JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE Review

“Life isn’t hard, Megaman is.”

 

 

Dalam video game kita akan dikejar-kejar zombie kelaparan. Ditembaki robot-robot kalap. Melompat dari satu jurang ke jurang lain. Kalo gagal, kita mati, sure di jaman now ada save point,  tetapi dulu kita harus mengulang kembali dari awal setiap kali game over. Beberapa game bisa menjadi begitu bikin stress sampe joystick pada rusak. Nintendoku dulu kabel stiknya nyaris putus karena kugigit-gigit ngamuk mati melulu main Circus Charlie di level tali ayunan itu. Namun betapapun susahnya, kita tetap suka melarikan diri ke dalam dunia video game kalo lagi mentok di kehidupan nyata. Anehnya kita bisa refreshing setelah mati berulang kali di dalam video game.

Kayak Spencer dan teman-temannya. Mereka didetensi harus bersihin gudang sekolah bareng-bareng. Kata gurunya sih supaya mereka tahu siapa diri mereka. Di sela-sela kerjaan gak asyik itu, Spencer menemukan mesin video game jadul dengan kaset cartridge bertuliskan Jumanji. Spencer yang jago main video game seumur-umur belum pernah mendengar nama itu, ataupun belum pernah melihat konsol yang begitu antik. Jadi, dia dan Fridge dan Bethany dan Martha mencoba permainan tersebut. Dan seperti salah satu episode film Boboho jaman dulu, mereka berempat tersedot ke dalam layar. Spencer yang kini berwujud The Rock, dan teman-temannya yang juga berubah tampang menjadi karakter game yang sudah mereka pilih, harus bertualang menembus hutan. Mencari dan mengembalikan permata Jaguar yang hilang supaya bisa pulang. Masing-masing mereka cuma punya tiga nyawa, tiga kali kesempatan untuk gagal, sebuah angka yang minim sekali mengingat hutan arena bermain mereka dihuni oleh berbagai binatang buas, serta satu geng bandit yang pemimpinnya bisa mengendalikan hewan-hewan tersebut.

Video game terlihat gampang karena kita sudah tahu apa tujuan kita bermain. Mengalahkan monster. Mencari harta karun. Menyelamatkan putri raja. Kita jadi tertantang buat menyelesaikannya. Ketika tivi dimatikan, tombol power konsol ditekan dan lampunya mati, kita balik ke kehidupan nyata di mana kita tidak mengerti ngapain sih kita di dunia ini. Apa misi yang diberikan kepada kita di sini Hidup sangat kompleks, kita harus memahami diri sendiri, menciptakan sendiri tujuan hidup kita. Itulah kenapa kita menganggap hidup lebih susah. Tujuan itu sama sekali tidak terlay out seperti pada video game. Tapi begitu kita tahu siapa kita, mau jadi apa kita, hidup tidak lebih susah daripada menjatuhkan raja Koopa ke dalam lava. Hidup adalah rimba yang sebenarnya, hanya jika kita tersesat.

Breakfast Club, now in a fully rendered-8 bit

 

Tadinya kupikir film ini adalah remake dari Jumanji 1995 yang ada Robin Williamsnya. Ternyata enggak, ini lebih sebagai sebuah sekuel, dan sort of a reboot. Papan permainan Jumanji yang dimainkan oleh Kirstern Dunst ditampilkan kembali di film ini. Kita lihat gimana si papan merasa ketinggalan jaman dan mengubah diri menjadi kaset dan konsol video game. Dan dari sinilah film mengeksplorasi banyak hal-hal keren yang menyenangkan yang timbul dari gimana manusia masuk ke dalam video game. Oke aku nerd, bahkan sampe sekarang aku habisin waktu luang dengan main video game, jadi mungkin kalian menyangka aku bisa sedikit bias menilai film yang udah nyaris kayak adaptasi video game ini. Tapi enggak sebias itu juga sih, film ini memang TONTONAN MENGASYIKKAN DALAM KONTEKS VIDEO GAMENYA.

Para tokoh di sini dibuat bisa melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing, persis kayak status di video game, dan mereka bekerja sama dengan memanfaatkan aspek ini. Interaksi mereka dengan tokoh tiang garam juga kocak banget. Eh pada tahu ‘Tokoh Tiang Garam’ gak sih? itu loh, di game-game petualangan kan selalu ada tokoh-tokoh yang gak bisa kita mainin, dan diprogram untuk ada di game buat memberikan informasi. Di luar dialog-dialog yang sudah diprogramkan, mereka enggak bisa ngomong hal lain lagi. Jadi kalo kita ajak ngomong terus, ya ucapannya itu-itu melulu. Nah, dalam film, elemen ini jadi salah satu pemancing ketawa yang dibuat dengan sangat menyenangkan. Namun dari konteks-konteks video game yang seru tersebut juga muncul berbagai plothole pada universe yang menjadi kelemahan film.

Salah satu aspek paling seru dari Jumanji: Welcome to the Jungle adalah karakternya.  Jadi kan remaja-remaja itu tersedot ke dalam dunia game, dan mereka sekarang berwujud seperti avatar yang mereka pilih. Dan pada beberapa, tubu mereka sangat bentrok ama sifat asli. Dwayne Johnson hanya kekar di luar. Di dalam otot-ototnya, The Rock adalah Spencer – si kutu buku bertubuh kecil yang sangat penakut, bahkan tupai aja bisa bikin dia jejeritan histeris. Jack Black sangat kocak di film ini; dia adalah cewek paling populer di sekolah, yang kerjaannya main hape melulu, dan dia terperangkap di dalam tubuh tambun pembaca peta. Jadi bisa dibayangkan betapa ngakaknya melihat penampilan akting Jack Black di film ini. Tokoh yang diperankan Karen Gillan punya arc yang menarik; di dunia nyata ia adalah cewek yang benci olahraga, namun di game dia seorang petarung, jadi dia dibuat tertarik untuk menggerakkan tubuhnya dalam cara-cara yang bikin berkeringat.

Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart. Komedian ini sendirinya kocak banget, kita bisa betah duduk berjam-jam nonton dia menghina dirinya sendiri, dan itulah salah satu kekuatan utama pesona kocaknya. Di film ini, Kevin Hart kembali memancing jokes dari sana, dan buatku malah jadinya biasa aja, dia tidak melakukan sesuatu yang baru di sini. Dia sama The Rock banteringnya persis kayak di Central Intelligence (2016), Hart mengejek tinggi badannya sendiri yang kalah jauh ama The Rock. Kevin Hart kocak namun dia pretty much bermain sebagai dirinya sendiri, dan ini kalah menarik dibandingkan aktor-aktor lain yang benar-benar membanting image mereka memainkan karakter yang di luar kebiasaan.

Keberanian enggak ada hubungannya ama ukuran tubuh

 

Kalo di Jumanji dulu kita ternganga ngeliat badak berlarian dari rumah ke jalanan, sekarang kita akan melihat berbagai sekuens aksi yang mengalir lancar berkat keunggulan teknologi. Orang-orang bertebangan ke sana kemari. Stun work di sini amat impresif, meskipun pada beberapa sekuens, film lebh mengutamakan efek CGI. Akan ada banyak adegan yang menampilkan efek yang obvious, yang menurutku adalah disengaja sebagai cara film untuk terlihat sebagai dunia video game. Aku sedikit menyayangkan film ini melewatkan kesempatan untuk tampil kayak di salah satu episode Rick and Morty di mana Rick terjebak dalam dunia simulator. Di serial kartun itu kita melihat Rick berjalan di dunia yang hanya sekitarnya saja yang terender kumplit, begitu dia melihat ke ujung jalan dia hanya melihat polygon, pemandangan sekitar Rick terender seiring dia berjalan karena begitulah lingkungan dalam simulator atau dunia game berjalan. Menurutku, jika perihal render dunia diimplementasikan ke dalam Jumanji ini, tentulah akan semakin banyak hal keren dan kekocakan yang bisa digali.

Bermain-main dengan struktur video game, seperti yang aku singgung di atas, film ini mengambil beberapa pilihan aneh yang bukan saja menjadikan ceritanya tampak tak-lagi seperti video game, melainkan juga jadi membuat ceritanya punya plothole. It’s cool ketika film ini menggunakan flashback dan mengatakannya sebagai adegan cutscene pada video game. Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya. Ini bertentangan dengan konsep video game karena mestinya tidak ada pengembangan dunia lain di luar pengetahuan tokoh utama. Ini sebenarnya soal perspektif, kita seharusnya melihat hal dari sudut pandang Spencer yang jadi tokoh video game, bukannya sebagai pemain. Tapi film tidak pernah menjelaskan kenapa ada cutscene yang tidak diketahui oleh Spencer. Pun juga tidak menerangkan seperti apa persisnya dunia buatan Jumanji. Karena kalo dipikir-pikir, video game yang mereka mainkan mengembangkan programnya sendiri, game ini berevolusi sesuai dengan keadaan pemain yang termasuk ke dalamnya. Karena semua kejadian yang mereka alami seperti sudah diatur, mereka ketemu Missing Piece, mereka bisa menyelesaikan satu stage karena stage tersebut terlihat diprogram untuk diselesaikan empat orang. Bagaimana kalo ternyata ada, katakanlah dua orang, yang memainkan game sebelum mereka. Apakah hal akan berbeda buat Missing Piece? Apakah settingan skill mereka juga berganti. Mestinya film bisa melandaskan aturan mainnya dengan lebih kuat.

Soal arc cerita sebenarnya aku juga bingung, apa yang ingin dicapai oleh film ini. Karena jika menurutku poros utama film ini bicara tentang gimana anak-anak itu belajar memberanikan diri berjuang di dunia nyata, maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.

 

 

Film ini seperti video game, kita akan bersenang-senang dengannya. Perfectly enjoyable dengan penampilan peran yang sebagian besar unik. Aku sendiri cukup capek terbahak-bahak sepanjang durasi. Bagaimanapun juga, ketika dipikirkan baik-baik, ada beberapa hal yang mengganjal. Semua yang kelemahan yang kutulis di sini , in fact, baru kepikiran ketika aku mulai menulis. Kita bisa menutup kekurangan ini dengan memberikan alasan sendiri, tentunya, karena semuanya bisa terjadi di dunia video game. It’s just kupikir film bisa menggali dan melandaskan dunia ceritanya dengan lebih baik lagi. Siapa sih yang enggak mau lebih baik, ya gak?
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Clash of Champions 2017 Review

 

Juara di WWE, berarti kalian kudu siap mempertahankan sabuk emas melawan penantang macam apapun. Namun begitu, di acara Clash of Champions, ada hal lain yang lebih gede yang dipertaruhkan oleh WWE; kemampuan mereka untuk menciptakan drama dan kejutan. Dan ‘lawan’ mereka tentu saja adalah para penonton – penggemar setia jaman now – yang semakin hari semakin pinter.

 

Kejutan yang dihadirkan oleh Clash of Champions sebagai acara brand Smackdown di Boston malam itu adalah; tidak ada kejutan. Setiap hasil akhir pertandingan, siapa pemenangnya, kenapa mereka menang, sudah bisa ditebak oleh fans. WWE, sebagai sebuah bisnis olahraga-hiburan paham betul bahwa yang terpenting adalah bukan apa yang mereka ceritakan, melainkan bagaimana mereka menceritakan. Bagaimana mereka mengolah sesuatu narasi yang sudah ketebak menjadi sebuah pementasan yang intens dan membuat penonton terinvest ke dalamnya. Jadi, beberapa pertandingan di Clash of Champions dirancang penuh oleh drama. Toh, terkadang WWE memang nekat, bercerita dengan mengorbankan aksi adalah resiko yang tak ragu untuk mereka ambil. Pada akhirnya, semua bergantung kepada pilihan kita; ingin menyaksikan gulat profesional sebagai olahraga kompetisi atau bergulat dengan logika dan menikmati itu semua sebagai suguhan film aksi, atau malah, suguhan sinetron.

Natalya dan Genk Juara

 

Dulu masih gampang untuk kita, sebagai penonton, nonton WWE dan flat out tenggelam dalam dramanya. Dulu kita masih sabar untuk suspend our belief selama dua jam acara berlangsung. Aku masih ingat tahun 2000an awal dulu, satu episode Smackdown didedikasikan untuk membangun cerita gimana D-Generation X mengatur acara dengan seenak udel. Pertandingan di acara itu semuanya jelek-jelek, enggak ada yang bersih, dan kita dapat stipulasi norak semacam The Rock dan Mankind harus bertarung memperebutkan kontrak kerja yang digantung di atas pole. Back then, semua penonton menikmatinya. Orang dulu tidak peduli gimana aslinya Kurt Angle adalah atlet beneran, dan digunakan dengan cara yang memalukan – dibuat sebagai pengecut – di televisi. Tetapi tentu saja, sebagai penonton kita punya ekspektasi, dan makin ke sini, penonton semakin cerdas. Kita ingin bisa menikmati acara ini dalam level yang lebih tinggi. Sekarang, semua orang sudah jadi ‘smark’. Smart-Mark. Penonton yang tahu WWE itu udah ada skenario, tapi masih menuntut supaya WWE tampak senyata mungkin. Ketidakpuasan kita inilah yang jadi lawan berat WWE dalam upaya mereka mempertahankan apa yang terbaik yang bisa mereka lakukan; ngedeliver hiburan dalam kemasan aksi yang mendebarkan.

Faktanya adalah susah untuk mengejutkan – memberikan kejutan yang  menyenangkan bagi – fans kekinian. Arus informasi berputar pesat, di internet kita bisa dengan gampang menemukan situasi real maupun kayfabe terkini, rumor-rumor, tentang apa yang terjadi belakang layar WWE. Kita tahu Daniel Bryan akan terlibat dalam storyline Kevin Owens dengan Shane McMahon, bahkan sebelum pertandingan tag team mereka di Clash of Champions diresmikan. Dan saat ulasan ini ditulis, santer sudah kabar kalo this whole match didedikasikan buat kembalinya Bryan beraksi di dalam ring Wrestlemania April nanti. Attitude era penuh oleh match-match ‘terlalu skenario’ seperti yang kita lihat pada match Owens dan Zayn melawan Orton dan Nakamura di sini. Namun apa yang dulu kita bilang seru, sekarang kita bilang kurang ajar. Keempat pegulat yang bertanding sesungguhnya bukan fokus. Alih-alih itu, match ini adalah tentang Shane dengan Bryan, yang digariskan bakal cekcok di saat mereka berdua berperan sebagai wasit. Walaupun penceritaan match ini sangat baik, mereka ngebuild up konflik – bagian favoritku adalah ketika Shane menghentikan hitungannya atas pin yang dilakukan oleh Zayn, yang memnggiring kita ke akhiran yang keren, tapi aksinya tampak salah tempat. Sekuens para wasit itu mengganggu. Nakamura dan Orton gak kebagian spot, dan ini bukan match yang baik karenanya.

Kita lebih menghargai kejuaraan United States yang mempertemukan Baron Corbin sebagai juara bertahan melawan Bobby Roode dan Dolph Ziggler. Meskipun penambahan Ziggler ke dalam partai tersebut tidak berhasil diceritakan dengan menarik. Kita gembira dengan outcomenya, padahal kita sudah bisa menebak – Ziggler dikabarkan bakal hengkang jadi wajar WWE menjamin Ziggler untuk tetap tinggal dengan memberinya sabuk. Kita overlooked bukti-bukti bahwa Ziggler ini sudah lama sekali berada di zona gak-relevan, dan setiap title reignnya sebelum ini selalu berujung tumpul. Tentu saja kita menyukai match ini karena aksinya. Cepet, finishingnya enak dilihat. Sedikit melibatkan storyline artinya kita tahu dengan begini, para superstar tidak terlalu cedera imagenya.

Tapi tentu saja , WWE lebih ngeri jika superstarnya cedera beneran lantaran kebanyakan aksi yang berlebihan. Jadi WWE tentu saja hampir selalu mengambil keputusan sekalipun ada aksi, mereka akan membuatnya singkat. Makanya kita dapat squash match. Untuk menjaga hal tetap menarik, dalam acara ini kita melihat konsep pertandingan yang baru, yakni fatal 4-way tag team di mana kontestan dari keempat kubu masuk bersamaan dan mereka hanya boleh meng-tag partner sendiri. Banyak gerakan-gerakan dan taktik unik yang tercipta dari sini. Setiap superstar pada dasarnya diberi jangka waktu singkat untuk unjuk kebolehan, yang dimanfaatkan dengan sangat baik oleh  Big E dan Chad Gable. Aku suka banget liat Chaos Theory si Gable, I mean, di sini performa Gable membuktikan kalo WWE sudah salah langkah meninggalkan dirinya demi cerita Anak Kurt Angle di brand Raw. Rusev dan Aiden English juga membuktikan kepada WWE bahwa mereka masih bisa over, meskipun berangkat dari momentum yang serabutan. Fans bener-bener suka sama Rusev Day. Menurutku, pertandingan inilah yang paling dekat dengan sebuah kejutan yang mampu dihadirkan WWE pada Clash of Champions.

Ayo jadikan Rusev Day sebagai hari libur nasional

 

Aku enggak tahu kenapa mereka menyebutnya sebagai Lumberjack padahal karena semua pesertanya cewek maka yang lebih tepat adalah Lumberjill, namun yang jelas, partai yang juga adalah perebutan kejuaraan wanita tersebut adalah yang paling fail dari keseluruhan acara. Dramanya totally enggak bekerja. Penampilan Natalya terlalu dibuat-buat. Sebagai face, Charlotte tampak seperti sebuah miscast yang lebih parah daripada Sasha Banks. Konsep Lumberjacknya juga klise banget. Stipulasi ini dipilih supaya mereka bisa ngepush semua talent di divisi cewek sekaligus, hanya saja eksekusinya sangat serabutan.  Sampai ke poin aku melihat Liv Morgan memukul Ruby Riott yang notabene adalah rekannya sendiri.  Sedari bel berbunyi tidak pernah terasa kalo ini adalah pertandingan kejuaraan, kalo ini adalah cerita Natalya yang mengancam status juara Charlotte.

Yang paling layak kita apresiasi adalah Jinder Mahal dan AJ Styles yang berlaga di partai utama. Tadinya aku excited melihat Mahal jadi juara, kemudian dia tak mampu membuktikan keunikannya sebagai antagonis yang bermarwah, dan match-matchnya boring semua. Akan tetapi, di sini, dengan kerja sama dari AJ Styles, Mahal terlihat benar-benar berusaha. Match mereka memang tampak membosankan lantaran menjelang partai ini kita disuguhi oleh gimmick-gimmick dan segala tetek bengek drama. Kehadiran Styles membuat elemen aksi pertandingan ini enak untuk dilihat dan diikuti. Styles ngejual serangan orang dan mengeksekusi gerakan sendiri dengan sama fenomenalnya. Kontribusi Mahal buat pertandingan, tentu saja adalah menggerakkan roda drama dengan peran heelnya. Dan Mahal tidak melakukannya dengan berlebihan kali ini. Gangguan Singh Brothers enggak langsung mengakhiri match, kayak yang sudah-sudah. Terlihat sekali matangnya koordinasi antarkedua superstar.

 

 

 

Menurutku, Clash of Champions ini benar-benar bentrok. Aku suka apa yang orang tidak suka, aku eneg ngeliat apa yang orang lain cheer. Kupikir itu karena aku yang sudah terbiasa nonton film menganggap WWE lebih seperti tontonan dengan cerita dan karakter. Namun keseluruhan, terasa seperti WWE menggunakan rumus drama dan aksi yang berbeda pada setiap match supaya penonton tetap tertarik sebab mereka tahu tidak ada surprise yang bisa mereka datangkan di sini. Semua sesuai dengan yang kita harapkan. Semua memenuhi prediksi dan teori yang bergentayangan di internet. Paling tidak, masih lumayan masuk akal, dan WWE berhasil membuatnya cukup menyenangkan.
The Palace of Wisdom menobatkan AJ Styles melawan Jinder Mahal sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Result:
1. TRIPLE THREAT WWE UNITED STATES CHAMPIONSHIP Dolph Ziggler jadi juara baru ngalahin Baron Corbin dan Bobby Roode
2. FATAL 4-WAY WWE SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos bertahan atas The New Day, Chad Gable dan Shelton Benjamin, serta Aiden English dan Rusev.
3. LUMBERJACK WWE SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte tetep juara mengalahkan Natalya
4. TAG TEAM The Bludgeon Brothers membunuh Fashion Police Breezango!!
5. TAG TEAM DENGAN SHANE MCMAHON DAN DANIEL BRYAN SEBAGAI WASIT Kevin Owens dan Sami Zayn dinobatkan menang dari Randy Orton dan Shinsuke Nakamura
6. WWE CHAMPIONSHIP Maharaja kita tap out kena Calf Crusher dari AJ Styles.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE KILLING OF A SACRED DEER Review

“Justice is doing for others what we would want done to ourselves.”

 

 

Rusa keramat itu bisa saja pernikahan, atau anak, atau pasangan hidup. Objek pada judul film ini jelas sebuah metafora. Namun kata kerjanya mengisyaratkan sebuah pesan yang jelas. Jangan membunuh. Membuat orang menjadi tidak bahagia karena kehilangan sesuatu adalah perbuatan yang tercela. Dosa. Nyawa itu milik Tuhan, Beliau yang mengatur. Dan itu berarti jika seseorang menghilangkan nyawa orang lain, maka orang tersebut sudah ikut campur kerja si Maha Pencipta. Betapa sombong dan takaburnya manusia yang meletakkan tangannya ke dalam urusan Tuhan, ke dalam urusan nyawa. Namun bagaimana jika pekerjaan ‘meniru’ Tuhan itu memang ada – bukan hanya ada, sekaligus juga dianggap mulia? Para dokter menyembuhkan orang-orang yang sakit, on the other hand, banyak juga tidak mampu mereka selamatkan. Apakah mereka, para dokter, musti bertanggungjawab atas kegagalan mereka?  Apakah mereka harus diberikan konsekuensi? Apakah yang mereka gagal lakukan, adalah sebuah tindak pembunuhan?

The Killing of a Sacred Deer mengeksplorasi tentang  konsekuensi dan keadilan, dan film ini menggalinya dari tempat yang tak terduga. Rumah sakit putih berkilat adalah panggung yang berdarah di film ini. Dan kita sebagai penonton, akan terperangkap di sana. Dibuatnya sedemikian rupa sehingga kita tidak tahu lagi mana jawaban yang memuaskan. Kadang frustasi juga menonton ini karena tokoh film ini begitu pandai mendem emosi, sangat subtil, walaupun ada kejadian menyeramkan yang menyelimuti mereka.

Sedari permulaan, film ini sudah aneh banget. Collin Farrel yang brewokan berperan sebagai dokter bedah yang diam-diam bertemu dengan cowok yang masih berusia enambelas tahun. Martin namanya. Dokter Steven mengajak Martin makan di luar, jalan-jalan, membelikan remaja itu jam tangan anti-air yang harganya selangit. Ketika ditanyai oleh kolega, Steven mengatakan bahwa Martin adalah teman sekelas putrinya. Padahal enggak. Kita tahu Martin belum pernah bertemu dengan keluarga Steven; istri yang juga dokter handal, putri yang baru nginjak usia remaja, dan putra yang rambutnya gondrong, mereka enggak tahu ayah mereka diam-diam pergi menemui Martin. Hmm ada apa ini? Aku tidak bisa menebak ini cerita tentang apa. Tapi semakin berjalan waktu, lapisan cerita itu semakin membuka, kita dibelokkan berkali-kali oleh pengungkapan yang semakin sinister, hingga sampailah kita melihat keluarga harmonis itu dirundung masalah yang tak mampu dijelaskan oleh otak-otak jenius Steven dan istrinya. Anak-anak mereka kejatuhan penyakit aneh!

dokter tangannya bagus, tulisan tangannya yang jelek

 

Dari yang tadinya perasaan iba berubah menjadi ketakutan. Dari yang tadinya sopan, kehadiran Martin yang tak diundang menjadi sebentuk ancaman. Sutradara Yorgos Lanthimos dengan sangat hati-hati ngecraft ritme dan tutur penceritaan, membuat kita tetap tertarik Desain musik dan suara yang dipakai sepanjang film sukses berat menghasilkan atmosfer yang creepy. Kamera yang menangkap pemandangan-pemandangan simetris-but-not-really, menciptakan sensasi ketimpangan yang secara tersirat memperkuat konflik pada tema keseimbangan, dan kita tahu keseimbangan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh cerita.  Akan ada banyak orang yang enggak sanggup menyelesaikan menonton film ini lantaran beberapa adegan memang sangat menantang moral kita, enggak semua yang dihadirkan di sini politically correct. Tokoh-tokoh di sini akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang bakal bikin kita gak nyaman, lantas kita tertawa. Seperti ketika putri Dokter Steven berkata kepada adiknya yang enggak bisa berdiri “kalo kamu mati, musik player kamu buat aku ya, plisss”. Yang paling gebleg terang saja adalah adegan menjelang terakhir yang involving senapan, penutup wajah, dan duct tape.

If anything, film ini mau bilang bahwa karma itu ada. Senyata hukum aksi dan reaksi pelajaran fisika.  Jika kita berbuat kejahatan, maka kejahatan itu akan balik menimpa kita. Membenarkan perkataan Mahatma Gandhi “mata dibalas mata hanya akan membuat seluruh dunia buta”, film ini punya sistem penyeimbangan neraca sendiri. Jika seseorang membunuh, dia menghilangkan nyawa orang, maka pembalasn dari tindakannya bukanlah keluarga si pembunuh balas dibunuh oleh keluarga korban. Melainkan si pembunuh harus membunuh keluarganya sendiri. Dengan cara demikian, yang berdosa tetap satu orang sehingga keadilan tertinggi bisa tercapai tanpa harus membawa banyak orang ke lembah kejahatan.

 

 

Perjalanan tokoh Steven akan membuat kita balik mengantagoniskan dirinya, meski kita tahu kesusahan yang ia lewati. Kita kasihan tapi kita juga geram kepada dirinya yang tidak mengambil tindakan yang benar. Untungnya film ini diberkahi oleh beragam penampilan yang hebat, enggak sebatas berada di pundak Farrel dan Nicole Kidman saja. Aktor-aktor muda juga bermain dengan sangat meyakinkan. Setiap anggota ditulis dengan matang, ada build up yang diberikan terhadap mereka. Sehingga ketika hal menjadi ruwet di dalam lingkaran mereka, kita turut merasakan kecamuk yang bergelora di balik tenangnya mereka. It’s heartbreaking melihat Steven pada akhirnya harus memilih; Ketika dia menyadari kenapa putra bungsunya yang selama ini sedikit  gak-nurut mendadak mengubah cita-cita menjadi sesuai dengan kehendak dirinya; Pandangan matanya conflicted banget, dia gak yakin yang mereka lakukan benar, juga tersirat keraguan, sebab kalian tahu,

jika kita berkorban, maka korbankanlah yang terbaik yang kita punya.

 

 

Film ini adalah adaptasi bebas dari mitologi dewa-dewi Yunani, yang actually sempat disebukan di dalam narasi. Kisah tentang Raja Agamemnon yang sudah membunuh salah satu rusa kesayangan Artemis, sehingga Dewi Pemburu itu marah dan meminta Agammemnon untuk mengorbankan putrinya. Film ini memang tidak pernah serta merta bilang Steven adalah Agamemnon, ataupun bahwa Martin adalah Artemis, tapi jelas sekali film ini menyuarakan hal yang sama. Jangan lakukan kepada orang lain hal yang tidak mau kau lakukan kepada diri sendiri.

Akan tetapi, tidak seperti Mother! (2017) yang menceritakan kembali kisah di Kitab Suci dengan cerita sendiri dan actually punya tujuan, glaring with symbolisms sehingga kita tahu ceritanya sudah pasti tidak berada di dunia logika, The Killing of a Sacred Deer adalah film gagasan yang benar-benar vague. Ceritanya terlihat bertempat di dunia biasa, namun kita mendapat hal mengerikan – gaib kalo boleh dibilang – dan film ini tidak memberikan penjelasan, misalnya penjelasan penyakit apa yang menjangkiti keluarga Steven. Atau bagaimana Martin tampak bisa mengontrol penyakit tersebut. Dan menurutku ini menjadi kelemahan sebab mengurangi kesan real. Kita sudah sengaja dibuat sedikit terdeatch demi menyampaikan kengerian, dan ditambah dengan kejadian seputar penyakit, film ini semakin terasa jauh. Aku pikir, The Lobster tahun 2016 lalu yang juga digarap oleh Lanthimos masih lebih terasa relatable padahal ceritanya tentang masa depan di mana semua orang bisa berubah menjadi binatang.

 

 

 

Sesungguhnya semua orang pasti ada saja keanehannya. Kenormalan adalah hal yang amat langka bagi film ini, makanya jika kalian juga punya kelainan, yakni suka nonton film-film aneh dan berani, film ini tentu adalah pilihan yang rugi untuk dilewatkan. Karena penceritaannya yang begitu menantang. Mengerikan, menyedihkan, bikin geram, tak pelak film ini bakal bikin kita merenung setelah menontonnya. Membuat kita berpikir ulang mengenai apa itu keadilan yang sebenarnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KILLING OF A SACRED DEER.

 

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE SNOWMAN Review

“A family ship will never sink until it is abandoned by its crew.”

 

 

 

Tidak ada alasan buat The Snowman untuk bergulir menjadi film yang, paling enggak menjadi film yang baik. Film ini diangkat dari novel best-seller. Eksekutif produsernya adalah the one and only Martin Scorsese. Disutradarai oleh Tomas Alfredson yang bikin salah satu film vampir paling beda, Let the Right One In (2008). Dibintangi oleh aktor-aktor kawakan yang di antaranya berjudul Michael Fassbender, Rebecca Ferguson, juga J.K. Simmons. Namun, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya bisa membayangkan, kalolah film ini manusia salju, maka ia adalah manusia salju yang pecah berantakan ketika masih berbentuk bola, dan pecahannya terhampar gitu saja di tanah. Menciptakan sebuah kekacauan yang tampak berkilau dan sejuk dipandang mata. INDAH. TAPI KACAU

 

Dan inilah persembahan musikal kami buat film ini.

“Do you want to build a snowman?”

/Martin,/ knock knock knock knock!

/Ayo bikin film Snowman.

Misteri pembunuhaaaan.

Pembunuhnya bunuhin cewek,

Mutilasi,

Jadiin bonekaa.

Bikin mirip Zodiak,

Tapi enggak,

Ceritanya musim dingiiinnn.

Ayo bikin film Snowmaaann.

Pastikan hasilnya keren./

Lu aja

/Oke, bye/

 

Keindahan sinematografi dan talenta-talenta luar biasa itu jadi membeku sia-sia oleh penceritaan yang sangat membingungkan. Tokoh utama kita adalah Michael Fassbender sebagai Harry Hole, seorang detektif pemabuk yang sedang memburu seorang pembunuh berantai yang meninggalkan jejak berupa orang-orangan salju yang actually dibangun dari anggota tubuh korbannya. Kesamaan antara para korban adalah mereka wanita, yang punya anak dan keluarga. Si pembunuh juga lantas mengirimkan pesan misterius kepada Harry dan rekannya. Jadi kita melihat mereka ngumpulin petunjuk, sekaligus bergulat dengan masalah pribadi. Harry, eventually, menemukan bahwa kasus ini sangat relatable bagi dirinya.

Tanda pertama film ini punya masalah adalah di boneka salju itu sendiri. Jika Goosebumps saja gagal membuat anak-anak ketakutan sama orang-orangan salju, maka kesempatan apa yang dipunya oleh film ini, yang boneka saljunya kelihatan literally seperti dua bola salju biasa dengan mata dan mulut dari biji kopi hitam. Setiap kali film ini ngezoom wajah seringai boneka salju sambil mainin musik dramatis, setiap kali itu pula aku gagal untuk merasa takut. Mereka enggak seram, itu aja. Kasih liat merah darah, mungkin mereka jadi sedikit menakutkan. Tapi enggak, mereka tampil biasa aja, padahal ada mayat di baliknya.

Tokoh utamanya juga ditampilkan biasa sekali. Harry Hole semestinya adalah tokoh detektif yang jenius, namun dia merusak dirinya sendiri dengan mabuk-mabukan, dengan tidur di jalanan. Dia meninggalkan keluarganya. Actually, porsi kenapa dia disebut cakap dalam pekerjaan tidak pernah benar-benar dibuktikan. Malahan, hingga film berakhir, kita tidak pernah benar-benar kenal sama tokoh ini. Michael Fassbender melakukan semampunya untuk menghidupkan emosi Harry. Dia berusaha menampilkan banyak hal meskipun karakternya digali dengan teramat minim. Kita enggak pernah mengerti isi kepala si Harry. Kenapa dia begitu candu, dia pemabuk berat, dia mengganti rokoknya. Film ini tidak menampilka alasan di balik semua kelakuan itu. Kita mengerti dia punya masalah in regards to his family. Dia menjauh dari mereka lantaran dia sadar akan membawa dampak buruk bagi keluarga, tapi film tidak menjelaskan kenapa Harry suka minum, kenapa dia melakukan semua kebiasaan jelek yang ia kerjakan.

Kenapa seorang ayah meninggalkan istri dan anaknya. Pertanyaan itulah yang menjadi konflik utama dari film The Snowman. Isu abandonment menguar kuat di sini. Beberapa memang adalah pertanda dari tindak ketidakbertanggungjawaban. Film ini mengangkat pertanyaan, bagaimana jika seorang ayah baru merasa bertanggungjawab ketika dia pergi dari keluarga. Kapankah ninggalin keluara jadi terhitung bertanggungjawab. Kenapa Ayah, dan bukan Ibu, yang dipersalahkan, bukankah rumah tangga itu dibentuk oleh dua orang. Apapun alasannya, toh film masih tetap berpegang kepada moralnya bahwa meninggalkan keluarga adalah hal yang paling dingin yang bisa dilakukan oleh kepala keluarga, apapun alasannya.

 

Keseluruhan film terasa seperti bagian set up. Aku terus menunggu, menunggu, dan menunggu cerita berjalan, mengenal karakternya. Aku dengan sepenuh hati menguatkan diri, nanti bakal ada jawaban, aku akan mengerti semua. Tapi tetap aja, segala pilihan random si tokoh, segala adegan dan subplot itu tetap berujung pada kenihilan. Film ini banyak membangun, untuk pada akhirnya tidak menjadi apa-apa. Aku tidak mengerti background story dari Harry, kalian pikir mungkin aku yang tertidur dan terbangun di kursi, namun enggak. Aku melek sepanjang film. Berusaha memahami. Berjuang menangkap simbolisme, kalau-kalau ada informasi tersirat yang kulewatkan. Tapi aku tidak menemukan apa-apa. Malah terasa seperti ada bagian yang hilang pada film ini. Jika ini puzzle 500 keping, maka menonton film ini rasanya seperti kita berhasil menyusun 450 kepingnya, sedangkan keping sisanya lupa dimasukin penjual ke dalam kotak yang kita bawa pulang.

Misteri sebenarnya adalah dari sekian banyak nama belakang, kenapa namanya mesti Hole coba?

 

Tokoh-tokoh yang lain juga sama dibentuk dengan gak memuaskannya. Backstory Tokoh Rebecca Ferguson diceritakan lewat flashback, namun tetap saja masih kabur, karena tampak sekenanya. Hampir seperti adegan yang ditambahkan begitu saja. Tokohnya J.K. Simmons, dong, misteri banget. Meskipun kita mengerti perannya di dalam cerita, akan tetapi di luar kepentingan supaya film misteri detektif ini jadi punya banyak tersangka sehingga aspek whodunit lebih kerasa, kemunculan tokohnya – lengkap dengan apa yang ia lakukan di sana, tampak sangat random dan seperti tidak ada urusan untuk mejeng di film. Sekuens tokoh ini melingkupi adegan-adegan konferensi soal kota mereka yang diperjuangkan sebagai tuan rumah Piala Dunia, dan buatku ini totally aneh dan gak klop sama elemen cerita yang lain.

Tomas Alfredson adalah sutradara yang paham bagaimana menangkap pemandangan indah. Dia mengerti cara membuat film terlihat cantik. Namun dalam menggarap bagian aksi, tampaknya adalah persoalan yang sama sekali berbeda. Terbukti dari sekuens konfrontasi di menit-menit terakhir film. Editingnya parah sekali. Aku gak yakin apakah gerak kamera yang mereka lakukan disengaja supaya pemeran figurannya enggak keliatan banget atau memang sutradara enggak tahu bagaimana cara ngesyut adegan aksi. Mungkin juga sih, semua editing choppy itu dilakukan karena mereka enggak mau filmnya jadi terlalu sadis, tapinya lagi, ini adalah film pembunuhan dengan korban dimutilasi, pembunuhnya sendiri bersenjata kawat tipis, jadi kenapa mereka enggak embrace aja kesadisan adalah pertanyaan yang gak bisa kutemukan jawabannya untuk film ini.

Dan setelah semua itu, semua pilihan random, dan cerita convoluted itu, film ini masih punya nyali untuk masukin teaser seolah film ini bakal ada sekuelnya. Seolah film ini banyak yang suka. SEOLAH penonton begitu peduli dan minta nambah lagi. Ha!

 

 

Punya potensi untuk menjadi tontonan misteri yang menantang, sesungguhnya ini adalah film noir yang sudah seperti ditakdirkan untuk jadi bagus dengan segala talent gede di belakangnya. Tapi enggak. Film ini seperti es krim di tengah panas mentari, dengan cepat mencair menjadi tidak berbentuk. Tidak lagi sedap untuk dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for THE SNOWMAN.

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

STAR WARS: THE LAST JEDI Review

“The opposite of Love is not Hate, but Indifference”

 

 

Luke adalah Yoda. Dan Kylo Ren adalah Bezita. Itu teori yang kupatenkan setelah aku selesai nonton The Force Awakens tahun 2015 yang lalu. Yup, aku memang termasuk salah satu penonton yang suka berspekulasi dan nebak-nebak dan bikin kajian lengkap sendiri terhadap sebuah film. Jika kalian juga begitu, maka kita bisa jadi teman baik ngobrol berjam-jam membahas film. Aku tahu bukan aku sendiri yang punya penyakit begini. Di internet banyak kita jumpai artikel-artikel semacam “Fakta Mengejutkan Seputar Star Wars” yang membahas berbagai kemungkinan seperti Rey itu anak Luke, atau Rey itu saudara kembar Ren, atau yang paling gampang; bahwa Rey adalah Jedi Terakhir. Tidak satupun prediksi dan teori tersebut terbukti benar. Star Wars: The Last Jedi, di tangan sutradara Rian Johnson yang biasanya membuat film-film ngeart, MENGENYAHKAN SEMUA EKSPEKTASI DAN BERCERITA DENGAN SUARA KHASNYA SENDIRI.

Itulah yang membuat pengalaman nonton film ini terasa begitu menyenangkan. Ada begitu banyak kejutan yang diberikan. Seni dalam film ini adalah bagaimana mereka memainkan konflik moral, membuat kita terombang-ambing di dalam dilema para karakternya. Dalam lapisan terluar, The Last Jedi sukses menjelma menjadi film dalam franchise Star Wars yang punya sekuens aksi yang paling menarik dan sangat menghibur sejauh ini. Ada aksi tembak-tembakan Millenium Falcon yang sangat keren; visual efeknya makjaaaanggg! Tarung lightsabernya adalah yang terbaik dari pernah kulihat dari seri Star Wars. Dengan wide shot nampilin para tokoh dari kepala ampe ujung kaki, mereka pasang stance masing-masing, kemudian “zing..zingg…zinggg”, mereka udah kayak ngayunin samurai dengan koreografi dan pengaplikasian lightsaber yang begitu awesome

Plus para Porg itu imut bangeettt. Dan perlu dicatet mereka enggak annoying

 

The Force Awakens literally berakhir dengan cliffhanger, cerita dibiarkan ‘menggantung di tebing’. The Last Jedi melanjutkan ceritanya tepat di kejadian itu, dan itu sama sekali di luar apa yang kita kira. Contoh simpelnya adalah Luke Skywalker yang tampak begitu cool sampe jadi intimidating saat didekati oleh Rey yang mengulurkan lightsaber, ternyata malah membuang senjata paling keren sealam semesta tersebut dalam fesyen yang mengundang kikik penonton. The Last Jedi memang mengeset ulang franchise Star Wars hampir seperti gimana Thor: Ragnarok (2017) merevitalisasi karakter dan persona Thor.  Jadi, Rey harus berusaha minta diajarin menggunakan The Force kepada Luke yang memilih mengasingkan diri. Sementara Poe, Finn, dan pasukan Resistance yang lain di bawah pimpinan Leia (serius, agak tercekat haru nih ngeliat Carrie Fisher, ihiks) berjuang sebisa mungkin untuk bertahan, sukur-sukur bisa melakukan serangan balasan, dari serangan First Order yang semakin nafsu memburu mereka. Yang paralel dari perjalanan para tokoh adalah gimana mereka sama-sama membutuhkan ‘spark’ untuk membalikkan keadaan; sebuah percikan yang bisa membuat mereka di atas angin dan semakin kuat. Namun, percikan apa sih yang dimaksud? Itulah yang harus mereka cari tahu.

Hakikat dari berjuang dan menang sebenarnya bukanlah ‘berhasil mengalahkan yang kita benci’. Melainkan adalah melindungi orang-orang yang kita sayangi. Cinta dan benci memang adalah perasaan yang intens yang kita rasakan terhadap sesuatu hal, terhadap orang lain, jadi in a way, cinta dan benci adalah perasaan yang sama, yang diekspresikan berbeda. Ini yang tercermin dari Kylo Ren dan Rey. Mereka basically adalah pribadi yang sama; mereka punya kekuatan yang sama, tapi mereka tidak bisa ‘melukai’ satu sama lain. Setidaknya belum, karena sesungguhnya lawan dari cinta bukanlah kebencian. Melainkan ketidakpedulian, sesuatu yang hampir saja dilambangkan oleh Luke dalam cerita epik kebingungan moral ini.

 

“Pada dasarnya, aku sama sekali enggak setuju sama setiap pilihan yang kau tulis buat tokoh Luke”, begitu pengakuan Mark Hamill ketika dia pertama kali disodorin skrip film ini oleh si sutradara. Luke Sykwalker memang benar-benar dibuat ‘tak disangka-disangka’. The Last Jedi adalah film yang lucu. Banyak lelucon kocak di sana-sini. Namun hebatnya, lucu-lucuan tersebut tidak pernah digunakan dengan mengorbankan karakter ataupun cerita ataupun pakem mitologi yang sudah ada. Semuanya bekerja dalam konteks. Buktinya, Luke Skywalker tidak jatoh konyol. Malahan, dia adalah salah satu karakter paling keren dalam film ini. Salut itu pantas juga kita berikan buat Mark Hamill yang jelas bekerja profesional. Semua arahan yang diberi kepadanya berhasil dia eksekusi dengan meyakinkan. Ada eksplorasi mengapa karakter ini mengasingkan diri, Luke bergulat dengan sebuah tragedi masa lalu, semua itu ditampilkan dalam visi yang sangat sangat berbeda. Aku gak pernah tahu aku ingin melihat Luke yang seperti ini, dan hasilnya memang sangat keren.

Sebagai seri kedelapan dari seri film populer, akan sangat sia-sia jika mereka enggak bermain-main dengan referensi dari film-film sebelumnya. Justru adalah hal yang wajar jika mereka melanjutkan sistem yang sudah ditetapkan, merecognize aspek-aspek dunia dalam cerita mereka. The Last Jedi toh memang memasukkan adegan referensi, akan tetapi tidak semata sebagai penghibur buat penggemar Star Wars. Enggak terasa seperti mereka memasukkan hal begitu saja supaya kita bisa “hey lihat itu si anu”, kayak di Rogue One (2016) di mana kehadiran C-3PO tampak sekedar dimasukin aja. Alih-alih demikian, yang dilakukan oleh film ini adalah memasukkan hal-hal yang sudah terestablish, merecognize pakem dan kelemahannya, dan eventually mempertanyakan hal tersebut lewat karakter baru, yang masuk akal dong kalo si karakter ini enggak punya pengetahuan tentang itu. Misalnnya ketika film ini mengeksplorasi gimana Jedi yang udah seperti semacam aliran kepercayaan, dipertanyakan aturan-aturannya oleh Rey, dan sebagai jawabannya, film actually melandaskan pakem baru yang sangat mengejutkan.

Tokoh di film ini udah kayak Big Show, sering ‘turn’ antara baik dan jahat

 

Penampilan Daisy Ridley seolah berkata “Lihat gue, gak nyesel kan lo udah milih gue sebagai Rey!” Cewek ini dahsyat banget kalo udah urusan adegan-adegan dramatis dan bagian-bagian berantem. Tokoh Rey dibentuk dengan sangat baik sebagai protagonis utama, dia kuat, dia mau belajar, dan dri berbagai pilihan yang dia ambil jelas tokoh ini bergerak dalam moral kompasnya sendiri. Menurutku, secara karakterisasi, si Rey inilah yang paling dekat dengan Anakin. Kupikir film berikutnya akan mengeskplorasi gimana Rey adalah apa yang terjadi kepada Anakin jika dia tidak menyeberang ke Dark Side.

Tokoh favoritku di film ini, bagaimanapun juga, adalah Kylo Ren. Penampilan emosional yang sangat luar biasa dari Adam Driver. Kita sudah dapat melihat sedari Episode VII bahwa Ben Solo adalah karakter yang sangat conflicted. Dia bukan antagonis biasa, dia lebih dalem daripada itu. Dia adalah petarung yang belum matang, dia diliputi kemarahan, dia belum siap, dan di Episode VIII ini kita akan lebih mengerti kenapa. Kita jadi dapat melihat alasan dia begitu mengidolakan Darth Vader, meskipun aspek ini diberitahukan impisit oleh narasi. Kylo diberikan kesempatan untuk bersinar di sini. Aku suka koneksi yang tercipta antara Ren dengan Rey. Aku sungkan untuk ngebahas lebih banyak soal ini, karena menurutku ini adalah aspek terpenting cerita yang harus kalian alami sendiri.

Semua tokoh diberikan kesempatan untuk unjuk kebolehan. Bahkan Chewie dan BB-8 dikasih momen tersendiri. Arc si Poe juga cukup menarik. Aku suka gimana tadinya dia melanggar perintah Leia, dan kemudian di babak akhir, dia berada di posisi pemberi perintah dan guess what; dia mendapati perintahnya dilanggar. Masalahku hanya ada pada ceritanya si Finn. Secara berkala, narasi akan membuat kita mengikuti petualangan Finn bersama tokoh cewek baru, Rose. Mereka punya misi mencari seorang pemecah kode, jadi dua orang ini pergi ke sebuah planet. Aku enggak bisa menikmati bagian ini, karena setiap kali kita balik ke mereka, cerita menjadi melambat. Malahan, hampir terasa seperti menjadi sebuah cerita lain, sebuah film pendek petualangan ke planet yang bahkan gak terasa seperti planet dari galaksi far far away. Setting lokasi yang Finn dan Rose datangi adalah setting yang gak aneh bagi kita penduduk Bumi. Dan yang  mereka lakukan juga gak benar-benar menarik. Terasa seperti detour yang gak diperlukan. Tentu, apa yang mereka kerjakan tersebut memiliki dampak di akhir cerita, semuanya ada koneksi, hanya saja mestinya ada cara yang lebih baik dalam menceritakan ini.

 

 

Yang perlu aku tekankan adalah film ini membuatku terhibur, amat malah. Maksudku, Luke malah jadi kayak Goku di sini hahaha. Dan setelah nonton dua kali, teoriku soal ‘Luka Adalah Yoda’ masih belum tertutup gagal seratus persen, asal jangan diartikan secara harafiah tentunya; Anak kecil yang nonton juga pasti tahu Luke dan Yoda adalah dua makhluk yang berbeda. Namun, kesamaan arc mereka sangat mencengangkan, penggemar sejati pasti ngerti deh apa yang kumaksud. Secara struktur, however, ini adalah film yang bisa berdiri sendiri. Sebuah cerita pertengahan dari sebuah trilogy yang tidak terasa seperti bagian dari rangkaian produk. Film yang memiliki awal-tengah-akhir dari sudut karakter-karakter yang mampu membuat kita peduli. Pencapaian teknisnya juga luar biasa, sekuens aksi dengan wide shot tercantik yang bisa kita harapkan dari film fantasi seperti ini. Ada sekuens yang belum pernah kita saksikan dalam franchise Star Wars. Mitologi Jedi pun mendapat penggalian yang lebih dalam, ada pengetahuan baru yang bisa kita dapat mengenainya. Dan setelah menonton film ini, kita akan memohon semoga semua petualangan awesome itu tidak pernah berakhir.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: THE LAST JEDI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

WONDER Review

“You don’t have to change a thing, the world could change its heart.”

 

 

Hidup adalah sihir dan keajaiban. A wonder. Tapi kita lebih sering lupa ketimbang sadar. Jiwa dan hati kita kerap tersilaukan. Film ini, dengan kapasitas emosi yang sungguh manusiawi, bertindak sebagai pengingat untuk itu.

Adalah Auggie, anak kecil yang terlahir ke dunia semburat cemas di wajah ayahnya dan teriakan pilu sang ibu. Dua-puluh-tujuh operasi harus didera oleh wajah Auggie supaya dia bisa bertahan hidup. Dan tumbuh menjadi anak normal. Auggie suka Star Wars. Hari favoritnya adalah Halloween. Dia suka olahraga – di video game. Dia main Maincraft.  Dia gemar pelajaran ilmu alam. Auggie pengen jadi astronot supaya dia bisa terbang ke bulan di mana dia bisa terus memakai helm antariksanya. Karena di sekolah yang sekarang sedang ditujunya bersama orangtua dan kakak, Auggie tahu dia tidak bisa pakai helm, seberapapun kepengennya. Auggie dan keluarganya tahu persis kesulitan apa yang bakal didapat ketika anak-anak yang lain melihat wajah Auggie. Ada anak kecil lain yang menangis ketakutan demi melihat wajah Auggie, bayangkan!

Anak-anak cenderung jujur, dan kadang kejujuran itu menyakitkan. Tak pelak, akan ada cibiran. Bisik-bisik. Perundungan. Pengucilan. Bumi tidak pernah menjadi sebuah tempat yang benar-benar sopan untuk anak-anak seperti Auggie. Film mengeksplorasi semua itu bukan hanya langsung dari mata Auggie, melainkan juga dari keluarganya, dari kakaknya, dari teman dekatnya. Dan hal inilah yang membuat Wonder tampil berbeda dari film-film yang punya cerita yang mirip. Sudut pandang menyeluruh tentang bagaimana orang-orang sekitar Auggie terpengaruh oleh keadaannya.

meski udah banyak nonton film, aku masih saja takjub mereka bisa membuat kamera enggak keliatan, like, di mana kameranya??

 

Cerita yang membahas sebuah tokoh yang mengalami kekurangan, fisik maupun mental, kerap terjatuh ke dalam lembah keterlalusentimentilan. You know, film tersebut jadi target mudah kritik lantaran menghadirkan aspek-aspek emosional yang terlalu manipulatif. Dibuat demi memeras sebanyak mungkin air mata kita-kita yang nonton. Kita melihat adegan anak dibully, kemudian dicuekin orangtuanya, dan kita bisa bilang ini adalah trik ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ yang tentu saja dibangun untuk menumpuk drama. Tapi, aku menemukan kejadian yang kita saksikan pada film Wonder ini cukup akurat, dan gak kayak dibuat-buat. Anak-anak memang bisa begitu kejam kepada temannya yang berbeda, apalagi cacat. Aku pernah seharian nungguin adikku yang baru masuk SD, dan aku melihat beberapa anak dimarahin oleh guru karena melempari seorang anak yang tampak jelas berasal dari luar pulau, dan setelah itu ada satu dua anak yang menenangkan si anak korban bully yang menangis. Ada juga yang seperti adikku, hanya memandang dari jauh – dari belakangku. Balik ke Wonder, menurutku film ini sangat spesial karena dia berusaha menampilkan realita bahwa akan selalu ada perundung, but also akan selalu ada anak-anak yang memberanikan diri untuk memilih baik ketimbang jujur.

Sudut pandang cerita Wonder kerap berganti demi memperlihatkan sisi lain dari orang-orang sekitar Auggie yang terkena pengaruh darinya, namun fokus tetap pada tokoh Auggie. Bahkan para penampil sepertinya juga paham akan hal ini. Sutradara dan penulis Stephen Chbosky indeed berhasil memancing yang terbaik dari para aktornya. Sebagai orangtua Auggie ada Owen Wilson dan Julia Roberts, keduanya bermain sangat baik. Aku sendiri suka banget sama penampilan Owen Wilson sebagai ayah yang tidak ingin menutupi kenyataan kepada anaknya, dan dia berusaha seceria mungkin demi itu. Ketika mereka enggak duel lightsaber atau main video game, Ayah akan mengambil ini sebagai kesempatan untuk mengajak Auggie duduk bicara tentang bagaimana dunia dan he kinda have to deal with it. Namun baik Wilson maupun Roberts, mereka tidak berusaha mencuri spotlight dari Auggie. Karena film ini adalah tentang Auggie dan merupakan kesempatan buat Jacob Tremblay bersinar. Dan di film ini, melalui penampilan tegar dan bikin sedih, dengan seiap ekspresi kuat menguar dari balik riasan efek meyakinkan itu, Tremblay membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik di antara generasinya.

Auggie adalah karakter yang sangat likeable. Tapi sesungguhnya ada satu arc cerita lagi yang wajib kita perhatikan, karena menurutku, storyline ini, in a way, lebih kuat. Tentang Via, kakak Auggie. Tentang bagaimana dia merasa tersisihkan. Via adalah cewek yang mandiri, dia sayang banget sama adiknya. Namun dia juga sedang berada dalam masa hidup yang sulit sebagai remaja. Dia juga butuh perhatian kedua orangtua. Masalah Via paralel dengan masalah Auggie, mereka berdua mengalami kesulitan dengan teman. Film menggiring kedua sudut pandang ini, juga sudut pandang teman-teman yang lain, dan menyimpulnya menjadi kisah yang hangat dan sangat manis.

Auggie dan Via. Terkadang aku merasa aku seperti mereka berdua, rolled into one miserable, most pathetic entity in the world. Dan memang itulah yang diniatkan oleh film ini. Supaya kita merasa kita sama dengan mereka, dan anak-anak yang lain. Supaya kita sadar bahwa tidak ada yang sempurna. And yet, kita tetap memandang rumput orang lebih hijau. Kita iri, ada yang kita inginkan dari apa yang dimiliki oleh orang. We wonder how to be better, dan kita berubah. Beberapa orang menjadi tukang bully  karena ini. Beberapa menjadi penyendiri. Kena bully setiap hari. Intinya, syukuri apa yang kita punya, karena dunialah yang musti mengubah hatinya. Caranya? dengan mencoba untuk selalu berbuat baik.

 

Jika David Lynch menggunakan pendekatan horor sebagai topeng cerita emosional di The Elephant Man (1980), maka Chbosky lebih memilih penggunaan ragam perspektif. Sayangnya, ini juga sekaligus menjadi kelemahan sebab dalam penanganannya, Wonder tampak terburu-buru mengakhiri beberapa arc.  They kinda wrap things up really quick in just one scene. Misalnya adalah cerita dari sudut pandang teman baik Via. Diceritakan setelah musim panas, persahabatan mereka merenggang, mereka gak gaul bareng lagi, mereka tidak pernah ngobrol seperti dulu lagi, untuk kemudian arc ini dibungkus begitu saja, kesannya terburu-buru. Mereka baikan, dan Auggie secara tidak langsung berperan di sana. Film mestinya bisa menuntaskan dengan lebih baik, dan di luar aspek beberapa arc yang rushed tersebut, aku gak menemukan masalah lagi.

Jadi, Auggie punya teman. Via dapet pacar. Miranda sama aku aja siniiiiiyyy

 

 

 

Secara emosional, ini adalah film yang memuaskan. Bukan karena yang jahat dapat hukuman. Tapi, karena film adaptasi novel best-seller ini sukses menyampaikan pesan, bukan hanya soal menghargai orang seperti Auggie layaknya manusia yang berperasaan, sekaligus juga tentang bagaimana komen singkat, candaan sepele dapat berdampak gede kepada orang yang dibercandain. Harapannya adalah semoga dengan menonton film keluarga ini, anak-anak (bahkan orang dewasa!) jadi tergerak, jadi berani untuk mengambil tindakan yang benar dalam pergaulan mereka dengan teman sehari-hari.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for WONDER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge

 

SURAT CINTA UNTUK STARLA: Jawaban Surat Cinta itu Datang Juga – [Movie Preview]

CFD (Car Free Day) di jalan Ir. H Juanda, Dago, Bandung kedatangan tiga makhluk kece.

Tengoklah kocaknya Romeo yang sibuk nyari makanan. Sementara tak jauh, ada Bimo yang cool banget diam-diam mengatur strategi dari balik kacamata hitamnya yang berbingkai bulat. Strategi apa? Enggak tahu juga, Bimo kelewat misterius, sih. Dan tak ketinggalan, Starla, yang dengan riang pecicilan ke sana ke mari.

Tunggu. Bimo? Starla?? Kok namanya familiar???

Yea, Minggu pagi 10 Desember itu para pengunjung Car Free Day di Dago dikunjungi oleh beberapa pemain film Surat Cinta untuk Starla. Ada Ricky Cuaca, Kevin Royano, dan Caitlin Halderman.

On Sunday, we wear black

 

Panggung mereka yang terparkir di pelataran depan Blossom Family Outlet pun dalam sekejap dipadati fans. Yang lagi olahraga naik sepeda, langsung spontan mengerem, cekiiittt – untung gak nabrak tiang. Yang lagi gerak jalan, lehernya pada muter ngelirik. Badan mereka maju berjalan, namun lehernya tetap di tempat. Hehehe enggak ding, emangnya film horor. Yang lagi ngumpul bareng teman-teman satu geng, serentak mencabut hape dari kantong dan mengarahkannya ke panggung, pada gak jadi selfie.

Maklum, kehadiran film Surat Cinta untuk Starla memang sudah ditunggu-tunggu oleh para fans. Adalah video lirik dari Virgoun (bukan nama zodiak loh ya) yang begitu fenomenal yang bertanggungjawab atas semua kehebohan ini. Lagu single itu sudah ditonton lebih dari 160 juta kali. Maka dibuatlah mini serinya yang bahkan lebih pecah lagi. Tujuh chapter webseri Surat Cinta untuk Starla semakin membuat penonton dan para fans haus. Mereka ingin melihat lebih. Mereka pengen kenal lebih dekat sama Hema dan Starla. Mereka, para fans itu, pantas untuk dapat kejelasan soal hubungan dan nasib kedua tokoh utama tersebut.

 

meski sempat kecewa Jefri Nichol berhalangan hadir, antusiasme penggemar enggak berkurang sedikitpun

 

“Film ini akan menjawab rasa penasaran penonton yang telah menyaksikan web serinya” jelas Ricky Cuaca yang biasa dipanggil Ricu. Ya, film Surat Cinta untuk Starla adalah surat jawaban yang dibuat sebagai balasan dari surat-surat cinta dari para fans. Ricu, Kevin, dan Caitlin lanjut menerangkan bahwa film ini adalah adaptasi yang not really an adaptation, lebih tepatnya adalah adaptasi lanjutan karena akan ada banyak penambahan dan beberapa perubahan.

Inti ceritanya sih sama. Tentang Hema, seorang cowok ‘pecinta alam’. Namun alih-alih manjat-manjat gunung, Hema menunjukkan obsesi kecintaannya pada alam dengan membuat surat cinta. Surat bukan sembarang surat, dengan mesin ketik yang ia bawa kemana-mana, Hema membuat desain untuk cetakan mural sebagai perwujudan surat cintanya kepada semesta. Kehadiran Starla suatu ketika di hidupnya, membuat Hema kepikiran sesuatu hal yang bahkan lebih indah daripada surat-suratnya yang biasa. Dan drama cinta remaja ini bukan hadir tanpa twist, perubahan sikap Starla yang begitu mendadak bakal menjadi konflik utama yang tak pelak bikin penasaran.

seni corat coret dinding akan berperan besar dalam cerita film ini

 

Penambahan yang dilakukan oleh sutradara Rudy Aryanto dan penulis skenario Tisa TS tentu saja bukan tanpa alasan. Para penggemar pun tidak perlu khawatir film ini akan jadi berbeda dengan apa yang membuat mereka jatuh cinta in the first place. Justru hal itulah  yang menjadi kelebihan film. Ricu yang udah tiga kali ikut main di film keluaran Screenplay Films melanjutkan, “Menampilkan sesuatu yang baru, tapi pada hal yang sudah terkenal. Jelas ini memberi kemudahan untuk memulai promosi.”

Lain lagi dengan Caitlin yang menganggap ini sebagai tantangan. Meneruskan kembali perannya di web seri, aktris yang selayang mirip Ariana Grande ini mengatakan film adalah jawabannya soal bagaimana memenuhi ekspektasi dari penggemar serial Youtube Surat Cinta untuk Starla, “Jangan sampai kualitas cerita versi film malah menurun dari versi mini seri.” Karakter Starla yang ia perankan memang mendapat sedikit perubahan dari versi web seri. Starla di film ini dibuat jadi lebih manja, sekaligus juga lebih setrong dan dewasa. Perihal mengenai apakah film ini juga bisa dinikmati oleh penonton yang sama sekali belum pernah mendengar lagu ataupun belum pernah menonton web serinya, Caitlin memberikan jawaban dengan senyum paling menenangkan yang bisa ia layangkan “Di film akan ada beberapa adegan flashback, jadi semua akan bisa tetap mengerti jalan ceritanya.”

Dan mengenai Bimo sebagai salah seorang peran baru yang belum benar-benar dieksplorasi di web seri, Kevin Royano dengan semangat menjelaskan, “Saya suka nonton miniserinya. Makanya saya senang ketika ditawari ikut main. Sosok Bimo yang saya perankan ini akan menjadi orang di balik konflik Starla dan Hema.” Kevin membuka kacamata gayanya, untuk kemudian melanjutkan, “Film ini, ceritanya lebih dalam dengan twist yang banyak”. Wuih jadi semakin penasaran!!

 

Kita sudah begitu sering mendapat drama remaja dengan karakter yang begitu-begitu saja. Surat Cinta untuk Starla menawarkan banyak pada lead characters yang diberikan sesuatu yang unik untuk dilakukan. Ditambah dengan potensi twist ditambah wahana baper, kita punya cukup alasan untuk menunggu film kolaborasi Screenplay Films dan Legacy Pictures ini sampai di bioskop seluruh Indonesia tanggal 28 Desember 2017. Sebentar lagi kok hehehe

 

ketiga pemain keasyikan diminta My Dirt Sheet ngebayangin apa yang karakter mereka lakukan kalo lagi jalan-jalan di car free day

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

CHRISYE Review

“Don’t feel guilty for doing what’s best for you”

 

 

Apakah Chrisye bisa hidup lagi? Begitu bunyi salah satu headline koran dalam kelebatan berita dan fakta singkat yang kita lihat di menit-menit awal film ini berlangsung. Jawabannya tidak secara harafiah Chrisye bangkit dari kubur, tentu saja. Dan menurutku, jawabannya juga ‘tidak’ jika pertanyaan tadi kita jawab dengan kiasan. Namun bukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mengenalnya, yang mendendangkan lagunya. Justru sebaliknya, ‘tidak’ karena buatku, dan kuyakin juga buat penggemar, buat orang-orang yang pernah tersentuh dan terhibur oleh karyanya yang amat banyak, juga buat keluarga dan orang-orang terdekatnya, Chrisye tidak pernah mati. Dia akan terus hidup. Lilin-lilin kecil itu tidak akan pernah padam.

Menjalani masa pertumbuhan di era 90an, telingaku akrab sama lagu-lagu Chrisye. Dan memang, aku gak pernah tahu kisah hidupnya seperti apa. Orang bilang, kita bisa mengenal seseorang lewat karyanya, but still enggak banyak yang tahu cerita di balik lagu-lagu tersebut. Paling enggak, tidak tahu sedekat Damayanti Noor, istri Chrisye. Kenapa juga kita perlu tahu, kalian tanya. Well, karena akan selalu ada saja yang bisa kita petik dari kisah-kisah hidup orang seperti Chrisye. Orang yang berjuang dengan karyanya, meski dia tahu profesi yang ia tekuni tidak dihargai benar-benar layak. Orang yang mengikuti kata hati dan memilih jalan hidup atas nama cinta. Film Chrisye ini adalah cerita yang sangat personal karena diangkat dari sudut pandang sang istri, yang sudah menemani Chrisye, sudah ikut naik-turun gelombang kehidupan bersamanya.

Chris, eike, yey…. Chris-eike-yey….. Chris-eik-yey…. Chris-yey… Chrisye!

 

Sebagai sebuah drama biografi, film ini akan sedikit banyak berusaha menyentuh sisi emosional kita. Ada beberapa adegan di pertengahan akhir film yang benar-benar terasa buatku. Malahan, di bagian paruh terakhirlah film ini bekerja dengan baik. Kita bisa merasakan stake yang gede ketika satu hari sebelum manggung di konser tunggal akbarnya, suara Chrisye malah menghilang. Kita ikut gemetar ketika Chrisye tak sanggup untuk menyanyikan lagu tentang kebesaran Tuhan yang disadur dari terjemahan Surat Yasin ayat 65 Al-Qur’an. Karena setelah sekian banyak yang kita pelajari dari pribadi seorang Chrisye, kita jadi tau gimana dia ogah mendengar nyanyiannya sendiri, gimana dia nyari-nyari alesan untuk menunda melihat penampilannya di televisi, semua sisi emosional itu barulah benar-benar pecah saat film membahas kejadian di late on his career. Vino G Bastian yang sempat diragukan melangkah ke dalam sepatu seorang Chrisye, juga akhirnya mendeliver penampilan yang meyakinkan di porsi ini. Ketika dia diberikan kesempatan untuk menyanyikan lagu dengan suara sendiri,  Chrisye terbata sebelum akhirnya tak dapat menahan laju air mata, adegan tersebut sangat kuat menyentuh. Bahkan dari segi penampilan,  Vino jadi tampak mirip dengan Chrisye, apalagi di angle-angle dari depan ketika kepalanya sedikit merunduk.

Bayangkan jika satu-satunya hal yang bisa kau lakukan, ternyata tidak cukup untuk membahagiakan orang yang kau cintai. Chrisye malahan sampai merasa amat bersalah karena sudah memilih menjadi musikus – dia jadi meragukan potensinya, the only things he’s good at. Ini lebih dari sekadar depresi. Ini adalah perasaan gagal, tak berguna, ketakberdayaan, yang menggumpal menjadi satu. Menjadi penyakit yang merundung Chrisye.

 

Tapinya lagi, film tidak menyoroti Chrisye sebagai penyanyi sebanyak itu. We do get perjuangan Chrisye bertahan sebagai seorang musikus, tetapi fokus film sesungguhnya terletak kepada menyajikan Chrisye sebagai seorang pria, seorang ayah, seorang manusia. Salah satu aspek cerita yang mendapat build up yang cukup banyak dan menarik adalah soal beda agama. Kita melihat suara Adzan mempengaruhi pilihan Chrisye, dan later juga menambah banyak bobot buat elemen Chrisye dengan musiknya. Kalo boleh menekankan, aku akan bilang sekali lagi film ini bekerja terbaik begitu dia memperlihatkan tentang Chrisye dan perjuangannya dalam musik. Namun, alih-alih itu, film memperlihatkan aspek-aspek yang lain yang datang dan pergi begitu saja.

Hubungan yang terjalin antara Chrisye dengan Damayanti mengambil posisi utama pada paruh pertama. Yang gak sepenuhnya menarik dan ingin kita ketahui. Dan film ini sendiri pun sepertinya aware dengan hal tersebut. Buktinya, film banyak mengambil waktu untuk membuat kita melihat bagaimana mereka bertemu, kemudian pacaran, dan kemudian ketika menunjukkan bagian romantis, bagian kedekatan mereka, film menceritakan lewat montase, seolah ingin segera cepat sampai ke bagian yang lebih serius. Dialog di bagian awal-awal ini pun ala kadarnya. Ada begitu banyak kejadian, film terus melompat-lompat periode waktu, sehingga membuat kita susah untuk pegangan. Tidak ada yang bisa dicengkeram pada bagian-bagian awal ini. Tidak ada stake yang kerasa. Aku benar-benar susah untuk peduli sehingga sebagian besar waktu itu aku jadi lebih tertarik kepada penampilan-penampilan kejutan dari tokoh dunia musik lain yang hadir di cerita.

“Sejak lihat babak pertama, ku langsung ilang rasa
Walau ku tahu c’rita ada personalnya
Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani
Ku tak dapat ngerasain, gejolak cinta ini.

Maka, izinkanlah aku mengritisimu
Atau bolehkan aku sekedar jujur padamu~”

 

Film berkelit dari banyak potensi konflik. Itulah yang membuat bagian awal tampak mudah tanpa ada kejadian yang menarik. Halangan bermain musik dari ayahnya, tergugurkan oleh mimpi. Kita gak dikasih liat reperkusi dari pindahnya Chrisye menjadi penyanyi solo, bagaimana dengan bandnya, gimana dia keluar, film melompati ini di saat yang bersamaan dengan mereka melompati periode waktu. Ketika dia pindah agama juga mulus-mulus saja. Semua seperti terhampar begitu saja, dan di sinilah letak susahnya mengritik film dari kisah nyata. Karena mungkin memang di kenyataannya enggak ada masalah yang Chrisye hadapi sehubungan dengan poin-poin tadi. Toh film harus dibuat tetap menarik, jika memang harus sama, pertanyaannya adalah kenapa memasukkan bagian yang tidak menarik, yang tidak berkonflik? Padahal kan film menarik karena kit amelihat benturan antara manusia dengan konflik.

bayangkan betapa leganya Chrisye setelah dua kali setiap dia ngangkat telepon, ada yang mati.

 

Bagus mereka memasukkan detil kecil Chrisye suka merapikan selimut untuk orang yang sedang tertidur karena kebiasaan tersebut menambah suatu aspek terhadap karakternya. Tapi dalam film ini, repetisi lain pada beberapa adegan terasa annoying karena gak berujung apa-apa. Gak ada faedahnya. Kita mendengar “Amerika!” disebut-sebut dengan antusias berlebih berulang-ulang seolah film ini banyak bertempat di sana, namun enggak. Jadi, kenapa?  Kelemahan ini berasal dari penulisan dialog yang acap terdengar ala kadarnya. Bincang-bincang pasangan di diskotik hanya “turun, yuk” yang membuat adegan tersebut semakin tidak penting. Dan saking berulangnya adegan orang yang tertidur, aku yakin kalo aku menoleh ke samping, orang di sebelahku juga sudah ngorok kayak orang-orang di film ini yang begitu meleng sedikit, begitu mereka ngeliat temannya lagi, teman tersebut sudah pulas.

 

 

 

Bukannya aku mau menodai kenangan personal seorang istri terhadap almarhum suami, karena alur film ini adalah bagaimana kenangan Damayanti terhadap Chrisye, namun sesungguhnya tidak semua bagian kehidupan bisa ditranslasikan dengan menarik sebagai bahasa film. Ataupun tidak semuanya benar-benar perlu. Film ini sayangnya, bukan hanya memasukkan banyak, malah mereka ngeskip bagian yang potensial menarik dan lebih penting untuk ditampakkan. Dengan set piece yang detil, film ini adalah biografi yang membuktikan betapa Chrisye adalah sosok tak tergantikan, terutama di mata istrinya, dan ini terlihat dari suara nyanyian asli dari Chrisye yang dilip-sync. However, erita baru bekerja dengan benar-benar baik saat dia tiba di satu bagian tertentu. Selebihnya, benar ini seperti kenangan yang terpotong-potong. Tidak pernah mengalir dengan baik. Dan itu bukan bentuk yang menyenangkan dalam menikmati perjalanan film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CHRISYE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MOTHER! Review

“What if God was one of us?”

 

 

Aneh!
Apaan sih ini!?
Sinting.
Gila.

MIRING!!

Karya terbaru Darren Aronofsky, Mother!, akan terus jadi perbincangan penggemar film untuk bertahun lamanya karena film yang satu ini bikin frustasi ngebingungin kita. Ada kali, satu juta cara yang berbeda menginterpretasi film ini karena ceritanya dipenuhi oleh metafora, denyut-denyut psikologi yang bikin gak nyaman, ditambah dengan imaji visual yang benar-benar mengundang tebakan. Malahan bakal banyak orang yang akan jatuh membencinya, mengatai film ini pretentious, atau flat out tersinggung sama apa yang disampaikan. Darren Aronofsky juga terkenal karena filmnya yang suka niruin film lain, dan kita bisa menyerang Mother! karena dia cukup ngingetin sama Rosemary’s Baby (1968). I could totally see film ini bakal mendapat reaksi beragam, aku paham kenapa sulit tayang – bahkan gak bakal – di bioskop Indonesia, dan sepertinya ‘perpecahan’ pendapat inilah yang benar-benar dicari oleh Aronofksy. Dia sukses berat untuk itu – tak ada sangkal.

Jika kalian ditanya oleh teman Mother! ini film tentang apa, maka kalian bisa dengan simpel menjawabnya sebagai film yang bercerita tentang suami istri Jennifer Lawrence dan Javier Bardem yang rumah tenang nan damai mereka mendadak kedatangan banyak tamu tak-diundang. Orang-orang asing tersebut awalnya datang sebagai fan yang bersilaturahmi sebentar, tokoh Bardem adalah seorang pujangga terkenal, jadi wajar dia punya banyak pengagum. Awalnya nerimo dengan tangan terbuka, namun kelamaan Jennifer Lawrence gondok juga. Rumah mereka yang masih dalam tahap renovasi jadi berantakan. Tamu-tamu itu gak punya respek terhadap privasi ataupun sense kepemilikan. Kerja keras Jennifer ngerawat rumah tidak dipedulikan.

Ibu yang mestinya kita perhatikan, selain ibu kandung sendiri

 

Memperbaiki sesuatu yang rusak sebenarnya justru lebih susah untuk dilakukan ketimbang menciptakan seusatu dari awal. Makanya, tindak merawat, menjaga sesuatu, adalah sebuah tindakan yang harusnya mendapat perhatian lebih. Karena ia membutuhkan dedikasi; memberikan cinta, lagi dan lagi.

 

Akan tetapi, saat kalian menjelaskan, buatlah mimik wajah yang paling misterius sekaligus paling nyebelin di seluruh semesta. Karena memang seperti itulah film ini. Dari dokter seorang, besoknya datang istrinya, hari berikutnya anak-anaknya, terus saja semakin banyak random people yang datang, dan Jennifer menemukan lantai rumah mereka berlubang dan mengeluarkan darah, dan ternyata di balik tembok-tembok kayu yang dirawat mati-matian olehnya, rumah mereka punya jantung!

Film ini mengeksplorasi tentang banyak hal. Setiap percakapan dengan tamu mengandung makna yang berbeda untuk kita tangkap. Ada juga menyinggung isu lingkungan. Membahas tentang gimana ketenaran bisa mempengaruhi kita dan orang sekitar. Menilik dinamika hubungan rumah tangga. Namun, yang paling kuat menguar dari narasi film ini, tentu saja adalah tema teologinya. Ya, menonton film ini sama SEPERTI BELAJAR HUBUNGAN MANUSIA DALAM PELAJARAN AGAMA. Membahas hubungan sosial dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan.

Sebelum lanjut, aku mau ngasih tau sebentar kalo aku sengaja milih lay out blog yang menempatkan tags di awal, di atas isi ulasan, supaya bagi kalian yang membaca, kalian akan menemukan label spoiler di sana. Jadi, pertimbangkan juga ini sebagai peringatan karena aku akan jarang sekali minta izin untuk membeberkan apa yang kuperlukan dalam mengulas suatu film. With that being said, Javier dan Jennifer dalam film ini memainkan tokoh yang merupakan personifikasi dari Tuhan dan, ya, alam. Tokoh mereka enggak diberikan nama, Javier simply disebut sebagai dia; Him dengan huruf H besar. Dan Jennifer adalah Mother. Ibu. As in Ibu alam.

What if God was one of us?
Dia suka dipuja. Hanya pria, seorang kepala keluarga yang ingin rumahnya penuh oleh kehidupan. Jadi dia mengundang kita masuk ke rumahnya. Mempersilakan kepada kita semua fasilitas. Menyuruh istrinya untuk menyiapkan segala yang kita perlukan. Tapi sampai sejauh apa kita overstaying her welcome? Sampai kapan kita terus menyangkal kerusakan yang kita lakukan sementara sang istri terus beri dan memberi hingga tidak ada lagi yang bisa diberi? Tuhan menciptakan, alam menyediakan, dan manusia menghabiskan. SIklus eksistensi dunia. Kita mengambil seenaknya, use everything as we pleased. Dan reperkusinya hanyalah alam yang menderita.

 

Ada banyak referensi kejadian di kitab suci. Luka di rusuk yang dilihat Jennifer pada si dokter, mengisyaratkan bahwa tamu yang diundang oleh suaminya itu adalah Adam. Adegan di pagi berikutnya membuktikan referensi ini; kita melihat istri si dokter muncul gitu aja di pintu depan Jennifer. Larangan suami Jennifer dilanggar oleh dokter dan istri. Dan kemudian kita melihat anak mereka berkelahi, yang satu membunuh yang lain sebagai referensi dari kisah Habil dan Qabil. Sikap ignorant para tamu yang tetep duduk di wastafel, menyebabkan wastafelnya rubuh dan pipa air bocor, Jennifer ngamuk dan mengusir semua tamu keluar adalah penggambaran gimana manusia suka mengabaikan peringatan alam. You know, kita sering kebanjiran karena ulah kita sendiri.

Bagian favoritku adalah setengah bagian akhir. Kegilaan total terjadi di sini. Ada sekuen yang ofensif sekaligus disturbing. Rumah mereka dipadati orang sepadat-padatnya, pokoknya tempat itu udah gak berbentuk. Mereka membuat setiap ruang sebagai tempat pemujaan kaum masing-masing, lengkap dengan ritual dan segala macem hal disturbing. Menunjukkan bahwa kita terkotak-kotak padahal memuja satu yang sama. Kita melakukan hal yang gak rasional, supaya apa? atas nama Tuhan biar makin disayang terus dikasih tambahan rezeki? Dalam film ini memang Tuhan digambarkan sangat baik. Tokoh Javier Bardem gapeduli barang-barangnya rusak karena toh barang bisa dibuat lagi. Dia memberi izin. Sekalipun marah, dia meredam, dia biarkan dirinya dan istri menanggung luka

Disuruh nyapu rumah sama ibu ini artinya disuruh nyapu seluruh dunia

 

Cerita yang dicraft dengan sangat baik. Godly, kalau aku lagi mood bikin pun, tapi aku masih terguncang oleh film ini. Aku masih kepikiran, aku masih kebanyak bentuk, malahan warna rumah itu. Gimana setiap sudutnya mengeluarkan suara. Aku merasa masih ada layer yang belum kuungkap. Masih banyak simbolisme yang tidak aku mengerti. Dan mungkin aku tidak bakal pernah mengerti lantaran aku bukan orang yang seratus persen relijius. Karena bahkan tata kamera, sinematografi film ini diarahkan untuk punya arti. Setiap kali ada Jennifer Lawrence, dan aktor ini hanya absen di adegan pembuka dan penutup film, kamera terus menempel wajahnya. Selalu close-up shots, entah itu kita melihat rautnya yang bingung ataupun kita melihat rambutnya tergantung. Sampai-sampai kita jadi pengen berdoa, meminta wide shots, karena kita pengen melihat lebih jelas hal aneh menakutkan apa yang dilihat oleh tokoh ini.

Dengan sebagian besar waktu kamera ngikutin wajahnya, Jennifer Lawrence tidak bisa untuk tidak bermain total. Dia tampak innocent. Dia sangat vulnerable. Dia acak-acakan di sini. Kalo Oscar enggak ragu sama peran film aneh seperti begini, menurutku penampilan JenLaw sebagai Ibu pantas untuk diganjar piala emas tersebut. Javier Bardem turut menampilkan performa yang menarik. He looks full of himself, tapi tidak pernah dalam kesan yang antagonis. Satu hal yang menarik lagi adalah, demi bikin atmosfer randomnya orang-orang yang namu ke rumah, Aronofsky juga memasang aktor yang random. Aku gak tau apa-apa soal film ini, aku gak nonton trailer, gak baca sinopsis, sebelum nonton aku jahiliyah film ini tentang apa, apalagi mengenai pemainnya – I have no idea siapa aja, dan buatku, begitu aku melihat aktor-aktor yang pop out rasanya memang random banget. Membuat film ini semakin kuat mengakar.

 

Tapinya lagi, Aronofsky juga mengambil resiko agar filmnya ini bermain dalam lingkup konteks. Alur narasi ini juga bisa kita lihat sebagai semacam ramalan, dan dunia kita berada di babak ketiga film. Tinggal nunggu waktu kiamat haha. Dan actually, ini menjadikan pace film agak bermasalah. Kita melihat hal-hal simbolik yang gila, pengalaman sosial yang canggung dan unsettled, untuk kemudian tensi film menurun; kembali ke keadaan sehari-hari, dan berlanjut dengan gila kembali. Hal ini bisa bikin kita gak sabar, beberapa adegan juga dibuat sangat dragging, ditambah pula dengan banyaknya topik yang dijejalkan. So yeah, gak semua orang bakal suka. Bahkan aku bisa lihat bakal banyak yang benci. Filmnya aneh, menyinggung, mengganggu. Namun tak pelak, film ini bakal dibicarain banyak orang. Aku sendiri enjoy menontonnya, and it certainly can affect us all.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for MOTHER!

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

STRONGER Review

“Trauma creates change you don’t choose.”

 

 

Tau gak kenapa acara Oprah itu terkenal banget, banyak orang-orang yang nonton padahal cerita yang dihadirkan oleh para narasumber di acara tersebut bukan cerita komedi, justru kisah yang menguras air mata? Karena sebagai manusia, kita suka mendengar cerita sedih nan pilu. Acara talkshow di tv lokal pun banyak yang kayak gitu, kita menonton orang menceritakan kembali trauma hidupnya, kita mendengar musik lembut di background, dan seketika kita menjadi terinspirasi. Menjadi semangat menjalani hidup dan segala ujiannya. Tapi pernahkah terpikir bahwa, untuk bisa duduk di sana, para narasumber sudah melewati suatu kerja keras yang sama sekali enggak inspiratif buat mereka sendiri. Narasumber itu adalah jiwa-jiwa yang berjuang dan menang mengalahkan trauma. Pelajarannya bukan terletak di trauma apa, kejadian besar apa yang berhasil mereka survive darinya. Kita harusnya melihat lebih jauh dari “Tuh, orang cacat aja giat bekerja”. Melainkan adalah bagaimana mereka berjuang untuk menjalin hubungan dengan orang-orang terdekat yang turut terguncang oleh peristiwa yang menimpa; bagaimana mereka berjuang untuk dapat hidup normal.

Jeff Bauman tidak mengerti di mana letak keren yang disebut oleh ibunya ketika dia mencoba berdiri dengan bantuan dua kaki mekanik. Lantaran dia sama sekali tidak merasa keren. Yang ada, dia malah kesakitan dan kelelahan. Jeff adalah korban peristiwa pengeboman acara marathon di Boston tahun 2013 lalu. Cowok dua-puluh-delapan tahun itu selamat, meski kedua kakinya harus diamputasi. Film ini memang diangkat dari kisah nyata Jeff yang hidupnya berubah setelah peristiwa tragis tersebut. Dia harus belajar menyesuaikan diri, begitu juga dengan manusia di sekitarnya; keluarga, teman, pacar, karena sekarang public menganggap Jeff sebagai pahlawan. Orang-orang akan datang sekadar berjabat tangan, atau meminta foto bareng, bahkan ada polisi yang urung menilang dirinya karena “hey, kau si Jeff Bauman yang itu rupanya!”. Dan perlakuan ini membuat Jeff gak nyaman. Yang dia lakukan hanya berdiri di sana, di tempat dan waktu yang salah sehingga kakinya buntung, dan mendadak orang-orang jadi mengelu-elukan dirinya. Jeff bingung, kenapa semua orang ‘mengasihani’ dirinya seperti begini? Apa sih makna “Boston Strong” yang dicamkan orang kepada dirinya?

cue lagu You Raise Me Up

 

Trauma enggak inspirational buat mereka yang mengalaminya. Malah lebih sebagai kerja keras yang memakan harapan sedikit demi sedikit, jika dihadapi sendiri. Perjuangan pasca trauma sangat bergantung kepada hubungan dengan kerabat dan orang tercinta di sekitar. Oleh karena itu, maka sesungguhnya ini adalah proses yang relasional. Kita harus belajar untuk saling berbagi. Dengar cerita inspirasional kehidupan orang lain, thank them as they say thanks to you. Jeff menemukan dirinya menjadi lebih kuat dari saling sharing. Kita tidak bisa berdiri dengan hanya satu atau tanpa kaki, toh.

 

Aku benar-benar gak nyangka aku tersentuh juga oleh aspek emosional film ini. Ceritanya sangat gut-wrenching. Sutradara David Gordon Green paham bahwa drama inspirasional bukan semata soal rintangan’luar’ yang harus dihadapi oleh tokohnya. Film ini juga membahas perjuangan internal yang membuat karakternya benar-benar bersinar. Oleh Green, bagaimana pun juga, kedua aspek ini berusaha ditangani dengan seimbang. Kekuatan arahannya terletak pada perspektif. Film ini membuat semua emosi sungguh-sungguh on point.

Ada banyak shot dan adegan yang membuat hatiku berasa ditarik-tarik. Kala pertama kali perban di kaki Jeff diganti oleh dokter misalnya, kita melihat gambar blur kedua paha Jeff di tengah layar, dibingkai oleh wajah Jeff dan wajah pacarnya – kita melihat seperti itu karena Jeff tidak berani melihat kakinya, dia lebih memilih untuk menatap mata si pacar. Atau juga pergerakan kamera yang berputar-putar mewakili perasaan Jeff di lokasi pengeboman beberapa menit setelah ledakan. Ekspresi para pemain tentu saja juga berperan besar. Di adegan Jeff disuruh jadi pembawa bendera di pertandingan football, kita bisa merasakan langsung kebingungan dan juga kemarahan perlahan merayap di wajah Jeff, buatku, ini adalah salah satu adegan yang paling gak-nyaman untuk dilihat sepanjang durasi. Dia gak tahan melihat orang-orang menatapnya seperti itu.

Saking mulusnya arahan, beberapa adegan film ini tampak kayak disyut secara spontan. Bergulir terjadi begitu saja. Bahkan para pemain ekstra pun, orang-orang yang minta foto sama Jeff, dokter dan para perawat rumah sakit, gak kelihatan kayak aktor yang dibayar. Reaksi mereka totally kayak regular people. Keluarga Jeff udah kayak interaksi sekumpulan orang-orang yang gede bareng, yang udah paham baik-buruk masing-masing. Alhasil, kita mantenginnya udah kayak  nontonin momen emosional beneran. Namun tentu saja, ujung tombak keberhasilan film ini adalah Jake Gyllenhaal yang bermain sebagai Jeff dan pacarnya, Erin, yang dimainkan dengan sama fantastisnya oleh Tatiana Maslany. Penampilan Jake di sini begitu luar biasa, dia terasa sangat nyata, orang ini enggak terasa kayak lagi berakting sebagai orang lain. Sosok Jeff benar-benar udah kayak mendarah daging pada dirinya. Setiap emosi yang dicurahkan, meski memang didesain untuk bikin sedih, tapi enggak lantas tampil over oleh Gyllenhaal.

Hubungan Jeff dengan Erin actually adalah salah satu aspek yang paling menyentuh yag dieksplorasi oleh cerita. Aku suka gimana kita bisa melihat dari dua sudut pandang sehingga bisa betul-betul paham internal drama mereka berdua. Sebelum tragedi bom tersebut, Jeff dan Erin sudah lama putus-nyambung. Jeff tidak pernah ada di sana setiap Erin butuhkan. Erin kesel ama sikap Jeff yang kayak anak-anak, dia curhat ke temennya bahwa mereka pacaran di rumah Jeff melulu. Ledakan bom sekalinya Jeff menepati omongannya untuk menunggu di garis finish, tak pelak menyatukan kedua manusia ini kembali. Bayangkan ada seseorang yang terluka hingga nyaris meninggal dalam usahanya membuktikan cinta kepadamu. Itulah yang dirasakan oleh Erin. Dia begitu concern sama Jeff, sehingga dia tidak lagi mempedulikan kans mereka pacaran di luar semakin kecil dengan kondisi Jeff yang sekarang. Hidup menjadi susah bagi Jeff, dia butuh banyak bantuan, dan setelah ‘asap bom’ tragedi itu menipis, mereka berdua kembali ribut. It’s just so powerful melihat kedua orang ini berusaha rekonek di tengah-tengah tragedi yang mengerikan.

kata orang sih, pertengkaran itu bumbu-bumbu cinta

 

Trauma membuat perubahan di dalam hidup yang tidak bisa kita pilih. Tetapi kita bisa memilih perubahan apa yang bakal kita lakukan sehubungan dengan langkah yang diambil untuk menyembuhkan trauma tersebut.

 

Selalu rada susah untuk mengulas film yang berdasarkan kepada kejadian dunia nyata, karena film-film seperti ini biasanya tidak completely ngikutin struktur naratif film sebagaimana mestinya. Mereka ingin menunjukkan peristiwa, dari awal hingga aftermathnya, dan cerita akan mengalir di luar aturan sekuens-sekuens film. Susah untuk enggak kedengaran terlalu kritikal soal ini, namun penuturan Stronger memang bisa terlihat sedikit berantakan. Kita sekonyong-konyong dapat adegan dia berenang, montage dia latihan menguatkan paha, dan sebagainya, yang gak really bermain dengan baik dengan format narasi tradisional.

 

 

Mengambil sudut pandang yang serius tentang trauma yang dialami seseorang dapat bertindak sebagai simbol harapan bagi orang lain. Ini adalah film inspirasional hebat yang menguar oleh emosi. Dan memang ada beberapa klise drama yang tak dihindari, penceritaan yang sedikit berantakan, namun penampilan akting yang fantastis dan arahan yang luar biasa membuat film ini benar-benar seperti kita melihat sekuens kehidupan nyata.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for STRONGER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.