THE WILD ROBOT Review

 

“Friendship has no survival value, rather it is one of those things that give value to survival.”

 

 

Robot dan hutan, kayaknya jauh sih ya. Yang satu mesin, yang satu alami. Apa pula yang bakal dilakukan robot yang diprogram untuk meringankan tugas sehari-hari di dalam hutan yang gak ada manusia sama sekali. Tapi di tangan penulis buku Peter Brown, lalu kemudian dihidupkan jadi film oleh Chris Sanders, robot dan hutan itu bisa ketemu. Dan ketemunya itu di hati kita. The Wild Robot akan jadi lebih dari sekadar cerita tipe fish-out-of-the-water (karakter yang ditempatkan di lingkungan baru yang asing). Film animasi dengan karakter robot dan hewan-hewan di hutan ini akan membuka hati kita tentang alam, kehidupan sosial, dan bahkan motherhood. Hidup memang survival tapi film ini ngingetin yang lebih penting dari bertahan hidup itu sendiri, yakni alasan kenapa kita bertahan hidup. Our true purpose in life. Dan akhirnya, film ini akan membuat kita melawan ‘program’ kita sendiri untuk tidak menangis di bioskop.

Ada yang menekan tombol aktif Roz. Robot ini bangkit dan menemukan… tidak ada orang di sekitarnya. Yang ada malah sejumlah makhluk-makhluk berbulu dan beragam bentuknya. Sekitar Roz juga bukan gedung-gedung bertingkat, melainkan kayu-kayu besar yang menjulang. Roz kelimpungan mencari yang bisa memberikan tugas untuknya, karena sebagai robot dia memang tercipta untuk menyelesaikan tugas. Beruntung Roz adalah robot yang canggih dan pintar. Dia mempelajari bahasa para binatang supaya mereka bisa berkomunikasi. Masalahnya, para binatang di hutan itu takut pada Roz. And they couldn’t care less karena para hewan sibuk sendiri dengan urusan hidup masing-masing. Saat itulah Roz menemukan telur angsa. Telur itulah yang akan memberikan tugas untuk Roz. Membuat robot ini memulai petualangan sebagai seorang ibu bagi anak angsa yang tak bisa terbang, dari kumpulannya terbuang. Tak perlu mobil sedan itu!

Kenapa jadi puisi (salah pula puisinya!)

 

Kita sudah pernah melihat drama animasi robot yang bertindak against programnya sendiri, mesin yang supposedly gak punya perasaan tapi jadi begitu lovable dan menunjukkan cinta lebih daripada seorang manusia. Recently, kita kenal ama Baymax ataupun Wall-E. Yang bikin Roz ekstra spesial adalah ceritanya sendiri ikut berevolusi – mengalami perkembangan – seperti Roz.  The Wild Robot dimulai sebagai cerita fish-out-of-the water. Dan ini jadi set up yang efektif, membuat kita bersimpati kepada Roz. Bagian awal film ini ‘keras’.  Roz bertemu dengan hewan-hewan, mereka tidak ada di dalam datanya, Roz tidak mengerti bahasa dan perilaku mereka. Di babak awal ini kita akan kasian banget sama Roz. Karena dia dimusuhi oleh hewan-hewan tersebut. Roz mengejar mereka karena pengen dikasih tugas, tapi hewan-hewan itu balik menyerang Roz karena mereka juga punya ‘program’ sendiri dari yang Maha Kuasa, yakni bertahan hidup. Seketika film juga berhasil melandaskan gagasan utama ceritanya. Tentang bertahan hidup dan insting atau program kita sebagai makhluk.

Walaupun animasi dan fantasi yang ditujukan untuk bisa ditonton anak-anak, film ini gak lantas jadi mangkir dari persoalan realita hidup. Hewan dalam film ini bukan seperti di kartun-kartun. Burung-burung dan kelinci di film ini tidak bernyanyi riang menyambut mentari. Hewan-hewan di sini tampangnya doang yang lucu. Sikap mereka ya keras. Apatis. Karena mereka aware kematian bisa datang kapan saja. Kelaparan, kecelakaan, predator, film ini nunjukin itu dalam world-buildingnya. Hewan-hewan ini sudah biasa akan hal itu, malah ada adegan yang ngasih dialog seekor ibu possum nyebut sambil lalu aja kematian anaknya karena baru aja terjatuh ke jurang. Konsekuensi dan apa yang harus dihadapi dalam bertahan hidup ditunjukkan tanpa malu-malu oleh film ini. Membuatnya jadi punya nilai realisme yang dapat jadi pelajaran berharga bagi penonton anak-anak. Dan landasan realisme ini penting karena itulah yang nanti dijadikan sebagai landasan emosional oleh film. Pertemuan-perpisahan. Kelahiran-kematian. Urusan ketika nanti Roz membesarkan Brightbill, si anak angsa, membuat film berevolusi menjadi cerita motherhood yang menyentuh. Roz seketika menjadi relatable bagi para ibu (meskipun tidak terbatas kepada ibu, karena seorang ayah pun bisa menjadi erat dengan anaknya considering context film ini no matter dia yang ngelahirin atau bukan). Tidak ada program yang terpasang di dalam Roz tentang membesarkan anak, tapi begitu momen dia memungut telur, dia harus belajar sendiri bagaimana merawat, menjaga, dan nanti membesarkan anak tersebut hingga dewasa. Ini kan sama kayak manusia. Gak ada seorang pun yang tahu cara menjadi orang tua yang baik. Kita sebagai manusia malah enggak tau kita ini hidup purposenya apa. Namun ketika tanggungjawab itu datang, kita tahu kita harus mengemban sebaik-baiknya. Kita tahu kita harus belajar. Dan tahu harus bersiap sama pengorbanan yang pasti akan datang mengikutinya.

Berbeda dengan Roz yang sudah punya program untuk menyelesaikan tugas, kita dan para hewan tidak tahu tujuan hidup kita apa. Kita cuma tahu kita harus bertahan hidup. Gimana caranya harus kita pikirkan sendiri. Yang jelas Fink, rubah teman Roz bilang, kebaikan bukan alat untuk bertahan hidup. Dunia begitu keras. Kita gak bisa kenyang dengan berbuat baik. Kita gak bisa punya duit dengan berteman.Hal tersebut mungkin memang benar. Tapi yang diingatkan oleh film ini adalah kebaikan dan persahabatan memang bukan alat untuk bertahan hidup, tapi dua hal tersebut adalah value yang membuat bertahan hidup menjadi tujuan hidup kita in the first place.

 

Tema pengorbanan membuat film berevolusi sekali lagi. Dan ini adalah wujud terakhirnya yang sempurna. The Wild Robot bukan semata tentang Roz dan Brightbill. Sebagaimana yang diset up oleh babak awal, ini adalah tentang komunitas sosial hutan tersebut. Roz dan Brightbill – robot yang membesarkan angsa cacat – jadi bahan pembicaraan di hutan. Hewan-hewan awalnya memandang mereka sebagai keluarga yang aneh, tapi pencapaian Roz dan keberhasilan Brightbill terbang menyentuh mereka. Puncaknya adalah ketika musim dingin ekstrim datang, Roz mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan semua hewan. Pengorbanan yang mengetuk hati semua hewan. Mereka sadar akan value dari persahabatan dan kekeluargaan di atas insting bertahan hidup. Di babak akhir, film memang jadi gede, karena ada bahasan ‘perang’ melawan robot-robot lain yang datang untuk membawa Roz pulang, tapi ini bagian yang paling optimis dan paling hangat buatku. Melihat para hewan bersatu padu itu rasanya jumawa sekali. Triumphant. Keberhasilan elemen akhir ini tercapai karena film benar-benar membuild up hutan dan warganya sedari awal. Sebagai background, mereka tetap dicuatkan. Film ini jadi punya feel kayak cerita-cerita Stephen King yang selalu berhasil menghidupkan kotanya menjadi karakter sendiri, lengkap dengan warga dan kebiasaan hidup mereka.

Hutan yang dihuni oleh aktor-aktor berkelas semacam Lupita Nyong’O, Pedro Pascal, Mark Hamill

 

Gak keitung deh momen-momen berkesan yang hadir di film ini. Sebut saja mulai dari Roz ngajarin Brightbill terbang, Roz dikasih kaki kayu dari berang-berang yang tadinya takut sama dia sebagai ganti kakinya yang rusak, Roz nolongin beruang yang jadi musuh semua hewan di tengah salju dengan kondisi baterai yang udah kritis, semua hewan bersatu padu mengalahkan robot-robot, Roz ngeliat Brightbill yang udah baru balik dari migrasi tapi urung karena tugasnya udah selesai dan anaknya sukses jadi dewasa. Semuanya bakal ngulik-ngulik emosi kita. Dan itu aku belum nyebut gaya animasinya. Wuih, semuanya colorful dan terasa punya keunikan. Setiap frame berasa mencuat, film yang ngembangin latar sebagai karakter akan otomatis menjadi sangat detil di visual, dan itulah yang persisnya dilakukan oleh The Wild Robot. Aku sendiri gak nyangka, pas awal nonton mikir ah, ini tokohnya robot gak punya perasaan, pasti gak sedih-sedih. Tapi ternyataaa… Film juga gak ngasih akhir journey yang cartoonishly happy. Journey Roz justru terasa dalem. Pas di tengah film udah bukan soal lagi gimana film ngasih hati ke cerita yang tokohnya robot yang cuma punya program. Pertanyaannya jadi berapa dalem film ngasih sensasi emosional tersebut. Roz belajar untuk mengoverride programnya sendiri. Demi perasaan. Demi pengorbanan.  Journey Roz circled back dari dia yang tadinya nempel terus nagih dikasih tugas, berubah menjadi sebaliknya dia tahu sudah tugasnya menjaga sesama warga hutan jadi dia pergi supaya mereka aman.

 




Denger-denger bukunya ada tiga seri, jadi mungkin film ini bakal ada sekuel. Tapi yang jelas, film ini gak lantas menjadikan itu alasan untuk ‘menggantung’ ceritanya. Roz di sini punya akhir cerita yang complete. Karakter-karakter lain juga punya journey yang tuntas. Sementara di backgroundnya, film membiarkan banyak pintu pertanyaan tetap terbuka. Ini adalah cara yang tepat untuk menyelesaikan bagian pertama. Treat it as one complete story first. Di atas kertas, karakternya boleh saja diprogram untuk gak punya perasaan, tapi semua aspek di film ini seperti menguar oleh perasaan, Cerita yang dalam dan berevolusi mengembangkan lapisannya, karakter dengan journey menghangatkan, vibe yang kartun tapi juga realistis dan gak sugar-coating anything. Benar-benar film animasi yang menakjubkan.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for THE WILD ROBOT.

 




That’s all we have for now.

Sekilas diperlihatkan gimana dunia di luar hutan Roz, ada paus yang berenang di atas bangunan yang kayaknya jembatan, video kota canggih tentang satu keluarga yang punya peliharaan anjing robot. Menurut kalian apa yang terjadi di dunia cerita ini?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRANSFORMERS ONE Review

 

“Good friends, better enemies”

 

 

Sama seperti Prof. X dan Magneto di X-Men, ataupun Splinter dan Shredder di TMNT, musuh bebuyutan Optimus Prime dan Megatron di Transformers dulunya juga berteman. Gatau juga, mungkin ‘kawan-jadi-lawan’ itu trope trendy di kartun Amerika 80-90an apa gimana haha… Yang jelas, kisah persahabatan dua robot yang kita kenal sedari versi kartunnya sebagai pemimpin Autobots dan Decepticons yang berseteru, akhirnya diangkat menjadi cerita origins yang baru oleh Josh Cooley. Dan ini untuk pertama kalinya aku excited menyambut Transformers di bioskop. Karena, lihat saja sendiri; Transformers One dihadirkan sebagai animasi petualangan, para robot mengambil pusat cerita, dengan desain karakternya kreatif dan ‘jelas’ – mirip sama kartun yang dulu udah sukses bikin aku suka ama robot-robot yang bisa berubah bentuk. Kalo Transformers live-action yang kemaren-kemaren itu aku anggap musuh, maka film ini certainly kuanggap kayak teman masa kecil yang kini sudah berubah, namun masih tetap kukenali dan kurindukan.

Optimus Prime dan Megatron tadinya bernama Orion Pax dan D-16. Mereka berdua adalah robot penambang. Istilahnya kelas-pekerja kasar lah. Mereka stuck sebagai penambang karena mereka tidak punya roda-gigi, sehingga mereka tidak bisa punya kemampuan optimal seperti robot-robot elit lain. Tapi Orion punya mimpi, Dia ingin nunjukin kepada Sentinel Prime, pemimpin para robot, bahwa robot penambang juga bisa lebih daripada sekadar menambang energon. Jadi Orion mengajak sahabatnya, D-16, untuk mencari Matrix of Leadership untuk diserahkan kepada Sentinel. Mereka ingin membuktikan diri mereka bisa. Setelah melanggar beberapa aturan, petualangan Orion dan D-16 bersama dua robot lain, membawa mereka ke sebuah temuan pahit. Bahwa selama ini mereka hidup dalam kebohongan. Bahwa Sentinel bukan pemimpin yang baik seperti yang dielu-elukan, melainkan robot culas yang manfaatin rakyat kecil dan dia cuma peduli sama diri sendiri (mirip siapa hayooo…) Temuan itu mengubah hal di antara Orion dan D-16. Persahabatan mereka merenggang. Keduanya punya pandangan dan reaksi yang extremely berbeda.

Hey, kenapa ya tokoh pemimpin yang dipuja itu biasanya selalu evil at heart?

 

Hati. Robot-robot itu boleh saja dadanya kosong karena gak punya roda-gigi, tapi mereka punya hati yang besar. Film ini punya jiwa meskipun karakternya cuma mesin-mesin animasi berjalan. Mereka beneran terasa seperti karakter yang hidup, dengan dunia dan permasalahan yang nyata, dan kita dibuat peduli sama keadaan mereka. Persahabatan Orion dan D-16 akan sangat berasa karena film benar-benar meluangkan waktu supaya dinamika dan persahabatan mereka terjalin genuine.  Orion yang seperti gak-sabaran untuk melakukan hal-hal yang gak biasanya – atau malah gak seharusnya – dilakukan oleh kelas penambang. D-16 yang agak reluctant dan lebih taat aturan, sebenarnya ingin nolak, tapi mereka sahabat dan supposedly always have each other back. Ini formula yang sebenarnya cukup sering kita temui, tapi film berhasil berjalan tanpa harus membuat karakternya beneran kayak trope yang lumrah, kayak Orion di sini gak jatoh kayak karakter annoying ataupun dinamika mereka gak jatoh jadi si tukang ngoceh dan si pendiam yang simpel. Bahkan karakter kayak B-127 (alias Bumblebee) yang fungsinya sebagai karakter komedi, tidak sedemikian terasa template. karena at least dia punya charm dan ‘kegilaan’ unik tersendiri.

Build up ke mereka akhirnya mendapat roda-gigi sehingga akhirnya bisa berubah juga sangat solid. Naskah film ini memang tidak terburu-buru. Tahu gimana membangun antisipasi dan tahu kapan waktu yang tepat untuk merelase semua build up-an tadi menjadi kejadian yang memorable buat kita para penonton. Secara narasi memang tidak banyak kejutan ataupun experience baru yang berarti, beberapa eksposisi dan sedikit kemudahan dapat kita temui, hanya saja film ini storytellingnya sangat well done sehingga bahkan momen-momen ‘biasa’ film ini tidak terasa mengganggu. Ketika para robot sudah bisa berubah pun, mereka tidak dibuat langsung jago. Mereka harus belajar menggunakan kemampuan baru tersebut, sambil melarikan diri menuruni lereng dari kejaran robot jahat. Sehingga momen mereka belajar tidak mengganggu tempo melainkan tetap intens karena berlangsung dalam sekuen aksi. Dan ngomong-ngomong sekuen aksi, film udah nunjukin kemampuan bikin adegan yang seru sedari saat di awal-awal Orion dan D-16 insert themselves ke kejuaraan balap antarrobot. Aku melihat ada dua kunci keberhasilan keseruan aksi di film ini. Pertama, desain kreatif yang benar-benar mewakili karakterisasi dan keunikan tiap robot. Kedua, animasi yang fluid dan colorful sebagai wadah dari desain-desain unik tersebut. Ruh dari serial kartunnya ketangkep banget oleh gaya animasi 3D modern, membuat para robot bisa dengan mudah dikenali. Gak kayak seri film live-actionnya, yang desain robotnya begitu gak-jelas; kita gak bisa ngikuti setiap perubahan wujud robotnya, karena kita bahkan gak ‘tau’ apa yang sedang kita lihat.

Yang para robot penambang itu alami juga aku yakin bakal nyampe banget ke kita. Problem mereka relatable. Bukan literally soal gak bisa berubah wujud, tapi soal mereka dibiarkan jadi begitu terus oleh pemimpin culas mereka. Mereka adalah rakyat yang dibiarkan gak bisa apa-apa selain terus bergantung kepada pemimpin, mereka rakyat yang distrip dari kebebasan untuk bergerak, berpikir, dan punya kekuatan sendiri. Sentinel sebagai pemimpin sengaja membiarkan mereka seperti itu, supaya rakyatnya tersebut terus bekerja untuk dirinya. Mengisi pundi-pundi dia dan golongannya. Like, wajah para robot memang dibuat eskpresif, tapi aku rasa yang bikin adegan saat Orion dan D-16 melihat energon-energon yang mereka tambang dengan susah payah dan mempertaruhkan nyawa ternyata digunakan Sentinel untuk ‘membayar’ Quintessons (klan musuh para robot di Cybertron) itu kena kan karena itu kayak yang kita rasakan ketika tahu uang pajak seambrek yang kita berikan kepada negara ternyata digunakan untuk menggaji buzzer dan pejabat yang tujuannya bukan untuk kepentingan bersama. Rasa kecewa, rasa dikhianatinya, itu grounded dan kena banget. Maka Orion dan D-16 lantas jadi dua kasus reaction atau perjuangan yang bisa kita mengerti. Ada yang berusaha melawan dengan diplomasi seperti Orion. Membentuk kelompok sendiri. Aku baru tahu di film ini kalo Autobots ternyata artinya robot dengan autonomi – robot dengan kebebasan. Bukan automatic robot seperti yang kukira waktu kecil dulu. Dan kita juga paham ketika ada yang marah, dan memilih pemberontakan yang bisa lebih violence, sebagai perlawanan seperti yang dilakukan oleh D-16. Konsekuensi tragisnya pun kita paham. Dua kubu rakyat tersebut jadi saling ‘berperang’ satu sama lain.

Antara kawan dan lawan, batasannya memang tipis. Lawan yang paling berbahaya biasanya justru adalah orang yang kita sangka teman. Orang yang berpura-pura manis dan peduli, padahal tidak sama sekali. Seperti Sentinel Prime, pemimpin yang membawa dirinya sebagai teman dari rakyatnya, tapi ternyata dia justru hanya memanfaatkan kelemahan mereka. As in membiarkan mereka semua lemah supaya bisa terus dimanfaatkan. Kasus Orion dan D-16 lain lagi, teman baik yang jadi musuh bebuyutan, karena mereka sebenarnya sama hanya pilihannya saja yang berbeda, dan mereka saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing. 

 

Cuma aku atau memang si Bumblebee wajahnya kayak Tom Holland haha

 

Cuma pada satu kesempatan naskah film ini terasa terburu-buru. Pengembangannya tidak serapih dan se-well-timed yang lain. Yaitu ketika D-16 jadi jahat; ketika Orion dan D-16 jadi musuhan. Hal ini harusnya jadi klimaks, tapi terasa abrupt saat D-16 ‘mengenyahkan’ sahabatnya itu begitu saja. Seperti ada beat yang hilang atau keskip dari development karakternya tersebut. Also, menurutku D-16 agak mengambil alih spot utama dari Orion. Perubahan sikap D-16 terasa lebih ekstrem dan lebih kentara ketimbang Orion yang agak terdorong ke background dan seolah dia tidak mengalami journey atau pembelajaran karakter. Padahal sebenarnya kan ada semacam pembalikan, dari siapa yang tadinya ingin langgar aturan dan siapa yang mau play by rules di awal dan di akhir cerita. Namun pada proses penceritaannya, aspek development ini turn-nya kurang kerasa menyeluruh ada pada kedua karakter. Perubahan mereka jadi fisik (literally, karena mereka beneran jadi Optimus Prime dan Megatron di akhir), dengan bobot dramatis lebih kuat pada D-16 dibandingkan pada Orion yang adalah tokoh utama sebenarnya.

 

 




Sebelum mengubah dunia, kita harus mampu mengubah diri sendiri dulu – mengubah sudut pandang, mengubah pemikiran, mengubah segala hal pada diri menjadi lebih baik. Film petualangan animasi ini mungkin dibuat supaya anak kecil terhibur oleh robot-robot yang bisa berubah bentuk, tapi kita bisa melihat ada nilai lebih yang ditawarkan oleh ceritanya. Atau seenggaknya, nilai lebih yang bisa kita serap karena ceritanya punya permasalahan yang grounded dan relate dengan keadaan kita. Dan yang gak kalah pentingnya lagi, film ini menceritakan itu dengan hati dan penceritaan yang telaten. Yang ngasih waktu untuk build up. Yang ngasih karakter uniknya ruang untuk mengembangkan diri. Lalu kemudian melepaskan semuanya dengan adegan aksi yang seru serta dramatis. Ini film Transformers yang aku tunggu-tunggu. Film yang bisa dinikmati bukan hanya keunikan desain karakter robotnya tapi juga ceritanya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRANSFORMERS ONE

 

 




That’s all we have for now.

kalo dibawa ke keadaan pemerintah sekarang, kalian lebih condong masuk atau setuju ke perlawanan ala D-16, atau Orion?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DEADPOOL & WOLVERINE Review

 

“If you want to lift yourself up, lift up someone else”

 

 

Akuisisi besar-besaran Disney terhadap 20th Century Fox sukses bikin para penggemar superhero Marvel menggelinjang sejak 2018.  Soalnya  X-Men dan beberapa IP karakter Marvel lain yang muncul sebagai bagian dari permulaan genre ini di era 2000an, ada di bawah naungan Fox. Dengan membeli Fox, berarti sekarang Disney bisa leluasa meluaskan jagat semesta Marvel Cinematic Universe dengan karakter-karakter superhero ikonik seperti geng X-Men yang lisensinya kembali jatuh ke tangan Disney. Ini kan momen yang gede banget buat penggemar superhero. Istilahnya, setelah sekian lama superhero Marvel terbagi, sekarang mereka bisa bersatu di bawah naungan studio yang sama (kecuali geng Spider-Man nih yang masih alot urusannya). Sebuah momen yang rasa-rasanya kok ya pantas dijadikan film. Bayangkan menceritakan superhero pindah studio dengan segala komplikasi dan candaan yang bisa dihasilkan dari sana. Pasti lucu dan seru sekali. Dan itulah yang persisnya dilakukan Shawn Levy pada film ketiga dari Deadpool. Sutradara ini tahu bahwa tidak ada lagi ‘tempat’ yang lebih tepat untuk membahas penggabungan ini – merayakan beserta seluruh nostalgianya – selain pada bingkai dunia Deadpool, yang memang dikenal lewat kelemesan mulutnya dalam nge-break the fourth wall.

Namun nanti bagaimana dengan cerita si Deadpool itu sendiri? Well, seperti yang terpampang nyata pada judul, di film ini dia tidak sendiri. Tidak, jika Wade Wilson ingin dunia yang berisi teman-teman dan orang tercintanya selamat. Jadi ceritanya, universe atau timeline Deadpool akan segera menghilang, karena sudah tidak lagi stabil. Mainly, karena anchor-being nya, yakni Logan alias Wolverine sudah tiada. Oleh TVA – organisasi yang berwenang terhadap semua universe – Wade diberikan kesempatan. Atau mungkin tepatnya, pilihan. Wade bekerja untuk mereka, atau tetap tinggal dan ikut menghilang bersama seantero semestanya. Sebagai seorang Deadpool yang pada dasarnya liar – nakal – brutal, Wade memilih aksinya sendiri. Dia pergi lintas semesta, mencari Wolverine untuk dibawa ke semestanya. Tapi Wolverine yang didapatkan oleh Deadpool adalah Logan yang sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Keadaan semakin ribet bagi Deadpool karena TVA menganggap mereka berdua bikin kacau, sehingga dua superhero yang sikapnya berlawanan ini dibuang ke Void. Tanah buangan karakter-karakter yang tidak punya tempat di semesta manapun.

Da-da-da-da-talking to deadman

 

So yea, pada intinya ini film sebenarnya kisah buddy trip adventure. Dan kayaknya memang di antara karakter superhero komik, yang paling hits untuk dipasangkan, ya Deadpool dan Wolverine. Dari segi aktor aja, Ryan Reynolds dan Hugh Jackman udah sama-sama ikonik dan gak bisa lepas dari tokoh superhero komik mereka masing-masing. Mereka sama-sama kayak born to play these roles, gak kebayang kalo orang lain yang meranin Deadpool dan Wolverine. Plus, peran mereka ini punya history yang butuh untuk segera diperbaiki. Kita butuh interaksi Deadpool dan Wolverine yang bukan dari film X-Men Origins: Wolverine (2009)! Lalu dari segi karakter, dua superhero ini udah ngeceklis formula buddy trip dengan perfect. Dua tokoh sentral yang punya karakterisasi berlawan. Yang satu karakternya gak bisa diam, heboh, kurang ajar, bercanda melulu. Sementara satunya lebih pendiam, tapi bukan tenang juga, melainkan penggerutu, gak sabaran, dan di cerita versi ini, Wolverine-nya dibikin amat gampang ngamuk. Jadi adegan ‘bonding’ mereka kocak, karena akan meliputi banyak sekali berantem rated-R alias berdarah-darah. Yang jadi semakin seru karena kalo ada satu kesamaan dari mereka, maka itu adalah dua-duanya gak bisa mati. Dan itulah masalahnya. Wolverine dalam lore-nya sudah mati. Bagaimana menghidupkan dia kembali tanpa melecehkan kehormatan cerita sebelumnya? Well, di sinilah ketika MCU sudah menyiapkan jawaban yang menurutku, still merupakan sebuah pedang bermata-dua. Konsep multiverse itu sendiri.

Aku pikir, di sini tu mereka kayak sekalian ‘ngetes air’. Wolverine yang dihadirkan di sini adalah Wolverine yang diambil dari universe/timeline lain. See, konsep multiverse memungkinkan Disney untuk bisa ‘menghidup-matikan’ karakter, it doesn’t matter karena ada infinite versions of that character dalam multiverse mereka. Besok-besok bukan tidak mungkin Iron Man atau Black Widow yang dihadirkan kembali (yah, tergantung aktornya kapan mau ‘nostalgia’ aja) Sebagai  penggemar, kita akan happy-happy aja melihat superhero favorit kembali. Tapi secara cerita sebuah big picture – sebagai kesinambungan karena ini adalah cinematic universe – kita gak bisa deny bahwa konsep ini melemahkan stake. Ketika mati tidak lagi jadi resiko terbesar buat karakter, maka apa yang bisa kita pedulikan. Ketika journey mereka selesai lalu dimunculkan lagi – entah itu diulang atau completely different out of nowhere – bagaimana kita mengikuti.

Tapi setidaknya, film ini masih sanggup ngasih muatan cerminan paralel buat kedua tokoh sentralnya. Yakni sama-sama soal menjadi bagian dari tim. Deadpool masih kontinu dari dua filmnya sebelumnya. Dia pengen jadi bagian dari sesuatu. Di awal cerita kita dikasih lihat adegan kocak dia lagi interview, ceritanya lagi ngelamar jadi anggota Avengers. Pembelajarannya masih seputar bagaimana dia yang selfish jadi team player. Sama Deadpool-Deadpool dari universe lain aja dia susah akur hihihi.. Stake dihadirkan dari Deadpool harus berjuang demi keselamatan teman-teman universenya. Sedangkan Wolverine, kadang terasa lebih dramatis. Dia menganggap dirinya screw up, di semestanya teman-teman X-Men pada tewas, dan dia tidak ada di sana bersama mereka. Jadi Wolverine versi ini adalah orang yang mencoba to honor his fallen teammates dengan konflik dirinya merasa pantas untuk sendirian. Journey Wolverine ini ultimately akan mengarah kenapa dia terus memakai kostum kuning-biru yang norak. Menurutku ini merupakan penulisan yang cukup pintar dari film ini. Mereka berhasil membuat hal yang udah jadi kultural bagi fans – hal yang sudah lama dituntut oleh fans terkait Wolverine harusnya pakai kostum sesuai komik – menjadi aspek yang punya arti bagi si karakter itu sendiri.

Pada akhirnya mereka belajar untuk menjadi bagian dari satu sama lain. Bahwa tim bukan harus sesuatu yang besar. Tim cukup circle kecil orang-orang yang dipedulikan. Orang-orang yang ketika kita berjuang demi mereka, akan sama saja dengan berjuang untuk kita sendiri. Karena mereka akan melakukan hal yang sama untuk kita.

 

Bicara soal menjadi bagian dari tim; film ini kayak pengen bilang “Selamat datang” kepada para superhero dari Fox. Para superhero generasi awal di dunia sinematik, yang tentu saja sangat berbekas bagi kita semua. Film ini bukan hanya ngasih platform buat mereka-mereka agar bisa muncul lagi (dan ngasih kesempatan untuk mengakhiri kisah mereka), tapi juga ngajak mereka bermain-main dengan state genre superhero komik sekarang ini. Kayak ada dimunculin aktor yang meranin dua superhero Marvel yang berbeda karena tadinya beda studio. Ataupun juga dihadirkan karakter superhero yang belum kesampaian untuk difilmkan, sehingga castingnya juga nurut ke fan-casting. World-building film didesain untuk membahas itu semua. Gimana Void yang berupa padang tandus udah kayak dunia Mad Max berisi karakter-karakter atau bahkan konsep yang terlupakan. Gimana TVA udah kayak personifikasi dari Disney itu sendiri; mengatur IP Marvel mana masuk ke timeline mana, dan Deadpool semacam breaking the fourth wall mencari tempat untuk semesta dia. Dunia film ini exciting dan fun, tapi aku juga bisa melihat konsep begini dapat menjadi too much buat penonton casual. Babak awal film ini benar-benar struggle nyari pijakan supaya karakter-karakter superhero ini bisa ‘masuk’ ke dunia MCU.  Younger audience yang belum nyicipin era superhero Fox 2000an, malah juga bisa missing out kepada cerita dan candaan. Dan ini perlu dicatat oleh filmnya, bukan kesalahan penonton tersebut. Ketika munculin karakter, harus dibahas. Film ini punya villain menarik, tapi karena fokusnya kurang, jadi terasa kayak one-dimensional.

review deadpool & wolverine
Kinda hope ada Thor di Void, bodo amat copyright 

 

Sehingga jadi cukup terasa juga ada perbedaan antara Deadpool di bawah Disney ini dengan dua Deadpool sebelumnya saat masih di bawah Fox. Deadpool satu (2016) dan Deadpool 2 (2018) lebih terasa fokus ke cerita Deadpool itu sendiri, ke pengembangannya. Deadpool yang dulu kita puas ngakak melihat tingkah si mulut kasar. Film ‘cerewet’ oleh celetukannya yang kemana-mana. Pada film kali ini, yang cerewet nambah. Film lebih berisik oleh referensi. Oleh nostalgia. This is a great device to generate hoorah. Tapi di waktu yang sama, Deadpool ini jadi terasa lebih ‘jinak’. Mungkin karena basically di cerita ini dia transisi dari antihero berusaha menjadi superhero. Don’t get me wrong, film memang masih tepat menyandarkan aksi dan komedi dari betapa crude-nya Deadpool, kayak dia gunain ally sebagai shield dari berondongan peluru – dengan konteks yang udah dibuild up dia pengen merebut anjing peliharaan dan pistol milik si ally. Kreatif dan kocaknya malah mungkin agak peningkatan dari film kedua. Afterall, ini adalah film yang dijual Disney tetap sebagai rated R. Tapi kiprahnya sebagai film meta itu sendiri yang terasa lebih jinak, dan lebih contained sebagai fan-service aja.

Film Deadpool pertama dijual sebagai film untuk merayakan valentine, film romantis kata si Deadpool. Dan kemudian kita diberondong oleh hal-hal crude dan brutal. Kocak. Film kedua, Deadpool bilang ini film keluarga. Dan sama, muatan keluarganya kuat, tapi hal-hal liar bukan konsumsi anak-anaknya juga tak kalah meriah. Film ketiga ini kayak cuma punya aksi brutal. Sementara singgungan yang sempat dilontarkan Deadpool terhadap konsep multiverse itu sendiri, kurang terasa nendang karena film ini tetap bersandar kepada multiverse sebagai fasilitas mereka menciptakan referensi dan nostalgia. Film ini seperti pengen merobohkan konsep multiverse, tapi gak jadi. Sehingga hampir seperti status quo film ini dan karakter-karakternya antara awal dan akhir, sama. Misi filmnya cuma kayak, mari hidupkan kembali Wolverine. Kinda underwhelmed kalo tadi niatnya mau meluaskan jagat sinematik dengan superhero-superhero ikonik, kan.

 




Nonton ini buatku teringat excitednya nonton wrestling jaman 2000an, saat WWE membeli WCW dan ECW. Ngeliat superstar ikonik dari brand sebelah muncul satu persatu dan bergulat di ring WWE, menghasilkan kombinasi pertandingan yang dulu hanya bisa dibayangkan. Ngeliat Deadpool, Wolverine, dan superhero Fox 2000an lain di dunia Marvel Avengers, rasanya begitu, Excited. Story buddy tripnya juga seru, benar-benar showcasing hal yang membuat Deadpool dan Wolverine itu ikonik. Makin mengundang excitement, Deadpool dengan konsep metanya paling cocok sebagai ‘tempat’ untuk celetukan menyambut dan bikin kisah tentang penggabungan semesta superhero ini. Film ini seperti cerdas dengan celetukan dan candaan tersebut. Tapi ternyata sampai akhir, gak ada yang terasa benar-benar sebuah tendangan. Film ini justru kayak Deadpool paling ‘jinak’.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DEADPOOL & WOLVERINE.

 

 




That’s all we have for now.

Pasangan superhero Marvel mana lagi yang menurut kalian seru kalo dipasangkan, atau malah diversuskan?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SEKAWAN LIMO Review

 

“It is not the mountain we conquer, but ourselves”

 

 

Sekawan Limo punya arti dua. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai lima sekawan. Sedangkan dalam bahasa Jawa, basically artinya empat-tapi-lima. Judul tersebut memang klop membawa ruh cerita yang tentang persahabatan dari sekelompok anak muda yang naik gunung yang dibalut oleh elemen horor, karena salah satu di antara mereka adalah demit atau hantu. Bayu Skak dalam penyutradaraan horor pertamanya ini memang bermain-main dengan mitos ataupun anekdot-anekdot horor yang dikenal masyarakat, terutama orang Jawa Timur dan orang yang hobi naik gunung. Pun begitu, lewat pesannya, film ini juga punya implikasi yang menurutku cukup bikin sedih terkait orang-orang yang datang ke gunung, lalu hilang.

Pada cerita kali ini, Bayu juga kembali ikut main peran. Sebagai Bagas. Protagonis cerita, yang pergi naik Gunung Madyopuro bersama teman kampusnya, Lenni. Biasalah anak muda, pengen nembak demenannya di puncak. Pas sun set/rise. Tapi karena dua mahasiswa ini baru pertama kali naik gunung, mereka gak tau kalo di gunung banyak pohon cemara, eh salah, ada aturan-aturan. Gak boleh noleh ke belakang, harus naik berkelompok – dan gak boleh berjumlah ganjil. Maka Bagas dan Lenni bergabung bersama dua pendaki lain, Dicky yang ngakunya Mapala dan tahu jalan. Serta Juna yang – kasian banget – ditinggal oleh kelompoknya. Di perjalanan, mau tak mau mereka harus nambah anggota satu demi melihat pendaki bernama Andrew tergeletak kelelahan. Setelah itulah, satu persatu kelompok mereka mulai diganggu demit. Bagas, yang tak tahu, gebetan dan teman-teman seperjalanannya itu diam-diam punya beban masa lalu yang berat, mulai curiga ada demit di antara salah satu dari mereka; demit yang mengundang semua kejadian aneh itu kepada mereka semua.

Bawaan teman-temannya lebih berat daripada tas Bagas yang katanya gede karena bawa orang sekampung

 

Sebelum bahas Bagas dan kengkawan di hutan, aku mau point out dulu yang pertama menarik perhatianku. Yakni setting podcast yang membungkus cerita. Jadi petualangan Bagas di hutan itu ceritanya, diceritakan kembali oleh Bagas yang diundang sebagai bintang tamu di acara podcast. Film ini dibuka di studio podcast tersebut. Aku nontonnya, wuih ini udah kayak Late Night with the Devil (2024) nih, bedanya film itu settingnya acara live talk show televisi. Aku penasaran, mau dibawa ke mana nih setting ini oleh Sekawan Limo. Apakah nanti Bagas akan ada konflik dengan lawan bicara yang skeptis, atau bakal ada pertunjukan hantu ‘beneran’ kayak di horor karya sineas Australia tersebut, apa gimana. Dibandingkan demikian, Sekawan Limo ternyata memang tidak menggunakan setting studio podcast (live?) nya sebagai device horor atau drama seperti film tersebut. Melainkan difungsikan lebih untuk sarana penyampai komedi. Sesekali kita berpindah dari kejadian di hutan kembali ke studio saat dua host podcastnya memantik kelucuan dari reaksi dan komentar mereka terhadap cerita Bagas. Kadang terasa dua host ini seperti perpanjangan dari reaksi kita, kadang juga mereka seperti ikut memancing pandangan kita soal siapa yang hantu di antara kelompok Bagas, tapi sering juga mereka ya komedi aja. Sampai-sampai aku jadi gak yakin apakah karakter mereka yang host itu cuma pura-pura konyol supaya perbincangan terdengar menarik oleh pendengar, atau memang karakter mereka memang didesain sekonyol itu beneran.

Mungkin memang mereka sekadar lucu-lucuan, karena toh daging sebenarnya ada pada kelompok Bagas di hutan. Sungguh sebuah grup yang ‘colorful’ kalo boleh dibilang. Mereka mungkin gak semuanya likeable. Tapi mereka tetap menarik, karena sesungguhnya mereka baru kenal – kecuali Bagas dengan Lenni – tapi kita bisa merasakan perlahan mereka ya jadi kayak teman. Lengkap dengan saling ejek dan saling berdebat. Ini yang bikin mereka konek ke penonton. Dinamika mereka, interaksi mereka. Cowok yang hobi naik gunung pasti pernah punya modus ngajak cewek ke gunung kayak Bagas ke Lenni.  Aku pun relate juga sama Lenni, yang walau gak bisa bahasa Jawa, tapi kalo diajak ngomong ngerti. Aku juga gitu kalo udah urusan bahasa Sunda ataupun bahasa Jawa itu sendiri, kalo ada circle teman-teman dari sana, ya aku angguk-angguk ngerti tapi kalo ikutan nyeletuk ya keluarnya bahasa Indonesia. Begitulah. urusan bahasa yang digunakan, sepertinya ini jadi icing on the cake dari gaya humor film ini. Bahasa dan gaya khas pergaulan Jawa Timur itu bukannya jadi penghalang, namun jadi pesona tersendiri, dan film ini paham bagaimana menempatkan ‘suara-suara’ ini.  Dialog-dialog lucunya, misalnya. Film memang terbuild up ke tebak-tebak siapa yang hantu di antara mereka, dan untuk nyamarin ‘jawaban’ itu, film ini kinda bersandar kepada joke yang becandain fisik (borderline rasis maybe). Like, ada yang diledek karena jelek kayak hanoman, misalnya. Tapi di situ jugalah relatenya.  Karena kita belum bisa dibilang temenan akrab sama orang, kalo belum bisa saling hina, saling becanda. Film ini nunjukin terjalinnya persahabatan dari sana, di samping juga dari adegan emotional yang bakal datang di babak tiga.

Yang sebenarnya agak aneh justru journey Bagas sebagai karakter.  Aneh, dalam sense film ini punya langkah untuk berkelit around posisi aneh karakter utamanya tersebut. Bagas memang bakal menyadari satu pembelajaran (yang serunya diambil sebagai pemaknaan dari larangan mitos naik gunung), akan tetapi, teman-temannya-lah yang harus ngepush diri dan mental mereka untuk ikut menyadari dan mengambil aksi terhadap penyadaran tersebut.  Sementara Bagas sudah berdamai dengan pembelajaran tersebut bahkan sejak cerita dimulai. Kayaknya jarang nemu film dengan naskah yang memperlakukan karakter utamanya di posisi begini. Dibilang lemah karena karakternya gak ada plot/gak berubah, ya enggak juga. Tapi dibilang dia yang ngalamin, ya enggak, teman-temannya yang harus menuntaskan masalah mereka masing-masing. Bagas ada di sana, untuk mengingatkan mereka saja. Film juga berusaha memainkan posisi Bagas ini sebagai hal yang membuat karakternya somewhat suspicious. Bagas yang gak diganggu hantu, jangan-jangan dialah hantu di grup mereka tersebut.

Inside Out if it was filmed in my mind.

 

Justru sekarang, ruang berkelit kita-kita sebagai pengulas yang jadi sempit. Susah untuk enggak menyenggol spoiler, ketika justru revealing-nya itu tempat makna, gagasan utama, dan pesan cerita berada, dan film memutar diri untuk sepenuhnya bersandar kepada revealing tersebut sebagai momen dramatis. Makanya aku gak mau bahas banyak soal ‘jangan melihat ke belakang’ tersebut. Aku justru ingin fokus ke implikasi yang sama menyedihkannya. Yaitu di awal film, saat masih di pos depan, Bagas dan Lenni melihat banyak sekali foto-foto pengunjung/pendaki yang hilang di gunung. Mereka sendiri juga bakal ngerasain gimana seramnya tersesat di gunung dan bisa dibilang nyaris hilang juga. Tapi mereka resolved their problems. Sesuatu yang tidak berhasil dilakukan oleh korban-korban yang hilang tersebut. Sedihnya tu di sini: Berarti banyak banget pendaki yang naik gunung dengan bawaan masa lalu yang berat banget seperti karakter film ini, dan bahkan mungkin sebagian dari orang yang hilang itu seperti Lenni, yang sengaja naik gunung buat mengakhiri capek dirinya.

Makanya gunung sering jadi simbol entah itu pencarian menemukan diri, ataupun ya tempat mengadu saat hati galau. Bukan hanya sebagai tempat romantis untuk nembak cewek. Gunung  bisa jadi tempat entah itu kita berhasil menemukan kembali diri, atau jadi tempat terakhir. Yang kita lalukan saat mendaki gunung, bukanlah menaklukan gunung tersebut, melainkan menaklukkan diri kita sendiri. Berdamai dengan diri kita sendiri

 

At best, film ini dengan narasi ‘jangan menoleh ke belakang” tersebut bisa berfungsi sebagai semangat untuk tidak lari dari masala(h)lu. Bahkan mungkin bisa jadi cerita asli Indonesia yang anti-suicide (serta yang duluan muncul sebagai film anti-judi online!). Pesan film ini baik sekali. Meskipun, cara penyampaiannya masih bisa diperdebatkan lagi. Menurutku, film ini mengambil jalur yang repetitif dalam mencapai puncaknya tersebut. Bagas punya empat teman dengan masalah masing-masing, berarti ada empat kali ‘metoda’ yang sama kita lihat dilakukan oleh film dalam menceritakan penyadaran karakter-karakter tersebut. Alhasil film ini memang punya nada emosional positif yang tinggi menjelang akhir tersebut, tapi karena diceritakannya hanya bergantian, jadinya repetitif sehingga tempo agak drag mencapai ke penutup cerita – yang sekali lagi setting podcast dimunculkan, kali ini difungsikan sebagai sarana konklusi romantis yang manis, meski tetap lanjut dengan vibe horor komedinya.

 




Bahan-bahan racikan film ini sebenarnya bagus. Memadukan misteri, horor hantu-hantuan, dan komedi persahabatan dengan pamungkas emotional note yang tinggi. Belum lagi konsep naik gunung dengan segala mitosnya (termasuk mitos kedaerahan seperti penanggalan Jawa). Urusan bahasa, udah gak jadi soal. Penonton kita kayaknya gak peduli language barrier (gak kayak penonton Amrik sono yang baca subtitle aja males-malesan). Bahasa justru jadi identitas dan pesona tersindiri yang memperkaya perbendaharaan penonton. Cuma memang penceritaannya agak kikuk. Yang masih bisa dimaklumi terjadi ketika sebuah film mengusung banyak konsep, seperti di sini ada setting podcast juga, ada desain ke membuat penonton menebak-nebak, ada demit ‘beneran’ dan demit ‘masa lalu’. Dan ada empat orang – setidaknya – yang harus digali (bukan hanya pada akhir tapi juga basically sepanjang durasi), sementara ada satu protagonis utama yang juga harus dicuatkan. Film ini kebetulan mengambil jalur ‘aman’ yang repetitif, resulting ke tempo yang lebih draggy, alih-alih potong kompas alias lebih ‘garang’ di arahan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEKAWAN LIMO

 

 




That’s all we have for now.

Kalian punya pengalaman naik gunung yang seru – dan kalo bisa horor – gak?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



A QUIET PLACE: DAY ONE Review

 

“Life is found in the dance between your deepest desire and your greatest fear”

 

 

Diam-diam,  A Quiet Place ternyata ngembangin franchise horor survival yang kuat muatan kemanusiaannya. Sudah tiga film – termasuk yang sekarang digarap oleh Michael Sarnoski ini – dan ketiga-tiganya selalu lebih dari sekadar tontonan hiburan dari gimmick invasi makhluk alien yang punya pendengaran super. Bukan cuma soal tidak bersuara jika ingin selamat. Film pertamanya, yang rilis 2018 silam, mengusung pengorbanan demi keluarga lewat persoalan survive dengan tahu kapan harus bersuara, kapan harus diam. Lalu sekuelnya, yang kali itu ceritanya meluas karena keluarga karakter berinteraksi dengan survivor lain, merupakan soal pengorbanan demi kemanusiaan, bagaimana pentingnya membantu orang lain meskipun sekilas seperti mereka tak worthy untuk diselamatkan, dan untuk itu kita tidak bisa dengan tinggal diam. Film ketiganya ini, yang secara timeline dinyatakan sebagai prekuel – hari pertama dari invasi maut itu – bicara tentang keinginan untuk hidup. Keinginan yang sengaja atau mungkin tidak bisa lagi terucapkan, karena situasi yang mengharuskan. Skala lokasinya satu kota besar, tapi cerita kembali menjadi bahkan lebih personal lagi. Film ini memang sedikit lebih serius, lebih ke drama, dan less soal action survivor ataupun horor monster. Tapi tidak sampai sedemikian berat karena afterall ini juga soal menikmati hidup. Motivasi utama protagonisnya saja – di dunia yang mendadak kacau beliau itu – adalah makan pizza favoritnya!

Serius deh, ini harusnya dinormalisasi. Perkara karakter punya tujuan sederhana (atau bisa dibilang out-of-place ketika dikontraskan dengan situasi dunia atau konflik yang sedang terjadi) seharusnya lebih sering dilakukan oleh film-film, sebab itu membuat karakternya tampak lebih beresonansi. Kayak waktu Tallahassee yang berkeliling menumpas zombie di Zombieland (2009) karena dia sedang dalam misi mencari snack Twinkies kesukaannya. Atau recently dalam Leave the World Behind (2023), ada anak kecil yang cuma pengen namatin nonton serial Friends, despite orangtuanya sibuk ketakutan oleh dunia sedang kacau balau kena serangan cyber misterius. Film itu bahkan dengan beraninya mengakhiri cerita bukan dengan menuntaskan konflik global, melainkan menyelesaikan keinginan si anak. Konyol? Bisa dibilang begitu tapi tidak juga sebenarnya. Motivasi sederhana mereka itu jadi seperti api kecil harapan di balik keadaan yang sedang tidak baik-baik saja. Motivasi tersebut jadi simbol. Keinginan Samira makan pizza dari toko di kota New York, penting karena memuat gagasan dan tema utama karakter dan cerita keseluruhan A Quiet Place: Day One.

Begini, Samira adalah pasien kanker yang nasibnya sudah pasti. Hidupnya tak lama lagi. Di momen pertama kita ‘berkenalan’ dengannya kita tahu Sam udah sebodo amat, Sam bacain puisi tentang segala hal di dunia ini sampah – it was a good, cold, poet tho. Udah eneg banget kayaknya dia hidup. Pizza-lah satu-satunya hal yang masih ‘enak’ baginya, Karena pizza ngingetin dia sama masa lalu yang hangat. Jadi karena dijanjiin pizza, maka Sam mau ikut perawatnya ke New York. Tapi hari itu ternyata bukan hari yang baik untuk makan pizza ke New York. Sebab itu adalah hari saat invasi monster asing terjadi. Korban berjatuhan. Kota porak poranda. Ketika semua orang berusaha menyelamatkan diri naik kapal, Sam bersama kucing kesayangannya malah menyusuri jalan. Masih ngotot mencari pizza, Sam akhirnya malah bertemu dengan teman seperjalanan yang membuatnya kembali merasakan hangatnya semangat hidup.

Kebayang gak sih kalo lagi nahan suara takut monster gitu, tau-tau ada yang kentut

 

Saat nonton dua film terdahulu, mungkin ada yang sempat kepikiran gimana prosesnya survivor bisa tahu bahwa monster ini peka ama suara, butuh berapa lama sampai para manusia sadar mereka harus tak-bersuara agar selamat? Well, film Day One ini ngasih jawaban yang jelas. Enggak lama. Kericuhan memang terjadi pas monster-monster itu baru muncul. Bagi Sam yang sudah terbiasa diam dan mengelak dari interaksi dengan manusia, mungkin bukan benar-benar masalah, tapi manusia-manusia lain di sekitarnya? Ketakutanku soal cerita ini bakal jadi teror monster biasa memang hampir jadi kenyataan, tapi itu enggak lama. Begitu Sam siuman dari pingsan, para survivor telah mengerti cara supaya aman dari serangan. Bahwa mereka harus diam. Film ini memang ingin menunjukkan betapa manusia punya survival insting yang kuat. Punya keinginan untuk hidup yang kuat. Sehingga mereka cepat beradaptasi dan menemukan celah dari serangan monster. Keinginan untuk hidup itulah yang jadi kata kunci di film ini.

Rasa kasihan dan kepedulian kita kepada Sam datang dari benturan antara dua hal itu. Kita ngerti Sam yang terminally ill basically udah gak punya keinginan untuk hidup, tapi kita juga lihat daya survivalnya tinggi karena dia pengen banget makan pizza untuk terakhir kali. Nontonin Sam ini rasanya diri berkecamuk sendiri – pengen neriakin Sam supaya benar-benar nikmatin hidupnya, tapi gak bisa karena ya kalo teriak takutnya monster denger. Film ini konsep horornya udah kuat merekat, ditambah pula karakter yang bikin kita ya akhirnya hanya bisa diam juga. Tapi untuk penyadaran Sam itulah – karena kita sebagai penonton gak punya ‘power’ ngasih tau karakter – naskah menghadirkan Eric. Pria yang seperti counter-point dari Sam. Teman seperjalanan yang awalnya ogah-ogahan diterima oleh Sam. Eric, basically, adalah orang yang selama ini mendedikasikan hidupnya untuk hal yang tak bisa ia tolak. Kata-katanya soal law school seolah dia memang diharapkan jadi pengacara dan itulah yang ia lakukan. Tapi keadaan dunia yang hancur sekarang, membuat dia tak perlu lagi jadi pengacara. Eric adalah orang yang merasa punya kesempatan mengejar hidup baru. tapi dia gak bisa apa-apa karena tak melakukan hal lain. Sam dan Eric eventually akan saling ‘mengisi’. Connection di antara mereka jadi hati yang mengangkat film ini. Adegan di jazz club benar-benar mereveal dan nunjukin development yang hangat pada dua karakter yang menguar oleh empati. Itu jadi adegan puncak, Ada keindahan sendiri pada storytelling film ini saat menempatkan adegan full of life itu di tengah-tengah teror, bahaya, dan luluh lantak dunia yang penuh monster mengerikan.

Hidup adalah apa yang kita lakukan ketika menggapai yang diinginkan, meskipun harus melewati ketakutan terbesar. Film ini nunjukin bagi tiap orang ‘hidup’ – being alive – itu berbeda-beda. Makanya ending film ini jadi terasa monumental, sebuah pilihan akhiran cerita yang benar-benar tepat untuk menamatkan kisah hidup Samira; karakter yang divonis mati, di dunia yang juga udah harus ikhlas bakal mati, tapi alih-alih diam, menemukan cara baru untuk benar-benar menyuarakan hidupnya.

 

Lupita Nyong’o dan Joseph Quinn benar-benar paham membuat karakter mereka tampak kontras, punya dinamika yang tantangan menampilkannya sangat berat karena mereka harus lebih banyak diam. Film dengan konsep mengontraskan aksi dengan elemen emosional yang tanpa suara ini memang bergantung kepada akting. Pemainnya dituntut harus bisa bicara lewat gerak kecil, sorot mata, pokoknya seluruh tubuhnya harus bicara menyampaikan psikologi ataupun yang dirasakan karakternya. Informasi tentang mereka terbatas dari sini. Lupita terutama; capeknya dia, frustasinya dia, senangnya, takutnya, marahnya, penolakannya, terekspresikan semua. Film ngasih challenge; muka belepotan abu lah, harus berhadapan dengan monster lah, semua itu ditackle tanpa lepas dari emosi karakter. Yang aku suka satu lagi dari Sam dan Eric adalah kenyataan bahwa mereka ini dipertemukan oleh kucing. Hewan yang dikenal sebagai salah satu hewan paling mandiri bought them together. Seolah ini adalah kiasan berikutnya bahwa mandiri bukan berarti kita tidak berempati ataupun tidak butuh koneksi dengan orang – atau bahkan makhluk – lain.

Salut buat akting kucingnya yang bisa diam, karena aku dulu punya kucing dan aku yakin kalo aku bawa kucingku ke dunia A Quiet Place, baru lima detik kami pasti sudah dimangsa monster

 

Tapi di balik nilai plusnya, tentu kita juga tidak bisa mendiamkan beberapa aspek lemah dari arahan dan penulisan film. Yang paling mengganjal buatku adalah kemunculan Eric. Karakter ini muncul tanpa set up. Literally dia muncul dari sebuah jumpscare. Kirain dia ini gak penting dan bakal mati cepet, tapi ternyata justru kebalikannya. Mungkin film ingin memperkuat kesan bahwa yang namanya hidup, ya unexpected things happen. Kita gak bisa milih siapa yang bakal masuk dan berperan dalam hidup. Bahwa pembelajaran bisa datang dari mana saja. Namun tetap saja yang namanya film, akan selalu lebih baik jika karakter dibuild up dengan proper, atau paling enggak, tidak muncul begitu saja di dalam cerita. I mean, bahkan dalam cerita plot twist paling kacrut pun, karakter yang diungkap sebagai ‘penjahat sebenarnya’ biasanya sudah ada ‘clue’ atau dimunculkan seenggaknya sekilas di awal-awal. Cara film ini mengintroduce Eric dengan abrupt terkesan naskah belum demikian matang memuat racikan konsep cerita.

Dan ngomong-ngomong soal matang, film ini toh tersandung juga ketika mencoba mempersembahkan diri sebagai bagian dari sebuah universe cerita. Film sekenanya aja ketika mulai nyambung-nyambungin antara karakter yang ada di film sebelumnya.  Aku gak ngerasa karakter Henri penting untuk ada di sini. Adegannya ‘mengurusi’ salah satu warga yang panik oleh monster terasa gak penting karena cuma itu satu-satunya bagian dia tampak mencuat. Selanjutnya dia tidak dibahas lagi hingga akhir. Bahkan kalo mau nunjukin paralel antara sikapnya dengan sikap Sam nanti ketika dealing with kepanikan Eric, harusnya keberadaan dia mestinya bisa lebih ditekankan lagi. Karena kalo cuma seperti yang kita saksikan, keberadaan dia kayak maksa, biar kelihatan ini beneran satu universe aja.

 

 




Also, judulnya buatku bisa bikin beberapa penonton merasa terkecoh. Ini mungkin lebih tepat dibahas sebagai problem judul film masa kini yang udah kayak ngincer SEO, kali ya. Maksudku, dari judulnya sekilas film seperti ingin membahas hari pertama di semesta A Quiet Place. Penonton bakal ngarepin aksi ataupun keadaan yang menyeluruh dari ‘hari pertama’ tersebut. Padahal ceritanya sendiri actually adalah cerita yang sangat personal. Yang sangat intimate antara dua survivor. Ditambah pula dengan less-aksi dan more of bahasan karakter, film ini bakal jadi entry paling boring. Namun secara muatan cerita, sebenarnya film ini paling kompleks. Dari ketiganya so far, yang paling ‘elevated’ sebagai horor invasi ya film ini. Kekurangan sebenarnya cuma di beberapa titik kurang matang, atau pilihannya aneh. Sementara karakter dan journeynya, kalo mau memperhatikan, mereka semua meluap oleh emosi yang memang tidak disampaikan dengan sekadar cuap-cuap.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A QUIET PLACE: DAY ONE

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian tentang motivasi karakter yang ‘sepele’ seperti ini? Apakah kalian setuju dengan pendapatku di atas?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



I SAW THE TV GLOW Review

 

“Nothing is really real unless it happens on television”

 

 

Sebelum ada internet, anak-anak muda lari dari dunia nyata, ya ke televisi. Yang semakin terasa spesial karena tidak seperti sekarang yang kita bisa setel apapun kapanpun yang kita mau, dulu program-program televisi kebanyakan hanya ditayangkan seminggu sekali. Tanyakan saja, at least, kepada kakak-kakak generasi 90an yang ngerasain betapa serunya duduk manis di depan layar kaca kotak itu setiap hari minggu. Setelah enam hari sumpek oleh tugas-tugas sekolah, akhirnya mereka bisa meleburkan diri ke dalam fantasi – petualangan, horor, atau apapun itu – meski untuk beberapa jam saja. Kesempatan untuk melarikan diri sebentar, tahu selalu akan datang waktunya untuk ‘healing’ merilekskan diri supaya siap lagi menghadapi dunia nyata, membuat TV jadi begitu berharga. Sutradara Jane Schoenburn kayaknya juga anak 90an. Sebab dari film horor-psikologis-surealisnya ini dia nunjukin kepahaman, bahwa TV bagi anak muda adalah tempat pelarian, tapi juga lebih jauh daripada itu. Jane paham, bagi anak-anak muda yang begitu bersemangat nonton acara kesukaan mereka itu, acara TV tersebut bukanlah semata hiburan. Bahwa so many young people terpengaruh oleh apa yang mereka tonton. Mereka mungkin atau tidak mungkin membentuk jati diri dari sana. Dari pemahamannya terhadap hal tersebutlah, Jane membalikkan kasus. Jika selama ini TV dengan acara-acara yang diciptakan untuk entertainment pelepas lelah dikenal sebagai pelarian, maka bagaimana jika justru acara-acara di dalam situlah yang real?

“Aku merasa yang kita tonton ini nyata”, kata Maddy kepada Owen selesai mereka menyaksikan salah satu episode serial kesukaan mereka, The Pink Opaque. Owen tidak langsung menjawab, ketakjuban atas apa yang baru saja ia saksikan masih belum hilang dari sinar matanya. Kita tahu dia diam-diam mengiyakan, karena kita melihat langsung betapa tertariknya Owen terhadap serial horor remaja tersebut (bayangkan kalo Are You Afraid of the Dark dan Buffy the Vampire Slayer digabung, begitu kira-kira Pink Opaque). Padahal anak yang sering sesak napas ini dilarang nonton tayangan itu oleh ayahnya. Pertama, karena acara itu ditayangkan lewat dari jam tidur Owen. Dan kedua, ayahnya bilang itu tontonan cewek. Maka Owen pun, setiap minggu berbohong kepada orangtuanya, supaya dia bisa nginap di rumah Maddy, kakak kelas berjarak dua tahun darinya, untuk menonton bersama-sama. Owen dan Maddy bonded over this show. Dua abg yang sama-sama ‘kurang gaul’, sama-sama bermasalah dengan ayah. Sama-sama merasa gak fit in di dunia mereka. Sampai suatu ketika saat mereka dewasa dan acara tersebut secara misterius dicancel, Maddy muncul dan ngajak Owen kabur. Ke dunia Pink Opaque untuk melanjutkan cerita. Sepertinya mustahil dan tentu saja harus menempuh cara yang mempertaruhkan nyawa. Owen harus memilih, percaya pada Maddy dan ikut pergi ke sana betapapun anehnya, atau tetap tinggal di dunia yang bikin asmanya tambah parah.

Kenapa kita gak ke dunia Dragon Ball aja sih?

 

Dari nostalgia kultur televisi, Jane lantas menjadikan ceritanya sebuah kisah psikologis yang haunting terhadap identitas diri. Jane mengambil fakta bahwa anak muda suka menjadikan apa yang ditonton sebagai identitas – hal yang selama ini sering dikonotasikan negatif oleh kalimat larangan jangan meniru apa yang kita tonton di televisi, ataupun bagaimana tayangan televisi dianggap membawa pengaruh buruk bagi anak, dan membalikkannya. Jane membuat quote kelakar yang menyindir orang yang percaya apapun di tv adalah real (yang kutulis sebagai pembuka di atas), menjadi kehilangan kekuatan sindirannya.

Mungkin tontonan televisi bukan hanya membantu anak menemukan hobi mereka, kesukaan mereka, melainkan juga membuat menemukan identitas. Not in a way, kita abis nonton Dragon Ball lalu merasa diri kita orang Saiya, tapi identitas yang ‘loh, gue kayak dia loh’. ‘Oh, ada juga cowok yang hobi merias’, misalnya. Atau “Tuh, di tv ternyata ada cewek yang jadi pegulat’

 

Serunya, pemikiran Jane tersebut tertranslasikan ke dalam sebuah horor psikologi yang benar-benar surealis. Mainan utamanya adalah ambigu. Bagi Owen, dan kita, gak jelas apakah dunia yang ia tinggali itu real dan The Pink Opaque hanya tontonan, atau memang seperti kata Maddy; Pink Opaque adalah dunia asli mereka dan mereka dibuang ke dunia tempat tinggal mereka oleh Mr. Melancholy, musuh yang dihadapi oleh dua cewek jagoan di serial tersebut – dan bahwa sebenarnya Owen dan Maddy adalah Isabel dan Tara di dalam serial. Cara Jane membuat semuanya ambigu itulah yang menjadi kekuatan utama film ini. Penceritaannya dilakukan betul-betul lewat bahasa visual, dan karena muatannya mental dan kejiwaan yang personal, maka penceritaan itupun terasa sangat mencekam. Baik itu dunia tempat tinggal Owen, maupun klip dari serial Pink Opaque yang ditonton, hingga ke nanti imaji-imaji yang sepertinya terbentuk dari bagaimana Owen memandang ataupun mengingat hal, semuanya terhampar sama-sama kayak sebuah imajinasi. Semuanya kayak dream-like, hanya saja dream nya nightmare.

TV glow atau TV bersinar merupakan kalimat simbol bahwa ada kalanya anak muda menemukan tayangan yang sangat relate di televisi sehingga mereka jadi tertarik kepada tayangan tersebut; mereka akan duduk mantengin dengan wajah bercahaya terkena cahaya televisi. Oleh film, pengadeganan Owen nonton itu dibuat literal tapi kesannya sangat eerie, berkat penggunaan pendar neon ungu. Dan bukan hanya adegan nonton tv saja, banyak adegan yang memperlihatkan Owen terpana oleh cahaya yang dibuat seperti neon – entah itu dari percikan kabel listrik ataupun biasan lampu akuarium. Owen dan Maddy sebagai sentral akan lebih banyak ‘bicara’ lewat tatapan mereka menatap cahaya-cahaya seperti itu. Film ini bukannya minim dialog, cuma dialog-dialog itu ditempatkan dengan sangat efektif. Film tetap berpegang pada vibe surealis. Dialog akan terputus oleh pause panjang di antara dua karakter. Kalopun ada eksposisi, hal itu dilakukan lewat delivery akting monolog yang creepy. Justice Smith sebagai Owen dewasa, Ian Foreman sebagai Owen muda, Brigette Lundy-Paine both sebagai Maddy dewasa dan muda, mereka paham tugas masing-masing, paham karakter dan derita personal mereka, sehingga jeda-jeda, ataupun tatapan-tatapan mereka semuanya bicara. Semuanya terasa seram. Potongan klip tayangan Pink Opaque semuanya kayak klip short horror 90an yang disturbing lewat praktikal, low-budget like, efek. Satu lagi yang aku suka, adegan-adegan musikal dengan lirik aneh dan pembawaan yang menyeramkan!

Entah itu Owen beneran Isabel, atau Owen ‘hanya’ merasa relate dan membayangkan dirinya Isabel, yang jelas ini adalah cerita tentang Owen yang gak bisa mengekspresikan dirinya dengan nyaman. Tuntutan dari ayah, dan sosial, membuatnya sesak (asmanya melambangkan sesak ini). Yang membuatnya bahkan berpikir dua kali untuk ngikutin Maddy. Like, ditanya Maddy apakah dia suka cewek atau cowok aja, Owen gak bisa terbuka dan malah bilang dia sukanya sama serial televisi. Kalo ini Inside Out 2, maka kita akan melihat Fear dan Anxiety kompakan berdua saja memegang kendali di dalam benak Owen. Makanya, meskipun memang di sini karakternya queer, tapi I Saw the TV Glow tetaplah sebuah cerita yang mampu relate buat banyak orang. Karena – selain hampir setiap orang punya nostalgia terhadap tontonan di masa muda – hampir setiap orang juga menjadi dewasa dengan perasaan fear dan anxiety. Merasa gak fit in dengan sekitar. Merasakan ter-repress dalam satu atau berbagai bentuk yang lain. Akan ada tuntutan orang yang dengan berat harus dipenuhi, meskipun tidak sesuai dengan diri sendiri. Film ini menggambarkan betapa seramnya ketika kita harus memilih antara menjadi diri sendiri atau ikut apa kata orang, sebab kita gak tahu mana yang benar.

Fred Durst masuk-masuk aja kok main di film horor artsy hahaha

 

Ambigu film ini bertahan sampai ending. I Saw the TV Glow uniknya, merupakan film yang endingnya bisa terasa sebagai happy ending atau depressed ending, tergantung dari masing-masing kita penontonnya. Film ini bisa tampak seperti harapan masih ada waktu untuk Owen menjadi dirinya sendiri – bahwa dia minta maaf di akhir itu adalah dia telah sadar. Atau bisa terlihat sebagai akhir miris dari orang yang masih takut dan sesak hingga penghujung hayatnya. Buatku, aku merasa film ini berakhir sedih. Aku lebih suka memandang cerita ini dari skenario bahwa Maddy benar. Bahwa Pink Opaque adalah dunia mereka yang asli. Bahwa simbolik maupun literal, Owen sebenarnya Isabel. Aku sebenarnya gak setuju istilahnya karena berlawanan dengan teori biologis, tapi aku mengerti bahwa film pengen bilang Owen adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki – makanya dia sering flashback mengenakan pakaian perempuan. Dan dia punya satu kesempatan untuk kembali jadi Isabel, tapi karena begitu lama di society yang menuntut dia bertindak seperti pria ‘normal’ dan gak tahu mana yang benar, dia takut. False resolution ketika kita melihat Owen dewasa bilang dia udah move on; sekarang punya tv layar datar, berkeluarga, dan ngerasa Pink Opaque yang kini bisa maraton ditontonnya di platform streaming sudah cheesy dan gak sekeren yang dia ingat, buatku hanya alasan yang dibuat-buat karena kita tidak benar-benar melihat keluarganya. Serial yang ditontonnya pun beda, karena tidak ada Isabel – yang berarti dia deny himself (atau mungkin tepatnya, herself). Dan itulah sebabnya kenapa ada adegan ‘tv di dalam dada’. Journey Owen ditutup dengan dirinya menyadari dan mengakui siapa dirinya, but once again, dia tidak berani membawa dirinya itu ke permukaan.

 

 




Tragis. Tapi siapa yang mau disalahkan? Televisi, yang mempengaruhi anak muda sehingga berpikir yang tidak-tidak terhadap dirinya? Atau televisi-lah yang justru menyadarkan mereka dan membuka wawasan. Tapinya lagi juga sebaliknya, toh televisi juga yang mempropagandakan standar-standar sosial yang diterima masyarakat sebagai kebenaran atau kenormalan. Yang jelas film ini merupakan paket lengkap studi terhadap kultur televisi, sekaligus juga psikologis coming-of-age (dan self) yang haunting. Keren sekali gimana film ini sebenarnya juga have fun dengan nostalgia terhadap era televisi (terbukti dari treatment visual, hingga cameo-cameo artis TV 90an) tapi tetap tidak lepas dari arahan personal dan surealisnya sebagai bahasan horor eksistensial yang konsepnya bermain-main dengan ambiguitas. Subjeknya boleh saja queer, tapi sejatinya permasalahannya mampu untuk terasa relate bagi banyak orang. Karena yang namanya represi kayaknya bisa terjadi di luar gender. Aku setuju sama salah satu kutipan media yang dipajang di poster film ini. “A One-of-a-kind Masterpiece.”
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for I SAW THE TV GLOW

 

 




That’s all we have for now.

Ngomongin tayangan televisi, acara tv apa sih yang buat kalian paling ‘glow’ waktu growing up dulu?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



INSIDE OUT 2 Review

 

“Why do we lose ourselves in anxiety?”

 

 

Alarm pubertas telah berbunyi. Riley sudah bukan anak kecil lagi. Maka siap – gak siap, Joy dan para Kru Emosi di dalam Riley pun harus ikut bertumbuh dewasa supaya bisa mengendalikan perasaan-perasaan Riley. Menyiapkan gadis cilik itu kepada fase berikut dari hidupnya. Itulah alasan kenapa sekuel dari Inside Out (2015) ini ada. Karena manusia bertumbuh, dan akan selalu ada cerita dan tantangan baru yang dihadapi. Nonton Inside Out yang mewujudkan emosi ke dalam karakter lucu, setidaknya membuat kita mampu memahami apa dan kenapa, kita mengalami perasaan tertentu. Bangunan dunianya yang begitu immersive dan kreatif  membuat menyelami psikologi karakternya – yang kemungkinan besar merupakan cerminan dari apa yang pernah kita alami –  serasa menempuh petualangan yang sendirinya juga seru dan emosional. Jika di dalam kepala Riley ada Joy, Sadness, Anger, Disgust, dan Fear yang memegang panel kendali, maka di dalam sekuel Inside Out ini ada sutradara Kelsey Mann dan tim penulis sebagai komando dari the rest of the crew untuk menghadirkan kepada kita lanjutan ‘pelajaran psikologi perkembangan anak’ dengan cara yang sama menyentuh dan menghiburnya.

Remaja adalah fase mencari jati diri. Makanya saat menginjak remaja, perasaan kita akan semakin kompleks. Begitu juga dengan Riley. Anak itu sekarang semakin giat menekuni olahraga hoki. Dia gabung tim di sekolah bersama dua sahabat. Dia juga punya idola di olahraga tersebut. Itulah identitas Riley yang dijaga oleh Joy dan para Kru Emosi. Anak baik, atlet hoki, bersama dua sahabatnya. Tapi remaja juga berarti sebuah fase perubahan. Dan as perasaan Riley campur aduk oleh potensi satu tim bersama idola dan potensi gak bakal satu sekolah lagi dengan sahabatnya, perubahan besar terjadi di ruang kendali Emosi. Panel kendalinya semakin sensitif. Ruangan pun semakin besar, karena Joy dan teman-teman kedatangan anggota baru. Empat Emosi yang tampak lebih intense (Sebenarnya lima, tapi yang satu lagi baiknya disimpan saja karena memang masih hanya lucu-lucuan buat anak tua). Ada Embarassment, si besar dan, ehm, pemalu yang ngeliatnya lebih kasihan daripada ngeliat si Sadness. Ennui, yang lebih sarkas daripada Disgust, Ada Envy, yang walaupun kecil tapi lebih enerjik daripada Anger. Dan ketua mereka, si oren Anxiety, yang pecicilan dan khawatirnya ngalah-ngalahin Joy dan Fear. Si Anxiety claim dia sudah menyiapkan banyak skenario untuk membantu Riley mengarungi masa pelatihan di kamp. Anxiety percaya Riley yang beranjak remaja butuh identitas baru, supaya survive di babak hidupnya yang baru. Dan Joy serta kru Emosi yang lama, dianggap sebagai pengganggu. Sehingga Anxiety membuang mereka, serta identitas lama Riley. Joy harus memimpin teman-temannya mencari jalan kembali ke ruang kendali, demi mengembalikan Riley seperti yang dulu.

review inside out 2
Aku masih mikir, cocoknya nama Joy itu ditranslate sebagai Ria aja daripada Riang

 

In a way, Joy di film ini ngalamin jadi seperti Sadness di film pertama. Dibuang dan merasa tidak dibutuhkan. Ada dialog sedih banget tatkala Joy ngerasa remaja seperti Riley butuh less joy di dalam hidup mereka. Bedanya Joy dengan Sadness di film pertama; Joy enggak pasif. Di sinilah kerja keras tim penulis di ruang komando film mengulik naskah supaya Joy yang karakter utama tetap memegang kendali cerita. Karena, Joy di sini bereaksi atas tindakan Anxiety yang membuang mereka.  Sekilas memang seperti, yang bikin plot bergerak adalah kedatangan Anxiety dan Emosi yang baru, serta tindakan mereka yang membuat Joy dan kawan-kawan tersingkir. Tapi naskah berjuang untuk membuat Joy tetap berada di kursi kemudi, dengan membuat Joy punya false-believe lain, yang telah dilakukannya sebelum Anxiety datang. Yaitu, memilih kenangan dan feelings yang positif-positif saja untuk membangun self-sense atau identitas Riley. Seiring cerita berjalan, development Joy adalah menyadari bahwa believe-nya itu pun tidak tepat. Bahwa sebenarnya dirinya sama saja dengan Anxiety, bedanya Anxiety hanya mencemaskan hal-hal yang belum terjadi dan membangun self-sense Riley dari kewaspadaan tersebut. Dan akhirnya memang, Riley yang merasa orang baik sehingga clueless dan kurang sadar akan kekurangan atau kesalahan dirinya sendiri, jatoh sama kurang bagusnya dengan Riley yang meragukan dirinya sendiri. Yang jadi stake di sini memang Riley, yang menjadi kehilangan jati diri. Sehingga bisa-bisa jadi depresi.

Persis seperti itulah remaja seusia Riley. Dioverwhelm oleh perasaan gak pede, dihantui oleh kecemasan untuk gagal karena merasa dirinya tidak akan pernah good enough, hingga sampai kehilangan jati diri karena cemas tidak diterima oleh sosial. Film ini really nails problematika mereka dan mentranslasikannya ke dalam bahasa petualangan fantasi. Bersama Joy, Anxiety, dan teman-teman Emosi yang lain kita akan menyadari, bahwa self sense kita adalah hal yang kompleks. Bahwa yang membentuk diri kita bukan elemen kebaikan semata. Kita harus ingat kesalahan yang kita perbuat, hal malu-maluin yang pernah kita lakukan, kita harus merasa cemas, cemburu, takut, sedih, harus tahu apa kelemahan kita, karena itulah yang membentuk siapa diri kita secara utuh. Dan kunci untuk menjadi bahagia, adalah mengetahui siapa diri kita sendiri – seutuh-utuhnya.

 

Naskah boleh saja masih menggunakan formula yang mirip dengan film pertama – basically cuma semacam pembalikan, dan alih-alih accept kesedihan, Joy di sini accept dirinya harus berbagi ruang juga dengan Anxiety, tapi bukan berarti film ini sebenarnya sudah kehabisan ide. Justru sebaliknya. Film ini ternyata masih punya banyak kreasi untuk bikin dunia di dalam Riley itu begitu menarik dan punya sistem yang kuat. Lihatlah bagaimana film membawa kita ke tempat-tempat di film pertama, dan mengubah tempat itu sesuai dengan keadaan Riley sekarang. Pulau-pulau relationship Riley sekarang benar-benar mencerminkan pribadi remaja (lebih mikirin persahabatan, dan mulai ‘tertutup’ pada keluarga). Kontrol panel yang dibikin makin sensitif. Dipencet dikit tapi reaksinya ke Riley sungguh dahsyat, seperti gambaran kartunis betapa intensnya perasaan kita di usia segitu (senggol dikit, bacok!) Ada satu momen ketika Joy dan kawan-kawan kembali ke Taman Imajinasi Riley. Tempat yang dulunya sangat magical, kini seperti kantor. Imajinasi Riley sekarang digunakan untuk menggambarkan berbagai skenario kegagalan yang harus diantisipasi oleh Anxiety. Ini udah kayak visualisasi ringan dari kuote terkenal Deepak Chopra “The best use of imagination is creativity. The worst use of imagination is anxiety” yang memang deep abis. Kita menyalahgunakan kreativitas kita untuk hal-hal yang kounterproduktif, bayangkan!

Selain tempat-tempat lama yang sudah berubah, film juga membawa kita berkunjung ke tempat-tempat baru yang tak kalah kreatif. Ada secret vault yang literally brankas tempat rahasia memalukan Riley tersimpan. Di dalam sini banyak karakter baru yang ajaib dan kocak. Ada juga fenomena dengan word play yang tak kalah unik, seperti brain storm. Badai alias hujan bohlam-bohlam ide turun, menghambat petualangan Joy. Yang paling bikin aku ngakak adalah jurang bernama Sar-Chasm. Jurang yang membuat apapun yang disampaikan, akan terdengar seperti sarkas oleh gaung yang ada di sana.

Selain ngajarin psikologi, film ini ternyata juga ngajarin bahasa hihihi

 

Cerita tentang emosi atau perasaan yang jadi karakter, serta secara konteks menyelami perasaan karakter remaja dan melihat bagaimana ‘cara kerja’ semuanya, seperti ini tentu saja gak akan bisa berhasil jika tidak dibarengi dengan visual yang sama ekspresifnya. Mungkin bagi sebagian kita, Pixar sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi tetap saja menurutku, di film ini Pixar menghadirkan kualitas yang bukan cuma berhenti di ‘standar yang penting ekspresif’. Karena selain ekspresif, animasi di sini juga lumayan fluid. Film mulai bermain-main dengan variasi gaya animasi, tergantung dari karakter dan tidak terbatas dilakukan pada karakter-karakter Emosi. Karakter-karakter lain, misalnya karakter dari video game, dibikin punya visual dan gaya animasi – serta gerakan sesuai dengan ‘gimmick’ video game yang glitchy. Ada juga karakter dari kartun, yang oleh film ini bukan saja digambar dengan gaya 2D tapi juga poke fun ke salah satu tipikal acara kartun anak populer yang suka ngobrol breaking the fourth wall kepada pemirsa cilik di rumah. Dan juga tentunya si Riley sendiri. Aku suka desain karakternya yang menurutku kali ini lebih ‘berkarakter’. Jerawat di dagunya itu, menurutku sentuhan kecil yang nice banget ke bentukan karakter ini. Sehingga selain problemnya, dirinya sendiri juga terasa semakin real. Riley di sini semakin terflesh out, Kita mungkin akan melihat sebagian kecil diri kita sewaktu remaja ada pada Riley.

 

 




Inside Out pertama sembilan tahun yang lalu itu merupakan satu dari langka sekali film yang berhasil dapat skor 9 di sini. Dan honestly, aku yang gak terlalu doyan sama sekuel ini, gak antusias-antusias amat menyambut filmnya yang kedua. Tapi ternyata film ini punya alasan tepat untuk hadir, dan actually masih punya banyak ide untuk menggambarkan dunianya. Naskahnya mungkin masih ngikut cetakan yang pertama, tapi penceritaan berhasil membuatnya tambil lebih gede. Seperti juga karakternya yang makin gede, sehingga punya masalah emosional yang lebih gede pula. Untuk mengimbanginya, film juga menaikkan volume komedi, desain karakter yang lebih comic, sehingga film masih mampu menggapai penonton cilik yang udah gak exactly seusia karakter manusianya. Sementara untuk kita yang sudah cukup dewasa, film ini benar-benar sebuah gambaran imajinatif yang seru dan terukur untuk melihat kenapa sih remaja ngalamin hal yang mereka rasakan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INSIDE OUT 2

 

 




That’s all we have for now.

Waktu itu aku pernah ikut gamequiz di internet, ‘Emosi Inside Out Apakah Kamu?’ dan aku dapat Disgust. Waktu itu pas masih cuma ada lima karakter emosi sih, kayaknya cocok-cocok aja. Tapi sekarang kayaknya aku lebih cocok si Malu-maluin deh haha.. Bagaimana dengan kalian, menurut kalian karakter emosi apa yang paling dominan pada diri kalian?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PASAR SETAN Review

 

“Do what you must, and pay the price if you’re wrong”

 

 

Harus mencari penampakan beneran, demi menyelamatkan channel vlog. Yup, that’s where we at now in terms of premise cerita sebuah horor hiburan. Namun bahkan goal yang konyol dan stake yang sama sekali tidak bikin kita peduli itu pun tidak benar-benar dijambangin oleh karya debut layar lebar Wisnu Surya Pratama ini, karena ada cerita lain yang membungkusnya. Yakni tentang kepala polisi yang menyelidiki kasus kematian para vlogger tersebut di dalam hutan kaki Gunung Salak. So yea, Pasar Setan actually punya elemen yang membuatnya semacam True Detective: Setan Country. Dan ‘setan’nya as in, “Setan, film apaan nih!?”

Cerita sekelompok vlogger yang nekat mencari Pasar Setan, mitos gaib yang sudah merakyat dishoe-horn ke dalam cerita investigasi polisi yang gak punya bahasan inner juga sebenarnya selain mendebat soal realistis vs. percaya tahayul, dan gak ngapa-ngapain selain nontonin rekaman para vlogger yang ditemukan. Jadi itu jugalah yang kita tonton. Kepala Polisi bernama Rani jengkel karena kasus sekelompok anak muda yang tewas di hutan itu malah ditangani secara gak masuk akal oleh bawahannya. Seorang gadis satu-satunya yang selamat dari kejadian misterius tersebut, si Tamara, malah ditangkap oleh warga lokal. Jadi Rani membawa Tamara ke kantor, merawat sekaligus menginterogasinya. Karena bukti-bukti digital yang ia tonton belum cukup jelas menjawab kenapa teman-teman Tamara yang lain tewas. Tapi kesaksian Tamara – dia adalah host di acara misteri yang di ambang kena cancel lantaran ketahuan bikin konten palsu, dan itulah yang menyebabkan Tamara and the genk nekat mencari Pasar Setan dan beneran ‘diserang’ hantu-hantu yang dipimpin oleh Nyi Salimah – ternyata berbeda dengan video yang dia amati. Rani harus mengambil keputusan terkait Tamara, karena warga yang percaya gaib mulai mendatangi kantor dan meminta masalah Tamara untuk diselesaikan oleh ‘hukum’ mereka.

Ternyata ada karakter kepala polisi yang lebih annoying dan less-charismatic daripada karakter Jodie Foster di True Detective

 

Kita akan berpindah-pindah dari kejadian yang dialami menurut sudut pandang Tamara, ke ‘aksi’ marah-marah si Rani, lalu ke beberapa video yang ditonton Rani. Dan selain lensa grainy yang lebih natural dan rasio vertikal – yang aku gak tahu apakah itu YouTube short/Instastory/TikTok karena ku memang kurang familiar sama format itu – film tidak pernah benar-benar memberikan treatment yang berbeda terhadap perpindahan tersebut. Kita gak yakin, mana yang beneran terjadi, mana yang cuma cerita Tamara, mana yang ditonton oleh Rani. Mungkin ini taktik sutradara untuk melingkupi ceritanya dengan aura misteri, supaya kita juga terlibat dalam investigasi si Rani. Tapi jika dilihat dari gimana bentukan cerita, clearly yang diincar naskah adalah dramatic irony dari kita tahu Rani ngotot mengusahakan hal yang normally benar, tapi untuk kasus Tamara ini, dia salah. Sehingga arahan film ini terasa missing the point.

Sepanjang menonton, ada sense bahwa film ini sebenarnya mengincar gimmick found footage, ataupun penceritaan dengan pov kamera kayak Keramat. Ada beberapa dialog yang membuild up soal kamera yang dipegang karakter harus tetap merekam semua kejadian, bahkan di kantor pun ada seorang polisi yang diperintah oleh Rani untuk terus standby merekam proses investigasi. Namun bahkan gimmick pov ini juga gak pernah benar-benar dimekarkan. Karena sebagian besar film masih berlangsung seperti biasa aja. Dengan sudut pandang seperti film-film normal. At this point, aku lantas ngerasa sutradara just didn’t care. Dia kayak setengah-setengah dalam mewujudkan visinya. Arahan yang paling serius dilakukan cuma untuk jumpscare. Di aspek ini film cukup lumayan. Ngebuild up adegan penampakan dengan suasana gelap-terang. Dengan suara-suara hutan, ataupun suara-suara hantu, suasana horor di pasar mistis itu kerasa. Lalu ketika Nyi Salimah muncul – serta hantu-hantu lain dengan desain cukup unik dan beragam – kita bakal langsung melek oleh kaget-kagetan. Yang bikin aku takjub cuma satu, tau-tau di pasar tradisional gaib itu ada pisau guillotine hahaha

Biasanya memang trik jumpscare ini bare minimum-lah buat horor lokal. Biasanya masih bisa berhasil bikin penonton puas dan melupakan naskah yang dangkal. Masalahnya, Pasar Setan narasinya juga kacau. Urutan kejadian yang tampil di film ini enggak selurus, enggak sesatu perspektif Rani seperti yang tadi kutulis di sinopsis. Film ini actually dibuka dari sudut pandang Tamara dan grupnya yang sedang berembuk mau bikin konten apalagi setelah mereka dihujat karena ketahuan pake hantu palsu. Seolah ini adalah perjalanan Tamara untuk redeem herself, seolah ini perjuangan grup itu untuk menjadi mungkin semakin akrab, menyelesaikan masalah internal. Ternyata kan tidak. Grup ini bukan karakter, mereka cuma bagian dari misteri yang harus dipecahkan oleh Rani yang sebenarnya lebih fit sebagai journey karakter utama. Hanya saja Rani ini one-dimensional bukan main. Dia gak punya background seperti halnya karakter utama. Yang punya, ya si Tamara. Tapinya lagi, naskah tidak bercerita sebagai kisah perjuangan dia. See, kacau kan narasinya. Ini kayak dua cerita, lalu digabungkan dengan cara kedua ceritanya dipecah-pecah untuk menghasilkan even more surprises, dan melupakan ground work yang mestinya dikembangkan.

review pasar setan
Kalo memang pengen twist, sekalian aja judulnya Pasar Kaget

 

Jika pengennya jadi cerita Tamara, maka harusnya goal dan stake mereka itu diperdalam lagi. Misalnya, kayak di film Agak Laen (2024), grup karakternya pengen rumah hantu mereka sukses, dan film itu membuild up alasan kenapa rumah hantu itu penting bagi mereka. Personal mereka digali, bahwa mereka adalah orang kecil yang cumak bisa kerja di profesi yang laen seperti itu. Opsi mereka sudah diset up terbatas. Rumah hantu itu jadi satu-satunya taruhan mereka. Begitupun misalnya dengan horor found footage Hell House LLC (2015), yang juga tentang sekelompok anak muda yang ingin rumah hantu mereka sukses. Bahwa kerjaan mereka sebagai kru rumah hantu itu sudah dibangun sebagai hal yang personal dan mereka memang harus stay dan gak boleh gagal di kerjaan itu. Sedangkan di Pasar Setan ini, kerjaan Tamara dan kawan-kawan sebagai konten kreator atau vlogger channel horor itu tidak dilandaskan urgensi dan kepentingan personalnya. Kenapa mereka yang masing-masing masih muda, atraktif, dan sehat itu harus bergantung kepada nama baik channel. Kenapa mereka gak pivot ke konten lain aja. Kenapa solusi yang terpikir oleh mereka adalah nyari ‘hantu beneran’ – ini kan sangat tidak masuk akal, seolah yang dibangun adalah dunia cerita yang hantu itu nyata – kenapa gak dari dulu mereka pake hantu beneran. Di tengah film sebenarnya ada momen ketika masing-masing teman Tamara curhat soal motivasi dan goal mereka, hanya saja di titik itu – oleh karena bangunan cerita yang pindah-pindah aneh tanpa ritme jelas – mereka cuma ngeluh dan berantem gak jelas, sehingga kita pun udah gak lagi bisa mendorong diri untuk peduli kepada mereka. Ataupun merasa bisa mempercayai kata-kata mereka.

Karakter-karakter dalam film ini punya kepercayaan masing-masing yang dengan teguh mereka pegang. Rani yang percaya pada hal logis ingin mengungkap kasus di gunung itu sebagai pembunuhan. Warga desa percaya itu adalah peristiwa gaib. Kameraman Tamara cuma tahu ini adalah soal kerjaan dan dia berusaha nyelesaikan kerjaan.  Bagi Kevin yang penting adalah cuan. Jadi, mereka bertindak mengikuti kepercayaan itu. Dan mereka  bakal membayar jika nanti yang mereka percaya adalah hal yang salah. Dan kadang, juga saat mereka benar. Semua ada price-nya. Kepercayaan itulah ternyata hal yang diperjual-belikan dalam Pasar Setan.

 

Tanpa adanya kedalaman, dan galian yang harus mengalah bangunan cerita dan pada usaha supaya ada twist, maka ketika naskah mencoba untuk mendevelop karakter menjadi tidak satu-dimensi pun, jadinya malah kayak sebuah inkonsistensi pada karakter. Misalnya ketika menjelang akhir, Kevin jadi peduli sama Tamara “Kalo lu ke sana sendirian, lu cari mati namanya”, padahal sebelumnya dia pernah menyuruh Tamara pergi sendirian ke lokasi Pasar, malam-malam, buat ngerekam konten mencari kameraman yang hilang. Perubahan Kevin yang tadinya culas itu tidak terlihat seperti development melainkan lebih kayak naskah tidak konsisten. Karena memang jarang juga ada waktu untuk mereka terdevelop, karena momen kita pindah ke melihat mereka itu oleh bangunan film selalu adalah momen-momen cerita harus ‘naik’ alias momen horor seru. Momen cerita ‘turun’ ditugaskan kepada bagian cerita Rani di kantor polisi.

 




Kayaknya, sejauh ini, dari film-film IDN yang pernah aku tonton dan review, film ini yang paling ‘jauh’. Semua aspeknya terasa, bukan mendua, lebih tepatnya setengah-setengah. Arahannya seperti setengah hati mau jadi film dengan gimmick pov shot, atau kayak found footage. Naskahnya terasa immature, ceritanya setengah hati mau bahas tentang investigasi polisi skeptis, atau mau tentang perjalanan anak muda ke hutan di kaki gunung. Yang by the way, gak pernah terasa perjuangannya karena mereka naik mobil, jalan kaki ke sana sebentar (dengan karakter ngeluhnya minta ampun), dan ketika sampai pun nemuin pasar yang mestinya mitos itu gampang. Dan pasarnya, selain karena suara-suara seram itu, tidak terasa benar identitasnya. Kayak tempat seram aja. Sebagai anak geologi yang dulunya cukup akrab dengan bahasan naik gunung, film ini buatku tidak terasa membuatku jadi bernostalgia ke pengalaman ataupun cerita-cerita tentang pasar itu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PASAR SETAN.

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian punya pengalaman seram saat naik gunung?

Silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MADAME WEB Review

 

“Life did not begin when you are born…”

 

 

Apa yang akan kau lakukan jika punya kekuatan bisa melihat alur kejadian di masa depan? Well, ya mungkin kau akan menggunakan kekuatan itu untuk menyelamatkan orang-orang yang penting bagimu, kau mungkin ingin mencegah hal buruk terjadi kepada orang-orang yang tak bersalah, atau kau mungkin gak mau ikut campur dan cuma ngasih komenan atau celetukan tersirat mengenai nasib mereka. Nah, sekarang apa yang kau lakukan jika kau seorang pembuat film dan lagi bikin cerita tentang superhero yang bisa melihat masa depan, dalam jagat universe yang masa depan karakter-karakter lainnya sudah kau ketahui? Kau mau bikin cerita superheronya menggunakan kekuatan menyelamatkan orang doang? Yang bener aja, rugi doongg. Lihat nih gimana S.J. Clarkson dalam debut penyutradaraan film-panjangnya. Dia meletakkan begitu banyak reference dan jokes perihal hidup superhero lain untuk disebutkan oleh karakter utamanya, yang tidak disisakan banyak selain sikap sarkas (tapi datar) dan petualangan yang nyaris tanpa intensitas.

Cerita tentang Cassandra Webb, gadis paramedik yang saat nyaris mati dalam bertugas, terbangkitkan kekuatan cenayangnya, ini harusnya memang sebuah cerita origin dari setidaknya empat superhero perempuan. Karena kejadian tadi, Cassie sekarang jadi bisa melihat kejadian di masa depan, khususnya kematian, beberapa saat sebelum kematian tersebut terjadi. Dalam salah satu penglihatannya, Cassie melihat tiga gadis remaja di kereta yang sedang ia tumpangi bakal dibunuh oleh pria misterius dengan kekuatan seperti laba-laba. Cassie menyelamatkan tiga remaja tersebut, dan mereka berempat lantas jadi buronan si pria laba-laba, all the while Cassie mikirin cara menggunakan kekuatannya untuk melawan. Tapi ini ternyata tipe cerita origin superhero yang take too long untuk membuat karakternya superhero (tiga gadis remaja tadi bahkan sama sekali belum jadi superhero hingga kredit bergulir). Ceritanya sangat aneh, tidak memuaskan baik itu ekspektasi penonton terhadap kisah superhero, maupun lingkaran journey karakter utamanya sendiri. Like, power Cassie yang sering bikin cerita atrek either ngasih keseruan atau kecohan, kayak berbanding terbalik dengan kebutuhannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dia justru jadi better person dengan melihat masa lalu.

Cassie merasa dia gak punya waktu untuk mikirin masa depan, karena dia gak pernah mengerti masa lalunya. Dia hanya punya catatan/jurnal ibunya yang meninggal saat melahirkan dirinya, di pedalaman hutan Peru. Dia selalu menganggap pilihan ibunya sebagai tindakan negatif. Cassie berpikir hidupnya gak jelas karena sedari lahir memang udah gajelas. Tapi hidup ternyata tidak dimulai dari saat kita lahir. Karena hidup kita ternyata saling berhubungan dengan hidup orang lain. 

 

review madame web
Harusnya tayangnya pas April Mop ga sih, bukan pas Valentine

 

Mengambil pembelajaran dari tema ceritanya, mari kita melihat ke belakang. Ke film-film superhero 90an hingga awal 2000an. Kenapa ke masa itu? Karena persis seperti itulah vibe film ini, yang memang sesuai juga dengan timeline cerita yakni tahun 2003. Madame Web did a great job dalam mengemulasi estetik film superhero di era tersebut. Shot-shotnya, gerak kameranya, referensi pop kultur, hingga ehm.. spesial efeknya. Adegan suku manusia laba-laba di pembuka itu bahkan lebih mirip ke aksi-aksi dalam serial minggu pagi Power Rangers. Cheesy. Reaksi dan gerak-gerik karakter-karakternya pun juga punya nuansa ‘canggung’ yang sama dengan penampilan akting film-film jagoan 90an. Dialog dan ceritanya juga sama-sama over the top. Film ini terasa seperti film superhero keluaran awal 2000an, sebelum standar film superhero comic book dinaikkan oleh Marvel. Mungkin ini bisa disebut keberhasilan Madam Web, kalo kita bisa menjawab kenapanya. Kenapa film ini justru mau mengemulate era terburuk dari genre superhero? Soalnya biasanya kan, orang bikin reference nyamain ke satu jaman karena entah itu untuk tribute, karena jamannya punya banyak pengikut cult, atau mereka ingin mengambil yang terbaik dari era itu. Tapi film ini justru kayak menjadi secheesy itulah tujuan utamanya.

Di titik ini kita udah tahu Sony pengen bikin universe Spider-Man versi sendiri, but they can’t just do that karena ada MCU. Dan so far, Sony cuma bisa bikin film dari karakter-karakter di ‘sekitar’ Spider-Man, tanpa actually bisa memperlihatkan sang superhero laba-laba. Jadi mungkin Madame Web yang bisa lihat masa depan inilah kesempatan terdekat mereka untuk membuat reference, to take a shot, bercanda-canda dengan Spider-Man. Makanya film ini jadi banyak banget nyentil-nyentil Spider-Man. Bukan hanya ada Ben Parker, tapi beneran ada Peter Parker! Tapi masih bayi haha… inilah yang lantas kebablasan dilakukan oleh Sony.  Film menjual Spider-Man dan lore nya lebih banyak ketimbang Madam Web jtu sendiri. Dan ini bukan sekadar karena penjahatnya seorang Spider-Person. Film beneran bersandar pada pengetahuan kita akan Spider-Man, naskah dan dialog ditulis around that. Ngebecandain Ben soal ditembak. Mancing-mancing soal nama bayi Peter. Film Madame Web ujug-ujug jadi persis kayak teman di circle kita yang ngerasa dirinya lucu dan edgy, yang dalam tiap kesempatan ngasih sneaky remarks about something dan bener-bener get in front of our faces bilang “Hahaha, get it? Get it? Ngerti doongg.. lucu kan yaa!!” padahal lucu kagak, yang ada malah annoying. Sebab penggarapan cerita utamanya malah ke mana-mana. Film ini justru kayak lebih concern sama ngait-ngaitin ke Spider-Man. Dakota Johnson jadi semakin cringe karena dialog-dialog dia sebagian besar bukan penggalian drama karakternya, melainkan celetukan dan tanggapan ke karakter lain yang sebenarnya adalah suara studio dalam menyampaikan reference Spider-Man. Deadpan-nya bukan lagi dry humor, tapi dead karena pemainnya kikuk menyampaikan dialog.

Stake cerita bahkan lebih terasa ketika kita meletakkan kepedulian kepada baby spidey haha.. My biggest care adalah Emma Roberts jadi mamak Spider-Man, dan ketika dia ikut terlibat dalam kejar-kejaran dengan si Spider-Person jahat, aku baru ngerasa peduli. Jangan sampai baby spidey batal lahir karena si jahat. Ini lucu karena momen itu cuma satu sekuen. Villain cerita ini khusus mengejar tiga gadis remaja yang ia takutkan bakal jadi superhero yang membunuhnya  di masa depan (si Villain dapat penglihatan lewat mimpi soal kematian dirinya), tapi aku tidak pernah merasa peduli sama ketiga gadis tersebut. Kenapa, karena kita tidak tahu mereka sebelumnya. Dan film pun tidak actually memperlihatkan mereka berjuang dan balik melawan dan berakhir jadi superhero beneran. Beda rasanya ketika melihat mereka yang nobody dan gak dibuild up menjadi sesuatu yang pentingnya segimana (karena bahkan mimpi si jahat tidak pernah ditekankan sebagai reality betulan) dengan ketika kita melihat baby Peter dalam bahaya – karena selama ini kita sudah kenal betul sosok Spider-Man. Jadi anehnya film ini adalah pengetahuan kita akan hal yang di luar ceritanya justru memancing hal yang lebih dramatis ketimbang karakter dan cerita aktual mereka.

Dengan banyaknya referensi 2000an, aneh aja Cassie gak jelasin kekuatannya sebagai Final Destination yang era segitu amat populer kepada tiga remaja

 

Di sinilah terbukti film ini gak tau apa yang mau diincar. Bahwa film ini cuma ide-ide liar studio doang.  Karena keluarga Parker pun lalu dikesampingkan gitu aja oleh film yang telat menyadari karakter sentral utama mereka cuma sekumpulan cewek-cewek atraktif dengan personality sekuat karakter sinetron. Heck, mungkin better kalo motivasi si penjahat supaya Peter Parker gak lahir, dan Madame Web dan tiga dara laba-laba jadi superhero yang berusaha menggagalkannya. Si Villain yang fokusnya cuma ngejar tiga gadis itu, akhirnya tampak seperti penjahat yang paling setengah hati jahatnya dan paling lemah. Dia ditabrak mobil dua kali oleh Cassie yang belum punya kekuatan berantem beneran. Aksinya tidak punya intensitas, dia malah lebih garang saat masih belum punya kekuatan ketimbang saat dia sudah jadi manusia laba-laba. Also, aktingnya juga bahkan lebih aneh lagi. Banyak adegan dia ngobrol yang kayak didubbing karena mulutnya gak gerak, tapi suaranya keluar. Aku gak tau mungkin mic mereka mati saat syuting apa gimana haha..

Yang jelas peran si penjahat ini ujung-ujungnya sama dengan cara film memanfaatkan kekuatan melihat masa depan. Cuma untuk mempermudah majunya cerita. Cassie sama sekali gak tau kenapa si Villain ingin membunuh tiga dara, dia gak tahu mereka bakal jadi superhero, tapi dia tetap menjaga mereka. Harusnya yang ditekankan di sini adalah drama yang terjalin antara mereka. Dia yang melihat mereka sama seperti dirinya, stray yang dibuang keluarga. Perjuangan mereka untuk survive harusnya bisa menyentuh hati, tapi oleh film semua itu didangkalkan. Cassie bisa berkomunikasi dengan si penjahat lewat mimpi, dan si penjahat membeberkan semua. Ini penulisan yang malas banget. Bandingkan usaha naskah ini nyisipin sneak remarks dalam tiap dialog dengan usaha naskah menggali konflik dramatis. Kelihatan kan, film ini sebenarnya bukan berniat mau ngasih cerita. Kekuatan Cassie kalo dipikir-pikir mirip dengan kekuatan Yhwach, boss di saga terakhir Bleach. Sama-sama menggunakan kemampuan melihat beberapa detik kejadian di masa depan untuk mengambil langkah dalam combat. Tapi si Cassie battlenya gak pernah keliatan seru. Melainkan konyol. Yhwach punya Ichigo yang mati-matian berusaha mengalahkannya. Cassie cuma punya penjahat yang setengah hati mengejarnya, gak pernah tampak benar-benar bahaya, dan film udah liatin goal battle mereka yang berhubungan dengan logo Pepsi Cola. Film ini lebih concern ke tamatnya harus kena logo itu!

 




Kesuksesan satu-satunya film ini adalah bikin tontonan dengan vibe film superhero era 2000an. Tapi buat apa? Itu adalah era yang orang senang sudah berpindah darinya, era yang gak dirindukan siapapun, dan it’s not like film ingin ngasih perbaikan dan nunjukin yang terbaik dari era tersebut. Film ini flat out mengemulasi yang terburuk dari situ. Karakter-karakter cringe dengan dialog dangkal – yang lebih diperparah lagi dengan kemauan film untuk constantly ngasih reference yang sok-sok mau bikin penasaran itu ada Spider-Man atau enggak. Aksi dan kejadian yang over the top. Konsep melihat masa depan  kayak versi lite dari Final Destination, dan film never actually capitalized on that concept dengan aplikasi yang unik. Padahal kalo mau digarap bener-bener, mestinya bisa, karakternya sebenarnya punya journey. Tapi film ini mentang-mentang udah melihat ‘masa depan’ dari jagat cerita keseluruhan, jadi menaruh hati dan niatnya di tempat yang lain.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for MADAME WEB.

 

 




That’s all we have for now.

Jika hidup tidak dimulai dari saat kita lahir, apakah itu berarti hidup kita juga tidak berakhir saat kita mati? 

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



AGAK LAEN Review

 

“Making mistakes doesn’t mean you’re a failure”

 

 

Wahana rumah hantu di pasar malam. Kalo ditengok-tengok, memang, dari setting-nya aja drama komedi dengan unsur horor karya Muhadkly Acho ini udah agak laen. Kok sepertinya merakyat sekali. Melihatnya sebagai horor, ini bukan horor tentang kutukan-kutukan, bukan horor ritual-ritualan, bukan budaya mistis, lain sebagainya. Pun melihatnya sebagai drama orang yang struggle berbisnis, film ini juga bukan membahas persoalan bisnis yang muluk-muluk. Hanya empat sekawan yang pengen wahana rumah hantu mereka di pasar malam (not even rumah hantu canggih di taman hiburan gede) rame, supaya mereka bisa punya cukup uang untuk kebutuhan hidup masing-masing. Melihatnya sebagai komedi, well ya, film ini pecah oleh guyonan,  dan karena kedekatannya dengan jelata tersebut, maka jadi banyak juga yang membandingkan Agak Laen dengan film-film komedi Warkop DKI. Apalagi Agak Laen juga dipentoli oleh komedian (komika-komika stand up) yang punya acara cuap-cuap yang populer. Dan di film ini mereka juga menggunakan nama ‘panggung’ mereka yang asli. Menurutku pribadi, however, Agak Laen lebih sedikit berisi daripada komedi-komedi, bahkan Warkop. Jika di luar ada istilah elevated-horror, maka aku bilang film Agak Laen merupakan versi elevated dari gimana biasanya film-film kita menghandle komedi, apalagi dan horor bersamaan.

Yang bikin aku surprised terutama adalah pada penulisan karakternya. Aku gak nyangka film ini punya karakter utama. Karena biasanya kan komedi yang sentralnya adalah grup atau sekelompok-orang, akan membuat cerita yang seperti ensemble. Like, they will work as an unit of main characters. Kayak, di film Warkop misalnya. Penokohan Dono-Kasino-Indro bisa bertambah sesuai cerita filmnya, tapi pada setiap film tersebut fungsi mereka sama. Dono bisa jadi seorang anak orang kaya dari desa, tapi karakternya selalu yang polos sehingga sering dijahili, atau juga sial. Indro seringnya kebagian peran anak orang kaya, anak kota, yang sedikit  belagu, Kasino jadi wild card, usil iya, oportunis iya, ngasal iya.  Dan film-film mereka akan ultimately bekerja pada fungsi tersebut. Dalam film Agak Laen, drama-lah yang bekerja. Empat karakter sentral memang diberikan porsi masing-masing, tapi juga naskah dengan berani menunjuk satu orang sebagai perspektif utama. Sebagai sumber aksi, sumber drama, sebagai ‘pemimpin’ kalo boleh dibilang. Sementara karakter lainnya juga diberikan penokohan dan drama personal yang bukan sebatas gimmick pembeda.

Oki, di sini ceritanya adalah seorang mantan napi, melihat wahana rumah hantu pasar malam tempat Jegel, Bene, dan Boris bekerja sebagai peluang satu-satunya dia bisa mendapat uang untuk obat mamaknya yang sakit. Dialah tokoh utama cerita. Kita akan melihat dia sebagai flawed character – yang membuatnya jadi karakter utama yang menarik – melakukan aksi nekat supaya diterima menjadi bagian dari kru, dan gimana dia punya ide-ide untuk membuat wahana tersebut menjadi lebih seram lagi. Karena rumah hantu mereka itu sangat sepi. Pengunjung yang masuk lebih terhibur ngeledekin para hantu ketimbang oleh adrenalin rush ditakut-takuti. Ide si Oki bikin rumah hantu jadi semakin seram, sayangnya terlewat berhasil. Salah seorang pengunjung tewas ketakutan. Oki yang gak mau urusan ama polisi lagi, mengusulkan untuk menguburkan jenazah di bawah properti kuburan, dan teman-temannya yang juga butuh duit untuk urusan unik masing-masing setuju. Mereka akan berpura-pura tak tahu apa-apa. Sampai akhirnya hantu dari bapak yang tewas tersebut justru bikin rumah hantu mereka viral. Duit memang mengalir deras, tapi begitu juga rasa was-was mereka semua. Gimana kalo rahasia perusahaan mereka sampai ketahuan?

Aku dulu juga sempat kepikiran untuk buka usaha rumah hantu, karena ‘modal’ yang kupunya juga sama ama Oki dan kawan-kawan

 

Premisnya sebenarnya komedi sekali. Penulisannya pun sangat terukur dalam menempatkan pion-pion cerita, menanamkan poin-poin yang bakal mekar jadi punchline. Bene, Boris, Jegel juga diberikan permasalahan masing-masing yang situasinya kocak karena dekat juga dengan persoalan kita sehari-hari. Kepekaan mengembangkan situasi komedi memang tampak dimanfaatkan betul oleh para komika ini menjadi cerita yang liar tapi sangat koheren menuju akhir. Aku penasaran banget gimana mereka merancang cerita film ini, like, biasanya di stand up komedi kan ada tuh sesi yang mereka nyebut nama tempat random, nyebut nama kerjaan random, lalu bikin cerita lucu dari situ. Nah uniknya, film ini tuh kayak dibikin spontan seperti itu “Rumah hantu!” “Mantan napi!” tapi ujung-ujungnya bisa sangat koheren ngasilin tontonan yang menghibur, lagi punya kekuatan drama. Pengunjung yang meninggal itu seorang caleg, gimana dirinya yang mendadak menghilang bakal jadi berita, dia juga lagi selingkuh sehingga otomatis bakal ada yang nyari dia. Lalu tentu saja dalam setiap kasus bakal ada saksi mata, tapi alih-alih saksi yang secara kiasan sekaligus literal anak yang buta masalah orangtuanya seperti pada film serius Anatomy of a Fall (2024), film ini memenuhi janjinya sebagai komedi dengan menghadirkan saksi ‘bisu’.

Desain komedinya itu yang membuat Agak Laen menjadi sangat menghibur. Komedinya menyerempet ke mana-mana, mulai dari politik bahkan ke komedi meta bagi aktor-aktornya. Just like any good old comedy does, candaan di film ini berani menyerempet hal-hal yang mungkin sekarang dinilai sensitif. Leluconnya benar-benar outrageous. However, film ini juga ada beberapa kali nyelipin iklan sponsor, yang dilakukan dengan kocak meski memang ‘in-our-face’ sehingga honestly aku sempat ragu ini beneran iklan atau bukan. Tapi either way, ‘iklan’ itu  memang agak sedikit mengganggu karena tetap membuat kita sedikit terlepas dari cerita yang sebenarnya. Anyway, buatku secara personal, ada dua aspek yang bikin film ini secara khusus terasa relate sehingga menjadi nambah lucu. Yaitu bahasa canda dialek Sumatra – although film tidak membatasi range diversitynya di sini karena bahasa daerah lainnya juga – yang membuatku agak rindu kampung halaman (dan rindu kucingku yang hilang, karena kalo di Bandung ini aku pakek gaya ngomong gitu cuma kalo ngobrol sama kucing haha). Dan bisnis rumah hantu. Dulu selepas kuliah dan mutusin out dari jalur jurusan, aku sempat kepikiran mau buka rumah hantu dan lantasi suka datengin, nyobain, berbagai macam wahana rumah hantu. Film ini membuatku ngakak karena aku baru kepikiran suka duka kerjaan itu

Dan memang penulisan yang terukur itulah, ditambah quick with wit, peka, dan penggalian yang fresh yang akhirnya bisa menyulap premis komedi soal rumah hantu viral karena hantu beneran itu menjadi drama menyentuh soal pemuda yang merasa gagal membanggakan ibu atau keluarganya. Bobot drama tersebut hadir di balik momen-momen komedi tadi dengan subtil. Kita gak akan nyadar muatan cerita ini sampai tiba-tiba kita merasa sorry for the characters. Kita tidak lagi menertawai mereka. Kita sadar kita jadi ikut tertawa, sedih, dan kalut bareng mereka. Para pemain utama pun seperti sudah mempersiapkan diri untuk momen-momen yang lebih dramatis. Jegel, Boris, dan khususnya Oki dan Bene mendapat ruang untuk menampilkan range, karakter mereka tidak melulu konyol dan serampangan. Hati film ini justru datang dari gimana masing-masing menghadapi permasalahan sendiri. Dan kepada masing-masing. Sebuah tantangan yang berhasil di-tackle karena film sama sekali tidak goyah tone maupun pace-nya saat membahas masalah yang lebih ‘drama’.

Memang cumak iklan-iklannya aja yang bikin agak malas

 

Semua orang pernah melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Semua orang pernah mengucapkan hal yang harusnya tidak mereka ucapkan. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Dan kesalahan-kesalahan tersebut bukanlah penanda mana orang yang baik, mana orang yang jahat. Bikin kesalahan tidak lantas berarti kita jadi orang jahat. Melainkan hanya berarti kita belum tau yang lebih baik. Dan salah juga bukan berarti gagal. Yang menandai kita jahat atau bukan, gagal atau bukan, justru adalah apa yang kita lakukan setelah melakukan kesalahan. Menyesal atau tidak. Berjuang untuk berubah atau tidak.

 

Satu lagi yang dilakukan dengan benar oleh film ini adalah tidak meniadakan konsekuensi. Ini nilai plus yang mengangkat cerita lebih tinggi lagi, karena biasanya film-film akan dengan mudah melupakan konsekuensi demi menjaga status karakter utamanya. Menerima konsekuensi ini penting bagi karakter karena itulah yang menandakan mereka sudah melalui pengembangan. Ketika mereka rela mendapat hukuman atas tindakannya, di situlah arc karakter mereka komplit. Journey mereka tercapai. Menghadapi konsekuensi juga berarti karakter-karakter di film ini tidak diberikan jalan keluar yang mudah bagi permasalahan mereka. Film ini memberikan akhir yang tepat bagi para karakter tanpa mengurangi bobot journey mereka, meskipun ada beberapa poin cerita yang terasa agak terlalu cepat. Misalnya, ketika ‘rahasia’ mereka diketahui oleh satu karakter. Proses ‘tahu’nya si karakter itu kayak cepat, kok dia bisa nyimpulin, gitu. Jadi kayak ejaan naskah saja jadinya. Tapi, paling enggak, film tetap melakukan itu di dalam konteks karakter. Kelihatannya saat nonton mereka ketahuan itu karena mereka kurang jago ngeles, ketimbang karena naskahnya kurang detil menuliskan proses.

 




Kalo sineas lokal bisa bikin dan produksi cerita merakyat yang fresh seperti ini, buat apa lagi kita meremake materi komedi horor dari negara laen? Aku salut banget sama Imajinari, yang film-filmnya kayak konsisten mengangkat cerita original, dan dengan range yang berbeda. Drama keluarga dengan kultur Batak di Ngeri-Ngeri Sedap (2022), drama romance dengan konsep meta filmmaking di Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023), dan sekarang drama komedi dengan unsur supernatural/horor. Bahkan perihal karakter utamanya aja Imajinari berani ambil resiko. Sepasang orang tua yang pengen anaknya pulang. Jatuh cinta di usia yang tak lagi muda. Gak peduli mereka sama penampilan ‘bintang’. Di film ini, protagonis dan gengnya adalah kru rumah hantu. Mereka cuek ngangkat cerita dari sudut pandang tak biasa, sehingga menghasilkan galian cerita yang terasa grounded pada level yang berbeda. Rancangan komedi menghantarkan penonton menuju hiburan non-stop, sementara muatan drama diam-diam mengangkat film ini menjadi tontonan yang bergizi. Tiga film, dan tiga-tiganya konstan di tier atas blog ini. Genre drama komedi, atau bahkan komedi horor kita punya standar yang baru. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AGAK LAEN.

 




That’s all we have for now.

Apa pengalaman terseram kalian masuk wahana rumah hantu?

Silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL