GAMPANG CUAN Review

 

“There’s no such thing as an overnight success or easy money”

 

 

Anak sulung punya tanggung jawab besar. Apalagi cowok. Merekalah yang pertama kali bakal step up menggantikan ayah sebagai kepala keluarga. Makanya anak sulung kudu bisa jadi pemimpin dan pelindung bagi adik-adiknya. Jadi suri tauladan. Jadi pedoman. Jadi acuan. Harus bisa cari cuan. Komedi Gampang Cuan dari Rahabi Mandra, buatku pertama dan utama sekali, adalah tribute buat perjuangan anak sulung terhadap keluarganya. Di balik kejenakaan dari usaha-usaha ‘ekstrim’ yang dilakukan protagonisnya – hingga menyerempet garis kriminal – ada kisah hangat tentang gimana seorang anak sulung berusaha mengemban tanggungjawab, walaupun dia gak begitu ahli atau bahkan gak tahu dengan apa yang akan ia lakukan. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, yang merantau, dan yang juga belum sukses-sukses menuhin janji itu, I do find film ini sebagai sajian relate yang bukan hanya menghibur (karena tak jarang memberikan momen-momen untuk ngetawain kebegoan/kemalesan sendiri) tapi juga jadi tontonan yang jadi semacam penyemangat, atau boleh juga dibilang cautionary tale, untuk tetap berusaha di jalan lurus sekalipun demi cuan.

In today’s economy – waduh udah kayak dunia dalam berita – mencari cara cepat untuk bisa kaya raya jadi usaha yang digemari orang ketimbang bekerja itu sendiri. Bekerja itu terlalu lambat, sedangkan kita butuh cuan dengan segera. Dengan ‘cuma-cuma’. Setidaknya ada empat cara populer yang ditempuh untuk orang nyari cuan di masa sekarang; jadi influencer, jadi calo tiket konser, minjem online, dan main saham. Main saham inilah yang jadi fokus cerita dalam Gampang Cuan. Sultan enggak bilang-bilang sama ibu dan adik-adiknya di Sukabumi kalo dia udah dipecat. Sultan ngakunya kerja di kantor gede, hanya gajinya belum cair sehingga dia belum bisa ngirim duit untuk kuliah adik bungsunya. Ataupun buat bayar utang, yang by the way dia juga gak bilang ke keluarga kalo lagi terlilit utang dengan jumlah bejibun. Ketika adiknya yang tengah, Bilqis, diam-diam nyusul ke Jakarta, barulah Sultan kocar-kacir. Sultan dan Bilqis memang akhirnya sekongkol buat nyari duit bareng. Tapi usaha yang mereka pilih karena kepepet butuh duit cepet, yakni trading saham, adalah usaha yang penuh resiko dan ketidakpastian. Kebohongan dan bahaya yang diserempet Sultan dan adiknya itu semakin membesar, utang semakin menggunung, sampai di satu titik mereka menemukan diri terlibat masalah kriminal.

Mereka harusnya jualan Netflix aja ga sih?

 

Komplotan abang beradik sobat miskin dalam cerita Rahabi Mandra ini enggak seperti dalam Parasite nya Bong Joon ho. Sultan dan Bilqis sama sekali tidak terorganisir, tidak punya keterampilan khusus, they don’t really have a plan atau strategi terarah. Mereka melakukan semuanya sambil jalan. Energi mereka chaotic banget. Mereka bahkan sering berantem satu sama lain. They could get really physical seperti saudara yang ribut beneran. Namun justru hal-hal itulah yang jadi pesona dua karakter sentral kita. Hal-hal itu membuat mereka relate, plus ngasih karakteristik buat hubungan persaudaraan mereka. Abang atau kakak beradik memang suka berantem, dan mereka membawa ‘berantem’ antar  siblings itu ke level yang lain. Vino G. Bastian jadi abang yang lebih kalem, berusaha meyakinkan semua orang kalo hal di bawah kendalinya. Dia juga beneran terlihat peduli dan berusaha menyanggupi permintaan adiknya. Ada momen-momen saat kita tahu dia udah gak sanggup, janjinya makin impossible untuk dia penuhi, tapi dia berkata mantap bahwa dia akan menyelesaikan semuanya. Anya Geraldine jadi si tengah yang lebih tegas, kelihatan cenderung galak. Dia juga lebih nekat, lebih blak-blakan, dan lebih pintar. Sama seperti Vino, Anya juga berhasil ngasih energi ke karakternya. Dinamika mereka terasa hidup, mereka saling mengisi, saling memarahi, kekurangan satu sama lain, just like kalo kita kerja sama ama adek nyelesaiin satu level sulit di video game, hanya saja bagi Sultan dan Bilqis permasalahan mereka adalah real life. Menurutku, inilah yang bikin kita gampang peduli sama mereka, lebih dari sekadar mereka kasian butuh duit.

Yang bikin cerita ini balance adalah karena mereka punya moral sendiri. Sultan dan Bilqis gak nipu orang kaya. Gak mau judi, gak mau curang. Mereka sebenarnya punya kesempatan dari seorang kaya belagu yang naksir berat sama Bilqis, tapi cerita tidak lantas memberikan kemudahan. Sultan gak mau ‘ngorbanin’ adiknya. Mereka gak mau gitu aja memanfaatkan, ataupun dimanfaatin oleh si kaya belagu. Sultan dan Bilqis ada di posisi mereka kepepet sampai mau ngelakuin apa saja, tapi dalam batasan-batasan tertentu. Like, they draw the line at bohongin ibu, karena mereka khawatir ibu kenapa-napa kalo tau mereka bukan orang kaya seperti yang mereka ucapkan di telefon. Mereka gak mau straight up mencuri, tapi jika kepepet mereka nekat mengambil informasi dengan menyamar, bahkan hingga nyekokin obat tidur ke dalam minuman orang. Kompas moral mereka jadi hambatan-hambatan tersendiri yang akhirnya bikin seru cerita. Bikin kita gemes menontonnya.

Apalagi karena naskah film  memang sama sekali tidak melupakan konsekuensi. Film menggambarkan realita lucu gambaran sikap manusia yang pengen ‘sedikit bekerja, banyak duitnya’ dalam sorot yang gak memihak. Walaupun judulnya pake kata ‘Gampang’. protagonis kita tidak digampangkan dalam mendapatkan apa yang mereka mau. Main saham memang sekilas terlihat seperti jawaban mudah, duit mereka dalam beberapa menit naik berkali lipat, tapi oleh naskah hal tersebut tidak lantas berarti kemenangan. Tidak lantas menyelesaikan permasalahan keluarga mereka. Ini yang aku suka. Ada lapisan lagi dalam journey Sultan. Ada hal yang harus dia sadari, hal yang lebih dia butuhkan. Sembari memperlihatkan konsekuensi dari flawnya selama ini, di akhir cerita film juga memperlihatkan pembelajaran karakter yang finally disadari oleh Sultan. Membuat cerita jadi full circle tentang keluarga – drama keluarga tanpa sosok ayah yang jadi fondasinya. Membuat komedi dari karakter-karakter nekat yang melakukan sesuatu yang baiknya tidak kita contoh karena tidak cukup bijak untuk dapetin duit, jadi punya hati.

Mau yang kaya ataupun yang miskin, di film ini semuanya sama. Sama-sama pengen dapet duit dengan gampang. Yang diingatkan lewat cerita ini adalah sesungguhnya tidak ada yang namanya ‘easy money’ di dunia ini. Tidak ada jalan pintas, melainkan butuh usaha. Kerja keras, do pay off. Meski pay off nya bukan exactly harus kontan. 

 

Baru di atas ‘angin’ dikit udah ngayal nanti duitnya mau dipakai buat apaan aja

 

Untuk bisa berhasil menyampaikan itu, toh naskah film ini sebenarnya meminta banyak pemakluman kepada penonton. Film ini dibuka dengan literally minta ijin kepada penonton bahwa konsep jual-beli saham yang ditampilkan di dalam cerita tidak benar-benar sesuai dengan kenyataan. Aku juga gak ngerti main saham begituan, tapi intinya tulisan di opening film ini ngasih tau kalo in real life pencairan uang atau semacamnya tidak bisa dilakukan dengan secepat yang terjadi pada cerita ini. Dari segi bahasa, juga aku mendengar banyak yang bilang kurang cocok. Sultan dan keluarganya berasal dari Sukabumi, maka bahasa ibu mereka adalah bahasa Sunda. Bagi aku yang bukan orang Sunda dan hanya tahu bahasa tersebut dalam lingkup pergaulan anak rantau sih tidak benar-benar menganggap ada masalah mendengar ‘gue’, ‘elu’, nyampur dengan dialeg dan bahasa Sunda. Tapi yah, temen-temen yang asli dan ngerti Sunda memang banyak juga yang menilai bahasanya agak mengganggu. Lebih lanjut, penggunaan bahasa yang dilenturkan supaya lebih chaos, konsep saham yang ditweak supaya cerita seru, menurutku memang masih bisa kita “isoke, isoke, ofkros”in. Apalagi karena seperti yang disebutkan di atas, menang saham di cerita ini tidak berarti masalah beres. Bagi Sultan, ini bukan semata soal menang saham untuk dapat duit.

Justru yang buat aku terasa mengganggu karena – ironically – menggampangkan cerita bisa berjalan, adalah soal jarak yang dianggap tidak ada oleh film. Bukan hanya satu, ada beberapa adegan yang ‘mengandalkan’ karakter pergi dari Sukabumi ke Jakarta atau sebaliknya, tapi oleh film jarak itu tidak terasa. Sukabumi dan Jakarta boleh jadi sekarang sudah bisa tembus dua jam, tapi paling enggak mestinya jarak dan waktu ini bisa digunakan lebih lanjut untuk efek dramatis. Bukan hanya untuk komedi. Alih-alih karakter bisa seperti teleport dan gak really matter mereka harus ke mana untuk mengejar apa, akan bisa lebih intens kalo mereka dibikin akan terlambat atau semacamnya. Timing-timing yang selalu pas dalam cerita film ini membuat hal terasa kayak kejadian yang sudah diatur aja, membuatnya terasa kurang natural.

 




Sama seperti kisah cinta, cerita tentang duit juga sejatinya adalah cerita yang bisa mudah kita mengerti. Ditambah dengan hubungan keluarga yang struggle tanpa sosok ayah, tentang perjuangan seorang anak sulung berusaha menghidupi keluarga, kisah yang dibungkus sebagai komedi ini semakin cair dan gampang beresonansi dan relate dengan penonton. Naskah cukup bijak untuk membuat komedinya ringan dan chaos penuh energi tapi tidak menghilangkan konsekuensi. Pembahasannya berimbang, antara kaya ataupun miskin semua orang pengen punya duit dengan instan. Case yang diangkat di sini adalah soal hidup itu perjuangan, tanpa jalan pintas. Meskipun begitu, film ini sendirinya bercerita dengan kemudahan-kemudahan. Yang kita diminta untuk memakluminya. Beberapa bisa kita kesampingkan, karena ceritanya memang ternyata semenyentuh dan tidak sereceh itu. Ada feeling genuine yang berusaha disampaikan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GAMPANG CUAN

 




That’s all we have for now.

Jadi, pernahkah kalian berada di posisi berbohong kepada orangtua seputar kondisi keuangan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru tentang keluarga, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



THE MARVELS Review

 

“The greatest mistake you can make in life is to be continually fearing you will make one.”

 

 

Berikut alasan kenapa film superhero komik Marvel mulai kehilangan appeal si mata penonton. Pertama, konsep multiverse yang seperti pedang bermata dua; bikin seru tapi sekaligus juga membuat cerita jadi redundant dan kehilangan stake karena karakter yang mati tidak lantas berarti mereka ‘mati’ selamanya. Kedua, model sinematik universe yang menjadi begitu kompleks sehingga orang mau nonton satu film aja harus ‘ngerjain PR’ alias nonton film dan serial-serial suplemennya terlebih dahulu. MCU – dan IP superhero lain yang ingin mengikuti jejaknya – tentu harus menyadari gak semua penonton film terbiasa dengan desain ala komik seperti demikian, serta bahwa film haruslah bisa berdiri sendiri secara utuh sebelum dihias dengan teaser-teaser penyambung ke ‘episode berikutnya’. Inilah yang terasa sekali diperjuangkan keras oleh The Marvels karya Nia DaCosta. Entry lanjutan Phase 5 yang sebenarnya cukup fresh dengan variasi pada menampilkan perspektif tiga superhero sentral yang saling terpaut, tapi juga gak bisa bebas dari eksposisi buru-buru yang tampak semrawut.

Carol Danvers selama ini menjaga semesta dari luar angkasa. Hanya ditemani kucing oren alien. Captain Marvel kita terbiasa beroperasi sendirian. Sampai ketika kekuatannya tanpa sengaja saling terkait dengan kekuatan light-based lainnya. Yaitu kekuatan milik Monica Rambeau, dan kekuatan milik superhero remaja Ms. Marvel. Terkait di sini maksudnya adalah ketiga superhero ini tidak bisa mengeluarkan kekuatan penuh mereka tanpa membuat mereka saling bertukar tempat. Membingungkan bagi musuh, mereka sendiri, dan kita. Keadaan tersebut membuat mereka bertiga harus dekat-dekat, membuat mereka harus bekerja sama sampai biang semuanya, si Dar-Benn pemimpin baru bangsa Kree yang berniat mencuri sumberdaya planet lain dengan bracelet sakti serupa milik Ms. Marvel, dikalahkan.  Secara personal, bagi Carol ini juga adalah perjuangan emosional. Karena dia punya konflik relasi yang belum ter-resolve dengan Monica (ponakan angkat yang ia tinggalkan sejak kecil). Serta ia harus menjaga dan menerima keberadaan Ms. Marvel, yang actually sangat mengidolakan dirinya.

Bayangkan terjebak bareng fans petakilan dan ponakan yang membuatmu merasa bersalah

 

Itulah PR-PR itu. Kenapa Monica bisa punya kekuatan superhero. Siapa Kamala si Ms. Marvel. Kenapa dia bisa punya bracelet yang sama dengan si musuh utama. Film ini sadar bahwa mereka gak bisa mengandalkan penonton untuk nonton WandaVision ataupun Ms. Marvel. Not to mention film pertama Captain Marvel. Sehingga film ini ‘terpaksa’ menggunakan babak pertama cerita dengan full ngasih rekap apa yang terjadi pada serial mereka masing-masing. Cara yang dilakukan untuk menyampaikan tsunami informasi tersebut memang cukup kreatif, misalnya lewat gambar-tangan ala komik. Akan tetapi seharusnya babak krusial tersebut digunakan untuk lebih kuat melandaskan fondasi journey karakter macam apa yang harus dilalui oleh karakter utama. The way cerita The Marvels terbentuk adalah lebih seperti kisah tentang tiga superhero terjebak dalam keadaan unik dan mereka harus belajar bergerak dalam keadaan tersebut untuk mengalahkan musuh.

Dan dengan bentukannya tersebut, film ini memang terasa menyenangkan. Yang kita tonton bukan lagi sekadar Captain Marvel, superhero superkuat, yang bersikap dan gestur stoic. Monica dan Kamala bukan hanya jadi pendukung untuk perkembangan karakter Carol, tapi mereka juga mendukung untuk memberikan lebih banyak warna kepada keseluruhan film. Monica menjadi voice of reason yang menambatkan Carol kepada konflik-konflik kerabat, konflik-konflik yang manusiawi. They go all the way back, dan film menjadikan relasi mereka sebagai hati dari cerita. Kamala berfungsi sebagai comedic relief, sekaligus jadi perwakilan penonton remaja yang tentunya juga mengidolakan tokoh superhero. Kamala adalah kita kalo kita mendadak ketemu sama idola. Dua karakter ini juga memperdalam role dunia MCU. Kupikir Kamala dan keluarga Pakistan-Amerikanya bakal terutama menarik bagi penonton Indonesia, karena kapan lagi kita bisa dapat representasi muslim dalam lingkup jagat superhero. Di pertengahan awal, film juggle dari perspektif dan environment ketiga karakter sentral. Untuk penonton casual, bagian ini mungkin sedikit bingung, meski seru. Perlahan, begitu cerita telah menempatkan mereka bersama-sama, cerita akan lebih mudah dicerna, dan interaksi tiga karakter ini – momen-momen mereka berusaha bonding dan bekerja sama – akan jadi pesona tersendiri. Kuat oleh girl power pula.

Aku sendiri cukup terhibur juga Brie Larson kembali mendapat kesempatan untuk menunjukkan sisi ‘dork’nya.  Ngingetin kayak waktu dia di Scott Pilgrim ataupun ketika jadi bintang tamu di serial Community. Di film ini dia jadi Captain Marvel yang lebih ‘cair’ dari yang sudah-sudah. Dan menurutku memang Brie ini lebih dapet meranin karakter yang awkward ketimbang yang pure stoic. Sisi yang lebih emosinal dari Carol juga berusaha digali. Selain dengan Monica, Carol juga berurusan pribadi dengan Dar-Benn. Dinamika protagonis dan antagonis di sini sebenarnya cukup menarik. Benar-benar epitome dari baik dan jahat itu hanya soal sudut pandang. Bagi Dar-Benn mencuri laut hingga matahari planet lain memang didasarkan oleh balas dendam kepada Captain Marvel, tapi itu tindakannya itu juga ia lakukan untuk menghidupkan kembali planetnya yang ‘lumpuh’ akibat Captain Marvel yang menghancurkan A.I. di planetnya. Captain Marvel mereka anggap sebagai Annihilator, dan sebutan itu ‘memakan’ dari dalam. Karena membuatnya merasa telah gagal sebagai pahlawan. Tindakannya untuk menolong malah berdampak buruk.

Berpuluh-puluh tahun Captain Marvel menghindar dari pulang ke Bumi karena dia merasa telah gagal. Dia takut ketahuan telah gagal sebagai pahlawan, sebagai sosok panutan bagi Monica. Tangled-nya kekuatan mereka bertiga membuat Captain Marvel mau tak mau harus berkonfrontasi dengan perasaannya tersebut. Dan pada akhirnya dia belajar banyak dari Kamala dan Monica, belajar untuk menghadapi ketakutannya tersebut.

 

Dari muatannya, memang film ini harusnya bisa mencapai level menghibur sekaligus emosional.  Banyak sekali tempat film ini bisa mengeksplorasi cerita. Tapi aku gagal paham kenapa film ini malah termasuk film Marvel yang durasinya paling singkat. Ini seperti ketika kita punya banyak bahan untuk dimasak, tapi kitanya sendiri ogah berlama-lama di dapur. Hasilnya ya bahan-bahan itu dimasak ala kadarnya. Tiga karakter sentral; Kamala, Carol, Monica seharusnya adalah tiga karakter dengan journey masing-masing. Tapi most of the time di paruh awal, mereka ini satu dimensi. Mereka lebih sering tampak kayak tiga traits yang membentuk satu orang ketimbang tiga karakter kompleks masing-masing. Coba tonton lagi dan hitung sendiri berapa lama Kamala bertingkah kayak fans yang starstruck yang comically mendamba aproval dari Captain Marvel sebelum akhirnya dia bersikap lebih manusiawi.

Captain Marvel nyanyi Black Sheep lagi, please

 

Ah, aku hampir lupa sama actionnya. Actionnya ngisi di slot-slot standar formula film superhero. Di babak awal. Di tengah saat mereka ‘kalah’. Dan final boss fight. Variasi jurus-jurus dan kemampuan mereka seru. Kamala bisa bikin platform dan shield kayak Steven Universe. Monica bisa tembus-tembus kayak Noob Saibot. Captain Marvel bisa menumbuk sambil terbang cepet banget kayak Super Saiyan. Adegan mereka berantem sambil berpindah-pindah juga sebenarnya seru, walau sempat ngeselin juga mainly karena editingnya agak kurang mulus. Adegan aksi mereka ini sifatnya serius. At one point, seorang karakter tertusuk. Aksi-aksi ini pun memang terasa agak gak masuk juga dengan interaksi-interaksi atau detour komedi yang lebih sering dilakukan oleh film ini.

Sepertinya karena dibebankan oleh banyaknya eksposisi dan waktu yang kurang renggang, maka film jadi terutama mengandalkan tone komedi. Like, bahkan Nick Fury di film ini gak ngelakuin banyak selain ngasih celetukan atau komentar lucu. Tone-tone komedi film ini jadi semakin liar sehingga aku jadi bertanya-tanya kenapa mereka gak sekalian bikin film kartun saja. Sebenarnya oke saja kalo memang diniatkan seperti itu. Adegan-adegan seperti evakuasi stasiun ruang angkasa dengan menggunakan kucing-kucing alien yang ngasih vibe komedi agak horor, ataupun adegan nyanyi-nyanyi ala Bollywood dengan menampilkan aktor Korea (apakah ini bentuk ke-ignorant barat yang nganggep semua Asia sama? haha), akan terasa lebih klop kalo film memang diniatkan sebagai komedi petualangan absurd. Namun film ini terlalu sibuk untuk menghamparkan informasi pada babak pembuka, membuat tiga karakter sentral lebih sebagai spektrum sikap berbeda dari satu kesatuan yang sama, sehingga tone film tidak benar-benar terbangun dan film lantas berjalan dengan nada yang serampangan antara konyol dan heartfelt. Seperti tidak ada ritme.

 

 




Memang menghibur, tapi ‘menghibur’ bukan lantas berarti film yang bagus. Menghibur hanya berartinya karakternya menyenangkan, dialog dan kejadiannya lucu, petualangannya seru. Film ini berkisah tentang Captain Marvel yang kekuatannya terpaut kusut dengan kekuatan dua superhero lain. But also film ini sendirinya juga bercerita dengan silang sengkarut. Kebutuhan untuk memuat banyak eksposisi berusaha ‘dimuluskan’ lewat nada komedi, yang membuat bagian yang lebih emosional dan serius justru jadi seperti bagian yang disematkan. Naskah jadi terlalu lama masuk ke dalam bagian yang penting, dan bahkan setelah itupun naskah masih memuat detour konyol. Film ini mungkin mampu membuat kita sedikit tertarik kembali kepada superhero, tapi belum cukup untuk mengembalikan genre ini kepada pencapaian kualitas film-film awal dari MCU.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE MARVELS

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian tertarik dengan kelompok Avenger remaja yang sedang berusaha dikumpulkan oleh Kamala pada mid-credit scene? Apakah menurut kalian storyline itu bisa membuat penonton tertarik kembali dengan MCU?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BUDI PEKERTI Review

 

“Never explain yourself to anyone. Because the person who likes you doesn’t need it. And the person who dislikes you won’t believe it.”

 

 

Tujuh belas nominasi FFI dikantongi oleh film-panjang kedua Wregas Bhanuteja ini. Fakta prestasi tersebut kentara bisa mess with ekspektasi dan ‘tuntutan’ kita – terutama aku yang prefer nonton film tanpa tahu banyak tentangnya, Apa iya film ini sebagus itu. Yang jelas setelah ditonton, ternyata Budi Pekerti juga merupakan sebuah gambaran yang sangat relevan. Sama seperti Penyalin Cahaya tahun lalu. Wregas kembali menghadirkan potret, yang mungkin lebih lugas, karena cerita kali ini terasa lebih grounded tanpa elemen kasus ala thriller whodunit. Budi Pekerti berada di dalam kotak yang sama dengan film-film seperti Not Okay (2022) dan John Denver Trending (2019); film-film  yang khusus menelisik perilaku sosial di era internet sekarang ini. Budi Pekerti mengangkat persoalan dari gimana society modern kita yang katanya ‘melek sosmed’ bekerja dan dinamika positif-negatif yang menyertainya. Mungkin sosmed banyakan negatifnya, karena konflik di cerita ini justru mulai menggunung ketika protagonisnya mencoba melakukan the supposedly right thing to do, di internet.

Bayangkan seorang guru BK SMP yang begitu lovable sampai-sampai mantan murid dari angkatan 10 tahun yang lalu masih bisa mengenali beliau walau dari balik masker, harus terancam batal diangkat jadi wakasek, hanya karena videonya sedang ribut dengan seorang penyerobot antrean diambil ke luar konteks, disalahartikan, dan jadi viral. Dengan premis tersebut, Budi Pekerti literally mempertanyakan ‘apa perlu mata pelajaran budi pekerti diajarkan kembali?’ Di pasar itu, Ibu Prani tadinya hanya coba menegakkan hal yang benar, seperti yang biasa dilakukannya saat mendidik murid di sekolah. Dia akan menegur murid yang melakukan kesalahan, lalu memberikan hukuman – yang ia sebut refleksi – supaya murid bisa mengerti dan memahami perbuatan mereka salahnya di mana. Namun gak semua orang senang mendapat pelajaran berharga seperti itu. Video viralnya membuat Ibu Prani diserang netijen, beliau panik dan berusaha menjelaskan keadaan dengan membuat video klarifikasi. Video yang lantas jadi bumerang. Sehingga bukan hanya kerjaannya, kehidupan personal Bu Prani dengan keluarga, dengan dua anaknya yang influencer juga terkena imbas.

Ini juga kenapa anak-anak muda agak males kalo orangtua mereka main sosmed

 

Inilah bagian yang paling menarik dari Budi Pekerti. Perilaku sosial media masyarakat kita benar-benar ditelanjangi. Perilaku yang makin menjadi-jadi sejak kita semua terkurung oleh pandemi. Dan pada kurun itulah persisnya cerita ini menempatkan diri. Some say kini kita hidup di era post-truth. Jaman di mana kebenaran itu bukan lagi soal yang beneran benar. Film ini bulat-bulat menyebut bahwa salah dan benar sekarang ini adalah cuma perkara siapa yang paling banyak omong. Penghakiman netijen-lah yang memutuskan yang mana yang ‘benar’. Dan mereka menilai itu dari potongan-potongan video, cacah-cacahan narasi. Tindak apapun yang dilakukan Ibu Prani dalam upaya membersihkan namanya hanya akan jadi materi kulikan dan asumsi liar dari netijen.  Yang akan mengambil hanya yang sesuai dengan narasi masing-masing. Satu lagi yang berhasil tergambar oleh film ini tentang perilaku bersosmed masyarakat adalah, masyarakat hanya ikut-ikutan. Bahwa kita memposting sesuatu bukan lantas berarti kita peduli sama permasalahannya. Sebagian besar waktu, yang dipedulikan adalah citra masing-masing.

Inilah makanya sosmed jadi ‘berbahaya’.  Smartphone dibuatnya tak ubah seperti pistol. Kita bisa membidikkannya kepada orang lain, dan menjepret kelakuan-kelakuan buruk mereka. Atau kita bisa point that thing ke wajah sendiri. Dan dor! Hasilnya ya fifty-fifty. Antara orang jadi kasihan dan menempel ke narasi kita. Atau kita ‘mati’ ngebuka aib sendiri. Aku menebak pastilah proses riset dan nulis naskah film ini sangat mengasyikkan. Film ini benar-benar paham perilaku-perilaku tersebut, mereka menjadikannya ke dalam plot-plot poin, dan sukses memasukkannya ke dalam bangunan cerita yang terus ngebuild up ke drama. Yang terus jadi rintangan yang bikin susah hidup protagonis kita yang punya sense moral tersendiri. Ngeliat Bu Prani tetap membuat video klarifikasi meskipun sudah dilarang menghasilkan dramatic irony. Kita tahu dia benar, tapi kita juga tahu bahwa dia akan ditelan bulat-bulat di jagat sosmed. Anak-anak Bu Prani berusaha ‘menyelamatkan’ muka ibu mereka sambil juga mengamankan muka sendiri, ngeliat apapun counter video yang mereka lakukan selalu dicounter lagi, membuat keadaan justru semakin memburuk — cerita film ini berkembang ke hal-hal yang sebenarnya deep inside sudah kita antisipasi karena film ini begitu dekat dengan sosial kita sekarang, tapi sekaligus kita juga kasihan dan ikut benar-benar merasakan outcome yang tak terkontrol yang dialami oleh para karakter yang sedang berjuang tersebut.

Karena nature cerita yang seperti demikian, setiap karakter di sini ngalamin perjalanan personal masing-masing. Membuat film jadi punya banyak adegan yang unik. Para aktor dipersilakan oleh Wregas untuk menggali momen-momen ‘seru’ yang mungkin gak bisa mereka dapet pada film-film yang lebih mainstream. Angga Yunanda dan Prilly Latuconsina, misalnya. Mereka jadi anak-anak Bu Prani. Denger mereka ngomong jawa aja udah fresh. Sebagai influencer daerah, Angga di sini dilepaskan dari image karakter remaja yang cool, di sini rambutnya pirang jamet. Prilly, jadi kakak, karakter yang lebih jutek dan contained dibanding tipikal peran utama yang biasa diberikan kepadanya. Kekuatan akting mereka jadi keluar, untuk kita nikmati. Angga dikasih adegan nangis kecewa sama diri sendiri. Prilly dikasih ngomel sendiri, ada monolognya di kolam lele yang menurutku scene yang memorable. Dwi Sasono sebagai ayah yang depresi karena usahanya bangkrut efek pandemi ngasih tambahan elemen volatile bagi permasalahan keluarga mereka, Dwi Sasono perfect fit buat karakter tak-tertebak semacam ini. Tapi yang paling tak terduga adalah Omara Esteghlal. Karakternya, Gora, muncul di awal sebagai mantan murid yang dulu pernah kena ‘hukuman refleksi’ khas Bu Prani. Cerita nanti bakal circle back ke Gora, karena actually hubungan guru dan murid Prani dengan Gora jadi kunci bagi perkembangan Prani sebagai karakter utama.

Main-main di sosmed itu kadang kayak menggali kuburan sendiri

 

Satu lagi yang ditunjukkan oleh Wregas sebagai bentuk kepiawaiannya bercerita selain punya ritme membuild up rintangan dan gencetan untuk karakter utama, adalah dia paham untuk membuat ceritanya balance. Di Penyalin Cahaya, Suryani yang posisinya korban tidak serta merta selalu benar, bahwa ada momen ketika Suryani genuinely merasa dia telah melakukan pilihan yang salah. Budi Pekerti juga begitu. Ini bukanlah ujug-ujug kisah tentang guru baik yang terjebak dalam situasi sulit. Bu Prani memang disukai murid-murid dan kolega, tapi langkah yang diambilnya, aksi yang dia lakukan, adalah aksi yang genuine. Dia manusia yang bisa salah. Runyamnya masalah keluarga mungkin telah membuat aksinya sedikit keterlaluan. Metode ajarnya, mungkin, berdampak buruk ke murid. Momen-momen Bu Prani meragukan diri, bergulat dengan nurani, dengan apa hal yang benar dan apa hal yang harus ia lakukan ternyata boleh jadi tidak sejalan, terdeliver nyata lewat akting Sha Ine Febriyanti. Aku sendiri sebenarnya, dulu sebagai murid, gak suka dengan tipe ‘guru baik’ seperti Bu Prani. Aku lebih suka sama guru yang terang-terangan killer dan suka ngasih hukuman tegas ketimbang guru yang metodenya pasif agresif. Tapi Bu Prani berhasil bikin aku peduli, dan membuatku bisa melihat kenapa guru yang seperti dia dibutuhkan oleh murid-murid.

Orang yang mendukungmu tidak perlu penjelasanmu. Orang yang membencimu tidak akan mau mendengarkan penjelasanmu. Oleh karena itu, kita sebenarnya tidak perlu menjelaskan perbuatan kita. Apalagi di internet. Karena orang hanya akan mengambil apa yang mereka mau dengar. Apa yang masuk ke dalam narasi mereka masing-masing. Itulah sebabnya kenapa video klarifikasi sama sekali tidak membantu Bu Prani. Yang dia perlukan hanyalah menyelesaikan persoalannya dengan orang-orang terdekat. “Maaf”nya Bu Prani cukup dialamatkan kepada mereka-mereka saja.

 

Walau sudah berimbang sehingga drama kisah ini jalan dan kita duduk di sana mengikuti dengan gamang dan penuh harap sepanjang durasi, tapi masih terasa film ini kasihan terhadap Bu Prani. Dan ini buatku agak sedikit memflatkan journey Bu Prani. Pilihan yang dilakukan film sebagai ending, sudah cocok. Benar sebagai akhir journey Prani. Ibu itu sudah minta maaf kepada orang-orang yang tepat. Dia sudah mengenali ‘kesalahannya’ apa. Hanya saja film-lah yang seperti tidak benar-benar tega kepada Bu Prani. Padahal menurutku sebenarnya tidak masalah jikalau memang metode hukuman refleksi Bu Prani berdampak sedikit negatif kepada muridnya ketika mereka sudah dewasa. Namun cara film memperlakukan ‘dampak sedikit negatif’ tersebut, buatku seperti sedikit menyepelekan case yang mereka angkat sendiri. I would like to see Bu Prani maafnya itu benar-benar pure maaf ketimbang masih ada sedikit kesan “Ibu gak salah kok” dari muridnya. Apalagi setelah adegan dia menyelami kata hatinya sendiri. Supaya koneksi mereka bisa lebih ‘manusia’. Lebih daripada frame antara guru dan murid.

 




Seperti pesannya, film juga tak harus menjelaskan dirinya. Kenapa dia bisa dapat banyak nominasi. Pecinta film akan tetap menonton. Dan baru saat menonton itulah, kita bisa menilai sendiri. Film ini dibuat sebagai potret, sebagai komentar, tentang perilaku masyarakat kita dalam berjejaring sosial. Tempat di mana interaksi sosial tidak lagi genuine sebagaimana mestinya. Tempat di mana hal yang benar bisa jadi sebuah kesalahan, karena semua orang punya agenda personal, yang bikin kita hanya melihat sepotong-potong. Bahkan permintaan maaf saja bisa cuma dijadikan kedok citra semata. Bukan sebuah maaf yang tulus. Dengan penceritaan yang berimbang, film ini mengingatkan seperti apa interaksi sosial sesungguhnya. Identitas dan perspektifnya yang dekat, membuat kisah film ini mudah dicerna. Benar-benar terasa urgent untuk ditonton sekarang. Ada minor-minor nitpick tapi pesan dan kerelevanan ceritanya outweight that.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BUDI PEKERTI

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian pelajaran budi pekerti khususnya di media sosial memang harus diadakan kembali?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE EXORCIST: BELIEVER Review

 

“Religion without humanity is very poor human stuff”

 

 

Horor adalah soal kemanusiaan, di atas urusan spiritualisme. Pemahaman itulah yang tampaknya melekat pada horor-horor modern. Karena pada horor jaman dulu, simpel. Tapi efektif. Kebaikan lawan kejahatan. Setan, ya lawannya Tuhan. The Exorcist original tahun 1973 sudah lima-puluh tahun lamanya (and counting!) sukses jadi salah satu horor terseram berkat penggambarannya terhadap derita seorang anak yang kerasukan, dan bagaimana pihak gereja mati-matian berusaha menolong si anak sekeluarga . Pengaruh film tersebut terasa karena bahkan di skena horor jadul kita, bermunculan film-film horor dengan penyelesaian cerita ditolong oleh pemuka agama. Horor-horor jadul itu dibuat untuk mengembalikan keimanan ke dalam hati pemirsa. Supaya penonton jadi rajin sholat; ibadah. Horor-horor kontemporer, however, melihat dunia tidak hitam-putih. Melihat bahwa manusia itu kompleks; bahwa setan mungkin berasal dari perasaan negatif manusia itu sendiri. Dan bahwa orang-orang suci terutama dan utama sekali adalah manusia juga. Maka kita lihatlah di horor-horor kekinian, ustadz kalah telak lawan hantu. Bermunculan horor dengan plot twist karakter yang disangka baik, ternyata yang melakukan ritual dengan iblis. Di horor barat, ‘final girl’ sudah enggak mesti lagi perempuan yang perawan. Lawan setan, kini adalah kemanusiaan.

Aku paham apa yang berusaha diincar David Gordon Green pada sekuel The Exorcist ini. Rasa kemanusiaan. Green ingin cerita horor pengusiran-setan-dari-tubuh-manusia ini lebih berfokus kepada bagaimana manusia yang terlibat bangkit rasa kemanusiaannya, di atas kepercayaan agama/spiritual yang beragam, atau malah bahkan pada orang yang sudah tidak lagi punya iman kepada Tuhan. Konsep ini sudah kita lihat berhasil dilakukan oleh Qodrat (2022), yang memperlihatkan seorang ustadz yang terbangkit dahulu rasa kemanusiaannya, dan baru menggunakan pengetahuan exorcist dan keagamaannya untuk menolong warga desa. Film yang dibintangi Vino G. Bastian tersebut berhasil, bukan exactly sebagai horor religi seperti The Exorcist original, melainkan menciptakan bentuk baru, yakni horor superhero. Green berjalan di jalur yang sama. Dia bahkan sudah berusaha melakukan ini – melakukan horor dengan mengutamakan kepada eskplorasi rasa kemanusiaan – sejak sekuel reboot Halloween. Di Halloween Kills (2021), Green  memfokuskan kepada warga kota yang bersatu bahu membahu memburu Michael Myers. Tapi sebagaimana karakter ceritanya gagal membunuh momok, Green juga gagal mengeksekusi cerita. Kegagalan yang sayangnya terulangi di The Exorcist: Believer ini. Maksud dan niatan baik Green, selalu amblas karena cerita dan perspektif yang ia angkat ujungnya tetap terlalu melebar.

Katanya sih film ini kayak awal dari anekdot “Si Katolik, si Protestan, dan si Atheis duduk di bar”

 

Dua anak perempuan hilang di hutan. Satu putri dari keluarga pemeluk Katolik yang taat. Satunya lagi putri dari Victor, seorang single-father yang skeptical sama urusan keagamaan. Dan Victor jadi begitu untuk alasan yang bagus. Alasan yang sebenarnya sudah dibangun film sebagai pembuka, tapi baru belakangan diungkap sepenuhnya. Dari latar belakang yang berbeda tersebut, bisa dibayangkan apa yang terjadi kepada masing-masing keluarga ini saat dua anak perempuan yang sudah berhari-hari dicari tapi tanpa hasil tersebut, mendadak muncul. Primbon (2023) style! Alias, dua anak ini muncul begitu saja, tanpa ingatan apapun tentang mereka hilang, dan dengan ‘oleh-oleh’ berupa sikap dan temper yang sangat aneh. Mereka suka ngeblank, tiba-tiba teriak, bicara kasar, menyakiti diri sendiri. Ketika sudah jelas mereka ‘didiagnosa’ kesurupan setan, dua keluarga dengan latar berbeda tadi harus berembuk, sudi gak sudi, percaya gak percaya, demi kesembuhan dan keselamatan anak mereka.

Ternyata sutradara Green bukan hanya ingin mengelevasi cerita kesurupan dengan tema kemanusiaan, dia juga ingin menaikkan level horor cerita ini dua kali lipat. Dua anak, dua kasus kesurupan, dua keluarga dengan latar berbeda. Secara cerita dan tema, menurutku ini masih bisa untuk worked out. Karena memang temanya itu ngasih bobot yang bikin film ini bukan sekadar remake cash grab (walau mungkin memang dibuat untuk itu), melainkan memang punya suatu pandangan baru yang ingin dibahas. Film ini toh memang jadi punya delevopment dari dua sudut pandang tadi, mereka berusaha memahami masalah, dan akhirnya menemukan cara untuk membuat mereka jadi paling enggak jadi percaya satu sama lain. Adegan ‘rukiyah’ bareng-bareng antarsesama warga biasa – ‘berdoa’ dengan keyakinan masing-masing – menurutku juga sebenarnya bukan ide atau konsep yang ngawang-ngawang. Karena memang, society modern kita yang either terlalu fanatik sama kepercayaan sendiri atau terlalu cuek sama keadaan orang lain sekali-kali perlu dikasih gambaran bisa gini loh kalo kita saling menghormati. Tidak harus soal kepercayaan siapa yang paling benar. Tidak melulu tentang kepentingan siapa yang harus didahulukan. Meski memang film ini masih terjebak perangkap modern untuk bikin pemuka agama (dalam film ini adalah pastor) kalah telak, tapi momen-momen orang biasa berusaha saling kompromi dalam bentuk bergantian berusaha exorcist dengan cara masing-masing, buatku jadi momen kemanusiaan yang baik, sesuai dengan kacamata horor film ini.

Taat agama tanpa nilai-nilai kemanusiaan hanya akan membuat kita jadi fanatik berlebihan. Karena kehidupan beragama tidak sebatas kepada soal kepercayaan kepada Tuhan. Hubungan dengan sesama manusia juga harus dipupuk. Bahkan seharusnya manusia tidak perlu rajin ibadah  dulu baru bisa berbuat baik. Kita gak harus hafal ayat suci untuk mengulurkan tangan kepada tetangga yang kesusahan. Kemanusiaan harusnya adalah insting utama manusia, regardless kepercayaan mereka apa. 

 

Secara penceritaan horor, film ini keteteran. Dua perspektif keluarga yang diniatkan untuk perbandingan, nyatanya malah membuat kita terlepas setiap kali perpindahan. Dua kasus kesurupan yang dibentuk untuk ngasih variasi horor kesurupan, nyatanya malah terasa melama-lamain masalah. Film ini sendiri, kita bisa lihat, enggak begitu pede dengan keputusan horor mereka tersebut. Yang satu horor di lingkungan gereja. Yang satu horor di lingkungan rumah sakit yang pendekataannya scientific. Tidak satupun dari penggalian itu yang dijadikan andalan oleh film ini. Yang bikin film originalnya begitu horrifying adalah momen ketika anak perempuan yang normalnya masih polos itu melakukan hal-hal ‘iblis’. Ketika sosok kecil itu dikuasai sepenuhnya oleh setan yang membuat dia melakukan bukan saja hal-hal di luar kemampuan manusia, tapi juga dalam sense yang lebih mendasar yaitu ketika si kecil itu menjadi seperti orang dewasa yang amat sangat berdosa. Di film itu kita menyaksikan anak kecil rusak fisik dan mentalnya, oleh setan. Sekuel ini, agak lebih condong ke sakit fisik. Horor yang ditampilkan masih lebih bersandar kepada pemandangan yang naas. Adegan-adegan kesurupannya tidak memorable. Film lebih banyak bermain horor dari luar, I mean, dari editing dan suara-suara keras dan sebagainya. Banyak sekali adegan yang dimulai dengan sesuatu yang mengeluarkan suara keras. Suara laci dibuka, bunyi lonceng gereja, orang teriak. Ketakutan yang dipancing terasa artifisial.

Sense takut dari hal yang tidak kita mengerti harusnya jadi pancingan utama. Karena ini kan urusannya gaib. Sebagai horor yang berurusan dengan setan, film ini kesannya terlalu berusaha rasional. Walau film menggunakan editing untuk membuat peristiwa itu benar sebagai misteri, tapi alasan kenapa si anak kesurupan akan dibeberkan dengan jelas. Ini membuat cerita jadi kurang terasa spesial, agak mematikan perbincangan yang bisa timbul dari kita menonton ini. Aku lebih suka jika film horor masih menyisakan suatu misteri untuk kita bicarakan, betapapun gak masuk akal atau malah bego sekalian.

Ujung-ujungnya tetap gak jauh dari variasi main ‘jelangkung’

 

Yang bikin film ini semakin terasa ‘steril’;  dalam artian terasa sama kayak remake-remake reboot yang tampil try too hard beda dari originalnya, alih-alih tampil berbeda dan groundbreaking untuk genrenya (seperti yang dilakukan oleh film original) adalah pilihan untuk memunculkan legacy character. Karakter dari film original. Dan film ini masang karakter tersebut dengan main aman, dan parahnya membuat kacau cerita. Karena gak nyambung. Like, karakter ibu si anak kesurupan di film original dimunculkan dengan development karakter yang gak make sense dengan yang telah ia lalui. Basically karakternya diubah. Seorang ibu yang tersiksa jiwa raga melihat anaknya itu kini menjadi semacam paranormal ahli exorcist yang serba tahu. Hampir kayak film ini pengen Exorcist reboot-an mereka punya sosok seperti Laurie, Elise, atau Lorraine sehingga mereka mengubah si Ibu menjadi seperti demikian. Seketika film ini pun jadi berubah annoying bagiku, ceritanya jadi kemana-mana. Terlalu melebar karena berisi bukan hanya tentang Victor yang berusaha menyelamatkan anaknya tapi juga soal mengaitkan itu kepada apa yang kira-kira terjadi pada karakter di film pertamanya.  Dan persoalan mereka ini cuma muncul di tengah, dan sebagai penutup (maybe sebagai teaser sekuel berikutnya). Mereka gak benar-benar esensial pada babak akhir, pada babak para karakter baru berusaha mengusir setan. Jadi ya kayak momen detour yang sebenarnya gak perlu.

 




Dengan bahasan kemanusiaan di dalam bangunan cerita horor spiritual (kalo gak mau dibilang religi), tadinya pas nonton aku udah mau ngasih skor empat untuk film ini. Toh memang bahasannya penting. Tapi eksekusinya yang juga ingin mengelevasi horor itu dua kali lipat sebenarnya justru jadi boomerang. Perspektif jadi sering berpindah, aspek horor jadi terasa berulang, semuanya terasa bloated. Dan begitu mereka munculin karakter legacy, film ini terasa semakin melebar dan semakin gak-unik lagi. Melainkan hanya jadi kayak produk dari mesin reboot yang steril dan main aman sesuai dengan standar horor modern. Skornya pun jadi semakin turun buatku. I’m not its believer anymore.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE EXORCIST: BELIEVER

 




That’s all we have for now.

Berarti sebenarnya horor ada dua tipe. Tipe yang tentang kebaikan lawan kejahatan. Dan tipe horor yang menggali perasaan terdalam dan terkelam manusia. Dari pengelompokan itu, horor tipe mana yang lebih kalian suka? kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DI AMBANG KEMATIAN Review

 

“A home renovation can help you make your dreams a reality”

 

 

Di Jawa ada yang namanya pesugihan Kandang Bubrah. Pesugihan yang melibatkan syarat harus merenovasi rumah terus menerus. Bongkar pasang ubin. Bangun-rubuhkan ruangan baru. Pesugihan yang benar-benar ngasih meaning literal bagi kiasan ‘renovasi rumah dapat membantu mewujudkan impian’. Karena kalo orang normal memperbaiki dan menata ulang rumah itu dilakukan supaya menghasilkan kesan fresh, selain juga sebagai perlambangan bagaimana menata kehidupan sejatinya membutuhkan perjuangan. Sedangkan di ritual ini, ya bikin rumah senantiasa berantakan kayak kandang benar-benar harus dilakukan kalo mau kaya mendadak. Siapa coba yang gak punya mimpi jadi orang kaya. Horor karya Azhar Kinoi Lubis yang diangkat dari thread viral ini secara khusus memotret keluarga yang bapak-ibunya pengen kaya sehingga rela melakukan pesugihan Kandang Bubrah. ‘Potret’ yang bisa ditebak bakal merah oleh darah. Tapi yang membedakan film ini dengan horor-horor ritual yang banyak beredar di kita – yang membuat film ini one of the better Indonesian horrors out there – adalah film ini benar-benar menggali drama tragis dari keadaan keluarga yang terjebak hal horor tersebut. Lebih kayak drama tentang keluarga tragis, dengan tema horor. Dare I say, film ini ada di kotak  yang serupa dengan Hereditary (2018) meski memang penggarapannya belum sebagus itu.

Rumah dibangun dari bata, balok kayu, dan material lain. Sementara rumah tangga harusnya dibangun dari rasa cinta dan kasih sayang. Kadang kita lupa, kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam rumah tangga bukan terutama didapat dari harta dan materi.

 

“Nurut sama bapak, kalo mau hidup kalian selamat” pesan terakhir ibu yang selalu diingat oleh Nadia. Malam tahun baru 2002, Nadia yang saat itu masih kecil menyaksikan sendiri kematian mengenaskan dari ibunya yang sudah lama sakit. Apakah ibu gak nurut sama bapak sehingga berakhir naas begitu? Nadia gak ngerti juga. Yang jelas kini dia dan Yoga, kakaknya, tinggal bertiga saja dengan bapak di rumah mereka yang selalu ramai oleh tukang yang bekerja. Meski Nadia ingin menaati nasihat ibu, tapi nurutin perintah bapak seringkali jadi hal yang susah untuk dilakukan. Karena perintah bapak itu aneh-aneh. Jangan bersihin rumah. Jangan masuk ke ruang kerja bapak.  Jangan tanya-tanya kenapa bapak sering bawa kambing ke kantor! Yoga sering dimarahi bapak karena gak mau nurut. Saat remaja, Nadia dan Yoga akhirnya tahu rahasia pesugihan bapak. Pesugihan itulah yang ternyata mengambil nyawa ibu, dan akan menagih kembali nyawa mereka satu per satu setiap sepuluh tahun sekali!

Kamarku juga suka berantakan sampai-sampai dikira lagi pesugihan

 

Yang paling sering jadi keluhanku saat nonton horor lokal kontemporer adalah terlalu bergantung sama plot twist. Seolah cerita tu gak seru kalo enggak dikasih kejutan, entah itu siapa sebenarnya yang jahat, atau apa yang sebenarnya terjadi. Padahal sebenarnya ide atau materi cerita horor kita banyak yang menarik. Tapi bahasannya jadi dangkal, karena filmnya hanya jadi sebatas kejadian ‘ternyata’. Bahasannya sengaja disimpan sebagai plot twist. Yang bahkan enggak ‘cerdas’ karena penonton seringnya bisa menebak duluan. Langkah bijak pertama yang membuat Di Ambang Kematian berada di posisi bercerita yang lebih baik daripada kebanyakan horor adalah, film ini gak peduli sama membuat plot twist. Perkara bapak ternyata melakukan pesugihan tidak disimpan sebagai revealing mengejutkan di akhir. Pun si bapak tidak lantas diungkap sebagai orang yang ternyata ‘jahat’.

Cerita Di Ambang Kematian berjalan linear, dalam span dua puluh tahun. Kita akan ngikutin Nadia dari kecil hingga dewasa. Sehingga journey karakternya itu beneran kerasa. Bapak ternyata melakukan pesugihan sudah diungkap, bukan sebagai kejutan melainkan sebagai plot poin untuk cerita masuk ke babak berikutnya. Ke lapisan berikutnya. Karena di cerita ini, melakukan perjanjian dengan iblis tidak lantas dicap sebagai perbuatan dari seorang yang jahat. Film ini menjadikan hal tersebut sebagai bahasan yang worth untuk di-examine. Keluarga yang pengen berkecukupan, tapi lantas bablas dan harus menanggung akibatnya. Film berusaha membuat kita simpati kepada karakter, despite flaw mereka. Meskipun kita tahu tindak pesugihan bukanlah perbuatan yang benar. Aku surprise banget sama depth yang berusaha digapai cerita tatkala Nadia yang sudah jadi Taskya Namya memilih untuk membantu bapaknya menyiapkan ritual potong kambing. Dia nurut bapak, bukan karena pengen kaya, tapi itulah satu-satunya cara keluarga mereka bisa terbebas dari tuntutan si setan kambing. Layer seperti ini kan jarang banget di film horor kita yang kebanyakan menempatkan protagonis sebagai seorang yang terjebak di kejadian horor dan cuma harus survive. Di film ini kita melihat seorang bapak yang sebenarnya sangat menyesal tapi tidak punya pilihan lain, seorang anak yang tetap ingin berbakti walaupun kondisi mereka bisa dibilang sebuah mimpi buruk. Momen langka buatku di film horor ada adegan anak ngelawan orangtua, tapi kemudian menyadari keadaan. Film ini tidak membenarkan pesugihan, tapi membuat kita merasakan dramatic irony karena in the end kita tahu mereka sekarang cuma ingin selamat hidup-hidup sebagai keluarga yang ‘utuh’

Penulisan karakter dan departemen akting keep story afloat. Para pemain menghidupkan drama tragis dan teror menakutkan yang menimpa keluarga mereka. Kesan traumatis, kesan telah melalui banyak juga tergambar lewat progres seiring dengan periode cerita berjalan. Cerita yang waktunya melompat-lompat itupun tidak jadi terasa terputus-putus. Karakter mereka kontinu. Nadia dan Yoga Kecil juga sudah diberikan karakterisasi. Karena cerita yang berjalan linear, porsi mereka saat masih kecil jadi bagian yang penting sebagai fondasi karakter mereka nanti saat sudah dewasa.  Mereka tidak sekadar jadi ‘korban’ gangguan setan, tidak sekadar disuruh teriak-teriak saat melihat ibu mencemplungkan wajah ke air panas. Sehingga film ini sama sekali tidak terasa seperti eksploitasi karakter anak di dalam genre horor. Meskipun memang horor yang ditampilkan termasuk cukup grotesque. Like, orangtua yang nekat bawa anak kecil masuk dijamin bakal nyesel udah melanggar penerapan batas umur. Tujuh belas plus itu sudah tepat. Gimana enggak, di film ini adegan pembunuhan dari iblisnya pasti bakal membekas karena digambarkan sadis, bayangkan gimana gak trauma anak saat melihat kekerasan berdarah-darah itu menimpa karakter yang seorang ibu, kakak, anggota keluarga yang relate banget dengan kehidupan sehari-hari.

Jangan genrenya yang dijadiin kambing hitam

 

Sedari menit awal, film sudah ngasih aba-aba teror seperti apa yang bakal dihadirkan. Sesuram dan disturbing apa tone yang bakal digambarkan. Film dimulai dan kita disambut suara lalat di suatu tempat di rumah mereka, buatku ini jadi ‘warning’ yang fun. Secara desain, hantu-hantunya (si hantu tinggi itu!) dan makhluk kambing menyerupai iblis Baphomet yang meneror para karakter memang terlihat mengerikan. Film bermain-main dengan gerak kamera dan editing, menghasilkan kesan kengerian mental yang juga merasuk ke benak kita. Karena hantu dan monster itu muncul sekelebatan, dan film tega untuk menjadikan jumspcare. Terkadang para aktor memainkan versi kesurupan dari karakter mereka, dan itu penggambarannya cukup gila. Bit terakhir dengan Teuku Rifnu Wikana bahkan nails vibe surealis dan teror psikis dengan ‘manis’.  Film juga merambah body horror untuk adegan-adegan kematian dijemput si iblis. Momen-momen horor di sini intens. Cuma salahnya, pencahayaannya agak sedikit terlalu gelap untuk bisa sepenuhnya dinikmati oleh kita. Acapkali rasa takut itu datang ‘telat’ karena aku harus sibuk dulu menyipitkan mata berusaha mencerna hantu seperti apa yang ada di layar, atau just mencerna apa yang sedang terjadi sama karakter di tengah malam listrik mati tersebut.

Selain momen terlalu gelap itu, aku juga terlepas dari mood yang dibangun saat film mulai mengeluarkan dialog-dialog yang dramatisasinya agak sinetron-ish. “Tampar saja, Pak!” Menurutku film ini lebih kuat saat langsung memperlihatkan tindakan karakter, misalnya ketika Yoga yang awalnya ogah nurut Bapak akhirnya ikut membantu Nadia mencangkul kubur untuk kambing selesai disembelih saat ritual. Narasi voice over Nadia yang mengisahkan kejadian hidupnya juga terkadang agak redundant. It works ketika voice over itu dilakukan untuk menjembatani gap antara periode waktu-cerita. Tapi terasa kurang diperlukan ketika hanya menarasikan kejadian yang secara bersamaan kita lihat di layar. Bapak tampak menguatkan diri demi menolongnya, buatku sudah cukup terdeliver dari akting dan kejadian di layar saja. Tapi mungkin voice over itu diperlukan demi mencuatkan thread horor yang jadi materi asli cerita. Supaya penonton ‘gak lupa’ kalo film ini diangkat dari kata-kata yang ada di thread tersebut. Sebab tentu bagi penonton yang ngikutin sedari threadnya, aspek-aspek yang mereferensikan hal tersebut bakal membuat film lebih menimbulkan kesan.

Kayak karakter Bastala, yang diperankan oleh Giulio Parengkuan. Teman SMA Nadia yang concern sama apa yang terjadi pada cewek itu, dan menyarankannya untuk menuliskan pengalamannya. Karakternya kan sebenarnya gak esensial, secara cerita, Bastala juga gak actually punya arc atau something yang benar-benar paralel untuk development Nadia. Karakter ini bisa saja di-write off, tapi ya itu tadi, aku paham kepentingannya harus ada. Karena mungkin dialah sosok di balik thread, orang yang mengumpulkan kisah yang dialami Nadia. Menurutku film harusnya took more liberty, secara kreatif, untuk penempatan karakter ini. Memilih, either mau dihilangkan, atau lebih dibuat berperan secara langsung, supaya bentuk penceritaan filmnya terasa lebih enak.

 

 




Horor memang bukan cuma soal hantu-hantuan, bunuh-bunuhan. Ada cerita manusia di dalamnya. Manusia yang terjerumus masuk ke jalan yang salah, misalnya. Film ini paham bahwa horor pertama-tama haruslah berangkat dari tragisnya manusia, kemudian baru menjadikannya sajian horor yang sadis dan teror yang menakutkan (kalo buat genre horor, ini disebutnya ‘sajian yang menyenangkan’) Cerita keluarga yang jadi pusatnya, membuat film ini sebuah pengalaman emosional yang menarik untuk diikuti. Membuat film jadi punya nilai lebih, enggak sekadar jumpscare-jumpscarean. Toh di bidang itu, film juga tidak kalah asyik. Naskah sudah runut dan gak terjebak ngasih plot twist yang gak perlu. Hanya arahan saja yang agak kurang kuat, karena film ini ada di posisi sebagai adaptasi dari thread. Posisi yang membuatnya harus ‘ngikut’ materi walau masih cukup banyak yang perlu diluruskan agar lebih enak sebagai penceritaan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DI AMBANG KEMATIAN.

 




That’s all we have for now.

Kandang Bubrah hanyalah satu dari banyak lagi ritual pesugihan yang berkembang di masyarakat. Apakah kalian tahu yang lainnya?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PETUALANGAN SHERINA 2 Review

 

“Play by the rules, but be ferocious”

 

 

Petualangan Sherina (2000) arguably adalah salah satu film anak terbaik Indonesia. Bahkan di kota asalku yang gak ada bioskop, gaung film itu terdengar keras.  Di sekolahku dulu anak-anak pada nari “Matahariiiii bersinar terang” sama geng masing-masing. Semua pada bawa bekel tupperware isi keping coklat warna-warni. Pose Sherina dan Sadam bertolak punggung, ditiru jadi pose andalan saat berfoto.  Tahun segitu memang film lagi ‘sepi’, Petualangan Sherina hadir bukan cuma jadi hiburan satu-satunya. tapi juga dengan cerita yang ringan nan asik, lagu-lagu yang catchy, dan karakter yang memorable. Sekarang, 23 tahun setelahnya, Riri Riza kembali menghadirkan Petualangan Sherina, di saat yang menurutku juga masih mirip dengan keadaan kemunculan film pertama. Yakni saat kita para penonton bioskop merasa ‘sepi’ dan perlu dihibur oleh karakter yang kita kenal dan lagu-lagu yang catchy. Petualangan Sherina 2 memang dihadirkan untuk memuaskan dahaga nostalgia serta menjawab rasa kangen terhadap para karakter. Bagaimana kelanjutan kehidupan mereka. Jadi apa Sherina dan Sadam – ‘teman-teman kecil’kita dulu itu sekarang.

Sherina M. Darmawan kini jadi reporter stasiun televisi. Cocok sih, mengingat karakternya di film pertama dulu sebagai anak yang cerdas, mandiri, kritis dan tak ragu untuk mendebat sesuatu yang menurut dia mengganjal. Salah satu quote-nya yang paling kuingat dulu adalah ketika bertanya apakah kenakalan itu juga keturunan, karena kalo ada anak yang baik, biasanya orangtua bakal dengan bangga bilang turunan ibu/ayahnya. Sherina thought kenakalan mungkin juga ‘bekerja’ seperti demikian. Dengan kualitas dan sikap seperti itu, Sherina memang pantas jadi jurnalis handal, aku sempat kepikiran karakter Gale Weathers di franchise Scream. Sherina di sekuel ini memang nyaris se-ferocious perempuan itu. Kita melihat dia kesal enggak jadi dikirim meliput ke Swiss. Alih-alih ke sana, Sherina malah ditugasi ke hutan Kalimantan. Meliput penangkaran orangutan. Di hutan itulah nanti Sherina reunian dengan Sadam. Karena sikap pantang melihat hal gak bener Sherina-lah, mereka terlibat petualangan baru; melacak anak orangutan yang dicuri untuk dijual kepada sosialita pengoleksi hewan eksotis. Bergerak sendiri karena menurut Sherina, ngatur strategi itu kelamaan.

Sherina, M-nya apa?

 

Dua-puluh-tiga tahun tentu saja bukan rentang yang sebentar. Film ini tahu persis siapa market mereka. Penonton yang juga ikut bertumbuh; yang dulu menonton Petualangan Sherina saat masih kecil, dan kini bakal kembali ke bioskop menyaksikan kelanjutan cerita. Dan kembalinya mungkin bukan sendiri, melainkan bersama ‘jagoan’ kecil mereka. Jadilah film ini diarahkan untuk jadi tontonan keluarga, tapi dengan cerita yang sedikit lebih dewasa. Film ini paham bahwa kita yang nonton bakal penasaran sama Sherina dan Sadam kini seperti apa. Dalam 23 tahun itu apa yang terjadi pada hubungan mereka. Jadi film ini ‘menggoda’ kita. Sherina dan Sadam dibuat sudah lama berpisah. Bibit-bibit hubungan romantis mereka disebar, karena mereka masing-masing belum berkeluarga. Sherina Munaf dan Derby Romero tampak mudah saja menyambung chemistry karakter mereka.  Kisah yang terjadi kepada mereka setelah kejadian film pertama, hingga mereka SMP dan SMA dan kuliah, turut disebar menghiasi petualangan mereka di hutan. Akan ada momen-momen mereka berdialog yang akrab maupun yang bikin kita penasaran. Bikin kita gemes. Bahkan mungkin sukses membuat penonton terkenang kepada sahabat yang sudah lama tidak bersua.

Ini tentu saja berkaitan dengan development karakter. Urusan naskah. Sebenarnya film ini jauh lebih ‘ambisius’ dibandingkan film pertamanya dulu itu. Ambisius dalam artian ada lebih banyak hal yang dibahas di sini. Naskah-lah yang bertindak sebagai tulang punggung, menjaga agar cerita tetap berjalan sesuai dengan perkembangan karakter.  Perkembangan karakter Sherina yang sedari kecil sudah senang debat dan kritis tadi, kini dikembangkan menjadi ‘flaw’ bagi karakternya. Setiap protagonis utama harus punya flaw/cela karena dari situlah nanti dia bakal mendapat pembelajaran yang membentuk journey karakter yang melingkar sebagai akhir cerita. Flaw Sherina inilah yang menarik, Film tidak terjebak untuk menghadirkan protagonis perempuan yang serba-perfect. Flaw membuat karakter Sherina manusiawi, semanusiawi ketika dulu saat masih kecil karakternya diperlihatkan punya hobi ‘pura-pura’ jadi jagoan. Waktu masih kecil, sikap kritis membuat Sherina tampak lucu. Kini, sikapnya itu malah membuat orang di sekitarnya kurang nyaman. Sherina jadi sedikit bossy. Gak mau diatur, dan maunya hanya melakukan pemikiran sendiri. Sikap itu jualah yang jadi akar rengganggnya hubungan Sherina dengan Sadam. Proses Sherina dealing with her flaw inilah yang tercermin pada aksi-aksi mereka nanti saat berusaha menyelamatkan anak orangutan yang diculik. Memberikan bobot di balik sajian luar cerita.

Jika waktu kecil Sherina belajar untuk melihat hal lebih dekat, kini dia perlu belajar membuka diri untuk melihat dari sudut pandang lain. ‘Mendengar’ orang lain. Gak bisa hanya dengan terus nurutin apa yang menurut dia langkah yang tepat.  Memang, terkadang kita perlu untuk bermain sesuai aturan. Play by the rules, dan mainkanlah dengan lebih baik dari orang lain.

 

Selain soal itu, film juga tampak ‘serius’ bicara soal pelestarian alam, khususnya satwa. Dua karakter antagonis – pasangan yang mengoleksi hewan eksotis – boleh saja dibuat komikal. Ratih yang diperankan Isyana Sarasvati udah kayak Scarlet J.,,eh, udah kayak Cruella De Vil di 101 Dalmatians, hanya lebih konyol. Dia juga dikasih ‘villain song’ yang buatku justru paling memorable di antara lagu-lagu lain di film ini. Tapi kalo diliat-liat karakter jahat komikal tersebut seperti menyentil keadaan yang kita jumpai di kehidupan nyata. Maraknya tren memelihara hewan liar, seperti bayi monyet, bayi macan, dan lain sebagainya di kalangan figur publik. Memelihara tapi bukan untuk melestarikan melainkan hanya untuk dijadikan konten. Menaikkan status sosial. Film ini ngasih pesan dan informasi kepada penonton bahwa hal tersebut adalah sama saja dengan tindak kejahatan. Ini pesan yang penting banget untuk dilihat terutama oleh penonton cilik, karena memberikan edukasi pelestarian satwa dan lingkungan kepada mereka. Salah satu lagu di film ini bahkan menyuarakan soal orangutan dan hutan kalimantan.

Hatiku sedih, hatiku gundah, kok malah jadi berpisah

 

Film ini tahu untuk play within its strength. Dan strength film ini tak lain tak bukan adalah nostalgia. Honestly, aku gak expect film ini bahkan dimulai dengan mengembalikan status-quo kepada formula film pertama. Sherina dari kota, dikirim ke daerah, bertemu Sadam di sana. Banyak sekali adegan-adegan yang bakal ngingetin kita pada momen-momen di film pertama. Nostalgia yang paling kerasa itu terutama pada adegan musikalnya. Seperti film pertama, sekuel ini juga diarahkan sebagai sajian musikal. Sherina dan Sadam akan menyanyikan kejadian dan perasaan yang mereka lalui. Dan kebanyakan lagu-lagu di film ini mereferensikan lagu-lagu pada film pertama. Di satu sisi hal ini memang sweet banget. Mendengar kembali lagu-lagu yang mungkin udah kita nyanyikan berulang kali sedari kecil tentu saja ngasih sensasi menyenangkan tersendiri, walaupun liriknya sedikit diubah mengikuti keadaan cerita yang sekarang. Di sisi lain, terasa jadi agak maksain juga. I’d prefer mereka menyanyikan anthem dari lagu-lagu baru ketimbang cuma mengubah lirik.  Musical number di film ini terasa kurang banyak range-nya dibandingkan dengan lagu-lagu di film pertama. Dulu itu Sherina sedih aja ada lagunya. Di film kali ini kayaknya relatif saat perasaan lagi ‘up’ saja yang dinyanyikan. Dulu, ada battle nyanyi segala. Antara Sherina dan Sadam, ledek-ledekan sambil bernyanyi di halaman sekolah. Di film sekarang, meski Sherina bertemu dengan Ratih, film gak ngasih battle nyanyi lagi kepada kita.

Karena di film ini sekarang ‘battle’ jadi beneran berantem. Sherina dan Sadam jadi literally jagoan, karena bisa berantem ngalahin komplotan penculik dan bodyguard pribadi Ratih dan suami. Memang make sense, sih, kalo setelah kejadian film pertama, Sherina dan Sadam belajar membela diri sehingga kini mereka bisa beraksi. Film juga tak lupa ngebuild soal adegan aksi berantem ini pada sepuluh menit awal dengan memperlihatkan Sherina mukulin samsak dan foto dia ikutan karate. Tapi ya rasanya aneh dan too much aja. Kayak pas Sherina dan Sadam berhadapan dengan cewek bodyguard Ratih, vibenya masih terasa gak klop dengan ‘Petualangan Sherina’ yang kita tahu. Hampir kayak di Pitch Perfect 3 tau-tau Amy bisa berantem, padahal di dua film sebelumnya vibe film itu ya tentang lomba acapella saja. Vibe berantem ini juga bikin komplotan penjahat harus jadi ‘serius’, sehingga presence aktor-aktor dengan akting mumpuni jadi penjahat konyol diganti oleh yang fokus ke bisa action saja. Dan ‘lubang’ di departemen akting ini kerasa banget.

Alih-alih melebarkan sayap ke departemen aksi, menurutku film baiknya melebarkan sayap ke pengembangan karakter lain, Toh cerita kali ini sebenarnya melibatkan banyak karakter baru. Selain karakter antagonis tadi,  ada si kameraman partnernya Sherina, yang kayaknya ada rasa sama Sherina. Ada anak kecil yang ikut membantu menyelamatkan orangutan. Gak semuanya mendapatkan porsi yang cukup. Padahal kalo digali, kayaknya bisa menambah kedalaman cerita. Yang paling kerasa kurang itu adalah si anak kecil. Si Sindai ini kayak udah didesain sebagai cerminan Sherina waktu kecil, tapi enggak banyak adegan yang menampilkan Sherina berinteraksi dengan Sindai. Relasi di antara mereka tidak pernah benar-benar di-build up. Padahal akan keren sekali kalo berdua ini lebih banyak beraksi dan bareng-bareng. I just don’t know kenapa film gak simply membuat Sherina, Sadam, dan Sindai bertualang bersama. Kenapa mereka harus terpisah jadi dua ‘regu’ dan not really berinteraksi dan menjalin hubungan. Padahal Sindai kan posisinya representatif bagi penonton cilik yang diajak ngikut kakak-kakak atau orangtua mereka yang telah ikut tumbuh bersama Sherina dan Sadam. Jadi tidak ada salahnya kalo peran dan karakter Sindai juga ikut lebih banyak tergali.

 




Betapa bahagianya. Kita akan certainly have a great fun time jika datang ke film ini mengharapkan nostalgia ketemu karakter-karakter yang udah kayak teman lama. Arahan film ini tahu apa-apa saja yang harus dideliver, dan melakukan itu dengan sangat efektif. Kisah petualangan baru Sherina diwarnai oleh pesona-pesona yang ada di film pertama. Tontonan keluarga ini meriah oleh lagu-lagu dan cerita yang seru. Bermain-main dengan rasa penasaran kita terhadap lanjutan hubungan karakternya. Dan sebagaimana ihwalnya sebuah sekuel, film ini pun aim for jadi bigger. Punya pesan menjaga alam. Bahkan punya vibe action segala. Naskah menjaga semua itu tersusun rapi, tapi tetap saja buatku film ini beberapa kali terasa too much, sekaligus too little dalam ngehandle hal-hal esensial untuk bangunan cerita. Misalnya karakter-karakter baru yang kurang tergali. Membandingkannya dengan film pertama yang juga punya naskah bener dan terarah, film itu terasa lebih tight karena lebih simpel. Menurutku film kali ini, considering lebih banyak hal yang ditawarkan, terasa agak kewalahan juga. Namun paling enggak, mereka deliver their strength nicely.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PETUALANGAN SHERINA 2

 




That’s all we have for now.

Awalnya sih aku kurang relate sama Sherina yang kerja kantoran, happy pula. Menurutku Sherina lebih cocok sebagai jurnalis yang happynya saat turun ke lapangan. Sadam juga sebenarnya buatku agak ‘jauh’ juga dari yang kecilnya suka bintang, jadi fokus ke penangkaran orangutan. Gimana menurut kalian, apakah kalian punya versi fan-fic Sherina dan Sadam tuh cocoknya gedenya jadi apa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL Review

 

“Study the past if you would define the future”

 

 

Kisah-kisah dari tanah Nusantara memang tak ada habisnya. Keragaman suku, adat istiadat, hingga kepercayaan beragama membuat Indonesia bagai sebuah sumur minyak ide cerita yang senantiasa mengalir. Problemnya memang  soal pengisah cerita harus tahu di mana harus menggali. Lalu bagaimana mengolahnya. Ide membuat kisah horor berkelanjutan dari mitologi khas Jawa memang menarik. Dengan pengalamannya menggarap horor terlaris serta horor dengan makhluk khusus, Awi Suryadi di posisi sutradara tampak seperti tawaran yang cukup menjanjikan. Like, aku tertarik untuk melihat gimana dia bakal menghidupkan sosok-sosok horor dalam legenda. Tapi balik ke problem ‘gali sumur minyak’ tadi. Arahan horor Awi hanya bisa terlaksana maksimal jika dibarengi oleh naskah yang tahu di mana harus menggali dan mengolah kisah-kisah adaptasi ini. Dulu pernah jadi serial, kini Kisah Tanah Jawa tampak memulai proyek pertama dari universe kisah horor ini dengan Pocong Gundul, namun sedari film krusial ini kelemahan penulisan sudah amat kentara.

Konsep baru dari dunia parapsikologi diperkenalkan oleh film ini. Konsep retrokognisi. Basically, itu adalah istilah untuk kemampuan paranormal bisa melihat masa lalu. Dalam film ini, retrokognisi bahkan bisa melakukan perjalanan ke masa lalu. Hao yang mewarisi kemampuan itu dari sang Eyang, tinggal memegang benda milik seseorang lalu dia bisa melihat apa yang terjadi pada empunya barang tersebut di masa lalu. Tadinya kemampuan ini Hao gunakan untuk kepentingan mengungkap sejarah. Tapi sepasang suami istri yang hadir di seminar Hao meminta pertolongan untuk mencari anak gadis mereka yang hilang. Dengan kemampuan retrokognisi, Hao mencoba menemukan siswi yang hilang di sekolah. Aksi Hao tersebutlah yang membuat Pocong Gundul, hantu produk ilmu hitam yang menculik si siswi, jadi turut mengincar nyawanya.

Kenapa mantra-mantra bahasa Jawa terdengar lebih mengerikan?

 

Penggambaran horor yang dilakukan film terhadap konsep paranormal tersebut cukup kreatif dan menyenangkan. Karena yang sebenarnya ‘pergi’ ke masa lalu dalam retrokognisi film ini adalah ‘qorin’ dari Hao yang melihat semua peristiwa sebagai empunya barang yang dijadikan medium, maka yang kita lihat adalah Deva Mahenra duduk di sana tapi dari pantulan cermin-cermin yang ada kita dapat melihat sosok ‘aslinya’, yaitu Sari si siswi yang hilang. Untungnya film punya efek dan teknis yang mumpuni untuk menjelajahi ‘lapangan bermain’ yang unik dari elemen horornya tersebut. Kita juga enggak susah menyejajarkan diri dengan karakter, lantaran Hao di sana juga sama dengan kita, mengalami ketakutan yang dirasakan Sari saat kejadian. Jadi jumpscarenya akan efektif, permainan kameranya akan benar-benar terasa membangun ke antisipasi kita untuk kejadian horor. Bukan hanya itu, film ini juga berhasil memvisualkan ketakutan psikologis Sari dan Hao, di antaranya lewat estetik kain kafan dan tanah kuburan, serta – ini yang menarik dan menurutku kurang banyak dieksplorasi; elemen body horror.

Apalah horor berkearifan lokal tanpa ilmu hitam. Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul juga mengeksplorasi soal klenik, menyandingkannya dengan pseudo-science. Ritual santet hingga kekuatan si Pocong yang melahap sukma manusia lewat ujung jari, semua itu mengarah kepada adegan-adegan ‘gangguan’ pada anggota tubuh manusia. Kita melihat karakter menjerit histeris saat tubuh mereka melakukan hal di luar normal; bola mata yang membesar hingga pop out dari lubangnya, misalnya. Hanya saja, adegan-adegan horor yang kuat ini tidak ditimpakan kepada karakter utama. Deva Mahenra tampak sudah siap untuk tampil total, tetapi karakternya tidak banyak mengalami development. Secara scare pun, karakter Sari yang diperankan natural oleh aktor remaja Nayla D. Purnama, terasa dapat adegan yang jauh lebih mencekam.

Padahal kalo dilihat-lihat, desain journey Hao sebenarnya mirip dengan Qodrat (2022). Film ini ngeset up cerita yang membuka untuk petualangan-petualangan Hao selanjutnya sebagai pembasmi hantu pengganggu manusia. Tapi tidak seperti Ustadz Qodrat, Hao tidak terasa seperti earned petualangan tersebut. Karena Hao masih minim penggalian karakternya. Dia ‘cuma’ berubah dari orang yang menggunakan ilmunya sebagai bahan seminar, menjadi seorang ‘pahlawan’. Perubahannya tersebut minim inner journey, melainkan cuma karena si Pocong Gundul juga sekarang mengincar dirinya. Hubungan Hao dengan karakter lain juga tidak ter-flesh out. Persoalan yang  dibuka di bagian awal, tentang dia yang masih kecil dengan kejadian yang menimpa eyangnya, tidak pernah dijadikan hook dramatis oleh cerita. Sehingga plot film ini kerasa hampa. Ini jadi keputusan yang aneh karena set upnya itu sendiri dimainkan dengan dramatis, seolah bakal berpengaruh kepada Hao saat dewasa. Eyang meminta Hao kecil untuk stay selama eyang retrokognisi ke masa lalu, tapi Hao malah pergi main ke luar rumah bersama Rida, sahabatnya. Like, aku nungguin sepanjang durasi kapan Hao dewasa merasa bersalah atau terguncang oleh peristiwa kematian eyangnya. Tapi hook dramatis yang penting sebagai bangunan karakternya itu tidak ada. Karakter Hao berjalan lempeng aja. Sehingga ketika dia diganggu hantu pun, gangguannya tidak benar-benar terasa ngaruh ke emosi kita. Stake dia ngelakuin retrokognisi juga tidak dibangun, ya aturannya, pantangannya, atau semacamnya, padahal sudah dilandaskan bahwa kemampuan tersebut berbahaya.

Biasanya, kisah tentang orang yang bisa ke masa lalu, akan berkaitan dengan bahasan entah itu dia memperbaiki satu hal kecil, atau konfrontasi dengan hal di masa lalu, atau yang lainnya seputar gimana masa lalu itu jadi pembelajaran baginya untuk menangani masalah di masa sekarang. Film ini melibatkan karakter yang ke masa lampau katakanlah untuk mencari info ngalahin setan, tapi secara keseluruhan film ini terasa kosong karena gak actually punya sesuatu di balik ‘perjalanan’ itu terhadap perkembangan karakter utamanya. 

 

Penceritaan tidak terbantu oleh tone yang terasa ke mana-mana. Film ini seperti mengincar horor yang serius menakutkan, namun itu tidak pernah tercapai karena seringkali film malah jatohnya lucu. Della Dartyan berperan sebagai Rida, sahabat yang menjaga Hao saat melakukan perjalanan mistis, lucunya dia berakting seperti sedang dalam sebuah film komedi. Tau gak gimana superhero Marvel seringkali nyeletuk konyol saat bertarung melawan supervillain, di tengah bahaya mengancam dunia? Nah, Rida-nya Della seringkali nge-Marvel-in kisah horor ini. Buatku yang ingin ngerasain feeling horor, ini annoying. Tapi toh penonton lain pada ketawa. Jadi mungkin baiknya memang film ini dijadikan horor komedi saja. Lagipula lihat saja desain makhluk Pocongnya. Aku gak tau di mana letak seramnya pocong yang gundul, atau bahkan apakah hantu yang kepalanya gundul masih layak disebut pocong karena kalo kita bisa melihat palanya gundul berarti dia sudah bukan hantu yang terbungkus kafan lagi…. Jujur saja, penampakan hantu itu saat bersosok Iwa K. justru jauh lebih creepy dan disturbing. Saat full make up pocong gundul, kesan seramnya hilang. Tinggal ngagetin doang. Ditambah pula si Rida dengan cueknya memanggil-manggil dia dengan sebutan ‘Gundul’. Aspek paling seram dari si Pocong Gundul adalah fakta bahwa senjata andalannya adalah ludah asam! Kupikir, damn, mungkin dia semasa hidup suka main sebagai Reptile di Mortal Kombat

Bikin martabat pocong terjun bebas aja!

 

Sekiranya kita enggak tahu film ini diadaptasi dari buku cerita, penonton film yang sudah fasih sama bentuk penceritaan film pasti akan bisa menebak kalo cerita film ini aslinya adalah dari buku. Darimana bisa ketebak? Dari penceritaan yang terlalu bergantung kepada eksposisi lewat narasi. Lewat info yang ‘diceritakan’ oleh karakter. Naskah film ini masih belum luwes dalam mengadaptasi penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan, misalnya soal retrokognisi itu apa, pocong gundul itu aslinya dari siapa, dan sebagainya; penjelasan-penjelasan itu masih dituturkan begitu saja oleh karakter. Mereka mendiktekan penjelasan itu, hampir seperti aktornya tinggal membacakan teks saja. Seharusnya naskah yang baik bisa menerjemahkan itu ke dalam bentuk penceritaan yang lebih kreatif. Membuat adegan penjelasan yang lebih mengalir dan tidak seperti kita mendengar orang membaca bahasa tulisan. Karena produk naskah kan sebuah film, tayangan audio visual yang harusnya lebih sebagai sebuah memperlihatkan, daripada hanya memperdengarkan.

Saking banyaknya eksposisi,  nonton film ini hampir seperti kayak dengerin mumbo jumbo omong kosong doang. Masih mending nonton Tenet, yang walaupun dialognya juga penuh penjelasan teori fisika kuantum or whatever that is, tapi setidaknya itu adalah pengetahuan yang ada bobot kebenarannya. Sedangkan pada Pocong Gundul ini, semuanya terasa tanpa bobot. Tau dong pepatah ‘air beriak tanda tak dalam’? Nah, film Pocong Gundul yang ceriwis ini juga seringkali malah jatoh bego oleh dialog ngasal dan lemah logika yang mereka punya. Salah satu yang menurutku fatal karena merusak penerimaannku terhadap logika-cerita mereka adalah soal siswa yang hilang di sekolah, yang kata gurunya sudah dicari-cari ke hutan belakang tidak ketemu, padahal siswa itu ada di dalam sumur yang ada di sana. Masa iya saat pencarian gak ada yang mencari ke dalam sumur – yang bahkan lokasi sumurnya sama sekali tidak tersembunyi ataupun sulit dijangkau. Apalagi peristiwa kehilangan tersebut bukan yang pertama kali, melainkan sudah ada dua kejadian sebelumnya. Buatku ini adalah gejala sebuah penulisan yang malas. Peristiwa seputar misteri hilangnya siswa tersebut mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi.

 

 




The actual horrifying truth adalah mereka akan terus membuat horor berkualitas subpar seperti ini. Tidak peduli sekeras apapun kita mengkritik. Tetap tidak akan ada perbaikan. Karena film-film seperti ini akan terus laku. Palingan tampilannya saja yang seiring berjalan teknologi akan semakin cakep, dan mulus, dan teknisnya makin bagus. Adegannya semakin sadis. Sementara ceritanya, sebaiknya kita melihat ke belakang dan tidak berekspektasi banyak. Ragam budaya dan seni dan nilai lokal tanah air akan terus dieksploitasi sebagai cerita horor ala kadar, yang bahkan untuk memenuhi fungsi sebagai melestarikan budaya/seni itu saja belum bisa. Mereka hanya akan jadi latar untuk horor-horor seperti ini. Konsep unik yang ditawarkan akan lenyap di tengah-tengah cerita, seperti hantu yang dibacain Ayat Kursi. The new low buat horor lokal adalah saat hendak menontonnya kita memang tidak mengharapkan yang muluk-muluk, tapi somehow begitu filmnya usai kita tetap merasa kecewa. Aku merasakan itu di film ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL

 

 




That’s all we have for now.

Kalo buatku, bahasa Jawa itu terdengar lebih mengerikan ketika dijadikan mantra atau tembang horor. Apakah ada yang sependapat? Atau ada yang ngerasa lebih seram daerah lain? Kenapa ya setiap orang bisa berbeda gitu?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE NUN II Review

 

“Seeing a miracle will inspire you, but knowing you are a miracle will change you”

 

 

Adalah fenomena ajaib, saat sebuah sekuel tampil lebih baik dari film pertamanya. Ajaib dalam artian, agak jarang terjadi. Lantaran sekuel biasanya dibikin karena studio berusaha mengulangi kesuksesan sebuah film, maka kualitas sudah bukan perkara utama lagi. Dari sudut pembuat, pembuatan sebuah sekuel itu stake-nya lebih kecil, less riskier, ketimbang cerita baru. Usaha mereka bisa diperkecil saat ada jaminan penonton bakal datang menonton lanjutan dari sesuatu yang sudah terbukti sukses sebelumnya. Kejadian langka sekuel lebih bagus dari pendahulunya maka wajib kita rayakan, karena itu berarti film tersebut bukan semata pengen memerah kesuksesan, tapi juga melakukan perbaikan-perbaikan. The Nun II, kukatakan saja, tampil lebih baik dari film pertamanya yang sangat uninspiring dan tak memorable. Namun karena The Nun pertama separah itu pulalah, maka kiprah sekuel horor karya Michael Chaves ini tak menjadi seajaib itu. The bar was just too low. Dan The Nun II berhasil tampil lebih baik meskipun usaha perbaikannya sendiri sebenarnya amat sangat minim.

Mengambil latar waktu beberapa tahun setelah battle antara Suster Irene dengan Valak, The Nun II dibuka oleh kematian mengenaskan seorang pastor. Tubuhnya terangkat ke udara, lalu terbakar seketika. Kematian misterius pemuka gereja tersebut ternyata hanyalah satu dari banyak lagi kasus lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai penyintas, Suster Irene yang melanjutkan hidup sebagai suster normal di biara normal, ditugasi kembali oleh Gereja untuk mengusut kasus ini. Karena there’s no doubt, si suster iblis Valak, berada di balik semuanya. Bersama kolega baru, Suster Irene harus melacak relikui kuno. Serta mencari keberadaan si Valak, yang kini bersemayam di sebuah boarding school untuk anak-anak perempuan.

The Nun II yang dinanti-nanti oleh… NO ONE

 

Cerita kali ini memang punya bobot emosi. Karena si Valak actually bersemayam masih di dalam tubuh Frenchie alias Maurice, seperti yang kita lihat di akhir film pertama. Sehingga koneksi personal antara Irene dengan Maurice akan jadi hook dramatis saat kekuatan baik dan jahat itu akhirnya nanti bertempur sekali lagi. Selain itu, pemuda baik hati yang kerja jadi tukang kebun tersebut juga diperlihatkan punya hubungan yang dekat dengan salah satu guru di boarding school (disebutnya Ibu oleh anak-anak murid) dan dengan salah satu anak murid yang bernama Sophie. Malahan, ini juga lantas jadi kekurangan film The Nun II buatku. Bobot emosi cerita ini lebih banyak dan lebih mudah tersampaikan ketika dipantik dari karakter lain, bukan dari karakter utama. Film ini kena ‘penyakit’ karakter utamanya kalah menarik dengan karakter lain. I would prefer cerita fokus di Sophie saja. Fokus di kehidupan di boarding school saja. Simpati kita sebenarnya memang lebih banyak tercurah kepada si kecil Sophie. Yang dibully oleh teman sekelas, dikatain pacaran sama om-om (alias Maurice). Setting asrama katolik tempat mereka bersekolah juga lebih banyak menawarkan elemen-elemen horor. Misalnya ketika teman-teman Sophie mengajaknya ke chapel terbengkalai untuk main challenge yang berbau mistis.

Sedangkan Suster Irene, maan, aku suka Taissa Farmiga di serial American Horror Story, tapi di sini karakter dia boring. Bosenin bukan karena dia gak lakuin apa-apa, loh. Suster Irene ini ‘kerjaan’nya banyak banget; traveling, investigasi, dan nanti harus ‘duel’ lagi dengan Valak. Cuma ya, terlalu banyak sehingga momen-momen untuk development karakternya jadi minim. Ada sedikit soal dia teringat akan mendiang ibunya, tapi itu pun tidak berbuah sesuatu yang membuat kita melihat dia sebagai karakter yang genuine. Setidaknya tidak seperti kita melihat Sophie, atau malah kolega barunya, si Suster Debra (diperankan oleh Storm Reid) Karakter Suster Irene punya sedikit sekali inner journey atau pembelajaran diri yang dramatis. Karakternya cuma belajar tentang identitas dirinya ternyata keturunan siapa. Dramatisnya Irene cuma datang dari ‘ternyata’. Sementara Sophie, kita melihat dia dari seorang korban bully menjadi gadis cilik yang berani. Lalu Suster Debra, punya arc dari seseorang yang ragu akan ‘kerjaan’ mereka – katakanlah dia suster yang imannya kurang – menjadi percaya akan mukjizat. Kepercayaan yang kuat sehingga mendorong Suster Irene untuk semakin ‘pede’ ngalahin Valak.

Sebagai horor gotik yang kental dengan nuansa religi, The Nun II memang banyak bicara soal mukjizat dan kepercayaan. Pembahasan soal anggur adalah darah Yesus adalah pembicaraan soal menumbuhkan iman. Bahwa dengan iman yang kuat maka kebenaran akan terwujud. Bahwa akan selalu ada mukjizat di sekeliling, bagi orang-orang yang percaya. Dan seperti yang dialami Suster Irene, terkadang mukjizat itu ada pada diri kita sendiri.

 

Alih-alih mengembangkan Irene sebagai karakter, film ini tampak lebih tertarik menggarap Irene sebagai karakter dengan casting meta. Film lebih tertarik membangun benang merah antara Irene yang diperankan oleh Taissa Farmiga, dengan Lorraine Warren di timeline The Conjuring yang diperankan oleh kakak Taissa, Vera Farmiga. Dalam salah satu sekuen ‘penglihatan’ Irene terhadap masa lalunya, sekilas ada Lorraine, sehingga mengindikasikan dua karakter ini mungkin memang berada dalam satu garis keturunan yang sama. Lore cerita seperti ini memang menarik, tapi menurutku hal-hal trivia seperti begini masih bisa dilakukan sambil tetap membangun personality karakter secara khusus dengan lebih genuine. Jadi film ini sebenarnya lebih tepat jika difungsikan sebagai horor tertutup di setingan sekolah asrama, dengan karakter-karakter yang hidup di sana sebagai perspektifnya. Tapi karena perspektif utamanya Irene, maka cerita akan sering berpindah-pindah ke bagian ‘investigasi’ yang menurutku membuat kita seringkali lepas dari denyut cerita yang bikin film ini hidup.

Ciee Valak masuk halaman Mode hahaha

 

Sepulang nonton, aku ngecek trivia IMDB film ini, dan di sana disebutkan total screen time Valak si suster iblis cuma dua menit lima-tujuh detik. The Nun II sesungguhnya merupakan film yang benar mengandalkan atmosfer horor ketimbang menjadikan sosok demonnya banci kamera. Oh, jumpscare tetap ada. Banyak. Sebagian besar ngeselin, terutama yang muncul di awal-awal. Tapi secara garis besar, film ini mengerti membangun momen-momen seram tersebut. Valak sebenarnya sering muncul, lore nya juga mengalami pengembangan, tapi dia ditampilkan dari balik bayang-bayang. Tidak pernah lebih lama dari seharusnya, sampai-sampai membuat kita bosan melihatnya. Atau malah film bermain-main dengan imaji-imaji yang menyerupai Valak. Momen paling kreatif film ini adalah saat memunculkan ‘Valak’ lewat halaman-halaman majalah di sebuah stand atau kios. Halaman yang berisi gambar-gambar itu membentuk kolase yang serupa dengan penampakan Valak. Dan ini cara film menampilkannya benar-benar intens, like antisipasi kita terhadap kemunculan real Valak tetap dijaga tinggi. Film ini ngerti the art of bikin penonton menahan napas dalam ketakutan. Setiap entrance Valak, entah itu beneran dia atau bukan, benar-benar terasa fresh dan jadi momen horor yang jempolan. Dan bukan hanya Valak, melainkan ada satu makhluk horor lagi yang ditampilkan dalam film ini. Makhluk yang menurutku bisa saja mereka bikinkan film tersendiri, saking efektifnya cara film memperkenalkan.

Karena itu jugalah aku jadi merasa kesal dengan editing film ini. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah hal itu memang dari sononya karena ngincar rating umur tertentu atau ‘ulah’ sensor kita, tapi yang jelas treatment cut-cut film ini dalam menampilkan adegan-adegan horor terasa agak off. Ketika kamera sudah menangkap misteriusnya dengan ciamik, tensi sudah terbangun, exit adegan atau punchline horornya seringkali terasa terlalu cepat. Sehingga momen-momen seram tersebut jadi terasa kurang nendang. Flow horor film pun jadi terasa enggak benar-benar sempurna. Nonton film ini tu jadi kayak kerasa ‘kentang’ gitu loh. Udah capek-capek membuild suspens, tapi puncak pelampiasannya gak ada memuaskan semua. Kayak Valak lagi membunuh salah satu korban misalnya, momen dia ‘nakut-nakutin’nya udah dapat, tapi saat dia went for the kill, tiba-tiba berlangsungnya cepat.

 




Sense horor film ini sebenarnya ada pada tempat yang tepat. Gambar-gambar dan build upnya keren semua untuk standar skena horor. Kalo ternyata bukan salah ‘sensor’, film ini adalah horor dengan timing paling gak-precise yang aku tonton beberapa tahun belakangan. Gak puas aja nontonnya. Ceritanya pun begitu. Padahal dibandingkan film pertamanya, film kali ini punya bobot dramatis. Punya karakter yang cerita mereka mampu membuat kita peduli. Punya development juga. Sayangnya semua itu ada pada karakter yang gak tepat. Dalam artian, bukan pada karakter utama. Heroine utama film ini toh memang tetap dibuat cukup badass dan segala macem, tapi dia ini cuma punya ‘kejadian’. Irene ini bentukan karakternya tu kayak tipikal hero dalam film action. Development dia nyaris tidak ada, melainkan cuma ‘ternyata’. Dan karena cerita harus ngikut perspektif si karakter utama, maka cerita yang mestinya kuat di kejadian sekolah asrama, jadi sering berpindah. So yea, film ini adalah peningkatan dari film pertama, tapi itupun lebih karena film pertama yang memang set standar terlalu ke bawah.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE NUN II

 




That’s all we have for now.

Dunia cerita Conjuring dan The Nun sepertinya sudah diset untuk segera bertemu kembali. Apa hubungan Lorraine dengan Irene menurut kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PUSPA INDAH TAMAN HATI Review

 

 

“An original is worth more than a copy”

 

 

Perkara remake/adaptasi modern dari cerita remaja 80an ternyata masih belum usai. Boy yang sementara waktu bertengger di puncak, mendapat tantangan dari Galih dengan cerita keduanya. Puspa Indah Taman Hati, sekuel dari Gita Cinta dari SMA (2023), hadir dengan suguhan cerita yang lebih sebagai sebuah drama personal dari para karakter sentral. Dunianya memang masih tetap nolstalgia 80an, dengan musik-musik jadul yang diarahkan untuk lebih merasuk ke dalam ruh penceritaan. Namun karya Monty Tiwa kali ini mengusung gagasan yang lebih modern sebagai penyelesaian ‘baru’ dalam konflik ceritanya. Puspa Indah yang memang sudah revolusionary pada zamannya, jadi semakin remaja saja. Bahasan yang boleh dikatakan lebih kompleks tersebut, juga lantas membuat karakter-karakternya terasa lebih real. Menariknya, jika dibandingkan dengan Catatan si Boy yang tayang hanya beberapa minggu sebelumnya, dua film ini terasa seperti agak mirip; karakter utamanya dihadapkan pada pilihan yang sama, dan pilihan mereka masing-masinglah yang jadi penentu. Pembeda yang menunjukkan betapa cerita-cerita ini punya identitas karakter dan gagasan yang kuat. Dan yang paling penting, jika disandingkan dengan Gita Cinta, Puspa Indah sendiri benar-benar jadi sebuah konklusi yang inspirasional bagi perjalanan hidup (bukan hanya cinta) seperti Galih.

Galih dalam Puspa Indah adalah mahasiswa seni yang mencoba membantu menghidupi keluarganya dengan jadi penyanyi. Galih dan ibunya kini tinggal ngontrak di Jakarta. Karir musiknya dapat titik terang tatkala Galih ditawari album solo oleh produser, tapi lagu yang dia nyanyikan bukan lagi lagu karangan sendiri. Melainkan ‘cover’ dari lagu-lagu pop milik penyanyi lain. Lagu-lagu yang bahkan bukan genre yang biasa ia bawakan. Sejalan dengan itu, di kampus, Galih bertemu perempuan bernama Marlina, yang ternyata juga kesengsem sama Galih. Mereka berdua memang jadi pacaran. Tapi tidak tanpa konflik. Karena Galih yang punya pengalaman pahit dalam urusan asmara terkait kelas sosialnya (Galih trauma berat ditolak oleh Bapak Ratna di film pertama), mulai merasa insecure yang berdampak pada karya dan sikap kesehariannya. Marlina pun mengalami gejolak bimbang yang sama karena dia akhirnya mengetahui bahwa wajahnya miriiiiip banget sama Ratna.

Prilly jadi dua, Prilly La-two-consina.

 

Kalo disederhanakan sih, ceritanya memang relate banget. Galih ketemu perempuan yang mirip mantannya. Bukankah memang banyak kejadian seperti itu; kita ketemu orang baru yang ada sesuatu dari dirinya yang membuat kita teringat sama mantan. Atau malah sering juga kan, kita ngerasa kita punya tipe-tipe tertentu, bahwa orang-orang yang pernah kita taksir somehow punya wajah yang mirip. Film ini hanya meng-exaggerate keadaan itu dengan membuat Marlina dan Ratna, both dimainkan oleh Prilly Latuconsina. Aku sendiri juga pernah ngerasain, baru-baru ini malah. Kak Arla yang main juga di Gita Cinta dari SMA mirip banget sama seorang cewek who broke my heart. Maka, selain jadi ngefans sama Arla, aku sebagai cowok Cancer – zodiak yang terkenal susah move on – lantas relapse parah. Aku nyoba ngontak lagi si cewek yang aku tau gak bakal sudi balas messages atau WA ku lagi haha.. Itulah, film Puspa Indah yang bersetting 80an ini sebenarnya sedekat itu. Arahannya pun sebenarnya gak ribet-ribet amat. Film tetap mencoba ‘memancing’ kita ke pilihan Tim Marlina atau Tim Ratna. Naskah Alim Sudio-lah yang menjaga film untuk tetap menghasilkan bahasan yang berbobot.

Marlina dan Ratna bisa kita lihat sebagai Masa Sekarang/Masa Depan dan Masa Lalu bagi Galih. Dan kita tahu bahwa masa lalu, bagaimana juga, penting bagi setiap orang, karena masa lalu-lah yang membentuk jadi seperti apa kita sekarang. Sebagian besar orang (termasuk aku) bahkan menganggap masa lalu akan selalu menang. Tapi Galih adalah seorang karakter tersendiri. Dia boleh saja naksir sama Marlina, karena wajah Marlina mirip sama cinta pertamanya, tapi siapa yang akhirnya dipilih oleh Galih sudah seharusnya diputuskan lewat journey personal Galih. Naskah paham hal ini, karena itulah film menghadirkan kembali Ratna di dalam cerita Galih.  Karena itulah film ini juga tidak ketinggalan mengangkat soal kerjaan Galih sebagai penyanyi. Tema yang mengikat kemelut Galih dengan kerjaannya dan Marlina dengan keinsecure-annya dimiripin sama Ratna,  hingga akhirnya menjadi keputusan Galih memilih siapa di antara dua perempuan itu, adalah soal menjadi diri sendiri.

Statement film dari journey Galih tersebut, menariknya, juga bertindak sebagai gagasan meta. Mengingat film ini sendirinya juga cerita dari masa lalu. Katakanlah, sebuah kopian, seperti lagu-lagu dalam album pop sukses yang dinyanyikan Galih yang bukan original karyanya sendiri. Marlina dan Ratna adalah pembuka mata, bahwa kemiripan mereka bukan lantas berarti Marlina adalah kopian dari Ratna, hanya karena Galih lebih duluan kenal sama Ratna. Bahwa meskipun dari luar ada kemiripan – atau malah disuruh untuk mirip, siapa sebenarnya diri kita, itulah yang membuat kita original. Siapa sebenarnya diri kita, itulah yang harus kita tonjolkan, yang harus tetap dipegang. Maka akhirnya yang dipilih Galih adalah yang membuat dirinya tetap jadi diri sendiri.

 

Cerita yang fokus pada pilihan yang harus dibuat karakter membuat film ini jadi lebih enak untuk diikuti. Karena perubahan pada karakter-karakternya itu lebih mudah terlihat. Yang tentu saja juga berimbas kepada lebih terbukanya ruang untuk para pemain mengeksplorasi akting mereka. Yesaya Abraham, misalnya, di film ini Galih bukan lagi karakter yang lebih banyak diam dan tertekan. Galih di film ini tampak lebih optimis dan berdeterminasi. Flaw karakternya juga lebih kerasa. Kita merasakan dramatic irony pada Galih saat karirnya sukses, tapi membuatnya jadi sedikit songong. Di titik itu kita mengerti Galih yang sukses bisa jadi begitu besar kepala, karena dia punya ‘trauma’ di masa lalu terkait derajat sosialnya. Lucunya, film meng-acknowledge ‘trauma’ Galih tersebut lewat nada yang cukup playful. Seperti ngebecandain Galih. Secara penampilan adegan musik, Yesaya memang selalu tampak tidak-terlalu nyaman disuruh akting bernyanyi. Tapi kini kecanggungannya itu – yang bahkan bertambah karena Galih harus berjoget ala Chrisye – tampak make sense secara inner karakter. Dua karakter yang kepribadiannya bertolak belakang, jelas juga bukan tantangan peran yang enteng bagi Prilly Latuconsina. Marlina dan Ratna berhasil dia hadirkan dengan kekuatan dan kelemahan pribadi masing-masing. Sehingga kita yang menonton pun sering juga terbawa perasaan, kadang kasian ama Marlina dan mendukung Ratna, kadang kasian ama Ratna dan annoyed sama Marlina yang meski lebih terbuka tapi insecure-nya juga gak kelar-kelar

Ternyata bukan Marlina doang, ada lagi yang wajahnya mirip Ratna hahaha

 

Di sinilah menurutku arahan kurang tegas. Secara naskah sebenarnya sudah cukup bagus. Porsi sudut pandang yang balance memang harus dan menjadikan cerita lebih menarik, tetapi semestinya juga tidak mengurangi momen dramatis ketika karakter utama membuat pilihan. Puspa Indah terasa kurang stay di Galih dan agak sedikit terlalu lama mengulik di perasaan Marlina. Karena dari naturenya sebagai film kelanjutan dari Gita Cinta, Puspa Indah adalah soal Galih. Soal perjalanan Galih menentukan pilihan, baik itu karirnya, maupun asmara. Bukan soal Marlina yang bersaing cinta dengan Ratna, atau sebaliknya. Momen pembelajaran Galih memilih apa, atau siapa, dalam film ini tidak diperlihatkan terlalu dramatis. Oleh editing dan cara bercerita film pun, kepentingan perspektif Galih tersebut malah jadi terasa nomordua setelah Marlina dan Ratna ‘meluruskan masalah’ di antara mereka. Film ini banyak membentuk momen-momen tersebut dengan desain untuk menghasilkan ‘ternyata’ alih-alih progres dramatis dari sebuah pembelajaran yang dialami oleh karakter, terutama Galih. Beberapa adegan juga terasa kurang sekuat yang seharusnya, lantaran kadang exit adegannya kelamaan. Misalnya ketika adegan Marlina curhat kepada Ibu Galih; Marlina khawatir jangan-jangan Galih suka dia hanya karena dia mirip Ratna. Momen curhat tersebut terasa agak panjang dan kurang berakhir tegas karena film memilih untuk mengakhiri adegan dengan membahas masalah lain, yakni soal Ibu Galih kangen Bandung.

Film ini juga basically tidak berbuat banyak untuk memperbaiki kekurangan yang kita temukan pada film pertama. Yakni kesan artifisial. Bahasa baku dan lagu jadul, konsep yang dalam dua film ini punya sumber masalah yang sama. Para pemain yang merasa asing dengan konsep tersebut. Karakter-karakter Puspa Indah, secara umum, punya penulisan yang lebih baik. Fungsi dan relasi mereka juga hadir dengan lebih natural. Lebih lancar. Delivery-nya saja yang seringkali masih terasa agak lucu. Adegan-adegan musik juga dilakukan, secara teknis, dengan lebih baik dan tampak lebih meriah masuk ke dalam cerita. Film ini di awal udah kayak mau full-blown musical, dengan nyaris setiap adegan ada nyanyi-nyanyinya. Adegan-adegan nyanyi nya cakep, hanya kesan polesan studio saja yang masih terasa. Like, enggak semua adegan nyanyi perlu polesan, beberapa seperti momen musikal yang sureal, ataupun Galih rekaman dan syuting video klip memang tidak mengapa jika dilakukan dengan polesan. Tapi ada juga adegan-adegan seperti ada Marlina nyanyi di Restoran, yang mestinya lebih kena jika ditampilkan senaturalnya seseorang yang bernyanyi sehari-hari.

 

 




Cerita jaman dulu enak ya, konklusinya tu ada, gitu. Meskipun bersambung, tapi dua filmnya terasa seperti cerita yang berdiri sendiri. Film kali ini, melanjutkan Gita Cinta dari SMA, dengan sebuah perjalanan karakter yang menutup dengan memuaskan. Karena pilihan si karakter itu benar-benar jadi akhir perkembangan dirinya. Sendirinya, film ini hadir dengan statement atau gagasan, yang membuat dirinya tidak sekadar sebuah buatan-ulang. Film ini pun berjuang jadi diri sendiri, seperti karakter-karakternya. Kalo mau dibandingkan lebih lanjut, film ini terasa lebih kompleks dibandingkan Gita Cinta. Karakter-karakternya terasa lebih real. Dunianya yang penuh musik itu pun terasa lebih believable, walau kesan artifisial itu acapkali masih terasa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PUSPA INDAH TAMAN HATI

 




That’s all we have for now.

Galih dan Marlina pacaran main skate bareng teman-teman. Apakah date ala 80an impian kalian?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian jadi pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TALK TO ME Review

 

“Death is the wish of some, the relief of many, and the end of all”

 

 

Kematian – duka – drugs. Lingkaran setan depresi yang merundung remaja itulah yang digambarkan oleh film horor buatan sutradara kembar asal Australia, Danny dan Michael Philippou. Debut penyutradaraan mereka ini ternyata enggak bisa dianggap kaleng-kaleng! Talk to Me punya nafas horor yang kental, disertai pula dengan konsep dan penyimbolan yang menarik. Sekilas ini terlihat seperti another jelangkung-like story, you know, cerita manggil-manggil arwah lalu lantas kesurupan. Alih-alih boneka atau papan ouija, film ini menggunakan patung tangan. Para anak muda karakter cerita nanti bukan hanya kesurupan, tapi kecanduan kesurupan. Begitulah film ini menjadikan dirinya unik, tangan pemanggil arwah dijadikan seperti perumpaan drugs – candu tempat anak muda melarikan diri dari membicarakan masalah. Dalam hal ini duka karena kehilangan orang yang dicinta. Set up dan paruh awal film ini memang efektif sekali membuat kita terpaku menatap layar (sambil sesekali jantungan oleh jumpscare). Aku pengen suka film ini, secara teknis definitely one of the decent horror out there. Tapi di paruh akhir, aku duduk di sana merasa jengkel. Oleh karakter utamanya, dan oleh cerita yang berkembang dengan aneh.

Remaja-remaja dalam Talk to Me berhura-hura. Berpesta. Di rumah salah satu dari mereka yang kebetulan orangtuanya lagi pergi, atau yang cukup ‘open minded’ untuk ngebolehin mereka bersuka ria. Mereka lantas berkerumun nyobain satu hal baru ini. Bergantian nyicipin sensasi ketegangan dan menyerempet bahaya, tapi sekaligus juga ngasih kelegaan dan kepuasaan tersendiri, karena mereka telah berani mencoba. Mengalahkan tantangan sosial sehingga akhirnya mereka semakin diterima di dalam lingkaran ‘anak-anak keren’. Hal baru tersebut adalah sepotong patung tangan yang bisa membuat siapa saja yang menggenggamnya (serupa bersalaman) dapat melihat roh gentayangan, entah itu hantu atau setan. Bahkan ketika anak-anak remaja itu mengizinkan, roh itu bisa masuk ke dalam tubuh mereka. Sembilan-puluh detik adalah batas waktu yang tak boleh dilanggar, selewat itu ritual harus dihentikan jika tidak mau si empunya tubuh kesurupan selamanya. Tubuhnya bakal jadi milik si roh yang diizinkan masuk. See, kata kuncinya adalah berbahaya. Perbandingan permainan horor tersebut dengan narkoba memang jelas ditarik oleh film. Dalam salah satu adegan montase kita melihat para karakter remaja cerita ini udah kayak sedang teler, bergantian mencoba tangan tersebut, berkali-kali. Mereka bersenang-senang dan seperti udah mabok beneran. Permainan berbahaya itu esensial bagi pergaulan karakter remaja di film ini. Ada yang melihatnya sebagai ‘syarat’ untuk diterima. Melihatnya sebagai cara untuk populer. Ada yang menjadikannya sebagai outlet untuk melupakan masalah. Karakter utama kita, Mia, melihat permainan itu sebagai ketiganya sekaligus.

Mia kehilangan ibunya dua tahun yang lalu. Sang ibu bunuh diri, tapi Mia masih memendam grief luar biasa. Kita melihat di balik keceriaannya, di balik hubungannya yang tampak akrab dengan kakak-beradik Jade dan Riley, Mia belum berdamai dengan tragedi tersebut. Dia masih gak mau percaya akan pilihan naas ibunya, dan deep inside masih terus berusaha mencari jawaban. Namun sebagaimana remaja yang lagi rentan, rapuh, tapi pengen terlihat kuat, Mia mencari jawaban di tempat lain. Bukannya membicarakan secara dewasa dengan ayah, Mia mencari penenangan diri lewat, yah, hal-hal seperti drugs atau permainan horor ‘bicara dengan tangan’ tadi. Di antara teman-temannya, Mia memang yang paling semangat mencoba main ini. Ketika Riley, yang paling kecil di antara mereka, mencoba patung tangan, Mia yang menyangka Riley kesurupan arwah ibunya. Ini menyebabkan Riley melewati batas waktu, sehingga nyawanya kini terancam. Mia harus bertanggungjawab dan menyelamatkan Riley, dan itu berarti dia harus mengkonfrontasi penyebab ibunya bunuh diri.

Berjabat tangan dengan maut

 

Urusan horor, film ini memang gak malu-malu. Duo sutradara kita paham bahwa ini kesempatan bagi mereka to show they are a big deal here in this genre. Dan passion itu memang kelihatan. Talk to Me punya momen-momen horor yang intens. Adegan kesurupannya adalah campuran antara chaos dan fun. Pendekatan yang mereka ambil punya reference ke horor seperti Evil Dead, dengan penampilan yang over-the-top dan level gore yang bakal sukses bikin kita meringis. Adegan Riley membentur-benturkan wajahnya ke meja niscaya bakal jadi tantangan tersulit kalo dimasukin ke video ‘don’t look away challenge’. Dan bukan cuma sebatas horor fisik, film ini juga mengerti membangun suspens untuk horor yang lebih emosional. Horor yang lebih ‘mental’. Ruh-ruh yang memasuki tubuh remaja-remaja itu akan membuat mereka bertindak atau mengatakan hal yang berhubungan dengan ketakutan atau hidup mereka. Seringkali terciptakan kondisi awkward yang begitu ekstrim saat hantu membocorkan ‘rahasia’ hostnya. Saat membuat host yang religius melakukan tindakan paling bikin setan ngakak. misalnya. Selain itu, film ini jadi horor mental karena ada banyak juga adegan ketika Mia merasa ambigu. Apakah dia benar melihat setan, atau dialah yang bertingkah aneh. Apakah benar dia cuma sekali ‘menyentuh’ ganja. Apakah roh yang bicara kepadanya itu memang hantu ibunya, ataukah justru hantu jahat lain yang mencoba menipunya. Or worse; semuanya memang hanya karena kepalanya saja yang enggak beres.

Mia harusnya karakter yang menarik dengan banyak konflik personal regarding tragedi di masa lalu. Duka yang belum mampu dia hadapi, sehingga dia terjerumus pelampiasan yang enggak benar. Tapi naskah membuat karakter ini nyaris unbearable. Mia, buatku, malah jatohnya terasa annoying karena keambiguan, misteri yang menimpanya tidak pernah benar-benar dibuat untuk menempa development Mia. Begini, jika melihat dari build up di paruh awal, journey Mia sepertinya diarahkan tentang mengikhlaskan ibu. Mia seperti harus belajar percaya bahwa ibunya ‘baik-baik saja’, bahwa beliau benar bunuh diri karena setiap orang punya masalah dan terkadang beberapa orang menganggap kematian sebagai sebuah harapan. Itulah sebabnya kenapa ada adegan Mia ‘ketemu’ kanguru yang sekarat di tengah jalan. Riley yang bersamanya di saat itu mengerti bahwa kanguru tersebut harus mereka bantu. Kanguru butuh Mia untuk menghilangkan penderitaannya, alias si kanguru meminta Mia untuk menggilas dirinya. Tapi Mia gak tega. More than that, Mia gak tahu betapa sakralnya kematian. Jika Mia tahu, dia tentu tidak akan sesemangat itu main manggil hantu-hantuan. Yang Mia lakukan adalah, pergi meninggalkan kanguru. Sekali lagi menunjukkan bahwa dia lebih suka untuk ‘kabur’ dari masalahnya. Nah, dari ‘kesalahannya’ tersebut, maka pembelajaran bagi Mia berarti harusnya adalah menyadari bahwa kenyataan harus dihadapi, meski itu berarti menerima bahwa ibunya bunuh diri karena bagi ibunya itu satu-satunya cara untuk bebas.

Talk to me adalah ‘mantra’ yang diucapkan saat anak-anak itu sudah siap untuk melihat hantu dengan bantuan patung tangan. Dikaitkan dengan konteks cerita ini, kata-kata tersebut juga dapat berarti pesan untuk kita bahwa suatu masalah ya harus dibicarakan. Masalah sulit dalam hidup remaja salah satunya adalah soal kematian, for kehilangan orang yang disayang memang bisa membuat anak muda terjerumus ke lingkaran setan. Film ini nunjukin bahwa momok sebenarnya bukanlah kematian, karena kematian bisa berarti berbeda-beda bagi orang. Beberapa bahkan menganggapnya jalan keluar. Momok sebenarnya justru adalah hal yang bisa orang lakukan jika dia belum berdamai dengan kematian tersebut.

 

Tapi momen pembelajaran Mia tidak kunjung datang. Jikapun ada, cara film menceritakannya membuat momen tersebut hanya jadi sebuah shock value. Untuk tidak ngespoil terlalu banyak; momen Mia memilih membunuh Riley atau tidak oleh film ini hanya dijadikan kejutan buat kita. Padahal harusnya kita dibuat mengerti kenapa Mia memilih hal yang akhirnya dia lakukan.  Harusnya kita ada di dalam kepala Mia saat itu, bukannya berada di dalam mobil yang sedang melaju. Karena di momen itulah Mia baru benar-benar bergulat dengan kematian, dengan topik yang selama ini ia hindari karena dia takut berhadapan dengan kenyataan tentang ibunya. Personal Mia bergulat dengan pertanyaan apakah Riley juga wish for a death, bisikan hantu ibunya mewakili apa yang ingin dia yakini sedangkan kenyataan mewakili apa yang butuh untuk dia percaya. Secara kejadian kulit luarnya pun, aku merasa gak yakin lagi soal apa yang ingin film ini sampaikan selain bikin kita surprise. Sampai di rumah saat pulang dari menonton film ini di bioskop, aku masih bingung sama pilihan Mia karena menurutku gak make sense dengan apa yang sebelumnya ini dia lalui. Like, dia baru saja ninggalin ayahnya bersimbah darah untuk menipu sahabatnya, supaya bisa membunuh adik si sahabat, tapi setelah capek-capek jalanin rencana itu, Mia malah tidak follow thru her plan. Kenapa dia memilih ini. Apa pengaruh pilihannya ini pada journey Mia yang telah dibangun? Aku gak bisa menjawab itu lantaran paruh akhir film seperti melipir dari build up di awal dengan ngasih banyak ambigu tapi terkesan trying too hard supaya kita bersimpati pada karakter Mia. Dan oh boy, bersimpati kepadanya adalah hal yang benar-benar susah.

Real definisi ‘gak percaya sama orang hidup”

 

Akting Sophie Wilde sebenarnya total. Namun aku lebih suka Mia saat dia kesurupan ngejahilin Riley, Jade, dan teman-teman lain ketimbang Mia dengan mode sok histeris dirundung grief dan hantu. Mia ditulis sebagai karakter yang benar-benar cari masalah, kemudian sok menjadi yang paling terluka. Misalnya, dia sendiri yang bersikeras membolehkan Riley yang masih terlalu muda untuk mencoba permainan patung tangan, tapi kemudian dia ‘mengajak’ teman yang lain untuk ikutan ngaku bersalah. Relasi film sebenarnya didesain cukup kompleks. Sahabat Mia, Jade, punya pacar yang merupakan mantan Mia (eventho mereka cuma pernah pegangan tangan). Mia yang bersikeras mereka sekarang cuma temenan itu, oleh naskah yang mendesain karakter Mia sebagai orang yang menghindar membicarakan masalah, malah membuat Mia terkesan licik dengan mengajak si pacar nginap di rumahnya – saat mereka semua terguncang oleh kejadian yang menimpa Riley. Saat hal menjadi lebih intens, Mia yang harusnya sudah belajar untuk konfrontasi masalah, lebih memilih untuk percaya hantu ketimbang orang hidup. Buatku, ini membuat aksi-aksi Mia sebagai pilihan dogol yang membuat aku susah merasa relate dan peduli kepada Mia. Aku malah lebih bersimpati kepada karakter Jade, karena stake kehilangan Riley itu lebih kuat terasa. Mia gajelas bakal kehilangan apa jika hantu berhasil ngeklaim tubuh Riley.

Bahkan sekuen yang mengantar kita kepada penutup cerita yang harusnya keren dan sureal, terasa hampa karena Mia hanya berakhir sebagai karakter yang ‘oh ternyata dia sekarang jadi begini” alih-alih membuat kita menyelami kenapa dia harus berakhir seperti itu. Development Mia seperti putus di tengah dan film melanjutkan ceritanya untuk jadi kisah downward spiral seorang karakter yang sikap dan pilihannya enggak simpatik. Developmentnya, pembelajarannya yang harusnya bikin kita jadi berbalik peduli kepadanya, tapi itu juga yang diputus. Makanya, aku di awal tulisan ini bilang pengembangan film ini aneh.

 

 




Paruh akhir film ini tidak harus seperti itu. Film ini punya konteks soal kematian yang dibungkus oleh ide dan konsep horor yang menarik. Yang sebenarnya serupa dengan cerita-cerita pemanggilan ruh tapi juga terasa berbeda berkat karakter dan situasi yang dihadirkan. Protagonis harusnya adalah karakter yang simpatik dan memancing dramatic irony karena kita melihat dia terus melakukan pilihan yang salah. Penyadaran dia di akhir harusnya jadi momen besar. Tapi film membelokkannya hanya menjadi sekadar kejutan. Tragisnya tidak pernah benar-benar berkesan karena si karakter kehilangan development yang telah dibangun di paruh awal. Sehingga meskipun aspek horornya menyenangkan dan super intens, kesenanganku menonton ini berkurang karena karakternya flat out annoying. Go talk to my hand aja sono! 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for TALK TO ME

 




That’s all we have for now.

Mia bercerita dia punya recurring nightmare yaitu mimpi melihat dirinya gak punya pantulan di cermin. Apakah kalian juga punya mimpi buruk yang terus berulang? Kalo aku, aku paling sering mimpi ketemu kembaran seseorang dan aku harus memilih mana yang asli, mana yang hantu.

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA