“The female is, as it were, a mutilated male, and the catamenia are semen, only not pure”
Serasa jadi cucu B.J. Habibie kita semua dibuat oleh Habibie & Ainun 3. Duduk manis di kursi masing-masing mendengarkan Eyang mengisahkan kepada seluruh keluarga kenangannya tentang seorang wanita hebat yang menjadi cinta abadi beliau; Ibu Ainun. Tentang pertemuan dan perpisahan-sementara mereka berdua demi cita-cita. Tentang masa kecil Ainun. Tentang perjuangan pendidikan Ainun. Tentang perjalanan cinta Ainun (di layar, sebelum cerita berlanjut cucu-cucu yang kecil dikirim keluar ruangan oleh Eyang karena sepertinya imaji Jefri Nichol bertelanjang dada dapat menjadi terlalu berlebihan buat mental mereka). Dan klimaksnya adalah tentang pilihan besar yang dibuat oleh Ainun atas nama kemajuan Indonesia.
Film ini worth untuk ditonton sedari penampilan pemainnya. Berkat keajaiban prostetik, Reza Rahadian disulap seperti sosok Habibie tua, untuk kemudian kemagisan aktingnya melanjutkan tugas sehingga aktor ini benar-benar tampak bergerak, bicara, bernyawa seperti Pak Habibie tulen. Melihat penampilan mengagumkan Reza di sini, kita akan paham kenapa film ngotot mempertahankan untuk tetap memakai Reza untuk Habibie muda; di mata mereka menggunakan efek de-aging CGI beresiko jauh lebih kecil dibandingkan mencari pemain yang belum tentu bisa memainkan sebaik yang dilakukan oleh Reza. Sedangkan Maudy Ayunda; meskipun fisiknya tidak banyak diubah, tetapi Maudy seperti menghidupi karakter Ainun luar-dalam. Ainun adalah pribadi yang pintar, ringan tangan dalam menolong orang, punya hati yang lembut di balik tekad yang kuat. Itu semua tampak effortless dibawakan oleh Maudy, seolah ia tercipta untuk peran ini. Di film ini Ainun akan menjalin hubungan dekat dengan dua pria, dan Maudy berhasil mengenai setiap emosi yang dibutuhkan sehingga kita mengerti perbedaan intensitas cinta yang mesti ia tampilkan.
Tambahkan kepekaan sutradara yang luar biasa terhadap memancing reaksi emosional dari penonton, baik melalui timing masuknya musik dan lagu ataupun melalui timing kamera; Film ini hadir sebaik yang bisa diusahakan oleh Hanung Bramantyo. Ini adalah yang terbaik yang bisa ia hasilkan darimateri sekuel yang ia tangani. Dan di sinilah masalahnya; materi kali ini tidak berhasil dipertahankan sebagai hal yang menarik. Malah terasa ada dua sudut pandang, dan dua kepentingan yang tak bisa bercampur padu.
Proyek Habibie & Ainun 3 pertama kali disiarkan ke publik pada bulan April 2019 lalu, sebagai sekuel dari Habibie & Ainun (2012) dan Rudy Habibie (2016). Naturally tentu saja banyak peristiwa yang terjadi antara April hingga Desember 2019 saat perilisan filmnya. Di antaranya adalah wafatnya bapak yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia ini. Meninggalnya B.J. Habibie selain membuat satu negara berduka, juga mengubah course film. Dari yang tadinya film diniatkan sebagai murni kenangan beliau untuk ibu Ainun – Pak Habibie bertindak sebagai semacam supervisor yang memastikan tidak banyak fakta yang menyimpang muncul pada film, berubah menjadi untuk didedikasikan kepada beliau. Seperti yang tercantum pada poster film ini “Dedicated to the Memory of B.J. Habibie”. Ini akhirnya menjadi ‘konflik’ yang tercermin benar pada hasil film.
Dari judulnya memang kita seharusnya sudah mengerti tokoh Habibie yang ikonik dimainkan oleh Reza Rahadian akan mempunyai peran lebih besar daripada sekadar cameo. Namun perubahan keadaan di dunia nyata, memberikan efek peran Habibie dalam film ini menjadi lebih banyak dan lebih memusatkan cerita kepadanya. Misal pada babak pertama, kita kembali mendapat sudut pandang Habibie muda yang menceritakan kepada Ainun mimpi dan cita-citanya membuat pesawat. Menunda sudut pandang tokoh wanita utama, yakni Ainun, yang seharusnya ini adalah gilirannya untuk dijadikan fokus. Setelah tiga-puluh menit barulah kita mendapat sudut pandang Ainun, mengetahui keinginannya, dan apa yang menjadi hambatan baginya. Film seperti jadi tidak percaya penonton tertarik untuk mendengar cerita Ainun. And I think it is ridiculous. Maksudku, gimana penonton mau percaya pada cerita yang mereka bawa tatkala filmnya sendiri udah duluan nunjukin ketidakpercayaan terhadap cerita tersebut dengan tetap menjadikan Habibie – yang sudah punya dua film tersendiri – sebagai ‘jualan’ utama. Close up tetap pada wajah Reza tidak peduli saat versi muda wajahnya kadang tampak mengerikan oleh efek komputer. Namun, melihat ke belakang setelah film usai, hal ini sepertinya juga dikarenakan hanya ada sedikit porsi yang benar-benar menarik yang bisa diangkat dari cerita Ainun. Dan itu pun tampak sama tak-meyakinkannya dengan efek wajah muda Habibie Reza.
Narasi soal Ainun melingkupi dia menolak hanya menjadi bidan. Ainun ingin menjadi dokter. Ainun kuliah kedokteran di Universitas Indonesia pada tahun 1955. Terlebih cerita ini adalah pada masa baru terbebas dari penjajahan, dan mayoritas Indonesia masih punya pandangan cukup terbelakang. Wanita masih belum diharapkan sekolah tinggi, apalagi menjadi dokter. Ainun ‘dijual’ oleh cerita sebagai minoritas di kampus. Namun dia cukup populer sampai-sampai mahasiswa dari fakultas lain membentuk fans club dirinya. Ainun populer karena tindakannya yang berani mengalah untuk lebih dari sekadar menang, karena ketenangan, dan karena kecantikannya. Cerita bersinar tatkala membahas Ainun dalam level yang lebih personal seperti ketika ia yang berusaha membuktikan stigma wanita tidak bisa menjadi dokter sehebat pria kemudian mencicipi kegagalan untuk pertama kali. Ketika mencoba menyisipkan soal kebangsaan pada susahnya menjadi wanita yang ingin menjadi dokter, cerita menjadi tak meyakinkan.
Jadi dokter itu susah, terutama buat wanita. Stigma ini udah melekat hari-hari awal perkembangan dunia pengobatan, bahkan filsuf Yunani Aristoteles mengkarakterisasikan wanita sebagai “jantan yang termutilasi”. Kepercayaan ini terus menurun di dalam kultur kedokteran. Bahkan diduga sebagai akar dari pandangan ilmiah yang menyokong wanita dari tulang rusuk, sehingga merupakan minor/inferior daripada pria.
Terutama karena film mati-matian membuat keadaan Ainun seperti Marie Thomas, dokter wanita pertama dari Indonesia. Seolah Ainun adalah mahasiswi kedokteran pertama yang visioner, akan tetapi hal tersebut malah dibahas dengan elemen-elemen pendukung yang enggak maksimal. Antagonis Ainun hanyalah satu orang senior cowok, yang oleh naskah ditulis punya ego comically tinggi dia masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Perjuangan Ainun akhirnya mengalah masuk ke dalam balutan drama romansa. Kisah cinta Ainun dan Ahmad pada masa perkuliahan yang berusaha keras dibuat manis, tidak pernah terasa semanis yang diinginkan karena kita sudah tahu pada siapa Ainun akhirnya bersama. Kita sudah mengantisipasi perpisahan mereka. Beruntung naskah menyiapkan dialog-dialog quotable nan sensasional untuk scene putus. Sebagian besar penonton yang sudah disasar akan menikmati sekali adegan break up ini, karena memang dibuat dengan jor-joran. Terlebih karena film dibuat dengan teknologi dolby atmos.
Tema perjuangan wanita di dunia laki-laki tidak terasa benar seperti narasi perjuangan perempuan. Melainkan lebih seperti narasi penghormatan seorang pria kepada wanita. Tentu saja ini adalah pesan yang bagus, hanya saja film masih terasa seperti dunia pria. Karena yang diperlihatkan oleh film adalah Ainun masih butuh untuk diselamatkan oleh pria. Ainun masih sebuah ‘piala’ yang dimenangkan dalam suatu kompetisi maskulin. Perjuangan Ainun meraih gelar dokter, perjalanan cintanya yang mengambil porsi besar dari bentuk perjuangan itu, menjadi sia-sia karena pada akhir film kita tidak melihat Ainun sebagai sosok tersendiri. Pidato valedictorian Ainun yang powerful sebagai puncak arcnya dengan cepat tergantikan oleh kebutuhan film memperlihatkan footage asli dari pemakaman Pak Habibie. Bahkan kisah cinta Ainun saja dibayangi oleh sudut pandang Habibie yang ditanyai oleh cucu-cucunya “Apa Eyang tidak masalah?” Semua daging cerita ada di Ainun, tetapi dari cara disampaikannya film lebih bertindak sebagai pengingat kepada kita bahwa dia Ainun ‘hanya’ istri Habibie.
Satu lagi ungkapan yang sudah ketinggalan zaman yang dipakai dalam konteks bertutur film ini adalah “Di belakang setiap pria yang hebat ada wanita hebat”. Ungkapan tersebut setidaknya sudah dipergunakan sejak pertengahan 1940an. Ungkapan ini perlu diubah karena seperti menyugestikan posisi wanita berada di belakang pria. Padahal semestinya pria dan wanita sejajar. Wanita hebat ada di sebelah pria yang hebat. Wanita hebat ada bersama pria yang hebat.
Cerita film ini mengalir dengan lancar, bahkan dengan gaya narasi yang seperti flashback. Desain produksi dan penampilan pemain mayoritas jempolan. Beginilah cara terbaik untuk menyajikan cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang. Agak tumpang tindih memang – ini mungkin adalah contoh film yang dipengaruhi oleh kejadian dunia nyata, dan sebenarnya tidak mengapa jika banting stir digunakan untuk mengenang B.J. Habibie sebagai tambahan dari mengenang Ainun lewat Habibie. Tapi ini juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengenang seorang wanita hebat, tanpa menyertakan pria hebat yang didampingi olehnya. Meskipun mengusung gagasan pria dan wanita punya kesempatan yang sama dalam hal apapun, dan dari judulnya film ini memang tentang mereka berdua, akan tetapi cara film memposisikan penceritaan, menempatkan dan memperlakukan narasi tentang Ainun, tak pelak membuat kita bertanya; Apakah wanita masih minoritas di dalam dunia pria?
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HABIBIE & AINUN 3
So yea, apa menurut kalian wanita masih minoritas pada jaman kekinian sekarang? Nun jauh di lubuk hati, apakah kalian masih akan menonton film ini jika judulnya hanya “Ainun” saja?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.