AMERICAN ANIMALS Review

You need to mean them..!”

 

 

Film mengajarkan kita banyak hal; cara gombalin cewek, cara manggil hantu (“Hoi, hantu!” / “Aye di atas pu’un, Baaangg”), cara mengalahkan orang jahat, sampai cara merampok yang baik dan benar. Melalui adegan yang keren-keren, kita akan diperlihatkan gimana cara menyusun rencana perampokan hingga kabur dengan selamat. Semuanya terlihat begitu gampang. Seru, dramatis, mendebarkan, bahkan tampak heroik jika tokohnya merampok dengan alasan yang humanis. Tokoh-tokoh dalam American Animals juga belajar merampok dengan bekal menonton film-film heist. Sayangnya, mereka tak menyadari bahwa film seringkali lupa memperlihatkan bagian-bagian yang tersulit ketika tokohnya hendak melakukan sesuatu yang menantang moral. Seharusnya, kalo bisa sih, keempat anak muda yang masih kuliah itu menonton juga film mereka sendiri. Sebab yang diperlihatkan oleh American Animals bukan saja gimana serunya membicarakan kemungkinan melakukan perbuatan exciting semacam merampok, tapi juga beban dan konsekuensi yang senantiasa bercokol di baliknya.

Anak muda suka banget menantang bahaya. Semakin beresiko hal yang dikerjakan, kita akan semakin bangga. Karena siapapun bisa melakukan hal-hal yang biasa. Alih-alih masuk sekolah lewat gerbang, kita memilih untuk datang telat dan loncat pagar. Ketimbang datang kuliah dan belajar seperti yang seharusnya, kita sengaja datang dan titip absen di kelas yang dosennya galak. Ide bahwa kita berbeda, kita berani melakukan sesuatu yang takut dilakukan orang lain, sungguh-sungguh dinilai menarik bagi anak muda.  

 

Evan Peters memang pas mainin tokoh yang sebenarnya dogol tapi nekat kayak Warren, sahabat yang disebutkan oleh narasi sebagai bumbu dalam kehidupan tokoh utama cerita. Dengan kombinasi karakter yang ia miliki, sebenarnya Warren ini pribadi yang berbahaya; dia tidak tahu apa yang ia lakukan, namun di satu sisi dia begitu berdeterminasi. Kontras dengan Spencer, mahasiswa seni yang melukis dirinya sendiri. Barry Keoghan memainkan tokohnya tersebut dengan kepasifan yang menyerempet urat jengkel kita. Mungkin kita heran bagaimana mereka bisa tahan berteman satu sama lain, tapi yah seperti kata pepatah luar “birds of feather flock together”; Spencer dan Warren sering bersama lantaran mereka punya interest yang serupa – mereka ingin hidup yang lebih menarik. Ini adalah motivasi mereka. Spencer dan Warren mengira hidup mereka bisa berubah dengan uang, supaya mereka bisa kabur dan hidup liar kayak di film-film. Demi melihat peluang dari perpustakaan di kampus yang menyimpan karya ilmiah langka dan buku seni yang tak ternilai harganya, ide yang tak kalah liar muncul di benak Spencer. Ide yang langsung disambut antusias oleh Warren. Jadi, mereka mengumpulkan dua teman lagi, mereka mematangkan rencana, sebelum akhirnya merampok perpustakaan yang hanya dijaga oleh seorang ibu baik hati.

American Horror Story: Failure

 

 

Cerita ini beneran terjadi. Spencer, Warren, Eric, dan Chas di tahun 2004 itu bener-bener menyatroni perpustakan Universitas Transylvania, menyakiti penjaganya, dan tindak kriminal yang mereka lakukan pun sungguh-sungguh tidak sekeren yang ada di dalam benak mereka. Kita sudah pernah melihat gimana perampokan oleh remaja cenderung gagal lantaran ketidakkompetenan mereka, Don’t Breath (2016) dan Pertaruhan (2017) adalah contoh sempurna untuk kasus seperti ini. American Animals menawarkan sesuatu yang bikin kita merasa lebih geram lagi. Kita akan melihat tokoh-tokoh ini totally bego, mental kerupuk, om-do belaka. Kita bahkan susah untuk mempercayai mereka. Tapi memang hal demikianlah yang diniatkan oleh film ini. Bahwa terkadang demi excitement tak seberapa, kita melakukan kelewat batas – kita sadar kita lewat batas, tapi ‘gengsi’ untuk mundur. Tak sudi untuk menyerah kepada kenormalan.

Film mengambil bentuk penceritaan berupa gabungan dokumenter dengan adegan-adegan dramatisasi. Hal unik yang dilakukan oleh sutradara dan penulis Bart Layton adalah dia nekat memejeng para tokoh asli ke dalam narasi. Maksudku, saat menonton film ini kita akan berpindah-pindah antara adegan drama yang tokoh-tokohnya diperankan oleh aktor dengan adegan kesaksian ala dokumenter yang menampilkan Spencer, Warren, Eric, dan Chas beneran. Pada awalnya, aku sempet heran juga; kenapa bercerita dengan gaya seperti ini – terlihat berlebihan dengan tokoh-tokohnya. Tapi ternyata film melakukan hal tersebut untuk alasan yang cukup menarik; mereka ingin memperlihatkan gimana ekspulsifnya tindakan para tokoh di momen kejadian hingga saat mereka disuruh reka ulang, kita bisa melihat mereka-mereka ini sama sekali tidak sepenuhnya niat untuk melakukan apa yang mereka lakukan.

Kita akan melihat adegan-adegan menarik yang ditimbulkan oleh konsep tokoh real dan tokoh aktor ini. Satu tokoh bercerita, kita akan melihat visualisasi adegannya, kemudian cerita tersebut diceritakan oleh tokoh lain, dan kita akan melihat visualisasi yang berbeda untuk cerita yang sama. Dan mereka akan mencoba mengingat mana yang benar. Dan kita tidak akan pernah dikasih tahu mana yang benar. Karena mereka juga tak yakin mana yang benar. Mereka hanya memaksa diri mereka untuk percaya. Seperti ketika Spencer berkisah tentang kala Warren menunggu informan di jalanan; Spencer bilang yang ditemui Warren ialah seorang pria persyal biru – kita melihat adegan tersebut, kemudian Spencer mengoreksi “eh, ungu ding, syalnya”  dan kita lihat syal yang dipermasalahkan tersebut berganti menjadi biru ke ungu. Tapinya lagi kemudian giliran Warren bercerita, yang ia ceritakan adalah ia bertemu dengan pria tua instead, so kita lihat kembali adegan tadi dengan orang tua menggantikan pria bersyal, ada elemen yang berbeda dari yang diceritakan oleh Spencer. Menarik sekali gimana cara becerita seperti demikian; tokohnya memang tampak seperti unreliable narrators, tapi klop sekali dengan konteksnya. Pun dilakukan dengan sangat seamless; editingnya tidak memotong sudut pandang dengan kasar. Ketika di versi Spencer mereka ngobrol di dalam mobil, sedangkan versi Warren mereka ngobrol di klub, adegan berjalan dengan lancar menggunakan ‘tutupan-tutupan’ edit yang diegetic, yang benar-benar ada di momen kejadian alih-alih abrupt cut.

mungkin syalnya memang ilusi optik kayak gaun sialan yang viral itu

 

Tentu, terlihat keren, menarik, mendebarkan. Namun begitu, berbuat jahat tidak pernah segampang kelihatannya. Seperti kata Bellatrix Lestrange ke Harry Potter yang coba menyerang dirinya dengan kutukan tak-termaafkan; kita benar-benar harus meniatkannya, harus benar-benar ingin untuk menyakiti orang. Itulah yang membuat jahat itu berat. Karena kita semua punya nurani. Yang dilakukan oleh Spencer dan kawan-kawan, mereka hanya sebatas excited sama gagasan mereka hendak mencuri. Hidup mereka jadi lebih berwarna bahkan saat merencanakan perampokan tersebut. Mereka tidak harus terus mewujudkan rencana, toh keinginan mereka untuk hidup exciting sudah terpenuhi. Kejahatan terbesar yang sesungguhnya mereka lakukan kala itu adalah mereka begitu ogah untuk mundur, untuk menjalani hidup normal seperti manusia berbudi lainnya.

 

 

Film bisa saja berakhir dengan meminta kita untuk menyimpulkan sendiri pelajaran apa yang dipetik dari tindak kriminal yang gagal dilakukan oleh tokohnya. Film tentu akan berakhir dengan nilai yang tinggi jikalau mempercayai penonton bisa menjawab sendiri, kenapa beberapa adegan dikasih treatment seperti yang dilakukan. Tamat saja setelah mereka tertangkap, dan para tokoh asli bangkit sembari informasi mengenai mereka sekarang ngapain, it could have ended strong like that, aku pastinya akan suka sekali jika begitu. Tapi, film ini merasa butuh untuk menjelaskan semuanya. Ketika plot sudah menutup, kita akan dibeberin informasi kenapa mereka melakukan ini, kenapa begitu, apa yang dipelajari oleh Spencer, Warren, Eric, Chas selama mereka mengenang tindakan mereka. Dan ini membuat pengalaman menonton menjadi berkurang. Kita jadi hanya “well, yea, okay good for y’all, then.” Semua hal tersebut sebenarnya tidak perlu untuk dijelaskan. Hampir seperti tukang sulap yang membeberkan semua triknya. Kita kehilangan keasyikan menonton.

 

 

Aku tidak percaya semua orang punya kemampuan untuk berbuat jahat. Justru sebaliknya. Film ini memperlihatkan semua orang sebenarnya punya potensi untuk menjadi pahlawan, tapi seringnya kita membiarkan insting binatang untuk mengambil alih, karena kita tidak ingin terlihat lemah, tidak mau terlihat biasa. Film ini pun sendirinya juga begitu, ia punya potensi untuk menjadi lebih dari sekedar ‘menarik’. Berceritanya lumayan seger, pemainnya pun sukses menghantarkan emosi tanpa banyak-banyak amat buka suara. Namun film tidak ingin tampil membingungkan, mereka merasa perlu untuk menjelaskan beberapa hal yang malah mengurangi pengalaman menonton. Merampok kita dari keseruan berpikir dan menyimpulkan sendiri. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, mungkin aku yang jahat sudah memberikan kritikan terhadap film ini? Ah, konsep baik dan jahat benar-benar membingungkan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for AMERICAN ANIMALS.

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian, apakah keempat tokoh film ini terlihat kayak anak baik-baik? Apakah mereka benar-benar menyesal?

Bagaimana seandainya jika tokoh di film ini diganti menjadi orang kulit hitam? Kira-kira apakah ada yang berubah?

Pernahkah kalian melakukan sesuatu yang di saat itu kalian sebenarnya menyesal dan pengen mundur, tapi nekat terus maju karena tuntunan sosial, dan kemudian mencari pembenaran terhadap tindakan tersebut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

THE NUN Review

“Prayer without action is powerless”

 

 

 

Berdoa itu ada waktunya. Sudah kewajiban manusia untuk menyempatkan diri untuk berterima kasih kepada Sang Pencipta. Tuhan tidak akan pernah bosan sering-sering kita panggil. Tuhan justru senang jika kita sering mengingat-Nya, meminta kepada-Nya. Namun, berdoa setiap waktu hingga lupa untuk berusaha, sama saja dengan ngobrol ama foto kecengan di wallpaper laptopmu, tapi gak pernah berusaha ngajak jalan. Kalo gak diusahakan, ya selamanya keinginan itu gak bakal terwujud. Seperti suster-suster di biara terkutuk di film The Nun; mereka lupa bahwasanya berdoa dan berusaha itu kudu seimbang. Ada waktunya untuk bertindak, melakukan perjuangan terhadap suatu hal yang diminta, alih-alih berlutut sampai pagi.

Nun jauh bahkan sebelum boneka Annabelle dibuat, terdapat sebuah biara di pedalaman Romania. Biara yang dijauhi penduduk bahkan oleh kuda-kuda mereka, itu terkutuk untuk alasan yang jelas; gerbang neraka terbuka di bawahnya. Iblis bernama Valak enjoy aja keluar masuk dari sana, berpakaian ala biarawati, mengambil satu-persatu Wanita Suci Kekasih Tuhan yang berdoa meminta perlindungan darinya. Tidak ada yang actually bergerak untuk menghentikan Valak. Sampai ketika seorang Pastor dari Vatikan diutus untuk menyelidiki apa yang terjadi di biara tersebut, barulah Valak mendapat perlawanan yang berarti. Si Pastor datang bersama biarawati muda yang bahkan belum mengucapkan sumpahnya. Tindakan merekalah yang menyebabkan misteri biara tersebut perlahan terkuak. Irene, sang biarawati, pun akhirnya menunjukkan tindak pengorbanan yang sesungguhnya, yang merupakan pukulan telak kepada Valak. Dibantu oleh seorang pria lokal penyuplai makanan yang dipanggil Frenchie, mereka berusaha menemukan senjata pamungkas demi menutup kembali Gerbang Neraka, menahan Valak kekal di dalam sana.

semoga yang di belakangku cuma bayangan pohon natal

 

Doa kita gak bakal dikabulin kalo gak dibarengi dengan usaha. Siapa sih yang mau ngasih sesuatu ke orang yang kerjaannya ngeluh dan beratap nestapa sepanjang waktu. Ther Nun akan mengajarkan kita untuk bangkit dan mengambil tindakan, untuk diri kita sendiri serta untuk orang lain. Karena dari perjalanan Irene, kita pun akan belajar satu-dua hal tentang pengorbanan yang dengan ikhlas kita lakukan atas nama perubahan ke arah yang lebih baik.

 

 

The Nun seperti menantang untuk berdiri tegak tatap sombong ketakutan kita terhadap setan. Yea, film ini exist berkat kepopuleran Valak, hantu suster dari universe The Conjuring yang debut di seri keduanya. Siapa yang bisa lupa kemunculan Valak yang berjalan dari dinding ke pigura lukisan untuk kemudian nongol di mimpi-mimpi buruk kita. Film The Nun ini, akan membawa kita untuk benar-benar berhadapan dengan hantu pawang ular yang tampangnya mirip Marilyn Manson pake kerudung tersebut. Setting cerita memang dibuat se-creepy mungkin. Hal-hal ganjil kita temukan di awal-awal cerita, darah di tangga yang kian hari bertambah alih-alih mengering, pemandangan pekarangan yang penuh kuburan bernisan salib gede, suara krincing-krincing lonceng dari setiap kuburan, semua itu ditujukan untuk membangun kengerian kita – supaya kita menantikan kemunculan Valak dengan mengkeret di tempat duduk masing-masing. Hanya saja, kita malah jadi penasaran. Alih-alih mengekspansi mitologi Valak – yang mana semestinya itu yang disajikan film ini sebagai alasan untuk mengetahui origin si iblis – film malah memfokuskan ke misteri biara itu sendiri. Penjelasan mengenai Valak hanya disebutkan dalam satu adegan tokoh Pastor membaca informasi di sebuah kitab. Selebihnya, film adalah pencarian Darah Kristus untuk menyegel Gerbang, dengan Valak dan hantu-hantu lain muncul entah itu untuk mengganggu ataupun memberi petunjuk.

Tempat gelap, pintu-pintu yang menutup dan mengunci sendiri, ’teka-teki’ dari hantu penghuninya. Menonton film ini seperti sedang menyaksikan orang bermain wahana Escape Room, kalian tahu, kesan yang ada malah seru. Seramnya jadi nomor dua. Dengan hantu yang bisa kalah dengan ditembak senjata api, film juga seperti lebih ke aksi ala film-film zombie. Tidak ada ‘peraturan’ yang jelas soal setan dalam film ini. Kenapa mereka bisa terluka oleh peluru biasa, apakah mereka setan yang berdarah daging, like, apakah mereka dibangkitkan oleh suatu kekuatan jahat ataukah mereka berupa jejak yang ditinggalkan jiwa di dunia (Ya, aku mengutip Snape). Pada satu sekuen kita diperlihatkan mayat yang sudah mengeriput seperti mumi, lalu mayat tersebut bangkit menyerang Irene dan kita melihat wujud si setan tidak lagi keriput, ia seperti sosok yang bicara kepada Irene di adegan sebelumnya. Dan kemudian si setan kalah dengan dibakar. Tidak benar-benar jelas dalam film ini apa yang sebenarnya mereka hadapi. Pertempuran terakhir dengan Valak pun malah jatohnya lucu. Memang sih, gak jatoh sekonyol Scooby Doo, tapi lebih dekat ke arah sana ketimbang horor dramatis yang menyentak urat ketakutan kita.

“they don’t want Nun, they don’t want Nun”

 

Film ini mengikat dengan baik ke permulaan film The Conjuring (2013), dan sayangnya itulah hal terbaik yang berhasil diraih oleh The Nun. This is like a throw-away movie, yang ada hanya untuk mengisi ruang yang sebenarnya pun tak ada pengaruhnya jika dibiarkan kosong. Melihatnya kembali, sekilas, memang bisa tampak mengesankan gimana film ini ternyata adalah cerita lengkap dari satu adegan di film sebelumnya. Tapi dari kacamata pembuat, ya semua aspek sebenarnya bisa dipanjang-panjangin. Enggak benar-benar susah mengarang cerita dari satu aspek minor dari sebuah film panjang, dan menarik satu cerita baru dari sana. Cerita The Nun sendiri pun sebenarnya bukan cerita yang kompleks, sangat sederhana, malah. Jadi, hal terbaik yang dilakukan oleh film ini juga sebenarnya enggak berarti banyak. Mereka hanya menarik background baru, tokoh-tokoh baru, dan bahkan yang baru-baru itu enggak berhasil dikembangkan dengan maksimal.

Taissa Farmiga didaulat untuk memerankan Suster Irene yang ditunjuk oleh Vatikan sebagai orang yang harus dibawa Pastor Burke menyelidiki Biara Terkutuk. Kita memang dikasih tahu Irene ini punya Penglihatan; dia bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus – sama seperti Burke. Tapi kita tidak pernah tahu kenapa Vatikan secara khusus memilih dia, yang bahkan belum mengucap sumpah. I mean, dari sekian banyak suster, masa iya cuma dia yang bisa Melihat? Seharusnya ada alsan khusus, namun alasan Irene menjadi tokoh film tersebut masih merupakan misteri hingga akhir cerita. Aku suka Taissa, menurutku dia hebat di American Horror Story, dia sudah jago bermain horor – in fact, Taissa menang Unyu op the Year berkat penampilannya di serial ini. Di The Nun, dia juga enggak bermain jelek. Sayangnya, tokoh yang ia perankan di sini setengah-matang.

Taissa adalah adik dari Vera Farmiga, pemeran Lorraine di semesta Conjuring, mereka secara natural obviously mirip – jadi pasti ada sesuatu yang diniatkan dari castingnya kan? Membuat kita berasumsi jangan-jangan tokoh mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Tapi toh hal tersebut juga tidak masuk akal, there’s no way Irene dan Lorraine adalah orang yang sama. Yang satunya suster, pengorbanan adalah arc tokohnya, jadi mustahil jika nanti setelah dewasa dia menikah, terlebih mengganti nama. Irene akan membuang arc-nya jika dia menikah. Tidak ada indikasi tokoh majornya punya hubungan dengan tokoh utama semesta cerita, membuat Irene semakin terasa random lagi untuk berada di sana.

 

 

 

 

Kurangnya latar belakang tokoh – si Pastor punya penyesalan sehubungan dengan pekerjaannya di masa lalu, selain itu kita tidak banyak tahu, membuat kita sulit untuk peduli ketika mereka berada di dalam bahaya. Terlebih, setiap keputusan yang dibuat oleh para tokoh benar-benar klise dan bego; Mereka akan berpencar di setiap kesempatan. Film ini memang bukan jawaban jika kita berdoa “Oh Tuhan, tunjukkanlah hamba film yang bagus”.  Ada banyak kekurangan yang mestinya enggak diulang lagi, kita hanya harus ambil tindakan untuk mengenalinya. Satu-satunya cara untuk kita bisa menikmati film ini adalah dengan menganggapnya sebagai petualangan misteri. Karena film ini lebih kepada seru, dan konyol, ketimbang seram. Bahkan jumpscarenya enggak bikin kaget.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE NUN.

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa kita perlu untuk mengenal siapa Valak – apakah kita benar-benar butuh untuk menonton film ini? Apa kira-kira hubungan Irene dengan Lorraine? 

Kalo ketemu hantu, kira-kira kalian akan berdoa atau langsung ambil langkah seribu?

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

UDAH PUTUSIN AJA! Review

“You’re in love with the idea of being in love”

 

 

 

Jilbab tidak mencegah kehamilan. Sama seperti kita pakai helm bukan supaya enggak bakal kecelakaan. Melainkan sebagai tindak untuk melindungi diri. Hal yang lucunya adalah enggak semua orang memilih untuk pake helm. Bahkan tak jarang malah keki disuruh pakai. Buat apa sih? Banyak yang mencari alternatif lain. Pandai-pandai jaga diri aja. Lagian siapa sih yang suka disuruh-suruh. Kalo mau aman, disuruh pake helmlah. Kalo mau masuk surga, disuruh pake jilbab. Kalo mau bertamu, disuruh masuk. Kalo haus, disuruh harus minum air kelapa dingin yang seger. Eh, kalo disuruh begitu mah semua pasti pada mau yaa.

Ketika disuruh untuk melakukan sesuatu, mekanisme pertahanan manusia otomatis akan membuat seseorang masuk ke mode ‘melawan’. Ingin membuktikan bahwa sebenarnya suruhan itu bukan berarti yang nyuruh benar, dan yang disuruh itu salah. Kita cenderung akan berusaha untuk membuktikan sebaliknya. Makanya, semakin dilarang, kita akan semakin nakal. Untuk alasan itu jualah Amanda (Audi Marissa berhasil untuk tidak membuat tokohnya annoying) suka keluar malem. Dia nekat melanggar aturan di depan idung ayahnya yang tertidur lelap. Gak boleh pacaran, eh Amanda tetep aja backstreet-an. Film Udah Putusin Aja! sepertinya paham bahwasanya suruhan hanya akan dijawab dengan perlawanan, maka film ini menyampaikan ceritanya dalam nada komedi. Dari Amanda hingga papanya, dari sahabatnya yang cowok semua hingga ke ibu gurunya, semua akan tampil dengan tingkah yang konyol. Kita mungkin akan geli sendiri melihat rentetan adegan ayah Amanda menemukan pregnant test dalam tas, yang ternyata adalah milik teman dekat Amanda, yang menuntun kita ke peristiwa di mana Amanda harus ikut pesantren kilat yang diadakan oleh Faraz, siswi paling surgawi di sekolah (Elyzia Mulachela paling jago mainin tokoh yang lembut kayak gini). Dari sana adegan-adegan konyol yang sebenarnya adalah sentilan, kalo gak mau dibilang sebagai ceramah terselubung, terus bergulir. Amanda dan gengnya berusaha kabur!

“makin ditolak, makin semangat”

 

 

Tegas di dalam gagasan dan konteksnya, film ini punya treatment aktor yang tidak seperti pada film-film lain. Felix Siauw – pembuat dan pemilik ceritanya – menjelaskannya di kredit penutup film, jadi aku gak akan ceritain di sini. Film benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Di samping itu, film tidak begitu saja menegur dengan drama-drama orang mulia ataupun semata membuat penonton mengucurkan airmata. Yang film ini lakukan adalah mengambil sudut pandang dari seseorang yang akrab dengan remaja sehari-hari. Menarik penonton untuk masuk berkat sifat tokohnya yang menolak untuk diatur. Amanda kuat oleh perspektif, dia punya kompas moral sendiri. Mengatakannya seorang bad girl akan dianggap pujian oleh cewek ini. Ada banyak adegan yang mengundang tawa seputar bentrokan yang dilakukan oleh Amanda. Ketika dia berdoa agar rencananya kabur dari pesantren berhasil, misalnya. Ataupun ketika dia berbalik memutuskan untuk tetap tinggal di pesantren, hanya demi membuktikan bahwa Faraz yang berjilbab sebenarnya tak-lebih baik dari dirinya sendiri. Perubahan yang dialami oleh Amanda, seiring berjalannya cerita, akan membuat kita mengerti pemahaman dan gagasan yang coba diangkat oleh film ini. Ya, film ini memang cukup ambisius, dia ingin membuat kita benar-benar melihat apa yang dirasakan oleh Amanda – dia ingin penontonnya juga berubah. Film ini ingin penontonnya – mereka menargetkan remaja wanita – untuk mencari dari dua sisi; dampak negatif dan dampak positif (kalo ada) dari pacaran. Dan meski tone komedi film ini agak berlebihan, apa-apa yang terjadi pada para tokoh sebenarnya memang mungkin terjadi di dunia nyata.

Romantisasi tidak musti melulu berarti datang dari cewek dan cowok yang lagi kasmaran. Cinta bukan hanya soal berpacaran. Kita melihat di sini Amanda menemukan cinta yang tulus, yang sejatinya adalah perwujudan dari rasa saling peduli, rasa saling mensyukuri, rasa saling menghormati. Tidak kurang tiga kali Amanda jatuh cinta tanpa ia sadari; kepada Faraz yang tadinya ia antagoniskan, kepada ayahnya yang tadinya ia lawan, kepada Tuhan yang tadinya sengaja ia lupakan. Hati pada cerita ini berasal dari hubungan antara Amanda dengan ketiga sosok tersebut. Film ini membuat Amanda sadar bukan dari ceramah-ceramah guru ataupun Kang Guru di Pesantren, kita malah diberikan kesempatan untuk menertawakan mereka bersama-sama. Amanda sadar karena dia berpikir sendiri, karena dia melihat dari sekitarnya.

Wanita moderen adalah cewek yang mandiri, yang tahu bahwa kebahagiaan yang ia cari tak perlu harus berasal dari orang lain. Jika begitu, kenapa masih saja banyak cewek yang merasa perlu untuk punya pacar? Yang sampai berlomba banyak-banyakan jumlah mantan? Karena, seperti Amanda yang merasa disuruh-suruh, dia hanya cinta terhadap gagasan tentang cinta

 

Film juga memperlihatkan gimana pacaran dari sisi cowok, mereka mencoba sejujur-jujurnya memperlihatkan isi pikiran cowok, dengan juga cukup bijak menyuarakan “enggak semua cowok brengsek” meski memang film literally sempat menyebut bahwa penampakan paling seram adalah yang berwujud manusia tampan. Yang agakl mengkhawatirkan adalah minimnya konsekuensi yang dijatuhkan kepada para cowok dalam film ini, karena ceritanya ingin menguatkan poin ceweklah selalu yang paling dirugikan.

kecuali kalo nginjek kotoran sapi itu dianggap konsekuensi

 

 

Menjelang babak ketiga, film menjadi sedikit terlalu preachy. Yang menurutku ada hubungannya dengan pergantian tone cerita yang lumayan drastis. Ada adegan di mana Amanda yang terkantuk-kantuk diajak sholat jam 3 malam oleh ayahnya; doa dari sang ayah membuat Amanda menitikkan air mata. Kemudian ayahnya memberikan kembali barang-barang milik Amanda, seperti hape dan privilage memakai mobil, yang sebelumnya ia sita karena Amanda sudah membuat dirinya bahagia. kemudian Amanda juga turut gembira karena barang-barangnya sudah kembali. Menurutku ini membuat pesan yang ingin disampaikan sedikit melemah. Membuat Amanda seperti belum belajar apa-apa, karena di titik itu seharusnya dia dibuat bahagia meski tanpa barang-barang tersebut, mestinya Amanda sudah tahu dia tidak butuh semua itu – dia tidak butuh pacaran – untuk bahagia. Instead, dari adegan tersebut yang bisa kita simpulkan justru adalah Amanda hanya merasa kasihan kepada ayahnya.

Sepertinya film memang cukup kesulitan merangkai penutup, karena setelah mereka beres dari pesantren, film meninggalkan komedinya dan masuk ke dalam mode yang serius. Kelihatan cerita hilang keseimbangan di poin ini. Menyampaikan cerita yang serius, film seperti sedikit terlalu berhati-hati, mereka tak lagi menyuguhkan rentetan kejadian yang bergulir. Kita malah mendapat adegan Amanda curhat di vlog, seperti gadis yang menulis buku diari, dia benar-benar menceritakan apa yang ia rasakan, dan ini sesungguhnya adalah storytelling yang paling gampang yang bisa terpikirkan oleh pembuatnya – kalo gak mau disebut malas. Seharusnya film membahas elemen prejudice terhadap Faraz dengan lebih dalam lagi, tidak cukup banyak waktu yang diinvestasikan cerita ke sana, padahal sebenarnya ini bagian yang integral dalam konteks memperlihatkan gimana dampak dari hubungan cewek dan cowok bisa terblow up begitu gede di kalangan masyarakat.

Semua orang bebas menentukan jalan hidupnya. Semua orang mestinya tidak perlu ditantang perihal kemampuannya dalam menjaga diri sendiri. Orang bisa melawan. Orang diharuskan mencari kebahagiaan demi dirinya sendiri, baru buat orang lain. Tapi di atas semua itu, seseorang tersebut haruslah bertanggungjawab. Lewat Faraz, film menunjukkan betapa pun baiknya nama kita, jika terjadi apa-apa, kerugian itu lebih banyak jatoh ke wanita. Tapi jika kita benar-benar mandiri, kita akan tahu untuk tidak berbangga sebagai victim.

 

 

 

 

Over-the-top, cheesy (film ini berakhir dengan lagu pop), preachy, tapi paling enggak film ini konsisten dan tegas dengan gagasan yang ia usung. Tone ceritanya sedikit tak seimbang, dengan ada elemen bercerita yang tidak benar-benar menambah banyak untuk narasi – selain menambah keconvenience-an, yang ultimately membuat film ini semakin lebih mirip film televisi dan kurang teatrikal. Komedi sebenarnya bisa/cukup dilakukan dengan gimana Amanda memandang orang-orang dan kebiasaan agamis itu dengan aneh, gaya hidup mereka bisa dibentrokan, dan jadinya juga bakalan lucu sehingga jarak tone cerita di bagian awal dan akhir film ini dapat dipersempit. Penggunaan flashback yang berlebihan juga mengurangi poin untuk film ini. Tapi ini adalah cerita yang berani dengan pesan yang bagus, dan relevan. Kalian bisa nonton ini dan terhibur, atau malah tersinggung dan kesal olehnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UDAH PUTUSIN AJA!

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa yang terjadi jika cewek-cewek di dunia ini pada kompakan untuk gak mau pacaran? Akankah cowok akan semakin kompetitif, atau dunia malah jadi membosankan tanpa ada gosip dan cela yang bisa diumbar?

Sebaliknya, jika kita diharuskan untuk berbaik sangka, kenapa kita tidak bisa berbaik sangka sama pacaran? Benarkah tidak ada sisi baik yang datang dari pacaran?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SEARCHING Review

“Google knows your true self”

 

 

 

Belakangan ini cuma dua hal yang dibahas orang-orang di timeline twitterku – Soal Asian Games 2018 yang pembukaan, pertandingan, dan penutupnya sama-sama heboh. Dan tentang betapa ‘recommended’nya film Searching. Dalam sehari, message-ku bisa penuh sama semacam yang nanyain “Mana nih review Searchingnya?”, “Searching keren loh, Kak”, “Ditunggu Searchingnyaaa”. Aku membaca komentar-komentar bagus tentang film itu, sampe-sampe bisa dinobatkan sebagai film yang mendapat resepsi terbaik tahun ini. Hypenya luar biasa. Tentu aku penasaran. Aku sempat nyalahin dompetku. Jika bukan karena isinya yang mengering, aku pastilah sudah menonton film ini sedari kemaren-kemaren. Namun kemudian logika kewaspadaan menghampiri, HARUSKAH KITA PERCAYA KEPADA APA YANG DIKATAKAN ORANG-ORANG DI INTERNET?

Tepatnya, pertanyaan itulah yang menjadi ide dasar dari  cerita Searching. Gagasan yang lebih jauh lagi lantas dibentrokkan dengan hubungan orangtua yang semakin renggang dengan anaknya.

Dalam Searching kita akan melihat David Kim (yang dulunya MILF-Guy, John Co kini menjadi bapak yang mencoba move on sepeninggal kematian istrinya) yang mencari anak gadisnya yang hilang, dengan hanya berbekal pertimbangannya dalam mempercayai informasi yang ia dapatkan dari internet. Malam itu David yang udah tertidur gagal mengangkat telefon dan voice-call dari putrinya, Margot (Michella La memperlihatkan permainan akting kuat lewat ekspresi). Siangnya, David mulai cemas, Margot tidak bisa dihubungi balik. Padahal biasanya, Margot selalu menyempatkan utnuk mengangkat panggilan. David pun kemudian nekat melakukan hal paling tabu yang bisa dilakukan orangtua terhadap anak remajanya; menghubungi teman-teman si anak. Tapi nihil, tidak ada yang tahu di mana Margot. Apakah dia diculik, atau sudah mati. Apa dia sedang dalam bahaya, atau sengaja minggat dari rumah. Sembari ketakutan kita juga terhimpun, David menghubungi polisi. Seorang detektif menjawab permintaan tolong David. Penyelidikan orang hilang dilakukan, David diharapkan membantu hanya dengan satu cara: memberikan informasi apa yang dilakukan oleh Margot, siapa teman-temannya. Sesuatu yang simpel yang tak ia duga menjadi halangan paling berat; David tidak tahu siapa anaknya.

Gak kebayang kalo Papa menghubungi daftar temanku di facebook “Halo, teman Arya?…. Loh, gak kenal tapi kok…ooh, dia yang add kamu duluan”

 

 

Jauh dari golongan film jelek, Searching ini – however – bagus tapi bukan karena seperti yang aku baca dikatakan oleh orang-orang di twitter. Kebanyakan berkata Searching keren di konsep dan pada pengungkapan twist di akhir cerita. But really, temanya yang begitu menantang pikiran, yang membayangi konflik di dalam hati si Davidlah, yang sejatinya menjadi kekuatan film Searching. Kita punya seorang bapak yang harus menyelami dunia internet yang penuh keanoniman sebagai satu-satunya sumber yang mau tak mau harus ia percaya dalam upaya mencari tahu siapa sebenarnya anaknya. Sebelum bisa menemukan keberadan Margot, David harus belajar dulu tentang hubungannya dengan sang anak, kenapa anak itu mendadak seperti orang asing baginya. Bentrokannya adalah kita tahu internet adalah tempat paling tak-dapat dipercaya regarding pengguna-penggunanya, gimana internet adalah tempat orang melakukan pencitraan, namun internet juga adalah tempat menuai simpati paling mujarab bagi remaja yang butuh perhatian seperti Margot. Banyak yang menggunakan internet sebagai buku harian, hanya saja rahasia yang kita tulis di sana bakal dibaca oleh orang-orang asing. Bayangkan menuangkan dirimu ke dalam buku harian Voldemort – tidak ada hal baik yang datang dari sana,.. ataukah ada?

Pernahkah kalian nge-google sesuatu yang segan untuk ditanyakan kepada teman-teman atau orang tua? Kita terkadang justru ikut-ikutan berlindung dibalik keanoniman. Kita lebih suka dan lebih nyaman untuk curhat kepada orang tak dikenal dibanding saudara sendiri, untuk menghindari tuduhan dan prasangka. Di dunia maya, kita akan mendapat simpati – jikapun dinyinyirin, tinggal nulis status yang nyurhatin ini, dan dijamin bakal banyak yang membela. Dalam hitungan detik. Kita lebih nyaman ngeconfirm atau ngefollow balik akun-akun ‘admin’ yang digerakkan oleh banyak orang tak-dikenal yang semuanya dipanggil “mimin” dibandingkan ngefollow balik sebuah akun pribadi milik teman lama yang udah beranikan diri menyapa. Tentu, kita takut akun palsu – namun apa bedanya? Dan akun orangtua atau keluarga, hahaha.. seperti sudah ada undang-undang tak tertulis; Orangtua jangan sekali-kali merekues pertemanan dengan akun anaknya.

Keanoniman sering dilihat sebagai aspek negatif yang muncul dalam komunikasi dunia maya. Karena penggunanya bisa menggunakan identitas apapun tanpa ada reperkusi. Kita bisa curhat dengan siapapun, kita bisa berdebat dengan lapisan usia manapun. Di saat yang bersamaan, penting untuk kita menyadari betapa kuatnya peran komunikasi seperti demikian; di mana yang dilihat bukan siapanya, melainkan adalah topik yang dibicarakan – informasi dan ide. Searching membuat kita sadar akan semua ini, bahwa komunikasi online sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan sosial manusia. Dan yang paling dalam komunikasi adalah kita perlu tahu ‘lawan bicara’ kita adalah seorang yang bisa dipercaya, tuangkan hatimu hanya kepada mereka. Sebab, baik maya atau nyata, orang sudah terbiasa untuk berpura-pura.

 

 

Searching mengeksplorasi semua itu. Bagaimana kita menggunakan internet sebagai pelarian karena kita tidak merasa nyaman untuk benar-benar terbuka dalam komunikasi langsung. Itulah masalah terbesar yang harus dihadapi. Ketika ada masalah, kita menutupinya. Kita tidak langsung membicarakannya. Kita bisa lihat sendiri gimana David sebenarnya marah kepada Margot yang ia sangka pergi naik gunung gak bilang-bilang, namun semua uneg-uneg hatinya itu ia hapus, emosinya ia telan kembali, dan mengirimkan hanya satu baris kalimat pesan instead. Kita melihat gimana satu orangtua rela melakukan hal di luar nalar demi menutupi perbuatan anaknya, yang sebenarnya tinggal dibuka dan dibicarakan baik-baik. Film ini dalam kapasitas netralnya juga tidak lantas melarang internet, dia memperlihatkan betapa dunia nyata juga penuh  muslihat dan topeng. Orang-orang beneran pada berahasia dengannya. David mendapat petunjuk dari internet, bukan dari penggunanya, melainkan dari detil yang ia perhatikan sendiri.

Finding Nemo dengan twist ala M. Night Shyamalan. Dengan internet!

 

 

Mengatakan film ini hanya konsep dan twist sesungguhnya mengecilkan sekali. Justru konsep dan twistnya yang mestinya bisa film ini lakukan dengan lebih baik lagi.  Twistnya, buatku, mengalihkan kita dari isu yang sedang dibicarakan. Seperti ketika Asuka menang di Royal Rumble 2018 dan kemudian Ronda Rousey debut mengalihkan spotlight. Atau ketika kita akhirnya bisa backflip di kolamrenang, tetapi kemudian ada anak bule yang dilepas renang di kolam yang dalam sama bapaknya. Kita jadi enggak benar-benar memperhatikan hal yang diniatkan. Tentu, ada keparalelan yang ingin diperlihatkan antara David dengan ‘tokoh jahat’. Twist di film ini tidak exactly untuk menipu penonton, melainkan cara satu-satunya cerita yang disampaikan untuk dapat berjalan. Hanya saja, kita tidak seharusnya melihat film ini dari “Oh ternyata si anu”. Ada gagasan penting yang sedang dibicarakan, tapi di akhir film hanya tampak sebatas merangkum perjalanan David, bahwa dia benar sedari awal dan dirinya  hanya perlu belajar untuk bicara dengan hati kepada anaknya, jangan mentang-mentang facetime-an dan ngobrol lewat internet bicaranya kayak robot tanpa hati dan tanpa rasa. Pembahasan seputar gimana dunia memandang kasus Margot; ketika banyak yang jadi sok kenal, banyak yang jadi sok peduli – sok pahlawan padahal hanya untuk naikin status sosial sendiri, jadinya terlihat sepintas saja.

Apa yang kita lakukan di internet mencerminkan siapa kita. Betapa mengerikannya fakta seseorang bisa belajar banyak tentang siapa diri kita jika mereka cukup persistent untuk stalking, melacak cookies dan web history komputer kita.

 

 

Konsep menarik yang dipunya sebenarnya enggak spesial, karena sudah digunakan di Unfriended (2015). Bahkan film ini mengacknowledge persamaan itu dengan ngasih easter egg nama Laura Barns sebagai salah satu topik di halaman facebook, kalian pada lihat enggak?  Storytelling menggunakan desktop ini memang cara yang unik untuk bercerita, asalkan ada alasan yang tepat untuk menggunakannya. Unfriended misalnya, film tersebut adalah cerita real-time saat geng sahabat yang lagi grup chat. Searching punya jangkauan waktu yang panjang, Margot hilang satu minggu, dan selama itu juga cerita kita saksikan datang dari layar komputer. Film menemukan cara untuk mengakomodasi ini. Layar yang kita lihat actually enggak berasal dari satu komputer yang sama. Saat dibutuhkan, film akan membawa kita melihat cerita dari layar GPS, dari layar berita, namun kadang peristiwanya sudah seperti tidak cocok ataupun enggak mesti-banget lagi diperlihatkan lewat kamera diegetic (kamera yang benar ada di cerita).

Also, arahan film ini enggak benar-benar membuat konsep itu jadi unik. Kita seharusnya melihat layar komputer, tapi sering layarnya itu di-zoom, menunjukkan betul apa yang perlu kita lihat – yang perlu kita baca. Ini mengurangi kekayaan-pengalaman menontonnya. Lebih terasa seperti kita memelototi eksposisi alih-alih melihat sesuatu cerita. Seharusnya mereka setia aja ngeframein satu layar komputer kayak Unfriended, biarkan penonton menyimak sendiri. Karena jadinya sudut pandangnya aneh. Misal, ketika adegan David video call dengan orang, layar akan dizoom memperlihatkan window berisi muka David, kemudian zoom out lagi. Kenapa perlakukannya begini? Kita harusnya bisa melihat ekspresi David tanpa harus di-in-the-face seperti demikian. Jikalau soal sudut pandangpun – kita diniatkan melihat apa yang David lihat, tetep aneh. I mean, saat ngobrol dengan orang lewat aplikasi video call, aku akan melihat wajah orang yang sedang kutelfon. Bukan fokus ke wajahku sendiri. Jadi mestinya kalo mau ngezoom, yang dizoom harusnya wajah lawan bicara David, dong.

 

 

 

Tidak ada yang bicara soal gagasan dan cerita yang film ini sampaikan. Semua yang kudengar hanyalah pujian perihal konsep desktop storytelling dan twistnya. Padahal justru di dua tersebut film ini melemah. Ada lapisan yang lebih dalam yang harus kita lihat, tapi cover yang cerita lakukan sedikit terlalu mengalihkan. Penulisan yang baik – kita mampu dibuat mencemaskan tokoh-tokohnya, konsep yang (masih) menarik, tak benar-benar diimbangi dengan arahan bertutur yang tepat. Ini film bagus yang disebut bagus pada elemen yang salah. Garis bawahnya, ini film yang bagus. Memang, kata-kata di internet itu harus dibuktikan sendiri. Termasuk kata-kata reviewer dan kritikus. Even me. Karena boleh jadi kita punya pandangan dan pendapat lain.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SEARCHING.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PETUALANGAN MENANGKAP PETIR Review

“The object is not truth but persuasion.”

 

 

 

Bikin film itu gampang. Punya kamera, punya cerita, tinggal syut. Semua hal yang bisa dipikirin, yang bisa ditulisin, bisa dijadikan film. Menjual film pun nantinya bisa diakali. Kita harus tahu dibuat untuk siapa, gimmick-gimmick pemasarannya bisa disesuaikan dengan kemampuan. Yang susah itu adalah, minta ijin orangtua. Kita gak ijin, mereka gak restu, gak bakal bener deh yang kita usahakan – gak berkah. Kita bohong, ketahuan; filmnnya gak bakal jadi. Terus gimana dong. “Boleh gak kita ngejar mimpi, tapi dilarang orangtua?” pertanyaan Sterling tak pelak akan berdering di dalam setiap kita yang punya mimpi.

Sterling (Bima Azriel dalam peran utamanya yang pertama) punya mama yang banyak aturan banget. Dulunya mereka tinggal di Hongkong, Sterling diajarin bikin vlog supaya bisa punya banyak temen meskipun enggak keluar rumah. Main di luar rumah itu bahaya! Sterling nanti kotor, Sterling nanti jatoh dan terluka. Jadilah Sterling ini anak yang tidak banyak bisa apa-apa, naik sepeda aja dia gak bisa. Cuma kamera dan bikin video yang ia bisa. Cuma ‘follower’ yang ia punya. Ketika keluarga Sterling mampir ke rumah kakek di desa, Sterling dapat kesempatan untuk bikin film beneran. Untuk dapat teman beneran. Tetapi mengejar mimpi itu butuh pengorbanan. Menangkap petir adalah perbuatan yang berbahaya. Sterling harus menyadari, mamanya bukan antagonis di dalam cerita ini. Orangtua hanyalah salah satu dari rintangan yang harus ia hadapi demi menghadapi pertempuran besar yang sesungguhnya; Pembuktian diri.

daripada ngerjain LKS terus, mending sekali-kali main sepeda

 

 

Menyenangkan sekali melihat anak-anak bermain di luar, mengajak teman-temannya untuk berembuk bersama menyusun langkah, actually melakukan sesuatu. Sterling bagai ikan di luar kolam di desa itu. Dia kenalan dengan teman-teman baru, melihat langsung hal-hal yang sebelumnya hanya ia tahu dari internet. Sense of discovery membuat cerita ini hangat. Buatku, melihat Sterling dan Gianto (alias Giant) mencoba melakukan sesuatu yang gede melampui batas umur mereka, memang cukup bikin rindu. Juga malu. Rindu karena aku merasa masa-masa itu sudah lama kulewati. Malu, sama semangat mereka yang meskipun bikin film sembunyi-sembunyi, dengan alat yang seadanya – mereka pakai alat curling rambut sebagai papan sutradara – tetapi mereka tak ragu untuk bergerak. Berusaha mewujudkan mimpi. Sedangkan aku, belum mulai ngapa-ngapain, sudah pesimis duluan. Pikiran buruk sudah nyampe ke mana-mana; kebanyakan mikir dan takut gagal. Ya gimana mau maju kalo gerak aja takut? Sterling dan teman-temannya enggak gitu. Film ini pun enggak mangkir dari resiko yang harus dihadapi seorang yang punya karya; Dikata-katain.  Sterling dan teman-teman juga dihadapkan sama ketidakpedean, sama akting yang dinilai lebay, sama karya yang dianggap jelek. Dan anak-anak itu menghadapinya dengan lebih baik dari sebagian kita. Mereka enggak patah semangat.

Begitu positifnya film ini untuk anak kecil. Mengajarkan mereka untuk berani mencoba. Untuk tidak gentar dalam menghadapi rintangan. Untuk tidak takut gagal. Seperti naik sepeda, jika terjatuh, kita simply duduk lagi di atas sadel dan meneruskan mengayuh, membuat roda itu berputar. Memang terdengar cheesy, kita bisa berdalih itu semua hanya impian kanak-kanak yang tidak realistis. Tapi objeknya di sini terletak kepada usaha kita, seberapa besar kita mendorong diri untuk mewujudkan keinginan.

 

 

Sekarang, setiap orang punya kamera di handphonenya. Semua orang bisa membuat film, jika mereka percaya mereka bisa. Tingkat keindahan yang bisa film ini capai adalah jika mereka mampu membuat anak-anak kecil jaman sekarang pergi keluar, mencabut handphone mereka dari saku, dan merekam video sendiri, tertawa-tawa membuat film bersama. Oh, betapa aku berharap para orangtua yang membawa anak mereka menonton film ini, ikutan nyaksiin dengan serius. Supaya mereka bisa merefleksikan diri sendiri; apa benar kita ingin anak bahagia, atau hanya ingin anak nurut sama kita. Siapa sih sebenarnya egois di sini. Hubungan antara Sterling dan mamanya sangat relatable buat banyak orang. Terkadang orangtua bisa menjadi overprotektif, mereka lupa rasanya menjadi anak-anak.

Film ini akan sangat menyenangkan untuk keluarga. Permainan perannya mungkin tidak terlalu menonjol, kecuali satu anak, Fatih Unru pemeran Giant, yang mencuri pertunjukan dengan luwesnya akting yang dia lakukan. Giant actually adalah teman yang menggebah Sterling untuk membuat film, dia menjadi tokoh utama dalam film superhero yang mereka buat, jadi dia berada di tingkatan peran yang berbeda dari tokoh yang lain. Hubungan Sterling dengan Giant akan membuat kita tertawa.  Bagaimana Giant membautanya tergerak, membuka mata terhadap apa itu yang namanya film. Giant bisa menjadi sedikit meta dengan pengetahuannya tentang film-film lama. Tokoh ini pun punya lapisan yang cukup dalam, motivasinya pengen jadi terkenal adalah supaya ibunya yang enggak pulang-pulang bisa melihatnya di televisi. Ia mengisi hari-hari kosongnya tanpa ibu dengan menonton film, ini cukup sedih memang.

Giant seperti Nelson di The Simpsons, tapi kehilangan ibu alih-alih ayah

 

 

Saat kita membawa adik atau anak untuk nonton ini, mungkin akan timbul kekhawatiran. Film ini kinda membawa mixed message buat anak kecil sehubungan dengan berbohong. Giant berbohong nyaris setiap waktu, ia gunakan bohong untuk membujuk orang. Sterling berbohong kepada mamanya. Kadang kakek Sterling melarang ia berbohong, kadang beliau turut berpura-pura. Malahan, film dan akting itu sendiri adalah seni berbohong, tak ubahnya pertunjukan tukang obat yang Sterling lihat di jalanan. Anak kecil akan butuh bimbingan untuk memahami konteks berbohong yang ditampilkan oleh film ini. Karena, to be honest, film ini juga tidak pernah benar-benar gamblang dalam menjelaskan sikapnya dalam berbohong. Berbohong seperti apa yang diperbolehkan? Bolehkah gak sih, bikin video tetapi pake stuntman? Pembuat film itu, ditunjukkan sama dengan tukang obat; mereka berbohong atas nama pertunjukan. Tapi pembuat film pada film ini mendelik sewot dikatain tukang obat. Seharusnya ada adegan yang memperlihatkan kedua kubu kompak, ataupun paling enggak, berinteraksi, hanya untuk menunjukkan di mana sebenarnya film ini berdiri.

Membuat orang percaya terhadap suatu hal yang gak nyata, hal yang tidak benar-benar terjadi, ada seninya. Tujuannya adalah bukan untuk menipu; bukan untuk membuat orang lain tidak melihat kebenaran, melainkan untuk membujuk mereka untuk melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang bisa dipercaya dalam momen itu. Film adalah salah satu bentuk dari seni berbohong. Dan itu tak sejauh kedengarannya, sebab dalam hidup, kita bersandiwara setiap waktu. kIta merasa perlu untuk menutupi beberapa hal terhadap beberapa orang tertentu. Rahasia untuk tidak saling menyakiti adalah, kita tidak menciptakan sesuatu yang palsu – kita hanya mengatakan seperlunya dari satu kebenaran utuh.

 

I have a weak spot untuk film-film dengan adegan backstage atau pembuatan film. Petualangan Menangkap Petir ini, aku malah langsung tertarik untuk alasan itu.  Tapi aku pun tak bisa bohong, film ini punya banyak kelemahan. Naskahnya, for one. Konflik filmnya terasa tidak kuat, stakenya tidak benar-benar membuat semua menjadi memprihatinkan buat Sterling. Alasan mamanya melarang terasa mengada-ngada, I mean, kalo memang ngelarang main, kenapa gak dibawa aja anaknya ikut ke kota. Kenapa lantas ngelarang bikin film, kan bisa aja nyuruh bikin film tapi harus di dalam rumah. Elemen anak berusaha stand up dan membuktikan diri kepada orangtuanya tidak begitu terasa, karena kurasa film enggak ingin terlihat terlalu keras untuk konsumsi anak kecil. Lapisan-lapisan yang ada di cerita mestinya bisa digali lagi. Sterling akan meminta bantuan kepada dua orang dewasa yang terkenal di kampung sebagai pembuat film fenomenal, padahal mereka hanya bekerja sebagai tukang video kawinan. Seharusnya ada momen lebih banyak seputar Sterling belajar dari mereka, karakter si tukang video yang diperankan oleh Abimana Aryasatya mestinya dibuat saling mengisi dengan karakter Sterling – mereka saling belajar, hubungannya mestinya bisa lebih digali, seperti hubungan antara Bima dengan Chef Rama di Koki-Koki Cilik (2018). Karena dalam setiap cerita underdog (Sterling adalah underdog di mata mamanya, dia harus memenangkan pengakuan sang mama) selalu dibutuhkan sosok mentor yang dijadikan pembelajaran oleh tokoh utama. Petualangan Menangkap Petir kurang menggali elemen ini.

 

 

 

Aku harap film ini dapat kesempatan untuk merasakan kepuasan sudah membuat anak kecil penontonnya tergerak untuk membuat film. Seperti aku yang ketika membuat film pendek, meskipun hasilnya jelek, tapi aku merasa senang tak terkira demi melihat anak-anak kecil yang nonton syuting tau-tau bikin film sendiri dengan handphone mereka di sekitar lokasi. Cerita film ini hangat, akrab, tidak menampilkan anak kecil sebagai aksesoris dari orang dewasa. Mereka punya pikiran, punya keinginan, film ini membuat mereka bergerak layaknya anak-anak. I do feel bad mengritik film anak-anak seinspiratif ini, tapi ya film ini mestinya diceritakan dengan lebih mendekap lagi. Ada elemen-elemen cerita yang masih bisa digali, ada emosi-emosi yang mestinya bisa dikeluarkan lebih kena lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PETUALANGAN MENANGKAP PETIR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WIRO SABLENG 212 Review

“Do not seek revenge and call it justice”

 

 

 

Alasan kenapa Wiro dilatih silat dengan jurus-jurus yang konyol dan menyenangkan sama dengan kenapa pemuda ini diberikan baju berwarna putih; supaya Wiro senantiasa jauh-jauh dari aliran kegelapan. Namun, tak sama dengan baju putih yang gampang kotor, Wiro membuktikan hatinya tidak gampang untuk ternoda. Gemblengan Sinto Gendeng yang meski asik tapi luar biasa keras sudah menempa Wiro menjadi pendekar sakti baik budi. Kekurangannya, ya cuma satu – SABLENG!

Bagi pembaca novelnya, ataupun bagi pemirsa yang (beruntung) pernah menyaksikan serial televisi Wiro Sableng di tahun 90an, tentunya tidak akan asing dengan gimana sih Wiro Sableng itu.  Buat yang sama sekali awam, ada baiknya menyimak penggalan lirik lagu serial tersebut “sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar – dia slenge’an tapi cinta damai” sungguh tepat menyimpulkan seperti apa Wiro Sableng. Film kerjasama Lifelike Pictures dengan 20th Century Fox ini dengan sangat tepat menghadirkan kembali style dan ruh dari serial lama itu. Film ini exactly terasa seperti menonton serialnya, dengan kualitas visual dan set produksi yang jauh lebih mahal.  Ajiannya sekarang bukan efek tepung, tapi efek komputer. Kostumnya tradisional dan sederhana tapi tak tampak kuno sebab diasimilasikan dengan gaya moderen.

Satu orang yang paling bangga sedunia oleh film ini tentu saja adalah Vino G. Bastian. Jikalau dia sempat merasa beban mengangkat semesta karangan ayahnya ini, maka aku bisa pastikan dengan tayangnya filmnya ini Vino merasa sangat bangga. Dia menangkap passion dan gaya dan esensi Wiro Sableng itu sendiri. Si Bocah Kunyuk kembali hidup di tangannya! Bayangkan Deadpool tapi minus crudeness, bayangkan Sun Go Kong si Kera Sakti namun sedikit dijinakkan. Itulah Wiro Sableng.

Sekuen di kedai itu contohnya; classic Wiro Sableng banget. Gimana aksinya, gimana cara dia ‘menghukum’ penjahat. Wiro selalu seperti orang blo’on yang tampak enggak tahu dengan apa yang ia sendiri lakukan. Ketika orang memandangnya sebelah mata, menghinanya, saat itulah Wiro menyerang, and he was so good at it. Tau-tau musuhnya sudah terkapar kena kacang dari jurus Kunyuk Melempar Buah. Nuts! Film ini kocak dan menyenangkan, persis kayak tokoh Wiro Sableng itu sendiri. Adu mulut Wiro dengan eyang gurunya udah kayak percakapan orang beneran yang lagi tertawa-tawa bercanda, mereka hampir seperti keluar dari karakter, that’s how fun it is. Pose jurus silat – dan nama jurus-jurusnya – yang over-the-top, orang pake jurus terbang dengan gerakan yang kaku, orang ditendang ngerubuhin tembok, dialog yang mungkin akan terdengar cringey, leluconnya mungkin ada yang vulgar, penjahatnya memang bisa tampak sangat bego dan lemah (wong Wironya kuat gitu). Namun memang begitulah fitrah film ini, over-the-top – lebay adalah nadi dari cerita dunia persilatan ini. Wiro Sableng 212 butuh untuk menjadi over-the-top. Jika kita punya cerita di mana tokohnya dijuluki sebagai Dia yang Menertawakan Dunia, film kita tidak boleh berpaling dari semua itu. Jangan sampai menjadi terlalu serius. Karena justru dari sinilah datangnya pesan yang kuat dan rasa terhibur saat menonton.

menggelinjang melihat Vino dan cameo Kenken melakukan pose 212

 

 

Alur ceritanya pun sesederhana dunia persilatan; ada kekuatan baik, dan ada kekuatan yang jahat. Seorang penjahat memimpin gerombolan bandit untuk merusak desa dan Voldemort-in orangtua Wiro yang masih tak lebih dari seorang bocah. Sinto Gendeng muncul dan menyelematkan Wiro kecil dari dekapan penjahat. Wiro dididik untuk mewarisi Kapak Maut Naga Geni 212, sehingga dia bisa mengemban tugas mencari mantan murid Sinto Gendeng yang kini sudah menjadi penjahat kelas kakap – bos dari gerakan “Ganti Raja” di kerajaan sekitar tempat Wiro Sableng. Turung gunung, Wiro harus segera menangkap si Mahesa Birawa ini, yang actually juga adalah orang yang sama dengan yang membunuh ayah dan ibunya tujuh belas tahun yang lalu.

Ilmu Putih atau Ilmu Hitam sebenarnya adalah ilmu yang sama. Bayangkan setiap kepandaian yang kita miliki sebagai jurus silat kita. Adalah terserah kepada kita untuk memilih menggunakan ilmu tersebut untuk apa. Tapi menurutku film sebenarnya berpesan lebih dalam dari ini. Masukkan Mahesa Birawa yang diperankan oleh Yayan Ruhian dengan amat garang dan keji. Sosok ini adalah antagonis yang perfecto buat karakter Wiro Sableng. Mahesa percaya setiap orang berhak mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Jika mereka punya ilmu, maka mereka berhak untuk mengejar harta, nama, ataupun kuasa. Setiap orang mengambil jalan hidupnya masing-masing. Begitulah yang ditapaki oleh Mahesa. Dia merasa pantas, dia ingin punya Kapak Maut, he went for it. Dia ingin mengubah tatanan dunia, dia ingin menjadi raja, dan dia berusaha untuk mengambil apa yang menurutnya sudah jadi haknya. Ini berkebalikan dengan yang Wiro pelajari. Ia bergerak atas dasar tugas. Kewajiban Wiro adalah untuk menegakkan kebenaran, menumbangkan kejahatan. Seperti juga Kapak Maut yang hanya berhak digunakannya setelah ia diakui dan hanya bisa menariknya dalam kondisi hidup atau mati. Moral Wiro lantas bentrok ketika dia mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh Sinto Gendeng; bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya.

Pertanyaan yang mesti dijawab oleh Wiro adalah apakah balas dendam itu merupakan hak? Sesuatu yang menjadi miliknya. Apakah seseorang berhak untuk melakukan pembalasan setimpal. Jawaban film ini jelas; Wiro tak dapat lagi memanggil kapak yang tadinya bisa ia main-mainkan seolah senjata itu pesawat mainan.

 

 

Sayangnya, dibandingkan dengan Mahesa Birawa yang motivasinya mengancam dengan kuat, Wiro Sableng sendiri selalu dilemparkan ke dalam situasi. Dia disetir oleh Sinto Gendeng yang sengaja menyimpan informasi penting tentang Birawa. Wiro hanya tahu informasi dari orang-orang yang ia temui. Tidak sekalipun Wiro tampak bergerak dengan motivasinya sendiri. Dia bahkan tak terasa beneran peduli sama lingkungan sekitarnya yang bukan cewek dan bukan bernama Mahesa Birawa. Dia datang, bertemu orang-orang – yang juga mendadak jadi ikut petualangannya, mereka terlibat pertempuran bareng. Wiro beneran seperti seorang kelana; dia hanya ada di sana. Dia tak tahu banyak, kita bahkan lebih tahu daripada dia. Kita tahu lebih dahulu bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya, kita expect dia akan mendendam, ini sungguh cara yang aneh dalam menuturkan cerita. Akan menjadi lebih menarik jika Wiro belajar sendiri bahwa Birawa adalah orang yang membuatnya tak punya ayah dan ibu, dia kemudian bergerak dengan amarah dan dendam untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kalah, dan cerita berlanjut sebagaimana yang diperlihatkan oleh film – supaya dia tidak melulu disuapin, agar dia menciptakan kondisi – menyetir cerita alih-alih terbawa arus naskah.

Ada banyak yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih jauh perihal karakterisasi. Karena bukan hanya Wiro, semua tokoh di sini tampak datang dan pergi. Nice to see Sherina Munaf terjun kembali ke dunia akting, namun motivasi karakter Anggini yang ia perankan terasa mentah begitu saja. Yang paling parah adalah Bujang Gila Tapak Sakti yang seperti siluman Patkai (aku gak menyangka suara Fariz Alfarazi melengking seperti itu). Sama sekali tidak ada alasan kenapa tokoh ini ada di sana. Bantering dia dengan Wiro memang salah satu yang jadi pemantik tawa, namun karakternya seperti pemanjangan dari karakter lucu Wiro belaka. Hampir seperti tokoh ini ada di sana untuk menjamin Wiro enggak garing. Seperti ketika mereka menyusup dengan menyamar menjadi rombongan penari wanita; kenapa yang menyamar musti Wiro dan Bujang, sedangkan Anggini yang cewek beneran malah masuk lewat jalan lain – kenapa bukan Wiro dan Anggini? Mereka akan menghadapi penjahat yang buaanyak banget, yang udah terkenal di Wiro Sableng Universe. Dan sama seperti mereka, para penjahat juga ada di sana buat berantem doang. Backstory mereka tipis sekali,  keteteran. Mereka hanya jahat. Bahkan enggak semua penonton langsung tahu jahatnya mereka itu sebenarnya gimana. Sebagian mereka hanya tampak jahat by association buat sebagian besar penonton. Padahal mestinya bisa digali lebih, sebab kita tahu mereka berkoalisi untuk meruntuhkan pemerintahan raja saat itu

paling enggak akhirnya kita dapat Pendekar Pemetik Bunga yang kemayunya ke arah cool ketimbang kumisan dan total pervert

 

Sebagai film laga, elemen fantasi benar-benar digunakan untuk mempertajam elemen hiburan di sini. Hal tersebut memastikan koreografinya menarik untuk disimak. Karena setiap orang punya jurus berbeda. Mereka berkelahi di environment yang berbeda-beda. Kamera juga cukup bijak untuk enggak kebanyakan goyang, dan paham apa yang harus diperlihatkan, mana yang enggak. Teknik editingnya pas berantemnya bisa jadi sedikit mengganggu karena sering cut yang berpindah-pindah, yang tadinya kupikir untuk mengakomodasikan keperluan stuntman dengan pemeran asli, seperti Wiro yang harus selalu bertingkah konyol di sela-sela berkelahi.

 

 

 

Jurus-jurus yang dipunya membuat film ini menghibur – dia tidak ingin menjadi lebih dari serialnya dulu, kecuali semuanya sekarang tampak lebih mentereng. Bahkan cerita film ini ditutup dengan para jagoan kita berpisah gitu aja, kayak akhir episode di tv. Ceritanya sepertinya dibuat sama dengan yang di buku, mereka enggak mengubah banyak. Actually film ini adalah bagian pertama dari entah berapa sekuel yang mereka rencanakan. Dan tentu saja ini jadi sumber masalah, sebab film ini pun jadi punya mindset ‘kalo ada yang kurang, nanti dijelasin kok sama sekuelnya’ ataupun ‘di buku dijelasin kok’ Padahal kan mestinya film bisa berdiri sendir, walaupun dia adaptasi atau bagian dari trilogy atau semacamnya. Film ini mestinya bisa diceritakan dengan lebih baik lagi. Enggak seriusnya lumayan bablas, karena kita udah melihat contoh full-bercanda namun bukan berarti tidak serius pada Thor: Ragnarok (2017), film ini mestinya juga bisa mencapai prestasi yang sama.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WIRO SABLENG 212

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Tapi aku sebenarnya punya satu teori, atau bisa disebut prediksi, karena aku gak yakin film ini berani mengambil langkah yang beda dengan buku. Akan menarik sekali sih kalo berani.
Aku merasa masih ada sesuatu rahasia perihal Mahesa Birawa. There’s more of him dari seorang murid durhaka dan pembunuh. Mahesa tidak bertindak secara acak. Dia kelihatan kenal sama ayah dan ibu Wiro. Motivasinya selalu dia ingin mengambil apa yang menjadi haknya. Di hari naas itu, kita tahu Mahesa ada di sana untuk mengambil sesuatu yang ia percaya adalah miliknya, tapi apa? Dia seperti tak berniat membunuh Suci, sampai dia tertusuk. Begitu pun terhadap Wiro. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Wiro, awalnya dia menyuruh Kalingundil untuk membawa bocah tersebut; tidak membunuhnya. Kemudian saat Wiro gede, dia memanggil Wiro dengan sebutan ‘anak haram’.

Could it be, ayah dan ibu Wiro bukan pasangan suami istri?

Mungkinkah, Mahesa Birawa akan diungkap sebagai ayah tiri Wiro?
To be honest, saat menonton aku sudah siap untuk momen seperti ‘Luke, I am your father.’

Bagaimana menurut kalian soal teori ini?

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA Review

“Everyone is more interested in being a hero than in being right.”

 

 

 

Menyerang secara frontal markas VOC di Sunda Kelapa, Sultan Agung ingin menanamkan pesan membekas ke para penjajah; bahwa rakyat Jawa adalah pemberani yang tidak akan pernah menjadi bawahan mereka. “Menang atau Mati!” raungan perangnya bergema di dalam sukma para pasukan. Tentu, ‘strategi tembak langsung’ yang dikerahkan Sultan Agung ini bisa diperdebatkan keefektifannya. Apakah perang tersebut bisa mereka menangkan? Apakah dengan mengorbankan rakyat itu yang namanya menunjukkan keberanian? Keraguan terbersit di hati panglima dan pasukan Sultan Agung. Barisan Kerajaan Mataram yang semenjak sebelum diperintah Sultan Agung enggak pernah benar-benar difavoritin rakyat, retak dari dalam. Ada yang meninggalkan medan perang, ada yang malah berkhianat – membelot kepada Belanda. Tapi Sultan Agung tetap bergeming. “Menang atau Mati!” Keraguan yang sama lantas tersampaikan kepada kita. Apa memang iya yang mereka lakukan itu satu-satunya jalan?

Sepertinya, jawaban atas pertanyaan itulah yang menyebabkan sutradara Hanung Bramantyo membawa kita mundur begitu jauh, ke masa tiga setengah abad sebelum Indonesia lahir. Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta bertindak sebagai cermin (yang sangat mewah, mengingat kualitas set dan produksi film ini) di mana saat kita memandang apa yang direfleksikannya, kita bisa ngaca ke masa lalu. Dikemas dalam bentuk fantasi-sejarah, kejadian-kejadian dalam film ini sebenarnya lebih dekat dari yang kita bayangkan. Kerajaan Mataram yang struggle di tengah-tengah politik perdagangan dan adu domba bangsa asing Penduduk yang terombang-ambing dan mudah terpecah belah oleh keraguan dan ketakutan. Pemimpin yang musti bertanggung jawab beresin urusan yang masih tersisa dari kepemimpinan sebelumnya. They all are really close to home. Kita mengobservasi apa yang terjadi di film ini, dan eventually kita akan tersadar seperti Sultan Agung yang akhirnya menyadari kesalahan dan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Rasakan saja sendiri merindingnya ketika Sultan Agung menyuruh pasukan pulang dan berpesan “ajarkan keluargamu untuk mencintai negeri ini”, sebab kalimat tersebut terasa dibisikkan langsung ke hati kita yang mungkin sudah jenuh sama kebencian dan prasangka dan ketakutan.

Tanah, Perpecahan, Kita

 

Dengan ceritanya yang ternyata begitu relevan, sayang aja sih, enggak banyak penonton yang memilih untuk menyaksikan film ini. Meski aku gak heran. Durasi yang nyaingin film India memang tergolong angker bagi kebanyakan penonton. Siapa yang mau nonton film sejarah yang berat dengan durasi sepanjang itu, melek ampe habis aja rasanya udah prestasi banget. Tapinya, film Sultan Agung ini toh tidak semembosankan itu.  Malahan, aku sendiri juga kaget  sudah dua jam ternyata, sebelum memang pada babak ketiga film ini mulai terasa melambat. Sebagian besar waktu film ini akan terus meng-engage penonton. Kita akan tetap dibuat tertarik dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Sultan Agung atas nama keberanian. Kita paham kondisi yang menyelimutinya. Dia sendiri diminta tidak ikut berperang, karena meninggalkan tahta berarti memberikan kesempatan pemberontak untuk mengambil alih.

Kita akan melihat tokoh-tokoh lain terpengaruh hidupnya oleh sabda sang Raja. Film ini punya banyak tokoh, kita melihat pandangan mereka terdevelop, gimana dampak perang tersebut kepada mereka. Film ini melakukan kerja yang baik membuat para tokoh itu tampil hidup, walaupun beberapa orang sukar untuk diingat namanya; siapa yang mana. Penampilan mereka secara seragam sangat meyakinkan. Sultan Agung jadi tampak sedikit nyeremin di tangan Ario Bayu, yang kontras sekali dengan ketika dia masih dipanggil Mas Rangsang saat masih muda – dan by the way, salut buat departemen casting dalam nyonyokin Sultan muda dengan Sultan dewasa. Ada satu karakter wanita, sahabat dan person of interest Mas Rangsang, yang ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat, mandiri, motivasinya ikut perang adalah mencari abangnya di Batavia. Aku suka tokoh ini. Dia semacam voice of reasons yang menjaga si Sultan Agung tetap menapak karena pendapat cewek ini sangat berarti bagi Sultan Agung. Dan dia sendiri, sebagai pejuang wanita satu-satunya di sana, enggak lantas digambarkan sebagai ‘pendobrak’ karena dia masih menaruh hormat sama peraturan.

Tidak ada seorang pun yang masih waras yang lebih memilih perang. Namun terkadang, kita harus berperang – bukan untuk menang, melainkan untuk mencapai kedamaian. Pertanyaannya adalah; perang yang bagaimana? Di jaman sekarang, semakin banyak orang yang lebih tertarik untuk terlihat sebagai pahlawan, yang mengobarkan api peperangan yang tidak perlu. Padahal semestinya kita, sebagaimana Sultan Agung, mencari dan mengambil langkah yang benar

 

 

Jikalau memang ada emosi yang gagal untuk disampaikan, maka itu lebih kepada masalah urutan penceritaan ketimbang ceritanya sendiri. Karena kita bisa lihat ini adalah cerita yang sangat berani; ia memposisikan seorang pahlawan besar, seorang pemimpin, ke dalam sorot cahaya yang enggak exactly mengundang simpati. Sultan Agung tidak pernah ikutan berperang, dia hanya meneriakkan perintah – dan terkadang ancaman buat pasukannya yang pengen mundur, tapi justru pada karakternya begitulah letak pembelajarannya. Cerita actually akan memisah masa muda sebelum dia diangkat dengan saat dia sudah menjabat sebagai Sultan. Dan pemisahan inilah yang membuat semuanya terasa terputus. Mas Rangsang di babak pertama adalah pribadi yang sama sekali berbeda dengan Sultan Agung, tapi bukan tanpa-alasan. Tadinya dia adalah pemuda berkasta Ksatria yang ingin menjadi Brahmana, ia tinggal dan belajar di padepokan, jauh dari lingkungan keraton. Kita lihat dia latihan silat – di mana dia sudah ditunjukkan sebagai orang enggak seneng kalo tidak terlihat tangguh dan berani. Dia belajar ilmu-ilmu tertulis. Aku suka gimana film menunjukkan dia yang masih muda akan sering sekali mengintip ataupun mencuri dengar sebuah peristiwa, dan setelah gede, giliran harus dia yang berada di sana – di tengah, mengambil keputusan, dan beresiko dimata-matai.

Terputusnya cerita datang dari Sultan Agung yang dibuat melupakan siapa dirinya yang dulu. Akan ada banyak flashback sebagai bagian dari proses penyadaran diri, di mana ia kembali teringat ajaran-ajaran gurunya. Dan ini seperti membuat babak awalnya itu sia-sia. Aku biasanya paling menentang penggunaan flashback berlebih, tapi menurutku film ini adalah film yang mestinya bisa mengambil keuntungan dengan tidak menceritakan filmnya secara linear – dari muda ke dewasa. Sepertinya akan lebih baik jika film dimulai langsung dari Sultan Agung yang memerintah dengan reckless karena gak mau terlihat lemah di mata Belanda. Kemudian perlahan kita dibawa ke masa lalu, bersama dengan dirinya yang kembali mengingat, untuk mengenal kembali Mas Rangsang – Sifat dan keputusan Sultan dan Mas dikontraskan lewat alur yang bolak-balik; Dengan cara begitu, semestinya tidak ada emosi yang terlewat – akan lebih terasa beban yang ditanggung olehnya alih-alih dia terasa simpatik di awal dan tiba-tiba menjadi galak dan frustatingly susah diajak kompromi di babak berikutnya.

“senjata api itu tidak akan kalian butuhkan lagi.., aku pinjam ya untuk film yang nunggang kerbau”

 

Separuh babak kedua actually adalah adegan perang, kita akan melihat penyerbuan, orang-orang berantem, tembak-tembakan, darah dan sebagainya, yang digarap dengan tidak membingungkan. Film tahu kapan harus menutupi koreografi, dia tahu bagian mana yang terlihat lebih lemah dari yang lain, dan kamera dan editing terlihat dimanfaatkan dengan seefektif mungkin. Namun, ada satu elemen yang mengganggu buatku; jurus atau ilmu yang lebih terlihat sebagai bagian dari dunia Wiro Sableng ketimbang dunia di buku sejarah.

Sebagai sejarah fantasi, film ini kita akan melihat jurus orang bergerak secepat kilat, jurus totokan yang bikin lawan gak bisa bergerak (Petrificus Totalus!), yang sebenarnya adalah sebagai device supaya adegan penting Sultan bertemu dengan pemimpin VOC bisa masuk ke dalam logika cerita. Dalam cerita, sukmo Sultan Agung literally bertandang ke kamar tidur si Meneer. Namun dalam tingkatan yang lebih dalam, ini sebenarnya cara pinter film untuk mempertemukan kedua bos tersebut; scene ini juga bekerja sebagai masing-masing tokoh bicara ke dalam hati sendiri, mereka akhirnya mengenali siapa lawan dan diri mereka sendiri. Adegan yang ciamik, yang sebenarnya tidak membutuhkan elemen fantasi. Bisa saja dibuat surealis seperti adegan Kartini membaca buku atau surat di film Kartini (2017)Film ini sebenarnya tidak butuh ngebuild up penggunaan jurus untuk memasukakalkan adegan tersebut.   Malah membuat seluruh film terasa aneh, karena kalo memang jurus-jurus tenaga dalam atau semacam itu exist di dunia mereka, kenapa enggak dipakai dalam melawan Belanda? Kenapa gak semua santri padepokan aja yang menggunakan jurus pukulan bayangan kayak si guru? Film sedikit tidak konsisten di elemen fantasi ini.

 

 

 

 

Walaupun bukan yang terbaik, tapi yang jelas film ini adalah salah satu tontonan TERPENTING yang pernah singgah di layar bioskop. Bicara mengenai hal yang relevan, punya pandangan mengenainya, dan benar-benar digarap dengan effort yang maksimal. Penampilan, set, kamera, semua teknisnya practically top-notch. Adegan perangnya cukup asik untuk diikuti. Aku gak tau seberapa gede budgetnya, tapi kita bisa lihat duit-duit itu digunakan dengan efektif. Film ini tahu diri dan dia menganggap kita semua pun sudah paham bahwasanya film sejarah dapat bekerja dalam logikanya sendiri – because it is a movie. Hanya saja ada elemen fantasi yang digunakan tidak benar-benar konsisten ataupun betul-betul diperlukan. Ceritanya sendiri seharusnya bisa diatur lebih baik lagi. Film ini punya nyali, mengingat ini karyanya Hanung, aku percaya film ini semestinya bisa dipush menembus batas convenient yang lebih jauh lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE NIGHT IS SHORT, WALK ON GIRL Review

“I sing to the night, let me sing to you.”

 

 

 

Untuk dapat ngedeskripsiin gimana rasanya nonton film ini, aku harus nanya dulu ke kalian – karena aku bener-bener gak nemuin kata yang tepat buat ngewakilin perasaan yang kena ke aku. Mungkin beginilah rasanya ‘mabok’ tapi aku gak yakin karena belum pernah mabok. Jadi, ini pertanyaannya: Pernahkah kalian golek-golek sebelum tidur, menyusun ulang apa yang sudah kalian lakukan hari itu – dari mulai bangun pagi, cek hape, masuk ke kamar mandi, balik keluar lagi karena hape ketinggalan di kasur, dan seterusnya, seterusnya sampai kalian lupa ngapain lagi karena satu hari tersebut seolah berlalu begitu saja, seolah yang kalian lakukan di pagi hari itu tidak pernah terjadi? Film ini terasa kayak momen bangun pagi yang berusaha kalian ingat itu. Terasa gak penting padahal kita tahu dan kena pentingnya di mana.

Menonton film ini bagai sedang mimpi di siang bolong. Begitu aneh dan unik perjalanan yang dituturkannya sehingga kita tidak merasa sedang menonton, melainkan lebih sedang bermimpi. Dan begitu filmnya selesai, kita akan ‘terbangun’ dengan merasakan penuh gempita oleh pengalaman yang baru.

 

 

Bahkan untuk ukuran anime sekalipun, film ini masih tergolong super duper abnormal. Animasinya disampaikan dengan gaya yang lain daripada yang lain. Gambar-gambarnya menunjukkan hal-hal yang incorrect dan nyampur gitu aja membuat kita tertawa canggung antara konyol dengan merasa bergidik. SUREALIS DALAM LEVEL YANG BERBEDA. Tokoh-tokohnya melakukan aktivitas yang absurd, kayak jalan merangkak ala kepiting. Komedi yang mewarnai film ini pun sama gilanya. Struktur ceritany, oho jangan ditanya; film ini bercerita dengan sebebas-bebasnya. Kejadian demi kejadian datang gitu aja. Cerita dalam film ini berlangsung dalam rentang waktu satu malam yang dilalui oleh tokohnya, jadi kita akan melihat apa-apa aja yang bakal ia temui. Kita akan lihat mereka berdansa dan benryanyi dalam sebuah sekuen musical yang begitu hilarious. Kali lain, kita akan dibawa masuk melihat isi pikiran salah satu tokoh. Sekilas, kejadian-kejadian tersebut tak tampak korelasinya, namun film punya cara dan suara tersendiri dalam merangkai semua elemennya menjadi satu kisah yang padu. Kita tetap berpegangan erat pada cerita.

latihan otot paha dan perut yang bagus

 

Tokoh utama kita dipanggil Otome. Malam itu dia diundang menghadiri pesta pertunangan kenalannya. Sebagai salah satu yang termuda di sana, Otome merasa senang (serius, cewek ini sepertinya enggak mampu untuk merasakan sedih). Otome melihat acara tersebut sebagai kesempatan untuk experiencing something new. Pesta tersebut tak butuh waktu lama berubah menjadi semacam bar crawl; rombongan akan berpindah ke tempat-tempat minum. Kehidupan dewasa, kehidupan malam hari, Otome dengan suka ria menjalaninya. Dia bertemu dengan banyak orang dan kejadian aneh. Dia minum-minum. She’s so good at it. Kita akan melihat semangat Otome mempengaruhi lingkungan sekitar yang kontras dengannya, dan pada gilirannya akan gentian: Otome akan belajar dari mereka. Particularly, ada satu cowok, yang disapa Senpai. Cowok ini naksir berat ama Otome, tapi dia terlalu pemalu untuk bilang langsung. Jadi dia bikin strategi gimana caranya sepanjang malam itu untuk bisa terus bertemu ‘tanpa sengaja’ sama Otome.

Dari gaya dan penceritaannya sendiri, aku tak heran akan banyak penonton yang garuk-garuk kepala. Tapi kutekankan, film ini enggak bakal bikin pusing. Jika ada satu hal yang susah untuk kita lakukan saat nonton film ini, maka hal tersebut adalah merasakan kebosanan. Karena kita memang diberikan satu storyline, satu pertanyaan utama untuk dinantikan jawabannya; Apakah pada akhirnya Otome memperhatikan Senpai – apakah mereka akhirnya ‘jadian’? Proses kesanalah yang luar biasa menarik. Dua tokoh ini berjalan sepanjang malam itu, berdekatan namun jarang sekali bersinggungan, dan path yang mereka lalui sudah seperti trial; ujian yang menghantarkan masing-masing menuju pemahaman akan hidup. Otome akan ikutan kontes minum alkohol, dia akan pergi ke pasar buku bekas, dia akan bergerilya bersama teater jalanan yang diburu security. Ada begitu banyak yang film ini bicarakan. Kurasa setiap penonton bisa mendapat pesan yang berbeda di setiap perjumpaan. Begitu banyak sudut untuk menginterpretasi cerita, inilah kekuatan dari The Night is Short, Walk on Girl.

Ini adalah tipe film yang begitu filmnya usai akan terasa semakin hebat dan hebat lagi sebagaimana kita merefleksikan kejadiannya terhadap diri sendiri. Apa yang dihamparkan pada film ini begitu luas sehingga akan banyak orang merasa relate dengan kejadian-kejadiannya. Buatku, aku mengakui, aku merasa dekat dengan Senpai. Ngajak jalan cewek, ‘bicara’ sama cewek yang disuka, buatku juga adalah masalah susun strategi. Aku suka menciptakan situasi, berusaha menunggu timing, supaya ngajaknya itu gak terasa awkward, persis kayak si Senpai. Di film ini Senpai berpikir buku masa kecil Otome yang ia temukan bakal menjadi tiketnya untuk mulus jalan sama Otome, but really, film ini menunjukkan kita enggak butuh benda, enggak butuh menciptakan kesempatan. Just put yourself out there, karena hidup inilah kesempatan kita.

Malam itu pendek. Hari itu pendek. Umur kita pendek. Sepanjang apapun waktu yang kita punya, kalo kita tidak segera berjalan, kita tidak segera melakukan apa-apa, semuanya akan lewat begitu saja. Begitulah kontrasnya dunia sekitar dengan Otome. Dengan malam yang hanya beberapa jam itu, Otome melakukan banyak kegiatan, dia mengubah hal, karena dia tahu; saat muda itu, dia punya semua kesempatan yang bisa diinginkan oleh seseorang.

 

 

Elemen cerita yang paling asik adalah gimana jarum jam arloji Otome dibuat bergerak dengan kecepatan yang berbeda dari jarum jam tokoh-tokoh lain. Yang lain jamnya bergerak dengan sangat cepat, orang-orang tua itu sangat kaget demi melihat jam Otome berjalan “lebih lambat daripada siput”. Tokoh-tokoh yang lebih dewasa daripada Otome, mereka digambarkan sangat tertekan oleh hidup, mereka memandnag hidup dengan sangat sinis; sudah waktunya berbuat begini, sudah waktunya kita begitu. Mereka minum untuk mabuk, maka dengan segera menjadi mabuk. Otome, minum untuk menikmatinya. Sebagaimana dia menikmati hidup, cewek muda ini begitu optimis. Dia tahu waktunya masih panjang, atau malah dia tidak memikirkan waktu. Ada perbandingan yang subtil dijelaskan oleh film ini lewat minuman yang dipertandingkan oleh Tomoe dan satu tokoh. Minuman tersebut adalah minuman ‘palsu’ yang dibuat dari meniru resep terkenal. Tokoh-tokoh lain, mereka fokus ke ‘palsu’nya, sedangkan Otome, dia gak peduli, dia gak tahu versi aslinya, buat dia baru ataupun asli – yang jelas itu adalah kesempatan mencoba sesuatu yang baru. Hasilnya, ya kita lihat, minuman tersebut jadi kupu-kupu kebahagian dalam perut Otome.

semoga itu bukan gejolak asam lambung

 

Seorang manusia sesungguhnya punya peran dalam kehidupan manusia yang lain. Setiap masing-masing dari kita terkoneksi satu sama lain, entah itu oleh tindakan yang pernah kita lakukan, keputusan yang kita ambil. Film ini, dalam kapasitasnya sebagai komedi, menggunakan flu sebagai cara untuk menggambarkan koneksi tersebut. Pria yang merasa paling kesepian di hidupnya actually adalah orang yang menularkan flu kepada seluruh orang di kota pada penghujung malam itu. He matters. Kita berarti terhadap dunia dalam cara yang tak terbayangkan oleh kita. Dalam sekuen ini kita juga melihat Otome mulai menyadari kekurangan yang ia miliki. Bagaimana mungkin, cuma dia yang tak tertular flu? Berarti dia belum terkoneksi, dia belum menjadi bagian dari dunia. Sikap optimis dan keceriaannya berpengaruh terhadap sekitar, practically memohon untuk mempengaruhi orang-orang. Namun Otome belum terbuka terhadap sekitar, dia terlalu sibuk berjalan – doing her things. Ia pun sudah seharusnya untuk membiarkan orang-orang menularkan pengaruh terhadap dirinya.

Karena hidup adalah timbal balik seperti demikian. Bukan sekedar rangkaian dari peristiwa-peristiwa acak yang terjadi secara kebetulan.

 

 

 

 

 

Aku sangat berharap dapat timbal balik juga di sini, aku pengen tahu apa yang kalian pikirkan terhadap cerita film ini, apa yang kalian dapatkan darinya. Karena ada begitu banyak yang dibicarakan oleh garapan Masaaki Yuasa ini dalam lingkupan payung kehidupan yang menjadi konteksnya. Film ini memotret gimana orang-orang memandang hidup, apa yang mereka lakukan dalam mengisi hidupnya. Simbolisme boneka Daruma khas Jepang, juga signifikansi benda-benda yang tampak di latar, selalu ada yang bikin pikiran kita bergerak saat menonton ini. Kejadiannya aneh-aneh seperti kejadian dalam mimpi, namun begitu menyedot sehingga kita tidak bisa berhenti menyaksikannya. Juga sangat lucu, meski terdapat beberapa lelucon yang udah out-of-date seperti objektifikasi dan ngerendahin wanita. Tapinya lagi, itu adalah bagian dari kehidupan malam di Jepang, dan film ini tak berdalih dari hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE NIGHT IS SHORT, WALK ON GIRL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SESAT Review

“You’re not yourself when you’re angry.”

 

 

 

Keluarga Amara pindah ke sebuah desa yang sejauh mata memandang semua penghuninya adalah orang lanjut usia. Kakek-kakek dan nenek-nenek. Nyai-nyai. Mbah-mbah. Jadi ya, film ini bermula dari setting yang sangat menarik. Amara (dalam debut protagonis layar lebar, Laura Theux berhasil menyampaikan emosi yang diembankan kepadanya)  menyaksikan para penduduk desa – termasuk Opanya – pada berperilaku aneh dengan sesajen dan ayam hitam begitu maghrib tiba. Eventually, Amara menemukan sebuah sumur di hutan, persis seperti yang tergambar oleh lukisan yang terpajang di dinding rumahnya. Ada misteri yang menyelimuti desa Beremanyan tersebut. Namun sayangnya, semua elemen unik itu ternyata tak-lebih dari device untuk mengarahkan cerita ke ranah yang lebih familiar.

Amara, dan adiknya; Kasih, dan ibu mereka (yang mana bakal hilarious sekali kalo bernama Cinta) sedang dirundung duka. Papa baru saja meninggal dunia. Kehilangan ini teramat telak terasa buat Amara, karena dia sangat dekat dengan ayahnya. Mereka latihan lari bareng, sharing kebiasaan konyol bersama. Selain di satu waktu tidak dapat menepati janji menjemput lantaran nyawanya keburu dicabut, Papa selalu ada buat Amara. Ketika mengetahui sumur serem di hutan tadi ternyata digunakan penduduk untuk meminta kemakmuran desa, Amara tergoda untuk melakukan ritual pemanggilan – dia ingin minta ayahnya kembali, dia ingin ngobrol satu kali lagi dengan orang yang paling ia sayangi tersebut. Tapi seperti yang sudah kita ketahui, meminta kepada setan itu ‘harga’nya beda dengan minta kepada orangtua. Amara kudu membayar semuanya, dengan darah, dengan lebih banyak kehilangan.

Papa doang yang abis lari mesti mandi, Amara nya enggak

 

Sesat actually menyesatkan karena ceritanya banyak berbelok. Kupikir ceritanya bakal begini, ternyata malah fokus di begitutonenya pun sering bergeser; dari drama, ada arahan ke komedi juga, lantas kita merasakan suasana surealis di shot-shot lukisan, kemudian menyerembet ke body horror, balik lagi ke drama, dan gak taunya berakhir dengan twist. Kadang belokan cerita Sesat dilakukan untuk alasan yang bagus – it’s a good thing film membuat kita merasa sedang melihat sesuatu yang belum pernah ditonton sebelumnya, namun sering juga cerita Sesat berkembang menjadi sesuatu yang bikin mata kita terangkat heran, like, masa iya cuma begitu, they could do better than this. Atau kalo mau gamblang, dengan setting dan backstory yang lebih kompleks, film ini semestinya bisa mencapai lebih dari sekadar menjadi versi yang sedikit lebih baik dari Slender Man (2018).

Amara di film ini juga diperkenalkan sebagai atlet lari, dan tidak seperti protagonis di Slender Man, Amara beneran diperlihatkan ‘jago’ berlari. Dia jogging keliling hutan. Dia menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan lari di lapangan olahraga. Tapi tetep aja sih, kerjaannya berlari itu enggak benar-benar relevan dengan konteks cerita. Tema kedua film inipun mirip; di sini hantunya, alih-alih Slender Man, bernama Beremanyan dan datang karena dipanggil. Entitas serem yang tinggi dan tinggal di hutan ini akan membawa pergi apa-apa yang disayangi oleh si pemanggil. Bahkan penyelesaian kedua film ini basically dari peraturan yang sama. Hanya hasil akhirnya yang berbeda. Untungnya, Sesat fokus kepada satu tokoh, kepada motivasi dan perjalanan karakternya, sembari dengan lumayan seksama mengembangkan tokoh-tokoh pendukungnya. Simmaria Simanjuntak kentara punya mata yang lebih jeli untuk mengangkat nilai-nilai drama ketimbang sense horornya yang terasa seperti masih dalam sebatas melakukan sesuatu yang sudah pernah, dalam rangka memuaskan apa yang popular di pasaran horor. Ada satu adegan jumpscare paling biadab yang pernah aku temui di horor sepanjang tahun ini, aku sudah akan tepuk tangan untuk itu kalo bukan ternyata adegannya cuma adegan mimpi.

Interaksi para tokoh sangat menyenangkan. Film ini mengacknowldge perbedaan Amara dan keluarganya dengan sekitar. Sedikit perbedaan kata yang mereka gunakan ketika ngobrol, kayak ketika Amara dengan Kasih akan terdengar berbeda dengan ketika Amara berbincang dengan teman di sekolah barunya. Percakapan antara para tokoh tedengar meyakinkan, meski tak sempat mengeksplorasi dalam tingkatan Amara seperti fish-out-of-water di desa, meski tokoh-tokoh yang lain itu sebatas device. Tokoh-tokoh lain tak terflesh out dengan sebaik-baiknya, mereka hanya ditaruh di sana saat adegan membutuhkan. Horor dan dialog-dialog film ini kadnag terasa seperti pada film-film 90an, bahasanya, atau juga lonceng – aku suka sekali adegan seram dengan bunyi lonceng sekolah, lonceng beneran loh, di film modern manalagi kita melihat sekolah masih pakai lonceng. Suasana yang tercipta seolah desa tersebut masih stuck di periode lampau, dan ini menambah nuansa mistis dan misteri pada latar belakang yang sayangnya dimentahkan oleh kenyataan bahwa film ini bukan memasang ketakutan dari sana.

Dialognya terdengar menyenangkan, jika tidak terlalu sibuk dengan nyebutin apa sebenarnya tak perlu disebut. Kayak, akan lebih seram kalo kita yang eventually belajar sendiri bahwa ternyata hanya Amara dan Kasih anak muda yang ada di desa mereka. Film malah menyebut ini sedari awal mobil mereka masuk gerbang desa. Dialog yang sering ‘frontal’ begini bikin film jadi seperti ‘Nanya sendiri, Jawab sendiri’. Tapi kemudian, kita akan belajar alasannya kenapa dibuat seperti itu, kita akan ngerti kenapa baru babak satu aja semua misteri yang mestinya akan menarik jika dipelajari pelan-pelan oleh Amara sudah malah dibeberkan gitu aja oleh teman sekolahnya. Atmosfernya hilang, berganti menjadi horor memanggil kembali orang mati dengan teror dan trope yang standar.

Sumur itu tak ubahnya papan jailangkung

 

 

Amara dan Kasih. Ada alasannya kenapa nama tokohnya begitu. Karena Amara yang diliputi kesedihan sebenarnya sudah dikuasai oleh amarah. Dia berang kenapa yang pergi mesti seorang yang ia lihat paling baik dan perhatian kepadanya. Marah menumpulkan kemampuan manusia untuk bersikap rasional. Makanya, Amara meledak ngomong kasar kepada ibunya. Makanya, ia yang makhluk kota, millennial pula, mau percaya dan ngelakuin ritual kuno lengkap dengan mantra-mantra yang terdengar konyol. Horor datang dari Amara melihat apa yang terjadi kepada orang-orang yang ia ‘marahi’ – setan Beremanyan itu actually personifikasi dari hal tersebut. Untuk menyampaikan semua ini, howeverm film sedikit terlalu mendadak. Seharusnya mereka membangun karakter dengan lebih baik lagi, sehingga begitu Amara menyebut hal kasar kita juga dapat merasakan sakit dan penyesalan yang menyusulnya. Supaya berantem dengan ibunya enggak tampak terjadi begitu saja.

Ketika marah, sedapat mungkin jangan adu argument dengan orang lain. Sebab akan berakhir dengan kita meneriakkan hal yang tak kita maksudkan, dan hasilnya sungguh berantakan. Seperti Amara yang marah kepada ibunya. Seperti Kasih yang marah kepada Amara sehingga dia lupa kalo Amara sudah memperlihatkan perhatian kepada dirinya saat gak pede masuk sekolah yang baru. Setan Beremanyan bereaksi tatkala Amara merasakan amarah, dia membunuhi orang-orang, merupakan metafora bahwa saat marah kita kehilangan kendali terhadap diri sendiri – dan yang paling menakutkan, marah dapat menyebabkan kita kehilangan control terhadap apa yang kita percaya.

 

 

 

 

Apa yang ingin diceritakan oleh film ini sebenarnya simpel. Ini adalah soal orang yang begitu ingin dicintai merasa kehilangan saat sumber cintanya itu direnggut. Amara, dan kita semua, musti belajar untuk memberikan cinta terlebih dahulu sebelum menerima balasnya. Jika kita bisa menyintai banyak orang, kita tak akan pernah lagi merasa kehilangan. Sebenarnya bisa dibilang gak jelek-jelek amat sih, film Simmaria selalu punya gaya, aku masih tertarik nunggu karyanya yang berikut. Sayangnya film ini mengambil begitu banyak cabang dalam menceritakan topik utama tersebut. Beberapa elemennya kadang jadi tidak menyampur dengan baik. Sehingga pahamnya kita terhadap cerita lebih oleh long reach yang kita lakukan alih-alih karena aspek-aspek yang saling mendukung. Dialognya mestinya bisa ditulis dengan lebih tight lagi. Revealing atawa twist di akhir; sama sekali enggak perlu, membuat sikap tokoh utama kita jadi gak masuk akal. Buatku, kepentingan sekuen itu hanya untuk ngehighlight nama satu karakter sebagai shout out. Sekiranya untuk memberikan jawaban terhadap kenapa mereka harus pindah ke desa pun, malah tampak seperti feeble attempt film ini ingin menyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka punya semua jawaban.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SESAT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

CHRISTOPHER ROBIN Review

I’ll fly before I change

 

 

 

Dasar Silly Old Bear. Begitu biasanya Christopher Robin menutup setiap percakapan dengan menggoda Winnie the Pooh, boneka beruang yang jadi sahabatnya. Pooh yang kerap bicara dengan perutnya sendiri yang selalu lapar. Jika ditanya hari apa yang menjadi hari favoritnya, Pooh akan menjawab “Hari ini.” Memang kebangetan lugunya, makanya jadi lucu.  Tapi lantas, Pooh juga menganggap Christopher yang membawa tas kerjaan ke mana-mana, sedangkan putrinya yang ia bilang paling berharga selalu ia tinggal, bersikap tak kalah lucu. Hmmm, mungkin kata-kata tadi sudah berbalik arah. Mungkin kinilah saatnya giliran Pooh menggoda Christopher dengan “dasar, Silly old Human”

Christopher Robin sudah siap meninggalkan masa kecilnya yang memang sangat menyenangkan, setiap hari dia masuk ke lubang pohon di belakang rumahnya, untukk bermain-main dengan Pooh dan teman-teman boneka hewan yang lain di Hutan Seribu Acre. Film ini dibuka dengan Pooh, Piglet, Eeyore, Tigger, Rabbit, Owl, Kanga, dan Roo mengadakan pesta perpisahan untuk Christopher yang di usianya yang ke Sembilan itu harus masuk Boarding School. Berjanji untuk berteman selamanya, Christopher menutup pintu di depan teman-teman semua. Dan dia gak pernah menoleh balik. Selepas dari ‘Boring School’ (kata Pooh, loh), Christopher menikah, masuk militer, dan bekerja di perusahaan koper. Ia kepala keluarga sekarang, mana ada waktu untuk bermain-main. Dia tahu dia harus serius karena mimpi itu enggak gratis. Saking sibuknya kerja, Christopher enggak ada waktu untuk putrinya; Madeline, yang ia suruh untuk dewasa lebih awal dari dirinya di usia 9 tahun. Apalagi untuk mengunjungi Pooh, faktanya, sudah tiga puluh tahun, Christopher tidak memikirkan teman-teman yang ia tinggalkan di Hutan tersebut. Menyebabkan Pooh merasa kesepian. Beruang itu nekad masuk ke lubang tempat Christopher biasanya muncul, dan sampailah Pooh ke London. Ke  tengah-tengah kehidupan nyata Christopher Robin.

jangan garuk-garuk pantat dong, Pooh, norak tauk!

 

 

Bertumbuh di waktu Winnie the Pooh lagi masih cukup hits, susah bagiku untuk gak ikut-ikutan suka sama beruang ini. Karena memang ceritanya bagus, tokoh-tokohnya lucu. Aku nonton kartunnya di VCD, aku punya majalahnya, punya edisi komik dari film-filmnya, aku bahkan nontonin serial balita My Friends Tigger and Pooh while I’m babysitting my baby brother (ternyata, serial itu tidak dianggap kanon oleh film ini, bayangkan kecewaku hihi). Cerita Winnie the Pooh favoritku adalah cerita Tigger yang mencari keluarganya – dia melatih Roo melompat supaya bisa dijadikan adiknya, dan kemudian Pooh dan teman-teman yang lain berdandan ala Tigger, mereka sampai memasang per di kaki masing-masing bisa bisa melompat kayak Tigger, semua menyamar menjadi keluarganya supaya Tigger senang – cerita Pooh selalu menghangatkan hati seperti demikian. Film Christopher Robin pun tak luput dari akrab dan bikin hati kita berbulu lembut dan hangat seperti demikian. SEMANIS MADU, DEH! Di cerita-cerita yang dulu, Christopher Robin adalah tokoh yang paling jarang dibahas, anak cowok ini biasanya muncul di awal, kemudian di akhir – sebagian besar untuk ‘menyelamatkan’ Pooh dan teman-teman yang begitu polos. Makanya, film live-action ini terasa benar perbedaannya. Kita akan melihat Pooh dan teman-teman dari mata Christopher Robin yang semakin dewasa ke titik di mana dia mengakui dia sudah ‘memecat’ Pooh and the genk sebagai teman. Sense pertumbuhan kuat sekali, cerita tidak berdalih dari majunya waktu; dari konsekuensi kehidupan nyata yang dihadapi oleh orang dewasa.

Tetapi, apa sih ‘Kehidupan Nyata’ itu? Kalo ‘Nyata’ kenapa kita memandangnya dengan tanpa senang hati; kenapa Christopher malah jadi jarang tersenyum? Jangan-jangan kebahagiaan itu memang sesederhana balon merah yang dipegang oleh Pooh

 

 

Hubungan antara Christopher dan Pooh selalu adalah inti hati dari cerita ini, dan dengan pertumbuhan yang dialami oleh sang pemilik, kita merasakan hubungan tersebut turut berubah. Lewat animasi komputer yang menawan (lihat bulu-bul.. ah benang-benang tubuh Pooh begitu detil saat dia berjalan menyisir padang bunga), kita akan melihat perubahan di mana kini Christopherlah yang butuh ‘pertolongan’ Pooh. Satu perfectly throwback scene yang kocak adalah ketika Christopher nyangkut di liang dan Pooh berdiri di sana ngeliatin. Memang sih, cerita tentang orang dewasa yang melupakan masa kecilnya sudah sering kita lihat. Ada sedikit kemiripan elemen dengan Toy Story (1995), bahkan kita bisa bilang film ini banyak miripnya ama Hook (1991) di mana Peter Pan yang sudah manusia normal kembali ke Neverland. Poin ini, tak pelak, mengurangi keistimewaan Christopher Robin. Membuat kita terlalu cepat memutuskan, dan tidak benar-benar melihat kesubtilan pesan yang dimiliki oleh film; yang memberikannya sedikit jarak dengan film-film serupa.

Film ini tidak menyuruh orang dewasa untuk meninggalkan pekerjaannya. Melainkan meminta bapak-bapak, ibu-ibu, siapa yang punya anak, untuk melihat apa yang mereka tinggalkan saat dewasa, untuk mengingat kembali seperti apa mereka saat masih kecil. Christopher Robin tidak dibuat berhenti bekerja dan memilih untuk bersenang-senang sepanjang waktu. Yang kita lihat adalah perjalanan Christopher Robin, seorang yang sudah menjadi begitu tak-menyenangkan akibat tekanan pekerjaan, dalam menyadari bahwa dirinya yang sekarang masih sama dengan dirinya tiga puluh tahun lalu. Tumbuh menjadi dewasa bukan berarti kita berubah menjadi orang lain, meninggalkan diri kita yang sebenarnya. Dan eventually, kita akan melihat gimana Christopher Robin, yang setelah menyadari dia adalah dirinya yang dulu, menjadi lebih baik dalam pekerjaannya – dia jadi punya ide yang cemerlang untuk mengatasi masalah perusahaan.

Film ini dilarang tayang di Cina karena presidennya ngamuk dikatain mirip ama Pooh; sensitif atau kekanakan? You be the judge

 

 

Doing nothing pada film ini enggak semestinya kita artikan literal sebagai solusi berupa  gak usah ngapa-ngapain. Something, dikatakan oleh film ini, berasal dari nothing. Ini merefleksikan gimana segede apapun pekerjaan kita sekarang, kita semua berawal dari seorang anak kecil yang polos. Dan anak kecil polos yang kita berusaha untuk kita lupakan itulah yang membuat kita menjadi seperti sekarang. Kita sewaktu kecil bukannya enggak-berarti apa-apa. Monster yang kita ciptakan sewaktu itu, Heffalump dan Woozle itu bukanlah makhluk fantasi yang akan hilang ketika kita sudah bekerja. Mereka menjadi ‘nyata’, karena benar, life got real. Begitu juga dengan apa yang bikin kita bahagia semasa kecil; masih akan terus bikin kita bahagia hingga uzur nanti. Jadi kenapa mesti malu dengannya? Kenapa Christopher mesti malu dia bisa menggambar dan punya boneka? – hal inilah yang dipelajari oleh dirinya, yang membuatnya sadar dan memandang hidup penuh tanggung jawabnya sekarang sama indahnya dengan masa-masa yang ia habiskan di Hutan Seribu Acre.

Selalu sediakan ruang untuk pengembangan diri, kenali kesalahan dan belajar darinya, terus bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik lagi. Akan tetapi, jika untuk menjadi dewasa berarti adalah mengubah diri menjadi orang lain – menjadi sesuatu yang bukan diri sendiri, maka aku menolak untuk menjadi dewasa.

 

 

 

Sama seperti madu yang dimakan oleh Pooh, cerita manis ini bisa dinikmati kapan saja. Kepolosan Pooh akan selalu lucu, bukan hanya slapsticknya, melainkan juga dialog “Doing nothing is impossible. But I do nothing all day.” Gold banget! Dengan animasi yang memenuhi harapan dan fantasi kita, film ini punya semua yang kita harapkan dari cerita Winnie the Pooh; menyenangkan, hangat, lucu, sempurna buat keluarga. Lebih diarahkan buat orang dewasa sih sebenarnya, tapi anak-anak kecil tentunya bakal terhibur juga; Tontonkan mereka ini supaya bisa melihat bahwa orangtua mereka – yang di mata mereka mungkin selalu serius dan galak – nyatanya dulu pernah jadi anak-anak juga, yang bermain, berkhayal, sama seperti mereka. Meski begitu aku juga dapat melihat hal-hal yang jadi turn-off buat beberapa orang, seperti ceritanya yang udah sering, formulaic, dan gak benar-benar menjelaskan Pooh dan teman-temannya itu kalo bukan bagian dari imajinasi, kenapa mereka bisa ada di sana. Tapi buatku, terlalu nge-nitpick melihatnya dengan begitu; Toh film ini bekerja dengan baik dalam konteks dan dengan konsep yang ia miliki tersebut.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CHRISTOPHER ROBIN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017