GHOST WRITER Review

“The man who kills himself kills all men.”

 

 

Datang dengan sebuah ide cemerlang kadang memang begitu melelahkan sampai-sampai kita tidak begitu saja ‘sanggup’ mengembangkannya menjadi suatu karya utuh. Sehingga kita membutuhkan penulis bayangan – ghostwriter – untuk menyelesaikannya buat kita. Dalam dunia seni dan literatur, praktek ghostwriting ini sudah lumrah. Banyak buku-buku dari pengarang terkenal yang diketahui ditulis dengan jasa penulis bayangan – yang menulis tanpa dicantumkan namanya. H.P. Lovecraft pake ghostwriter. R.L. Stine pake juga. Tom Clancy. Buku-buku autobiografi banyak yang menggunakan ghostwriter entah itu dalam penyuntingan ataupun nyaris secara keseluruhan untuk alasan yang jelas; tidak semua publik figur bisa menulis dengan literasi yang baik.

Dan sesungguhnya tidaklah memalukan untuk mengakui kita butuh pertolongan orang lain; tema penting inilah yang bekerja di balik horor komedi cerdas yang literally mereferensikan hantu beneran pada ghost dalam istilah ‘ghostwriter’.

 

Naya membawa adik cowoknya yang baru SMP tinggal di sebuah rumah tua yang harganya terlalu miring untuk ukuran rumah tersebut. It was a good deal bagi Naya yang mencari nafkah sebagai seorang penulis. Novelnya berhasil menjadi best-seller, tapi itu tiga tahun yang lalu. Dengan royalti yang semakin berkurang, Naya perlu untuk menulis cerita hits berikutnya. Ya, selain cewek pemberani, Naya juga mandiri, dan dia tidak mau untuk meminta bantuan orang lain – bahkan kepada pacarnya yang aktor sinetron kondang. Sifat enggan-minta-tolong tersebut yang menjadi fokus utama inner journey Naya dalam cerita Ghost Writer. Naya menemukan buku diari di rumah barunya yang mengerikan. Berisi kisah pilu seorang cowok yang bunuh diri karena merasa ditekan oleh orangtua yang menyalahkan dirinya karena suatu tragedi. Inilah cerita yang sekiranya dapat menyambung hidup Naya dan adiknya. But the catch is, untuk dapat menuliskannya Naya yang gak mau dibantu harus minta tolong kepada hantu pemilik buku yang ternyata masih bergentayangan di rumah itu.

aku menemukan dua referensi Scott Pilgrim gentayangan di film ini; di kaos si adek dan di poster kamarnya

 

Bagian terbaik dari film ini adalah interaksi antara Naya dengan hantu Galih. Tatjana Saphira dan Ge Pamungkas, sebelumnya juga pernah main bareng di Negeri Van Oranje (2015), terlihat sangat seru bercanda-canda berdua. Menarik sekali melihat Naya dan Galih berusaha bekerja sama menulis buku. Mereka saling kasih usul apa yang harus ditulis, apa yang tidak boleh. Juga ada peraturan dari gimana Naya bisa melihat Galih. Seperti peraturan Death Note; orang yang menyentuh diari Galih akan bisa melihat sosoknya. Peraturan ini dimainkan oleh film dengan kreatif dan menghasilkan banyak adegan kocak. Kita butuh lebih banyak interaksi antara mereka berdua. Proses menulis bukunya terasa lebih singkat dibanding porsi cerita yang lain, banyak yang digambarkan sebagai montase. Tapi memang sih, kupikir, hanya ada sedikit cara untuk memfilmkan dua orang menulis buku tanpa berlama-lama dan menjadi membosankan.

Mengusung perpaduan unholy antara horor dengan komedi, Ghost Writer benar-benar ciamik ketika dia mencoba untuk membuat kita tertawa. Ernest Prakasa yang ‘hanya’ tertulis sebagai produser di kredit agaknya jadi ghost writer juga lantaran candaan dan tektok dialog yang kita jumpai dalam cerita ini terasa gaya Ernest banget. Tentu saja dengan tidak bermaksud untuk mengecilkan peran sutradara, Bene Dion Rajagukguk. Komedi didorong olehnya bahkan lebih jauh lagi. Rasa-rasanya tidak banyak sutradara yang mampu menyisipkan teror hantu ke sekuen bathroom joke yang cukup panjang, dan membuat nyaris satu studio penonton terbahak-bahak. Benar-benar selera merakyat.

Ada sisipan candaan obrolan tokoh yang diperankan oleh Arie Kriting dan Muhadkly Acho yang berdebat soal hantu kala menonton video-video seram di kantor mereka. Peran dan adegan mereka memang terasa seperti tempelan, meskipun ada satu percakapan yang sebenarnya memerankan peranan yang penting daripada kelihatannya. Karena mereka membahas sesuatu yang integral dengan tema besar cerita. Mereka mendebatkan soal kenapa orang yang bunuh diri kembali ke dunia sebagai hantu yang penasaran. Masalah belum tuntas apa yang ingin mereka selesaikan. Bukankah bunuh diri adalah tindak yang direncanakan, dan bunuh diri berarti dia yang mematikan dirinya sendiri. Inilah yang ingin ditekankan oleh film. Orang yang bunuh diri mati bukan salah orang lain. Malahan, justru orang yang bunuh diri sebenarnya juga ikut ‘membunuh’ orang lain. Bunuh diri adalah perbuatan yang egois. Seolah menyalahkan, memberikan hukuman kepada orang yang ditinggal. Tentu, dunia mungkin memang kejam. Dunia mungkin membully. Dunia tidak adil dan tidak perhatian. Tapi itu bukan alasan untuk menjadikan bunuh diri sebagai statement menyadarkan orang lain yang memperlakukan kita salah, atau cuek sama kita. Bunuh diri adalah ultimate form dari mengasihani diri sendiri. Tindak dramatisasi sebuah sikap pasif agresif yang sangat berlebihan. Untuk tidak membocorkan terlalu banyak; Inilah yang disadari oleh Galih, yang kemudian menjadi pendukung untuk pembelajaran karakter Naya

Tokoh-tokoh sentral dalam film ini bertindak seolah mereka tidak butuh bantuan orang lain. Bahkan ada satu tokoh yang berkata marah “aku bisa hidup sendiri, tidak butuh bantuan” padahal dua menit sebelumnya dia baru saja diselamatkan dari jepitan lemari. They act tough as statement to others as they put themselves in danger. Film ini menyuarakan pesan anti-bunuhdiri. Jangan gengsi atau malu untuk minta tolong. Apalagi kemudian bunuh diri untuk menyalahkan orang-orang terdekat yang tidak mengerti bahasa minta tolong kita.

 

ketika kau sadar hantu adalah penulis lebih baik darimu yang hanya mampu memainkan kata ‘rawon’ dan ‘setan’.

 

Sebagai katalis untuk horor dan komedi, digunakan drama. Backstory para hantu, dan juga Naya, mampu mengubah air mata derai tawa kita menjadi air mata sedih dan haru. Pada elemen ini film menunjukkan taringnya sebagai tontonan keluarga selama libur Lebaran. Konflik antarkarakter juga cukup efektif. Kerumitan hubungan antara Naya dengan Galih berimbas kepada hubungan Naya dengan pacarnya, film juga mengeksplorasi hal tersebut tanpa pernah tersandung masalah tone. Dari tawa, sedih, ke takut, kemudian tertawa lagi, cerita bergulir cepat dan kita berpegang kepada karakter-karakter yang udah seperti bunglon. Mampu bekerja dengan baik dalam kondisi tone cerita yang berbeda. Tapi terkadang, pergerakan ini begitu cepat sehingga cerita seperti melayang. Editing film ini kurang ketat. Beberapa adegan ada yang terasa masuk begitu saja. Ada juga yang terasa berakhir seperti terburu.

Kadang naskah tampak lebih pintar dari filmnya – aku gak ngerti apakah itu mungkin. Tapi ada pilihan yang diambil oleh film yang membuatku merasa seperti demikian. Seperti istilah ghost writer sendiri. Seharusnya Naya yang menulis cerita si hantu; tapi kalo begitu gak cocok sebagai harafiah ghost writer. Naskah menyadari hal tersebut dan membuat Galih, yang walaupun sering typo, punya diksi lebih baik dari Naya dan kita melihat sebagian besar Galih yang menulis ceritanya. Pada akhirnya penulis hantu berubah menjadi hantu penulis. Tapi bukan ghostwriter lagi dong namanya kalo si hantu nulis ceritanya sendiri. Kita tidak benar-benar dapat sense Naya adalah penulis yang baik seperti yang disebutkan. Malahan, Naya si tokoh utama nyaris menjadi hantu dalam ceritanya sendiri. Stake ekonominya juga kurang terasa menekan.

 

 

Dengan premis dan perpaduan yang menarik, film ini bakal dengan mudah disukai oleh banyak penonton. Permainan aktingnya juga menyenangkan. Naskahnya cerdas men-tackle permasalahan yang penting. Namun berceritanya; banyak elemen-elemen penting yang diceritakan dengan lepas dari bagian utama. Ada bathroom joke yang cukup panjang yang bisa jadi turn off buat sebagian penonton. Meskipun gagasan yang terkandung masih bisa kita dapatkan pdengan cukup jelas, tetep saja kita melihatnya dan berpikir ‘adegan itu seharusnya bisa difungsikan dengan lebih baik lagi’.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GHOST WRITER

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah pendapat kalian soal ‘tren’ bunuh diri yang sempat tren di media sosial beberapa waktu yang lalu? Siapa menurut kalian yang salah dalam kasus remaja di malaysia yang melompat dari lantai atas apartemen karena 60% teman di instagramnya mengevote dia untuk bunuh diri?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

SINGLE 2 Review

“You are never truly alone.”

 

 

 

Jomblo, berdasarkan penyebab, banyak jenisnya. Ada yang menjomblo karena masih merasa perlu untuk bertualang mencari yang cocok. Ada yang sengaja jomblo karena masih mau hidup bebas. Ada juga yang seumur-umur jomblo lantaran gak berani mengungkapkan perasaannya. Ebi adalah jenis jomblo yang terakhir. Yang paling mengenaskan. Penonton yang udah ngikutin Ebi dari film pertamanya yang rilis 2015 pasti hapal masalah mental yang diderita oleh cowok ini; susah ngomong sama cewek. Di film yang kedua ini kita akan dibawa mengulik sedikit lebih dalam kenapa lidah Ebi suka kelu di hadapan cewek cakep. Kenapa Ebi, yang udah deket banget ama si cantik Angel, ternyata masih single.

Menjelang usia 30 tahun, Ebi semakin merasakan tekanan dan desakan untuk segera punya pasangan. Adik dan teman-teman baru Ebi berusaha meyakinkan dirinya untuk segera menembak Angel. Atau paling enggak, cari cewek, supaya bisa segera angkat kaki dari klub Single – bayangkan kelompok “Single & Sufficient” yang dibuat oleh Jess dalam serial New Girl, tetapi klub Ebi ini anggotanya cowok virgin-virgin tua yang jauh lebih menyedihkan dengan aktivitas yang lebih jauh dari kata menyenangkan. Di balik tampang blo’on penuh ngarepnya, Ebi mulai merasakan depresi yang perlahan tumbuh seiring percaya diri yang terus berkurang. Ini membuatnya hampir dipecat dari kafe tempat ia manggung berstand-up comedy. Karena orang-orang mulai bosen dengan lawakannya yang itu-itu melulu. Ebi has come to terms dengan trauma masa kecilnya, di mana ia ditolak mentah-mentah saat dengan pedenya ‘menembak’ cewek teman sekelasnya. Supaya ia bisa menemukan keberanian untuk menghadapi kejutan-kejutan di dalam hidupnya.

Kejutan terbesar yang kita dapati pada Single Part 2 adalah bahwa ini sebenarnya merupakan perjalanan Ebi dari jomblo menjadi seorang ‘playboy’; Dalam sense, Ebi harus menyadari hubungan-hubungan spesial yang sudah ia jalin dengan setiap orang yang ada dalam hidupnya. Sebab pertanyaan penting yang diajukan film ini adalah apa sih arti jomblo itu sesungguhnya. Benarkah kita pernah benar-benar sendirian hidup di dunia.

Dewasa and confused

 

Single 2 boleh jadi adalah proyek transisi Raditya Dika yang sendirinya sudah meninggalkan masa-masa jomblo yang nelangsa. Untuk menunjukkan proses pertumbuhan itu, film ini dibuatnya menjadi jauh lebih dewasa ketimbang film-film buatannya sebelumnya. Single 2 mencoba untuk lebih sering menyasar ke ranah drama yang agak lebih serius. Tapi kita dapat merasakan ada sedikit kebingungan pada proses kreatif film ini. Film seperti enggak yakin dalam memutuskan cara yang tepat untuk mentackle materi mereka tanpa meninggalkan target pasar yang lama secara keseluruhan. Mereka enggak yakin penggemar Dika sudah turut bertumbuh bersama mereka. Jadi kita mendapatkan adegan patung monyet yang bisa berbicara. Film masih merasa perlu dibantu oleh kekonyolan, film masih merasa perlu untuk meniru komedi gaya anak muda stoner film barat. Literally, magic mushroom adalah device penting yang membawa plot masuk ke dalam babak ketiga. Alih-alih membuat tokohnya mengambil keputusan, alur film bertema kedewasaan cinta ini bergerak oleh tokoh utama yang mabok dan dibanting ke lantai semen oleh kakek-kakek.

Saat menonton ini, aku ngiri sama para pengunjung kafe di tempat Ebi manggung. Mereka bisa dengan selownya ngeloyor keluar kafe karena jengah mendengar Ebi terus-terusan mengasihani diri. Karena itulah persisnya yang sebagian besar kurasakan. Aku ingin cabut dari studio. Film ini sama sekali tidak menyenangkan. Bahkan untuk standar Raditya Dika yang udah ‘jago’ menggarap komedi dari premis orang jomblo mencari cinta, cerita usang film ini terasa begitu sok-sok sedih sehingga menjadi annoying. Ebi adalah tokoh utama yang membuat kita ingin menonjok wajahnya. Dia sedih dirinya masih jomblo, tapi dia tidak menunjukkan usaha. Kita diharuskan sedih gitu aja melihat dirinya tidak bisa bilang “gue cinta ama elo” ke cewek yang ia taksir. Kita diminta untuk bersimpati melihat dia mengasihani dirinya sendiri setelah ia tidak menghindar dari keputusan ketika pilihan itu datang. I mean, dari mana tawa itu bisa datang jika kita dipaksa untuk merasa kasihan? Bukankah ini seharusnya adalah cerita komedi?

Hampir semua adegan dimainkan untuk komedi yang sudah sering kita lihat pada film-film Raditya Dika. Dia diberikan saran oleh temennya, dan betapapun wajahnya kelihatan sangsi, dia tetap melakukan saran tersebut tanpa memikirkannya. Tentu saja adalah hal yang bagus jika film komedi punya banyak adegan komedi. Hanya saja, tentu akan lebih bagus lagi jika komedi tersebut punya bobot ke dalam cerita, actually integral ke dalam perkembangan cerita, bukan sekedar momen lucu untuk ditertawakan. Klub Single yang diikuti Ebi seharusnya bisa dimainkan lebih banyak ke dalam cerita. Atau setidaknya, keberadaannya tidak demikian membingungkan. Kita paham Ebi masuk jadi anggota karena dia jomblo, dan dia takut melepas status tersebut karena itu bakal berarti ada kemungkinan dia kehilangan Angel selama-lamanya jika ia mencoba untuk melepas kejombloan dengan nembak Angel, maka Ebi masuk klub sebagai pembenaran bahwa jomblo tidak menyedihkan. Tapi kenapa klub itu dibuat tidak pernah tergambar; jomblo-jomblo saling support supaya enggak sedih-sedih amat, atau supaya menimbulkan keberanian dapat pacar? Kita melihat anggota yang dapat pacar dan anggota yang punya rekor jomblo terlama sama-sama dikasih ucapan selamat – jadi apa tujuan klub ini exactly? There’s also part ketika Ebi terlibat sesuatu dengan seorang transgender; yang menurutku mereka bisa membuat cerita dari sini kalo memang niat menggali yang baru, namun pada akhirnya memang hanya sebagai komedi saja. Yang tampak seperti usaha lemah memancing kelucuan kayak yang dilakukan pada Stu dengan ladyboy Thailand di The Hangover Part II (2011).

Ada banyak layer drama yang seharusnya bisa digali, dijadikan fokus. Bahkan jika fokus di masalah adik dan keluarga yang terlalu ikut campur, mungkin film bisa jadi lebih menyenangkan dan dewasa. Single 2 tampak berambisi menyatukan semua yang terpikirkan. Masalah saingan cinta juga kembali dimasukkan. Sehingga semua elemen cerita film ini terasa kurang masak. Tokoh-tokohnya terdengar sama-sama komikal semua. Dengan penampilan akting yang secara seragam di batas standar ke bawah. Yang paling mending cuma si Annisa Rawles yang bermain sebagai Angel; tokoh yang paling terbingungkan oleh Ebi. Aku juga lumayan salut tokoh Angel tidak terjatuh dalam kategori ‘manic pixie dream girl’. Ada nice set-up terkait Angel yang di akhir cerita membuat kita bertanya apakah film sedang ‘menghukum’ dirinya atau cerita memang sedang dalam proses semakin memperkuat sudut pandang tokoh ini – mungkin untuk installment berikutnya.

ada satu lagi Arya jadi korban ‘kirain-sayang-ternyata-cuma-kesepian’

 

 

Ketika bicara relationship, kita akan berpikir tentang pasangan. Padahal itu bukan satu-satunya jenis hubungan. Jomblo dalam satu jenis hubungan, tidak berarti kita ‘jomblo’ juga di aspek lain dalam hidup. Kita punya keluarga. Kita punya teman. Tetangga. Rekan kerja. Hobi. Agama. Jangan biarkan kesepian menelan kita. Fokuslah pada semua cinta yang ada di dalam hidup.

 

Menurutku, durasi dua-jam lebih terlalu berlebihan untuk film ini. Cerita bisa lebih tight jika dibuat untuk durasi standar 90 menitan saja. Fokus cerita tentang ketakutan Ebi jadi kabur lantaran durasi yang kepanjangan. Kita terlalu lama merasa kesal karena di separuh awal kita tidak tahu kenapa EBi yang sedih dan takut jomblo tidak berusaha keras sedari awal. Kenapa dia mundur setiap kali ‘kebetulan’ ada cowok lain datang di antara dia dan gebetan. Untuk sebagian besar waktu, progresnya yang diset dari mengasihani diri menjadi bisa menertawai diri dan angkat kepala menghadapi yang ia takutkan, membuat Ebi tampak bland dan menyebalkan untuk diikuti. Mungkin film memang meniatkan kita untuk merasa geregetan terhadap sikap Ebi di awal, dan perlahan hingga pada akhirnya kita akan merasakan simpati karena kita diberitahu Ebi berada dalam kondisi ‘dia-sudah-menang-tapi-dia-belum-tahu’ sehingga kita mendukungnya. Tapi sekali lagi, ada komplikasi yang tak diperhitungkan yang membuat cerita ini berakhir ‘membingungkan’, karena Ebi tidak pernah diperlihatkan mengkonfrontasi masalahnya dengan Angel sehingga di akhir itu dia tampak seperti mengkonfirmasi perkatan salah satu tokoh kepada dirinya; bahwa dia adalah seorang playboy.

 

 

 

Seperti Ebi yang bingung, ibunya Angel yang bingung, Dika juga bingung mengeksplorasi kejombloan di usia dewasa tanpa meninggalkan penonton remaja. Sehingga kita yang nonton pun ikutan bingung. Gimana bisa simpati kalo tokohnya membuang kesempatan dan gak ada usaha. Gimana bisa ketawa kalo tokohnya mengasihani diri terus. Inner journey film ini sebenarnya lumayan menarik dan masuk akal. Akan tetapi satu jam lebih ngebangun perkembangan hanya untuk magic mushroom membukakan jalan untuk the rest of the story; sesungguhnya adalah sesuatu yang konyol. Penceritaan yang banyak kekurangan ini seharusnya dilakukan dengan lebih kompeten sehingga bisa lebih enak penonton ikuti dan benar-benar mengenai notes dan gagasan yang diinginkan.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SINGLE 2

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah punya pasangan beneran lebih baik? Sudikah kalian bertanya ke dalam hati kenapa sebenarnya dirimu masih jomblo?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

GODZILLA: KING OF THE MONSTERS Review

“History shows again and again how nature points out the folly of man”

 

 

Bencana alam terjadi, dan orang-orang relijius akan menyebutnya sebagai peringatan Tuhan kepada umat manusia. Bahwa tsunami, gempa, gunung meletus adalah murka Yang Maha Kuasa atas perilaku manusia yang sudah menyimpang. Bahwa kita sudah mengecewakan alam semesta. Orang Jepang sependapat, meskipun kepercayaan mereka sedikit berbeda. Alih-alih ‘cuma’ God, di Tokyo sana yang murka adalah “Gojira”, monster besar yang menghancurkan kota, terbangun oleh ujicoba senjata nuklir. Bencana adalah tindakan Godzilla yang ingin mengembalikan lagi keseimbangan alam yang terganggu akibat ulah dan kerakusan manusia. Keseluruhan mitologi Godzilla, yang ditelurkan banyak film – baik itu animasi ataupun live-action, produksi Jepang maupun Amerika – selalu berpusat terhadap tema tersebut. Selalu menantang kita dengan pertanyaan mungkin saja manusialah monster yang sesungguhnya terhadap alam.

Godzilla: King of the Monsters (untuk selanjutnya akan aku sebut Godzilla 2 saja) garapan Michael Dougherty melanjutkan cerita dari entry pertama MonsterVerse tahun 2014 yang lalu; film-film MonsterVerse memberitahu kepada kita bahwa Godzilla bukan satu-satunya ‘senjata alam’ yang bersemayam tempat-tempat di dunia. Dan pada Godzilla 2 kita berkenalan dengan banyak lagi – sedikitnya ada 17 Titan yang siap turun tangan kalo-kalo manusia sudah sebegitu semena-menanya ngurusin alam. Dan yang namanya manusia – makhluk rakus, angkuh, namun bego – mana bisa menahan diri melihat segitu banyaknya hewan besar yang bisa mereka jadikan senjata nuklir berjalan. Dalam film ini kita akan melihat manusia terbagi menjadi dua golongan; satu yang ingin hidup bersisian dengan Godzilla dan rekan-rekan Titan, dan yang ingin mengendalikan para Titan untuk menghapus sebagian besar populasi demi memulai kembali hidup yang bersih. Dua golongan manusia ini rebutan alat yang memungkinkan mereka ‘berkomunikasi’ dengan Titan-Titan, tapi masalahnya adalah di antara Titan-Titan yang mereka usik dari tidurnya tersebut, ada satu yang bukan berasal dari planet ini. Ada satu yang bahkan tidak tunduk sama Godzilla. Bumi dalam Godzilla 2 tak pelak menjadi medan pertempuran para Titan tersebut. Manusia dengan segala kerakusannya, jadi pelanduk yang siap-siap mati di tengah-tengah mereka.

Sesungguhnya kebegoan dan kesombongan yang lagi dan lagi dilakukan oleh manusia, seperti yang disuggest oleh lagu Godzilla dan film Godzilla 2 ini, adalah manusia suka bermain sebagai Tuhan. Kita pikir kita bisa dan berhak untuk mengontrol alam. 

dan semua hiruk pikuk fim ini berakar dari seorang ibu yang kehilangan anaknya

 

Sejujurnya, aku setuju sama motivasi golongan jahat film ini; untuk membangunkan semua Titan yang tertidur di balik kerak bumi. I mean, duh, ini film monster maka kita butuh sebanyak-banyaknya adegan monster raksasa mengamuk di kota, adegan monster raksasa saling berantem. Film ini punya banyak monster-monster beken yang bakal bikin penggemar Godzilla meraung-raung senang. Di antaranya ada Mothra, Rodan, dan tentu saja si naga berkepala tiga Blue Eyes Ultimate Dragon.. eh salah, maksudnya Ghidorah! Para Titan ini dihidupkan dengan teramat sangar dan begitu menawan. Efek-efek mereka cukup keren, meskipun menurutku seharusnya film bisa memikirkan cara yang lebih kreatif, yang lebih impresif, untuk memainkan raksasa-raksasa ini. Tarok mereka di lingkungan yang lebih terang, mungkin. Karena bagian terbaik dari menyaksikan film ini adalah menyaksikan mereka bertarung. Atau malah setiap kali mereka muncul di layar. Ngeliat ujung capit monster aja rasanya udah puas banget mengingat sewaktu kecil kerjaanku kayak orang idiot menubruk-nubrukkan dua mainan monster. Dari membayangkan kelahi monster mainan yang kaku, dan sekarang melihat para monster beneran ‘hidup’ berkelahi tembak-tembakan sinar dan api dari mulut, film ini adalah impian jadi nyata untuk setiap anak kecil. Godzilla 2, dari segi penampilan monster, memang jauh lebih memuaskan dibandingkan Godzilla tahun 2014 yang irit banget nampilin Godzilla.

Sayangnya kelebihan yang dipunya tersebut langsung ketutupan oleh kekurangan raksasa pada aspek paling mendasar dalam sebuah film; cerita dan penokohan.

Cerita Godzilla 2 berpusat pada keluarga Millie Bobby Brown yang orangtuanya sudah bercerai semenjak kehilangan anak bungsu pada insiden Godzilla tahun 2014 silam. Ibu Millie, Vera Farmiga, berbeda pandangan dengan ayah. Ayah Millie, Kyle Chandler lebih memilih untuk membenci Godzilla seumur hidup, menjauh dari ibu yang terus melakukan eksperimen pengembangan alat-alat untuk berinteraksi dengan para Titan. As the story goes, tokohnya si Millie ini akan semakin terombang-ambing karena kedua orangtuanya literally jadi oposisi, mereka berada di pihak yang berbeda keyakinan. Konflik sentral keluarga ini tidak pernah dieksplorasi lebih dalam karena film hanya berfokus kepada perkelahian monster. Dan kalo boleh jujur, melihat apa yang film ini lakukan pada tokoh-tokoh manusia, aku meragukan penulis ceritanya bisa membuat percakapan dramatis yang bukan berupa raungan dan teriakan.

Aku bahkan gak yakin nama tokoh-tokoh sentral itu ada disebutin semua di dalam filmnya

 

Sungguh menyia-menyiakan sumber daya alam yakni deretan aktor-aktor yang kompeten yang berdedikasi untuk menyuguhkan penampilan yang terbaik. Tapi apalah artinya dedikasi jika dihadapkan pada naskah yang buruk? Tokoh-tokoh manusia dalam film ini membuka mulut untuk meneriakkan kata-kata ke layar monitor di depan mereka. Dan di sela-sela mereka cukup tenang, mereka akan melontarkan dialog-dialog eksposisi. Di mana lokasi para Titan. Apa nama Titannya. Bagaimana device Orca bekerja. Apa cerita legenda jaman dahulu kala. Yang mereka suarakan hanyalah baris demi baris informasi yang sungguh-sungguh membosankan. Tidak ada satu kalipun interaksi antarmanusia yang terasa genuine. Dikasih informasi-informasi tadi, tokoh film ini akan bereaksi dalam rentang tiga pilihan berikut ini; Sok dramatis, Sok ngelawak, atau juga Sok bijak. Makanya film ini terasa sangat membosankan begitu Godzilla dan rekan-rekan raksasanya absen di layar. Ketika ada tokoh manusia yang mati, kita tidak peduli, karena film tidak pernah memerintahkan tokoh-tokoh lain untuk mempedulikan hal tersebut. Mereka hanya dipersiapkan untuk eksposisi, teriak, nyeletuk, lagi dan lagi, tanpa ada sense.

Ini adalah ketidakmampuan film untuk menyeimbangkan antara tokoh manusia dengan tokoh monsternya. Jangankan kita yang nonton, yang nulisnya saja seperti tidak peduli sama tokohnya. Hampir seperti film ini ya tujuannya pengen nunjukin monster-monster kelahi saja. Bandingkan dengan original Jurassic Park (1993) yang punya tokoh seperti Grant, Malcolm, Hammond yang kita pahami pilihan, sudut pandang, dan motivasinya – sementara tetap bikin kita greget oleh penampilan T-Rex dan Raptor. Motivasi tokoh manusia pada Godzilla 2 seperti ditulis seadanya, padahal mereka punya lima tahun dari film pertama untuk mengembangkan cerita. Kenapa untuk menggapai hasil seperti Thanos mereka perlu banget untuk membangunkan seluruh monster yang ada? Kenapa orang yang kehilangan anak oleh monster malah jadi berbalik membenci manusia? Dan kenapa di tengah cerita si orang tersebut pikirannya mendadak jadi ‘bener’ lagi? Ini lebih parah dibandingkan John Wick di John Wick Chapter 3: Parabellum (2019) yang rela dipotong jadinya untuk ikut clause High Table, hanya untuk mengubah pandangannya gitu aja ketika sudah berada di Hotel, karena John Wick memberikan kita tiga film untuk peduli dan dia punya aksi yang badass. Sedangkan tokoh-tokoh Godzilla 2, mereka cuma punya dialog yang ditulis dengan sangat membosankan dan personality yang begitu dibuat-buat. They do nothing to earn our sympathy.

 

 

 

 

Walaupun dihiasi oleh banyak adegan-adegan spektakuler berupa aksi-aksi para monster raksasa, film ini jatohnya seperti film-film bencana alam atau monster yang generic. Karena tidak punya kepentingan cerita dan karakter yang menjulang. Monster-monster yang keseringan muncul toh pada akhirnya bakal menumpulkan excitement kita juga. Cerita yang kebanyakan eksposisi itu juga tentu tidak membantu film keluar dari lembah membosankan. MonsterVerse sejauh ini buatku tampak medioker; setelah entry pertama yang bikin penasaran (lantaran Godzilla ditampilkan terbatas), Kong: Skull Island (2017) dan film ini sangat mengecewakan karena sudah tiga film dan mereka masih belum bisa mendapatkan formula yang seimbang antara monster dengan manusia. Ada banyak pemain yang kompeten dalam jejeran cast film ini, namun mereka semua tersia-siakan karena tak satupun yang tampil seperti ‘manusia’. Film ini sama seperti dunia; hancur di tangan manusia-manusianya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for GODZILLA: KING OF THE MONSTERS. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan pernyataan bahwa manusia adalah perusak alam? Apakah kalian melihat bencana alam sebagai cobaan, teguran, atau malah anugerah?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

AMBU Review

“Maturity doesn’t mean age.”

 

 

Dunia emang lagi panas. Orang pada emosian. Sekarang setiap argumen dapat dengan cepat berubah menjadi kontes tinggi-tinggian suara. Di mana-mana dapat dijumpai orang berantem. Di diskotik. Di jalanan. Di rumah Nona. Ibu dan ayahnya yang padahal udah enggak serumah lagi, selalu berantem setiap kali si ayah datang minta duit. Kayak orang pacaran aja. Nona sendiri juga sering sih, jutek-jutekan sama ibunya. Tapi kan dia memang masih anak SMA. Salah ibunya sendiri enggak mau berusaha ngertiin dia. Nona yang lebih suka keluar malam itu mana bisa tau kalo ibunya ternyata sudah menjual bisnis katering, mobil, hingga rumah mereka. Sehingga kini Nona dibawa sang ibu pergi ke rumah nenek di kampung Baduy, yang btw bahkan Nona enggak tahu nenek ternyata masih hidup! Sialnya, ternyata nenek Nona juga jutek banget. Lebih dari ibu. Uh, mana tahan Nona tinggal di kampungnya yang banyak aturan. Mana betah Nona di rumah ngeliat nenek ngobrol dingin-dinginan ama ibu, Nona juga gak ngerti mereka ngomongin apa! Ibu gak pernah ngertiin Nona. Gak pernah nanya Nona maunya apa. Masa iya Nona mesti tinggal selamanya di kampung sama nenek yang galak sih?

filmnya kayak desa Smurf; banyak warna birunya

 

Bagi Nona, Ambu adalah cerita fish-out-of-water. Secara mendadak, dia harus meninggalkan zona nyamannya di kota, di tempat di mana dia bisa menghindari ibu dengan gampang. Nona adalah kita dalam film ini. Yang menonton masalah yang terjadi di antara ibu dan neneknya. Berkaitan dengan masa lalu yang tidak ia ketahui karena keluarga Nona adalah keluarga yang turun temurun takut untuk menghadapi konflik. Mereka lebih memilih tidak bertanya duluan, dan jika terdesak, maka akan mulai bersifat agresif. Alih-alih menanyakan langsung, Nona lebih nyaman bertanya kepada tetangga di kampung. Dalam membahas tentang betapa beratnya kadang komunikasi di dalam keluarga, film juga sekalian mengajak kita – lewat Nona – melihat fenomena lain. Yakni tentang menikah dalam usia muda. Cerita dalam film ini mengambil tempat di lingkungan kampung Baduy, di mana normal bagi seseorang di sana untuk menikah saat berusia belasan tahun. Meskipun film menyebut sekarang ada batasan usia untuk pernikahan dalam adat di kampung mereka dan nikah dini itu terjadi di masa lalu, cerita film ini tetap terasa dekat dan happening. Relevan. Karena toh belakangan lumayan marak kita temui ajakan untuk menikah muda di sosial media. Film ini berkapasitas untuk menjadi jendela supaya kita dapat melihat salah satu kemungkinan yang bisa terjadi jika sepasang muda-mudi memilih untuk menikah muda. Dan tentu saja, bagaimana dampaknya terhadap keluarga besar mereka. Nona sendiri adalah seorang anak muda yang terlahir dari pasangan yang menikah di usia belia. Makanya jangan heran kenapa film ngecast Laudya Cynthia Bella sebagai ibu dari Lutesha, padahal usia mereka tidak terpaut begitu jauh.

Nikah muda berkaitan dengan sebab kenapa komunikasi dalam keluarga Nona bisa broken seperti demikian. Karena pelaku-pelaku rumah tangganya masih belum cukup dewasa. Secara emosional, tentunya. Yang ingin dikatakan oleh Ambu adalah kadang kita belum cukup matang untuk bisa melihat kita masih gagal dalam usaha bertumbuh untuk menjadi dewasa. Bukan hanya orang-orang yang secara fisik masih muda yang gemar berantem. Karena memang enggak gampang untuk mencapai kematangan emosional. 

 

Nona harus belajar untuk menjadi dewasa, dialah yang punya tantangan paling berat untuk hal tersebut karena dia masih remaja. Ketika ibu bahkan neneknya gagal, Nona dituntut harus berhasil. Karena jika tidak, dia sendiri yang akan paling banyak kehilangan. Gedenya stake dan konflik inilah yang membuat Nona dipilih sebagai tokoh utama cerita, meski memang naskah seharusnya bisa dikembangkan dengan lebih mengangkat dirinya sebagai protagonis. Nona kebanyakan bereaksi ketimbang beraksi. Tidak sampai pertengahan cerita dia baru benar-benar fully aware pada apa yang terjadi. Pada separuh awal, cerita akan membawa kita selang seling; Antara ibu dan nenek yang berusaha come in terms dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu yang membuat hubungan mereka renggang, dengan Nona yang menjalani hidup baru di desa, juga ada sedikit elemen romansa. Dua tersebut tidak terasa paralel hingga midpoint.

Pada beberapa titik cerita, posisi tokoh utama bisa disematkan ke ibu, atau ke nenek. Ibu yang punya motivasi paling jelas sedari masuk babak kedua. Tapi tokoh ini punya rahasia sehingga kita tidak bisa terus berada di sudut pandangnya. Nenek atau Ambu yang diperankan menakjubkan oleh Widyawati adalah tokoh yang melakukan keputusan-keputusan besar yang menggerakkan alur, tapi motivasinya gak terlalu jelas sebab dia masuk di cerita karena keputusan dari tokoh lain. Di antara tiga tokoh sentral ini, Nona adalah tokoh yang keberadaannya paling konsisten, dia juga yang harus kehilangan satu benda yang paling ia sayangi, kejadian di akhir cerita juga terjadi berkat ulahnya, tapi dia tetap kurang kuat karena naskah seperti membagi-bagi porsi. Ini menurutku masalah yang cukup lumrah terjadi kepada cerita yang ingin menunjukkan tiga sudut pandang sebagai poros tengah. Alih-alih tetap meletakkan kendali; plot poin yang menjadi majunya cerita harusnya tetap pada satu orang sudut pandang utama, Ambu malah membagi porsi di plot poin ini sehingga tiga-tiganya malah sama-sama kurang kuat sebagai tokoh utama.

Melihat tokoh-tokoh ini berusaha rekonek sangat mengundang simpati. Posisi ibu yang ingin meminta kembali perhatian nenek, sekaligus ingin anaknya menunjukkan cinta kepada dirinya. Momen saat kita menyadari Nona kepada ibunya adalah refleksi ibu kepada nenek saat mereka masih muda dulu. Film punya momen-momen kuat. Treatment interaksi antartokoh sangat dipertimbangkan. Kamera juga peka sekali menangkap hal tersebut dengan cara yang indah. Misalnya seperti shot dari atas rumah yang memperlihatkan tiga tokoh ini, berada di ruangan terpisah, tapi saling memikirkan keadaan masing-masing. Film ini punya visualstorytelling yang sangat engaging dan elegan. Permainan cahayanya juga menawan, meski untuk aspek ini aku gak mau komentar banyak karena belum yakin apakah cahaya itu alami atau hasil efek suntingan. Namun apa yang mereka shot; semuanya cantik. Secantik permainan aktingnya.

kopernya kayak beneran berat.. atau mungkin memang berat, makanya urat di tangan ibu pada keluar

 

Namun semua pencapaian teknis tersebut bisa dengan gampang teroverlook, lantaran film agak terlalu menonjolkan bagian-bagian yang dramatis. Film ini gemar sama adegan menangis. Bahkan ketika Nona tidak menangis pun, adegannya sebenarnya sedang tangis-menangis. Sepuluh menit pertama jor-joran untuk memeras air mata kita. Ini tentunya dapat menjadi penyebab turn-off buat beberapa penonton. Di bagian selang-seling antara Nona dengan ibu dan nenek yang kutuliskan tadi, tone sedih dengan tone curious ini terasa gak nyampur sehingga aku merasa terlepas setiap kali cerita berpindah. Musiknya juga lumayan over. I mean, kalo di layar sudah ada adegan orang terduduk sambil berurai airmata setelah dibentak oleh anaknya, menggunakan musik yang sedih membuat keseluruhannya terasa overkill. Pancingan dramatisasinya ini menurutku seharusnya bisa lebih diatur lagi pacingnya. Karena film ini sebenarnya punya selera humor yang unik.

Bukan hanya pada Enditha yang memainkan tokoh Hapsa; sahabat kecil ibu Nona, candaan dilontarkan. Melainkan juga pada bagian-bagian yang begitu subtil. Seperti ketika film berulang kali bermain-main dengan antisipasi kita “wah jangan-jangan si itu mati”, ternyata tidak. Keimmaturean Nona, sifat yang penting bagi tokoh ini, juga salah satu kelucuan yang digambarkan dengan menarik. Persona tokohnya ini konsisten, perubahan besar pada dirinya adalah perubahan value yang benar-benar menunjukkan kematangan. Dan menurutku transformasi Nona di film ini – progres tokohnya – tergambar dengan baik. Di awal-awal kita melihat dia berusaha nyalain lampu semprong, dengan memasukkan api dari atas corongnya. Di akhir, ketika dia mengetahui rahasia ibunya dan reaksinya punya undertone kocak “ini mandiinnya gimana..?” Dua tindakan itu mencerminkan sifat kekanakan Nona, tapi kita bisa merasakan value terhadap tindakannya itu sudah berbeda. Pertanyaan Nona di adegan menjelang akhir tadi justru menunjukkan reaksinya sebagai orang yang sudah lebih matang dalam menghadapi kenyataan; dia menggunakan kekanakannya sebagai coping mechanism, tidak lagi sebagai senjata ego.

Film bahkan butuh tokoh yang one-dimensional jahat untuk menghantarkan tiga tokoh ini kepada resolusi cerita. Kalo tokoh yang diperankan oleh Baim Wong enggak muncul dan marah-marah, mukul-mukul, bikin keributan di kampung adat itu, tiga tokoh kita sampai sekarang masih belum eye-to-eye. Belum jujur sama rasa cinta terhadap masing-masing. Cerita menyugestikan mereka butuh untuk ribut gede supaya semua plong dan jelas. Mereka perlu ‘musuh yang sama’. Dan mengingat tiga tokoh kita adalah wanita, kemunculan cowok menjadi pembuka jalan, mungkin bakal membuat para feminis sedikit ketrigger. Bukan cuma satu tokoh ini loh. Ada satu lagi tokoh cowok yang fungsinya memang untuk membantu Nona supaya bisa melihat hidup dari sudut lain, demi menjadi pribadi yang lebih baik. Tokoh orang di kampung yang menemani Nona jalan-jalan berkeliling daerah sana setiap hari, yang jadi pelarian Nona dari ibu dan neneknya, si Jaya yang diperankan oleh Andri Mashadi bisa kategorikan sebagai trope manic pixie dream guy. Jaya adalah sosok pria sempurna, perwujudan laki-laki yang matang dan berpikiran dewasa, yang diidamkan oleh Nona karena yang selama ini ia lihat dalam hidupnya adalah pria-pria immature pengecut yang hobi mukul wanita. It would be nice jika Jaya diberikan konflik sendiri, sehingga kehadirannya tidak sekadar untuk membantu tokoh cewek

 

 

 

 

Sukses menjadikan adat budaya sebagai nafas cerita, film yang ditangani oleh sutradara Farid Dermawan tampak mengolah materi dan gagasannya dengan cukup matang. It has one of the better storytelling yang bisa kita dapatkan dalam drama-drama keluarga belakangan ini. Film punya sepatah dua patah kata yang akan membuat kita semakin menghargai ibu kita masing-masing. Yang terjadi pada film ini bisa saja lebih dekat kepada kita dari yang kita kira, meskipun kadang bisa terasa lebih seperti fantasi. Konfliknya dramatis banget. Arahannya jor-joran menguatkan kejadian-kejadian yang emosional. Yang beberapa bisa berujung ke hal-hal yang gak make sense buat beberapa orang. Kadang bisa agak terlalu intens. Membuat kita overlooked banyak hal-hal menarik lain yang dipunya oleh film ini. Beberapa karakter juga mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi. Seperti kain-kain desa Baduy itu, film ini punya corak yang unik. Tapi tidak seperti kain-kain tersebut, film ini masih ditenun dengan kurang rapi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AMBU. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, apa sih ciri-ciri orang yang tidak dewasa itu? Mengapa menurut kalian bersikap dewasa dalam suatu hubungan itu penting?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

JOHN WICK: CHAPTER 3 – PARABELLUM Review

“A man’s life is about keeping rules, breaking them, and making new ones.”

 

 

Dunia profesional John Wick adalah dunia ‘bawah tanah’ yang penuh darah. Tapi bukan lantas berarti dunia mereka amburadul. Malah mungkin lebih teratur daripada dunia kita. Karena mereka punya kode etik sendiri. Dan mereka-mereka yang terdiri dari pembunuh bayaran, mafia, bandar narkoba tersebut benar-benar memegang teguh peraturan tersebut. “Karena tanpa aturan, kita adalah binatang” begitu kata salah satu petinggi High Table yang menjadi semacam lingkaran pemimpin mereka. Tapi John Wick melanggar peraturan penting di tempat paling sakral yang mereka miliki. Zona aman; sebuah hotel tempat para anggota dunia hitam bisa bersantai, mungkin sambil menyembuhkan diri, tidak ada yang boleh menjalanakan ‘bisnis’ mereka dalam bangunan hotel tersebut. Dan John Wick telah menumpahkan darah di sana.

Cerita film ini dibuka dengan John Wick, bersama anjing kesayangannya, berlarian di sepanjang kota berusaha untuk sampai ke suatu tempat sebelum waktu tenggat satu jam diberikan kepadanya habis. Wick dicabut dari keanggotaan, sekarang kepalanya ditempeli label harga empat-belas juta dolar sesegera mungkin saat satu jam tersebut habis. Wick akan diburu oleh anggota geng hitam dari seluruh sudut gang, seantero dunia. Bahkan bagi penonton yang belum pernah menonton dua film sebelumnya, Parabellum ini akan seketika menguarkan intensitas yang luar biasa. Stake dengan cepat dan efektif terlandaskan. Enggak banyak cing-cong, kita semua langsung tahu ini urusan hidup dan mati. Bahaya mengintai Wick di mana-mana. Kita dapat merasakan betapa besarnya dunia yang menjadi panggung cerita. Dengan John Wick di tengahnya, sendirian di tengah entah berapa banyaknya jumlah musuh. Kita melihat mekanisme komunikasi organisasi mereka bekerja. Kita diperlihatkan seberapa banyak dan besarnya keinginan orang-orang untuk menangkap John Wick. Hal-hal kecil seperti uang bounty yang dinaikkan, ataupun Wick yang terus melirik jam tangan, atau ketika dia harus merakit pistol yang ia temukan dengan cepat sebelum waktu habis, adalah cara film bermain dengan emosi kita. Sehingga kita merasakan desakan. Urgensi. John Wick bahkan diserang sebelum satu jam itu habis! Set up dan build up film ini diceritakan dengan begitu efektif sehingga yang baru sekali ini nonton film John Wick sekalipun akan dapat merasakan kepedulian dan simpati terhadap nobody yang sedang mereka saksikan.

Well, “That f-king nobody… is John Wick!”

 

Benar, kita datang membeli tiket film ini demi menyaksikan sekuen-sekuen aksi yang super-gilak (we’ll get to that later). Tetapi pembangunan dunianya inilah yang membuat kita betah untuk menyaksikan lagi, dan lagi, dan lagi. Sedari film originalnya, John Wick sudah sukses dalam membangun dunia. Lewat film-film John Wick, sutradara Chad Stahelski berhasil membuktikan bahwa film aksi yang brutal bisa kok ditampilkan elegan. Dia juga membangun ‘panggung’ untuk membuat kita penasaran sekaligus semakin tersedot ke dalam dunia cerita. Mengenai backstory John Wick saja, meskipun saat itu belum visual, tapi cerita yang mereka ceritakan dengan setengah-setengah dan bertahap itu membuat kita gak pernah berhenti menggelinjang. John Wick adalah mantan assassin. John Wick adalah seorang baba yaga (boogeyman) yang membunuh tiga orang dengan sebatang pensil. Kita tidak diperlihatkan bagaimana tepatnya, namun dari aksi yang ia lakukan kita tahu rumor tersebut benar seratus persen. Film tidak berhenti sampai di sana untuk mengeksplorasi karakter John Wick. Di film kedua kita beneran dikasih lihat John Wick menggunakan pensil untuk membunuh. Dan di film sekarang, mitos John Wick tetap terus dikembangkan; di film ini kita melihat John Wick membunuh orang dengan buku!

Peraturan, Hotel, dan organisasi High Table juga seperti demikian; dikembangkan secara bertahap. Pada film pertama – selagi kita menonton Wick yang udah keluar dari sana terpaksa harus masuk sebentar demi dendamnya – seolah hanya melihat pekarangan depan dari keseluruhan dunia hitam John Wick. Film kedua kita diperlihatkan dan diberitahu lebih banyak tentang istilah-istilah mereka, gimana dunia mereka bekerja, tapi itu seperti baru masuk ke ruang depan. Bahkan pada film ketiga ini pun kita belum beneran masuk ke ruang tengah; karena film ini dikembangkan dengan penuh gaya dan rancangan yang benar-benar memperhatikan emosi kita. Film membuat kita terus tertarik. Petualangan John Wick bermula oleh kejadian yang lumayan menggelikan, aku sendiri sempat meremehkan film pertamanya yang beranjak dari John Wick ngamuk lantaran mobilnya dicuri dan anak anjingnya dibunuh. Tapi elemen itu terus dengan bangga dikembangkan, diulang-ulang, menjadi bagian dari legenda John Wick. Karakter dan dunia dalam semesta film ini tak pelak akan menjadi seperti Keanu Reeves; immortal!

Sekilas memang terlihat seperti bergerak karena duit. Namun film sebenarnya ingin berbicara sesuatu yang lebih bernilai daripada lembaran uang. Para assassin, orang-orang yang jadi anggota High Table, mereka bergerak karena peraturan. Dengan subtil film menunjukkan kepada kita bahwa kewajiban untuk memenuhi peraturan itulah, ketakutan akan hukuman ketika melanggar hukum itulah, yang menjadi motor penggerak mereka. Dan kontrak di antara mereka-mereka itu bukanlah hitam di atas putih. Melainkan merah, on a cold hard medal.  Berakar pada balas jasa, kerjasama, sifat respek antara satu sama lain. Dunia di mana aksi dan konsekuensi benar-benar ditegakkan, tanpa pandang bulu. Strangely, dalam keadaan terbaiknya, film ini mampu membuat kita menghormati dunia hitam yang keji.

 

Stahelski sendiri memang sangat menghargai dunia action. Sebagai mantan stuntman, tentu dia paham betul bagaimana mengkoreografikan adegan-adegan berkelahi. Dan pada film ini, dia bekerja dengan lebih banyak lagi orang-orang yang sama-sama mencintai genre ini. Semua adegan aksinya benar-benar luar biasa. Dalam setiap film John Wick, selalu ada hal baru yang seketika menjadi memorable. Pada film ini, buatku adalah sekuen dengan kuda. Juga dengan anjing-anjing. Salah satu elemen favoritku yang terus dipertahankan oleh film adalah peluru yang benar-benar sedikit, yang beneran bisa habis. Aku suka melihat John Wick harus mereload senjata di tengah-tengah perkelahian, karena menambah sensasi keaslian. Serta ketegangan. Film ini menawarkan begitu banyak adegan-adegan mendebarkan. Yang direkam dengan wide shot. Enggak terlalu banyak cut. Bak-bik-buknya begitu in-the-face. Ada satu sekuen dengan sepeda motor yang membuatku teringat pada adegan di Final Fantasy VII: Advent Children (2005), bedanya adalah film ini dilakukan oleh orang beneran! Keanus Reeves, salut banget, melakukan hampir semua adegan tanpa aktor pengganti. Aku gak pernah bosen melihat John Wick menembak kepala orang-orang. Film membuat kita melihat perbandingan antara balet dengan berantem, yang mana menurutku sangat keren. Bicara tentang keren; aku yakin kalian semua merinding ketika Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman yang menyapa Wick dengan bahasa Indonesia. Peran kedua aktor tanah air ini dalam cerita memang enggak gede, tapi mereka diberikan momen tersendiri. It was so cool melihat film memberikan waktu kepada bela diri dan aktor Indonesia untuk bersinar.

Film ini punya set piece yang amazing. Warna-warnanya terlihat vibrant. Cahaya neon, lampu-lampu malam, di dalam air, dan pada satu poin cerita, kita juga dibawa ke panasnya gurun. Meskipun penggunaan ruangan kaca dalam film ini seperti pengulangan dari film yang kedua, secara aksi juga agak sedikit terlalu berkesan fantasi, tapi di sini filosofinya sedikit berbeda. Kali ini adalah soal John Wick yang melihat persamaan dirinya dengan para musuh, yang berkaitan dengan pembelajaran bahwa dia gak bisa lari dari siapa dirinya yang sebenarnya. Di balik semua pembangunan dunia dan sekuen-sekuen aksi yang penuh gaya, film tetap berhasil menceritakan satu cerita yang utuh. Ada definitive end. Rahasia dan bigger picture mungkin masih belum terlihat, kita masih belum melihat semua anggota High End, tapi pada chapter ini karakter John Wick sudah menyelesaikan perjalanannya. Dia melanggar aturan, dan membuat yang baru demi dirinya sendiri. Dari yang tadinya pengen kabur, dia akhirnya menyadari dia tidak bisa pensiun dari siapa dirinya.

“Marhaban ya, John Wick!”

 

Kita bisa memahami bahwa Wick pada akhirnya harus dibuat kembali ke Hotel supaya arcnya dalam cerita ini bisa melingkar, Hotel haruslah menjadi medan perang terakhir, tapi kupikir harusnya ada cara yang lebih baik untuk menceritakan hal tersebut. Setelah midpoint yang di gurun itu, narasi Parabellum terasa agak ruwet. Film memilih untuk menampilan satu, katakanlah twist, yang membuat kita jadi ngangkat alis “jadi si dia baik atau tidak?” Menurutku impact dari twist tersebut justru jadi gak langsung mengena. Akan lebih on-point kalo Wick dibuat menerobos Hotel yang sudah menanti kehadirannya, dan kemudian dia sampai di atas, dan mereka berunding tanpa perlu ada elemen deceiving pada narasi. Keputusan film untuk bercerita seperti yang mereka lakukan membuatku jadi merasa seharusnya Parabellum adalah film terakhir, tapi kemudian mereka mengganti rencana dan memanjangkan cerita menjadi seperti ini.

 




Jika mau dibandingkan, film ini lebih terasa secara emosional daripada film keduanya. Stake dan rintangannya lebih kuat. Tapi tetep masih kurang nendang dibandingkan film pertamanya, terutama taraf kegenuine-annya. Film ketiga ini – tampil dengan nyaris non-stop intens dan begitu banyak sekuen aksi yang memorable – lebih terasa seperti fantasi, di mana kita menontonnya demi excitement saja. I mean, bahkan ada adegan Wick dan musuhnya pake jurus ilang-ilangan kayak ninja. Fun, tentu saja, tapi bobotnya terasa sedikit berkurang. Pembangunan dunianya masih mampu menimbulkan rasa penasaran, tetapi ceritanya terasa seperti sudah mentok, dan film ini memanjang-manjangkan. Buat penonton yang baru pertama kali merasai, though, petualangan John Wick akan terasa seperti baru akan dimulai.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for JOHN WICK: CHAPTER 3 – PARABELLUM.

 

 




That’s all we have for now.
Dengan organisasi yang mengharuskan anggotanya untuk patuh peraturan biar gak kayak binatang, dan film ini semacam menjadikan anjing sebagai maskotnya, apakah ada perbandingan antara anjing dan peraturan yang bisa kalian tarik? Apa menurut kalian anjing dalam film ini menyimbolkan sesuatu?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 



BRIGHTBURN Review

“Hypothetical questions get hypothetical answers.”

 

 

 

Berandai-andai memang menyenangkan, kita semua suka melakukannya. Makanya filter ‘gender-swap’ di snapchat langsung ngehits. Berpikir hipotetikal berarti bermain dengan imajinasi. Orang-orang pintar seperti Einstein menghargai kekayaan imajinasi sebagai bentuk dari kecerdasan. Karena dengan berimajinasi, kita mendorong diri sendiri untuk berpikir di luar kotak, di arena yang jauh lebih luas. Ide cerita film Brightburn yang sangat menarik ini terlahir dari andai-andai pembuatnya. Dari imajinasi kreatif yang berusaha membayangkan peristiwa asal muasal superhero dalam cahaya yang jauh, jauh, lebih gelap. Yakni bagaimana jika suami-istri Kent mengadopsi bayi alien super yang jahat kelakuan, alih-alih baik hati.

Bagi Tori Breyer yang diperankan oleh Elizabeth Banks, andai-andai bukan semata imajinasi. Melainkan juga sebuah harapan. Tori dan suaminya sangat pengen dikarunai anak. Dari buku-buku yang disorot pada adegan pembuka, kita lantas mengerti usaha yang mereka lakukan urung membuahkan hasil. Bukan bintang jatuh yang kemudian mengabulkan harapan mereka. Tetapi sebuah meteor. Berisi seorang bayi laki-laki! Tori dan suami membesarkan anak yang mereka beri nama Brandon layaknya anak kandung sendiri. Bahkan ketika Brandon menunjukkan gelagat mengerikan. Yang jelas-jelas bukan perilaku anak baru gede yang biasa. Orang-orang di sekitar keluarga tersebut satu persatu mendapat musibah aneh. Dengan semua ‘bukti’ mengarah ke Brandon pun, Tori tetap kekeuh dengan andai-andainya, bahwa Brandon adalah buah hati kesayangan yang harus ia lindungi.

teman-temanmu gak tau bahwa mereka baru saja meledek seorang alien, Nak

 

Dalam menyampaikan premis unik tersebut, Brightburn menjelma menjadi horor aksi. Penggemar adegan-adegan berdarah akan menyukai film ini. Anggota tubuh yang remuk, wajah dengan mulut literally menganga (karena rahangnya hancur), akan menghiasi layar. Dan cerita tak butuh waktu yang lama untuk sampai ke bagian-bagian sadis tersebut. Yang justru menunjukkan kelemahan yang dipunya oleh film ini. Meskipun dia punya cukup banyak gaya untuk menghadirkan horor kekerasan, film ini tidak banyak bermain dengan penceritaan. Ataupun dengan gagasan ceritanya sendiri.

Sebagai pembanding, kita bisa melihat film The Prodigy (2019) yang juga bicara tentang keluarga yang dikaruniai anak jenius yang bermasalah kelam. Nyaris denyut per-denyut kisah dalam kedua film ini mirip. Anak pintar yang menjadi violent. Bermasalah di sekolah. Menyakiti binatang. Dipanggil untuk konseling. Mengancam konselornya. Lebih banyak orang menderita. Ibu yang akhirnya mengambil tindakan. Bahkan endingnya memberikan kesan yang serupa, dan sama-sama menantang kita untuk minta sekuel. Dua film ini seperti dipotong dari kain yang sama. Hanya beda latar tokohnya. Dalam Brightburn, si anak beneran seorang monster, dan orangtuanya adalah orangtua angkat. Latar yang sebenarnya lebih dari cukup untuk menghasilkan cerita dengan perbedaan masalah yang mendasar. Namun film ini tidak tampak benar-benar tertarik untuk menggali lebih dalam. Mereka hanya bermain di permukaan. Persoalan anak angkat itu tak pernah menjadi prioritas. Film hanya ingin mewujudkan imajinasi mengerikan seperti apa ketika seorang superman cilik menjadi monster super pembunuh.

Ketika The Prodigy mengandalkan lebih banyak kepada penampilan akting untuk menghadirkan keseraman yang bergaung merasuk ke dalam diri kita, sutradara David Yarovesky lebih memilih untuk bergantung berat kepada editing dan efek visual untuk menciptakan sosok monster bertopeng dalam Brightburn. Musik dalam film ini bisa menjadi sangat keras karena ia adalah gabungan dari jumpscare dan ledakan-ledakan aksi. Pemilihan musik ini membuat kita berada dalam situasi yang sulit; karena kita butuh adegan aksi untuk bersuara menggelegar, tapinya film ini menggabungkan aksi tersebut dengan horor, dan kita gak pernah suka horor yang suaranya bikin jantung copot. The Prodigy menggunakan teknik dramatic irony – membuat kita tahu lebih banyak daripada ibu dalam cerita tersebut – sehingga kita semakin peduli sebab kita mengerti betul sejauh apa usaha yang ia lakukan untuk melindungi anaknya, kita bersimpati meski kita tahu yang ia lakukan tidak bisa dibilang benar. Sedangkan Brightburn bercerita dengan lempeng. Penuh oleh trope dan klise dari elemen ‘evil kid’. Tori ditulis sebagai karakter dengan satu kebohongan yang ia percaya; bahwa Brandon adalah anaknya, bahwa Brandon adalah anak yang baik, hanya saja ‘cela’ tokohnya ini tidak pernah mengundang rasa simpati kita. Malah jatohnya annoying. Karena kita melihat Tori sebenarnya sudah tahu, dan film tidak membuat hal menarik untuk menunjukkan dia membohongi diri sendiri, dia tidak pernah tampak seperti melindungi, lebih seperti keras kepala.

Film ini gagal untuk mengangkat moral yang berusaha mereka selipkan ke dalam imajinasi liar premis ceritanya. Bukannya menjadi anti-hero, film ini malah jadi seperti anti-keluarga. Yang mengatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa mengendalikan orang yang bukan darah daging kita, kita tidak akan mengerti mereka, karena kita dan mereka begitu berbeda. Kita tidak bisa terus membohongi diri karena cepat atau lambat kenyataan akan menghantam dengan keras. Kemudian meledakkan kita.

 

Tidak sanggup membuat simpati jatuh ke Tori, maka setelah midpoint film memindahkan fokus cerita kepada Brandon yang sudah tidak bisa mundur lagi menjadi dirinya yang dulu. Tapi kita pun akan susah sekali untuk bersimpati kepada tokoh ini. Kita tidak bisa merasa kasihan kepadanya. Karena film membuat tokoh ini murni jahat. Dia bahkan bukan anti-hero. Brandon tidak ditulis seperti Bezita yang membunuh banyak orang untuk memancing Goku bertarung supaya dia bisa menjadi lebih kuat lagi karena dia percaya hanya dia yang Pangeran Saiya-lah yang dapat mengalahkan Manusia Iblis Buu dan menyelamatkan Bumi. Brandon tidak ditulis seperti Carrie yang mengamuk menghabisi teman-teman sekelasnya karena dia sudah dibully dan dipermalukan di depan mereka semua. Brandon cuma diledek, apakah itu berarti dia pantas untuk balas dendam? tentu tidak. Satu-satunya usaha film untuk membuat Brandon tampak simpatik adalah dengan membuat dia seperti lupa-diri ketika melakukan hal mengerikan, seolah ada yang mempengaruhinya, seolah ada dua jiwa di dalam sana – kayak The Prodigy. Namun tentu saja elemen tersebut seperti dijejelin masuk gitu aja karena gak make sense kenapa bisa ada dua. Kenapa gak ditulis dia amnesia aja sekalian, bikin dia berjuang melawan siapa dirinya yang sebenarnya. Buat perjuangan dalam diri Brandon, antara dia yang baik karena dibesarkan penuh kasih sayang dengan dirinya yang asli – seorang monster superpower. Sayangnya film ini tidak seperti itu. Ketika Brandon melakukan hal sadis, ya hanya sadis. Jahat. Tidak ada layer dari tingkah lakunya. He’s one dimensional jahat ketika sudah total menjadi monster. Alasan dia menjadi seperti demikian tidak ditulis simpatik.

Film benar-benar tidak mengerti bahwa mereka perlu untuk membuat kedua tokoh ini tampil simpatik. Untuk membuat hubungan antara Tori dan Brandon bekerja, dinamika mereka harus dirancang oleh film. Mereka harus dibentrokkan. Tetapi dua tokoh tersebut berjalan sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada yang bisa kita dukung di antara dua tokoh sentral; Tori dan Brandon. If anything, aku lebih simpatik sama suami Tori, tapi pun tokoh ini tidak benar-benar punya arc. Tokoh-tokoh yang lain hanya ada di sana untuk menambah jumlah korban dan/atau melakukan hal-hal simpel nan bego karena naskah menyuruh mereka untuk berbuat demikian. I mean, guru BP (BP atau BK sih, aku gak tau bedanya ahaha) mana yang ngasih ponakannya senjata api sebagai hadiah ulangtahun? Mana ada orang dewasa yang ngasih anak-anak pistol.

well, kecuali saat lebaran.

 

Akan ada satu-dua yang bikin kita menggelinjang menonton film ini, terutama jika kita penggemar horor sadis. Premis ceritanya sendiri memang menarik. Film pun sepertinya sangat aware dengan premis tersebut, dan gak malu-malu dia memasukkan banyak hal yang bisa mengingatkan kita kepada Superman. Paduan horor dan aksi sebenarnya bukan pertama ini dilakukan, jadi film ini dituntut untuk punya gaya. Secara visual sih, dia memang cukup bergaya. Suara keras dan efek yang cukup mengerikan – meski adegan terbang keluar masuk rumah di babak akhir itu malah lebih mirip adegan film kartun. Namun secara penceritaan, film ini tampil biasa saja. Ceritanya maju begitu saja, dengan pengembangan ala kadar penuh oleh trope dan klise. Masing-masing tokohnya tidak mendapat keadilan dari segi penulisan. Tidak ada satupun yang mengundang simpati. Dan membuat kita duduk menyaksikan perjalanan tanpa ada yang bisa didukung; what a monster move!
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for BRIGHTBURN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Andai-andai mengerikan seperti apa yang pernah terpikirkan oleh kalian? Dan bagaimana kira-kira kalian menjawab andai-andai tersebut?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

[Reader’s Neatpick] – THE PRODIGY (2019) Review

“..yang saya tidak sukai adalah film yang horornya dikarenakan ada unsur gaib. Film ini? Daaaamn brooo..!!! asyuuuu~~~”Ida Bagus Arindra Dirasthya, atau biasa dipanggil Garonk.

 


Sutradara: Nicholas McCarthy
Penulis Naskah: Jeff Buhler
Durasi: 1jam 32menit

 

Sarah dan suami tercinta dikaruniai seorang anak yang heterochromia. Tenang, itu bukan nama penyakit. Melainkan istilah untuk orang yang bola mata kiri dan kanannya berbeda warna. Keistimewaan Miles, begitulah Sarah menamai anaknya, ternyata tidak berhenti sampai di sana. Miles yang masih kecil menunjukkan kepintaran yang bermil-mil jauh lebih maju dari ukuran anak-anak sebayanya. Saking pinternya, Miles ini ngingaunya pun pake bahasa asing! Enggak perlu waktu lama untuk naluri keibuan Sarah mendeteksi ada yang enggak beres pada diri Miles, yang kadang tampak totally seperti orang yang berbeda. Memang semengerikan dan misterius beginikah perilaku seorang anak jenius, atau jangan-jangan nilai dan prestasi Miles tersebut ternyata didongkrak oleh suatu wujud supernatural?

“Maka, The Prodigy menjelma menjadi horor yang lumayan spesial. Sampai-sampai sahabatku yang satu ini, Garonk yang sedari jaman kuliah sudah dikenal sebagai orang yang anti banget nonton horor, ternyata nonton filmnya. Bahkan nonton lebih duluan daripada aku! So that makes this review kinda special too. Karena kita akan membahas film horor dari sudut pandang penonton yang gak suka film horor.”

“Saya bukannya tidak menyukai film horor. Yang saya tidak sukai adalah film yang horornya dikarenakan ada unsur gaib. Semisalnya karena hantu. Karena saya ga suka hal yang tidak bisa ditelaah lebih jauh. Tapi tidak berlaku untuk jenis science fiction yaah, karena walau kita tau itu fiksi, tapi masih dekat (nyerempet) dan bisa ditelaah lebih jauh juga dekat sama penjelasan ilmiah. Berbeda sama tipe hantu, saya mau mikirin lebih malah jauh ga nyampe dan jadi ga masuk akal, mau nyari sebab-akibat dan alasan-alasannya sepertinya tidak sampai di kepala.”

“Jadi lebih karena alasan gak ilmiah, gak keilmuan, ya”

“Alasan lainnya takut juga sih hahaha.. Itulah makanya sebelum saya tonton, sudah jadi kebiasaan saya untuk bertanya dahulu. Atau membaca preview film apakah ini horor karena hantu atau lainnya. Saya tidak anti sama spoiler.. hehehe, karena tahu info film yang akan ditonton itu seperti kita sudah siap dan tidak kaget untuk menjalani ujian ;p Setelah tahu infonya, tanya lagi menurut individu apakah worth untuk ditonton, karena kalo dari preview itu kan dia sifatnya persuasif.”

“Sebenarnya semua horor – yang bagus loh ya, bukan yang dibuat ngejar setoran – bermain di ranah keilmiahan, Ronk. Tepatnya tuh di psikologis manusia. Tentang bagaimana reaksi dan kondisi emosi seseorang ketika berhadapan dengan kehilangan, misalnya. Tren horor barat sekarang berpusat di kejiwaan seorang ibu. The Babadook (2014) yang tentang single-mom yang diserang kecemasan menempuh hidup dan duka pada saat yang bersamaan. Hereditary (2018) bicarakan kegelisahan seorang mama yang merasa tidak mampu mengendalikan, memberikan yang terbaik untuk keluarganya, karena dia sendiri punya masa lalu kelam dari keluarganya. Bird box (2018), A Quiet Place (2018)dua-duanya soal ibu yang mengambil alih posisi kepala keluarga. Berbeda sekali dengan horor lokal yang malah menjadikan ibu sebagai sosok hantu, horor barat menggali insting maternal yang begitu manusiawi. The Prodigy ini, kan, juga begitu. Tema besarnya adalah ketakutan orangtua, khususnya ibu, akan anak mereka yang berbeda dengan anak-anak normal.” 

“Mengerikan… menegangkan sih lebih tepatnya. Sepertinya saya sendiri juga jika punya anak yang jenius; awal-awal tentu saja senang. Tapi itu juga selama jenius masih dalam tahap wajar di usianya. Kalo terlalu jenius banget mungkin saja saya juga takut. Orangtua takut bisa saja karena nantinya sang anak akan sulit beradaptasi di lingkungan di masa mendatang, dia akan jadi anti sosial. Juga acuh sama lingkungan. Jika dia jenius masih dalam tahap yang wajar sesuai umurnya, tentu saya juga akan perlakukan anak saya secara berbeda menyesuaikan dengan kecerdasannya sehingga dia bisa lebih terarah. Peran orang tua seperti biasa, mengarahkan.”

“Sutradara McCarthy setuju tuh, Ronk. Makanya film benar-benar ia arahkan untuk fokus di reaksi horor Sarah akan perilaku Miles. Film ini enggak kemana-mana dulu, dia langsung ngasih tahu kita bahwa si anak itu memang ‘bermasalah’. Horor-horor lain mungkin akan menguatkan misteri, membuat kita ikutan menebak bareng Sarah sebenarnya anaknya kenapa. Tapi pada film ini, kita dari awal sudah tahu lebih dulu daripada Sarah. Teknik inilah yang disebut sebagai DRAMATIC IRONY. Dengan membuat kita tahu lebih banyak daripada tokoh utama, film ingin kita menilai aksi-aksi yang diambil oleh sarah. Mendramatisasi sejauh apa yang akan dilakukan oleh orangtua untuk mengusahakan yang terbaik kepada anaknya. Supaya waktu kita tidak habis untuk mempertanyakan anaknya baik atau jahat. Agar kita langsung melihat poin bahwa sesuatu yang luar biasa jahat, masihlah sebuah anak bagi seorang ibu. Dramatisnya jadi benar-benar kerasa saat Sarah memutuskan untuk membunuh seorang wanita yang merupakan satu-satunya korban yang selamat dari pembunuh-berantai yang merasuki tubuh Miles.”

“Benar juga. Semua orangtua tidak ada yang tidak mencintai anaknya. Saya rasa sih tindakan sarah, memastikan si anak tidak ada flaw di masa kecilnya, jadi lebih baik si ibu saja yang berkorban daripada anaknya yang akan dicap sebagai pembunuh. Lebih baik dia sendiri yang menjadi pembunuh. Sarah ingin berusaha menjadi orangtua yang baik, tapi keadaannya yang membuat tindakan yang perlu dilakukan menjadi sedikit melenceng dari orangtua seharusnya.”

“Paling enggak, Sarah adalah orangtua yang lebih baik daripada suaminya. Sarah lebih mikirin anak, sedangkan si suami lebih fokus untuk membuat diri tidak lebih buruk dari ayahnya ya hahaha”

“Namun saya ga tau apakah pada akhirnya ini menjadi ending yang baik. Ga bisa menilai, tapi menurut saya sih karena rasa cinta yang besar pada anak dan keinginan agar si pembunuh tidak memanfaatkan badan anaknya, hanya saja waktunya tidak tepat. Poor Sarah.”

“Nah, kalo soal ending, menurutku jadi kurang memuaskan. Karena kita udah dibangun untuk percaya Sarah akan melakukan apa saja untuk anaknya, jadi masuk akalnya buatku adalah Sarah harus melakukan ‘banting-stir’ yang ekstrim dalam mewujudkan hal tersebut. Aku lebih suka kalo film berakhir dengan Sarah membunuh Miles. Akan lebih dark juga, tidak ada hal yang lebih kelam di dunia selain orangtua yang harus terpaksa membunuh buah hatinya sendiri. Aku percaya film ini mengerti akan hal itu, tapi sepertinya studionya agak takut, jadi kita gak jadi dapat ending itu. Malah diganti sama adegan yang menurutku kebetulan semata, mengurangi intensitas yang sudah dibangun film, meski lebih gak-dark. Mungkin juga produser mengincar kemungkinan sekuel. Tapi aku pikir film ini akan bisa jadi lebih keren kalo endingnya gak seperti yang kita tonton.”

“Daaaamn brooo..!!! asyuuuu~~~ Kalo saya sih, yang paling berkesan adalah Miles. Adegan dimana Miles asli (jiwa sang anak) berusaha melawan untuk tidak diambil alih dan sempat memberikan clue pada si doktor. Juga saat jiwa si pembunuh sudah punya rencana yang matang dan langsung menyatakan rencana briliannya agar si doktor mengatakan bahwa regresi yang dilakukan tidak berhasil.” 

“Setuju, adegan doktor ama Miles itu keren tuh! Akting pemainnya mantep-mantep. Colm Feore yang jadi doktor berhasil meyakinkan tanpa overakting kayak tokoh-tokoh penegah yang biasa. Takutnya ketika diancem itu natural. Taylor Schilling yang jadi Sarah juga dapetlah emosi dramatisnya. Yang jadi Miles, si Jackson Robert Scott, jago juga mainin dua jiwa.”

“Yang paling menarik tentu saja Miles dengan dua jiwa donk.”

“Dua jiwa, mata yang berbeda warna, adegan setengah wajah Miles dalam kostum halloween. Film ini kental sama unsur dualisme; Spiritual dan sains. Innocent dan guilty. Kematian dan kehidupan. Film menghubungkan semua itu dengan konsep reinkarnasi.” 

“Konsep reinkarnasi sudah tampak sedari adegan pertama, adalah di mana momen kematian dan kelahiran memiliki timing yang bersamaan (slightly), sehingga soul atau jiwa yang berpindah tidak dalam masa tunggu tapi langsung punarbawa atau tumimbal. Alias jiwa turun langsung kembali kedunia pada badan kasar yang baru dilahirkan. Konsepnya sudah dilakukan film dengan benar, menurut kepercayaan agama saya. Saya di sini mungkin tidak akan mengutip dari mantra (ayat) di kitab suci, tapi saya jelaskan dengan bahasa saya saja (kalau curious dan mau detail bisa di cari sendiri, atau tanya ke orang dengan kapasitasnya ya hehehe saya cuma bisa kasi penjelasan dasar saja)”

Kelahiran kembali / Reinkarnasi / Punarbawa / Punarbhava (seperti itu kita menyebutnya) merupakan salah satu dari lima dasar keyakinan hindu yang kita percaya (Panca Sradha), mungkin seperti Rukun Iman buat saudara-saudara Muslim seingat saya (tolong dikoreksi, karena saya tidak selalu hadir di pelajaran agama Islam waktu sekolah dulu). Jadi kelahiran kembali ini dikarenakan atma (jiwa) masih membawa karma dari perbuatan (baik/buruk) yang telah dilakukan pada masa lampau. Dan untuk melepas dari reinkarnasi dan mencapai moksa (kebebasan dari ikatan duniawi), dalam kehidupannya seseorang perlu melakukan perbuatan baik, meningkatkan pengendalian diri & spiritual dan melepas dari keinginan keduniawian, sehingga ia terbebas dan kembali kepada pencipta yang menjadi kebahagiaan tertinggi.

 

“Waaah, kalo begitu film ini risetnya cukup detil juga ya sepertinya. Kejadiannya lumayan mendekati kebenaran pada konsep Agama Hindu di dunia nyata. Jangan-jangan footage tentang kasus anak kecil yang punya ingatan di kehidupannya yang dahulu sebagai seorang pilot yang ada di film itu contoh reinkarnasi beneran kali ya.” 

“Saya tidak mengetahui dengan pasti tapi yang saya pernah dengar info bahwa ada seorang anak yang (sepertinya) memiliki ingatan saat kehidupannya yang terdahulu. Dia bisa tahu tempat tinggal bahkan mengingat kerabat dan keluarganya. Saya tidak tahu bagaimana dia punya kenangan dari masa sebelumnya, tapi jika benar; Ya, ini bisa jadi contoh dari reinkarnasi.”

“Menarik sekali. Prodigy ini ternyata memang cukup solid. Trope evil kid yang dimiliki ceritanya bisa membungkus dengan rapi tema tentang ketakutan orangtua, juga ada elemen reinkarnasi yang terkonsep dengan benar sebagai panggung cerita. Kalo mereka berani dari awal sampai akhir, aku akan ngasih lebih tinggi, tapi pilihan ending film ini buatku cukup signifikan ‘mengurangi’ penceritaan secara keseluruhan.”

“Ahaha. Oke kok filmnya. Saya ngasih 7.5 dari 10 kali ya.”

“Aku ngasih 6/10 aja deh. Semoga ke depan ada ‘reinkarnasi’ cerita ini yang lebih berani hhahaha”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Ida Bagus Arindra Dirasthya alias Garonk (twitter @gus_arind) udah mau berpartisipasi bahas film ini, membuka mata sekali tentang konsep reinkarnasi. Aku rekomen banget loh film-film yang aku sebut di atas. Siapa tahu dirimu yang tadinya gak suka hantu-hantuan secara umum malah bisa jadi penelaah film horor.

Bagaimana jika kalian nantinya punya anak yang jenius seperti Miles, apakah kalian akan takut? Apakah kalian akan memperlakukannya secara spesial?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

Buat yang pengen dengar lebih banyak soal film dan krisis ilmu pengetahuan, bisa simak video Oblounge featuring aktor senior Slamet Rahardjo ini yaa:

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

PARIBAN: IDOLA DARI TANAH JAWA Review

“Every story has a beginning, a middle, and an end.”

 

 

 

Ini bakal jadi kali terakhir aku nonton-dan-ngereview ‘film-film’ kayak Benyamin Biang Kerok (2018) dan Pariban: Idola dari Tanah Jawa. Aku pikir semua sudah berakhir ketika episode sambungan Biang Kerok urung ditayangkan di bioskop. Aku pikir pembuat film Indonesia sudah menyadari betapa insulting-nya membuat tontonan seperti yang ‘film’ itu lakukan bagi para penonton bioskop. Kupikir, ya sepertinya perfilman Indonesia masih waras. Tapi ternyata di 2019 ini muncullah Pariban.

Serius, deh, ini mengkhawatirkan. Aku takut sekali kalo ke depan nanti bioskop-bioskop Indonesia diisi oleh video-video panjang komersil yang tak lagi mengindahkan seni pembuatan film serta pengetahuan penulisan naskah, alih-alih film beneran. Jadi aku berharap karya (kalo bisa dibilang sebagai suatu karya) seperti ini stop dibuat sampai di sini. Aku tidak ingin menonton yang seperti ini lagi di bioskop, dan kupikir para penonton pun menginginkan hal yang sama. Kita ke bioskop untuk menonton film. Kita bicara tentang film yang ditonton supaya roda kemajuan itu terus bergulir. Kita menginginkan film-film yang bagus bisa tercipta. Pariban, sama seperti halnya ‘film’ Biang Kerok, adalah kemunduran sinema tanah-air. Jangan sampai ada lagi yang seperti ini. Makanya kali ini biarlah. Aku ingin menekankan, menjelaskan lebih detil poin-poin yang kutulis dalam review Biang Kerok. Biar dua ini cukup menjadi pembelajaran – dan pengingat.

Supaya kita semua dapat melihat bahwa film Pariban ini (juga) bukanlah sebuah film.

“Halo~, Halo Moan… Sekarang telah menjadi produk komersil, Pari-ban! parah sekali”

 

Pariban datang dari orang yang membuat film Love for Sale, salah satu film 2018 yang masuk ke dalam daftar Delapan-Besar Terbaikku di tahun itu. Satu-satunya film Indonesia yang masuk dalam daftar Delapan-Besar Terbaikku tahun itu! It was on the top-three!!! Andibachtiar Yusuf, what happened, mas? Molo adong na salah ini ya, aku gak tahu apa yang terjadi di balik dapur produksi mereka. Tapi kupikir kita memang tidak bisa begitu saja menilai film dari pembuat atau pemain. Toh yang Biang Kerok itu juga dibuat dengan kolaborasi sutradara dan aktor jajaran terdepan dunia film kita. Yang paling terdepan, malah. I mean, belum tentu serta-merta biang keroknya adalah mereka. I really don’t know. Dalam Pariban juga, aku menghormati para pembuat dan pemain film yang profesional sekali. Mulai dari Ganindra Bimo hingga Rizky Mocil; aktingnya enggak ada yang main-main, meski mereka memang tampak have fun sekali memerankan tokoh masing-masing. Enggak gampang tentunya memainkan karakter yang berasal dari latar budaya yang berbeda dari keseharian. Dan juga sebaliknya; actually menyenangkan melihat beberapa aktor seperti Atiqah Hasiholan yang berakting dalam ‘habitat’ asli mereka.

Niat pembuatannya sebenarnya cukup bagus. Pariban mengangkat budaya Sumatera Utara. Aku suka, aku besar cukup dekat dengan orang-orang Batak, keluargaku sendiri ada yang orang Batak. Aku familiar dengan sapaan dan candaan kayak lae, bodat, kenlap! Film ini memberitahu kita satu informasi baru. Memperkenalkan tradisi perjodohan khas Batak, yang basically adalah pernikahan antarsepupu – yang memiliki marga keluarga yang sama. Lewat arahan komedi, ‘film’ menunjukkan kepada kita gimana sistem pariban ini kadang menjadi momok, namun juga seringkali menjadi langkah ampuh dan aman untuk mendapatkan jodoh. Dalam yang ngakunya film ini kita melihat seorang pemuda asli batak tapi lahir di Jakarta, bernama Halomoan yang dituntut mamaknya untuk segera menikah. Lantaran rumor-rumor miring mulai terdengar seputar Moan. Maka, Moan berangkat ke kampungnya di pinggir danau Toba, untuk menemui paribannya – Uli. Elemen fish out of water pun mewarnai cerita tatkala Moan yang perjaka gaul ibukota tinggal berakrab-akrab ria dengan penduduk lokal di sana. ‘Film’ cukup bijak untuk tidak berkubang di penggalian stereotype – orang batak suka main catur dikorporasikan dengan lucu masuk ke dalam cerita – dan memberikan kesempatan penduduk cerita untuk berkembang dalam archetype. Kita melihat batak yang ngomong keras dan kadang kasar tidak selalu ‘jahat’. ‘Film’ ingin menarik budaya, menunjukkannya ke dunia, dan mendukungnya dengan teknologi yang modern. Aku terus menunggu ‘film’ mengangkat pertanyaan dan gagasan tersendiri soal adat pariban, bahkan mungkin menantang eksistensinya. Namun adegan-adegan dengan tokoh yang bereaksi relevan terhadap pariban itu sendiri, sayangnya, ditampilkan minimalis sekali.

Hanya ada satu adegan Uli, wanita modern yang cerdas, menunjukkan sedikit ketidaksetujuannya terhadap pariban. ‘Film’ ternyata lebih tertarik untuk mengisi durasi dengan sebanyak mungkin komedi yang bisa mereka pancing dari cara ngomong dan kosakata khas orang Batak yang lucu. Sebagian besar waktu memang didedikasikan untuk persaingan cinta antara Moan dengan Binsar, bujang asli sono yang mengaku Romeo-Butetan dengan Uli. Bahkan buatku ‘film’ juga melewatkan kesempatan dalam penggarapan si Binsar. Tokoh ini bisa menjadi menarik karena dia actually melambangkan orang asli Batak yang melawan sistem Pariban; Binsar menolak ‘kalah’ dari Moan yang merasa menang dengan status paribannya. Dinamika tiga tokoh sentral ini memang punya aroma menarik, tapi ‘film’ tidak benar-benar menggali mereka. ‘Film’ berhasil membuat Moan yang berlatar eksistensi kompleks ini (dia dipanggil Batak KW oleh orang-orang kampung) menjadi tokoh yang biasa-biasa aja. Kenapa Moan mau-maunya disuruh nemui paribannya aja tidak terjelaskan dengan menarik. Tidak ada stake bagi Moan. Moan seorang pria kaya yang modern, tukang bikin aplikasi, dia punya tujuh pacar sesuai hari. Jadi dia bukannya gak laku, gak mampu nikah. He just doesn’t want to. Tidak ada motivasi dalam diri tokoh ini. Tidak ada intensitas kita menontonnya. Barulah ketika bertemu Uli, dia mengeset goal – untuk menjadikannya istri, memenangkan pertandingan melawan Binsar. It takes a really long time buat karakter Moan berpindah dari satu titik ke titik berikutnya. Penulisan karakternya seperti berjalan di tempat.

kalo dia mau, Moan bisa bikin aplikasi cari-jodoh yang sesuai ama preference dirinya

 

Semua itu karena ‘film’ ini sesungguhnya punya agenda yang mengerikan dalam menyampaikan ceritanya. Yakni membagi diri menjadi dua. Such an evil corporate move! Biarkan penonton membayar dua kali untuk satu cerita. Alih-alih mempertontonkan cerita yang utuh, potong di tengah, buat jadi bersambung supaya penonton datang dan membayar lagi. Aku bukannya bilang sebuah film gak boleh bersambung, hanya saja lakukanlah dengan benar. Tutup arc tokohnya, baru kemudian lanjutkan terserah mau berapa kali sekuel.

Sebuah cerita haruslah punya awal, tengah, dan akhir. Kita melihat awal Moan yang didesak untuk segera cari calon bini, dia disuruh kenalan ama paribannya di kampung. Moan berangkat ke sana dengan confident bahwa dia bisa nikah kalo dia mau, karena dia kaya, tampan, dan besar. Set up awal cerita sudah bagus. Tengahnya berisi benturan-benturan karena ternyata banyak tentang asal daerahnya yang tidak Moan tahu, dan gimana dia mulai merasakan cinta beneran terhadap Uli. Karenanya Moan pun mencoba mengikuti aturan adat dan aturan mamaknya. Melihat arahan seteru Moan dengan Binsar, aku sudah siap untuk mendapatkan satu lagi cerita kegagalan yang manis – Moan was just too overconfident for his own good, dia terlalu aman dalam status pariban. Lalu, ternyata, dengan kurang ajarnya cerita diputus dengan sengaja pada bagian akhir, tepat di ambang pintu resolusi. Plot poin kedua cerita ini dijadikan cliffhanger. Perjalanan inner dan outer tokoh Moan sama sekali belum finish. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh ‘film’ ini adalah mencabut kita keluar saat kita baru mau masuk ke klimaks. Menjadikan ceritanya tidak komplit. Membuatnya belum bisa disebut sebagai satu film. Karena you gotta to have a beginning, middle, and end walaupun urutannya bisa dibolak-balik. Pariban dan Biang Kerok hanya punya awal dan tengah. Mereka tidak punya syarat pertama suatu tontonan disebut sebagai film. Dan harusnya kita marah, karena jika kita membayar untuk satu film, maka kita harus dapat satu film utuh!

Pemotongan itu dilakukan dengan sengaja. Hanya karena mereka bisa, dan mau nyari untung belaka. I mean, bukan karena durasinya sudah kepanjangan maka mereka terpaksa memotong. Mungkin masih bisa sedikit dimaafkan kalo mereka sudah bercerita dengan efektif namun karena durasi yang terlalu panjang maka mereka memotong. Pariban sama sekali tidak efektif dalam mengisi durasinya. Sepuluh menit pertama adalah eksposisi yang dilakukan dengan sok lucu. Setiap orang ingin jadi kayak Deadpool sekarang. Menggunakan metode breaking the fourth wall, Moan akan sering bicara kepada kita. Hanya saja mereka lupa satu hal; mereka juga lupa meniru kemampuan kamera dalam bercerita dengan baik. Bicara langsung kepada penonton dalam Pariban dilakukan seperti video presentasi, untuk menjelaskan berbagai paparan seperti bagaimana aturan main adat pariban atau backstory Moan, mereka menggunakan adegan ilustrasi – entah itu adegan berupa sketsa atau animasi sederhana – yang membuat kita terlepas dari bangunan narasi. Kreatif tapi tidak berada di dalam bangunan cerita. Adegan tersebut bisa saja dibuang. Bandingkan dengan breaking the fourth wall pada Ferris Bueller; yang menarik kita masuk ke dalam cerita karena secara realtime kita diperlihatkan sisi sebenarnya dari si Ferris. Atau bandingkan dengan pada Deadpool; yang kita lihat pada layar adalah sesuatu yang tidak bisa dibuang, karena masuk ke dalam cerita, dan ditampilkan dengan menarik; masih ingat dong opening Deadpool? Permainan kamera dan editing dan visual humor yang tidak dimiliki oleh Pariban.

 

 

 

 

 

Dengan mengangkat materi tentang adat perjodohan antarsepupu di dunia modern, film ini ternyata hanya berfokus kepada cara bercerita yang sok lucu. Padahal enggak lucu. Sia-sia sudah penampilan yang bagus, dan sedikit pesan yang diselipin dalam dialog. Setiap cerita kudu punya awal, tengah, dan akhir. Dan kuharap film ini adalah awal, tengah, sekaligus akhir dari tren membuat film bersambung. Akan menjadi hari penuh duka bagi perfilman tanah air jika bioskop nantinya ramai oleh film-film yang dibuat dengan mindset sinetron kejar tayang. Film-film yang tak lagi dibuat berdasarkan pengetahuan terhadap sinema, seni penulisan skenario, melainkan insting mencari keuntungan sebesar-besarnya semata. Yang mana karya semacam ini tidak bisa disebut sebagai sebuah film. Jadi, berhenti membuat seperti ini, jangan sampai jadi tradisi.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for PARIBAN: IDOLA DARI TANAH JAWA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Buat yang pengen lebih banyak mendengar tentang film indonesia yang kini krisis ilmu pengetahuan, bisa tonton video dari channel Oblounge ini:

 

Bagaimana pendapat kalian tentang film bersambung ala Pariban dan Benyamin Biang Kerok?

Apakah menurut kalian film bersambung kayak gini perlu dilestarikan?

Dan karena filmnya takut-takut mengangkat; apakah menurut kalian budaya pariban perlu dilestarikan?

 

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

POKEMON DETECTIVE PIKACHU Review

“The absent are never without fault, nor the present without excuse.”

 

 

 

Setiap anak pengen punya Pokemon. Kecuali Tim Goodman. Selidiki punya selidik, sifat keterkurangtertarikannya itu ternyata berkat ayahnya yang seorang detektif. Tim tumbuh menjadi pemuda yang antipati terhadap monster-monster lucu tersebut lantaran sang ayah lebih memilih menghabiskan banyak waktu memecahkan kasus-kasus bersama pokemon di kota ketimbang bareng dirinya. Keabsenan berubah menjadi misteri yang memanggil Tim untuk datang ke kota Ryme tempat ayahnya bekerja. Setelah sebuah kecelakaan besar, ayah Tim beneran menghilang. Jasadnya tidak pernah diketemukan. Satu-satunya harapan yang mengisyaratkan beliau mungkin masih hidup adalah pokemon partnernya, Pikachu, selamat dari kecelakaan tersebut. Pikachu yang memakai topi ala Sherlock Holmes itu bergerak lincah, sehat, berbicara lancar, mengajak Tim untuk bekerja sama memecahkan misteri. Tunggu. Berbicara?

Pikachu yang satu ini, bukan cuma listriknya loh yang menyengat

 

 

Pokemon Detective Pikachu secara teknis adalah adaptasi dari video game Pokemon berjudul Great Detective Pikachu yang rilis di Jepang tahun 2016 buat konsol handheld Nintendo 3DS. Jika boleh kutambahkan, film ini mengadaptasi game pokemon yang paling boring di antara game-game pokemon lain. Pokemon menjadi fenomena pop-culture yang dahsyat, ia punya serial anime yang sampai sekarang masih berlanjut, ia punya game kartu, Nintendo sendiri punya countless game pokemon RPG yang semuanya tentang anak yang keliling dunia menangkap pokemon, melatihnya untuk ditandingkan dengan pokemon peliharaan tokoh-tokoh lain. Kita bisa bilang pokemon ini adalah sabung ayam versi lebih cute dan lebih keren. Tak perlu lulus sekolah detektif untuk kita bisa melihat kesuksesan game mobile Pokemon Go-lah yang membuat film live-action ini menjadi kenyataan. Studi film tahu bahwa pokemon ini ada pasar yang menguntungkan. Kecanduan dari menangkap berbagai macam pokemon, kemudian melatih mereka untuk menjadi lebih kuat, berevolusi menjadi  even better, kemudian ngeclaim bragging right mengalahkan trainer yang lain, itulah inti yang menyebabkan pokemon menjadi begitu hits. Jadi, keputusan mereka malah mengangkat film dari game yang tanpa aksi, hanya berkeliling mencari petunjuk, memang cukup aneh buatku.

Berlawanan dengan pertanyaan yang diusung oleh film mengenai kenapa Tim bisa mengerti perkataan Pikachu, melihat film ini pertanyaan yang muncul di benakku malahan adalah apakah pembuatnya mengerti perkataan/permintaan para penggemar?

 

Tapi hey, paling enggak film ini mengerti cara memvisualkan para pokemon tersebut dengan benar, baik itu sesuai dengan bentuk maupun kemampuan yang sama persis dengan versi game dan animenya.

Sutradara Rob Letterman yang sebelumnya berhasil menghidupkan monster-monster mengerikan dalam Goosebumps (2015) memang mengerti untuk tidak mengkhianati penggemar secara visual. Pokemon benar-benar tampak hidup, seperti layaknya binatang di dunia nyata. Kita seolah bisa merasakan halusnya bulu Pikachu, keras dan bersisiknya badan Charizard, hanya dengan melihat mereka. That’s how good the visual in this movie. Di samping alasan nostalgia, kupikir kenapa pokemon-pokemon dalam film ini lebih didominasi oleh generasi pertama (yang muncul di kartun dulu) padahal secara timeline, film ini mengacknowledge generasi pertama itu sebagai masa lalu adalah karena desain pokemon-pokemon jadul lebih kelihatan cocok dengan dunia nyata ketimbang pokemon generasi baru yang kelihatan lebih seperti mainan ketimbang makhluk beneran. Untuk beberapa menit awal, kita akan dimanjakan oleh imajinasi hidup bersama pokemon, melihat pokemon di alam liar.

Tapi kemudian film seperti menyempitkan dunianya. Kita diajak masuk ke dalam kota Ryme – kota megapolitan yang visualnya juga luar biasa grande – di mana pokemon-pokemon itu dipasangkan dengan manusia. Literally, satu manusia masing-masing punya partner satu pokemon. Kayak konsep digimon. Meskipun toh seru juga melihat kerjasama manusia dan pokemon, seperti pemadam kebaran dengan barisan Squirtle, tapi keajaiban yang kita lihat di luar kota seperti menguncup. Ryme seperti tiruan yang aneh dari kota Zootopia. Dunia di dalam kota ini juga tidak pernah benar-benar dijelaskan cara kerjanya seperti apa. Apakah partner pokemon diassign sesuai pekerjaan, atau boleh bebas memilih, misalnya. Keseruan menangkap pokemon liar digantikan oleh melihat pokemon berjalan bersisian dengan manusia. Ketika film membawa kita mengikuti Tim dan Pikachu ke arena pertarungan underground, ataupun ketika ada sekuen aksi yang berhubungan dengan kekuatan pokemon, itulah saat sebenar-benarnya hiburan terasa. Aku berharap adegan seperti demikian jauh lebih banyak porsinya. Tapi di lain pihak, aku toh tidak bisa memberikan nilai 3 buat film ini hanya karena aku tidak mendapat pokemon yang aku inginkan. Kita tidak bisa ‘mengajarkan’ kepada film mana cerita pokemon yang benar, pembuat film sah-sah saja jika ingin mengangkat cerita pokemon dari gagasan dan versi pilihan mereka.

That being said, mari kita lihat bagaimana film ini memperlakukan ceritanya.

Jargonnya bukan “Gotta catch ’em all” lagi karena poligami itu enggak baik

 

Cerita film ini tepatnya adalah cerita buddy-cop dengan Pikachu dan Tim sebagai pusatnya. Bagian terbaik film ini jelas adalah suara Ryan Reynolds dalam tubuh mungil berwarna kuning berekor zig-zag. Meskipun kadang-kadang suara dan tubuh itu mentok banget, namun Pikachu yang dibawakan Reynolds akan jarang sekali membuat kita krik..krikk.. oleh komedinya. Aku terbahak keras ketika Reynolds menyanyikan lagu tema serial kartun Pokemon. Misteri yang Pikachu dan Tim hadapi sih sebenarnya enggak begitu membuat penasaran, tapi kita mendapat banyak momen humor jenaka darinya. Misalnya ketika Pikachu dan Tim menginterogasi Mr. Mime. Elemen investigasi film ini memang tidak digambarkan serius-serius amat, malahan cenderung ‘mudah’. Tidak ada teka-teki cerdas yang harus mereka pecahkan. Tidak ada petunjuk-petunjuk tersembunyi yang harus mereka temukan. Pikachu juga tidak pernah benar-benar menemukan kesulitan dari amnesia yang ia derita akibat kecelakaan. Mereka tidak benar-benar memecahkan misteri, sebab film mengandalkan hologram canggih sebagai device eksposisi yang secara praktis menihilkan tantangan kedua tokoh.

Fokus diniatkan kepada tokoh manusia. Film membuat Tim sebagai tokoh yang bisa kita sebut sebagai anti- dari tokoh-tokoh utama Pokemon sebelum ini. Dia enggak mau punya partner pokemon. Kebohongan personal/Lie yang ia percaya adalah dia tidak butuh pokemon, yang berakar dari Luka masalalu/Wound ditinggal oleh ayahnya. Perjalanan inner Tim adalah soal dia yang ‘terpaksa’ mandiri harus menyadari bahwa dia sebenarnya butuh banget sosok yang mensupport dirinya. Ini berkebalikan dengan tokoh-tokoh di serial dan movie anime yang seringkali harus belajar untuk percaya kepada kemampuan diri sendiri, bahwa mereka bukanlah bukan siapa-siapa tanpa pokemon, bahwa kehadiran partner pokemon adalah bukti kekuatan mereka sendiri. Dengan kata lain, film ini sebenarnya menarik karena punya tokoh yang melawan pakem semesta pokemon itu sendiri. Pokemon Detective Pikachu ingin menonjolkan drama antarmanusia dengan pokemon sebagai asesorisnya. Masalahnya adalah; tokoh-tokoh manusianya ini tidak pernah dibuat lebih menarik daripada para pokemon.

Tim merupakan tokoh yang sangat menjemukan, sekaligus ngeselin. Dan itu bukan semata karena permainan akting bland Justice Smith yang semakin kebanting dipasangkan dengan Reynolds, melainkan juga karena tuntutan naskah. Ini tentang Tim mencari ayahnya, arc tokoh Tim ini secara garis besar bergerak dari dia yang tadinya tidak peduli sama sang ayah berubah menjadi peduli. Untuk menggambarkan hal tersebut, kita dapat tokoh yang sebagian besar waktu tidak benar-benar termotivasi. Pada menjelang pertengahan, bukan saja Tim tidak tahu di mana ayahnya yang mungkin saja telah mati, dia juga tidak peduli. Ini membuat kita juga susah peduli sama tokoh ini. Dalam cerita pokemon, film malah memberikan kita tokoh utama yang gak suka pokemon, yang enggak peduli dia punya partner atau tidak – sesungguhnya itu adalah problem yang nyata buat cerita. Kita tidak benar-benar bersama si tokoh utama, karena aku yakin semua yang nonton film ini suka ama pokemon, atau paling tidak menonton karena pengen melihat pokemon. Tim, dia sebodo amat ama pokemon. Tokoh ini tidak memandang pokemon dengan ketertarikan. Satu tokoh manusia yang lumayan menarik buatku adalah Lucy, jurnalis magang yang pengen menguak misteri hilangnya ayah Tim demi karirnya sendiri. Tapi itupun menarik sepertinya karena aku agak bias lantaran si Kathryn Newton ini orangnya manis banget.

Dan cerita tentang anak dan ayah ini pun pada akhirnya lebih menimbulkan kecanggungan ketimbang menawarkan kedalaman. Tidak banyak yang bisa kita gali. Tim, meskipun pandangannya terhadap ayah sudah berubah, namun kita tetap tak bersimpati karena di akhir cerita dia masih bukan seperti kita-kita. Tim tetap tidak punya partner pokemon, dan dia masih tidak peduli sama hal tersebut. Hubungannya dengan Pikachu akan menjadi sangat awkward, karena sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, semua perjalanan itu sebenarnya adalah tentang Tim dengan ayahnya. Menurutku akan jadi sentuhan yang bagus jika film ini mempasangkan Tim dengan Cubone yang berusaha ia tangkap di awal cerita.

 

 

 

 

 

Dibuat untuk mewujudkan imajinasi penggemar Pokemon tentang dunia di mana manusia dan pocket monster hidup berdampingan. Visualisasi mosnter-monsternya keren. Pikachu-nya lucu, meski mungkin lucunya berbeda dengan yang dibayangkan. Sekuen aksinya seru, dan literally kita pengen nambah (karena porsinya minim). Para penggemar pokemon akan menikmati film ini, asalkan bisa berpikiran terbuka terhadap pilihan yang dilakukan oleh film. Pokemon-pokemon yang dipimpin oleh Pikachu itu tetap menjadi bagian terbaik film, hanya saja cerita berpusat kepada tokoh manusia – terutama ayah dan anak – yang tidak pernah ditampilkan lebih atau malah semenarik tokoh pokemonnya. Enggak akan gampang untuk kita mengatakan “I choose you!” kepada film ini karena ia menghadirkan tokoh utama yang membosankan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for POKEMON DETECTIVE PIKACHU.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa makna ketidakhadiran seorang ayah dalam sebagian besar hidup anaknya? Apakah film ini menawarkan solusi soal keabsenan seorang ayah yang menjadi tema/inti utama cerita? Apakah menurut kalian Tim akan bertemu dengan ayahnya jika kecelakaan di awal cerita tidak terjadi? Apakah kalian punya solusi sendiri mendekatkan anak dengan ayahnya?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

FIGHTING WITH MY FAMILY Review

“Everyone wants to win”

 

 

 

Enggak, aku bukannya bias karena aku penggemar gulat. Tapi Fighting with My Family yang diproduseri oleh Stephen Merchant bareng The Rock dan WWE Studios ini memang bagus karena nawarin drama keluarga yang beneran menyentuh, dari dunia yang tak semua orang tahu.

 

Pro-wrestling memang masih salah satu media entertainment yang sering diremehkan. Mungkin malah tabu di Indonesia, yang melarang penayangannya semenjak kasus anak kecil meninggal menirukan adegan-adegan smekdon. Maka aku maklum kenapa film tentang kehidupan keluarga pegulat kayak gini enggak ditayangin di bioskop kita. Siapa sih yang masih nonton gulat jaman sekarang? Film actually sangat self-aware. Pertanyaan tersebut beneran digambarkan oleh film ini dalam sebuah adegan kocak ketika keluarga pegulat makan malam bareng keluarga pacar anak mereka. Bahkan di antara sesama penggemar wrestling saja, Fighting with My Family awalnya sempat dinyinyirin. Kenapa malah Paige yang dibikinin biografinya, kenapa bukan Stone Cold, atau Undertaker, John Cena, atau The Rock sekalian?  Aku percaya setiap orang punya cerita, dan setiap cerita pantas untuk difilmkan. Asalkan ceritanya genuine loh ya, bukan cerita hidup dikarang-karang kayak orang yang titisan atau bisa melihat setan. Terlalu cepat? Rasanya tidak juga, karena pengaruh Paige di WWE sendiri cukup besar; dia juara cewek termuda dalam sejarah (umur 21 tahun), dia mencetuskan gerakan Women’s Revolution yang membuat posisi pegulat cewek lebih baik dan lebih signifikan, dia masuk nominasi Unyu op the Year My Dirt Sheet FOUR, dan unfortunately kini Paige sudah menggantung sepatu bootnya; dia tidak bisa bergulat lagi karena cedera yang ia koleksi sebagai efek samping dari bergulat sejak kecil. Itu sebabnya waktu sudah bukan masalah, cerita Paige beserta keluarganya kalo bukan golongan unik, maka aku gak tau lagi makna unik itu seperti apa.

Ketika Paige kecil berantem rebutan remote tv dengan abangnya, ayah mereka bukannya melerai tapi malah mengoreksi pitingan yang mereka lakukan. Keluarga Paige memang hidup dari bisnis gulat, ayahnya adalah legenda lokal di kota mereka di Norwich, Inggris. Begitu pula ibunya; nama asli Paige, Saraya, sebenarnya adalah nama-alias si ibu di dalam ring gulat. Orangtua macam apa hahaha… Keluarga ini mengelola promosi gulat independen, Paige sedari kecil sudah nyemplung ke dalam dunia ini, dan begitulah cintanya terhadap wrestling tumbuh. Paige berlatih gulat bersama abangnya, mereka melatih anak-anak di sekitar sana, mereka melakukan pertunjukan di aula. Paige dan abangnya, Zack, ingin mewujudkan mimpi mereka menjadi pegulat sehebat The Rock. Jadi mereka mendaftar untuk try-out di WWE, perusahaan yang udah kayak hollywood-nya dunia gulat-hiburan. Mereka berhasil terpanggil. Namun hanya Paige seorang yang beneran diterima untuk tampil di acara WWE.

I didn’t realize it back then, tapi sekarang, aku bangga pernah menyaksikan secara live Paige bertanding gulat

 

Hati dan jiwa film ini terletak pada hubungan antara Paige dengan abangnya tersebut. Motivasi mereka sama-sama besar. Film berhasil melandaskan betapa eratnya relasi antara kedua tokoh. Mereka hampir tak terpisahkan. Berlatih bersama. Bertanding bersama. Mereka adalah bebuyutan di dalam ring, namun di belakang panggung, mereka adalah the best of friends. Enggak gampang hidup dengan pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Bagi keluarga Paige, berjuang di atas ring itu sejatinya adalah perjuangan mereka di dunia nyata. Dan hubungan Paige dengan Zack si abang, merefleksikan bagaimana hubungan satu keluarga ini secara utuh. Set-up cerita benar-benar membuat kita terinvest. Keluarga akhirnya menjadi stake cerita; Zack harus menghidupi istri dan anaknya, sebagaimana Paige juga harus sukses untuk membantu keluarganya. Makanya, saat mimpi kedua tokoh ini tidak berjalan sesuai rencana, konflik yang menyusul terasa kuat merasuk ke dalam diri kita yang melihat mulai tercipta kerenggangan di antara mereka. Dan kerenggangan itu terasa lebih jauh dari jarak yang tercipta antara Paige harus pindah ke Amerika, tempat markas WWE, dengan abangnya di Inggris.

Cerita dengan bijaknya tidak sekadar membuat rasa cemburu sebagai api konflik. Malahan, cemburunya terasa sangat kompleks. Bayangkan dua orang yang saling dukung dan bantu karena sama besarnya menginginkan hal yang sama, tapi hanya satu yang bisa mendapatkan. Paige kehilangan semangat juang di pelatihan WWE yang sangat menempa fisik, sementara abangnya melawan kecemburuan tersebut dengan berusaha mempercayai dia tidak terpilih lantaran sang adik lebih baik dari dirinya. Bagi Zack, tentu saja itu sangat pahit. Naskah sukses berat memparalelkan kedua tokoh ini, kita melihat mereka menempuh turunan tajam dalam hidup. Penulisan Paige dan Zack ini adalah contoh yang brilian dari yang disebut KONFLIK NILAI KARAKTER. Menurut John Truby dalam bukunya, The Anatomy of Story, konflik yang menarik itu dapat terjadi dengan cara mengestablish tujuan yang sama untuk dicapai tokoh-tokohnya, tapi buat para tokoh tersebut punya cara atau pandangan yang berbeda untuk mencapainya. Paige dan Zack punya tujuan yang sama; sukses sebagai pro-wrestler, mereka terluka oleh wound yang sama saat mereka terpisah. yang menyebabkan mereka menciptakan ‘kebohongan’ yang berbeda. Menghasilkan konflik yang luar biasa terasa ke hati kita. Paige’s lie – kebenaran palsu yang ia percaya – adalah ia tidak bisa sukses tanpa abangnya. Sedangkan lie-nya Zack adalah dia bukan apa-apa karena tidak mampu keterima di WWE.

These two needs to work things out. Harus saling dibentrokkan supaya mereka melihat di luar kebohongan personal yang mereka ciptakan masing-masing. Dan momen ketika mereka berbenturan di akhir babak kedua itulah yang menjadi momen terhebat dalam film ini. Kita semua tahu gulat itu gak benar-benar memukul lawan. Film menggunakan ini untuk memulai momen benturan antara kedua tokoh. Paige dan Zack bertanding kembali dan apa yang dilakukan Zack akan membuat kita membenci dan sedih melihatnya di saat bersamaan. Permulaan yang sempurna dari penyelesaian yang menyusul kemudian. Aku sungguh-sungguh tak menyangka bakal disuguhin adegan keluarga, kakak-adik, yang begitu heartfelt dalam film tentang pegulat!

Siapapun yang merasa dirinya manusia, pasti pernah menginginkan sesuatu, so intense you think you’d die without it. Sekiranya inilah yang ingin disampaikan oleh sutradara Stephen Merchant. Bahwa semua orang menginginkan hal yang sama dengan kita. Ingin ‘menang’. Namun bukan berarti itu menjadikan dunia sebagai ring kompetisi. Karena seperti dalam gulat, ketika kau kalah, kau membuat orang lain tampak hebat, tidak berarti kau kurang penting. Kita semua adalah pemenang by default, tergantung kita yang menunjukkan seberapa menang kita, bahkan dalam kekalahan.

 

Hal unik lain yang bisa kita dapatkan dari film yang sebenarnya punya formula standar cerita tentang orang yang akhirnya menjadi ‘juara’ adalah kita bisa mendapat pengetahuan yang lebih dalam tentang bagaimana WWE bekerja. Mendengar alasan dari pihak WWE dalam cerita soal kenapa Zack tidak terpilih benar-benar membuat mataku terbuka. Bahwa setiap kita punya peran sesuai dengan siapa diri kita sebenarnya. Film juga berhasil membuat WWE tidak tampak munafik. Cerita tidak mangkir dari kenyataan dari company ini sudah tidak seperti dulu, bahwa mereka tentu saja mementingkan brand-image. Mereka meng-hire sebagian talent memang dari tampang dan lekuk tubuh semata. Namun itu semua punya alasan yang berkaitan dengan tema ‘semua orang ingin menang di perjuangan hidupnya masing-masing’. Dan untuk percaya bahwa perjuangan yang satu lebih tidak penting dari yang lain, adalah hal yang salah kaprah. Paige belajar pelajaran yang sangat berharga ini lewat rekan-rekan seperjuangan yang tadinya ia remehkan.

baru umur 26 dan sudah ada film tentang keberhasilan hidupnya, aku?

 

Dengan pengawasan ketat dari The Rock, skrip film ini berhasil berkembang dengan baik, tanpa mengurangi nilai penulisan dan strukturnya sendiri. Lumayan ada banyak alterasi yang dilakukan oleh naskah terhadap kejadian asli, yang bakal jadi makanan empuk buat nitpick-nitpick penggemar gulat. Tapi aku tidak punya waktu untuk nitpick saat sedang sibuk tertawa-tawa oleh dialog-dialog dan penampilan akting yang kocak sekali. Keluarga Paige lucunya udah keterlaluan. Nick Frost sangat hebat memainkan Ricky Knight, ayah Paige yang lumayan ‘bar-bar’ tapi fair dan sangat menyayangi keluarganya. Saat Frost mengucapkan dialog gulat adalah agama, penyelamat mereka, aku percaya. Sudah seperti Ricky beneran yang mengucapkan. Hampir semua adegan yang ada Ricky, kita akan tertawa. Vince Vaughn juga tampil dalam film ini, sebagai pelatih Paige di WWE. He also funny. Perannya akan sedikit mengingatkan kita saat dia jadi Sersan di Hacksaw Ridge (2016), meski di sini sedikit lebih ‘pg-13’. The Rock porsinya sedikit, tapi cukup mencuri perhatian. Meskipun dia tidak satu frame dengan banyak lawan mainnya, interaksinya dengan tokoh si Vaughn sangat minimal hingga malah tampak awkward, tapi tidak pernah jadi persoalan besar.

Pujianku terutama tertambat kepada Florence Pugh yang berperan sebagai Paige. Umm, ralat, tepatnya sebagai Saraya Knight, karena Paige adalah tokoh yang ‘dimainkan’ Saraya di atas ring WWE, dan film ini lebih tentang personal Saraya yang harus memainkan Paige. Ada banyak emosi yang harus Pugh kenai. Ada elemen fish out of water saat Saraya baru nyampe ke Amerika, dia harus menyesuaikan diri dengan disiplin kerja WWE, juga kehidupan sosial di sana. Pugh actually harus bergulat beneran, yang berarti ada usaha fisik juga. Film beneran merekaulang debut Paige di televisi sebagai final dari perjalanan Saraya. Bagi yang udah tahu sejarahnya, yang menonton pertandingan asli debut Paige melawan AJ Lee di tv, sekuen final film ini mungkin bisa terasa sedikit rush. Kepandaian Paige terasa tercut-cut, tidak begitu dominan. Adegan ini juga bisa tampak sebagai usaha sia-sia mendramatisir pertandingan WWE yang semua juga udah tahu hasilnya sudah ditentukan. Namun kupikir, semua itu adalah pilihan kreatif yang diambil oleh film. Karena sekuen tersebut bukan untuk menunjukkan cara Paige jadi juara mengalahkan AJ Lee, melainkan untuk memperlihatkan Saraya akhirnya berhasil mengalahkan kebohongan personal yang ia percaya, ia membanting demam panggungnya keras-keras, di momen tersebut Saraya sudah percaya dia terpilih untuk memegang sabuk bukan karena abang yang membuat ia jadi terlihat lebih baik.

 

 

Meminjam catchphrasenya The Rock; “It doesn’t matter” apakah kalian penggemar gulat atau tidak. Film ini dibuat untuk setiap orang. Karena kita adalah tokoh utama dalam cerita hidup masing-masing. Kita punya keinginan. Kita harus belajar memahami apa yang kita butuhkan untuk mencapai keinginan tersebut. Dan also, kita juga punya keluarga. Film yang berdasarkan dokumenter keluarga Knight The Wrestlers: Fighting with My Family (2012) ini memang tidak spesial dari segi arahan, ini adalah film crowdpleaser dengan formula yang sama kayak film-film tinju ataupun film tentang kompetisi. Tapi penampilan dan naskahnya tergarap dengan luar biasa baik. It is really inspiring. Drama keluarga dan konflik-konfliknya akan sangat menyentuh. Dan siapa tahu, kalian jadi tertarik sama dunia gulat setelah nonton film ini. Karena seperti yang selalu kubilang pada ulasan-ulasan kategori wrestling, gulat itu sama aja kayak film. Hanya pake spandeks.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for FIGHTING WITH MY FAMILY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang gulat? Apakah kalian setuju dengan perkataan film ini bahwa manusia ada yang tercipta sebagai bintang, ada yang tidak, dan tidak seharusnya kita berjuang meninggalkan bagian kita?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.