“Calm the troubled heart”
Sejak merebaknya pandemi yang meng-cancel jadwal tayang film-film bioskop lepas Maret tahun lalu, antisipasi penonton Indonesia untuk sebuah cerita horor yang viral tentang sekelompok mahasiswa di desa mistis yang punya ritual menari memang lagi tinggi-tingginya. Dan enggak lantas surut. At least, setiap teman yang kutanyai, hingga sekarang masih pada penasaran dan setia menantikan film tersebut muncul kembali jadwal tayangnya di bioskop. Salut untuk mereka. Salut untuk PH film tersebut yang terus bertahan menunggu rilis di bioskop – tidak serta merta menyerah dan memindahkannya ke platform streamingan. Dan sebaliknya, kurasa kita juga harus salut juga sama PH Visinema yang menunjukkan dukungannya kepada bioskop secara nyata dengan masih berani merilis film ke bioskop walau sedang pandemi. Visinema membeli satu film horor buatan Aenigma Pictures (or as they’d like to call it ‘bekerjasama’), mengganti judulnya untuk bermain-main dengan antisipasi penonton terhadap horor penari, dan menayangkan pada momen lebaran.
Akankah Tarian Lengger Maut ini bisa sesukses dan viral seperti cerita yang film adaptasinya mereka dahului?
To be frank with you guys; jawabannya tidak.
Film karya Yongki Ongestu ini, jikapun ramai dibicarakan, maka itu niscaya bukan karena filmnya bagus. People would more likely talking about bagaimana penggantian judul film ini jadi Tarian Lengger Maut jelas-jelas adalah usaha menyedihkan untuk memancing perhatian penonton. Dengan judul dan materi promonya yang sekarang, film ini seperti dijual seperti sebuah film hantu dengan unsur penari mistis. Padahal isinya sama sekali tidak seperti demikian. Bayangkan artikel dangkal dengan judul click-bait. Nah, begitulah persisnya film ini.
Tari Lengger sendiri memang diperkenalkan, tapi sama sekali tidak pernah dibahas ataupun dicuatkan sebagai elemen penting cerita. Apalagi soal tari lengger yang membawa maut. Cerita film ini justru mengambil perspektif utama seorang pria yang menjadi dokter di siang hari, dan menjadi pembunuh berantai pengoleksi jantung di malam hari. Si Dokter kemudian pindah ke desa kecil, buka praktek di sana. Di desa yang terkenal dengan tarian lenggernya tersebutlah, si Dokter bertemu dengan perempuan muda calon penari. Perempuan yang bakal mengacaukan denyut jantung – dan denyut kerjaan psikopatnya.
See, ‘Dokter Maut’ lebih cocok dijadikan tajuk, kalo memang mau diganti. But, in fact, film ini seharusnya dibiarkan saja dengan judul originalnya. ‘Detak’. Karena memang soal detak jantung itulah yang menjadi heart dari cerita film ini. Motivasi si dokter sebenarnya cukup intriguing. Heck, karakter seorang serial killer karena trauma kekerasan rumah tangga semasa kecil memanglah intriguing. Sayangnya film ini sendiri gak punya ide yang pasti soal bagaimana menceritakan, menggali, dan mengembangkan itu semua. Sepertinya inilah film pertama yang kutonton yang sukses membuat pembunuh berantai tampak membosankan. Bahkan menakutkan pun tidak. Karakternya begitu… datar dan gakjelas. Kita tahu dia mencabut jantung korban-korban, dan mengumpulkan jantung-jantung tersebut. Kita tahu dia merasa nyaman mendengar bunyi detak jantung yang teratur, dan kemudian nanti dia kalut sendiri saat jantungnya dag-dig-dug gak karuan karena melihat gadis penari yang cantik. Seharusnya ada sesuatu yang diceritakan di sini, tapi film tidak berhasil mencuatkan hal tersebut. Dan ini bukan karena film tergagap dalam menyampaikan topik yang berat, atau semacamnya. Melainkan karena film memang tidak membahas apa-apa sepanjang durasinya.
Anugerah dan kutukan tampaknya merupakan tema besar pada cerita. Kita lihat gadis yang punya talent menari tapi gak pede. Kita lihat pemuda yang punya trauma di masa kecil, kini menjadi dokter dan pembunuh yang sukses. Ini seperti menemukan ketenangan di antara chaos, dan sebaliknya. Dengan sedikit reaching, kita bisa mengaitkan ini dengan motivasi si dokter yang menginginkan ketenangan dan ngamuk ketika jantungnya sendiri berdetak kacau saat berada di sekitar gadis penari.
Penulisan dan arahannya begitu parah sehingga aku merasa film ini hampir seperti tidak tahu apa yang ingin mereka jual (selain satu-dua shot yang tampak cantik dan judul yang ‘click-bait’, so to speak). Mereka punya tokoh seorang pembunuh, tapi tidak pernah menyelami masuk pikirannya. Ketika memperlihatkan aksi pembunuhan sinting pun, film bermain aman – tidak pernah tampil sadis ataupun sekadar nunjukin darah. Adegan si dokter membelah dada pasiennya hidup-hidup pun, dilakukan dengan bersih. Tidak ada darah muncrat. Lupakan adegan Kano nyabut jantung Reptile di Mortal Kombat (2021). Di Tarian Lengger Maut ini semua yang ‘fun’ kayak gitu itu ditutupin.
Bagaimana dengan si gadis penari lengger? Gadis itu pemalu, dia kelihatan naksir sama si dokter baru, dia kelihatan gugup saat penampilan tari pertamanya ditonton warga (yang sebagian besar adalah cowok, lengkap dengan suit-suitan dan mata lapar mereka). Dan cuma segitu film sanggup menuliskan karakternya. Itupun tidak pernah ada development atau follow up yang benar-benar berarti. Dia merasa takut salah sebelum menari, dia gak konfiden, tapi saat nari tidak diperlihatkan ada masalah apa-apa. Dia ‘naik peringkat’ sampai jadi penari utama, dengan gampang dan tanpa rintangan. Ketika dia mewarisi pusaka yang diceritakan bakal melindunginya, satu-satunya perbedaan yang kita lihat dari karakter ini sebagai bukti dari perkembangan karakternya hanyalah sekilas ekspresi percaya diri yang diperlihatkan Della Dartyan. Selebihnya, gak ada lagi. Ngomongnya pun monoton, dilembut-lembutin. Terasa sekali dibuat-buat. Persis kayak Refal Hady yang juga keliatan banget dibuat-buat sok cool-nya. Bahkan orang desa yang ngomongnya medhok pun terdengar kayak medhok yang dibuat-buat.
Tidak ada satupun yang berhasil dibangun oleh film. Suasana seram? Apaan. Musik sepanjang durasi monoton banget, persis karakter-karakternya. Suasana desa? Nihil. Tempat itu dengan konsisten kehilangan warga, tapi tidak ada kenaikan intensitas ataupun aksi yang tampak dilakukan. Film hanya memperlihatkan obrolan di warung, ada satu warga yang curiga. Itu saja. Tidak ada pencarian orang hilang skala besar atau semacamnya yang bisa membuat cerita film ini menjadi semakin menarik atau otentik. Bahkan untuk menyetir cerita ke arah yang lebih lumrah seperti romansa saja, film ini tidak mampu. Padahal ‘modal’nya sudah tersedia di sana. Dua karakter sentral yang tampak tertarik satu sama lain. Si Gadis Penari (serius aku gak ingat nama karakternya siapa – Bocah Ayu kah?) dan si Dokter Pembunuh (ini aku ingat namanya, tapi malas nyebutin karena bikin malu namaku sendiri) sebenarnya bisa saja diarahkan untuk menjadi sebuah hubungan gothic/dark romance; relationship mereka bisa jadi sangat menarik sebagai sentral cerita. Tapi film tidak pernah memposisikan keduanya selain lewat bantering dialog-dialog yang kosong. Percuma saja ada montase yang nyaris seperti nge-match cut tindakan operasi cabut jantung dengan persiapan menari lengger itu dilakukan.
Percuma juga film ini ngebuild up soal tusuk rambut atau apalah itu benda yang punya kekuatan yang akhirnya didapat oleh gadis penari saat dia berhasil jadi penari lengger utama. Sepanjang film, si gadis itu kerjaannya cuma antara nari atau megang-megang sesajen. Seolah bakal ada something big about mistis atau semacamnya. Terus ada dialog yang sangat eksposisi tentang gadis itu sekarang punya perlindungan. Tapi pay off-nya di akhir ternyata sangat minimalis. Film ini kayak gak tahu cara menulis penutup yang gede untuk sebuah cerita thriller. Malah, aku nunggu-nunggu. Kupikir film yang so far so boring ini mungkin nyimpan over-the-top di akhir sehingga setidaknya kita diantar pulang dengan seru. Aku udah bersumpah di dalam hati untuk gak akan ngeluh kalo film ini nanti akan berakhir dengan pertempuran antara dokter pembunuh dengan kekuatan gaib benda pusaka or whatever. Karena paling enggak bakal ada komentar soal klenik lawan sains, ataupun keseruan soal desa yang ternyata jadi pelanduk di antara serial killer dengan kekuatan gaib. Tapi mengharap ternyata adalah dosa. Film ini menghukum kita yang udah bertahan nonton dan berharap dapat hiburan, dengan ending/resolusi yang ditulis dan dieksekusi dengan sangat buruk.
Tidak ada konfrontasi leading up to that, tidak ada pemecahan misteri (melainkan tau-tau kesurupan dan melihat fakta), dan tidak ada – katakanlah – final battle. Ending film ini juga akan jadi hal yang dibicarakan oleh penonton, karena kebegoannya yang begitu paripurna. Saat menonton malah awalnya kukira si dokter bunuh diri. Kayak, mereka lupa ngasih efek di adegan terakhir tersebut, seharusnya ada sesuatu yang bisa dilihat penonton ketika dokter menyerang si gadis.
Jadi ya, untuk kalian yang masih belum tahu, film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerita horor viral yang mungkin lagi kalian tunggu-tunggu. This is a completely different movie. Ini bukan horor mistis. Melainkan sebuah thriller dengan sedikit sentuhan mistis. Dan dengan banyak sekali arahan yang mengerikan, akting yang mengerikan, dan dialog yang mengerikan. Tapi ‘mengerikan’ di sini as in awful, loh ya. Which is really really bad. Ceritanya tanpa ritme dan irama. Penulisnya seperti benar-benar gak tahu harus nulis apa. Gak tau harus mengembangkan apanya. Padahal ada banyak potensi cerita seperti gothic/dark romance, atau malah cerita perseteruan. Sepanjang durasi terasa sangat menjemukan karena bahkan adegan pembunuhan psikopatnya pun tidak bisa mereka buat menarik. Kehancuran film ini semakin lengkap berkat kehadiran penutup yang eksekusinya sangat gakjelas. Jangan tergoda sama nama-nama pada poster. Karena aku yakin mereka sendiri juga gak tau mereka tuh sebenarnya ngapain di sini, saking gak jelasnya bangunan dan arahan film. Dan tentu saja, jangan tergoda sama judulnya.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TARIAN LENGGER MAUT.
That’s all we have for now.
Karena film ini sama sekali gak bicara tentang apa-apa, yuk kita bikin bahan obrolan sendiri. Apakah kalian punya fakta-fakta menarik tentang Tari Lengger?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA