah psikologis tersebut, The First Purge juga memperlihatkan alasan lain tentang mengapa topeng digunakan. Sayangnya, alasan kedua yang mereka angkat ini tidaklah semenarik yang pertama, dan lebih disayangkan lagi justru alasan kedua itulah yang benar-benar diangkat menjadi topik utama oleh film.

Hadir pertama kali berbungkus thriller home invasion, Purge kemudian menghadirkan sekuel yang menjawab permintaan penonton. Orang-orang ingin melihat lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi saat malam Purge. Jadi di film kedua kita melihat cakupan yang lebih luas, kita dibawa turun ke jalanan pada malam paling berbahaya di Amerika tersebut. Setelah film kedua itu, semesta Purge mandek. Mereka hanya memperlihatkan hal yang basically sama pada film sesudahnya. Tidak ada pandangan yang lebih jauh mengenai Purge itu sendiri. The First Purge menjanjikan sudut pandang ketika acara tersebut pertama kali dicetuskan, dan film ini gagal memenuhi janjinya tersebut. The First Purge is exactly kayak film yang sudah-sudah. Mereka tetap tidak mengangkat sudut yang lain. Formulanya masih sama, berupa orang-orang yang harus mempersiapkan diri beberapa menit menjelang sirene dibunyikan, dan kemudian mereka terjebak situasi Purge, dan mereka harus bertahan hidup. Elemen-elemen psikologis hanya jadi latar. Cerita aktual tentang bagaimana Purge bisa dicetuskan tetap berupa eksposisi sepintas lewat montase headline berita.

Purge adalah Halloween khusus dewasa

 

 

Sebenarnya di film ini kita akan beneran bertemu dengan pencipta konsep Purge sebagai bagian dari kampanye politik partainya. Tapi karakter yang mestinya punya beban konflik moral, punya dilema, yang menarik untuk digali ini pun hanya terasa seperti tempelan. Karena fokus jarang sekali jatuh padanya. Kehadiran tokoh ini lebih terasa seperti karena film butuh sesuatu untuk direveal; kalian tahu, kayak kebanyakan film yang merasa perlu untuk masukin unsur twist. Kita diperkenalkan kepadanya begitu saja, ‘undur diri’nya juga turut terasa abrupt sekali. Instead, cerita akan berfokus kepada seorang pemimpin gang. Bandar narkoba muda yang sudah meraja di kota tersebut. Moral konflik yang dipasangkan kepadanya sebagai kait cerita adalah bahwa gimana dia menolak Purge yang membunuh manusia dalam satu malam, sementara kerjaannya sendiri merusak manusia 364 hari non-stop. Susah untuk peduli sama si tokoh utama – walaupun Y’lan Noel mainnya lumayan berkharisma dan cukup meyakinkan. Maka, film membawa cerita mengarah kepada warna ‘melindungi rumah sendiri’ dalam usahanya menyinari tokoh utama dengan cahaya simpati; gimana lingkungan tempat tinggal mereka digugah oleh kepentingan, dan mereka harus bekerja sama melindungi kemanusiaan di dalamnya.

The First Purge tetap seperti home invasion skala besar, dengan bukan saja unsur kekerasan yang dikurangi (karena cerita ini seperti setengah psikologis, dan setengah ‘ah sudahlah bikin yang heboh seperti biasa aja’), secara teknis film ini juga tampak lebih ‘murah’ ketimbang film-filmnya sebelum ini. Penulisannya menjurus ke konyol pada beberapa poin. Ada indikasi mereka ingin memparalelkan kejadian film dengan keadaan di dunia nyata, seperti ketika seorang politisi literally bilang “kita harus bikin Amerika hebat lagi”. Tidak ada kesubtilan, mereka menyebutnya dengan gamblang. I mean, bahkan nyindir juga mestinya ada seninya kan. Efek-efek yang ada kerap terasa ketinggalan jaman, ada bagian ketika film bermaksud merekam adegan yang misterius dengan banyak asap dan percikan darah, namun jatuhnya malah over-the-top because it feels cheap.

Pada satu poin, aku sempat heran apakah ini berubah menjadi film Searching (2018) apa gimana karena tiba-tiba kita melihat seorang tokoh penting dieksekusi lewat layar monitor. Kita tidak tahu gimana, bahkan apakah itu benar-benar si tokoh karena kita enggak bisa melihat wajahnya. Hanya orang yang terlihat mirip dia. Kenapa film tidak memperlihatkan langsung saja. Apa adegan tersebut ditambahin belakangan, baru sadar ada yang kurang tapi kontrak pemainnya sudah habis? Setelah paruh pertama, cerita benar-benar meninggalkan pacing, dan segala macem. Yang membuatku tertawa adalah ketika pasukan tokoh utama kita diberondong oleh drone, Dmitri masuk ke kolong mobil, dia hanya bisa melihat kaki teman-temannya – mereka sedang dihujani peluru. Dan setelah dronenya pergi, Dmitri langsung keluar begitu saja. Like, darimana dia tahu dronenya sudah pergi atau keadaan sudah benar-benar aman? Film tidak lagi memperhatikan sudut pandang, dan pada titik ini, kita hanya menonton untuk melihat orang mati dengan cara sesadis yang bisa kita harapkan.

Purge adalah alegori budaya kekerasan, korupnya politik Amerika, dan sistem ekonomi neoliberalisme yang curang. Salah satu episode Rick and Morty say it’s best. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin akan binasa. Purge pada akhirnya akan memutar roda ekonomi; penjualan senjata, sistem keamanan rumah. Kelas ekonomi bawah harus berjuang, sampai-sampai ada yang menjual hidup mereka demi keluarganya

 

 

 

 

Jika ini adalah Purge Night pertama kamu, mungkin aja sih, kamu-kamu bakal suka sama filmnya. Karena memang konsep dunia Purge ini selalu menarik. Makanya, para pembuat filmnya jadi susah move on. Installment barunya selalu terasa sama, dan enggak benar-benar menggali sudut yang baru. Mereka juga membuat serial TV The Purge, dan sejauh aku menonton (tiga episode) serial tersebut juga tak banyak berbeda dengan film ini. Jadinya ya enggak maju-maju. Tidak ada pencapaian pada setiap sekuelnya, tidak ada resiko yang diambil. Malahan, film ini tampak seperti yang paling males dibanding yang lain. Terhibur sih, tapi tetep aja kecewa karena aku pengen melihat Purge dibahas lebih dalam. Alasan kenapa ada Purge adalah hal yang dijanjikan oleh cerita, tapi kita tidak benar-benar mendapatkan hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FIRST PURGE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Akankah kalian berpartisipasi jika Indonesia melakukan Purge? Berapa duit yang kalian minta? Benarkah kita butuh satu hari untuk melampiaskan diri akan membawa kita menjadi orang yang lebih baik? Perlukah kejahatan dan dendam itu disalurkan?

Dan pada akhirnya, di mana posisi kita – para penonton semesta Purge; apakah kita menonton untuk melihat bagaimana akhirnya, atau hanya memuaskan dahaga karena kekerasan memang melegakan?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Hell in a Cell 2018 Review

 

“Dia sahabatku”, ujar Becky Lynch mengenai Charlotte Flair. “And she was holding me back.” 

Menurut Becky, Charlotte sudah merebut begitu saja kesempatan yang sudah susah payah ia usahakan. Seteru antara dua pegulat wanita dari brand Smackdown tersebut merupakan salah satu storyline paling menarik yang dipunya oleh WWE saat ini, karena cerita tersebut berakar dari dosa kita yang paling manusiawi; dengki. Teman makan teman. Sodara nusuk sodara. Itu semua karena kita kadang suka gak senang sama prestasi yang didapat oleh teman kita. Kita merasa kita lebih baik, sudah bekerja lebih keras; ini giliran kita. It’s in our natural instinct. Sebab afterall, manusia hanyalah binatang yang punya peradaban. Baik Becky maupun Charlotte, sebenarnya tidak ada tokoh baik di sini – yang ada hanya mana yang hipokrit dan mana yang sudah muak.

Kasarnya, ada sisi kebinatangan dalam diri kita yang hanya tahu makan atau dimakan. Dan tahu bahwa lebih baik untuk memakan duluan. Sisi binatang ini kadang memang meminta dan memang lebih baik untuk dilepaskan. Hell in a Cell lewat narasi noice-over pada video pembukanya percaya bahwa nafsu buas yang menyiksa batin manusia tersebut ada yang perlu untuk dibiarkan bebas dan ada yang musti dikandangkan. Masalahnya adalah; mana yang mana.

 

manusia itu kadang “Sepintar setan, dan dua kali lebih cantik”

 

 

Bicara soal pilihan, keputusan-keputusan yang diambil oleh Hell in a Cell soal bookingan match mereka toh terkadang sering terlihat sebagai keputusan yang meragukan. Yang salah. Seperti misalnya kita paham kenapa acara bertajuk Hell in a Cell ini enggak bisa semuanya berupa partai Hell in a Cell; it would be an overkill – yang berdampak kepada penonton kehabisan energi lantaran pace acara yang di luar kendali. Dari sudut penyusunan acara, tempo harus diperhatikan. Tapi pertandingan mana yang harus dikandangkan; di sinilah letak kesalahpilihan yang dilakukan oleh acara. Pertandingan yang dibook berakhir bersih dan punya akar cerita personal seperti Becky Lynch melawan Charlotte tadi misalnya, pertandingan mereka seharusnya berada dalam kerangkeng. Akan sangat ganjil dan tentu saja awkward terasa jika sebuah pertandingan yang punya peraturan berupa “tidak ada peraturan” selesai dengan keputusan yang mengambang seperti yang kita lihat pada main event acara ini. AJ Styles dan Samoa Joe tepat diadakan sebagai pertai single biasa, meski penulis tetap melakukan keputusan aneh; entah kenapa mereka gemar mengakhir pertandingan Styles dengan kontroversi yang dipaksakan. Dari dengan Owens, Nakamura, hingga kini dengan Joe, it’s not even interesting anymore.

Salah satu keputusan terbaik yang diterapkan oleh acara ini adalah mengubah kandang menjadi warna merah. Kesan sangar jadi menguar kuat. Merah itu cocok sekali dengan ‘neraka’, dengan ‘darah’, dua kata yang langsung terbayang ketika ada orang yang menyebutkan Hell in a Cell. Bahkan Mick Foley, pegulat yang menjadi legenda karena aksinya di salah satu pertandingan tersebut, berasosiasi dengan warna merah, as in mengenakan flanel merah sebagai kostum default.

 

Pertandingan pembuka yang digelar dalam kandang juga terasa sangat pas. Sangat brutal, apa yang dilakukan oleh Randy Orton, apa yang rela diemban oleh Jeff Hardy. Dengan tema acara, pertandingan mereka juga nyambung. Ini seperti throwback ke masa lalu di mana Hell in a Cell digunakan supaya sisi buas para superstar enggak keluar ke mana-mana. Mereka ditahan di kerangkeng, dan mereka bertarung mati-matian melepaskan semuanya. Fakta bahwa Jeff Hardy dan Orton dua-dua adalah pemain lama, menguatkan semua ini – Jeff Hardy malah memakai ring gear baju jaring-jaring khas dirinya sewaktu masih di Attitude Era. Ngelihat Orton dengan obeng tergigit di mulutnya, Jeff Hardy yang lubang kuping dipelintir oleh obeng tersebut, bulir-bulir darah di punggung Orton yang berbaris membentuk replika ikat pinggang Jeff Hardy, kulit pahanya yang terkelupas. Pertandingan tersebut sebrutal apa yang bisa kita minta kepada era kekinian. Orton yang memaksa wasit untuk menghitung pinnya terhadap Jeff Hardy yang pingsan – entah ini dia improvisasi atau memang skenario, memberikan bobot drama yang gede. By itself, pertandingan tersebut adalah pilihan yang tepat, it really sets up the mood.

Pengekornya, sayang tidak berhasil mempertahankan mood yang sudah terbangun tersebut. Hanya partai Tag Team antara Ambrose dan Rollins melawan Ziggler dan McIntyre yang berhasil menandingi – bahkan menyaingi pencapaian Orton dan Hardy pada pertandingan pertama, baik dari segi cerita dan segi aksi. Pertandingan-pertandingan yang lain memiliki cerita yang baik, psikologi karakter yang sesuai dengan konteks cerita, tapi kualitas aksinya tidak bisa mengimbangi standar yang sudah diset. Becky dan Charlotte tadi misalnya, ada beberapa gerakan yang enggak mulus. Joe dan Styles, ‘tight’ dari segi teknis, namun kehilangan urgensi demi kepentingan melanjutkan storyline.

Ada dua pertandingan yang kita sudah sama-sama tahu bakal tersuguhkan dengan less-action more-drama. WWE benar-benar mencoba menutupi kekurangan Maryse dan Brie dengan drama; dengan tipe match yang kusebut cutscene match pada ulasan pay-per-view yang lalu. Begitupun ketimpangan antara Rousey dan Bliss – both ways. Pertandingannya di sini adalah sebagai giliran Rousey untuk bermain sebagai seseorang yang ‘kurang diuntungkan; dia perlu belajar berbagai variasi angle cerita sebagai seorang bintang baru. Kedua match ini berhasil terdeliver dengan baik, dan tidak benar-benar punya kekurangan. Hanya saja, melihat gambaran besar pertunjukan, kehadiran kedua pertandingan memperlebar rentang hiburan yang diset dengan tinggi di awal tadi.

Lagu entrance Maryse lebih awesome dari punyanya The Miz

 

Main event acara ini bertindak sebagai twist. Jika diawal mereka sudah membawa kita melihat bahwa struktur sel itu digunakan supaya para superstar bisa mengeluarkan sisi terburuk mereka tanpa membahayakan siapapun, maka pertandingan dalam sel yang diwasiti oleh Mick Foley tersebut sesungguhnya ingin memperlihatkan bahwa kandang juga digunakan untuk melindungi dari kebuasaan yang datang dari luar. Keputusan yang menarik. Namun setelah dieksekusi, hasilnya malah aneh. Maksudku, kenapa kita jadi lebih peduli kepada Ambrose dan Rollins yang berantem dengan Ziggler dan McIntyre di luar di atas kandang sana, padahal semestinya kita gigit-gigit jari melihat pertarungan brutal antara Reigns melawan Strowman di neraka di dalam sel?

Ending match yang datang tak lama kemudian malah lebih aneh lagi. It’s awesome melihat Lesnar tiba-tiba datang dan menendang lepas pintu kandang. Interferensi semestinya akan selalu menyenangkan, dengan syarat pertandingan yang diganggu itu tetap selesai. Dalam kasus acara ini, pilihan untuk menjadikan match tersebut seolah cliffhanger dalam film sungguh keputusan yang masih terbuka untuk perdebatan. Dan lucunya, kontradiktif sekali dengan Mick Foley yang mereka pajang berada di sana. Gini loh; Foley jadi legenda dan dia membantu ngesell pertandingan Hell in a Cell ini dengan fakta bahwa dia pernah terjun dua kali dari atas kandang, dan tetap menyelesaikan pertandingan meski bukan-tak mungkin dia hampir mati. Dan kemudian kita melihat Strowman dan Reigns tepar begitu saja kena F5 dari Lesnar yang datang mengamuk, kedua kontestan tidak sanggup melanjutkan pertandingan. Ini mengurangi nilai kengerian Hell in a Cell sendiri. Di samping tentu saja membuat dua superstar teratas brand Raw itu tampak lemah. Amat sangat lemah.

 

 

 

Hell in a Cell kesepuluh yang diadakan oleh WWE ini sebenarnya punya potensi untuk menjadi salah satu acara terbaik tahun ini. Konteks cerita setiap matchnya berjalan dengan baik dan konsisten. Tapi ada beberapa pilihan yang seharusnya bisa dipikirkan ulang. Ada cara dan pilihan yang bisa membuat acara ini lebih menarik dan menghibur lagi. Satu yang menurutku seharusnya bisa diperbaiki, di luar performa dan pertandingan adalah, Michael Cole sebagai komentator. Ini sebenarnya sudah menjadi keluhan umum sih, tapi kupikir Cole sangat ‘bego’ di sini. Komentarnya terlihat seperti membaca cue card. Kata-katanya tidak terasa seperti datang dari ucapan orang yang menonton, lebih seperti menjelaskan apa yang di layar. Pada adegan Ambrose naik memanjat kandang di pertandingan akhir, kita bisa mendengar jelas Cole terdiam dan mengulangi dua kalimat terakhir yang ia ucapkan, karena dia ngucapinnya kecepetan. Bayangkan, dia udah ngomen Ambrose manjat padahal di layar belum kejadian. Kemudian entah dia sadar atau ditegur, dia mengulangi komentarnya, disesuaikan ama pemandangan di layar. It’s really silly, seriously.
The Palace of Wisdom menobatkan Ziggler dan McIntyre melawan Rollins dan Amrose sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Results:
1. HELL IN A CELL Randy Orton beat the superhero out of Jeff Hardy
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Becky Lynch merebut apa yang pantas menjadi miliknya dari tangan Charlotte Flair
3. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Dolph Ziggler dan Drew McIntyre retain dalam sebuah sekuen yang menarik atas Dean Ambrose dan Seth Rollins
4. WWE CHAMPIONSHIP AJ Styles menang tapi kontroversi, membuat Samoa Joe mengamuk kepada Paige 
5. MIXED TAG TEAM Maryse dan The Miz mengalahkan pasangan Brie Bella dan Daniel Bryan
6. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey ngalahin Alexa Bliss 
7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Juara bertahan Roman Reigns dan penantang Braun Strowman sama-sama tepar 

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah ini bakal jadi pertandingan terakhir dari Jeff Hardy? Bagaimana pendapat kalian tentang Braun Strowman dengan koper kontraknya? What’s your favorite Hell in a Cell match of all time?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

THE PREDATOR Review

“Never capture what you can’t control.”

 

 

Monster pembunuh dari luar angkasa berkunjung lagi ke Bumi, siap untuk berburu manusia. Mereka hadir dengan kekuatan yang sudah berevolusi; lebih pintar, lebih ganas, lebih gede, dengan senjata dan teknologi yang lebih mematikan pula. Tapi jangan khawatir. Sekumpulan pria macho yang dapat memadamkan rokok dengan lidah sudah siap untuk menghadapi alien tersebut. Mereka akan menunjukkan bahwa makhluk seberbahaya itu tidaklah mengerikan. Melainkan lucu.

The Predator ternyata bukanlah sebuah reboot ataupun prekuel. Ceritanya adalah lanjutan, pengembangan dari semesta Predator (1987) di mana kita melihat salah satu penampilan terbaik dari Arnold Schwarzenegger. Film lanjutannya ini meng-acknowledge kejadian pada film-film sebelumnya, tidak ada yang elemen yang dihapus. Sutradara Shane Black yang actually juga ikutan main pada film yang pertama tahu persis trope-trope yang membuat franchise ini digemari, sebagai sebuah film monster 80an. Sampai di sini, penggemar Predator menghembuskan napas lega, Akan tetapi, ada sesuatu yang dilakukan oleh Shane Black terhadap arahan bercerita, sebagai bagian dari misinya mengembangkan mitos dan dunia Predator. Sesuatu yang mungkin mengecewakan bagi para penggemar. Seperti The Nun (2018) yang lebih mirip sebuah petualangan misteri ketimbang horor mencekam, The Predator digarap oleh Black dengan menjauh dari akar horornya. Hampir tidak ada jejak keseraman yang muncul pada film ini. The Predator tampil sebagai aksi petualangan melawan monster yang penuh oleh lelucon-lelucon. Yang mana paling tidak membuatnya lebih baik dari The Nun yang tampil setengah-setengah.

brb nyari lengan korban yang ngacungin jempol

 

 

Satu-satunya adegan paling mengerikan dalam film ini adalah ketika ahli biologi yang diperankan oleh Olivia Munn berusaha melarikan diri dari Predator yang mengamuk di lab. Dia berusaha bersembunyi tetapi pintu ruangan hanya terbuka setelah melewati proses dekontaminasi. Jadi, dia musti buka baju dulu, di-scan segala macem dahulu, sementara si Predator di ruangan kaca di sebelah sudah semakin mendekat. Kita tidak akan menemukan suspens selain pada adegan tersebut. Film benar-benar berkonsentrasi untuk komedi dan adegan-adegan aksi yang berujung dengan tubuh yang terpotong. Shane Black memang sengaja melakukan itu semua; menomor-duakan aspek horor. Sepertinya dia punya ide lain terhadap franchise Predator, sebagimana tokoh di film ini yang punya pendapat berbeda terhadap penyebutan istilah Predator. Ada running jokes tersemat dalam cerita soal selama ini kita salah menyebut para alien tersebut sebagai Predator. Karena Predator tersebut enggak exactly predator. Mereka pemburu. Mereka membunuh bukan untuk hidup, melainkan untuk bersenang-senang. Mereka tidak memangsa manusia. Dalam film ini dijelaskan alasan Predator membunuh yang ternyata lebih sophisticated dari sekedar insting bertahan hidup. Ini sebenarnya mencerminkan visi dan arahan Shane Black untuk ke depannya. Jika kita lihat ending film ini, bukan sekedar asal nembak jika kita sampai berteori manusialah yang akan menjadi predator bagi Predator.

Bukan tanpa alasan jika manusia disebut sebagai predator paling berbahaya. Enggak cukup dengan memakan apa saja yang bisa dimakan untuk bertahan hidup, membuat kita predator segala resipien; jumlah mangsa paling banyak. Kita terkadang suka ‘memangsa’ sesuatu di luar kemampuan kita. Manusia ingin menangkap semuanya, lihat betapa tamaknya teknologi dan alien diperebutkan oleh tokoh-tokoh film ini.

 

 

Dimulai dengan pesawat asing crashing down, yang mengingatkan kita kepada Predator pertama, dan tentu saja dengan The Nice Guys (2016); buddy-komedi garapan Black yang kocak abis. Sama seperti film tersebut, The Predator juga punya tokoh anak jenius yang memegang peranan penting. Tapi tidak seperti film tersebut, The Predator  punya plot yang sedikit terlalu ribet untuk dirangkai. Narasi film ini lebih terasa seperti rangkaian-rangkaian kejadian alih-alih sebuah kesatuan cerita yang kohesif. Tokoh utama kita adalah Quinn McKenna seorang sniper yang diperankan oleh Boyd Holbrook. Dialah yang pertama kali menemukan pesawat alien yang jatuh saat sedang bertugas di hutan. Pemerintah tentu saja berusaha menutupi kejadian tersebut, Quinn ditangkap dan dikirim ke penjara karena menolak untuk tutup mulut. On the way, Quinn bergabung dengan tentara-tentara ‘sinting’ yang lain, untuk mengalahkan alien yang Quinn tahu bakal datang mencari benda yang ia ambil dari rongsokan pesawat. Yang tak diketahui Quinn adalah benda tersebut justru dikirim pos ke depan pintu rumahnya. Dan jatuh ke tangan Rory, anaknya. See, Jacob Tremblay di sini adalah anak berkebutuhan khusus yang bisa menyusun bidak-bidak catur yang berserakan ke posisi sebelum permainan diganggu. Armor dan benda-benda berkilat itu dimainkan oleh Rory layaknya video game. Bahkan helm alien tersebut ia kenakan sebagai kostum Halloween. Tanpa menyadari bahwa dia baru saja mengirim sinyal memberitahu Predator langsung ke alamat rumahnya.

kalo gak mau dilihat orang, pake topeng astronot aja, dek

 

 

Film ini adalah rangkaian kejar dan kabur-kaburan yang melibatkan banyak talenta, dialog dan momen kocak, serta sosok Predator yang kostumnya keren. Keputusan memakai orang alih-alih komputer memang jarang sekali menjadi keputusan yang jelek untuk film monster seperti ini. Enggak semua yang kita lihat adalah CGI, walaupun memang efek menjadi penyedap utama buat film ini. Shot, cara mati, pertempurannya, seru untuk diikuti. Pemandangan Predator yang tak-terlihat terguyur oleh darah  membuatku bertepuk tangan. Selera komedi film ini sangat klasik, nuansa monster 80annya sangat kuat. Ada satu tokoh yang bilang “I will be back” yang langsung disamber ama temennya “No, you won’t”. Dan ini lucunya meta banget. Hanya saja, di luar segala referensi dan one-liner itu, enggak banyak yang bikin kita ter-attach sama tokoh-tokohnya. Sangat susah buat kita bersimpati pada apa yang mereka hadapi, lantaran mereka sendiri tidak pernah tampak ketakutan. Mereka bercanda saja sepanjang waktu. Malah ada satu tokoh yang karakternya literally disebutin suicidal. Dan dia menyebut itu dengan tampang bangga. Jadi ketika dia benar-benar memilih untuk mati, kita enggak ada sedih-sedihnya.

Sepertinya film berusaha melakukan apa yang dilakukan oleh Taika Waititi pada franchise Thor. Taika melihat potensi komedi pada Thor, dan menggadangkan aspek tersebut, tapi Taika tidak mengecilkan porsi yang lain. Thor dan para karakter tetap dibuat emosional, dan actually tema ceritanya adalah bahwa dewa juga manusia. The Predator mencoba untuk berevolusi, Black melihat potensi komedi pada franchisenya, dan benar-benar banting setir ke arah sana. Sisi kemanusiaan karakter lupa diperhatikan. Jangankan horor, emosi yang lain pun tidak dapat kita rasakan. Ada satu tokoh yang belum pernah menyakiti orang seumur hidupnya. At one point of the story, terbunuhlah orang olehnya. Tapi film tidak membawa kita untuk menyelami perasaannya; tidak ada penyesalan, sedih, tidak ada rasa bersalah, atau malah tidak ada rasa senang ataupun mungkin lega. Film ini berpindah begitu cepat seolah kejadian-kejadian yang mereka lewati sudah tidak penting lagi karena, hey, itu Predator yang harus mereka kalahkan sudah muncul kembali.

Ada perbincangan soal menjadi ‘alien’ di planet sendiri. Predator normal dan Quinn sebenarnya berbagi perjalanan yang serupa, bahwa mereka adalah orang asing. Mereka adalah pelarian. Karena mereka tidak setuju ataupun bertentangan dengan pemerintah, dengan sebuah kesepakatan. Jadi mereka memilih cara mereka sendiri, dengan harapan mengubah hal menjadi lebih baik karena mereka tahu that they know better. Makanya pertempuran terakhir dengan Super Predator yang pada dasarnya adalah ‘polisi’ para predator menjadi sangat personal bagi Quinn. Aspek ini terlihat digunakan sebagai alasan kenapa Black membawa The Predator menjadi full action dan less-horor. Karena dia ingin berevolusi. Bahwa dia tak segan untuk menjadi berbeda di dunianya sendiri. Babak ketiga film ini memang seperti sebuah tindakan yang berkelit dari potensi horor, terasa sekali gimana film yang sadis ini enggak mau tampil menyeramkan. Drawback dari keputusan kreatif ini adalah film tidak bisa bercerita dengan baik, narasinya tidak terasa berkembang dengan alami.

Alih-alih berevolusi, apa yang dilakukan oleh Shane Black terhadap film ini malah lebih seperti ilmuwan gila yang sedang menjahit makhluk Frankeinstein. Ya, film ini makhluk tersebut; penuh jahitan.

 

 

 

 

Dengan semua materi dan talenta yang ia punya, Shane Black menyuguhkan kepada kita petualangan aksi yang kocak dan sadis dengan sosok monster, tapi tidak pernah diniatkan untuk terasa menyeramkan. Keputusan yang aneh, memang. Tapi aku tidak bisa bilang aku kecewa, karena aku sebagai penonton yang tumbuh dengan monster-monster cheesy 80-90an, sangat menikmati lelucon film ini. Tapinya lagi, kesenangan pribadi kita terhadap suatu film tidak lantas menyematkan predikat bagus terhadap film tersebut. Ada banyak aspek yang lemah pada film ini, narasinya yang tidak padu, plot yang tipis, karakter yang tampak tidak tahu emosi lain selain ngelucu. Untuk menyederhakannya; film ini terasa artifisial. Dia seperti memakai banyak armor secara serabutan. Yang menunjukkan betapa lemah ia sesungguhnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE PREDATOR.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa sih kekuatan dari franchise Predator menurut kalian? Apa film Predator favoritmu?Apakah dengan membuatnya jadi kehilangan unsur seram dan total komedi Shane Black sudah membunuh franchise ini?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GILA LU NDRO! Review

“The absurd is the essential concept and the first truth.”

 

 

 

 

Seorang alien bernama Alien datang jauh-jauh dari planetnya yang berbulu ke Jakarta demi mencari sumber damai. Sudah pada lihat belum, lucunya premis ini di mana?

Ke Jakarta.

Mencari damai.

Lelucon yang lucu!!

 

 

Konsep dari sebuah komedi yang hebat selalu berupa penabrakkan hal-hal yang berlawanan.  Gila Lo Ndro! punya akar komedi yang kuat, yang berfungsi dua arah; sebagai sentilan, maupun sebagai gambaran. Seperti Aamir Khan yang berkeliling mencari Tuhan pada PK (2014), Alien di Gila Lo Ndro! sesungguhnya membawa kita berkeliling Jakarta untuk melihat fenomena-fenomena absurd. Seorang makhluk planet berwarna orange dengan kepala kayak ditempelin helm (aku gak pernah nyangka Indro Warkop bisa tampil lebih aneh lagi) bukan lagi hal yang paling langka. Kedamaianlah yang lebih langka di sana, di dunia kita yang sebenarnya.

Film ini sebenarnya punya tujuan yang mulia. Lebih mulia daripada batu mulia yang dijual Pak Slamet. Kebiasaan-kebiasaan orang jaman sekarang yang diperlihatkan oleh film benar-benar relevan. Gimana orang sukarela tersulut dan gemar ribut. Gimana media sosial adalah jalan pintas untuk menjadi terkenal buat orang-orang yang satu-satunya bakat yang mereka punya adalah mencari masalah dan kontroversi. Dan pada sisi lain uang logam tersebut terdapat khalayak masa kini begitu gampang disetir oleh hoax. Dalam sebuah sekuen yang kocak kita akan melihat gimana berita tentang marmut berwarna pelangi berubah menjadi marmut yang bisa menembak. Aku pikir film ini menjadi gede, sejujurnya aku berharap demikian.

Wagelasih lo Ndro!

 

 

Baru-baru ini Sacha Baron Cohen (alias si Borat) ngeluarin serial TV bergaya dokumenter yang sangat berani. Dalam serial bertajuk Who is America? tersebut Sacha menyamar menjadi beberapa orang – mulai dari aktivis, pasukan anti teroris, hingga vlogger mainan, dan dia mengadakan sesi interview dengan politisi, seniman, artis, serta orang-orang ‘biasa’ di Amerika. Sacha mengekspos pola pikir dan sudut pandang orang-orang Amerika tersebut. Lewat komedi satir yang bahkan lawan bicaranya enggak sadar sedang diolok-olok, Sacha memperlihatkan kepada kita kondisi sebenarnya di sana.

Gila Lo Ndro? punya potensi untuk menjadi kritik sekuat serial tersebut, karena tentu saja negara kita tak luput dari masalah – kita punya masalah politis dan kemanusiaan sendiri di sini. Jakarta bisa dibilang kota terpanas di Indonesia sekarang ini, ketika kita mendengar tentang Jakarta biasanya berupa tentang keributan, ketidak adilan, moralitas yang semakin bobrok pada setiap lapisan masyarakatnya. Apalagi menjelang masa pemilihan presiden, semua saling menjatuhkan. Keadaan planet asal Alien dalam film ini sebenarnya adalah cerminan langsung dari keadaan Jakarta, dan mungkin seluruh Indonesia. Tapi ada sesuatu dari Gila Lu Ndro? yang seperti terasa hilang, yang membuatnya malah menjadi seperti upaya tak-sampai. Film ini lebih terasa pretentious ketimbang punya suara yang valid. Komedinya bagus, tapi tidak pernah terasa otentik. Sepertinya bisa lebih kuat jika yang mereka perlihatkan pada film ini adalah kejadian asli (ayolah, hare gene tidak susah mencari orang ribut karena hal sepele di Jakarta atau bahkan di mana saja), membuatnya seperti Sacha yang berinteraksi dengan orang-orang asli yang tak tahu mereka sedang bermain film. Dan menyerahkan komedi itu sepenuhnya kepada dua pemain utama. Si Alien dan Indro.

Cara bercerita film inilah yang terasa sangat lemah. Actually ada satu lapisan lagi pada narasi. dari nama pemainnya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya ini adalah kisah antara Indro Warkop dengan Nita, istrinya. Indro yang dimainkan Tora Sudiro pada cerita ini adalah beneran Indro Warkop yang punya teman nongkrong bernama Dono dan Kasino (as in our very own legendary comedic trio). Situasinya adalah Indro yang pulang telat, diinterogasi oleh istrinya. Kenapa, darimana, abis ngapain. You know, tipe pertanyaan yang diajuin oleh cewek seolah berharap menangkap bahas cowok mereka berbuat salah. Karena, seperti yang dengan gamblang diperlihatkan oleh film ini lewat tulisan di cangkir; cewek selalu benar. Jadi, Indro lantas bercerita tentang pertemuannya dengan makhluk planet asing dan gimana mereka berdua bertualang keliling kota mencari sumber damai. Dari konteksnya, ada aspek kejujuran yang ingin ditonjolkan. Ada hook ‘apakah sebenarnya Indro bohong atau tidak’ yang digunakan untuk menarik penonton. Seperti pada Big Fish (2003) ataupun pada Life of Pi (2012). Tapi storytelling film ini tidak membuat pertanyaan tersebut menjadi penting. Film seperti sengaja untuk menghilangkan hooknya sebab dari adegan awal kita sudah dibuat yakin bahwa si Alien memang ada. Yang sebenarnya tidak masalah jika selanjutnya diolah dengan bener. Sayangnya, narasi yang berupa lapisan Indro dengan istrinya, lapisan Indro dengan Alien dan orang-orang yang mereka temui, tidak pernah terceritakan dengan kohesif.

 

Memang kadang tampak aneh. Mungkin malah ganjil. Sukar dipercaya. Namun bisa saja hal yang tampak asik untuk kita tertawakan itu justru adalah kebenaran yang sesungguhnya. Tidak ada cara untuk kita mengetahui hal tersebut. Yang kita bisa adalah untuk tetap membuka pikiran. Untuk tetap menjaga kepala tidak panas. Karena, meskipun kita masih ragu, paling tidak kita bisa untuk tetap saling damai.

 

Penyuntingan adegan ketika cerita berpindah dari petualangan Indro ke cerita di rumah lumayan kreatif, mulus pula. Tapi keseringan. Jadinya sedikit menyebalkan, lantaran kita yang sedang melihat kejadian yang lucu, ataupun ironis, seringkali seperti ditarik begitu saja ke dalam percakapan yang gak maju-maju antara Indro dengan istrinya. Ah kamu bohong. Beneran. Terus lanjutannya gimana. Repetitif dan memperlambat cerita, membuat kita terlepas dari ceritanya. Juga seolah menciptakan dinding pemisah antara satu kejadian dengan kejadian lain, sehingga film terasa seperti potongan episode atau sketsa. Indro dan Alien tidak kelihatan karakternya. Kita sepanjang film melihat mereka berdua, tapi mereka jarang melakukan hal yang menarik. Mereka hanya ada di sana untuk menjelaskan konteks adegan yang sedang berlangsung. Atau dalam kalimat lain; mereka di sana untuk memaparkan pesan-masyarakat tentang kedamaian, dengan sedikit sekali usaha untuk membuatnya subtil.

kedamaian hakiki hanya milik orang yang sudah meninggal, sepakat?

 

 

Seharusnya film bisa ditulis dengan lebih baik lagi. Hubungan antara Indro dengan Alien semestinya bisa digali lebih, terutama dengan  menajamkan karakter mereka. Lucu sekali bahwa Alien yang datang ke Bumi lantaran ingin belajar damai malah jadi seperti juru damai bagi penghuni lokal. Kalo dia memang bisa, kenapa masih pergi mencari? Mereka bisa saja membuat Alien itu orang yang suka kekerasan, untuk menunjukkan dia benar-benar tidak tahu mengenai konsep damai, tapi film memilih penulisan yang lebih datar. Indro bahkan tampak seperti kumpulan dari pesan-pesan mengenai perdamaian daripada seorang karakter. Kata-kata yang terucap dari mulut berkumisnya kadang jadi terasa dipaksakan, dan enggak nyambung, dan eventually jadi tidak lucu. Seperti ketika anaknya bertanya kenapa Alien naik bemo, Indro menjawab dengan “Karena semua sama di mata hukum.” Di mana nyambungnya? Dua tokoh tersebut membuat aspek filosofis yang dipunya oleh cerita menjadi tumpul sebab mereka sendiri tidak punya kedalaman.

 

 

 

Kita tidak bisa tahu pasti mana yang paling benar, kita hanya bisa percaya. Dan open-minded terhadap sudut pandang orang lain. Begitu pun dengan film; sebuah cerita bukan masalah apakah idenya seusai dengan pikiran/moral kita atau tidak, karena siapa tahu justru keyakinan kita yang salah. Pada sebuah film yang terpenting adalah bagaimana cara mereka menyampaikan ide mereka. Menakjubkan gimana mereka kepikiran cerita begini sarat hanya dari jargon sepele, sayangnya film garapan sutradara Herwin Novianto ini seringkali gagap dalam bercerita. Pesan-pesannya begitu in-the-face, tokohnya tidak punya inner journey. Seharusnya cerita bernapas satir seperti ini diceritakan se-real mungkin, dengan tetap difasilitasi oleh konsep dan humornya. Tapi film ini jatohnya terlihat dibuat-buat. Humornya bahkan tidak tersampaikan menjadi lucu – penonton di studio aku nonton tadi tak ada yang tertawa karena semuanya tampak pretentious.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for GILA LU NDRO!

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah hobi kita menawar di pasar atau kaki lima tapi tidak di kafe atau mall ada hubungannya dengan kita suka memandang orang lebih rendah supaya kita terus terlihat tinggi dan benar? Kenapa kita mencela ide orang lain yang tidak kita setujui? Bagaimana sikap kalian jika kebenaran yang kalian selama ini percayai ternyata terbukti salah?

Apakah kalian percaya ada alien? Dalam film ini, Alien punya bahasa sendiri, kita akan melihat dia dan istrinya berbincang di akhir; jika Ka-ga-lo-go yang mereka ucapin itu artinya ‘kalo’, kira-kira arti gagay yang selalu diucapkan si Alien ini apa ya?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

CRAZY RICH ASIANS Review

“Sometimes you gotta lose something to win something.”

 

 

 

Cewek-cewek, pacar kalian yang biasanya makan cake sepiring berdua ternyata adalah pria super duper kaya di Singapura. Hayo gimana tuh. Apakah kalian bakal girang setengah mati lantaran udah berhasil nangkep ikan gemuk, atau malah akan minder?

Persetujuan keluarga itu penting dalam membina hubungan. Apalagi buat keluarga yang saking berhasilnya memegang teguh tradisi hingga menjadi basically jadi tuan tanah di Singapura seperti keluarga Nick Young (mempesona di debutnya, Henry Golding bikin penonton cewek di sebelahku meleleh). Terkenal, kaya raya, cakep-cakep pula. Mungkin memang hanya Rachel Chu-lah yang enggak kenal siapa Nick dan keluarga. Padahal Rachel (aku konflik di sini lantaran Constance Wu suaranya annoying tapi wajahnya mirip-mirip Dian Sastro) sudah lama pacaran sama Nick. Crazy Rich Asians yang diadaptasi dari novel karangan Kevin Kwan bercerita tentang Rachel yang gede di New York diajak ke Singapura oleh pacarnya demi menghadiri pesta pernikahan sepupu. Yang mana itu berarti Rachel akan bertemu langsung dengan orangtua dan keluarga besar Nick. Yang mana itu berarti Rachel gak punya kesempatan berlama-lama melongo melihat kenyataan Nick bisa beli apapun di Singapura kalo dia mau. Sebab palu judgment akan siap dijatuhkan kepadanya; apakah calon mertua senang dan bisa menerima dirinya. Sudah hampir pasti dia mesti bekerja keras untuk bisa diterima sama calon keluarga barunya. Dan hal tersebut harus dia lakukan sambil berusaha untuk jadi pacar yang baik, menjalin hubungan yang normal, sementara semua hal yang baru terus menderu dirinya.

Di balik lapisan cewek biasa saja yang ternyata punya pacar orang kaya, film ini sesungguhnya membentrokkan budaya Amerika yang mandiri  – dalam artian ‘mengutamakan diri sendiri’ – dengan konsep budaya yang terdengar asing dan terbelakang bagi mereka. Dari aspek inilah datangnya kesignifikansian Crazy Rich Asians hadir dalam dunia sinema, khususnya sinema barat. Satu hal film merupakan produksi gede Hollywood pertama yang seluruh pihak yang terlibat di dalamnya adalah orang Asia. Sungguh-sungguh monumental. Hollywood akhirnya mendengar dengan seksama suara pasar, dan berani mengambil langkah memperlihatkan budaya berbeda dari belahan dunia yang lain. Jika selama ini orang Asia tak sering hanya merupakan peran minor, maka di film ini para audiens Hollywood sana bukan saja diperlihatkan keindahan dan keunikan Asia, bahwa mereka juga powerful. Melainkan juga dibuat melek – tertantang – sama pola pikir yang berakar pada tradisi sebagaimana kita penonton film ini akan berusaha melihatnya dari sisi yang lain.

‘Goh’ Standard atau Self-Made. You be the judge.

 

 

Semua hal yang ditampilkan dalam film ini sungguh sangat baru buat penonton di Barat sana. Makanan, bahasa, budaya, arsitektur, cara pandang, film kuat oleh hal tersebut. Menjadikannya begitu menghibur. Ada banyak momen yang terasa sangat menyenangkan, lucu, bahkan oleh kita yang sama-sama orang Asia. Adegan pesta pernikahan itu benar-benar fascinating. Aku rasa ini adalah adegan wedding paling memesona yang pernah aku lihat dalam film untuk waktu yang lama. Untuk kita-kita, ada nilai plus yang pasti terasa; semuanya terasa akrab dan kita ikutan bangga saat “sate, dua puluh” disebut, saat ada onde-onde. Saat ada Mr. Harimau. Mereka tidak begitu berbeda dengan kita di Indonesia. Dan untuk Hollywood akhirnya mengacknowldege ini, akhirnya memberikan kesempatan untuk orang-orang Asia memegang kemudi, sungguh hal yang menakjubkan. Setelah sekian lama berjuang, membuktikan diri, akhirnya approval terhadap film bertema Asia yang benar-benar patut diperhitungkan dan gak sekedar archetype rasis itu berhasil digenggam. Dan untuk selanjutnya hanya ada hal bagus yang datang dari sini.

Sama seperti Rachel yang harus bekerja keras demi mendapatkan approval dari Eleanor Young, ibu dari Nick. Hubungan kedua tokoh inilah yang sejatinya membuat cerita menarik. Eleanor juga sebenarnya sama ama Rachel, dulu dia juga harus berjuang demi persetujuan nenek Nick. Konflik di antara keduanya terasa gregetnya. Eleanor di tangan Michelle Yeoh terasa sangat mengintimidasi. Sekali lihat saja kita bisa langsung degdegan karena kita tahu dia adalah orang yang harus bisa kita buat terkesan. Dan Eleanor tidak sungkan untuk menunjukkan tingkat kesukaannya secara kontan tanpa tedeng aling-aling. Bayangkan, inilah orang yang harus dihadapi oleh Rachel. Cewek yang ngajar Ekonomi ini harus secara konstan menyenangkan hati si calon mertua, atau kalo gak bisa, dia harus bisa berkelit dari pertanyaan-pertanyaan bernada merendahkan dalam upaya membuktikan dirinya pantas masuk menjadi anggota keluarga mereka.

Sebenarnya konyol sih, gimana kita harus bekerja keras demi mendapat persetujuan orang. Kita harus berusaha menyenangkan hati mereka, hanya demi pengakuan – practically kita memohon untuk kesempatan. Para cast film ini misalnya, mereka harus buktikan diri dulu ke Hollywood bahwa mereka bisa menghasilkan uang sebab film adalah investasi. Mereka berhasil, dan jadilah film ini seluruh castnya Asia. Rachel harus buktiin diri, bermanis-manis di tengah tuduhan supaya bisa dapat restu dan diakui, dianggap pantas menjadi anggota keluarga. Tapi memang begitulah aturan mainnya.

Kita tidak bisa dapat hal yang lebih baik jika tidak membuktikan dulu kita pantas saat kita belum memilik hal yang baik. Kita harus melakukan sesuatu yang pantas untuk mendapat pengakuan, dan untuk itu terkadang kita harus kalah dahulu

 

 

Buat yang mempertanyakan, ya, cerita film ini memang seperti FTV yang sering membuat ibu-ibu kita terbuai. Struktur ceritanya juga formulaik sekali. Pun dipenuhi oleh trope-trope klise, like, tentu saja akan ada adegan fitting gaun pesta disertai musik yang ceria. Cukup bikin bosen kala cerita memasuki lapisan yang di dalam, ketika kita jauh dari distraksi mewah, indah, dan glamornya kehidupan orang kaya di Singapura, terutama ketika romansa Rachel dengan Nick. Karena kita sudah apal cerita model begini. Tidak ada substansi baru yang ditawarkan. Benar-benar kharisma pemain, lokasi dan produksi, lapisan luar yang bikin film ini terasa fresh. Makanya dia jadi gampang untuk disukai. Semua orang akan suka film ini, kurasa. Humor pun dengan tepat ditebar, tidak ada momen yang terasa lebay.

Orang kaya paling suka barang diskonan, it’s funny because it’s true

 

 

Kalopun ada yang gak seneng, kurasa orang Singapura sendiri yang paling mungkin memandang film ini dengan mata menyipit. Karena Singapura kan mestinya negara yang sangat diverse, bukan hanya orang Cina yang ada di sana – orang Asia bukan hanya Cina. Penduduk Singapura yang lain terasa minor banget dalam film ini, lihat saja tamu-tamu pestanya. Bangsa Asia lain sepertinya harus buktiin diri dulu biar bisa dapat peran gede di lanjutan film ini nanti (kalo ada).

Ada beberapa aspek yang mestinya bisa dikasih informasi lebih, supaya kita lebih mudah mengerti. Seperti sekuen main mahyong menjelang akhir cerita. Ini adalah bagian yang penting, dialognya memang sangat jelas menyatakan apa yang kita saksikan, apa makna yang ingin disampaikan. Tapi semestinya impact sekuen ini bisa menjadi lebih kuat jika kita mengerti mereka sedang ngapain dalam terms permainannya. Paling enggak kita harusnya dikasih tahu Rachel menang atau tidak. Dengan demikian, kita ikut terbawa dalam permainan dan dialognya, karena aku yakin kedua hal tersebut berjalan berbarengan. Rachel menggugurkan batu mahyongnya (aku gak yakin karena gak tau aturan permainan tersebut), dia membuat Eleanor menang, itu sebenarnya paralel dengan keputusan yang Rachel lakukan. Aku suka adegan tersebut. Aku hanya butuh sedikit kejelasan terhadap apa yang kurasakan dilakukan dalam adegan tersebut benar-benar sesuai atau enggak.

 

 

 

Komedi romantis yang perfectly entertaining. Ceritanya memang tidak baru, entah sudah berapa kali kita sudah melihat cerita yang sama. Tapi karakter-karakter, set, budaya, yang ditampilkan akan membungkus dengan begitu luar biasa, sehingga film menjadi begitu menyenangkan. Begitu pentingnya film ini karena menjadi bukti bahwa Hollywood sudah membuka pintu kesempatan. Aku akan menantikan sekali film seperti ini muncul dengan cerita yang lebih fresh dan lebih baik lagi. Dan kita, Indonesia, maksudku, tidakkah kita pengen lihat Indonesia-full di Hollywood, dengan pemain, kru, cerita buatan lokal. Tidak lagi hanya sebatas fragmen-fragmen karena kita share kebudayaan yang sama ama negara tetangga. Film ini, sama seperti Wiro Sableng 212 (2018), adalah jalan masuk untuk kesempatan-kesempatan langka. Kita harus bekerja amat sangat keras untuk diakui. Sistem yang mungkin konyol, tapi begitulah aturan hidup di crazy rich world.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CRAZY RICH ASIANS.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian akankah Indonesia mampu menangkap perhatian Hollywood? Mengingat kita punya banyak sinetron dan FTV yang ceritanya model begini, apakah kita akan ternoticed begitu menggarapnya dengan biaya yang besar? Bagaimana menurut kalian langkah terbaik yang harusnya dilakukan untuk mendapat kesempatan seperti ini, kita punya Iko Uwais, Marlina, dan banyak lagi yang sudah mendunia. Akankah itu cukup?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017