SHANG-CHI AND THE LEGEND OF THE TEN RINGS Review

“Its richest bequest. Its golden inheritance”

 

 

Menonton Shang-Chi, aku sejenak lupa kalo ini merupakan film superhero. Cerita tentang ‘warisan’ keluarga, bisnis yang ala gangster-gangsteran, adegan berantem yang benar-benar menonjolkan martial arts. Untuk beberapa saat, aku merasa sedang nonton film-film Kung-fu! Sampai aku menyadari yang di layar itu bukan Jackie Chan ataupun Jet Li. Melainkan bintang laga masa kini (calon legenda di depan) Simu Liu, bintang komedi dengan range drama yang belum gagal membuatku kagum Awkwafina, dan naga beserta makhluk-makhluk mitologi dari visual komputer. This is indeed a Marvel movie. Film hiburan yang paling cocok ditonton sambil makan popcorn, dengan petualangan CGI grande, dan dialog yang sama renyahnya ama popcorn itu tadi. Namun sutradara Destin Daniel Cretton jelas sekali ingin mengarahkan ini ke dalam perspektif yang lebih unik. Ke dalam karakter yang lebih representatif. Dan ‘jurus-jurus’ yang ia kerahkan sukses membuat Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mencapai keseimbangan hiburan dengan sajian berbobot. Mengembalikan film superhero Marvel ke yin-yang  yang selama ini terlupakan

sangchi-chi-iron-fist-1
Padahal tadinya aku ‘sangchi’ bakal bagus, takut kayak Mulan

 

 

Belajar dari kritikan yang menghajar live-action Mulan (2020), film Shang-Chi yang juga mengusung karakter beretnis dan mitologi yang mengacu kepada referensi budaya Cina, berlaku lebih hati-hati dan respect terhadap representasinya tersebut. Yang pertama langsung terdengar adalah bahasa. Karakter dalam film ini tidak sekonyong-konyong berbahasa Inggris semua. Sepuluh menit pertama actually full dialog Mandarin, lalu setelah nanti setting membawa cerita berada di tempat yang lebih diverse, bahasanya akan mengikuti keberagaman tersebut. Film ini lebih peka sama di mana dan siapa. Penggunaan bahasa Inggris pun jadinya tidak terasa dipaksakan. Karakter kita hidup di San Francisco, tapi bahasan mengenai mereka merupakan bahasan yang mendalam, menggali hingga ke akar leluhur dan legenda. Karena pada intinya narasi Shang-Chi memang berinti kepada keluarga.

Ketika kita pertama kali bertemu dengan Simu Liu, karakter yang ia perankan dipanggil dengan nama Shaun. Dia bekerja sebagai tukang parkir valet, bersama sahabatnya Katy (karena terlalu banyak nonton Steven Universe, aku jadi merasa suara Awkwafina mirip sama suara si Amethyst). Mereka berdua ini orangnya nyante banget. Gak kayak sahabat mereka yang orang-cina-kesayangan-keluarga banget, Shaun dan Katy lebih suka berkaraoke dan nyaman sama kerjaan mereka yang dianggap tidak memenuhi standar keluarga. Sebenarnya, ada alasan bagus – yang rahasia! – kenapa Shaun menikmati hidupnya seperti itu. Begini, keluarga Shaun bukanlah keluarga standar seperti keluarga Katy. Ayah Shaun tidak lain tidak bukan adalah The Mandarin, pendekar penguasa, pemegang senjata sepuluh cincin yang legendaris, pemimpin kelompok Ten Rings yang sudah mencatat lembar kelam sejak beribu tahun lalu. Shaun, nama sebenarnya Shang-Chi, sejak kecil dilatih ayah jadi assassin, demi membalaskan dendam kepada pembunuh ibu. Shaun kabur dari kehidupannya tersebut. Meninggalkan ayahnya, adiknya, dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi sebagaimana yang disaksikan oleh Katy dan kita, Shaun terendus oleh ayahnya, dan dia dipaksa pulang. Karena menurut ayah, ibu masih hidup. Terpenjara di tanah legenda. Shang-Chi harus kembali dan menghadapi semua yang pernah ia tinggalkan. 

Sekarang mungkin kalian sedikit mengerti kenapa aku malah ngerasa kayak nonton film Kung-fu saat nonton film ini. Naskahnya benar-benar fokus kepada konflik dalam keluarga pemimpin organisasi hitam! Shang-Chi adalah cerita tentang seorang anak yang kabur dari kehidupan itu karena dia gak sudi menapaki jalan tersebut. Mana ada cerita original dari superhero Marvel yang seruwet dan sedalam ini, at least sejak Winter Soldier? Dan naskah berhasil berkelit dari membuat Shang-Chi tampak seperti karakter sok suci yang membosankan. Karena pertanyaan yang berkecamuk di dalam dirinya adalah apakah saya pengecut telah kabur? Keluarga yang jadi sentral cerita ini ditulis dengan detil dan relatable. Semuanya jadi pendukung yang menambah banyak pembelajaran bagi karakter Shang-Chi. Ada adik perempuan Shang-Chi, yang merasa diremehkan oleh ayah, dan ditinggalkan oleh Shang-Chi, sehingga tumbuh menjadi pemimpin organisasinya sendiri. Ada ibu Shang-Chi yang dirancang sebagai karakter paling berpengaruh, yang mendaratkan dan merekatkan keluarga ini. Kematiannya jadi titik balik karena sebegitu berperannya Ibu bagi mereka semua. 

Film sempat nge-poke fun Shang-Chi yang kabur tapi ganti namanya malah ‘cuma’ jadi Shaun (ganti nama kok mirip). Namun jika kita melihat on deeper level, keputusan nama tersebut melambangkan keraguan karakter ini. Yang ditakutkan oleh Shang-Chi adalah dia bakal jadi penerus ayahnya, karena itulah yang budaya keluarga mereka. Tapi ia juga adalah ‘warisan’ ibunya.  Kebingungannya akan itulah yang membuatnya kabur. Yang harus dipelajari Shang-Chi dalam kisah ini adalah bahwa anak gak bisa kabur. Melainkan mewarisi baik dan buruk keluarga. Shang-Chi harus mengembrace, dan memantapkan apa yang nanti ia wariskan berikutnya. 

 

Dan tentu saja, ada ayah Shang-Chi. Pria yang dikenal dengan banyak nama, karena reputasinya yang mengerikan. Tapi dia settle dengan nama The Mandarin, karena baginya filosofi di balik nama itu cukup ‘lucu’ (akan ada dialog eksposisi yang menceritakan tentang ini, dikemas dalam bentuk bincang-bincang santai di meja makan). Diperankan oleh ikon Hong Kong, Tony Leung yang jago kung-fu dan drama, The Mandarin boleh jadi adalah salah satu dari sedikit sekali penjahat-Marvel yang punya karakter paling compelling. Paling manusiawi. Secara simpel kita bisa bilang dia adalah karakter jahat yang bersedia jadi orang baik atas nama cinta. Secara lebih kompleks – cara yang diterapkan oleh film ini – The Mandarin adalah karakter yang berakar pada tradisi, norma pejuang, kebanggaan, kehormatan, kekuatan (practically sifat-sifat yang dilambangkan oleh legenda kesepuluh cincin). Dia bukan karakter yang jahat licik pengen menguasai dunia. Kita akan melihatnya lebih sebagai sosok ayah yang sudah terluka banyak, tapi juga sangat keras. Kita bersimpati, sekaligus merasa takut kepadanya. Film ini bekerja terbaik saat memperlihatkan hubungan atau konflik yang mengakar begini antara anggota keluarga ini. Sutradara tahu di situlah – pada grounded-nya itulah – letak kekuatan yang dimiliki film ini, maka ia berusaha sebisa mungkin untuk mencapai itu saat men-tackle elemen yang lebih fantasi.

sangchiScreen-Shot-2021-06-25-at-10.31.21-AM
Sialnya, aku menyangchikan film ini tidak di bioskop

 

 

Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Shang-Chi punya sekuen-sekuen berantem terbaik yang pernah kusaksikan sepanjang Marvel Cinematic Universe berlangsung. Ketika film Marvel yang lain banyak berseru-seru ria dengan aksi superhero, sebagian besar porsi laga film Shang-Chi berlangsung dengan gaya berantem Kung-fu. You know, berantem yang tampak plausible meskipun memang masih sangat bergantung kepada efek CGI, stuntmant, dan kerja kamera serta editing. Seenggaknya, sebagian aktor di sini memang punya pengalaman beladiri, pembuatnya pun tampak memahami seni itu dan tau cara terbaik dalam merekamnya. Jadi mereka semua tau apa yang harus dilakukan. Favoritku adalah adegan berantem di dalam bis, sekuennya dari awal-tengah-hingga akhir is pure excitement dan joy. Sekuen itu muncul di babak awal, dan film terus menaikkan game mereka untuk aksi-aksi ini. Kita bakal melihat berantem di pondasi bambu (kayak di Rush Hour 2), dengan kamera yang aktif ‘melayang’ ke sana kemari, memastikan cerita lewat berantem itu sampai dengan gemilang. Di menjelang akhir, kita akan disuguhkan adegan berantem yang kita saksikan lewat cermin di dalam ruangan. Kamera akan berputar 360 derajat, kita akan melihat tubuh beterbangan, dengan sensasi direction yang diajak bermain-main, bergantian antara pantulan cermin dengan tidak. Ketika memang harus aksi satu-lawan-satu, film ini pun gercep dengan perspektif. Menghasilkan gerak yang dinamis sesuai gerakan berantem, tanpa pernah menjadi memusingkan. Ketika harus fantasi pun, pertarungan akan tetap terasa berbobot. Aksi-aksi seperti pertarungan Dragon Ball itu ternyata bisa kok dibikin dengan indah dan meyakinkan!

Setelah semua itu, makanya babak ketiga film ini jadi kurang greget. Setelah pertempuran kung-fu satu lawan satu, aksi berantem yang interaktif dengan settingnya, dan jurus-jurus yang sepertinya mungkin untuk dilakukan (hanya dipercantik/dibikin makin intens oleh efek komputer), di babak akhir film mengembalikan semua itu ke fantasi superhero. Pertarungan dengan naga-naga, dan makhkluk CGI. Seketika aku merasa kehilangan banget. Akhiran yang diniatkan untuk besar-besaran tersebut justru jadi terasa menutup film dengan… kecil. Dengan biasa. Tidak ada lagi excitement dari drama karakter, karena semuanya berubah menjadi “kalahkan monster sebelum dunia jadi kacau itu!” Meskipun tetapi dilakukan dengan kualitas teknis luar biasa, tapi tetap saja jika dibandingkan dengan perjalanan-karakter yang sudah kita tempuh bersama sedari awal, film ini tetap terasa berakhir dengan sedikit underwhelming.

 

 

 

Tapi ya, mau bagaimana. Tidak mungkin juga itu dihilangkan, dan meminta film untuk tetap dengan berantem ‘sederhana’. Karena afterall, ini adalah entry berikutnya dari jagat sinema superhero. Film ini terikat untuk menjadi fantastis seperti yang kita lihat di akhir. Film ini terikat oleh kebutuhan untuk ‘menjual’ dunia yang lebih besar, untuk ‘ngetease’ ke film superhero yang akan datang. Film ini terbebani oleh tuntutan menyampaikan eksposisi dan flashback. Maka, yang harus kita apresiasi di sini adalah upaya film untuk menjadi seunik dan seberkarakter mungkin, di sela kebutuhan-kebutuhan tersebut. Toh film berhasil, kita telah dibuatnya terhanyut oleh konflik keluarga yang pelik dan  menyentuh. Kita telah dibuatnya peduli sama karakter-karakter. Mulai dari pendamping atau sidekick, hingga ke antagonis, semuanya berhasil dibuat berbobot. Kita juga telah dibuat terkesima oleh dunia dan aksi-aksi yang mewarnainya. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 ten rings, eh 10 gold stars! for SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian pilih untuk lakukan jika ada tindakan atau keputusan dari orangtua yang tidak kalian setujui?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

FINCH Review

“If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough”

 

 

Finch-nya Tom Hanks berharap robot buatannya bisa hidup layaknya manusia. Akan tetapi, tidak seperti Pak Tua Geppetto si Tukang Kayu, Finch tidak butuh Peri Biru untuk membuat keinginannya itu terkabul. Karena Finch adalah enginer robot yang handal. Dia telah membuat robot sederhana, sebelumnya. Dia hanya perlu step up his game, dan membuat robot cerdas yang bisa bicara, bergerak, dan berpikir. Dan, tidak seperti Geppetto yang membuat boneka kayu karena kesepian, Finch membuat robot bukan untuk cari teman. Finch memang sendirian (satu-satunya manusia di tengah mesin, perkakas rongsok, dan anjing peliharaan), tapi Finch tidak merasa kesepian. Finch justru nyaman dengan keadaannya. Satu-satunya alasan dia ingin menciptakan robot seperti manusia, adalah karena Finch merasa hidupnya sudah tak lama lagi, sehingga dia harus segera mencari pengganti. Pengganti siapa dan buat apa? Pengganti dirinya untuk menjaga anjing peliharaan kesayangannya.

finch202109211022-main.cropped_1632194537
Kayaknya aku butuh juga belajar bikin robot untuk jagain kucingku

 

 

Jika cerita tersebut terdengar datar bagi kalian, maka itu hanyalah karena aku memang belum menyebut settingnya. Di sini, aku ingin memperlihatkan bahwa setting suatu cerita ternyata memanglah sangat berperan. Sehingga tak jarang, setting tersebut menjadi bagian dari karakter dalam cerita. Gini, bayangkan cerita Finch itu bertempat di masa sebelum pandemi. Lalu coret itu, dan bayangkan cerita tersebut berada dalam situasi lockdown. Ya, narasi keseluruhan yang bermain dalam kepala kalian pastilah akan sangat berbeda – tentu saja akan ada perbedaan stake, tantangan, dan bukan tak mungkin juga perbedaan solusi. Bobot motivasi Finch mencarikan teman bagi anjingnya saja bisa berbeda antara saat dia bisa menemukan banyak manusia dengan saat harus bersusah payah untuk keluar rumah. Semua perbedaan tersebut dapat muncul hanya dengan mengganti situasi yang melatarbelakangi cerita. Sutradara Miguel Sapochnik enggak mau tanggung-tanggung. Dia menempatkan cerita Finch ke setting distopia.

Lapisan ozon Bumi sudah demikian parah (jadi kayak keju swiss, kata Finch) sehingga semua makhluk hidup yang terpapar sinar matahari, bakal kebakar seolah mereka adalah vampir. Situasi ini membuat kesendirian Finch beralasan, karena sejauh yang ia tahu (dan kita lihat) tidak ada manusia yang selamat. Situasi ini juga menghantarkan kita kepada kesehatan Finch. Lewat informasi visual, kita tahu dia terkena radiasi yang cukup parah. Dan di atas semua itu, makanan pun menipis. Situasi ini menciptakan stake yang menggencet. Yang membuat Finch harus bergerak setiap hari, mencari makanan di tempat-tempat terbengkalai, mempertaruhkan nyawa dengan keluar – ke tengah cahaya matahari – dengan pelindung baju UV yang sudah rombeng, menemukan tempat-tempat yang aman – bagi dirinya dan anjingnya – dari serangan badai berikutnya. So we see Finch is in a pinch situation. Situasi itulah yang enventually mengharuskan, mendesak, karakternya untuk membuat robot dan meletakkan kepercayaan yang ia tahu amat sangat berharga.

Setelah premis manusia membuat robot untuk menjaga anjing, membangun dunia yang memuat itu sekaligus menyediakan tantangan dan desakan yang kuat, tugas Miguel berikutnya adalah memberikan tema. Gagasan apa yang ingin ia sampaikan sebagai ruh dari konflik cerita. Ibarat jika bikin robot, sutradara Miguel kini harus memberikan robot itu baterai. Trust atau kepercayaan, dipilih olehnya sebagai ‘baterai’ tersebut. Dan ini berhasil jadi motor penggerak yang efektif. Pembelajaran tentang trust yang dilalui oleh para karakter; Finch sendiri, Jeff si Robot, dan Goodyear si anjing kesayangan (hanya tiga inilah karakter yang muncul dalam cerita) itulah yang membuat cerita jadi punya hati, yang membuat narasi film menjadi sedemikian berbobot sehingga film Finch bisa mencuat melebihi statusnya sebagai film distopia biasa yang menceritakan soal bencana umat manusia.

Robot itu diciptakan Finch sebagai makhluk cerdas, setia, punya daya tangkap luar biasa (meskipun sebenarnya terpaksa berjalan dengan kekuatan 72% dari potensi aslinya) supaya si robot tinggal meniru apa yang dilakukan Finch. Ngasih makan anjing, ngendarai mobil van, bikin shelter dan segala macamnya. Satu hal yang tidak bisa diprogramkan adalah, membuat robot itu dipercaya oleh Goodyear, sang anjing. Jadi, Finch dalam sisa umurnya harus mengajarkan si robot berlaku, supaya mendapat kepercayaan. Masalahnya, Finch sendiri adalah orang yang punya trust issue. Dari pengalaman masa lalu yang ia ceritakan kepada robot dalam berbagai kesempatan, kita paham bahwa Finch enggak percayaan sama orang, bahkan sebelum bencana matahari menimpa bumi. Dalam keadaan mereka yang sekarang, ketidakpercayaan Finch terhadap orang lain semakin besar. Bukannya tidak ada lagi manusia, namun kondisi manusia berebut untuk survive telah meruntuhkan sisa-sisa tembok kepercayaan di dalam diri Finch. Terlebih karena dia dan si anjing telah hidup sebagai saksi betapa jahatnya manusia saat kondisi memaksa mereka. Jadi, pertanyaan besar yang membuat interaksi karakter-karakter ini menarik adalah bagaimana bisa seseorang mengajari sesuatu hal kepada orang lain, saat dia sendiri tidak paham sama hal yang hendak ia ajarkan.

Tentu saja tidak bisa. Finch bahkan gak bisa menjelaskan makna trust dengan sederhana dan tepat, saat si robot bertanya. Finch hanya menjawab trust adalah trust. Dia either menjawab terlalu singkat, atau menjawab dengan cerita yang sangat panjang. Finch gak tahu, karena dia sendiri gak pernah percaya sama orang lain sebelumnya.  Inilah yang harus disadari oleh Finch, dalam waktunya yang terbatas. Finch sendirilah harus yang lebih dulu belajar memahami apa itu trust, bagaimana mempercayai orang lain kembali, sebelum ia berusaha mengajarkannya kepada Jeff si Robot.

 

Banyak penonton dan kritikus yang mengatakan film ini tidak original dan membanding-bandingkannya dengan film distopia lain, dan bahkan juga dengan film Tom Hanks lain, Cast Away (2000) hanya karena setting dan situasinya. Padahal sebenarnya, Finch ini pada intinya justru lebih mirip dengan Finding Nemo (2003). Si Finch adalah Marlin yang harus belajar untuk mempercayai Dory (dan eventually Nemo) – yang dalam film ini adalah Jeff si Robot. Akan ada adegan ketika Finch harus membuat keputusan, dan Jeff mengusulkan sesuatu tapi Finch menolak karena tak percaya. Akibatnya mereka berada pada tempat yang semakin parah. Tentu saja, film ini punya pesonanya tersendiri.

finch.ucmki3.image.qoh
Robotnya mirip mukak Deadpool, dan pas ngomong kayak lagi di Red Roomnya Twin Peaks

 

 

Sebagian besar, film ini ditopang oleh kepiawaian akting Tom Hanks. Aktor satu ini, batuknya aja meyakinkan! Hanks memainkan pria terluka luar dalam dengan power yang membuat kita tidak memandang karakternya dengan beriba-iba ria. Kita bisa melihat perjuangan dan desakan. Kita bisa melihat betapa dia tidak menyerah meskipun di lubuk hati dia pesimis sama dunia. Kita bisa merasakan dia hanya hidup untuk menjamin anjingnya berada di tangan yang benar. Hanks bersinar memainkan karakter ini, dia membuat akting dengan banyak dialog itu dengan berbagai range emosi itu tampak mudah. Momen-momen ketika dia ‘mendongeng’ untuk Jeff, aku merasa gak sabar dan ikutan duduk di sana mendengarkan cerita. Hanks gak butuh flashback, cukup dia bercerita aja, semua emosi yang diniatkan, semua pembelajaran yang dikandung, sudah tersampaikan kepada kita. Maka, tugas akting Caleb Landry Jones pun tak kalah berat. Dia harus bisa mengimbangi Hanks, sekaligus sebagai robot yang satu-satunya cara menunjukkan ekspresi dan perkembangan adalah lewat suara. Caleb berhasil terdengar seperti anak yang polos ke seorang yang penuh rasa optimis, hingga menyerempet ke komedi lewat kontras karakternya dengan Finch. Developmentnya semakin terasa saat film mendekati akhir. Jeff terasa sekali perbedaannya dengan saat di awal, kita merasakan progresnya dalam belajar menjadi semakin ‘manusiawi’.

Interaksi Finch dengan Jeff, Jeff dengan Goodyear, Finch dengan Goodyear menghantarkan kita melewati naik turunnya perasaan hangat, haru, intens, dan juga kocak. Film memang gak berniat menjadi sepenuhnya depressing. Malah, lebih banyak momen-momen ringan. Momen-momen yang lebih manusiawi. Mengingat ini cerita distopia dengan tokoh manusia dan robot dan hewan, maka pencapaian manusiawi tersebut jelas merupakan feat yang luar biasa. Saat menonton, seiring perjalanan yang dilakukan para karakter menuju Golden Gate Bridge (yang membuat film ini semacam road-trip movie) kita akan merasakan cemas, dan sedikit gak tega karena kita tahu cerita mengarah kepada Finch yang harus pergi. Alias mati. Bagi naskah, inilah yang dijadikan pertanyaan untuk dijawab di babak terakhir. Apakah usaha Finch berhasil?

Enggak banyak film yang berhasil tetap stabil saat ‘mencabut’ karakter utamanya saat cerita berlangsung. Kebanyakan langsung jatuh bebas, alias sudut pandangnya jadi kacau, dan tidak terjustifikasi kenapa karakter utama tersebut harus hilang atau diganti atau semacamnya. Contoh teranyar adalah The Medium (2021), horor Thailand yang bangunan ceritanya langsung runtuh saat karakter utama dibikin tewas dan ujug-ujug diganti oleh karakter dukun yang random. Finch adalah contoh yang berhasil. Suprisingly, film ini berhasil mencapai ending yang memuaskan meskipun karakter utamanya harus undur diri. Karena naskah benar-benar ditulis dengan matang. Keseluruhan babak terakhir adalah untuk menunjukkan keberhasilan Finch. Kita melihat aftermath dan apa yang ia ‘wariskan’ kepada Jeff. Masih ingat ketika di awal ulasan disebut setting sebagai bagian dari karakter? Seiring Finch belajar tentang trust, bahwa masih ada yang bisa diharapkan di muka bumi, situasi dunia cerita pun berubah. Membantu Finch menyadari semua itu. Gampang untuk overlook dan mengatakan film ini random tiba-tiba dunianya udah gak bahaya lagi. Sesungguhnya, film meminta kita untuk percaya bahwa ada yang mendasari semua itu. Bahwa sebenarnya yang diperlihatkan bahwa masih ada harapan. Sepeninggal Finch, cerita tidak berakhir karena lewat interaksi Jeff dan Goodyear film memperlihatkan bahwa perjalanan karakter Finch sudah melingkar sempurna. Jeff mendapat kepercayaan Goodyear karena Finch telah berhasil membuka hatinya untuk sebuah trust.

 

 

 

Buatku film robot ini hangat sekali. Action dan komedi dan ketegangannya tidak pernah berlebihan, melainkan fokus kepada cerita karakter. Perjalanan manusiawi yang harus ditempuh oleh karakternya. Sebagai road-trip, memang film ini adalah salah satu yang cukup langka, karena menunjukkan karakternya sampai di tujuan, bahwa tujuan itu sama berharganya dengan prosesnya. Secara terpisah film ini memang bisa terasa kurang original. Premisnya kayak sudah banyak. Settingnya apalagi. Namun secara gambaran besar, semua elemen di film ini berada pada tempat dan memenuhi fungsinya masing-masing. Dihidupi oleh tema yang menggugah dan penampilan akting yang memukau. Mata kita pastilah kelilipan pasir jika tidak melihat indahnya film ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FINCH.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian termasuk yang susah mempercayai orang? Mengapa menurut kalian itu bisa terjadi?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DUNE Review

“There is no greater jihad than to help the helpless”

 

Beberapa menyebut film ini sebagai Star Wars versi lebih serius. Ada juga yang menyebutnya sebagai Star Wars versi islami. Cerita tentang Imam Mahdi. Bagi pembaca novelnya, Dune adalah fiksi ilmiah yang paling ditunggu, karena mereka penasaran bagaimana cerita sepadat itu divisualkan ke dalam tayangan. Bagi David Lynch, Dune adalah pengingat kegagalan, sehingga ia bahkan tak tertarik nonton film baru ini. Bagi ‘film-twitter’, Dune adalah bahan ribut bulan ini. Dan akhirnya, tiba juga bagiku untuk menyumbang suara mengatakan Dune versi Denis Villeneuve ini adalah apa.

Waktu itu memang aku terlalu sibuk untuk ikutan keramean seputar artikel yang bilang orang yang ngantuk nonton Dune punya wawasan pas-pasan. Padahal semua itu gak ada hubungannya sama wawasan. Kubilang sekarang, mereka yang bosen, bahkan sampai ketiduran nontonin Dune versi baru ini, pastilah cuma orang-orang yang belum pernah nonton Dune yang versi David Lynch. Serius. Senada dengan Lynch sendiri, alasan aku juga enggak antusias menyambut Dune terbaru adalah karena aku punya mimpi buruk berkenaan dengan Dune 1984. Aku berusaha nonton lima kali, dan ketiduran enam kali!! Bukan karena film itu jelek – aku gak punya kapasitas bilang film itu jelek, karena selalu gagal menontonnya sampai habis – tapi karena film itu terbeban banget oleh eksposisi. Sepuluh menit pertamanya aja full-narasi eksposisi! Makanya, begitu akhirnya menonton Dune versi Denis, aku lega sekali karena film ini terasa jauuuuuuuuhhhhh lebih ringan. Denis meminimalisir semua eksposisi dan mitologi. Jika Dune memanglah awalnya dibuat untuk menjadi ‘saingan’ Star Wars, maka Dune versi 2021 ini adalah yang paling dekat untuk memenuhi fungsi tersebut. Film ini jauh lebih mudah untuk dinikmati ketimbang yang kalian dengar dikatakan oleh orang-orang.

DUNE4267631098
Film ini jadi bukti bahwa bisa kok sebuah adventure grande dibuat tanpa bumbu-bumbu humor one-liner yang cheesy

 

Aku ngerasa bisa relate sama usaha film ini dalam mengurangi eksposisi, karena di sini aku pun gak mau kalo review yang aku tulis akan terbaca sebagai gibberish – sebagai fafifuwasweswos omong kosong – oleh pembaca yang enggak ngerti sama istilah-istilah dalam semesta cerita Dune. Di sini, aku pun harus berusaha membuat supaya ulasan ini bisa semudah mungkin untuk diakses oleh general audience. Dan itu beneran susah! Diadaptasi dari novel karya Frank Herbert sepanjang 412 halaman, Dune punya dunia yang lore dan mitologinya penuh oleh istilah-istilah (dengan referensi kuat ke budaya dan peradaban Islam, sehingga wajar banyak yang nyebut ini sebagai Star Wars untuk sobat gurun), dan punya cerita penuh oleh intrik politik kerajaan-kerajaan atau kelompok-kelompok masyarakat, sementara juga tetap mempertahankan message mengenai lingkungan, sosial, dan kepercayaan sebagai tema yang membayangi gambaran besarnya. Ibarat minuman, Dune begitu kental. Susah untuk mengekstraknya menjadi konsumsi yang lebih ringan tanpa mengurangi esensi yang dikandungnya. Berikut usahaku menceritakan sinopsis dengan singkat, tanpa menyelam terlalu dalam ke istilah dan mitologinya:

Di dunia tahun 10191, planet gurun Arrakis jadi lahan tambang karena kandungan sumber dayanya. Penduduk asli planet tersebut, bangsa Fremen yang bermata biru, terjajah bertahun-tahun lamanya oleh bangsa penambang House Harkonnen. Demi mengatasi keadaan tersebut, Emperor mengutus House Atreides dari Planet Caladan. Tokoh utama cerita ini adalah putra mahkota House Atreides, Paul. Di bawah bimbingan ayahnya, Paul dididik secara militer dan dibimbing untuk jadi pemimpin yang baik, sebagai penerus kelak. Tapi Paul ternyata punya takdir satu lagi. Paul memiliki kekuatan ‘penglihatan’ dan ‘the voice’ (ala Jedi Mind Trick). Dia mungkin adalah messiah yang bisa menghentikan perang, menyatukan semuanya. Di saat Paul masih berkutat dengan tanggungjawab besar dan mimpi-mimpi yang menawarkan versi masa depan yang menyita perhatiannya, pengkhianatan besar terjadi!

See, basic banget! Menulisnya simpel begitu jadi terasa kayak cerita ‘The Chosen One’ yang biasaKurang lebih tantangan seperti itulah yang harus dijabanin oleh Denis di proyek ini. Denis gak mau filmnya berat, maka dia menceritakannya dengan sesimpel yang ia bisa. Dengan minim dialog. Dengan informasi-informasi dan penjelasan dibeberkan seperlunya. UIntungnya Denis punya senjata andalan, yang tentu saja tidak aku punya (siapalah saya…), yang penulis novel aslinya gak punya, dan yang bahkan gak bisa dimaksimalkan oleh David Lynch. Visual Storytelling.

Ketika harus memberitahu bahwa karakter yang diperankan Zendaya adalah orang Fremen yang cantik nan misterius, Denis menceritakannya lewat visual yang begitu striking. Mengontraskan warna mata, warna kulit, warna lingkungan. Memanfaatkan dukungan musik dan permainan kamera. Begitu kuat kesan dreamlike pada adegan yang memang berupa pandangan di dalam mimpi tersebut. Bandingkan saja dengan Dune versi lama, yang lebih memilih mengatakan semua itu kepada kita langsung lewat narasi voice-over, narasi suara hati yang bergema. Dune versi baru ini lebih elegan. Bicara banyak tanpa banyak bersuara. Denis tidak mau kita fokus membincangkan mitologi dan sebagainya. Denis mau kita menikmati spektakel visual yang ia hadirkan dengan maksimal. Dia ingin kita mengalami semua visual di planet fantasi ilmiah tersebut. Shot-shot wide yang kerap ia lakukan, ditujukan untuk menekankan sensasi epicness kepada kita. Entah itu ketika ada pesawat (yang sayapnya seperti sayap capung!) mendarat di tengah-tengah kerumunan, ketika serangan cacing tanah raksasa diperlihatkan dari atas lewat sudut pandang dua orang di atas pesawat, atau ketika ada badai pasir di latar belakang. Semuanya mengedepankan skala. Kita melihat manusia begitu kecil, cacing begitu besar, dan sebagaimana. Sense indera inilah yang membuat pengalaman menonton Dune jadi begitu memikat. Kita dimaksudkan untuk menyantap itu semua sebagai hidangan utama.

dune_worm_main
Visualnya edune!!

 

Film versi Lynch bahkan minim aksi. Tidak ada pertempuran berantem atau satu-lawan-satu di sana. Sementara, film baru ini seru lewat lebih banyak aksi, baik itu kejar-kejaran maupun berantem. Martial Art yang ditampilkan pun tampak plausible, dimainkan dengan menghibur ke dalam ‘gimmick’ alias lore yang dipunya oleh dunia cerita. Dune David Lynch, yang mementingkan narasi dan eksposisi semesta, tidak punya ruang yang lega untuk mengembangkan karakter. Paul di film itu tidak punya banyak fase-fase development. Malah karena begitu sempit, karakternya tampak seperti menerima status ‘imam mahdi’ itu begitu saja. Dia lantas jadi kayak dewa. Denis dalam film versinya ini punya ruang lebih banyak untuk membebaskan karakternya. Paul dikembangkan dengan lebih natural. Timothee Chalamet punya banyak waktu untuk menunjukkan jangkauan aktingnya. Ada lebih banyak momen humanis untuk karakternya membangun relasi dengan ibu yang jadi mentor ‘ilmu jedi’nya. Begitu juga momen-momen dengan karakter sahabatnya, yang tidak ada pada film versi Lynch yang strict ke Paul dan sang ayah saja. Arc-nya adalah tentang menerima tanggungjawab, dan Paul punya dua yang harus ia terima. Film menyulam ini dengan seksama, inilah yang dipastikan ada closingnya, sehingga nanti saat film memang harus bersambung ke part berikutnya, masih ada elemen yang menutup pada cerita.

Antara jadi pemimpin atau penyelamat. Antara sebagai penjajah atau penolong. Paul sesungguhnya telah memilih, tapi dia struggle dengan posisi dirinya untuk menempati pilihan tersebut. Perjuangan inner-nya yang menggambarkan makna jihad. Sebab jihad bukan semata berarti turun berperang. Melainkan berjuang, membawa diri sendiri, untuk menolong yang tak berdaya.

 

Ini sih sebenarnya yang jadi masalah. Dune 2021 terasa incomplete. Karena memang filmnya ternyata dibagi dua. Dan, marketingnya.. well, aku tau kurang bijak menilai film dari cara mereka memasarkan diri, tapi there’s something about it yang membuatku jadi mengaitkannya dengan pembuatan dan storytelling film ini sendiri. Dune tidak segera memasarkan diri sebagai Part One (they soft sell this instead), dan bagian keduanya disebutkan akan lanjut atau tidak bergantung kepada kesuksesan Dune yang sekarang ini. Jadi, film ini keadaannya semacam kayak game Final Fantasy. Ini adalah kesempatan ‘terakhir’ mereka membuktikan diri dengan ngasih yang jor-joran, karena ada kemungkinan ujung ceritanya gak bakal bisa lanjut ditampilkan. Tapi Dune tidak benar-benar rapi menutup episode ini. Arc paul memang  menutup, tapi development lain tidak digenjot. Istilah gampangnya, Dune ini tidak terlihat seperti didesain untuk bisa berdiri sendiri. Walaupun pembuatnya yakin mereka hanya punya kesempatan kecil untuk melanjutkan cerita, tidak terasa mereka put everything on the line. Jadi, effort meracik cerita di sini agak kurang maksimal.

Mereka literally cuma bergantung pada keberhasilan spektakel visual. Di luar itu, dan di samping usaha menutup arc Paul for now, tidak lagi ada substansi. Keputusan film untuk meminimkan informasi berbalik jadi bumerang. Kita jadi tidak masuk secara immersive ke dalam mitologi dunia. Film ini menjadi terlalu sederhana for its own good. Narasinya jadi kurang berbobot karena tidak membahas mendalam. Dari konteks bahasa, misalnya. Saat menonton Dune ini kita akan notice banyak istilah Islam, tapi dengan mengabaikan banyak lore, film ini sendiri jadi seperti mengesampingkan kepentingan kenapa istilah-istilah tersebut dipakai pada awalnya oleh novel. Tentu saja pertanyaan ‘kenapa’ yang baru jadi terangkat. Memang, kondisi politik dunia kita pun memang sudah berbeda, antara masa pembuatan novel Dune dengan masa filmnya dibuat ulang. Dan ini jadi menarik, apakah memang ada hubungannya dengan itu? Apakah menyebut Islam dan jihad sebagai asosiasi dari protagonis kulit putih tidak lagi ‘klik’ dengan situasi saat ini? Ini kan bisa jadi bahan tulisan lain yang menarik untuk diangkat. But for now, untuk kepentingan penilaian karya film, aku mencukupkan dengan mengatakan film ini agak terlalu kopong perihal substansi, dan memang hanya dibuat untuk spektakel saja.

 

 

 

Memang conflicted sih, aku jadinya. Aku percaya film adalah sulap kreasi. Film ini menawarkan teknik dan kreasi yang tidak kurang dari sebuah masterpiece. Namun aku juga percaya film harus punya bobot. Film ini, sekarang aku tidak begitu yakin. Apakah dia sengaja untuk hiburan visual saja, dan menyimpan semua bobot di bagian kedua. Atau apakah memang sengaja dibikin ringan dan sama sekali tak membahas yang lebih dalam. Apakah film justru mengandalkan kita untuk baca novelnya (atau baca thread di twitter, kalo kalian kebelet pengen cepet ‘smart’ tanpa baca bukunya) supaya mereka tak perlu banyak-banyak menjelaskan lagi – which is still bad, karena film haruslah bisa bercerita tanpa suplemen lain. Kalopun ada kesimpulan, maka itu adalah bahwa film ini membuktikan novel karya Herbert memanglah tidak-bisa-difilmkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DUNE

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian perjuangan Paul adalah perjuangan Jihad?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

FREE GUY Review

“You just can’t let life happen to you, you have to make life happen”

 

Video game merupakan eskapis yang seru. Karena di dunia jutaan pixel tersebut, permasalahan hidup kita disederhanakan menjadi misi-misi seperti menyelamatkan putri raja, mengalahkan naga raksasa, dan mencari harta karun. Di sana, apapun yang kita lakukan, kita tetap adalah jagoan. Makanya video game itu bisa jadi sarana pelampiasan stres yang mujarab. Semuanya ada dalam kendali kita. Gagal dalam permainan video game, kita tinggal mengulang dari titik terakhir kita nge-save atau menyimpan game. Kita bisa melakukan apapun yang kita mau, practically tanpa konsekuensi. Dalam game seperti GTA, kita bahkan bisa menabrak dan menghajar karakter-karakter NPC.  Baik untuk kepuasan batin, maupun untuk reward yang memang justru diberikan jika kita melakukan hal tersebut. Semua terasa bekerja untuk membantu kita. NPC-NPC itu, para karakter yang diprogram untuk berdiri atau mondar-mandir dengan dialog yang paling cuma tiga kalimat, didesain sebagai pemberi informasi atau clue, atau malah sebagai penghias semata. Tapi bagaimana jika ada NPC yang bisa berpikir sendiri? Yang bisa naikin level sendiri. Yang actually lebih jago dari kita dalam permainan video game – dan bahkan lebih jago dalam kehidupan nyata??    

Free-Guy-Trailer-1280x720
Kecuali Megaman, tetep adalah game yang bikin hidupmu makin stress!

 

Itulah premis sci-fi lucu dari film karya Shawn Levy ini. Seorang NPC yang bikin gempar dunia pervideogamean lantaran mendadak muncul, berinteraksi dengan para pemain, melesat ke puncak rank dengan naik level melakukan misi-misi, sehingga sempat disangka sebagai ulah hacker. Tapi si Blue Shirt Guy itu bukanlah hacker di balik Skin, bukan pula anak 14 tahun yang menghabiskan kredit di kartu orangtuanya untuk beli fitur-fitur canggih. Blue Shirt Guy adalah NPC tulen. Dia hidup di dunia game Free City (game online dengan style ala Grand Theft Auto). Bekerja sebagai pegawai bank. Dia rukun dengan sesama NPC lain yang diprogram jadi penghuni kota. Masalahnya adalah gak ada satupun dari mereka yang sadar bahwa mereka cuma karakter penghias dalam sebuah video game. Blue Shirt Guy-lah yang pertama menemukan ada ‘sesuatu’ pada kota mereka yang kerap didatangi orang-orang keren berkacamatahitam untuk berbuat berbagai kerusuhan. Blue Shirt Guy actually jatuh cinta sama seorang cewek berkacamatahitam. Jadi dia melakukan apapun, termasuk melanggar aturan mengambil dan mengenakan kacamata hitam milik seseorang, supaya bisa dekat dengan si cewek. Saat memakai kacamata itulah, akhirnya Guy melihat bahwa dunia tempat tinggalnya ternyata penuh misi-misi, item-item, dan dia menyangka dia sendiri adalah pemain dari game tersembunyi itu.

Seperti Jim Carrey di The Truman Show (1998), Ryan Reynolds dalam Free Guy juga memainkan karakter berkepribadian positif, yang tampak sangat menikmati hidup, tapi gak sadar bahwa hidup yang ia jalani adalah sebuah kepalsuan. Hidup Truman hanyalah episode tayangan televisi, sementara Blue Shirt Guy cuma permainan video game. Dia bahkan bukan orang beneran. Melainkan hanya algoritma. Hanya data dalam sebuah server. Dalam sense ini, Blue Shirt Guy memang lebih naas daripada Truman. Namun itu tidak lantas berarti film Free Guy ini lebih depresif. Film ini gak kalah lucu. Dari segi penampilan komedi, Ryan Reynolds berhasil menanamkan pesonanya. Dia memang tidak seekspresif Carrey yang harus menyeimbangkan komedi fisikal dengan drama. Senjata Reynolds ada pada delivery dialog-dialog naif, dan kontras antara dialog tersebut dengan yang beneran terjadi atau dirasakannya. Reaksi pada momen tersebut, itulah kekuatan komedi Reynolds. Di Free Guy, dia juga dituntut harus seimbang antara komedi, drama, dan tentu saja aksi.

Karena setting Free Guy adalah video game, maka film ini lebih chaos jika kita membandingkannya dengan The Truman Show tadi. Elemen-elemen seperti pada video game akan banyak sekali menghiasi cerita. In fact, aksi-aksi itulah yang jadi napas utama film ini. Aksi-aksi, dengan nuansa komedi yang precise dimainkan oleh Reynolds dan para aktor lain, menjadi sajian hiburan yang kuat. Culture video game banyak ditampilkan. Meme-meme dalam dunia video game juga banyak disuguhkan. Aku ngakak ketika melihat ada karakter yang jalannya nubruk-nubruk tembok. That was me when playing video game lol. Detil game dalam film ini keren sekali.

Jika kalian bukan penggemar video game, jangan khawatir. Buat aku aja, game modern sejenis dalam cerita film ini sebenarnya aku gak relate. Aku bahkan juga gak kenal sama gamer-gamer atau streamer-streamer yang ditampilkan sebagai reference atau cameo di dalam cerita. Film ini dialog dan aksinya didesain begitu baik, sehingga kita tetap bisa menikmati. Soal referensi, memang film ini tidak bisa menghindari itu. Walaupun ini adalah cerita original yang tidak musti mirip ama satu game tertentu, tapi kebutuhan untuk menampilkan elemen-elemen video game tetap ada. Penggemar game akan bisa menebak semua, mulai dari buster MegaMan hingga ke logo Far Cry. Untungnya, video game adalah jagat yang luas. Dan ngehasilin duit. Banyak video game things yang sudah disadur ke film dan pop-culture lain. Sehingga referensi game yang muncul di film ini masih terasa universal. Ada this particular shield, ataupun pedang-laser tertentu yang semua orang kurasa bakal mengenali.

freeXkEyXkFqcGdeQXZ3ZXNsZXk@._V1_
Heronya baik karena judul filmnya Free Guy. Coba kalo Guy-nya diganti Man. Pasti jadi preman.

 

Hebatnya, referensi-referensi tersebut tidak merenggut kita dari esensi cerita. Mereka ditampilkan secukupnya, dan di samping itu, film ini memang sudah menyiapkan bukan satu, melainkan dua tema yang dieksloprasi konsisten demi mendaratkan ceritanya. Tentang cinta dan tentang kendali seseorang terhadap hidupnya sendiri. Cerita Free Guy sebenarnya bukan cuma tentang Guy seorang. Supaya bisa make sense kenapa NPC bisa jadi punya kehendak sendiri, maka film sudah menyiapkan sebab yang jadi cerita tersendiri. Di dunia nyata dalam cerita, ada dua orang kreator game; Millie dan Keys yang sobatan, yang bekerja sama mengembangkan sebuah game. Tapi perusahaan game milik Antwan (namanya Soonami, ha!) malah membuat game tembak-tembakan yang dicurigai berdasarkan kode game yang tengah mereka kembangkan. Game Antwan sukses, Free City sampai-sampai bakal ada sekuelnya, sementara game simulasi Millie dan Keys lenyap. Kedua orang ini jadi berpisah. Millie masih terus berusaha mencari game itu dengan bermain Free City, sementara Keys bekerja sebagai pegawai Antwan. Cerita Millie dan Keys, dirajut dengan baik ke dalam cerita Guy. Dua cerita inilah yang membentuk narasi utuh film Free Guy. Memuat tema dan memberi hati pada sajian hiburan yang kita saksikan.

Dalam video game, we control the live, the action of our characters. Tapi di real life, apakah kita tetap masih memegang kendali atas kehidupan sendiri? Apakah kita diprogram kepada satu tujuan tertentu? Apakah ada yang mengendalikan kita? Tentu kita lebih suka untuk berpikir bahwa kita makhluk bebas. Selain Tuhan yang menggariskan hidup, kita merasa memegang kendali penuh atas pilihan dan ragam tindakan kita. Benarkah demikian? Benarkah pilihan kita masih murni dari keinginan dan tidak ada yang mempengaruhi? Bisa juga tidak, karena saat ini dunia jadi begitu bersifat komersil. Semua yang kita lakukan seperti dimonitor untuk kepentingan perusahaan seperti Soonami berjualan. I mean, sekarang aja untuk bisa kemana-mana kita harus install satu app tertentu.

 

Muatan dua cerita tersebut kadang bikin narasi film jadi sedikit clunky. Pergantian dari Guy di video game ke dunia nyata kadang membuat ritme penceritaan harus ngerem dulu. Sutradara berusaha untuk meminimalisir ini, misalnya dengan menggunakan montase Guy naikin level dirinya sebagai jembatan, usaha yang patut untuk diapresiasi karena kita bisa melihat penempatan dan editing yang dilakukan juga sangat precise. Namun karena dunia nyata dan dunia game yang kontras, baik itu dari segi visual maupun dari segi kejadian, perasaan bahwa narasi atau ritmenya mengalami reset ke awal setiap kali pergantian tetap muncul.

Selain itu, sense siapa karakter utama juga tidak kuat. Guy tidak berikan antagonis, kecuali satu hambatan besar di penghujung cerita. Antagonis cerita ini adanya pada dunia nyata, si Antwan, yang diperankan sangat komikal oleh Taika Waititi. Karakter Antwan ini kurang lebih kayak Gavin Belson di serial Silicon Valley. Tech jenius yang juga bisnisman ‘jenius’. Maunya cuan melulu. Dia tidak peduli soal Guy yang merupakan keajaiban artificial intelligent, melainkan hanya peduli soal I.P dan Brand. Dia hanya peduli Guy selama karakter itu menguntungkan bagi gamenya. Naturally, ini selalu adalah karakter yang menarik. Sayangnya Taika Waititi memilih memainkan Antwan dengan sangat over the top. Sebenarnya ini tidak begitu masalah kalo cerita hanya di dunia nyata. Tapi karena kita juga melihat dunia video game, yang dibuat serupa dunia nyata (dengan para NPC-nya bisa berkehendak dan emotionally able), Antwan malah tampak lebih artifisial dibandingkan karakter NPCnya. Mungkin karakternya sengaja dibikin seperti itu supaya ‘menjangkau’ dua protagonis sekaligus, tapi itu pun terasa flat karena Antwan tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan Guy.

Ini juga jadi membuat Free Guy jadi sedikit berbeda dari Truman Show. Truman ingin keluar dari dunia reality show. Dia konfrontasi dengan ‘tuhan’ dunia tersebut. Bagi Guy, ini bukan sebatas keluar video game. There’s no way dia keluar dari video game. Dia menyebrang laut adalah untuk pindah ke dunia video game lain. Tempat di mana dia dan para karakter bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau. Bebas menentukan jalan sendiri. Tempat yaitu game, yang memang diprogram supaya NPC bisa berkembang. Dan Guy berteman dengan ‘tuhan’ alias pencipta seisi game tersebut, termasuk dirinya. I don’t know, tapi kurasa film ini juga ternyata bermuatan spiritual. Bukan saja tentang kita-lah pemain dalam hidup sendiri, tapi ceritanya juga menunjukkan kita untuk tidak membiarkan ada orang lain yang mengatur, selain ‘program’ yang sudah diciptakan sebagai landasan untuk kita hidup. Kayak Guy, yang diprogram untuk jadi orang baik, dan tetap memilih melaksanakan tindakan baik meskipun untuk cepat naik level dia harusnya ngerampok bank dan menabrak orang-orang.

 

 

I wish film ini lebih original, karena aku sebenarnya gak segan untuk ngasih skor tinggi buat film ini. Cerita tentang video game, dengan muatan berbobot alih-alih sekadar aksi seru-seruan? Sebagai penggemar film dan video game, jelas ini adalah film impian buatku. Tapi ya, sepertinya memang susah membuat cerita tenang video game yang benar-benar lepas dari referensi video game itu sendiri. But at least, film ini tidak melakukannya dengan berlebihan. Meskipun memang referensinya ternyata luas sekali. Ceritanya aja udah kayak gabungan Truman Show, Lego Movie, Ready Player One. Tapi untungnya, film ini punya karakter yang unik dan memorable. Dengan permasalahan yang juga dekat. Tidak perlu jadi penggemar game untuk bisa menikmati sajian yang memang menghibur ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FREE GUY.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jadi, apakah kalian masih yakin sedang memainkan sendiri game berjudul Kehidupan sebagai player one? Atau apakah sebenarnya kita semua sedang dalam proses jadi NPC?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE GREEN KNIGHT Review

“A man was defined not by his flaws, but by how he overcame them”

 

Mendengar kata Ksatria, yang terlintas di pikiran kita adalah sikap yang terhormat. Tangguh, berani, jujur, dan kuat. Jika mencari sosok, pikiran kita akan mendarat kepada Arthur dan Para Ksatria Meja Bundar. The Green Knight, dari sutradara David Lowery, bukanlah epos perjuangan menarik pedang dari batu, melawan naga dan penyihir atau apa. Lowery lebih tertarik kepada kisah Sir Gawain, anak muda keponakan Sang Raja. Gawain belum sepenuhnya menyandang gelar Ksatria karena dia belum punya petualangannya sendiri. Dia belum membuktikan keberanian dan kegagahannya. Dia belum punya cerita kepahlawanan untuk dikisahkan. Dalam film ini, Lowery bahkan membuat Gawain semakin relate lagi kepada kita yang rakyat jelata. Tes yang harus dilalui Gawain di sini, di balik semua simbolisme dan fantasi-fantasi sureal, adalah perjalanan manusia mengarungi godaan. Entah itu godaan gender, harta, atau godaan duniawi lainnya. Sehingga hampir seperti sebuah perjalanan spiritual. Karena jikapun ada musuh yang harus dikalahkan Gawain dalam ujian yang membuatnya bertualang mencari Green Knight, maka musuh itu adalah dirinya sendiri. 

green9c8f83a3bc6101c545f061461a157533384de909
Dirinya yang pejuang procastination, seperti kita

 

Duh, Gawain ini ya, adegan pertamanya aja dia diperlihatkan diguyur air oleh pacarnya, karena bangun kesiangan. Ketika ditanya tentang menjadi Ksatria, Gawain hanya menjawab enteng bahwa dia masih punya banyak waktu. Ibu Gawain sendiri (dalam cerita Lowery, ibu Gawain adalah Morgan si Penyihir) mulai mencemaskan sikap putranya yang kayak enggak serius untuk membuktikan diri sebagai Ksatria. Makanya ibu tanpa sepengetahuan seorangpun, lantas mempersiapkan tes untuknya. Saat jamuan malam Natal bersama Raja Arthur dan para Ksatria di Istana, ibu Gawain meng-summon Green Knight – setengah manusia setengah pohon – ke tengah-tengah meja bundar mereka. Green Knight mengajukan sebuah permainan. Bagi seorang Ksatria yang berani maju dan melukainya, Green Knight akan memberikan Ksatria tersebut senjata sakti. Dengan syarat dan ketentuan berlaku: setahun ke depan si Ksatria tadi harus ke Green Chapel enam malam di utara, di mana Green Knight akan menunggu untuk melukai Ksatria tersebut dengan cara yang persis sama dengan yang dilakukannya kepada Green Knight pada malam ini.

Aku gak bangga dengan ini, tapi aku tau kalo aku ada di sana, aku gak akan mengajukan diri. Kalopun terpaksa, aku hanya akan menebas pelan tangan si Green Knight, atau semacam itulah. Dan itulah sebabnya kenapa Gawain adalah karakter yang lebih memorable dan menarik. Dan juga kenapa Dev Patel seribu kali lebih pantas jadi karakter ini. Karena karakternya kompleks, dan Patel mampu berbicara – menyampaikan banyak – lewat bahasa tubuh dan pancaran matanya saja. Gawain bukan semata seorang yang gak mikirin masa depan. Lewat tatapannya saat ditanya Raja, kita paham Gawain sebenarnya pengen sekali menyandang gelar Ksatria. Dia ingin dipandang terhormat. Tapi dia meragukan dirinya sendiri, yang penuh oleh sikap-sikap yang ia tahu bukan sikap pahlawan banget. Dia meragukan keberaniannya, dia bahkan gak yakin dirinya cukup berani atau cukup tabah menghadapi tantangan. Gawain ini jadi setengah-setengah.

Sikapnya tersebut langsung kita lihat saat dia dengan berani menjawab tantangan Green Knight, tapi kemudian ragu untuk menyerang. Si Green Knight harus menyerahkan diri dulu, lalu membuang senjatanya dulu, dan itupun belum cukup untuk membuat Gawain berani menyerang. Dia masih takut. Ragu. Ketika Green Knight menyodorkan batang leher, barulah si Gawain beraksi. Dan dalam usaha untuk menyelamatkan muka, Gawain melakukan hal yang sedikit berlebihan dengan menebas putus leher si Green Knight. Si Ksatria sihir itu bangkit tanpa merasa sakit, dan pergi meninggalkan Gawain yang menyadari tahun depan giliran kepalanya-lah yang menggelinding di tanah. Namun bahkan dengan nasib yang sudah ditetapkan seperti itu, Gawain masih belum gerak. Setahun yang diberikan bukannya dia habiskan dengan menempa keberanian, melainkan malah membuatnya semakin ‘meringkuk’ ketakutan. Begitu udah deket-deket deadline, setelah dibujuk-bujuk oleh Raja, dihibur dan disemangati oleh pacar, dan dibekali oleh ibu sabuk ajaib yang membuatnya tak akan bisa terluka, barulah Gawain berangkat menyelesaikan tantangannya.

Inilah kenapa buatku film ini lucu sekali. Lucu dalam artian tragis dan miris sih. Karena Gawain ini udah kayak sentilan kepada kita semua. Kita juga tahu kita semua akan mati. Kita tahu waktu kita terbatas di dunia, tapi apa yang kita lakukan dalam mengisinya? Berapa banyak dari kita yang masih berkubang dalam meragukan diri. Yang menunda-nunda beraksi karena gak yakin kita ini good enough. Berapa banyak dari kita yang menyerah pada godaan, yang melipir dalam perjalanan mengejar tujuan, karena kita takut gagal dan takut pada apa yang ada di ujung sana. Cerita Gawain boleh jadi adalah tentang perjalanan menemukan kehormatan dengan menerima kelemahan-kelemahan diri, tapi bagi kita cerita ini juga bisa jadi cermin refleksi atas sebetapa sedikitnya hal yang baru berani kita lakukan dalam kurun hidup yang terbatas ini. 

 

Bahkan dalam perjalanannya pun, Gawain tampak seperti belum sadar bahwa sekaranglah saatnya dia membuktikan diri. Babak kedua film ini adalah adventure Gawain yang bertemu dengan beragam orang, beragam kejadian (bayangkan petualangan Kera Sakti mencari kitab suci dan bertemu dengan banyak siluman di sepanjang jalan) Sebenarnya semua yang ditemui Gawain tersebut adalah bagian dari tes dari sang ibu, yang aku bayangkan pastilah risau sekali melihat anaknya gak benar-benar belajar. Dalam setiap tantangan, Gawain lulus tapi tidak dengan, katakanlah, perfect skor. Beberapa kali dia seperti nyerah gitu aja, sebelum akhirnya bangkit karena ‘bantuan’ ilusi. Ketika dia membantu seorang hantu mencari kepala di dasar danau, Gawain dengan ‘polosnya’ nanyain imbalan. Ketika dia digoda oleh perempuan kaya yang wajahnya mirip dengan sang pacar (sama-sama dimainkan oleh Alicia Vikander, dengan sama sukses pula), mulut Gawain memang menolak tapi badannya enggak. Dan ketika ada kawanan raksasa, Gawain gak ragu untuk mintak numpang. Aku ngakak.

Greengreen-knight-зеленый-рыцарь-фильм-2020
Beginilah akhirnya kalo malah jadi Ksatria Meja Blunder

 

Tentu saja, film bukan sekadar tentang apa, membaca film bukan saja tentang membahas makna sebenarnya. Melainkan adalah membahas tentang bagaimana film tersebut menjadi apa yang ia sampaikan. Membaca pilihan-pilihan yang diambil pembuatnya dalam menceritakan gagasan. The Green Knight ciptaan Lowery ini adalah dongeng dari dunia yang berbeda. Begitulah kesan yang muncul saat kita menyaksikan film ini. Lowery membuatnya sangat indah. Abstrak. Sureal. Seumpama melihat puisi yang bergerak. Teknik visual dan sinematografi yang ia lakukan di sini benar-benar beda. Benar-benar ajaib. Yang seiring jauhnya perjalanan Gawain, menjadi terasa semakin surealis. Di awal-awal kita ‘hanya’ dimanjakan dengan komposisi warna alam seperti salju putih, kabut abu dan debu. Tapi perlahan warna lain mulai muncul saat film membawa kita ke dunia terbuka. Khayalan dan fantasi semakin tak jelas batasnya. 

Ngomong-ngomong soal warna, yang menarik di sini ternyata bukanlah warna hijau. Melainkan kuning. Yea, I know, kalian mungkin bakal bandingin ama film Indonesia baru-baru ini yang katanya dominan warna/filter kuning. Aku gak nonton film itu, jadi gak bisa bandingin. Tapi yang mau aku bahas di sini adalah warna kuning pekat (nyaris orange) yang digunakan Lowery sebagai warna selempang Gawain, sebagai warna yang mengecat pemandangan saat adegan Gawain menemui Green Knight di Green Chapel, bukanlah digunakan tanpa alasan. Lowery menggunakan kuning dengan shade gelap karena warna tersebut melambangkan sikap pengecut. Yang memang konstan ditunjukkan oleh Gawain. Sesuai sekali dengan konteks adegan saat di Green Chapel tersebut. Dan filter warna tersebut memang hanya muncul pada layar saat Gawain menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Kecemasan, kebingungan, sehingga akhirnya dia kabur. Setelah Gawain berubah menjadi berani, warna itu tidak kita jumpai lagi.

Itulah, di samping dialog-dialog yang memang berima dan diksi njelimet kayak bacaan puisi, film ini memilih untuk bersuara lewat simbol-simbol seperti warna ataupun benda. Karena dedikasinya untuk menunjukkan detil-detil simbol tersebut, maka film ini cenderung akan terasa lambat. Mereka butuh bermenit-menit untuk satu adegan saja. Jika kita ambil poin-poin kejadian, maka kita akan menemukan jumlah yang enggak banyak. Karena poin-poin itu dielaborate dengan segenap detil dan rasa dan makna, sehingga masing-masingnya jadi serupa seni yang ganjil. Sehingga juga, meskipun lambat, film ini tidak akan membosankan. Begitu banyak hal yang bisa kita nikmati, yang bisa kita gali maknanya berseliweran. Lambatnya itu tidak pernah jadi kekurangan. Melainkan, jadi karakter bagi filmnya.

Karena memang film ini, menuruti perkembangan karakternya yang penakut itu, jadi berprokastinasi ria juga. Film petualangan yang normal kan biasanya, seiring tantangan yang ditemukan di jalan, karakternya bakal nambah pembelajaran. Tapi The Green Knight memang tidak pernah diniatkan sebagai film normal. Di sini, udah mau masuk dua jam, tapi Gawain tidak benar-benar belajar apapun. Pembelajaran itu enggak disebar, melainkan ditunda-tunda untuk kemudian ditumpuk; pada adegan krusial menjelang akhir. Gawain mendapat semacam penglihatan dan dia baru belajar dari sana. Karakternya baru berubah menjadi lebih baik – langsung beres – di momen tersebut. Perlakuan development yang seperti ini menunjukkan kepada kita bahwa film ini tidak terpaku pada struktur bercerita, sementara juga turut menguatkan rasa ganjil yang jadi bumbu utama film ini sendiri. Yang sebaliknya, melihatkan dalam bentuk penglihatan tanpa peringatan kepada kita, juga bisa membuat penonton jadi merasa terkecoh, sehingga sedikit terlepas dari cerita.

 

 

Jadi untuk menyimpulkan, aku kayaknya udah kehabisan kata-kata. Sebuah film bisa menjadi sangat ajaib. Mendongeng kisah pahlawan yang relate sambil tampil abstrak layaknya puisi. Kalian yang meragukan kemampuan film untuk bisa mencapai itu, film ini hadir untuk menantang keraguan tersebut. Untuk menantang storytelling tradisional, dan bahkan menantang legenda itu sendiri. Dan meskipun memang tidak semua tantangan bisa ia menangkan, tapi tidak bisa dipungkiri juga, film ini adalah penceritaan tentang epos kemanusiaan yang sangat gemilang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE GREEN KNIGHT.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang kekesatriaan Gawain pada versi film ini? Mengapa menurut kalian dia pantas/tidak pantas menyandang gelar Ksatria? Bagaimana makna Ksatria itu sendiri di dalam dunia modern ini?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

THE SUICIDE SQUAD Review

“Everyone in life has a purpose”

 

The Suicide Squad dibuka dengan sebuah swerve. Dan kemudian untuk menit-menit seterusnya, hingga durasi kelar, sutradara dan penulis naskah James Gunn benar-benar mendedikasikan seluruh urat bersenang-senang dan denyut kreatif yang ada dalam hati dan kepalanya untuk menjadikan film serupa wujud dari karakter-karakter di dalam ceritanya, yang bukan orang baik-baik. Karakter-karakter yang beberapa di antaranya bahkan gak cukup baik sebagai kriminal super. Tapi justru itulah poinnya. Film ini, juga bukan film baik-baik. Namun dengan mengembrace sisi ‘bad’ tersebut, Gunn berhasil mengerahkan ‘pasukannya’ ini untuk menyelesaikan misi yakni menghibur kita, para penontonnya, dengan aksi dan komedi yang benar-benar super.

Not-so-direct-sequel ini adalah kelanjutan cerita dari proyek kelompok rahasia ‘korbanin napi untuk membereskan kerjaan kotormu’ yang digagas oleh officer Amanda Waller (Mata bulat penuh rahasia Viola Davis kembali menghidupkan karakter ini). Kali ini dia punya tugas baru untuk para napi-super di dalam tahanan. Menghentikan Proyek Starfish yang misterius di Pulau Corto Maltese yang penuh oleh tentara musuh. Bloodsport (Idris Elba menggantikan Will Smith’s Deadshot) ditunjuk sebagai pemimpin – dari kelompok penjahatsuper yang aneh-aneh. Demi sang anak, Bloodsport yang mematikan dan cukup handal – dia dipenjarakan karena menembak Superman dengan peluru kryptonite – harus rela digabungin ama hewan yang ia benci, yakni tikus. Sebab tikus-tikus itu adalah ‘senjata andalan’ rekan setimnya, Ratcatcher 2 (karakter Daniela Melchior ini bersalah atas mencuri hati kita!) Supervillain lain yang dipaksakan kepada Bloodsport untuk rekan tim adalah Peacemaker (John Cena bilang karakternya adalah Captain America versi douchebag), seorang pria bersenjata polka dot (jangan ngetawain Polka-Dot Man yang dimainkan David Dasmaltchian dengan aneh-tapi-charming kayak Neil di serial komedi Inggris The Inbetweeners), dan seoran-ehm, seekor makhluk setengah hiu yang kekuatannya berupa nafsu untuk memangsa manusia (disuarakan oleh Sylvester Stallone). Oh ya, Harley Quinn yang udah semakin luwes oleh Margot Robbie juga akan bergabung bersama mereka di tengah misi, membawa lebih banyak chaos dan warna-warni.

Tim orang-orang gak beres tersebut harus patuh sama perintah Waller yang bisa meledakkan kepala mereka kapan saja dari jauh. Tapi kemudian pemahaman mereka ditantang oleh kenyataan yang mereka temukan tentang Proyek Starfish yang super fishy. Bloodsport dan rekan-rekan harus memilih apakah mereka memang orang jahat tak-berguna atau mereka bisa jadi pahlawan.

suicidemaxresdefault
Aku akan bilang kepada anak-anakku kelak, bahwa ini adalah geng Jackass

 

Tapi bukan tim Bloodsport-lah yang kita lihat pertama kali. Inilah swerve yang aku maksud di pembuka tadi. Demi pembuka yang gak boring kayak Suicide Squad tahun 2016, Gunn siap untuk melanggar banyak aturan. Gunn totally memperlihatkan kita karakter lain, membentuknya seolah itulah karakter utama, membuat dia tergabung ke dalam tim penjahat super yang kocak dan absurd, dan lantas meledakkan mereka semua begitu saja. Darah mereka dipakai untuk membentuk ejaan judul. Aku tahu, sebenarnya normal sebuah film punya sekuen prolog seperti demikian. Seperti Scream yang memperlihatkan aktor muda yang lagi naik daun kayak Drew Barrymore di awal, yang kemudian ternyata hanya untuk membunuhnya sebagai pengantar. Di The Suicide Squad ini, Gunn berniat untuk menyambut kita dengan gemilang. Langsung ke pusat chaos, absurd, dan stake bahwa karakter-karakternya di sini bukanlah tipikal protagonis film superhero yang biasa – mereka semua either adalah orang jago tapi jahat, atau orang jahat tapi bego, dan mereka semua bisa mati tanpa terkecuali. Gunn tahu sebenarnya dia cukup dengan memperlihatkan kegagalan tim pertama, tapi Gunn tidak gentar untuk melangkah lebih jauh. Insting kreatifnya membuat dia mengambil keputusan untuk menjadikan film ini juga ‘jahat’ – gak peduli sama aturan. Jadi Gunn lanjut dengan menanamkan kecohan ‘karakter utamanya ternyata bukan dia’ tersebut. Kecohan yang efektif dan menghibur, walaupun memang jika dipandang lewat lensa penulisan itu bukanlah hal yang benar.

Dan setelah pembuka itu, instantly aku tahu sedang berurusan dengan apa. Sebuah film aksi komedi yang bakalan ‘susah’ untuk dinilai. Di opening tersebut Gunn telah sukses memberi isyarat dan melandaskan kehebohan seperti apa yang ia incar. Film ini akan gagal jika Gunn tidak berhasil mengfollow up opening tersebut dengan semakin banyak dan semakin gila lagi aksi dan semua-semuanya. Yang juga berarti bahwa keberhasilan film ini ditentukan dengan seberapa banyak lagi Gunn berani untuk melakukan hal-hal yang ‘gak bener’ dalam bangunan filmnya. Jadi, dengan memahami itu semua, aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku akan menilai film ini hanya dengan sebagai hiburan, atau menilainya dari seberapa banyak kesalahan yang sengaja diambil. Kreativitas yang ditonjolkan oleh Gunn, alih-alih usaha untuk menjaga film tetap stay di jalur kebenaran, memberiku pilihan ketiga. Menilai film ini dari kreasi yang dilakukan Gunn dalam mengolah hal-hal ‘gak bener’ yang harus ia lakukan dalam bangunan filmnya.

Cerita dengan karakter sebanyak ini cenderung untuk memerangkap sutradara ke dalam momen-momen pengembangan karakter yang gak imbang, ataupun dilakukan dengan tampak terpaksa; menyelipkan adegan-adegan ngobrol di antara aksi-aksi. Yang kaitannya dengan eksposisi. Film itu akan tampak terbagi oleh aksi dan penjelasan yang boring. Gunn melempar begitu saja karakter-karakternya kepada kita. Mengutamakan untuk memperlihatkan langsung apa yang karakter-karakter itu lakukan daripada lebih banyak menjelaskan origin. Dialog-dialog set up film ini cepat, sambar menyambar. Visualnya dibikin unik, mencolok dan berwarna bukan hanya untuk pamer, melainkan sebagai penguat karakter itu sendiri. Ketika momen-momen lambat itu betul-betul diperlukan, Gunn juga gak sekadar memberitahu kita, atau juga tidak sekadar flashback. Dia melakukannya lewat visual unik juga. Dia menggunakan jendela bus sebagai ‘jendela’ untuk melihat ke masa lalu karakter yang sedang diceritakan. Dia bahkan memindahkan sudut pandang, membuat kita masuk ke pandangan certain character supaya kita bisa langsung merasakan keanehan dirinya yang kocak (I love the ‘mom jokes’ di film ini!). Dengan membiarkan kita melihat sekaligus mendengar tentang mereka; mengexperience mereka, maka karakter-karakter dalam film ini bisa dengan mudah terkenang. Akan susah bagi kita untuk memilih siapa favorit, karena masing-masing mereka ternyata sudah kita pedulikan. Mereka bukan hanya komentar-komentar lucu, bukan hanya aksi-aksi keren. Mereka gabungan keduanya.

Adegan-adegan aksinya tentu saja sangat kreatif juga. Gunn tidak perlu khawatir menampilkan aksi yang impossible ataupun aksi yang klise kayak gedung runtuh, karena dia sudah berhasil melandaskan karakter dan dunia tersebut. Semua karakter berhasil dicuatkan pesonanya, dan itulah yang digunakan untuk memperkuat adegan-adegan berantem mereka. Salah satu hal keren yang dilakukan oleh film adalah memperlihatkan adegan berantem lewat pantulan helm. Aku sudah pernah melihat yang seperti ini di opening game Resident Evil 3 di PS satu; saat zombie bikin kacau kota diperlihatkan lewat pantulan di kaca helm polisi. Tapi aku belum pernah lihat adegan berantem yang bekerja efektif dari pantulan semacam itu di film sebelumnya. Satu lagi hal penting yang dimengerti oleh film ini adalah timing. Baik itu timing delivery dialog komedi maupun timing visual komedinya. Walaupun fast-paced dan kadang ceritanya balik bentar ke beberapa menit sebelumnya, karena banyak sekali karakter dan kejadian, film ini selalu tahu kapan harus ‘mengerem’. Kita tidak pernah dibiarkan bingung mengikuti ceritanya. Tulisan-tulisan konyol (dan keren) sebagai penanda bab/misi akan sering kita jumpai menuntun kita. Ini juga menghadirkan feels kayak sedang baca komik. Saat ceritanya balik sebentar pun akhirnya tidak terasa sebagai jeda atau sesuatu yang redundant, melainkan kita malah senang karena terasa seperti waktu tambahan untuk menyimak aksi karakter.

suicidesmaxresdefault
John Cena kabarnya di peran ini menggantikan Dave Bautista; rivalnya dalam storyline gulat

 

 

Ngomong-ngomong soal dunia gulat, aku selalu kepikiran Marvel dan DC ini kayak WWE dan AEW. Yang satu produk yang lebih ke hiburan keluarga, sementara satunya lebih mengincar ke penonton yang remaja/dewasa. Perbandingan itu semakin kentara melihat kerja Gunn di film ini. Gunn tadinya menyutradarai film Marvel, lalu dipecat, dan pindah bikin DC. Dan dia membuat film yang jauh lebih edgy di DC. Ini kan sama banget kayak superstar ex WWE yang dipecat, kemudian masuk ke AEW, dan merasa bebas, secara kreatif, untuk bermain dalam match yang lebih ‘brutal’. Gunn membuat The Suicide Squad penuh oleh aksi-aksi yang fun, as in penuh darah dan potongan tubuh yang melayang ke sana ke mari. King Shark makan orang aja ditampilin gak malu-malu. Afterall, karakter-karakter itu toh memang orang jahat. Kalo Suicide Squad pertama hanya mengingatkan kita lewat dialog yang setiap beberapa menit sekali menyebut “we are bad guy”, maka film kedua ini just having fun dengan karakter-karakter tersebut. Malah ada adegan tim Bloodsport membunuhi orang-orang tak bersalah, dan later mereka cuma salting dan bercanda gak mau mengakui perbuatannya. Dan maaan, sebagai penonton gulat yang sudah lama meminta John Cena untuk kembali jadi karakter jahat; film ini somehow terasa refreshing. Cena hillarious jadi karakter yang menjunjung perdamaian, tapi gak peduli siapa korban yang harus ia akibatkan demi perdamaian itu tercapai. Mungkin inilah yang terdekat yang bisa kita dapat kalo Cena masuk ke AEW?

Sepertinya karena itulah film ini jadi ngena. Karakter-karakternya terasa dalem. Ratcatcher 2 definitely favorit dan jadi hati di film ini. Pilihan yang para karakter buat setelah mengetahui kenyataan sebenarnya jadi terasa lebih bermuatan. Dan sebagai bigger picture, film ini memberikan kita sesuatu untuk dipikirkan. Cerita-cerita superhero DC dibuat dark dan gritty, kita butuh untuk melihat pahlawan dalam keadaan terbawah mereka, untuk menunjukkan perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan. Sebaliknya, cerita penjahat seperti The Suicide Squad ini justru paling tepat ternyata dibuat konyol dan menghibur, meskipun tujuan arcnya juga sama; untuk melihat apa yang mereka perjuangkan. Jadi kenapa formulanya seperti itu? Apakah itu merefleksikan kalo baik itu boring, dan jahat lebih fun? Apakah membuatnya lebih ringan membuat kita jadi lebih mudah untuk mendekatkan diri melihat kenapa seseorang menjadi jahat?

Share pendapat kalian di komen yaa

 

Yang dilakukan film ini tidak lain hanya memperlihatkan bahwa orang-orang rendahan seperti para kriminal tersebut – yang bahkan beberapa gak kuat-kuat amat – sebenarnya juga punya kegunaan. Seperti juga ‘kesalahan-kesalahan’ yang ada pada film sebenarnya punya purpose.

 

 

 

 

Embracing bad side tidak hanya dilakukan oleh karakter-karakternya, tapi juga dilakukan untuk membentuk film ini. Namun film ini bukanlah proyek bunuh diri. Film ini melakukan hal yang gak benar, dan kemudian berkreasi dari hal tersebut. Dan dia menjadi sajian yang menghibur dan seru dan sangat asik karenanya. Kita dapat action, blood, lovable karakter, dan begitu banyak momen-momen memorable. Aturan dibuat untuk dilanggar. James Gunn melakukannya dengan passionate, mengerahkan kreasi terbaik yang ia mampu dari sana. Ia mencapai yang terbaik, meskipun naskah yang all-over-the-place, karakter yang gak dalem-dalem amat, dan struktur yang bolak-balik. Aku gak akan bandingin ini lebih lanjut sama film yang pertama, karena perbedaannya cukup jauh. Gak perlu tanya malaikat untuk tau siapa juaranya. Ini actually feels like a movie. Pembuatnya peduli sama cerita. Peduli sama karakter. Dan peduli sama kreasi.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SUICIDE SQUAD.

 

 

 

That’s all we have for now

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

JUNGLE CRUISE Review

“It is health that is real wealth and not pieces of gold and silver”

 

Stanley Kubrik bukan hanya dikenal sebagai sutradara kontroversial, beliau juga merupakan salah seorang yang paling berpengaruh dalam dunia sinema. Kenapa aku malah bicarain Stanley Kubrick di sini? Karena ada satu perkataannya yang aku yakin telah menginspirasi para tukang cerita di seluruh dunia untuk membuat film. Kubrick bilang apapun yang bisa ditulis, apapun yang bisa dipikirkan, bisa difilmkan. Apapun bisa dijadikan ide untuk cerita film. Bahkan cerita yang udah jadi cerita. Kita mengenalnya sebagai adaptasi; film yang berdasarkan materi atau bentuk karya lain. Tapi tentu saja ada juga film-film dari sumber yang bukan puisi, novel, teater. Film-film yang ceritanya terilhami dari hal sesimpel khayalan masa kecil, berita di koran, peristiwa di buku sejarah. Atau malah dari wahana mainan di taman hiburan. Untuk yang satu ini, memang sepertinya Disney adalah pelopornya.

Punya sejumlah taman hiburan dengan berbagai atraksi dan wahana, Disney gak cukup hanya dengan membuat wahana berdasarkan film-film andalan mereka. Disney juga merancang wahana-wahana original yang kemudian hari bakal disulap menjadi cerita seru di layar lebar. Mereka telah melakukannya sejak 1997. Dimulai dari Tower of Terror yang jadi film untuk televisi hingga ke raksasa box office yang beranak pinak menjadi franchise film tersendiri, Pirates of Caribbean. Kali ini giliran ‘Jungle (River) Cruise’. Petualangan perahu di Sungai Amazon itu kini bisa kita nikmati keseruannya di layar lebar (atau layar laptop, mengingat bioskop kita masih tutup). Aku belum pernah ke Disneyland, aku gak tau wahana ini lebih seru dari Rumah Boneka atau enggak, but none of those matter, karena sutradara Jaume Collet-Sera berhasil menghadirkan film ini layaknya wahana superseru sendiri. Meskipun setelah berakhir, aku tahu bahwa film ini adalah wahana yang hanya mau aku naiki satu kali.

jungle2df7b88a-c3d5-4eac-a4be-a01ac9dd43a1_169
Akankah The Rock akhirnya jadi batu beneran di sini?

 

Aku menikmati satu-jam pertama dari film ini. Set upnya dilakukan dengan baik, tidak berat eksposisi. Cerita di paruh pertama dari dua jam ini berjalan simpel. It was 1916, dunia yang masih percaya pada legenda dan kutukan. Salah satu legenda yang tersohor adalah bahwa ada pohon yang daun-daunnya berkhasiat menyembuhkan penyakit apapun di Brazil. Pohon yang tak seorang pun tahu keberadaannya, kecuali perkiraan kasar berada di antara sungai-sungai Amazon. Berbekal peta dan batu misterius berbentuk kepala anakpanah yang ia curi, Lily, scientist feminis yang udah kayak Indiana Jones versi cewek bertekad menyusuri legenda tersebut dan membawa pulang daun-daun ajaib itu demi kemajuan ilmu kesehatan. Lily bersama adik cowoknya yang rempong menyewa kapal dan jasa pemandu turis handal bernama The Rock, eh salah.. bernama Frank. Bersama-sama mereka bertualang mengarungi sungai yang penuh bahaya dan keajaiban, dengan kapal selam Jerman Pangeran Joachim yang licik mengekor di belakang. Berusaha merebut legenda itu dengan cara apapun.

See, simple. Dari set upnya gak susah untuk kita membayangkan ini adalah cerita petualangan, cerita rebut-rebutan harta karun yang bakal seru. Di sungai pedalaman Amazon yang penuh piranha dan kekuatan supernatural pula! Kesimpelan tersebut diimbangi oleh karakter-karakter yang colorful. I’d expected them to be paper-thin. Dan memang, beberapa karakterisasi enggak lebih tebal daripada kertas, namun kenapa pula itu tidak berarti fun? Film ini tahu mereka punya tiket untuk membawa kita bersenang-senang. Tiket berupa aktor-aktor yang paham bahwa sudah tugas merekalah untuk membuat peran apapun yang diberikan kepada mereka menjadi emas.

Harta karun yang diperebutkan dengan gigih dan mati-matian di sini bukan emas. Melainkan daun penyembuh. Dari ini, film seperti mengatakan kepada kita bahwa perjuangan mencapai pengetahuan dan kesehatan itu ya memang harus segigih ini. Karena itulah hal yang lebih penting daripada sekadar kekayaan.

 

Emily Blunt memerankan Lily yang berkemauan keras, capable, berani, cerdas, dan sangat resourceful untuk mendapatkan apa yang ia mau. Kualitas karakternya ini tidak lama-lama disimpan oleh film. Pada adegan awal saat dia mencuri batu anakpanah, kita sudah diperlihatkan betapa seru dan resourcefulnya karakter ini. Sampai-sampai dia menggunakan berbagai macam trik dari film-film lain seperti Indiana Jones (dejavu gak sih ngeliat adegan Lily dengan cermat menyamarkan suara berisik aksi membobolnya dengan suara pekerja museum lagi memalu). Film juga gak membuang waktu untuk mencuatkan protagonis ceweknya ini sebagai makhluk progresif dibandingkan dunia sekitarnya. Sementara juga menggali komedi dari kontrasnya Lily dengan karakter adiknya, MacGregor yang diperankan dengan konyol namun simpatik oleh Jack Whitehall.

Heart of the film dibebankan kepada Lily dan Frank, si pemandu. Blunt dan Dwayne Johnson diberikan ruang oleh naskah untuk mengembangkan sisi komedi (again, dari kontrasnya mereka) dan juga sisi manis-as-in-a-couple di balik petualangan kocak mereka. Chemistry mereka mungkin memang gak kena banget, tapi Blunt dan Johnson benar-benar hebat dalam menghidupkan suasana. Johnson actually dapat tantangan dengan range yang lebih luas. Kita gak hanya melihatnya sebagai seorang jagoan; penakluk macan tutul, penjinak sungai, penendang bokong, yang sayang ama perahu. Tapi juga seorang pemandu, yang ngescam turis dengan bahaya-bahaya palsu, sambil menghibur mereka dengan lelucon bapak-bapak (yang dimainkannya tetap penuh kharisma seperti yang hanya bisa dilakukan oleh The Rock) Semua aktor di sini tampak bersenang-senang, tapi sepertinya yang paling bergembira di sini adalah Jesse Plemons. Yang kebagian meranin parodi yang sangat komikal dari tokoh-beneran seorang Jenderal Jerman. Plemons bermain dengan aksen, gestur, dan dialog-dialog yang ia mainkan dengan begitu over-the-top. And he made it work. Karakternya bikin gentar tapi juga lucu. Tiga elemen utama yang superseru ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membuat Jungle Cruise jadi ride, both sebagai wahana maupun perjalanan yang menghibur.

Malangnya, film ini – seperti juga film-film hiburan belakangan ini – merasa itu semua belum cukup. Merasa mereka perlu untuk membuat cerita yang rumit, yang penuh kelokan kayak sungai-sungai deras Amazon tersebut. Setelah pertengahan, Jungle Cruise tau-tau bermanuver dengan banyak sekali plot-plot kejutan yang bukan saja enggak perlu, tapi juga malah membuat ceritanya jadi bego. 

jungle-cruise-trailer-2
Bayangkan ada makhluk undead tapi perempuan-pakai-celana tetap jadi hal yang paling aneh dan mengejutkan bagimu

 

Mari kuberitahu sedikit tentang twist dan reveal. Semua twist adalah reveal, sementara tidak semua reveal adalah twist. Sebagai contohnya, kita bisa langsung lihat dari film ini. Ketika film mengungkap bahwa prajurit masa lampau dalam legenda itu ternyata masih ‘hidup’ dan mengejar Lily dkk, itu adalah plot reveal. Karena fungsi informasinya itu adalah sebagai penambah tantangan. Sebagai rintangan yang harus dikalahkan. Step yang mengangkat suspens, dari yang tadinya hanya bermusuh satu pihak, menjadi dua, sehingga cerita jadi semakin seru. Secara teori begitu, meskipun pada eksekusinya enggak begitu mulus. Karena permainan efek CGI yang gak konsisten dilakukan oleh film ini. Sedangkan twist, itu adalah ketika film mengungkap siapa sebenarnya si Frank. Karena informasi ini mengubah haluan film, membuat kita memandang kembali ke belakang – melihatnya dengan cara baru sesuai dengan yang diungkap oleh film. Dan twistnya ini bukanlah twist yang baik/bagus.

Karena identitas asli si Frank ini mengubah begitu banyak, dan perubahan itu gak ke arah yang positif. Pertama, karakter Frank itu sendiri jadi gak make sense, jika kita melihat kembali motivasinya di awal cerita. Kedua, mematikan stake. Percuma kalo film ini punya rintangan dan bahaya yang banyak, tapi salah satu karakternya diungkap sebagai sesuatu yang sama dengan salah satu rintangan tersebut. Frank ternyata bukan sekadar cowok jagoan. Dia punya ‘kekuatan ajaib’ sendiri. Ketiga, ini membuat hubungan Frank dan Lily jadi awkward. I mean, kalian kira gap Zara dengan Okin itu jauh? Well, tunggu sampai kalian lihat twist di Jungle Cruise.

Dan ultimately, pengungkapan ini membuat karakter Lily jadi berubah juga. Lily malah jadi flat-out bucin. Karakter Lily memang oke dibuat sebagai feminis yang lebih real (gak selalu-benar kayak protagonis cewek Disney yang seringkali salah kaprah dan agenda-ish), dia juga ‘butuh’ cowok dan segala macam. Hanya saja di akhir film, Lily membuat keputusan yang benar-benar menghancurkan karakter progresifnya. Aku berharap gak terlalu spoiler, aku akan berusaha untuk vague, tapi kalopun jadi spoiler, sorry. Jadi, di akhir film ini, Lily menggunakan benda yang tinggal satu-satunya, benda yang sudah susah payah didapatkan, untuk hal yang bukan niat perjalanannya sedari awal. Lily seperti menukar misi mulia untuk kesejahteraan orang-banyak itu dengan kesempatan untuk bersatu lagi dengan orang yang ia kasihi. Aku gak tahu lagi ‘pesan’ apa yang ingin disampaikan film ini kepada anak-anak perempuan yang menonton lewat adegan itu. Film lantas berusaha untuk mengurangi ‘damage’ adegan ini dengan membuat benda itu ternyata ada lagi – bukan satu-satunya. Tapi tetap saja, secara karakterisasi, pilihan tersebut sangat mengkhianati. Dan bukankah bisa saja dibuat Lily merelakan, dan kemudian ternyata benda itu ada lagi, dan dia ambil untuk kekasihnya. Menurutku itu bakal lebih dramatis, karena mengubah benda tadi itu menjadi sebagai reward untuk perjuangan dan pengorbanan Lily, alih-alih sebagai cara film ngurangi damage aja.

 

 

 

Jadi, by the time the credits roll, aku merasa film ini sebagai kekecewaan. Paruh pertamanya, fun, menghibur, simpel. Film ini bisa jadi gabungan film-film pertualangan yang punya jiwa dan karakter sendiri, berkat penampilan akting dan gaya berceritanya. Namun pada paruh berikutnya, mesin itu menyala. Mesin produk. Film ini jadi tampil sok heboh ribet dengan begitu banyak reveal. Dan akhirnya beneran karam oleh twist yang gak perlu. Melainkan hanya membuat semuanya menjadi bego
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for JUNGLE CRUISE

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian mana yang paling berharga: Harta, Kesehatan, atau Pengetahuan?

Sudahkah kalian menonton semua film Disney yang based on wahana hiburan, mana favorit kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

SPACE JAM: A NEW LEGACY Review

“Let others be themselves”

 

Sekuel cenderung untuk menjadi lebih besar. Karena, tahulah, saat kita membuat sesuatu yang udah ada originalnya, kita akan otomatis dipush untuk menghasilkan sesuatu yang melebihi si origin tersebut. Jadi, sutradara Malcolm D. Lee berpikir;

Apa yang lebih besar daripada outer space – semesta luar angkasa? Cyber-space – semesta siber internet!

Apa yang lebih besar daripada NBA dan kartun Looney Tunes? NBA dan seluruh IP Studio Warner Bros!!

Dan apa yang lebih besar daripada Michael “Air” Jordan?? Well, itu pertanyaan untuk diskusi basket yang lebih mendalam. Aku jelas bukan ahlinya. Tapi untuk sekarang, cukuplah kalo mengenal Lebron James sebagai atlet basket tergede di era kekinian.

Memiliki ketiga faktor di atas, Space Jam: A New Legacy jelaslah lebih besar daripada pendahulunya, Space Jam, yang hadir dua-puluh-lima tahun yang lalu. Namun seiring kita ngobrolin soal film ini nanti, Space Jam kedua ini akan membuktikan bahwa menjadi lebih besar itu tidak serta berarti lebih baik. 

space-jam-new-legacy-trailer-tgj
Kalo soal akting sih, memang Michael B Jordan lebih besar

 

Yang jelas-jelas dilakukan dengan lebih baik oleh film kedua-yang-gak-really-bersambungan-dengan-film-pertama ini adalah konflik yang lebih berbobot secara emosional. Ada cerita hangat mengenai ayah dengan putranya sebagai inti cerita. Ayah dalam film ini adalah seorang atlet basket tersohor, yang mencapai posisi nomor satu sekarang tersebut dengan bekerja keras, tekun berlatih, dan membuang Game Boy (dengan game Bugs Bunny) kesukaannya ke tempat sampah. Sedangkan anak dalam film ini adalah seorang young man yang berjuang mengutarakan kepada ayahnya tersebut bahwa dia sebenarnya lebih tertarik kepada merancang video game – particularly game basket – ketimbang ke kamp basket; ketimbang bermain basket beneran. Nah langsung kebayang dong, dinamika ayah-anak yang jadi konflik dalam cerita ini. Si ayah ingin anaknya sesukses dirinya, tetapi dia terlalu memprojeksikan dirinya kepada si anak. Tidak pernah sekalipun dia bertanya si anak sebenarnya pengen apa.

Lebron James yang memainkan versi fiksi dari dirinya sendiri diberikan ‘lapangan bermain’ yang lebih emosional  ketimbang Michael Jordan di Space Jam yang karakternya unwillingly keseret ke dalam masalah tokoh-tokoh kartun yang harus tanding basket. Dalam film kedua ini, sikap James kepada Dom, anaknya, dan to some extend kepada hal lain selain basket-lah, yang memantik konflik lain. Yang membuat cerita bergulir maju. Sikap James eventually membuat sebuah program kecerdasan-buatan tersinggung. Sehingga A.I. tersebut – bernama Al G. Rhythm (dimainkan dengan fenomenal menghibur oleh Don Cheadle) – menculik James dan Dom ke dunia siber. Memisahkan ayah-anak tersebut. Dan menghost pertandingan basket di antara keduanya, dengan stake yang gak main-main. Kalo James kalah, semua manusia yang dia jebak untuk nonton pertandingan, akan terperangkap di dunia siber yang boring tanpa-Looney Tunes.

Percaya atau tidak, pada galian ini cerita Space Jam 2 sebenarnya masih ‘masuk akal’. Meskipun dimanipulasi sehingga gak tau yang sebenarnya, tapi Dom kentara lebih merasa enjoy bersama Al G. karena di situ dia bisa menjadi dirinya sendiri. Sementara, James, yang terdampar di dunia Looney Tunes dan bersama Bugs Bunny harus mengumpulkan tim Tunes Squad untuk melawan tim penuh kreasi bentukan Dom dan Al G., actually harus bisa menjadi seperti Al G. Tema mempercayai kemampuan dan pilihan orang lain bergulir terus, bahkan ketika pertandingan basket ‘curang’ mereka dimulai. Semuanya diberikan penambat berupa tema tersebut sehingga adegan-adegan dalam film ini tidak hanya menghibur semata, melainkan juga bukan tidak mungkin menghasilkan air mata. Film membuat kekonyolan kartun ala Looney Tunes (and you know betapa konyolnya Looney Tunes) menjadi seimbang dengan konflik yang grounded seperti ini. Anak-anak dan para orangtua yang menonton bisa menangkap pesan-pesan parenting dan bersosial yang dioper oleh film. 

Kita bisa saja meminta orang untuk menjadi sesuatu yang kita mau, atau untuk melakukan sesuatu sesuai dengan cara kita. Dan mereka mungkin akan melakukannya, entah itu karena hormat, atau segan, atau ngerasa gak enak. Or worse, karena takut. Semua itu enggak akan berujung baik kepada mereka sendiri. Bila mereka adalah anak, maka perkembangan si anak ini akan terhambat. Seperti Dom, yang ‘terpaksa’ memprioritaskan his dad’s things ketimbang hobinya. Seperti tim Looney Tunes yang babak belur karena menahan diri, mengikuti basket seperti yang James tahu. Kita seharusnya membiarkan yang lain menjadi siapa, apa yang mereka mau. Lihat apa yang terjadi ketika James akhirnya membiarkan Looney Tunes melakukan apa yang Looney Tunes biasa lakukan.

 

Untuk beberapa part pun, film menerapkan tema tersebut. Mereka membiarkan Lebron James menjadi Lebron James. “Gue bukan aktor, gue pemain basket!” seru karakter James dalam salah satu humor self-aware film ini. Ada usaha untuk meminimalisir screentime James berakting, karena ya walaupun dia punya karisma di dalam lapangan, tapi akting tetap tidak semudah itu. Film menggunakan cara yakni membuat James menjadi tokoh animasi 2D saat berada di dunia Looney Tunes. Kupikir ini bisa berhasil karena memang permainan ekspresi James sebelas duabelas ama Michael Jordan. Tapi ternyata, jadi tokoh kartun bukan jawaban tepat. Karena kini James harus menajamkan voice acting, yang ternyata malah lebih parah daripada akting live-actionnya hahaha.. Deliverynya sangat kikuk, apalagi harus bersanding dengan voice-actor profesional.

Maka film pun ‘mengembalikannya’ menjadi manusia saat bertanding di dunia game bikinan Dom dan Al G. Sebagai bonus untuk kita, saat bertanding, film membuat para kartun Looney Tunes menjadi animasi 3D tanpa meninggalkan kekonyolan khas mereka nanti. Untuk aku yang waktu kecil melihat Bugs Bunny, Daffy Duck, Tweety dan teman-teman, ini jelas adalah upgrade yang menyenangkan. Senang saja melihat tokoh-tokoh kartun yang jadi teman bermain dahulu diremajakan tanpa mengurangi ruh mereka. Aksi-aksi ‘basket’ ini pun pada dasarnya lebih seru daripada film pertama. Film menggunakan lebih banyak arsenal kartun dan nostalgia kita terhadapnya. Tepuk tanganku justru paling kenceng saat adegan Porky Pig ngerap. It was stupid, but hey, ini Looney Tunes!!

Space-space-jam-a-new-legacy-clip-features-porky-pig-rapping
Nominee Best Musical Performance untuk next My Dirt Sheet Awards!

 

Jika saja film ini stick to what they are. Jika saja film ini tetap bermain-main di nostalgia Looney Tunes saja, di humor-humor self-reference Lebron James saja, di cerita grounded ayah-anak sebagai fokus. Jika saja film enggak concern ke sekuel harus bigger…

Kritikus luar menganggap film ini adalah sebuah proyek iklan raksasa dari studi raksasa. Dan ternyata itu memang tidak melebih-lebihkan. Karena persis seperti itulah film ini terasa. Yang kusebutkan di paragraf-paragraf atas itu actually adalah hasil pemilahan yang sangat alot karena sebenarnya banyak sekali referensi-referensi melebar dan irelevan dengan cerita yang dimasukkan oleh film ini hampir dalam setiap kesempatan. Aku gak ngerti kenapa film ini enggak berpuas diri dengan referensi kartun Looney Tunes dan beberapa Warner Bros lain seperti Tiny Toon, Animaniacs, Flinstones, atau Scooby Doo saja. Lebih masuk akal, apalagi kalo memang mengincar pasar anak-anak. Akan ada bagian ketika Bugs Bunny dan Lebron James berkeliling universe, untuk mengumpulkan anggota Looney Tunes yang mencar-mencar. Mereka masuk ke kartun DC, okelah masih bisa dimaklumi. At least, masih kartun.  Untuk anak-anak. Walaupun alasan mencar itu sendiri tidak kuat. Inilah yang jadi masalah. Cerita ini menangani ‘crossover’ tersebut seakan memang cuma ditujukan untuk promosi silang saja. Tidak diberikan muatan cerita atau alasan yang berintegrasi dengan tema ataupun konteks. 

Tapi tidak cukup di situ. Film ini memasukkan semua merek produk-produk Warner Bros. Dari yang di luar kartun kayak Harry Potter, Kong, hingga ke yang gak ramah anak pun nongol, kayak Rick and Morty, dan karakter di A Clockwork Orange. Untuk alasan hura-hura yang gak jelas, film ini membuat pertandingan basket James dan Dom ditonton oleh semua produk Warner Bros. Ini jadi distraksi dan annoying karena seperti film malah ngajak penonton untuk nunjuk-nunjuk “ih ada si anu, si itu” ketimbang beneran fokus kepada cerita yang mereka miliki. Ini kembali kepada fundamental kenapa dibuat seperti itu dan apakah memang harus dibuat seperti itu. Dari jawaban atas itulah, film ini runtuh. Karena mereka melakukan dan invest banyak untuk hal-hal yang sebenarnya gak relevan. Dan gak perlu. Ketika membuat film, konsern sepenuhnya ya haruslah pada film itu sendiri. Tidak kemana-mana mengiklankan semua produk selagi bisa.

 

 

 

Hiburan di sini adalah melihat karakter Looney Tunes kembali melakukan hal yang membuat mereka, mereka. Melihat Lebron James melakukan yang ia bisa – main basket – dengan karakter-karakter kartun. Dalam lingkup cerita yang bisa relate dan punya pesan yang bagus. Hiburan di sini bukan melihat seliweran film-film lain – mengatakan mereka menghibur sama dengan mengatakan nonton iklan adalah hiburan bagi kita. Film ini, meskipun punya cerita yang lebih kuat dan emosional, terhimpun dari banyak sekali komponen untuk ngiklan. Film ini jadi besar karena memasukkan banyak iklan. Jadilah dia enggak cukup bagus sebagai sebuah film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPACE JAM: A NEW LEGACY

 

 

 

Th.. th… tha… that’s all, folks!

Karakter ikonik Looney Tunes Pepe le Pew (sigung yang bucin banget sama kucing bernama Penelope) dicut dari film ini karena dianggap sebagai salah satu produk rape culture, sehingga tidak baik bagi tontonan anak-anak. Bagaimana pendapat kalian tentang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY Review

“Beautiful trees still rise from ugly seeds”

 

Peter Rabbit is a bad seed. Di antara kelinci-kelinci peliharaan Bea, Peter yang paling bandel. Dalam film pertamanya saja (rilis tahun 2018) Peter ngebully Thomas McGregor, manusia yang jadi musuh bebuyutannya, yang punya alergi buah blackberry dengan melempar blackberry tersebut hingga tepat masuk ke mulut. Prank yang begitu kelewatan, sampai-sampai Sony Pictures harus meminta maaf kepada publik perihal adegan tersebut. 

Agaknya, insiden itulah yang jadi inspirasi bagi sutradara dan penulis naskah Will Gluck untuk cerita sekuel dari karakter kelinci yang awal fenomenanya berasal dari buku kanak-kanak di Inggris ini. Gluck mengedepankan tema Peter sekarang aware bahwa dia dicap bandel oleh orang lain. Gluck ingin membuat pesan yang menyuarakan tentang mengenali self-worth, kepada penonton. Karena bandel tentu saja tidak berarti jahat. Like, bandel pada kendaraan justru berarti hal yang bagus. Sehingga untuk benar-benar menghidupi tema tersebut, Gluck pun mengonsep film kedua ini sebagai film yang bandel. Enggak cukup hanya dengan menjadi meta, Peter Rabbit 2 kini melompat melewati batas aturan dunianya sendiri.

PETER-RABBIT-2-TRAILER-e1619535931978-1280x720
Kenapa ya kelinci sering digambarkan sebagai karakter bandel dalam fabel-fabel?

 

Semenjak gencatan senjata, yakni peristiwa sakral Bea menikah dengan Thomas, kelinci berjaket biru tokoh utama kita ini memang berusaha bersikap manis. Tidak lagi dia mengganggu kebun sayur milik Thomas. Peter bahkan menjaga kebun tersebut dari hewan-hewan lain. Sayangnya, belum semua orang dapat melihat perubahan sikap Peter. Image nakal dan bandel tetap melekat kepadanya. Buktinya, saat Bea dan Thomas bertemu dengan produser yang tertarik untuk membesarkan buku karangan Bea tentang Peter dan kawan-kawan menjadi sebuah franchise raksasa, Peter mendapati karakternya di dalam cerita itu akan tetap dibuat sebagai karakter yang bandel. Peter lantas jadi pundung dengan semua orang. Peter minggat, dan di jalanan kota London itulah Peter bertemu dengan seorang kelinci tua. Kelinci yang percaya kepadanya. Kelinci yang bertindak selayaknya ayah baginya. Kelinci, yang mengajaknya untuk bergabung ke dalam misi mulia merampok makanan di Farmer’s Market.

So yea, ada lebih banyak yang terjadi pada film kedua ini. Peter Rabbit 2: The Runaway memang mengadopsi istilah sequel is bigger. Yang kita ikuti bukan saja petualangan Peter menjalankan misi, tapi juga persiapan seperti pada film heist beneran. Mengumpulkan teman-teman, bikin rencana, dan lain sebagainya. Sesekali kita juga akan dibawa berpindah mengikuti Bea yang harus mengarang buku cerita sesuai dengan pesanan. Paralel di sini adalah Peter dengan Bea. Keduanya sama-sama bertemu dengan orang yang mereka kira nurturing, peduli, dan mengembangkan diri mereka yang sebenarnya. Padahal sebenarnya Bea dan Peter sedang dimanfaatkan. Film sudah menyiapkan banyak sekali lelucon slaptick – bahkan lebih banyak daripada film pertama – supaya tone cerita tidak menjadi terlalu sentimentil. Seperti misalnya ketika Peter yang berjalan sendirian bersedih hati, film menggunakan banyak treatment komedi seperti Peter terjatuh ke semen basah dan sebagainya. Komedinya naik bertahap menjadi lebih kreatif saat menggunakan musik latar sebagai candaan. Aku ngakak di adegan tupai nyanyiin lagu Green Day, dan bagaimana si tupai penyanyi itu jadi running joke yang muncul bikin Peter heran setiap kali dia menggalau. “Kok elu bisa tahu isi hati gue?” kurang lebih begitu pertanyaan si Peter kepada Tupai hahaha

Sebagai cerita yang memang berasal dari materi untuk anak-anak, film ini perlu untuk menjadi total menghibur. Ini lompatan nekat pertama yang dilakukan oleh film. Peter Rabbit dan teman-teman yang di buku aslinya adalah dongeng sederhana untuk dibacakan sebagai cerita pengantar tidur, kini dibuat total konyol, enggak banyak beda ama film kartun ala Looney Tunes. Dan supaya stay true dengan tema aware kepada true self, film memperlakukan komedi tersebut dengan cara meta. Yang artinya, para karakter dalam film ini dibuat mengenali perbuatan mereka yang disejajarkan dengan mengenali hal di dunia nyata kita, para penonton mereka. Semacam breaking the fourth wall cara-halus. Peter di film ini menyebut tindakan mereka sudah semakin mirip adegan kartun, misalnya. Atau ketika ada karakter yang menyebut betapa menjengkelkannya suara Peter terdengar. This rings so true karena suara James Corden yang mengisinya memang benar-benar annoying. Film membuat karakternya sendiri mengacknowledge ini dengan beberapa kali mempraktekkan dan mempertanyakan suaranya.

Kemetaan tersebut tidak hanya dilakukan sebagai selingan komedi. Namun juga actually dijadikan bagian dari plot. Ini kita lihat pada porsi Bea. Dia disuruh menulis cerita yang lebih fantastis. Kelinci-kelinci pada ceritanya disuruh supaya enggak hanya berkutat di perkebunan di rumah saja. Melainkan harus bertualang di kota, di pantai, bahkan kalo perlu hingga ke angkasa. Kelinci-kelinci tersebut disuruh melakukan berbagai aksi, seperti kebut-kebutan ataupun berkeliling dunia menyelamatkan teman-teman mereka. Film sudah menyiapkan punchline untuk plot poin tersebut dengan membuat ‘Peter dan kawan-kawan yang sebenarnya’ benar-benar melakukan hal yang jadi materi untuk buku karangan Bea. Peter akan benar-benar ngebut-ngebutan untuk menyelamatkan teman-temannya yang tersebar ke berbagai penjuru

peter00278774
Untung aja gak beneran sampai ke angkasa raya

 

Untuk mendaratkan cerita (dan semuanya) supaya enggak benar-benar sampai ke luar angkasa, film mengikat permasalahan Peter berakar pada masalah keluarga. Dalam hal ini, permasalahan seputar relationship seorang anak kepada ayah. Dan juga sebaliknya; permasalahan bagaimana menjadi ayah kepada seseorang yang dianggap sebagai anak. Peter yang tampak bandel bagi Thomas, dan masalah Peter yang langsung marah dikatain bandel despite usahanya untuk jadi lebih baik — ini adalah masalah ayah dan anak, written all over it! Mereka berdua hanya harus menyadari itu, sehingga Peter sebenarnya tidak perlu lagi mencari father figure ke tempat lain. Dan inilah sebabnya kenapa karakter Thomas McGregor – yang di film pertama merupakan semacam antagonis utama – kali ini lebih mencuri perhatian ketimbang Bea, atau Peter sekalipun.  Thomas memang masih kebagian porsi konyol juga (dia lari ngejar mobil itu ‘kartun’ banget dan favoritku adalah pas adegan menangisi rusa – comedic timing Domhnall Gleeson dapet banget!) tapi fungsi karakternya kali ini terutama adalah sebagai sarana penyadaran untuk Bea dan Peter. Dia menunjukkan cinta yang kuat. Meskipun masih sering bertengkar dengan Peter, tapi semua itu ada alasannya. Adegan Thomas ngobrol dengan Peter di menjelang babak tiga akan jadi hati untuk film ini.

Masalah Peter memang berakar dari absennya seorang ayah di dalam hidup. Peter jadi percaya dirinya berbeda, seorang ‘bad seed’. Tapi meskipun memang benar, Peter bandel, dan ayahnya seorang pencuri seperti yang diceritakan si Kelinci Tua, tidak berarti Peter harus tumbuh menjadi bener-bener bad. Karena kualitas seseorang tidak ditentukan dari bibitnya.

 

Wait, Thomas ngobrol dengan Peter??

Ya, sayangnya ini adalah hal yang aku merasa perlu untuk disebutkan sebagai spoiler, karena ini adalah satu lagi lompatan maut yang dilakukan oleh film. Untuk menjadi sebandel Peter, film merasa perlu untuk melanggar aturan buku Peter Rabbit, yakni hewan-hewan lucu itu tidak bicara kepada manusia. Film pertama menghandle aturan ini dengan lebih baik, mereka mencari celah supaya komunikasi bisa tetap terjadi. Namun, film kedua ini, mereka langsung saja seperti sebuah cara gampang untuk mengomunikasikan feeling antara Peter dan Thomas. Ya, secara konsep memang masuk, tapi tidak berarti tampak bagus dari kacamata penulisan skenario. Atau bahkan dari kacamata para fans hardcore, yang bisa aku bayangkan pada surprised. Karena kekhasan Peter Rabbit sendiri jadi ilang. Yang jelas, dari penulisan, aku memang berharap momen ‘wejangan’ seperti ini tidak digampangkan atau tidak dibikin ada begitu saja. There should be more clever and sweet ways untuk membuat hewan dan manusia membicarakan perasaan mereka dan memecahkan masalah bersama.

Film memang lantas jadi full over-the-top. Benar-benar melanggar bukunya, dengan adegan yang dipersembahkan sebagai meta itu tadi. Dengan pesan yang gak jelas lagi apa sasarannya. Peter Rabbit memang menjadi franchise sukses di dunia nyata, sementara di film ini kita melihat karakter Bea (yang merupakan nama asli penulis Peter Rabbit) enggak suka Peter Rabbit menyimpang dan jadi semata produk jualan. Tapi film di akhir memperlihatkan Peter Rabbit dan Bea benar-benar bertualang, melakukan hal menyimpang yang ia tolak sebagai buku berikutnya. Sehingga becandaan metanya ini jadi kabur, apa tujuannya. Kenapa film malah melakukan hal yang semestinya adalah ‘salah’ menurut kompas ceritanya. Dan ini membuat film jadi pretentious.

 

 

 

Orang Jawa bilang lihatlah sesuatu dari bibit, bobot, dan bebetnya. Well, untuk bobot, film ini punya muatan yang berharga sebagai tontonan keluarga. Yang membuatnya bisa konek dengan anak-anak, maupun orang tua. Untuk kriteria bebet, film ini punya konsep yang lebih unik dibandingkan film pertamanya. Tampil lebih berani, melompati banyak resiko untuk menjadi berbeda; menjadi lebih besar daripada bibitnya. Hal ini dapat jadi hal yang positif, jika menjadi berbeda dan lebih besar itu mengarah kepada kepastian menjadi better. Sayangnya film ini malah terlihat seperti menertawai bibitnya sendiri. Mencoba jadi beda tapi tidak berhasil memperjelas poin utama dari konsep yang mereka lakukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal bibit-bobot-bebet, apakah menurut kalian menilai seseorang dari tiga kriteria tersebut masih relevan di masa sekarang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LUCA Review

“You will be free the moment you stop worrying about what other people think of you”

 

Ah, libur memang menyenangkan. Meskipun di Indonesia gak ada yang namanya liburan musim panas, tapi toh anak-anak sekolah di sini juga merasakan libur panjang di pertengahan tahun sebagai jeda tahun ajaran. Anak-anak punya waktu seharian penuh selama berminggu-minggu yang cerah untuk bermain-main. Bertualang. Mengeksplorasi imajinasi mereka. Mencoba hal-hal baru. Bagi sebagian besar dari kita, kenangan ceria berkegiatan saat libur sekolah mungkin sudah jadi ingatan yang samar. Namun justru untuk itulah film terbaru Pixar, Luca, hadir kepada kita. Untuk mengingatkan bagaimana rasanya mengarungi dunia yang punya banyak kesempatan bagi anak-anak yang berani mencarinya.

Bagaimana dengan anak-anak yang enggak berani?

Luca yang merupakan debut penyutradaraan animasi-panjang dari Enrico Casarosa akan certainly berefek lebih kuat. Karena cerita film ini memang sebenarnya dikhususkan untuk anak-anak yang belum berani, yang masih pemalu, yang merasa hidupnya harus terus dikawal ketat oleh orangtua. 

See, Luca yang jadi tokoh utama dalam film ini adalah seorang anak monster-laut. Dia hidup di bawah air di sebuah kepulauan Italia bersama kedua orangtua yang terus mengingatkannya akan bahaya di permukaan sana. “Hati-hati sama perahu monster-darat, mereka memburu kita” Begitulah kurang lebih peringatan yang diberikan ibu kepada Luca saat menggembala ikan-ikan di laut. Tetapi Luca justru tertarik sama benda-benda manusia yang jatuh ke laut. Luca ingin ke atas sana, tapi dia takut. Alberto-lah yang membuat Luca jadi cukup berani untuk diam-diam naik ke daratan. Alberto-lah yang membuat Luca surprise, karena ternyata monster-laut seperti mereka bisa berubah menjadi manusia ketika berada di darat. Dan sekarang, a whole new world opens bagi Luca yang penasaran tapi pemalu itu. Dunia dengan ikan-ikan terang di angkasa pada malam hari. Dunia dengan mesin bernama Vespa yang bisa membawa ke mana saja mereka mau. Dunia dengan teman-teman baru. Ya, berhati-hati supaya tidak kena air yang dapat membocorkan wujud asli mereka, Luca dan Alberto pergi ke kota manusia. Bersama dengan seorang anak manusia, mereka ikutan lomba supaya bisa dapat duit membeli vespa untuk menjelajahi dunia. 

lucaluca-trailer-e1619617686812-kr47fr
Literally, monster-fish out of water story

 

Right off the bat, film udah ngajarin anak-anak untuk tidak takut. Satu-satunya penghalang Luca main ke atas permukaan air, ya cuma wanti-wanti ibunya yang terlalu cemas. Tidak ada tembok tinggi, tidak ada pintu terkunci, tidak ada pagar berduri. Tidak ada tabir apa-apa yang menghalangi Luca untuk ke mana-mana. Ariel si Little Mermaid aja harus menjual suaranya kepada Ursula supaya bisa punya kaki dan mengejar cintanya ke daratan. Luca hanya perlu memberanikan diri. Dan ini hanyalah satu dari sekian banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh penonton cilik yang menyaksikan film ini.

Luca yang menyembunyikan wujud asli pada akhirnya akan memberi pelajaran kepada anak-anak untuk berani dan bangga jadi diri sendiri, tidak peduli pada kata orang lain karena begitulah hidup; Akan ada orang yang menyukai dan menerima kita, tapi juga akan selalu ada orang yang tidak menyukai kita, dan tidak ada yang bisa kita lakukan terhadap itu selain menjadi yang terbaik bagi diri kita sendiri. In turn, ini tentu saja juga mengajarkan untuk menerima perbedaan orang lain. Sementara orang dewasa juga bisa mengutip pelajaran soal memberikan kebebasan untuk berkembang bagi sesuatu yang kita cintai.

 

Tadinya memang kupikir film ini tuh seperti kartun klasik Disney tersebut, hanya saja dengan cerita yang lebih ringan, nyaris tak ada stake; Lebih anak-anaklah dengan wondrous adventure yang seperti tak bertujuan. Then it strikes me. Dengan segala kemagisan visual dan kesederhanaan ceritanya, Luca ini lebih mirip kayak Ponyo, animasi fantasi dari Studio Ghibli yang juga tentang makhluk air yang bisa menjadi manusia dan penasaran sama kehidupan di darat. Kemudian seiring durasi berjalan, lebih banyak lagi referensi atau kemiripan elemen-elemen Luca dengan film-film buatan Studio Ghibli. Kota yang mereka datangi, Portorosso, hanya beda satu huruf (dan satu spasi) dengan film Porco Rosso, pakaian baju belang merah-putih dan celana panjang biru yang dikenakan teman manusia Luca (si Giulia) mirip sama pakaian teman Kiki di Kiki’s Delivery Service. Bahkan flow cerita film Luca ini mirip dengan cerita anak-anak khas Jepang pada beberapa film Ghibli. Pixar kan biasanya cenderung untuk membangun dunia dan konsep-konsep world-building. Tapi kali ini lebih sederhana. Alih-alih membuat kita menyelam ke dalam dunia monster laut, monster-monster laut itulah yang tercengang-cengang belajar kehidupan manusia. Selain aturan gak boleh basah, dan keinginan punya vespa yang muncul di menjelang pertengahan, film Luca ini berjalan tanpa ada misi ataupun rule yang membentuk cerita. Karakter-karakter kita hanya mengisi hari. Membangun vespa dari perkakas bekas. Mencoba berbagai aktivitas yang tidak bisa dilakukan di air. Kita ‘cuma’ melihat persahabatan mereka tumbuh sepanjang musim panas itu.

Cerita antara dua anak laki-laki (younger and older boy) yang menjadi semakin erat, bersama-sama di sepanjang hari itu memang membuat Luca juga jadi punya vibe yang sama dengan film Call Me by Your Name (2017). Malah sudah ada tuh di Internet yang mlesetin film ini sebagai ‘Calamary by Your Name’. Persahabatan Luca dan Alberto memang terjalin begitu erat, ada cinta yang kuat di sana, tapi aku pikir ini tidak serta merta mengarah ke hubungan romansa. Bahkan Luca dengan Giulia yang bikin Alberto kayak jealous juga enggak benar-benar strike me as a romantic relationship. ‘Cemburunya’ Alberto lebih seperti manifestasi dari abandonment issue yang diidapnya. Alberto ini sebatang kara, tapi tidak pernah ditetapkan dengan gamblang apakah dia ditinggalkan ayahnya dengan sengaja atau gimana. Tapi yang jelas, Alberto sebenarnya memang selalu menunggu ayahnya kembali. Luca -satu-satunya sahabatnya – pergi belajar dengan Giulia jelas adalah trigger bagi Alberto. Itulah sebabnya kenapa adegan di pantai yang melibatkan mereka bertiga terasa sangat sedih dan menohok buatnya karena itu kejadian ditinggalin yang sangat traumatis bagi Alberto. Tapi tentu saja, selain itu, pesan film ini untuk tidak takut ataupun tidak malu menunjukkan diri sendiri, jelas juga adalah pesan yang sangat menguatkan untuk penonton LGBT.

Bagi Luca sendiri pun, both Alberto dan Giulia adalah sahabat yang penting. Mantra “Silenzio, Bruno” yang diajarkan Alberto terbukti jadi sokongan yang kuat untuk mengenyahkan kekhawatiran dan kecemasan Luca. Dan pengetahuan yang diajarkan Giulia membuat Luca sadar terhadap apa yang sebenarnya ia cari ketika pengen Vespa untuk menjelajah dunia. Jadi sekarang tinggal Luca yang harus belajar jadi confident – menjadi diri sendiri – berdamai dengan larangan orangtuanya untuk mengejar hal tersebut.

luca-trailer-1
Call Me by Your Ghibli Name

 

Cerita dan motivasi Luca memang menjadi semakin terarah nanti saat Giulia bergabung ke cerita. Mereka akan latihan bersama. Menghadapi pembully bersama. Kita akan jadi bisa lebih peduli sama Luca dan Alberto. Tapinya juga, memang, bagian-bagian awal film ini terasa kurang ngena. Penonton yang pengen berpegang pada motivasi akan susah mencari pegangan pada karakter Luca. Mungkin keinginan Luca untuk ke permukaan bisa lebih dicuatkan lagi dengan memperlihatkan kenapa sih Luca gak betah di dalam air. You know, Ariel aja punya satu lagu yang memperlihatkan kehidupan di bawah laut yang ingin ia tinggalkan — But then again, itu karena Kerajaan Ariel bukan tempat yang buruk. Jadi adegan itu akan membuat kontras yang menarik kenapa orang mau meninggalkan tempat/statusnya yang sudah tinggi. Dengan begitu, pada Luca yang monster-laut biasa ini, harusnya keadaan di bawah laut itu lebih suram sehingga dia jadi pengen ke atas. Tapi tentu saja itu bakal ngerusak tone cerita, sehingga film ini mencukupkan dengan menghadirkan karakter paman Luca (ikan Borat!) yang aneh dan mau membawanya ke laut terdalam yang kosong. Jadi, masalah dunia Luca yang kurang dikembangkan masih bisa aku maklumi tidak dilakukan film dengan lebih kontras lagi.

Meskipun begitu, aku punya dua hal lagi untuk direwelin perihal film ini. Pertama, antagonis cerita. Si pembully yang jago naik vespa, juara bertahan dalam lomba. Karakter ini terlalu dangkal. Dia sekadar jahat, gak pakek tapi. Padahal mestinya ada depth yang bisa digali dari karakter yang umurnya jauh lebih tua daripada Luca dan anak-anak lain yang jadi lawannya dalam lomba. Film sebenarnya bisa saja mengaitkan identitasnya tersebut dengan bagaimana Luca dan Alberto menyembunyikan wujud monster mereka. Kedua, adalah soal salah satu running-joke dalam cerita. Ayah dan Ibu Luca actually ikut ke kota, dan demi mencari Luca mereka menyiram atau menjatuhkan semua anak yang mereka lihat ke air. Ini lucu, no doubt. Aku ngakak selalu. Tapi kalo dipikir-pikir aneh juga, tidakkah itu akan membahayakan? I mean, di titik itu perspektif ayah dan ibu Luca adalah bahwa penduduk kota masih beringas memburu monster laut. Kalolah salah satu anak yang kesiram itu beneran Luca, anak itu akan terekspos di tengah kota, bukankah itu – dari perspektif mereka – akan membahayakan anak mereka sendiri? Jadi ada yang gak klop dari penulisan komedi itu menurutku.

 

 

Jadi, bagaimana kesimpulanku  mengenai film ini secara keseluruhan? Visual yang cantik, suara yang luar biasa, budget dan star power yang dimiliki Pixar digabung dengan kesederhanaan cerita ala Ghibli — Aku akan nonton kapanpun di mana pun. I hope dua studio animasi ini beneran kolab di kemudian hari. Tapi sekarang, kita punya film ini, dan menurutku ini lebih dari sekadar ‘teaser’. Aku suka. Ini tipe film yang bakal langsung kurekomendasikan ke adik-adikku di rumah. Film ini baik sekali untuk ditonton anak-anak. Punya pesan yang kuat, dan gampang dicerna. Walaupun memang penulisannya bermain di tempat yang sedikit terlalu dangkal. Ada beberapa hal yang mestinya bisa lebih diperdalam, tanpa memberatkan tone secara drastis. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LUCA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Berturut-turut kita nonton film dengan karakter yang ditinggal oleh orangtua. Ali di Ali & Ratu Ratu Queens (2021) dan Alberto di film ini. Juga di film ini, kita melihat Luca meninggalkan keluarga dan sahabat yang ia sayangi. Alberto sempat khawatir akan ditinggalkan Luca, tapi di akhir dia menerima. Menurut kalian, apa ada perbedaan antara tindakan Luca dengan abandonment yang dirasakan Alberto terhadap ayahnya?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA