My Dirt Sheet Top-Eight ‘KEKECEWAAN BIOSKOP’ OF 2019


 
 
Akhir tahun adalah waktu yang biasanya kita gunakan untuk meratapi resolusi-resolusi yang tak jadi tercapai (lagi!), keinginan-keinginan yang kandas tak terwujud, dan harapan-harapan yang berbuah kekecewaan. List ini adalah salah satu perwujudan dari harapan-harapan itu.
Ketika film disebut mengecewakan, bukan lantas seketika berarti film itu jelek, pembuatnya bego gak ngerti bikin film. Film yang bagus juga bisa saja tetap membuat kita merasa kecewa. It’s just mewujudkan sebuah film berarti membuat pilihan. Mau ngambil resiko atau tidak. Mau jadi nyenengin hati fans, atau hati semua orang, atau hanya hati produsernya. dan pilihan yang diambil film kadang enggak sejalan – enggak sefrekuensi, kalo kata Ainun – dengan harapan dan ekspektasi kita. Yang menurut kita penting, belum tentu begitu bagi pembuatnya.
Jadi, ya, daftar ini akan sangat subjektif. Kalian boleh jadi tidak menemukan film yang kalian benci. Sebaliknya, kalian bisa saja menemukan film yang kalian suka atau mungkin malah film yang menurut kalian bagus nampang di sini. Dan aku yakin memang ada. Tahun ini actually lebih banyak film yang populer, yang bisa dibilang bagus – at least yang kukasih skor lumayan tinggi – yang menurutku mengecewakan. Karena ekspektasi dan pilihan tadi. Also, daftar ini hanya akan mengcover film-film yang kutonton di bioskop, sebab dikecewakan oleh film yang kita harus berangkat dari rumah, meluangkan waktu untuk menempuh perjalanan, mengeluarkan uang, terasa lebih nyesek. Apalagi kalo ternyata yang ditonton di layar gede itu tak lebih dari glorified-ftv.
Setiap tahun aku beresolusi bisa menonton film-film di bioskop tanpa harus meratapi duit yang sudah keluar dan bertanya keras-keras ke tembok ala Adam Driver di Marriage Story “why did they do that?”, tapi nyatanya aku masih mendapati delapan film ini:
 
 
 

8. AVENGERS: ENDGAME


Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Robert Downey Jr, Chris Evans, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
Duration: 3 hour 1 min
Ya, ini bakal kontroversial, aku bahkan bisa mendengar mouse kalian bergerak cepat mau menutup halaman ini haha.. Jika kalian ngarahin mousenya ke judul setiap nomor, instead, maka kalian akan diarahin ke halaman ulasan, dan bisa dilihat di sana aku ngasih film ini skor 7 dari 10 bintang emas. Avengers: Endgame dibuat dengan sangat kompeten. Final fight yang kita tunggu-tunggu digarap dengan seru, menghibur sekaligus berhasil memenuhi tujuan ‘politik’ era SJW sekarang ini.
Posisinya ada di atas menunjukkan bahwa film ini tergolong bagus. Kekecewaanku timbul dari mereka memperkenalkan time-travel dan actually membuat babak kedua membahas mengenai aturan time-heist. Mereka menyusunnya dengan klop. Hanya saja, aku tidak mengharapkan itu. Infinity War berakhir dengan kemenangan Thanos, film membangun ekspektasi kita terhadap cara apa yang bakal dilakukan Avengers untuk well, to avenge their loss. Dan time-heist ini adalah cara yang paling standar untuk membahas soal serangan balasan tersebut. Film seperti punya agenda ingin membuat kita bernostalgia, maka ceritanya pun tidak move on. Malahan membawa kita ke semacam highlight.
Dan ini bukan cara yang paling aman pula. Avengers: Endgame meninggalkan kita dengan banyak plothole. Mungkin kalian adalah salah satu yang ikut membahas soal plothole dan implikasi kocak dari time-travel beda timeline di kolom komen review. It’s hilarious. Pembelaan pembuat film ini terhadap kekonyolan itu  adalah – seperti yang bisa kita tebak – penjelasannya bakal ada di film phase berikut. Ini membuat Avengers: Endgame less of a film dan lebih seperti produk. Aku setuju sama kata Martin Scorsese.
My Breaking Point:
Fans berkampanye betapa Tony Stark pantas untuk dapat Oscar. Ugh…. Bercanda haha.
Breaking point-ku yang benar adalah saat menyadari para Avengers sebenarnya berkelahi dengan orang yang berbeda. Thanos yang mereka lawan bukanlah Thanos yang mengalahkan mereka di Infinity War. Dan ini membuat pertarungan terakhir itu jadi hampa bagiku. Aku mau melihat mereka mengalahkan orang yang sudah bikin mereka kalah; Thanos dengan kekuatan Infinity Stone penuh. Bukan Thanos yang gak tahu apa-apa, yang cukup dikalahkan oleh Scarlet Witch seorang.
 
 
 
 
 

7. HABIBIE & AINUN 3


Director: Hanung Bramantyo
Stars: Reza Rahadian, Maudy Ayunda, Jefri Nichol, Diandra Agatha
Duration: 2 hour 1 min
Untuk merangkumnya, ini adalah cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang.
Film ini kayak pengen menceritakan tentang Ibu Ainun, tapi sendirinya tidak percaya bahwa cerita Ibu Ainun semasa muda tidak akan menjual. Maka mereka membuatnya sebagai sekuel Habibie & Ainun dan fokus tetap pada Habibie. Ditambah Bapak Habibie berpulang (salah satu momen menyedihkan bagi Indonesia tahun ini) dan film bergerak lebih cepat daripada lariku saat ditagih hutang untuk menguangkan kematian tersebut.
Cerita Ainun yang tentang wanita enggak kalah dari pria – manusia bukan soal gender lucunya malah seperti nomor dua, meskipun penulis tampak bersusah payah membuatnya Ainun seperti dokter wanita pertama dengan segala kesulitannya di dunia yang masih memandang wanita nantinya bakal balik ke dapur. Bagaimana film akhirnya menjual cerita ini? Dengan elemen romansa tak-sampai dan tokoh antagonis dibuat satu-dimensi demi Ainun kelihatan menarik.
My Breaking Point:
Ketika si senior antagonis masih diperlihatkan menyiapkan pidato perpisahan, dia dibuat gak logis banget masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Ainun gak terlihat pintar dan selfless hanya dengan menampilkan tokoh senior ini sebagai ‘lawannya’.
 
 
 
 
 

6. FROZEN II


Director: Chris Buck, Jennifer Lee
Stars: Idina Menzel, Kristen Bell, Josh Gad, Jonathan Groff
Duration: 1 hour 43 min
Ini adalah contoh sekuel yang buru-buru diadakan karena film pertamanya laku. Ia dibuat sebagai brand ketimbang dibuat karena mereka punya cerita segar untuk dibagikan. Karena Frozen II hadir dengan cerita yang mirip Avatar Legend of Aang, penuh eksposisi dan throwback, yang ironisnya mereka tetap berhasil melepehkan perjalanan Elsa di film pertama.
Elsa yang sudah belajar untuk berani menjadi diri sendiri di tengah keramaian dalam film ini diharuskan belajar untuk menemukan dirinya sendiri dan di akhir memilih untuk sendirian karena dia begitu berbeda dengan orang-orang. Pesan seperti apa ini? Kita pengen karakter cewek yang mandiri tapi gak gini juga caranya.
Petualangan film ini tidak terasa seru, karena diberatkan oleh narasi eksposisi. Drama antar-saudari tidak lagi simpel dan mengena, melainkan terasa begitu jauh oleh cerita perang-fantasi yang ribet. Fantasinya pun terasa usang meski memang visualnya teramat indah.
My Breaking Point:
Olaf. Serius deh, Olaf sangat menjengkelkan. Dan film terus ngepush manusia salju sampai-sampai kita melihat adegan Olaf menceritakan – eng, MENGADEGANKAN ULANG! kejadian di Frozen pertama. What. An. Annoying. Waste. Of. Time.
 
 
 
 

5. X-MEN: DARK PHOENIX


Director: Simon Kinberg
Stars: Sophie Turner, James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Duration: 1 hour 53 min
X-Men seharusnya bisa dijadikan contoh gimana hancurnya cerita superhero jika bermain-main dengan time-travel. Namun tetap saja elemen itu bakal dipilih karena dengan begitu universe lebih mudah untuk diekspansi. Masalah logika nomor dua.
Dark Phoenix bukan saja berurusan dengan masalah kontinuitas – banyak aspek yang enggak masuk dengan dunia dalam franchise X-Men sebelumnya. Ia juga harus berurusan dengan pengaruh SJW – sekali lagi ini adalah cerita wanita yang berusaha menjadi dirinya sendiri -, dinyinyirin mirip dengan Captain Marvel yang sudah lebih dulu tayang dengan jarak yang tak begitu jauh, dan beban sebagai penutup X-Men. Well, setidaknya sebelum dibeli oleh studio dagang yang lebih gede.
Hasilnya sungguh berantakan. Dark Phoenix terlihat jelas mengalami banyak shoot ulang. Ada yang bagus, seperti final battle di kereta api. Namun secara keseluruhan, setiap babak film ini terasa kayak film yang berbeda. Mereka enggak menyatu dengan kohesif, tone ceritanya beda, motivasinya beda. Film juga pengen nampil sangat serius sehingga enggak ada lagi kesenangan menontonnya.
My Breaking Point:
Ketika mereka memperkenalkan alien sebagai musuh utama. Alien yang sangat miskin eksplorasi. Bangsa alien tersebut bahkan gak sempat disebutkan namanya. Aku hanya menyebutnya…; Peran-yang-disesali-oleh-Jessica Chastain.
 
 
 
 
 

4. AVE MARYAM


Director: Robby Ertanto
Stars: Maudy Kusnaedi, Chicco Jerikho, Tutie Kirana, Joko Anwar
Duration: 1 hour 25 min
Oh betapa ekspektasiku tinggi sekali mendengar pujian-pujian bagi film ini dari penayangannya di berbagai festival. Temanya pun berani, kisah cinta seorang biarawati. Tapi begitu ditonton di bioskop… maan, kenapa rasanya ada yang bolong.
Selain sinematografi yang keren, art yang memanjakan mata, dan adegan manis berdialog di kafe, tidak ada yang bisa dinikmati dari Ave Maryam. Perjalanan tokoh utamanya terasa abrupt. Konfliknya yang berani itu gak terasa. Film ini seperti kisah cinta biasa. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Aku seperti menonton film yang berbeda dengan orang-orang di festival. I mean, filmnya benar-benar kosong, kita hanya baru akan mengerti konflik dan backstory dan segala macemnya setelah membaca sinopsis. Sungguh sebuah karya menyedihkan jika harus mengandalkan sinopsis sebagai komplementer – sebagai sarana untuk menampilkan yang tidak bisa ditampilkan.
Kemungkinan terbesar adalah akibat penyensoran. Dan jika benar, maka sangat disayangkan sekali perfilman kita masih belum berani menghidangkan cerita yang bertaji.
My Breaking Point:
Maryam memandangi Romo Yosef bermain musik, kamera fokus kepada si Yosef seolah dia konduktor terkeren di dunia, padahal tidak ada sama sekali rasa di adegannya.
 
 
 
 

3. BEBAS


Director: Riri Riza
Stars: Maizura, Marsha Timothy, Sheryl Sheinafia, Baskara Mahendra
Duration: 1 hour 59 min
Bebas diadaptasi dari film Korea yang berjudul Sunny. Sunny sendiri merupakan cerita persahabatan cewek remaja Korea yang kental sendiri dengan lokalitas orang sana, film itu menggambarkan sistem pendidikan yang keras dan hubungan sosial remaja yang membentuk geng sekolah.
Kupikir akan menarik, bagaimana Riza akan membawa cerita ini ke dalam lokal Indonesia. Tokoh yang tadinya cewek semua, diganti dua menjadi cowok. Setting waktu yang diambil adalah 90 akhir, saat Indonesia lagi krisis-krisisnya. Ternyata, tidak ada hal lokal yang signifikan yang dijadikan daging oleh film saduran ini. Film berpuas diri dengan lagu-lagu 90an dan gak melakukan banyak terhadap cerita. Semua kejadian dalam film ini sama persis dengan yang di film asli. Hingga ke dialog-dialognya. Latar hanya sekadar tempelan. Soal cowok main dalam geng cewek pun tak dijadikan fokus utama. Seharusnya yang diganti jadi cowok, tokoh utamanya aja sekalian.
Salah satu produk film paling malas tahun ini, minim visi original, dan hanya mengandalkan nostalgia musik, jejeran cast, dan cerita dari material aslinya.
My Breaking Point:
Sesama-samanya dengan Sunny, tapi film berhasil untuk membuatku kecewa karena entah mengapa mereka mengurangi porsi Suci (Su-ji pada Sunny) dan tidak ada adegan Suci menyelamatkan Vina
 
 
 
 
 
 
 

2. RATU ILMU HITAM


Director: Kimo Stamboel
Stars: Ario Bayu, Hannah Al Rashid, Putri Ayudya, Adhisty Zara
Duration: 1 hour 39 min
Film ini juga punya jejeran cast yang yahud, tapi bahkan mereka lebih enggak banyak berguna lagi ketimbang cast Bebas. Ratu Ilmu Hitam harusnya jadi film favoritku tahun ini – horor, ada efek praktikal body horor, sadis, digarap oleh kombo maut pada genre ini (film ini ditulis dan dipromosikan secara keras oleh Joko Anwar). Aku memang menyukainya. Hanya saja, ini jauuuuuh banget untuk jadi film yang memuaskan.
Mainly karena penulisannya yang sangat mengecewakan. Cast yang berjubel itu tidak mampu diberikan penulisan yang berbobot, let alone berimbang. Si Ari ‘Wage bacanya Weij’ Irham malah hanya dikasih satu adegan penting. Bayangkan. Hampir seperti film ini enggak peduli soal mengarahkan akting. Mereka hanya fokus membangun keseraman dan twist bergagasan moral berbau politis. Buktinya lagi, film gak mau repot-repot ‘maksa’ pemainnya mainin adegan dengan kelabang asli. Hewan-hewan kecil itu masih pakai efek komputer dan terlihat gak meyakinkan. Dan menjadi menggelikan ketika di kredit penutup kita melihat still foto adegan-adegan seram – menggunakan kelabang asli – dari Ratu Ilmu Hitam original.
Yang kuharap adalah horor sadis sederhana, memanfaatkan banyaknya cast mumpuni. Namun yang didapat adalah kejadian ribet dengan sok berada di batasan moral abu-abu, yang tidak didukung oleh penulisan dan struktur cerita yang bener. Tokoh utamanya aja gak jelas siapa. Kenapa gak sekalian aja judulnya Ratu Kulit Hitam kalo memang mau dapat pujian filmnya punya isu, siapa tau bisa menang Oscar.
My Breaking Point:
Dialog-dialog film ini yang sibuk menjelaskan, ngobrol ringan, dan berusaha mengomentari banyak hal, benar-benar menjengkelkan buatku. Gak cantik penulisannya. Puncaknya adalah ketika tokoh yang diperankan Zara dan tokoh anak panti yang tadinya akur, tau-tau berantem adu mulut lantaran si cowok mau nembak tikus di dalam rumah. WTF.
 
 
 
 
 
Sebelum masuk ke posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions yakni film-film bioskop 2019 yang dapat skor 1. Ironisnya, mereka memenuhi ekspektasiku; Jelek, dan ternyata beneran jelek!

Dishonorable Mentions:

11:11 Apa yang Kau Lihat,

Roy Kiyoshi the Untold Story,

47 Meters Down: Uncaged,

Pariban: Idola dari Tanah Jawa

Sekte,

Kelam

 
 
 
Dan juara paling mengecewakan tahun ini jatuh kepadaaa

1. STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER


Director: J.J. Abrams
Stars: Daisy Ridley, Adam Driver, John Boyega, Oscar Isaac
Duration: 2 hour 22 min
Ketika Force Awakens munculin tokoh yang practically ‘mary sue’ aku masih bisa memaafkan; at least, sudut pandang baru dan revealingnya bakal keren. Ketika Last Jedi membuang semua teori fans ke laut dan nge-swerve kita setiap kali kesempatan, aku juga masih oke – malah excited mau dibawa ke mana sebenarnya trilogi ini, apa jawaban besar yang menanti di Episode 9. Lalu, akhirnya tibalah Rise of the Skywalker. Dan jelas sudah mereka tidak punya rencana apa-apa untuk trilogi ini selain untuk menjual mainan saat natal dan tahun baru.
My Breaking Point sudah mulai mendidih di menit-menit pertama mereka munculin kembali Palpatine. Menghapus semua kejayaan prophecy Anakin yang menjadi motor di Star Wars terdahulu. Dan sepanjang durasi, aku merasa terus menggelegak karena film ini tidak melanjutkan, melainkan merevisi sesuka hati. Tidak lagi peduli pada apa yang sudah dibangun – baik atau buruk – dan just go with apapun yang sekiranya bisa bikin fans bersorak “hey itu dari episode ke anu!”
Out of nowhere mereka membuat Poe sebagai kurir scroundel galaksi – seperti Han Solo – padahal di episode sebelumnya dia anak pilot biasa, dan sudah ikut berperang sejak muda. Mereka begitu saja membuat Finn punya ‘feeling’ dan ada banyak Stormtrooper seperti dirinya, meskipun di episode sebelumnya arc Finn adalah satu-satunya mantan militer yang berusaha rise up dari komanda-komandannya dahulu. Kisah cinta Finn pun seperti tak-eksis di sini. Dan kalo aku punya popcorn, maka semua popcornnya pasti sudah kulempar-lempar ke layar ketika hantu-force Luke mengangkat pesawat yang mestinya sudah rusak dan gak bisa dipakai. Kerusakan pesawat X-Wing ini penting, karena itulah yang menyebabkan Luke mengerahkan tenaganya sendiri hingga mati untuk muncul dalam bentuk energi menolong Resistance di Episode VIII
Nonton ini aku antara nyengir seru nonton aksinya dan nyengir blo’on melihat elemen-elemen yang gak kohesif.
Aku mengerang keras di bioskop pada momen ketika Rey menyebut dirinya Rey Skywalker di akhir. AARRGGHH!
 
 
 
 
That’s all we have for now.
Bisa dilihat sebagian film di daftar ini adalah box office, dan ini merupakan pertanda tak menyenangkan industri film semakin mengarah ke produk dan wahana. Sekalinya ada film yang berbeda, film tersebut ditakutkan akan begitu kontroversial sehingga dijinakkan. Tiga dari empat film impor di sini adalah buatan Disney, dan ini aku gak menyebut film-film live-action mereka yang semuanya sudah diantisipasi bakal jelek. Kalolah yang aku bikin adalah list film terburuk, film-film Disney tahun ini akan berkumpul di sana. Magic mereka hanya visual sekarang, dan aku benar-benar takut tren ini terus berlanjut.
Untuk Indonesia, tren yang mulai muncul adalah ‘film’ yang bersambung. Dan ini sedapat mungkin kubasmi dengan tidak menyebutnya sama sekali meskipun kesalnya luar biasa dapat yang jenis ini di bioskop.
Juga noticed dong kalo kebanyakan film di list ini bertokoh utama perempuan, yang ditulis dengan kurang baik. Ini actually satu lagi tren yang menakutkan; tokoh-tokoh perempuan sekarang diharapkan kuat, mandiri, berdaya, gak butuh cowok, dan ini salah kaprah menjadikan tokoh itu sebagai poster girl SJW dan feminism, padahal mereka seharusnya jadi tokoh yang relatable dan belajar untuk menjadi kuat.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Jangan lewatkan Top-Eight Movies of 2019 yang akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, juga awards tahunan My Dirt Sheet Awards CLOUD9 di 2020.
Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~
 
 
 
 
Because in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SI MANIS JEMBATAN ANCOL Review

Objectification is above all exteriorization the alienation of spirit from itself”
 

 
Si Manis adalah sebutan untuk penunggu jembatan Ancol yang dipercaya masyarakat sebagai hantu dari wanita muda yang meninggal secara tragis – diperkosa oleh beberapa pria. Nama asli wanita itu simpang siur, sebagian menuliskan Maryam, Mariam, beberapa sumber mengatakan nama aslinya Siti Ariah. Yang pasti adalah kecantikan hantu ini begitu populer sehingga berbagai kisah penampakan beredar seolah orang-orang pada berlomba menceritakan kisah perjumpaan dengannya. Dan satu yang bisa kita simpulkan dari legenda Betawi tersebut adalah sungguh menyedihkan nasib Maryam, atau Ariah; sudah jadi hantupun dia masih tetap jadi korban objektifikasi seksual orang-orang.

Objektifikasi adalah peristiwa mengerikan ketika seseorang bukan lagi dilihat sebagai manusia, melainkan sebagai barang. Bahkan menurut filsuf Nikolai Berdyaev, bukan hanya memanggil orang seperti catcalling saja, melainkan memanggil orang atau kumpulan orang-orang dengan sebutan yang mungkin memang mengacu kepada mereka seperti Min, Mimin, Anak Twitter, Anak Instagram – atau Netizen, Negara +62, Gen Z, Milenial – mengecilkan sebuah kemanusiaan menjadi objek yang bisa dikelompokkan, digunakan, dimanfaatkan, dan dibuang.

 
Bukan sekali ini saja cerita hantu ini diangkat ke televisi maupun layar lebar. Penuturannya sebagian besar sama. Si Manis membalaskan dendam kepada pria-pria yang sudah mengakhiri hidupnya. Sebuah kisah balas dendam dari wanita yang hanya dipandang sebagai objek oleh pria. Sutradara Anggy Umbara dan co-sutradara Bounty Umbara juga memasukkan narasi objektifikasi perempuan dalam remake legenda ini. Namun mereka menyuntikkan satu elemen mengejutkan yang membuat film ini menjadi pengalaman berbeda dari satu kisah lama
Versi baru dari Si Manis Jembatan Ancol garapan Umbara Bersaudara ini bercerita tentang suami istri Maryam dan Roy yang kehidupan pernikahannya tidak bahagia. Satu adegan Maryam dibentak hanya karena berusaha menyelamatkan pergelangan tangan kemeja sang suami dari kuah sop dengan sukses menyampaikan kepada kita bahwa hanya Maryam seorang diri yang berusaha mempertahankan cinta di dalam rumah tangga mereka. Bagi Roy, Maryam tak lebih dari kerikil, yang ada atau tidak tak-ada bedanya. Roy hanya menganggap Maryam sebagai aset, barang kepunyaaan. Roy tidak perlu banyak pertimbangan untuk menjadikan Maryam sebagai jaminan hutang kepada rentenir preman yang menjadi sumber malapetaka nantinya. Film ini actually meletakkan Roy sebagai salah satu perspektif utama. Ya, kita akan melihat Maryam yang tak-bahagia bertemu pelukis muda bernama Yudha yang baru pindah ke lingkungan tempat tinggal mereka, kita melihat ada koneksi antara Maryam dan Yudha. Namun cerita bergerak sebagian besar dari perspektif dan akibat dari pilihan yang dibuat oleh Roy.

Kecemburuan Roy terhadap Yudha tak lebih dari karena dia menganggap Maryam adalah kepunyaannya

 
Tiga tokoh sentral film ini menempati posisi yang cocok didasarkan pada teori dalam buku Dramatica: Theory of Story. Maryam yang diperankan oleh Indah Permatasari (pada reinkarnasi cerita sebelum ini, Si Manis diperankan oleh Diah Permatasari) sebagai main character alias tokoh utama karena film ini adalah tentang dirinya. Yudha si pelukis muda yang diperankan Randy Pangalila (dalam balutan wig yang membuat rambutnya tampak tebal dengan abnormal) adalah hero atau pahlawan, yang langsung mewakili penonton – yang kita inginkan berhasil dan membawa kebaikan pada kemenangan. Posisi terakhir dalam Dramatica adalah protagonis; tokoh yang menggerakkan plot – dan posisi tersebut ditempati oleh Roy yang diperankan dengan satu dimensi oleh Arifin Putra.
Dalam genre aksi Balas-dendam tradisional (istilah tepatnya untuk film jenis ini adalah Rape and Revenge films) seperti The Last House of on the Left (1972), I Spit on Your Grave (1978), atau baru-baru ini Revenge (2017), formula yang digunakan adalah tokoh perempuan merupakan gabungan dari tokoh utama, protagonis, dan hero. Dengan struktur cerita berupa pada babak pertama sang tokoh dieksploitasi sebagai objek sebelum akhirnya diperkosa dan ditinggalkan begitu saja, pada babak kedua si tokoh bangkit, berjuang bertahan, yang kemudian akan mengubah dirinya secara total. Saat poin-pertengahan, tokoh-tokoh film tersebut berbalik menjadi subjek yang akan membawa kita ke babak penghabisan saat dia benar-benar menghabisi para pelaku yang sudah memperkosa dirinya. Si Manis Jembatan Ancol justru tidak pernah meletakkan Maryam sebagai subjek. Cerita Si Manis Jembatan Ancol terstruktur berdasarkan sudut Roy. Midpoint cerita adalah ketika Roy tak bisa mundur lagi dari perjanjiannya dengan Bang Ozi (Ozy Syahputra dengan gemilang memainkan peran di luar cap-dagang tokoh legendarisnya di sinetron Si Manis Jembatan Ancol tahun 90-an).
Menghadirkan protagonis berupa antagonis sebenarnya langkah yang cukup menarik. Hanya saja film tidak benar-benar menuliskan arc atau plot untuk tokoh Roy. Pada beberapa poin, dia diperlihatkan tampak menyesal, tapi semua perasaan tersebut cuma angin lalu, karena Roy tidak berubah secara karakter hingga cerita berakhir. Film melewatkan kesempatan berharga mengeksplorasi persoalan objektifikasi wanita melalui sudut pandang pria yang melakukannya. Film cuma sebatas memperlihatkan bentuk ‘hukuman’ bagi pria-pria yang mengobjektifikasi wanita tanpa memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Si hero Yudha bahkan tetap dihukum meskipun dia berusaha memperlakukan Maryam lebih daripada sekadar objek lukisan.

Si Manis dalam film ini adalah sebutan yang juga merujuk kepada identifikasi seksual Maryam. Yang menunjukkan cara warga memandang menghargai dan memperlakukan dirinya, Maryam cuma si wajah manis, dan ketika dia mati identifikasi inilah yang nyantol -yang disebut karena warga takut menyebut nama aslinya. Di dunia nyata, objektifikasi semacam ini akan membuat wanita mengobjektifikasi dirinya sendiri dan melukai dirinya secara emosional. Di film ini hasilnya lebih horor lagi; Maryam  menjadi sebuah presence, desas-desus.

 
Jika film bermaksud memperlihatkan kekuatan perempuan, maka ia melakukannya dengan cara yang aneh. Ketika Maryam sudah menjadi hantu, film tidak memberikan tokoh ini treatment seperti Suzzanna yang ‘belajar’ menjadi hantu dalam Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018). Kita tidak melihat dia lagi kecuali ketika dia muncul dan membunuhi satu persatu anak buah Bang Ozi. Membunuh itu ia lakukan dengan sangat ragawi – para preman itu dicakar, ditusuk, dipenggal. Horor film ini menguar dari lingkungan tempat tinggal tokoh yang mulai ramai oleh desas desus kemunculan hantu. Maryam ketika jadi hantu tetap sebagai objek, keberadaannya adalah rumor di kalangan warga, ia sekarang dikenal sebagai Si Manis karena warga terlalu takut menyebut namanya. Dan elemen horor ini seringkali hadir lebih seperti komedi; kita akan seringkali tertawa melihat reaksi, warga maupun preman, yang ketakutan melihat hantu Maryam. Horor yang benar-benar mengerikan tersaji sebagai lapisan psikologis – kita akan melihat banyak shot-shot keren seperti Maryam melayang di atas jembatan dengan kain-kain merah terbentang ke sana kemari – namun posisinya sungguh rendah karena hanya dipakai sebagai adegan mimpi. Dan bahkan dalam memperlihatkan adegan mimpi pun, film masih ‘bercanda’ sehingga justru membuat adegan mimpi tersebut jadi menjengkelkan. Ada dua tokoh yang punya adegan ditakut-takuti lewat mimpi yang berlapis-lapis. Kaget, terbangun, kaget, terbangun rupanya masih mimpi, kaget lagi!, masih mimpi lagi. Lame.
Ada satu-dua yang cukup menakutkan. Film ini tergolong sadis buat pecinta kucing. Namun sebagian besar horor film ini bentrok dengan tone komedi. Film seperti gak pede dengan horornya karena setiap kali adegan mengerikan selalu disertai guyonan. Beberapa yang tidak, memang terasa sekali horornya hambar. Seperti desas desus tentang rumah yang ditempati Yudha adalah rumah angker – jendela nutup sendiri – tapi tidak pernah subplot ini berujung pada apa-apa. Hanya obrolan warung. Padahal film udah ngebuild up memfokuskan kamera pada nomor rumah 9 yang terbalik sendiri jadi 6, seolah itu adalah hal paling mengerikan di seluruh Jakarta 1970an.

menurutku mereka melewatkan kesempatan membuat kucing kepala buntung sebagai sidekick Maryam yang baru, sebagai ganti Ozy yang jadi preman

 
Maryam di sini tampak seperti objek untuk sebuah twist yang disiapkan tanpa benar-benar memperhatikan detil logika. Perbuatan yang dilakukan Maryam sebagai simbol perlawanan atau kekuatan wanita butuh pemakluman yang cukup besar dari kita karena yang ia lakukan tampak mustahil dan ajaib untuk bisa berhasil dikerjakan – karena ada begitu banyak hal yang bisa salah yang bisa membuat kedok Maryam ketahuan. Aku sebenarnya enggak mau meng-spoiler banyak-banyak, tapi film ini seperti sok keren dengan twist itu – like, mereka bertaruh banyak di sini seolah dengan penjelasan pada twist film menjadi lebih baik. It’s actually not. Karena banyak hal gak masuk akal seperti dari mana Maryam bisa bergerak – misalnya masuk ke rumah preman – tanpa terlihat malah sempat-sempatnya masang jebakan ala Home Alone. Bagaimana dia bisa menghilang pas nampakin diri di depan warga. Dari mana dia dapat baju untuk kostum jadi hantu. Dari mana dia bisa tahu wajah preman padahal mereka pakai topeng semua – Yudha saksi hidup aja mandeg bikin laporan ke polisi karena dia gak tahu wajah para pelaku. Dan – ini nih yang bikin aku ngakak – sehebatnya ilmu survival dan militer, gimana bisa dia ngelempar ranting yang tembus menusuk badan orang. Usaha yang dilakukan film ini supaya twistnya itu bisa masuk akal terjadi adalah dengan memastikan warga kampung Roy bego semua. Selain Roy, Maryam, Yudha, Bang Ozi, tokoh-tokoh film horor tentang objektifikasi wanita ini semuanya kayak tokoh dalam komedi receh.
So yea, setelah twist itu jadi kelihatan jelas bahwa cara bertutur film ini bukan karena mereka ingin melakukan sesuatu terobosan terhadap genre ataupun gagasan, melainkan karena pembuat film ini sendiri gak tau cara menampilkan cara atau kejadian yang masuk akal dari seorang yang membunuh dengan pura-pura menjadi hantu. Maka sudut pandang Maryam mereka sembunyikan. Mereka jadikan twist. Meskipun cerita ini lebih cocok jika tidak dipersembahkan sebagai twist dan cerita dilangsungkan dalam formula Rape and Revenge tradisional saja.
 
 
Revenge story dari perspektif pelaku ini tidak dibarengi dengan penulisan yang matang. Tidak ada end game dari gagasan pembuat, sebab protagonis dan hero prianya – pihak yang melakukan objektifikasi pada perempuan – tidak ditulis mengalami perubahan. Mereka tidak punya plot. Dan sungguh susah mendukung Yudha karena dia diperkenalkan sebagai creep di awal dan bucin di akhir. Satu-satunya yang berubah adalah Maryam, itu pun dia tidak diperlihatkan sebagai subjek hingga menit-menit terakhir – ia dirahasiakan karena film butuh dia untuk jadi objek ketakutan warga dulu, objek twist, dan objek humor. Pada akhirnya memang objektifikasi perempuan yang diangkat oleh film ini sebagai tema/gagasan utama hanya dijadikan bahan becandaan semata.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for SI MANIS JEMBATAN ANCOL.

STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER Review

“For the discovery of self we have to overcome the fear of self”
 

 
The Force Awakens (2015) berakhir dengan Rey melembar lightsaber ke Luke. The Last Jedi (2017) dimulai dengan Luke menangkap lightsaber tersebut, dan membuangnya begitu saja! Rangkaian adegan itu kini kita paham adalah simbol dari ‘passing the torch‘. Tapi tampaknya simbolik tersebut lebih dari sekadar antara dari Skywalker ke apprentice – ke Jedi generasi baru. Melainkan bisa juga jadi simbol penyerahan tongkat estafet antara satu sutradara ke sutradara berikut yang melanjutkan ceritanya. However, dalam Star Wars: Episode IX – Rise of the Skywalker yang kembali disutradarai oleh J.J. Abrams, kita melihat lightsaber tersebut ditangkap Luke dan mereka melakukan adegan yang seperti prosesi ulang yang berbeda dari simbolik passing the torch tadi. Seolah film juga ingin mengembalikan cerita ke jalur Abrams. Hal yang dapat kita simpulkan dari estafet semacam ini adalah di antara dua: pembuatnya sudah merencanakan atau pembuatnya memang tidak membuat rencana atau peta atau endgame yang mutlak tatkala mereka membuat franchise trilogi ini. Dan melihat dari perjalanan pada Episode IX ini, jawabannya besar kemungkinan adalah kemungkinan yang kedua.
Film yang jadi konklusi akhir dari trilogi Star Wars era kekinian ini memusatkan perhatian kita kepada siapa Rey sebenarnya. Selang dua tahun, Rey sekarang digembleng oleh Leia. Kekuatan Jedi dan penguasaan Force-nya sudah demikian mantap, tapi belum maksimal karena Rey takut oleh satu kekuatan lain di dalam dirinya. Sementara itu, Kylo Ren mengabdi pada Sith Lord yang baru, dan ia kerap menghubungi Rey – lewat hubungan ini Force mereka berdua; mengajak Rey bergabung, meninggalkan Leia, menumbangkan si Lord dan bersama-sama menjadi Emperor galaksi. Rey ogah. Terlebih ketika pasukan Resistance mengetahui bahwa si Sith Lord yang baru itu actually adalah musuh lama. Rey, bersama Finn, Poe, C-3PO, Chewbacca, dan BB-8 bertualang dalam Millennium Falcon menjelajah galaksi, bertemu dengan orang-orang baru, sembari mencari petunjuk keberadaan si Sith Lord dan menyusun serangan sebelum pihak Dark Side melancarkan ribuan armadanya yang masing-masingnya sanggup menghancurkan planet.
Dalam lingkup sebagai satu cerita utuh sendiri, film ini bergerak dalam satu gagasan yang ditampilkan sebagai tema besar. Yakni tentang mengatasi ketakutan terhadap diri sendiri. Hampir semua aspek karakter bergerak di dalam gagasan ini. Kylo Ren yang takut mengakui siapa dia di balik ‘topeng gelapnya’, sehingga dia terus mengenakan topeng tempur dan kerap melakukan kejahatan demi kejahatan. Rey yang takut mengetahui siapa dirinya sebenarnya, dia gak siap untuk membuka kenyataan tentang dirinya. Bahkan perjuangan Resistance mandeg gara-gara mereka takut pada kenyataan jumlah pasukan yang sedikit sehingga mengira tidak ada lagi yang mau bergabung dengan perjuangan mereka.

Takut pada diri sendiri membuat kita menciptakan sosok ideal yang bakal bertentangan dengan diri – seperti Kylo Ren, dan membuat kita tidak terbuka, tidak bebas, tidak bisa memberi dan menerima secara penuh – seperti Rey. Dengan kata lain, menghambat kemajuan. Kita tak kan bisa kabur dari perbuatan masa lalu, latar belakang, maka daripada meninggalkan diri sendiri, ambillah resiko seperti Poe. Karena jika dirimu disukai maka itu adalah karena itu memang dirimu sendiri, dan jika dirimu gagal maka kamu akan tahu persis titik mana dari dirimu yang harus diperbaiki.

 
Sayangnya tema tersebut tidak konsisten. Sehingga judul Rise of the Skywalker pun seperti reaching yang cukup jauh. Skywalker memang adalah keluarga yang jadi sorotan utama dalam dongeng Star Wars original, tapi pada film ini para Skywalker sejatinya adalah tokoh pendukung bagi tokoh utama yang non-Skywalker dalam perjalanannya menjadi ‘seorang’ Skywalker. Rey direveal memang bukan Skywalker dan di akhir dia mengadopsi nama Skywalker sebagai penghormatan buat Skywalker yang telah mengajarinya banyak hal tentang Force dan menjadi diri sendiri. Namun cara film menutup arc ini di ending malah tampak seperti menunjukkan Luke dan Leia adalah pasangan dan Rey adalah anak mereka – you know, like, selama ini yang dispekulasi oleh fans. Padahal ada cara lain yang lebih cocok dengan tema, dengan tokoh yang lebih cocok menyandang judul Rise of the Skywalker. Yakni Kylo Ren, alias Ben Solo yang berdarah Skywalker dari ibunya. Keseluruhan arc Kylo Ren di film ini adalah dia kembali kepada dirinya yang asli – yang Ben. Ada momen dramatis Kylo dengan Han Solo yang berlangsung dalam kepalanya, mereka ngobrol dengan dialog yang sama saat Kylo Ren membunuh ayahnya itu di Episode VII tapi dengan nada yang berbeda; adegan yang sangat pintar. Juga ada sedikit momen penyadaran yang melibatkan Kylo dengan ibunya. Film bisa saja menyatukan Ben dengan Rey, membuat nama Skywalker lebih natural berpindah. Hanya saja film lebih memilih untuk Rey mengenyahkan siapa dirinya setelah dia berani memikul siapa dirinya itu terlebih dahulu.

mungkin mereka sendiri bingung antara Skywalker dengan Jedi.

 
Melihat elemen cerita ini sebagai bigger picture – sebagai penutup dari trilogi – film ini sayang sekali terasa sangat random, semua yang terjadi di film ini tidak kohesif dengan yang sudah dibangun, bukan saja dari dua episode trilogi ini sebelumnya, bahkan juga dengan dua trilogi sebelum ini, alias enam episode Star Wars terdahulu. Rey diungkap sebagai seorang Palpatine, Emperor jahat yang jadi dalang di Star Wars terdahulu. Hal ini memang menarik, terlebih hardcore fans mungkin sudah ada yang bisa melihat kesamaan gaya bertarung Rey dengan Palpatine (sama-sama menggenggam lightsaber dengan kedua tangan dan mengayunkannya bersama berat seluruh tubuh). And it’s cool, menarik Rey ternyata adalah keturunan makhluk paling jahat di galaksi. Masalahnya adalah si Palpatine itu, yang sudah dibunuh oleh Darth Vader alias Anakin Skywalker, yang membuktikan kebenaran ramalan “seorang Skywalker akan mengembalikan keseimbangan Force”, dikembalikan oleh film ini. Dari sepuluh menit pertama kita diberitahu Palpatine masih hidup dan dia juga adalah (masih) dalang dari kejadian-kejadian di dua episode sebelumnya. Dan ini bego karena menegasi ramalan dan arc Skywalker dahulu, serta terlihat sebagai penulisan final yang begitu pemalas dan gak kreatif dan kayak sinetron.
Bahkan Dragon Ball Z aja ngerti gimana cara kerja dunia, jika satu tirani sudah kalah dan dunia memasuki masa damai, maka kedamaian tersebut cepat lambat bakal berakhir karena kemunculan tirani baru. Pada Episode VII sepertinya Star Wars sudah mulai memasuki tahap baru. Yah meskipun tokoh-tokoh dan kejadiannya kayak counterpart dari Episode original, tapi paling tidak kita melihat nama-nama baru. Kita diperkenalkan kepada Snoke, Supreme Leader baru. Episode VIII meginjak pedal gas perubahan itu lebih dalam lagi, semua yang kita duga dibuang, Snoke bahkan dihilangkan untuk kebangkitan musuh baru. Namun Episode IX memunculkan kembali Palpatine, ini adalah tirani yang sama dengan bertahun-tahun lalu, cara paling mudah dalam menyusun cerita ke ranah nostalgia, tidak perlu repot-repot mengikat cerita yang sudah diperluas (atau mungkin diperumit) oleh episode sebelumnya. J.J. Abrams seperti membuat sekuel buat episode VII, dengan memunculkan kembali elemen-elemen tidak ditonjolkan oleh Rian Johnson di episode VIII, dan gantian membuang yang udah dibuild up oleh Johnson.
Finn suddenly has ‘feelings’, Rey suddenly bisa heal dengan Force, dan Kylo Ren suddenly bisa perbaiki helm dengan teknik kintsugi

 
 
Ini kayak ketika aku dan teman-teman tim Lupus Reborn Jogja berniat bikin novel yang dikerjakan secara estafet per bab, kami hanya merumuskan tokoh tanpa ada garis besar perjalanan. Hasilnya setiap bab rasanya gak padu, ketika menulis aku susah payah menyambung ide dari bab sebelum aku dan ketika dilanjutkan, hasilnya enggak sesuai dan gak nyambung lagi. Atau kayak serial yang setiap episodenya disutradarai oleh orang yang berbeda-beda. Contoh paling epik adalah American Horor Story 1984 tahun ini; sedari beberapa episode terakhir mereka seolah ngebangun ke konser musik yang bakal berdarah-darah, tapi ternyata di episode finale, konser itu enggak ada – malah lompat ke masa depan, dengan banyak eksposisi tentang konser tersebut. Episode IX ini jatoh mengecewakan seperti itu, dia tidak terasa benar-benar menyambung Episode VIII, melainkan seperti membenarkan yang salah. Membenarkan dengan acuan kesenangan fans.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh Martin Scorsese sebagai film yang hanya serupa wahana taman hiburan. Rise of the Skywalker disibukkan oleh keinginannya memenuhi keinginan dan hiburan fans. Film ini hanya spectacle besar – it’s being real good at it. Banyak adegan yang benar-benar wah kayak duel Rey dengan Kylo di atas bangkai spaceship dengan latar laut berombak, itu keren gila. Tapi dari segi cerita, film ini banyak lemahnya dan sangat terasa maksain. Atau mungkin, sebagai pembelaan, film ini diubah karena wafatnya Carrie Fisher yang berperan sebagai Leia; salah satu dari tiga trio original. Episode VII adalah tentang Han Solo. Episode VIII adalah tentang Luke. Dan IX ini seharusnya tentang Leia. Kenyataannya, Carrie meninggal. Film ini menggunakan stok adegan-adegan Carrie Fisher sebagai Leia yang enggak dipake dari dua episode terdahulu, dan mereka merancang adegan dari sana. Beberapa mulus, namun sebagian besar adegan Leia tampak aneh. Makanya di film ini peran Leia penting tapi screentimenya sedikit. Penyesuaian yang mereka lakukan, supaya aman, ya naturally akan didasarkan kepada kesenangan fans.
 
 
Oh please, jangan khawatir sama beberapa spoiler di sini. Filmnya sendiri juga enggak peduli sama cerita dan kesinambungan. Mereka hanya ingin kita menonton ini dan terhibur oleh petualangan dan aksi di tempat-tempat paling seru di galaksi. Fans will love this because of it. Film juga menyisipkan banyak reference dan easter egg dari episode-episode terdahulu sehingga nontonnya memang terasa seru. Namun untuk sebuah cerita yang mengangkat soal tidak takut kepada diri sendiri, film ini tidak punya nyali mengetahui ke arah mana dia akan menjadi. Sehingga mereka membelokkan dan mengabaikan dirinya sendiri di masa lampau.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF THE SKYWALKER

IMPERFECT: KARIER, CINTA & TIMBANGAN Review

“We are our own worst critic”
 

 
Adalah kecenderungan alami bagi kita untuk berusaha menjadi lebih baik, terlebih dalam urusan penampilan. Karena memang bagaimana kita terlihat oleh muka umum sangat berpengaruh pada setiap aspek dalam hidup. Orang pendek, misalnya, gak bakal langsung keterima jadi tim inti basket di kelurahan. Orang gendut, seperti Rara dalam drama komedi terbaru dari Ernest Prakasa ini, memiliki kesempatan yang lebih kecil – dan lebih susah untuk sukses – dalam dunia pekerjaan ketimbang orang yang lebih singset. Jadi bukan ‘mendadak’ setiap orang begitu insecure terhadap dirinya masing-masing. Kecemasan tubuh kurang langsing, kurang berisi, kurang putih, kurang tinggi, kurang seksi terjadi bukan sebatas pada wanita, bahkan juga pada pria. Media mengeset standar kecantikan dan kita suka pada apa yang mereka jual. Society mengamini standar tersebut. Dan kita menjadi begitu keras kepada diri sendiri supaya terhindar dari body-shaming, supaya sempurna menjadi sesuai standar penampilan yang menjadi ilusi dari ‘lebih baik’.
Secara konstan Rara (Jessica Mila actually put on a little more weight for her role here) hidup di bawah tekanan dan body-shaming dari sekitarnya. Terlahir mirip almarhum ayah (ungkapan halus untuk berkulit hitam) dan suka makan banyak – dengan batang coklat sebagai pelengkap 4 sehat 5 sempurnanya – Rara bahkan dapat tekanan di lingkungan rumah. Ibu Rara yang mantan model kerap menegur Rara untuk mengurangi porsi makan, memperhatikan berat badan, dan membanding-bandingkannya dengan sang adik yang punya potongan kayak gadis sampul majalah. Rara tadinya cuek, toh dia punya Dika, pacarnya yang menyintai Rara – yang melihat cahaya di dalam diri Rara. Tapi kemudian, tekanan pekerjaan mendera. Untuk bisa naik pangkat menjadi manager di perusahaan make-up, Rara enggak bisa hanya mengandalkan kepintaran. Sebab image dan penampilan adalah hal yang utama – you can’t be important if you’re not pretty enough. Rara bertekad mengubah penampilan, dia mendorong dirinya sampai-sampai Dika dan orang-orang terdekat tidak mengenali lagi siapa dirinya. Dan itu bukan hal yang bagus, sebab dia mungkin saja sudah kehilangan kecantikan dirinya yang sebenarnya.

brand-brand kecantikan nyuruh kita untuk menjadi diri sendiri sembari menawarkan produk untuk mengubah penampilan.

 
Aku sendiri bukan orang yang paling secure sedunia untuk urusan penampilan. Sejak kecil aku berurusan dengan ledekan fisik (diledekin karena pendek, dibecandain karena cadel) dan meski aku sudah ‘menaklukkan’ itu, kini muncul lagi hal yang bikin insecure. Rambutku yang sekarang hanyalah bayangan dari kemegahannya dahulu yang sukses bikin jealous cewek-cewek di kampus. Kupluk adalah relic ke-insecure-anku perihal rambut yang kupakai ke mana-mana. Aku juga pernah gendut dan mengurangi makan (nyaris) secara gila-gilaan, persis Rara. No shit. Makanya aku suka sama cerita kayak gini. Makanya aku kepikiran untuk bikin film pendek Gelap Jelita, yang terinspirasi dari lagu Scars to Your Beautiful dari Alessia Cara. Aku tau first hand bahwa insecure fisik adalah masalah yang serius bagi setiap individu. Aku pengen pesan menguatkan untuk melawan ke-insecure-an bisa terus berlanjut. Dan Imperfect yang diadaptasi oleh Ernest dari cerita buku karangan sang istri, Meira Anastasia, buatku menyempurnakan hidangan bergizi soal melawan ke-insecure-an.
Digarap oleh seorang komika/komedian, film ini punya dosis sehat guyonan yang bukan merecehkan malahan memberikan nada yang unik dalam menggambarkan permasalahan insecure fisik tersebut. Sepanjang durasi kita akan bertemu dengan banyak tokoh-tokoh yang merasa minder dengan ketidaksempurnaan dirinya, mereka diledek karenanya, dan mereka bukan hanya berani nge-call out yang ngata-ngatain, melainkan juga berani secara kasual membicarakan ketidaksempurnaan tersebut sebagai becandaan dengan teman. Just like ketika Ernest menertawakan kesipitannya pada film debut yang meloncatkan karirnya sebagai sutradara dan penulis – Ngenest (2015). Tokoh-tokoh Imperfect lowkey empowering. Kita melihat mereka dalam berbagai wujud ketidaksempurnaan seperti gendut, item, tonggos, tompelan. Dan kita seperti diajak untuk menertawakan para pelaku body shaming sebagai garda pertama pertahanan diri dari menghilangkan keinsecurean tersebut. In this way, film menjadi sangat relatable, karena dengan beragamnya ‘contoh kasus’ maka kita akan menemukan satu yang bisa dikaitkan dengan diri. Film menggebah kita untuk menatap kekurangan diri sendiri, dan menjadi bangga terhadapnya alih-alih memaksa diri untuk berubah. 
Dan Rara adalah sosok yang sempurna untuk dijadikan pusat dari ketidaksempurnaan itu semua. Naskah benar-benar menghormati tokoh ini. Rara bukan hanya pintar dan real good at her job di perusahaan make-up. Hal pertama yang kita pahami dari Rara adalah dia suka makan dan dia oke dengan itu. Ketika stake cerita naik, dan dia harus menurunkan berat badan, Rara tidak serta merta dibuat menyiksa dirinya dengan mengurangi makan. Rara selalu mencoba untuk menghormati dirinya sendiri terlebih dahulu dibanding apapun. Makanya, Rara kemudian menjadi ‘lawan’ dari Marsha (Clara Bernadeth memainkan Regina George versi kantoran). Lewat dinamika antara Rara dan Marsha film menjelaskan kenapa cewek cantik populer selalu memandang cewek yang tidak menonjol dan hanya punya satu sahabat yang sama dipandang ‘aneh’ sebagai ancaman. Semua kembali kepada insecure tadi. Cewek-cewek cantik ala trope ‘mean girl’ berjalan pada sistem yang dibentuk oleh media dan society. Sementara cewek seperti Rara – dan protagonis film-film yang ada trope ‘mean girl’nya, mereka ini kayak wild card, mereka punya kemampuan untuk berada di luar sistem dan conformity dalam society, mereka tidak mesti berada di dalam sana. Oleh karena itu dalam setiap cerita mean girl; Regina, Heather, dan sekarang Marsha, selalu membuat protagonis menjadi bagian dari geng mereka – memasukkan protagonis kembali ke sistem.
Imperfect, however, mengolah elemen ini dengan lebih dewasa sebab Rara bukan lagi di lingkungan sekolah seperti cerita trope mean girl pada umumnya. Masalah Rara bukan lagi sesepele pengen punya pacar atau jadi populer. Rara ingin naik jabatan, dia sendiri yang memilih untuk jadi kurus dan mendapat respek dari Marsha. Seperti Marsha. Karena hanya dengan menjadi Marsha-lah tujuannya bisa tercapai. Perubahan Rara terasa lebih powerful karena kita dapat merasakan bingung dan perjuangan Rara untuk bertahan menjadi diri sendiri sekaligus juga mengubah diri secara fisik. Akhirannya memang masih tertebak oleh kita. Aku bisa melihat film ini akan dikritik oleh banyak orang sebagai stereotip banal lebih baik gendut daripada modis. Apalagi karena pemeran Rara bukan orang gendut beneran dan tetap tergolong atraktif untuk standar masyarakat. Pada satu titik menjelang akhir, Rara dijadikan contoh untuk produk make-up terbaru di kantornya; dia yang pintar dan berusaha keras memperbaiki penampilan, ter-reduce menjadi stereotip. Cliche as it is, tapi sesungguhnya inilah cara film untuk menegaskan kepada kita bahwa hal itulah yang terjadi kepada siapapun yang lebih mementingkan penampilan luar; kita hanya akan menjadi sebuah stereotip.

Seribu pujian tetep gak akan berefek segede satu kritikan. Karena kita gak bakal tahu pasti seberapa tulus pujian tersebut dan seberapa objektifnya komentar ngritik tersebut. Sehingga kita ditinggal untuk bertanya kepada diri sendiri. Inilah mekanisme dasar mengimprove diri. Yang seringkali kita bersikap keras kepada diri sendiri sehingga kita berubah menjadi orang yang bukan siapa kita. Dan semua itu bermula dari satu komentar orang soal penampilan fisik kita.

 
Ernest Prakasa membangun satu dunia yang dengan tepat mencerminkan keseluruhan insecurity dan body-shaming bekerja di dunia nyata. Hubungan antara Rara dengan Dika, pacarnya yang fotografer berfungsi lebih dari sekadar menjalankan tugasnya sebagai bagian drama romance dari drama komedi romantis ini. Arc Dika (diperankan dengan hangat dan sangat simpatik oleh Reza Rahadian) mengajarkan kepada society, dan kita, cara memperlakukan orang dengan benar; yakni dengan tidak meletakkan pressure kepada mereka – untuk respek terhadap pilihan orang karena sebagian besar waktu mereka berusaha untuk menjadi diri sendiri, tapi dunianya punya tuntunan, dan kita sebaiknya tidak menambah mumet dan biarkan mereka membuat pilihan, dan respek kepada apapun pilihan mereka. Tidak perlu kita terlalu banyak mengatur, atau malah jadi menyalahkan dirinya – seperti mama Rara kepada Rara. Film ini juga menggambarkan soal victim-blaming yang bisa saja terjadi secara kasual, tanpa kita sadari, yang sebenarnya justru menambah pressure kepada orang.
Satu lagi tokoh yang berperan besar bagi perkembangan karakter Rara, tentu saja adalah adiknya; Lulu (dimainkan dengan manis oleh Yasmin Napper yang juga manis). Si anak ’emas’ sang mama. Rara dan Lulu akrab, tapi diam-diam ke-perfect-an Lulu juga menjadi sumber ke-insecure-an bagi Rara. Ada satu adegan emosional yang melibatkan kakak beradik ini, dan juga mama mereka, yang dihandle dengan begitu grounded dan menghangatkan oleh film. Rara begitu ‘jealous’ sama Lulu sehingga dia tidak melihat bahwa adiknya ini punya ke-insecure-an sendiri. Film menjadikan Lulu sebagai wakil untuk mengatakan orang-orang yang terlihat sempurna juga punya masalah insecure. Kita juga diperlihatkan bahwa di masa kini orang bisa jatoh bahkan lebih artifisial daripada stereotipe jika terlalu mengagungkan penampilan lewat tokoh pacarnya Lulu yang hanya peduli pada bagaimana dia terlihat oleh followernya di sosial media.
Semua tokoh dalam film ini diberikan peran dan kepentingan, bahkan tokoh-tokoh yang terlihat konyol. Ini adalah pencapaian yang paling pantas kita selebrasi pada Imperfect. Ernest berusaha menyempurnakan gaya komedinya; tokoh-tokoh minor yang biasanya cuma jadi guyonan sketsa yang ditempatkan hanya sebagai selingan atau transisi di antara adegan-adegan penting, kali ini mereka (sejawat komika Ernest dan obrol-candaan mereka) dibuat paralel dengan permasalahan tokoh utama. Tidak lagi adegan-adegan mereka bisa dibuang begitu saja, karena di film ini mereka menambah bobot bagi narasi. Konklusi film ini akan terasa sangat nendang oleh emosi, berkat cara film mengikat masalah-masalah insecure yang melanda para tokoh. It is really empowering, and beautiful. Kalo dipaksa nitpick, aku cuma mau bilang sedikit kekurangan film ini adalah masih ada beberapa tokoh yang tampak tak tersentuh oleh insecure padahal mestinya di akhir itu mereka merayakan ketidaksempurnaan bersama-sama.

mereka basically bikin video musik Scars to Your Beautiful

 
 
 
Padet, lucu, bikin jatuh cinta, tapi bukan Jessica Mila – apakah itu? Film ini jawabannya. Komedinya yang bikin terpingkal itu tidak pernah terasa sia-sia, malahan menambah banyak bobot untuk cerita. Hubungan keluarganya bikin hangat, begitu juga romansa – kita melihat dua orang yang berusaha saling menghargai no matter what, mereka berusaha melihat masing-masing di luar penampilan fisik. Dan yang paling penting film ini mengajak kita untuk lebih mencintai dan menghormati diri sendiri. Tidak serta merta menyalahkan dunia yang sudah mengeset standar kecantikan. Film ini juga berani untuk menjadi stereotipe alias klise demi menyampaikan gagasannya. Cerita ini penting untuk disaksikan bukan hanya wanita, tapi juga pria. Karena insecure bisa melanda semua orang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for IMPERFECT: KARIER, CINTA & TIMBANGAN.

KNIVES OUT Review

Immigration strikes at the very heart of a central metathesiophobia, or fear of change
 
 

 
Kejeniusan Knives Out bukan semata pada kepiawaian membangun misteri siapa pelaku sebenarnya (biasa disebut sebagai thriller whodunit), melainkan juga pada ketajaman penulis naskah merangkap sutradara Rian Johnson mengomentari soal fobia imigran yang ia jadikan bahan utama dalam menu misteri pembunuhan yang disajikan dengan karakter beraneka rupa.
Pengarang novel misteri terkenal, Harlan Thrombey, ditemukan bersimbah darah di kamar kerjanya, sehari setelah pesta ulangtahunnya yang ke delapan-puluh-lima. Karena menyayat urat leher cukup aneh untuk dianggap sebagai pilihan tindak bunuh diri, maka detektif Benoit Blanc (aksen Daniel Craig komikal, namun surprisingly worked) melakukan investigasi. Daftar tersangkanya adalah anggota keluarga Thrombey yang diam-diam menanti warisan dari kepala keluarga Thrombey yang eksentrik. Ada Linda dan suaminya yang berharap dikasih rumah. Ada Ransom, putra Linda, ‘kambing hitam keluarga’ yang pengen diwarisi semua sehingga dia tak perlu bekerja. Ada Joni, menantu Harlan yang janda yang bergantung pada uang Harlan untuk biaya pendidikan anaknya. Ada Walt, putra bungsu Harlan, yang ingin diberikan kuasa penuh atas bisnis percetakan bapaknya. Detektif Blanc dengan senang hati mempercayakan bantuan kepada perawat pribadi Harlan, Marta (Ana de Armas memainkan seorang minor yang punya peran sangat mayor), yang begitu baik hati sehingga dianggap keluarga oleh Harlan. Tapi Knives Out punya banyak kejutan dalam ceritanya. Marta yang muntah setiap kali berbohong – cara kocak film menanamkan cewek ini adalah pribadi yang jujur dan bisa dipercaya, enggak seperti tokoh yang lain – tadinya adalah satu-satunya orang yang tidak mendapat untung dari kematian Harlan. Seiring berjalannya cerita, seiring misteri perlahan membuka, keadaan berubah dan justru Marta yang menang paling banyak dari pembunuhan ini. Bukan Blanc seorang yang berpikir keras, kita penonton juga akan semakin tersedot ke dalam misteri pembunuhan keluarga kaya raya nan nyentrik ini.

bayangkan harus nahan muntah setiap kali menyapa keluarga bos yang pura-pura liberal

 
Dari sudut pandang Marta, misteri pembunuhan ini adalah ketakutannya sebagai orang yang bukan asli Amerika. Marta merupakan orang-dalam yang sesungguhnya adalah orang-luar. Dia mengenal semua anggota keluarga Thrombey, mereka semua ramah kepadanya. Tapi dia adalah orang asing. Jangankan darah, Marta bukan dari tanah yang sama. Film menjadikan asal usul negara Marta sebagai running-joke berupa anggota keluarga Thrombey menyebutnya dari negara yang berbeda-beda. Satu tokoh menyebutnya dari Uruguay. Tokoh yang lain menyebut Marta dari Brazil. Mereka enggak benar-benar peduli, deep inside bagi mereka Marta bukan bagian dari mereka. Inilah yang lantas dijadikan konflik, tensi dramatis buat kita ketika ditempatkan dalam sudut pandang Marta.
Ada adegan ketika anggota keluarga Thrombey duduk mengobrol, dan perbincangan mereka dengan cepat berubah menjadi pandangan politik soal imigran. Anak-anak Harlan bicara dengan cueknya padahal ada Marta di sana. Kita bisa meliha Marta tidak nyaman, karena pembicaraan mereka yang liberal dan tidak-menyalahkan imigran terdengar tidak tulus. Setelah pembunuhan terjadi, dan situasi berubah, kita melihat Marta mau-tidak-mau harus bergerak karena pemahamannya mengenai situasi. Dia jadi seperti banyak diuntungkan, dan tentu saja orang-orang akan ‘menyerang’ dia karena mereka percaya Marta enggak pantas. Marta bukan keluarga, maka dia mencuri dari mereka. Marta bergerak dengan pemahaman ini di dalam kepalanya. Kita juga menyaksikan kejadian dengan pemahaman tersebut, hanya saja dengan ruang lingkup yang lebih luas karena nafas film ini adalah cerita whodunit sehingga film tidak menutup kemungkinan bahwa mungkin Marta memang ‘bersalah’.

Film memotret bagaimana ketakutan terhadap imigran itu bisa timbul. Keluarga yang merasa dirampok oleh orang luar yang lebih baik dan bekerja keras ketimbang mereka, adalah cara film menyampaikan teguran bahwa sebenarnya kesuksesan itu bukan soal darimana kau berasal. Melainkan dari seberapa banyak kita berusaha dengan baik. Kita hanya menuai apa yang kita usahakan. Lagipula, dalam tanah kesempatan; semua orang adalah pendatang.

 
Tidak setiap hari kita mendapat misteri pembunuhan yang original seperti film ini. Biasanya cerita-cerita detektif seperti ini merupakan adaptasi dari novel atau materi lain. Aku sempat kecele karena mengira Ratu Ilmu Hitam (2019) yang tayang bulan lalu, yang menampilan ensemble cast menarik, bakal hadir sebagai horor misteri whodunit. Karena memang kangen juga terhadap cerita kasus pembunuhan seperti ini. Ada keseruan tersendiri dalam ikut menebak-nebak dan melihat jawaban yang sebenarnya terkuak. Knives Out melakukan lebih dari sekadar pemuas dahaga akan misteri whodunit. Karena ia juga hadir dengan gagasan yang terselip matang di antara bangunan misterinya. Penampilan dari jejeran castnya jangan ditanya – semua bermain fun tapi tidak pernah receh ataupun lebay. Para tokoh di film ini semuanya nyentrik. Dari Daniel Craig ke Jamie Lee Curtis memainkan peran yang over-the-top. Lihat saja reaksi tokoh Chris Evans saat bertemu dengan anjing. Namun mereka semua bekerja bukan main dalam tingkatan yang menghibur. Yang sesuai dengan konsep genre mereka di mana semua orang adalah tersangka.
Sebagai whodunit, film ini bahkan punya keunikan tersendiri. Biasanya kita akan dituntun untuk mempelajari motif masing-masing tersangka. Selain itu, kita akan diperlihatkan mereka punya kesempatan, lalu ada tokoh yang dijadikan red-herring alias dibangun sebagai tersangka utama dan cerita akan terbangun ke false resolusi bahwa bukan dia pelakunya. Dengan kata lain, film biasanya menunjukkan tokoh-tokoh yang punya kesempatan tapi mereka tampak tak bersalah sampai ada bukti-bukti semakin banyak terungkap. Knives Out berjalan semacam kebalikan dari hal tersebut. Sedari awal kasus, kita sudah ditetapkan semua orang punya motif, dan itu diperlihatkan dari kebohongan para tersangka. Jadi sejak awal kita tahu mereka semua adalah pembohong, narasi atau sudut pandang mereka tidak bisa dipercaya, dan – sebagai ‘pemanis’ – mereka juga memandang rendah pendatang. Film seperti merekonstruksi genre whodunit, membuat kita memproses ulang pemikiran saat menonton whodunit.

bagaimana memilah yang paling jahat di antara yang jahat, jangan-jangan malah yang baik yang jahat

 
Dialog-dialog cerdas dan lucu menyertai set rumah yang banyak ruang rahasia. Menantang kita untuk terus menyimak. Berpikir tanpa harus menjadi ikutan stres. Saat memecahkan kasus, film meminta kita untuk condong kepada Blanc yang juga sama nyentriknya. Tokoh ini kadang tampak ada di sana sebagai penyambung mulut kita menyampaikan kesimpulan, tapi ada kalanya dia selangkah di depan. Sebagai karakter detektif sendiri, Blanc memang kalah berisi dibandingkan Sherlock Holmes atau Poirot atau malah Detektif Conan, karena bukan dia tokoh dan sudut pandang utama. Namun tokoh ini berhasil dijauhkan dari menjadi parodi tokoh-tokoh detektif terkenal tersebut. He’s there but not exactly above or outside of everyone. Blanc punya motivasi sendiri, dan ini membuat dia juga misterius. Rian Johnson benar-benar memutar balik otak untuk menciptakan situasi yang terus menekan dan membawa warna asli tokohnya keluar. Dia melakukannya dengan menyeimbangkan komedi dan suspens – bukan perkara gampang. Kita tahu Johnson berhasil dalam pekerjaannya ketika kita masih tertawa ketika ada remark yang lucu dari tokoh dan tetap tertarik dan geregetan melihat ke arah mana situasi membawa Marta.
Johnson memilih struktur yang membutuhkan banyak eksposisi dalam menceritakan kasusnya. Kita masuk saat kasus terjadi, tanpa mengenal dahulu siapa tokoh-tokohnya. Sejalannya cerita, barulah kita dibawa bolak-balik sesuai perspektif tokoh yang diinterogasi. Ekposisi ini dihandle dengan menarik berkat tokoh-tokoh yang unik dan menarik. Bolak-balik waktunya juga dilakukan efektif untuk alasan yang sama. Tidak ada bentrokan tone pada film ini. Jika kita perhatikan, karakter-karakter film ini sepertinya disesuaikan dengan stereotipe kekinian. Ada influencer sosmed, ada SJW, ada orang dewasa yang ‘kuno’. Tapi ada satu karakter yang tidak mereka kembangkan dengan sepintar dan semenarik yang lain. Yakni anak remaja yang selalu bermain hape. Dia tidak banyak berperan selain jadi bahan tertawaan. Dia juga tidak punya sudut pandang atau motivasi sendiri.
 
 
Film genre semakin menunjukkan taringnya. Tahun ini kita dapat Us dan Parasite yang membahas persoalan sosial dalam balutan thriller atau horor. Di akhir tahun ini, Rian Johnson melengkapi koleksi kita. Yang ia hadirkan adalah murder mystery yang bukan hanya fun dan unik – seperti tokoh-tokohnya, melainkan juga berbobot. Membahas soal imigran yang menjadi momok, terutama oleh warga Amerika. Di era Donald Trump.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KNIVES OUT

MARRIAGE STORY Review

“Once you love something, you can never stop loving it.”
 

 
Ada dua keunikan yang dikawinkan Noah Baumbach dalam karya terbarunya sebagai penulis naskah dan sutradara yang membahas tentang perceraian. Pertama, dia menunjukkan perceraian bukan selalu (dan semata) soal ribut beradu pendapat. Dan kedua, perceraian tersebut dia gunakan sebagai lensa untuk meneropong sebuah kisah romansa.
Dalam Marriage Story, Adam Driver dan Scarlett Johansson adalah pasangan yang sedang dalam proses berpisah. Kita tidak segera menangkap kesan tersebut karena menit-menit pembuka film justru memperlihatkan sudut pandang mereka masing-masing dalam ‘mendeskripsikan’ pasangan secara bergantian. Atau bahkan ketika cerita berjalan menit demi menit. Driver dan Johansson – dalam film ini sebagai Charlie dan Nicole – justru terlihat semakin memahami satu sama lain, mereka paham kebersamaan mereka tidak akan berjalan dengan baik, dan mereka mau yang terbaik untuk putra mereka yang masih kecil. Jadi mereka berusaha untuk sedapat mungkin bergerak sebagai keluarga dalam mengarungi proses perceraian. Walaupun mereka tidak sependapat dengan prosesnya. Dan bahwa proses perceraian yang sah itu sendiri, yang ‘dipersenjatai’ pengacara-pengacara yang hanya menganggap perceraian sebagai bisnis, membawa yang terburuk dari orang-orang yang terlibat – terutama ketika tidak bisa segampang itu membagi adil soal asuh anak jika dua orangtuanya berencana tinggal di kota yang terpaut jarak dan lingkungan yang cukup jauh.

jelas tidak dengan cara menggunting sang anak menjadi dua

 
Dua sudut pandang dihadirkan dengan porsi yang seimbang. Film tidak memihak kepada siapa-siapa. Secara adil, kita akan diberikan kesempatan untuk mengikuti masa-masa sendiri Nicole dan bergantian ke waktu-waktu pribadi Charlie. Sehingga kita lantas mengerti perspektif mereka. Kita memahami bahwa ada cinta sejati di antara mereka. Adegan pembuka involving mereka menulis surat berisi sifat (positif dan negatif) pasangan yang tadi sudah kusebut benar-benar melandaskan seberapa ‘kenal’ Charlie kepada Nicole, dan sebaliknya, and it’s sweet betapa mereka berdua begitu mirip. Sekaligus kita juga seketika tahu ada yang tidak cocok di tengah-tengah mereka. Dan kadang, ketidakcocokan tidak bisa dipaksa untuk menjadi klop. Jika kebanyakan film memusatkan penggalian pada ketidakcocokan – membesarkannya hingga memuat banyak adegan berantem atau ngobrol debat dengan nada tinggi, atau tokoh yang nangis frustasi, mabok, atau semacamnya, maka Marriage Story mengambil perhatian kepada hal-hal yang lebih ‘tenang’. Dan kita semua tahu, air yang tenang justru lebih menghanyutkan.
Sebagai perbandingan, kita ambil saja Twivortiare (2019), film adaptasi novel Ika Natassa – dibintangi Reza Rahadian dan Raihaanun – yang juga bicara soal pasangan yang pengen cerai. Film tersebut menyenangkan oleh dialog-dialog ribut kedua tokohnya yang berusaha mengatasi ketidakcocokan mereka. Highlightnya definitely pada pertengkaran. Pada Marriage Story hanya ada satu adegan Charlie dan Nicole berdialog penuh emosi. Ketika kita mengantisipasi ada banyak adegan ‘berantem’ pada film perceraian dan film hanya memberikan satu sebagai klimaks, kita lantas konek dan ikut merasa sakit dan pahit dan getirnya dengan lebih kuat karena semua adegan, semua perspektif, terbangun seksama ke arah sana. Sebagian besar waktu, menjelang adegan heartbreaking ini, film memilih lebih sunyi. Memberikan kesan false security kepada kita. Karena begitu pengacara terlibat, Charlie dan Nicole yang tadinya seperti damai – mereka saat berdua kelihatan seperti teman baik yang saling respek, bahkan tidak ada kebencian dari keluarga Nicole kepada Charlie – menjadi seolah berniat buruk kepada masing-masing. Ada satu lagi adegan dialog emosional yakni adegan di persidangan di antara dua pengacara, yang terasa luar biasa bikin geram.
Yang diperlihatkan oleh Marriage Story adalah sebuah observasi bagaimana proses perceraian yang sebenar-benarnya. Bukan hanya proses hukumnya bekerja – peran pengacara – melainkan juga bagaimana proses hukum tersebut kadang tidak bekerja sebagaimana yang diinginkan oleh klien yang sedang bercerai. Kita melihat dalam film ini pengacara yang bicara mengatasnamakan satu tokoh, tetapi ekspresi si tokoh yang ia wakilkan tampak sama kagetnya dengan tokoh pasangannya yang sedang ‘diserang’. Salah satu kesubtilan film yang menohok memang adalah ketika satu karakter tampak tenang, akan tetapi kita mengerti di dalam hatinya ia sangat terluka – entah itu karena menyangka pasangannya melakukan suatu hal ataupun karena merasa tuntutan yang ia sarangkan tidak sesuai dengan yang ia maksudkan. Ini mungkin dijadikan sebagai pengingat kepada para penonton bahwa meskipun dalam meja persidangan kamu dan pasangan adalah ‘lawan’, dia bisa saja terlihat jahat, tapi cinta itu sebenarnya masih ada di sana, yang tampak jahat tadi boleh jadi tidak pernah ia maksudkan sendiri sepenuh hati.

Kesalahan-kesalahan kecil yang diungkap di sidang perceraian, yang tak-disadari melainkan oleh pasangan, adalah bentuk dari betapa banyaknya hal-hal atau momen yang tidak kita sadari dirasakan oleh pasangan. Sayang memang situasinya, namun tak bisa disangkal, tidak ada momen yang berubah atau terlupakan meski situasinya berganti. Bahkan setelah pisah, film ini menunjukkan, hati tetap tak bisa berhenti untuk mencintai apa yang sudah ia cintai sedari awal.

 
Seiring berjalannya durasi kita bisa merasakan tensi di antara Charlie dan Nicole semakin menegang, tapi every now and then momen-momen kecil terjadi di mana cinta menunjukkan wujudnya. Alasan cerita cinta dalam konflik perceraian ini bekerja dengan sangat efektif dan meyakinkan adalah apalagi kalo bukan permainan aktingnya. Driver dan Johansson sama-sama begitu komit, tema cerita ini tampak sangat personal bagi mereka. Baumbach benar-benar membuka ruang bagi para tokoh untuk menjelma seutuhnya ke dalam peran. Misalnya, Johansson diberikan beberapa menit untuk berakting monolog tanpa-dicut, mengeksplorasi perasaannya sebagai istri yang merasa terlalu dikontrol oleh suami sehingga pendapat dan eksistensi emosi serta intelektualnya sendiri seperti nyaris tidak dapat ia kenali. Sementara Driver disuruh bergulat dengan realita, dan juga prasangka tokohnya ketika ada sejumlah hal yang tau-tau bekerja di luar kendalinya – seperti kemauan sang anak yang mendadak menjadi berlawanan dengan yang ia kira. Bahkan pemain pendukung seperti Laura Dern yang jadi pengacara juga diberikan ‘jatah tampil’ sepersonal mungkin. Baumbach memilih menggunakan banyak shot close up wajah untuk memastikan emosi-emosi subtil tokoh tertangkap semua oleh kita yang menyaksikan.
Selain kuat oleh perspektif, naskah Marriage Story juga masih menyisakan tempat untuk komedi. Beberapa reaksi tokoh membuat kita tertawa. Film tidak hanya berkubang pada adegan emosional dan intrik pengacara. Hubungan-hubungan antartokoh dibuat segenuine mungkin, banyak interaksi yang hadir ringan dan film tetap berhasil menjauh dari predikat people-pleaser. Untuk menambah lapisan pada konflik, selain pekerjaan (Charlie sutradara sehingga dia control-freak, dan Nicole seorang akris sehingga dia biasa ‘akting’), film ini turut menghidupkan tempat yang menjadi panggung cerita. Berulang kali ditekankan perihal kota tempat Charlie bekerja dan kota Los Angeles sebagai kelahiran dan tempat ‘berlindung’ bagi Nicole. LA melambangkan tempat yang lebih ‘bebas’ sedangkan New York lebih mengikat dengan peraturan. Tempat ini juga dijadikan rintangan buat Charlie terkait case yang dibangun oleh pengacara Nicole di sidang perceraian.

kalo lokasinya di Bandung, mereka udah disuruh nanem 100 pohon oleh Gubernur

 
Aku tahu meskipun aku menegaskan film ini membuat dua tokohnya berimbang, enggak berniat membuat kita melihat yang satu jahat ketimbang yang lain, tapi kurasa it’s only natural kita tetap memihak salah satunya. Jadi, yang kalian baca pada paragraf ini pure personal taste, alias pandangan subjektif aku saja. Scar-Jo is a wonderful actress but I never like her, dan karakternya – Si Nicole – sungguh-sungguh annoying buatku. Film memang sudah menetapkan kedua tokoh ini sama-sama kompetitif alias bisa menjadi sangat egois kalo mereka mau, tapi aku kesel karena melihat kalo bukan karena Nicole gak mau baca yang ia tulis mengenai Charlie, maka film ini tidak akan berjalan. Tidak akan ada film ini jika Nicole enggak sok bener dan sok ‘rebel’. Buatku keduanya sama-sama ada salah, namun Nicole yang mencuat sebagai paling keras kepala. Maksudku, sekontrol freaknya Charlie, tapi sebagaimana yang ia sebut – kita melihat memang Charlie hanya membuat peraturan dengan kesepakatan bersama. Meski dia memang agak ‘memaksakan’, tapi toh Nicole sudah setuju. Dan jika sudah setuju, maka seharusnya wanita ini komit. Tidak berkata ya, lalu bertindak melanggar ‘ya’ tersebut belakangan. Inilah kenapa aku kesel banget sama Nicole.
 
 
Selain ‘kekurangan’ yang sangat subjektif itu, film ini gak punya celah untuk kesalahan. Ceritanya hadir dengan dua perspektif kuat yang berimbang porsinya. Dialog-dialog yang mengena dan lucu nampang silih berganti. Penampilan akting yang sangat meyakinkan, terekam dengan kamera yang juga menguarkan visi yang solid. Film juga berani mengambil resiko, salah satunya dengan ujug-ujug menampilkan adegan bernyanyi. Untungnya timing dan tonenya tetap terjaga. Great drama all around. Menikah atau belum menikah, film ini tetap bakal terasa dekat..
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for MARRIAGE STORY

JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review

“Life was meant for big adventures and good friends”
 

 
Saat sekuel dari video game yang kita suka rilis, kita excited mengharapkannya punya konsep yang familiar, punya karakter yang sudah kita kenal, namun dengan level-level yang lebih luas dan lebih menantang. Jumanji: The Next Level persis seperti demikian. Film ini hadir dengan konsep dan rule yang kurang lebih sama dengan film sebelumnya, Jumanji: Welcome to the Jungle (2017). Karakter-karakter yang sudah sukses menghibur kita, baik karakter ‘asli’ maupun karakter avatar (in-game) mereka, semua hadir kembali. Dengan petualangan, cerita, dan bahkan pemeranan yang dinaikkan levelnya. It is more… wild!
Geng Spencer kini hidup di kota yang berbeda-beda. Persahabatan mereka mungkin masih seerat dahulu – bersama-sama menempuh petualangan hidup-mati dalam dunia video game akan cenderung membuatmu akrab dengan temanmu – namun selayaknya anak remaja, LDR mau tidak mau membuat Spencer insecure. Ia canggung bertemu dengan Martha. Jadi ketika liburan natal ini geng mereka sepakat pulkam dan temu-kangen di kafe bekas kepunyaan kakek Spencer, pemuda ini semakin galau. Dia merasa perlu untuk mengumpulkan kepercayaan diri dengan… menjadi Dr. Bravestone lagi. Spencer nekat masuk ke dalam video game Jumanji yang sudah rusak itu seorang diri. Martha, Bethany, dan Fridge yang mencemaskan Spencer mencoba menyusul. Membantu Spencer menyelesaikan game berbahaya yang sudah pernah mereka tuntaskan. Namun kerusakan Jumanji membawa kekacauan. Mereka masuk ke dunia Jumanji secara random; as in Kakek Spencer yang grumpy, Eddie, dan mantan sahabatnya yang ngeselin, Milo, terseret ikut bermain alih-alih Bethany yang tertinggal di rumah. Dan dunia game di dalam Jumanji yang harus mereka ‘kalahkan’ kali ini; totally dunia yang berbeda. Dunia yang jauh lebih luas dan lebih berbahaya ketimbang sekadar hutan belantara.

“At least, that time I was still black” Jangan ngeluh dong, kamu Jack BLACK sekarang

 
Yang paling lucu dan menarik dari konsep Jumanji modern adalah pemeranannya. Di dalam dunia game, mereka punya tubuh yang berbeda, tapi sangat sesuai dan dengan tepat mencerminkan keunggulan dan kelemahan pribadi masing-masing. Para aktor yang memerankan tubuh dalam-game tokoh film ini – disebut avatar – mendapat tantangan untuk bermain di luar kebiasaan, misalnya Jack Black yang memerankan seorang gadis stereotype dumb-blonde yang terjebak dalam tubuh pria urakan tambun yang jago baca peta. Komedi sebagian besar memang datang dari sini. Dan pada Jumanji: The Next Level soal avatar ini semakin kocak lagi, karena sangat random. The Rock Dwayne Johnson kocak parah ketika dia harus memerankan kakek-kakek sakit pinggang yang mendadak punya tubuh begitu kuat dan segar bugar. Dia memainkan Danny DeVito yang jadi kakek cranky yang terjebak di tubuh pria berotot. Sejak hari-hari emasnya di ring gulat, sisi komedi terbaik The Rock selalu adalah bermimik pongah, dengan permainan suara saat talk-trash ke orang-orang. Dalam Jumanji baru ini, Rock kembali dapat kesempatan untuk menggali sisi komedinya tersebut. Jack Black kebagian peran yang annoying, tapi penguasaan komedinya membuat segala keluh kesah yang ia lontarkan jadi pancingan dan punchline yang kuat. Karen Gillan tidak banyak mendapat perubahan – remaja yang masuk ke tokoh avatarnya masih tetap remaja yang sama dengan film pertama. Namun bukan berarti itu karena Gillan tidak punya range akting sebaik lawan mainnya. Gillan diberi satu adegan menjadi ‘tokoh lain’, dan dia memerankan peran komedi itu dengan flawless.
Aku masih ingat menuliskan “Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart.”  pada ulasan film pertama, sebab memang yang paling boring adalah Kevin Hart karena dia practically memainkan dirinya sendiri, leluconnya selalu sama di mana pun ia berada; selalu mengejek fisik dirinya sendiri. This is not the case pada film kedua. Hart menjadi Danny Glover, dia seperti memparodikan gaya bicara tokoh Glover yang begitu lamban. Ini fresh untuk ukuran komedi Hart. Tek-tokan dia dengan The Rock jadi pemancing gelak utama. Tokoh Milo yang bersemayam di avatar Hart punya hubungan persahabatan yang menarik dengan Eddie yang di dalam Bravestone The Rock. Mereka dulu partner dan sekarang Eddie bahkan tidak sudi ngobrol dengan Milo. Bukan hanya komedi, drama berhati pun hadir dari interaksi mereka. Surprise performance buatku datang dari Awkwafina. Aku bahkan gak tahu sebelumnya bahwa dia bermain di film ini – aku gak lihat trailer dan materi promosi. Bikin terenyuh di The Farewell (2019), Awkwafina kembali menunjukkan taring di zona nyamannya, yakni komedi. Dia juga dapat dua lapis akting, dan perannya yang paling kocak adalah ketika avatarnya dimasuki oleh… ah, kupikir ini bakal jadi spoiler jadi baiknya kalimat itu tidak kulanjutkan. Nick Jonas juga kembali kebagian peran, and he’s the weakest link, yang paling bosenin di antara semua kerusuhan positif tadi.

Petualangan dalam dunia Jumanji mengajarkan pada tokoh-tokoh untuk melihat kelemahan dan kekuatan rekan tim mereka. Jika kita punya masalah dengan sahabat, habiskanlah waktu lebih banyak bersama mereka. Utarakan maksud, utarakan arah. Cari tahu kembali apa yang membuat kita saling dekat pada awalnya. 

 
Sebenarnya bukan cuma Kevin Hart, ada beberapa perbaikan lain yang dilakukan oleh film ini. Aku kutip lagi kekurangan film pertama terkait perspekif ‘cutscene video game’ yang kutulis di review: “Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya.” Dalam film kedua, tidak ada lagi cutscene seperti begitu. Perspektif dibuat setia, dari tokoh-tokoh yang sedang menghidupi video game, kita tidak lagi melihat adegan yang tidak dilihat oleh para tokohnya. Kemudian berkaitan dengan avatar dan pesan film; aku di review film pertama menuliskan: “Maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.” Di film kedua ini, mereka semua pakai nama asli tokohnya. Tokoh yang diperankan The Rock hanya beberapa kali di-refer sebagai Bravestone, dan nama avatar Awkwafina disebutkan sebagai device komedi. Jadi, film kedua ini benar-benar berusaha untuk menjadi lebih baik daripada film pertama. Setidaknya kekurangan pada film pertama yang aku tulis tidak lagi ditemukan pada sekuel ini.

Hayo kalian baca reviewku ya?

 
Untuk urusan visual, film ini tampak lebih mahal. Duit keuntungan box office mereka yang luar biasa tahun lalu menunjukkan efeknya di departemen ini. CGI dan efek komputernya terlihat lebih luwes dan meyakinkan. Adegan-adegan aksi juga lebih menegangkan. Tokoh-tokoh kita banyak dikejar-kejar, dengan ‘panggung’ yang bervariasi. Mulai dari gurun pasir hingga serangkaian jembatan gantung. Konsep nyawa video game – mereka masing-masing punya tiga nyawa yang berarti cuma punya tiga kali kesempatan untuk ‘mengacau’ – dibuat lebih berbobot daripada sekadar stake yang menambah ketegangan cerita. Ada kalimat yang aku suka sekali di film ini yakni nasehat kakek kepada Spencer “Don’t lose everything when you fail. You still got a life.” Benar-benar merefleksikan keadaan mereka, mengingatkan untuk tidak down ketika gagal karena kesempatan masih ada. Apalagi jika masih muda.

Actually, bukan masalah masih muda atau sudah tua. Kakek Spencer, Eddie, pada awalnya begitu cranky karena dia merasa tua, waktunya sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk berubah. But there’s still a life. Menjadi tua berarti masih ada waktu. Untuk bertualang. Untuk stage yang berikutnya. Dia masih punya kesempatan memperbaiki hidup yang sama besar dengan kesempatan cucunya.

 
 
Segala excitement film ini terasa mengempis pada babak terakhir, saat film memutuskan untuk mengembalikan mereka ke kondisi semula – ke kondisi film pertama. Ini adalah keputusan terburuk yang diambil oleh sutradara Jake Kasdan sepanjang durasi film. Kita melihat begitu banyak hal segar, dan kemudian dia seolah membuat kita menonton kembali film pertama. Karen Gillan kembali menari sambil berkelahi. The Rock kembali memerankan tokoh laga serba bisa yang baik hati alias boring. Also, pertarungan bossnya benar-benar lemah. Film mengembalikan mereka seperti pada film pertama seolah film tidak mampu mencari jalan keluar yang baru. Para tokoh seharusnya belajar meng-embrace avatar mereka, seperti yang sudah berhasil mereka lakukan pada film sebelumnya. I mean, kalo kita main video game, kita toh harus mampu mengendalikan banyak tokoh – enggak hanya melulu memainkan satu tokoh yang sama.
Empat avatar ini sejatinya masih sama, yang berbeda hanya ‘jiwa’ yang menghidupi mereka. Aksi dan tantangan sebelum babak terakhir menarik karena kita melihat pendekatan berbeda yang diambil oleh ‘jiwa’ yang memasuki avatar tersebut. Lebih menarik melihat ini, bahkan ketimbang melihat trait baru yang ditambahkan oleh film yang malah membuat tokoh-tokoh dan rintangan seperti terprogram. Malahan ada satu yang gak benar-benar ter-establish, yakni kemampuan berbicara dengan hewan. Yang sepertinya hanya bekerja pada hewan tertentu karena mereka tetap saja dikejar-kejar oleh burung unta, kera mandril, dan kuda nil. Kenapa tidak bernegoisasi saja dengan hewan-hewan buas tersebut.
Selain arc tokoh Danny DeVito, arc tokoh-tokoh yang lain terasa sama saja dengan arc mereka pada film pertama. Namun ada satu tokoh yang arc-nya benar-benar mencengangkan, dan film mengabaikan begitu saja konsekuensi dunia nyata dari pilihan yang diambil oleh tokoh tersebut.
 
 
 
Sebagai sekuel, film ini sukses terasa lebih besar dan lebih heboh daripada film pertamanya. Dan memang beginilah seharusnya sebuah level adventure yang baru. Tokoh-tokoh yang familiar, tapi dengan rintangan yang baru, dan penambahan yang memang berarti. Film pun berusaha menjadi lebih baik, dia memperbaiki kesalahan terdahulu. Memperkuat keunggulan dan keunikan yang sudah dimantapkan. Namun pilihan di akhir film benar-benar fatal. Para tokoh dan arc mereka terasa sama lagi dengan film yang lalu. Sehingga babak akhir jadi jatuh membosankan. Keasikan nonton ini bakal tergantung masing-masing; jika kalian lebih suka film yang babak akhirnya strong, film akan sedikit mengecewakan namun bakal segera terpulihkan karena di akhir banget ada teaser yang menggugah nostalgia. Jika kalian enggak begitu mempermasalahkan, film ini akan jadi hiburan dari awal sampai selesai.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for JUMANJI: THE NEXT LEVEL.

BIKE BOYZ Review

“Never underrate a street boy”
 

 
“Sama teman aja wajib tolong menolong. Apalagi sama saudara, iya gak?” Ditatapnya satu persatu wajah teman gengnya dan lanjut berkata “Kita kan semua bersaudara” Cuplikan dialog film Bike Boyz tersebut mengajak kita untuk melihat solidaritas yg begiti kuat di antara anak-anak geng Vespa. Sikap yang patut dicontoh. Bukan karena mental geng-gengannya, melainkan kesetiakawanan untuk saling membantu.
Starvision mengendarai kepopuleran Preman Pensiun (2019) yang, berkat solidaritas penggemar serial televisinya, sukses memperoleh satu juta lebih penonton. Menggaet sutradara yang sama – Aris Nugraha – dengan teknik editing yang sama, dengan tema yang sama, bahkan dengan tempat yang masih sama yakni di Bandung. Namun Starvision dengan Bike Boyz tidak lantas meniru. Banyak dari penonton yang mungkin bakal menganggap dua film ini sama saja, tapi sesungguhnya ada upgrade yang dilakukan oleh Starvision. Bike Boyz digarap dengan perhatian lebih kepada naskah. Plot cerita kali ini lebih berstruktur. Menjadikan ceritanya berdiri sendiri dan lebih asik untuk diikuti.
Bike Boyz mejeng sebagai komedi yang tak muluk-muluk. Ceritanya sederhana. Dekat dengan kehidupan di pinggir jalan. Terutama dengan pinggir jalan kota Bandung yang terkenal dengan geng motornya. Bandung dalam film ini digambarkan cukup gangster. Selain geng motor, juga ada kelompok perampok sepeda, bahkan komplotan teroris. Saking banyaknya kasus di jalanan, polisi jadi suka lupa membereskan. Belum selesai satu, sudah ada bentrokan lain. Oleh film, awalnya ini dijadikan celetukan buat kinerja polisi di dunia nyata, untuk kemudian sentilan itu membelok kepada kita. Bahwa tidak harus menunggu polisi; kita bisa membantu polisi. Paling tidak dengan saling menjaga dan menolong di lingkaran pertemanan. ‘Pembela kebenaran’ dalam cerita ini adalah geng vespa bernama Bike Boyz. Dengan vespa berwarna-warni bak seragam Power Rangers, anggota Bike Boyz adalah anak baik-baik yang di sela-sela kerjaan nongkrong dan kenalan sama cewek, mereka melakukan sesuatu yang nyata ketika ada ‘gangguan’ yang mengancam anggota komunitas mereka.

baek baek dek ama bike boy

 
Tokoh utama dalam Bike Boyz benar-benar melakukan tindakan, Agus dituntut untuk beraksi sepanjang waktu. Dia bermasalah dengan pencuri sepeda. Dia berusaha membantu teman ceweknya yang datang ke Bandung guna mencari suami yang sudah lama tak pulang. Sembari berusaha mencari orang yang membawa lari vespanya. Agus menyetir cerita sehingga banyaknya kejadian dalam dunia yang kita lihat itu bermuara kepada dirinya, serta geng Bike Boys. Kita dibuat tertarik untuk mengetahui bagaimana semua kejadian sampai kepada Agus.

Dalam realitas urban kontemporer, budaya-jalanan cenderung dipandang negatif. Mental geng-gengan yang seringkali berbau anarkis, budaya-jalanan bahkan punya aturan sendiri. Pengadilan jalanan inilah yang kemudian diangkat ke dalam cahaya yang lebih positif (dalam nada yang jauh lebih ringan) oleh Bike Boyz, tanpa mengubah banyak esensinya. Film menunjukkan bahwa terkadang tindak anak-anak geng diperlukan, dan mereka tidak selamanya selalu negatif. Tindakan mereka yang tampak di luar kendali sebenarnya merupakan tuntutan penyesuaian yang terus menerus terhadap keadaan ekonomi, pekerjaan, hukum, dan sebagainya. 

 
Pesona penceritaan film ini terletak kepada gaya khas Aris Nugraha. Ada dua ‘jurus pamungkas’ Nugraha untuk memancing tawa. Pertama lewat dialog komedi repetisi yang tepat guna dan tidak digunakan berlebihan. Dan jika pengulangan “Dedi di Cimindi, Heru di Cibiru” belum cukup untuk membuatmu tertawa, Aris punya cara kedua, yang tak pelak jurunya yang paling spesial. Yakni penggunaan smash cut visual yang dibarengi dengan match cut dialog-dialog. Maksudnya adalah film pada dasarnya memperlihatkan dua atau tiga adegan, misalnya percakapan, sekaligus dalam satu waktu yang sama. Kita mengikuti tiga percakapan tersebut bergantian secara kontinu. Dari percakapan Agus dengan Lilis, ke percakapan dua teman Agus di kafe, ke percakapan dua orang pencuri sepeda. Penyatuan itu tentu saja kadang tidak nyambung – yang bertanya siapa, yang menjawab malah percakapan orang yang lain – tapi justru di situlah ketepatan komedi film.
Namun karena sebenarnya yang ditampilkan itu seringkali banyak narasi sekaligus, durasi film yang hanya 95 menit terasa jauh lebih panjang. Menontonnya kita akan merasa lelah menjelang akhir. Terlebih karena sekuen romance yang masuk cukup terlambat. Film memang terasa seperti ngeloyor ke tempat yang bukan fokusnya ketika membahas masalah cinta terpendam. Candaannya masih tetap lucu, kejadian masih tetap menarik, hanya menyaksikannya yang terasa capek. Beberapa pencarian yang berulang, adegan-adegan aksi yang panjang, seharusnya bisa dipangkas sedikit supaya cerita bisa hadir lebih padat lagi.
Dengan segala kemiripannya dengan Preman Pensiun, bukan berarti tidak ada resiko yang diambil oleh Starvision. Bike Boyz menggunakan pemain-pemain yang semuanya tergolong aktor yang baru pertama kali main film. Pentolan Preman Pensiun, Epy Kusnandar, didaulat sebagai pelatih akting mereka. Dan memang hasilnya tidak mengecewakan. Aep Bancet yang menjadi Agus, kadang perawakannya membuat dia tampak seperti Epy, bermain cukup meyakinkan. Para pemain baru ini – dibantu dengan ketepatan editing – mampu menyesuaikan ritme dan timing komedi sehingga adegan-adegan yang diniatkan untuk lucu memang tampak lucu. Dan ketika tiba giliran untuk adegan-adegan yang lebih bersifat drama, tidak ada yang tertawa. Pemilihan pemain pada film ini bahkan lebih risky daripada pada Preman Pensiun yang setidaknya wajah pemain-pemainnya sudah dikenal lewat serial televisi. Jejeran pemain Bike Boyz tidak punya headstart seperti Preman Pensiun. Bahkan tidak juga ada cameo. Langka ada film yang berani melakukan casting seperti ini.

heh jangan belagu, motor lu lebih murah daripada sepeda!

 
Berusaha keep up dengan waktu, dan dunia pergaulan anak muda – dunia yang dijadikan target pasarnya, Bike Boyz hadir kekinian. Bahkan mungkin sedikit terlalu kekinian untuk kebaikannya sendiri. Istilah-istilah seperti share loc, grup WA, video live terkadang terasa sengaja disebutkan alih-alih tampil natural. Dan pada akhirnya turut menyesakkn narasi yang memang basically tumpang tindih. Film seharusnya mengapproach ini dengan lebih natural lagi. Menginkorporasikan elemen-elemen penunjuk waktu dengan lebih mulus masuk ke dalam cerita – atau membuatnya mempunyai pengaruh langsung terhadap cerita. Bike Boyz bisa menjadi lebih berbobot jika mereka membahas motivasi menjadi geng vespa atau semacamnya – lebih menyorot kehidupan pribadi tokoh.
 
Menyenangkan menonton film yang tampil tanpa pretensius dan yang bukan terlalu ambisius seperti Bike Boyz ini. Ia hanya menangkap satu fenomena, pada satu panggung lokal, dan bersenang-senang dengannya. Bike Boyz memang bukan film yang sempurna. Namun ia adalah sajian ringan tak-berbahaya yang bisa dipilih untuk menghabiskan waktu bersama teman satu gengmu tercinta.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIKE BOYZ

THE FAREWELL Review

“Sometimes you have to find the good in goodbye”
 

 
Bagaimana menyampaikan kepada orang yang kita sayangi bahwa kata dokter umur mereka hanya tinggal beberapa minggu lagi? Mengajak mereka bicara serius; terlalu menyedihkan. Membawa mereka liburan, bersenang-senang dahulu baru kemudian dikasih tahu; tetap saja menyedihkan. Cara terbaik memberitahunya – menurut film The Farewell yang ceritanya berdasarkan kisah nyata keluarga sang sutradara, Lulu Wang – adalah dengan… eng ing eng… tidak memberitahu sama sekali!
Billi (penampilan dalem Awkwafina jadi salah satu alasan kenapa film ini begitu indah dan menyentuh) juga protes begitu keluarga besarnya menyiapkan rencana yang menurutnya sangat ‘jahat’ buat Nai Nai alias neneknya. Billi memang seperti mendengar dua kabar buruk secara berturut. Pertama dia terhenyak mengetahui neneknya mengidap kanker paru-paru yang cukup parah sehingga divonis tutup usia dalam tiga bulan. Dan kedua, bahwa keluarga besar sepakat untuk bukannya memberitahu, tapi malah sekongkol berpura-pura ada pesta nikahan sebagai alasan pulang untuk bertemu dengan Nai Nai terakhir kalinya. Billi gak diajak, karena dia terlalu emosional dan dianggap tak mengerti cara-pikir orang Asia. Tapi Billi nekat pulang juga. Dia sayang neneknya. Dia sayang keluarga. Dia sayang negera asalnya. Dia ingin mengucapkan selamat tinggal yang benar.

“Nek, mau aku spoiler-in sesuatu gak?”

 
Jika ini kuliah, maka sepertinya kita melanjutkan kembali kelas mengenai ‘perlunya kebohongan’ yang dibahas pada ulasan Lampor: Keranda Terbang (2019). Billi yang jadi tokoh utama The Farewell sedikit lebih kompleks daripada Netta di Lampor. Tidak ada hantu dalam The Farewell yang menjadi jarak antara kebohongan dan manusianya, jadi jika dilihat dalam nada yang serius film ini jauh lebih ‘nyeremin’ karena para tokoh dalam film ini harus berhadapan langsung dengan dilema moral kebohongan yang ia lihat dan ikuti. Bohong untuk melindungi orang yang disayang – bohong yang diyakini membuat hal menjadi tidak ribet dan less-painful – dalam The Farewell juga dikaitkan dengan budaya dan cara-berpikir bangsa Asia, khususnya Cina. Gagasan ini membuat film tampil sarat nilai budaya dan terasa sangat personal bagi pembuat dan para pemainnya. Namun tidak sekalipun cerita terasa tertutup. Malahan konflik emosional – tensi drama- yang hadir terasa begitu dekat dan akrab. Kejadian di film ini tidak lain hanya membuka mata terhadap perspektif kemanusiaan.
Perbedaan pandang antara budaya barat yang lebih individualis dengan budaya timur yang family-oriented dieksplorasi dengan seadil-adilnya. Membuat masing-masing dalam film ini tampak luar biasa kompleks. Billi yang tak-percaya bagaimana mungkin membohongi Nai Nai dibilang lebih baik, ternyata sendirinya menyimpan kebohongan perihal status studi kepada keluarga lantaran ia merasa tak ingin merepotkan. Ibu dan ayah dan keluarga lain yang berjuang keras mengadakan pesta pernikahan palsu pun tak seketika tampil ‘kejam’. Kita diberikan kesempatan untuk melihat hati mereka enggak dingin-dingin amat, dan diberi waktu untuk memahami alasan kenapa mereka pikir berbohong seperti demikian berdampak lebih baik untuk keluarga. Apalagi buat kita penonton Indonesia, persoalan keluarga Billi mungkin tidak asing karena di sini kita juga diajarkan untuk memilih yang baik-untuk-semua dibanding memilih yang benar. Bahkan Nai Nai sendiri tak tampil sebagai sosok yang harus dikasihani. Pada satu titik disebutkan, dulu Nai Nai melakukan hal yang sama kakek saat kakek divonis berpenyakit yang membuat umurnya tak lama lagi. Tapi tak semua emosi dalam film ini hadir lewat pengungkapan. The Farewell yang tokohnya memendam dan merefleksikan perasaan terdalam mereka dalam cara yang berbeda-beda ini lebih banyak bermain lewat pandangan mata dan gestur-gestur kecil. Inilah bahasa universal yang dipakai oleh film yang berbicara kepada kita semua.
Selagi Billi mempertimbangkan yang sebaiknya ia lakukan, kita yang nonton juga jadi terombang-ambing. Awalnya kita pikir setuju dengan protesnya Billi. Kemudian film membuka sudut pandang salah seorang keluarganya, dan kita perlahan menganggukkan kepala. Seiring berjalannya cerita, kita melihat beragam sudut, mengerti alasan masing-masing tokoh, kita juga tertarik masuk ke dalam dilema Billi. Mana hal benar yang harus dilakukan ketika semua aspek tampak sama-sama beralasan. Keterbukaan-pikiran adalah hal yang menjadi tujuan dari cerita ini, dan film benar-benar berhasil mencapai hal tersebut.
Film berjalan dengan elegan. Dia tidak jatuh ke dalam ranah cerita dramatis yang menye-menye. Juga tidak terpuruk menjadi komedi receh. Wang merajut elemen drama dan elemen komedi dengan tidak berlebihan. Melalui hubungan antara Billi dengan Nai Nai yang menjadi jantung cerita, film membuat kita merasa bersedih dengan situasi yang dihadapi, dan di saat bersamaan membuatnya tampak ringan dengan candaan dari pengamatan terhadap keadaan tersebut. Film menghamparkan sekuen panjang tokoh-tokoh yang duduk ngobrol di meja makan. Dari percakapan kangen-kangenan keluarga besar hingga perdebatan mengenai ‘maju’nya hidup di Amerika. Dan itu semua tidak pernah terasa membosankan. Percakapannya membuat kita merasa menjadi begitu kaya. Naskah selalu menemukan cara untuk menjadikan setiap momen sebagai sesuatu yang berharga dan menghibur. Beberapa hal yang terlihat lucu di awal, dapat menjadi mengharukan begitu muncul lagi di belakang, dan sebaliknya.
 enggak setiap hari kita bisa melihat kejujuran juga dianggap sebagai hal egois

 
Dalam tingkatan personal, jelas, film ini mampu membuat setiap penontonnya teringat nenek di kampung. Dan kemudian rentetan pertanyaan yang mengisi struktur naskah pun mengisi benak kita. Akankah kita melakukan hal yang sama ketika kejadian Nai Nai dan Billi terjadi kepada kita. Apakah hubungan kita cukup dekat dengan nenek sehingga kita merasa sedih ketika mungkin kita diharuskan untuk berbohong juga. Apakah kita sanggup mengucapkan selamat tinggal.
That’s the ultimate question! Yang jadi akar Billi enggak mau ikutan berbohong sebenarnya adalah dia ingin mengucapkan selamat tinggal, kali ini. Karena dulu dia tidak sempat mengucapkan, dia pindah dari sisi neneknya, dari Cina, saat masih balita. Dia belum mengerti. Dan sekarang, saat dia sudah dewasa, kesempatan mengucapkan selamat tinggal dengan benar itu dia dapatkan. Namun dia dilarang oleh ‘tradisi’ keluarga, sehingga ini menjadi konflik baginya. The Farewell merupakan perjalanan Billi berjuang bukan saja menguatkan diri untuk berpisah, melainkan juga berjuang menemukan cara terbaik untuk mengucapkan selamat tinggal, karena setiap orang ternyata mempunyai cara masing-masing. Dan seperti yang diperlihatkan pada akhir cerita, bagi Billi kata selamat tinggal itu bukan saja untuk neneknya, melainkan juga kepada negara asal – masa lalu kehidupannya.

Semua hal pantas untuk mendapatkan selamat tinggal yang layak. Karena setiap hal punya memori. Setiap hal punya salah. Dua kata ‘selamat tinggal’ punya kekuatan yang luar biasa. Bisa menguguhkan kenangan tadi. Bisa menyembuhkan kesalahan tadi. Makanya mengucapkan dua kata tersebut luar biasa susahnya.

 
 
Setiap menit film ini terasa begitu pesonal dan penting buat pembuatnya. Gagasan yang diangkat betul-betul membuat kita berpikir dan merasa. Pendekatan komedi dan drama yang seimbang menjadikan film tampil berbobot. Dan enak untuk ditonton meskipun banyak terdapat adegan percakapan panjang yang kadang bisa muncul sekenanya, tapi tidak pernah merusak tempo dan penceritaan. Karena setiap aspek di sini punya karakter tersendiri. Semua yang dibahas menambah kepada karakter-karakter tersebut. Sehingga cerita ini menjadi natural, dan that’s the best way to approach this kind of story. Ketika kita mengucapkan selamat tinggal kepada film ini, rasanya pun menggelora. Sedih. Lega. Cinta. Haru. Rindu.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE FAREWELL

ZOMBIELAND: DOUBLE TAP Review

“Never get too attached”
 

 
Sepuluh tahun sejak Zombieland pertama. Dan di waktu antara film pertama dan kedua tersebut keempat bintang utama horor komedi ini bergantian mendapat nominasi Oscar; satu actually mendapat Oscar. Jesse Eisenberg, Woody Harrelson, Emma Stone, dan Abigail Breslin berkembang begitu hebat sampai-sampai serial TV Zombieland baru episode Pilotnya aja sudah dicerca orang lantaran tidak menampilkan mereka berempat sebagai tokoh utama. Untungnya Zombieland kedua ini menghadirkan mereka kembali. Namun tentu saja dalam sekuel seperti ini, bukan hanya para pemain saja yang berevolusi.
Para zombie yang hidup di semesta Zombieland, seperti yang dinarasikan oleh Colombus, telah berevolusi menjadi berbagai jenis. Ada yang bego (maka dinamakan Homer, karena “D’oh!”), ada yang pinter, ada yang cepat, dan ada yang menjadi begitu kuat sehingga susah dimusnahkan. Bahkan ditembak dua kali seperti kata peraturan Colombus – yang jadi judul film ini – saja tidak bisa. Itulah ancaman yang dihadapi para tokoh; yang sebaliknya, dua di antara mereka malah semakin terbiasa untuk hidup di rumah (Karena ini juga adalah komedi, maka mereka tinggal tinggal di Gedung Putih). Colombus pengen beneran berumah tangga dengan Wichita, sementara Tallahassee ngerasa dirinya ayah bagi Little Rock. In a funny callback to the first movie, dua kakak beradik cewek itu kabur ninggalin mereka. Dan tak butuh waktu lama bagi Wichita untuk kena batunya. Little Rock kabur dengan seorang pria hippie taik-bersenjata (hanya bergitar). Geng Zombieland kudu segera bersatu dan hits the road again, guna mencari Little Rock yang tak pelak berada di dalam bahaya berada di luar sana tanpa perlindungan.

zombienya berevolusi jadi pintar karena sering makan otak kali ya

 
Zombieland kedua ini memfokuskan kepada dunia zombienya, skala ceritanya semakin besar dan semakin luas walaupun masih tampak serupa dengan film pertama. Perbedaan yang langsung terasa adalah kita akan melihat banyak tokoh baru. Kita melihat cara setiap tokoh baru ini menghadapi zombie, cara mereka beradaptasi hidup selama itu di dunia yang penuh predator. Dengan ini otomatis Zombieland punya lahan komedi yang lebih besar. Tokohnya Zoey Deutch, misalnya. Cewek pirang yang nyaris annoying ini disebutkan tinggal di dalam ruang pendingin di dalam mall, walaupun kemudian secara berseloroh film menyebut dia bisa bertahan hidup lantaran enggak punya organ yang menjadi makanan zombie. Lelucon ini mengenai banyak aspek sekaligus. Salah satu yang menonjol dari Zombieland memang adalah penulisan komedinya. Prestasi tersebut dipertahankan dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam film kedua ini.
Ini adalah film zombie yang punya awareness terhadap film zombie itu sendiri. Kurang lebih sama seperti Scream pada genre horor slasher. Candaan dan humornya sangat meta; ngebecandain trope-trope zombie yang biasa kita lihat dalam genre ini. Sutradara Ruben Fleischer sudah banyak berlatih menggunakan candaan seperti demikian, ia juga dibantu oleh penulis Rhett Reese yang menggarap komedi fourth-wall di dua film Deadpool. Hasilnya bisa kita dengar sendiri saat cekikikan demi cekikikan bermunculan di sekitar kita saat menonton ini. Memang tidak serentak sampai terbahak, karena film ini akan lebih lucu jika kita banyak menonton film zombie atau setidaknya mengetahui referensi yang film ini pakai terkait genre zombie. Yang bisa dicontohkan tanpa spoiler berat (karena sudah ada di trailer) adalah bagian ketika Colombus dan Tallahasse bertemu dengan ‘kembaran’ mereka. Adegan ini merujuk pada adegan komedi zombie Inggris Shaun of the Dead (2004); pada film tersebut para tokoh berpapasan dengan orang-orang yang mirip sekali dengan mereka. Pada Zombieland 2 ini, adegan tersebut dimainkan dengan lebih konyol karena berbuntut pada salah satu adegan berantem paling seru sepanjang durasi.
Pembuat film merancang film ini bergerak di zona waktu yang sama dengan zona waktu kita. Jadi para tokoh hidup sepuluh tahun sejak film pertama, dengan tidak ada kemajuan di dunia mereka. Presiden mereka masih Obama, mereka tidak tahu hal-hal yang lumrah bagi kita. Aspek ini, oleh para pembuat film, dijadikan humor yang sangat segar. Misalnya inside jokes antara Wesley Snipes dengan Woody Harrelson. Ataupun – ini yang bikin aku paling ngakak – ketika ada satu tokoh yang ngepitch ide soal Uber atau katakanlah ojek online, yang diketawain bareng-bareng oleh tokoh lain. Para pembuat dan pemain tampak sangat bersenang-senang. Interaksi dan chemistry di antara mereka semakin kuat. Satu lagi yang sayang untuk dilewatkan adalah reaksi hilarious Harrelson sebagai bapak overprotektif nan overmaskulin saat diceritakan Little Rock pergi sama cowok pasifis.
Dari sikap para tokoh, ada benang merah soal cinta dan attachment yang bisa kita tarik sebagai gagasan film. Semua tokoh yang memakai nama mereka, alih-alih nama samaran berupa nama kota Amerika, bakal mati. Alasan tokoh tidak memakai nama asli diperlihatkan secara tersirat dari sikap Wichita dan Little Rock adalah karena akan susah dan berat dan sakit di hati nanti jika ada salah satu dari mereka yang digigit zombie. Nama samaran adalah bentuk dari menghindari terlalu dekat secara emosional kepada seseorang. Film ini menyugestikan kepada kita bahwa perasaan terlalu dekat kepada orang akan berujung bahaya. Lebih lanjut dibahas, bukan saja kepada orang. Tapi juga kepada apapun, terlebih di dunia materialistis seperti sekarang ini. Pada tempat (disimbolkan oleh film lewat Gedung Putih dan beberapa tempat singgah lain), para barang; Seperti mobil (salah satu running joke pada film ini adalah Tallahassee yang harus naik mobil keren tapi selalu berujung pada naik ‘mobil mamak-mamak’), senjata (para tokoh bergulat dengan aturan maskas hippie yang mengharuskan menyerahkan pistol mereka), dan bahkan tas (salah satu peraturan Colombus adalah untuk bepergian dengan sesedikit mungkin barang bawaan).

Attachment harap dibedakan dengan cinta. Karena attachment lebih berarti ketergantungan. Dan ketergantungan kita kepada orang akan membuat orang itu ketakutan. Attachment malah lebih mengerikan daripada zombie. Cinta adalah saling memberi; kebahagiaan dan terutama kebebasan. Bukan meminta dan mengukung.

 
Dunia Zombieland 2 ini begitu overwhelming sehingga gagasan tersebut kadang hanya tampak sekenanya. Juga tidak membantu ketika film mulai tampak rancu dalam menyampaikannya. Ini adalah film di mana membunuh zombie dijadikan sebagai eskapis. Membunuh zombie dengan cara apapun. Malahan, sering kita ditarik keluar dari narasi untuk melihat sketsa ‘Zombie Kill of the Week’ yang jadi gimmick alias seru-seruan khas film ini. Siapa yang bisa membunuh zombie paling keren? Aku bukannya mau membela zombie. Tetapi pada cerita yang menunjukkan membunuh zombie adalah keharusan dan hal normal, tidak-membawa senjata atau pistol menjadi hal yang ditertawakan. Pacar Little Rock yang pasifis dipandang lemah dan diledek, dan sebaliknya kekerasan ekstrim dan pistol jadi solusi cerita. Tokoh ini pada akhirnya bergantung kepada senjata api. Walaupun konteks narasinya adalah ‘jangan takut untuk meminta tolong’ (dan memangnya mau pakai apa lagi melawan zombie?), tetapi film tetap mengkonter sendiri gagasannya tentang attachment kepada barang ketika ia menunjukkan kehadiran pistol sebagai penyelamat. Dan mengingat soal kepemilikan pistol sendiri sudah jadi permasalahan di Amerika sana. Sepertinya film punya suara personal mengenai hal tersebut.

Jadi dunia adalah rumah atau dunia adalah wc?

 
Secara journey, sebenarnya tidak banyak perbedaan antara film ini dengan film pertama. Malah lumayan terasa muter-muter, karena persoalan ‘don’t get too attached’ ini sudah menghantam Colombus sejak pertama kali dia bertemu Tallahassee sepuluh tahun yang lalu. Seperti yang kutulis di awal, film ini hanya mengganti fokus tidak lagi terlalu lama kepada karakter, melainkan kepada tempat yang mengharuskan mereka memilih cara beradaptasi; bergantung pada sekitar atau cara yang lain. Naskahnya memang tidak sekuat yang pertama. Tokoh utamanya diselamatkan oleh orang lain, dalam dua kali kesempatan yang berbeda. Sendirinya terlalu bergantung kepada film sebelumnya yang tayang sepuluh tahun lalu. Sekali lagi film menunjukkan keawareness-an perihal dirinya sudah menjadi hits modern, sehingga ia tampak mengasumsikan semua calon penonton sudah menonton film pertamanya. Narasi voice-over Colombus kadang terlalu menginfokan apa yang sudah ada di layar; apa yang sudah bisa kita simpulkan sendiri. Pun aturan-aturan yang ia sebutkan terlalu sering sehingga dengan cepat menjadi membosankan.
 
 
 
Jika kalian menonton film yang pertama, film ini akan terasa cukup mixed lantaran candaannya akan lebih gampang masuk kepada kita (ketimbang buat penonton baru yang sama sekali awam dengan konsep penceritaan Zombieland) sehingga menontonnya lebih fun, tetapi sekaligus cukup membosankan karena tidak banyak perbedaan di dalam plot karakternya. Sebaliknya, penonton baru mungkin tidak akan tertawa terlalu sering, tapi lebih menikmati cerita dan petualangan dan tokoh-tokohnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ZOMBIELAND: DOUBLE TAP.