PSP: GAYA MAHASISWA Review

“As the old birds sing, so does the young ones tweet.”

 

 

Wah kalo ditanya bedanya, tentu saja anak muda zaman dahulu sangat banyak ketidaksamaannya dengan anak muda masa sekarang. “Anak zaman dulu sekarang sudah pada tua, anak sekarang masih mudaaa” ya ya itu jawaban simpel yang lucu yang bisa dilontarkan oleh orangtua kita. Jawaban yang lebih serius dari mereka mungkin seputar betapa anak dulu sopan-sopan, sedangkan yang sekarang pada ceplas-ceplos sekenanya. Orang-orang suka membicarakan perbedaan ini, membanding-bandingkan. Padahal ada satu yang selalu sama, dari sekian banyak perbedaan yang bisa dikulik, adalah anak muda selalu berpikir kritis. Dulu dan sekarang. Zaman lah yang membuat ‘kritis’nya itu menjadi berbeda. Sekarang, pemuda pemudi bisa langsung demo. Atau paling enggak, bisa langsung curhat ke media sosial, menjadikan viral, dan menghimpun kekuatan protes dari sana. Tidak demikian kondisinya dengan bertahun lalu, mainnya musti cantik, pemuda-pemuda menyalurkan aspirasi dan ekspresi lewat karya yang begitu subtil. Salah satunya lewat musik komedi. Dan begitu jualah titik awal terbentuknya grup Orkes Moral PSP – Pancaran Sinar Petromaks.

Bersama Warkop DKI, grup ini terkenal di tahun 80’an dalam kalangan remaja dan dewasa muda. Musik-musik parodi beraliran dangdut yang punya kemampuan menyentil itu adalah cap dagang PSP. Album mereka lumayan banyak, mereka juga punya film sendiri, namun tidak sepopuler Warkop. PSP: Gaya Mahasiswa ini tadinya kupikir bakal menjadi semacam biopik, tapi mungkin itu dinilai boring, jadilah ternyata mereka membuat film ini sebagai versi kekinian dari kisah-kisah lagu mereka. Actually, film ini dibuat punya self awareness yang tinggi. Kita melihat tokohnya mengenali nama PSP samaan ama nama konsol game handheld (konsol yang bahkan sudah dikata kuno juga ama anak jaman now). Kita menyaksikan tokohnya mengakui istilah orkes moral sudah tidak laku lagi sekarang ini. Dan mereka bersikukuh tetap dengan formasi mereka (delapan orang cowok kuliahan) karena that’s how they roll. In a sense, film ini adalah potret andai para personel PSP terlahir sebagai anak muda di era teknologi.

Era di mana ojek dan jodoh bisa dicari lewat aplikasi.

 

Omen (bertindak sebagai ketua grup), James, Ade, Monos, Rojali, Aditya, Andra, Dindin tinggal satu rumah kosan, belajar di satu kampus yang sama. Kita enggak yakin latar belakang masing-masing, karena itu tidak penting. Cerita dimulai ketika mereka sudah bergerak sebagai satu grup. Mereka sering manggung untuk nyari uang jajan, dan mereka senang dengan apa yang mereka lakukan. Karena sama-sama jahil, kedelapan orang ini terancam diskors dari kampus. Kafe langganan pun memutuskan tali kerja sama dengan mereka. Jadi, grup ini harus segera cari ide, mereka harus buktikan musik mereka, dan terutama mereka sendiri, tidak setidakberguna kelihatannya.

Aku mendapati komedi yang disebar bekerja dengan relatif sukses. Tidak ada yang jatohnya terlalu lebay atau gak masuk akal secara sensasional. Kedelapan bintang komedi muda yang memerankan personel PSP bermain dalam kapasitas yang cukup, range mereka gak banyak – hampir satu-dimensi, malah, tapi buatku masih bisa diwajarkan karena film ingin menguatkan mereka sebagai satu kesatuan.Film ini terasa all-over-the-place karena banyaknya elemen cerita. Dan terkadang, tone cerita jadi tidak bercampur dengan baik karenanya. Cerita dapat dengan mudah berpindah dari lucu-lucuan soal berusaha nyari kerjaan manggung, ke melihat persaingan nyari cewek, ke adegan dramatis mereka marahan karena terancam di-DO. Dari persoalan naksir ama ibu kosan baru yang cantik ke permasalahan pembegalan di jalan. Tema prasangka yang membayangi subplot begal itu sebenarnya bekerja juga terhadap gambaran besar cerita secara keseluruhan.

Bahwa terkadang kita terlalu cepat menilai orang dari penampilan luar, atau sekadar dari apa yang kita lihat. Tak jarang makanya orang-orang pada heran ketika melihat anak-anak muda yang hobinya nongkrong gak jelas, ternyata bisa berprestasi. Semua orang punya keahlian, setiap keahlian unik itu ada gunanya. Mungkin gunanya bukan untuk kita, bukan yang kita butuhkan di saat itu. Namun kita tidak bisa begitu saja gegabah menihilkan nilai seseorang.

 

Di akhir semua elemen itu toh ternyata terikat juga, dengan kesan feel-good yang tinggi, film ini pun tak menanggalkan nada komedinya – ada satu running joke yang awalnya lumayan cringey namun berhasil berbuah sangat manis. Walaupun begitu, ada yang terasa kurang. Film tidak terasa benar-benar accomplish apapun. Dengan stake yang sebenarnya tergolong kuat, dan ada lebih dari satu – ada kemungkinan mereka dikeluarin dari kampus dan dari kosan, bahkan bisa jadi mereka berpisah karena gak dapat kerjaan manggung lagi, film tidak pernah terasa benar-benar membuat kita percaya tokoh-tokoh ini punya masalah. Mestinya ada pembelajaran pada cerita, ada perubahan kondisi, tapi tidak benar-benar terasa oleh kita.

Ini adalah karena pada film ini yang berubah itu adalah yang berada di luar kelompok tokoh utama. Ini adalah cerita yang ingin menonjolkan para tokoh, maka mereka dibuat ‘sempurna’ dalam ketidaksempurnaan mereka. Apapun yang terjadi, anak-anak muda tersebut tidak salah. Dunia di luar merekalah yang diharuskan untuk melihat, memahami, dan menyadari keunggulan dan sisi positif dari mereka. Padahal film seharusnya bekerja dua arah, tokoh juga perlu untuk menyadari kekurangan mereka dalam mencapai keinginan. Mereka harus belajar memahami apa yang mereka butuhkan. Dalam film ini kita melihat geng PSP memecahkan masalah hoax dengan posisi mereka di luar lingkaran hoax itu sendiri; mereka tidak bersinggungan langsung dengan kejadian hoax dan dampaknya. Mereka bertindak seolah penyelamat. Masalah yang menimpa mereka pun tidak digambarkan sebagai ada yang ‘salah’ dari mereka. Omen dan kawan-kawan tidak diperlihatkan mengadakan perubahan terhadap diri mereka sendiri. Karena begitulah anak muda, terlihat serampangan, dan kita yang harus bisa melihat keserampangan mereka itu ada baiknya.

aku gagal melihat apa makna di balik Ade yang menerima cewek penggemarnya setelah tahu si cewek adalah anak dari ibu kos…?

 

Sesekali ada sekuen nyanyian, seperti lagu Fatimeh, yang mengingatkan kita akan esensi grup PSP yang sebenarnya. It’s fun dan gak bikin kita sampai menguap. Tapi selain untuk nostalgia para penggemar, dan menonjolkan musikalitas PSP, tidak banyak ‘daging’ dan kepentingan di dalamnya. Aku mengira dengan set mahasiswa – yang stay true ama kelahiran PSP sendiri – film akan banyak membahas mengenai kritik-kritik sosial di kehidupan jaman sekarang. Kupikir semangat mengkritisi itu yang akan dieksplorasi, you know, mahasiswa dengan kondisi pemerintah. Ada banyak yang mestinya bisa diangkat jadi bahan kritikan, namun sepertinya film memang diarahkan tidak benar-benar berada di jalur tersebut.

Yang berkaitan dengan seni juga banyak; aku tahu bukan salah filmnya jika mereka keluar terlalu cepat sehingga lebih duluan dari masalah RUU Permusikan yang sedang marak, tapi cerita toh bisa dengan mudah mengarah ke mereka dilarang atau dibatasi main musik oleh kampus. I mean, logisnya kalo kita bikin film tentang anak muda main musik, mustinya ada kalanya mereka dihalangi untuk melakukan kerjaan mereka. Film, menjauh dari musik, mengalamatkan kritik kepada sebaran hoax pada masyarakat, tapi ‘kasusnya’ sangat basic dan menjadikannya tidak actually menyelesaikan dengan kekhasan PSP itu sendiri. Di awal-awal kita melihat anak-anak PSP menyabotase seminar kampus yang kuasumsikan sebagai bentuk kritikan mereka terhadap ‘kebohongan’ yang dilakukan oleh rektor. Hanya saja menurutku, candaan di sini lumayan tasteless karena pada akhirnya jatoh seperti delapan mahasiswa itu mengolok-olok seorang orang cacat yang lebih tua. Dan hingga akhir cerita mereka tidak diperlihatkan menyesal atau menyadari apa yang sudah mereka lakukan tersebut.

 

 

 

Film menunaikan tugasnya dengan baik sebagai komedi lika-liku kehidupan mahasiswa Orkes Moral PSP di dunia kontemporer. Para penggemarnya bisa dengan asik bernostalgia. Tapi bagaimana dengan anak muda? katakanlah mahasiswa yang menonton film ini, yang belum pernah mendengar PSP sebelumnya? Film ini di mata mereka hanya akan bertindak sebagai hiburan, dengan kelakuan-kelakuan yang relatable, punya sedikit pesan moral. Ini sesungguhnya bukan hal yang buruk, melainkan prestasi yang lumayan. Hanya saja lampu moral tersebut mestinya bisa dipancarkan lebih kuat lagi. Aku tidak merasa ada banyak yang diwariskan oleh PSP kepada mahasiswa masakini lewat film ini. Mungkin ini memang bukan film yang ke arah sana, tapi membuat anak muda berpikir mereka benar, dan dunia salah karena telah berprasangka seperti suatu pengajaran yang baru setengah langkah.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for PSP: GAYA MAHASISWA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
PSP menyanyikan lagu-lagu yang liriknya dibuat (atau diplesetin) sesuai dengan keadaan dan konteks jamannya. Kaitannya dengan musik dan kapasitas mengkritik yang ia punya, bagaimana menurut kalian soal rancangan Undang-Undang Permusikan yang santer baru-baru ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

TABU: MENGUSIK GERBANG IBLIS Review

“Hope in reality is the worst of all evils because it prolongs the torments of man.”

 

 

 

Ada ungkapan yang menyebutkan rasa penasaran membunuh seekor kucing. Rasa penasaran di sini maksudnya bisa bermacam-macam; rasa keingintahuan yang begitu besar, perasaan tak-tuntas yang ingin diselesaikan, juga sesuatu mengganjal yang ingin dipuaskan. Rasa-rasa tersebut sering menjerumuskan kepada melakukan hal-hal yang tak perlu, sia-sia, malah mungkin berbahaya. Kata berikutnya yang masih menjadi misteri; siapakah kucing dalam ungkapan tersebut? Seseorang yang masih terusik oleh rasa penasarannya; seseorang yang semakin dilarang maka semakin dilakukan.

‘Kucing’ dalam Tabu: Mengusik Gerbang Iblis adalah Keyla dan teman-temannya yang nekat pergi ke Leuweung Hejo demi mencari penampakan makhluk halus. Bermodal kamera, peralatan kemping, dan baju ganti seragam, mereka menerobos hutan, melanggar begitu banyak pantangan, bermalam di situs angker tersebut. Dan benar saja, belum sempat bibir kita mengucapkan “penyakit kok dicari”, Diaz, salah satu teman Keyla yang paling napsu motoin hantu, kesurupan. Kemudian muncul sesosok bocah misterius. Gak jelas juga hubungannya apa si anak dengan kesurupan yang dialami Diaz. Untuk alasan tertentu pula, Keyla malah membawa anak tersebut pulang ke kota bersama mereka semua yang lari kocar-kacir dikejar nenek-nenek berkuku hitam.

Datang berenam, pulang bertujuh… hayo di hutan ngapaiiiinnnn?

 

Tabu: Mengusik Gerbang Iblis nyatanya adalah salah satu kelangkaan – dari sekian banyak horor yang dibuat oleh Indonesia tahun belakangan ini, Tabu merupakan salah satu dari sedikit sekali yang benar-benar punya cerita untuk disampaikan. Tabu membawa kita menyelam ke dalam penjelajahan rasa penasaran terhadap suatu peristiwa kehilangan. Ia membahas bagaimana rasa kepuasaan itu belum datang, jadi seorang akan terus mencari jawaban. Yang terjadi kepada Keyla adalah harapan dalam wujud terburuk. Keluarga Keyla terpecah oleh satu tragedi di masa lalu, saat Keyla masih terlalu kecil untuk seragam SMAnya. Tragedi tersebutlah yang membentuk pribadi Keyla di masa sekarang, kita melihat dia yang paling ‘takut’ tapi toh tetap ikut dalam setiap ekspedisi menyeramkan. Dia ingin mencari closure atas kejadian tersebut, jadi dia tetap mencari meskipun dia tahu kebenarannya.

 Rasa kehilangan masih terus menghantui seseorang yang berduka. Itulah ketika harapan berubah menjadi siksaan. Apapun yang kita lakukan untuk menutupinya, hati yang belum ikhlas tetap tidak akan tenang. Dalam film ini, kita akan melihat rasa yang disalahartikan sebagai harapan itu menjadi bumerang.

 

 

Hebatnya, film ini tidak menceritakan itu semua lewat dialog alias secara gamblang. Kengerian, apa yang dirasakan oleh Keyla dan keluarganya direkam secara subtil oleh kamera. Lihat juga bagaimana kamera ‘menceritakan’ hutan sebagai tempat mengerikan dan berbahaya lewat selipan shot-shot hewan liar seperti ular, kalajengking, dan kelelawar. Transisi dari ketika satu tokoh menciptakan realita sendiri, tetapi kemudian penyadaran itu tiba, dan dia dihempaskan lagi ke realita beneran, dilakukan dengan begitu mulus oleh pergerakan kamera yang menangkap gestur-gestur terkecil dari si tokoh. Film tidak pernah gagal menangkap sudut pandang. Semuanya diceritakan dengan cermat dan efisien. Bahkan subplot yang menurutku kocak – film ini punya nyali untuk masukin subplot cinta segitiga yang enggak benar-benar berujung – juga dilakukan dengan seperti ‘cicak’ begini; you know, diam-diam merayap dan kena. Sedari adegan pembuka di dalam gua, kita bisa paham bahwa film ini digarap dengan perhatian tinggi kepada artistry. Film ini tahu cara menceritakan sesuatu yang klise dengan membuatnya tidak metodical. Namun juga tetap mudah untuk disukai – ada banyak hal-hal yang jadi favorit penonton horor yang dapat ditemukan di sini; kematian tokoh yang menyakitkan, sosok hantu yang seram, dan jumpscare yang tepat waktu.

Maka dari itulah, aku tidak mengerti kenapa film ini memilih untuk memulai ceritanya dengan cara dan siatuasi yang paling tidak menarik (lagi) sedunia akhirat. Sekelompok remaja yang ke hutan nyari setan. Basi! Kenapa membuka dari sini jika engkau punya kisah tragis keluarga yang kehilangan anaknya. Film memilih untuk merahasiakan elemen utama cerita di awal, bahkan Keyla juga ‘disembunyikan’ – kita tidak tahu bahwa ternyata dia adalah tokoh utama sampai dia memilih untuk membawa bocah misterius tersebut ikut pulang ke rumah, dan aku gagal mengerti alasan di balik keputusan yang diambil oleh film ini. Sebab jadinya sama sekali tidak ada yang menarik pada babak pertama. Para remaja itu tidak punya motivasi yang cukup dan alasan yang jelas; kenapa harus moto hantu, kenapa harus tempat angker yang itu, kita tidak tahu apa-apa dan mereka tidak memberikan alasan kenapa kita harus peduli kepada mereka. Jujur, aku sudah siap jiwa raga untuk menjelek-jelekkan film ini, udah senam pipi – siap untuk menertawakan sekerasnya hal-hal bego yang kusangka akan dilakukan. Dan persiapanku tadi jadi tak berguna karena ternyata aku menemukan sedikit sekali yang bisa ditertawakan. Yah, selain nenek Diaz yang dengan potongan rambut begitu membuatnya mirip sekali dengan Jamie Lee Curtis di serial Scream Queen.

Dan seolah setiap ayat punya fungsi dan efek berbeda terhadap hantu-hantu

 

Babak kedua hingga akhirnya di mana film dengan tepat menginjak nada ngeri dan tragedi. Aku bahkan sedikit  ter-throwback ria melihat Mona Ratuliu menggunakan bahasa isyarat (ketahuan deh, umurku huhuu). Bahkan tokoh-tokoh lain, termasuk tokoh remajanya enggak se-annoying yang sudah aku antisipasi. Mereka masih bersikap masuk akal dan reasonable, meskipun tak ada pembelaan untuk kualitas akting yang menghidupkan mereka. Namun begitu, awalan film inilah yang justru paling banyak andil dalam menurunkan nilai secara keseluruhan. keputusan untuk memasang semacam twist pada tokoh utama, ultimately melemahkan cerita karena pembangunan karakter adalah hal yang sangat penting. Kita dihalang untuk masuk ke dalam kepala Keyla, seolah pikiran dan emosinya tabu untuk kita ketahui. Malahan di awal-awal, film seperti menunjuk Diaz sebagai tokoh utama. Dan kemudian membelokkannya untuk efek dramatis. Tak perlu seperti itu, Keyla punya cukup backstory dan landasan emosi yang mampu membuat tokoh ini menjadi dramatis jikapun dikembangkan sedari awal.

Yang film ini lakukan malah membuat karakter Keyla terasa tidak ‘klik’, di awal dia terlihat paling enggak semangat untuk TKP. Padahal justru sebenarnya dia yang paling punya motivasi untuk ke sana. Meskipun inner journey Keyla semakin dapat terbaca seiring berjalannya film, tetapi film tetap tidak memperlakukan tokoh ini sebagai protagonis yang beraksi. Keyla, dengan segala keterbatasan akting Isel Fricella, kebanyakan hanya berteriak menyaksikan tokoh-tokoh lain berjuang ataupun tertangkap oleh hantu-hantu. Juga aneh film tidak memperlihatkan momen perubahan tokoh Keyla. Alih-alih, kita diperlihatkan ibunya yang berjuang untuk mengikhlaskan. Keyla seperti ikhlas begitu saja saat kita ditunjukan adegan dia menoleh ke belakang melihat sosok yang dibuat bisa berarti hantu atau hanya imajinasi yang menyimbolkan perpisahan damai yang dilakukan oleh Keyla dengan tragedinya.

 

 

 

 

Sense misterinya kuat. Penceritaan yang efektif. Tokoh-tokoh yang tidak terlalu over-the-top. Film ini punya bumbu-bumbu sebuah film horor yang bagus. Namun pilihan untuk membuka film, babak pertama, tidak menguntungkan film karena tidak menarik dan benar-benar menonjolkan keklisean. Film baru benar-benar bekerja di babak kedua, like, kalo kalian tidur atau bahkan telat masuk ke bioskop tiga-puluh menit, dan hanya menonton dari babak keduanya saja, kalian pasti akan bilang film ini bagus banget. Begitu anehnya pilihan yang dilakukan oleh film ini. Dan jangan kira ini seperti yang dilakukan oleh One Cut of the Dead (2018); film itu juga punya babak awal yang lemah namun dilakukan dengan sengaja untuk menguatkan konteks tema besarnya. Tidak demikian. Sebaliknya, babak pertama film ini tidak menambah banyak terhadap konteks karena diniatkan sebagai twist. The film works in no favor of it’s protagonist. Dia menutupi tokoh utamanya, dan sepertinya lupa sama sekali untuk menimbulkannya kembali sebagai karakter.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for TABU: MENGUSIK GERBANG IBLIS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Keyla dan keluarga, walaupun tahu itu hantu, tapi mereka masih tetap menyayangi sang adik. Kalian takut gak sih didatengi hantu kerabat sendiri? Bagaimana kalian meyakinkan diri itu beneran mereka dan bukan hantu lain yang menyamar? Menurut kalian darimana rasa penasaran Keyla muncul?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Royal Rumble 2019 Review

 

Lima jam. Lima pertandingan perebutan gelar. Tiga puluh superstar cewek. Tiga puluh superstar cowok. Menonton Royal Rumble menjadi ekstra melelahkan karena membuat kita ‘menghitung’ ekspektasi sembari berteriak-teriak seru. Plus, buatku, aku harus mengetik seribuan kata mereviewnya. Untuk mendeskripsikannya lebih jelas, menonton Royal Rumble tahun ini bagiku adalah seperti ngerjain pe-er matematika sambil naik roller coaster!

Actually, aku ngeskip nonton dua pay-per-view yang terakhir. Survivor Series November lalu tidak sempat kutonton semua karena sibuk persiapan acara puncak Festival Film Bandung. TLC yang bulan Desember juga gagal aku saksikan lantaran bertepatan dengan kelas penulisan kritik yang mengharuskan aku untuk tinggal di Jakarta selama beberapa hari. Jadi mungkin kalian noticed aku enggak ngereview dua show tersebut, dan alhamdulillah ternyata ada yang cukup peduli juga dengan ulasan WWE ku karena aku ditagihin loh, “bro gak review WWE lagi?” So yea, I’m back. Tentu dong, WWE adalah dulu, nanti, dan selalu jadi tontonanku. Buatku Royal Rumble ini seperti lembaran baru karena kemaren-kemaren itu aku benar-benar nyaris stop nonton WWE – kecuali NXT. Dan surprisingly, aku terkesan dengan apa yang kutonton lima jam yang lalu. Terasa benar usaha WWE untuk menaikkan standar kualitas pertandingan mereka. Memang sih, kualitas aksinya belum sebagus NXT TakeOver Phoenix sehari sebelumnya, namun dari segi penulisan – penceritaan, WWE lewat Royal Rumble ini terasa semakin solid.

Semua pertandingan berlangsung secara efektif. Mereka menyampaikan drama dan aksi dalam porsi yang seimbang. Tidak ada partai squash, hanya ada satu ‘cut-scene match’ namun bahkan itupun dilakukan dengan baik. Level ‘kekerasan’ yang disuguhkan juga tampak meningkat. WWE seperti memberikan kelonggaran tambahan buat para superstar, terutama kepada superstar-superstar yang bukan dari brand Raw yang enggak harus langsung nampil besok. Pengecualian untuk ini adalah Ronda Rousey dan Sasha Banks. Dua superstar cewek dari Raw ini bermain sangat fisikal, sehingga terkadang spot-spot yang mereka lakukan tampak sloppy – kurang profesional, dan kelihatan sakit not-in-a-dramatic-way seperti seharusnya. Satu lagi yang tidak aku mengerti adalah kenapa pertandingan kejuaraan tag team Smackdown yang dramatis dan penuh spot keren itu sejatinya berpusat kepada Shane McMahon – kenapa tiga superstar yang lebih ‘muda’ daripada dia yang harus mengimbangi dan work around him.

my girl debuting a new move, yaaassshhh

 

Dua partai royal rumble bekerja dengan sama-sama padunya. Tidak ada elemen yang tersiakan. Aku suka WWE mempertahankan ‘prestasi’ mereka sehubungan dengan ‘surprise entrant’. Nonton royal rumble memang yang selalu ditunggu adalah peserta kejutan yang selalu bikin kita entah itu sukses bernostalgia ataupun pecah bersorak tak-percaya. Seperti yang mereka lakukan tahun lalu, WWE memfokuskan porsi peserta-kejutan ini lebih banyak ke superstar-superstar muda yang nongol di NXT, alih-alih kepada superstar legenda yang untuk jalan ke ring aja sudah tertatih-tatih. Para entrant kejutan ini juga diberikan kesempatan untuk bertanding lebih lama, sehingga penonton bisa menikmati kehebatan mereka sembari WWE bisa mengiklankan brand dari mana mereka berasal. Solusi yang win-win, bukan! Dan tentu saja ada bagian untuk komedi. WWE suka komedi seperti Shyamalan suka twist dalam filmnya. Dalam kedua royal rumble inipun, komedi mereka lakukan dengan tepat guna; enggak benar-benar lebay dengan waktu penempatan yang diperhitungkan. Skit aneh antara Maria Kanelis dengan Alicia Fox enggak jatoh se-‘apasih’, kecuali aku nunggu-nunggu Maria bilang “kau aja pakai musik aku yang dulu” saat ngajak Fox temenan (terlalu ngarep sih memang kalo kita berharap kontinuiti dari WWE), aku gak melihat ada masalah dalam penggunaan komedi dalam pertandingan royal rumble kali ini. Pada royal rumble cowok, komedi digunakan untuk mengurangi kejenuhan, oleh durasi yang memang terlalu panjang.

Menurutku pertandingan royal rumble ceweklah yang seharusnya menutup acara. Sebab tokoh utama show kali ini jelas adalah Becky Lynch. Superstar cewek ini lagi tinggi-tingginya sejak ia menciptakan moniker ‘The Man’. Acara ini dibuka dengan memperlihatkan kegagalan Lynch dalam perebutan gelar cewek Smackdown. Dalam kontes yang dibuat berimbang dengan Asuka – yang mana kejutan pertama dari acara ini buatku; Lynch dibook/ditulis kalah bersih dalam perang submission – seolah penulis sedang merangkai perjalanan teatrikal. Ini seperti sekuen ‘percobaan pertama yang gagal’ pada naskah film-panjang. Kupikir ini bakal berlanjut dengan berbagai adegan di backstage, gimana Lynch berusaha mencari kesempatan lain. Honestly, aku sudah mengantisipasi Lynch bakal masuk ke royal rumble cowok – mengingat julukan ‘The Man’nya tadi – kemudian kembali gagal, dan entah bagaimana dia memasukkan dirinya ke royal rumble cewek, dan berhasil. Namun ternyata WWE membuat susunan yang berbeda; mereka malah mengerahkan Nia Jax untuk ‘menginvasi’ para cowok sebagai sebuah kejutan yang seru-tapi-aneh. Cerita Lynch tuntas di tengah-tengah acara, dan ini membuat partai-partai di antara dua royal rumble ini nyaris mati; berusaha menghidupkan kembali percikan api yang telah padam dibawa oleh kemenangan Lynch yang ditunggu-tunggu para fans.

kasian R-Truth begitu gampang tergantikan.. bahkan Lana aja diberikan kesempatan ‘berjuang’

 

 

Keputusan WWE buatku semakin aneh ketika mereka malah meletakkan Daniel Bryan melawan AJ Styles, dalam pertandingan yang bergaya lambat nan metodical, tepat setelah royal rumble cewek. Masalah bukan dari kedua superstar top-Smackdown, Bryan dan Styles adalah pekerja teknik terbaik yang dipunya oleh WWE, hanya saja jika ingin membuat penonton tetap semangat, mereka harusnya membuat pertandingan ini paling enggak sefast pace pertandingan Brock Lesnar dengan Finn Balor. Keep it short, fill it with high spots. Daripada memakai pertandingan pelan dengan outcome yang gak bersih – partai Bryan melawan Styles ini adalah ‘cut-scene match’ yang kusebut di atas – WWE seharusnya menulis partai kejuaraan WWE ini sebagai pertandingan Street Fight atau Extreme Rules atau apalah yang no-DQ. Sehingga ketika Eric Rowan datang, dia bisa ikut menghajar dan menjadikan akhirannya semakin dramatis oleh Styles yang berusaha mengalahkan dua orang. Dengan begitu penonton akan tetap semangat dan sabuk WWE tidak melulu diperebutkan dalam kontes yang seperti sia-sia.

 

Sebenarnya sudah lama WWE seperti melirik kemungkinan terjadinya pertandingan campuran. Jika WWE memang membangun diri ke arah yang lebih edgy, lewat Becky Lynch – dan Nia Jax – sebagai pionir, katakanlah jika tahun depan kita akan melihat Royal Rumble campuran antara pria dan wanita, atau bahkan melegalkan partai campuran dalam semua jenis match, aku sih seneng-seneng aja. Bayangkan Lesnar melawan Rousey. Atau Nikki Cross tagteam ama Dean Ambrose, tapi bukan lagi dalam mixec tag konyol yang dilakukan WWE di network. Menurutku itu bakal jadi perubahan besar yang positif mengingat isu kesetaraan gender sekaligus bakal bisa menaikkan nilai hiburan itu sendiri.

Pada akhirnya angka-angka dalam Royal Rumble menyimbolkan hitung-mundur sebuah perubahan yang sudah siap untuk terjadi.

 

 

 

Full Results:
1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka retain setelah Becky Lynch tap out terkena manuver submissionnya.
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Miz dan Shane McMahon jadi juara baru mengalahkan Sheamus dan Cesaro.
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey tetap juara dengan menge-pin Sasha Banks.
4. 30-WOMAN ROYAL RUMBLE Becky Lynch menang dengan mengeliminasi Charlotter Flair.
5. WWE CHAMPIONSHIP Daniel Bryan bertahan atas AJ Styles.
6. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP juara bertahan Brock Lesnar belum bisa dikalahkan oleh Finn Balor.
7. 30-MAN ROYAL RUMBLE Seth Rollins menang dengan mengeliminasi Braun Strowman
Dengan akhiran match yang tepat, dengan porsi hiburan dan kejutan yang berimbang, dengan dramatisasi yang mengena, The Palace of Wisdom memilih 30-Woman Royal Rumble sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

ORANG KAYA BARU Review

“Sometimes, nothing is better than something”

 

 

Ungkapan “Uang adalah sumber segala kejahatan (alias sumber masalah)”  itu sebenarnya kepotong. Makanya terasa kurang tepat. Bukan uangnya yang bikin seseorang berubah menjadi ‘jahat’ – yang membuat orang sampai rela meninggalkan keluarga maupun sahabatnya sendiri. Melainkan adalah kecintaan terhadap uang itu sendiri. Semakin banyak kita punya, kita akan makin merasa tidak cukup. Kita cinta dengan gagasan mempunyai banyak uang maka hidup akan semakin mudah, dan ini menghilangkan batasan dalam diri kita. Orang yang cinta pada uang, ia juga akan senang membelanjakannya, lantaran ia suka terhadap apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.

Itu sebabnya kenapa tokoh Lukman Sardi memilih untuk membesarkan keluarganya dalam kondisi prihatin. Ia merahasiakan kekayaan yang dimiliki kepada istri dan tiga anaknya. Mereka sekeluarga hidup pas-pasan selama bertahun-tahun sebab Bapak ingin menumbuhkan rasa cinta di dalam dada anggota keluarganya terhadap masing-masing, terhadap karib kerabat mereka, bukannya kepada uang. Pelajaran amat berharga sebenarnya yang coba beliau ajarkan. Namun, kematian yang begitu mendadak sampe-sampe film tak sempat menjelaskan kenapa; malah menggoda sekiranya Bapak belum benar-benar tiada, memotong pelajaran tersebut. Membawa Tika, Duta, Dodi, dan Ibu langsung ke ‘praktek lapangan’; Bapak meninggalkan warisan berupa duit bermilyaran, seketika mereka semua berubah hidupnya menjadi milyarder kaya raya!

Ternyata memang lebih enak hidup yang terus berangan punya duit banyak ketimbang hidup yang selalu terjaga lantaran takut harta yang dimiliki hilang.

 

Performa para penampil dalam film ini seragam menggelitiknya. Raline Shah yang menjadi Tika, si sudut pandang utama, didampuk untuk melakukan banyak permainan akting di luar penampilan-penampilan yang biasa ia lakukan. Ia harus belajar bagaimana menjadi seorang miskin – ini sendiri adalah fakta yang sangat lucu bagi kita semua. Sebagai Tika, Raline harus menggapai nada-nada emosi yang punya rentang cukup luas. Dia yang pertama kali menemukan Bapak meninggal – Tika punya momen-momen unik dengan ayahnya, dia yang punya keinginan untuk menjadi orang kaya, dia juga diberikan kesempatan untuk menjalin hubungan asmara. Meskipun di awal-awal kurang meyakinkan – kurang dapat dipercaya – tampil sebagai orang susah, tetapi dengan gemilang Raline, juga para aktor lain memainkan tokoh-tokoh yang berbuat norak dengan harta bendanya. Derby Romero sebagai seniman dalam keluarga, dia diberikan bentrokan soal seni, idealisme, dan duit yang menarik sayangnya tidak diberikan porsi yang banyak. Justru Ibu yang diperankan oleh Cut Mini yang mendaratkan nada tawa tertinggi lewat her take on ibu-ibu sosialita – yang melakukan sesuatu kini atas nama citra. In some sense, para aktor ini bisa jadi memainkan parodi dari diri mereka sendiri, dan memang tak ada hal yang lebih lucu dan mengena ketika seseorang bisa menertawakan dirinya sendiri. Last but not least, pemeran anak Fatih Unru mencuri perhatian; ia mampu mengenai nada-nada emosi berentang luas dengan lebih baik dari rekan-rekan aktor yang lebih berpengalaman. Tokoh Dodi di tangannya terasa enggak over-the-top, dan bisa jadi karena tokoh ini disebutkan ditulis berdasarkan pengalaman masa kecil sang penulis skenario, Joko Anwar, yang suka berandai-andai jadi orang kaya

Aku tidak tahu apakah fakta tersebut membuat film menjadi spesial karena toh semua orang umumnya pernah ngimpi jadi jutawan

 

Kelucuan film ini menguar deras dari tingkah polah keluarga tersebut dalam mengarungi hari-harinya sebagai pemilik uang berlimpah. Film bersenda gurau dengan tingkah-tingkah norak para tokoh. Saksikan transisi si Ibu dari yang tadinya melotot melihat harga teh di restoran mewah menjadi seorang pembelanja yang dengan jumawa membeli semua perabot yang sempat disentuh dan difoto oleh anak-anaknya. Juga sebuah sentuhan bagus membentrokan keadaan tiga kakak beradik yang tadinya menyusup ke acara nikahan buat numpang makan dengan keadaan mereka punya segalanya, bahkan mobil satu seorang meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menyetir. Kita tertawa oleh komedi mengenaskan saat mereka menghabiskan uang yang mereka punya lebih cepat daripada akun lucu-lucuan berlari mengejar jumlah follower.

Film ini memang sangat terasa seperti kebalikan dari Keluarga Cemara (2019) yang tayang beberapa minggu sebelumnya. Bukan saja dari premis orang miskin yang ternyata menjadi kaya alih-alih keluarga Ara yang kaya kemudian jatuh miskin. Melainkan juga dari bagaimana cerita ini berpusat. Jika cerita Keluarga Cemara menegaskan bahwa mereka sebenarnya bukan soal harga uang; film tersebut menyetir ceritanya keluar dari kait-kait trope kemiskinan yang tertindas, maka Orang Kaya Baru benar-benar meletakkan materialistis sebagai poin vokal untuk menyampaikan pesannya. Emosi kita bakal dipancing demi melihat anak yang sol sepatunya copot dikerjai oleh teman sekelasnya. Kita menyaksikan Tika dituduh mencuri telepon genggam teman di kampus. Uang dan materi benar-benar on-point dalam film ini. Karena ia ingin membangun karakter-karakter sehingga menjadi masuk akal begitu mereka memuja kekayaan nantinya.

bahkan film ini juga punya satu tokoh yang bekerja di mana-mana, hanya saja tidak dimainkan sebagai komedi

 

 

Dan itulah sebabnya kenapa elemen drama dari film ini tidak semuanya terasa mengena. Kita menyaksikan tokoh-tokoh yang menyalami ‘demon‘ mereka dan berakrab-akrab dengannya. Tentu, sebuah hal yang lucu – dan mungkin melegakan -melihat orang miskin yang biasanya dibully jadi punya kesempatan untuk melampiaskan hati mereka. Menyenangkan menyaksikan mereka akhirnya mencicipi indahnya dunia. Tapi antisipasi serta merta tumbuh dalam diri kita; kita paham tokoh-tokoh itu menyongsong kebangkrutan, jadi ketika mereka melakukan suatu ‘pemborosan’ kita tidak lagi benar-benar ikut sedih bersama mereka. Kita ditinggalkan untuk berharap mereka melakukan hal yang benar, dan mungkin untuk kedua kalinya keajaiban datang menyelesaikan masalah keuangan yang kali ini disebabkan oleh mereka sendiri.

Namun film malah terus menge-loop masalah tersebut, hingga film berakhir. Tidak ada penutup yang definitif hingga kita tak yakin harus terus tertawa atau bengong saja. Jika dalam menggarap horor atau thriller, Joko Anwar masih bisa menutupi kekurangan penulisannya dengan twist; terutama twist semacam ‘ternyata cuma mimpi/imajinasi’ yang membuat ceritanya jadi tampak cerdas, maka ranah drama komedi seperti Orang Kaya Baru ini sesungguhnya lebih susah untuk ia bermanuver. Film seperti berjuang untuk menutup cerita dengan menarik, dan pada akhirnya pilihan yang diambil malah tidak definit sebagai pembelajaran terhadap karakternya, or even if they have learned anything at all. Tika yang hidup pas-pasan dan diremehin sehingga berpikir lebih gampang hidup sebagai orang kaya. Kemudian dia jadi kaya, hidup mewah seolah sudah punya semua jawaban hidup. Namun pertanyaan hidupnya berubah; kenapa sekarang masalah itu timbul dari orang-orang di dekatnya. Kemudian dia miskin lagi, dia dekat kembali dengan sahabat dan keluarga. Uang mengontrol kehidupan dan sikap Tika, kita tidak pernah benar-benar diperlihatkan ada perubahan dari dirinya yang didorong oleh ‘kekuatan dari dalam’.

 

 



Paling efektif bekerja sebagai komedi yang memotret – dan dalam nada tertingginya, mengkritik – pandangan dan kehidupan sosial antara si kaya dengan si miskin. Tone antara drama dan komedi itu pun acapkali berbaur dengan mulus, berkat penampilan yang tak-biasa, yang luar biasa menghibur, dari para pemainnya. Terutama Fatih Unru dan Cut Mini. Hanya saja porsi dramanya terasa tidak terasa benar-benar menyentuh, dalam artian sungguh bikin kita sedih. Karena kita sudah mengantisipasi apa yang terjadi. Juga lantaran tidak benar-benar ada stake ataupun konsekuensi dari ‘kegagalan’ yang dihadapi oleh para tokoh. Lebih lanjut, ini disebabkan oleh penulisan naskah yang sengaja dipilih untuk tidak konklusif. Menonton ini seperti kita sedang bermimpi indah, kemudian jadi buruk, kemudian indah lagi, yang tak selesai-selesai.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for ORANG KAYA BARU.

 

 



That’s all we have for now.
Dulu kalo sedang rebutan mainan dengan adik, Ibuku sering bilang “lebih baik enggak ada daripada ada!” Bagaimana menurut kalian; apakah lebih baik miskin daripada kaya raya? Mengapa kebutuhan rasanya semakin meningkat begitu kita punya rezeki berlebih?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.



THE KID WHO WOULD BE KING Review

“United we stand”

 

 

Membela teman yang di-bully dan pada gilirannya tidak mengadukan apa-apa – kepada ibunya, kepada guru, kepada orang dewasa – tentang hal tersebut lantaran ia enggak mau perpecahan semakin besar karena mengungkit masalah; mungkin itu sebabnya Alex (Louis Ashobourne Serkis, temuan baru sang sutradara) mampu mencabut pedang Excalibur dari batu. Alex, seorang anak dua-belas tahun di era modern Britania Raya, telah menunjukkan sikap dan semangat yang tak-pelak dihargai oleh seorang kesatria seperti Raja Arthur dalam legenda. Kesetiaan, keberanian, pendirian untuk menegakkan persatuan sebagai prioritas utama. Kalian tahulah; sikap-sikap kepahlawanan.

Pedang Excalibur yang ia dapatkan mengingatkan Alex pada buku cerita yang seingatnya dulu diberikan oleh Ayah kepadanya. Tapi tidak sebatas rasa rindu yang diberikan oleh pedang tersebut. Masalah juga. Alex diserang oleh makhluk seperti zombie kesatria yang datang menyala bara api dari dalam tanah. Berkat informasi dan gemblengan dari seorang penyihir yang mengambil wujud anak muda berbodi kutilang (paling tidak sampai dia bersin, yang mengubah wujudnya menjadi seekor burung hantu), Alex mengerti bahwa dirinya terpilih sebagai Arthur masa modern. Tugas yang harus ia lakukan adalah mengalahkan Morgana, penyihir jahat berwujud monster yang ingin merebut Excalibur dan memecah belah dunia saat gerhana bulan empat malam lagi tiba. Untuk itu, Alex musti mengumpulkan Ksatria Meja Bundar versi dirinya sendiri, dari teman maupun lawan, dan berkelana bersama mencari sosok Ayah yang diyakini Alex adalah Raja Arthur yang sebenarnya.

Alex dan keadaan sosial tempatnya tinggal dijadikan perbandingan menarik terhadap kode-kode kekesatriaan tradisional oleh film ini. Sebagai cara mereka mempertanyakan ke mana perginya nilai-nilai luhur tersebut. Namun misi utama film ini sebenarnya adalah memperlihatkan dongeng kesatria kepada anak-anak seusia Alex yang mungkin sudah terlalu disibukkan (kalo tidak mau disebut dimanjakan) dengan kemudahan dan kenyamanan. Dalam film ini kita akan melihat Alex dan teman-temannya bertualang, dan bukan monster-monster perut bumi itu yang mengancam keutuhan mereka – melainkan kenyataan bahwa begitu gampangnya kelompok mereka terpisah; begitu banyaknya hal-hal yang membuat mereka terpecah.

Anak-anak jaman sekarang disebut lemah dan manja bukan exactly karena fisik dan tenaganya. Bukan karena mereka gendut kebanyakan duduk main gadget. Melainkan karena keogahan mereka untuk bersusah payah main keluar, mencari teman beneran, dan bersama-sama melakukan sesuatu yang mereka percaya. Anak-anak sekarang hanya kurang bersemangat menunjukkan sikap-sikap kesatria yang mungkin tak mereka sadar mereka miliki.

chivalry is not dead, Superman is

 

Film ini dibuka dengan sekuen animasi yang menawan yang memaparkan kisah Raja Arthur yang melandasi petualangan Alex. Babak penutup film ini pun tak kalah menariknya; ketika Alex dan teman-teman menjadikan sekolah sebagai benteng pertahanan – mereka mengenakan baju zirah, dengan pedang-pedang, menyulap papan gym menjadi kuda-kuda gauntlet, dan memasang jebakan untuk pasukan monster yang datang menyerbu. Pertempuran dalam film ini selalu berat oleh CGI tapi cukup memuaskan untuk dilihat, terlebih pertempuran terakhir yang melibatkan anak-anak berterbangan ke sana kemari berusaha mendaratkan monster terbang yang mengerikan. Pembuka dan penutup; itulah momen-momen terbaik yang bisa diusahakan oleh film ini. Sementara bagian di antaranya; bagian yang punya porsi paling lama – mengingat film ini berdurasi dua-jam, begitu datar sehingga hampir membosankan jika kita tidak dibawa keliling dataran Inggris yang punya pemandangan menawan.

Bukan sebab karena penulisannya – The Kid Who Would Be King ditulis dengan struktur yang bener. Kita dengan jelas dapat melihat motivasi Alex, kita melihat tantangan yang harus ia hadapi, kita melihat dia menyimpulkan apa yang harus ia lakukan, kita melihat dia belajar tentang apa yang harus ia lakukan, kita juga menyaksikan bagaimana dia mengambil jalannya sendiri. Hanya saja, Alex tidak pernah tampil benar-benar menarik. Untuk mencolok saja, dia butuh jaket merah sementara teman-teman di sekitarnya memakai jaket berwarna gelap. Selain bergantung kepada buku cerita yang berfungsi sebagai petunjuk baginya – yang merupakan aspek yang dibutuhkan dalam formula cerita semacam ini, Alex tidak punya kebiasaan yang membuat dirinya menarik. Kita tidak tahu hobinya apa. Aku akui, Alex ini adalah tipe anak baek-baek yang aku biasanya ledekin di sekolah, bukannya aku termasuk tukang bully, tapi sama-sama tahulah, akan ada satu anak pendiem di setiap sekolah yang jadi bahan candaan anak-anak lainnya. Anak itu adalah si Alex, dan Bedders – sohib Alex. Tidak ada yang unik dari kedua anak ini. Saat ‘berantem’ dengan para ksatrianya, Alex akan membuat kita menguap dengan kata-kata ‘sok baik’nya yang membuat kita memohon mereka langsung saja jotos-jotosan.

Bicara soal dialog, film ini membuat adegan animasi keren di pembuka itu menjadi tidak berguna, karena apa-apa yang sudah dijelaskan dengan visual menarik tetap saja diulang kembali saat para tokoh mengucapkan dialog-dialog eksposisi. Film seharusnya memfokuskan dialog untuk pengembangan karakter saja, tidak perlu lagi menjabarkan tentang dunia Arthur. Atau malah, animasi pembuka itu enggak usah ada aja sekalian. Memilih, hanya itu yang harus dilakukan, enggak susah kok.

Sekali-kali Patrick Stewart akan muncul untuk membuat kita berpikir film ini penting

 

Adegan yang lebih banyak gerakan – seperti mereka latihan berantem melawan pohon, melatih anak-anak untuk menjadi prajurit, kejar-kejaran dengan monster – masih mampu untuk menghibur kita. Aku jadi menunggu-nunggu gerakan tangan annoying yang dilakukan oleh Merlin yang flamboyan sebab aku tahu bakal ada sihir dan keasikan menonton akan sedikit terangkat oleh keajaiban. Beberapa lelucon juga sanggup menghadirkan cekikikan di sana-sini. Aku suka sindiran yang film ini lakukan terhadap ayam goreng fast-food, paling enggak sampai film ini memutuskan untuk menjelaskan sindiran tersebut lewat omongan. Yang mana semakin menunjukkan sutradara Joe Cornish tidak sepede sebelumnya saat dia menggarap Attack the Block (2011) thriller alien yang begitu segar dengan arahan yang berhasil membuat perjuangan anak-anak remaja yang tak berkekuatan khusus – sama seperti The Kid Who Would Be King ini – sangat mencengkeram sehingga termasuk ke dalam Top-8 film favoritku tahun itu.

Ketimpangan antara penulisan struktur naskah dengan pengarahan ini semakin terlihat ketika pada setelah sekuens false-resolution, film menjadi seperti berakhir dan kembali dimulai. Seperti ada sekat yang memisahkan, yang membuat petualangan yang sebelumnya tidak lagi berarti meskipun sebenarnya kita paham ada pembelajaran yang dikenai kepada tokoh utama, ada kepentingan dalam perjalanan sia-sia yang mereka semua lakukan. Namun seperti yang aku tulis di atas, babak terakhir yang menarik ketimbang pertengahan yang bahkan ternyata mereka hanya mengejar hal yang basically tak ada – ada pembangunan yang runtuh seketika sehubungan dengan siapa ayah Alex – membuat kita berpikir seharusnya film ini fokus saja di sekolah. Jika ada yang menjanjikan petualangan aksi medieval dengan anak sekolah sebagai tokohnya, maka tentu hal unik yang kita pikirkan adalah membawa aksi tersebut ke lingkungan mereka, atau mungkin membawa mereka ke zaman yang bersangkutan. Benar-benar membentrokkan mereka. Bukannya malah membawa mereka jalan-jalan sebagian besar waktu.

 

 

 

 

Terasa lebih bermain aman ketimbang sebelumnya, Cornish membuat film fantasi anak-anak ini kurang menantang. Ia seperti tidak begitu mengimbangi bangunan naskah yang ditulis dengan baik. Film ini kurang exciting. Meski ia berhasil menjalankan fungsinya sebagai dongeng kekinian yang membandingkan moderen dengan tradisional dalam rangka menjunjung tinggi nilai persatuan. This is an okay film. Aman dan berbobot ditonton bersama keluarga. Hanya dengan sedikit terlalu banyak aspek-aspek yang datar, seperti hubungan Alex dengan ibunya, dengan teman-temannya yang lain, and heck, Alex barely has anything to do with Morgana, yang mestinya bisa dieksplorasi dengan lebih emosional lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for THE KID WHO WOULD BE KING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Coba tanyakan kepada diri sendiri, apakah kalian mampu mencabut Excalibur dari batu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2018

 

Seperti yang kukatakan kepada dosen geoteknik pagi itu saat ujian semester keempat: “Maaf, saya terlambat.”

Tadinya memang seperti tahun-tahun sebelumnya aku pengen nungguin nonton semua nominasi Oscar dulu, supaya tak ada yang bikin aku merasa ah, seharusnya ini masuk… Tapi karena kelamaan dan aku merasa daftar favoritku sebenarnya sudah sangat solid – aku tidak mau merusaknya – maka aku memutuskan mengambil sikap. Daftar Top-8 ini aku keluarkan sehari sebelum pengumuman nominasi Oscar, dan kupastikan tidak akan ada penyesalan. Karena menurutku memang seharusnya kita masing-masing punya pendirian. Aku tahu lebih baik; tidak perlu mengulur-ulur demi satu film atau beberapa film, toh jika memang bagus mereka bisa dimasukin di daftar tahun depan. Kita tidak harus menunggu orang lain untuk memastikan apa yang kita tahu kita punya. Jika kita punya standar, tetaplah di sana.

Jadi ya, tahun 2018 kita sudah lihat begitu banyak kemenangan manusia yang percaya pada kemampuan dan apa yang dipilihnya. Kita melihat astronot berhasil mendarat di bulan. Penyanyi yang menggelar konser begitu besar. Robot yang mengalahkan monster raksasa. Kita juga disuguhkan dengan banyak cerita balas dendam, dengan masing-masing lebih unik dari sebelumnya. Meskipun kuakui, 2018 ini adalah tahun di mana aku paling sedikit ngasih angka di atas 8 tapi tidak berarti film-filmnya kebanyakan jelek (kecuali sebagian besar horor-horor Indonesia yang cuma pengen laku-lakuan). Film-film tahun ini banyak yang bersaing di angka 7, yang mana dalam sistem ratingku itu berarti banyak film-film yang menonjolkan idealisme mereka – dan ini adalah hal yang begitu positif.

Juga ada keseimbangan yang terjadi, karena di satu sisi kita banyak menjumpai film-film remake atau malah sekuel dari zaman 80-an dan di sisi lain kita dianugerahi sutradara-sutradara baru yang dengan berani mengusung ide segar dan sudut pandang yang belum pernah digali.

HONORABLE MENTIONS

  • Annihilation (thriller sci-fi yang memuaskan yang sekaligus bikin kita mempertanyakan apa manusia adalah kanker bagi dunia)
  • A Quiet Place (siapa bilang diam itu gampang?)
  • Blackkklansman (keseimbangan sempurna antara komedi dan tragedi)
  • Crazy Rich Asians (meski kayak ftv tapi gebrakannya dahsyat; film pertama sejak sekian lama seluruh cast Asia dalam produksi Hollywood; membuktikan diri itu penting!)
  • Creed II (sebuah film tentang bertinju yang mengingatkan kita untuk tetap berpikir menggunakan hati)
  • Green Book (penampilan akting kedua tokohnya akan menghibur kita di balik tema yang menyentuh)
  • Incredibles 2 (pergantian role dalam cerita superhero menjadikan sekuel yang ditunggu ini film yang menyegarkan)
  • Mid90s (potret anak yang mencari teman, alih-alih panutan, yang tak terasa dibuat-buat)
  • Mission: Impossible – Fallout (film aksi terbaik se2018, sebab semuana minus CGI!)
  • One Cut of the Dead (film paling asik sepanjang tahun, it’s not good but still manage to teach us a lot!)
  • Paddington 2 (dudukkan satu keluarga nonton ini dan rasakan kehangatan serta kelucuan menjalar)
  • Sebelum Iblis Menjemput (bisa juga Indonesia membuat horor gore yang menyenangkan ala cult kayak Evil Dead.. penulisan karakternya juga bagus)
  • Sekala Niskala (setiap shot di film ini layaknya puisi – gambarnya indah, tenang, menyeramkan)
  • Spider-man: Into the Spider-verse (usaha terakhir Sony menggarap Spiderman berhasil membuka banyak; peluang dan sudut pandang)
  • Suspiria (filmnya enggak bagus-bagus amat, tapi begitu aneh dengan gaya tersendiri sehingga aku dibuat penasaran dan menontonnya berulang kali)
  • Suzanna: Bernapas dalam Kubur (cerita balas dendam dengan tokoh seorang hantu. Pilu, namun beautiful, dan enggak jatoh over-the-top)
  • The Miseducation of Cameron Post (cerita di mana kelainan seksual dianggap sebagai penyakit ini dengan tepat menggambarkan keadaan remaja ketika dihadapkan dengan ‘tuduhan’ orang tua)
  • The Night is Short, Walk on Girl (salah satu film dengan cara bercerita paling unik, seperti versi lebih baik dari Aruna dan Lidahnya)

Tahun ini, special shout out aku teriakkan buat Dilan 1990 yang ulasan filmnya udah mecahin rekor jumlah view terbanyak di My Dirt Sheet tahun 2018. Selamaaatt~

 

Untuk daftar Top-8 yang bakalan kalian baca di bawah, ada baiknya kalian berhati-hati karena aku tidak akan memberikan peringatan spoiler – aku menganggap semua sudah menonton filmnya. Bagi yang pengen membaca ulasan lengkap filmnya, kalian bisa klik judul film untuk membuka halaman ulasan film tersebut.

8. AVENGERS: INFINITY WAR

Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Josh Brolin, Robert Downey Jr, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
MPAA: PG-13 for sci-fi violence and action, language and some crude references
IMDB Ratings: 8.5/10
“If life is left unchecked, life will cease to exist. It needs correcting.”

Menurutku cocok sekali jika daftarku ini dibuka oleh Avengers: Infinity War karena memang ‘semuanya’ – hal di daftar ini – dimulai oleh aksi si Thanos. Film ini adalah cerita superhero dengan sudut pandang langka di mana yang berjaya adalah tokoh yang jahat. Dan ini menimbulkan begitu banyak ragam reaksi, begitu banyak spekulasi, begitu ramai harapan, yang mengiringi desah-desah kaget tak percaya dari kita semua.

Enggak mudah mencampur aduk begitu banyak tokoh ke dalam satu cerita berdurasi dua jam, tapi film ini berhasil melakukannya. Kita mendapatkan banyak pertarungan seru, kita dikembalikan ke kisah klasik superhero bergabung melawan penjahat, dan tidak sekalipun film tergagap dalam menuturkan – menjalin kisah tokoh-tokohnya. Sebagai bagian dari semesta sinema yang lebih besar, film ini dengan gemilang menuaikan tugasnya sebagai sekuen titik-rendah dari para protagonis.

Buatku adalah hal yang mustahil jika kau penggemar superhero dan tidak terhibur menonton film yang endingnya memang diset depressing ini.

My Favorite Scene:
Infinity War, dengan menumpleknya karakter, punya begitu momen-momen keren; mulai dari keputusan Thanos mengorbankan Gamora – dan reaksinya setelah itu, pertempuran Wakanda – Cap dan Black Panther berlari memimpin, sampai kemunculan kembali Thor dengan kekuatan baru. Susah untuk memilih favorit, maka aku akan settle dengan yang paling memorable, dan tentu saja itu adalah momen terakhir film.. jentikan jari Thanos yang membawa maut.. apa yang terjadi sesudahnya… OH SNAP!

http://www.youtube.com/watch?v=zXavNm6y8OE

 

 

 

 

 

 

7. UPGRADE

Director: Leigh Whannell
Stars: Logan Marshall-Green, Melanie Vallejo, Steve Danielsen 
MPAA: R for strong violence, grisly images, and language
IMDB Ratings: 7.6/10
“A fake world is a lot less painful than the real one.”

Upgrade menghajar Venom habis-habisan, menendang bokongnya hingga terbang keluar hingga nyaris nyangsang di daftar Delapan Kekecewaan Bioskop 2018 ku. Kedua film ini punya kondisi tokoh yang hampir sama; konsep mereka sama-sama orang yang tubuhnya bergerak di luar kendali dan mengharuskan mereka bekerja sama dengan si ‘parasit’. Namun Upgrade melakukan tugasnya dengan jauh lebih baik, ia bercerita lebih efektif.

Keunikan berhasil dipertahankan oleh film ini. Dan menurutku aneh sekali saat menonton Upgrade aku tidak merasa ia tiruan dari Venom, malah justru sebaliknya. Upgrade membuktikan tidak butuh budget gede untuk membuat film yang menarik dan terlihat nyata. Seperti kata lagunya Triple H: “It’s how you play it”

My Favorite Scene:
Upgrade melakukan kerja yang sangat baik dengan konsep tubuh yang bergerak sendiri. Kesukaanku adalah ketika pertama kali Stem diijinkan mengambil alih dan kemudian menyerang salah satu pelaku pembunuhan; kerja kamera, reaksi yang genuine, semuanya bergabung menjadi koreografi aksi fresh!

 

 

 

 

 

6. THE HOUSE THAT JACK BUILT

Director: Lars von Trier
Stars: Matt Dillon, Uma Thurman, Bruno Ganz
Certificate:
IMDB Ratings: 7.0/10
“Don’t look at the acts, look at the works.”

Satu-satunya film yang kuberi angka 9 di tahun 2018. Bukan exactly karena sangat amat bagus, melainkan karena film ini sangat-sangat aneh dia seolah membunuh sendiri dirinya dengan keanehan dan pilihan ekstrim yang ia lakukan. Maka tentu saja, aku tidak bisa berpaling dari film-film punya nyali seperti ini.

The House that Jack Build punya struktur cerita sendiri. Dia punya aturan main sendiri. Malahan, dia tampak seperti asik sendiri ngobrol ngalor-ngidul, melakukan apa yang ia bisa lakukan, tanpa peduli tanggapan semua orang. Daya tarik film ini (dan juga kejatuhannya bagi beberapa penonton) adalah tokohnya yang seorang serial-killer, namun si Jack ini menganggap apa yang ia lakukan adalah proyek seni. Buatku film ini adalah karakter studi yang menarik. Saking kuatnya efek yang ditimbulkan, aku jadi merasa perlu untuk mengubah gaya reviewku khusus ketika mengulas film ini. Tapi memang, film ini bukan untuk semua orang. Level kekerasannya amat sangat di luar batas kemanusiaan, meskipun jika kalian terbiasa menonton film-film gore. Film ini berusaha memanusiawikan tindak pembunuhan, dan dengan  sengaja menunjukkan kegagalan.

Di luar batas-batas yang ia langgar, sesungguhnya film ini punya craftmanship tersendiri. Maka dari itulah, aku memasukkan film ini ke dalam daftar.

My Favorite Scene:
Keseluruhan babak akhir di mana Jack dan Verge turun ke bawah tanah; begitu aneh, begitu mencengkeram, begitu penuh metafora, jika kalian sama gilanya dengan aku, kalian juga pasti bakal suka.

http://www.youtube.com/watch?v=Hnoagsn7II4

 

 

 

 

 

5. EIGHTH GRADE

Director: Bo Burnham
Stars: Elsie Fisher, Josh Hamilton, Emily Robinson, Jake Ryan
MPAA: R for language and some sexual material
IMDB Ratings: 7.5/10
“Growing up can be a little bit scary and weird”

Mekar menjadi remaja tidak pernah hal yang mudah. Apalagi di jaman sosial media di mana kepopuleran menjadi semakin berpengaruh. Eighth Grade menunjukkan potret kehidupan remaja cewek mengarungi neraka yakni hari-hari terakhir sekolahnya.

Penampilan akting yang natural, penulisan yang benar-benar cerdas dan genuine membuat film ini mengerikan untuk diikuti, dalam artian yang positif. Eighth Grade tidak mangkir dari kejadian-kejadian yang plausible terjadi – yang mungkin pernah sebagian dari kita alami saat masih seumuran Kayla, tokoh utama ceritanya. Film ini juga tidak memberikan jalan keluar yang mudah ala cerita remaja film-film Hollywood.

Film ini memperlihatkan betapa hal-hal yang buat orang dewasa konyol dan sepele, sungguh bisa sangat berarti bagi remaja. Dan di sisi lain, remaja yang menonton diharapkan mendapat ketenangan dari ‘kejar-kejaran’ yang mereka lakukan demi popularitas.

My Favorite Scene:
Aku sebenarnya agak kurang sreg dengan penulisan karakter Ayah Kayla, dia seperti sosok yang terlalu too-good to be true, yang menurutku sedikit mengurangi nilai ke-genuine-an cerita. Tapi mengerti kenapa ia ditulis demikian. Dan aku juga mengakui, oleh karena karakternya demikianlah kita bisa dapatkan adegan dialog ayah-anak yang indah seperti dalam film ini

 

 

 

 

 

4. A STAR IS BORN 

Director: Bradley Cooper
Stars: Bradley Cooper, Lady Gaga, Sam Elliott
MPAA: R for language throughout, some sexuality/nudity and substance abuse
IMDB Ratings: 8.0/10
“Maybe its time to let the old ways die.”

Cerita klasik yang sudah diceritakan berulang kali, namun A Star is Born masih mampu membuat kita semua terpana. Berkat penampilan akting, kemampuan musikal, dan chemistry dari dua tokohnya.

Drama yang diceritakan juga terbangun dengan kuat, menyentuh. Tambahan elemen apa yang dilakukan industri terhadap para senimannya pun turut memperkaya film ini. Memberikan konflik yang, dikembalikan kepada karakter, dan sekali lagi, disampaikan dengan begitu mempesona. Film ini punya ending yang menurutku adalah salah satu ending paling menyentuh yang beruntung kita saksikan di tahun 2018.

Aku tahu, aku akan menantikan karya-karya berikutnya dari Bradley Cooper sama seperti aku akan duduk manis menunggu peran dramatis berikutnya dari Lady Gaga.

My Favorite Scene:
Reaksi Gaga di adegan dia disuruh nyanyi Shallow itu beneran keren! Yang pasti, gak ada yang ‘dangkal’ di adegan itu.

http://www.youtube.com/watch?v=dNxCz-Iyu0g

 

 

 

 

 

3. LOVE FOR SALE

Director: Andibachtiar Yusuf
Stars: Gading Marten, Della Dartyan, Verdi Solaiman
Certificate: 21+
IMDB Ratings: 7.8/10
“Hidupku yang sendiri sunyi.”

Tidak banyak pembuat film Indonesia yang berani mempertontonkan kenyataan pahit, dan lebih sedikit lagi jumlah yang kreatif mengubah kepahitan menjadi harapan yang manis. Love for Sale adalah film Indonesia pertama yang membuatku percaya perfilman bangsa ini memang bisa maju. Karena ia menarik spektrum baru sehingga memperluas variasi tontonan bagus yang kita punya.

Tokoh yang harus punya pasangan, yang harus bahagia selamanya di akhir, film dengan adegan yang aman dan tak boleh terlalu nyeleneh. Itu semua bukan jualan dari Love for Sale. Instead, kita dapat cerita tentang pria yang jomblo seumur hidup, yang hidupnya begitu sempit, mencicipi sedikit rasa asmara dan kekecewaan, sehingga dia tergerak olehnya. Skenarionya rapih sekali, keputusan-keputusan artistiknya juga sangat memberikan banyak kepada cerita. Film ini begitu unconventional untuk ukuran film lokal, ditambah dengan beraninya memberi kesempatan kepada pemain-pemain yang sama sekali baru ataupun baru kali ini dilepaskan dari perannya yang biasa.

Dengan peliharaan berupa kura-kura, film ini memang seanehnya yang bisa kita harapkan dari film Indonesia. And that’s a good thing.

My Favorite Scene: Adegan kejedot lampu! yang membuktikan bahwa detil dan karakter tidak pernah terlewat oleh film ini.. Yang sudah nonton pasti tahu deh kenapa adegan ini tidak kucantumin video ataupun fotonya hhihi

 

 

 

 

 

2. BURNING

Director: Chang-dong Lee
Stars: Ah-in Yoo, Jong-seo Jun, Steven Yeun
Certificate: Not rated
IMDB Ratings: 7.7/10
“Why do we live, What is the significance of living?”

Beberapa menit pertama, aku enggak suka film ini. Tokoh utamanya begitu sukar melihat kenyataan, dia seperti hanya bergerak berdasarkan feeling – dia bahkan seperti dituntun oleh orang lain. Namun begitu aku mengerti konteks ceritanya, daaannggg, film ini keren bangetttt.

Seperti yang sudah kusebut di reviewnya; film ini dibuat seperti ilusi optik. Untuk membuat kita melihat apa yang sebenarnya tidak ada. Sama seperti tokohnya yang ekspresinya kayak bengong melulu itu. Dan semua elemen cerita demi membangun semua itu diperhatikan dengan amat detil. Semua petunjuk mengenai apa yang sebenarnya terjadi sudah ada di depan mata kita, tapi kita dibuat menolaknya. Kita dipaksa untuk percaya kepada hal-hal yang buruk, seperti sikap si tokoh. Dan film dengan sengaja membuka begitu banyak interpretasi dan kemungkinan, sehingga menontonnya berulang kali tidak akan membosankan. Malahan semakin memperkaya pengalaman kita menonton.

Jika kalian senggang, coba ambil waktu nonton film Korea ini tanpa memperhatikan cerita dan hanya menikmati suguhan visualnya. Nyeni banget!

My Favorite Scene:

Adegan cantik dan penuh makna ini udah kayak adegan David Lynch banget. Menghipnotis!

 

 

 

 

 

Yang jeli akan melihat ada kekontrasan di sini. Antara awal yang menyebut tentang  kemenangan, tapi film-film yang masuk daftar ini malah tentang kegagalan. Pahlawan yang jadi abu, manusia yang membiarkan dirinya diambil alih asalkan dia dapat kenangan indah dengan istrinya, pembunuh yang gagal membuktikan dirinya benar, anak sekolah yang masih tidak populer, perjaka tua yang masih belum punya pasangan, pasangan yang malah berpisah, dan cowok yang malah jadi pembunuh karena terpisah dari pasangannya. Inilah yang aku sukai dari 2018. Meski yang bener-bener bagus jumlahnya  sedikit, namun film di tahun 2018 dengan gagah berani menunjukkan kegagalan. Aku selalu suka film seperti ini; film favoritku sepanjang masa adalah Mulholland Drive yang bercerita tentang cewek yang ingin jadi aktris besar di Hollywood, namun.. you guessed it, dia gagal. Dua film pendekku (Lona Berjanji dan.. aku bocorin pertama kali di sini judulnya Gelap Jelita) juga bercerita tentang kegagalan. Karena menurutku kegagalan terasa lebih real. Sebagai pelajaran, dia lebih menohok. Toh kegagalan tidak melulu berarti depresi, lihat Love for Sale; tokohnya belajar tidak punya pasangan bukan berarti menyedihkan, dia belajar hal lain yang ia butuhkan. Kegagalan bukan berarti kekalahan. Ia bisa saja kemenangan, saat tokoh mengerti apa yang sebenarnya kita cari. Film-film seperti begini tidak memberikan jawaban mudah.

Karena memang di kehidupan nyata, tidak ada yang semudah di dalam film. Kita bisa mencoba namun jangan lantas menyangka semuanya berjalan mulus. Film peringkat pertama di daftar ini benar-benar menunjukkan gimana jika sebenarnya kita tidak bisa lari dari takdir, sekeras apapun kita berusaha, sekelam apapun takdir itu:

1. HEREDITARY

Director: Ari Aster
Stars: Toni Collette, Alex Wolff, Milly Shapiro, Gabriel Byrne
MPAA: R for horror violence, disturbing images, language, drug use and brief graphic nudity
IMDB Ratings: 7.3/10
“[crying] Why did you try to kill me? / I didn’t! I was trying to save you!”

 

Untuk alasan di atas, Hereditary tak-pelak adalah horor paling mengerikan di tahun 2018. A dark way to see this film: ini tetap adalah cerita kemenangan, untuk si Paimon, iblis yang menjadi tokoh jahat.

Tidak gampang menemukan formula yang seimbang antara tontonan mainstream dengan konsumsi festival. Hereditary adalah contoh langka yang berhasil melakukannya. Bermain di lingkungan mitos yang sudah lumrah; ada iblis dan sekte sesat, namun ditangani dengan seni dan idealisme yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Tragedi keluarga tentang ketakutan kehilangan anak diolah menjadi drama berbalut misteri yang dapat direlasikan oleh banyak orang. Ketakutan seperti demikian bisa menyerang siapa saja, bisa terjadi kepada siapa saja. Benar-benar mengeksploitasi ketegangan pada setiap adegannya. Penulisan yang menutup, karakterisasi yang terbangun dengan baik, sinematografi yang menghantarkan kita melihat momen-momen paling menyesakkan, scoring yang bergaung ke hati (aku tak pernah lupa sama suara permen karet itu!), dari segi teknis film ini benar-benar menginspirasi pembuat film amatir yang baru belajar seperti aku. Terlebih karena sutradara film ini juga baru, dan dia berhasil mengukukuhkan namanya dengan gemilang.

My Favorite Scene:
Hereditary punya momen-momen menyeramkan dan momen keren yang sama banyaknya. Dari Charlie motong kepala burung hingga kepalanya sendiri dapay giliran, dari momen Annie dengan Peter hingga ke Annie tak sengaja membakar suaminya, dari Peter mematahkan hidungnya sendiri hingga dia melihat orang-orang tua tak berbaju itu di rumahnya; semua seperti punya makna. Yang paling mengiris dalem buatku adalah reaksi Peter setelah ia membuat celaka adiknya. Dia berbaring di sana, setengah mengharap semuanya cuma mimpi, setengah menunggu teriakan dari ibu yang mengonfirmasi semua kejadian itu bukan mimpi. Begitu real dan begitu menginflict kita semua!

http://www.youtube.com/watch?v=K-wZKtKUoSI

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Aku senang penggalian terhadap cerita film semakin meluas yang berarti semakin banyak pembuat-pembuat film yang ingin bercerita alih-alih memenuhi kuota jualan. Menulis ini di bulan Januari, aku sudah menonton beberapa film tahun 2019, dan aku gembira menyadari tren cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ ini masih berlanjut. Apa kalian tahu film-film apa yang kumaksud?

Bagaimana dengan kalian, apa film 2018 yang menjadi favorit kalian?
Apa ada yang sama? Atau ada berapa banyak yang tidak tersebut?
Yuk ngobrol berbagi di komen.

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

MATA BATIN 2 Review

“If you are asking a favor, put the request in a positive light.”

 

 

Membuka mata batin, sehingga jadi punya indera keenam, tentu saja bisa menjadi anugerah ataupun musibah. Sisi baiknya adalah kita bisa melihat hantu. Merasakan keberadaan dunia gaib, membuat kita selalu dekat dan teringat dengan kematian – dengan dunia yang penuh dengan jeritan pertolongan dan dendam, dalam kaitannya dengan menumbuhkan rasa bersyukur. Sisi buruknya yaitu kita bisa melihat hantu. Bukanlah hal yang sehat, sepertinya, melihat makhluk-makhluk gaib di mana-mana. Seorang bisa menjadi kelewat stress, bahkan melupakan kehidupan dunia yang sebenarnya. Eh, ini kita lagi ngomongin dunia gaib apa dunia maya sih?

Anyway, dalam Mata Batin 2 kita melihat kelanjutan dari kisah Alia (Jessica Mila tampak semakin nyaman sebagai tokoh utama semesta horor nan gore) yang kini sama seperti adiknya, Abel, sudah mengembrace kekuatan melihat makhluk gaib yang mereka miliki (baca ulasan Mata Batin pertama di sini). Dalam narasi pembuka kita mendengar Alia mendedikasikan kemampuannya untuk menolong banyak makhluk. Namun, satu hantu yang masih terus mengikuti mereka ternyata membawa dua kakak-beradik ini kepada petaka; Abel meninggal dunia. Menyisakan misteri dan hari yang perih. “Kini saya hanya pantas di panti asuhan, tempat orang -orang yang tak punya”, begitu curhat Alia kepada Windu yang jadi semacam mentornya dalam ilmu permatabatinan. Maka Alia pun pindah dari rumahnya, bekerja sebagai pengasuh anak-anak di Panti Asuhan yang dikelola oleh pasangan suami istri yang diperankan oleh Sophia Latjuba dan Jeremy Thomas. Di sana, dengan cepat Alia bonded dengan satu anak panti yang bernama Nadia (tokoh Nabilah Ratna Ayu Azalia ini practically adalah pengganti sosok adik buat Alia), yang juga memiliki kemampuan Mata Batin. Alia dan Nadia lantas bekerja sama memecahkan misteri suara-suara minta tolong yang merambati dinding-dinding panti, misteri yang ternyata berkaitan, yang pada akhirnya membawa Alia kepada ketenangan atas peristiwa kematian adiknya.

Mandi diintipin oleh hantu adalah sebuah kutukan

 

Melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Alia untuk berkomunikasi dengan hantu, film ini mengekspansi peraturan yang sudah ditetapkan pada film pertamanya. Ini adalah perkembangan yang positif. Film mencoba mengembangkan mitologi, menggali sudut-sudut baru – ia membuka pandangan kita terhadap dunia gaibnya sehingga menjadi semakin luas. Alia di sini mempunyai skill baru, yakni psikometri – kemampuan untuk ‘mengexperience’ sejarah benda yang ia sentuh, yang menandakan Mata Batin yang ia miliki semakin kuat. Maka ada pertumbuhan yang kita rasakan dalam film ini. Secara karakter, Alia mengalami perkembangan dibandingkan dengan dirinya di film pertama. Begitu pula dengan dunia gaibnya, film ini kita akan dibawa menjelajah lebih dalam, lebih sering, seingatku belum ada film horor Indonesia yang membawa kita menyelam ke dalam dunia gaib sekompleks yang dilakukan oleh film ini.

Mata Batin untuk awal-awal misteri lebih banyak bersangkut paut dengan pendengaran daripada penglihatan Ini adalah salah satu cara film untuk menggambarkan perluasan yang mereka lakukan. Penambahan banyak tokoh baru turut memberikan banyak lapisan dalam aspek misteri yang berusaha dibangun oleh film ini. Setting tempat di panti asuhan anak-anak cewek membuka banyak ruang untuk adegan-adegan seram yang segar. Namun sayangnya film seperti bergerak di tempat. Semua pengembangan dan penambahan itu terasa jadi mentah oleh sebab penggunaan formula yang itu-itu saja. Aku tidak mempermasalahkan soal kaca pecah, sebab itu sudah dijadikan semacam signature seorang Ricky Soraya – kita harus respek juga ama usahanya melandaskan hal tersebut dalam setiap filmnya. Masalahnya adalah hampir tidak ada yang original dalam film ini. Masih bercerita dengan begitu-begitu saja; pengungkapannya, penyelesaiannya, bahkan twistnya. Dan ada banyak elemen yang dapat kita temukan dalam film lain. Nadia yang pinter ngesketsa, tampaknya menggambar sosok-sosok hantu itu sambil menonton American Horror Story. Boneka Hello Kitty berwarna pink yang tampak di salah satu ruangan mencerminkan film ini; Sebuah tiruan yang berusaha tampil beda.

Kita merasa sudah hapal dengan cerita yang dijabarkan; literally, dialog dalam film ini kebanyakan adalah eksposisi dalam usahanya mengembangkan peraturan-peraturan. Sehingga pada ujungnya, film tak lagi berhasil menyampaikan kejutan yang ia siapkan. Banyak penggunaan yang berlebihan sehingga menjadi monoton. Misalnya pergerakan kamera yang memutar. Ataupun juga banyak kita jumpai adegan orang berlari demi berusaha menyelamatkan orang yang terkurung ataupun menghilang, dan ketika ketemu orang tersebut lagi duduk meringkuk. Film bahkan kehilangan kekhususannya, sebab kekuatan mata batin tersebut – berkat kehadirat tokoh paranormal yang segala bisa – menjadi seperti diobral begitu saja. Percuma ada aturan ketika semuanya jadi digampangkan, tidak lagi terasa spesial ketika semua tokoh dapat dibukakan mata batinnya. Film seperti terlalu fokus berusaha menyimpan twist dan mengembangkan adegan dan role di dunia gaib, sehingga lupa dengan tokoh dan bagaimana kejadian seharusnya berjalan di dunia nyata.

matabatinception

 

Bangunan logika-dalam cerita sama konsistennya dengan bekas luka cakar pada dada Sophia Latjuba. Kejadian seram yang ditimpakan pada tokoh-tokohnya terasa tidak bergerak dalam aturan di dunia tempat mereka hidup. Aku menemukan sangat tidak masuk akal tidak ada yang menyadari luka tusukan pada mayat Abel. I mean, okelah Alia mungkin hanya melihat apa yang ia percayai – Alia percaya Abel diserang hantu, namun tidak adakah dokter ataupun polisi yang melihat luka di punggung cewek itu? Bagaimana mungkin kematian tidak wajar Abel – dalam ruangan dengan pintu tertutup – tidak diusut. Dan si Alia, oh ini buatku lucu banget. Aku sempat mengira film sengaja menarik perbandingan antara dunia nyata dengan dunia gaib, maksudku, di Penyelesaian kita melihat hantu pembuat onar dalam cerita ini ditangkap oleh ‘polisi dunia gaib’ dan dijebloskan ke dalam lubang neraka – hantu jahatnya mendapat hukuman. Sedangkan Alia, she got away dengan pembunuhan yang ia lakukan. Tidak ada reperkusi dalam tindakannya. Film mengabaikan aspek yang sebenarnya menarik jika digali, gimana Alia yang kesurupan membunuh pelaku yang tidak melawan – gimana kalo Alia sebenarnya tidak kesurupan? Aku hampir girang saat menjelang akhir beberapa adegan seperti mengarah ke sini, tapi ternyata tidak. Alia hidup bahagia seperti sedia kala walaupun dia sudah membunuh seorang pria.

Jika kita ingin minta tolong, mintalah dengan baik-baik. Jangan maksa. Kalo belum ada yang merespon, jangan marah. Apalagi sampai bunuh orang. Hantu dalam film ini merajalela lantaran kebenaran yang ia ungkap tidak mendapat reaksi sesuai yang ia inginkan. Bukan minta tolongnya yang membuat kita jadi kecil, melainkan ketidaksabaran dan kemarahan yang berujung pada dendam.

 

Kita bisa asumsikan semua polisi ataupun dokter di semesta film ini adalah lelaki, karena orang-orang tersebut bego. Sebab, salah satu kekonsistenan formula film Rocky ini adalah semua tokoh prianya either jahat, atau tidak kompeten. Tokoh Jeremy Thomas instantly diperkenalkan sebagai seorang douchebag; kerjaannya ngebengkel mobil dengan kaos berkerah V, bayangkan orang di dunia nyata yang melakukan itu. Semua jagoan di film ini adalah wanita, dan ini bukan karena ada pesan feminis atau semacam itu. Film memang hanya punya perhatian setengah-setengah. Dunia nyata tidak digali sedalam dunia gaib. Tokoh pria tidak mendapat perhatian sebesar tokoh wanita. Substansi film tidak diperhatikan sebanyak mereka mengusahakan gaya atau stylenya.

Namun kelemahan logika dalam film ini memang justru membuatnya jadi kocak. Adegan-adegan seperti Alia menanyakan kepada hantu di mana letak kunci meskipun dia tahu untuk menjawab “ya” atau “tidak” saja si hantu hanya sanggup mengetuk pintu, adegan dalam lima menit pertama yang tujuan satu-satunya adalah untuk fake jumpscare (Abel datang buka pintu mengagetkan kakaknya, untuk kemudian langsung pamit tidur), Alia yang kemana-mana mengantongi kalung senjata alih-alih memakainya saja, dan betapa seringnya para tokoh berpencar dan bergabung lagi sekenanya, memang mampu mengundang tawa kita. Memang, salah satu yang dipertahankan film ini dari film pertamanya adalah undertone elemen kocak yang dihadirkan. Dan sepertinya, film kedua ini mulai mengembrace kekonyolan yang mereka punya, kita akan melihat candaan beneran dalam adegan anak kecil yang menggerutu dikasih yoyo. Sama seperti Alia yang mengembrace kemampuan goibnya.

 

 

 

Bagus film ini berusaha mengembangkan mitologi dan peraturan yang sudah ditetapkan sebelumnya sembari mempertahankan kekhususannya, namun masih perlu banyak perbaikan dalam penulisan. Ataupun, jika memang tidak ingin dikembangkan ke arah yang lebih serius, film perlu untuk sepenuhnya komit ke elemen-elemen lebih konyol yang seringkali hadir dalam logika penceritaan mereka. Memang butuh nyali dan waktu, tapi meskipun film pertamanya bercerita dengan lebih rapi, film yang kedua ini sudah mulai berani mengembrace sisi humor sambil terus memperdalam sisi drama. Aku pribadi berharap jika ada film ketiga, mereka sudah benar-benar banting stir jadi konyol ala cult classic. Karena film kedua ini terasa seperti transisi. Saat menontonnya aku kadang merasa seolah film ini dibuat purely dengan tujuan mengganti satu tokoh dengan bintang lain.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MATA BATIN 2.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kalo punya mata batin, kalian mau (baca: berani) gak sih nolongin hantu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 

 

 

 

 

 

SUSPIRIA Review

“It’s not just men who wear the pants in the political realm”

 

 

Tarian, seperti halnya bentuk-bentuk seni yang lain, sejatinya adalah sebuah ilusi. Tidak cukup hanya dengan bergerak, kita disebut menari, melainkan juga harus melibatkan pikiran dan perasaan. Sebab pergerakan dalam tari-tarian meniru gerakan alam. Hewan, tumbuhan. Angin. Bahkan cahaya, semuanya bisa ditarikan ketika sang penari mengilusikan dirinya sebagai materi-materi tersebut. Menciptakan keindahan, keelokan, yang mampu menghanyutkan siapa pun yang mengapresiasinya. Ilusi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam seni menari. Akan butuh usaha, kekreatifan, dan keterampilan yang sama besarnya jika ada yang ingin memisahkan ilusi dengan tarian dengan cara yang membekas. Suspiria, horor remake yang ‘dikoreografi’ oleh sutradara Luca Guadagnino, berhasil melakukannya.

Suspiria vokal kepada keduanya, tari dan ilusi. Tapi tidak pernah tampak indah dan memukau. Bukan juga menyeramkan. Mereka seperti tidak berjalan beriringan. Melainkan meninggalkan perasaan diskoneksi, sesuatu yang terentaskan, yang bakal terus merundung kita. Mengambil banyak nama-nama dari film originalnya, Suspiria kali ini tanpa tedeng aling-aling bercerita tentang sebuah akamedi tari di Jerman Barat yang merupakan kedok dari kelompok penyihir wanita. Tarian sebenarnya adalah ritual pengorbanan gadis-gadis muda untuk diambil alih tubuhnya oleh Markos, Ibu dari semua penyihir di sana. Tokoh utama kita, Susie (Dakota Johnson membawa shades of red ke dalam cerita) datang jauh-jauh dari Amerika untuk belajar tari di sana, langsung diajar oleh sosok yang ia kagumi. Tidak mengetahui apa yang terjadi – teman seakademinya menghilang, ada ruangan rahasia, dan penyihir-penyihir di sekitarnya – Susie yang berdeterminasi langsung diangkat menjadi penari utama dalam pagelaran terhebat di sana. Setelah menempuh banyak liukan, putaran, loncatan, dan pelintiran – baik cerita maupun naskah, Susie akhirnya menemukan purpose hidupnya yang sebenar-benarnya.

dan sebagaimana yang sering terdengar di radio pada background film, ini juga adalah cerita tentang perang Jerman

 

Setiap adegan menari dalam film ini akan membuat kita mengernyit. Masing-masing tampak lebih buas dari sebelumnya. Walaupun kita tidak menikmatinya, kita masih ingin terus melihat ada apa berikutnya. Begitu pun dengan misteri alias ilusi yang disajikan oleh film ini. Cerita tidak pernah benar-benar menutupi, tapi tetap saja kita dibuat menggaruk kepala olehnya. Dan terus ingin menyelami. Kita ingin menghubungkan titik-titik itu, namun tidak pernah benar-benar berada di dalam garis penghubung yang lurus. Suspiria adalah berhak menggenggam piagam Film Aneh, dan kalopun memang ada, aku yakin film ini akan mengenakan piagam tersebut dengan bangga. Bahkan menari berkeliling dengannya.

Film ini sesungguhnya punya tiga sudut pandang yang penting. Yang satu-satunya penghubung di antara ketiganya adalah ilusi aneh yang diciptakan oleh si pembuat film; yakni fakta bahwa pemeran ketiga tokoh/sudut tersebut adalah pemain yang sama. Beneran deh, aku kaget banget begitu mengetahui kalo tokoh Josef si dokter tua yang berusaha menyelamatkan para gadis, tokoh Madame Blanc si ketua pelatih tari, dan tokoh Mother Markos si ’emak’ para penyihir alam diperankan oleh satu orang; aktris Tilda Swinton (atau mungkin lebih dikenal sebagai suhunya Doctor Strange). Make up dan prostetik yang digunakan luar biasa sehingga dia bisa menjadi bapak-bapak, bisa menjadi manusia-tak-utuh, dengan sangat mengecoh. Bagian menariknya adalah ketiga tokoh yang ia perankan tidak diungkap punya kesamaan, ataupun ternyata adalah orang yang sama. Swinton benar-benar memainkan tiga tokoh yang berbeda yang lantas membuat kita bertanya-tanya, kenapa film melakukan hal tersebut? Pasti ada maksudnya, tentu akan lucu sekali kalo dilakukan hanya karena mereka malas nge-casting orang lain, kan.

Untuk menafsirkan hubungan-hubungan  dan maksud yang tak kelihatan pada film-film, khususnya film membingungkan seperti ini (and by that I mean; film-film nge-art yang kadang terlalu sok-serius sehingga jatohnya malah pretentious), kita perlu menilik unsur yang tak hadir dalam dunia cerita. Ketiga tokoh yang diperankan Swinton tadi bertindak sebagai pedoman ke mana kita harus melihat. Cukup jelas film ini didominasi oleh tokoh wanita. Akademi tari yang jadi panggung utama cerita itu sendiri adalah tempat untuk para wanita. Tidak ada cowok di dalamnya. Cowok yang nekat masuk, ataupun dipaksa masuk, ke sana hanyalah makhluk yang dipersalahkan. Dan ditertawakan. Film ingin memperlihatkan kontras antara suasana di dalam tempat wanita tersebut dengan keadaan negara di luar – Jerman lagi perang, digerakkan oleh para lelaki, sedangkan wanita di akademi matriarki hidup penuh kekeluargaan.

Namun bukan berarti tidak ada ‘perang’ di balik tembok berlapis kaca sana. Kita disuruh melihat kepada pemungutan suara yang dilakukan terhadap Markos dengan Blanc. Tetap ada persaingan, ternyata. Ada permainan kekuasaan. Ada perbedaan pandang antara Blanc yang mengkhawatirkan para penari sebab dia actually peduli sama seni menari, dengan Markos yang sebenarnya menipu mereka semua. Dia bukanlah dia yang ia katakan kepada semua penyihir bawahannya. Bahkan tarian dijadikan alat untuk saling menyerang dan menyakiti dalam kelas akademi mereka. Dan ketika semua konflik sudah seperti berakhir di penghujung cerita, kita melihat the real Mother Suspirium bertemu dengan Dokter Josef, apa yang terjadi dalam interaksi mereka? Tetap saja ada penindihan – ada kuasa yang meniadakan satu pihak yang lain. Dinamika power itu terus berlanjut tidak peduli apakah ada cowok atau tidak. Tidak jadi soal apakah ada yang ingin menghapusnya atau tidak.

Begitulah cara film ini mengatakan bahwa politik bukan hanya panggung para lelaki. Bahkan dalam sistem matriarki pun ada permainan kekuasaan. Ketika sudah berurusan dengan kuasa, dengan power, sungguh akan mudah terjebak ke dalam bentuk penyalahgunaan. Bahkan ketika kita berusaha untuk memperbaiki penyalahgunaan tersebut.

“let’s dance together, let’s party and turn off the lights”

 

Dengan pesan yang serius, dengan tokoh-tokoh yang bergantian dalam ‘sorot lampu’ (perlu aku ingatkan, ulasan ini sama sekali belum menyentuh sudut tokoh yang diperankan oleh Chloe Grace Moretz dan oleh Mia Goth), dengan segala keanehan termasuk struktur bercerita yang-tak-biasa, sebenarnya aku sendiri pun tidak tahu pasti kenapa aku semacam terobses sama film ini. Aku tidak yakin kenapa aku seperti begitu menikmati, padahal tidak – aku suka film aneh tapi aku gak bisa bilang aku suka Suspiria. Aku tidak bisa berdiri di belakang film yang tidak mengizinkan kita berada di dalam kepala tokoh utamanya. Arc Susie tidak terasa seperti ia ‘dapatkan’, yang membuat kita pun terasa seperti outsider dalam cerita. Namun tetap saja, menjelang ulasan ini aku tulis, aku sudah menonton film ini tiga kali. Aku tidak tahu mantra apa yang digunakan sehingga aku terus saja kepengen menonton.

 

 

 

Jika kalian menginginkan remake yang dibuat benar-benar berbeda, film ini adalah contoh pilihan tontonan yang tepat. Akan tetapi besar kemungkinan kalian akan kesusahan mencerna apa yang terjadi, kalian mungkin tidak akan menyukai – lantaran film dengan sengaja membuat dirinya sendiri sukar untuk disukai. Dan sementara itu, kejadian-kejadian tersebut tidak akan segera menghilang dari dalam benak kita semua. Karena pengalaman menyaksikannya lah yang dihujam dalam-dalam. Mempengaruhi kita meskipun kita sudah menolaknya. Film ini bisa saja tampil total mengerikan, seperti yang diperlihatkan oleh beberapa adegan mimpi dan sihir yang disturbing. Namun sutradara Guadagnino lebih memilih untuk menjerat kita dengan cerita yang bahkan kita tidak tahu pasti.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SUSPIRIA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian tindakan yang dilakukan Mother Suspirium di adegan paling akhir ini adalah tindakan yang benar, atau tindakan yang salah? Apakah dia benar-benar melakukan suatu perbaikan, katakanlah terhadap, sistem? Apa makna tarian Volk itu menurut kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GLASS Review

“You are what you believe yourself to be.”

 

 

Sembilan-belas tahun! Dengan waktu selama itu, Glass bisa saja adalah salah satu film bertema buku komik, yang paling ditunggu-tunggu oleh pecinta film dan nerd di seluruh. Termasuk. Dan ia bahkan bukan tipikal film superhero yang mengandalkan bak-bik-buk serta CGI. Kalian salah beli tiket kalo ngarepin aksi penuh ledakan dan monster-monster, dewa-dewa, alien, manusia berjubah beterbangan. Karena ini adalah buah pikiran M. Night Shyamalan, yang demen membengkokkan ekspektasi baja kita semua, lantas memecahkannya berkeping-keping, for better or worse. Malahan, dengan beraninya film terang-terangan menampilkan tulisan “A True Marvel”, seolah menantang gagasan kita mengenai apa sih ‘pahlawan super’ itu sebenarnya.

Alih-alih main fisik, sedari awal trilogi ini memfokuskan kepada kejiwaan manusia. Hampir tidak ada adegan aksi di Unbreakable (2000), malahan sebagian besar adalah tentang David Dunn yang harus ‘mengikhlaskan’ dirinya punya kekuatan tidak-bisa-terluka dan actually menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan orang banyak. Sebagai antagonis dari Dunn adalah Elijah Price yang menyebut dirinya sebagai Mr. Glass, penggemar – bahkan ahli – buku komik lantaran banyaknya waktu yang ia habiskan membaca sebagai ganti dirinya yang tidak boleh banyak bergerak karena kondisi tulang tubuhnya yang begitu rapuh. Twist yang dihadirkan oleh film pertama yang dielu-elukan sebagai masterpiece dari Shyamalan adalah bahwa ambisi villain, alias penjahat, tidak melulu menghancurkan superhero. Bahwa ada satu orang yang rela menimbulkan petaka bagi masyarakat hanya demi mencari, membangkitkan, superhero beneran. Ke-grounded-an elemen superhero dari dunia Unbreakable secara mengejutkan diteruskan ke Split (2016). Nobody saw this coming. Tidak ada yang menyangka Kevin yang punya dua-puluh-empat personalita berbeda itu hidup di universe yang sama dengan Dunn dan Mr. Glass. Hingga menit-menit terakhirnya, Split tampak seperti thriller membalut studi psikologis tentang manusia yang ‘kabur’ dari trauma mendalam ke dalam kepalanya, melahirkan identitas-identitas berbeda sebagai pertahanan. Jadi, ya, aku sudah tahu Glass juga bakalan lebih banyak ngobrolnya ketimbang berantem. Antisipasi memang sudah membuncah, pembahasan apa yang bakal diangkat oleh penutup trilogi ini; hal mind-blowing apa yang sudah dimatangkan Shyamalan begitu lama untuk kita semua.

Anya-Taylor Joy masih balita loh ketika Unbreakable tayang di bioskop

 

 

Babak pertama Glass sungguh-sungguh keren. Menakjubkan rasanya diperkenalkan kembali kepada Dunn; kita melihat seperti apa hidupnya setelah bertahun-tahun, gimana dia sekarang bekerja sama dengan anaknya. Dengan segera mereka menemukan tempat Kevin menyekap orang-orang yang ia culik, kemudian wow! aku tak menyangka bakal secepat itu melihat Dunn dan The Beast (identitas Kevin yang paling buas) adu kekuatan. Mereka berdua ketangkep oleh polisi dan diasingkan ke sebuah rumah sakit. Dunn, Kevin, dan juga Mr. Glass yang lumpuh dikarantina di dalam ruangan mereka masing-masing di sana.

Sampai di sini, film mengambil waktu untuk membawa kita menyelami pokok pikiran yang tema cerita. Buat beberapa penonton, babak kedua ini bisa berubah menjadi membosankan. Tetapi perbincangan mereka dengan dokter yang diperankan oleh aktris American Horror Story, Sarah Paulson, sebenarnya sangat menarik. Kita diperlihatkan pula banyak treatmen-treatmen filmmaking yang membuktikan bahwa Shyamalan memang tahu apa yang sedang ia buat. Dan tentu saja, akting dari pemain-pemain lain membuat mataku betah untuk menontonnya. Meskipun memang, kuakui, ada sedikit rasa “loh kok ke arah sini?” yang mengganjal saat bincang demi bincang itu bergulir. Bangunan cerita yang dipilih Shyamalan buat Glass toh lumayan aneh. Dua film sebelumnya dimanfaatkan untuk mengukuhkan semesta dunia cerita ini adalah dunia superhero. Namun babak kedua film ini, kita diperlihatkan ‘debat’ antara si dokter yang percaya apa yang dialami oleh Dunn, Glass, dan Kevin bukanlah kekuatan superhero melainkan kekuatan normal yang bisa dimiliki oleh semua orang. Si dokter berusaha meyakinkan mereka bahwa pikiran merekalah yang membuat mereka percaya penyakit mereka adalah anugrah yang luar biasa. Yang tercipta dari permasalahan ini terasa seperti antiklimaks dua film sebelumnya. Babak ketiga diisi oleh Shyamalan dengan banyak twist, yang masuk akal dan ditanam dengan properly, hanya saja kurang nendang, kalah jauh jika dibandingkan dengan twist dua film sebelumnya. Hal ini disebabkan karena kelokan-kelokan cerita pada Glass tidak benar-benar membawa kita ke ‘tempat’ yang baru.

Kita sanggup melakukan apa saja jika kita percaya mampu melakukannya. Kau adalah sesuatu yang kau percaya itu dirimu. Begitu kuatnya kekuatan pikiran. Orang lain tidak akan bisa menegasi  apa yang kau percaya sekalipun kepercayaan itu hanyalah sebuah fantasi. Glass mengaitkan hal ini dengan mitologi superhero dalam buku komik. Tokohnya percaya hal yang mereka baca di komik, bahwa komik punya landasan kebenaran yang dibuat berdasarkan pengalaman nyata. Komik dijadikan bukti keberadaan superhero, sehingga mereka yang punya sedikit kelebihan percaya mereka juga superhero. Di lain pihak, rasionalisasi bisa kita terapkan pada hal apapun begitu kita sudah percaya terhadap ‘lawan’ dari suatu hal. Yang menarik terutarakan oleh film ini adalah, justru orang yang paling tak percaya-lah yang sebenarnya paling mempercayai apa yang ingin ditentangnya.

Tidak ada pahlawan atau penjahat, semua itu bisa berganti dengan mudahnya. Yang ada hanya pikiran dan usaha kita terhadapnya.

 

jangan-jangan semua orang gila di RSJ sebenarnya adalah superhero dan kita semua bersalah udah menahan mereka

 

 

Meskipun film ini meninggalkan kesan yang kurang nendang dan praktisnya di bawah harapan banyak orang, bukan berarti tidak ada yang bisa kita nikmati selama durasi dua jam lebih tersebut. Malahan, film ini buatku loveable banget. Teknisnya memang tingkat super semua. Perspektif kita didesak oleh kamera yang seringkali mengambil posisi orang-pertama. Ini tidak akan menjadi masalah terutama jika yang kita lihat adalah Kevin alias The Horde. Melihat James McAvoy berganti peran dalam hitungan jentikan jari (atau dalam film ini literally on a flip of the switch) sudah merupakan anugerah tersendiri, yang membayar lunas tiket bioskop kita. Pindah-pindah persona dan gaya bicara seperti itu tampak sangat mudah dilakukan olehnya. Hubungan yang terjalin antara Kevin dengan Casey tampak manis sekaligus devastatingBruce Willis dan Samuel L. Jackson juga menyuguhkan permainan yang sama solidnya, meskipun peran mereka enggak begitu banyak bercakap. Aku suka gimana Shyamalan memberikan treatment warna kepada setiap kemunculan tiga tokoh ini. Dunn hampir selalu disertai dengan warna hijau yang melambangkan kehidupan yang dilindungi olehnya. Kevin dengan warna kuning dan pala botak membuatnya tampak seperti pendeta, yang kultus oleh agenda penyelamat versinya sendiri. Glass dengan warna ungu sebagai simbol yang diagungkan, royalti, karena dia percaya dialah ‘tuhan’ – pencipta dari superhero. “Bukan limited edition. Aku menulis origin story,” akunya dengan bangga. Dalam adegan interogasi, Shyamalan mendudukkan tiga tokoh ini di dalam ruangan pink untuk menunjukkan kepada kita kepercayaan mereka mulai memudar. Keraguan apakah mereka superhero atau cuma orang sakit mulai membesar.

Kebiasaannya membuat cerita twist menjadikan Shyamalan begitu peka terhadap detil-detil. Dengan cermat ia melandaskan banyak hal, menyisipkan informasi demi informasi. Membuat adegan flashback menjadi menyenangkan dengan perlakuan khusus yang begitu diperhatikan olehnya. Maka dari itu, aku jadi sedikit geram ketika ada beberapa aspek dalam cerita yang ‘luput’ olehnya; yang harusnya bisa dieksekusi dengan lebih masuk akal dan gak konyol. Seperti lampu-lampu di kamar Kevin; dia dijaga oleh lampu sorot yang dipasang di dekat pintu masuk supaya ketika ada apa-apa – Kevin memunculkan The Beast atau identitas lain yang berbahaya untuk melarikan diri – lampu otomatis menyala, menyilaukan mata, dan memaksa identitas berbahaya itu kembali masuk dan bertukar dengan identitas lain yang lebih ramah. Tentu, aspek ini memberikan kita momen-momen menakjubkan dari akting McAvoy, namun juga benar-benar bego. Kevin bisa dengan gampang meloloskan diri; dia cukup menutup mata, atau menyarungkan matanya ke pakaian atau sarung bantal ala film Bird Box (2018). Kenapa tidak sekalian aja mereka membuat semua ruangan berisi lampu seperti ruangan Dunn yang penuh oleh keran air.

Sama seperti Avengers: Infinity War (2018), Glass adalah cerita dengan banyak tokoh yang membuat kita bingung siapa tokoh utamanya. Dan sama mengejutkan seperti Infinity War yang ternyata adalah tentang kebenaran versi Thanos, film ini memang dibuat sebagai episode untuk Mr. Glass. Hanya saja tidak gampang membuat cerita di mana penjahatnya memegang kendali, terutama jika kau berniat untuk punya twist dalam ceritamu. Inilah sebabnya kenapa Dunn diberikan porsi yang sedikit, dia bahkan gak punya arc. Kevin Wendell Crumb terlihat lebih cocok sebagai tokoh utama – ia dimunculkan duluan, dia punya arc, porsinya lebih banyak – tapi dia pun tidak melakukan pilihan yang relevan dengan tema cerita. Semua penjahat butuh superhero, semua hal dalam film ini dilakukan oleh Mr. Glass. Twist sebenarnya dalam film ini adalah di mana tepatnya posisi Mr. Glass. Apa dia penjahat atau superhero. Dia protagonis atau antagonis. Dan cerita yang seperti ini hanya berani dilakukan oleh sutradara seperti Shyamalan yang enggak pernah betul-betul peduli terhadap angka box office.

 

 

 

 

Film ini adalah suplemen yang bergizi untuk penggemar komik superhero, terutama di masa-masa di mana cerita fantasi tentang pahlawan dan penjahat berlomba-lomba menghadirkan sudut pandang yang baru. Buat penggemar film pun ada begitu banyak yang bisa bikin jatuh hati dalam film ini. Sinematografi, akting, tema, treatment, film ini benar dibuat oleh orang yang punya visi. Meskipun visi itu kadang membuat kita kecele. Tak kalah banyaknya hal yang mestinya bisa dirapihkan oleh film ini, tapi film masih bekerja di dalam konteksnya. Twistnya – yang kurang nendang – tetap sebuah kelokan yang logis dan solid. Kita boleh jadi sedikit kecewa karena menunggu lama, tapi kita tidak perlu punya kekuatan super melenturkan tubuh, enggak perlu sebegitu long reachnya, untuk memaksa diri menyukai film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GLASS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Komik adalah media cerita yang paling sering diremehkan. Apa pendapat kalian tentang komik, dan cerita superhero secara universal?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PREMAN PENSIUN Review

“Gratitude is so gangster”

 

 

Sebagai manusia, kita suka melihat manusia lain mengembangkan diri mereka menjadi sesuatu yang lebih baik. Supaya kita bercermin, termotivasi. Itulah salah satu penyebab kita suka menonton film. Karena cerita-cerita dalam film biasanya menawarkan imajinasi seperti demikian; perjalanan hidup yang penuh perjuangan, orang-orang yang belajar mengenali dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dan dari sekian banyak film, yang paling laku selalu adalah cerita yang tokohnya mengalami progres; orang miskin yang jadi kaya, orang yang diremehkan menjadi juara, orang yang jomblo jadi punya pacar. Kita lebih tertarik kepada tokoh yang punya konflik dalam diri mereka. Cerita orang yang sempurna seumur hidup sudah barang tentu tak akan semenarik cerita maling yang terdesak kebutuhan.

Makanya serial televisi Preman Pensiun banyak diminati. Versi layar lebarnya pun di(ki)nanti-nanti oleh para penggemarnya. Film ini menawarkan premis yang sudah pasti langsung menarik bagi penonton, meskipun belum pernah menyaksikan serial televisinya. Berpusat kepada satu kelompok preman yang insaf, yang berusaha mencari makan dengan cara yang jujur – meninggalkan cara lama mereka yang brutal. Secara efektif, menit-menit pertama menyuplik adegan penutup dari serial televisinya – yang aku yakin para penggemarnya pasti akan merasakan desakan haru dan nostalgia berat di dalam dada – yang seketika melandaskan ‘misi’ apa yang harus diemban oleh tokoh utama kita. Kang Mus (satu lagi penampilan kocak, ekspresif, dan dalam level yang tidak meninggalkan emosi dan keseriusan disuguhkan oleh Epy Kusnandar) diamanatkan oleh pemimpin kelompok mereka yang sudah almarhum untuk menjadi penerus kepala preman, hanya saja kali ini dengan semboyan “Bisnis yang bagus, dan yang baik”. Kemudian kredit pembuka bergulir, dan kita dibawa ke tiga tahun ke depan. Melihat bagaimana legacy kelompok pensiunan preman mereka berkembang di bawah tangan Kang Mus.

biarkan informasi ini meresap sebentar; nama lengkap Kang Mus adalah Muslihat

 

Memenuhi jati diri sebagai komedi, Preman Pensiun hadir dengan kocak. Kita akan tergelak-gelak melihat sehari-hari bos preman berusaha mengurusi keluarga, berurusan dengan kenyataan putrinya yang sudah remaja sudah mulai pacaran – dengan cowok yang udah mahasiswa pula. Momen-momen lucu hadir dari Kang Mus yang memerintahkan anak-anak buahnya, yang kini ada yang bekerja jadi satpam mall, ada yang jualan kaos, bisnis jaket, jadi pawang kuda lumping, dan bantu-bantu di bisnis makanan tradisional kecimpring, untuk memata-matai sang putri yang lagi nge-date. Film tidak melupakan tanah tempat dirinya berpijak. Kita tidak hanya melihat tempat-tempat di Bandung dijadikan latar dan diakomodasikan ke dalam penceritaan serta komedi, kita juga akan mendengar, menghidupi budaya Sunda itu sendiri.

Kita diperlihatkan sudut pandang yang mungkin sudah pernah kita lihat di film-film mafia ataupun gangster buatan luar, akan tetapi tak-pelak menjadi segar karena kentalnya nuansa lokal. Sedikit banyaknya, dengan menonton film ini, kita bisa paham terhadap kode etik para preman yang bisa saja memang berlaku di sudut-sudut pasar. Dan itu bukan soal punya tato yang seragam. Menjadi preman adalah soal setia, soal berterimakasih, dan soal menghormati. Kita lihat mereka tidak saling mengganggu istri, keluarga, masing-masing. Mereka punya birokrasi alias tangga-kekuasaan sendiri. Kita melihat mereka tidak akan melanggar batasan-batasan yang tercipta dari ‘pangkat’ kepremanan mereka. Dan di akhir, kelas preman tersebut dimainkan ke dalam sebuah konflik yang tak disangka-sangka.

Jika ada yang bisa ditiru, maka itu adalah eratnya rasa persatuan di dalam geng mereka. Kang Mus masih terus memikirkan bekas anak-anak buahnya, karena menurutnya mereka sudah bagian dari keluarga dan tak ada istilah ‘bekas’ dalam sebuah keluarga. Eratnya hubungan keluarga sudah semestinya seerat yang diperlihatkan oleh preman-preman di film ini. Sebab keluarga sudah sama seperti satu tubuh; terluka satu, maka yang lain pun ikut merasakan derita.

 

Namun mungkin yang lebih tepatnya adalah, film menghadirkan konflik yang sukar untuk kita sangka. Karena pada dasarnya merupakan kelanjutan dari serial televisi yang terdiri dari nyaris empat-puluh episode (aku mungkin salah karena gak ngikutin sinetronnya), dengan begitu banyak tokoh dengan subplot masing-masing, film ini jadi punya tugas yang tak-kalah beratnya dengan Kang Mus. Film harus mampu dengan segera memperkenalkan para tokoh dan masalah-masalah lantaran film ini cukup bijak untuk tidak menyuruh kita-kita yang belum pernah menonton untuk maratonin serialnya. Maka mereka menggunakan editing berupa smash cut dan match cut yang membawa kita bertransisi begitu saja antaradegan para tokoh. Pertama-tama sih, teknik ini memang terasa menyenangkan. Kita melihat satu tokoh ditanyai oleh istrinya, bret jawaban atas pertanyaan itu kita saksikan datang dari tempat lain, dari percakapan tokoh lain sambil minum, dan bret kita pindah lagi ke gelas yang dipegang oleh tokoh yang berbeda di tempat yang lain pula. Konteks yang diseragamkan membuat kita menyaksikan banyak hal sekaligus tanpa kehilangan arah. Teknik tersebut dilakukan berulang-ulang. Buatku it was getting old fast. Malah membuat semakin susah untuk mengikuti cerita, karena tidak banyak waktu untuk berpegangan kepada satu karakter. Kebanyakan dari mereka jadi seperti tidak punya arc. Masalah-masalah itu jadi menumpuk dan hingga titik tengah film, kita belum dapat menyimpulkan ke mana arah cerita. Yang mana konflik utamanya? Apakah perihal peringatan seribu hari kematian pemimpin mereka terdahulu (sebagai cara film mendedikasikan diri buat almarhum Didi Petet), apakah tentang bisnis yang sepi, atau anak yang beranjak dewasa, atau masalah yang berantem di pasar baru.

atau mungkin ini masalah kenapa di Gedung Merdeka banyak setannya

 

Dengan konsep editing seperti demikian, terasa ada banyak yang tak terselesaikan. Sekadar berfungsi sebagai adegan sketsa. Ketika film berhenti melakukan konsep editingnya, cerita mulai dapat diikuti. Meskipun sedikit terlambat, tapi apa yang disuguhkan cerita sebagai puncak ternyata tergolong sangat berani. Aku suka dengan tipe cerita ‘kalah’ kayak film ini. Malahan, dua film pendek yang kukerjakan, dua-duanya berakhir dengan ‘kekalahan’ sang tokoh. Karena terkadang memang perlu untuk menampilkan kegagalan, supaya pesan yang ingin disampaikan bisa menjadi cambuk – supaya kita bercermin dan tak melakukan hal yang serupa. Hanya saja, yang harus digaris bawahi adalah cerita kegagalan baru hanya akan menarik jika diiringi oleh usaha. Kang Mus dalam Preman Pensiun, tidak diperlihatkan banyak berusaha melakukan sesuatu yang baik. Ada adegan repetitif Kang Mus yang lagi ngulet males bangun pagi di sofanya. Dia yang pemimpin tak banyak campur tangan ketika masalah merundung teman-temannya. Inovasi kecimpring pun tak diperlihatkan ia lakukan. Mengusung pesan yang sedikit kelam, herannya konklusi film ini tampak aneh. Seperti ada bagian resolusi yang terpotong. Film berakhir tepat di titik di mana Kang Mus musti berubah, memperbaiki sikapnya. Yang membuatku merasa nanggung; menohok kurang, arc pun tidak tertutup.

 

 

 

Keseluruhan film terasa seperti membangun ke momen benar-benar ‘pensiun’, akan tetapi cerita justru dihentikan saat karakter butuh untuk meredeem dirinya sendiri. Film ini benar-benar menonjolkan sisi komedi yang dipancing dari percakapan permainan kosa kata ala Kang Mus yang ‘pintar-pintar bodoh’, dan tingkah-tingkah para preman yang berusaha kerja baik dengan kemampuan yang mereka tahu. Namun mereka tidak pernah dibuat keluar dari dunia mereka. Preman-preman itu belum diharuskan terikat pada aturan di luar ‘kode’ mereka sendiri. Buatku, film yang bernapas Bandung memang terasa nanggung. Konsep editingnya tidak benar-benar bekerja efektif, meskipun memang diperlukan. But that’s just me. Para penggemar serialnya sepertinya bakal tersenyuh dan senang-senang maksimal menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PREMAN PENSIUN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian berurusan dengan preman? Menurut kalian apa yang membuat orang disebut sebagai preman?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017