THE FLORIDA PROJECT Review

“The most terrible poverty is loneliness and  the feeling of being unloved.”

 

 

 

Siapa sih yang bakal melirik motel kecil di pinggiran kota dalam perjalanan liburan ke taman hiburan berkawasan elit di jantung kotanya? Enggak ada. Palingan cuma turis yang budgetnya lagi ngencengin ikat pinggang, atau malah turis yang salah alamat. Atau turis yang kebelet doang.  Di tempat seperti itulah Moonee dan ibunya, Halley, tinggal. Bagi bocah enam tahun itu mungkin motel tiga lantai seperti Magic Castle memang terasa layaknya istana dunia fantasi sungguhan; sepanjang hari dia bermain bersama teman-temannya, riang, ceria, penuh curiosity. Bagi mata anak kecil, hal-hal biasa seperti berjalan ke gerai es krim ataupun main ke gedung terbengkalai, bisa menjelma menjadi sebuah petualangan luar biasa. Tapi bagi Halley, ibu muda yang bahkan masih sering bersikap sama kekanakannya, dinding ungu tempat pinggiran seperti Magic Castle adalah tempat berlindung. Dari apa? Dari kenyataan, setidaknya dari realita yang setiap akhir minggu mengetuk pintu kamar menagih uang sewa.

The Florida Project adalah jenis film yang selayang pandang tampak seolah tidak punya plot. Adegan-adegannya adalah keseharian Moonee dan Halley, bagaimana mereka menyintas hari yang panas dengan melakukan kegiatan biasa, seperti makan siang di kursi taman motel. Atau juga dengan tidak melakukan kegiatan biasa, seperti mereka tidak membayar makan siang tersebut sebab makanannya actually ‘diselundupkan’ keluar oleh teman yang bekerja di restoran. Pada dasarnya sih, kita akan mengikuti bocah bandel dan wanita yang lebih rajin merokok daripada nyari kerja ‘beneran’. Jadi, jita kalian gerah akan perangai orang-orang seperti mereka, atau bila tujuan kalian adalah tontonan yang lebih gede, mungkin kalian lebih suka untuk melewatkan film ini. Tapi aku menyarankan untuk mampir.  Amat sangat, malah. Penampilan aktingnya aja dulu; Brooklyn Prince yang jadi Moonee dan Bria Vinaite sebagai Halley yang bertato dan berambut biru menyuguhkan permainan yang luar biasa real dalam debut mereka di sini. Mereka membuat kita lupa sedang menonton film!

tips parenting simple; tanyakan anak Anda “What do you do now!?”

 

 

Menangkap secercah kenyataan dan memaparkannya, seni bercerita seperti demikianlah yang terus diasah oleh sutradara Sean Baker. Di bawah penanganannya, The Florida Project mekar menjadi kisah sederhana namun unik tentang sebuah pandangan enerjik dalam hidup yang penuh oleh pilihan-pilihan yang salah. Ada dua tone kontras yang ia mainkan di sini, dan wisely enough film menyediakan jembatan buat kita sehingga film tetap berimbang. Menceritakan masalah keuangan, tidak melulu harus banjir air mata. Bicara mengenai anak-anak, tidak senantiasa mesti senang-senang tak berarti.

Moonee tidak dibuat sebagai tokoh yang terlalu komikal. Yea, dia ngomong jorok. Benar, dia polos banget dan taunya main doang. Tapi tokoh ini diberikan sense. Dia diberikan bobot yang menapakkannya ke tanah; dia cuma mau bersama ibunya, dia benar-benar look up to her mother. Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya. Di film ini, buah itu tidak bisa untuk jauh dari pohonnya. Dalam konteks they just have each other, kita pun tidak pernah benar-benar melihat kelakuan Halley diromantisasi. Kita paham dia rela melakukan apapun demi putrinya. Bola konflik inilah yang pelan-pelan menggulung turun, dan membesar tanpa kita sadari. Kedua orang ini tidak bisa hidup terus seperti itu. Kehidupan Halley yang semakin mepet ke garis kriminal tentu akan memanen dampaknya, segera. Film tidak memberitahu kita masalah-masalah tersebut, melainkan memperlihatkan langsung lewat kegiatan para tokoh. Siap-siap saja, ketika gilirannya tiba – ketika klimaks itu terjadi, film juga tidak akan membuatnya terlalu dramatis ataupun sentimental. Tetapi niscaya kita akan terenyuh, sebab apa yang sudah ditanamkan dari awal tanpa kita sadari akan kembali, membuat babak akhir film ini sangat impactful.

Miskin itu adalah kalo kita enggak punya tempat tinggal, enggak punya makanan, enggak punya pakaian bersih. Miskin itu berarti kita enggak bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun sesungguhnya, kita barulah menjadi benar-benar miskin jika sudah tidak ada lagi yang menginginkan kita, tidak ada lagi orang yang mengasihi dan menjaga kita.

 

Anak seperti Moonee butuh bimbingan positif, atau bahkan figur seorang ayah, dan di sinilah tokoh Bobby yang diperankan dengan sangat meyakinkan oleh William Dafoe menunjukkan fungsinya. Bagi penyewa kamar motel, Bobby adalah bapak kos yang serbabisa. Dia memperbaiki barang, dia mengusir penjaja makanan liar, dia menjaga keamanan, dia menegakkan peraturan, dia menertibkan para penghuni yang melanggar aturan. Dan tentu saja bagi Halley, yang lantas diikuti oleh Moonee, Bobby adalah figur berwenang yang menyenangkan untuk dilawan. Dinamika hubungan mereka menciptakan suatu konflik yang sangat heartwarming. Aku bahkan berani bilang tokoh Bobby adalah hati pada film ini. Di paruh awal, kita melihat Bobby mengusir seorang pria predator yang mengincar anak-anak penghuni motel, kemudian pada menjelang akhir cerita lihatlah betapa bimbang penuh emosinya wajah Bobby ketika dia tidak bisa apa-apa selain diam dan membiarkan seorang anak kecil diambil untuk diserahkan kepada orangtua asuh. Komponen karakter Bobby ini begitu penting karena itulah yang dijadikan poin vokal oleh film.

Bahwa terkadang, bukan pilihan kitalah yang salah, melainkan hanya hidup yang mengganti pertanyaannya menjadi terlalu susah. Akan tetapi, sebagaimana rumah terbakar yang jadi hiburan oleh orang-orang terpinggir, semestinya akan selalu ada hal baik yang datang darinya.

 

adegan niup kipas angin itu benar-benar nostalgic buat sariawan di bibirku

 

 

 

Aku sudah berkali-kali mampir nonton film ini. Aku sangat terpesona sama karakter dan penceritaannya. Memang, film ini susah untuk direview, terutama aku tidak merasa film ini urgen banget untuk segera diulas. Jadi, aku mengulur-ulur waktu. Aku nonton lagi, dan lagi. Kalo kalian kebetulan sering nongkrong di kafe eskrim Warung Darurat akhir tahun kemaren, mungkin kalian bosen disuguhi film ini hampir setiap hari. Aku ingin mencari kekurangannya, tapi selalu gagal karena film ini totally menghangatkan  sekaligus benar-benar pengalaman menonton yang menyenangkan karena aspek real karakternya. Actually, aku banyak nerima permintaan untuk mengulas sehingga aku pikir aku tidak bisa menunda lebih lama lagi.

Oke, there is no overaching plots di sini, but still apa yang menunggu para tokoh di akhir cerita benar-benar adalah sesuatu yang menohok. Dan juga karena film ini tentang kehidupan sehari-hari, maka beberapa sekuen adegan akan terasa repetitif. Kalian tahu, kayak ketika Moonee kerap mandi sambil maen boneka dan radio menyala keras, like “Oke, kami mengerti apa yang ingin disampaikan” tapi film terus mengulang memperlihatkan kembali adegan yang sama. Aspek yang kayak gini ini bisa sedikit melepaskan kita dari cerita. Maksudku, buatku sendiri, aku jadi ada kesempatan berpikir, ‘mungkin kalo kita diperlihatkan sedikit backstory tokoh-tokohnya instead, durasi jadi lebih efektif terpakai’.

 

Di luar itu, aku enggak melihat ada masalah yang benar-benar mengganggu. Penampilan akting film ini sangat meyakinkan dan ekspresif. Ketika mendengar orang menyebut film ini adalah salah satu yang terbaik di tahun 2017, aku manggut-manggut menyetujui. Literally dan figuratively, film ini seperti versi yang lebih berwarna dari film Siti (Film Terbaik FFI 2015). Dia berkelit menghindar dari komikalisasi, menjauh dari romantisasi, serta tak pernah berniat untuk mendramatisir secara berlebihan. Tone yang dicapai sangat berimbang. Hanya butuh kepedulian, sebenarnya, untuk kita menonton film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE FLORIDA PROJECT

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PHANTOM THREAD Review

“..fashion has to do with ideas, the way we live,..”

 

 

Dunia fashion penuh dengan takhayul. Setidaknya begitu di tahun 1950. Gaun penganten aja, misalnya, banyak mitos yang dipercaya oleh orang-orang. Cewek-cewek muda takut menyentuhnya karena percaya mereka bakal susah nikah nanti. Para model ‘ngeri’ punya suami botak jika mereka memegang gaun penganten yang bukan milik sendiri. Yang bikin gaunnya, however, banyak yang mengaitkan superstitions sebagai bentuk dari kreativitas. Reynolds Woodcock, sebagai seorang yang eksentrik, mengakui dia lebih takut menikah ketimbang melihat orang-orang yang sudah mati menghantui dunia. Karena menikah membuatnya mendua; mendua dari kerjaannya merancang busana. Reynolds sudah membuat gaun sedari usia enam-belas tahun. Tepatnya semenjak dia membuatkan gaun untuk pernikahan kedua mendiang ibunya. Dan kini, dalam setiap hasil karyanya, Reynolds menyisipkan sedikit bagian personal dari si pemesan. Seperti dirinya yang menyulamkan rambut sang ibu ke antara benang-benang jas, sehingga dia bisa terus dekat dengan sosok yang sangat ia cintai itu.

Kedengaran sedikit creepy memang. Phantom Thread sesungguhnya adalah kisah cinta yang unik, dan yea, mengerikan. Latar belakang soal Reynolds dengan ibunya, soal ‘kepercayaan’ yang ia jadikan dasar kreativitas dalam berkarya, kita perlu untuk memahami semua itu supaya ketika film memperlihatkan actual romance yang jadi batang inti cerita, kita dapat mengerti apa yang dijadikan ‘taruhan’. Apa yang membuat hubungan antara kedua tokoh sentral, gejolak dan dinamika antara mereka, akan menjadi terang begitu kita dapat memilah di antara benang-benang siluman yang menyatukan cerita.

Nama belakang Reynolds yang dapat membuat Spongebob dan Patrick terbahak-bahak, benar-benar mencerminkan kepribadian sosialnya. Dia kaku. Dan dalam soal percintaan, dia lebih seperti mencari karyawan yang mengikuti perintahnya ketimbang mencari partner dalam berbagi kehidupan. Reynolds Woodcock (Daniel Day-Lewis sungguh fenomenal dalam peran terakhir dalam karir bintangfilmnya) boleh saja teliti dalam merajut benang, namun dia tampak enggak begitu banyak memperhatikan hubungan dengan pasangan. Reynolds bertemu dengan seorang wanita yang bernama Alma (pastilah kehormatan gede bagi Vickie Krieps beradu akting dengan Lewis, dan adalah kejutan bagi kita aktris ini bisa mengimbangi aktor kawakan tersebut). Pelayan kafe yang tampak canggung-canggung innocent itu pada awalnya tampak begitu menarik bagi Reynolds, malahan Alma boleh dikatakan menjadi muse, sumber inspirasi dari Reynold dalam membuat gaun. Eventually, mereka menjadi sepasang kekasih. Ketika mereka mulai hidup bersama, barulah kebiasaan serius Reynolds menjadi benturan kepada keinginan wanita seperti Alma. Alma ingin menyintai seutuhnya, taking care Reynolds, dan semacam menggenggam tangannya sepanjang waktu sementara Reynolds enggak memerlukan pasangan seintens demikian. Atau paling enggak, dia enggak pernah menampakkan kalo dia butuh perhatian dari Alma. Inilah yang menjadi konflik utama film Phantom Thread.

“Gaun bersulam sutera dia berikan dulu. Untuk apaaaahh, kalau, dia tak cintaa~~”

 

 

Untuk sebagian besar waktu dari durasi dua-jam, tidak benar-benar ada kejadian dalam film ini. Hanya ada sedikit sekuens yang terhimpun menjadi sesuatu yang gede. Itupun bergerak dalam ritme atau pace yang lambat. Jadi aku dapat mengerti jika beberapa orang akan merasa bosan menontonnya. Buatku, penulisan tokohnya yang membuat aku betah. Meskipun menggunakan gaya ‘satu tokoh diceritakan oleh tokoh yang lain’, film ini tetap mengolah para tokoh dengan bijak. Setiap tokoh sentral diberikan motivasi, mereka punya karakter yang bisa kita pegang – kita dukung karena kita dapat melihat apa yang menyebabkan mereka bertingkah laku demikian.

Reynolds lebih dari sekedar desainer fesyen, jelas dia sendiri memandang dirinya sebagai seorang seniman. Seorang seniman yang sangat serius, kalo boleh ditambahkan. Pagi-pagi dia akan duduk di meja makan mencatat ide-ide busana pada buku catatan kecil. Konsentrasinya penuh  tercurah di situ. Dan jika ada orang yang mengajaknya bicara, ataupun ada orang yang mengunyah dengan terlalu ‘berisik’, dia akan merasa terganggu dan lantas membentak orang tersebut. Bukan hanya soal seni, soal makanan pun Reynolds menuntut ketepatan yang sesuai dengan standar dirinya. Orang model begini yang dihadapi oleh Alma yang dengan tanpa dosa menawarkan kue buatannya kepada Reynolds. Pernah juga dia membawakan teh ke ruangan Reynolds, yang serta merta disambut dengan bentakan. “Tehmu memang udah keluar, interupsimu yang terus masuk di dalam mengganggu!” aku ngakak di adegan ini. Reynolds menyembunyikan kebutuhannya akan orang lain. Malahan dia lebih suka memperlakukan semua orang layaknya bidak catur, yang bisa ia gunakan kapan dia suka, dengan cara yang ia inginkan.

Entah itu perancang busana, ataupun pelukis, pematung, penulis, pembuat film, kita perlu untuk berhubungan dengan orang lain. Maksudku, setiap pekerja seni butuh untuk melakukan koneksi dengan teman, dengan pasangan, atau bahkan lebih baik lagi, dengan para fansnya. Untuk berbincang-bincang bertukar ide. Karena hanya dengan berinteraksilah ide dapat berkembang secara kreatif.

 

 

Ada satu sekuen yang aku harap kalian masih mampu membuka mata menonton, karena menurutku sekuen ini adalah salah satu bagian terbaik yang dipunya oleh film dalam rangka menunjukkan karakter para tokoh. Menjelang pertengahan, Reynolds diminta untuk membuatkan dress buat seorang wanita kaya yang hendak mengadakan jamuan pesta di rumahnya. Reynolds dan Alma diundang untuk hadir, dan di sana kita bisa melihat dari ekspresi Reynolds bahwa dia sesungguhnya enggak suka menyerahkan buah tangannya kepada wanita ini. Di depan mata, si wanita minum-minum dan teler sebelum akhirnya tepar masih berbalut busana buatan dirinya. Kita dapat melihat hal ini sangat mengganggu Reynolds, membuat ia geram. Tapi Reynolds tidak mau mengambil aksi karena dia lebih tidak suka lagi berinteraksi dengan orang. Alma lah yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu terhadap apa yang menurutnya bisa dibilang pelecehan terhadap karya seni tersebut.

Seperti melihat karya kita dijadikan bungkus gorengan

 

Ngomong-ngomong soal kreativitas, penulis sekaligus sutradara SEKALIGUS bertindak sebagai sinematografer Paul Thomas Anderson benar-benar mengambil resiko kreatif ketika dia mengikat cerita film ini. Babak terakhirnya dibuat sangat menusuk dengan seorang tokoh membuat sebuah keputusan terhadap suatu hal, dan sesungguhnya adegan itu merupaka pertaruhan yang gede. Aku gak mau spoiler berlebihan, aku hanya bisa bilang film ini literally menggunakan racun untuk menggambarkan relationship Alma dengan Reynolds yang beracun. In a way, hubungan tokoh film ini mirip sama tokoh The Shape of Water (2017), tapi Phantom Thread meninggalkan kesan yang sedikit lebih kelam, dengan konotasi hubungan yang lebih ke negatif. Kebayang gak gimana jika cerita cintamu lebih ‘ngeri’ daripada cinta manusia dengan makhluk monster haha

Film memang tidak pernah menjelaskan kenapa Alma bisa begitu cintanya kepada Reynolds, dan juga sebaliknya. Tidak ada yang menghalangi Alma untuk pergi dari rumah yang udah kayak kandang burung bagi dirinya secara mental tersebut. Tapi jika kita melihat kembali ke belakang, ke masa lalu Reynolds –seperti yang ia ceritakan kepada Alma, kita dapat melihat semuanya masuk akal. Semuanya terkonek. Kedua insan ini saling membutuhkan; mereka literally butuh yang lain untuk memenuhi kebutuhan inner mereka, tapi dihalangi oleh sikap Reynolds yang mendominasi. Pilihan ekstrimlah yang dijadikan jawaban.

Tidak jarang seorang yang sukses dan sangat precise dalam berkarya, punya hubungan cinta yang tidak benar-benar mulus. Malah sering berbanding terbalik. Karena cinta itu tidak bisa dipas-pasin. Cinta tidak bisa diprediksi awal dan akhirannya.

 

Hubungan pertama seorang pria adalah dengan ibunya. Dan eventually, hubungan masa kecil itu akan mempengaruhi hubungan asmaranya kelak dengan wanita lain. Beberapa pria akan mencari pasangan yang bersifat seperti ibunya. Namun terkadang ini malah ‘mengganggu’ lantaran agak sedikit enggak realistis mencari sosok yang serupa, kebanyakan hanya akan menjadi rintangan, membuat pria jadi banyak tuntutan. Beberapa lagi malah akan mencari yang berlawanan dengan ibunya. Karena mungkin ada trauma atau kejadian tragis. Bagi Reynolds, ibunya adalah personifikasi dari segala ketelitiannya dalam membuat busana. Busana pertama yang ia buat adalah untuk menyenangkan hati si ibu.  Dia harus memegang kendali, meskipun dia sadar dia juga butuh untuk ‘mengerem’ sedikit. Dia ingin diurusi. Untuk alasan itulah, Alma sangat penting baginya. Hanya Alma yang berani mengambil aksi yang actually berbuntut kepada terpenuhnya kebutuhan Reynolds untuk slow down. Hanya Alma yang tidak bisa ia kontrol. Aku enggak bilang hubungan seperti ini adalah hubungan yang sehat, tapi ini adalah satu-satunya yang bekerja buat mereka berdua. Dan ini efektif membuat cerita menjadi menarik.

 

 

 

 

Sebuah pandangan yang miris tentang bagaimana kepentingan memegang kendali membuat seorang seniman mengalami kesulitan dalam menerima orang lain, dalam memenuhi kebutuhan terdalamnya sendiri, serta dampaknya terhadap orang-orang yang mencintainya, yang benar-benar peduli dan mengasihinya. Penampilan di film ini luar biasa semua. Desain produksinya juga enggak maen-maen. Pacing yang lambat tentu dapat membuat panjangnya durasi benar-benar kerasa, tapi tidak akan mengurangi kualitas terbaiknya. Buatku, film ini seperti baju keren yang ukurannya kekecilan; aku akan berusaha diet supaya bisa memakainya.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for PHANTOM THREAD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

BUNDA: KISAH CINTA 2 KODI Review

“…at ease in your own shell.”

 

 

Uang menciptakan begitu banyak guncangan powerplay, meski kita lebih suka untuk enggak mengakuinya. Keluarga jaman sekarang bisa saja lebih terbuka soal istri yang ikutan bekerja mencari nafkah, dan bahkan punya penghasilan yang lebih gede dari suami, namun tetap saja tensi psikilogis itu tetap ada. Karena manusia secara naluriah makhluk yang kompetitif. Teratur, namun kompetitif. Dan lagi, kita sudah terbiasa dengan aturan ‘cowok berburu, cewek bebersih gua’ sejak jaman batu. Makanya ketika proyek Fahrul dicancel meninggalkan posisi penanggung jawab keuangan kosong, yang segera diambil alih sang istri – Ika , rumah tangga mereka mulai gonjang-ganjing.

Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi tidak malu-malu memperlihatkan keluarga yang harmonis bisa berubah menjadi enggak enak ketika powerplay itu keganggu. Namun demikian, film juga tidak gegabah mengajarkan mana yang lebih baik. Malahan, film ini dalam kapasitas drama keluarganya yang menghangatkan, akan menyentuh lembut pundak kita. Mengingatkan dengan halus apa yang membuat kita bekerja sedari awal – untuk kebahagiaan siapa. Apa yang terpenting dalam sebuah keluarga. Film ini juga bekerja dengan lumayan efektif dalam menginspirasi, bukan hanya ibu-ibu rumah tangga, melainkan juga bagi kita-kita yang pengen berusaha mandiri yang mungkin ragu-ragu, takut gagal, atau malah karena ada yang ngelarang. Aku memang baru mendengar nama Bunda Tika dan Keke Collectionnya dari film ini, tapi aku jadi lumayan tertarik mengikuti perkembangan bisnis konveksi pakaian muslim anak-anaknya, gimana dia membuat dan memasarkan produknya tersebut, lantaran film menggunakan beberapa layer dalam bercerita, dan actually punya konflik yang gampang direlasikan.

misalnya, setiap terima rapor aku juga selalu kena marah orangtua

 

Meskipun dinarasikan oleh tokoh Fahrul, namun tokoh utama film ini hampir terasa seperti Tika sebab memang tokoh wanita ini lebih menarik. Film cukup bijak dengan membuat tokoh yang diperankan Ario Bayu tersebut tidak completely kayak kertas kosong. Fahrul masih punya karakter, dia masih melakukan berbagai keputusan, kita diberikan kesempatan untuk masuk ke dalam kepalanya. Aku jadi bisa melihat kenapa Acha Septriasa tertarik untuk memainkan Bunda Tika; tokoh ini memang lumayan kompleks dan merupakan peran yang menantang karena Acha dituntut untuk bersikap intens, range emosinya benar-benar seketika bisa melompat jauh di sini.  Tika adalah pribadi yang sangat driven, kontras dengan suaminya yang lebih ke family man baek-baek. Konflik di awal cerita mungkin diniatkan untuk melandaskan, membuat kita memaklumi, kenapa Tika bisa bersikap begitu insecure  nyaris sepanjang waktu. Dia begitu ingin berhasil sehingga setiap tindak gak pede, setiap usaha yang gak maksimal, akan sangat mengganggu dirinya.

I do find it’s riveting. Alih-alih enggak konsisten, ketika Tika mengatakan kepada anak-anaknya mereka boleh sekolah sejauh apapun yang mereka mau, tetapi di lain pihak dia melarang kedua putri kecilnya tersebut untuk tidak membuka satu pintu di rumah mereka tanpa seizinnya. Aku juga mendapati bagaimana strategi bisnis andalan Tika adalah “Kita coba aja dulu” sebagai sesuatu yang optimis sekaligus sedikit lucu. Maksudku, mungkin ini karena diceritakan dari sudut pandang Fahrul, maka kita turut melihat tindak-tanduk Tika sebagai sesuatu yang kinda ekstrim. Kita enggak pernah benar-benar paham maksud hati wanita ini. Seperti ketika mereka lagi makan malam setelah malam sebelumnya salah satu anaknya melanggar larangan; membuat Tika marah besar. Si anak mencoba untuk meminta maaf, dan Tika bilang dengan senyum dia sudah lupa ada kejadian apa. Konteks cerita di titik ini membuat adegan tersebut punya arti mendua; apakah ini berarti Tika sudah memaafkan anaknya, atau dia hanya lagi girang aja tadi siang baru dapet projek di Jakarta Kids Fashion Week.

Salah satu elemen terbaik yang dipunya oleh film adalah gimana mereka menuliskan karakter anak Tika yang paling gede. Sayangnya elemen ini kurang mendapat pengembangan. Karakter anaknya masih sama seperti pada trope-trope drama keluarga kebanyakan; anak yang distant dengan ibunya. Menurutku film masih kurang pede meletakkan lebih banyak tugas emosi dan cerita kepada tokoh anak-anak. Padahal si anak ini udah punya sesuatu yang beda yang ia lakukan. Anak Tika ini suka ngumpet di kolong tempat tidur. Dia suka tiduran di bawah sana sambil menggambar keluarganya  pada papan ranjang di atas. Dia memelihara keong (atau umang-umang gede?) dalam toples yang ia beri label anggota keluarga yang lain. Anak ini sebenarnya menambah banyak kepada bobot cerita, aku ingin melihat bagaimana dia dealing with sikap mamanya lebih banyak, ingin melihat kebiasaan-kebiasaanya lebih sering. Dan actually keong – dan juga kereta api – punya peran yang penting. Padahal tadinya aku pikir bahwa keong itu cuma dijadikan lucu-lucuan, saat Fahrul dan Tika pertama kali ketemu di dalam kereta api, Fahrul just so happened membawa keong di dalam kantongnya. Ternyata aku salah. Keong menjadikan film ini unik.

malahan kupikir kostum yang mereka pakai di runway ntar bakal mirip rumah keong haha

 

 

Bisa dibilang film menggunakan keong sebagai metafora buat para tokoh sentral. Tika menyangka dia adalah keong yang diberikan rumah. Di pihak lain, tanpa disadarinya, Tika adalah rumah keong terindah bagi anak-anak dan suami ‘keong’nya. Dan di akhir cerita keong-keong itu pulang ke rumah mereka masing-masing. Begitu juga dengan kita; punya ‘rumah personal sendiri’ tempat kita berpulang, berlindung, berkasih sayang. Ini bukan lagi semata tentang membangun rumah, melainkan bagaimana cara pulang ke sana.

 

Dalam film ini kita akan melihat gimana Tika berbagi tugas dengan ibu-ibu yang lain dalam menyelesaikan pesenan. Dan unfortunately seperti itu jugalah penulisan film ini terasa. Kayak para penulisnya dibagikan bagian masing-masing, terus baru digabung begitu saja. Tentu saja ‘tuduhan’ku ini juga menyasar kepada editing yang menurutku tidak benar-benar berhasil mengantarkan cerita dengan flow yang maksimal. Terutama di paruh awal. Terasa seperti kita diloncat-loncat ke bagian yang ada konfliknya, hanya untuk menunjukkan konflik itu ada, tanpa dibuild up ataupun juga diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Ada bagian ketika Tika yang baru mulai usaha diminta menyelesaikan 1000 baju dalam seminggu; ini konflik, kita diperlihatkan, namun penyelesaiannya dihajar dengan menggunakan montase. Seharusnya adegan Tika bonding dengan ibu-ibu yang lain, bagaimana mereka mencari orang, mengusahakan misi ala Roro Jonggrang ini, dilakukan dengan lebih on-the-point. Tone cerita di sepuluh menit pertama juga tercampur tidak rata; kita dilihatkan animasi lucu  dengan suasana ceria, untuk kemudian dilanjut ke konflik gede yang actually crucial untuk cerita, dan aku seperti “whoaaa, tunggu dulu, aku belum siap untuk peduli sama mereka”

Backstory di bagian awal tersebut juga kurang efektif dan mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi karena kita hanya diperlihatkan awal mereka ketemu, tanpa kita pernah benar-benar tahu mereka siapa. Tentu saja, bagus juga kita dibuat mengenal siapa karakter seiring waktu berjalan, tapi kalo dengan cara ini kita mendapatkan ada satu tokoh ujug-ujug muncul di babak akhir demi memancing elemen cemburu, pikirku sih baiknya diambil cara lain yang membuat konflik-konfliknya terasa gak kayak di-throw away, sekaligus mencari cara untuk penonton mengenal baik tokoh-tokohnya sedari awal.

 

 

 

Meskipun agak messy di paruh awal, film ini tetap bisa dijadikan pilihan tontonan ketika ngumpul bareng keluarga. Trope-trope drama sering membuat film ini kayak dibuat-buat, hanya saja keunikan metafora cerita membuatnya masih menarik untuk disaksikan. Aku juga suka gimana film ini berjuang membangun dunianya, mereka setia menggunakan kereta api walaupun beberapa adegan jadi sedikit mengangkat alis kita menanyakan ‘kenapa?’ Sedikit editing ataupun pemindahan letak adegan bisa mengimprove film ini. Aku juga enggak keberatan kalo durasinya dipanjangkan demi membuat hubungan antarkarakter lebih terflesh out, untuk membuat layer ceritanya lebih masak lagi. I mean, kalo Tika sanggup membuat lebih dari dua kodi, kenapa filmnya enggak bisa jadi lebih panjang dan berbobot, ya gak?
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars of 10 for BUNDA: KISAH CINTA 2 KODI

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE CLOVERFIELD PARADOX Review

“The second time you make it, it’s not mistake, it’s a choice.”

 

 

Planet sudah nyaris kehabisan sumber daya energi. Penguasa-penguasa minyak di dunia mulai insecure, mereka pun rebutan tetes-tetes terakhis emas hitam tersebut. Dunia sedang perang, Bumi sedang kritis. Teknologi berusaha menjawab masalah ini dengan mengirim beberapa orang ahli ke satelit luar angkasa, guna mengoperasikan accelerator partikel bertenaga tinggi. Entah bagaimana dengan menembak ruang angkasa dengan partikel tersebut bisa memberdayakan dan memperbarui kembali sumber energi di planet Bumi, kita enggak pernah tahu lantaran ada masalah yang lebih gede ketika hal keren itu dilakukan. Kali ini para astronotlah yang enggak menghiraukan, mereka sudah bekerja dua tahun untuk menyempurnakan accelerator. Waktu sudah semakin menipis dan boom!!! Mereka berhasil….. melenyapkan bumi entah kemana. Satu planet gede raib begitu saja, bayangkan. Ternyata benar saja, dimensi lain itu terbuka oleh gaya yang dihasilkan oleh energy accelerator. Mengirim mereka terbang menembus dunia yang satu lagi, sementara monster-monster entah dari mana bermunculan di Bumi tempat dua film Cloverfield sebelumnya terjadi.

kayak Rick dan Morty, hanya saja film ini lucunya enggak lucu.

 

Aku pikir semua orang pada kaget ujug-ujug film ini keluar nyaris barengan ama trailernya yang nongol di Superbowl. Tayangnya di Netflix pula, bukan lagi di bioskop. Aku enggak yakin apakah ini langkah desperate atau memang mereka mau ngasih kejutan, yang jelas ini adalah taktik marketing yang cerdas. Ini membuat banyak orang membicarakannya, membuat orang penasaran. Terlebih karena Cloverfield pertama (tayang tahun 2008) dengan sekuelnya; 10 Cloverfield Lane (2016) adalah seri yang begitu jauh berbeda. Saking uniknya udah kayak film yang enggak ada hubungannya. Film pertama adalah thriller tentang kota yang udah dikuasai monster, aku suka banget filmnya dengan efektif memakai footage sebagai gimmick untuk menambah keunknownan kita terhadap monster dan apa yang sebenarnya terjadi. Film kedua, aku eventually lebih suka ini kecuali bagian akhirnya, lebih sebagai confined-psikologikal thriller tentang cewek yang gak yakin apakah dia sedang diculik atau memang sedang diselamatkan. Baru saat babak terakhir, dan kemudian dipastikan saat endinglah, kita melihat keduanya bisa jadi adalah cerita yang berhubungan.

Film ketiga ini, seharusnya menjembatani dua film tersebut, atau paling tidak menjelaskan misteri apa yang sebenarnya terjadi kepada Bumi. Dari mana monster-monster itu. The Cloverfield Paradox bisa saja melanjutkan ‘tradisi’ cerita yang berbeda setiap sekuelnya, sebab yang kita dapat di sini adalah sebuah thriller tertutup di luar angkasa, namun sayangnya film ini justru membuat kita lebih bingung lagi dalam menyambungkan, dalam memahami, apa yang terjadi di semesta Cloverfield.

Meski begitu, film ini memang melaksanakan tugasnya. Kita berhasil dibuat memikirkan ulang kembali mengenai franchise ini setelah menontonnya. In some ways, film ini memberikan kemungkinan-kemungkinan baru terhadap pengembangan universenya. Namun di pihak lain, film juga melakukan hal-hal yang tampak ‘menghancurkan’ apa yang sudah dibangun. Paling tidak, untuk saat ini kelihatannya begitu. Now, jika kalian menonton film ini dengan enggak peduli atau malah mungkin enggak tahu bahwa ini adalah bagian dari suatu franchise,  kalian akan mendapati  The Cloverfield Paradox  sebagai thriller sederhana yang simpel tentang kru astronot yang satu persatu tewas. Ini bagus, film ini mampu berdiri sendiri sebagai sajian yang enjoyable. Enggak masuk akal, namun tak pelak menghibur. Akan tetapi, jika kita mencoba melihat gambar besar yang utuh, film ini benar-benar adalah sebuah paradoks.

Aspek dunia multidimensinya lah yang membuat hal menjadi unnecessarily ribet. Kita bisa kepikiran teori yang membangun film ini ataupun teori kenapa film ini jelek dengan sama banyaknya. Dan menurutku di situlah letak kekurangan film ini; ENGGAK JELAS. Padahal film ini sepertinya lumayan mengerti pijakan horor atau thriller yang bagus. Bahwasa ceritanya harus bisa menghantui tokohnya secara personal dengan ketakutan universal seperti rasa bersalah, kesepian, ketidaktahuan. Tokoh utama kita punya masa lalu yang tragis. Dia merasa bersalah atas kematian anak-anaknya, dia melakukan sesuatu (suatu hal yang bego) yang menyebabkan rumahnya terbakar. Pada inti setiap cerita horor yang baik selalu ada konflik bermakna yang dikaitkan dengan kejadian seram yang terjadi, yang menjelaskan kenapa hal tersebut menimpa si tokoh. Film ini, sepertinya dibuat oleh orang-orang yang gak tahu pasti mau bercerita apa. Masalah ketakutan personal tokoh utama tidak pernah benar-benar didukung oleh hal-hal ‘ekstraterestial’ yang mereka masukin ke dalam narasi. Sama sekali tidak ada penjelasan kenapa kita menyaksikan tokoh yang kehilangan lengan karena kesedot dinding, tapi dia gak merasa sakit – malah bercanda setelahnya. Tidak ada pemahaman kenapa kompas keren para kru hilang dan muncul di dalam dada teman mereka yang meninggal setelah tubuhnya mengeluarkan banyak cacing.

Setiap dari kita pasti enggak akan menolak jika dikasih kesempatan untuk balik memperbaiki kesalahan. Tapi, di dunia nyata, kita unlikely bakal dapat kesempatan kedua. Pelajaran yang bisa dikutip dari film ini adalah bukan dengan hidup tanpa membuat kesalahan sama sekali, melainkan kita harus belajar dari kesalahan tersebut sehingga kesalahan yang sama tidak terjadi dua kali.

Penjelasan yang ada sama enggak masuk akalnya

 

 

Alih-alih mengerikan, kejadian film ini jatohnya jadi konyol. Kita tidak pernah benar-benar peduli sama para tokoh, yang memang enggak mendapat karakterisasi yang memadai. Setiap kematian tidak terasa seperti kehilangan, apalagi kesedihan. Di antara semua hal-hal tak masuk akal yang mestinya ada kepentingan itu, film justru sempet-sempetnya masukin adegan eksposisi yang paling enggak dibutuhin; video seorang pengarang buku yang mengembangkan teori dimensi dunia mengungkapkan gelisahnya mengenai kemungkinan dua dimensi berbenturan. Tak pelak adegan ini menerangkan filmny sendiri dengan sangat gamblang. See, film ini bahkan tidak mengerti kapan ambigu itu harus diterapkan.

Ending film ini secara praktis membuat aku bingung dengan keseluruhan timeline franchise Cloverfield. Kita melihat monster yang sama dengan di ending film pertama, tetapi ukurannya jauh lebih besar. Adegan monster itu menembus awan sebenarnya cukup impresif jika konteks ceritanya kuat. Jadi apakah film ketiga ini merupakan awal dari film yang pertama? Apakah mereka bahkan ada di dunia yang sama? Di akhir film pertama, kita melihat runtuhan satelit jatuh sebagai awal dari kedatangan monster. Di film ketiga ini, however, satelit yang jatuh terjadi di Bumi yang Lain. Jadi tokoh film ketiga enggak hidup di tempat yang sama, dan kita bisa simpulkan monster di Bumi yang Lain berukuran lebih kecil – atau belum berkembang. Akhir film 10 Cloverfield Lane menunjukkan dunia sudah semacam diinvasi oleh Alien, jadi kemungkinan timeline film ini paling belakangan. Kesimpulanku adalah film ketiga terjadi duluan, diikuti oleh film pertama, dan kedua. Dengan film ketiga berada di dunia yang berbeda dengan film pertama, sedangkan film kedua masih abu-abu terjadi di mana. Masalahnya adalah, kita kerap dibawa balik ke tokoh suami protagonist yang tinggal di bumi, dan dia berkomunikasi dengan hape kekinian. Timeline ini begitu membingungkan buatku; film sepertinya sengaja mengaburkan penunjuk waktu sehingga kita enggak benar-benar tahu apa terjadi kapan kepada siapa, dan ini disengaja biar film masih bisa terus menelurkan cerita lain. Dan dengan dunia multi dimensi ini kemungkinannya akan nyaris tak terhingga.

 

 

Film ini masih bisa menyenangkan untuk ditonton, sensasi thrill dan terkurung di tempat tertutupnya cukup menguar meskipun karakternya tidak kita pedulikan. Ini juga adalah sebuah cerita yang cepet, kelihatan ingin menyumpelkan universe rumitnya ke dalam durasi yang mestinya bisa diperpanjang lagi demi narasi yang lebih kohesif. Namun pada akhirnya yang paling mengganggu adalah betapa malasnya aspek penceritaan dengan eksposisi yang salah tempat dan banyak hal konyol yang enggak masuk akal, malahan tampak dipaksakan. Paradoks yang ada ialah hal terbaik pada film ini bukanlah filmnya sendiri, melainkan promo marketingnya, dan sesungguhnya kita semua pasti akan lebih menikmati film yang ceritanya pinter dibandingkan film yang marketingnya keren.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE CLOVERFIELD PARADOX.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DOWNSIZING Review

“The real meaning of greedy is taking more than you give.”

 

 

Ketika para ilmuwan dalam drama komedi satir Downsizing berpikir mereka sudah mengatasi masalah lingkungan dan populasi di seluruh dunia dengan menyusutkan umat manusia, mereka tetap tidak bisa mengerdilkan pertanyaan besar yang digantungkan Tuhan di atas kita semua; kapan kiamat itu akan tiba. Dan dapatkah kita lari darinya.

 

Downsizing memulai ceritanya dengan sangat luas. Film ini menawarkan premis yang menarik saat kita melihat orang-orang berjas putih itu berhasil menemukan cara untuk memperkecil ukuran tubuh manusia. Sungguh sebuah prospek hidup yang sangat cerah. Karena dengan menjadi kecil, orang-orang akan butuh lebih sedikit makanan, minuman, dan bahkan perhiasan. Space tempat tinggal pun tentunya dapat ‘dihemat’. Lingkungan dapat lebih mudah dilestarikan. Paul Safranek melihatnya dari sisi ekonomi; dengan mengecil dia dan istrinya dapat tinggal di rumah mewah yang secara normal tidak bisa mereka beli. Cerita Downsizing pun menyusut saat kita mengikuti Paul yang akhirnya memutuskan untuk ikutan program LeisureLand; bersama sang istri dia akan pindah ke dunia Kecil. Dari masalah environment menjadi pandangan personal mengenai apa yang bisa kita lakukan untuk membantu sebagai makhluk yang berkomunitas, Downsizing mencoba untuk menantang pikiran dan imajinasi kita semua, hanya untuk mengerdilkan sendiri ceritanya.

apapun yang besar tentunya akan semakin besar kalo kita mengecil, apalagi masalah

 

Aku bisa terus menggunakan istilah mengecil, mengerucut, dan semacamnya untuk mendeskripsikan bagaimana perasaanku ketika menonton film ini. Maksudku, aku benar-benar kecewa lantaran film ini sebenarnya punya begitu banyak potensi. This movie could be much BIGGER than this. Babak pertama film sungguh menggugah minat dan imajinasi. Film bahkan dengan seksama menuntut kita melihat proses penyusutan manusia itu berlangsung. Begitu detilnya sehingga semua langkah sci-fi itu terlihat realistis, even plausible buat penonton yang kurang suka ngayal. Menurutku, film bisa aja dimulai dengan adegan di rumah sakit itu, kita melihat orang-orang dicukur, gigi mereka diperiksa, kemudian dibius sebelum dimasukkan ke dalam kamar khusus, semuanya teratur dan sangat metodikal. Dengan begini fokus kita akan langsung ke tokoh Paul, di mana kita melihatnya tersadar dan mendapati menunggu kedatangan istrinya.

Seperti film-film sci fi yang bagus, Downsizing awalnya membahas banyak untuk kita pikirkan mengenai sistem dunia yang sudah diubah oleh narasinya. Kita mengerti bahwa ‘orang-orang kecil’ itu enggak bisa berfungsi tanpa orang-orang normal, thus membagi dua kelompok orang ini pun tentunya punya pertimbangan sendiri. Film membuat proses downsizing tersebut punya ‘kekurangan’; beresiko kematian, punya syarat khusus, serta digambarkan ada golongan yang enggak setuju sama penciptaan teknologi ini. Kita lihat ada seorang pria di bar yang mengonfrontasi Paul dan istrinya soal keputusan pindah hidup sebagai manusia kecil. Paul sendiri bahkan mengalami suatu hal sehubungan dengan pandangan mengenai downsizing, aku gak akan bocorin kejadian lengkapnya, yang jelas adegan tersebut memisahkan Paul dengan istrinya selamanya,  karena menurutku adegan yang jadi plot poin pertama tersebut benar-benar kejutan yang menambah banyak bobot drama.

Paul menyangka dengan menjadi kecil, dia bisa hidup senang, sekaligus menjadi pahlawan. Begitu jugalah film ini berpikir. Dengan menjadikan tokoh utamanya kecil, film menyangka mereka punya alasan untuk melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sempat mereka bahas di babak awal. Nyatanya, kita tidak pernah menoleh ke sana lagi lantaran cerita sudah berubah mengenai kehidupan Paul di kehidupan barunya. Jika bukan karena prop dan desain produksi yang unik, seperti mahkota bunga ukuran asli yang jadi hiasan jambangan ataupun duit dolar ukuran normal yang dipajang di dinding sebagai hiasan, kita bisa saja sekalian melupakan Paul sudah menjadi makhluk liliput yang enggak imut. Di sinilah Downsizing menyeberang menjadi film sci-fi yang enggak bagus; kita kembali ke masalah basic dengan melupakan perubahan gede yang dilakukan oleh universe ceritanya.

from hero to zero cm

 

Film terlihat bersusah payah mengakomodasi cerita dan pesan sosial yang berusaha ia sampaikan. Kalolah boleh menunjuk, sekiranya kelemahan itu ada pada tokoh utamanya. Aku belum pernah melihat Matt Damon sedatar dan seboring ini dalam film komedi. Dia benar-benar menghidupkan tokohnya – dia melakukan apa yang disuruh oleh narasi. Dia mematuhi saja, sama seperti yang dilakukan oleh Paul. Tokoh Paul memang diniatkan terdiskonek dari kehidupan sekitarnya, karena dia begitu terpukul secara mental, namun cerita menuliskan seolah pilihan orang ini adalah siapa yang paling baik untuk dia ikuti.

Tokoh-tokoh di sekitar Paul tak pelak punya karakter yang lebih menarik. Tetangga Paul, seorang yang kebanyakan berpesta tapi bukan orang yang brengsek, misalnya. Dia mengajak Paul menikmati hidup, dialah yang pertama kali diikuti oleh Paul. Kemudian ada wanita dari Vietnam yang beberapa tahun lalu ngetop karena kabur dari penjara dengan bersembunyi dalam kotak TV. Paul bertemu dengan tokoh yang instantly mencuri perhatian ini, dan kita lihat gimana ‘kelemahan’ Paul – dia kinda stuck dengan si wanita. Kemudian Paul diberikan pilihan untuk mengikuti penemu teknologi mengecil itu sendiri ke dunia utopia. Mau tahu bagaimana cerita membuat Paul memutuskan pilihan final ini? Dengan seolah Paul malas berjalan kaki sebelas jam ke Utopia. Jadi, dia balik dan membuat keputusan yang benar. Film ini mengontraskan Paul yang ingin hidup nyaman dengan orang-orang yang actually berjuang untuk hidup, akan tetapi ada begitu banyak hal menarik lain sehingga membuat kita enggak pernah benar-benar peduli sama Paul. Bahkan aku lebih peduli sama istrinya; aku berharap bakal melihat Kristen Wiig lagi, tapi tokoh ini dimunculin lagi hingga akhir hayat film.

Metafora lingkungan pada film ini menyampaikan dengan subtil satu pandangan yang teruji; bahwa manusia adalah makhluk yang boros dan rakus. Ketika sumber daya menipis, solusi yang tampak lebih menarik buat kita adalah dengan menjadi mengecil yang berarti kebutuhan kita ikut mengerucut sehingga kita bisa menikmati sumber daya lebih lama. Ini bukanlah soal penghematan, melainkan hanya sebuah langkah untuk terus memperpanjang kesempatan. Rakus sebenarnya rakus adalah ketika kita mengambil lebih banyak dari yang kita beri.

 

 

 

Ada banyak alasan untuk menyukai film ini. Actually aku berusaha banget untuk suka. Dialog yang diucapkan tokohnya penuh oleh kesadaran. Humornya cerdas, satirnya bikin kita miris. Dunia film ini dibangun dengan kreatif, sense bertualang ke tempat yang baru juga turut hadir. Namun film ini menjauhi apa yang membuatnya begitu unik dan cerdas. Dari apa yang tadinya adalah mengubah dunia, berubah menjadi transformasi hidup seorang manusia yang tidak benar-benar menarik. Ini seperti kita melihat pusaran yang dinamik, kemudian dipaksa untuk melihat sesuatu yang berdiri diam di antara dinamika tersebut. Film ini salah memilih fokus. Dari sekian banyak hal menarik di sana, dunia yang penuh dengan tokoh-tokoh yang intriguing – dengan penampilan singkat dari banyak aktor pendukung yang juga lebih menarik – film ini malah menjadi cerita tentang reaksi manusia mencari apa yang terpenting dalam hidupnya yang hampa.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for DOWNSIZING.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HOAX Review

“Compartmentalization is the enemy of being human.”

 

 

Rumah dan Musim Hujan sebetulnya sudah lebih dulu tayang di festival-festival film pada tahun 2012. Ketika muncul beneran di bioskop tahun 2018 ini, ia berganti nama menjadi Hoax. Aku enggak tahu apa mereka melakukan reshoot atau diedit ulang atau semacamnya, ataukah film ini hanya berganti nama saja, namun buatku keputusan ini cukup aneh. Judul yang lama terdengar lebih misterius dibandingkan dengan Hoax yang terdengar begitu in-the-face, memaksa, sehingga appealingnya menjadi berkurang.

Naturally, kita biasanya akan menghindari berita-berita hoax. Semenarik apapun judulnya terbaca, berita tersebut tetaplah palsu. Akan tetapi, ketika aku bilang Hoax yang satu ini perlu dialami untuk penonton-penonton yang suka keanehan, maka kalian semua HARUS PERCAYA.

“Udah tau Hoax, kenapa masih ditonton?”

 

Adegan pembuka dengan efektif melandaskan mood cerita beserta hubungan antartokohnya. Di luar hujan deras. Kita melihat empat orang anak muda bernyanyi riang di meja makan, Bapak (Lando Simatupang jadi kepala keluarga yang entah sudah pelupa atau memang sengaja)lah yang memimpin permainan kecil-kecilan mereka. Jamuan buka puasa malam itu tampak spesial; karena si sulung Raga (kebagian jatah komedi, Tora Sudiro secara excellent menjadi enggak lucu) datang memperkenalkan pacar barunya. Semua tampak menyambut. Semua tampak ramah. Sedikit tensi yang kita lihat ada di antara Ragil (Vino G. Bastian tampak punya sesuatu yang dipendam) yang mencegah dengan pandangannya Ade (tampak paling insecure di sini adalah tokoh Tara Basro) yang pengen ngerokok di meja makan. Ini adalah pemandangan hangat yang diidamkan setiap keluarga. Sukma (tokoh Aulia Sarah memang diniatkan sedikit annoying) terang saja seketika merasa diterima, sampai-sampai dia enggak sadar nyanyian falesnya sudah membubarkan formasi mereka.

Kalian tahu, Ibuku paling males ngejadiin rumah sebagai tempat kumpul keluarga karena beliau enggak mau kami merasa kesepian saat tamu-tamu pada pulang nanti. Meskipun toh bakal ketemu lagi, tapi tetep aja perasaan ditinggalkan, actually merasakan dering keheningan setelah rumah yang lima menit lalu masih ramai, adalah sebuah perasaan yang bisa bikin depresi. Film Hoax tidak akan membiarkan kita ditinggalkan oleh para tokohnya. Kita tidak akan seperti meja makan dan furnitur sepi pada gambar-gambar diam itu.  Sutradara Ifa Isfansyah akan membawa kita mengikuti tiga bersaudara yang ‘berpencar’ setelah makan. Menguntiti mereka menerobos hujan menuju ke rumah masing-masing. Saat membeli tiket bioskop, kita berniat menonton satu film. Akan tetapi, dengan menonton Hoax, kita akan mendapatkan dua cerita ekstra, karena film ini juga BERLAGAK SEPERTI OMNIBUS; BERISI CERITA-CERITA DENGAN GENRE BERBEDA, yang disusun saling berseling membentuk gambar besar. Tentu saja, masih terikat dalam satu benang merah. Di mana editing film bekerja dengan sangat tepat membuat setiap cerita bergerak naik dengan paralel.

Yang dengan baik tergambarkan, terfasilitasi, oleh penceritaan dengan pengotakan tokoh seperti ini adalah bagaimana kita mengira keluarga yang mandiri terbentuk oleh terpisahnya setiap anggota secara emosional, tanpa perlu mencampuri urusan yang lainnya. Tiga tokoh sentral pada film ini, masing-masing mereka dihadapkan kepada konflik yang bervariasi – antara bahaya dan amat personal, tapi mereka tidak pernah meminta bantuan. Malahan ketika kita melihat mereka berkumpul kembali di meja makan itu, mereka berbohong, seolah tidak ada kejadian apa-apa. Jadi, untuk menjawab pertanyaan yang diajukan film di momen penutup itu; ya kita semua yang berbohong, karena kita ingin menunjukkan kekuatan. Namun sebenarnya itu justru tanda kelemahan sebagai manusia..

 

Setiap kali ada orang yang meminta kita untuk percaya kepadanya, maka orang tersebut patut kita curigai. Karena pemandangan demikianlah yang kita lihat terhampar pada film ini. Setelah menontonnya aku bisa memahami kenapa mereka kepikiran untuk memakai Hoax sebagai judul; karena cerita benar-benar menekankan kepada para tokoh yang ingin dipercaya oleh tokoh lain. Para tokoh film ini memohon untuk dipercaya. Elemen itu aja sudah cukup menarik bagiku, apalagi ditambah dengan kadang kita mendapat adegan yang aneh datang dari tokoh ingin dipercaya itu. Seperti misalnya ketika Raga menyuruh Sukma menyetir mobil dengan menutup mata, Sukma diminta menyetir dengan mendengarkan arahan sebagai bukti cewek itu percaya kepada Raga.

Eh pada belum ‘mandi’ kok udah sahur lagi aja?

 

Well, bukannya mau niruin MTV Rumah Gue, namun film memang akan membawa kita melihat rumah masing-masing tokoh berseling-selingan. Rumah yang pertama dan terutama sekali adalah rumah tempat adegan meja makan tadi; rumah masa kecil mereka bersama Bapak yang kini ditinggali bersama Ragil. Di dalam rumah ini kita akan melihat dua generasi yang berbeda, yang kontras. Ragil ngechat di komputer, sedangkan si Bapak nontonin kaset video lama. Ragil mengaji di ruang tamu, si Bapak main wayang di ruangan sebelahnya. Sekilas rumah ini tampak damai dengan satu-satunya masalah adalah genteng yang bocor. Namun actually, bobot drama datang paling kuat dari cerita ini. Interaksi realistis antara Bapak dengan Ragil, entah itu ketika Bapak meminta Ragil membuatkan catatan tentang bagaimana melakukan sesuatu seperti menyalakan komputer dan mematikan air atau ketika Bapak menunjukkan keberpihakannya kepada pacar lama Raga atau ketika Bapak menanyakan siapa pacar Ragil, menambah banyak kepada bobot cerita. Dan eventually akan berbuntut kepada kejutan yang menyibak ‘the true identity’ dari Ragil.

Bagian Ragil dengan Bapak ini tak pelak menjadi standar tone, karena it was done so well. Dan makanya, membuat dua rumah lain kadang tidak benar-benar tercampur sempurna dalam konteks tone. Rumah Raga berisikan komedi romansa antara Raga dan Sukma yang melibatkan hal yang tidak mereka inginkan. Raga menyuruh Sukma melakukan hal-hal konyol yang terlalu jauh untuk bisa dianggap serius. Aku suka beberapa aspek pada cerita bagian mereka, malah aku merasa terwakili oleh Raga yang suka baca majalah wanita – aku pembaca setia Gadis. Menurutku, bagian ini memang diniatkan sebagai aspek yang paling light-hearted karena bagian Raga ini juga adalah yang paling sering berfungsi sebagai pemberi eksposisi. Landasan universe cerita film ini terjelaskan lewat obrolan Raga dengan Sukma, jadi mereka memang perlu dibuat semenyenangkan mungkin biar gak bosen dan obvious banget ngasih petunjuk. Namun ketika muncul satu tokoh dari masalalu Raga, cerita  menjadi sedikit terlalu far-fetched.

Rumah yang menjadi favorit banyak orang pastilah rumahnya si Ade. Alih-alih rumah penuh kesederhanaan, ataupun rumah mentereng, kita dapat rumah yang gak jelas kecil atau gedenya karena lagi mati lampu. Ade tinggal dengan mama kandung mereka. Tone pada bagian ini, however, juga berentang terlalu luas, tapi aku yakin itu enggak menghentikan kita untuk merasuki setiap kengerian dan kepiluan yang dirasakan oleh Ade. Satu kejadian tragis dialami Ade dalam perjalanan pulang, dan ini seketika mengguncang psikologisnya. Minimnya cahaya dijadikan film sebagai penunjang untuk menceritakan psikologikal horor yang menjadi warna bagian ini. Aku gak mau bilang banyak, untuk bayangan saja, kejadian Ade bersama si mama mirip-mirip ama cerita horor di creepy pasta (Jajang C. Noer piawai juga mainkan peran yang mendua). Dengan bijak cerita mengaburkan apa yang sebenarnya terjadi, kita tidak pernah tahu pasti apakah yang dialami Ade di rumah itu benar-benar seperti kepercayaan si Bapak (film mengangkat mitos manusia punya saudara gaib dari kandungan sebagai lapisan horor), atau hanya karena kondisi jiwa Ade yang terganggu. Bahkan film enggak sepenuhnya terang mengenai apakah si Ibu benar-benar masih hidup sedari awal – bukan khayalan Ade. Satu lagi, mungkin aku salah, tapi ngeliat dari posisi kamar mandinya, rumah Raga dan rumah Ade kayaknya adalah satu rumah yang sama.

 

 

 

Adalah sebuah gaya bercerita yang unik yang dilakukan oleh Ifansyah untuk menyampaikan apapun pesan yang ingin ia sampaikan tentang keluarga dan kejujuran. Bagaimana setiap anggota punya pandangan dan tantangan berbeda. Film juga menggunakan agama sebagai lapisan untuk menambah bobot ke poin yang ingin disampaikan. Tapi kalo diibaratkan pendulum, film ini terlalu sering dan terlalu cepat berayun dari realita ke bagian surealis, membuat film tidak pernah bertahan terlalu lama di ranah terkuatnya. Kadang kita ingin cerita cepat berganti karena ada kelanjutan dari cerita rumah lain yang pengen kita lihat. Pengalaman aneh yang menyenangkan, actually, menonton ini. Jika ada satu hal yang kita percaya dari film ini, maka itu adalah kita harus membuktikan sendiri dahulu segala hal yang kita temui, karena everything seringkali tidak seperti kelihatannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HOAX.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

12 STRONG Review

“Spirit, that made those heroes dare to die…”

 

 

 

Dengan wajah berlumuran tanah Afghanistan yang hitam, Chris Hemsworth berlindung di balik puing-puing. Dia baru saja terjatuh dari kuda tunggangannya, yang sekarang pergi entah ke mana. Hemsworth tidak bisa mencemaskan itu sekarang, karena kesebelas pasukannya – kesebelas teman dekatnya – juga tidak ia tahu keadaan mereka bagaimana. Para Taliban yang selamat dari jatuhan bom dari pesawat, sedang melakukan serangan balasan secara tiba-tiba. Pasukan Amerika boleh saja menguasai udara, namun perang dimenangkan di darat. Dengan tank Taliban menyerbu balik. Pasukan sekutu kocar-kacir. Hemsworth menembaki pasukan musuh dengan marah. “Nah, kau punya Mata Pembunuh sekarang,” pemimpin pasukan Afghanistan yang jadi sekutu memujinya.

Ada banyak momen intens seperti demikian pada 12 Strong. Film perang garapan sutradara baru Nicolai Fuglsig ini paham betul cara menggambarkan tokoh protagonisnya sebagai pahlawan aksi. Adegan-adegan kuat yang merefleksikan perjuangan, yang membuktikan kehebatan juang dari pasukan pertama Amerika setelah peristiwa 9/11 itu akan membuat kita ikut merasa berdebar. Chris Hemsworth di sini memainkan tokoh yang beneran ada, dan dia sudah siap untuk semua aksi heroik tersebut. Dia adalah Nelson, seorang kapten yang belum pernah turun ke medan pertempuran. Namun kini, dia mengajukan diri untuk memimpin sebelas pasukannya ke tanah konflik di Afghanistan demi mengacaukan rencana teroris; menghambat pergerakan pasukan teror yang berencana menjadikan negara tersebut training ground sebagai semacam Hogswart buat teroris, kali’ . Dua belas orang ini adalah simbol perlawanan dan harapan kemanusiaan. Mereka, hanya berkuda saja, berjuang melawan tank baja. How cool is that? Dan ini nyata!

Kuda lawan tank, eng-ing-engg!

 

Secara mengejutkan,  meski memang fokus film ada pada ledakan dan aksi yang terlalu artificial, filmnya punya pengarakteran yang dangkal dan kebanyakan berangkat dari trope-trope usang film perang, sesungguhnya cerita punya daging yang membuat film ini lumayan menarik. Bagian terkuat cerita bukanlah pada saat tank-tank itu meledak, melainkan pada saat cerita membahas kemanusiaan dari perang. Di Afghanistan, pasukan Kapten Nelson dibantu oleh sepasukan pejuang lokal yang membenci Taliban, sekaligus juga gak menganggap Amerika  benar-benar sebagai teman. Jadi, Nelson harus berusaha menjalin komunikasi dengan mereka. Kalian tahu, mencoba mencari tahu apakah pasukan ini pantas dipercaya, mempelajari motif mereka, berusaha menyatukan dua kepentingan yang berbeda. “Hari ini kita teman. Besok bisa saja jadi musuh.” Begitulah persisnya situasi yang mereka hadapi. Jelas, ada perbedaan kebudayaan di antara kedua kubu yang bersekutu tersebut. Film menunjukkan ini lewat dialog antara Nelson dengan pemimpin pasukan sekutu, Abdul Rashid Dostum. Kita bisa lihat kedua orang ini belajar banyak dari masing-masing soal kepemimpinan. Soal motivasi perjuangan yang mereka lakukan. Soal perang.

Kata siapa mereka melakukannya karena berani mati? Nelson dan teman-teman, mereka ketakutan setengah mati. Mereka ingin pulang dengan selamat ke keluarga yang dicinta. Makanya mereka jadi berani. itulah yang membuat mereka menjadi begitu hebat. Reward mereka adalah kemenangan. Berbeda dengan pasukan Taliban yang tidak punya stake, karena bagi mereka reward mereka ada di saat setelah kematian. Kita justru akan membuat yang terbaik jika kita punya sesuatu yang ingin dipertahankan, jika ada suatu kehilangan yang kita takutkan.

 

Aku bisa memahami kesulitan yang diambil oleh film ini dalam menggambarkan bahaya. Maksudku, ini diangkat dari kisah nyata dan kita tahu apa yang terjadi, jadi ya akan sedikit ‘kebegoan’ yang kita rasakan ketika tembakan para Taliban itu enggak ada yang kena. Mereka dibikin udah kayak Stormtrooper demi kebenaran cerita. Tetapi pada akhir film, kita toh masih bisa menghargai perjuangan para tokoh. Kita masih melihat mereka sebagai pahlawan.  Ada juga beberapa adegan yang bikin kita ngeri akan keselamatan mereka. Dan kebanyakan hal tersebut datang dari pengorbanan para tokoh yang lain. Pemimpin pasukan Taliban dalam film ini, bandit gedenya, diperlihatkan sebagai benar-benar jahat. Pakaiannya aja udah hitam dari ujung kaki sampai ke turban. In fact, pertama kali kita melihatnya, orang ini sedang mengeksekusi mati seorang wanita di depan anak-anaknya. Apa dosa si wanita? Dia ngaajarin anak-anak ceweknya itu ilmu pengetahuan. Jadi, tidak banyak dilema moral yang dihadirkan. Tipikal pahlawan lawan penjahat. Orang yang sedikit ‘baper’ akan melihat film ini sebagai kehebatan Amerika melawan negara asing terbelakang. Orang yang kebanyakan main video game seperti aku akan menikmatinya sama seperti menikmati permainan video game yang seru dengan setiap adegan aksi sebagai stage yang harus dikalahkan oleh jagoan kita.

Pertanyaan moral tidak ditinggalkan sepenuhnya, meskipun juga tidak pernah benar-benar diangkat ke permukaan. Pasukan yang membantu Nelson itu, misalnya. Mereka membantu dengan agenda pribadi, kita diberikan pengetahuan tentang ada dua pasukan sekutu lain di Afghanistan, tapi mereka ini saling benci juga satu sama lain. Aspek ini hanya dijadikan latar saja lantaran kita tidak pernah tahu pasti apa yang sedang terjadi di negara tersebut. Kita tidak dibawa melihat ke dalam lingkup politiknya. Karena film ingin tampil ringan, maka ia mengenyampingkan elemen-elemen lebih gelap yang terkandung di dalam ceritanya. Seperti aspek ‘Mata Pembunuh’ yang kusebut di awal ulasan tadi. Kita tidak pernah benar-benar merasakan beban itu bergulat di dalam diri Nelson. Film perang yang baik akan menjadikan dilema moral tokoh utamanya sebagai fokus. Ambil contoh Full Metal Jacket (1987), tokoh utama film itu tadinya enggak mau membunuh anak-anak dan wanita. Di akhir film, justru dialah yang harus menarik pelatuk ke sniper remaja cewek Vietnam yang udah membunuhi teman-temannya. Konflik yang selaras sama perjalanannya memahami kematian merupakan salah satu jalan untuk mendapat kedamaian. Sebaliknya pada 12 Strong ini, perubahan yang Nelson alami; dari tentara menjadi pejuang, dari matanya gak memancarkan aura pembunuh menjadi punya tatapan nanar dengan keinginan untuk menghilangkan nyawa musuh, kita tidak betul-betul merasakan inner struggle dari ‘transformasi’  atau pembelajaran ini.

Dari yang ga pernah perang tau-tau jadi yang paling paham

 

Elemen yang menjadi pembeda cerita ini dengan cerita perang lain adalah gimana mereka berdua belas begitu ditekankan berperang dengan menunggang kuda. Tapi bahkan ‘gimmick’ ini pun tidak mendapat pengembangan yang berarti. Film gagal menggali stake atau bahaya dari aspek berkuda ini, padahal sudah ada build up kesebelas rekan tim Nelson tidak ada yang pernah berkuda sebelumnya. Hanya ada satu kali kesusahan naik kuda ini diperlihatkan sekilas, dan cuma satu orang yang eventually pinggangnya sakit kebanyakan menunggang kuda. Pada saat perang berlangsung, mereka udah kelihatan kayak joki paling profesional semua. Malah mungkin lebih jago mengingat terrain pegunungan berbatu dan ledakan bom di mana-mana. Dan tentu saja penggunaan kuda buat berperang itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menambah kedalaman cerita dengan menantang moral – yang mana sesuai konteks dengan Nelson yang gak mau ada pertumpahan darah – namun film sama sekali tidak menggubris soal ini.

 

 

Film perang, dulu, digunakan untuk ‘menyindir’ perang itu sendiri. Dibuat sebagai sentimen dari pesan-pesan antiperang dengan mempersembahkan dilema moral yang dialami para tokohnya. Sekarang, film perang kebanyakan dimanfaatkan selayaknya media iklan untuk mempropagandakan kehebatan militer tentara tertentu. Film garapan Fuglsig ini mencoba untuk menjadi film perang berjiwa old, yang sayangnya malah ditangani dengan nyaris tidak berjiwa. Film ini mestinya bisa menjadi lebih baik lagi, mungkin, apabila pembuatnya mau terjun riset ngobrol ama veteran-veteran perang ketimbang mencatat aksi-aksi seru pada film-film perang yang pernah dibuat sebelumnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for 12 STRONG.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE POST Review

“Information is the currency of democracy.”

 

 

Istimewanya demokrasi adalah pemerintahan yang ada didasarkan kepada keinginan publik, bukan kepada ketakutan akan penguasa. Dengan berdiri bukan pada kekuasaan inilah makanya setiap warga negara memiliki kesempatan mengambil bagian aktif dalam pemerintahan. Kita berhak ngomong, mempertanyakan, dan menuntut keterbukaan dari pemerintah. Makanya media atau pers yang kritis, yang hobi ngulik menginvestigasi, dan mampu berdiri tanpa ditebengi disebut sebagai sumber kehidupan dari sistem demokrasi apapun.

Kebebasan pers adalah benteng dari kemerdekaan berpendapat. Namun sistem ini pun menemui celah ketika pemerintah berusaha mengendalikan informasi dengan alasan media kebablasan, informasi yang dikabari enggak akurat. Menyebarkan kebencian. Berbahaya.

 

Aku paham bagaimana susahnya menahan diri untuk enggak segera mengambil tindakan ketika  kita punya sesuatu yang menurut kita begitu penting. Begitu menarik. Kayak waktu kecil, dibeliin mainan baru, aku langsung melejit keluar rumah untuk dipamerin ke teman-teman. Susah memang untuk nahan diri. Sehabis nonton aja kita suka gitu, kan. Ngerasa kita dapet sesuatu topik yang penting yang dibawa pulang dari bioskop– apalagi kalo nontonnya pas gala premier – kita langsung nyerocos di sosial media, sampe terkadang sering lupa diri untuk enggak terlalu spoiler. Makanya, ketergesaan Steven Spielberg mengangkat The Post ke tahap produksi mestinya dapat kita maklumi. Spielberg literally mengerjakan film ini nyaris tanpa perencaan lantaran memang naskah yang ada di tangannya itu memang sangat menarik. Begitu relevan dengan iklim politik negaranya. Hasilnya? The Post adalah sebuah tontonan yang akan mengingatkan kita bahwa dalam negara berdemokrasi yang harus dilindungi adalah rakyat. Bukan pemerintah.

Bebas tapi harus bertanggung jawab

 

The Post menceritakan peristiwa nyata yang bagi warga Amerika adalah sebuah pengungkapan yang sangat mengejutkan.  Sebuah skandal soal pemerintah yang ketahuan menutup-nutupi langkah yang mereka ambil sehubungan dengan Perang Vietnam. Empat Presiden Amerika diketahui berkata bohong; Enggak mendukung perang, tapi malah mengirim tentara tambahan. Enggak akan mencampuri urusan Asia, eh nyatanya mereka duluan menyerang Vietnam. Wartawan dari koran New York Times saat itu berhasil membobol keamanan Pentagon dan mendapatkan catatan tentang kejadian yang sebenarnya. Mereka mencetak berita laporan rahasia tersebut di koran, menyebabkan negara gempar. Presiden Nixon memutuskan untuk menuntut New York Times dan mereka akan menutup semua surat kabar karena penyebaran informasi yang tidak berbukti. Penerbit koran kecil milik ibu Kay Graham (Meryl Streep panteslah dapat nominasi atas perannya ini), Washington Post-lah yang actually punya bukti. Seseorang misterius menaruhnya begitu saja di meja redaksi. Membuat editor Ben Bradlee (suka deh ngeliat Tom Hanks penuh determinasi kayak gini) kontan bersemangat. Inilah bahasan yang mereka cari-cari. Akan tetapi, para reporter sudah dihadapkan dengan dilema. Apakah mereka akan tetap mempublikasikan, dapatkah mereka mencari keabsahan informasi yang mereka dapat, apakah ada cukup waktu untuk mencetaknya. Sekarang, nasib demokrasi negara berada di pundak mereka.

Meskipun kejadian Pentagon Papers itu terjadi tahun pada 70an silam, film ini benar-benar berdering kompak sama kejadian di masa sekarang. Aktris Meryl Streep bahkan sempat nambahin sindiran di akhir film dengan menyebutkan “Semoga aku gak harus melewati semua masalah ini lagi” yang actually diimprovisasi olehnya sendiri. Sebenarnya bukan semata di Amerika sih film ini akan terasa sangat relevan. Enggak cuman administrasi pemerintahan Trump saja yang saat ini demen menghardik media dan mencoba untuk mengendalikan arus informasi.Bukan tidak mungkin, film ini akan terus relevan hingga bertahun-tahun ke depan, yang mana adalah sebuah masa depan yang cukup horor kalo dibayangkan. Di negara kita sendiri juga arus informasi itu seringkali harus diatur, mana yang aman diketahui oleh publik, mana yang harus dirahasiakan. Hanya saja, sekarang keadaan semakin pelik dengan banyaknya hoax-hoax berkeliaran.

Tapi soal keberhasilan film ini untuk terus relevan tentu saja bergantung kepada keberhasilan Steven Spielberg dalam menangani ceritanya. Kuakui, jika ada sutradara yang kupercaya bisa bikin film buru-buru dan hasilnya tetap berkualitas, maka sutradara itu pastilah Spielberg. Dan Ridley Scott, apparently dia sudah membuktikan diri lewat All the Money in the World (2018) yang dirombak banyak menjelang tayang dan hasilnya tetep kinclong. Dalam kasus The Post, kita bisa merasakan sang sutradara juga sangat passionate sama cerita yang ingin disampaikan. Spielberg memilih untuk memfokuskan inti kepada masalah penerbitan koran, gimana susahnya mencari dan menerbitkan cerita tepat waktu. Film menunjukkan banyaknya kerja fisik yang diperlukan untuk mencetak satu edisi koran. Dan menurutku, aspek ini yang membuat film menjadi stand out, paling enggak membedakannya dengan Spotlight (2015) yang juga film tentang tantangan jurnalisme mengungkap berita. Fokus pada cara kerja penerbitan ini juga turut menambah bobot kepada tone realistis yang berusaha dibangun.

sepertinya sekarang kita butuh film tentang bisnis majalah yang sudah gulung tikar

 

Ada banyak adegan yang terasa seperti adegan khas Spielberg, kalian tahu, adegan di mana kamera mendekat perlahan kepada seorang tokoh saat si tokoh memberikan monolog ataupun pidato yang intens tentang kehidupan mereka yang inspirasional. Penampilan para pemain, hingga ke tokoh paling minor pun, semuanya bagaikan diarahkan untuk memenangkan penghargaan.

Enggak hingga paruh akhir kita baru merasakan efek sepenuhnya dari elemen dramatis film. Washington Post baru mendapat paper bukti itu pada midpoint, dan barulah pertanyaan menarik apakah mereka akan mempublish berita tersebut mengetahui resiko penjara yang menunggu, kelangsungan dunia pers, dan bahkan apakah waktu untuk semua itu cukup datang menggebu. Film memang menjadi exciting di bagian ini dan sangat terasa kontras dengan separuh bagian pertama di mana ceritanya tampak meraba-raba. Konflik dibangun di babak awal, bagian emosional yang kita temukan pada titik tersebut adalah soal tokoh Meryl Streep yang dikerdilkan diam-diam oleh para reporter karena dia adalah pemimpin cewek, dan di masa itu cewek dianggap kurang kompeten dibandingkan para pria. Mereka mencoba menggunakan kuasa mereka untuk membuat Graham membagi wewenang karena mereka merasa akan mampu membuat kinerja penerbitan menjadi lebih baik. Aspek cerita ini sebenarnya juga masih relevan dengan keadaan kekinian, ini juga adalah bagian yang lebih personal; Bagi Graham ini semua adalah soal pembuktian diri. Tapinya lagi, aspek cerita ini enggak benar-benar baru dan in fact, kita lebih tertarik untuk mengikuti peristiwa penerbitan cerita sebab drama jurnalis inilah yang membuat kita duduk menonton sedari awal.

 

 

 

Hal terbaik dari film ini adalah bagaimana dirinya sangat menarik dan relevan dibicarakan pada masa sekarang-sekarang ini. Sebuah proyek yang sangat penting bagi si pembuat untuk segera disampaikan. Yang mana cukup disayangkan jika saja dia mau untuk memperlambat pembuatan film ini sedikit lagi. Aku enggak bilang film ini dibuat dengan terlalu terburu-buru hingga tidak mencapai potensi sesungguhnya. Desain produksinya tetap kelas top, penampilan akting yang benar-benar kuat, cirri khas sutradara juga tetap hadir di sana, Namun memang, mestinya film ini bisa digarap dengan sedikit lebih baik lagi. Karakternya bisa dibikin lebih berdaging lagi jika naskah diberikan tambahan waktu untuk matang. Elemen drama yang harusnya bisa diaduk dengan lebih baik, karena film ini terasa kayak dua bagian di mana bagian yang terakhir tampak lebih menarik dan fokus ketimbang bagian awal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE POST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MOLLY’S GAME Review

“The most dangerous phrase in the English language is ‘be a man’”

 

 

Pernikahan adalah jebakan. Bermasyarakat adalah lelucon. Dan orang-orang? Molly Bloom enggak percaya sama orang. Tadinya Molly sendiri enggak mengerti, kenapa dia tumbuh sebagai seorang remaja yang begitu sinis. Sampai kejadian yang mengubah hidupnya jungkir balik itu terjadi. Molly tadinya sudah hampir menjuarai pertandingan ski. Sejak kecil dia sudah berlatih sehingga sukses mencapai kelas profesional. Molly bertanding untuk olimpiade, padahal dia punya masalah yang bukan main-main dengan tulang belakangnya. Eventually, Molly mengalami cedera serius. Molly selamat dari kematian, namun karirnya sebagai atlit ski profesional tamat sudah. Dia dapat kesempatan untuk memikirkan kembali seluruh hidupnya dan entah bagaimana, wanita ini jadi bekerja sebagai host permainan poker underground. Karena pekerjaannya tersebut, sekarang Molly dikenai tuduhan kriminal. Dan kemudian dia menulis buku yang isinya mengekpos dunia selebriti dan poker gelap yang ia geluti. Dan ini adalah kisah yang sangat aneh. Dan aku sengaja menyebut hal ini terakhir sebagai kejutan; kisah Molly Bloom ini adalah kisah nyata.

Mengepalai kisah hidup yang benar-benar aneh, penulis Aaron Sorkin membuktikan kebolehannya sebagai sutradara untuk pertama kali. Dia mengarahkan cerita dengan benar-benar kompeten. Kita akan dibawa mengikuti Molly dengan penceritaan yang detil. Film ini berisik oleh sekuen-sekuen dialog. Sebagian besar di antaranya adalah narasi voice-over oleh tokoh Molly. Biasanya penceritaan begini akan menurunkan nilai film, karena kita diberitahu poin cerita alih-alih diperlihatkan, namun Sorkin menemukan cara untuk memanfaatkan hal tersebut ke dalam cerita. Narasi voice-over dalam film ini tidak terasa seperti menyuapi kita dengan informasi sehingga menjadi membosankan. Malah, dua-setengah jam itu enggak terasa lantaran narasinya menarik. Beberapa momen memang tidak tampak menambah banyak buat cerita, melainkan justru memperlambat pace, tapi karena ditangani dengan memikatlah kita gak akan benar-benar mempermasalahkannya.

Terkadang, narasi membutuhkan banyak ekposisi, namun Sorkin melakukannya dengan cepat, dan dia memastikan kita benar-benar butuh informasi yang ia beberkan. Dalam adegan bermain poker, misalnya. Kita didudukkan pada tempat duduk yang sama dengan Molly. Dia mengobservasi permainan, kita diperkenalkan sama istilah-istilah permainan yang mungkin enggak semua penonton mengerti. Kemudian untuk adegan permainan selanjutnya kita tiba-tiba sudah mengerti psikologi di balik permainan tersebut, kita paham rintangan pada langkah yang diambil para tokoh yang sedang bermain poker. Di mana Molly pada poin ini? Dia sudah menjadi kepala penyelenggara permainan. Begitu tangkasnya alur mengalir, pace yang disajikan amat thrilling sehingga kita gak sadar sudah terlena mengikutinya. I mean, sepertinya aman untuk mengatakan penceritaan Sorkin membuat kita kecanduan sama kehidupan Molly yang luar biasa.

serius deh, cerita kayak gini sama normalnya dengan setiap kali main Poker kita dapat full house

 

Jessica Chastain pernah bermain dalam film yang buruk, namun sebagai aktris, Chastain tidak bisa menjadi sebuah aktor yang buruk – apapun perannya. Paling enggak, aku belum pernah nonton film yang jelek karena akting Chastain. Dalam Molly’s Game, dia bermain dengan sangat terrific. Karakternya sendiri sudah menarik sedari awal, dan bagaimana Chastain menghidupkannya membuat Molly mekar berkembang menjadi peran yang hebat. Kalo ini sedang ngulas gulat, maka aku akan bilang Chastain punya mic skill yang dahsyat. Maksudku, setiap kalimat yang ia ucapkan terasa punya bobot, lengkap dengan emosi yang meyakinkan. Begitu compellingnya sehingga aku merasa kalolah dia menyeramahiku, Chastain’s Molly bisa menyebut semua pilihan-pilihan salah yang sudah kuambil sepanjang hidupku, dan aku akan melaksanakan semua nasehatnya tanpa argumen. That’s how convincing she was.

Sosok pahlawan bagi kebanyakan anak perempuan biasanya adalah bapaknya. Tapi bukan buat Molly. Sedari kecil, Molly enggak punya pahlawan, enggak punya tokoh panutan. Malahan, bisnis poker illegal yang ia lakukan, tanpa ia sadari, adalah perwujudan perlawanannya terhadap sang ayah. Sebagai cara bagi Molly untuk punya kontrol di atas pria-pria yang lebih berdaya.

 

Sorkin mengambil sebuah pertaruhan yang besar ketika ia mengembangkan kisah hidup Molly Bloom sebagai naskah film. Sebab ini adalah film yang stake ceritanya terlihat ngambang, gak jelas. Padahal setiap film harus punya stake yang terang sehingga penonton dapat terkonek dan peduli dengan protagonisnya. Materi yang dipunya Sorkin adalah seorang wanita yang sudah kehilangan segalanya. Tragedi di olimpiade itu adalah titik balik; Molly sudah kehilangan segalanya di awal cerita. Dan sebagaimana pepatah lama bilang, “saat kau ada di dasar, jalan yang ada hanya ke atas”. Tantangan dan resiko yang diambil oleh Sorkin sebagai penulis merangkap sutradara adalah dia harus memutar caranya gimana supaya kita peduli apakah nanti Molly bisa bebas atau hidup dalam penjara, sementara kita tahu dipenjara atau enggak sama sekali udah gak banyak bedanya bagi Molly. Bukan hidupnya, melainkan hanya reputasi yang jatoh kalo dia dipenjara. Jadi, perjalanan dalam film ini dibuat Sorkin sebagai somewhat psikologikal, perjalanan ke dalam diri yang dilakukan oleh Molly – dia harus mencari tahu pijakan moralnya sendiri, mencari tahu apa yang menyebabkan dirinya begitu tertarik menyambung hidup sebagai seorang host poker illegal.

Poker dan film punya satu kesamaan; ada taruhannya.

 

Kita akan eventually mengetahui lapisan terdalam yang memotivasi Molly. Tidak peduli betapa powerful dan berkuasanya pria di sekitar Molly, dirinya selalu bisa untuk mengambil kendali. Molly pinter, tegas, dan sudah terlatih untuk tidak terintimidasi.  Tentu, dia toh terscrew up juga oleh pria – dalam film kita melihat seorang seleb yang tadinya langganan permainan poker Molly malah ‘mengkhianati’ dengan almost literally pindah ke meja lain, tetapi Molly selalu siap berdiri dengan pinggangnya yang cedera. Actually, bagian akhir film yang mengungkap penjelasan ini, tentang keunggulan dan kelemahan karakter Molly, adalah bagian yang menurutku malah menyepelekan nilai penceritaan yang sudah dibangun oleh film di awal. Juga menurunkan kadar temanya yang soal bahwa wanita enggak kalah dari laki-laki.

Adegan yang dimaksud itu adalah ketika Molly yang sedang galau oleh banyaknya tuduhan kriminal dan sebagainya, berjalan gitu aja ke ring ice skating. Dia memutuskan untuk bermain sebentar, menyewa sepatu skate dengan menggadai sarung tangan Chanel, dan ketika dia bermain ice skating, seseorang memanggil namanya. “Molly!” Ia terjatuh. Di luar ring, ujug-ujug ada ayahnya. Adegan ini begitu konyol buatku, tadinya aku menyangka sosok si ayah itu hanya imajinasi Molly. Ayah (Kevin Costner memainkan seorang ayah sekaligus psikolog yang disiplin) selama ini bersikap tegas dalam mendidik dan melatih Molly. Beliau adalah tipe ayah yang akan kecewa padamu, meskipun kau sudah jadi juara kelas, hanya untuk terus memompa semangat juangmu. Jadi kupikir akan sangat emosional sekali bagi Molly mengingat sang ayah di tempat yang sudah lama ia tinggalkan, akan sangat masuk akal jika momen ini akan jadi momen penyadaran bagi Molly. Tapi ternyata film malah membuat si Ayah benar-benar ada di sana; faktor kebetulan berusaha mereka tutupi dengan menyebut Ayah tahu Molly ada di mana dari Ibunya, meskipun asumsi yang kita dapat dari konteks adegan sebelumnya adalah Molly enggak pernah exactly mutusin akan ke ice skate – dia hanya berjalan ke arah sana. Ayahlah yang mengungkapkan apa yang selama ini jadi kelemahan Molly, apa yang membuatnya getol bikin poker gelap, darimana motivasi Molly berasal. Sesungguhnya ini semua berlawanan dengan aspek karakter dan cerita yang sudah dibangun, kenapa Molly yang mandiri dan pintar harus dijelaskan tentang dirinya sendiri oleh pria yang selama ini ia antagoniskan?

Bahkan lebih aneh lagi jika kita sambungkan konteksnya dengan adegan sebelum ice skating itu berlangsung. Sebuah adegan yang merupakan titik balik dari hubungan Molly dengan pengacaranya. Di adegan ini Idris Elba melakukan monolog menakjubkan tentang bagaimana selama ini dia salah menilai Molly. Bahwa Molly lebih dari sekedar “Poker Princess”. Basically, Elba bilang kepada kita semua bahwa inilah saatnya kita sadar tentang kebaikan Molly dan segera mendukungnya. Hanya karena dia membuat kesalahan, bukan berarti Molly adalah penjahat. Jadi, aku mengerti supaya arc Molly beres, dia kudu bisa melihat koneksi dirinya dengan sang ayah. Hanya saja, membungkus arc yang demikian dengan dia mendapat penjelasan dari si ayah benar-benar melemahkan karakter Molly sendiri.

Semua pemain poker dalam film ini adalah pria-pria kaya, terkenal, punya jabatan. Dan kebanyakan mereka jatuh bangkrut akibat ulah sendiri. Molly yang dibesarkan supaya setangguh laki-laki kecanduan untuk mengontrol mereka, dan pada gilirannya Molly juga dijatuhkan oleh pria-pria yang bahkan nama mereka enggak berani diungkap oleh Molly dalam bukunya. Molly bermain sebagai pria jantan, tapi permainan itu bubar dengan cepat. Film ini mengeksplorasi tentang betapa kemaskulinan dapat menjadi racun bukan hanya kepada pria, namun juga kepada wanita. Kepada society. Karena bagaimanapun juga, pria dan wanita tetap saling bergantung satu sama lain.

 

 

 

 

Debut sutradaranya ini membuktikan kekompetenan Aaron Sorkin sebagai pengarah cerita. Akan tetapi, penampilan akting, dialog yang memikat, dan fakta bahwa ini adalah kisah nyatalah yang membuatnya menjadi film yang spesial. Salah satu penulisan yang paling menarik di tahun 2017. Pacing film bisa terasa sangat lambat, pilihan yang diambil untuk menyelesaikan plotnya pun enggak benar-benar kartu as. Tapi yang diceritakan film ini sebenarnya penting untuk kita saksikan.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10  for MOLLY’S GAME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DILAN 1990 Review

“The last generation’s worst fears become the next one’s B-grade entertainment

 

 

Tidak hingga duduk di bioskop menonton Dilan 1990lah, aku baru menyadari bahwa tahun 1990 itu sudah begitu jauh tertinggal di belakang. I mean, kita lebih dekat ke 2030 ketimbang balik ke masa Dilan pacaran lewat telepon umum sama Milea. Bayangkan ini sejenak, pliss.. Ini bukan masalah aku merasa tua (dooo yang tua gak mau ngakuu), tetapi melihat apa yang Dilan dan Milea lakukan, kebiasaan-kebiasaan mereka sehari-hari, gaya pacaran mereka yang tampak ajaib dan sangat menarik bagi penonton remaja di dalam studio tadi, membuatku tersadar;

Memang perjuangan generasi lain terbukti adalah hiburan buat generasi sesudahnya.

 

Jika ditayangkan di era 90an, film ini pastilah laris manis sebagai kisah cinta yang juga manis. Tapi, bagi kita yang menontonnya di tahun 2018, Dilan 1990 adalah sebuah romansa remaja yang unik. Di sinilah letak kekuatan film; dirinya terlihat beda sekaligus masih relevan dengan kondisi kekinian. Dilan, Milea, orangtua, guru, dan teman-teman mereka terasa seperti orang-orang di sekitar kita. Apa yang mereka lakukanlah yang bakal menarik minat kita, terutama Dilan. Hal-hal kecil kayak kerupuk dan percakapan sepele dan terlihat gak-jelas mereka memang romantis in their own unique way. Sebagian besar penonton mungkin gak akan pernah mengalami rasanya deg-degan nelfon ke rumah gebetan dengan stake bokap yang galak bisa saja yang mengangkat telfon. Atau belum pada pernah kan nelpon gebetan tapi yang ngangkat malah pembantu yang gak kalah genitnya? haha… Belum lagi mempertaruhkan koin untuk membayar telpon umum. Film ini menggambarkan itu semua dengan sederhana, sehingga tak pelak menjadi kocak.

Kisah adaptasi novel ini dibuka dengan sosok Milea yang sudah dewasa mengetik di laptopnya. Dia menulis cerita semasa SMA, ketika dia pindah ke Bandung, dan menjadi murid baru. Cerita yang ditulis Milea inilah yang menjelma jadi tontonan kita. Milea yang cakep (Vanesha Prescilla tampak seperti gak berakting di debutnya ini) lantas jadi primadona baru. Banyak yang naksir. Terutama si Dilan (meski sempat diragukan penggemar novel, Iqbal Ramadhan menghidupkan tokohnya dengan cukup kompeten). Cowok anak geng motor ini punya cara yang paling berbeda dalam mendekati Milea. Dia mengaku peramal. Ramalan ngasal, hadiah-hadiah aneh,  dan kegigihan Dilan tampaknya memang cukup ampuh. Milea luluh. Dan kita dibuat terenyuh melihat akrab dan dekatnya mereka. Sedikit konflik yang dihadirkan film ini adalah ketika masa lalu Milea datang, begitupun saat dunia geng motor Dilan menyebrang di lalu lintas roman mereka.

easter egg menyenangkan buatku; Vanesha membaca Olga dan Sepatu Roda, dan kakak Vanesha – Sissy – pernah meranin Olga di serial tv~

 

Hampir mustahil untuk membenci film ini, it’s a very lighthearted teenage… um, aku mau bilang ‘teenage drama’ tapi sepertinya kurang tepat. Lantaran there’s hardly  any dramas presented here. Konflik dalam cerita muncul di akhir-akhir dan semacam datang gitu aja. Klimaksnya nyaris enggak ada. Ini tentu saja dapat jadi ‘meh’ buat sebagian penonton, terutama yang menginginkan tantangan dalam cerita. Buatku, Dilan 1990 berlalu begitu saja. Aku tidak merasakan apa-apa kepada film ini. Kecuali mungkin sedikit kebosanan. Aku gak tahu ke arah mana narasi berjalan. Bahkan hingga ke menit 100an pun, aku belum bisa meraba apa end game film ini. Maksudnya, KENAPA MILEA DEWASA MENCERITAKAN SEMUA ITU KEPADA KITA. Motivasi Milea ingin menceritakan tentang cowok yang mengiriminya TTS yang udah diisi – kenapa kita harus peduli tentang itu? Kenapa kita wajib tahu siapa yang mengajarin dia pentingnya mengucapkan selamat tidur setiap malam? Film sangat kurang dalam mengeksplorasi ini. Bukan tanpa tujuan, hanya saja tujuannya sangat enggak penting, enggak mencengkeram. Katakanlah, jika kita melihat pada saat dewasa mereka tidak bersama, atau eventually menikah, atau ada sesuatu yang terjadi kepada Dilan saat dewasa, film ini akan terasa terpenuhi. Tapi film tidak memberikan alasan untuk kita peduli kepada apa yang terjadi, alasan kenapa kita harus menonton semua ini selain materinya berasa dari novel yang sangat populer.

Sebagai karakter, Milea kayak kertas putih. Kertas yang bakal ditulisi oleh tokoh-tokoh lain.Milea nyaris tidak punya karakter sendiri. Kita tidak melihat siapa dia on the inside untuk setengah film. Aku mempertanyakan pilihan cerita ketika Milea dijadikan sektretaris tanpa alasan, padahal itu adalah waktu yang bagus untuk menunjukkan traits baik yang dimiliki oleh karakternya. Keputusan personal yang dibuat sendiri oleh Milea muncul di paruh akhir, ketika dia ngelarang Dilan ikut berantem dengan geng motor. Film harusnya berputar membahas ini lebih banyak. Ada satu sekuen yang menurutku akan menarik sekali jika ditarik konflik, yaitu saat Milea memutuskan untuk membereskan kamar Dilan. Ini merefleksikan Milea ingin ‘memperbaiki’ Dilan, dan menurutku gak bakal ada yang senang disuruh berubah, bahkan oleh pasangan. You don’t just go around fixing people stuff. Tapi nyatanya, sekuen ini hanya digunakan oleh narasi sebagai device Milea mengetahui puisi buatan Dilan.

Rindu itu berat. Kadang pelampiasan yang bisa kita usahakan hanya dengan menuliskannya. Hanya kenangan yang dipunya Milea.

 

Ada alasannya kenapa aku lebih suka baca Lupus dan Olga ketimbang membaca novel seperti Dilan. Dalam Lupus, kalimat romantis yang kita temui adalah semacam “Masih ada becak yang bakal mangkal”. Kedengarannya lebih akrab, dan lebih mungkin untuk diucapkan tanpa mengurangi maknanya. Mendengar bahasa Dilan kepada Milea, kadang terasa menggelikan. Dilan ini udah kayak Gusur digabung ama Boim kalo di novel Lupus. Dia enggak exactly tokoh yang menguar karisma karena film tidak pernah benar-benar adil dalam menyorotnya. Dilan menghajar guru karena leher bajunya ditarik. Dia tidak berasal dari keluarga broken home, seperti trope kebanyakan. Dari kutipan poster di kamarnya, kita dapat melihat motivasi kenapa Dilan bergabung dalam geng motor, kenapa dia bandel, tapi moral Dilan tidak pernah benar-benar convincing. Kita mestinya bersimpati padanya, tapi aku bahkan gak tau kenapa Dilan jatuh cinta kepada Milea.

Setiap Dilang ngomong, pengen nimpalin dengan “Eaaaa!” “Eaaaaa!”

 

Tidak ada layer di dalam cerita; sesungguhnya ini pun turut menjadi masalah pada film-film remaja lokal yang lain. Kebanyakan hanya tentang bad boy yang sebenarnya baek, pacaran ama cewek baek-baek (yang seringnya sih anak baru), lalu ada cinta segitiga, dan ada sobat cewek yang biasanya cupu dan naksir diem-diem. Ini trope usang yang selau dipake di romansa remaja film Indonesia. Menonton aspek ini setelah di dunia ada yang namanya Lady Bird (2017) adalah kemunduran yang nyata. Sebagian besar waktu, film tampak dibuat dengan kompeten. Mereka berusaha mewujudkan periode 1990 ke layar, dan seperti yang kubilang tadi aspek ini adalah yang menonjol baik dalam Dilan 1990. Di babak awal saja, konstruksi adegannya monoton; kita akan sering banget melihat adegan semacam Milea lagi diskusi atau ngobrol, kemudian datang distraksi dari Dilan entah itu dalam wujud surat atau memang hadir langsung, dan ditutup dengan Milea ngerasa canggung dan musik yang so sweet mengalun di latar. Juga ada adegan berantem, yang menurutku masih perlu banyak ‘dikerjain’ lagi. Kamera masih goyang gak jelas. Turut mengganggu pula beberapa penggunaan CGI, green-screen yang gak benar-benar diperlukan. Begitu pula halnya dengan penggunaan montase flashback yang memberikan sensasi manis yang palsu, dan merendahkan daya ingat penonton.

 

 

Kalo remaja mencari jati diri, maka film ini adalah remaja abadi yang terus mencari tanpa dirinya pernah tahu di mana pentingnya yang ia diceritakan. Romansa yang ditampilkan memang unik dan menyenangkan, banyak remaja akan suka film ini. Pemainnya pun kece-kece. Tapi film mestinya lebih dari sebuah pemandangan cinta. Aku gak membenci film ini, malahan aku bilang hampir mustahil ada yang nonton dan bilang benci. Selain bosan dan geli-geli, film ini tidak memberikanku apa-apa lagi karena poin narasinya tidak pernah membuat kita benar-benar peduli. Mungkin urgensi itu tertinggal di tahun 90an. Aku gak tahu. Aku bukan peramal.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DILAN 1990

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017