THE MISEDUCATION OF CAMERON POST Review

“The question is not how to get cured, but how to live”

 

 

 

Hal paling tak-terduga yang pernah ditanyakan seorang cewek kepadaku adalah “Kak, suka gak lihat bokep lesbi?”

Gak pernah jelas bagiku pertanyaannya itu bersifat jebakan atau bukan, like, mungkin dia berusaha cari tahu apa aku pervert or something, tapi yang jelas pertanyaan sederhana tersebut seperti lubang yang menganga sebagai jalan masuk pertanyaan-pertanyaan ‘deep thoughts‘ untuk dibahas.

Kenapa pria begitu suka nonton bokep, bahkan ketika aksi yang dilihatnya berupa cewek-dengan-cewek yang dipercaya sebagai sesuatu yang gak bener. Apakah industri porno juga ngikutin selera pasar; apakah ‘pasarnya’ itu laki-laki. Ketika membicarakan adegan lesbi, ada gak sih penontonnya yang kritis, like, mungkin gak sih ada cewek yang nonton, trus memprotes adegan lesbian ternyata enggak seperti itu kenyataannya di dunia nyata? Seberapa beda seks dipandang oleh laki-laki dengan oleh perempuan?

 

Tak bisa dipungkiri industri perfilman masih didominasi oleh laki-laki. Jadi, selama ini kita melihat adegan skidipapap, dalam film beneran maupun film biru, sebagian besar didepiksi melalui ‘mata-mata lelaki’. Meskipun film yang baik biasanya hanya menampilkan adegan dewasa yang paralel dengan tema atau gagasan besar yang ingin disampaikan, tapi fokusnya tetap berpusat kepada kesenangan dan fantasi pihak pria. Bahkan Blue is the Warmest Color (2013), film Perancis tentang romansa dua wanita itu, yang dapat banyak nominasi dan menang banyak award itu, tetap saja masih terkurung dalam bingkai sudut pandang lelaki. Pemain wanitanya sendiri melaporkan merasa seperti seorang tunasusila saat merekam adegan seks enam-menit yang membuat film tersebut ‘terkenal’ (klik ini buat artikelnya)

Baru saat menonton The Miseducation of Cameron Post, aku merasa selama ini sudah ‘salah edukasi’ dalam menilai seni dari adegan-adegan dewasa pada film. Digarap oleh sutradara perempuan, Desiree Akhavan, adegan panas dalam film ini (kita akan melihat banyak aksi cewek-dengan-cewek) enggak sekadar ‘panas’, aku yang cowok bisa merasakan keragu-raguan, keberantakan, kespontanan yang ditakutkan menjadi penyesalan yang menguar kuat dalam setiap pertemuan seksual. Dan sepertinya memang seperti demikianlah realita erotika di mata wanita.

Dengan sama realnya, film ini membahas tentang kejiwaan Cameron Post yang mendapat halangan dalam mengeksplorasi seksualitas dirinya, karena yang Cameron rasakan merupakan hal terlarang dalam agama. Cameron yang yatim piatu dikirim oleh tantenya ke rehab khusus untuk remaja Kristen yang mengalami penyimpangan orientasi seksual setelah Cameron ketahuan sedang ‘pacaran’ bersama sobat ceweknya. Di sana Cameron tak ubahnya pasien yang harus segera disembuhkan dari penyakit yang mematikan. Dengan set-upnya ini, film akan bermain di antara satir dengan drama yang tulus, menempatkan kita ke dalam batas pandang Cameron yang dipaksa menerima bahwa apa yang ia rasakan adalah hal yang salah. Meskipun udah banyak menampuk peran-peran kontroversial, pernah bermain sebagai anak kecil kasar, penyihir remaja, hingga vampir muda yang tak bakal tua, Cameron termasuk tokoh paling ‘dewasa’ yang pernah dimainkan dengan gemilang oleh Chloe Grace Moretz.

Cowok di sekitar Chloe bisa-bisa insecure semua melihat betapa meyakinkannya orgasme yang ia terima di film ini

 

 

Sebuah film enggak harus punya gagasan yang sesuai dengan yang kita setujui untuk dapat dinikmati. Film enggak musti politically correct. Karena toh kita bisa saja setuju ama pendapat yang diusung oleh orang lain, dan tidak mengubah pendapat milik kita sendiri. Yang penting adalah bagaimana film tersebut mengutarakan idenya. Buah pikiran utama yang dibahas oleh film ini adalah soal apakah homoseksual sebuah penyakit, sebuah disorder. Film punya jawabannya sendiri atas pertanyaan tersebut, dan dia mengungkapkannya dengan begitu menawan.

“Tidak ada yang namanya homoseksual,” kata ibu kepala pembimbing Cameron yang galaknya membuat dirinya ekivalen dengan Hitler si pemimpin Nazi, “Tentunya kita tidak membiarkan pengguna narkoba mengadakan pesta obat, bukan?” dengan tegas film menekankan bahwa menyukai sesama jenis bukan saja sakit yang harus disembuhkan, melainkan juga kriminal yang harus dibasmi. Karakter si Ibu dan antek-antek pusat rehabilitasi yang dijadikan antagonis oleh film ini memang bisa terlihat sebagai satu dimensi, dan jadi masalah buat sebagian penonton yang menginginkan kedalaman yang lebih. Tetapi kita harus ingat mereka adalah bagaimana Cameron memandang mereka. Cameron, si gadis remaja, di satu sisi juga digambarkan tidak terbuka kepada mereka. Dan ini bukan kelemahan naskah, melainkan kekuatan lantaran penulisannya benar-benar menilik dari sudut pandang remaja yang merasa disudutkan. Yang merasa bimbang karena tidak tahu pasti apakah emosi yang ia rasakan akan mendapat dukungan. Melihat interaksi Cameron dengan pembimbingnya, seperti melihat interaksi betulan antara remaja dengan orang dewasa. Remaja akan berahasia, akan mendengarkan apa kata yang lebih tua, dan melawan dalam diam – sebagai remaja kita toh sering merasa orang yang tua dari kita tampak ‘sok tahu’ ketika sedang menasehati. Seolah mereka merasa mereka yang paling benar. Perasaan itu tergambar sempurna lewat naskah dan akting yang luar biasa.

Hal mengerikan yang terjadi kepada Cameron selama dia diasramakan adalah gimana semakin hari, dia yang tadinya merasa enggak bersalah, toh jadi kemakan juga; dia mulai cemas dan mempertanyakan gimana kalo dia memang salah; gimana kalo yang ia rasakan memang perasaan yang salah. Dia mulai takut; karena dorongan seksual bercampur insecure yang lagi dan semakin gede-gedenya, setiap malam Cameron bermimpi ena-ena, dan ini berbahaya karena bagaimana jika desahannya terdengar oleh pengawas yang secara random mengecek kamar. Melihatnya begitu, kita turut merasa was-was. Karena film juga memperlihatkan bahwa pihak rehab juga sebenarnya tidak tahu apa yang mereka lakukan. Yang mereka sebut mengobati hanyalah menyuruh Cameron dan teman-temannya mengisi sendiri ‘gunung es’ yang menjadi sumber masalah penyimpangan orientasi mereka. Dan kita melihat Cameron dan teman-temannya mengisi dengan ngarang. Mereka asal saja menaruh hal-hal seperti sering nonton sepakbola bersama ayah, sering membantu ibu, terlalu suka berolahraga, sebagai akar masalah yang disetujui oleh pihak rehab. Momen saat Cameron menumpahkan emosinya di babak akhir terasa sangat kuat karena begitu menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Bahwa homoseksual tidak bisa disembuhkan dengan paksa. Yang ada hanyalah, remaja itu dipaksa untuk membenci diri mereka sendiri, membenci sedemikian besar, sehingga mereka ingin mengubah siapa dirinya. Dan itu bukanlah cara yang sehat. Memang bukan lobotomi yang dilakukan oleh rehabilitasi God’s Promise, namun practically sama saja dengan mencuci otak. Bukan menyembuhkan yang seharusnya ditanyakan, melainkan bagaimana hidup dengan ‘sehat’

 

Orangtua yang menonton diharapkan menjadi bisa mengerti terhadap apa yang sedang dialami oleh anak remaja yang mengalami masalah (kalo masih mau disebut masalah) seperti Cameron. Seperti keluarga Dursley yang takut Harry Potter mewarisi kemampuan sihir ayah-ibunya; you just can’t beat that shit out of them. Ada proses, ada pendekatan. Salah-salah, orang tersayang kita bisa-bisa berakhir menjadi seperti salah satu teman Cameron di asrama. Salah satu yang menarik dalam cerita memang bagaimana Cameron memperhatikan teman-teman di asrama yang sama-sama dipaksa meyakini mereka terjangkit ‘kebingungan gender’. Agak sedikit disayangkan kita tidak bisa melihat karakter-karakter berwarna itu (ada satu teman Cameron yang keturunan Indian dan dia dikatain punya dua jiwa – cowok dan cewek – bersemayam di dalam tubuhnya) lebih banyak karena film hanya memberi kita informasi sebanyak yang diketahui oleh Cameron. But when it’s sweet, it’s sweet, you know.

adegan favoritku adalah ketika remaja-remaja itu nyanyiin “and I say hey yeah, yeah, yeah, yeah” di dapur

 

 

 

Berada di sisi remaja, namun tampak diniatkan lebih besar teruntuk orangtua. Meskipun tidak memberikan jalan keluar yang benar-benar terang, namun orangtua diharapkan menarik kesimpulan untuk membiarkan para remaja mengekpresikan, mengalami sesuatu, dan merasa bersalah karenanya. Berikan remaja kesempatan untuk belajar, dan mencari ‘kesembuhan’ terbaik untuk diri mereka. Karena dibuat oleh wanita, dan bicara tentang remaja wanita, segala aspek dalam film ini terasa real. Dan tidak sekalipun menghindar darinya. Satu-dimensi pihak antagonis tidak akan mengurangi film terlalu banyak, karena dia tetap bermain dalam sudut pandang protagonisnya. Dan I don’t mind it either, sebelum ini kita dapat Udah Putusin Aja! (2018) yang juga tentang seorang remaja cewek diinstitusikan (ke pesantren), tapi film itu jatohnya konyol karena enggak keep it real dengan tokoh otoriter yang dibuat rada bloon demi komedi dan ‘menghaluskan nada’. Lagipula, institusi bersifat rehab yang ‘kejam’ itu toh masih ada, sama seperti masalah Cameron si remaja 90an yang juga masih relevan, makanya film ini jadi begitu penting.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE MISEDUCATION OF CAMERON POST.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Jika bukan penyakit, apakah menurut kalian homoseksual itu sebuah pilihan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SESAT Review

“You’re not yourself when you’re angry.”

 

 

 

Keluarga Amara pindah ke sebuah desa yang sejauh mata memandang semua penghuninya adalah orang lanjut usia. Kakek-kakek dan nenek-nenek. Nyai-nyai. Mbah-mbah. Jadi ya, film ini bermula dari setting yang sangat menarik. Amara (dalam debut protagonis layar lebar, Laura Theux berhasil menyampaikan emosi yang diembankan kepadanya)  menyaksikan para penduduk desa – termasuk Opanya – pada berperilaku aneh dengan sesajen dan ayam hitam begitu maghrib tiba. Eventually, Amara menemukan sebuah sumur di hutan, persis seperti yang tergambar oleh lukisan yang terpajang di dinding rumahnya. Ada misteri yang menyelimuti desa Beremanyan tersebut. Namun sayangnya, semua elemen unik itu ternyata tak-lebih dari device untuk mengarahkan cerita ke ranah yang lebih familiar.

Amara, dan adiknya; Kasih, dan ibu mereka (yang mana bakal hilarious sekali kalo bernama Cinta) sedang dirundung duka. Papa baru saja meninggal dunia. Kehilangan ini teramat telak terasa buat Amara, karena dia sangat dekat dengan ayahnya. Mereka latihan lari bareng, sharing kebiasaan konyol bersama. Selain di satu waktu tidak dapat menepati janji menjemput lantaran nyawanya keburu dicabut, Papa selalu ada buat Amara. Ketika mengetahui sumur serem di hutan tadi ternyata digunakan penduduk untuk meminta kemakmuran desa, Amara tergoda untuk melakukan ritual pemanggilan – dia ingin minta ayahnya kembali, dia ingin ngobrol satu kali lagi dengan orang yang paling ia sayangi tersebut. Tapi seperti yang sudah kita ketahui, meminta kepada setan itu ‘harga’nya beda dengan minta kepada orangtua. Amara kudu membayar semuanya, dengan darah, dengan lebih banyak kehilangan.

Papa doang yang abis lari mesti mandi, Amara nya enggak

 

Sesat actually menyesatkan karena ceritanya banyak berbelok. Kupikir ceritanya bakal begini, ternyata malah fokus di begitutonenya pun sering bergeser; dari drama, ada arahan ke komedi juga, lantas kita merasakan suasana surealis di shot-shot lukisan, kemudian menyerembet ke body horror, balik lagi ke drama, dan gak taunya berakhir dengan twist. Kadang belokan cerita Sesat dilakukan untuk alasan yang bagus – it’s a good thing film membuat kita merasa sedang melihat sesuatu yang belum pernah ditonton sebelumnya, namun sering juga cerita Sesat berkembang menjadi sesuatu yang bikin mata kita terangkat heran, like, masa iya cuma begitu, they could do better than this. Atau kalo mau gamblang, dengan setting dan backstory yang lebih kompleks, film ini semestinya bisa mencapai lebih dari sekadar menjadi versi yang sedikit lebih baik dari Slender Man (2018).

Amara di film ini juga diperkenalkan sebagai atlet lari, dan tidak seperti protagonis di Slender Man, Amara beneran diperlihatkan ‘jago’ berlari. Dia jogging keliling hutan. Dia menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan lari di lapangan olahraga. Tapi tetep aja sih, kerjaannya berlari itu enggak benar-benar relevan dengan konteks cerita. Tema kedua film inipun mirip; di sini hantunya, alih-alih Slender Man, bernama Beremanyan dan datang karena dipanggil. Entitas serem yang tinggi dan tinggal di hutan ini akan membawa pergi apa-apa yang disayangi oleh si pemanggil. Bahkan penyelesaian kedua film ini basically dari peraturan yang sama. Hanya hasil akhirnya yang berbeda. Untungnya, Sesat fokus kepada satu tokoh, kepada motivasi dan perjalanan karakternya, sembari dengan lumayan seksama mengembangkan tokoh-tokoh pendukungnya. Simmaria Simanjuntak kentara punya mata yang lebih jeli untuk mengangkat nilai-nilai drama ketimbang sense horornya yang terasa seperti masih dalam sebatas melakukan sesuatu yang sudah pernah, dalam rangka memuaskan apa yang popular di pasaran horor. Ada satu adegan jumpscare paling biadab yang pernah aku temui di horor sepanjang tahun ini, aku sudah akan tepuk tangan untuk itu kalo bukan ternyata adegannya cuma adegan mimpi.

Interaksi para tokoh sangat menyenangkan. Film ini mengacknowldge perbedaan Amara dan keluarganya dengan sekitar. Sedikit perbedaan kata yang mereka gunakan ketika ngobrol, kayak ketika Amara dengan Kasih akan terdengar berbeda dengan ketika Amara berbincang dengan teman di sekolah barunya. Percakapan antara para tokoh tedengar meyakinkan, meski tak sempat mengeksplorasi dalam tingkatan Amara seperti fish-out-of-water di desa, meski tokoh-tokoh yang lain itu sebatas device. Tokoh-tokoh lain tak terflesh out dengan sebaik-baiknya, mereka hanya ditaruh di sana saat adegan membutuhkan. Horor dan dialog-dialog film ini kadnag terasa seperti pada film-film 90an, bahasanya, atau juga lonceng – aku suka sekali adegan seram dengan bunyi lonceng sekolah, lonceng beneran loh, di film modern manalagi kita melihat sekolah masih pakai lonceng. Suasana yang tercipta seolah desa tersebut masih stuck di periode lampau, dan ini menambah nuansa mistis dan misteri pada latar belakang yang sayangnya dimentahkan oleh kenyataan bahwa film ini bukan memasang ketakutan dari sana.

Dialognya terdengar menyenangkan, jika tidak terlalu sibuk dengan nyebutin apa sebenarnya tak perlu disebut. Kayak, akan lebih seram kalo kita yang eventually belajar sendiri bahwa ternyata hanya Amara dan Kasih anak muda yang ada di desa mereka. Film malah menyebut ini sedari awal mobil mereka masuk gerbang desa. Dialog yang sering ‘frontal’ begini bikin film jadi seperti ‘Nanya sendiri, Jawab sendiri’. Tapi kemudian, kita akan belajar alasannya kenapa dibuat seperti itu, kita akan ngerti kenapa baru babak satu aja semua misteri yang mestinya akan menarik jika dipelajari pelan-pelan oleh Amara sudah malah dibeberkan gitu aja oleh teman sekolahnya. Atmosfernya hilang, berganti menjadi horor memanggil kembali orang mati dengan teror dan trope yang standar.

Sumur itu tak ubahnya papan jailangkung

 

 

Amara dan Kasih. Ada alasannya kenapa nama tokohnya begitu. Karena Amara yang diliputi kesedihan sebenarnya sudah dikuasai oleh amarah. Dia berang kenapa yang pergi mesti seorang yang ia lihat paling baik dan perhatian kepadanya. Marah menumpulkan kemampuan manusia untuk bersikap rasional. Makanya, Amara meledak ngomong kasar kepada ibunya. Makanya, ia yang makhluk kota, millennial pula, mau percaya dan ngelakuin ritual kuno lengkap dengan mantra-mantra yang terdengar konyol. Horor datang dari Amara melihat apa yang terjadi kepada orang-orang yang ia ‘marahi’ – setan Beremanyan itu actually personifikasi dari hal tersebut. Untuk menyampaikan semua ini, howeverm film sedikit terlalu mendadak. Seharusnya mereka membangun karakter dengan lebih baik lagi, sehingga begitu Amara menyebut hal kasar kita juga dapat merasakan sakit dan penyesalan yang menyusulnya. Supaya berantem dengan ibunya enggak tampak terjadi begitu saja.

Ketika marah, sedapat mungkin jangan adu argument dengan orang lain. Sebab akan berakhir dengan kita meneriakkan hal yang tak kita maksudkan, dan hasilnya sungguh berantakan. Seperti Amara yang marah kepada ibunya. Seperti Kasih yang marah kepada Amara sehingga dia lupa kalo Amara sudah memperlihatkan perhatian kepada dirinya saat gak pede masuk sekolah yang baru. Setan Beremanyan bereaksi tatkala Amara merasakan amarah, dia membunuhi orang-orang, merupakan metafora bahwa saat marah kita kehilangan kendali terhadap diri sendiri – dan yang paling menakutkan, marah dapat menyebabkan kita kehilangan control terhadap apa yang kita percaya.

 

 

 

 

Apa yang ingin diceritakan oleh film ini sebenarnya simpel. Ini adalah soal orang yang begitu ingin dicintai merasa kehilangan saat sumber cintanya itu direnggut. Amara, dan kita semua, musti belajar untuk memberikan cinta terlebih dahulu sebelum menerima balasnya. Jika kita bisa menyintai banyak orang, kita tak akan pernah lagi merasa kehilangan. Sebenarnya bisa dibilang gak jelek-jelek amat sih, film Simmaria selalu punya gaya, aku masih tertarik nunggu karyanya yang berikut. Sayangnya film ini mengambil begitu banyak cabang dalam menceritakan topik utama tersebut. Beberapa elemennya kadang jadi tidak menyampur dengan baik. Sehingga pahamnya kita terhadap cerita lebih oleh long reach yang kita lakukan alih-alih karena aspek-aspek yang saling mendukung. Dialognya mestinya bisa ditulis dengan lebih tight lagi. Revealing atawa twist di akhir; sama sekali enggak perlu, membuat sikap tokoh utama kita jadi gak masuk akal. Buatku, kepentingan sekuen itu hanya untuk ngehighlight nama satu karakter sebagai shout out. Sekiranya untuk memberikan jawaban terhadap kenapa mereka harus pindah ke desa pun, malah tampak seperti feeble attempt film ini ingin menyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka punya semua jawaban.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SESAT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LOVE, SIMON Review

“Everyone can find love.”

 

 

Simon punya rahasia.

Iya, Simon yang hidupnya bahagia itu. Yang punya ayah dan ibu yang suka menggoda, tapi sebagai tanda peduli dan sayang kepadanya. Yang punya adik cewek hobi masak dan seneng menjadikan Simon sebagai kelinci percobaan resep-resep ‘maut’nya. Simon yang kalo di sekolah selalu terlihat barengan empat sohib karibnya ke mana-mana. Makanya, gak ada yang nyangka kalo si Simon menyimpan satu ketakutan besar.

Rahasia besar Simon menyangkut reputasinya sebagai anak remaja. Dia enggak bisa curhat begitu saja karena, bayangkan jika orangtuanya tahu.. wuih, Simon yakin kedua orangtuanya akan oke saja mengetahui rahasia tersebut, mereka tak akan marah. Simon paham kedua orangtuanya berpikiran cukup terbuka sehingga tidak akan menghukumnya. Apalagi adiknya, dan teman-teman, Simon pokoknya tahu deh  mereka semua pasti akan mengerti. Hanya saja Simon takut dia akan diperlakukan berbeda, gimana orang-orang di sekitarnya akan membuatnya merasa seperti Simon yang berbeda. Jadi, ketika dalam dunia maya, Simon menemukan satu orang di sekolahnya yang punya rahasia serupa – yang juga punya ketakutan yang senasib dengannya, Simon segera reach out ke pengirim pesan misterius tersebut. Mereka pun akhirnya saling berkorespondensi dengan menggunakan nama samaran.

enggak ada orang normal yang menggunakan nama aslinya saat chatting random di internet

 

Keakraban dan rasa cinta mekar di antara keduanya, film dengan indah dan hangat menumbuhkan rasa tersebut dari rasa saling peduli, dari gimana Simon dan sahabat ‘pena elektronik’nya saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Koneksi di antara mereka jauh melebihi sekadar koneksi internet, eh salah maksudku koneksi perasaan yang bisa dibuat-buat. Adalah koneksi hati dan jiwa yang berperan di sini. Begitu nyata senyata-nyatanya. Rasa cinta Simon memuncak, dia butuh untuk mengetahui siapa yang selama ini membalas keluh kesah dan mengerti ketakutannya. Salah satu aspek yang membuat film yang diadaptasi dari buku karangan Becky Albertalli menarik adalah karena pada denyut nadinya, film ini membahas tentang hal yang bisa direlasikan oleh banyak orang mengenai pergaulan dan jati diri. Melihat Simon mencoba mencari tahu, menerka-nerka, dan salah – semua usaha subtil Simon itu adalah adegan-adegan yang hebat, memberikan ELEMEN INVESTIGASI yang sama sekali tidak kuharapkan ada pada film ini.

Karena sejujurnya aku tidak tahu apa-apa mengenai cerita film ini. Ada bukunya saja aku baru ngeh setelah lihat internet. Aku nonton karena ada Hannah Baker main di sini. Ketika cerita dibuka dengan Simon menarasikan gimana ada rahasia besar di balik hidup normalnya, instantly I was hooked.  Keren sekali gimana film menuliskan, gimana Simon bragging about dia sama seperti kita, padahal jelas-jelas rumahnya beda, adiknya bukan sebangsa titisan iblis kayak adik-adikku, dan rahasia Simon semakin membuatnya berbeda denganku. Kita adalah orang yang dianggap default oleh Simon. Di sinilah letak kepintaran film. Bukan apa rahasia Simon yang membuat kita merasa dekat dan terhubung dengannya, melainkan fakta bahwa kita semua, pada suatu waktu di hidup kita, menyimpan rahasia yang kita takut orang lain mengetahuinya.

Kalo adikku, makanannya pasti dikasih racun

 

Jika kalian pernah berjuang semasa sekolah, mencoba bilang cinta ke teman yang kalian suka hanya saja kalian tak cukup berani, atau jika kalian mengaku kalian takut keadaannya makin runyam – kalian tidak bisa lagi berteman dengannya, atau jika kalian pernah dirundung di  lingkungan sekolah. Film ini punya hal yang dapat diapresiasi oleh banyak orang, yang membuat film ini menjadi punya nilai appeal yang tinggi selain karena permainan cast yang cakep dan arahan yang oke punya.

 

Sudah bukan rahasia film drama remaja tak ayal berusuan dengan cinta, bahwa romantisme menjadi hal yang begitu penting buat remaja. Love, Simon pun begitu. Akan tetapi, hal menakjubkan yang dilakukannya sebagai film mainstream adalah sama sekali tidak memasukkan trope-trope lumrah, yang menurunkan nilai romansa itu sendiri seperti pada film remaja kebanyakan. Tidak setiap lima menit sekali kita melihat Simon dan teman-temannya mengecek sosial media, komen-komenan facebook, atau facetime, apalagi bertik-tok ria. Tidak ada dialog-dialog gombal yang mengincar penonton untuk berhihihi kayak kuntilanak lagi puber. Film mengambil waktu untuk ngebuild setiap perbincangan. Email-emailan yang dilakukan oleh Simon dengan Blue diberikan bobot dan actually berpengaruh terhadap stake yakni putusnya hubungan pertemanan. Percakapan para remaja benar-benar menunjukkan betapa mereka adalah makhluk sensitif haus perhatian, namun juga penuh ironi dan pancingan. “Aku adalah orang yang ditakdirkan untuk terlalu peduli kepada seseorang hingga perasaan tersebut membunuhku,” begitu kata salah satunya. Tidak semua adegan film ini dibentuk menjadi adegan gede yang dramatis yang membuat penonton menghela napas. Malahan, cerita terbendung sedemikian rupa sehingga kita baru akan  benar-benar bernapas di momen terakhir.

Salah satu rahasia yang menyebabkan film ini asik dan menantang untuk ditonton adalah betapa lucunya, karakter, dialog, dan situasi, yang dihadirkan. Namun kita tetap merasakan perasaan dan emosi yang kuat. Nick Robinson sepertinya baru saja menyuguhkan permainan peran terbaik sepanjang karirnya. Menyedihkannya begitu nyata dan meyakinkan, namun tidak kelewatan sehingga terasa over-the-top. Simon tidak meminta kita berbelas kasih kepadanya, ia tidak mengancam kita untuk bersimpati kepadanya. Film tidak pernah meminta kita menonton perjuangan Simon, dia terpaksa harus membohongi teman-temannya hanya karena dia takut untuk melakukan hal yang benar, dia bahkan tidak benar-benar tahu mana hal yang benar, supaya kita bisa kasihan kepadanya. Film hanya meminta kita untuk merasa dekat. Tidak ada satupun elemen dan aspek yang terasa dipaksakan. Bukan Simon seorang, setiap karakter punya sesuatu di dalam diri mereka yang bisa kita pahami, dan pada akhirnya akan membuat kita mengapresiasi tindakan dan pilihan yang mereka ambil. Atau yang terpaksa mereka ambil.

Well, kecuali ada dua tokoh yang tidak bisa kita apresiasi. Karena film hanya selenting saja membahas mereka berdua. Mereka berfungsi sebagai semacam antagonis, tukang bully yang suka gangguin anak-anak yang berbeda dari yang lain. Mereka melakukan hal-hal awful kepada Simon dan anak lain. Dan film hanya membahas segitu. Ada adegan mereka didisiplinkan oleh kepala sekolah gaul, dan semuanya menjadi baik-baik saja. I just think, porsi tokoh ini seharusnya mendapat lebih banyak perhatian. Sebab di dunia nyata – dan segala hal lain film ini terasa begitu otentik – masalah seperti ini bukan tidak mungkin dapat menyebabkan trauma yang mendalam kepada ‘Simon-Simon’ di luar sana. Mereka adalag bagian dari masalah, salah satu yang menyebabkan Simon overthinking keputusan untuk membuka rahasianya, dan untuk menyelesaikannya dengan semudah itu tampak seperti menyepelekan bahaya yang sebenarnya.

Tidak peduli siapa, cinta selalu ada untuk kita. Jika kita mau mencari. Jika kita mau membuka diri. Mungkin memang sulit, tapi kita akan selalu menemukan segalanya menjadi lebih mudah jika kita membuka diri, membiarkan orang untuk memahami kita, dan pada gilirannya kita akan memahami mereka juga.

 

 

 

 

 

Pssst, aku pikir aku tidak perlu beberin apa tepatnya rahasia Simon di sini kepada yang belum nonton filmnya. Yang harus diketahui, film ini patut disanjung karena hal terpenting pada film dalam situasi sosial dan budaya sekarang ialah seberapa banyak orang-orang merasa terwakili olehnya. Film ini, dalam kapasitasnya, menambah banyak jumlah tersebut. Ia menjadi suri teladan bagi penonton yang benar-benar seperti Simon, maupun sebagian yang lebih besar lagi yang pernah mengalami perjuangan serupa. Penuh pesona, gebrakannya sebagai film mainstream yang berani untuk come out benar luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LOVE, SIMON.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LADY BIRD Review

Familiarity is the root of the closest friendships, as well as the intensest hatreds

 

 

Dikasih nama sama orangtua, ngikut aje. Giliran ke Tuhan, sok-sok gak percaye. Hueeee. Begitu kira-kira cibiran Christine kalo dia jadi orang betawi. Tapi Christine McPherson ini anak Sacramento, dia juga adalah anak yang menentang orangtua, terutama ibunya. Jadi dia melakukan ‘perlawanan’. Dia harus keterima kuliah di luar kota sehingga begitu lulus dari SMA Katoliknya, dia bisa sesegera mungkin meninggalkan kampung halaman yang udah bikin dia gerah secara batin. Dia ingin jauh dari orangtua. Dia ingin mandiri. Dia ingin jadi bagian dari tempat yang berbudaya. Dan sebagaimana yang selalu cewek berambut merah ini ingatkan kepada kerabat, sahabat, dan semua orang yang berada di dekatnya, panggil dia dengan nama Lady Bird. “Itu namaku!”

Jika diibaratkan, memang film ini adalah salah satu dari banyak telur-telur di dalam keranjang yang bertuliskan “Perjalanan remaja mencari atensi dan jati diri”. Namun ketika menetas, Lady Bird bukan saja burung yang punya warna paling unik, dia juga lebih besar dan berkicau paling vokal di antara yang lain. Ini bukan sekedar tentang seorang remaja cewek yang ‘berkelana’ di hari-hari akhir sekolahnya, dia dapat pacar, dia akhirnya fit in dengan teman-teman yang lebih populer, dan eventually dia ‘terbang’ mengalami banyak hal hebat yang belum pernah ia tahu. Sebagai cerita coming-of-age, Lady Bird tentunya juga menempuh poin-poin tersebut. Dia sempat deket dengan beberapa cowok, namun fokus cerita bukanlah soal pacaran.

Lady Bird adalah kisah ‘romansa’ antara ibu dengan anak perempuannya. Dan ini juga berbeda dari kebanyakan. Mereka enggak terjebak roadtrip bareng. Ini bukan soal mereka jarang ketemu, ataupun soal kegagalan berkomunikasi seperti Susah Sinyal (2017). Lady Bird pastinya enggak diam-diam menjadikan ibunya sebagai suri tauladan, sebab mereka berdua begitu berbeda dengan dahsyatnya. Anak dan ibu ini benar-benar bertolak belakang, bayangkan dua sisi mata uang, mereka saling pasif agresif. Keunikan film ini datang dari bagaimana Lady Bird membuat hidup ibunya susah dan begitu juga sebaliknya. Di adegan pembuka, Lady Bird meloncat turun dari mobil yang sedang berjalan gitu aja (!), di tengah-tengah adu mulut dengan ibu. Kita tahu seberapa besar mereka love each other sesungguhnya, namun mereka mengekspresikannya dengan cara yang berbeda. Film ini sangat menyenangkan untuk ditonton, aku ngakak ketika adegan Lady Bird nyobain baju di kamar pas, dan dia minta pendapat ke sang ibu – she needs her opinions so much – tapi Ibunya dengan sengaja berikan saran dengan menyindir-nyindir. Dan ujung-ujungnya mereka berantem lagi. Kejadian-kejadian semacam itu juga benar-benar berdering kenyataan buatku, karena aku punya adek cewek yang kerjaannya berantem melulu sama Mama, persis seperti tokoh film ini.

“I miss you but I hate you, Mo-theeeer~”

 

Cerita ini pastilah juga sangat personal buat pembuatnya. Aktris yang kini duduk di kursi sutradara, Greta Gerwig, mati-matian berusaha membuat setiap adegan film ini well-realized. Lady Bird yang adalah debutnya terbang solo sebagai sutradara bisa jadi adalah kisah hidup diri Gerwig sendiri, karena kita bisa merasakan betapa passionate film ini digarap. Tidak ada poin lemah di jajaran penampil. Semua pemain tampil enggak dibuat-buat. Gerwig menghormati setiap tokoh sampai ke karakter yang paling minor sekalipun. Saoirse Ronan luar biasa manusiawi di film ini. Lady Bird tak pelak adalah penampilan terbaiknya, emosi-emosi yang dia sampaikan terasa kayak beneran. Langkah, keputusan, bahkan bohong-bohong pencitraan yang dia lakukan tampak natural dan kita paham alasan di baliknya. Arahan film ini sukses berat menyeimbangkan antara momen-momen canggung dengan momen-momen yang serius. Ada banyak adegan yang bikin kita nyengir menonton si Lady Bird, tapi bukan karena kita merasa dia sangat pretentious, melainkan karena kita sedikit banyaknya ikut berefleksi pernah mengalami hal serupa.

Yang bikin penasaran adalah dialog-dialognya. Percakapan mereka enggak kayak pake naskah, seperti dimprovisasi gitu aja. Menyimak para tokoh berbincang, beradu argument, melihat mereka berinteraksi, membuat kita pengen ikutan nimbrung. Aku ingin berteman dengan mereka, aku totally ter-invest sama apa yang terjadi, aku benar-benar dibuat peduli. Kita akan lupa kalo yang kita saksikan selama 93 menit ini adalah sebuah film. Dan inilah satu-satunya kekurangan film ini; kurang panjang. Kita pengen melihat apa yang selanjutnya terjadi pada mereka semua. Rasanya sedikit sedih ketika film berakhir, seperti berpisah dengan orang yang sudah deket. Begitulah bukti betapa menakjubkannya Gerwig menyetir narasi, cara berceritanya benar-benar membawa kita hanyut.

Meskipun kedengarannya aneh, banyak dari kita yang merasakan kebencian terhadap orang yang kita sayangi. Semakin sayang, tuh orang justru semakin nyebelin.  Kadang secara tanpa sadar, kita melakukan itu demi mencari perhatian. Cinta dan benci actually bukanlah hal yang berlawanan, makanya kita sering mendengar ungkapan “benci lama-lama jadi cinta” ataupun “jangan terlalu cinta, nanti malah jadi benci”. Kedua hal tersebut adalah perwujudan berbeda dari perasaan yang sama. Actually adalah affection yang sama yang kita rasakan ketika kita ingin berteman dengan seseorang – kita bohong dengan harapan mereka lebih menyukai kita. Hidup memang canggung dan ‘lucu’ seperti itu.

Lady Bird paling malu kalo ketahuan sama teman-teman sekolah dia bukan anak gedongan

 

 

Hal yang menarik dari cara bercerita film ini adalah konstruksi per adegan yang dilakukan oleh Gerwig. Dalam penulisan screenplay toh tidak ada peraturan baku mengenai keharusan memulai adegan. Namun memang kebanyakan lebih suka membuat adegan yang runut, seperti tokoh masuk ruangan, mulai ngobrol dengan tokoh lain, percakapan mereka memanas, dan ditutup dengan punchline ataupun momen dramatis – kebanyakan adegan dibangun dengan permulaan, untuk kemudian terus menuntun penonton ke poin penting yang ingin disampaikan. Kadang kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk mikirin memulai adegan dari mana, you know, supaya penonton tertarik dan penasaran. Film Lady Bird enggak pusing-pusing mikirin permulaan adegan-adegannya. Gerwig membuat sebagian besar adegan film ini tidak punya permulaan. Kita dilempar begitu saja ke tengah percakapan para tokoh. Sering kita masuk ke satu adegan dan tokoh-tokohnya sedang melakukan atau berbicara seru tentang sesuatu. Menyerahkan kepada kita sepennuhnya untuk melakukan observasi, dan dengan melakukannya bukan saja kita jadi mengerti, tapi kita juga merasa ter-include ke dalam setiap adegan. Inilah salah satu yang menyebabkan kenapa Lady Bird terasa begitu nyata.

Semua klise genre berhasil dihindari oleh Lady Bird. Sekolah Katolik tempat tokoh utama kita menimba ilmu tidak pernah ditonjolkan sebagai tempat yang mengekang. Sekolah dan segala peraturannya bukanlah sangkar bagi film ini. Melainkan hanyalah sebuah fase, sebuah urusan yang harus diselesaikan. Tentu saja ada banyak rintangan yang menghalangi tokoh kita untuk berkembang menjadi pribadi yang ia inginkan, tetapi film tidak menyorot sekolah ini dalam cahaya yang negatif. Film tidak menyuruh kita menjauhi sekolah agama. Film hanya menunjukkan momen-momen yang kita hadapi kalo kita berada dalam situasi Lady Bird.

Kita mungkin tidak pernah mengecat rambut menjadi pink ketika remaja, namun apa yang dialami Lady Bird bukan tidak mungkin pernah kita semua alami. Kita mengantagoniskan orang-orang, pihak-pihak, karena kita sendiri belum yakin siapa dan mau jadi apa kita. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra, kita mencegah orang-orang untuk melihat siapa sebenarnya diri kita, seperti apa keluarga kita, sampai-sampai kita sendiri tidak lagi bisa benar-benar melihat yang sebenarnya.

 

 

 

 

Film menggambarkan semua yang mungkin kita alami saat beranjak dewasa dengan so refreshingly real. Dan bukan hanya yang senang-senang saja yang diperlihatkan. Perjalanan beranjak dewasa tak pernah mudah. Arahan Gerwig yang raw banget – para aktor bermain dengan sangat genuine – membuat film terasa sangat personal, sehingga membuat kita-kita yang mungkin pernah meninggalkan sarang, menjadi teringat dan ingin kembali ke tempat kita memulai langkah.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for LADY BIRD.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SURAT CINTA UNTUK STARLA THE MOVIE Review

“The best relationships are the ones that you didn’t expect to be in.”

 

 

Saat ini malam hari, suasana sepi sekali. Kamu sendirian di dalam kafe, hanya ditemani oleh aroma khas campuran susu dan kopi panas di dalam cangkir yang putih mengkilat. “Tuk. Tuk. Tuk.” Sayup-sayup kamu mendengar suara aneh dari luar toko. Ketukan pelan itu terus terdengar, temponya teratur. Cepat dan mantap. Berdentum masuk ke telinga, seolah-olah suara itu berasal dari dalam kepalamu. Bunyi apa itu? Pikiran buruk mulai menghantui pikiranmu. Suara setankah. Atau lebih buruk lagi, itu suara maling?! Apa yang kamu lakukan berikutnya tergantung kepribadianmu.

Kalo kamu waras, maka kamu akan ngunci pintu, berdiam di dalam toko, dan menghubungi polisi.

Kalo kamu penakut, maka kamu akan pulang ke rumah, tak lupa mengunci pintu.

Kalo kamu kebanyakan nonton film horor, maka kamu akan langsung tunggang langgang pulang begitu ketukan ketiga terdengar.

Tapi kalo kamu berani, seperti Starla, kamu akan ngambil tongkat baseball, keluar dari toko demi mencari dan menggebuk sumber suara misterius yang bisa berasal dari apa saja tersebut.

 

Begitulah Hema dan Starla pertama kali bertemu. Dua remaja ini almost instantly saling jatuh cinta. Hema membuat perbandingan mereka seperti bulan dan bintang. Perumpaman itu gak malu-malu diakui oleh film, nama Hema Chandra literally berarti bulan emas dan nama Starla bukan berarti dia penggemar kopi sehingga namanya diplesetin dari Starbucks. Starla adalah star, bintang, yang ditemukan oleh Hema. Bintang yang membuatnya bersinar, kata Hema di atas helipad. Doo, romantis banget si Hema bikin mata penonton cewek berbinar-binar pengen semua.

Naturally, kita akan melihat bintang jika hidung kita dihantam oleh tongkat baseball

 

Bagi penggemar yang udah ngikutin Hema dan Starla dari saat mereka masih di youtube series, pastilah film ini adalah sebuah lanjutan kisah yang menghapus rasa penasaran. Film ini menceritakan kelanjutan dari cinta yang tumbuh dalam semalam itu. Konflik apa yang menanti mereka. Pertanyaan terbesar pada film ini adalah apakah yang Hema dan Starla rasakan itu benar-benar rasa cinta. Aku gak ngiikutin seriesnya, satu-satunya pengetahuanku tentang materi ini adalah bahwa Surat Cinta untuk Starla berasal dari sebuah lagu. Dan ketika aku menonton film ini, buatku justru membuat film punya daya tarik sendiri.

Kita akan dilempar begitu saja ke tengah-tengah romansa mereka. Kita yang awam, akan bertanya siapa sih mereka, kenapa pacarannya sweet banget. Mereka kerap menyebut ‘enam jam malam itu’, dan ini membuat kita penasaran apa yang terjadi kepada mereka dalam kurun waktu itu. Film untungnya enggak repot-repot menceritakan dengan flashback, kita actually belajar tentang hubungan mereka secara perlahan melalui dialog-dialog. Melalui interaksi para karakter. Kita bahkan enggak tahu siapa mereka, kenapa Hema bawa-bawa mesin tik. Kita menonton Hema dan Starla ‘berparade’ keliling kota, mengunjungi tempat-tempat hip di Jakarta dan Bandung, dan layer-layer serta backstory tersebut terkuak dari sana.

Biasanya, hal yang udah kita rencanakan bakal berbuah pahit, rencana tersebut batal. Justru hal-hal yang dilakukan dengan mendadak lah yang jatohnya lebih berkesan. Mungkinkah hal tersebut berlaku juga dalam urusan cinta? Pengalaman setahun pacaran (yang dijodohkan) Starla enggak ada apa-apanya dengan apa yang ia rasakan bersama Hema hanya dalam enam jam. Cinta bisa datang sama mendadaknya dengan saat dia terputus. Masalahnya adalah dapatkah hati kita mengenali ketika ia datang. Mana yang bulan, mana yang bintang.

 

Jefri Nichol dan Caitlin Halderman are great together. Mereka punya chemistry yang click! Mereka juga mampu memainkan rentang emosi yang jauh. Helmanya si Jefri bisa berubah dari cowok yang terlihat berandal menjadi cowok yang marah pengen tahu siapa dirinya dengan mulus dalam sekejap mata. Memainkan tokoh yang manja, yang menggembungkan pipinya kalo lagi jealous, hingga nangis penuh emosi, Caitlin mampu menampilkannya tanpa terasa dilebay-lebaykan. Langkah bagus dari film ini dengan membuat kedua tokoh enggak satu dimensi, aku suka ketika Hema dengan filosofi moral antara penggambar mural dengan pembuang sampah sembarangan ngejugde gitu aja mengatai Starla adalah anak yang suka masuk mall. Apa yang salah dengan anak mall? Kita bisa tumbuh peduli, kita menginginkan kedua remaja ini berakhir sebagai pasangan, sebab mereka tampak so cute bersama. Namun sesungguhnya alasan tersebut belumlah cukup untuk membuat sebuah film yang menarik.

Film ini bereksperimen dengan strukturnya. Alih-alih tiga babak penceritaan yang biasa, film tampak berjalan tanpa arah, maksudku separuh pertama film mereka hanya pacaran. Basically adalah set up yang panjang sebelum dramatisasi pecah di bagian akhirnya. Dan hal ini bisa sangat mengganggu. Kita enggak tahu motivasi mereka. Perihal pembuatan mural-mural, tidak ada misi yang integralkan dengan perjalanan karakter. Mereka melakukannya karena suka. ‘Daging’ film ini ada di pertengahan akhir cerita, yang sebenarnya bisa saja seluruh struktur cerita film ini dirombak ulang sehingga inti cerita tersebut lebih ditonjolkan, yang tentu saja membuat film menjadi lebih menarik dan terarah.

ngegambar orang sebagai permintaan maaf, pffft good luck with that

 

Selain pemberani, Starla juga seorang tukang tidur yang amat sangat pulas. Beneran, ini adalah trait tokoh Starla. Dia bisa tertidur di kursi pengemudi di tengah jalan dan terbangun besok pagi saat mobilnya diderek. Dia pulas sehabis jalan-jalan, dan gak bisa dibangunkan oleh Hema, sehingga Hema yang tak tahu alamatnya terpaksa membawa Starla menginap di rumah. Begitulah film menggarap poin-poin cerita. Mereka menaruh perhatian dan minat lebih untuk membuat narasi yang over-the-top. Jambret bisa datang tiba-tiba hanya karena mereka butuh Hema untuk tampil heroik. Yang mana menurutku cukup lucu lantaran ketika momen emosional yang alami datang, film malah menurunkan intensitasnya – membuatnya jadi bagian dari komedi, membuatnya tampak justru sebagai adegan yang menyenangkan. Aku bicara soal adegan ketika lagi bikin mural, Hema dan Starla dikejar polisi. Eventually mereka terpisah, dan Starla tertangkap, jadi Hema ikut menyerahkan diri – dia berlari ke depan moncong mobil polisi. That whole sequence, seharusnya menghasilkan emosi yang kuat, memancarkan intensitas yang genuine. Tapi film malah menegasi efeknya dengan menampilkan latar musik pop yang asyik, untuk kemudian diikuti oleh adegan interogasi yang kocak.

Konsekuensi real life dari aksi mereka selalu dikecilkan. Polisi dalam film ini  adalah badut. Mereka lambat, gampang ditipu – kepala polisi percaya aja kalo yang berbuat vandalism selama ini adalah kembaran Hema. Rintangan asli dari hubungan mereka datang dari saingan cinta. Ngeliat cowok jalan sama cewek lain adalah alasan yang tepat untuk meninggalkan mobil di tengah jalan dan membuat pengguna jalan lain marah-marah. Sebenarnya aku heran kenapa film ini menonjolkan sisi komedi di sepuluh menit awal. Ada adegan kejar-kejaran yang sangat komikal yang bahkan berlebihan untuk sebuah komedi romantis.

Film ini benar-benar membuatku terkejut ketika ada penampakan juara Gadis Sampul 2016 yang jadi cameo (Carmela, good for youuu), eh salah, maksudku, film ini took me by surprise ketika cerita berubah menjadi konflik keluarga yang unnecessarily ribet di bagian akhir. Yang dicari Hema bisa jadi bukan cinta, melainkan ibunya. Starla juga jadi tampak selfish banget. Sepuluh menit pertama yang kocak mendadak jadi beralasan karena memang film ini agak mengesampingkan logika dan memang tersusun atas dasar mengada-ada. Ada twist yang semak oleh kebetulan. Aku duduk di sebelah kelompok abg yang bersorak “umur kita pas!” ketika tulisan ‘untuk 13 tahun ke atas’ nongol di awal film. Di tengah-tengah film, aku mendengar sebelahku bercanda ke teman-temannya, dia ngarang ending cerita. Teman-temannya sontak ngakak karena teori anak tersebut memang konyol, aku sampai ikutan ngikik malah. Dan guess what, tebakan anak tersebut tepat seratus persen. Cerita bergulir sesuai dengan apa yang ia guyonkan. Jadi kalian bisa bayangkan sendiri gimana begonya kalo poin cerita kalian bisa ditebak dari separo jalan film oleh abg yang lagi bercanda sama temen-temennya.

 

 

Dimainkan dengan kompeten, ini adalah cerita cinta yang penuh pesona buat kawula muda. Kita bisa melihat bahwa ini berangkat dari materi yang menarik. Tapi kenyataannya, masih banyak yang perlu dirombak – ditata ulang dari struktur penceritaan. It was a mess, dramatisasi semakin menjadi-jadi as the film goes on. Tone ceritanya juga persis kayak anak remaja, labil. Dan twistnya enggak sungguh-sungguh diperlukan. Mengada-ada. Sesungguhnya ada cara lain untuk membungkus cerita, untuk menguji hubungan kedua anak muda ini dengan lebih menarik dan logis. Film ini kayak menuliskan surat kepada remaja yang berpesan bahwa dalam cinta, kalian seperti bulan dan bintang di langit; semua di bawah kalian tak jadi soal.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for SURAT CINTA UNTUK STARLA THE MOVIE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

SURAT CINTA UNTUK STARLA: Jawaban Surat Cinta itu Datang Juga – [Movie Preview]

CFD (Car Free Day) di jalan Ir. H Juanda, Dago, Bandung kedatangan tiga makhluk kece.

Tengoklah kocaknya Romeo yang sibuk nyari makanan. Sementara tak jauh, ada Bimo yang cool banget diam-diam mengatur strategi dari balik kacamata hitamnya yang berbingkai bulat. Strategi apa? Enggak tahu juga, Bimo kelewat misterius, sih. Dan tak ketinggalan, Starla, yang dengan riang pecicilan ke sana ke mari.

Tunggu. Bimo? Starla?? Kok namanya familiar???

Yea, Minggu pagi 10 Desember itu para pengunjung Car Free Day di Dago dikunjungi oleh beberapa pemain film Surat Cinta untuk Starla. Ada Ricky Cuaca, Kevin Royano, dan Caitlin Halderman.

On Sunday, we wear black

 

Panggung mereka yang terparkir di pelataran depan Blossom Family Outlet pun dalam sekejap dipadati fans. Yang lagi olahraga naik sepeda, langsung spontan mengerem, cekiiittt – untung gak nabrak tiang. Yang lagi gerak jalan, lehernya pada muter ngelirik. Badan mereka maju berjalan, namun lehernya tetap di tempat. Hehehe enggak ding, emangnya film horor. Yang lagi ngumpul bareng teman-teman satu geng, serentak mencabut hape dari kantong dan mengarahkannya ke panggung, pada gak jadi selfie.

Maklum, kehadiran film Surat Cinta untuk Starla memang sudah ditunggu-tunggu oleh para fans. Adalah video lirik dari Virgoun (bukan nama zodiak loh ya) yang begitu fenomenal yang bertanggungjawab atas semua kehebohan ini. Lagu single itu sudah ditonton lebih dari 160 juta kali. Maka dibuatlah mini serinya yang bahkan lebih pecah lagi. Tujuh chapter webseri Surat Cinta untuk Starla semakin membuat penonton dan para fans haus. Mereka ingin melihat lebih. Mereka pengen kenal lebih dekat sama Hema dan Starla. Mereka, para fans itu, pantas untuk dapat kejelasan soal hubungan dan nasib kedua tokoh utama tersebut.

 

meski sempat kecewa Jefri Nichol berhalangan hadir, antusiasme penggemar enggak berkurang sedikitpun

 

“Film ini akan menjawab rasa penasaran penonton yang telah menyaksikan web serinya” jelas Ricky Cuaca yang biasa dipanggil Ricu. Ya, film Surat Cinta untuk Starla adalah surat jawaban yang dibuat sebagai balasan dari surat-surat cinta dari para fans. Ricu, Kevin, dan Caitlin lanjut menerangkan bahwa film ini adalah adaptasi yang not really an adaptation, lebih tepatnya adalah adaptasi lanjutan karena akan ada banyak penambahan dan beberapa perubahan.

Inti ceritanya sih sama. Tentang Hema, seorang cowok ‘pecinta alam’. Namun alih-alih manjat-manjat gunung, Hema menunjukkan obsesi kecintaannya pada alam dengan membuat surat cinta. Surat bukan sembarang surat, dengan mesin ketik yang ia bawa kemana-mana, Hema membuat desain untuk cetakan mural sebagai perwujudan surat cintanya kepada semesta. Kehadiran Starla suatu ketika di hidupnya, membuat Hema kepikiran sesuatu hal yang bahkan lebih indah daripada surat-suratnya yang biasa. Dan drama cinta remaja ini bukan hadir tanpa twist, perubahan sikap Starla yang begitu mendadak bakal menjadi konflik utama yang tak pelak bikin penasaran.

seni corat coret dinding akan berperan besar dalam cerita film ini

 

Penambahan yang dilakukan oleh sutradara Rudy Aryanto dan penulis skenario Tisa TS tentu saja bukan tanpa alasan. Para penggemar pun tidak perlu khawatir film ini akan jadi berbeda dengan apa yang membuat mereka jatuh cinta in the first place. Justru hal itulah  yang menjadi kelebihan film. Ricu yang udah tiga kali ikut main di film keluaran Screenplay Films melanjutkan, “Menampilkan sesuatu yang baru, tapi pada hal yang sudah terkenal. Jelas ini memberi kemudahan untuk memulai promosi.”

Lain lagi dengan Caitlin yang menganggap ini sebagai tantangan. Meneruskan kembali perannya di web seri, aktris yang selayang mirip Ariana Grande ini mengatakan film adalah jawabannya soal bagaimana memenuhi ekspektasi dari penggemar serial Youtube Surat Cinta untuk Starla, “Jangan sampai kualitas cerita versi film malah menurun dari versi mini seri.” Karakter Starla yang ia perankan memang mendapat sedikit perubahan dari versi web seri. Starla di film ini dibuat jadi lebih manja, sekaligus juga lebih setrong dan dewasa. Perihal mengenai apakah film ini juga bisa dinikmati oleh penonton yang sama sekali belum pernah mendengar lagu ataupun belum pernah menonton web serinya, Caitlin memberikan jawaban dengan senyum paling menenangkan yang bisa ia layangkan “Di film akan ada beberapa adegan flashback, jadi semua akan bisa tetap mengerti jalan ceritanya.”

Dan mengenai Bimo sebagai salah seorang peran baru yang belum benar-benar dieksplorasi di web seri, Kevin Royano dengan semangat menjelaskan, “Saya suka nonton miniserinya. Makanya saya senang ketika ditawari ikut main. Sosok Bimo yang saya perankan ini akan menjadi orang di balik konflik Starla dan Hema.” Kevin membuka kacamata gayanya, untuk kemudian melanjutkan, “Film ini, ceritanya lebih dalam dengan twist yang banyak”. Wuih jadi semakin penasaran!!

 

Kita sudah begitu sering mendapat drama remaja dengan karakter yang begitu-begitu saja. Surat Cinta untuk Starla menawarkan banyak pada lead characters yang diberikan sesuatu yang unik untuk dilakukan. Ditambah dengan potensi twist ditambah wahana baper, kita punya cukup alasan untuk menunggu film kolaborasi Screenplay Films dan Legacy Pictures ini sampai di bioskop seluruh Indonesia tanggal 28 Desember 2017. Sebentar lagi kok hehehe

 

ketiga pemain keasyikan diminta My Dirt Sheet ngebayangin apa yang karakter mereka lakukan kalo lagi jalan-jalan di car free day

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

SPIDERMAN: HOMECOMING Review

“You don’t get what you deserve, you get what you earn.”

 

 

Gimana kalo Spiderman kudu ngejar penjahat ke daerah perumahan yang enggak ada gedung-gedung bertingkat? Gimana jika Spiderman terpaksa harus ngelayap melintasi tanah lapang? Di mana dia bisa nyantolin jaringnya untuk berayun, coba? Masa iya dia mesti lari – enggak keren amat. Dan kalo sudah berayun, gimana kalo tiba-tiba jaringnya putus? Pertanyaan-pertanyaan konyol tersebut benar-benar dialamatkan oleh reboot Spiderman terbaru atas nama Marvel Cinematic Universe ini. Mempersembahkan kepada kita perspektif yang sama sekali segar dari sang superhero laba-laba. Gimana ‘pabila Peter Parker yang masih sangat belia harus memilih antara nyelidikin transaksi senjata alien atau datang ke pesta demi pamer buat cewek yang ia taksir?

Arahan dari Jon Watts mengayunkan cerita keluar dari fokus penceritaan yang sudah-sudah. Sukur Alhamdulillah film ini paham mengenai karakter-karakter yang ia adaptasi. Sekaligus juga mengerti bahwa dirinya harus menjelma menjadi sesuatu yang berbeda. Bukan sekedar rehash dari apa yang sudah kita lihat sebelumnya. Ini adalah film Spiderman keenam sejak 2002, dan Homecoming ini adalah FILM SPIDERMAN TERBAIK YANG KITA LIHAT SETELAH TIGA-BELAS TAHUN, semenjak Spiderman 1 dan 2 garapan Sam Raimi. Kita toh tidak perlu lagi melihat versi lain dari cerita origin yang membahas gimana Peter Parker digigit oleh laba-laba radioaktif, ataupun soal Peter Parker yang dealt with kematian Paman Ben. Film kali ini adalah tentang cerita gimana Peter Parker menjalani hidup sebagai manusia laba-laba; Kita akan diperkenalkan kepada Peter Parker yang masih SMA, dia anak sekolahan biasa – lengkap dengan permasalahan abege. Dia harus ke sekolah tepat waktu, dia harus mikirin cewek mana yang diajak ke pesta dansa homecoming di sekolah, dia ikut lomba sekolah sembari bolak-balik mengamankan lingkungan. Singkat kata, film ini adalah tentang Peter Parker belajar menjadi pahlawan yang bertanggung jawab, dia bertumbuh dari Spiderboy menjadi Spiderman.

sepertinya karena belum akil baligh, makanya spider sense Peter belum tumbuh

 

Meskipun kebanyakan orang (terutama orang yang berambut merah dan bernama Ron Weasley) sangat takut sama laba-laba, tetapi dari sekian banyak pahlawan super di komik, Spiderman adalah tokoh yang paling gampang untuk direlasikan oleh para pembaca (dan tentu saja, penonton). Publik relates to Spiderman so much karena Spiderman adalah karakter yang sangat dekat. Dia bukan orang kaya, dia bukan makhluk asing. Dia seperti kita-kita, Peter Parker punya masalah yang sama dengan kita. Bedanya, dia juga adalah superhero; sesuatu yang kita semua impi-impikan sejak kecil.

 

 

Jika topeng superheronya kita buka, maka di lapisan terdasar kita akan melihat bahwa ini adalah cerita tentang KEHIDUPAN ANAK REMAJA. It’s very clear while watching it bahwa film ini mengambil inspirasi dari film-film anak SMA. Literally ada adegan ketika Spiderman berlari melintasi pekarangan rumah yang dikontraskan dengan klip film remaja klasik Ferris Bueller’s Day Off (1986) yang terlihat di televisi rumah temen Peter. Sebagian besar waktu kita akan ngikutin Peter dealing dengan masalah anak sekolah. Keren melihat Spiderman beraksi, does whatever a spider can, dan sesungguhnya adalah experience yang sama-sama menyenangkan untuk melihat tokoh ini dalam cahaya yang lebih grounded. Dalam, katakanlah, pergerakan yang lebih lambat. Ada banyak downtime dalam narasi, di mana alih-alih aksi pahlawan berkostum, kita melihat Peter berinteraksi sebagai anak normal. Dia naksir cewek, dia yang nerd dibully oleh teman sekelas, people don’t like him. Bahkan ia diacuhkan oleh mentornya sendiri. Spidey pengen dilibatkan; bayangkan punya jiwa muda on top of punya kekuatan dan gaul dengan Ironman, namun gak bisa bilang ke siapa-siapa. Itulah yang dirasakan oleh Peter. Dan film ini berani untuk mengambil banyak waktu untuk mengeksplorasi supaya kita bisa menumbuhkan apresiasi terhadap tokoh ini. Momen-momen Peter sebagai anak biasa inilah yang merupakan elemen penting, elemen yang menyeimbangkan tokohnya seperti pada komik.

Namun, memang aku bisa melihat anak-anak kecil akan cukup bosan menonton ini. Aku nonton ini bareng adekku yang baru 8 tahun, dan dia fokus ke layar hanya pada saat Spidey beraksi. Bisa dimaklumi karena anak kecil ingin liat Spiderman menjadi Spiderman. Penonton dewasa tentunya akan bisa mengapresiasi perjalanan karakter Peter Parker yang ditulis dengan mendalam. Sejatinya, penggemar komiknyalah yang akan sangat terpuaskan sebab kita akan melihat our friendly neighborhood Spiderman diportray sesuai dengan yang di komik, persis seperti kita mau. But also, ada beberapa perubahan yang dibuat kepada beberapa karakter penting, yang mana berpotensi untuk bikin fans garis keras yang hanya mau segalanya sempurna ngamuk-ngamuk ngomel di kolom komen internet. While adalah angin segar melihat Bibi May versi yang lebih muda, aku bisa mengerti kenapa ada yang protes soal tokoh The Shocker dan The Tinkerer yang dijadikan lebih sebagai sidekick penjahat utama. Aku gak mau spoiler, tapi menurutku tokoh MJ di sini adalah cewek yang keren, walaupun film ini mengangkat sisi awkward antara Peter dan MJ dari angle yang berbeda.

Kalo ada yang benar-benar jadi keren, maka itu adalah The Vulture. Marvel Cinematic Universe selalu kepayahan dalam menghadirkan tokoh penjahat yang meyakinkan, dan akhirnya dahaga kita terhadap villain yang bisa kita peduliin terpuaskan sudah. Michael Keaton did a really great job menghidupkan tokoh ini, mungkin karena dia udah terbiasa mainin peran manusia bersayap hhihi. The Vulture punya kedalaman karakter, perkembangan tokoh ini mengejutkanku, karena ternyata dia diberikan hubungan personal dengan Spiderman, yang mana membuat adegan mereka ngobrol di mobil menjadi adegan yang hebat. Bahkan jauh sebelum adegan tersebut terjadi, kita sudah diberikan alasan untuk mengerti motivasi The Vulture, untuk memahami cara pikirnya. Part paling menarik dari tokoh ini tentu saja adalah gimana penamaannya sangat pas dengan apa yang ia kerjakan; The Vulture basically ngumpulin dan mencuri benda-benda rongsokan bekas alien dan para Avengers untuk ia gunakan memperkuat diri, persis kayak apa yang dilakukan oleh burung hering beneran sebagai burung pemakan bangkai.

Aku juga paham kenapa banyak yang mempermasalahkan soal spider sense yang ada-tapi-tiada dalam cerita. Sepintas dalam percakapan disebutin Spiderman di sini memiliki kemampuan tersebut, akan tetapi tidak pernah ada adegan yang menunjukkan demikian. Terlalu banyak adegan Spidey disergap dari belakang oleh The Vulture, Spidey bahkan enggak tahu temennya ada di kamar ketika dia menyelinap masuk. Lalu of course, adegan Spiderman ngendarai mobil yang punya sistem deteksi rem. Belum lagi kostumnya yang dilengkapi komputer kayak kostum Iron Man. Dan dia punya teman yang nunjukin arah. I mean, buat apa teknologi itu kalo Spidey punya alarm natural? Semuanya memang terasa ‘mengurangi’ kemampuan Spiderman, but yeah, ini integral dengan apa yang mau disampaikan; bahwa Peter Parker adalah remaja, dia belum pernah ngendarain mobil, dia masih perlu banyak bantuan,  baik sebagai pahlawan super maupun sebagai seorang manusia.

Tema terpenting film ini adalah apa yang membuat seorang menjadi kuat. Apakah Peter Parker butuh kostum untuk menjadi Spiderman, bisakah dia menjadi Spiderman tanpa kostum? Stark menyebutkan jika tidak bisa apa-apa tanpa kostum, maka itu berarti Peter tidak pernah pantas untuk mengenakannya. Ini kayak kita pengen punya blog, tetapi kita enggak bisa nulis. Kita harus mengasah kemampuan dulu untuk layak menyandang, apalagi memanfaatkan fasilitas. Ibaratnya bersusah dahulu, bersenang kemudian.

 

 

Dan ngomong-ngomong, blogger itu bukan wartawan beneran.

 

Kepolosan dan naifnya Peter Parker  ditangkap sempurna oleh Tom Holland, aktor ini sukses berat menjadi both Spidey yang amazing dan Peter yang everyday kid dengan segudang masalah. Tokoh ini superkocak dan amat likeable. Hubungannya dengan Tony Stark juga menarik. Susah untuk tidak terhibur melihat Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark. Namun, memang kadang perannya di sini acap terasa seperti device yang memudahkan saja. Actually, salah satu masalahku buat film ini adalah porsi aksinya yang enggak pernah benar-benar terlihat susah untuk si Spiderman. Tidak intens seperti apa yang diperlihatkan oleh Sam Raimi; tidak ada momen seperti Spidey babak belur dan Green Goblin ngancem bakal ngebunuh Mary Jane, tidak ada urgensi aksi seperti Spidey dengan topeng terbuka menahan kereta yang nyaris mengoyak tubuhnya menjadi dua. Action pada film kali ini menyenangkan dan light-hearted, enggak brutal dan intens. Cerita menuntut supaya Spidey kerap dibantu agar nanti bisa belajar sendiri pada sekuen resolusi.

 

 

 

Marvel bisa membuat film solo yang berdiri sendiri yang baik seperti Winter Soldier (2014), ataupun sebuah extravaganza universe seperti Civil War (2016). Dan film ini terletak di antara keduanya. Pada lapisan drama, sesungguhnya film ini kokoh untuk berdiri sendiri – dia berbeda dari penceritaan Spiderman yang lain. Namun, lebih sering ketimbang tidak kita ngerasa, “oh itu anu dari film ono!” Ada kepentingan yang berkurang karena it feels kayak kita nonton serangkain event yang digunakan untuk ngesetup film Spiderman dan MCU berikutnya. Poin bagusnya adalah ini adalah cerita set up yang sangat menarik, teramat menghibur, seru, dan cenderung ringan. Tokoh-tokohnya dimainkan dengan luar biasa, dengan interpretasi yang bisa bikin fans girang. Namun juga ada beberapa perubahan, terutama pada casting dan karakterisasi, yang dapat memancing fans untuk protes. However, tidak banyak korban jatuh dalam film ini. It could use some intensity dan actual stakes sebenarnya bisa lebih diamplify lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPIDERMAN: HOMECOMING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

 

Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]

 

Jadi, sejak Moana (2016) aku jadi ngefans berat sama Alessia Cara. Aku suka suaranya. Aku actually lebih enjoy dengerin How Far I’ll Go versi Alessia, I think it’s more powerful. Pas bagian “What is wrong with me?” flownya terasa lebih enak. Kemudian aku mulai denger musik-musik punya Alessia Cara sendiri. I’ve listen to her Know-It-All album. Beberapa track dari album tersebut berakhir jadi suara-suara yang diputer berulang-ulang di kamarku. Kenceng-kenceng pula. Sampai Bibi Kosan yang suka nyanyi “naik-naik tagihan listrik, tinggi-tinggi sekalii” jadi sebel karena ngerasa kalah saing. Aku malah jadi nyusun skrip film pendek yang bisa dikatakan adaptasi bebas dari salah satu lagu Alessia. I can’t tell you which one as of right now, because I don’t want to jinx it haha. Tapi doakan saja lancar dan beneran jadi.

Ngeliat dari yang ditulisnya, Alessia Cara seems like an actual cool personality. Dia punya attitude. Apa yang bener-bener impressed me adalah gimana dalam lagu-lagunya, Alessia memasukkan perspektif ‘orang luar’ yang berusaha melihat ke dalam dunia ‘ini’, di mana si penyanyi merasa berlawanan dengan dunia tersebut. Liriknya terasa jujur dan akrab. Alessia menggambarkan gimana rasanya berada di dalam pesta yang sebenarnya dia enggak pengen dateng. Alessia bercerita tentang gimana anak-anak muda ingin masuk ke dunia dewasa so much and just find themselves not yet ready for it. Alessia menyerukan tentang kepercayaan diri, tentang self-acceptance, dan itu adalah topik yang sangat relatable. Terutama buat remaja, yang jadi pendengar utama musiknya. Dan buatku juga, I’ve been kind of a misfit nyaris seumur idup haha, and yea I wish aku punya lagu-lagu ini untuk didengar sewaktu aku masih sekolah.

 

Wild Things, menurutku adalah salah satu lagu Alessia Cara yang paling penting. Mestinya sih kalian pasti sudah pernah denger juga, it has been going around since 2015. Alessia sendiri, pada suatu sesi wawancara bilang kalo lagu ini adalah anthem yang diharapkan bisa gerakin orang banyak. Liriknya sendiri punya tone yang sangat ‘menghentak’. Dan kupikir, fakta aku yang enggak demen denger musik bisa tergugah buat ngebreak down liriknya, adalah sebuah prestasi!

 

Find table spaces
Say your social graces
Bow your head, they’re pious here

Ini adalah dunia menurut Alessia. Bayangkan meja di kantin sekolah yang berjubel murid kita bingung mau duduk di mana; Tiap meja punya aturan, ada aturan-aturan sosial yang kudu dipatuhi saat menjadi bagian dari crowd di meja tersebut. Atau bahkan dipatuhi just to be a part of the said table.

 

But you and I, we’re pioneers
We make our own rules
Our own room, no bias here
Let ’em sell what they are sellin’
There are no buyers here

But hey, kata Alessia, kita yang enggak dapet tempat justru bisa bikin tempat sendiri. Kita bisa duduk di mana saja kita suka, enggak harus di meja. Tidak ada prasangka atau aturan karena hidup adalah kebebasan. Kita harusnya sadar bahwa orang pasang citra atau berpendapat apapun sama merdekanya dengan memilih percaya atau enggak.

 

So gather all the rebels now
We’ll rebel rouse and sing aloud
We don’t care what they say no way, no way

Bagian ini memanggil kita, teman-teman ‘seperjuangan’, untuk just be happy menjadi diri sendiri. Untuk menyuarakan independesi kita tanpa mengkhawatirkan apakah kita terlihat keren atau pinter ataupun populer.

 

And we will leave the empty chairs
To those who say we can’t sit there
We’re fine all by ourselves

Supaya kita tidak pernah lagi mencari tempat di tengah-tengah sosial yang mengekang. Untuk enggak lagi berusaha keras fit in, karena satu-satunya penerimaan atau pengakuan yang penting adalah pengakuan terhadap diri sendiri.

 

So aye, we brought our drum and this is how we dance

Drum melambangkan beat, di mana setiap kita punya beat unik masing-masing. Kita punya gaya sendiri. Kita enggak perlu malu memperlihatkan siapa kita ke luar sana. Jadi ya kalo mau bikin sesuatu, mau nulis atau apa, ya bikin aja. Perkara ga ada yang baca atau ga ada yang suka mah gausah dipikirin.

 

No mistakin’, we make our breaks, if you don’t like our 808s
Then leave us alone, cause we don’t need your policies
We have no apologies for being…

808 bisa sebagai sebutan buat bunyi drum, juga bisa mengacu kepada kode polisi buat gangguan ketenangan. Either way, jika ada yang enggak suka dengan, katakanlah, gaya kita – jika ada yang merasa terganggu – maka mereka bisa bilang tapi jangan harap bisa mengubah gaya kita. Menjadi diri sendiri bukanlah kesalahan. Kita tidak perlu meminta maaf karenanya.

 

Find me where the wild things are
Oh my, we’ll be alright
Don’t mind us, yeah
Find me where the wild things are

Oke bagian chorus ini catchy banget. Beat drumnya ngentak, sorak “aye aye aye” di backgroundnya bikin kita ikutan nyanyi. Aku suka pas di “don’t mind us yeah”. But actually ‘find me where the wild things are’ adalah ungkapan yang melambangkan our-true self adalah passion terliar kita, pikiran terdalam kita. Kita perlu untuk menemukan hal tersebut sebelum akhirnya kita bisa bangga menjadi diri sendiri.

 

 

I lose my balance on these eggshells
You tell me to tread, I’d rather be a wild one instead

Kulit telur itu lapisan yang tipis banget, kondisi yang digambarkan oleh lirik ini adalah kondisi yang di mana si Alessia merasa capek terus-terusan mikirin perkataan orang terhadap apa yang ia katakan atau perbuat. Jadi, daripada disuruh to watch what she says atau apa yang ia lakukan, dia lebih memilih untuk ngikutin kata hatinya saja.

 

Don’t wanna hang around the in crowd
The cool kids aren’t cool to me
They’re not cooler than we are

Ini adalah part yang menarik karena actually lagu ini membuat kita merasa menjadi enggak-keren sebagai hal yang paling keren sedunia. Karena kita enggak nunggu dibilang keren oleh orang lain dulu. Jika kita respek diri sendiri, accepting siapa diri kita, kita akan sadar kita enggak bergantung kepada orang lain untuk bisa bahagia.

 

We will carve our place into time and space
We will find our way, or we’ll make a way, say hey, hey, hey
Find you’re great, don’t you hide your face
And let it shine, shine, shine, shine

Jika enggak ada tempat, kita bikin tempat baru. Jika enggak ada jalan, kita terobos dan bikin jalan sendiri. Kita hidup oleh tindakan yang kita pilih; bukan karena orang lain, melainkan demi diri sendiri. Kita mewujudkan passion kita dengan mengambil action sendiri, tidak peduli kata orang lain. Tidak ada cool atau enggak keren. Dan ultimately, kita enggak perlu malu dengan who we really are. Kita enggak perlu takut dikatain beda. Ekspresikan diri sebebas-bebasnya

 

 

 
Kalo ada yang iseng nanya apa persamaan film Logan (2017) dengan film Interchange (2017), maka aku akan menjawabnya: lagu Wild Things. Saat ngereview dua film tersebut, aku enggak-bisa enggak bikin koneksi antara apa yang dihadapi oleh tokoh utama dengan yang dinyanyikan oleh Alessia Cara. Karena jauh di dalam, kedua film ini juga bicara tentang accepting diri sendiri. Both Logan dan Adam berusaha mencari liberty dan ultimately, mereka justru menemukannya di dalam tempat tergelap di dalam diri. Passion kita, kepercayaan kita, adalah hal yang hidup liar di dalam , namun kita tidak boleh takut. Kita harus menerimanya, jangan disembunyikan; supir limo yang damai bukan jawaban bagi Logan, berhenti jadi fotografer enggak bikin Adam tenang. Kita mesti menjadi satu dengan our innerself yang liar, tidak peduli apa penilaian orang, karena dari situlah kedamaian dan kebebasan berasal.

 

 

 

That’s all we have for now.
If you like it, kalian bisa ngerekues di komen lagu apa yang kalian ingin liriknya kami breakdown selanjutnya.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE EDGE OF SEVENTEEN Review

“The reality is people mess up; don’t let one mistake ruin a beautiful thing.”

 

 

Sekolah itu penjara, dan SMA adalah neraka. Remaja sangat menakutkan. Menjadi remaja adalah salah satu pengalaman tiada tara di dalam hidup. My Chemical Romance menuliskan dalam lagu mereka bahwa remaja tidak peduli pada apapun selama tidak ada yang terluka. Namun sebagai remaja, kita suka nyerempet bahaya. Dan ‘terluka’ yang disebutkan dalam lagu Teenager tersebut, sesungguhnya hanya berlaku dalam batasan fisik.
Gak percaya? Liat saja Nadine.
Setiap hari cewek tujuhbelas tahun ini makan ati mengarungi neraka SMA sembari kudu berhadapan dengan semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Sebagai remaja yang ngalemin tragedi personal semasa kecil, Nadine membenci semua orang, atau bahkan semua apapun yang berada di sekitarnya. Dia susah bergaul dengan teman-teman di sekolah. Sobatnya cuma Krista seorang. Eh tunggu, Nadine punya satu ‘sahabat’ lagi yaitu gurunya; Mr. Bruner, yang mana sering jadi pelampiasan curhat Nadine. Dan dalam kamus Nadine, curhat berarti mencurahkan segala emosi dan kekesalan, yang biasanya ditanggepin tak-kalah sarkasnya oleh sang guru.

 

Mulai dari jaman John Hughes, sudah banyak film-film yang mengangkat tema kecemasan remaja sehingga ‘Angsty-Teen’ bisa dibilang sudah menjelma sebagai genre tersendiri. Meskipun begitu, The Edge of Seventeen berhasil mempersembahkan VISI YANG TERASA SEGAR. Penulisan kejadian dan reaksi tokoh-tokohnya dibuat senyata mungkin. Sehingga setiap kali hidup berbelok semakin parah buat Nadine, kita tidak melihatnya sebagai usaha memancing sisi dramatis semata. BFF Nadine pacaran sama abangnya, yea that suck. Harry Potter aja galau berhari-hari waktu menyadari dia naksir berat sama Ginny, adik Ron. Dan mendapati diri dalam keadaan teman kita pacaran sama anggota keluarga adalah benar-benar hal yang awkward. Namun, hal tersebut dibuat oleh film sebagai salah satu dari sekian banyak ‘pukulan di perut’ yang diterima oleh Nadine.

Apa-apa yang terjadi kepada Nadine di sepanjang film – yang tak jarang adalah buah perbuatannya sendiri – terasa sebagai kejadian yang datang dari kenyataan. Bisa benar-benar terjadi, karena memang di dunia nyata kita sering mendapati keadaan menjadi buruk begitu saja. Situasi dalam hidup tidak selalu mengenakkan, dan film ini akan mengajak kita melihat situasi terrible tersebut lewat mata nanar seorang cewek remaja yang sudah melewati banyak tragedi. Elemen tersebutlah yang membuat film ini menjadi menarik buatku.

People make mistakes, whoever they are. Teman-teman segeng kita bikin salah. Orangtua kita pernah salah. Kakak pernah salah. Adik pernah salah. Aku apalagi. Makanya ada lebaran. I mean, poinku adalah semua orang pasti pernah bikin salah karena terkadang, in life shit just happens. Jangan biarkan satu kesalahan merusak susu sebelanga. Dan orang-orang tidak serta merta pantes dilabelin brengsek hanya karena pernah membuat kesalahan. Film ini actually menelaah hal tersebut dengan sangat baik dan memberikan kedalaman perspektif yang jauh lebih dewasa dibandingkan yang berani dicapai oleh film-film high school kebanyakan.

 

Aku baru melihat penampilan Heilee Steinfeld dalam tiga kesempatan. Aku suka dia di True Grit (2010). Dalam Pitch Perfect 2 (2015), however, dia enggak begitu lucu malah sedikit membosankan, lagu yang dia apal lagu karangannya doang, nyanyinya Flashlight melulu. Sebagai Nadine di The Edge of Seventeen, Heilee Steinfeld mempersembahkan penampilan terbaik yang pernah aku lihat darinya. Karakternya di sini memang semacam drama queen akut. Dia kasar sama keluarga, sama teman, sama guru; semua orang di sekitar Nadine masuk ke dalam daftar kemarahannya. Di akhir film, kita melihat Nadine berubah menjadi lebih baik, tapi pergerakan arc tokoh ini enggak gede-gede amat. Maksudku, film ini membuat kita begitu peduli dengan dramanya yang terasa nyata sehingga kita tahu kita tidak tahu apa yang terjadi kepada tokoh ini setelah kredit bergulir. Nadine adalah karakter anti-hero wanita yang langka, di mana dia sendiri adalah protagonis sekaligus yang paling dekat dengan yang kita sebut antagonis dalam film ini.

How do you like me now?

 

Dalam menjelaskan kenapa Nadine memilih bersikap demikian, film tidak mengambil jalan yang gampang. Tragedi keluarga yang menimpa Nadine waktu ia kecil bukanlah akar dari permasalahan, karena dalam satu adegan flashback kita melihat Nadine sudah susye untuk di’ajak omong baik-baik’ bahkan jauh sebelum kejadian naas itu terjadi. Seolah film ini ingin menepis tuduhan yang mengatakan karakternya ngeangst karena memang genre filmnya begitu. Ada alasan logis di balik setiap sikap dan tindak Nadine.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya, just… wow. Nadine dengan gampangnya meledak marah dan melontarkan serangkaian kalimat paling menyinggung perasaan yang bisa dia pikirkan kepada orang lain. Dan film ini pun tidak menahan-nahan apapun. Dialognya dibuat sungguh menggigit, karena orang-orang yang dibentak oleh Nadine eventually akan membalas dengan mengatakan hal yang sama pedihnya. Malahan, banyak kata-kata dan ungkapan yang digunakan oleh film ini yang bisa bikin Booker T bilang “Oh, tell me she didn’t just say that!”. Tidak sekalipun film ini berusaha untuk menghaluskan bahasa demi terdengar sopan. Sebab memang seperti yang digambarkan oleh film inilah interaksi antar remaja SMA berlangsung. Mereka bicara dengan kasar dan vulgar. Tapi justru disitulah letak keberanian film ini; TAMPIL APA ADANYA MENYUGUHKAN REALITA. Anak SMA bersikap sewajarnya anak SMA bersikap di dunia nyata.

Namun jika kita menonton film ini, sesungguhnya ceritanya akan terasa sangat bijak. Dengan rating Dewasanya, The Edge of Seventeen lebih ditujukan kepada penonton yang sudah pernah mengalamin masa-masa tujuh belas tahun, sehingga mereka bisa menoleh sebentar ke masa-masa ‘sulit’ hidup mereka dan merayakannya.

Mungkin kita hanya belum cukup dewasa buat angka tujuhbelas ketika menginjaknya. Mungkin kita yang terlalu bersemangat menunggu hari ketika kita pikir kita sudah cukup dewasa sehingga kita lupa untuk bersiap ketika things going rough.

 

BRUTAL AND HONEST. Tapi, ada juga sih bagian yang enggak begitu realistis. Kayak tokoh guru Nadine yang diperankan oleh Woody Harrelson. At one time, Nadine bilang bahwa dia mau bunuh diri dan si Pak Guru malah bilang dirinya juga mau bunuh diri dan sedang nulis pesan kematian. Tokoh Mr. Bruner ini mengatakan banyak hal yang tidak semestinya diucapkan oleh seorang pendidik. Like, kalo didenger ama Kepala Sekolah, pastilah dia sudah dipecat di tempat. Namun begitu, hubungan yang tercipta di antara Nadine dengan bapak gurunya ini adalah salah satu elemen terkuat di dalam narasi. It plays as a contrast for Nadine’s need of a father figure. Percakapan mereka sarat oleh humor-humor bagus dan bermakna.

Pak, tahu enggak,…. you’ve just made the list!

 

Alasan terbesar kenapa cowok males dan gak suka nonton drama remaja, apalagi kalo tokoh utamanya cewek, dan digarap oleh cewek pula, adalah karena sudah hampir pasti enggak bakal ada tokoh-tokoh cowok yang manusiawi. Cowok dalam film-film kayak gini biasanya either digambarkan sebagai antagonis, tanpa kedalaman-karakter, yang eksistensinya ditujukan buat ngasih air mata kepada tokoh utama doang. Ataupun digambarkan cupu dan konyol parah. Salah satu poin yang bikin The Edge of Seventeen yang disutradarai-serta-ditulis oleh cewek bernama Kelly Fremon Craig berbeda dan menyenangkan ditonton oleh cowok adalah tokoh-tokoh prianya juga diberikan kedalaman, dikasih background story, sehingga kita para penonton bisa mengerti mereka. Kakak cowok Nadine ada di sana bukan sebagai bagian dari sibling rivalvy dalam mendapatkan perhatian ibu sahaja. Bahkan cowok yang dikirimin ‘surat cinta’ oleh Nadine tidak pernah benar-benar come off as an asshole, sebab kita juga paham mengapa dia melakukan apa yang ia lakukan.

 

Dengan perspektif yang terasa menyegarkan, film ini toh tak bisa lepas dari segala tropes dan klise penceritaan genrenya. Setelah lewat midpoint, kita segera dapat menyimpulkan ke mana arah cerita film ini berlabuh. Kita bisa menunjuk satu tokoh dan dengan tepat menebak dia bakal ngapain di akhir cerita. Kita dengan mudah menerka siapa jadian dengan siapa. Tapinya lagi, kita bisa merasakan bahwa film ini dikerjakan dengan penuh passion. Karakter dan dialognya menguar kuat. Dan bagian terpentingnya adalah film ini mampu membahas situasi yang amat tidak mengenakkan dengan begitu nyata. Nadine bukan semata remaja galau hanya karena itu adalah cara termudah dalam menulis karakter drama, dia galau karena keadaan dan cara dia memandang keadaan tersebut.

Because of how well-written this is, jika dijejerin, film ini layak gaul bareng Heathers (1988) dan geng Mean Girls (2004) di level teratas kategori film remaja. And after all those insults and horrible situations, pada akhirnya, menonton film ini akan membuat kita berharap kita bisa menghentikan waktu di umur tujuh belas.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE EDGE OF SEVENTEEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.