KINDS OF KINDNESS Review

 

“Genuine kindness doesn’t have ulterior motives”

 

 

Baru juga kita move on dari absurdnya dunia Poor Things (2024) yang mempertanyakan siapa sebenarnya yang malang dalam dinamika pria-wanita, Yorgos Lanthimos udah ngajak kita ke dunia yang lain lagi – yang juga tak kalah aneh. Enggak tanggung-tanggung. Isi dunianya kali ini bukan cuma satu, melainkan ada tiga cerita. Sekilas dari judulnya sih, kayaknya Yorgos ingin ngasih tau kita tentang rupa-rupa kebaikan. Makanya dia membuat ini sebagai antologi. Tiga cerita, dengan aktor-aktor yang sama memerankan karakter yang berbeda-beda pada setiap kisah. Tapi yah namanya juga dark comedy, film ini menyentil bahwa ternyata kebaikan seringkali punya motivasi. Kita manusia dengan kondisi kita yang kompleks, justru seringkali berada dalam kebaikan yang pura-pura.

Film antologi harus punya satu tema, benang merah, atau apalah yang mengikat kisah-kisahnya. Membuat mereka paralel dan berjalan menuju arah yang sama. Jadi gak bisa asal menghimpun banyak cerita pendek yang tidak saling berkaitan lalu ntar tinggal dicari cocokologinya untuk bisa dijual ‘bundel’. Menilai film antologi, kita perlu menyorot kepada desainnya. Konsepnya. Filmografi Yorgos toh membuktikan bahwa sutradara asal Yunani ini paham dan dia memang selalu punya desain dan konsep unik tersendiri. Kinds of Kindness ini, walau tiga cerita di dalamnya random dan aneh-aneh semua, tapi mereka semua punya kesamaan. Misalnya, pada tiap cerita ada momen karakter bermimpi. Ada yang mimpi dunia saat anjing jad berperilaku layaknya manusia. Ada yang mimpi bisa bernapas di dalam air. So, sudah pasti keseluruhan film ini bakal punya vibe yang sangat absurd. Menyaksikannya bakal kayak menonton film thriller, tapi begitu absurd oleh karakter; motivasi dan kejadian mereka. Dan meski absurd, karakter utama tiap kisahnya ngalamin journey yang sama. Bahasannya juga serupa, selalu ada orang yang berusaha pleasing someone, ada orang yang try to control everything, dan tentu saja ketiganya bermain-main dengan term ‘kebaikan’ itu sendiri. Sehingga pada akhirnya buatku film ini konyol tapi juga begitu mendebarkan karena daaangg, yang dikatakannya sebenarnya realistis dan grounded juga loh ke kita.

Bersiap masuk ke dunia yang anehnya kayak mimpi

 

Cerita pertama Jesse Plemons jadi karyawan ‘baik’, yang mau mengerjakan semua perintah Willem Dafoe, bosnya yang juga ‘baik’.  Jadi dia merasa utangbudi sama si bos, karena selama ini semua yang terjadi di hidupnya – istrinya, karirnya, harta bendanya – literally diatur oleh bos. Ini kan sebenarnya hal yang bisa relate juga kepada kita – harus tau terima kasih – hanya, oleh Yorgos absurdnya dinaikkan ke level maksimal. Ada satu perintah si bos yang gak bisa dituruti oleh karakter Jesse, si Roberts. Yaitu staging a fake car crash; menabrak mati seorang pria. Karakter bosnya membuatku teringat sama Arswendi pada Autobiography (2023). Tampak santai, friendly, tapi setiap kata-katanya adalah tuntutan. Perintah. Mangkir dari perintahnya berarti tersiksa pelan-pelan. Dan itu jugalah yang dirasakan Roberts setelah dia misuh-misuh menolak. Hidup Roberts, semua yang ia miliki, jadi hilang. Cerita ketiga Emma Stone jadi ibu yang ‘baik’. Ibu yang rindu dan sayang sama putrinya, sehingga dia diam-diam ke rumah saat suami dan anaknya pergi. Si Emily ini memang sudah cerai, karena dia mendedikasikan hidupnya untuk sekte yang ia percaya. Nah lo! Emily sebenarnya sedang dalam misi dari sekte untuk mencari seorang perempuan kembar yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan Emily sudah siap untuk melakukan apapun demi membawa perempuan itu kepada sekte. Cerita kedua sengaja aku taroh belakangan karena ini yang paling aneh. Sureal. Lucunya, mirip ama cerita Primbon (2023). Jesse Plemons, kini jadi polisi ‘baik’. Ini pasti kita semua sudah ngerti dark joke dari polisi yang baik hihihi, tapi mesti begitu toh film tetap gaspol nunjukin gimana polisi ‘baik’ itu. Istrinya yang juga polisi, hilang dalam tugas di pulau. Daniel, nama karakternya, stress berat. Lalu kemudian istrinya ketemu. Pulang. Sehat wal-afiat. Tapi Daniel merasa ada yang beda dari istrinya. Dia curiga perempuan itu mungkin kloningan atau apa. Sehingga dia  jadi tega menyuruh istrinya melakukan hal-hal tak terbayangkan. Hal yang membahayakan diri. Dan si istri mau aja. Ya namanya juga istri yang ‘baik’.

Kebaikan itu ternyata subjektif ya, jika kita melihat para karakter film ini. Berbuat baik ternyata punya maksud di baliknya, kebaikan ternyata tergantung orangnya. Jasa atasan harus kita balas dengan jasa yang diminta, no question asked. Bahkan dari sekte itu, film seperti bilang sebagai umat yang baik, kebaikan berarti kita harus rela mengorbankan apapun termasuk mati demi ramalan. Aku rasa alasan film mengambil gaya yang aneh dan nada komedi adalah supaya kita lebih mudah melihat dan memahami kalo ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut sebenarnya bukan kebaikan. Melainkan hal yang toxic. Urgensi film ini adalah ya karena ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut juga relate dan lumrah di kita, meskipun memang tidak sampai ke taraf edan kayak yang digambarkan film. Gimana istri terlalu patuh ama suami, padahal suaminya kasar. Oleh film ini, cerita kedua tadi juga ditambah konteks tentang dunia anjing; yang juga bisa kita hubungkan menjadi teguran dari film. Bahwa anjing peliharaan – seeing anjing dianggap sebagai hewan paling patuh – aja bisa gigit kalo ownernya kasar.

Memang, Kinds of Kindness bukan cuma gambaran. Film ini juga punya statement tentang kebaikan yang sebenarnya itu seperti apa. Tentu saja, statementnya ini pun dengan sama absurdnya. Ketika Jesse Plemons, Emma Stone, Willem Dafoe, serta aktor-aktor lain menjadi peran-peran yang berbeda pada setiap cerita, karena masing-masing cerita itu dimaksudkan sebagai gambaran kejadian yang semuanya aneh-aneh dan sekilas tampak tidak saling berhubungan, ada satu aktor yang memerankan peran yang sama pada ketiga cerita. At least, nama karakternya sama. Karakter ini perannya sebenarnya minor, tapi karena dia satu-satunya yang konstan maka dia mencuat. Film bahkan menjadikan dia sebagai nama chapter atau judul dari masing-masing cerita. Karakter itu adalah pria paruh baya bernama R.M.F. – diperankan dengan, seingatku, tanpa dialog oleh Yargos Stefanakos. Cerita pertama diberi judul “The Death of R.M.F.” – dia adalah pria yang harus ditabrak oleh Roberts. Cerita kedua berjudul “R,M.F. is flying” – dia adalah pengemudi helikopter yang menyelamatkan istri Daniel. Cerita ketiga “R.M.F. Eats a Sandwich” – dia adalah mayat yang dihidupkan kembali, dan di penutup dia makan sandwich di kafe. Ni orang kayak asik sendiri hahaha, kalo memang dia orang yang sama pada ketiga cerita, berarti ya hidupnya ngelingker sendiri. Namanya yang cuma inisial mengundang kita untuk bertanya-tanya, mungkin memang karakter ini punya makna besar sendiri. Buatku, yang cukup jelas dari gimana karakter ini berbeda dari yang lain, dan gimana dia simpel sendiri, adalah itu semua karena dia adalah karakter yang tanpa motivasi. He just accept what happens to him. Dia tidak ingin mengontrol, tidak ingin dicinta, tidak ingin diakui, tidak ingin balas budi. Dia menolong karena dia menolong. Dia jadi korban karena dia korban. Dia hidup karena dia hidup. Dan itulah bentuk ‘kebaikan’ yang dianggap film sebagai kebaikan sejati. Kebaikan tanpa motivasi. Kebaikan yang enggak subjektif.

Kebaikan yang pure tidak perlu rupa-rupa. Apalagi pura-pura. Kebaikan yang pure tidak punya motivasi apa-apa di baliknya. Justru seharusnya kebaikan itu sendirilah yang jadi motivasi kita dalam hidup. Tapi yah, mungkin memang lebih mudah memimpikan hidup seperti itu ketimbang benar-benar menjalankannya

 

Cocok deh tema sama pilihan lagu pembukanya “Sweet Dreams”

 

Dengan karakter yang aneh, alur masing-masing cerita yang juga aneh, dan durasi yang juga menuntut perhatian lebih (clocking at 2 jam 44 menit, ini kayaknya film terpanjang dari Yorgos) film ini memang perjuangan yang menantang untuk diikuti. Sebenarnya gak bener-bener bikin bingung atau berat segimana sih. Cuma ya looking back at it, karena tiga cerita yang paralel, yang pada intinya juga formula dan journeynya sama, maka bisa ada semacam rasa repetitif.  Tapi pas saat sedang ditonton gak kerasa kok. Paling kerasanya justru cerita agak ke mana-mana karena absurd. Malahan, kerja film sebenarnya cukup maksimal untuk bikin kita kehook dan terus penasaran, Being absurd itu salah satunya. Kedok yang menarik untuk nutupin kesamaan formula antara tiga cerita. Penampilan akting para aktornya certainly gak bikin kita bosan. Dari wujud, hingga pembawaan karakter, wuih semuanya unjuk range dan timing dan pemahaman karakterisasi level atas! Film ini juga punya momen-momen brutal to keep us on edge. Ada beberapa kali aku kelepasan neriakin layar, biasanya pas adegan-adegan yang aku sontak ngeh si karakter mau ngapain selanjutnya. Nah, menurutku film ini did a great job pada penceritaan karena di tengah segala keanehannya, masih kerap ada momen-momen seperti itu; momen-momen yang kita bisa ngerti precisely karakternya mau melakukan hal seram apa. Dan kita bereaksi; nunjukin kita peduli sama orang-orang yang katanya ‘baik’ itu.

 

 




Baiklah, biar gak makin bingung, diperjelas aja. Ini satu lagi film Yorgos yang menantang banget untuk didiskusikan. I think sutradara ini sekali lagi berhasil menggunakan gayanya sebagai cara untuk membicarakan sesuatu, dan menerapkan gaya tersebut menjadi ‘something’. Film ini jadi unik, menarik; apalagi ini kan sebuah antologi. Basically cuma kumpulan cerita pendek. Namun ini bukan cerita-cerita yang dikumpulkan lalu lantas dihubungkan dengan tema. Film ini dibuat menjadi antologi karena sutradaranya punya desain sendiri terhadap gagasan yang ingin dia bicarakan. Aku yakin banyak tanda tanya muncul setelah kita nonton ini, karena memang absurdnya bukan main, tapi kan di situ daya tariknya. Lagipula film ini tidak memaksudkan tanda tanya itu untuk dijawab secara eksak, melainkan  ya bebas aja, It could work sebagai satir, sebagai komedi konyol, atau umpama seni abstrak yang nyeleneh aja. Secara penceritaan memang tidak sefektif film-film ‘greatest hit’ Yorgos sebelumnya. Ini toh lebih ke kreasi atau desain cerita yang sayang dilewatkan jika kita suka sama tantangan. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KINDS OF KINDNESS

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, R.M.F. singkatan dari apa?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ALIEN: ROMULUS Review

 

“No one wants to be the one left behind”

 

 

Franchise film yang udah bertahan lama seperti Alien-nya Ridley Scott kerap diuji resiliensinya. Kudu bisa ngikutin perkembangan. Jangan sampai genre-nya stuk di situ melulu. Sementara juga harus tetap bisa memuaskan penggemar lama. Ini membuat si film ada di posisi sulit. Kayak waktu franchise ini try to dig deeper, dengan bahasan filosofis tentang creation atau penciptaan. Prometheus dan Alien: Covenant jadinya malah dinilai aneh, berat, terlalu ‘jauh’ mainnya. Gak semua fans appreciated it. Padahal secara kualitas, filmnya enggak ‘sejelek’ itu. Dunia alias role franchise Alien justru diperluas oleh mereka. Mungkin karena itu makanya Fede Alvarez membuat Alien: Romulus kali ini kembali ke akar horornya. Langkahnya itu bukan tanpa kontra. By the time aku bikin review ini, Romulus pun tetap dapat mixed reaction. Utamanya, penonton bilang film ini terlalu mirip ama Alien yang sudah-sudah. Padahal menurutku, sebenarnya Alvarez pengen ngasih sesuatu yang baru loh. Dia kayak pengen bikin gabungan dari elemen horor-remaja yang sudah ia tahu, dengan lore Alien yang kita semua kenal. Dia pengen nyiptain hybrid baru untuk franchise ini. And oh boy, dia memang literally ngasih monster hybrid baru di film ini!

Alvarez berusaha membawa ‘kesegaran’ dengan membuat cerita dari grup anak-anak muda. As opposed to grup pekerja ataupun grup ilmuwan dalam film-film Alien sebelumnya. Ini menarik karena musuh ‘sesungguhnya’ tetap sama. Corporation yang lebih memprioritaskan alien berbahaya ketimbang manusia itu sendiri. Jadi ceritanya, Rain dan saudaranya, Andy yang hobi becanda garing, ditolak untuk pindah dari settlement pertambangan tempat mereka sekarang. Dua anak muda ini pengen pindah, gak muluk, mereka cuma mau ke tempat yang bisa melihat matahari. Beruntung ada satu kesempatan lagi. Di orbit sana, ada stasiun luar angkasa yang tampaknya telah ditinggalkan. Rain dan Andy, bergabung dengan teman-teman yang menemukan stasiun tersebut; mereka sepakat untuk menggunakan stasiun itu untuk cabut ke planet koloni lain. Alien: Romulus menjadi horor survival begitu Rain dan teman-teman tiba di stasiun luar angkasa yang bernama Romulus dan Remus, dan soon mereka sadar ada alasannya kenapa tempat itu kosong. Romulus basically adalah tempat perusahaan Weyland-Yutani ternak Facehuggers untuk melahirkan Xenomorph, the ultimate life-form!

Hybrid horor-remaja dengan alien dad jokes!

 

Di tangan dingin Alvarez, stasiun luar angkasa tersebut jadi set-pieces horor yang bukan hanya super-deadly, tapi juga jadi kayak maze dalam video game petualangan horor. Beberapa adegan dengan alien-alien itu memang tampak sebagai referensi kepada adegan-adegan ikonik franchise ini, kayak alien meledak keluar dari dalam tubuh orang, atau terkurung di ruangan sempit bersama Facehugger yang bisa melompat ke wajahmu dari mana saja, atau bahkan shot-shotnya sengaja dibuat mirip dengan yang dulu-dulu. Ini makanya sebagian penonton pada bilang film ini terlalu banyak ‘reka ulang-adegan’. Alvarez memang did that, tapi paling enggak dia melakukannya dengan volume horor maksimal. ‘More is more’, prinsip itu kayaknya yang dia pegang dalam nanganin ini.  Jadinya memang Alien: Romulus ini seru, survivalnya simpel; ada ruangan dengan banyak alien, dan karakter harus survive menyeberangi ruangan tersebut. Berbagai challenge dia kasih untuk karakternya. Ada yang ingetin kita sama horor Alvarez terdahulu, yaitu Don’t Breathe (2016). Rain dan company kudu nyari jalan keluar dengan diam-diam tanpa bersuara, karena Facehuggers actually buta. Action horor set piece terbaik yang dipunya film ini hadir pada beberapa adegan setelahnya. Ketika Rain dengan peluru (dan kemampuan menembak) terbatas harus melumpuhkan sejumlah Xenomorph dan dia menggunakan informasi tentang darah Xenomorph yang bersifat asam dan sistem gravitasi di pesawat itu untuk membalikkan situasi menjadi menguntungkan. Selain taktik yang jenius, adegannya juga tertranslasi sebagai visual yang sangat ciamik ke layar. Ngasih momen survival yang intense yang benar-benar fresh.

Orang sering bilang jaman sekarang sudah gak ada lagi yang original, semua sudah direcycle sedemikian rupa. Semuanya jadi saling mereferensikan, apalagi tentu kita semua berkarya karena terinspirasi oleh orang lain dan we have to pay that respect. Aku antara setuju dan tidak-setuju dengan pernyataan tersebut. Mungkin memang dari sekian banyak film, buku, dan media storytelling lain sedari dulu, sudah tidak ada lagi cerita yang benar-benar baru. Tapinya lagi menurutku, originalitas atau kebaruan itu bukan exactly datang dari tema atau tentang apanya. Melainkan dari sudut pandang yang diangkat. Satu film bisa membahas tentang hal yang sama, misalnya sama-sama tentang spaceship berisi alien yang meneror awaknya, tapi cerita tersebut akan jadi berbeda jika diangkat dari dua sudut yang berbeda.

Rain memang cetakannya sama dengan Alien’s Ripley. Sama-sama cewek yang jadi jagoan saat keadaan memaksa. Teman-teman Rain, cetakannya memang serupa dengan ala karakter horor-remaja. Ada yang sok keren tapi ternyata cupu/penakut, ada yang teriak-teriak annoying ngelakuin tindakan bego. Tapi  yang bikin film ini lebih hidup dan less kayak cetakan-pabrik adalah sudut pandang dua tokoh sentral. Rain dan saudaranya, Andy. Dinamika mereka mengangkat film, jadi hati yang bikin film ini jadi grounded dan menarik untuk disimak, lebih dari survival alien dari lensa horor maksimal (again, aku masih kebayang-bayang wujud dan jumpscare terakhir dari Xenomoprh hybrid ciptaan film ini!) Aku suka cara film ngehandle relasi Rain dan Andy sebagai sajian utama, tapi tidak menghambat pace horornya, ataupun bikin film jadi terbebani oleh bobot mereka. Aku suka gimana film work around their story, sehingga masuk ke dalam cetakan dan lore dunia franchise Alien itu sendiri. Hubungan mereka juga tergambar dalam judulnya, karena Romulus juga refer kepada dua saudara dalam mitologi -Remus dan Romulus, yang dibesarkan oleh serigala, dan nanti Romulus harus membunuh Remus; in a sense, harus meninggalkannya. Jadi, Andy bukan saudara Rain beneran, melainkan android atau makhluk-sintetik yang udah dianggap saudara oleh Rain. Robot yang diprogram untuk melakukan apapun asal Rain senang. Ini berbuah konflik dramatis tatkala tempat baru yang ingin mereka tuju tidak memperbolehkan android, sehingga Rain terpaksa harus meninggalkan Andy nantinya. Sedih? tentu saja. Lalu masalah semakin pelik tatkala kejadian di station membuat Andy tanpa sengaja terprogram ulang, dan kini misi utamanya jadi sama dengan android jahat di pesawat, yakni mengutamakan kepentingan perusahaan. Yang berarti bagi Andy kini keselamatan Rain dan teman-teman sudah bukan prioritasnya lagi.

Andy jadi jahat begitu jadi budak-korporat

 

Momen paling nyess datang ketika Rain marah ke Andy yang menutup pintu sehingga hampir membuat temannya tertinggal di ruangan penuh Facehugger. But as soon as dia protes soal jangan ninggalin teman, kita bisa melihat realisasi menjejak di air mukanya; bahwa dia sendiri was about to do the same ke Andy yang tadinya akan ia tinggalkan di pesawat. Ini semacam momen pembalikan yang menohok, dan meskipun saat itu kita tau Andy udah keprogram ‘jahat’, feelingnya tetap kena. Karena kita bisa ngerasakan Rain dan Andy udah kayak sodara beneran. Jangankan sodara, gak ada orang yang mau ditinggalkan. 

 

Sekaligus, itu juga adalah testament dari betapa kerennya penampilan akting mereka. Cailee Spaeny, always mencuri hati. Dia buktiin betapa versatilenya penampilan aktingnya. Di sini sebagai Rain, dia jadi cewek jagoan, yang harus survive monster mengerikan sementara juga memendam banyak perasaan. Dia believable sebagai tough girl, padahal mukanya tipikal anak baik-baik, gitu. Like, Shailene Woodley jadi polisi di To Catch a Killer tahun lalu aja aku masih belum sold out sepenuhnya. Tapi Cailee, maann. Serunya, banyak penonton barat sono yang menilai dari penampilan dia di sini, nganggap Cailee lebih cocok jadi Ellie di serial The Last of Us. Terus si David Jonsson; nama itu belum pernah aku dengar sebelumnya, tapi setelah melihat dia sebagai Andy di sini, aku berharap bakal lebih sering mendengar namanya lagi di film-film ke depan. Karena yang diachieve-nya di film ini bukan sesuatu yang gampang. Dia ngasih penampilan yang emosional, sebagai android yang supposedly datar! Kita bisa percaya bahwa ada something more pada android ini, bahwa mungkin saja dia yang lebih mendekati sosok makhluk sempurna yang dicari korporat itu.

Dan mungkin film memang mengeset mereka berdua untuk sesuatu yang lebih besar. Sekuel maybe? Karena – dan sayangnya ini juga jadi poin kelemahan film ini buatku –  bahasan konflik Rain dan Andy terasa selesai early, lalu film pindah fokus ke survival lagi (final battle dengan si makhluk hybrid, resep natural mimpi buruk malam ini), sementara permasalahan sebenarnya soal gimana mereka di tempat baru yang tidak menerima android itu seperti sengaja disimpan untuk berikutnya. Karena gak ada development yang benar-benar ‘drastis’ dari dinamika Rain dan Andy, kecuali satu-dua momen yang nunjukin mereka berubah menjadi lebih baik. Tapi secara garis besar, mereka seperti kembali ke posisi semula dalam plot cerita. Menurutku film ini berkembang ke arah yang sedikit berbeda dari masalah yang diangkat di awal. Aku terhibur film ini ngasih horor survival maksimal, tapi mungkin arahan ke sini baiknya bisa lebih ditegaskan lagi pada menit-menit set up yang masih dominan seolah ini cerita tentang Rain dan Andy bersama ke tempat yang baru.

Satu lagi arahan yang menurutku agak jadi bumerang adalah soal praktikal efek dan CGI. Alien: Romulus, just like any great horror, mengutamakan kepada praktikal efek – dan ini bagus, kreatif. Tapi tentu saja penggunaan CGI sebagai enchancement masih diperlukan – dan ini kita maklum. But still. sama seperti ceritanya sendiri yang tentang korporat dengan keputusan yang bikin kita angkat alis perkara ethical kemanusiaan, film ini pun mengangkat pertanyaan etis yang sama. Karena film menggunakan CGI untuk membuat ada karakter android dengan wajah Ian Holm – aktor yang telah meninggal, yang di film Alien pertama berperan sebagai android korporat yang basically ‘sifatnya’ sama dengan android korporat di film ini. Tentu saja ini bikin kita bertanya, seberapa besar kepentingan si android ini wajahnya harus sama? Toh ada android model lain sepanjang universe franchise Alien. Bagaimana pendapat kalian tentang ini? Apakah yang dilakukan film bisa justified dalam konteks film ataupun apabila mungkin telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga Holm? Silakan share di komen yaa

 

 




Secara timeline, film ini sebenarnya bisa dibilang sebagai sekuel langsung dari Alien original.  Referensi dan elemen yang menyambungnya pun disebar oleh film ini. Beat-beat cerita dan adegannya mirip dengan Alien yang sudah-sudah, cuma memang kali ini arahannya ada dalam lensa horor maksimal. Membuat film ini worked out greatly sebagai hiburan yang menegangkan. Karakternya kini dalam perspektif anak muda, dan yang dititikberatkan oleh film sebagai tema adalah soal keluarga tidak saling meninggalkan. Center dinamika antara Rain dan ‘saudaranya’, Andy, jadi hati yang mengelevate dan pada fungsinya, mendaratkan, cerita. Yang bikin dia jadi lebih dari sekadar tontonan yang mirip ama Alien yang sudah-sudah. Menurutku harusnya film bisa ngasih bahasan yang lebih dramatis lagi terkait konklusi mereka berdua, alih-alih seolah selesai tapi sebenarnya lebih mirip di’damai’kan dulu gitu aja, karena mungkin mau ada sekuelnya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ALIEN: ROMULUS

 

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KABUT BERDURI Review

 

“The truth isn’t always blinding light, sometimes it’s a deep and dazzling darkness…”

 

 

Misteri menyelimuti daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Jika di hari itu ditemukan jenazah tanpa-kepala di Serawak. Besoknya bisa saja giliran kepalanya yang dijumpai gelantungan di hutan tempat orang Dayak mengambil madu. Kasus yang paling seru sih ketika ada jenazah yang menggelinding jatuh tepat di dekat garis batas wilayah. Turns out, badan ama kepalanya ternyata milik identitas dua orang berbeda!! Polisi dua negara berebut ngeklaim ini urusan negara satunya (“jaraknya lebih dekat ke elu, kok!”) Sebelum akhirnya kasus terpaksa harus diambil Polisi Indonesia lantaran si mayat mengenakan seragam TNI. Kasus demi kasus pembunuhan dengan cueknya melangkahi batas-batas wilayah yang ditoreh manusia tersebut. Namun saling lempar dan bikin batas wilayah bagi manusia, sebenarnya sama alaminya dengan hutan, pepohonan, kabut, dan misteri dunia lainnya. Manusia cenderung untuk bikin konflik, lalu mati-matian berusaha menutupinya. Berusaha tidak melihat kemelut yang ruwet yang tercipta darinya. Kasus dalam Kabut Berduri, crime thriller karya Edwin, adalah gambaran dari kemelut tersebut. Dengan latar yang berpijak dari situasi sospol beneran (Dayak dengan aparat di perbatasan go all the way back, dari masa-masa pemberontakan partai komunis), film ini jadi senter yang menyorot, menengahi, atau setidaknya yang memungkinkan kita untuk melihat ke balik blinding-truth ataupun kabut tak berujung – borderless fog – tersebut.

Kebenaran bisa berupa cahaya yang begitu menyilaukan, perih untuk dilihat. Bisa juga berupa kabut pekat yang membingungkan, menyeramkan untuk dilihat. Cahaya silau maupun kabut pekat, kita sama-sama terbutakan oleh mereka. Tapi di baliknya ada hal penting yang harus kita ketahui. Maka kita harus pilih. Kita harus endure it. Seperti kata-kata terakhir seorang Dayak yang terngiang di telinga Ipda Sanja “Kamu harus memilih apa yang kamu lihat”

 

Halo, Ambong? next bisa ke IKN yaa

 

Kasus pembunuhan berantai tersebut ditangani oleh Sanja. Inspektur Polisi Dua dari Jakarta, yang kemana-mana selalu pake kacamata dengan lensa berwarna. Tapi itu bukan kacamata gaya; tangkisnya setiap kali mendapat remark dari rekan polisi pria di Kalimantan. Mata Sanja sensitif terhadap cahaya. Dia gampang silau. Jadi dia butuh kacamata dengan resep untuk membantunya melihat dengan normal. Seperti kacamata Sanja itulah fungsi film ini. Kabut Berduri bukan film detektif gaya-gayaan. Melainkan sebuah thriller yang membantu kita melihat di mana sebenarnya letak masalah konflik dayak dengan polisi di perbatasan. Kondisi mata Sanja juga adalah metafor, for she can not see the truth. Kepindahan Sanja berkaitan dengan kejadian di masa lalunya. Saat masih training, Sanja tanpa sengaja membuat seorang anak kecil kehilangan nyawa. Sebagian besar karirnya dihabiskan untuk mengelak dari kenyataan tersebut, dengan ayah dan rekan-rekan membantunya menutupi kejadian itu. Tapi kini, di tempat barunya, Sanja berniat berubah. Tidak mau jadi pengecut lagi. Makanya film ini bilang, Sanja harus belajar melihat. Hanya saja kali ini, dia juga harus belajar melihat dari balik kabut misteri. Kasus di perbatasan yang ia tangani ini sama seperti kasusnya dulu, ribet karena melibatkan banyak pihak. Banyak pemain. Begitu Sanja dan partnernya, Thomas, menggali kasus ini terlalu dalam, mereka menemukan kasus perdagangan anak yang jadi akar semuanya, dan membuat mereka terlibat dengan orang-orang licin seperti ‘toke’ alias crime-lord lokal, dan bahkan mungkin orang-licin beneran alias lelembut seperti mitos Ambong, hantu komunis Paraku yang dipercaya warga bersemayam di hutan.

It is such an haunting look. Bukan saja Kabut Berduri adalah thriller kriminal, dengan momen-momen investigasi detektif yang membawa kita ikut mengernyit menyambung-nyambung petunjuk dan melihat-lihat mayat dengan kondisi brutal bersama karakternya, film ini juga punya banyak nuansa sureal. Presence Ambong sebagai sosok momok selain ngasih teka-teki ekstra, juga ngasih eerie feelings. Karena warga lokal yang ditanyai Sanja semuanya percaya. Mengaku bicara dengan Ambong tanpa menyebut jelas detilnya kendati Sanja sering agak tinggi juga nadanya ketika bertanya – toh bagaimana pun juga ‘Ambong’ tetap adalah petunjuk yang harus dia kejar. Dalam menangani bagian ‘mistis-lokal’ dengan investigasinya, film ini melakukannya dengan lebih baik daripada LongLegs (2024). Kabut Berduri lebih bijak, tahu untuk tidak sampai harus ngasih eksposisi yang menerangkan semuanya. Kesan misterius dan ambigunya dipertahankan; bahkan jika kita merasa udah clear, film kembali menebar kabut misteri. Ambong bisa jadi hanya desas-desus, atau dia beneran sosok pohon besar yang kerap dilihat Sanja. Ambong boleh jadi hanya kedok pelaku sebenarnya, tapi dia bisa juga entitas gaib yang nyata – menyabetkan parang justicenya sendiri. Afterall, film ini didesain untuk menjadi just the right balance, untuk membuat kita seperti Sanja. Melihat lebih mantap antara kabut dan cahaya, eventho apa yang kita lihat mungkin masih sesuatu yang mengundang tanda tanya.

Ini sekaligus bukti keberhasilan film ini membangun latar suasana. Daerah itu bukan saja hidup oleh visual – benar-benar di hutan dengan segala tempat-tempat tersembunyi dan kemisteriusan alaminya, tapi suasana, feeling, dan vibenya kerasa nyata.  Film membawa kita mengunjungi tempat-tempat yang menunjukkan identitas kedaerahan, seperti misalnya rumah panjang ataupun hutan sawit. Panasnya, lengketnya, gerahnya, film benar-benar menampilkan semuanya. Ini membuat kasus itu semakin terasa mencengkeram. Apalagi tidak satupun karakter di film ini yang dibuat lempeng (kecuali mungkin Nicholas Saputra yang jadi TNI – muncul cuma di awal dan di akhir – but still institusinya merupakan bidak penting dalam kemelut ini) Dayak yang seteru sama aparat, rakyat kecil yang merasa terus dioppress, polisi yang lempar-lemparan tugas karena sudah ada di dalam kantong si berduit, ada juga polisi yang posisinya susah. Thomas yang diperankan Yoga Pratama – polisi yang diremehkan sejawat karena dia asal dayak, tapi juga tidak dipercaya kerabat sekampung karena sekarang dia  masuk polisi. Penampilan aktingnya pun natural semua. Logat kalimantan-melayunya cair, kalo aku tutup mata dengar dialog Thomas, bisa-bisa aku nyangka itu orang sono beneran. Dan memang katanya film ini juga banyak pakai talent lokal. Makanya kerasa otentik, dan para aktor harus ngerahin yang maksimal untuk immerse sepenuhnya.

Sedangkan Sanja, orang luar seperti kita, berada di tengah semua itu.  Putri Marino memang tidak dapat kesempatan untuk akting serupa orang lokal, dan bermain-main dengan logat. Tapi di sini dia kebagian akting yang fokus pada olah fisik dan gerak. Oh betapa Sanja tidak ragu untuk snap back melawan atau mempertanyakan hal yang menjurus ke superiority gak sehat di lingkungan kerjanya. Bentukan karakternya memang agak seperti jagoan-perempuan barat, tapi vulnerabilitas dari kesalahan di masa lalunya mendaratkan karakter ini.

Sautan kritik pun sontak terdengar. Polisi kok gak kompeten!

 

Walau karakter outsider di tengah elemen-elemen volatile (detektif yang terlalu ‘nosy’ sehingga menyenggol sistem yang ada) memang sebuah resep sedap untuk thriller kriminal, tapi sebuah film biasanya akan punya pijakan sendiri within that system. Dalam artian, film biasanya akan memilih posisinya sendiri. Mungkin film akan bilang pihak A gak salah. Mungkin film akan memihak B karena mereka cuma dituduh.  Atau mungkin bisa saja menurut film ada pihak C yang mendalangi semua. . The truth mungkin berduri, dan memang harus disembunyikan, dan film ini jadi alat yang memudahkan kita melihatnya (tanpa mengurangi tajam durinya). Ini pilihan yang diambil oleh Kabut Berduri. Mengapproachnya begini, maka kesan ambigu tadi ternyata bukan soal dipertahankan atau tidak oleh film, melainkan lebih karena film ini  ya harus jadi ambigu karena dia ingin menyorot tanpa mengambil pijakan. It is the only way. Dan karena pilihannya ini, Kabut Berduri jadi, katakanlah, gak bisa punya ultimate punchline untuk kemelut yang dia sorot. Ini resiko. Karena akan ada penonton yang jadi menganggap keambiguan sebagai statement yang tidak tegas dari film ini.

 

 




Film kayak gini yang membuat kita menghargai eksistensi Netflix ataupun platform sejenis. Isu lokal yang masih tergolong sensitif, genre yang bukan kalangan mainstream untuk film kita, penceritaan yang bukan jenis hiburan popcorn, susah kayaknya bioskop jaman sekarang untuk mau nayangin ini. Kalopun ditayangin paling juga hanya dipajang beberapa hari karena kalah oleh yang dianggap lebih cepat menguntungkan. Padahal yang kita butuhkan  adalah tontonan yang diverse. Yang berani. Dan tentu saja tidak dibuat main-main dan asal jadi. Film ini kelasnya spesial. Note-note crime thriller dikenainya semua. Kesan misteri dan investigasi benerannya nyampur jadi satu. Penampilan aktingnya nyampur jadi genuine semua. Dia mengambil pilihannya yang membuatnya ambigu tapi juga bisa dinilai kurang nendang, namun cara dia menceritakan pilihannya itu benar-benar, again, spesial. 
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for KABUT BERDURI

 




.

That’s all we have for now.

Menurut kalian apa maksud pelaku menyatukan mayat aktivis dayak dengan kepala anggot TNI, lalu membuat mayatnya mengenakan seragam TNI?  Kenapa pula Ambong tidak membunuh Agam?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRAP Review

 

“We are never trapped by where we are, the trap is always who we are”

 

 

Trap, thriller terbaru M. Night Shyamalan, berhasil memberikan apa yang aku harapkan – namun ternyata tidak kudapat – ketika nonton In a Violent Nature (2024) kemaren. Perspektif yang menyeluruh dari seorang serial-killer. Bukan hanya itu, film ini juga terasa fresh dengan sudut pandang yang diangkat tersebut. Memang, film yang mengambil cerita dari sudut pandang psikopat pembunuh bukan barang yang langka. Sebut saja mulai dari Henry: Portrait of a Serial Killer (1986) ke The House That Jack Built (2018), dari American Psycho (2000) hingga ke In a Violent Nature tadi, dari yang pembunuhnya charming sampai ke yang monster gak-bisa mati, pengalaman mengerikan masuk ke pikiran ‘orang gila’ yang bermacam-macam itu sudah pernah kita rasakan (ampe ketagihan!) Hanya semuanya relatif sama. Kita melihat mereka sebagai pembunuh. They might jalanin kerjaan lain sebagai kedok, tapi most of the time, cerita akan berpusat kepada saat aksi utama mereka yakni membunuhi orang. Trap berbeda, karena kita tidak melihat si serial killer saat actually sedang ‘dinas’. Melainkan cerita khusus menyorot ketika dia sedang berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Like, membawa putrinya nonton konser. Shyamalan dikenal karena twist pada film-filmnya; dia selalu took risks dengan ‘mematahkan’ filmnya menjadi something else, sampai-sampai banyak filmnya yang jatohnya antara tidak dimengerti atau salah dimengerti oleh penonton. Trap, sepertinya bakal jadi satu lagi film Shyamalan yang easily di-misunderstood. Banyak penonton yang gak puas dan menganggap film tentang ayah-anak ini sendirinya adalah jebakan yang dipasang Shyamalan supaya kita nonton konser putrinya.

Cooper dan putrinya yang masih 12 tahun, Riley, was about to have a great ‘father-daughter day’ di konser Lady Raven. Penyanyi yang lagi hits banget terutama di kalangan remaja dan anak-anak muda. Cooper berhasil dapetin floor ticket, di row yang lumayan deket juga dari panggung. Tapi sedari masuk tadi, Cooper notice stadion konser ini dijaga oleh banyak sekali sekuriti. Dengan persenjataan lengkap pula. Oalah, ternyata mereka FBI! Kabarnya, mereka ada di sana karena tahu bahwa di antara tiga-puluh-ribu penonton konser itu ada satu serial killer most wanted – The Butcher – yang juga hadir. Konser musik ini dijadikan perangkap buat si The Butcher. Film mereveal twistnya dengan sangat dini, karena si serial killer tidak lain tidak bukan adalah Cooper, ayah yang sayang banget ama pada putrinya, pemadam kebakaran yang simpatik. pria baik hati yang bisa diandalkan all around. Ini ternyata bukan cerita tentang ayah-anak yang terjebak di tengah-tengah kucing-kucingan pembunuh dengan FBI, melainkan cerita tentang pembunuh yang harus mikirin cara keluar dari stadion yang dijaga ketat, sementara juga naluri banditnya itu berkonflik dengan keinginannya satu lagi sebagai seorang ayah; dia pengen Riley yang lagi dikucilin teman-teman segeng itu tetap have fun di konser.

Aku kinda relate, karena pas nonton WWE live dulu fokusku malah jelalatan cari cara menyelinap ke backstage hihi

 

Bisa dilihat konsep cerita Trap ini benar-benar brilian kenekatannya. Biasanya, pada film antihero atau yang bahkan protagonisnya penjahat yang journey ceritanya paling degradasi moral sekalipun,  simpati itu akan terus dipantik dari si karakter. Tujuannya adalah kita sebagai penonton merasakan dramatic irony dari ‘kejatuhan’ si karakter menjadi seorang penjahat. Meskipun tujuannya menyimpang, tapi kita masih peduli karena kita paham apa yang membuat dia seperti itu. Itulah kenapa namanya protagonis; karakter yang ingin sesuatu dan kita get behind them regardless kita setuju atau tidak terhadap pilihannya. Tapi Trap ini sebaliknya. Shyamalan membuat Cooper ini sebagai.. apa ya, kita karang aja istilahnya; Anti-protagonis, mungkin. Cooper berangkat dari karakter simpatik, lalu diungkap dia orang jahat, dan film akan terus mendevelop dirinya menjadi semakin unlikeable hingga cerita usai. Ini dibilang salah, ya salah karena gak sesuai aturan. Tapi dibilang jelek, ya enggak juga, karena desain konsep ini brilian dan bukan perkara mudah untuk dilakukan. Bagaimana membuat karakter yang sedari awal sudah diungkap sebagai pembunuh, tapi kita tetap sempat peduli dia selamat?

Film mencapai ini pertama dari kekuatan akting Josh Hartnett sebagai Cooper. Aktingnya di sini sangat intriguing, sehingga kita tertarik. Ada momen ketika kita percaya dia beneran peduli sama Riley. Ada momen ketika kita bisa melihat jurus ‘menarik simpati ala serial killer’nya keluar untuk membohongi orang-orang demi mendapat informasi – bahkan kepada Riley. Ada momen ketika dia beneran panik dan pikirannya berkecamuk nyari jalan keluar. Ada momen ketika dia kontemplasi dengan traumanya sendiri. Masing-masing momen ini hidup oleh permainan ekspresi. Film juga mastiin buat semua ekspresi itu tertangkap, karena akan banyak sekali shot yang close up wajah Cooper. Kesannya mungkin bisa tampak unnatural (apalagi pas Cooper matanya kosong tapi senyumnya ngembang), tapi kita harus ingat yang berusaha ditangkap kamera adalah psyche seorang serial killer yang punya trauma sendiri, yang sendirinya bergulat dengan dua ‘dunia’, dengan dua kebutuhan.

Kedua, dan ini yang paling penting supaya kita di awal peduli, adalah dari hubungan Cooper dengan Riley. Dunia yang lebih relatable; ayah dan anak di tempat konser. Film ngerti betapa krusial bagian ini, maka M. Night Shyamalan arahannya jor-joran banget di first-half ini.  Ariel Donoghue natural banget jadi anak seusia Riley yang starstruck lihat idolanya nampil, yang benar-benar menikmati hari yang spesial dalam hidupnya. Dramatic irony yang membuat kita peduli sama Cooper, dipancing film dari sini. We don’t want Cooper gagal supaya hari Riley gak rusak, tapi juga kita tahu hari itu gak akan berakhir baik buat Riley. Lalu, experience nonton konser itu sendiri. Gak salah juga kalo penonton pada julid film ini akal-akalan sutradara buat ngasih panggung putrinya sendiri yang memang penyanyi (Saleka Shyamalan berperan jadi Lady Raven, dan dia beneran ‘manggung’ ampe bikin album buat ngisi film ini). Pak Sutradara ngisi konser itu dengan crowd beneran, kesibukan kru panggung, isi stadion, hingga pagelaran konsernya, suasananya terasa otentik. Beneran hidup. Dan jadi kontras yang kuat ketika ada petugas bersenjata yang merazia penonton secara giliran. ‘Mengganggu’ mereka dari aktivitas nonton konser. Keseluruhan experience di paruh-pertama ini rasanya imersif banget. Kita ngenalin euforia dan serunya di sana, kita gak mau Riley terampas oleh pengalaman tersebut, so naturally kita jadi peduli sama keberhasilan ayahnya walaupun kita tahu ayahnya orang jahat. At least, biarkan Riley dapat momen dulu. Dan film memang ngasih dengan selera humor tersendiri.

Lalu diambillah resiko berikutnya. Paruh-kedua yang normalnya dimulai dengan sekuen ‘taktik baru’, oleh naskah ini dimaknainya sebagai literally kayak different movie. Belokin cerita kayak ampe patah-dua ini kelebihan sekaligus kekurangan M. Night Shayamalan. Bisa bikin filmnya seru, unpredictable, tapi semua kenekatan itu tetap bergantung kepada storytellingnya. Skala cerita diperbesar. Seluruh kota seolah jadi tempat yang memerangkap Cooper. Sedangkan untuk Cooper sendiri, ‘baru’ baginya sayangnya adalah kali ini dia jadi lebih banyak bereaksi. Inilah kenapa banyak yang bilang babak ketiganya aneh. Karena mendadak cerita malah bergerak karena aksi-aksi si Lady Raven. Dia jadi kayak hero di bagian ini. Sebenarnya kalo dari desain, ini masih kelihatan ada alasan dan kepentingannya dengan tema. Bagi serial killer yang lagi di dunia seorang ayah, Cooper tentu familiar soal apa yang ditampilkan supaya orang melihat kita sebagai apa yang kita mau. Dan ketika Lady Raven mendadak punya rencana sendiri, ini caught Cooper off guard. Dia gak sadar seleb yang tampaknya gak bisa apa-apa, ternyata bisa punya persona yang berbeda di luar panggung (apalagi di backstage dia ngeliat rapper yang cuma bisa songong minta ini itu). Bisa punya kemampuan lain, bisa punya ‘power’ dari follower. Cuma, karena ujug-ujug Lady Raven jadi hero tanpa benar-benar ada build up, naturally kita sebagai penonton gak bisa get behind her. Tindakannya malah dianggap bego, dan lebih terasa kayak manjang-manjangin cerita.

Give new meaning to a “Parent Trap”

 

I do feel film ini bingung mau narok akhiran di mana. Stakenya padahal udah dibikin mengerucut, dibikin lebih personal. Ini juga sekaligus cara film mengembalikan kendali kepada Cooper sebagai protagonis. Bahwa pilihan ultimate bagi dia adalah memilih kehidupan mana yang ia jalani. Dia gak harus jadi serial killer. Hanya saja Cooper merasa terjebak di mana-mana. Modus operandi Cooper sebagai serial killer adalah dia memilih orang-orang yang ia anggap ‘utuh’ untuk jadi korban. Karena dia pengen liatin bahwa gak ada yang utuh di dunia ini. Bahwa seperti dirinya, semua orang adalah kepingan-kepingan. Backstory Cooper diungkap dengan subtil di balik gumaman kecil dan perilaku OCDnya (betul-betulin letak barang yang miring). Jadi film membuat Cooper harus berkonfrontasi dengan kepingan-kepingan hidupnya. Dengan istrinya. Dengan bayangan ibunya. Ini yang bikin film jadi seolah gak beres-beres. Film harusnya bisa lebih mempertegas mana yang beneran ‘konflik utama’ bagi Cooper. Ketika di awal seperti dibuild up, Cooper seperti menganggap ibu tua FBI sebagai antagonis utamanya, mestinya ini saja yang dijadikan fokus untuk penyelesaian cerita. Film harusnya bisa lebih menggodok segala ‘pieces’ konflik Cooper dan madatin babak ketiga ceritanya.

Terlepas dari bagaimana hal tampak bagi kita, kita sesungguhnya tidak pernah terjebak oleh tempat kita berada. Perangkap itu sebenarnya selalu soal siapa kita. Dengan membiarkan diri torn to pieces, kita memerangkap diri sendiri. Cooper merasa trauma membuat dia harus menjalani dua hidup, sebagai serial killer dan sebagai ayah, akibatnya dia terjebak di antara dua ‘dunia’ tersebut. Tidak pernah punya kekuatan untuk mengonfrontasi siapa dirinya, masalahnya, yang sebenarnya. Padahal lihat saja Exodia di kartu Yugioh, kalo lima anggota badannya terkumpul, kekuatannya jadi infinity hihihi

 

 




Sori, karena judulnya, dan bicara soal pieces, aku jadi gak tahan buat nyama-nyamain ama Yugioh. Tapi itu  tandanya film ini sukses menghibur. Dan aku memang beneran suka kok. Aku suka suasana di konser, experiencenya kerasa banget dan film feels genuinely life dan epic. Aku suka nekatnya M. Night Shyamalan bikin konsep ampe jadi kayak anti-protagonis.  Aku suka sudut pandang yang diangkat, serial killer bukan exactly soal dia membunuh orang dengan sadis, tapi soal dia takut ketahuan karena sumpah mati dia pengen banget berhasil membangun keluarga. Bahkan patahan ceritanya bisa kita apresiasi, karena masih bergerak dalam konteks perspektif dan backstory si karakter. Meskipun memang paruh kedua itu mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi. dengan lebih mulus lagi. Terutama di kejadian-kejadian, biar less kayak ‘naskah maunya begitu’ dan more kayak keputusan natural karakter di saat darurat. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRAP.

 

 




That’s all we have for now.

Film ini could get unintentionally funny. Buat kalian, bagian mana yang paling lucu dari film ini? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MINI REVIEW VOLUME 20 (FURIOSA: A MAD MAX SAGA, IN A VIOLENT NATURE, PEMANDI JENAZAH, DESPICABLE ME 4, LOVE LIES BLEEDING, THE BIKERIDERS, SPACE CADET, KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES)

 

 

Keeping up with new movies pada masa-masa liburan kian makin jadi tantangan buatku. Terutama jika filmnya punya durasi panjang banget. Faktornya banyak. Bisa karena mager ke bioskop, males rame. Bisa justru susah ngatur waktu karena biasanya bioskop ngasih jadwal dan sebaran filmnya kurang enak kalo ada film yang hits atau berdurasi panjang. Atau bisa juga karena filmnya malah gatayang sama sekali di bioskop tempatku liburan. Dengan alasan itulah, maka daftar ini dibuat, terutama buat ngejar ketinggalan nonton Furiosa. Let’s go.. brrrrmm.. brrrmmmm!!

 

 

DESPICABLE ME 4 Review

Setelah absen pada film ketiga tujuh tahun yang lalu, sutradara Chris Renaud kembali, seolah ingin me-reset dunia Despicable Me kepada sebuah fresh start. Karena itu juga yang terjadi kepada Gru dan keluarga kecilnya di dalam cerita film keempat ini. Musuh bebuyutan dari jaman sekolah kabur dari penjara, dendam kesumat kepada Gru, sehingga demi keamanan, mereka semua ikut semacam program perlindungan saksi; Gru sekeluarga diberikan alamat baru, serta identitas baru. And oh wait, keluarga mereka sendiri juga punya anggota baru, Gru Junior!!

Set up tersebut menanam banyak sekali permasalahan yang menarik. Gru harus berusaha jadi live up identitas barunya, yang berarti dia gak boleh jadi despicable self yang biasa – dan ini berkonflik dengan keinginannya untuk jadi suri tauladan yang baik – as in menjadi villain yang ‘baik’ kepada putranya. Karakter kesayangan kita yang lain juga dapat cerita sendiri; Margo harus mulai journey sebagai murid baru di sekolah yang baru, sementara Agnes – anak seimut itu harus berkonflik batin dengan dirinya harus ‘nyamar’ jadi identitas baru sementara dia gak mau berbohong. Sayangnya, bibit-bibit ini tidak berbuah jadi sebagaimana mestinya. Lantaran Despicable Me 4 yang menargetkan diri sebagai tontonan untuk anak-anak, memutuskan bahwa anak-anak gak mampu untuk musatkan perhatian pada… hey look, Minion! papoy, papoy, banana!!!

Look, udah film keempat – itu kalo kita gak ngitung film spin off dan lain-lainnya. Kita pahamlah, vibe film ini gimana. Rusuh, dan jualannya candaan dengan Minions. It’s okay mempertahankan itu. Tapi film ini, rusuhnya tu ekstra. Sampai-sampai semua permasalahan tadi itu melebar ke mana-mana.  Gru malah bertualang dengan anak lain, Minion tau-tau jadi parodi superhero. Aku akui, film dengan karakter yang tadinya villain, lalu ada dialog yang bilang “I’m sick of superheroes” merupakan celetukan yang cukup badass, tapi yah sebagai sebuah cerita, film ini masih belum matang. Bayangkan para Minions lagi memasak film ini di dapur. Hasilnya, dapur berantakan karena rusuh, dan masakannya sama sekali gakjadi – kalo gak mau dibilang kacau. Begitulah state film ini.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DESPICABLE ME 4

 

 

 

FURIOSA: A MAD MAX SAGA Review

Chris Hemsworth bilang “Amerika punya Star Wars, Inggris punya Harry Potter. Australia punya Mad Max” Aku setuju. Mad Max memang sebesar itu pengaruhnya terhadap pop culture. Geng-geng motor, adegan kejar-kejaran kendaraan yang beringas, dunia post-apocalyptic. Mad Max bahkan menginspirasi Fist of the North Star, manga yang berkembang menjadi franchise tersendiri. Dan kini, Mad Max bakal makin gede lagi karena George Miller punya lore karakter baru di dunia wasteland tersebut. Furiosa.

Kita sudah kenalan sama cewek botak ini di Mad Max: Fury Road (2015). Sekarang, kita diajak masuk untuk truly mengenal dia sedalam-dalamnya. Kenapa Furiosa penting untuk dikenali? Karena ceritanya literally sebuah oase di tengah gurun. Membedakannya dengan galian cerita Mad Max yang lebih tentang harapan dan kepahlawanan, Furiosa dibentuk sebagai kisah yang lebih kompleks dan kelam. Cerita tentang menumbuhkan hidup dari balas dendam, dari kebencian, seperti yang diperlihatkan pada ending yang menurutku menyentuh – dalam caranya sendiri – you know, gimana Furiosa dan Dementus (antagonis yang dimainkan charismatic oleh Chris) ‘menuntaskan’ permasalahan mereka.

Film ini juga berhasil ngembangin lore dunia wasteland itu sendiri. Ketika kita menonton kejar-kejaran spektakuler dengan kendaraan perang unik di gurun pasir saja, karakter dan motivasi mereka menempel sehingga semuanya terasa berarti. Cara film ini ngasih lihat karakterisasi juga beragam dan sama well-design-nya dengan wujud mereka. Furiosa aja misalnya, karena diceritain dari dia kecil maka Anya Taylor-Joy baru akan muncul di pertengahan, tapi kita bisa merasakan journey-nya nyambung. Karakternya benar-benar terbentuk dari sana. Kita bahkan bisa dengan mulus ngoneksikan Furiosa ini dengan Furiosa dewasa di film sebelumnya. Dan kerennya lagi, dialognya minim banget. Semuanya benar-benar diserahkan kepada akting mata dan ekspresinya Anya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FURIOSA: A MAD MAX SAGA

 

 

 

IN A VIOLENT NATURE Review

Janji film ini adalah menghadirkan slasher tapi lewat perspektif pembunuhnya. Slashernya bukan dari pembunuh-serial yang biasanya charming dan punya pemikiran ideal sendiri. Tapi dari backwood ‘monster’ superhuman ala Jason Vorhees. Janji sutradara Chris Nash ini memang manis. Sebab tentu saja akan sangat menarik jika kita dibawa menyelam ke sudut pandang seperti demikian. Apa yang si monster pikirkan. Kenapa dia membunuh. Kenapa harus sadis banget. Apakah dia merasakan penyesalan. Atau ragu. Atau takut. Bagaimana dia memandang korban-korbannya. Bagaimana dia bisa menguber mereka tanpa terdeteksi, sampai semuanya sudah terlambat.

Eksekusi janji tersebut, sayangnya terhuyung-huyung. Film ini cuma deliver, maybe dua, di antara ekspektasi kita ketika mendengar ‘film dari sudut pandang pembunuh.’ Beberapa hal memang menarik. Kayak gimana si pembunuh mengarungi hutan, mendengar ada orang ngobrol lalu dia berjalan ke arah mereka. Eh ternyata mereka lagi ngegosipin dia. Kemudian dia jalan lagi, lalu membunuh mereka satu persatu dengan cara yang entertaining abis! Sesekali kita juga ‘mendengar’ memori si pembunuh terkait informasi apa motivasinya. And that’s it. Ketika diwujudkan sebagai film, janji-janji itu terlihat seperti film slasher biasa, cuma lebih boring karena most of the time habis melihat si pembunuh berjalan. Karena ini soal dia memburu manusia lemah dan bersalah, maka tidak ada suspen yang terbangun. Tidak perlu musik. Bahkan filmnya sendiri gak yakin akan konsepnya, sehingga kadang jalannya si pembunuh ‘dipercepat’ dengan editing. Film masih takut untuk terasa boring. Ketika si pembunuh masuk air, berjalan di dasar, kita gak ikut nyemplung. Film masih berpindah ke sudut pandang mangsanya. Dan ini menurutku pelanggaran janji yang paling fatal. Dalam artian film gak konsisten.

Akhiran film membuat kita benar-benar lepas dari sudut pandang si pembunuh. Totally. Pindah ke sudut pandang final girlnya. Alih-alih big chase scene, atau apa kek terkait penyelesaian si pembunuh, film malah ngasih monolog yang terdengar sok misterius dan preachy, dari karakter yang bahkan baru nongol untuk sekuen itu saja. I don;t know, man. Lain kali kalo mau bikin dari sudut pandang pembunuh, mungkin yaah, desain dululah penulisan yang bagus untuk karakternya.

The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for IN A VIOLENT NATURE

 

 

 

KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES Review

Bersetting 300 tahun dari akhir trilogi Planet of the Apes modern, cerita yang dipunya Kingdom ini sebenarnya menarik, tapi apesnya, arahan Wes Ball dalam membuat ini sebagai set up dari trilogi yang baru membuat film ini jadi biasa aja.

Gimana gak menarik coba? Sekarang ceritanya dunia udah dikuasai oleh bangsa kera, tapi mereka terpecah-pecah karena punya interpretasi berbeda terhadap apa yang pemimpin, leluhur mereka – Caesar – mau. Ajaran Caesar buat bangsa kera, ternyata dimaknai berbeda oleh tiap golongan. Ada yang mengaku jadi penerus Caesar segala. Memerintahkan dengan tangan besi untuk semua kera tunduk kepadanya. Sementara keretakan terjadi di antara mereka, tokoh utama kita – kera bernama  Noa yang desanya diserang dan keluarganya dibawa paksa oleh kelompok kera jahat – menemukan pemahaman sendiri terhadap ajaran Caesar tentang manusia. Karena dalam perjalanannya untuk menyelamatkan kerabat, Noa bertemu dengan anak manusia bernama Mae.

Jadi setidaknya ada tiga pihak dengan konflik yang menarik jadi motor penggerak alur film ini. Sesama bangsa kera yang udah kayak cerminan gimana manusia terpecah belah karena keyakinan dan paham yang berbeda. Lalu antara kera dengan manusia, ada yang menganggap manusia harus dimusnahkan, dan ada yang percaya bahwa Caesar mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Ending film yang nunjukin interaksi/konfrontasi Mae (yang ternyata cerdas) dengan Noa buatku juga sangat menarik, menantang dan cocok sekali untuk mengirim kita ke lanjutan ceritanya. Tapi gak tau deh, ada something missing dari arahan film yang bikin menontonnya kayak biasa aja. Aku merasa durasi penceritaannya yang terlalu ngulur-ngulur, sehingga alih-alih menantang kita dengan konflik ideologi dan dilema personal, film jadi lebih kayak rescue-adventure dengan karakter sedikit lebih dalem aja. Menurutku film ini belum mencapai potensi yang sesungguhnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES

 




LOVE LIES BLEEDING Review

Love Lies Bleeding adalah tipe film yang susah dikategorikan ke dalam genre tertentu. Semuanya ada. Drama, romance, thriller, misteri, crime, action, bahkan ceritanya sempat pula masuk ke ranah surealisme. Dream-like. Yang gak ada cuma komedi, tapi walaupun begitu bukan berarti karakternya gak punya ‘selera humor’. Baru film keduanya, tapi sutradara Rose Glass udah seberani ini. Dari urusan tema pun, film ini berani mengangkat banyak. Love Lies Bleeding jadi terasa seperti dunia tersendiri yang intens, brutal, dan kelam.

Tema utamanya sih tentang obsesi. Atau mungkin candu. Hal yang kita tahu salah, not good for us, tapi tetap kita pegang atau pertahankan, karena tanpanya kita merasa diri kita kecil. Gak bisa apa-apa. Dua karakter sentral di film ini – Kristen Stewart yang kerja di gym, dan Jackie sebagai bodybuilder yang kebetulan singgah dan on her way to kompetisi binaraga -sama-sama berjuang dengan hal tersebut, yang satu kecanduan steroid, satunya lagi berurusan dengan keluarga besar yang toxic mulai dari ayah crime lord dan kakak yang punya suami ‘ringan tangan’. Sementara juga ironisnya, hubungan cinta mereka pun jadi sama ‘tak-sehatnya’ karena sudah menyangkut melindungi pembunuh. See, film ini ceritanya kompleks banget, tapi berkat penceritaan yang benar-benar jumawa. Berani dan mantap dalam mengarungi naskah itu sendiri, film gak pernah goyah ketika harus jadi crime thriller, jadi romance panas, ataupun ketika jadi simbol-simbol ‘aneh’ saat di akhir karakternya menjadi raksasa. Kita dibuat terus menatap lekat kepada dunia, kepada cerita, kepada karakternya. Bisa dibilang, penceritaannya membuat kita terobsesi sama mereka.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOVE LIES BLEEDING

 

 

 

PEMANDI JENAZAH Review

Jadi pemandi jenazah itu urusannya sama dengan lagu tema Pretty Little Liars. Harus menjaga rahasia yang dibawa mati oleh si jenazah. Menjaga aibnya. Membawa ini ke ranah masyarakat sosial yang penuh prejudice – khususnya masyarakat lokal yang lagi hitsnya ama term pelakor – Hadrah Daeng Ratu sebenarnya bisa aja strike the gold dengan Pemandi Jenazah. Sandungan baginya masih seperti biasa, arahan dan penulisan yang clumsy,

Potensi emas film ini bisa langsung kita saksikan dan rasakan. Pemandi Jenazah punya dunia yang aktif digali, ibu-ibu di masyarakat cerita satu-persatu mati seperti kena kutuk. Santet, kalo kata filmnya. Dan diungkap ada semacam rahasia masa lalu di antara ibu-ibu yang jadi korban tersebut. Cerita ini ditembak dari sudut pandang Lela, anak salah seorang korban, yang kini terpaksa harus melanjutkan kerjaan ibunya sebagai pemandi jenazah. Pengembangan dunia dan karakter film ini sebenarnya menarik. Lela misalnya, film gak ragu untuk ngasih dia konflik dan nunjukin vulnerabilitas bahwa dia gak mau jadi pemandi jenazah karena takut. Takutnya ini yang sampai dan relate ke penonton. Ini jalan masuk ke penonton yang sudah berhasil dicapai oleh film. Tinggal urusan misteri dan penyelesaiannya. Yang bisa kita lihat, film benar-benar berusaha, dan punya pesan yang baik soal memutus siklus saling benci. Untuk rukun.

Arahan, pengadeganan, dialog, harusnya bisa lebih diperbagus lagi. Misalnya aspek horornya. Di luar adegan horor saat mandiin mayat (they talk!!) film ini sering mengandalkan adegan-adegan horor yang kayak niru horor lain – yang pernah kita lihat. Jika aspek horor lain itu dibuat lebih original, film ini tentu lebih memorable ini. Kalo dari pengadeganan dan penulisan, yang paling parah langsung terasa clumsy itu adalah sekuen finale-nya yang melibatkan rombongan ibu-ibu lay their own justice. Harusnya bisa dilakukan lebih ‘sinematik’ lagi, enggak kayak adegan sinetron.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PEMANDI JENAZAH.

 

 

 

SPACE CADET Review

Aku dulu pengen banget jadi astronot. Tapi urung, karena ngerasa gak bakal bisa. Badanku pendek, dan mataku minus. Plus otak yang pas-pasan. Kalo dulu itu aku udah nonton Space Cadet, aku pasti tetep nekat pergi mendaftar jadi astronot. Karena komedi karya Liz W. Garcia ini berhasil ngalahin Armageddon (1998) dalam hal nunjukin bahwa jadi astronot itu gampang bangeett

At the best, Space Cadet adalah komedi ringan – sedikit mustahil – dengan vibe positif mendorong penontonnya untuk mengejar mimpi. Kita bisa nonton ini cuma buat ngeliat Emma Roberts ngelakuin hal ‘gila’, dan terhibur olehnya. kita bisa nonton ini buat ngintip aktivitas calon astronot di NASA (dan mupeng). Tapi film ini gak bakal ngasih drama yang benar-benar berbobot. Karakternya tipis. Gadis yang sebenarnya pintar dan pengen jadi astronot, tapi keadaan membuat dia untuk kuliah aja gak bisa. Film never really touch upon that aspect, melainkan lebih memilih ke soal gimana Rex – si gadis – malsuin CV supaya keterima intern di NASA. Gimana nanti dia yang udah akrab sama sejawat di sana, ketahuan, dan terjadilah drama di sana. You know, ini kayak film-film feel-good sederhana yang sering ditayangin di tv jaman-jaman 90an.

Namun bahkan untuk target sesederhana itu saja, Space Cadet masih kurang berhasil membuat karakternya lepas landas dengan benar. Karena Rex lebih seperti bereaksi ketimbang beraksi. Karena yang malsuin data-data lamarannya, bukan dia. Tapi temannya. Jadi Rex sebenarnya cuma play along dan berusaha gak ketahuan saat dia ngeh dirinya keterima karena surat lamarannya sudah diubah oleh temannya tersebut. Aku gak tahu kenapa film memilih harus menyerahkan aksi penggerak ini kepada karakter pendukung yang just another comedic relief, padahal bisa langsung diserahkan kepada tokoh utama. Toh Emma Roberts bukan aktor jaim yang gak lepas saat mainin komedi.

The Palace of Wisdom gives 4.5 gold star out of 10 for SPACE CADET.

 

 

 

THE BIKERIDERS Review

Dilan versi Hollywood! Ahahaha aku ngakak pas baca sinopsis. “Kathy (Milea) tertarik kepada Benny (Dilan), anggota geng motor. Begitu geng motor semakin menjurus kepada kekerasan, Benny (Dilan) harus memilih antara Kathy (Milea) atau gengnya.”

Tapi pas ditonton, karya Jeff Nichols neither mirip Dilan ataupun soal Benny dan pilihannya itu sendiri. First of all, ini beneran anak geng motor. Bukan anak mami yang cosplay jadi sok jagoan. Perspektifnya memang mature dan dihandle dengan sedewasa itu. Ketika ada romance anak motor dengan cewek rumahan, romancenya bukan tau-tau si anak motor jago gombal, lalu segala top. Romansa film digali tetap pada bingkai bagaimana anak motor itu sebenarnya. Benny akan nunggu di depan rumah Kathy, nyender di motornya – dari malam sampai pagi – sampai cowok Kathy nyerah dan pergi ketakutan, padahal Benny gak ngapa-ngapain. Itu baru romantis yang kita percaya ada di kepala anak motor. Romantis menurut si anak motor itu sendiri.

Tapi sesungguhnya tokoh utama film ini bukan Benny, ataupun Kathy. Melainkan geng motor itu sendiri. Kita akan melihat gimana perkembangan geng motor tersebut dari tiga perspektif sentral. Benny yang menganggap itu geng tersebut keluarganya, Kathy, sebagai orang baru yang masuk karena cinta, dan Johnny sebagai ketua, pendiri geng motor itu sendiri. Melalui tiga karakter inilah, journey kelompok ini sebagai saudara jalanan, berurusan dengan anak-anak muda yang pengen masuk karena menyangka geng motor adalah geng ugal-ugalan semata, dikembangkan. Jadi nonton film ini tuh kerasa banget apa-apa saja statement ataupun pandangan dari dunia geng motor itu sendiri. Ceritanya imersif, cuma karena sering pindah-pindah karakter – dan juga pindah periode waktu -, pace film bisa agak ‘terasa’. Sampai mampu membuat kita bingung, film ini ujungnya gimana

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE BIKERIDERS

 




 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Mad Max?  Kalo Australia punya Mad Max, Indonesia kira-kira apa ya franchise film yang punya potensi mendunia sambil kuat megang identitas kita?

Silahkan share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



DEADPOOL & WOLVERINE Review

 

“If you want to lift yourself up, lift up someone else”

 

 

Akuisisi besar-besaran Disney terhadap 20th Century Fox sukses bikin para penggemar superhero Marvel menggelinjang sejak 2018.  Soalnya  X-Men dan beberapa IP karakter Marvel lain yang muncul sebagai bagian dari permulaan genre ini di era 2000an, ada di bawah naungan Fox. Dengan membeli Fox, berarti sekarang Disney bisa leluasa meluaskan jagat semesta Marvel Cinematic Universe dengan karakter-karakter superhero ikonik seperti geng X-Men yang lisensinya kembali jatuh ke tangan Disney. Ini kan momen yang gede banget buat penggemar superhero. Istilahnya, setelah sekian lama superhero Marvel terbagi, sekarang mereka bisa bersatu di bawah naungan studio yang sama (kecuali geng Spider-Man nih yang masih alot urusannya). Sebuah momen yang rasa-rasanya kok ya pantas dijadikan film. Bayangkan menceritakan superhero pindah studio dengan segala komplikasi dan candaan yang bisa dihasilkan dari sana. Pasti lucu dan seru sekali. Dan itulah yang persisnya dilakukan Shawn Levy pada film ketiga dari Deadpool. Sutradara ini tahu bahwa tidak ada lagi ‘tempat’ yang lebih tepat untuk membahas penggabungan ini – merayakan beserta seluruh nostalgianya – selain pada bingkai dunia Deadpool, yang memang dikenal lewat kelemesan mulutnya dalam nge-break the fourth wall.

Namun nanti bagaimana dengan cerita si Deadpool itu sendiri? Well, seperti yang terpampang nyata pada judul, di film ini dia tidak sendiri. Tidak, jika Wade Wilson ingin dunia yang berisi teman-teman dan orang tercintanya selamat. Jadi ceritanya, universe atau timeline Deadpool akan segera menghilang, karena sudah tidak lagi stabil. Mainly, karena anchor-being nya, yakni Logan alias Wolverine sudah tiada. Oleh TVA – organisasi yang berwenang terhadap semua universe – Wade diberikan kesempatan. Atau mungkin tepatnya, pilihan. Wade bekerja untuk mereka, atau tetap tinggal dan ikut menghilang bersama seantero semestanya. Sebagai seorang Deadpool yang pada dasarnya liar – nakal – brutal, Wade memilih aksinya sendiri. Dia pergi lintas semesta, mencari Wolverine untuk dibawa ke semestanya. Tapi Wolverine yang didapatkan oleh Deadpool adalah Logan yang sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Keadaan semakin ribet bagi Deadpool karena TVA menganggap mereka berdua bikin kacau, sehingga dua superhero yang sikapnya berlawanan ini dibuang ke Void. Tanah buangan karakter-karakter yang tidak punya tempat di semesta manapun.

Da-da-da-da-talking to deadman

 

So yea, pada intinya ini film sebenarnya kisah buddy trip adventure. Dan kayaknya memang di antara karakter superhero komik, yang paling hits untuk dipasangkan, ya Deadpool dan Wolverine. Dari segi aktor aja, Ryan Reynolds dan Hugh Jackman udah sama-sama ikonik dan gak bisa lepas dari tokoh superhero komik mereka masing-masing. Mereka sama-sama kayak born to play these roles, gak kebayang kalo orang lain yang meranin Deadpool dan Wolverine. Plus, peran mereka ini punya history yang butuh untuk segera diperbaiki. Kita butuh interaksi Deadpool dan Wolverine yang bukan dari film X-Men Origins: Wolverine (2009)! Lalu dari segi karakter, dua superhero ini udah ngeceklis formula buddy trip dengan perfect. Dua tokoh sentral yang punya karakterisasi berlawan. Yang satu karakternya gak bisa diam, heboh, kurang ajar, bercanda melulu. Sementara satunya lebih pendiam, tapi bukan tenang juga, melainkan penggerutu, gak sabaran, dan di cerita versi ini, Wolverine-nya dibikin amat gampang ngamuk. Jadi adegan ‘bonding’ mereka kocak, karena akan meliputi banyak sekali berantem rated-R alias berdarah-darah. Yang jadi semakin seru karena kalo ada satu kesamaan dari mereka, maka itu adalah dua-duanya gak bisa mati. Dan itulah masalahnya. Wolverine dalam lore-nya sudah mati. Bagaimana menghidupkan dia kembali tanpa melecehkan kehormatan cerita sebelumnya? Well, di sinilah ketika MCU sudah menyiapkan jawaban yang menurutku, still merupakan sebuah pedang bermata-dua. Konsep multiverse itu sendiri.

Aku pikir, di sini tu mereka kayak sekalian ‘ngetes air’. Wolverine yang dihadirkan di sini adalah Wolverine yang diambil dari universe/timeline lain. See, konsep multiverse memungkinkan Disney untuk bisa ‘menghidup-matikan’ karakter, it doesn’t matter karena ada infinite versions of that character dalam multiverse mereka. Besok-besok bukan tidak mungkin Iron Man atau Black Widow yang dihadirkan kembali (yah, tergantung aktornya kapan mau ‘nostalgia’ aja) Sebagai  penggemar, kita akan happy-happy aja melihat superhero favorit kembali. Tapi secara cerita sebuah big picture – sebagai kesinambungan karena ini adalah cinematic universe – kita gak bisa deny bahwa konsep ini melemahkan stake. Ketika mati tidak lagi jadi resiko terbesar buat karakter, maka apa yang bisa kita pedulikan. Ketika journey mereka selesai lalu dimunculkan lagi – entah itu diulang atau completely different out of nowhere – bagaimana kita mengikuti.

Tapi setidaknya, film ini masih sanggup ngasih muatan cerminan paralel buat kedua tokoh sentralnya. Yakni sama-sama soal menjadi bagian dari tim. Deadpool masih kontinu dari dua filmnya sebelumnya. Dia pengen jadi bagian dari sesuatu. Di awal cerita kita dikasih lihat adegan kocak dia lagi interview, ceritanya lagi ngelamar jadi anggota Avengers. Pembelajarannya masih seputar bagaimana dia yang selfish jadi team player. Sama Deadpool-Deadpool dari universe lain aja dia susah akur hihihi.. Stake dihadirkan dari Deadpool harus berjuang demi keselamatan teman-teman universenya. Sedangkan Wolverine, kadang terasa lebih dramatis. Dia menganggap dirinya screw up, di semestanya teman-teman X-Men pada tewas, dan dia tidak ada di sana bersama mereka. Jadi Wolverine versi ini adalah orang yang mencoba to honor his fallen teammates dengan konflik dirinya merasa pantas untuk sendirian. Journey Wolverine ini ultimately akan mengarah kenapa dia terus memakai kostum kuning-biru yang norak. Menurutku ini merupakan penulisan yang cukup pintar dari film ini. Mereka berhasil membuat hal yang udah jadi kultural bagi fans – hal yang sudah lama dituntut oleh fans terkait Wolverine harusnya pakai kostum sesuai komik – menjadi aspek yang punya arti bagi si karakter itu sendiri.

Pada akhirnya mereka belajar untuk menjadi bagian dari satu sama lain. Bahwa tim bukan harus sesuatu yang besar. Tim cukup circle kecil orang-orang yang dipedulikan. Orang-orang yang ketika kita berjuang demi mereka, akan sama saja dengan berjuang untuk kita sendiri. Karena mereka akan melakukan hal yang sama untuk kita.

 

Bicara soal menjadi bagian dari tim; film ini kayak pengen bilang “Selamat datang” kepada para superhero dari Fox. Para superhero generasi awal di dunia sinematik, yang tentu saja sangat berbekas bagi kita semua. Film ini bukan hanya ngasih platform buat mereka-mereka agar bisa muncul lagi (dan ngasih kesempatan untuk mengakhiri kisah mereka), tapi juga ngajak mereka bermain-main dengan state genre superhero komik sekarang ini. Kayak ada dimunculin aktor yang meranin dua superhero Marvel yang berbeda karena tadinya beda studio. Ataupun juga dihadirkan karakter superhero yang belum kesampaian untuk difilmkan, sehingga castingnya juga nurut ke fan-casting. World-building film didesain untuk membahas itu semua. Gimana Void yang berupa padang tandus udah kayak dunia Mad Max berisi karakter-karakter atau bahkan konsep yang terlupakan. Gimana TVA udah kayak personifikasi dari Disney itu sendiri; mengatur IP Marvel mana masuk ke timeline mana, dan Deadpool semacam breaking the fourth wall mencari tempat untuk semesta dia. Dunia film ini exciting dan fun, tapi aku juga bisa melihat konsep begini dapat menjadi too much buat penonton casual. Babak awal film ini benar-benar struggle nyari pijakan supaya karakter-karakter superhero ini bisa ‘masuk’ ke dunia MCU.  Younger audience yang belum nyicipin era superhero Fox 2000an, malah juga bisa missing out kepada cerita dan candaan. Dan ini perlu dicatat oleh filmnya, bukan kesalahan penonton tersebut. Ketika munculin karakter, harus dibahas. Film ini punya villain menarik, tapi karena fokusnya kurang, jadi terasa kayak one-dimensional.

review deadpool & wolverine
Kinda hope ada Thor di Void, bodo amat copyright 

 

Sehingga jadi cukup terasa juga ada perbedaan antara Deadpool di bawah Disney ini dengan dua Deadpool sebelumnya saat masih di bawah Fox. Deadpool satu (2016) dan Deadpool 2 (2018) lebih terasa fokus ke cerita Deadpool itu sendiri, ke pengembangannya. Deadpool yang dulu kita puas ngakak melihat tingkah si mulut kasar. Film ‘cerewet’ oleh celetukannya yang kemana-mana. Pada film kali ini, yang cerewet nambah. Film lebih berisik oleh referensi. Oleh nostalgia. This is a great device to generate hoorah. Tapi di waktu yang sama, Deadpool ini jadi terasa lebih ‘jinak’. Mungkin karena basically di cerita ini dia transisi dari antihero berusaha menjadi superhero. Don’t get me wrong, film memang masih tepat menyandarkan aksi dan komedi dari betapa crude-nya Deadpool, kayak dia gunain ally sebagai shield dari berondongan peluru – dengan konteks yang udah dibuild up dia pengen merebut anjing peliharaan dan pistol milik si ally. Kreatif dan kocaknya malah mungkin agak peningkatan dari film kedua. Afterall, ini adalah film yang dijual Disney tetap sebagai rated R. Tapi kiprahnya sebagai film meta itu sendiri yang terasa lebih jinak, dan lebih contained sebagai fan-service aja.

Film Deadpool pertama dijual sebagai film untuk merayakan valentine, film romantis kata si Deadpool. Dan kemudian kita diberondong oleh hal-hal crude dan brutal. Kocak. Film kedua, Deadpool bilang ini film keluarga. Dan sama, muatan keluarganya kuat, tapi hal-hal liar bukan konsumsi anak-anaknya juga tak kalah meriah. Film ketiga ini kayak cuma punya aksi brutal. Sementara singgungan yang sempat dilontarkan Deadpool terhadap konsep multiverse itu sendiri, kurang terasa nendang karena film ini tetap bersandar kepada multiverse sebagai fasilitas mereka menciptakan referensi dan nostalgia. Film ini seperti pengen merobohkan konsep multiverse, tapi gak jadi. Sehingga hampir seperti status quo film ini dan karakter-karakternya antara awal dan akhir, sama. Misi filmnya cuma kayak, mari hidupkan kembali Wolverine. Kinda underwhelmed kalo tadi niatnya mau meluaskan jagat sinematik dengan superhero-superhero ikonik, kan.

 




Nonton ini buatku teringat excitednya nonton wrestling jaman 2000an, saat WWE membeli WCW dan ECW. Ngeliat superstar ikonik dari brand sebelah muncul satu persatu dan bergulat di ring WWE, menghasilkan kombinasi pertandingan yang dulu hanya bisa dibayangkan. Ngeliat Deadpool, Wolverine, dan superhero Fox 2000an lain di dunia Marvel Avengers, rasanya begitu, Excited. Story buddy tripnya juga seru, benar-benar showcasing hal yang membuat Deadpool dan Wolverine itu ikonik. Makin mengundang excitement, Deadpool dengan konsep metanya paling cocok sebagai ‘tempat’ untuk celetukan menyambut dan bikin kisah tentang penggabungan semesta superhero ini. Film ini seperti cerdas dengan celetukan dan candaan tersebut. Tapi ternyata sampai akhir, gak ada yang terasa benar-benar sebuah tendangan. Film ini justru kayak Deadpool paling ‘jinak’.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL & WOLVERINE.

 

 




That’s all we have for now.

Pasangan superhero Marvel mana lagi yang menurut kalian seru kalo dipasangkan, atau malah diversuskan?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THELMA Review

 

“Be strong enough to stand alone, smart enough to know when you need help, and brave enough to ask for it”

 

 

Sebagaimana jatuh cinta bukan cuma milik anak muda, petualangan atau malah action balas-dendam pun ternyata juga tidak punya batas kadaluarsa. Ini hanya soal takarannya saja. Karena aksi di usia senja tentu saja bukan kebut-kebutan ataupun tembak-tembakan melawan penjahat. Josh Margolin yang menggarap kisah ini  sebagai persembahan untuk neneknya tercinta (dari adegan pas kredit kita lihat ada momen di film yang dia ‘adaptasi’ langsung dari momen bersama neneknya in real life), tahu persis takaran tersebut. Thelma dijadikannya comedy-action tapi bukan yang over-the-top, melainkan yang grounded. Ingat kemaren pas review How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) kita make a point soal nenek cenderung lebih sayang kepada cucu? Nah, pada film Thelma kita akan menemukan jawaban kenapa.

Smartphonenya berdering, Nenek Thelma yang hidup sendiri di rumahnya meninggalkan tenunannya untuk mengangkat. Suara di seberang mengatakan bahwa cucunya sedang di kantor polisi dan dia butuh uang untuk bayar pengacara segera. Naluri keibuan – atau kenenekan – Thelma menghalanginya dari menyadari bahwa telepon itu cuma scam. Penipuan ala ‘mama minta pulsa’. Dari cara film menggambarkan sekuen tersebut, aku langsung ke-hook. Ketika Thelma langsung ke pos buat ngirim duit, kita gak marah ataupun menyalahkannya karena ngelakuin hal yang against our common logic. Malahan kita dibuat memahami ‘kepolosan’ Thelma sebagai nenek. Kita jadi mengerti kenapa penipuan seperti itu bisa terus memakan korban. Apalagi, kedekatan Thelma dengan Daniel, cucunya yang suka datang ke rumah bantu ini-itu, ngajarin makek komputer ataupun main Instagram, sudah dibuild up sebelum kejadian ini. Sekalipun ada yang lucu, misalnya dari gimana si pelaku memancing nama cucunya, kita tidak tertawa dengan nada meledek. Aku baru meledak ngakak saat melihat reaksi Daniel bersama ayah dan ibunya yang awalnya berusaha lapang dada dan bersyukur Thelma gak kenapa-kenapa, tapi langsung ‘serius’ begitu tahu ada duit yang melayang. Dan saat Thelma diam-diam memutuskan untuk pergi sendiri mengambil kembali uang tersebut ke alamat yang sudah ia buang, satu keluarga itu jadi panik mencari nenek yang mendadak hilang,

I also laughed saat Thelma curhat tapi kemudian terbayang lagu yang ada di film Jackass

 

Inspirasi Thelma untuk beraksi sendiri adalah Tom Cruise dalam film Mission Impossible-Fallout yang ia tonton bersama Daniel tempo hari. Thelma dikasih tau Daniel kalo Tom Cruise melakukan sendiri semua aksi di film tersebut. Dan ini menggugah Thelma, yang di balik karakter nenek-neneknya yang ramah, hangat, dan pengertian punya satu flaw yaitu: pantang minta tolong. Premis tersebut terdengar lucu, tapi film berhasil menyuntikkan hati ke dalamnya, dan terus mengembangkan cerita dengan grounded dari sini. Inilah yang menjadikan film punya daya tempur drama yang kuat di balik action ataupun komedinya. Lewat perspektif seorang nenek penyayang yang selama hidupnya mandiri, film memberikan gambaran yang kuat dari gimana rasanya saat benar-benar menyadari diri telah menua, telah benar-benar sendiri karena teman-teman satu-persatu pergi. Gimana rasanya kita yang tadinya bisa semua, kini dianggap tidak mampu dan perlu dijaga. Ketika dianggap seperti bayi lagi. Ada satu momen yang powerful banget, yaitu ketika Thelma mendengar keluarga Thelma (Daniel dan orangtuanya) di ruangan sebelah lagi ngomongin dirinya, dan  Thelma – tidak suka mendengar ‘kenyataan’ bahwa keluarga perlu untuk membantunya lebih sering – mencopot alat-bantu dengar dari telinganya.

Naskah sangat imbang, serta begitu kaya perspektif pendukung. Setidaknya ada dua relationship penting yang terjalin dan development Thelma sebagai karakter datang dari sana. Pertama, tentu saja dengan cucunya, Daniel, yang kelihatannya baru menginjak usia dua-puluhan.  Daniel ini jadi pendukung yang penting, bukan semata karena karakter ini adalah tokoh yang mewakili sang sutradara di kehidupan asli (again, film ini diangkat Josh dari dan untuk neneknya, Thelma Post yang asli), melainkan juga karena Daniel dibikin cerminan paralel dari Thelma. Daniel sedang ada di titik dirinya dianggap screw up oleh keluarga – he doesn’t have job, urusan pacaran pun masih ‘usaha’, dan sekarang nenek hilang di bawah pengawasannya. Daniel jadi sama seperti Thelma yang dianggap gak mampu sehingga mulai menyalahkan diri dan berusaha membuktikan sebaliknya. Mungkin inilah kenapa nenek dan cucu lebih dekat kepada satu sama lain, ketimbang dengan anak atau orangtuanya sendiri. Karena nenek dan cucu berada di posisi yang serupa. Yakni posisi yang oleh orang dewasa/orangtua, dianggap tidak capable ngelakuin hal sendirian, alias apa-apa perlu dibantu. Diawasi. Diurusi. Dan lucunya deep inside mereka juga meyakini pandangan tersebut terhadap masing-masing, sehingga mereka jadi dekat karena nenek ingin buktikan diri capable dengan mengurusi cucunya, sedangkan cucu ingin buktikan diri dengan membantu neneknya.

Kedua; relationship Thelma yang penting adalah dengan Ben, temannya yang ada di panti jompo. Untuk pergi mencari alamat di daerah Los Angeles yang cukup jauh, Thelma butuh kendaraan. Dia ingat Ben punya skuter. Jadi dia pergi ke panti jompo tempat Ben berada untuk meminjam skuter tersebut. Hanya untuk skuter, tegas Thelma. Tapi Ben memaksa untuk ikut sehingga jadilah pertengahan film ini jadi dua-story; antara Daniel dan orangtuanya yang mencari Thelma, dan Thelma dan Ben yang bertualang mencari alamat pakai skuter yang gak seberapa cepat dan harus dicas. Peran Ben di sini adalah sebagai counter, sebagai voice of reason yang menyadarkan Thelma dari flawnya tadi. Karena Ben adalah lansia yang nyaman dibantu. Tidak seperti Thelma, panti jompo bukan kurungan bagi Ben. Karena Ben tidak pernah menampik di usia sekarang, orang-orang seperti mereka memang perlu untuk sering dibantu.

Menjadi tua dan perlu bantuan itu bukanlah hal yang memalukan. Tentu, kita semua perlu untuk belajar mandiri. Untuk capable sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi tidak kalah pentingnya bagi kita untuk tahu dan mengakui batas diri. Untuk tahu kapan harus meminta tolong. Karena di dalam hidup, sebagai makhluk sosial, sudah kodratnya untuk kita tidak harus melakukan apa-apa sendirian.

 

Penampilan akting dari para pemain juga sukses membuat film ini terasa tambah genuine. Nenek-nenek dalam film biasanya ada dua tipe. Nenek cerewet, dan nenek yang lovebombing ngasih apapun untuk cucu. Tapi keduanya memang sama-sama perhatian. Thelma-nya June Squibb seperti ada di tengah-tengah. Dia seperti nenek semua orang, kadang bikin sebal karena ‘mada’ alias gak mau diurus alias punya flaw agak keras kepala khas senior. Dia bisa tegas dan nyelekit, tapi most of the time Thelma dihadirkannya penuh kehangatan dan ya, kepolosan khas nenek-nenek yang berusaha up-to-date sama dunia. Humor-humor kecil (tapi telak) sering datang dari pembawaan ‘polos’ Thelma. Running gag seperti nenek yang merasa kenal sama semua orang di jalan, menghiasi cerita. Richard Roundtree dalam peran terakhirnya (rest in peace) sebagai Ben pun menyumbang pesona kharismatik tersendiri. Tepatnya, pesona kakek-kakek sebagai teman sejati, yang selalu ada di sana betapapun kurang-ngertinya dia dengan situasi. Sementara itu, Fred Hechinger sebagai Daniel, tuntas pula sebagai perwakilan anak muda – karena kita, seperti dia, harus belajar respek the elder sementara deep inside bergulat dengan menyongsong masa tua sendiri nantinya. Apakah kita mampu? Enggak ada karakter yang annoying di sini. Not even ayah dan ibu Daniel yang kaku dan rempong. Bahkan ‘villain’nya, si tukang scam, dibuat paralel dan penting juga (bisa dibilang ini adalah relationship penting ketiga pada cerita). Untuk gak bocorin banyak, villain ini juga old-man dan juga butuh bantuan.

Cool guys don’t hear explosions

 

Film ini cocok banget ditonton maraton, dijadiin dobel feature dengan How to Make Millions Before Grandma Dies (2024). Kita akan bisa melihat nenek dengan keluarganya dari perspektif lain, yaitu dari si nenek itu sendiri. Kalo mungkin kalian kurang cocok sama drama emosional film tersebut, Thelma yang lebih ringan sebagai comedy-action mungkin bisa jadi alternatif. Comedy-action ini ranah yang rawan. Akan gampang sekali bagi film ini untuk jadi over-the-top, jadi konyol dengan komedi dan aksinya. Tapi gak sekalipun Thelma melewati batas grounded tersebut. Bukan nenek-nenek itu yang dibawa ke dunia aksi. Melainkan aksinya yang diconvert ke dunia nenek-nenek. Film ini paham, bagi karakter seusia Thelma, tindakan yang tergolong memacu adrenalin itu adalah hal sesimpel (bagi kita loh!) operasikan komputer. Di mana letak X nya. Stakenya pun gak perlu muluk. Bagi seusia Thelma tersandung barang berantakan di lantai toko aja sudah demikian membahayakan. Kalo ini settingnya di Indonesia, lantai kamar mandi bisa jadi villain kedua tuh pasti. Meski begitu, seperti halnya premis yang gak shy away dari sedikit meminta kita untuk menahan our logic dan disbelief, film ini pun gak ragu untuk nampilin pistol dan ledakan, yang tentu saja sebagian besar dimanfaatkan untuk komedi properti, ketimbang digunakan properly.

 




Makanya bagiku film ini adalah kejutan yang menyenangkan, lagi menghangatkan. Aku gak nyangka film dengan premis konyol dan situasi kontras action nenek-nenek ini ternyata dikembangkan dengan grounded dan in a mature way, dan hasilnya ternyata gak kalah menyentuh dengan sebuah drama. Yang jelas, hubungan antara nenek dan cucunya berhasil tersampaikan dan terasa personal. Gambaran tentang bagaimana kita bersikap terhadap orang yang jauh lebih tua, tentang gimana perasaan mereka, tetap berhasil sampai ke kita di balik kekehan tawa yang vibe komedinya ke mana-mana. Ternyata memang, seperti halnya umur hanyalah angka, genre juga hanyalah bungkus. Hati cerita tetap nomor satu, dan itulah yang diusahakan sepenuhnya oleh film yang memang sangat personal bagi pembuatnya ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THELMA.

 

 




That’s all we have for now.

Aku baru tau ternyata fenomena penipuan kayak ‘mama minta pulsa’ atau ‘anak bapak ada di penjara’ ini ternyata santer juga di Amerika sono. Bagaimana pendapat kalian tentang penipuan kayak gini, mengapa sampai bisa terjadi?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



JURNAL RISA BY RISA SARASWATI Review

 

“Words have meaning and names have power”

 

 

Jurnal Risa merupakan nama channel YouTube milik Risa Saraswati yang begitu populer oleh konten dokumentasi penelusuran horor. Risa Saraswati sendiri adalah seorang musisi, penulis buku, yang claimed memiliki kekuatan supranatural mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib. Cerita-cerita hantu Risa telah banyak menginspirasi skena horor kita, dan sekarang film berjudul Jurnal Risa by Risa Saraswati ‘didokumentasikan’ oleh Rizal Mantovani, membawa kisah Risa dan timnya menangani kasus hantu arwah leluhur yang namanya tidak boleh disebut, dari YouTube ke layar lebar. Ya, nama tampak seperti sebuah ‘tema yang penting’ di sini. Apalagi di zaman perkontenan, nama sama saja dengan sebuah branding yang kuat. Maka ketika Jurnal Risa yang begitu populer sebagai channel konten mistis dari kreator yang dipercaya punya kekuatan cenayang diangkat ke layar lebar lengkap beserta kru dan gimmick ataupun kayfabenya, pertanyaan yang menggelayut adalah: Apakah masyarakat penontonnya mampu untuk menyematkan nama yang benar terhadap tontonan ini. Apakah (terutama bagi penonton) ini adalah mokumenter, atau dokumenter?

Kenapa hal tersebut jadi concern buatku? Karena film sebagai media, juga sama powerfulnya dengan sebuah nama. Tapi juga sebagai seni, film bersifat bebas; tidak perlu menjelaskan dirinya kepada penonton. Aku ngerti, sama seperti WWE, pada film ini, ada ilusi atau kayfabe branding yang harus dijaga lewat gimmick-gimmick atau konsep. Jurnal Risa by Risa Saraswati ini bahkan sampai mengganti ‘directed by’ menjadi ‘documented by’ supaya kesannya seperti beneran dokumenter. Dan storytellingnya juga sama persis gaya channel YouTube-nya. Risa Saraswati memerankan dirinya sendiri. Bersama kru, yang sebagian besar juga keluarganya yang pada punya kekuatan supranatural juga, Risa ceritanya mengadakan uji nyali untuk konten. Tapi salah satu peserta, seorang influencer bernama Prinsa sompral dan menyebut-nyebut nama hantu yang terlarang untuk disebutkan. Ini nama terlarang sepertinya juga sudah terbuild up dari channelnya, loh. Konflik pada film ini adalah si hantu, Samex, beneran merasuki Prinsa, dalam lima hari akan ngetake over dirinya, maka Tim Jurnal Risa harus membawa Prinsa ke kampung halaman Samex. Dan untuk membuatnya personal, Samex ternyata adalah Uwa’ alias tetua dari Risa sekeluarga.

Ada yang berani panggil namanya, tiga kali aja?

 

Sebenarnya ada bedanya. It’s one thing membuat film kita tampak begitu real, konsep realismnya dibuat sedemikian sukses, didukung oleh penceritaan yang imersif, sehingga penonton bertanya-tanya ini sungguhan atau tidak. Seperti keberhasilan The Blair Witch Project (1999), horor orang hilang di hutan yang sengaja dirilis dengan minim informasi, konsep found footage yang begitu raw, sehingga penonton saat itu merasa film ini begitu misterius sehingga disangka asli. But it’s completely another thing jika ilusi tersebut hanya disandarkan kepada kepercayaan base-penonton terhadap brand atau persona (sosok maupun channel). Like, WWE tidak pernah menjual dirinya sebagai sport, melainkan sebagai sport-entertainment. Olahraga-hiburan. Penonton acara tersebut percaya Undertaker punya kekuatan supranatural, sekaligus juga tahu Undertaker ‘aslinya’ adalah karakter yang diperankan oleh Mark Calaway, manusia biasa yang tentu saja tidak bisa memanggil petir dengan tangannya. Sebaliknya pada Jurnal Risa by Risa Saraswati, ada yang aku khawatirkan bisa jadi confusion. Film ini mempersembahkan dirinya sebagai mokumenter adaptasi dari dokumenter YouTube (yang fenomenal)

Istilah mokumenter maupun dokumenter itu sendirinya, juga merupakan sebutan atau nama, yang penting untuk dipahami oleh penonton, supaya bisa mengenali apa yang sedang mereka konsumsi. Basically dokumenter berarti film yang menelusuri atau mendokumentasikan peristiwa atau hal yang nyata. Sementara mokumenter, berasal dari gabungan kata ‘mock’ dan ‘dockumentary’, yang lantas berarti sebuah dokumenter ‘palsu’. Dokumenter yang mengisahkan peristiwa rekaan. Jadi jika kita bawa kepada istilah yang dipakai film ini untuk menjual dirinya tadi, berarti; film ini adalah kisah dokumentasi not-real yang diadaptasi dari dokumentasi real. Sebenarnya jelas, penyebutan ini cuma langkah berbelit yang dilakukan film untuk berkelit dari menyebut langsung bahwa kisah mereka cuma fiksi, demi melindungi branding atau ilusi siaran YouTubenya yang sudah terbangun. Akan tetapi,  beberapa penonton yang belum sedemikian melek literasi filmnya, akan bisa ‘salah kaprah’ menganggap ini nyata. Dan eventually bagi penonton-penonton ini akan bisa jadi kabur makna film dokumenter yang sebenarnya.

Apalagi tanpa diimbangi dengan penceritaan yang mendukung. Menggunakan konsep yang persis dengan di YouTubenya; karakter yang memerankan ‘diri sendiri’. Mereka menelusuri misteri, membantu orang yang dimasuki hantu. Film ini hanya seperti konten YouTubenya dengan durasi yang lebih panjang. Enggak kerasa strukturnya sebagai ‘film’ itu sendiri. Sebagai film, Jurnal Risa by Risa Saraswati adalah mockumentary bergaya found footage horor. Adegan-adegan yang kita lihat adalah tangkapan dari kamera yang digunakan oleh karakter. Basically ini kan sama aja kayak Keramat 2 (2022). Hanya saja di film itu kita langsung tahu itu mokumenter karena walaupun para aktor menggunakan nama asli mereka, kita paham mereka hanya memainkan karakter. Lutesha jadi Lutesha si Cenayang, Umay jadi Umay si YouTuber. Itu karena sebagai karakter mereka memang punya plot, punya penulisan, dengan motivasi, cela, aksi, pilihan, dan sebagainya. Ceritanya tersusun menjadi bangunan dengan struktur sinematik. Jurnal Risa the Movie ini, gak punya ini. Sebenarnya ‘film’ ini tidak lulus untuk disebut sebagai film.

Menggunakan nama yang benar kepada suatu hal, memang adalah hal yang begitu penting. Karena nama membawa identitas bukan saja untuk orang lain, tapi juga mengingatkan kita kepada diri sendiri. Makanya Dumbledore selalu menekankan kepada penyihir yang lain untuk memanggil Voldemort dengan nama aslinya. Bukan dengan nama samaran yang menambah kemistisan dan akhirnya semakin membuat mereka takut kepadanya. Makanya di film-film horor, penting bagi karakter untuk mengetahui nama setan yang mereka hadapi. Di film ini, Risa memang takut menyebut nama Samex, tapi solusinya tetap mengarah yang sama – kenali dia dari tempat asal mulanya.

 

Risa saja, yang harusnya adalah karakter utama, gak ikut ke mana-mana, Tidak mengalamin apa-apa. Tidak ikut menjaga Prinsa yang ketempelan. Melainkan cuma muncul sebentar mendemonstrasikan kemampuannya melihat atau berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, lalu kadang juga jadi narator mengisahkan perjalanan ataupun bahaya, yang ditempuh oleh timnya. Tidak ada plot, melainkan cuma misteri siapa Samex (dan maybe ‘misteri’ kenapa banyak yang susah banget nyebut nama Prinsa) Soalnya Prinsa juga tidak digali, padahal sepertinya background-nya menarik, easily cerita bisa dikembangkan dari sini. Tapi enggak. Naskahnya gabut. Tim Risa yang actually terjun untuk ‘beraksi’ pun cuma berdiri di sana, dengan tampang tegang sepanjang waktu. Film ini serius banget. Seandainya kru atau keluarganya yang banyak itu hadir sebagai karakter dengan personality masing-masing (bukan cuma nampang dengan ekspresi ‘tempat ini menyeramkan’) film ini bakal lebih hidup. Heck, I would gladly take it kalo misalnya dibikin mereka punya ability masing-masing. Lucunya, sama seperti kita yang menonton, Risa dan timnya juga cuma menonton ahli paranormal lain, atau orang desa berusaha menolong Prinsa. Pokoknya mereka cuma punya one job, antara ketakutan atau kesurupan, dan itupun aktingnya atrocious semua. Gak ada yang meyakinkan. Sampai-sampai aku second guessing myself, ‘Aktingnya begini jangan-jangan sebenarnya memang gak ada yang nganggap ini dokumenter asli?’

“Izinkan saya membersihkan kamu” sounds so perverse

 

Sebagai found-footage horror, film ini juga not good. Karena arahannya sama sekali gak peka pada momen-momen mana yang bisa dimainkan ke dalam konsep rekaman footage tersebut. Momen mereka menjaga Prinsa di rumahnya sendiri, misalnya, Kalo sutradaranya gercep ama konsep ini, pasti akan ada adegan dari rekaman cctv atau kamera yang dipasang di kamar Prinsa. Di film ini, lucu sekali, karena kamera dipasang di tempat para kru bobo’ di ruang tamu. Dan kamera-kamera itu, treatment-nya semua sama. Tidak ada estetik khusus yang membedakan kameranya, ataupun yang membuat kita ingat bahwa yang kita lihat itu adalah gambar tangkapan dari karakter yang di belakang kamera. Gambarnya jadi tidak natural, dan justru lebih terlihat seperti settingan (I was third guessing myself “masa iya ada yang percaya ini asli!?”) Bahkan jumpscare-jumpscarenya yang banyak itupun, kita tahu dan sudah siap-siap ‘menyambutnya’. Dengan kata lain, arahan horor filmnya masih sangat basic. Hanya untuk kaget-kagetan, dan less about menciptakan tension ataupun situasi yang mencekam. Lihat saja pas adegan mereka uji nyali. Padahal itu kesempatan main-main dengan suasana horor, tapi belum bangun apa-apa, film udah langsung ancang-ancang untuk jumpscare aja. Ketika mereka masuk ke dunia lain, sebenarnya lebih menarik, horornya mulai menggunakan hantu-hantu di-background, suara-suara, peristiwa-peristiwa ganjil, ada juga yang kayak experience masuk rumah hantu. Cuma sayang sekali terlalu singkat untuk kita nikmati

 




Mungkin prestasi terbaik film ini adalah bikin faux documentary yang paling narsis sedunia akhirat. Karena memang tidak ada yang terasa dicapai oleh ceritanya selain ya membawa kiprah Risa dan timnya ke layar lebar, sebagai diri mereka sendiri – as seen on their YouTube. Sedangkan secara objektif sebagai film, this is a really bad one. Tapi kalo kalian suka, ya silakan saja, bergembiralah menontonnya. Harapanku cuma, kekhawatiranku penonton confused ini sebagai dokumenter tidak terjadi. Semoga sama seperti aku dan para penggemar WWE, penggemar film ini tahu apa yang sedang kita sukai, dan menikmatinya totally sebagai hiburan. 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for JURNAL RISA BY RISA SARASWATI

 

 




That’s all we have for now.

Sebenarnya aku bukan orang yang skeptis. Aku lebih senang memilih untuk percaya pada horor, asalkan dibuat dengan baik. Menurut kalian, kenapa konten-konten horor seperti Jurnal Risa banyak digemari? Apa karena horornya, atau karena horornya dianggap nyata?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SEKAWAN LIMO Review

 

“It is not the mountain we conquer, but ourselves”

 

 

Sekawan Limo punya arti dua. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai lima sekawan. Sedangkan dalam bahasa Jawa, basically artinya empat-tapi-lima. Judul tersebut memang klop membawa ruh cerita yang tentang persahabatan dari sekelompok anak muda yang naik gunung yang dibalut oleh elemen horor, karena salah satu di antara mereka adalah demit atau hantu. Bayu Skak dalam penyutradaraan horor pertamanya ini memang bermain-main dengan mitos ataupun anekdot-anekdot horor yang dikenal masyarakat, terutama orang Jawa Timur dan orang yang hobi naik gunung. Pun begitu, lewat pesannya, film ini juga punya implikasi yang menurutku cukup bikin sedih terkait orang-orang yang datang ke gunung, lalu hilang.

Pada cerita kali ini, Bayu juga kembali ikut main peran. Sebagai Bagas. Protagonis cerita, yang pergi naik Gunung Madyopuro bersama teman kampusnya, Lenni. Biasalah anak muda, pengen nembak demenannya di puncak. Pas sun set/rise. Tapi karena dua mahasiswa ini baru pertama kali naik gunung, mereka gak tau kalo di gunung banyak pohon cemara, eh salah, ada aturan-aturan. Gak boleh noleh ke belakang, harus naik berkelompok – dan gak boleh berjumlah ganjil. Maka Bagas dan Lenni bergabung bersama dua pendaki lain, Dicky yang ngakunya Mapala dan tahu jalan. Serta Juna yang – kasian banget – ditinggal oleh kelompoknya. Di perjalanan, mau tak mau mereka harus nambah anggota satu demi melihat pendaki bernama Andrew tergeletak kelelahan. Setelah itulah, satu persatu kelompok mereka mulai diganggu demit. Bagas, yang tak tahu, gebetan dan teman-teman seperjalanannya itu diam-diam punya beban masa lalu yang berat, mulai curiga ada demit di antara salah satu dari mereka; demit yang mengundang semua kejadian aneh itu kepada mereka semua.

Bawaan teman-temannya lebih berat daripada tas Bagas yang katanya gede karena bawa orang sekampung

 

Sebelum bahas Bagas dan kengkawan di hutan, aku mau point out dulu yang pertama menarik perhatianku. Yakni setting podcast yang membungkus cerita. Jadi petualangan Bagas di hutan itu ceritanya, diceritakan kembali oleh Bagas yang diundang sebagai bintang tamu di acara podcast. Film ini dibuka di studio podcast tersebut. Aku nontonnya, wuih ini udah kayak Late Night with the Devil (2024) nih, bedanya film itu settingnya acara live talk show televisi. Aku penasaran, mau dibawa ke mana nih setting ini oleh Sekawan Limo. Apakah nanti Bagas akan ada konflik dengan lawan bicara yang skeptis, atau bakal ada pertunjukan hantu ‘beneran’ kayak di horor karya sineas Australia tersebut, apa gimana. Dibandingkan demikian, Sekawan Limo ternyata memang tidak menggunakan setting studio podcast (live?) nya sebagai device horor atau drama seperti film tersebut. Melainkan difungsikan lebih untuk sarana penyampai komedi. Sesekali kita berpindah dari kejadian di hutan kembali ke studio saat dua host podcastnya memantik kelucuan dari reaksi dan komentar mereka terhadap cerita Bagas. Kadang terasa dua host ini seperti perpanjangan dari reaksi kita, kadang juga mereka seperti ikut memancing pandangan kita soal siapa yang hantu di antara kelompok Bagas, tapi sering juga mereka ya komedi aja. Sampai-sampai aku jadi gak yakin apakah karakter mereka yang host itu cuma pura-pura konyol supaya perbincangan terdengar menarik oleh pendengar, atau memang karakter mereka memang didesain sekonyol itu beneran.

Mungkin memang mereka sekadar lucu-lucuan, karena toh daging sebenarnya ada pada kelompok Bagas di hutan. Sungguh sebuah grup yang ‘colorful’ kalo boleh dibilang. Mereka mungkin gak semuanya likeable. Tapi mereka tetap menarik, karena sesungguhnya mereka baru kenal – kecuali Bagas dengan Lenni – tapi kita bisa merasakan perlahan mereka ya jadi kayak teman. Lengkap dengan saling ejek dan saling berdebat. Ini yang bikin mereka konek ke penonton. Dinamika mereka, interaksi mereka. Cowok yang hobi naik gunung pasti pernah punya modus ngajak cewek ke gunung kayak Bagas ke Lenni.  Aku pun relate juga sama Lenni, yang walau gak bisa bahasa Jawa, tapi kalo diajak ngomong ngerti. Aku juga gitu kalo udah urusan bahasa Sunda ataupun bahasa Jawa itu sendiri, kalo ada circle teman-teman dari sana, ya aku angguk-angguk ngerti tapi kalo ikutan nyeletuk ya keluarnya bahasa Indonesia. Begitulah. urusan bahasa yang digunakan, sepertinya ini jadi icing on the cake dari gaya humor film ini. Bahasa dan gaya khas pergaulan Jawa Timur itu bukannya jadi penghalang, namun jadi pesona tersendiri, dan film ini paham bagaimana menempatkan ‘suara-suara’ ini.  Dialog-dialog lucunya, misalnya. Film memang terbuild up ke tebak-tebak siapa yang hantu di antara mereka, dan untuk nyamarin ‘jawaban’ itu, film ini kinda bersandar kepada joke yang becandain fisik (borderline rasis maybe). Like, ada yang diledek karena jelek kayak hanoman, misalnya. Tapi di situ jugalah relatenya.  Karena kita belum bisa dibilang temenan akrab sama orang, kalo belum bisa saling hina, saling becanda. Film ini nunjukin terjalinnya persahabatan dari sana, di samping juga dari adegan emotional yang bakal datang di babak tiga.

Yang sebenarnya agak aneh justru journey Bagas sebagai karakter.  Aneh, dalam sense film ini punya langkah untuk berkelit around posisi aneh karakter utamanya tersebut. Bagas memang bakal menyadari satu pembelajaran (yang serunya diambil sebagai pemaknaan dari larangan mitos naik gunung), akan tetapi, teman-temannya-lah yang harus ngepush diri dan mental mereka untuk ikut menyadari dan mengambil aksi terhadap penyadaran tersebut.  Sementara Bagas sudah berdamai dengan pembelajaran tersebut bahkan sejak cerita dimulai. Kayaknya jarang nemu film dengan naskah yang memperlakukan karakter utamanya di posisi begini. Dibilang lemah karena karakternya gak ada plot/gak berubah, ya enggak juga. Tapi dibilang dia yang ngalamin, ya enggak, teman-temannya yang harus menuntaskan masalah mereka masing-masing. Bagas ada di sana, untuk mengingatkan mereka saja. Film juga berusaha memainkan posisi Bagas ini sebagai hal yang membuat karakternya somewhat suspicious. Bagas yang gak diganggu hantu, jangan-jangan dialah hantu di grup mereka tersebut.

Inside Out if it was filmed in my mind.

 

Justru sekarang, ruang berkelit kita-kita sebagai pengulas yang jadi sempit. Susah untuk enggak menyenggol spoiler, ketika justru revealing-nya itu tempat makna, gagasan utama, dan pesan cerita berada, dan film memutar diri untuk sepenuhnya bersandar kepada revealing tersebut sebagai momen dramatis. Makanya aku gak mau bahas banyak soal ‘jangan melihat ke belakang’ tersebut. Aku justru ingin fokus ke implikasi yang sama menyedihkannya. Yaitu di awal film, saat masih di pos depan, Bagas dan Lenni melihat banyak sekali foto-foto pengunjung/pendaki yang hilang di gunung. Mereka sendiri juga bakal ngerasain gimana seramnya tersesat di gunung dan bisa dibilang nyaris hilang juga. Tapi mereka resolved their problems. Sesuatu yang tidak berhasil dilakukan oleh korban-korban yang hilang tersebut. Sedihnya tu di sini: Berarti banyak banget pendaki yang naik gunung dengan bawaan masa lalu yang berat banget seperti karakter film ini, dan bahkan mungkin sebagian dari orang yang hilang itu seperti Lenni, yang sengaja naik gunung buat mengakhiri capek dirinya.

Makanya gunung sering jadi simbol entah itu pencarian menemukan diri, ataupun ya tempat mengadu saat hati galau. Bukan hanya sebagai tempat romantis untuk nembak cewek. Gunung  bisa jadi tempat entah itu kita berhasil menemukan kembali diri, atau jadi tempat terakhir. Yang kita lalukan saat mendaki gunung, bukanlah menaklukan gunung tersebut, melainkan menaklukkan diri kita sendiri. Berdamai dengan diri kita sendiri

 

At best, film ini dengan narasi ‘jangan menoleh ke belakang” tersebut bisa berfungsi sebagai semangat untuk tidak lari dari masala(h)lu. Bahkan mungkin bisa jadi cerita asli Indonesia yang anti-suicide (serta yang duluan muncul sebagai film anti-judi online!). Pesan film ini baik sekali. Meskipun, cara penyampaiannya masih bisa diperdebatkan lagi. Menurutku, film ini mengambil jalur yang repetitif dalam mencapai puncaknya tersebut. Bagas punya empat teman dengan masalah masing-masing, berarti ada empat kali ‘metoda’ yang sama kita lihat dilakukan oleh film dalam menceritakan penyadaran karakter-karakter tersebut. Alhasil film ini memang punya nada emosional positif yang tinggi menjelang akhir tersebut, tapi karena diceritakannya hanya bergantian, jadinya repetitif sehingga tempo agak drag mencapai ke penutup cerita – yang sekali lagi setting podcast dimunculkan, kali ini difungsikan sebagai sarana konklusi romantis yang manis, meski tetap lanjut dengan vibe horor komedinya.

 




Bahan-bahan racikan film ini sebenarnya bagus. Memadukan misteri, horor hantu-hantuan, dan komedi persahabatan dengan pamungkas emotional note yang tinggi. Belum lagi konsep naik gunung dengan segala mitosnya (termasuk mitos kedaerahan seperti penanggalan Jawa). Urusan bahasa, udah gak jadi soal. Penonton kita kayaknya gak peduli language barrier (gak kayak penonton Amrik sono yang baca subtitle aja males-malesan). Bahasa justru jadi identitas dan pesona tersindiri yang memperkaya perbendaharaan penonton. Cuma memang penceritaannya agak kikuk. Yang masih bisa dimaklumi terjadi ketika sebuah film mengusung banyak konsep, seperti di sini ada setting podcast juga, ada desain ke membuat penonton menebak-nebak, ada demit ‘beneran’ dan demit ‘masa lalu’. Dan ada empat orang – setidaknya – yang harus digali (bukan hanya pada akhir tapi juga basically sepanjang durasi), sementara ada satu protagonis utama yang juga harus dicuatkan. Film ini kebetulan mengambil jalur ‘aman’ yang repetitif, resulting ke tempo yang lebih draggy, alih-alih potong kompas alias lebih ‘garang’ di arahan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEKAWAN LIMO

 

 




That’s all we have for now.

Kalian punya pengalaman naik gunung yang seru – dan kalo bisa horor – gak?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL