SEKTE Review

“Don’t be a follower”

 

 

 

Sebelumnya sukses secara-halus mengadaptasi cerita Hereditary (2018) ke lingkungan panti asuhan anak-anak, penulis William Chandra – kini sekaligus mengambil alih kursi sutradara – kembali mencoba peruntungan breaking through horror dengan creatively memasukkan elemen tokoh amnesia ke dalam adaptasi-lembut dari 10 Cloverfield Lane (2016). Dan Don’t Breathe (2016).

Dan Suspiria (1977 atau 2018, your choice!)

 

Asmara Abigail (temanku mengganti ‘g’ dengan ‘f’ setelah melihat penampilan aktingnya sebagai Lia pada film ini) juga terbangun mendapati dirinya dalam situasi antara disekap atau diselamatkan. Bedanya adalah, orang yang mengaku menyelamatkan dirinya bukan seorang bapak-bapak. Melainkan sekelompok orang yang hidup bersama selayaknya keluarga. Kepala ‘keluarga’ ini seorang wanita yang tengah mengandung, yang menjamu Lia dengan penuh kehangatan. Menjamunya makan. Mengenalkan Lia kepada lima penghuni lain. Menjelaskan kepadanya bahwa mereka adalah orang-orang yang terbuang secara sosial. “Dunia di luar kejam” ujar si wanita, dengan pandangan yang meminta Lia untuk tetap tinggal bersama mereka. Karena sekarang Lia yang kehilangan ingatan tidak punya siapa-siapa. Atau paling tidak, itulah yang mereka mau. Lia yang terus disuapi kebohongan dan kenyamanan palsu di siang hari, mulai merasakan keanehan pada sikap keluarga barunya. Yang bisa saja berhubungan dengan teror tak terjelaskan yang datang kepadanya setiap malam hari yang berasal dari sebuah entitas supernatural bernama Bunda yang hidup di suatu tempat di lingkungan mereka.

saking gak tau apa-apanya, Lia malah dipergoki dan ditunjukin arah sama orang buta

 

Siapakah seseorang begitu kita menghilangkan masa lalunya? 

Pertanyaan tersebut adalah alasan kenapa amnesia menjadi salah satu elemen atau trope yang sering kita temui dalam cerita fiksi, entah itu film ataupun novel. Kita bisa menggali banyak tentang personalita seorang karakter saat sejarah dan hubungannya dengan orang lain dicabut dari karakter tersebut. Konflik memang inti dari sebuah drama, akan tetapi setiap interaksi selalu berakar kepada siapa tokoh tersebut pada intinya. Membuat si tokoh amnesia – membuatnya melupakan hal-hal traumatis, atau luka pada hidupnya, atau momen-momen yang mengubah dirinya – seperti mengelupasi lapisan-lapisan luar dari tokoh tersebut sehingga kita dapat melihat dirinya yang asli. Kemudian pada akhirnya membenturkan inti tersebut dengan seperti apa dia seharusnya sekarang, boom, kita dapat cerita-cerita pencarian diri yang begitu personal dan sangat menarik. Jason Bourne melakukannya seperti demikian. Alita juga begitu. Bumblebee. Dalam beberapa poin, Captain Marvel juga.

Elemen amnesia ini adalah faktor paling utama yang mestinya menjadi penentu apakah film Sekte berhasil menjadi dirinya sendiri atau cuma menjadi follower dari film-film lain yang jauh lebih sukses. Cerita Lia ini akan menjadi menarik jika diperlakukan dengan benar, paling tidak sesuai dengan formula menangani karakter amnesia. Resikonya tinggi, memang, dalam menggunakan tokoh utama yang melupakan siapa dirinya. Benturan inner dengan outer journey tokoh tersebut haruslah saling kohesif; saling padu, saling berketerkaitan.

Sayangnya, Sekte terlalu sibuk mengurusi kelokan dan kejutan cerita, membangun jumpscare-jumpscare, sehingga melupakan – atau malah tidak mengerti – bahwa kekuatan utama cerita misteri mereka. Lia tidak pernah digarap. Hush, bukan digarap yang seperti itu, maksudku adalah tokoh Lia tidak pernah benar-benar diperlakukan sebagai tokoh utama. Motivasi absen dari tokoh ini. Sebagai orang yang lupa siapa dirinya, Lia perlu untuk diberikan suatu tujuan sekaligus keinginan mencari tahu siapa dia yang sebenarnya. Sekte melakukan kerja yang sangat buruk perihal memberikan purpose tersebut kepada sang tokoh utama. Dia dibuat mulai beraksi setelah mendengar backstory dari tokoh lain, mendadak dia jadi begitu peduli. Dan Lia sama sekali tidak pernah diperlihatkan penasaran, ingin mencari tahu, siapa sesungguhnya dirinya. Lia sebelum kejadian dalam film ini benar-benar dinihilkan oleh film. Alih-alih menjadikannya sebagai pengembangan, step-step pembelajaran tokohnya, siapa-Lia itu hanya difungsikan sebagai twist. Makanya, kita tidak sekalipun merasa peduli sama perjalanan tokoh Lia. Itupun kalo beneran ada perjalanannya. Bahkan ketika momen terakhir yang menunjukkan transformasi besar-besaran itu, aku tidak merasakan apa-apa selain sedikit kagum melihat visualnya. Naik-turun tokoh Lia ini enggak ada! Karena kita gak punya pegangan seperti apa dia yang sebenarnya.

Itu bukan lantaran filmnya berhasil menjadi ambigu. Kita tidak pernah mempertanyakan apakah yang diberitahu anggota sekte kepada Lia bohong atau bukan. I mean, judulnya saja sudah semacam papan pengumuman yang membeberkan yang bakal terjadi. Sebab film ternyata disetir menjauh dari psikologis Lia. Kita tidak mengerti wound-nya apa. Jikapun ada lie, itupun tidak terasa mempengarui Lia, karena lie tersebut tidak diciptakan oleh dirinya. Tokoh ini tidak mencari. 10 Cloverfield Lane sesegera mungkin menghadapkan Michelle, tokoh utamanya, dalam debat sengit di dalam kepalanya; apa yang sesungguhnya terjadi di luar sana, kenapa dia mesti berada di dalam sini. Ada begitu banyak pengalihan yang jenius dalam film 10 Cloverfield Lane yang mengajak kita turut menerka-nerka. Tokoh yang terlihat jahat, ternyata tidak, eh kemudian tampak berbahaya lagi. Sebaliknya pada Sekte, pengalihan-pengalihan juga ada banyak, hanya saja begitu obvious. Karena pengalihan-pengalihan itu berwujud aspek-aspek bego yang bakal langsung terasa, atau kelihatan, begonya jika kita menonton dengan pake logika.

Kita bukan sekte. Ayo ulangi. Kita bukan sekte.

 

 

Contohnya nih, anggota sekte dalam film ini bahkan enggak mengunci pintu ke ruangan yang ada mayat-mayat didudukkan di kursi-kursi kayak di dalam gereja. Mereka enggak menyembunyikan mayat tersebut dari Lia. Ada satu ruangan di rumah tersebut yang tidak boleh dimasuki oleh Lia, dan itu bukan ruangan mayat-mayat tadi. Terus ada tokoh yang mergokin Lia mau kabur, namun kemudian justru si tokoh itu yang mencoba membantu Lia dan menentang anggota sekte. Adegan-adegan bego semacam itu akan banyak kita temukan sepanjang film, dan surely merupakan tanda-tanda twist yang jelas sekali, yang membuat film kehilangan kemampuan mengangkat pertanyaan. Salah satu dari tiga cast utama dibunuh dalam adegan flashback, enggak sampai lima menit dari kemunculan pertama tokoh yang ia perankan – sangat jelas tokohnya nanti bakal punya peran yang lebih besar, lantaran gak mungkin film bayar pemain dengan nama lumayan besar hanya untuk adegan sekilas. Bahkan akting, oh maan, semuanya seragam jelek sehingga aku jadi penasaran apakah memang disengaja oleh arahan atau para aktornya bermain sekena mereka fully-realized adegan-adegan yang mereka lakukan bego. Dan ternyata memang ada yang disengaja. Ada elemen sandiwara, ada semacam akting dalam akting, yang dilakukan oleh tokoh-tokoh film ini sehingga looking back, kekakuan pengucapan dialog dan penyampaian emosi mereka bisa termaafkan karena sesungguhnya tokoh-tokoh itu juga lagi bersandiwara.

Film ini tidak menyadari bahwa elemen sandiwara yang mereka lakukan justru menihilkan bobot yang berusaha mereka sisipkan ke dalam cerita. Ada tokoh yang curhat kepada Lia soal dirinya berada di sana karena dibuang oleh orangtua yang malu lantaran dia gak seperti cowok normal. Para anggota sekte disugestikan adalah orang-orang terbuang dari masyarakat yang tidak menerima mereka. Dan kemudian kita tahu ternyata tokoh-tokoh tersebut bersandiwara kepada Lia. Ada yang tadinya mati, ternyata tidak mati. Buatku ini membuat komentar dan kritik-kritik sosial tadi tidak punya power atau cengkeraman lagi.

Soal pengungkapan di akhir cerita, beberapa penonton mungkin akan menganggapnya mindblowing. Tapi aku sarankan untuk memikirkan sedikit lebih dalam lagi apa yang sebenarnya dilakukan oleh film ini. BECAUSE IT WAS SO STUPID! Serius deh, setelah nonton tadi aku gak tahan membayangkan pembuat filmnya tersenyum puas menonton orang menonton karya mereka dan berpikir, “keren banget kan twist kita”. It’s not. Kenapa butuh segitu banyak orang untuk menipu satu tokoh yang ga ingat apa-apa, basically adalah kertas kosong yang bisa ‘ditulis’ apa saja, yang bahkan tidak mempertanyakan hal yang kau ceritakan kepadanya. Kenapa jika orang yang tadinya punya kepala sehat saja bisa sukarela masuk ke dalam lingkaran sekte, para anggota tersebut masih merasa perlu untuk bikin sandiwara demi meyakinkan orang yang sama – minus ingatannya – untuk kembali masuk ke sekte mereka. Kenapa oh kenapa sandiwara yang mereka lakukan musti berdarah-darah dan sangat eksesif padahal mereka cukup bersandiwara minta tolong ke Lia bahwa mereka sebenarnya ditahan oleh Bunda, mereka tinggal pura-pura mohon ke Lia“tolong bunuh monster di ruangan itu”… beres kan, toh hasil yang diinginkan bisa tercapai, dan kita bisa lebih cepat keluar dari bioskop.

At its best, Sekte memberikan gambaran bahwa yang fanatik-fanatik itu memang gila. Mereka rela melakukan hal yang gak perlu, bisa dibilang bego, bahkan sampai mengorbankan bukan saja orang luar melainkan kelompok mereka sendiri. Makanya, janganlah bangga-bangga amat menjadi pengikut, apalagi pengikut yang buta.

 

 

 

Film dengan cermat menyusun rencana dan menanamkan detil-detil, film punya ambisi untuk membuat horor dengan twist yang cerdas. Hanya saja mereka melupakan logika. Pengungkapan dalam film ini justru semakin membuat cerita semakin bego. Permainan akting yang kaku sama sekali tidak menolong film yang sudah kehilangan bobot gagasan oleh turn yang mereka lakukan pada cerita. Ini adalah horor yang sangat lemah. Aku malah takjub sekali jika masih ada penggemar horor yang merasa takut saat menonton film ini. Kecuali mungkin penggemar horornya sudah lupa ingatan akan bagaimana horor yang bagus. Karena elemen-elemen kunci pada film ini sudah pernah kita temukan dalam wujud yang lebih baik. Ini gak bakal jadi horor pemimpin, dia hanya pengikut. Bahkan mencapai status cult-movie pun rasanya sulit.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for SEKTE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana sih pendapat kalian tentang sekte? Apakah kubu-kubu politik yang kita jumpai sekarang ini bisa disebut sebagai sekte juga?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

27 STEPS OF MAY Review

“It is not our fault but it is still our responsibility.”

 

 

Ketika ditinggal mati seseorang yang dicintai, kita bisa berpegang kepada prinsip lima-tahap dari Kubler-Ross untuk meniti kembali kestabilan emosional yang kita rasakan. Namun bagaimana jika yang mati itu adalah diri kita sendiri? Bagaimana jika suatu trauma mengerikan terjadi kepada diri kita, meninggalkan luka fisik dan luka jiwa sebegitu dalamnya, sehingga menewaskan siapa diri kita sebelumnya? Lima langkah, tujuh, atau malah dua-belas sekalipun tidak akan cukup untuk menuntun kita melewati proses penyembuhan. May dalam film 27 Steps of May, yang mengalami kekerasan seksual di usia belia, butuh waktu delapan tahun! Sutradara Ravi L. Bharwani mengerti bahwa bergulat dengan trauma personal adalah urusan alami yang sangat sulit bagi para korban. Sebuah bagian dari perjalanan kehidupan yang tidak bisa diburu-buru, tidak bisa dikemas menjadi tahapan-tahapan yang seolah menyederhanakan. Karena dealing with personal trauma, grief atas sesuatu peristiwa melecehkan yang terjadi kepada kita, tidak bisa dijadikan simpel. Melainkan sesuatu yang kompleks, yang sakitnya dapat menjalar hingga ke orang-orang terdekat.

Makanya, 27 Steps of May berjalan dengan deliberately slow. Film ini ingin kita menyelami apa yang dirasakan, terutama, oleh May. Cerita akan memposisikan kita ke dalam sepatu (berkaos kaki panjang) May. Bertahun-tahun setelah dia direnggut ke dalam gang, kehidupan May (jebolan Gadis Sampul Raihaanun Soeriaatmadja bakal jadi kontender kuat dalam penghargaan-penghargaan film tahun ini) tak pernah lagi semeriah pasar malam di adegan pembuka. Dia tak pernah keluar dari kamarnya. Tempat dia mengerjakan pembuatan boneka-boneka princess. Tempat dia melakukan bunyi ‘ceplok ceplok’ yang ternyata adalah berolahraga lompat tali. Dunia May sekarang adalah kamar putih yang nyaris berisi. Bahkan ayahnya sendiri hanya masuk ke sana saat mengantar meja untuk kerja May. Kamera akan membawa kita masuk ke dalam momen-momen paling rahasia dari wanita yang menutup dirinya ke dalam isolasi. Yang memilih ‘curhat’ dengan torehan pisau silet tatkala sekelebat trauma tertrigger lewat ke ingatannya. Film ingin membuat kita merasakan diskoneksi yang serupa dialami oleh May ketika dia duduk diam di meja makan bersama ayahnya. Itulah satu-satunya waktu ketika May mau meninggalkan kamarnya. Selebihnya dia mendekam, bahkan harus ditarik paksa keluar saat ada rumah tetangga yang kebakaran. Kemudian hal yang seperti datang dari dunia David Lynch terjadi kepada May. Dinding kamarnya berlubang dan wanita ini menemukan ada yang tinggal di balik dinding tersebut. Seorang pesulap. Laki-laki.

mungkin dia mau ngajarin rahasia sulap sebuah tongkat yang bisa membesar?

 

 

Honestly, begitu tokoh pria tukang sulap yang diperankan jenaka-tapi-misterius oleh Ario Bayu ini muncul, aku sempat khawatir. Aku enggak mau film malah meromantisasi posisi May sebagai korban dengan kehadiran si Pesulap, cerita akan kehilangan gagasannya jika membuat May diselamatkan oleh Pesulap. Untungnya 27 Steps of May sepertinya sudah punya langkah-langkah riset sendiri. Film ini sangat menghormati tokoh yang ia ceritakan. May sendirilah yang eventually memilih untuk memanjat masuk ke dalam lubang di dinding. Tak sekalipun dia menjadi pasif dan tampak membutuhkan pertolongan. Elemen sulap sendiri – sebagai peristiwa ajaib yang tak terduga – juga berperan dalam menambah bobot pembelajaran yang terjadi kepada May. Film ini tahu persis bahwa korban-korban kekerasan seperti May bukan saja berkembang menjadi orang yang penuh rasa takut, yang menutup diri, yang cenderung menyakiti diri sendiri, melainkan juga merasa kehilangkan kendali. Inilah akar dari proses trauma May, yang membuat dia menjadi seperti dirinya sekarang – yang menyetrika baju dengan hati-hati, yang memakan hanya makanan putih, yang disiplin terhadap waktu. Dia ingin mengembalikan kontrol, kendali atas dirinya sendiri. Itu juga makanya May tertarik mempelajari sulap; sebagai perwujudan dari ia ingin bisa mengendalikan peristiwa ajaib yang ia lihat.

Wanita, ataupun pria, yang jadi korban kekerasan seksual adalah mereka yang dipaksa untuk melakukan sesuatu di luar kemauan mereka. Mereka kehilangan kendali atas diri sendiri, dan perasaan tersebut akan terus berlanjut setelah kejadian. Jadi mereka berusaha untuk mengembalikan kendali yang hilang tersebut. Inilah yang terjadi kepada May, yang kegiatan hidupnya seketika menjadi rutin yang itu-itu melulu. Mengembalikan kontrol ini jadi salah satu tema berulang yang dapat kita lihat pada film.

 

Selain May, film ini juga tentang ayahnya. Ayah May (rasa-rasanya baru sekali ini aku melihat Lukman Sardi memainkan tokoh sedevastating ini) menafkahi mereka dengan bekerja sebagai petinju. Tapi setelah tragedi yang menimpa May, sang ayah bukan lagi bertinju secara profesional, melainkan untuk pelampiasan emosi semata. Jika May menyalurkan sakitnya dengan menyakiti diri sendiri, Ayah May resort ke menyakiti orang lain. Dia juga, pada dasarnya ingin mengembalikan kendali kepada keluarganya, karena dia tidak tahu harus apa. Kita melihat si ayah justru merasa aneh tatkala May melakukan sesuatu di luar kebiasaan pada pertengahan film. Kita merasakan kontras keheningan May dengan dentuman dan hantaman dan teriakan adegan-adegan bertinju sang ayah. Jika kalian ingin tahu apa yang terjadi kepada Iron-Man saat skip lima tahun di awal film Avengers: Endgame (2019); Ayah May ini bisa dijadikan pendekatan yang cocok. Karena si ayah memang persis seperti Tony Stark dalam kondisi kejiwaan yang terburuk. Kedua tokoh ini sama-sama bergerak dalam sistem untuk mengendalikan. Bedanya hanya ayah May tidak punya resolusi untuk balik ke masa lalu dalam upaya mengendalikan kembali ‘kekalahan’ keluarganya. Dan si ayah enggak bisa ngamuk gitu saja kepada May yang menutup diri darinya seperti Iron-Man ngamuk kepada rekan-rekan superheronya.

May dan ayahnya berusaha menyetir hidup mereka kembali seperti sedia kala. Namun tanpa ada yang berani mengungkapkan – tak ada sistem yang mensupport mereka berdua selain keheningan di antara mereka, tanpa mereka sadari mereka justru menyakiti orang lain dan diri mereka sendiri. Dan inilah yang sebenarnya berusaha dikomunikasikan oleh film. Bahwa sesungguhnya ini adalah perjuangan May untuk berkomunikasi dengan ayahnya, begitu juga sebaliknya. Mengingatkan kepada korban perlunya untuk membuka komunikasi, dan kepada keluarga korban untuk menjadi pendukung. Dua tokoh ini terisolasi oleh trauma. Ada adegan ketika May terbata hendak berteriak mengatakan sesuatu kepada ayahnya, tetapi dia belum sanggup. Hal ini membuat ayahnya semakin merasa bersalah dan merasa tak mampu melindungi anaknya. Sebaliknya, kesalahan sang ayah adalah belum menyadari bahwa anaknya butuh lebih dari sekedar presence. Tidak cukup hanya duduk diam di sana. Ayah May malah semakin salah ketika dia malah menyalurkan emosinya sendiri ke dalam ring, jauh dari May. Yang malah membuat May makin merasa sendirian, terbukti dengan seringnya kita diperlihatkan adegan May duduk menunggu kepulangan ayahnya di meja makan.

Kita tidak bisa mengendalikan semua baik-baik saja. Bukan salah kita jika semuanya berubah menjadi tidak baik-baik saja. Kita butuh saling support. Karena kita bertanggung jawab untuk hidup terus sambil menyembuhkan diri. Jangan lagi tambahkan luka yang tak-perlu.

 

“sakit berarti ada yang gak ngalir”, makanya biarkanlah semua mengalir kecuali diare

 

 

Melihat apa yang terjadi kepada May dan ayahnya akan membuat kita mengerti apa yang dirasakan oleh korban-korban kekerasan yang bikin trauma. Film benar-benar meluangkan waktu untuk menekankan perasaan tersebut. Beberapa adegan cukup disturbing, secara terang-terangan memperlihatkan May melukai dirinya sendiri. Sekelebat adegan perkosaan juga tampil intens. Ayah May juga sama menyayat hatinya ketika pria ini menerima begitu saja pukulan dari lawannya di dalam arena. Semua orang dalam film ini memberikan penampilan yang sungguh menyentuh. Film ini mampu berkata banyak tanpa perlu sering-sering membuka suara. Bahkan editingnya saja bisa memberikan jawaban sehingga seolah kita sedang berdialog langsung dengan film ini. Seperti saat kamera memperlihatkan luka di wajah ayah May, dan detik berikutnya kita diperlihatkan dia beraksi dalam ring tinju.

Tapi tentu saja tidak ada film yang sempurna. Walaupun sengaja tampil slow-burn dan banyak adegan yang seperti putus-putus antara May dengan ayahnya. Paruh pertama film ini  terasa lebih panjang daripada paruh keduanya. Aku pikir bisa saja ada beberapa adegan yang dihapus supaya menjadikan pace lebih terjaga. Tapi on second thought, tiap-tiap adegan film ini terasa seperti napas, sehingga jika dihilangkan satu denyut film ini bakal keskip satu beat, dan malah bisa saja semakin merusak temponya. Jadi, kupikir pace atau tempo di awal ini adalah resiko penceritaan. Dan satu lagi, aku juga akan lebih suka kalo si Pesulap itu dibuat lebih ambigu; mungkin angkat diskusi apakah dia ada di dalam kepala May saja atau tidak. Toh film sudah membuktikan lebih baik bagi para tokoh jika pria tersebut tidak ada di momen resolusi akhir May. Menjadikan dia beneran ada justru membuat tokoh ini terjebak dalam semacam trope ‘manic pixie dream boy’.

 

 

 

Aku setuju kalo ada yang bilang film ini adalah film Indonesia terpenting, terbaik, sejauh tahun 2019. Semua yang terpampang di layar itu tampak begitu sarat makna dan gagasan. Cerita dengan percaya diri menghembuskan setiap detik napas dan denyut nadinya dalam setiap langkahnya. Yang membuat kita turut merasakan diskoneksi, membuat kita membayangkan seperti apa trauma di dalam sana. Perasaan terkurung itu begitu kuat, entah itu dalam kamar putih bersih ataupun di dalam ring yang riuh dan kumuh. Dan memang itulah yang dilakukan oleh film-film terbaik; membuat kita merasakan suasana, atmosfer, perasaan, tanpa perlu berlebihan mengorkestrasinya. Film ini bakal jadi kekuatan, support-sistem tersendiri, bagi penonton yang mungkin pernah mengalami kekerasan seksual ataupun trauma personal lainnya.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for 27 STEPS OF MAY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya langkah-langkah sendiri dalam menghadapi trauma atau grief atau kesedihan yang mendalam? Menurut kalian kenapa dalam film ini pelaku kekerasan kepada May tidak pernah menjadi penting lagi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

 

AVENGERS: ENDGAME Review

“Failure is only the opportunity to begin again.”

 

 

Separuh makhluk hidup di alam semesta, tanpa pandang-bulu, dijentik lenyap menjadi debu. Oleh monster raksasa berwarna ungu. Ya, setahun sudah kita berkabung kehilangan Spider-Man, Black Panther, Doctor Strange, Star-Lord, dan banyak lagi pahlawan super dalam kejadian itu. Namun bagi rekan-rekan superhero yang ditinggalkan, as the opening of this final Avengers movie goes, tragedi tersebut masih tiga-minggu yang lalu. Duka masih membakar hati. Kalah itu masih membekas merah di tubuh mereka. Aduh, kasihan sekali. Rasa-rasanya belum pernah kita melihat superhero seperti Captain America, dewa petir seperti Thor, manusia-manusia kuat seperti Black Widow, Hulk, Hawkeye, menjadi kehilangan harapan seperti demikian. Tony Stark adalah yang paling parah didera ‘luka-luka’. Dia merasa gagal lebih dari siapapun yang di sana. Bukan sekadar perasaan bersalah seorang yang selamat, yang Iron-Man rasakan, melainkan gabungan dari rasa gagal, ketidakberdayaan, dan keputusasan.

Avengers: Endgame dibuka dengan sangat berbeda dari film-film superhero yang biasa. Satu elemen yang absen di bagian pembukanya – yang sepertinya juga ikut lenyap dijentik oleh Thanos – adalah elemen action. Alih-alih, babak pertama film ini berjalan dengan lambat karena pembuatnya ingin kita ikut merasakan keputusasan, kefrustasian yang melanda para tokoh yang tersisa. Resiko yang luar biasa besar menempatkan penonton di posisi seperti begini, karena lumrahnya saat membeli tiket untuk film superhero, kita akan mengharapkan sesuatu yang menghibur. Jadi film ini berani memulai dengan suram. Film meluangkan waktunya supaya kita bisa melihat dan bersimpati kepada para manusia, meskipun mereka sebenarnya adalah manusia superpower. Film ingin menekankan hal tersebut. Bahwa Captain America, Thor, Iron-Man adalah manusia yang bisa mati, yang bisa kehilangan harapan di depan kematian. Babak awal film ini hampir terasa seperti film drama normal, yang justru membuat film superhero buku-komik ini menjadi menyegarkan. Urgensi dari tokoh-tokoh ini begitu terasa. Sangat exciting melihat mereka mengusahakan apapun hanya untuk terus meyakinkan diri bahwa harapan itu masih ada.

Tidak ada satu kekuatan superpun yang bisa mempermudah kita dalam berhadapan dengan kematian dan kehilangan. Kita tidak bisa terbang darinya, kita tidak bisa sembuh-cepat darinya. Tentunya kita tidak bisa meledakkannya begitu saja. Kita tidak bisa mencegahnya. Titik. Kesempatan kedua yang – bukan didapatkan, melainkan diusahakan oleh para Iron-Man dan teman-teman, sesungguhnya merupakan simbol bahwa kegagalan tersebut hanya bisa terbalaskan dengan diterima untuk kemudian diisi dengan pembelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

 

“He was turned to steel, in the great magnetic field. Where he traveled time, for the future of mankind.”

 

Tentunya kita sudah menanti-nanti film penutup ini dengan banyak antisipasi, dan juga ekspektasi. Setelah Infinity War (2018) yang sangat depressing; mungkin itulah film superhero pertama yang membuat tokoh penjahat sebagai pemenang – dan basically tokoh utama, kita sudah hampir yakin film terakhir ini akan membendung ke arah kemenangan yang gemilang buat para superhero. Tapi tetap saja, ‘kemenangan yang gemilang’ itupun bisa berarti banyak, dapat diterjemahkan ke dalam spektrum arahan yang berbeda. Sutradara Russo Bersaudara paham betul untuk menyeimbangkan antara fans-service, lelucon-lelucon khas Marvel, penampakan seseorang yang bisa jadi dimaksudkan sebagai Stan Lee muda, dan resiko-kreatif yang pada akhirnya mengisi durasi panjang film ini. Masih ada banyak hal yang luput dari ekspektasi kita. Walaupun kalian mungkin adalah tipe penonton yang ngikutin dengan ngotot semua materi promosi mereka, atau mungkin juga seorang hardcore comic book fans, sensasi “wow they did that…!” masih akan bisa kalian rasakan. Dan buatku, hal tersebutlah yang membuatku enjoy menonton Endgame. Cara film ini memperlihatkan perubahan karakter, membuat mereka ‘berbeda’ dari yang selama ini mereka kenal, buatku adalah resiko yang terbayar dengan memuaskan. Tony Stark memang jadi arc utama, tapi film juga mengikat perjalanan semua karakter yang pernah nongol di film-film MCU, terutama yang namanya jadi judul film. Aku paling suka yang dilakukan film ini kepada Thor. Karena di Infinity War, journey Thor yang justru buatku paling mengecewakan – film tersebut lebih terasa seperti mereset alih-laih melanjutkan yang terjadi kepada Thor di Ragnarok. Di Endgame, journey Thor terasa langsung melengkapi perkembangan tokoh ini dari film Thor: Ragnarok (2017), karena punya gagasan yang senada; memanusiawikan dewa.

Pertarungan terakhir benar-benar sebuah ajang sulap CGI dan koreografi yang spektakuler. Kita akan dibuat melek di babak ketiga oleh rentetan pertarungan yang punya purpose untuk memperlihatkan apa yang ingin kita lihat. Mau lihat para superhero bangkit? Kita akan dapat kemunculan yang sangat dramatis hingga bikin merinding. Mau lihat dobel tim atau serangan combo baru dari pasangan superhero? Kita akan dapatkan Captain America melempar bukan hanya perisainya melainkan juga palu Mjolnir Thor! Masih belum puas dan pengen melihat Captain Marvel blow a spaceship? Wait for it… and you got it big time! Aku selalu berpikir bahwa Scarlet Witch underrated banget dan film ini seperti mengonfirmasi bahwa tokoh ini sebenarnya punya kekuatan yang lebih dari yang kita kira. Dan ngomong-ngomong soal superhero cewek, akan ada bagian ketika film ini menunjukkan tokoh-tokoh superhero cewek bekerja sama menunjukkan kekuatan mereka, bahwa mereka gak kalah sama cowok, superhero maupun penjahat. Menonton menit-menit terakhir film ini akan membuat kita tersenyum puas sambil berlinang air mata karena semuanya terasa begitu membuncah. Storyline, arc karakter, film ini meminta kita untuk mengingat kembali (atau gampangnya menonton ulang semua film lama) supaya kita bisa mengerti gimana cerita para tokoh melingker sempurna.

Thor di film ini kayak nyindir Aquaman banget, apalagi kata-kata si Thor pas di akhir kepada Valkyrie

 

Jadi pembagian cerita film ini cukup sederhana. Pengenalan yang really somber, bagian pertarungan gede di akhir, dan di tengah-tengah… well, pilihan babak kedua film inilah yang menjadi sedikit masalah buatku. Hype Endgame sejatinya juga udah sukses membuat penonton mencetuskan banyak teori soal langkah counter dari pihak superhero. Apa yang bakal mereka lakukan untuk mengalahkan Thanos. Bisakah yang menjadi debu tadi muncul kembali ke dunia. Apakah mereka mati. Ataukah terjebak di dunia lain. Teori-teori tersebut banyak beredar. Time-travel adalah salah satunya. And really it’s not a long reach jika melihat rekam jejak Russo Brothers dan Avengers sendiri yang gemar memasukkan elemen-elemen dari serial ngehits buatan Russo Brothers, Community (2009-2015). Di Endgame ini saja kita bisa menemukan dua tokoh (atau paling enggak dua aktor yang meranin tokoh) Community sebagai in-jokes; Ken Jeong yang jadi satpam dan Shirley yang jadi petugas saat Stark dan Rogers di dalam lift. Time-travel dan teori multiverse adalah salah satu episode unggulan dalam serial tersebut, jadi gak heran kalo akhirnya Russo Brothers juga menerapkan elemen serupa ke dalam Endgame.

Masalah yang kumaksud bukan exactly ke elemen time-travel itu sendiri, atau istilah official film ini adalah ‘time-heist’. Time-travel membuat narasi jadi needlesly membingungkan, ya. Tapi juga, time-travel membuka banyak kesempatan untuk mengkorporasikan banyak hal, termasuk memungkinkan encounter antartokoh yang sebelumnya tampak mustahil, serta nostalgia yang dimainkan berupa sudut pandang lain dari adegan yang sudah kita lihat. It’s fun. Tapi tidak benar-benar membuat cerita film ini jadi ada naik-turunnya. Malah tampak seperti memudahkan. Hanya terasa seperti alat untuk meletakkan momen demi momen unik. Jika kita tarik ulang dari babak pertama, yang inciting incidentnya datang dari Batu-Batu sudah dihancurkan, kemudian cerita maju ke lima tahun kemudian di mana satu tokoh muncul dengan gagasan soal time-travel, lalu Avengers berusaha dikumpulkan kembali sambil melakukan eksperimen time-travel, maka set-up film ini terasa ada dua kali. Sebelum dan sesudah inciting incident. Sebagian karakter sudah menemukan zona nyaman kedua mereka – sudah ada yang punya keluarga, maka tentu saja akan ada konflik ketika disuruh untuk mengulang kembali hidup mereka. Untuk film dengan durasi tiga-jam, bercerita dengan struktur seperti demikian tentu dapat ‘melukai’ pacing secara keseluruhan. I mean, meskipun gak kerasa panjang karena kita semua sudah demikian terinvestnya sama kisah mereka yang sudah dibuild up selama sebelas tahun, tapi tetap saja terasa eksesif jika dari tiga-jam itu dua pertiganya berjalan dengan slow; dengan banyak penjelasan, dan minim aksi. Ada beberapa bagian yang mestinya bisa ditrim sedikit. Mungkin bukan durasinya, tetapi lebih ke pemanfaatannya. Antara pengenalan, time-travel, dan pertarungan final – practically babak satu, dua, dan tiga – masih terasa terlalu banyak momen-momen yang gak kohesif.

 

 

 

Untuk sebuah finale, film ini secara cerita terasa kurang kohesif tapi berhasil tampil memuaskan secara emosional. Dia sanggup mengikat begitu banyak arc tokoh, mengambil resiko-kreatif dalam melakukannya. Dia dimulai dengan arahan yang sangat berbeda dari superhero kebanyakan. Masalah yang timbul dari pilihan ini adalah pace cerita yang dapat menjadi lamban, dan film menempuhnya secara head-on. Memilih satu yang paling obvious dari banyak kemungkinan, dan tetap saja hasilnya bikin fans dan penonton kasual sama-sama seneng. Porsi aksinya mungkin tidak banyak-banyak amat, malah mungkin lebih terasa seperti sekelebat penggalan momen-momen, ketimbang sekuen gede yang bercerita runut lewat aksi, tapi tetaplah sebuah sajian untuk mata. Kemenangan terbesar film ini, singkatnya adalah, berhasil untuk membuat sesuatu yang sudah ‘inevitable‘ menjadi tetap terasa baru dan penuh kejutan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for AVENGERS: ENDGAME.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian rela meninggalkan apa yang sudah didapat hari ini demi memperbaiki kesalahan di hari kemaren?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

MANTAN MANTEN Review

“Love is not a war to have win or lose; It’s DIVINE.”

 

 

 

Dalam menjalin hubungan percintaan, jalan yang ditempuh tidak selamanya mulus. Malah mungkin saja jalannya buntu. Kadang ada yang udah deket, tapi kemudian ada masalah ‘kecil’, sehingga kembali menjadi seperti orang asing. Yang berpaling muka bila saling bertatap mata. Ada juga yang udah lengket banget, tapi ternyata nikahnya sama orang lain. Cara orang berdamai dengan mantan pun berbeda-beda. Ada yang nguatin diri tetep temenan. Ada yang langsung ngeblok. Malah ada juga yang nekat datang ke nikahan mantannya sambil nyolong curhat lewat nyanyi di panggung. Lucu sebenarnya, karena kenapa pula kita mau ‘berdamai’ sama mantan?

Film Mantan Manten yang digarap oleh sutradara baru Farishad I. Latjuba seperti hadir untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa kita musti-banget berdamai dengan mantan. Bukanlah lebih mudah menjauhi, dan diam-diam ngestalk kehidupannya – berharap mereka mendapat pengganti yang tak-lebih baik dari kita. Melalui kisah kehidupan seorang wanita karir bernama Yasnina (Atiqah Hasiholan berhasil mendaratkan tokoh yang penuh ego lewat permainan ekspresi) yang sudah ditipu oleh rekan kerja, sehingga terpaksa menjadi pemaes alias penata rias (paes) pengantin Jawa, lalu ultimately ditikung cintanya, kita akan dibuat mengerti bahwasanya berdamai dengan mantan itu sebenarnya adalah berdamai dengan diri sendiri. Mengikhlaskan dalam film ini berarti mampu menatap mantan kita dengan pandangan yang tak-lagi penuh endapan kecewa, atau onggokan harapan, dan mungkin dendam.

Terkadang apa yang kita anggap kemenangan bisa berarti kehilangan. Tidak ada yang namanya mutlak menang atau kalah dalam cinta. Cinta bukan soal itu, karena sejatinya bukan kompetisi. Bukan juga soal investasi yang harus mendapat balasan keuntungan. Satu-satunya ‘kalah’ dalam cinta justru bukan ketika kita tidak mendapatkan yang kita cintai, melainkan ketika kita kehilangan hidup – siapa kita yang sebenarnya – saat berusaha memiliki yang kita cintai.

 

cinta bukan tawar menawar

 

Untuk sebuah cerita yang dikembangkan dari satu peristiwa yang bikin baper sejuta umat, Mantan Manten surprisingly tampil matang. Enggak receh. Tidak lebay. Film ini tidak menganggap remeh penontonnya. Right off the bat, kita dicemplungkan ke dunia profesional Yasnina yang bekerja di gedung-gedung tinggi. Dialog yang berbahasa inggris, istilah-istilah investasi dan perbankan (correct me if I’m wrong, karena to be honest aku tidak mengerti setengah hal yang diucapkan oleh tokoh kita di awal-awal), mengalir deras tak peduli apakah penonton mengerti atau tidak. Film tidak pernah berhenti untuk menjelaskan bahkan ketika suara cerita bergeser menjadi soal budaya pengantin Jawa. Treatment ini benar-benar membuat film menjadi sejajar dengan tokoh Yasnina itu sendiri; seorang yang intens, determinan, dan all-business.

Sebenarnya bukan masalah film tidak memberi penjelasan tentang istilah-istilah di dalam dunianya, malahan bisa saja menjadi berat oleh eksposisi. Namun tentu saja hal tersebut menjadikan bagian awal film cukup ‘beban’ untuk ditelan bulat-bulat. Terutama oleh penonton yang mengira cerita bakal sekasual judul filmnya. Lumayan susah untuk mengikuti dan berpegangan pada tokoh utama. And at first, she’s not a very likeable character either. Tapi kita tetep dipaksa untuk menjadi peduli padanya saat dia terlibat kasus, yang sejatinya bertindak sebagai kejadian yang memulai benturan pada perjalanan plotnya. Tone ceritanya pun mendadak akan menjadi sangat berbenturan begitu kita sampai pada aftermath kasus yang menimpa Yasnina. Dari yang modern, ke sesuatu yang lebih tradisional. Dari keuangan menjadi pernikahan, apa yang menghubungkannya? Satu-satunya yang tampak menghubungkan kedua itu – kenapa harus pemaes – adalah karena ceritanya berunsur mantan yang jadi pengantin. Selain tokoh Yasnina yang menggunakan mindset perbankan/investasi yang ia tahu ke dalam masalah pengantin, kita tidak bisa benar-benar menemukan alasan kenapa kerjaan tokohnya harus begitu dan nantinya dia harus belajar adat pernikahan Jawa. Romance mengambil kursi depan, di belakangnya ada drama, dan kemudian film juga berusaha memasukkan komedi. Dan sedikit sentuhan surealis yang hadir dari elemen budaya. Semua tersebut dilakukan dengan pacing yang nyaris tidak ada. Film berjalan begitu saja, seolah melompat dari satu sekuen cerita ke cerita lainnya.

Aku berharap mereka ngerem sedikit sih. Bukan untuk menjelaskan. Melainkan untuk memberikan ruang bernapas, ruang untuk cerita menghasilkan efek sebelum lanjut ke sekuen yang lain. Maksudku, perpindahan dari mendendam dan berniat mencari uang ke diharuskan belajar paes tidak benar-benar terasa punya impact. Hubungan antara Yasnina dengan budhe Marjanti yang jadi semacam mentornya, dengan undertone seorang anak yang mendapat pengganti ibu, seharusnya ini yang jadi salah satu kunci penting cerita karena pengalaman Yasnina bersama si ibu lah yang eventually membentuk dirinya menjadi pribadi yang baru, tapi film malah menunjukkan perkembangan ini dalam montase Yasnina belajar ogah-ogahan teknik dan filosofi Paes. Kita harusnya melihat perkembangan Yasnina lebih lama, menurutku cerita akan bisa mencapai titik maksimal jika durasinya diperpanjang. Dan didedikasikan untuk menggambarkan transisi tokoh Yasnina dengan lebih mendalam. Sehingga ketika dia mengambil posisi yang diwariskan oleh Budhe, terasa lebih genuine – bukan lagi terasa hanya karena tertulis di naskah sudah waktunya begitu. Tapi aku pikir, film sengaja mempercepat paruh pertama film karena mereka tahu materi yang mereka ceritakan sudah cukup berat, sehingga mereka ingin buru-buru untuk sampai ke bagian akhir yang merupakan punchline dari cerita.

padahal penganten kan mestinya ojo kesusu

 

Bahkan, melihat dari punchline cerita – babak akhir cerita, film tampak seperti enggak yakin harus mengambil tone yang seperti apa. Mereka ingin supaya penonton ikutan sedih, haru, baper karena keadaan yang harus dijalani oleh Yasnina. Akan tetapi dari segi narasi sendiri, seharusnya bagian akhir itu adalah titik di mana Yasnina sudah bisa mengikhlaskan sehingga mestinya tidak ada lagi baper-baperan. Plot film bergerak dari pertanyaan apakah Yasnina bisa memenangkan ‘pertempuran’ untuk kemudian terjawab di akhir babak kedua dan pertanyaan berubah menjadi apakah Yasnina bisa mengikhlaskan. Progres ceritanya naturally adalah Yasnina sudah menjadi ‘kuat’, dia bisa memimpin prosesi dengan lapang hati karena dia sudah menang dalam hidupnya meskipun dia tidak mendapat yang ia inginkan. Secara visual, film melakukan hal tersebut dengan sangat indah. Kita melihat pandangan matanya berbenturan dengan mata mantannya. Bagaimana matanya seperti memberikan restu. Sungguh menguatkan. Akan tetapi musiknya dimainkan seolah menyuruh penonton untuk merasa kasihan dan baper terhadap Yasnina. Ini menjadikan kita tidak berada di dalam sepatu Yasnina.

Momen-momen yang diniatkan sebagai komedi – untuk membuat film jatohnya enggak serius amat – juga menurutku mestinya bisa dicampurkan dengan lebih menyatu lagi. Banyak adegan komedi yang terasa dishoehorn alih-alih hadir alami di dalam cerita. Kepentingannya pun terpampang dengan gamblang. Pada adegan Yasnina baru sampe di rumah budhe di Tawangmangu, ada seseorang bermotor yang datang ke sana, dan kemudian mereka berdua terlibat dialog yang lucu, dan keduanya berakhir pergi bersama menuju tempat pesta budhe. Adegan ini kelihatan banget untuk nampilin komedi dan memberikan ‘kemudahan’ bagi Yasnina, karena kemunculan si pemuda bermotor tersebut sama sekali gak natural. I mean, kenapa dia datang ke rumah itu padahal ia tahu budhe gak ada di rumah dan dia sendiri juga semestinya ada di tempat pesta. Menurutku jika memang khawatir film menjadi berat sehingga harus ada yang ngelucu, mestinya porsi komedinya bisa dicampurkan dengan lebih mulus lagi. Seperti elemen budaya yang mengalir halus menjadi lebih dari sekadar tempelan. Tokoh-tokoh dalam film ini terikat oleh budaya, dan meski mereka menyadari hal tersebut sepenuhnya, mereka-mereka yang bisa dikatakan punya power tersebut tetap tidak bisa menggeliat keluar dari adat budaya.

 

 

Babak terakhir film ini benar-benar nendang. This could be a very strong narrative, on top of gampang untuk relevan. Tapi film seperti kehilangan percaya diri dengan cerita yang ia angkat. Terburu-buru di separuh awal, melewatkan kesempatan untuk mengembangkan relasi yang menjadi hati utama cerita, hanya karena filmnya tidak mau tampil terlalu berat. Menurutku cerita akan bisa bekerja lebih baik jika diberikan waktu dan ruang untuk berkembang. Akan tetapi yang kita dapatkan di paruh awal tersebut masih terasa seperti loncatan tahap-tahap sekuen plot yang sebetulnya masih bisa dikembangkan lagi. Dunianya pun kurang immersive karena selain tiga tokoh yang jadi sentral cerita – Yasnina, Budhe Marjanti (itu juga mestinya lebih banyak lagi adegan Yasnina dengan si ibu) dan Bapak Arifin – tokoh-tokoh yang lain kurang motivasi dan seperti ada di sana karena diperlukan oleh naskah.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANTAN MANTEN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Sudah berapa nih mantan kalian? Ada yang masih temenan gak? Menurut kalian kenapa lebih gampang untuk enggak temenan ama mantan?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

PET SEMATARY Review

“Death is a mystery and burial is a secret”

 

 

Bahkan Stephen King sendiri – penulis novel source materi film ini – pernah bilang bahwa Pet Sematary adalah satu-satunya cerita buatan dirinya yang beneran membuatnya ketakutan. Meskipun aku belum pernah baca bukunya (aku mungkin bakal mencarinya sesegera mungkin), tapi aku sudah menonton film adaptasi pertamanya, Pet Sematary (1989). Film tersebut sukses menanamkan banyak hal mengerikan di benakku; seperti jalanan yang lengang itu lebih berbahaya ketimbang jalanan yang padet lantaran mobil bakal lebih leluasa ngebut, dan aku actually tinggal di daerah yang sering dilewati truk-truk besar seperti pada cerita Pet Sematary. Film tersebut juga sedikit-banyak berjasa dalam membuatku sempat takut sama kucing. Dan hingga sekarang, aku gak belum lupa sama adegan “no fair, no fair” menjelang penutup filmnya.

Dari sekian banyak film adaptasi novel misteri Stephen King, film yang bagus sesungguhnya bisa dihitung dengan jari. Tapi kenapa Pet Sematary yang udah bagus malah diadaptasi dua kali mungkin bakal membuat kita mengernyitkan dahi. Pet Sematary yang baru ini masih bercerita tentang keluarga yang pindah dari Boston ke rumah baru mereka di pinggir jalan negara bagian Maine. Kemudian mereka menemukan sebidang tanah yang oleh anak-anak setempat dijadikan pekuburan untuk hewan-hewan peliharaan yang tertabrak mobil. Makanya judul film ini typo, karena ceritanya nama tersebut diberikan oleh anak kecil. Kematian adalah hal yang alami. Seharusnya tidak ada yang mengerikan pada pekuburan, hanya tempat orang mati disemayamkan. Paling tidak itulah yang dimengerti oleh Louis, kepala rumah tangga yang bekerja sebagai seorang dokter di unversitas. Tapi lantas hal supranatural terjadi, Louis didatangi oleh pasiennya yang meninggal karena kecelakaan. Sebagai ucapan terimakasih, sang pasien bermaksud untuk memperingatkan Louis untuk tidak melanggar batas di area pekuburan. Untuk tidak tergoda sama kekuatan tanah Indian yang misterius yang mampu membangkitkan makhluk tak-bernyawa yang dikuburkan di dalam tanahnya yang kasar dan jahat.

bisakah kita mengajarkan trik baru kepada kucing yang telah mati?

 

Tema ceritanya memang kelam. Pet Sematary pada intinya adalah cerita tentang orangtua yang berusaha memperkenalkan kematian kepada anak-anak mereka. Mati tentu saja adalah konsep yang berada di luar nalar anak kecil. Kenapa kita harus mati. Kemana kita setelah mati. Film Pet Sematary membawa suara novelnya, berbicara tentang hal tersebut. Kita akan melihat Ellie, putri dari Louis mempertanyakan soal kematian. Dan kita melihat gimana Louis dan Rachel, istrinya, sedikit berbeda pendapat. Ada sedikit pertentangan dari Louis saat Rachel menjelaskan kepada Ellie bahwa ada yang namanya ‘afterlife’; ada surga. Sementara Louis tidak percaya akan hal tersebut. Ini menciptakan dua sudut pandang yang menarik dan akan bermain ke dalam perkembangan tokoh. Tapi paling tidak, suami istri ini setuju untuk mengajarkan satu hal kepada putra-putri mereka; bahwa kematian harus diikhlaskan.

Tetapi bagaimana caranya mengingatkan, mengajarkan ikhlas menghadapi kematian kepada anak-anak, jika kita sendiri sebenarnya belum mengerti benar tentang kematian – belum bisa mengikhlaskan kematian? Alih-alih truk, sebenarnya pertanyaan inilah yang akan menabrak kita keras-keras.

 

 

Film Pet Sematary yang pertama bukanlah film yang sempurna. Jika dikasih nilai, aku akan memberinya nila 6.5 dari 10 lantaran banyak yang mestinya bisa dikembangkan. Pet Sematary yang baru ini, bukanlah sebuah remake, melainkan adaptasi berikutnya dari novel yang sama. Jadi, ya, film ini menawarkan beberapa hal baru – perubahan baik besar maupun kecil jika dibandingkan dengan materi asli maupun film pertamanya. Jadi kupikir, mungkin ini alasan film ini dibuat lagi, karena mereka ingin mengangkat sudut-sudut yang lemah. Melakukan perubahan atas nama pembaruan. Tapi apakah itu lantas membuat film jadi lebih baik?

Ada beberapa yang aku suka. Pada film yang dulu, Louis ini tokoh utama yang lumayan bland. Dia tidak punya backstory semenarik dan semengerikan Rachel, dan juga Jud – tetangga mereka. Dalam film kali ini, Louis yang diperankan oleh Jason Clark diberikan sudut pandang yang lebih kuat, tapi memang sepertinya tokoh ini sudah mentok. Aku berharap mungkin mereka bisa mengganti tokoh utamanya menjadi Rachel yang dihantui trauma masa lalu berkaitan dengan saudaranya yang sakit keras. Sutradara Kevin Kolsch dan Dennis Widmyer memberikan lebih banyak porsi kepada Rachel yang dimainkan oleh Amy Seimetz dibandingkan Rachel di film yang dulu. Dan benar membuat ceritanya lebih menarik dan mengerikan, kita bisa melihat keparalelan sehubungan dengan ikhlas menerima kematian dengan lebih jelas. Kita juga diberikan lebih banyak interaksi dengan Ellie – aktris cilik Jete Laurence actually punya tantangan range di sini. Tapi tetap saja, tokoh utama haruslah Louis, karena dialah yang melakukan penggalian. Dan ini membuat film jadi sedikit ‘kacau’ di perspektif. Set upnya jadi terasa agak aneh.

Adegan tabrakan setelah midpoint adalah perubahan yang paling signifikan dalam narasi. Efek perubahan cerita ini tak-pelak akan terasa maksimal oleh penonton yang familiar dengan film Pet Sematari yang dulu. I know I did. Perubahan yang dilakukan cukup drastis dan membuka peluang untuk penggalian sudut yang baru, yang mungkin lebih dalam. Dan aku semakin excited melihat seperti apa film akan berakhir. Yang bikin aku ngakak adalah film sempet-sempetnya memasukkan easter-egg, sebegitu singkat, yang aku yakin yang pernah menonton film yang dulunya pasti tahu. Dalam film yang dulu, adegan tabrakan ini terjadi karena supir truk yang lagi asik dengerin lagu Sheena is Punk Rocker (oh boy, lagu Ramones ini jadi bahan candaan waktu aku masih sekolah). Dan di film yang baru ini, kita bisa melihat supir truknya mendapat panggilan dan sekilas kamera menunjukkan “Sheena is..<calling>” pada layar teleponnya hihi

Memang baru pada adegan tabrakan inilah film terasa mulai bergerak bebas. Karena separuh awal itu hanya berisi eksposisi. Orang-orang yang duduk bercerita tentang sejarah kuburan hewan. Tentang legenda sour ground, tentang cara kerja dan efeknya. Buat yang sudah tahu, ini tentu akan membosankan. Bahkan yang belum pernah baca atau nonton film yang dulunya pun, tidak seperlu itu mendapat penjelasan yang bertubi-tubi seperti yang dilakukan film ini pada babak pertama dan awal babak keduanya. Tokoh tetangga, Jud, yang diperankan simpatik oleh John Lithgow, seperti buku manual yang terus berbicara. Untung saja aktornya cakap sehingga tidak terdengar monoton.

mimpi buruk setiap orangtua adalah mengubur anaknya sendiri…dua kali!

 

Babak ketiga film ini sebenarnya cukup keren. Kengeriannya itu berada di tanah yang berbeda. Namun itu jugalah yang menjadikannya aneh, film ini seperti missing the point. Fokus cerita seperti berubah jadi tentang roh-roh jahat Wendigo itu ketimbang masalah pengikhlasan kematian yang menjadi tema utama cerita. I mean, bukankah poin utama film ini adalah tentang ngajarin anak ikhlas, dan betapa ngajarin itu lebih gampang daripada melakukan – justru orangtua yang paling susah menerima jika kematian tersebut menimpa anak mereka. Akan tetapi, dari arahan yang menutup cerita, seperti tidak ada yang belajar pada akhirnya. Anak Louis dan Rachel tidak pernah sadar menerima kematian saudaranya – karena film ini mengganti secara besar-besaran. Louis pun malah mendapat ‘hukuman’ ketika dia mencoba untuk mengikhlaskan dan mengambil jalan yang benar.

Selain itu juga film ini terasa begitu berusaha untuk menjadi seram. Atmosfernya dibuat sangat kelam. Bahkan ada sekelompok anak-anak yang memakai topeng yang tidak benar-benar menambah bobot selain menghasilkan imaji yang seram. Mereka seharusnya dipergunakan dengan lebih maksimal, karena idenya udah keren. Yang paling tidak aku suka adalah film ini tidak benar-benar membangun lokasi ceritanya. Truk-truk besar yang ngebut itu hanya ada ketika naskah butuh device dan butuh momen jumpscare. Pada film yang dulu, daerah rumah mereka hidup oleh suasana. Saat mereka ngobrol kita mendengar suara truk lewat. Mengingkatkan kita bahwa kematian tidak pernah jauh dari mereka. Pada film kali ini, daerah mereka seperti sunyi. Mati dalam artian yang pasif. Tempat yang mengancam itu tidak dibangun, padahal justru di situlah letak kekuatan cerita-cerita horor Stephen King; Tempat yang diam-diam mengancam. Film yang dulu tidak perlu gelap dan jumpscare dan semua itu, tapi toh tetep atmosfer seramnya menguar.

 

 

Seperti mayat kucing yang dikubur itu, horor re-adaptasi ini kembali ke tengah-tengah kita dengan tak lagi sama. Dengan perubahan drastis, film ini menawarkan horor yang mencekam meskipun sedikit lebih artifisial. Karakter-karakternya lebih dalam terjamah. Ada bagian yang bikin kita terenyuh juga. Endingnya bisa dibilang keren. Tapi aku tidak bisa bilang aku menyukainya. Bukan lantaran dia berbeda, justru bagus ada adaptasi yang benar-benar melakukan tindakan adaptasi – tidak melulu membuat tok sama. Aku gak suka karena film ini jadi seperti lupa pada poinnya sendiri. Sehingga narasinya jadi aneh. Jadi malah lebih seperti cerita tentang makhluk jahat yang mau merebut tempat manusia alih-alih tentang menerima kematian itu sendiri. Penceritaannya pun tidak menjadi lebih baik. Tokoh utamanya tetap kalah menarik. Separuh awal film ini akan membosankan bagi yang sudah tahu ceritanya. Dan kalo ada yang nanya ‘kalo udah tau kenapa nonton?’, maka baliklah bertanya ‘kalo sudah pernah kenapa dibuat lagi?’ Kalo sudah mati kenapa dihidupkan lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengubur hewan peliharaan yang kalian sayangi sewaktu masih kecil? Bagaimana perasaan kalian saat itu?

Menurut kalian adaptasi buku Stephen King mana yang perlu dibuat ulang?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

SHAZAM! Review

“If we do not have one thing, we surely have some other”

 

 

Dengan menyerukan kata “Shazam!”, Billy Batson – Asher Angel memerankan anak muda empat belas tahun dengan hidup yang cukup ‘keras’ besar dari rumah asuh ke rumah asuh lain – berubah menjadi Zachary Levi yang berotot, berkostum ketat merah, dengan sayap putih sebagai jubahnya. Dan simbol kilat menyala oren terang di dadanya. Apa yang lantas dilakukan Billy dengan kekuatan sihir menembakkan kilat dari jarinya? Apa yang diperbuat Billy dengan kemampuan berlari super cepat, tahan peluru, dan bertenaga seperti Superman? Tentu saja bersenang-senang! Dengan wujud barunya, Billy membeli bir. Membalas perbuatan bully di sekolah. Lalu kemudian bolos sekolah. Masuk ke kelab. Begitulah kehidupan orang besar di mata anak-anak; kesempatan bermain yang lebih panjang. Tapi tentu saja, menjadi dewasa bukanlah sekadar mengucapkan mantra untuk berubah.

Shazam! sebelum sebuah film superhero, adalah sebuah film keluarga. Dan sebelumnya lagi, film ini merupakan sebuah gambaran tentang dewasa yang sebenarnya. Menggunakan sudut pandang anak kecil. Salah satu dari kalimat yang pertama kita dengar di film ini, kurang lebih, adalah “this kid will never be a man”, yang seketika mengeset konteks bahwa menjadi dewasa sekiranya dapat menjadi beban bagi anak kecil; sesuatu yang ditakuti, lantaran mereka belum punya pengetahuan ataupun kesiapan. Tapi ini bukan jenis cerita yang membandingkan kesempatan anak kecil dengan orang dewasa. Ini lebih kepada membandingkan dua contoh kasus; dua anak kecil yang sama-sama tidak punya satu elemen penting dalam masa perkembangan mereka sehingga rasa takut tersebut berubah menjadi rasa iri. Dan kedua anak ini memilih cara yang berbeda untuk mengekspresikan rasa iri mereka.

Fokus film ini adalah supaya kita melihat dan meng-embrace hal yang tidak kita punya. Bukan untuk menumbuhkan inferior, bukan untuk menciptakan rasa iri. Melainkan supaya kita dapat membuka diri menerima hal baru yang akan mengisi kekurangan sehingga kita menjadi semakin dewasa terhadap keadaan kita.

 

film ini udah kayak versi superhero dari Big (1988) dan iklan ojek-online episode korban tsunami 

 

Ketika membaca tiga paragraf di atas, mungkin yang belum nonton bakal menganggap film ini sebagai tontonan yang serius. Percayalah, di tengah gempuran dunia sinematik superhero yang ceritanya lagi kelam dan sangat serius, Shazam! actually adalah jenis film superhero yang bisa kita nikmati sambil nyender santai ngunyah popcorn di kursi. Penceritaannya mengambil pendekatan seperti komedi anak muda di tahun 80an. Akan ada banyak adegan yang sengaja dijatohin cheesy. Tone cerita memang kadang jadi gak bercampur dengan baik. Sepuluh menit pembuka yang lumayan dark, dan menyedihkan, dan kemudian ternyata bagian tengahnya itu luar biasa ringan. Yang dialami oleh Billy saat masih kecil itu bukan materi yang bikin kita ngakak. Dia terpisah dari ibunya di karnaval, dan sejak hari itu terus mencari-cari keberadaan sang ibu. Hidup Billy jadi enggak mudah. Tetapi alih-alih melanjutkan cerita lewat drama, film membawa kita ke pendekatan yang lebih fresh. Kita diberitahu Billy terus-terusan kabur dari rumah asuhnya. Kita diperlihatkan Billy ngeprank polisi demi mendapatkan alamat. Dan ini sebenarnya sangat kompleks; film enggak ingin membuat cerita yang seperti biasa namun juga tak mau Billy tampak seperti remaja urakan yang melakukan keputusan bego dengan sekadar mencari masalah dengan orang dewasa. Billy ini menolak untuk settle dengan rumah asuh karena dia menolak mengakui dia udah gak punya keluarga.

And here comes the heart of the movie; Billy ditempatkan di rumah asuh bersama lima anak yatim lainnya. Elemen keluarga asuh ini menjadi aspek terbaik yang dimiliki oleh film ini. Orangtua asuh Billy kali ini adalah pasangan yang dulunya juga gede di sistem foster, jadi mereka mengerti bagaimana menjadi keluarga. Baru-baru ini aku nonton MatiAnak (2019) yang juga memperlihatkan kehidupan foster family yang menyenangkan, dan Shazam! ini juga sama upliftingnya. Anak-anak yang bakal menjadi saudara Billy lebih beragam. Cewek yang paling kecil, misalnya, sangat senang punya kakak cowok baru dan tidak bisa berhenti bicara. Ada juga anak yang hobi main game. Ada yang pendiam tapi gak menutup dirinya. Ada kakak cewek yang galau keterima kuliah, tetapi dia merasa berat harus pindah dari keluarga tersebut. Percakapan Billy yang tatkala itu sudah menjadi Shazam dengan si kakak ini menunjukkan nun jauh di lubuk hati sebenarnya Billy merasa iri dengan anak-anak yang bisa menerima kekurangan mereka, tapi ia tutupi dengan merasa ia sudah bisa menjaga diri – ia merasa itulah makna dewasa, sehingga ia tidak perlu lagi iri.

Teman sekamar Billy, si Freddy (Jack Dylan Grazer jadi salah satu sumber komedi paling efektif dalam cerita), eventually menjadi sidekick yang ngajarin Billy cara menjadi superhero yang ‘baik dan benar’. Tokoh ini menurutku adalah perwujudan dari tone cerita yang kadang gak nyampur dengan baik tadi. Di awal pertemuan mereka, Freddy bercanda mengenai kondisi dirinya yang berjalan dengan bantuan tongkat. Dan kita gak yakin harus tertawa atau enggak, kinda seperti lelucon ‘papa belum mati’ Lukman Sardi di film Orang Kaya Baru (2019). Tapi sutradara David F. Sandberg lumayan berhasil mengalihkan tokoh ini dari menjadi annoying, hubungan antara Freddy dengan Shazam-lah yang membuat bagian tengah film ini menyenangkan untuk disimak. Dan tentu saja, Zachary Levi sangat kocak sebagai Billy Super. Dengan sukses dia menghidupkan seperti apa sih anak kecil yang seumur hidupnya belum pernah mengalami kejadian menyenangkan tiba-tiba mendapat kekuatan, menjadi orang besar, dan bisa melakukan banyak hal yang sebelumnya mungkin malah tak pernah ia bayangkan. Makanya Billy kecil justru terlihat dewasa, sedangkan Billy gede lebih fun – seperti ada dua Billy. Karena dalam wujud Shazam, Billy merasa lebih luwes dalam mengekspresikan diri.

Ketika kita diliputi rasa iri, kita akan lebih berfokus pada apa yang tidak kita miliki. Padahal semestinya kita tidak melupakan apa yang kita miliki, apa yang seharusnya kita nikmati.

 

Film tidak benar-benar menjelaskan kenapa Billy terpilih sebagai pewaris kekuatan sihir Shazam, selain karena dia punya hati yang murni. Monster yang harus dikalahkan olehnya adalah perwujudan dari Seven Deadly Sins. Billy bisa jadi dikatakan murni karena dia tidak tertarik untuk membesarkan Dosa yang dia punya, he did try to repressed his envy. Tapi cara film ini membuat urutan kejadiannya, malah jadi terasa seperti Billy adalah pilihan random, dan alasan kenapa dia enggak tergoda jadinya seperti karena Monster Tujuh Dosa itu sudah pergi dan tidak ada di Gua saat Billy dipanggil ke sana. Billy seperti tidak mendapat ‘godaan’ sebesar antagonis utama film ini, ‘anak kecil’ satunya lagi yang jadi sorotan cerita; Mark Strong yang dengan bad-ass memerankan Dr. Thaddeus Sivana.

Nangkep anak-anak aja kok mesti ngeluarin lima monster segala sih, dasar Sivana na na na~

 

Kondisi yang membuat iri tumbuh dengan tiga kondisi sebagai syarat. Pertama ada orang atau sesuatu yang lebih baik, kedua kita merasa ingin seperti demikian, dan ketiga ada derita yang kita rasakan sehubungan dengan hal tersebut. Backstory Dr. Sivana ini dijelaskan dengan cukup detail. Dia mengalami tiga hal tersebut. Kita melihat dirinya semasa kecil, dan seperti apa jadinya dia saat dewasa. Cerita ingin menunjukkan kontras antara Billy dengan Sivana; anak kecil yang berusaha dewasa dengan keadaan dirinya dan orang dewasa yang tetap seperti anak kecil lantaran menahan grudge yang dipelihara oleh rasa irinya. Merupakan perbandingan yang menarik, tapi juga membuat tokoh ini jadi satu-dimensi. Dan kita diminta untuk percaya dari sekian jauh waktu antara dia kecil hingga dewasa, dia hanya punya satu di pikirannya. Dia tidak berubah sama sekali. Untuk memaklumkan kita, film berusaha menunjukkan ‘kegilaan’ Sivana dewasa dengan meng-reintroduce tokoh ini dalam lingkungan penelitian, di mana kita melihat dia menonton video orang-orang yang mengalami kejadian yang sama dengan dirinya untuk berusaha mengerti dan pada akhirnya bisa mengeksploitasi sumber dari fenomena tersebut. Hanya saja, sekuen tersebut malah menambah ke bentroknya tone cerita, aku gak tau harus merasakan apa melihatnya setelah pembuka yang lumayan sedih, untuk kemudian setelah ini disambung sama adegan jenaka yang begitu self-aware.

Shazam! memasukkan banyak referensi superhero dari DC Comic. Batman dan Superman malahan berperan lumayan ‘besar’ sehingga kadang rasanya kepentingannya sedikit terlalu besar untuk mengingatkan kita bahwa ini adalah superhero DC. Selain itu, juga ada referensi dari video game dan pop-culture lain. Terang-terangan film memasukkan adegan yang merujuk pada film Big nya Tom Hanks. Which is fun. Hanya saja, sekali lagi, terasa terlalu intrusif sehingga mengganggu tone adegan yang saat itu lagi kejar-kejaran antara Shazam dengan Sivana. Kadang film bisa mendadak jadi extremely comical seperti demikian. Salah satu contoh lagi adalah adegan ketika mereka berdua lagi ‘berdiri’ dengan jarak yang lumayan jauh. Ini sebenarnya kocak banget, karena film seperti meledek adegan-adegan yang biasa kita lihat dalam stand-off tokoh superhero dengan penjahat. Tapi sekaligus juga mengurangi keseimbangan tone, I mean, jika ingin kocak seperti demikian mestinya mereka konsisten komedi dulu dari awal seperti yang dilakukan Thor: Ragnarok (2017) yang dengan bebas mengeksplorasi kekonyolan tanpa merusak tone cerita secara keseluruhan.

 

 

 

Sedikit lebih komikal dari yang diisyaratkan oleh adegan pembukanya. Film ini bakal jadi hiburan yang ringan, di mana menyebutnya ‘superhero yang tidak serius’ tidak akan menjadi jegalan buatnya. Melainkan pujian. Bagian terbaiknya adalah elemen keluarga-angkat yang menyumbangkan hati buat cerita. Sementara sekuen-sekuen kocak Billy yang belajar menggunakan kekuatan barunyalah yang sepertinya bakal diingat terus oleh penonton. Selain itu, pembangunan drama personal – terutama tokoh jahat – mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SHAZAM!.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Melihat dari akhir filmnya, apakah menurut kalian Mary akan memilih untuk melanjutkan ke kuliah yang jauh dari rumah?

Kita semua tentu pernah merasa iri hati, pernahkah kalian membandingkan rasa iri yang kalian rasakan itu lebih sering muncul dalam kondisi yang bagaimana? Mana sih yang lebih rentan iri; anak kecil atau orang dewasa, atau malah sama aja?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

DUMBO Review

“Put your heart, mind, and soul into even your smallest acts”

 

 

 

Dumbo, gajah kecil yang punya sepasang telinga begitu lebar sehingga bisa dikepakkan seperti sayap, sejak tahun 1941 (animasi originalnya) sudah membawa serta perasaan penonton untuk terbang bersamanya. Film animasi tersebut begitu uplifting. Itu adalah masa-masa di mana Disney masih berupa studio yang purely menggarap ‘sihir; dalam setiap gambarnya. Dipenuhi oleh tokoh-tokoh hewan yang bisa bicara, Dumbo tatkala itu adalah perlambangan seorang manusia cacat – terlahir berbeda dari golongannya –  yang dikucilkan, kemudian dipisah dari ibunya; dari satu-satunya orang yang lahiriah menerimanya. Tim Burton, dalam versi live-action animasi klasik Disney ini, membuat cerita Dumbo lebih literal. Dihadirkan tokoh-tokoh manusia yang punya keparalelan dengan apa yang dialami oleh Dumbo (dan ya, dibacanya ‘dambo’ bukan kayak lele, you dum-dum!)

Tokoh utama dalam film ini adalah Colin Farrell yang berperan sebagai Holt Farrier, seorang pria yang baru pulang dari medan perang. Tanpa sebelah lengannya. Holt disambut oleh kedua anaknya (dua-duanya dimainkan dengan joyless banget, sepertinya lantaran dua aktor cilik ini terlalu dipusingkan sama aksen amerika mereka), dan kemudian mereka pulang ke rombongan sirkus. Ke kehidupan lama Holt. Tapi kemudian dia menyadari lengan bukanlah satu-satunya yang pergi darinya. Istri Holt sudah tiada. Kuda partner sirkusnya sudah dijual. Dan bahkan sirkus mereka sudah tidak serame biasanya. Merasa malu dan juga kehilangan atraksi, Holt ikhlas ditempatkan sebagai pengurus gajah. Dan saat itulah Dumbo lahir. Dua makhluk tak-sempurna ini bertemu, dan kita bisa menebak Holt bakal belajar satu-dua hal dari gajah kecil yang ia jaga tersebut.

dan kita juga akan melihat Batman dan Penguin reunian

 

Menghidupkan cerita klasik ini ke dalam napas yang modern sudah barang tentu akan menjadi suatu pertanyaan. Dalam kasus Dumbo, pertanyaan tersebut sekiranya bukan ‘kenapa’, melainkan ‘bagaimana’; Bagaimana caranya gajah lucu tersebut dijadikan live-action – bagaimana caranya cerita hewan-hewan yang menyimbolkan manusia tersebut bisa dimanusiakan lebih lanjut. Bagaimana Tim Burton bisa membawa hati cerita ke dalam visual yang sudah jadi cap dagangnya; gaya aneh nan kelam. Turns out, si gajah Dumbo tetaplah Dumbo yang kita kenal. CGI berhasil membuat gajah ini menjadi satu-satunya yang bernapaskan simpati, lihat saja ketika dia dirias seperti badut – ekspresinya tergambar kuat banget di situ. Dumbo, walaupun harus membagi spotlight dengan tokoh manusia, tetap adalah hati dari cerita, literally. I mean, di samping Dumbo, aku tidak lagi merasakan emosi pada tokoh-tokoh yang lain. Dan ini sebenarnya cukup aneh, lantaran film ini mengedepankan tokoh manusia tapi malah kita gak merasakan apa-apa buat mereka. Tapi setiap kali Dumbo muncul di layar, entah itu ketika dia ketakutan disuruh lompat, atau ketika dia mengunjungi ibunya yang dikurung karena dituduh gila, atau ketika dia terbang, kita yang menonton akan seketika terisi oleh joy, perasaan lega, haru, sedih.

Meskipun tokoh-tokoh hewannya tergantikan oleh tokoh manusia (Timothy si tikus cuma jadi cameo, will probably piss a lot of people off), tapi tetep masih terasa respek yang kuat terhadap film aslinya. Burton menebarkan reference dan dialog-dialog yang bakal membawa kita bernostalgia. Aku sendiri, aku enggak sabar pengen melihat gimana sutradara ini menghidupkan adegan ‘Pink Elephants’ yang serem itu. Adegan ini ikonik banget; Dumbo gak sengaja minum alkohol sampai mabok dan di depan matanya bermunculan gajah berwarna pink, beraneka rupa, berparade sambil bernyanyi. Dan aku suka dengan cara Burton memasukkan Pink Elephants ini ke dalam film yang baru. Alih-alih mabok – jaman sekarang mah orang bakal langsung ketrigger kalo ada adegan anak kecil mabok, I mean membuat ceritanya tetap bersetting di sirkus hewan aja kayaknya udah melanggar moral banget buat standar modern kita – Dumbo melihat Pink Elephant dalam bentuk gelembung-gelembung sabun sebagai bagian dari pertunjukan yang ia lakoni. Visual sekuen adegan tersebut memang keren banget, creepy-fantasy masih kerasa, dan itu salah satu yang kusuka dari film Dumbo ini.

Dalam film aslinya, Dumbo barulah terbang di sepuluh menit terakhir. Dengan kata lain, terbang itu adalah bagian dari resolusi akhir cerita tokohnya. Bagaimana Dumbo menemukan sisi positif dari keadaannya, dan dia tidak perlu lagi bergantung kepada pemikiran orang – dia bisa terbang tanpa bantuan bulu. Dalam film baru ini, Dumbo sudah dilatih terbang di babak pertama. Arc Dumbo sebenarnya kurang lebih sama, kali ini yang ditekankan adalah ketergantungan Dumbo terhadap bulu yang ia pikir ajaib tersebut. Tapi sebenarnya ini riskan; saat pertama kali mengetahui dirinya mampu terbang, Tim Burton berhasil mencapai ketinggian emosi yang sama dengan saat kita melihat Dumbo terbang di menjelang akhir film animasi jadulnya. Build upnya dilakukan dengan benar, ada stake Dumbo bisa celaka jika gagal, dan melihatnya terbang di atas penonton sirkus – menyemprotkan air ke wajah anak-anak yang tadi menertawakan dirinya adalah perasaan yang menggelora. Namun semakin ke belakang, efek melihat Dumbo terbang akan semakin berkurang. Burton sadar akan hal ini, maka dia berusaha memvariasikan tantangan dari adegan pertunjukan terbang yang berulang, tapi memang tidak pernah efeknya sekuat adegan yang pertama. Dan masalah utamanya menurutku terletak pada posisi Dumbo di cerita

I snorted then I fly

 

Dumbo harus beratraksi terbang bersama Eva Green yang menungganginya. That’s pretty much what happened as a film; tokoh-tokoh manusia di filmnya menunggangi Dumbo. Gajah lucu itu, ceritanya yang mestinya polos, terbebani oleh kepentingan cerita tokoh-tokoh manusia yang begitu random. Tokoh Eva Green adalah salah satu yang paling random; pertama kali dimunculkan dia kayak jahat, tapi lantas baik kepada anak-anak Holt, kepada Dumbo, tidak ada transisi dari tokoh ini jahat ke semakin baik. She’s just change. Yang paling aneh buatku adalah dia udah baik tapi masih tetep nendang Dumbo. Film Dumbo yang dulu hanya satu jam lebih empat menit, dan di film ini keseluruhan durasi tersebut seperti dipadatkan di paruh pertama, sehingga paruh kedua film bisa diisi oleh cerita baru yang melenceng jauh dari poin cerita Dumbo itu sendiri. Eva Green yang jadi Colette adalah salah satu performer dari sirkus korporat yang membeli sirkus tempat Holt bekerja; bayangkan Disney yang membeli studio lain, merangkulnya dalam satu payung – dan bayangkan taman hiburan, hanya saja bernuansa seram dengan salah satu wahana berisi hewan yang didandani seperti monster. Sirkus korporat yang dipimpin oleh Michael Keaton hanya mau mengeksploitasi Dumbo saja, karena beberapa hari setelah akuisisi, troupe sirkus Holt dipecat. Dan cerita pun berubah menjadi misi penyelamatan Dumbo dan ibunya oleh rombongan sirkus yang berontak karena diberhentikan secara sepihak.

Setidaknya ada tiga logika film yang enggak masuk buatku. Pertama adalah soal putri Holt yang menolak untuk tampil di sirkus, dia pengen jadi ilmuwan, dia ingin beraksi dengan otaknya. Tetapi justru dialah yang punya ide untuk membuat Dumbo menjadi bintang sirkus supaya mereka punya uang untuk membeli kembali ibu Dumbo yang dijual kepada sirkus korporat, dia yang melatih dan melakukan berbagai percobaan kepada Dumbo supaya si gajah bisa terbang. Kupikir-pikir, gadis cilik ini pastilah jadi evil-scientist ntar gedenya, meskipun tujuannya baik tapi tetep aja dia mengeksploitasi kan.

Kedua adalah sirkus kecil Medici Brothers tempat Holt berada itu sendiri. Dalam film aslinya, Dumbo dikucilkan oleh sesama gajah. Di film ini si Medici yang diperankan oleh Danny DeVito-lah yang pada awalnya gak mau menerima Dumbo. Menjelang akhir tokoh Medici ini actually yang paling menarik, tapi di awal-awal ini aku gak mengerti mengapa pemimpin sirkus enggak seneng sama sesuatu yang freak? Bukan hanya Dumbo, si Holt yang buntung juga tidak disambut antusias – bukankah sirkus mestinya seneng punya freakshow? Begini aku memandang elemen mereka; Sirkus Medici yang menampilkan pertunjukan ‘palsu’ sedang sulit keuangan, sehingga pemimpinnya pengen menyuguhkan sesuatu yang asli. Namun bayi gajah mereka terlahir ‘cacat’ sehingga ia takut dituduh menjual gajah palsu oleh publik. Lengan buntung Holt pun disamarkan dengan lengan palsu ketika muncul di arena. Pengucilan yang diterima Holt dan Dumbo seperti maksa dan enggak cocok sama poin pengucilan pada Dumbo original.

Tentu saja ini membawa kita ke logika cerita ketiga yang tidak aku mengerti. Apa sih arc Holt dan pesan atau gagasan yang ingin disampaikan oleh film ini. Plot tokoh Holt seperti ngambang begitu saja, di pertengahan dia seperti malu dikenali sebagai kapten yang lolos dengan lengan buntung alih-alih gugur di medan perang. Tapi di akhir film kita melihat dia tampil, dengan lengan robot. Aku benar-benar gak bisa ngikat poin A ke B. Apa yang ia pelajari? Dan putrinya tadi; di akhir film anak cewek ini melakukan pertunjukan gambar bergerak seperti bioskop. Bagaimana ini lebih baik daripada melakukan pertunjukan yang asli? Di akhir cerita memang seperti berkata bahwa semua orang menjadi lebih baik ketika mereka diberikan kesempatan untuk melakukan kemampuan mereka yang sebenarnya, tapi menunjukkan hal tersebut dengan cara yang aneh. Aku sampe sekarang masih gak abis pikir gimana caranya Dumbo dan ibunya naik kapal sampai ke hutan.

Mungkin film ini ingin menunjukkan bahwa ada hal yang tidak mungkin di dunia, dan hanya bisa dimungkinkan dengan ilmu pengetahuan. Biarkan otak kita yang beraksi sehingga kita bisa mencapai lebih jauh, bisa terbang lebih tinggi.

 

 

Film ini benar-benar membuatku merasa rendah hati. Mendaratkanku ke tanah. Aku tidak menyangka setelah sekian lama membuat review, aku menemukan film anak-anak yang aku tidak mengerti logikanya. Aku actually memikirkan film ini selama tiga hari, aku pengen nonton lagi karena aku pikir ‘masa sih film ini begini?’ Tidak ada yang salah dengan si gajah Dumbo. Adorable, penuh emosi, dan membuat kita peduli. Hanya saja, tempat dunia di mana dia dijadikan tunggangan inilah yang begitu rush out, yang begitu acakadut. Dan cerita membuat tokoh-tokoh manusia merebut spotlight dari Dumbo. Secara gaya aku lumayan suka, it’s really dark seperti yang bisa kita harapkan dari Tim Burton. Alih-alih ngejual ibu Dumbo untuk profit, pihak sirkus korporat lebih memilih untuk membunuh dan menjadikannya sebagai bahan sepatu. Anak kecil bisa-bisa trauma begitu mereka menyadari dialog subtil yang dimiliki oleh film ini. Aneh ketika sebuah fabel – cerita hewan – diparalelkan secara literal dengan kehadiran tokoh manusia. Maksudku, itu seharusnya membuat fabel tersebut jadi lebih sederhana kan? Tapi ternyata cerita film ini malah lebih terbebani.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for DUMBO.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian ada alegori tersembunyi dalam film ini? Mengapa menurut kalian memakai hewan untuk sirkus dianggap tidak manusiawi? Apakah ada bedanya dengan memakai hewan sebagai objek riset dan kelinci percobaan untuk penelitian?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

POHON TERKENAL Review

“..It is emphatically no sacrifice, say rather it is a privilege.”

 

 

 

Kalo ada yang bilang kebahagiaan orangtua itu bukan tanggung jawab anak; bahwa berkorban demi kebahagiaan orang lain itu bukanlah kewajiban kita, maka aku akan seratus persen setuju. Film tentang kehidupan anak remaja di akademi polisi garapan Monty Tiwa dan Annisa Meutia juga setuju dengan pernyataan demikian. Malahan, drama yang merupakan produksi dari Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia punya gagasan – sudut pandang – lain yang melengkapi pernyataan tersebut.

Mengorbankan diri supaya orang lain bahagia bukanlah bentuk dari kewajiban yang harus kita lakukan, melainkan adalah sebuah hak; sebuah kesempatan yang tidak bisa didapat oleh semua orang.

 

Tengok Bara, tokoh utama dalam cerita kita. Diperankan oleh Umay Shahab yang dengan sukses menangkap tengil karakternya, Bara kelewat bernazar untuk masuk Akpol jika ibunya sembuh – yang oleh film dimainkan sebagai komedi saat ibunya langsung sembuh setelah Bara bernazar. Bara tidak mau berada di sana, siapa sudi guling-guling ampe badan kotor, push-up ampe idung keringetan, diospek oleh senior-senior galak yang malah harus dia anggap sebagai kakak asuh. Tapi dia harus, karena ya dia udah terlanjur bilang mau, mesti hatinya gak mau. Karena setengah hati begitulah, maka Bara jadi sering kena hukum. Tokoh ini udah kayak si ‘Gomer Pyle’ Leonard di film Kubrick yang berjudul Full Metal Jacket (1987). Sampai akhirnya Bara kenal ama Ayu (terjawab sudah kenapa Laura Theux rela berbondol ria), seorang taruni anak jenderal yang semangat banget untuk mengisi hari-hari akademinya dan jadi lulusan terbaik mendapat penghargaan Adhi Makayasa. Shahab secara perawakan memang mirip si Gomer Pyle, tapi meskipun sama males dan ‘lemah’nya, tokoh Bara di film ini enggak setwisted itu. Malahan saat dia bicara setelah bertemu Ayu yang cantik, Bara jadi lebih mirip seperti Dilan. Hubungan dengan Ayu membuka mata Bara dalam melihat keadaan hidupnya.

Bara juga jago ‘nembak’.

 

Keparalelan plot dua tokoh ini menjadi sentral cerita. Dan kita musti menjangkau cukup panjang untuk dapat menangkap pesan di balik drama, komedi, juga kepentingan citra polisi yang tergabung dengan mulus. Di satu sisi kita punya Bara yang enggak mengerti kenapa dia harus ada di sana, selain karena nazar. Film bahkan membuat zero stake buat Bara; masuk Akpol gratis sehingga Bara sebenarnya bisa kabur keluar begitu dia punya kesempatan, dan tidak rugi apa-apa. Malahan hampir seperti dia sengaja berbuat ulah dan kesalahan, supaya dikeluarkan. Di sisi lain, Ayu punya konflik personal sebagai anak Jenderal. Orang-orang mengira dia gak bisa apa-apa dan hanya ada di sana karena bokapnya. Ibu Ayu sudah meninggal saat melahirkan dirinya. Jadi, Ayu begitu bedeterminasi untuk mengisi hidup yang sudah diberikan kepadanya oleh sang ibu, mengisi kesempatan yang diberikan padanya oleh sang ayah, untuk menjadi manusia yang berguna. Bagi Ayu, just being there – baik itu di Akpol dan di dunia – adalah hak yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Adegan debat bahasa Inggris yang mempersoalkan aborsi bayi menjadi begitu personal buat Ayu, makanya dia mendadak jadi intens dan emosional. Ayu merasa bersalah karena ibunya meninggal lantaran memilih untuk melahirkan dirinya. Ini berseberangan sekali dengan Bara yang justru merasa disusahkan gara-gara ibunya.

Kedua tokoh ini sama-sama tidak mau berada di tempat mereka berada sekarang, literally dan figuratively, dan cerita menuntun mereka untuk menyadari bahwa mereka berhak berada di sana. Ayu menyadari ini lebih cepat. Seperti ibu yang dia anggap pahlawan, betapa bangga sesungguhnya jadi manusia yang berkesempatan untuk berkorban sehingga berguna bagi orang lain. Makanya Ayu jadi orang yang paling menentang Bara melakukan desersi. Dia ingin Bara melihat kesempatan yang sudah diberikan kepadanya, karena masuk Akpol juga gak sembarang orang yang bisa. Bagi Ayu, Bara justru menyia-nyiakan kesempatan untuk berkorban dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Dan di sinilah kenapa Bara menjadi seorang tokoh utama yang begitu annoying. Cowok ini gak mau belajar. Naskah mengambil resiko yang sangat besar saat membuat tokoh utamanya gak punya motivasi. Tentu, lucu melihat dia cari-cari alesan untuk enggak ikutan latihan. Tapi sebagian besar waktu, Bara enggak ngapa-ngapain. Perjalanan tokohnya kalah menarik ama Ayu yang punya backstory yang detil, punya sesuatu yang ingin diraih, punya stake berupa nama baik Ayah dan pembuktian bagi dirinya sendiri. Bahkan tokoh Yohanes yang diperankan oleh komika Raim Laode yang nyata-nyata hanya sebagai pemantik komedi utama, terasa lebih menarik dan hidup, dan punya motivasi (pengen gabung band dong si Glenn Fredly haha!) ketimbang Bara. Pilihan arahan cerita pun sebenarnya juga aneh. Midpoint cerita ini, you know, point of no return bagi Bara adalah ketika dia jatuh cinta; itu pun karena dicium duluan oleh Ayu. Bara knowingly memakan umpan ‘cinta’ dari Ayu. tidak pernah untuk menjadi lulusan yang polisi yang baik, buat Bara. Cerita berubah jadi drama cinta remaja sejak titik ini untuk membangun gimana pada akhirnya Bara melihat pengorbanan diri sebagai suatu pilihan, alih-alih keharusan. Film ini bisa terjun sangat jauh, karena sudut pandang cerita ini nyaris berganti dari Bara ke plot Ayu yang lebih menarik dan dominan. Namun film menyelamatkan diri dengan memperlihatkan bahwa Bara adalah yang paling drastis berubah karena dukungan dan pengaruh orang-orang di sekitarnya.

ceritanya hampir jadi ftv remaja berjudul Hatiku Ditangkap Taruni Cantik

 

Film benar-benar ngepush diri untuk bisa dengan gampang disukai dan diterima oleh banyak penonton. Kadang romantisasi itu dilempar begitu saja ke muka kita, kayak pas adegan dihukum sit-up seharian, kemudian hujan turun dan Bara menemukan Ayu ikutan sit-up di dekatnya. Dan kemudian mereka bangun, Ayu pergi, dan Bara gak lanjutin hukumannya karena dia memang gak pernah peduli sama semua itu. Elemen komedi film ini datang dari dialog yang seringkali fresh sebab berada di panggung yang jarang kita lihat. Akademi polisi, kita lihat proses latihan yang keras dan upacara-upacara yang khas. Tradisi dan batasan yang tak boleh mereka langgar, juga jadi informasi yang menyenangkan untuk kita terima. Mungkin bagi penonton cukup terlihat aneh gimana Bara yang salah tapi temannya yang turun push-up. Tapi actually, hal tersebut juga paralel terhadap pesan yang ingin film ini lontarkan.

Aku dulu kuliah di Fakultas Teknik Geologi, dan kami mendapat ospek yang kami menyebutnya  dengan istilah ‘mabim – masa bimbingan’ selama enam bulan. Yang dipleset lanjut oleh anak-anak sebagai ‘masa bimbingan kayak gitu’. Ospek kami mungkin gak sekeras latihan Akpol beneran, namun banyak miripnya dengan yang kita lihat di film ini. Dibentak-bentak, disuruh lari, dihukum ketika ada teman yang melakukan kesalahan. Aku masih ingat dulu temanku pernah ada yang ketawa saat senior lagi bentak-bentak drama, maka kami dipush-up beberapa seri (satu seri sama dengan sepuluh kali) sementara mereka yang tertawa tadi disuruh berdiri ngiterin pohon, disuruh ngetawain tuh pohon sekeras-kerasnya barulah kami boleh berhenti push-up. Pohon Terkenal adalah istilah bagi taruna yang sering ‘nyusahin’ teman-temannya, atau dalam istilah yang kukenal adalah Penjahat Angkatan. Aku sendiri dulu termasuk Penjahat Angkatan di masa kuliah, karena aku sering ngeles bolos ospek kayak si Bara. Back to the point, tradisi seperti itu memang tak berguna, tapi buat yang pernah ikutan ospek atau semacamnya – jadi peserta dan pada akhirnya gantian jadi senior – pasti akan bilang ospek ada gunanya. Dan memang, semua aktivitas itu ada filosofinya. Atau paling tidak, di film ini ada. Menghukum teman-teman Bara adalah untuk menumbuhkan mental tidak egois. Karena apapun yang kita lakukan akan terefleksi kepada keluarga, teman-teman, atau satu angkatan. Hidup saling berkegantungan, film ingin menjadikan ini sebagai pokok penyadaran, serta sebagai pembanding hak dan kewajiban itu sendiri.

 

 

Film ini punya gagasan, punya mindset yang menjawab apa yang disebut dengan ‘paradoks pengorbanan’. Ketika kita selama ini bertanya kenapa pada mau masuk polisi padahal lingkungannya keras, kenapa mau diospek padahal kegiatannya gak jelas dan merendahkan. Tokoh film ini mengorbankan masa muda mereka, dan kita diberikan pemahaman kenapa mereka mau melakukannya. Mungkin ada yang menyebutnya propaganda, silahkan saja. Film ini toh berusaha menceritakan semua itu lewat hubungan tokoh yang lumayan menyatu dengan elemen komedi yang mampu menghibur banyak lapisan penonton, sehingga rasanya ringan dan enggak terlalu pencitraan. Film ini juga mengambil resiko dengan membuat tokoh utamanya annoying, dan buatku ini jadi titik lemah ceritanya; tokoh utamanya jadi kalah dominan – hampir seperti Ayu lah yang bisa jadi tokoh utama yang lebih menarik. Karena tokoh-tokohnya udah sering dilatih, mental film ini pun pastilah sudah sangat kuat, jadi aku enggak akan menarik pukulan dari penilaian.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for POHON TERKENAL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju dengan ospek? Bagaimana pandangan kalian tentang tradisi seperti demikian? Apakah menurut kalian pengorbanan itu adalah privilege atau justru pengorbanan berarti menggugurkan privilege?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

US Review

“Know your enemy”

 

 

 

Horor terbaru garapan komedian pemenang Oscar Jordan Peele bertindak hebat sebagai cermin buat melihat refleksi mengerikan kehidupan sosial supaya kita dapat melihat dengan jelas bahwa musuh sesungguhnya bukanlah ‘mereka’. Melainkan ‘kita’. Kita yang membuat tembok pemisah itu ada. Ralat; kita yang jadi tembok pemisah di antara kita sendiri. Jika Yowis Ben 2 (2019) bisa membuat kata ‘gandeng’ sebagai komedi yang efektif; maka film Us ini membuat bergandengan tangan yang tadinya simbol pemersatu berubah menjadi simbol yang membatasi. Dan secara kontekstual keadaan negara asal film ini sendiri, Us merupakan komentar yang kuat terhadap negara U.S. (hey bahkan judul filmnya kayak ngarah ke nama negara mereka kan) dengan bagaimana teror dalam film ini berjati diri sebagai ‘orang Amerika’ dan tokoh utamanya menjadikan Meksiko sebagai tempat tujuan keselamatan.

Mengerikan bagaimana film ini rilis berdekatan dengan kejadian seorang teroris yang menembaki jemaat Jumatan di Selandia Baru, di mana berbagai media ‘kulit putih’ memberitakannya dengan malu-malu, seolah mereka tidak mau mengakui teroris bisa datang dari golongannya. This is exactly what this Us movie is about. Lebih gampang untuk menuding mereka terbelakang, budaya yang mendukung kekerasan, yang penuh kebencian. Lihatlah betapa lincahnya media-media itu mengelak dari mengatakan pelakunya adalah “teroris dari golongan kita” – karena itu berarti seperti mengakui seluruh putih juga sama kasarnya. Atau seperti mengakui dirinya sudah salah selama ini?

Film Us mendorong kita, dari golongan apapun, untuk berhenti memberikan privilige – menyudahi dobel standar – dan menerima bahwa kekurangan itu bisa datang dari dalam diri sendiri yang telah salah melihat perbedaan sebagai pemisah

 

Menjadi komedian yang hebat sudah barang tentu dapat mengasah ketajaman seseorang dalam melontarkan kritikan dengan subtil; menangkap esensi yang ingin dibicarakan, mengamplify hal tersebut berkali lipat sehingga kita horor mendengarnya, dan kemudian mewarnainya dengan cerdas dalam warna-warni komedi. Jordan Peele ini adalah contoh nyata seorang komedian dan sekarang sutradara horot yang hebat. Dalam Get Out (2017) kita diperlihatkan pandangan yang kuat sekali tentang ketakutan terhadap ras. However, dalam film Us kali ini, Peele lebih banyak bermain-main dalam genre horor itu sendiri. Us tampil sebagai pure horor yang menyenangkan, yang memuaskan penggemar horor sepertiku yang udah jarang banget dapat horor yang berisi. Us bercerita tentang satu keluarga yang sedang berlibur, dan liburan mereka berubah menjadi petaka saat rumah mereka disatroni oleh keluarga misterius berpakaian merah, membawa gunting, dan ini nih paling horornya; berwajah mirip banget sama mereka! Jadi, Us ini balutan ceritanya berupa thriller home invasion, akan ada orang mengendap-ngendap membawa perkakas apapun yang bisa mereka temukan untuk membela diri, akan banyak tusukan di sana-sini, darah bermuncratan, visual dan musik yang eery banget (lucunya ada satu musik film ini yang ngingetin aku sama musik game South Park: The Stick of Truth).

salah satu hak istimewa yang mereka miliki adalah gak takut hitam main panas-panas

 

Perhatikan cara film menghujamkan kengerian tentang kembaran dan duality kepada kita semua di babak pertama. Kaca yang bukan kaca, frisbee yang dengan tepat menutup pola alas duduk di pantai, kemunculan terus menerus angka 11:11 sebagai sebuah simetri mengerikan – mengenai makna horor dari 11:11 secara general sudah pernah aku tuliskan di review 11:11 Apa yang Kau Lihat (2019) – dan bagaimana film mengaitkan angka tersebut dengan ayat kitab yang bersuara sebagai peringatan untuk hal mengerikan yang akan datang. Suspens dan ketakutan kita sudah ikut terbendung bersamaan dengan kecemasan yang dirasakan oleh tokoh utama kita; Adelaide. Seorang wanita yang punya trauma bertemu dengan ‘gadis cermin’ saat ia tersesat di wahana taman hiburan semasa kecilnya.

Adelaide diperankan oleh Lupita Nyong’o, aktris ini akan membuat kita melongo menyaksikan kebrilianan aktingnya. Aku sendiri berharap penampilan Nyong’o di film ini akan berhasil mematahkan ‘kutukan’ Oscar terhadap genre horor. Dalam Us, tantangan bagi Nyong’O adalah memainkan dua orang yang serupa tapi tak sama. Adelaide, dan Red kembarannya. Yang satu melotot cemas, yang satu lagi melotot bikin kita pengen pipis di celana. Duality antara dua perannya ini berhasil tersampaikan dengan luar biasa. Malahan, bukan hanya Nyong’O saja. Cast lain juga bermain dengan rentak yang benar-benar mentok. Mereka harus memainkan dua versi yang berbeda dari tokoh yang sama. Adelaide punya suami dan dua anak, dan pada satu poin cerita keempat orang ini masing-masing harus berhadapan dengan kembarannya. Peran mereka menuntut banyak, dramatis dan creepy, sekaligus juga komedi. Ini actually jadi salah satu kehebatan dari arahan dan penceritaan film Us. Bahkan komedinya saja bisa begitu menyatu dengan horor. Tidak terasa terpisah, tidak ada satu karakter yang dipaksakan nyeletuk konyol untuk komedi – membuat tokohnya terkotak di sana. Komedi pada Us berjalan sama naturalnya dengan drama dan teror yang disajikan.

Yang membuat film ini berbeda dari kebanyakan horor adalah kita yang menonton merasa bahwa ceritanya yang mengusung fenomena aneh tersebut punya interpretasi yang beragam sehingga kita tertarik untuk pengen menonton lagi. Dan tentu saja, jika kita nonton ulang kita akan bisa melihat film ini dari sudut pandang yang berbeda, kita akan menangkap maksud-maksud yang mungkin terlewat. Heck, kita akan dibuat pengen nonton lagi karena ini adalah horor yang benar-benar menyenangkan, yang dibuat dengan penuh passion. Film ini justru bertambah urgen saat kita sudah pernah menontonnya, padahal ceritanya sendiri sengaja dibuat obvious oleh Peele. I do think film ini bisa lebih baik jika dibuat lebih ambigu. Misalnya seperti Annihilation (2018) yang ditutup dengan enggak jelas apakah yang di akhir cerita itu tokoh utama yang asli atau android kloningannya. Yang akan membuat endingnya terus dibicarakan. Us dihadirkan dengan sebaran metafora, namun pada akhirnya semua kejadian itu terangkum dengan jelas apa dan kenapanya. Dan mungkin saja itu bukan pilihan yang membuat film terasa maksimal. Namun aku mengerti kenapa Peele membuat film ini punya kesimpulan yang terang. Sebab dia ingin kita semua mengerti apa yang ia sampaikan. Karena dia ingin menekankan poin-poin yang mendukung komentar dan kritiknya tentang siapa musuh kita sebenarnya. Dia ingin membuat kita membicarakan ini bertahun-tahun kemudian, alih-alih membicarakan siapa yang asli mana yang palsu.

Karena inilah poin film yang utama: semua orang sama, tidak ada asli-palsu. Tidak ada us or them.

 

 

Dan sampailah kita ke ranah spoiler. Inilah alasan kenapa aku sengaja telat mempublish review Us, karena yang udah sering mampir ke blog ini pasti tahu aku gak akan segan-segan menuliskan isi mendetail film. Jadi aku sengaja ngasih tenggat waktu sedikit supaya pada menonton dulu sebelum baca review ini. Tapi aku gak bisa menahan diri selama itu hehehe… so here it goes:

Lewat Us, Peele ingin menunjukkan bahwa semua manusia itu sama. Yang membedakannya adalah privilege. Menurutku inilah kata kunci utama yang menjadi tema besar film horor ini. Privilege – hak istimewa. Dan bagaimana kitalah yang salah karena privilege itu yang bikin ya kita sendiri. Kita yang mengistimewakan suatu golongan di atas golongan yang lain.

 

Makanya para kembaran yang hidup di gorong-gorong bawah tanah itu disebut sebagai the Tethered – Yang Tertambat. Yang Terikat. Mereka tak punya privileged untuk bergerak. Mereka harus ngikutin kembaran asli mereka. Film memperlihatkan kembaran suami dan anak Adelaide yang paling kecil mati karena mereka harus menirukan gerakan suami dan anak Adelaide yang asli. Padahal orang-orang bawah ini, tak kalah cakap. Bahkan film menunjukkan para kembar jahat ini lebih jago lari, lebih kuat dari yang asli. Ada momen menyentuh ketika kita menyadari bahwa si anak tiruan mengalami luka bakar hanya karena api di tangannya menyala sedangkan api di tangan yang asli tidak karena yang asli kalah kompeten. Inilah kenapa film memutuskan untuk memberi tahu kita Adelaide itu sebenarnya bukan yang asli – bahwa dia dan kembarannya bertukar tempat. Karena film ingin menunjukkan bahwa tak ada perbedaan yang mendasar. Si tiruan bisa punya anak, bisa jatuh cinta, bisa punya perasaan. Mereka bisa bicara layaknya orang normal jika dilatih, sama persis ama manusia. Hanya tempat dan privilege saja yang mereka tak punya. Mereka tak bisa memilih jodoh di bawah sana karena harus menuruti versi yang tinggal di atas. Tempat juga jadi faktor yang menarik. Adelaide asli tidak kunjung normal kemampuan bicaranya semenjak lehernya dicekek waktu kecil karena tidak ada yang mengajaknya bicara di bawah sana. Keturunan Adele yang asli tak bisa berkembang normal di bawah sana. Adelaide yang asli malah merasa dirinyalah yang tiruan; karena ia tinggal di tempat yang tak mengakui siapa dirinya – the human within. Hanya ketika dia bisa menarilah, orang-orang bawah mulai mendengarnya, dan inilah yang menyebabkan Adelaide asli mulai memikirkan gerakan invasi.

Pada akhirnya, keputusan film untuk membeberkan jawaban alih-alih tetap ambigu adalah untuk mempertegas bahwa yang enggak istimewa pun bisa menjadi istimewa jika diberikan kesempatan yang sama. Pertanyaannya adalah maukah kita memberikan kesempatan yang sama terhadap semua orang. Semua hal. Film bioskop, misalnya, sebuah film boleh saja dapat privilege diberikan jumlah layar yang banyak sehingga mereka mendapat kemungkinan perolehan jumlah penonton yang lebih banyak dan kita berargumen filmnya pantas mendapat keistimewaan. Dan kita berargumen gak semua film bisa sesukses dia jika diberi kesempatan yang sama. Tapi dari mana kesimpulan ini sesungguhnya? Padahal yang lebih penting adalah, mau tidak memberikan film lain perlakuan jumlah layar yang sama. Beranikah mencoba memberi kesempatan yang sama untuk dia membuktikan diri? Nah ‘Kenapa’ tersebutlah yang jadi pokok persoalan film Us. Kenapa kita membeda-bedakan, kemudian merasa terancam ketika ada yang berusaha mendapatkan privilege. Kenapa kita menciptakan sesuatu untuk dikejar dan terusik ketika ada yang beneran mengejar. Perkara ini adalah tokoh kulit hitam memperkuat tema privilege dan kita semua sama tersebut sebab di luar sana perbedaan perlakuan itu masih terjadi.

 

 

Jika dibandingkan, film ini terasa lebih pure horor ketimbang Get Out yang lebih tematis. Namun pada film ini, Jordan Peele menunjukkan kedewasaan dalam bercerita. Dia tidak lantas menjadi pretentious dalam film keduanya ini. Film ini dapat dinikmati, bahkan bikin kita pengen nonton lagi secepatnya. Kita bisa menerima penjelasan cerita bahwa kelinci itu ada untuk makanan para Tethered, namun kita tetap pengen nonton lagi karena kelinci itu kita pikir bakal punya arti lebih dalam. Film mendorong kita untuk mempertanyakan dan mencari jawaban, meski mereka sudah meletakkan jawabannya. Bobot komentar sosial yang disisipkan pada akhirnya membentuk seperti apa akhirnya film ini, and it’s a really interesting shape.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for US.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian punya teori sendiri tentang film ini? Kenapa menurut kalian senjata penjahat film ini adalah gunting terkait dengan elemen kembar yang ia usung? Setujukah kalian semua orang di dunia berhak atas kesempatan yang sama?

 

Buat yang suka cerita tentang ‘kembaran’ dan ‘cermin’, silakan disimak film pendekku yang berjudul Gelap Jelita: https://www.vidio.com/watch/1597796-isff2019-gelap-jelita-full-movie-bandung

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

ROY KIYOSHI: THE UNTOLD STORY Review

“With great power comes great responsibility”

 

 

 

Menjadi seperti Roy Kiyoshi mungkin adalah impian segenap orang; punya kekuatan dan menggunakannya untuk membantu orang lain. You know, seperti pahlawan. Sejak nongol di acara televisi, Roy Kiyoshi sudah terkenal punya kemampuan indigo. Tapi punya acara tivi hits karena bisa melihat hantu dan ‘meramal’ peristiwa yang belum terjadi ternyata tidak serta merta merupakan hidup yang menyenangkan. Ada beban yang harus dipikul. Horor terbaru Jose Poernomo ini membahas tentang sisi gelap dari kehidupan Roy Kiyoshi sebagai seorang yang bisa melihat berbagai penampakan di dalam gelap. Tentang kehilangan yang harus ia terima, tentang bagaimana dia berjuang keluar dari kekalahan yang terus-terusan merundung.

Semakin banyak ‘kekuatan’ yang bisa kita lakukan, maka tanggungjawab yang kita pikul pun semakin berat. Sejarah menunjukkan banyak orang yang justru menjadi rusak oleh kekuatan mereka sendiri; Hitler, Napoleon, bahkan penduduk Atlantis diceritakan punah karena mereka terlena dan gak mampu memanfaatkan kemampuannya untuk kebaikan. Film ini menunjukkan dengan simpel; jika kita punya sesuatu yang lebih dibandingkan orang lain, maka gunakanlah kelebihan tersebut untuk kebaikan.

 

Kupikir cerita akan fokus kepada Roy Kiyoshi yang memerankan dirinya sendiri. But actually, cerita film ini seperti terbagi dua. Kita akan melihat Angel Karamoy sebagai Sheila yang baru mulai bekerja di kantor LSM yang menangani kasus kekerasan terhadap anak. Cerita Sheila ini praktisnya lebih menarik, dia lebih kuat sebagai tokoh utama. Sheila terobsesi sama kasus penculikan anak-anak karena dia juga punya adik yang hilang diculik. Ketika Sheila mengetahui ada pegawai di kantor yang bunuh diri saat tengah menginvestigasi serangkaian kasus anak-anak yang menghilang misterius, Sheila melakukan apa yang harusnya dilakukan oleh seorang tokoh utama cerita yang kuat. Dia masuk ke kasus tersebut dengan ‘paksa’. Kita akan melihat adegan penyelidikan kecil-kecilan saat Sheila semakin larut ke dalam misteri. Dan puncaknya adalah ketika dia menemukan hal ganjil dan kemungkinan pelaku semuanya adalah hantu.

Kisah Sheila ini bisa jadi satu cerita horor yang utuh, aku membayangkannya malah bisa seperti The Ring (2002) di tangan yang tepat, di pundak yang lebih bertanggung jawab yang tak memikul kepentingan apa-apa. Aku juga suka sama desain Banaspati, tokoh setan, dalam tokoh ini. Mukanya kayak hantu samurai Jepangnya, badan kurus tingginya menyala seperti bara api – cocok dengan mitologi jawa Banaspati yang memang setan berelemen api. Efek apinya memang agak cheesy tapi masih bisa dimaklumi dan lumayan bisa diasosiasikan sebagai sesuatu yang creepy. Tapi ini adalah cerita tentang Roy Kiyoshi. Maka every now and then kita akan ditarik pergi dari sisi Sheila untuk melihat Kiyoshi yang depresi, yang berhujan-hujan, yang menyusur garis pantai membeli minuman keras, menenggaknya di kediaman yang mewah, dengan tone warna yang keabuan, dengan narasi voice-over yang menceritakan gimana peliknya gundah di dalam hati sang anak indigo ini.

Di balik penampilan yang katanya cool, sesungguhnya ada pribadi yang tersiksa

 

Tentunya juga ada tanggung jawab tersendiri yang hadir ketika sebuah cerita dijual sebagai kisah nyata yang belum pernah diekspos ke publik sebelumnya. I mean, cerita tersebut mestilah meyakinkan sebagai kisah yang benar-benar bisa terjadi di dunia nyata kan. Well to be honest, aku susah percaya bahwa tokoh kita ini beneran punya adek yang hilang diculik hantu selama tiga tahun. Bisa jadi semua kejadian di film ini benar, yang mana masuk akal kenapa kejadian itu difilmkan. Siapa-lah kita mempertanyakan kebenaran hidup seorang yang melihat jauh lebih banyak makhluk halus daripada kita. Film tidak pernah menjelaskan mana elemen nyata atau mana yang tidak dalam cerita ini. Atau bisa jadi yang benar cuma bagian Roy Kiyoshi yang menutup diri sementara semua bagian yang diperankan Angel Karamoy hanya pengait cerita.

Pasalnya, setiap kali cerita berpindah ke bagian Kiyoshi, aku merasa pengen cepet-cepet pindah lagi ke bagian Sheila. Apa menariknya melihat orang yang sepanjang adegan gitu-gitu mulu. Mengasihani diri sambil minum alkohol. Cara yang aneh untuk membangun tokohnya sebagai seorang pahlawan. Tidak ada momen pembelajaran pada bagian Kiyoshi. Dia hanya depresi sebagian besar durasi – naskah mencoba membuat penonton bersimpati padanya hanya karena ada kejadian mengerikan yang terjadi di masa lalunya tanpa membuat tokoh ini melakukan sesuatu – dan ketika film udah mau habis barulah tiba-tiba dia bergerak menjadi penyelamat yang menolong Sheila, yang mengalahkan si setan Banaspati. Kita diniatkan untuk bertepuk tangan menyemangati pertempurannya yang udah kayak sekuen battle di anime – you know, ketika ada jagoan melawan monster. Tapi yang kurasakan hanya kekosongan pahit. Film tak berhasil membangun tokoh Kiyoshi sebagai jagoan. Baik Sheila dan Kiyoshi sebenarnya punya persoalan personal dengan si setan, mereka punya motivasi, tapi di akhir itu film mengesampingkan tokoh yang benar-benar melakukan aksi sedari awal. Dengan tak adanya emosi genuine yang kita dapatkan, filmnya semakin diperberat oleh kesan bahwa filmnya begitu panjang padahal enggak sampai sembilan-puluh menit. Sini kuberitahu penyebabnya apa:

Film ini tidak punya babak kedua.

 

Struktur naskah film standarnya berbentuk tiga-babak. Babak satu untuk set up. Babak dua untuk naiknya aksi dan tensi. Babak ketiga untuk penyelesaian. Pengalokasian waktunya biasanya sekitar 25% babak pertama, 50% babak kedua, dan 25% terakhir adalah babak ketiga. Sebagian besar film – kecuali yang eksperimental – ‘masuk’ ketika kita menerapkan pembabakan ini ke dalam ceritanya. Film Roy Kiyoshi, sungguh tak-disangka tak-dinyana, menolak untuk masuk ke dalam struktur tiga-babak. Film ini tidak punya rising action. Babak kedua sama datarnya dengan babak pertama. Baru di babak ketigalah klimaks itu hadir begitu saja.

Itu yang jadi Fitri aku mau ngasih saran untuk daftar Gadis Sampul deh, tiga atau empat tahun lagi

 

Dari selepas sepuluh menit pertama hingga tiga puluh menit terakhir, Kiyoshi tidak melalui perjalanan apapun. Tidak ada ‘cara mudah’, ‘intensitas naik’, ‘taktik baru’, dia hanya minum dan minum. Sheila masih mendingan. Di akhir babak pertama dia menemukan petunjuk kalo ada setan di balik ini semua, tapi bahkan bagi tokoh ini pun plot mengalir datar dengan tidak ada usaha lain selain bertanya dan bertanya hingga dia bertemu dengan kontak Kiyoshi. Pertemuan Sheila dan Kiyoshi juga terjadinya telat banget. Mestinya terjadi di babak kedua, paling enggak sekitaran mid-point, karena dengan begitu di babak tiga nanti keduanya sudah menjadi pribadi yang baru saat berhadapan dengan demon masing-masing. Tapi pada film ini, Sheila dan Kiyoshi baru bekerja sama di babak tiga. Bahkan stake waktu (Banaspati akan menculik korban baru tiga hari dari sekarang) pun baru muncul di babak akhir ini. Babak sebelumnya kedua tokoh lempeng-lempeng aja tanpa ada desakan narasi. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu untuk enggak melakukan apapun terhadap perjalanan tokohnya. Jadi, babak ketiga film ini terasa sumpek. Setelah pertengahan yang kempes banget sehingga seperti babak set up yang diperpanjang, kita langsung masuk babak akhir di mana terasa seperti babak dua dan tiga dicampur menjadi satu. Makanya 30-20 menit terakhir itu rasanya lama banget. Begitu banyak yang terjadi, Kiyoshi aja sampe sempat-sempatnya bertapa di pedalaman, bikin aku melirik jam histeris “Ini durasi udah sepuluh menit lagi habis kenapa dia masih kayak latihan yang harusnya ada di sequence ke enam?”

 

 

 

 

Cerita Sheila sebenarnya menarik jika digarap dengan kompeten. Desain hantunya juga lumayan seram. Film ini cukup janggal, dalam artian yang menarik. Seperti misalnya adegan kredit pembuka yang dengan berani membawa kita bergerak dari kanan ke kiri alih-alih progresi kiri ke kanan. Lebih lanjut ke penghabisan, yang dilakukan film ini sesungguhnya mendobrak struktur cerita film, tetapi at this point aku sungguh meragukan pembuat film ini tahu apa yang sedang mereka lakukan. Mungkin bukan hanya buat horor, melainkan film ini sudah seperti wajah baru bagi penulisan naskah film Indonesia. Hanya saja, wajah itu enggak cakep.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for ROY KIYOSHI: THE UNTOLD STORY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Relakah kalian melakukan sesuatu yang kalian jago untuk orang lain, for free? Pernahkah kalian menahan diri untuk membantu orang karena kalian pikir akan membuat hal menjadi semakin ribet? Apakah menurut kalian membantu orang lain itu harus sesuai dengan mood?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.