THE SUICIDE SQUAD Review

“Everyone in life has a purpose”

 

The Suicide Squad dibuka dengan sebuah swerve. Dan kemudian untuk menit-menit seterusnya, hingga durasi kelar, sutradara dan penulis naskah James Gunn benar-benar mendedikasikan seluruh urat bersenang-senang dan denyut kreatif yang ada dalam hati dan kepalanya untuk menjadikan film serupa wujud dari karakter-karakter di dalam ceritanya, yang bukan orang baik-baik. Karakter-karakter yang beberapa di antaranya bahkan gak cukup baik sebagai kriminal super. Tapi justru itulah poinnya. Film ini, juga bukan film baik-baik. Namun dengan mengembrace sisi ‘bad’ tersebut, Gunn berhasil mengerahkan ‘pasukannya’ ini untuk menyelesaikan misi yakni menghibur kita, para penontonnya, dengan aksi dan komedi yang benar-benar super.

Not-so-direct-sequel ini adalah kelanjutan cerita dari proyek kelompok rahasia ‘korbanin napi untuk membereskan kerjaan kotormu’ yang digagas oleh officer Amanda Waller (Mata bulat penuh rahasia Viola Davis kembali menghidupkan karakter ini). Kali ini dia punya tugas baru untuk para napi-super di dalam tahanan. Menghentikan Proyek Starfish yang misterius di Pulau Corto Maltese yang penuh oleh tentara musuh. Bloodsport (Idris Elba menggantikan Will Smith’s Deadshot) ditunjuk sebagai pemimpin – dari kelompok penjahatsuper yang aneh-aneh. Demi sang anak, Bloodsport yang mematikan dan cukup handal – dia dipenjarakan karena menembak Superman dengan peluru kryptonite – harus rela digabungin ama hewan yang ia benci, yakni tikus. Sebab tikus-tikus itu adalah ‘senjata andalan’ rekan setimnya, Ratcatcher 2 (karakter Daniela Melchior ini bersalah atas mencuri hati kita!) Supervillain lain yang dipaksakan kepada Bloodsport untuk rekan tim adalah Peacemaker (John Cena bilang karakternya adalah Captain America versi douchebag), seorang pria bersenjata polka dot (jangan ngetawain Polka-Dot Man yang dimainkan David Dasmaltchian dengan aneh-tapi-charming kayak Neil di serial komedi Inggris The Inbetweeners), dan seoran-ehm, seekor makhluk setengah hiu yang kekuatannya berupa nafsu untuk memangsa manusia (disuarakan oleh Sylvester Stallone). Oh ya, Harley Quinn yang udah semakin luwes oleh Margot Robbie juga akan bergabung bersama mereka di tengah misi, membawa lebih banyak chaos dan warna-warni.

Tim orang-orang gak beres tersebut harus patuh sama perintah Waller yang bisa meledakkan kepala mereka kapan saja dari jauh. Tapi kemudian pemahaman mereka ditantang oleh kenyataan yang mereka temukan tentang Proyek Starfish yang super fishy. Bloodsport dan rekan-rekan harus memilih apakah mereka memang orang jahat tak-berguna atau mereka bisa jadi pahlawan.

suicidemaxresdefault
Aku akan bilang kepada anak-anakku kelak, bahwa ini adalah geng Jackass

 

Tapi bukan tim Bloodsport-lah yang kita lihat pertama kali. Inilah swerve yang aku maksud di pembuka tadi. Demi pembuka yang gak boring kayak Suicide Squad tahun 2016, Gunn siap untuk melanggar banyak aturan. Gunn totally memperlihatkan kita karakter lain, membentuknya seolah itulah karakter utama, membuat dia tergabung ke dalam tim penjahat super yang kocak dan absurd, dan lantas meledakkan mereka semua begitu saja. Darah mereka dipakai untuk membentuk ejaan judul. Aku tahu, sebenarnya normal sebuah film punya sekuen prolog seperti demikian. Seperti Scream yang memperlihatkan aktor muda yang lagi naik daun kayak Drew Barrymore di awal, yang kemudian ternyata hanya untuk membunuhnya sebagai pengantar. Di The Suicide Squad ini, Gunn berniat untuk menyambut kita dengan gemilang. Langsung ke pusat chaos, absurd, dan stake bahwa karakter-karakternya di sini bukanlah tipikal protagonis film superhero yang biasa – mereka semua either adalah orang jago tapi jahat, atau orang jahat tapi bego, dan mereka semua bisa mati tanpa terkecuali. Gunn tahu sebenarnya dia cukup dengan memperlihatkan kegagalan tim pertama, tapi Gunn tidak gentar untuk melangkah lebih jauh. Insting kreatifnya membuat dia mengambil keputusan untuk menjadikan film ini juga ‘jahat’ – gak peduli sama aturan. Jadi Gunn lanjut dengan menanamkan kecohan ‘karakter utamanya ternyata bukan dia’ tersebut. Kecohan yang efektif dan menghibur, walaupun memang jika dipandang lewat lensa penulisan itu bukanlah hal yang benar.

Dan setelah pembuka itu, instantly aku tahu sedang berurusan dengan apa. Sebuah film aksi komedi yang bakalan ‘susah’ untuk dinilai. Di opening tersebut Gunn telah sukses memberi isyarat dan melandaskan kehebohan seperti apa yang ia incar. Film ini akan gagal jika Gunn tidak berhasil mengfollow up opening tersebut dengan semakin banyak dan semakin gila lagi aksi dan semua-semuanya. Yang juga berarti bahwa keberhasilan film ini ditentukan dengan seberapa banyak lagi Gunn berani untuk melakukan hal-hal yang ‘gak bener’ dalam bangunan filmnya. Jadi, dengan memahami itu semua, aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku akan menilai film ini hanya dengan sebagai hiburan, atau menilainya dari seberapa banyak kesalahan yang sengaja diambil. Kreativitas yang ditonjolkan oleh Gunn, alih-alih usaha untuk menjaga film tetap stay di jalur kebenaran, memberiku pilihan ketiga. Menilai film ini dari kreasi yang dilakukan Gunn dalam mengolah hal-hal ‘gak bener’ yang harus ia lakukan dalam bangunan filmnya.

Cerita dengan karakter sebanyak ini cenderung untuk memerangkap sutradara ke dalam momen-momen pengembangan karakter yang gak imbang, ataupun dilakukan dengan tampak terpaksa; menyelipkan adegan-adegan ngobrol di antara aksi-aksi. Yang kaitannya dengan eksposisi. Film itu akan tampak terbagi oleh aksi dan penjelasan yang boring. Gunn melempar begitu saja karakter-karakternya kepada kita. Mengutamakan untuk memperlihatkan langsung apa yang karakter-karakter itu lakukan daripada lebih banyak menjelaskan origin. Dialog-dialog set up film ini cepat, sambar menyambar. Visualnya dibikin unik, mencolok dan berwarna bukan hanya untuk pamer, melainkan sebagai penguat karakter itu sendiri. Ketika momen-momen lambat itu betul-betul diperlukan, Gunn juga gak sekadar memberitahu kita, atau juga tidak sekadar flashback. Dia melakukannya lewat visual unik juga. Dia menggunakan jendela bus sebagai ‘jendela’ untuk melihat ke masa lalu karakter yang sedang diceritakan. Dia bahkan memindahkan sudut pandang, membuat kita masuk ke pandangan certain character supaya kita bisa langsung merasakan keanehan dirinya yang kocak (I love the ‘mom jokes’ di film ini!). Dengan membiarkan kita melihat sekaligus mendengar tentang mereka; mengexperience mereka, maka karakter-karakter dalam film ini bisa dengan mudah terkenang. Akan susah bagi kita untuk memilih siapa favorit, karena masing-masing mereka ternyata sudah kita pedulikan. Mereka bukan hanya komentar-komentar lucu, bukan hanya aksi-aksi keren. Mereka gabungan keduanya.

Adegan-adegan aksinya tentu saja sangat kreatif juga. Gunn tidak perlu khawatir menampilkan aksi yang impossible ataupun aksi yang klise kayak gedung runtuh, karena dia sudah berhasil melandaskan karakter dan dunia tersebut. Semua karakter berhasil dicuatkan pesonanya, dan itulah yang digunakan untuk memperkuat adegan-adegan berantem mereka. Salah satu hal keren yang dilakukan oleh film adalah memperlihatkan adegan berantem lewat pantulan helm. Aku sudah pernah melihat yang seperti ini di opening game Resident Evil 3 di PS satu; saat zombie bikin kacau kota diperlihatkan lewat pantulan di kaca helm polisi. Tapi aku belum pernah lihat adegan berantem yang bekerja efektif dari pantulan semacam itu di film sebelumnya. Satu lagi hal penting yang dimengerti oleh film ini adalah timing. Baik itu timing delivery dialog komedi maupun timing visual komedinya. Walaupun fast-paced dan kadang ceritanya balik bentar ke beberapa menit sebelumnya, karena banyak sekali karakter dan kejadian, film ini selalu tahu kapan harus ‘mengerem’. Kita tidak pernah dibiarkan bingung mengikuti ceritanya. Tulisan-tulisan konyol (dan keren) sebagai penanda bab/misi akan sering kita jumpai menuntun kita. Ini juga menghadirkan feels kayak sedang baca komik. Saat ceritanya balik sebentar pun akhirnya tidak terasa sebagai jeda atau sesuatu yang redundant, melainkan kita malah senang karena terasa seperti waktu tambahan untuk menyimak aksi karakter.

suicidesmaxresdefault
John Cena kabarnya di peran ini menggantikan Dave Bautista; rivalnya dalam storyline gulat

 

 

Ngomong-ngomong soal dunia gulat, aku selalu kepikiran Marvel dan DC ini kayak WWE dan AEW. Yang satu produk yang lebih ke hiburan keluarga, sementara satunya lebih mengincar ke penonton yang remaja/dewasa. Perbandingan itu semakin kentara melihat kerja Gunn di film ini. Gunn tadinya menyutradarai film Marvel, lalu dipecat, dan pindah bikin DC. Dan dia membuat film yang jauh lebih edgy di DC. Ini kan sama banget kayak superstar ex WWE yang dipecat, kemudian masuk ke AEW, dan merasa bebas, secara kreatif, untuk bermain dalam match yang lebih ‘brutal’. Gunn membuat The Suicide Squad penuh oleh aksi-aksi yang fun, as in penuh darah dan potongan tubuh yang melayang ke sana ke mari. King Shark makan orang aja ditampilin gak malu-malu. Afterall, karakter-karakter itu toh memang orang jahat. Kalo Suicide Squad pertama hanya mengingatkan kita lewat dialog yang setiap beberapa menit sekali menyebut “we are bad guy”, maka film kedua ini just having fun dengan karakter-karakter tersebut. Malah ada adegan tim Bloodsport membunuhi orang-orang tak bersalah, dan later mereka cuma salting dan bercanda gak mau mengakui perbuatannya. Dan maaan, sebagai penonton gulat yang sudah lama meminta John Cena untuk kembali jadi karakter jahat; film ini somehow terasa refreshing. Cena hillarious jadi karakter yang menjunjung perdamaian, tapi gak peduli siapa korban yang harus ia akibatkan demi perdamaian itu tercapai. Mungkin inilah yang terdekat yang bisa kita dapat kalo Cena masuk ke AEW?

Sepertinya karena itulah film ini jadi ngena. Karakter-karakternya terasa dalem. Ratcatcher 2 definitely favorit dan jadi hati di film ini. Pilihan yang para karakter buat setelah mengetahui kenyataan sebenarnya jadi terasa lebih bermuatan. Dan sebagai bigger picture, film ini memberikan kita sesuatu untuk dipikirkan. Cerita-cerita superhero DC dibuat dark dan gritty, kita butuh untuk melihat pahlawan dalam keadaan terbawah mereka, untuk menunjukkan perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan. Sebaliknya, cerita penjahat seperti The Suicide Squad ini justru paling tepat ternyata dibuat konyol dan menghibur, meskipun tujuan arcnya juga sama; untuk melihat apa yang mereka perjuangkan. Jadi kenapa formulanya seperti itu? Apakah itu merefleksikan kalo baik itu boring, dan jahat lebih fun? Apakah membuatnya lebih ringan membuat kita jadi lebih mudah untuk mendekatkan diri melihat kenapa seseorang menjadi jahat?

Share pendapat kalian di komen yaa

 

Yang dilakukan film ini tidak lain hanya memperlihatkan bahwa orang-orang rendahan seperti para kriminal tersebut – yang bahkan beberapa gak kuat-kuat amat – sebenarnya juga punya kegunaan. Seperti juga ‘kesalahan-kesalahan’ yang ada pada film sebenarnya punya purpose.

 

 

 

 

Embracing bad side tidak hanya dilakukan oleh karakter-karakternya, tapi juga dilakukan untuk membentuk film ini. Namun film ini bukanlah proyek bunuh diri. Film ini melakukan hal yang gak benar, dan kemudian berkreasi dari hal tersebut. Dan dia menjadi sajian yang menghibur dan seru dan sangat asik karenanya. Kita dapat action, blood, lovable karakter, dan begitu banyak momen-momen memorable. Aturan dibuat untuk dilanggar. James Gunn melakukannya dengan passionate, mengerahkan kreasi terbaik yang ia mampu dari sana. Ia mencapai yang terbaik, meskipun naskah yang all-over-the-place, karakter yang gak dalem-dalem amat, dan struktur yang bolak-balik. Aku gak akan bandingin ini lebih lanjut sama film yang pertama, karena perbedaannya cukup jauh. Gak perlu tanya malaikat untuk tau siapa juaranya. Ini actually feels like a movie. Pembuatnya peduli sama cerita. Peduli sama karakter. Dan peduli sama kreasi.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SUICIDE SQUAD.

 

 

 

That’s all we have for now

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

JUNGLE CRUISE Review

“It is health that is real wealth and not pieces of gold and silver”

 

Stanley Kubrik bukan hanya dikenal sebagai sutradara kontroversial, beliau juga merupakan salah seorang yang paling berpengaruh dalam dunia sinema. Kenapa aku malah bicarain Stanley Kubrick di sini? Karena ada satu perkataannya yang aku yakin telah menginspirasi para tukang cerita di seluruh dunia untuk membuat film. Kubrick bilang apapun yang bisa ditulis, apapun yang bisa dipikirkan, bisa difilmkan. Apapun bisa dijadikan ide untuk cerita film. Bahkan cerita yang udah jadi cerita. Kita mengenalnya sebagai adaptasi; film yang berdasarkan materi atau bentuk karya lain. Tapi tentu saja ada juga film-film dari sumber yang bukan puisi, novel, teater. Film-film yang ceritanya terilhami dari hal sesimpel khayalan masa kecil, berita di koran, peristiwa di buku sejarah. Atau malah dari wahana mainan di taman hiburan. Untuk yang satu ini, memang sepertinya Disney adalah pelopornya.

Punya sejumlah taman hiburan dengan berbagai atraksi dan wahana, Disney gak cukup hanya dengan membuat wahana berdasarkan film-film andalan mereka. Disney juga merancang wahana-wahana original yang kemudian hari bakal disulap menjadi cerita seru di layar lebar. Mereka telah melakukannya sejak 1997. Dimulai dari Tower of Terror yang jadi film untuk televisi hingga ke raksasa box office yang beranak pinak menjadi franchise film tersendiri, Pirates of Caribbean. Kali ini giliran ‘Jungle (River) Cruise’. Petualangan perahu di Sungai Amazon itu kini bisa kita nikmati keseruannya di layar lebar (atau layar laptop, mengingat bioskop kita masih tutup). Aku belum pernah ke Disneyland, aku gak tau wahana ini lebih seru dari Rumah Boneka atau enggak, but none of those matter, karena sutradara Jaume Collet-Sera berhasil menghadirkan film ini layaknya wahana superseru sendiri. Meskipun setelah berakhir, aku tahu bahwa film ini adalah wahana yang hanya mau aku naiki satu kali.

jungle2df7b88a-c3d5-4eac-a4be-a01ac9dd43a1_169
Akankah The Rock akhirnya jadi batu beneran di sini?

 

Aku menikmati satu-jam pertama dari film ini. Set upnya dilakukan dengan baik, tidak berat eksposisi. Cerita di paruh pertama dari dua jam ini berjalan simpel. It was 1916, dunia yang masih percaya pada legenda dan kutukan. Salah satu legenda yang tersohor adalah bahwa ada pohon yang daun-daunnya berkhasiat menyembuhkan penyakit apapun di Brazil. Pohon yang tak seorang pun tahu keberadaannya, kecuali perkiraan kasar berada di antara sungai-sungai Amazon. Berbekal peta dan batu misterius berbentuk kepala anakpanah yang ia curi, Lily, scientist feminis yang udah kayak Indiana Jones versi cewek bertekad menyusuri legenda tersebut dan membawa pulang daun-daun ajaib itu demi kemajuan ilmu kesehatan. Lily bersama adik cowoknya yang rempong menyewa kapal dan jasa pemandu turis handal bernama The Rock, eh salah.. bernama Frank. Bersama-sama mereka bertualang mengarungi sungai yang penuh bahaya dan keajaiban, dengan kapal selam Jerman Pangeran Joachim yang licik mengekor di belakang. Berusaha merebut legenda itu dengan cara apapun.

See, simple. Dari set upnya gak susah untuk kita membayangkan ini adalah cerita petualangan, cerita rebut-rebutan harta karun yang bakal seru. Di sungai pedalaman Amazon yang penuh piranha dan kekuatan supernatural pula! Kesimpelan tersebut diimbangi oleh karakter-karakter yang colorful. I’d expected them to be paper-thin. Dan memang, beberapa karakterisasi enggak lebih tebal daripada kertas, namun kenapa pula itu tidak berarti fun? Film ini tahu mereka punya tiket untuk membawa kita bersenang-senang. Tiket berupa aktor-aktor yang paham bahwa sudah tugas merekalah untuk membuat peran apapun yang diberikan kepada mereka menjadi emas.

Harta karun yang diperebutkan dengan gigih dan mati-matian di sini bukan emas. Melainkan daun penyembuh. Dari ini, film seperti mengatakan kepada kita bahwa perjuangan mencapai pengetahuan dan kesehatan itu ya memang harus segigih ini. Karena itulah hal yang lebih penting daripada sekadar kekayaan.

 

Emily Blunt memerankan Lily yang berkemauan keras, capable, berani, cerdas, dan sangat resourceful untuk mendapatkan apa yang ia mau. Kualitas karakternya ini tidak lama-lama disimpan oleh film. Pada adegan awal saat dia mencuri batu anakpanah, kita sudah diperlihatkan betapa seru dan resourcefulnya karakter ini. Sampai-sampai dia menggunakan berbagai macam trik dari film-film lain seperti Indiana Jones (dejavu gak sih ngeliat adegan Lily dengan cermat menyamarkan suara berisik aksi membobolnya dengan suara pekerja museum lagi memalu). Film juga gak membuang waktu untuk mencuatkan protagonis ceweknya ini sebagai makhluk progresif dibandingkan dunia sekitarnya. Sementara juga menggali komedi dari kontrasnya Lily dengan karakter adiknya, MacGregor yang diperankan dengan konyol namun simpatik oleh Jack Whitehall.

Heart of the film dibebankan kepada Lily dan Frank, si pemandu. Blunt dan Dwayne Johnson diberikan ruang oleh naskah untuk mengembangkan sisi komedi (again, dari kontrasnya mereka) dan juga sisi manis-as-in-a-couple di balik petualangan kocak mereka. Chemistry mereka mungkin memang gak kena banget, tapi Blunt dan Johnson benar-benar hebat dalam menghidupkan suasana. Johnson actually dapat tantangan dengan range yang lebih luas. Kita gak hanya melihatnya sebagai seorang jagoan; penakluk macan tutul, penjinak sungai, penendang bokong, yang sayang ama perahu. Tapi juga seorang pemandu, yang ngescam turis dengan bahaya-bahaya palsu, sambil menghibur mereka dengan lelucon bapak-bapak (yang dimainkannya tetap penuh kharisma seperti yang hanya bisa dilakukan oleh The Rock) Semua aktor di sini tampak bersenang-senang, tapi sepertinya yang paling bergembira di sini adalah Jesse Plemons. Yang kebagian meranin parodi yang sangat komikal dari tokoh-beneran seorang Jenderal Jerman. Plemons bermain dengan aksen, gestur, dan dialog-dialog yang ia mainkan dengan begitu over-the-top. And he made it work. Karakternya bikin gentar tapi juga lucu. Tiga elemen utama yang superseru ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membuat Jungle Cruise jadi ride, both sebagai wahana maupun perjalanan yang menghibur.

Malangnya, film ini – seperti juga film-film hiburan belakangan ini – merasa itu semua belum cukup. Merasa mereka perlu untuk membuat cerita yang rumit, yang penuh kelokan kayak sungai-sungai deras Amazon tersebut. Setelah pertengahan, Jungle Cruise tau-tau bermanuver dengan banyak sekali plot-plot kejutan yang bukan saja enggak perlu, tapi juga malah membuat ceritanya jadi bego. 

jungle-cruise-trailer-2
Bayangkan ada makhluk undead tapi perempuan-pakai-celana tetap jadi hal yang paling aneh dan mengejutkan bagimu

 

Mari kuberitahu sedikit tentang twist dan reveal. Semua twist adalah reveal, sementara tidak semua reveal adalah twist. Sebagai contohnya, kita bisa langsung lihat dari film ini. Ketika film mengungkap bahwa prajurit masa lampau dalam legenda itu ternyata masih ‘hidup’ dan mengejar Lily dkk, itu adalah plot reveal. Karena fungsi informasinya itu adalah sebagai penambah tantangan. Sebagai rintangan yang harus dikalahkan. Step yang mengangkat suspens, dari yang tadinya hanya bermusuh satu pihak, menjadi dua, sehingga cerita jadi semakin seru. Secara teori begitu, meskipun pada eksekusinya enggak begitu mulus. Karena permainan efek CGI yang gak konsisten dilakukan oleh film ini. Sedangkan twist, itu adalah ketika film mengungkap siapa sebenarnya si Frank. Karena informasi ini mengubah haluan film, membuat kita memandang kembali ke belakang – melihatnya dengan cara baru sesuai dengan yang diungkap oleh film. Dan twistnya ini bukanlah twist yang baik/bagus.

Karena identitas asli si Frank ini mengubah begitu banyak, dan perubahan itu gak ke arah yang positif. Pertama, karakter Frank itu sendiri jadi gak make sense, jika kita melihat kembali motivasinya di awal cerita. Kedua, mematikan stake. Percuma kalo film ini punya rintangan dan bahaya yang banyak, tapi salah satu karakternya diungkap sebagai sesuatu yang sama dengan salah satu rintangan tersebut. Frank ternyata bukan sekadar cowok jagoan. Dia punya ‘kekuatan ajaib’ sendiri. Ketiga, ini membuat hubungan Frank dan Lily jadi awkward. I mean, kalian kira gap Zara dengan Okin itu jauh? Well, tunggu sampai kalian lihat twist di Jungle Cruise.

Dan ultimately, pengungkapan ini membuat karakter Lily jadi berubah juga. Lily malah jadi flat-out bucin. Karakter Lily memang oke dibuat sebagai feminis yang lebih real (gak selalu-benar kayak protagonis cewek Disney yang seringkali salah kaprah dan agenda-ish), dia juga ‘butuh’ cowok dan segala macam. Hanya saja di akhir film, Lily membuat keputusan yang benar-benar menghancurkan karakter progresifnya. Aku berharap gak terlalu spoiler, aku akan berusaha untuk vague, tapi kalopun jadi spoiler, sorry. Jadi, di akhir film ini, Lily menggunakan benda yang tinggal satu-satunya, benda yang sudah susah payah didapatkan, untuk hal yang bukan niat perjalanannya sedari awal. Lily seperti menukar misi mulia untuk kesejahteraan orang-banyak itu dengan kesempatan untuk bersatu lagi dengan orang yang ia kasihi. Aku gak tahu lagi ‘pesan’ apa yang ingin disampaikan film ini kepada anak-anak perempuan yang menonton lewat adegan itu. Film lantas berusaha untuk mengurangi ‘damage’ adegan ini dengan membuat benda itu ternyata ada lagi – bukan satu-satunya. Tapi tetap saja, secara karakterisasi, pilihan tersebut sangat mengkhianati. Dan bukankah bisa saja dibuat Lily merelakan, dan kemudian ternyata benda itu ada lagi, dan dia ambil untuk kekasihnya. Menurutku itu bakal lebih dramatis, karena mengubah benda tadi itu menjadi sebagai reward untuk perjuangan dan pengorbanan Lily, alih-alih sebagai cara film ngurangi damage aja.

 

 

 

Jadi, by the time the credits roll, aku merasa film ini sebagai kekecewaan. Paruh pertamanya, fun, menghibur, simpel. Film ini bisa jadi gabungan film-film pertualangan yang punya jiwa dan karakter sendiri, berkat penampilan akting dan gaya berceritanya. Namun pada paruh berikutnya, mesin itu menyala. Mesin produk. Film ini jadi tampil sok heboh ribet dengan begitu banyak reveal. Dan akhirnya beneran karam oleh twist yang gak perlu. Melainkan hanya membuat semuanya menjadi bego
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for JUNGLE CRUISE

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian mana yang paling berharga: Harta, Kesehatan, atau Pengetahuan?

Sudahkah kalian menonton semua film Disney yang based on wahana hiburan, mana favorit kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

BLOOD RED SKY Review

“Stop hate spread”

 

 

Baru saja kita mengira genre vampir sudah mati, datanglah hemoglobin fresh yang dipompakan oleh film ini ke aliran darah genre tersebut. Blood Red Sky memang bukan baru yang baru banget. Melainkan terasa unik karena hadir seperti gabungan dari Snakes on the Plane, thriller pembajakan pesawat, dan Train to Busan! Film ini juga nyatanya adalah thriller di ruang tertutup yang terjalin sempurna dengan horor vampir dengan muatan komentar keadaan sosial kita. Oh betapa sutradara dan penulis naskah Peter Thorwarth paham betul mencerminkan keadaan di dunia nyata ke dalam cerita genre yang ia buat, seperti yang sudah dibuktikannya saat menulis skenario untuk The Wave/Die Welle (2008); film yang bercerita tentang guru yang menjadikan kelasnya sebagai negara fasis sebagai eksperimen untuk murid-murid. 

Dalam pesawat Translantic di Blood Red Sky ini, Thorwarth mempertemukan mitologi vampir dengan kapitalis dan juga agama. Secara simpel dia mempertanyakan siapa yang sebenarnya teroris di sini, si vampir ataukah si Islam, atau malah ada jawaban yang lain. Blood Red Sky dari Jerman ini ditampilkan sarat dan serius (bayangkan membuat vampir sebagai sesuatu yang senyata teroris penyebar kebencian) tapi tidak pernah terasa berat karena film ini masih bernapas thriller yang brutally fun

bloodSQKmHr5zTG-4ATTegl4WzDHLO1DrjxPX9y
Antara jadi kangen dan tidak kangen naik pesawat

 

Seperti yang sudah direveal oleh posternya, film ini tidak membuang waktu dan energi untuk menjadikan kondisi protagonisnya sebagai sebuah twist yang gak perlu. Film ingin supaya kita bisa langsung merasakan beban dramatis dan kesulitan yang bercokol pada ibu-anak Nadja dan Elias. Mereka menumpangi pesawat malam ke Amerika, untuk mencari pengobatan terhadap kondisi Nadja. Sementara orang-orang di sekitar, seperti Farid, menyangka Nadja mengidap Leukimia, kita penonton sudah merasa gamang melihat Nadja sebagai orang yang lagi ‘nahan selera’ masuk ke toilet untuk menginjeksikan obat yang tampak menyakitkan baginya. Hal tidak menjadi semakin mudah bagi Nadja, sebab pesawat yang mereka tumpangi ternyata berisi kelompok teroris yang ingin menabrakkan/menjatuhkan pesawat, dengan menjadikan penumpang muslim seperti Farid sebagai kambing hitam. Serius deh, kita belum pernah melihat pesawat yang membawa segitu banyak combustible elements, literally and metaphorically, sebelumnya. Dan ‘ledakan’ pertama akhirnya beneran terjadi; Nadja yang terdesak oleh keselamatan Elias akhirnya mau tak mau untuk menunjukkan taringnya.

Jangan kira dengan adanya vampir baik-sayang-anak di atas pesawat, masalah akan bisa cepat beres. Terorisnya tinggal dibunuh satu persatu kan? Nope! Naskah Thorwarth tidak pernah menetapkan ‘Vampir lawan Teroris’ di sini sebagai sesuatu yang sederhana. Di atas pesawat yang mengudara yang basically ruang-tertutup itu tidak membuat naskah ikut-ikutan sempit. This is the most amazing part of the movie. Thorwarth berhasil untuk terus menggali masalah, tidak pernah sekalipun ada kemudahan. Suspens cerita terus naik dengan konsisten sepanjang dua jam durasi. Nadja tidak bisa begitu saja membunuh para teroris yang cukup pintar dan gak blo’on tersebut. Karena dia harus memastikan bad blood-nya tidak nurun ke mereka; dia harus memastikan tidak ada yang jadi vampir karena ulahnya. Dan itu baru ‘langkah/tantangan termudah’ dalam skenario. Rintangan terus memuncak, terutama karena vampir bukanlah pahlawan. People won’t just cheer for them. Cerita mencapai point-of-no return saat teroris yang paling psikopat punya ide liar untuk mengubah dirinya sendiri menjadi vampir.

Semua itu berlangsung dengan hubungan antara Nadja-Elias sebagai inti emosional cerita. Jika ada yang kita belum yakin di awal cerita, maka itu adalah soal apakah Elias tahu tentang keadaan ibunya. Sementara kelihatannya akan tragis kalo Elias baru tahu di atas pesawat ini dan jadi takut kepada Nadja, tapi ternyata untungnya film ini tahu lebih baik. Mereka terbukti mampu menggali lebih banyak momen dramatis dengan membuat bukan saja Nadja yang ingin melindungi Elias dengan merelakan dirinya semakin menuruti naluri vampir, tapi juga sebaliknya. Momen-momen Elias mengkhawatirkan keselamatan sang ibu yang semakin inhuman dan berbahaya bagi orang sekitar – membuat nyawa Nadja sendiri semakin terancam juga berperan besar untuk menyampaikan feelings. Kita jadi benar-benar merasakan stake yang berlaku dua arah. Kita bukan hanya jadi peduli dan ingin mereka selamat, tapi more importantly kita ingin mereka bisa bersama-sama. Peri Baumeister sebagai Nadja hebat banget di sini mainin ekspresi menembus make up yang harus dia kenakan sebagai ibu vampir. Dan kemudian the dramatic irony hits. Kita sadar kita tahu apa yang bakal terjadi. Emosi yang melanda turut kita rasakan sangat besar saat adegan Nadja dan Elias di dekat pintu pesawat yang terbuka, pada menjelang akhir.

Nonton film orang naik pesawat ini akan membuat kita justru seperti sedang naik roller coaster. Kita takut, kemudian kita ikut senang, kemudian takut lagi. Karena film selalu menemukan tantangan dan kesusahan untuk dilalui oleh protagonis yang vulnerable. Pada beberapa waktu film yang make up dan violencenya sudah seram ini menjadi terlalu dark, seperti Nadja yang harus memakan anjing yang tak bersalah. Terkadang film juga menjadi terlalu komikal dengan menampilkan teroris psikopat bernama Eightball yang penampilan aktingnya memang over-the-top. Hebatnya film enggak pernah struggle untuk mengembalikan tone menjadi ke titik imbang. Blood Red Sky ini juga mengemban tugas untuk membuat vampir dan agama hadir bersama tanpa jadi lawan bagi yang lain. Vampir di sini tidak digambarkan sebagai makhluk fantasi, melainkan lebih seperti produk berdosa dari sebuah dark-sains. Rule vampir dikembangkan dengan hati-hati sehingga berhasil tetap make sense bagi kita ketika ada vampir yang masih bisa punya kesadaran dengan yang total haus darah dan lebih bertindak kayak zombie. Film nge-treat vampir dan agama dengan sama respeknya. Dan semuanya dimainkan untuk menambah konteks dalam narasi. Ke dalam komentar yang dilakukan oleh film. Kayak, gimana seorang muslim kesusahan menerangkan dirinya bukan teroris sementara kita tahu konsekuensinya jika dia tidak dipercaya maka vampir-vampir itu akan membahayakan dunia luar.

Sebenarnya yang paling diparalelkan di sini, adalah kutukan vampir dan kebencian. Protagonis cerita ingin memastikan kutukannya tidak tersebar, Nadja tidak ingin menciptakan vampir baru, dia percaya vampir harus disembuhkan. Sementara para pembajak pesawat, mereka ingin menyebarkan virus kebencian mereka terhadap satu agama, dengan framing ‘teroris’ yang mereka lakukan kepada sekelompok bangsa. Film dengan mantap memilih posisinya berpijak.

 

Hal sepele yang dilakukan oleh film ini, yang menurutku tak kalah amazing adalah film ini berani untuk benar-benar menuntaskan ceritanya. Enggak nyimpan benih-benih sekuel kalo-kalo ntar filmnya laku. Semuanya selesai. Mereka merapikan chaos di akhir cerita. Jarang kayaknya zaman sekarang ada film horor, yang dibuat untuk pasar mainstream yang tidak berakhir dengan twist, atau cliffhanger yang memohon untuk kita menginginkan dibikin sekuelnya. Dan ini memang sesuai dengan konteks yang diusung oleh pesan atau value yang dipercaya oleh film. Kutukan itu harus dihentikan. Kebencian itu harus distop. Diberangus. 

Blood-Red-Sky-1
Vampir di sini wujudnya ngereference Nosferatu, yang merupakan film vampir pertama yang pernah dibuat (1922)

 

Meskipun punya aksi menegangkan yang superseru dan statement yang kuat, sebagai result dari penulisan yang matang, sayangnya film ini belum dibarengi dengan arahan bercerita yang solid. Untuk membuat ceritanya tampil lebih engaging, Thorwarth menggodok naskahnya ke dalam bangunan cerita yang banyak flashback. Blood Red Sky dimulai dari salah satu adegan klimaks, kemudian mundur kembali ke awal, you know kayak standar thriller-thriller Hollywood. Sayangnya ini justru membuat perspektif cerita tumpang tindih. Jadi aneh ketika cerita ini ditampilkan seolah kisah yang dituturkan oleh Elias yang sedang ditanyai oleh perawat, tapi nanti kita juga melihat flashback berupa asal muasal Nadja menjadi vampir saat Elias bayi. Dan lagi, keseluruhan cerita kejadian di atas pesawat itu lebih terasa seperti sudut pandang Nadja, tidak pernah terasa seperti perspektif dari Elias. Jadi bangunan berceritanya terasa bahkan lebih kacau daripada saat nanti vampir-vampir zombie mulai beringas di dalam pesawat.

Padahal sebenarnya bisa saja mereka melakukan dengan linear. Mulai dari origin Nadja, ke kejadian di pesawat, terus penyelesaian. Perpindahan perspektif dari Nadja dan Elias akan bisa terlihat lebih natural dengan diceritakan secara linear begitu. Akan lebih menguatkan degradasi kemanusiaan Nadja jika perspektifnya tidak lagi bisa lanjut dan cerita harus pindah ke Elias. Atau, kalau memang maunya pake flashback dan cerita yang bermaju-mundur ria, kenapa tidak semuanya saja dibikin sebagai flashback memory dari Nadja, sesaat sebelum dia benar-benar udah total jadi vampir buas. Dengan dibuat kayak gitu, tidak akan ada pergantian atau malah tumpang tindih perspektif seperti yang kita lihat di film ini. Karena memang sebenarnya gak perlu ada pergantian. Toh karakter yang benar-benar ada pengembangan memang hanya si Nadja seorang kok.

 

 

 

Menilai film ini buatku rasanya kayak jantungku ditusuk ama pasak kayu. Aku benar-benar suka film ini. Aku enjoy nonton sepanjang durasinya. Ini adalah perfect horor thriller ruang-tertutup dengan suspens yang berhasil terus ditingkatkan tanpa terasa ngada-ngada atau dipanjang-panjangin. Interaksi dan reaksi para karakter di sini terasa genuine. Seimbang antara serius dengan seru/menghibur. Dan juga, film ini tidak terasa kayak korporat punya. It is so freeing menonton cerita utuh, yang semuanya kerasa tuntas tas tas! tanpa ada meninggalkan beberapa hal ‘lewat’ untuk sekuelnya nanti. Karena itulah maka rasanya perih sekali melihat film ini punya kelemahan yang cukup fundamental. Yakni struktur penceritaan. Perspektifnya di sini tumpang tindih. Berupa kisah yang diceritakan tapi juga ada flashback dari yang bukan si pencerita. Pergantian sudut pandang utama juga tidak mulus dikarenakan bentukan penceritaannya ini. Film ini benar-benar seperti vampir si Nadja. Bermaksud baik, tapi kasar dan ‘deadly’ dalam penyampaiannya
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BLOOD RED SKY

 

 

 

That’s all we have for now

Film ini punya poin menarik bahwa teroris yang sebenarnya ternyata hanyalah orang-orang rakus yang hendak mengatur ekonomi dan politik, dan tak ragu untuk ngeframe orang-orang demi melakukannya. Bagaimana pendapat kalian tentang ini? Mengapa bisa-bisanya orang menyebar kebencian seperti demikian?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE FOREVER PURGE Review

“Putting yourself in somebody else’s shoes”

 

Film The Purge, kata sutradara Everardo Gout, adalah film yang akan dipertontonkannya kepada alien jika suatu saat nanti makhluk-makhluk luar angkasa itu beneran datang ke bumi untuk mempelajari manusia. Karena menurutnya, The Purge ini memang salah satu dari sepuluh film yang benar-benar tepat merepresentasikan siapa kita. Manusia. Frasa ‘siapa kita’ yang disebutkan Gout tersebut secara lebih spesifik menyorot ke orang-orang Amerika. Panggung tempat semesta Purge berlangsung.

Lima film, dua serial tv; Purge selepas film pertamanya memang mulai mendedikasikan diri sebagai komentar dari berbagai situasi politik Amerika, di balik tema utama berupa kebrutalan manusia yang butuh pelampiasan kekerasan. They once released film Purge seputar kampanye presiden, bertepatan dengan masa-masa Pemilu mereka. Dunia Purge sendiri memang bicara tentang pemimpin Amerika yang melegalkan segala bentuk kekerasan untuk satu malam kepada warga sebagai gerakan untuk membuat Amerika jaya kembali. Yang padahal hanya membuat yang kaya semakin kaya, dan miskin semakin mati sia-sia

purgeThe-Forever-Purge-1170x642
Hey, kalo yang miskin makin mati sia-sia itu sih, Indonesia juga bisa relate!

 

Gout melanjutkan dunia Purge pada film kelima ini seiring dengan maraknya gerakan Hate yang berkembang di antara warga kulit putih terhadap warga pendatang, sebagai bentukan dari politik mantan presiden Donald Trump. Dan sebagaimana layaknya yang terbaik dilakukan oleh franchise Purge, Gout mengembangkan persoalan tersebut menjadi horor krisis kemanusiaan berskala yang bahkan lebih besar daripada biasanya, as tradisi Purge dibuatnya menjadi tak-terkendali. Namun juga sebagaimana layaknya yang failed dilakukan oleh franchise Purge, Gout juga ikut terlena ke dalam aksi thriller, dengan tidak membiarkan cerita menyelami lebih dalam aspek horor tersebut.

Empati dijadikan inti cerita kali ini. Gout menempatkan kita di sepatu ‘alien’ yakni pasangan imigran dari Meksiko, yang tinggal di Texas. Adela (Ana de la Reguera kembali jadi perempuan tangguh), yang jadi pekerja manufaktur, dan suaminya Juan (peran Tenoch Huerta di sini adalah yang paling stoic di antara yang lain) yang jadi pengawas kuda di rumah peternakan milik keluarga Dylan yang kaya raya. Gout memang gak membuang waktu untuk langsung men-tackle yang ingin ia komentari. Texas bukan saja dipilih karena paling dekat dengan perbatasan Meksiko, tapi juga karena sudah jadi rahasia umum negara bagian tersebut paling tinggi jumlah white spremacistnya. Keahlian Juan sebagai koboy diperlihakan dengan jelas bikin insecure bossnya, Dylan (Josh Lucas masuk banget ke image ‘koboi modern’ beneran). Tensi antara Juan (yang keliatan enggan menggunakan bahasa Inggris) dengan Dylan langsung ditonjolkan, dieksplorasi. Tapi tidak tanpa depth. Karena Dylan diniatkan oleh Gout sebagai wakil dari kulit putih Amerika yang nantinya akan ‘mengenakan sepatu’ Juan. Yang nantinya akan belajar menumbuhkan empatinya karena sebenarnya Purge dan Hate dan everything adalah masalah bersama kemanusiaan. Ya, keluarga Juan dan keluarga Dylan harus saling membantu dan bergerak menuju keselamatan di perbatasan, sepanjang hari yang penuh malapetaka itu.

Hari. Bukan lagi malam. Inilah salah satu keunikan The Forever Purge dibanding film-film Purge sebelumnya. Saat nonton ini, aku udah siap-siap karakter-karakter sentral bakal dikerjai (atau malah mengerjai) begitu malam Purge dimulai. Tapi ternyata enggak, mereka melewati malam yang relatif aman-aman saja. Bahaya justru datang di siang hari – film berkesempatan memasukkan lumayan banyak jumpscare pada sekuen-sekuen pagi sesudah malam Purge tersebut, mumpung kita yang nonton juga masih dalam state ‘merasa aman’. Diceritakan rakyat merasa gak cukup dengan hanya satu malam, dan ternyata ada kegiatan terorganisir untuk mengobarkan Purge selamanya. Menghabisi non-Amerika setuntas-tuntasnya.  

Situasi horor seketika berkembang dari development tersebut. Siapa orang-orang bertopeng yang masih nekat membunuh siang itu, siapa yang menggerakkan mereka, bagaimana kebencian bisa mendadak menyebar secepat itu, bagaimana dengan orang-orang Amerika yang gak rasis kayak anggota keluarga Dylan yang lain. Bagaimana hidup sosial Amerika survive di tengah peristiwa ini. Awalnya aku menyangka development ini sebagai kejutan yang menyegarkan. Sudah sejak lama toh kita penasaran dan pengen Purge menyorotkan kamera bukan hanya ke malam atau menjelang hari H itu saja. Kita mau melihat bagaimana masyarakat menata hidup setelah bunuh-bunuhan di pagi hari. The Forever Purge memberi kita sorotan baru tersebut, meskipun memang enggak exactly seperti yang kita pengen. Tapi at least, ini tetap berbeda dan membuka ke banyak masalah baru. Karena para penduduk cerita pasti pada bingung. It could be lead to tinjauan yang lebih mendalam mengenai reaksi dan kekacauan yang menggunung. 

Maka dari itulah aku kecewa. Karena film ini ternyata enggak menyelam ke sana. Melainkan tetap diarahkan ke ranah lari-larian. Protagonis-protagonis kita akan berusaha kabur naik mobil, dikejar-kejar pendukung Purge. Basically aksinya sama aja dengan Purge yang sudah-sudah. Hanya beda siang hari, tok. Dan ini malah mengurangi kespesialan seri Purge itu sendiri. Yang ciri khasnya orang-orang melakukan kekerasan yang dilegalkan selama batas waktu tertentu. Dengan membuat kali ini kekerasan dan kriminal itu legal untuk sepanjang hari (gak ada batas waktu), film ini jadi gak ada bedanya ama cerita-cerita thriller yang biasa. I mean, judul apapun kalo bikin cerita tentang imigran yang diburu untuk dibunuh, ya pasti filmnya bakal kayak gini. Di akhir film, para karakter akan mendengar berita soal keadaan Amerika yang jadi semacam kondisi perang-saudara (pro-Purge lawan anti-Purge) dengan visual Amerika seperti lautan api; Nah, potongan berita tersebut jauh lebih menarik ketimbang keseluruhan film ini. Aku ingin kita benar-benar ditaruh ke tengah-tengah development kekacauan Purge lepas-kendali ini. Ketimbang cerita karakter yang lari menuju keselamatan, yang paralel dengan film ini lari dari inti yang seharusnya diceritakan. In that way, film ini jadi terasa seperti filler. Jembatan sebelum the real meat yakni film berikutnya (kalo ada) yang aku yakin baru akan membahas kejadian di tengah-tengah perang saudara tersebut.

purgethe-forever-purge-1280x720
Gambaran sebenarnya orang Amerika?

 

Untuk tidak terus menangisi apa yang tidak terjadi, mari bahas bagaimana film ini tampil sebagai dirinya sendiri. Kayak laga thriller generik. Tidak kurang tidak lebih. Ini adalah tipe film yang saat ditonton itu kita akan ngerasa udah sering nontonn film kayak gini sebelumnya. Enggak benar-benar spesial. Meski begitu, Gout sebenarnya tetep berusaha untuk memasukkan pesan-pesan subtil sepanjang durasi kejar-kejaran.

Diberikannya subplot dua karakter interracial yang tumbuh cinta sebagai cara untuk bilang persatuan. Dunia lebih baik dengan cinta. Gout juga mengingatkan kepada Amerika bahwa the land is not their in the first place. Bahwa mereka juga pendatang yang menjarah dari bangsa native Indian. Dengan adanya Indian, Koboi, dan bahkan Koboi yang bukan orang Amerika, film ini udah kayak film koboi yang sangat unik. Ada banyak referensi juga ke genre koboi tersebut. Dan actually film bisa mengaitkan koboi dengan lasso itu sebagai simbol, bahwa semua orang bisa dan berhak menangkap kesempatan. Resolusi film terkait Dylan yang harus menyeberang ke Meksiko, juga mengusung semangat yang positif sekali. Bukan hanya untuk circled back karakternya – melainkan untuk truly menguatkan soal ‘wearing someone else’s shoes’. Untuk merasakan keperluan menjadi imigran, merasakan bagaimana rasanya mencari kesempatan, dan untuk diterima di tanah orang.

For all it’s worth, itulah sebenarnya yang kurang dimiliki oleh manusia jaman sekarang. Rasa empati. Kita telah menjadi lebih gampang untuk begitu curigaan, begitu takut, begitu insecure, sehingga melupakan semua orang punya perjuangan masing-masing.

 

Arc karakter Dylan memang lebih dramatis daripada arc karakter utamanya, Juan. Aku bisa mengerti kenapa bukan Dylan saja yang dijadikan karakter utama. Untuk menghindari cerita ini tampak sebagai another story of kepahlawanan kulit putih. Dan lagi karena film memang ingin membuat penonton berempati kepada imigran seperti Juan dan Adela. Supaya penonton lebih mudah mengalami apa yang mereka rasakan, sehingga berarti membuka perspektif baru bagi penonton yang mungkin masih ada juga yang bersikap seperti Dylan. Namun memang lagi, karakter Juan dan Adela arc-nya terlalu minimalis disiapkan oleh film. They are still murky. Adela yang berusaha menjadi nyaman sebagai warga Amerika, Juan yang sebenarnya juga berprasangka kepada Dylan; mereka ini kurang ada penyelesaian yang jelas. Di akhir itu hanya terlihat kayak mereka lega karena ada orang-orang seperti Dylan. Bahwa ada jalan untuk membuat orang mengubah pandangan sinis mereka. Yang berarti gak banyak perkembangan karakter yang mereka berdua alami sebagai karakter utama.

 

 

 

Refleksi mengerikan dari society yang penuh prasangka dan saling benci diberikan oleh film ini. Gambaran simbolik yang mungkin benar-benar tepat. Sayangnya film lebih memilih untuk mengembangkan ke arah thriller aksi generik, ketimbang ke aspek horor kemanusiaan itu sendiri. Semua cepat aja dibikin panas. Padahal di film The First Purge (2018) sebelum ini aja, diliatin saat pertama kali ada Purge gak semua warga yang langsung resort ke bunuh-bunuhan. Ada perkembangan menuju ke sana. Cerita film ini jadi kayak filler, sebelum ke cerita pembahasan yang lebih ditunggu hadir nantinya. Tapi perlu diapresiasi juga usaha film menghadirkan pesan-pesan positif dan semangat persatuan dengan subtil di balik cerita dan akting dan laga yang sama-sama generiknya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FOREVER PURGE

 

 

 

That’s all we have for now

Nonton film-film Purge selalu membuatku berandai bertanya-tanya. Kali ini terbersit, kalo ada Purge beneran kira-kira siapa ya yang datang ke rumah untuk membunuhku.

Bagaimana dengan kalian, kira-kira kalo ada Purge, kalian bisa menerka tidak siapa saja yang mungkin bakal datang untuk melampiaskan emosi terpendam kepada kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

Money in the Bank 2021 Review

 

Sebagai manusia kita ngertilah soal keselamatan dan resiko. Sedapat mungkin, kita biasanya nyari yang resikonya paling kecil, like, kalo lagi nyebrang kita akan cenderung untuk milih nunggu ampe benar-benar kosong sebelum menyeberang daripada harus berjalan cepat-cepat di antara seliweran kendaraan dengan resiko tertabrak. Makanya, gak banyak dari kita yang bisa ikut main-main saham. Dalam investasi keuangan, ada yang namanya risk dan reward, dengan prinsip semakin tinggi resiko, maka rewardnya pun akan semakin gede pula. Kenapa kita ngomongin ini di artikel gulat? Karena WWE punya pertandingan yang juga berhubungan dengan ‘money’ dan prinsip risk-reward tersebut.

Pada Money in the Bank – sebagaimana yang diberitahukan dengan epik oleh video pembuka acara ini – resiko itulah yang menjadi reward. Ketika kalian harus bersaing dengan tujuh superstar lain, berebut naik tangga untuk meraih koper berisi kontrak kejuaraan, mau tak mau kalian harus mengambil semua resiko. Cedera, luka, patah tulang, semua itu akan menjadi reward, bersama dengan kesempatan emas. 

 

Inilah kenapa Money in the Bank selalu jadi jaminan seru (kecuali mungkin MITB tahun lalu yang lebih mendekati ke arah lucu). Hampir dipastikan, kita bakal mendapat aksi-aksi seru karena para superstar akan ngegas melakukan apa saja dengan tangga-tangga tersebut untuk memastikan lawan-lawannya tetep bobok cantik di lantai. Faktor lain yang bikin seru adalah bahwa biasanya pemenang pertandingan ini tidak terduga. Bahkan jika bisa diduga pun, pemenang MITB biasanya selalu adalah superstar fresh alias wajah baru dalam title pictures. Karena memang konsep MITB difungsikan sebagai ‘tangga’ untuk menaikkan talent papan tengah menjadi superstar papan atas. Main Eventer. Dan dua faktor seru itulah yang persisnya kita dapatkan dalam dua pertandingan MITB pada acara Money in the Bank kali ini. 

Nikki A.S.H (Almost Super Hero) memenangi partai MITB cewek dalam sirkumtansi yang bener-bener cocok dideskripsikan sebagai ‘tak-terduga’. Bukan saja karena gimmicknya yang sekarang ternyata lebih dianggap serius ketimbang gimmick ‘cewek edan’ dia yang dulu, tapi juga karena kemenangan Nikki – cara match ini berakhir – terasa sangat berbeda sekali. People surely will be divided by this. Kalian bakal either suka, atau enggak. Kemenangan Nikki terasa kayak playful take dari skenario yang mungkin pernah kita ucapkan saat nonton drama MITB. You know, sekali dua kali mungkin kalian pernah ‘capek’ juga ngeliat superstar ngambil koper kelamaan dan sibuk ganti-gantian manjat, sehingga kalian bilang “Langsung ambil aja kek”. Kemenangan Nikki terasa kayak seperti itu. Hebatnya, in the end, momen itu tetep terasa spesial. Karena keseluruhan match-nya sendiri memang enggak keren-keren amat. In fact, partai MITB cewek ini tampak lebih soft. Impact dari aksi-aksinya banyak yang ditolong oleh cut camera. Ironisnya, WWE mungkin gak mau ngambil resiko lebih banyak terhadap superstar cewek dalam waktu Bayley cedera cukup lama ini. Tapi dalam cahaya yang lebih positif, aku percaya dalam partai pembuka show ini – yang juga berarti partai pembuka dari acara yang akhirnya bisa ditonton langsung oleh fans ini – WWE pengen ngepush karakter ketimbang aksi. Makanya kita lihat Liv Morgan dan Alexa Bliss, yang sama-sama fans favorite, diberikan kesempatan bersinar dengan character-work mereka. Begitu juga dengan Tamina dan Natalya yang perlu untuk membangun kharisma sebagai juara tag-team.

mitbd3cb7ed531b58f17-600x338
WWE mengganti penyebutan Nikki menjadi Nikki A.S.H karena Nikki Ash kedengarannya kayak Nikki pan(sensor)

 

Sebaliknya pada partai MITB cowok yang muncul belakangan, barulah fans mendapat apa yang sudah lama diinginkan. Single push untuk Big E! Fans sudah lama menunggu gebrakan besar seperti ini sejak Big E dipisah dari tim New Day. Tapi dari yang terlihat di acara ini, aku punya dugaan kalo chapter Big E dengan rekan-rekan New Day bakal punya lanjutan sedikit. Aku akan ngomongin nanti, sebentar lagi, saat bahas match Kofi Kingston dengan Bobby Lashley.  For now, match MITB partai cowok ini sendiri juga sangat seru. Penuh oleh sekuen di mana kedelapan superstar akan berusaha naik tangga bergantian, menyerang dengan moves gede bergantian, dan setiap sekuen tersebut selalu diakhir dengan ‘punchline’ yang benar-benar keras. Salut buat Kevin Owens yang paling banyak kebagian jadi receiving end ‘punchline-puncline’ tersebut. Pertandingan ini juga dipakai untuk meneruskan storyline antara Drew Mcintyre dengan Jinder Mahal (yang bukan peserta match) sehingga jadi punya layer dan kedalaman. Pertandingan ini bahkan terasa extend ke luar sebab WWE menggunakan sket komedi sebelum pertandingan ini dimulai. Sket yang berfungsi untuk memperkuat karakterisasi beberapa superstar yang akan berlaga, yang nantinya menambah konteks adegan saat mereka beneran berantem di ring. Sket komedi itu berupa Riddle dan Shinsuke Nakamura, bersama Rick Boogs, ngerock bareng nyanyiin lagu tema Randy Orton, dengan Kevin Owens ‘terpana’ – ngeliatin sambil kayak, “Ini lawan gue nanti? ckckck” – di belakang mereka. I genuinely laughed at that scene.

Demi menyambut fans kembali ke arena, WWE tampak lebih bermurah hati. Mereka sudah mempersiapkan fans untuk pulang dengan excited dan bergembira. Karena tiga match terakhir acara ini berlangsung dengan sangat menghibur. MITB cowok yang penuh aksi-aksi tadi, lalu match Rhea dan Charlotte yang kuat banget di storytelling (ugh yea, aku gak nyangka aku harus bilang suka sama match yang ada Charlotte-nya) dan main event antara Reigns lawan Edge yang penuh drama. Plus WWE punya kejutan di akhir match tersebut.

Ada begitu banyak development dari awal hingga ke akhir pertandingan Rhea Ripley melawan Charlotte. Konteks seteru mereka dilandaskan dengan gemilang oleh video package, dan kemudian pertandingannya sendiri sudah seperti film! Alur match mereka udah kayak ada babak-babak tersendiri. Dari Rhea yang confident, ke Charlotte yang lebih ‘senior’ mulai menghormatinya, ke keduanya sama-sama desperate, dan berakhir pada low point pada kedua karakter, dengan karakter yang lebih licik berhasil memenangkan pertandingan. Aku gak suka sama Charlotte – is not even gak suka karena heelnya dia bagus – Aku juga berpikir Charlotte gak perlu nambah angka kejuaraan. Tapi both Charlotte dan Rhea bercerita dengan baik di sini. Mereka melakukannya dengan excellent sembari beraksi dengan sangat-sangat kuat. Aku selalu suka dengan pertandingan yang bercerita dengan baik, seperti ini. Dan kedua superstar berhasil. Pertandingan mereka benar-benar terlihat seperti kejuaraan tingkat elit. Not even chant “We want Becky” dari penonton membuat mereka slow the match down.

Main event, however, akan membuat kita bernostalgia sama pertandingan di era Attitude dan Ruthless Agression. Karena punchlinenya adalah drama seperti yang biasa kita lihat pada WWE jaman 2000an. Interferensi curang, wasit yang gak sengaja terjatuh, berantem brutal hingga ke pinggiran ring, susul menyusul finisher. Paruh akhir Edge melawan Roman Reigns superseru! Perfect match untuk partai terakhir, kejuaraan pula. Tapi match ini punya dua masalah. Pertama, paruh awalnya lambat banget. Dengan cerita mereka yang sudah memanas, seharusnya pertandingan dimulai dengan langsung ngegas aja. Kedua adalah durasi yang kepanjangan. Pertandingan Edge, sejak dia kembali berlaga di atas ring, selalu punya masalah ini. Edge no doubt punya passion tak tertandingi terhadap gulat. Kita tahu dia cinta sama bisnis ini, dan dia rela ngambil resiko supaya bisa terus melakukan apa yang ia cintai ini. Sehingga, menurutku, Edge sebenarnya tidak perlu lagi untuk membuktikan semua itu. Dia enggak perlu untuk melakukan match yang ekstra panjang. Kita semua respek Edge, dan percaya dia lebih dari sekadar “pemain lama yang balik nongol sesekali”. But I do think there’s an ‘ego’ here. Sama kayak nulis, yang kadang-kadang sebenarnya kepanjangan dan kita perlu untuk mengedit diri sendiri. Aku pikir, Edge juga perlu untuk ‘mengedit’ pertandingan yang hendak ia lakukan seperti demikian.

mitblashmitb-1000x600
New Day perlu bikin game sendiri sebagaimana Bobby Lashley perlu untuk nge-squash Kofi Kingston di sini

 

Dua pertandingan lagi yang belum kusebut sebenarnya enggak jelek, cuma memang adalah low-point dari acara ini. Kejuaraan Tag Team antara A.J. Styles dan Omos melawan Viking Raiders seharusnya bisa jadi kontes yang brutal, tapi yang kita lihat hanyalah match yang kikuk.  Secara formula, tag team ini solid. Tapi karena sebagian besar Omos-lah yang ada di driver seat, maka kekikukan itu kentara. Omos benar-benar mengintimidasi saat dia diam, dan saat dia dalam mode menyerang. Namun begitu dia harus ngesell gerakan lawan, Omos ini hampir sama ‘anggun’nya dengan Great Khali. Dia mestinya bisa mengimprove ini dengan diberikan kesempatan untuk mengeksplor sisi vulnerable karakternya. Jangan melulu diberikan tugas untuk ngesquash.

Berbeda dengan Lashley lawan Kofi Kingston, yang memang harus dibuat sebagai squash. Kofi harus dihajar habis-habisan di sini, karena ini adalah cerita Lashley tentang dia yang membuktikan dirinya tidak berubah menjadi soft. Ini adalah push bagi Lashley, untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Goldberg, seperti yang sudah diberitakan. Membuat Lashley sedikit kepayahan melawan Kofi aja bakal membuat kredibilitas partai gede itu turun. Lashley butuh untuk benar-benar tampak kuat. Kita toh berharap Lashley yang bakal menang atas Goldberg, kan? Dibantainya Kofi juga membuka peluang untuk satu lagi storyline, yakni Big E. Seperti yang sudah kusinggung dikit di atas. Saat kemenangan MITB Big E, komentator sempat menekankan bahwa Big E bisa menantang juara brand yang ia pilih. Mengingat Reigns bakal sibuk dengan John Cena yang made a very surprising and welcome return, Big E bisa saja mampir ke Raw untuk ‘menyelamatkan’ teman-temannya. Benturan physical antara Lashley dan Big E certainly akan membantu kedua-duanya untuk menjadi karakter yang lebih kuat.

mitbe8a705f436ba6b7a-1200x675
ICONIC!!

 

 

2021 benar-benar tahun yang aneh. Aku gak nyangka bakal senang lihat John Cena balik, bakal gak marah lihat Charlotte menang sabuk lagi, dan aku gak nyangka bakal bilang match yang involving A.J. Styles adalah match yang paling lemah dalam satu acara WWE. But hey, mungkin ini justru menunjukkan betapa standar Money in the Bank 2021 memang tinggi! Storyline demi storyline fresh terset up dengan baik untuk membuat kita excited menunggu SummerSlam, ada Seth Rollins-Edge, Roman Reigns-John Cena, Alexa Bliss-Nikki, possible Big E-Lashley, dan bahkan Jinder Mahal-Drew McIntyre. Untuk penilaian, well, meskipun Charlotte dan Rhea certainly lebih kuat, tapi karena aku gak suka Charlotte dan ini seharusnya subjektif, maka aku menobatkan Money in the Bank cowok sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Results:

1. WOMEN’S MONEY IN THE BANK LADDER MATCH Nikki A.S.H mengungguli Alexa Bliss, Liv Morgan, Asuka, Zelina Vega, Tamina, Natalya, Naomi
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Juara bertahan A.J. Styles dan Omos mengalahkan Viking Raiders
3. WWE CHAMPIONSHIP Almighty Bobby Lashley menghajar Kofi Kingston 
4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte merebut sabuk dari Rhea Ripley
5. MEN’S MONEY IN THE BANK LADDER MATCH Big E dapat koper ngalahin Riddle, Ricochet, Seth Rollins, Kevin Owens, Shinsuke Nakamura, John Morrison, Drew McIntyre
6. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Roman Reigns retain atas Edge

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

BLACK WIDOW Review

“I am not what happened to me, I am what I choose to become.”

 

Black Widow bukanlah superhero terkuat. Dia bahkan bukan jagoan cewek paling kuat. Natasha Romanoff tidak punya kekuatan super. Dia ini kayak Yamcha di kartun Dragon Ball. Manusia bumi biasa, tanpa kekuatan super, tapi begitu terlatih sehingga serba-bisa. Yamcha yang dulunya perampok, dan sempat jadi pacar Bulma, bisa Kamehameha, Bola Semangat, on top of that dia punya jurus berantem tersendiri. Begitu jualah dengan Natasha alias Black Widow. Dari seorang assassin, ke sempat (nyaris) jadi love interest Hulk, yang jelas Natasha dapat diandalkan oleh teman-teman Avengers karena banyaknya variasi kemampuan yang ia miliki – meskipun gak jago-jago amat. Nasib kedua karakter ini pun sama. Gugur; bukan dalam sengitnya pertempuran personal, melainkan karena cerita mengharuskan seorang karakter untuk mati.

Jadi kenapa karakter jack-off-all-trade sepert itu bisa digemari sehingga fans terus meminta Black Widow punya film tersendiri? Well, first; Natasha Romanoff dimainkan oleh Scarlet Johansson. People love her intensity. Kedua, karena kehebatan cerita superhero tidak diukur dari seberapa dahsyat superpowernya. Melainkan dari seberapa besar perjuangan si pahlawan ini mengatasi kelemahan-kelemahannya, berapa dahsyat yang harus ia tempuh dalam membuat pilihan. Black Widow adalah pahlawan cewek yang punya masa lalu kelam sebagai pembunuh, jelas punya modal untuk sebuah cerita-sendiri yang menarik. Namun sayangnya, ketika film ini benar-benar kejadian, Marvel dan Disney masih menganggap Natasha Romanoff sebagai Yamcha at worst, dan sebagai simbol feminis at best.

Black Widow bukan film superhero ‘terkuat’ di antara film-film superhero MCU yang lain. Dalam film solo yang harusnya adalah waktu untuk menjelaskan lebih banyak suara dari karakter ini, yang seharusnya jadi proper send-off untuk karakter ini, Natasha Romanoff itu sendiri ternyata hanya jadi batu loncatan untuk projek superhero berikutnya.

Black-Widow-trailer-1-1280x720
Kalo Scar-Jo meranin Yamcha, niscaya Yamcha juga bakal jadi favorit

 

Cerita mengambil tempat di antara event Civil War dengan Infinity War. Tapi sebelum mulai, film mundur dulu. Memperlihatkan masa kecil Natasha bersama keluarga-palsunya. Bagaimana ayah-ibu-kakak-adik itu kini harus berpisah karena mereka dikirim kembali oleh bos ke Rusia untuk mendapat pelatihan dan misi lebih lanjut. Semua itu dikemas sebagai kredit pembuka – lengkap dengan lagu opening, kayak kalo kita lagi nonton opening acara televisi.

Ironisnya, kredit pembuka tadi itu adalah satu dari dua hal bagus yang dimiliki oleh film garapan Cate Shortland ini. Karena setelah itu, Natasha Romanoff yang sedang dalam pelarian, tidak benar-benar melakukan apa-apa. Babak pertama film ini bosenin karena yang kita ikuti adalah karakter yang motivasinya adalah untuk lay-low. Masalah dengan ‘keluarga’ Avengers? Gak dulu deh. Sekitar 30-40 menit kayaknya, barulah film ini jelas arahannya ke mana. Natasha ‘dikontak’ oleh keluarganya yang satu lagi. Adik bo’ongannya dulu, si Yelena, punya informasi tentang masalah personal bagi mereka berdua. Bahwa progam Red Room yang menciptakan Pasukan Widow tak-berhati dari wanita-wanita malang seperti mereka ternyata masih berjalan. Boss Rusia, si Dreykov, yang telah dibunuh oleh Natasha beberapa tahun yang lalu, ternyata masih hidup.

Serius. Film ini bener-bener baru terasa berjalan saat Yelena masuk cerita. Dan Yelena Belova inilah satu lagi (dari dua tadi) hal terbaik yang dimiliki oleh film. Dia punya motivasi dramatis yang lebih jelas. Seperti Natasha, Yelena yang selama ini sudah tercuci otak oleh program Dreykov, mencoba untuk mengembalikan kendali atas hidupnya. Dia juga paham pentingnya memberangus proyek tersebut dan membebaskan semua orang. Tapi tidak seperti Natasha yang telah lelah ‘main keluarga-keluargaan’, Yelena ini percaya akan hubungan yang mereka bentuk sebagai keluarga-palsu. Yelena-lah yang seperti tertantang dengan pemikiran Natasha, alih-alih sebaliknya, padahal yang tokoh utama adalah Natasha. Itu juga dikarenakan Yelena inilah yang lebih banyak menunjukkan emosi yang grounded. Dan untuk fungsi itu, Florence Pugh benar-benar menyuguhkan penampilan yang oke punya. Rentang emosi yang luas itu dia lalap dengan natural. Vulnerable, tangguh, bahkan saat bercanda. Kita merasakan satu-persatu yang ia rasakan, tidak pernah kesemuanya sekaligus – seperti yang ditampilkan oleh Natashanya si Scar-Jo. Timing dan penghayatan Pugh begitu ngena, sampai-sampai lelucon konyol soal pose Black Widow aja berhasil mencuat sebagai running-joke yang menyenangkan.

Dan harus kuperingatkan, film ini penulisan tonenya mentok sekali. Film Marvel selalu berusaha melucu untuk menjaga supaya tetap ringan, itu kita semua udah tahu. Udah rahasia umum. Tapi pada film ini, blending serius dengan komedinya itu kayak trying too hard. Kita akan bertransisi dari adegan yang mencoba untuk terlalu dramatis ke adegan komedi berupa orang gendut kesusahan memakai kostum. Ada Natasha yang mewakili tone keren dan serius, ada Red Guardian yang dibikin total untuk lucu-lucuan, si Yelena ini seperti jembatan untuk menghubungkan keduanya. Makanya Yelena berhasil mencuri perhatian kita. ‘Aksi’ dia praktisnya lebih banyak, menggendong berbagai elemen film seperti yang dijelasin itu.

Meskipun benar kendali adalah milik pribadi, tapi kita tidak bisa lepas dari peranan orang-orang di sekitar. Dari orang-orang yang kita sebut keluarga. Dan orang-orang yang kita sebut keluarga itu bisa datang dari mana saja, tidak terbatas dari ‘darah’ semata. Merekalah justru pengingat bahwa kita punya pilihan. 

 

Romanoff bukannya gak punya motivasi personal, tapi film gak benar-benar follow up sama masalah personal dirinya ini. Melainkan masalahh tersebut dikecilkan. Yang dieksplorasi dari Black Widow ini adalah ada suatu perbuatan kelam yang dulu ia lakukan, sehingga kini saat dia dikenal sebagai pahlawan, peristiwa tersebut jadi berkali lipat membebani nuraninya. Sepanjang durasi film ini, Natasha bergulat dengan hal tersebut. Pergulatannya itu ditunjukkan oleh film lewat karakter Taskmaster. Musuh bertopeng yang bisa meniru semua yang ia lihat. Karena Taskmaster di sini sebenarnya adalah perwujudan Natasha zaman dulu. Zaman saat dia masih pembunuh berdarah-dingin. Jadi Taskmaster adalah musuh yang tepat untuk Natasha, karena dia memang harus mengalahkan dirinya yang dulu. Apalagi karena lebih lanjut, film memperlihatkan Taskmaster sebagai, katakanlah, produk dari ‘dosa’ Natasha yang terus menghantui.

Ini harusnya adalah cerita pengukuhan Black Widow sebagai seorang superhero. Cerita bagaimana dia benar-benar berhak menyematkan diri sebagai pahlawan. Akan tetapi, nilai perjuangannya sebagai perempuan yang berusaha membebaskan nurani itu dikurangi oleh film yang lebih memilih untuk membuat Black Widow mengalahkan pria misoginis yang berbuat tak-manusiawi kepada perempuan. Keberadaan Dreykov yang jadi master dari si Taskmaster ini seperti mengatakan cewek gak salah, cowok yang salah. Black Widow hanya perlu minta maaf untuk menenangkan hati. Taskmaster itu jahat ya karena sudah terdoktrin oleh kepercayaan Dreykov. Ingin mengecilkan, bukan hanya Black Widow, tapi juga si Taksmaster yang karakternya diubah drastis menjadi jadi seserpihan dari karakternya di komik. Shortland mengulangi kesalahan yang sama dengan Deadpool di film Wolverine.

black-widow-sb
Ternyata ini adalah kisah origin dari Rompi Berkantong Banyak

 

Yang konyolnya adalah, bahkan di akhir itu bukan Natasha yang membunuh Dreykov – Yelena did it. Tanpa kesulitan berarti. Padahal Natasha butuh banyak dialog, dan taktik, saat berdua saja di dalam ruangan sama si antagonis. Kekuatan si Dreykov benar-benar bikin aku ngakak. Dia punya pheromon spesial; siapapun yang berada cukup dekat sehingga bisa membaui bau tubuhnya, tidak akan bisa melukai dirinya. Jadi, Black Widow kemudian sengaja menyuntikkan virus corona ke dalam tubuh supaya hidungnya enggak bisa mencium. Enggak ding! Tapi yang beneran dilakukan oleh Black Widow di film ini kurang lebih sama konyolnya. Karena ngapain repot-repot harus deket-deket dulu, padahal tinggal tembak dari jauh atau lempar pake pedang aja, tewas tuh si Dreykov! Hahaha aneh banget pake adegan indra penciuman segala…

Kembali ke bahasan serius, film seperti enggan memperlihatkan karakter yang harus benar-benar struggle dengan masalah dalam inner, sehingga harus menampilkan ‘musuh bersama yang lebih nyata’. Kuharap ini cuma masalah sebagai film superhero aja, kayak, karena superhero gak boleh terlalu berat. Kuharap ini bukan soal protagonis cewek yang harus dibuat sempurna, karena belakangan memang film-film cenderung untuk terpaku pada agenda seperti itu. Dan bicara tentang superhero dan moral, film Black Widow inipun sesungguhnya enggak lurus-lurus amat. Penulisan film masih ambigu banget secara moral. Banyak karakter yang melakukan hal-hal, tapi tidak lanjut ke konsekuensinya. Karakter yang telah mengesampingkan anak yang look up to them, pada akhirnya teredeem dan jadi pembela kebenaran. Dan bagaimana dengan salju longsor di penjara itu? Hohoho…film dengan cepat ngegloss over fakta bahwa Black Widow dan Yelena telah membunuh banyak orang saat insiden kabur dari penjara. Film ini seperti dengan entengnya seolah mengestablish penjara itu isinya orang jahat semua, termasuk penjaga yang semena-mena, padahal mereka yang di sana berada pada posisi yang lebih ngenes daripada ‘collateral damage’ – dan sepanjang film Black Widow galau sama ‘collateral damage’ yang dengan sengaja dia lakukan beberapa tahun yang lalu. Moralnya gak masuk banget.

Tapi tentu saja, aksi gede perlu untuk dilakukan karena ini adalah film laga berbudget mahal. Malu dong kalo sekelas Disney dan Marvel gak pake acara hancur-hancuran dan ngebut-ngebutan. Persetan dengan logika. Orang-orang tanpa kekuatan super itu yang penting bisa tampak keren meluncur jatuh, ataupun berkali-kali terguling dalam kecelakaan mobil. Perkara mereka bisa selamat, itu urusan yang seharusnya gak usah repot kita pikirkan saat mencari hiburan, kan. Lagipula mungkin film ini ngasih petunjuk bahwa Natasha bisa selamat dari begitu banyak kecelakaan, dan terjun dari stasiun angkasa, jadi mungkin dia belum benar-benar mati saat jatuh dari tebing itu. Ngarep! Anyway, begitulah adegan-adegan aksi dalam film ini. Secara koreografi, kerja kamera, dan teknis-teknis begitu, tidak ada yang spesial. There are lot of CGIs, editing, and stunt double – standar rutinitas film aksi yang biasa.  Kalo ada yang diingat orang, maka itu adalah beberapa kualitas CGI yang kurang kece, adegan yang gak grounded-grounded amat, dan betapa “such a poser”nya film superhero ini.

 

 

 

Setelah menontonnya, aku masih menganggap mereka sebenarnya masih gak pengen-pengen amat membuat film ini. Kayak, film ini akhirnya ada karena tuntutan, dan waktu yang tepat. Karena Marvel ingin mendorong proyek-proyek berikutnya. Ada karakter yang harus diperkenalkan. Apa yang mestinya merupakan swan song dari superhero yang difavoritkan banyak orang ternyata tak lebih dari sekadar roda gigi kecil pada mesin yang besar. Film ini hanyalah another spectacle featuring hal-hal yang bikin kita excited. Tanpa benar-benar utuh menyelami kepada karakter dan dunianya sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK WIDOW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Untung mengenang Black Widow yang gugur, apa momen Natasha Romanoff favorit kalian di seluruh film MCU?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

 

 

 

 

Hell in a Cell 2021 Review

 

Terhitung hingga ulasan ini beres ditulis, ada empat puluh delapan pertandingan Hell in a Cell yang telah diselenggarakan oleh WWE sejak pertama kali diciptakan 24 tahun yang lalu. Dari otak Jim Cornette-lah pertandingan kandang neraka ini berasal. Cornette melakukan ‘lempar batu sekali, dua burung kena’ saat menciptakan itu.

Konsep Hell in a Cell ini originally bukan sebagai gimmick pertandingan semata, melainkan juga untuk memperkenalkan karakter baru. Idenya adalah mereka ingin munculin karakter baru yang seram dan kuat di luar batas wajar manusia sebagai counterfeit dari karakter Undertaker. Musuh-abadi dari pegulat dengan kekuatan supernatural tersebut. Jadi membangun situasi untuk mendukung ‘ilusi’ karakter baru tersebut, supaya penonton dalam sekali lihat bisa langsung percaya bahwa monster ini adalah ancaman yang legit untuk Undertaker. Jadi, mereka membuat kandang, menempatkan Undertaker dengan Shawn Michaels (juara saat itu yang suka bermain curang dengan dibantu oleh rekan-rekannya) untuk bertanding di dalam, dan ngebuild up kandang tersebut sebagai struktur kuat yang akan menjamin tidak akan ada yang bisa mengganggu dua superstar yang bertanding di dalamnya. Dan datanglah Kane. Monster dengan topeng, dengan lampu merah redup dan ilustrasi api seolah dari neraka. Mencabik pintu kandang dengan gampangnya. The rest are history. Cornette sukses berat membentuk Kane, dan Hell in a Cell itu sendiri sebagai yang akan diingat oleh penonton selamanya.

Kenapa aku malah membahas kejadian berpuluh tahun lalu alih-alih langsung ngereview pay-per-view yang baru saja kita saksikan? Well, tentu saja untuk membandingkan. Yang tentu saja berkaitan erat dengan menilik keadaan produk WWE sekarang ini. Hell in a Cell jadi studi kasus yang menarik, karena jelas sekali dari sejarahnya tersebut, pertandingan ini benar-benar dibangun dengan konsep yang baik. Pertandingan WWE di tahun segitu benar-benar terkonsep dengan baik. Di era modern ini, sebaliknya, Hell in a Cell hanya terasa sebagai environment. Gimmick tanpa ada bobotnya. Malah, Hell in a Cell berubah menjadi pay-per-view yang selalu ada setiap tahun; tidak lagi dilangsungkan karena kebutuhan skenario. Kayaknya langka sekali sekarang ada match Hell in a Cell yang benar-benar memanfaatkan struktur kandang itu sendiri, entah itu untuk storyline seperti yang dilakukan Jim Cornette pada awalnya, atau sekadar untuk hardcore-hardcorean seperti yang dilakukan oleh Undertaker dan Mick Foley.

Beruntungnya kita, dalam acara yang disebut sebagai pay-per-view terakhir yang berada dalam kandang Thunderdome ini (bulan depan WWE akan kembali tampil di depan penonton di dalam arena), dua match Hell in a Cell yang diberlangsungkan sangat mewakili HIAC di era kekinian dan di era lampau!

 

Pertama adalah main eventnya; Drew McIntyre lawan Almighty Bobby Lashley. Pertandingan Hell in a Cell mereka sangat terkonsep. Udah kayak match di jaman dulu itu. Di sini, kandang itu benar-benar kembali difungsikan sebagai ‘penangkal gangguan’. Dibuild-upnya adalah supaya Lashley tidak bisa dibantu oleh MVP, manajernya. Karena stake McIntyre juga dibuat gede; ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menantang kejuaraan. Jika dia kalah, maka dia tidak bisa lagi menantanng kejuaraan ini selama masih dipegang oleh Lashley. See, ada desain di baliknya, ada stake dalam cerita. Inilah sebabnya kenapa partai ini berhasil membuat aku tertarik untuk nonton lagi. Not gonna lie, belakangan ini memang minatku untuk ngikutin Raw dan Smackdown berkurang jauh. Aku bahkan gak bergairah untuk mengulas WrestleMania Backlash bulan lalu – karena aku benar-benar benci sama namanya hahaha… Cerita Lashley dan McIntyre – walaupun pertandingan mereka kerap diulang-ulang – tak pelak membuat aku penasaran juga sama eksekusi konsepnya.

hiac20210620_HIAC_Bliss-c1b03933a430ade45d9cf464e2be6a43
Di samping itu, aku juga tertarik sama Bayley-Bianca, Alexa Bliss, dan Roman-Mysterio (yang sayangnya dicancel dari acara)

 

For the most part, the match was really great. Cerita dan konsep itu dengan cepat dipick up oleh kedua superstar yang memainkan ‘tarian’ dengan tempo cepat. Dan, katakanlah, brutal. Karena memang banyak menggunakan senjata-senjata, seperti kursi, kendo stick, meja, steel step, dan lain-lain. Mereka juga mainnya keras banget, jadi semakin terasa urgennya pertandingan ini. Terutama bagi McIntyre yang berhasil bikin dia kelihatan perlu banget untuk menang. Konsep Hell in a Cell itu dimainkan dengan baik saat ternyata justru McIntyre-lah yang membuat kandang itu bisa ‘dijebol’ oleh MVP. Sayangnya, cerita yang dimainkan di sini mulai terasa payah saat masuk ke pilihan ending. Dan inilah salah satu penyakit dari penulisan WWE jaman sekarang ini.

Mereka tau mereka punya talent-talent yang luar biasa. Mereka terbukti bisa memanfaatkan talent tersebut untuk match yang seru. Namun seringkali match akan berakhir kentang karena WWE gak punya visi storyline yang jelas. Mereka hanya mengulang formula yang sama. Sehingga banyak match WWE jadi terkesan jelek, berkat ending yang tidak memuaskan. McIntyre dan Lashley udahan lewat pin yang simpel. Begitu juga dengan Cesaro dan Seth Rollins yang matchnya kita saksikan cukup seru. The right person is winning, hanya saja cara kalahnya selalu entah itu terasa tidak konklusif, atau tidak membantu apa-apa terhadap superstar yang kalah.   

Contoh terparah dari kasus ini dapat kita lihat pada pertandingan antara Rhea Ripley melawan Charlotte. Man. Aku gak ngerti kenapa WWE terus saja memprotek Charlotte padahalnya harusnya mereka ngepush Rhea, si juara, yang actually disukai oleh penonton. Dalam match ini keliatan banget, Charlotte dibikin kuat sementara Rhea tampak seperti orang yang seperti berusaha keras untuk membuktikan diri berada di level Charlotte. Storyline kayak gini oke saat Rhea baru debut tahun lalu. Tidak sekarang. Match mereka berakhir awkward oleh DQ yang seolah Rhea terdesak banget. Partai mereka ini harusnya jadi final buat feud mereka, dengan dilangsungkan di Hell in a Cell. Tapi kita semua tahu, alasan match ini tidak di dalam kandang dengan aturan no-dq itu adalah karena WWE enggan membuat Charlotte kalah bersih.

hiacbobby-lashley-drew-mcintyre-hell-in-a-cell
Paduka Anak Emas sendiri sering membuktikan bahwa dirinya tak lebih pantas untuk dipush dibandingkan orang lain.

 

Partai Hell in a Cell kedua (meskipun lebih tepatnya pertama, karena jadi partai pembuka) tidak punya konsep. Persis kayak HIAC modern kebanyakan. Hanya pertandingan dengan senjata, di dalam kandang. Kandangnya tidak digunakan maksimal, paling cuma untuk benturin-benturin musuh dan dipanjat-panjat dikit. Namun toh, pertandingan ini tetap asik untuk diikuti karena Bayley (I called her ‘Lady Loki of WWE’) dan Bianca Belair benar-benar sudah matang dalam permainan karakter masing-masing. Terutama Bayley, karakternya sudah fleksibel banget. Sehingga, kalah pun gak bakal melukai karakternya. They know this dan benar-benar bermain sesuai keunggulan masing-masing. Kita melihat penggunaan rambut Belair dalam cara yang lumayan kreatif. Begitu juga dengan taktik heel Bayley yang gak kalah kreatifnya. Jika ini bukan Hell in a Cell, aku akan berikan nilai tinggi untuk match ini. Really. Satu-satunya hal bego di sini cuma Michael Cole yang sekali lagi membuktikan dia ngomentari match itu sambil baca skrip doang. Bayley belum ngambil double kendo stick aja, si Cole udah bilang duluan hahaha…

 

 

WWE memang masih jadi tempat tujuan jika kita mencari hiburan gulat yang gak sekadar aksi, tapi juga kuat di karakter. Cuma memang, nonton WWE ini kudu siap sebel aja. Karena bookingannya yang seringkali menurunkan nilai match-match yang tadinya sudah bagus. WWE bagus dalam gimmick match, tapi mereka terlalu cuek dan gampang banget mengorbankan konsep dan gulat itu sendiri. Match Alexa Bliss dan Shayna Baszler misalnya, it’s nothing melainkan cuma untuk nunjukin Alexa kini punya ilmu hipnotis/merasuki orang. Dua HIACnya ada yang kuat di konsep, tapi eksekusi malesin, dan ada juga yang menghibur tapi gak ada konsep. Pada akhirnya memang, gulat standar (tapi dimainkan dengan penuh passion dan chemistry) seperti yang disuguhkan – berkali-kali kepada kita – oleh Sami Zayn dan Kevin Owens lah yang menjadi MATCH OF THE NIGHT

 

 

Full Results:

1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Bianca Belair bertahan sebagai juara atas Bayley
2. SINGLE Seth Rollins mengalahkan Cesaro
3. SINGLE Alexa Bliss ngalahin Shayna Baszler
4. SINGLE Sami Zayna beat Kevin Owens
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte menang DQ dari juara bertahan Rhea Ripley
6. WWE CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Almighty Bobby Lashley tetap juara mengalahkan Drew McIntyre 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

INFINITE Review

“Life is about reinventing yourself”

 

Apakah ada hal di dunia ini yang bisa kalian kerjakan, tanpa kalian yakin kenapa kalian bisa melakukannya? Misalnya seperti kalian ternyata bisa mencetak gol walaupun selama ini kalian belum pernah memegang bola. Atau kalian bisa langsung jago ngendarai sepeda walaupun baru satu kali latihan. Well, film Infinite buatan Antoine Fuqua bilang itu bukan karena bakat. Melainkan karena itu adalah keahlian yang kita bawa dari kehidupan sebelumnya. Infinite memang bicara tentang reinkarnasi. Konsep dasar yang jadi tulang punggung ceritanya adalah bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang terus-menerus lahir-kembali ke dunia, dan mereka membawa bukan hanya kemampuan yang telah dipelajar di sepanjang garis kehidupan mereka, melainkan juga beban atas hidup yang basically tak-terputus.

Konsep yang sebenarnya menarik banget untuk dijadikan cerita action sci-fi yang manusiawi. Namun sayangnya, film ini sendiri ternyata tak lebih dari sekadar reinkarnasi puluhan film-film action sci-fi; tanpa punya kemampuan spesialnya tersendiri.

Aku gak tahu apakah novel source-materi film ini memang bahasannya simpel, tapi yang jelas – yang kita lihat di film ini – memang Fuqua sepertinya lebih tertarik mendesain action pieces ketimbang berkutat dengan persoalan reinkarnasi dan permasalahan manusiawi yang dibawa olehnya. Ketika kita bertemu dengan Mark Wahlberg yang jadi Evan si tokoh utama, film seperti telah mencukupkan dirinya dengan narasi voice-over berisi eksposisi (bahwa di dunia cerita ini ada dua golongan orang yang bereinkarnasi; golongan jahat yang mencoba mengakhiri dunia supaya reinkarnasi juga berakhir, dan golongan baik yang mencoba menyetop golongan jahat) Yang dijanjikan film ini kepada kita lewat adegan pembukanya adalah aksi-aksi laga yang mustahil tapi fun. 

infiniteTrailer-infinite-2
Kapan lagi ngeliat Marky Mark nusuk pesawat pake pedang, kan?

 

 

Sisi baiknya memang adalah bahwa film ini enggak inkar janji. Penonton yang suka dengan sekuen-sekuen aksi heboh – yang nyerempet garis antara impossible dan dumb – bakal terhibur habis-habisan dengan yang ditawarkan Fuqua pada film ini. Evan ternyata adalah reinkarnasi dari seorang jagoan yang punya kepandaian cukup banyak, salah satunya adalah keahlian membuat pedang. Malahan di kehidupan terakhir sebelum Evan, si jagoan sedang dalam tahap mengembangkan kekuatan super ala superhero. Jadi, film ini punya begitu banyak taman bermain, mulai dari kejar-kejaran mobil, tembak-tembakan, bertempur pake pedang – either di atas jembatan atau di dalam pesawat yang berputar-putar, and I haven’t reach the punchline yet; melawan musuh berpistol ajaib! Aku langsung teringat sama adegan Cloud berantem lawan tiga clone Sephiroth di Final Fantasy VII Advent Children. Karena memang aksi di Infinite ini seru seperti itu.

Tapi begitu mengingat cerita yang dikesampingkan oleh sekuen-sekuen aksi tersebut, ya rasanya nonton film ini jadi kecewa juga. Evan selama ini tumbuh dewasa dengan mengira dirinya schizophrenia. Dia melihat mimpi-mimpi dan halusinasi tentang kejadian dan orang-orang yang tak ia kenal. Dia discover dirinya bisa melakukan hal-hal yang tak pernah ia pelajari. Film ini menyederhanakan konflik pelik itu dengan jawaban bahwa semua itu adalah memori dari kehidupan terdahulunya. Sehingga Evan yang sekarang ini hanyalah empty shell tempat si karakter jagoan bersemayam. Kepribadian atau karakter yang ia punya sebelum dia sadar dirinya adalah Treadway si jagoan, seperti menyatu begitu saja dengan kepribadian Treadway yang kita lihat di beberapa flashback; kalo gak mau dibilang kepribadian Evan itu menghilang. Film tidak menyelami persoalan kepribadian dan reinkarnasi lebih lanjut. 

Walaupun mengambil referensi kepada ajaran agama, tapi konsep reinkarnasi yang ada di sini dibikin simpel-simpel aja. Evan, maupun rekan-rekannya yang berjiwa imortal, tak pernah terlahir kembali sebagai tubuh yang bukan mereka. I mean, Treadway tidak pernah terlahir jadi cewek, atau temen cewek Treadway tidak pernah terlahir sebagai cowok sehingga dia dan pasangannya selalu jadi couple hetero. Melihatnya dari sini saja sudah cukup kelihatan betapa boringnya cerita film ini. Penggaliannya yang mentok variasi itu pun sebenarnya masih bisa jadi cerita menarik kalo karakter-karakter itu benar-benar digali. Tapi ternyata juga tidak. Film menghabiskan waktunya dalam menyadarkan ingatan Treadway yang bersemayam sebagai Evan alih-alih menjalin hubungan antara karakter-karakter yang terus berjuang bersama tersebut.

Melihat karakter yang berusaha menyadari apa yang bisa jago dia lakukan (not really berusaha malah, melainkan lewat alat canggih) tentu saja terasa hampa dibandingkan jika melihat karakter yang berjuang memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Dan memang begitulah semestinya makna dari reinkarnasi. Hidup berkali-kali, berarti mati berkali-kali. Berarti karakter kita sudah melakukan banyak kesalahan berkali-kali. Mengalami kehidupan seperti itu harusnya jadi pembelajaran. Namun tidak ada hal tersebut kita lihat terjadi pada karakter-karakter film ini, yang terus saja dibuat mengalami nasib yang itu-itu melulu

 

Antagonis di cerita ini, misalnya, adalah mantan teman seperjuangan Treadway. Pandangannya terhadap kehidupan terus-menerus mereka menjadi berbeda karena somehow si antagonis tidak pernah mengalami fase ‘lupa’ saat dia terlahir. Dia langsung ingat akan semua masalah. Dan ini membuatnya sama manusia, dan sama kehidupan. Jika film ini menggali dan membawa kita menyelam bersama karakter ini – melihat bagaimana dia dan Treadway dan rekan-rekan lain feel tentang reinkarnasi untuk pertama kali, maka hubungan mereka akan lebih genuine. Tapi film malah tetap sibuk berkutat pada hal-hal gak make sense, supaya ceritanya tetap simpel. Alih-alih membahas kenapa si antagonis kemampuan reinkarnasinya berbeda, film malah memperlihatkan hal lain yang malah membuatnya jadi penjahat komikal. Kaya, punya banyak pasukan, dan segala macam. Motivasinya yang mestinya mendalam, dalam film ini malah terlihat seperti sesepele mencari ‘telur penghancur’.

infinitemark-wahlberg-infinite-01-700x400-1
He owns an awesome soul capturing weapon tho

 

Tentu saja aku bukannya mau bilang aku bisa bikin cerita yang lebih bagus atau apa. Menilai film tentu saja tetap melihat dari jadi apa film tersebut pada akhirnya. Dan itulah yang sedang berusaha aku sampaikan. Bahwa dengan menjadikan film ini simpel, dengan tidak mengacknowledge – apalagi membahas – hal-hal rumit dan menarik yang sebenarnya ada menempel pada cerita, maka film ini pada akhirnya hanya menjadi laga sci-fi generik yang gak ada bedanya dengan film-film sejenis. Identitas film ini adalah soal reinkarnasi, tetapi dari yang kita tonton sepanjang seratus menit durasi, film ini terasa sama aja dengan cerita orang yang hidup lama tapi lupa sama kekuatannya. Yang udah lumrah banget. The Old Guard-nya Charlize Theron yang tayang belum lama ini juga mirip-mirip kayak ini; sekelompok orang yang hidup ratusan tahun berjuang di dunia modern. Evan dan kawan-kawan basically immortal seperti karakter Theron di film tersebut. Dan persis di ‘basically‘ itulah film Infinite ini menempatkan dirinya.

Jadi, flaw film ini terutama adalah pada kegagalan menguarkan identitasnya. Cerita Evan ini bahkan mirip ama cerita Cole di Mortal Kombat kemaren. Evan bisa dengan gampang ‘diganti’ sebagai keturunan dari si pembuat pedang di Jepang, atau si Treadway, dan dia harus berlatih menemukan panggilan originnya, melawan kenalan di masa lalu yang terus abadi memburunya. Infinite perlu banget untuk memperkuat soal reinkarnasi yang dia punya. Karena tanpa itu, filmnya jadi gak spesial.

Aksi-aksi sensasional hanyalah bumbu yang juga dipunya oleh film-film sejenis, yang malah memang fokus ke arah sana. I mean, kenapa kita mau nonton kejar-kejaran mobil di sini jika di bioskop sedang tayang film franchise yang namanya udah segede gaban, kan. Gak ada lagi excitement kita saat mengikuti Infinite ini. Apa lagi yang dipunya film ini? Nama-nama gede? Well, bahkan Mark Wahlberg aja di sini tidak tampak antusias. Dialog karakternya datar dan minim excitement. Evan baru saja mengalami halusinasi paling menyirap darah seumur hidupnya, tapi reaksinya cuma, “Wow, that felt real”

Aku bilang, “Wow, this feels like a waste of time!”

 

 

 

Maaan, Juni ini kita dapat film jelek melulu. Film ini terlalu generik bahkan jika tujuannya memang hanya untuk menghibur. Kesempatan menang film ini hanya ada pada sekuen-sekuen aksi, itupun juga lombanya adalah heboh-hebohan aksi. Di baliknya benar-benar tidak ada apa-apa. Karena film telah memilih untuk mengesampingkan identitas, demi membuat dirinya tampil simpel. Tampil tidak berat. Kemungkinan pembahasan film ini sebenarnya bisa cukup dalam, dan katakanlah – endless. Tapi ironisnya, justru film ini membatasi dirinya sendiri. Dan sebagai salt to our wound, bagian akhir film akan memperlihatkan sebuah representasi yang ngasal dan apa adanya hahaha..
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for INFINITE.

 

 

That’s all we have for now.

Jika bisa memilih, kalian pengen bereinkarnasi menjadi apa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

AWAKE Review

“I believe it is by divine design that the role of motherhood emphasizes the nurturing and teaching of the next generation.”

 

Semakin dewasa, manusia akan semakin mengeluhkan bahwa dua-puluh-empat jam sehari itu ternyata tidak cukup. Waktu guru SMAku ceramah soal itu dulu, aku gak begitu ambil pusing. Aku gak relate kala itu. Tapi sekarang terbukti. Kini kepalaku sering pusing-pusing. Karena apa? Karena dua-puluh-empat jam sehari ternyata beneran gak cukup saat kerjaan kita sudah segitu banyaknya. Saat udah gede, dapat enam jam waktu tidur aja rasanya udah kayak menangin lotere. Apa itu tidur siang, melainkan hanyalah privilege yang dimiliki oleh anak kecil. Manusia jadi terlalu sibuk dan banyak kebutuhan hidup sehingga menggadaikan jam tidur. Padahal yang namanya manusia, kan, butuh istirahat. Recommendednya sekitar 7-8 jam sehari. Apa kalian tahu apa yang terjadi jika manusia kurang tidur?

Film terbaru Netflix, Awake garapan Mark Raso, memberikan gambaran yang mengerikan betapa perlunya tidur. Abis nonton ini kita akan sadar petuah paling powerful itu ternyata bukanlah petuah film Dono “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Melainkan seharusnya kata ‘tidur’lah yang menggantikan kata tertawa. Karena tanpa tidur, manusia akan kelelahan dan bisa mati. Namun ada yang lebih parah. Tidak tidur menyebabkan otak kacau. Disorientiasi. Ilusi. Kehilangan kemampuan berpikir kritis. Manusia akan berubah menjadi bar-bar dan bisa saling bunuh saking gilanya!!

awakesa
Tapi tenang, film ini justru akan jadi obat tidur yang ampuh.

 

Cerita Awake berkembang dari premis menarik bagaimana jika manusia tidak lagi bisa untuk tidur. Oh mereka mengantuk, capek, tapi tidak bisa masuk ke state of sleep. Mereka kehilangan kemampuan untuk tidur.  Itu karena, diceritakan, dunia terhantam solar flare or something. Seluruh alat elektronik mati. Termasuk jam internal manusia. Sehingga para manusia, termasuk tokoh utama cerita – Jill, hidup restless di tengah kegelapan. Suasana dengan cepat menjadi kacau begitu manusia-manusia yang mulai kelelahan dan kehilangan rasionalitas itu mengetahui bahwa ternyata ada satu orang yang masih bisa tertidur. Ingat ketika aku bilang tidur itu privilege anak kecil? Nah it was Matilda, putri Jill; satu-satunya orang yang somehow masih normal. Namun itu jugalah yang membuat Jill dan keluarganya berada dalam bahaya. Matilda menjadi rebutan. Kelompok relijius ingin mengorbankannya sebagai Sang Terpilih, sedangkan kelompok militer ingin menjadikannya eksperimen dalam usaha menemukan obat dari ‘pandemi’ tersebut. Jill memilih untuk kabur mencari keselamatan untuk putri dan seorang lagi putranya.

Saat memotret reaksi kelompok-kelompok manusia itulah film ini mencapai titik tertinggi. Awake memuat banyak hal subtil mengenai keadaan mental sosial dalam jangkauan variabel yang luas. Sebagian orang-orang dalam film ada yang berusaha berpikir jernih, ada yang kita lihat akhirnya menyerah karena mereka desperately butuh sesuatu yang membuat mereka merasa aman, dan bahkan ada juga orang-orang yang seperti memanfaatkan semua kekacauan yang terjadi. Kita mengerti film ini memuat potret yang berbobot saat kita sadar ceritanya cuma fantasi tapi kita percaya orang-orang di dunia nyata kurang-lebih akan benar-benar bertindak sesuai dengan yang tergambar di cerita. I mean, kayaknya gak perlu jauh-jauh kita membayangkan. Lihat sendiri saja gimana mentalitas sosial kita yang terbentuk oleh media (dalam keadaan pandemi atau tidak). 

Awake sepertinya memang ingin membuat kita terjaga dari seberapa dekat sebenarnya kita membuat generasi ini hancur hanya dalam beberapa waktu (bahkan jam?) saja. Persoalan gak bisa tidur itu ‘cuma’ lapisan pintar (untuk mengeset keadaan porak poranda lingkungan sosial) yang menyelubungi gagasan sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh film.  Yakni soal nurturing new generation. Kita akan bisa memahami lebih banyak tentang ini dengan melihat kepada Jill, protagonis cerita yang seorang single mother beranak dua. Mark Raso actually membuat Jill sebagai karakter yang padat. Dia punya backstory sebagai mantan tentara – seperti kebanyakan karakter tentara, Jill juga PTSD, dan inilah yang membuat Jill kecanduan obat yang telah merenggut suaminya. Kini Jill bekerja sebagai seorang satpam di rumah sakit, menghidup dua orang anak yang ia titipkan kepada ibunya, sebab karena kondisi ngobatnya dulu itu Jill dinilai tidak layak mengasuh anak. Backstory yang disebar sepanjang durasi ini membentuk saga Jill sebagai sebuah cerita tentang ibu yang kini harus merawat sendiri anak-anaknya, tidak lagi membiarkan mereka dirawat oleh orang lain.

Ini ditranslasikan oleh film sebagai kisah petualangan Jill memperjuangkan keselamatan kedua anaknya. Terutama Matilda yang diincar oleh banyak pihak. Film berusaha terus menggenjot perjuangan Jill dengan memberikannya rintangan termasuk serangan rasa kantuk, kelelahan, dan kesadaran yang terus memudar. Di tengah-tengah semua itu, Jill juga harus menjalin kembali hubungannya dengan Noah si putra pertama, dan mengajarkan survival kepada Matilda. Dengan efektif film ini memparalelkan perjuangan ibu mendidik anak dengan bagaimana generasi muda terbentuk dari sosial yang sekarang. Perjuangan yang tidak pernah tidur.

 

AWAKE_20190810_Unit_00312_R-2-750x400
Bengong ngeliat orang-orang halu merasa jadi titisan Titan

 

Dengan intensi baik seperti demikian, maka memang sayang sekali film ini jatuh ke tangan eksekusi yang buruk. Awake kenyataannya memang akan membuat kita tertidur pulas lebih cepat, sebab bertahan mengikuti petualangan Jill adalah tugas yang sangat menjemukan. Raso seperti terjebak dan kelimpungan sendiri pada tuntutan untuk membuat pengalaman nonton film ini sama-sama disorientating dan chaos. Raso jadi membuat film ini terasa sangat choppy. Terasa terputus-putus. 

Pada editingnya hal ini paling terasa. Ketika fenomena solar flare itu terjadi di awal-awal, sebenarnya cukup seru karena terjadi begitu mendadak. Mobil yang dikendarai Jill, bersama dua anaknya, tiba-tiba mati dan mereka jatuh ke danau. Setelah itulah, semua hal pada film ini mulai terasa disjointed. Anak yang beberapa detik lalu berenang di dekat Jill, tau-tau sudah ada di daratan, diselamatkan oleh polisi. Penduduk kota yang masih tampak kena mati lampu biasa, tau-tau besoknya langsung bikin sekte. Film ini butuh lebih banyak ruang supaya cerita itu berkembang. Raso tidak melakukan ini. Dia melanyau adegan-adegan di naskah tanpa benar-benar memperhatikan apa yang mestinya merekatkan kejadian-kejadian tersebut. Bahkan hal kecil seperti Jill dan anak-anaknya berhenti di hutan karena Matilda capek, dan lantas digendong oleh Jill. Di exactly adegan berikutnya? Mereka bertiga berlari dan tidak ada tanda-tanda capek dari Matilda.

Perlakuan editing yang tidak membuat adegan seperti berkesinambungan seperti ini pada akhirnya membuat adegan menjadi rancu ketika kesadaran Jill semakin berkurang. Dan ini bukan membuat adegan semakin surealis, melainkan semakin awkward. Contohnya adegan di perpustakaan. This feels very disjointed. Matilda yang tadinya masih tidur di mobil, ternyata ada di dalam librari. Jill lalu mengajarkannya menembak buku, pake pistol beneran. Matilda berlari ke luar. Muncul Noah dari dekat buku yang ditembak oleh Jill. Dan shot berikutnya, Matilda sedang tidur lagi di dalam mobil. Kelihatannya film meniatkan Matilda di librari tadi adalah halusinasi Jill, bahwa dia hampir menembak Noah karena lelah dan desperate. Tapi karena editing dan arahannya, adegan tersebut jadi membingungkan.

Dan tentunya juga membuat akting para pemain jadi sama anehnya. Mereka semua jadi terlihat kaku. Gina Rodriguez mencoba keraas untuk hit every notes pada karakter Jill yang punya range cukup luas. Secara garis besar cerita, dia oke. Transformasinya dari ibu pejuang ke orang yang benar-benar sudah lelah tampak meyakinkan. Tapi karena editing dan arahan, setiap scene baru yang melibatkan dia berkomunikasi dengan anak-anaknya, Gina jadi tampak kaku. Begitu pula dengan anak-anaknya. Aku tidak merasa mereka punya chemistry sebagai keluarga beneran. Aku tidak enjoy melihat mereka. Aku tidak merasakan apa-apa kepada mereka. Karakter yang paling enak ditonton justru adalah karakter minor, seorang napi yang kabur dan bergabung bersama keluarga Jill. Tapi bahkan karakter itu tidak mendapat justice karena juga ‘lenyap’ ditelan editing yang buruk. Pada adegan aksi di babak ketiga, antara cut dengan cut adegannya disambung dengan gak make sense dan tanpa arahan pandangan mata yang sesuai. Sehingga benar-benar tidak bisa kita nikmati. Malah membuat film terasa kaku dan, paling parah, terlihat fake.

Cerita film ini pun berakhir dengan tidak benar-benar memuaskan. You know, karena soal solar flare dan ‘gak bisa tidur’ hanya lapisan pemanis, maka film tidak menuntaskan soal itu hingga ke penyelesaian yang sebenarnya. Kita tidak diberikan jawaban kenapa fenomena itu terjadi. Kenapa hanya Matilda (dan satu wanita lagi) yang bisa tidur. Sebagai penyelesaian, film justru berusaha mengikatkannya lagi kepada gagasan soal generasi baru. Dan itu membuat film ini jadi punya ending yang…. kalian baiknya nonton sendiri karena buatku film ini gila banget hahaha.. Aku gak percaya film benar-benar membuat karakter anak-anak itu melakukan perbuatan itu kepada ibu mereka. Kalo yang diniatkan film adalah menyampaikan bahwa pada akhirnya justru generasi barulah yang kini harus ‘mengeset ulang’ generasi sebelum mereka, maan, film ini benar-benar punya selera humor yang gilak!

 

 

 

Ini nyatanya adalah satu lagi film yang punya potensi, yang punya premis dan gagasan menarik di baliknya, tapi eventually gagal dalam mengkomunikasikannya kepada kita para penonton. Dia jadi ribet sendiri sama gimmick lapisan ceritanya. Yang harus dibenahi oleh film ini ada banyak. Pertama dia harus benar-benar ngeset tone ke arah yang dark jika memang mau ceritanya berakhir dengan penyelesaian seperti yang mereka lakukan. Kedua, editing yang choppy mestinya bisa diperbaiki, karena yang mereka tampilkan di sini jadi tampak fake. Bahkan membuat akting pemainnya menjadi tampak kaku; sebagai keluarga pun mereka tampak tak nyaman.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AWAKE.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian akan menyelamatkan anak sendiri? Atau apakah kalian akan menyelamatkan dunia? And how’s that become more of a choice ketimbang bisa dilakukan beriringan?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

ARMY OF THE DEAD Review

“What happens in Vegas, stays in Vegas”

 

Gak heran kalo Las Vegas disebut sebagai Sin City (Kota Dosa). Di tempat itu dari nyaris dari pintu ke pintu adalah kasino. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru mengunjungi tempat hiburan khusus dewasa tersebut, berpesta foya-foya dengan berjudi dan segala turunannya yang sah, mulai dari ngobat sampai prostitusi. Las Vegas dalam dunia sinema Zack Snyder ini, kedatangan satu ‘dosa’ lagi. Satu abomination, yang lantas merebak menjadi ribuan lainnya. Wabah zombie menggerayangi seisi kota! Beruntung Las Vegas punya slogan “Apa yang terjadi di Vegas, tetap tinggal di Vegas”. Zombie-zombie dikarantina di dalam kota yang ditutup rapat-rapat. Terputus dari dunia luar.

Ketika Scott Ward dan kelompoknya mendapat misi untuk mengambil dua ratus juta dolar uang yang tersimpan di dalam brankas salah satu kasino, mau tak mau mereka harus melintasi kota undead tersebut. Dan saat itulah geng orang-orang jalanan ini mengetahui bahwa musuh yang mereka hadapi di sana bukanlah sesepele mayat hidup tak-berotak. Yang tinggal di dalam sana ternyata bukanlah kawanan zombie biasa. Melainkan kelompok zombie-zombie pintar, yang dipimpin oleh raja dan ratu zombie yang bisa berpikir sendiri. Mereka menduduki kota. Las Vegas telah berubah menjadi kerajaan zombie!

Di Las Vegas semuanya kasino. Gak ada yang dono ataupun indro.

 

Para zombie itu memang jadi hal paling menarik yang ditawarkan oleh film. Basically ada tiga jenis zombie yang dimunculkan di sini. Ada zombie pelan dan dungu, seperti yang sudah umum kita lihat. Lalu ada zombie alpha; zombie yang gerakannya sangat cepat dan cukup cerdas untuk mengelak dari peluru. Dan terakhir, zombie pemimpin mereka, The Original, tak-kurang seperti makhluk berkecerdasan dan kekuatan super. Dia mengendalikan zombie-zombie yang lain seperti bos memerintah anak buah. Hierarki zombie ini menciptakan lapisan intensitas pada cerita. Karena selain difungsikan sebagai tantangan untuk para karakter manusia, zombie-zombie ini juga jadi sarana bagi sutradara Zack Snyder mencuatkan kreativitas khasnya. Tidak setiap hari kita melihat zombie berjubah dan berhelm menunggangi kuda zombie – niruin dewa Zeus, kan. Dan ya, zombie harimau membuat film ini berada dalam level kekerenan yang baru!

Snyder bener-bener pol-polan mengarahkan cerita untuk mengajak kita bersenang-senang dengan tembak-menembak zombie. Setiap headshot ke kepala berotak busuk tersebut dipastikannya terekam dengan penuh gaya. Kita bisa duduk santai menikmati setiap adegan laga yang disuguhkan. Pertemuan geng manusia dengan kawanan zombie dibuat berbeda setiap kalinya. Ada yang berupa mereka harus berjalan pelan-pelan supaya tidak membangunkan zombie yang sedang hibernasi. Di lain waktu, mereka benar-benar harus tunggang langgang sambil berlari menembaki zombie. Bahkan ada adegan ketika para manusia memanipulasi zombie untuk berjalan menyusuri jebakan tersembunyi. I love those kind of interactions. Rasanya nonton ini seperti kembali nonton film-film zombie jaman dulu yang pure seru-seruan, gak ada agenda. 

Jikapun kerajaan zombie itu dimaksudkan sebagai cerminan society masa kini, Snyder tidak pernah mencuatkan hal tersebut. Karena cerita film ini dibuat sangat sederhana sekali. Ceritanya malah cukup mirip dengan Peninsula (sekuel Train to Busan yang tayang 2020 lalu). Alih-alih tentang outbreak, film ini melompat dan mengambil masa ketika Las Vegas sudah jadi kota mati, dan sekelompok orang ditugaskan untuk mengambil ‘harta karun’ di dalam kota tersebut. This is lowkey a heist movie, with zombies. Zombie pintar di film ini adalah pengganti kelompok ala Mad Max di Peninsula. Protagonisnya juga mirip. Peninsula punya protagonis yang merasa bersalah telah membiarkan kerabatnya dimakan zombie, maka Army of the Dead ini punya protagonis yang dihantui oleh tindakannya yang terpaksa membunuh istri sendiri sebelum ibu dari putrinya tersebut berubah menjadi mayat haus darah.

What happens in Vegas stays in Vegas. What happens in the past stays in the past. Karena pada akhirnya, apapun yang telah terjadi, apapun yang telah dilakukan – entah itu keberhasilan atau kegagalan – tidak akan ada orang yang akan benar-benar mengerti kecuali diri sendiri. Kita sendirilah yang harus deal with it. Seberapa jauhpun kita lari, bagian diri kita yang ada di situ akan tetap di situ, sampai kita menyelesaikannya.

 

Personally, aku lebih suka cerita outbreak zombie ketimbang action heist yang zombienya seringkali hanya diposisikan sebagai obstacle. Film Army of the Dead ini menceritakan kejadian awal Las Vegas terkena wabah zombie lewat montase sebagai opening credit. And it was a blast! Montase tersebut melimpah ruah oleh gaya Snyder – aksi dan musik dan kamera work yang lain dari yang lain – dan benar-benar sukses memperlihatkan zombie outbreak mengerikan. Bahkan ada cerita-mini tentang ibu yang harus berjuang menyelamatkan anaknya tapi gagal dan mereka berdua mati bersama zombie-zombie di sela-sela memperkenalkan tiga tokoh sentral sebenarnya dari cerita film ini. Opening kreditnya itu bisa banget dijadiin satu episode film-panjang sendiri. And I must say, aku merasa jauh lebih peduli dan tertarik sama cerita ibu pejuang di situ dibandingkan dengan karakter-karakter yang ada pada kelompok Scott sebagai main story film ini.

Bukannya apa-apa, tapi karakter manusia di film ini tipis sekali. Yang paling mendingan memang si Scott. Dia bilang dia mau nerima misi karena duit, tapi sebenarnya dia juga pengen banget ketemu lagi sama putrinya yang jadi relawan di sekitar perbatasan kota Las Vegas. Dave Bautista menggunakan perannya di sini sebagai pintu kesempatan untuk memperluas range aktingnya. Kita bisa lihat dia berusaha untuk hit adegan-adegan percakapan yang emosional. Tapi dengan stake yang diberikan kepada karakternya ini, kita tidak benar-benar bisa merasa peduli kepadanya. Yang grounded dan emosional terletak pada hubungannya dengan putrinya, yang sayangnya Kate, putri semata wayangnya itu ditulis sebagai karakter annoying karena begitu keras kepala. Selebihnya, kelompok mereka terdiri dari orang-orang yang hanya mau duit juga. Ada youtuber yang diajak ikut karena video dirinya menembak jitu zombie-zombie viral. Ada pembuka brankas yang cupu, tapi dibikin sok melawak oleh naskah sehingga malah jadi creepy. Ada juga beberapa relationship yang tau-tau muncul, dan disetop begitu saja. Film sepertinya hanya menggali mereka sesaat sebelum mereka dibuat mati, as a cheap shot untuk memancing perasaan sedih kita. Padahal sebenarnya ya memang orang-orang ini ada di sana untuk jadi makanan zombie. The more the merrier.

Walaupun di tengah-tengah, film berusaha menaikkan suspens dengan mengeset batas waktu yang semakin ngepress bagi para karakter – jika mereka telat, mereka mati, hancur bersama Las Vegas – tetapi tetap saja susah bagi kita untuk merasakan simpati. Kita tentunya sukar untuk benar-benar ingin mereka sukses jika kegagalan mereka hanya berarti mereka gak dapat duit jutaan yang sebenarnya tidak mereka perlukan (they already have a job). Satu-satunya yang punya stake yang bisa kita pedulikan adalah seorang perempuan beranak dua yang disandera zombie. Namun, karakter teman putri Scott ini ya hanya sebagai sandera, kepentingan dirinya dan keluarganya tidak benar-benar dibangun.

Ditembak termometer jadi elemen horor yang relevan

 

Tentu, film zombie boleh saja hanya have fun dengan karakter yang tipis. Mereka bisa berbicara lewat aksi saja jika memang budget atau waktu yang dimiliki terbatas. Inilah yang disayangkan. Army of the Dead terlihat jelas punya dana yang enggak pas-pasan. Durasinya pun lebih panjang dari yang sebenarnya dibutuhkan oleh cerita. See, there lies the problem. Ketika Snyder merilis Justice League versi dirinya, kita bisa maklum durasi film tersebut mencapai empat jam. Karena kita paham ceritanya butuh ruang yang banyak supaya masing-masing karakter superhero dapat termuat dengan memadai. Kita malah sudah melihat bagaimana cerita tersebut tidak bisa bekerja jika hanya sekitar dua jam. Di film Army of the Dead ini kasusnya beda. Durasi nyaris dua setengah jam itu tidak terasa benar-benar diperlukan. Snyder toh tidak berniat mengembangkan karakter-karakter yang dimiliki. Begitupun soal aksi, yang ternyata tidak selalu terjadi di layar. Snyder di sini tampak memakai durasi bercerita yang panjang, bukan karena dia butuh, tapi hanya karena dia bisa.

Padahal kita bisa rasakan sendiri saat menonton, betapa tidak efektifnya tempo dan ritme adegan per adegan yang kita saksikan. Banyak bagian yang tampak tidak penting-penting, yang jika dibuang pun tidak mengganggu cerita. Misalnya soal teman salah satu anggota kelompok yang diajak tapi kemudian pulang lagi karena takut sama zombie. Apa pentingnya adegan tersebut sampai harus masuk, kan. Karakter yang pulang tadi itu bahkan tidak benar-benar dijumpai lagi hingga akhir cerita. Actually, sepanjang durasi film akan banyak melakukan hal seperti demikian. Seolah ngebuild up sesuatu dari interaksi karakter, tapi ternyata tidak ada pay off sama sekali. Semua berjalan sesuai dengan blueprint mengenai tipikal karakter manusia film zombie yang sudah kita hapal di luar kepala.

Hal terakhir yang juga menggangguku adalah soal treatment gambar yang dilakukan oleh kamera Snyder. Ini lebih ke soal selera sih kayaknya, karena mungkin diniatkan untuk estetik. Snyder merekam gambar yang dengan sengaja digeser dari fokusnya. I mean, hampir seluruh frame itu gambarnya hanya fokus di sekitar tengah layar, sementara sekitarannya buram. Menonton film ini aku sambil mengerjap-ngerjap. Kupikir minus mataku sudah nambah dan kacamataku sudah gak cocok lagi. Karena mirip seperti gambar film inilah penglihatanku kalo gak pake kacamata. I would squint my eyes so hard sehingga nanti bagian tengah yang sedang kupandang jadi jelas. Beberapa penonton enggak akan masalah sama ini, karena hey, it’s Snyder. Gaya-gaya seperti itu cocok dengan konteks siapa dirinya dan bagaimana ciri khas karya-karyanya. Lagipula mungkin memang benar kata Hideo Kojima bahwa Snyder sedang mengubah kepala kita menjadi zombie, dan itu dimulai Snyder dari penglihatan kita.

 

 

Enggak setiap hari kita dapat film zombie yang sangat stylish. Penuh aksi kejar-kejaran dan tembak-tembakan yang seru. Walaupun dari segi cerita film ini enggak menawarkan apa-apa (yang baru), tapi dari segi konsep dan world-building, film ini sukses bikin kita tertarik dengan experience baru yakni zombie yang superkuat dan bisa berpikir seperti manusia. Malahan memang film ini tampak sekalian ngebangun sekuel dan ngetease kita dengan dunia dan lore yang lebih luas lagi untuk ke depannya. Aku enjoy sekali nonton ini, terutama di kredit pembukanya. Dan aku tetap enjoy sampai akhir padahal ada banyak elemen yang dimiliki film yang membuatku enggak sreg. Semua yang terlalu standar di sini membuat kita teralihkan dari thrill yang ditawarkan film ini. Film ini sendirinya persis seperti kota Las Vegas. Penuh dosa, tapi aku enggak akan mikir dua kali untuk mengunjunginya kembali.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ARMY OF THE DEAD.

 

 

That’s all we have for now.

Kalian yang sudah sering nonton zombie pasti kenal sama tipe-tipe karakter yang sering muncul. Menurut kalian kenapa film-film zombie selalu berisi karakter-karakter tipikal semacam itu? Jika kalian ada di dunia film zombie, kira-kira kalian masuk tipe karakter yang mana?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA