12 STRONG Review

“Spirit, that made those heroes dare to die…”

 

 

 

Dengan wajah berlumuran tanah Afghanistan yang hitam, Chris Hemsworth berlindung di balik puing-puing. Dia baru saja terjatuh dari kuda tunggangannya, yang sekarang pergi entah ke mana. Hemsworth tidak bisa mencemaskan itu sekarang, karena kesebelas pasukannya – kesebelas teman dekatnya – juga tidak ia tahu keadaan mereka bagaimana. Para Taliban yang selamat dari jatuhan bom dari pesawat, sedang melakukan serangan balasan secara tiba-tiba. Pasukan Amerika boleh saja menguasai udara, namun perang dimenangkan di darat. Dengan tank Taliban menyerbu balik. Pasukan sekutu kocar-kacir. Hemsworth menembaki pasukan musuh dengan marah. “Nah, kau punya Mata Pembunuh sekarang,” pemimpin pasukan Afghanistan yang jadi sekutu memujinya.

Ada banyak momen intens seperti demikian pada 12 Strong. Film perang garapan sutradara baru Nicolai Fuglsig ini paham betul cara menggambarkan tokoh protagonisnya sebagai pahlawan aksi. Adegan-adegan kuat yang merefleksikan perjuangan, yang membuktikan kehebatan juang dari pasukan pertama Amerika setelah peristiwa 9/11 itu akan membuat kita ikut merasa berdebar. Chris Hemsworth di sini memainkan tokoh yang beneran ada, dan dia sudah siap untuk semua aksi heroik tersebut. Dia adalah Nelson, seorang kapten yang belum pernah turun ke medan pertempuran. Namun kini, dia mengajukan diri untuk memimpin sebelas pasukannya ke tanah konflik di Afghanistan demi mengacaukan rencana teroris; menghambat pergerakan pasukan teror yang berencana menjadikan negara tersebut training ground sebagai semacam Hogswart buat teroris, kali’ . Dua belas orang ini adalah simbol perlawanan dan harapan kemanusiaan. Mereka, hanya berkuda saja, berjuang melawan tank baja. How cool is that? Dan ini nyata!

Kuda lawan tank, eng-ing-engg!

 

Secara mengejutkan,  meski memang fokus film ada pada ledakan dan aksi yang terlalu artificial, filmnya punya pengarakteran yang dangkal dan kebanyakan berangkat dari trope-trope usang film perang, sesungguhnya cerita punya daging yang membuat film ini lumayan menarik. Bagian terkuat cerita bukanlah pada saat tank-tank itu meledak, melainkan pada saat cerita membahas kemanusiaan dari perang. Di Afghanistan, pasukan Kapten Nelson dibantu oleh sepasukan pejuang lokal yang membenci Taliban, sekaligus juga gak menganggap Amerika  benar-benar sebagai teman. Jadi, Nelson harus berusaha menjalin komunikasi dengan mereka. Kalian tahu, mencoba mencari tahu apakah pasukan ini pantas dipercaya, mempelajari motif mereka, berusaha menyatukan dua kepentingan yang berbeda. “Hari ini kita teman. Besok bisa saja jadi musuh.” Begitulah persisnya situasi yang mereka hadapi. Jelas, ada perbedaan kebudayaan di antara kedua kubu yang bersekutu tersebut. Film menunjukkan ini lewat dialog antara Nelson dengan pemimpin pasukan sekutu, Abdul Rashid Dostum. Kita bisa lihat kedua orang ini belajar banyak dari masing-masing soal kepemimpinan. Soal motivasi perjuangan yang mereka lakukan. Soal perang.

Kata siapa mereka melakukannya karena berani mati? Nelson dan teman-teman, mereka ketakutan setengah mati. Mereka ingin pulang dengan selamat ke keluarga yang dicinta. Makanya mereka jadi berani. itulah yang membuat mereka menjadi begitu hebat. Reward mereka adalah kemenangan. Berbeda dengan pasukan Taliban yang tidak punya stake, karena bagi mereka reward mereka ada di saat setelah kematian. Kita justru akan membuat yang terbaik jika kita punya sesuatu yang ingin dipertahankan, jika ada suatu kehilangan yang kita takutkan.

 

Aku bisa memahami kesulitan yang diambil oleh film ini dalam menggambarkan bahaya. Maksudku, ini diangkat dari kisah nyata dan kita tahu apa yang terjadi, jadi ya akan sedikit ‘kebegoan’ yang kita rasakan ketika tembakan para Taliban itu enggak ada yang kena. Mereka dibikin udah kayak Stormtrooper demi kebenaran cerita. Tetapi pada akhir film, kita toh masih bisa menghargai perjuangan para tokoh. Kita masih melihat mereka sebagai pahlawan.  Ada juga beberapa adegan yang bikin kita ngeri akan keselamatan mereka. Dan kebanyakan hal tersebut datang dari pengorbanan para tokoh yang lain. Pemimpin pasukan Taliban dalam film ini, bandit gedenya, diperlihatkan sebagai benar-benar jahat. Pakaiannya aja udah hitam dari ujung kaki sampai ke turban. In fact, pertama kali kita melihatnya, orang ini sedang mengeksekusi mati seorang wanita di depan anak-anaknya. Apa dosa si wanita? Dia ngaajarin anak-anak ceweknya itu ilmu pengetahuan. Jadi, tidak banyak dilema moral yang dihadirkan. Tipikal pahlawan lawan penjahat. Orang yang sedikit ‘baper’ akan melihat film ini sebagai kehebatan Amerika melawan negara asing terbelakang. Orang yang kebanyakan main video game seperti aku akan menikmatinya sama seperti menikmati permainan video game yang seru dengan setiap adegan aksi sebagai stage yang harus dikalahkan oleh jagoan kita.

Pertanyaan moral tidak ditinggalkan sepenuhnya, meskipun juga tidak pernah benar-benar diangkat ke permukaan. Pasukan yang membantu Nelson itu, misalnya. Mereka membantu dengan agenda pribadi, kita diberikan pengetahuan tentang ada dua pasukan sekutu lain di Afghanistan, tapi mereka ini saling benci juga satu sama lain. Aspek ini hanya dijadikan latar saja lantaran kita tidak pernah tahu pasti apa yang sedang terjadi di negara tersebut. Kita tidak dibawa melihat ke dalam lingkup politiknya. Karena film ingin tampil ringan, maka ia mengenyampingkan elemen-elemen lebih gelap yang terkandung di dalam ceritanya. Seperti aspek ‘Mata Pembunuh’ yang kusebut di awal ulasan tadi. Kita tidak pernah benar-benar merasakan beban itu bergulat di dalam diri Nelson. Film perang yang baik akan menjadikan dilema moral tokoh utamanya sebagai fokus. Ambil contoh Full Metal Jacket (1987), tokoh utama film itu tadinya enggak mau membunuh anak-anak dan wanita. Di akhir film, justru dialah yang harus menarik pelatuk ke sniper remaja cewek Vietnam yang udah membunuhi teman-temannya. Konflik yang selaras sama perjalanannya memahami kematian merupakan salah satu jalan untuk mendapat kedamaian. Sebaliknya pada 12 Strong ini, perubahan yang Nelson alami; dari tentara menjadi pejuang, dari matanya gak memancarkan aura pembunuh menjadi punya tatapan nanar dengan keinginan untuk menghilangkan nyawa musuh, kita tidak betul-betul merasakan inner struggle dari ‘transformasi’  atau pembelajaran ini.

Dari yang ga pernah perang tau-tau jadi yang paling paham

 

Elemen yang menjadi pembeda cerita ini dengan cerita perang lain adalah gimana mereka berdua belas begitu ditekankan berperang dengan menunggang kuda. Tapi bahkan ‘gimmick’ ini pun tidak mendapat pengembangan yang berarti. Film gagal menggali stake atau bahaya dari aspek berkuda ini, padahal sudah ada build up kesebelas rekan tim Nelson tidak ada yang pernah berkuda sebelumnya. Hanya ada satu kali kesusahan naik kuda ini diperlihatkan sekilas, dan cuma satu orang yang eventually pinggangnya sakit kebanyakan menunggang kuda. Pada saat perang berlangsung, mereka udah kelihatan kayak joki paling profesional semua. Malah mungkin lebih jago mengingat terrain pegunungan berbatu dan ledakan bom di mana-mana. Dan tentu saja penggunaan kuda buat berperang itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menambah kedalaman cerita dengan menantang moral – yang mana sesuai konteks dengan Nelson yang gak mau ada pertumpahan darah – namun film sama sekali tidak menggubris soal ini.

 

 

Film perang, dulu, digunakan untuk ‘menyindir’ perang itu sendiri. Dibuat sebagai sentimen dari pesan-pesan antiperang dengan mempersembahkan dilema moral yang dialami para tokohnya. Sekarang, film perang kebanyakan dimanfaatkan selayaknya media iklan untuk mempropagandakan kehebatan militer tentara tertentu. Film garapan Fuglsig ini mencoba untuk menjadi film perang berjiwa old, yang sayangnya malah ditangani dengan nyaris tidak berjiwa. Film ini mestinya bisa menjadi lebih baik lagi, mungkin, apabila pembuatnya mau terjun riset ngobrol ama veteran-veteran perang ketimbang mencatat aksi-aksi seru pada film-film perang yang pernah dibuat sebelumnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for 12 STRONG.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Royal Rumble 2018 Review

 

Januari adalah bulan yang panjang, cuacanya bikin hidung meler. Bulan di mana kita dalam keadaan tercabik antara galau resolusi tahun lama yang gak kesampaian dengan semangat resolusi tahun baru yang daftarnya semakin panjang. Kalo kalian penggemar film, Januari adalah bulan antara nungguin film kelas Oscar di bioskop sembari mantengin film-film kelas B yang actually ditayangin bioskop atau nungguin subtitle film kelas Oscar di donlotan, dengan gambar yang bikin mata cenat-cenut. It’s not really fun, bulan Januari. Tapi tiga dari sepuluh orang di antara kita, adalah penggemar pro-wrestling, dan buat mereka Januari adalah bulan yang penuh kejutan. Memang, pesta terbesar WWE jatoh di bulan April, namun malam paling fun dan paling unpredictable itu datangnya di Januari.

Dan pada Januari 2018, WWE ‘remember the Rumble.’

Royal Rumble adalah soal angka, dan stats yang kutulis di atas adalah karangan belaka

 

Aku meminjam kalimat slogan Royal Rumble tahun lalu bukan tanpa sebab. Selama bertahun-tahun belakangan ini, tampaknya melupakan kodrat acara yang selalu ditunggu-tunggu oleh fans. Kita dapat Royal Rumble yang hasilnya sudah kita prediksi dalam ketakutan. Kita gak mau itu terjadi hanya karena kita tahu itu akan terjadi, dan apa yang terjadi? Tentu saja adalah kemenangan yang dinantikan oleh tidak satupun orang kecuali si empunya acara. Boleh dikatakan, semenjak 2010, tidak ada pertandingan Royal Rumble yang benar-benar memberi kesan yang menyenangkan. Aku enggak bilang selama itu WWE sudah salah menangkap sinyal dari penonton. Aku hanya bilang, di Januari 2018 ini, WWE akhirnya melakukan sesuatu yang benar.

WWE mengingat fondasi kreativitas yang menjadikan Royal Rumble sebuah konsep yang luar biasa pada awaln diciptakan. WWE mengingat Royal Rumble berfungsi sebagai pentas untuk mengenalkan bintang masa depan sekaligus panggung untuk memperkenalkan kembali legenda-legenda yang sudah pernah menghibur penonton semua. WWE akhirnya mengingat semua daya tarik yang dimiliki oleh Royal Rumble. Yang terpenting adalah, WWE akhirnya mengingat kembali bahwa Royal Rumble adalah pencetak bintang masa depan, bukan sekadar ‘plot device’ dalam sebuah skenario tertutup yang sebagian besar orang menebaknya sebagai wanti-wanti hal yang tidak diinginkan.

Pada Januari 2018, WWE memberikan kepada kita dua pertandingan Royal Rumble. Yang khusus untuk para superstar cowok seperti biasa. Dan yang spesial karetnya dua, Royal Rumble untuk superstar wanita dan pemenangnya eventually bisa memilih untuk melawan Juara Wanita brand yang ia inginkan. Kedua pertandingan tersebut berhasil terdeliver dengan luar biasa menyenangkan. Ada sedikit kesamaan formula, kedua pemenang dari masing-masing match itupun sebenarnya sudah bisa ditebak ataupun sudah banyak yang ngarepin.

Tapi WWE memainkan skenarionya dengan sangat berani, penonton benar-benar dua kali ditaro di situasi antara yang kita inginkan melawan yang kita tahu diinginkan oleh WWE. Sesungguhnya adalah sebuah teknik manipulasi prasangka, taktik pengecohan yang luar biasa,  dan hal tersebut membangkitkan tensi dan ngebuild momen antisipasi yangbetul-betul kuat. Sehingga penyelesaian masing-masingnya terasa sangat memuaskan

 

Pertandingan Royal Rumble cowok adalah contoh hebat dari sebuah konten yang beragam, yang punya psikologi yang efektif, yang meriah oleh emosi. Bookingan para peserta dilakukan dengan cermat. Sebagian besar superstar (kecuali hanya satu dua orang) terasa benar-benar penting dan beralasan untuk ada di sana. Surprise entrant-nya enggak banyak-banyak amat, namun semuanya terasa sangat berkesan lantaran timing dan penggunaan yang sangat pas. Di antara yang sukses bikin aku terkejut adalah Rey Mysterio dan juara NXT Andrade ‘Cien’ Almas. Rey tampak sangat gemilang sampai-sampai dalam hati aku memohon kalo ini bukan penampilan one-night-only, aku pengen dia dikontrak lagi. Dan Almas, dang aku mungkin salah satu dari sedikit fans yang suka ngeliat dia menyabet juara – dan untuk melihat dia muncul setelah menonton pertandingan kejuaraannya melawan Johnny Gargano di NXT yang super duper bikin gak mau duduk saking excitingnya – adalah sebuah momen mark out sejadi-jadinya buatku.

Juga ada banyak humor yang diselipin. Aksi komedi dari The Hurricane bikin kita tertawa sampai menitikkan air mata nostalgia. Waktu dan tempat diberikan buat Elias dan nyanyiannya (peserta yang lain conveniently pada tepar). Kofi Kingston dapat kesempatan lagi untuk mengeksplorasi keahlian bermain ‘lantai adalah lava’ yang membuatnya peserta langganan Royal Rumble. Dan running-jokes yang melibatkan Heath Slater dengan beberapa peserta sangat kocak dan tidak terasa buang-buang nomer peserta, seperti Royal Rumble yang sudah-sudah. Banyak elemen di match ini yang actually berbuntut kepada sesuatu. Well, kecuali buat Baron Corbin yang entah kenapa penampilannya semakin dipersingkat. Unfortunately indeed.

Tapi mungkin yang paling awesome dari pertandingan ini adalah pemandangan antargenerasi yang disuguhkan oleh penulis. Menjelang akhir kita akan melihat superstar tiga generasi –Golden, Ruthless Aggression, dan Jaman Now – bertarung di atas ring. Final Fournya Roman Reigns, John Cena, Finn Balor, dan Shinsuke Nakamura turut dilakukan dengan baik. Interaksi keempat orang ini bikin para fans menggelinjang begitu menyadari ini adalah New Japan melawan WWE. Ini adalah Cena melawan tiga calon penggantinya. Scene tersebut worked in so many level.

salah satu kontes Final Two terbaik yang pernah ada

 

Menyadari Royal Rumble cewek punya ‘deck kartu’ yang lebih sedikit, WWE bermain-main dengan penempatan superstar lebih cermat, dan yang kita dapatkan adalah variasi ‘legend’ dengan superstar recent yang sangat menarik. Langkah mengambil fokus kepada peserta- peserta kejutan ini terbukti berhasil sebab beberapa dari superstar masa lalu itu tampak gak benar-benar ‘still got it’ (komentar monoton dan sepenggal-penggal dari Stephanie McMahon di meja announcer tak banyak membantu) dan kita masih memaklumi dan hanya peduli sama siapa yang muncul berikutnya. Not to say aksinya kurang banyak, paruh akhir match ini juga tak kalah seru dengan aksi-aksi twist dan turn, tapi di bagian tengah memang match ini tampak sedikit lowong. Tapi siapa yang peduli, kita toh masih sangat menikmati setiap detik pada layar. Michelle McCool, Vickie Guerrero, interaksi antara Trish dengan Mickie James, dan Torrie Wilson yang kelihatan beda (lebih cantik dari yang kuingat) adalah beberapa yang bikin aku bersorak pada pertandingan ini.

Baik Nakamura maupun Asuka benar-benar pantas untuk menang. Fans sudah lama memohon untuk AJ Styles melawan Nakamura, dan tampaknya kita akan mendapat ini. Asuka, kendati demikian, masih tampak abu-abu mengenai siapa yang akan dia hadapi. Ngebooking seseorang yang tidak pernah kalah memang tricky, sebab kita juga tidak ingin membuat lawan-lawan Asuka terlihat lemah. Menurutku, pengungkapan siapa yang dia pilih sebenarnya adalah hal yang cukup pantas untuk jadi alasan kenapa match ini diset sebagai main event, tapi ternyata WWE melakukan sesuatu yang menarik lain di sini. Ronda Rousey. Finally, cewek petarung UFC ini menjawab rumor dengan muncul – lengkap pakai jaket Roddy Piper, meyandang namanya (Rowdy Ronda Rousey!), dan diiringi musik Bad Reputation yang cocok banget sama personanya – naik ke atas ring, menunjuk tulisan Wrestlemania di atas arena. Obviously, kemunculan Rousey akan membuat WWE meledak di media mainstream; ini adalah efek yang diinginkan WWE. Tapi kupikir, segmen ini sedikit mengecilkan bukan hanya kemenangan Asuka, melainkan juga Royal Rumble cewek sendiri yang sedari awal adalah tentang superstar cewek yang pernah berjuang di WWE. Fokus itu terganti begitu saja dengan kemunculan Rousey. Aku hanya berharap WWE punya rencana jangka panjang, and I really mean that, terhadap Rousey. Menjadikannya superstar tetap alih-alih datang-pergi, misalnya.

Pose nunjuk Rousey udah Bezita banget, kereeennnnn!!

.

Berbeda dengan departemen kamera yang malam itu tampak agak off; mereka sering melewatkan aksi, merekam ekspresi pemain sedetik lebih lama, juga sering berpindah angle dengan frantic, Departemen cerita tampak meningkatkan kualitas mereka. Bukti terkuatnya dapat kita lihat di pertandingan NXT Takeover belakangan ini. On the main roster show, however, cerita-cerita tersebut kadang malah jatoh gak make sense ataupun enggak mendapat respon yang diinginkan sebab ada faktor jangka waktu yang turut andil. Kevin Owens dengan AJ Styles, misalnya. Handicap match yang  juga melibatkan Sami Zayn sebenarnya punya psikologi dan cerita yang kuat dan necessary, tetapi program mereka sudah berjalan begitu lama sehingga match ini tampak sebagai filler untuk mengulur-ngulur saja. Storyline yang melatarbelakangi Seth Rollins dengan Jason Jordan sebagai juara tag team Raw juga dianggap meh padahal sesungguhnya sangat penting untuk ngebuild up karakter Jordan. Match tag team mereka dicuri apinya karena penempatan yang benar-benar merugikan. Raw Tag Team Championship dijadwalkan setelah Royal Rumble cowok yang begitu pecah sehingga penonton, kalo boleh dibilang, ‘masih lemes’ dan akhirnnya mendapat reaksi yang sunyi senyap. Bahkan kejuaraan Universal yang digadangkan sebagai pertemuan antara Beast, Machine, dan Monster juga terdengar ‘krik-krik’. Penonton sudah begitu terpesona oleh Royal Rumble, sehingga mereka tak peduli apapun selain segera melihat Royal Rumble yang kedua.

 

 

 

Jalan ke Wrestlemania itu sudah diaspal, dan dibutuhkan enam puluh superstars dari generasi yang berbeda, dua match Royal Rumble yang super menyenangkan, dan satu cewek paling badass di dunia. Kalo kalian mau ‘meracuni’ teman dengan WWE, tontonkan PPV ini kepada mereka! The Palace of Wisdom memilih 30-Man Royal Rumble sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Results:
1. WWE CHAMPIONSHIP HANDICAP AJ Styles retain setelah Kevin Owens dan Sami Zayn bermasalah ama wasit goblog.
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP 2-OUT OF -3 FALLS The Usos menang 2-0 dari Chad Gable dan Shelton Benjamin.
3. 30-MAN ROYAL RUMBLE Shinsuke Nakamura menang mengeliminasi Roman Reigns.
4. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Bar jadi juara baru ngalahin Seth Rollins dan Jason Jordan.
5. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Brock Lesnar ngalahin Kane dan Braun Strowman.
6. 30-WOMAN ROYAL RUMBLE Asuka menang mengeliminasi Nikki Bella

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE POST Review

“Information is the currency of democracy.”

 

 

Istimewanya demokrasi adalah pemerintahan yang ada didasarkan kepada keinginan publik, bukan kepada ketakutan akan penguasa. Dengan berdiri bukan pada kekuasaan inilah makanya setiap warga negara memiliki kesempatan mengambil bagian aktif dalam pemerintahan. Kita berhak ngomong, mempertanyakan, dan menuntut keterbukaan dari pemerintah. Makanya media atau pers yang kritis, yang hobi ngulik menginvestigasi, dan mampu berdiri tanpa ditebengi disebut sebagai sumber kehidupan dari sistem demokrasi apapun.

Kebebasan pers adalah benteng dari kemerdekaan berpendapat. Namun sistem ini pun menemui celah ketika pemerintah berusaha mengendalikan informasi dengan alasan media kebablasan, informasi yang dikabari enggak akurat. Menyebarkan kebencian. Berbahaya.

 

Aku paham bagaimana susahnya menahan diri untuk enggak segera mengambil tindakan ketika  kita punya sesuatu yang menurut kita begitu penting. Begitu menarik. Kayak waktu kecil, dibeliin mainan baru, aku langsung melejit keluar rumah untuk dipamerin ke teman-teman. Susah memang untuk nahan diri. Sehabis nonton aja kita suka gitu, kan. Ngerasa kita dapet sesuatu topik yang penting yang dibawa pulang dari bioskop– apalagi kalo nontonnya pas gala premier – kita langsung nyerocos di sosial media, sampe terkadang sering lupa diri untuk enggak terlalu spoiler. Makanya, ketergesaan Steven Spielberg mengangkat The Post ke tahap produksi mestinya dapat kita maklumi. Spielberg literally mengerjakan film ini nyaris tanpa perencaan lantaran memang naskah yang ada di tangannya itu memang sangat menarik. Begitu relevan dengan iklim politik negaranya. Hasilnya? The Post adalah sebuah tontonan yang akan mengingatkan kita bahwa dalam negara berdemokrasi yang harus dilindungi adalah rakyat. Bukan pemerintah.

Bebas tapi harus bertanggung jawab

 

The Post menceritakan peristiwa nyata yang bagi warga Amerika adalah sebuah pengungkapan yang sangat mengejutkan.  Sebuah skandal soal pemerintah yang ketahuan menutup-nutupi langkah yang mereka ambil sehubungan dengan Perang Vietnam. Empat Presiden Amerika diketahui berkata bohong; Enggak mendukung perang, tapi malah mengirim tentara tambahan. Enggak akan mencampuri urusan Asia, eh nyatanya mereka duluan menyerang Vietnam. Wartawan dari koran New York Times saat itu berhasil membobol keamanan Pentagon dan mendapatkan catatan tentang kejadian yang sebenarnya. Mereka mencetak berita laporan rahasia tersebut di koran, menyebabkan negara gempar. Presiden Nixon memutuskan untuk menuntut New York Times dan mereka akan menutup semua surat kabar karena penyebaran informasi yang tidak berbukti. Penerbit koran kecil milik ibu Kay Graham (Meryl Streep panteslah dapat nominasi atas perannya ini), Washington Post-lah yang actually punya bukti. Seseorang misterius menaruhnya begitu saja di meja redaksi. Membuat editor Ben Bradlee (suka deh ngeliat Tom Hanks penuh determinasi kayak gini) kontan bersemangat. Inilah bahasan yang mereka cari-cari. Akan tetapi, para reporter sudah dihadapkan dengan dilema. Apakah mereka akan tetap mempublikasikan, dapatkah mereka mencari keabsahan informasi yang mereka dapat, apakah ada cukup waktu untuk mencetaknya. Sekarang, nasib demokrasi negara berada di pundak mereka.

Meskipun kejadian Pentagon Papers itu terjadi tahun pada 70an silam, film ini benar-benar berdering kompak sama kejadian di masa sekarang. Aktris Meryl Streep bahkan sempat nambahin sindiran di akhir film dengan menyebutkan “Semoga aku gak harus melewati semua masalah ini lagi” yang actually diimprovisasi olehnya sendiri. Sebenarnya bukan semata di Amerika sih film ini akan terasa sangat relevan. Enggak cuman administrasi pemerintahan Trump saja yang saat ini demen menghardik media dan mencoba untuk mengendalikan arus informasi.Bukan tidak mungkin, film ini akan terus relevan hingga bertahun-tahun ke depan, yang mana adalah sebuah masa depan yang cukup horor kalo dibayangkan. Di negara kita sendiri juga arus informasi itu seringkali harus diatur, mana yang aman diketahui oleh publik, mana yang harus dirahasiakan. Hanya saja, sekarang keadaan semakin pelik dengan banyaknya hoax-hoax berkeliaran.

Tapi soal keberhasilan film ini untuk terus relevan tentu saja bergantung kepada keberhasilan Steven Spielberg dalam menangani ceritanya. Kuakui, jika ada sutradara yang kupercaya bisa bikin film buru-buru dan hasilnya tetap berkualitas, maka sutradara itu pastilah Spielberg. Dan Ridley Scott, apparently dia sudah membuktikan diri lewat All the Money in the World (2018) yang dirombak banyak menjelang tayang dan hasilnya tetep kinclong. Dalam kasus The Post, kita bisa merasakan sang sutradara juga sangat passionate sama cerita yang ingin disampaikan. Spielberg memilih untuk memfokuskan inti kepada masalah penerbitan koran, gimana susahnya mencari dan menerbitkan cerita tepat waktu. Film menunjukkan banyaknya kerja fisik yang diperlukan untuk mencetak satu edisi koran. Dan menurutku, aspek ini yang membuat film menjadi stand out, paling enggak membedakannya dengan Spotlight (2015) yang juga film tentang tantangan jurnalisme mengungkap berita. Fokus pada cara kerja penerbitan ini juga turut menambah bobot kepada tone realistis yang berusaha dibangun.

sepertinya sekarang kita butuh film tentang bisnis majalah yang sudah gulung tikar

 

Ada banyak adegan yang terasa seperti adegan khas Spielberg, kalian tahu, adegan di mana kamera mendekat perlahan kepada seorang tokoh saat si tokoh memberikan monolog ataupun pidato yang intens tentang kehidupan mereka yang inspirasional. Penampilan para pemain, hingga ke tokoh paling minor pun, semuanya bagaikan diarahkan untuk memenangkan penghargaan.

Enggak hingga paruh akhir kita baru merasakan efek sepenuhnya dari elemen dramatis film. Washington Post baru mendapat paper bukti itu pada midpoint, dan barulah pertanyaan menarik apakah mereka akan mempublish berita tersebut mengetahui resiko penjara yang menunggu, kelangsungan dunia pers, dan bahkan apakah waktu untuk semua itu cukup datang menggebu. Film memang menjadi exciting di bagian ini dan sangat terasa kontras dengan separuh bagian pertama di mana ceritanya tampak meraba-raba. Konflik dibangun di babak awal, bagian emosional yang kita temukan pada titik tersebut adalah soal tokoh Meryl Streep yang dikerdilkan diam-diam oleh para reporter karena dia adalah pemimpin cewek, dan di masa itu cewek dianggap kurang kompeten dibandingkan para pria. Mereka mencoba menggunakan kuasa mereka untuk membuat Graham membagi wewenang karena mereka merasa akan mampu membuat kinerja penerbitan menjadi lebih baik. Aspek cerita ini sebenarnya juga masih relevan dengan keadaan kekinian, ini juga adalah bagian yang lebih personal; Bagi Graham ini semua adalah soal pembuktian diri. Tapinya lagi, aspek cerita ini enggak benar-benar baru dan in fact, kita lebih tertarik untuk mengikuti peristiwa penerbitan cerita sebab drama jurnalis inilah yang membuat kita duduk menonton sedari awal.

 

 

 

Hal terbaik dari film ini adalah bagaimana dirinya sangat menarik dan relevan dibicarakan pada masa sekarang-sekarang ini. Sebuah proyek yang sangat penting bagi si pembuat untuk segera disampaikan. Yang mana cukup disayangkan jika saja dia mau untuk memperlambat pembuatan film ini sedikit lagi. Aku enggak bilang film ini dibuat dengan terlalu terburu-buru hingga tidak mencapai potensi sesungguhnya. Desain produksinya tetap kelas top, penampilan akting yang benar-benar kuat, cirri khas sutradara juga tetap hadir di sana, Namun memang, mestinya film ini bisa digarap dengan sedikit lebih baik lagi. Karakternya bisa dibikin lebih berdaging lagi jika naskah diberikan tambahan waktu untuk matang. Elemen drama yang harusnya bisa diaduk dengan lebih baik, karena film ini terasa kayak dua bagian di mana bagian yang terakhir tampak lebih menarik dan fokus ketimbang bagian awal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE POST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MOLLY’S GAME Review

“The most dangerous phrase in the English language is ‘be a man’”

 

 

Pernikahan adalah jebakan. Bermasyarakat adalah lelucon. Dan orang-orang? Molly Bloom enggak percaya sama orang. Tadinya Molly sendiri enggak mengerti, kenapa dia tumbuh sebagai seorang remaja yang begitu sinis. Sampai kejadian yang mengubah hidupnya jungkir balik itu terjadi. Molly tadinya sudah hampir menjuarai pertandingan ski. Sejak kecil dia sudah berlatih sehingga sukses mencapai kelas profesional. Molly bertanding untuk olimpiade, padahal dia punya masalah yang bukan main-main dengan tulang belakangnya. Eventually, Molly mengalami cedera serius. Molly selamat dari kematian, namun karirnya sebagai atlit ski profesional tamat sudah. Dia dapat kesempatan untuk memikirkan kembali seluruh hidupnya dan entah bagaimana, wanita ini jadi bekerja sebagai host permainan poker underground. Karena pekerjaannya tersebut, sekarang Molly dikenai tuduhan kriminal. Dan kemudian dia menulis buku yang isinya mengekpos dunia selebriti dan poker gelap yang ia geluti. Dan ini adalah kisah yang sangat aneh. Dan aku sengaja menyebut hal ini terakhir sebagai kejutan; kisah Molly Bloom ini adalah kisah nyata.

Mengepalai kisah hidup yang benar-benar aneh, penulis Aaron Sorkin membuktikan kebolehannya sebagai sutradara untuk pertama kali. Dia mengarahkan cerita dengan benar-benar kompeten. Kita akan dibawa mengikuti Molly dengan penceritaan yang detil. Film ini berisik oleh sekuen-sekuen dialog. Sebagian besar di antaranya adalah narasi voice-over oleh tokoh Molly. Biasanya penceritaan begini akan menurunkan nilai film, karena kita diberitahu poin cerita alih-alih diperlihatkan, namun Sorkin menemukan cara untuk memanfaatkan hal tersebut ke dalam cerita. Narasi voice-over dalam film ini tidak terasa seperti menyuapi kita dengan informasi sehingga menjadi membosankan. Malah, dua-setengah jam itu enggak terasa lantaran narasinya menarik. Beberapa momen memang tidak tampak menambah banyak buat cerita, melainkan justru memperlambat pace, tapi karena ditangani dengan memikatlah kita gak akan benar-benar mempermasalahkannya.

Terkadang, narasi membutuhkan banyak ekposisi, namun Sorkin melakukannya dengan cepat, dan dia memastikan kita benar-benar butuh informasi yang ia beberkan. Dalam adegan bermain poker, misalnya. Kita didudukkan pada tempat duduk yang sama dengan Molly. Dia mengobservasi permainan, kita diperkenalkan sama istilah-istilah permainan yang mungkin enggak semua penonton mengerti. Kemudian untuk adegan permainan selanjutnya kita tiba-tiba sudah mengerti psikologi di balik permainan tersebut, kita paham rintangan pada langkah yang diambil para tokoh yang sedang bermain poker. Di mana Molly pada poin ini? Dia sudah menjadi kepala penyelenggara permainan. Begitu tangkasnya alur mengalir, pace yang disajikan amat thrilling sehingga kita gak sadar sudah terlena mengikutinya. I mean, sepertinya aman untuk mengatakan penceritaan Sorkin membuat kita kecanduan sama kehidupan Molly yang luar biasa.

serius deh, cerita kayak gini sama normalnya dengan setiap kali main Poker kita dapat full house

 

Jessica Chastain pernah bermain dalam film yang buruk, namun sebagai aktris, Chastain tidak bisa menjadi sebuah aktor yang buruk – apapun perannya. Paling enggak, aku belum pernah nonton film yang jelek karena akting Chastain. Dalam Molly’s Game, dia bermain dengan sangat terrific. Karakternya sendiri sudah menarik sedari awal, dan bagaimana Chastain menghidupkannya membuat Molly mekar berkembang menjadi peran yang hebat. Kalo ini sedang ngulas gulat, maka aku akan bilang Chastain punya mic skill yang dahsyat. Maksudku, setiap kalimat yang ia ucapkan terasa punya bobot, lengkap dengan emosi yang meyakinkan. Begitu compellingnya sehingga aku merasa kalolah dia menyeramahiku, Chastain’s Molly bisa menyebut semua pilihan-pilihan salah yang sudah kuambil sepanjang hidupku, dan aku akan melaksanakan semua nasehatnya tanpa argumen. That’s how convincing she was.

Sosok pahlawan bagi kebanyakan anak perempuan biasanya adalah bapaknya. Tapi bukan buat Molly. Sedari kecil, Molly enggak punya pahlawan, enggak punya tokoh panutan. Malahan, bisnis poker illegal yang ia lakukan, tanpa ia sadari, adalah perwujudan perlawanannya terhadap sang ayah. Sebagai cara bagi Molly untuk punya kontrol di atas pria-pria yang lebih berdaya.

 

Sorkin mengambil sebuah pertaruhan yang besar ketika ia mengembangkan kisah hidup Molly Bloom sebagai naskah film. Sebab ini adalah film yang stake ceritanya terlihat ngambang, gak jelas. Padahal setiap film harus punya stake yang terang sehingga penonton dapat terkonek dan peduli dengan protagonisnya. Materi yang dipunya Sorkin adalah seorang wanita yang sudah kehilangan segalanya. Tragedi di olimpiade itu adalah titik balik; Molly sudah kehilangan segalanya di awal cerita. Dan sebagaimana pepatah lama bilang, “saat kau ada di dasar, jalan yang ada hanya ke atas”. Tantangan dan resiko yang diambil oleh Sorkin sebagai penulis merangkap sutradara adalah dia harus memutar caranya gimana supaya kita peduli apakah nanti Molly bisa bebas atau hidup dalam penjara, sementara kita tahu dipenjara atau enggak sama sekali udah gak banyak bedanya bagi Molly. Bukan hidupnya, melainkan hanya reputasi yang jatoh kalo dia dipenjara. Jadi, perjalanan dalam film ini dibuat Sorkin sebagai somewhat psikologikal, perjalanan ke dalam diri yang dilakukan oleh Molly – dia harus mencari tahu pijakan moralnya sendiri, mencari tahu apa yang menyebabkan dirinya begitu tertarik menyambung hidup sebagai seorang host poker illegal.

Poker dan film punya satu kesamaan; ada taruhannya.

 

Kita akan eventually mengetahui lapisan terdalam yang memotivasi Molly. Tidak peduli betapa powerful dan berkuasanya pria di sekitar Molly, dirinya selalu bisa untuk mengambil kendali. Molly pinter, tegas, dan sudah terlatih untuk tidak terintimidasi.  Tentu, dia toh terscrew up juga oleh pria – dalam film kita melihat seorang seleb yang tadinya langganan permainan poker Molly malah ‘mengkhianati’ dengan almost literally pindah ke meja lain, tetapi Molly selalu siap berdiri dengan pinggangnya yang cedera. Actually, bagian akhir film yang mengungkap penjelasan ini, tentang keunggulan dan kelemahan karakter Molly, adalah bagian yang menurutku malah menyepelekan nilai penceritaan yang sudah dibangun oleh film di awal. Juga menurunkan kadar temanya yang soal bahwa wanita enggak kalah dari laki-laki.

Adegan yang dimaksud itu adalah ketika Molly yang sedang galau oleh banyaknya tuduhan kriminal dan sebagainya, berjalan gitu aja ke ring ice skating. Dia memutuskan untuk bermain sebentar, menyewa sepatu skate dengan menggadai sarung tangan Chanel, dan ketika dia bermain ice skating, seseorang memanggil namanya. “Molly!” Ia terjatuh. Di luar ring, ujug-ujug ada ayahnya. Adegan ini begitu konyol buatku, tadinya aku menyangka sosok si ayah itu hanya imajinasi Molly. Ayah (Kevin Costner memainkan seorang ayah sekaligus psikolog yang disiplin) selama ini bersikap tegas dalam mendidik dan melatih Molly. Beliau adalah tipe ayah yang akan kecewa padamu, meskipun kau sudah jadi juara kelas, hanya untuk terus memompa semangat juangmu. Jadi kupikir akan sangat emosional sekali bagi Molly mengingat sang ayah di tempat yang sudah lama ia tinggalkan, akan sangat masuk akal jika momen ini akan jadi momen penyadaran bagi Molly. Tapi ternyata film malah membuat si Ayah benar-benar ada di sana; faktor kebetulan berusaha mereka tutupi dengan menyebut Ayah tahu Molly ada di mana dari Ibunya, meskipun asumsi yang kita dapat dari konteks adegan sebelumnya adalah Molly enggak pernah exactly mutusin akan ke ice skate – dia hanya berjalan ke arah sana. Ayahlah yang mengungkapkan apa yang selama ini jadi kelemahan Molly, apa yang membuatnya getol bikin poker gelap, darimana motivasi Molly berasal. Sesungguhnya ini semua berlawanan dengan aspek karakter dan cerita yang sudah dibangun, kenapa Molly yang mandiri dan pintar harus dijelaskan tentang dirinya sendiri oleh pria yang selama ini ia antagoniskan?

Bahkan lebih aneh lagi jika kita sambungkan konteksnya dengan adegan sebelum ice skating itu berlangsung. Sebuah adegan yang merupakan titik balik dari hubungan Molly dengan pengacaranya. Di adegan ini Idris Elba melakukan monolog menakjubkan tentang bagaimana selama ini dia salah menilai Molly. Bahwa Molly lebih dari sekedar “Poker Princess”. Basically, Elba bilang kepada kita semua bahwa inilah saatnya kita sadar tentang kebaikan Molly dan segera mendukungnya. Hanya karena dia membuat kesalahan, bukan berarti Molly adalah penjahat. Jadi, aku mengerti supaya arc Molly beres, dia kudu bisa melihat koneksi dirinya dengan sang ayah. Hanya saja, membungkus arc yang demikian dengan dia mendapat penjelasan dari si ayah benar-benar melemahkan karakter Molly sendiri.

Semua pemain poker dalam film ini adalah pria-pria kaya, terkenal, punya jabatan. Dan kebanyakan mereka jatuh bangkrut akibat ulah sendiri. Molly yang dibesarkan supaya setangguh laki-laki kecanduan untuk mengontrol mereka, dan pada gilirannya Molly juga dijatuhkan oleh pria-pria yang bahkan nama mereka enggak berani diungkap oleh Molly dalam bukunya. Molly bermain sebagai pria jantan, tapi permainan itu bubar dengan cepat. Film ini mengeksplorasi tentang betapa kemaskulinan dapat menjadi racun bukan hanya kepada pria, namun juga kepada wanita. Kepada society. Karena bagaimanapun juga, pria dan wanita tetap saling bergantung satu sama lain.

 

 

 

 

Debut sutradaranya ini membuktikan kekompetenan Aaron Sorkin sebagai pengarah cerita. Akan tetapi, penampilan akting, dialog yang memikat, dan fakta bahwa ini adalah kisah nyatalah yang membuatnya menjadi film yang spesial. Salah satu penulisan yang paling menarik di tahun 2017. Pacing film bisa terasa sangat lambat, pilihan yang diambil untuk menyelesaikan plotnya pun enggak benar-benar kartu as. Tapi yang diceritakan film ini sebenarnya penting untuk kita saksikan.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10  for MOLLY’S GAME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DILAN 1990 Review

“The last generation’s worst fears become the next one’s B-grade entertainment

 

 

Tidak hingga duduk di bioskop menonton Dilan 1990lah, aku baru menyadari bahwa tahun 1990 itu sudah begitu jauh tertinggal di belakang. I mean, kita lebih dekat ke 2030 ketimbang balik ke masa Dilan pacaran lewat telepon umum sama Milea. Bayangkan ini sejenak, pliss.. Ini bukan masalah aku merasa tua (dooo yang tua gak mau ngakuu), tetapi melihat apa yang Dilan dan Milea lakukan, kebiasaan-kebiasaan mereka sehari-hari, gaya pacaran mereka yang tampak ajaib dan sangat menarik bagi penonton remaja di dalam studio tadi, membuatku tersadar;

Memang perjuangan generasi lain terbukti adalah hiburan buat generasi sesudahnya.

 

Jika ditayangkan di era 90an, film ini pastilah laris manis sebagai kisah cinta yang juga manis. Tapi, bagi kita yang menontonnya di tahun 2018, Dilan 1990 adalah sebuah romansa remaja yang unik. Di sinilah letak kekuatan film; dirinya terlihat beda sekaligus masih relevan dengan kondisi kekinian. Dilan, Milea, orangtua, guru, dan teman-teman mereka terasa seperti orang-orang di sekitar kita. Apa yang mereka lakukanlah yang bakal menarik minat kita, terutama Dilan. Hal-hal kecil kayak kerupuk dan percakapan sepele dan terlihat gak-jelas mereka memang romantis in their own unique way. Sebagian besar penonton mungkin gak akan pernah mengalami rasanya deg-degan nelfon ke rumah gebetan dengan stake bokap yang galak bisa saja yang mengangkat telfon. Atau belum pada pernah kan nelpon gebetan tapi yang ngangkat malah pembantu yang gak kalah genitnya? haha… Belum lagi mempertaruhkan koin untuk membayar telpon umum. Film ini menggambarkan itu semua dengan sederhana, sehingga tak pelak menjadi kocak.

Kisah adaptasi novel ini dibuka dengan sosok Milea yang sudah dewasa mengetik di laptopnya. Dia menulis cerita semasa SMA, ketika dia pindah ke Bandung, dan menjadi murid baru. Cerita yang ditulis Milea inilah yang menjelma jadi tontonan kita. Milea yang cakep (Vanesha Prescilla tampak seperti gak berakting di debutnya ini) lantas jadi primadona baru. Banyak yang naksir. Terutama si Dilan (meski sempat diragukan penggemar novel, Iqbal Ramadhan menghidupkan tokohnya dengan cukup kompeten). Cowok anak geng motor ini punya cara yang paling berbeda dalam mendekati Milea. Dia mengaku peramal. Ramalan ngasal, hadiah-hadiah aneh,  dan kegigihan Dilan tampaknya memang cukup ampuh. Milea luluh. Dan kita dibuat terenyuh melihat akrab dan dekatnya mereka. Sedikit konflik yang dihadirkan film ini adalah ketika masa lalu Milea datang, begitupun saat dunia geng motor Dilan menyebrang di lalu lintas roman mereka.

easter egg menyenangkan buatku; Vanesha membaca Olga dan Sepatu Roda, dan kakak Vanesha – Sissy – pernah meranin Olga di serial tv~

 

Hampir mustahil untuk membenci film ini, it’s a very lighthearted teenage… um, aku mau bilang ‘teenage drama’ tapi sepertinya kurang tepat. Lantaran there’s hardly  any dramas presented here. Konflik dalam cerita muncul di akhir-akhir dan semacam datang gitu aja. Klimaksnya nyaris enggak ada. Ini tentu saja dapat jadi ‘meh’ buat sebagian penonton, terutama yang menginginkan tantangan dalam cerita. Buatku, Dilan 1990 berlalu begitu saja. Aku tidak merasakan apa-apa kepada film ini. Kecuali mungkin sedikit kebosanan. Aku gak tahu ke arah mana narasi berjalan. Bahkan hingga ke menit 100an pun, aku belum bisa meraba apa end game film ini. Maksudnya, KENAPA MILEA DEWASA MENCERITAKAN SEMUA ITU KEPADA KITA. Motivasi Milea ingin menceritakan tentang cowok yang mengiriminya TTS yang udah diisi – kenapa kita harus peduli tentang itu? Kenapa kita wajib tahu siapa yang mengajarin dia pentingnya mengucapkan selamat tidur setiap malam? Film sangat kurang dalam mengeksplorasi ini. Bukan tanpa tujuan, hanya saja tujuannya sangat enggak penting, enggak mencengkeram. Katakanlah, jika kita melihat pada saat dewasa mereka tidak bersama, atau eventually menikah, atau ada sesuatu yang terjadi kepada Dilan saat dewasa, film ini akan terasa terpenuhi. Tapi film tidak memberikan alasan untuk kita peduli kepada apa yang terjadi, alasan kenapa kita harus menonton semua ini selain materinya berasa dari novel yang sangat populer.

Sebagai karakter, Milea kayak kertas putih. Kertas yang bakal ditulisi oleh tokoh-tokoh lain.Milea nyaris tidak punya karakter sendiri. Kita tidak melihat siapa dia on the inside untuk setengah film. Aku mempertanyakan pilihan cerita ketika Milea dijadikan sektretaris tanpa alasan, padahal itu adalah waktu yang bagus untuk menunjukkan traits baik yang dimiliki oleh karakternya. Keputusan personal yang dibuat sendiri oleh Milea muncul di paruh akhir, ketika dia ngelarang Dilan ikut berantem dengan geng motor. Film harusnya berputar membahas ini lebih banyak. Ada satu sekuen yang menurutku akan menarik sekali jika ditarik konflik, yaitu saat Milea memutuskan untuk membereskan kamar Dilan. Ini merefleksikan Milea ingin ‘memperbaiki’ Dilan, dan menurutku gak bakal ada yang senang disuruh berubah, bahkan oleh pasangan. You don’t just go around fixing people stuff. Tapi nyatanya, sekuen ini hanya digunakan oleh narasi sebagai device Milea mengetahui puisi buatan Dilan.

Rindu itu berat. Kadang pelampiasan yang bisa kita usahakan hanya dengan menuliskannya. Hanya kenangan yang dipunya Milea.

 

Ada alasannya kenapa aku lebih suka baca Lupus dan Olga ketimbang membaca novel seperti Dilan. Dalam Lupus, kalimat romantis yang kita temui adalah semacam “Masih ada becak yang bakal mangkal”. Kedengarannya lebih akrab, dan lebih mungkin untuk diucapkan tanpa mengurangi maknanya. Mendengar bahasa Dilan kepada Milea, kadang terasa menggelikan. Dilan ini udah kayak Gusur digabung ama Boim kalo di novel Lupus. Dia enggak exactly tokoh yang menguar karisma karena film tidak pernah benar-benar adil dalam menyorotnya. Dilan menghajar guru karena leher bajunya ditarik. Dia tidak berasal dari keluarga broken home, seperti trope kebanyakan. Dari kutipan poster di kamarnya, kita dapat melihat motivasi kenapa Dilan bergabung dalam geng motor, kenapa dia bandel, tapi moral Dilan tidak pernah benar-benar convincing. Kita mestinya bersimpati padanya, tapi aku bahkan gak tau kenapa Dilan jatuh cinta kepada Milea.

Setiap Dilang ngomong, pengen nimpalin dengan “Eaaaa!” “Eaaaaa!”

 

Tidak ada layer di dalam cerita; sesungguhnya ini pun turut menjadi masalah pada film-film remaja lokal yang lain. Kebanyakan hanya tentang bad boy yang sebenarnya baek, pacaran ama cewek baek-baek (yang seringnya sih anak baru), lalu ada cinta segitiga, dan ada sobat cewek yang biasanya cupu dan naksir diem-diem. Ini trope usang yang selau dipake di romansa remaja film Indonesia. Menonton aspek ini setelah di dunia ada yang namanya Lady Bird (2017) adalah kemunduran yang nyata. Sebagian besar waktu, film tampak dibuat dengan kompeten. Mereka berusaha mewujudkan periode 1990 ke layar, dan seperti yang kubilang tadi aspek ini adalah yang menonjol baik dalam Dilan 1990. Di babak awal saja, konstruksi adegannya monoton; kita akan sering banget melihat adegan semacam Milea lagi diskusi atau ngobrol, kemudian datang distraksi dari Dilan entah itu dalam wujud surat atau memang hadir langsung, dan ditutup dengan Milea ngerasa canggung dan musik yang so sweet mengalun di latar. Juga ada adegan berantem, yang menurutku masih perlu banyak ‘dikerjain’ lagi. Kamera masih goyang gak jelas. Turut mengganggu pula beberapa penggunaan CGI, green-screen yang gak benar-benar diperlukan. Begitu pula halnya dengan penggunaan montase flashback yang memberikan sensasi manis yang palsu, dan merendahkan daya ingat penonton.

 

 

Kalo remaja mencari jati diri, maka film ini adalah remaja abadi yang terus mencari tanpa dirinya pernah tahu di mana pentingnya yang ia diceritakan. Romansa yang ditampilkan memang unik dan menyenangkan, banyak remaja akan suka film ini. Pemainnya pun kece-kece. Tapi film mestinya lebih dari sebuah pemandangan cinta. Aku gak membenci film ini, malahan aku bilang hampir mustahil ada yang nonton dan bilang benci. Selain bosan dan geli-geli, film ini tidak memberikanku apa-apa lagi karena poin narasinya tidak pernah membuat kita benar-benar peduli. Mungkin urgensi itu tertinggal di tahun 90an. Aku gak tahu. Aku bukan peramal.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DILAN 1990

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MAZE RUNNER: THE DEATH CURE Review

“To attain something of  greater value, one must give up something of lesser value.”

 

 

 

Maze Runner benar-benar seri FILM YANG BERLARI DENGAN CEPAT. Jika bukan karena kecelakaan yang terjadi pada bintangnya di lokasi syuting, kita akan mendapat sekuel ini exactly dalam per satu tahun yang berurut. Cerita yang  berjalan dengan cepat, para tokohnya literally berlari dari satu plot poin ke plot poin berikutnya, intensitas aksi yang ditawarkan nyaris nonstop – inilah yang membuat Maze Runner sedikit berbeda dalam kalangan cerita dystopia Young Adult yang lain. Ini juga sebabnya kenapa, di tahun yang bisa kita sebut sebagai faktual distopis bagi seri Young Adult, kita menonton sekelompok anak muda berusaha merampok gerbong kereta api yang tengah berjalan. Adegan aksi pembuka The Death Cure tak pelak melanjutkan tradisi seri ini yang hobi berlari; ceritanya menolak untuk berhenti dan memberikan kesempatan kepada penonton baru untuk naik ke atas plot cerita. Kita yang harus berlari mengejar ketinggalan, sebab film hanya akan sesekali mengerem sedikit untuk memberi informasi sebagai penunjuk jalan.

Kelompok Thomas-lah yang sedang berusaha menyabotase kereta api tersebut. Mereka ingin menyelamatkan salah satu rekan mereka yang sedang dalam perjalanan ke kota tempat markas Organisasi Rahasia WCKD yang selama ini sudah memperlakukan mereka sebagai binatang percobaan di dalam labirin. Dan sekarang, setelah darah Thomas dan kawan-kawan terbukti kebal terhadap virus semacam zombie yang menjangkiti seluruh penjuru dunia, WCKD ingin memanfaatkan darah tersebut sebagai bahan utama pembuatan vaksin. Thomas dan anak-anak remaja lain yang sehat adalah properti WCKD, mereka ‘dibiakkan’, darah mereka bisa digunakan seenaknya oleh WCKD. Thomas dan kawan-kawan bagai domba yang dipersiapkan untuk menjadi korban. Tetapi domba-domba yang satu ini adalah domba yang sadar akan kemampuan dan jumlahnya. Jadi tentu saja Thomas menolak. Dan sekarang, Thomas sedang berjuang menyelamatkan Minho dari gerbong kereta. Hanya saja, Thomas tidak menemukan Minho di dalam gerbong yang susah payah mereka bajak. Puluhan anak baru berhasil diselamatkan, namun lantaran Minho masih diculik, Thomas dan kawan-kawan pun bergegas menuju The Last City. Jika sebelumnya, mereka harus keluar dari tembok, kini mereka harus berjuang untuk menyelinap masuk demi menolong Minho. Sekaligus menyelamatkan dua-puluh delapan anak-anak lain. Jangan sampai mereka salah nolong lagi kali ini.

Kepanjangan dari akronim WCKD berasa kayak diambil dari komik Donal Bebek

 

Benarkah kita bisa salah menolong? Dalam kondisi bagaimana kita merasakan sudah melakukan kesalahan saat kita sudah  membantu orang? Dan kalopun kita memang melakukannya, apa yang kita rasakan sesudah itu – penyesalan? Nyesal udah membantu orang lain padahal ada yang lebih pengen kita bantu? Ultimately, film ini akan menghadirkan kepada kita keambiguan moral mengenai  mengedepankan kebaikan yang lebih kecil ataukah kebaikan yang lebih besar meski itu berarti kita harus berkorban banyak.

 

Aku memang cukup tertantang oleh gagasan dan sudut pandang yang dimiliki oleh narasi. Di sini kita punya Thomas sebagai protagonis, namun motivasi tokoh utama kita ini enggak muluk-muluk. Sedewasa apapun temanya,  semacho apapun aksinya, film tetap memperlihatkan Thomas sebagai anak remaja. Udah bukan anak kecil, tetapi tetap belum benar-benar matang dari segi emosi. Dan remaja toh memang sedikit egois. Thomas dan teman-teman enggak berniat untuk menyelamatkan dunia. Mereka ingin menolong ‘bangsa’ mereka sendiri. Kelompok yang udah gede bareng di Glade di tengah labirin. Kelompok yang udah bersama-sama dalam suka, meskipun lebih banyak dukanya.

Film juga cukup bijak dalam memainkan tokoh antagonisnya. Karena antagonis bukan berarti bisa disimpelkan menjadi tokoh jahat. Antagonis adalah tokoh yang menghalangi protagonis dalam mencapai keinginan.Dan dalam The Death Cure, kita dapat melihat bahwa kelompok yang berlaku semena-mena kepada teman-teman Thomas sesungguhnya bergerak demi kebaikan yang lebih besar. WCKD ingin menciptakan vaksin demi kesembuhan seluruh dunia. Narasi merepresentasikan kekompleksan WCKD sebagai antagonis ke dalam tiga figur yang  berbeda. Eventually, kita akan merasakan kompleks moral ini lewat tokoh Teresa, cewek yang pada film pertama mengkhianati Thomas dan terungkap sebagai salah satu imuwan yang memprakarsai remaja sebagai objek penelitian. Dan memang ada agen WCKD yang total jahat, namun tokoh ini bekerja dengan baik sebagai pembelajaran buat Thomas; dia ingin menggunakan vaksin untuk kepentingan pribadi, dan ini membuat Thomas sadar bahwa dirinya dengan si agen punya kesamaan, bahwa mereka perlu belajar soal pengorbanan.

Atau paling enggak, kita yang sadar mereka punya kesamaan. Karena lebih sering daripada tidak, tokoh-tokoh film ini tampak terlalu sibuk dengan berlari dari zombie, dari pasukan bersenjata, dari ledakan dahsyat, sehingga mereka lupa pegangan sama moral masing-masing. Big dump action adalah judul besar, kalo perlu ditulis di papan neon terang benderang, yang menggantung di atas film ini. Aksi-aksi seru namun mindless, malah sebagian besar sangat konyol, bakal mengisi sebagian besar dari seratus empat puluh menit waktu durasi. Kita akan melihat bis berisi anak-anak bergelantungan di atas kota, dan jatuh berdebam, dan semua selamat. Kita akan melihat adegan seru terus melaju, membuat babak akhir film terasa diulur-ulur karenanya. Seolah film ingin membuat kita lupa kalo banyak adegan-adegan aksi yang ia punya, sesungguhnya dipinjem dari film-film action lain. Membuat kita gak ingat ataupun jadi gak peduliin ada tokoh tak berhidung yang jangankan backstory, nasibnya di akhir cerita pun, tidak pernah disentuh lagi oleh narasi. It’s all about teenagers take on actions facing a huge world problem. Dan ledakan. Selalu ledakan.

Film ini udah kayak WCKD, mengekploitasi remaja demi universenya berputar

 

Secepat-cepatnya film ini berlari, aku masih mengingat betapa film Maze Runner yang pertama (2014) cukup mengesankan bagiku. Aku suka desain produksinya, aku suka aspek cerita tentang gimana mereka membangun society. Labirin itu memberikan elemen misteri yang fresh. Film yang kedua, aku suka separuh awalnya saja. Saat menonton yang ketiga ini, tampak jelas penyutradaraan Wes Ball sudah outrun source materialnya. Keseluruhan film tampak lebih mengesankan. Kubilang, film ketiga ini tampak lebih dekat seperti yang kedua, pengecualiannya adalah dia dilakukan dengan lebih baik dan lebih matang. Adegan-adegan aksi kejar-kejaran direkam semakin intens.  Bagian berantemnya, bagian yang tergolong ‘baru’ dalam seri ini, butuh penguasaan yang lebih lagi sebab kita melihat kameranya cukup banyak goyang dan enggak benar-benar merekam apa yang mustinya diperlihatkan. Di lain pihak, porsi penggunaan efek prostetik dengan penggunaan CGI tampak semakin bijak. Set jalanan kota terakhir di dunia itu tampak meyakinkan, enggak berlebihan, malah kelihatan sangat mungkin kota tersebut ada di dunia nyata.

Para tokoh juga diberikan arahan yang lebih dewasa. Tidak ada dialog-dialog klise. Enggak pake pancingan romansa norak. Dylan O’Brien sebagai Thomas membuktikan dia punya karisma sebagai tokoh lead di petualangan aksi fantasi kayak gini. Kali ini, Thomas memang tampak sebagai yang paling kurang beraksi dibanding yang lain – tugas O’Brien kebanyakan pasang tampang penuh determinasi. Adegan kebut-kebutan naik kereta api di awal tadi, misalnya. Aku cukup lucu juga melihat kenapa bukan Thomas yang nyetir mobil dan kenapa bukan dia yang kesusahan naik ke atas kereta; bukankah bisa jadi stake yang bagus kalo early kita diperlihatkan tokoh utama udah hampir mati. Namun kemudian setelah konteks cerita aku pegang, aku dapat melihat pilihan itu bekerja efektif dalam karakter Thomas. Untuk menunjukkan dia belum berkorban banyak saat cerita baru dimulai.

Dunia toh memang terletak di tangan anak-anak muda yang kuat, yang berpendidikan. Namun, dalam kepentingan kontinuitas dari umat manusia, mementingkan dua puluh delapan remaja di atas semua orang tetap adalah hitungan yang mengerikan.

 

 

 

 

Cepatnya film memang kadang terasa membingungkan, terlebih buat penonton yang baru pertama kali mengikuti seri ini. Ataupun buat penonton yang sudah lupa sama sekali akan ceritanya. Film tampak cukup pede dengan aksi-aksi seru yang ia punya, as it would expect us to sit through there menikmati sekuens dahsyat. Sesungguhnya ini dapat menjadi berbalik menjemukan, karena durasi yang panjang hanya efektif jika kita peduli sama tokohnya. Namun bagaimana bisa jika kita tidak kenal siapa mereka. Menjelang midpoint, akan ada kejutan berupa kembali salah satu karakter dari film pertama, dan ini bisa jatoh datar kalo penonton enggak tahu. Porsi cerita dialamatkan untuk dinikmati oleh penonton setia dan penggemar bukunya saja. Ini bukan film yang contained, yang bisa berdiri sendiri. Melihatnya sebagai penutup trilogi, perkembangan karakter-karakternya bekerja dengan baik. Namun bukan berarti menjelaskan semuanya. Looking back, aku jadi bingung kenapa mesti ada labirin sedari awal. Ah, ternyata kita masih tersesat di dalam labirin ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MAZE RUNNER: THE DEATH CURE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DARKEST HOUR Review

“The art of communication is the language of leadership.”

 

 

Ada orang-orang tertentu di dalam hidup yang kita harap mereka tidak gampang ditebak, seperti tetangga sebelah rumah atau cewek yang lagi kita taksir. Dan kemudian, ada orang-orang tertentu yang kita tidak mau mereka gak gampang ditebak. Seperti orangtua kita, atau dokter gigi. Atau Perdana Menteri. Kita mau pemimpin yang tegas, yang mengambil langkah pasti ketika negara berada pada masa-masa sulit.

 

Winston Churcill ditakuti ketika pertama kalinya dia menjabat Perdana Menteri Inggris pada bulan Mei 1940 itu. Karena enggak ada satu orang anggota partai di parlemen pun yang tahu apa yang selanjutnya bakal  keluar dari mulut salah satu pemimpin paling disegani di dunia tersebut. Sementara Inggris dan negara-negara Eropa lain dalam posisi terdesak. Pasukannya digempur Nazi sampai ke pinggiran pantai Perancis, Inggris dihadapkan pada dua pilihan; bernegosiasi dengan Jerman, atau terus melawan – pantang kalah. Tau dong apa yang dipilih oleh Winston Churcill. Ada dalam catatan sejarah. Atau paling enggak, disebutin dalam film Dunkirk (2017) yang fenomenal tahun lalu.  Film Darkest Hour menceritakan tentang bagaimana keputusan yang diambil oleh Churchill bukanlah hal yang mudah bagi dirinya. Churchill mendapat banyak tantangan, dia dikecam sadis. Pandangan dan keputusannya dianggap fantasi  delusional yang membahayakan. Kita melihat kebenaran di mata Churchill, dibayangi oleh keraguannya sendiri – apakah mengirim jiwa-jiwa muda ke ‘tempat pembantaian’ adalah langkah yang benar. Kita juga melihat Churchill dari mata orang-orang terdekatnya.

“Saat kepala kita ada di dalam mulutnya, kita tidak bisa nego sama macan.” begitu tingginya semangat Churchill dalam melawan tirani. Komplikasinya datang dari beberapa orang yang menginginkan semua berakhir dengan baik-baik. But at what cost? Buatku, aspek inilah yang membuat cerita Darkest Hour menarik. Kita hampir melihat film sebagai studi psikologis dari karakter Churchill. Dia bisa melihat bertempur hingga akhir adalah jalan yang benar untuk kebaikan yang lebih besar, akan tetapi dengan melawan, tidakkah nanti dia jadi sama-sama aja dengan Hitler?

Pertempuran hebat terjadi di depan mata kita, tapi enggak semua dari kita menyadarinya. Aksi film ini terletak pada kata-kata, pada semangat berjuang Churchill yang membara di dalamnya. Dan musuhnya bukan hanya pihak Nazi. Karena sesungguhnya hal yang paling susah dalam berperang adalah menjaga diri untuk enggak menjadi sama dengan pihak yang kita lawan. Di dalam gedung parlemen itu, Churchill udah nyaris selalu diantagoniskan, namun dia tetap bertahan. Film menangkap dengan tepat momen-momen intens mengenai konflik inner Churcill. Makanya, adegan di menjelang akhir, ketika Churchill memutuskan untuk pergi naik kereta bawah tanah sendirian, di mana dia ngobrol dengan penduduk kota, terasa sangat mantap menghangatkan. Sebab itulah momen yang meneguhkan pilihan sang protagonis. Bahwasanya setiap orang, jika punya kesempatan, akan memilih untuk berjuang.

kalo kamu berbeda, itu artinya antara kamu paling maju atau kamu paling gila.

 

Now, let’s just address the big elephant in the room. Gajah yang tertutup oleh make up dan efek prostetik yang membentuk seutuh sosoknya. Gary Oldman sebagai Winston Churchill. Perubahannya menjadi sosok yang ia perankan, maaan, ini udah bukan lagi level meniru. Gary Oldman udah kayak menciptakan Winston Churchill dari dalam dirinya. He was completely changed, kecuali matanya yang terus mengobarkan perjuangan dan tampak restless kayak mata Sirius Black. Ini adalah dedikasi tiada tara dan permainan peran kelas dewa. Definitely penampilan terbaik Gary Oldman sepanjang karirnya. Aku enggak akan heran kalo setelah Golden Globe, aktor ini juga akan menyabet Oscar karena penampilannya di film ini. I mean, kita bisa saja bego total sama sejarah dan enggak tahu siapa Winston Churchill, dan tetap akan tertarik sepanjang dua jam lebih durasi hanya karena permainan akting tokoh utama ini. Oldman benar-benar menangkap esensi dari Churcill, dia tampak sepertinya, terdengar sepertinya, bergerak sepertinya, bahkan sampai kebiasaan ngerokok pun gak luput untuk diwujudkan.

Meskipun karakter Churchill dieksplorasi dengan mendalam, kita enggak mendapat banyak tentang karakter-karakter lain di sekitarnya. Di sini ada Lily James yang berperan sebagai sekretaris pribadi Churcill yang bernama Elizabeth Layton yang ada di sana untuk mengetikkan langsung kata-kata Churchill saat Perdana Menteri itu ingin mengirimkan surat. Hubungan kedua orang ini sebenarnya cukup menarik. At first, Elizabeth yang baru bekerja dimarah-marahin karena enggak sesuai dengan standar pengetikan yang ditetapkan oleh Churchill. Ngetik harus elegan – gak boleh berisik karena suara mesin ketik itu malah mengganggu proses berpikir,  spasinya kudu dobel,  juga tidak pake kol(!). Motivasi Elizabeth tetap bekerja pada Churchill, dia gak marah dibentak – malah nyalahin diri sendiri –  sebenarnya juga cukup menarik. Ini bukan masalah karena Elizabeth pengen banget kerja untuk Perdana Menteri, tapi lantaran cewek ini begitu kagum  kepada Churchill. Dia melihat si bapak tua sebagai seorang manusia, sama seperti film ini membuat kita melihat Oldman sebagai sosok yang manusiawi. Kemampuan speech Churchill terutama menarik banget buat si sekretaris, kita bisa melihat dia senang mengetikkan kalimat-kalimat berapi tersebut. Juga ada alasan personal yang menyangkut salah satu anggota keluarga Elizabeth. Kelamaan, kita melihat kedua orang ini menjadi dekat. Tapi film enggak pernah mengeksplorasi sudut pandang Elizabeth lebih lanjut.

ngetik gak ada backspace/delete/undo itu kayak main game tapi gak pake save-an

 

Begitu pula dengan sudut pandang istri Churchill, Clementine. Menurutku aktris Kristin Scott Thomas kurang diberdayakan di sini, padahal tokohnya punya peran yang menarik. Clementine adalah makhluk pertama yang mengingatkan kepada Churchill atas sikapnya yang mengalami deteriorasi (baca: Churchill semakin kasar) sejak suaminya itu meletakkan politik di atas segala kepentingan. And later, tentu saja, aspek ini bermain kembali saat kita melihat Churchill mulai mempertanyakan keputusannya mengirim tiga ratus ribu pasukan terdampar di pantai Dunkirk; apakah benar dia sudah mengalami kemunduran perasaan terhadap sesama manusia. It would be nice jika kita dikasih lebih banyak kesempatan untuk melihat hubungan antara Churchill dengan orang-orang terdekatnya. Paling enggak, bisa jadi alasan untuk mengubah ‘pemandangan’ biar gak bosen ketimbang melulu melihat pria-pria di ruang rapat.

Seperti apa sih pemimpin yang bagus itu? Winston Churchill berani menunjukkan apa yang menurutnya diperlukan untuk membawa negara menuju kemenangan. Dia berani bersuara, mewakili rakyat. Karena ternyata rakyat juga menginginkan perjuangan. Bahkan Raja Inggris saat itu pun sebenarnya ingin berjuang, alih-alih pindah ke Kanada. Negosiasi dapat diartikan sebagai tindak menyerah. Dan perjuangan itu bisa diawali dengan menggunakan kata-kata yang tepat. Bersuaralah. Gunakan kata yang tepat. Karena hanya kata-kata yang tepat yang bisa menggerakkan.

 

 

 

Film ini adalah pelajaran sejarah yang penuh oleh suara-suara yang akan menggenggam erat kita. Menontonnya akan terasa seperti lagi dengerin ceramah guru sejarah beneran; bicara sangat lama sehingga kita mengantuk, akan tetapi suaranya lantang penuh intensitas sehingga kita menolak untuk tertidur. Dan perlu diingat, kita dapat belajar lebih banyak tentang masa kini dengan melihat kepada masa lalu, demi kemajuan. Dengan penampilan akting tingkat dewa, dengan production design yang detil, film ini menunjukkan masa-masa gelap, jahiliyah, dan untuk itu kita perlu menyukuri jaman now di mana kita melihat banyak suara-suara resistance di mana-mana mengenai masalah kepemimpinan. Jika ada yang diperlihatkan oleh film ini, maka itu adalah antara rakyat dengan pemimpinnya perlu untuk ‘bertemu’ demi kemajuan negara.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for DARKEST HOUR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE COMMUTER Review

“For the love of money is the root of all evil.”

 

 

Setiap hari selalu bertemu, bertukar-pandang tanpa sengaja, mengangguk menyapa seadanya, tentu mampu menumbuh perasaan kenal di antara orang-orang asing. Tapi ini bukan soal cinta. Ini soal rasa curiga. Michael MacCauley setiap hari naik kereta komuter yang sama. Mantan polisi yang baru dipecat dari perusahaan asuransi ini bisa dibilang sudah akrab dengan penumpang-penumpang lain, juga dengan pegawai kereta. Makanya, ketika ditantang permainan kecil-kecilan oleh seorang wanita, MacCauley setuju aja. Mencari seseorang yang ‘berbeda’ di dalam kereta tentu tampak gampang bagi dirinya yang punya skill observasi yang tinggi. Apalagi permainan hypothetical tersebut berhadiah serius; seratus ribu dolar. MacCauley butuh duit itu untuk keluarganya. Tapi permainan ‘Di mana Waldo’ tidak pernah segampang kelihatannya. Malahan, menjadi semakin susah karena kita tidak mampu melihat. Tantangan yang diterima MacCauley semakin lama bukan saja menjadi semakin sulit, namun juga menjadi semakin berbahaya. Sebab banyak nyawa yang dipertaruhkan di sana. Termasuk nyawa MacCauley sendiri!

Akhirnya aku dapat juga thriller di kereta api yang sesuai dengan harapanku. I mean, Murder on the Orient Express (2017) tetap yang terbaik memutar balik ide gimana jika penumpang kereta api ternyata sudah saling kenal – bukan strangers, tapi film ini adalah adaptasi novel klasik. Sejak dibuat kecewa oleh The Girl on the Train (2016), aku jadi tertarik pengen melihat thriller menegangkan di kendaraan umum yang mengeksplorasi penumpang yang benar-benar asing satu sama lain. Karena aku sendiri suka naik kendaraan umum, aku suka mengamati para penumpang, dan honestly aku kadang sering ngarep ketemu kasus yang seru. Tapi itu akan menjadi pengalaman yang sangat mengerikan. Makanya aku jadi pengen sekali melihat film yang benar-benar membahas soal tersebut. Night Bus (2017) tadinya kupikir akan jadi pemuas, namun film tersebut terlalu condong ke isu politiknya. Night Bus bagus tapi terlalu serius dengan gol untuk menjadi sajian dramatis.

Buatku, The Commuter adalah film thriller di atas kendaraan tertutup yang selama ini kuidamkan. It is really entertaining. Enggak menjadi terlalu serius, ataupun berat, sutradara Jaume Collet-Serra mengerti komposisi yang dibutuhkan. Dibuat olehnya The Commuter sebagai sajian thriller bercampur aksi yang pas, yang plot dan narasinya enggak ribet-ribet amat, dengan tokoh yang bisa kita dukung keselamatannya.

tut tut tut siapa hendak semaput

 

Kesulitan dalam menangani tokoh utama salah satu adalah kita ingin membuatnya terlihat kuat dan bisa dipercaya, sekaligus juga membuatnya tidak tanpa kelemahan. Michael MacCaulay yang diperankan oleh Liam Neeson adalah karakter yang ditulis sempurna untuk situasi yang ia hadapi. Dia adalah pria baek-baek, seorang kepala keluarga yang ingin berikan yang terbaik, sebagaimana dia juga ingin membantu orang lain. MacCaulay adalah jenis pria yang bisa kau jumpai di temapt-tempat umum, kau duduk di dekatnya, dan sama sekali enggak merasa terancam. Akan tetapi, alih-alih seperti Fahri yang ditulis hidup tanpa tuntutan dalam film Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), MacCaulay disuntikkan ambiguitas moral ke dalam karakternya. Yang membuat tokoh ini bercela, dan eventually menjadi menarik. Dihadapkan oleh kesulitan finansial, tokoh kita dituntut untuk memilih sesuatu yang bertentangan dengan kompas hidupnya. Uang seratus ribu dolar dapat menjadi miliknya, asalkan dia bisa menemukan seseorang; dan MacCaulay menerima tawaran ini meskipun dia tidak mengetahui pasti apa yang akan terjadi pada seseorang tersebut – mungkin saja dilukai atau dibunuh. Aspek karakternya ini sangat menarik sebab dia tidak lagi hanya seorang pria yang punya kemampuan khusus yang ingin ‘menyelematkan’ keluarganya. Dia adalah pria yang harus memilih antara keluarga atau orang lain. Moralnya lah yang dipertaruhkan di sini.

Uang adalah akar dari semua kejahatan. Film ini menantang kita dengan pertanyaan apa yang akan kita lakukan jika dihadapkan dengan situasi seperti MacCauley; diberikan pilihan untuk menerima uang meskipun kita tahu akan ada pihak yang merugi karenanya, on the other hand kita yang akan rugi jika enggak menerimanya. Ini sudah seperti pilihan antara komersil atau moralitas. Tapi sebenarnya, bukan uanglah yang menyebabkan orang bertindak jahat. Akan tetapi, kecintaan berlebihan terhadap uanglah yang ultimately akan membuat kereta api hidup kita melenceng keluar dari rel.

 

Sebuah penulisan karakter yang menarik, yang membuat kita peduli. Kita ikut merasakan kebutuhannya,  tantangan-tantangan yang menghalangi, sekaligus kita ingin melihat dia melakukan hal yang benar menurut moralnya. Inilah yang membuat film menjadi thriller yang menarik.

Inilah yang menggulingkan bola aksi itu, membuat setiap sekuen aksinya menjadi semakin besar lantaran kita paham akar masalah, apa yang menjadi ‘kelemahan’ dari tokoh utama. Yea, Liam Neeson udah gak muda lagi, melihat dia dipukuli dapat menyebabkan kita meringis kasihan juga. Film ini pada dasarnya adalah sebuah laga, jadi kita bakal melihat banyak adegan-adegan fisikal. By the end of this movie, MacCaulay akan babak belur. Tetapi pukulan itu juga datang dari sisi mental. Dan itu telak sekali. Mid-point film di mana MacCaulay  sudah gabisa mundur lagi, dia musti menemukan orang yang dicari, tapi sekarang untuk menyelamatkannya  adalah bagian film yang terdeliver dengan baik. Bagian yang menarik lainnya adalah ketika MacCaulay actually berkomunikasi dengan para penumpang. Dia harus menanyakan siapa mereka, dengan cara yang enggak menimbulkan kecurigaan kepada dirinya sendiri. Tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri. Dia harus mencari bahan percakapan, menghindari supaya enggak awkward karena beberapa dari penumpang yang ia tanyai adalah wanita muda. Menurutku ini adalah ide yang sangat bagus dari sudut pandang thriller. Film ini punya lengkap; Bahaya dari aksi di mana dia bisa mati karena jatuh dari kereta, ataupun dari di mana dia menangani situasi yang canggung menginterogasi orang-orang, tanpa menakuti mereka.

ih, kokmuter

 

Collet-Serra memang meniatkan film sebagai tontonan hiburan. Sekuen-sekuen aksinya benar-benar gede dan berlebihan. Kita akan melihat orang melompat dari gerbong kereta yang mau tergelincir dan hal-hal heboh semacam itu. Beberapa aspek di film ini memang tampak enggak plausible. Enggak mungkin banget terjadi. Segala gerakan MacCaulay dimonitori oleh tokohnya Vera Farmiga, dan sebagai cewek misterius dia mengomandoi semua langkah-langkah berikutnya, seperti orang menggerakkan bidak catur, yang kalo kita pikir-pikir balik timing kejadian-kejadian di film ini amatlah gila-bisa-pas banget. Akan tetapi, Collet-Serra menyelamatkan film ini dari bagian-bagian gak-mungkin tersebut dengan menangani porsi berantem dengan sangat baik. Dalam kereta api ini kita tidak akan menjumpai berantem dengan kamera yang goyang-goyang. Enggak akan kita temui editing yang cepet-cepet. Multiple takes pada film ini dibuat seakan menjadi satu take panjang dengan memanfaatkan sempitnya lokasi. Atmosfer klaustrofobis terasa menguar dalam adegan battle, dan ini membuat kita menjadi sangat greget menontonnya.

 

 

 

While punya tokoh yang menarik, situasi yang memberikan rintangan yang jarang, aksi-aksi bagus dengan pace cepe yang efektif memanfaatkan kondisi, filmnya sendiri enggak benar-benar menantang ataupun memberikan jawaban ataupun sesuatu yang sama sekali baru. Ini adalah thriller yang sangat enjoyable dan tidak pernah dirinya minta dipandang sebagai sesuatu yang lebih dari kata fun. Jadi kita akan menemukan banyak hal yang implausible, yang menurutku adalah kelemahan pada film ini yang mestinya bisa dihindari. Atau dicari rute lain sehingga menjadi lebih mungkin untuk terjadi ataupun dipercaya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 for THE COMMUTER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SILARIANG: CINTA YANG (TAK) DIRESTUI Review

Running away from the problem only increases the distance from the solution.”

 

 

Cinta itu pelik. Pernikahan bukanlah hal yang sepele. Maksudku, kita mungkin bakal menyangka bagian tersulitnya adalah di acara pesta pernikahan – you know, jaman kekinian wedding kudu mewah dan segala macam repot yang lain –  tapi sebenarnya itu cuma fase pemanasan dari ‘kerja keras’ berikutnya. Cinta enggak mesti berujung bahagia selamanya, apalagi kalo enggak diperjuangkan. Complicated banget. Pertama-tama, kita kudu mengejar restu orangtua dulu. Bahkan ketika sudah dapat restu pun, tak semua cinta yang mampu bertahan. Jadi, mungkin kalian sempat kepikiran; kawin lari aja. Gak perlu pesta gede-gedean, gak perlu ngap-ngap emosian minta restu ke mama, papa, mertua. Silariang, kata orang Makassar. Ada alasannya kenapa Makassar punya istilah sendiri buat kawin-lari. Di sana masih ada tradisi adat yang mengikat; bahwasanya keturunan bangsawan enggak boleh nikah sama keturunan jelata. Jadi, mau nikah bagi orang Makassar sedikit lebih eksra tingkat kesulitannya.

Lari mungkin memang jalan termudah untuk memenangkan cinta. Tapi apa yang sebagian besar orang gagal untuk mengerti adalah Cinta terhadap seseorang, perasaan tulus tersebut tidak pernah salah. Jadi kenapa si innocent itu harus disandingkan dengan kata lari. It’s not that lari itu berkonotasi negative (walau sebagian besar waktu memang demikian), hanya saja – yang perlu ditegaskan adalah – lari bukan satu-satunya jalan keluar.

 

Silariang: Cinta yang (tak) Direstui mengajak kita menyelami dan mempertanyakan cinta lewat kisah Yusuf dan Zulaikha. Yang satu anak pengusaha, satunya lagi putri berdarah bangsawan. Pernyataan cinta mereka tidak bisa direstui sebab mereka tidak satu strata. Terlahir ke dalam budaya Makassar, kebersamaan mereka justru menjadi aib bagi keluarga masing-masing. Yusuf bermaksud melawan, maka ia mengajak Zulaikha nikah di tempat yang jauuuuh dari rumah. Terdengar sangat romantis, bukan? Pangeran yang membawa Putri naik kuda. Tapi Yusuf bukan pangeran. Mereka lari naik angkot, kemudian sampan. Dan apa yang menyongsong mereka di tempat yang baru jelas bukan serta merta keindahan.

Rammang Rammang kayak tempat Piccolo melatih Gohan

 

Inilah yang dilakukan dengan baik oleh Silariang. Naskahnya cukup bijak untuk mengeksplorasi permasalahan yang membuat para tokoh memang bertingkah sesuai dengan umur mereka. Permasalahan yang mereka hadapi sesungguhnya begitu serius dan dewasa. Bukan sekadar Yusuf dan Laikha kabur atas tekanan orangtua sehingga kita mendukung mereka, sepasang protagonis yang minta dikasihani karena selalu melewati rintangan cinta. Film ini bukan tentang itu.  Bagaimana tindak Silariang itu mempengaruhi pelaku dan orang-orang di sekitar mereka, yang mereka tinggal lari, turut menjadi fokus dalam cerita. Setiap dari mereka diberikan konflik personal. Tak pernah film ini berpaling dari kenyataan-kenyataan seperti hubungan rumah tangga yang diaku sudah dipupuk cinta bertahun-tahun dapat dengan mudah pecah hanya dalam satu hari. Begitu banyak dan dalamnya perspektif yang dibahas, sehingga membuat kita melihat para tokoh enggak lagi dalam cahaya protagonis ataupun antagonis.  Semua orang punya pandangan di dalam kepala sebagaimana setiap orang punya cinta di dalam hati mereka. Menonton mereka bergulat dengan hal tersebut – bagaimana mereka memposisikan diri di antara cinta dan adat – adalah kualitas terkuat yang dimiliki oleh film ini. Mereka diberikan kesempatan untuk menggapai momen dramatis tersendiri sebagai penutup dari saga masing-masing.

Sudah begitu lama penonton memohon film Indonesia tampil dengan corak latar budaya yang kuat, dan Silariang hadir sebagai  penjawab harapan tersebut. Kita enggak hanya melihat Makassar di sini. Kita ikut hidup di dalamnya. Budaya itu kuat mengakar dalam setiap lapisan adegan, tanpa diiringi dengan kepentingan untuk menjelaskan sehingga membuat film ini juga bekerja dengan amat baik sebagai sebuah penceritaan visual. Seperti adegan ketika Paman dan Bibi Yusuf datang ke rumah Zulaikha. Mereka ditanyai maksud kedatangan, dan begitu baru sepatah menjawab, mereka malah ditawari minum teh oleh Paman Zulaikha. Dan setelah diminum tehnya tawar. Selayang pandang, adegan ini tampak agak menggelikan – orang mau jawab kok malah disuruh minum – namun sebenarnya adegan ini dengan subtil membentuk poin ke budaya Makassar; tamu yang disuguhi minuman tawar basically disuruh ‘pulang aja lo’. Ada begitu banyak adegan-adegan emosional yang dipasangi atribut budaya yang membuat masing-masing momennya menguar dan sangat vokal. Kita gak bakal gampang lupa adegan cuci kaki ataupun ketika melihat badik itu berpindah tangan seliweran di depan mata.

Kamera meromantisasi nyaris setiap adegan. Kadang terasa agak over, tapi sebagian besar bekerja efektif sebagai pendukung penceritaan. It’s a clear work of both editing and directing. Dua tokoh lead dimainkan oleh aktor yang sama sekali enggak ada darah Makassar, but yet, mereka tampak seperti pribumi sejati. Mereka meyakinkan banget sebagai anak muda yang saling jatuh cinta, namun enggak yakin apakah yang mereka tapaki adalah langkah yang benar. Aku mungkin salah, tapi sepertinya ini adalah kali pertama buat Bisma Karisma dan Andania Suri memainkan karakter yang dewasa. Bisma was so good sebagai Yusuf, permainan aktingnya tampak meningkat, tapi setiap kali mereka bersama – terlebih di bagian-bagian emosional – Andania Suri just plainly membanting akting Bisma. Ketika mata dan ekspresi Bisma kadang tampak keluar dari karakter, enggak sinkron dengan pemain yang lain (adegan mereka di rumah sakit bisa jadi contoh), Suri tampak secara konstan brilian. Adegan nangis selalu adalah senjata pamungkas jebolan Gadis Sampul ini.  Ada lapisan dalam emosinya, seperti ketika adegan mereka naik sampan, di tengah-tengah pemandangan asik itu Zulaikha malah tampak takut sebagai cerminan dari dia takut mengarungi kehidupan berdua. Dan kupikir adegan ketika Zulaikha sembunyi di bawah tangga rumah, dan peristiwa yang mengikutinya, adalah adegan emosional yang menjadi favorit banyak orang.

tak u-uk, Cu’

 

Saat menonton, aku pikir kita perlu melihat backstory hubungan Yusuf dengan Zulaikha sebab kita sama sekali enggak tahu darimana hubungan cinta yang kuat itu bermula. Film enggak memberikan ini, kita dilempar ke tengah polemik restu keluarga mereka. Kita hanya tahu mereka ini saling cinta mereka rela meninggalkan keluarga. Ketika aku memikirkan tentang hal ini lagi setelah selesai menonton, aku jadi melihat kemungkinan dari alasan kenapa film enggak menunjukkan hal tersebut. I think film ingin memperlihatkan bahwa kedua tokoh ini, mereka belum sepenuhnya mengerti atau yakin cinta itu ada. Bahwa yang mereka cintai adalah kemungkinan mereka hidup berdua, diakui sebagai pasangan. Buatku, ini juga sesuai dengan konteks guncangan kecil saat mereka menjalin rumah tangga di bagian akhir cerita. Maka aku menggolongkan kurangnya backstory cerita sebagai keputusan beresiko yang diambil oleh film.  Lagipula, film sudah semacam menebus aspek ini dengan memperlihatkan rentetan adegan manis nan menyenangkan tentang gimana Yusuf dan Zulaikha membersihkan rumah, ataupun saat mereka diperlihatkan berusaha ngurus bebek dan menghela sapi.

Berdasarkan reaksi penonton saat pemutarannya, film ini secara gak sengaja menjadi kocak. Namun ini sesungguhny adalah hal yang bagus karena kekocakan tersebut berasal dari situasi ataupun interaksi yang tampak begitu real alih-alih komikal. Masalah yang mereka hadapi adalah masalah yang logis dihadapi oleh pasangan yang melakukan kawin lari. Dan masalah tersebut memang tampak menggelikan oleh sebab betapa nyatanya ia. Penyelesaian konfliknya lah yang buatku tampak berlebihan. Film sudah membangun dengan begitu baik sehingga aku sedikit kecewa ketika film resort ke trope-trope drama untuk menyelesaikan konflik ceritanya. Also, mereka membuat semua hal menjadi convenient. Padahal aku ingin melihat mereka berjuang lebih keras dalam menyatukan pendapat seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh film The Big Sick (2017), komedi romantis yang juga bicara tentang hubungan cinta yang enggak disetujui. Kedua film ini juga sama-sama memakai penyakit sebagai plot device, tapi tidak seperti Silariang, rumah sakit dalam The Big Sick enggak lantas mencuat menjadi penyelesaian. Aku ingin menghindari spoiler berlebihan, jadi aku cuma akan bilang alih-alih aspek ‘golongan darah yang langka’, aku pikir cinta mereka akan lebih teruji jika ‘pemersatu’ mereka itu dibuat meninggal saja.

Tidak ada tempat yang cukup jauh dari masalah yang kita hindari. After all those times, Yusuf masih terombang-ambing antara Cinta itu masalah uang atau masalah harga diri.

 

Sebelum menyaksikan ini di bioskop, aku sudah pernah menyaksikan film ini saat Ichwan Persada, sang produser – mentorku, mengadakan pemutaran khusus saat acara Halal Bi Halal My Dirt Sheet di kafe eskrimku di Bandung. Saat itu, filmnya masih belum dipoles, masih menggunakan musik template. Dan untuk beberapa adegan, aku lebih suka versi mentah itu ketimbang versi yang aku tonton di bioskop. Musiknya bagus dan mendukung penceritaan, namun ketika sudah masuk lagu soundtrack, beberapa adegan terasa dijejalin ke kita. Pada adegan pembuka, misalnya, aku gak mengerti kenapa lagu yang dipake begitu gempita mempromosikan Makassar. Aku merasa lagu tersebut enggak bekerja baik dengan tone keseluruhan film, it interferes dengan mood yang ingin disampaikan, dan aku pikir push terhadap Makassar dan budayanya sendiri sudah amat sangat tercermin dalam bahasa dan elemen-elemen penceritaan yang lain.

 

 

Jika kalian pernah mengharapkan film Indonesia dengan konten lokal yang kuat, drama Indonesia yang digarap dewasa, maka aku akan heran sekali kalo kalian malah melewatkan film ini. Kaya oleh perspektif tokoh yang berdimensi luas. Penceritaan didukung oeh visual cantik dan penampilan akting yang sangat meyakinkan. Untuk sebagian waktu, konflik yang dihadirkan terasa sangat manusiawi. Akan tetapi resolusi film datang dari aspek yang begitu convenient, sehingga terasa film mengambil cara yang aman untuk mengakhiri ceritanya. Film juga meninggalkan soal tradisi yang masih menjadi pemisah antara cinta dalam nada yang enggak tertutup. Bukan ambigu, melainkan mereka seperti sengaja enggak menyebutnya. Lari enggak akan menyelesaikan masalah, namun kupikir bigger picture yang mestinya ‘dijawab’ oleh film ini adalah soal strata yang membuat Yusuf dan Zulaikha enggak bisa bersatu in the first place.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SILARIANG: CINTA YANG (TAK) DIRESTUI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ALL THE MONEY IN THE WORLD Review

“You aren’t wealthy until you have something money can’t buy.”

 

 

Tidak ada yang menyangka, remaja cowok yang kurus itu, yang rambutnya pirang panjang dan berpakaian aneh itu, yang berkeliaran di pinggir jalan malam hari itu, adalah cucu seorang milyuner ternama di dunia. Tidak ada yang tahu, kecuali penculik yang lantas menyiduknya begitu saja ke dalam mobil van. Permintaan tebusan pun dilayangkan. Tujuh-belas juta dolar para penculik meminta uang kepada ibu si cowok. Tapi ibu yang malang itu enggak punya duit. Mantan mertuanya, kakek si remajalah, yang punya. Dan si ibu tahu lebih banyak soal minta duit kepada si kakek daripada para perampok. Bukan hanya susah, melainkan hampir tidak mungkin! All the Money in the World benar-benar mengejutkanku oleh kepintaran penulisan ceritanya sebagai sebuah thriller. Serius, sampe-sampe aku pikir aku harus meralat jawabanku mengenai film terhebat dari Ridley Scott tahun 2017. Bukan lagi Alien: Covenant (2017) yang bercokol di pikiran.

Lewat film ini, aku jadi tahu kalo orang seperti Gober Bebek beneran pernah ada hidup bernapas di muka bumi. Orang yang punya duit begitu banyak sehingga dia tidak pernah punya keinginan atau malah kesanggupan untuk menghitungnya. Orang yang punya sisi komikal – meskipun dark comic – kalo udah menyangkut uangnya.

dan salah satunya adalah, orang ini lagu tema hidupnya bukan “harta yang paling berharga adalah keluarga.”

 

Paul Getty ingin membangun dinasti. Dia sudah merupakan salah stau orang terkaya dalam sejarah dunia. Koleksi barang seninya udah semuseum lebih. Sebenarnya bapak tua ini enggak pelit-pelit amat. Ketika putranya yang sudah berkeluarga datang meminta pekerjaan, boom! si anak dijadikan wakil kepala perusahaan minyak gede di Arab. Kepada cucu yang tampak paling ia senangi, Getty berkata “Kita ini spesial. Seorang Getty enggak punya teman.” Jadi, ketika anaknya bercerai, Getty harus merelakan hak asuh sang cucu jatuh ke sang ibu, Getty merasa sudah bukan keluarga. Therefore, mereka bisa jadi adalah musuh. Makanya lagi, begitu si Ibu menelfon menjelaskan situasi penculikan, Getty enggak langsung percaya. All Money in the World dapat saja berakhir dalam sepuluh menit jika Getty bukanlah bisnisman yang punya prinsip. Apa susahnya bagi sang milyuner untuk merogoh kocek dan membayar tebusan, semuanya akan berakhir menyenangkan dengan sekejap. Tapi stake dalam film ini bukan soal enggak ada uang. Melainkan soal insekuriti yang jauh lebih personal.

Dalam film ini, uang sama sekali bukan semata soal uang. Uang merepresentasikan hal yang berbeda-beda bagi setiap orang. I mean, cara kita memandang harga suatu barang bergantung kepada prioritas kita terhadap kebutuhan tersebut. Kepentingan terhadap hal tersebut, terhadap kebutuhan kita tersebutlah yang actually menjadi harga, yang menentukan mutu sesuatu bagi kita secara personal. Makanya kita tidak akan pernah puas, kita tidak akan merasa kaya sampai kebutuhan tersebut terpenuhi. Sesuatu yang acapkali adalah hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.

 

Dialog-dialog yang luar biasa cerdas, kuat, akan membuat kita bertahan di ujung tempat duduk masing-masing. Di sana sini akan ada adegan intens, malah ada satu momen yang kejam banget di tengah-tengah. Ngeliatnya bikin aku meringis ngeri. Akan tetapi, sesungguhnya ini bukanlah thriller yang mengedepankan aksi. Ini bukan kayak Kidnap (2017) di mana Hale Berry kebut-kebutan nyelametin anaknya yang disandera. Ini juga bukan bag-big-bug dahsyat ala Liam Neeson di franchise Taken. Film ini berat oleh percakapan yang ditulis dengan teramat baik. Jadi, ya, memang beberapa penonton yang mengharapkan semarak aksi, mungkin bisa dibuat bête saat menontonnya. Tapi sebaiknya memang kurangnya aksi ini jangan kita jadikan perkara, sebab All the Money in the World begitu pintar membangun ketegangan ceritanya. Naskahnya bakal memberikan tantangan buat moral kita, membuat kita bimbang apakah melempar uang kepada sesuatu benar-benar jawaban atas semua. Sebaliknya, apakah orang kaya sudah jadi demikian pelitnya jika menyangkut soal harta. Bagian ini sendiri sudah cukup untuk membuatku tertarik, dan film menawarkan lebih banyak untuk bisa kita nikmati.

Menumpukan cerita pada keunggulan dialog dan penulisan tokoh, film ini memang bergantung kepada kepiawaian permainan peran para aktor yang sebagai penghidup sosok-sosok sejarah itu. Michelle Williams bermain sebagai Gail Harris, ibu dari remaja yang diculik, and it was a very real world-class act. Tak banyak aktris hebat seperti Williams yang bisa demikian brilian, sepanjang cerita secara konstan dia berada dalam keadaan penuh stress. Dia berusaha keras meyakinkan pria tua mertuanya supaya berkenan membayarkan tebusan, sebab keselamatan anaknya dipertaruhkan. Dengan kematian anak di dalam benaknya, tokoh yang diperankan Williams mengalami banyak naik dan turun emosi, dan aktris ini memainkannya dengan sangat meyakinkan. Eventually dia harus berhubungan dengan Chase, pria mantan agen rahasia yang dipekerjakan oleh Getty untuk memastikan deal yang enggak membuat Getty rugi. Karakter si Chase ini semacam dealmaker yang memberesin banyak masalah pelik, dia membantu orang-orang mendapatkan kebutuhan mereka, kadang dia menjual atau memberi dari orang-orang tertentu yang ia kenal. Basically, Chase adalah orang yang kita tuju jika kita hendak melakukan sesuatu tanpa melibatkan pihak yang berwenang secara legal. Mark Wahlberg diserahkan tugas yang enggak sepele dalam membuat tokoh ini menuai simpati, karena in a way tokoh ini bisa kita sebut semacam tokoh penengah. Dia juga mendapat resiko yang enggak sepele, tak jarang dia harus menyampaikan informasi yang gak enak kepada tokoh Michelle Williams. Luar biasa exciting setiap kali menyaksikan interaksi dua tokoh tersebut.

udah semacam berusaha nenangin singa kebakaran jenggot

 

Aku enggak tahu apakah kalian memperhatikannya juga atau tidak, tapi aku melihat badan Mark Wahlberg dalam film ini agak-agak labil. Maksudku, di beberapa adegan badannya kelihatan agak kecil dibanding beberapa adegan yang lain. Seringkali ketika di adegan bersama Getty, Chase tampak kayak pria biasa, sedangkan ketika berbagi layar dengan tokoh Michelle Williams, Wahlberg kelihatan lebih tegap. Aku gak yakin apakah ini ada maksud simbolisnya, like, Chase tampak lebih dominan saat dirinya bersama siapa, atau cuma efek kamera. Atau mungkin juga, memang film mengalami banyak pengulangan syuting.

Tak bisa dipungkiri, nama All the Money in the World sendiri terangkat lebih deras ke publik lantaran mengalami pergantian tokoh. Aku gak bakal bahas detail soal itu di sini sebab aku gak mau apa yang semestinya murni ulasan film berubah menjadi kolom gosip. Aku hanya mau nyebutin bahwa Christopher Plummer tadinya bukanlah pilihan pertama untuk memainkan J. Paul Getty. Aktor gaek ini dipilih menggantikan Kevin Spacey di menit-menit akhir proses syuting berlangsung. Kita gak bisa bilang Plummer bermain lebih baik atau apa, yang jelas, keputusan memilih Plummer sebagai pengganti adalah sebuah langkah yang benar-benar membuahkan hasil yang manis. His take on Getty’s attitude, personality, and mannerism membuat tokoh ini sangat menarik untuk dianalisa. Membuat kita ingin tahu apa yang ada di balik pikirannya, apa yang melatar belakangi ‘kekikiran’nya. Film pun cukup bijak untuk memberikan kesempatan kita melihat lebih banyak soal karakter ini as dia diberikan cukup banyak screentime.

Yang mana membawaku ke satu-satunya ‘masalah’ yang kurasakan ketika menonton film ini. Dua jam lebih film ini kadang-kadang terasa berat juga lantaran ada poin-poin di mana aku mempertanyakan ke diri sendiri ‘kenapa sih aku ingin anak itu selamat?’ Film ini enggak sebego itu bikin tokoh-tokoh yang satu dimensi, termasuk tokoh penculik diberikan layer yang memperdalam karakternya, hanya saja aku merasa film kurang mengeksplorasi tokoh Paul Getty III, si remaja yang diculik. Mestinya bisa diberikan emosi yang lebih banyak lagi. Film enggak benar-benar memberikan kita alasan konkrit untuk peduli di luar kisah penculikan ini adalah kisah nyata dan anak itu benar-benar diculik jadi kita harus berempati dan berdoa supaya enggak ada kejadian serupa yang terjadi.

 

 

 

Sesuai dengan yang disebutkan oleh teks di penghujung film, ada banyak dramatisasi yang diambil sebagai langkah untuk membuat kisah nyata riveting menjadi narasi yang menarik Ada alasannya kenapa Ridley Scott adalah legenda dalam bidangnya, begitupun dengan Christopher Plummer. Selain beberapa yang kelihatan di mata – kadang kelihatan jelas tokoh sedang beradu akting dengan ‘stuntman’ – sesungguhnya tone dan editing film tampak berjalan dengan mulus. Ada beberapa reshoot yang dilakukan dan film tetap terasa klop mengarungi naskahnya. Produk akhirnya tetap tampak seperti cerita yang berkelas, sebuah thriller cerdas yang penuh dengan penampilan akting yang fantastis. Jelas, ini adalah salah satu karya terbaik Ridley Scott dalam beberapa tahun terakhir.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for ALL THE MONEY IN THE WORLD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017