THE BIG SICK Review

“Pleasing your parents is to attain Allah’s pleasure”

 

 

Fun fact: Di Pakistan, ‘Arranged Marriage (Perjodohan)’ disebut ‘Pernikahan’. Tanpa embel=embel.

Kalo di Sumatera Barat, Siti Nurbaya bilang “aku gak mau dijodohin, Ma!”, maka sebagai ekuivalen di Pakistan Siti Nurbaya simpelnya bilang “aku gak mau nikah, Ma!” Yang bikin makin kompleks adalah enggak banyak yang nekat jadi Siti Nurbaya di sana. Keseluruhan tradisi Pakistan adalah soal menghormati kehendak orangtua. Itulah yang dihadapi oleh Siti Nurbaya film komedi romantis ini, tapi dia bukan cewek. Seorang cowok stand up comedian yang juga nyambi jadi pengemudi Uber, namanya Kumail Nanjiani.  Dan ini adalah kisah nyata tentang gimana Kumail (memainkan diri sendiri di debut peran utamanya) bertemu dengan seorang yang sangat spesial bagi dirinya, menyangkut hubungan asmara mereka yang bergelombang oleh perbedaan kultur. Kumail pacaran sama cewek Amerika, yang mana melanggar salah satu peraturan emaknya yakni harus nikah sama cewek Pakistan. Cerita juga membahas gimana Kumail dan Emily (Zoe Kazan punya chemistry luar biasa dengan Kumail) pada akhirnya saling mengapresiasi – baik budaya dan ego mereka sendiri maupun orangtua masing-masing.

ada cewek yang nyaman-nyaman aja ngomongin boker di sekitar kalian? nikahin!

 

 

Aspek agama dan budaya, kompleksnya masalah yang timbul dari perbedaan pandang terhadap keduanya, menjadi tema besar yang diangkat oleh The Big Sick. Ini adalah masalah yang obviously benar-benar terjadi, banyak orang yang mengalami kejadian serupa, sehingga film ini bakal dengan mudah menemukan koneksi dengan penonton. Banyak orang terelasi dengan apa yang dihadapi oleh Kumail. Dan tidak sebatas itu saja pengrelasian kita terhadap tokoh ini. The Big Sick juga adalah tentang kerumitan keinginan anak beradu dengan keinginan orangtua. Seperti keluarga bahagia normal di Pakistan, keluarga Kumail yang tinggal di Amerika adalah keluarga yang taat terhadap peraturan agama dan peraturan sosial. Lewat tokoh Kumail, film ini menggambarkan pemeluk Islam sebagai tidak selalu serius seperti yang sering diduga oleh orang-orang Amerika. The Big Sick enggak ngasih pandangan yang menyudutkan, malahan film ini menangkap perjuangan identitas seorang imigran seperti Kumail dengan menghibur.

Kumail adalah muslim dengan pola pikir barat. Dia tidak mengerti kenapa dia harus sholat lima waktu, dengan diketahui oleh orangtuanya. Dia makan ati setiap kali kerjaannya sebagai stand up komedian disebut-sebut di meja makan mereka. Dia juga struggle untuk enggak langsung kabur balik ke kos setiap kali ibunya mengundang cewek pilihan untuk makan di rumah. Heck, Kumail bahkan disuruh manjangin jenggot kayak adiknya, meski dia udah bilang beberapa kali jenggot membuat wajahnya gatal-gatal. Stake yang tersaji adalah jika orangtua udah gak demen banget sama pilihan Kumail, dia akan ditendang dari silsilah keluarga, tidak akan ada lagi kerabat yang boleh bicara kepadanya.

Banyak dari kita yang dibesarkan oleh orangtua dengan tuntutan sebagai pupuknya. Kita diharapkan untuk menjadi sesuatu, memilih jalan hidup yang bener karena orangtua tahu yang terbaik. Makanya, banyak anak-anak yang tumbuh menjadi orang dewasa dalam keadaan takut-takut mereka mengecewakan orangtua. Susah untuk bikin orangtua bahagia. Susah untuk mendapat restu mereka, namun kita paham itu adalah hal yang penting, terlebih karena dalam agama Islam restu orangtua adalah restu Allah. Dan ini ditangkap dengan elok oleh The Big Sick karena pada akhirnya film ini menyentuh lebih dari sekadar romansa yang sangat lucu.

 

 

Di sinilah keindahan penulisan naskah menunjukkan perannya. The Big Sick tidak pernah mempersembahkan diri sebagai tontonan yang super serius. Dia tidak pretentious, enggak bermaksud totally ngajarin penontonnya. Komedi yang dihadirkan sangat real. Interaksi para tokoh tertangkap dengan mulus dan natural, bahkan terkadang film ini terlihat seperti semi dokumenter. Kita seperti menyimak percakapan beneran. Makanya film ini jadinya lucu banget, bukan semata karena diangkat dari kisah nyata, melainkan juga DIBANGUN TANPA PRETENSI. Beberapa adegan tampak seperti dimprovisasi gitu aja. Dengan chemistry luar biasa, tidak pernah terasa aktor-aktor tersebut overdoing akting mereka, hanya untuk jadi dramatis ataupun supaya lucu. Namun bahkan ketika aspek cerita yang lebih kelam dan sedikit lebih kuat hadir, mereka masih menemukan cara untuk memancing bibir kita tertarik membentuk garis senyuman.

Temanya sungguh real dan relevan dan relatable, kita sudah banyak mendapatkan film tentang hubungan cinta beda-budaya seperti ini. Film klasik Guess Who’s Coming to Dinner (1967) bisa dijadikan pioneer, atau kalo mau lebih deket lagi ada Ernest Prakasa dengan Ngenest (2015) yang menilik perbedaan sebagai momok yang walaupun kita berusaha cool about it, tetapi tetep ada dampaknya secara emosional. Awal tahun kita mantengin Get Out (2017) yang dengan kocaknya mengamplify ketakutan terhadap clash of culture dan ironisnya masalah rasisme. Dalam The Big Sick kita melihat Kumail yang menghadapi masalah seperti saat dia tampil ngestand-up, ada penonton yang merujuk ke stereotype teroris. The Big Sick  juga memiliki elemen yang membuat film ini berbeda dari film-film bertema serupa. Romantis dalam film ini bukan sekedar datang dari adegan dua sejoli tokoh kita saling cuddle di tempat tidur, mereka pacaran, kemudian berantem, terus balikan. Kejadian di babak kedua membuat film ini menjadi orisinal karena membuat Kumail harus menghabiskan banyak waktu dengan keluarga Emily yang sangat, sangat kocak. Secara personal, Kumail menjadi deket banget sama kedua orangtua ini, dia belajar banyak tentang masalalu Emily, hubungannya dengan kedua orangtua, serta Kumail mengerti apa yang terjadi di antara kedua orangtua Emily itu. Dan itu menjadi bahan pembelajaran yang lebih berharga lagi buat dirinya dalam kaitannya dengan menyintai orangtuanya sendiri.

kalo mau jadian ama cewek, deketin dulu orangtuanya hihi

 

Masalah yang bisa kutemukan buat film ini adalah pada durasinya. Menjelang babak ketiga bakal terasa panjaaaaaaang banget, sebab ada banyak sekuens yang tampak hendak menuju ke suatu titik, seperti ngetease akan terjadi sesuatu, tapi ternyata enggak. Sebenarnya ini lebih kepada masalah kodrat film ini sebagai kisah nyata. Susahnya mengulas dan mengritik film-film dari kisah nyata adalah akan tiba masanya bagi kita, saat menonton, untuk mempertanyakan sejauh mana porsi bagian nyata yang ditampilkan oleh film. Ketika ada suatu adegan yang lucu, misalnya, kita jadi ingin tahu apa memang benar di kejadian nyata seperti ini, mereka simply nunjukin dengan detil, atau mereka menambahkan bumbu-bumbu penyedap. Saat menjelang dan pada babak ketiga, banyak adegan yang membuatku bertanya seperti demikian, sehingga cerita rasanya sedikit terseok.

 

 

 

Amazing performances dari Kumail Nanjiani, Zoe Kazan, Ray Romano, Holly Hunter menghidupkan film dari kisah nyata ini menjadi benar-benar menggelora, karena kalo ada nilai kuat maka itu adalah komedi romansa ini sama sekali tidak prententious. Ini juga sangat lucu. Percakapannya terasa real. Akan ada banyak adegan ketika praduga dan konflik yang timbul dari perbedaan budaya dan agama, mereka harus work out their differences, namun sama sekali tidak pernah ditangani dengan klise. Dia juga tidak jatuh dalam jurang menghakimi ketika memperlihatkan struggle Kumail sebagai ‘alien di Amerika’. Tidak ada momen mereka meledak penuh emosi. Film ini sangat light-hearted meskipun tetap punya bobot emosional yang sangat kuat. Dan babak keduanya berhasil membuat film menjadi stand out. Itulah yang membuatnya menjadi menarik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE BIG SICK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

PETAK UMPET MINAKO Review

“We are what we hide.”

 

 

 

Apa yang sebaiknya dilakukan ketika sewaktu sekolah kita sering dibully oleh teman-teman? Well, itu tergantung kita masing-masing. Kita bisa mendem sendiri terus diam-diam bikin kaset sebelum bunuh diri kayak Hannah Baker. Atau kita bisa menyimpan dendam kesumat sampe bertahun-tahun lamanya, untuk melampiaskannya saat reuni. Kita adalah apa yang kita simpan. Yang kita sembunyikan akan mendefinisikan apa yang akan kita perbuat.

Seperti yang dilakukan cewek di film Petak Umpet Minako. Malam itu, cewek yang kuliah di Jepang tersebut mengusulkan kepada teman-teman reuninya untuk nostalgia ke gedung sekolah mereka yang lama. Sesampai di sana, niat mulia si cewek langsung kelihatan. Dia mengajak mereka semua untuk bermain petak umpet. Tapi ini bukan sembarang petak umpet, ini petak umpet impor dari Jepang di mana yang manusia bersembunyi sementara yang ‘menjaga’ adalah hantu! Dan untuk membuat hal lebih gawat, permainan itu punya satu peraturan gede: hanya ada satu orang yang bisa memenangkan pertandingan. Yup, sebaiknya segera aktifkan mode survival karena di dalam gedung sekolah yang lagi direnov tersebut, mereka tidak bisa percaya kepada siapapun.

definitely jangan percaya sama peran aktor yang punya nama yang enggak ngapa-ngapain di awal cerita

 

Hitori Kakurenbo, nama asli permainan yang jadi ide dasar film yang diadaptasi dari novel ini, konon sebenarnya adalah salah satu ritual pemanggilan arwah menggunakan medium boneka yang lazim dilakukan di Jepang pada jaman dahulu. Dan tentu saja, the whole tradisi dan urban legend tersebut menarik minat anak-anak muda yang penasaran. Aku salah satunya. Kalo saja aku bisa menjahit, maka aku bakal nekat ngelakuin berbagai macam peraturan untuk memainkan permainan ini. Aku gak akan menjelaskan peraturan permainan, apa yang dibutuhkan, dan segala macem teknisnya sebab film Petak Umpet Minako sudah mengambil banyak waktu untuk menerangkan kepada kita gimana sih cara memainkan petak umpet maut. Lengkap dengan pantangan dan catatan ekstra mengenai cara menangkal roh jahat yang bakal menjelma menjadi boneka yang kita pakai. Kita tahu ada pepatah barat yang mengatakan “curiosity killed the cat”, dan yeah, rasa penasaran atas permainan tersebut berhasil membujukku untuk menonton film ini. Dan aku berasa pengen mati di bioskop.

Keseluruhan film adalah cerita penyelamatan diri di dalam gedung sekolah di malam hari. Banyak yang bisa dieksplorasi dari lingkungan ini, belum lagi banyak tokoh-tokoh seolah mereka meminta untuk diberikan cerita. Tapi film tidak pernah mengolah mereka dengan dalem. Di menit-menit pertama aku masih tertarik. Aku masih bisa memaafkan kehadiran eksposisi yang amat banyak soal peraturan permainan. Eksposisi yang dibutuhkan, dan aku yakin ada cara yang lebih kreatif dan yang less-boring yang bisa dilakukan untuk menjelaskan semua. Tapi pada awal-awal itu aku tertarik karena menurutku adalah sebuah pilihan yang bagus mengangkat naskah dari sudut pandang korban perundungan (eh, pada udah tau belum sih kalo bully itu istilahnya Indonesianya ‘rundung’?) yang begitu ingin balas dendam sampai-sampai dia rela melakukan permainan yang turut mengancam dirinya sendiri.

Aku salah. Tokoh utama film ini bukan Vidha si cewek yang mengusulkan permainan petak umpet boneka. Jagoan kita adalah seorang cowok bernama Baron yang telat datang ke reuni, dan satu-satunya alasan dia dateng adalah karena ingin mencari pacarnya. So yeah, motivasi tokoh utama cerita ini adalah pengen menyelamatkan ceweknya. Standar abis. Baron adalah salah satu tokoh utama terburuk yang pernah ada di dunia sinema. Dia enggak bisa menghentikan pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Moral compassnya hanya jalan untuk hal-hal yang menyangkut sang pacar. Di tengah-tengah keadaan gawat, gagasan terbaiknya adalah berpencar. “Kamu tunggu di sini, aku masuk ngambil korek api”, kenapa gak barengan AJAHHHH? Baron juga butuh 3 scenes untuk membakar boneka, yang sudah ada di tangannya beserta alat-alat untuk membakar. Dan tau gak apa yang dilakukan Baron ketika giliran his butt yang harus diselamatkan – ketika dia disuruh cepat-cepat lari suapay temannya bisa buy some time dengan mengorbankan diri? Baron malah lari dengan slow motion, sebelum akhirnya jatuh pingsan!

Film ini tidak melakukan hal kreatif ataupun hal baru pada premis mereka. If anything, film ini cukup lihai menggabungkan ritual petak umpet setan dengan elemen Battle Royale (2000) dengan elemen The Mist (2007). Dan elemen zombie. Hanya saja di sini zombienya bisa mukul dan berantem alih-alih pengen gigit orang. Ada usaha untuk mengembangkan karakter dalam lingkungan tertutup ini. Kita melihat ada salah satu tokoh yang berkembang menjadi semacam cult leader, di mana dia dianggap penyelamat yang berhasil membawa mereka ke gedung Gereja yang aman, seperti Mrs. Carmody di The Mist. Tapi narasi tidak pernah melakukan hal yang benar-benar pinter buat tokoh ini. Sebenarnya ada banyak yang bisa digali dari petak umpet dan mitologi sekitar permainan itu sendiri, namun film sepertinya hanya tertarik pada twist yang enggak benar-benar masuk akal. I mean, ini adalah permainan di mana kita bisa memanggil arwah yang bisa hidup dengan mengambil wujud boneka mediumnya, mereka bisa paling enggak menggali sesuatu tentang obsesi dari sana. Sayangnya, Petak Umpet Minako hanyalah cerita satu lapis yang kadang-kadang belok dikit tanpa benar-benar terbayar dengan memuaskan.

kebayang gak sih susahnya bagi orang Jepang nyebut kata “leluhur”?

 

Sebagai makhluk horor, Minako punya presence yang mengerikan. Dia bukan boneka yang dirasuki, Minako adalah hantu yang mengambil wujud boneka yang dirasuki. Bayangin tuh. Kostum dan segala macam penampakannya berhasil membuat takut, namun tidak banyak yang dilakukan oleh Minako. Dia cuma going around mencari orang-orang sambil mengayun-ayunkan pisau. Di tengah-tengah kacaunya penceritaan dan mish mash elemen, film bahkan sepertinya melupakan Minako ini adalah hantu. Aku ngakak berat ketika Baron dan temannya berhasil mengalahkan Minako di gereja, kalimat pertama yang terucap dari mulut Baron adalah pertanyaan “Apa dia sudah mati?” I’m like, DUH SHE’S A GHOST!!!  Malahan ada satu adegan ketika Minako dibuat main tarik-tarikan pintu sama satu orang manusia. Apa Minako segitu takutnya sama air garam sehingga dia melupakan kodratnya sebagai setan yang bisa tinggal mencekek saja orang yang menghalangi jalannya?

Kalo ada benang merah yang menghubungkan poin-poin film ini maka itu adalah kata ANNOYING. Editingnya annoying; antara satu adegan dengan adegan lain dijahit enggak mulus, gak ada ritmenya. Tokoh-tokohnya annoying; mereka semua melupakan konsep utama main petak umpet, yakni diam-diam – gak ngeluarin suara. Reaksi dan motivasi tokohnya terlihat staged, enggak ada yang meyakinkan. Dan aktingnya? Aku yakin para aktor akan merasa malu kalo film ini ditonton oleh teman-teman mereka. Eksposisinya annoying; dialog film ini jarang sekali soal pengembangan karakter, it was either nerangin aturan main, teriak-teriak gak jelas demi drama,  ataupun “Mana yang lain?” “Si anu lari ke sana, si itu lari ke sini”  dan beberapa detik kemudian si anu dan si itu muncul. I mean, kenapa gak diliatin aja sih mereka tadi ngalamin kejadian apa, alihalih mendengarkan penjelasan dari orang yang gatot menampilkan eskpresi teror dan ketakutan. Flashbacknya annoying; akan banyak dijumpai adegan Baron ketemu temannya, dia nanya apa yang terjadi, dan si teman akan bercerita membuat kita masuk ke flashback yang  menjelaskan backstory yang enggak pernah ada build up ataupun pay offnya. Film ini bisa lebih baik jika diceritakan linear.

Efek dalam film ini lumayan bisa menghadirkan imaji yang seram. Tapi ada satu yang aku heran, kenapa mereka harus banget nampilin adegan boneka dibakar dengan menggunakan efek komputer? Apa budget segitu fokus di promosinya sehingga mereka enggak bisa mengusahakan properti dummy untuk dibakar beneran. Lucu aja ngeliat di satu adegan ada boneka terbakar dan di adegan berikutnya terlihat jelas di lantai enggak ada apa-apa.

 

 

 

Sebenarnya semua elemen-elemen yang bekerja parah tersebut bisa saja jadi mengasyikkan jikasaja film ini mempersembahkan dirinya sebagai sesuatu yang mengarah ke komedi. Nyatanya, film ini menganggap dirinya keren, it takes itself way too seriously. Ini adalah horor sejenis kucing-kucingan rumah-hantu dengan elemen menyelamatkan diri dengan jangan-percaya-kepada-siapapun yang penceritaannya sangat kacau. Tokoh-tokohnya tidak pernah bertingkah layaknya manusia beneran, kita tidak bisa peduli kepada mereka. Padahal ada premis dan sudut pandang menarik yang bisa saja menjelma menjadi horor yang segar. Tapi ngumpet banget dan arahan filmnya malah membuat kita enggan untuk menemukannya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PETAK UMPET MINAKO.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

IT Review

“Adults are the real monsters.”

 

 

Masa kecil ninggalin kenangan, hanya jika kita punya kelompok bermain. Teman-teman sepermainan yang sharing suka dan duka, bertualang naik sepeda bersama. Bahkan ketika kelompok tersebut dijuluki anak-anak lain sebagai The Losers’ Club. Bill, Ben, Richie, Eddie, Stan, Mike, dan Beverly jadi deket lantaran mereka sama-sama sering dibully. Bagi lingkungan sekitar, mereka tak lebih dari si Gagap, si Gendut, si Mulut Besar, si Penyakitan, si Anak Rabi, si Orang Luar, dan si Cewek Murahan. Tahun 1988an itu adalah waktu yang keras di kota Derry. Tapi Bill dan teman-temannya, mereka baik saja as they have each other. Perundung yang mereka benar-benar cemaskan bukanlah Henry Bowers yang suka main pisau lipat itu. Yang mereka takutkan adalah sosok yang sudah membuat banyak anak-anak lain menghilang, termasuk adik Bill. Sosok yang satu ini munculnya di tempat-tempat tak terduga, dia ‘memangsa’ rasa takut dan imajinasi anak-anak. Sosok yang jauh lebih menyeramkan daripada orangtua masing-masing. Pennywise the Dancing Clown. Dan dia bahkan bukan badut beneran!!

come float with us

 

Dengan seribu-seratus lebih halaman, sesungguhnya It adalah novel yang sulit sekali untuk diadaptasi ke layar lebar. Belum lagi predikatnya sebagai salah satu cerita paling seram yang pernah ditulis oleh Stephen King. Sebelum ini, It pernah disadur ke miniseri televisi yang dibagi menjadi dua episode. Quick review: miniseri televisi tersebut sudah berusaha untuk loyal kepada materi bukunya, mempersembahkan penampilan Pennywise yang seram, tapi dari segi efek memang terasa tertahan. Lagipula ketika ditonton bareng sekarang-sekarang ini, efek filmnya terasa sangat out-of-date. Banyak aspek kemampuan Pennywise yang tidak bisa digambarkan dengan baik tahun 1990 itu.

Makanya aku seneng sekali melihat apa yang mereka lakukan kepada Pennywise di film baru ini. Aktor Bill Skarsgard did an awesomely creepy touch terhadap si badut horor. Aku suka matanya tampak natural ketika melihat ke dua arah sekaligus, aku suka gimana ilernya menetes-netes setiap kali ngebujuk anak-anak. Sebenarnya Pennywise itupun hanyalah salah satu dari wujud jelmaan dari makhluk yang Bill and-the-genk sebut sebagai It (aku jadi teringat cerita Lupus yang nyebut hantu sebagai Anuan karena dia takut menyebutnya sebagai hantu). It mengambil bentuk yang berbeda-beda tergantung dari anak mana yang mau ia mangsa berikutnya. Dan dari adegan pembuka kematian Georgie yang sangat ikonik hingga ke menit-menit It bergiliran menakuti tujuh protagonis kita, film ini setia mengikuti apa yang tersurat di novel. Efek yang digunakan juga terlihat meyakinkan. Sutradara Andy Muschietti – sebelumnya menggarap horor Mama (2013) – paham bagaimana menebar visual untuk membangun adegan seram. Adegan Ben di perpustakaan ketika dia melihat halaman buku yang terus berulang dengan nenek-nenek menyeringai mengerikan di latar belakang adalah salah satu favoritku.

Para aktor cilik bermain luar biasa fenomenalnya. Mereka terlihat kayak teman sepermainan beneran. Highlight paling terang tersorot dari Finn Wolfhard yang kembali berperan sebagai anak 80an yang keliling naik sepeda, dia kebagian sebagai Richie si ‘badut’ dalam grup, dan Finn really nails his comedic role. Persahabatan mereka, gimana anak-anak bergaul, film ini merekamnya dengan jujur. Banyak serapah dan kata-kata jorok, hal tersebut bisa dimengerti karena – bagi orangtua yang masih menyangka anak mereka anak-anak manis – memang seperti itulah anak kecil kalo lagi bermain, di luar pengawasan orangtua mereka. Ada nuansa underdog beneran yang melingkupi mereka karena mereka harus berurusan dengan sesuatu yang tidak mereka mengerti, yang tidak akan ada yang percaya kepada mereka.

Untuk urusannya sebagai adaptasi, karakter para tokoh sebagian besar sama, dengan beberapa apa-yang-mereka lakukan yang dibuat sedikit berbeda. Ada beberapa tokoh yang terasa jadi sedikit lebih sederhana, like, mereka jadi agak terlalu stereotypical, terutama si Ben. Dari ketujuh anak, Ben actually tokoh favoritku di novel It. Makanya aku agak kurang sreg kenapa di film ini mereka enggak lagi bikin dam; yang meniadakan kemampuan Ben di mana Ben lah yang merancang dam. Juga soal ‘cinta segitiga’ Ben-Bill-Beverly yang menurutku mereka mengecilkan skenario sweet secret admirer Ben dan Beverly lantaran di sini Ben dibuat canggung banget.

Persahabatan anak-anak bertemu dengan monster tukang bunuh, humor ketemu horor – semuanya terasa fisikal. Meski demikian, It bukan sekedar cerita sekumpulan anak muda melawan musuh terbesar mereka, yakni ketakutan, yang terpersonifikasi sebagai badut dengan balonnya. Ada tone kelam seputar tumbuh remaja, sexuality, trauma dan gimana untuk melupakannya yang dibahas dalam narasi. Satu pesan yang menguar dari balik It adalah bahwa anak-anak muda begitu terbebani oleh ketidakadilan dunia yang lebih dewasa. Para orangtua digambarkan entah itu pemabuk, terlalu mengatur, manipulative, ataupun downright cruel – tidak pernah dipandang sebagai pahlawan oleh anaknya.

 

ada alasannya kenapa orang dewasa takut sama anak-anak

 

 

Aku tidak mengikuti perkembangan dan promosi untuk film ini, aku enggak nonton trailernya. Dan aku harus bilang, saat menonton film ini aku merasa sudah termisleading. Jadi menurutku, aku harus ngespoiler  sesuatu buat calon-calon penonton yang sudah pernah membaca buku ataupun nonton miniseri televisinya dan mengharapkan sesuatu yang berbeda dari film berdurasi dua-jam-sepuluh-menitan ini: It yang ini juga adalah CHAPTER SATUNYA SAJA. Dengan durasi sepanjang itu ditambah dengan beberapa perubahan kecil namun signifikan, saat menonton It kita bisa dengan mudah menumbuhkan asumsi bahwa film ini mengambil langkah adaptasi yang eksrim as in cerita bakal selesai tanpa ke babak mereka dewasa. Tapi enggak. Bagian masa kecil ini penting untuk pelandasan karakter dan relationship, sehingga meskipun agak ngestrech, film tetap harus membagi buku menjadi dua chapter (atau mungkin lebih, kita bisa ngarep). Fokus cerita adalah pada masa kanak-kanak para tokoh, and I just think they need to put the ‘Chapter One’ bit sedari awal.

Di sinilah sedikit masalah timbul; daging cerita It sebenarnya terletak di bagian ketika Bill dan kawan-kawan yang sudah dewasa ‘diundang reuni’ oleh Pennywise. Saat itulah cerita mengerikan soal trauma atas apa yang kita takuti mulai kick in. Maka dari itulah sebabnya, kenapa in the long 2 hours run film ini terasa semakin kehilangan intensitasnya. It bekerja dengan sangat baik sebagai HOROR SLASHER MENAMPILKAN ANAK KECIL DENGAN LEVEL KENGERIAN YANG SAMA SEKALI JAUH DARI LEVEL SEKOLAH DASAR. Aksinya brutal, nasib beberapa tokoh mengenaskan, walaupun kamera tidak pernah benar-benar menangkap sesuatu di luar batas sadis yang wajar. Akan tetapi, ada kehampaan pada intinya. Motivasi inner karakternya belum berjalan maksimal, plotting tokohnya belum full circle. Bahkan kota Derry gak benar-benar menjelma sempurna sebagai lokasi yang seharusnya berkembang seakan menjadi tokoh tersendiri oleh sejarah kelamnya. Aku suka gimana film ini memperkenalkan kita kepada tujuh anak tersebut dengan porsi yang sama besar, kita juga diperlihatkan apa bahan bakar ketakutan mereka, kelemahan mereka di mata Pennywise, tanpa menggunakan flashback – jika boleh kutambahkan sebagai perbandingan dengan versi miniseri tv. Namun adegan per adegan terasa berjalin dengan kurang mulus. Seperti tidak ada ritme, sebab sesungguhnya yang kita lihat memang setengah dari keseluruhan cerita. But then again, enggak banyak cara menghandle pembagian cerita It yang lebih baik dari yang dilakukan oleh film ini.

On the other hand tho, jika kalian baru pertama kali tahu cerita yang berjudul It, menonton ini akan terasa sama menyenangkan dan serunya dengan menonton horor slasher klasik semacam A Nightmare on Elm Street. Dan there’s nothing wrong with that, aku malah beranjak dari penonton film-film genre itu. Film ini  melakukan kerja yang sangat baik mengembalikan kita ke kejayaan genre monster pembunuh lewat tayangan yang juga kocak, penuh oleh penampilan akting yang meyakinkan.

 

 

 

This is one of the better Stephen King adaptation. Fokus cerita pada masa kanak-kanak para tokoh. Mereka madetin dan menghidupkan elemen-elemen paling mengerikan dari buku, dan wisely meninggalkan bagian yang kontroversial ataupun yang kurang bekerja dengan baik. Pennywisenya sangat menyeramkan, meski aku pikir tokoh ini bisa diberikan dialog creepy lebih banyak lagi kayak di buku ataupun mini seri tv. CGnya menyatu dengan mulus. Terang saja Chapter Keduanya akan sangat dinantikan karena kita bisa menagih janji cerita yang benar-benar berdaging saat film tersebut tiba di bioskop.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for IT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

IT COMES AT NIGHT Review

“It’s hard to wake up from a nightmare if you are not even asleep”

 

 

Apa sih yang datang malem-malem? Dingin? Debt collector? Diare? Sundel bolong yang jajan sate terus minta nambah soto? Kuntilanak yang bernyanyi “malam-malam aku sendiri tanpa cintamu lagi”? Kenangan mantan? Apapun itu, semuanya adalah bahan buat mimpi buruk. Yang membuat kita mengunci pintu dan jendela, memastikan enggak ada sesuatu yang nongkrong di bawah tempat tidur. Itulah metafora yang direferensikan oleh judul dari film yang posternya keren banget ini.

Mimpi buruk datang di malam hari. Dan ketakutan, dan dalam beberapa tingkat ketegangan dan paranoia terhadapnya akan membuat kita terjaga.

 

Ketika malam tiba, anjing milik keluarga Paul (Joel Edgerton begitu real sehingga menonton performa emosional dirinya akan turut bikin kita sesak) akan menyalak, mereka pun enggak akan keluar rumah. Paling enggak, tanpa mengenakan topeng gas dan membawa senjata api. Semacam virus sudah menjangkiti penduduk kota, mengakibatkan Paul beserta istri dan putranya, Travis yang beranjak 17 tahun (Kelvin Harrison Jr memegang peran penting dalam cerita yang emotionally horror banget) kudu mengarantina diri mereka sendiri. Mengubah rumah mereka menjadi semacam shelter perlindungan. Mereka tidak bisa membiarkan satu makhlukpun masuk sebab mereka tak ingin lagi menghabisi anggota keluarga sendiri, seperti yang mereka lakukan terhadap Kakek di menit-menit awal cerita. Suatu malam, Will (satu lagi penampilan luar biasa dari Christopher Abbott) mencoba menyelinap masuk demi mencari makanan dan air untuk keluarganya sendiri. Dua keluarga ini come in terms untuk tinggal bareng, ada kesepakatan dan perjanjian segala macem, namun tentu saja, isolasi tersebut semakin terasa. Dan horor lantas melanda.

Semua hal tersebut kita ketahui bukan dari adegan-adegan eksposisi, melainkan dari shot-shot cantik-tapi menegangkan buah tangan Trey Edward Shults. Sutradara ini tidak pernah menjelaskan apapun kepada kita. Tidak ada jawaban, kita tidak akan diberi tahu apa yang membuat anjing mereka lari, apa yang melukainya, kenapa anak kecil itu tidur di lantai, apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ada pendiktean. Cerita singkat yang aku tuliskan tadi adalah murni deduksi sendiri dari apa yang informasi yang diperlihatkan oleh film. Kita mungkin bisa akur pada beberapa poin cerita, akan tetapi untuk sebagian besar apa yang terjadi di dalam kepala karakternya totally dibiarkan ambigu. Kita enggak tahu siapa yang bisa dipercaya. KERAGUAN, KETAKUTAN, KEHILANGANPIKIRAN NEGATIF MANUSIALAH YANG MENJADI TOKOH ANTAGONIS dalam film ini. Makanya, film ini bisa misleading buat penonton yang mengharapkan bakal melihat setan.

“Mas, setannya ada?”

 

MIMPI BURUK ADALAH TEMA yang jadi elemen utama cerita. Kita tahu seseorang sangat passionate dengan projeknya jika mereka benar-benar memikirkan detil dan punya gaya sendiri. Itulah yang dilakukan oleh Edward Shults terhadap film ini. Untuk menyampaikan ketakutan dan paranoia para tokoh kepada kita, Shults tidak menyediakan jawaban pada narasi. Untuk menyampaikan tema mimpi buruk, Shults menggunakan banyak adegan mimpi serta treatment yang berbeda terhadap adegan-adegannya. Ia memanfaatkan long shot supaya kita penasaran dan bergidik ngeri ketika ada tokoh yang berjalan menyusuri rumah pada malam hari. Penerangan dibuat sangat minim, baik itu dari lampu semprong ataupun senter, sehingga meskipun tidak ada apa-apa di background, kita akan membayangkan yang bukan-bukan sedang berjongkok di salah satu sudut gelap itu. Namun, penggunaan banyak adegan mimpi, meskipun aku mengerti akan kebutuhan penceritaan, tetap saja membuatku sedikit dilema ketika disuruh menilai film ini.

Dalam film horor, langkah paling gampang adalah menyusupkan adegan mimpi untuk memancing adegan seram. It’s a cheap way, pengandaiannya sama dengan kalo ada penyanyi lagi manggung di suatu kota, tapi dia dicuekin, maka dia tinggal bilang “Selamat malam, Banduungg (atau nama kota tempat manggung)” dan penonton niscaya sorak sorai. Kalo kau ingin masukin adegan seram yang gak make sense ataupun gak nyambung, masukin aja sebagai adegan mimpi. Sebaliknyapun, saat kita menonton horor, sungguh sebuah hal yang annoying jika sudah terinvest sama satu adegan seram, eh tau-tau adegan selanjutnya adalah si tokoh terbangun dengan keringetan. Dalam It Comes at Night ada sekitar empat atau lima kali adegan mimpi. In fact, semua adegan mengerikan yang ‘mengecoh’ kita ada dalam konteks mimpinya si Travis. Untuk mencegah penonton ngamuk, dan supaya bikin filmnya gaya, Shults menggunakan treatment khusus. Setiap adegan mimpi diberikan ratio aspek gambar yang berbeda dengan adegan di dunia nyata. Bahasa gampangnya sih; pada adegan mimpi, layar tampak lebih sempit, perhatikan deh batas atas dan bawah layar. Nah itulah akibatnya, aku jadi sering terlepas dari cerita karena sibuk memperhatikan aspek ratio tersebut, mana yang mimpi mana yang bukan.

Pada babak ketiga, Shults memasukkan twist kepada treatment mimpi buruk ini. Ratio gambar dibuat sama dengan ketika adegan mimpi buruk sampai ke kredit penutu bergulir, namun baik Travis maupun yang lain tidak ada yang sedang tidur. Treatment ini menyampaikan pesan bahwa mimpi buruk Travis selama ini sudah menjadi kenyataan baginya. Pilihan mengerikan yang dibuat oleh ayahnya adalah pengingat yang nyelekit banget bahwa terkadang realita tidak kalah menyeramkan, malahan acapkali lebih disturbing, daripada mimpi buruk seribu bulan.

 

 

Pilihan-pilihan yang dilakukan oleh Shults untuk film ini semuanya dapat kita pahami kepentingannya. Bahkan di babak ketiga, kamera pun dipindah menjadi handheld, dan ini dilakukan supaya situasi horor yang terlepas dapat terhantarkan kepada penonton. Hanya saja teknik-teknik dan treatment ini keluar terlalu kuat, ia menutupi kebrilian penampilan akting. Dan tidak beanr-benar diimbangi dengan plot yang sama kuatnya. Padahal apa yang menimpa keluarga Paul, konflik emosi setiap karakternya sungguh nyata. Pertama kita paham betul ketakutan Paul – begitu juga dengan Will – jika  keluarganya sampai terancam bahaya. Paranoia tersebut mengubah manusia menjadi brutal. Membuat orang-orang saling menyerang, demi kepentingan keluarga mereka. Ya, seperti kata quote di tumblr soal gimana kalo lagi ngumpul dan tertawa bareng, kita akan otomatis melihat ke arah orang yang paling kita cintai di dalam kelompok tersebut; saat dalam keadaan takut dan chaos, kita akan menumpukan sandaran kepada keluarga. Hanya keluargalah yang paling dapat kita percaya.

Karena kata Max Black; keluarga hanya menginginkan duitmu, bukan darahmu.

 

Di tengah-tengah isolasi dan bimbang kepercayaan tersebut, ada Travis. Tentu bukan asal sebut saja ketika film memperkenalkan tokoh ini sebagai anak remaja. Travislah yang paling restless. Dia gak bisa tidur. Dia yang selalu galau di malam hari. Emosi yang ada di dalam tokoh ini begitu bentrok. Kalian paham dong pastinya, remaja umur segitu mulai meragukan orangtua – apakah ayahnya melakukan hal yang benar,  mulai takut kehilangan apa yang ia cintai, dan tentu saja mulai naksir cewek. Semua hal manusiawi tersebut menambah level keteganganm, diolah dengan begitu perhatian ke dalam narasi, sehingga kita dapat satu tokoh yang benar-benar kerasa konflik internalnya dan di luar semua itu, dia masih harus mengkhawatirkan virus yang bisa saja menularinya. Jadi kita mengerti dari mana mimpi-mimpi buruk terus menghantui dirinya.

 

 

 

Jika ada sesuatu di luar sana, maka kita tidak akan pernah mengetahuinya. Sebab, horor film ini justru bekerja berlawanan dari yang kita duga. Isolasi tersebut tidak banyak berpengaruh karena ketakutan datang dari dalam diri. Hidup kita rapuh, kita begitu gampang takut, dan ultimately paranoia akan menelan moral bulat-bulat. Ini adalah cerita yang sungguh devastating dan diolah dengan penuh kecakapan. Film ini menggunakan misteri sebagai sarana untuk menghormati kecerdasan penonton. Hanya saja aku bisa mengerti bahwa, sepertinya halnya The Babadook (2014) ataupun The Witch (2016), akan ada banyak orang yang kecele sama horor ini. Tidak ada sosok hantu, semua yang seram-seramnya hanya mimpi, tidak ada jawaban yang disediakan meski memang ceritanya emosional dan thought-provoking.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for IT COMES AT NIGHT.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2 Review

“So much of our future lies in preserving our past”

 

 

Kalian masokis kalo kalian pergi nonton ini dengan tahu persis seperti apa komedi Warkop, seperti apa komedi garapan Anggy Umbara, sambil masih nekat ngarepin film berisi nan bergizi  layaknya film-film arthouse.

Maksudku, ini adalah bagian kedua dari cerita tentang tiga polisi (alias Chip) yang harus membayar ganti rugi akibat ulah mereka sendiri, yang sebagian besar leluconnya adalah hasil daur ulang dari film-film versi jadul mereka, sementara sebagian lagi datang dari the real Indro Warkop yang muncul pake kostum-kostum konyol. Lalu kalian berniat untuk duduk di bioskop, nyatetin setiap kebegoan yang muncul di layar – enggak sabar ingin mencemooh semua keabsurdan itu dalam blog yang hanya diupdate kalo lagi kepengen, maka ya, itu sama aja dengan nyiksa diri. Karena kalian akan menemukan banyak, sebab film ini memang diniatkan untuk penuh oleh kebodoran. Malahan aku juga heran, kenapa orang-orang masih memerlukan review untuk film-film komedi konyol seperti ini. Jadi aku akan menyimpulkan dengan sederhana terlebih dahulu. Jika kalian mau cari jawaban apakah Warkop Reborn Part 2 ini adalah film yang bagus, maka jawabannya adalah enggak. Tapi jika kalian mampir ke sini demi mengetahui apakah film ini pantas untuk ditonton, maka kubilang; berhenti membaca, pergilah sana ke bioskop, dan selamat tertawa sebelum tertawa itu dilarang.

Dibandingkan dengan Part 1 (2016), Part 2 sedikit lebih berdaging sebab kali ini kita langsung tahu apa motivasi Dono, Kasino, Indro. Mereka tidak sekedar berkeliling melakukan hal-hal mindless. Membuka film dengan kayak serial tv, literally dengan tulisan “episode sebelumnya” disertai cuplikan film sebelumnya not necessarily menafikan keseluruhan Part 1, melainkan menegaskan bahwa Warkop DKI Reborn: Jangkring Boss memang memperlakukan Part 1 sebagai babak perkenalan. Tidak bisakah mereka mengemasnya menjadi satu film aja? Bukankah narasi jadi bisa lebih efektif? Tentu saja bisa, untuk kedua pertanyaan tadi. Namun kupikir kita sudah sama-sama tau alasan di balik mereka malah memutuskan untuk membuatnya menjadi dua. Jadi, Dono, Kasino, Indro, dan rekan cewek mereka Sophie terlantar di Malaysia; tas berisi harta karun yang mereka bawa ketuker sama tas seorang cewek berbaju merah. Sebelum mereka bisa mencari harta karun, mereka harus menemukan cewek baju merah tersebut. Dari mencari cewek di pantai (tentu saja tak ada Warkop tanpa pantai!), pencarian mereka berlanjut ke belantara pulau paling barat Malaysia yang penuh oleh misteri dan twist (tentu saja tak ada Anggy Umbara tanpa twist heboh!)

jadi kupikir sekarang kita tahu alasan kenapa hanya Indro seorang yang mengalami halusinasi, huh?

 

Tidak banyak peningkatan dari segi penampilan. Vino G. Bastian, Abimana Aryasatya, dan Tora Sudiro masih berusaha untuk tampil semirip mungkin dengan persona orisinal yang mereka perankan. Namun begitu, kali ini trio Warkop modern diberikan lebih banyak momen untuk bersenang-senang dengan karakter mereka. Paruh pertama film memancing kekonyolan dari Warkop yang bereaksi terhadap lingkungan sekitar yang asing – mereka anak Jakarta yang plesir ke Malaysia – serta sangat komikal. Pada bagian ini, jokenya enggak tanggung-tanggung, Umbara terus mendorong batas sekonyol-konyolnya. Kita melihat Kasino tumbuh payudara, manusia yang berubah menjadi dispenser, dan banyak lagi hal-hal gila semacam itu. Aku suka joke wajah di pintu, karena film mengambil waktu untuk membuild up towards that joke. Enggak sekedar nunjukin betapa kocaknya orang kejedot pintu sampai-sampai wajahnya tercetak. Efek komputer yang dipake masih terlihat kasar, apalagi yang bagian di pantai, dan kita harap maklum lantaran Dono bilang budget mereka lagi mepet.

Mempertahankan bagian terbaik dari Part 1; tokoh yang kerap breaking the fourth wall – ngomong ke kamera dan ngeMASH UP ULANG ELEMEN-ELEMEN DARI FILM WARKOP JADUL. Kasino bahkan benar-benar ngomong ke kita bahwa punchline yang dia pake “nyolong dari film dulu”.  Kali ini mereka mengambil banyak bagian dari film Warkop favoritku; Setan Kredit. Separoh bagian akhir adalah tentang Warkop keliaran di hutan, nyasar di pulau penuh hantu, mereka ngerehash adegan Indro berantem dengan pocong. Kita juga dapat bagian kocak antara Dono dengan Kuntilanak yang tergantung. Bagian Kasino ribut ama pohon, dia pakek jurus-jurus sableng, ini bisa kita jadikan pemanasan menjelang film silat Vino G. Bastian yang baru akan keluar tahun depan hihihi.. Anyway, film ini pun ada unsur horornya. Akan tetapi, tone cerita enggak pernah bentrok banget. Cerita selalu diarahkan untuk menjadi mahakonyol. Ketika kita noton film ini, concern bukan lagi pada seberapa bagus, melainkan seberapa ‘ajaib’ mereka mengolah materi.

Dono jadi Abimana. Abimana jadi Dono. Eh, mana sih yang benar?

 

Pada satu poin, Indro mengajak Kasino dan Dono berdoa apa yang baru saja mereka lakukan walaupun kalah seram, tetapi semoga masih lebih lucu dibandingkan Setan Kredit original. Sesungguhnya di balik mash up dan recycle, ada misi pelestarian. Banyak masa depan yang bergantung dari seberapa berhasil kita melestarikan masa lalu. Dan ya, tentu, mereka sah saja melakukan itu sembari mengumpulkan uang. They could come off as a villain, sure, seperti motivasi penjahat konyol dalam film ini. Tetapi, ketika pelaku sebenarnya sendiri yang langsung turun tangan, jika dia meminta untuk dilestarikan, penghormatan yang bisa kita berikan tentu saja adalah dengan mengapresiasinya.

 

Aku suka pada apa yang mereka lakukan terhadap kata “Jangrik, Boss!”. Twist di akhir cerita merupakan permainan kata yang menarik, dan actually memberikan arti yang lebih terhadap judulnya. One could argue bahwa separuh terakhir film lebih seru dan kocak dibandingkan bagian awal. Aku gak akan bilangnya tepatnya seperti apa, tapi setelah twist, peran Indro Warkop yang asli menjadi lebih menonjol, dan kita akan mengerti peraturan semacam apa yang berlaku dalam dunia film ini. Jika kalian pernah nonton serial Rick and Morty, maka kalian akan setuju aku bilang universe film ini bertindak kayak universe serial kartun itu. Cuma bedanya alih-alih planet, di Warkop Reborn ini kita akan melihat Indro dunia nyata dan Indro dunia film. Dan di bagian inilah menurutku yang sangat mendefinisikan film, disinilah keputusan finalku dalam menilai film ini membulat:

Part 2 memang lebih seru, namun tidak benar-benar lebih bagus dari Part 1. Pada Part 1 kita melihat film memperkenalkan trio Warkop yang baru. Walaupun karakternya enggak ada motivasi, kita bisa melihat film berusaha menghimpun narasi dari campuran film-film Warkop yang jadul. Ketika ada yang lucu, maka hal tersebut datang dari tokoh Warkop itu, di mana mereka berusaha untuk memperkenalkan – ralat, mengestablish – bahwa tokoh versi yang modern ini enggak kalah lucu. Sedangkan pada Part 2, dunia merekalah yang lucu. I mean, tokoh-tokoh mereka ditempatkan di dunia, di situasi yang tidak mereka tahu; di Malaysia, di hutan, di sarang bandit yang prajuritnya cewek semua, di dunia film. Dan ini seperti mereka tidak pernah lebih lucu dibanding dunia-dunia tersebut. Mereka bereaksi terhadap environment alih-alih beraksi. Merasa gak cukup dengan mengandalkan film Warkop jadul, Part 2 juga resort ke film-film jadul Indonesia yang lain; hanya supaya semakin lucu. Trio Warkop baru ini malah jadi kayak afterthought karenanya. Kita butuh untuk melihat lebih banyak adegan seperti nyanyi Andeca Andeci di mana para tokoh just having fun and being themselves. Mengandalkan interaksi mereka. Tapi ketika berharap pun mestinya aku harus hati-hati, karena tak lama setelah itu, kita dapat adegan Kasino bermimpi mereka bertiga lagi chicken dance. Bagian tersebut sangat entah-dari-mana, gak perlu, dan enggak benar-benar lucu.

 

 

 

So good at being bad, sampai membuat kita tertawa sepanjang durasi. Dengan banyak referensi, film ini bukan hanya sebatas melestarikan legenda Warkop, film-film klasik Indonesia pun turut serta diperkenalkan kembali lewat nada komedi. Yea ada ambisi dan kita bisa sedikit menyipitkan mata di sini, but when you’re having fun, you’re having fun!
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 stars for WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

BABY DRIVER Review

“Music plays the melody of our being.”

 

 

Apa soundtrack hidupmu hari ini? Well, yea, oke, kalimat tersebut terdengar cheesy, tapi memang kita sering mendengarkan musik buat mengamplify apa yang sedang kita rasakan. Banyak orang menggunakan musik sebagai cara ‘melarikan diri’ dari kehidupan yang membosankan. Misalnya ketika lagi disuruh nyapu rumah, kita ngerjainnya sambil dengerin musik rock supaya menjadi lebih menarik dan kita bisa ngayal jadi Slash – ngejrengin sapu seolah benda itu adalah gitar. Kita merelasikan emosi terhadap musik, bahkan terkadang kita bertindak sesuai iramanya. Musik entrance pemain WWE yang kita dengar mengiringi kedatangan mereka itu bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarana untuk menguatkan karakter. Maka tak jarang superstar berjalan ke atas ring dengan gerakan yang selaraskan dengan hentakan musik. Satu hal lagi yang sering dilakukan orang kalo lagi punya perasaan yang membuat mereka ingin ‘melarikan diri’ adalah ngebut di jalanan. Jadi, begitulah film Baby Driver menemukan jalannya masuk menjadi sangat dekat dengan kita semua. Melalui musik yang keren dan adegan kebut-kebutan yang seru!

coba deh sesekali ngebut sambil dengerin lagu anak-anak jadul Aku Cinta Rupiah

 

Film terbaru dari salah satu sutradara favoritku ini adalah cerita tentang seorang cowok yang noleh kalo dipanggil Baby. Hobinya cukup aneh. Bukan hanya selalu mendengarkan musik yang ia dengar melalui ipodnya, Baby juga suka merekam percakapan orang-orang dan mengubah potongan-potongan dialog tersebut menjadi semacam mix tape untuk ia dengarkan di kemudian hari. Rekan kerjanya pada heran ngeliat Baby yang jarang bicara dan lebih suka menghentak-hentak asik sendiri dengan earphone senantiasa di telinga. “Is he slow?” tokoh Jamie Foxx meledek seolah Baby mengalami keterbelakangan mental. Namun, jika ada satu yang tidak bisa dilakukan Baby, maka itu adalah pelan-pelan. Gini, Jamie Foxx dan ‘rekan kerja’ Baby sebenarnya adalah perampok elit, Bos mereka adalah Kevin Spacey, dan kerjaan Baby adalah sebagai supir yang menghantarkan para perampok itu pulang ke markas dengan selamat.  Baby kerja begini demi melunasi hutangnya kepada si bos. Hanya tinggal satu perampokan lagi sebelum utang tersebut lunas, akan tetapi berkat kefantastisan kecepatan dan teknik mengemudi Baby yang seng ada lawan, tidak semudah itu bagi dirinya untuk minta berhenti dari pekerjaan.

Baby is the best at what he does. Ngebut sambil mengapresiasi musik dengan caranya sendiri. Dari kekerenan apa yang dilakukan oleh Baby, perlahan akan terungkap bahwa itu adalah caranya mengekspresikan his vulnerability. Musik dan ngebut adalah cara Baby ‘mengalahkan’ trauma masa kecil yang masih terus menghantui. Dua hal tersebut juga jadi jalan buat Baby menenggelamkan rasa bersalah atas pekerjaan yang enggak disetujui oleh hatinya. Baby ingin memberi arti kepada kenyataan yang ia hadapi. Namun, dalam setiap belokan, Baby – dan juga kita – diingatkan bahwa  ada hal yang tak bisa kita lari darinya. Bahwa selalu ada ujung di setiap jalan gak peduli betapa lihainya kita mengemudikan hidup.

 

Edgar Wright, lewat film ini membuktikan, bahwa ia juga adalah the best at what he does. Banyak kritik yang menyebut karya-karya sutradara ini masih terlalu memikirkan gaya. Dan kata-kata tersebut benar. Namun aku enggak setuju untuk menyebutnya sebagai kritik. Karena menurutku, gaya adalah salah satu faktor penting yang harus terus diasah oleh pembuat film supaya film mereka kentara perbedaannya dengan film-film karya orang lain. Bayangkan kalo semua film style berceritanya seragam gitu-gitu mulu, pasti kita yang nonton lama-lama bakal bosen ke bioskop. Setiap karya Edgar Wright selalu insanely kocak serta punya pace yang extremely cepet dengan editing yang sangat precise. Ketika kita nonton Baby Driver, walaupun jika kita belum tahu ini dibuat oleh Wright,  atau bahkan kita hanya nonton sepotong adegan acak, kita akan langsung spontan tahu bahwa aksi kebut-kebutan kriminal ini dibuat olehnya. Sebab arahan Edgar Wright sangat spesial, tidak ada filmmaker lain yang menangani adegan per adegan seperti yang ia lakukan.

Tidak ada pengadeganan yang membosankan. Babak satu film ini – dan ini tidak berlebihan – adalah kesempurnaan dalam filmmaking. Sekuen kejar-kejaran mobilnya adalah yang terbaik yang bisa kita minta ke mbak-mbak penjaga tiket. Hebatnya, semua stunt dahsyat itu tampak benar-benar bisa dilakukan di dunia nyata, meskipun memang ada sebagian kecil yang memanfaatkan teknologi grafik komputer.

Tidak seperti pada Atomic Blonde (2017) yang musiknya malah terdengar menerobos dan enggak benar-benar paralel terhadap film, penggunaan musik dalam Baby Driver teramat sangat integral sama narasi. Musik adalah bagian penting dalam penokohan Baby. In a way, kita bisa bilang bahwa ini adalah film SETENGAH-MUSIKAL sebab gedenya pengaruh elemen musik. Lagu-lagu asik tersebut disulam sempurna, diedit dengan sangat precise sebagai bagian dari adegan. Pada bagian awal film, ada satu adegan panjang yang diambil gak-putus di mana Baby pergi beli kopi dan dia ngelip-sync lagu yang ia dengar sepanjang jalan; adegan yang sangat menyenangkan dan bakal bikin kita melotot lantaran Edgar Wright juga sangat visual dalam bercerita. Perhatiin deh gambar graffiti yang dilewati oleh Baby. Ataupun pada adegan ending, Wright memutuskan untuk mengakhiri cerita dengan nada yang sedikit ambigu, dan clue-clue pada layar dapat membantu kita untuk sampai ada kesimpulan bagaimana menurut kita masing-masing kelanjutan kisah romansa Baby.

Ya, kisah cinta adalah salah satu elemen besar di sini. Setelah babak pertama yang luar biasa exciting, film sempat ngerem dikit demi membangun romance antara Baby dengan waitress kece yang juga demen mendengar musik. Relationship mereka tampak cute banget. Dari hubungan Baby dengan Debora ini bisa aja menimbulkan tren pacaran baru di dunia kita; duduk mesra sambil nyari lagu-lagu yang ada nama pacar masing-masing. Hihihi, so sweet yaa.. Anyway, yang bernama Howuo pasti juara, dan nama Arya menangnya saat absensi kelas doang hhuuff..

 

Debora mirip banget yaa sama Shelly yang di serial Twin Peaks

 

Sekalipun sangat kuat dalam gaya, namun Edgar Wright tidak pernah melupakan substanti pada setiap ceritanya. Penulisan Baby Driver sangatlah on-point. Strukturnya berhasil memberikan banyak kepada Baby meskipun tokoh utama kita ini hanyalah semacam orang suruhan yang tidak mau berada di sana. I mean, Baby kebanyakan bereaksi ketimbang beraksi – sesuatu yang kebalikan dari rumus tokoh utama –  tetapi film masih mampu mengolahnya sehingga senantiasa menarik. Baby adalah karakter unik yang sangat menarik. Ada adegan menarik ketika tokoh Jamie Foxx kesel atas kurangnya perhatian yang diberikan Baby kepada rencana perampokan mereka. Baby asik dengerin musik. He was like, Boss I don’t trust him, he’s not paying attention. Nanggepin protes ini, Kevin Spacey dengan bangganya menyuruh Baby mengulang rencana tadi, dan Baby dengan lancar banget menjelaskan ulang semuanya. Pada babak ketigalah, karakter Baby mekar sempurna. Dia memilih jalan hidupnya sendiri, dan naskah to some extent terus memberi rintangan. Kita dapat banyak sekali sekuens aksi yang sangat menakjubkan di babak ini sampai-sampai kita melihat Baby harus melakukan pekerjaan terbaiknya, yaitu ngebut, tanpa mobil. Nah lo!

Jamie Foxx yang so sly and badass, Kevin Spacey yang bisa ngomong begitu cepat tanpa meninggalkan satu ekspresi pun di belakang, Jon Hamm yang mampu mengembangkan karakter dari sepenggal dialog backstory, Lily James yang namanya ngeri banget gabungan orangtua Harry Potter, ini adalah jajaran cast tidak bisa membuat film menjadi buruk – malahan menjadi semakin menghibur. Yang membuatku khawatir memang cuma Ansel Elgort seorang. Sebab biasanya dia main di film-film adaptasi novel young adult, dan dia enggak pernah benar-benar stand out. Perannya sebagai Baby adalah peran yang enggak kita sangka bakal ditujukan buat dirinya. Setelah menonton ini, aku membuang kekhawatiranku ke luar jendela. Ansel Elgort bermain sangat baik dalam adegan-adegan aksi, juga di bagian yang lebih intens. Karakternya yang pendiam, dan dalam diamnya terluka secara psikologis dapet banget dimainkan oleh Elgort. Menurutku dia lebih cocok berperan di film-film seperti ini.

Ketika aku nulis babak kedua lebih lambat dibanding babak pertama, maka itu sebagian besar lebih disebabkan oleh bagian romance yang kurang masuk dibandingkan oleh minimnya porsi aksi. Aku enggak mampu terinvest banyak kepada elemen relationship mereka karena I didn’t find development tokoh Debora benar-benar kuat dan esensial. Kenalan dan percakapan mereka manis tapi terasa abrupt. Terasa cepat dan kurang dalem. Dalam makna, sepertinya hidup Baby mudah diarahkan begitu aja oleh keinginan Debora. Cewek ini juga mudah terbawa gitu aja, padahal situasinya mengancam nyawa. Entah ini lantaran karakternya dibuat cinta mati ama Baby atau film memang kepengen ngebuild cinta mereka seolah fantasi sehingga bisa bekerja membangun ending yang ambigu tadi.

 

 

Setengah musikal, setengah kejar-kejaran mobil yang sangat intens dan menakjubkan. Penulisannya sangat on-point. Babak kedua di bagian romance adalah bagian yang paling lemah dalam film ini. Di luar itu, menonton ini adalah perjalanan yang sangat seru. Musik asik yang keras, mobil keren yang ngebut, fast and loud, this movie is a total blast! Edgar Wright directs the shit out of this movie. Kocaknya juga khas banget, bagi yang suka karyanya yang terdahulu, pasti bakal merasa seperti pulang ke rumah. Kita akan merasakan ketertarikan emosional yang kuat sama seperti Baby terattach dan menjadikan lagu-lagu itu sebagai pengisi hidupnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for BABY DRIVER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE HITMAN’S BODYGUARD Review

“Blaming others is nothing more than excusing yourself.”

 

 

Samuel L. Jackson adalah pembunuh bayaran ternama yang kemampuan dan kelihaiannya membunuh orang-orang dunia hitam tidak perlu diragukan lagi. Ryan Reynolds adalah bodyguard kelas kakap (Level Top-A, seperti yang biasa ia ingatkan kepada dirinya sendiri) yang selalu sukses mengawal bos-bos berkantong tebel. Dan The Hitman’s Bodyguard adalah komedi aksi dengan gimmick klasik yang berhasil dieksekusi dengan baik; Alih-alih diadu, Jackson’s Kincaid malah dipasangkan dengan Reynolds’ Bryce dalam sebuah misi escort di mana si bodyguard harus mengawal si hitman – sepanjang jalan mereka diberondong peluru – memastikan Kincaid sampe dengan selamat di pengadilan sehingga dia bisa memberikan kesaksian untuk memenjarakan seorang diktator kejam yang dimainkan oleh Gary Oldman.

Mana pekerjaan yang lebih mulia; membunuhi orang-orang jahat atau malah melindungi mereka. In a way, konsep film ini mirip dengan Death Note (2017). Apakah kita punya kuasa untuk menegakkan hukum sendiri, atau memang lebih baik membiarkan hukum dan segala prosedurnya mendirikan kebenaran.

 

Practically, The Hitman’s Bodyguard adalah REYNOLDS DAN JACKSON SHOW. Chemistry komedi kedua aktor kawakan ini luar biasa natural. Menghibur sekali melihat Bryce dan Kincaid saling ‘menghina’. Ryan Reynolds tampil prima, perannya di sini lebih sebagai reactor dari tek-tok komedi mereka. Samuel L. Jackson, however, seperti all-around player dan jika Goku di Dragon Ball punya wujud Super Saiya, maka Jackson dalam film sudah total dalam wujud ‘motherf*cker’ yang benar-benar entertaining dan tak-terkalahkan. Aku paling ngakak di adegan Kincaid bernyanyi di dalam mobil, and it’s pissing Bryce off, sehingga Bryce juga tau-tau nyanyiin lagu I Saw the Signnya Ace of Base. Momen yang sangat kocak. Tipisnya penokohan masing-masing terbukti bukan alasan buat mereka untuk gak tampil maksimal. Terutama bagi Ryan Reynolds, yang tampaknya either masih belum cukup dengan Deadpool atau gak mau kalah sama Ryan satu lagi yang sukses dengan komedi aksi The Nice Guys (2016), dan ingin ngepush komedik deliverynya lebih jauh lagi. Jackson dan Reynolds terlihat seperti memainkan diri mereka sendiri dalam tone yang komikal, dan inilah yang membuat cerita lawan-jadi-teman mereka begitu menarik perhatian.

you give motherf*cker a bad name

 

 

Akan ada banyak adegan kejar-kejaran. Kincaid dan Bryce entah berapa kali diudak-udak sambil terus ditembaki. Banyak dari adegan tersebut akan membuat kita melupakan sejenak bahwa ini adalah cerita yang nyaris dua jam. Dan sebagian besar sebabnya adalah arahan yang diberikan oleh Patrick Hughes. Dibandingkan dengan saat menangani aksi dalam The Expendables 3 (2014), sekuens aksi Hughes mengalami banyak peningkatan. Ketergantungan terhadap CGI ia kurangi sedikit, sehingga membuat kejadian-kejadian dalam film ini lebih mudah dipercaya. Walau tetap saja fairly ridiculous dengan jumlah ledakan. Tapi paling enggak, kali ini setiap bagian aksi diedit dengan leboh baik. Menjelang babak ketiga, ada sekuen aksi yang hebat ketika Bryce harus berhadapan satu lawan satu dengan salah satu orang suruhan Gary Oldman. Bryce harus menggunakan berbagai macam benda yang bisa ia temukan dalam toko peralatan bangunan tersebut, seperti aksi-aksi pada film Jacky Chan. It was a lot of fun, sama seperti kata yang kita gunakan untuk menggambarkan film ini secara keseluruhan.

Ketika kita berpikir kita sudah mengusahakan sebaik mungkin apa yang bisa kita upayakan, kita sudah memperhitungkan segala kemungkinan gagal dan sebagainya, kita sudah mempersiapk diri. Kita kira kita sudah memikirkan semua, dan sesuatu yang kita usahakan tersebut turns out gagal karena ada satu hal di luar perkiraan, maka kita akan kecewa bukan kepalang. Ngamuk, bahkan lebih parah, kita bisa depresi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang insecure, jadi kita ingin meyakinkan diri bahwa kita sudah memegang kendali. Makanya, sesuatu kegagalan yang di luar perkiraan, akan membuat kita ingin ada yang dipersalahkan. Tapi kita tidak akan menyalahkan diri sendiri, kita terlalu bangga atas diri. Kita berbalik menyalahkan orang lain.

 

Nyaris di setiap kesempatan, film ini akan berbelok ke arah kekonyolan. Hal terbaik yang datang dari sana adalah Salma Hayek yang berperan singkat sebagai istri Kincaid. Tokoh ini dipenjara terpisah, dan ia jadi motivasi dari tindakan ‘baik’ yang dilakukan oleh Kincaid. Sendirinya, tokoh Salma Hayek ini bersikeras enggak bersalah, namun jika kita lihat sikapnya yang ngebos, terlebih di adegan flashback ketika Kincaid bercerita tentang bagaimana dia pertama kali bertemu dengan sang Istri, kita tahu lebih baik bahwa mestinya cewek ini memang dipenjara. Naskah selalu menemukan cara untuk ngebanyol dengan apa yang dilakukan oeh tokoh ini. I mean, the stuff they do with her character, maannn.. sehingga meskipun screentimenya memang gak banyak, Salma Hayek sukses berat mencuri perhatian. Dan menurutku, adalah keputusan yang baik untuk enggak sering-sering amat resorting ke tokoh ini, lantaran she’s actually sangat kocak tapi bakal jadi annoying jika kebanyakan.

relationship Kincaid dan istrinya membuktikan bahwa benar, love hurts. Menyakiti orang lain, tepatnya

 

Terutama jika kita melihat gambar besar keseluruhan cerita. The Hitman’s Bodyguard pada lapisan terluarnya bicara tentang kasus otoritas penguasa, di mana tokoh yang diperankan oleh Gary Oldman didakwa sudah membunuh warga negaranya sendiri. Seharusnya ini adalah tema yang sangat kelam. Namun narasinya berkembang dalam arahan yang hilarious. Ini membuat film terasa enggak imbang. Kit akan terombang ambing antara komedi absurd ke action yang enggak kalah absurdnya, terus ke elemen yang lebih kelam ketika film membahas topik penjahat utama. Rasanya enggak klop aja. Kasus yang mereka tangani itu terlihat berada di ranah yang berbeda dengan aspek-aspek film yang lain. Gary Oldman memainkan penjahat klasik yang kayak ditarik dari film action yang lain. Beneran deh, lima-belas menit terakhir film, yang bagian courtroom itu, lebih terasa kayak extended ending dibandingkan konklusi beneran. Seolah ada dua penyelesaian; aksi dan komedi yang ringan dan plot tragis soal racial dan politik. Dan penulisan antara kedua aspek itu enggak pernah benar-benar seimbang.

 

 

 

Perfectly enjoyable action comedy. Kali ini kerja sutradara bagus banget mengarahkan bagian aksi sehingga kita enjoy menonton ini. Komedinya yang konyol namun kocak juga bekerja dengan baik, para aktor ngedeliver line dan timing mereka tanpa cela. Fokusnya ada di hubungan yang terjalin antara dua karakter yamg berlawanan dan aksi kejar-kejar yang dibikin sebelievable mungkin. Penulisan ceritanyalah yang sedikit tidak berimbang. Tapi sepertinya, hal tersebut tidak akan menjadi masalah buat sebagian besar penonton.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE HITMAN’S BODYGUARD.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

DEATH NOTE Review

“I’m for truth, no matter who tells it. I’m for justice, no matter who it’s for or against.”

 

 

Sebagai seorang full-pledged nerd ada tiga hal yang kuidam-idamkan di dunia ini; surat undangan masuk Hogswart, kostum Iron Man, dan buku Death Note. Tapi kutebak, setiap dari kita pasti pernah berada di dark place of our live sehingga begitu pengen punya Death Note supaya bisa menghapus ‘masalah’ dengan gampangnya. Konsep seseorang bisa membunuh orang lain semaunya, hanya dengan mengetahui nama dan wajah diolah ke dalam perang prinsip dan mental yang sangat menantang pikiran. Aku enggak ngikutin anime ataupun manganya, but I do nonton adaptasi orisinal Jepang yang tayang tahun 2006, dan aku ngefan berat sama film tersebut. Mengenai adaptasi Amerika yang tayang di Netflix ini, aku excited sekaligus ngeri. Aku menganut kepercayaan bahwa adaptasi adalah interpretasi, demi kreativitas dan penyesuaian, sudah sebaiknya adaptasi berbeda dari source materialnya. Tapinya lagi, aku ngeri film ini jadi beda banget hingga hancur seperti Dragonball: Evolution (2009).

Anime adalah media entertainmen yang paling sering disepelekan oleh penonton. Kita kalah keren deh di depan cewek kalo ngaku suka anime, dibandingkan kalo kita bilang suka film action. Padahal anime punya pengaruh yang sangat gede buat perfilman dunia, apalagi perfilman Amerika. The Matrix aja berkiblat ke Ghost in the Shell. Maka, ketika anime-anime itu disadur ke layar lebar, mereka akan mendapat penyesuaian supaya ide cerita dan konsep yang menarik dapat diterima oleh masyarakat yang lebih luas. Jadi, ya aku mengerti serta sudah mengharapkan bakal menjumpai banyak perubahan; latar, peatau mungkin sudut pandang, antara Death Note versi Netflix dengan versi orisinalnya.

Cowok SMA jenius bernama Light Turner (versi Light yang lebih ‘cengeng’ dimainkan oleh Nat Wolff) memungut buku hitam yang jatuh bersama air hujan dari langit. Buku yang bisa membunuh siapapun yang namanya tertulis di sana. Light lantas disapa oleh Shinigami Ryuk si empunya buku. Ryuk (suara Willem Dafoe adalah salah satu hal terbaik di sini) menggebah Light untuk menggunakan kemampuan buku ajaib tersebut demi ‘kebaikan’. Dengan kemampuan ini, Light eventually menjelma menjadi persona yang dikenal orang sebagai Kira; anonim yang membunuhi penjahat-penjahat tak tersentuh hukum di seluruh dunia. Kira boleh saja dipuja sebagai dewa, namun pembunuhan tetaplah pembunuhan. Seorang detektif muda yang sangat brilian muncul dan menangani kasus Kira. Dan mind games kucing-kucingan di antara Kira melawan L (Lakeith Stanfield sebagian besar memainkan mannerism eksentrik tokoh ini) pun dimulai.

Setiap orang yang berpikir benar akan melakukan tindakan yang benar. Implikasi di balik cerita buku yang bisa membunuh orang dengan hanya menuliskan nama sambil mengingat rupa si target sesungguhnya adalah bahan pemikiran yang benar-benar menarik. Kira dan L sama-sama berjuang demi kebenaran. Tapi kebenaran yang mana? Masing-masing percaya bahwa kebenaran versinya lah yang hakiki. Tidak ada hitam dan putih di dunia yang penuh oleh orang-orang jahat.

 

Sukurnya, film ini enggak separah Dragonball: Evolution. Kita bisa merasakan usaha dari sutradara Adam Wingard, ia tidak sekadar memasukkan elemen-elemen signature Death Note ke dalam satu jam empat puluh menit. Film ini masih kompeten meski memang beberapa pilihan style, artistik, juga musik terasa aneh dan benar-benar di luar karakteristik cerita yang dark seperti begini.  Aku mengerti mereka ingin membawa cerita yang kompleks ini menjadi lebih ramah buat ke pasar Amerika. Oleh karena itu, pilihan castingnya bisa dimaklumi. Sayangnya, pengertian lebih ramah buat pasar Amerika itu berarti  menyederhanakan sehingga malah merubah drastis beberapa hal yang justru adalah kekuatan dari konsep Death Note.

Light merancang episode Final Destination

 

 

Perbedaan yang bisa langsung kita dengar adalah Death Note kali ini SANGAT ‘RIBUT’. Menjelang akhir  banyak sekuens kejar-kejaran yang sama sekali tak terasa lagi bobot drama ceritanya. Ada perbedaan signifikan antara elemen kematian. Merasa meninggal mendadak oleh serangan jantung enggak serem-serem amat buat penonton, film ini malah membuat setiap korban Kira meninggal dengan sangat brutal. Darah muncrat dan potongan tubuh jadi andelan. Kira adalah yang paling menderita. Mereka basically membagi dua karakter Kira orisinal ke dalam dua tubuh; Light dan Mia (padanan Amane Misa diperankan oleh Margaret Qualley). Dan ini benar-benar melemahkan Light sebagai tokoh utama. Tokoh ini tidak lagi kompleks. Dia berubah menjadi remaja tipikal film-film Hollywood. Light dalam film ini diajarkan oleh Ryuk, baik dari penggunaan buku maupun cara menjadi persona ‘Kira’. Keputusan yang dibuat Light semuanya kalah kuat dibandingkan dengan keputusan-keputusan Mia regarding penggunaan Death Note. Reaksi Light saat pertama kali melihat Ryuk konyol banget, dia seperti seorang yang penakut dan no business megang title Kira. Dan oh ya, sepertinya aku lupa bilang kalo Light di sini menggunakan Death Note supaya dia bisa pedekate sama Mia.

Yea, aku bisa mendengar teriakan protes kamu-kamu semua. Death Note ngeskip begitu banyak adegan-adegan penting yang integral dengan kehidupan Light. Kita hanya dapat montase sekilas. Bahkan jika kalian belum pernah denger tentang Death Note, ataupun baru sekali ini nonton Death Note, kalian akan mendapati perubahan Light dari yang tadinya anak sekolahan menjadi Kira sang Dewa Penghukum yang punya pengikut tak-sedikit sangat abrupt. Film pun tidak pernah benar-benar memperlihatkan intensnya mind games antara L dengan Kira. Sebagai perbandingan; Dalam versi Jepang, Light dan L pertama kali duduk ngobrol sambil mereka main catur, percakapan mereka berdua sangat subtil, L berusaha menebak apakah Light adalah Kira dan sebaliknya, Kira ingin membongkar nama asli L. Percakapan mereka sangat tenang, namun kita bisa merasakan ketegangan. Adegan tersebut diakhiri dengan Light ngskak mat L. Dalam film Death Note kali ini, L dan Light bertemu di meja kafe. Perbincangan mereka penuh emosi, tuduh dan sangkal-sangkalan dengan nada-nada tinggi. Berakhir dengan L menyapu piring-piring di atas meja ke lantai. Benar-benar berbeda dengan karakter asli mereka, dan sesungguhnya ini adalah perubahan yang enggak perlu.

Aku lebih suka dengan Mia, dia membuat pilihan cerdas dan beraksi lebih seperti Kira dibandingkan si Kiranya sendiri. L memberikan warna berbeda dari segi penampilan, dengan karakter yang kurang lebih sama: introvert nyentrik yang suka banget makan permen. Namun, menjelang akhir L lepas kontrol emosi dan tidak lagi seperti L. Ada konflik yang digali mengenai dia yang enggan membunuh, tapi tetap saja tidak membuat kita lebih peduli lantaran bobot drama yang tidak mampu bertahan oleh keputusan penceritaan. Penyelidikan L di sini juga relatif gampang, karena Kira diberikan background keluarga yang berbeda. Dari latar belakang tersebut, sesungguhnya L  (atau bahkan kita, jika disuruh jadi detektif) bisa dengan gampang menebak siapa Kira hanya dengan menyimak korban pertama. If anything, Ryuk adalah tokoh yang membuat kita bertahan. Jika versi aslinya, Ryuk adalah Shinigami yang bosan sehingga dia ‘main-main’ ke dunia manusia, maka Ryuk dalam film ini sudah seperti Jimmy Jangkrik bagi Light. Wujudnya juga awesome, kita harusnya melihat tokoh ini lebih banyak.

“We could change the world.” “We? Maksudnya kita berdua?” cue suara cie cieeeee

 

 

 

Seharusnya ini adalah cerita yang gelap dengan tema moral yang kaya. Adaptasi memang perlu untuk melakukan perubahan sebab adaptasi adalah interpretasi yang baru terhadap suatu sumber. Hanya saja ada perbedaan tegas antara mengambil sudut pandang ataupun mengubah angle dengan menyederhanakan materi sehingga kehilangan esensinya. Film ini melakukan yang kedua. Pilihan musik yang gak cocok, adegan dansa, plus slow-motion, mengubah dari apa yang mestinya cerita kucing-kucingan menjadi drama romansa yang melibatkan buku aneh pencabut jiwa. Bahkan ketika kita ingin menganggap film ini lepas dari universe Death Note pun, film tidak bekerja dengan baik lantaran menggunakan montase ngeskip-skip bagian yang semestinya diperlihatkan kepada kita. Yah, kupikir apel pun akan susah segar lagi jika dibawa dari Jepang ke Amerika.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEATH NOTE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

NYAI AHMAD DAHLAN Review

“Behind every great man is a great woman.”

 

 

“Bajumu jangan membuatmu lupa untuk berjuang,” nasihat Nyai Ahmad Dahlan kepada Jenderal Besar Soedirman ketika dua tokoh sejarah ini berdiskusi. Adegan yang kita jumpai di babak ketiga tersebut benar-benar menunjukkan sebesar apa pengaruh dan peranan Nyai terhadap Indonesia. Aku suka gimana Soedirman tidak sekalipun menatap mata Nyai, mengisyaratkan wanita di depannya adalah seorang yang penting luar biasa. Nyai bukan sebatas istri dari seorang Kyai hebat yang disegani. Nyai sudah berjuang bersama dalam dakwah, beliau adalah seorang tegas, agamis, guru yang cerdas dan begitu bijak dia berbicara dengan alat peraga dan analogi yang sangat mengena kepada lawan bicaranya. Dan di poin adegan Nyai dan Soedirman tiba di babak ketiga itu,  Nyai sudah berjuang sendiri. Tanpa Kyai di sisi, kita melihat perubahan yang terjadi pada Nyai baik dari gestur, cara dia memandang orang, dan bahkan suaranya. Tegas dan kinda creepy melihat determinasinya. Tika Bravani menunjukkan pemahaman kepada gejolak yang dirasakan oleh tokoh ini. Membuat kita ingin melihat lebih banyak perjuangan yang dialami oleh Nyai Ahmad Dahlan sendiri.

Nyai dan Kyai Ahmad Dahlan berjuang lewat dakwah demi memberantas jahiliyah dari tanah Jawa. Kala itu rakyat umum masih percaya takhayul, masih banyak yang puas di garis kebodohan, belum lagi ancaman dari londo-londo yang membawa ajaran yang merusak akidah. Perjuangan mereka masih relevan dengan keadaan sekarang ini, di mana musuh kita adalah masih banyak yang percaya hoax internet, gampang dibegoin troll di sosial media, dan tentu saja bablasnya budaya luar yang malah mengikis  atau katakanlah membuat kita mengenyampingkan akidah.

 

Ini adalah film biopik yang enggak menawarkan banyak selain PELAJARAN SEJARAH BERBALUT CERAMAH. Namun bahkan menyebut menonton film ini seperti membaca buku sejarah adalah sebuah pujian yang melebihi dari yang pantas diterima olehnya. Karena, to be fair, aku enggak banyak tahu tentang Nyai Ahmad Dahlan, jadi setelah nonton aku nyari informasi tentang tokoh pahlawan ini. Aku membaca Wikipedia dan menonton film ini terasa sama persis dengan aku membaca halaman Wikipedia Nyai Ahmad Dahlan.

I mean, narasi cerita film ini – plot poin-plot poin yang menghantar kita dari satu adegan ke adegan lain – sama sederhana dan melompat-lompatnya sama poin-poin yang ditulis di Wikipedia. Nyai Ahmad Dahlan menggunakan struktur bercerita yang linear; kita melihat Nyai sedari kecil hingga beliau wafat, tanpa ada inti atau benang merah yang merangkai perjalanan tokohnya. Kita tahu Nyai ingin mencerdaskan kaum kecil dan wanita, ingin ajaran Islam ditegakkan. Tapi sampai film berakhir, kita tetap enggak kenal siapa dirinya. Kenapa dia bisa menjadi begitu alim dan cerdas. Apa konflik internal yang melandaskan pembentukan karakternya. Film ini terjangkit penyakit yang kusebut dengan “Jyn Erso Problem” di mana narasi malah ngeskip bagian yang penting; bagian ketika pribadi tegas nan cerdas itu terbentuk. Sama seperti Jyn Erso yang tau-tau udah gede dan jagoan, Nyai juga tau-tau sudah menjadi istri Kyai Ahmad Dahlan and she’s instaniously mulia dan sangat bijak. Kita gak liat dari mana segala kebijakan itu hadir di diri Nyai. Dan setelah itu, kita ngikutin dia ngikutin suaminya sepanjang besar film. Semua terasa sangat membosankan hingga babak ketiga dimulai ketika kita melihat perjuangan Nyai seperti yang kusebut di atas. Akan tetapi, bukan hanya sudah sangat telat, film juga membahas perjuangan sendiri ini dengan sangat singkat. Tidak ada arahan yang jelas, film sepertinya tidak tahu apa yang menarik untuk dibahas dari materi tokoh sejarah yang mereka punya.

Mereka gagal melihat konflik menarik yang bisa datang dari Kyai menganggap dokter sebagai setan yang menghalanginya berdakwah

 

Sebagai period piece pun, film ini tidak pernah berhasil membawa kita ke puncak interest. Ada banyak yang bisa kita kritik dari tampilannya seperti wardrobe error ataupun ‘kebocoran’ properti yang lain. Penampilan film ini tidak pernah kelihatan megah. Dari segi teknik, film tidak terasa professional. Di awal-awal ada adegan warga ngobrol di pasar yang sama sekali tidak meyakinkan, terlihat seperti adegan di sinetron-sinetron kolosal. Jangankan dengan Hollywood, jika dibandingkan dengan Kartini (2017) biopik yang juga bicara tentang emansipasi dan pemberdayaan, film ini masih terasa subpar. Editingnya kasar, dialognya antara ceramah ama eksposisi, musiknya nerobos banget hingga terdengar komikal ketimbang epik.  Ada sekuen aksi yang diambil dengan biasa aja. Kamera memang sepertinya terbatas dalam hal pergerakan, soalnya ada banyak syut yang ngambil dari kanan kemudian kamera muter 90 derajat ke kiri.

Sebagian besar adegan di film ini berupa sekelompok orang duduk di sekitar Nyai, ataupun Kyai, yang sedang bicara memberikan pelajaran. Sungguh, hanya ada tenggang waktu beberapa kali sebelum kita menguap lebar-lebar demi melihat pemandangan orang manggut-manggut ngedengerin ceramah. Film ini tidak pernah menghandle ceramah mereka sebagai sesuatu yang menarik. Menjelang midpoint ada adegan pengajian Wal Asri yang boring banget, selama beberapa menit kita duduk di antara ibu-ibu tanpa ada hal menarik yang terjadi. Saking bosennya, aku berdoa Rick dan Morty datang kemudian menghabisi mereka dengan trash talk dan pistol laser, kemudian Nyai membuka kedoknya yang ternyata alien dengan seribu tentakel yang bisa kungfu dan SopoTresno itu ternyata adalah nama planet asalnya!

It is easy to nitpick this tapi masalah sebenarnya terletak pada ketidakpahaman film soal mengbuild up adegan. Pengadeganan film ini rumusnya begini: orang lain ngutarakan pendapa atau masalah, Nyai menanggapi dengan bijak pake analogi, dan musik latar akan berkumandang seolah menyimpulkan bahwa setiap yang Nyai katakana sangat mindblowing dan begitu megah. Tapi kita enggak akan benar-benar peduli karena tidak pernah ada build up atas apa yang dikatakan Nyai. Misalnya, ketika Kyai bilang tantangan mereka adalah duit, dan Nyai masuk ke dalam rumah mengambil harta warisan orangtuanya untuk kemudian diberikan kepada Kyai, dan musiknya menggelegar mengamini yang dilakukan Nyai adalah mulia walau berat, but we don’t feel that karena kotak warisan tersebut tidak pernah dibuild up terlebih dahulu. Kita tidak pernah tahu stake yang dipertaruhkan Nyai ketika dia menyerahkan bantuan tersebut.

 

The one time music did it right adalah saat mereka melelang barang. Selebihnya, konflik-konflik film ini datang dan pergi gitu aja. Salah satu ‘rintangan’ yang dihadapi Nyai dan Kyai adalah organisasi Muhammadiyah mereka diprotes warga lantaran dianggap sesat. Namun kita enggak pernah diperlihatkan kenapa warga menganggap begitu. Mereka bilang penjajah menghalang-halangi ajaran mereka, tapi hanya satu kali kita melihat penjajah dateng dan mengusik asrama Nyai. Dialog dan adegan dimasukkan gitu aja, tanpa pernah benar-benar diperhatikan ritme ataupun kepentingannya. Ketika penghuni rumah dan murid-murid menyambut kedatangan Nyai dan Kyai dengan cemas, percakapan gulir begitu saja dari “Kami dengar Kyai hendak dibunuh” menjadi kurang lebih ke “Kami ingin seperti Nyai, dapet cowok sekeren Kyai hehehe” tanpa ada weight ke adegan possible murder sebelumnya. Dan yang buatku jadi hilarious adalah actually adegan Kyai dan Nyai mau dibunuh itu, mereka ‘ribut’ dengan beberapa warga di… PANTAI! I mean, betapa randomnya, kenapa bisa di pantai coba. Aku jadi membayangkan sebelumnya mereka bertemu kayak gini… crrriiiingggg *bunyi efek adegan fantasi*

WARGA A: Kami mau memprotes ajaran Kyai dan Nyai!
WARGA B: Betul! Biarkan parang kami bicara!
KYAI: Baiklah, kita bicarakan sambil santai di pantai

NYAI: Cihuuuii, aku lagi butuh vitamin sea nih! *ngedipin mata ke Kyai*

 

 

Jika film ini ingin menceritakan tentang perjuangan Nyai, mestinya dia mengambil babak ketiga dan mengeksplorasi narasi dari sana. Jika film ini ingin memperlihatkan kehidupan Nyai dari kecil hingga wafat, mestinya mereka memfokuskan kepada pertumbuhan tokoh Nyai alih-alih membuat kita lompat langsung ke saat bersama Kyai. Juga mestinya kita tidak lagi dihadapkan dengan flashback, terutama jika flashback itu ditujukan buat mancing dramatisasi semata. Jika film ini ingin bercerita tentang Nyai, mestinya dia tidak membuat Nyai terlalu ngekorin Kyai – sebab sesungguhnya di balik pria hebat ada wanita yang sama hebatnya, jika tidak lebih. Dan kehebatan Nyai tidak kita lihat hingga film benar-benar berakhir. Biopik mestinya membuat sejarah tidak membosankan, namun sebenarnya tidak ada yang lebih bosan dari tokoh utama yang lurus saja tanpa kita pernah kenal konflik personal dan internalnya.
The Palace of Wisdom gives 3 out 10 gold stars for NYAI AHMAD DAHLAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners .
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MEGAN LEAVEY Review

“Whoever said diamonds are a girl best friend, never owned a dog.”

 

 

Anjing dapat merasakan ketakutan seseorang. Aku tahu teori itu seratus persen benar. Aku hanya enggak tahu apakah kalimat tersebut seharusnya bisa menenangkan orang yang takut sama anjing. Maksudku, setiap kali papasan sama anjing di jalan, lututku malah semakin lemas terutama jika teringat saran “Jangan takut, nanti anjingnya tahu kalo kau takut”. Arya kecil memang sering dikejar anjing-anjing tetangga, malah aku bersumpah istilah yang tepat adalah Arya kecil sering dibully anjing tetangga. Karena mereka tahu aku gugup dan takut banget sama mereka.

Bukan hanya rasa takut, para ahli berpendapat bahwa anjing bisa mengetahui perasaan atau emosi seseorang. Kemampuan ini sejalan dengan penciuman anjing yang luar biasa tajam. Mereka dapat membaui adrenalin, pheromone, ataupun senyawa lain yang menguar dari manusia. Saat anjing menggonggongi orang tak-dikenal, bisa saja karena mereka mencium senyawa yang keluar dari perasaan negatif manusia. And they didn’t like to sniff those feelings. Orang yang sedang disalaki biasanya antara sedang cemas, gelisah, sedih, atau sedang merasa bersalah.

 

Bahkan ketika kita membawa anjing jalan-jalan, getaran perasaan yang kita alami bisa sampai ke anjing melalui tali leash mereka. “Semua yang kau rasakan mengalir di tali itu,” Sersan Andrew Dean menasehati Megan Leavey seperti itu ketika Megan terihat tidak nyaman dipasangkan dengan anjing paling galak di camp pelatihan mereka, “Aku tidak bisa mengajarkan gimana hubungan tercipta di antara kalian” lanjut Sersan Andrew. Mempertahankan hubungan sosial, berakrab-akrab ria jelas bukan kelebihan yang dimiliki Megan. Malahan, alasan cewek ini ikutan gabung di US Marine Corps awalnya adalah semata karena dia males berhubungan sama manusia. Megan dipecat dari berbagai pekerjaan. Dia berantem melulu sama ibunya. Dan sekarang Megan justru harus dealing with anjing pelacak bom yang belum apa-apa sudah menggigit separoh bokongnya.

Apapun yang terjadi jangan nurunin celana di depan K-9. Apalagi nungging!

 

Film ini diangkat dari kisah nyata VETERAN PERANG DAN ANJING PAHLAWAN, bersama mereka sudah berhasil menemukan sejumlah besar bom dan ranjau, dan menyelematkan nyawa banyak orang. Pada beberapa kesempatan, film ini bisa menjadi sedikit too much buat para penyayang binatang. Terutama penyayang anjing. Sekuens perang yang dihadirkan sangat intens. Kita dapat banyak build up yang sangat menegangkan. Megan dan anjingnya, Rex, berjalan di depan garis depan mengendus bom, mencari ranjau dan peledak tersembunyi yang lain. You know, adegan-adegan yang membuat kita mendapati diri berdoa dalam hati “semoga anjing itu enggak terluka”. Kita begitu terinvest terhadap keselamatan mereka dan itu disebabkan oleh penampilan akting yang sangat hebat dari Kate Mara (Megan Leavey adalah penampilan terbaiknya sejauh yang pernah kutonton) dan dari anjing (mungkin juga anjing-anjing) yang memerankan Rex.

Elemen pelacak bom memberikan semacam pengalaman baru buat kita.  Ada sudut pandang segar yang orisinil sebab kita melihat perang dari bagian militer yang belum banyak dieksplorasi sebelumnya. Kita melihat Megan dan Rex berlatih. Anjing diajarkan untuk mengenali peledak, dan tentara pendampingnya harus belajar bagaimana memberikan perintah, membimbing, memberi anjing-anjing itu pujian, dan merawat – jika diperlukan – memberikan pertolongan medis. Dari sinilah bond mereka yang sangat menyentuh hati itu berkembang. Film ini melakukan kerja yang fantastis dalam menunjukkan gimana hubungan yang dalam bisa tumbuh dan terjalin antara manusia dengan hewan. Dengan terasa sangat real. Namun begitu, beberapa orang mungkin akan menangkap film ini sebagai terlalu overdramatis. Menurutku, hanya penyayang binatang yang benar-benar bisa mengerti bonding tersebut.

Jikapun aku penyayang binatang, maka obviously aku bukan penggemar anjing. Bisa dibilang I’m more of a cat person. Tapi aku tetap tersentuh oleh film ini, sebab aku bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Megan ketika unexpected bonding terjadi. Dulu pernah ada kucing hitam yang terluka ngabur cari perlindungan ke kamar kosanku. Lukanya parah, kakinya patah. Karena takut kalo-kalo tuh kucing isdet di balkon kamar dan mikirin betapa repotnya harus menguburkan dan segala macem, kucing itu aku kasih makan. Eh setelah sembuh, bukannya pergi, dia malah betah di kamar. Masalahnya adalah aku juga enggak berani-berani amat sama kucing, sementara kucing yang satu ini liarnya bukan main. Mungkin dia ngajak main, tapi kukunya enggak pernah dimasukin. Kaki dan tanganku penuh luka goresan. Saking liarnya, kucing item jantan itu aku kasih nama Gelap Jelita dengan harap supaya jadi jinak. Namun enggak ngaruh. Jadi aku ngerti deh ketakutan yang dialami Megan ketika disuruh masangin perban ke Rex yang pernah menggigit tentara lain sampai tangan tuh orang patah. Dan ketika nonton film ini, mau-tak-mau aku teringat sama kucing itu.

Wajah nginyemmu ketika mereka bawa pulang tulang-tulang sebagai balas jasa

 

Belum lama ini di Netflix tayang film Okja (2017) yang juga menceritakan tentang hubungan antara manusia dengan binatang. Namun, di balik kisah manis anak kecil dengan babi mutan peliharaannya itu, terasa ada ambisi lain yang turut dibicarakan oleh film. Megan Leavey terasa lebih manusiawi karena film ini hanya memfokuskan tentang gimana manusia yang begitu mendambakan hubungan sosial dan apa yang terjadi ketika dia mendapatkannya dari makhluk hidup lain. Film ini lebih mengeskplorasi feeling tanpa benar-benar menjadi cengeng atau sappy. Persahabatan dalam Okja terhalang oleh komentar soal perangai konsumtif dan ekonomis manusia. Dalam Megan Leavey, persahabatan manusia dan hewan ini terhalang oleh aspek teknikal; di mana anjing veteran perang – terutama yang galak kayak Rex – dicap berbahaya jika kembali hidup di masyarakat. Ada tema perang yang digunakan untuk mewarnai narasi dengan sedikit elemen budaya – gimana perlakuan negara muslim terhadap anjing – tapi itu dibahas dengan ringan, tanpa menjadi terlalu hitam-dan-putih.

Siapapun yang berkata berlian adalah teman terbaik wanita, pastilah belum pernah memelihara anjing. Atau belum pernah mendengar cerita tentang Megan Leavey.

 

Kehidupan normal Megan juga diberikan kesempatan untuk tampil. Kita melihat hubungannya dengan orangtua, masalah pribadinya. Juga ada kisah cinta dengan sesama tentara. Hanya saja romansa ini tidak benar-benar pergi ke mana-mana. Seolah hanya untuk menunjukkan perubahan personal Megan setelah dia menyintai Rex. Lebih sering daripada enggak, transisi kehidupan Megan ini terlihat dipercepat. Misalnya, ketika dia abis dipecat, kemudian dia melihat dua tentara masuk toko, dan dia kontan jadi berniat masuk angkatan bersenjata juga. Lalu ada sedikit masalah bullying, yang kalo di naskah ini adalah bagian ‘tantangan pertama’, yang berakhir begitu saja. Aku mengerti film ingin memperlihatkan banyak sisi kehidupan Megan. Durasi keseluruhan film sudah nyaris dua jam, sehingga terkadang mereka sengaja mempercepat proses. Menggunakan montase untuk menjelaskan momen-momen emosional, ataupun dengan menggunakan teks. Ini dapat menjadi menyebalkan sebab kita ingin merasakan progres tokohnya, mengalami transisi itu secara langsung.

 

 

Kita tidak butuh penciuman setajam anjing untuk dapat mengendus sense of realism perasaan dan emosi yang terkandung dalam film ini. Menghadirkan drama excellent soal hubungan persahabatan manusia dan hewan dengan tidak pernah menjadi terlalu cengeng. Namun tetap bakal menarik-narik hati kita, terutama para penyayang binatang. Penampilan aktingnya memukau, sekuens aksinya sukses bikin kita khawatir.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for MEGAN LEAVEY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.