MULAN Review

“You’re created not to conform”
 

 
 
Mulan adalah seorang anak yang gesit. Berani. Dia jago bela diri. Kekuatan chi-nya tergolong kuat, selevel dengan kekuatan seorang warrior. Namun Mulan tidak membuat orangtuanya bangga. Karena ada satu masalah. Mulan ini ‘cah wedok!
Anak cewek gak pantes lari-larian ngejar ayam di atas genteng. Kata ibunya, anak cewek ngasih kehormatan bagi keluarganya ya dengan bersikap lemah lembut, anggun, elegan, kalem, sopan, dan patuh, supaya kalo udah gede bisa langsung dijodohin. Bukan dengan berperang mengangkat senjata. Seperti yang persis dilakukan oleh Mulan begitu titah dari kaisar datang mengharuskan setiap keluarga ‘menyumbang’  satu pria untuk jadi pejuang memberantas pasukan pemberontak di garis depan peperangan. Menggantikan ayahnya yang sudah terlalu tua dan pincang untuk berperang, Mulan pergi diam-diam di tengah malam. Mengambil pedang, baju zirah, dan kuda sang ayah. Melanggar tiga kode kehormatan seorang pejuang. Setia, Berani, dan Jujur.
Aku masih terlalu kecil untuk dapat menyadari pentingnya cerita Mulan sewaktu menonton versi animasinya dulu. For me it was; cewek yang nyamar jadi cowok dan ada naga lucu, I’m sold! Jadi menonton Mulan versi live-action ini kurang lebih seperti benar-benar pengalaman baru bagiku, karena sekarang aku melihatnya dengan pemahaman dan konteks yang lebih mendalam daripada nonton animasinya dulu. Disney patut diapresiasi karena melakukan tindakan yang berani. Mereka tidak mengambil adegan per adegan dengan sama persis ama versi animasi. Mulan kali ini diarahkan untuk jadi lebih serius. Tidak ada lagi naga yang bisa bicara di sini, bahkan adegan musikal juga gak ada. Sayangnya, tidak semua pilihan yang diambil oleh Disney di film ini membuahkan hasil yang manis.

Yang lucunya, kesan pertamaku saat menonton ini adalah betapa Mulan ini seperti cerita Kartini, jika Kartini bisa kung-fu.

 
 
Film Mulan kali ini beneran terasa seperti film-film kung-fu. Sutradara Niki Caro tampak mengincar ke gaya yang lebih realis, walau dengan masih menggunakan elemen-elemen fantasi sebagai device dalam cerita. Absennya naga diisi oleh penyihir dengan segala kekuatannya mulai dari menjelma jadi makhluk lain hingga jurus-jurus berantem yang penuh muslihat. Padahal tokoh penyihir ini menarik, dia punya kesamaan dengan Mulan. Dan tentunya hubungan di antara keduanya jadi elemen fresh yang dipunya oleh cerita. Namun ternyata tokoh atau karakter ini memang hanya device saja. Tak banyak berbeda dengan beberapa penampakan burung phoenix sebagai simbol dari kekuatan Mulan. Jadi aku tidak yakin gaya realis itu benar-benar tercapai. Film ini juga malah menggunakan efek-efek cahaya yang membuat film semakin lebih ‘bo’ongan’ lagi. Misalnya, lensa blur/flare yang digunakan saat menyorot Mulan pada salah satu momen di pertarungan terakhir. Efek di momen itu berfungsi untuk membuat Mulan tergambar menjadi sosok yang bahkan lebih spesial lagi. Namun sesungguhnya dijadikan ‘spesial’ itu justru hal terakhir yang dibutuhkan oleh Mulan.
Gagasan cerita ini boleh saja berakar dari pandangan bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki. Dalam pengembangannya, Mulan jadi mengusung banyak pesan moral yang sangat relatable buat semua penonton, tak terbatas pada penonton perempuan saja. Adegan ketika Mulan bangkit, dia membuka semua penyamaran; menggerai rambut dan kini hanya bertempur dengan robe merah tanpa armor apapun bisa kita terjemahkan sebagai pesan untuk menjadi diri. Untuk tidak lagi meredam diri, tidak mengikuti tuntunan sosial yang mengeja kita harus seperti apa, dan jadi siapa diri kita.

Kita tidak diciptakan untuk mengikuti aturan ‘cewek harus begini, cowok bagiannya itu’. Tentu, ada batasan alami yang tidak bisa dilanggar oleh keduanya. Namun batasan tersebut tidak pernah berarti kita harus mengecilkan diri jika kita bisa melakukan sesuatu melebihi dari harapan atau kebiasaan sosial. Kita bisa jadi apapun yang kita ‘mampu’. Masalahnya justru pada seberapa ‘mau’ kita?

 
Maka menjadikan atau menampilkan Mulan sebagai makhluk spesial, justru menjauhkannya dari kita. Sebab pesannya jadi seolah Mulan bisa setara seperti itu ya karena dia bukan manusia sembarangan. Padahal gak semua orang kayak Mulan; gak semua orang dianugerahi chi yang luar biasa dan disuruh meredam kekuatannya sedari kecil. Inilah pilihan paling aneh yang dibuat oleh sutradara Niki Caro yang jadi sumber masalah pada film ini: Membuat Mulan spesial alih-alih manusia biasa seperti pada animasinya dulu. Mulan kuat sedari awal. Momen-momen latihan perang tempat dia nyamar jadi cowok itu tidak lagi dalem dan emosional karena dari sudut pandangnya, cerita kali ini simply adalah soal dia bohong saja. Tidak seperti pada versi animasi. Di sana Mulannya adalah soal orang normal yang bekerja keras biar dapat diterima, biar dia membuktikan dirinya mampu mendobrak dinding yang menolak mengakui ekualitas itu. Mulan terasa seperti kita semua yang berjuang keras untuk bisa berhasil. Sedangkan pada Mulan yang baru, ini adalah soal orang yang gak boleh maju karena gender-nya tidak mengharapkan dia untuk begitu, jadi dia ngerepres siapa dirinya. Perkembangan tokoh di sini adalah tentang Mulan yang belajar untuk berani mengakui siapa dirinya di hadapan semua orang, melawan semua pandangan sosial yang mungkin mengekangnya. Perbedaan besar antara Mulan versi animasi dan versi live-action ini adalah soal normal dan spesial tersebut. Pada Mulan yang sekarang ini pesannya jadi terlemahkan oleh agenda ‘spesial’ itu. Bagaimana dengan ‘kerja keras’ itu sendiri?

Kamulah makhluk Tuhan yang paling sakti

 
Semua aspek dalam film ini terasa tidak natural. Tadi aku sempat nyebut mirip Kartini, dan memang Mulan (si Yifei Liu yang meraninnya aja kadang-kadang sekilas mirip Dian Sastro hihi) mengalami ‘kekangan’ yang sama – bahkan ia juga disuruh kawin. Namun tentu saja wanita yang tidak boleh mengecam pendidikan tinggi terasa lebih alami ketimbang wanita tidak boleh berjuang dengan kung-fu jurus tenaga dalam. Dampaknya cerita Mulan jadi tidak dramatis. Stakenya enggak kuat karena kita tahu Mulan tidak dalam bahaya, toh dia sedari kecil sudah jauh lebih hebat daripada siapapun di layar. Film juga dengan lincahnya melompati adegan-adegan yang mestinya bisa membantu Mulan untuk lebih beresonansi ke kita. Dalam film ini tidak lagi kita mendapati adegan sedramatis Mulan mengambil pedang diam-diam, memotong rambutnya, bimbang sebelum memutuskan pilihan paling penting sehubungan dengan kehormatan keluarga. Adegan Mulan memilih untuk menggantikan ayahnya dalam film ini terasa sangat datar, dengan pengadeganan sesederhana Mulan menunjuk kamera dengan pedang itu lalu kemudian fade out bentar dan voila dia sudah siap berangkat dengan baju zirah terpasang.
Karena ini basically udah jadi film kung-fu, maka mau tak mau kita harus membandingkan aspek action-nya dengan film kung-fu hebat semacam Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), which triumphantly kick Mulan action’s in the ass. Ada beberapa momen keren, tapi adegan-adegan berantem di film Mulan ini dilakukan dengan terlalu cepat dan terlalu banyak editing. Sehingga kesannya hingar-bingar. Di sini juga film menunjukkan kekurangtajaman matanya terhadap penggalian kesan dramatis. Mulan berpindah tempat gitu aja, tidak benar-benar diperlihatkan perjuangan dan pemikirannya soal strategi seperti ketika dia begitu saja (dan begitu mudahnya) dapat taktik melongsorkan gunung es. Yang sekali lagi juga menunjukkan membuat Mulan seorang yang berkekuatan spesial hanya membuahkan kegampangan pada cerita. Film semakin tak alami, apalagi dengan beberapa batasan produksi yang harus dipatuhi oleh film. Seperti soal violence, atau darah: agak aneh menyaksikan film yang basically tentang perang, dengan banyak adegan aksi berantem pake jurus-jurus kung-fu fantastis, tetapi terasa jinak karena didesain untuk tampil ‘aman untuk tontonan keluarga’. Ataupun batasan seperti bahasa. Dengan cast nyaris semuanya Asia (ada Jet Li!), dan bersetting di Asia, terdengarnya aneh saja film memilih menggunakan dialog bahasa Inggris. Normalnya, bahasa enggak pernah jadi masalah buatku, hanya saja di momen menangnya Parasite – film berbahasa asing – di Best Picture Oscar kupikir film-film akan lebih terbuka atau setidaknya lebih berani dalam menggunakan bahasa.
 
 
 
Pilihan yang diambil oleh Disney untuk membuat film ini jadi sedikit berbeda dari versi animasinya pada akhirnya menyebabkan film ini terasa tidak alami. Tokoh utamanya yang sedari awal kuat dan spesial menjadikan development flawed-nya – dan gagasan cerita – kurang ngena, kalo gak mau dibilang tereduksi dan gak fit lagi. Hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain sesama prajurit juga dikurangi sehingga semakin menjauhkan si tokoh dengan ‘kenormalan’ yang beresonansi dengan kita. Versi animasinya masih jauh lebih superior, bercerita dengan lebih baik, dan terasa lebih natural. Disney seperti mengulangi kesalahan yang sama pada sebagian besar live-action-nya yang gagal: membuat sebuah fantasi menjadi realis.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MULAN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian adakah batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar ketika kita membicarakan perihal sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HOST Review

“A guest is really good or bad because of the host…”
 

 
 
Demi mengisi waktu luang di kala pandemi, Haley dan teman-teman segengnya setuju untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Obrolan Zoom mereka kali ini akan terasa lebih menantang. Karena Haley menyewa seorang cenayang untuk membimbing mereka berenam melakukan seance atau semacam ritual memanggil roh secara online. Mungkin karena sudah bosan di rumah, atau memang pada dasarnya mereka adalah anak-anak muda yang senang bercanda, ritual online mereka mulai ngarah ke hal-hal yang gak serius. Meskipun Haley sudah mengingatkan teman-temannya untuk menjaga kesopanan, beberapa dari mereka tetep membuat ulah. Dan seperti yang sudah kita semua duga – karena ini adalah film horor – Haley dan teman-temannya mulai mendapat gangguan aneh. Teror yang semakin lama semakin berbahaya. Ternyata hantu juga tidak senang dibecandain!

Kamu dan sahabatmu yang hobi ghibah online gak bakal jadi sekeren geng Haley yang manggil hantu pakek telepati elektronik

 
Host mengusung premis tentang Zoom meeting yang diganggu hantu tak pelak memang terasa ‘begitu dekat dan begitu nyata’ dengan keadaan kita sekarang. Berkat pandemi, kehidupan sosial kita semua harus pindah total ke dunia maya, dan pretty much semua penonton film ini sudah pernah sekali dua kali nongkrong bersama temen masing-masing di Zoom. Host mencoba mengangkat horor dari interaksi sosial kita yang menggunakan Zoom. Dalam film ini diperlihatkan sikap Haley dan teman-temannya berbeda saat berada di belakang dengan saat berada di depan si cenayang. Saat ‘peserta’ meeting masih mereka-mereka saja, mereka tampak lebih akrab – mereka lebih terbuka mengenai ritual yang akan mereka lakukan; sikap skeptis dan mengolok mereka ekspresikan dengan lugas. Namun ketika si cenayang sudah masuk, mereka ‘berakting’ seolah percaya dan benar-benar tertarik dengan istilah ‘astral plane’. Interaksi seperti ini tampak seperti nge-suggest bahwa meskipun komunikasi sudah dibawa ke depan kamera semua, kita masih menemukan celah untuk saling ngomongin di belakang. Walau dalam film ini tidak pernah benar-benar ditetapkan si cenayang found out lalu mungkin marah dan sengaja mengirim kutukan kepada mereka, yang kita tahu pasti adalah hantu atau roh jahat yang datang mengganggu mereka berasal sebagai akibat dari perbuatan salah satu teman Haley yang menganggap semua hanya becandaan.

Menjadi host yang baik, menjadi penentu tamu-tamu seperti apa yang datang kepada kita. Kita tidak bisa mengundang orang, tapi membuat hal menjadi susah bagi mereka. Adalah kewajiban dari tuan rumah untuk menegakkan aturan dan menjaga kesopanan. Adalah tuan rumah yang menentukan apakah menjadi tamu di situ adalah perkara tugas yang sulit atau bukan.

 
Gimmick Zoom dieksplorasi dengan maksimal oleh sang sutradara. Dalam debut feature-nya ini, Rob Savage benar-benar menciptakan dunia dari layar Zoom. Semua yang kita lihat adalah jendela-jendela platform tersebut. Dan Savage tau persis di mana-mana saja ia harus meletakkan elemen horor untuk membuat kita ‘melek’ ke sana tanpa disuruh. Paling serem itu waktu fitur background Zoom dijadikan bagian dari ‘kejutan’. Dengan durasi yang sangat singkat, Host memang bergerak efektif. Dengan segera kita melihat ke sudut-sudut gelap di belakang para tokoh, menunggu sesuatu untuk terjadi, atau menunggu suatu penampakan muncul. Yang jelas film ini paham dan sudah terkonek dengan penonton sejak awal. Semua trik yang pernah kita lihat pada horor genre found-footage seperti ini, ada. Kursi yang bergerak sendiri, gelas yang pecah tanpa sebab, orang yang tiba-tiba ditarik oleh tangan tak-kelihatan – bahkan kejutan seperti telapak kaki di lantai atau selimut/kain yang dilempar dan ternyata ‘nyantol’ di tengah-tengah udara. Jumpscare-jumpscare yang kita antisipasi pun hadir dalam film ini. Rahasianya adalah dalam cara mengolah, dan Host is great dalam menampilkannya; dalam membuat perasaan takut kita terbendung ke sana.
Praktikal efek dan permainan akting dijadikan senjata utama. Karena Host adalah jenis cerita yang menekankan kepada situasi yang natural. Dan semua pemain memang berhasil tampil tak dibuat-buat. Semua itu berhasil dicapai karena memang para tokohnya hadir nyaris tanpa karakter. Para pemain memerankan tokoh yang bahkan bernama sama dengan nama asli mereka. Jadi seperti mereka semua disuruh untuk memainkan keseharian saja. Tapi bukan berarti tanpa tantangan; saat ketakutan dan panik, mereka benar-benar seperti ketakutan. Dan panik. Sementara itu, efek yang digunakan juga seru. Sandungan yang terasa pada film ini sebagian besar berasal dari staging adegan. Maksudnya, dengan gimmick setiap kejadian lewat lensa kamera laptop atau hape, maka beberapa adegan terasa sekali ‘diatur’ supaya tokohnya entah itu membawa laptop sambil berjalan-jalan, atau dengan sengaja memasang tongsis supaya bisa naik tangga sambil merekam, padahal jelas sekali perbuatan tersebut tidak convenient untuk dilakukan.
 

Atau apa mungkin sudah jadi new normal kita ke mana-mana selalu on kamera laptop kalo di rumah?

 
 
Durasi 56 menit secara teknis memang termasuk ke dalam kategori film-panjang, jika mengacu kepada peraturan Academy Award. Batas yang Oscar nilai sebagai feature-length adalah di atas 40 menit. With that being said, sejujurnya aku harap Host ini dijadikan film pendek saja. Karena dengan begitu, film ini akan lepas dari aturan-aturan film yang banyak jadi sandungan baginya. Sebagai film pendek, Host tidak perlu memperhatikan plot/development karakter, tidak perlu memikirkan babak, mereka bisa seru-seruan aja dengan jumpscare dan kejadian-kejadian. Tapi nyatanya, sebagai film-panjang, Host jatohnya seperti film yang keasyikan bermain gimmick dan lupa menghadirkan cerita dan karakterisasi yang kohesif.
Siapa ‘host’ di film ini, gak pernah dijelaskan. Gimmicknya adalah kita menonton di layar sehingga kita adalah salah satu dari participant meeting, atau kita cuma lagi nontonin rekaman meeting mereka. Enggak seperti Unfriended (2015), yang punya tokoh utama yang jelas – lengkap dengan tragedi masa lalu dan benang merah antara teror dengan karakter mereka kuat mengingkat, Host tidak terlalu memikirkan ini semua. Kita gak yakin siapa tokoh utama di film ini. Bisa saja Haley, karena dia yang paling ‘baik’, tapi dia adalah tokoh yang dapat bagian paling sedikit. Ketika hantu mulai menakuti mereka satu-persatu, Haley somehow gak kebagian aksi. Tokoh ini justru mengundang kecurigaan. Aku sebenarnya cukup terinvest terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, kepada siapa atau darimana asal hantunya; pada mitologi di balik itu semua. Tapi Host tidak punya semua itu. Film ini tidak menggali hubungan antarkejadian. Si hantu dan segalanya itu ya, memang random. Ada hantu yang kebetulan menjawab undangan mereka. That’s it. Gak ada motif walaupun di awal ada setup tentang backstory masing-masing tokoh, like, mereka punya seseorang yang sudah meninggal – mereka punya target untuk dipanggil. It would be much nicer story kalo ceritanya beneran punya sesuatu untuk diikuti dan dikuak, daripada hanya sekadar memperlihatkan kita adegan trik-trik horor dan jumpscare kodian.
 
 
 
Seperti sepenggal bagian dari sebuah horor kontemporer yang menarik; begitulah kalimatku kalo disuruh mendeskripsikan film ini. Arahannya mampu mengolah trope/trik lama menjadi segar – ya, bahkan jumpscarenya efektif – Arahannya mampu ‘memanggil’ penampilan akting yang meyakinkan. Menonton ini sangat menghibur, terutama sangat relevan karena benar-benar memotret sosial di era pandemi. Kita melihat tokoh memakai masker dan menyebut karantina segala macem. Hanya saja, ada banyak yang mesti dibenahi kalo cerita ini mau dianggap sebagai sebuah film. Karena, bagiku, ia masih belum terlihat seperti film. Melainkan sebuah cerita pendek yang sedikit kelewat panjang yang seru dan menghibur tentang hantu Zoom.
The Palace of Wisdom gives 2.5 out of 10 gold stars for HOST.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengalami kejadian horor atau misterius saat ber-Zoom ria?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PENINSULA Review

“A moment of hesitation may cause you a lifetime of regrets.”
 
 

 
 
Cukup satu saja – cukup ada satu orang yang terinfeksi di antara puluhan bahkan ratusan yang sehat – untuk menjangkiti satu kereta, atau satu kapal, atau satu bioskop (bukan mau nakutin loh yaa), bahkan membuat satu negara menjadi republik perserikatan zombie. Memang sebegitu mengerikannyalah kondisi ketika kita memerangi sesuatu yang menular. Dalam dunia Train to Busan (2016), sesuatu itu adalah virus zombie. Menyebar hingga ke film Peninsula ini; yang meskipun bukan sekuel-langsung, tapi merupakan cerita yang bertempat di semesta yang sama. Dalam kurun empat tahun, Korea Selatan sudah completely abandoned, dikarantina oleh dunia, karena gak ada yang mau repot-repot berurusan dengan zombie. Tertular di film ini ya berarti ikutan berubah menjadi zombie. Nasib yang semua orang setujui sebagai lebih buruk dari mati.
Konteks dari film garapan Sang-ho Yeon ini sungguhlah relevan dengan keadaan kita yang sedang mengurung diri sebab wabah Covid-19. Selama enam bulan terakhir kita sudah sukses dibuat was-was. Ada yang bersin di tempat umum, pasti langsung disambut pandangan mendelik. Menjaga jarak sudah jadi keharusan. Jangankan orang lain, idung sendiri tersumbat sedikit aja sudah cukup untuk membuat kita pengen membelah diri, supaya bisa jauh-jauh dari diri sendiri. Apakah ketakutan seperti demikian itu wajar atau hanya karena pengaruh oleh media yang membesar-besarkan; itu lain soal. Yang jelas saking takutnya tertular corona, pemberitaan soal warga yang menolak jenazah pasien dimakamkan di daerahnya marak kita dengar. Bukan hanya pasien, keluarga pasien, bahkan mantan-pasien yang udah mati, dijauhi. Dokter-dokter dan keluarga mereka juga. Jika tidak sedang mengenakan masker atau sekalian pakaian kesehatan resmi, sebagian orang masih memilih untuk menghindari kontak dengan orang lain, meskipun orang lain tersebut membutuhkan pertolongan.
Peninsula agaknya memotret itu ketika memperlihatkan tokoh utama cerita, Kapten Jung Seok, menolak memberhentikan mobil untuk seorang wanita yang meminta tolong. Di awal cerita Peninsula, Jung Seok sedang membawa keluarga adiknya ke kapal yang akan berangkat ke Hong Kong. Meninggalkan negara mereka yang chaos oleh zombie outbreak. Sang wanita ingin Jung Seok membawa serta anak perempuan yang sedang ia gendong. Permohonan wanita tersebut tidak dikabulkan oleh Jung Seok yang ragu untuk menolong. Ragu apakah itu adalah yang benar. Ragu apakah si wanita dan anaknya tidak tertular zombie. Momen awal ini akan menjadi signifikan nantinya di pertengahan film. Keraguan Jung Seok untuk menolong karena khawatir akan keselamatan diri/golongannya sendiri dijadikan cerita sebagai flawed dari karakter, sekaligus jadi tema atau gagasan cerita. Karena bukan sekali ini Jung Seok ragu. Ketika nanti kapal mereka jadi seperti ekivalen kereta pada film pertama, Jung Seok bahkan gagal menyelamatkan adiknya sendiri, karena ia ragu.

Disuruh mengambil pilihan untuk survive dengan cepat seperti pilihan Jung Seok di Peninsula, tak pelak akan membuat kita peningpala.

 
 
‘Flaw’ Jung Seok berubah menjadi ‘wound’ seiring dengan berkembangnya kejadian -dan oh boy, betapa Peninsula dengan cepat menjadi jauh lebih besar dan luas daripada Train to Busan. Arc Jung Seok menarik dan menyentuh hati. Akhir kejadian di kapal – difungsikan tak ubahnya bagai prolog – nyatanya memang sarat akan momen emosional yang berakar dari kemanusiaan. Di situ kita melihat seorang ibu yang rela menemani anaknya yang sedang kesakitan mengalami transformasi menjadi zombie. Jung Seok gagal menyelamatkan nyawa. Hubungannya dengan ipar lantas rusak di sini. Peristiwa ini mengubah Jung Seok. Kali berikutnya kita melihat si kapten, dia menjadi tak lebih dari pria jalanan. Film meloncati periode empat tahun, dan mempersembahkan lingkungan dan tantangan baru buat Jung Seok dan iparnya dan dua lagi penyintas dari Korea. Mereka dibayar untuk kembali ke kota utara Peninsula untuk mencari truk bermuatan uang. I got excited at this point. Kupikir film ini akan jadi mirip dengan salah satu favoritku tahun ini – film Da 5 Bloods yang juga bercerita kurang lebih tentang veteran trauma yang harus kembali ke daerah konflik untuk mencari harta. Hanya saja di Peninsula ini ceritanya berbonus zombie.

Lebih baik menyesal melakukan daripada tidak-melakukan. Karena sedetik saja momen keraguan yang lantas membawa kita ke perasaan bersalah, maka perasaan bersalah itu akan kita rasakan seumur hidup. Film Peninsula bisa kita jadikan pengingat untuk mengenyahkan keraguan yang mungkin hadir saat kita ingin menolong orang. 

 
Aku gak tau apa pembuat film ini ragu seperti Jung Seok atau mereka hanya salah kaprah soal mengekspansi film melebihi film-pertamanya, yang jelas ternyata kemudian cerita berubah kembali dari potensi petualangan survival di ranah yang dikuasai zombie menjadi… drum roll.. kehidupan geng penyintas di dunia post-apocalypse ala Mad Max!
Eits, para penggemar Mad Max jangan senang dulu. Meskipun memang ada sensasi menggelinjang yang terasa di pertengahan film saat kita menyadari kemiripan yang boleh jadi adalah terinspirasi dari Mad Max – khususnya The Road Warrior (1981) dan Beyond Thunderdome (1985)I mean, zombies certainly great addition to the Mad Max story, tapi ketika film ini mencoba untuk meniru aksi kejar-kejaran di jalanan dengan mobil-mobil kustom itu, Peninsula ini tak lebih gede dari satu sekrup di mobil Furiosa di Fury Road (2015). Karena Peninsula begitu bergantung kepada CGI. Aksinya gak pernah terasa menegangkan karena semua hal di sana – apalagi zombie-zombienya – selalu mengingatkan kita bahwa yang kita lihat adalah efek yang tak meyakinkan. Peduli apa kita sama zombie-zombie itu, gimana bisa takut, jika film memposisikan mereka sebagai bagian dari latar belakang yang dari wujudnya saja sudah tidak mencengkeram, karena keliatan banget palsu. Namun begitu, mengatakan film ini memang memusatkan kepada tokoh manusia – dengan kilahan ingin menunjukkan bahwa manusia lebih seram daripada zombie – juga tidak bisa mengangkat film ini. Karena selain tokoh utama, tokoh manusia di film ini juga pengkarakterannya sensasional sekali. Tidak ada kedalaman yang menarik pada tokoh-tokoh pendukung. Babak dua film ini praktisnya habis oleh eksposisi (bagian Jung Seok ketemu keluarga survivor) yang diselingi oleh bagian Thunderdome zombie (sesuatu yang sudah pernah kita lihat, dan dilakukan dengan tak lebih baik daripada itu).

Mungkin sekuel berikutnya bisa bahas romansa zombie berjudul Train to Bucin

 
 
Sutradara Sang-ho Yeon sepertinya salah menafsirkan atau katakanlah, tidak memahami, apa yang membuat Train to Busan begitu populer. It was the depth of that various characters; mulai dari si bapak yang istrinya hamil hingga ke antagonisnya yang ngeselin itu. Dalam Train to Busan semua kematian itu terasa memiliki arti, setiap pengorbanan punya ‘cerita’ dan benar-benar terasa. Belum lagi hubungan ayah dan anak yang menjadi duo protagonis utama. Peninsula punya karakter-karakter yang kita bisa melihat terjalin oleh garis hubungan yang menarik, tapi film lebih fokus kepada aksi dan para zombie. Kita gak mau lebih banyak zombie jika keberadaan mereka tidak benar-benar membawa arti kepada perjuangan tokoh manusia. Kelemahan Train to Busan yang aku lihat adalah bagian aksinya yang sedikit terlalu sering meminta kita untuk nge-suspend our disbelief. Sayangnya, pada film kedua yang berskala lebih gede dan lebih jor-joran aksi, kelemahan tersebut ikut tercuatkan. Kematian dan pengorbanan pada film ini tak berarti apa-apa karena karakternya tak pernah ‘menggigit’ kita dengan dalam.
Pembuatnya seperti menyangka karakter anak-lah yang membuat Train to Busan populer. Sehingga yang kita dapatkan di sini adalah bukan satu, melainkan dua tokoh anak. Yang dua-duanya keren. Jagoan kebut-kebutan mobil. Dan yang satunya lagi jago main mobil remote, dia mendistraksi rombongan zombie yang buta itu dengan mainan remote control berlampu. It would be real cool kalo memang kedua anak itu diposisikan sebagai tokoh utama cerita – mungkin for some reason franchise Busan ini diarahkan ke anak-anak dan zombie – hanya saja di dunia cerita ini kedua anak itu ujung-ujungnya menjadi ‘damsel in distress’. Ini masih dunia dewasa, dan mereka hanyalah device ‘sesuatu-yang-harus-diselamatkan’ oleh tokoh utama. Paling tidak seharusnya interaksi atau hubungan antara Jung Seok dengan anak-anak ini dibuat lebih banyak, akan tetapi dengan pesan atau gagasan yang diniatkan oleh film ini, memang tidak ada tempat untuk elemen tersebut benar-benar berkembang. Cerita pun jadi berkurang keseruannya karena gak bisa mengambil resiko. Sebab film butuh untuk memperlihatkan Jung Seok kini tidak ragu lagi untuk menyelamatkan seseorang yang berada dalam kondisi nyaris-mustahil untuk diselamatkan.
 
 
 
 
It’s now more action than horror, masalah klasik saat sebuah film ingin menjadi lebih besar, lebih luas, dan lebih seru dari film pertamanya, dapat kita lihat dalam film ini. Being bigger enggak lantas membuatnya menjadi better. Menjadi berbeda dan menaikkan ‘taruhan’ di sekuel adalah tantangan yang harus dijawab, namun melakukannya tidak lantas membuat film jadi bagus.  Meskipun masih punya konflik karakter dan masalah kemanusiaan yang emosional, kesalahan terbesar film ini terletak dalam hal menangkap apa yang membuat film pertamanya konek dan diterima oleh banyak penonton. Film ini justru memperbanyak aksi-aksi gak masuk akal, yang dieksekusi lewat efek-efek yang keliatan bo’ongnya pula! Dia tak bisa tampil seunik pendahulunya, karena banyak meniru aspek dari film-film lain. Kalo pengen lanjut sebagai franchise, maka film ini harus bisa segera kembali ke relnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for PENINSULA.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Dalam kurun empat tahun saja, Korea Selatan di film ini berubah menjadi seperti dunia post-apocalyptic yang dikendalikan oleh geng jahat. Setelah enam bulan hidup new-normal bersama Corona dan menyaksikan seliweran berita dan keributan sehubungan dengannya, mungkinkah dalam empat tahun kita berubah seperti dunia Peninsula? Menurut kalian seberapa lama waktu yang diperlukan untuk sebuah lingkungan sosial berubah menjadi seperti lingkungan geng seperti Peninsula ataupun Mad Max?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

SummerSlam 2020 Review

 

Apa asiknya ngadain pesta tapi tanpa orang. Maka WWE pun memutar otak mereka, hingga akhirnya menemukan konsep baru yang membuat SummerSlam, si Pesta Terbesar di Musim Panas kali ini bisa tetap meriah oleh penonton yang hanya bisa menyaksikan dari rumah. Pada SummerSlam 2020 kita melihat aplikasi dari konsep yang disebut WWE sebagai ThunderDome.
Tribun penonton di sekeliling ring disulap menjadi barisan LED, yang akan menampilkan wajah ratusan fans yang menonton dari webcam masing-masing. Such a fun concept, kita yang di Indonesia juga bisa mendaftar untuk jadi penonton di sana, dan ternyata memang konsep ini terlihat keren di TV. WWE berhasil menemukan cara untuk membuat wajah-wajah penonton ini mendistraksi kita dari atraksi yang sesungguhnya. Mereka melakukannya demi mendapatkan keriuhan fans yang tepat untuk menghidupkan suasana. Tepuk tangan dan sorakan itu jelas jauh lebih baik daripada yel-yel maksa dari ‘penonton’ di Performance Center, seperti yang selama ini kita dapatkan semenjak pandemi. Menonton SummerSlam kali ini, rasanya nyaris sama seperti menonton acara WWE sebelum Corona. Dan untuk membuat hal lebih greget, WWE yang kayaknya lagi murah rezeki, mengembalikan pyro ke arena! Jadi, ya, pesta kali ini memang beneran rame oleh sorakan, lighting, pyro. Dan cup!

Kalo di Indonesia, mungkin acara ini udah masuk rekor Muri sebagai Pertunjukan TV Live dengan Penonton Virtual Terbanyak

 
 
As exciting as seeing Street Prophet’s entrance, kita-kita penonton gulat ini tentulah akan tetap menomorsatukan aksi di atas ring. SummerSlam 2020 tidak punya pertandingan spesial, dengan momen atau spot yang luar biasa mencengangkan. Walau sekilas itu terdengar seperti sesuatu yang buruk, tapi pada kenyataannya tidak sejelek itu. Karena pada pay-per-view itu semua partai terasa berimbang. Dengan outcome yang terarah, entah itu sesuai dengan gimmick/tema acara ataupun didesain untuk mendeliver cerita. Jadi, meskipun tidak ada satu pertandingan yang mencuat, acara ini sebaliknya juga tidak punya banyak kelemahan. Hanya ada satu pertandingan yang benar-benar terasa kurang memuaskan, kita akan bahas itu di bagian akhir.
Untuk sekarang aku mau bicara soal seorang non-pegulat bikin kejutan di atas ring! Well, sebenarnya dua orang, karena that happened twice dalam dua hari ini! Pertama kita melihat Pat McAfee menyuguhkan pertandingan yang lebih menghibur daripada keseluruhan acara Raw minggu lalu di NXT TakeOver hari Sabtu. Dan kini, di SummerSlam ini kita melihat anak Rey Mysterio, si Dominik, berhasil membuat kita berjingkrak-jingkrak seru saat melihat dia membanting tulang demi ayahnya, berhadapan dengan Seth Rollins. Yea, time flies fast – rasanya baru SummerSlam kemaren kita menonton Rey dan Eddie Guerrero rebutan hak asuk Dominik yang gemetar jadi saksi di pinggir ring, dan sekarang kita melihat Dominik itu terbang dengan jurus-jurus Rey dan Eddie! Jelas bukan hanya waktu yang bisa terbang di sini! Namun sebenarnya, yang membuat partai ini menghibur adalah character-work yang kuat dari kedua kubu. Rollins sedari awal sudah menunjukkan permainan heel yang istimewa dengan muncul mengenakan attire tribute untuk kostum pertandingan legendaris Mysterio di WCW. Bergerak mulai dari sana, Rollins menunjukkan pemahamannya terhadap psikologi yang diniatkan oleh cerita. Karena tidaklah logis jika Dominik bisa mengungguli Rollins yang sudah tinggi jam terbang, maka Rollins ‘memberikan’ Dominik celah untuk mengoutsmart dirinya dengan kerap meledek atau talk trash. Ada satu momen ketika Dominik berhasil menghindar dari Curb Stomp, dan nyaris mencuri pertandingan. And that was really good. Walaupun match ini agak kepanjangan, tapi mereka berhasil mendeliver cerita, dan itulah sebabnya jadi tetap terasa menghibur.
Narasi-narasi drama di WWE belakangan memang lagi keren-kerennya. Salah satu yang paling dipush adalah soal Bayley dan Sasha Banks, dengan perjuangan Asuka sebagai bumbu yang bikin sajian ini semakin pedes. Di sini Asuka bergulat dua kali, melawan Banks dan Bayley, memperebutkan sabuk mereka bergantian. But really, di drama ini Sasha Banks adalah tokoh utamanya. Urutan pertandingan tersebut jadi kunci yang penting, dan SummerSlam melakukannya dengan benar. Pertama Banks dibuat khawatir saat Asuka berhadapan dengan Bayley, karena bukan saja dia mencemaskan sohibnya, Banks juga mencemaskan bakal berhadapan dengan Asuka yang seperti apa nanti. Apalagi komentator juga memberikan subteks bahwa Bayley dan Asuka merupakan yang paling berprestasi dari NXT, keduanya telah mencapai semua. Perbedaan Asuka dan Bayley adalah Bayley belum pernah menang Royal Rumble, dan reigns NXT Bayley diakhiri oleh Asuka sendiri. Ini menciptakan tekanan – yang terdeliver keren lewat ekspresi Banks. Maka Banks aktif membantu Bayley. Dan saat tiba giliran dia melawan Asuka, kita bisa merasakan urgensi darinya.
Setiap kali bertanding, Asuka dan Banks selalu menyuguhkan pertarungan yang keras, dengan banyak gerakan counter yang seperti dilakukan impromtu karena keduanya sama-sama intens. Dalam SummerSlam ini juga seperti demikian. Dan jika ini sebuah film, maka ini adalah cerita tentang kegagalan Sasha Banks. Kejadian akhir pada match Banks dibuat mirip dengan kejadian akhir di match Bayley. Perbedaannya tentu saja terletak pada kali ini siapa yang berada di luar dan seharusnya membantu.
Tampangmu ketika menyadari kau tak pernah menang setiap mempertahankan sabuk di PPV

 
Menakjubkan gimana WWE berhasil menarik-ulur dan menggoda kita dengan storyline Banks-vs-Bayley. Kita sudah dapat kisah ‘persahabatan’ mereka ini dari tahun 2018 loh. Aku gak tau, mungkin WWE bingung mau ngasih posisi face dalam skenario tersebut untuk siapa. Yang jelas, dengan build up dan pengembangan seperti ini, kupikir kita semua bisa berharap untuk pay off yang bener-bener pecah. Karena toh yang sesimpel storyline Mandy Rose dan Sonya DeVille saja bisa worked greatly. Semua orang respek sama Sonya sekarang, aku yakin; setelah promonya yang keren di Smackdown sebelum acara ini. Akan menarik untuk memantau bagaimana WWE mengakali stipulasi ‘loser leaves’ ini, mungkin setelah kasus yang menimpanya di real life Sonya memang butuh rehat sebentar, tapi kita bisa yakin bahwa dia akan comeback one way or another.
Match teraneh di acara ini adalah Kejuaraan WWE antara Drew McIntyre melawan Randy Orton. Aneh dalam artian yang sebagian besar positif. Partai ini, menilik dari storyline dan star power, seharusnya jadi main event. Namun WWE mengincar sesuatu yang benar-benar ‘you’ll never see it coming’ untuk menutup acara. Sehingga partai Kejuaraan WWE ini mendapat arahan yang berbeda, meski sama-sama masih dalam lingkup tajuk ‘you’ll never see it coming’. Dan inilah yang membuatnya jadi aneh-tapi-menarik. Both Orton dan McIntyre sudah sah jadi papan atas, mereka punya semua; kharisma, skill, segala macam. Interestingly, dalam pertandingan ini tidak satupun dari mereka yang berhasil menyarangkan special move masing-masing. Tidak ada RKO. Tidak ada Claymore (so it would be clay-less xD). Pertarungannya seru, kelas partai utama, tapi tidak berlangsung seperti yang kita semua sangka. Malah, seingatku aku belum pernah menyaksikan pertandingan sekaliber ini, dengan superstar top semacam mereka, yang berlangsung tanpa finisher.

Dengan tema You Will Never See It Coming, dalam acara SummerSlam ini WWE ingin membuktikan bahwa mereka masih bisa memberikan kita kejutan.

 
‘It’ dalam ‘You’ll never see it coming’ ternyata merujuk kepada Roman Reigns. Sungguh sebuah kejutan baik yang beneran tidak terduga. Bukan saja menyelamatkan kita dari main event yang uninspiring antara The Fiend melawan Braun Strowman, tapi sepertinya juga penyelamat rating acara WWE untuk ke depannya. Tapinya lagi, ‘It’ di situ ternyata juga merujuk kepada Alexa Bliss. Yang benar-benar tak kelihatan wujudnya. Padahal Bliss jadi faktor penting dalam storyline antara Strowman dengan Bray Wyatt. Aneh jika karakter ini tidak dimunculkan karena jadi tidak ada pay off. Semua orang sudah terinvest ke dalam cerita mereka yang melibatkan Bliss. Membuatnya tidak ada hanya membuat penulisan/bookingan seperti trying too hard untuk menjadi tak-tertebak. It’s also weird saat ada juara dan ada pemenang MITB di satu tempat, tapi saat sang juara tak berkutik, si Mr. MITB tidak datang menggunakan kesempatan.

Padahal aku sekalian pengen lihat gimana kocaknya The Fiend kena Caterpillar

 
 
 
Geng Retribution juga absen di sini. Padahal selama ini mereka selalu datang mengganggu acara WWE. Mereka di sini hanya nongol di video package. Yang menariknya adalah kaos baru si Roman Reigns. Tulisannya ‘Wreck Everyone and Leave’. Apakah menurut kalian Reigns ada sangkut pautnya dengan Retribution? Anyway, SummerSlam 2020 cukup menghibur. Matchnya fairly good, enggak ada yang terlalu unggul, ataupun terlampau jelek. Main event-nya lah yang paling parah, tapi tertebus oleh kejutan yang menyusul. Selebihnya ada yang bagus tapi agak kepanjangan kayak matchnya anak Mysterio, ada yang terlalu ngikut tema kayak Kejuaraan WWE. Milih Match of the Night di sini cukup susah, tapi aku akan membagikannya kepada pertandingan yang punya storyline yang paling matang, dan aksi yang garang. MATCH OF THE NIGHT dijatuhkan kepada Asuka melawan Sasha Banks.
 
 
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley mempertahankan gelar dari Asuka
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Street Prophet retains over Andrade and Angel Garza
3. NO DISQUALIFICATION LOSER LEAVES WWE Mandy Rose dikalahkan meja, eh maksudnya, Mandy Rose mengalahkan Sonya Deville
4. STREET FIGHT Seth Rollins menghajar Dominik Mysterio
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka merebut kembali sabuk dari Sasha Banks
6. WWE CHAMPIONSHIP Juara bertahan Drew McIntyre ngalahin Randy Orton
7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP The Fiend Bray Wyatt jadi juara baru mengalahkan Braun Strowman 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SPREE Review

“Life is not a popularity contest”
 

 
 
Kita hidup di dunia yang cetek sekarang. Dunia yang mementingkan angka engagement, jumlah follower, jumlah penonton. Dunia di mana ‘harga’ seseorang bergantung pada seberapa banyak orang yang meng-Like status atau menonton unggahan story-live-nya. Ya, selamat datang di Dunia Influencer. Tempat semua orang berlomba membuat konten, tempat persaingan bebas karena gak butuh keahlian khusus, kepintaran, atau ilmu yang memadai. Kita cuma harus punya ‘personalitas’.
Kedangkalan jagat perkontenan ini dipotret dengan tepat oleh sutradara Eugene Kotlyarenko dalam komedi thriller terbarunya ini. Spree hadir dengan demikian simpel. Berkonsep ‘sajian dari layar hape’ – yang kita lihat di sini adalah gambar-gambar dari kamera hape saat tokohnya melakukan livestream ke internet, film ini bercerita tentang seorang anak muda bernama Kurt yang ingin jadi terkenal di sosial media. Tetapi dunia perkontenan yang sederhana itu ternyata cukup keras. Channel Kurt tak kunjung dapat view. Mencapai dua digit aja dia susah. Maka ia merekam segala aktivitasnya, sebagai pengemudi layanan taksi online Spree. Masalahnya adalah ‘aktivitas’ Kurt itu sendiri. Desperate menaikkan jumlah view, Kurt melanggar aturan internet (“Harusnya semua ini settingan!”). Dia gentayangan melakukan tindak kriminal beneran terhadap penumpang-penumpang taksi onlinenya!

Bukan masalah apa yang kita lakukan, melainkan pada ‘siapa kita’

 
 
Film ini tak lantas memperlihatkan Kurt dengan gampang mendapat jumlah view dan follower. Membunuh satu, dua orang, tidak seketika membuatnya viral. Dan ini boleh jadi adalah hal yang paling mengerikan yang diperlihatkan oleh Spree kepada kita. Batasan sebuah konten itu semakin hari kian mengabur. Orang-orang yang menonton akun Kurt, menyangka pembunuhan itu adalah bohongan. Udah banyak konten yang seperti itu, komen seorang selegram yang dimintai pendapat oleh Kurt. Ini seharusnya adalah komentar untuk keadaan di dunia nyata. Kita toh sering ‘menangkap basah’ konten-konten orang berantem yang ternyata adalah settingan dari kedua belah pihak. Sama seperti ketika Kurt menyerang sesama influencer dengan pisau, pemirsanya bersorak karena mereka pikir ini adalah settingan kolab. Jikapun ada yang marah, ya itu karena mereka gaksuka Kurt yang nobody tiba-tiba muncul di streamer favorit, pake di-share segala.
Seremnya adalah, tidak semua pembuat konten mendapat ‘memo’ yang sama. Kita juga acap menemukan berita tentang orang-orang seperti Kurt; yang melakukan viral-stunt tapi beneran merugikan orang lain. Kasus seperti remaja yang ngeprank banci dengan bantuan makanan yang ternyata sampah itu misalnya. Orang-orang sudah tak peduli moral dan etika. Mereka bahkan tidak mau memikirkan ulang apa yang mereka lihat. Mereka menonton sesuatu keributan yang viral, dan lantas meniru karena kepepet ingin viral juga. Tak mau tahu kalo yang mereka tiru aslinya adalah bohongan. Atau mungkin memang sengaja, karena memang semakin tampak otentik, akan semakin menariklah konten yang dibuat. Film Spree tak lain dan tak bukan berfungsi sebagai broadcast perilaku-perilaku buruk yang bisa kita lakukan di internet, demi mencari konten. Maka kita bisa menganggap film ini sebagai satire yang memperingatkan. Bahwa mau itu real ataupun settingan, konten yang meaningless seperti prank atau unboxing ataupun publicity-stunt lain ya memang unfaedah.
Spree harusnya berkapasitas untuk memeriksa kenapa seseorang bisa memutuskan untuk membuat konten unfaedah. Tokoh Kurt yang membuat akun @KurtsWorld86 (tadinya kupikir dia parodiin Wayne’s World) digambarkan sebagai sosok yang punya kompas moral tersendiri. Kita melihat dia peduli pada estetika gambar. Dia punya perhatian pada konsistensi dalam merekam video. Ada satu momen ketika Kurt kesel ngeliat selegram terkenal yang videonya ia sebut bikin sakit leher. Elemen sikap Kurt ini boleh jadi relatable buat banyak orang. Karena kadang aku pun kesel (alias sedikit jealous) dengan konten yang lebih populer padahal secara value atau pembuatan, konten tersebut banyak kelemahan. Kurt adalah orang yang berusaha sebaik mungkin, ia bikin video dengan ‘ikut aturan’ – dalam artian gak ngasal. Dia cuma terlalu awkward di kamera. Permainan akting Joe Keery cukup kuat di sini. Kita tahu di serial Stranger Things Keery memerankan salah satu fans favorite, dan di Spree ini ia meninggalkan semua kharismanya di rumah. Gugupnya ngomong live di kamera tampak natural, dan ketika sudah waktunya mengaktifkan mode psiko, Keery langsung tancap gas. Aktingnya jadi tampak sangat natural. Balik lagi ke tokohnya, si Kurt, Aku pikir banyak dari kita yang berusaha untuk bikin konten jadi populer, tapi mengalami masalah yang sama dengan Kurt.

Sometimes we tried too hard, dan lupa bahwa pada akhirnya internet tetep adalah kontes popularitas. Namun, hidup ini tidak. Kehidupan nyata bukanlah perlombaan siapa yang viral. Tentu, masing-masing kita berhak memilih untuk hidup di mana. Hanya saja, satu yang perlu diingat; konsekuensi dunia nyata cepat atau lambat akan menemukan kita di manapun berada.

 
Bahkan korban-korban Kurt pun ditampilkan oleh film sebagai pribadi yang bermasalah, mulai dari seorang rasis hingga ke seorang yang ‘berpenyakit’ toxic masculinity. Semua itu tampak seperti cara film untuk memperlihatkan bahwa di dalam sana, Kurt adalah orang baik. Mungkin jika ceritanya memang dibentuk seperti Joker (2019), alias jika Kurt sedari awal diperlihatkan sebagai ‘orang baik’ yang tersakiti kemudian akhirnya meledak, Spree bisa punya lapisan dan kedalaman sehingga menontonnya akan membuat kita berpikir ulang terhadap kehidupan internet sekali lagi. Namun sayangnya, film ini memutuskan untuk menjadi dangkal. Spree memastikan sedari awal, Kurt adalah seorang yang berniat jahat. Sifat-sifatnya yang relatable dan yang menunjukkan dia sepertinya orang baik hanyalah sebuah kecohan. Karena film tidak membuat kita mengikuti Kurt sepanjang waktu. Ada beberapa momen yang disembunyikan, untuk kemudian diungkap sebagai kejutan.

Being popular on sosmed is like sitting at the cool table in the cafetaria at a mental hospital.

 
 
Itulah sebabnya kenapa Kurt dan film Spree ini sendiri terasa tak banyak punya daging di balik thriller hiburan dan gimmick bercerita lewat layar sosial-medianya. Sedari awal film ini disusun untuk kejutan – bahwa ternyata Kurt jahat – alih-alih langsung menunjukkan bahwa ini bukan cerita pahlawan dan menjadikannya studi karakter. Film mengincar kita untuk mendukung Kurt terlebih dahulu, untuk kemudian perlahan menyadari bahwa karakter ini salah dan tak patut untuk dielukan. Ini adalah bagian dari gagasan film. Masalahnya adalah motivasi pengen banyak view dan follower itu, kita bisa lihat sedari awal, bukanlah motivasi kuat yang bisa mengundang simpati. Film benar-benar bergantung kepada kita untuk bersikap se-shallow netijen dan Kurt di dunia Spree, supaya cerita bisa berjalan maksimal.
Di antara film-film berkonsep tutur menggunakan layar komputer/handphone, Spree juga gak particularly strong. Malahan boleh jadi merupakan yang paling chaos di antara semuanya. Hal ini disebabkan karena pada Spree ada begitu banyak kamera. Begitu sering berpindah-pindah layar dan angle. Di mobil Kurt saja ada lebih dari empat sudut pandang kamera yang senantiasa berpindah. Banyak-kamera ini tentu diniatkan supaya cerita bisa lebih fleksibel, gak terpaku pada satu pemandangan desktop. Hanya saja temponya dibuat terlalu cepat. Spree juga sering menampilkan layar hape, bukan hanya satu, melainkan tiga sekaligus yang dikolase ke layar. Mereka ingin menunjukkan komentar-komentar para netijen yang nonton story para tokoh film, tapi bagi kita sungguh sukar mengikuti komen-komen itu kesemuanya. Jadi bikin bingung juga, di antara komen-komen itu ada yang penting atau enggak. Kalo enggak ada yang penting, ya kenapa ditampilkan. Aku sampai harus ngepause untuk bisa baca satu persatu.
Fun fact: ada komen dari Indonesia hihihi
 
 
 
Sesungguhnya ini adalah satire dengan humor dark tentang perilaku manusia di era konten seperti sekarang. Film ini mempertahankan kesimpelan era tersebut. Tidak banyak kekompleksan yang dibahas, karena film ini mengutamakan pada kejadian pembunuhan yang ditarik dari pertanyaan sejauh apa seorang manusia bertindak untuk membuat konten demi sebuah pengakuan. This movie is strictly about the act. Sementara karakternya dikembangkan dengan arahan sebagai sebuah kejutan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for SPREE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Influencer sekarang ada dalam setiap apapun yang butuh promosi. Bahkan pemerintah menyisihkan anggaran yang tidak sedikit untuk jasa influencer. Menurut kalian bakal seperti apa sosial media dalam, katakanlah, sepuluh tahun ke depan? Apakah influencer akan jadi kerjaan nomor satu? Masihkah lomba konten ini berlanjut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GURU-GURU GOKIL Review

“Experience is the best teacher, and the worst experiences teach the best lessons.”
 
 

 
 
Sosok seorang guru adalah sosok yang menginspirasi. Yang menjadi suri teladan. Pahlawan tanpa tanda jasa. Beruntung, Guru-Guru Gokil karya Sammaria Simanjuntak yang tayang eksklusif di Netflix bukan guru. Sebab sebagai sebuah cerita tentang guru-guru, film ini nyaris tidak punya ‘muatan lokal’ yang menarik, dan tidak ada yang bisa menggugah inspirasi sama sekali. Kecuali buat orang yang mimpi jadi pahlawan di siang bolong.
Sama seperti orang-orang normal di seluruh dunia, Taat Pribadi suka ama yang namanya duit. Jadi dia pergi merantau ke kota, nyobain pekerjaan apapun demi mencari uang. Jauh dari kampungnya, jauh dari bapaknya yang guru. Jauh dari kerjaan guru itu sendiri; kerjaan yang ia sinisin karena hubungannya dengan sang bapak. Namun ketika semua usaha gagal, Taat terpaksa pulang dan mengambil kerja sampingan sementara sebagai… seorang guru! Hihihi seharusnya memang ada yang menarik dan lucu di sini, karena Taat bekerja di sekolah tempat ayahnya mengajar. Ada hati juga. Situasinya sudah klop untuk jadi sebuah komedi yang hangat tentang bapak dan anak. Hanya saja, kemudian pada naskah dimunculkan sebuah perampokan uang gaji para guru. Taat kemudian menginvestigasi, karena tentu saja awalnya dia ingin duitnya. Tapi kemudian ada guru yang ia suka. Kemudian ada penjahat yang sadis. Kemudian ada Dian Sastro yang jadi guru pinter tapi ‘oon – dan dia lagi hamil. Bisa aku meledak sekarang?

Mungkin gokil di sini maksudnya beneran ‘pergi membunuh’

 
Sementara para pemain memang tampak nyata sangat menikmati permainan peran mereka masing-masing; Gading Marten is on his zone, dua alumni Gadis Sampul Faradina Mufti dan Dian Sastro (the later is also the producer) bersenang-senang dengan karakter yang berbeda dari tipikal peran drama yang biasa mereka mainkan, dan bahkan Asri Welas diberikan sesuatu yang baru ketika memainkan tokoh Kepala Sekolah. Their joy membuat film ini ceria meskipun film bersikukuh menggunakan warna ekspresionis oren alih-alih cerah dan light-hearted. Dan memang kesenangan mereka itu tidak pernah terdeliver kepada kita. Cerita film ini sebagian besar akan berfokus kepada pemecahan kasus pencurian. Memperkenalkan needlessly sadistic villain nun jauh di pertengahan cerita. Ketika kita sadar cerita crime pun sebenarnya masih bisa lucu dengan bumbu-bumbu komedi, film Guru-Guru Gokil ini masih bingung. Berada di tengah, di antara semuanya. Lucu enggak, tegang kurang, drama gak nyampe. Kita dibuatnya terlalu bosan oleh arahan yang mengawang untuk bisa ikut excited, untuk ikut tertawa, dan untuk hanyut terenyuh.
Penulisannya sebenarnya enggak buruk. Taat Pribadi jelas bukan tokoh yang membosankan. Karakternya punya cela dan ‘flawed-character’ inilah adalah cara yang tepat untuk membuat cerita menjadi menarik. Marlin adalah ayah yang overprotektif, Woody adalah mainan lama yang iri sama mainan baru, Ariel adalah anak duyung yang melawan pada aturan bapaknya. Kita menganggap tokoh-tokoh bercela seperti demikian itu menarik karena cerita adalah soal pertumbuhan mereka menjadi lebih baik. Itulah yang disebut dengan journey mereka. Taat pada Guru-Guru Gokil cinta mati ama duit, serta dia gak suka sama bapaknya yang ia anggap lebih baik dan mendengarkan orang lain daripada dirinya. Taat tidak serius menjadi guru pengganti, dia hanya mau duitnya. Nantinya, Taat harus memilih antara duit atau menyelamatkan sekolah. Pertumbuhan di sinilah adalah Taat berkembang menjadi beneran peduli pada orang-orang di sekolah. Poin awal dan akhir film ini sebenarnya tepat. Jika ini mesin, maka roda-roda giginya berada pada posisi yang benar. Hanya saja, proses dari awal ke akhir, dari poin a ke poin b itulah yang menjadi masalah. Film ini menggunakan banyak roda gigi yang gak seimbang sehingga perjalanan cerita film ini enggak asik untuk diikuti.
Karakter yang tadinya bercela itu dikembangkan jadi ahli-semua. Taat menjadi membosankan saat ia mampu memecahkan apapun. Masalah yang seharusnya jadi ‘alat’ untuk karakternya berkembang dan belajar, malah either beres dengan bantuan atau ia kerjakan sendiri dengan gampang. Bukan saja Taat mampu jadi guru pengganti yang baik, yang konek dengan semua murid di kelas tanpa kita lihat prosesnya seperti apa, pria ini juga mampu menemukan pelaku kejahatan hanya dengan modal tato. Ia juga bisa sulap, mencairkan hati seorang guru galak. Dia bisa mengetahui hal di kampung itu yang tak semestinya dia yang-baru-datang-dari-kota tidak ketahui. Film punya cara gampang; begitu ada sesuatu yang perlu dijelaskan, mereka cukup membuatnya sebagai adegan flashback atau montase dengan narasi voice-over dari Taat.

Mungkin ini adalah cara film untuk menyuarakan gagasan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Taat bisa itu semua karena dia memang sudah mencoba banyak hal. Taat membuat jadi guru tampak sedemikian mudah. Cuma butuh pengalaman buruk untuk bertobat, dan wanita cantik untuk dicie-ciein.

 
Paling enak kita membandingkan Taat dengan Dewey Finn, tokoh yang diperankan Jack Black di School of Rock (2003). Filmnya sama-sama komedi di sekolah. Kedua tokoh sama-sama ‘flawed character’ guru pengganti yang peduli sama duit bayarannya aja. Kedua sama-sama gak tahu menahu apapun soal pelajaran sekolah ataupun cara mengajar anak-anak. Namun pada School of Rock, Dewey tidak pernah bicara tentang hal yang tidak ia tahu. Dan film tersebut benar-benar nunjukin. Dewey hanya tahu soal musik rock, dan itulah yang ia ajarkan kepada murid-murid. Dewey memanfaatkan para murid untuk ikut serta dalam lomba ngeband, membohongi mereka dengan mengatakan bahwa itu adalah proyek sekolah yang akan dinilai dan menentukan masa depan. Kita melihat prosesnya, Dewey jadi dekat bukan hanya dengan murid tapi juga dengan sesama guru; dia menggunakan skill ngeles dan ‘pengetahuan’ musiknya di ruang guru, di kantin. Kita juga diperlihatkan konsekuensi ketika kunjungan orangtua Dewey sama sekali tergagap karena gak bisa ngajar. Tidak ada proses itu pada Taat di Guru-Guru Gokil. Tidak ada kantin, tidak ada ruang guru. Melainkan hanya poin-poin seperti tau-tau murid-muridnya diskusi dan menggambar tato bareng. Hampir seperti film ini nyontek plot School of Rock untuk bagian di kelas. Tau-tau ada orangtua yang minta kunjungan belajar dan di situpun Taat diselamatkan oleh murid. Hanya ada satu murid yang benar-benar berkoneksi dengan Taat, dan itu karena bagian dari elemen romansa yang dimiliki oleh cerita. Dalam School of Rock, kesimpulannya jelas. Bagaimanapun juga Dewey tidak layak menjadi guru sekolah, tapi dia menunjukkan bahwa pendidikan di sekolah harus berimbang, antara seni dan teori. Dewey akhirnya jadi guru les musik bagi murid-murid di sekolah itu. Sebaliknya pada Guru-Guru Gokil, tidak jelas apa yang mau dikatakan oleh film ini kepada dunia guru dan pendidikan itu sendiri.

Sebaiknya semua orang hanya mengucapkan apa yang mereka tahu

 
 
Ada seuprit komentar/kritik di sana sini soal gaji guru yang kecil, tapi mereka mau jualan untuk nambah-nambah pun gak boleh karena kurang etis pada tempatnya. Ataupun soal guru yang diprank atau malah dibully oleh murid. Seperti yang memang cukup marak belakangan ini, banyak guru yang ngalah dan berada di posisi sulit antara anak yang terlalu bandel dan dimanja oleh orangtuanya. Film ini seperti ingin menggagas supaya kita lebih meninggikan derajat guru. Namun tentu saja pesan itu jadi susah untuk mengalir ketika film sekaligus memperlihatkan orang seperti Taat saja ujung-ujungnya bisa jadi guru di sekolah. Dia tak kalah pintar dan cerdiknya dengan guru beneran. Dia cuma butuh ijazah untuk formalitas. Kita tidak pernah benar-benar merasakan darimana kecintaannya mengajar timbul karena film lebih meluangkan waktu untuk mengembangkan elemen romansanya kepada seorang guru, ketimbang mengembangkan proses dengan murid-murid. Karakter bercela ini jadi ter-redeem hanya karena ada tokoh penjahat, tokoh guru yang lebih jahat – yang lebih suka uang daripada dirinya. Pemecahan kasusnya tak menarik karena seperti generik film-film komedi yang penjahatnya digambarkan over-sadis tapi bego – kayak di film untuk anak balita. Konflik Taat dengan sang bapak beres dengan gampang, hanya butuh ‘membuka komunikasi’.
Dan seperti yang diperlihatkan oleh adegan endingnya yang teramat cheesy – ya bahkan lebih cheesy dari adegan ‘hujan uang’ yang mestinya bisa lebih berbobot itu – pada film ini, syarat jadi guru yang baik itu cuma satu: harus tetep gokil!
Oke aku meledak sekarang. DUAR!!
 
 
 
 
 
Kalo mau nonton cerita tentang korupsi/kriminal di balik dinding sekolah karena guru yang gajinya kecil juga pantas untuk nuntut ‘tanda jasa’, ada Bad Education (2020), yang berasal dari kisah nyata. Kalo mau ringan dan lucu tentang orang yang tadinya tidak peduli sama pendidikan dan maunya cuma duit menemukan cintanya sebagai pengajar, ada School of Rock. Poinku adalah, masih ada pilihan tontonan lain yang jauh lebih baik, lebih seru, lebih lucu dengan caranya masing-masing, dibandingkan dengan film ini yang berusaha untuk menjadi semuanya sekaligus. The comedy is fine, enggak terlampau receh, penampilan aktingnya juga oke. Mestinya film ini berfokus kepada anak dan bapak itu saja, enggak usah terlalu banyak pada kasus perampokan. Hasilnya malah film ini jadi salah satu film komedi crime termembosankan dan cerita tentang guru yang paling tak-inspiratif yang bisa kita saksikan. Oh iya, film ini juga mencoba jadi film lebaran dengan setting bulan puasa yang eksistensinya benar-benar tak lebih dari sebuah sepuhan. Such a shame karena ini adalah film-baru Indonesia pertama yang tayang semenjak pandemi, dan bisa tayang di Netflix seluruh dunia, hanya untuk jadi tontonan setengah-setengah dengan muatan lokal yang demikian lemah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GURU-GURU GOKIL.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Tipe guru seperti apa yang kalian suka dan tak suka? Hal terbandel apa yang pernah kalian lakukan kepada guru? Melihatnya kembali sekarang, spakah kalian menyesal melakukannya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PROJECT POWER Review

“When your desires are strong enough, you will appear to possess superhuman powers to achieve”
 

 
 
Obat super beredar di jalanan New Orleans. Obat yang jika dikonsumsi akan memberikan kekuatan super kepada pemakainya; selama lima menit, si pemakai akan memiliki berbagai kemampuan seperti hewan, ada yang tahan api, ada yang jadi berkulit anti peluru, ada yang bisa bikin kulit kayak bunglon – hasil itu berbeda pada setiap individu, tergantung karakteristik power bawaan mereka. Malah ada yang tubuhnya meledak begitu saja! Namun kerandoman itu tidak menyetop manusia di dunia Project Power untuk mencoba obat tersebut. Yang menjadikan obat itu jadi rebutan, diperdagangkan, dan coba untuk dikuasai oleh pihak tertentu. Pil yang paling pahit untuk ditelan memang bukan obat fiktif itu, melainkan film ini sendiri. Ide dan konsepnya yang keren – yang mengingatkan kita pada salah satu saga pada season anime superhero My Hero Academia – seperti dimentahkan oleh pemilihan plot yang basi.
Narasi film original Netflix terbaru ini berpijak pada tiga karakter sebagai pondasinya. Sebagai hero, ada Joseph Gordon-Levitt yang memainkan seorang polisi bernama Frank. Dia ditugaskan khusus untuk menyelidiki peredaran obat-obat atau pil power tersebut, dan menariknya Frank diam-diam turut mengonsumsi pil untuk mempermudah dia dalam melaksanakan misi-misi yang berbahaya. Frank mendapat pasokan pil dari dealer remaja bernama Robin. Robin ini – diperankan oleh Dominique Fishback – adalah protagonis kita. Robin punya backstory yang membuatnya relatable dan bisa kita pedulikan; dia anaknya gak pedean walau punya bakat jadi rapper, dan terpaksa menjadi dealer karena struggle dengan masalah keuangan keluarganya. Walau kedua tokoh ini sudah menarik in their own way, film memfokuskan petualangan pada cerita si tokoh utama, Jamie Foxx yang kebagian peran sebagai Art, ex-militer yang buron dan dianggap berbahaya, padahal sebenarnya dia hanya mencari putrinya yang diculik oleh perusahaan pembuat pil yang ingin memanfaatkan quirk, eh power! sang putri untuk pengembangan lebih lanjut. Art, Robin, dan Frank akhirnya bertemu, dan dari yang tadinya bersengketa, mereka jadi tim yang memberantas pengedaran pil.

next episode: trio ini memberantas kalung obat corona

 
Project Power diberkahi oleh tiga penampilan utama yang jelas sekali lebih kuat daripada materi ceritanya. Oleh arahan Henry Joost dan Ariel Schulman yang menghadirkan aksi-aksi cepat dan cukup kreatif. Dan tentu saja oleh budget Netflix yang memungkinkan film ini mejeng dengan tampilan yang meyakinkan. Film ini punya banyak sekuen aksi yang asik berkat variasi superpower yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya. Adegan pengejaran si perampok berkemampuan bunglon di jalanan kota yang ramai merupakan salah satu pencapaian terhebat yang berhasil diraih oleh Project Power. Kebrutalan juga dimainkan dengan berimbang dan diperlakukan dengan stylish, sehingga adegan-adegan yang mestinya sadis tidak terasa disturbing amat, sekaligus tidak mengurangi sensasi kebrutalannya. Seperti misalnya ketika kamera diposisikan untuk merekam perkelahian Art dengan perspektif dari dalam kandang kaca, sementara di dalam kandang itu sendiri ada seorang tokoh yang efek obatnya sudah habis sehingga dia sedang mengalami kepanikan lantaran tubuhnya kini berangsur tidak lagi tahan beku. Jadi ada dua kejadian yang berlangsung, dan kita seperti mengalami keduanya sekaligus, kita merasakan hopelessnya tokoh yang terkurung, imajinasi kita dibimbing untuk ‘melihat’ dia membeku sampai mati, sementara itu juga kita melihat pertempuran tak imbang di luar kandang di mana tokoh utama yang kita pedulikan sedang melawan banyak orang.
Film-film aksi original Netflix sepertinya mengikuti satu tren tertentu. Produksi dan garapan laganya selalu memukau. Namun tidak demikian dengan ceritanya. Project Power juga tersendat masalah yang sama; yakni alur yang tidak segarang konsep film itu sendiri. Kisah pencarian anak yang diculik bukan saja udah pasaran, pada kasus film ini juga menumpulkan dunia film ini sendiri. Membuat antagonisnya generik, membuat pengembangannya enggak terasa baru. Modal untuk jadi dalem dan fresh itu sebenarnya ada di sana. Polisi yang makek obat terlarang? kurang menarik apa coba. Anak-anak jalanan yang jadi addict sama pil, walaupun mengonsumsinya ada efek samping dan lima-menit kekuatan itu apakah tidak cukup atau malah sebuah resiko yang rela diambil; ada gagasan yang menarik di situ.
Dan soal musik rap itu; film menggunakan banyak sisipan lagu-lagu rap, yang difungsikan bukan semata pemanis, melainkan sebagai penguat karakter. Rap adalah ‘power’ dari karakter Robin. Cewek ini enggak butuh untuk makek pil, tapi dia perlu banget untuk berani menunjukkan kemampuan rap yang jadi keunggulan dirinya. Tentu ada pembelajaran untuk penonton muda di sini. Sayangnya karakter Robin dan her entire act kayak jadi sampingan. Nge-rap itu enggak pernah dijadikan sesuatu yang menyelesaikan masalah dalam film ini, kemampuannya tersebut tetap nampak tak berguna. Di pertempuran akhir ada momen ketika Robin harus jadi pengawas di ruang kendali dengan banyak monitor, kupikir keahlian ngerapnya akan digunakan untuk menyelamatkan rekan-rekan atau semacam itu, tapi ternyata tidak.

Pil super dalam film ini diperebutkan karena orang-orang mencari solusi termudah bagi masalah dalam hidup mereka. Padahal kita enggak butuh kekuatan super untuk mencapai tujuan. Justru sebaliknya, kita adalah manusia super jika berhasil berjuang, memberanikan diri, dan rela berkorban untuk menggapai yang kita inginkan.

 

Diputer, digigit, dicelupin ke dalam perut

 
Film tidak pernah menggali keunikan konsep dan latar tokoh-tokohnya dengan mendalam. Hanya menyerempet permukaan sehingga mereka tampil ala kadar. It’s actually susah untuk kita menentukan mana tokoh yang seharusnya bisa dihilangkan saja, saking meratanya kelemahan penulisan mereka. Aku pribadi lebih suka jika ini adalah cerita tentang Frank dan Robin saja, karena hubungan mereka lebih unik. Polisi dan dealer obat terlarang – yang makek di sini adalah si polisi. Atau Frank saja yang dienyahkan sepenuhnya kalo film memang pengen memfokuskan kepada Art mencari anaknya. Dengan begitu kita akan dapati landasan drama yang lebih menyentuh antara Robin yang gak punya ayah dengan Art si buronan yang kehilangan putrinya. Dalam film ini, actually, kadar drama tersebut memang ada dan cukup kuat. Momen-momen hangat dan menyentuh dari film ini bersumber dari interaksi antara Art dengan Robin. Namun cara yang dipilih film untuk membungkus cerita sangat sangat aneh. Hingga ke titik seperti Robin-lah di sini yang paling enggak penting.
Keduanya diset untuk menemukan pengganti dari dalam diri masing-masing. Art melihat putrinya di dalam diri Robin, dan sebaliknya bagi Robin Art adalah ayah yang tak ia punya. Dan film memastikan Robin tak pernah punya sosok ayah yang ia idamkan. Karena di akhir, Art menemukan miliknya yang hilang, dan Robin ditinggal. Kembali ke kehidupannya semula, only richer. Dan karena tokoh utama film ini adalah Art, maka Robin si protagonis hanya terasa seperti placeholder. Kehampaan serupa yang kurasakan saat menonton Pokemon Detective Pikachu (2019) saat tokoh utamanya tetap gak punya pokemon di akhir cerita. Project Power ini bermain terlalu aman. Semua keunikan dan aksi-aksi cepatnya jadi sia-sia karena cerita yang kayak gak niat untuk menjadi lebih kuat.
 
 
 
Kalo ada yang butuh pil super, maka itu bukan para tokoh ataupun kita. Melainkan film ini. Ide dan konsepnya butuh sesuatu untuk meledak menjadi sesuatu yang benar-benar fun, fresh, dan memiliki arti. Dalam keadaannya yang sekarang, film ini tetap seru untuk disaksikan, tapi akan memberikan aftertaste yang hambar, dan kemudian pahit jika kita mengingat potensi yang dikandung oleh konsepnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PROJECT POWER.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika dijual, berapa harga yang rela kalian bayarkan untuk mendapatkan pil seperti itu? Jika kalian tidak tertarik, kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE SECRET GARDEN Review

“The grass is greener where you water it.”
 

 
Bagi yang belum pernah menonton versi jadulnya (1993), seperti aku, menemukan kebun rahasia untuk pertama kalinya dalam adaptasi terbaru dari cerita klasik karangan Frances Hodgson Burnett serta merta akan menjadi perjalanan magis yang terasa sangat ‘menyembuhkan’. Terlebih karena film ini hadir di waktu yang tepat. The Secret Garden selalu adalah cerita yang sangat menghargai imajinasi, dan sutradara Marc Munden paham akan hal tersebut. Cerita yang digarapnya kali ini tetap mempertahankan pesona aslinya, tapi dikaitkan sedemikian rupa sehingga beresonansi dengan keadaan kita sekarang. Oleh Munden, cerita ini diracik sehingga punya kemampuan untuk mengobati perasaan kesepian dan terisolasi yang dirasakan oleh banyak penonton sekarang ini melalui kekuatan imajinasi yang dimiliki oleh anak-anak.
Setia dengan materi aslinya, film ini mengisahkan seorang anak perempuan Inggris bernama Mary, yang jadi yatim piatu ketika kedua orangtuanya meninggal karena kolera. Dari kediamannya di India, Mary dibawa ‘mudik’ untuk tinggal di rumah besar bersama pamannya. Rumah yang seperti istana itu tidak ada bedanya dengan penjara bagi Mary yang aslinya adalah anak gedongan dan yah, sedikit manja. Sisa-sisa perang dan kemuraman menjalar pada dinding-dindingnya. Mengurung Mary dengan segudang peraturan, yang tak pernah alpa diingatkan secara ketus oleh ibu pengurus rumah. Mary tidak diperkenankan jalan-jalan sembarangan. Namun tentu saja hal tersebut bukan masalah bagi Mary. Sesi eksplorasinya setiap hari membuat Mary bertemu dengan sepupunya yang gak boleh keluar kamar karena sakit. Membawa Mary kepada pengetahuan baru tentang keluarganya. Dan membuatnya menemukan sebuah taman ajaib, yang tentu saja merupakan obat dari penyakit yang diderita bukan saja oleh sepupunya itu, melainkan juga seluruh penghuni rumah termasuk Mary sendiri. Asalkan mereka memanfaatkannya dengan tepat.

Anu.. ini aku gak nyasar ke film Tall Grass atau ke labirin Alice kan?

 
Kedengarannya memang depressing. Film ini punya dunia cerita yang cukup dewasa (kalo gak mau dibilang dark) untuk anak-anak. Mary bukanlah tipe princess yang patuh dan polos. Dia nyebelin, ngebos, gak mau dilarang, dan saking manjanya dia minta dipakaikan baju kepada pengurus rumah, “Kukira kalian akan melayaniku” tudingnya kepada pengurus yang datang mengantarkan sarapan. Dan btw, Mary gak suka sarapan bubur! Tapi karakternya ini ditulis demikian bukan tanpa sebab. Karakter Mary berkaitan erat dengan hubungannya dengan ibu yang telah tiada. Yang terjadi di situlah yang cukup gelap untuk konsumsi anak-anak. Mary adalah seorang anak yang tumbuh dengan percaya bahwa ibu tidak suka dengannya, dan bahkan bahwa dirinyalah penyebab ibunya meninggal. Mary is one scarred-character yang kini tak punya siapa-siapa sehingga dia harus membenahi dirinya sendirian. Dan dari keadaan itulah muncul kekuatan tokoh ini, yang me-redeem tokohnya menjadi panutan bukan hanya anak-anak melainkan juga orang dewasa.
Mary yang menemukan Kebun Rahasia adalah simbol dari penyembuhan diri sendiri. Dia melambangkan perjuangan untuk mengubah diri dan tidak menanggalkan harapan. Gadis cilik ini – dimainkan dengan teramat tangkas oleh Dixie Egerickx – hanya punya satu defense-mechanism, yakni imajinasinya. Melalui tokoh ini, film meminta kita untuk turut seperti Mary. Untuk kreatif dan menjadikan imajinasi bukan hanya sebagai eskapis, melainkan juga sebagai sumber kekuatan. Naskah juga tidak menahan apapun, Mary yang punya ketertarikan dengan buku dan cerita itu ditempatkan dalam keadaan yang begitu suram; di rumah besar pamannya mimpi-mimpi Mary selalu terganggu, dan yang ceria itu enggak pernah sampai happy ending. Inilah yang mendorong Mary untuk melangkah keluar. Melawan ketakutannya akan tempat yang luas, sesosok anjing misterius, dan akhirnya menemukan Kebun Rahasia. Yang merupakan reward dari tindakannya yang tidak menyerah dan terus berusaha mencari ‘kesembuhan’ yakni penghiburan diri dari kesepian.
Paruh pertama yang punya tone seperti kakak-beradik dengan Pan’s Labyrinth (2006)-nya Guillermo del Toro seketika berubah menjadi menakjubkan dan literally cerah begitu Mary menemukan Kebun Rahasia. Tone cerita juga bergeser, kini menjadi penuh harapan sesuai dengan tokohnya yang optimis bahwa Kebun ajaib itu bisa membantu mereka. Dalam film ini sensasi eksplorasi lewat mata anak kecil terasa menyelimuti hingga nyaris keseluruhan narasi. Antara lorong-lorong gelap mencari keberadaan suara, hingga menemukan ruang rahasia, ke menyusur warna-warni hutan dan bertualang mencicipi kemagisan yang ditawarkan – mau tak mau kita turut merasakan petualangan dan keajaiban tersebut. Dan aku suka cara film ini memvisualkan keajaiban Kebun itu. Kita akan melihat daun-daun pepohonannya yang berubah warna sesuai tiupan angin. Tanaman yang membentuk formasi indah. Bukan hewan-hewan yang datang bermain bersama Mary, pada satu adegan diperlihatkan pohon menjulurkan ranting-rantingnya untuk membantu Mary yang sedang memanjat. Di atas kertas, Kebun tersebut punya khasiat menyembuhkan. Pada layar, di samping memperlihatkan penyakit yang sembuh setelah berkunjung ke sana, secara feeling kita merasakan ‘kesembuhan’ yang sama, dengan perubahan tone dan visual yang disajikan. Perlakuan terhadap Kebun itu rupanya adalah hal berbeda yang ditambahkan oleh sutradara. Kebun itu juga berhubungan dengan ibu Mary dan ibu sang sepupu, dan film ini punya cara tersendiri untuk menjalin di antara keempat elemen tersebut, yang menambah depth misteri dan backstory.
Bukit berbungaa, lukisan nirwanaa

 
Belakangan, ketika pertanyaan pada naskah berkembang dari Mary yang sudah menemukan kesembuhan menjadi bagaimana Mary bisa membawa penyembuhan kepada orang lain, sepupu Mary turut menjadi perlambangan dari kesembuhan diri. Lewat tokoh anak cowok yang nelangsa karena merasa dirinya sakit dan gak bisa berjalan itu film membawa pesan bahwa kesembuhan kita tidak bergantung kepada orang lain. Kitalah yang menjadi penentu, dan akhirnya mengundang keajaiban kepada diri sendiri.
Menonton film ini di kala pandemi, however, kita sebaiknya menjaga untuk tidak tersesat dalam sulur-sulur hiburan. Meskipun dalam film ini yang diperlihatkan adalah bagaimana tokoh yang terkurung akan merasa dirinya tak-bisa-sembuh, dan yang ia butuhkan adalah berani keluar dan menemukan Kebun Rahasia yang terletak di luar, kita tidak bisa langsung menafsirkannya sebagai lockdown di rumah gak sehat dan justru harus keluar beraktivitas seperti biasa. Karena sebenarnya ini bukan persoalan tempat, melainkan soal kebun itu sendiri. Kebun itu adalah tempat Mary dan sepupunya merasa paling dekat dengan ibu masing-masing; kebun itu adalah perwujudan dari apa yang mereka rasakan, bisa dibilang sebagai jiwa mereka. Tempat itu bisa saja adalah kamar berisi barang-barang peninggalan yang Mary temukan, jika Mary dan sepupunya juga memupuk harapan di sana. They simply just choose outside. Ke tempat yang lebih bersejarah bagi ibu mereka. Magic literally ada di sana, tapi tidak berarti Mary dan sepupunya tidak bisa memperoleh kesembuhan di tempat lain, malah tetap saja magic kebun itu butuh ‘persetujuan’ dari mereka seperti yang kita lihat pada sepupu Mary, who just don’t believe and don’t want it in the first place.

Antara berkubang di kesuraman sendiri atau ‘mengeluarkan diri’ dan mencari kesembuhan; sesungguhnya adalah keputusan kita. Yang ditumbuhkan di sini adalah harapan, yang disiram di sini adalah semangat untuk hidup. Bukan tindakan untuk keluar secara harafiah, melainkan keluar dari tidak melakukan apa-apa. Kita cuma perlu untuk tetap menyiram dan menumbuhkan.

 
 
Buatku, film ini tidak segelap Pan’s Labyrinth yang hingga hari ini masih tetap satu-satunya film yang berhasil membuatku menitikkan air mata. Film ini memang berawal dengan suram dan depressing, tapi ceritanya akan menjadi terasa melegakan dan menyembuhkan kita secara emosional. Film ini berakhir dengan membuat semangat dan harapan kita membumbung tinggi. But also, dari perspektif penulisan naskah, film ini kayak sedikit membimbing kita ke arah yang salah, membuat kita menunggu sesuatu yang tidak pernah datang karena ceritanya sama sekali enggak segelap itu. Sepuluh menit pertama yang menyedihkan itu membuat kita sedikit mengharapkan sesuatu yang lebih kelam bakal terjadi. Mood-nya sudah diset ke arah yang kelam, tapi ternyata film ini berakhir ceria. Bukan kesalahan pada ceritanya, hanya saja menurutku seharusnya penyesuaian bisa dilakukan dengan lebih baik lagi, sehingga materi ini bisa lebih fit ke dalam bentuk penulisan film. With that being said, I still think film ini adalah sajian positif yang menyejukkan. Karena di hari-hari ini kita butuh sebanyak-banyaknya keajaiban yang bisa kita dapatkan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE SECRET GARDEN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika kita bisa punya Kebun Rahasia masing-masing, seperti apa kebun imajinasi kalian? Kekuatan apa yang dimiliki oleh kebun tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SHE DIES TOMORROW Review

“Live each day like it’s your last, ’cause one day you gonna be right”
 

 
 
Kematian adalah sesuatu yang pasti, sekaligus merupakan sebuah misteri. Karena tidak ada satupun manusia yang tahu pasti kapan dirinya akan mati. Semua itu didesain untuk membentuk manusia itu sendiri. Orang yang pintar nan bijaksana akan berpikir bahwa setiap saat dirinya bisa mati, maka mereka mengisi waktu hidupnya dengan amal-amal dan kegiatan yang berguna. Memastikan tidak ada waktu mereka yang sia-sia. Namun tentu saja, sama hipotetikalnya untuk menjadi manusia sesempurna itu. Bagi kebanyakan orang, menghadapi kematian akan terasa sama seperti yang dirasakan oleh Amy dan tokoh-tokoh di film She Dies Tomorrow. Menakutkan dan penuh kecemasan.
Malam itu Amy (Kate Lyn Sheil mengalunkan emosi  tanpa banyak berkata-kata) tersentak dengan keyakinan absolut bahwa esok dirinya akan meninggal. Pada poin awal cerita, kita belum tahu darimana pengetahuan atau keyakinan wanita itu berasal, tetapi kita toh melihat hal-hal ganjil yang ia lihat. Yang ia rasakan. Amy melihat cahaya merah-biru-hijau berpendar di rumahnya. Dia merasakan depresi begitu kuat sehingga ia lebih memilih untuk baring di lantai. Sembari mencakar ubinnya. Amy berjalan linglung kayak orang mabok. Dan akhirnya dia menelpon sahabatnya, yang malam itu datang dan mendengar curhat soal besok Amy tidak lagi ada di dunia. Sang sahabat tentu saja menyanggah, dan menenangkan Amy, lalu pergi pulang. Namun di ruang kerjanya sendiri malam itu, sahabat Amy kepikiran soal kematian, dan akhirnya dia sendiri jadi percaya dirinya juga akan mati esok hari. Diapun mencari pertolongan ke kerabat. Hanya untuk membuat lebih banyak lagi orang-orang yang depresi dan bertingkah aneh seperti Amy. Semua orang kini percaya besok mereka mati!

Ada yang menyebar, tapi bukan virus

 
Sutradara Amy Seimetz dengan tepat menangkap ketakutan dan kecemasan manusia saat akhir hidup tiba, dan menerjemahkan dua perasaan tersebut ke dalam visual semi-surealis yang membuat bulu kuduk meremang. Jika kita menyebut She Dies Tomorrow ini film horor, maka ia adalah horor yang kuat visual dan perasaan. Tentu, tokoh-tokoh film ini melakukan beragam hal yang aneh dan menyerempet disturbing – ada tokoh yang ‘membunuh’ anggota keluarganya dan meyakininya sebagai tindakan belas kasih terakhir sebelum dirinya sendiri expired – tapi tindakan-tindakan seperti demikian tidak menjadi sumber dari ketegangan yang kita rasakan saat menonton. Tindakan itu adalah produk; reaksi dari aksi penyadaran. Penyadaran inilah horor yang sebenarnya. Bagaimana perubahan sikap mereka yang tadinya mengolok tokoh yang bilang besok ia pergi; mereka lantas menjadi sama ‘kosong’ dan hopeless dalam sekejap setelah mereka mengucapkan “bagaimana kalo besok kita beneran mati?”
The sudden silence, close up wajah-wajah yang mengucurkan air mata, gambar seseorang menangis tanpa suara, nyatanya akan balik menghantui kita tatkala pertanyaan terbesar dan terus berulang film itu kita tanyakan balik kepada diri kita. Elemen psikologikal thriller dari film ini bekerja dengan kuat berkat permainan akting yang seragam meyakinkan. Ini adalah bukti dari arahan film sangat fokus dan punya visi. Bukan tidak mungkin pula film ini sangat personal bagi sutradara. Nama tokoh yang dibuat serupa dengan nama dirinya mungkin untuk menunjukkan sang sutradara punya pengalaman langsung dengan dua perasaan utama yang jadi kunci pada film ini.

Mengetahui kapan pastinya kita pergi, enggak benar-benar membuat hidup kita lebih baik, bahagia, dan terhindar dari rasa penyesalan serta kecemasan. Karena sebenarnya mengetahui kita pasti akan pergi saja sudah cukup. Kita mestinya senantiasa ingat bahwa setiap hari bisa saja menjadi hari terakhir, maka isilah waktu supaya nanti tidak ada penyesalan. Usahakanlah supaya tidak ada penyesalan.

 
Sementara visual dan penceritaan boleh jadi senjata utama film, sebenarnya bagian paling penting yang secara subtil dipantik oleh film ini adalah pertanyaan ‘mengapa’. As in, mengapa ‘penyakit yakin besok mati’ itu bisa demikian menular. Lagi film ini membawa kita berkontemplasi. Tokoh-tokoh yang tertular itu, adalah orang-orang yang punya penyesalan, yang punya sesuatu yang belum mereka lakukan dalam hidup – entah itu belum sempat atau belum mampu. Orang-orang yang hidupnya perlu banyak pembenahan. Dalam sebuah film yang fokus pada narasi yang kuat, cerita seperti ini akan menampilkan tokoh pendukung yang sama sekali tidak terpengaruh atau tidak tertular oleh anxiety kematian seperti yang dialami Amy. Tokoh yang berfungsi sebagai pembanding. Namun She Dies Tomorrow tidak tertarik akan hal tersebut, demi sebuah keabsahan. Karena menampilkan tokoh yang tak tersentuh tentu akan mengurangi kekuatan ‘kematian’ itu sendiri. Film ini ingin realistis dalam hal tidak ada manusia-sempurna. Tidak ada manusia yang tidak terganggu oleh kepastian dirinya besok tiba-tiba meninggal. Mulai dari dokter hingga ke tukang sewa atraksi mobil semuanya punya unfinished business yang ingin diselesaikan perlahan. Kita semua punya masalah yang kita takuti, mengetahui hari ini adalah kesempatan terakhir untuk bisa menyelesaikannya terang saja bakal menimbulkan reaksi seperti yang ditampilkan oleh film ini.

Makanya Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi

 
 
Meskipun kematian tersebut pasti, dan para tokoh yakin malam itu adalah malam terakhir, namun film mengontraskan itu semua dengan membuat segala aspek tidak-pasti. Yang dibangun oleh film ini adalah sensasi ketakutan atas sesuatu yang samar-samar. Inilah hal yang paling dekat dengan yang disebut ‘plot’ oleh film ini. She Dies Tomorrow tidak punya narasi. Sudut pandangnya berpindah-pindah antara satu tokoh ke yang lain. Belum lagi lompatan-lompatan flashback. Semua tokoh di sini sama lemahnya, tokoh utama cerita boleh saja kita tukar-tukar sendiri dan enggak akan ngaruh ke seluruh cerita. Karena film ini sebenarnya adalah soal suasana. Dan ini membuat film jadi punya jarak dengan penonton. Terkadang dia seperti menggiring ke sesuatu, tapi ternyata tidak. Penonton yang ingin melihat sebuah resolusi, akan kecewa karena tidak ada semua itu di sini. Konsekuensi atas tindakan masing-masing tokoh pada malam itu juga dilewatkan dan dibiarkan mengambang.
Menonton awal-awal film ini, akan gampang bagi penonton kebanyakan untuk menyangka ceritanya adalah tentang sesuatu ‘makhluk’ yang menyebabkan penularan-kematian tersebut. Karena memang film di awal membuat seolah ada sesuatu. Kamera akan mengambil sudut-sudut dari balik pintu, atau dari belakang, seolah ada yang mengincar tokoh. Dan ini kinda mengarahkan penonton ke tempat yang salah. Mengecoh penonton. Karena kemudian kamera yang demikian tidak terjadi lagi. Dengan begitu saja film membuka kenyataan, yang mereka lakukan di sini adalah seperti menuntun anak ke suatu tempat kemudian melepaskan pegangan tangannya begitu saja. Cerita film ini sepertinya bisa saja jadi lebih menarik dengan memberinya bangunan narasi yang normal, yang tanpa flashback, yang runut dan benar-benar menceritakan si Amy itu sendiri. Namun itu tidak akan mengenai target sutradara yang menginginkan horor atau thriller yang lebih menekankan kepada perasaan atau mood. Jadi ini adalah resiko kreatif, yang harus kita apresiasi dan hormati.
 
 
 
Visually intriguing, atmosfernya mellow dan unsettling, dan semua kerasa mencekam dari dalam. Membuat kita ikutan resah dan memikirkan kematian. Ini bukan horor/thriller biasa yang mengandalkan ada sosok yang melambangkan ketakutan, yang ada demon yang harus dikalahkan. Dalam film ini hantunya adalah anxiety, yang berasal dari tokoh masing-masing yang gagal mengisi hidup mereka sehingga banyak penyesalan dan urusan yang mendadak harus diselesaikan. Sebuah entry yang menarik dan menambah rentang film mencekam. Gak semua orang akan nyaman nonton ini, ataupun senang dengannya. Jika besok aku mati, aku gak rela film ini jadi horor terakhir yang aku tonton, karena aku ingin melihat perjalanan yang lebih menakutkan dengan narasi yang lebih terstruktur dan memuaskan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SHE DIES TOMORROW.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Siapkah kalian jika besok waktu kalian sudah habis? Apakah menurut kalian mengetahui kapan pastinya kita mati akan membuat kita lebih baik? Atau lebih baik untuk tidak tahu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

AN AMERICAN PICKLE Review

“It isn’t really about becoming rich or famous; It is about things much simpler and more fundamental than that.”
 

 
 
‘American Dream’ bagi orang Amerika bukan sekadar angan-angan di siang bolong. Melainkan adalah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Mimpi tersebut telah terwariskan dari generasi ke generasi. Para orangtua membanting tulang membuka peluang bagi anak-anaknya, dan anak-anak yang sukses tidak akan melupakan darimana mereka berasal. Semua itu dijamin oleh tanah Amerika yang menjanjikan kesempatan tak-terbatas yang sama untuk semua orang, tidak peduli siapapun mereka. Kesempatan yang tidak terbatas pada mencari kekayaan saja, tapi juga kebutuhan sosial seperti demokrasi dan kebebasan bersuara.
Gagasan atau konsep American Dream itu lantas dibawa oleh sutradara Brandon Trost (yang mengadaptasi cerita pendek bertajuk Sell Out) ke ranah komedi sebagai satir dirinya terhadap bagaimana American Dream kini di tengah-tengah bangkitnya budaya baru di negara tanah airnya.
Premis umum dari film ini adalah soal tua melawan muda. Aliran kuno melawan mentalitas kekinian yang katanya serba open-minded. Bahan utama komedinya adalah seorang buyut yang pekerja keras, giat untuk mengubah nasib dari penggali parit, pindah ke Amerika mencari sesuap nasi dan secuil kesempatan baru (dan seteguk air karbonasi) supaya anak cucunya bisa punya tanah sendiri dan jadi orang terpandang. Pretty much semua ayah (atau malah orangtua) berkeinginan seperti Herschel Greenbaum tersebut. Namun tidak semua ayah bisa seberuntung Herschel. Eh, beruntung atau sialkah namanya jika kau tak sengaja tercebur di gentong produksi acar/asinan dan ikut terawetkan bareng mentimun-mentimun? Yang jelas, itulah yang persisnya terjadi pada Herschel. Dia terbangun seratus tahun kemudian, dan bertemu dengan cicit entah lapis keberapanya, Ben Greenbaum. Herschel lantas menemukan bahwa di dunia yang sudah maju, American Dream-nya ternyata belum benar-benar terwujud. Malahan bisa saja gatot karena Ben sepertinya sudah jauh melenceng dari tradisi keluarga, hingga ke titik Herschel harus bersaing bisnis dengan keluarga satu-satunya tersebut.

“I’m Pickle Rick!!”

 
Memainkan lebih dari satu tokoh dalam sebuah film bisa jatoh antara dua hal; sulit karena membutuhkan jangkauan rentang akting yang luas, atau jadi penampilan yang konyol karena tidak jarang dua tokoh atau peran tersebut diniatkan sebagai komedi. Target An American Pickle boleh jadi pada film lucu-lucuan, akan tetapi penampilan akting Seth Rogen yang didaulat memainkan Herschel si immigran Yahudi sekaligus Ben, keturunan milenialnya, cukup kuat sehingga mampu membuat kita menoleh dua kali dan tidak meng-overlook-nya completely. Memang sih, oleh Rogen, Herschel dan Ben pembedanya paling utama adalah di janggut dan aksen. Kita tidak akan melihat Herschel sebagai tokoh yang berbeda dari kebanyakan peran Rogen sebelum ini, I mean, Rogen enggak menyelam sempurna menjadi tokoh baru. Kita masih melihat Herschel sebagai Seth Rogen berjanggut. Dan Ben sebagai Seth Rogen versi nerd – yang lebih ‘jinak’ alias less-high dan less-vulgar. Tapi, justru memang itulah poin dari cerita ini.
Herschel dan Ben deep inside adalah pribadi yang sama. Buah tak jauh jatuh dari pohonnya, kata pepatah. Bukan saja mereka sama-sama tergila sama air seltzer. Mereka mirip dalam banyak hal. Mulai dari busuk hatinya, hingga ke hal-hal baik, terutama soal cinta ama keluarga. An American Pickle berpondasi pada interaksi dua karakter ini. Dan dengan konflik yang bersumber dari dua orang yang belum saling mengenal tersebut, film ini sebenarnya adalah tipe film yang ‘ceritanya bakal cepat beres jika tokoh-tokoh yang berkonflik bener-bener ngobrol sedari awal’. Untungnya, film ini tidak pernah terasa annoying, ataupun membuat kita pengen ceritanya udahan aja hanya karena kita tahu permasalahan mereka yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena film menggali seteru kedua tokohnya lewat rangkaian kejadian atau ‘kontes’ yang menarik. Yang berdasarkan kepada perbedaan dua generasi memandang dunia. Bagaimana cara tradisional berusaha mencari sukses di lapangan modern, dan sebaliknya, film juga menunjukkan bagaimana pandangan kekinian bisa sangat menjatuhkan cara pandang yang konvensional.
Kita akan melihat Herschel menjual acar timun yang lantas jadi viral karena generasi sekarang demen sama yang vintage. Film mengomentari soal tren masa kini, di mana seseorang bisa dengan gampang melejit setelah mendapat pengakuan dari sosial yang menyebar lewat sosial media. Bagaimana seseorang dapat menjadi sensasi atas hal biasa. ‘Mudah’nya menjadi terkenal dan kaya diperlihatkan sekonyol itu. Lalu sebaliknya, juga diperlihatkan semuanya gampang sirna karena dunia sekarang menuntut political correctness, yang bisa dieksploitasi dan punya ekstrimitas yang sama konyolnya. Sebut pendapat yang di mata publik bertentangan, komen sesuatu yang menyinggung, niscaya kau viral juga tapi habislah sudah. Yang sebenarnya dilakukan oleh film ini adalah mengomentari perihal kedudukan American Dream di tengah Amerika modern yang mulai giat oleh aksi-aksi Cancel Culture. An American Pickle, lewat Herschel yang tradisional – yang kalo ngomong kadang masih kuat rasis dan homophobic dan merendahkan wanita –  membuka ruang kontemplasi kepada penonton bagaimana kita menginginkan kebebasan untuk memenuhi diri, tapi di saat yang bersamaan kita juga dengan gampang menutup dan ‘mematikan’ orang lain.

Semua itu sepertinya karena American Dream itu sudah seperti acar/asinan. Mengendap terlalu lama di larutan, sehingga berubah rasanya. Alias, istilah tersebut sudah salah kaprah. Sebenarnya bukan soal menjadi kaya atau terkenal, melainkan soal sesuatu yang lebih sederhana. Soal keluarga sejahtera. Soal bermasyarakat yang maju bersama.

 
 
Bagi Rogen, kedua perannya ini praktisnya adalah persoalan dirinya menggali personanya lewat dua kacamata yang berbeda. Rogen harus meletakkan mindsetnya dalam tubuh dan kelakukan dan aksi generasi kuno seperti Herschel, dan di lain kesempatan memindahkan mindset tersebut ke kelakukan milenial. Walau dalam film kita sering melihat Herschel face-to-face dengan Ben, dan kamera berpindah seolah Rogen harus berakting secepat memindahkan sakelar on/off – dalam hal ini Herschel/Ben, kita tahu besar kemungkinan proses syutingnya tidak demikian, namun itu tidak mengecilkan tantangan peran yang dilakukan oleh Seth Rogen. He still needs to reach deep onto his characters, dan berhasil menempuh rentang tersebut dengan baik. Dari penampilannya sebagai Herschel dan Ben itulah candaan dihadiahkan kepada kita. Lewat dialog, maupun lewat tindakan ‘fish-out-of-water’ Herschel dan reaksi Ben terhadapnya. Film ini cukup bijak untuk tidak membuat komedi lebay dari beda zaman yang dirasakan oleh Herschel. Melainkan berfokus pada usaha Herschel mengejar ketertinggalan dan beradaptasi dengan zamannya.

Ol’ boomer versus millennial

 
 
Tapi terkadang kita perlu untuk diingatkan kembali pada premis komedi ini. Ekstrim itu kadang menghilang dari narasi, membuat pada beberapa bagian film terasa seperti takut untuk menjadi dirinya yang paling maksimal. Dengan hanya sedikit memperlihatkan keterkejutan Herschel pada teknologi-teknologi baru yang ia lihat dan harus gunakan, misalnya, membuat kita lupa dia berasal dari satu abad yang lalu. Interaksinya dengan Ben jadi tidak banyak bedanya dengan interaksi ayah dan anak yang biasa. Padahal mereka lebih dari itu.
Pada bagian resolusi cerita seperti mengarah kepada kepercayaan, alias agama, karena Dream dan film ini juga adalah tentang menjaga tradisi dan tidak melupakan akar keluarga. Namun film sepertinya ragu untuk menyentuh itu. Memperlihatkan tapi kemudian mengembalikan cerita ke ranah penyelesaian sesimpel ‘keluarga adalah sama’. Di pertengahan juga misalnya, ketika kita berpikir cerita akan bisa meledak dengan penggalian yang cukup kontroversial – politisi yang ngomong kasar – tapi ujungnya malah langsung diberangus. Sudut pandang Ben juga tidak pernah benar-benar diperkuat dari dua sisi, kita kebanyakan hanya memandang dia sebagai ‘antagonis’, lalu kemudian jadi baik, yang seharusnya film ini berada dalam kapasitas membuat Ben juga sama-sama mengundang simpati. Akan ada aksi Ben yang hanya terlihat culas, dan ini bertentangan dengan gagasan film. Kita harusnya diperlihatkan alasan Ben sedari awal, untuk memunculkan dramatic tensi setiap kali mereka bersaing. Karena kita paham cerita ini bukan tentang siapa yang menang di antara mereka, jadi usaha film memfokuskan kita ke sana seharusnya bisa diperkecil dan fokus memperbesar perbedaan-perbedaan yang seolah semakin menjauhkan mereka. Barulah nanti pembelajaran tokohnya bahwa mereka sama itu terasa maksimal emosional.
 
 
 
 
Bayangkan ketemu keturunanmu dan melihat dunia sudah berkembang, tapi kau merasa keluargamu berjalan di tempat. Terbaik film ini datang dari benturan dua karakter beda generasi, yang mencoba untuk memasukkan pemahamannya, dan dua karakter itu dimainkan oleh satu orang. Drama dan komedi dari elemen tersebut mampu membuat film ini jadi menyenangkan untuk disimak. Kemudian film ini memindahkan fokus pada kejadian demi kejadian, tapi tidak pernah dibuat maksimal. Film ini ingin memperlihatkan tantangan mewujudkan American Dream di dunia dengan cancel culture, sayangnya film tidak berani untuk tampil total dalam membahas ini. Sehingga satirnya kurang terasa.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for AN AMERICAN PICKLE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang ‘Cancel Culture’? Apakah itu melanggar kebebasan orang dan merusak demokrasi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA