SummerSlam 2017 Review

 

Malam minggu malam yang panjang. Waktu kecil, aku mengira arti kalimat itu adalah literally malam minggu berdurasi lebih lama, as in matahari bakal lebih ngaret terbitnya. Makanya, ketika pagi dibangunin untuk ngaji subuh, aku sempat ngamuk-ngamuk “Loh katanya malamnya panjang! Mama papa pembohong, jangan cari Ari, Ari minggat ke bawah jembatan!!!” Buat penggemar WWE, malam-malam ketika pay-per-view gede ditayangkan adalah malam yang panjang. Not necessarily malam minggu, practically minggu malam, dan di Indonesia, mungkin satu-satunya kelompok orang menunggu-nunggu hari Senin adalah penggemar pro-wrestling.

While kita bisa bercanda soal salah satu match pengisi malam itu adalah Jinder MAHAL melawan Shinsuke NakaMURAH, namun tanpa tawar menawar lagi, SummerSlam 2017 mungkin adalah perjalanan show wrestling terpanjang dan terberat yang pernah kita duduki. Enam jam, dengan hanya sepertiga dari itu kita benar-benar terbangun oleh keseruan.

 

Bagi yang ikutan nobar di Warung Darurat, senin itu bahkan bisa terasa lebih panjang lagi. Kami memulai screening dari jam dua siang; mantengin NXT Takeover Brooklyn III dulu untuk kemudian dilanjutkan dengan pre-show SummerSlam dan setelah whole pay-per-view selesai, waktu sudah menunjukkan setengah sebelas malam – dan acara masih berlanjut dengan game WWE Superstars’ Tweet Challenge yang berhadiah tiket nonton dan kaos. Itu totalnya sepuluh jam lebih, loh. Lelah, tapi aku bohong kalo bilang aku enggak excited. Most of that time, memang kita dalam keadaan ‘tidur segan, nonton gak peduli’. Kalo mau dibandingin, tidak ada satupun card di show utama yang bisa membuat kita melupakan keseruan pertandingan Aleister Black melawan Hideo Itami di Takeover. Tidak hingga jam terakhir. Ketika ada partai yang benar hit the high note, terutama ketika main event, SummerSlam seolah berhasil menunaikan tugasnya sebagai pesta terbesar di musim panas.

Salah satu alasan kenapa SummerSlam terasa on off adalah susunan match cardnya sendiri. Booknya penuh, tigabelas partai yang resmi dijadwalkan, dengan tiga untuk pre-show dan sepuluh lagi untuk acara utama. And it was feel like mereka enggak menempatkan match-match yang penting di tempat yang benar. Partai hura-hura seperti Big Cass lawan Big Show dengan Enzo dikurung di kandang lebih terasa seperti sisipin komedi yang enggak punya urusan menjelma menjadi match serius yang berlangsung sepuluh menitan. Sebaliknya, Rusev dan Orton berlangsung begitu cepat sampai-sampai kita ikhlas Rusev dibury Orton hanya supaya acara ini cepat berlanjut ke partai-partai yang lebih compelling.

Ambrose ama Rollins aja balikan. Kamu kapan?

 

Aku harus nyebutin Uso melawan New Day adalah pertandingan preshow terbaik yang pernah aku saksikan. Mereka menyuguhkan aksi yang fresh, but then again, mungkin saja mereka bisa bermain bagus kayak gini lantaran they were IN the pre-show, you know, mungkin saja mereka diberikan kebebasan lebih. Dan semua superstar yang terlibat dalam match itu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Aku enggak mau gegabah muji berkat arahan yang baik dari WWE. Sebab setengah pengisi acara SummerSlam berjalan standar. Ambil Bray Wyatt untuk contoh. Pertandingannya melawan Balor di sini adalah pertandingan ppv terbaik Wyatt di 2017 and that’s not saying much. Akhirannya biasa banget, kayak partai-partai acara mingguan.. Malahan dari segi arahan, kita bisa mempertanyakan beberapa pertandingan lain, seperti:

Apa faedahnya buat Cena mengalahkan Corbin sementara sudah jadi rahasia umum Cena cepat atau lambat akan pindah ke Raw?

Kenapa di tahun 2017 ini kejuaraan United States malah jadi sampingan demi ngebuild up Shane McMahon buat storylinenya dengan Kevin Owens?

Ataupun apakah interference dari Singh Brothers adalah bagian dari moveset Jinder Mahal?

 

 

Menurutku lucu penonton ‘tertidur’ di empat jam awal. Penonton di Warung Darurat pada main hape, eh penonton di Brooklyn sampai ada yang main voli pantai di pertengahan match kejuaraan tag team Raw.  Actually it was a very disrespectful thing to do, makanya gak heran Cesaro marah beneran dan ngejar tuh bola. Setelah kejadian tersebut, show menjadi lebih mudah dinikmati. I was happy for Dean Ambrose yang menjadi anggota Shield pertama yang menyandang predikat juara Grand Slam dengan kemenangannya sebagai juara tag team malam itu. Matchnya seru, Rollins terlihat badass. Cesaro dan Sheamus pun terlihat legit. Mereka benar-benar terlihat have fun dengan referensi fusion Dragon Ball dan sebagainya.

And personally, aku nungguin banget partai pertemuan kedua The Goddess melawan The Boss. Yang membedakan matchnya dengan kejuaraan cewek dari brand Smakdown adalah ada intensitas yang menguar dari kedua superstar cewek. Banyak berita yang melaporkan ada legitimate beef antara Bliss dengan Banks di luar ring, dan hal tersebut tercermin dalam pertandingan mereka yang terlihat sedikit stiff. Perhatikan deh di menit-menit awal match ini berlangsung. Sayangnya, makin ke belakang alur terasa ngedrag. Banks menang dengan formula babyface yang biasa, dia kick out dari Twisted Bliss dan balik menang dengan finisher miliknya sendiri. Sedangkan ketertarikan kita nonton ini ketinggalan di belakang, sebab pace match mendadak rasa terburu-buru. Seolah mereka sadar jatah tampil mereka hampir habis sehingga harus menyelesaikan dengan cepat.

“You can fall of buildings but you can’t get up to make a count?” Bukti lain betapa greatnya Kevin Owens

 

Sekarang mari bicara soal dua juara dunia bertahan kita. Jinder Mahal dan Brock Lesnar.

Aku suka cara tradisional WWE mancing heat dari tanah kelahiran Jinder, aku masih berpikir Jinder bisa jadi heel yang hebat dari eksplorasi heritage India. Akan tetapi problem datang dari si Jinder sendiri. Tindakan Jinder actually belum cukup heel sebagai seorang antagonis. Selain menang curang (dengan cara yang gitu-gitu melulu, kalo boleh ditambahkan), Jinder belum pernah melakukan hal-hal jahat yang membuat kita membenci dirinya. Karakternya masih sebatas ‘buku manual’ banget. Secara skill pun, perkembangannya minimal. Match Jinder gitu-gitu aja. Bookingan Smackdown yang aneh turut membuat Jinder semakin lemah; dia kalah clean dari Orton di saat enggak ada bantuan dari minionsnya. Dalam pertandingannya melawan Nakamura di sini, Jinder terlihat sangat basic, I don’t know, dia terlihat seperti orang yang tampil menghapal alih-alih menguasai bahan yang dipresentasikan. I mean, seenggaknya gunakan taktik heel kayak nyolok mata atau apa. Gunakan cara curang yang lebih kreatif.

Sedangkan untuk Brock Lesnar; meski aku setuju dengan kritik yang ditujukan buatnya, you know, tentang gimana Lesnar ini udah kayak racun di WWE – costnya tinggi sementara kerjanya dikit, mau tak mau aku harus mengakui Lesnar punya satu kelebihan dibandingkan ‘part-timer’ yang lain. Lesnar masih mampu ngedeliver match yang seru TANPA membuat lawannya terlihat lemah. Kita belum pernah dengar kalimat “Brock Lesnar ngebury si ‘anu’”. Di saat-saat langka Lesnar bertanding, dia ngejual, dia take bumps and such, dan walaupun pada akhirnya dia menang, lawan-lawan yang pernah dikalahkan Lesnar tidak kehilangan kredibilitas mereka. Sementara kita yakin riwayat Baron Corbin sudah tamat dikalahkan bersih oleh Cena, kita masih percaya Braun, Joe, dan bahkan Reigns adalah tiga superstar monster paling badass yang dimiliki oleh Raw. Fatal 4 Way adalah perang sebagaimana yang kita harapkan. Keempat superstar legit banget terlihat mau saling menghancurkan. Braun ngelempar kursi ke Joe dan Reigns adalah spot favoritku, I didn’t see that coming! Dengan moveset yang terbatas, Lesnar mampu membuat Reigns terlihat sepantaran, Braun seperti monster beneran, dan Joe sebagai ancaman yang nyata.

 

 

 

Ada banyak sabuk yang berpindah tangan, hanya saja prosesnya terlihat sangat basic. Arahan yang enggak spesial membuat nyaris semua pertandingan terasa kurang usaha. Acara ini akan bisa hebat jika dipotong jadi dua jam, dengan hanya menyisakan pertandingan tag team dan fatal 4-way. SummerSlam adalah malam senin yang panjang yang membutuhkan banyak perjuangan untuk menahan bosan yang kuat dari kita, para penontonnya.
The Palace of Wisdom menobatkan Fatal 4-Way untuk Kejuaraan Universal sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

Full Results:
1. SINGLE John Cena mengalahkan Baron Corbin
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara baru Natalya mengalahkan Naomi si tukang bikin epilepsi
3. SINGLE SHARK CAGE Big Cass mengalahkan Big Show dan bikin pingsan Enzo in the process
4. SINGLE Rusev dikal…RKO!!!
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Sasha Banks jadi juara baru setelah bikin Alexa Bliss tap out… kacian hiks
6. SINGLE Demon King Finn Balor ngalahin Bray Wyatt
7. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Dean Ambrose dan Seth Rollins ngerebut sabuk Cesaro dan Sheamus
8. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Shane McMahon ngitung ampe tiga saat AJ Styles bertahan ngepin Kevin Owens
9. WWE CHAMPIONSHIP partai asia ini dimenangkan oleh Maharaja yang nyurangin Nakamura
10. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Brock Lesnar enggak jadi cabut lantaran berhasil defending atas Roman Reigns, Samoa Joe, dan Braun Strowman

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

BAYWATCH Review

“If you think you’re too big for small jobs, maybe you’re too small for big jobs”

 

 

Tugas penjaga pantai bukan sekedar berlari-lari di pasir dengan memakai pakaian renang. Bahkan kalopun tampang kalian kece dan jago berenang, bukan berarti bisa langsung diterima jadi anak buah Mitch Buchannon. Seperti juga kerjaan laih, ada keahlian spesifik yang harus dikuasai, dan terutama kita harus ngeset prioritas utama; keselamatan pengunjung, di atas segalanya.

Matt Brody pikir dia sudah lebih dari berkualifikasi. Ketika rekruitan baru harus di’audisi’ dulu, Matt malah duduk santai, mamerin motor keren, kacamata hitam, dan otot perutnya. Higher ups boleh saja sudah otomatis melantik dirinya sebagai anggota Baywatch, namun ‘Letnan’ Mitch still giving him a hard time. Terutama karena Mitch tidak melihat Matt sebagai pribadi yang menghormati pekerjaan penjaga pantai, Matt masih terlalu mikirin diri sendiri. Jadi, kedua orang ini enggak akur. But then of course, pantai mereka enggak jauh dari masalah. Ada kasus penyelundupan narkoba, dan di samping menyelamatkan orang-orang dari tenggelam dan tergulung ombak, Mitch dan Matt pada akhirnya harus bekerja sama demi membongkar drug case yang sudah menjatuhkan banyak korban tersebut.

lebih bagus lagi jadi penjaga pantai yang bisa berslow-motion ria

 

Semua orang punya pekerjaan, dan tentunya masing-masing dari kita akan melakukan yang terbaik atas apa yang kita usahakan, Pekerjaan boleh saja dinilai dengan gaji, akan tetapi tidak semestinya kita mengecilkan pekerjaan, menghargainya hanya dari apa yang kita tahu tentangnya. Sekecil apapun, jika dimaknai dengan sesungguh hati, maka akan menjadi gede. Penjaga pantai mungkin memang enggak punya yurisdiksi seperti polisi, tapi pada esensinya adalah sama-sama pekerjaan yang melindungi. It is as important. Pekerjaan apapun yang kita lakukan hendaknya dikerjakan sungguh-sungguh, jangan hanya asal dapet sesuap nasi.

 

Ketika kita dapat lumba-lumba CGI berakrobat dengan latar tulisan Baywatch gede sebagai sekuen pembuka, maka dosa akan ada di tangan kita apabila kita tetap nerusin nonton film ini dengan harapan bakal mendapat cerita yang bergizi. Yea, dalam film ini kita akan banyak melihat otot, daging, dan bagian-bagian tubuh lain lebih dari yang kita pedulikan. Yea, ini adalah film berdasarkan serial tv jadul yang populer bukan karena kejeniusan penulisan ceritanya. Yea, singkatnya ini adalah film bego, Kita sudah mengharapkan itu. Film ini pun tahu how awful they are. Dan mereka mengEMBRACE KE’BEGO’AN.  Ketika kita berada di dasar, tidak ada jalan lain selain ke atas. Film ini, however, nekat untuk terjun ke dasar lebih jauh lagi. Dijadikan sutradara Seth Gordonlah ini sebagai komedi yang sangat raunchy, banyak lelucon ‘jorok’, dan bagi kita yang menontonnya siap mencatat segala hal-hal negatif, we will absolutely get that.

Oke, honestly aku nonton ini karena pengen liat Alexandra Daddario. She’s good, ehm matanya bening aneeettt, tapi part cewek ini seperti yang sudah diharapkan dalam film-film genre action-komedi begini; not much. Yang sedikit mengejutkan adalah tokoh Ronnie yang diperankan oleh Jon Bass. Biasanya, tokoh tipe gini bakal hanya jadi comedic relief yang annoying, dan benar, komedi vulgar banyaknya datang dari dia, tapi Ronnie benar-benar pengen masuk ke dalam tim, dan kita melihat usahanya. Jika Mitch menyelamatkan orang-orang di pantai, maka Dwayne Johnson menyelamatkan keseluruhan film ini. Well, mungkin agak kurang berhasil, tapi bener deh, The Rock membuat film ini tampak lebih baik. Selalu kocak ngeliat The Rock diberikan kelenturan untuk ngeledek nama orang, seperti yang biasa dia lakukan di WWE dulu. Banteringnya dengan Zac Efron adalah salah satu dari sedikit sekali bright spot dalam film ini.  Menghibur melihat Zac dan The Rock saling ‘pamer otot’, berusaha saling mengungguli. Mereka berkompetisi dalam serangkaian tes fisik, dan kekonyolan dari situlah yang pengen kita liat. First half of the movie definitely entertaining, film ini menuaikan tugasnya dengan lebih baik ketika ia tetap di ranah aksi komedi yang konyol. Makanya, ketika film malah pindah ngedevelop aktivitas tokoh antagonis, jadi terasa ngedrag. Kita pengen segera balik ke Mitch dan kawan-kawan

Dan mandi di pantai. Dan tenggelam. Dan diselamatkan oleh Daddario

 

Sebenarnya enggak semudah nulis yang jelek-jelek aja ketika mengulas film ini. Secara teknis, memang ini adalah  film yang jelek. Di lain pihak, film ini berusaha untuk menjadi jelek. Source materialnya parah, dan film ini gak berniat untuk menjadi lebih dari itu. So in way, dia berhasil mencapai tujuannya. Buat penggemar serial tvnya, aka nada suntikan nostalgia dari cameo. Aku bukan fan, jadi kemunculan David Hasselhoff dan Pamela Anderson enggak sampe hilarious banget buatku. Secara keseluruhan, film ini kadang lucu, dan setengah bagian pertamanya lumayan seru. Saat film ingin membahas aspek yang membuatnya sedikit keluar dari komedi konyol, ia jadi terbentur.

Benturan paling keras adalah ketika film ini menghandle adegan aksi. Baik itu pas berantem ataupun saat adegan penyelamatan. Terdapat banyak penggunaan CGI dan masing-masing terlihat lebih tidak meyakinkan dibandingkan efek sebelumnya. Green screennya agak kasar. Api dan asap saat adegan kebakaran tidak pernah terlihat realistis. Sekuen berantem pukul-pukulan ditangani dengan banyak adegan close up dengan lebih banyak lagi pergantian angle. Sungguh sebuah langkah yang tidak perlu. Karena, sekali lagi, kita bicara tentang The Rock di sini. Dwayne Johnson bukan hanya sudah terlatih trash talking orang. CVnya yang bertuliskan mantan pegulat WWE seharusnya sudah lebih dari mengisyaratkan bahwa orang ini sudah terbiasa ‘berpura-pura’ kelahi dan direkam dalam wide shot. Ngejual adegan berantem sudah menjadi keahlian The Rock, ketika dia beraksi, kita enggak perlu capek-capek ngedit; memotong dan nyambungin adegan untuk membuat berantemnya intens. Dalam film ini, however, mereka mengacuhkan hal tersebut dan memecah adegan berantem menjadi banyak potongan adegan sehingga jadinya annoying, kita susah mengikuti.

 

 

Film ini tidak takut untuk menjadi absurd. It’s bad, but it was intended to be bad. Singkat kata, nonton film ini adalah guilty pleasure. Humornya jorok. Bagian aksinya konyol, tapi digarap mengecewakan. Pengungkapan kasusnya ala Scooby Doo. Karakternya meski tipis (penokohannya loh, bukan baju renangnya) tapi setiap dari mereka didorong oleh motivasi. Dan dari segi teknis film, it was bad. Tapi toh kita bisa juga sedikit terhibur.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for BAYWATCH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ATOMIC BLONDE Review

“A secret makes a woman, woman.”

 

 

Perang informasi dan spionase selalu adalah soal fleksibilitas moral, atau bahkan meniadakan moral sejenak, hanya untuk menghancurkan musuh.

 

Makanya, historically setelah Perang Dunia Kedua, secret services MI6 mulai merekrut pria-pria pemakai narkoba, alkoholik, dan para homoseksual untuk dijadikan mata-mata. Lagian, kelompok orang-orang yang dianggap gampang menanggalkan moral tersebut sudah luar biasa berpengalaman dalam menyimpan rahasia. Kalo soal moral sih, yang namanya manusia ya jelas bukan malaikat. Namun, sebenarnya, cewek lebih ampuh dalam menyimpan rahasia. Serius, cewek mana pun yang tahu banyak akan berkata bahwa mereka belum pernah melihat ke dalam hati pria. Dan lagipula aku punya teman cowok yang kalo bohong pasti langsung ketahuan karena terlalu banyak ngedip dan keringetan, persis Nick di serial New Girl.

Di luar kemasannya yang mirip John Wick versi cewek, Atomic Blonde yang diadaptasi dari graphic novel The Coldest City adalah cerita tentang mata-mata. Kalo biasanya di akhir setiap review aku bilang, “in life there are winners and there are losers”, maka film ini punya petuah yang sedikit berbeda. Di dunia dengan orang-orang yang memakai nama alias itu, hanya ada kebohongan dan kebenaran. Kelemahan adalah ketika seseorang mempercayai orang lain. Jadi, jangan heran akan ada BANYAK TWIST-AND-TURN dalam cerita Atomic Blonde.

Paralel dengan setting sejarahnya yang menjelang peruntuhan Tembok Berlin, film ini bilang bukan senjata yang membuat kita saling tak-percaya. Senjata ada karena kita enggak bisa percaya pada siapa-siapa. Charlize Theron adalah agen mata-mata bernama Lorraine Broughton, dia tersohor oleh kemampuan penyamaran sekaligus keahlian kombatnya. Oleh atasan dan CIA, Lorraine diminta untuk berangkat ke Berlin demi menemukan List ‘penting’ berisi nama-nama orang yang diduga double-agent. Di Berlin, Lorraine akan dibantu oleh Percival (sekali lagi James McAvoy devilishly menghibur). Mereka juga harus melindungi seorang agen yang rumornya sudah hafal isi List tersebut, sehingga dia juga ikutan buron oleh orang-orang jahat.

Bukan List of Jericho loh ya!

 

Meskipun ini lebih kepada sebuah cerita mata-mata yang kompleks dengan ledakan aksi, maaaan, enggak usah ragu deh sama sekuens berantemnya. Setiap masing-masing mereka dihandle dan difilmkan dengan gaya keren, juga intens. The shots were beautiful. Lorraine bener-bener menghajar banyak orang. Kabarnya, Theron menampilkan sebagian besar adegan aksinya tanpa peran pengganti, which is incredibly amazing! Atomic Blonde digarap oleh salah seorang sutradara John Wick (2014). Dan David Leitch sekali lagi membuktikan kepiawaiannya mengarahkan adegan pertarungan tangan kosong, ataupun kejar-kejaran mobil. Bandingkan deh editing dan gerak kamera pada sekuens aksi film ini dengan Kidnap (2017). Oke, aku akan nunggu sampai sakit kepala kalian mereda setelah ngeliat adegan Kidnap.

Udah?

Well, Leitch membuat setiap bak-bik-buk terlihat menakjubkan. Gerak kameranya mulus sejalan dengan arah mata kita. Particularly sekuen pertarungan di tangga, yang kemudian berlanjut di jalanan Berlin yang ramai oleh warga yang demo. It is such a blast. Salah satu porsi aksi sinema yang paling stand out di tahun 2017.

Theron excellent banget. Ada sesuatu dari tokoh Lorraine yang membuat kita terinvest. Ya, cerita memang mengeksploitasi dirinya yang seorang cewek, but again, itu untuk menunjukkan cewek adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan spy yang badass. Lorraine ditulis sangat dingin. Personanya udah Ice Queen banget. Itu bukan hanya karena kita ngeliat dia dua kali mandi berendem dalam es batu, ataupun minumnya selalu es kosong campur Vodka. Karakter ini seolah diselubungi misteri. Dia pintar, kata-katanya tajam, tindakannya tangkas, dia membuktikan dirinya adalah orang yang tepat untuk tugasnya. Tapi ada secercah vulnerabilitas di dalam pribadi cewek ini yang kadang terlihat. Film ini mencerminkan personality Lorraine lewat penggunaan warna. Most of the time, di momen-momen cool, Lorraine akan didominasi oleh warna biru seperti kita melihatnya di bawah air dari balik akuarium. Kemudian semburat merah akan lantas mewarnai sosok ini, entah itu api dari pemantik ataupun cahaya neon, dan sekilas kita melihatnya kembali sebagai ‘manusia biasa’. Pun begitu, Lorraine enggak selalu langsung menang berkelahi. Adegan pertama kita melihat tokoh ini, dia dalam keadaan babak belur. Karakter dan treatmentnya sendiri akan membuat kita tetap tertarik, kayak cowok kalo lagi naksir ama cewek kece yang jutek.

 

Namun tertarik enggak bisa membawa kita jauh-jauh amat. Sebab selalu ada saatnya kita ingin belajar lebih banyak tentang karakter tersebut. Hingga menjelang babak akhir, aku enggak pernah benar-benar mengerti apa sih motivasi si Lorraine. Ataupun kenapa banyak orang mengincar daftar nama yang menjadi masalah tersebut. Oke, Lorraine dan teman-temannya ingin mengamankan List, dan bad guys pengen menjualnya, tapi inner motivasi dari kenapa mereka bersedia melakukan itu adalah hal yang bikin kita berjuang untuk mengerti. Dunkirk (2017) membuktikan bahwa kita bisa kok mengikuti karakter hanya di momen yang sedang berlangsung saat itu. Hanya saja, Atomic Blonde tidak berhasil membuat rasa tertarik kita terpuaskan. Investasi kita terhadap karakter tidak membuahkan apa-apa karena kita struggling berat memahami kompleksititas ceritanya.

Penulisan tokoh-tokoh seolah dibuat sengaja untuk mengecoh kita, it full of turns. Setiap mereka diperkenalkan sebagai sesuatu dan pada akhirnya mereka ternyata adalah ‘sesuatu’ yang lebih besar. Sesuatu yang berbeda. Kita enggak diberikan banyak waktu untuk mengenal mereka. Kita dapat dream sequence untuk Lorraine. Tapi itu belum cukup. Selebihnya, untuk karakter-karakter minor, perubahan mereka terjadi begitu saja. Misalnya tokoh si Sofiia Boutella. Dia juga bermain sangat baik, namun masih belum termanfaatkan dengan sama baiknya. Relationship Delphine dengan Lorraine dapat memberikan layer yang lain pada narasi, tapi film tidak mengeskplorasinya. Cuma sebatas, there we did it.

Sofia Nutella, Charlize Terong, James McD. Oke aku lapeeerrrr

 

Film ini mengecewakan ku dari segi sudut pandang bercerita. Petualangan dengan tokoh-tokoh yang penuh muslihat, aksi yang mendebarkan, menjadi berkurang intensitasnya lantaran film menggunakan flashback. Mereka memilih untuk bertutur dengan cara Lorraine duduk diinterogasi, untuk kemudian dia menceritakan apa yang sudah terjadi. Banyak film yang juga memakai cara bercerita seperti ini, kita diperlihatkan kondisi tokoh utama sekarang seperti apa untuk kemudian kita mundur sembari dia menceritakan kisahnya. Aku enggak begitu suka cara begini karena ketegangan film jadi berkurang. Kita melihat Lorraine matanya hitam abis ditonjok, sekujur badannya dihiasi borok luka, akan tetapi kita tahu dia akan baik saja. Because she sit was there to tell the tale. Jadi, setiap berantem yang kita lihat akan bikin kita, like, “wuiihhh idih!… ah, tapi dia selamat kok.” Cerita film ini bisa menjadi lebih exciting, tensi serta stakenya lebih gede jika dimulai lurus aja dari awal ke akhir, tanpa perlu bolak-balik antara present dengan timeline sebelumnya. Lagipula, setiap kali cerita balik ke ketika Lorraine diinterogasi, segalanya terasa berjeda. Sekuens di ruang interogasi itu kering dan hampa banget, kita pengen cepet-cepet balik ke bagian Lorraine melakukan sesuatu yang badass.

Satu lagi gaya yang diambil oleh Atomic Blonde, yang menurutku agak berlebihan, adalah penggunaan musiknya. While it is nice denger lagu-lagu upbeat dari 80an – pilihan lagunya bagus – namun timing pemakaian lagu ini terasa memberatkan film lebih daripada membantunya. Soundtrack film ini ABRASIVE sekali, seolah menjadi bagian dari narasi. Seperti ketika Lorraine masuk ke bar, lagu rock itu kemudian berganti gitu saja jadi musik jazz ketika ada yang menyalakan pemantik api saat Lorraine duduk di meja bar. Ada dua atau tiga kali kejadian, di mana musik latar pelan banget, dan ketika Lorraine mulai menghajar orang, musiknya menggede sendiri begitu saja. Mereka tampaknya ingin bikin lagu-lagu itu standout, akan tetapi sepertinya bukan ide yang bagus sebab lagu-lagu itu tidak menambah kepada narasi, ataupun benar-benar penting untuk pengembangan karakter.

 

 

 

Not to say film ini style over substance. It does have a complex spy story. Dan gaya film ini memang keren luar biasa. Banyak shot ciamik. Sekuens aksi yang nampol. Tapi film ini bukan orang Jerman yang enggak bikin kesalahan simpel. Terdapat banyak pilihan editing yang tampak seperti ‘just because they can’ alih-alih yang benar dibutuhkan untuk kepentingan cerita; susunan narasi yang bolak-balik dan terasa amburadul, membuat kita sering terlepas. Apalagi di bioskop Indonesia, sensornya banyak, jadi makin terlepas, deh kita. Dan musik yang sangat menggebu-gebu, meski kepentingannya enggak segede itu buat narasi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ATOMIC BLONDE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KIDNAP Review

“When I grow up, I’ll be a man like Mom.”

 

 

Kasih anak sepanjang jalan. Kasih ibu sepanjang masa. Well, dalam film ini Halle Berry membuktikan kasih sayang sepanjang masanya dengan desperately mengejar penculik anaknya, ngebut-ngebutan di sepanjang jalan tol.

Sembilan-puluh menit sensasi menegangkan mestinya bisa kita alami bareng Halle Berry yang hari itu lagi sial banget. Dia memerankan tokoh bernama Karla. She’s a single mom yang lagi ngurusin perceraian. Di tempatnya bekerja sebagai waitress – kafe paling enggak bersih seAmerika, setidaknya menurut salah satu pelanggan cerewet – Karla dibuat repot karena temen waitressnya enggak masuk kerja. Di sini karakter Karla diset up, kita lantas paham bahwa dia enggak akan nerimo diperlakukan rendah, that she doesn’t take shit from anybody. Karla akhirnya bisa refreshing jalan-jalan ke taman bareng anaknya, Frankie. Kita melihat betapa dekat mereka. Kita bisa merasakan naluri ibu pelindung Karla semakin teramplify oleh perceraian, dia enggak mau pisah ama Frankie. Dan di momen itulah, Frankie justru diculik oleh seseorang (atau sekelompok). Basically, film enggak pake ngerem berubah menjadi full adegan kejar-kejaran.

Lebih dari sebuah misi penyelamatan, Ini adalah jalan pembuktian bagi Karla bahwa dia bisa menjadi ibu yang baik. Bahwa dia sanggup mengurus anak. At heart, Kidnap bekerja sebagai cerminan struggle seorang single mother yang menolak untuk terlihat lebih ‘rendah’ dari mantan suami. Ataupun dari pasangan suaminya yang baru. Desperate, putus asa, namun gigih. Film ini mengingatkan kepada siapapun di luar sana bahwa tidak ada yang mengalahkan tekad dan perjuangan seorang ibu yang menginginkan anaknya.

 

 

Dari konsep sendiri, ini adalah cerita yang menjanjikan. Jika diolah oleh tangan-tangan yang tepat, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian thriller yang asik sekaligus seru. This could work great, film televisi Duel (1971)  buatan Stephen King, kan, juga mirip-mirip kayak gini. Tapi struggle is real buat orang-orang di balik pembuatan film Kidnap. Halle Berry melakukan sebaik mungkin yang mampu ia usahakan. Dan that’s about the nicest thing yang bisa aku bilang untuk film ini. Penulisan plot poin serta penghalang buat tokoh Karla begitu seadanya sehingga kita terhibur juga oleh keover-the-topan yang dihasilkan. Di satu titik, Karla sengaja bikin mobil-mobil tak berdosa saling tabrakan seolah mereka cuma bom-bom car sebab dia ingin disetop oleh polisi sehingga dia bisa mengadukan kasus penculikan tersebut. Oh ya, sebagai plot device, narasi sengaja membuat hape Karla terjatuh, so yea, supaya kita dapat halangan pertama. Setelah itu, tidak banyak variasi kegiatan Karla. Dia antara berlari-lari, ataupun berdoa dan bicara kepada dirinya sendiri.

Mungkin dia juga sengaja nyala sein ke kiri terus beloknya ke kanan

 

Bayangkan film Nay (2015), gabungkan dengan Taken (2008). Tapi batasi porsi dialognya dengan hanya “Oh my god” dan “Frankie!”. Rekam dengan audio. Kemudian potong-potong adegan aksi dan kebut-kebutannya, susun ulang dengan serampangan-pokoknya-asal-cepet. Sudah? Sip, kalian sudah dapat gambaran besar tentang seperti apa film Kidnap dipersembahkan. EDITINGNYA ADALAH SALAH SATU YANG TERBURUK yang pernah kita saksikan dalam dunia sinema. Demi memancing adrenalin penonton, film ngeshot back-and-forth dengan cepat. Jarang sekali kita bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Sekuen Karla berantem cekek-cekekan seatbelt dalam terowongan adalah sekuen yang bikin mata berair, eye-tracingnya completely off. ALih-alih merasakan ketegangan, kita malah sibuk berusaha fokus, sehingga sama sekali enggak ada emosi yang kita pungut dari adegan tersebut.  Banyak informasi yang literally terpotong oleh proses editing yang kasar banget. Seperti pada akhir, kita melihat Karla dikejar anjing dan salah satu penjahat. Karla sembunyi dengan menyelam di dalam air. Kemudian dia tiba-tiba muncul dari belakang si penjahat, ada pergulatan, dan kita enggak pernah lihat apa yang sebenarnya terjadi kepada anjing galak tadi.

Ketika Karla berlari keluar dari mobil, dia setengah mati berusaha secepat mungkin ke tempat yang ia tuju, sesungguhnya ini adalah momen yang sangat intens. Namun, berkat editing horrible – alihalih pake continuous shot yang panjang, mereka malah memotongnya menjadi banyak shot – momen tersebut jadi kehilangan energi. Pilihan yang dilakukan oleh filmmakernya bakal bikin kita ngakak, dan dari sinilah letak enjoy nonton film ini datang. Beneran, kalian bisa bikin semacam drinking game atau apa dari banyaknya shot speedometer yang beranjak naik dari 40 ke 60, seolah minivan si Karla ngebut banget.

Seperti Karla yang desperate ngejar penculik anaknya, film ini desperate agar kita terhibur menontonnya. Ia gunakan trik-trik filmmaking supaya filmnya seru. Eh malah jadi tampak konyol. To pinpoint one moment in particular; dalam salah satu adegan kebut-kebutan, film ini menggunakan efek fade black dan terang lagi dengan cepet-cepet sekitar enam atau tujuh kali. Tujuannya sih supaya kita turut ngerasain tegangnya melaju dalam kendaraan yang nyaris tabrakan, akan tetapi kelihatannya malah kayak adegan di trailer film-film action. Merasa enggak cukup, film ini pun turut memakai teknik Dutch Angle. Eh, tau Dutch Angle gak? Itu tuh, teknik kamera miring atau ditilt beberapa derajat sehingga bagian bawahnya enggak lagi sejajar garis horizontal. Seperti yang biasa kita jumpai pada film-film psikologis ataupun arthouse. Teknik ini sebenernya digunakan untuk menggambarkan suasana yang eerie biar lebih dramatis. Jika karakter bingung, maka dengan diceritakan pake kamera ngeoblige kayak gini, rasa bingungnya bisa meningkat menjadi kecemasan yang luar biasa. Dalam film ini, aku tanya deh, kenapa? Kenapa momen nyeni kayak gini digabung begitu saja ke dalam action thriller klise. Dutch angle jika salah penempatan, atau dilakukan dengan enggak pas, jadinya malah konyol. Dan itulah yang terjadi pada salah satu car chase di film ini.

“You took a wrong movie!”

 

Ketika kita punya cerita yang sederhana, yang konsepnya begini basic, kita bakal enggak bisa menahan diri untuk memasukkan twist sekecil apapun yang kita bisa.  Yang tidak termaafkan adalah ketika kita memasukkan twist, dan kemudian kita merasa perlu untuk menjelaskan kepada penonton. Setelah kita melihat cerita tembak-langsung, Kidnap dengan tanpa dosanya merangkum narasinya dengan memasukkan adegan berupa suara di radio memberitakan apa yang telah terjadi. Menurutku, ini adalah salah satu bentuk penceritaan yang meremehkan intelensia penonton. Closing dengan siaran berita itu sama sekali enggak perlu.

Jika pria adalah seorang yang menyintai unconditionally,yang senantiasa melindungi dan peduli. Maka, ya, Ibu adalah seorang pria.

 

 

 

Complete failure of production. Film ini sangat berantakan. Editingnya yang parah membuat konsep thriller yang punya potensi menjadi hilang begitu saja. Tergunting-gunting di dapur studio. Sebagian besar durasi kita akan capek untuk mengikuti alur editing yang parah. Sehingga kita lupa untuk menikmati emosi dan struggle tokoh utamanya. Namun aku gak bisa bohong, aku terhibur juga dibuat oleh film ini. Pilihan-pilihan yang mereka lakukan dalam menyampaikan cerita sangat konyol.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for KIDNAP.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

WAR FOR THE PLANET OF THE APES Review

“When a man assumes leadership, he forfeits the right to mercy”

 

 

Kera sering dianggap sebagai kerabat terdekat manusia. Para ilmuwan dengan teori evolusi sih berkata begitu, we are both primates, rantai DNA dan segala macem punya kesamaaan. Namun siapa sih yang sudi dikatain mirip ama monyet? Well, sejak menonton film pertama dari prequel seri The Planet of the Apes, suka gak suka aku jadi terhenyak juga melihat pelajaran yang terus berulang; bahwa manusia dan kera itu memang mirip tanpa kita sadari. Kera juga adalah spesies yang menyayangi keluarga, hidup bersosial dan saling berketergantungan, mereka punya rumah, mereka punya emosi yang membentuk karakter.

Bahwa kemanusiaan bukan ekslusif milik manusia semata. Malahan, oleh film ketiga ini – yang mengeksplorasi kata pertama dari judulnya –  kita akan dibuat benci sama spesies kita sendiri. Kera diserang, diperbudak, mereka adalah korban dari ketidakmampuan manusia mengaplikasikan ‘kemanusiaan’ itu sendiri.

 

The Planet of the Apes has been a great series so far. Kita sudah melihat kebangkitan bangsa kera mengambil alih planet dari manusia. Kita sudah melihat permulaan era baru di mana bukan lagi manusia sebagai spesies terkuat, dan dalam film kali ini kita akan melihat perang antara manusia-manusia yang tersisa dengan kera-kera pintar itu terjebak di tengahnya. Namun lebih daripada tentang memenangkan peperangan tersebut, ini adalah tentang SURVIVE DARI HORORNYA PERANG. Perspektif film ini teramat kuat karena sebagian besar waktu kita akan ngikutin Caesar sebagai pemimpin bangsa kera, and it’s also about pilihan-pilihan yang dibuat oleh pemimpin. Struggle antara rasa belas kasih dan balas dendam menjadi elemen konflik yang mewarnai cerita.

screw science, we are at war!!

 

Pada titik ini, kita tidak lagi mengagumi Caesar hanya sebagai pencapaian teknologi. I mean, not to overlook the production dan efek film ini sih. Yang mana sangat mencengangkan. Sekali lirik adegan pembukanya saja, kita langsung sadar bahwa film ini dibuat tekun oleh sekumpulan orang-orang jenius yang sangat berbakat. Kerja motion capturenya adalah salah satu yang terbaik yang pernah aku tonton, semuanya terlihat nyata. Andy Serkis sekali bermain brilian menghidupkan Caesar. Seperti yang kutulis tadi, mereka bisa menyejejerkan manusia dengan kera dalam satu adegan dan kita akan lebih respek terhadap yang kera, tapi bukan lagi karena bulu dan tingkahnya terlihat asli dan meyakinkan. Caesar di sini teramat menderita. Dia bukan lagi kera kecil yang diajarin bicara sama James Franco. Dia tidak lagi seekor kera naïf yang idealis berusaha menjadi simbol perdamaian manusia dengan kera. Di sini Caesar dan kelompoknya belajar hal baru: Dendam. Amarah menguasai, as Caesar bergulat melawan sisi gelap dari dalam dirinya sendiri. Pertumbuhan inilah yang membuat War for the Planet of the Apes bekerja luar biasa berhasil sebagai penutup trilogi. Journey Caesar bukan hanya bergerak di dalam lingkar film ini saja, jika kita menonton ulang dari Rise, terus Dawn, terus War ini, maka akan terasa pergerakan natural dari arc Caesar dan tokoh-tokoh lain, bahwa arc mereka membentuk satu gambar besar. Tentu saja aku gembira sekali karenanya, sebab meski aku belum nonton seri yang jadulnya, aku suka seri Planet of the Apes modern ini sedari Rise (2011).

Tidak seperti Simian Flu yang enggak ada obatnya, untungnya film ini berhasil menyembuhkan beberapa ‘penyakit’ yang menurutku menjadi masalah dalam dua film sebelumnya. Main problem seri ini adalah mereka bicara begitu banyak sebagai kera, sehingga melupakan karakter manusianya. Tokoh manusia tidak dibuat semenarik Caesar dan kawan-kawan. Setiap kali film membawa kita ke posisi tokohnya James Franco atau tokohnya Jason Clarke, kita pengen cepet-cepet pindah kembali ke Caesar, yang selalu menjadi inti cerita. Dalam film ini, kita setidaknya dapat tiga tokoh manusia yang diolah dengan menarik. Terutama tokohnya Woody Harrelson yang awalnya terlihat komikal sebagai Kolonel keji yang menyerang rumah Caesar. Ada kedalaman di dalam tokoh ini.  Kolonel adalah cerminan seperti apa jadinya Caesar jika dia terjerumus ke dalam lubang kesalahan yang sama. Kedua orang ini adalah pemimpin yang sama-sama menderita oleh pengorbanan dan kehilangan, jadi mereka ingin memastikan kelompoknya tidak lagi mengalami hal tersebut.  Ada gagasan tentang trait pemimpin yang juga dibahas oleh film ini secara subtil lewat dinamika Caesar dan Kolonel.

Dan tentu saja simbolisme. Kolonel menangkap dan memperbudak kera-kera di markas pasukannya yang dibuat mirip banget ama markas pasukan holocaust. Pasukannya bahkan punya chant khusus segala. In fact, ada banyak imaji holocaust dalam film ini. Sejalan dengan itu, masalah kedua film-film Apes ini adalah terlalu banyak dialog eksposisi, terutama Dawn (2014) tuh, banyak banget.  Dalam film War, penulis tampaknya menyadari hal ini, dan mereka membuang semua penjelasan, kecuali pada satu sekuen di mana Caesar dan Kolonel  ngobrol tegang membahas apa yang terjadi di masa lalu.

kera saktiii, membuat semua orang menjadi gempar

 

Aku sudah dibuat ternganga semenjak tembakan pertama berdesing. Ada begitu banyak sekuens dalam film ini yang membuat aku takjub hanya dari sudut pandang filmmakingnya. Arahan Matt Reevers membuat cerita menjadi sebuah perjalanan emosi yang suram namun sangat indah untuk diikuti. Sinematografi dan editingnya pun menyambung dengan mulus. Tidak ada momen yang terasa out-of-place ataupun sia-sia. Semua yang terjadi di sepuluh menit pertama basically ngeset-up segala yang kita butuhkan mengenai narasi dan film ini dan pada akhirnya akan terkonek sempurna dengan babak akhir. Untuk melengkapi pencapaian akting dan visualnya, departemen musik pun turut menyumbangkan peran yang begitu besar buat penceritaan. Suara dan musik eventually menjadi aspek yang penting sekali sebab ada banyak sekuens di mana tidak ada yang berbicara. Caesar memberikan isyarat kepada kera lain, mereka berkomunikasi diam-diam, dan yang kita punya untuk dipegang memang hanya penampilan, timing pengambilan gambar, dan musik. Juga ada momen yang ngebangun detik-detik balas dendam Caesar yang entirely senyap, jadi permainan musik dan desain suara begitu vital. Ditambah dengan penampilan Serkis, maka kita dapat the very definition of epic right there.

Musuh selalu mengintai  dari luar sana. Dan kekerasan manusia terhadap kera dalam film ini berfungsi sebagai metafora yang sangat pas terhadap keadaan kita dengan alam sekarang ini. Kita menjawab hal yang tidak kita tahu dengan ketakutan dan keinginan untuk mengontrolnya. Jadi kita merasa sebagai pemimpin dan berpikir berhak untuk membuang belas kasihan. Maka daripada itu, jika dibalik, siapkah manusia jika suatu saat nanti benar-benar muncul spesies yang lebih pintar untuk menggantikan posisi kita sebagai spesies alpha di muka bumi ini?

 

 

Salah besar jika kita masuk ke dalam studio, mengharapkan tontonan ringan yang ‘ceria’ oleh ledakan dan tembak-tembakan perang. Film ini begitu uncompromising sehingga menyebutnya fun sungguh sebuah typo yang disengaja. War digarap dengan unconventional. We do get a gigantic action scene, namun tidak bakal seperti yang kita bayangkan. Saat menonton pun, mungkin kita akan mulai berpikir, menebak-nebak ke mana arah cerita, you know, like, siapa akhirnya bakal melakukan apa, dan film ini tidak akan melakukan apa yang kita pikirkan. Narasi tidak memberikan jalan keluar gampang untuk karakter-karakternya. Film akan membuat mereka melakukan pilihan dan keputusan yang susah.

But also, film ini dengan berani mengambil resiko. Tone gelap itu berusaha mereka imbangi dengan sedikit suara ringan. Resiko ini datang dalam wujud kera botak yang menyebut dirinya “Bad Ape”. Tokoh ini adaah semacam komedik relief yang sebenarnya punya potensi untuk menghancurkan setiap adegan yang ada dianya dengan lelucon yang bikin nyengir. Sukur Alhamdulillah, film berhasil menemukan celah waktu dan kadar humor yang tepat, dan menurutku peran Steve Zahn ini menjelma menjadi salah satu kekuatan yang dipunya oleh film. Ada juga momen-momen manis yang datang dari tokoh gadis cilik bisu, yang salah-salah garap bisa saja hanya menjadi device nostalgia buat penggemar seri orisinil Planet of the Apes. Tetapi Nova oleh Amiah Miller begitu adorable, kehadirannya jadi simbol bunga di padang salju, eh salah, padang gurun, hmmm… medan perang, ding! Nova adalah harapan sekaligus bukti bahwa kedua spesies dapat hidup berdampingan.

 

 

 

 

Masterpiece ini bukan hanya tambahan yang hebat buat dua film sebelumnya, melainkan juga adalah sebuah penutup yang melengkapi trilogy ini dengan overaching plot yang sungguh-sungguh memuaskan. Setiap menit durasinya terasa sangat emosional dan riveting. Tidak ada dialog ataupun momen yang ‘salah’, kecuali satu kali mereka melakukan adegan eksposisi. Di luar itu, ini adalah cerita brutal tentang perang dan survival dan apa yang membuat pemimpin menjadi seorang pemimpin. Ini bukan blockbuster popcorn. Tetapi tak pelak, this was a beautiful experience. Penampilan aktingnya amazing semua, arahannya sangat riveting. Film ini adalah kasus langka di mana film ketiga menjadi film terbaik dalam trilogi tersebut. Dan juga adalah sebuah pengingat bahwa prekuel bisa kok menjadi sangat bagus jika digarap dengan sepenuh hati seperti ini. Explosive dan emosional, ini tak lagi sekedar khayalan gimana jika kera menguasai dunia. Ini sudah menjadi pembahasan mendalam apakah kita manusia, yang tidak berbelas kasih kepada alam, memang pantas untuk menjadi spesies penguasa dunia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WAR FOR THE PLANET OF THE APES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

Battleground 2017 Review

 

Dalam salah satu episode serial Netflix tentang gulat wanita, GLOW (2017), Ruth si tokoh utama sempat protes lantaran karakter tokoh heel yang dia pitch ke produser (atau booker, mengingat medan kita adalah ranah wrestling show) – wanita korban perkosaan di dunia post-apocalypse berontak ingin menguasai air dan satu-satunya pria yang tersisa – ditolak mentah-mentah. Alasannya cuma satu, terlalu ribet. Make it simple. Terlebih buat global company segede WWE.  Makanya, meski pesan yang ditimbulkan bisa sangat degrading dan sungguh-sungguh ketinggalan-jaman, kita tetap saja mendapat tokoh antagonis yang otomatis jahat hanya karena mereka berasal dari negara bukan-America seperti Rusev. Dan Jinder Mahal, yang tentu saja demi heat dan draw yang gede-nan-gampang, dijadikan juara WWE.

Pro-wrestling memang adalah tentang karakter yang berwarna, seperti yang disebut dalam video opening acara Battleground, namun warna tersebut hendaklah enggak nyampur-nyampur.

 

The way Battleground teresolve sepertinya memang sudah diset untuk membangun clash antar-negara. Acara ini berdentum oleh gaung patriotisme. Namun, jika Nolan’s Dunkirk (2017) menitikberatkan kepada perjuangan bersama melawan segala odds, maka dalam Battleground, as we see John Cena merangkak desperately demi nancepin bendera Amerika dengan Rusev memburu ganas di belakangnya, kesimpelan nature acara gulat membuat semuanya terasa komikal. Patriotisme sedikit tercoreng oleh warna pretentious karena WWE membuat ceritanya terlalu hitam dan putih. Battleground adalah ladang mereka ngebuild up kekuataan Amerika.

Dan di sisi yang berlawanan, kita melihat Jinder Mahal Berjaya, mengalahkan Randy Orton. Mahal membuktikan kepada dunia lewat match Punjabi Prison bahwa dia benar adalah Maharaja di India. Ini lebih seperti Dunkirk di mana kita melihat Singh Brothers dan, even The Great Khali yang bikin surprise tanpa tedeng aling-aling stumbling on the ramp, it was basically semua Jinder’s People keluar untuk mastiin Jinder keluar sebagai pemenang. India bersatu, aku sendiri excited kalo-kalo kita bakal dapet stable semacam India World Order. Dan melihat cara mereka ngebooking begini, Cena dan Jinder will eventually cross path, leading to a great nation war, mungkin saja di Summerslam. Despite this show itself – dan kemungkinan Cena ngebury Jinder, aku niscaya tetep bakal menunggu-nunggu hal tersebut untuk terjadi.

sejak di The Wall (2017), Cena mahir banget akting merangkak

 

Match mereka sendiri menjadi terlalu datar, dengan emosi tersesat entah di mana oleh rapatnya gimmick yang berusaha dibangun.  Contohnya Flag Match antara Cena dengan Rusev. Pertandingan yang sejatinya semacam lomba lari, yang kayak Ladder ataupun Flag, akan selalu memancing dramatic impact dari momen-momen superstar face berjuang mencapai ‘garis finish’. Akan tetapi, jika pada Ladder Match, mereka dapat menggunakan tangga sebagai senjata dan device akrobatik dengan seribu satu cara, maka pada Flag hanya entah berapa kali kita bisa memanfaatkan tiang bendera menjadi alat penyerang yang efektif dan menarik untuk dilihat. So naturally mereka resort ke elemen ‘lomba lari’ tadi, di mana hanya exciting di percobaan pertama. Akting Cena dan tingkah Rusev yang, “lama banget!” koor penonton nobar di Warung Darurat, sengaja ngulur-ngulur waktu kesusahan atau pun bergaya membawa bendera dengan cepat menjadi annoying. And it’s not really believable either, lantaran sebelum match dimulai kita melihat kru memasang bendera dengan sangat sigap. I mean, mendingan krunya aja deh yang tanding. Sepuluh menit terakhir menjadi porsi yang paling seru, Rusev dan Cena finally get to some fun actions. Sayangnya, match ini berlangsung selama dua-puluh menitan, jadi yah, keseruan di akhir itu enggak berarti banyak.

Menaruh Jinder Mahal dalam pertandingan yang hampir setengah jam juga sepertinya bukan pemikiran yang cemerlang. Sejauh ini, aku suka gimana freshnya sabuk kejuaraan tertinggi dipegang oleh superstar yang enggak disangka-sangka. WWE pun benar-benar ngepush status foreigner Jinder Mahal sebagai antagonis kelas kakap. Namun Jinder belum membuktikan bahwa dia deliver sebagai yang top di kelasnya. Tiada ciri khas yang distinctive dari duel-duel si Modern Day Maharaja. Spot menarik dan kocak malah selalu datang dari Singh Brothers. Begitu juga di Punjabi Prison ini. Emosi match terasa datar (makasih juga buat Randy Orton yang tampak main males-malesan sejak kehilangan gelarnya). Penjara itu kehilangan nuansa brutal, meski komentator udah susye paye ngejual ini sebagai mimpi buruk. Crash terkeren justru datang dari salah satu Singh yang jatuh dari ketinggian kandang ke meja komentator. Bagian paling dramatis secara emosi adalah ketika literally kemenangan Orton ditahan oleh Khali dan Mahal sengaja duduk di sana menonton sambil neriakin makian. Mengingat sejarah bahwa Khali adalah orang yang bertanggung jawab untuk kehadiran Punjabi Prison Match, beberapa menit momen tersebut menjadi sangat simbolik.

Punjabi Prison versi Indonesia: dikurung seharian nontonin sinetron-sinetron Punjabi’s

 

WWE  bukannya enggak berani ngebook orang asing sebagai protagonis, buktinya kita melihat Shinsuke Nakamura melawan Baron Corbin di mana si Corbinlah yang terlihat luar biasa ngeselin. Karakter Corbin works really well, dia ‘talking smack’ semua orang, termasuk penonton. Dia malah memulai match dengan talk trash di depan idung Nakamura. Such a fun heel. Sedangkan untuk bagian Nakamura, para penulis salah kaprah dengan mengarahkan karakter King of Strong Style ini menjadi karakter babyface yang musti dihajar duluan baru ngebales ala ala John Cena. Nakamura enggak butuh dramatic element kayak gitu. He can work well, his strike sangat cepat, dan ‘membumikan’nya seperti pada match ini hanya membunuh tempo dan pace dan electric yang ia miliki. Aku ngerti hasil akhirnya bahwa kedua superstar tersebut pada titik ini harus dilindungi secara menang-kalah. Yang enggak aku ngerti adalah kenapa kedua superstar yang harus dilindungi ini malah dibook tanding berdua. Memangnya enggak ada lawan lain?

Semuanya terasa menurun setelah bel tanda kejuaraan tag team sebagai partai pembuka berakhir. New Day dan Uso menyuguhkan aksi tag yang cepat, banyak false finish yang bikin kita melonjak-lonjak. Kofi dan Uso kick out bergantian dari finisher lawannya masing-masing. Puncak serunya adalah ketika Xavier Woods yang sedang terbang kena stop oleh tendangan di kepalanya. Wuih itu telak banget, enggak lebay deh kalo kubilang itu SUPERKICK TERKEREN sejak Shawn Michaels nendang Shelton Benjamin. Battleground tidak bisa mengembalikan derasnya sorak penonton, not even dengan AJ Styles dan Kevin Owens. Kedua orang ini malah diberikan penyelesaian yang aneh dan datar. Angle wasit pingsannya enggak mengarah ke apa-apa, Owens bahkan enggak tap out, dan sepertinya wasit  bangun kelamaan sehingga endingnya tampak awkward. Dan meski mungkin kita senang Zayn akhirnya menang, both Zayn dan Mike –tiga sama Maria- enggak terlihat credible sebagai pemain papan tengah. Match cewek, however, bisa saja menjadi lebih baik jika saja WWE enggak terlalu doyan dengan eliminasi cepet-cepet. Pertandingannya terasa terburu-buru dan did very little to the girls.

 

Ada tebakan nih; siapa juara WWE saat ini yang jarang mempertahankan gelar di ppv, tetapi bukan Brock Lesnar?

NAOMI

glow is the new black

 

Naomi has yet to impress me. Selain nari-nari dan nyala dalam gelap dan entrancenya bikin anak bayi epilepsi, Naomi belum banyak berkembang. Aku ingin lihat dia bertanding lebih banyak, melawan kompetitor yang mumpuni.  Sejauh ini, berturut-turut di ppv dia terlibat tag team, melawan Lana, dan sama sekali enggak dapat match. Saat melawan Lana, aku belum melihat peningkatan pada skillnya. Perlu diingat, skill dan moveset itu berbeda; ya, Naomi punya moveset yang asik sebab dia highflyer. Tapi itu bukan lantas berarti dia punya skill bagus. It just mean that she is a highflying, dan karena dia face maka ya dia pake jurus-jurus yang enak dilihat. Take Alexa, Bliss sebenarnya bisa berakrobat di atas ring, tapi semenjak jadi heel, porsi aksinya lebih diarahkan untuk moveset antagonis, Twisted Bliss pun jadi jarang dia gunakan. Atau liat saja Neville; sejak jadi jahat, pamungkasnya beralih jadi Ring of Saturn. Skill yang kumaksud adalah kemampuan dalam ngedeliver dan eksekusi moves. Serangan-serangan Naomi masih terlihat lemat dan emotionless. Di Battleground dia jadi komentator, dan bahkan mic skillnya juga masih pas-pasan, masih terdengar ngapalin skrip. I want to see how she’s improving, semoga dia sengaja disimpan buat mengejutkan kita semua, bukan lantaran karena WWE masih ragu sama dia.

 

 

 

Battleground is a set-up show dengan akhiran match yang cenderung buruk. Eksekusinya datar, cardnya kayak diisi semuatnya. Honestly hanya Corbin yang keluar dengan lumayan meyakinkan, sementara superstar lain either diberikan booking yang jelek ataupun enggak live up sama karakternya. Ini bukan saja pay per view Smackdown terburuk, namun bisa juga adalah salah satu yang terjelek yang ditawarkan oleh WWE.
The Palace of Wisdom menobatkan New Day versus The Usos sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

Full Results:
1. WWE SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP New Day jadi juara baru ngalahin The Usos
2. SINGLE Shinsuke Nakamura menang DQ atas Baron Corbin
3. FATAL 5 WAY ELIMINATION Natalya mengalahkan Charlotte Flair, Becky Lynch, Lana, Tamina
4. WWE UNITED STATES CHAMPIONSHIP Kevin Owens merebut kembali sabuknya dari AJ Sytles
5. FLAG John Cena defeat Rusev
6, SINGLE Sami Zayn menang atas Mike Kanelis
7. WWE CHAMPIONSHIP PUNJABI PRISON Jinder Mahal ngalahin Randy Orton dengan bantuan besar

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

DUNKIRK Review

“We shall fight on the beaches

 

 

Bayangkan dirimu seorang serdadu Inggris yang terjebak dalam perang, empat ratus ribu pasukanmu dipukul mundur hingga ke garis pantai. Tempat di mana kalian menunggu untuk evakuasi. Hanya saja kondisimu itu sama aja seperti bebek yang berenang di dalam baskom; setiap detiknya kalian dalam bahaya ditembaki oleh pemburu, yang dalam perang ini adalah pesawat angkatan udara Jerman. Jadi tentu saja kalian akan melakukan apapun untuk bertahan hidup. Dunkirk menceritakan tentang survival perang, begitu simpel dan sungguh nyata. Dan oya, kejadian di pesisir pantai Dunkirk ini diangkat dari peristiwa dari Perang Dunia Kedua, yang tercatat di buku sejarah sebagai peristiwa ‘ajaib’ yang mengubah pandangan dunia terhadap perang.  Ajaib bahwa kemanusiaan masih ada as selain tentang gimana para tentara di daratan berusaha keluar dari pantai, ini juga menilik tentang penduduk sipil yang berjuang mengerahkan kapal-kapal pribadi demi menyelamatkan pahlawan bangsa mereka.

At one point of the movie, salah satu tokoh film ini keheranan disambut baik sesampainya di ranah Inggris. Padahal dia merasa malu, negara mereka kalah. “All we did is survive” katanya. Secara militer, memang, mereka kalah. Tapi mereka berhasil selamat dalam jumlah banyak. Mereka selamat untuk melanjutkan hari esok, and it is a glory of humanity. Karena orang-orang Inggris itu menunjukkan semangat dan solidaritas patriotik untuk bersatu, untuk menjadi kuat, melawan situasi yang sulit. Survival tidak pernah adil, dan peristiwa Dunkirk menunjukkan kemanusiaan masih punya harapan dan peluang untuk menang.

 

Sekarang, coba bayangkan, kamu berlari, loncat dari kapal, menyelam, menggapai-gapai mencari udara, dalam cemas dan harap menemukan tempat di luar bidikan bom, dan kalian melakukannya di antara seribuan lebih orang yang melakukan hal yang sama. Benar-benar tidak ada waktu untuk menghembuskan napas lega, apalagi saling menyapa dan get to know each other. Begitulah persisnya film Dunkirk dipersembahkan. Film perang yang bagus seperti Saving Private Ryan (1998) biasanya menceritakan karakter di dalam situasi mengerikan, dan gimana mereka beraksi terhadap perang. Gimana mereka dilanda oleh dilemma. Dunkirk, however, adalah ‘HANYA’ TENTANG PERANG. The actual event. Dan bagaimana terrifyingnya jika kita terjebak di sana. Tokoh utama film ini ya bisa dibilang tentang peristiwa itu sendiri. Tentang evakuasi orang-orang. Film ini begitu in-the-moment. Dramatic impact bukan datang dari kita ngecheer seseorang untuk hidup, untuk kembali kepada keluarganya. Film ini adalah tentang manusia sebagai spesies. Tentang gimana kalo kepepet dan punya tujuan yang sama, kita bersatu. Nolan paham dia enggak perlu membahas karakter terlalu dalam, maka dia meletakkan ‘ledakan’ kepada sekuens perang yang dibuat serealistis mungkin. Dia menangkap event ini dengan sangat menawan. Mengerikan, ya memang, tapi beautiful.

Tom Hardy sukses berat nampilin emosi hanya melalui bolamatanya

 

Jadi ya, karena itulah aku memaafkan pengarakteran yang enggak digali oleh film ini. Meski aku enggak bisa benar-benar konek sama tokoh-tokoh dalam film ini, mereka tidak benar-benar punya arc, kita enggak tau backstory mereka, tapi hal tersebut enggak pernah berdampak begitu besar. Bukan hanya karena film ini dibuat oleh Christopher Nolan.  Enggak ngelebih-lebihin sih kalo aku bilang kebanyakan orang akan suka film ini lantaran ngeliat nama sutradaranya. Nolan itu udah jadi semacam brand sendiri, orang sudah hampir pasti  akan nonton setiap film yang judulnya diiringi oleh “A Christopher Nolan’s film”. This is truly a MAGNIFICENT FILM. Dunkirk menggunakan kapal-kapal asli, pesawat-pesawat tempur beneran, lokasi yang nyata – bukan greenscreen, dan sejumlah besar pemain kayak film india. Dunkirk sangat thrilling dari awal hingga akhir. Karena sedari dimulai, kita sudah langsung diletakkan di tengah-tengah battlefield. Beberapa karakter diperkenalkan dengan cepat, kita ngikutin beberapa tokoh yang berfungsi sebagai wakil dari kita. Dan walaupun mereka jarang ngomong, tidak pernah ada momen-momen hampa.

Untuk selanjutnya, keseluruhan film adalah tentang serangan. Spektakel aksinya benar-benar terlihat realistis. Semuanya terasa otentik. Tidak ada adegan pesawat meledak seperti ledakan yang sering kita lihat di film-film action Hollywood. Tembakan senjata apinya enggak terasa teatrikal. Aspek realistis inilah yang terutama membuat kita tersedot ke dalam cerita. It’s a whole gigantic battle sequence yang dibuat seolah kita ada di sana. Kita tidak mengalihkan pandang dari mereka karena kita begitu masuk oleh perjuangan mereka untuk bertahan, mengatasi segala tantangan.

Jika kalian masuk ke studio mengharapkan cerita yang linear, maka itu berarti kalian belum banyak makan garam soal perfilman.  Salah satu yang membuat karya Nolan selalu dihormati banyak orang adalah film-film Nolan juga menghormati kecerdasan penonton. Karakter boleh saja sederhana, namun tidak ada yang sederhana dari langkah penceritaan yang dilakukan Nolan pada film ini. Dunkirk membagi diri menjadi tiga sudut pandang; di pantai – ngikutin prajurit inggris, di kapal – ngikutin sipil yang mau bantu nyelametin tentara, dan di pesawat – ngikutin Tom Hardy yang berusaha menghalau pesawat Jerman. Akan ada momen ketika kita bingung “loh yang ini kok udah malam, yang di pesawat tadi masih siang..?”  Narasi hanya memberi petunjuk berupa waktu; seminggu untuk pantai, sehari untuk kapal, dan sejam untuk pesawat. Penceritaan film ini seperti soal matematika di sekolah dulu; ada kapal, pesawat, dan orang bergerak dengan waktu yang berbeda, maka kapankah mereka akan bertemu? Film ini membuild up momen sehingga ketika tiga layer waktu tersebut menjadi satu di akhir, semua akan terasa wah. Editing film yang apik turut membuat kita enggak pernah terlepas dari cerita, pergantian-pergantian sudut pandang terasa mengalir dengan mulus.

serius deh, aku senewen akut dengar bunyi detik jam yang terus terdengar

 

Dalam perang, orang-orang tewas – terkadang mereka gugur sendirian, gugur dalam ketakutan, dengan tidak mengetahui nasibnya sendiri pada esok hari. Film ini tidak memalingkan diri dari kenyataan tersebut. Tapi selalu ada harapan. Kata-kata bisa menggerakkan satu negara. Dan film ini menggambarkan, orang-orang sipil sebagai simbol harapan dalam sebuah perang.

 

Untuk standar Nolan, memang Dunkirk adalah film yang singkat. Tapi juga sangat efektif dalam mengisi durasinya. Buatku, durasi film ini udah pas. Kalo terlalu panjang jadinya lebay, terlalu singkat malah ntar jadi kurang ngefek. Segala kengerian perang sudah berhasil digambarkan dengan baik. Kita merasakan ngerinya dikurung, tenggelam, terkunci dalam pesawat yang jatuh, diitembak blindly tanpa tahu di mana yang menembak. Meskipun enggak ada darah terlihat, enggak ada potongan tubuh berceceran, film ini bermain di ranah PG-13, kita tetap tergoncang oleh efek psikologis yang sangat kuat. Sungguh mengerikan menyaksikan karakter-karakter itu literally mencakar-cakar dan merangkak demi hidup mereka. Bahkan kepada tokoh yang pengen menyelamatkan, kita merasakan dorongan yang kuat dan ikut merasakan perjuangan dan halangan yang mereka tempuh.

 

 

 

Menangkap peristiwa bersejarah dengan sangat realistis, tidak ada satupun kejadian yang luput dari rasa otentik dan penuh ketegangan. Penceritaan non-linearnya mengantarkan film menjadi satu kesatuan yang mulus. The look of this movie is outstanding, sekuens battlenya benar-benar tergambar mengerikan, layaknya perang beneran. Dan this whole movie adalah peperangan. Sedikit hindrance adalah di bagian penokohan yang ditulis sederhana, tanpa arc dan tedeng aling-aling. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi hal yang tanked the movie, karena dampak emosional film datang dari sisi psikologikal dan feeling in-the-moment yang membuat kita merasa benar-benar ada di tengah peristiwa tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for DUNKIRK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

GOING IN STYLE Review

“The most dangerous creation of any society is the man who has nothing to lose.”

 

 

Sebagai manusia, kita ingin hidup tenang. Terutama di masa tua. Tidak ingin dicurangi. Kita ingin mendapatkan hak sebesar kewajiban yang kita tunaikan. Enggak kurang, sukur-sukur lebih. Dan sama pentingnya dengan itu, sebagai manusia kita mau didengar, dikenang, kita ingin melakukan sesuatu yang di luar batas. Kita mau gaya. Kita mau going out with a bang.

 

Rumah Kakek Joe sebulan lagi disita, dana pensiunnya dibekukan, saat beliau mau protes ke bank, eh banknya malah dirampok. Joe dibuat terkesima dengan aksi tiga perampok muda yang sangat professional dan terkoodinir. Terutama, mereka sopan kepada penduduk senior, enggak seperti bank yang tega bikin susah hidup Joe. Enggak setetes pun darah mengucur dari peristiwa itu. “Mereka seperti menari” ia menceritakan pengalaman tersebut kepada dua sahabatnya; Kakek Willie dan Kakek Al, entah untuk keberapa kali. Kagum dapat membuat orang menjadi meniru, dan itulah tepatnya yang dilakukan oleh Joe. Merasa enggak mau kalah, dia nekat ngajakin dua sobat-nyaris-seumur idupnya untuk merampok bank yang udah screw over their life. Komedi lantas datang begitu ketiga remaja senja usia ini belajar merampok. Sesuatu yang tidak pernah mereka kerjakan di masa muda, bagaimana bisa mereka melakukannya sekarang ketika untuk berlari saja mereka nyaris mematahkan pinggang sendiri?

oh encok ku!!!

 

Mengambil tema yang mirip ama Hell or High Water (2016) namun mengemasnya dalam sajian komedi, film ini tampil sangat ringan. Kesubtilan hampir tidak ada dalam narasi. Aku enggak tahu apa-apa soal film ini sebelum menontonnya, kecuali bahwa Going in Style garapan Zach Braff adalah remake dari film yang premier di tahun 1979. Jadi aku siap untuk mengutuk film ini habis-habis for dia punya semua formula film-film yang hanya dibuat demi uang semata. Tapi tahukah kalian betapa susahnya ngelook down upon something kalo sesuatu tersebut sukses membuat kita tersenyum-senyum simpul diselingi ngakak dari menit-menit awal hingga penghabisan? Well, kalo enggak tahu susahnya seperti gimana, coba deh nonton film ini.

Alasan aku nonton film ini tentu saja sama dengan alasan kalian semua, karena dibintangi oleh Michael Caine, Alan Arkin, dan Morgan Freeman. Tiga gaek ini adalah LEGENDA HIDUP! Mereka sudah berakting sejak lama, they are in their 80s, dan mereka bertigalah bagian terbaik dari film ini. Melihat mereka berinteraksi seperti melihat kesempatan langka yang begitu amazing. Mereka bahkan lebih baik dari trio emas Niniek L. Karim – Widyawati – Slamet Raharjo di Sweet 20 (2017), kalo kalian masih merindukan akting bagus nan meyakinkan dari mereka, maka saat menonton Going in Style, kalian akan sangat terpuaskan. Caine, Freeman, dan Arkin terlihat beneran seperti temen lama yang tak terpisahkan, tokoh-tokoh mereka saling bergaul dengan menyakinkan. Each of them deliver komedi dan drama sama baiknya, mereka menaikkan derajat film ini.

Film tahu apa yang ia punya; tiga aktor kawakan, dan naskah benar-benar memberi kesempatan buat mereka untuk mengembangkan sisi komedi. Bagian paling kocak jelas adalah bagian ketika tiga kakek-kakek itu mutusin mereka kudu latihan jalan sebelum berlari. Yang berarti; sebelum mulai mencuri besar-besaran, mereka harus memulai dengan yang kecil-kecil dahulu; sebelum bank, mereka mutusin buat menjajal supermarket. Joe, Willie, dan Al (yang ikut karena “gak ada lo gak rame”) mencuri beberapa bahan makanan untuk makan malam mereka. There’s something very entertaining about that. Kalian tahu, adegan ini lebih kocak dari sekedar ‘kasus bad granpa’ yang biasa. Aku ngakak berat di adegan Joe dan Willie berbisik-bisik ngobrol through barisan makanan kaleng. Awalnya mereka hanya saling menatap, gak tau mesti ngapain.

Man with nothing to lose lebih berbahaya daripada man with everything to lose sebab ketika kau tidak punya apa-apa, kau tidak takut akan apapun. Joe dan teman-teman, motivasi mereka personal dan di usia yang tinggal menghitung hari, it’s practically worse scenario both ways buat mereka jika mereka tidak mengambil tindakan. Apa yang tidak mereka sadari adalah mereka juga punya segalanya; mereka punya keluarga yang tentunya akan kehilangan. Inilah yang menjadi landasan konflik drama dalam Going in Style

 

Oleh karena kalo ketangkep polisi, Joe dan kawan-kawan masih lebih beruntung ketimbang jadi gelandangan, it is still a fairly good scenario for them – bukan berarti tidak ada yang bisa bikin kita ngeroot buat keberhasilan heist gede mereka. Film enggak kehilangan akal untuk memberikan stake, memberikan beban dramatis kepada tokoh-tokohnya. Caine juga tampil meyakinkan ketika dia kudu ngetackle bagian emosional antara Joe dengan cucunya yang diperankan oleh Joey King.  Tokoh Willie diberikan motivasi berupa keinginannya untuk bertemu dengan sang cucu, namun dihambat oleh enggak punya duit buat ngobatin ginjalnya yang udah parah. Dan Al ditambat ke tanah oleh romansa. Yea, kita sudah liat tropes semacam ini sebelumnya, Going in Style enggak benar-benar memberikan gaya baru dalam usahanya untuk memaksimalkan eksplorasi drama pada narasi. Hanya saja, semua itu ditangani dengan penuh hormat dan sangat menyenangkan untuk diikuti. Kakek-kakek dalam film ini bukan sekedar grumpy dan benci ama generasi sekarang, paling enggak mereka mengerti cara menggunakan skype dan teknologi kekinian.

premis film ini bisa menjadi lelucon bar gaya baru, “tiga orang kakek masuk ke bank….”

 

Untuk sebuah film heist, Going in Style justru terasa lemah saat mereka mulai menangani bagian perampokannya. Sedikit mengganggu entertainment ringan dan menyentuh yang sudah dikembangkan.  Aku gak mau spoiler terlalu jelas, namun, Joe dan kawan-kawan enggak benar-benar ‘go’. Dan ‘style’ mereka pun terlalu gampang untuk dilaksanakan. Film ini melewatkan kesempatan untuk menjadi komentar sosial dan soal ekonomi, padahal naskah sempat menyingung beberapa.

 

 

Pada akhirnya, film ini adalah jendela kesempatan bagi aktor-aktor veteran untuk melakukan suatu yang gila. Khususnya Morgan Freeman, kita udah ngeliat dia ala-ala Hangover di Las Vegas sebelum ini, dan sekarang dia merampok bank. This is a light-hearted movie, amat menghibur, kocak level tinggi. Wajib ditonton demi ngeliat tiga legenda performing amazingly compelling acting. Chemistry di antara mereka luar biasa. Memang tidak terlalu banyak yang bisa kita ambil dari film ini, terlalu ringan dan terlalu ‘mari lakukan perampokan bank yang gila’. It could aim for more.  Tapi yah, ini adalah film tentang orang tua, untuk orang tua, dan dengan gembira stay at being that way.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for GOING IN STYLE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.

And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

DESPICABLE ME 3 Review

“The love of a family is life’s greatest blessing”

 

 

Gru kini fokus sebagai pria yang punya keluarga. Dia punya istri yang juga merupakan partnernya dalam organisasi rahasia super keren yang khusus menangkap penjahat-penjahat. Dia tentu saja juga harus merawat tiga gadis cilik; Margo, Edith, dan Agnes yang sudah diadopsinya sejak film pertama.. cekiitttt-rem dikit, yes, ini adalah film ketiga dari seri animasi sukses buatan Illumination Pictures. Aku suka dua film terdahulunya, terutama yang pertama. I actually really enjoyed that movie. Para Minions juga sangat lucu-lucu, meski aku lebih suka mereka sebagai sidekick komedi dibandingkan saat mereka menjadi film sendiri. Kisah Gru  sebagai penjahat kelas kakap yang berubah menjadi baik oleh kehadiran tiga anak sepertinya sudah comes full-circle. Tapi tampaknya studio tidak memandangnya seperti itu dan mereka membuat film ketiga ini. Yang lantas membuat kita bertanya-tanya, apakah memang perlu ada film Despicable Me lagi?

Banyak anak, banyak rezeki. Jika kita sudah berkeluarga, akan lebih banyak pintu rejeki yang terbuka. Orang Indonesia percaya banget ama petuah tersebut.

 

 

Makanya banyak orangtua kita yang suka nanya-nanyain kapan kita hendak berkeluarga. Dan biasanya yang ditanya bakal menjawab sambil cengengesan “tunggu mapan dulu.” Jawaban yang biasanya langsung diuber dengan “hee jangan lama-lama, anak ama istri itu ada rejekinyaaa!!” Gru clearly tidak melihat kenyataan seperti ini pada awal cerita dimulai. Dia malah ditinggalkan oleh anak-anak buah yang setia padanya karena enggak mau ngelakuin aksi jahat lagi. Kerjaan pun kandas lantaran Gru dan Lucy kembali gagal menangkap pencuri nyentrik berambut model mullet yang bernama Balthazar Bratt. Gru struggling untuk mengenyahkan perasaan sebagai orang gagal, hard baginya melihat Agnes harus menjual boneka unicorn kesayangan. Tapi keluarga Gru bukan sebatas itu. Adik kembarnya muncul; berambut pirang nan halus, kaya, dan tentu saja seperti Gru, Dru juga punya sisi jahat. Bersama mereka bertualang, termasuk – demi membuktikan kemampuan Gru –  menangkap pencuri super yang demen kelahi sambil breakdance dan menembak orang dengan permen karet.

that gum you like is going to come back in sta-il!

 

Wajar jika film animasi modern telrihat menawan, namun kejernihan visual dan gambar film ini enggak boleh dipandang sebelah mata. Keren banget. Liat deh aksi final dengan robot besar menyerang kota itu. Nyaris seperti foto. Badan papoy nya terlihat kayak pisang yang mulus banget. Ketika Agnes dan pemilik bar setuju unicorn “so fluffy I’m gonna die”, kita bisa mengaplikasikan kalimat tersebut untuk betapa cerah dan halusnya animasi film ini. Dari dua lelucon kentut yang muncul di opening credit saja kita bisa tau film ini ditargetkan terutama buat anak-anak. Dan benar, ada banyak lelucon di dalam cerita yang mengalir dengan pace yang senantiasa cepet. Membuat film ini fun untuk ditonton. Suprisingly enough, beberapa LELUCON YANG HADIR LUMAYAN DEWASA untuk anak-anak. Ada waktu ketika hanya beberapa orang gede yang tertawa saat aku menonton di bioskop tadi. Malah ada juga joke yang sedikit too much, kayak ketika minion mengomentari sebuah patung wanita mirip dengan Gru yang punya “boobs!”. Mungkin memang bukan masalah besar sih, karena anak-anak toh belum mengerti. Sama halnya seperti referensi pop-culture, film, dan musik 80an yang turut mewarnai cerita, yang tentu saja hanya konek dengan penonton yang lebih dewasa.

Despicable Me (2010) dan Despicable Me 2 (2013) tampak mengerti di mana titik temunya antara hiburan bagi orangtua dan anak-anak. Kedua film tersebut tampil kocak dengan suguhan emosi yang memberikan bobot lebih, although film yang kedua semacam runtuh sendiri setelah pertengahan. Film yang ketiga ini, however, lebih terasa SEPERTI FILM KARTUN KETIMBANG ANIMASI LAYAR LEBAR. Despicable Me 3 sepertinya berpikir bahwa orangtua akan terhibur menonton lelucon dewasa yang dihadirkan, dan anak-anak akan betah melihat animasi yang spektakuler. Poinku adalah, film ini hanya mengarah kepada lelucon untuk membuat orang tertawa. Dia tidak pernah benar-benar mengeksplorasi emosi. Sesuatu langkah yang mengecewakan karena narasi film ini sarat oleh lelucon dan tema-tema dewasa dan berbobot.

Ketika punya subplot seperti Lucy yang berusaha menjadi ibu yang baik, Gru dan Dru yang pengen bonding sebagai saudara, Agnes yang mau mencari unicorn, bahkan motivasi Evil Bratt sebagai mantan aktor cilik yang dibuang oleh Hollywood lantaran udah ketuaan, Pixar mungkin akan menggarapnya menjadi berisi seperti Inside Out. Namun Despicable Me 3 hanya melihat semua itu sebagai pengisi humor. Yang sukses juga menghasilkan beberapa tawa di sana-sini. Tapi enggak cukup konsisten untuk menjadi benar-benar lucu. Pisahnya Gru dengan Minions adalah elemen cerita yang bagus dan fresh sebab kupikir kita akan melihat mereka bekerja ‘sendiri’ dan nantinya akan regroup lagi setelah melewati journey yang selaras. Tapi ternyata enggak. Sekali lagi, film JUST PLAY IT FOR LAUGHS. Soal Gru dan Dru, mereka terpisah sejak lahir. Orangtua mereka bercerai dan masing-masing membawa satu anak. Ada adegan ketika ibu Gru menjelaskan hal ini dan menyinggung kalo mereka sebenarnya salah membawa anak yang mereka sukai, jadi baik Gru dan Dru mendapat orangtua yang membesarkan mereka dalam kekecewaan. Ada kedalaman di sini. Seharusnya cerita bisa punya bobot emosi yang gut-wrenching. Tetapi film tidak pernah mengejar emosi.

Mending dijadiin sinetron “Anak Jahat yang Tertukar”

 

Terpaksa menunjukkan kegagalan, ketidakmampuan, adalah hal terberat yang harus dialami oleh orangtua terhadap anak-anaknya.

 

Dulu banget di twitter aku pernah bilang seandainya Santino Marella yang nyuarain Gru pasti bakal lebih lucu. Tapi aksen Steve Carrel sebagai Gru has really grow on me. Di film ini, dia ngetackle dua peran, dan keduanya terasa hidup. Dan kocak. Ditambah lagi, Gru adalah karakter yang hebat. Progresnya menarik. Di film pertama dan kedua kita udah melihatnya, makanya tadi di atas aku menuliskan, ke mana lagi karakter Gru ini bisa berkembang? Untuk inilah aku datang ke bioskop siang tadi. Dalam film-film sebelumnya, Gru punya sesuatu yang harus dia ‘urus’ yang enggak ia sangka-sangka sebelumnya dan dibahas dari segi emosi. Dalam film ini, ya, dia memang kaget ternyata dia punya saudara kembar, namun sekali lagi, emosi tidak pernah dikejar, film hanya memainkannya untuk humor. Karakter Gru di sini tidak punya arc. Tujuan karakter ini sudah tercapai. Journeynya benar-benar sudah mentok, he didn’t have anywhere to go in this movie di luar adegan-adegan lucu dengan saudara kembarnya.

Sementara itu, penjahat utama film ini, Balthazar Bratt yang disulih suara oleh Trey Parker punya aspek yang menurutku bisa sangat kocak dan menarik. Mestinya di sini bisa menarik mendengar Parker keluar dari zona nyamannya, yakni humor yang dipasarkan untuk anak yang lebih kecil. Dia enggak bisa move on dari peran Hollywoodnya. Dia mengoleksi mainan dirinya, dia sangat terobsesi dengan acara TV dan perannya tersebut. Kita bahkan dikasih liat potongan acara yang ia bintangi. Build up yang bagus dan sangat lucu, namun cerita terus saja mengulang-ngulang humor yang sama dari karakter ini sehingga terasa mereka enggak tahu harus membawa tokoh ini ke mana lagi. Adegan berantem dengan ‘jurus’ breakdance itu juga semakin berkurang kepentingannya sebab kita sudah pernah melihat hal yang sama dalam film Zoolander (2001). Dihandle dengan lebih baik, pula.

 

 

 

Perfectly enjoyable, pas untuk ditonton bareng keluarga. It’s a light-hearted. Gambarnya spektakuler. Menyenangkan, seringkali lucu. Akan tetapi, demi menjawab pertanyaan di awal ulasan ini, film ini toh terasa enggak penting-penting amat. Hanya bermain untuk humor tanpa mengeksplorasi kedalaman yang timbul dari jalan ceritanya. Butuh lebih banyak pukulan emosi untuk membuat seri ketiga ini menjadi tontonan yang berarti. Lebih seperti kartun adalah cara terbaik untuk menggambarkan ini. Anak-anak akan suka, orangtua akan punya beberapa hal untuk ditertawakan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 3.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

Great Balls of Fire 2017 Review

 

Bukan maksud hati ingin ngeledek judul pay-per-view terbaru milik brand Raw ini, tapi; Ya, ukuran itu penting.

 

Apalagi kalo kamu ngejalanin bisnis hiburan yang jualannya adalah showcase manusia-manusia yang adu kekuataan. Sudah rahasia umum bahwa Vince McMahon, pemilik WWE, paling suka superstar yang badannya gede-gede. Hulk Hogan, John Cena, Roman Reigns, semuanya punya otot yang bisa menyembunyikan kepalaku. Sekarang aja di WWE ada tiga superstar yang masih aktif yang literally namanya ada kata ‘big’; Big Show, Big E, dan of course Big Cass. Jika kalian punya badan se-big Big Cass, maka jaminan terpercaya kalian akan mendapatkan kesempatan untuk naik ke puncak. Kita semua sudah bisa melihat tim Big Cass dan Enzo akan segera dipisah, dan build up cerita perpisahan mereka digarap dengan sangat menghibur. Split ini adalah kesempatan buat Cass untuk nunjukin dia punya talenta yang sama gedenya. Or even lebih gede dari Enzo, karena kalo kau bertubuh secuil kayak Enzo Amore, kau harus punya nyali segede gaban. You got to have great balls!!

Oke, sori, susah nahan diri untuk gak bikin pun dari ppv ini hihihi

 

Sejalan dengan nyali gede itu, kita melihat WWE kembali MENGINTEGRALKAN DARAH KE DALAM PENCERITAAN MATCH. I was totally surprised by that.  Great Balls of Fire merah oleh darah. Mereka juga ngeclose up wajah Braun Strowman yang penuh darah sehabis nyaris ‘dibunuh’ oleh Roman Reigns yang keki kalah dalam Ambulance Match. Pertandingan mereka sendiri sukses membuat kita teringat kenapa kita jatuh cinta kepada pro wrestling untuk pertama kalinya. Brutal, intens, dan kedua superstar terlihat beneran pengen bikin lawannya cedera parah. Reigns dan Strowman terlihat sudah betul-betul paham mengenai kemampuan lawan dan apa yang bisa mereka lakukan. Ending match mereka memang sedikit lucu, namun bisa dimengerti karena para booker mesti melindungi Roman Reigns, yang mana terlihat sangat badass oleh angle babyface yang enggak-peduli ama batasan itu. Aku setengah berharap Strowman keluar dari ambulan sambil ngamuk, but apa yang kita lihat di acara ini sudah cukup worked out.

Banyak percakapan yang timbul dari akhir pertandingan mereka, dan beberapa bersuara bahwa Reigns dan Strowman baru saja melakukan double turn; Reigns jadi jahat, sementara Strowman jadi baik. Aku enggak berpikir demikian. Strowman perlu dibuat kuat sekaligus manusiawi. Dan I don’t think Reigns akan pernah dijadiin heel, seperti halnya John Cena dan Hulk Hogan (semasa di WWF). Vince sudah mendapatkan apa yang ia mau dari mega bintangnya itu; reaksi yang heboh. Karakter Roman Reigns seperti udah dikunci oleh si bos sebagai babyface yang enggak sebland musik barunya si Cass. Reigns adalah face yang respect sama yang ngefans ama dia dan sebodo amat ama ‘haters’nya. Dia adalah babyface yang enggak masalah nunjukin nyalinya, dia bangga mengalahkan dan ngambil sesuatu dari Undertaker, mirip-mirip gabungan antara karakternya Stone Cold dengan Hulk Hoganlah.

“I did it for Rikishi”

 

Satu lagi yang keluar dari locker terlihat seperti monster adalah Samoa Joe. Pertandingan main event acara ini cukup langka, karena jarang sekali kita punya dua kompetitor yang genuinely beringas, dan diikuti dengan build up feud yang meyakinkan dan entertaining. Particularly, Joe terlihat benar-benar mampu mengalahkan Lesnar. Alasan yang terpikirkan olehku kenapa superstar ini enggak memenangkan sabuk adalah lantaran WWE pengen Brock Lesnar mempertahankan gelar Universal Championnya paling enggak satu kali. Meski Joe kalah hanya dengan satu kali F5, namun kenyataan bahwa dia langsung bangun dan menatap Lesnar dengan garang tepat di mata sudah berhasil ngedeliver Joe bisa jadi the Beast era baru. Match mereka seru, hanya saja terlalu singkat. Yeah, kalian tahulah, kecewa orang yang enggak puas.

Ketika kita menulis pertandingan untuk WWE, bukan saja kita mikirin siapa yang menang dan kalah, kita juga harus mempertimbangkan apa dampaknya terhadap karakter. Bagaimana yang kalah harus kalah. Makanya kebanyakan pertandingan WWE berakhir gimmicky. Reigns terlihat bego terbang ke dalam ambulans, dan Alexa Bliss terlihat lemah dengan menang via sengaja count out. Curang! It was needed for her character dan untuk propel cerita lebih jauh lagi. Bliss is goddess dan Banks is boss; they live up to their names as kedua cewek ini mempertunjukkan intensitas luar biasa dalam pertandingan mereka. Sudah lama kita enggak melihat duel cewek satu-lawan-satu segreget ini, mungkin terhitung sejak Summerslam tahun lalu. Taktik ‘lengan patah’ Bliss terlihat mengerikan, namun tidak semengerikan gimana cara Banks ngesell bumps. Lehernya itu loh, kena di sana melulu. It was horrifying to look at. Aku senang Bliss kembali dipersilakan menggunakan beberapa jurus dan kebolehannya yang sudah lama enggak kita liat. Seriously, aku udah bela-belain bikin menu es krim di Cafeku (Warung Darurat; dateng dong nobar sekali-kali) pake nama Twisted Bliss, eh move ini malah semakin jarang dipake oleh Alexa.

haruskah aku pindah dari The Palace of Wisdom ke The Temple of Bliss?

 

Dan kalo kita nulis pertandingan WWE, maka Ironman adalah jenis pertandingan yang tricky untuk ditulis. Karena biasanya, penonton akan mengharapkan kejadian seru hanya akan datang di menit-menit terakhir. Dalam pertandingan antara Hardy Boyz melawan juara bertahan Cesaro dan Sheamus – first ever Ironman Tag Team by the way – WWE mencoba untu membuat kita terinvest sedari awal oleh cepatnya Brogue Kick Sheamus mecahin telur skor. Tapi masih belum cukup, lantaran WWE masih terpatok kepada formula ‘yang face harus ngejar skor’. Aku benar-benar menunggu hari di mana WWE pull all the stops dan nekat bikin pemenang Ironman unggul jauh dibanding lawannya, bukan sekedar unggul satu poin seperti biasanya. But hey, why fix something when it’s not broken, right? Menjelang akhir, pertandingan tag team ini seketika menjadi seru. Kejar-kejaran skor dan waktunya sukses bikin yang nonton bareng di Warung Darurat nyuekin kursi mereka. Komentator pun terdengar berapi-api, menjadikan pertandingan ini semakin heboh.

Hal terbaik yang bisa terjadi kepada jobber saat ini mungkin adalah main film kelas B dan menjadi anak buah the Miz. Seriusly, WWE bisa menjadi sangat kejam bagi para jobber. Liat aja  Hawkins dan Slater yang mendapat match di acara ini, akan tetapi kamera malah menyorot backstage demi melanjutin storyline Strowman yang terperangkap di dalam reruntuhan ambulans. Segar melihat wajah yang jarang nongol kayak Bo Dallas dan Curtis Axel, if done correctly Miz dan Miztourage bisa jadi pasukan heel yang menarik. Namun begitu, pertandingan Miz dan Ambrose terasa hambar. Karena, I don’t know, kita sudah melihat mereka bertemu entah untuk keberapa kali!! Kedua superstar ini desperately butuh lawan yang sama sekali baru. Tidak ada api, tidak ada intensitas. Sama halnya dengan Wyatt melawan Rollins yang terasa enggak perlu. Kedua superstar ini udah sama-sama mentok, feud mereka enggak jelas, mereka butuh arahan baru. But paling enggak, aku senang Wyatt keluar sebagai pemenang.

 

It’s one of the better pay-per-view. Malahan, Great Balls of Fire adalah ppv dari brand merah yang paling asik untuk ditonton. Iya sih, mungkin itu karena di acara ini banyak darahnya. Yang menandakan bahwa aksi dalam acara ini seru parah. Tentu saja, sama seperti saat kita menonton balap Nascar, we stay tune in karena kita ingin melihat letupan bola api yang besar.

The Palace of Wisdom menobatkan 30-Minute Ironman Tag Team antara Sheamus dan Cesaro dan the Hardy Boyz sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Results:
1. SINGLE Bray Wyatt mengalahkan Seth Rollins
2. SINGLE Big Cass ngesquash Enzo Amore
3. WWE RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP 30-MINUTE IRONMAN Sheamus dan Cesaro mempertahankan gelar atas The Hardy Boyz
4. WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Sasha Banks menang tapi Alexa Bliss nyaww tetap juara                                                                                                                          5. WWE INTERCONTINENTAL CHAMPIOSNHIP The Miz menang atas Dean Ambrose
6. AMBULANCE Braun Strowman masukin Roman Reigns ke ambulans
7. SINGLE Heath Slater beat Curt Hawkins but nobody care
8. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Brock Lesnar sukses retain over Samoa Joe

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.