THE WILLOUGHBYS Review

“When everything goes to hell, the people who stand by you without flinching — they are your family.”
 

 
 
Alessia Cara main film! Berita tersebut tentu saja langsung membuatku menggelinjang. Tapi kemudian gelisah. Begini, ketika nonton film yang melibatkan either orang yang kita kenal atau orang yang kita sukai, yang kita ngefan abiss, rasanya tuh selalu ngeri-ngeri sedap. Karena kita akan berada di posisi pengen objektif alias gak mau terlalu bias, tapi juga khawatir bakal terlalu kritikal terhadap idola sendiri. Ini sama seperti kepada keluarga, kita berharap mereka gak doing something bad karena kita gak mau terlalu keras kepada mereka; kita berharap mereka doing great supaya punya alasan bagus untuk memujinya tanpa dianggap bias. Untungnya, animasi Netflix The Willoughbys yang memang bercerita tentang menyingkapi keluarga dengan hati ini punya banyak keunikan dan hal unggul alami sehingga aku tidak merasa tidak-enak memujinya.
Yang didirect oleh sutradara Kris Pearns dan Cory Evans ini sungguhlah sebuah cerita yang aneh dan tak biasa diusung dalam bentukan tontonan keluarga. Mimpi yang mereka jual tergolong ‘mengerikan’. Bagaimana jika anak-anak menginginkan orangtua mereka pergi? The Willoughbys mengisahkan Tim dan tiga adiknya – Jane dan si kembar, Barnaby – tinggal bersama orangtua mereka di rumah kuno di tengah kota modern. Seperti bangunannya, keluarga ini juga tergolong ‘old fashioned’. Silsilah Keluarga besar Willoughbys penuh oleh orang-orang dengan pencapaian, dan kumis, luar biasa. Semua itu seakan putus pada ayah Tim yang berkumis tipis. Ayah Tim tak peduli pada banyak hal di luar cintanya kepada ibu Tim. Beliau bahkan tidak peduli sama anak-anaknya. Mereka tak mau berbagi makanan kepada Tim, yang malah dikurung di bawah tanah. Mereka melarang Jane bernyanyi. Mereka enggak mau repot ngasih dua nama – dan dua sweater – untuk si kembar. Tim dan saudaranya merasa diabaikan. Mereka jadi kepengen jadi yatimpiatu supaya bisa bebas. Maka mereka mengirim ayah dan ibu ke sebuah paket travel romantis namun amat berbahaya. Tentu saja harapan mereka adalah kedua orangtua mereka celaka dalam perjalanan.

Dan kemudian Mary Poppins dan Willy Wonka jadian dan berpotensi jadi orangtua angkat Tim dan adik-adiknya

 
Gagasan yang berupa kita bisa memilih keluarga kita sendiri, ataupun gagasan untuk tidak merasa terikat oleh orang yang harus kita pedulikan hanya karena punya hubungan darah dengan mereka, tentunya adalah bahasan yang lumayan kompleks dan bisa dibilang cukup kelam untuk anak kecil. Secara bahasa memang tidak ada yang sadis, vulgar, atau gimana. Melainkan film ini punya humor yang receh, dan mirip seperti kartun-kartun konyol di televisi. Namun secara topik, film ini bersuara dewasa. Ia menyinggung kekerasan anak, abandonment, perihal merencanakan kematian. Dan memang akan ada tokoh-tokoh yang menemui ajal, yang dipresentasikan sebagai komedi. Saat membahas cinta laki-laki kepada wanita, film juga tidak mendaratkan kepada anak, ia menghamparkannya sebagaimana anak-anak melihat cinta. Sesuatu hal rahasia yang dilakukan oleh orangtua. Film menampilkan banyak gestur terselubung, but again, dalam sorotan cahaya dark jokes.
Jadi film ini sebenarnya masih satu kotak sama animasi seperti Coraline (2009), atau Frankenweenie (2012), karena sama-sama film anak/keluarga yang horor. The Willoughbys, however, dapat terasa lebih seram karena bahasannya yang sangat dekat. Gak sembarang anak-anak yang aman menonton ini. Paling enggak harus ngerti konsep sarkas dulu, karena jika tidak bisa dengan gampang ketrigger ke arah yang enggak-enggak. Karena di film ini kita akan melihat hal-hal yang mengundang pertanyaan berat bagi anak-anak polos seperti kenapa orangtua benci kepada anaknya, kenapa anak-anak itu enggak dikasih makan, boleh tidak anak benci kepada orangtua dan mengirimnya ke tempat berbahaya.
Di pihak lain, film ini juga lebih warna-warni dan lebih cerah. Berkat visual yang imajinatif dan sangat kreatif. Film ini menggunakan animasi CGI dengan konsep pergerakan yang menyerupai stop-motion. Seperti yang kita nikmati pada film-film LEGO. Dunia yang dihadirkan sangat kartun, rambut para Willoughby ini misalnya, berserat kayak benang. Awannya kayak gula kapas. Dan ada pelangi sebagai pengganti asap dari pabrik permen. Film ini berusaha menyinari elemen kelam ceritanya dengan penampakan dan tone yang ceria. Hebatnya, dua elemen tersebut; cerita yang kelam dan tone yang konyol cartoonish, akan jarang sekali terasa bertabrakan. Ini karena film berhasil mengeset pemahaman kita terhadap logika yang bekerja pada dunianya. Belum apa-apa kita disambut oleh kucing yang bisa berbicara, sebagai narator. Untuk merangkum semuanya, pengalaman nonton film ini sama seperti kita sedang dibacain dongeng, dan kita melihat lembar-per lembar buku dongeng yang penuh warna dan hal-hal unik.
“my kind of fun doesn’t make any sense”

 
Kita semua tahu, dongeng-dongeng klasik sekalipun memang semuanya punya ‘keseraman’. Film ini bertindak sebagai dongeng modern yang gak shy away dari aspek mengerikan yang terkandung dalam gagasan tak-biasanya. Karena film tahu dia punya pesan yang hangat untuk disampaikan. Film ingin berdiri sebagai mercusuar harapan bagi anak-anak yang merasa orangtuanya jahat first, dan kepada anak yang orangtuanya beneran jahat second. Things could get that ugly. Maka anak-anak seperti Tim perlu untuk melihat semua sudut supaya mereka bisa belajar untuk kembali percaya kepada orang dewasa. Karena setiap anak butuh pendamping, baik itu wali maupun orangtua.
Sepanjang cerita kita akan melihat perjalanan Tim dan Jane dan Kembar Barnaby. Kita dipahamkan akar dari mereka jadi bisa berpikir untuk lebih baik hidup tanpa ada orangtua. Kita mengerti kenapa mereka awalnya tidak percaya kepada Nanny yang datang untuk mengasuh mereka. Kita melihat Tim pelan-pelan belajar bahwa punya keluarga itu adalah suatu berkah. Belajar bahwa makna dari keluarga bukan sekadar kesamaan fisik dan tradisi. Melainkan saling menerima perbedaan dan saling menyintai. Alur cerita film ini dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pengembangan pola pikir Tim, tokoh yang difungsikan sebagai wakil dari anak-anak dalam keluarga yang broken atau disfungsional. Kepercayaannya terhadap peran masing-masing dalam sistem keluarga perlahan timbul. Hampir seperti ia menyerah, kelihatannya bagi kita, saat Tim memutuskan untuk menempuh perjalanan jauh demi menjemput dan menyelamatkan nyawa orangtua mereka. Tapi sekaligus kita lega. Karena itulah satu-satunya cara. Anak butuh orangtua. Kemudian film mendaratkan kita kembali bahwa kadang keluarga itu just not working. Kadang orangtua memang begitu egois. Kadang mereka memang jahat. Tapi pada saat itu, Tim dan adek-adeknya sudah paham nilai sebuah keluarga. Perjalanan mereka telah sempurna, maka cerita memberikan mereka ‘hadiah’. Resolusi yang diberikan film ini sungguhlah manis. Kita mungkin sudah bisa melihat hal ini datang, tapi endingnya akan tetap nonjok karena kita sudah terinvest sama tokoh-tokoh colorful yang dihadirkan.

Keluarga bukan soal rumah. Bukan juga semata soal darah. Terkadang, keluarga adalah soal orang-orang yang memilih untuk bersamamu. Orang-orang yang ada di dekatmu tanpa diminta. Terkadang, memang orang pilihanlah yang membuat keluarga terbaik.

 
Tokoh-tokoh tersebut sekilas memang tampak satu dimensi. Tapi jika kita teliti, film sebenarnya memberikan mereka lapisan, hanya saja elemen komedi yang membungkusnya terlalu menghalangi. Orangtua Tim saling cinta, mereka bisa survive dari apa aja berkat kekuatan cinta mereka. Tapi mereka jahat kepada anak-anaknya, dan kepositifan dari cinta itu terhalangi karena film menunjukkannya sebagai ‘kekuatan’ jahat – orang-orang actually celaka di sekitar cinta mereka. Nanny yang baik hati juga dibeberkan punya masa lalu sebagai anak yatim sehingga kita punya ruang untuk mengenali emosinya. Commander Melanoff juga diperlihatkan bukan sekadar sebagai orang aneh yang punya pabrik permen, selalu ada sesuatu di balik penokohan, meskipun memang sebagian besar dimainkan sebagai komedi oleh film ini. Sehingga bisa dengan mudah teroverlook dan membuat tokohnya satu dimensi. Aku sih berharapnya mereka ngecilin sedikit volume kekonyolan agar karakter dapat bersinar. Namun justru ekstrimnya rentang konyol dan dark-nya itulah yang menjadi appeal dan gaya film ini.
And finally, saatnya membahas Alessia Cara yang memulai debutnya sebagai bermain akting pengisi suara. Film ini berisi jejeran seperti Maya Rudolph (yang enerjinya menghidupkan film ini ke level maksimal) ataupun Tim Forte, dan even Ricky Gervais yang terdengar natural sebagai kucing pemalas. Alessia paling muda di sini. But I gotta say, suaranya cocok sekali dengan karakter Jane. Terdengar ringan dan sedih bersamaan. Juga penuh optimisme. Salah satu ciri Jane adalah kalimat ‘what if’. Dialah yang pertama kali mengajukan ide ‘membuang’ orangtua mereka. Tokoh ini penuh oleh ide liar, yang dihidupkan dengan klop oleh akting suara Alessia. Lagu yang dinyanyikan oleh tokoh ini kupikir bakal bisa ngehits karena sangat efektif sebagai klimaks emosional dalam cerita.
 
 
 
 
Dark jokes pada elemen cerita – anak yang pengen jadi yatimpiatu biar bebas – berusaha disamarkan film lewat kekonyolan dan warna-warni pelangi khas kartun. Campuran dua tone inilah yang menjadikan film unik. Visual dan design karakter dan dunianya jelas santapan bagi mata dan imajinasi. Film ini juga punya cerita yang manis tentang menemukan sebuah keluarga. Memahami makna sebuah keluarga. Tapi aku juga bisa melihat film yang diadaptasi dari buku ini bakal membuat penonton terbagi dua. Atau setidaknya merasa was-was dan berpikir dua kali untuk menayangkan ini kepada buah hati. But oh boy, animasi berani seperti ini sedang ‘menang’ ketimbang animasi ‘isi angin’. Dari sisi yang lebih aman, kita sudah dapat Onward (2020), lalu yang sedikit kontroversial dan berani seperti ini ada Red Shoes and The Seven Dwarfs (2020). Yang sebenarnya diminta oleh film-film seperti ini adalah duduk menonton bersama keluarga, sebab pertanyaan berat akan mereka hadirkan, dan diskusi terhadap itulah yang coba dihadirkan
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE WILLOUGHBYS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film ini cocok ditonton untuk anak-anak?
Dulu waktu kecil aku kalo ngambek sering berangan-angan minggat dan kabur jadi anak keluarga lain yang lebih keren. Apakah kalian pernah mengalami hal yang sama? Pernahkah kalian menganggap orangtua jahat?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI Review

“A shared happiness is twice the happiness, a shared sadness is half the sadness.”
 

 
Bisakah kita merasa bahagia jika tak pernah sedih? Pertanyaan itu memang sudah terjawab pada film animasi Inside Out (2015). Namun Angga Dwimas Sasongko dalam Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini seolah berkata “nanti dulu” lalu mengganti pertanyaan menjadi Apakah tidak tahu akan suatu hal menyedihkan membuat kita lebih bahagia? Dan dapatlah kita drama penuh hati yang menganjurkan untuk membuka diri dan brutally honest kepada anggota keluarga.
Dengan amunisi kutipan-kutipan dari sumber aslinya (buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini karangan Marchella FP yang populer di kalangan milenial), Angga dan tim penulis naskah membangun satu keluarga sebagai pusat cerita. Keluarga yang dari luar tampak seperti potret keluarga modern yang berbahagia. Dengan tiga anak yang dewasa; si sulung Angkasa adalah sosok abang teladan yang sayang pada kedua adiknya, si tengah Aurora yang agak sedikit pemberontak, tapi memang begitulah seorang seniman, dan adik bungsu Awan yang mulai mengejar mimpinya bekerja di firma arsitektur mentereng. Bersama pendewasaan mereka, terbit juga cerita kegagalan, pertengkaran, kecemburuan. Keluarga ini semakin berjuang dengan ketidakbahagiaan di dalam diri masing-masing, yang berakar pada sikap ayah yang seperti lebih mementingkan Awan.

Awan kan nama cowok, kalo cewek mestinya… Awati kan ya!

 
Menakjubkan cerita dengan tokoh kompleks ini bisa terwujud mengingat buku aslinya ‘hanya’ berupa kalimat-kalimat singkat dan ilustrasi per halaman. Penulis Jenny Jusuf dan Mohammad Irfan Ramly praktisnya hampir sama seperti membangun dari nol. Jika baru-baru ini kita menyaksikan Marriage Story (2019) yang berkisah ‘pertengkaran’ rumahtangga antara suami istri dengan melukiskan proses perceraian betulan dan kuat oleh sudut pandang kearifan lokal sosial di Barat, maka Nanti Kita Cerita Hari Ini sukses menghadirkan drama dalam konteks keluarga yang lebih besar – melibatkan  anak – dengan benar-benar mencerminkan wajah keluarga menurut kehidupan ketimuran. Bahwasanya anak diharapkan sebagai penyambung harapan orangtua, dengan setiap anak punya ‘tugas’ sesuai dengan urutan lahir yang kadang menghambat kehidupan pribadi anak itu sendiri.

Dengan kata lain, ada pengorbanan. Dan tokoh-tokoh anak dalam keluarga ini, sesuai fitrahnya sebagai generasi muda yang modern, siap untuk memberontak, mencari kebahagiaan atas dan demi diri mereka sendiri.

 
Naskah berhasil menghimpun banyak garis plot dan menceritakannya dengan cukup efektif. Kita dapat melihat dan dapat merasakan konflik dari masing-masing tokoh karena film ini menuliskan dengan drama naratif dengan padu. Angkasa, Aurora, dan Awan – mereka punya keinginan dan kebutuhan atau wants-and-needs yang jelas. Benturan wants-and-needs dalam diri mereka bersumber dari tempat yang sama; dari sikap ayah kepada mereka. Konflik tidak berhenti di situ, kita juga melihat bukan saja keinginan dan kebutuhan masing-masing mereka saling berbenturan satu sama lain – menciptakan tensi di antara ketiganya, sekaligus juga bentrok dengan dunia luar – menciptakan tekanan yang harus mereka hadapi. Angkasa yang ingin melindungi adik-adiknya terutama Awan sesuai janji waktu kecilnya kepada ayah, he did a very good job at it, tapi ia juga perlu untuk memikirkan kepentingannya sendiri dan ini berdampak kepada kehidupan romansanya dengan pacar. Aurora yang ingin mendapat rekognisi dari ayah, dia perlu fokus ke pengembangan dirinya sendiri alih-alih selalu terdistraksi oleh cemburunya kepada Awan, yang mengganggu performanya dalam menghasilkan karya seni sebagai profesinya. Awan ingin bisa menentukan pilihannya sendiri dan gak lagi mendapatkan sesuatu karena bantuan ayah, tapi dia perlu belajar untuk tidak menjadi egois sebagaimana yang sudah menyebabkan dirinya dipecat karena tidak bisa bekerja sebagai tim.
Dalam sebuah cerita yang dangkal dan lebih tradisional, sosok ayah yang jadi sumber konflik mereka akan digambarkan satu-dimensi khas trope patriarki. Ayah dalam film ini memang pemaksa dan kadang terlihat terlalu lebay seperti ketika dia memarahi Awan yang terlambat di depan banyak orang seolah adegan yang mengharuskan dia marah saat itu juga supaya dramatis. Ayah ini mirip Marlin di Finding Nemo (2006), ia overprotektif terhadap Awan – bahkan menyuruh semua orang untuk overprotektif kepada bungsunya itu – dan juga mirip dengan Joy di Inside Out (2015) karena sama-sama punya prinsip untuk tak membiarkan kesedihan dekat-dekat sama keluarganya. Sebagai tokoh utama, Ayah memang sering terasa unbearable. Namun film sudah menyiapkan satu alasan sebagai pembelaan terhadap tokoh ini. Ada twist yang mengungkap rahasia yang dipilih untuk dipendam oleh sang ayah yang membuat tokoh ini bukan tipikal patriarki. Twist yang diposisikan sebagai resolusi, atau jawaban dari perubahan yang dilalui Angkasa, Aurora, dan Awan bukan hanya mempengaruhi ketiganya tapi juga bekerja lebih dalam membuat kita memikirkan ulang seberapa jauh orangtua berbuat demi kebahagiaan keluarga.

Kebahagiaan kita memang tidak mestinya bergantung kepada orang lain, namun kita juga tidak bisa mangkir dari kesedihan jika orang-orang yang kita sayang bersedih. Bahagia sendirian adalah bahagia yang kosong, karena bahagia itu juga ada dalam berbagi. Berbagi apapun, termasuk kesedihan.

 
Meskipun ditanam dengan detil dan dengan alasan yang logis, namun ada masalah yang sering hadir dalam setiap cerita yang menggunakan elemen twist. Pada film ini ada beberapa. Di antaranya wants-and-needs si ayah yang terlalu ‘drama’. Kemudian twist malah membuat salah fokus seolah yang penting adalah ‘apa rahasianya’, bukan di ‘mengapa’nya. Padahal impact harusnya ada di ‘mengapa’ itu. Demi twist, film akan membuat ada sesuatu yang harus ditutupi, dikurangi dengan sengaja, karena naturally film ingin bagian pengungkapan bekerja maksimal. Pada kasus film ini, yang diminimalisir adalah peran sang ibu. Berbeda dengan Nemo yang ibunya meninggal saat tragedi masa lalu, ibu kakak-beradik dalam Nanti Kita Cerita Hari Ini masih hidup. Dia adalah bagian dari tragedi, dia ikut menyimpan rahasia, akan tetapi pada dua babak awal tokoh ini tidak banyak berperan. Dia hanya ada di setiap shot. Kita tidak melihat dia berinteraksi dengan anak-anaknya. Ini terlihat gak alami. Juga membuat kekompleksan cerita tidak bisa mencapai sempurna.
Konflik internal wants-and-needs harusnya membuat si tokoh ditarik-tarik antara ayah yang menjadi sumber/yang merepresentasikan keinginan mereka dengan satu tokoh luar yang memaksa mereka menyadari apa yang mereka butuhkan. Angkasa berada di antara ayah dan pacarnya. Awan ditarik-tarik antara ayah dengan Kale, lelaki yang ia temui di konser musik yang mengajarkan dia kebahagiaan sebagai diri sendiri. Aurora, yang sebenarnya punya konflik lebih pedih, hanya punya ayah. Tidak ada tokoh lain yang melambangkan keinginannya. Ibu harusnya menempati posisi ini  – dia satu-satunya tokoh yang kita lihat masuk ke studio Aurora dan later punya adegan dialog khusus berdua – tetapi karena ibu disiapkan baru boleh aktif setelah pengungkapan, kita tidak melihat dinamika wants-and-needs yang lebih dalam pada Aurora. Makanya, perubahan tokoh Aurora tidak kita terima sekuat yang lain.
Sasongko menyiapkan jejeran pemain berkualitas untuk memberikan nyawa kepada tokoh-tokoh cerita yang kompleks dan manusiawi tersebut. Masing-masing tokoh punya dua versi; yang lebih muda dan yang lebih tua, sebab cerita akan sering bolak-balik antara masa lalu saat kejadian tragedi dan masa kini saat mereka sudah dewasa, dan pergantian pemain ini terlihat natural. Karakternya terasa kontinu tanpa ada aspek emosi dari mereka yang terlewatkan oleh kita. Sedikit komplen pada dialog dan bahasa yang dapat terdengar terlalu pretentious, bahkan para aktor sendiri seperti tidak sejiwa dengan kata-kata yang mereka ucapkan. Masalah ini datang dari penetapan konteks dunia yang kurang beridentitas cerita lantaran tokoh utama si ayah tadi yang tidak sedunia dan sepahaman dengan anak-anaknya. Film tidak berhasil menyeimbangkan antara kebutuhan twist, sikap yang ditentang, dan sikap yang menentang. Film juga banyak sekali memakai lagu-lagu, musik aliran ‘kopi-dan-senja’, hingga menyebut penyanyi dan band seperti Kunto Aji, Arah, dan lain-lain. Clearly, film menargetkan penonton kalangan milenial yang indie dan trendi, dan mereka akan suka ini dan tidak akan menganggapnya pretentious.

bagaimana kalo ternyata Awan sebenarnya adalah Zack… eh wait, itu plot Awan lain yang di video game, deng!

 
Buatku, musik dan dialognya memang annoying. My least favourite part justru ketika film memperlihatkan tokoh yang mewakili milenial indie sejati, yakni Awan dan terutama si manic pixienya – si Kale. Film membuat tokoh ini sebagai makhluk paling sempurna di cerita – karena kita melihatnya dari mata Awan yang terpesona mendengar kalimat-kalimat bijaknya – padahal dia sebenarnya asshole juga. Keinginan Awan adalah untuk bisa memilih pilihan sendiri, dan Kale adalah sosok bebas yang ia kagumi. Tapi apa yang terjadi ketika dia jalan dengan Kale? Awan dikasih manisan jeruk. Awan dibawa makan ke kios kenalan Kale. Awan dipesenin kaki kambing sama Kale, tanpa ditanya dulu maunya apa. Keluar dari mulut singa masuk lubang buaya. Sekuen romantis ini actually bekerja di luar struktur dan seharusnya bisa dipikirkan dengan lebih baik lagi. Tapi sepertinya ini adalah cara film untuk menarik target pasar. Karena jualannya memang dialog-dialog itu. Dan silahkan lihat juga gimana film mengandalkan peran-peran minor sebagai penarik, bahkan yang perannya cuma sebagai kameo, sebagai komedi, ataupun sebagai peniru gaya lelucon flashback ala Ant-Man (2015).
 
 

DANUR 3: SUNYARURI Review

“Just because you don’t see something doesn’t mean it isn’t there”

 

 

Risa, dalam narasi voice-over menit-menit awal film, mendeskripsikan hantu-hantu yang pernah ia temui salah satunya dengan “… ada yang jadi sahabat dan tak pernah pergi”. Kalimat tersebut tentu saja mengacu kepada Peter dan empat hantu lain yang sudah berteman dengan Risa sedari kecil. Namun nada Risa mengucapkan kalimat tersebut sangat muram. Tidak kedengaran seperti orang yang senang, atau malah tidak seperti orang yang bangga berteman dengan hantu-hantu. Hampir seperti nada orang yang bosan. Yang sudah muak.

Trilogi Danur jika kita menjauh sedikit sehingga melihat gambaran besarnya, sesungguhnya punya tema-tema yang berkembang. Danur pertama (2017) adalah soal Risa belajar untuk menerima kekurangan orang lain, dalam kaitannya dengan pembelajar menjalin pertemanan. Danur 2: Maddah (2018) adalah giliran Risa belajar untuk membuka dirinya dan tidak minder dengan kekurangan diri; Film kedua ini membahas adik Risa yang malu dengan kemampuan kakaknya. Pada Danur terakhir sekarang – mari kita mendekat untuk fokus lagi – yang diangkat adalah soal Risa yang berada di titik terendah dirinya, meskipun hidup Risa udah di titik paling nyaman. Kerjaan nulisnya lancar. Adiknya akrab dengan dia. Risa bahkan sekarang punya pacar seorang penyiar radio. Risa pun kini punya teman-teman manusia. Namun kesulitan yang sempat ia alami dalam bersosialiasi dalam pengalaman-pengalaman terdahulu terus membayangi Risa. Dia takut pacar dan teman-temannya minggat begitu mereka tahu Risa juga berteman dengan hantu. Jadi Risa mulai cuek sama Peter, William, Janshen, Hans, dan Hendrick. Sampai ke titik Risa benar-benar enggak mau melihat mereka semua lagi. To her horror, walau dia sudah tak bisa melihat mereka lagi, dia masih bisa menyium bau danur di rumah yang entah kenapa diguyur hujan sepanjang waktu.

Hantu bagi Risa adalah simbol dari masalah. Jadi dia meminta penglihatannya untuk ditutup supaya tidak bisa melihat mereka lagi, supaya dia tidak lagi terkena masalah. Tapi sesuatu yang tidak kita lihat, bukan berarti tidak ada. Kita tidak bisa terhindar dari masalah hanya karena kita menolak untuk melihat ada masalah di sana. Pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita Risa dalam Danur 3 ini adalah masalah tidak akan lenyap hanya karena kita menolak mengakui keberadaannya.

 

Setelah nunggu tiga film – tiga tahun, barulah kali ini kita benar-benar mendapatkan eksplorasi persahabatan antara Risa dengan hantu. Kita melihat lebih banyak adegan yang melibatkan para hantu Belanda cilik. Karena dalam dua film sebelumnya, kisah Risa dengan Peter cs selalu tergeser ke belakang oleh kisah hantu antagonis yang butuh jangkauan lumayan panjang untuk bisa kita paralelkan dengan kisah inner Risa. Dalam Danur 3: Sunyaruri ini, masalah difokuskan kepada hubungan Risa dengan temannya. Risa banyak melakukan pilihan terkait teman-temannya, baik yang manusia maupun yang hantu.

pemeran hantu anak-anaknya dari film pertama masih sama gak sih? kok mereka gak tampak tumbuh gede ya. Apa jangan-jangan….

 

Bagian-bagian awal film ini cukup bisa dinikmati. Tidak ada jumpscare yang berlebihan – meskipun aku menduga ini karena kali ini aku menonton di bioskop yang terkenal punya sistem audio yang lebih ‘mendem’ daripada bioskop sebelah – Tidak ada kamera yang diputer-puter hanya supaya terlihat nyeni. Set dan desain artistik film ini toh berhasil membangun dunia yang seram. Adegan prolog di dalam gedung teater merupakan salah satu adegan terseram dalam film, walaupun ternyata gak nyambung-nyambung amat sama keseluruhan isi cerita – hantunya pun ternyata beda dengan yang jadi ‘bos’ di cerita film ini – sehingga adegan tersebut sebenarnya bisa saja dibuang. Tampak jelas, bukan hanya sutradara Awi Suryadi, aktor Prilly Latuconsina pun tampak sudah menemukan ‘kadar yang tepat’ dalam kerja mereka untuk semesta horor ini. Sebagai Risa yang mulai menolak kemampuannya, Prilly mendapat tantangan baru. Di sini dia nyaris memainkan protagonis dan antagonis sekaligus, sebab terkadang dia melakukan pilihan yang tak akur dengan kita. Karena kita tahu lebih baik bagi tokoh ini untuk tetap bersama dengan Peter dan hantu cilik lainnya.

Sebagai karakter, Risa di sini diserang bertubi-tubi. Bukan hanya mental – dia tidak tahu lagi yang terjadi, melainkan juga fisik. Sebagian besar adegan dalam film ini mengharuskan Prilly memakai riasan lebam lantaran sebelah mata Risa membengkak  secara ganjil. Riasan yang digunakan tampak cukup meyakinkan; bukan sebatas bengkak memerah, tapi juga berair seperti bengkak beneran. Aku salut juga melihat Prilly mampu berakting konsisten dengan kondisi sebelah mata dibuat seperti demikian, I mean how can she see? Ada banyak adegan horor menarik yang mestinya bisa diciptakan dari keterbatasan Risa sekarang. Namun film malah melakukan hal yang bego seperti membuat Risa yang matanya bengkak sebelah berjalan masuk ke dalam rumah kosong dan melihat lewat layar hape. Kurang logis seseorang yang pandangannya terbatas melihat sesuatu dari alat yang semakin membatasi jangkauan pandangnya.

Actually, hal bego yang dilakukan oleh film ini dimulai jauh sebelum adegan Risa masuk rumah kosong tersebut. Aku yang sudah tersedot masuk ke dalam cerita oleh bahasan yang grounded dan personal bagi tokohnya, dengan set piece yang meyakinkan, tiba-tiba terlontar lagi keluar oleh adegan-adegan yang seperti dipikirkan sekenanya. Kita akan melihat berbagai hal konyol seperti Risa yang memanggil kelima hantu temannya selalu dengan urutan yang sama persis; Peter, William, Janshen, Hans, Hendrick (yea abjad right?) ataupun hantu-hantu yang hilang seperti dijentik Thanos. Semua rangkaian bego itu dimulai dari ketika tokoh Umay Shahab merekam dirinya sesaat sebelum dirinya pengen pipis. Manusia real macam apa yang mengaktifkan kamera, mengetahui persis dirinya pengen ke kamar mandi. Sejak adegan di akhir babak pertama ini, aku mulai khawatir sama perlakuan film ini terhadap tokoh-tokoh baru yang dimiliki. Tokoh-tokoh anak muda teman pacar Risa yang bekerja di radio ini dimainkan oleh aktor-aktor muda yang cukup ternama, tapi pelit sekali dimunculkan. Mereka tidak punya karakter. Satu-satunya yang sedari awal tampak ada ‘cerita’ adalah tokoh yang diperankan Stefhani Zamora; produser radio ini seperti ada suka dengan pacar Risa yang diperankan Rizky Nazar – thus seperti membangun ke cinta segitiga dengan Risa. Namun selain membuat Risa jadi jealous dan makin napsu mempertahankan pacarnya sehingga semakin galak pula ia kepada Peter cs yang ia kurung di loteng rumah, perihal tiga tokoh ini tidak pernah berkembang lebih lanjut.

Sebuah hal yang sia-sia; film punya set baru – lingkungan radio lengkap dengan anak-anak muda yang bekerja di sana, tapi tak pernah membahas apapun dengan latar tersebut. Keren memang, film menggambarkan suasana rumah Risa yang banyak mainan anak cowok berserakan yang bisa saja menunjukkan para hantu sengaja untuk menarik perhatian Risa. Tapi kita sudah melihat set rumah sejak dari film pertama. Danur 3 punya kesempatan mengambil setting baru, tapi dia tidak mengambilnya. Aneh untuk konteks cerita Risa ingin mempertahankan pertemanan dengan manusia, kita malah tidak mendapat kesan Risa benar-benar berteman dengan mereka. Hanya ada satu adegan mereka ngobrol bersama. Masa iya mereka semua cuma cameo? Well, jawaban dari ini semua ternyata lumayan menyakitkan. Film ternyata sengaja menyimpan banyak tentang mereka karena film memaksudkannya untuk twist. Twist yang berjenis murahan dan malas dan seenak udel dan maksa. Twist yang menunjukkan ketidakmampuan sutradara dan penulis menyajikan cerita dan petunjuk yang subtil. Jadi kita dibiarkan enggak tahu dan tanpa informasi sebelum di menit-menit akhir mengungkap lewat flashback. Film yang jauh lebih baik, pembuat yang jauh lebih kompeten – yang kepeduliannya untuk bercerita lebih besar ketimbang kepeduliannya akan duit – akan membuat cerita yang runut. Yang membahas persahabatan mereka sedari awal, melandaskan informasi-informasi penting secara tersirat sehingga ketika twist datang penonton tak merasa terkecoh. Tapi aku yakin film ini merasa sudah memberikan petunjuk ‘cerdas’ dari nama tokoh, jadi mungkin kitalah yang bego karena enggak sadar nama tersebut.

Cara yang dilakukan oleh film ini membuat kita tak tahu apa-apa dan menonton sebagian besar film dengan sesedikit mungkin cerita. Kita hanya tahu ada hantu yang menjauhkan Risa dari Peter, tanpa pernah kita tahu motivasinya apa. Benar-benar enggak jelas tindakan yang dilakukan oleh hantu – yang desainnya jika dibandingkan dengan hantu Danur 2 akan terlihat sangat basic dan seadanya. Jadi si hantu ini membuat Risa tak bisa melihat Peter tapi lalu kemudian teriak-teriak nyuruh Risa memanggil Peter cs kepadanya. Dan aku belum nyebutin soal si hantu yang gemar nyanyiin lagu Boneka Abdi, yang bahkan udah gak terdengar seram lagi setelah dinyanyikan berkali-kali seperti yang film ini lakukan.

Kenapa Rain, kenapa kau acak urutan memanggil nama mereka?

 

Bahkan dengan geng Peter pun, film tidak memperlihatkan Risa bermain dengan mereka. Kita hanya mengandalkan pengetahuan mereka akrab sedari film pertama. Yang membuat efek Peter menghilang nantinya tidak pernah benar-benar kuat, apalagi buat penonton yang benar-benar blank tentang Risa dan Danur – sehingga film ini tidak bisa berdiri sendiri.

Namun begitu, masih ada hal-hal menarik lain yang bisa kita tarik dari film ini. Misalnya seperti betapa besar pengaruh dunia barat. Kita melihat di perayaan ulang tahun, Risa dan teman-teman memakan pizza dan pasta. Kita juga mendengar lagu pengusir hujan yang dinyanyikan Risa sebenarnya adalah lagu inggris anak-anak yang berjudul ‘Rain, Rain, Go Away’. Jika kalian cukup iseng mungkin kalian bisa menarik hubungan antara budaya Jawa Barat dengan budaya barat yang ditunjukkan oleh film ini.  Kalo aku, lebih tertarik melihat gambaran proses kreatif Risa menulis cerita oleh film ini. Karena susah sekali untuk memastikan apakah Risa yang asli menulis dari apa yang ia alami atau hanya dari pikirannya saja. Dalam film ini kita melihat tokoh Risa menulis Canting tapi tak beneran ia alami. Ia menulis duduk di hutan, padahal dia hanya membayangkan dirinya berdasarkan lukisan di dinding. Tapi dia juga menulis tentang Peter dan teman-teman. Mungkin alih-alih menjawab semua itu, tujuan film justru sebenarnya untuk mengangkat kemisteriusan sosok Risa dan cerita-cerita hantu yang ia jual sebagai kebenaran tersebut.

 

 

 

Pujian tertinggi yang bisa kita sematkan kepada film yang sepertinya adalah akhir dari trilogi Danur ini adalah ia merupakan film yang paling mendingan dibandingkan dengan dua film sebelumnya. Scare-nya dilakukan dengan lebih baik. Film ini membahas masalah yang lebih dekat dengan tokoh utamanya, punya gagasan yang lebih menantang. Tapi tak banyak perbedaan dari bangunan cerita yang masih ala kadar. Yang seperti tak begitu peduli menyampaikan cerita yang solid dan tak merendahkan penonton horor melalui misteri yang tak dibangun.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for DANUR 3: SUNYARURI.

GENERASI MICIN Review

“The kids are alright”

 

 

Terkadang, kita suka menggunakan jargon atau ungkapan-ungkapan untuk melabeli hal yang tidak sepenuhnya kita mengerti, memberikannya semacam ilusi bahwa kita sudah memahami hal tersebut. Sama teman aja, kita suka ngasih mereka nickname, supaya memanggil mereka terasa lebih akrab. Untuk satu hal, memang label seperti demikian itu bagus, karena sejatinya adalah usaha kita untuk mencari tahu – bukannya menjauhi. Namun yang perlu diingat adalah, mengenali orang atau hal tidak sepatutnya berhenti di satu label atau jargon saja. Kita harus ingat masih ada aspek lain yang belum kita ketahui dari mereka.

Generasi Z, misalnya. Generasi yang terlahir dari tahun 1995 hingga 2012, dalam artian para remaja saat ini, mereka kita baptis dengan sebutan Generasi Micin. Karena dari yang kita lihat, memang anak-anak jaman now kelakuannya pada aneh. Istilah tersebut hadir dikaitkan dengan konsumsi micin alias MSG yang dapet konotasi negatif sebagai bahan penyedap yang membodohkan. Kerjaan anak generasi ini nonton hape sepanjang waktu, curhat enggak jelas di sosial media, gampang ribut sama hal remeh temeh dan bahkan hoax, serta segalanya mereka mau yang instan-instan. Bandingkan dengan kita, Generasi Millenial, yang lebih menghargai proses ketimbang hasil. Kita lebih menghargai pengalamannya. Semua itu adalah sebagai akibat dari kita hidup melewati berbagai perkembangan teknologi; kita ada saat masa emas pertelevisian, masa kemunculan telepon dan handphone, kita ngikutin perubahan komputer dari disket, kita dengerin musik dari pita kaset hingga teknologi teranyar. As opposed to Generasi Micin yang sejak lahir sudah dimanjakan oleh kenyamanan. Tapi tentu saja, itu tidak berarti mereka tidak lebih pintar daripada kita. Bukan berarti mereka yang menurut kita manja, tidak bisa lebih kritis daripada kita. Faktanya, seorang jurnalis New York Times sempet surprise melihat  justru remaja-remaja yang sangat vokal dan berani menggalakkan gerakan AntiSenjata di tengah konflik kepemilikan senjata api di Amerika beberapa waktu yang lalu. “Are Today’s Teenager Smarter and Better Than We Think?” katanya menuliskan judul artikel tentang Generasi Kekinian.

Fajar Nugros, lewat balutan komedi, mempersembahkan kepada kita film Generasi Micin sebagai jendela untuk memandang remaja-remaja lebih jauh dari layar smartphone dan akun media sosial mereka. Memperlihatkan tantangan yang remaja hadapi di dunia yang terus berputar. Tidak ada yang salah dengan anak-anak jaman sekarang.  Bahwa sebenarnya tidak ada generasi yang lebih hebat daripada yang lainnya. Setiap generasi, pada kenyataannya, akan selalu menghasilkan remaja-remaja yang melakukan hal-hal menakjubkan terhadap zaman mereka.

 

Kevin mirip-mirip Raditya Dika 

 

Kevin Anggara (youtuber dan penulis buku ini memainkan dirinya sendiri) memasuki tahun ketiga di SMU Harapan Mrs. Ana. Sekolah adalah tempat paling membosankan baginya, dia pengen tahun terakhirnya ini menjadi waktu yang paling berkesan. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Temannya sudah duluan tenar bikin vlog keseharian di sekolah. Dia enggak cukup fasih untuk ikutan klub Inggris bareng cewek sahabat masa kecilnya. Kevin lumayan socially awkward sehingga satu-satunya dia terlihat ‘fasih’ bicara adalah ketika dia gugup dan serabutan ngomong berbagai hal dari Naruto hingga Pintu Ajaib Doraemon. Kevin lebih nyaman curhat di blog, yang sekarang sudah tak ia lakukan lagi lantaran malu dikatain alay. Dia merasa sudah cukup dengan dilabeli #tertuduhmicin. Jadi apa yang Kevin lakukan demi mengisi hari-hari terakhir di sekolah? Dia ikutan website prank, dia ngajakin teman-teman sekelasnya (literally tiga orang) untuk berbuat jahil kepada guru-guru dan penghuni sekolah. Peringkat dan status Kevin di website tersebut boleh saja meroket, tapi orang-orang di sekitar Kevin jadi susah karena ulahnya. Hubungan Kevin dengan sahabat kece yang diam-diam ia taksir tersebut jadi renggang. Kevin harus melakukan sesuatu sebelum dia benar-benar membuat kecewa Ayah dan Ibunya. Juga seisi sekolahnya.

Film mencoba memberikan gambaran perbandingan antara generasi Z dengan Millennial, atau bahkan dengan generasi X yang jauh lebih ‘tua’. Kita akan melihat keluarga Kevin, gimana sudut pandang ayahnya yang buka toko sehari-hari tentang bisnis dan moral. Kevin actually punya ‘paman’ yang masih muda, tinggal serumah dengan mereka, dan banyak adegan yang mencakup Kevin dengan pamannya dengan ayah ibunya merupakan komentar mengenai gimana bedanya cara ‘kerja’ hal-hal dalam setiap generasi. Menjelang akhir, kita akan melihat adegan debat berbahasa inggris yang membahas topik dan ‘pembelaan’ terhadap generasi Micin. Dan ini sebenarnya mengecewakan buatku, karena komentar terhadap pandangan antargenerasi tersebut semestinya bisa dihadirkan dengan lebih baik. Film punya tokoh-tokoh yang sudah cukup mewakili, mereka seharusnya bisa memikirkan cara yang lebih mulus dalam menceritakan tema, dalam membangun cerita sesuai konteks yang dipunya. Menggunakan lomba debat yang adegannya hanya peserta ngomong bergantian, bahkan tanpa benar-benar ada debat pendapat yang dramatis, membuatnya hanya seperti dakwah yang enggak exactly mulus menyatu dengan keseluruhan film. Ohiya, dan si Kevin enggak ikut ambil bagian dalam debat tersebut.

Yang membuat penulisan cerita ini tampak membingungkan adalah posisi Kevin, si tokoh utama, yang enggak jelas ada di mana. Secara umur, dia termasuk generasi micin, tapi dia tidak bersikap seperti demikian. Bahkan poster film ini cukup mengundang pertanyaan, I mean, di IMDB dan situs LSF judul resminya adalah Generasi Micin, namun coba lihat posternya; aku sendiri merasa judul film ini memang lebih cocok jika ditambah dengan ‘vs. Kevin’. Karena Kevin berbeda dengan teman-temannya yang beneran mencerminkan pola pikir dan tindak generasi Z.

Salah satu keunggulan Generasi Z adalah gimana mereka dengan gampangnya mengekspresikan diri. Segala tool dan fasilitas yang ada itu, mereka gunakan untuk berkarya. Mereka paham untuk tidak malu dengan diri sendiri. Mereka dikatakan lebih narsis karena memang mereka sangat menghargai tinggi diri sendiri.

 

Teman Kevin ada yang bikin vlog dengan konten joget-joget absurd, ada juga yang begitu suka ama Korea dan dia tidak punya masalah mengekspresikan diri sebagai K-Popers (meskipun untuk sebagian besar waktu aku tidak mengerti candaan yang diucap oleh si Dimas ini). Dia berjoget di game center, sedangkan Kevin disuruh ikutan, malah malu. Alay, katanya. Untuk alasan yang sama juga Kevin berhenti menulis blog. Malahan, Kevin tidak melakukan apa-apa selain pasang tampang I-don’t-wanna-be-here sepanjang waktu. Dia bersungut “tidak ada yang mengerti dunia gue”, tapi dunia apa? Yang kita lihat kerjaannya setiap hari adalah mengurung diri di kamar bermain game sepak bola. Kevin tak-menarik, terlihat fake (dia tak pernah terlihat beneran jahil ataupun beneran angsty atau apapun). Didukung permainan akting yang bland yang membuatku bertanya-tanya sendiri kenapa mereka tidak menggunakan aktor beneran aja, Kevin adalah tokoh utama yang begitu uninspired.

Kita bahkan enggak tahu kenapa dia milih masuk IPA sementara teman-teman yang lain, yang segenerasi, berbondong masuk IPS. Berbeda dengan teman-temannya, Kevin masih punya mindset melakukan sesuatu untuk menghasilkan impresi dari orang lain. Dia ikutan website prank biar dianggap keren. Dia melakukan hal bukan untuk mengekspresikan diri, makanya dia ini sering banget berkilah “malu dibilang alay”. Tahukah kamu; Di luar sebuah perbuatan yang salah, malu hanya ada karena kita memikirkan pendapat orang lain tentang kita. Menjelang akhirpun, Kevin sepertinya belum menyadari ‘harga’ dari generasinya sendiri. Dia hanya berhenti ngeprank dan kembali menulis setelah dijauhi oleh teman-temannya. Dia berpikir kompetisi itu penting, dan film yang mengambil sudut pandangnya sebagai fokus, mendukung Kevin dengan membuat sekolah mereka menang kompetisi dalam setiap cabang. Seolah kemenangan adalah hal yang penting, mengimpresi berada di atas sekedar mengekspresikan diri. Dan ini semua terjadi bahkan setelah dia mendapat wejangan dari ayahnya seputar banyak lebih berharga dari ‘uang’.

semenarik itukah musik dan komentar dalam video game sepak bola sehingga harus banget pasang headphone?

 

 

Misi film ini adalah memperlihatkan keunggulan generasi yang selama ini diremehkan, hanya karena mereka belum punya cukup waktu untuk membuktikan diri. Tapi susah untuk konek dan percaya kepada suara tersebut lantaran dunia yang diperlihatkan terlalu laughable dan susah dianggap serius. Menurutku, tone cerita tidak musti terlalu over untuk mencapai komedi. Guru-guru yang ketiduran sambil berdiri, yang bicara sambil bernyanyi, yang mendikte buku pelajaran tanpa mengetahui anak muridnya yang hanya empat orang keluar dari kelas, kelewat bego sehingga tidak lagi lucu – hanya berfungsi sebagai distraksi dari isi cerita. We could have normal teachers and still make a funny story, right? Membuat yang lain ‘gak normal’ bukan lantas menjadikan subjek cerita ‘normal’. Lewat sudut pandang Kevin, film tidak benar-benar berhasil memperlihatkan kebolehan generasi Z. Pembelaan yang dilakukan film terhadapnya adalah dengan mengatakan generasi ini menghadapi tantangan yang lebih besar; mereka langsung dijugde begitu berbuat salah, nama mereka seketika bisa hancur di social media, dan semacamnya. Akan tetapi, bukankah kehidupan – apapun generasinya memang begitu? Ibaratnya, segala yang kita usahakan toh memang bisa dalam sekejap mata musnah karena bencana seperti gempa, kebakaran, ataupun kematian.

 

 

 

 

Film ini pun sepertinya lebih ingin mengimpress people, alih-alih mengekspresikan suaranya tentang perbedaan antargenerasi. Atau mungkin, justru film ingin memperlihatkan bahwa manusia tidak seharusnya dibagi-bagi ke dalam kelompok generasi? Yang jelas, ending film ini yang tampak draggy hanya seperti ingin memperlihatkan Kevin sayang banget ama Chelsea. Dan itu tak ada hubungannya dengan keseluruhan eksplorasi cerita. Delivery komedinya lebih sering miss ketimbang hit, dan menurutku hal tersebut erat hubungannya dengan kualitas penampilan akting dari beberapa pemainnya. Tema menarik seperti ini, seharusnya penulisan bisa dilakukan dengan lebih baik lagi.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for GENERASI MICIN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa generasi remaja sekarang mendapat bad rap sehingga dijuluki sebagai Generasi Micin? Apakah kita didefinisikan oleh generasi kelahiran?

Apakah kemajuan teknologi ada hubungannya dengan deteoritas manusia? Have smartphones destroyed a generation?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN Review

Write as well as you can and finish what you start.

 

 

 

Kalo ada film yang bisa kumaafkan memakai fake jumpscare, maka film itu haruslah memiliki kata Goosebumps pada judulnya. Sebab dari buku-bukunya, Goosebumps memang banyak memakai adegan serem yang berkonsep ‘ternyata cuma salah lihat atau dikagetin sama teman’. Bahkan tak jarang kita akan menemukan satu buku Goosebumps yang aktual monsternya hanya muncul di bagian akhir, sedangkan sebagian besar isinya berisi sang tokoh ‘salah sangka’ melihat monster. Mungkin saja aku terdengar sedikit bias terhadap judul ini. Tapi sebagai pembelaan, susah untuk tidak memandang tinggi guru yang udah ngajarin kita banyak hal.

Dan buatku, Goosebumps tak ubahnya buku pelajaran, dan R.L. Stine adalah gurunya.

 

Menginspirasiku untuk menggunakan imajinasi dan menuliskannya di kertas kala aku masih SD (baca juga Delapan Buku Goosebumps Paling Serem Favoritku), aku senang melihat gimana Goosebumps menjelma menjadi sebuah film yang mengumpulkan semua makhluk seram itu dan actually menceritakan mereka punya beef ama R.L. Stine. Film Goosebumps (2015) sangat menyenangkan, dan suprisingly gak jelek. Aku suka gimana film membangun ceritanya berputar kepada R.L. Stine dan kaitannya dengan pekerjaannya sebagai penulis cerita horor anak-anak. Sekuelnya ini, meski aku sedikit kecewa karena tokoh sang pengarang – R.L. Stine hanya muncul di menjelang akhir (dan mau-tak-mau kita harus mengakui peran Jack Black cukup besar menghidupkan tokoh ini), masih ada sangkut pautnya dengan kegiatan menulis. Dalam kapasitas horor fantasi yang fun, ceritanya seperti berusaha meraih anak-anak untuk mengeluarkan imajinasi mereka – baik itu melalui tulisan, ataupun projek karya ilmiah di kelas – tanpa harus takut gagal. Yang terutama menarik bagiku adalah film ini bermain dengan ide ‘gimana jika penulis seikonik R.L. Stine mengalami writer’s block‘ yang ultimately film ini berusaha memberi jawaban terhadap pertanyaan ‘apa yang harus kita lakukan kalo kita gak tahu harus menulis apa?’

Sarah (Tokoh Madison Iseman ini memang terlalu ‘tua’ untuk ukuran protagonis cerita Goosebumps) bingung musti nulis apa untuk esai pendaftaran universitas. Topik mengenai rasa takut harus ia jabarkan, namun otaknya nge-blank. Halaman Word nya komputernya tetap kosong. Ide memang kadang datang dari sumber yang tak terduga. Sonny (Jeremy Ray Taylor mirip Jack Black cilik), adik Sarah, yang membuka usaha bersih-bersih sampah menemukan ‘harta karun’ saat dia dan temannya menerima job untuk membersihkan sebuah rumah tua. Yang ternyata adalah bekas rumah R.L. Stine. Mereka menemukan buku yang terkunci dan boneka ventriloquist yang mendadak muncul saat buku tersebut dibuka – kita semua tahu siapa boneka itu! Slappy yang mereka bawa pulang, dengan segera menimbulkan kekacauan di kota. Slappy menghidupkan seluruh kostum monster dan dekorasi halloween demi membangun keluarganya sendiri. Keluarga yang tak pernah ia dapatkan lantaran R.L. Stine, sama seperti Sarah, tidak mampu menyelesaikan cerita yang ia tulis. Sekarang Sarah dan Slappy mesti berlomba ‘menuliskan’ ending dari buku horor R.L. Stine yang terlupakan tersebut.

“buku kok dikunci?” hah, anak sekarang belum pernah megang diari sih ya

 

Resep cerita yang bagus adalah terdapat keparalelan antara motivasi para tokohnya, protagonis dan antagonis menginginkan hal yang sama namun mereka punya pandangan dan cara yang berbeda dalam mencapainya. Goosebumps 2: Haunted Halloween, nun jauh di dalam sana, punya aspek tersebut. Sarah seorang creative writer muda yang ingin bisa menyelesaikan tulisan tentang apa yang ia takuti. Sonny yang ingin bisa menyelesaikan proyek kelasnya. Dibentrokkan dengan Slappy, tokoh cerita khayalan, yang ingin cerita dirinya tidak menggantung. Aspek menarik dalam narasi film ini sayangnya tertutup oleh elemen monster-monster, yang enggak konyol sih, hanya saja terlihat remeh karena tidak terasa digarap dengan serius. Seperti tidak ada passion dalam arahannya. Mereka hanya tampak ingin menyelesaikan proyek sekuel ini dan tidak benar-benar memperhatikan – atau mungkin juga enggak sreg – dengan material ceritanya. You know, karena menyelesaikan sesuatu yang sudah dimulai itu adalah hal yang penting. Film ini seperti terjebak dalam konundrum yang ia ciptakan sendiri, sehingga berujung kepada hasil akhir yang membuat kita berpikir “kenapa jadinya malah begini?”

Ingat ketika masih kecil selalu dibilangin “makan harus dihabisin, kalo enggak nanti nasinya nangis?” Well, kalo cerita horor enggak diselesaikan, maka Slappy akan sedih dan bikin sendiri cerita versi dirinya. Dan – mengutip buku – Slappy will fight dirty. Jangan takut untuk menuntaskan apa yang sudah kita mulai.  Tanggung jawab bukanlah rintangan, bukanlah momok. Kita tidak disebut gagal karena salah. Kita gagal karena tidak menyelesaikan.

 

Efek CGI pada film ini terlihat seperti penurunan dari efek pada film yang pertama. Dan bahkan pada film pertama efeknya tidak benar-benar luar biasa. Ada rasa terburu-buru jika kita melihat gimana film kali ini bergulir. Banyak adegan yang kurang rapi, efek yang belum clear benar. Budget sepertinya memang menunjukkan ‘suara’nya di sini. Pada adegan-adegan seperti Slappy di kaca mobil, Gummy Bear yang menyerang manusia, efeknya terasa seperti film televisi. Dan itu bisa jadi adalah pujian terhebat yang bisa kita kasih buat film ini; film televisi untuk keluarga yang begitu menyenangkan. Perfectly fine to watch, tidak menurunkan IQ kita sekeluarga. Nostalgia penggemar bukunya juga tidak akan tercoreng. Tapi mainly, itu karena film ini tidak melakukan banyak hal sebanyak yang mestinya ia lakukan.

Selalu seru melihat monster berkeliaran sekeliling kota. Akan tetapi, selain sebagai upaya untuk memperlihatkan kembali monster-monster klasik Goosebumps, menyatukannya dengan tradisi halloween, kita tidak melihat banyak alasan lain monster-monster tersebut ada di sana. Keberadaan mereka tidak terasa spesial, lantaran mereka enggak benar-benar ngapa-ngapain dengan tokoh utama kita. Kita bisa menonton ini dengan membuang bagian tengahnya – ngeskip ke ‘markas’ Slappy dan tetap mengerti isi cerita. Yang dilakukan Slappy cukup mengerikan, terutama buat anak kecil; sebenci apapun kita menyangka terhadap keluarga, kita tidak mau kejadian buruk menimpa keluarga. Kedatangan R.L. Stine sendiripun sebenarnya tidak terlalu penting, tapi menurutku karena film ‘salah menempatkan’ posisi tokoh ini. Dia bisa saja masuk lebih awal, dan memberikan lebih banyak peran dan makna daripada sekedar paparan jawaban. Tapi kupikir, sekali lagi ini masalah budget, jadi film tidak bisa mendapatkan Jack Black untuk waktu yang lebih lama.

siapa yang menelepon Sonny nyuruh bersihin rumah Stine tak pernah disinggung lagi hingga akhir

 

 

Ken Jeong turut bermain di film ini. Dan perannya juga tidak banyak berperan dan menambah bobot dalam cerita. Dia bermain sama persis dengan peran-perannya di film lain. Sebagai tetangga Sarah dan Sonny yang terobsesi banget dengan ngedekor rumah untuk acara halloween – laba-laba raksasa buatannya jadi monster paling keren yang dihidupin Slappy – aku mengira dia bakal punya peran yang lebih besar. Tapi sama seperti pada Crazy Rich Asians (2018)Ken Jeong ada untuk sesekali menyiramkan lelucon.

 

 

 

Hampir setiap kesempatan, film mengambil keputusan yang seperti tidak berfaedah apa-apa. Malah ada satu subplot tokohnya yang lebih cocok sebagai cerita seri buku karangan R.L. Stine yang lain, Fear Street (versi remaja dari Goosebumps). Romansa remaja pada dasarnya tak punya tempat dalam halaman Goosebumps. Film ini sesungguhnya bisa melakukan lebih banyak, hanya saja arahannya seperti tidak punya passion dan sekedar ingin menyelesaikan cerita. Pun begitu, ini bukan film yang jelek dan ngasal total. Aku suka aspek tentang menulis yang dikandungnya. Elemen monsternya pun cukup seru dan bisa merangkul semua anggota keluarga yang menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa yang biasanya kalian lakukan ketika mengalami Writer’s Block? Pernahkan kalian merasa pengen menyerah dalam melakukan sesuatu? Apa yang kalian lakukan saat itu, did you actually finish what you’ve done, atau meninggalkannya? 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

FIRST MAN Review

“Failures are great learning tools..”

 

 

 

Sejak jaman Jules Verne, manusia sudah mendambakan terbang ke bulan. Manusia butuh sesuatu yang tinggi sebagai simbol dari cerahnya harapan, sebagai tolak ukur pencapaian. Kita mendongak menatap sesuatu yang ingin kita gapai. Puncak perjalanan manusia kala itu adalah sampai ke bulan. Bahkan menjadi sebuah kompetisi, but it really moves human forward. Dan setelah asap roket dan asap kompetisi itu sirna, Neil Armstrong adalah sosok yang berdiri di sana, yang menjejakkan harapan umat manusia ke tempat setinggi-tingginya. Apa yang ia rasakan di atas situ. Apa makna perjalan tersebut bagi dirinya. First Man adalah cerita tentang diri Neil Armstrong, sebagai seorang manusia.

Ini bukan lagi soal kemajuan teknologi semata. Ini bukan perihal memenangkan perlombaan. Ini bukan catatan kemenangan negara yang superpower. Ini bahkan bukan tentang menjadi pahlawan yang dielu-elukan berhasil menjalankan misi. Ini adalah cerita tentang seorang manusia yang selama hidupnya pertama kali merasakan dirinya terbang oleh determinasinya untuk survive dari duka kehilangan dan kegagalan.

kalo ini film Indonesia, lagunya pasti “Ambilkan bulan, Pa”

 

Sejak George Melies ngajak kakek-nenek buyut kita jalan-jalan ke bulan lewat film pendeknya (A Trip to the Moon – 1902), para pembuat film juga berlomba-lomba menceritakan kisah perjalanan manusia ke luar angkasa. Mengeksplorasi ruang tanpa batas, menjelajah tempat yang tidak diketahui dengan ilmu pengetahuan, akan menjadi porsi utama cerita-cerita tersebut. First Man, berbeda dari lainnya, membawa kita ke atas sana sembari tetap menjejakkan kaki kita sedalam-dalamnya ke tanah paling akrab yang disebut dengan kemanusiaan yang berkekeluargaan.

Fokus cerita adalah Neil Armstrong dan keluarganya yang kehilangan putri pertama karena kondisi kesehatan. Grief yang selalu terpatri di dalam diri Armstrong, yang ia akui akan terus memberikan pengaruh kepada pekerjaannya sebagai seorang astronot NASA. Armstrong mengajukan diri dan terpilih dalam program antariksa terbang mencapai bulan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut, dan bagaimana itu semua mempengaruhi pribadinya, bagaimana dampaknya terhadap keluarga lah yang benar-benar dijadikan inti utama. Film ini tidak mengandalkan efek komputer sebanyak mereka mengandalkan penampilan akting Ryan Gosling dan Claire Foy (tuan dan nyonya Armstrong themselves) yang fenomenal. Gosling benar-benar membawakan ruh Armstrong ke dalam dirinya. Kita kerap mendapati permainan peran yang tersirat dan enggak exactly meledak-ledak dari Gosling, dan sebagai Armstrong pun dia menyuguhkan penampilan yang serupa. Tapi kadang terasa aneh juga, kekaleman Armstrong ini membuat kita terlepas dari cerita karena kita tidak pernah betul-betul tahu banyak ‘siapa dan darimana’ dirinya.

Alih-alih menyuguhkan sajian blockbuster memperlihatkan misi manusia yang berangkat ke bulan, Damien Chazelle mengembangkan cerita dari perspektif yang sangat personal. Bahkan, sang sutradara sendiri pun beranjak keluar dari zona nyamannya; Chazelle biasanya menggarap cerita yang bertemakan musik, namun dalam First Man kita akan melihat gimana Armstrong, yang disebutkan cakap bermain piano, menolak memainkan alat musik tersebut. Saat menonton First Man, kita tidak menjadi excited dengan melihat efek ledakan ataupun keseruan dari misi eksplorasi yang gone wrong. Hati kita jumpalitan melihat adegan Armstrong duduk bersama keluarganya di meja makan, malam sebelum ia menjalankan misi mencoba terbang ke bulan. Seorang ayah yang harus menjelaskan kepada putra-putranya dia harus pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali. Seorang ibu yang duduk terdiam di sana, memahami situasi dan menelan rasa khawatirnya bulat-bulat sehingga ia tidak berteriak menuntut suaminya untuk menjalani pekerjaan normal seperti yang ia impikan.

Konflik kemanusiaan dalam ceritanya yang membuat kita bertahan duduk menghabiskan durasi film yang memang cukup panjang. Di lain kesempatan, film memparalelkan apa yang dirasakan oleh Armstrong mengenai pergi dan mengorbankan yang ia miliki demi sesuatu yang nun jauh di sana dengan keadaan sosial politik yang menimpa rakyat Amerika kala itu sehubungan dengan program ruang angkasa yang hendak ia jalani. Pemakaman sudah seperti menjadi jamuan bulanan buat Armstrong dan istrinya. Dia sudah kehilangan begitu banyak teman dan rekan kerja sesama ‘pelaut luar angkasa’ dalam usaha mereka menjalankan program tersebut. Dalam satu momen yang langka; Armstrong meninggikan suaranya, ia berseru bahwa kegagalan adalah keharusan lantaran mereka sudah sepatutnya gagal dan belajar dari kegagalan tersebut mumpung masih di bawah sini, supaya tidak ada kegagalan begitu sudah sampai ke atas sana. Bentrokannya adalah; at what cost? Film memperlihatkan gejolak dari masyarakat yang mempertanyakan keputusan pemerintah mengeluarkan dana besar untuk sesuatu yang berbahaya dan tak pasti, padahal masih ada hal yang lebih dekat lagi yang semestinya diberikan aliran dana.

orang sudah nyampe bulan, eee kita masih bingung bulan depan makan apa

 

 

Film berusaha menangkap semua aspek ceritanya dalam tampilan yang natural. Enggak dibuat-buat. Maka dari itu, aku menyarankan untuk tidak menonton film ini dalam keadaan perut yang kosong. Karena sebagai kontras dari adegan drama dan masalah keluarga yang direkam dengan relatif tenang, adegan-adegan yang berhubungan dengan astronot dan percobaan luar angkasa pun betul-betul dibuat senyata mungkin. Maksudku, kameranya – yang sedari awal sudah dibuat grainy biar sesuai dengan waktu kala itu – juga ditangani dengan sangat praktikal. Chazelle menggunakan teknik kamera handheld untuk sebagian besar adegan; di satu pihak dia berhasil menyatukan efek-efek dengan mulus, membuat setiap adegan tersebut sangat menakutkan dan penuh suspens. Namun di pihak lain, itu berarti kamera akan sering bergoyang hebat. Membuat kita seperti persis berada di dalam roket, mengalami semua guncangan yang dirasakan Armstrong dan teman-temannya. Dan ini bisa menjadi pengalaman yang membuat mual. Menonton ini aku jadi bersyukur aku kepentok dalam cita-citaku menjadi astronot, karena jika nonton film ini aja aku udah merasa mau muntah karena goyang-goyangnya, gimana kalo aku jadi pilot roket ke bulan beneran? Belum ninggalin atmosfer, bisa-bisa aku sudah pingsan duluan dengan bola mata berputar-putar kayak di film-film kartun.

Salah satu yang paling menakjubkan itu adalaha ketika Armstrong beneran nyampe ke bulan. Pengalaman menontonnya benar-benar terasa mengharukan. Suasana yang mendadak hening karena di sana enggak ada angin, padahal kita tahu di Bumi sana orang seluruh dunia mendengarkan siaran langsung misi mereka. Suara kresek-kresek komunikasi satelit mereka dengan menara NASA. Kalimat ikonik yang diucapkan oleh Armstrong. Seolah kita menjadi orang ketiga yang ikut, yang menjejakkan kaki di sana. Melihat dirinya terdiam di atas sana, hanya berdiri untuk beberapa saat.. Merinding! Atau paling tidak, aku merasa seperti orang-orang yang mendengarkan langsung siarannya saat peristiwa tersebut beneran terjadi bertahun lalu. Kita banyak mendengar berita bahwa film ini diprotes oleh warga Amerika lantaran tidak memperlihatkan adegan spesifik penancapan bendera. Setelah melihat film ini, dan menyaksikan sendiri sekuen di bulan tersebut, aku bisa melihat kenapa adegan penancapan bendera itu tidak disorot. Dan itu bukan karena pembuatnya gak nasionalis. Melainkan karena adegan tersebut akan mengganggu kekonsistenan tema film; sebab ini adalah tentang pencapaian manusia seutuhnya, yang diwakili oleh Armstrong di luar kewarganegaraannya.

Jika ada satu hal yang membuatku penasaran dari bagian di bulan tersebut, maka itu adalah hal personal yang dilakukan oleh Armstrong saat dia memandang kawah bulan dari dekat. Kalo disebutin, akan spoiler banget, aku yakin kalian keberatan jika terlalu spoiler. Maka aku hanya bisa bilang, aku cukup mendua perihal adegan tersebut. Adegan yang menyentuh tersebut, akan berkurang kekuatannya jika tidak benar-benar dilakukan oleh Armstrong di dunia nyata; dia hanya bersifat teatrikal belaka. Lain halnya jika hal itu beneran terjadi, dan kita baru pertama kali melihat sisi tersebut dari sosok Armstrong. Saat membuat film ini, diberitakan mereka memang melakukan riset dengan langsung mewawancarai keluarga Armstrong, jadi adegan yang kumaksudkan di sini bisa saja beneran terjadi, akan tetapi tidak ada informasi lebih jauh yang bisa mengonfirmasi hal tersebut.

 

 

 

Usaha yang sungguh-sungguh menjadikan cerita sejarah ini sebagai pandangan yang sangat personal tentang cinta, harapan, dan keluarga. Segala aspek dan teknis diperhatikan dengan seksama, sehingga terciptalah nuansa pengalaman yang otentik dan keaslian. Sedikit mengecewakan adalah koneksi emosi kita dengan Neil Armstrong yang kerap terasa terputus, karena tokohnya dimainkan dengan emosi yang terlampau detached pada tipe cerita yang mengajak kita untuk berpegang erat kepada karakternya. Ini bukan tentang kejadian apa, melainkan siapa yang mengalaminya. Kita ingin berkomunikasi lebih banyak dengan tokoh utamanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for FIRST MAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa yang kira-kira kalian lakukan jika kalian tahu tidak akan gagal? Apakah sesuatu hanya berharga jika berhasil dilakukan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

UDAH PUTUSIN AJA! Review

“You’re in love with the idea of being in love”

 

 

 

Jilbab tidak mencegah kehamilan. Sama seperti kita pakai helm bukan supaya enggak bakal kecelakaan. Melainkan sebagai tindak untuk melindungi diri. Hal yang lucunya adalah enggak semua orang memilih untuk pake helm. Bahkan tak jarang malah keki disuruh pakai. Buat apa sih? Banyak yang mencari alternatif lain. Pandai-pandai jaga diri aja. Lagian siapa sih yang suka disuruh-suruh. Kalo mau aman, disuruh pake helmlah. Kalo mau masuk surga, disuruh pake jilbab. Kalo mau bertamu, disuruh masuk. Kalo haus, disuruh harus minum air kelapa dingin yang seger. Eh, kalo disuruh begitu mah semua pasti pada mau yaa.

Ketika disuruh untuk melakukan sesuatu, mekanisme pertahanan manusia otomatis akan membuat seseorang masuk ke mode ‘melawan’. Ingin membuktikan bahwa sebenarnya suruhan itu bukan berarti yang nyuruh benar, dan yang disuruh itu salah. Kita cenderung akan berusaha untuk membuktikan sebaliknya. Makanya, semakin dilarang, kita akan semakin nakal. Untuk alasan itu jualah Amanda (Audi Marissa berhasil untuk tidak membuat tokohnya annoying) suka keluar malem. Dia nekat melanggar aturan di depan idung ayahnya yang tertidur lelap. Gak boleh pacaran, eh Amanda tetep aja backstreet-an. Film Udah Putusin Aja! sepertinya paham bahwasanya suruhan hanya akan dijawab dengan perlawanan, maka film ini menyampaikan ceritanya dalam nada komedi. Dari Amanda hingga papanya, dari sahabatnya yang cowok semua hingga ke ibu gurunya, semua akan tampil dengan tingkah yang konyol. Kita mungkin akan geli sendiri melihat rentetan adegan ayah Amanda menemukan pregnant test dalam tas, yang ternyata adalah milik teman dekat Amanda, yang menuntun kita ke peristiwa di mana Amanda harus ikut pesantren kilat yang diadakan oleh Faraz, siswi paling surgawi di sekolah (Elyzia Mulachela paling jago mainin tokoh yang lembut kayak gini). Dari sana adegan-adegan konyol yang sebenarnya adalah sentilan, kalo gak mau dibilang sebagai ceramah terselubung, terus bergulir. Amanda dan gengnya berusaha kabur!

“makin ditolak, makin semangat”

 

 

Tegas di dalam gagasan dan konteksnya, film ini punya treatment aktor yang tidak seperti pada film-film lain. Felix Siauw – pembuat dan pemilik ceritanya – menjelaskannya di kredit penutup film, jadi aku gak akan ceritain di sini. Film benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Di samping itu, film tidak begitu saja menegur dengan drama-drama orang mulia ataupun semata membuat penonton mengucurkan airmata. Yang film ini lakukan adalah mengambil sudut pandang dari seseorang yang akrab dengan remaja sehari-hari. Menarik penonton untuk masuk berkat sifat tokohnya yang menolak untuk diatur. Amanda kuat oleh perspektif, dia punya kompas moral sendiri. Mengatakannya seorang bad girl akan dianggap pujian oleh cewek ini. Ada banyak adegan yang mengundang tawa seputar bentrokan yang dilakukan oleh Amanda. Ketika dia berdoa agar rencananya kabur dari pesantren berhasil, misalnya. Ataupun ketika dia berbalik memutuskan untuk tetap tinggal di pesantren, hanya demi membuktikan bahwa Faraz yang berjilbab sebenarnya tak-lebih baik dari dirinya sendiri. Perubahan yang dialami oleh Amanda, seiring berjalannya cerita, akan membuat kita mengerti pemahaman dan gagasan yang coba diangkat oleh film ini. Ya, film ini memang cukup ambisius, dia ingin membuat kita benar-benar melihat apa yang dirasakan oleh Amanda – dia ingin penontonnya juga berubah. Film ini ingin penontonnya – mereka menargetkan remaja wanita – untuk mencari dari dua sisi; dampak negatif dan dampak positif (kalo ada) dari pacaran. Dan meski tone komedi film ini agak berlebihan, apa-apa yang terjadi pada para tokoh sebenarnya memang mungkin terjadi di dunia nyata.

Romantisasi tidak musti melulu berarti datang dari cewek dan cowok yang lagi kasmaran. Cinta bukan hanya soal berpacaran. Kita melihat di sini Amanda menemukan cinta yang tulus, yang sejatinya adalah perwujudan dari rasa saling peduli, rasa saling mensyukuri, rasa saling menghormati. Tidak kurang tiga kali Amanda jatuh cinta tanpa ia sadari; kepada Faraz yang tadinya ia antagoniskan, kepada ayahnya yang tadinya ia lawan, kepada Tuhan yang tadinya sengaja ia lupakan. Hati pada cerita ini berasal dari hubungan antara Amanda dengan ketiga sosok tersebut. Film ini membuat Amanda sadar bukan dari ceramah-ceramah guru ataupun Kang Guru di Pesantren, kita malah diberikan kesempatan untuk menertawakan mereka bersama-sama. Amanda sadar karena dia berpikir sendiri, karena dia melihat dari sekitarnya.

Wanita moderen adalah cewek yang mandiri, yang tahu bahwa kebahagiaan yang ia cari tak perlu harus berasal dari orang lain. Jika begitu, kenapa masih saja banyak cewek yang merasa perlu untuk punya pacar? Yang sampai berlomba banyak-banyakan jumlah mantan? Karena, seperti Amanda yang merasa disuruh-suruh, dia hanya cinta terhadap gagasan tentang cinta

 

Film juga memperlihatkan gimana pacaran dari sisi cowok, mereka mencoba sejujur-jujurnya memperlihatkan isi pikiran cowok, dengan juga cukup bijak menyuarakan “enggak semua cowok brengsek” meski memang film literally sempat menyebut bahwa penampakan paling seram adalah yang berwujud manusia tampan. Yang agakl mengkhawatirkan adalah minimnya konsekuensi yang dijatuhkan kepada para cowok dalam film ini, karena ceritanya ingin menguatkan poin ceweklah selalu yang paling dirugikan.

kecuali kalo nginjek kotoran sapi itu dianggap konsekuensi

 

 

Menjelang babak ketiga, film menjadi sedikit terlalu preachy. Yang menurutku ada hubungannya dengan pergantian tone cerita yang lumayan drastis. Ada adegan di mana Amanda yang terkantuk-kantuk diajak sholat jam 3 malam oleh ayahnya; doa dari sang ayah membuat Amanda menitikkan air mata. Kemudian ayahnya memberikan kembali barang-barang milik Amanda, seperti hape dan privilage memakai mobil, yang sebelumnya ia sita karena Amanda sudah membuat dirinya bahagia. kemudian Amanda juga turut gembira karena barang-barangnya sudah kembali. Menurutku ini membuat pesan yang ingin disampaikan sedikit melemah. Membuat Amanda seperti belum belajar apa-apa, karena di titik itu seharusnya dia dibuat bahagia meski tanpa barang-barang tersebut, mestinya Amanda sudah tahu dia tidak butuh semua itu – dia tidak butuh pacaran – untuk bahagia. Instead, dari adegan tersebut yang bisa kita simpulkan justru adalah Amanda hanya merasa kasihan kepada ayahnya.

Sepertinya film memang cukup kesulitan merangkai penutup, karena setelah mereka beres dari pesantren, film meninggalkan komedinya dan masuk ke dalam mode yang serius. Kelihatan cerita hilang keseimbangan di poin ini. Menyampaikan cerita yang serius, film seperti sedikit terlalu berhati-hati, mereka tak lagi menyuguhkan rentetan kejadian yang bergulir. Kita malah mendapat adegan Amanda curhat di vlog, seperti gadis yang menulis buku diari, dia benar-benar menceritakan apa yang ia rasakan, dan ini sesungguhnya adalah storytelling yang paling gampang yang bisa terpikirkan oleh pembuatnya – kalo gak mau disebut malas. Seharusnya film membahas elemen prejudice terhadap Faraz dengan lebih dalam lagi, tidak cukup banyak waktu yang diinvestasikan cerita ke sana, padahal sebenarnya ini bagian yang integral dalam konteks memperlihatkan gimana dampak dari hubungan cewek dan cowok bisa terblow up begitu gede di kalangan masyarakat.

Semua orang bebas menentukan jalan hidupnya. Semua orang mestinya tidak perlu ditantang perihal kemampuannya dalam menjaga diri sendiri. Orang bisa melawan. Orang diharuskan mencari kebahagiaan demi dirinya sendiri, baru buat orang lain. Tapi di atas semua itu, seseorang tersebut haruslah bertanggungjawab. Lewat Faraz, film menunjukkan betapa pun baiknya nama kita, jika terjadi apa-apa, kerugian itu lebih banyak jatoh ke wanita. Tapi jika kita benar-benar mandiri, kita akan tahu untuk tidak berbangga sebagai victim.

 

 

 

 

Over-the-top, cheesy (film ini berakhir dengan lagu pop), preachy, tapi paling enggak film ini konsisten dan tegas dengan gagasan yang ia usung. Tone ceritanya sedikit tak seimbang, dengan ada elemen bercerita yang tidak benar-benar menambah banyak untuk narasi – selain menambah keconvenience-an, yang ultimately membuat film ini semakin lebih mirip film televisi dan kurang teatrikal. Komedi sebenarnya bisa/cukup dilakukan dengan gimana Amanda memandang orang-orang dan kebiasaan agamis itu dengan aneh, gaya hidup mereka bisa dibentrokan, dan jadinya juga bakalan lucu sehingga jarak tone cerita di bagian awal dan akhir film ini dapat dipersempit. Penggunaan flashback yang berlebihan juga mengurangi poin untuk film ini. Tapi ini adalah cerita yang berani dengan pesan yang bagus, dan relevan. Kalian bisa nonton ini dan terhibur, atau malah tersinggung dan kesal olehnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UDAH PUTUSIN AJA!

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa yang terjadi jika cewek-cewek di dunia ini pada kompakan untuk gak mau pacaran? Akankah cowok akan semakin kompetitif, atau dunia malah jadi membosankan tanpa ada gosip dan cela yang bisa diumbar?

Sebaliknya, jika kita diharuskan untuk berbaik sangka, kenapa kita tidak bisa berbaik sangka sama pacaran? Benarkah tidak ada sisi baik yang datang dari pacaran?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WIRO SABLENG 212 Review

“Do not seek revenge and call it justice”

 

 

 

Alasan kenapa Wiro dilatih silat dengan jurus-jurus yang konyol dan menyenangkan sama dengan kenapa pemuda ini diberikan baju berwarna putih; supaya Wiro senantiasa jauh-jauh dari aliran kegelapan. Namun, tak sama dengan baju putih yang gampang kotor, Wiro membuktikan hatinya tidak gampang untuk ternoda. Gemblengan Sinto Gendeng yang meski asik tapi luar biasa keras sudah menempa Wiro menjadi pendekar sakti baik budi. Kekurangannya, ya cuma satu – SABLENG!

Bagi pembaca novelnya, ataupun bagi pemirsa yang (beruntung) pernah menyaksikan serial televisi Wiro Sableng di tahun 90an, tentunya tidak akan asing dengan gimana sih Wiro Sableng itu.  Buat yang sama sekali awam, ada baiknya menyimak penggalan lirik lagu serial tersebut “sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar – dia slenge’an tapi cinta damai” sungguh tepat menyimpulkan seperti apa Wiro Sableng. Film kerjasama Lifelike Pictures dengan 20th Century Fox ini dengan sangat tepat menghadirkan kembali style dan ruh dari serial lama itu. Film ini exactly terasa seperti menonton serialnya, dengan kualitas visual dan set produksi yang jauh lebih mahal.  Ajiannya sekarang bukan efek tepung, tapi efek komputer. Kostumnya tradisional dan sederhana tapi tak tampak kuno sebab diasimilasikan dengan gaya moderen.

Satu orang yang paling bangga sedunia oleh film ini tentu saja adalah Vino G. Bastian. Jikalau dia sempat merasa beban mengangkat semesta karangan ayahnya ini, maka aku bisa pastikan dengan tayangnya filmnya ini Vino merasa sangat bangga. Dia menangkap passion dan gaya dan esensi Wiro Sableng itu sendiri. Si Bocah Kunyuk kembali hidup di tangannya! Bayangkan Deadpool tapi minus crudeness, bayangkan Sun Go Kong si Kera Sakti namun sedikit dijinakkan. Itulah Wiro Sableng.

Sekuen di kedai itu contohnya; classic Wiro Sableng banget. Gimana aksinya, gimana cara dia ‘menghukum’ penjahat. Wiro selalu seperti orang blo’on yang tampak enggak tahu dengan apa yang ia sendiri lakukan. Ketika orang memandangnya sebelah mata, menghinanya, saat itulah Wiro menyerang, and he was so good at it. Tau-tau musuhnya sudah terkapar kena kacang dari jurus Kunyuk Melempar Buah. Nuts! Film ini kocak dan menyenangkan, persis kayak tokoh Wiro Sableng itu sendiri. Adu mulut Wiro dengan eyang gurunya udah kayak percakapan orang beneran yang lagi tertawa-tawa bercanda, mereka hampir seperti keluar dari karakter, that’s how fun it is. Pose jurus silat – dan nama jurus-jurusnya – yang over-the-top, orang pake jurus terbang dengan gerakan yang kaku, orang ditendang ngerubuhin tembok, dialog yang mungkin akan terdengar cringey, leluconnya mungkin ada yang vulgar, penjahatnya memang bisa tampak sangat bego dan lemah (wong Wironya kuat gitu). Namun memang begitulah fitrah film ini, over-the-top – lebay adalah nadi dari cerita dunia persilatan ini. Wiro Sableng 212 butuh untuk menjadi over-the-top. Jika kita punya cerita di mana tokohnya dijuluki sebagai Dia yang Menertawakan Dunia, film kita tidak boleh berpaling dari semua itu. Jangan sampai menjadi terlalu serius. Karena justru dari sinilah datangnya pesan yang kuat dan rasa terhibur saat menonton.

menggelinjang melihat Vino dan cameo Kenken melakukan pose 212

 

 

Alur ceritanya pun sesederhana dunia persilatan; ada kekuatan baik, dan ada kekuatan yang jahat. Seorang penjahat memimpin gerombolan bandit untuk merusak desa dan Voldemort-in orangtua Wiro yang masih tak lebih dari seorang bocah. Sinto Gendeng muncul dan menyelematkan Wiro kecil dari dekapan penjahat. Wiro dididik untuk mewarisi Kapak Maut Naga Geni 212, sehingga dia bisa mengemban tugas mencari mantan murid Sinto Gendeng yang kini sudah menjadi penjahat kelas kakap – bos dari gerakan “Ganti Raja” di kerajaan sekitar tempat Wiro Sableng. Turung gunung, Wiro harus segera menangkap si Mahesa Birawa ini, yang actually juga adalah orang yang sama dengan yang membunuh ayah dan ibunya tujuh belas tahun yang lalu.

Ilmu Putih atau Ilmu Hitam sebenarnya adalah ilmu yang sama. Bayangkan setiap kepandaian yang kita miliki sebagai jurus silat kita. Adalah terserah kepada kita untuk memilih menggunakan ilmu tersebut untuk apa. Tapi menurutku film sebenarnya berpesan lebih dalam dari ini. Masukkan Mahesa Birawa yang diperankan oleh Yayan Ruhian dengan amat garang dan keji. Sosok ini adalah antagonis yang perfecto buat karakter Wiro Sableng. Mahesa percaya setiap orang berhak mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Jika mereka punya ilmu, maka mereka berhak untuk mengejar harta, nama, ataupun kuasa. Setiap orang mengambil jalan hidupnya masing-masing. Begitulah yang ditapaki oleh Mahesa. Dia merasa pantas, dia ingin punya Kapak Maut, he went for it. Dia ingin mengubah tatanan dunia, dia ingin menjadi raja, dan dia berusaha untuk mengambil apa yang menurutnya sudah jadi haknya. Ini berkebalikan dengan yang Wiro pelajari. Ia bergerak atas dasar tugas. Kewajiban Wiro adalah untuk menegakkan kebenaran, menumbangkan kejahatan. Seperti juga Kapak Maut yang hanya berhak digunakannya setelah ia diakui dan hanya bisa menariknya dalam kondisi hidup atau mati. Moral Wiro lantas bentrok ketika dia mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh Sinto Gendeng; bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya.

Pertanyaan yang mesti dijawab oleh Wiro adalah apakah balas dendam itu merupakan hak? Sesuatu yang menjadi miliknya. Apakah seseorang berhak untuk melakukan pembalasan setimpal. Jawaban film ini jelas; Wiro tak dapat lagi memanggil kapak yang tadinya bisa ia main-mainkan seolah senjata itu pesawat mainan.

 

 

Sayangnya, dibandingkan dengan Mahesa Birawa yang motivasinya mengancam dengan kuat, Wiro Sableng sendiri selalu dilemparkan ke dalam situasi. Dia disetir oleh Sinto Gendeng yang sengaja menyimpan informasi penting tentang Birawa. Wiro hanya tahu informasi dari orang-orang yang ia temui. Tidak sekalipun Wiro tampak bergerak dengan motivasinya sendiri. Dia bahkan tak terasa beneran peduli sama lingkungan sekitarnya yang bukan cewek dan bukan bernama Mahesa Birawa. Dia datang, bertemu orang-orang – yang juga mendadak jadi ikut petualangannya, mereka terlibat pertempuran bareng. Wiro beneran seperti seorang kelana; dia hanya ada di sana. Dia tak tahu banyak, kita bahkan lebih tahu daripada dia. Kita tahu lebih dahulu bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya, kita expect dia akan mendendam, ini sungguh cara yang aneh dalam menuturkan cerita. Akan menjadi lebih menarik jika Wiro belajar sendiri bahwa Birawa adalah orang yang membuatnya tak punya ayah dan ibu, dia kemudian bergerak dengan amarah dan dendam untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kalah, dan cerita berlanjut sebagaimana yang diperlihatkan oleh film – supaya dia tidak melulu disuapin, agar dia menciptakan kondisi – menyetir cerita alih-alih terbawa arus naskah.

Ada banyak yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih jauh perihal karakterisasi. Karena bukan hanya Wiro, semua tokoh di sini tampak datang dan pergi. Nice to see Sherina Munaf terjun kembali ke dunia akting, namun motivasi karakter Anggini yang ia perankan terasa mentah begitu saja. Yang paling parah adalah Bujang Gila Tapak Sakti yang seperti siluman Patkai (aku gak menyangka suara Fariz Alfarazi melengking seperti itu). Sama sekali tidak ada alasan kenapa tokoh ini ada di sana. Bantering dia dengan Wiro memang salah satu yang jadi pemantik tawa, namun karakternya seperti pemanjangan dari karakter lucu Wiro belaka. Hampir seperti tokoh ini ada di sana untuk menjamin Wiro enggak garing. Seperti ketika mereka menyusup dengan menyamar menjadi rombongan penari wanita; kenapa yang menyamar musti Wiro dan Bujang, sedangkan Anggini yang cewek beneran malah masuk lewat jalan lain – kenapa bukan Wiro dan Anggini? Mereka akan menghadapi penjahat yang buaanyak banget, yang udah terkenal di Wiro Sableng Universe. Dan sama seperti mereka, para penjahat juga ada di sana buat berantem doang. Backstory mereka tipis sekali,  keteteran. Mereka hanya jahat. Bahkan enggak semua penonton langsung tahu jahatnya mereka itu sebenarnya gimana. Sebagian mereka hanya tampak jahat by association buat sebagian besar penonton. Padahal mestinya bisa digali lebih, sebab kita tahu mereka berkoalisi untuk meruntuhkan pemerintahan raja saat itu

paling enggak akhirnya kita dapat Pendekar Pemetik Bunga yang kemayunya ke arah cool ketimbang kumisan dan total pervert

 

Sebagai film laga, elemen fantasi benar-benar digunakan untuk mempertajam elemen hiburan di sini. Hal tersebut memastikan koreografinya menarik untuk disimak. Karena setiap orang punya jurus berbeda. Mereka berkelahi di environment yang berbeda-beda. Kamera juga cukup bijak untuk enggak kebanyakan goyang, dan paham apa yang harus diperlihatkan, mana yang enggak. Teknik editingnya pas berantemnya bisa jadi sedikit mengganggu karena sering cut yang berpindah-pindah, yang tadinya kupikir untuk mengakomodasikan keperluan stuntman dengan pemeran asli, seperti Wiro yang harus selalu bertingkah konyol di sela-sela berkelahi.

 

 

 

Jurus-jurus yang dipunya membuat film ini menghibur – dia tidak ingin menjadi lebih dari serialnya dulu, kecuali semuanya sekarang tampak lebih mentereng. Bahkan cerita film ini ditutup dengan para jagoan kita berpisah gitu aja, kayak akhir episode di tv. Ceritanya sepertinya dibuat sama dengan yang di buku, mereka enggak mengubah banyak. Actually film ini adalah bagian pertama dari entah berapa sekuel yang mereka rencanakan. Dan tentu saja ini jadi sumber masalah, sebab film ini pun jadi punya mindset ‘kalo ada yang kurang, nanti dijelasin kok sama sekuelnya’ ataupun ‘di buku dijelasin kok’ Padahal kan mestinya film bisa berdiri sendir, walaupun dia adaptasi atau bagian dari trilogy atau semacamnya. Film ini mestinya bisa diceritakan dengan lebih baik lagi. Enggak seriusnya lumayan bablas, karena kita udah melihat contoh full-bercanda namun bukan berarti tidak serius pada Thor: Ragnarok (2017), film ini mestinya juga bisa mencapai prestasi yang sama.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WIRO SABLENG 212

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Tapi aku sebenarnya punya satu teori, atau bisa disebut prediksi, karena aku gak yakin film ini berani mengambil langkah yang beda dengan buku. Akan menarik sekali sih kalo berani.
Aku merasa masih ada sesuatu rahasia perihal Mahesa Birawa. There’s more of him dari seorang murid durhaka dan pembunuh. Mahesa tidak bertindak secara acak. Dia kelihatan kenal sama ayah dan ibu Wiro. Motivasinya selalu dia ingin mengambil apa yang menjadi haknya. Di hari naas itu, kita tahu Mahesa ada di sana untuk mengambil sesuatu yang ia percaya adalah miliknya, tapi apa? Dia seperti tak berniat membunuh Suci, sampai dia tertusuk. Begitu pun terhadap Wiro. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Wiro, awalnya dia menyuruh Kalingundil untuk membawa bocah tersebut; tidak membunuhnya. Kemudian saat Wiro gede, dia memanggil Wiro dengan sebutan ‘anak haram’.

Could it be, ayah dan ibu Wiro bukan pasangan suami istri?

Mungkinkah, Mahesa Birawa akan diungkap sebagai ayah tiri Wiro?
To be honest, saat menonton aku sudah siap untuk momen seperti ‘Luke, I am your father.’

Bagaimana menurut kalian soal teori ini?

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ROMPIS Review

“There are no strangers here; Only friends you haven’t yet met.”

 

 

 

 

Jarak sama seperti api, bagi orang pacaran. Kecil jadi kawan. Gede jadi lawan. Hubungan asmara perlu dikasih jarak-jarak kecil biar gak posesif-posesif amat, like, jangan melulu melapor setiap mesti ngapa-ngapain, jangan terlalu ngurusin ini-itu sehingga tidak ada ruang gerak. Relationship yang sehat selalu berdasarkan dengan mutual trust yang dilatih dengan kita memberi ruang gerak terhadap pasangan. And that is the tricky part. Terlalu lebar memberi ruang, kejauhan ngasih jarak, bisa membuat ruang kosong antara dua orang tersebut diisi oleh orang lain. Itulah yang ditakutkan oleh pasangan-pasangan yang dihadapkan pada masalah LDR; Long-Distance Relationship.

Roman dan Wulandari sudah bersama-sama sejak serial televisi Roman Picisan ngehits. Film ini melanjutkan kisah tanpa-status mereka yang kini sudah pada lulus SMA.  Kalo para penggemarnya sudah sudah geregetan melihat tarik-ulur hubungan mereka yang begitu manis penuh puisi kacangan karangan Roman, bayangkan gimana gemesnya mereka menyaksikan kedua anak muda ini harus dipisahkan oleh jarak saat Roman keterima kuliah di Belanda? Puisi-puisi Roman tak pelak menjadi sarana yang pas untuk lingkungan LDR yang harus mereka jalani.  Kita melihat Roman dan Wulandari melempar kata-kata romantis lewat hape mereka. Tetep mesra, namun toh setelah sembilan bulan berjauhan, jarak itu kerasa juga. Roman mulai gak konsen kuliah, nilainya jeblok, padahal ia sadar betul dirinya yang ‘sobat miskin’ harus lulus dengan nilai gemilang – demi orangtuanya. Juga demi Wulandari yang menunggunya. Wulandari pun semakin insecure, terlebih saat dia mengetahui Roman punya kenalan berwujud cewek yang manis banget bernama Meira di sana.

Aku yang gak ngikutin serial televisinya aja kebawa gemas loh. Interaksi para tokoh ini terlihat benar-benar natural. Aku gak kayak sedang melihat tokoh film. Aku jadi merasa kayak mas-mas creepy yang diam-diam ngintilin anak-anak muda tersebut lagi pacaran, anak-anak muda yang nunjukin persahabatan dan berusaha menyelesaikan masalah mereka, di sepanjang jalanan kota Amsterdam. Sebegitu realnya para pemain menghidupkan tokoh mereka. Chemistry Arbani Yazis dengan Adinda Azani menguar luar biasa, baik itu di adegan mereka rayu-rayuan maupun lagi marah-marahan. Hebatnya, kita tahu yang tokoh mereka rasakan tersebut bukan cinta-cintaan. Kita paham situasi mereka, film membuat kita mengerti kenapa Roman masih saja ngekeep Wulandari tanpa-status – mereka gak bener-bener jadian. Para pemain tampak bertindak kayak remaja beneran yang sedang menghadapi ‘masalah’ ini. Aku suka gimana Azani memainkan gesture dan intonasi marah-tapi-malu-malu khas cewek. Meira di tangan Cut Beby Tshabina tampak keren sekali bermain sebagai cewek misterius namun sedikit agresif. Tapi mungkin yang paling likeable di antara semua adalah Umay Shahab yang memainkan Samuel, sohib Roman, yang bertindak sebagai voice of reasons; perantara Roman dan Wulandari, memberi mereka sudut pandang lain yang tak jarang muncul lewat candaan khas anak muda.

si Bobi ekspresi kentutnya masih sama ahahaha

 

Sebagai sebuah kelanjutan dari serial, film ini bertindak sebagai penutup yang bertujuan untuk memuaskan penonton layar kacanya. Jadi, beberapa hal yang sudah terestablish ga bakal diberikan penjelasan lagi di film ini. Kita tidak akan mendapat backstory kenapa Roman dan Wulandari saling cinta. Kenapa Roman dan Samuel bisa sobatan. Latar ekonomi dan keluarga saja hanya diinfokan sebagai bagian dari candaan. “Mereka sudah begitu sejak dari SMA” jawab Wulandari kepada Meira, yang sama orang-luarnya seperti kita. Dan ini dapat menjadi masalah, sebab buat penonton film yang tidak ngikutin serialnya, para tokoh ini akan tampak seperti orang asing. Bahkan Meira juga, karena kita hanya akan mengenalnya setelah pengungkapan di babak akhir – untuk sebagian besar waktu kita akan exactly menanyakan pertanyaan yang sama: kenapa cewek pirang ini begitu peduli sama Roman. Kita diminta untuk ngikut aja sama cerita. Buatku, ini menjadi lumayan bikin frustasi. Sebab tokoh-tokoh yang udah kayak sahabat beneran ini, aku ingin kenal mereka lebih dekat, aku ingin bisa peduli sama mereka – lebih dari tertawa bersama dan bilang “aww they look so cute together”. Alih-alih itu, film malah seperti menudingku ‘salah sendiri enggak nonton serial tivinya’; kenapa nonton, film ini kan dibuat untuk penggemarnya.

Stranger Danger mungkin memang real, tapi setelah menonton film ini kita akan berpikir bahwa Stranger Danger sebenarnya adalah paradoks. Apasih orang asing itu? Kita melihat hubungan Roman dan Wulandari terancam ketika Roman didekati oleh orang asing, Meira. Dan cara menyelesaikan masalah yang ada ialah dengan mengenal Meira lebih dekat, menjadikannya sebagai teman. Orang asing dianggap  ‘berbahaya’ karena kita tidak kenal mereka. Pun, resiko itu tetap ada. Seperti saat Wulandari mendapat kesempatan untuk menjalin pertemanan dengan cowok asing yang ia temui di sana. Atau bahkan, saat sudah menjadi teman, bukan lantas membuat orang tersebut tidak akan membawa masalah. Ketakutan dan masalah dan resiko itu akan tetap ada, kita seharusnya tidak takut, karena semua yang akrab itu berawal dari sebuah keasingan.

 

Tayang dalam waktu berdekatan, gampang buat kita membandingkan film ini dengan Si Doel the Movie (2018); sama-sama dari serial yang berakar lebih jauh lagi, sama-sama berlokasi di Amsterdam, sama-sama cinta segitiga, sama-sama ada tokoh lucu yang bikin gerr suasana, sama-sama ada trope ngejar ke bandara. Tapi jika kita menilik ceritanya, Rompis sebenarnya dekat dengan film drama cinta yang menurutku underrated tahun ini; Eiffel I’m in Love 2 (2018). Roman mengingatkan kita kepada Adit di film itu; dia menggantung Tita karena merasa dirinya belum mapan untuk menghidup Tita. Roman juga berpikir seperti ini, dtimbah pula dengan kesadaraanya akan keadaan ekonomi keluarga. Aku sempat kagum juga, karena dia baru sembilan bulan jadi mahasiswa, dan udah berpikir ke depan. Namun, seiring cerita berjalan, Roman malah jadi kayak anti-thesis dari Adit. Bahkan filmnya sendiri ikut menjadi terasa seperti kebalikan dari Eiffel I’m in Love 2.

Roman diperlihatkan ingin belajar serius, karena dia terlalu mikirin LDR sehingga gagal dalam ujian. Aspek cerita ini menjadi layer buat karakterisasi Roman, tapi ke depannya layer ini seperti dilupakan karena cerita fokus ke cinta segituga yang tampak what you see is what you get. Ketakutan Roman tidak dibarengi dengan kelakuannya, dia masih tetap menghabiskan waktu dengan jalan ama cewek alih-alih belajar. Kita dengar dia mulai berpikir untuk meninggalkan puisi, tapi dia masih tetap menggunakan puisinya. Kita juga belajar bahwa cowok membuat daftar prioritas di mana poin terakhir adalah tujuan utama yang paling penting, namun kita malah melihat Roman seperti meninggalkan usahanya dengan langsung fokus ke poin goalnya. Tidak seperti Adit yang benar-benar menjadi tampak dingin dan jauh bagi Tita.

Rompis – Roman Pisican

 

Atau mungkin, lebih tepat disebut Rompis seperti versi kekanakan dari film tersebut. Meski si Tita childish begitu, Eiffel 2 sebenarnya kisah cinta yang menangani masalahnya dengan dewasa. Karena dewasa itu proses. Rompis, kontras sekali sikap para tokoh dari awal hingga akhir dengan pidato yang diucapkan Wulandari saat kelulusan SMA. Tidak ada sense pertumbuhan pada tokoh-tokohnya. Kita bahkan gak sempat tahu Wulandari kuliah di mana.

Film terlihat BERUSAHA KERAS TETAP TAMPIL SEBAGAI REMAJA; terbukti dengan banyaknya istilah kekinian kayak “lagi syantik” yang dishoehorn gitu aja masuk ke dalam cerita. Atau malah, ia tampak takut untuk menjadi dewasa. Mereka menyinggung soal Roman yang kepengen serius, namun follow upnya tidak pernah mencerminkan demikian. Seolah film sadar ceritanya jadi terlalu serius dan bergegas balik sebelum penggemarnya sadar dan protes para tokohnya berubah, enggak persis sama dengan di serial. Inilah masalah dari film adaptasi dari serial ataupun buku. Perlu untuk memberikan apa yang diinginkan oleh fans, tapi juga mestinya film ini ingat bahwasanya dia adalah lanjutan. Sedikit perubahan tentu bisa dilakukan dengan tidak mengganggu tujuan kenapa film ini dibuat. Roman bisa saja dibuat jadi menjauhi puisi, dia mungkin membuang buku puisinya, untuk kembali lagi kepada puisi karena dia sadar bukan itu yang sebenarnya harus ia lakukan.

Pun banyak aspek yang hanya dijadikan sebagai kemudahan. LDRnya yang jauh saja dibuat sedekat itu, dengan Wulandari bisa pergi dan pulang begitu saja. Alasannya; karena dia punya duit. Aku gak bisa lihat pentingnya lokasi ada di Belanda. Heck I mean, kenapa mesti jadi LDR toh Wulandarinya bisa mengunjungi sesuka hati. Kenapa mesti jauh-jauh – bikin beda kota sebenarnya juga bisa. Jadinya ya, konteks sama cerita yang eventually mereka hadirkan terasa enggak saling mendukung. Selain trope, film ini juga banyak menggunakan keanehan yang dimasukkan ke dalam cerita. Seperti kenapa anak pinter seperti Roman masih belum bisa bahasa Belanda padahal nyaris setahun belajar di sana. Ataupun timing kejadian-kejadian yang enggak add up dengan bener ke rentetan cerita.

 

 

 

Waktu sudah berubah, tokohnya melanjutkan fase kehidupan, namun ceritanya masih tetap bertahan di ranah remaja yang sama. Sungguh sebuah pilihan yang aneh untuk keputusan kreatif pembuatan film sedari awal. Film ini seperti melarang tokohnya untuk menjadi dewasa. Mereka ingin tetap menjadi remaja, jadi kita dapatkan cerita yang berfokus kepada masalah saingan cinta, walaupun sudah sempat menyinggung lapisan yang lebih dalam. Jika bukan karena chemistry dan penampilan para tokoh, film tidak akan semengasyikkan ini, bahkan sebagai film remaja. Tetapi paling tidak, dengan banyaknya trope dan elemen yang sama ama drama lain, film ini sudah berhasil live it up ke taglinenya; sebagai benar-benar sebuah picisan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ROMPIS.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

R – RAJA, RATU & RAHASIA Review

A secret is barrier that keeps a couple from being truly close with each other.”

 

 

 

Lika-liku kehidupan anak SMA yang dadanya bergelora oleh hasrat namun lebih nyaman untuk memendamnya disajikan sebagai lapangan bermain cerita R – Raja, Ratu & Rahasia. Adalah Ratu (Aurora Ribero men-tackle kembali peran keduanya sebagai tokoh yang gak bisa ngomongin ketakutan terdalamnya like a boss), nama seorang cewek yang baru saja ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orangtua. Ratu yang merasa hatinya kesepian, bergabung dengan komplotan rahasia di sekolahnya, dalam usaha untuk mengisi kembali lubang kosong  menganga pada hidupnya. Masalah timbul ketika sahabat masa kecil Ratu, cowok pebasket bernama Raja (Brandon Salim cukup charming mainin tokoh yang sekilas tampak keras, namun sangat peduli sama teman-temannya), menghimpun benci teramat sangat terhadap komplotan tersebut. Ratu kini harus berahasia agar keikutsertaannya sebagai anggota tidak diketahui oleh Raja. Karena ia tidak akan sanggup jika satu lagi orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwasanya kepopuleran novel remaja mampu menarik minat pembuat film untuk merealisasikan kesuksesannya ke layar lebar. Tentu dengan harapan meraih taraf pencapaian yang sama, kalau tidak melebihi. Mengekor Dear Nathan (2017) yang besar dari Wattpad sehingga dibukukan, Starvision Plus kali ini menggandeng karya penulis, Wulanfadi, yang juga berawal dari platform penulisan yang sama dan sudah punya penggemar yang sedari 2016 udah tidak sabar menanti filmnya. Materi ini diserahkan kepada Haqi Achmad yang sudah malang melintang di ranah penyaduran cerita teenlit ke dalam scenario film. R – Raja, Ratu & Rahasia sudah barang tentu akan kuat sekali menguarkan pesona remaja, lengkap dengan konflik cinta dan persahabatan yang mewarnainya.

Aku pikir masuk akal sih kalo orangtua-orangtua yang saling sahabatan akan janjian menamai anak mereka selayaknya berpasangan

 

R- Raja, Ratu & Rahasia akan ramai oleh celoteh anak muda. Dengan canda-candaan khas mereka. Oleh persaingan yang sebenarnya sepele namun tampak begitu menekan jika dilihat dalam balutan seragam putih abu. Memberikan sensasi manis-manis nostalgia kepada penonton yang lebih dewasa. Karena cinta itu urusan yang tak lekang oleh waktu, semua orang pasti pernah merasakan dan mengerti pentingnya menyimpan suatu hal ke dalam diri sendiri, karena takut hidup akan berubah begitu rahasia tersebut terbongkar.

Menyimpan rahasia itu memang enggak sama dengan flat-out berbohong. Dengan berahasia kita bukannya enggak jujur, melainkan ‘hanya’ enggak mengatakan semua hal. Tapi tentu saja, rahasia tetaplah suatu pembatas yang menghalangi dua orang untuk benar-benar dekat antara satu sama lain. Dan jenis rahasia yang paling berbahaya untuk dijaga, tampaknya, adalah rahasia seperti Ratu kepada Raja – jenis rahasia yang ditakutkan akan membuat orang yang kita cintai jadi bertentangan dengan kita. Rahasia yang menabir identitas; dan Ratu menutupi kevulnerableannya dari Raja. Dia seharusnya menyadari semakin lama ia menyembunyikannya, akan semakin membahayakan komunikasi di antara mereka berdua.

 

Sutradara Findo Purnowo boleh saja mampu untuk memastikan film ini tidak akan keluar dari jalurnya, sebagai sebuah cerita untuk remaja. Tapi kehangatan dan senda gurau, atau bahkan lagu jazz itu, mestinya ia sadari tidak akan mampu untuk menutupi kelemahan film ini yang sebagian besar berasal dari kurangnya intensitas dan emosi yang real. Dan ini berarti adalah masalah pada arahannya. R – Raja, Ratu & Rahasia sesungguhnya punya dua elemen menarik, yang membuatnya berbeda dengan drama cinta remaja yang lain. Ini bukan exactly tentang cewek baek-baek yang naksir sama cowok badboy di sekolah. Ratu dan Raja sudah berteman sejak kecil, orangtua mereka sahabatan, but recently Ratu develop  perasaan khusus buat Raja – yang ternyata berbalas – namun keadaan membuat Ratu menumbuhkan satu perasaan lagi. Takut ditinggal. Salah satu elemen menarik yang dipunya oleh film ini adalah kita benar-benar diperlihatkan ketakutan yang dirasakan oleh hati Ratu dalam bentuk visual. Satu lagi elemen menariknya adalah sekolah mereka punya komplotan rahasia, tempat di mana Ratu mencoba untuk kembali ceria dan melupakan rasa takutnya itu.

Sayangnya, pada saat menangani dua elemen inilah, arahan Purnowo tidak kelihatan berhasil mengangkat film ini menjadi sesuatu tontonan yang remarkable. Direksinya sangat bland. Sudah cukup aneh memulai sebuah cinta remaja dengan adegan pemakaman – yang mana secara otomatis mengeset mood sedih dan rapuh yang menempel hingga akhir ke tokoh utama. Apa yang dilakukan film ini kepada adegan-adegan rasa takut Ratu membuatnya terlihat sangat fake dan menggelikan. Susah untuk menganggap sesuatu sebagai hentakan emosi yang serius jika sesuatu tersebut dihiasi oleh kelap-kelip dan latar efek komputer yang sangat kasar. Aku percaya mereka memaksudkan adegan tersebut sebagai peristiwa yang surreal, tapi hasil akhirnya jauh sekali. Adegannya pun itu-itu melulu. Ekspresi Ratu setelah ia membayangkan adegan pun tidak membantu kita untuk bisa menyelami adegan ini lebih dalam, karena ia terlihat seperti kebingungan, seolah hal tersebut semacam premonisi dari luar yang datang menghantamnya; lebih kayak sesuatu yang baru saja kepikiran alih-alih perasaan yang merayap membayangi hatinya.

Komplotan rahasia yang diikuti oleh Ratu, yang konon didirikan oleh abang Ratu… well, bagaimana komplotan tersebut seusatu yang big deal juga tidak berhasil diceritakan oleh arahan film ini. Tidak pernah ada build up ke komplotan tersebut. Film yang baik akan memperlihatkan kepada kita kenapa komplotan ini punya pengaruh di sekolah. Tapi film ini, set upnya datar sekali. Bahkan untuk bisa masuk ke dalam komplotan tersebut pun terlihat sangat gampang. Dibilang kelompok nerd, enggak. Kelompok siswa-siswa yang populer juga tidak. Dia tidak tampak sebagai seusatu yang ekslusif. I mean, selain Raja kita tidak melihat tokoh lain yang bukan anggota dari perkumpulan ini. Teman-teman Raja, semua masuk. Teman-teman Ratu pun semuanya diundang, meski cuma si Ratu yang punya alasan yang masuk akal bisa diundang. It was supposed to be an exclusive, elite club, tapi apa yang mereka lakukan di sana? Pertemuannya cuma pesta topeng, olahraga bareng, kenapa harus jadi kumpulan rahasia segala kalo toh kegiatannya tampak kayak kegiatan afterschool bareng teman-teman biasa. Seharusnya kelompok ini dibangun semisterius dan sepenting mungkin, sehingga ketika Ratu harus memilih, kita merasakan keterikatan terhadap kelompok ini. The way this film goes, Ratu dan Raja bisa keluar masuk sesukanya, kelompok ini tidak lagi tampak sebagai hambatan.

“Aja gak bakal ninggalin Ratu. Aja gak bakal blablabla”.. Gimana kalo filmnya udahan AJA?

 

Cerita punya banyak kejadian yang menyangkut banyak tokoh, dan kita bisa melihat film ini tidak mampu menangani semuanya dengan baik. Banyak adegan yang jatuhnya konyol dan gak penting. Ya, aku bicara tentang adegan ‘mengejar ke bandara’. Ada tokoh anak baru yang jadi sahabat Raja, yang titik puncak eksistensi karakter ini hanya ke Raja main basket yang tiangnya pendek sama om-om. Ada tokoh yang kerjaannya cuma nabokin tokoh lain, dan berakhir dengan dia jadian sama tokoh yang lain lagi. Menjelang akhir, ada satu tokoh lagi yang meninggal, dan kupikir ini untuk nunjukin bahwa Ratu sudah belajar untuk kuat, namun ternyata hanya dipakai untuk mengangkat drama, dan Ratunya sendiri masih seperti sedia kala; dia tetap rapuh dan masih membayangkan ketakutannya yang penuh gestur manis dan sparkle-sparkle.

Akan sangat susah untuk berusaha menetapkan apa sebenarnya yang ingin diamanatkan oleh cerita film ini. Karena secara logika, jika kita ingin bercerita tentang seorang yang takut untuk sendirian, maka mestinya cerita akan berlabuh ke tokoh tersebut menjadi berhasil mengovercome ketakutannya. Aku gak bilang dia harus tetap sendiri di akhir. Film did the right thing dengan membuat Ratu giliran berada di posisi dia yang ninggalin orang, akan tetapi membuat tokoh ini masih mengkhayalkan yang ia tinggalkan, kinda messed up with the whole journey. Benar juga soal, biarkan kali ini orang yang datang kepadanya, tapi pikirku film yang berani akan membuat Ratu berakhir dengan orang baru yang menyatakan cinta padanya. Hanya dengan begitu tokoh ini bisa menutup sempurna. But I guess, film ini butuh untuk memuaskan target pasarnya, jadi mereka memilih jalan yang paling meromantisasi meski itu berarti karakternya belum benar-benar tampak belajar.

 

 

 

Hadir sebagai bentuk dari usaha mengapitalisasi kisah remaja yang serba berahasia, terlebih kepada orang yang dicinta. Punya semua elemen yang disukai remaja, romantisasi, dramatisasi, candaan khas anak muda. Tapi akan bisa menjadi tontonan yang jauh lebih baik di tangan penggarap yang lebih kompeten. Arahan film ini begitu bland, bener-bener sangat bergantung pada musik untuk menyampaikan rasa. Sepertinya ia tidak peduli pada apapun selain tampak cantik dan menyentuh, terbukti dari adegan seorang abang yang berusaha menenangkan hati adiknya dengan berbicara ke puncak kepala sang adik, hanya karena shot tersebut tampak manis dilihat dari depan.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for R – RAJA, RATU & RAHASIA.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017