THE EDGE OF SEVENTEEN Review

“The reality is people mess up; don’t let one mistake ruin a beautiful thing.”

 

 

Sekolah itu penjara, dan SMA adalah neraka. Remaja sangat menakutkan. Menjadi remaja adalah salah satu pengalaman tiada tara di dalam hidup. My Chemical Romance menuliskan dalam lagu mereka bahwa remaja tidak peduli pada apapun selama tidak ada yang terluka. Namun sebagai remaja, kita suka nyerempet bahaya. Dan ‘terluka’ yang disebutkan dalam lagu Teenager tersebut, sesungguhnya hanya berlaku dalam batasan fisik.
Gak percaya? Liat saja Nadine.
Setiap hari cewek tujuhbelas tahun ini makan ati mengarungi neraka SMA sembari kudu berhadapan dengan semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Sebagai remaja yang ngalemin tragedi personal semasa kecil, Nadine membenci semua orang, atau bahkan semua apapun yang berada di sekitarnya. Dia susah bergaul dengan teman-teman di sekolah. Sobatnya cuma Krista seorang. Eh tunggu, Nadine punya satu ‘sahabat’ lagi yaitu gurunya; Mr. Bruner, yang mana sering jadi pelampiasan curhat Nadine. Dan dalam kamus Nadine, curhat berarti mencurahkan segala emosi dan kekesalan, yang biasanya ditanggepin tak-kalah sarkasnya oleh sang guru.

 

Mulai dari jaman John Hughes, sudah banyak film-film yang mengangkat tema kecemasan remaja sehingga ‘Angsty-Teen’ bisa dibilang sudah menjelma sebagai genre tersendiri. Meskipun begitu, The Edge of Seventeen berhasil mempersembahkan VISI YANG TERASA SEGAR. Penulisan kejadian dan reaksi tokoh-tokohnya dibuat senyata mungkin. Sehingga setiap kali hidup berbelok semakin parah buat Nadine, kita tidak melihatnya sebagai usaha memancing sisi dramatis semata. BFF Nadine pacaran sama abangnya, yea that suck. Harry Potter aja galau berhari-hari waktu menyadari dia naksir berat sama Ginny, adik Ron. Dan mendapati diri dalam keadaan teman kita pacaran sama anggota keluarga adalah benar-benar hal yang awkward. Namun, hal tersebut dibuat oleh film sebagai salah satu dari sekian banyak ‘pukulan di perut’ yang diterima oleh Nadine.

Apa-apa yang terjadi kepada Nadine di sepanjang film – yang tak jarang adalah buah perbuatannya sendiri – terasa sebagai kejadian yang datang dari kenyataan. Bisa benar-benar terjadi, karena memang di dunia nyata kita sering mendapati keadaan menjadi buruk begitu saja. Situasi dalam hidup tidak selalu mengenakkan, dan film ini akan mengajak kita melihat situasi terrible tersebut lewat mata nanar seorang cewek remaja yang sudah melewati banyak tragedi. Elemen tersebutlah yang membuat film ini menjadi menarik buatku.

People make mistakes, whoever they are. Teman-teman segeng kita bikin salah. Orangtua kita pernah salah. Kakak pernah salah. Adik pernah salah. Aku apalagi. Makanya ada lebaran. I mean, poinku adalah semua orang pasti pernah bikin salah karena terkadang, in life shit just happens. Jangan biarkan satu kesalahan merusak susu sebelanga. Dan orang-orang tidak serta merta pantes dilabelin brengsek hanya karena pernah membuat kesalahan. Film ini actually menelaah hal tersebut dengan sangat baik dan memberikan kedalaman perspektif yang jauh lebih dewasa dibandingkan yang berani dicapai oleh film-film high school kebanyakan.

 

Aku baru melihat penampilan Heilee Steinfeld dalam tiga kesempatan. Aku suka dia di True Grit (2010). Dalam Pitch Perfect 2 (2015), however, dia enggak begitu lucu malah sedikit membosankan, lagu yang dia apal lagu karangannya doang, nyanyinya Flashlight melulu. Sebagai Nadine di The Edge of Seventeen, Heilee Steinfeld mempersembahkan penampilan terbaik yang pernah aku lihat darinya. Karakternya di sini memang semacam drama queen akut. Dia kasar sama keluarga, sama teman, sama guru; semua orang di sekitar Nadine masuk ke dalam daftar kemarahannya. Di akhir film, kita melihat Nadine berubah menjadi lebih baik, tapi pergerakan arc tokoh ini enggak gede-gede amat. Maksudku, film ini membuat kita begitu peduli dengan dramanya yang terasa nyata sehingga kita tahu kita tidak tahu apa yang terjadi kepada tokoh ini setelah kredit bergulir. Nadine adalah karakter anti-hero wanita yang langka, di mana dia sendiri adalah protagonis sekaligus yang paling dekat dengan yang kita sebut antagonis dalam film ini.

How do you like me now?

 

Dalam menjelaskan kenapa Nadine memilih bersikap demikian, film tidak mengambil jalan yang gampang. Tragedi keluarga yang menimpa Nadine waktu ia kecil bukanlah akar dari permasalahan, karena dalam satu adegan flashback kita melihat Nadine sudah susye untuk di’ajak omong baik-baik’ bahkan jauh sebelum kejadian naas itu terjadi. Seolah film ini ingin menepis tuduhan yang mengatakan karakternya ngeangst karena memang genre filmnya begitu. Ada alasan logis di balik setiap sikap dan tindak Nadine.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya, just… wow. Nadine dengan gampangnya meledak marah dan melontarkan serangkaian kalimat paling menyinggung perasaan yang bisa dia pikirkan kepada orang lain. Dan film ini pun tidak menahan-nahan apapun. Dialognya dibuat sungguh menggigit, karena orang-orang yang dibentak oleh Nadine eventually akan membalas dengan mengatakan hal yang sama pedihnya. Malahan, banyak kata-kata dan ungkapan yang digunakan oleh film ini yang bisa bikin Booker T bilang “Oh, tell me she didn’t just say that!”. Tidak sekalipun film ini berusaha untuk menghaluskan bahasa demi terdengar sopan. Sebab memang seperti yang digambarkan oleh film inilah interaksi antar remaja SMA berlangsung. Mereka bicara dengan kasar dan vulgar. Tapi justru disitulah letak keberanian film ini; TAMPIL APA ADANYA MENYUGUHKAN REALITA. Anak SMA bersikap sewajarnya anak SMA bersikap di dunia nyata.

Namun jika kita menonton film ini, sesungguhnya ceritanya akan terasa sangat bijak. Dengan rating Dewasanya, The Edge of Seventeen lebih ditujukan kepada penonton yang sudah pernah mengalamin masa-masa tujuh belas tahun, sehingga mereka bisa menoleh sebentar ke masa-masa ‘sulit’ hidup mereka dan merayakannya.

Mungkin kita hanya belum cukup dewasa buat angka tujuhbelas ketika menginjaknya. Mungkin kita yang terlalu bersemangat menunggu hari ketika kita pikir kita sudah cukup dewasa sehingga kita lupa untuk bersiap ketika things going rough.

 

BRUTAL AND HONEST. Tapi, ada juga sih bagian yang enggak begitu realistis. Kayak tokoh guru Nadine yang diperankan oleh Woody Harrelson. At one time, Nadine bilang bahwa dia mau bunuh diri dan si Pak Guru malah bilang dirinya juga mau bunuh diri dan sedang nulis pesan kematian. Tokoh Mr. Bruner ini mengatakan banyak hal yang tidak semestinya diucapkan oleh seorang pendidik. Like, kalo didenger ama Kepala Sekolah, pastilah dia sudah dipecat di tempat. Namun begitu, hubungan yang tercipta di antara Nadine dengan bapak gurunya ini adalah salah satu elemen terkuat di dalam narasi. It plays as a contrast for Nadine’s need of a father figure. Percakapan mereka sarat oleh humor-humor bagus dan bermakna.

Pak, tahu enggak,…. you’ve just made the list!

 

Alasan terbesar kenapa cowok males dan gak suka nonton drama remaja, apalagi kalo tokoh utamanya cewek, dan digarap oleh cewek pula, adalah karena sudah hampir pasti enggak bakal ada tokoh-tokoh cowok yang manusiawi. Cowok dalam film-film kayak gini biasanya either digambarkan sebagai antagonis, tanpa kedalaman-karakter, yang eksistensinya ditujukan buat ngasih air mata kepada tokoh utama doang. Ataupun digambarkan cupu dan konyol parah. Salah satu poin yang bikin The Edge of Seventeen yang disutradarai-serta-ditulis oleh cewek bernama Kelly Fremon Craig berbeda dan menyenangkan ditonton oleh cowok adalah tokoh-tokoh prianya juga diberikan kedalaman, dikasih background story, sehingga kita para penonton bisa mengerti mereka. Kakak cowok Nadine ada di sana bukan sebagai bagian dari sibling rivalvy dalam mendapatkan perhatian ibu sahaja. Bahkan cowok yang dikirimin ‘surat cinta’ oleh Nadine tidak pernah benar-benar come off as an asshole, sebab kita juga paham mengapa dia melakukan apa yang ia lakukan.

 

Dengan perspektif yang terasa menyegarkan, film ini toh tak bisa lepas dari segala tropes dan klise penceritaan genrenya. Setelah lewat midpoint, kita segera dapat menyimpulkan ke mana arah cerita film ini berlabuh. Kita bisa menunjuk satu tokoh dan dengan tepat menebak dia bakal ngapain di akhir cerita. Kita dengan mudah menerka siapa jadian dengan siapa. Tapinya lagi, kita bisa merasakan bahwa film ini dikerjakan dengan penuh passion. Karakter dan dialognya menguar kuat. Dan bagian terpentingnya adalah film ini mampu membahas situasi yang amat tidak mengenakkan dengan begitu nyata. Nadine bukan semata remaja galau hanya karena itu adalah cara termudah dalam menulis karakter drama, dia galau karena keadaan dan cara dia memandang keadaan tersebut.

Because of how well-written this is, jika dijejerin, film ini layak gaul bareng Heathers (1988) dan geng Mean Girls (2004) di level teratas kategori film remaja. And after all those insults and horrible situations, pada akhirnya, menonton film ini akan membuat kita berharap kita bisa menghentikan waktu di umur tujuh belas.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE EDGE OF SEVENTEEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

ULAR TANGGA Review

“Virtue always pays and vice always punished”

 

 

Dunia permainan ular tangga sejatinya adalah dunia peradilan yang teramat adil.

Pada puncaknya kita akan mendapat hadiah, kita naik tangga buat meraihnya. Hukuman permainan ini adalah apabia kita menyentuh ekor ular, dan meluncur turun, menjauh dari puncak. Ini adalah permainan anak-anak yang enggak sekadar permainan keberuntungan. Pada papan permainannya sendiri, tangga biasanya diikuti ilustrasi tokoh kartun yang melambangkan kebaikan, sedangkan ular diikuti oleh tindak tokoh yang berkonotasi degradasi, keserimpet kulit pisang yang dibuangnya sendiri, misalnya. Ada pesan moral dalam ular tangga. Berakar dari kebudayaan India, ular tangga mempunyai metafora yang lebih luas lagi. Di sana, permainan ini diasosiasikan dengan karma. Pembebasan dan emansipasi. Setiap kolom tangga melambangkan sifat kebajikan dan kolom ular represents sifat terburuk manusia. Naik tangga berarti melakukan kebaikan dan kita akan mendapat reward. Do bad things, kita bisa saja berakhir dengan mengulang langkah dari awal. Seluruh perjalanan dalam ular tangga, aslinya, adalah perjalanan mencapai nirwana.

Dude, that’s deep.

 

Sayangnya, tidak ada satupun mitologi ataupun simbolisme permainan ular tangga yang disangkutpautkan ama film Ular Tangga garapan Arie Azis. Ini adalah film tentang board game yang nyaris nothing to do with the actual game. Maksudku, kita bahkan enggak nemu ular tangga hingga menit ke tiga puluh. Sedari menit awal film malah dengan gencarnya memaparkan soal mimpi dan mekanisme dunia dalam cerita, yang enggak pernah benar-benar make sense. Usaha make believe film ini gagal total karena ceritanya tidak punya lapisan apapun. Film horor ini MELEWATKAN KESEMPATAN YANG LUAR BIASA BESAR dengan tema yang mestinya bisa diolah menjadi cerita psikologikal dan spiritual. But walaupun horor, film ini enggak ada seram-seramnya sama sekali. Dan karakter-karakternya, hehehe.. karakter apaaan? There is no single soul in the movie yang bisa bikin kita peduli.

Aku suka banget permainan ular tangga. Aku sering bikin sendiri pake kertas buku kotak-kotak buat dimainin sama keluarga kalo lagi pulang libur lebaran. Ular tangga yang aku bikin biasanya pake tema mash up dari video game ataupun film kartun, misalnya Pokemon. Makanya aku jadi ngebet nonton film ini. Meski begitu aku juga sadar reputasi film horor Indonesia yang masih muter-muter di tempat. Jadi, aku masuk ke bioskop dengan keadaan jantung yang sudah siap banget buat dikaget-kagetin. Mungkin karena udah berprasangka buruk duluan itulah, alih-alih berasa happy kayak abis naik tangga, aku malah merasa merosot di punggung ular turun jauuuuhh banget setelah beberapa menit duduk menonton film ini.

my favorite landing spot: balik ke start!

 

Ular Tangga menceritakan tentang sekelompok anak muda pecinta alam yang pergi naik gunung buat ngeliat sun rise. Kisahnya sendiri kata posternya diangkat dari kejadian nyata di Curug Barong, tapi kita enggak ngeliat curugnya, jadi aku enggak tahu seberapa besar porsi cerita-beneran film ini. Premis yang mendasari cerita sangat sederhana; pengen naik gunung, hambatannya adalah mereka nyasar dan kemudian menemukan permainan ular tangga dari kayu yang membawa petaka meminta jiwa. Cara ringkas jelasin film ini adalah banyangkan film The Forest (2016) dengan elemen Insidious. Tokoh utama kita, Fina (so boring sehingga Vicky Monica tidak bisa sekalipun kelihatan meyakinkan), adalah orang yang punya bakat indigo. Dia mendapat penglihatan tentang keselamatan teman-temannya. Dia juga berkomunikasi dengan dua hantu anak kecil. Dengan belajar menggunakan kemampuannya tersebutlah, Fina memecahkan misteri di balik semua kejadian gak make sense yang menimpanya.

-Naik gunung.
-Ular tangga ada NAIK tangganya.
-Ular melambangkan setan.
Semua koneksi sederhana terhampar di sana, tinggal nyambungin. Dan film ini entah bagaimana bisa gagal melihatnya! Hasilnya kita mendapat cerita luar biasa poornya sehingga memanggil dirinya film adalah pujian yang terlalu manis.

 

Film ini begitu enggak kompeten dan sangat males sehingga penulisannya terasa kayak dikerjakan oleh anak kecil. I dunno, mungkin dua hantu cilik di film ini bosen main ular tangga dan memutuskan untuk ngetik naskah, dan tidak ada yang beranjak untuk melarang mereka. Dialog seadanya, tidak berbobot, dan cenderung bikin kita ngikik. At one time si tokoh cowok jagoan bilang gini “Kotak ini pasti penting” dan dia melanjutkan kalimatnya dengan “Kita buka besok” tanpa rasa bersalah whatsoever hhihi. I mean, kalo memang penting, kenapa ngebukanya mesti nunggu ampe besookk???? Tidak ada effort dalam narasi film ini. Antara plot poin, ceritanya tinggal meloncat-loncat gampang banget. The whole actual script sepertinya memang cuma sesederhana: mereka naik gunung -> nyasar ke rumah tua -> ngikutin hantu -> dapetin ular tangga. Mimpi dan jump scares adalah kombinasi maut yang justru jadi senjata utama film ini. Environment enggak pernah dimanfaatkan sehingga hutan yang mengurung mereka jadi sama membosankannya dengan para tokoh yang ada.

Tidak ada motivasi pada tokoh-tokohnya, terutama yang bernapas. Mereka cuma going around ngelakuin pilihan-pilihan yang dogol. Aku enggak bisa mutusin mana yang lebih bloon antara masuk ke rumah tua, atau setelah masuk malah milih tidur di pekarangan rumahnya. Tidak ada stake. Tidak ada development. Tokoh yang diperankan Alessia Cestaro yang nyebut hutan dengan “hyutan” diperlihatkan jutek ama tokoh Shareefa Daanish, namun tidak pernah dibahas kenapa dan apa alasannya, lantas mereka jadi saling bersikap normal begitu saja. Tidak ada arc yang dibangun. Kita tidak tahu siapa tokoh-tokoh ini, hubungan mereka secara personal. Para pemainnya cuma punya satu job; tampak ketakutan, dan mereka semua gagal mengerjakan tugas mereka. Tidak ada emosi tersampaikan.

Dalam film ini ada penampilan dari beberapa aktor yang cukup mumpuni, namun mereka hanya diutilize sebagai tokoh pemberi info. Pengecualiannya si Shareefa Daanish. Dia terlihat kompeten enough memainkan tokoh seadanya. Film ini nekat masukin twist, yang saking maksainnya, malah terasa kayak mereka sadar cerita mereka boring dan belokin cerita dengan harapan para penonton enggak menduga. Namun memang soal twist tersebut masih bisa aku maafkan, lantaran it eventually leads us ke adegan yang paling ingin kita lihat seantero durasi film; aku yakin orang-orang yang tertarik nonton film ini pasti ingin liat this particular scene; Shareefa Danish ngelakuin hal yang creepy!

Joget Lingsir Wengi

 

Jam rusak yang mati pun sesungguhnya benar dua kali dalam sehari. Selain the very last scene, ada satu dua shot film ini yang terlihat cukup meyakinkan. Aku suka momen ketika tokohnya Shareefa Daanish duduk di ruangan penuh lilin, di sana ada lemari yang punya cermin, dan tampak sosok hantu nenek pada pantulan cermin tersebut. Shot pohon besar dan adegan ketika Fina berjalan dengan lentera juga lumayan surreal.

Namun buat sebagian besar film, production designnya terkesan amatir. Enggak detil. Aku enggak tau kalo cekikan bisa menimbulkan luka sayatan pada leher. Memilih untuk menggunaan efek praktikal buat sebagian hantu sesungguhnya adalah usaha yang patut diacungi jempol, hanya saja eksekusinya terlihat agak kasar. Film ini berusaha menggabungkannya dengan efek komputer, resulting penampakan yang enggak mulus. Kelebatan hantu malah jadi komikal dengan gerakan yang dipercepat dengan over. Editingnya juga terasa enggak klop. Film ini menggunakan tone warna keabuan yang mungkin buat menimbulkan efek misterius. Lagu pengisi yang digunakan, tho, terkadang terasa berbenturan keras dengan nuansa yang dibangun. Film ini sepertinya sudah turut siap untuk diputar di televisi karena ada beberapa jeda yang seolah sengaja dijadikan slot buat pariwara.

Fina dan teman-temannya melanggar batas wilayah yang seharusnya tidak boleh dimasuki oleh penjelajah. Sama seperti filmnya yang melanggar satu garis batasan yang semestinya dihindari jauh-jauh oleh film horor. Yakni menjadi gak-sengaja lucu. Ada banyak momen ketika tawa malah memenuhi studio bioskop tempat aku menonton, misalnya ketika salah satu teman Fina kepayahan menggotong tubuh rekannya. Atau ketika tangan hantu anak kecil itu dipegang oleh mereka. Buatku ada satu momen yang bikin aku kesulitan berhenti terbahak, yaitu ketika kamera memperlihatkan peta pendakian gunung yang Fina dan teman-teman bawa. PETANYA KAYAK PETA DI UNDANGAN NIKAHAN!!! Hahahaha.. Gak heran kenapa mereka tersesat. Gak heran perasaan Fina enggak enak about perjalanan mereka. Kocak banget mereka mampu nyediain papan kayu ular tangga tapi enggak bisa ngasih peta yang lebih proper. It’s just a lazyness, people!




Nyaris tidak ada redeeming quality, film ini kalo dijadiin permainan ular tangga pastilah isinya ular melulu. Cuma ada satu tangga pendek. Adalah sebuah problem besar jika film horor malah jatohnya unintentionally funny dan enggak seram. Penulisan, penokohan, penampilan, semuanya terlihat tidak kompeten. Tidak ada bobot apapun. Mungkin diniatkan sebagai petualangan horor, tapi gagal dalam penyampaian. Film ini melewatkan kesempatan yang begitu besar karena Ouija: Origin of Evil (2016) sudah membuktikan board game bisa dijadikan materi horor yang compelling jika digarap dengan sungguh-sungguh dan enggak males.
The Palace of Wisdom gives setengah dari kocokan dadu ‘snake eyes’ for ULAR TANGGA. 1 out of 10 gold stars!

 

 





That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.


Fastlane 2017 Review

 

Hidup berjalan dengan cepat. Kata papa Alessia Cara, saking cepetnya kita jadi kayak rumput, we are just withering away. Ferris Bueller sih bilangnya “Life moves fast but if you don’t stop and look around once in a while, you just might miss it.” Kevin Owens mungkin ngambil dan ngaplikasikan saran dari film terrific tersebut, namun sayangnya Ferris Bueller belum pernah bertemu satu-lawan-satu dengan Goldberg. Karena it just doesn’t work like that di hadapan Goldberg. Pertandingan berjalan dengan cepat, tapi ketika kau mencoba ngestall dan berjalan berkeliling beberapa kali, you just might be the next in line kena kombo Spear-dan-Jackhammer.

Sudah kodratnya sebagai acara terakhir sebelum Wrestlemania, ATRAKSI GULAT YANG HEBAT BUKANLAH MENU UTAMA yang dihidangkan oleh Fastlane. Misi show ini adalah buat ngebungkus storyline yang ada, yang kemudian jadi landasan terang buat agenda narasi di Wrestlemania empat minggu kemudian. Namun bukan berarti pertandingan di Fastlane jelek-jelek semua. Malam 5 Maret iu penonton di arena Chicago menyaksikan langsung beberapa momen yang unexpected – agak mengesalkan, toh tetep sebuah kejutan – yang muncul berkelabatan di antara momen-momen filler yang membebani acara ini.

dan Stephanie mau motong ‘bola’ Mick Foley

 

Musik entrance Neville yang sejak heel temponya diperlambat adalah salah satu bukti bahwa memang terkadang kita perlu go slow untuk mencapai hasil yang maksimal. Jika Neville adalah hal terbaik yang timbul dari konsep Cruiserweight yang coba dibangkitkan oleh WWE, maka pertandingan kejuaraan antara Neville dengan Jack Gallagher adalah match pertama yang bikin divisi ini terlihat urgen, sekaligus compelling sebagai suatu eksistensi yang serius dan berpotensi gede. Sering kita salah paham dengan menganggap cruiserweight adalah soal kecepatan dan gerakan-gerakan terbang semata. Style gulat untuk superstar berbobot menengah ini sebenarnya juga adalah soal teknik. It’s about the preciseness. Seperti yang sudah diperlihatkan oleh both Gallagher dan Neville dalam match ini. Pertandingan mereka terasa khas dengan tone dan gaya yang benar-benar berbeda, bukan hanya dari keseluruhan acara malam ini, melainkan juga dengan pertandingan cruiserweight yang kita liat di ppv sebelum-sebelum ini. Rebound-German Suplex dari Neville sangat mulus. Headbutt Galagher telak banget bersarang berkali-kali, adegan Neville terkapar di atas turnbuckle terlihat begitu surreal. Pertandingan yang penuh oleh energi yang juga semarak dengan spot-spot segar dari karakter kedua kubu. Jack Gallagher sangat intriguing, karena jarang banget kita ngeliat karakter komikal yang benar-benar mampu membuat kita percaya dia bisa memenangkan sabuk kejuaraan.

Partai Cruiserweight udah kayak pelanduk nyisip di sela-sela matchnya pegulat supergede. Sepertinya memang roster Raw padet banget ama powerhouse. Hampir semua card di acara ini ada monster gedenya. Samoa Joe adalah aset ‘monster’ teranyar yang dipunya oleh Raw, dan langsung diberikan push demi memperlihatkan dominasinya. Ada kemungkinan arahan karakter Samoa Joe ini pada awalnya berbeda dari yang kita lihat sekarang, things could be different jika Rollins enggak cedera. Malang memang tak-dapat ditolak, cedera tersebut enggak juga bikin ‘rugi’ Sami Zayn dan Joe, in some ways. Pertandingan mereka lumayan hebat dan klop banget sebagai pembuka acara. Kedua superstar ini harusnya bisa nyuguhin jauh di luar kotak ‘pertandingan yang didominasi oleh Samoa Joe’. Aku perlu nekanin sekali lagi, niatan nomor satu acara Fastlane adalah buat negasin storyline, match bagus hanya bonus, jadi di sini mereka hanya perlu Sami sebagai babyface charismatic yang ‘dihancurkan’ oleh si mercenary killer Samoa Joe. The match delivered that purpose perfectly. Namun, kita sesungguhnya baru melihat secuil ujung dari gunung es kemampuan gulat kedua superstar. Dan menurutku, di poin karir masing-masing, pertandingan ini enggak berarti banyak untuk mereka berdua.

Bicara soal yang gede-gede, let’s just address the elephants in the room. Roman Reigns dan Braun Strowman. Kedua superstar ini berbaku hantam dalam sebuah pertandingan yang kita semua bisa nebak hasilnya gimana. Meski memang kita enggak ngerti kenapa hasilnya harus seperti itu. Braun Strowman punya winning streak yang mestinya bisa dipecahin dalam circumstances yang lebih menarik lagi. But you know, we need to make Roman look strong, so yea. Faktanya, pertandingan mereka sebagus apa yang bisa kita harapkan dari dua powerhouse brutal. Seharusnya bisa lebih bagus kalo dibikin straight-to-the-point; diperpendek dan diperkeras lagi. Strowman berhasil menjalan tugasnya dengan baik. Ada kalanya ketika dia enggak butuh ‘boncengan’ Roman. Malahan, dia terlihat ‘ngebonceng’ Roman di sini. Badan gede bukan batasan bagi Strowman in terms of in-ring work. Movenya keras, intens, aku suka gimana dia mengounter Spear menjadi PowerSlam, just like that.

Mamam nih sepatu keren gue; boleh minjem dari Uso

 

Essentially, WWE kudu mikirin gimana cara ngejual dua-puluh-satu detik kekalahan Kevin Owens dengan menarik. Kita semua paham kenapa pertandingan Goldberg wajib untuk dibikin singkat. They are saving Goldberg’s full potential buat Wrestlemania karena dengan umur yang sudah kepala lima, mereka tidak ingin Goldberg mengalami ‘tragedi’ yang sama dengan yang kejadian ama Sting. Akibatnya adalah menjelang peristiwa 21 detik itu terjadi, kita dicekokin banyak momen-momen filler buat mengisi waktu. Enggak semuanya bisa tampil sekocak dan sengeselin Owens yang enggak masuk-masuk ke dalam ring. Mantan Juara Universal Terlama ini piawai sekali memainkan karakter hellnya.

WWE Fastline malah come out sebagai show dengan pace yang sangat lambat, yang terasa banget diulur-ulur, berlawan sekali dengan judulnya.

 

Kita nyaksiin Roman lawan Strowman yang durasinya kelewat panjang. Kita ngeliat New Day keluar promo dengan gerobak es krim. Kita nyengir-nyengir ngeri saat Sasha Banks diobok-obok sama Nia Jax selama beberapa menit sebelum akhirnya menang dengan roll-up doang. But maybe it was okay because Nia is not like most girls. Kita nepok jidat sehabis kejuaraan tag team karena apparently hal yang paling diingat dalam pertandingan yang cukup lama tersebut adalah gimana Enzo ngebotch gerakan Rocket Launcher, finisher tag team mereka. Ada tujuh match dan kita dapet dua match extra yang involving Jinder Mahal dan Rusev, yang aku beneran bingung ke mana arah match tandem ini. Like, apa mereka beneran nyuruh kita peduli ama Jinder Mahal gitu aja tanpa tedeng aling-aling. Penempatan match dua superstar yang mau bubaran tag team ini terasa begitu maksain. The real purposenya memang semata buat mengisi durasi.

Tapi dosa terbesar Fastlane adalah ke Charlotte. Streak kemenangan di ppv putri Ric Flair ini kandas dengan antiklimaks. Reaksi yang dihasilkan enggak seheboh yang harusnya bisa didapat, jika mereka mau menunggu dan dieksekusi dengan lebih properly. Adalah sesuatu yang ganjil melihat tokoh babyface menang dengan enggak murni. Match Charlotte melawan Bayley berakhir setelah ada interference dari Sasha Bank. Dan entah karena semua hal di Fastlane supposedly berlangsung secepat kilat sehingga wasitnya khilaf, atau memang wasitnya dongok, kita tidak pernah mendengar bel tanda pertandingan didiskualifikasi. Padahal jelas-jelas Sasha Banks made contact dengan Charlotter, ada pukulannya yang masuk. Eventually pertandingan ini berakhir dengan memberikan kesan lemah kepada Bayley. Pertama, dia sempat ngotot ngelakuin gerakan di turnbuckle yang obviously got set up in a wrong fashion, dan akhirnya kejadian jualah botch itu. Kedua, kemunculan Sasha Banks membantu enggak benar-benar membantu statusnya sebagai juara yang pantas.

 

 
Selain pertandingan Goldberg, tidak ada lagi yang cepat di Fastlane. Namun demikian aku gak bilang acara ini membosankan karena enggak ada pertandingan yang bagus. Untuk sebagian waktu, penonton cukup terinvest ke dalam story yang jadi elemen utama acara ini. Bookingan acara lah yang bikin event ini enggak special dan, yea, boring. Masukin match dengan maksain. Finishing yang seadanya. Aku juga masih heran kenapa Jericho merasa perlu buat costing Owens that Universal Title match. Kalo aku jadi Jerciho, aku malah ngarep Owens retain jadi aku bisa balas dendam sekalian ada kesempatan ngerebut titlenya. Aku setuju sama teman-teman nobar yang bilang acaranya enggak beda ama nonton Raw. Match yang bener-bener keren dan patut ditonton adalah Cruiserweight Championship antara dua Englishmen; Neville dengan Jack Gallagher. MATCH OF THE NIGHT!

 

 

Full Results:
1. SINGLE MATCH Samoa Joe defeated Sami Zayn.
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Luke Gallows and Karl Anderson retains over Enzo and Big Cass.
3. SINGLE MATCH Sasha Banks mengalahkan Nia Jax.
4. SINGLE MATCH Cesaro ngalahin Jinder Mahal.
5. SINGLE MATCH The Big Show ngehajar Rusev dan rambut barunya.
6. WWE CRUISERWEIGHT CHAMPIONSHIp Neville mengalahkan Jack Gallagher
7. SINGLE MATCH Roman Reigns defeated Braun Strowman.
8. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan dari Charlotte.
9. WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Goldberg jadi juara baru ngalahin Kevin Owens.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Buat yang di Bandung, kami akan mengadakan nonton bareng pay-per-view WWE, so yea you are very welcome buat ikutan. Senantiasa cek facebook Clobberin’ Time buat info nobar selanjutnya

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

COLLATERAL BEAUTY Review

“Life is a teacher and Love is the reward in all its forms.”

 

collateral-beauty_poster

 

Film ini sudah berjasa besar dalam mengingatkanku untuk, sebisa mungkin, enggak lagi nonton trailer. Film apapun.

Tidak ada yang lebih ngeselin daripada getting your expectations high up dengan nonton lima-menit-or-so video promo, untuk kemudian mendapati filmnya enggak live it up dengan apa yang sudah mereka imingkan. Ini lebih parah daripada diphpin cewek. Trust me, pengalaman nonton akan lebih menyenangkan jika kita mengetahui sesedikit mungkin tentang film yang bakal ditonton. Jadi itulah kenapa aku males nonton trailer. Tapi kadang ngehindarin trailer cukup sulit daripada kelihatannya. I mean, setiap ke bioskop kita mau-tak mau harus ngeliat beberapa. In fact, saat di bioskop, aku justru lebih senang ketemu trailer ketimbang harus ngeliat iklan komersial. Which is remind me..,

Bioskop, kenapa harga tiketmu semakin mahal tapi iklan malah tambah banyak? Apa kami beneran disuruh nambah bayar buat nontonin iklan?!

 

Begitulah aku kenal dengan Collateral Beauty. Aku nonton trailernya yang diputer di bioskop sekitaran jelang akhir tahun lalu, and I was intrigued by it. Film ini mempersembahkan sesuatu yang unik. Trailernya nyeritain sebuah plot. Ada seorang pria yang dikunjungi oleh personifikasi dari Kematian, Cinta, dan Waktu. Mereka bicara kepadanya, mereka mencoba membantu pria ini keluar dari situasi yang sulit. Dari trailernya seolah ini adalah perjalanan spiritual yang penuh pesan filosofis. Bertabur bintang papan atas pula. Will Smith, Keira Knightley, Edward Norton, Kate Winslet, geng nominator Oscar deh pokoknya. Aku serius nungguin film ini tayang. Namun kemudian, ilang begitu saja di bioskop. Kalah saing ama Rogue One, mungkin saja. Tenggelam sama dua film komedi hits akhir taun Indonesia, bisa jadi. Jawaban yang bisa kusimpulkan dari ketika nonton ini adalah, mungkin para bintang top tersebut malu. Mereka memang seharusnya malu udah main di film ini. Trailernya bo’ong banget. Cerita film sebenarnya sangat berbeda dari apa yang dijual pada trailer. Not even close.

 this is a giant marketing scam
this is a giant marketing scam

 

Film ini sesungguhnya juga bikin aku kagum.
Sebagian besar adegan disyut dengan sangat cakap, menghasilkan visual yang cakep. Penampilan aktingnya pretty good, seperti yang bisa kita harapkan dari para aktor sekelas mereka. Serius nih, aku kagum. Para aktor tersebut bekerja keras, terutama Will Smith. He’s really trying in this. Penampilannya di sini seolah dia sedang mainin film buat nominasi Oscar, seperti yang biasa ia lakukan di film-film ‘andelan’ lain sekitaran Desember setiap tahunnya. Tapi bener deh, gimana film ini bisa membujuk aktor-aktor lain untuk main di film ini adalah hal yang pantas kita admire. I mean, Collateral Damage, eh sori maksudnya, Collateral Beauty punya PLOT LINE YANG LUAR BIASA BEGO, sehingga fakta film ini bisa muncul sebagai suatu eksistensi aja udah merupakan hal yang menakjubkan. Amazing. Amazingly insulting buat cerita-cerita bagus yang masih keliaran nyari jodoh di luar sana, sih lebih tepatnya.

Collateral Beauty menceritakan tentang seorang bisnis man yang sukses bernama Howard. Setelah kematian putrinya yang baru berusia enam tahun, Howard mengucilkan dirinya sendiri. Menutup perasaannya. Dia menolak bicara kepada orang lain, termasuk kepada karyawan dan teman-temannya. Plot utama film ini dibeberkan dalam rentang dua-puluh-menit pertama dan plot tersebut benar-bener beda dari apa yang sudah trailer bikin kita percaya.

Howard begitu patah hati oleh kepergian putrinya sehingga kerjaannya terbengkalai. Tiga teman, yang juga adalah karyawannya, khawatir mereka bakal kehilangan pekerjaan jika Howard terus-terusan ‘pendiem’ kayak gini. Alih-alih beresin urusan dengan klien, Howard menghabiskan jam kantor dengan nyusun domino dan ngeberantakinnya sendiri. Jadi, Whit, Claire, dan Simon (berturut-turut diperankan oleh Edward Norton, Kate Wisnlet, dan Micahel Pena) yang ingin nyelametin leher masing-masing, menyewa private investigator buat ngintilin ke mana Howard pergi. Dengan skill deduksinya, si detektif berhasil mengetahui bahwa Howard mengirim surat kepada Kematian, Cinta, dan Waktu. NOT! Si detektif actually ngebongkar kotak surat, bayangin hahahaha! Kemudian tiga temen Howard membayar tiga pemain teater buat mendatangi Howard berpura-pura jadi sosok Kematian, Cinta, dan Waktu. Supaya apa? Supaya si detektif bisa ngerekam percakapan Howard dengan mereka dan nantinya rekaman tersebut diedit sehingga yang terlihat hanya Howard bicara dengan diri sendiri. Rekaman editan inilah yang nanti digunakan oleh tiga temen Howard buat ditunjukin ke klien; sebagai bukti Howard rada sedeng dan dia enggak seharusnya berada di posisi sebagai atasan, dan pada akhirnya mereka bertiga bisa tetep kerja.

See, plotnya persis kayak film ini sendiri. Manipulatif.

 

Menakjubkan bukan gimana orang-orang kantoran itu punya teknologi yang canggihnya nyaingin teknologi Hollywood; mereka bisa menghapus satu manusia utuh dari video handphone. Haha..ha. Ada begitu banyak hal gak masuk akal pada penulisan narasinya. Kita bisa ngomong sampai bibir item soal betapa terriblenya teman-teman Howard. Misi film ini sepertinya memang ingin nunjukin bahwa istilah temen makan temen di dunia kerja itu adalah hal yang nyata. Apa yang mereka lakuin di sini – Howard sedang dalam keadaan broken yang mendalam, mereka malah nyewa orang, berencana untuk membuat Howard seperti orang gila – it is just tindakan yang, Cinta di AADC 2 bilang “apa yang kamu lakuin itu jahat”. Dan film ini mencoba untuk merasionalkan hal tersebut di akhir.

Sebenarnya adalah konsep menarik tentang hubungan antara manusia dengan Kematian, Cinta, dan Waktu. Sejatinya tidak ada awal dan akhir, waktu hanya digunakan untuk mengukur eksistensi. Kita hanya merasa ada waktu ketika kita either sedang bersama atau sedang pisah dari seorang yang kita cintai. Tapi ultimately kita sering enggak sadar, seperti Howard, bahwa indahnya cinta terus berlanjut bahkan setelah kematian. Film ini nunjukin trauma mengakibatkan Howard menjadi lebih dekat dengan orang-orang yang shared cinta yang sama seiring berjalannya waktu. Hidup mengajarkannya tentang kematian, dengan cinta sebagai hadiahnya. Cinta melampaui waktu dan kematian; dalam kematian ada cinta, dan dalam waktu tidak ada kematian. We are all connected dengan hal tersebut.

 

replace them with Schmidt, Jess, Nick from New Girl dan film ini kayaknya bisa lebih seru. Howardnya ganti ama Winston. Hihi
replace them with Schmidt, Jess, Nick from New Girl dan film ini kayaknya bisa lebih seru. Howardnya ganti ama Winston. Hihi

 

Sayangnya perhatian Collateral Beauty sepenuhnya hanya tercurah kepada nyembunyiin twist sehingga film ini lupa untuk membangun cerita yang benar-benar menyentuh hati. Ada dua ‘kelokan’ cerita di dalam fim ini, yang dua-duanya terungkap menjelang akhir. Dan sama-sama enggak masuk akal. Satu yang menyangkut Howard, jika dipikir-pikir merupakan kebetulan yang teramat mengada-ada. Logikanya nol besar dan actually malah makin merusak film secara keseluruhan. Twist yang satu lagi berdasar kepada bahwa ternyata tidak hanya Howard yang belajar, ketiga temannya actually juga dibahas personal ama tiga ‘spirit’ tersebut. Film ini mencoba membuat kita mempertanyakan apakah ketiga pemain teater tersebut adalah spirit beneran, namun sekali lagi, hal ini justru makin memperparah narasi dan plot line yang memang sedari awal sudah horrible and crazily stupid.

Tidak pernah kita diperlihatkan kehidupan bahagia Howard bersama putrinya, selain adegan memori yang itu-itu melulu, sehingga kita kesusahan buat konek dengan karakternya. Kita tidak pernah melihat sisi bahagia dari Howard. Tidak ada adegan interaksi dengan putrinya, yang mana sangat krusial buat fondasi emosi. Padahal mestinya di dalam film semua harus dikontraskan. Namun karena film ini terlalu napsu nyembunyiin cerita, we don’t get to see that. Hanya ada satu adegan di pembuka di mana Howard girang, dia tertawa, dia ngasih pidato tentang kesuksesan. And that’s it. Cerita lompat ke tiga tahun kemudian di mana Howard pasang tampang sedih ke semua orang.

 

 

 

 

Hal terbaik yang kita bisa bilang buat film ini bahwa dirinya adalah suguhan dengan penampilan akting yang baik namun punya beberapa cacat dalam penulisan dan narasinya. Sesungguhnya film ini sendiri pun sadar akan kelemahannya, tahu bahwa cerita yang ia punya penuh oleh keenggaklogisan, jadi makanya mereka nekat bikin trailer yang nipu abis. Mereka enggak bisa hanya mejengin wajah-wajah pemain yang pernah jadi nominasi Oscar. Jadi ya, mereka butuh some terrible bait-and-switch. Karena, selain dengan trailer, dengan apalagi mereka bisa menjual diri dengan meyakinkan?
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for COLLATERAL BEAUTY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

INTERCHANGE Review

“Find me where the wild things are”

 

interchange-poster

 

Interchange adalah film crime-slash-thriller-slash-supernatural keluaran Malaysia, yang bekerja sama dengan PH dari Indonesia; Cinesurya Production. Jadi jangan heran jika dalam film ini kalian akan melihat juga penampilan dari Prisia Nasution dan Nicholas Saputra dalam peran yang sangat berbeda dari yang pernah ia lakoni sebelum-sebelumnya.

I was really intrigued by, say, the first twenty-minutes of this movie. Apa yang ditawarkan oleh film ini jelas adalah sesuatu yang pretty unconventional. Sebagai pembuka, kita disuguhin adegan penampilan nyanyi jazz di nightclub yang sukses berat menghantarkan perasaan surreal. Lagu si biduan berdendang tentang jiwa yang lepas dari raga, gimana enggak creepy dan bikin pensaran, tuh? The very next scene memastikan bahwa Interchange adalah film yang completely berbungkus misteri, as kita ngeliat mayat yang tergantung dalam apa yang nampak seperti ayunan dari untaian tali dan bulu-bulu. Putih kering kerontang dengan urat-urat yang terjuntai keluar. Bahkan Detektif dan dokter forensik yang memeriksa mayat tersebut yakin ini bukan kerjaan manusia, “Pontianak?” duga Detektif Man yang mirip-mirip Mas Adi di Tetangga Masa Gitu.

Tapi itu bukan kali pertama Detektif Man dapet kasus ajaib. Beberapa bulan sebelumnya ada kasus yang persis, yang membuat seorang fotografer kepolisian saat itu musti mundur dan ngambil cuti ‘gak enak badan’ setelah motretin mayat korban. Seperti yang kemudian kita pelajari lewat tuturan cerita, alasan Adam berhenti adalah karena kasus tersebut sangat mengganggu dirinya, terutama pecahan kaca negatif film yang selalu ada di TKP. Namun tentu saja, negatif film kuno ini adalah kunci penting dari misteri. Kita akan melihat Adam, terseret masuk ke dalam kasus ini, dia bertemu dengan orang-orang aneh, dia kenalan ama Iva, cewek misterius yang meminta pertolongan Adam, karena turns out Adam dapat melihat lebih dalem dan mengerti lebih banyak ketimbang Detektif Man.

 

Usaha film ini mengeluarkan NUANSA EKSOTIS DAN GAK-NYAMAN patut diacungi jempol. Ada momen-momen yang tak pelak bikin kita ngerasa merinding hanya oleh betapa weirdnya momen tersebut disyut. Adegan opening tadi, misalnya. Ataupun wide shot pandang-pandangan Adam dengan Iva dari balkon masing-masing yang dihandle dengan luar biasa unsettling. Terasa buat kita, film ini bercermin kepada thriller-thriller sukses. Adam yang kerjaannya sekarang motretin kegiatan penghuni lain apartemen dari beranda kamarnya jelas adalah persembahan buat Alfred Hitchcock’s Rear Window (1954). Aku suka film ini mengambil pendekatan kayak season satu serial True Detective. Kita tanpa tedeng aling-aling digedor oleh teka-teki. Hampir seperti kita bekerja sama dengan detektif dan tokoh utama cerita ini. Jika True Detective berpusat pada mitologi Raja Kuning, maka Interchange MENGGABUNGKAN NOIR DETEKTIF DENGAN MITOS DARI PEDALAMAN RIMBA BORNEO. Film ini menampilkan mistisnya ritual suku Dayak, lengkap dengan simbol-simbol, seperti totem burung enggang ataupun burung rangkong.

Kaca bagi Adam adalah simbol yang menunjukkan keadaan yang terperangkap. Apa yang dibutuhkan oleh Adam adalah merasa bebas, sebagaimana para anggota suku dayak. Film ini bicara tentang pembebasan diri ke alam liar, that is our beliefs. Pikiran kita – kepercayaan kita adalah makhluk liar yang hidup di dalam passion, dalam orang-orang yang kita cinta. Dan tak jarang itu adalah tempat tergelap di dalam pikiran kita. Tapi tak semestinya kita takut. Bisa butuh seumur hidup atau beberapa detik saja seperti Adam untuk kita menemukan tempat liar tersebut, tapi begitu ketemu, just like Adam did, kita akan bebas.

 

Eksplorasi kebudayaanlah yang membuat kita datang duduk untuk menonton Interchange. Kita sukses dibuat penasaran bagaimana mitologi dalam film bekerja. Gimana hutan beton Kuala Lumpur mendapat sisipan hutan belantara Kalimantan. Gimana burung-burung tersebut berperan dalam penyingkapan misteri. Visual dalam film ini, untuk beberapa bagian, lumayan mendukung penceritaan. Efek-efek komputernya cukup hold up buat ditonton sekarang. It’s not very great ataupun very seamless, namun dalam tone cerita yang disturbing dan misterius, efek-efek tersebut melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya. Begitu pula dengan praktikal efek yang digunakan. Production design film ini terbilang bagus. Pakaian dan aksesoris tribal serta ‘kostum’ burung tersebut nampak elegan dan nakutin. Mayatnya kelihatan believable dan oke, bikin kita takjub dan penasaran makhluk apa yang bisa ngelakuin hal semacam itu. Pemandangan Nicholas Saputra bertransformasi menjadi burung bakal terpatri lama di benak kita. Namun saat sudah beneran jadi burung, tokoh ini terlihat agak sedikit menggelikan. In fact, I didn’t really sold into penampilan tokoh yang diperankan Nicholas Saputra di film ini. Alih-alih misterius, mengerikan, ataupun disturbing, tokohnya malah tampak kayak cacat.

 Demorph, Tobias, demorph!!
Demorph, Tobias, demorph!!

 

Film ini seharusnya bisa jadi bahan pemikiran dan bikin kita takjub hingga jauh seusai kredit penutupnya nongol. Aku suka film-film surreal, yang bikin penontonnya bingung setengah mati. Film yang bikin penontonnya ngerasa gak nyaman. Menonton Interchange, however, aku malah merasa ada something missing dari film ini. Benar ada simbolisme, akan tetapi lapisan yang bisa dikupas enggak sebanyak yang mestinya mampu ditampilkan oleh film seperti ini. Interchange terasa tidak pernah benar-benar fulfilling, in regards of the storytelling. Misterinya tidak benar-benar menjadi misteri karena semuanya bisa terbaca dengan jelas, kita akan sering menemukan diri kita berada selangkah di depan para tokoh. Dan also memang film ini ternyata tidak fokus sepenuhnya kepada penggalian mitos. Interchange, for most, is a detective story, tanpa red herring ataupun clue yang compelling. Tembak-lurus begitu saja. Tidak semua hal kelihatan sebagaimana ia terlihat, apa yang nampak sebagai kasus pembunuhan bisa saja berarti lain. Namun build upnya begitu muddled dan enggak fokus.

Trying so hard nutupin alur, bagi film ini kemisteriusan datang dari karakter-karakter yang ngomong dengan suara digumam-gumamin, dengan intonasi yang kerap aneh, pula. And I grew up watching Doraemon berbahasa Malaysia di tv rumah di Riau. Serius deh, bukan masalah bahasa bagiku. Masalah film ini adalah pada penulisan dan arahan aktingnya; tidak ada yang bisa kita pegang dari karakter-karakter tersebut. Kita kesulitan untuk merasakan apa yang mereka alami, and that is so sad karena film ini harusnya sangat dekat dengan penonton. Akting pemain sangat goyah dan unconvincing. Semua tokohnya kayak sedang dalam perlombaan siapa yang paling sok misterius. Aku lebih enjoy ngeliat penampilan tokoh minor dalam film ini. Interchange adalah jenis film yang butuh banget ada subtitle, karena penampilan para tokoh sendiri enggak cukup kuat untuk menyampaikan cerita.

Sebagian besar Adam akan kelihatan bengong ketimbang sedang mengalami kebimbangan atau apapun yang seharusnya ia rasakan. Penyampaian Iedil Putra adalah yang paling lemah, tidak ada urgensi dalam pemeranan tokohnya. Kita enggak sepenuhnya yakin kenapa semua perkara tersebut sangat personal bagi Adam. Iva nya Prisia Nasution kayak terjebak di interchange antara menggoda Adam dengan ngulum es batu dengan being vulnerable dikejar polisi. Film ini juga ada adegan berantem, yang dikoreografi lumayan intens sampai Nicholas Saputra terbang melayang pake jurus bangau tong tong. Ada banyak adegan yang jatohnya unintentionally funny. Aku ngikik liat cara berlari Belian. Dan aku sampe ditegur bapak-bapak lantaran keceplosan ngakak ngeliat si Detektif keluar dari mobil dan kencing di pelataran parkir.

Adam Iva lari nyari surga
Adam Iva lari nyari surga

 

 

Karakterisasi adalah hal yang penting dan film ini mengorbankan hal tersebut demi kelihatan misterius. Bekerja begitu keras dan kerap efektif dari sinematografi, namun lemah karena tidak punya akar emosi yang benar-benar nyata; yang membuat kita susah peduli kepada nasib-nasib karakternya. Akibatnya hampir semua hal dalam film ini terasa artifisial. Film ini bermaksud menantang pikiran kita soal makna kebebasan, there is some interesting things going on about motif ‘pembunuhan’ di dalam ceritanya yang akan membuat kita melihat para tokoh dari cahaya yang berbeda, jika saja tokoh-tokoh tersebut diberikan penokohan yang matang. Aku enggak yakin apa yang terjadi sama film ini, karena dua puluh menit pertama sudah terasa sangat menarik. But it went downhill from there. All-in-all tho, aku senang ada film yang berupaya mengangkat cerita kolaborasi budaya seperti ini. It’s nice to see surreal story from around here for a change.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INTERCHANGE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LOGAN Review

“Fuck yeah give it to me, this is heaven, what I truly want; It’s innocence lost”

 

logan-poster

 

Di tahun 2029, Wolverine jadi supir limosin. Dengan nama samaran, dia nganterin penumpang-penumpang yang kebanyakan dari kelas atas, ke tempat tujuan mereka, demi uang yang digunakannya bakal obat buat Profesor X. Masa depan Logan tampaknya memang enggak begitu ceria, semuanya sekarat. Profesor sakit-sakitan. Mutan-mutan punah. Begitu juga dengan kekuatan yang bersemayam di dalam dirinya. Tapi Logan lebih suka begini. Dia selesai dengan ‘permainan’ jadi superhero. Dia letih melihat satu persatu temannya meninggal. Logan dan Charles Xavier sama-sama sudah siap menghadapi takdir mereka, yang membuat mereka deep inside bilang “Alhamdulillah bakal datang juga”. Tapi sebelum kesempatan beristirahat itu tiba, Logan musti kembali mengeluarkan kuku adamantiumnya. Kali ini buat ngelindungin gadis cilik misterius yang diburu oleh sekelompok pasukan. Logan, enggak begitu yakin siapa dan ada apa dengan bocah ini, sekarang harus ngetake care dua orang. Jadi sembari Wolverine mencincang dan menyayat anggota tubuh orang-orang jahat, dia juga harus belajar tentang siapa anak ini – yang tentu saja juga membuat Logan belajar lebih banyak tentang dirinya sendiri, dan hal tersebut menyayat hatinya. Sementara gadis cilik ini, well, dia mungkin enggak butuh pertolongan sebanyak itu sebab ia sendiri punya trik khusus di balik lengan bajunya.

Keputusan-keputusan yang diambil oleh film ini sukses membungkus ceritanya menjadi PERJALANAN YANG MEMUASKAN. Dalam Logan kita akan melihat Wolverine memegang komik X-Men, menunjukkannya kepada Prof X, membaca tentang petualangan mereka, untuk kemudian melemparnya begitu saja. Like, “Hey Prof, lihat nih.. petualangan kita” *balik balik halaman* “Pfft ngarang banget!”

Elemen komik X-Men yang secara fisik eksis dalam dunia cerita film ini bener-bener adalah sebuah ide yang sangat fresh dan cerdas. Komik tersebut bukan hanya sebagai tempelan humor, melainkan eventually menambah layer terhadap plot dan karakter. Cerita ini mengambil setting waktu jauh di masa depan, tentu saja dalam rentang Days of Future Past sampai ke ‘sekarang’ itu, sudah banyak petualangan yang mereka lalui. Orang-orang bersyukur atas kehadiran X-Men sampai-sampai mereka menulis buku komik tentang para pahlawan tersebut. Namun superhero juga manusia, bersama kekuatan hebat turut serta pula tanggungjawab yang gede. Komik hanya tahu tidak lebih dari seperempat apa yang mereka beneran hadapi. Reaksi Logan terhadap cerita fiksi dirinya berkostum spandek kuning-biru mencerminkan gimana kontrasnya dia dan orang lain dalam memandang eksistensinya sebagai Wolverine itu sendiri.

Memang, film Logan berada di barisan yang sama dengan apa yang dilakukan Christopher Nolan terhadap Batman alih-alih terasasejajar dengan apa yang kita dapat dari film-film Avengers dari Marvel.

 

Ini adalah sajian DRAMA SERIUS DENGAN LEDAKAN AKSI yang menyertainya. Logan adalah film kejam bertone kelam yang nunjukin karakter yang sembilan-puluh-sembilan persen udahan dengan yang namanya harapan. Meski begitu, kita tidak akan melihat Wolverine ataupun Prof X berkeliling bermuram durja dan depresi sepanjang waktu. Karakter-karakter ini belum kehilangan selera humor sepenuhnya. Ada banyak fun dan lelucon yang bisa kita nikmati dari interaksi antara para tokoh, terutama dari Wolverine dan Prof X yang hubungan mereka sudah terestablish dari film-film X-Men terdahulu. Aku suka dialog di meja makan saat Logan menyebutkan kepada orang-biasa bahwa pria botak tua di seberang meja itu dulunya pernah mengelola sekolah. Ada secercah diri mereka yang dulu hadir dalam pandangan mata dua karakter ini. Hal inilah yang membuat tokoh film Logan begitu hebat dan menarik; Melihat tokoh yang sudah kita kenal dan cintai diletakkan dalam posisi yang nian gelap dan mengukung dan nyaris terlupakan, sehingga kita ingin melihat sosok mereka yang sebenarnya keluar. Perasaan yang sangat fantastis melihat mereka, apalagi gadis cilik yang baru gabung itu, saling menumbuhkan rasa percaya dan saling mengapresiasi, saling belajar untuk menjadi pahlawan bagi satu sama lain.

“kapan gue ngelawan Pteranodon berkolor pink?”
“kapan gue ngelawan Pteranodon berkolor pink?”

 

Memainkan penampilan terakhirnya sebagai tokoh Wolverine, Hugh Jackman sekali lagi menunjukkan kekerenan yang luar biasa. Kita akan merindukan orang ini jika Wolverine masih muncul di film-film berikutnya. Hugh Jackman, sudah memerankan Wolverine dalam sepuluh kali kesempatan, dan portrayalnya dalam film ini adalah yang terbaik. Karena memang karakternya di sini adalah yang terdalem. Melihat Wolverine begitu ‘terluka’ menyibak kembali masa lalunya, membuat hati kita terasa tersayat juga. Hugh Jackman sangat fantastis memainkan karakter ini. Dia lelah. He’s broken down. Dia babak belur secara fisik dan secara emosi. Maksudku, Logan yang ini adalah bayang-bayang dari siapa yang he used to be. Jadi, ketika ada yang’ menantang’nya, rasanya menakjubkan sekali melihat persona Wolverine yang lama menerjang keluar. Satu kata untuk mencerminkan Logan adalah brutal.

Patrick Stewart juga sukses luar biasa memainkan perih karakternya. Beliau sakit, dia sering ngalamin episodes of seizures. Kebayang dong, dampaknya apa jika manusia dengan otak paling ‘berbahaya’ di muka bumi ngalamin seizure. The fact is, Profesor X sudah begitu tua, dia tidak mau apapun selain keselamatan orang-orang dan rumah. Karakter ini akan menambah lapisan emosi buat tokoh utama kita. Mengenai tokoh Laura, gadis cilik misterius yang harus dilindungi Wolverine, aku gak akan beberin banyak. Yang kudu aku katakan adalah Dafne Keen bermain sangat bagus. Ekspresinya enggak pernah gagal menyampaikan sesuatu kepada kita. Elemen utama film ini adalah rage, dan di tangan Dafne, tokoh Laura menjelma menjadi begitu lovable. She’s kind of terrifying actually, namun siapa sih yang enggak suka ama karakter cute yang capable nendang bokong dengan ganas?

ngeliat Logan dan Laura membuatku teringat sama Zaraki Kenpachi dan Yachiru dari anime Bleach
ngeliat Logan dan Laura membuatku teringat sama Zaraki Kenpachi dan Yachiru dari anime Bleach

 

Untuk bener-bener mencapai tingkatan emosional yang diincer, film tidak-bisa tidak tampil dengan rating Dewasa. Oh Tuhan, film ini sadis banget. Ingat Deadpool (2016) yang juga enggak nahan-nahan dalam nampilin adegan kekerasan? Well, seenggaknya Deadpool masih bertone komedi. Dalam Logan, tidak ada yang lucu saat Wolverine ngamuk. Memotong kaki dan tangan, menghujamkan belati adamantiumnya ke tengkorak orang. Darah muncrat di mana-mana. Potongan kepala menggelinding di tanah. Anak balita yang dibawa serta nonton sama pasangan muda di barisan di depanku nangis kejer, and I was like “selamat, kalian udah bikin anak sendiri trauma!”. Dari segi action, ini adalah film superhero yang paling sadis. I love it so much. Sudah lama kita berkelakar soal gimana efek tajamnya kuku Wolverine di berantem real life, di film inilah kita akan beneran melihatnya. Dan memang, rating Dewasa film ini turut andil menghantarkan cerita emosional yang powerful. Karena ada elemen dari penokohan yang enggak akan maksimal jika ditahan-tahan. Cuma inilah jalannya. FILM INI PERLU UNTUK JADI SADIS, KEJAM, DAN BRUTAL.

It might be kind of long reach buat dimengerti, namun saat menonton aksi dan emosi si Logan yang begitu lepas bebas di film ini, serta merta penggalan lagu Gods and Monstersnya Lana Del Rey bergaung di telingaku. Wolverine sudah begitu banyak melihat orang yang ia peduli berguguran. Setelah Prof X, dia sudah siap untuk ‘pensiun’ di tengah laut. Dia sudah siap untuk kehilangan semua. Tapi Logan’s deepest desire is to protect anyone. Kehadiran Laura dan anak-anak itu membuatnya sadar dia tinggal di dunia penuh ‘tuhan’ dan ‘monster-monster ciptaan mereka’, tempat di mana tidak ada keinosenan. Dan sungguh heartwrenching melihat Logan mendapatkan rumah yang ia cari.

 

Babak pertama dan ketiga adalah bagian yang terbaik dari film ini. Menarik dan terasa sangat intens. Porsi action memang mostly terletak pada kedua babak tersebut. Aku perlu menekankan bahwa action dalam Logan tidak terasa seperti fantasi ala film-film superhero yang lain. Aksi di sini lebih berfokus kepada koreografi dan penyampaian cerita, disyut dengan in-the-moment sehingga setiap ayunan tangan Wolverine begitu compelling. Sedangkan, babak kedua film – yang lebih ke road trip movie featuring mutants – agak sedikit goyah. Tidak ada yang terasa dramatis dan penting banget hadir di babak ini. Pemanfaatannya lebih ke buat pengembangan karakter. Untuk membuat Laura dan Wolverine tumbuh, hanya saja tidak ditulis semenarik apa yang harusnya bisa dibuat lebih. Selain itu, kadang sorotannya pindah ke karakter-karakter yang tidak punya banyak pengaruh buat keseluruhan film. Kita ingin cerita tetep fokus kedua karakter yang ingin kita lihat lebih banyak, akan tetapi film kerap ngasih liat karakter-karakter yang kurang menarik.

Aku enggak baca semua komik X-Men, jadi mungkin aku salah, tapi rasa-rasanya ada tokoh penting dalam film ini yang completely dikarang oleh scriptwriter. Untungnya sih, tokoh ini dihandle dengan lumayan baik, perannya mostly cukup bekerja for this movie. Ya kita memang harus bisa menerima fakta bahwa enggak semua yang difilmkan wajib banget persis niruin komik. Toh namanya juga adaptasi. I mean, seriously, enggak ada satupun dari kita yang pengen liat Hugh Jackman pake kostum persis Wolverine versi komik.

 

 

 

 

Terlepas dari rating R-nya, visi James Mangold tergambar sangat cantik lewat film ini. It was very well edited as it was very well acted. Pace ceritanya yang cepet enggak akan bikin bosen meski filmnya sendiri lebih sebuah drama dengan selingan aksi ketimbang aksi dengan bumbu drama. Ada sense western diberikan oleh Mangold, yang terintegral sempurna ke dalam cerita. Film koboy klasik Shane (1953) bukan sekedar tontonan selingan para tokoh, melainkan juga punya kepentingan di dalam narasi. Semua elemen dan putusan yang dibuat pada akhirnya terbungkus memuaskan, meski memang film ini tidak lantas sempurna secara emosional. Ada bagian ketika kita merasakan nothing dramatic atau apapun yang menambah bobot cerita. Kadang tone film terasa timpang. Film ini bekerja baik saat dia menjadi brutal dan menakutkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LOGAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LION Review

“Sometimes direction you never saw yourself going turns out to be the best road you have ever taken.”

 

lion-poster

 

Delapan-puluh-ribu lebih anak-anak India hilang setiap tahunnya. Nyasar, tak-tau jalan pulang ke rumah, terpisah dari keluarga. Jalanan yang penuh orang acuh-tak acuh dan potensi abuse lah yang menunggu mereka. Saroo pernah menjadi salah satu dari angka delapan-puluh-ribu. Saat masih kecil, Saroo yang tertidur di stasiun kehilangan jejak sang abang dan malah terangkut sebuah kereta api hingga beribu-beribu kilometer jauhnya. Hanya bisa bicara dengan bahasa India, kata-kata minta tolong dari mulut Saroo kecil tidak bisa dimengerti oleh orang-orang di Kalkuta, tempat kereta ‘tumpangan’nya berhenti, yang berbahasa Bengali. Jikapun ada yang nyambung diajak ngobrol, Saroo tetep repot lantaran dia bahkan enggak bisa nyebutin nama kampungnya dengan bener.

Adalah pemeran Saroo kecil, Sunny Pawar, yang akan membuat kita truly merasakan perasaan terasing di bawah langit India. Film panjang pertamanya ini membuktikan kepiawaian Garth Davis menarik keluar penampilan-penampilan yang begitu meyakinkan. Melihat Saroo berjalan tanpa tahu arah, serta merta aku jadi kagum juga. Bayangkan, ini DIANGKAT DARI KISAH NYATA; Saroo dan anak-anak yang masih ilang, bener-bener sendirian di luar sana. They don’t know anything. Bagaimana mereka bisa bertahan, apa yang mereka hadapi, all of that was so scary. Aku waktu kecil baru nyasar di pasar aja udah jejeritan sejadi-jadinya.

Butuh keberanian yang tak kalah gedenya bagi sebuah film meletakkan kepercayaan kepada aktor cilik baru yang baru berusia lima tahun (!) untuk memainkan cerita dengan compelling. Davis paham bahwasanya bahasa tidak harus jadi masalah, jadi dia berbicara lewat pengalaman dan ekspresi manusia. Dan memang hanya itulah yang menggandeng kita mengikuti Saroo kecil terlunta-lunta di jalan, mengandalkan insting dan sepersekian detik keputusan ‘pintar’nya untuk bertahan hidup. Kita enggak perlu ngapalin isi kamus bahasa india, kita enggak really butuh subtitle, malahan kita bisa nonton ini tanpa suara, dan tetap mengerti; merasakan apa yang terjadi di layar. Tidak ada adegan yang overdramatis, kayak Saroo ujan-ujanan – atau ampir diterkam singa beneran, so to speak. Sunny Pawar dipercaya untuk memberikan emosinya lewat gestur, ekspresi, ataupun hanya dengan tatapan mata. Yang dilakukan Sunny Pawar dengan sangat amazing, terlebih mengingat lebarnya rentang emosi yang dialami oleh tokohnya sepanjang film. Image Saroo makan boongan bakal terpatri lama di benak kita. Jika pada awalnya mungkin film ini sedikit bertaruh, maka pastilah setelah melihat hasil presentasinya, film ini berbalik jadi berutang budi kepada Sunny Pawar.

Pertengahan pertama adalah di mana kita akan dibuat mengerti kenapa film ini pantas berdiri mejeng sebagai nominasi Best Picture Oscar 2017. Visi sutradara Garth Davis mengaum lantang dalam setiap frame bidikan kamera. Sudut pandang bocah kecil itu tergambar syahdu. Didukung juga oleh sinematografi yang sungguh menawan throughout. Film ini precise dalam netapin timing kapan harus mengambil jarak. Begitupun penempatan hal-hal kecil, seperti burung yang terbang di ambang jendela, menjadi sarana penghantar cerita yang subtle tanpa harus repot-repot memaparkan.

dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan
dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan

 

Tidak hanya sampai di situ. Saroo kemudian diadopsi oleh pasangan suami istri yang tinggal di Australia. Semakin jauhlah dia dengan keluarga aslinya, yang sampai saat itu Saroo tidak tahu bagaimana keadaan mereka. But at the same time, Saroo menemukan keluarga baru. Paruh kedua film mengajak kita melihat Saroo dewasa deal with problematika identitas saat dia teringat kampung namun enggak yakin gimana harus menceritakan asal muasal ia yang sebenarnya kepada orangtua asuh. At one point Saroo benar-benar menyembunyikan tindakannya dari keluarga angkat. Dia bahkan jadi kasar sama saudara tirinya, yang merupakan cara film ini ngeintegralkan hubungan Saroo dengan abang aslinya.

Aku suka gimana film ini menggunakan overlapping visual untuk membandingkan keadaan Australia dengan India, membenturkan keadaan Saroo kecil dengan Saroo dewasa. Pemandangan seperti demikian sebenarnya adalah sebuah simbol keadaan Saroo yang berada di tengah-tengah kedua budaya. Film ini adalah bukan soal perjalanan pulang ke rumah. Ini adalah cerita pergolakan seseorang yang terombang-ambing antara tempatnya berasal dengan tempat yang sekarang sudah menjadi rumah baginya. Sejak dari kecil, Saroo selalu merasa ia berada bukan pada tempatnya. Derita dan bingung Saroo mencapai puncak ketika ia dewasa sampai dirinya belajar untuk – sekali lagi dihadapkan kepada pilihan – memilih salah satu atau mencoba menyatukan kedua ‘rumah’nya.

Bukan berarti kita harus pernah diadopsi dulu buat bisa ngerasain yang dialami oleh Saroo. Orang-orang yang pernah merantau, ataupun dalam perantauan, pasti mengerti.
Mengerti alasan kenapa harus pulang.
Mengerti siapa saja yang kita rindukan dan yang merindukan kita.
Mengerti bahwa keluarga adalah segala hal yang kita usahakan untuk menjadi rumah.

 

Dev Patel melakukan usaha yang bagus memainkan ‘cela’ dan konflik Saroo, dia menjaga cengkeraman kita tetap erat as Saroo berinteraksi dengan orang-orang baru yang ia cintai dalam hidupnya. Tapi tongkat estafet film ini tampaknya jatoh kesandung tulisan “20 tahun kemudian”. Cerita kedua ini enggak bisa bersanding dengan cerita pertama. Dibandingkan dengan saingan Oscarnya, Moonlight (2016) yang juga nampilin perjalanan hidup tokoh dari kecil hingga dewasa, Lion terasa kurang mulus. Rooney Mara turut bermain dalam film ini, she’s very good, namun tokohnya enggak punya arc. Dia cuma pacar tempat Saroo bersandar, dan enggak nambah banyak-banyak amat buat cerita. Bagian kedua kehidupan Saroo ini diselamatkan oleh penampilan akting Nicole Kidman yang berperan sebagai ibu angkat Saroo. Percakapannya dengan Saroo, beliau menjelaskan alasan kenapa dia mengadopsi anak berkulit coklat dari benua lain, adalah dialog yang paling kuat dan menyentuh dari seantero film. Nicole Kidman sendiri aslinya adalah ibu asuh beneran, jadi semua yang tokohnya katakan berdering oleh emosi yang feels so true.

Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha
Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha

 

Hubungan antara berkah dan derita terkadang begitu rumit dan membingungkan, sehingga kita tak menyadari pengaruhnya sama sekali. Dalam film ini, keseimbangan dua hal tersebut dibahas dalam bahasa sinema yang jujur dan powerful lewat Saroo yang menemukan, setelah kehilangan. Saroo mesti nyasar dulu sebelum dia menyadari keberkahan dua kali lipat dari yang bisa ia dapatkan sebelumnya. Berkah yang juga dirasakan oleh orang-orang sekitar Saroo yang terus merindukan cinta yang bersemayam di dalam tragedi.

 

To be honest, meskipun memang sebenarnya Lion adalah FILM YANG INTIMATE DAN SENSITIF dan relatable bagi banyak perasaan rindu, buatku film ini terasa rada pretentious. Gini, Lion ini kayak dua cerita yang berbeda; bagian pertama Saroo kecil yang kehilangan keluarga, dan bagian kedua tentang Saroo besar yang berusaha menggenggam kedua keluarganya. Aku ngerasa film ini berangkat dari kisah menakjubkan Saroo yang berhasil menemukan keluarga aslinya. Hanya saja mereka enggak bisa bikin cerita just around Saroo duduk galau ngulik google map, bikin papan investigasi kayak detektif. That would make a boring story. Buktinya, dalam film ini memang ada bagian ketika Saroo dewasa mengurung diri, dia menggunakan teknologi dan kepintarannya menemukan lokasi kampung halaman yang dulu tak-lurus ia sebut namanya. And it was nowhere near as engaging and compelling as bagian Saroo kecil. Jadi, film ini butuh sesuatu untuk bikin cerita lebih nendang. Mereka memutar kepala looking at the real issue there; Saroo adalah satu dari delapan-puluh-ribu, and they used that. Craft cerita dari sana, gunainnya sebagai hook identitas film. Namun toh, Saroo hanya satu yang beruntung dari delap…who knows sekarang jumlahnya jadi berapa. It did feels film ini enggak really doing anything kepada isu tersebut. They just gain more advantages dengan campaign segala macam. If anything, film ini memperlihatkan anak-anak yang hilang itu bakal pulang sendiri; siapa tahu kali aja kehidupan mereka bakal jadi lebih baik kayak Saroo. I mean, apa yang kita selebrasi jika film ini mendapat penghargaan di Academy nanti?

 

 

Mengatakan film ini berakhir setelah satu jam pertama sesungguhnya agak sedikit mendramatisir. Karena meski ceritanya kayak terbagi dua bagian – dengan drama paruh paling penting tidak pernah semenarik dan semeyakinkan bagian pendahulunya; keintiman hati, dan sensitifitas film ini terus menguar sepanjang durasi. Membuat film ini mudah dimengerti, membuat kita merasakan empati. Begitu powerful sehingga kita ikut merasakan terdiskonek, yang not always menjadi hal yang bagus. As in, film ini jadi kadang terasa mengaum ke arah yang salah.
The Palace of Wisdom give 7 out of 10 gold stars for LION.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MOAMMAR EMKA’S JAKARTA UNDERCOVER Review

“Don’t sacrifice your peace trying to point out someone’s true color.”

 

jakartaundercover-poster

 

Kalo kita mau kenal deket sama orang, alangkah lebih baiknya jika kita tahu yang buruk-buruk tentang orang tersebut. Apa kebiasaan jeleknya; apa dia suka ngeles, apa dia masih sering ngompol, apa dia hobi jajan tapi enggak pernah ntraktir, atau apa dia suka makan upil. Bukan supaya bisa kita manfaatin buat yang enggak-enggak. Supaya kita bisa belajar how to deal with them, gimana supaya kita bisa memahami mereka. Tampaknya hal ini juga yang kepikiran oleh Moammar Emka ketika nulis blak-blakan tentang pengalaman mengarungi dunia malam Jakarta di bukunya yang sensasional, buku yang later menjadi salah satu bacaan terlaris di Indonesia. Ibu kota memang keras, dia bekerja keras dan bermain juga keras. Dan kita diajak mengenal lebih dekat kota ini dari sisi terburuknya. Sehingga kita bisa menghargai Jakarta sampai ke lapisan-lapisannya yang paling rendah sekalipun. Karena memang, at heart, film ini adalah TENTANG RESPEK, RASA PERCAYA, DAN CINTA.

Jakarta Undercover yang ini actually adalah film kedua yang diangkat dari cerita-cerita bukunya. Jujur aku belum baca bukunya. Jadi aku gak bisa ngobrol banyak saat ketemu sama Mas Emka di closed screening beberapa bulan yang lalu. Saat buku Jakarta Undercover ngehits aku masih dalam fase usia yang polos. Ceile alasannya ahahaha. Film pertama yang dibintangi Luna Maya, tayang 2006 lalu, juga aku belum pernah nonton. Jadinya lagi, aku gak bisa bikin perbandingan antara film yang disutradarai oleh Fajar Nugros ini sama film yang pertama itu. Namun sukurnya ini bukanlah sekuel, ataupun remake. Melainkan sebuah babak cerita terpisah, anggap sebagai perspektif yang baru.

Kita melihat film ini dari kacamata Pras, seorang pria pendatang yang mengadu nasib jadi wartawan di Jakarta. Ngerasa gak berguna nulis artikel titipan pencitraan melulu, Pras ingin ngelakuin sesuatu yang signifikan. Pertama kali ketemu Pras, kita melihat dia dalam keadaan lagi lesu-lesunya; dia males ngerampungin artikel wawancara pejabat, kerjaannya minum bir dan turu, dia boongin ibunya yang senantiasa nelpon nanyain keadaan Pras. Kesempatanlah yang kemudian datang kepada Pras. Serangkaian adegan ‘aslinya gak niat nolong orang’ menghantarkan dirinya masuk ke dalam inner circle seorang ‘organizer’ acara-acara underground di Jakarta. Memanfaatkan pertemanannya dengan Yoga, juga dengan Awink, Pras dapet akses keluar masuk berbagai party. Dia diam-diam menulis tentang kehidupan malam yang baru kali ini dia kenal. Tapi tentu saja, things menjadi complicated. Masalah etika masuk di sini. Pras ngerasa bersalah saat tulisannya akan turun cetak. Tak pelak keadaan menjadi berbahaya, karena dunia underground tersebut enggak suka diekspos ke cahaya. Dalam dunia yang mestinya tertutup rapat, kepercayaan adalah hal yang utama, terutama bagi Yoga yang bukan orang sembarangan. I mean, oh man, jika saja Yoga tahu – dan Pras sadar – bahwa ternyata mereka menyintai wanita yang sama..!!!

cinta memang gila
cinta memang gila

 

Menonton film ini, samar-samar aku mendengar kembali nasehat yang pernah dilontarkan oleh guru biologiku waktu SMA. Ketika itu memang di sekolah lagi maraknya berantem antargeng dengan sekolah lain. Jadi yaa, di sekolah semacam buka unofficial open rekrutmen jadi pasukan gitu. Dan si ibu guru dengan suaranya yang keibuan bilang “Dalam pergaulan, kita dan teman-teman saling mewarnai. Jangan sampai diri kita terwarna lebih banyak oleh warna-warna gelap dari teman-teman. Lebih baik kita yang mewarnai mereka dengan warna terang sebanyak-banyaknya.”

 

Dalam usahanya untuk tidak tersilaukan sama gemerlap lingkaran kelam Jakarta, Pras enggak sadar bahwa dia mewarnai orang-orang gabener itu lebih banyak daripada mereka mempengaruhi sikap dirinya. Menurutku, di sinilah letak elemen yang paling menarik dari film Jakarta Undercover. Film ini tidak pernah memperlihatkan orang yang nari-nari nyaris telanjang, orang yang menjual diri, yang transaksi obat-obat, yang berantem demi daerah, orang kayak Yoga, tersebut sebagai pihak yang total hitam. Malahan, kalo mau nunjuk yang paling ‘bengkok’, telunjuk kita akan mengarah ke Pras yang gak pernah terang-terangan nunjukin niat aslinya bergaul dengan mereka. Eventually, kita akan melihat gimana Yoga mempraktekkan apa yang ia dapat dari perbincangannya dengan Pras. Sementara tokoh kita belajar mengenai lingkungan barunya buat cari hal yang bisa dijadikan bahan tulisan, ‘teman-teman’ baru Pras belajar banyak hal positif dari dirinya. Tentang bagaimana keinginan Pras menjadi berguna bagi orang banyak sudah turut mempengaruhi orang lain. Dan Pras gak menyadari itu sampai tulisannya dicetak, makanya dia merasa amat bersalah. Tulisannya bisa berpengaruh terhadap banyak orang, justru in a bad way.

Dan makanya lagi, karakter favoritku di film dengan banyak tokoh-tokoh bercela ini adalah Yoga. There’s so much depth and layers dalam pribadinya. Dia begitu jujur dalam apapun. Dia tahu dia orang berpengaruh. Dia tahu apa yang ia mau. Dia tahu apa yang ia benci. Gabungan dari semua berkumpul dan bermanifestasi menjadi seorang karakter yang kinda menyeramkan, tapi, kita paham dia dan kita respek. It’s such a complex character. Baim Wong luar biasa memerankan Yoga. Memberikan intensitas yang sangat dibutuhkan oleh film ini. Setiap scene yang ada dia seolah berbunyi “tik-tik-tik” bom-waktu karakternya meledak. Setiap scene yang ada Yoga dan Pras, Yoga nanyain Pras sesuatu, dan Pras menjawab canggung, is just dripping oleh perasaan ngeri, was-was. Akting dalam film ini so good, mereka berdua bahkan sebenarnya enggak perlu musik latar buat negasin emosi. Oka Antara juga excellent dalam memainkan Pras yang kelihatan awkward di antara party-party dan lingkungan barunya.

Yang sukses nyulik perhatian semua orang, tak lain dan tak bukan adalah penampilan Ganindra Bimo. Tadinya kupikir peran ‘unik’nya di sini cuma sebagai sidekick buat nyampein comedic relief dan alat eksposisi doang. Awalnya Awink malah lebih ke kayak anak kecil yang annoying. Ternyata Awink juga punya momen dramatisnya sendiri, dan actually menambah cukup banyak buat keseluruhan cerita. In fact, setiap karakter diberikan momen di mana mereka bisa bersinar secara emosional. Bahkan tokoh pendukung minor kayak tokohnya Lukman Sardi juga punya api di sini. Tyo Pakusadewo juga great. Film menjadi begitu intens setelah lewat mid-point. Everything dibangun properly sehingga PERTENGAHAN AWAL TERASA SEPERTI FOREPLAY, DENGAN SEGALA EMOSI TERCROT MEMUASKAN DI PARUH AKHIR.

Everyone’s just finally saling pointing out ‘warna’ masing-masing, dan yang kita tonton adalah adegan yang sama sekali jauh dari damai. Hal yang mungkin sebaiknya tidak dilakukan, biarlah rahasia itu tertutup rapat. Tapi mungkin, di dalam dunia yang tidak necessarily melulu putih atau hitam, itulah tindakan yang harus dilakukan oleh setiap orang; to recognize flaws.

 

Ada banyak adegan-adegan yang memorable dan membekas, karena film ini tampaknya dibuat dengan sangat have fun. Aku suka adegan mandi; Laura menggosok badannya keras-keras ingin mengikis noda yang tak akan pernah sirna. Aku suka gimana mereka memanfaatkan skit orang gila di supermarket sebagai somekind of 4th-wall-breaking messenger kepada penonton. Aku suka adegan makan di warteg sambil ngomongin soal makan temen. Aku suka the very last shot of Pras, aku enggak akan spoil tepatnya apa di sini.

Oke, let’s just address the elephant in the room. Jakarta Undercover adalah film dengan BANYAK ADEGAN DEWASA. Sebagian besar disyut dengan really close. Sangat tense, terkadang ada violencenya juga. Versi yang diputar saat closed screening adalah versi utuh, aku nontonnya jadi kepikiran, “ni film ntar gimana bentuknya abis kena sensor?”. Ternyata mereka berhasil ngetrim beberapa tanpa merusak penyampaian film. Mesti begitu presentasi film ini masih terlalu dewasa, kekerasan dan beberapa perlakuan dalam film bisa jadi hal yang mengganggu, terutama bagi penonton yang easily get offended oleh persoalan nilai wanita dan pria.

 The moment Pras nyesel tape recordernya gak bisa ngerekam video.
The moment Pras nyesel tape recordernya gak bisa ngerekam video.

 

Untuk sebuah film tentang orang yang mencari bahan tulisan dengan bekerja diam-diam, film ini tidak punya sense of discovery yang kuat di dalam ceritanya. Maksudku, memang di film ini masih ada dari kita yang akan baru pertama kali tahu ternyata di Jakarta ada yang begituan (film ini diangkat dari buku yang terbit belasan tahun lalu yang berisi pengalaman penulisnya), namun secara penggalian cerita tidak benar-benar ada hal baru untuk kita temukan. Aku ngerasa ada film yang ceritanya seperti ini sebelumnya, you know, cerita tentang dua orang mencintai wanita yang sama, it’s like usual trope di film-film gangster. Fokus romansa dan nyerempet ke komedi membuat film terasa generic. Film ini jadi terasa ringan, alih-alih suatu sajian pembuka mata yang mestinya bisa lebih heavy, lebih kritis, lebih berdaging.

Endingnya agak sloppy. Aku lebih suka babak akhir versi yang kutonton di closed screening, karena di situ filmnya kinda leave it open buat beberapa hal, kayak adegan shoot out. So at least di ujungnya ada yang berusaha kita discover sendiri. Aku juga agak enggak akur sama penggunaan flashback dan cara film ini actually menggunakannya. Agak keseringan sehingga seolah film ini enggak percaya penonton ingat sama apa yang sudah terjadi di awal-awal. Dan lagi, film ini memakai efek kayak grainy grainy gitu di setiap adegan flashback, sebagai pembeda. Hanya saja justru adegan-adegan tersebut jadi terasa semakin dilempar ke muka kita. Juga adegan mimpi yang heavy oleh editing. Yang sebenarnya enggak diperlukan karena toh dengan segera filmnya ngasih tau itu adegan apa lewat dialog. It takes us away from the story. Mungkin akan lebih baik jika penonton dibiarkan recognized sendiri mana yang real-time mana yang enggak.

 

 

 

Secara sajian memang relatif ringan, tapi bakal ‘berdarah-darah’ oleh penampilan yang bakal menjadi teramat sangat emosional. Towards the end film ini intens oleh performa brutal oleh emosi. Tokoh-tokoh ilm ini akan ninggalin kita dalam keadaan babak belur. Kayak tokoh-tokohnya, teknikal film ini juga ada celanya. Sound design yang agak off. Penggunaan efek lensa/kamera yang somewhat distracting. Playful elemen dalam film ini enggak semuanya bekerja dengan baik. Namun jangan takut jangan khawatir, ini bukan film yang jualan liuk tubuh tanpa busana dan desahan bibir merah. Yang disibak oleh film ini adalah bukan soal betapa ‘kotor’nya Jakarta. Ada misi kemanusiaan yang menguar dari narasi ringan yang menitikberatkan kepada respek, rasa percaya, dan cinta.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MOAMMAR EMKA’S JAKARTA UNDERCOVER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

BUKA’AN 8 Review

“All generations have similar values; they just express themselves differently.”

 

bukaan8-poster

 

Menjadi suami idaman berarti harus siap siaga menjaga dan memenuhi kebutuhan istri. Alam (pembawaan Chicco Jerikho sudah oke, hanya deliverynya saja yang kerap off) tentu saja mengerti itu. Dia cinta istrinya, dia ingin menunujukkan ia seorang calon ayah yang bertanggungjawab. Alam berusaha berikan yang terbaik buat Mia (highlight dari performance Lala Karmela, ya, di rambutnya). Namun sifat kritis yang emosional di dunia maya hanya menghantarkan Alam dari mulut mangap yang menggebu ke mulut mangap tanda laper. Empat-puluh-delapan ribu pengikut twitter enggak bisa diuangkan buat membayar biaya persalinan dan rawat inap kelas terbaik rumah sakit. Well, yea, tentu saja bisa sih dimanfaatkan jika rela ‘menjatuhkan’ diri sebagai alat promosi perusahaan. Alam adalah seorang yang idealis selain seorang yang panjang akal. Jadi kita akan melihat Alam running around keluar-masuk rumah sakit mengusahakan apa yang ia bisa demi menjamin proses persalinan terbaik buat istri dan anaknya. Ada urgensi pada narasi, Alam kudu cepet sebelum Mia brojol. Dan ‘mengusahakan yang ia bisa’ itu actually adalah pertanyaan yang terus dituntut oleh mertua dan keluarga yang hadir di sana, memberikan sokongan moril dan komedi riil, yang jadi andelan film ini dalam menuturkan kisahnya yang sebenarnya sangat relatable buat pasangan suami-istri kekinian di luar sana.

Sebagai sebuah DRAMA KOMEDI, BUKA’AN 8 TAMPIL PADET OLEH ISU-ISU TERKINI yang ingin disampaikan. Film ini punya tujuan lebih dari sekedar membuat kita tertawa terbahak-bahak. Dalam kata sambutannya di malam premier, sutradara Angga Dwimas Sasongko bilang bahwa film ini adalah puisi yang menghantarkan mereka semua pulang ke dekapan keluarga. Dan memang seperti demikianlah film ini diniatkan terasa. Buat yang udah punya keluarga bakal teringat ‘perjuangan’ kelahiran legacy mereka yang pertama. Buat yang lagi pacaran bisa terbawa sama kisahnya yang tentang pembuktian diri kepada keluarga pasangan. Buat yang jomblo dan belum punya anak? Well, begini loh yang bakal dihadepin;

Life got real real-fast, kita tidak bisa hanya ngejar menang di dunia maya.

 

Penyajiaan secara komedi adalah langkah terbaik yang dilakukan oleh film ini. Karena memang elemen komedi seperti beginilah yang paling gampang konek dengan semua orang. Penampilan Sarah Sechan, Tyo Pakusadewo, dan juga Dayu Wijantofor some moment, sangat membantu film ini menggapai note-note kocak yang sudah disiapkan. Membuat ceritanya terasa lebih grounded lagi. Aku suka gimana film ini terasa seperti komedi situasi dengan rumah sakit yang berkembang sebagai latar yang sangat hidup. Cerita film sangat resourceful dalam menggunakan lokasinya. Soal pembagian porsi, film ini did a good job dalam menyeimbangkan tone. Meski memang banyaknya elemen membuat kita sulit buat ngecengkram dunia yang dibangun dalam film ini. Menyaksikan ini kita tidak akan tertawa di momen-momen yang canggung. Film berhasil membuat kita tertawa di mana kita harus tertawa, dan membuat kita merenung menghayati pesan dan sentilannya di tempat yang juga sudah disediakan. Di antara para tokoh tidak selalu terasa ada pembagian tugas; mana yang buat ngelawak, siapa yang buat serius.

 yang mau jadi boneka dunia maya siapa?
yang mau jadi boneka dunia maya siapa?

 

Buka’an 8 adalah jenis film yang terbaca hebat di atas kertas. Character arc dari Alam si tokoh utama terplot dengan terang dan jelas, kita bisa mengerti motivasi dan ‘perjalanan’ yang pada akhirnya ia tapaki. Kita paham alasan pada pilihan kerjaannya. Namun, secara penyajian, cerita yang menginkorporasi banyak elemen kayak gini adalah cerita yang cukup tricky untuk dapat direalisasikan dengan baik. Unfortunately, Buka’an 8 memang terlihat cukup kepayahan. Sebagian besar waktu, ‘heart’ ceritanya, momen-momen yang harusnya ngena-banget malah terasa kering. Karena terkadang ada begitu banyak yang harus disampaikan, sehingga mereka terasa dijejelin alih-alih masuk dengan mengalir. Dari menit-menit pertama saja, misalnya, di adegan di dalam mobil di tengah jalanan macet; film berusaha ngeestablish apa yang jadi dasar moral dan pesan film, sekaligus ngenalin ke kita karakter dua tokohnya, apa tantangan yang mereka hadapi. Kita mendengar perbincangan mereka, yang kemudian diinterupsi oleh ‘perbincangan’ twitter yang menyinggung isu politik dan sosial media kekinian. Ada banyak topik yang berlangsung, in different ways, yang dijejelin ke kita pada sekuen bincang-bincang tersebut. Hasilnya kita gak berhasil memegang apa-apa sehingga adegan pertama yang penting tersebut malah enggak terasa impactful. Emosinya jadi enggak kena.

Soal penggunaan elemen dunia maya pada film selalu menjadi hal yang on dan off buatku. Jika bekerja baik, ya memang mereka bekerja baik. Akan tetapi, pada kebanyakan film, percakapan sosial media hanya berupa gimmick buat mempermudah penceritaan, seperti cara males memberikan ekposisi. Ataupun cuma sebagai cara biar filmnya terlihat kekinian. Meskipun, menurutku, pemakaian gimmick kekinian secara blak-blakkan justru secara otomatis bikin filmnya terasa dated. I mean, dunia berkembang begitu pesat jika ada yang nonton film ini dua-puluh-tahun lagi, maka mereka bakal kebingungan – malah mungkin memperolok – gimana kemakan jamannya apa yang ditampilkan oleh film ini. Toh film-film yang timeless tidak pernah bersusah payah nunjukin teknologi, liat saja 12 Angry Men (1957) ataupun The Shawshank Redemption (1994). Film-film itu terasa relevan ditonton kapanpun.

Makanya, walaupun adalah hal yang bagus film Buka’an 8 menggunakan sosial media dan dunia maya sebagai tema yang actually menambah sesuatu, memegang peran penting, bagi cerita. Namun, penggunaan sisipan perbincangan sosmed yang berlebihan tak pelak sudah membuat kita terdistraksi dari ceritanya. Kita terlepas dari emosi. Film ini menggunakan animasi tweet, ataupun message whatsapp, dengan avatar user yang bergerak saat mengucapkan status mereka. Kita mendengar bunyi pesan masuk, kita mendengar mereka ‘berdialog’ sembari membacanya di layar. Tak jarang layar nyaris penuh oleh message sosmed. Belum lagi subtitle bahasa Inggris di bagian bawah layar. It’s just too much. Film perlu ngerem sebentar dan menyadari betapa menggelikannya adegan mereka seringkali terlihat oleh usaha atas nama kekinian ini. Dan avatar-avatar bergerak tersebut dengan cepat terasa tidak lagi lucu, it’s annoying, dan memakan waktu melihat mereka kembali ke posisi ‘foto profpict’.

Gimana film ini bisa ngarepin cerita dan karakter-karakter mereka terasa real dengan memakai overused gimmickal element kayak gini masih jadi pertanyaan buatku. Karena film ini memang come off sebagai tontonan yang menganggap dirinya sebagai sesuatu yang bener-bener kudu untuk kita tonton. This film takes itself rather seriously alih-alih have fun dengan ceritanya yang padahal justru sarat dengan poin-poin yang agak keluar logika. Inilah salah satu penyebab kenapa Buka’an 8 gagal konek dengan kita.

masa iya sih sehari 24 jam megang hape bisa salah liat tanggal?
masa iya sih sehari 24 jam megang hape bisa salah liat tanggal?

 

Kita enggak yakin gimana film ini eventually works. Sebenarnya bagus banget ada film yang arah ceritanya enggak ketebak. Narasi Buka’an 8 bisa berkembang ke banyak arah. Seru sekali nonton ini – kita kayak “wah, jangan-jangan nanti si Alam begini” eh taunya enggak. It feels like mereka punya struktur yang mantep, poin per poin. Pengembangannyalah yang menjadi masalah. Begitu banyak poin cerita yang sempat dibahas tetapi berakhir pointless, misalnya tentang mbak pasien rumah sakit yang nitipin surat buat Alam ke suster, later ternyata suratnya ilang dan suster jadi lanjut ekposisiin isi suratnya ke Alam; apa faedahnya bikin ada surat in the first place? Banyak karakter yang enggak benar-benar menambah banyak buat cerita, kayak ‘saingan’ antara Uni Emi dan Ambu yang go nowhere selain buat mancing tawa.

Tokoh Alam belajar dari orang-orang sekitar dirinya di lingkungan sekitar rumah sakit, hanya saja proses pembelajarannya masih terkesan relatif gampang (atau malahan digampangkan). Orang-orang sort of datang ke Alam dan ngasih tahu hal-hal yang diperlukan. Stake yang sebenarnya mungkin memang bukan soal duit; lebih kepada pembuktian tanggung jawab Alam sebagai seorang suami, tapi karakternya so muddled dengan emosi yang tidak berhasil disampaikan dengan maksimal. Keputusan-keputusan yang diambil Alam sesuai dengan penokohannya, tetapi penyampaiannya jarang membuat kita merasa empati. In fact, sedikit sekali ruang bagi tokoh-tokoh buat bergerak natural.

Akankah kita jadi orangtua yang hebat? Pertanyaan yang seringkali bikin calon orangtua gemeter. Karena setap generasi akan berbeda dari orangtuanya. Dan buat Alam sebagai generasi millennial, dia keluar dengan overload of confidence, buat buktiin dia adalah jembatan ke generasi berikutnya. Film ini menggambarkan Alam yang dipandang sebelah mata oleh mertua. Hal tersebut eventually eats him up on the inside. Terlebih ketika semua hal yang ia percaya bakal work out ternyata gagal satu persatu. But setiap orang punya caranya sendiri. Dengan nunjukin great responsibility ngetake care diri sendiri, bisa dan mengerti kapan harus bertindak, kita sudah nunjukin sudah lebih dari siap buat membesarkan sebuah keluarga.

 

 

Film ini lebih ‘mirip’ dengan Filosofi Kopi (2015) dibandingkan Surat dari Praha (2016), yang cukup membuatku kecewa; Surat dari Praha adalah film Indonesia dengan skor tertinggi yang kuberikan tahun kemaren. Drama komedi ini bakal gampang disukai. Dia enggak bagus banget meski juga enggak buruk-buruk amat sih, kita masih bisa ngeliat daya tariknya. Setelable lah buat ditonton bareng keluarga. Hanya saja memang film ini tidak memuaskan secara delivery. Karakter yang kurang, sementara banyak elemen lain yang terasa berlebihan. Ada beberapa adegan yang mestinya bisa diilangin aja, begitupun ada beberapa dialog yang enggak perlu ditulis segamblang yang film ini lakukan. Film yang acceptable, di sana sini kita akan tertawa, namun juga kerapkali bakal terasa kering. Yang jelas nilai film ini bukaan 8.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for BUKA’AN 8.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

RINGS Review

“By renouncing samsara, we embrace our potential for enlightenment.”

 

ringsph7mkx5mkkfeae_1_l

 

Apa persamaan antara bunyi statis televisi yang mirip-mirip bunyi air dengan dering telepon? Well, jika kalian mendengar dua suara tersebut berurutan, maka besar kemungkinan suara berikutnya yang akan kalian dengar adalah suara gadis kecil yang berbisik lantang, “Tujuh hari.” Hii, bayangin gimana tuh bisik-bisik tapi lantang, eh salah, maksudnya: bayangin tuh gimana jika hidup kalian mendadak tinggal seminggu lagi!

Lingkaran mitologi Ring selalu berputar di antara kaset video, televisi, dan telepon. Samara dengan jahatnya memastikan kutukannya terus direcycle oleh manusia, sehingga kepedihan dan deritanya bisa terus menghantui. Tonton videonya, Samara akan nelpon, dan dalam tujuh hari kita bakal isdet. Bila kalian sudah pernah nonton Ring sebelumnya, maka kalian pasti tahu satu-satunya cara terlepas dari kutukan adalah dengan mengcopy video creepy tersebut dan mempertontonkannya kepada orang lain. Namun jika kalian bertanya “pfft, siapa sih yang masih nonton vhs hare gene” maka joke’s on you. Dunia modern tidak jadi halangan bagi si vintage Samara buat go live. She’s coming and she’s gonna get everybody. Karena sekarang ada cara cepat buat memperbanyak kopian video; masukkan ke komputer, copy file quicktimenya, dan voila! kalian bisa share langsung ke internet!

Jadi, yaah, memang terdengar bego sih, tapi cerita kali ini memasuki teritori yang belum pernah digarap pada dua film Ring sebelumnya. Film ini PUNYA ELEMEN FIKSI-ILMIAH. Ada dosen yang berhasil survive dan mengetahui bagaimana cara kerja video Samara. Jadi dia membentuk semacam cult ‘underground’ gitu di kalangan murid-muridnya. Menggunakan metadata video, profesor biologi tersebut ingin bereksperimen dengan jiwa; gimana keabadian, dan segala macam terus berulang di dalam kehidupan. It’s actually lumayan menarik. Sayangnya fokus utama cerita tidak terletak di tangan si dosen. Tokoh utama cerita adalah pacar dari salah satu murid baru si dosen. Julia (Matilda Anna Ingrid Lutz ini mukanya miripmirip persilangan antara Raisa ama Jessica Alba) dateng ke kampus demi mencari cowoknya yang hilang semenjak percakapan skype mereka terputus dengan abrupt. Ternyata, cowoknya adalah anggota cult eksperimen, dan Julia mengorbankan diri menonton video Samara demi nyawa sang pacar. Kemudian film pun kembali mengeksplorasi cerita investigasi, di mana Julia dan cowoknya berusaha memecahkan misteri Samara yang sempet-sempetnya masukin penggalan video artsy-but-creepy yang baru.

"like-in video insta dan snapchatku dong, Kak"
“like-in video insta dan snapchatku dong, Kak”

 

Yang follow twitter ataupun temenan sama aku di Path, tentunya sudah ngeliat (sukursukur sekalian ngebaca) sejak awal bulan Februari ini aku ngereview tiga film Ring terdahulu. Aku memang lumayan excited nungguin film ini. Ring adalah film yang bertanggungjawab membuat aku parno melongok ke dalam sumur. Sadako, dan/atau Samara, adalah sosok yang sukses jadi pioneer hantu-hantu berambut panjang yang jalannya patah-patah dalam film-film horor yang lain. Tayang Rings kerap diundur, tadinya direncanain keluar Oktober tahun lalu – barengan ama Halloween, eh taunya di Indonesia dijadwalkan November. Dan terus diundur sampe akhirnya mentok di bulan ini. Setelah menonton filmnya, aku jadi sedikit kebayang alasan kenapa mereka gak pede nayangin. Tapi sejujurnya, buatku film ini enggak parah-parah amat. Enggak sejelek The Bye-Bye Man (2017), ataupun Incarnate (2016), ataupun The Disappoinments Room (2016) yang buat ngereviewnya aja aku langsung gak napsu. Kalo mau diurutin, berikut klasemen scoreku buat tiga film Ring:

The Ring (2002) 7/10
Ringu (1998) 6.5/10
The Ring Two (2005) 4/10

 

The Ring (2002) adalah salah satu usaha terbaik Amerika dalam ngadaptasi horor ketimuran. Filmnya berhasil ngecapture tone tragedi dan kesedihan yang menguar dari film orisinalnya. Bukan hanya itu, The Ring punya tokoh utama yang lebih setrong dan mandiri dibandingkan Ringu (1998), while also menambahkan sesuatu kepada visual video kutukan sehingga jadi lebih seram. Ring pertama versi Jepang dan versi Amerika sama-sama bercerita dengan sunyi dan sangat subtle. Berbeda sekali dengan The Ring Two yang terasa lebih sebagai horor yang mainstream, dengan cerita yang muddled dan gak fokus, gak serem malah unintentionally funny. Jadi mari cari tau ada di mana posisi Rings dalam klasemenku.

Beneran, aku sendiri lumayan surprise mendapati Rings enggak seburuk yang udah kuharapkan. Ekspektasi buat horor ini memang rendah; director Hideo Nakato yang nanganin dua film Ring tidak lagi terlibat di sini; tidak ada Naomi Watts yang aktingnya udah nyelametin The Ring Two; tidak juga ada visi Gore Verbinski yang udah bikin The Ring jadi punya aura surreal. Aku masuk ke teater dengan gemetar, siap-siap dibombardir oleh kebegoan. Namun ternyata, film ini CUKUP BERKOMPETEN. Diarahkan dengan lumayan mantep. Ada beberapa sekuens yang diceritakan dengan efektif. Ada seremnyalah. Aku suka shot saat Dosen Profesor menatap hujan di luar jendela. Performances dalam film ini, meski sedikit turun naik, tidak terasa nol besar banget. Tidak ada penampilan akting yang membuat kita nyeletuk “pemainnya menang tampang doang!”. Vincent D’Onofrio adalah yang terbaik dalam film ini dari departemen akting. Tokohnya muncul belakangan, dan sendirinya adalah peran pendukung yang really ‘fun’. Sedangkan tokoh utama kita, seperti yang kubilang tadi, lumayan kompeten. Walaupun terkadang dia masih terasa kayak ngomong buat dirinya sendiri, but maybe it’s just the character.

Masalah terberat dalam nanganin cerita Ring selalu adalah bagaimana mengisi babak keduanya. Bagaimana membuat film tetap menjadi seram dengan omen-omen kayak genangan air dan semacamnya, sekaligus tetap engaging dalam jangka waktu sejak tokoh utama menonton video sampai ke maut datang menjemput. Film pertama menarik kita masuk lewat investigasi yang surreal hingga nyaris psikologis. Film kedua kebingungan jadi mereka melempar elemen nonton video begitu saja keluar jendela. Film ketiga, Rings ini, bermaksud meniru kakak tertuanya, hanya saja film ini tidak punya footing yang kuat pada plot linesnya. Dari soal ngopi file buat selamat dari kutukan saja udah konyol banget. Kita tidak bisa mendapat banyak hal dari film ini. Semua trope karakter dan klise yang kita expected bakal ada dalam film horor dipakek. Adegan opening di pesawat actually salah satu yang terparah, untungnya kita enggak perlu repot-repot mengingatnya. Rings kehilangan aura subtle, sense of tragedy, yang menjadikan film pertamanya – baik versi Jepang maupun Amerika – terasa begitu berbeda dan menyeramkan.

Enggak berani ngelakuin sesuatu yang benar-benar berbeda. Film ini justru malah nekat mengubah mitologi yang udah dibangun. Seolah mereka enggak setuju dengan origin Samara dan nekat nambahin ulang (dengan maksa pula!) hal tentangnya. It kind of messes with previous installments. Video baru dalam film ini jauh dari kesan creepy-penuh-makna, visual cluenya enggak asik kayak video yang pertama. Apa yang dilalui Julia dalam memecahkan misteri pada dasarnya sama dengan yang dialami oleh tokoh Naomi Watts di The Ring. Dia juga ketemu bapak yang ternyata jahat. Dia juga merasa kasihan dengan Samara. Actually, cuma di sifat Samara inilah, Rings akur dengan film-film sebelumnya. Samara digambarkan ‘tertarik’ dengan orang yang bersikap baik, dengan pengorbanan. Bukan kebetulan Samara memilih Julia, it was because Julia pasang badan demi menghentikan kutukan pada pacarnya. Kesannya tuh, Rings ini hanyalah sebuah versi jelek dari The Ring. Ending filmnya sebenarnya cukup menarik dan ada nambah dikitlah buat universe ini, cuma aku enggak yakin apakah yang film ini lakukan di adegan terakhir tersebut bener-bener make sense dengan aturan cerita yang sudah dibangun.

Sakit jangan disayang-sayang. Tampaknya inilah yang ingin dibicarakan oleh Rings. Adalah hal yang perfectly fine buat kita membuang derita. Membuang masalah. Nama Samara yang begitu dekat dengan kata Samsara, melambangkan penderitaan yang tak kunjung berakhir karena life dan death terus kontinyu. Samara menganggap belas kasihan dan rasa pengertian sebagai titik lemah dan menjadi jalan dirinya masuk. Perasaan marah, sedih, galau, all those pains, mungkin lebih baik dikubur dalam-dalam. Karena kalo dibebasin, they will keep coming back to haunt you. Samara ingin derita terus tersebar dengan orang-orang terus menontonnya.

 

Sedikit cerita horor nih; Jadi saking excitednya mau nonton film ini aku sampai membawa mainan kuntilanak ikut serta. Trus di bioskop tadi kan, aku mau motion Kana bareng ama poster dek ‘Ara. Lumayan buat dipajang di sini. Eh tau-tau…. Hapeku…. MendadakMATIsendiri!!! Jeng-jeeengggg!!

Dan sekarang ngeri sendiri dek ‘Ara manjat keluar dari layar laptop.
Dan sekarang ngeri sendiri dek ‘Ara manjat keluar dari layar laptop.

 




Film yang sekedar ‘okelah’. Dibuat dengan cukup cakap sebenarnya. Sekuens yang lumayan efektif. Plot lines nya bego tapi bukan bego yang inkompeten. Sayangnya film ini tidak punya nyali untuk melakukan sesuatu yang baru kepada mitologi Ring secara keseluruhan. Hanya kayak usaha buruk dalam nulis ulang. Jump scares, klise, dan karakter trope yang biasa ada di film horor kebanyakan, turut kita jumpai di sini. Ketimbang film-film pertamanya yang bernuansa sedih dan bernature cerita cukup primal dan ‘sadis’, film ini mestinya bisa lebih nendang dengan ngusung science-fiction, but nyatanya malah lebih milih untuk menjadi generic. Menjawab pertanyaan soal klasemen di atas, ya paling enggak, film ini sedikit lebih baik daripada The Ring Two. Kalian bisa nonton film ini dan enggak mati tujuh hari kemudian karena nyesel berat udah nonton film jelek.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for RINGS.

 

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.