MILE 22 Review

“There are no heroes or villains”

 

 

 

Sebagian orang bisa tidur dengan damai di malam hari karena mereka mengetahui ada orang-orang yang siap untuk berbuat kekerasan demi mereka. Begitu kata tokoh yang diperankan dengan sangar oleh Mark Wahlberg di film Mile 22. Enggak jelas juga apakah Si James Silva ini memang penggemar George Orwell, atau dia hanya terlalu obsesif dengan menegakkan kedamaian sehingga bocah jenius yang jadi yatim piatu tersebut jadi ‘setengah-gila’ menyangkut urusan membasmi orang jahat. Kita enggak akan pernah tahu, karena cerita latar tokoh ini hanya disajikan dalam montase klip-klip berita yang muncul di pembuka. Tidak sampai lima menit, kemudian film melaju begitu saja tanpa memberikan kita kesempatan untuk bernapas. Apalagi memikirkan kegilaan filosofis si James ini.

Tapi toh, tokoh James memang menarik. Dia adalah agen rahasia pemerintah yang menyamar sebagai agen CIA. Bayangin tuh! James punya kebiasaan jebretin lengannya pake karet gelang yang selalu ia kenakan di pergelangan tangan. Harus memutuskan antara yang baik dengan yang efisien? Jebret! Menangani siasat yang mesti diputuskan dengan cepat? Jebret! Rasa sakit membantu James untuk fokus.  Dirinya sangat obsesif, dia punya kesadaran tinggi tentang apa yang harus dilakukan – tidak peduli itu salah atau benar. Dia paham kecerdasanya di atas rata-rata jadi dia agak kesel dan tak ragu untuk menjadi begitu intens jika ada bawahannya yang meragukan apa yang ia perintahkan ataupun ketika ada yang bekerja di bawah standar yang ia percaya.

No birthday cake, Rousey!

 

Untuk satu hal, film ini adalah laga konvensional tentang satu kelompok yang berusaha untuk mengantar seseorang ke dalam lingkungan yang aman, di mana untuk mencapai keselamatan tersebut mereka harus menerjang peluru dan berantem numpahin darah. Tim James melakukan operasi rahasia untuk membawa polisi lokal yang menyerahkan diri ke embassy Amerika. Polisi rendahan tersebut, si Iko Uwais bernama Li Noor di sini, mengaku mengetahui sandi untuk menonaktifkan enam bom yang dicari oleh para agen. Jadi ia menukar pengetahuannya tersebut dengan posisi yang aman di Amerika. Syaratnya; Tim James harus memastikan keselamatannya sampai ia tiba di Amerika – karena tampaknya, pihak polisi lokal enggak mau satu polisi yang dianggap berbahaya ini meloloskan diri ke negara lain. Dua-puluh-dua mil actually adalah jarak dari embassy ke bandara yang harus James tempuh dalam misinya ini. Tapi untuk kita para penonton, itu berarti 100 menit yang rasanya begitu lama karena tak sekalipun kita dikasih waktu untuk mikirin para tokohnya.

Seperti yang kubilang tadi, ada hal menarik yang coba diangkat oleh film dari perilaku tokohnya. Li Noor dibuat kontras dengan James. Dia lebih tenang, hobinya meditasi dengan jari-jari sebagai lawan dari James dan jebretan karet gelangnya. Film sebenarnya bisa bekerja dengan lebih baik dari menggali ini saja, dengan pelan-pelan. Tapinya, enggak. Film berusaha untuk menjadi banyak hal. Salah satunya adalah menjadi sok lucu. Ada begitu banyak dialog yang diniatkan pinter dan keren, malah jatohnya konyol. Receh. Kayak momen terakhir antara James dengan Noor. Setelah semua aksi tersebut, kontras antara mereka diperlihatkan, rasanya aneh dan konyol sekali film ini memberikan sentuhan ‘realita’ yang mengacknowledge Wahlberg sebagai seorang selebriti sebagai titik puncak dari tokoh-tokoh ini. Film ini – sama seperti James – menyangka dirinya pintar dengan memasukkan lelucon “Say hi to your ‘mother’ for me” (Wahlberg terkenal dengan jargon dari sketsa Saturday Night Live ini, yang diucapkan untuk meledek dirinya) mentang-mentang konteksnya adalah pimpinan tokoh James menyebut diri sebagai Mother dalam kode operasi rahasia mereka.

Dalam dunia yang kacau, tidak ada pahlawan atau penjahat. Sebab terkadang, kita perlu untuk bertindak layaknya penjahat, untuk menyelamatkan orang. Hal yang benar untuk dilakukan bisa jadi adalah hal yang paling berat untuk dilakukan. Keberanian untuk menempuh hal sulit itulah yang membuat seseorang pantas dipanggil sebagai pahlawan.

 

 

Hal lain yang dilakukan oleh film ini adalah, berusaha menjadi nendang dan impactful dengan pesan-pesan politiknya. Tapi tidak pernah menyampur dengan baik. Antara maksud dengan apa yang benar-benar film ini lakukan, enggak klop. Karena film ini tidak benar-benar mengembangkan apa-apa selain ledakan dan aksi laga. Film bahkan tidak berani menyebut nama negara yang jadi settingnya. Mereka menampilkan nama Indocarr yang menunjukkan ini negara fiktif, tapi tidak pernah benar-benar menyebutnya. Para tokoh berkelit dari menyebutkan nama. Ketika harus nyebutin, mereka mereferensi tempat ini dengan sebutan “our host country”. Aku gak mengerti kenapa mereka gak langsung bilang Indocarr aja . Atau langsung sebut Indonesia aja, toh kita tahu letaknya di Asia Tenggara, kita mendengar penduduk lokal berbahasa Indonesia. Orang sini akan dapat hiburan tersendiri saat menonton Mile 22 dari bahasa yang terdengar. Tokoh-tokoh yang lain juga sekedar ada di sana. Tokoh pemimpin mereka hanya ada untuk teriak-teriak kepada komputer. Ada tokoh cewek namanya Alice yang diceritakan punya masalah dengan perceraian dan keluarga, tapi tidak mendapat finality yang pantas. Dan Ronda Rousey (our new WWE RAW WOMEN’S CHAMPION!), dang menurutku film ini melewatkan kesempatan gede; mereka punya Iko Uwais dan the baddest woman in the planet, tapi keduanya enggak dibikin berantem. Mubaziiiirrr, I want to see them fight each other!

bahkan saat bicara pun film ini meledak-ledak

 

 

Bagian tengah film ini betul-betul kosong. Kita dapat pembuka yang basically mengeset siapa James, apa yang ia lakukan, siapa yang berasosiasi dengannya. Film juga memberikan penutup apa yang terjadi kepada James, dan semuanya. Namun, bagian tengahnya – dimulai dari kemunculan mendadak Li Noor – hanya terasa seperti sekuen aksi yang begitu panjang tanpa ada esensi di baliknya. Tidak ada pengembangan di sana. Film begitu bedeterminasi untuk membuat pengungkapan di bagian penutup sebagai sebuah ledakan yang wow, jadi kita tidak dapat apa-apa di babak kedua ini selain adegan berantem dan tembak-tembakan. Kita dilempar begitu saja ke dalam sekuens aksi dengan sesedikit mungkin build up sehingga akan susah sekali untuk peduli pada apa yang terjadi.

Sebaiknya jangan nonton film ini saat perut kalian sedang kosong. Serius. Babak kedua yang katanya penuh aksi itu, well, berkat kerja kamera dan editing yang begitu rusuh apa-apa yang di layar akan tampak sangat membingungkan. Kita enggak bisa ngikutin siapa nyerang siapa, apa yang terjadi di layar terjadi begitu cepat. Begitu banyak cut-cut cepat yang membuat mata kita berpindah-pindah tanpa arahan. Aku gak paham kenapa film ini malah menggunakan teknik edit dan kamera yang heboh seperti itu. Ini kubalikkan saran James buat rekannya kepada pergerakan kamera: Stop. 

Film ini perlu memikirkan ulang konsepnya; pengen menangkap suasana rusuh semestinya bisa dilakukan tanpa membuat penonton bingung dan mau muntah. Dan lagi, jika kau punya aktor laga sehebat Iko Uwais, yang juga kau pekerjakan sebagai koreografi laga – yang berarti kau percaya pada kemampuannya – maka dijamin kau akan punya sekuen aksi yang dashyat; Kenapa tak merekamnya dengan wideshot, dengan tenang. Kamera bergoyang dan quick-cut yang hiperaktif digunakan untuk menyamarkan kerja stunt dan aksi yang buruk. Kehadiran Iko menjamin masalah tersebut tidak bakal ada, jadi kenapa teknik demikian – yang sama sekali tidak mengangkat buat gaya Iko –  masih terus digunakan?

 

 

 

 

Sungguh aneh pilihan dan arahan yang dilakukan oleh sutradara Peter Berg. Semuanya sangat cepat, dengan orang-orang yang bersuara lantang. Membuat film ini jadi kayak versi loud dari Sicario (2015). Ceritanya tak lagi menyenangkan, kita tidak bisa untuk peduli pada siapapun. Sangat gak jelas dengan apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh film yang menyangka akan terlihat pintar jika menyampaikan semua dengan hiperaktif. Mengecewakan, Peter Berg sejatinya could be so much better. Segala baku hantam, ledakan, dialog, yang ia punya jadi kayak rentetan racauan edan yang membingungkan dan jauh dari menghibur.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MILE 22.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SummerSlam 2018 Review

 

Sukses adalah ketika kita, dengan kepala terangkat tinggi, menyerukan kepada dunia, “Selamat datang di mimpiku!” SummerSlam 2018 dibuka oleh video opening yang diedit dengan keren, di mana kita ditantang untuk berpikir perihal apa itu sukses. Karena kita semua punya pendapat yang berbeda-beda tentang kesuksesan. Perbedaan tersebut menentukan sikap kita, pilihan dan keputusan kita. Partai-partai dalam SummerSlam tahun ini, dibangun dengan sangat kohesif dengan tema ini. Kita melihat apa jadinya ketika dua orang menganggap sukses itu adalah memenangkan koper berisi kontrak. Kita menyaksikan bentrokan ketika ada yang berpikir sukses itu adalah mempertahankan apa yang dipunya, karena beberapa berkata mempertahankan jauh lebih susah daripada meraih. Kita juga melihat betapa orang bisa menjadi begitu buas ketika bagi mereka sukses itu berarti menangkap kesempatan menjadi yang teratas, lagi dan lagi.

Ini bukan soal menjadi hebat. Ini bukan soal menjadi spesial. Ini adalah soal selalu berusaha untuk memberikan, menjadi, yang terbaik.

 

 

Salah satu bentrok kesuksesan yang berhasil diceritakan dengan sangat baik oleh WWE adalah cerita yang dibintangi oleh The Miz dan Daniel Bryan. Dua orang yang memulai dari garis start yang berbeda, dan apparently mereka juga punya finish yang tak sama. Untungnya buat kita semua, garis finish mereka saling bersilang. Di satu sisi ada Miz, yang gede sebagai bintang reality tv – satu lagi kita punya salah satu pegulat teknikal terbaik dunia. WWE nge-craft cerita mereka dengan sangat telaten, mengapitalisasi setiap situasi, mengubah setiap aspek yang digali sebagai build up, dan akhirnya kita mulai menuai hasilnya. Oh boy, mereka akan panen kesuksesan dari cerita ini. Feud Miz dan Bryan dimulai sejak delapan tahun yang lalu, ketika Daniel Bryan yang kala itu sudah berstatus seorang professional dan punya nama gede di dunia gulat harus menjadi ‘murid’ The Miz yang baru saja memulai mengikat tali sepatu bot gulatnya. Sebab, gedung WWE itu sama kayak pom bensin; Begitu kau masuk, kau harus memulai lagi dari nol. Miz masuk WWE duluan dari Bryan, membuatnya lebih ‘veteran’ di sini. Dan inilah akar tensi mereka yang tak kunjung padam. Perbedaan panjang, dari ‘bagaimana melakukan yang benar hingga melebar menjadi sikut menyikut ’caraku lebih baik darimu’.

Semua hal tersebut diulur dan terus digali oleh WWE lantaran mereka tahu persis bagaimana karakterisasi bekerja. Waktu akan senantiasa bergulir, dan WWE tahu persis bagaimana memanfaatkannya untuk mengembangkan karakter. Simak saja video yang menghighlight perseteruan kedua superstar ini. Yang berubah dari mereka bukan hanya penampilan saat delapan bulan yang lalu, setahun yang lalu. Baik Miz maupun Bryan, karakter mereka berkembang. Miz sekarang sudah berubah menjadi A-List selebriti meski hanya dalam pikirannya. Bryan sempat menjadi general manajer, dia sempat divonis gak bisa gulat lagi, and then he got cleared back into action; WWE menghimpun ini semua ke dalam sebuah gundukan dahsyat storytelling. Dan mereka sama sekali tidak menyalahgunakannya.

Match Bryan dan Miz di SummerSlam ini, meski berakhir dengan Miz curang, benar-benar dieksekusi dengan baik. Enggak ada cara lain untuk menyuguhkannya selain ini. Dari segi cerita, semuanya masuk akal dan menambah banyak untuk karakterisasi. Miz mencuri kemenangan membuktikan pendapat Bryan benar soal dirinya lembek dan butuh bantuan untuk menang. Sebaliknya, juga membuktikan teori Miz bahwa gaya yang dianut Bryan pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri. Delapan tahun pengembangan tersebut tentunya juga tidak merugikan buat kedua superstar, karena memberikan waktu bagi mereka untuk mengasah kemampuan bergulat masing-masing. Terutama untuk The Miz yang memang di awal karirnya tidak mampu mengimbangi Bryan.  Tapi kini, menyaksikan match ini, aku percaya siapapun bisa menang, dan aku tak sabar untuk menunggu babak baru dari perseteruan mereka.

Reality Check: Ini pertama kalinya SummerSlam bebas dari John Cena sejak 2004

 

Dilema menjadi orang sukses itu jatuh menimpa Juara WWE, AJ Styles. Dalam sebuah match perebutan sabuk yang begitu personal, Samoa Joe – penantangnya – mengungkapkan gimana Styles sudah menelantarkan keluarganya; Sebagai juara, Styles jarang pulang ke rumah lantaran sibuk show ke sana ke mari. Momen di mana Joe bicara kepada istri dan anak Styles yang ada di arena adalah momen yang menurutku paling bikin bulu kuduk merinding, bikin kita ikut geregetan. Basically, Joe menyuruh keluarga Styles untuk tenang-tenang saja sebab ia akan mengirim ayah mereka pulang. Satu-satunya masalahku buat cerita ini adalah pertandingan mereka yang butuh lama sekali untuk mencapai puncak emosi. Styles dan Joe – being as great superstar as they are – terlalu lama menghabiskan waktu dengan ‘pemanasan’. Mereka tukar menukar serangan dengan lamban di awal, yang tentu saja bentrok ama urgensi cerita yang sudah sangat personal. Mestinya langsung digas aja dari awal. Buktinya, begitu Styles menunjukkan kobaran amarah, seketika pertandingan terasa menegangkan. Puncaknya tentu saja ketika Joe mengambil mikrofon dan ngomong sekali lagi kepada istri Styles. Aku gak akan bilang dia ngomong apa, yang jelas kejadian yang menyusul sangat keren. Joe bisa dibilang terlalu sukses dalam mancing emosi Styles.  I don’t mind the finish at all.

Yang jelas-jelas failed di acara ini adalah Kevin Owens, Baron Corbin, dan Alexa Bliss.  Superstar antagonis selevel  Owens dan Corbin agak kurang pantes di’bunuh’ oleh pertandingan squash seperti yang mereka dapatkan dalam macth mereka masing-masing. Paling enggak, mestinya mereka dikasih sedikit perlawanan ataupun kesempatan untuk menunjukkan karakter. Seperti Juara Wanita Raw Alexa Bliss, yang kekalahannya meski malu-maluin tapi tetep masuk di akal. Bliss kalah dengan sukses, dan kita semua sudah mengharapkannya. Pinter, WWE, menggunakan kesempatan ini untuk menaikkan Ronda Rousey selagi hype mantan petarung UFC ini masih gede. Dan Bliss adalah antagonis yang tepat untuk protagonis ‘wanita paling bad-ass di dunia’. Hanya Bliss, yang merupakan heel cewek terbaik dalam artian paling ngeselin, yang bisa dihajar habis-habisan tanpa penonton menaruh belas kasihan kepadanya (well, aku kasihan sih, tapi karena aku suka AleksyaBliss nyawww). And in turn, tak membuat Rousey kehilangan ‘muka’, ia tak jatoh sebagai bully. Pertandingan mereka justru menjadi salah satu partai yang paling menghibur dalam acara ini.

“su..su..su..summerslam, summerslam sadness oh ohhhhh”

 

Dari petarung UFC satu ke petarung UFC lain, WWE sepertinya memang sudah menemukan pengganti untuk Brock Lesnar, sehingga mereka sekarang bisa melepas si Beastie Boy ini dengan tenang. Lesnar kalah melawan Roman (gak picisan) Reigns dalam pertandingan yang singkat dan gak spesial – hanya berupa spamming finisher seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Tapi kali ini WWE membuat keputusan yang tepat dengan memasukkan Braun Strowman sebagai faktor penentu. Kehadiran pemenang Money in the Bank ini dijadikan ‘alasan’ untuk mengikat semua loose end cerita. Lesnar tidak terlihat lemah. Terutama, jika Braun tidak ada di sana – mengancam akan cash-in kontrak kejuaraannya – kemenangan Reigns jelas akan diboo habis-habisan dan penonton akan sibuk mengharapkan kedatangan Strowman, eventually penonton akan menganggap gak masuk akal si monster ini gak turun datang mengambil kesempatan.

Buat posisi Roman Reigns pun – babyface yang dibook terlalu over sehingga bikin benci fans – sepertinya WWE sudah mjenemukan penggantinya. Charlotte Flair adalah manusia yang dibook paling kuat di acara ini. Maksudku, coba sidik pertandingan Kejuaraan Wanita Smackdown tersebut; kita punya Carmella yang semakin hari semakin nunjukin kekuatan permainan karakternya. Aku bahkan melihat tokohnya di sini lebih kuat disbanding Charlotte yang bland. Kita punya Becky Lynch yang mendapat sambutan paling keras dari penonton. Kita bisa saja mendapat pertandingan face terbaik melawan heel terbaik versi Brand Biru, tapi ternyata mereka merasa perlu untuk masukin Charlotte. Dan memenangkannya. Wow. Tentu ada alasannya kan, kenapa saat Lynch ngamuk melempar Charlotte ke meja setelah pertandingan tersebut, penonton malah bersimpati kepada Lynch. Karena Charlotte, seperti yang biasa dilakukan oleh Reigns sebelum ini, sudah seenaknya dikasih spot yang sebenarnya dia enggak perlu ada di sana.

 

Usaha untuk menjadi semakin baik, memang sangat tampak dilakukan oleh WWE. Mereka mulai menggunakan animasi 3D pada entrance beberapa superstar untuk menguatkan karakter mereka sebagai ganti dari penggunaan pyroteknik. Kelihatan bagus sih, penonton di rumah jadi punya eksperiens yang berbeda. Urutan pertandingan kali ini juga semakin diperhatikan, supaya ketertarikan penonton tidak turun. Mereka menyelang-nyelingi antara pertandingan yang berakhir bersih dengan yang berakhir rusuh. Masalahku dari sini hanyalah, kenapa nyaris semua match dari brand Smackdown berakhir. ‘Nyaris semua’ hanya karena Randy Orton gak jadi menyerang Jeff Hardy. Mungkin saat itu, Orton kepikiran “Hmm.. Bryan dicurangi, Bludgeon Brothers ngamuk sampe kena DQ, Styles juga, Lycnh pun ngamuk, tapi gak DQ sih.. Ah males ah, ntar aku disangka niruin ngamuk-ngamuk” sehingga dia urungkan niat jahatnya kepada Hardy.

Ambrose juga di sini enggak rusuh, sepertinya karena dia sudah bukan di Smackdown lagi.

 

 

 

SummerSlam 2018 sukses bikin kita bersorak seru. Punya pertandingan-pertandingan bagus dengan cerita yang dengan luar biasa diintegralkan dengan tema dan dibangun dengan efektif. Walaupun memang masih tergolong hiburan level Vince McMahon dengan banyak segmen yang masih terasa sebagai penghabis waktu – hanya Vince lah yang bisa ngakak guling ngeliat segmen Elias tiba-tiba gitarnya patah – SummerSlam masih deliver sebagai acara yang padu. Bisalah disandingkan dengan Wrestlemania 34, kalo gak mau dibilang lebih baik.
The Palace of Wisdom menobatkan Daniel Bryan vs. The Miz sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Results:
1. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins juara baru mengalahkan Dolph Ziggler
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The New Day menang atas juara bertahan The Bludgeon Brothers…. tapi menang DQ
3. MONEY IN THE BANK CONTRACT ON THE LINE Braun Strowman membunuh Kevin Owens
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSIP TRIPLE THREAT Charlotte Flair merebut sabuk dari Becky Lynch dan Carmella
5. WWE CHAMPIONSHIP AJ Styles kena DQ, sehingga Samoa Joe menang tapi sabuk gak pindah.
6. SINGLE The Miz ngalahin Daniel Bryan
7. SINGLE Demon Finn Balor ngamuk ke Constable Baron Corbin
8. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Shinsuke Nakamura bertahan atas Jeff Hardy
9. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Rowdy Ronda Rousey menghajar Alexa Bliss
10. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP akhirnya Roman Reigns mengalahkan Brock Lesnar

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

UPGRADE Review

“Computers are useless; they can only give you answers”

 

 

 

Dalam dunia yang penuh hingar bingar, nyaman sekali rasanya bisa menyelam ke dalam kepala sendiri. Ketika kebingungan, atau saat merasa butuh untuk mempertimbangkan sesuatu, kemungkinannya adalah kita merasa perlu untuk bertanya kepada diri sendiri. Bicara kepada suara di dalam kepala itu bukan pertanda kita gila. Malahan akan membuat kita lebih pinter jika kita cukup tenang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya adalah tindakan menggali kesadaran dan potensi diri. Bahkan, menulis pun sejatinya adalah pekerjaan yang bertanya kepada diri sendiri – kita ngobrol di dalam kepala, kita jelajahi ruang pikir dan pemahaman yang ada di sana.

Masalahnya adalah; bagaimana jika yang ada di dalam kepala itu bukan pikiran kita? Bagaimana cara kita membedakan mana yang suara hati mana yang ‘bisikan setan’? Perlukah kita langsung percaya kepada jawaban yang diberikan oleh suara-suara yang ada dalam kepala kita?

 

Upgrade mungkin memang bukan film yang menonjolkan perjalanan filosofis. Film ini lebih sebagai hiburan tembak-langsung, di mana kita akan melihat aksi berantem penuh kekerasan dan dunia masa depan yang memenuhi dahaga fantasi terhadap kemutakhiran teknologi. Akan tetapi, garapan Leigh Whannell ini memberikan pandangan yang cukup menarik – ia bermain-main dengan konsep seorang manusia yang tidak lagi punya kontrol atas tindakannya sebab sudah menyerahkan semua kendali kepada suara asing di dalam kepalanya.

cue entrance musik Randy Orton

 

 

Cerita tidak akan pernah melebar keluar dari perspektif Grey Trace (Logan Marshall-Green berkesempatan memainkan adegan berantem unik). Pria ini kehilangan istri dan anggota gerak tubuhnya ketika mobil-nyetir-sendiri mereka melaju error dengan tragisnya. Tubuh Grey lumpuh total, kecuali kepalanya. Tatkala ia meratapi nasib, terbaring di tempat tidurnya, seorang ilmuwan komputer memberinya tawaran untuk jadi inang sebuah chip maha-canggih. Dengan chip yang disebut Stem tertanam di lehernya, Grey bisa berjalan dan mengusap air matanya lagi. Tapi kemudian Stem bicara kepada Grey, ia menawarkan bantuan lebih dari apa yang diminta oleh Grey. Stem, dengan izin Grey, bisa mengendalikan tubuh mekanik yang tadinya sirik ama teknologi ini, melakukan pekerjaan yang tak sanggup ia lakukan. Termasuk balas dendam. Mengubah Grey menjadi mesin pembunuh.

Ketika nonton ini, aku ngobrol kepada diriku sendiri. Hey, kita sudah pernah toh melihat cerita seperti begini sebelumnya. Pria biasa yang tiba-tiba jadi perkasa, melakukan aksi tuntut balas. Mesin yang pada akhirnya mengambil alih kemanusiaan. Kepalaku balas bertanya; Tetapi yang ini beda, tuh lihat, adegan berantem pertamanya aja bikin mulutmu otomatis menganga.

Suara di kepalaku benar. Dari adegan Grey yang mendadak jago bertarung – bahkan lebih efisien dari Robert McCall di The Equalizer 2 (2018) kita bisa melihat bahwa film ini diarahkan kepada tone yang berbeda dari cerita balas dendam yang sudah-sudah. Feelnya sangat gelap, ala grindhouse 70an yang dibuat oleh John Carpenter. Sudah jarang sekali kan kita melihat gaya seperti begini hadir di jaman yang mengutamakan kepada budget dan efek yang supercanggih. Film ini berada di titik seimbang antara tragedi dan komedi, sehingga meskipun lingkungannya futuristik, kejadian-kejadiannya brutal, tapi kita masih menemukan pijakan untuk merasakan kenyataan. Berantemnya unik, kocak, dan meyakinkan. Logan Marshall-Green melakukan tugas yang menakjubkan dengan ekspresi wajahnya. Begini, begitu Stem dikasih ijin mengambil alih, Grey hanya bisa melihat dengan matanya saat tangan dan kakinya beraksi menghajar musuh. Dan sebagian besar dari adegan bak-bik-buk itu, Grey tampak takut hingga dia bahkan sampe meminta maaf kepada lawannya. Konsep ini digarap dengan kocak sekali, karena lawannya pun memandang Grey dengan heran, like, man you are crazy what the hell is wrong with you?

“fight your own battle, lazy-ass!”

 

Ada salah satu adegan yang menampilkan Grey berdiri melihat daftar nama tenant sebuah apartemen, dan kita dilihatin dengan jelas nama J. Wan, yang obviously adalah easter egg buat sutradara horor James Wan. Leigh Whannell memang sudah banyak berkolaborasi dengan Wan, karya paling ngehits mereka tidak lain tidak bukan adalah Saw (2004) yang tak pelak menjadi ikonik buat genre horor. Apa yang dilakukan oleh Whannell dan Wan di film tersebut sungguh patut dijadikan suri tauladan buat filmmaker lokal; mereka berkutat dengan budget rendah dan sukses menghasilkan tontonan yang luar biasa meyakinkan, sangat menyenangkan, ngajak berpikir pula, dari dana sesedikit itu. Bikin film gak mesti mahal; kita gak perlu punya yang terbaik karena yang terpenting adalah seberapa besar usaha yang dilakukan supaya menghasilkan yang terbaik. Whannell mengulangi lagi kerja kerasnya pada film Upgrade ini. Dia berhasil ngestrecth konsepnya melewati batas-batas budget. Dan mengingat ini adalah film yang bertempat di masa depan yang sudah canggih, jelas pencapaian Whannell menghidupkan dunianya bukan hal yang bisa diremehkan.

Tak sekalipun semua yang nampang di layar itu terlihat murahan. Lingkungan pada film ini direalisasikan dengan amat baik. Bahkan, dan aku gak melebihkan, dengan budget yang jauh berbeda, film ini bisa kelihatan satu dunia dengan Blade Runner 2049 (2017). Aspek futuristik dan spesial efeknya tidak sekalipun membuat film jadi cheesy. Pun film tidak terlihat sok-sok bergaya ala B-movie, kalian tahu, gerak kameranya enggak pernah terlalu over-the-top. Tidak ada shot-shot ambisius. Justru dieksekusi dengan kreatif sekali. Pergerakan kamera yang sedikit tertahan kepada Grey – memberikan kesan gerak kaku seperti berantem jurus robot yang ia lakukan.

Seperti halnya film enggak lantas menjadi bagus karena punya budget raksasa, kita juga tidak bisa mengupgrade kemanusiaan dengan hanya bergantung kepada kemutakhiran teknologi. Seperti yang disebutkan dalam dialog film ini, mesin yang hanya berisi angka 1 dan 0 tidak akan bisa menanggulangi kekompleksan manusia. Mereka hanya tahu berpikir mencari jawaban yang termudah. Sedangkan manusia, kita dianugrahi rasa yang tak jarang mengoverride pikiran, for better or worse.

 

Ketika aku bilang cerita film ini tak pernah keluar dari frame sudut pandang Grey, kepalaku langsung berontak protes. Hal tersebut mengakibatkan tokoh yang lain gak jadi gak keurus, katanya. Setelah dipikir-pikir, memang ada benarnya juga. Aku terlalu sibuk menggelinjang seru melihat apa yang kutonton sehingga menjadi sedikit bias kepada film ini secara keseluruhan. Untung ada suara di kepala yang mengingatkan. Grey tereksplorasi dengan baik, kita mengerti pandangan orang ini terhadap situasi dunianya, kita melihatnya berkembang dari seorang lumpuh yang berusaha menerima kondisinya lalu dia takut akan apa yang bisa ia lakukan, menjadi seseorang yang embrace it all sebelum akhirnya sadar apa yang sebenarnya ia butuhkan. Kita peduli sekali kepadanya. Namun tidak demikian terhadap tokoh-tokoh yang lain. Polisi wanita yang bertugas menginvestigasi kasus kecelakaannya, ibu yang menemaninya, istrinya yang meski perannya kecil namun sangat integral terhadap karakterisasi Grey, orang yang memberinya Stem, mereka semua begitu satu dimensi. Hacker yang sempat membantu Grey malah ternyata gak penting meski memegang peranan dalam cerita. Bahkan tokoh antagonis tidak banyak diberikan warna, kita membenci mereka karena hal yang mereka lakukan. Kesan kita kepada semua orang di sekitar Grey tidak pernah lebih dari jauh dari apa yang kita lihat. Ini sangat disayangkan, karena dengan konsep yang begitu keren, film justru kesusahan menyeimbangkan antara konsep tersebut dengan para tokohnya.

 

 

 

Kekurangeksploran tokoh lain membuat film dapat menjadi sedikit membosankan tatkala takada kejadian menarik seputar Grey dan Stem yang terjadi, karena memang kita hanya peduli sama tokoh utama seorang. Kita ingin cepat-cepat melihat aksi yang direkam dengan kerja kamera yang kreatif, dengan sinematografi yang unik, dengan konsep yang membuat cerita yang udah sering dilihat ini menjadi terasa menyegarkan. Di luar pencapaian luar biasanya menjadi tontonan yang super fun melewati batasan budgetnya, aku dan suara di dalam kepalaku setuju film ini mestinya bisa diupgrade sedikit lagi sehingga semua elemennya dapat berimbang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for UPGRADE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ROMPIS Review

“There are no strangers here; Only friends you haven’t yet met.”

 

 

 

 

Jarak sama seperti api, bagi orang pacaran. Kecil jadi kawan. Gede jadi lawan. Hubungan asmara perlu dikasih jarak-jarak kecil biar gak posesif-posesif amat, like, jangan melulu melapor setiap mesti ngapa-ngapain, jangan terlalu ngurusin ini-itu sehingga tidak ada ruang gerak. Relationship yang sehat selalu berdasarkan dengan mutual trust yang dilatih dengan kita memberi ruang gerak terhadap pasangan. And that is the tricky part. Terlalu lebar memberi ruang, kejauhan ngasih jarak, bisa membuat ruang kosong antara dua orang tersebut diisi oleh orang lain. Itulah yang ditakutkan oleh pasangan-pasangan yang dihadapkan pada masalah LDR; Long-Distance Relationship.

Roman dan Wulandari sudah bersama-sama sejak serial televisi Roman Picisan ngehits. Film ini melanjutkan kisah tanpa-status mereka yang kini sudah pada lulus SMA.  Kalo para penggemarnya sudah sudah geregetan melihat tarik-ulur hubungan mereka yang begitu manis penuh puisi kacangan karangan Roman, bayangkan gimana gemesnya mereka menyaksikan kedua anak muda ini harus dipisahkan oleh jarak saat Roman keterima kuliah di Belanda? Puisi-puisi Roman tak pelak menjadi sarana yang pas untuk lingkungan LDR yang harus mereka jalani.  Kita melihat Roman dan Wulandari melempar kata-kata romantis lewat hape mereka. Tetep mesra, namun toh setelah sembilan bulan berjauhan, jarak itu kerasa juga. Roman mulai gak konsen kuliah, nilainya jeblok, padahal ia sadar betul dirinya yang ‘sobat miskin’ harus lulus dengan nilai gemilang – demi orangtuanya. Juga demi Wulandari yang menunggunya. Wulandari pun semakin insecure, terlebih saat dia mengetahui Roman punya kenalan berwujud cewek yang manis banget bernama Meira di sana.

Aku yang gak ngikutin serial televisinya aja kebawa gemas loh. Interaksi para tokoh ini terlihat benar-benar natural. Aku gak kayak sedang melihat tokoh film. Aku jadi merasa kayak mas-mas creepy yang diam-diam ngintilin anak-anak muda tersebut lagi pacaran, anak-anak muda yang nunjukin persahabatan dan berusaha menyelesaikan masalah mereka, di sepanjang jalanan kota Amsterdam. Sebegitu realnya para pemain menghidupkan tokoh mereka. Chemistry Arbani Yazis dengan Adinda Azani menguar luar biasa, baik itu di adegan mereka rayu-rayuan maupun lagi marah-marahan. Hebatnya, kita tahu yang tokoh mereka rasakan tersebut bukan cinta-cintaan. Kita paham situasi mereka, film membuat kita mengerti kenapa Roman masih saja ngekeep Wulandari tanpa-status – mereka gak bener-bener jadian. Para pemain tampak bertindak kayak remaja beneran yang sedang menghadapi ‘masalah’ ini. Aku suka gimana Azani memainkan gesture dan intonasi marah-tapi-malu-malu khas cewek. Meira di tangan Cut Beby Tshabina tampak keren sekali bermain sebagai cewek misterius namun sedikit agresif. Tapi mungkin yang paling likeable di antara semua adalah Umay Shahab yang memainkan Samuel, sohib Roman, yang bertindak sebagai voice of reasons; perantara Roman dan Wulandari, memberi mereka sudut pandang lain yang tak jarang muncul lewat candaan khas anak muda.

si Bobi ekspresi kentutnya masih sama ahahaha

 

Sebagai sebuah kelanjutan dari serial, film ini bertindak sebagai penutup yang bertujuan untuk memuaskan penonton layar kacanya. Jadi, beberapa hal yang sudah terestablish ga bakal diberikan penjelasan lagi di film ini. Kita tidak akan mendapat backstory kenapa Roman dan Wulandari saling cinta. Kenapa Roman dan Samuel bisa sobatan. Latar ekonomi dan keluarga saja hanya diinfokan sebagai bagian dari candaan. “Mereka sudah begitu sejak dari SMA” jawab Wulandari kepada Meira, yang sama orang-luarnya seperti kita. Dan ini dapat menjadi masalah, sebab buat penonton film yang tidak ngikutin serialnya, para tokoh ini akan tampak seperti orang asing. Bahkan Meira juga, karena kita hanya akan mengenalnya setelah pengungkapan di babak akhir – untuk sebagian besar waktu kita akan exactly menanyakan pertanyaan yang sama: kenapa cewek pirang ini begitu peduli sama Roman. Kita diminta untuk ngikut aja sama cerita. Buatku, ini menjadi lumayan bikin frustasi. Sebab tokoh-tokoh yang udah kayak sahabat beneran ini, aku ingin kenal mereka lebih dekat, aku ingin bisa peduli sama mereka – lebih dari tertawa bersama dan bilang “aww they look so cute together”. Alih-alih itu, film malah seperti menudingku ‘salah sendiri enggak nonton serial tivinya’; kenapa nonton, film ini kan dibuat untuk penggemarnya.

Stranger Danger mungkin memang real, tapi setelah menonton film ini kita akan berpikir bahwa Stranger Danger sebenarnya adalah paradoks. Apasih orang asing itu? Kita melihat hubungan Roman dan Wulandari terancam ketika Roman didekati oleh orang asing, Meira. Dan cara menyelesaikan masalah yang ada ialah dengan mengenal Meira lebih dekat, menjadikannya sebagai teman. Orang asing dianggap  ‘berbahaya’ karena kita tidak kenal mereka. Pun, resiko itu tetap ada. Seperti saat Wulandari mendapat kesempatan untuk menjalin pertemanan dengan cowok asing yang ia temui di sana. Atau bahkan, saat sudah menjadi teman, bukan lantas membuat orang tersebut tidak akan membawa masalah. Ketakutan dan masalah dan resiko itu akan tetap ada, kita seharusnya tidak takut, karena semua yang akrab itu berawal dari sebuah keasingan.

 

Tayang dalam waktu berdekatan, gampang buat kita membandingkan film ini dengan Si Doel the Movie (2018); sama-sama dari serial yang berakar lebih jauh lagi, sama-sama berlokasi di Amsterdam, sama-sama cinta segitiga, sama-sama ada tokoh lucu yang bikin gerr suasana, sama-sama ada trope ngejar ke bandara. Tapi jika kita menilik ceritanya, Rompis sebenarnya dekat dengan film drama cinta yang menurutku underrated tahun ini; Eiffel I’m in Love 2 (2018). Roman mengingatkan kita kepada Adit di film itu; dia menggantung Tita karena merasa dirinya belum mapan untuk menghidup Tita. Roman juga berpikir seperti ini, dtimbah pula dengan kesadaraanya akan keadaan ekonomi keluarga. Aku sempat kagum juga, karena dia baru sembilan bulan jadi mahasiswa, dan udah berpikir ke depan. Namun, seiring cerita berjalan, Roman malah jadi kayak anti-thesis dari Adit. Bahkan filmnya sendiri ikut menjadi terasa seperti kebalikan dari Eiffel I’m in Love 2.

Roman diperlihatkan ingin belajar serius, karena dia terlalu mikirin LDR sehingga gagal dalam ujian. Aspek cerita ini menjadi layer buat karakterisasi Roman, tapi ke depannya layer ini seperti dilupakan karena cerita fokus ke cinta segituga yang tampak what you see is what you get. Ketakutan Roman tidak dibarengi dengan kelakuannya, dia masih tetap menghabiskan waktu dengan jalan ama cewek alih-alih belajar. Kita dengar dia mulai berpikir untuk meninggalkan puisi, tapi dia masih tetap menggunakan puisinya. Kita juga belajar bahwa cowok membuat daftar prioritas di mana poin terakhir adalah tujuan utama yang paling penting, namun kita malah melihat Roman seperti meninggalkan usahanya dengan langsung fokus ke poin goalnya. Tidak seperti Adit yang benar-benar menjadi tampak dingin dan jauh bagi Tita.

Rompis – Roman Pisican

 

Atau mungkin, lebih tepat disebut Rompis seperti versi kekanakan dari film tersebut. Meski si Tita childish begitu, Eiffel 2 sebenarnya kisah cinta yang menangani masalahnya dengan dewasa. Karena dewasa itu proses. Rompis, kontras sekali sikap para tokoh dari awal hingga akhir dengan pidato yang diucapkan Wulandari saat kelulusan SMA. Tidak ada sense pertumbuhan pada tokoh-tokohnya. Kita bahkan gak sempat tahu Wulandari kuliah di mana.

Film terlihat BERUSAHA KERAS TETAP TAMPIL SEBAGAI REMAJA; terbukti dengan banyaknya istilah kekinian kayak “lagi syantik” yang dishoehorn gitu aja masuk ke dalam cerita. Atau malah, ia tampak takut untuk menjadi dewasa. Mereka menyinggung soal Roman yang kepengen serius, namun follow upnya tidak pernah mencerminkan demikian. Seolah film sadar ceritanya jadi terlalu serius dan bergegas balik sebelum penggemarnya sadar dan protes para tokohnya berubah, enggak persis sama dengan di serial. Inilah masalah dari film adaptasi dari serial ataupun buku. Perlu untuk memberikan apa yang diinginkan oleh fans, tapi juga mestinya film ini ingat bahwasanya dia adalah lanjutan. Sedikit perubahan tentu bisa dilakukan dengan tidak mengganggu tujuan kenapa film ini dibuat. Roman bisa saja dibuat jadi menjauhi puisi, dia mungkin membuang buku puisinya, untuk kembali lagi kepada puisi karena dia sadar bukan itu yang sebenarnya harus ia lakukan.

Pun banyak aspek yang hanya dijadikan sebagai kemudahan. LDRnya yang jauh saja dibuat sedekat itu, dengan Wulandari bisa pergi dan pulang begitu saja. Alasannya; karena dia punya duit. Aku gak bisa lihat pentingnya lokasi ada di Belanda. Heck I mean, kenapa mesti jadi LDR toh Wulandarinya bisa mengunjungi sesuka hati. Kenapa mesti jauh-jauh – bikin beda kota sebenarnya juga bisa. Jadinya ya, konteks sama cerita yang eventually mereka hadirkan terasa enggak saling mendukung. Selain trope, film ini juga banyak menggunakan keanehan yang dimasukkan ke dalam cerita. Seperti kenapa anak pinter seperti Roman masih belum bisa bahasa Belanda padahal nyaris setahun belajar di sana. Ataupun timing kejadian-kejadian yang enggak add up dengan bener ke rentetan cerita.

 

 

 

Waktu sudah berubah, tokohnya melanjutkan fase kehidupan, namun ceritanya masih tetap bertahan di ranah remaja yang sama. Sungguh sebuah pilihan yang aneh untuk keputusan kreatif pembuatan film sedari awal. Film ini seperti melarang tokohnya untuk menjadi dewasa. Mereka ingin tetap menjadi remaja, jadi kita dapatkan cerita yang berfokus kepada masalah saingan cinta, walaupun sudah sempat menyinggung lapisan yang lebih dalam. Jika bukan karena chemistry dan penampilan para tokoh, film tidak akan semengasyikkan ini, bahkan sebagai film remaja. Tetapi paling tidak, dengan banyaknya trope dan elemen yang sama ama drama lain, film ini sudah berhasil live it up ke taglinenya; sebagai benar-benar sebuah picisan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ROMPIS.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE EQUALIZER 2 Review

“..the heart can balance out the mind.”

 

 

 

Meski bukan anggota X-Men yang terpuji, toh sebenarnya kita semua punya kepandaian masing-masing. Ada yang jago ngegambar. Ada yang cakap merangkai kata. Ada yang pinter ngeles. Molly Ringwald aja bisa makek lipstick dengan dadanya. Kepandaian alias keahlian khusus tersebut kita jadikan sebagai andalan, dalam bersosialisasi, dalam mencari kegunaan diri. Puncak kebahagiaan adalah kita menyadari kepandaian yang kita miliki dapat dijadikan sebagai sarana pengisi perut. Karena gak semua talent dapat ditukar dengan duit. Atau kalaupun bisa, uang yang dihasilkan bukan lagi tergolong uang baek-baek.

Kayak Robert McCall. Kita tahu dari film yang pertama 2014 yang lalu, kepandaian bapak ini adalah menghabisi nyawa orang setangkas dan seefisien mungkin. Dia beneran nyalain stopwatch di arlojinya sebelum mukulin orang, dan tak lupa mematikannya saat manusia yang ia pukuli sudah berubah bentuk menjadi seonggok daging yang penuh penyesalan dan rasa sakit. Keahlian matahin leher dan menggunakan banyak hal sebagai senjata berbahaya ia miliki berkat gemblengan keras semasa di agensi militer. Setelah ia keluar dari sana, tho, ia sadar kepandaiannya tidak banyak berguna untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Orang-orang di sekitar McCall mestinya bersyukur, orang ini punya otak yang belum korslet dan hati yang masih lurus. McCall percaya di dunia ini ada dua rasa sakit; sakit untuk menghukum, dan sakit untuk mengubah-untuk menyembuhkan. Dan kali ini dia bertekad untuk sedapat mungkin memberikan kesempatan kepada bandit-bandit itu untuk merasakan sakit yang nomor dua.

Pada sekuel ini, McCall bekerja sebagai pengemudi Lyft; semacam ojek mobil online. Dia mengantarkan berbagai macam tipe orang. Dia actually meminjamkan telinga untuk mendengar curhatan mereka, bahkan kadang dia mencuri dengar percakapan beberapa dari balik setirnya. Ketika dia menemukan ada sesuatu yang enggak beres dengan pemesan ojeknya tersebut, saat McCall merasa ada sesuatu yang salah, maka lantas dia akan bertindak menyetir dengan tangan moral dan palu hakimnya sendiri sehingga yang salah-salah itu menjadi benar. Puncaknya adalah ketika satu-satunya temannya yang masih tersisa di dunia menjadi korban perbuatan orang-orang yang menjual kepandaian mereka demi uang, McCall tentu saja langsung mencemplungkan dirinya, lantaran semua menjadi personal. Terlalu personal.

lain kali hati-hati kalo ngobrol sama supir gojekmu

 

Jarang sekali menggarap cerita-cerita yang terasa pretentious, Antoine Fuqua ingin mengajak kita berbincang soal apa yang sebaiknya kita lakukan dengan pekerjaan yang kita bisa. Dan The Equalizer 2 ini sungguh adalah media yang menarik untuk membahas persoalan tersebut. Berbalut aksi brutal dan drama yang gritty – yang punya nyali mengingatkan dengan ancaman tudingan moncong pistol – The Equalizer 2 menyajikan maksudnya dengan sangat seimbang. Sama seperti tokohnya, McCall, yang berusaha menyeimbangkan dunia dari perbuatan buruk yang dilakukan orang-orang dengan perbuatan keji namun beritikad baik olehnya, film ini punya sekuen aksi sekaligus momen-momen karakter yang sama menariknya untuk diikuti.

Tak pelak, Denzel Washington akan membuat kita humble. Ada begitu banyak yang bisa kita pelajari darinya pada film ini. Penampilan aktingnya, mungkin kalian udah bosen membaca tentang betrapa legendnya Denzel Washington dalam setiap peran yang ia jajaki. Bagian terbaik The Equalizer 2 basically adalah dirinya,  kita seakan jadi pinter berakting melihat penampilannya di sini. Cara dia menampilan gesturnya, gimana aktor senior ini mentackle adegan-adegan aksi yang normally bukan ranah dia; menakjubkan. Sehingga aku pun  jadi lumayan menyayangkan, adegan pertarungan terakhir di film ini tampak seperti menyia-nyiakan dedikasi Wahington. I mean, duel satu lawan satu di tempat kosong itu tampak terlalu meta, membuatku susah percaya Wahington bisa melakukannya tanpa stuntman. Lagipula McCall yang sejauh durasi dua jam film ini hanya benar-benar menembakkan pistolnya satu kali, selebihnya ia menggunakan siasat, tampak sedikit di luar karakter dalam pertempuran di atas menara tersebut.

belum pernah kan diancem harus ngasih bintang-5 sama driver online? hhihi

 

 

Dalam cerita pun, tokoh ini akan memberikan wejangan gimana kita boleh saja mencari duit dengan bakat yang kita miliki, namun kita tetap butuh otak untuk membelanjakan duit tersebut. Salah satu elemen emosional dengan banyak sekuen mantap yang dipunya oleh film ini berasal dari hubungan McCall dengan cowok remaja yang tinggal di dekat apartemennya. McCall menjadi seperti figur bapak buat Miles yang masih menjadi jati diri. Miles ini hobi menggambar, ia menawarkan diri mengecat ulang tembok apartemen yang dirusak oleh grafiti berandalan. Tapi si Miles ini tidak percaya kemampuannya adalah hal yang paling baik yang ia lakukan. Lingkungan sosialnya memandang rendah pekerjaan melukis. Tidak normal menjadi seniman jalanan di sana. Duit dicari dengan jalur ‘kerjaan’ yang lain, dan Miles nyaris melangkahkan kakinya ke jalur tersebut. McCall semacam melarang anak tersebut, menggebahnya untuk mengambil pilihan yang benar-benar bermanfaat.

Untuk penyeimbang pikiran, dalam memberdayakan kemampuan, tentu saja kita memerlukan hati.  Keahlian dan kepintaran akan dengan gampang disalahgunakan jika kita tidak punya batasan moral yang bersumber dari hati. Itulah yang membedakan Robert McCall dengan orang-orang yang berkeahlian sama seperti dirinya dalam The Equalizer 2. Hati yang berada di tempat yang benar akan dapat memberikan kekuatan untuk melakukan hal yang benar, mengalahkan pikiran yang terkadang terlalu cepat menyimpulkan, terlalu tinggi dalam menilai, dan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.

 

Plot penceritaan film ini sebenarnya bisa dibuat lebih baik lagi. Struktur kejadian mungkin bisa diubah sedikit susunannya, karena terasa panjang sekali sebelum kejadian-kejadian di film ini terasa saling kohesif. Kejadian utama pada cerita adalah ketika ada kasus penembakan suami istri di Brussel yang dibuat seolah tindakan pembunuhan-dan-bunuh diri. Kasus ini menyeret McCall dan teman-temannya dan merupakan awal konfrontasi tokoh utama kita dengan masa lalunya. Hanya saja, sebelum sampai ke sana kita melewati banyak adegan-adegan yang tidak menambah untuk keperluan kejadian ini. Di awal-awal itu kita akan melihat gimana McCall membantu orang-orang yang ia antar. Seperti ada seorang kakek yang berusaha mendapatkan kembali lukisan kakaknya semasa kecil. Cerita kecil ini tidak melakukan apa-apa kepada permasalahan yang sebenarnya. Bahkan tidak banyak adegan aksi yang terlibat. It just takes a long time sebelum kita tahu ke arah mana sebenarnya narasi film ini melaju.

 

 

 

Melihat Denzel Washington menghajar orang-orang brengsek dengan brutal dan tanpa ampun, tangkas dan mematikan, adalah hiburan tersendiri. Melihat dia berinteraksi dan coba membantu orang-orang sebelum mereka terlanjur menjadi orang brengsek – walaupun trope orang dewasa berkoneksi dengan remaja sudah sering dilakukan, bahkan oleh film pertamanya – merupakan anugerah lantaran kita mendapat banyak dialog yang powerful. Sayangnya plot cerita tak sekuat penampilan akting maupun aksinya yang seimbang memuaskan. Mencegah film ini untuk menjadi terlalu memorable. It is a fine watch, tetapi butuh terlampau panjang waktu untuk benar-benar mulai nendang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE EQUALIZER 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SLENDER MAN Review

“Cure for an obsession: get another one”

 

 

 

Dua orang anak cewek mengajak seorang teman mereka ke hutan. Bukan untuk bermain-main layaknya anak berumur dua-belas tahun yang biasa. Mereka mengajak si teman, untuk ditusuk berkali-kali, demi membuat Slender Man senang. Gilanya; cerita tersebut benar-benar terjadi di Winsconsin, Amerika, May 2014 yang lalu. Sayangnya; film Slender Man tidak banyak mengeksplorasi elemen ini, mereka membuat cerita baru yang semakin mengaburkan aspek utama yang bikin sosok Slender Man itu sendiri menarik; Obsesi.

Sejak kemunculannya di kontes photoshop online tahun 2009, Slender Man memang menarik perhatian orang-orang, khususnya fanatik horor. Cerita karangan fans tentang entitas ini, kejadian-kejadian penampakannya, peraturan untuk dapat melihatnya, tips buat selamat darinya, bermunculan di forum-forum internet. Slender Man jadi semacam urban legend era digital. Bahkan sampai dibuatin software gamenya sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang sudah terobsesi sama makhluk reka ini. Mereka semua ingin percaya makhluk tersebut ada; hingga ke titik puncak; merekalah yang membuat Slender Man eksis di dunia.

Menakjubkan seberapa keras usaha manusia untuk mengejar sesuatu yang kita serahkan hati dan pikiran kepadanya. Obsesi bisa mendorong kita menjadi lebih kreatif, melakukan hal-hal yang tadinya tidak kita bisa. Dan memang menjadi menyeramkan tatkala kita hanya memikirkan satu hal terus menerus dengan berlebihan. Menyangka kita hanya bisa bahagia olehnya saja. Film Slender Man sesungguhnya menawarkan obat untuk obsesi seperti demikian; dengan membuang hal yang kita cinta. Dengan mencari sesuatu yang lain untuk dicintai.

 

 

Selain temanya, film ini punya beberapa ide menarik dan shot-shot gambar creepy untuk membuat kita bertahan menyaksikan. Pencahayaannya membangun suasana gak enak dengan ciamik.Video yang disaksikan para tokoh pada film ini digarap surreal kayak video terkutuk di horor Jepang, Ring (1998) atau The Ring (2002) – versi Amerikanya, jadi gambar-gambarnya yang random itu akan membuat bulu kuduk kita merinding, menghipnotis bukan hanya tokoh film namun jika kita, para penontonnya. Mengenai ide, Slender Man yang menyatroni rumah orang, memanggil mereka lewat video call dan actually menampakkan dirinya lagi melihat apa itu sebenarnya elemen yang serem, lagi seger. Aku akan suka sekali jika bagian tersebut dibahas lebih banyak. Juga ada sekuen horor di perpustakaan, yang memainkan perspektif kamera untuk menghasilkan efek-efek yang disturbing. Tokohnya yang berlarian panik antara rak demi rak, dan gak tau Slender Man bakal muncul di mana. Perasaan ngeri yang hadir saat memainkan gamenya benar-benar terasa di bagian ini.

karena perpustakaan dan buku-buku adalah momok yang nyata bagi remaja

 

Hanya saja Slender Man tidak tahu mau menjadi film seperti apa. Slender Man butuh untuk menjadi film yang senyap. Dalam gamenya, kita gak pernah tahu Slender Man itu munculnya di mana. Kengerian yang menjadi mitos dari sosok ini adalah kita tidak mendengar apa-apa selain suara tapak kaki dan napas kita sendiri. Tapi di film ini, kita tahu setiap kali Slender Man akan muncul. Terima kasih berkat musik gede yang ngasih kisi-kisi dan kesempatan kita untuk membangung antisipasi. Fun nya jadi enggak ada. Terlebih, kita tahu dia bakal muncul, dan yang kita lihat juga adalah sosok CGI. Seramnya musnah sudah.

Mereka bisa saja membuat film found footage atau sesuatu dengan first person point-of-view tentang remaja yang berburu Slender Man, ala Blair Witch, biar sama kayak gamenya. Mereka bisa saja memfokuskan kepada apa sih sebenarnya Slender Man itu, dari mana ia berasal.  It would make a much better movie. Tapi enggak. Alih-alih itu mereka membuat cerita tentang empat cewek remaja yang mempraktekkan apa yang ada pada video ‘bagaimana memanggil Slender Man’ di internet, Slender Man kemudian beneran datang. Mengambil geng cewek tersebut satu persatu, kecuali diberikan sesuatu yang paling dicinta sebagai pertukaran.

makanya yang diculik duluan adalah pemain yang aktingnya paling jago

 

 

Aku seneng juga ngeliat ada Annalise Basso main di sini, karena pemenang Unyu op the Year dua tahun yang lalu punya prestasi nongol di horor yang bagus kayak Oculus (2013) dan Ouija: Origin of Evil (2016). Tapi keberadaannya di Slender Man, meski memang dia yang main paling meyakinkan dan tokohnya yang paling kuat menyuarakan tema obsesi, sama sekali tidak mengangkat banyak buat film ini. Hal tersebut dikarenakan filmnya sendiri demen sekali memindah-mindahkan tokoh utamanya. Katie bisa jadi tokoh utama yang paling menarik dari empat pilihan yang ada, tapi aku juga paham film butuh suatu bukti bahwa stake yang dihadapi tokoh utama enggak main-main. Jadi, kita punya Hallie yang diperankan oleh Julia Goldani Telles yang aktingnya paling biasa aja, Aku gak mengerti kenapa mereka enggak memberikan peran Hallie buat Basso, ataupun kepada Joey King saja – mengingat dia yang paling terkenal di sini. Kenapa harus diserahkan kepada bintang lain, kalo toh hanya untuk membuat penonton melompat-lompat pindah antara Wren (tokoh yang diperankan oleh King) dengan Hallie. Bukannya Hallie gak punya motivasi di cerita, cewek ini punya. Dia atlet lari di sekolah yang gak benar-benar menyukai apa yang ia kerjakan, dia juga punya adik yang look up to her, dia naksir sama cowok di sekolah. Namun dengan menggonta-ganti sudut pandang, arc nya si Hallie ini jadi terasa mentah, kita jadi gak pernah bisa betah di belakang si tokoh. Eksplorasi tokohnya dangkal sekali.

Empat peran sentral ini gak banyak ngapa-ngapain. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan adegan chat layar handphone. Bahan obrolan mereka tak jauh dari seputar cowok. Mereka menghabiskan waktu dengan menonton bokep di laptop bareng-bareng. Di babak ketiga, Hallie malah mangkir dari Slender Man dan pergi kencan ke rumah cowok. Bicara soal pindah obsesi, huh?

Film juga lanjut membuat mereka bego untuk alasan yang tak jelas. Seperti saat mereka menutup mata dengan kain supaya enggak melihat Slender Man, dan di detik pertama ada bunyi di hutan itu, ada satu tokoh yang langsung mengintip dari balik kain penutup matanya. Wren mencemooh Hallie yang enggak mengorbankan piala dan medali larinya kepada Slender Man, terasa datang entah dari mana. Karena meski diceritakan Hallie jago lari, kita tidak pernah benar-benar melihat dia cakap dalam berlari. Malah lucu sekali di adegan akhir; Hallie lari dan dia tertangkap. Lebih lucu lagi, Hallie saat itu sebenarnya lari dari sikap kepahlawanan; like, dia datang untuk menyerahkan diri demi menyelamatkan seseorang, dan ketika Slender Man muncul, tebak apa yang terjadi: Hallie ngibrit – lupa ama niat baik dan pelajaran yang sudah ia sadari. Ngibrit dan ketangkep. Sukses berat film ini bikin protagonisnya terlihat kayak pengecut tanpa nilai baik sama sekali.

 

 

 

Perasaan horor pun semakin merayapiku yang duduk si studio itu, menonton makhluk supranatural yang membuatku penasaran – karena aku tidak pernah bisa menamatkan gamenya. As I watched cerita yang tak benar-benar padu, tema obsesi yang berdenyut lemah di balik hingar-bingar jumpscare, gambar-gambar creepy yang menjadi mentah karena arahan yang tak berjiwa, tokoh-tokoh yang punya karakter sama banyaknya dengan pohon-pohon, sudut pandang cerita yang berganti-ganti, dan mendengar bapak di kursi sebelahku yang mendengkur keras – tertidur, aku sadar akan ketakutanku yang menjadi nyata; bahwa obsesiku soal horor sudah membuatku harus mengorbankan waktu dan duit yang berharga. Tapi kuakui, sebenarnya bisa saja film ini menjadi lebih buruk dari ini, lantaran tema dan ide menarik dan gambar-gambar creepy yang ia punya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SLENDER MAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SEBELUM IBLIS MENJEMPUT Review

“Pain changes people”

 

 

 

Mau dia pakai baju putih sekali pun, iblis tetaplah bukan malaikat. Kita tidak membuka pintu untuknya. Kita tidak mempersilakannya masuk. Kita tidak memanggil namanya. Sayangnya, Pak Lesmana lagi kepepet. Dia butuh duit yang banyak buat menghidupin keluarganya. Dalam adegan pembuka yang bertindak sebagai prolog, kita melihat bagaimana manusia bisa dengan gampang terbujuk, ikut menjadi penyembah setan, melebihi kekuatan sangkal dan iman mereka sendiri. Dari opening ini saja kita bisa segera tahu, kita berada dalam tangan penulis dan pembuat film yang cakap. Mereka menceritakan informasi-informasi dengan menghindari flashback, setiap informasi mereka sampaikan dengan menarik. Dalam wilayah horornya, kita juga langsung dikasih peringatan lewat imaji-imaji  dan pengambilan gambar yang creepy; bahwa kita sedang duduk dalam sebuah wahana horror yang benar-benar akan bikin lemes jiwa dan raga.

Sebelum Iblis Menjemput tahu bagaimana cara memperkenalkan diri. Film ini pun cukup bijak untuk tidak berlama-lama menghantarkan kita kepada apa yang mau kita lihat; hantu dan darah. Sebagaimana jumpscarenya, set up setiap tokoh dilakukan dengan sangat efektif. Setiap detil di babak awal adalah informasi yang sangat berharga. Bahkan kengerian sudah dihampar secara subtil (awalnyaaa!) di layar, meminta kita untuk memperhatikan. Supaya kita dapat memahami kondisi keluarga mereka. Di tengah kebangkrutan karena nyawa Lesmana sudah di ujung tanduk; keluarga nomor dua bapak ini mulai ribut mencari aset miliknya yang bisa dijual. Mereka lantas menghubungi Alfie, anak kandung Lesmana, yang punya kunci ke vila – tempat di mana Lesmana diduga menyimpan hartanya. Kita melihat Alfie yang kehidupannya kontras dengan Maya, padahal kita tahu mereka bersaudara. Meskipun hanya saudara tiri. Kita melihat Alfie hidup ‘keras’, dia tidak akrab sama saudara-saudara tirinya. Konflik antara Alfie dan Maya, relasinya dengan Ruben, si kecil Nara, dan ibu tirinya jadi hati drama cerita. Dan ketika mereka semua sepakat untuk kembali ke vila tersebut, pintu masalalu – both literally and figuratively – terbuka, melepaskan iblis yang seketika membuat semuanya menggila!

 

Tok tok!
Siapa?
Pevi..
Pevita yang artis ya? Waaahhh

PEVInilah jadinya kalo kalian nyari kekayaan mintanya ke Iblis!!

 

 

Ok, that was corny, yang mana jauh sekali dari apa yang film ini lakukan.  Mengangkat tema supranatural, dengan ada perwujudan iblis bertanduk, ada tokoh hantu yang super nyeremin, ada tokoh-tokoh yang kesurupan dan melakukan hal-hal sadis serta gila, film tidak pernah melanggar garis over-the-top alias garis lebay. Semuanyadiarahkan untuk ketegangan maksimal, sehingga sekalipun kita tertawa, maka itu adalah adalah tawa canggung untuk menutupi kegugupan dan ketakutan kita akan kengerian yang kita tahu bakal datang. Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018) bisa saja menjadi semengerikan ini kalo dirinya tidak diarahkan untuk menjadi over-the-top (bandingkan konfrontasi final kedua film ini yang mirip tapi kesan yang dihasilkannya begitu berbeda), dengan alur yang sebenarnya tidak perlu ditutupi; tidak perlu ada twist. Horor sadis buatan Hitmaker kayak Sabrina (2017), dan seri The Doll seharusnya bisa jadi semengena ini jika saja tidak terlalu sibuk membangun sekuel-sekuel. Sebelum Iblis Menjemput ADALAH KONDISI TERBAIK YANG BISA DICAPAI OLEH HOROR INDONESIA sejauh ini. Punya plot karakter yang tertutup, punya awal-tengah-akhir (Tidak seperti kau, Pengabdi Setan), jadi enggak sekadar bermain di konsep body horror yang bikin gross out, melainkan juga seram, dengan drama yang lumayan berbobot.

Perubahan sikap Alfie, dan orang-orang yang kesurupan pada film ini menggambarkan bahwa derita dan rasa sakit sanggup membuat orang berubah. Tiada cinta tanpa derita, hidup kita gak akan jalan kalo enggak pernah merasain sakit. Luka adalah pintu bagi kit auntuk mendapat kekuatan, menjadi lebih bijak, bagaimana membuat kita menjadi semakin tangguh. Tidak ada yang keluar dari derita tanpa berubah menjadi pribadi yang berbeda dari diri sebelumnya.

 

 

Penampilan akting film ini benar-benar terasa seperti berasal dari dunia yang lain. Maksudku,setiap pemain diberikan tantangan, mereka semua didorong untuk melakukan hal-hal yang bukan saja fisikal, melainkan juga emosional – dalam taraf kegilaan yang just enough untuk bikin kita bergidik sampai tengah malam nanti. Tokoh-tokoh cewek di film ini, jangan harap mereka hanya jadi eye candy. Mereka semua dibikin bercacat, luka-luka, dekil-dekilan, mandi lumpur, bersimbah darah, tulangnya patah-patah. Semua deh. Aku gak pernah nyangka aku bakal gemeteran seperti tu saat melihat Pevita Pearce.  Aku gak mau bilang banyak soal tokoh yang ia mainkan di film ini, tapi aku benar-benar gak nyangka Pevita sanggup men-tackle peran seperti demikian. Dan bukan sembarangan, dia sukses berat. Sutradara Timo Tjahjanto directs the shit out of her. And everybody else. Dan tak seorangpun yang jatohnya lebay. Chelsea Islan sebagai Alfie mungkin gak banyak dapat sorotan dari rangorang. Buatku, ia adalah protagonis film horor terkuat yang pernah aku lihat sepanjang tahun ini. Alfie keras dan badass banget, dia ditekan oleh ketakutan dan kemarahannya bersamaan, dan at times emosinya tersebut enggak exactly mengarah ke si iblis. Ada monolog hebat yang Islan ucapkan di babak awal yang menunjukkan kematangannya dalam berakting. Pada gilirannya, kita turut rasakan rapuhnya ketika dia berusaha memproyeksikan kebencian itu terhadap dirinya sendiri.

there’s no way itu Karina Suwandhi kan? Kan!?

 

Penggemar horor bunuh-bunuhan sudah pasti akan sangat terpuaskan. Make up dan efeknya keren, ada bagian ketika leher seseorang ditarik oleh kekuatan tak terlihat sehingga memanjang sebelum akhirnya copot dari pundaknya, dan itu terlihat sangat meyakinkan. Yang pengen lihat hantu juga pasti tepuk tangan karena hantu di film ini gak konyol dan luar biasa seram. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh film ini. Semuanya dipush habis-habisan. Termasuk ngepush suspend of disbelief kita. Ada waktu ketika film ini meminta kita untuk memaafkan sedikit ketaklogisan, serta ketidakkonsistenan, yang terpaksa diambil oleh cerita – itu jika kita ingin tetap bersenang-senang menikmati film seperti bagaimana bisa adik kecilnya sanggup menarik Alfie keluar dari atas liang kubur. Ataupun ketika tangan dan kaki Alfie yang sudah patah, namun dia masih mampu berjalan dan mencangkul tanah. Dan pada shot akhir kita melihat Alfie kembali pincang dan jari-jarinya bengkok. Bisa sih, kita mengaitkannya dengan pesan orang dapat berubah karena derita yang ia rasakan yang terus dikoarkan oleh film. You know, mungkin Alfie dan Nara menarik kekuatan dari keadaan mereka yang sangat menderita, hanya saja agak terasa terlalu memaksa. Tokoh-tokoh film ini dalam paniknya juga sangat disayangkan harus selalu memilih untuk berpencar, meskipun logisnya adalah mereka keluar aja bareng-bareng mencari perlindungan ke desa. Enggak musti dibagi dua, satu tim keluar rumah nyari pertolongan untuk pendarahan di tangan, dan satu tim lagi tinggal di rumah.

Dalam sakit, kita masih cinta. Meski penuh waspada, karena kita takut akan terjerumus lagi ke dalam lembah derita yang sama. Kita memikirkan bahwa hal bisa menjadi sangat singkat. Kita cinta, tapi tidak pernah murni seperti sedia kala.

 

 

Banyak trope horor seperti demikian yang tak bisa dihindari, namun film berusaha membuatnya dengan berbeda. Seperti misalnya ketika seseorang ditarik ke bawah tempat tidur, dan tokoh-tokoh lain berlari dari luar menyelamatkannya; kebanyakan film akan membuat entah itu hantunya berhasil menculik, ataupun gagal, yang jelas biasanya si hantu sudah tak ada saat banyak orang datang menyelamatkan. Pada film ini, hantunya tetap ada. Malah balik menyerang. Ini adalah salah satu adegan yang membuatku tertawa nervous karena buatku seram sekali hantunya enggak malu-malu. Kita bisa lihat film ini seperti berkaca kepada horor klasik Sam Raimi, The Evil Dead (1981), di mana kekuatan supranatural memporakporandakan rumah di tengah-tengah entah di mana,  membuat tokoh-tokoh jadi gila, penuh kekerasan juga. Namun jika di horor itu, dan kebanyakan horor lain, tokohnya adalah remaja yang pergi liburan, Sebelum Iblis Menjemput punya tokoh-tokoh yang lebih berbobot; remaja yang diikat oleh tali keluarga, dengan sudut pandang mereka berusaha utuh sebagai keluarga.

 

 

 

Horror Indonesia at its best. Film ini menawarkan semua kegilaan yang bisa diinginkan oleh penggemar film horor secara umum, dan gore khususnya. Eksekusinya pun dilakukan dengan begitu kompeten. Penampilan aktingnya luar biasa. Pergerakan kamera, efek, make up, penulisan – arahan film ini benar-benar berada di tingkatan yang berbeda. Kita akan takut, kita akan nyengir sakit, kita akan memicingkan mata. Terkadang kita geleng kepala juga dibuatnya, karena ada beberapa elemen kecil dari cerita yang memohon untuk kita menahan ketidakpercayaan kita, ada adegan yang maksa untuk masuk ke logika cerita, ada yang gak konsisten, tapi tidak mengurangi banyak keasyikan menonton. Film ini sekiranya bisa membawa horor kembali ke arah yang benar, sebelum keasyikan horor kita musti dijemput lagi sama iblis bernama uang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SEBELUM IBLIS MENJEMPUT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE MEG Review

The number one rule is to not become a victim yourself

 

 

 

Laut, meski gak punya pohon-pohon, masih berlaku hukum rimba di sana. Ikan kecil dimangsa ikan yang besar. Ikan yang besar dimakan oleh ikan yang lebih gede. Ikan lebih gede tak ayal kena mamam sama ikan raksasa. Manusia sebagai bagian dari ekosistem, mau masuk hutan atau lari ke pantai pun tak bisa luput dari hukum tersebut. Kita butuh makhluk lain untuk melanjutkan kehidupan. Untuk bertahan hidup adalah tujuan kita di dunia. Tetapi, sebagai makhluk yang dianugrahi hati buat mikirin etika, tentu kita manusia enggak bisa sembarangan ‘memakan’ sesama manusia. Makanya Jason, seorang penyelam penyelamat, di film The Meg dipandang sebelah mata sama rekan-rekannya; lantaran Jason pernah mengorbankan seisi kapal selam untuk menyelamatkan diri beserta segelintir orang yang saat itu bersama dengannya.

Tak ada yang percaya alasannya, membuat Jason mengasingkan diri ke Thailand.  Dia menunggu ilmuwan-ilmuwan biologi laut di kilang lepas pantai Cina itu kembali minta tolong kepadanya karena Jason percaya pada apa yang ia lihat. Well, atau tepatnya yang tidak ia lihat. Ada sesuatu di dasar palung di sana yang menyerang mereka. Makhluk supergede yang menemukan jalan ke permukaan berkat ekspedisi yang dilakukan oleh para ilmuwan. Monster purbakala yang tahu persis dirinya masih meraja di puncak rantai makanan. Tidak seperti Jason, hewan ini gak akan berpikir dua kali, enggak bakal teragu oleh nurani, dalam memakan manusia demi kelangsungan hidupnya.

kebanyakan nonton Steve-O mancing hiu di Jackass nih hhihi

 

 

Survival adalah kebutuhan paling mendasar setiap manusia. Tapi mengapa kita merasa perlu untuk menolong orang, banyak pahlawan yang sudah gugur, dan ada juga yang selamat dan berhasil menolong orang. Sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya bagi kita untuk merasa ingin membantu orang lain menyelamatkan diri. Kita memperkirakan resiko, kita menantang diri sendiri untuk bisa selamat bersama mereka. Apapun alasannya kita menolong orang karena keyakinan kita sanggup survive pada akhirnya. Maka dari itu, yang perlu diingat adalah dengan jangan sampai kita sendiri yang menjadi korban. Jangan keburu untuk dianggap pahlawan sehingga kita menyebabkan keselamatan lain justru semakin terancam.

 

Sayangnya The Meg enggak konsisten merenangi perairannya sendiri. Tema yang mereka angkat timbul tenggelam. Umm.. lebih tepatnya, bayangkan sebuah batu yang kalian lempar menyisir permukaan air. Batunya akan loncat-loncat, kan. Begitulah tema film ini terasa. Film enggak konsisten dalam mengeksplorasi konteks ceritanya. Jonas ngorbanin banyak orang supaya bisa menyelamatkan paling enggak beberapa, supaya mereka enggak binasa semua. Kita seharusnya mendukung sudut pandang ini, karena Jonas adalah tokoh utama cerita. Namun film juga secara berlebih berusaha membuat kita sedih. Seperti si pria Asia yang dengan sengaja mengorbankan dirinya; kenapa kita mesti sedih karena tindakannya tersebut, sementara kita tahu – Jonas tahu dan ia dipersalahkan karenanya – bahwa pengorbanan itu kadang diperlukan. Pada satu poin Jonas bilang enggak gampang menjadi orang yang selamat dari musibah. Jadi usaha-usaha film untuk mendramatisasi setiap kematian para tokoh lain enggak ngefek ke kita.

Di momen kita menyadari kebiasaan minum yang menjangkiti Jonas tidak menambah apa-apa ke dalam plot; malahan tidak pernah disinggung lagi selain buat introduksi yang kayak tempelan, kita tahu film ini tidak benar-benar niat untuk memanusiakan para tokoh yang lain. Mereka dibuat sebego-begonya orang yang nyalain lampu meski sudah belajar bahwa cahaya dapat menarik perhatian predator yang mengincar mereka. Ide pintar ilmuwan di film ini adalah menembakkan racun ke mulut hiu alih-alih memancing si hiu dengan daging yang sudah diracuni. Keputusan-keputusan yang mereka buat sama seperti dialog yang mereka ucapkan; it’s either awkwardly cheesy atau blo’on.

Penokohan mereka begitu tipis, gak bakal cukup untuk tersangkut jadi kotoran di gigi hiu yang mau memangsa mereka. Jonasnya Jason Statham adalah hero film aksi paling generik, walaupun dia punya dasar moral sendiri, tapi tak pernah menguar lebih dari titik dia nge-I told you so orang-orang. Rainn Wilson adalah orang kaya yang bersifat egois yang kita nanti-nantikan kematiannya. Page Kennedy menerima tugas sebagai orang hitam yang lucu karena mengeluh setiap saat. Ruby Rose adalah cewek hispster yang jago komputer. Bingbing Li jadi tokoh cewek pendamping utama yang tentu saja bertugas menjadi orang yang perlu diselamatkan oleh Jonas. Begitu banyak tokoh yang gak ngapa-ngapain, ataupun memberi sesuatu yang baru, sudut pandang yang bikin kita enjoy mengikuti dan peduli ama mereka. Ada satu tokoh anak kecil, yang bikin kita “aww lucunya” dan dia gak diberikan apa-apa selain yang sudah kita lihat pada trailer. Juga ada tokoh kepala ilmuwan yang merasa bimbang saat mengetahui ‘musuh’ mereka adalah hewan prasejarah, ia dijangkiti dilema apakah makhluk ini sebaiknya tidak harus dibunuh, melainkan bisa dilestarikan. Namun film sebodo amat, dan tokoh-tokoh lain seratus persen meng-ignore si tokoh dengan menjalankan misi mengebom si hiu.

kenapa lagu Hey Mickey versi Thailand jadi soundtrack benar-benar di luar kuasa logika ku

 

 

Bekerja sama dengan China, film ini berusaha tampak lebih menarik buat pasar di sana.  Yang ada malah, The Meg tampak seperti ‘Made in China’ dari film hiu yang lebih kompeten seperti Jaws (1975). Bagian paruh pertama film ini membosankan dengan banyak penjelasan dan bincang-bincang teknologi dan istilah-istilah semacamnya. Bagian kedua, setelah perahu mereka dibalikkan, memang lebih seru, hanya saja meminjam banyak dari elemen yang sudah pernah kita lihat. Mereka berusaha melakukan hal yang sama, dengan lebih besar, dengan teknologi yang lebih mumpuni. Bahkan dengan mindset itupun, senjata utama film ini adalah ‘monster’nya yang super gede, The Meg tidak pernah benar-benar terasa menyeramkan. Alih-alih menggunakan suasana dan atmosfer bawah laut yang mencekam, film menakut-nakuti kita dengan jumpscare kelebatan hiu. Melihat sirip raksasa itu mendekat menyusur air, tidak membuat kita takut. Malahan greget pengen lihat si hiu bakal ngapain, bagaimana cara si hiu membunuh orang-orang yang tak berkarakter itu. Aksi hiunya pun biasa sekali. Aku mengharapkan mereka berkreasi dengan hiu sebesar itu, namun selain shot CGI yang merupakan versi halus dari photoshop serangan hiu hoax di internet yang sering kita lihat, tidak banyak hal seru yang ditawarkan oleh si hiu. Bahkan gak banyak darah, lantaran film menolak untuk sadar diri dan ngepush untuk dapat rating yang ‘enggak-dewasa’.

Mindless-monster movie yang membosankan. Menonton film ini bagaikan ngobrol sama orang annoying yang sok asik. Mereka pikir mereka lucu, exciting, mereka pikir aksinya keren, tapi semuanya biasa aja. Bahkan nonton Sharknado akan lebih menghibur, karena pembuatnya tahu kekuatan konsep ‘murahan’ yang mereka gunakan, dan mereka paham gimana menargetkannya kepada penonton sasaran pasar mereka. The Meg tidak sanggup untuk seserius dan semenakutkan Jaws, dan merasa gengsi untuk tampil seperti Sharknado. Padahal justru kemindless-annya itu yang semestinya dijadikan kekuatan. Adegan final Jonas actually satu lawan satu melawan hiu itu adalah adegan terbaik; film harusnya embrace kegakmasukakalannya tersebut sedari awal, karena sesungguhnya film ini berenang di kolam yang sama dengan film-film Sharknado.

 

 

 

Palungnya boleh dalam, namun ceritanya dieksplorasi dengan dangkal. Hiu film ini boleh saja gede, tetapi filmnya sendiri bernilai kecil lantaran filmnya terlalu sibuk untuk menjadi ‘Made in China’ dari film-film hiu yang lain. Dia menganggap dirinya seriously keren. Tapi tidak mengolah karakternya dengan baik. Dia tidak mengembrace sisi konyol yang mereka punya. Padahal jika mereka melakukan secara konsisten apa yang mereka lakukan di paruh akhir cerita, it would be a total blast. Akan bekerja sangat baik kalo saja mereka benar-benar total, penuh darah, konyol, dan sebagainya. Tidak konsisten dengan konteks, juga tidak total memainkan konsep. Jadinya adalah film ini seram tidak, kocak dan menyenangkannya juga hilang timbul.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE MEG.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

KAFIR: BERSEKUTU DENGAN SETAN Review

“Don’t shake hands with the devil”

 

 

 

Mengabdi setan boleh jadi memang banyak untungnya. Prospek apa saja bisa kita dapatkan, semua masalah bisa sekejap dilenyapkan, tak pelak begitu menggiurkan. Tinggal datang ke dukun. Film garapan Azhar Kinoi Lubis yang biasa bermain di ranah drama ini berusaha mendramatisasi horror yang datang dari perihal dukun berdukun tersebut. Di dalam Kafir kita akan melihat satu keluarga yang dihantui oleh kekuatan tak terlihat yang bermaksud menghabisi satu persatu nyawa mereka, sebagai bagian dari skema grande sebuah balas dendam.

Ibu (Putri Ayudya dengan penampilan terbaik yang bisa kita saksikan dalam genre horror lokal) tidak mau lagi mendengar lagu kesukaan Bapak diputar di rumah. Ibu tidak mau memasak ayam gulai lagi. Belum empat-puluh hari sejak Bapak memuntahkan beling di meja makan. Arwah Bapak masih di rumah. Begitu kata Ibu. Ingin meyakinkan dirinya sendiri, lebih kepada meyakinkan anak-anaknya, Andi dan Dina, yang tak tahu apa-apa. Ibu yang hobi pake daster putih malam-malam ini ingin kejadian aneh yang ia lihat di rumah pasca kematian Bapak benar-benar disebabkan oleh arwah gentayangan, karena ia menyadari ada kemungkinan satu ilmu jahat sedang mengintai mereka dari balik derasnya hujan yang senantiasa mengguyur.

Jangan sekali-kali ke dukun, nanti disuruh nyari ayam hitam berbulu putih, bingung ente!

 

Suasana gelap dan sambaran cahaya kilat dengan efektif dimanfaatkan oleh film ini dalam mengeksplorasi gambar-gambar yang memancing bulu kuduk kita untuk berdiri. Akan ada banyak shot ketika kita berusaha melihat satu objek dalam pencahayaan yang minim dan kemudian sepersekian detik ruangannya terang oleh sambaran kilat. Efektif sekali membuat imajinasi kita melayang ke sudut-sudut tergelap yang bisa terpikir oleh kita. Suara-suara diegetic (yang didengar oleh para tokoh) akan turut membuat kita merasa was-was. Film ini pun dengan bijak tidak semudah itu menyalurkan rasa takut kita. Mereka menghimpun dulu untuk beberapa adegan. Kita hampir tidak melihat wajah seram dalam film ini. Hantu-hantunya hanya berupa bayangan-bayangan ganjil. Nonton Kafir, mestinya kita senang, karena film ini percaya kita bakal memperhatikan. Kengerian datang dari saat kita melihat , dan memahami konteks cerita.

Kafir punya gambar-gambar yang begitu memukau. Entah itu pemandangan pepohonan dari sudut rendah, maupun close up dua tokoh yang lagi berbincang dengan tegang. Semua gambarnya mengundang kita untuk masuk ke dalam dunianya. It is unfortunate, tho, karakter film ini tidak dirancang sebagai sinematografinya. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Ibu, namun seolah ada tembok yang dibangun untuk mencegah kita menyelami pikirannya.  Disantet, tidak tahu dari siapa, seharusnya adalah pengalaman yang menyeramkan. Tapi kita hanya takut demi si Ibu Sri. Kita tidak takut bersamanya. Karena cerita membutuhkan sebuah pengungkapan, siapa Sri, bagaimana cara pikirnya, kita tidak diberikan kesempatan untuk mengetahui ini hingga akhir cerita. Mungkin jika ditonton dua kali, kita bisa lebih menikmati, karena kita jadi tahu bahwa Sri ini sebenarnya punya dugaan – dia enggak sehelpless yang terlihat. Sri punya rencana sendiri untuk melawan balik. Tapi sebagai tontonan pertama, kita akan merasa seperti tamu yang diundang masuk ke rumah, lalu diabaikan. Tidak ada yang bisa kita ikuti.

Bersekutu dengan setan itu gak mesti jauh-jauh pergi ke dukun dulu. Ungkapan tersebut sebenarnya berarti jika kita melakukan sesuatu yang jahat, kita akan menunai hasil yang tidak baik pula. Dengan berbuat jahat, praktisnya kita sama saja seperti setan – atau paling tidak, berteman dengannya. Apa yang terjadi pada tokoh film ini adalah buah dari perbuatannya di masa lampau. Karena kita tidak akan bisa lari dari konsekuensi setiap perbuatan yang kita kerjakan.

 

 

Tokoh Dina yang diperankan oleh Nadya Arina mestinya bisa dijadikan karakter utama. Kita lihat dia suka baca novel detektif. Dia tertarik sama misteri, ia tidak menutup diri pada klenik. Tidak seperti abangnya yang punya karakter begitu tak tertahankan; keras kepala gak jelas. Yang satu suka misteri, yang satu percaya pada dokter. Tapi tidak satupun dari mereka yang melakukan hal yang masuk akal. Kenapa tidak ada yang berpikir untuk membuang beling, misalnya. Dina dan Andi adalah contoh dari karakter yang terkungkung oleh narasi. Mereka punya sifat namun aksi dan keputusannya sengaja dihambat-hambat untuk kepentingan twist di akhir cerita. Like, kalo mereka benar-benar bertindak seperti sifat mereka, cerita pastilah sudah maju karena seseorang akan ketahuan lebih cepat. Kita actually akan melihat Dina menelusuri misteri masa lalu keluarga bak detektif, mengunjungi tempat-tempat yang ia dapat dari petunjuk-petunjuk. Hanya saja kita tidak mecahin misteri bersamanya. Kita bahkan tidak melihat semua  apa yang ia lihat, ada yang disimpan untuk bagian pengungkapan di akhir.

Twist film ini sebenarnya ditulis dengan bagus, ia ditanam sedari awal. Twist itu bukan semata karena gak bisa kita tebak, tapi twist adalah satu-satunya kelokan yang bisa diambil oleh cerita. Kafir paham bahwa twist perlu dibangun terlebih dahulu, enggak lantas belok saja di akhir. Masalahnya adalah untuk sampai ke pengungkapannya film terpaksa mengorbankan banyak.

Salah, Andi! Lebih tepatnya adalah “Jadi selama ini kamu…kakakku!!”

 

Ketika seseorang dipercaya kafir, warga yang lain pun akan menjauhi sampai-sampai mayatnya pun ditolak untuk dikuburkan bersama dengan pemakaman warga yang lain. Elemen ini sebenarnya menarik. Film bisa bicara toleransi, kesempatan untuk meninggalkan zona hitam-putih, tapi film dengan lantas berpaling. Elemen ini hanya menjadi afterthought, karena dijatuhkan kepada seorang dukun di desa tempat tinggal mereka. Tokoh yang benar-benar minor karena dianggap sebagai sosok ‘mentor’ buat tokoh utama pun, si dukun ini enggak nyampe penulisan tokohnya. Meski begitu Sudjiwo Tedjo memainkannya dengan sangat over-the-top. Ah, itulah kata yang cocok untuk menggambarkan film ini. Over-the-top. Lebay. Tokoh antagonisnya pun nanti akan berubah bersikap over, mereka lebih kayak orang gila daripada orang yang mau balas dendam.

Sumbernya memang pada arahan. Film bermaksud subtil dalam menakuti. Kita dapatkan gamabr-gamabr kayak noda di atap yang paralel dengan memar di betis Sri. Namun kita juga masih mendapati fake jumpscare kayak orang dikagetin oleh tokoh lain yang bukan hantu. Kalo ada yang bilang film ini gak ada jumpscare, itu semata karena fake jumpscare pada film ini beneran enggak seram.  Kita dianugerahi gambar-gamabr keren yang menambah bobot cerita, namun masih ada juga shot yang dilakuan dengan sedikit di luar kebutuhan. Aku  gak tau apa memang ada maksud subtil tertentu, tapi adegan ngobrol di meja makan bersama pacar Andi di awal-awal itu membingungkan sekali untuk dilihat. Kamera ditaruh di dua titik tengah (antara satu tokoh dengan tokoh lain), kita melihat keempat orang ini kayak melihat dari titik tengah X yang diposisikan  horizontal. Kemudian kamera berpindah-pindah gitu aja di antara dua titik tengah tersebut, membuat mata kita bekerja ekstra terus mencari siapa sekarang sedang berbicara.

Gestur di opening begitu mengganjal buatku hingga aku mengetik ulasan ini. Mengganjal karena tampak ganjil. Yaitu ketika si Bapak berusaha mengeluarkan beling dari tenggorokannya. Coba ya, apa yang kita lakukan kalo lagi tersedak, mencoba mengeluarkan sesuatu dari mulut? Secara normal kita akan membungkuk, menjulurkan leher ke depan. Orang yang melihat mungkin akan datang menepuk punggung kita. Tapi Bapak dalam film ini justru menengadah kayak pesulap di sirkus yang sedang menarik pedang dari tenggorokan dalam sebuah atraksi nelan pedang. Bukannya kalo bendanya gak dipegang, benda tersebut akan tertelan ya, kalo dibawa menengadah? Ini penting buatku karena saat melihat adegan ini, aku otomatis menganggap si Bapak sedang melakukan sebuah trik. Like, dia sebenarnya gak sakit bahkan mungkin dia penjahatnya. Tapi kan enggak. Dampaknya ini membuat filmnya agak gak meyakinkan buatku.

Kalian tahu, film ini punya satu adegan lebay ultimate yang bisa dimasukin sebagai adegan klasik khas cult horror movie; Andi menendang tokoh jahat yang kembali hidup dengan tubuh penuh kobaran api. Laughable banget, tinggal tambah punchline kata-kata cheesy aja tuh! hihihi

 

 

 

Mengecewakan cerita filmnya tak digarap sebaik gambarnya yang bagus-bagus. Penampilan para pemain terbilang oke, hanya arahannya saja yang entah kenapa mengincar titik over-the-top. Aku ingin percaya film ini lebih baik daripada Pengabdi Setan (2017) yang dipuja-puja. I want this film to be good, ceritanya udah nutup dan segala macem. Tapi enggak. Jatuhnya malah menggelikan. Seramnya subtil, namun pada akhirnya hanya akan dikenang sebagai perang santet dengan dukun dan ilmu-ilmu yang lebay.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KAFIR: BERSEKUTU DENGAN SETAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SI DOEL THE MOVIE Review

“The things we’re most afraid of are actually the things we want the most”

 

 

 

Katenye,
Film Indonesia ketinggalan jaman.

Katenye,
Film Indonesia gak berbudaye.

Aduh sialan, ni Si Doel anak betawi asli filmnya juga jalan-jalan!

Eits, jangan salah.

Meskipun ceritanya memang tentang si Doel yang pergi ke Amsterdam, namun film ini  really really hits us home hard; tidak akan sekalipun emosi kita terbang ke mana-mana berkat kuatnya eksplorasi karakter yang manusiawi, yang juga menunjukkan budaya dan bagaimana manusia harus menyeleraskan diri dengen perkembangannya. Si Doel adalah drama yang menyenangkan, yang paham seberapa jauh mesti mengambil dramatisasi.

Bicara mengenai kepentingannya untuk eksis, kenapa sih harus banget ada filmnya – kenapa harus sekarang, setelah bertahun-tahun; tentu saja ada kepentingan uang. Namun lebih daripada itu, film Si Doel ini akan sangat penting bagi penggemarnya, karena menawarkan sebuah konklusi yang selama ini dinanti. Sebuah penutup yang juga bisa dijadikan oleh pelajaran buat sebagian besar penonton, lantaran apa yang dialami oleh tokoh-tokohnya sungguh adalah hal yang mendasar, yang bisa direlasikan oleh setiap jiwa yang pernah merasakan beratnya dilema hubungan cinta.

Dunia si Doel sebenarnya sudah dibangun sejak 1970an. Namun bagi yang gede di tahun 90-an, umumnya kita mengenal Doel dari serial televisi. Karakter-karakternya yang sederhana, penuh dengan komentar dan permasalahan yang dekat sehingga terasa luar biasa lucu dan menyenangkan, permainan akting yang gak lebay. Sinetron si Doel kerap diungkit kalo ada yang lagi ngomongin betapa hancurnya acara televisi sekarang ini. Bahkan generasi kekinian yang baru melek, sedikit banyaknya tahu tentang karakter-karakter dalam serial ini melalui video-video meme potongan adegannya di sosial media. Film ini pun merupakan kelanjutan dari episode televisinya. Aku sendiri gak bisa ngomong banyak soal sinetronnya, karena aku gak ngikutin sampe bener-bener episode terakhir. Malahan, jujur, aku gak nonton acara tersebut karena si Doel. Si Tukang Insinyur ini sedikit terlalu kaku. I find Doel dan masalah cintanya dengan Zaenab dan Sarah lumayan boring. Aku malah tertarik ngeliat Mandra, Mas Karyo, Atun, dan karakter-karakter lain.

Does Doel ever have fun?

 

Di film pun seperti demikian. Doel begitu driven, seperti namanya yang berarti tujuan dalam bahasa Belanda. Kerjaannye Sembahyang dan mengaji juga turut ditampakkan dalam cerita. Doel bukan karakter yang sempurna, dia ‘cacat’ karena sudt pandangnya yang ‘primitif’. Bahkan saat nonton film ini pun, aku ngarep Mandra yang jadi tokoh utama. Dia pamit ama Mak Nyak, disuruh supaya jangan malu-maluin si Doel nanti di Amsterdam, I was like, nah itu bisa jadi landasan stake yang bagus; Mandra nanti susah menahan diri di sana, dia juga harus ‘menjaga’ Doel. Karakternya akan mentok ama si Doel yang kaku selama mereka bersenang-senang di Belanda. Aku akan senang sekali menyaksikan komedi fish-out-of water Mandra di Belanda. Tapi tentu saja enggak, karena Si Doel adalah film drama. Ceritanya tetap tentang si Doel, yang kini sudah menikah dengan Zaenab. Doel dipanggil ke Belanda oleh Hans yang katenye mau ngasih kerjaan. Dan berangkatlah Doel bersama Mandra (Atun gak diajak, menjadi hiburan tersendiri buat Mandra hihi), dengan wanti-wanti dari Mak Nyak: Doel gak boleh nyari Sarah. Setengah bagian pertama, film ini akan sok mengenai alas an di balik undangan Hans – kita akan bolak-balik ngeliat Doel yang berusaha santai di Belanda dengan Zaenab yang berusaha biasa aja ditinggal di rumah. Meskipun kita semua tahu pasti, Sarahlah orang di balik pergerakan Doel. Ketika di pertengahan akhir mereka bertemu, barulah konflik cinta yang menarik-narik hati kita itu dimulai.

Aku gak pernah tahu siapa yang akhirnya dipilih oleh si Doel, tapi film ini berhasil menerangkan garis besar apa yang terjadi di luar bingkai cerita ini. Penonton yang belum pernah nonton si Doel sekalipun bisa dibuat mengerti oleh beban yang dialami. Paham sama kondisi Doel-Zaenab-Sarah sebagai triniti drama. Buatku, apa yang mereka alami memang sungguh posisi yang berat. Keputusan yang harus dilakukan oleh Doel dalam situasi ini sungguh berat. Apa yang kudapat dari informasi cerita adalah bahwa Sarah, 14 tahun yang lalu, ninggalin Doel untuk mengetes sang suami. Tetapi Doel tak tahu harus mencari ke mana, jadi dia tinggal, dan menikah dengan Zaenab. Selama bertahun-tahun tersebut, ketiganya hidup dengan alasan karangan di kepala masing-masing; mencari pembenaran atas tindkaan yang mereka lakukan, berharap ketakutan mereka itu semua tidak terwujud. Sungguh menyedihkan, hidup dengan hati yang berat seperti demikian.

Takut adalah perasaan saat kita dapat mengenali apa yang kita inginkan, dan pada gilirannya, mampu mengidentifikasi apa artinya saat kita kehilangan sesuatu tersebut. Jadi kita membangun system pertahanan sendiri. Kita mencoba melindungi diri dengan menjadi pasif terhadapnya. Doel takut bertemu Sarah, karena dia tahu mereka tidak akan bisa bersama lagi – tapi dia mau mereka tetap bersama. Zaenab takut Doel bertemu dengan Sarah, karena dia tahu dia tidak akan bisa menolak Doel yang ternyata bisa saja lebih bahagia bersama Sarah. Hanya Sarah yang berani menantang ketakutannya, Doel dan Zaenab mestinya berterima kasih terhadap Sarah yang udah kayak malaikat pelindung buat mereka.

 

 

Aku juga gak tau bakal ngomong apa kalo ada yang memberi nama anak mereka dengan namaku selain “aku minta maaf”

 

 

Si Doel tahu bagaimana meremajakan ceritanya dengan tetap memberi hormat kepada penonton yang datang untuk bernostalgia. Seger ngelihat Mandra masih punya ‘lawan’, dia kirimkan foto selfie dan jalan-jalan ke Atun lewat hape, sekaligus ngatain Doel yang gak semangat ngapa-ngapain. Interaksi-interaksi kecil kayak Mandra dengan opletnya, Atun dengan anaknya hobi main ke warnet (mirroring dulu si Atun dimarahin karena kebanyakan maen layangan), atau bahkan kedatangan Koh Ahong bertemu Zaenab; aku senang kita dapat momen kayak gini. Adegan Mandra makan, wuiiihh legend banget deh. Aku masih ingat setiap kali adegan Mandra makan di tv, mamaku pasti langsung ngambil nasi dan ikut makan. Dia kebawa laper padahal yang dimakan Mandra tak jarang tempe ama nasi putih doang. Benar-benar mengikat ke cerita yang dulu. Membuat kesan bahwa para tokoh tersebut juga turut hidup sepanjang waktu, mereka tidak diam di tempat. Beberapa adegan mungkin terbatas karena kemampuan pemainnya yang sudah enggak muda lagi (cepat sembuh, Mak Nyak~), tapi adegan-adegannya berhasil menunaikan maksud. Aku pikir aku gak perlu ngomong banyak tentang permainan peran para tokohnya; Rano Karno, Mandra, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Aminah Cendrakasih, Suti Karno, tidak ada yang perlu diragukan lagi; masing-masing mereka merasuk ke dalam peran legendarisnya. Membuatku berharap seandainya semua pemain serialnya masih hidup, dan kita dapat melihat mereka sekali lagi – kali ini di layar lebar.

Setelah waktu berpisah yang begitu panjang, aku heran juga kenapa film ini dibuat begitu pendek. Enggak lebih panjang dari sinetronnya di televisi (tapi mungkin itu karena di tv banyak iklan). Ada banyak yang mereka cuma tunjukin, dan gak benar-benar berarti lebih dalam seperti anak si Atun dan kedatangan Koh Ahong tadi. Aku gak tahu, mungkin mereka memang merencanakan membuat film Si Doel lebih banyak lagi, dan film ini hanya bertindak sebagai perkenalan, tapi itu adalah alasan jualan paling klise untuk nutupin kekurangan penulisan.

Salah satu momen kunci adalah ketika Doel bertemu dengan anaknya, Dul, yang kini sudah berusia lima-belas tahun. Mungkin bagian dari keputusan kreatif filmnya untuk tidak terlalu dramatis, katakanlah seperti di film-film Hollywood, di mana kita melihat seorang bapak yang berusaha konek dengan anak yang tidak pernah ia kenal. Tapi tetap buatku, ini adalah kesempatan yang dilewatkan. Interaksi antara Doel dengan Dul sangat terbatas. Anak remaja usia segitu semestinya sudah punya pemikiran sendiri, karakternya mestinya bisa ditulis dengan lebih baik dibandingkan dengan hanya sekedar ada sebagai alat naskah. Bahkan jika memandang dari sudut meremajakan pun, Dul mestinya bisa dijadikan penarik anak remaja untuk menonton film ini. Maksudku, jika memang berniat untuk bikin kelanjutan sekalipun, kenapa tokoh-tokoh baru di film ini terasa seperti sayur asem yang dimasak oleh Sarah; kurang diperhatikan.

 

 

Katenye, drama itu berhasil kalo bikin penontonnya kebawa perasaan. Dalam tingkatan tersebut, film ini berhasil banget. Kita tidak pernah sedetikpun dibuat merasa jauh sama tokoh-tkokhnya, sama apa yang mereka rasakan. Pada akhirnya memang menyesakkan hati, sekaligus juga memuaskan. Lantaran ceritanya sendiri benar-benar tertutup rapat, meski bukan tidak mungkin dibuat kelanjutannya. Dalam melakukan hal tersebut, film ini bukan hanya terasa singkat, melainkan memang pendek sekali. Bukan lantas jadi kekurangan atau jelek sih, hanya saja aku berharap mereka menggali lebih banyak. Paling enggak konfliknya bisa dibuat datang lebih cepat. Ada bagian-bagian, tokoh-tokoh, yang mestinya bisa dikembangkan lebih jauh, tapi film memilih untuk tidak melakukannya. Dan kita hanya bisa berkate-katenye membayangkan alasannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SI DOEL THE MOVIE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017