MINI REVIEW VOLUME 14 (SOCIETY OF THE SNOW, SELF RELIANCE, NAPOLEON, WONKA, SOUND OF FREEDOM, EILEEN, NEXT GOAL WINS, MAESTRO)

 

 

Kompilasi pertama di tahun 2024 ini disusun sebagai semacam penebusan rasa bersalahku buat film-film Indonesia yang tahun lalu cukup sering dicuekin. Maka, bulan Januari ini, film-film Indonesia yang dapat review full, sementara film impornya dikumpulin untuk edisi iniii. Here they are!

 

 

EILEEN Review

Udah cukup lama gak nemu trope Manic Pixie Dream Girl, eh tau-tau muncul dalam film garapan William Oldroyd, dan ini bukan romance atau something yang fun. Melainkan sebuah thriller psikologis!

Gak banyak yang ngomongin soal film ini, padahal ceritanya lumayan intriguing, dengan ending yang dibikin open perihal akhir dari dua karakter sentralnya. Atau mungkin satu karakter? Di situlah menariknya. So it’s about perempuan muda bernama Eileen, yang gak pernah kemana-mana karena harus ngurus ayahnya; pensiunan sheriff yang kasar dan paranoid, perempuan yang meskipun kerja di penjara tapi hidupnya datar dan bosenin. Sampai penjara tempatnya bekerja kedatangan psikolog baru; Rebecca. Perempuan yang lebih dewasa, lebih berani, lebih luwes, ah betapa menariknya si pirang itu di mata Eileen. Rebecca clearly perwujudan dari hidup ‘impian’ Eileen, relasi mereka benar-benar digali namun dengan underline ambigu dan cukup dark. One thing right yang dilakukan oleh film dalam relasi mereka adalah dengan establish bahwa Eileen bukanlah sudut pandang yang reliable.

Banyak adegan yang caught me off guard, Eileen tiba-tiba menembak kepalanya sendiri, lalu aku baru nyadar adegan itu cuma yang dibayangkan oleh Eileen dan yang dia lakukan sebenarnya berbeda total. Hal-hal kayak gini yang bikin menarik karena kita seperti berjalan di dalam kepala Eileen. Kepala yang punya banyak dark dan deep thought. Tapi di sisi lain, aku bisa melihat kenapa film ini score audiens Rotten Tomatoes-nya rendah. Simply, tidak akan memuaskan jika cerita tidak ngasih kejelasan yang lebih clear dari karakter-karakternya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for EILEEN

 

 

MAESTRO Review

Honestly ini satu film di akhir 2023 yang sengaja kulewat karena kelihatan tipe Oscar bait, biografi berat, method acting, dan banyak ngobrolnya. Tapi ternyata baitnya itu banyak juga yang kena masuk nominasi-nominasi penting di Oscar. Jadi sekarang aku punya PR berat harus nonton film karya Bradley Cooper ini.

Dan setelah nonton, aku rasa aku punya pendapat aneh soal film ini. I know ini adalah cerita tentang komposer legendaris Leonard Bernstein, tentang karir dan kehidupan cintanya. Tapi kok rasanya lebih menarik jika dibahas dari sudut pandang istrinya – yang diperankan oleh Carey Mulligan? Karena istrinya ini yang kayak lebih banyak menanggung drama perihal suaminya yang openly kepada kerabat juga suka lelaki. Konflik internal Leonard memang diselami, gimana dia merasakan efek hampa dari rumah tangganya terhadap performanya menggubah musik. Tapi karena juga dibangun dia seorang genius, dan dia gak pernah benar-benar memilih, cerita dari sudut pandangnya ini jadi lebih kerasa kayak momen-momen untuk showcase ‘bagaimana menjadi seorang Leonard Bernstein’ saja ketimbang beneran sebuah journey karakter.

Makanya film ini jadi terkesan pretentious. Dengan segala treatment hitam putih dan segala macam, film ini masih terasa bermain di area luaran dari kehidupan karakter titularnya.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MAESTRO

 

 

 

NAPOLEON Review

Satu lagi biografi yang masih bermain di luaran. Karya Ridley Scott ini supposed to be epic, tapi malah kayak skip-skip kisah perjuangan Napoleon Bonaparte tanpa banyak menyelami tokohnya sebagai karakter dengan segala kericuhan emosi manusiawi.

Napoleon yang di medan perang gagah naik kuda putih, di rumah tangga ‘galau’ karena pengen punya anak, tapi istrinya yang suka selingkuh, tidak bisa memberikannya anak. Yang diincar film ini sebenarnya kita bisa mengerti; film ingin mengontraskan gimana Napoleon di medan perang, dengan ketika dia di rumah. Dan tentunya juga gimana ketika dua itu bersatu. Apa yang bakal diprioritaskan oleh pejuang yang cinta tanah airnya tersebut. Namun permasalahan utama datang dari pijakan siapa Napoleon itu sendiri. Kita tidak pernah diajak mengenal dia terlebih dahulu. Kita hanya tahu dia orang ambisius, yang punya strategi dan also flawnya tersendiri. Kita tidak melihat ke dalam, kenapa dia bisa menjadi seambisius itu.

Aku gak pernah terlalu mempermasalahkan keakuratan sejarah, kostum, atau malah bahasa sekalian. Karena aku sendiri juga gak paham, dan kurang banyak baca. Hanya, ketika karakternya tidak bisa kita ikuti, ketika kita hanya disuruh lihat kehebatan dan kejatuhannya, film jadi masalah karena hanya kayak cerita kosong. Hiburan nonton film yang durasinya panjang banget ini cuma adegan-adegan perangnya saja. Adegan perang di salju buatku lumayan memorable.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NAPOLEON.

 

 

 

NEXT GOAL WINS Review

Dari kisah nyata tim sepakbola American Samoa yang bukan hanya gak pernah nyetak gol, tapi juga terkenal lantaran pernah kalah dengan skor lebih dari 30 – kosong lawan Australia. Aku bahkan bukan penggemar sepakbola, tapi aku tetap nonton karena tau ini buatan Taika Waititi, jadi aku ngerti ngarepin humor yang seperti apa. Dan aku memang beneran terhibur menyaksikannya sampai habis.

Humor khas Waititi udah kayak acquired taste. Waititi mendaratkan karakter sebagai manusia dengan membuat mereka bertingkah konyol dan norak. Terkadang konsep ini susah diterima oleh penonton, terutama ketika manusia yang jadi subjek cerita diambil dari misalnya tokoh nyata, atau sesuatu yang dipandang lebih serius. Waititi pernah mencupukan drakula, menorakkan Dewa Asgard, pernah mengkonyolkan ideologi nazi, dan kali ini dia mengkarikaturkan perjuangan atlet sepakbola. Buatku ini gak masalah. Yang perlu diingat adalah dia tidak melakukan itu untuk semata meledek, tapi untuk membantu kita melihat karakternya di level yang menapak. Hati di balik ceritanya masih terasa serius. Kayak di film ini.

Secara plot, memang ini formula standar tim/karakter underdog yang bakal berjaya di pertandingan/kompetisi. Mereka menang sebagai bentuk menjadi diri yang lebih baik, yang ‘dipelajari’ selama latihan dan menjalani hubungan persahabatan bersama. Tapi dengan konsepnya, Taika Waititi bisa membuat ‘match puncak’ cerita ini punya penceritaan yang berbeda. Dan konsep penceritaan itu works, karena karakter-karakternya lebih mudah untuk kita dekati. Protagonis utama film ini adalah pelatih kulit putih yang dikirim untuk melatih tim samoa, awalnya sebagai hukuman. Bagi si pelatih, ini juga adalah journeynya menemukan peace terkait sepakbola dan hubungannya dengan putrinya. Taika Waititi juga ngasih pendekatan baru sehubungan dengan relasi putrinya tersebut. Jadi, kelihatan usaha untuk tidak membuat cerita ini kayak white savior story, dengan bahasan ke grup sepakbola dan protagonis sama-sama berjuang memperbaiki diri. Menurutku sebenarnya film ini bisa lebih banyak lagi bermain di arahan yang kuat, dan mestinya bisa benar-benar lepas dari formula bangunan cerita yang sudah seperti ada standarnya.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NEXT GOAL WINS.

 




SELF RELIANCE Review

C’mon. Ada Anna Kendrik, ada Jake Peralta, dan ini film dibuat oleh Nick Miller! Of course, I’m gonna watch it and like it!!!

Bias aside, kupikir komedi-thriller debut penyutradaraan Jake Johnson ini dosanya cuma satu. Kurang aneh. Pembelajaran karakternya terlalu on the nose diakui oleh si tokoh utama. Sepanjang ngikutin cerita menguak itu, kayak, kita ngarepin kekonyolan yang lebih wah, tapi film seperti menahan diri. Hampir seperti agak sedikit terlalu mengasihani karakter utamanya. Atau mungkin, Jake gak mau terlalu absurd pada film pertamanya ini, jadi merasa kudu jaim dikit.

Padahal dari ceritanya aja udah gak biasa. Pria bernama Timmy kesepian yang bosan sama hidupnya (bukan bosan hidup loh) terpilih ikut game dark web aneh berhadiah uang yang banyak. Selama sebulan dia akan jadi buruan, orang-orang akan membunuhnya, jika dia tidak bersama orang lain. Jadi Timmy berusaha meyakinkan kerabat untuk terus bersamanya. Dia sampai membayar gelandangan untuk basically jadi bayangannya ke mana-mana. Premis yang menggelitik. Karakter-karakternya ajaib, mulai dari keluarga Timmy yang gak percaya, sampai pemburu-pemburu dengan ‘cosplay’ unik. Yang paling bikin ku ngakak adalah ‘ninja-ninja’ tim produksi dark web yang ngikutin Timmy tanpa disadari. Bahasan yang dikandung di balik itu semua sebenarnya juga sama menariknya, tema utamanya adalah soal hubungan kita dengan orang lain – kepercayaan, ketergantungan, dan sebagainya. Menurutku film ini berhasil ngehandle bahasan tersebut dengan baik di balik karakter dan situasi yang gak biasa.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SELF RELIANCE.

 

 

 

SOCIETY OF THE SNOW Review

Kita tahunya cerita tentang tim rugby Uruguay yang pesawatnya jatuh di pegunungan Andes 70an adalah cerita yang cukup sensasional. Horor, kalau boleh dibilang. Karena mereka survive berminggu-minggu itu dengan terpaksa jadi kanibal. Makan daging dari teman-teman mereka yang gugur lebih dulu. Sutradara Spanyol J.A. Bayona mengadaptasi buku yang menceritakan kisah survivor, menjadi film yang tidak menjual horor keadaan tersebut, melainkan film yang dengan respek menyelami keputusasan personal dari yang masing-masing para penyintas kejadian tersebut alami.

Lihat saja gimana film menceritakan soal makan mayat itu sendiri. Dilema moral yang dialami para karakter terasa bahkan lebih menusuk daripada angin salju mematikan yang harus mereka tahan. Dulu Hollywood pernah bikin film dari kisah ini. Film Spanyol ini melakukan banyak hal lebih baik dari yang dilakukan oleh film tersebut. Film ini benar-benar membangun para survivor sebagai satu tim. Kita melihat mereka sebelum, saat, sesudah kejadian naas tersebut. Karenanya, kita dibuat merasakan langsung naik turun dan penderitaan mereka. Cara film membalancekan porsi, serta juga tone cerita juga sangat apik. Jelas ini bukan cerita satu tim yang bisa diapproach dengan komedi seperti yang dilakukan Waititi di Next Goal Wins tadi, tapi film ini paham untuk tidak serta merta menjual tragedi dari tim ini. Hubungan erat mereka yang terjalin semakin erat dipotret benar seperti dari sudut pandang anak muda. Momen-momen kayak mereka menikmati secercah cahaya mentari terasa sama kuat dan menggetarkannya dengan momen mereka harus meringkuk saling menghangatkan badan di tengah dinginnya malam.

Yang dilakukan sedikit aneh oleh film ini menurutku cuma naratornya. Berbeda dengan film Alive buatan Hollywood tahun 1993 dulu, film ini gak punya karakter utama yang jelas. Narator yang ‘bicara’ kepada penonton actually adalah tokoh yang enggak survive, tewas di pertengahan cerita. Mungkin ini disadur langsung dari bukunya. Menurutku, paling baik jika kita menganggap karakter utama film ini adalah mereka semua sebagai satu tim. Bukan sebagai perseorangan. Walau, sangat jarang sekali ada naskah yang mengtreat sudut pandang utama seperti begitu.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for SOCIETY OF THE SNOW.

 

 

 

SOUND OF FREEDOM Review

Film ini bukannya tanpa kontroversi. Meski maksudnya baik. Sutradara Alejandro Monteverde mengangkat isu perdagangan anak, crime serius yang berlangsung – ngerinya – di berbagai belahan dunia. Lewat film ini dia ingin supaya kepala-kepala kita lebih serius menoleh ke persoalan ini. Betapa mengerikannya bagi orangtua untuk kehilangan anak. Sindikat dan tindak kriminal ini harus segera diberantas hingga ke akar-akarnya. Dan ultimately jangan sampai ada anak lain yang jadi korban.

Masalahnya film ini easily fall ke jebakan cerita yang seperti diacknowledge Taika Waititi di Next Goal Wins tadi. Bahwa ceritanya bakal jadi kayak glorifikasi white savior belaka. Lubang jebakan inilah yang tidak diberhasil terhindari sepenuhnya oleh penceritaan Sound of Freedom. Alih-alih mencuatkan awareness kita terhadap kasus perdagangan anak, film yang diangkat dari penyelamatan nyata ini hanya seperti mengadegankan ulang dengan fokus cerita kepada keberhasilan si karakter utama, polisi kulit putih, memenuhi janjinya kepada ayah korban. Walaupun si protagonis ini reflect so hard soal dia juga sebagai ayah, dan bisa saja itu terjadi kepadanya, tapi film ini memang tampak seperti terlalu Hollywood dengan aksi penyelamatan heroik dan sebagainya. Seolah itulah jualan utamanya.

Belum lagi gambaran penculikan anak, dan keadaan anak-anak yang jadi korban itu divisualkan terlalu sering dan terlalu gamblang. Yang sebenarnya gak perlu. Seperti yang kusebut waktu review Like & Share (2023), kita tidak perlu ‘melihat’ langsung untuk bisa bersimpati.

The Palace of Wisdom gives 4 gold star out of 10 for SOUND OF FREEDOM

 

 

 

WONKA Review

“Oompa, Loompa, doompa-dee-doI’ve got another review for youOompa, Loompa, doompa-dee-deeIf you are wise, you’ll listen to me”

Hahaha enggak ding. Aku suka aja sama lagu Oompa Loompa, baik itu di versi film original maupun versi film Tim Burton. Such a classic characters, Willy Wonka dan Oompa Loompa. Ketika ada film barunya, digarap oleh Paul King yang udah sukses ngasih dua film Paddington yang penuh fantasi dan komedi, aku dilanda ekspektasi dan kebingungan sekaligus. Wonka versi mana yang bakal diikutin. Turns out, film ini seperti berhasil mengambil jalan tengah dalam mempersembahkan kisah Willy Wonka waktu masih muda. Dan film ini pun dengan gemilang mengadaptasi karakter-karakter unik – yang di film-film terdahulu bisa kita perdebatkan ‘sedikit usil atau memang secretly jahat’ – ke dalam sebuah penceritaan magical dan kini terasa lebih bersahabat. Lezat!

Seperti coklat, what’s not to like dari film ini? Paling mungkin si Wonka-nya sendiri, yang tampak agak terlalu optimis dan terlalu baik. Film ini ceritanya tentang Wonka yang tiba di kota, bermaksud membuka toko coklat sendiri. Tapi buka usaha itu gak gampang. It’s about rebutan pasar. Bisnis vs. idealis. Wonka ketipu dan kini dia malah harus menebus dirinya kerja di laundry, never to make chocolate again. Bersama teman-teman yang tersentuh oleh coklat dan keajaibannya, Wonka berjuang membangun tokonya sendiri. Karakter Wonka ini toh punya vulnerable dan misi personalnya sendiri. Dia pengen penuhin janji kepada ibu. Dan ini yang mendaratkan karakter yang punya segudang coklat ajaib itu. Kemudahannya membuat coklat, keajaiban-keajaiban sulapnya, itu bukan exactly yang ingin dibahas oleh film. Struggle seorang seperti Wonka-lah yang jadi menu utama.

Tone sebagai hiburan keluarga terasa kuat, adik-adik yang baru kenal akan terhibur karena di sini juga banyak musical numbers yang sama ajaibnya, sementara kakak-kakak yang pengen nostalgia akan seseruan melihat gimana awal Wonka bisa kerja sama ama Oompa Loompa

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for WONKA.

 




 

 

That’s all we have for now

Januari memang kerasa panjang banget. Dengan mini review ini, berarti ada total 14 film yang berhasil direview bulan ini. Awal yang bagus untuk 2024. Semoga bisa bertahan di sekitaran ini untuk ke depan yaa hahaha

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ANCIKA: DIA YANG BERSAMAKU 1995 Review

 

“Don’t ever go back to your old ways that do not work. That’s the reason you changed them in the first place.”

 

 

Oh Tuhan, there’s two of them!” Kemudian aku tergelak di bioskop. Dilan ada dua, dan maksudku bukan soal ini adalah film Dilan dengan pemeran yang berbeda. Melainkan, karena di cerita Pidi Baiq yang kali ini disutradarai oleh Benni Setiawan, Dilan finally found his match. Dan ‘match’ yang kumaksud bukan soal pasangan doang, melainkan lebih ke Dilan akhirnya ketemu ‘lawan’ yang sepadan. Dalam wujud perempuan berambut sebahu bernama Ancika. Like, Dilan mau ngegombal dikit, langsung kena selepet yang gak kalah ngocol dari Ancika. Belum pernah kan lihat Dilan nginyem karena dicounter? Haha ya, akhirnya film yang jadi penutup perjalanan cintanya ini memang menghadirkan sosok yang sedikit berbeda dari Dilan yang sudah familiar. Dilan kini agak lebih kalem. Dia sudah lebih dewasa dari terakhir kali kita menontonnya. Dilan sudah kuliah, dan itu adalah tahun 1995 yang mulai bergejolak dengan situasi politik. Karena itu, tentu saja kita jadi punya ekspektasi bahwa cerita yang dihadirkan juga jadi sedikit lebih dewasa dari sebelumnya Dan again, maksudku dewasa dalam artian lebih matang loh, bukan dewasa yang ngeres. Itu mah namanya bajingan, kalo kata Ancika.

Mungkin karena Ancika memang masih anak SMA. Film ini sukurnya tidak lagi mempertahankan konsep ‘lucu’ trilogi Dilan, yang perspektifnya gak klop ama judul; Dilan 1990Dilan1991 tapi ceritanya dari perspektif Milea, eh begitu judulnya Milea, ternyata ‘suara’ dari Dilan! Film Ancika ini memang mengambil perspektif utama dari Ancika, gadis remaja yang ngocol, pinter. berani, bahkan cenderung galak sama cowok-cowok yang nekat naksir dia. Zee JKT48 nails her character’s traits soundly. Secara karakterisasi, Ancika jauh lebih kaya ketimbang karakter Milea di film 1990. Ancika tidak pernah tampak seperti kertas kosong. Kehidupan sekolahnya terasa lebih kuat. Ancika ini kayak Dilan versi cewek, ketika dia berinteraksi kepada teman-temannya hahaha.. Kita juga gak perlu nunggu film berikutnya untuk mengenal lebih dekat Ancika dalam lingkungan keluarga dan pribadinya. Ancika juga sudah punya motivasi dan sikap yang tegas.. Dia pengen masuk Unpad. Dia gak mau pacaran. Inilah yang mendapat ‘tantangan’ nanti ketika dia bertemu dengan salah satu teman kuliah mamangnya, yaitu si Dilan.

Mengingat kondisinya, aku pikir film mengintroduce Dilan ke dalam cerita Ancika dengan well done. Humble, mungkin lebih tepatnya. Tidak demikian terasa seperti sosok yang dikultuskan. Meskipun memang di dalam cerita si Dilan ini dikenal oleh banyak orang. Aksi dan kisah cintanya udah kayak urban legend di Bandung 1995. Teman-teman sekolah Ancika, terutama anak-anak cowok yang hobi motoran, menganggap Dilan sebagai senior yang wajib dihormati. Tapi si Dilan itu sendiri tampak ‘kalem’ dan ya, lebih dewasa di balik keunikan yang menjadi pesonanya. Dilan versi film ini adalah mahasiswa seni rupa ITB, seorang aktivis. I give huge props buat Arbani Yasiz yang membuat kayak gampang meranin berbagai karakter yang punya identitas lokal yang kuat. Belum lama ini dia beliveable banget jadi pemuda Minang di Ranah 3 Warna (2021), dan kini dia pentolan pemuda Sunda, yang amazingnya lagi melanjutkan ke versi yang lebih dewasa dari karakter yang populer dimainkan oleh aktor yang lain sebelumnya, without missing any beats of that character. Dilan versi Arbani tampak lebih tenang, lebih bijak, tapi tetap dengan tingkah dan effort yang ajaib. Dibilang less gombal, enggak juga. Dilan versi Arbani tetap punya segudang kata-kata maut yang ampuh untuk membuat perempuan se’tangguh’ Ancika tersipu. Kayaknya, karena Dilan versi Arbani ini lebih believable sebagai aktivis yang turun ke jalan, yang berantem, maka kita lebih gampang ‘tolerir’ terhadap gombalnya. Membuat dia jadi enggak cringe. Karena dia kelihatan lebih dari sekadar tukang gombal sok jagoan

Tidak lagi pengen nimpalin dengan teriakin ‘Pret!!’ setiap kali Dilan selesai ngomong.

 

Hati dari cerita memang masih seputar romans. It feels genuinely sweet, dengan karakter yang juga genuine menarik. Ancika tumbuh ketertarikan sama Dilan. Pemuda yang mengucapkan terima kasih telah dibikinin minuman, lewat secarik surat. Mahasiswa yang membantunya bikin PR resensi novel, walaupun berakhir memalukan. Cowok yang bilang mereka banyak kesamaan, mungkin karena salah satu dari mereka ada yang nyontek – purposely bermain-main dengan ekspektasi dirinya. Film membuat Dilan mencuat di mata Ancika bukan karena pemuda itu ngotot mengejar si anak SMA. Tapi ada build up. Film ngasih ruang bagi Ancika untuk melihat dan membandingkan Dilan dengan cowok-cowok lain yang tertarik kepadanya. Aku suka gimana Ancika yang digambarkan cuek dengan penampilan, merasa perlu dandan padahal occasion-nya cuma belajar bareng Dilan di ruang tamu. Ketertarikan yang naturally bertumbuh itu jadi layer, di balik ‘konflik’ yang juga dibangun seputar Dilan yang punya masa lalu. Dan masa lalu Dilan bukan cuma tentang Milea, melainkan juga soal ‘hobby’-nya sebagai geng motor. Masa lalu – mantan-mantan – Dilan ini yang bikin Ancika ragu. Ancika bukannya mau ‘memperbaiki’ Dilan, seperti yang berusaha Milea lakukan di Dilan 1991. Ancika cuma khawatir Dilan akan kembali kepada masa lalunya tersebut, kepada either or both of those. Apalagi kemudian Ancika melihat Dilan ikutan demo mahasiswa, Berantem ama polisi? Bagi gadis itu cowok yang ia suka itu begitu volatile. Bisa sewaktu-waktu kembali ke masa lalu, dan itu berbahaya baginya.

Ke-insecure-an Ancika bersumber dari masa lalu Dilan. Sikap yang relate sih buat remaja-remaja generasi sekarang. Apalagi belakangan marak narasi seputar ‘mau gimanapun, kita akan kalah sama mantan’. Kisah Ancika dan Dilan mengajarkan kita bahwa masa lalu memang akan jadi bagian dari kita, enggak akan pernah lepas dari siapa diri kita sekarang. Tapi bukan berarti kita harus kembali kepada masa lalu. Kita kudu ingat bahwa ada alasannya masa lalu itu menjadi masa lalu. Karena ada sesuatu yang not working, dan kita mau memperbaikinya. Jadi, biarkanlah masa lalu untuk jadi pembelajaran saja.

 

Kita bisa lihat sebenarnya cerita Ancika ini memang punya modal untuk garapan yang lebih berbobot (kalo gak mau dibilang dewasa) walaupun perspektifnya datang dari anak SMA. Bahkan sebenarnya justru menarik ketika persoalan seperti penangkapan aktivis dipandang dari mata anak sekolah. Gimana orang-orang yang sedang fokus berjuang ke depan ‘terhalang’ oleh jebakan masa lalu. Aku suka saat Ancika marah kepada Dilan, karena marahnya bukan sekadar cemburu. Melainkan karena merasa dipermalukan. Aku sebenarnya pengen film ini mengeksplorasi lebih banyak pada sudut-sudut dan emosi yang unik seperti demikian. Toh Ancika memang dibentuk berbeda dari Milea. Ancika punya cerita dan masalahnya sendiri, mau itu personal maupun terkait Dilan. Sayangnya, film yang memuat karakter yang lebih dewasa dari sebelumnya ini, yang punya perspektif muda dalam lingkungan yang lebih berbobot ini, yang berpesan untuk tidak kembali kepada masa lalu ini, sendirinya masih terasa tidak mau berbeda dengan film-filmnya yang telah lalu.

Dalam artian, film ini sendirinya seperti menolak untuk jadi dewasa. Masih menolak untuk berpikir audiens mereka bisa menghandle cerita yang lebih berbobot. Sure, film ini dibuat untuk anak muda. Lebih untuk remaja usia Ancika ketimbang usia Dilan. Tapi lihatlah si Ancika. Perspektifnya yang lebih mature dari Milea, atau bahkan beberapa kali lebih mature daripada Dilan yang lebih sering kegep kembali menekuni perbuatan di masa lalu, terasa enggak mencapai full potensial ketika cerita masih meng-treat karakter mereka untuk pacar-pacaran ‘biasa’ saja. Film seperti melihat kesuksesan trilogi terdahulu – yang kurasa kita setujui bersama sebagai film kayak snack yang isinya angin doang – dan menganggap itu sebagai standar yang harus dikalahkan. Bahwa film ini harus ngimbangin itu, maka film ini juga harus sukses menarik perhatian anak muda/remaja dengan cara yang sama. Yang malah membuat film ini seperti meremehkan Ancika-Ancika lain di luar sana.

On second thought, penggemar JKT48 mungkin berpendapat berbeda soal film ini dibuat untuk remaja usia Ancika?

 

Bayangan keberhasilan film-film terdahulu, menurutku membuat film ini tak maksimal sebagai cerita barunya sendiri. Momen-momen seperti Dilan hilang, curiga tertangkap saat aksi demo, seharusnya bisa membuat babak ketiga cerita lebih intens bagi Ancika. Namun justru pada babak terakhir-lah film ini flat. Film seperti mengawang, bingung mendaratkan cerita. Bingung mencari daratan yang bikin lebih baper, ketimbang aksi atau konklusi yang lebih true ke development karakter. Akibatnya, sikap Ancika yang di awal tegas menolak label pacaran (also, momen seru lain sebenarnya melihat Dilan ‘struggle’ menyingkapi tolakan Ancika dengan respek) jadi gak terasa punya journey yang clear sampai bisa berubah menjadi mau pacaran. Penyelesaian manis tiga tahun kemudian pun lantas jadi seperti diburu-burukan. Apa yang seharusnya dapat menjadi sebuah konklusi suka ci(n)ta dari kehidupan segitu banyak karakter yang saling terhubung di setting dunia yang sudah kuat merekat, jadinya hanya terasa berfungsi seperti hiasan cute supaya penonton pulang dengan perasaan puas semata.

 

 




Fungsinya memang terlaksana. Film ini jadi penutup yang hangat. Tapi kupikir harusnya film ini bisa lebih. Satu film ini harusnya bisa lebih nendang ketimbang trilogi sebelumnya, karena memang ini much better secara materi dan eksekusi teknis. Dari trilogi Dilan, menurutku yang paling lumayan adalah Dilan 1991, dan film kali ini bahkan lebih kuat daripada film itu. Props juga buat akting dua karakter sentral. Dinamika dan chemistry mereka tampak fun. Tapi kemudian film ini melakukan hal yang sudah benar tidak dilakukan oleh karakternya. Kembali ke masa lalu. Keinginan untuk tetap ringan, menghambat film. Karena ceritanya sebenarnya sudah berkembang, sudah lebih dewasa. Karakter-karakternya juga. Walau masih muda, perspektif mereka lebih berbobot. Film tidak diarahkan mengikuti kedewasaan mereka. Sehingga belum terasa maksimal. Aku gak minta untuk jadi ribet dan njelimet, tone ringan dan uniknya sudah tepat, tapi at least development mereka tidak diloncat. Manis tidak diburukan. Situasi latar dunianya juga bisa paralel dan lebih nyantol dengan lebih enak.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ANCIKA: DIA YANG BERSAMAKU 1995

 

 




That’s all we have for now.

Dari empat film universe Dilan, urutan favorit kalian seperti apa? Apakah menurut kalian, Dilan bakal jadi romans remaja klasik di masa depan?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SEHIDUP SEMATI Review

 

“Not even death can do us apart”

 

 

Kesakralan pernikahan  dibuktikan dengan ikrar untuk menjadi pasangan yang sehidup semati. Janji untuk senasib sepenanggungan. Susah senang selalu bersama-sama, hingga maut memisahkan. Janji suci dua insan Katolik tersebut dapat berubah menjadi beban toxic mengerikan, seperti yang terjadi dalam psychological thriller terbaru dari Upi ini, Ketika rumah tangga jadi tak lagi harmonis, pernikahan hanya jadi neraka personal bagi istri yang tidak diperkenankan melawan, melainkan bertambah fungsi jadi punching bag emosi dan frustasi suami. Afterall, istri harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap suami. Perceraian merupakan aib keluarga, dan adalah tugas istri untuk menjaga martabat suami dan keluarganya. Dengan muatannya ini, Sehidup Semati dengan cepat menjadi sebuah gambaran naas yang bakal berkembang menjadi jauh lebih menyeramkan lagi. Karena Upi membenturkan penafsiran ekstrim dari dogma atau ajaran agama itu dengan pandangan yang sepertinya solutif, hanya datang dari tempat yang tidak benar-benar bisa dipercaya. Penceritaan film ini pun akhirnya baur, antara benar psychological atau sebuah supernatural.

Pasangan tak-bahagia dalam film ini adalah Renata dan Edwin. Laura Basuki jadi Renata yang tersiksa mental dan fisik. Bukti visual memperlihatkan perempuan berambut seleher itu jadi korban KDRT. Ario Bayu jadi Edwin, pria yang keras, dingin, distant, dan tersenyum hanya kepada layar hapenya. Karena cerita ini dari sudut pandang Renata, kita tidak benar-benar diperlihatkan sisi Edwin, kenapa dia bisa berubah begitu violent kepada perempuan yang tadinya ia cintai. Alasan ‘kecewa’nya sih kita diberitahu. Mereka pengen punya anak tapi Renata physically tidak bisa. Jadi, Renata harus mengalami ‘siksaan’ janji sucinya itu sendirian. Luka dan sakitnya ia pendam sendirian. Toh, agama dan keluarga besar mengajarkan sudah kodrat istri untuk patuh. Sampai, dia mendengar ada suara lenguhan perempuan dari ruang kerja Edwin. Ruang kerja yang sama sekali tidak boleh ia buka/datangi. Renata mulai curiga suaminya literally punya simpanan perempuan lain. Beruntung, Renata yang biasanya sehari-sehari cuma ‘berteman’ dengan televisi, kini punya tempat mengadu. Tetangga barunya, Asmara, perempuan yang completely bertolak belakang dengannya. Asmara liar dan berani, dia malah meledek Renata yang patuh sebagai ‘perempuan bego’. Meski begitu, Asmara tetap masih menyisakan aura misterius (Hmm, siapa lagi yang paling cocok meranin karakter ini kalo bukan Asmara Abigail) Dari perempuan yang sepertinya segala merah itulah, Renata belajar untuk menjadi sedikit lebih berani untuk stand up for herself. Tapi masalahnya, bayangan perempuan simpanan Edwin semakin kerap menghantui. Suara-suara dan kejadian aneh kian santer di sekitar Renata.

Di film ini ikrar suci dibalik menjadi ‘sampai maut menyatukan kita’

 

Sebagai thriller psikologis film ini memang benar menyejajarkan kita dengan psikis Renata. Kita merasakan sama kecil dan terisolasinya dengan Renata yang dititah suami untuk tetap tinggal di rumah. Kita dibuat ikut merasakan derita fisik dan mentalnya. Film ini mampu mencapai itu berkat penampilan akting getir serta treatment yang diberikan kepada karakter ini. Renata seperti titik kecil pucat yang dikontraskan pada setting latar yang pekat. Ya, putihnya Renata lebih terasa seperti pucat, ketimbang suci. Seantero apartemen yang dia huni pun dijelmakan menjadi tempat yang (nyaris) kosong. Hanya Asmara dan seorang ibu tua (dan satpam Muklis!) yang tampaknya kenal dan berinteraksi dengan Renata. Ketika Renata berjalan di lorong-lorong menuju unitnya, dia seperti berjalan di labirin yang persis suasana hatinya. Dingin dan banyak sudut gelap. Ketika kita masuk ke dalam unitnya, keadaan tidak menjadi lebih nyaman, karena bahkan ruang pribadi perempuan itu pun tampak muram dan terasa restricted baginya. Kamar yang tak boleh dibuka. Benda-benda yang either bertukar tempat ataupun bukan miliknya. Zona nyaman Renata hanya di depan televisi. Dan aku suka gimana film membuat Renata seperti sangat susceptible terhadap apa yang ia tonton dan dengar di televisi. Siaran ceramah yang bagi kita terdengar esktrim, seperti larangan tegas bagi Renata. Waktu Renata mulai curiga ada perempuan di rumahnya, siaran yang ditontonnya adalah sinetron tentang pelakor. Dan masuk babak akhir, sebelum ketegangan dan kecurigaan kepada suami memuncak, Renata kita dapati tengah menonton berita kriminal seputar ditemukan mayat istri korban kekerasan suami.

Seolah teror psikologis belum cukup seram dan ‘membingungkan’, film juga menyiapkan teror lain, Teror dari supernatural. Sosok perempuan yang kerap sekelebat hadir di ekor mata Renata ditreat oleh film lebih seperti penampakan arwah penasaran. Ditambah pula si ibu tua diperlihatkan pernah melakukan semacam ritual dengan dukun di unitnya sendiri. Unsur supernatural yang dibaurkan dengan psikologis tadi memang menambah layer kepada misteri. Aku sendiri memang sangat menikmati menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang ‘dihadapi’ oleh Renata. Tapi pace film ternyata jadi agak goyah ketika sudah waktunya mereveal dan menyelesaikan cerita. Like, film ini jadi terasa terlalu lama bermain-main di misteri penampakan perempuan sehingga paruh akhirnya jadi kayak lebih buru-buru, padahal konfliknya lebih banyak di paruh akhir. Kecamuk psikologis juga lebih dahsyat di bagian paruh akhir, dengan segala ketakutan baru Renata soal orang-orang lain di sekitarnya selain suaminya.

Akibatnya, penjelasan yang diungkap film akan terasa ‘short’. Meskipun sebenarnya cukup gede, dan tragis, tapi penonton sebagian besar akan masih terlalu sibuk dengan berusaha mencerna kepingan puzzle tragedi yang telat dibagikan tersebut. Film ini akan dengan cepat menjadi supermembingungkan begitu baru di pertengahan kita dikasih penyadaran bahwa Renata, satu-satunya perspektif yang bisa kita pegang justru ternyata ‘agen’ dari kerancuan. Bahwa dia adalah perspektif yang unreliable. Kita sangka kita akan mengungkap misteri bersamanya, tapi ternyata dialah misterinya. Hal yang tidak real ternyata justru hal-hal yang berinteraksi dengannya. Dan ‘tidak real’ di film ini bukan saja hanya perihal suatu kejadian tidak benar-benar terjadi, melainkan juga kejadian yang beneran terjadi tapi bukan pada waktu yang seperti kita lihat di film. Alias, soal urutan juga teracak. Jadi berikut kotak spoiler soal bagaimana menurutku urutan kejadian kisah tragis Renata sebenarnya terjadi (serta siapa sebenarnya karakter-karakter seperti Asmara dan Ana). Kalian bisa skip kotak di bawah ini jika tidak ingin kena spoiler

Spoiler Urutan Kejadian:

Renata kecil liat Ayah pukulin Ibu – Renata kecil liat ayah muntah darah dan lumpuh – Keluarga mereka tetap utuh Ibu tetap merawat Ayah yang kini gak bisa ngapa-ngapain Ibu – Renata gede nikah sama Edwin – Renata gak bisa hamil – Edwin dicurigai selingkuh sama perempuan lain – Renata mulai kesepian, temannya cuma televisi – Renata ngadu ke keluarga tapi malah disalahin – Edwin mau minta cerai – Renata kalut, stress, terilham rumah tangga Ibu dan Ayahnya, membunuh Edwin – Ana nelfon dan Renata jadi terkonfirm siapa selingkuhan edwin – Renata bunuh Ana – Cerita film dimulai – Di dalam halu kepalanya, Renata nganggap Edwin masih hidup – Tapi hantu Ana mulai menghantui, tetap sebagai pelakor – Renata menciptakan teman/pelarian/alter ego dari karakter sinetron yang ia tonton, yaitu Asmara – Gangguan Ana semakin intens – Asmara ‘membunuh’ hantu Ana – Ibu Ana mulai mencari anaknya yang tidak pulang dan mencurigai Renata berkat petunjuk dukun – Renata membunuh Ibu Ana via Asmara – ‘Asmara’ yang ia ciptakan semakin kuat, sehingga Renata jadi berkonfrontasi dengan realita – Revealing kejadian sebenarnya – Renata membunuh ‘Asmara’ yang ia takutkan jadi pelakor berikutnya – Renata mereset halunya, hidup berdua dengan Edwin  masih sayang padanya – Cerita film selesai

 

Bukan sama-sama hidup/mati, melainkan satu hidup, yang satu mati

 

So yea, film ini pretty ribet. Karakter yang kita kira nyata, sebenarnya tidak ada di sana. Kejadian yang kita sangka baru, sebenarnya terjadi bahkan sebelum frame film ini dimulai. Masa lalu bercampur dengan present chaos Renata. There is a lot to unpack, baik bagi kita, maupun bagi filmnya sendiri. Aku melihat film ini sendirinya keteteran. Sehingga bahkan untuk membangun simbol aja tidak sempat. Seperti ruang kerja Edwin, film udah hampir habis ruangan tersebut tidak kita dan Renata ‘lihat’ sebagai apa sebenarnya.  Padahal ruangan tersebut adalah simbol dari ‘truth’. Selain mengintip dan melihat suaminya selingkuh dengan Ana, perempuan yang ada di poster orang hilang di sekitar apartemen, harusnya ada adegan yang memperlihatkan Renata konfrontasi dengan ‘truth’ yang sebenarnya di sana, entah itu mayat atau sesuatu yang membuat Renata kembali menapak ke realita.

Selain misterinya yang jadi bloated, pesan film ini juga tampak agak terlalu melebar. Meskipun memang sutradara sekuat tenaga berusaha mengembalikan ke ‘jalan yang benar’. Awalnya film ini tampak seperti kisah peringatan atau malah sindiran untuk tidak terlalu ekstrim dalam menerapkan ajaran agama. Tapi ternyata bukan ajaran agama saja yang berbahaya jika kita gak rasional dalam ‘mengonsumsinya’ Karena kita lihat Renata justru sebenarnya terpengaruh oleh apapun yang ia dengar di televisi. Pembahasan soal perempuan saling support juga berkembang jadi aneh, lantaran turns out cerita ini berakhir dengan pembunuhan antarkarakter perempuan. Bahasannya utama seperti malah jadi soal pelakor. Seolah ini jadi thriller atau horor pelakor, ‘genre’ yang memang sempat surprisingly laku di skena horor lokal tahun lalu.

 

Motivasi  Renata sebenarnya cukup clear. Dia pengen menuhin janji suci. Dia rela bertahan walau suaminya kasar. Tapi sang suami langsung mau pisah begitu dia gak bisa punya anak. Jadi Renata pengen take control back. Persoalan pelakor malah menginterfere. Karena ini harusnya adalah soal dia dengan suaminya. Apalagi film membuat seperti sebuah momen kemenangan ketika Renata membunuh Ana. Melebihi momen saat Renata akhirnya ‘berkonfrontasi’ dengan Edwin. Penonton di studioku pada bersorak. Padahal seharusnya ini adalah thriller psikologis seorang perempuan yang jadi ‘rusak’ mentalnya karena situasi yang menekan. Peristiwa pembunuhan itu harusnya dilihat sebagai proses downward spiral yang tragis, journeynya seharusnya yang ditekankan. Bukan ke soal ‘ternyata istrinya yang membunuh!’

 




Aku senang mulai banyak yang bikin, namun begitulah sayangnya, aku melihat tren genre psychological thriller di film kita. Seperti miss bahwa harusnya ya tentang psikis seseorang yang mengelam, bukan tentang orang psycho (alias ‘gila’)  Bukan soal kejutan di akhir bahwa karakter utamanya ternyata ‘gila’, melainkan lebih ke menggambarkan proses yang membuat si karakter terjun ke dalam kegilaan. Apakah dia memilih, atau didorong tanpa punya pilihan. Filmnya harusnya bukan cuma tentang ‘lihat dia jadi gila karena keadaan atau sistem masyarakat’ dan lalu ditutup dengan kegilaan yang dibaurkan dengan momen seolah kemenangan, seolah ‘rasain tuh sistem!’ Harusnya tidak ada kemenangan. Sehidup Semati mirip sama Sleep Call (2023). Pemeran utamanya sama, karakternya mirip. Direveal punya kondisi yang mirip. Sleep Call sebenarnya melakukan soal journeynya dengan lebih baik, tapi film itu messed it up dengan reveal bahwa karakternya sudah berbakat gila sedari awal. Masih tetap seputar revealing mengejutkan. Sehidup Semati memainkan atmosfer thriller dan misteri dengan lebih baik, karakter-karakternya lebih menantang, tapi seperti puas di revealing dan dengan awal journey yang tidak ditegaskan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEHIDUP SEMATI

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian di manakah batas seorang perempuan yang setia dan taat bisa disebut bego seperti kata Asmara? Pantaskah mereka kita sebut bego?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MONSTER Review

 

“You can call me a monster. That’s fine. It honestly doesn’t bother me. Because you see, that’s what society does, they put labels on things they don’t understand.”

 

 

Monster besutan Kore-eda Hirokazu seperti mengajak kita bermain-main dengan prasangka. Vibe yang dibuat misterius lewat konsep melihat kejadian dari berbagai sudut seolah menuntun kita kepada pertanyaan “siapa sebenarnya yang monster di sini?” Aku sendiri teringat sama kalimat promo dari salah satu superstar WWE jagoanku, Bray Wyatt (rest in peace). Kalimat yang aku kutip sebagai penggalan pengantar ulasan ini. Basically karakter/gimmick Bray Wyatt saat mengucapkan itu adalah seorang yang merasa dirinya berbeda, dan orang-orang yang tidak mengerti dirinya, takut kepadanya. Mencampakkan dirinya. Namun upon arriving to the squared-circle, Bray telah mengembrace perbedaan dirinya, dan menjadikan itu sebagai kekuatan. He now takes back control from them. Dia tidak lagi peduli sama yang orang-orang katakan terhadapnya. Kalimat itu mengantarkanku kepada pemahaman bahwa film Monster pada intinya adalah sebuah journey menuju self honesty seperti yang telah diembrace oleh Bray Wyatt (walau karakter film ini tidak mesti berakhir jadi sekelam Bray Wyatt). Dan dalam journey nya tersebut, setidaknya ada  empat jenis ‘monster’ yang dibicarakan oleh karya Kore-eda ini.

Jika kita sama judgmental-nya dengan society yang suka dengan cepat melabeli orang yang ‘berbeda’ sebagai monster, atau alien, atau whatever, maka kita juga akan cepat melepehkan film ini without giving it much thought. Naskahnya, dari luar, tampak berpindah ke mana-mana tanpa karakter utama yang jelas.  Konsep kembali kepada kejadian A tapi dari perspektif yang berbeda, bisa sekilas tampak seperti usaha manipulatif arahan yang menyandarkan diri kepada kejutan-kejutan dari pengungkapan kejadian. Monster dibuka dari seorang single mother yang merasa kelakukan anaknya yang baru kelas 5 SD jadi berubah, dan dia mencurigai itu semua karena ulah wali kelas anaknya di sekolah. Sehingga si ibu mulai mencecar sekolah yang juga tampak menutup-nutupi kejadian. Kemudian cerita memindahkan kita ke belakang si wali kelas, guru cowok yang ternyata tidak sejahat ataupun seaneh kelihatannya. Dan finally di pertengahan akhir, film akhirnya settled di bahasan dari perspektif Minato, si anak kelas 5, yang sikap dan tingkah lakunya bikin cemas ibunya tadi. Bukan hanya tiga perspektif, film ini actually juga bisa dibilang berpindah genre tiga kali. Di awal seperti thriller, lalu jadi studi karakter yang ironis, dan berakhir sebagai drama anak-anak. Perpindahan tersebut tidak dilakukan dengan se’sopan’ cara film menceritakan/mengeksplorasi tiap sudut pandang karakter (lewat sinematografi dan musik yang brilian), melainkan dengan deliberately rough. Kembali ke kejadian sebelumnya dengan memusingkan tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang membuat kita urung menjudge terlalu cepat. Desain yang diniatkan seperti begini, justru semakin menarikku masuk dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “Kenapa Kore-eda melakukannya seperti ini?”

Kenapa, jika cuma ingin memperlihatkan prasangka yang ternyata membuat semua orang adalah ‘monster’ bagi orang lain, film berkutat lama di perspektif Minota dan ‘teman rahasianya’ Yori Hoshikawa?

Kenapa pula, jika inti yang ingin diceritakan itu adalah drama anak yang merasakan sesuatu yang tak-biasa di dalam dirinya, film ini harus melewati perspektif karakter yang lain terlebih dahulu? 

Clearly, film ingin penonton merasakan. Bukan hanya merasakan dramatic irony, ataupun kejutan-kejutan ‘oh ternyata dia begini, dia tidak jahat, dan sebagainya’. Melainkan film ingin penonton merasakan atau mengalami sendiri keadaan yang menciptakan berbagai bentuk monster. Dan ultimately film ingin penonton merasakan journey yang dialami oleh seseorang ketika dia mulai merasa benar dirinya adalah monster.

Kalo ini film indonesia, pig-brain kayaknya bakal ditranslate jadi ‘otak-kebo’

 

Kita diperlihatkan gimana monster di film ini terbentuk lewat bagian awal yang membahas perspektif ibu Minato. Gimana bola liar desas desus membuat dia jadi mengantagoniskan pak guru. Lalu membesar mencurigai pihak sekolah, mencurigai kepsek. Bahkan si ibu jadi melihat Minato, anaknya sendiri sebagai ‘monster’. Bentuk monster pertama yang diperlihatkan oleh film adalah monster prasangka. Pak Guru yang malang; hanya karena pembawaan dan gesturnya, apapun yang ia lakukan (meskipun niatnya baik) mudah disalahartikan oleh orang lain sebagai tindakan yang creepy. The worst part about monster tipe ini adalah, dirinya sendiri tidak mengerti atau tidak bisa melihat kenapa orang lain bisa melihatnya dalam ‘cahaya’ yang menakutkan seperti itu. Ini mengakibatkan pembelaan yang dia lakukan akan semakin memperparah keadaan. Monster kedua juga datang dari orang luar, tapi dari pelabelan. Di film ini contohnya adalah sahabat Minato, si Yori Hoshikawa, yang dilabeli monster oleh ayahnya sendiri karena Yori ini anak cowok yang ‘kemayu’. Walau Yori tampak oke-oke saja dikatain monster dan dijauhi teman, the heartbreaking part darinya adalah anak sekecil dia bahkan belum paham yang ia rasakan itu enggak exactly hal yang salah, tapi dia hanya bisa nurut saja ketika dipahamkan oleh orang lain bahwa dia adalah kesalahan yang harus diperbaiki. Monster ketiga adalah kebalikan dari semuanya. Datang dari dalam diri sendiri, dan full aware yang ia lakukan pantas untuk membuat dirinya disebut monster, meski dia tahu dia tidak punya pilihan. Monster tipe berahasia ini adalah kepala sekolah Minota. Ibu guru yang melakukan hal buruk secara tak sengaja di masa lalu, tapi mau tak mau dia harus menutupi kejadian tersebut. Karena dia punya tanggungan dan hal lain yang dipertaruhkan. Nyesek, ketika kita lihat misalnya pada adegan niup terompet itu, bahwa dia aslinya adalah pribadi yang sangat lembut dan baik lagi bijaksana. Namun selain tiga tipe monster itu, yang paling malang sekaligus berbahaya adalah tipe monster yang hampir saja ‘jadi jelmaan’ oleh Minato, yang actually adalah gabungan terburuk dari yang dirasakan/dialami oleh Pak Guru, Yori, dan Bu Kepsek.

Yang paling berbahaya itu adalah monster yang disebut dengan self-loathing. Orang yang memonsterkan dirinya sendiri, dan berkubang dalam perasaan buruk dan prasangkanya sendiri. Orang yang self-loathing akan menghindar dari minta tolong, dan bahkan bisa sampai menyakiti diri sendiri.

 

Itulah kenapa cerita ini sebenarnya merupakan cerita Minato. Anak yang tahu persis dirinya ‘berbeda’ dari anak cowok lain, dia knows better about himself ketimbang Yori terhadap dirinya sendiri, tapi juga tidak seberani Yori. Sehingga Minato memendam semuanya di dalam diri. Minato punya rahasia seperti Bu Kepsek tapi tidak punya positif force behind it, selain takut malu dan tidak diterima oleh teman-temannya. Dia takut ketahuan kalo dia suka ama cowok. Minato bahkan tidak mau nunjukin dia bersahabat akrab dengan Yori di depan teman-teman sekelas yang lain. Kediam-diamannya ini membuat dia tampak aneh di mata ibunya. Yang gak beres pada Minato jadi terlihat lebih besar oleh sang ibu. Tindakan Minato seperti potong rambut diri sendiri bisa demikian red flag bagi ibu (padahal alasannya either karena sesimpel keinosenan anak kecil yang mau ngilangin ‘noda’ bekas disentuh oleh teman yang dianggap ‘berpenyakit’, atau hanya karena tidak mau rambut panjangnya dianggap kecewek-cewekan). Bayangkan gimana reaksi ibu begitu mendengar Minato bilang soal terlahir kembali saat ngobrolin ayah yang sudah meninggal. Kalo sudah menumpuk begitu, biasanya orang seperti Minato akan menarik diri dari lingkungan sosial. Dan itulah yang persisnya Minato lakukan di pertengahan akhir cerita.

Jadi film ini adalah journey Minato menemukan kedamaian atas dirinya yang sebenarnya. Stake cerita ini adalah salah pilih sedikit, Minato akan benar-benar jadi monster self loathing yang berbahaya terutama bagi dirinya sendiri. Beruntung dirinya punya sahabat dan tempat pelarian, yaitu Yori. Di pertengahan akhir itulah, film menjadi tontonan yang dramatis lagi beautiful dalam memperlihatkan struggle Minato – yang masih seorang anak kelas lima SD! Pencarian jati diri, menghadapi resiko bullying, ‘berguyon’ dengan ide telahir kembali, dilakukan oleh film dengan penuh respek terhadap perspektif, dengan desain detil, menutup kepada sebuah kejujuran dan penerimaan diri yang dengan metaforanya sendiri memperlihatkan ‘lesson learned, tapi hidup hanya akan lebih menantang dari sini’.

Yes, we are little dirty monsters from the forest. So what?

 

Konsep/struktur tiga perspektif, dan cerita yang seperti berevolusi antara tiga ‘genre’ berbeda, secara psikologis membawa kita ke dalam journey yang dialami karakter dan lingkungan mereka. Kita jadi melihat monster-monster itu bisa bertumbuh dari karakter yang begitu compelling dan terasa dekat karena mereka hidup dalam environment yang sederhana. Film ini tidak lagi terasa seperti kecohan dari kenyataan yang sengaja disembunyikan belaka. Everything we see is not what it seems, terutama jika kita terbuka melihat dari sudut pandang lain. Dan ini diwujudkan oleh film ke dalam visual-visual yang punya tone misterius yang kuat sehingga minat penonton juga semakin membendung menyaksikannya. Satu lagi adegan yang artinya bisa mendua, yang aku suka di film ini adalah adegan penghapus jatuh. Ibu Minato hendak pergi beli semangka, dan saat dia lewat Minato sedang menyondongkan badan ke bawah hendak mengambil penghapusnya yang jatuh ke lantai. Adegan itu langsung dicut memperlihatkan Ibu kembali dari belanja, dan saat masuk dia melihat Minato masih dalam posisi nyondongin badan ke bawah yang sama dengan saat dia pergi. Seolah Minato gerakannya berhenti saat dia pergi, dan baru bergerak lagi saat dia pulang. Ini kan misterius sekali. Kalo baru nonton otomatis kita akan menyangka hal yang serupa dengan Ibu “Ni anak kesurupan apa gimana sih!?”  Tapi tentu saja adegan tersebut bisa jadi hanya kebetulan penghapusnya jatuh lagi, dan kengerian itu hanya berasal dari prasangka ibu terhadap Minato berkelakuan aneh yang sudah terbangun sebelum kejadian tersebut terjadi.

 

 




Tahun 2024 kayaknya bakal jadi roller coaster yang hebat, sebab kemaren film pertama yang aku review ‘meh’ banget, dan film kedua di ulasan tahun ini. WOW. At first, aku memang honestly cukup judgmental terhadap penceritaannya yang seperti mengarah ke ‘ternyata begini, ternyata begitu’ doang. Tapi ternyata, aku menyadari film ini punya desain khusus dalam menyampaikan journey karakternya. Journey yang hanya bisa maksimal jika kita ikut secara menyeluruh merasakan gimana ‘monster’ itu bisa terbentuk. Yang lantas ditutup dengan pilihan karakter untuk mengembrace monster versi dirinya sendiri. Awalnya bermain dengan prasangka, tapi film justru menjadi begitu powerful dengan berkembang membuat kita berefleksi, berkontemplasi, bukan tidak mungkin di antara kita jadi ada yang menunjuk hidungnya sendiri demi mendapat jawaban masing-masing dari menonton film ini. Film Jepang ini ticked the box untuk ‘syarat’ skor tertinggiku. Cerita yang berevolusi, dengan konsep yang kuat dan karakter dan dunia yang luar biasa compelling.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for MONSTER

 




 

That’s all we have for now.

Tanyakan kepada diri sendiri, monster seperti apakah aku?

Dan jika tidak keberatan, silakan share di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRINIL: KEMBALIKAN TUBUHKU Review

 

“How do you sleep at night?”

 

 

Fenomena ketindihan jadi salah satu bahasan dalam comebacknya Hanung Bramantyo ke ‘ranah’ horor. Waktu kecil, aku cukup sering ngerasain ketindihan. Mungkin karena dulu itu aku suka minum softdrink dan minuman manis-manis lainnya, sehingga walau badan udah tidur, pikiranku masih aktif kemana-mana kebanyakan gula. Memang, secara medis, ketindihan yang disebut dengan sleep paralysis merupakan keadaan ketika seseorang tidur tapi dia merasa masih sadar, hanya tidak bisa bergerak ataupun berbicara, sampai mulai mengalami ilusi yang dianggap mengerikan. Aku masih ingat jelas betapa anehnya perasaan saat ketindihan. Yang kualami, udara atau ruang di kamar itu terasa membebani sementara mataku terpaku ke gorden di jendela, gak bisa pindah melihat ke titik lain. Lalu suara-suara. Aku mendengar suara orangtua lagi ngobrol di luar kamar, tapi suara mereka terdistorsi. Seperti ada yang memainkan setting audio sehingga kadang suara itu jadi melambat, atau juga jadi mencepat. Maka dari itu aku tertarik pengen nonton Trinil: Kembalikan Tubuhku ini. Aku ingin melihat gimana jadinya jika experience ketindihan tersebut ‘diadaptasi’ jadi full cerita horor. Bagaimana pengalaman seperti yang pernah kualami itu divisualkan. Terlebih, kalo di barat sono, ketindihan diasosiasikan dengan iblis wanita seperti Succubus atau Incubus yang duduk di dada orang yang berbaring hendak tidur. At least, kupikir Trinil bakal ngasih serangan horor psikologis. Tapi ternyata, Hanung membuat film ini dengan lebih straight forward. Ketindihan itu hanya bentuk lain dari kesurupan. Despite latar peristiwa politik 70an yang membayangi, Trinil yang diadaptasi dari drama radio 80an ini hanya horor kejadian-kejadian, yang berisi eksposisi dan pengungkapan, tanpa benar-benar menyelami karakternya.

Trinil adalah panggilan masa kecil untuk Rara, perempuan keturunan wanita pribumi dengan meneer Belanda juragan perkebunan teh di Jawa Tengah 1977an.  Meski panggilan kecilnya sama, tapi Rara enggak seperti Ibu kita Kartini. Rara orangnya cerdas, tapi cukup galak. Ketika dia dan suaminya kembali ke rumah besar mereka di tengah perkebunan dari bulan madu, Rara yang gak sadar dirinya mengalami ketindihan setiap malam, memarahi orang-orang yang berusaha menolong. Areal perkebunan mereka memang sedang dihantui oleh sosok hantu kepala perempuan, yang diduga menjadi penyebab banyak pekerja yang mati misterius. Either gantung diri, atau tercekik di tempat tidur masing-masing. Sutan suami Rara mengundang teman yang bisa mengusir hantu ke rumah mereka, tapi Rara pun sempat ribut dengan Yusof si dukun Melayu. Memprotes cara kerja Yusof yang ingin menyelidiki origin si pengganggu, Rara justru inginnya si hantu kepala terbang itu segera diusir sebelum kejadian mengerikan di perkebunan mereka diketahui publik secara luas.

Begitu lihat pemainnya, ku baru ngeh kenapa kepala hantu itu mirip Scarlet Witch

 

Dua film horor Hanung sebelumnya, Legenda Sundel Bolong (2007) dan Lentera Merah (2006), dibuat dengan landasan sejarah yang kuat. Sama-sama berhubungan dengan peristiwa politik di tahun 1965. Pada film horor terbarunya ini pun, Hanung mengisi latar itu dengan latar sejarah. Era 70an saat Indonesia memasuki fase Pemilu dengan tiga partai peserta untuk pertama kalinya. Soeharto akan menjabat kembali, situasi politik memanas, dan banyak pembunuhan terjadi terutama di kalangan ulama. Namun sebagaimana dengan ekspektasiku terhadap bahasan ketindihan, ekspektasiku terhadap landasan sejarah ini juga tidak mendapat balasan yang memuaskan. Selain set up informasi dari headline koran-koran sebagai kredit pembuka, latar tersebut tidak terasa betul dimainkan di dalam cerita. Mungkin karena aku juga gak begitu paham seperti apa kejadian politik tersebut, asumsi terbaik yang bisa kuberikan adalah kemelut rumah tangga atau keluarga yang dialami karakter, kejadian-kejadian mengerikan yang terjadi kepada mereka, tebas-tebas kepala, tidur di malam hari dalam ketakutan, merupakan penggambaran horor dari kejadian politik tersebut. I’m not sure, mungkin kalian yang lebih ngerti politik bisa berbagi di komen soal gimana latar politik itu actually dimainkan ke dalam penceritaan film ini.

Bagiku sebagai penggemar film khususnya horor, yang jelas cukup berhasil dilakukan oleh Hanung di sini terkait era jadul adalah menghantarkan vibe horor di era tersebut. Film ini dengan sosok kepala terbangnya, ketawa cekikikan khas hantu wanitanya, bahkan penyelesaian dengan ayat suci, terasa seperti horor era 80an. Hanya dengan kualitas desain yang lebih kinclong. Percakapan dari para karakter yang sangat diverse juga menambah pada kesan ini. Karakter ceritanya ada yang orang Jawa, Medan, Belanda, hingga Melayu. Cukup memberikan warna. Harapannya sih harusnya semua aspek di sini diperdalam lagi. Penceritaannya dilakukan dengan lebih matang lagi. Karena yang actually kita saksikan, bisa dibilang masih berantakan. I don’t even know where to start. Baiknya mungkin dari tampilan horornya. Film ini sebenarnya bermain dengan build up yang baik dan terencana. Kita dikasih tau dulu ‘suasana’ yang mencirikan si hantu bakal muncul. Ada lagu khususnya, juga. Film perlahan membendung sosok si hantu. Awalnya ditampilkan lewat bayangan kepala terbang. Ini buatku efektif sekali, karena somehow kayak lihat sebuah pertunjukan shadow puppet alias wayang yang sangat seram. Kemudian di tengah-tengah durasi barulah film beralih ke trik-trik jumpscare. Si hantu kepala terbang itu bisa muncul kapan saja, tau-tau ada di akhir panning kamera. Inilah bentuk film menaikkan intensitas horornya seiring meningkatnya tensi cerita. Arahan yang jempolan, hanya saja masalahnya adalah cerita yang dipunya. Seperti yang sudah kusebut, film ini tidak menyelami karakternya.

Ketindihan tidak dibuat sebagai teror psikologis seseorang yang restless atas hal buruk yang di masa lalu pernah mereka lakukan dan mereka masih dihantui perasaan tersebut meskipun berusaha bersikap keras untuk move on hidup seperti biasa. Ketindihan di sini hanya bentuk lain dari kesurupan, dan karakternya hanya bereaksi terhadap rasa takut. Siapa dan apa yang sebenarnya mereka rasakan di balik ketakutan itu ditutupi oleh film, yang memilih bercerita dengan formula pengungkapan-pengungkapan ‘ternyata begini, ternyata begitu’

 

Ini sangat mengecewakan karena karakter Rara dan Sutan suaminya sebenarnya kompleks. Mereka ini bentukan protagonis yang amat dark. Tapi alih-alih membahas psikologis mereka sebagai sudut pandang utama, film memilih untuk menyimpan sebagai ‘twist’ dan karakter mereka dari awal hingga ke pertengahan-akhir di-reduce sedemikian rupa, hingga penonton di studioku lebih banyak ketawa ngelihat mereka teriak-teriak ketakutan. Ngeliat Sutan yang kayak penakut kocak. Ngeliat Rara yang kayak sok galak tapi nyalinya ciut juga. Selain motivasi, dinamika dua karakter sentral ini sebagai pasangan juga jadi tidak jelas. Like, film bahkan tidak benar-benar berhasil melandaskan kenapa mereka bisa jadi suami-istri yang kompak dan saling cinta. Karena peristiwa mereka bisa ‘jadian’ itu saja melibatkan sengketa berdarah yang cukup pelik. Dengan ‘menyembunyikan’ kompleksnya karakter mereka, film malah jadi bergantung kepada karakter pendukung untuk menggerakkan cerita. Di sini bagiku konyolnya. Karakter dukun dari Malaysia itu, si Yusof, entah kenapa malah dibentuk seperti hero utama. Bentukan dan karismanya dibuat lebih gede daripada Sutan. Dia lebih rasional dan lebih beralasan daripada Rara. Plot jalan karena investigasi yang dia lakukan – bayangkan seorang detektif yang nyentrik, dan supernatural. Dia dibentuk seperti hero, tapi lantas dicut dari cerita sebagai just another surprise setelah fungsi utamanya dirinya sebenarnya terlaksana. Yaitu jadi alat buat mewakili kita mendengar flashback eksposisi.

Trinil: Kembalikan Waktuku

 

Ah, ya, flashback eksposisi. Plot device kegemaran horor-horor Indonesia yang terlalu napsu pengen tayang cepet sehingga malas merampungkan naskah dengan benar. Sebenarnya makek flashback itu gak dosa. Cuma yang sering gak bener adalah pemakaiannya, yang kebanyakan hanya jadi shortcut, hanya jadi ‘kemudahan’ untuk menyampaikan sesuatu. Gini, ketika seorang karakter menceritakan kejadian masalalu, maka flashback kejadian yang kita tonton harusnya ada menampilkan si karakter tersebut. Karena logikanya, dia tidak bisa bercerita tentang hal yang tidak ia ketahui. Kecuali yang ia ceritakan adalah sebuah legenda. Tapi meskipun begitu, film yang bagus akan menggunakan flashback legenda tersebut sebagai sesuatu untuk sang karakter. Entah itu legendanya ternyata salah karena ia adalah karakter yang tak-bisa-dipercaya, atau at some point diungkap peran dia terhadap legenda tersebut lebih besar daripada kelihatannya. Di Trinil, flashback eskposisinya adalah masa kecil Rara, dan kejadian sebenarnya di balik ibu Rara yang menghilang, yang menghubungkan misteri kematian dengan hantu kepala terbang. Flashback tersebut diceritakan kepada Yusof, oleh seorang karakter yang tidak pernah dibangun reliabilitasnya kenapa dia bisa sampai tau semua itu. Kenapa dia bisa sampai tahu posisi eksak orang-orang di dalam cerita, kenapa dia sampai tahu cerita dari berbagai sudut pandang tokoh. Inilah kenapa aku bilang penceritaan harusnya dilakukan dengan lebih matang. Karena semua informasi itu belum benar-benar diramu penyampaiannya. Naskahnya masih kayak basic draft, bahkan karakter-karakternya masih terasa lebih seperti device ketimbang manusia yang hidup di dunia cerita itu sendiri. Pembelajaran Rara, momen yang nunjukin dia berubah jadi pribadi yang lebih baik; dilakukan dengan tiba-tiba ada ‘hantu’ ayahnya datang memberikan nasehat.

Mantra yang berkali-kali terucap di kepalaku saat menonton adalah, masa iya Hanung bikin film kayak gini? Sebenarnya ini gak separah horor-horor ngasal, cuma yang kudapati di sini adalah ‘penyakit’ yang biasanya dilakukan oleh sineas baru yang cara berceritanya belum punya bentuk. Yang belum se-establish seorang Hanung Bramantyo. Apakah tuntutan industri sedemikian jadi momok? Dari segi akting aja, udah kerasa lepas dari standar Hanung yang biasa. Para pemain ekstra tampak lebih lumayan kebentuk dibanding karakter sentral.  Yang paling lumayan adalah Wulan Guritno, karena kebutuhannya di sini adalah jadi hantu yang over-the-top, easily tackled by her. Namun Rangga Nattra sebagai Sutan, jadi kayak lagi main komedi. Fattah Amin mungkin memang diniatkan sebagai stealer, tapi karakternya diintroduce dan diperlakukan dengan build up yang aneh. Carmela van der Kruk, mungkin aku salah satu dari sedikit orang yang sampai sekarang masih ngikutin perkembangan Gadis Sampul, dan aku selalu excited dan dukung dan selalu berusaha nonton kalo ada Gadsam main film. I’m happy Carmela dapat peran utama dan main horor pertama. Apalagi ini filmnya Hanung! Di sini talent fashionnya kepake banget pake dress-dress cute ala Eropa. Jadi kontras setting yang seru di lingkungan horor. Tapi pelafalan dialognya need more work. Apalagi untuk kalimat-kalimat panjang yang masih sering dilakukannya dalam satu tarikan napas. Again, ini seperti kurang tight pengarahan yang dilakukan oleh sutradara di bawah standar Hanung yang biasa.

 




Film pertama yang kutonton di tahun 2024, bukanlah sebuah tontonan yang memuaskan. Setidaknya ada dua ekspektasiku (dari yang seperti yang dijanjikan film) tidak terpenuhi. Pertama soal teror ketindihan, yang ternyata hanya kesurupan biasa, dan film lebih sebagai sebuah sajian teror kejadian-kejadian seram dan eksposisi alih-alih sebagai penyelaman karakter terhadap hal kelam nan kompleks yang mereka lakukan. Kedua soal era politik/sejarah yang dijadikan latar, yang ternyata tidak benar-benar jadi bahasan. Yang mungkin cuma jadi gambaran saja. Ultimately, film ini mengejutkanku karena tidak terasa seperti standar buatan Hanung yang biasa. Bahkan dramanya saja tidak terasa benar-benar kuat. Mungkin ada yang putus lagi selain kepala hantunya?
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for TRINIL: KEMBALIKAN TUBUHKU

 




 

That’s all we have for now.

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2023

 

Perfilman 2023 basically dibuka oleh kembang api dan ditutup dengan bom.  Dan di tengah-tengahnya kita mendapati diri dikepung dua film dengan vibe sungguh bertolak belakang tapi tayang barengan sehingga malah jadi tren; Barbenheimer. Such an explosive experience! Kita punya dua film tentang Elvis, dua film tentang alien, film-film tentang perilaku sosial media, setidaknya ada dua ‘surat cinta’. Tiga film yang bermain dengan konsep hitam putih. Dan banyak animasi groundbreaking lewat gaya visual mereka. Tahun 2023 rame oleh cerita bergulat dengan duka, cinta kasih yang toxic, while also saw a rise pada cerita-cerita tentang kepercayaan. Reliji, kalo boleh dibilang. Baik film luar, maupun film dalam negeri – ya tentu saja dengan pengarahan dan goal yang berbeda.

Kalo kita flashback sekilas, 2023 memang berasa seperti horor melulu. Tapi enggak juga. Horor memang banyak, menduduki jejeran peringkat atas perolehan penonton terbesar di bioskop kita. Dan yang begonya pun banyak, honestly aku sempat stop menonton semua horor lokal yang tayang pertengahan tahun setelah melihat ada freezer daging di desa yang masih struggle ama bola lampu. Ngikutin perkembangan film terbaru di bioskop pun terasa semakin menantang buatku terutama karena perilaku bioskopnya terhadap horor.  Jika filmnya bukan horor, maka  kemungkinannya cuma dua. Cepat turun layar, atau berkurang – dan bahkan – hanya tayang di bioskop yang jauh-jauh. In a way, pengaruh dominasi genre ini memang ada, namun tetap saja yang membekas kepada para penonton adalah warna-warni lain, film-film yang lebih menawarkan variasi. Film horor bisa jadi menarik jika punya sesuatu yang beda, entah itu sudut pandang cerita atau tema yang jadi latarnya. Like, cerita kehilangan gak mesti jadi horor hantu, kita udah lihat cerita begitu bisa diolah ke dalam tema soal A.I. Memang, sebaliknya, cerita berlatar politik ataupun cerita yang simply tentang hubungan ibu dan anak, juga bisa lebih seram daripada tawaran hantu-hantuan. Intinya, di saat ada genre yang mendominasi, industri harusnya tidak stuk dan latah membuat hal seragam. Harus tetap kreatif. Sebenarnya dari judul ketaker tuh kreativitas pembuatnya, kalo udah pake keyword-keyword template kayak content creator ngincer SEO, isi filmnya nanti paling cuma flashback ama twist ‘siapa sebenarnya yang jahat’.

Tahun ini jumlah film yang sukses tereview menurun dari sebelumnya. Hanya 115 film. Sebenarnya yang ditonton ada lebih banyak, hanya aku memutuskan beberapa film baiknya enggak usah diulas. Atau beberapa film ‘kalah bersaing’ untuk spot di mini review. Tapi jangan kuatir, meskipun jumlahnya gak lebih banyak daripada saat masa pandemi, ini ujungnya tetap menjadi sebuah list yang menarik. In fact, aku sendiri malah surprised sama hasilnya. Kok jadi seru juga nih?

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • Asteroid City (very stoic and weird way untuk belajar tentang duka dan hal-hal abstrak yang tidak kita mengerti lainnya)
  • Babylon (surat cinta dengan full energi chaotic kepada industri film)
  • Barbie (eksplorasi eksistensi dan bahasan menantang soal dinamika gender, di balik sekadar jualan produk)
  • Beau is Afraid (cerita yang disturbing dan hard to watch tentang pria yang jadi penakut, gara-gara kasih sayang ibunya)
  • Budi Pekerti (menelanjangi perilaku bersosmed masyarakat kita yang semakin menjadi-jadi)
  • Concrete Utopia (bencana yang dipotret powerful oleh film ini bukan exactly runtuh tanah/gempa, tapi runtuhnya kemanusiaan)
  • Evil Dead Rise (rise above all horrors yang berusaha tetap campy namun berisi)
  • No One Will Save You (invasi alien dengan konsep tanpa dialog yang unik, dan konteks kehidupan sosial yang menohok)
  • Oppenheimer (biopik yang meledak oleh tsunami fakta, dan hebatnya Nolan kali ini, tidak void dari emosi)
  • Suzume (ketika duka penyintas disulap menjadi petualangan romance dan fantasi yang superkreatif)
  • Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem (bukan cuma jualan style animasi yang unik, ini actually film KKN yang benar bagus)
  • Theater Camp (seperti Babylon kepada film, ini adalah bentuk tertinggi dari sebuah kecintaan kepada teater: mampu menertawakan tapi sekaligus menceritakan dengan penuh passion)
  • The Royal Hotel (thriller psikologis realis ketakutan perempuan, thanks to sikap cowok-cowok )

Special Shout Out buat film yang ulasannya paling banyak dibaca yaitu Sewu Dino, dan buat film yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton; yaitu Hati Suhita. Dua film ini benar-benar represent genre yang lagi populer di Indonesia tahun 2023.

Oke, sekarang inilah DELAPAN BESAR 2023!! 

–PS: seperti biasa, klik di judulnya untuk dibawa ke halaman full-review masing-masing

 

 

 

8. JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

Director: Yandy Laurens
Stars: Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Alex Abbad, Sheila Dara Aisha
MPAA: 13+
IMDB Ratings: 8.7/10
“Hidup emang enggak bisa di-retake, tetapi masih bisa dibikin sekuel.”

 

Jujur, ini film yang paling lama pertimbanganku untuk dimasukin ke daftar Delapan-Besar. Konsep berduka dan hitam-putihnya dilakukan dengan lebih baik oleh Asteroid City, karya Yandy Laurens ini masih terasa terlalu khawatir ama urusan ‘ngasih surprise’ ke penonton. The big buts yang akhirnya meloloskan film ini adalah pertama karena ini tentang bikin film – favoritku banget. Dan ini kentara begitu personal. Konsep metanya berhasil selain bikin penonton konek sama karakter yang deep dan berlapis (dua manusia pada usia yang sudah terlalu ‘tua’ untuk cinta) tapi juga jadi peduli sama proses nulis atau bikin film. Drama dan hiburan datang lewat visual berlapis dari struggle penulis skenario berusaha naskah personal yang ia tulis mendapat green light untuk diproduksi. tanpa perubahan. Banyak celetukan lucu tentang industri perfilman terlontar dari sini.

Makanya film ini jadi unik dan urgent.  Sedikit too extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself. Nonton ini bikin aku pengen balik lanjutin menuntut ilmu nulis skenario lagi, dan aku senang film ini bikin orang aware sama teknis-teknis nulis skenario. Setidaknya, ini jadi assurance buatku kalo penulis film kita memang berilmu semua. Mereka cuma seringkali harus ‘mengalah’ sama produser/investor. Harapan lebih banyak film bagus dan berani ambil resiko masih terus menyala

My Favorite Scene:
Film ini punya segudang adegan-adegan memorable. Mulai dari adegan drone saat ngebut-ngebutan, scene Hana marahin Bagus, scene-scene kocak bersama produser. Yang paling aku suka adalah scene saat Bagus syuting, dan para aktor mempertanyakan karakter di dalam ceritanya. Momen ketika mata Bagus terbuka melihat dan mulai mengenali kesalahannya sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

7. KILLERS OF THE FLOWER MOON

Director: Martin Scorsese
Stars: Leonardo DiCaprio, Lily Gladstone, Robert De Niro, Jesse Plemons
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.8/10
“Can you find the wolves in this picture?”

 

Masuk pertengahan akhir 2023 aku was-was. Aku masih belum menemukan film yang pantas untuk dikasih skor 8.5. Martin Scorsese jadi hero buatku lewat film ini. Killers of the Flower Moon jadi film pertama di 2023 yang dapat skor 8.5, dan itu bukan karena aku desperate. Karena filmnya memang sebagus itu. Alih-alih ngambil arahan gampang menjadikan ini tipikal whodunit, Scorsese membuat cerita ini jadi lebih fungsional dan berlapis dengan menjadikannya sebuah drama karakter. Dia bahkan mendobrak formulanya sendiri, ini cerita pria bobrok, tapi prianya sama sekali tidak keren ataupun inspirasional. Yang inspirasional di sini ‘hanya’ penampilan aktingnya haha, Lily Gladstone seriously perlu diganjar Oscar.

Mengadaptasi cerita berdasarkan sejarah pendatang kulit putih di tanah Osage milik bangsa Indian, film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Cara Scorsese mempersembahkan cerita yang bukan miliknya ini begitu humble dan berkelas. Dia bikin film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya. Dan impactnya jadi luar biasa karena film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri. 

My Favorite Scene:
Menelisik lewat romansa dua karakter sentral, yang tampak genuine, tapi dialog menjelang akhir saat si perempuan Indian menanyakan suntikan insulin yang diberikan oleh suami kulit putihnya, maaan buatku itu adegan dengan penampilan akting dan arahan yang menantang banget. Salah-salah kita malah jadi simpati ama si Leonardo DiCaprio.

 

 

 

 

 

6. KEMBANG API

Director: Herwin Novianto
Stars: Donny Damara, Ringgo Agus Rahman, Marsha Timothy, Hanggini
MPAA: 17+
IMDB Ratings: 7.0/10
“Urip iku urup”

 

Yup, inilah salah satu surprise I talked about. Surprised yang kurasakan ketika menyusun daftar ini. Ada dua film Indonesia yang masuk!! (Tadinya malah mau tiga, tapi nanti ada waktunya untuk dibahas). Tahun 2023 at least ada tiga film yang bicara tentang karakter yang mau bunuh diri. Kalo bukan karena film ini, tren tema tersebut bisa mengkhawatirkan. Karena orang-orang harus realized, bunuh diri itu enggak keren. Bukan penyelesaian dramatis, melainkan masalah satu lagi yang harus diselesaikan. Harus diapproach dengan hati-hati. Film ini berhasil melakukan kehati-hatian itu.

Anti-bunuh diri disampaikannya secara respek dengan vibe kekomedian (meskipun tidak sampai menjadikannya bahan olokan) Hati film ini kuat banget. Naturally ini karena cerita ini adaptasi dari film Jepang, di mana concern bunuh diri memang gede. Di sana malah dianggap sebagai tradisi kehormatan. Tapi yang bikin aku kagum sama adaptasi ini (biasanya aku antipati sama adaptasi film luar yang bisanya cuma nyontek), Kembang Api actually lebih mudah deliver pesannya kepada kita dibandingkan film aslinya. Proses adaptasi yang berhasil membawa kehati-hatian dan respek terhadap tema ke karakter dan permasalahan dan penyelesaian yang lebih relate ke sosial kita, itu yang bikin film ini keren dan penting.

Konsep time loopnya selain jadi perenyah bahasan, juga jadi pesona tersendiri yang menambah variasi buat tontonan kita. Menurutku film ini perlu dinobarkan di sekolah-sekolah sebagai counter dramatisasi bunuh diri yang mulai marak jadi konten di sosial media.

My Favorite Scene:
I don’t really have favorite scene here, karena kayaknya adegan-adegan light-heartednya itu punya underline tragis semua. But I do have favorite line, yaitu pas karakter si Ringgo Agus bilang “mau mati aja susah” (hei, aku baru sadar 2 film Indo yang masuk Top-8 ini ada Ringgo Agus Rahman!). Dan aku juga suka banget gimana film menuliskan karakter Hanggini.  Si Anggun benar-benar mewakili ‘simtom’ tak-terdeteksi dari orang yang mau bunuh diri. Dari orang yang depresi. Like, kita gak akan pernah tau orang itu depresi sampai dia akhirnya ditemukan mati bunuh diri, karena biasanya orang-orang itu justru tampak lebih ceria, lebih luwes, lebih open — ya kayak gimana Hanggini mainin si Anggun. Tampak smart dan cemerlang.

 

 

 

 

 

 

5. THE BOY AND THE HERON

Director: Hayao Miyazaki
Stars: Soma Santoki, Masaki Suda, Yoshino Kimura, Aimyon
MPAA: Rated PG 13
IMDB Ratings: 7.6/10
“Will you continue my work?”

 

Bicara soal mati, well, this is anime yang ngajarin kepada anak-anak bahwa mati adalah hal yang harus kita pahami untuk melanjutkan hidup. Karena mati adalah bagian dari hidup. Dan oh boy, ‘kematian’ yang dibicarakan film ini punya spektrum luas. Aku menduga film ini juga biografi pembuatnya yang berangkat dari gimana dia kesulitan menghadapi akhir dari karirnya – yang kita semua gak mau itu terjadi, but that day will eventually come.

Terdengar berat? Memang. Boleh dibilang ini salah satu film Studio Ghibli yang paling njelimet. Tapi itu bukan berarti film ini kehilangan kemagisan khas Ghibli itu. Justru sebaliknya. Film dengan dream logic ini menaikkan kemagisan itu ke another level. Batas fantasi/sihir dan realita dunia cerita kabur banget, ini bikin ngikutin cerita jadi seru dan menantang. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik. Petualangannya memang sekilas terasa kurang epik, tapi yang dilalui karakter utama di film ini hampir-hampir keluar garis semua haha… Aku kaget sendiri ketika tiba-tiba ada adegan dia mukul kepalanya sendiri pake batu sampai berdarah. Tapinya lagi, semuanya itu bekerja klop ke dalam karakter. Di dalam grand design yang terbangun begitu menakjubkan oleh film yang terasa begitu deep dan personal ini.

My Favorite Scene:
Mahito bertemu burung pelikan yang sekarat. Momen yang membuka mata Mahito tentang kematian, dan juga soal keadaan yang membuat orang ‘berperang’ dan harus mati. Momen yang berujung dengan Mahito menguburkan si burung yang ia kenali sebagai musuhnya. Film ini bergerak di lapisan yang dalam seperti itu.

 

 

 

 

 

 

4. THE WHALE

Director: Darren Aronofsky
Stars: Brendan Fraser, Sadie Sink, Ty Simpkins, Hong Chau
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.7/10
“Do you ever get the feeling that people are incapable of not caring?”

 

The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka, supaya gak salah langkah kayak dia dulu. Aku iri sama Charlie yang masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. 

Yea, ini film tentang orang yang low key sama aja dengan pengen bunuh diri, tapi gak ada yang diromantisasi di sini. Lihat betapa ‘brutalnya’ penampilan Charlie. Gak bakal ada yang mau kayak dia. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini. Film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan. Ini adalah drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Makin ditonton, makin powerful!

My Favorite Scene:
Everytime dia berusaha nunjukin cinta dan ngasih semangat kepada anak gadisnya. Nge-encourage untuk nulis dan sebagainya. Puncaknya, ya di ending itu. Kalo ada yang membuncah selain berat badan si Charlie, maka itu adalah emosiku nonton adegan-adegan mereka berdua.

 

 

 

 

 

 

3. DREAM SCENARIO

Director: Kristoffer Borgli
Stars: Nicolas Cage, Julianne Nicholson, Michael Cera, Dylan Gelula
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.1/10
“Trauma is a trend these days. It’s a joke. Everything is trauma. Arguing with a friend is trauma. Getting bad grades is drama. They need to grow up.”

 

Ini nih filmnya. Bukan hanya berhasil menggugurkan posisi Budi Pekerti di Top-8 ini, Dream Scenario berhasil membuatku merombak keseluruhan list. Aku nonton film ini di ‘detik-detik’ terakhir. Kureview sebagai batch terakhir mini review. Dan aku suka banget sama filmnya.

Kenapa dia bisa gugurin Budi Pekerti? Karena bahasannya sebenarnya serupa, tapi (meskipun skor mereka sama karena urusan teknis dsb) Dream Scenario membawa bahasan itu ke level yang lebih surealis. Which is also my soft spots for movies.  Alih-alih viral karena ngelakuin hal di sosmed, di film ini ceritanya karakter Nicolas Cage viral karena hal yang ia lakukan di mimpi orang lain. Bayangkan hahaha… dibenci satu dunia karena hal yang tidak kita lakukan. Dibenci untuk hal yang dimimpikan oleh orang lain. Inilah yang bikin satir film ini jadi lebih menohok. Menyamakan perlakuan kita mengidolakan orang di sosmed atau menjudge orang lewat interpretasi sosmed dengan kalo kita ngejudge orang lewat hal yang ia lakukan di mimpi. Lewat hal yang cuma mimpi kita. Kocaknya deep banget hahaha

Jenius sekali film ini ngasih lihat kita seringkali kegocek sama fantasi kita sendiri. Selain itu film juga nyindir persoalan yang sejalan dengan gimana bunuh diri menjadi tren dramatis di sosmed. Yaitu bahwa kita suka berfantasi dengan trauma, seolah mengalami hal traumatis itu tren dan kita ‘berharga’ ketika mengalamin itu.

My Favorite Scene:
Aku bukan penggemar Cage, tapi kupikir di sinilah aku paling bisa melihat bahwa dia punya range yang luas, dan dia tau timing yang precise untuk nempatin akting-aktingnya. Dia bisa jadi grounded, bisa over the top, dengan mulus di sini. Momen yang paling kusuka adalah ketika mahasiswanya dikumpulin di lapangan basket untuk terapi, lalu dia disuruh masuk oleh terapis. Niatnya supaya mahasiswa tidak lagi takut melihat dia sebagai sosok nyata. Cara dia masuk ke hall, dan cara dia berjalan mendekat, kupikir itu lawak sekali karena kayak biasa-biasa saja tapi ada so many emotions di situ hahaha

 

 

 

 

 

 

2. THE HOLDOVERS

Director: Alexander Payne
Stars: Paul Giamatti, Dominic Sessa, Da’Vine Joy Randolph
MPAA: Rated R
IMDB Ratings: 8.0/10
“Every generation thinks it invented debauchery or suffering or rebellion, but man’s every impulse and appetite from the disgusting to the sublime is on display right here all around you”

 

Baru tadi pagi saat mau mulai nyusun daftar ini, aku membaca di Twitter soal pelajaran sejarah banyak yang dihapuskan di sekolah-sekolah. Aku langsung bayangin Pak Paul Hunham ngamuk soal ini, langsung bergaung quotesnya soal pentingnya sejarah bagi anak muda. Ya, film karya Alexander Payne ini memang menekankan gimana pentingnya kita untuk memahami ‘sejarah’ seseorang, dan diri sendiri, supaya bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik. Kinda melengkapi si The Boy and the Heron yang justru tentang menerima ‘masa depan’ untuk menjalani hidup.

Bungkus luar film ini awalnya kupandang remeh. Kirain tentang hubungan murid nakal dan guru galak yang terjalin saat sama-sama menghabiskan nataru di sekolah yang kayak penjara kosong. Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Tapi film ini much much more than that. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. Slot nominasi award ku yakin bakal penuh oleh dua, eh tiga ding, karakter sentral di sini.

Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.

My Favorite Scene:
Selain pilihan ending yang terus menantang karakter, aku paling suka saat Tully menodong gurunya dengan pertanyaan seputar ‘kesalahan’ yang si bapak lakukan di masa sekolah. Dialog mereka itu berlangsung sambil keduanya ngiterin rak etalase di toko. Buatku itu adegan dinamis yang bercerita lebih banyak dibanding yang ‘terdengar’ oleh kita. The way Tully terus mengejar, tak lagi menganggap gurunya boring. The way Paul berbelok menghindar. Momen kecil seperti itu yang bikin filmn sederhana tapi bisa sangat hidup.

 

 

 

 

Aku gak pernah ngerti kenapa sebelum mereveal ‘pemenang’ atau sesuatu di puncak, kita harus berhenti dulu. Katanya sih buat ‘ngebuild up’ antisipasi. Kalo di tv, bakal ada jeda iklan sebelum puncak award. Kalo di WWE bakal ada spot komedi atau promo video dulu sebelum pertandingan utama. Di blog sepertinya gak perlu karena kalian bisa tinggal scroll dan skip bagian ini. But I still made this paragraph anyway. Kalo dipikir-pikir lagi, sekarang aku membuat ini buat diriku sendiri. Karena aku butuh napas sebelum ngasih kejutan yang bahkan tak terpikir sebelumnya olehku untuk menjadikan ini sebagai kejutan. Bukan karena filmnya gak bagus loh. Justru karena bagus dan pantas banget makanya kayak, harusnya ini ada di daftar favorit banyak orang mau paling atas atau bukan. Harusnya dia jadi favorit udah bukan jadi kejutan.

So, inilah film nomor satuku di 2023. Film yang aku pikir paling underrated sepanjang tahun, karena dia film anak-anak, dan also somekind of film religi.

 

 

1. ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET.

Director: Kelly Fremon Craig
Stars: Abby Ryder Fortson, Rachel McAdams, Kathy Bates, Benny Safdie
MPAA: Rated PG-13
IMDB Ratings: 7.4/10
“What I learned about religion is that it makes people fight”

 

I did it. Dulu aku pernah kepikiran, mungkin gak sih kalo film religi bisa bercokol di posisi satu film yang kusuka. And here she is. Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age seorang gadis cilik dengan bahasan yang hanya berani diangkat oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama. 

Film ini bernas. Berani, tapi juga tidak terjebak. Margaret merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Tapi film tidak pernah memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret yang maksa hingga sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka. Sedangkan film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.

Ini yang bikin aku terenyuh karena tahu film ini punya hati di tempat yang benar. Tadinya aku nonton adaptasi novel anak populer ini karena pengen lihat Regina George jadi ibu. Aku gak expect film ini begitu indah dan menghangatkan hati. Film ini tahu topiknya bisa kontroversi tapi gak mau ke sana, bukan karena takut resiko. Tapi karena tahu mana yang lebih penting.  Singgungannya mungkin kena ke kita yang seringkali cenderung fanatik, tapi ini sesungguhnya lebih untuk berkait cantik dengan soal perkembangan anak. Biarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya itu.

I don’t think film kita sekarang berada di level yang berani dan mampu untuk ngangkat kisah dengan apa adanya dan tanpa tendensi seperti ini. Makanya film ini jadi juaraku. Film-film lain juga sama punya nilai urgent yang berharga, tapi aku paling inilah yang paling aku mau tidak pernah lupa ia ada.

 

My Favorite Scene:
Exactly adegan yang jadi petikan kukutip di atas. Setelah seharian kita melihat Margaret dan teman-teman dengan polos dan lucunya insecure dalam bertumbuh. Tiba malam hari, dia galau dan mencoba ngobrol dengan Tuhan. Tapi dia menemui kendala dan suatu malam dia hampir menyerah mencari Tuhannya:

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Itulah daftar Top Movies 2023 My Dirt Sheet. The magic word of the year is ‘URGENCY’. As in, film-film ini penting untuk kita tonton dan tidak kita lupakan, karena mereka important, dan takutnya mereka akan lost in the shuffle di tengah arus dan dominasi genre tertentu yang tampak semakin secure sehingga kualitasnya semakin tak terjaga.

Berikut lengkapnya 115 film yang sudah direview dan dinilai di sepanjang tahun:

Apa film favorit kalian di tahun 2023? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2024 ini?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

 

ANATOMY OF A FALL Review

 

“Being aware of how our actions affect others and acting accordingly leads to happy, strong relationships”

 

 

Seorang wanita menjadi tersangka pembunuhan suaminya. Dan anak mereka yang buta harus menghadapi dilema moral karena menjadi satu-satunya saksi utama di kasus ini. Begitu bunyi sinopsis IMDB film karya sineas Perancis, Justine Triet ini. Film yang dikemas sebagai drama kasus kematian, tapi dalam lapisan terdalamnya merupakan kemelut rumah tangga, seorang ayah dan seorang ibu. Seorang istri dan seorang suami. Dan anak yang ada di sana, mengalami efek dari semua, tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. ‘Anak yang buta’ di kisah ini serves sebagai both literal dan perumpamaan. Karena anak memang tidak akan bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan orangtuanya. Apakah mereka bahagia? Apakah mereka punya rahasia? Apa yang harus dipercaya?  Sehingga anatomi yang sebenarnya sedang diperiksa oleh film yang dengan brilian meng-cover semua perspektif ini adalah anatomi dari kejatuhan sebuah pernikahan.

Seperti inspirasinya, Anatomy of a Murder (1959), film Justine ini pun basically adalah sebuah courtroom drama. Sebagian besar adegan akan bertempat di ruang persidangan, tempat Sandra, sang ibu dalam cerita, menjalani sidang untuk membuktikan dia tidak bersalah atas kematian yang cukup janggal dari Samuel, suaminya. Jadi, kasusnya adalah Samuel ditemukan bersimbah darah di halaman rumah mereka yang bersalju. Tak ada jejak lain selain milik Daniel, anak mereka, yang menemukan mayat sehabis berjalan-jalan dari luar rumah bersama anjing penuntunnya. Diduga Samuel jatuh dari loteng, tempat dia bekerja. Nah, jatuhnya itu yang dipertanyakan. Melompat sendiri, kecelakaan, atau didorong oleh satu-satunya orang di rumah itu yaitu Sandra. Anatomy of a Fall juga sensasional seperti genrenya tersebut, tapi dalam sense yang berbeda. Kita memang akan terikut dalam menebak-nebak dan terperangah setiap kali ada ‘fakta baru’ terkuak di persidangan. Tapi ini bukan soal tentang gimana kasusnya secara eksak, gimana cara membunuh, gimana senjata pembunuh, alur kejadian, ataupun bahkan bukan semata soal siapa yang sebenarnya membunuh. ‘Siapa yang bersalah’ dalam film ini diarahkan oleh Justine agak keluar dari maksud persidangan yang cuma dijadikan outer layer, melainkan yang lebih penting adalah inner layernya. Untuk menyentuh soal bagaimana tragedi malang ini bisa sampai ‘terjadi’.

Kenapa musti lagu 50 Cent wkwkwk

 

Sandra dijadikan perspektif utama diniatkan supaya pembahasan kasus di persidangan itu lebih personal, karena yang ingin dicapai oleh film ini adalah menelisik seberapa jauh sebenarnya seseorang punya tanggungjawab terhadap orang lain. Dan keluarga sebagai unit terkecil dan terpersonal dari hubungan sosial yang komplekslah yang dijadikan sebagai objek studi kasus. Sandra Huller yang memerankan Sandra benar-benar tampak seperti ibu, istri, yang merasa dirinya tidak bersalah. Kepercayaannya itu yang terus diserang oleh tuduhan-tuduhan penuntut. Yang pada akhirnya membuat adegan persidangan itu jadi device film untuk membuat Sandra flashback dan memeriksa ulang perbuatannya. Yang membuatnya melihat momen-momen dia bertengkar dengan suami dari sudut yang lain. Sementara kita, penonton film akan merasa seperti ikut jadi hakim dalam relationship tersebut. Yang salah istri, atau suami. Ambigu yang dilakukan dengan brilian oleh film tidak hanya terbatas kepada matinya bunuh diri atau dibunuh. Melainkan juga berhasil membuat kita memikirkan ulang, siapa yang kita dukung di dalam hubungan mereka. Sementara apa yang mereka berdua lakukan sesungguhnya sama-sama berakar dari pilihan mereka untuk dealing with keadaan anak mereka yang penglihatannya terganggu karena kecelakaan.

Oh yea, sedikit banyaknya ini tentu saja jadi persoalan peran gender. Kita sering mendengar tentang suami yang gak bolehin istri bekerja karena membuat dirinya merasa seperti lelaki yang lemah. Kita sering mendengar soal cowok punya problem begitu ceweknya lebih capable. Cekcok rumah tangga antara Samuel dan Sandra basically mirip seperti ini. Keduanya sama-sama penulis, Tapi berada di titik kesuksesan yang berbeda. Dari pertengkaran di meja makan yang diam-diam direkam audionya oleh Samuel, kita tahu ini adalah masalah yang satu merasa dirinya berkorban terlalu banyak dibanding yang lain. Film dengan pintar memasukkan banyak hal-hal kecil untuk ‘membangun’ kasus tersebut, seperti soal bahasa yang mereka pakai di rumah. Walau tinggal di Perancis, Sandra yang asli German masih sering menggunakan bahasa Inggris, dan ini dianggap egois oleh Samuel karena sekali lagi dia yang harus nurut kemauan istri. Kemungkinan frustasi dan bunuh diri memang dibiarkan terbuka oleh film, sembari terus memperlihatkan hal-hal yang memberatkan Sandra. Membuatnya seperti yang dituduhkan oleh penuntut. Dan inilah yang harusnya jadi ‘journey’ karakter Sandra yang merasa dirinya tidak bersalah. Tidak bertanggungjawab atas kematian suaminya.

Well, memang benar kita tidak bertanggungjawab atas pilihan orang. Kita enggak bisa mengendalikan apa yang dirasakan oleh orang terhadap apa yang kita lakukan. Tapi toh efek atau konsekuensi itu pasti ada. Apa yang kita lakukan pasti ada ngaruhnya kepada orang lain. Hanya masalah ‘sebesar apa’. Film ini mengangkat argumen bahwa pilihan kita memang berdampak kepada orang sekitar. Pilihan seorang istri bisa mempengaruhi hidup suami, dan tentu saja berefek kepada anaknya. Tapi itu juga bukan berarti dia pantas untuk dipenjarakan karenanya.

 

Di dunia nyata aku setuju dengan keputusan sidang film ini. Bahwa kemungkinan besar Samuel bunuh diri, atau setidaknya tidak ada cukup bukti untuk memenjarakan Sandra. Kebohongan-kebohongan Sandra bisa dimaklumi karena dia juga memikirkan anaknya yang terpaksa harus ikut hadir mendengarkan semua masalah ‘belakang dapur’ keluarga mereka. Hanya saja, sebuah film harusnya karakternya at some point kalo gak bersalah, ya merasa bersalah. Supaya ada journey, dan dia gak benar-terus tanpa false believe sedari awal. Anatomy of a Fall ini menurutku kurang bisa mencuatkan journey Sandra tadi. Film ini membuat keputusan sidang disampaikan off-screen untuk mempertahankan ambigu, tapi yang jelas Sandra bebas tanpa tuduhan. Dan dia kembali ke rumah, bertemu kembali dengan anaknya. Poin-poin yang menunjukkan Sandra merasa bersalah selama proses sidang tidak benar-benar kelihatan, meskipun dari gimana naskah ini terdesain seharusnya hal itu seperti yang sudah kujabarkan. Sandra menangis di dalam mobil saat Daniel pada malam sebelum kesaksian terakhirnya bilang ingin sendirian bersama guardian saja di rumah. tidak terkesan sebagai tangisan karena dia merasa sadar telah membuat Daniel sebagai anak berada di posisi yang susah (harus memilih percaya ibu yang bunuh ayah, atau ayah bunuh diri), melainkan lebih seperti tangisan karena dia dan Daniel akan berpisah karena hal yang dia kekeuh tidak ia lakukan.

Pun arahan film untuk menjaga ambigu kadang terasa miss dan malah seperti membuat hasil sidang itu sendiri tidak benar-benar tepat (eventho hasil itulah yang terbaik bagi Daniel). Like, Daniel-lah yang dijadikan ‘kunci’. Tapi karakter Daniel itu sendiri dibuild up sepanjang durasi oleh film sebagai karakter yang juga unreliable. Daniel yang masih anak-anak, kesaksiannya sering berubah. Antara ingatan nyata Daniel dengan hal/kejadian yang ia bayangkan juga dibuat ambigu. Ketika penuntut mempersembahkan teori pembunuhan saat sidang, film memperlihatkan visual Sandra memukul Samuel hingga terjatuh yang ada di pikiran Daniel yang duduk di kursi hadirin. Ketika pengacara Sandra menjelaskan teori mereka tidak bertengkar, kita juga dibawa ke ingatan Daniel bahwa mereka memang tidak bertengkar. Sehingga ketika di menjelang akhir Daniel bersaksi bahwa ayahnya pernah mengucapkan sesuatu yang seperti sebuah pesan ingin bunuh diri, film memperlihatkan itu lewat visual adegan, enggak clear apakah adegan itu termasuk imajinasi/hal yang ingin diingat Daniel atau adegan dari hal yang memang terjadi.

Akting terbaik film ini justru datang bukan dari aktor manusia

 

Dengan membuat film berakhir tetap ambigu, film jadi kurang nendang dan malah bikin penonton penasaran sama hal yang bukan arahan atau goal film di awal. Aneh aja cerita ini berakhir dengan vibe lega, benar-bukan-salah-nya, apalagi penentunya adalah ingatan dari karakter anak kecil yang dibuild up sebagai unreliable oleh  naskah. Menurutku film akan bisa lebih impactful jika setidaknya ‘bersalah’nya si karakter ditegaskan. Supaya development dan journey yang diniatkan itu benar-benar terasa. Dan ini bukan miss dari aktingnya, karena everyone di sini benar-benar memerankan perasaan karakter mereka dengan baik. Bahkan anjingnya si Daniel aja total banget, aku belum pernah lihat pemain non-manusia berakting seperti itu hahaha.. Menurutku ini hanya sedikit over dari arahan saja yang pengen tetap ambigu. Ambigu itu bagus untuk membuat penonton tersedot dan penasaran dan ‘bicara’ kepada film. Sometimes ending ambigu juga keren banget bikin penonton terus mendiskusikan film. Tapi kalo journey, mestinya jangan terlalu ambigu.

 




Actually bisa merangkap dua genre – drama rumah dan drama courtroom – menjadi sajian yang berhasil bikin kita terinvest total. Awalnya cuma menebak pembunuh ala whodunit, lalu lantas berubah menjadi something yang lebih berisi untuk didiskusikan. Meninggalkan persoalan ‘siapa’ menjadi ‘kenapa’ dengan penceritaan yang sangat engaging dan dalem. Aku bisa paham kenapa film ini dinotice dan menang penghargaan. Penceritaannya ada di level yang berbeda. Film ini juga pesona yang membuatnya bisa diterima oleh penonton mainstream. Tapi juga pesona dari ambiguitasnya ini yang bagiku terasa kurang klop dengan desain yang diniatkan. Membuat journey karakternya kurang tercuat, dan jadinya kayak ngikutin kasus asli yang berakhir happy (bikin kita ikutan happy karena di real life jarang kasus berakhir happy) alih-alih sebuah story tentang manusia yang come off better people di akhir.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANATOMY OF A FALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, setelah film selesai, apakah kematian Samuel adalah sesuatu yang menyedihkan? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



LEAVE THE WORLD BEHIND Review

 

“Escapism sometimes is healthy… The problem is when people stay there”

 

 

Dunia maya harusnya jadi tempat pelarian. You know, stress dengan persoalan dunia nyata, kita bisa tinggal log in ke facebook menyapa teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa. Bisa main game have fun bareng. Kita bisa nulisin semua uneg-uneg, bonus langsung dikomen, udah kayak Ginny nulis di diary Voldemort. Bisa nostalgia lihat-lihat foto liburan beberapa waktu yang lalu. Tapi kemudian dunia maya kita got real. Social media meluas kebutuhan dan fitur-fiturnya. Kita sendiri yang bikin dunia maya jadi tempat nyata yang baru dengan terlalu banyak menghabiskan waktu di sana. Kita sendiri yang bikin diri tergantung sama teknologi-teknologi yang mengkoneksikan dunia nyata dengan dunia maya. Kalo sudah begini, lantas ketika dunia itupun ada masalah, kita kabur ke mana lagi? Aku pikir inilah yang berusaha dikatakan oleh Sam Esmail ketika dia mengangkat novel tulisan Rumaan Alam menjadi sebuah thriller bencana alam. Leave the World Behind, seperti yang disebutkan oleh judulnya; mengajak kita kabur ninggalin dunia. Kita dibawa ke dunia film, ke sebuah sajian hiburan, tapi untuk berefleksi terhadap kebiasaan kita mencari eskapisme. Sementara urusan hiburannya itu sendiri, well, aspek inilah yang ternyata memunculkan reaksi yang beragam dari penonton sekalian.

Sumpek sama rutinitas yang membosankan, Amanda bikin liburan spontan untuk suami dan kedua anaknya. Keluarga mereka hari ini akan liburan di kota kecil. Amanda sudah menyewa vila mewah lewat online, dan mereka sekeluarga akan bersantai di sana. Tapi senang-senang mereka tak berlangsung lama. Kejadian aneh mulai terjadi di sana. Internet, televisi, telefon mendadak tak berfungsi. Kapal dan pesawat pada karam. Dan tengah malam, dua orang asing, George dan putrinya, Ruth, mendadak mengetuk pintu rumah. Mengaku sebagai pemilik rumah, keduanya minta ijin menginap karena ternyata kekacauan komunikasi ini terjadi di seluruh negara bagian. Amanda tak tahu harus percaya atau tidak, sementara keadaan di luar semakin menjadi-jadi dengan suara dengung misterius yang bikin retak jendela, dan rusa-rusa yang bertingkah di luar normal.

Amanda adalah tokoh paling relate sekali saat dia bilang “I hate people”

 

Thriller bencana alam jadi dapat makna baru berkat film ini. Karena di sini, kita ataupun para karakter cerita tidak pernah benar-benar tahu apa persisnya ‘bencana alam’ yang sedang terjadi. Yang jelas efeknya bikin kecelakaan di mana-mana. Bikin hewan-hewan bertingkah aneh. Apakah ini semua buatan manusia? Apakah dari makhluk asing – alien? monster? hantu? Apakah lagi ada perang? Kalo iya, antara siapa lawan siapa? Siapa yang menghack satelit sehingga sistem komunikasi jadi kacau balau? Teroris dari negara mana? Apa yang mereka incar? Konspirasi apa yang sedang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantam karakter silih berganti, membangun ketegangan yang nyampe ke kita juga sebagai teka-teki. Kita pengen jawaban. Karena ini film, maka kita butuh penyelesaian dan semua itu harus terjawab supaya kita tahu apa yang sebenarnya kita tonton, kan?

Well, rancangan film ini justru untuk memerangkap kita ke dalam tanda-tanya tersebut. Jawaban yang diberikan cuma satu: tidak ada definitive answer. Loh kok? Karena tujuan film ini adalah supaya kita melihat ke karakter-karakternya. Ini bukan sekadar cerita yang menempatkan karakter di situasi aneh, lalu mereka mengalahkan situasi tersebut. Survive, atau malah jadi korban dari situasi itu. Bukan. Flm ini ingin kita berefleksi kepada karakter-karakternya. Amanda dan suaminya tentu saja pengen menjaga keselamatan keluarga mereka. Begitu juga dengan George, kepada putrinya. Dua keluarga ini adalah orang-orang normal, tapi mereka harus bekerja sama di tengah situasi yang benar-benar membuat mereka tak tahu apa-apa, melainkan jadi saling curiga. Layer ras ditambahkan oleh naskah, supaya situasi semakin intens. Karena both Amanda dan Ruth, diam-diam punya prasangka terhadap warna kulit yang berbeda dengan mereka. Prasangka yang tumbuh dari mana lagi kalo bukan dari media dan informasi yang selama ini mereka konsumsi. Tapi sekarang mereka semua terputus dari semua sumber informasi. So there’s no answer. Sama kayak kita. Gak ada jawaban pasti dari covid, perang, politik, ataupun peristiwa-peristiwa lain yang ada di dunia kita. Kita hanya bisa menyimpulkan masing-masing dari informasi yang kita dapatkan dari media, dari internet. Kita ambil mana yang ‘cocok’ dengan kita. Sekarang bayangkan kalo suapan informasi itu mendadak distop. Secara teori, mestinya kita lebih ‘tenang’. Tak ada ribut di sana-sini. Tapi film ini menunjukkan keadaan justru menjadi kacau, karena karakter-karakternya perlu kembali belajar, perlu kembali jadi gelas kosong, tentang bagaimana mempercayai sesama manusia.

Inilah alasannya kenapa film bertabur cast yang bukan kaleng-kaleng. Julia Roberts jadi ibu ansos yang curigaan, Ethan Hawke jadi ayah yang lebih open minded tapi ternyata dia juga masih punya prasangka. Mahershala Ali jadi family man yang lebih nyaman berahasia. Kevin Bacon jadi redneck parnoan yang gampang termakan teori konspirasi sehingga jadi kayak Karen versi cowok. Interaksi karakter-karakter ini, aksi dan reaksi mereka dalam berusaha memahami apa yang sedang terjadi di dunia mereka, jadi elemen volatil yang membuat film ini pantas menyandang genrenya sebagai thriller. Menonton ini, bagiku rasanya desperate sekali. Desperate ingin mengattach diri kepada salah satu, tapi masing-masing punya flaw dan aku berpindah-pindah sehingga merasa aku berada di ruang tengah berdinding kaca itu. Berdiri di sana, dan benar-benar terjebak situasi membingungkan tersebut. Cara film mereveal poin-poin juga terukur. Di satu adegan film seperti menuduhkan penyebab kepada satu kelompok tertentu, untuk kemudian di adegan belakangan membuka bahwa itu cuma tuduhan kosong. Sehingga kita yang nonton, dan ada yang percaya sama tuduhan di awal jadi ikut kecele.

Atau bisa juga judul film ini Final Destination: Death by Tesla

 

Kebingungan, misinformasi, ternyata adalah bencana yang diangkat oleh film ini. Alamnya adalah manusia. Jadi ini sebenarnya adalah bencana kemanusiaan. Itulah sebabnya kenapa film memilih untuk tidak memberikan jawaban, Memilih untuk jadi bahan refleksi. Sendirinya adalah media, film ini sadar dirinya adalah bagian dari ‘tempat kabur’ manusia dari masalah. Sehingga masalah eskapisme ini akhirnya bukan hanya mereka gambarkan, tapi mereka pilih sebagai pembungkus narasi. Akhir film akan memperlihatkan Rosie, putri bungsu Amanda – yang sepanjang durasi cerita punya satu keinginan yakni menamatkan nonton serial Friends, tapi gak bisa karena service streaming mati – akhirnya menemukan cara untuk menonton episode terakhir serial tersebut. Ending film mutlak bikin kesal sebagian besar penonton, karena membuat film terasa benar-benar tidak memuaskan. Like, ngapain capek-capek penasaran dan tegang tapi ujung-ujungnya cuma kayak tentang anak kecil nonton Friends. Aku yang paham fungsi dari adegannya yang dipilih begitu aja, kesal juga. Film ini benar-benar nyeleneh dan gak peduli sama struktur. Oh, karakternya memang ada development terkait jadi saling percaya. Ceritanya juga punya chapter-chapter tersendiri. Tapi di samping peningkatan intensitas, film ini sama sekali minimal dalam ‘sebab-akibat’. Hanya seperti episode-episode ganjil, yang ditutup oleh ‘selera humor’ ironis.  Yang seperti mengenyahkan build up misteri begitu saja. Ini sungguh resiko yang gede, tapi film ini knowingly, dan aku bisa bilang – proudly – mengambil resiko tersebut.

Leave the World Behind adalah soal eskapisme. Kesel-kesel begini, toh aku relate dengan Rosie. Di tengah hingar bingar politik, atau bahkan saat ribut-ribut vaksin dan konspirasi ini itu, aku hanya duduk di ruangku sendiri. Cuek sendiri. Nonton film, serial, WWE, main video game. Itu serial Friends-ku. Apakah dengan punya ‘tempat kabur’ itu membuat aku lebih baik dari orang lain, menurut film? No. If anything, itu hanya membuatku jadi orang yang belum dewasa, seperti Rosie. Dunia udah mau kiamat, tapi yang dipikirin masih aja film. Hidup di dunia sendiri, juga akhirnya tidak akan baik, apa bedanya nanti sama orang paranoid seperti karakter Kevin Bacon yang sudah persiapan tapi merasa dirinya yang paling benar. Kita juga gak pernah tahu apakah Rosie akan membiarkan para orang dewasa menemukannya. Bisa jadi dia berkurung sendiri nonton Friends itu berulang-ulang. Menurutku, pada akhirnya film ini cuma mau bilang:

Media, seni, dunia maya adalah bentuk dari eskapisme. Yang sebenarnya adalah sesuatu yang menyehatkan dan perlu bagi kita untuk punya something sebagai bentuk eskapisme. Supaya kita bisa healing dari reality. Supaya kita gak berpikiran sempit, gak terkurung, kita butuh melihat atau melakukan sesuatu di luar sana. Tapi lantas, eskapisme tak lagi healthy jika kita memilih untuk terus-terusan kabur. Abai dari real problems. Bahkan lebih buruk terkurung di sana ketimbang di dunia nyata.

 

 




Dunia udah terlalu bergantung kepada internet, sehingga begitu internet lenyap, kehidupan terputus total. Padahal awalnya internet dan teknologi diciptakan untuk memudahkan saja. Manusia escape dari dunia nyata ke sana, dan malah ‘stay’ di situ. Film ini jadi cerminan tentang itu. Dan film rela ‘ngerusakin’ dirinya sendiri demi itu. Aku sendiri minta maaf kalo review ini gak benar-benar explained kejadian di film, karena filmnya sendiri memang tidak memberikan jawaban.  Film menjadikan diri seperti jurnal mahasiswa suaminya Amanda “media yang both berfungsi sebagai sebuah eskapis dan sebuah refleksi” Hal yang bahkan disebut oleh sang suami sebagai sesuatu yang bertentangan. Film ini senekat itu. Jadi thriller teka-teki yang aneh yang bahkan ‘twist’nya gak bakal kepikiran sama M. Night Shyamalan, aku rasa. Kirain bencana alam, taunya bencana kemanusiaan. Darurat kemanusiaan. Kita tanpa sadar meninggalkan dunia kita jauh di belakang. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LEAVE THE WORLD BEHIND

 




That’s all we have for now.

Aku pikir, bahasan film ini kalo diterusin bakal nyambung ke bahasan pas Budi Pekerti kemaren. Kenapa hal-hal di sosial media itu dianggap penting, like, tidakkah minta maaf cukup dengan dikatakan langsung antara si bersalah dengan yang jadi korban? Kenapa harus banget dilakukan secara publik di sosial media? Menurut kalian mungkinkah di titik ini kehidupan sosial kita kembali seperti ke era sebelum ada internet?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



THE BOY AND THE HERON Review

 

“Because you are a beautiful lie and I am  a painful truth”

 

 

Bagaimana menjalani hidup dengan benar? Caranya adalah dengan mengingat dan memahami kematian. Jawaban tersebut bisa kita dapatkan dari ajaran agama, atau dari menonton karya terbaru Hayao Miyazaki, sang Bapak Studio Ghibli. Sudah bukan rahasia, film-film Pak Hayao selalu personal, penuh makna, dan luar biasa menakjubkan lewat simbol-simbol dunia ajaib yang surealis. Namun The Boy and the Heron ini, bahkan lebih deep, dark, dan personal lagi. Kisahnya yang tentang seorang anak laki-laki yang kehilangan ibu akibat perang boleh saja bermula dengan kejadian yang berdasarkan pengalaman hidup Pak Hayao semasa kecil, tapi film ini berakhir dengan sesuatu yang seperti mencerminkan ujung dari dunia animasi magis buatannya sendiri. Film ini bisa jadi adalah hadiah terakhir dari Hayao Miyazaki kepada kita. Bagaimana kita hidup di dunia tanpa film-filmnya?

Fantasi, anak, dan perang. Hayao Miyazaki is up there untuk film-film yang bermain di tema tersebut (for me, he followed by Guillermo del Toro)  Hayao bicara tentang  kehilangan, duka, tragedi tapi lewat dunia fantasi yang menakjubkan. Dia tidak melihat itu sebagai musuh yang harus ditakuti, ataupun menjadikan sebagai sebuah pengalaman yang mengeksploitasi. Hayao, malahan, membuatnya sebagai entitas yang harus dihadapi. Dipelajari. Dihormati. Ini yang juga ia lakukan kepada tema kematian dalam The Boy and the Heron. Anak laki-laki dalam cerita ini, Mahito, menyongsong babak baru dalam hidupnya. Setelah ibunya tewas jadi korban perang, Mahito dibawa ayah pindah ke daerah pedesaan Tokyo. Hidup bersama istri ayahnya yang baru. Meskipun nurut, toh kita melihat penolakan itu dalam sikap Mahito. Penolakan untuk menganggap Natsuko sebagai ibu. Penolakan untuk nerima kenyataan ibunya bakal tergantikan. Inilah yang membuat Mahito diledek oleh burung cangak (sejenis bangau) yang bisa bicara yang secara misterius muncul di area sekitar rumah mereka. Cangak itu menyebut bahwa ibu Mahito masih hidup, dan ada di dalam reruntuhan menara di hutan. Dan bahwa Natsuko juga pergi ke sana. Dengan panah dan busur buatannya sendiri, Mahito pergi ke menara. Mencari ibunya. Meskipun dia tahu Cangak Abu itu berbohong. “I know it’s a lie, but I have to see” katanya mantap sebelum masuk ke ‘perangkap’ yang membuatnya terjebak di dunia sureal di bawah sana.

Kenapa translatenya enggak bangau aja ya? Atau burung kuntul sekalian. Judulnya jadi Anak Laki-Laki dan si Kuntul haha

 

See, Mahito sama sekali tidak takut sama Heron (kita manggilnya Heron aja lah ya hehe) yang menjebaknya. Dia sudah mempersenjati diri, fisik dan mental, untuk melawan tipu daya Heron. Yang actually, Heron ini kocak, karena ada dialog ambigu si Heron yang dengan bangga bilang “Benar, semua yang aku sebutkan adalah bohong” yang lantas ditembak oleh Mahito “Berarti itu bohong juga dong?” Mahito dan si Heron memang dalam perjalanan menjadi berkawan, mereka akan bekerja sama untuk ke puncak menara. Tempat kakek buyut Mahito selama ini bersemayam. Hayao Mayazaki kali ini memang benar-benar menyatukan dunia nyata dan fantasi, keanehan yang dilihat Mahito juga direcognized oleh karakter manusia lain. Petualangan yang dialami Mahito bukan terjadi di dunia mimpi yang bakal ngasih dia pembelajaran, melainkan benar ia lakukan. Realitas dalam cerita film ini memang didesain sebagai realitas dengan keanehan-keanehan. Yang bekerja di dalam konteks tema cerita, yaitu tidak takut kepada hal yang tidak kita mengerti. Seperti halnya Mahito yang tidak takut dengan keanehan dan kebohongan Heron. Mahito justru takut sama dunia nyata, dunia di mana dia harus punya ibu dan hidup baru. Saking gak siapnya Mahito dengan sekolah baru, dia sampai nekat melukai kepalanya sendiri dengan batu. Adegan yang bikin aku kaget, dan sejujurnya aku struggling untuk melihat kepentingan adegan self-harm di film yang harusnya untuk tontonan keluarga. Sampai di menjelang akhir, naskah akhirnya mengikat adegan tersebut dengan pembelajaran yang beautiful seputar sikap penerimaan dan penyadaran Mahito.

Dengan tema dan desain begitu, menurutku ada benarnya film ini juga adalah film ‘terberat’ dari Hayao Miyazaki. Film ini menantang kita untuk memahami emosi Mahito di lingkungan rumahnya yang baru. Mahito yang jarang bicara dan menutup diri. Film ini menantang kita untuk menyelami dan melihat makna di balik kejadian-kejadian dan karakter-karakter aneh yang ditemui oleh Mahito nanti selama petualangannya dalam menara. Karena di dalam sana, dia akan bertemu banyak banget hal-hal di luar nalar. Mulai dari rombongan makhluk imut putih, kawanan pelikan pemakan makhluk lain, tentara burung parkit, dan bahkan versi lain dari ibunya sendiri. Garis besar yang bisa aku sebutkan tanpa membuat review ini jadi ‘walkthrough spoiler’ adalah semua kejadian dibuat dengan maksud mempersiapkan Mahito untuk memahami kematian. Karena inilah yang dibutuhkan Mahito supaya dia bisa melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Mahito harus bisa melihat makna hidup lewat mengerti tentang kematian, menurut karakter-karakter di sekitarnya. Kita bahkan bisa menangkap sedikit komentar tentang perang dan dampaknya terselip sebagai layer dalam cerita.

Ada anekdot menarik yang pernah aku baca soal Kehidupan dan Kematian. Jadi, Life bertanya kepada Death “Kenapa manusia mencintaiku, sedangkan dirimu sangat mereka benci?” Death dengan kalem menjawab “Karena kamu adalah kebohongan yang indah, sedangkan diriku adalah kebenaran yang menyakitkan”. Anekdot tersebut membantuku mencerna film ini lebih lanjut. Karena persis itulah yang sebenarnya yang dikatakan oleh film. Bahwa kematian tidak lebih dari sebuah kenyataan pahit. Bahwa semua hal akan menemui ‘ajalnya’. Bahwa semuanya fana. Tinggal kitanya saja yang mempersiapkan diri menyongsong kenyataan tersebut tiba.

 

Karena ini film yang personal, maka membaca film ini pun udah kayak membaca Hayao Miyazaki sendiri. Seperti menapak tilas film-filmnya selama ini. Karena penonton yang familiar dengan karyanya, akan merasakan The Boy and the Heron ini seperti sangat akrab. Not just in sense, karena memang sudah ciri khasnya membuat film seperti begini. Tapi on a deeper level, kayak sebuah self-tribute dari orang yang sedang melihat ke belakang, ke dalam dirinya sendiri. Di dalam cerita, kakek buyut Mahito membangun dunia sureal fantastis ini dan dia ingin Mahito meneruskan pekerjaannya. Dia ingin Mahito tinggal di sana, menjaga agar dunia tersebut tidak runtuh. Karena dia ngerasa gak sanggup. Dunia yang mestinya damai tanpa perang seperti dunia nyata itu, nyatanya tidak semenangkan itu. Burung-burung yang masuk ke sana jadi ganas. Penulisan story tersebut terasa seperti self-realization dari Hayao Miyazaki. Bahwa dunia-dunia yang dia bangun selama ini, yang dia ciptakan dalam film-film indah itu, tetaplah sebuah fantasi. Dan akan berakhir. Bahwa dia gak bisa menciptakan itu selamanya. Ada titik di mana dia harus berhenti. Titik di mana cerita-cerita itu ‘mati’. But also, Hayao tampak bergulat dengan dirinya sendiri lewat karakter anak-anak Mahito, tak akan ada hal yang benar-benar ‘mati’. Ibu masih akan tetap hidup di hati Mahito yang bakal tumbuh dan menjalani hidup. Begitu juga karyanya, akan tetap hidup abadi lewat kita-kita penontonnya, hingga generasi-generasi selanjutnya.

Supaya konsisten dengan tema unggas; film ini bisa jadi adalah swan song-nya Hayao Miyazaki.

 

Sayangnya, dari yang kulihat di studioku menonton, aku merasa resepsi penonton kasual terhadap film ini agak datar. Like, fakta bahwa kita bisa menyaksikan animasi magis Ghibli di layar lebar aja mestinya udah cukup untuk bikin “wah-wah” sendiri. Tapi aura yang kurasakan di studio saat itu biasa saja. Kayaknya film ini bakal mirip kayak Elemental (2023) waktu tayang musim panas lalu. Penonton expecting petualangan yang dahsyat, sehingga gak sadar sebenarnya film ini sedang bekerja wonderful dalam konteks dan bahasan yang ingin disampaikan. Also, kita sering agak terlalu cepat ngejudge film dengan tema berat sebagai film yang lambat, sebagai aneh dan gak jelas. Padahal film ini naskahnya berhasil mengembangkan dengan seksama konflik personal yang dirasakan oleh Mahito. Karakternya distant by design karena begitu cara dia awalnya berusaha dealing with kehilangan ibu. Sepuluh menit pertama, vibe ‘dark’ dan sureal itu sudah dilandaskan kuat oleh naskah. Adegan opening yang Mahito di antara orang-orang di area yang kebakaran, dengan visual api dan sosok-sosok manusia yang berdistorsi, kurang apa coba itu melandaskan seperti apa film ini nantinya. Jangan harap film ini menyuapi kita dengan apapun. Karena bahkan pengungkapan informasi penting pun, misalnya pengungkapan hubungan antarkarakter siapa dan apa, dilakukan oleh film dengan natural tanpa aba-aba yang menuntun “oh ini bakal masuk bagian penting”. Film menampilkan dirinya sebagai dunia mimpi, untuk kita eksplorasi dan pahami sendiri. Hebatnya film ini justru karena kita ikut menyelam, menguak, merasakan, dan berubah bersama karakternya.

 




Untuk menjawab pertanyaan sendiri di awal tadi, no I can’t. Studio Ghibli tahun-tahun belakangan ini struggle terus, setiap film barunya keluar- bahkan yang bukan buatan Hayao, kesannya seperti film terakhir terus. Tapi aku selalu percaya Hayao Miyazaki bakal comeback, mendaratkan film Ghibli kembali ke tengah-tengah kita. Aku gak bisa membayangkan kalo ini bakal beneran jadi film terakhirnya. That’s why aku gak bakal ngupdate list Top-8 Film Ghibli Favoritku dengan film ini. Bukannya karena jelek, atau aku tak suka. Film ini menceritakan hidup-mati dengan konsep yang wonderful. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik, seperti yang biasa mereka lakukan. Aku hanya belum mau mengakui bahwa ini adalah end of an era. Aku berharap bakal ada lagi film ajaib yang bikin aku mengubah list itu. Ya, turns out, aku lebih keras kepala daripada Mahito.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE BOY AND THE HERON

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli selama ini? Sebesar apa menurut kalian peran film-film mereka terhadap sinema atau kalian sendiri personally?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE HOLDOVERS Review

 

“Our history is not our destiny”

 

 

Bahkan sutradaranya sendiri gak nyangka filmnya yang tentang karakter terpaksa harus menghabiskan libur natal di sekolah asrama ini ternyata begitu menyentuh bagi banyak orang. Alexander Payne, dalam wawancara media, menyebutkan bahwa dia sampai agak dongkol juga ketika banyak yang menyebut film ini ‘menghangatkan’. Lucu sih, kayaknya baru kali ini ada sutradara yang ‘protes’ filmnya dibilang bagus. Tapi aku yakin itu bukannya dia gak suka sama sambutan penonton, bukan karena Payne gak berniat bikin film bagus, But, terakhir kali Payne bikin film itu adalah tahun 2017, dan antara tahun itu hingga sekarang, dia mungkin gak sadar betapa relatenya penonton sekarang dengan keadaan ‘terkurung di suatu tempat’. The Holdovers buatannya actually delivered salah satu perasaan tergenuine, termanis, ‘terhangat’ yang bisa hadir dari situasi tersebut. Karena film ini memang bukan drama komedi tentang guru dan anak murid bandel yang biasa. Karater-karakternya yang masing-masing punya ‘sejarah’ ditulis dengan demikian bernyawa.

Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Paul Giamatti jadi Paul Hunham, guru sejarah galak yang bukan saja killer di dalam kelas kepada murid-muridnya, dia juga nyebelin di luar kelas, bahkan kepada kolega-koleganya.  Pokoknya orangnya unpleasant-lah, baik itu ketika diajak ngobrol ataupun sekadar dipandang. Kelainan pada matanya bikin lawan bicara canggung harus melihat ke mana. Bahkan naskah menambahkan satu lagi, muridnya gak suka deket-deket karena si bapak ini punya kelainan bau badan! Menjelang natal di sekolah asrama Katolik khusus cowok itu, Paul disuruh tinggal di sekolah – sebagai bentuk hukuman. Paul disuruh jadi pengawas bagi murid-murid yang juga gak pulang ke rumah, karena berbagai alasan orangtua masing-masing tidak atau belum bisa menjemput mereka ke sekolah. Murid-murid Pak Paul juga gak kalah ‘parodi’nya. Mereka anak-anak orang kaya, yang dengan cepat dijudge oleh Paul sebagai anak-anak manja tapi sok begajulan (dengan nilai akademik pas-pasan, kalo ini fakta!) Dan memang mereka semenyebalkan itu. One of them adalah Angus Tully (diperankan oleh newcomer Dominic Sessa) Actually, Tully-lah yang jadi satu-satunya anak yang beneran tinggal di sekolah sampai liburan usai. Satu-satunya anak yang harus mendekam bersama Paul yang sudah bulat tekad untuk menjadikan liburan itu sebagai gak ubahnya sebuah jadwal semester pendek.

Bayangkan kalo Argus Filch – caretaker di Hogwarts – jadi guru, begitu kira-kira ‘menyenangkannya’ Pak Paul.

 

Kalian tahu-lah yang terjadi sesudahnya. Paul dan Tully yang bisa dibilang saling antipati, perlahan jadi semakin dekat. Proses mereka menjadi udah kayak ayah kepada anak yang tak pernah ia punya dan sebaliknya itulah yang wonderful sekali dilakukan oleh film ini. Karakter-karakter itu tidak lagi seperti karikatur atau parodi stereotipe begitu film perlahan membuka sisi humanis mereka. Selapis demi selapis. Karena ini cowok yang sedang dibicarakan. Cowok gak main duduk dan saling curhat bicarakan masalah emosional mereka. Cowok mengubur sisi vulnerable mereka ke balik tembok yang menurut mereka paling keras. Dari situlah datangnya sikap tak menyenangkan mereka. Sementara sisi vulnerable yang tersimpan tersebut didesain oleh film ke dalam tema yang mengait kepada identitas cerita dan karakternya. Yaitu sejarah. Paul yang guru sejarah, tentu paham bahwa apa yang terjadi di masa sekarang sebenarnya sudah pernah terjadi di masa lampau. Bahwa masa sekarang hanyalah cerminan dari masa lalu. Paham teori sejarah bukan lantas ngerti mengarungi kehidupan. Justru itu yang dibuat oleh film sebagai false-believe Paul. Karena dia percaya dia sekarang harus bertindak sesuai dengan yang dilakukan di masa sekolah dulu. Bahwa dia terperangkap di keadaannya yang sekarang karena tuduhan yang ia terima di masa lalu. Juga, pemahamannya tentang bagaimana sejarah bekerja membuat dia salah menilai para murid seperti Tully. Enggak semua anak orang kaya jadi menyebalkan di asrama karena mereka dimanjakan oleh kenyamanan di rumah. Justru sebaliknya. Tully punya masalah yang sangat gak enak untuk dialamin oleh seorang anak, kaya atau miskin. Enggak diinginkan di rumah! Berkenaan dengan sejarah/masa lalu, Tully juga dibuat oleh naskah punya false believe dia percaya dia akan tumbuh menjadi ‘rusak’ seperti ayah kandungnya.

Dalam perkembangannya, kedua karakter akan jadi saling belajar. Sebagaimana Tully belajar bahwa pelajaran sejarah sebenarnya tidak semembosankan yang diajarkan di kelas, dia juga jadi sadar bahwa dengan mengetahui cerita siapa gurunya di masa lalu, dia melihat sang guru jadi sosok yang bukan saja menarik untuk dikenal lebih dalam, melainkan juga relate dan ya, akrab. Paul bahkan belajar dari Tully bagaimana menjadi guru yang lebih baik, di dalam maupun luar kelas. Bagaimana menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mau ‘membaca’ cerita masa lalu mereka tanpa judgment. Stake mereka gak muluk-muluk. Tapi seru, karena kontras. Meskipun mereka sebel harus habisin liburan di sekolah yang dingin dan televisinya cuma satu dan basically penjara, mereka pengen bertahan di sekolah itu. Paul merasa hanya sekolah itu yang mau mempekerjakan orang sepertinya. Tully gak mau dikirim ke sekolah militer. Jadi mereka harus menjaga sikap, sementara kebutuhan mereka untuk dealing with ‘sejarah’ masing-masing bakal membuat mereka mempertaruhkan itu semua.

Ada cerita di balik setiap orang. Her story, his-tory.  Apapun itu. Semua orang punya kisah yang menjadi alasan kenapa mereka menjadi seperti diri mereka yang sekarang. Kita tidak untuk menjudge mereka berdasarkan kisah masa lalu tersebut. Karena sejarah itu bukanlah takdir. Tully bukan lantas jadi bapaknya. Paul bukan lantas harus terus bersikap berdasarkan kesalahannya di masa lalu. Kita punya pilihan untuk tidak mengulangi sejarah. Kita punya pilihan untuk meneruskan kisah hidup kita sendiri.

 

Kekuatan arahan dan tentu saja akting dari kedua karakter sentral ini membuat perjalanan karakter mereka tersampaikan dengan sangat mengalir. Kita melihat mereka sebagai human being, alih-alih sebagai parodi ataupun karakter yang berkembang dengan formulaic. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. I think this is the best dari Paul Giamatti sejauh film-filmnya yang sudah kutonton dan kuamati. Selalu bukan hal gampang bikin protagonis orang yang tak disukai, serta tak muda, Giamatti berhasil memberikan hati kepada karakternya. Ketika dia berjuang membuka diri untuk sebuah potensi hubungan romantis, kita peduli, aku bahkan ikut was-was gimana nanti dia mengakali masalah bau badannya supaya semua lancar.  Dominic Sessa, dalam film panjang debutnya ini, sanggup toe-to-toe dengan aktor sekelas Giamatti. Penampilannya di sini bakal certainly put him on the Hollywood map!

Film dengan sengaja bikin mata-besar Paul gak konsisten kanan atau kiri supaya kita ikut merasakan kecanggungan saat menatapnya

 

Soal sejarah adalah cerminan ini juga terpampang nyata pada desain film. Salah satu yang paling sering jadi keluhanku buat film-film modern yang berniat memotret masa lampau entah itu 80an atau 90an adalah, feeling pada masa itu sering meleset. Film-filmnya sering belum berhasil mengemulate vibe periode yang ingin ditampilkan. Istilah singkatnya, film-filmnya masih terasa modern, tidak terasa seperti film yang dibuat pada tahun tersebut. Layarnya masih jernih. Suasananya masih kekinian. Cara karakternya bersosialisasi masih kayak orang yang berusaha tampil oldies. The Holdovers berhasil tersulap seperti beneran film yang dibuat tahun 70-80an. Cara karakternya membawa diri. Suara mereka. Musiknya. Suasana asrama dan kotanya. Bangunan-bangunannya. Semuanya terasa benar punya vibe klasik. Bahkan layarnya tampak grainy, dengan saturasi yang tepat, plus musim salju. Secara ‘luar’ film ini tampak dingin, distant. Tapi begitu kita memasuki ceritanya, karakternya, ada suatu kehangatan. Harus ada yang ngasih tahu Payne bahwa misi dia ngehasilin vibe dingin itu sebenarnya toh memang berhasil, tapi kehangatan dari journey karakternya bikin penonton ikut meleleh.

‘Kasih sayang’ memang berhasil digambarkan oleh film, terhampar lewat perasaan. Merayap tanpa sadar pada karakter-karakternya. As in, mereka tanpa sadar telah menjadi keluarga. Film ini actually punya hal yang membedakannya dari film-film sejenis. Like, kalo tentang guru dan murid saja, apa bedanya dia sama Dead Poets Society (1989), kan? Film ini punya ‘pihak ketiga’ yang bukan saja berfungsi sebagai penengah, tapi juga sebagai ‘mother figure’ yang menjembatani dua karakter sentral dengan cinta dan kasih sayang yang keduanya sama-sama kekurangan dalam hidup (Paul belum pernah menikah, Tully terabaikan oleh ibunya). Pihak ketiga itu adalah karakter Mary yang diperankan juga tak kalah luar biasanya oleh aktris kulit hitam Da’Vine Joy Randolph. Tukang masak di asrama. Ibu-ibu yang baru saja kehilangan putra, keluarga satu-satunya, di medan perang. See, lapisan dunia cerita semakin bertambah dengan kehadiran karakter ini. Kaki ketiga yang jadi fondasi kokoh dalam bangunan penceritaan film. Karena bahasan personal film jadi merambah ke tragedi masa lalu kolektif rakyat. Tragedi perang yang mengorbankan anak-anak muda. Film ini juga berusaha men-tackle persoalan ‘sejarah’ itu lewat karakter Mary. Karakter yang benar-benar telah kehilangan cinta yang pernah singgah kepadanya, tapi tidak sekalipun dibikin sebagai karakter putus asa.

 




Ini benar-benar di luar dugaan remehku. This is no raunchy coming of age comedy tentang anak muda dan guru galak kayak, The Inbetweeners, misalnya. This is not even a quirky inspirational drama kayak Dead Poets Society. Karya terbaru Payne ini somewhat seperti di tengah-tengahnya. Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE HOLDOVERS

 




That’s all we have for now.

Cerita keluarga di sekolah asrama Katolik, di liburan natal. Basically film ini adalah film ‘religi’. Hanya saja pembahasannya tidak lewat ayat-ayat melainkan melalui sudut kemanusiaan. Kenapa film kita belum banyak yang seperti ini, like kita belum nemu film berlatar pesantren yang ‘ajaran agamanya’ ada di dalam permasalahan manusiawi aja, tanpa perlu ceramah ayat-ayat dan sebagainya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL