RESISTANCE Review

“A good laugh heals a lot of hurts”
 

 
 
Terlahir sebagai orang Yahudi jelas bukan hal yang ingin kau gembar-gemborkan jika hidup di Perancis tahun 1940an. Dengan Gestapo ada di mana-mana, memang yang paling baik adalah menjaga kesehatan dengan – well, sama seperti kita sekarang -dengan memakai masker. Topeng. Nama palsu. Samaran. Marcel beneran merias wajahnya. Dia pasang ‘kumis-model-sikatgigi’ palsu. O tidak, dia tidak menyamar menjadi Hitler. Dia menjadi Charlie Chaplin. Dia tidak ingin membuat orang menderita. Dia ingin menjadi seperti idolanya; membuat orang tertawa.
Nama Marcel Marcaeu tercatat dalam sejarah bukan hanya sebagai seniman pantomim paling tersohor, melainkan juga sebagai seniman pantomim yang beneran ikut berjuang bersama gerakan Perlawanan Yahudi di Perancis. Film Resistance karya Jonathan Jakubowicz adalah cerita tentang perjuangan tersebut. Sebagai biografi sejarah, film ini memang tidak terlalu akurat karena menambahkan banyak bumbu-bumbu drama ke sekitar kehidupan Marcel. Tapi sebagai kisah kepahlawanan; film ini dengan tepat menggambarkan esensi perjuangan Marcel. And it is an unique one. Karena bagi Marcel, perjuangan itu bukanlah balik mengangkat senjata mengalahkan musuh. Menumbangkan mereka sebanyak mereka menumbangkan kita. Melainkan, berjuang berarti menyelamatkan sebanyak mungkin korban. Membangkitkan kembali semangat hidup mereka. Marcel Marceau tercatat sudah menyelamatkan ratusan anak-anak Yahudi korban Nazi, membawa mereka nyebrang ke perbatasan. Film ini tidak mengabaikan perjuangan tersebut. Sekaligus tidak lupa untuk menekankan, bahwa hal terpenting yang dilakukan Marcel si tukang pantomim – hal sesungguhnya yang ia lakukan dalam menyelamatkan kehidupan mereka – adalah telah membangkitkan kembali semangat hidup anak-anak tersebut dengan seni dan tawa.

Seni adalah eskapis, dan tawa adalah obat yang paling mujarab. Marcel menggabungkan keduanya, dan dengan itulah ia menolong banyak anak. Tawa membuat kita melupakan kebencian dan ketakutan. Tawa menutup luka-luka emosional. Tertawa bersama membuat kita lebih mudah merasakan empati terhadap orang lain. Itulah yang persisnya dibutuhkan oleh dunia, dan Marcel adalah master dari seni tersebut.

 
hiburan di kala duka

 
Jadi film ini memang sudah semestinya menyentuh saraf-saraf emosional kita dengan kehangatan yang dipancarkan oleh Marcel lewat usahanya berpantomim, menghibur hati para anak-anak yatim piatu korban Nazi emotionally, dan secara literal menyelamatkan mereka ke tempat yang aman. Misi film ini terang dan jelas. Melandaskan kecintaan Marcel terhadap profesinya, memperlihatkan konflik Marcel dengan ayahnya sehubungan dengan pilihan profesi alias passionnya tersebut – yang dianggap malu-maluin dan membuat kelaparan – serta tentu saja menguatkan hubungan Marcel dengan anak-anak yang ia lindungi serta hubungannya dengan Nazi yang jadi pendorong utama untuk menjadi lebih baik. Lika-liku Marcel secara personal haruslah diperdalam oleh film yang katanya biografi ini. Terlebih setelah ditetapkan bahwa Marcel berawal sebagai seorang yang mementingkan diri sendiri.
Durasi dua jam semestinya cukup untuk memadatkan itu semua. Namun entah kenapa, film seperti meme cowok yang berjalan bersama pacarnya, terpana menatap wanita lain. Alias, film ini seperti teralihkan perhatiannya membahas ke hal-hal yang seharusnya hanyalah pendukung bagi Marcel. Bahasan Marcel dengan ayahnya yang tukang daging misalnya, harusnya bisa lebih diperdalam, mengingat background sang ayah yang kompleks dan tak kalah mengejutkan. Yang tentu saja tak cukup dan terasa diburu-buru jika hanya dilakukan dalam lingkup satu babak cerita dan beberapa percakapan di antara mereka, seperti yang kita dapatkan dalam film ini.
Momen kunci yang menjadi hati cerita adalah relasi yang terbangun antara Marcel dengan anak-anak yang mereka jaga di penampungan. Pada beberapa waktu, film berhasil menghadirkan adegan yang benar-benar terasa genuine. Kekuatan pantomim berhasil menghubungkan hati para tokoh, digambarkan lewat pengadeganan yang menghanyutkan. Jesse Eisenberg tampak benar-benar berusaha mempersembahkan ‘the art of silence’ tersebut, meskipun sama seperti aksen frenchnya; performa Eisenberg goyah. Kita perlu lebih banyak adegan yang menceritakan Marcel berusaha berkomunikasi lewat pantomim. Terlebih jika tokoh Marcel sendiri memang seperti diniatkan untuk tampil sebagai orang yang cukup canggung dalam berkomunikasi langsung. You know, layaknya tipikal tokoh-tokoh yang diperankan oleh Eisenberg sebelum ini. Aku gak pernah yakin tokoh Marcel ini orangnya seperti apa. Saat ia bicara seringkali persona nerd dan social-awkward ala Eisenbergnya mencuat. Kemudian saat dia berpantomim, ketika aku yakin dia bakal magnificent, dia tetap sering tampak gak lepas dari gestur awkwardnya. Judgment kita soal performa pantomimnya masih belum bisa kuat, karena adegan berpantomim di film ini kurang banyak, sehingga kita jadi sukar menyimpulkan apa yang terjadi di sini. Apa ia benar-benar bermaksud melucu, apa anak-anak itu tertawa bersamanya, atau mereka menertawakannya.
Padahal pantomim mestinya adalah seni yang powerful nan beautiful. Ditambah dengan konteks perang, kekejaman Nazi dan mengerikannya perang, seharusnya semua bisa tersampaikan di sana. Tapi penampilan Marcel tidak pernah sedalam itu. Apalagi menyentuh ranah surealis. Film yang mengangkat seorang yang berpantomim, dan menyelamatkan orang-orang, tidak berhasil sepenuhnya untuk membuat kita konek kepada subjek ceritanya sendiri. Karena memang cerita tidak disusun untuk fokus ke sana. Film malah sepertinya tidak paham bagaimana menggali sisi dramatis yang genuine dari sana. Maka ditambahkanlah, dipusatkanlah, bumbu-bumbu yang dirancang untuk menjadi dramatis. Bumbu yang bahkan enggak ada di sejarah kehidupan tokoh aslinya. Bunch of time dihabiskan untuk mengedepankan kehidupan cinta Marcel dengan seorang tokoh fiktif, hanya untuk berakhir dengan tidak kemana-mana, selain film butuh sesuatu untuk ditangisi oleh Marcel (dan supposedly penonton). Film menghabiskan banyak waktu untuk tidak membuat kita fokus ke personal Marcel. Momen-momen penyadaran – dia yang tadinya selfish lalu berubah menjadi peduli dan sayang pada anak-anak – diceritakan terlalu cepat dan dengan tidak banyak kejadian penting. Ada loncatan periode di paruh awal film yang sungguh disayangkan karena mestinya digunakan untuk mengembangkan hubungannya dgn semua orang, sehingga perjalanan arcnya lebih kerasa.
Kita harusnya jadi punya respek lebih kepada pantomim setelah nonton ini

 
 
Bangunan ceritanya sendiri memang aneh. Pertama, menit-menit itu dipilih untuk memusatkan kita pada kesadisan Nazi. Kedua, cerita lompat ke saat aman, ada jenderal yang pidato di depan – menceritakan kisah Marcel (tontonan kita ceritanya adalah kisah yang diceritakan oleh jenderal ini. Setelah itu baru kita dibawa ke kehidupan Marcel. Bangunan penceritaan begini membuat yang bagian jenderal itu kayak tempelan. Dan opening film membuat kisah ini terset dalam tone yang berbeda. Seolah film ini adalah tentang kekejaman Nazi, bukan tentang orang yang berjuang dalam cara yang berbeda melawannya. Dalam film superhero, lumrah kita diliatin kebangkitan penjahat sebelum kita bahkan mengenal pribadi yang bakal jadi tokoh superhero. Ini dilakukan untuk membuild up tantangan yang bakal dihadapi oleh si hero. Membuat kita mencemaskan gimana kalo nanti dia yang sekarang ini ketemu sama si penjahat sadis tadi. Dalam cerita superhero, bercerita begini dapat bekerja dengan efektif karena si hero pada akhirnya memang akan beneran berinteraksi dan berhubungan langsung dengan kejahatan si penjahat. Resistance tampak mengincar efek ini. Yang sayangnya terasa setengah-setengah karena walaupun si Barbie Nazi berhasil dibuild up sebagai karakter yang jahat dan bengis (tidak ada yang mempertanyakan soal kekejaman Nazi di sini; itu seeksak satu tambah satu sama dengan dua), Marcel sebagai pahlawan tidak pernah merasakan langsung dan interaksinya dengan si Nazi yang ditampakkan justru interaksi humanis. Dampaknya hanya ke kita. Marcel tidak pernah benar-benar terasa ada yang dipertaruhkan.

Harusnya sekalian Marcel saja yang dibuat kabur saat Nazi menyergap persembunyian. Selain karena memberikan kepadanya kesempatan untuk merasakan bahaya, juga make more sense karena arcnya dia di awal memang seorang yang lebih mentingin diri sendiri. Sehingga bakal lebih dramatis ketimbang terjun nyelametin orang yang mau bunuh diri – yang jelas-jelas adalah adegan lebay yang diorkestrasi untuk memancing efek dramatis. Momen Marcel dan anak-anak itu diburu di gunung salju juga akan lebih berasa karena kali ini dia harus lari sambil menyelamatkan orang. Resistance pada akhirnya memang seperti jatuh pada perangkap biopic pahlawan; takut untuk memperlihatkan cela. Di saat tokoh jahat dengan leluasa diperlihatkan sebenar jahat karena gak bakal ada yang protes, tokoh baiknya dibiarkan untuk tidak dieskplorasi karena terbatas pada keinginan untuk menunjukkan yang baik-baiknya aja. Padahal pandangan Marcel terhadap Nazi, pandangan Marcel terhadap inti dari berjuang, pandangannya terhadap pantomim itu sendiri, itulah yang harus ditonjolkan. Jadi kita bisa melihat perubahan yang membuat kita menjadikan sang pahlawan itu inspirasi. Bukan sebatas apa yang ia lakukan. Namun cerita dan konflik di balik perjuangan. Konflik yang personal dan tumbuh natural, tentu saja. Bukan yang dirancang hanya untuk memenuhi struktur naskah.

 
 
 
Cerita mestinya fokus dulu pada pengembangan Marcel. Mulai dari Marcel, tidak perlu memperlihatkan ke kita kekerasan yang dihadapi anak-anak di awal. Bikin Marcel merasakan itu atau melihatnya langsung pada satu titik. Buang saja adegan dengan Jenderal yang bercerita itu; film ini gak butuh dua ‘intro’ yang hanya merusak tone dan bikin aneh bangunan cerita. Film ini punya potensi untuk menjadi indah dan menyentuh, dan untuk beberapa kecil bagian, film ini memang menyentuh. Melengkapi kisah powerful bertema Nazi dan anak-anak yang kita dapatkan di tahun 2020 ini. Sayangnya arahan malah membuat film ini jadi biopik yang hanya tok menyoroti kejadian, tanpa benar-benar mengeksplorasi. Tone cerita pun jadi setengah-setengah. Antara mau sadis atau enggak. Film ini seperti antonim dari pantomim itu sendiri; tidak indah, tidak nyeni, dan terlalu ribut oleh subplot-subplot yang diset untuk heboh. Bahkan untuk memahami tokoh dan pantomim itu saja, film ini masih seperti belum pasti.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for RESISTANCE.

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian terhadap seni pantomim? Menurut kalian apa bedanya pantomim dengan badut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RELIC Review

“We remember their love when they can no longer remember”
 

 
 
Mengurusi sejak bayi, mulai dari menyuapi makan hingga memandikan, hanyalah sudah hakikatnya bagi kita untuk membalas perbuatan kasih sayang orangtua tersebut kelak ketika mereka sudah renta. Namun terkadang kita lupa. Kita terlalu sibuk. Atau malah, kita sekadar males untuk direpotkan. Seperti Homer Simpsons yang lebih memilih untuk ‘membuang’ ayahnya ke panti jompo. Padahal justru saat mereka tua itulah kesempatan yang berharga untuk bisa berada di dekat mereka. Karena saat kita masih bisa memilih untuk melupa, orangtua kita bisa jadi tidak punya pilihan. Selain membiarkan satu persatu kenangannya sirna, oleh demensia. Mereka hanya punya kita untuk mengingat mereka. Bisakah kita ada di sana saat mereka membutuhkannya?
Kay (Emily Mortimer jadi ibu yang distant dengan anggota keluarganya) sudah beberapa minggu ini enggak berkomunikasi dengan ibunya. Dia kaget begitu diberitahu oleh polisi bahwa Edna (ibunya, yang diperankan dengan luar biasa meyakinkan oleh Robyn Nevin) menghilang dari kediamannya. Kay lantas khawatir. Ia tahu ibunya tinggal seorang diri dan punya masalah sama ‘kepikunan’ karena penyakit yang diderita. Maka ia mengajak anaknya, Sam (untuk beberapa detik aku mengira yang di poster itu bukan Bella Heathcote tapi Lucy Hale) untuk pulang mencari Edna di rumah masa kecilnya. Ketika setelah beberapa hari Edna pulang sendiri, Kay baru sadar bahwa kondisi ibunya bertambah parah. Edna tidak ingat ke mana dia pergi belakangan ini. Edna sering melupakan hal-hal simpel yang ia lakukan kepada Kay dan Sam. Yang bikin semakin ngeri adalah Edna bertindak aneh seolah ada orang lain yang ada di rumah mereka yang penuh oleh tumpukan barang-barang (ah, katakanlah, relik) dan tempelan kertas berisi memo pengingat yang membacanya bikin bulu kuduk merinding.

Yang berhantu adalah rumah, tapi sejauh mata makna rumah tersebut terapply di sini?

 
 
Ini adalah kali kedua debut sutradara di film horor Australia yang berhasil membuatku terkesima. Pertama di tahun 2014 ada Jennifer Kent dengan The Babadook. Dan sekarang kita dapat Natalie Erika James dengan Relic yang bukan hanya seram tapi juga sarat oleh makna. Seperti layaknya horor-horor yang bagus, Natalie paham untuk membangun kengerian enggak butuh jump scare atau musik ngagetin atau hantu seram yang menyemburkan muntah-muntah sambil merangkak di dinding. Horor itu berasal dari dalam. Maka sudah sepantasnya kengerian itu dibangun berdasarkan karakterisasi dari para tokoh. Kay, Sam, dan tentu saja Edna jadi pusat dari cerita; naskah memberikan kesempatan kepada kita untuk menyelami para tokoh. Kita dibuat peduli kepada mereka, sehingga horor itu akan terasa semakin mengerikan. Kita bukan saja akan penasaran ke mana Edna pergi, ataupun bertanya-tanya ada apa sebenarnya di rumah mereka, namun juga kita mengkhawatirkan hubungan ketiga tokoh ini. Kita ingin mereka bersatu tapi kita juga paham ada sesuatu yang tidak bisa dihentikan atau dihindari di sini. Sesuatu itu adalah Kematian. Dan yang bikin Relic ini berbeda – dia punya level kengerian yang unik – adalah Kematian itu tidak sebatas menjadi ‘musuh’, melainkan juga jadi sesuatu yang harus diterima dan diembrace oleh tokoh-tokohnya.
Cerita Relic adalah metafora dari perilaku demensia yang menjangkiti pengidap Alzheimer. Seluruh kejadian dalam film ini adalah perumpaman dari dampak demensia tersebut kepada orang-orang, bukan saja pasien, tapi juga sekaligus keluarganya. Kita melihat wanita tua ini, Si Edna yang pada satu waktu tampak normal, dan di waktu yang lain dia ‘gak beres’. Salut buat permainan akting Robyn Nevin, efek demensia dan kengerian yang dibawanya berhasil tersampaikan dengan kuat kepada kita. Dia bertanya dengan ketakutan “ke mana semua orang?” menghasilkan efek yang berlapis-lapis karena selagi kita tahu penyakitnya sedang dalam mode: on, kita juga ngeri karena boleh jadi ia mempertanyakan sesuatu yang lebih literal. Akan ada waktu-waktu saat Edna seperti tak mengenal Kay dan Sam. Yang juga ‘dibalas’ oleh Kay dan Sam yang takut setengah mati kepada ibu dan nenek mereka ini, seolah beliau adalah orang lain. That’s exactly what dementia does to people. Membuat si malang menjadi semakin merasa sendirian karena they just forget about things. Teror yang dialami Edna dalam film ini semuanya dapat kita terjemahkan sebagai ciri-ciri demensia. Yang membuat kita jadi merasakan simpati kepadanya. Edna, seperti orang-orang lansia pada umumnya, tidak didengarkan, diabaikan, bahkan ditakuti oleh keluarganya. Jamur atau noda hitam di pintu rumah, serta kelupasan hitam pada tubuh Edna, kedua-duanya terus menjalar. Membesar seiring cerita berjalan. Melambangkan deterioration – kemerosotan personal seorang pengidap karena dementia hari demi hari akan membuat mereka menjadi bukan lagi diri mereka. Mereka enggak tahu lagi diri mereka siapa.
Dari sisi keluarga, pengalaman memiliki anggota yang demensia juga sama mengerikan dan emosionalnya. Dan lagi-lagi, film ini berhasil mengumpamakannya dengan sangat baik melalu pengalaman horor yang dirasakan oleh Kay dan Sam di rumah itu. Sam, misalnya, yang mencoba melakukan hal yang benar. Dengan ikhlas mengurus neneknya, bahkan sampai pengen pindah tinggal di sana – yang mendapat delikan keras tanda tidak setuju dari ibunya. Namun Sam justru yang pertama kali merasakan kengerian paripurna dari interaksinya dengan sang nenek. Sam yang duluan merasakan bahwa neneknya itu bukan lagi neneknya yang dulu. Menyaksikan orang yang kita cintai berubah seperti demikian – menjadi sesuatu yang tidak lagi dikenal – sungguhlah pengalaman menakutkan. Kita ingin menolong, tapi bagaimana cara menahan sesuatu yang tidak bisa dihentikan? Yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan lebih banyak perhatian dan cinta kepada mereka. Seperti yang akhirnya dengan berani dilakukan oleh Kay pada akhir cerita film ini. Relic menutup ceritanya dengan sekuen adegan yang begitu indah, namun dalam artian yang sekaligus mengerikan. Untuk tidak membicarakan terlalu banyak sehingga menjadi spoiler, aku hanya akan mengutarakan yang kurasakan dan terpikir olehku ketika menonton adegan luar biasa tersebut.

Bahwa semua itu adalah soal menatap kematian tepat pada matanya. Untuk tidak lagi berpaling dari kejelekan, kengerian yang dibawa oleh kematian. Karena cepat atau lambat kita akan mengalaminya. Dan perjalanan itu tidak harus dihadapi sendiri. Kita punya pilihan untuk menemani orang tersayang pergi dengan cinta. Membantu mereka melewati semuanya. Beri mereka kedamaian, pergi dengan perasaan cinta.

 

Yang mengerikan itu bukan kematian, tapi menghadapinya sendirian.

 
 
Ada masa ketika kita bingung untuk merasakan apa ketika nonton Relic. Kita tahu dia sakit, tapi kita mengkhawatirkan bagaimana jika Edna benar. Ada sesuatu di rumah itu. Bagaimana jika bayangan-bayangan yang bergerak di latar belakang adalah beneran hantu. Dan Kay juga Sam dalam bahaya karena tidak menyadari. Ini juga jadi salah satu kekuatan Relic sebagai film horor. Untuk waktu yang lama, kita dibiarkan menyusur jalan ceritanya sendirian. Tidak tahu pasti apa yang terjadi. Hal ini tentu saja dapat tertranslasi sebagai ‘cerita-yang-lambat’ oleh beberapa penonton, dan eventually menjadi turn-off. Buatku ini simply adalah bukti bahwa Relic berhasil menyimpan dan memainkan misterinya. Rumah itu beneran berhantu, demikian juga dengan tokoh-tokohnya. Mereka dihantui oleh penyesalan, oleh duka. Mereka dihantui oleh kejadian di masa lalu – permasalahan keluarga yang membuat Kay dan Edna renggang hadir dengan sangat subtil sebagai akar dari emosional backstory.
Dan menjadikan rumah itu beneran berhantu adalah resiko kreatif yang diambil oleh film ini. Hantu di rumah tersebut – yang membuat kita dapat babak ketiga yang superseru dan menarik saat cerita menjadi petualangan kabur dari kejadian surealis-tapi-nyata – dibiarkan menjadi entitas tak terjelaskan. Karena sebenarnya berfungsi sebagai kiasan bahwa demensia juga mempengaruhi orang-orang terdekat. Keluarga yang mungkin merasa terjebak alias harus terseret dalam masalah yang ditimbulkan oleh pengidap. Yang pada akhirnya berkembang menjadi pilihan, kabur atau tinggal. Jadi rumah itu memang perlu dibuat beneran berhantu – beneran punya lorong rahasia yang seperti hidup – supaya ceritanya bisa meluas menjadi dari dua perspektif.
 
 
 
Bertindak sangat kuat sebagai sebuah kiasan demensia dan menghadapi kematian, film ini adalah sebenarnya horor yang bicara tentang karakter yang berkeluarga, dengan masalah yang real – yang dapat terjadi pada kita di dunia nyata. Sehingga film ini jadi jauh lebih menyeramkan dibandingkan film-film yang menjual jumpscare dan hantu berbagai rupa. Film ini diberkahi oleh tiga penampilan akting memukau, yang berpuncak pada ending yang aku yakin akan jadi perbincangan untuk waktu yang cukup lama di kalangan penggemar horor-beneran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RELIC.

 

 
 
That’s all we have for now.
Mengapa kita takut tua, kita takut mati, walaupun mati dan tua itu adalah suatu hal yang pasti terjadi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

NEVER RARELY SOMETIMES ALWAYS Review

“A person’s right to abortion is a person’s right to their own body”
 

 
 
Sebelum Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dicabut dari prioritas polegnas, bapak-bapak dan ibu-ibu Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat mestinya menonton film Never Rarely Sometimes Always karya sutradara wanita Eliza Hittman supaya bisa ngerti pilu dan sepinya perjalanan seorang korban kekerasan seksual mengarungi sistem dan ranah sosial.
Autumn (debut akting yang luar biasa dari Sidney Flanigan) merahasiakan kehamilannya dari keluarga. Tentu saja. Remaja tujuh-belas tahun manapun pasti akan dihukum dan dipersalahkan duluan jika mengadu dirinya mengandung anak sebelum waktunya. Jangankan begitu, nyanyi sambil curhat di talent show sekolah aja Autumn dihujat kok. Sehingga Autumn memutuskan untuk ‘mengurus’ perut mblendungnya seorang diri. Sayangnya, peraturan klinik atau rumah sakit di kota dan negara bagian tempatnya tinggal mengharuskan Autumn untuk didampingi oleh orangtua. Ini membuat Autumn harus pergi ke New York, yang peraturan aborsinya sudah lebih luwes. Maka berangkatlah Autumn bersama sepupunya yang sangat suportif, Skylar (Talia Ryder memerankan karakter yang lebih outgoing, mengimbangi tokoh utama yang tertutup).

Autumn tidak mengadu karena tahu ‘pembahasannya agak sulit’

 
‘Pelarian’ mereka selama beberapa hari itulah yang menjadi penyusun cerita film ini. Dua gadis belia mengarungi kota asing, tak pelak merupakan kiasan dari dua gadis yang memasuki usia dewasa dan segala masalah-masalahnya. Sulaman kiasan seperti itulah yang membuat film ini begitu menohok. Hittman dengan sangat cakap merajut kesubtilan sehingga film ini terasa sangat real. Tidak ada masalah yang dilebay-lebaykan di sini. Tidak ada plot poin yang “wow!”. Tidak ada pancingan-pancingan yang kelewat dramatis. New York yang seringkali dicap kota yang kejam di berbagai film atau cerita lain aja, di sini seperti kota-kota biasa; orang sibuk berlalu lalang, cuek, tapi reasonable. Yang dihadapi oleh Autumn adalah persoalan yang lumrah. Dia butuh duit makan. Untuk ke klinik, untuk naik bus dan transportasi umum. Dia butuh tempat untuk beristirahat dan memejamkan mata barang sejenak. Hittman menyisipkan gagasannya di dalam rintangan Autumn yang tampak sederhana itu.

Bahwa hidup memang bukanlah tempat semua urusan dimudahkan, tapi hal dapat menjadi dua kali lebih susah jika kita adalah seorang wanita yang memilih dengan kesadaran sendiri untuk mengaborsi kandungan, apalagi kita masih remaja.

 
Fakta bahwa Autumn harus pergi jauh dari rumah. Merahasiakan; justru takut ketahuan oleh keluarganya – oleh ibunya sendiri padahal kita lihat Autumn ingin sekali reach out to her (alih-alih bersandar di kaca bus atau tembok dingin). Sistem yang membuat seorang perempuan dicap salah saat memilih ingin menggugurkan kandungan – or even get pregnant in the first place – sehingga mereka harus berjuang sendiri di luar sana, nyaris terlunta-lunta seperti yang dialami oleh Autumn. Itulah masalah yang disorot oleh Never Rarely Sometimes Always. Akan ada banyak adegan yang bermuatan seruan kepada wanita untuk membangun kekuatan sendiri. Mulai dari Autumn yang menindik hidungnya sebelum pergi dari rumah; yang menandakan dia berani untuk mengambil alih kendali atas tubuhnya sendiri. Ataupun adegan berpegangan tangan dengan Skylar dari balik pilar yang menyimbolkan para wanita sudah seharusnya bersatu dan saling menguatkan satu sama lain.
Hubungan erat antara Autumn dan Skylar memang menjadi hati dari cerita ini. Kita akan melihat seberapa jauh Skylar bertindak demi membantu sepupunya. Autumn bukan exactly teman-menggelandang yang baik sepanjang waktu karena kondisinya, tapi Skylar tetap bertahan di sana. Keduanya sudah seperti anak kembar; bisa mengomunikasikan banyak tanpa perlu banyak bersuara. Actually, inilah yang jadi salah satu kekuatan pada penceritaan yang dilakukan oleh Hittman. Dia berani untuk menampilkan adegan-adegan yang sunyi tanpa suara. Kedua tokohnya dipampang tanpa saling bicara. Mereka memilih keputusan begitu saja sehingga membuat adegan dalam film ini semakin nyata dan terasa begitu in-the-moment. Alih-alih menggunakan dialog yang bisa-bisa membuat tokohnya terdengar whiny, film lebih memilih untuk menggunakan kamera sedekat mungkin dengan Autumn, ataupun Skylar. Menyuruh kita untuk menangkap emosi dari mata dan ekspresi mereka. Supaya lebih mudah bagi kita untuk berempati. Tantangan bercerita begini tentu saja ada pada pundak kedua pemain yang bisa dibilang masih baru dalam dunia film, tapi mereka berhasil. Autumn adalah salah satu tokoh paling real yang kutonton sepanjang tahun ini. Untuk membuktikan banyak-diam itu bukan cara sutradara menutupi kekurangan akting pemainnya, film memberikan kita adegan dialog dengan dokter yang luar biasa menyentuh. Adegan yang juga jadi jawaban untuk kita-kita yang mungkin penasaran maksud dari judul film ini. Yang jelas, adegan tersebut benar-benar mengungkap luka yang selama ini disimpan oleh Autumn. Exposing her as a wounded person, dan menguatkan kepada drama pilihannya untuk aborsi.

Tentu saja di titik ini sudah bukan lagi jadi soal siapa ayah kandungan Autumn

 
Namun melihat ke belakang setelah menonton, film ini hanya punya itu. Autumn ingin aborsi, dan pada akhirnya dia mendapatkan yang ia inginkan. Tidak ada yang berubah dari diri atau pandangannya terhadap hidup. Impresi yang hadir saat ending adalah Autumn akan kembali ke rumah, melanjutkan hidup yang sama dengan sebelum dia aborsi. Things never gets better for her. Dan memang itulah message film ini. Tidak ada perbaikan untuk wanita-wanita, mereka jadi korban kehamilan. Strong message, memang, tapi juga menjadikan Never Rarely Sometimes Always ini film yang bercela. Karena harus ada plot dan development. Perubahan. Film ini, berdedikasi menampilkan hal yang real seputar pandangan sosial terhadap aborsi dan kesulitan yang harus ditempuh pelakunya, tidak memiliki dua hal tersebut. Sehingga ia tidak lagi terasa seperti film. Kalo boleh dibilang; film ini malah jadi seperti iklan layanan masyarakat (yang ‘modern’). Or worse; seperti sebuah propaganda.
Kesubtilan Hittman membuat kita tidak menyadari bahwa film yang seperti gambaran nyata ini ternyata begitu artifisial, dunianya terbangun atas satu ide tertentu. Mempersembahkan Autumn sebagai korban, sehingga aborsi yang ia pilih tidak lagi dipertanyakan. Sehingga tokoh ini seolah berhak untuk melakukan aborsi. Sedari awal film – literally adegan awalnya – Autumn sudah diperkenalkan kepada kita sebagai korban dari hubungan yang enggak sehat dengan cowok yang mendominasi. Itulah antagonis pada film ini. Laki-laki. Patriarki. Mulai dari cowok yang meledeknya saat nyanyi dan di restoran, atasannya di supermarket yang hobi nyiumin tangan karyawan cewek, ayah tirinya yang cabul, hingga ke lelaki di kereta, semua tokoh cowok di film ini digambarkan gak beres. Bahkan cowok yang menolong Autumn dan Skylar pada akhirnya diperliahtkan sebagai tokoh yang merasa pantas untuk mendapatkan sesuatu dari mereka. Rintangan terbesar yang dihadapi Autumn dalam ‘perjalanan emansipasi otonomi dirinya’ adalah jebakan-jebakan maskulin.
Film ini tidak pernah membahas soal aborsi itu sendiri. Tidak perlu, karena di dunia seperti itu – dan seperti inilah dunia nyata menurut film – Autumn dan wanita-wanita entitled untuk memilih aborsi karena itu adalah tubuh mereka. Bicara soal kesubtilan, mengapa kita tidak menengok hal ini; film sungguhlah detil memperlihatkan usaha Autumn memperoleh kembali tubuhnya – kita diperlihatkan dia menindik hidung, kita dipertontonkan dia meninju-ninju perutnya sendiri, bahkan memar bekas pulukan itu on-point dalam sebuah shot, tapi Autumn sama sekali tidak pernah melihat apa itu aborsi. Dia dibius saat prosesnya, kita bisa bilang dia menutup mata ketika semua itu berlangsung. Paralelnya adalah, Autumn tidak pernah diperlihatkan berkutat dengan moral atau apapun mengenai aborsi. Karena film memang sudah mendesain aborsi itu sebagai jawaban. Padahal perihal moral justru adalah hal paling penting jika kita membicarakan aborsi. Wanita-wanita muda seharusnya tidak dibiarkan menutup mata dari apa sih tindak aborsi itu sebenarnya. Instead, permasalahan yang diangkat oleh film ini justru adalah bagaimana supaya aborsi itu bisa dapat lebih mudah dijangkau oleh wanita. Keseluruhan film adalah tentang perjuangan dan kesusahan yang harus dilalui oleh Autumn ke New York – perjuangan yang harusnya bisa dipermudah jika klinik di dekat rumahnya mengizinkan aborsi tanpa orangtua. Itulah yang dibutuhkan oleh Autumn dalam cerita ini; proses yang tidak dipersulit karena dia berhak atas tubuhnya.
 
 
 
Bukan masalah bagiku jika sebuah film berbeda pandangan moral dengan diriku, justru akan jadi tontonan yang membuka pikiran. Tapi ada syaratnya. Film itu haruslah diceritakan dengan meyakinkan, mantap, dan menantang. Film ini hanya memainkan tokohnya di ranah victim untuk kita kasihani, supaya kita melihatnya pantas dan berhak melakukan aborsi. Film ini mengabaikan kompleksitas sebuah pilihan. Adegan-adegannya dibuat se-real mungkin, akan tetapi desain di baliknya sungguh artifisial. Memaksa kita untuk percaya dunia sejahat itu dan aborsi bukanlah salah perempuan. Sejujurnya, aku mulai annoyed sama film-film ‘art’ kekinian, mereka dibuat terlalu agenda-ish. Lihat Vivarium (2020) yang failed untuk melihat cacat dalam analogi yang mereka ajukan soal membesarkan anak, ataupun Gretel & Hansel (2020) yang menyisipkan penyihir gak-usah nikah dalam cara yang membuat mual. Padahal aku suka gaya bercerita yang berbeda. Aku suka pendekatan akting yang berani. Sinematografi yang lugas. Penokohan yang gak dibuat-buat demi menyenangkan satu target pasar tertentu. Film ini punya semua hal tersebut. Hanya saja di sisi lain, ia tidak lagi terasa seperti film melainkan sebuah iklan dengan elemen-elemen yang pretensius karena dibangun sesuai agenda yang mereka cekokan kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NEVER RARELY SOMETIMES ALWAYS

 

 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian soal aborsi? Bagaimana seharusnya pemerintah mengatur soal kasus kehamilan akibat paksaan seperti yang dialami oleh Autumn? Jaminan apa yang seharusnya diberikan kepada wanita seperti Autumn?
Dan bagaimana pendapat kalian soal DPR yang mau kabur dari pembahasan RUU PKS?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA Review

“It does not do to dwell on dreams and forget to live”
 

 
 
Adalah prestasi yang luar biasa sebenarnya untuk dapat menjadi seperti Lars dalam film Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga. Enggak gampang untuk bisa teguh mengejar passion masa kecil. Untuk terus mendedikasikan diri mengusahakan mimpi, meskipun diremehkan – bahkan diledek – oleh semua orang. Termasuk orangtuamu sendiri. Karena realita tak akan menghantam kita pelan-pelan. Di bawah tekanan kenyataan, enggak semua orang mampu mempertahankan siapa dirinya, seperti Lars. Namun tentu saja, untuk memegang erat passion seperti demikian, kita juga enggak boleh seperti Lars. Yang lupa memperhatikan sekitar karena mimpinya yang terlalu jauh itu.
Sedari kecil, sejak ditertawakan oleh kerabat dan tetangga pada malam pemakaman ibunya, Lars bertekad untuk memenangi kontes nyanyi se-benua Eropa yang tersohor itu. Dia ingin membuat bangga ayahnya yang pelaut. Sekarang usia Lars (Will Ferrell udah sah jadi rajanya underdog-absurd komedi) sudah kepala tiga, dan tetap saja hanya Sigrit (Regina George.. eh, Rachel McAdams jadi ‘wanita desa’ yang lugu dan bersuara indah) seorang yang percaya dan mendukung dirinya. Bersama mereka membentuk band duo Fire Saga, yang nyanyi di kafe dan pesta-pesta di kota – walaupun warga selalu meminta mereka memainkan satu lagu rakyat dan menolak mendengar lagu ciptaan Lars yang lain. Dalam sebuah rentetan kejadian yang kocak – agak sadis, tapi tak pelak konyol – Fire Saga akhirnya kepilih untuk pergi mewakili Islandia ke final Eurovision tahun ini. Berdua saja di ranah showbiz yang glamor dan sarat kepentingan terselubung, Lars yang tak-mampu melihat apapun di luar potensi kemenangan dirinya, dan Sigrit yang akhirnya merasakan perhatian meskipun datang bukan dari partner masa kecilnya, mulai merenggang. Dan setelah satu lagi kecerobohan penampilan musik yang failed dan nyaris berujung petaka, Fire Saga seperti sudah digariskan untuk bubar – membuat malu negara, dan tentu saja ayah Lars di rumah.

Dan percaya atau tidak, film ini juga melibatkan bangsa peri

 
 
Kita yang tinggal di Indonesia mungkin belum banyak yang pernah mendengar – apalagi yang gak ngikutin musik kayak aku – Eurovision yang merupakan kontes musik yang beneran ada di Eropa sana. Acara ini ternyata udah diberlangsungkan semenjak pertengahan 1950, dan sudah menelurkan tren-tren musik mulai dari ABBA hingga ke Celine Dion. Film garapan David Dobkin ini pun tadinya diniatkan rilis bersamaan dengan pagelaran Eurovision tahun 2020, tapi urung karena pandemi korona. Kenapa komedi musik ini menjadi seperti begitu urgen? Kenapa tokoh fiksi harus diciptakan ke dalam show nyata yang sudah jadi tradisi? Itu karena film Eurovision ini difungsikan bukan hanya sebagai tribute, melainkan sekaligus sebagai parodi untuk mengingatkan acara itu sendiri yang semakin modern malah semakin konyol. Eurovision adalah kontes musik yang kini bukan semata adu-kemerduan suara, namun lebih sebagai adu-aksi panggung. Kembang api, efek video, kostum-kostum ‘unik’. Acara itu udah jadi selebrasi unjuk-gigi negara-negara terlibat. Di belakang panggung, ada strategi dan permainan politik bahkan sedari pengiriman delegasinya. Semua itu ditampilkan dalam nada ringan oleh film Eurovision Fire Saga ini. Kita mendengar komentar soal kostum, dan aksi panggung, yang diwakilkan oleh tingkah polah Lars yang jadi laughing stock seluruh kota. Kejadian seputar Lars dan Sigrit kepilih oleh produser dibuat sebagai kebetulan yang sebenarnya direncanakan oleh pihak-pihak tertentu.
Formulanya, ini merupakan cerita underdog. Lars dan Sigrit diremehkan. Namun bukan karena kemampuan nyanyi mereka yang buruk. Tonton sendiri dan biarkan mereka membuatmu terpana oleh ballad-ballad pop yang nendang abis. Penyebab mereka tidak-ada yang menjagokan adalah karena mereka selalu melakukan aksi-aksi panggung yang norak dan berlebihan. Penampilan musik mereka gagal selalu karena hal tersebut. Ini lantas dikaitkan oleh film dengan heart-of-the-story, yakni hubungan antara Lars dengan Sigrit. Yang satu punya mimpi besar, yang satu punya talenta tak-terukur. Ada cinta di antara mereka. Dan hanya ada sepihak saja yang melihat ini. Cerita dan karakter mereka dibangun supaya kita menginginkan mereka berhasil. Dengan stake bubaran yang memang berhasil membuat kita peduli. Walaupun formula film ini standar sekali – it fits to both our usual underdog and childhood lover story – film ini masih berhasil untuk tampil segar berkat karakter. Dan visual Islandia dan panggung Eurovision yang gemerlap. Dan tentu saja lagu-lagunya.
Aku menikmati penampilan di film ini. Ferrell dan McAdams jadi center-piece yang sempurna untuk cerita, meski kadang terlihat aneh juga mereka sebaya tapi Lars kadang seperti terlalu tua (apalagi film kerap mengingatkan kita dengan running joke ‘mungkin-bukan-kakak-adik’ itu). Aku terutama suka sekali sama penampilan McAdams di sini, karakternya hampir seperti magical. Apalagi pas nyanyi. Wuih! Lagu ‘Double Trouble’ yang mereka bawakan dengan naas itu sudah hampir bisa kupastikan bakal masuk jadi nominee buat kategori Best Musical Perfomance di My Dirt Sheet Awards tahun depan. In fact, dalam film ini akan ada banyak penampilan musikal yang memukau. Lagu finale-nya bakal bikin merinding. Dibawakan dengan lip sync oleh McAdams tidak lantas membuat penampilan terasa ‘plastik’. They played it off so good, dan salut juga buat Ferrell yang beneran menyanyikan semua lagu bagiannya.
Dengan sifatnya yang jengkelin, kadang Lars terlihat seperti Matt Riddle versi tua

 
 
Cerita underdog dalam sebuah kompetisi bisa kita maklumi taat kepada formula yang sama. Seperti setiap cerita tinju ‘blueprint’ bakal selalu formula cerita-cerita Rocky. Eurovision Fire Saga ini pun sebenarnya buatku tak masalah diceritakan dengan formulaic. It has a clear-cut plot. Tahun kemaren kita dapat Fighting with My Family (2019) yang berceritanya standar tapi tetap enak dan segar untuk diikuti karena punya cerita yang padet tersusun rapat di samping punya karakter yang unik sekaligus manusiawi. Eurovision Fire Saga ini, however, tidak terasa serapi itu. Untuk mengisi formula tersebut, cerita ini punya banyak jejelan yang sebagian terasa tidak perlu. Dua-jam-lebih film ini memang bikin geram. Bukan karena kepanjangan, melainkan lebih karena kita bisa melihat mana bagian yang mestinya bisa dipotong, atau dihilangkan, atau diganti, untuk membuat penceritaan jadi lebih efisien.
Misalnya, soal perjalanan Lars. Kita paham yang dia butuhkan adalah mendapat ‘anggukan’ dari ayahnya. Sehingga dia butuh untuk ketemu lagi dengan sang ayah, untuk mengonfrontasikan segala uneg-uneg. Pelajaran yang ia harus sadari datangnya dari sini. Hanya saja usaha film terasa sangat minimal dalam menceritakan ini karena film – yang sudah merasa dengan memasang Will Ferrell sebagai bintang utama maka mereka sudah otomatis melandaskan film ini sebagai komedi absurd – tidak merancang konfrontasi itu dengan benar-benar ‘masuk akal’. Film melakukannya dengan membuat Lars menempuh perjalanan bolak-balik naik pesawat, mereka memasukkan skit komedi dengan turis Amerika, yang sesungguhnya hanya memperpanjang waktu. Bukan cuma sekali itu film ini terasa ngedrag. Eurovision punya agenda untuk menampilkan kameo-kameo mulai dari artis hingga pemenang kontes Eurovision beneran (which make them ‘artis’ juga kalo dipikir-pikir), yang penempatannya memang kurang begitu menambah bobot cerita. Sekuen ‘song-along’; various tokoh saling nyambungin nyanyian tidak ditempatkan dengan mulus sehingga tampak seperti adegan selipan yang setengah hati niru-niruin Riff-off nya Pitch Perfect.

Lars sesungguhnya relatable untuk banyak orang, terutama sepertinya generasi milenial. Generasi pengejar mimpi. Kegagalan Lars bagi mereka bisa dijadikan sebagai cautionary tale. Mengejar passion bukan serta merta jadi alasan untuk bersikap egois. Tetaplah perhatikan orang-orang di sekelilingmu. After all, sedikit banyaknya pasti ada mereka pada mimpi yang coba kita wujudkan itu.

 
Bahan-bahan untuk meracik tayangan komedi yang lucu dan kuat dari segi drama sebenarnya sudah ada di atas meja. Produser yang gak mau Islandia menang karena ekonomi yang gak siap – atau mungkin dia gak mau berbagi. Dua sahabat yang terancam berpisah. Bentrokan ide kreatif. Konflik perasaan. Satu tambah satu itu bisa dijadikan dua dengan dengan gampang. Namun film ini merasa content dengan aspek-aspek seperti hantu ataupun invisible elves sebagai bagian utama dari plot. Sekalipun film ini diniatkan sebagai parodi, tetap saja hal tersebut menjadi overkill. Karena toh cerita enggak perlu untuk menjadi sesuatu yang katakanlah ‘impossible silly’. Malah, mestinya film ini bisa jadi lebih magical. Kayak elemen mitos Speorg Note yang dipunya oleh film – not yang hanya bisa dicapai oleh peri – ini aku suka; melihat tokoh percaya pada hal ini untuk membuatnya bernyanyi lebih baik, ini adalah keajaiban yang menambah untuk cerita. Tapi hantu yang terlambat memperingatkan, dan peri yang low-key melakukan kriminal, not so much. Cuma candaan receh – tidak esensial – yang dipaksa masuk supaya cerita bisa stay di jalur formula yang sudah ditetapkan.
 
 
 
Mungkin memang seperti inilah kontes Eurovision jika wujudnya adalah sebuah film. Tayangan menghibur, dengan formula yang terbukti-bisa-berhasil dan jejeran penampil yang meyakinkan. Hanya saja semua itu diisi penuh dengan penampilan-penampilan yang konyol. Kita tahu ini gak bagus tapi kita menikmati tayangannya. Kita gak perlu elves, hantu, antagonis – or seemingly so – yang gak jelas motivasinya apa, ataupun deretan kameo yang menambah-nambah durasi. Namun kita tetap peduli sama Fire Saga. Dan lagu mereka dengan tepat menyimpulkan film ini. “How come something so wrong feels so right?”
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA.

 

 
 
That’s all we have for now.
Pernahkan kalian mendengar tentang kontes Eurovision sebelumnya? Siapa kontestan favorit kalian di sana?

Dan bagaimana pendapat kalian tentang kontes menyanyi yang berkonsep pencarian bakat seperti ini?

Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

7500 Review

“A quiet mind is able to hear intuition over fear”
 

 
 
Pernah ngebayangin rasanya naik pesawat terus pesawatnya dibajak? Gimana coba perasaan pilotnya kalo mendadak penumpangnya semua dalam bahaya dan nyawa mereka ada di tangan dirinya? Ih, amit-amit! Atau mungkin malah ada yang pernah ngebayangin jadi teroris pembajaknya? Wah, sakit, lu! ckckckck.. Anyway, dengan thriller terbaru karya Patrick Vollrath ini kita gak perlu repot ngebayangin lagi. Karena film 7500 ini menawarkan full-experience peristiwa pembajakan pesawat terbang saat lagi mengudara. Tapi bukan untuk menakut-nakuti supaya males naik pesawat, melainkan niat utamanya adalah untuk mengajak kita melihat ke dalam setiap pihak yang terlibat – untuk melihat bahwa semua manusia masih punya intuisi dan nurasi meski seringkali tertutup oleh rasa takut. Dan ya, semoga bagi yang pernah ngebayangin ngebajak pesawat atau transport publik apapun, bisa insaf setelah nonton film ini.
Setelah montase pembuka berupa rangkaian adegan serupa video dari CCTV beberapa tempat di bandara (sekuen pembuka ini sangat efektif membangun tone menegangkan karena visual grainy yang membuat semua aktivitas terlihat mencurigakan itu dihadirkan komplit dengan suara-suara dengungan mesin dan alat-alat di bandara) kita akan dibawa masuk ke dalam kokpit pesawat komersil Jerman yang hendak lepas landas. Berkenalan dengan Joseph Gordon-Levitt yang jadi co-pilot berkebangsaan Amerika bernama Tobias. Dalam rentang waktu yang cukup singkat, film memperlihatkan interaksi antara kru-kru pesawat, mengestablish relasi antara Tobias dengan beberapa orang. Termasuk salah satu flight attendance yang ternyata adalah istrinya. Tobias dan istrinya mencoba bersikap profesional. In fact, interaksi para tokoh-tokoh itu memang semuanya terasa seperti kru pesawat beneran; orang-orang profesional yang punya kewajiban menerbangkan pesawat dan mengantarkan penumpang ke tempat tujuan dengan selamat. Namun tentu saja konflik berkata lain. Beberapa dari penumpang adalah teroris yang ingin membajak dan menabrakkan pesawat. Dan ketika pilot terluka parah, dan istrinya disandera bersama puluhan penumpang lain, kendali itu sekarang benar-benar di tangan Tobias. Mengunci diri di kokpit untuk menerbangkan pesawat ke tempat aman atau menuruti keinginan para teroris yang semakin nekat dan berbahaya.

If anything, rasa-rasanya setelah tiga bulan kemaren, kini kita semua rindu bepergian naik pesawat

 
 
Di kokpit itulah seluruh cerita film ini akan berlangsung. 7500 adalah drama thriller ruang-tertutup yang mawas diri sehingga kita akan mendapatkan banyak sekali adegan intens. Kamera akan bermanuver di ruang sempit itu, kadang sedikit terlalu goyang, tapi menjamin kita menangkap semua suspens dan emosi yang disampaikan oleh para aktor. Film paham betul soal surroundings dan merancang adegan-adegan dari sana. Misalnya soal pintu kokpit yang dikunci dan gak bisa dimasuki sembarangan saat pilot sedang bekerja, mengendarai pesawat supaya baik jalannya. Buk gedebak gedebuk suara pintu yang digedor teroris, bukan itu saja yang bikin tegang di film ini. Film menggunakan semua yang ada di sana. Monitor untuk kokpit melihat keadaan kabin di balik pintu. Suara intercom yang bisa dihidup-matikan. Tensi dibangkitkan dari ‘negosiasi’ antara Tobias dengan teroris yang di-escalate dengan mencekat. Salah seorang teroris mengancam untuk menggorong leher seorang penumpang jika pintu tidak segera dibuka. Kamera pun dengan bijak menyorot lalu menghitung timing meng-cut kita dari monitor dengan precise tepat beberapa momen sebelum kejadian buruk itu terjadi. Dan kita dikembalikan melihat Tobias yang broke down secara emosional karena dia baru saja melakukan pilihan terbesar seumur hidupnya. Adegan tersebut bahkan bukan puncak ketegangan, karena beberapa saat kemudian teroris kembali mengancam dengan cara yang sama – kali ini dengan leher istri Tobias yang jadi taruhannya.
Kecamuk perasaan Tobias rasanya tersalurkan semua kepada kita. Tantangan yang harus diatasi oleh cerita ini adalah membuat kita peduli pada Tobias, sekaligus kita menyetujui keputusannya meskipun itu adalah berat dan menyedihkan. Kita akan membatin supaya Tobias tidak membuka pintu, padahal kita tahu di balik pintu itu ada orang yang paling berharga baginya. Dalam kata lain, film ini lantas berhasil membuat kita merasakan penderitaan Tobias. Lewat tokoh ini, cerita menekankan soal betapa mengerikannya ketika mendadak kita berada pada posisi di mana nyawa banyak orang bergantung pada keputusan kita. Gordon-Levitt benar-benar meyakinkan dlaam perannya ini. Kita bisa merasakan tekanan konflik dan kepentingan personal menggencetnya dari berbagai arah. Dia berusaha tetap tenang dan mengikuti protokol. Kita mencemaskannya. Karena kita sadar betapa rumitnya bagaimana cara kita menyelamatkan orang jikalau dalam menyelamatkan itu berarti tetap saja ada korban.
Cerita film ini persis seperti Trolley Problem yang berbagai variasi kasusnya bisa kita temui di bahasan-bahasan psikologi ataupun filosofi. Mungkin kalian pernah juga mendengar. Troli atau kereta berjalan menuju persimpangan rel; pada rel pertama kereta akan menabrak sekelompok anak kecil, dan pada rel kedua kereta akan menabrak seorang pria yang tertidur – kita yang menekan tuas menentukan rel mana yang dilewati oleh kereta; mana yang kita pilih. Persoalan yang dihadapi Tobias juga seperti demikian. Basically intinya adalah memilih satu dari dua skenario yang dua-duanya berujung pada kematian orang tak-bersalah. Apakah dia membiarkan penumpang dibunuh satu persatu, hopefully dia bisa mendaratkan pesawat dengan cepat supaya yang mati gak banyak, atau berusaha mencegah pembunuhan dengan resiko teroris mengambil alih kemudi dan menyebabkan korban seratus persen lebih banyak. Film mengaitkan ini dengan sikap profesional yang harus dijunjung oleh pekerja seperti Tobias. Karena ia ingin mengirimkan gagasan kepada kita soal mengambil keputusan – bertanggung jawab atasnya – dengan tidak berdasarkan kepada perasaan melainkan melainkan dengan tenang memilih yang ‘benar’.

Trolley Problem sebenarnya bukan untuk memilih jawaban yang paling benar dari kedua pilihan. Melainkan sebuah eksperimen yang jawaban setiap orang akan mencerminkan intuisi moral yang dimiliki oleh masing-masing. Intuisi inilah yang paling penting untuk didengar, tapi seringkali tertutupi oleh kecamuk perasaan – yang dalam film ini diwakili terutama oleh rasa takut.

 
Momen antara Tobias dengan salah satu teroris di babak akhir menunjukkan kontras antara dua orang yang sama-sama takut, hanya saja yang satu masih mampu memegang intuisi moralnya. Dalam keadaan yang maksimal, film ini seharusnya mampu membuat kita tak lagi sekadar mengkhawatirkan keselamatan Tobias tapi juga menjadi mengkhawatirkan teroris muda yang jelas memiliki banyak keraguan dan konflik tersendiri di dalam dirinya. Namun film tidak tertarik untuk mengeksplorasi sejauh itu. Naskah mencukupkan dirinya pada muatan-muatan klise dan karakter-karakter stereotipe.

Yang belum nonton pasti bisa nebak ras gerombolan teroris di film ini

 
 
Tidak ada lagi pengembangan karakter sebab menjelang akhir film sudah mengubah haluannya menjadi cerita yang berfokus pada kejadian. Tobias dan karakter-karakter lain menjadi tak lebih dari sekadar troli yang bergerak pada rel masing-masing, mereka tidak jadi terasa manusiawi. Momen-momen manusiawi mereka mengerucut menjadi momen klise yang datang begitu saja saat naskah butuh untuk mengakhiri cerita. Tidak ada kedalaman motivasi pada si teroris yang jatohnya sebagai ‘jahat-tapi-penakut’ alih-alih karakter yang kompleks. Film ini dimulai dengan seolah menyugestikan pelaku kejahatan bisa siapa saja karena semua yang dilihat dari video CCTV tampak mencurigakan – kita tidak bisa menuding begitu saja. Namun di akhir tetap saja semua kembali pada stereotipe. Cerita tidak lagi menjadi menantang-pikiran begitu kita sadar bidak mana tugasnya apa. Menurutku ini adalah kesempatan yang disia-siakan, karena seharusnya ada banyak yang bisa dikomentari oleh film. Momen berdua antara Tobias dengan teroris tidak berbuah apa-apa karena film tidak pernah benar-benar lepas landas mengembangkan mereka.
 
 
 
 
Sebagai thriller ruang-sempit, film ini memang menegangkan. Penuh oleh momen-momen intens yang benar-benar menyorot beratnya keputusan yang harus diambil oleh tokohnya selain ancaman bahaya. Hanya saja pelaku-pelaku cerita ini tidak diberikan lapisan yang mendalam. Mereka hanya stereotipe yang mengandalkan pada pancingan-pancingan klise untuk menarik simpati. Sepertinya karena diniatkan sebagai experience saja, maka film merasa tidak perlu repot-repot membangun karakter dan mengeksplorasi lebih dalam lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for 7500

 

 
 
That’s all we have for now.
Dalam eksperimen Trolley Problem, mana yang kalian pilih? Menyelamatkan anak-anak atau satu orang yang tertidur? Apa pertimbangan kalian memilihnya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

YOU SHOULD HAVE LEFT Review

“The same people who believes your lies are also the ones who believe in you.”
 

 
 
Harusnya tinggal pergi aja. Seringkali itulah yang kita teriakkan ke arah layar setiap kali menyaksikan tokoh yang masuk dan memilih tinggal di rumah angker. Segampang itu sebenarnya; jika malam hari engkau diganggu penampakan, maka hal pertama yang harus kau lakukan di pagi hari adalah pindah atau malah gak perlu nunggu; langsung cabut aja dari situ. Tips selamat dari rumah berhantu: Pergi dari sana! Namun, bagaimana jika setan itu justru dari dalam diri sendiri. Mau lari ke manapun akan terus menghantui. Bagaimana cara kita kabur dari kebohongan dan kesalahan yang kita lakukan di masa lalu. You Should Have Left produksi Blumhouse yang digarap oleh David Koepp mengeksplorasi psikologi seorang pria yang dikutuk oleh aksi yang dipilihnya sendiri, yang menyebabkan seluruh keluarganya sekarang diteror di dalam rumah seolah neraka yang mengurung mereka bersama-sama.
Pria itu bernama Theo (Kevin Bacon membawa banyak kedalaman kepada karakter ini). Ia adalah pria yang punya uang cukup banyak sehingga bisa menyewa rumah mewah modern di atas bukit pedesaan Wales, Skotlandia. Berlibur bersama istrinya yang bintang film – Susanna yang berumur jauh lebih muda darinya (diperankan oleh Amanda Seyfried yang tak canggung) – dan anak perempuan mereka, Ella (Avery Essex yang menceriakan horor rumah tangga ini). Di dalam rumah yang punya desain unik tersebut, Theo yang ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri, malah dirundung oleh kejadian-kejadian yang ia gak tahu beneran atau mimpi. Ia menemukan pintu di balik rak buku. Pintu yang menuju ke ruangan yang berbeda setiap kali dibuka. Hallway yang semakin memanjang. Dan ada seseorang yang menulisi jurnal pribadinya. Menuliskan peringatan untuk segera angkat kaki dari sana. Hanya saja, Theo dan keluarga tidak bisa keluar sebelum Theo bisa memecahkan misteri rumah tersebut.

Mungkin secara tak sengaja, Theo menyewa Hogwarts sebagai tempat berlibur

 
 
Kalo kalian mencari film yang cocok ditonton untuk merayakan Hari Ayah, You Should Have Left ini bisa dijadikan pertimbangan. Karena walaupun film ini tipikal mainstream Blumhouse banget; rumah yang seemingly berhantu, lokasi tertutup, teror melibatkan anak dan keluarga, dan tentu saja ada adegan yang sepertinya udah jadi trademark horor Blumhouse: adegan disembur muntah hantu, film ini juga terasa berbeda dari biasanya karena memuat sudut pandang kejiwaan seorang ayah yang pada akhirnya mengambil keputusan demi putrinya tersayang. Inti emosional dari film ini adalah hubungan Theo dengan anak, dan istrinya. Paruh pertama lebih banyak berkutat di elemen drama. Theo mencurigai istrinya yang artis ini selingkuh – pada kunjungan pertama Theo ke lokasi syuting, ia harus mendengar istrinya melakukan adegan intim, dan dia sama sekali tidak diberitahu film yang dibintangi sang istri bakal mengandung adegan semacam itu. Film juga menekankan hubungan Theo dengan Ella; putrinya ini sangat sayang kepada Theo, mereka ayah dan anak yang akrab, dan clearly Ella percaya kepada ayahnya. Dan inilah yang akan jadi konflik untuk Theo, karena pria ini diperlihatkan punya sesuatu rahasia mengenai masa lalunya.
Mengenai horor di rumah tempat mereka liburan, I must say, misterinya cukup fun dan bikin penasaran. Theo menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal dari desain rumah itu. Lantai yang enggak exactly lurus 90 derajat. Ruangan rumah yang ternyata ukurannya lebih luas jika diukur dari dalam dibandingkan dengan dihitung dari luar. Ada sekuen yang sangat menarik yakni saat Theo dari halaman melihat Ella masuk ke ruang keluarga, mengambil jaket, dan ketika membuka pintu hendak keluar, Ella gak kunjung keluar. Ella menghilang di depan matanya. Karena rumah itu punya banyak ruang rahasia dan Ella nyasar karena salah membuka pintu. Aku pengen melihat lebih banyak adegan-adegan seperti begitu, you know, Theo dan Ella menjelajahi rumah, berusaha menguak misteri desain rumah yang aneh ini. Aku tentu saja lebih menyukai misteri demikian ketimbang horor standar berupa bayangan muncul sekelebat di belakang layar atau belakang tokoh, yang sayangnya lebih banyak dilakukan oleh film ini.
Koepp sebenarnya sudah punya pengalaman membuat misteri tentang pria yang merasa jadi gila (atau memang gila) karena tinggal di tempat terpencil. Ia pernah membuat Secret Window (2004) yang dibintangi oleh Johnny Depp yang punya keadaan dan elemen misteri yang serupa. Yang dari film itu kentara Koepp gak butuh trope-trope horor berlebihan, dan dia punya kekuatan pada drama dan eksplorasi psikologi. Namun pada You Should Have Left ini, aku gak tau entah karena studio/produser ataupun karena gak ingin jadi mirip banget ama Secret Window, Koepp banyak menggunakan teknik horor pasaran yang bukannya membuat film semakin berbobot, tapi malah membuatnya jadi semakin datar. Bagian misteri rumah yang seru tadi, actually baru dimunculkan pada paruh akhir film. Sangat terlambat. Pada paruh awal kita justru disodorkan adegan-adegan mimpi dan adegan kelebatan bayangan yang hardly seram. Film ini bahkan dibuka dengan adegan mimpi-di-dalam-mimpi yang mengangkat alis kita karena si tokoh yang ceritanya lagi mimpi tidak ada dalam adegan tersebut. Mana ada kita mimpikan orang lain sementara kita sendiri gak ada di dalamnya. Bergerak dari logika tersebut, kalo dipikir-pikir, opening tersebut justru memberikan spoiler untuk ending film. Membuat satu-satunya sosok misterius di film ini jadi terbuka kedoknya hanya dalam lima-menit awal.
You should have left the filmmakers alone to do their works

 
 
Paruh awal itu film ingin membuat kita peduli dengan memberikan hook berupa ini adalah drama membebaskan diri dari relationship yang buruk alih-alih membebaskan diri dari rumah hantu. Misteri yang ditonjolkan adalah apakah istri Theo selingkuh, kita diharapkan untuk peduli kepada Theo karena dia adalah pria tua yang udah gak kerja, yang gak ngapa-ngapain, yang dicintai oleh anaknya, tapi begitu rapuh sehingga perlu menenangkan diri dengan jurnal dan kaset rekaman yoga. Namun ini semua enggak bekerja karena justru di situlah masalahnya. Kita gak tau siapa Theo ini. Pada novel aslinya, Theo adalah seorang penulis naskah film. Pada sinopsis di halaman IMDB film ini, Theo adalah seorang banker. Jadi siapa dia? Gak jelas, pada film ini sendiri dia pernah diperlihatkan dia ngapain, kerjaannya apa. Background Theo dijadikan rahasia – kita hanya diberikan eksposisi atas sesuatu peristiwa mengerikan pada masa lalu Theo dan hingga kini Theo hidup dalam tuduhan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Dan hanya itulah dia. Seseorang yang punya masalalu suram, tapi kita tak tahu persis apa itu. Ini menyebabkan kita gak segaris dengan Theo. Motivasi Theo cuma ngajak keluarganya liburan ke villa untuk memperbaiki hubungan, hanya saja kita tidak pernah tahu apa penyebab semua itu, sehingga kita tidak bisa peduli apakah dugaan Theo salah atau benar. Susanna juga tidak diberikan karakter yang mendalam, ia lebih tampak sebagai device cerita saja ketimbang tokoh yang benar-benar mendukung dalam development tipis Theo.
Seluruh kejadian di babak akhir akan sangat membingungkan karena film mengungkapkan semuanya sebagai kejadian yang beneran terjadi. Kita akan melihat siapa yang menulisi jurnal Theo. Kita akan tahu pemilik bayangan yang berkelebatan sepanjang film. Semuanya begitu literal sehingga justru jadi gak make sense. Film mengontradiksi konteksnya sendiri. Mereka ingin menegaskan teror itu berasal dari dalam Theo, tapi sekaligus memperlihatkan bahwa rumah itu beneran sebuah neraka yang menjerat manusia-manusia yang hidup dengan memendam rasa bersalah. Kita mengerti bahwa pelajaran bagi Theo adalah untuk mengakui bahwa ia bersalah dan tidak lagi berbohong, kita paham dia harus sendirian, maka rumah tersebut mestinya adalah metafora perasaan bersalah yang ia tak bisa lari darinya. Dengan malah membuat rumah itu sebagai entitas beneran, juga dengan tidak memberikan kita ruang melihat masa lalu Theo dari sudut pandang yang lain (katakanlah dari sudut pandang Theo sebelum ‘ngaku’), film malah menanamkan ketidakpastian – keraguan – kepada kita, yang ultimately melemahkan gagasan film ini. Kenapa kita harus percaya pada rumah itu? Toh kalo memang beneran dia ‘memangsa’ orang-orang yang punya kebohongan kenapa Susanna yang mengaku selingkuh masih bisa keluar dari sana? Kenapa Theo yang akhirnya juga mengaku dan bertindak untuk kebaikan anaknya tetap saja harus tinggal di rumah itu? I say, kerjaan film ini sebenarnya masih banyak karena dalam menangani misteri dan drama, film lebih banyak meminta pemakluman kita saja daripada punya jawaban yang benar-benar memuaskan.

Kita boleh saja memilih untuk hidup dalam kebohongan. Lari dari rasa bersalah sepanjang waktu dan menganggap kita baik-baik saja. Namun kita harus sadar, bahwa tidaklah adil untuk memerangkap orang yang sayang kepada kita karena mereka percaya kepada kita. People need to hear the truth. Jangan penjarakan mereka bersama dosamu. 

 
 
 
 
Rumah yang bisa memerangkap manusia, yang menyesatkan dengan ilusi ruang dan waktu, memang adalah sebuah ide kreatif untuk sebuah horor. Tambahkan sudut pandang seorang ayah yang menyimpan rahasia kelam. Ini adalah formula sebuah cerita psikologikal menyeramkan yang bagus. Namun film ini memilih banyak pilihan yang miring. Dia terlalu literal dalam bercerita. Dia tidak benar-benar memberikan daging kepada penokohan tokoh-tokohnya, terutama tokoh utama. Sehingga dengan sangat mengecewakan film ini jatohnya hanya mengandalkan kepada shock value.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for YOU SHOULD HAVE LEFT.

 

 
 
That’s all we have for now.
Film ini juga mengajarkan kita untuk segera angkat kaki dari hubungan yang bikin makan ati. Bertahan lama-lama hanya akan bikin makin nyelekit, pasangan akhirnya selingkuh, or worse – pasangan membiarkanmu ‘mati’ begitu saja. Kenapa tidak pernah gampang untuk keluar dari bad relationship? Apakah anak yang membuatnya semakin susah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

A WHISKER AWAY Review

“But you are always perfectly lovable”
 

 
 
Jadi kucing sepertinya menyenangkan. Bisa bermalas-malasan sepanjang hari, tanpa ada yang nyindir. Bangun-bangun langsung dikasi makan. Dielus-elus. Bisa bermain dengan apapun, like, kardus aja bisa jadi arena panjat-panjatan yang super menyenangkan. Kalo jatuh, bisa mendarat mulus dengan dengan keempat kaki. Lelah main, tinggal tidur lagi. Not a single worry given. Kucing punya sembilan nyawa, jadi tak perlu takut pada apapun. Tapi benarkah kita rela menggantikan kehidupan manusia dengan kehidupan kucing?
Miyo beruntung mendapat kesempatan untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi berkumis, punya empat kaki, bermata biru, berbulu putih, dan bertampang imut. Dia bertemu dengan kucing raksasa yang memperkenalkan diri sebagai ‘Penjual Topeng’, yang memberikannya topeng kucing ajaib. Dengan topeng tersebut, setiap kali Miyo yang di luar tampak superceria ini merasa sedih dan kesepian dan bermasalah di rumah, ia bisa kabur sejenak dari dirinya sendiri. Ia menjadi kucing yang disayang banyak orang. Terutama oleh Hinode. Cowok keren teman sekelasnya yang cuek abis itu ternyata sayang banget ama kucing. Makanya Miyo jadi betah setiap hari melipir ke rumah Hinode, sebagai kucing tentunya. Merasa hidupnya bakal jauh lebih baik saat menjadi kucing – Hinode memanggilnya Taro, sedangkan di sekolah Hinode gak pernah sudi nyapa Miyo duluan – Miyo setuju untuk memberikan wajah manusianya kepada si Penjual Topeng. Yang artinya dia bakal jadi kucing selamanya. Namun begitu seekor kucing menggantikan posisi Miyo sebagai manusia, Miyo menyadari bahwa cinta itu masih ada. Sehingga Miyo harus buru-buru mencari Penjual Topeng yang culas hingga ke dunia gaib khusus kucing, sebelum semuanya terlambat.

Bukan cinta monyet tapi cinta kucing

 
 
Gak perlu jadi pecinta kucing untuk dapat menikmati anime terbaru di Netflix ini. Serius. A Whisker Away memuat banyak emosi, tokoh-tokohnya akan mudah untuk direlasikan kepada kita. Terutama bagi anak-anak atau remaja karena deep inside film ini membahas masalah di kehidupan rumah dan sekolah. Dengan warna-warni anime dan fantasi yang tinggi, film yang sarat akan pelajaran berharga ini jadi menyenangkan untuk ditonton. Pada menit-menit awal film terasa seperti ambigu karena mengaburkan fantasi dan realita, tapi dengan segera keraguan kita terjawab. Miyo beneran jadi kucing, dan fantasi di sini adalah realita. Keajaiban flm ini bahkan semakin menguat lagi pada saat kita masuk babak ketiga, saat lokasi cerita berpindah ke dunia kucing di atas awan. Kita belum bisa menyebutnya surga karena masih ada depresi menggantung di sana, but it was magical, berisi karakter-karakter ajaib yang membantu Miyo dan cerita mencapai keseruan sebagai klimaks. Dan ketika semua selesai, kita sudah benar-benar siap untuk tangisan bahagia. Karena arahan Jun’ichi Satô dan Tomotaka Shibayama ini memang dramatis seperti demikian.
Jika kita lepas cerita film ini dari elemen kucing yang jadi identitas utamanya, maka kita akan mendapati cerita yang persis sama dengan Mariposa (2020) jika film tersebut turut dicopot dari elemen olimpiade dan dibuat dengan lebih banyak hati. Cerita A Whisker Away juga tentang cewek yang ngejar-ngejar cowok dingin yang gak suka padanya. Hanya saja kartun Jepang ini terasa jauh lebih manusiawi karena benar-benar memanusiakan dan menghormati para tokohnya. Miyo sama kayak Acha; pecicilan, rusuh, can’t take a hint, nyaring. Annoying. I mean, Miyo dijuluki Muge oleh teman-temannya di sekolah, yang merupakan kepanjangan dari Miss Ultra Gaga and Enicmatic; yang sangat mencerminkan betapa hebohnya Miyo di mata mereka. Namun tokoh ini diberikan layer. Dia diberikan alasan untuk jatuh cinta sama Hinode. Dia diberikan motivasi yang lebih dari sekadar pingin punya pacar. Dan ini jadi pembeda yang signifikan. Kita jadi peduli dan bersimpati kepada Miyo – sesuatu yang tidak mampu kita lakukan terhadap Acha di Mariposa yang tidak punya masalah apa-apa di dalam hidupnya selain kebelet penasaran sama Iqbal.
Cinta Miyo kepada Hinode muncul saat Hinode menunjukkan perhatian kepada dirinya yang sedang dalam wujud kucing. Keduanya sharing a beautiful dan personal momen bersama di bawah cahaya kembang api festival. Cowok penyayang hewan itu memberikannya kasih sayang tatkala Miyo lagi menyendiri dalam pelariannya karena capek menjadi manusia. Jadi wajar, at that exact moment, Miyo langsung cinta mati meskipun ia tahu yang disayangi Hinode adalah kucing. Wajar Miyo ketagihan merasakan cinta karena selama ini ia percaya tidak ada yang mencintai dirinya, not even her own mother. Begini, sikap ceria dan semangat-berlebihan yang Miyo tunjukkan kepada sekitarnya bukan tanpa alasan. Melainkan karena dia terluka di dalam. A Whisker Away juga mengeksplorasi soal parenting – sebagaimana yang juga di-claim oleh Mariposa – dan melakukan ini dengan lebih dalam daripada hanya memperlihatkan orangtua yang satu dimensi. Miyo dibesarkan bukan dalam keluarga sempurna. Justru kebalikannya. Ibu kandung Miyo meninggalkannya waktu masih kecil, sehingga sekarang Miyo tinggal bersama ayah dan ibu tiri. Ini menyakitkan buat Miyo; bukan karena ia punya ibu tiri, tetapi karena kenyataan bahwa ia merasa ibu aslinya tak sayang padanya.
Perasaan seperti ini tentu saja devastating bagi siapapun. Jika ibu sendiri tak sayang, maka gimana kita mau percaya ada orang lain yang sama kita. Miyo jadi tries so hard untuk dicintai. Dia mengubur deritanya dalam-dalam dan mencoba menjadi ceria sehingga ia disukai orang serta tidak membuat orang di sekitarnya bersedih. Namun jelas itu cara yang salah. Film ini berani mempertontonkan sikap Miyo sebagai hal yang ganjil dan aneh dan gak-cute. Bahwa kita tidak diniatkan untuk mendukungnya mengejar Hinode yang gak tertarik. Adegan penolakan pada film ini terasa beneran membekas dan jadi titik balik bagi Miyo. Ini mengubah Miyo, karena sekarang dia percaya beneran gak ada yang suka sama dia. Makanya Miyo mau ditawari menjadi kucing. Bayangkan untuk mau menukar hidup jadi kucing, pastilah hidupmu sebagai manusia amat sangat menderita.

Miyo adalah karakter yang sangat sengsara. Bisa dibilang ‘jadi kucing’ itu adalah metafora halus untuk ‘mau bunuh diri’. Inilah mengapa anime ini penting untuk ditonton oleh keluarga. Karena sekarang kita hidup di jaman di mana bunuh diri telah terdramatisasi. Orang sekarang membiarkan diri mereka tenggelam dalam depresi dan lebih memilih untuk mengakhiri hidup karena merasa atensi itu didapat dari sana. Padahal bukan. Film ini menunjukkan kita hal yang sebenarnya. Yang Miyo butuhkan adalah untuk dicintai oleh orang – satu orang saja, sehingga dia bisa menyadari bahwa hidupnya bermakna. Oh boy, bahwasanya itu hal yang tak perlu ia atau siapapun minta. Semua orang pasti dicintai, asalkan menjadi diri mereka sendiri.

 
Hinode exactly adalah Iqbal, karakternya punya arc yang sama persis hingga ke resolusi yang dilalui. Bedanya adalah tokoh ini ditulis dengan sangat hormat. Tak pernah sekalipun dia dimanipulasi oleh orang-orang sekitar untuk menyukai Miyo sehingga berpikir jangan-jangan ia suka Miyo. Hinode dibiarkan berkembang sendiri. Mengatasi masalah keluarganya dengan pembelajaran sendiri. Keluarganya juga gak ditulis satu-dimensi. In fact, tidak ada tokoh ayah atau ibu yang mutlak otoriter dan maksain kehendak di film ini. Selalu ada situasi yang menimbulkan pilihan, dan kondisi alami yang mendorong karakter memilih putusan atas pilihan tersebut. Bahkan tokoh ‘penjahat’ – si Penjual Topeng itu pun tidak dibuat total licik dan serakah. Sebagai pedagang, dia bahkan termasuk pedagang yang jujur.

Kalah deh pokoknya penjual-penjual penimbun masker.

 
 
Kendati punya cerita yang lebih berlapis dan penceritaan yang lebih menarik, still, problem film ini juga masih sama ama problem Mariposa. Anak-anak dan remaja nonton film ini sebaiknya ditemani oleh orang yang lebih dewasa. Gambaran cewek ngejar cowok, meski memang di sini diperlihatkan gila dan gak sehat, tetap harus ditekankan bahwa hanya akan benar jadi romantis kalo si cowok memang kebetulan punya masalah dalam mengungkapkan diri. Lain kata, dalam kondisi yang sangat ideal-lah romansa ini bisa terjadi. Menjadikan mereka pasangan sebagai bentuk dari reward tetaplah merupakan sesuatu yang dilebihkan, karena reward berupa perasaan dicintai gak mesti ditunjukkan dengan jadian dan membuat tokoh utama selama ini benar atas feelingnya terhadap Hinode sehingga tidak perlu mengucapkan maaf atas tindakannya. Poinku adalah cerita seperti ini bakal tetap bekerja jika pada akhirnya kedua tokoh tidak menjadi pasangan. Mereka bisa jadi teman akrab, romance masih bisa dipantik dari ‘tempat’ lain tho, dan pesan cerita masih akan sama dan sama suksesnya tersampaikan.
Hubungan yang paling menyentuh, bagi pecinta kucing, besar kemungkinan adalah bukan antara Miyo dengan Hinedo. Film ini juga membahas hubungan antara kucing peliharaan dengan majikan yang menganggapnya sudah seperti anak sendiri. Eh, salah. Yang menganggap kucing peliharaan lebih dari anak sendiri. Film ini menunjukkan betapa hubungan majikan-peliharaan ini dapat mencapai level emosional yang sangat mendalam karena memang kucing ataupun peliharaan sejatinya bukan sekadar mainan. Apa yang tadinya ‘hanya’ berupa emotional companion, bisa jadi lebih attach daripada itu. Di film ini ada tokoh yang lebih suka kucing peliharaanya kembali daripada si kucing itu berubah menjadi manusia dan menjadi anaknya diam-diam. It is such a beautiful relationship; film ini berhasil menggambarkannya dengan sama indahnya.
 

Dan karena itu maka review ini aku dedikasikan untuk Max, kucing oren yang sudah kupelihara sejak bayi dua tahun yang lalu, yang currently menghilang – Max yang sedang masa kawin gak pulang ke rumah. Aku gak tau apa dia tersesat atau udah berubah pakai topeng wajah manusia.

 
 
 
Beginilah cara yang benar dalam menyajikan cerita komikal, atau bahkan fantastical tentang yang mengejar cinta seorang cowok. Dengan memberinya karakter yang manusiawi, konflik yang personal, dunia yang menarik. Singkat kata; memberikannya hati. Anime ini penting ditonton karena membahas isu soal depresi terkait dengan menjadi diri sendiri – problematika yang senantia menghantui pikiran setiap remaja, bahkan orang dewasa sekalipun. Do I matter? Apakah aku pantas mendapat cinta. Film ini menawarkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Membawa kita melihat dari sudut pandang luar untuk menemukan jawaban itu. Jadi ya, buat yang merasa depresi dan tidak-dicintai, cobalah tonton film ini. Buat yang suka kucing apalagi. Ada sih, satu-dua hal yang jangan lantas ditelan mentah-mentah – yang jangan dijadikan panutan (jangan lompat dari atas atap sekolah demi membela yayangmu, for instance), but still ini adalah film kucing yang sweet dan emosional dan amat manusiawi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A WHISKER AWAY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya hewan peliharaan kesayangan? Menurutmu kenapa beberapa dari kita butuh hewan peliharaan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE KING OF STATEN ISLAND Review

“It’s never too late to be who you might have been”
 

 
 
Ada stereotipe yang erat melekat kepada penduduk Staten Island, kota kecil di pulau selatan bagian dari New York, yang sebagian besar memang membuat mereka dapat citra yang kurang membanggakan. Akibat gambaran serial tivi seperti Jersey Shore, remaja-remaja di Staten Island kini dikenal sebagai makhluk yang ignorant, sukanya party, ‘makek’, keras kepala, dan cewek-ceweknya hobi banget tanning ampe kulit jadi berwarna orange. Gaya bicara hingga kosa kata khas mereka pun sering diperolok. Dan walaupun stereotipe itu cuma karakterisasi dan gak semuanya benar, tidak semua remaja di sana beneran seperti demikian, Scott Carlin, menghidupi ‘traits’ tersebut hampir seratus persen, yang lantas membuatnya pantas untuk menyandang gelar Raja di Staten Island.
Cobalah berdialog sama Scott. Maka dipastikan dia akan ngelindur, hampir seperti bercanda tapi dia serius. Ajak dia ngobrol soal kehidupan; dia akan nyerocosin pandangan kekanakannya yang menyebalkan. Ajak dia berbincang soal pekerjaan, well, semoga beruntung menjawab jawaban yang positif darinya. Scott ingin jadi tattoo artist, tapi gambar karyanya hanya sedikit lebih baik dari corat-coret anak SD. Scott punya angan untuk membuka restoran tato, orang datang untuk makan sekaligus ngantri ditato. Mimpinya itu benar-benar merangkum kepribadian Scott. Dia punya passion, tapi terlalu nyeleneh. Dia mau berusaha, tapi terlalu lambat. “I am still figuring things out”, katanya, membuat sebal ibu serta adik perempuannya yang baru saja masuk kuliah. Bahkan pacarnya sendiri, cewek Staten Island tulen yang mau membuat ‘Staten Island great again!’, muak dengan Scott yang seperti mengulur-ulur hubungan mereka.
Sebagian besar film The King of Staten Island ini akan terasa seperti sajian slice of life. Tontonan kehidupan yang seperti tanpa tujuan, melainkan hanya memperlihatkan keseharian Scott, young-adult pengangguran umur 24 tahun yang masih tinggal serumah dengan ibunya yang sudah belasan tahun menjanda. Ketika sang ibu mulai berhubungan ke arah yang serius dengan seorang pria pemadam kebakaran, barulah film ini kelihatan tujuannya sebagai drama. Karena Scott gak suka pria tersebut. Untuk alasan yang personal. Dia membenci pemadam kebakaran karena pekerjaan itulah yang merenggut ayah kandung dari dirinya. Ayah yang meninggalkannya dengan segudang prestasi dan pencapaian dan kisah-kisah kepahlawanan yang eventually menjadi beban bagi kehidupan Scott sebagai orang dewasa.

Kalo King ini ketemu Princess of Staten Island, it would be F-A-B-U-L-O-U-S-S

 
Melihat Scott melewati hari demi hari dengan practically gak melakukan apa-apa yang penting, secara mengejutkan sangat menyenangkan. Bahkan debat kusirnya dengan teman segeng, dengan pacar, dengan adik, begitu amusing. Kita bisa menangkap secercah poin ‘kebenaran’, atau mengerti alasan Scott, dan kita dapat melihat tokoh ini bukanlah seorang bad-boy. Suatu waktu dia menolak ikut gengnya merampok toko obat, menunjukkan Scott tahu mana baik mana yang buruk. Namun dia seringkali jadi kayak asshole dan bikin sekelilingnya kesel karena gak kunjung berubah. Itu semua hanya karena dia punya self esteem yang kelewat rendah. Dan inilah sebenarnya purpose dari cerita. Mengawal Scott mengenali masalah dalam dirinya, mencari penyebab kenapa standarnya begitu di bawah, dan dia seperti nyari alesan untuk menjadi lebih baik, dan berkonfrontasi dengan itu.
Semua itu karena Scott dibesarkan dengan cerita kepahlawanan sang ayah. Pemberani, baik hati, bertanggung jawab, selfless. Legenda di komunitas pemadam kebakaran. Ibunya menceritakan kehebatan ayah kepada Scott, malah membuatnya merasa itu adalah garis yang terlalu tinggi untuk dilewati. Apapun yang terjadi ia tidak akan bisa menjadi sehebat ayahnya. Sehingga selain menjadi gak suka ama kerjaan pemadam kebakaran, Scott juga jadi males berusaha tinggi-tinggi. Daging cerita ini terletak pada momen ketika Scott mulai – walaupun terpaksa – masuk ke dunia pekerjaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Melihat seperti apa hidup sebagai pemadam kebakaran, mengetahui resiko-resikonya, dan ultimately mendengar langsung seperti apa sebenarnya sang ayah di luar kerjaan dan prestasi-prestasi tersebut. Scott enggak sadar inilah yang ia butuhkan. Untuk mengenal ayahnya, sebenar-benar kenal. Luar-dalam. Baik-buruk. Film lain akan memperlihatkan tokoh seperti Scott ini akhirnya menjadi pemadam kebakaran handal juga sebagai bentuk transformasi dan penyadaran diri. Namun The King of Staten Island tahu persisnya penyadaran itu seperti apa dan sekaligus mengerti bahwa perubahan itu butuh proses. Film bercerita dengan sangat bijak, dan bekerja segrounded-grounded-nya sehingga kita terus merasakan sesuatu yang real hingga ceritanya usai.

Tidak ada kata terlambat dalam menyadari siapa dirimu sebenarnya. Scott; dia bukan sebatas stereotipe remaja di suatu kota, dia bukan seniman tato yang gagal, atau bahkan – dia bukan anak pahlawan. Melainkan, yang harus disadari olehnya sendiri bahwa, dia adalah anak ayahnya. Just that. Sehingga dia bisa mengerti bahwa hidupnya adalah sepenuhnya keputusan sendiri, tidak berdasar atas standar yang ditetapkan oleh orang lain.

 
Yang membuat film ini unik adalah bahwa sebenarnya cerita ini bertindak sebagai semi-autobiografi. Sutradara Jude Apatow menulis naskah film ini bersama pemeran Scott, komedian Pete Davidson, yang di real life adalah anak seorang pemadam kebakaran yang juga jadi pahlawan dalam bertugas. Tepatnya, Ayah Pete gugur saat menyelamatkan orang-orang pada tragedi 9/11. Momen pada ending film ini dijadikan tribute untuk kejadian tersebut. Aku gak bakal bilang konteks atau kejadian tepatnya ending film ini seperti apa. But momen terakhir film ini adalah Scott sedang di Manhattan dan dia melihat ke arah Menara Kembar seharusnya berada. Yeah, saat mengetahui informasi ini semuanya juga jadi klik buatku. Aku sampai “wow, makanya” berkali-kali.
Wow, makanya Scott di film ini begitu natural. Davidson memainkan tokohnya dengan sangat personal. Memerankan karakter yang mirip dengan diri sendiri jelas bukan perkara gampang. Apalagi dengan tone komedi di balik drama yang harus dikenai. Salah-salah karakter tersebut hanya akan jadi seperti parodi yang sama sekali enggak manusiawi. Davidson berhasil keluar dari jebakan karikatur tersebut. Dia mengeksplorasi grief terhadap kematian ayahnya, perjuangan dalam hidup menjadi dewasa, relasi dengan keluarga; dia menarik semua itu dari dalam hatinya dengan tidak pernah berlebih. Just enough untuk membuat tokohnya menjadi sedemikian nyata. Film ini punya pesona sehingga kita tetap peduli pada Scott. Meskipun bagi tokoh lain, dia menyebalkan. Komedi yang hadir dari dialog dan interaksi tokoh ini tidak sekalipun terasa dipaksakan. Para tokoh pendukung, dan juga remaja-remaja Staten Island yang lain tidak serta merta annoying karena kita dapat melihat menembus stereotipe yang udah terbentuk.

Mungkin kalo kita minta ditato dengan gambar wajahnya, Scott baru sudi berusaha lebih keras.

 
 
Normalnya, film kayak gini akan langsung mulai dari titik terendah tokoh, lalu babak satu berakhir dengan dia keluar dari zona itu, yang berarti Scott mulai tercemplung ke dunia ayahnya. Cerita biasanya akan berakhir dengan Scott menjadi semacam pahlawan. Tapi arahan Apatow sama sekali berbeda. Dia menarik jauh ke belakang. Kita baru melihat Scott berada di pemadam kebakaran setelah midpoint. Dan film seperti berakhir prematur, sebelum Scott benar-benar punya pencapaian. Ini, dan fakta bahwa durasi cerita mencapai dua jam lebih, sekiranya berpotensi membuat penonton gak-sabar dan menyerah pada kejengkelan. It really takes a while untuk film ini berjalan sesuai tujuannya. Paruh pertama – yang bagian ‘slice of life – berjalan seperti ngalor ngidul. Banyak juga tokoh yang ilang-timbul begitu saja, persis kayak di real life; orang-orang akan keluar masuk hidupmu tapi kita juga move on dan terus berjalan. Hanya saja memang dapat dimengerti kalo mungkin ada sebagian dari kita yang geram ingin meringkas ceritanya menjadi bagian-bagian penting saja yang ditampilkan.
Aku pun sempat berpikir demikian. Namun jika memang cerita ini dipersingkat, enggak perlu se-elaborate itu melihat kegiatan Scott dan kawan-kawan, menurutku film akan kehilangan pesonanya. Aku meragukan hasilnya akan menjadi lebih menarik, atau bahkan lebih baik. Karena tujuan film membuat paruh awal yang berkepanjangan dan ke mana-mana itu adalah untuk menghidupkan Staten Island itu sendiri sebagai sebuah karakter. Dari bagaimana penduduknya, seperti apa rupanya, semua dijadikan sebagai penciri karakter. Jadi selain untuk meng-emphasize persoalan ‘figuring things out’ supaya kita makin relate, di separuh awal film juga ingin membangun tempat itu bersama dengan tokoh utamanya. Sehingga Staten Island juga mendapat lapisan di balik stereotipe yang menimpanya.
 
 
 
Sajian komedi yang penuh pesona. Baik itu dari karakter maupun dari kota yang menjadi tempat para karakter itu hidup. Kuat oleh sense of realism karena berhasil mengakomodasikan statusnya sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi. Tentu saja semua ini tercapai berkat arahan dan permainan akting yang luar biasa. Ceritanya memang tergolong panjang dan seperti terbagi menjadi dua bagian. Namun kita tidak akan bosan ataupun merasa jengkel kepada tokohnya. Melainkan akan merasa hangat oleh momen-momen ajaib-tapi-genuine di dalamnya. Dan Scott dalam film ini bisa jadi inspirasi bagi orang-orang yang juga lagi terlunta-lunta dalam hidup, membantu kita untuk “trying to figure this shit out”.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KING OF STATEN ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana dengan daerah/kota kelahiranmu? Apakah kalian punya koneksi dengannya? Sebesar apa peran kota terhadap pendewasaanmu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DA 5 BLOODS Review

“And the whole thing is that you’re treated like a step-child”
 

 
 
Spike Lee memang sangat vokal menyuarakan kesetaraan sosial kulit hilam. Dari Malcolm X (1992) hingga BlacKkKlansman (2018), dia terus membangun cerita berdasarkan soal pandangan politik dan kritikannya terhadap isu-isu tersebut. Maka tidak ada waktu yang lebih tepat lagi daripada sekarang ini – ketika #BlackLivesMatter kembali digemakan karena pelanggaran oleh seorang polisi kulit putih di Amerika – untuk film terbaru Spike Lee tayang. Da 5 Bloods, drama yang turns out to be a genre action-adventure tentang para veteran perang Vietnam, dibuat oleh Spike Lee untuk membahas nasib tentara kulit hitam selepas perang. Bahwa mereka tidak mendapat apa-apa selain trauma. Bahkan tidak pula terima-kasih. Apalagi sebuah kata maaf.
Begini gambaran besar kondisi mereka yang pada poin tertentu diutarakan lewat karakter fiktif dalam film ini: Kulit hitam adalah minoritas di Amerika, tapi di medan perang – di Vietnam sana – kulit hitam mendominasi. Kebanyakan mereka dikirim memperjuangkan kebebasan bangsa asing, padahal di negara sendiri mereka sama terkekangnya. Atas bahaya perang, kekerasan yang terpaksa dilakukan – karena dalam perang, setiap perbuatan adalah mengerikan, para tentara ini menanggung semua trauma sementara kebebasan bagi mereka tak kunjung datang. Perang bagi mereka sendiri tak-pernah berakhir.
Empat dari mereka itu adalah Paul, Otis, Melvin, dan Eddie. Empat tentara yang sudah menjadi seperti saudara karena semua yang telah mereka lalui di belantara Vietnam sana. Da 5 Bloods adalah cerita tentang keempat orang ini, yang tadinya berlima. Satu ‘blood’ lagi, teman, sahabat, sekaligus junjungan mereka semua, Norman, gugur di medan perang. Untuk dialah geng Bloods yang kini udah gaek itu berkumpul kembali di kota Ho Chi Minh. Mereka akan menyusur hutan, menjemput jasad Norman, sekaligus mengambil harta karun, like, literally emas batangan, yang tertimbun di tempat terakhir mereka berperang. Namun tentu saja perjalanan itu tidak bakal sedamai yang mereka duga. Sebab pencarian harta karun ini membuat mereka menapaki kembali tragedi dan kecamuk personal di masa lalu. Sekali lagi mereka harus berperang. Orang bilang emas mampu mengubah manusia menjadi yang terburuk. tapi itu bukan satu-satunya ‘musuh’ yang harus mereka kalahkan. For each of them punya kepentingan personal; kebutuhan yang harus disegerakan dalam usaha berdamai dengan masa lalu. Particularly menarik adalah dua orang tokoh; Otis yang served as protagonis sekaligus hero, dan Paul sebagai tokoh utama. Dan masalah kedua orang ini berkaitan dengan anak, yang bisa kita tarik garis keparalelan dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh film dalam isu penduduk kulit hitam yang selama ini diperlakukan seperti anak tiri oleh negara.

‘Emas hitam’ itu adalah darah persahabatan

 
Meskipun dimulai dengan berondongan montase video Muhammad Ali yang menolak enlist jadi soldier dan cuplikan-cuplikan foto sejarah perang Vietnam lengkap sama nama dan tanggal-tanggal penting (cuplikan ini bisa bikin tidak nyaman karena nampilkan mayat korban dan eksekusi real), dan aksi-aksi protes terhadapnya, Da 5 Bloods yang sarat akan komentar politik ini tidak terasa berat untuk dinikmati. Lee sukses mengaduk ketegangan isu ras, emosi, kemarahan di dalamnya, dengan momen-momen menyentuh dan komedi yang akrab, dan lalu menutupnya dengan aksi brutal ala film laga. Tidak akan susah bagi kita untuk mengikuti drama yang melatarbelakangi cerita film ini. Simpati itu juga tidak diminta kepada kita, film tidak mengemis belas kasihan kita kepada para tokoh kulit hitam dan ketidakadilan yang mereka terima. Instead, yang kita lihat di sini adalah karakter-karakter yang bercela karena dampak perang. Kadang kita takut kepada mereka. Kadang kita ingin mereka mendapat keadilan. But mainly, kita semua akan merasakan deep connection, apalagi ketika film mulai membahas hubungan karakter dengan anaknya.
Lewat tokoh Otis yang diperankan oleh Clarke Peters, film mengangkat topik anak yang berasal dari hubungan tentara dengan penduduk lokal selama perang. Sebelum berangkat ke hutan, Otis mengunjungi perempuan Vietnam yang dulu pernah berhubungan dengannya. Di rumah perempuan itu, unexpectedly Otis bertemu dengan anak gadis yang tidak-lain-tidak-bukan adalah buah hubungannya dengan si perempuan. Namun tidak satupun dari mereka yang berani menyebutkan hal tersebut kepada si anak. Bohong diciptakan untuk menutupi hal tersebut, dan Otis hanya bisa diam. Dia ingin ‘menyapa’ anak kandungnya ini so bad,  kita jadi peduli kepadanya, kita ingin mereka benar-benar ‘bertemu’. Dan ini dikontraskan sekali dengan hubungan antara Paul dengan anaknya, David, yang diam-diam menyusul ke Vietnam dan ikut serta dalam perjalanan mereka. David gak pernah diaku anak oleh Paul, sepanjang dua jam lebih film ini kita akan melihat perlakuan Paul kepada David – sekali waktu dia cemas ketika David nginjek ranjau, dan kali lainnya dia tidak lagi menganggap David anaknya hanya karena David menolak untuk ikut meninggalkan kelompok. Tapi film membiarkan kita tetap lekat kepada Paul supaya kita bisa mengerti akar dari permasalahannya dengan David.
Dan oh boy, betapa Paul adalah tokoh yang kompleks, dan dimainkan dengan luar biasa oleh Delroy Lindo!

 
 
This is my favorite acting performance so far this year. Lindo berhasil memaksimalkan intensitas dari karakter Paul yang benar-benar… haunting. Paul adalah yang paling terpengaruh oleh kematian Norman dibanding tiga rekannya yang lain. Dia yang paling terpukul oleh dampak perang. Bayangkan amarah, takut, sakit, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, lalu hidup. Itulah Paul. Paul ini kayak ngeliat Big Show di WWE, kadang dia baik, kadang jahat banget. Kadang kita mencemaskan dirinya saat PTSD-nya kumat. Kadang kita bisa merasakan kebencian tulen menguar dari dirinya. Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, Lee menuliskan Paul sebagai seorang supporter Trump. Menunjukkan rasa patriotnya yang tinggi, yang kontan menjadi tambahan konflik buatnya once he realized itu tidak membuat hidup menjadi lebih mudah baginya. Malahan makin susah, bukan hanya baginya tapi juga bagi keluarga – bagi anaknya. Transformasi karakter ini diperlakukan dengan sangat unik. Lindo akan banyak melakukan monolog, dan pada beberapa monolog Lee membuat Lindo secara close up bicara langsung kepada kamera. Sehingga efek yang dihasilkan menjadi luar biasa. Yang membuat monolog itu unik adalah yang ditampilkan bukanlah tokoh yang perlahan menjadi gila karena perbuatannya. Melainkan tokoh yang mengalami sebuah penyadaran dahsyat. Paul menjadi a better man, sekaligus dia sadar seberapa banyak dosa-dosanya.

Paul adalah ayah, yang harusnya mengayomi anak seperti negara mengayomi warganya. Tapi Paul membunuh ‘orang’nya sendiri. Seperti negara yang kerap membunuhi warganya sendiri, for no reason. Arc Paul beres begitu dia meminta maaf, yang membuatku berpikir jangan-jangan inilah seruan Lee kepada negaranya. Bahwa yang dibutuhkan adalah meminta maaf. Kemudian mengakui warga selayaknya anak, tanpa pandang bulu, tanpa pandang warna.

 
 
Menyadari betapa pentingnya bagi kita para penonton untuk tetap berpegang kepada para tokoh, untuk melihat mereka sebenar-benarnya diri mereka, Spike Lee enggak repot-repot mencari dua pemain untuk memerankan dua versi karakter. Dia juga tidak menggunakan efek untuk memudakan, yang beresiko membuat tokohnya tidak tampak alami dan melepaskan kita dari mereka. Da 5 Bloods dari waktu ke waktu akan membawa kita ke masa lalu, masa perang saat Paul, Otis, dan teman-teman sebagai tentara muda, dan dia menampilkan mereka benar-benar seperti mereka tidak pernah berubah lagi setelah perang mengubah mereka terlebih dahulu. Kontras karakter versi muda dan tua ini cuma di kekuatan fisik – in modern day kita melihat Otis harus berjalan dengan bantuan tongkat karena pinggangnya udah gak kuat, sedangkan di masa lalu ia kuat berlarian. Lee menghandle dua masa itu dengan sangat mulus. Dia juga menggunakan perbedaan ratio pada layar. Adegan perang di masa lalu punya ratio yang lebih kecil sehingga menimbulkan kesan seperti melihat rekaman masa lalu.
Perpindahan masa ini tidak pernah terasa mengganjal karena Lee tidak melakukannya dengan berlebihan. Melainkan dia melakukannya dengan timing yang precise, dia tahu kapan untuk ngeflashback sehingga terasa impactful. Ada satu flashback yang terus diulur, adegan sebenarnya antara Paul dan Norman di medan perang, kita punya dugaan tentang adegan ini, kita ingin konfirmasi, tapi film tidak melakukannya sehingga kita terus terbuild up, dan dying for the flashback. Aku biasanya gak demen sama flashback, tapi di film ini aku jadi merasa butuh. Dan BAMM! ketika beneran tiba, efek adegannya menjadi berkali lipat. Buatku ini adalah cara yang pintar dalam menggunakan flashback; tidak berlebihan melainkan yakinkan dulu penonton sudah terinvest dan buat mereka merasa butuh untuk melihat flashback.
Sisipan dalam film ini bukan hanya flashback, melainkan juga footage-footage adegan nyata, yang seperti sudah kusinggung di atas; dapat menjadi disturbing untuk kita lihat. Korban-korban perang, mayat wanita, balita… Ini ditampilkan oleh film bukan untuk ajang biar edgy atau menarik penonton haus darah. Ini harus ada sebagai penekanan atas narasi yang dibentuk oleh film. Mayat-mayat itulah yang dipikirkan para tentara, itulah oleh-oleh yang dibawa pulang kalo kita berperang. Film menekankan bahwa mereka melakukan itu semua untuk apa. Secara konsep juga film menunjukkan mereka tidak segan-segan untuk menampilkan aksi kekerasan. Ada banyak adegan tembak-tembakan disebar – penggemar film perang akan enjoy main tebak-tebakan reference saat nonton ini – dan di babak akhir ada konfrontasi gede sebagai final-fight yang buatku sedikit terlalu ngegenre, tapi diperlukan oleh salah satu karakter sebagai full-circle arcnya.
 
 
 
 
Dalam durasi dua setengah jam, Spike Lee membawa kita mengarungi perjalanan emosi. Membuat kita berpikir tentang keadilan dalam sudut yang baru. Mengenai makna sebenarnya dari sebuah patriotisme. Ada banyak yang bisa kita pikirkan dari karakter-karakter di sini. Yang membuat ini menjadi tontonan bergizi yang mengasyikkan adalah ia tidak berhenti hanya sebagai komentar soal politik. Film ini menyentuh dunia nyata keras-keras, menjitaknya kalo boleh dibilang, tapi tidak lupa untuk menjadi menghibur. Tanpa mengurangi bobot pesannya. Ini kemampuan yang gak semua sutradara mampu, dan kupikir dunia sangat berterima kasih atas kehadiran film ini.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DA 5 BLOODS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Para tentara itu bertanya kepada diri mereka sendiri kenapa mereka mau berperang untuk negara yang tetap saja memperlakukan mereka seperti warga kelas-dua saat kembali nanti. Bagaimana menurut kalian, apakah itu adalah bentuk pengabdian kepada negara?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ARTEMIS FOWL Review

“Trust is that rare and priceless treasure…”
 

 
 
Menyebut cerita fantasimu seperti gabungan Harry Potter dengan Spy Kids seharusnya merupakan pujian. I mean, otomatis kita akan berasumsi itu adalah pujian karena bayangkan saja sebuah dunia dongeng hunian makhluk-makhluk sihir yang mentereng oleh teknologi-teknologi canggih! Tapi entah bagaimana, sutradara Kenneth Branagh mengacaukan imajinasi tersebut. Film Artemis Fowl yang ia adaptasi dari salah satu novel fantasi populer ini seperti penggabungan yang terburuk, karena arahannya justru membuat dunia khayal tersebut jadi tak-berbobot, tak-berhati, dan tak-berjiwa.
Ceritanya malah begitu amburadul, sehingga menuliskannya ke dalam sinopsis akan membuat paragraf ini seperti racauan gelandangan bermulut bau alkohol murahan yang sering kita temukan nongkrong di sudut kota. Tersebutlah Artemis Fowl, anak dua-belas tahun putra seorang jutawan barang antik. Tapi ada sesuatu yang mencurigakan dari ayahnya yang hobi nyeritain dongeng. Suatu hari ayah Fowl diculik dari ‘perjalanan dinas’ dan disekap oleh seorang misterius yang meminta tebusan berupa Aculos. Artifak berkekuatan super milik bangsa peri. Yea, ternyata di bawah tanah, merahasiakan diri dari manusia hiduplah bangsa peri, kurcaci, troll, dan-kawan-kawan, dengan teknologi yang jauh lebih maju daripada manusia. Artemis Fowl harus memaksa dirinya mempercayai dongeng yang ia dengar sejak kecil, dan berusaha menangkap satu peri, supaya dia bisa mendapatkan Aculos untuk nego membebaskan ayahnya dari penculik misterius. Masalahnya adalah, bahkan bangsa peri sendiri tidak tahu di mana Aculos yang sudah lama hilang dari dunia mereka, dibawa ke dunia manusia. Jadi keseluruhan film pertama dari apa yang diniatkan sebagai seri film Artemis Fowl ini akan membahas perebutan ‘The Lost Aculos’ di atas fungsinya sebagai origin atau perkenalan sebuah dunia magis yang baru.

Dan ‘aku-lost’ oleh hiruk pikuk cerita film ini

 
 
Film ini udah sekitar dua-puluh tahunan mengembara di dapur produksi. Begitu novelnya rampung, sudah banyak yang ngebet pengen memfilmkan ini sebelum dibeli oleh Disney. Gak tau deh berapa banyak draft untuk film ini sejak saat itu. Namun yang jelas, poster ‘coming soon’nya mulai mejeng dari tahun lalu di bioskop. Dan akhirnya Disney merilis ini di tengah pandemi. Di saat film-film unggulan Disney yang lain ditunda hingga bioskop buka, Artemis Fowl muncul begitu saja di layanan streaming official Disney+, sehingga lantas saja menimbulkan pertanyaan kenapa sekarang menjadi waktu yang tepat? Mereka udah nunggu bertahun-tahun, apalah arti menunggu sedikit lagi supaya tayang di bioskop? Melihat keseluruhan film ini, kita boleh lancang menjawab karena Disney sendiri tau hasilnya jelek, sehingga menunggu lebih lama akan makin memperbesar ekspektasi orang-orang, maka to lessen the inevitable damage dirilislah sekarang. Akan tetapi, kalo boleh bersikap positif sedikit, mungkin film ini ditayangkan hari-hari ini karena ceritanya mengandung sedikit pesan yang relevan dengan keadaan.

Bangsa peri dan manusia terpisah karena masing-masing takut dengan yang lain. Ada rasa tidak percaya yang tumbuh. Aculos yang berakhir menjadi pemersatu dua bangsa ini adalah simbol dari trust. Ia adalah harta tak-ternilai, yang punya kekuatan super, yang berhasil menyelamatkan semua berkat dua makhluk; manusia dan peri, yang sepakat untuk saling percaya menjaga dan menyimpannya jauh dari tangan-tangan jahat.

 
Dalam ngereview film, biasanya aku selalu menggunakan formula ‘utarakan nilai plus filmnya dulu, ceritakan yang baik-baik di atas, lalu kemudian ditutup dengan kekurangan dan nilai minus film’. Namun untuk Artemis Fowl ini aku benar-benar kesusahan mencari nilai positif untuk disampaikan kepada pembaca. Karena sama seperti suasana wow dan magis, pencapaian bagus film ini juga sama sekali gak ada. Pesan yang kutulis di atas tadi besar kemungkinan adalah long-reach, yang justru terasa karena menontonnya di tengah masa-masa berita #BlackLivesMatter santer alih-alih karena filmnya memang menyematkan pesan untuk keadaan itu. Karena faktanya, film ini tidak pernah melakukan banyak hal terhadap tokoh-tokohnya yang beragam rupa tersebut.
Aku ingin bisa bilang bahwa petualangan dan pencarian Aculosnya seru, mengasyikkan, ataupun menegangkan, tapi gak bisa. Sebab film ini tidak punya adegan petualangan itu sendiri. Lucu gak sih. Ini benar-benar cocok sebagai film yang ditayangkan di masa pandemi karena Artemis Fowl ini adalah FILM PETUALANGAN YANG TOKOH UTAMANYA DI RUMAH AJA! Artemis gak ke mana-mana. Dunia peri bawah tanah itu, dia tidak ke sana. Tidak ada momen dia tercengang oleh dunia atau makhluk-makhluk yang sama sekali belum pernah ia lihat, not to mention mereka adalah eksistensi yang selama ini tidak ia percayai ada di muka bumi. Kita, penonton doang, yang tau-tau dipindah dari rumah gede Artemis ke bawah tanah melihat bangsa peri. Kita melihat teknologi mereka, di bawa masuk ke antara barisan pasukan peri yang bersenjata unik. Namun kita tidak diberikan waktu untuk meresapi semua itu. Hal-hal berlalu begitu cepat, lenyap dalam lontaran-lontaran eksposisi. Lupakan soal eksplorasi, kita bahkan enggak pernah benar-benar diperkenalkan kepada tokoh-tokoh yang muncul satu persatu. Film cuma menampakkan mereka di layar, sementara informasi tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, semuanya disebutkan. Kita enggak belajar apapun. Fantasi dan wonder itu sama sekali enggak nyangkut, sehingga film ini tumpul secara emosional.
Padahal setidaknya ada beberapa karakter yang menarik. Komandan peri yang udah beratus tahun membenci manusia kemudian menyadari hal penting. Dwarf yang gak diterima oleh bangsanya sendiri karena punya fisik yang berbeda. Pejuang peri yang diremehkan karena ayahnya melakukan sesuatu di masa lalu sehingga dicap pengkhianat. Film tidak pernah sepenuhnya stop untuk mereka. For the sake of Artemis yang benar-benar membosankan. Tokoh utama kita ini enggak punya sesuatu yang spesial. Sikapnya standar anak orang kaya yang bisa jadi annoying atau sedikit brengsek kepada orang lain. Dia diperlihatkan suka surfing, tapi apa hubungannya itu dengan ini semua. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai ‘criminal-mastermind’, tapi sama seperti banyak hal pada film, semua itu hanya diucapkan tanpa pernah diperlihatkan buktinya. Visual storytelling film ini sungguh gak-jalan. Sutradara sendiri sepertinya bingung untuk menggali karakter ini, bagaimana membuat sebuah anak-kriminal sebagai tokoh film anak-anak, jadi dia memberikan petunjuk kepada Ferdia Shaw – aktor cilik yang memerankan Artemis – untuk diam berekspresi kaku saja setiap kali berbicara. Aku berharap dia terus-terusan memakai kacamata hitam, soalnya paling tidak matanya tak lagi terlihat mengawang menghapal dan nunggu dialog berikutnya.
Untuk sebuah dunia fantasi yang supposedly luas, film memaksa kita untuk mendengarkan saja narasi. Menonton ini seperti terikat kepada paparan yang dicuapkan oleh seorang karakter – dan ini adalah konsep yang benar-benar aneh untuk bercerita tentang sebuah petualangan fantasi. Begini, cerita yang kita ikuti di sini basically adalah flashback yang dikisahkan oleh seorang dwarf raksasa (bayangkan Hagrid, tapi less-simpatik). Di raksasa sedang diinterogasi karena punya hubungan dengan keluarga Fowl dan dia disuruh menjelaskan semua kejadian. Yang ia ceritakan itulah yang kita tonton, dengan konteks yang meragukan karena di menjelang akhir ia menjelaskan bahwa penangkapan dirinya sudah direncanakan, dan dia memang diberikan tugas untuk membeberkan informasi sehingga kita gak bisa yakin semua yang kita tonton beneran terjadi atau cuma karangan berbumbu dari si dwarf. Mungkin inilah pembelaan film; penceritaan mereka begitu simpang siur, kita tidak pernah benar-benar kenal dengan si Artemis yang jadi tokoh utama, kita malah melihat lebih banyak dan lebih tertarik sama bangsa peri, karena si dwarf-lah yang mendongeng dan ia adalah pendongeng yang buruk.

More like, ‘Artemis Foul’

 
 
Dari situ aja, film ini udah sedikit cacat pada logika. Salah satu alasan bangsa peri mencari Aculos adalah supaya rahasia keberadaan mereka tidak terbongkar. Tapi kemudian, setelah Aculos berhasil terselamatkan dan Artemis dan bangsa peri menjadi ally, si dwarf tadi disuruh untuk membeberkan cerita pertempuran mereka kepada manusia? Membuka rahasia bangsa peri dan kemudian pergi dari sana dengan cara yang tidak bersahabat? Aku tidak mengerti endgame si bocah kriminal itu sama sekali. Dan bicara soal aksi, mau bilang porsi action film ini keren, aku juga gak bisa, karena adegan pertempuran gede-gedean di rumah Fowl itu sungguh sukar untuk diikuti dengan mata telanjang kita yang gak dibekali teknologi peri. Semua hanya berlangsung se’duar-duar’nya pembuat film aja, segimana yang kira-kira bikin penonton bengong dan berhenti sejenak mengumpat film ini. Begitu banyak yang beterbangan ditangkap oleh kamera, mulai dari tokoh-tokoh yang tidak kita pedulikan hingga hal-hal kecil yang tidak terjelaskan. Misalnya, kenapa Artemis dan pengawalnya tidak terpengaruh time freeeze, ataupun kenapa kemudian time freeze itu mendadak rusak, dan udah tau rusak mereka semua masih diem di sana aja. Dan ketika ada satu tokoh yang terluka, dan mau-tak-mau kita mulai peduli padanya, film membantah itu semua dengan elemen penyelamat; bangsa peri bisa menyembuhkan segalanya. Dan hey, kalopun ada apa-apa, Aculos bisa memperbaiki apapun karena sangat kuat!
 
 
 
 
Hal paling parah dari film ini adalah dia tidak tau mau menjadi apa. Katanya ini adalah film pertama yang seharusnya membahas origin, tapi banyak hal esensial yang terskip dan hanya disebutkan oleh eskposisi, dan film langsung merapel ke konflik pada buku berikutnya. Katanya ini adalah film petualangan, tapi tokoh utamanya sama sekali tidak ke mana-mana untuk mencari benda yang harus dicari. Dan ultimately, film ingin kita menyukai tokoh utama – mereka mengubah cukup drastis karakter tokoh ini dibandingkan dengan novel – tapi si tokoh sama sekali tidak menarik dan gak ngapa-ngapain, kita juga lebih banyak mengikuti tokoh yang lain. Ini bahkan tidak terlihat seperti film dengan narasi dan karakter-karakter yang hidup, melainkan hanyalah rangkaian adegan-adegan gak spesial. My final words, ini adalah kekacauan storytelling yang mentereng.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ARTEMIS FOWL.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sekarang kebanyakan justru polisi atau yang bersenjata semakin tidak percaya dan semakin takut kepada orang biasa?
Who can we trust now?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.