RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS Review

 

“Beauty is about being comfortable in your own skin.”

Sekilas Red Shoes and the Seven Dwarfs tampak sebagai parodi harmless dari dongeng Snow White dan Princess-Princess lainnya. Namun jika ditilik dari segi cerita, film ini sebenarnya lebih mirip Beauty and The Beast sebab membahas seputar tokoh yang dihukum menjadi makhluk bertampang ‘mengerikan’ sebagai akibat dari terlalu mementingkan fisik dan sudah judgmental terhadap penampilan-luar orang. Namunnya lagi, begitu kita mengingat bahwa animasi ini dibuat oleh Locus Animation yang merupakan studio asal Korea Selatan, you know, negara yang terkenal dengan ‘budaya’; kita tahu parodi film ini berada dalam tingkatan yang lain.

Tujuh kurcaci yang ada pada film ini bukanlah pekerja tambang bertubuh mungil yang dipanggil berdasarkan emosi yang mereka tampilkan. Di Negeri Dongeng ini mereka bukan emoji berjalan. Melainkan tujuh pangeran yang membasmi kejahatan. Mereka superhero. Pandang mereka tak ubahnya sebagai Boyband K-Pop. Lincah, keren, dan tampan. Mereka juga punya nama grup: Fearless Seven. Dan mereka sangat menyombongkan ke-goodlooking-an mereka, terutama Merlin. Akibat ulah Merlin yang salah serang Putri Peri (“Tampangnya kayak Penyihir!”) mereka semua dikutuk menjadi kurcaci kontet. Penawar kutukan tersebut adalah ciuman dari seorang gadis cantik jelita. Masalahnya adalah; cewek cakep mana yang mau nyium mereka dengan wujud enggak keren seperti itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Merlin yang tampak paling merindukan wujud aslinya.

Mereka lantas bertemu dengan Snow White – jauhkan imajinasimu dari Putri Salju Disney, karena di sini Snow White adalah seorang gadis baik hati berbodi tambun. Cewek ini buron karena mencuri sepatu ajaib milik ibu tirinya yang seorang penyihir jahat. Sepatu itu mengubah penampilan Snow White menjadi kutilang alias kurus – tinggi – langsing. Snow White yang ingin mencari ayahnya memilih untuk tetap menyamar, ia menamai dirinya yang ala model itu Red Shoes, simply karena Merlin dan teman-teman hanya semangat menolong cewek dengan rupa seperti demikian. Jadi mulailah petualangan – penuh sihir dan makhluk fantasi – dua pihak yang sama-sama bukan berada di tubuh asli dengan buah pelajaran ‘inner beauty jauh lebih penting ketimbang penampilan fisik’ yang siap untuk dipetik.

Aku akan membantu apapun yang bersuara seperti suara Chloe Grace Moretz

 

Salah satu film yang berhasil dengan baik dan dengan penuh hormat mengangkat pesan kecantikan-itu-berasal-dari-dalam dan jangan mau takluk oleh standar kecantikan masyarakat adalah Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan (2019). Imperfect sebenarnya berusaha tampil seimbang dengan tokoh kekasih sang tokoh utama, hanya saja tokoh tersebut agak sedikit terlalu ideal. Tetap saja ‘hanya’ berangkat dari sudut pandang cewek dalam permasalahan kecantikan tersebut. Ketika kita berceloteh tentang standar kecantikan, biasanya cewek-lah yang kita bebankan untuk harus menerima dan menghargai diri apa adanya. Cewek jangan diet berlebihan biar kurus, nanti malah sakit. Cewek jangan kebanyakan pake make up, gak baik untuk kulit. Cewek jangan ini, cewek jangan itu. Gak harus begini, gak harus begitu. Kalian cantik apa adanya. Kita jarang sekali mengeksplorasi dari sudut satunya. Bahwa penawaran itu ada karena ada permintaan. The rest of the world toh memang menunjukkan keberpihakan terhadap yang telah disepakati sebagai ‘cantik’. ‘The rest of the world’ ini tentu saja adalah cowok-cowok. Dan merekalah yang dijadikan fokus pada film ini.

Bagaimana dengan usaha cowok yang selalu mendahulukan versi mereka terhadap cantik. Cowoklah yang membuat versi tersebut, meresmikan, dan dijadikan tuntunan. Maka lewat film ini, giliran cowoklah untuk mengenali kecantikan tersebut sebenarnya, apa adanya. Merlin si tokoh utama kita fakboi banget awalnya. Jangankan cewek atau orang lain, dirinya yang sekarang aja ia rendahkan karena berkebalikan total dengan ‘rupa keren’nya yang asli.  Di awal-awal akan ada banyak sekali dialog-dialog merendahkan keluar dari mulut Merlin dan teman-temannya. Mereka menjadikan bodi-shaming sebagai candaan. Ketika bertemu Red Shoes yang meminta pertolongan, para Kurcaci ini mengobjektifikasi cewek itu. Mereka tidak tulus membantunya, tidak tulus menyambutnya. Melainkan mencari-cari kesempatan untuk menarik hati, demi sebuah ciuman yang bakal mengangkat kutukan mereka. Kita melihat Merlin dan teman-temannya semacam berlomba untuk mendapatkan ciuman Red Shoes. Bagi mereka, cewek tersebut bukan teman, melainkan sesuatu untuk dimenangkan, dan alat untuk mendapatkan tubuh mereka yang sempurna.

Makanya film ini banyak mendapatkan backlash saat pertama kali promosi ke publik dan festival tahun 2017 yang lalu. Tokohnya disebut pahlawan tapi mengglorifikasi body-shaming. Padahal cerita menyiapkan pembelajaran bagi tokoh ini di akhir, dan memang begitulah film; sebuah perjalanan seseorang menjadi dirinya yang lebih baik. Dengan konsep tersebut, film ini memenuhi fungsinya. Merlin menyadari kesalahannya dalam memperlakukan setiap makhluk. But still, masalah film ini terletak pada kita susah ngikut di belakang tokoh utama, karena kita tahu lebih baik daripada dia. Sedari awal kita tidak belajar bersamanya, melainkan kita tahu bahwa dia salah. Dan melihat sikapnya memang bisa jadi turn off bagi penonton. Kita tidak dibuat cukup peduli sehingga menginginkan dia untuk menjadi lebih baik. Penyebab kita susah melihat dia sebagai ‘orang malang yang salah sepanjang hidupnya’ adalah Merlin dan teman-temannya kurang penggalian. Kita tidak benar-benar mengenal siapa mereka, apa latar belakang yang melandasi kenapa mereka begitu narsis dan memandang dari fisik semata. Bahkan, meskipun jumlahnya tujuh, tiga di antara mereka punya wujud yang sama persis dan gak distinctive – triplet ini suka mesin, praktisnya tiga tokoh ini sebenarnya satu karakter yang sama; nama mereka aja berupa nama Pinokio dibagi tiga. Kelompok mereka ini hanya kita kenal sebatas pahlawan,yang kebetulan mereka gorgeous semua.
Snow White digambarkan sedikit lebih ‘terhormat’, dia tidak diperlihatkan mengincar untuk jadi cantik. Ketika menyadari dirinya berbeda karena pengaruh sepatu, bagi Snow White, iya itu adalah impian, tetapi ia melihatnya lebih sebagai sebuah kesempatan. Dia sepertinya paham dan lumrah; dia merasa lebih nyaman sebagai Red Shoes karena dia tahu persis cuma itulah cara dia bisa dibantu oleh orang lain. Namun bahkan Snow White pun tidak bisa sepenuhnya kita idolakan sebab walaupun dia yang jadi pemicu pembelajaran Merlin mengenai menilai orang, dia juga sekaligus part of the problem. Begini, sebenarnya bisa aja film membuat dia yang asli datang minta tolong dan Merlin bonding dengan Snow White apa adanya sedari awal – pembelajaran bagi Merlin akan sama saja, tapi film toh membuat cewek ini ‘cantik’ dulu karena persepsi itulah yang dibangun dan dijadikan kerangka gagasan film. Bahwa ‘cantik itu langsing dan semampai – jelek itu gendut dan pendek’ dipilih untuk jadi bingkai dan ditanamkan demi membuat pelajarannya nanti bisa bekerja.

Standar kecantikan itu sebenarnya berasal dari pikiran bahwa ada yang lebih baik dari diri sendiri, sehingga dijadikan tujuan untuk berubah. Orang gendut akan merasa pengen kurus, dan sebaliknya orang kurus pengen badannya berisi sedikit. Kita tidak pernah puas dengan diri sendiri. Inilah sebenarnya gagasan utama film, makanya kedua tokohnya dibuat berurusan dengan wujud sihiran dan wujud asli masing-masing. Karena apapun bentuk kita, warna kulit, dan segala macam, hal yang penting adalah sifat dan sikap kita. Semua orang akan terlihat menarik dari yang ia pancarkan kepada sekitar, tidak peduli apakah fisiknya bercacat atau gimana. Orang cakep pun bisa beneran cakep kalo gak sombong dengan kecakepannya. Ini adalah soal menerima diri sendiri apa adanya.

 

Framework cerita film yang demikian tersebut sangat beresonansi dengan masyarakat Korea Selatan, yang sudah rahasia umum punya kegandrungan terhadap operasi plastik demi penampilan luar. Negara tersebut punya pandangan homogen terhadap mana yang cantik dan mana yang tidak, yang semuanya berakar dari kelas sosial. Putih dinilai cantik karena berkulit gelap diidentikan dengan pekerjaan yang langsung di bawah sinar matahari. Ini senada dalam film, bahwa putri raja dan pangeran berkulit cerah sementara kurcaci dan peri berkulit hijau, atau lebih gelap. Bahkan ada satu dialog Merlin yang menegaskan hijau adalah warna kelas rendah. Jadi, Red Shoes and the Seven Dwarf ini clearly memparodikan masyarakat Korea Selatan itu sendiri; yang selalu ‘bicara’ tentang tren kecantikan yang satu dimensi, berlomba-lomba untuk jadi cantik seperti demikian dengan mengubah diri. Jadi kita bisa memahami pesan film soal penampilan luar itu tidak penting akan terasa kuat sekali bagi penonton dari negara asli filmnya. Makanya juga jadi wajar, jika film ini memang diniatkan oleh sutradaranya sebagai tontonan keluarga. Sebab penanaman cantik/tampan dan tekanan untuk menjadi cantik/tampan itu berawal dari ruang-ruang keluarga mereka.

Film turut bicara soal maskulinitas yang terbantu oleh understanding dan menerima wanita juga bisa lebih-kuat

 

Walaupun memang sebenarnya humor dan fun film ini tidak benar-benar tepat untuk sajian anak-anak. Paling tidak, anak-anak menonton ini harus bersama orangtua yang dapat menjelaskan pandangan sempit tokoh-tokoh cerita dan mencuatkan pembelajaran yang nantinya mereka dapatkan. Itupun kalo orangtua bersiap menghadapi banyak adegan dan dialog yang bisa bikin gak nyaman jika ditonton bersama anak-anak. Kurang lebih samalah kayak lihat adegan-adegan ngerayu cewek di film komedi kayak Dono dan sebagainya. Beberapa parodi ada juga yang cerdas, kayak saat satu tokoh bermain-main dengan menyebutkan sifat Princess-Princess Disney yang ingin ia undang ke pesta ulangtahun. Namun beberapa ada juga yang konyol dan maksa, misalnya kayak pohon ajaib berbuah apel yang kemudian apelnya berubah menjadi sepatu. Sepatu tumbuh di pohon, sedongeng-dongengnya cerita mestinya ada hal yang lebih magical lagi yang bisa dipakai untuk film yang bercerita tentang sepatu ajaib. Dan karena ini adalah film dari negara yang cukup hits lagu-lagu popnya, maka kita akan menemukan beberapa adegan yang menyisipkan lagu-lagu. Hanya saja, sisipan ini kesannya selalu entah-dari-mana; karakter tau-tau bernyanyi sebagai transisi antaradegan. Aku gak tau aslinya gimana, tapi nyanyian di film yang sudah disulih suara bahasa Inggris ini enggak ada yang catchy sama sekali.

Membawa pesan yang menekankan pentingnya kecantikan dari dalam hati, film ini hadir sebagai tantangan terhadap masyarakat yang penuh dengan prasangka sosial yang terkait dengan standar kecantikan fisik. Kali ini cowok dan masyarakatlah yang disuruh untuk berusaha membuka hatinya terhadap mana yang cantik-mana yang tidak. Buat cewek, film ini persis seperti penggalan lagu Alessia Cara, “You don’t have to change a thing, the world could change its heart”. Menuju pembelajaran dan momen penyadaran tokoh utama, cerita film ini sayangnya dapat hadir sangat mengganggu. Tokoh utama yang kurang digali membuat kita susah peduli sehingga menimbulkan kesan film ini sangat merendahkan dan mendukung body-shaming. Aku suka konsepnya, aku mengerti tujuan filmnya, tapi memang penceritaan mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik – mungkin dengan lebih subtil sehingga tidak begitu menyinggung dan memberikan ruang bagi penonton untuk masuk dan memahami tokoh utamanya yang bercacat hati itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS.

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang trend operasi plastik di Korea? Apakah menurut kalian K-Pop dan drama-drama Korea bakal mendapat sukses yang sama secara internasional jika tidak ada istilah operasi plastik di sana?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BUKU HARIANKU Review

“Your feelings so are important to write down, to capture, and to remember”
 

 
 
Menyimpan dan menulis di buku harian adalah seni yang hilang. Semenjak era digital, orang lebih suka curhat di sosial media karena bisa langsung mendapat tanggapan. Kenapa pula harus memendam sendiri jika bisa dikatakan secara anonim dan mendapat feedback dengan segera, kan. Ini juga seiring dengan menurunnya minat menulis karena sekarang apa-apa dapat tersampaikan lewat foto. Gambar, gif, meme. Emoji. Padahal ada sesuatu yang tidak benar-benar bisa ditangkap oleh visual, ada sesuatu yang tidak pernah bisa kita bagi sepenuhnya kepada orang. Yakni perasaan terjujur yang kita rasakan di satu momen tertentu. Hidup penuh bukan saja oleh kenangan besar, tetapi juga oleh hal-hal kecil yang seringkali kita lupa. Menuliskannya ke atas kertas, setelah kita mengalami semua itu, kemudian membacanya di kemudian hari akan terasa seperti mengalami sekali lagi; kenangan, detil-detil kecil, penggalan dari diri kita sendiri.

Film musikal anak-anak Buku Harianku akan memperlihatkan kepada generasi muda, dan kepada kita yang sempat lupa, bahwasanya menyimpan jurnal pribadi dapat menghantarkan banyak pengalaman manis dan sangat membantu mengingatkan kembali siapa diri kita sebenarnya. 

 
Buku harian itu, Kila punya satu. Ke mana lagi tempat gadis cilik itu mengadu kalo lagi dimarahin mama. Seperti kali ini, mama menunda liburan mereka ke Bali, karena harus membereskan kerja dahulu di Sukabumi. Kila dititipkan di rumah Kakek. Ugh. Meski sama-sama tentara, Kakek Prapto ini jauh berbeda dengan mendiang ayah Kila yang lembut. Kakek galak, suka maksa Kila makan sayur. Kila enggak tahu aja, sang kakek juga menyimpan satu buku harian. Kila juga enggak menduga di desa kecil itu dia mendapat teman, Rintik, yang malu bergaul lantaran disability yang membuatnya tidak dapat berbicara. Keceriaan Kila bertemu dengan ketulusan Rintik, dan bersama teman-teman lain, mereka berusaha mencegah peternakan Kakek jatuh ke tangan pebisnis licik yang berniat mengubah seantero desa menjadi kompleks vila.

untung buku harian Kila bukan punya si Tom Riddle

 
Film ini cukup membuat aku terkesan, karena coba deh baca lagi sinopsisnya. Ada banyak hal yang dibahas oleh film ini. Sementara biasanya, film anak-anak terutama untuk yang seusia Kila akan dibuat sederhana dalam artian masalahnya hanya satu, gak banyak-banyak. I mean, film remaja aja kadang berpuas dengan satu layer kok (lirik Mariposa) Buku Harianku ini surprisingly padet. Menonton ini kerasa sekali sutradara Angling Sagaran seperti pelan-pelan merajut satu pokok permasalahan ke pokok lain supaya mereka saling bertautan tanpa memberantakkan seantero film. Cerita bergerak maju cukup anggun dari elemen fish-out-of-water (Kila yang anak kota beradaptasi dengan kehidupan desa) ke permasalahan anak kecil yang enggak mau makan sayur, dan berjingkat terus ke permasalahan yang lebih dewasa, bahkan hingga menyebut soal penyakit Alzheimer segala. Selain melalui Kakek yang Alzheimer ringan ini, film memasukkan cerita dengan perspektif yang lebih dewasa lewat permasalahan orangtua seperti ibu Rintik yang harus menyingkapi kondisi anaknya.
Sebagian besar tokoh pendukung punya relasi yang menyumbang bobot bagi karakter Kila. Hampir susah untuk ngepinpoint ini cerita tentang apa. Film bicara tentang hubungan Kila dengan ayahnya; Kila memegang teguh pesan sang ayah untuk terus berani membela yang benar. Juga bicara tentang Kila dengan ibunya; tokoh utama kita ini adalah anak baik yang sayang banget ama orangtuanya, ada satu momen di menjelang akhir yang menunjukkan betapa manisnya ikatan ibu dan anak ini. Hubungan Kila dengan Rintik juga jadi salah satu pilar cerita karena ini membahas persahabatan dengan disabilitas yang tentu saja memberikan teladan yang baik bagi semua penonton, untuk tidak mengucilkan, tidak mempersulit mereka. Film tidak berpaling dari memperlihatkan salah-perlakuan yang mungkin kita lakukan dan meng-encourage penonton untuk berani meminta maaf seperti yang dilakukan oleh Kila. Petualangan dan persahabatan Kila dengan Rintik akan terasa begitu hangat dan menyenangkan. Kedua pemain tampak genuinely saling menyayangi. Widuri Puteri mendapat kesempatan untuk mengasah bakat naturalnya dengan menjawab tantangan memainkan karakter tunawicara dengan penampilan yang adorable. Kila Putri Alam yang meskipun tampak seolah bermain menjadi dirinya sendiri berhasil membuktikan keluwesan aktingnya. Dia tidak terkesan mendapat posisi ini hanya karena dia bisa bernyanyi. Kila beradu peran dan emosi dengan banyak aktor yang lebih berpengalaman. Salah satunya adalah dengan aktor senior Slamet Rahardjo.
Pusat cerita ini, however, adalah hubungan Kila dengan Kakek. Film took an extra mile untuk memperlihatkan dua tokoh ini berlawanan. Si Kakek bahkan dibuat seperti karakter bersifat grumpy dan menyebut anak kecil itu merepotkan, meskipun tidak pernah sepenuhnya sifat seperti ini muncul dalam sepanjang sisa durasi. Tapi mereka berlawanan justru karena punya banyak kesamaan. Sikap keras hatinya, dan ya itu tadi, sama-sama menyimpan buku diari. Ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh film ini ketika memperlihatkan Kakek mengenang masa lalu lewat diari tentang anaknya, dan hubungannya dengan sikap Kakek-Kila yang saling belum terbuka. Bagian terbaik dari film ini adalah babak ketiga ketika cerita mulai membuka untaian antara Kila dan Kakek. Di menit-menit terakhir juga buku harian yang menjadi judul baru benar-benar menunjukkan weight-nya kepada cerita. Dan adegan musikal Kila dengan Kakek; itulah puncak rasa yang diberikan film kepada kita. Adegan nyanyi dengan rentang feeling yang luas.

Hidup adalah cerita masing-masing yang ditulis hari demi hari, dan momen-momen ketika kita membaca kembali lembar-lembar kenangan itulah pembelajaran yang bakal mengingatkan siapa sebenarnya diri kita. Maka dari itulah, menyimpan diari bisa disebut sebagai semedi personal. Cara kita berinteraksi kembali dengan our genuine feelings, seperti yang terjadi pada Kakek Prapto – ataupun sebagai cerminan our true self kepada orang lain, seperti yang terjadi pada Kila dan ibunya.

 
Saat ngomongin nyanyian dan film anak-anak dalam satu napas, yang terpikirkan otomatis adalah film Disney. Disney selalu berhasil menyuguhkan adegan nyanyi yang deep-in-the-feel, yang menyatu mulus dengan keseluruhan filmnya. Yang membuat Disney mampu mencapai level klasik seperti demikian bukan hanya karena lirik lagu film-filmnya dan komposisi musiknya magis atau irama dan performancenya catchy, melainkan juga karena treatment dan penempatan adegan-adegan lagu itu sendiri. Pada saat momen-momen perasaan paling krusial terjadi di ceritalah, maka tokohnya bernyanyi. Adegan musikal atau nyanyian dijadikan sebagai cara yang menakjubkan untuk memperkenalkan kita kepada karakter dan perasaannya saat itu. Princess yang menyanyikan desire terdalam mereka. Juga, antagonis yang mendendangkan motivasi mereka. Setiap film musikal lantas menggunakan formula ini; menggunakan nyanyian di berbagai momen sehingga punya nada yang bervariasi, ada senang, sedih, marah, rindu, triumph; sesuai dengan perkembangan karakter.
Lagu-lagu pada Buku Harianku, sekitar 11-12 kalo gak salah, benar-benar mengemulasi perasaan Kila saat mengalami berbagai peristiwa sebagai anak-anak. Dia bernyanyi ketika gak mau disuruh makan, ketika kedinginan baru bangun, saat dia bermain bersama teman-teman. Semuanya menyenangkan. Namun selain adegan nyanyi terakhir bersama Kakek, lagu-lagu di film ini sejatinya hanya muncul untuk suka ria anak-anak. Tidak ada momen seperti Sherina bernyanyi sedih gak mau pindah sekolah di Petualangan Sherina (2000). Untuk mengenang ayahnya, Kila menyanyikan lagu tentang Burung Parkit. Ombang-ambing emosi tokoh ini tidak disampaikan lewat musikal yang penyebarannya sedikit kurang merata. Di bagian tengah ada cukup lama adegan-nyanyi absen. Dan ketika muncul, it was lagu belajar bahasa isyarat yang dicut berselingan dengan lagu dari antagonis…,

konsep yang unik, tetapi – selain kata-kata pada dua lirik itu enak di-matchcut-in – why?

 
Dengan sebagian besar lagu nadanya senang (hampir seperti film punya materi lagu dahulu, barulah kemudian berusaha memasukkan semuanya ke dalam cerita), film ini memang seperti tampak kurang berani menghadapkan atau membebani tokoh anak-anak pada emosi yang lebih tidak-ceria. Bagian emosional seperti demikian diserahkan kepada tokoh dewasa. Meskipun sering dimarahi, ada adegan nyasar di hutan malam hari, dan ada orang-jahat pada cerita, namun Kila tidak pernah benar-benar berada dalam ‘bahaya’ atau posisi yang down. Ini adalah pilihan yang diambil oleh film, tentu saja, akan tetapi sebaiknya mereka juga mempertimbangkan anak-anak mampu kok dihadapkan pada situasi yang serius.
Bahasan ini membawa kita kepada elemen film yang paling lemah, yaitu si komplotan ‘penjahat’, si bisnisman penipu. Cerita butuh figur untuk pembuktian Kila dalam berani membela kebenaran. Hanya saja tokoh antagonis ini dibuat komikal, dan pembahasan serta penyelesaian konfliknya tidak benar-benar berkesan. Terlebih karena formula lumrah dan begitu banyak elemen cerita pada film ini. Sehingga meskipun keberadaannya diperlukan, kita merasa lebih baik elemen penjahat tanah ini ditiadakan supaya cerita bisa lebih fokus kepada elemen lain. Misalnya, elemen persembahan tari kupu-kupu bersama Rintik dan teman-teman di Tujuhbelasan. Momen penampilan mereka itu sangat manis, tapi hadir seujug-ujug. Tidak ada penyebutan mengenai acara dan rasanya sayang aja tidak ada lebih banyak adegan yang menunjukkan interaksi antaranak-anak ini.
 
 
Anak-anak Indonesia dapat satu lagi teman baru. Kila lahir sebagai tokoh yang sangat mewakili mereka, baik, meski sedikit bandel, pinter, senang berteman, berani. Dia juga cukup unik, memberinya kekhususan – yakni pose berpikir – yang sekiranya jadi ciri khas dan ditiru juga oleh anak-anak. Film ini benar-benar memperlihatkan dunia berjalan dari sudut pandang anak, dengan konflik di sekitar mereka, yang mereka kenali dan beberapa yang mereka pahami secara emosi. Ada sejumlah pemeranan yang bagus di sini. Musik dan nyanyian yang ceria juga bakal mengisi hubungan hangat antarkarakter. Nada film ini hanya sedikit bablas menjadi komikal ketika menangani tokoh penjahatnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BUKU HARIANKU.

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya pengalaman seru mengenai buku harian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ONWARD Review

“A father’s a treasure; a brother’s a comfort; a friend is both.”
 

 
 
Tersamar di balik dongeng makhluk-makhluk fantasi yang hidup dalam dunia dengan kenyamanan dan kemudahan teknologi modern sehingga melupakan kemampuan ajaib mereka, ada pesan menyentuh tentang hubungan anak dengan orangtua yang gak sempat ia kenal, juga tentang eratnya persaudaraan yang bisa timbul dari situasi seperti demikian. Karena hubungan keluarga memang sebegitu magicnya, sehingga kita mau-tak mau bakal dapat merasakan keterikatan terhadap anggot keluarga pada setiap serat dari diri kita.
Pada ulangtahunnya yang ke-enambelas, Ian Lightfoot – seorang elf yang disuarakan oleh Tom Holland, orangnya pemalu, gak pedean, dan bukan seorang pemberani – menerima hadiah yang sudah disiapkan oleh ayah yang meninggal dunia semenjak ia masih dalam kandungan ibunya. Hadiah berupa sebuah tongkat kayu. Abang Ian, Barley, yang hobi main game kartu ala ‘Dungeons and Dragons’ percaya bahwa tongkat itu merupakan relik dari sejarah dunia fantasi mereka. Bukti bahwa bangsa mereka bisa sihir dan segala macam keajaiban yang kini sudah dianggap omong kosong oleh masyarakat. Ian juga tadinya enggak percaya sama abang yang menurut semua orang – dan ia sendiri setuju; aneh dan pecundang. Namun di tangannya sendiri, tongkat tersebut berhasil mengembalikan ayah, well… kaki sang ayah. Keajaiban memang ada dan Ia adalah pewarisnya. Ian bisa mengembalikan ayah khusus untuk satu hari asalkan bisa menemukan batu yang jadi sumber kekuatan. Maka berangkatlah Ian, bersama Barley yang dimainkan oleh Chris Pratt, dan bagian pinggang ke bawah ayah mereka, bertualang naik van rongsok demi berjumpa dengan ayah yang sangat ingin Ian kenal. Ian pengen menghabiskan hari, mengobrol, dan berbagi dengan sosok yang dijadikannya panutan tersebut.

untung gak jadi thriller “The Invisible Dad”

 
 
Sebagai abang (dari dua adek; cewek dan cowok) aku lumayan bangga dan terenyuh nonton film ini. Karena cukup jarang ada film – terutama film keluarga – yang benar-benar menghormati persaudaraan abang-adek seperti film ini. Enggak hanya dijadikan lelucon, atau diarahkan menjadi rivalry. Sure, bagi adek, abang-abang mereka seringkali kelihatan entah itu sok galak, nyebelin, atau sok asik. Di Onward juga nampilin seperti begitu; Ian sangat berbeda dengan sang abang. Malah, Ian bisa dibilang gak suka dan gak percaya sama Barley. Mereka tidak bermain bersama, mereka tidak punya hobi yang sama. Pada awalnya, Barley yang kekanakan dan penuh oleh ‘teori’ sejarah, memang terlihat seperti tokoh sidekick untuk lucu-lucuan. Kemudian seiring waktu, fokus film semakin jelas, dan ternyata hubungan persaudaraan Ian dengan Barley lah yang dijadikan menu utama. Akan ada banyak adegan mereka bonding mulai dari sekadar ngobrol atau melakukan tantangan bersama yang bakal mengingatkan kita kepada saudara di rumah. Ian bisa magic tapi dia gak percaya sepenuhnya, sehingga banyak momen-momen Barley menggempor semangatnya – mengajarinya dengan sabar. Adegan Ian gemetar menyeberang jurang dengan sihir jembatan-tak-terlihat dengan diikat tali yang dipegang oleh Barley, ia kerap neriakin “jangan dilepas” tanpa berani menoleh ke Barley di belakang, misalnya; ini seperti ketika seorang abang ngajarin adiknya naik sepeda, memegangi dari belakang. Adegan-adegan mereka seperti begini yang benar-benar hits home buatku.
Beberapa penonton mungkin merasa film ini gak konsisten karena seperti berganti topik; dari yang tadinya tentang anak yang ingin bertemu dengan ayah berubah menjadi tentang persaudaraan. Tapi memang justru itulah poin pembelajaran yang dialami oleh Ian di dalam film ini. Pixar selalu gemilang karena cerita-cerita yang disuguhkan selalu berhasil bekerja maksimal dalam formula/struktur penceritaan yang simpel-namun-bener. Supaya bisa gak merasa film ini enggak-konsisten, kita perlu mengingat hal paling dasar dalam premis dramatik seorang tokoh film. Yakni soal ‘wants’ dan ‘needs’; tokoh menginginkan sesuatu dan berjuang demi itu, hanya untuk menyadari hal sebenarnya yang ia butuhkan. Onward, pada inti emosionalnya, adalah tentang anak yatim yang ingin bertemu sekali saja dengan ayahnya – ia berjuang mencari tokoh panutan supaya bisa menjadi lebih baik dalam hidup, dan setelah petualangan yang ia lalui bersama abang, ia menyadari ia tak pernah kehilangan sosok itu. Selama ini, ada satu orang yang selalu menyemangati, mendorong dirinya menjadi lebih baik, percaya pada dirinya, dan orang itu harusnya ia hargai. Persoalan mencari ayah hanyalah lapisan luar dari permasalahan Ian. Dan film ini akan membuka hingga ke lapisan dalam dengan cara yang benar-benar menyentuh karena Ian juga serta merta harus come in terms dengan merelakan ayah yang tak pernah ia kenal.

Hanya abang atau saudara laki-laki yang lebih tua yang bisa mencintai seperti seorang ayah, menyebalkan kayak saudara cewek, peduli sebagaimana seorang ibu, sekaligus suportif dan bisa akrab layaknya sahabat karib.

 
Dan sesungguhnya kita beruntung film ini tidak memusatkan banyak kepada Ian dan kaki ayahnya. It’s a good thing film ini maju dan enggak mentok menjadi komedi konyol dua orang berusaha menyamarkan makhluk tak berbadan-atas sebagai orang normal. Kocak memang, tapi dengan cepat menjadi basi. Karena dunia mereka sudah terlalu fantastis. Melihat mereka berusaha memakaikan sweater dan kacamata hitam untuk samaran ayahnya – seolah bodinya utuh – terkesan jadi biasa saja karena normal di dunia cerita ini sendirinya sudah ajaib. Sukar membayangkan penduduk menjerit begitu melihat ayah mereka hanya kaki tatkala para penduduk itu adalah sebangsa cyclops, atau pixie, yang memelihara naga seolah anjing di rumah, dan unicorn kayak rakun atau pengais sampah. Onward ini kayak Shrek, atau animasi fantasi serupa, dengan elemen komedi menyamarkan ‘mayat’ ala Weekend at Bernie’s (1989). Komedi di film Bernie’s bisa sukses histerical karena dunianya adalah dunia normal kita – yang dibentrokkan dengan mayat didandani dan bisa jalan-jalan seolah masih hidup. Pada Onward, elemen kaki ayah ini enggak bisa menjadi lebih menonjol lagi komedinya karena sifat dunia yang emang udah fantastis sedari awal. Jadi, merupakan langkah bagus dari film untuk move on dan menjadikan koneksi Ian-Barley sebagai pusatnya.
Onward tampil sebagai film keluarga lucu, hangat, seru, menyentuh emosi. Yang tercapai berkat eksplorasi cerita yang berani keluar dari zona nyaman. Memperlihatkan kenyataan kepada anak-anak bahwa berkubang pada masa lalu, berpegang pada sesuatu yang bukan untuk kita, akan menghambat diri sendiri. Kadang yang sudah pergi tidak akan kembali. Film membuat anak-anak berani menerima kematian orangtua, dengan menunjukkan bahwa cinta itu datang dari sosok orangtua pengganti berupa keluarga kita yang lain. Onward juga menampilkan tokoh ibu yang tidak biasanya hadir di film-film seperti ini. Ian dan Barley tidak berjuang sendirian, ibu mereka tidak menunggu di rumah dan hanya muncul di awal dan akhir film saja. Peran ibu tidak diabaikan dalam pencarian mereka. Bagi ibu-ibu yang menikah lagi bisa memetik pelajaran dari ibu Ian yang sudah punya ‘pacar baru’ untuk membiarkan anak mencari tahu dan lebih mengenal ayah mereka sebagai proses perkembangan. Namun ada satu yang masih kurang penggalian, yaitu dari Barley si abang. Cerita ini harusnya membuat para abang di antara penonton bisa come to terms dengan tanggungjawab pada pundak masing-masing. Hanya saja, di film ini Barley tidak berubah banyak dan segala masalah mereka lenyap alias bisa ditangani karena Ian bisa sihir.

ultimate bro movie

 
Lapisan lain yang dimiliki film ini adalah soal magic yang kini sudah tersingkirkan. Karena orang terbuai oleh teknologi yang memudahkan. Dengan gampang kita dapat menarik garis paralel dunia modern mereka dengan dunia modern kita. Tapi bagaimana dengan dunia sebelumnya? Kita tentu saja tidak bisa mengharap ada sihir beneran yang melenyapkan semua persoalan dengan sebait mantra. Barley, adalah pengacara alias pengangguran-banyak-acara yang kerjaannya di rumah adalah main game dan di luar rumah sebagai aktivitis pelindung bangunan dan tempat bersejarah. Barley percaya pada magic masa lampau. Kesamaannya dengan tokoh Ian adalah mereka sama-sama berpegang pada past. Film menggagas past dan future seharusnya bisa berjalan beriring; kita belajar dari masa lalu demi masa depan. Tokoh Barley di film ini seringkali berlawanan dengan pesan tersebut karena dia selalu benar. Pengetahuannya tentang mitologi dunia fantasi seolah me-redeem dirinya yang disebut seorang screw-up oleh masyarakat. Di dunia nyata kita tidak bisa menjadi seperti Barley selamanya karena tidak akan selalu benar, dan jika salah akan ada keajaiban. Kita, dan Barley, perlu belajar tanggungjawab dan film tidak memperlihatkan itu.
 
 
Dunia monster dan magic selalu bicara soal kepahlawanan. Dan dalam keluarga, kepahlawanan itu berarti seorang kepala keluarga yang mengayomi, melindungi, menyemangati anggota keluarganya. Setiap dari kita punya sisi tersebut. Mungkin itulah yang dimaksud dalam film ini ketika memperlihatkan makhluk-makhluk yang melupakan kemampuan dasar mereka. Polisi centaurus yang emoh berlari karena sudah punya mobil (gimana cara dia duduk). Pixie yang jadi geng motor mengacuhkan sayap mereka. Ada banyak yang bisa dibahas dari animasi petualangan fantasi ini. Dengan hubungan abang-adik sebagai pusatnya. Film ini jadi pelajaran berharga bagi keluarga di zaman modern, karena berani menghadang persoalan sesuatu kadang tidak sesuai harapan. Juga merupakan cerita yang sangat menghibur dengan penampilan dan imajinasi yang ‘liar. However, ini bakal jadi sempurna, jika menggali lebih dalam terkait konsekuensi dan tanggungjawab.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ONWARD.

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya cerita/pengalaman unik dengan abang – atau kakak?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SONIC THE HEDGEHOG Review

“Home is something you run toward”
 

 
 
Lari film live-action dari tokoh video game ikon perusahaan Sega ini memang sempat diperlambat sedikit. Tadinya akan ditayangkan tahun 2019 yang lalu, akan tetapi begitu materi promosi pertama keluar; mereka nampilin penampakan Sonic yang desainnya jauh banget berbeda dari desain karakter yang asli, film lantas dicerca habis-habisan oleh fans. Sutradara baru Jeff Fowler menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli dengan proyek yang ia tangani dengan mendesain ulang rupa Sonic menjadi seperti yang sudah kita kenal. Film ini mundur hingga ke 2020, dan berkat tindakan berdedikasi dari studio dan pembuatnya itulah kita mendapat sajian komedi dan aksi dari video game yang bukan sekadar ‘menguangkan nostalgia’ melainkan benar-benar menghibur. Dan dijamin tidak akan ada lagi keluhan dari penggemarnya mengenai karakter si Sonic ini sendiri, meskipun kisahnya sedikit berbeda dengan versi game (namanya juga adaptasi)
Sepanjang sepuluh tahun masa hidupnya, Sonic si landak biru elektrik (beneran bisa nyetrum!) disuruh untuk terus berlari. Supaya enggak kelihatan oleh musuh-musuh yang mengejarnya dari planet asal. Jika ketahuan, Sonic harus melempar cincinnya untuk membuka portal, berteleport kabur ke tempat lain. Kini Sonic bersembunyi di Bumi, di kota kecil bernama Green Hills (sayup-sayup terdengar sorakan nostalgia pemilik konsol Sega). Di tempat inilah Sonic merasa sangat kerasan. Dia merasa akrab dengan para penghuni, meskipun hanya dengan ‘mengintip’ aktivitas mereka setiap hari. Sonic kesepian. Dalam galaunya, Sonic gak sengaja bikin mati lampu seisi kota. Kekuatan listriknya tercium oleh pemerintah, yang mengirim ilmuwan mesin edan, Dr. Robotnik untuk memburu Sonic. Mau gak mau Sonic harus segera meninggalkan ‘rumah’, hanya saja saat jatidirinya ketahuan oleh seorang polisi lokal favoritnya yang bernama Tom, Sonic kehilangan cincin teleportasi yang begitu esensial untuk keselamatannya.

Pelari Film

 
Jika bagi Robotnik yang superpintar semua orang tampak sangat bego, maka bagi Sonic yang ngebut semua orang tampak bergerak lamban. Bahkan nyaris seperti diam di tempat. Film bermain-main dengan aspek kecepatan Sonic. Kita melihat berbagai aplikasi dari kekhususan Sonic dalam berbagai adegan dengan range mulai dari lucu-lucuan kayak adegan kartun – Sonic bisa berlari ke Samudra Pasifik untuk kemudian balik lagi karena menyadari ia gak bisa berenang, dalam beberapa detik – hingga ke adegan berantem yang fun ala Quicksilver di MCU dan X-Men atau ala Dragon Ball ketika Sonic marah dan mengumpulkan kekuatan listrik dari bulu-bulu landaknya yang tajam. Ada pembelajaran yang dilalui oleh Sonic, seperti dalam game yang setiap levelnya membuka ability/kemampuan baru untuk kita pelajari demi eksplorasi lebih luas dan mengalahkan musuh yang lebih tangguh. Film berusaha keras menempatkan Sonic yang supercepat ke dalam situasi yang membuatnya tidak bisa begitu saja menjadikan kecepatan sebagai jawaban.
Aku gak begitu gandrung main game Sonic. Terutama karena waktu kecil aku gak punya Sega; I’m more of a Nintendo and PlayStation boy, jadi aku jarang memainkan gamenya. Aku lebih mengenal Sonic lewat serial kartunnya yang dulu sempat tayang di televisi. Dan bahkan dengan sebegitu saja, film ini berhasil membawaku mengarungi euforia nostalgia. Banyak sekali referensi-referensi yang ditabur ke dalam film ini. Semuanya dilakukan dengan seksama, sepenuh hati, misalnya momen sepatu Sonic. Timingnya juga diperhatikan, seperti penggunaan sound-sound di game pada momen cerita yang pas. Film ini membuat detil kecil itu berarti. Sonic sendiri juga lucu sekali. Sifatnya bisa dijadikan teladan bagi anak-anak yang nonton, sedangkan sikapnya yang polos-tapi-cerewet membuatnya jadi seperti sahabat impian bagi anak-anak. Ben Schwartz menghidupkan karakter ini dengan kehangatan natural khas tokoh pahlawan anak. Makanya nonton filmnya jadi lebih menyenangkan meskipun Sonic harus berbagi porsi dengan tokoh manusia. Tokoh Robotnik alias Eggman yang terkenal nyentrik dan ‘bermulut ringan’ sudah paling pas dimainkan oleh the one and onlyJim Carrey. Tentu, tokoh ini ia mainkan dengan over-the-top; Carrey actually melakukan banyak improvisasi gerakan dan perkataan, karena begitulah penjahat dalam film kartun. Sonic the Hedgehog tidak berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Inilah yang membuatnya mencuat. Lebih menyenangkan ketimbang Pokemon Detective Pikachu (2019)yang entah apa sebabnya memilih menggunakan tokoh utama yang gak suka Pokemon… honestly, sampe sekarang aku masih heran sama film itu.
Mengadaptasi semesta kartun, Hollywood punya kebiasaan ‘memaksakan’ ada tokoh manusia, supaya penonton bisa lebih mudah relate. Seringnya adalah tokoh manusia itu tetap kalah menarik karena toh kita menonton bukan untuk melihat mereka, kan sebenarnya. Kita pengen menyaksikan Sonic, atau Pikachu, atau Smurf, hidup. Dalam film ini, tokoh manusia yang dimaksud adalah si polisi Tom yang diperankan karismatik oleh James Marsden. Walaupun aksi dan cerita tetap berpusat pada Sonic, film berhasil membuat Tom tetap menarik. Hal ini tercapai berkat penulisan tokohnya yang punya motivasi yang berkonflik pandangan Sonic. Konfliknya ini beda jenis dengan konflik Sonic dengan Robotnik; yang lebih in-the-face, berfungsi sebagai ancaman yang bikin anak kecil greget menontonnya. Konflik Sonic dengan Tom bersifat lebih emosional, ia berperan dalam pembangunan karakter; aspek yang lebih diapresiasi oleh penonton yang lebih dewasa. Sonic mendambakan kehidupan menetap, punya rumah, gak harus pindah, meskipun practically ia bisa ke mana saja asal ia mau, dia lebih memilih untuk tinggal di Green Hills sebab dia yang selama ini menonton kehidupan di sana sudah merasa begitu terattach dan menjadi bagian dari kota. Sedangkan Tom, polisi muda di kota kecil yang kehidupannya biasa-biasa saja, sudah sangat siap pindah ke tempat yang lebih menantang di mana ia bisa menjadi penyelamat beneran. Dua pandangan ini bertemu dalam mobil yang menuju San Fransisco, mereka berdebat, dan akhirnya menjadi teman baik karena masing-masing pendapat saling mengisi satu sama lain.

Dalam game Sonic, level disebut dengan istilah Zone. Dalam film Sonic, ‘Zone’ inilah yang persoalan Sonic. Zone as in safe zone, atau mungkin comfort zone. Sekilas, gagasan film terdengar aneh. Tom seperti mewakili perjuangan keluar dari comfort zone, sudah jadi rahasia umum untuk sukses kita harus berani keluar dari zona nyaman. Sonic seperti menentang ini, Sonic seperti menyugestikan untuk berkubang di zona nyaman.  Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya, film lebih bicara soal zona aman. Yakni rumah. Ketenangan domestik. Sonic, Tom, dan kita semua semestinya tetap terus berlari demi mencari rumah. Keluar dari zona nyaman kalo perlu demi mencari ini. Tempat, di mana pun itu, yang berisi orang-orang yang kita sayangi.

 

saking cepatnya, Sonic bisa main baseball, jadi dua tim, menghidupkan banyak karakter sendirian

 
Secara plot, however, malah justru si Sonic yang perubahannya lebih sedikit ketimbang Tom. Polisi ini berubah jadi gak ingin pindah karena dia menyadari yang ia butuhkan. Sedangkan Sonic di akhir cerita memang mendapatkan yang ia inginkan, ia menyadari tak perlu pindah planet. sembari tetap butuh berlari mencapai yang ia inginkan tadi. Film belum benar-benar melingkar ketika membahas plot Sonic. Penyebabnya adalah karena kita hanya melihat Sonic pindah satu kali. Dia tidak lagi dikejar-kejar musuh aslinya selain pada adegan awal. Ini membuat Sonic tidak punya rutinitas yang bakal berubah di akhir cerita, karena yang kita lihat adalah Sonic di Bumi, harus pindah, lalu resolusi adalah dia diterima di Bumi — tidak ada breaking rutinitas (dari nyaman di Bumi kembali ke Bumi) seperti pada formula naskah biasanya.
Dan bukan sekali itu saja – tidak lagi membahas pengejar di awal – film melupakan hal yang mereka angkat. Babak satu berakhir pada poin yang cukup menegangkan bagi kedua karakter. Sonic diburu Robotnik, dan Tom; masuk berita dan dianggap sebagai teroris yang menghalangi pemerintah. Aspek Tom sebagai teroris ini tidak dapat follow-up lagi pada naskah, kita tidak melihat dia kesusahan masuk ke mana-mana, dia tidak kelihatan seperti orang yang dicari oleh negara. Pengejar mereka tetap satu, Robotnik. Tentu, ada dalih bahwa pemerintah juga sebenarnya tidak suka dengan Robotnik – mereka bisa bisa saja tidak percaya dan cap teroris itu disiarkan langsung oleh Robotnik sendiri – tapi dengan ditonton oleh orang banyak di televisi, seharusnya ada reaksi yang lebih genuine dari plot poin ini. Namun alih-alih itu, babak kedua film dihadirkan dengan cheesy, penuh selipan tren dan budaya-pop, bahkan untuk film yang esensialnya adalah kartun minggu pagi. Kita malah melihat mereka bersenang-senang di bar, menuhin bucket list Sonic yang ingin melakukan hal-hal normal dengan cara edan. Pada beberapa momen film menjadi bahkan kelewat cheesy, yakni saat mereka menggunakan iklan sponsor seperti restoran Olive Garden sebagai punchline.
 
 
 
Meskipun begitu, ada banyak cara yang lebih buruk dalam mengisi hari bersama si kecil, atau menghibur masa kecilmu; nonton film anjing yang anjingnya CGI misalnya. Setidaknya film ini lebih berdedikasi dan menghormati tokoh Sonic itu sendiri. Ceritanya menutup dengan teaser sekuel yang menggugah. Aksi dan interaksi antartokohnya menyenangkan. Beberapa cheesy karena film ini memang berada di jalur kartunnya. Punya bejibun referensi terhadap game, dan budaya pop masa kini sebagai penyeimbangnya. Jadilah film ini sangat menghibur, meski dengan naskah yang belum maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for SONIC THE HEDGEHOG

 
 
 
That’s all we have for now.
Desain Sonic sempat diganti karena netijen protes. Bagaimana kalian memandang fenomena ini? Baikkah jika penonton punya kontrol besar terhadap suatu karya? Haruskah pembuat film mendengar protes bahkan sebelum filmnya jadi? Atau apakah semua ini hanya taktik jualan sedari awal?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

My Dirt Sheet Top-Eight ‘KEKECEWAAN BIOSKOP’ OF 2019


 
 
Akhir tahun adalah waktu yang biasanya kita gunakan untuk meratapi resolusi-resolusi yang tak jadi tercapai (lagi!), keinginan-keinginan yang kandas tak terwujud, dan harapan-harapan yang berbuah kekecewaan. List ini adalah salah satu perwujudan dari harapan-harapan itu.
Ketika film disebut mengecewakan, bukan lantas seketika berarti film itu jelek, pembuatnya bego gak ngerti bikin film. Film yang bagus juga bisa saja tetap membuat kita merasa kecewa. It’s just mewujudkan sebuah film berarti membuat pilihan. Mau ngambil resiko atau tidak. Mau jadi nyenengin hati fans, atau hati semua orang, atau hanya hati produsernya. dan pilihan yang diambil film kadang enggak sejalan – enggak sefrekuensi, kalo kata Ainun – dengan harapan dan ekspektasi kita. Yang menurut kita penting, belum tentu begitu bagi pembuatnya.
Jadi, ya, daftar ini akan sangat subjektif. Kalian boleh jadi tidak menemukan film yang kalian benci. Sebaliknya, kalian bisa saja menemukan film yang kalian suka atau mungkin malah film yang menurut kalian bagus nampang di sini. Dan aku yakin memang ada. Tahun ini actually lebih banyak film yang populer, yang bisa dibilang bagus – at least yang kukasih skor lumayan tinggi – yang menurutku mengecewakan. Karena ekspektasi dan pilihan tadi. Also, daftar ini hanya akan mengcover film-film yang kutonton di bioskop, sebab dikecewakan oleh film yang kita harus berangkat dari rumah, meluangkan waktu untuk menempuh perjalanan, mengeluarkan uang, terasa lebih nyesek. Apalagi kalo ternyata yang ditonton di layar gede itu tak lebih dari glorified-ftv.
Setiap tahun aku beresolusi bisa menonton film-film di bioskop tanpa harus meratapi duit yang sudah keluar dan bertanya keras-keras ke tembok ala Adam Driver di Marriage Story “why did they do that?”, tapi nyatanya aku masih mendapati delapan film ini:
 
 
 

8. AVENGERS: ENDGAME


Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Robert Downey Jr, Chris Evans, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
Duration: 3 hour 1 min
Ya, ini bakal kontroversial, aku bahkan bisa mendengar mouse kalian bergerak cepat mau menutup halaman ini haha.. Jika kalian ngarahin mousenya ke judul setiap nomor, instead, maka kalian akan diarahin ke halaman ulasan, dan bisa dilihat di sana aku ngasih film ini skor 7 dari 10 bintang emas. Avengers: Endgame dibuat dengan sangat kompeten. Final fight yang kita tunggu-tunggu digarap dengan seru, menghibur sekaligus berhasil memenuhi tujuan ‘politik’ era SJW sekarang ini.
Posisinya ada di atas menunjukkan bahwa film ini tergolong bagus. Kekecewaanku timbul dari mereka memperkenalkan time-travel dan actually membuat babak kedua membahas mengenai aturan time-heist. Mereka menyusunnya dengan klop. Hanya saja, aku tidak mengharapkan itu. Infinity War berakhir dengan kemenangan Thanos, film membangun ekspektasi kita terhadap cara apa yang bakal dilakukan Avengers untuk well, to avenge their loss. Dan time-heist ini adalah cara yang paling standar untuk membahas soal serangan balasan tersebut. Film seperti punya agenda ingin membuat kita bernostalgia, maka ceritanya pun tidak move on. Malahan membawa kita ke semacam highlight.
Dan ini bukan cara yang paling aman pula. Avengers: Endgame meninggalkan kita dengan banyak plothole. Mungkin kalian adalah salah satu yang ikut membahas soal plothole dan implikasi kocak dari time-travel beda timeline di kolom komen review. It’s hilarious. Pembelaan pembuat film ini terhadap kekonyolan itu  adalah – seperti yang bisa kita tebak – penjelasannya bakal ada di film phase berikut. Ini membuat Avengers: Endgame less of a film dan lebih seperti produk. Aku setuju sama kata Martin Scorsese.
My Breaking Point:
Fans berkampanye betapa Tony Stark pantas untuk dapat Oscar. Ugh…. Bercanda haha.
Breaking point-ku yang benar adalah saat menyadari para Avengers sebenarnya berkelahi dengan orang yang berbeda. Thanos yang mereka lawan bukanlah Thanos yang mengalahkan mereka di Infinity War. Dan ini membuat pertarungan terakhir itu jadi hampa bagiku. Aku mau melihat mereka mengalahkan orang yang sudah bikin mereka kalah; Thanos dengan kekuatan Infinity Stone penuh. Bukan Thanos yang gak tahu apa-apa, yang cukup dikalahkan oleh Scarlet Witch seorang.
 
 
 
 
 

7. HABIBIE & AINUN 3


Director: Hanung Bramantyo
Stars: Reza Rahadian, Maudy Ayunda, Jefri Nichol, Diandra Agatha
Duration: 2 hour 1 min
Untuk merangkumnya, ini adalah cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang.
Film ini kayak pengen menceritakan tentang Ibu Ainun, tapi sendirinya tidak percaya bahwa cerita Ibu Ainun semasa muda tidak akan menjual. Maka mereka membuatnya sebagai sekuel Habibie & Ainun dan fokus tetap pada Habibie. Ditambah Bapak Habibie berpulang (salah satu momen menyedihkan bagi Indonesia tahun ini) dan film bergerak lebih cepat daripada lariku saat ditagih hutang untuk menguangkan kematian tersebut.
Cerita Ainun yang tentang wanita enggak kalah dari pria – manusia bukan soal gender lucunya malah seperti nomor dua, meskipun penulis tampak bersusah payah membuatnya Ainun seperti dokter wanita pertama dengan segala kesulitannya di dunia yang masih memandang wanita nantinya bakal balik ke dapur. Bagaimana film akhirnya menjual cerita ini? Dengan elemen romansa tak-sampai dan tokoh antagonis dibuat satu-dimensi demi Ainun kelihatan menarik.
My Breaking Point:
Ketika si senior antagonis masih diperlihatkan menyiapkan pidato perpisahan, dia dibuat gak logis banget masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Ainun gak terlihat pintar dan selfless hanya dengan menampilkan tokoh senior ini sebagai ‘lawannya’.
 
 
 
 
 

6. FROZEN II


Director: Chris Buck, Jennifer Lee
Stars: Idina Menzel, Kristen Bell, Josh Gad, Jonathan Groff
Duration: 1 hour 43 min
Ini adalah contoh sekuel yang buru-buru diadakan karena film pertamanya laku. Ia dibuat sebagai brand ketimbang dibuat karena mereka punya cerita segar untuk dibagikan. Karena Frozen II hadir dengan cerita yang mirip Avatar Legend of Aang, penuh eksposisi dan throwback, yang ironisnya mereka tetap berhasil melepehkan perjalanan Elsa di film pertama.
Elsa yang sudah belajar untuk berani menjadi diri sendiri di tengah keramaian dalam film ini diharuskan belajar untuk menemukan dirinya sendiri dan di akhir memilih untuk sendirian karena dia begitu berbeda dengan orang-orang. Pesan seperti apa ini? Kita pengen karakter cewek yang mandiri tapi gak gini juga caranya.
Petualangan film ini tidak terasa seru, karena diberatkan oleh narasi eksposisi. Drama antar-saudari tidak lagi simpel dan mengena, melainkan terasa begitu jauh oleh cerita perang-fantasi yang ribet. Fantasinya pun terasa usang meski memang visualnya teramat indah.
My Breaking Point:
Olaf. Serius deh, Olaf sangat menjengkelkan. Dan film terus ngepush manusia salju sampai-sampai kita melihat adegan Olaf menceritakan – eng, MENGADEGANKAN ULANG! kejadian di Frozen pertama. What. An. Annoying. Waste. Of. Time.
 
 
 
 

5. X-MEN: DARK PHOENIX


Director: Simon Kinberg
Stars: Sophie Turner, James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Duration: 1 hour 53 min
X-Men seharusnya bisa dijadikan contoh gimana hancurnya cerita superhero jika bermain-main dengan time-travel. Namun tetap saja elemen itu bakal dipilih karena dengan begitu universe lebih mudah untuk diekspansi. Masalah logika nomor dua.
Dark Phoenix bukan saja berurusan dengan masalah kontinuitas – banyak aspek yang enggak masuk dengan dunia dalam franchise X-Men sebelumnya. Ia juga harus berurusan dengan pengaruh SJW – sekali lagi ini adalah cerita wanita yang berusaha menjadi dirinya sendiri -, dinyinyirin mirip dengan Captain Marvel yang sudah lebih dulu tayang dengan jarak yang tak begitu jauh, dan beban sebagai penutup X-Men. Well, setidaknya sebelum dibeli oleh studio dagang yang lebih gede.
Hasilnya sungguh berantakan. Dark Phoenix terlihat jelas mengalami banyak shoot ulang. Ada yang bagus, seperti final battle di kereta api. Namun secara keseluruhan, setiap babak film ini terasa kayak film yang berbeda. Mereka enggak menyatu dengan kohesif, tone ceritanya beda, motivasinya beda. Film juga pengen nampil sangat serius sehingga enggak ada lagi kesenangan menontonnya.
My Breaking Point:
Ketika mereka memperkenalkan alien sebagai musuh utama. Alien yang sangat miskin eksplorasi. Bangsa alien tersebut bahkan gak sempat disebutkan namanya. Aku hanya menyebutnya…; Peran-yang-disesali-oleh-Jessica Chastain.
 
 
 
 
 

4. AVE MARYAM


Director: Robby Ertanto
Stars: Maudy Kusnaedi, Chicco Jerikho, Tutie Kirana, Joko Anwar
Duration: 1 hour 25 min
Oh betapa ekspektasiku tinggi sekali mendengar pujian-pujian bagi film ini dari penayangannya di berbagai festival. Temanya pun berani, kisah cinta seorang biarawati. Tapi begitu ditonton di bioskop… maan, kenapa rasanya ada yang bolong.
Selain sinematografi yang keren, art yang memanjakan mata, dan adegan manis berdialog di kafe, tidak ada yang bisa dinikmati dari Ave Maryam. Perjalanan tokoh utamanya terasa abrupt. Konfliknya yang berani itu gak terasa. Film ini seperti kisah cinta biasa. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Aku seperti menonton film yang berbeda dengan orang-orang di festival. I mean, filmnya benar-benar kosong, kita hanya baru akan mengerti konflik dan backstory dan segala macemnya setelah membaca sinopsis. Sungguh sebuah karya menyedihkan jika harus mengandalkan sinopsis sebagai komplementer – sebagai sarana untuk menampilkan yang tidak bisa ditampilkan.
Kemungkinan terbesar adalah akibat penyensoran. Dan jika benar, maka sangat disayangkan sekali perfilman kita masih belum berani menghidangkan cerita yang bertaji.
My Breaking Point:
Maryam memandangi Romo Yosef bermain musik, kamera fokus kepada si Yosef seolah dia konduktor terkeren di dunia, padahal tidak ada sama sekali rasa di adegannya.
 
 
 
 

3. BEBAS


Director: Riri Riza
Stars: Maizura, Marsha Timothy, Sheryl Sheinafia, Baskara Mahendra
Duration: 1 hour 59 min
Bebas diadaptasi dari film Korea yang berjudul Sunny. Sunny sendiri merupakan cerita persahabatan cewek remaja Korea yang kental sendiri dengan lokalitas orang sana, film itu menggambarkan sistem pendidikan yang keras dan hubungan sosial remaja yang membentuk geng sekolah.
Kupikir akan menarik, bagaimana Riza akan membawa cerita ini ke dalam lokal Indonesia. Tokoh yang tadinya cewek semua, diganti dua menjadi cowok. Setting waktu yang diambil adalah 90 akhir, saat Indonesia lagi krisis-krisisnya. Ternyata, tidak ada hal lokal yang signifikan yang dijadikan daging oleh film saduran ini. Film berpuas diri dengan lagu-lagu 90an dan gak melakukan banyak terhadap cerita. Semua kejadian dalam film ini sama persis dengan yang di film asli. Hingga ke dialog-dialognya. Latar hanya sekadar tempelan. Soal cowok main dalam geng cewek pun tak dijadikan fokus utama. Seharusnya yang diganti jadi cowok, tokoh utamanya aja sekalian.
Salah satu produk film paling malas tahun ini, minim visi original, dan hanya mengandalkan nostalgia musik, jejeran cast, dan cerita dari material aslinya.
My Breaking Point:
Sesama-samanya dengan Sunny, tapi film berhasil untuk membuatku kecewa karena entah mengapa mereka mengurangi porsi Suci (Su-ji pada Sunny) dan tidak ada adegan Suci menyelamatkan Vina
 
 
 
 
 
 
 

2. RATU ILMU HITAM


Director: Kimo Stamboel
Stars: Ario Bayu, Hannah Al Rashid, Putri Ayudya, Adhisty Zara
Duration: 1 hour 39 min
Film ini juga punya jejeran cast yang yahud, tapi bahkan mereka lebih enggak banyak berguna lagi ketimbang cast Bebas. Ratu Ilmu Hitam harusnya jadi film favoritku tahun ini – horor, ada efek praktikal body horor, sadis, digarap oleh kombo maut pada genre ini (film ini ditulis dan dipromosikan secara keras oleh Joko Anwar). Aku memang menyukainya. Hanya saja, ini jauuuuuh banget untuk jadi film yang memuaskan.
Mainly karena penulisannya yang sangat mengecewakan. Cast yang berjubel itu tidak mampu diberikan penulisan yang berbobot, let alone berimbang. Si Ari ‘Wage bacanya Weij’ Irham malah hanya dikasih satu adegan penting. Bayangkan. Hampir seperti film ini enggak peduli soal mengarahkan akting. Mereka hanya fokus membangun keseraman dan twist bergagasan moral berbau politis. Buktinya lagi, film gak mau repot-repot ‘maksa’ pemainnya mainin adegan dengan kelabang asli. Hewan-hewan kecil itu masih pakai efek komputer dan terlihat gak meyakinkan. Dan menjadi menggelikan ketika di kredit penutup kita melihat still foto adegan-adegan seram – menggunakan kelabang asli – dari Ratu Ilmu Hitam original.
Yang kuharap adalah horor sadis sederhana, memanfaatkan banyaknya cast mumpuni. Namun yang didapat adalah kejadian ribet dengan sok berada di batasan moral abu-abu, yang tidak didukung oleh penulisan dan struktur cerita yang bener. Tokoh utamanya aja gak jelas siapa. Kenapa gak sekalian aja judulnya Ratu Kulit Hitam kalo memang mau dapat pujian filmnya punya isu, siapa tau bisa menang Oscar.
My Breaking Point:
Dialog-dialog film ini yang sibuk menjelaskan, ngobrol ringan, dan berusaha mengomentari banyak hal, benar-benar menjengkelkan buatku. Gak cantik penulisannya. Puncaknya adalah ketika tokoh yang diperankan Zara dan tokoh anak panti yang tadinya akur, tau-tau berantem adu mulut lantaran si cowok mau nembak tikus di dalam rumah. WTF.
 
 
 
 
 
Sebelum masuk ke posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions yakni film-film bioskop 2019 yang dapat skor 1. Ironisnya, mereka memenuhi ekspektasiku; Jelek, dan ternyata beneran jelek!

Dishonorable Mentions:

11:11 Apa yang Kau Lihat,

Roy Kiyoshi the Untold Story,

47 Meters Down: Uncaged,

Pariban: Idola dari Tanah Jawa

Sekte,

Kelam

 
 
 
Dan juara paling mengecewakan tahun ini jatuh kepadaaa

1. STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER


Director: J.J. Abrams
Stars: Daisy Ridley, Adam Driver, John Boyega, Oscar Isaac
Duration: 2 hour 22 min
Ketika Force Awakens munculin tokoh yang practically ‘mary sue’ aku masih bisa memaafkan; at least, sudut pandang baru dan revealingnya bakal keren. Ketika Last Jedi membuang semua teori fans ke laut dan nge-swerve kita setiap kali kesempatan, aku juga masih oke – malah excited mau dibawa ke mana sebenarnya trilogi ini, apa jawaban besar yang menanti di Episode 9. Lalu, akhirnya tibalah Rise of the Skywalker. Dan jelas sudah mereka tidak punya rencana apa-apa untuk trilogi ini selain untuk menjual mainan saat natal dan tahun baru.
My Breaking Point sudah mulai mendidih di menit-menit pertama mereka munculin kembali Palpatine. Menghapus semua kejayaan prophecy Anakin yang menjadi motor di Star Wars terdahulu. Dan sepanjang durasi, aku merasa terus menggelegak karena film ini tidak melanjutkan, melainkan merevisi sesuka hati. Tidak lagi peduli pada apa yang sudah dibangun – baik atau buruk – dan just go with apapun yang sekiranya bisa bikin fans bersorak “hey itu dari episode ke anu!”
Out of nowhere mereka membuat Poe sebagai kurir scroundel galaksi – seperti Han Solo – padahal di episode sebelumnya dia anak pilot biasa, dan sudah ikut berperang sejak muda. Mereka begitu saja membuat Finn punya ‘feeling’ dan ada banyak Stormtrooper seperti dirinya, meskipun di episode sebelumnya arc Finn adalah satu-satunya mantan militer yang berusaha rise up dari komanda-komandannya dahulu. Kisah cinta Finn pun seperti tak-eksis di sini. Dan kalo aku punya popcorn, maka semua popcornnya pasti sudah kulempar-lempar ke layar ketika hantu-force Luke mengangkat pesawat yang mestinya sudah rusak dan gak bisa dipakai. Kerusakan pesawat X-Wing ini penting, karena itulah yang menyebabkan Luke mengerahkan tenaganya sendiri hingga mati untuk muncul dalam bentuk energi menolong Resistance di Episode VIII
Nonton ini aku antara nyengir seru nonton aksinya dan nyengir blo’on melihat elemen-elemen yang gak kohesif.
Aku mengerang keras di bioskop pada momen ketika Rey menyebut dirinya Rey Skywalker di akhir. AARRGGHH!
 
 
 
 
That’s all we have for now.
Bisa dilihat sebagian film di daftar ini adalah box office, dan ini merupakan pertanda tak menyenangkan industri film semakin mengarah ke produk dan wahana. Sekalinya ada film yang berbeda, film tersebut ditakutkan akan begitu kontroversial sehingga dijinakkan. Tiga dari empat film impor di sini adalah buatan Disney, dan ini aku gak menyebut film-film live-action mereka yang semuanya sudah diantisipasi bakal jelek. Kalolah yang aku bikin adalah list film terburuk, film-film Disney tahun ini akan berkumpul di sana. Magic mereka hanya visual sekarang, dan aku benar-benar takut tren ini terus berlanjut.
Untuk Indonesia, tren yang mulai muncul adalah ‘film’ yang bersambung. Dan ini sedapat mungkin kubasmi dengan tidak menyebutnya sama sekali meskipun kesalnya luar biasa dapat yang jenis ini di bioskop.
Juga noticed dong kalo kebanyakan film di list ini bertokoh utama perempuan, yang ditulis dengan kurang baik. Ini actually satu lagi tren yang menakutkan; tokoh-tokoh perempuan sekarang diharapkan kuat, mandiri, berdaya, gak butuh cowok, dan ini salah kaprah menjadikan tokoh itu sebagai poster girl SJW dan feminism, padahal mereka seharusnya jadi tokoh yang relatable dan belajar untuk menjadi kuat.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Jangan lewatkan Top-Eight Movies of 2019 yang akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, juga awards tahunan My Dirt Sheet Awards CLOUD9 di 2020.
Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~
 
 
 
 
Because in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER Review

“For the discovery of self we have to overcome the fear of self”
 

 
The Force Awakens (2015) berakhir dengan Rey melembar lightsaber ke Luke. The Last Jedi (2017) dimulai dengan Luke menangkap lightsaber tersebut, dan membuangnya begitu saja! Rangkaian adegan itu kini kita paham adalah simbol dari ‘passing the torch‘. Tapi tampaknya simbolik tersebut lebih dari sekadar antara dari Skywalker ke apprentice – ke Jedi generasi baru. Melainkan bisa juga jadi simbol penyerahan tongkat estafet antara satu sutradara ke sutradara berikut yang melanjutkan ceritanya. However, dalam Star Wars: Episode IX – Rise of the Skywalker yang kembali disutradarai oleh J.J. Abrams, kita melihat lightsaber tersebut ditangkap Luke dan mereka melakukan adegan yang seperti prosesi ulang yang berbeda dari simbolik passing the torch tadi. Seolah film juga ingin mengembalikan cerita ke jalur Abrams. Hal yang dapat kita simpulkan dari estafet semacam ini adalah di antara dua: pembuatnya sudah merencanakan atau pembuatnya memang tidak membuat rencana atau peta atau endgame yang mutlak tatkala mereka membuat franchise trilogi ini. Dan melihat dari perjalanan pada Episode IX ini, jawabannya besar kemungkinan adalah kemungkinan yang kedua.
Film yang jadi konklusi akhir dari trilogi Star Wars era kekinian ini memusatkan perhatian kita kepada siapa Rey sebenarnya. Selang dua tahun, Rey sekarang digembleng oleh Leia. Kekuatan Jedi dan penguasaan Force-nya sudah demikian mantap, tapi belum maksimal karena Rey takut oleh satu kekuatan lain di dalam dirinya. Sementara itu, Kylo Ren mengabdi pada Sith Lord yang baru, dan ia kerap menghubungi Rey – lewat hubungan ini Force mereka berdua; mengajak Rey bergabung, meninggalkan Leia, menumbangkan si Lord dan bersama-sama menjadi Emperor galaksi. Rey ogah. Terlebih ketika pasukan Resistance mengetahui bahwa si Sith Lord yang baru itu actually adalah musuh lama. Rey, bersama Finn, Poe, C-3PO, Chewbacca, dan BB-8 bertualang dalam Millennium Falcon menjelajah galaksi, bertemu dengan orang-orang baru, sembari mencari petunjuk keberadaan si Sith Lord dan menyusun serangan sebelum pihak Dark Side melancarkan ribuan armadanya yang masing-masingnya sanggup menghancurkan planet.
Dalam lingkup sebagai satu cerita utuh sendiri, film ini bergerak dalam satu gagasan yang ditampilkan sebagai tema besar. Yakni tentang mengatasi ketakutan terhadap diri sendiri. Hampir semua aspek karakter bergerak di dalam gagasan ini. Kylo Ren yang takut mengakui siapa dia di balik ‘topeng gelapnya’, sehingga dia terus mengenakan topeng tempur dan kerap melakukan kejahatan demi kejahatan. Rey yang takut mengetahui siapa dirinya sebenarnya, dia gak siap untuk membuka kenyataan tentang dirinya. Bahkan perjuangan Resistance mandeg gara-gara mereka takut pada kenyataan jumlah pasukan yang sedikit sehingga mengira tidak ada lagi yang mau bergabung dengan perjuangan mereka.

Takut pada diri sendiri membuat kita menciptakan sosok ideal yang bakal bertentangan dengan diri – seperti Kylo Ren, dan membuat kita tidak terbuka, tidak bebas, tidak bisa memberi dan menerima secara penuh – seperti Rey. Dengan kata lain, menghambat kemajuan. Kita tak kan bisa kabur dari perbuatan masa lalu, latar belakang, maka daripada meninggalkan diri sendiri, ambillah resiko seperti Poe. Karena jika dirimu disukai maka itu adalah karena itu memang dirimu sendiri, dan jika dirimu gagal maka kamu akan tahu persis titik mana dari dirimu yang harus diperbaiki.

 
Sayangnya tema tersebut tidak konsisten. Sehingga judul Rise of the Skywalker pun seperti reaching yang cukup jauh. Skywalker memang adalah keluarga yang jadi sorotan utama dalam dongeng Star Wars original, tapi pada film ini para Skywalker sejatinya adalah tokoh pendukung bagi tokoh utama yang non-Skywalker dalam perjalanannya menjadi ‘seorang’ Skywalker. Rey direveal memang bukan Skywalker dan di akhir dia mengadopsi nama Skywalker sebagai penghormatan buat Skywalker yang telah mengajarinya banyak hal tentang Force dan menjadi diri sendiri. Namun cara film menutup arc ini di ending malah tampak seperti menunjukkan Luke dan Leia adalah pasangan dan Rey adalah anak mereka – you know, like, selama ini yang dispekulasi oleh fans. Padahal ada cara lain yang lebih cocok dengan tema, dengan tokoh yang lebih cocok menyandang judul Rise of the Skywalker. Yakni Kylo Ren, alias Ben Solo yang berdarah Skywalker dari ibunya. Keseluruhan arc Kylo Ren di film ini adalah dia kembali kepada dirinya yang asli – yang Ben. Ada momen dramatis Kylo dengan Han Solo yang berlangsung dalam kepalanya, mereka ngobrol dengan dialog yang sama saat Kylo Ren membunuh ayahnya itu di Episode VII tapi dengan nada yang berbeda; adegan yang sangat pintar. Juga ada sedikit momen penyadaran yang melibatkan Kylo dengan ibunya. Film bisa saja menyatukan Ben dengan Rey, membuat nama Skywalker lebih natural berpindah. Hanya saja film lebih memilih untuk Rey mengenyahkan siapa dirinya setelah dia berani memikul siapa dirinya itu terlebih dahulu.

mungkin mereka sendiri bingung antara Skywalker dengan Jedi.

 
Melihat elemen cerita ini sebagai bigger picture – sebagai penutup dari trilogi – film ini sayang sekali terasa sangat random, semua yang terjadi di film ini tidak kohesif dengan yang sudah dibangun, bukan saja dari dua episode trilogi ini sebelumnya, bahkan juga dengan dua trilogi sebelum ini, alias enam episode Star Wars terdahulu. Rey diungkap sebagai seorang Palpatine, Emperor jahat yang jadi dalang di Star Wars terdahulu. Hal ini memang menarik, terlebih hardcore fans mungkin sudah ada yang bisa melihat kesamaan gaya bertarung Rey dengan Palpatine (sama-sama menggenggam lightsaber dengan kedua tangan dan mengayunkannya bersama berat seluruh tubuh). And it’s cool, menarik Rey ternyata adalah keturunan makhluk paling jahat di galaksi. Masalahnya adalah si Palpatine itu, yang sudah dibunuh oleh Darth Vader alias Anakin Skywalker, yang membuktikan kebenaran ramalan “seorang Skywalker akan mengembalikan keseimbangan Force”, dikembalikan oleh film ini. Dari sepuluh menit pertama kita diberitahu Palpatine masih hidup dan dia juga adalah (masih) dalang dari kejadian-kejadian di dua episode sebelumnya. Dan ini bego karena menegasi ramalan dan arc Skywalker dahulu, serta terlihat sebagai penulisan final yang begitu pemalas dan gak kreatif dan kayak sinetron.
Bahkan Dragon Ball Z aja ngerti gimana cara kerja dunia, jika satu tirani sudah kalah dan dunia memasuki masa damai, maka kedamaian tersebut cepat lambat bakal berakhir karena kemunculan tirani baru. Pada Episode VII sepertinya Star Wars sudah mulai memasuki tahap baru. Yah meskipun tokoh-tokoh dan kejadiannya kayak counterpart dari Episode original, tapi paling tidak kita melihat nama-nama baru. Kita diperkenalkan kepada Snoke, Supreme Leader baru. Episode VIII meginjak pedal gas perubahan itu lebih dalam lagi, semua yang kita duga dibuang, Snoke bahkan dihilangkan untuk kebangkitan musuh baru. Namun Episode IX memunculkan kembali Palpatine, ini adalah tirani yang sama dengan bertahun-tahun lalu, cara paling mudah dalam menyusun cerita ke ranah nostalgia, tidak perlu repot-repot mengikat cerita yang sudah diperluas (atau mungkin diperumit) oleh episode sebelumnya. J.J. Abrams seperti membuat sekuel buat episode VII, dengan memunculkan kembali elemen-elemen tidak ditonjolkan oleh Rian Johnson di episode VIII, dan gantian membuang yang udah dibuild up oleh Johnson.
Finn suddenly has ‘feelings’, Rey suddenly bisa heal dengan Force, dan Kylo Ren suddenly bisa perbaiki helm dengan teknik kintsugi

 
 
Ini kayak ketika aku dan teman-teman tim Lupus Reborn Jogja berniat bikin novel yang dikerjakan secara estafet per bab, kami hanya merumuskan tokoh tanpa ada garis besar perjalanan. Hasilnya setiap bab rasanya gak padu, ketika menulis aku susah payah menyambung ide dari bab sebelum aku dan ketika dilanjutkan, hasilnya enggak sesuai dan gak nyambung lagi. Atau kayak serial yang setiap episodenya disutradarai oleh orang yang berbeda-beda. Contoh paling epik adalah American Horor Story 1984 tahun ini; sedari beberapa episode terakhir mereka seolah ngebangun ke konser musik yang bakal berdarah-darah, tapi ternyata di episode finale, konser itu enggak ada – malah lompat ke masa depan, dengan banyak eksposisi tentang konser tersebut. Episode IX ini jatoh mengecewakan seperti itu, dia tidak terasa benar-benar menyambung Episode VIII, melainkan seperti membenarkan yang salah. Membenarkan dengan acuan kesenangan fans.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh Martin Scorsese sebagai film yang hanya serupa wahana taman hiburan. Rise of the Skywalker disibukkan oleh keinginannya memenuhi keinginan dan hiburan fans. Film ini hanya spectacle besar – it’s being real good at it. Banyak adegan yang benar-benar wah kayak duel Rey dengan Kylo di atas bangkai spaceship dengan latar laut berombak, itu keren gila. Tapi dari segi cerita, film ini banyak lemahnya dan sangat terasa maksain. Atau mungkin, sebagai pembelaan, film ini diubah karena wafatnya Carrie Fisher yang berperan sebagai Leia; salah satu dari tiga trio original. Episode VII adalah tentang Han Solo. Episode VIII adalah tentang Luke. Dan IX ini seharusnya tentang Leia. Kenyataannya, Carrie meninggal. Film ini menggunakan stok adegan-adegan Carrie Fisher sebagai Leia yang enggak dipake dari dua episode terdahulu, dan mereka merancang adegan dari sana. Beberapa mulus, namun sebagian besar adegan Leia tampak aneh. Makanya di film ini peran Leia penting tapi screentimenya sedikit. Penyesuaian yang mereka lakukan, supaya aman, ya naturally akan didasarkan kepada kesenangan fans.
 
 
Oh please, jangan khawatir sama beberapa spoiler di sini. Filmnya sendiri juga enggak peduli sama cerita dan kesinambungan. Mereka hanya ingin kita menonton ini dan terhibur oleh petualangan dan aksi di tempat-tempat paling seru di galaksi. Fans will love this because of it. Film juga menyisipkan banyak reference dan easter egg dari episode-episode terdahulu sehingga nontonnya memang terasa seru. Namun untuk sebuah cerita yang mengangkat soal tidak takut kepada diri sendiri, film ini tidak punya nyali mengetahui ke arah mana dia akan menjadi. Sehingga mereka membelokkan dan mengabaikan dirinya sendiri di masa lampau.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF THE SKYWALKER

JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review

“Life was meant for big adventures and good friends”
 

 
Saat sekuel dari video game yang kita suka rilis, kita excited mengharapkannya punya konsep yang familiar, punya karakter yang sudah kita kenal, namun dengan level-level yang lebih luas dan lebih menantang. Jumanji: The Next Level persis seperti demikian. Film ini hadir dengan konsep dan rule yang kurang lebih sama dengan film sebelumnya, Jumanji: Welcome to the Jungle (2017). Karakter-karakter yang sudah sukses menghibur kita, baik karakter ‘asli’ maupun karakter avatar (in-game) mereka, semua hadir kembali. Dengan petualangan, cerita, dan bahkan pemeranan yang dinaikkan levelnya. It is more… wild!
Geng Spencer kini hidup di kota yang berbeda-beda. Persahabatan mereka mungkin masih seerat dahulu – bersama-sama menempuh petualangan hidup-mati dalam dunia video game akan cenderung membuatmu akrab dengan temanmu – namun selayaknya anak remaja, LDR mau tidak mau membuat Spencer insecure. Ia canggung bertemu dengan Martha. Jadi ketika liburan natal ini geng mereka sepakat pulkam dan temu-kangen di kafe bekas kepunyaan kakek Spencer, pemuda ini semakin galau. Dia merasa perlu untuk mengumpulkan kepercayaan diri dengan… menjadi Dr. Bravestone lagi. Spencer nekat masuk ke dalam video game Jumanji yang sudah rusak itu seorang diri. Martha, Bethany, dan Fridge yang mencemaskan Spencer mencoba menyusul. Membantu Spencer menyelesaikan game berbahaya yang sudah pernah mereka tuntaskan. Namun kerusakan Jumanji membawa kekacauan. Mereka masuk ke dunia Jumanji secara random; as in Kakek Spencer yang grumpy, Eddie, dan mantan sahabatnya yang ngeselin, Milo, terseret ikut bermain alih-alih Bethany yang tertinggal di rumah. Dan dunia game di dalam Jumanji yang harus mereka ‘kalahkan’ kali ini; totally dunia yang berbeda. Dunia yang jauh lebih luas dan lebih berbahaya ketimbang sekadar hutan belantara.

“At least, that time I was still black” Jangan ngeluh dong, kamu Jack BLACK sekarang

 
Yang paling lucu dan menarik dari konsep Jumanji modern adalah pemeranannya. Di dalam dunia game, mereka punya tubuh yang berbeda, tapi sangat sesuai dan dengan tepat mencerminkan keunggulan dan kelemahan pribadi masing-masing. Para aktor yang memerankan tubuh dalam-game tokoh film ini – disebut avatar – mendapat tantangan untuk bermain di luar kebiasaan, misalnya Jack Black yang memerankan seorang gadis stereotype dumb-blonde yang terjebak dalam tubuh pria urakan tambun yang jago baca peta. Komedi sebagian besar memang datang dari sini. Dan pada Jumanji: The Next Level soal avatar ini semakin kocak lagi, karena sangat random. The Rock Dwayne Johnson kocak parah ketika dia harus memerankan kakek-kakek sakit pinggang yang mendadak punya tubuh begitu kuat dan segar bugar. Dia memainkan Danny DeVito yang jadi kakek cranky yang terjebak di tubuh pria berotot. Sejak hari-hari emasnya di ring gulat, sisi komedi terbaik The Rock selalu adalah bermimik pongah, dengan permainan suara saat talk-trash ke orang-orang. Dalam Jumanji baru ini, Rock kembali dapat kesempatan untuk menggali sisi komedinya tersebut. Jack Black kebagian peran yang annoying, tapi penguasaan komedinya membuat segala keluh kesah yang ia lontarkan jadi pancingan dan punchline yang kuat. Karen Gillan tidak banyak mendapat perubahan – remaja yang masuk ke tokoh avatarnya masih tetap remaja yang sama dengan film pertama. Namun bukan berarti itu karena Gillan tidak punya range akting sebaik lawan mainnya. Gillan diberi satu adegan menjadi ‘tokoh lain’, dan dia memerankan peran komedi itu dengan flawless.
Aku masih ingat menuliskan “Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart.”  pada ulasan film pertama, sebab memang yang paling boring adalah Kevin Hart karena dia practically memainkan dirinya sendiri, leluconnya selalu sama di mana pun ia berada; selalu mengejek fisik dirinya sendiri. This is not the case pada film kedua. Hart menjadi Danny Glover, dia seperti memparodikan gaya bicara tokoh Glover yang begitu lamban. Ini fresh untuk ukuran komedi Hart. Tek-tokan dia dengan The Rock jadi pemancing gelak utama. Tokoh Milo yang bersemayam di avatar Hart punya hubungan persahabatan yang menarik dengan Eddie yang di dalam Bravestone The Rock. Mereka dulu partner dan sekarang Eddie bahkan tidak sudi ngobrol dengan Milo. Bukan hanya komedi, drama berhati pun hadir dari interaksi mereka. Surprise performance buatku datang dari Awkwafina. Aku bahkan gak tahu sebelumnya bahwa dia bermain di film ini – aku gak lihat trailer dan materi promosi. Bikin terenyuh di The Farewell (2019), Awkwafina kembali menunjukkan taring di zona nyamannya, yakni komedi. Dia juga dapat dua lapis akting, dan perannya yang paling kocak adalah ketika avatarnya dimasuki oleh… ah, kupikir ini bakal jadi spoiler jadi baiknya kalimat itu tidak kulanjutkan. Nick Jonas juga kembali kebagian peran, and he’s the weakest link, yang paling bosenin di antara semua kerusuhan positif tadi.

Petualangan dalam dunia Jumanji mengajarkan pada tokoh-tokoh untuk melihat kelemahan dan kekuatan rekan tim mereka. Jika kita punya masalah dengan sahabat, habiskanlah waktu lebih banyak bersama mereka. Utarakan maksud, utarakan arah. Cari tahu kembali apa yang membuat kita saling dekat pada awalnya. 

 
Sebenarnya bukan cuma Kevin Hart, ada beberapa perbaikan lain yang dilakukan oleh film ini. Aku kutip lagi kekurangan film pertama terkait perspekif ‘cutscene video game’ yang kutulis di review: “Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya.” Dalam film kedua, tidak ada lagi cutscene seperti begitu. Perspektif dibuat setia, dari tokoh-tokoh yang sedang menghidupi video game, kita tidak lagi melihat adegan yang tidak dilihat oleh para tokohnya. Kemudian berkaitan dengan avatar dan pesan film; aku di review film pertama menuliskan: “Maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.” Di film kedua ini, mereka semua pakai nama asli tokohnya. Tokoh yang diperankan The Rock hanya beberapa kali di-refer sebagai Bravestone, dan nama avatar Awkwafina disebutkan sebagai device komedi. Jadi, film kedua ini benar-benar berusaha untuk menjadi lebih baik daripada film pertama. Setidaknya kekurangan pada film pertama yang aku tulis tidak lagi ditemukan pada sekuel ini.

Hayo kalian baca reviewku ya?

 
Untuk urusan visual, film ini tampak lebih mahal. Duit keuntungan box office mereka yang luar biasa tahun lalu menunjukkan efeknya di departemen ini. CGI dan efek komputernya terlihat lebih luwes dan meyakinkan. Adegan-adegan aksi juga lebih menegangkan. Tokoh-tokoh kita banyak dikejar-kejar, dengan ‘panggung’ yang bervariasi. Mulai dari gurun pasir hingga serangkaian jembatan gantung. Konsep nyawa video game – mereka masing-masing punya tiga nyawa yang berarti cuma punya tiga kali kesempatan untuk ‘mengacau’ – dibuat lebih berbobot daripada sekadar stake yang menambah ketegangan cerita. Ada kalimat yang aku suka sekali di film ini yakni nasehat kakek kepada Spencer “Don’t lose everything when you fail. You still got a life.” Benar-benar merefleksikan keadaan mereka, mengingatkan untuk tidak down ketika gagal karena kesempatan masih ada. Apalagi jika masih muda.

Actually, bukan masalah masih muda atau sudah tua. Kakek Spencer, Eddie, pada awalnya begitu cranky karena dia merasa tua, waktunya sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk berubah. But there’s still a life. Menjadi tua berarti masih ada waktu. Untuk bertualang. Untuk stage yang berikutnya. Dia masih punya kesempatan memperbaiki hidup yang sama besar dengan kesempatan cucunya.

 
 
Segala excitement film ini terasa mengempis pada babak terakhir, saat film memutuskan untuk mengembalikan mereka ke kondisi semula – ke kondisi film pertama. Ini adalah keputusan terburuk yang diambil oleh sutradara Jake Kasdan sepanjang durasi film. Kita melihat begitu banyak hal segar, dan kemudian dia seolah membuat kita menonton kembali film pertama. Karen Gillan kembali menari sambil berkelahi. The Rock kembali memerankan tokoh laga serba bisa yang baik hati alias boring. Also, pertarungan bossnya benar-benar lemah. Film mengembalikan mereka seperti pada film pertama seolah film tidak mampu mencari jalan keluar yang baru. Para tokoh seharusnya belajar meng-embrace avatar mereka, seperti yang sudah berhasil mereka lakukan pada film sebelumnya. I mean, kalo kita main video game, kita toh harus mampu mengendalikan banyak tokoh – enggak hanya melulu memainkan satu tokoh yang sama.
Empat avatar ini sejatinya masih sama, yang berbeda hanya ‘jiwa’ yang menghidupi mereka. Aksi dan tantangan sebelum babak terakhir menarik karena kita melihat pendekatan berbeda yang diambil oleh ‘jiwa’ yang memasuki avatar tersebut. Lebih menarik melihat ini, bahkan ketimbang melihat trait baru yang ditambahkan oleh film yang malah membuat tokoh-tokoh dan rintangan seperti terprogram. Malahan ada satu yang gak benar-benar ter-establish, yakni kemampuan berbicara dengan hewan. Yang sepertinya hanya bekerja pada hewan tertentu karena mereka tetap saja dikejar-kejar oleh burung unta, kera mandril, dan kuda nil. Kenapa tidak bernegoisasi saja dengan hewan-hewan buas tersebut.
Selain arc tokoh Danny DeVito, arc tokoh-tokoh yang lain terasa sama saja dengan arc mereka pada film pertama. Namun ada satu tokoh yang arc-nya benar-benar mencengangkan, dan film mengabaikan begitu saja konsekuensi dunia nyata dari pilihan yang diambil oleh tokoh tersebut.
 
 
 
Sebagai sekuel, film ini sukses terasa lebih besar dan lebih heboh daripada film pertamanya. Dan memang beginilah seharusnya sebuah level adventure yang baru. Tokoh-tokoh yang familiar, tapi dengan rintangan yang baru, dan penambahan yang memang berarti. Film pun berusaha menjadi lebih baik, dia memperbaiki kesalahan terdahulu. Memperkuat keunggulan dan keunikan yang sudah dimantapkan. Namun pilihan di akhir film benar-benar fatal. Para tokoh dan arc mereka terasa sama lagi dengan film yang lalu. Sehingga babak akhir jadi jatuh membosankan. Keasikan nonton ini bakal tergantung masing-masing; jika kalian lebih suka film yang babak akhirnya strong, film akan sedikit mengecewakan namun bakal segera terpulihkan karena di akhir banget ada teaser yang menggugah nostalgia. Jika kalian enggak begitu mempermasalahkan, film ini akan jadi hiburan dari awal sampai selesai.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for JUMANJI: THE NEXT LEVEL.

THE NIGHTINGALE Review

“In tragedy, empathy still dependent of proximity”
 

 
Belum lama ini, peringatan kemerdekaan negara kita sempat tercoreng oleh peristiwa berwarna rasisme yang terjadi pada sekelompok mahasiswa asal Papua di Surabaya, yang berbuntut panjang. Aku bukannya bilang film The Nightingale menggambarkan peristiwa yang sama persis, tapi yang digambarkan oleh drama period piece yang berlokasi di Pulau Tasmania, Australia ini – yakni arogansi sosial yang berakar pada kolonisasi – kurang lebih mirip dengan yang kita temukan pada lingkungan modern. Jika pemuda Papua dihardik monyet oleh aparat, maka bangsa Aborigin dalam The Nightingale dipanggil “Boy!” Namun bukan dalam artian sebagai anak kecil, melainkan ‘boy’ yang berarti panggilan kepada binatang ternak/binatang peliharaan.
Clare, tokoh utama kita, berkulit putih – tapi ia tak bernasib lebih baik. Sedikit, karena dia adalah pendatang tawanan. Dan sebagian besar karena dia adalah wanita. Clare memang tidak dipanggil ‘Boy’, tapi bagi serdadu Inggris dia tak lebih dari sekadar burung penyanyi (nightingale adalah burung bulbul yang bersuara merdu). Clare adalah properti bagi Letnan Inggris yang membawanya ke Tasmania. Nasib Clare tak berbeda dari Billy, ‘orang hitam’ yang ia sewa untuk mencari jejak si Letnan Inggris yang menyisir hutan bersama orang-orangnya menuju ke kota, satu hari setelah menghancurkan keluarga Clare, dan membiarkan wanita itu mati.

oke sekarang aku pengen melihat Nightingale melawan Mockingjay

 
The Nightingale punya intensi seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) tapi dengan pengembangan seperti Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017). Bermula seperti sebuah cerita balas dendam perempuan, film ini lantas membuka dengan suara yang menarik. Nafsu membalas itu dapat kita rasakan perlahan sirna; segala kekerasan yang diwariskan di antara kelompok kulit putih penjajah, segala diskriminasi dan pelecehan, bahkan ketidakpedulian terhadap lingkungan, semua ‘kejahatan’ yang ingin dibetulkan oleh aksi Clare itu tampak tidak penting lagi. Bukan lantaran hal-hal tersebut perlahan membaik, ataupun karena Clare menjadi takut, melainkan sepanjang perjalanan yang ia lalui bersama Billy, ia menjadi punya sesuatu yang baru untuk dilihat – untuk dipertimbangkan. Gagasan yang ingin diangkat oleh sutradara Jennifer Kent tidak sesederhana kejahatan akan mendapat balasan. Tidak, karena kekerasan yang akan berbuntut pada kekerasan hanya akan membentuk lingkaran setan kehancuran manusia yang akan terus bergulir. Kent justru mengangkat pertanyaan ‘bagaimana jika cara lain di luar balas dendam’. Dan terutama, ‘masihkah kemanusiaan itu akan ada di dunia yang penuh dengan kekerasan’.

Sakit itu tentu masih terasa. Lukanya bahkan mungkin tidak akan pernah sembuh. Alih-alih saling membalas sehingga orang merasakan sakit yang kita derita, mungkin jawaban dari semua itu adalah mendekat untuk merasakan sakit yang orang derita. Saling berempati. Sehingga kita merasakan kesamaan dengan orang  di sekitar kita, tidak peduli warna kulit, dan agama mereka.

 
Meskipun cerita mengambil tempat pada tahun 1825, saat The Black War berkecamuk di Tasmania; menjadikan jalan-jalan di pedalaman Tasmania sangat berbahaya karena tensi yang begitu tinggi antara serdadu kolonial Inggris dengan penduduk lokal yang semakin tersingkir dan diperlakukan tidak manusiawi, The Nightingale terasa seperti berita yang kita temukan di internet tadi pagi. Segala yang kita rasakan saat menonton peristiwa naas demi peristiwa naas di film ini begitu relevan.  Menyaksikan setiap frame film ini seperti menyaksikan kejadian asli. The Nightingale baru film panjang kedua Jennifer Kent (sebelumnya adalah The Babadook yang super-seram tentang grief seorang ibu beranak satu itu), tapi sutradara yang satu ini sangat bernyali.
Film ini disajikan olehnya dengan begitu disturbing. Banyak adegan kekerasan, mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, hingga sesuatu yang keji yang dilakukan kepada anak keci, yang ditampilkan tanpa tedeng aling-aling. Supaya kita semua tahu betapa mengerikannya perilaku penjajah. Namun aspek tersebut tidak pernah dialamatkan sebagai gimmick semata. Kekerasannya tidak sebagai pengalih perhatian kita dari cerita yang hampa – ya, aku menyindirmu, wahai Perempuan Tanah Jahanam (2019) – ini tak pelak adalah salah satu film paling kompleks, paling menyakitkan untuk ditonton beberapa tahun terakhir. Bukan kekerasannya yang menarik perhatian kita. Melainkan setiap keputusan-sulit yang harus diambil oleh karakter, yang memaksa skenario untuk maju, yang membuat film semakin menarik untuk kita ikuti. Ada simbol-simbol menyejukkan yang digunakan oleh film sebagai counter dari elemen disturbing ini. Yang akan membuat kita terdistract dan berusaha memahami makna burung yang jelas-jelas dijadikan metafora, nyanyian, bahkan landscape dari belantara itu sendiri.

untung gak ada yang suka burung gagak, jadi kita selamat dari mendengar ‘entah apa yang merasukimu’

 
Mengingat betapa kerasnya film ini, kita hanya bisa membayangkan berat dan konflik moral yang harus dilewati oleh para aktornya. Tidak mungkin mereka enggak mendapat bimbingan atau konseling dari psikolog setelah memainkan beberapa adegan yang sangat brutal tersebut. Karena mereka memainkan peran dengan begitu… nyata. Tidak sedetik pun aku merasa melihat seseorang yang pura-pura jadi orang jahat atau orang teraniaya. Baykali Ganambarr yang main sebagai Billy, this is just his first feature, tapi tampak begitu natural. Kita tidak pernah melihatnya sebagai kaku dan dingin walaupun tokohnya memang diniatkan canggung dan ‘berjarak’ pada awalnya dengan tokoh utama. Peran yang cukup tricky lagi adalah sebagai antagonis – letnan Inggris – yang jahat dan nyebelin. Peran ini ditangani oleh Sam Claflin, truly like a pro. Meskipun tokohnya ini nyaris satu-dimensi tapi kita tetap mendengarkan semua gagasannya, kita pelototin semua perbuatannya, dan kita sungguh-sungguh benci padanya, seperti, kita sudah melakukan suatu hal yang tepat dengan membencinya sehingga kita justru tidak ingin dia melakukan hal yang mengkhianati ‘kejahatannya’. Claflin tidak terjebak ke dalam karakter over-the-top. Dia juga tidak tampak seperti sedang berakting. Dia memainkan adegan-adegan yang sangat ‘mengganggu’ dengan keotentikan seseorang yang harus bertindak jahat  demi menunjukkan powernya. Claflin sangat sukses memainkan tokoh antagonis yang sebegitu jahatnya kita suka untuk membencinya.
Sedangkan tokoh utama kita, Clare, diperankan oleh Aisling Franciosi yang memberikan salah satu permainan peran paling menyayat hati tahun ini. Karakternya benar-benar menempuh perjalanan yang ekstrim, secara emosional. Bayangkan grafik yang bergelombang naik dan turun, nah pada setiap titik terendah menuju ke atas dan setiap titik tertinggi menukik ke bawah; di situlah saat akting Franciosi terasa sangat fenomenal. Sehingga emosi Clare tak mencuat dibuat-buat, melainkan benar-benar bersumber dari kesakitan yang teramat kita pahami. Pretty much, setelah semua yang ia lalui di awal cerita, Clare PTSD, dan sentuhan yang diberikan oleh Franciosi benar-benar hormat kepada PTSD itu sendiri; yang tak tereksploitasi secara berlebihan.
Sayangnya, ada beberapa kali kita terlepas dari tokoh Clare. Tepatnya pada saat adegan-adegan mimpi. Inilah yang menurutku merupakan sedikit kelemahan dari The Nightingale. Aku bisa mengerti durasi dan temponya yang cukup lambat. Aku bisa paham kenapa babak ketiga seperti mengulur-ngulur waktu menuju peristiwa yang sudah kita nantikan dengan geram. Tapi penggunaan adegan mimpi dalam film ini; sebenarnya bisa dimengerti juga kepentingan adegan-adegan tersebut. Film ingin menunjukkan progres batin Clare, dari dia takut sebagai korban berubah menjadi gentar karena nun jauh di balik hatinya dia balik merasa dirinya bersalah.  Adegan film ini juga jadi ruang untuk mengembalikan sang sutradara ke habitat semula; ke ranah horor. Dalam film pertamanya, The Babadook, yang notabene film horor juga banyak menampilkan adegan mimpi. Dalam The Nightningale juga sama. Peristiwa-peristiwa yang tergambar dalam adegan mimpi tersebut semuanya mengerikan.  Banyak, katakanlah hantu, yang kadang muncul dengan wajah seram. Hanya saja yang jadi masalah adalah repetitifnya adegan-adegan mimpi itu terasa. Strukturnya selalu sama. Semuanya berakhir dengan kemunculan sosok yang paling seram, Clare yang tadi berjalan (atau berlari) terbelalak, dan kemudian dibangunkan. Adegan mimpi yang jumlahnya lumayan banyak ini jadi tak-kejutan lagi, jadi tertebak, sehingga malah seperti lebih kuat berfungsi sebagai transisi – atau bahkan; jeda iklan – ketimbang pandangan mendalam dari psikologis Clare.
 
 
 
 
Jennifer Kent membingkai kebrutalan penjajahan, menghidangkan kekerasan terhadap wanita, anak-anak, dan minoritas, tapi berhasil mengakhiri cerita tersebut dengan mengambil cara yang spesial. Ia memancing kita untuk melihat ke dalam. Tidak menjawab langsung, melainkan memberi kita jarak untuk mempertimbangkan. Ada masa ketika kita tidak sejalan dengan tokoh utamanya, yang tidak sepenuhnya kesalahan pada film. Melainkan ‘kesalahan’ kita yang telat untuk berubah, seperti tokohnya berubah. Film ini keras, susah untuk disaksikan karena kontennya yang no holds barred, namun merupakan salah satu film terpenting bagi siapapun yang ingin merasakan kemanusiaan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE NIGHTINGALE

 
 

MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL Review

“Unity does not mean sameness”
 

 
Maleficent yang dibuat tahun 2014 merupakan remake live-action animasi klasik Disney yang berani untuk menjadi berbeda. Tidak sekadar menceritakan ulang (atau menyuruh kita menonton hal yang sama pada dua kali hanya untuk perbedaan medium visual). Namun actually menghadirkan sudut pandang yang baru. Film tersebut punya ceritanya sendiri; bahkan membuat twist bahwa film animasi yang kita tonton sebelumnya ternyata ‘salah’. Si Maleficent, salah satu villain paling legendaris dan disegani sejagad Disney, ternyata enggak sejahat itu. Adalah ciumannya yang membangunkan Aurora, alih-alih ciuman pangeran. Memang beginilah seharusnya remake live-action atau remake pada umumnya) dibuat. Berbeda. Dan mengambil resiko. Sekuel dari Maleficent – Mistress of Evil – kali ini mengambil resiko yang lebih besar. It’s an entirely new story. Namun tampaknya resiko yang diambil oleh film kali ini terlalu besar untuk kebaikannya sendiri.
Peri penyihir bertulang pipi menonjol dan bersayap serupa kelelawar gede itu ternyata masih ditakuti oleh manusia. Rumor prestasi-prestasi jahatnya masih beredar di kerajaan manusia sebagai gosip. Dan lambat laun berubah menjadi mitos. Padahal Maleficent dan Aurora hidup serba berkasih sayang di kerajaan mereka di hutan, damai dan ceria bersama bangsa peri beraneka rupa. Inciting incident datang kepada Maleficent berupa Aurora dipinang oleh Pangeran Philip. Anak asuhnya yang punya senyum paling menceriakan tersebut bakal segera menikah. Maka Maleficent dan Aurora diundang ke kerajaan Philip, bertemu raja dan ratu calon besannya. Jamuan makan malam yang awkward dengan cepat menjadi intens lantaran terjadi seteru antara Maleficent dengan Ratu Ingrith. Raja pun kemudian tiba-tiba roboh dari kursinya, tertidur bagai mati. Semua mata tertuju kepada Maleficent yang sedari tadi berusaha keras untuk menjaga sikap terbaiknya. Pandangan Aurora yang bingung diartikannya sebagai pandangan menuduh, maka Maleficent pun terbang pergi dari sana. Tapi tidak berapa jauh sebelum peluru besi kelemahan bangsa peri ditembakkan menembus badannya oleh prajurit istana.

My Mom is a Heel Fairy

 
Dinamika antara Maleficent dengan Aurora seharusnya dibiarkan menjadi fokus utama. Ada lahan baru untuk digali dari Aurora yang mengetahui ibu-asuhnya tersebut masih dianggap jahat oleh sebagian besar manusia. Ada drama ibu anak yang bisa dipanen dari sana. Momen-momen terindah film ini datang dari Maleficent berusaha tampak baik – atau setidaknya tidak tampak berbahaya – demi Auroranya tercinta. Maleficent dari luar memang masih membuat setiap mata yang melihatnya gentar. Presence Angelina Jolie benar-benar pas dalam menghidupkan tokoh ini. She’s so fierce we would automatically adore her. Penampilannya hitam menjulang. Belum lama di layar dia sudah mengancam kita untuk tidak mengganggu paginya. Maleficent bermula sebagai seorang tokoh jahat. Di film pertama, seiring berjalannya waktu detil-detil tentang dirinya semakin terungkap dan pandangan kita berubah melihat dia sebagai seorang yang baik. Karena diapun perlahan mengubah diri untuk menjadi baik. Jadi meskipun seorang villain, cerita Maleficent tidak pernah cerita tentang  berbuat jahat – tidak seperti Joker (2019). Kemisteriusan Maleficent diberikan sisi humanis pada film pertama. Pada film kedua ini, meskipun judulnya literally berarti Nyonya Kejahatan, kita tidak akan pernah lagi memandang dia sebagai penyihir hitam yang berbuat baik demi anaknya.
Yang kita lihat di sini adalah Maleficent sebagai penyihir yang dijudge jahat karena punya tanduk, sayap, dan taring. There’s actually an antagonist to her protagonist this time. Antagonis yang benar-benar plek jahat. Jadi judul film ini bukan tentang si Maleficent. Film ini dibuat fokus ke kontras antara ratu putih berhati hitam dengan penyihir hitam yang sudah ditetapkan dari film sebelumnya berhati cukup putih. Dan segitulah kesubtilan hitam-putih karakter yang dipunya oleh film ini. Sebenarnya masih bisa dibuat bagus, meskipun film ternyata bermain di level untuk anak-anak. Namun yang film ini lakukan kepada tokoh Maleficent itu sendiri merupakan apa yang aku takutkan yang sempat aku bicarakan soal tokoh villain pada review Joker. Kita tidak perlu diberikan backstory yang terlalu jauh karena akan mengurangi kemisteriusan si tokoh. Kita tidak diharapkan untuk menjadi terlalu dekat dan merelasikan diri dengan tokoh penjahat. Joker pada akhirnya tidak melakukan hal tersebut, karena akan berbahaya jika kita justru menganggap dia sebagai pahlawan. Pada Maleficent di film ini, aku paham pada kebutuhan untuk membuatnya sebagai hero karena di sini dimunculkan tokoh jahat lain. Tetapi mereka juga menelanjanginya dari kemisteriusan dan keunikan Maleficent dalam proses membuatnya tampak semakin manusiawi. Sebagian besar babak kedua adalah eksposisi yang menjelaskan bahwa ternyata Maleficent bukanlah satu-satunya di dunia. Kita akan dibawa mengikuti dirinya menemukan bangsa Fey – keluarga serumpun baginya – yang terasing karena dianggap menakutkan oleh manusia. Jadi dia tidak jahat, dia tidak unik, Maleficent setelah film ini hanya punya sihir CGI untuk membuatnya menarik.
Sebaliknya Elle Fanning mendapat banyak kesempatan untuk lebih aktif sebagai putri, dia tampak cukup tegas. Kritik terbesar yang konstan diberikan kepada Disney klasik adalah mereka membuat para princess tak lebih sebagai bucin. Wanita yang butuh kehadiran pria sebagai penyelamat dan penyokong diri. Aurora dalam film ini bukan lagi helpless, tertidur untuk diselamatkan. Ia dapat menjadi role model yang kuat bagi remaja cewek karena mengajarkan secara langsung menghormati orang tua – bahkan jika bukan orangtua kandung – dan tidak melupakan teman-teman. Aurora tidak diperlihatkan sebagai contoh stockholm syndrom – yang bersimpati pada siapapun ‘penculik’nya. Cintanya kepada Maleficent adalah genuine, dan dia juga diberikan pilihan untuk mengambil keberpihakan.

Pernikahan seharusnya mempersatukan, bukannya menyamakan atau malah memisahkan.  Dalam satu keluarga, kita bakal bisa saja berbeda pendapat dengan anggota keluarga lain – tapi bertengkar bukan satu-satunya jalan keluar mutlak; seberapa pun ‘sakit’nya. Film ini menyugestikan jikapun konfrontasi diperlukan, maka kita bisa mengharapkan kedamaian hadir dari ‘abu peperangan’. 

 
 
Aurora bisa jadi adalah salah satu hal bagus yang dipunya oleh film ini. Karena, ingat ketika aku bilang film ini punya moral begitu simpel sehingga tampak ditujukan untuk anak kecil? Well, sutradara Joachim Ronning punya arahan yang aneh untuk membuat ini sebagai film anak-anak. Sebab dia praktisnya sama saja dengan mengarahkan film ini tampil mirip seperti Game of Throne.

Perempuan Tanah Jahanam

 
Politik. Perebutan kekuasan. Perang. Itulah yang menjadi fokus sebenarnya pada Maleficent: Mistress of Evil. Pembunuhan besar-besaran bangsa peri. Ratu yang penuh intrik. Ledakan-ledakan bubuk besi dan material dongeng. Aku nulis dengan kalimat-kalimat pendek untuk menunjukkan betapa simpelnya film ini. Kata perang dan kata simpel tidak seharusnya untuk berada dalam satu konteksnya yang sama. Namun justru itulah yang dijadikan jualan utama oleh film ini. Tokoh Ratu Ingrith yang diperankan oleh Michelle Pfeiffer itu bahkan tidak diberikan motivasi yang kuat. Kenapa dia begitu benci sama bangsa peri. Apa alasan perang itu terjadi. Menikahkan anaknya dengan Aurora berarti mempersatukan manusia dengan bangsa peri; itulah yang ia tolak. Hanya saja motivasi dari penolakan itu tidak benar-benar jelas selain sebagai alat untuk memungkinkan terjadinya perang. Satu-satunya jawaban yang diperlihatkan film ternyata cukup komikal. Ingrith alergi bunga. Jadi kupikir keseluruhan film ini bekerja karena Ingrith enggak tahan dengan bunga-bunga yang bakal dibawa oleh bangsa peri. Dia menyebarkan ketakutan kepada manusia karena hal tersebut. Mungkin penjahat sebenarnya bukanlah Ingrith. Melainkan produser yang kerap menginginkan ada perang simpel pada film anak-anak; seri remake Alice in Wonderland, The Nutcracker and the Four Realms (2018), Oz the Great and Powerful (2013), empat film ini punya kesamaan yakni sama-sama ‘dirusakkan’ oleh hobinya memasukkan adegan perang yang hanya berdasarkan hitam-putih yang sederhana.
Philip yang ‘kehilangan’ ibu karena perbedaan pendapat dan berperang, orang-orang yang jadi korban karena penguasa mengendalikan mereka lewat ketakutan, makhluk-makhluk sihir yang diberangus hanya karena manusia tak suka dengan tampang mereka, semua itu tau ubahnya kepulan asap bagi cerita. Kita lihat dan kemudian menghilang. Betapa mudahnya perhatian kita teralihkan oleh visual cantik dari makhluk-makhluk sihir yang berseliweran mengisi layar. Pada satu titik, kita bahkan melihat petualang peri imut seperti Sonic. Film memperlihatkan tapi tak pernah sampai ke titik eksplorasi. Dialog tentang ‘using fear to control’ seperti tersia-siakan. Semuanya berakhir dengan nada bercanda sehingga film semakin terasa tak berbuat apa-apa terhadap gagasan soal perbedaan – dua spesies yang berperang di sini bisa dimaknai sebagai dua golongan ras, atau malah dua pandangan politik – yang mereka angkat.
 
 
 
Kali ini, film tidak benar-benar meneruskan pilihan kreatif yang ia ambil. Elemen perang yang dihadirkan tidak mendapat kedalaman yang cukup, malahan tampil begitu satu dimensi. Film memastikan manusia sebagai penyerang pertama. Ratu yang dibuat murni jahat untuk alasan yang gak jelas, atau malah konyol tergantung darimana kita melihat. Keunikan sosok tokoh utamanya pun terpaksa dikorbankan. Menonton ini seperti menyaksikan bola api yang besar, visualnya bisa cantik tapi di dalam sana adalah hot-mess, sayangnya kita gak mungkin mengharapkan ada cerita yang lebih bagus hadir dari abunya nanti. There’s no bounce back dari tokoh yang udah kehilangan keunikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL

 

THE PEANUT BUTTER FALCON Review

“No one has ever made himself great by showing how small someone else is” 
 
,
 
Pernahkah kalian mencurahkan keinginan kalian – membagi impian kalian – kepada orang, tapi lantas dipatahkan oleh mereka lewat saran yang jelas-jelas tidak mendukung atau malah menyepelekan? like, “Hei aku mau buka warung es kri-” “EMANGNYA JUALAN GAMPANG!?” Well, kisah dua orang ‘buronan’ yang saling bertemu dalam The Peanut Butter Falcon akan memberikan tiupan angin semangat yang manis kepada kalian yang pernah mendapat perlakuan seperti demikian. Atau mungkin kalian merasa bersalah karena pernah melepehin mimpi orang lain. Karena perjalanan dua ‘buron’ dalam film ini sarat oleh pesan untuk mengisi hidup sepenuhnya dengan mengejar mimpi.
Dua tokoh yang jadi representasi dalam cerita yang bertempat di desa kecil di pinggiran North Carolina ini adalah Tyler, seorang pemuda yang berubah menjadi pencuri kepiting tangkapan lantaran dia kehilangan pegangan sejak kematian sang abang. Tyler diburu oleh nelayan yang ia bakar peralatan pancingnya; Tyler benar-benar tak tahu harus berbuat apa dalam hidupnya. Sampai dia bertemu dengan tokoh satu lagi, yakni Zak. Berusia 22 tahun, Zak menghabiskan sebagian besar hidupnya tinggal dalam lingkungan panti jompo – menonton video kaset gulat jadul, karena di tempat seperti itulah orang-orang berpengidap Down Syndrome yang tak berkeluarga dipelihara oleh negara. Zak kabur dari panti, ia pengen ke sekolah gulat buatan pegulat idolanya mengajar. Merasa sama-sama buron dan kesepian, Tyler setuju untuk bukan saja menjadi teman seperjalanan buat Zak, tapi juga membimbing Zak. Mengajarkannya berenang, menikmati hidup alih-alih mengurungnya. Mereka berlayar bersama, menempuh bahaya bersama. Mereka saling menjaga dan mendukung masing-masing.

satu lagi film bagus yang berhubungan dengan wrestling di tahun 2019

 
Persahabatan antara Tyler dan Zak yang bertumbuh inilah yang terangkum dengan indah. Karena film ini sangat hormat kepada karakter-karakternya. Ada sedikit komentar tentang ‘orang baik’ dan ‘orang jahat’ yang dibahas oleh film ini, regarding tokoh Tyler sehingga kita tidak serta merta memasukkan tokoh ini ke dalam kotak. Penghormatan terlihat paling jelas pada perlakuan film ini kepada Zak. Aku rada males nonton film-film dengan tokoh disabled karena biasanya tokoh-tokoh tersebut diperankan oleh aktor yang tak-bercacat dan mereka hanya memainkan tokoh itu untuk easy-simpati. Bukannya bermaksud bilang mereka tidak bermain dengan baik ataupun tulus; beberapa kadang menyabet penghargaan karena peran sebagai disabled person. Hanya saja ada sesuatu yang kurang, ada pertanyaan yang mengganjal kenapa film tidak meng-cast an actual disabled person. Menyaksikan perlakuan film ini kepada Zak; ia diperankan oleh pengidap Down Syndrome beneran, Zack Gottsagen, benar-benar membuatku merasa hangat. Zak tidak ditampakkan sebagai makhluk yang perlu dikasihani. Perannya terasa begitu nyata karena Zak bukanlah sebuah simbol atau metafora atau bahkan berpura-pura. Oh dia berakting kok, disabled person bermain sebagai disabled person tidak lantas berarti dia bermain menjadi dirinya sendiri. Ada karakter dalam tokoh Zak. Dan pendekatan terhadap tokoh ini, penulisan maupun penampilan, tidak sekalipun terasa mengecilkan ataupun dibuat-buat.
Film dengan berani memperlihatkan orang-orang seperti Zak masih diperlakukan kasar oleh sebagian besar orang. Mereka dipanggil idiot. Bahkan jika tidak, orang-orang tetap memperlakukan mereka selayaknya seorang idiot. Inilah yang dihadapi oleh Zak-Zak di luar sana. Namun film juga tidak mengeksploitasi ini. Melainkan memperlihatkan sudut lain. Masih banyak juga orang-orang seperti Tyler; yang tidak mempedulikan kekurangan Zak. Melainkan menganggapnya sama rata sebagai manusia seutuhnya. Zak tidak mendapat perlakuan yang berbeda. Film ini menolak untuk membuatnya terlihat lemah. Zak punya mimpi yang perlu didukung, yang sama berharganya dengan keinginan orang-orang yang ‘normal’.

Jangan sekalipun meremehkan orang lain, apalagi meremehkan keinginan dan impian mereka. Setiap orang pasti punya mimpi dan tujuan, dan mereka bekerja keras untuk menggapai hal tersebut. Penting bagi kita untuk menghormati ini, untuk memahami perjuangan orang-orang di sekitar hidup kita. Tidak akan ada pencapaian di dalam hidup jika kita semua saling menganggap remeh perjuangan masing-masing.

 
Hal menakjubkan yang timbul dari pendekatan realis yang dipilih film untuk menghidupkan tokoh-tokohnya adalah reaksi para tokoh seringkali tak-terduga. Jawaban Tyler ketika menanggapi curhatan Zak soal dia tidak bisa jadi pahlawan karena ia mengidap Down Syndrome akan mengejutkan sekaligus menghangatkan hati kita semua. Karena merupakan jawaban yang tidak receh untuk menghibur Zak, melainkan pernyataan yang menantang kita dengan kebenaran. Sutradara sekaligus penulis naskah Tyler Nilson dan Michael Schwartz juga menggunakan struktur yang tidak biasa yang membuat film ini menjadi semakin stand out. Dalam film buddy-trip seperti ini biasanya kita menjelang akhir kita akan mendapat sekuen dua sahabat itu berantem atau paling tidak berpisah untuk kemudian bertemu kembali dan saling menyadari kesalahan masing-masing. Kita tidak melihat sekuen semacam ini pada The Peanut Butter Falcon. Naskah membagi kekompleksan ceritanya kepada tiga orang tokoh, alih-alih dua, sehingga perjalanannya terasa lebih besar, dengan penemuan yang lebih dramatis daripada momen berantem yang mungkin bisa dipaksakan.
Selain Tyler dan Zak, juga ada tokoh salah satu pengasuh Zak di panti bernama Eleanor yang ditugaskan mencari dan membawa pulang Zak – yang juga punya arc di dalam cerita. Jadi kita dapat tiga tokoh mayor. Jika biasanya tokoh utama, protagonis, dan hero sebuah film adalah satu orang yang sama, maka The Peanut Butter Falcon tampak mengadopsi DRAMATICA THEORY. Tokoh utama, protagonis, dan hero dalam cerita ini dibagi menjadi tiga tokoh yang berbeda. Tokoh utama dalam film ini adalah Tyler, karena dia lebih aktif menggerakkan plot. Tyler punya perspektif dan backstory yang lebih dominan. Dia juga membawa elemen intens dalam cerita karena stake yang ia bawa – Tyler diburu oleh nelayan preman yang hendak menyakitinya – terasa lebih berdampak. Aku gak pernah benar-benar suka sama akting Shia LaBeouf, tapi sebagai Tyler di sini aku merasa melihat penampilan terbaik yang pernah ia berikan. Kita melihat Tyler membuka dirinya dan pada akhir film ia tidak lagi sesempit saat di awal. Protagonist cerita ini adalah Eleanor yang diperankan dengan sangat manis dan humanis oleh Dakota Johnson. Disebut protagonist karena Eleanor bukan semata mendukung, melainkan adalah yang paling berubah seiring dengan perjalanan tokoh utama. Tadinya ia tidak mendukung dan berbeda pandang dengan Tyler soal impian Zak, tapi di sepanjang perjalanan ia menyaksikan hubungan mereka, sehingga ia menyadari dan belajar banyak, lalu ia mengubah pandangannya. Sedangkan Zak; dia adalah tokoh sentral. Dia kuat, vulnerable, lucu, supel, dia punya tujuan yang paling jelas di antara ketiga tokoh, dan kita ingin dia sukses mencapai tujuan tersebut. Dia adalah Hero dalam cerita ini. Dan ini sesuai dengan keinginan Zak di dalam cerita; dia mau jadi pegulat pahlawan semua orang.
Interaksi antatokoh ini tergambar dengan manis lewat sinematografi yang luar biasa menawan. Adegan Zak menari dengan Eleanor di atas rakit, adegan Zak menghibur Tyler, adegan Tyler menggoda Eleanor saat pertama kali mereka berjumpa, ini adalah sedikit dari contoh adegan yang loveable karena begitu manusiawi yang sayang untuk dilewatkan. Karakter minor dalam film ini juga tak kalah menarik. Untuk penggemar pro-wrestling, kita akan mendapat surprise oleh penampilan dua Hall of Famers WWE. Aku gak akan bilang siapa, kalian harus nonton sendiri.
Oke, aku tidak bisa menahan diri. It was Mick Foley. Dan Jake Roberts. Tapi aku tetep gak akan bilang mereka jadi peran apa, tonton sendiri aja haha

nonton film ini jadi pengen lihat lagi penampilan pemainnya di film-film mereka yang terkenal, termasuk Dakota Johnson di film ehm…

 
Kadang cerita film ini terlampau manis sehingga beberapa aspek terasa cheesy. Beberapa adegan bahkan tampak seperti tak mungkin terjadi di dunia nyata. Misalnya pada bagian wrestling menuju ke ending, yang buatku terasa terlalu cepat dan tidak lagi tampak real. Walaupun memang sejak kapan wrestling itu real (ha!), tapi pada beberapa bagian film ini memang lebih tampak seperti dongeng yang berisi interaksi nyata dengan karakter yang begitu well-realized. Sepertinya film berusaha menyeimbangkan fantasi dan realis. Usaha yang tidak selalu berhasil mulus. Namun kuyakinkan itu semua merupakan kekurangan minor yang tidak berpengaruh banyak kepada keasyikan menikmati perjalanan cerita film ini.

Adegan Zak kabur dari terali kamar pantinya juga tampak sangat cheesy dan tak mungkin terjadi di dunia nyata. Tapi hal ini justru terasa menyedihkan karena adegan itu hanya tampak cheesy karena kita sulit membayangkan di dunia nyata ada orang yang begitu menghormati mimpi seseorang seperti Zak, percaya kepadanya, dan membiarkan dia mengejar mimpinya. Menyedihkan hal tersebut tampak seperti fantasi di dunia kita sekarang.

 
 
Sebagian besar yang terlibat film ini; sutradara Nelson dan Schwartz, juga aktor Zack Gottsagen, benar-benar menghidupi paham yang diangkat oleh tokoh cerita film ini. Yakni mengejar mimpi dan mengisi hidup dengan hal yang ingin dilakukan. Hasilnya bisa kita nikmati sendiri; sebuah tontonan yang menghangatkan jiwa, yang menghibur tanpa melupakan hati. Pesan yang diangkat tereksplorasi dengan baik tanpa menyinggung siapa-siapa.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PEANUT BUTTER FALCON.