TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review


 
Akhir tahun selalu adalah waktu yang tepat untuk kita berkontemplasi, merefleksikan diri, merenungkan apa saja yang sudah dikerjakan dalam kurun tiga-ratusan hari. Apa kita sudah mengubah hidup menjadi lebih baik atau malah sebaliknya. WWE punya versi tersendiri untuk merayakan masa-masa tutup tahun; dengan tiga benda sakral. Meja. Tangga. Kursi. Tahun ini acara TLC dibuka dengan sambutan dari Bray Wyatt yang tersenyum kepada kita sembari menghias tangga dengan dekorasi seolah itu adalah pohon natal. Bray Wyatt, satu dari sedikit sekali superstar WWE yang beneran mengalami perubahan menarik bukan hanya tahun ini melainkan juga dalam sepuluh tahun terakhir. I mean, look at this

the winner of 10 Years Challenge, everybody!

 
Bray Wyatt merepresentasikan constant change positif yang harusnya dilakukan oleh WWE. Dalam narasinya pada pembuka TLC ini, Wyatt bukan saja bicara tentang kontemplasi (siapa yang udah berbuat nakal dan yang berbuat baik tahun ini), dia juga menegaskan tentang siklus hurt dan heal yang menjadi vokal utama dari karakternya. Duality yang berpusat pada perubahan.  Salah satu hal unik dari karakter Bray Wyatt yang dibuat seperti punya dua kepribadian ini adalah setiap superstar yang berhadapan dengannya mengalami perubahan drastis karena intensnya Wyatt mempengaruhi mereka. Seth Rollins, misalnya, dari yang tadinya pahlawan bagi menonton, go on a downward spiral secara emosi dan berubah menjadi dirinya yang licik jahat seperti dirinya saat mengkhianati The Shield beberapa tahun yang lalu. WWE menggunakan ‘kekuatan spesial’ Wyatt ini sebagai device menghighlight perjalanan superstar-superstar yang menjadi penanda perubahan jaman pada WWE.

Seperti kehidupan kita, ada naik turun. Seperti bisnis WWE, ada kesuksesan, ada kemunculan pesaing baru, ada inovasi, ada juga kemunduran. Dengan menonton TLC 2019, kita bisa menjudge benarkah ada perubahan yang sudah dilakukan WWE yang menunjukkan perkembangan positif dalam skena dunia gulat-hiburan.

 
Malam TLC ini, kita menyaksikan Daniel Bryan kembali menjadi sosok yang kita kenal pada tahun 2010. Tidak ada jenggot berantakan. Tidak ada rambut dan look yang terkesan liar. Tidak ada kapten planet yang sok suci ala SJW. Bryan muncul di akhir pertandingan antara Wyatt melawan Miz, berusaha menuntaskan masalahnya dengan Wyatt yang tampak begitu fenomenal. Ini adalah pertama kalinya Wyatt muncul bertanding dengan persona host acara anak-anak ala Barney atau Kak Seto. Dan his deal kali ini adalah mencoba mengubah The Miz, memancing demon di dalam diri bapak dua anak tersebut. WWE benar-benar melakukan kerja yang sangat baik dalam mengeksplorasi storyline ini. Practically ini adalah horor keluarga – genre yang paling banyak digemari dan melahirkan banyak cerita hebat pada perfilman. Makanya, pertandingan mereka ini terasa kurang-gulat dan lebih kepada drama horor. Aksi dan alur pertandingannya bukan apa-apa dibandingkan dengan kejadian-kejadian yang terungkap. Wyatt yang seperti enggan bertarung, namun kadang ‘setan’nya muncul dan dia menyerang dengan sinis – bahkan tertawa-tawa ketika sedang dihajar. Miz yang emosi, fokus kepada offense karena baginya ini adalah taruhan keselamatan keluarga. Dan kemudian yang kusebut tadi, kemunculan Daniel Bryan versi 2010. Sebenarnya ada satu kejutan lagi, yang ngepush kedalaman karakter Wyatt lebih jauh, tapi menurutku akan mengurangi keseruan jika disebut di sini.
The lack of good wrestling pada Wyatt lawan Miz, ‘disembuhkan’ oleh pertarungan sengit dan sangat fisikal antara Aleister Black melawan Buddy Murphy. Drama di balik seteru mereka tidak begitu ‘wah’ tapi kedua pegulat muda ini berhasil menyuguhkan bukan sekadar aksi yang bikin menggertakkan gigi, melainkan juga psikologi in-ring yang meyakinkan. Mereka saling berusaha mengungguli – komentator bilang mereka berdua sama-sama belum pernah kalah di Raw. Their fight is literally like a fight. Serangan-serangan stiff (serangan yang terlihat ‘kasar’ alias kayak tendangan pukulan beneran dilancarkan silih berganti, terlebih setelah hidung Black patah. Dan itu baru lima menitan into the match, bayangkan serunya pertandingan mereka yang nyaris lima-belas menit ini. Black dan Murphy seolah tidak peduli partai mereka sebenarnya cuma partai untuk kepentingan promosi game kartu WWE (SuperCard) untuk hape.
Sayangnya, hanya dua partai di atas saja yang pantas untuk kita saksikan dalam TLC. Malahan, aku heran pada keputusan WWE menutup tahun 2019 mereka yang penuh dengan breakthrough (a lot of “for the first time-ever!”) dengan acara yang seperti diisi ala kadarnya. Tidak ada championship gede yang dipertaruhkan. Stipulasi yang dipake tampak seperti ngasal dan ketuker-tuker. Dan ada dua partai yang sebenarnya cuma iklan produk. Black-Murphy turned out to be a blast. Namun Kejuaraan Tag Team Raw yang basically adalah promosi KFC berjalan dengan ‘meh’. Agak kurang ajar sebenarnya mereka membuat The Viking Raiders juara tag team yang sangar, yang memulai debut di NXT dengan strong, yang dinaikkelaskan ke main show sebagai bagian yang kita asumsikan sebagai rencana meng-edgy-kan kembali WWE, harus menutup tahun dengan pertandingan tanpa build up yang berlangsung tak ada spesial-spesialnya.

Apa yang lebih parah dari match boring? Match boring yang dikomentari oleh Michael Cole

 
Ladder match antara The Revival melawan New Day untuk kejuaraan Tag Team Smackdown sebenarnya cukup seru. Tapi aku merasa stipulasinya ini salah tempat. Gagasannya adalah soal Revival yang bergaya old school harus berkreasi dalam lingkungan tangga, mereka yang tembak-langsung mungkin kudu beratraksi untuk bisa menang – mereka ditantang untuk melakukan gaya tarung yang mereka benci. Nyatanya, Revival tetap tidak melakukan apa-apa yang baru yang di luar kebiasaan mereka. Pertandingan Tangga tersebut standar-standar aja, gagasan mereka harus ngeflip itu tak tergunakan dengan baik. Big E malah kelihatan canggung dan menghabiskan waktu terlalu lama untuk menyusun tangga. Gaya keras partai ini sepertinya bisa ditunjang lebih baik dalam Chairs Match biasa. Match lain juga kayak gak cocok seperti begini. Roman Reigns melawan Baron Corbin enggak punya urgensi untuk menjadi sebuah TLC match. Dua tahun lalu ketika aku bilang pengen lihat Corbin dan Reigns berantem, yang kubayangkan adalah tarung brutal ala Bloody Roar – Lone Wolf vs. Big Dog. tapi kenyataannya yang kudapat di sini adalah, jangankan tangga, kursi dan meja aja jarang disentuh oleh mereka berdua. What’s the point of having a TLC match then? Jika memang mau ngepush Corbin yang dibantu separuh isi locker room, harusnya bikin apa kek, table match aja. Bikin jadi round-table sekalian, biar kesan kerajaannya makin kuat dan Corbin punya pengawal-pengawal.
WWE punya Marriage Story versi sendiri. Dan seharusnya ini yang ditandingkan sebagai TLC Match. Gantung surat cerai atau surat harta gono gini atau apalah sebagai yang diperebutkan oleh Rusev dan Lashley-Lana. Kedua superstar ini bermain keras, namun dalam lingkungan meja yang peraturannya sekali patah langsung beres, gelut mereka yang personal (betapapun receh drama dan aktingnya) tidak terakomodasi dengan memuaskan. Meskipun aku memang ragu bakal ada yang merasa puas dengan storyline ini.
Jadi, yeah, TLC kali ini punya jadwal pertandingan yang paling tidak menarik sepanjang tahun. Dari segi cerita, humor, aksi, WWE terasa jalan di tempat jika dibandingkan dengan WWE sembilan tahun yang lalu. Malah terasa mundur jika pembandingnya adalah tiga ppv sebelum ini, yang lumayan menunjukkan progres. Wacana terbaik yang dimiliki WWE pun – soal woman revolution – tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan walaupun acara ini ditutup oleh inovasi kewanitaan teranyar dari WWE – first ever women’s tag team TLC. Mainly karena akhir match ini lenyap dinegasi begitu saja oleh brawl dari superstar-superstar cowok. Now, let’s talk about that match. Charlotte, Becky Lynch, Asuka, Kairi Sane – semuanya jor-joran berusaha keras menghasilkan main event yang heboh. Sedikit terlalu keras, malah. Sebagian besar match dihabiskan oleh mereka bergulat dengan memikirkan spot dahsyat, sehingga tak terasa lagi keinginan untuk mengambil belt yang tergantung di atas. Minim sekali aksi mereka rebutan naik tangga. Bicara soal aksi, kita bisa melihat jelas Sane mengalami masalah. Dari yang tadinya fun, superstar asal Jepang ini terlihat melambat – seperti kesulitan berdiri. Later, aku baru tau dari berita bahwa dia memang mengalami concussion di tengah pertandingan. Sesuatu kejadian yang tergolong normal dalam WWE. Yang tidak normalnya adalah seperti ada miskomunikasi antara pelaku-pelaku dan wasit yang bertugas menjaga pertandingan terkait safety superstar. Semuanya seperti terlambat sadar bahwa Sane got hurt. Asuka dan Becky berusaha melindungi Sane begitu masing-masung sadar ada yang salah. Tapi Charlotte, maaan, entah karena ego atau apa, dia tetap menyerang Sane habis-habisan, malah ia tampak marah kepada Sane yang enggak ‘menjual’ Spear dengan benar. Charlotte lanjut memPowerbomb Sane ke meja, meski Sane terang-terangan menolak dan berusaha memberi tanda. Aku berharap Sane tidak mengalami masalah serius, dan Charlotte mau mengakui dan lebih berhati-hati di lain kesempatan.
 
 
 
Perubahan memang gak bisa dalam satu malam. WWE punya satu tahun ke depan untuk memfullcirclekan perkembangan satu dekade mereka. Karena yang kita lihat dalam TLC yang menjadi penutup tahun ini adalah sebuah kemunduran. Dengan adanya pesaing dari AEW, WWE bisa dalam masalah besar jika tidak berkembang dari acara kurang menghibur seperti sekarang ini. The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada tarung seru antara Aleister Black melawan Buddy Murphy sebagai bibit unggul yang punya potensi yang harus segera dimaksimalkan oleh WWE
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP LADDER New Day bertahan dari The Revival
2. SINGLE Aleister Black mengalahkan Buddy Murphy
3. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP double countout antara Viking Raiders dan penantang kejutan The O.C.
4. TLC King Baron Corbin mengeroyok Roman Reigns
5. SINGLE Universal Champion Bray Wyatt menang atas The Miz 
6. TABLES Bobby Lashley dibantu Lana ngalahin Rusev 
7. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP TLC Kabuki Warriors dengan susah payah mempertahankan sabuk dari Charlotte Flair dan Raw Women’s Champion Becky Lynch 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

JERITAN MALAM Review

“Words have no power to impress the mind without the exquisite horror of their reality”

Diadaptasi dari thread karangan user meta.morfosis di Kaskus, cerita Jeritan Malam yang digarap oleh Rocky Soraya dapat terasa ‘berlebihan’ dan tidak masuk akal karena berurusan dengan usaha membuat kita percaya bahwa dunia gaib itu ada. Namun begitu, melihat tokohnya yang keras kepala ditarik – bahkan dijebak – ke dunia tersebut cukup untuk membuat horor ini terasa menyenangkan dan jadi ‘sesajen’ menghibur yang menyebabkan kita betah menyaksikannya.
Herjunot Ali dalam cerita ini adalah Reza. Sarjana S1 yang percaya sama ilmu pengetahuan dan logika. Segala tahayul, jimat-jimat, kekuatan gaib, perdukunan adalah omong kosong baginya. Reza bahkan enggan mempelajari budaya klenik yang ditawarkan oleh ayahnya. Setengah hati Reza mengiyakan tatkala disuruh membawa pusaka kecil dari sang ayah sebagai perlindungan di tempatnya bekerja. Reza dikirim ke daerah Jawa Timur, kantor menyediakan mess sebagai tempat tinggal Reza di sana. Ketidakpercayaan Reza terhadap supranatural tertantang di tempat tersebut. Mess/rumah yang ia tinggali bersama dua karyawan lain ternyata juga dihuni oleh makhluk halus yang suka menampakkan diri dengan menyamar menjadi penghuni rumah. Malam di sana semakin mengerikan oleh jeritan wanita yang seringkali terdengar. Gangguan di sana memang semakin meningkat intensitasnya semenjak Reza datang. Rekan-rekannya percaya pusaka yang dibawa Reza adalah penyebabnya. Namun Reza tetap bergeming, ia mengacuhkan semua. Reza bersikeras menyangkal dan masih berusaha merasionalisasi keadaan. Demi bertahan pada pekerjaannya sebab ia butuh untuk mengumpulkan biaya pernikahan.

“suara burung”? Am I a joke to you!

Film bercerita dengan narasi voice-over dari Reza. Sehingga kita bisa mengetahui langsung apa yang dipikirkan oleh tokoh utama ini. Yang seperti menceritakan kepada kita kisah masa lalu yang begitu ia sesali – hampir seperti suara renungan yang kemudian menjadi peringatan kepada kita. Ada nuansa misteri yang berusaha dibangkitkan. Ada hook yang berusaha dibangun dari narasi Reza – tokoh ini kerap menyuruh kita untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dengannya. Namun apa tepatnya kesalahan itu – apakah karena dia tidak percaya, apakah karena dia membawa pusaka, apakah karena dia terlalu sompral, atau apakah karena dia membawa kekasihnya jajan bakso ceker – inilah misteri yang perlahan-lahan dibuka oleh cerita.
Bahasa Indonesia baku yang dibawakan oleh Herjunot dengan nada puitis (mengingatkan kita kembali pada perannya sebagai Zainuddin di Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck) terasa sebagai perubahan yang cukup signifikan dari bahasa Kaskus (yang menggunakan slang ane-agan) yang dipakai pada cerita aslinya. Pada beberapa kesempatan, memang terdengar awkward, seperti cerita terasa lebih tua daripada periode waktu kejadian yang sebenarnya. Juga ada dialog dengan tokoh Wulan, kekasihnya yang diperankan Cinta Laura, yang tampak lumayan kaku oleh bahasa. Namun untuk sebagian besar porsi, penggunaan bahasa ini memenuhi suatu fungsi. Penggunaan bahasa puitis memperkuat tone misteri sekaligus tone psikologis dari tokoh Reza. Ia bukan sekadar menceritakan pengalaman mengerikan untuk menakuti kita. Menyaksikan cerita dengan narasi spesifik dari Reza lebih kepada seperti mendengarkan seseorang yang penuh penyesalan, tetapi tidak berkubang di dalam penyesalan tersebut. Penggunaan narasi ini memperkuat keseluruhan arc Reza.
Satu yang paling aku suka dari Jeritan Malam ini adalah masih dibukanya pintu ambiguitas lewat penggunaan narasi. Reza menyerahkan sepenuhnya kepada kita untuk mempercayai atau tidak. Melihat ke belakang kepada konteks dan gagasan cerita, pernyataan Reza tersebut bukan lagi sebatas tentang hantu yang ia alami, melainkan juga tentang ceritanya itu sendiri. Keseluruhan kejadian kita saksikan lewat sudut pandang Reza; kita mendengarkan yang ia kisahkan, kita melihat apa yang ia tuturkan. Namun di akhir kita mengerti bahwa Reza adalah orang yang mendapat banyak, sekaligus kehilangan banyak. Cerita yang kita saksikan bisa jadi adalah proses rasionalisasi – proses yang selalu ia lakukan sepanjang kisah setiap kali dia bertemu dengan hal yang tak ia mengerti – terhadap kehilangan yang ia rasakan.

Bukan hanya hantu wanita itu yang menjerit penuh rasa takut, sedih, putus asa. Jeritan Malam actually adalah jeritan hati seorang Reza. Jeritan yang kita semua teriakkan ketika menerima sesuatu sebagai kenyataan. Meneriakkan suatu hal secara langsung tidak berarti membuat hal tersebut menjadi benar, tapi meneriakkan di dalam hati dapat membawa ketentraman. Seperti afirmasi atau menguatkan diri. Perhatikan tidak ada lagi dialog langsung Reza di akhir; film hanya menggunakan narasi. Reza bukan hanya bercerita kepada kita, ia bisa jadi juga bercerita kepada dirinya sendiri. Yang membuat dia bisa meneruskan hidup dengan jawaban atas kehilangan yang ia terima sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan. Tapi seperti kata Edgar Allan Poe; Reza harus percaya dulu bahwa dunia adalah tempat yang mengerikan – penuh setan di mana-mana 

Meskipun punya kedalaman dalam elemen narasinya, lapisan terluar juga sama pentingnya, karena hal itulah yang pertama kali kita lihat dan rasakan. Paruh pertama film mungkin bisa jatoh menjengkelkan. Terutama karena durasi film yang nyaris mencapai dua jam. Lantaran Reza begitu bebal sehingga beberapa peristiwa menjadi repetitif. Reza melihat hantu atau hal mustahil, dan reaksinya selalu sama; Ketakutan dan kemudian tidak percaya. Ini sebenarnya adalah poin penting pada arc Reza, yang menunjukkan karakternya di awal-awal. Reza merupakan seorang skeptis yang defense-mechanism dirinya saat melihat hal-hal aneh adalah mencari jawaban logis – dan jika tidak bisa, maka ia akan mengecilkan peristiwa tersebut; menganggapnya tidak penting. Ini adalah reaksi normal seseorang yang mengenyam pendidikan dan tinggal di kota besar. Kebanyakan orang akan merasa takut pada hal yang tak mampu ia mengerti, dan pada saat ketakutan orang akan kehilangan kendali. Untuk mengembalikan perasaan memegang kendali inilah, orang-orang punya tindakan yang berbeda. Bagi Reza, tindakan itu adalah merendahkan yang tidak ia mengerti. Ia menganggap ‘orang pinter’ yang dipanggil mengusir hantu ke rumah sebagai tukang tipu yang mencoba menipu mereka dengan ilmu hipnotis. Ia mencela teman-temannya yang pecaya kepada si ‘orang pinter’.
Penonton seolah didorong supaya lebih condong ke arah teman-teman Reza, seolah merekalah voice of reasons – merekalah yang benar. Inilah poin ganjil yang digali oleh film. Cerita benar-benar menganggap hal supranatural itu adalah hal serius. Malah hampir seperti peringatan kepada kita semua bahwa hantu itu ada, setan-setan akan terus mengelabuimu. Film seperti berusaha keras untuk membuat kita juga melihat dunia gaib sebagai kebenaran. Ini gak exactly kayak cerita Mary Poppins, atau cerita Harry Potter, atau cerita fantasi yang menyuruh tokohnya – dan penonton – untuk belajar percaya pada keajaiban. Lebih mudah bagi Doctor Strange untuk percaya ilmu kedokterannya tidak mampu berbuat banyak mengobati dunia superhero. Ada ‘kekonyolan’ tersendiri yang membedakan percaya sama hantu dengan percaya sama ada Narnia di dalam lemarimu. Makanya, film Jeritan Malam ini terasa tidak begitu merangkul dengan logika bagi sebagian orang, terutama yang memang skeptis juga seperti Reza. Karena kita semacam menunggu ada penjelasan lain, tapi tidak ada.

film yang diadaptasi dari cerita populer bakal laku – siapa yang percaya sama tahayul ini?

Petualangan Reza mencari kebenaran yang bisa diterima akal sehatnya membawa cerita ke paruh kedua, yang terasa lebih menyenangkan. Reza terjerat dalam semacam perjanjian tanpa ia sadari. Yang menyebabkan dia dapat melihat semua yang tadinya ia ragukan dan ia hina. Konsekuensi yang timbul dari perubahan Reza ini punya nada subtil yang mengerikan. Dia hidup dengan menyadari semua berkah yang ia rasakan sebenarnya adalah kutukan; ada harga tinggi yang mau-tak-mau harus ia bayar. Bayangkan kamu hidup bahagia tapi mengetahui ada orang yang menderita demi kebahagiaan kamu. Akhir yang mengerikan, karena di titik itu kita juga sudah bisa melihat bahwa sekonyol-konyolnya tahayul dan hantu, toh memang ada harga yang harus dibayar dalam setiap pencapaian – dan kadang harga itu begitu besar sehingga seolah kau bersalaman dengan setan.
Untuk sampai ke sana, film benar-benar bersuka ria dalam menampilkan horornya. Jika sebelumnya film ini mengandalkan permainan suara; musik yang menghilang dari adegan saat melihat keluar jendela ke pepohonan, dan kemudian cukup menggelegar mengungkap apa yang berada di balik pohon-pohon itu, maka di paruh kedua film bermain-main dengan kemunculan dan wujud hantunya. Film ini menggunakan kombinasi efek make up dan efek komputer. Untuk soal efek, film ini masih baru setengah maksimal; beberapa penampakan terlihat jelas ‘palsunya’, penggunaan darah yang mestinya bisa menggunakan darah asli, namun ada juga beberapa yang terlihat keren seperti hantu muncul dari sumur dan hantu boneka pajangan Jawa. Tidak ada hantu ‘boss’ yang jadi musuh utama yang harus dikalahkan, tapi setiap hantu yang muncul punya cerita khusus tersendiri. Interaksi Reza dengan para hantu – sebagian besar dari mereka ia kenal – jadinya menarik dan cukup memancing emosi.




Dengan set klaustofobik yang bervariasi – mulai dari rumah hingga hutan menyesatkan – film ini punya bangunan misteri yang kuat. Sedikit romansa juga ditambahkan sebagai pemerkuat taruhan bagi Reza. Walaupun ceritanya agak aneh karena berusaha membuat kita percaya sama dunia gaib, horor yang disajikan berhasil tampil menghibur. Ada kejutan yang cukup emosional di akhir. Punya nada seram di balik gagasannya. Tak ketinggalan, komedi yang dicampur secukupnya. Persis seperti judulnya, penceritaan film ini benar-benar mencapai rentang tone yang luas. Kita mungkin akan mengerang ketika terus disodori hal-hal tak-masuk akal sebagai kebenaran – film seharusnya bisa dipangkas saat certain point sudah ter-establish sehingga tak terasa terlalu repetitif, tetapi sesungguhnya ini adalah cerita yang sangat personal. Keseluruhan film adalah kata-kata dari seorang yang perlahan mengalami perubahan cara memandang dunia karena ia telah melakukan sesuatu yang tak bisa ia pahami apakah merupakan sebuah kesalahan atau memang harga yang harus dibayar untuk sebuah kesuksesan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JERITAN MALAM.



KNIVES OUT Review

Immigration strikes at the very heart of a central metathesiophobia, or fear of change
 
 

 
Kejeniusan Knives Out bukan semata pada kepiawaian membangun misteri siapa pelaku sebenarnya (biasa disebut sebagai thriller whodunit), melainkan juga pada ketajaman penulis naskah merangkap sutradara Rian Johnson mengomentari soal fobia imigran yang ia jadikan bahan utama dalam menu misteri pembunuhan yang disajikan dengan karakter beraneka rupa.
Pengarang novel misteri terkenal, Harlan Thrombey, ditemukan bersimbah darah di kamar kerjanya, sehari setelah pesta ulangtahunnya yang ke delapan-puluh-lima. Karena menyayat urat leher cukup aneh untuk dianggap sebagai pilihan tindak bunuh diri, maka detektif Benoit Blanc (aksen Daniel Craig komikal, namun surprisingly worked) melakukan investigasi. Daftar tersangkanya adalah anggota keluarga Thrombey yang diam-diam menanti warisan dari kepala keluarga Thrombey yang eksentrik. Ada Linda dan suaminya yang berharap dikasih rumah. Ada Ransom, putra Linda, ‘kambing hitam keluarga’ yang pengen diwarisi semua sehingga dia tak perlu bekerja. Ada Joni, menantu Harlan yang janda yang bergantung pada uang Harlan untuk biaya pendidikan anaknya. Ada Walt, putra bungsu Harlan, yang ingin diberikan kuasa penuh atas bisnis percetakan bapaknya. Detektif Blanc dengan senang hati mempercayakan bantuan kepada perawat pribadi Harlan, Marta (Ana de Armas memainkan seorang minor yang punya peran sangat mayor), yang begitu baik hati sehingga dianggap keluarga oleh Harlan. Tapi Knives Out punya banyak kejutan dalam ceritanya. Marta yang muntah setiap kali berbohong – cara kocak film menanamkan cewek ini adalah pribadi yang jujur dan bisa dipercaya, enggak seperti tokoh yang lain – tadinya adalah satu-satunya orang yang tidak mendapat untung dari kematian Harlan. Seiring berjalannya cerita, seiring misteri perlahan membuka, keadaan berubah dan justru Marta yang menang paling banyak dari pembunuhan ini. Bukan Blanc seorang yang berpikir keras, kita penonton juga akan semakin tersedot ke dalam misteri pembunuhan keluarga kaya raya nan nyentrik ini.

bayangkan harus nahan muntah setiap kali menyapa keluarga bos yang pura-pura liberal

 
Dari sudut pandang Marta, misteri pembunuhan ini adalah ketakutannya sebagai orang yang bukan asli Amerika. Marta merupakan orang-dalam yang sesungguhnya adalah orang-luar. Dia mengenal semua anggota keluarga Thrombey, mereka semua ramah kepadanya. Tapi dia adalah orang asing. Jangankan darah, Marta bukan dari tanah yang sama. Film menjadikan asal usul negara Marta sebagai running-joke berupa anggota keluarga Thrombey menyebutnya dari negara yang berbeda-beda. Satu tokoh menyebutnya dari Uruguay. Tokoh yang lain menyebut Marta dari Brazil. Mereka enggak benar-benar peduli, deep inside bagi mereka Marta bukan bagian dari mereka. Inilah yang lantas dijadikan konflik, tensi dramatis buat kita ketika ditempatkan dalam sudut pandang Marta.
Ada adegan ketika anggota keluarga Thrombey duduk mengobrol, dan perbincangan mereka dengan cepat berubah menjadi pandangan politik soal imigran. Anak-anak Harlan bicara dengan cueknya padahal ada Marta di sana. Kita bisa meliha Marta tidak nyaman, karena pembicaraan mereka yang liberal dan tidak-menyalahkan imigran terdengar tidak tulus. Setelah pembunuhan terjadi, dan situasi berubah, kita melihat Marta mau-tidak-mau harus bergerak karena pemahamannya mengenai situasi. Dia jadi seperti banyak diuntungkan, dan tentu saja orang-orang akan ‘menyerang’ dia karena mereka percaya Marta enggak pantas. Marta bukan keluarga, maka dia mencuri dari mereka. Marta bergerak dengan pemahaman ini di dalam kepalanya. Kita juga menyaksikan kejadian dengan pemahaman tersebut, hanya saja dengan ruang lingkup yang lebih luas karena nafas film ini adalah cerita whodunit sehingga film tidak menutup kemungkinan bahwa mungkin Marta memang ‘bersalah’.

Film memotret bagaimana ketakutan terhadap imigran itu bisa timbul. Keluarga yang merasa dirampok oleh orang luar yang lebih baik dan bekerja keras ketimbang mereka, adalah cara film menyampaikan teguran bahwa sebenarnya kesuksesan itu bukan soal darimana kau berasal. Melainkan dari seberapa banyak kita berusaha dengan baik. Kita hanya menuai apa yang kita usahakan. Lagipula, dalam tanah kesempatan; semua orang adalah pendatang.

 
Tidak setiap hari kita mendapat misteri pembunuhan yang original seperti film ini. Biasanya cerita-cerita detektif seperti ini merupakan adaptasi dari novel atau materi lain. Aku sempat kecele karena mengira Ratu Ilmu Hitam (2019) yang tayang bulan lalu, yang menampilan ensemble cast menarik, bakal hadir sebagai horor misteri whodunit. Karena memang kangen juga terhadap cerita kasus pembunuhan seperti ini. Ada keseruan tersendiri dalam ikut menebak-nebak dan melihat jawaban yang sebenarnya terkuak. Knives Out melakukan lebih dari sekadar pemuas dahaga akan misteri whodunit. Karena ia juga hadir dengan gagasan yang terselip matang di antara bangunan misterinya. Penampilan dari jejeran castnya jangan ditanya – semua bermain fun tapi tidak pernah receh ataupun lebay. Para tokoh di film ini semuanya nyentrik. Dari Daniel Craig ke Jamie Lee Curtis memainkan peran yang over-the-top. Lihat saja reaksi tokoh Chris Evans saat bertemu dengan anjing. Namun mereka semua bekerja bukan main dalam tingkatan yang menghibur. Yang sesuai dengan konsep genre mereka di mana semua orang adalah tersangka.
Sebagai whodunit, film ini bahkan punya keunikan tersendiri. Biasanya kita akan dituntun untuk mempelajari motif masing-masing tersangka. Selain itu, kita akan diperlihatkan mereka punya kesempatan, lalu ada tokoh yang dijadikan red-herring alias dibangun sebagai tersangka utama dan cerita akan terbangun ke false resolusi bahwa bukan dia pelakunya. Dengan kata lain, film biasanya menunjukkan tokoh-tokoh yang punya kesempatan tapi mereka tampak tak bersalah sampai ada bukti-bukti semakin banyak terungkap. Knives Out berjalan semacam kebalikan dari hal tersebut. Sedari awal kasus, kita sudah ditetapkan semua orang punya motif, dan itu diperlihatkan dari kebohongan para tersangka. Jadi sejak awal kita tahu mereka semua adalah pembohong, narasi atau sudut pandang mereka tidak bisa dipercaya, dan – sebagai ‘pemanis’ – mereka juga memandang rendah pendatang. Film seperti merekonstruksi genre whodunit, membuat kita memproses ulang pemikiran saat menonton whodunit.

bagaimana memilah yang paling jahat di antara yang jahat, jangan-jangan malah yang baik yang jahat

 
Dialog-dialog cerdas dan lucu menyertai set rumah yang banyak ruang rahasia. Menantang kita untuk terus menyimak. Berpikir tanpa harus menjadi ikutan stres. Saat memecahkan kasus, film meminta kita untuk condong kepada Blanc yang juga sama nyentriknya. Tokoh ini kadang tampak ada di sana sebagai penyambung mulut kita menyampaikan kesimpulan, tapi ada kalanya dia selangkah di depan. Sebagai karakter detektif sendiri, Blanc memang kalah berisi dibandingkan Sherlock Holmes atau Poirot atau malah Detektif Conan, karena bukan dia tokoh dan sudut pandang utama. Namun tokoh ini berhasil dijauhkan dari menjadi parodi tokoh-tokoh detektif terkenal tersebut. He’s there but not exactly above or outside of everyone. Blanc punya motivasi sendiri, dan ini membuat dia juga misterius. Rian Johnson benar-benar memutar balik otak untuk menciptakan situasi yang terus menekan dan membawa warna asli tokohnya keluar. Dia melakukannya dengan menyeimbangkan komedi dan suspens – bukan perkara gampang. Kita tahu Johnson berhasil dalam pekerjaannya ketika kita masih tertawa ketika ada remark yang lucu dari tokoh dan tetap tertarik dan geregetan melihat ke arah mana situasi membawa Marta.
Johnson memilih struktur yang membutuhkan banyak eksposisi dalam menceritakan kasusnya. Kita masuk saat kasus terjadi, tanpa mengenal dahulu siapa tokoh-tokohnya. Sejalannya cerita, barulah kita dibawa bolak-balik sesuai perspektif tokoh yang diinterogasi. Ekposisi ini dihandle dengan menarik berkat tokoh-tokoh yang unik dan menarik. Bolak-balik waktunya juga dilakukan efektif untuk alasan yang sama. Tidak ada bentrokan tone pada film ini. Jika kita perhatikan, karakter-karakter film ini sepertinya disesuaikan dengan stereotipe kekinian. Ada influencer sosmed, ada SJW, ada orang dewasa yang ‘kuno’. Tapi ada satu karakter yang tidak mereka kembangkan dengan sepintar dan semenarik yang lain. Yakni anak remaja yang selalu bermain hape. Dia tidak banyak berperan selain jadi bahan tertawaan. Dia juga tidak punya sudut pandang atau motivasi sendiri.
 
 
Film genre semakin menunjukkan taringnya. Tahun ini kita dapat Us dan Parasite yang membahas persoalan sosial dalam balutan thriller atau horor. Di akhir tahun ini, Rian Johnson melengkapi koleksi kita. Yang ia hadirkan adalah murder mystery yang bukan hanya fun dan unik – seperti tokoh-tokohnya, melainkan juga berbobot. Membahas soal imigran yang menjadi momok, terutama oleh warga Amerika. Di era Donald Trump.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KNIVES OUT

MARRIAGE STORY Review

“Once you love something, you can never stop loving it.”
 

 
Ada dua keunikan yang dikawinkan Noah Baumbach dalam karya terbarunya sebagai penulis naskah dan sutradara yang membahas tentang perceraian. Pertama, dia menunjukkan perceraian bukan selalu (dan semata) soal ribut beradu pendapat. Dan kedua, perceraian tersebut dia gunakan sebagai lensa untuk meneropong sebuah kisah romansa.
Dalam Marriage Story, Adam Driver dan Scarlett Johansson adalah pasangan yang sedang dalam proses berpisah. Kita tidak segera menangkap kesan tersebut karena menit-menit pembuka film justru memperlihatkan sudut pandang mereka masing-masing dalam ‘mendeskripsikan’ pasangan secara bergantian. Atau bahkan ketika cerita berjalan menit demi menit. Driver dan Johansson – dalam film ini sebagai Charlie dan Nicole – justru terlihat semakin memahami satu sama lain, mereka paham kebersamaan mereka tidak akan berjalan dengan baik, dan mereka mau yang terbaik untuk putra mereka yang masih kecil. Jadi mereka berusaha untuk sedapat mungkin bergerak sebagai keluarga dalam mengarungi proses perceraian. Walaupun mereka tidak sependapat dengan prosesnya. Dan bahwa proses perceraian yang sah itu sendiri, yang ‘dipersenjatai’ pengacara-pengacara yang hanya menganggap perceraian sebagai bisnis, membawa yang terburuk dari orang-orang yang terlibat – terutama ketika tidak bisa segampang itu membagi adil soal asuh anak jika dua orangtuanya berencana tinggal di kota yang terpaut jarak dan lingkungan yang cukup jauh.

jelas tidak dengan cara menggunting sang anak menjadi dua

 
Dua sudut pandang dihadirkan dengan porsi yang seimbang. Film tidak memihak kepada siapa-siapa. Secara adil, kita akan diberikan kesempatan untuk mengikuti masa-masa sendiri Nicole dan bergantian ke waktu-waktu pribadi Charlie. Sehingga kita lantas mengerti perspektif mereka. Kita memahami bahwa ada cinta sejati di antara mereka. Adegan pembuka involving mereka menulis surat berisi sifat (positif dan negatif) pasangan yang tadi sudah kusebut benar-benar melandaskan seberapa ‘kenal’ Charlie kepada Nicole, dan sebaliknya, and it’s sweet betapa mereka berdua begitu mirip. Sekaligus kita juga seketika tahu ada yang tidak cocok di tengah-tengah mereka. Dan kadang, ketidakcocokan tidak bisa dipaksa untuk menjadi klop. Jika kebanyakan film memusatkan penggalian pada ketidakcocokan – membesarkannya hingga memuat banyak adegan berantem atau ngobrol debat dengan nada tinggi, atau tokoh yang nangis frustasi, mabok, atau semacamnya, maka Marriage Story mengambil perhatian kepada hal-hal yang lebih ‘tenang’. Dan kita semua tahu, air yang tenang justru lebih menghanyutkan.
Sebagai perbandingan, kita ambil saja Twivortiare (2019), film adaptasi novel Ika Natassa – dibintangi Reza Rahadian dan Raihaanun – yang juga bicara soal pasangan yang pengen cerai. Film tersebut menyenangkan oleh dialog-dialog ribut kedua tokohnya yang berusaha mengatasi ketidakcocokan mereka. Highlightnya definitely pada pertengkaran. Pada Marriage Story hanya ada satu adegan Charlie dan Nicole berdialog penuh emosi. Ketika kita mengantisipasi ada banyak adegan ‘berantem’ pada film perceraian dan film hanya memberikan satu sebagai klimaks, kita lantas konek dan ikut merasa sakit dan pahit dan getirnya dengan lebih kuat karena semua adegan, semua perspektif, terbangun seksama ke arah sana. Sebagian besar waktu, menjelang adegan heartbreaking ini, film memilih lebih sunyi. Memberikan kesan false security kepada kita. Karena begitu pengacara terlibat, Charlie dan Nicole yang tadinya seperti damai – mereka saat berdua kelihatan seperti teman baik yang saling respek, bahkan tidak ada kebencian dari keluarga Nicole kepada Charlie – menjadi seolah berniat buruk kepada masing-masing. Ada satu lagi adegan dialog emosional yakni adegan di persidangan di antara dua pengacara, yang terasa luar biasa bikin geram.
Yang diperlihatkan oleh Marriage Story adalah sebuah observasi bagaimana proses perceraian yang sebenar-benarnya. Bukan hanya proses hukumnya bekerja – peran pengacara – melainkan juga bagaimana proses hukum tersebut kadang tidak bekerja sebagaimana yang diinginkan oleh klien yang sedang bercerai. Kita melihat dalam film ini pengacara yang bicara mengatasnamakan satu tokoh, tetapi ekspresi si tokoh yang ia wakilkan tampak sama kagetnya dengan tokoh pasangannya yang sedang ‘diserang’. Salah satu kesubtilan film yang menohok memang adalah ketika satu karakter tampak tenang, akan tetapi kita mengerti di dalam hatinya ia sangat terluka – entah itu karena menyangka pasangannya melakukan suatu hal ataupun karena merasa tuntutan yang ia sarangkan tidak sesuai dengan yang ia maksudkan. Ini mungkin dijadikan sebagai pengingat kepada para penonton bahwa meskipun dalam meja persidangan kamu dan pasangan adalah ‘lawan’, dia bisa saja terlihat jahat, tapi cinta itu sebenarnya masih ada di sana, yang tampak jahat tadi boleh jadi tidak pernah ia maksudkan sendiri sepenuh hati.

Kesalahan-kesalahan kecil yang diungkap di sidang perceraian, yang tak-disadari melainkan oleh pasangan, adalah bentuk dari betapa banyaknya hal-hal atau momen yang tidak kita sadari dirasakan oleh pasangan. Sayang memang situasinya, namun tak bisa disangkal, tidak ada momen yang berubah atau terlupakan meski situasinya berganti. Bahkan setelah pisah, film ini menunjukkan, hati tetap tak bisa berhenti untuk mencintai apa yang sudah ia cintai sedari awal.

 
Seiring berjalannya durasi kita bisa merasakan tensi di antara Charlie dan Nicole semakin menegang, tapi every now and then momen-momen kecil terjadi di mana cinta menunjukkan wujudnya. Alasan cerita cinta dalam konflik perceraian ini bekerja dengan sangat efektif dan meyakinkan adalah apalagi kalo bukan permainan aktingnya. Driver dan Johansson sama-sama begitu komit, tema cerita ini tampak sangat personal bagi mereka. Baumbach benar-benar membuka ruang bagi para tokoh untuk menjelma seutuhnya ke dalam peran. Misalnya, Johansson diberikan beberapa menit untuk berakting monolog tanpa-dicut, mengeksplorasi perasaannya sebagai istri yang merasa terlalu dikontrol oleh suami sehingga pendapat dan eksistensi emosi serta intelektualnya sendiri seperti nyaris tidak dapat ia kenali. Sementara Driver disuruh bergulat dengan realita, dan juga prasangka tokohnya ketika ada sejumlah hal yang tau-tau bekerja di luar kendalinya – seperti kemauan sang anak yang mendadak menjadi berlawanan dengan yang ia kira. Bahkan pemain pendukung seperti Laura Dern yang jadi pengacara juga diberikan ‘jatah tampil’ sepersonal mungkin. Baumbach memilih menggunakan banyak shot close up wajah untuk memastikan emosi-emosi subtil tokoh tertangkap semua oleh kita yang menyaksikan.
Selain kuat oleh perspektif, naskah Marriage Story juga masih menyisakan tempat untuk komedi. Beberapa reaksi tokoh membuat kita tertawa. Film tidak hanya berkubang pada adegan emosional dan intrik pengacara. Hubungan-hubungan antartokoh dibuat segenuine mungkin, banyak interaksi yang hadir ringan dan film tetap berhasil menjauh dari predikat people-pleaser. Untuk menambah lapisan pada konflik, selain pekerjaan (Charlie sutradara sehingga dia control-freak, dan Nicole seorang akris sehingga dia biasa ‘akting’), film ini turut menghidupkan tempat yang menjadi panggung cerita. Berulang kali ditekankan perihal kota tempat Charlie bekerja dan kota Los Angeles sebagai kelahiran dan tempat ‘berlindung’ bagi Nicole. LA melambangkan tempat yang lebih ‘bebas’ sedangkan New York lebih mengikat dengan peraturan. Tempat ini juga dijadikan rintangan buat Charlie terkait case yang dibangun oleh pengacara Nicole di sidang perceraian.

kalo lokasinya di Bandung, mereka udah disuruh nanem 100 pohon oleh Gubernur

 
Aku tahu meskipun aku menegaskan film ini membuat dua tokohnya berimbang, enggak berniat membuat kita melihat yang satu jahat ketimbang yang lain, tapi kurasa it’s only natural kita tetap memihak salah satunya. Jadi, yang kalian baca pada paragraf ini pure personal taste, alias pandangan subjektif aku saja. Scar-Jo is a wonderful actress but I never like her, dan karakternya – Si Nicole – sungguh-sungguh annoying buatku. Film memang sudah menetapkan kedua tokoh ini sama-sama kompetitif alias bisa menjadi sangat egois kalo mereka mau, tapi aku kesel karena melihat kalo bukan karena Nicole gak mau baca yang ia tulis mengenai Charlie, maka film ini tidak akan berjalan. Tidak akan ada film ini jika Nicole enggak sok bener dan sok ‘rebel’. Buatku keduanya sama-sama ada salah, namun Nicole yang mencuat sebagai paling keras kepala. Maksudku, sekontrol freaknya Charlie, tapi sebagaimana yang ia sebut – kita melihat memang Charlie hanya membuat peraturan dengan kesepakatan bersama. Meski dia memang agak ‘memaksakan’, tapi toh Nicole sudah setuju. Dan jika sudah setuju, maka seharusnya wanita ini komit. Tidak berkata ya, lalu bertindak melanggar ‘ya’ tersebut belakangan. Inilah kenapa aku kesel banget sama Nicole.
 
 
Selain ‘kekurangan’ yang sangat subjektif itu, film ini gak punya celah untuk kesalahan. Ceritanya hadir dengan dua perspektif kuat yang berimbang porsinya. Dialog-dialog yang mengena dan lucu nampang silih berganti. Penampilan akting yang sangat meyakinkan, terekam dengan kamera yang juga menguarkan visi yang solid. Film juga berani mengambil resiko, salah satunya dengan ujug-ujug menampilkan adegan bernyanyi. Untungnya timing dan tonenya tetap terjaga. Great drama all around. Menikah atau belum menikah, film ini tetap bakal terasa dekat..
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for MARRIAGE STORY

DARAH DAGING Review

“Blood’s not thicker than money”
 

 
Seorang wanita menatap lekat-lekat pria berseragam orange yang didudukkan petugas di hadapannya. Tangan pria itu diborgol pada besi meja di antara mereka. Wanita ini menuntut informasi langsung atas kejadian perampokan lebih dari empat-belas tahun silam kepada sang pria. Apa yang sebenarnya terjadi pada kasus tersebut? Mengapa si pria melakukan apa yang ia lakukan – apa tepatnya yang ia lakukan? Siapa wanita yang mengaku jurnalis itu? Kenapa kamera begitu bergoyang-goyang padahal kedua tokoh sedang duduk tenang – satunya malah terborgol?
Cerita Darah Daging lantas tumpah meruah. It was so all over the place. Laga perampokan bank yang diselangi oleh flashback pengenalan tokohnya. Namun  tidak satupun pertanyaan urgen yang muncul seketika di benak kita saat melihat adegan pembuka itu yang langsung ditampilkan sebagai tubuh cerita. Film bermaksud mengajak kita berpikir – which is good – tapi kita tak diberikan pegangan dan sudah mati rasa duluan. Pembangunan dunianya terasa hampa dan gak bekerja di dalam logika. Tokoh-tokohnya hanya bidak pada naskah – at best, mereka adalah trope cerita crime ala orang-susah-yang-terpaksa-merampok. Sulit bagi kita untuk meraba poin utama sebab Donny Alamsyah si narapidana yang diwawancarai Estelle Linden di adegan pembuka tadi bahkan bukan pusat dari cerita. Kita akan berpikir dia tokoh penting atau apa, tapi tokoh Donny yang bernama Salim hanyalah satu dari lima pria berhelm hitam seragam yang merampok bank di siang buta. Membagi jatah senapan laras panjang di trotoar terbuka. Tindak perampokan yang berlangsung di depan mata kita tampak sama amatirnya dengan cara film merekam dan menyuguhkan adegan perampokan tersebut. Karena kita sama sekali tidak tahu harus merasakan apa – ketegangan tidak pernah mengalir karena untuk percaya mereka tidak segera dilaporkan ke yang berwajib aja rasanya susah. Film segera sadar kita butuh untuk kenal dengan kelima tokoh, maka selagi perampokan berjalan kita dibawa menembus helm masing-masing perampok; flashback lagi melihat alasan mereka mau ikut merampok bank secara bergantian.

ingat kami mainnya: masuk, goyang, langsung cabut!

 
Salim bukan pemimpin kelompok. Pemimpinnya adalah Arya yang diperankan oleh Ario Bayu, yang dengan tegas mengatakan tidak boleh ada korban. Dua anggota lainnya adalah saudara seibu angkat Arya, Rahmat dan Fikri. Nama terakhir adalah orang termuda dan yang paling nervous karena bank yang mereka kerjai adalah bank tempatnya bekerja. Sebagai badboy di dalam grup adalah tokohnya Tanta Ginting yang menyuplai senjata. Di titik ini kita semakin bingung kenapa Salim seperti tidak ada hubungan dengan semuanya. Satu-satu yang menjadi ciri karakternya adalah dalam beraksi pun – ketika tentu saja aksi mereka jadi kacau, jatuh korban, helm mereka lepas, polisi memburu – Salim hanya merangkak ketakutan. Dia tidak membantu Arya dan saudaranya berusaha membawa Fikri ke rumah sakit. Dia tidak membantu Bornenya Tanta Ginting retaliate dengan menembaki polisi dan memburu Arya yang lari ke jalanan. Salim hanya diam di sana, mengikuti ke mana naskah menyuruh tokoh-tokoh yang lebih menarik pergi, dan baru bergerak ketika tiba giliran naskah menyuruhnya. Dia cuma pelaku yang masih hidup, dan film tak membuatnya masih hidup dalam cara yang tak mempermalukan dirinya.
Things would make sense if it was a story about guy who feel guilty and kupikir memang begitu. ‘Daging’ cerita Darah Daging sebenarnya adalah soal kekeluargaan yang kuat mampu tercipta pada orang-orang yang bukan sedarah. Nasib dan sama-sama hidup susah dirangkul oleh kebaikan, menghasilkan hubungan yang bahkan lebih kuat dari keluarga betulan. Salim mencoba menjadi bagian dari keluarga tersebut, tetapi saat itu dia gagal memahami makna ikatan kekeluargaan Arya dan saudara-saudaranya. Percakapan dengan Hanna si tokoh Estelle Linden membantu Salim memahami semua itu. Inilah sesungguhnya inti dari film ini. Wawancara personal yang intens antara Salim dengan Hanna di penjara. Harus jelas alasan dan motivasi Salim mau melakukan wawancara, menceritakan kembali kesalahan besar yang ia, dan Arya, lakukan. Sehingga kepentingan dan urgensi tokoh ini terasa. Nun jauh di lubuk hati ia berusaha membenarkan apa yang ia lakukan dulu. Dan Hanna adalah faktor penentu yang sebenarnya juga tidak perlu disembunyikan dan dijadikan twist.

Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi yang pasti uang memungkinkan kita untuk memilih jalan sengsara sendiri. Jika keluarga beneran aja bisa berantem dan sengsara karena duit, apalagi keluarga seperti ‘keluarga’ Arya pada Darah Daging. Mereka seharusnya ingat kebersamaan mereka justru pada saat tidak ada uang di antara mereka. Mereka harusnya sadar mereka tak butuh uang untuk menjadi keluarga, untuk merasakan kasih sayang seorang ibu sedari awal.

 
Namun film malah ngambil waktu terlalu lama dan membuat fokus di adegan rampok. Dia dijadikan genre aksi. Lewat rangkaian flashback bergantian yang diselipkan tadilah, Sarjono Sutrisno yang menyutradarai film-panjang untuk pertama kali, bermaksud memancing sisi dramatis. Di balik kejahatan yang para tokoh lakukan, ada tujuan yang mengharukan; bahwa mereka sebenarnya terpaksa tapi harus melakukannya. Namun berpindah-pindah sesering yang dilakukan film ini membuat kita terlepas dari cerita. Intensitas dari sekuen perampokan itu jadi sirna. Kita pun tidak seketika kenal mereka dengan baik, karena tidak ada yang ter-establish oleh banyak cut ke masa lalu. Film jadi melelahkan, membutuhkan waktu terlalu lama untuk sampai ke gagasan utama. Juga semakin susah untuk dinikmati, karena pada bagian aksi kamera bergoyang jauh lebih hiperaktif lagi.
Jika pada paruh awal kita diminta untuk merasakan ketegangan laga, maka pada paruh akhir film menyuruh kita untuk menyaksikan flashback yang semakin lama semakin keterlaluan – lantaran kali ini juga dibarengi dengan slow-motion yang menyiksa. Film harusnya berjalan runut. Cara cerita ini berjalan dengan rentetan flashback pengungkap di belakang, malah seolah film meminta kita untuk meratapi orang asing yang sudah meninggal. “Oooh mereka merampok buat balas jasa pada ibu… ooh mereka mati karena merampok bawa-bawa yang bukan keluarga huhuuu sediihh” Konyol!

Fikri is just so damn annoying ya, why won’t die already

 
Padahal ini seharusnya adalah ‘selebrasi’ dari perasaan bersalah Salim. Bagian paling mengena kepada penonton justru saat wawancara Salim dengan Hanna. Saat Salim menyadari betapa devastating pilihan yang mereka lakukan. Maka dari itu harusnya film berfokus pada wawancara Salim tersebut. Film tidak perlu memakan lebih dari satu jam memperlihatkan aksi tembak dan kejar-kejaran yang konyol (ada satu adegan yang menampilkan tokoh yang diuber oleh polisi dan orang yang mau menembak dirinya kabur ke sekolah dasar, karena siapa peduli sama logika), yang bahkan tidak berpusat pada tokoh utama. Tapi tentu saja, memfilmkan dua orang berdialog supaya menjadi intens dan menarik itu susah – butuh penulisan yang cerdas pula. Aktor-aktornya juga harus mumpuni. Memainkannya sebagai laga adalah langkah yang lebih mudah. Untuk pembuat film dengan jam terbang lebih banyak dan lebih kompeten, tentu bercerita lewat dialog sehingga menghasilkan thriller yang intens adalah tantangan. Coba lihat film klasik 12 Angry Men (1957) yang isinya orang berdebat dari awal sampai akhir namun tetap menarik ditonton hingga sekarang. Atau film bisa ‘menyontek’ struktur satu-satunya horor yang menang Best Picture Oscar; The Silence of the Lambs (1991), basic-nya sudah serupa hanya saja berani (dan mampu) menonjolkan dialog dengan narapidana sebagai hidangan utama dan elemen horor membayangi.
 
 
Laga butuh source yang lebih besar, dan skill penggarapan yang lebih mumpuni daripada sekadar menggoyang-goyangkan kamera. Sekurang memuaskannya cara bercerita Darah Daging yang menonjolkan aksi yang perampokannya bahkan kalah seru dibandingkan perampokan di babak akhir Pertaruhan (2017) dan kemudian diisi flashback, dan semakin banyak lagi flashback menjelang akhir – menimbun inti cerita semakin jauh jatuh ke dalam lubang ketidakkompetenan; toh sepertinya ini adalah pilihan yang benar. Sebab jika menggarap dengan fokus adegan laga saja filmnya tetap terasa lebih panjang daripada durasi sebenarnya, bayangkan seperti apa hasilnya jika pembuat film ini nekat memfokuskan dan bergantung pada dialog wawancara.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for DARAH DAGING

JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review

“Life was meant for big adventures and good friends”
 

 
Saat sekuel dari video game yang kita suka rilis, kita excited mengharapkannya punya konsep yang familiar, punya karakter yang sudah kita kenal, namun dengan level-level yang lebih luas dan lebih menantang. Jumanji: The Next Level persis seperti demikian. Film ini hadir dengan konsep dan rule yang kurang lebih sama dengan film sebelumnya, Jumanji: Welcome to the Jungle (2017). Karakter-karakter yang sudah sukses menghibur kita, baik karakter ‘asli’ maupun karakter avatar (in-game) mereka, semua hadir kembali. Dengan petualangan, cerita, dan bahkan pemeranan yang dinaikkan levelnya. It is more… wild!
Geng Spencer kini hidup di kota yang berbeda-beda. Persahabatan mereka mungkin masih seerat dahulu – bersama-sama menempuh petualangan hidup-mati dalam dunia video game akan cenderung membuatmu akrab dengan temanmu – namun selayaknya anak remaja, LDR mau tidak mau membuat Spencer insecure. Ia canggung bertemu dengan Martha. Jadi ketika liburan natal ini geng mereka sepakat pulkam dan temu-kangen di kafe bekas kepunyaan kakek Spencer, pemuda ini semakin galau. Dia merasa perlu untuk mengumpulkan kepercayaan diri dengan… menjadi Dr. Bravestone lagi. Spencer nekat masuk ke dalam video game Jumanji yang sudah rusak itu seorang diri. Martha, Bethany, dan Fridge yang mencemaskan Spencer mencoba menyusul. Membantu Spencer menyelesaikan game berbahaya yang sudah pernah mereka tuntaskan. Namun kerusakan Jumanji membawa kekacauan. Mereka masuk ke dunia Jumanji secara random; as in Kakek Spencer yang grumpy, Eddie, dan mantan sahabatnya yang ngeselin, Milo, terseret ikut bermain alih-alih Bethany yang tertinggal di rumah. Dan dunia game di dalam Jumanji yang harus mereka ‘kalahkan’ kali ini; totally dunia yang berbeda. Dunia yang jauh lebih luas dan lebih berbahaya ketimbang sekadar hutan belantara.

“At least, that time I was still black” Jangan ngeluh dong, kamu Jack BLACK sekarang

 
Yang paling lucu dan menarik dari konsep Jumanji modern adalah pemeranannya. Di dalam dunia game, mereka punya tubuh yang berbeda, tapi sangat sesuai dan dengan tepat mencerminkan keunggulan dan kelemahan pribadi masing-masing. Para aktor yang memerankan tubuh dalam-game tokoh film ini – disebut avatar – mendapat tantangan untuk bermain di luar kebiasaan, misalnya Jack Black yang memerankan seorang gadis stereotype dumb-blonde yang terjebak dalam tubuh pria urakan tambun yang jago baca peta. Komedi sebagian besar memang datang dari sini. Dan pada Jumanji: The Next Level soal avatar ini semakin kocak lagi, karena sangat random. The Rock Dwayne Johnson kocak parah ketika dia harus memerankan kakek-kakek sakit pinggang yang mendadak punya tubuh begitu kuat dan segar bugar. Dia memainkan Danny DeVito yang jadi kakek cranky yang terjebak di tubuh pria berotot. Sejak hari-hari emasnya di ring gulat, sisi komedi terbaik The Rock selalu adalah bermimik pongah, dengan permainan suara saat talk-trash ke orang-orang. Dalam Jumanji baru ini, Rock kembali dapat kesempatan untuk menggali sisi komedinya tersebut. Jack Black kebagian peran yang annoying, tapi penguasaan komedinya membuat segala keluh kesah yang ia lontarkan jadi pancingan dan punchline yang kuat. Karen Gillan tidak banyak mendapat perubahan – remaja yang masuk ke tokoh avatarnya masih tetap remaja yang sama dengan film pertama. Namun bukan berarti itu karena Gillan tidak punya range akting sebaik lawan mainnya. Gillan diberi satu adegan menjadi ‘tokoh lain’, dan dia memerankan peran komedi itu dengan flawless.
Aku masih ingat menuliskan “Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart.”  pada ulasan film pertama, sebab memang yang paling boring adalah Kevin Hart karena dia practically memainkan dirinya sendiri, leluconnya selalu sama di mana pun ia berada; selalu mengejek fisik dirinya sendiri. This is not the case pada film kedua. Hart menjadi Danny Glover, dia seperti memparodikan gaya bicara tokoh Glover yang begitu lamban. Ini fresh untuk ukuran komedi Hart. Tek-tokan dia dengan The Rock jadi pemancing gelak utama. Tokoh Milo yang bersemayam di avatar Hart punya hubungan persahabatan yang menarik dengan Eddie yang di dalam Bravestone The Rock. Mereka dulu partner dan sekarang Eddie bahkan tidak sudi ngobrol dengan Milo. Bukan hanya komedi, drama berhati pun hadir dari interaksi mereka. Surprise performance buatku datang dari Awkwafina. Aku bahkan gak tahu sebelumnya bahwa dia bermain di film ini – aku gak lihat trailer dan materi promosi. Bikin terenyuh di The Farewell (2019), Awkwafina kembali menunjukkan taring di zona nyamannya, yakni komedi. Dia juga dapat dua lapis akting, dan perannya yang paling kocak adalah ketika avatarnya dimasuki oleh… ah, kupikir ini bakal jadi spoiler jadi baiknya kalimat itu tidak kulanjutkan. Nick Jonas juga kembali kebagian peran, and he’s the weakest link, yang paling bosenin di antara semua kerusuhan positif tadi.

Petualangan dalam dunia Jumanji mengajarkan pada tokoh-tokoh untuk melihat kelemahan dan kekuatan rekan tim mereka. Jika kita punya masalah dengan sahabat, habiskanlah waktu lebih banyak bersama mereka. Utarakan maksud, utarakan arah. Cari tahu kembali apa yang membuat kita saling dekat pada awalnya. 

 
Sebenarnya bukan cuma Kevin Hart, ada beberapa perbaikan lain yang dilakukan oleh film ini. Aku kutip lagi kekurangan film pertama terkait perspekif ‘cutscene video game’ yang kutulis di review: “Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya.” Dalam film kedua, tidak ada lagi cutscene seperti begitu. Perspektif dibuat setia, dari tokoh-tokoh yang sedang menghidupi video game, kita tidak lagi melihat adegan yang tidak dilihat oleh para tokohnya. Kemudian berkaitan dengan avatar dan pesan film; aku di review film pertama menuliskan: “Maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.” Di film kedua ini, mereka semua pakai nama asli tokohnya. Tokoh yang diperankan The Rock hanya beberapa kali di-refer sebagai Bravestone, dan nama avatar Awkwafina disebutkan sebagai device komedi. Jadi, film kedua ini benar-benar berusaha untuk menjadi lebih baik daripada film pertama. Setidaknya kekurangan pada film pertama yang aku tulis tidak lagi ditemukan pada sekuel ini.

Hayo kalian baca reviewku ya?

 
Untuk urusan visual, film ini tampak lebih mahal. Duit keuntungan box office mereka yang luar biasa tahun lalu menunjukkan efeknya di departemen ini. CGI dan efek komputernya terlihat lebih luwes dan meyakinkan. Adegan-adegan aksi juga lebih menegangkan. Tokoh-tokoh kita banyak dikejar-kejar, dengan ‘panggung’ yang bervariasi. Mulai dari gurun pasir hingga serangkaian jembatan gantung. Konsep nyawa video game – mereka masing-masing punya tiga nyawa yang berarti cuma punya tiga kali kesempatan untuk ‘mengacau’ – dibuat lebih berbobot daripada sekadar stake yang menambah ketegangan cerita. Ada kalimat yang aku suka sekali di film ini yakni nasehat kakek kepada Spencer “Don’t lose everything when you fail. You still got a life.” Benar-benar merefleksikan keadaan mereka, mengingatkan untuk tidak down ketika gagal karena kesempatan masih ada. Apalagi jika masih muda.

Actually, bukan masalah masih muda atau sudah tua. Kakek Spencer, Eddie, pada awalnya begitu cranky karena dia merasa tua, waktunya sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk berubah. But there’s still a life. Menjadi tua berarti masih ada waktu. Untuk bertualang. Untuk stage yang berikutnya. Dia masih punya kesempatan memperbaiki hidup yang sama besar dengan kesempatan cucunya.

 
 
Segala excitement film ini terasa mengempis pada babak terakhir, saat film memutuskan untuk mengembalikan mereka ke kondisi semula – ke kondisi film pertama. Ini adalah keputusan terburuk yang diambil oleh sutradara Jake Kasdan sepanjang durasi film. Kita melihat begitu banyak hal segar, dan kemudian dia seolah membuat kita menonton kembali film pertama. Karen Gillan kembali menari sambil berkelahi. The Rock kembali memerankan tokoh laga serba bisa yang baik hati alias boring. Also, pertarungan bossnya benar-benar lemah. Film mengembalikan mereka seperti pada film pertama seolah film tidak mampu mencari jalan keluar yang baru. Para tokoh seharusnya belajar meng-embrace avatar mereka, seperti yang sudah berhasil mereka lakukan pada film sebelumnya. I mean, kalo kita main video game, kita toh harus mampu mengendalikan banyak tokoh – enggak hanya melulu memainkan satu tokoh yang sama.
Empat avatar ini sejatinya masih sama, yang berbeda hanya ‘jiwa’ yang menghidupi mereka. Aksi dan tantangan sebelum babak terakhir menarik karena kita melihat pendekatan berbeda yang diambil oleh ‘jiwa’ yang memasuki avatar tersebut. Lebih menarik melihat ini, bahkan ketimbang melihat trait baru yang ditambahkan oleh film yang malah membuat tokoh-tokoh dan rintangan seperti terprogram. Malahan ada satu yang gak benar-benar ter-establish, yakni kemampuan berbicara dengan hewan. Yang sepertinya hanya bekerja pada hewan tertentu karena mereka tetap saja dikejar-kejar oleh burung unta, kera mandril, dan kuda nil. Kenapa tidak bernegoisasi saja dengan hewan-hewan buas tersebut.
Selain arc tokoh Danny DeVito, arc tokoh-tokoh yang lain terasa sama saja dengan arc mereka pada film pertama. Namun ada satu tokoh yang arc-nya benar-benar mencengangkan, dan film mengabaikan begitu saja konsekuensi dunia nyata dari pilihan yang diambil oleh tokoh tersebut.
 
 
 
Sebagai sekuel, film ini sukses terasa lebih besar dan lebih heboh daripada film pertamanya. Dan memang beginilah seharusnya sebuah level adventure yang baru. Tokoh-tokoh yang familiar, tapi dengan rintangan yang baru, dan penambahan yang memang berarti. Film pun berusaha menjadi lebih baik, dia memperbaiki kesalahan terdahulu. Memperkuat keunggulan dan keunikan yang sudah dimantapkan. Namun pilihan di akhir film benar-benar fatal. Para tokoh dan arc mereka terasa sama lagi dengan film yang lalu. Sehingga babak akhir jadi jatuh membosankan. Keasikan nonton ini bakal tergantung masing-masing; jika kalian lebih suka film yang babak akhirnya strong, film akan sedikit mengecewakan namun bakal segera terpulihkan karena di akhir banget ada teaser yang menggugah nostalgia. Jika kalian enggak begitu mempermasalahkan, film ini akan jadi hiburan dari awal sampai selesai.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for JUMANJI: THE NEXT LEVEL.

THE IRISHMAN Review

“When you get to political machines that can control a state, then you’re really into organized crime – almost.”
 

 
Untuk mendukung pernyataan bahwa film semestinya adalah sebuah cerita yang ‘intim’ alih-alih heboh dengan franchise, Martin Scorsese mempersembahkan The Irishman; film yang mengintimidasi sejagad (sinematik) raya dengan durasinya yang tiga-jam-setengah dan diisi oleh karakter-karakter yang lebih banyak berdialog ketimbang meledakkan benda.
The Irishman boleh jadi merekonstruksi mitos sejarah seperti yang dilakukan oleh Quentin Tarantino dalam Once Upon A Time in Hollywood (2019) belum lama ini. Atau mungkin saja tidak, dan dia bicara fakta. Karena yang diangkat oleh Scorsese dalam film ini adalah kejadian dalam lembar sejarah politik garismiring crime Amerika yang masih simpang siur kebenarannya. Tentang menghilangnya Jimmy Hoffa, salah satu sosok pemimpin bisnis dalam percaturan politik Amerika, yang kemudian dilaporkan dibunuh. Dalam The Irishman, peristiwa tersebut diceritakan dari sudut pandang Frank Sheeran, pensiunan perang pengantar daging steak yang berkat keahliannya dipekerjakan sebagai tukang cat rumah. Hanya saja dia tidak menggunakan cat aaupun kuas. Pengecat rumah hanyalah bahasa kode untuk pembunuh bayaran geng mafia. Sheeran dengan cepat mendapat kepercayaan, dia berteman dengan orang-orang penting di dunia mafia. Termasuk dengan Hoffa. Dan ada kemungkinan dialah yang menghabisi Hoffa yang sudah kayak kakak penjaganya dalam sebuah tugas.

darah lebih pekat daripada cat

 
Narasi berlangsung dalam periode 60 tahun, atau mungkin lebih. Kisah mengalir dari masa kini membuka ke masa lalu, sesuai penuturan Frank Sheeran. Dari Sheeran yang tua renta ke Sheeran muda – sekilas juga diperlihatkan saat dia masih di medan perang – hingga ke versi dia yang lebih dewasa. Kita akan menyaksikan berbagai versi Robert De Niro, dari yang dimudakan pakai efek komputer sampai aktor senior ini — aku tidak tahu lagi mana penampilan wujud asli si aktor mana yang efek saking mulusnya visual film ini. Dalam rentang waktu yang begitu panjang tersebut, kita diperlihatkan keparalelan antara dunia politik dengan dunia gangster alias mafia. Apakah semua ini hanya rekayasa alias cuma terjadi di dunia film atau memang begitulah nyatanya di dunia nyata Amerika, atau mungkin malah seluruh dunia – termasuk Indonesia, membuat film semakin menarik untuk disimak. Terutama oleh penyuka konspirasi. Dalam film ini, kita melihat misi Sheeran bukan sekadar melenyapkan ‘rekan’ yang mengacau maupun yang sudah tak berguna. Melainkan juga menyelundupkan senjata api yang ternyata adalah untuk memadamkan Revolusi Cuba. Pembunuhan JFK turut diperlihatkan sebagai campur-tangan dari geng mafia. Hal yang paling bikin seru lagi adalah, periode panjang narasi ini mengimplikasikan peran mafia dalam politik ini masih berlangsung hingga sekarang.

Istilah mafia merujuk kepada kelompok teroganisir yang berketerkaitan dengan pihak berwenang, dengan aktivitas apapun – termasuk yang melawan hukum – demi kepentingan pribadi dan golongan. Benar-benar mirip dengan cara kerja dunia politik, bahkan pelakunya sama-sama berjas dan berdasi. Politik dan mafia bagaikan berasal dari satu geng yang sama. Geng kejahatan berencana.

 
Dunia sindikat penuh orang ditembak di tempat, oleh film ini tidak pernah diglamorisasi. Meskipun memang cara kerja mereka didramatisasi. Karena film ingin mempersembahkan kejahatan mafia itu dalam cahaya bisnis – yang berkaitan dengan mempertegas ‘kebutuhan’ para tokoh. Mereka-mereka yang bekerja dalam dunia tersebut bergerak demi kepentingan golongan yang menjadi penguasa. Konflik datang dari tokoh-tokoh yang punya kepentingan pribadi. Sheeran, dalam hal ini, punya keluarga. Secara spesifik, hubungan Sheeran dengan putrinya ditonjolkan. Film memilih untuk lebih fokus menggali perenungan karakter ketimbang aksi. Kita memang masih akan melihat beberapa adegan aksi dan kejahatan, tapi sebagian besar waktu didedikasikan oleh film untuk karakter duduk diam di antara dialog. Mereka diberikan ruang untuk berpikir, mempertimbangkan matang-matang opsi sebelum memilih tindakan. Sehingga meskipun tempo cerita memang lambat, kita akan menemukan banyak sekali momen-momen intens. Yang datang enggak muluk-muluk, sesimpel dari diamnya mereka menemukan cara mengungguli lawan bicara. Sampai ke kita emosinya bisa berlipat ganda karena kita akan otomatis mengantisipasi pergumulan senjata.
Mengenai hal tersebut, tak bisa dipungkiri juga durasi panjang film ini benar-benar terasa panjang. Karena terkadang diisi dengan kurang maksimal. Sheeran dengan putrinya seharusnya mendapat penggalian lebih dalam dan dampak relasi mereka kepada cerita sebaiknya dibuat lebih gede lagi. Arc putri Sheeran dibuat lebih jelas dan berarti lagi. Sejujurnya, asalkan dimanfaatkan maksimal, sebenarnya durasi panjang bukan masalah. Apalagi melihat orang-orang yang bekerja di depan maupun belakang layar film ini – menghabiskan waktu seharian pun aku yakin kita semua rela. Scorsese memastikan adegan-adegan kekerasan yang ia munculkan terasa elegan, dan tidak menjatuhkan keseluruhan film menjadi crime receh yang menjual darah ataupun ledakan semata. Tidak ada koreografi kamera yang ‘istimewa’, tidak ada penggunaan cut yang berlebihan. Semuanya terasa sangat tenang, dan diarahkan dengan efisien dan tepat-guna. Dengan kata lain, kekerasan tipikal dunia mafia tidak ia jadikan jualan utama.
Final battle atau konfrontasi besar versi film ini bukanlah aksi tembak-tembakan. Bukan pula satu dialog panjang nan dramatis seputar pengakuan atau apa. Klimaks The Irishman adalah berupa sekuen pembunuhan Hoffa sepanjang nyaris setengah jam. Tidak banyak sutradara yang mampu menggabungkan banyak adegan – banyak cut – ke dalam satu sekuen panjang dengan menjaga ritme serta build-up suspens sehingga punchline atau akhir sekuen tersebut terasa sangat nendang. Perhatikan Scorsese bahkan tidak menggunakan musik latar sepanjang sekuen tersebut; membuat ketegangan semakin memuncak. Ending film ini merupakan salah satu ending terbaik tahun ini, menurutku, sebab memunculkan banyak pertanyaan dan memantik diskusi mengenai makna dan keputusan tokoh mengambil tindakan yang serupa dengan yang ia lihat di bagian pertengahan film.

bayangkan jadi putri Frank Sheeran dan harus menceritakan pekerjaan ayahnya di depan kelas saat Show & Tell.

 
Seperti ilmu padi; semakin tua semakin jadi. Scorsese menunjukkan kematangan luar biasa lewat penggarapannya. Film-film Scorsese selalu berenergi. Namun tak seperti Goodfellas (1990) – sama-sama biografi tokoh dunia mafia – yang menggebu, The Irishman tersaji lebih subtil. Film barunya ini lebih tertarik untuk membedah karakter-karakter. Scorsese seolah ingin membaca pikiran dari setiap tokoh yang diambil dari orang-orang nyata tersebut. Melihat sang sutradara bekerja sama dengan tiga aktor legenda dalam mencapai tujuan itu sungguh kesempatan yang berharga.
Mari mulai dengan Al Pacino. Ini adalah kali pertama Scorsese kerja bareng dirinya. Dan maaan, Scorsese memberikan Al Pacino peran yang sempurna sebagai Jimmy Hoffa yang meledak-ledak. Jadi keseruan tersendiri melihat Al Pacino teriak nunjuk-nunjuk muka orang. Berkebalikan dengan Joe Pesci yang juga klop banget memerankan Russel Bufalino. Pesci yang literally ditarik Scorsese dari bangku pensiun memainkan ekspresi yang begitu dingin dari seorang petinggi mafia yang terhormat, bersahabat, tapi sekaligus penuh taktik dan pertimbangan. Menatap tokoh ini aku sampai gak berani berkedip karena aku jadi begitu concern dengan pertimbangannya. Last but not least, De Niro yang penuh pengendalian diri memerankan Frank Sheeran yang beraksi dinamis. Setiap kali dia muncul di layar, duduk semeja dengan para mafia, perhatian kita akan otomatis mengarah padanya, karena suksesnya film menulis karakter ini sehingga kita pengen tahu bagaimana keadaan atau dialog itu mempengaruhinya. Kalimat-kalimat yang ia ucapkan terdengar bukan hanya seperti improvisasi aktor, melainkan juga seperti improvisasi si Sheeran itu sendiri karena banyak yang ia pertaruhkan setiap kali bersama teman-temannya yang mafia. Personally, adegan Sheeran makan roti bareng Russel di akhir, yang circled back ke mereka semeja makan pertama kali, cukup mengharukan buatku.
 
 
 
Menyaksikan film yang berusaha membuat kita terinvest kepada karakter-karakternya terasa sangat menyegarkan, dan sungguh berharga. Karena begitu banyak film yang menuntut kita memperhatikan easter eggs, koneksi kepada film terdahulu, menahan diri untuk bertanya karena penjelasan akan hadir di film berikutnya. Yang dihadirkan oleh Martin Scorsese ini akan mengingatkan kepada kita seperti apa sih sinema itu sebenarnya. Film ini diarahkan dan diedit dengan luar biasa cakap, dimainkan dengan masterfully meyakinkan, sehingga durasi yang panjangnya bisa dipakai untuk melancong dari Bandung ke Jakarta naik kereta tidak terasa membosankan. Seperti tokoh-tokohnya, drama crime ini terasa matang dan dewasa.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE IRISHMAN.

NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL Review

“… don’t have to be scared of being different.”
 

 
Setiap sekolah punya cerita hantu masing-masing. Sekolah barunya Naya punya satu hantu berambut panjang yang bukan saja menakuti murid-murid termasuk geng pembully, bahkan satpam sekolahan sekalipun. Naya tahu karena dia indigo. Dan Naya juga tahu ada seorang lagi siswi indigo di sekolah barunya tersebut. Naya pernah beberapa kali bertemu dengannya. Serunya buat Naya; mading di sekolah tersebut juga kerap dihiasi oleh cerita misteri, persis dengan cerita yang suka ia dengar di radio Ardan. Penulis cerita di mading itu berinisial L.S. Siapa gerangan? Apakah L.S ada hubungannya dengan hantu sekolah? Akankah Shelly – siswi indigo satu lagi – mau berteman dan membantu dirinya?
Nightmare Side berawal dari program siaran Radio Ardan setiap malam jumat. Khusus cerita-cerita horor yang bertempat di Bandung dan sekitarnya. Acara ini sangat populer. Aku dan temen-temen dulu suka nyimak kalo lagi iseng jalan-jalan keliling Bandung. Cerita-cerita pendeknya itu memang serem-serem sih, meski aku dan temen-temen malah sering jadi salah fokus ngebecandain naratornya yang terkadang jadi sok serem, dan over-the-top. Gaya bercerita radio ini dipasang film sebagai pembuka, kita akan melihat visualisasi dari cerita horor Ardan yang sedang didengarkan oleh seorang tokoh film. Kinda cool sih, kayak episode serial short-horror anime Yami Shibai. Tadinya kupikir film akan bergulir seperti antologi atau kumpulan dari cerita-cerita pendek, karena tentu saja gaya narasi ala radio ini tidak akan tertranslasi bagus ke dalam bahasa sinema. Untung saja sutradara first-timer Joel Fadly cukup bijak untuk hanya menjadikan ini sebagai semacam fans-service. Dan cerita utuh yang sebenarnya ada setelah segmen pembuka ini.
Sesuai dengan judulnya, ehm.. lebih tepatnya sih; Hampir sesuai dengan judulnya, film ini memang bercerita dengan menggunakan ilusi. Meskipun tidak pernah jelas tokoh mana yang delusional dalam cerita ini. Namun yang jelas, film berani menempuh resiko dengan menggunakan gaya khusus dalam bertutur. Film menampilkan dua narasi yang seolah paralel. Kita melihat dari sudut pandang Gege Elisa sebagai Shelly yang dibully karena penyendiri. Berselingan dengan sudut pandang dari Fay Nabila Rizka sebagai Naya yang anak baru. Film ingin menanamkan hook kapan kedua tokoh ini akan bertemu dan bekerja sama kepada kita, dengan pertanyaan lebih menitikberatkan kepada ‘siapa Shelly’ meskipun kita bahkan juga tidak mengenal siapa Naya – film enggak begitu peduli untuk memberikan backstory kepada setiap karakter. Dan itu semua dimaksudkan sebagai misteri aau ilusi pada naskah.

Mungkin dia melihat penampakan sebagian-sebagian karena matanya yang sebelah selalu ketutupan rambut

 
Dua timeline berbeda sebenarnya sedang bekerja ketika kita berpindah-pindah dari Shelly yang dibully ke Naya yang mencari Shelly dan pengarang cerita misteri berinisial L.S. Trik bertutur seperti ini mampu membuat cerita menjadi menarik jika ilusi bahwa dua sudut pandang tokoh tadi seolah berada di kurun waktu yang sama benar-benar dibangun dengan baik. Cerita semacam ini butuh menghamparkan penunjuk time-image sebagai petunjuk buat kita mengikuti alur. Time image itu maksudnya benda-benda yang dijadikan penanda jaman – yang menjadi penanda satu adegan pada lokasi yang sama sesungguhnya berada di waktu yang berbeda. Banyak yang bisa digunakan untuk fungsi ini, misalnya rambut – di waku yang dulu pendek, kini panjang. Ilusi pada Nightmare Side sayangnya tidak banyak memperhatikan pembangunan dalam aspek time-image. Mereka lebih berfokus kepada penempatan dan timing kemunculan hantu dan relik-relik yang menjadi penanda hantu.
Sehingga film terasa terlalu mendorong penonton untuk berpikir, dan lupa menghantarkan rasa. Jangan salah. Aku suka film-film tang mengajak penonton untuk berpikir, mengajak figure out yang sebenarnya terjadi tanpa banyak ba-bi-bu eksposisi. Pada Nightmare Side: Delusional, rasa penasaran untuk menguak kejadian dan misteri itu ada, tetapi tidak pernah dibarengi dengan kepedulian terhadap para tokoh. Karena mereka semua tokoh template, dengan minim sekali backstory. Tidak ada development buat tokoh-tokoh yang penting. Setelah dua sudut pandang bertemu, setelah kita mengerti posisi Naya dan Shelly, seketika itu juga film menjadi datar. Tidak ada lagi hal menarik untuk diikuti.
Teror hantunya tidak lagi berarti untuk diikuti, malahan membingungkan kita secara emosi. Karena paruh kedua cerita berisikan si hantu mengejar geng pembully. Asumsinya adalah dia menuntut balas, namun tidak seperti pada Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) kita ragu untuk mengecheer si hantu. Dan termyata di akhir juga diungkap bahwa hantu itu bukanlah sosok yang kita kira. Jadi menonton film ini kita akan bingung mana yang protagonis, mana yang hero, mana yang tokoh utama. Sebagian besar film aku menyangka sudah berhasil memilahnya. Shelly adalah tokoh utama karena cerita berpusat tentang dirinya. Naya protagonis sekaligus hero yang kita dukung keberhasilannya. Namun di akhir ternyata Naya justru tidak banyak melakukan apa-apa. Film mendadak memasukkan ustadz-numpang-lewat untuk menyelesaikan masalah. Dan satu-satunya tokoh yang berubah justru si geng pembully.

Kita semua dilahirkan dengan kemampuan berbeda dan kita tidak bisa menolak itu. Sementara itu, kita juga harus menerima bahwa kita makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan banyak orang. Lingkungan sosial menciptakan ilusi kita harus serupa dengan kebanyakan orang. Makanya ekstra susah buat remaja untuk percaya diri, mengakui dirinya unik, saat lingkungan sekitarnya adalah lingkungan berseragam. 

 
Padahal film ini bicara tentang masalah klasik anak remaja – ketakutan sebagai orang yang berbeda. Permasalahan bullying ditekankan di sini. Perbedaan diibaratkan sebagai badut, dan satu yang berbeda dari tiga akan dikucilkan. Ditertawakan. Film bermaksud menjadi cautionary tale kepada orang yang suka mengolok perbedaan, sekaligus kepada orang yang merasa malu akan perbedaan atau keunikan dirinya. Namun pesan ini tidak tersampaikan dengan baik lantaran film terjebak pada kebutuhannya sendiri untuk tampil seram. Untuk menakut-nakuti penonton, film rela ‘melacurkan’ hantunya; tampil setiap beberapa menit sekali. Tentu saja didandani dengan musik keras jumpscare. Dalam sepuluh menit pertama saja, ada lebih dari tiga kali kemunculan hantu. Sebaliknya dalam menampilkan emosi, film pelit sekali. Hanya mengandalkan flashback adegan-adegan yang sudah kita lihat di bagian awal saja, film nekat menyebut usahanya itu sebagai pengaduk emosi.

Kalo di map gak ada jalan lurus, sedangkan di depan matamu jalanannya persimpangan; itu artinya kalian salah nentuin posisi di map, Dek

 
Dukungan aspek-aspek teknis juga tidak benar-benar kuat. Penampilan akting dari jejeran pemain mudanya barely menyentuh garis standar. Film horor tidak akan bekerja sempurna jika hanya mengandalkan ekspresi ketakutan dari pemain-pemain. Melainkan haruslah menyertakan golakan emosi yang kompleks – sesuatu yang tidak mumpuni dicapai oleh film ini. Penulisannya juga menimbulkan banyak hal-hal dengan logika yang lucu. Selain ustadz yang sempat kusebut tadi, ada juga sekuen yang entah-alasan-apa menampilkan horor komedi dari satpam sekolah. Di sekuen tersebut ada adegan seorang satpam mergokin maling, malingnya kabur masuk ke ruang kelas, dan ketika dikejar ke dalem – ruangannya kosong selain hantu yang melotot dan mengejar si satpam. Waktu berharga beberapa menit itu seharusnya digunakan untuk menulis set up tokoh seperti Naya atau Shelly dengan lebih detil lagi.
Dan kentara sekali, Radio Ardan sebagai induk dari Nightmare Side harus diikutsertakan. Film cukup memutar otak merangkai anak-anak sekolah itu ada hubungannya dengan Radio. Buatku ini adalah effort ekstra yang lebih cocok dikerjakan oleh pembuat film yang lebih kompeten. Penyakit menular horor Indonesia sekarang adalah kecenderungan untuk memilih yang paling ribet, padahal ada yang lebih simpel. Kenapa tidak membuat cerita di lingkungan radio saja – jika ingin menampilkan rekaman program Nightmare Side; kenapa tidak bikin horor yang berpusat di penggarapan acara itu saja. Toh tema bullying bisa dimasukkan ke lingkungan sosial apa saja, tidak mesti di sekolah.
 
 
Dengan penceritaan bergaya ilusi di awal, film ini seharusnya mencuat menjadi unik. Namun dia sendiri seperti tidak berani untuk menjadi berbeda. Permasalahan bullying dan horor menjadi pribadi berbeda pada remaja menjadi datar tak berasa karena film tak mampu menyajikan emosi dengan benar. Karena seperti Shelly, film terlalu obses sama hantu-hantu dan misteri. Sehingga akhirnya, malah jadi seragam dengan horor-horor yang hadir mingguan di bioskop yang dengan mudah terlupakan keberadaannya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL

RUMAH KENTANG: THE BEGINNING Review

“Being unwanted, unloved, uncared for, forgotten by everybody, I think that is a much greater hunger”
 

 
Bagaimana membuat kentang tampak menakutkan?
Tantangan film ini luar biasa sulit, dan ia berhasuk membuat horor dari benda seumum kentang. Membuat kita percaya bahwa benda yang bisa dimakan, bisa ‘memakan’ balik. Dikaitkan juga dengan penggalian mitos hantu anak kecil yang meneror rumah dengan penampakan sejumlah kentang-kentang gaib, yang membuat semua orang penasaran….. NOT!!! I’m kidding.
Tidak ada urgensi dari mitos kenapa rumah kentang bisa jadi misteri. Dan tentunya tidak ada seorang pun yang menganggap kentang adalah hal yang menakutkan. Perkara mustahil membuat kentang menjadi horor. Kita punya peluang berhasil yang lebih besar membangun candi dalam waktu satu malam ketimbang menakuti-nakuti seisi bioskop dengan kentang. Para aktor pun terlihat jelas kesusahan untuk terlihat ketakutan tatkala ada kentang menggelinding, atau pun menimpuk mereka. Semua yang dilakukan film ini untuk ‘menjual’ kentang sebagai hal yang menyeramkan; gagal total. Malah jatoh menggelikan. Bayangkan ini: kentang-kentang itu menggelinding di lantai, saling tumpuk, bersatu, kemudian berubah membentuk sesosok hantu. Atau ada juga kebalikannya. Hantu berubah menjadi tumpukan kentang yang lantas berjatuhan menimpuk orang. Seram gak menurut kalian? Bahkan sambil ngetik ini aja bahuku goyang-goyang menahan kikik.

Rasanya pengen nyanyiin lagu Papoy “Bananaaaa.. potatonaaaa”

 
 
Karya teranyar Rizal Mantovani ini membawa kita mundur ke era 80an saat Luna Maya dan Christian Sugiono membawa tiga anak mereka – dan uwak Jajang C. Noer – mengunjungi rumah masa kecil Luna di sebuah perkebunan kentang. Rumah tersebut merupakan tempat kedua orangtua Luna menghilang sewaktu ia kecil. Alasan mereka semua sepakat berkunjung ke tempat horor itu sudah cukup menggelikan. Luna dan Sugiono adalah pasangan pembuat novel misteri. Sugiono penulis cerita dan Luna ilustratornya. Karena penjualan buku yang menurun, penerbit meminta Sugiono dan Luna untuk menulis horor dari pengalaman mereka sendiri. Nah lo, gimana coba – mereka disuruh nyari hantu beneran untuk menjual cerita. Hilarious!  Jadi mereka kembali ke rumah Luna, dan tentu saja di sana kejadian horor dimulai. Kentang bermunculan secara miserius. Satu persatu anak Luna dibawa ke dalam wadah sup besar oleh hantu cilik yang bisa berubah wujud. Luna pun mulai menggambar yang aneh-aneh, yang ia sendiri tak ingat kapan menggambarnya. Yang Luna ‘gambar’ itu adalah semacam premonisi mengerikan mengenai apa yang sebenarnya terjadi kepada anaknya. Luna pun harus berusaha menguak misteri hantu yang berkaitan langsung dengan tragedi yang menimpa ibu bapaknya.
Cerita semacam ini sesungguhnya punya elemen-elemen yang ada pada horor yang berhasil. Keluarga. Tragedi. Ketakutan seorang ibu akan nasib anaknya. Sungguh banyak horor sukses yang berangkat dari elemen tersebut. Aku sudah pernah bahas ini juga di review Lorong (2019) bahwa maternity adalah sumber hebat horor yang manusiawi yang paling banyak digali pada horor modern. Set film juga cukup menggugah selera. Perkebunan itu tampak seram. Rumahnya sendiri punya banyak ruang rahasia yang dimainkan maksimal sebagai panggung kejadian. Film juga berani untuk membawa tokohnya beredar hingga ke perkampungan, sehingga menimbulkan kesan kejadian pada cerita memiliki skala yang besar.
Namun jelas sekali, film ini sama sekali tidak memahami apa yang mereka kerjakan. Mereka hanya berfokus kepada kentang, alih-alih keseraman yang timbul dari perasaan terdalam manusia. Bukti kuat film ini has no idea adalah pada saat menjelang ending, tokoh Christian Sugiono diwawancarai oleh penmbaca yang menanyakan pelajaran apa yang ia dapatkan dari kejadian menyeramkan yang menimpa ia sekeluarga. Ini seharusnya bisa menjadi wadah bagi pembuat film untuk menyuarakan gagasan. Kita sendiri yang nonton bisa melihat ada horor soal orangtua yang menjual anaknya karena ia merasa sang anak tak berguna. Ini seharusnya bisa menjadi pelajaran penting, dan meskipun sebenarnya tidak bijak dengan gamblang menyebut gagasan yang kamu masukkan ke dalam film, namun ketika ‘terpaksa’ ada dialog yang mengungkap itu, ya pilihan terbaiknya ya gagasannya sebaiknya dikatakan saja. Akan tetapi jawaban Sugiono – yang tentu saja mewakili jawaban film – terhadap pertanyaan tadi adalah “saya belajar bahwa dunia gaib itu ada… uang bukan segalanya blablabla… jangan berjanji sama setan blablabla”
Benar-benar menunjukkan kedangkalan eksplorasi cerita. Karakter-karakter Rumah Kentang: The Beginning benar-benar persis kentang. Punya kulit yang tipis. Kulit dalam artian lapisan cerita. Tokoh-tokoh film ini bland, dan enggak punya plot alias journey. Penulis benar-benar gak peduli untuk memberikan mereka kedalaman padahal banyak yang bisa digali dari horor keluarga semacam ini. Hubungan Luna Maya dengan tiga anaknya tidak digali dengan baik. Hanya standar seorang ibu. Jadi ketika anaknya menghilang, kita sebatas “oh kasian hilang” tanpa ada kepedulian lebih lanjut. Tentu saja kasihan melihat keluarga terpisahkan, ibu kehilangan anaknya, namun cerita film butuh motivasi dan penggalian yang lebih supaya tokoh-tokohnya tidak seperti template. Perubahan tokoh Luna sekadar dari wanita yang tak percaya jimat menjadi wanita yang percaya sama jimat. Film seharusnya menggali kontras perlakuan Luna kepada anaknya dengan ‘antagonis’ terhadap anaknya. Karakter Sugiono lebih parah lagi. Tapi paling tidak ada satu koneksi antara dia dan anak tertua. Selebihnya, dia hanya dituntut untuk tampil clueless. Dan tiga anak tak lebih sebagai mangsa. Tapi aku suka anak yang kedua, karena gadis cilik ini pinter, dan gak bego dan sok creepy kayak adeknya.
hantu kentang yang pandai menggambar

 

Ironi terbesar yang hadir dalam cerita film ini adalah bahwa hantu kentang yang muncul karena praktek penumbalan untuk memakmurkan satu keluarga justru adalah makhluk paling lapar di seluruh dunia. Karena dia merupakan anak yang tidak diinginkan oleh ibunya. Seperti kata Bunda Teresa; menjadi orang yang tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak diperhatikan, dilupakan oleh semua orang, adalah kelaparan – kemiskinan – yang jauh lebih besar daripada orang yang tidak punya apa-apa untuk dimakan.

 
Arahan sutradara juga tidak banyak menambah bobot untuk film. Mitos ‘Rumah Kentang’ yang dikenal luas sebenarnya menyangkut penampakan hantu anak kecil yang disertai bau kentang rebus. Tidak sekalipun film ini menunjukkan bau tersebut. Ia seperti tidak mampu menuangkan deskripsi indera itu ke dalam penceritaan. Padahal justru inilah tantangan sebenarnya yang harus ia taklukkan. Bagaimana membuat penonton merasakan – bukan hanya melihat penampakan atau mendengar jumpscare. Film terasa tumpul karena tidak mampu menghadirkan sensasi kemunculan hantu yang sudah punya mitos tersebut.
Maka film banyak mengandalkan visual. Kentang-kentang konyol tadi. Hantu yang bisa berubah bentuk menjadi siapa saja. Horor yang generiklah yang mampu dihasilkan. Satu hal menyenangkan yang datang dari sini adalah Luna Maya yang jadi harus memainkan dua versi tokoh. Pertama dia memainkan tokohnya yang normal (dan dangkal tanpa pengembangan. Dan yang kedua, dia memainkan hantu anak kecil yang menyamar menjadi dirinya kepada keluarga. Kedua versi ini sangat jelas perbedaannya, dan itulah yang membuatnya menarik untuk dilihat. It’s just fun melihat tokoh-tokoh yang dengan gampangnya tertipu. Yang meskipun mereka sudah curiga, tapi tetep mengikuti. Dan film cukup kreatif untuk memvariasikan adegan mereka semua sadar namun sudah terlalu terlambat.
 
 
 
Jika kalian tidak keberatan menyaksikan mindless horror, film ini bakal cukup menghibur. Tapi jika kalian pengen ada daging, atau gizi lebih, sebagai pelengkap di antara kentang-kentang itu; kalian akan mengecap rasa hambar saat nonton film ini. Selain sajian yang cukup berdarah, dan lingkungan yang cukup luas, tidak banyak yang menggugah selera kita.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for RUMAH KENTANG: THE BEGINNING

FROZEN II Review

“Sometimes growing up means growing apart.”
 

 
Angin perubahan bertiup di Kerajaan Arandelle. Enam tahun sejak dinobatkan menjadi Ratu, betapapun dia ingin keadaan mereka tidak berubah seperti yang dinyanyikan oleh Anna dan Olaf, Elsa yang punya kekuatan sihir es tetap tidak bisa membekukan waktu. Elsa bahkan belum mampu menentramkan hatinya – dia masih merasa tidak berada di tempat yang benar di Arandelle. Dan kemudian, suara nyanyian misterius – terdengar oleh Elsa seorang – datang bersama angin. Ada legenda tentang tempat magical nun jauh di utara. Malam itu, Arandelle kedatangan ‘tamu’; angin badai, surutnya air, kobaran api, dan gempa. Elsa merasakan nyanyian, bencana, dan kekuatannya sendiri ada hubungannya dengan tempat legenda yang pernah diceritakan oleh ayah mereka tersebut. Maka ia pergi mencari tempat itu. Dan karena persaudaraan yang begitu erat, Anna juga ikut serta. Membawa sahabat-sahabat mereka bertualang ke utara.
Aku salah satu dari orang dewasa – cowok dewasa – yang suka sekali sama Frozen (2013). Aku udah nonton berkali-kali. Aku sampai bikin subtitle-nya sendiri karena aku merasa film tersebut punya pengkarakteran yang keren dan aku pengen tahu bagaimana menulis karakter yang bagus. Bahkan lagu Let It Go yang diputer berlebihan di mana-mana itu pun tidak mengganggu buatku. Frozen adalah animasi modern Disney yang merekonstruksi seperti apa menjadi Princess dan Ratu. Film tersebut menggebrak dengan statement Ratu tidak butuh Raja, Putri tidak butuh diselamatkan oleh Pangeran. Dinamika Elsa dan Anna – kakak beradik kerajaan – cinta mereka dijadikan ‘senjata’ utama dalam cerita. Frozen II berusaha mendorong narasi relasi ini lebih jauh. Koneksi Elsa dan Anna digambarkan semakin solid, sampai pada titik kita paham pertanyaan ‘bagaimana jika mereka harus berpisah’ cepat atau lambat akan tersaji. Frozen II bahkan berusaha tampil lebih beda lagi daripada animasi-animasi Disney dengan tidak memasang tokoh penjahat; tidak ada sosok yang harus dikalahkan oleh Elsa dan Anna di sini. Sekuel ini harusnya punya potensi. Namun melihat dari hasil akhir, sebaiknya Disney membiarkan cerita ini pergi.

bahkan Elsa herself meringis dengerin dirinya nyanyi Let It Go

 
Kita tak perlu punya kekuatan sihir untuk bisa menebak film ini bakal punya visual yang bikin kita lupa menarik napas. Efek angin, detil gambar, ekspresi, tata cahaya – Frozen II tanpa cacat di departemen ini. Beberapa momen seperti Elsa berlari menerjang ombak, Anna dan Olaf berlayar di sungai dengan banyak raksasa batu, benar-benar tampak luar biasa sehingga aku berharap porsi petualangan seperti ini mestinya diperlama. Sayangnya dari segi cerita, film ini seringkali diperlambat oleh berbagai penjelasan. Mulai dari cerita legenda, cerita konfirmasi legenda tersebut oleh pihak pertama, dan bahkan ada beberapa menit dipakai untuk menjelaskan kembali cerita Frozen pertama lewat Olaf dan patung-patung es. Meskipun setiap eksposisi dihadirkan lewat visual menawan dan cara yang berbeda sehingga tidak bosan, tetapi tetap saja cerita menjadi terbebani. Petualangan tokoh-tokoh kita jadi kurang terasa.
Dibandingkan Frozen yang simpel, sekuelnya ini punya cerita yang needlessly rumit. Sama seperti Maleficent: Mistress of Evil (2019) ataupun beberapa film-film live-action princess Disney baru-baru ini, Frozen II pun memiliki elemen politik di dalam narasinya. Perdamaian dua kerajaan yang tidak berlangsung mulus karena pihak satunya begitu ketakutan. Ada ketakutan terhadap ras yang disimbolkan di sini. Tema seperti demikian memang sepertinya klik banget dengan penonton-penonton muda zaman sekarang. Anak-anak sekarang sepertinya lebih cerdas dan lebih tertarik membahas intrik. Bencana yang terjadi di masa Elsa nyatanya adalah dosa dari generasi terdahulu; ini bergaung kuat dengan konteks modern yang diusung pada Elsa dan Anna. Karena merekalah yang membereskan masalah, dan mereka melakukannya dengan cara tersendiri. Hidup dengan pemahaman bahwa mereka melanjutkan kehidupan dan membuatnya menjadi lebih baik juga merupakan bagian dari fase growing up, yang jadi tema utama film ini.
Empat tokoh sentral – Elsa, Anna, Kristoff, dan (keluh) Olaf – punya perjalanan yang melambangkan tantangan yang dihadapi seseorang ketika ia bertumbuh dewasa, ketika ia harus berubah sebagai bagian dari pendewasaan. Voice-akting keempat tokoh ini sudah bisa ditebak luar biasa. Terutama Idina Menzel yang suaranya begitu powerful, klop sama tokoh Elsa. Keempatnya pun diberikan lagu pribadi untuk mencerminkan proses pendewasaan itu. Elsa dapat lagu terbaik. Ia menyuarakan keberanian untuk menempuh sesuatu yang baru. Yang mengajarkan kepada penonton muda bahwa it’s okay untuk mencari diri sendiri, untuk mencoba keluar dari perasaan nyaman yang mulai terasa mengukung ketika kita mulai dewasa. Menyambung Elsa ada Olaf. Pribadi, aku gak suka Olaf. Dia annoying, dan di film ini dia dapat porsi yang lebih banyak lagi sehingga saat menontonnya aku harus menggigit kedua tinjuku hanya supaya aku tidak menggunakannya untuk meninju telingaku sendiri. Tapi aku mengerti bahwa peran Olaf di sini memang besar dan diperlukan. Olaf, dan nyanyian solonya, melambangkan kepolosan kanak-kanak yang menanggap dunia orang dewasa penuh hal yang tidak dimengerti, dan Olaf mengajarkan bahwa nanti kita semua akan mengerti secara natural.
Karakter yang paling sial dalam film ini adalah si Kristoff. Sepanjang durasi dia tidak diberikan apa-apa selain running-joke klise mau melamar – ngasih cincin ke – Anna, tapi Anna-nya gak pernah ngeh, sehingga rencana Kristoff selalu gagal. Kristoff juga dapat lagu Lost in the Woods yang aneh banget, animasinya ada yang kayak Bohemian Rhapsody, musiknya kayak musik rock 80-an, kelihatan dan kedengarannya canggung aja. Padahal lagu Kristoff tersebut melambangkan fase penting anak muda yang merasa kehilangan, atau tersesat, ketika ia jauh dari orang yang ia cintai. Untuk melengkapi lingkaran fase bertumbuh yang diusung cerita, Frozen II memasang Anna. Yang begitu berdeterminasi, yang sayang kepada kakaknya. Elsa sudah memilih. Dan kali ini giliran Anna. Perjalanan karakter Anna, yang adalah gagasan utama film, dihimpun dalam lagu The Next Right Thing, yang mengajarkan dalam kebingungan lakukanlah hal yang menurutmu benar – inilah ultimate part dari bertumbuh. Kita mengambil keputusan.

Bertumbuh bersama bukan lagi secara tradisional harus bersama-sama. Frozen II memperlihatkan bahwa kadang, dalam proses pendewasaan, kita akan berpisah dengan yang disayang. Tapi itu tidak berarti kita berhenti tumbuh bersama. Karena cinta di antara kita adalah konstan yang tidak berganti. Perubahan tidak bisa dihentikan, perpisahan serta merta akan terjadi – itulah makna menjadi dewasa. Dewasa yang berarti tidak melupakan orang yang kita cinta.

 

pengen dewasa tapi masih ketawa setiap kali teringat Adele Dazeem

 
Elsa dan Anna jadi simbol sisterhood dan kemandirian perempuan yang kuat. Pada film ini diperlihatkan, walaupun hanya Elsa yang punya kekuatan es, mereka berdua adalah wanita yang kuat saat sendiri-sendiri. Kebersamaan mereka tidak pernah menjadi toxic. Ini adalah pesan yang powerful. Maka dari itu, aku merasa aneh pada satu keputusan yang diambil oleh film untuk mewakili satu karakter di menjelang akhir film ini. Untuk menghindari spoiler berlebihan; aku hanya bisa bilang mereka membuat Elsa dan Anna berpisah jalan. Keputusan salah satu tokoh setelah itu terasa sangat abrupt, seperti film ingin tergesa menyelesaikan sehingga tidak memikirkannya dengan matang. Tokoh ini membuat keputusan yang bakal berpengaruh besar kepada banyak orang. Keputusan yang pada naskah sebenarnya adalah fake solution, dan akan dibenarkan pada sekuen berikutnya. Namun dari sudut pandang si tokoh yang mengambil keputusan, ini adalah keputusan sepihak yang beresiko dan sedikit keluar dari karakternya sendiri. Keputusan ini kembali mencerminkan politik; menunjukkan sedikit kepada kita pemimpin seperti apa si tokoh ini kelak. Dan aku enggak tahu apakah sutradara Chris Buck dan Jennifer Lee sengaja atau tidak – sadar atau tidak – menempatkan si tokoh dalam posisi demikian.
 
 
 
Sebagai dongeng modern Disney, film ini adalah salah satu yang paling berani dan ambisius. Dia berkembang menjadi lebih dewasa daripada film pertamanya. Secara visual, film ini tampil lebih baik. Lagu-lagunya juga enggak begitu over. Catchy juga, suara Menzel juara, Namun secara cerita, mengalami penurunan. Ceritanya padat tak beraturan, dengan selingan eksposisi yang memperlambat tempo. Petualangan yang dihadirkan tak begitu terasa seperti petualangan yang menyenangkan. Tapi jika kita sudah mencintai karakter-karakternya, maka akan mudah untuk tetap menyukai film ini. Pada dasarnya mereka semua lovable. Termasuk tokoh-tokoh baru. But gosh.. I hate Olaf.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FROZEN II