THE KING OF STATEN ISLAND Review

“It’s never too late to be who you might have been”
 

 
 
Ada stereotipe yang erat melekat kepada penduduk Staten Island, kota kecil di pulau selatan bagian dari New York, yang sebagian besar memang membuat mereka dapat citra yang kurang membanggakan. Akibat gambaran serial tivi seperti Jersey Shore, remaja-remaja di Staten Island kini dikenal sebagai makhluk yang ignorant, sukanya party, ‘makek’, keras kepala, dan cewek-ceweknya hobi banget tanning ampe kulit jadi berwarna orange. Gaya bicara hingga kosa kata khas mereka pun sering diperolok. Dan walaupun stereotipe itu cuma karakterisasi dan gak semuanya benar, tidak semua remaja di sana beneran seperti demikian, Scott Carlin, menghidupi ‘traits’ tersebut hampir seratus persen, yang lantas membuatnya pantas untuk menyandang gelar Raja di Staten Island.
Cobalah berdialog sama Scott. Maka dipastikan dia akan ngelindur, hampir seperti bercanda tapi dia serius. Ajak dia ngobrol soal kehidupan; dia akan nyerocosin pandangan kekanakannya yang menyebalkan. Ajak dia berbincang soal pekerjaan, well, semoga beruntung menjawab jawaban yang positif darinya. Scott ingin jadi tattoo artist, tapi gambar karyanya hanya sedikit lebih baik dari corat-coret anak SD. Scott punya angan untuk membuka restoran tato, orang datang untuk makan sekaligus ngantri ditato. Mimpinya itu benar-benar merangkum kepribadian Scott. Dia punya passion, tapi terlalu nyeleneh. Dia mau berusaha, tapi terlalu lambat. “I am still figuring things out”, katanya, membuat sebal ibu serta adik perempuannya yang baru saja masuk kuliah. Bahkan pacarnya sendiri, cewek Staten Island tulen yang mau membuat ‘Staten Island great again!’, muak dengan Scott yang seperti mengulur-ulur hubungan mereka.
Sebagian besar film The King of Staten Island ini akan terasa seperti sajian slice of life. Tontonan kehidupan yang seperti tanpa tujuan, melainkan hanya memperlihatkan keseharian Scott, young-adult pengangguran umur 24 tahun yang masih tinggal serumah dengan ibunya yang sudah belasan tahun menjanda. Ketika sang ibu mulai berhubungan ke arah yang serius dengan seorang pria pemadam kebakaran, barulah film ini kelihatan tujuannya sebagai drama. Karena Scott gak suka pria tersebut. Untuk alasan yang personal. Dia membenci pemadam kebakaran karena pekerjaan itulah yang merenggut ayah kandung dari dirinya. Ayah yang meninggalkannya dengan segudang prestasi dan pencapaian dan kisah-kisah kepahlawanan yang eventually menjadi beban bagi kehidupan Scott sebagai orang dewasa.

Kalo King ini ketemu Princess of Staten Island, it would be F-A-B-U-L-O-U-S-S

 
Melihat Scott melewati hari demi hari dengan practically gak melakukan apa-apa yang penting, secara mengejutkan sangat menyenangkan. Bahkan debat kusirnya dengan teman segeng, dengan pacar, dengan adik, begitu amusing. Kita bisa menangkap secercah poin ‘kebenaran’, atau mengerti alasan Scott, dan kita dapat melihat tokoh ini bukanlah seorang bad-boy. Suatu waktu dia menolak ikut gengnya merampok toko obat, menunjukkan Scott tahu mana baik mana yang buruk. Namun dia seringkali jadi kayak asshole dan bikin sekelilingnya kesel karena gak kunjung berubah. Itu semua hanya karena dia punya self esteem yang kelewat rendah. Dan inilah sebenarnya purpose dari cerita. Mengawal Scott mengenali masalah dalam dirinya, mencari penyebab kenapa standarnya begitu di bawah, dan dia seperti nyari alesan untuk menjadi lebih baik, dan berkonfrontasi dengan itu.
Semua itu karena Scott dibesarkan dengan cerita kepahlawanan sang ayah. Pemberani, baik hati, bertanggung jawab, selfless. Legenda di komunitas pemadam kebakaran. Ibunya menceritakan kehebatan ayah kepada Scott, malah membuatnya merasa itu adalah garis yang terlalu tinggi untuk dilewati. Apapun yang terjadi ia tidak akan bisa menjadi sehebat ayahnya. Sehingga selain menjadi gak suka ama kerjaan pemadam kebakaran, Scott juga jadi males berusaha tinggi-tinggi. Daging cerita ini terletak pada momen ketika Scott mulai – walaupun terpaksa – masuk ke dunia pekerjaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Melihat seperti apa hidup sebagai pemadam kebakaran, mengetahui resiko-resikonya, dan ultimately mendengar langsung seperti apa sebenarnya sang ayah di luar kerjaan dan prestasi-prestasi tersebut. Scott enggak sadar inilah yang ia butuhkan. Untuk mengenal ayahnya, sebenar-benar kenal. Luar-dalam. Baik-buruk. Film lain akan memperlihatkan tokoh seperti Scott ini akhirnya menjadi pemadam kebakaran handal juga sebagai bentuk transformasi dan penyadaran diri. Namun The King of Staten Island tahu persisnya penyadaran itu seperti apa dan sekaligus mengerti bahwa perubahan itu butuh proses. Film bercerita dengan sangat bijak, dan bekerja segrounded-grounded-nya sehingga kita terus merasakan sesuatu yang real hingga ceritanya usai.

Tidak ada kata terlambat dalam menyadari siapa dirimu sebenarnya. Scott; dia bukan sebatas stereotipe remaja di suatu kota, dia bukan seniman tato yang gagal, atau bahkan – dia bukan anak pahlawan. Melainkan, yang harus disadari olehnya sendiri bahwa, dia adalah anak ayahnya. Just that. Sehingga dia bisa mengerti bahwa hidupnya adalah sepenuhnya keputusan sendiri, tidak berdasar atas standar yang ditetapkan oleh orang lain.

 
Yang membuat film ini unik adalah bahwa sebenarnya cerita ini bertindak sebagai semi-autobiografi. Sutradara Jude Apatow menulis naskah film ini bersama pemeran Scott, komedian Pete Davidson, yang di real life adalah anak seorang pemadam kebakaran yang juga jadi pahlawan dalam bertugas. Tepatnya, Ayah Pete gugur saat menyelamatkan orang-orang pada tragedi 9/11. Momen pada ending film ini dijadikan tribute untuk kejadian tersebut. Aku gak bakal bilang konteks atau kejadian tepatnya ending film ini seperti apa. But momen terakhir film ini adalah Scott sedang di Manhattan dan dia melihat ke arah Menara Kembar seharusnya berada. Yeah, saat mengetahui informasi ini semuanya juga jadi klik buatku. Aku sampai “wow, makanya” berkali-kali.
Wow, makanya Scott di film ini begitu natural. Davidson memainkan tokohnya dengan sangat personal. Memerankan karakter yang mirip dengan diri sendiri jelas bukan perkara gampang. Apalagi dengan tone komedi di balik drama yang harus dikenai. Salah-salah karakter tersebut hanya akan jadi seperti parodi yang sama sekali enggak manusiawi. Davidson berhasil keluar dari jebakan karikatur tersebut. Dia mengeksplorasi grief terhadap kematian ayahnya, perjuangan dalam hidup menjadi dewasa, relasi dengan keluarga; dia menarik semua itu dari dalam hatinya dengan tidak pernah berlebih. Just enough untuk membuat tokohnya menjadi sedemikian nyata. Film ini punya pesona sehingga kita tetap peduli pada Scott. Meskipun bagi tokoh lain, dia menyebalkan. Komedi yang hadir dari dialog dan interaksi tokoh ini tidak sekalipun terasa dipaksakan. Para tokoh pendukung, dan juga remaja-remaja Staten Island yang lain tidak serta merta annoying karena kita dapat melihat menembus stereotipe yang udah terbentuk.

Mungkin kalo kita minta ditato dengan gambar wajahnya, Scott baru sudi berusaha lebih keras.

 
 
Normalnya, film kayak gini akan langsung mulai dari titik terendah tokoh, lalu babak satu berakhir dengan dia keluar dari zona itu, yang berarti Scott mulai tercemplung ke dunia ayahnya. Cerita biasanya akan berakhir dengan Scott menjadi semacam pahlawan. Tapi arahan Apatow sama sekali berbeda. Dia menarik jauh ke belakang. Kita baru melihat Scott berada di pemadam kebakaran setelah midpoint. Dan film seperti berakhir prematur, sebelum Scott benar-benar punya pencapaian. Ini, dan fakta bahwa durasi cerita mencapai dua jam lebih, sekiranya berpotensi membuat penonton gak-sabar dan menyerah pada kejengkelan. It really takes a while untuk film ini berjalan sesuai tujuannya. Paruh pertama – yang bagian ‘slice of life – berjalan seperti ngalor ngidul. Banyak juga tokoh yang ilang-timbul begitu saja, persis kayak di real life; orang-orang akan keluar masuk hidupmu tapi kita juga move on dan terus berjalan. Hanya saja memang dapat dimengerti kalo mungkin ada sebagian dari kita yang geram ingin meringkas ceritanya menjadi bagian-bagian penting saja yang ditampilkan.
Aku pun sempat berpikir demikian. Namun jika memang cerita ini dipersingkat, enggak perlu se-elaborate itu melihat kegiatan Scott dan kawan-kawan, menurutku film akan kehilangan pesonanya. Aku meragukan hasilnya akan menjadi lebih menarik, atau bahkan lebih baik. Karena tujuan film membuat paruh awal yang berkepanjangan dan ke mana-mana itu adalah untuk menghidupkan Staten Island itu sendiri sebagai sebuah karakter. Dari bagaimana penduduknya, seperti apa rupanya, semua dijadikan sebagai penciri karakter. Jadi selain untuk meng-emphasize persoalan ‘figuring things out’ supaya kita makin relate, di separuh awal film juga ingin membangun tempat itu bersama dengan tokoh utamanya. Sehingga Staten Island juga mendapat lapisan di balik stereotipe yang menimpanya.
 
 
 
Sajian komedi yang penuh pesona. Baik itu dari karakter maupun dari kota yang menjadi tempat para karakter itu hidup. Kuat oleh sense of realism karena berhasil mengakomodasikan statusnya sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi. Tentu saja semua ini tercapai berkat arahan dan permainan akting yang luar biasa. Ceritanya memang tergolong panjang dan seperti terbagi menjadi dua bagian. Namun kita tidak akan bosan ataupun merasa jengkel kepada tokohnya. Melainkan akan merasa hangat oleh momen-momen ajaib-tapi-genuine di dalamnya. Dan Scott dalam film ini bisa jadi inspirasi bagi orang-orang yang juga lagi terlunta-lunta dalam hidup, membantu kita untuk “trying to figure this shit out”.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KING OF STATEN ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana dengan daerah/kota kelahiranmu? Apakah kalian punya koneksi dengannya? Sebesar apa peran kota terhadap pendewasaanmu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE VAST OF NIGHT Review

“Well, the way of paradoxes is the way of truth.”
 

 
 
Kita tau itu alien. Kita langsung bisa menarik kesimpulan jika ada seorang DJ radio dan seorang operator komunikasi menemukan ada ‘noise’ aneh di udara, mendengar statis tak-terjelaskan pada gelombang radio, saat beberapa tempat di kota kecil tempat tinggal mereka malam itu mengalami gangguan listrik lokal, maka itu pastilah ada hubungannya dengan makhluk luar angkasa. Namun selangkah lebih maju dari tokoh-tokoh, tidak membuat kita lebih pintar daripada mereka. Kita masih merasa merinding oleh misteri. Kita masih bergidik dan mata kita meliar mencari-cari setiap kali langit gelap dipampang oleh layar. Karena memang kekuatan dari The Vast of Night, misteri sains fiksi karya pertama seorang sutradara bernama Andrew Patterson, terletak bukan sebatas pada apa yang terjadi, melainkan juga luas melingkupi bagaimana peristiwa tersebut berdampak pada orang-orang yang mengetahuinya. Kekuatannya terasa benar pada bagaimana cara ia mempersembahkan cerita tentang ‘kota yang disatroni alien’ – premis yang kita semua sudah pernah lihat sebelumnya – dengan nada yang sama sekali baru.

Kita tau alien itu bo’ongan. Tapi kita gak masalah untuk mempercayai alien itu eksis di dunia film. Kita bahkan cenderung memposisikan diri untuk bertentangan dengan tokoh-tokoh di film yang enggak percaya pada keberadaan alien. Kebenaran kita terurai menjadi kebenaran-kebenaran baru, yang tidak sesuai dengan kebenaran pertama tadi, saat kita menyaksikan suatu film. Membentuk sebuah paradoks kebenaran. Peristiwa tatkala garis antara ‘truth’ dan ‘myth’ lebur. Di sinilah letak gagasan The Vast of Night; film ini ingin kita memilih antara truth dan myth. Bermain dengan paradoks kebenaran.

 
Film mengajak kita berpartisipasi, tetapi bukan sebagai ‘bayangan tokoh’. Melainkan sebagai penonton. Kita akan dibawa berada di dunia cerita, mengikuti dengan dekat dua tokoh sentralnya, tapi kita tidak pernah ‘menjadi’ mereka. Jika di cerita ini ada dua entitas; manusia penghuni kota Cayuga dan ‘orang-orang di angkasa’, maka kita adalah entitas ketiga. Penonton yang roaming ‘freely’, kita si segala-tahu. Kecuali satu hal; kebenaran di balik fenomena yang bakal kita saksikan… I know this sound strange, besar kemungkinan kalian membaca ini sambil mengernyitkan dahi dengan beragam argumen kontra terhimpun di dalam kepala. Untuk itu aku hanya akan bilang; tunggu sampai kalian menyaksiksan sendiri cara film mempersembahkan dirinya kepada kita. Dan walaupun sebenarnya aku gak suka memakai  kalimat standar reviewer instagram but I’m gonna use it here anyway; Karena film ini memang seaneh itu

Yang jelas semua ini bukan akibat dari tupai yang menggigiti kabel listrik

 
 
Yang diestablish pertama kali oleh sutradara Patterson – informasi pertama yang kita lihat sebagai pembuka – adalah bahwa keseluruhan cerita The Vast of Night ini terjadi di dalam televisi. Huh?!! Yes, film ini adalah tv show yang kita tonton, di dalam film. The Vast of Night adalah salah satu episode dari serial televisi yang clearly dibuat oleh Patterson sebagai homage kepada serial di dunia nyata The Twilight Zone. Lengkap dengan kalimat narasi yang mirip. Serial kayfabe film ini bertajuk, guess what, “Paradox Theater”. Tekad untuk mengaburkan garis truth dan myth sudah terpampang jelas sedari awal. Film dibuka dengan perlahan ngezoom layar televisi bundar yang sedang nyiarin serial ini, dan sepanjang film kita akan dibawa keluar-masuk layarnya, sekadar untuk mengingatkan kita, like, “hey ingat ya, kalian penonton.. yang kalian tonton itu cerita misteri dari program tv bohongan yang meniru Twilight Zone. And it’s also the movie. Udah bingung belum?”
Kemudian baru kita bertemu dengan salah satu tokoh sentral cerita. Everett, si penyiar radio yang dikenal oleh seluruh penduduk kota. Ini tahun 1950an dan malam itu penduduk di kota berkumpul di aula olahraga karena ada pertandingan basket. Keakraban penduduk diperlihatkan selagi Everett dipanggil ke sana kemari oleh berbagai tokoh yang meminta bantuannya. Hingga akhirnya dia bertemua dengan tokoh sentral kedua, Fay yang meminta tolong untuk diajarkan cara merekam suara dengan recorder sederhana. Babak set-up film ini dapat jadi membingungkan lantaran ini adalah jenis film yang cerewet. Pada adegan perkenalan itu, Everett dan para tokoh akan bicara nonstop. Cepet-cepet. Ditambah dengan kamera yang betah merekam berlama-lama tanpa dipotong, kita bisa dengan cepat tersesat menyimak obrolan yang kita enggak ngerti mereka lagi ngomongin apa. We just follow them around, mendengar apapun yang mereka obrolin. Mereka gak nunggu kita, film enggak mempersilahkan kita untuk bergabung. Melainkan kita yang diminta untuk mengejar, dan berusaha mengenal sendiri. Dan kemudian Everett dan Fay keluar, berjalan menyusur kota ke tempat kerjaan mereka. Kita tetap mengikuti, dari belakang. Kamera memposisikan kita setinggi lutut para tokoh, sambil terus berjalan, menghasilkan kesan creepy yang sangat efektif. Terutama ketika langit dan lampu-lampu yang seolah UFO kecil-kecil itu menghiasi latar.
Nilai tertinggi film ini memang terletak pada kerja kamera dan sinematografinya. Aku paling suka saat setiap kali kamera membawa kita ‘berjalan-jalan’ dengan unbroken shot. Sensasinya seperti melayang rendah, dan kita pun jadi tahu seluk beluk kota ini. Misalnya seperti ketika kita ninggalin Fay di kantor broadcastnya, pergi ke stasiun radio Everett, dan mampir di aula olahraga dalam perjalanan menuju ke sana. Meskipun gak terlampau detil, tapi take panjang ini berhasil menyampaikan lewat visual sense hubungan antartempat di sana. Ini penting karena menunjukkan semua kejadian itu berhubungan, sekaligus juga untuk world-building karena nanti di separuh terakhir Everett dan Fay akan pergi ke segala arah mencari orang yang punya informasi tentang suara aneh yang mereka dengar di radio.
Dan karena ini adalah film yang dialognya gak kalah panjang ama long-takenya, akting tentu turut menjadi hal yang esensial. Para aktor di film ini banyak yang belum terlalu dikenal. Ini baru pertama kali aku melihat Jake Horowitz yang meranin Everett dalam film, sedangkan pemeran si Fay; Sierra McCormik aku pernah lihat sekali di film Ramona and Beezus (2010) waktu dia masih anak-anak. Namun kita gak akan nyadar hal ini saat melihat penampilan akting mereka di The Vast of Night. Keduanya begitu natural. McCormik keren sekali mampu memainkan adegan berkutat dengan panel komunikasi berkutat dengan panggilan masuk dari orang-orang yang menelpon soal suara atau penampakan UFO sepanjang sembilan menit tanpa putus. Sedangkan Horowitz believable banget sebagai seorang kharismatik yang dikenal semua orang dan passionate sama kerjaan sehingga kadang dia terdengar angkuh. Heck, semua tokoh penduduk kota kecil film ini beneran kayak tetanggaan beneran, Everett dan Fay tampak beneran akrab kayak orang yang sudah kenal dari kecil. Begitu kita sudah terbiasa dengan aturan-main penceritaan film, memahami kedua tokoh ini menjadi lancar dan film pun menjadi tak lagi membingungkan.
In fact, awalnya aku mengira dua tokoh ini kakak-adek saking akrabnya

 
 
Aku baru nyadar mereka bukan sodara dan actually sebaya ketika ada kesan flirting di antara mereka. Keduanya memainkan karakter mereka yang saling bertolak belakang dengan pembawaan yang gak dibuat-buat, bahkan ketika menangani elemen romansa mereka meyakinkan sekali sebagai dua orang saling suka tapi gak mau bilang. Kontras antara sikap mereka berdua digunakan oleh film sebagai perwakilan dari jalur truth dan myth yang diminta kepada kita untuk pilih. Fay adalah jalur myth, untuk kita percaya pada cerita orang-orang yang menghubungi mereka bahwa bunyi-bunyi itu adalah alien. Sedangkan Everett adalah truth. Skeptis yang banyak mempertimbangkan logika. Everett yang bekerja sebagai penyiar, yang menjual obrolan tentu paham soal melebih-lebihkan cerita atau mengarang supaya sensasional. Pada babak awal, kita juga melihat Everett gak punya masalah untuk sedikit berbohong ketika mereka berlatih wawancara. Jadi, lumrah baginya untuk tidak lantas mempercayai cerita orang tentang anak kandung yang bicara bahasa alien dan hilang diculik piring terbang.
Konsep film yang bergerak seputar memilih antara truth dan myth membutuhkan film untuk memuat banyak eksposisi. Mendengarkan cerita orang-orang, bersama dua tokohnya. Sekali lagi kerja kamera dan arahan akting menunjukkan keampuhannya. Setiap momen mendengar cerita itu dibuat berbeda satu sama lain. Film menemukan beragam cara untuk membuatnya intens dan tidak membosankan meskipun monolognya bisa sangat panjang. Ada isu rasisme yang sempat disinggung, isu yang lagi hangat di dunia nyata kita sekarang. Berkaitan dengan rasa percaya. Dalam film ini diungkap bahwa cerita sensasional soal bekerja di bunker bawah tanah yang diduga ada hubungannya dengan lab rahasia penelitian extra-terestial ternyata datang dari penelpon berkulit hitam. Ia mengatakan semua pekerja memang sengaja diseleksi berkulit hitam atau ras minoritas lain supaya kalo mereka cerita ke pihak luar, gak ada yang percaya sama omongan mereka. Dan kita melihat, Everett juga sebenarnya jadi gak percaya sama cerita itu setelah mengetahui info tersebut. Ini kembali lagi pada jalur truth dan myth yang dipersembahkan oleh film. Pada akhirnya semua dikembalikan kepada kita, mana yang kita anggap sebagai kebenaran bisa jadi bukan mutlak kebenaran.

Karena meskipun benar itu memang lawannya adalah salah, tetapi suatu kebenaran tidak serta merta menjadikan sesuatu yang lain dari hal itu menjadi bukan kebenaran.

 
 
 
Penggemar misteri dengan action atau disaster flick yang seru atau bahkan cerita yang terstruktur secara tradisional, akan abis sabar sama film yang sebagian besar adegannya adalah orang ngobrol ini. Namun film ini tak-pelak akan menjadi inspirasi buat filmmaker muda karena kepiawaian dan visinya dalam bercerita. Jelas film ini tidak punya budget gila-gilaan, sehingga dia benar-benar bergantung pada kamera dan akting. Banyak menggunakan unbroken shot dengan variasi pengambilan sehingga kita yang disuruh jadi penonton enggak bosan. Dan film ini berhasil terbangun menjadi sesuatu yang tampak berbeda meskipun inti ceritanya sudah sering kita temukan pada film lain. Penggemar horor sci-fi ala Twilight Zone pastinya akan suka sekali dengan film ini. Kalo aku, aku harap lebih banyak pembuat film yang berani bikin berbeda kayak gini. Sedikit yang tidak memuaskan bagiku adalah warna yang terlalu gelap untuk beberapa momen sehingga aku tidak dapat melihat ekspresi para tokoh yang lagi ngobrol, sehingga kadang aku terlepas dari cerita mereka karena udah keburu skeptis duluan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE VAST OF NIGHT.

 

 
 
That’s all we have for now.
Akhir film ini menyerahkan kepada interpretasi kita terhadap apa yang terjadi pada Everett dan Fay. Apakah mereka simply diculik? Ataukah mereka dibakar seperti pohon-pohon di hutan? Dan oleh siapa, benarkah itu alien atau manusia dari masa depan? So many question, which path do you choose?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

1BR Review

 

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

Masih ingat kicauan seorang perempuan tentang tetangganya yang sempat viral di Twitter beberapa waktu yang lalu? User tersebut mengeluhkan soal tetangganya yang langsung bertamu, mengetuk pintu begitu saja, tanpa membuat perjanjian ingin datang berkunjung terlebih dahulu. Tweet tersebut kontan menuai banyak reaksi; ada yang setuju, dan tak sedikit pula yang menghujatkan pendapat bahwa memang seperti itulah lumrahnya hidup bertetangga. Datang saling menengok tanpa diminta, menunjukkan perhatian, bahkan dulu katanya orang tidak mengunci pintu bagi tetangga masuk ke rumah kapan saja mereka mau. Sutradara sekaligus penulis naskah David Marmor tampaknya punya satu-dua patah kata tentang kehidupan bertetangga. Marmor sepertinya sependapat dengan si empunya tweet tadi, sehingga pada debut film-panjangnya ini dia menghasilkan sebuah drama menegangkan perihal hubungan bertetangga yang erat dan terlampau-bersahabat bisa menjadi begitu horor.

Arahan Marmor membuat cerita memuat begitu banyak. Setiap plot-point seperti mengubah film ini menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Namun sense-of-belonging memastikan perhatian kita untuk terus tersedot. Sedari momen pembuka, aku sudah tertegun oleh perasaan akrab (namun eerie) yang dihadirkan lewat pemandangan yang ditangkap oleh kamera. Lalu bertemu dengan Sarah, wanita muda yang lagi nyari tempat tinggal di Los Angeles, dia mau menapaki hidupnya sendirian di kota yang sejuta mimpi tersebut. This seems like a familiar story tentang seseorang yang berusaha menggapai mimpi yang langsung membuatku ter-flashback ke zaman nyari kosan waktu masuk kuliah dulu, dan kemudian aku teringat ini film horor maka lantas kenanganku pindah ke film Mulholland Drivewell, because it’s LA. Dan tokoh kita adalah tokoh yang sama ‘lugunya’ dengan Diane pada film karya David Lynch tersebut. Aktor Nicole Brydon Bloom memainkan peran sebagai perempuan yang introvert, pemalu, yang pasif, yang lumayan tertutup, tapi punya determinasi kuat untuk mengejar passionnya. Seketika tokoh Sarah ini langsung kontras, langsung ‘konflik’ dengan kota LA itu sendiri. Dan kemudian masuklah ia ke sebuah kompleks apartemen yang sedang melakukan open-room untuk mencari calon penghuni baru.

Sarah keterima menjadi penghuni kamar 210 tersebut. Dia disambut hangat oleh bukan hanya tetangga kanan-kiri kamar, melainkan seluruh penghuni apartemen. Mereka ngadain pesta pada malam Sarah mulai tinggal di sana, dan tentu saja Sarah diundang. Para penghuni apartemen semakin mengingatkanku pada Mulholland Drive dan basically film-film David Lynch, karena mereka semua sama anehnya. Satu kompleks itu bener-bener kompleks oleh karakter. Mulai dari ibu tua yang sweet hingga anak muda yang gagah. Mulai dari Bapak Ketua yang simpatik hingga ke pria creepy berkacamata dengan lensa yang gak kompakan warnanya. Di titik ini, film berubah mengingatkanku kepada Rosemary’s Baby. Karena orang-orang ini begitu ramah kepada Sarah – menyapa setiap ketemu, dan seperti selalu berada di manapun Sarah berada, mengawasinya seolah kamera yang berada di nyaris setiap jengkal langit-langit itu belum cukup – sehingga kita mau-tidak-mau langsung kepincut curiga kepada mereka.

Mestinya pasang pengumuman di depan pintu; boleh bertamu kalo bawa makanan

 

Elemen horor kemudian terestablish begitu malam hari telah tiba. Hidup Sarah yang sendiri, sunyi. Loh kenapa jadi lagu Tantowi Yahya?… well, I mean, Sarah mendengar bunyi-bunyian aneh yang membuat tidurnya gak nyenyak. Ia bahkan mendapati pintu apartemennya terbuka begitu saja. Sampai suatu malam, Sarah menemukan kucing peliharaannya terpanggang di oven. Sarah ditangkap oleh tetangga-tetangga penghuni apartemen. Dia disiksa, disuruh berdiri bungkuk memegang tembok dalam posisi stressing, and things could get much more violent and bloody jika Sarah menolak alias enggak patuh pada perintah yang diberikan oleh Ketua Apartemen (semacam Pak RT gitu deh di sana). Pada titik ini sebenarnya aku sempet mulai males. Film ini jadi kayak mengeksploitasi adegan penyiksaan semata. Namun bear with me, ini cuma sebuah fase sebelum akhirnya – lepas dari midpoint – film mulai menunjukkan taringnya sebagai horor situasi, dan dalam beberapa tingkatan; horor psikologis.

Pada jantungnya, 1BR memeriksa perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam lingkungan yang terdekat yaitu lingkungan bertetangga. Dengan mengontraskan sikap Sarah yang tertutup dengan sistem kompleks apartemen yang saling-terbuka, film menunjukkan dua sisi kebutuhan manusia dalam bersosialiasi. Seperti Sarah, kita perlu mengendalikan hidup kita sendiri, tapi sekaligus kita butuh orang lain – tetangga, teman, keluarga – untuk menjadi support. Film membawa ini ke ranah ekstrim ketika intrusi dari lingkungan sekitar menjadi pengalaman yang bikin gak nyaman, dan menjurus ke menakutkan. Saat komunal di luar sana berpikir bahwa semua orang enggak bisa hidup sendiri, bahwa kebersamaan adalah satu-satunya cara, di situlah keramahtamahan dan kekerabatan berubah menjadi selayaknya sebuah cult. Sebuah sekte. Dan ini bukan tidak mungkin terjadi di dunia. Bahkan mungkin sedang kejadian di sekitar kita. Kehidupan bertetangga yang mengatur hingga sampai ke cara berpakaian, atau yang nyinyir jam kita bepergian. Komunitas-komunitas kecil kerap kebablasan. Alih-alih sebuah keluarga, malah menjadi semacam geng dengan seabreg peraturan atau norma yang harus dipatuhi jika ingin dianggap sebagai anggota.

Film ini menunjukkan communal atau kehidupan sosial bertetangga ataupun komunitas menjadi tidak lagi sehat ketika membuat anggotanya merasa less of a person. Kita semua memang tidak mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun itu tidak berarti kita totally bergantung kepada orang. Kita memang harus senantiasa menghormati tempat kita berpijak, mengikuti aturan dan norma-norma di mana kita berada. Tapi tetap ada keseimbangan yang harus dijaga. Bagaimanapun, setiap orang bertanggung jawab dan berhak atas hidup masing-masing.  

Lucunya, film ini juga mengingatkanku ke jaman ospek/mabim kuliah dahulu. Sarah juga, istilahnya, diplonco dulu sebelum masuk jadi anggota komunitas apartemennya. Memang, Sarah dimasukkan secara paksa. Mindsetnya dibentuk untuk mengenali bahwa dirinya powerless, dan hidup mandiri adalah pilihan yang salah. Film telah menetapkan orang-orang di apartemen itu mempercayai bahwa cara hidup bersosial merekalah yang paling sempurna dan ideal. Empat pondasi bermasyarakat; Selflessness, Openness, Acceptance, and Security, terus diulang dijadikan mantra yang didoktrinkan kepada Sarah. Mengubahnya menjadi seperti mereka. Dan bukankah ospek memang seperti itu? Para mahasiswa baru praktisnya terpaksa ikut dan menjalani semua kegiatan karena dijadikan syarat untuk diterima sebagai anggota himpunan. Himpunan itu sendiri ‘dijual’ kepada maba sebagai safe haven dengan networking ke alumni, angkatan yang saling menjaga, ‘masuk bareng-lulus bareng’. Orang-orang yang sudah ditempa bersama, punya tujuan yang sama, kini hidup sebagai satu unit dengan kuat. Tentu saja, gak semua mahasiswa setuju dengan hal tersebut. Namun begitu sudah menjadi bagian darinya, berpartisipasi dalam rangkaian kegiatannya, ketika sudah tiba waktunya dilantik, toh mahasiswa akan bangga juga. Dan akan bersiap untuk menjadi senior pembimbing tahun depan; mengospek anak-anak baru berikutnya.

Melihat Sarah pada akhirnya jadi sukarela bergabung menjadi anggota, kita tahu masih ada keraguan di benak dan hatinya. Akan tetapi dia sudah tidak punya pilihan lagi, selain mempercayai bahwa komunitas inilah jawaban terbaik. Dan ketika temannya masuk untuk menjadi penghuni berikutnya, kita tahu Sarah mengumpulkan segenap ‘kekuatan’ untuk get on with the program, kita dapat merasakan beratnya perjuangan di dalam diri Sarah yang sebenarnya pengen menyuruh temannya itu lari. This is exactly what I feels waktu ospek. Aku gak setuju, tapi ketika aku yang jadi senior, aku mengusahakan untuk semangat mengospek anak-anak baru. Dam kupikir, yang dilakukan oleh film dengan elemen ini adalah menunjukkan kepada kita bagaimana rasanya menjadi bagian dari komunitas atau kelompok atau cult. Kita boleh saja gak setuju, tapi kita sudah dibentuk untuk percaya bahwa mereka adalah kebutuhan. Film memperlihatkan betapa susahnya untuk keluar dari sana. Meskipun yang dibutuhkan sebenarnya ‘hanyalah’ percaya pada kualitas diri sendiri dan menyadari bahwa hidup kita, ya milik kita sendiri.

Bukan herd immunity melainkan collective insanity

 

1BR seperti ingin membongkar pepatah lama “Jika kamu ingin cepat maju, lakukanlah sendiri. Jika kamu ingin jauh maju, lakukanlah bersama-sama”. Ending film ini memberitahu kita sebaliknya; jika Sarah pengen kabur, dia harus kuat dan berlari sendirian. Film ini punya gagasan untuk tidak menjadikan komunitas sebagai zona nyaman. Film ingin kita mempertanyakan kembali apa yang kita mau. Sarah pengen keluarga baru tempat ia bisa mengadu, keluarga yang perhatian padanya. Yang ia dapati di dalam sana ternyata jauh lebih buruk daripada pelanggaran privacy. Sesuatu yang lebih intrusif dan mengekang. Mengambil siapa dirinya sebagai seorang manusia.
Menjelang akhir babak kedua ada adegan paling heartbreaking seantero cerita, yaitu dialog antara Sarah dengan ayah kandung yang ia benci, datang menjemputnya pulang. Ini puncak tertinggi emosi yang dimiliki oleh film. Namun build up menuju ke sini agak kurang konsisten, karena cerita telah melalui berbagai metamorfosis sehingga perubahan-perubahan tersebut mengalihkan kita dari Sarah sebagai karakter. Sarah cenderung membosankan sebagian besar cerita. Dia cuma ada di sana untuk disiksa, pribadinya pun tidak membuat dia menonjolkan aksi dan pilihan. Temannya yang lebih galak dan berani mungkin bakal jadi pilihan yang lebih menarik sebagai tokoh utama dengan penceritaan seperti begini. Sarah hanya punya dua modal sebagai karakter yang menarik; backstory masalah pribadinya dengan sang ayah, dan ia berani berbohong; menyelundupkan kucing ke apartemen yang melarang hewan peliharaan.
Dua hal tersebut kinda lose in the shuffle saat film mengungkap poin-poin cerita. Memfokuskan pada aspek penyiksaan dan sebagainya. Menurutku film, secara emosional, bisa bekerja lebih baik jika mengurangi sedikit volume genrenya dan mengeraskan ke bagian bagaimana Sarah bisa sebegitu pasif, ke bagian dia berinteraksi dengan ayah ataupun dunia luar yang membuat dia retreat cari perlindungan apartemen sedari awal.

 

 

 

Bersama Vivarium (2020), film ini merupakan horor kontemporer yang benar-benar mengusung sudut pandang manusia di kehidupan modern. Mereka membuat hal yang lumrah di era dulu, seperti punya keluarga ataupun hidup bertetangga menjadi menakutkan. Meskipun begitu, toh kita enggak perlu untuk setuju dengan gagasan cerita untuk dapat menikmati suatu film. Dan pada kasus film ini, horor yang tersaji cukup enak untuk disaksikan. Intriguing and thought-provoking enough. Sehingga kita bisa betah bergidik-gidik menyaksikan tokohnya yang kinda boring, dan menjadi berempati kepadanya. Sebagian besar keberhasilan film ini terletak pada arahan berceritanya yang berhasil memuat banyak dalam durasi yang begitu singkat. Persis kayak apartemen kecil mungil, tapi berisi beragam manusia dan segala perbedaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for 1BR

That’s all we have for now.
Mana tempat tinggal yang ideal bagi kalian, di perumahan yang sepi atau di hunian yang lebih tradisional secara hubungan bertetangga? Kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MARIPOSA Review

“Do not chase people.”
 

 
 
Mariposa akan bekerja dengan lebih baik jika dijadikan berfungsi sebagai cautionary tale – kisah peringatan – tentang naksir sampe mengejar cinta sesungguhnya dapat bermetamorfosis menjadi hal yang menjurus ke pelecehan atau interaksi yang tidak ‘sehat’. Hanya saja sutradara Fajar Bustomi mengarahkan cerita ini ke ranah romantisasi. Khas anak remaja yang mendambakan kehidupan cinta ajaib yang berbunga-bunga mekar pada waktunya.
Sebagian besar cerita akan mengambil tempat di lingkungan terdekat dengan remaja. Di sekolah, di rumah, ini adalah tempat-tempat sakral bagi remaja sebagaimana dua tokoh sentral cerita ini juga mendapat nasihat, masukan, dan bahkan larangan dari orangtua maupun sahabat perihal kehidupan sosial dan pendidikan mereka. Kita bertemu dengan Acha, gadis jago kimia, lagi curhat sama sahabatnya. Acha sudah lama naksir berat ama cowok pinter di kelas, si Iqbal, tapi si cowok ini cuek sehingga kini Acha sudah gak tahan lagi. Diwanti-wanti oleh sahabatnya, Acha justru semakin menggebu. Dia mendatangi Iqbal. Ngenalin diri. Nyerocosin eksposisi dalam waktu kurang dari lima menit. Kemudian practically ‘nembak’ Iqbal. Reaksi yang ia dapat? Dingin. Iqbal yang lebih tertarik memenangkan olimpiade sains tidak mempedulikan Acha. Namun ini malah membuat Acha semakin manja (dan maksa) dan terus mengejar Iqbal. Di lain pihak, si cowok ini gak bisa begitu saja mencampakkan Acha, karena mereka harus bekerja sama sebagai tim dalam olimpiade, mewakili sekolah mereka.

sekolah jaman now, hukumannya bukan bersihin wc, melainkan bersihin kolam renang!

 
 
Hal berbeda yang ditawarkan oleh film yang berangkat dari cerita di platform Wattpad ini adalah lekatnya para tokoh dengan ‘profesi’ mereka yakni pelajar. Biasanya cerita-cerita remaja meskipun lokasinya di dalam kelas, tapi jarang sekali menampilkan mereka belajar. Persoalan nilai atau prestasi akademik tak dibahas, tokohnya pada sibuk pacaran aja. Ini semua bisa ditelusuri akarnya, yakni pengaruh trope film-film barat bahwa dalam kelas sosial remaja, tokoh yang suka belajar alias pintar akan mengisi sebagai karakter cupu. Biasanya mereka akan jadi sidekick atau sahabat dari tokoh utama yang biasanya adalah anak baru atau berstatus anak yang biasa-biasa saja. Lawan dari karakter pintar dan cupu adalah tokoh populer, entah itu jago olahraga, atau supercakep, dan mereka ini biasanya jadi karakter antagonis dan seringkali suka membully. Dalam Mariposa, trope khas cerita barat seperti demikian tidak ada.  Trope ketimuranlah yang kental; kepintaran dihormati dan anak-anak pelajar mengambil posisi teratas di kelas sosial mereka. Acha maupun Iqbal tersohor di sekolah karena kepintaran mereka. Cerita pun mengaitkan konfliknya kepada aspek ‘pekerjaan’ mereka sebagai pelajar saat kita diperlihatkan momen-momen mereka membahas soal dan adegan di olimpiade sains. Pendidikan dijadikan salah satu poros utama, dan ini sesungguhnya dapat membawa gambaran dan pengaruh yang baik bagi penonton remaja, terutama yang sering ‘terwarnai’ oleh cerita remaja di barat yang situasinya tidak serta merta cocok. Kita tetap bisa menjadi anak pintar sekaligus cakep, populer, dan ya bahkan bisa punya pacar.
Pacar. Persoalan klasik anak muda. Meskipun film cukup menonjolkan kehidupan tokohnya sebagai anak sekolahan, tapi yang namanya remaja tetaplah remaja. Bagi mereka punya pacar itu adalah nomor satu. Bagi penonton yang lebih dewasa, konflik utama film ini besar kemungkinan akan terasa receh. Motivasi nomor satu Acha (lebih penting di atas menang olimpiade!) adalah punya pacar. Pacar bukan sembarang pacar. Iqbal. Harus Iqbal. Motivasi tokoh sesepele ini sebenarnya bukan masalah, it doesn’t necessarily make or break a movie. Ambil contoh salah satu karya Bustomi yang lain, Dilan 1990 (2018), di film itu motivasi Milea sang tokoh utama adalah mengenang cintanya waktu SMA. ‘Kecil’ sekali, tapi kita gak bisa bilang filmnya jelek hanya karena kita gak menganggap penting persoalan si tokoh. Melainkan kembali kepada penceritaannya. Mariposa ini persis Dilan 1990. Dengan role tokoh di balik. Tokoh utama ceweknya di sini lebih aktif. Sebagai tokoh utama, Acha lebih masuk, fit into structure, ketimbang Milea. But somehow, ceritanya terasa lebih ‘parah’.
Dilan dengan gombalan. Acha dengan centil manja. Sesungguhnya masing-masing tokoh ini adalah sisi dari satu koin yang sama; koin cringe alias koin bikin-geli-telinga. Adhisty Zara sangat pas memainkan karakter ini, dialog-dialog panjang ditampilkannya effortless dalam nada manja. Ini peran yang tampak paling nyaman dimainkan oleh Zara sepanjang karir filmnya yang masih muda. Tapi jika kita melihat perkembangannya; Zara dapat recognize pertama dari perannya sebagai Euis yang berkonflik dengan ayah yang mendadak miskin, lalu jadi tokoh yang hamil di usia sekolah, sebagai Acha yang sepertinya tidak begitu berbeda dengan remaja keseharian, dengan range yang relatif lebih sempit – She nails it, hanya saja tantangannya enggak besar –  Mariposa ini bisa dibilang sebagai kemunduran bagi Zara. Kelakuan Acha yang sangat agresif mengejar cinta Iqbal ditampilkan sebagai perbuatan yang lucu.  Disuruh ngelupain Iqbal, dia malah bilang jadi semakin kangen. Di dalam kelas, Acha yang pinter bisa mengerjakan latihan dengan lebih cepat dari siapapun, sehingga dia bisa memandangi pemandangan di kursi sebelahnya; tak lain-tak bukan adalah Iqbal. Acha ngomong, ngomong, dan ngomong dia suka kepada Iqbal, bahkan mengaku sebagai pacarnya padahal Iqbal bukan sekali dua kali menolak dan menunjukkan ketidaksukaan terang-terangan kepada Acha. Di mana ada Iqbal, di suatu tempat dekat situ ada Acha yang siap mendekati. Dia minta nomor telepon, begitu gak dikasih; ia cari sendiri. Acha terus berjuang, menahan diri untuk ‘menyerang’ Iqbal adalah hal yang susah buat Acha; tak-tertahankan. Baginya ini seperti menangkap kupu-kupu; terkejar tapi tak tergapai.
‘Unrequited love’ pada seni selalu dipandang sebagai elemen yang romantis. Cinta yang indah, begitupun tragis. Mariposa menampilkannya lewat warna-warni yang cerah, film ini terhampar penuh warna. Karena ini adalah cara Acha memandangnya; perjuangan cinta yang cute. Tapi ada batasan antara perjuangan dan perbuatan yang menjurus ke harassment. Salah satu filosofi Acha mengenai dirinya dan Iqbal adalah bahwa dia air dan Iqbal batu. Acha ingin menetesi Iqbal sampai berlubang karena menurutnya begitulah air dan batu bersatu. It’s a really twisted philosophy sebab batu yang kena air itu berlubang dan eventually bisa hancur. Dengan konstan ‘meneror’, memaksa Iqbal jatuh cinta kepadanya, bukan tidak mungkin hidup Iqbal beneran hancur karena Acha. Dan film actually memberikan penyelesaian dan ending yang menampilkan karakter Iqbal yang kayak ‘rusak’. Less-humane kalo boleh dibilang.
MariPusAp setiap kali Acha nyebut dia pacar Iqbal di Mariposa

 
Interaksi apapun, dari dan kepada siapapun, yang sifatnya tidak ada konsen mutual – dalam artian yang satu ngerasa seneng, yang satunya lagi merasa gak nyaman, atau dirugikan, atau direndahkan – masuk ke dalam kategori pelecehan. I mean, bayangkan kalo posisinya di balik. Iqbal ngejar-ngejar Acha meski sudah ditolak; mungkin akan ada bahasan restraining order dalam cerita. Namun jika pelakunya cewek, justru cowok yang menolak dan membentaknya yang dianggap berhati batu. Film bahkan nunjukin ada tokoh cowok pinter (kali ini tipe cupu) satu lagi yang nunjukin ada rasa ama Acha, tapi Acha yang cinta ke Iqbal menganggap si cupu itu mengganggu dan bikin sebal. Ini semacam standar ganda pada film. Tidak pernah ada konsekuensi pada Acha. Padahal mengejar orang yang enggak mau sama kita sebenarnya juga bisa bikin hidup sendiri berantakan. Kita bisa kehilangan kesempatan merasakan cinta yang asli, kita bakal halu sehingga mudah dimanfaatkan orang, apalagi kalo orang yang kita kejar bukan orang baek-baek kayak Iqbal. Sedihnya, film justru menghajar semua kepada Iqbal. Ada adegan Iqbal meledak karena gak tahan lagi karena ulah Acha, dan dia malah dikecam kasar oleh sahabat Acha. Di rumah, Iqbal semakin digencet oleh ayah yang ingin dia menang olimpiade, tapi karena Acha dia sakit, konsentrasinya belajar keganggu.
Dunia dalam film ini memaksa Iqbal untuk jadian sama Acha. Bahkan ada adegan yang memperlihatkan Iqbal dimanipulasi oleh teman-temannya untuk merasa galau ketika dia gak diundang ke pesta ulangtahun Acha. Film seperti bingung membuat kedua tokoh ini bersatu – karena supaya laku, tokoh haruslah jadian – maka sampai-sampai film pun ‘memaksa’ Iqbal untuk jatuh cinta, walaupun itu harus mengorbankan plot si tokoh. Aku beneran sedih melihat perkembangan Iqbal dalam film ini. Awalnya dia cool, hanya ngurusi urusan sendiri, dia pintar sehingga bisa terpilih jadi peserta olimpiade – Angga Yunanda paling cocok meranin tokoh ‘pendiem’ , namun seiring durasi, di balik kejengkelannya, ia tampak semakin galau. Benar-benar susah memastikan Iqbal genuinely in love kepada Acha – paling enggak, seperti cinta si cupu – atau karena seluruh dunia yang menyuruhnya. Motivasi tokoh ini kemudian dienyahkan begitu saja, dia gak punya apa-apa selain wujud yang dicintai oleh Acha. Kalimat yang ia ucapkan di bagian akhir film itulah yang ultimately break the movie for me, yang juga jadi bukti si batu sudah beneran hancur. Kurang lebih; “Aku gak suka sains. Aku gak mau kuliah ke luar negeri. Aku sukanya sama kamu.”  THAT’S DUMB. Okelah mungkin dia gak suka fisika, kimia, rumus-rumus, tapi sempit sekali yang ia suka cuma Acha. Setelah sepanjang film dia tampak beneran jengkel, tapi kemudian berubah. Hidupnya cuma Acha, dia membuang semua demi sesuatu yang sesungguhnya juga masih dipaksakan kepadanya. Bukankah bisa saja dia dibuat nerima beasiswa, dan masih suka sains, sambil pacaran ama Acha.

Berat memang suka ama orang tapi gak berbalas. Alih-alih berkutat dengan pesan ambigu dari film soal mendekati orang itu jangan dengan berisik (atau malah: berisik dahulu, ghosting kemudian?) sebaiknya kita berfokus kepada menjalankan hidup sesuai passion sendiri. Berhenti mengejar orang. Karena jika kita menjalankan hidup sebagai diri sendiri, orang yang tepat akan datang menemukan kita. 

 
 
 
Ini udah kayak Anti-La La Land. Dua tokohnya memilih untuk jadian dan membuang hidup mereka. Mereka bahkan tidak punya passion sedari awal, padahal pintar-pintar tapi gak ada yang beneran niat ikut olimpiade. Pembelaannya adalah, mereka masih pelajar. Mereka belum tau yang baik dalam hidup. Perjalanan mereka toh masih panjang. Biarlah mereka menikmati cinta. Dan jika kalian juga menikmati cinta monyet, kalian akan menikmati film ini, karena cerita mereka gak mulai dari langsung pacaran, melainkan ada perjalanan pedekate, nembak, ditolak, dan terus berjuang. Meski udah dikata-katai. Tapi jika bagi kalian ke-cringe-an mereka meromantisasi keinginan punya pacar itu annoying, atau dumb, atau bahkan ofensif karena menjurus harassment – perbuatan Acha dan sekitarnya bisa jadi membuat Iqbal berpikir ia juga cinta, atau lebih parah merasa bersalah udah pernah ngasarin – maka kalian gak akan asik menontonnya. Buatku, mestinya film ini difungsikan sebagai pembelajaran saja, gak ngejar pacaran, melainkan menemukan cinta itu sendiri; endingnya ya mesti gak bersatu.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MARIPOSA.

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian kapan dan apa yang membedakan cinta-yang-tak-terbalas dengan/menjadi kejahatan(harassment) atau gejala penyakit mental? Apa batas keinginan dengan obsesi? Bagaimana menurut kalian perbuatan Acha kepada Iqbal itu?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SEBELUM IBLIS MENJEMPUT: AYAT 2 Review

“Better the devil you know than the devil you don’t”
 

 
 

Manusia lebih baik daripada iblis. Sejak iblis yang diciptakan dari api terang-terangan menolak memberikan penghormatan kepada manusia yang tercipta dari tanah, iblis diturunkan derajatnya. Dan mereka pun mengamini penurunan tersebut dengan bersumpah untuk terus sekuat tenaga menyesatkan anak manusia sehingga berada di dasar neraka bersama mereka. Alfie dalam Sebelum Iblis Menjemput (2018) menambah skor bagi manusia, dia berhasil mengalahkan iblis. Bersama adik tirinya, wanita ini lolos dari peristiwa maut yang mengubah kehidupan mereka. Dua tahun kemudian, kini di Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2, Alfie masih dihantui bisikan dan bayangan. Dia dan adiknya, Nara, lantas kembali dipaksa terlibat dalam masalah mengerikan yang berakar pada persoalan iblis menjebak manusia untuk melakukan perjanjian terkutuk. Hanya saja kali ini, angka skor tadi tidak lagi menjadi soal.

Karena, demi horor Alfie dan kita semua, keunggulan manusia terhadap iblis ternyata juga bisa berarti manusia yang menghamba pada iblis mampu menjadi iblis yang bahkan jauh lebih iblis daripada iblis itu sendiri.

 

tak ada yang waras di kota ini

 
Sutradara dan penulis naskah Timo Tjahjanto kembali mengajak kita bersenang-senang dengan horor sadis ala Evil Dead. Yakni horor dengan tone yang over-the-top, berisi makhluk-makhluk peranakan teror praktikal dan permainan teknis, dan ditaburi selera humor edan. Penggemar horor akan bersorak melihat adegan ala Alien lahirnya pria dewasa dari dalam tubuh seorang wanita. Reaksi terhadap berbagai trik horor dan jumpscare film ini jelas akan beragam. Misalnya adegan tangan setan yang ngasih jari tengah ke Alfie; ini bisa jadi adegan kocak bagi penonton yang gemar horor-horor ala B-horor 90-an. Dan di sisi lain, bagi beberapa penonton yang lain (sebagian besar sepertinya), adegan itu bakal jadi exactly just what it is; sebuah jari tengah yang diacungkan tepat ke depan muka semua orang yang mengharapkan peningkatan dari film yang pertama.
Filmografinya padahal sudah berbicara. Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2 actually merupakan sekuel pertama bagi Timo. Sebelum ini, dia dikenal dengan cerita-cerita orisinil. Gaya horor sadisnya bisa diaplikasikan ke cerita apapun, dan terbukti cukup menjual, sehingga sekuel Ayat 2 ini terasa dipaksakan dan justru membatasi. Karena cerita Alfie sudah tuntas di akhir film pertama, transformasi karakternya sudah sempurna. Akan lebih baik bagi Timo untuk menjual cerita pada film kedua ini sebagai cerita baru atau murni judul baru saja lantaran menarik Alfie kembali terasa sangat dipaksakan.
Ini semua kelihatan dari babak set up yang sangat lemah begitu mereka mulai memperlihatkan Alfie kepada kita. Ketika prolog dua cewek di rumah, yang ada keren netes terus dimatikan, tapi masih ada bunyi tetesan dan itu adalah bunyi darah yang menitik ke lantai, film terasa sangat menarik. Kita dihadapkan pada misteri baru, orang-orang baru, percakapan mereka did a good job membangun sosok Ayub dan kejadian mengerikan kehidupan mereka lima-belas-tahun lalu. Aku genuinely langsung penasaran. Apa sebenarnya yang menyerang si Gadis. Apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Relasi antargrup mereka juga disinyalir punya konflik. Tapi kemudian, kita dibawa menemui Alfie dan satu jumpscare berikutnya, kedua kubu ini  – orang-orang di prolog dan Alfie – berada di bangunan bekas panti. Film menyediakan sedikit sekali alasan logis yang menghubungkan Alfie dengan geng Gadis dan masalah mereka. Hanya sebatas karena Alfie pernah lolos dari iblis, dan sekarang anak-anak muda ini ingin minta tolong padanya karena nyawa mereka sedang diincar oleh sesosok iblis. Alfie seperti dipaksakan masuk; ini ironis karena cara film membuat Alfie ada di sana adalah dengan membuat geng Gadis menyatroni kediaman Alfie dan Nara, lengkap dengan topeng perampok, melumpuhkan Alfie, membawanya paksa – menyekapnya dalam bagasi mobil. Mereka minta tolong dengan literally menculik si calon penolong. Dan setelah teriak-teriak tanpa benar-benar menolak, Alfie mau saja menolong dan membaca mantra yang melepas semua petaka. Set up yang sungguh kentara dipaksakan supaya cepat, dan Alfie bisa ada di sana gitu aja. Padahal dia tidak punya hubungan ataupun masalah personal dengan salah satu dari Gadis dan teman-teman pantinya. Alfie tidak punya motivasi di plot ini. Dia hanya terpaksa karena iblis pervert musuh ‘klien’nya mengincar Nara (antagonisnya aja gak ada konflik-langsung dengan Alfie), dan satu-satunya yang menahan Alfie dan Nara gak cabut dari situ adalah mobil yang mogok.
Sure, masih ada transformasi yang dialami oleh Alfie. Di awal cerita dia adalah tough street-wise lady yang membakar kakak tirinya sendiri dan di akhir dia belajar bahwa dia adalah orang yang tidak punya kendali atas nyawanya sendiri. Dia adalah personifikasi dari manusia lebih baik ketimbang iblis sekaligus lebih buruk. Dihitung dari film pertama, seharusnya dia orang yang double bad-ass…(es?). Namun Alfie dimainkan dengan cara yang ‘lucu’ oleh Chelsea Islan. I mean, ada alasannya kenapa dulu aku memplesetkan namanya jadi Cheesy Island, tapi kemudian dia menunjukkan peningkatan akting yang signifikan. Di Sebelum Iblis Menjemput, Chelsea jelas bukan bahan tertawaan, perannya menggenjot fisik dan emosi, and she was delivered. Di film kedua ini, sayangnya, dia kembali menjadi Cheesy. Akting takutnya lebay. Bicaranya sebagian besar teriak-teriak hampa. Hampir seperti dirinya enggak nyaman dituntut seekspresif itu.
dan dia harus berpose metal untuk mengeluarkan kekuatan barunya

 
Cerita film ini masih akan bisa bekerja tanpa harus ada Alfie di sana. Sekelompok alumni panti yang ditarik kembali oleh iblis masa lalu mereka. Yang udah nonton, coba bayangkan kalo plot Alfie di film ini dijadikan plot si Budi, atau Gadis…. it could still work dan made more sense, kan. Ini adalah soal menggunakan iblis balik mengalahkan iblis; soal menemukan loophole di lingkaran setan. Film menggunakan Stockholm Syndrome lebih dalam dari lapisan luar narasi untuk memparalelkan hubungan manusia dengan iblis. Selain Alfie, sesungguhnya tokoh-tokoh baru yang berkenaan langsung dengan masalah dalam film ini gak ada yang punya karakter yang kuat. Mereka dangkal, dan klise. Si jutek, si misterius, si baik, mereka enggak punya background pribadi. Mereka hanya anak panti. Kenyataannya, mereka ini cuma penambah itungan kemenangan iblis atas manusia – mereka cuma jumlah korban. Bayangkan anak-anak Losers Club ketemu Pennywise, hanya kali ini mereka enggak berjuang — nah, begitulah tokoh-tokoh baru di film ini.
Banyaknya ‘korban’ enggak lantas berarti film ini punya adegan sadis/horor yang menyenangkan. Tidak, jika tokoh-tokoh ini sebagian besar hanya teriak-teriak, entah itu berargumen, atau nyari teman yang hilang (teriak padahal masing-masing pegang hatong), atau ketakutan. Dan lebih tidak lagi, saat adegan sadis/horornya monoton alias itu-itu melulu. Ada banyak sekali adegan setan seram di ujung (lorong/bawahtangga/seberang ruangan) dan kemudian si setan ini maju ke depan, mendekat dengan kecepatan edan sampai muka seramnya mau nabrak kamera. Manusia di film ini kesurupan iblis, dan tampaknya si iblis itu kesurupan Sonic!
 
 
 
 
Berakhir dengan cukup menarik sebenarnya, mungkin mereka mengincar trilogi. Dan jika iya, kita bisa mengharapkan arahan yang sangat berbeda pada film terakhir nanti dilihat dari elemen baru yang ditambahkan film ini sebagai resolusi cerita. Maka itu, aku ingin memberikan saran untuk ngetone-down Alfie sedikit, karena di film ini dia menjadi begitu over-the-top. Kita jadi menertawakan apapun yang ia lakukan. Semakin seram situasinya, semakin ngakak ngeliat Alfie. Mereka juga perlu come up with much better story buat Alfie, yang konfliknya benar-benar personal dan berhubungan langsung secara natural dan gak bersifat kebetulan dengan dirinya. Selain beberapa hiburan, jika dibandingkan dengan film pertamanya, sekuel ini mengalami kemunduran. Ceritanya lemah, horornya kalah seru, karakternya kalah menarik.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for SEBELUM IBLIS MENJEMPUT: AYAT 2

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah setan itu merujuk pada identitas, atau sesuatu yang kita lakukan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SONIC THE HEDGEHOG Review

“Home is something you run toward”
 

 
 
Lari film live-action dari tokoh video game ikon perusahaan Sega ini memang sempat diperlambat sedikit. Tadinya akan ditayangkan tahun 2019 yang lalu, akan tetapi begitu materi promosi pertama keluar; mereka nampilin penampakan Sonic yang desainnya jauh banget berbeda dari desain karakter yang asli, film lantas dicerca habis-habisan oleh fans. Sutradara baru Jeff Fowler menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli dengan proyek yang ia tangani dengan mendesain ulang rupa Sonic menjadi seperti yang sudah kita kenal. Film ini mundur hingga ke 2020, dan berkat tindakan berdedikasi dari studio dan pembuatnya itulah kita mendapat sajian komedi dan aksi dari video game yang bukan sekadar ‘menguangkan nostalgia’ melainkan benar-benar menghibur. Dan dijamin tidak akan ada lagi keluhan dari penggemarnya mengenai karakter si Sonic ini sendiri, meskipun kisahnya sedikit berbeda dengan versi game (namanya juga adaptasi)
Sepanjang sepuluh tahun masa hidupnya, Sonic si landak biru elektrik (beneran bisa nyetrum!) disuruh untuk terus berlari. Supaya enggak kelihatan oleh musuh-musuh yang mengejarnya dari planet asal. Jika ketahuan, Sonic harus melempar cincinnya untuk membuka portal, berteleport kabur ke tempat lain. Kini Sonic bersembunyi di Bumi, di kota kecil bernama Green Hills (sayup-sayup terdengar sorakan nostalgia pemilik konsol Sega). Di tempat inilah Sonic merasa sangat kerasan. Dia merasa akrab dengan para penghuni, meskipun hanya dengan ‘mengintip’ aktivitas mereka setiap hari. Sonic kesepian. Dalam galaunya, Sonic gak sengaja bikin mati lampu seisi kota. Kekuatan listriknya tercium oleh pemerintah, yang mengirim ilmuwan mesin edan, Dr. Robotnik untuk memburu Sonic. Mau gak mau Sonic harus segera meninggalkan ‘rumah’, hanya saja saat jatidirinya ketahuan oleh seorang polisi lokal favoritnya yang bernama Tom, Sonic kehilangan cincin teleportasi yang begitu esensial untuk keselamatannya.

Pelari Film

 
Jika bagi Robotnik yang superpintar semua orang tampak sangat bego, maka bagi Sonic yang ngebut semua orang tampak bergerak lamban. Bahkan nyaris seperti diam di tempat. Film bermain-main dengan aspek kecepatan Sonic. Kita melihat berbagai aplikasi dari kekhususan Sonic dalam berbagai adegan dengan range mulai dari lucu-lucuan kayak adegan kartun – Sonic bisa berlari ke Samudra Pasifik untuk kemudian balik lagi karena menyadari ia gak bisa berenang, dalam beberapa detik – hingga ke adegan berantem yang fun ala Quicksilver di MCU dan X-Men atau ala Dragon Ball ketika Sonic marah dan mengumpulkan kekuatan listrik dari bulu-bulu landaknya yang tajam. Ada pembelajaran yang dilalui oleh Sonic, seperti dalam game yang setiap levelnya membuka ability/kemampuan baru untuk kita pelajari demi eksplorasi lebih luas dan mengalahkan musuh yang lebih tangguh. Film berusaha keras menempatkan Sonic yang supercepat ke dalam situasi yang membuatnya tidak bisa begitu saja menjadikan kecepatan sebagai jawaban.
Aku gak begitu gandrung main game Sonic. Terutama karena waktu kecil aku gak punya Sega; I’m more of a Nintendo and PlayStation boy, jadi aku jarang memainkan gamenya. Aku lebih mengenal Sonic lewat serial kartunnya yang dulu sempat tayang di televisi. Dan bahkan dengan sebegitu saja, film ini berhasil membawaku mengarungi euforia nostalgia. Banyak sekali referensi-referensi yang ditabur ke dalam film ini. Semuanya dilakukan dengan seksama, sepenuh hati, misalnya momen sepatu Sonic. Timingnya juga diperhatikan, seperti penggunaan sound-sound di game pada momen cerita yang pas. Film ini membuat detil kecil itu berarti. Sonic sendiri juga lucu sekali. Sifatnya bisa dijadikan teladan bagi anak-anak yang nonton, sedangkan sikapnya yang polos-tapi-cerewet membuatnya jadi seperti sahabat impian bagi anak-anak. Ben Schwartz menghidupkan karakter ini dengan kehangatan natural khas tokoh pahlawan anak. Makanya nonton filmnya jadi lebih menyenangkan meskipun Sonic harus berbagi porsi dengan tokoh manusia. Tokoh Robotnik alias Eggman yang terkenal nyentrik dan ‘bermulut ringan’ sudah paling pas dimainkan oleh the one and onlyJim Carrey. Tentu, tokoh ini ia mainkan dengan over-the-top; Carrey actually melakukan banyak improvisasi gerakan dan perkataan, karena begitulah penjahat dalam film kartun. Sonic the Hedgehog tidak berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Inilah yang membuatnya mencuat. Lebih menyenangkan ketimbang Pokemon Detective Pikachu (2019)yang entah apa sebabnya memilih menggunakan tokoh utama yang gak suka Pokemon… honestly, sampe sekarang aku masih heran sama film itu.
Mengadaptasi semesta kartun, Hollywood punya kebiasaan ‘memaksakan’ ada tokoh manusia, supaya penonton bisa lebih mudah relate. Seringnya adalah tokoh manusia itu tetap kalah menarik karena toh kita menonton bukan untuk melihat mereka, kan sebenarnya. Kita pengen menyaksikan Sonic, atau Pikachu, atau Smurf, hidup. Dalam film ini, tokoh manusia yang dimaksud adalah si polisi Tom yang diperankan karismatik oleh James Marsden. Walaupun aksi dan cerita tetap berpusat pada Sonic, film berhasil membuat Tom tetap menarik. Hal ini tercapai berkat penulisan tokohnya yang punya motivasi yang berkonflik pandangan Sonic. Konfliknya ini beda jenis dengan konflik Sonic dengan Robotnik; yang lebih in-the-face, berfungsi sebagai ancaman yang bikin anak kecil greget menontonnya. Konflik Sonic dengan Tom bersifat lebih emosional, ia berperan dalam pembangunan karakter; aspek yang lebih diapresiasi oleh penonton yang lebih dewasa. Sonic mendambakan kehidupan menetap, punya rumah, gak harus pindah, meskipun practically ia bisa ke mana saja asal ia mau, dia lebih memilih untuk tinggal di Green Hills sebab dia yang selama ini menonton kehidupan di sana sudah merasa begitu terattach dan menjadi bagian dari kota. Sedangkan Tom, polisi muda di kota kecil yang kehidupannya biasa-biasa saja, sudah sangat siap pindah ke tempat yang lebih menantang di mana ia bisa menjadi penyelamat beneran. Dua pandangan ini bertemu dalam mobil yang menuju San Fransisco, mereka berdebat, dan akhirnya menjadi teman baik karena masing-masing pendapat saling mengisi satu sama lain.

Dalam game Sonic, level disebut dengan istilah Zone. Dalam film Sonic, ‘Zone’ inilah yang persoalan Sonic. Zone as in safe zone, atau mungkin comfort zone. Sekilas, gagasan film terdengar aneh. Tom seperti mewakili perjuangan keluar dari comfort zone, sudah jadi rahasia umum untuk sukses kita harus berani keluar dari zona nyaman. Sonic seperti menentang ini, Sonic seperti menyugestikan untuk berkubang di zona nyaman.  Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya, film lebih bicara soal zona aman. Yakni rumah. Ketenangan domestik. Sonic, Tom, dan kita semua semestinya tetap terus berlari demi mencari rumah. Keluar dari zona nyaman kalo perlu demi mencari ini. Tempat, di mana pun itu, yang berisi orang-orang yang kita sayangi.

 

saking cepatnya, Sonic bisa main baseball, jadi dua tim, menghidupkan banyak karakter sendirian

 
Secara plot, however, malah justru si Sonic yang perubahannya lebih sedikit ketimbang Tom. Polisi ini berubah jadi gak ingin pindah karena dia menyadari yang ia butuhkan. Sedangkan Sonic di akhir cerita memang mendapatkan yang ia inginkan, ia menyadari tak perlu pindah planet. sembari tetap butuh berlari mencapai yang ia inginkan tadi. Film belum benar-benar melingkar ketika membahas plot Sonic. Penyebabnya adalah karena kita hanya melihat Sonic pindah satu kali. Dia tidak lagi dikejar-kejar musuh aslinya selain pada adegan awal. Ini membuat Sonic tidak punya rutinitas yang bakal berubah di akhir cerita, karena yang kita lihat adalah Sonic di Bumi, harus pindah, lalu resolusi adalah dia diterima di Bumi — tidak ada breaking rutinitas (dari nyaman di Bumi kembali ke Bumi) seperti pada formula naskah biasanya.
Dan bukan sekali itu saja – tidak lagi membahas pengejar di awal – film melupakan hal yang mereka angkat. Babak satu berakhir pada poin yang cukup menegangkan bagi kedua karakter. Sonic diburu Robotnik, dan Tom; masuk berita dan dianggap sebagai teroris yang menghalangi pemerintah. Aspek Tom sebagai teroris ini tidak dapat follow-up lagi pada naskah, kita tidak melihat dia kesusahan masuk ke mana-mana, dia tidak kelihatan seperti orang yang dicari oleh negara. Pengejar mereka tetap satu, Robotnik. Tentu, ada dalih bahwa pemerintah juga sebenarnya tidak suka dengan Robotnik – mereka bisa bisa saja tidak percaya dan cap teroris itu disiarkan langsung oleh Robotnik sendiri – tapi dengan ditonton oleh orang banyak di televisi, seharusnya ada reaksi yang lebih genuine dari plot poin ini. Namun alih-alih itu, babak kedua film dihadirkan dengan cheesy, penuh selipan tren dan budaya-pop, bahkan untuk film yang esensialnya adalah kartun minggu pagi. Kita malah melihat mereka bersenang-senang di bar, menuhin bucket list Sonic yang ingin melakukan hal-hal normal dengan cara edan. Pada beberapa momen film menjadi bahkan kelewat cheesy, yakni saat mereka menggunakan iklan sponsor seperti restoran Olive Garden sebagai punchline.
 
 
 
Meskipun begitu, ada banyak cara yang lebih buruk dalam mengisi hari bersama si kecil, atau menghibur masa kecilmu; nonton film anjing yang anjingnya CGI misalnya. Setidaknya film ini lebih berdedikasi dan menghormati tokoh Sonic itu sendiri. Ceritanya menutup dengan teaser sekuel yang menggugah. Aksi dan interaksi antartokohnya menyenangkan. Beberapa cheesy karena film ini memang berada di jalur kartunnya. Punya bejibun referensi terhadap game, dan budaya pop masa kini sebagai penyeimbangnya. Jadilah film ini sangat menghibur, meski dengan naskah yang belum maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for SONIC THE HEDGEHOG

 
 
 
That’s all we have for now.
Desain Sonic sempat diganti karena netijen protes. Bagaimana kalian memandang fenomena ini? Baikkah jika penonton punya kontrol besar terhadap suatu karya? Haruskah pembuat film mendengar protes bahkan sebelum filmnya jadi? Atau apakah semua ini hanya taktik jualan sedari awal?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BIRDS OF PREY Review

“Freedom is the emancipation from the arbitrary rule of other men.”
 

 
Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Begitu mungkin – dan memang seriang lagu itulah – kata hati Harley Quinn setelah cintanya bersama Joker kandas. Sama seperti kita semua, supervillain yang super kece dan super gokil; yang membuatnya jadi superkeren ini juga bisa patah hati. Galau. Namun kisah yang ia sebut dalam narasi sebagai emansipasi dari Harley Quinn akan mengingatkan kepada setiap cewek di dunia bahwa cewek sebenarnya jauh lebih hebat lagi ketimbang cowok yang kata pepatah berdiri di depannya.
Birds of Prey sempat dinyinyirin penggemar DC karena harusnya (kalo fans komik udah ngomong “harusnya” itu berarti “yang benernya di komik adalah”) Birds of Prey merupakan nama kelompok superhero cewek. Tapi dalam versi film yang disutradarai oleh Cathy Yan ini (sutradara wanita Asia pertama yang ngegarap film superhero? might wanna check on that...), Harley Quinn yang bandit memasukkan dirinya ke dalam cerita. Sebegitu unik dan gokilnya tokoh ini. Film is actually, totally, about her. Judul aslinya aja “The Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn”. Bercerita tentang Harley yang udah gak lagi di bawah perlindungan Joker sehingga ia diburu oleh penegak hukum dan juga para penjahat-penjahat di sudut-sudut gelap Kota Gotham yang dendam dan geregetan pengen menjitak kepalanya. Salah satunya adalah si Black Mask, hanya saja ketua geng ini pengen menguliti wajah Harley – seperti yang sudah jadi cap-dagang kejahatannya. Harley membuat perjanjian dengan Black Mask; ia akan menemukan berlian inceran Black Mask yang hilang sebagai ganti nyawanya. Perburuan berlian yang ada pada pencopet cilik membawa Harley pada sebuah persahabatan baru. Bukan saja sama si anak kecil, Harley juga bergabung dengan tiga wanita tangguh Gotham. Yang tadinya saling bermusuhan dan punya agenda masing-masing, menjadi satu grup jagoan cewek yang memberantas geng jahat yang didominasi oleh pria.

Harley pasti berani ke kondangan sendirian

 
Agenda feminism jelas merupakan misi utama dari film ini. Sungguh sudut pandang yang jadinya menarik karena Harley Quinn bermula dari seorang penjahat. Jadi film ini awalnya ingin memperlihatkan dunia kejahatan bukan sebatas milik kaum pria. Dalam banyak film modern, narasi feminis seringkali jadi sandungan sebuah penceritaan. Tokoh utama ceweknya akan jatoh sebagai karakter mary-sue alias karakter sempurna yang cakap akan apa saja dan tokoh-tokoh lain – bahkan dunia cerita – mengalah untuk membuatnya terlihat mandiri, kuat, capable. Program cewek harus unggul dari cowok membuat film jadi annoying. Masalah ini tidak berlaku pada Birds of Prey. Harley Quinn enggak seketika menjadi ratu jalanan. Film akan memperlihatkan proses. Zona nyaman Harley adalah berada di balik nama Joker – di awal cerita dia merahasiakan sudah putus dari Joker hanya supaya dia masih bisa menangguk keuntungan dan keselamatan sebagai ‘pacar Joker’. Lalu ketika semua orang sudah tahu, setiap sudut kota menjadi tempat mengancam nyawa bagi Harley. Vulnerability-nya sebagai wanita di tengah sarang penyamun dijadikan stake dan kita peduli padanya karena kita juga mengakui betapa bahaya dunia tersebut bagi wanita, as in, cewek semenarik Harley gak akan survive di sana. Yea, I said it. Margot Robbie sangat memukau sebagai Harley Quinn. Ketawa cekikikan badutnya saja udah bikin terpesona.

Tips setelah putus buat cewek-cewek ala Harley Quinn: Jangan mengurung diri, go out. Ledakkan kenangan akan mantan sampai lenyap. Dan carilah teman; entah itu hewan peliharaaan, ataupun… makanan!

 
Tentu, Harely Quinn bisa macam-macam. Mulai dari berkelahi tangan kosong hingga bertarung dengan senjata, baik itu senjata api maupun tongkat baseball, ataupun berkelahi sambil bersepatu roda. Adegan Harley berantem pake baseball bat terlihat sangat seru dan menyenangkan. Namun bukan karena itu semata dia berhasil selamat dan mengalahkan musuh yang mengejarnya. Film benar-benar mengeksplorasi kekuatan Harely Quinn, juga kelemahan-kelemahannya. Aku suka film ini enggak melupakan basic ilmu yang dipunya oleh Harley. Ia sebenarnya adalah psikiater, dan kemampuan menganalisis orang akan sering kita temui ia gunakan dalam film untuk berbagai keperluan seperti membujuk, negosiasi, atau keluar dari situasi sulit. Keabsurdan Harley Quinn juga tergambar dengan baik; sangat kocak meskipun gak masuk akal. Tokoh ini exactly kayak tokoh kartun yang bisa menarik benda begitu saja. Film merecognize hal ini, seperti ketika ada tokoh yang mempertanyakan Harley Quinn yang tiba-tiba sudah memakai sepatu roda untuk bertarung.

Film ini, lewat pembelajaran yang dilalui oleh Harley Quinn, memperlihatkan kepada kita makna emansipasi dan kemandirian wanita yang enggak dibuat-buat atau dipaksakan. Emansipasi berarti kemandirian dari aturan orang lain yang mengekang. Namun independen bukan berarti harus sendirian. Bukan berarti enggak butuh bantuan. Cewek yang dibantu bukan semata lemah. Bekerja sama adalah jalan keluar bagi Harley dan tokoh-tokoh wanita jagoan dalam film ini. Mereka mengalahkan para geng pria dengan independen menjadi diri mereka sendiri, bersama-sama.

 
Harley Quinn yang dikejar-kejar penjahat satu kota mengingatkan kita pada John Wick. Ia juga punya hewan peliharaan yang jadi semangat juang, tapi bukan anjing melainkan hyena! Adegan berantemnya pun semenyenangkan itu. Dari attitudenya sendiri, film ini mirip dengan Deadpool. Film ini juga ‘cerewet’ oleh narasi yang crude sambil sesekali breaking the fourth wall. Birds of Prey berjalan dengan diceritakan oleh voice-over Harley Quinn. Hal ini dijadikan alasan bagi film untuk tampil sangat unpredictable. Dari sekuen animasi hingga montase backstory, semuanya dikisahkan cepat keluar mulut tokoh utama kita. Tau dong gimana karakter ini kalo ngomong? Ngasal, gokil, dan kadang melompat-lompat bahasannya. Penceritaan seperti begini jadi gimmick yang bagus, meskipun memang menjadikan film jadi berantakan. Ada empat cewek lain yang nantinya jadi pasukan Birds of Prey, plus satu tokoh jahat, dan di babak pertama Harley Quinn akan serabutan menceritakan backstory mereka masing-masing. Akan cukup sering kita dibawa mundur dari alur karena Harley mau menjelaskan satu tokoh saat sedang menceritakan kejadian yang berlangsung. Ini bisa jadi melelahkan, karena cerita utuh jadi seperti terpotong-potong dan disusun acak.

also, there will be a lot of ‘kick to groin’ fighting moves.

 
Dan bahkan semua latar itu belum cukup dijejelkan di babak satu. Film masih punya tanggungan satu tokoh lagi, yang sengaja dibiarkan jadi rahasia hingga setelah pertengahan film. Birds of Prey terasa jadi kayak set up yang berkepanjangan, meskipun secara struktur; film berusaha memakai narasi yang maju-mundur supaya strukturnya bener. Mereka menggunakan cara ini sebagai alternatif penceritaan biasa yang membosankan. Namun sebenarnya akar masalah Birds of Prey ini sama dengan permasalahan film-film superhero DC; terlalu rame oleh karakter. Bahkan untuk film yang seharusnya adalah solo, film ini masih merasa perlu untuk menggabungkannya dengan grup lain. Basically ini adalah dua film yang digabung jadi satu; Harley Quinn dan Birds of Prey, dengan perspektif Harley Quinn dan tema feminis sebagai pengikat. Konsep yang berani, hanya saja pada film ini DC masih dalam tahap mencari cara mengintroduce segitu banyak sekaligus. Birds of Prey lebih solid dan berhasil melandaskan karakter-karakter dibandingkan Suicide Squad atau Justice League, tapi memang masih belum sempurna. Tokoh-tokoh selain Harley masih terasa lebih seperti gimmick ketimbang tokoh franchise. Antagonis di film ini, si Black Mask, juga masih satu-dimensi – karakternya jahat karena dia bos geng yang pengen memonopoli dunia kejahatan dengan uang.
 
 
 
Film ini seperti Harley Quinn itu sendiri. Unik, cerewet, tak tertebak. Gokil. Adegan aksinya juga seru, violencenya menyenangkan. Musik dan set piece di battle akhir itu keren dan asik punya. Darah dan tulang patah bergabung dengan warna-warna ngejreng, ini mungkin sekalian menunjukkan tone cerita film. Dengan berani tidak menampilkan sosok Joker sama sekali, maka film ini benar telah mengemansipasi Harley Quinn yang originally hanya sebagai sidekick/pasangannya. Kini kita bisa menyebut nama Harley Quinn dan hanya membayangkan aksi-aksinya tanpa bayang-bayang sang mantan. Karakter dan tema feminis dalam cerita enggak hadir menyebalkan dan seperti dijejalkan, melainkan berjalan dengan cukup berbobot. Hanya saja film ini punya banyak untuk diestablish. Alih-alih memberi ruang untuk pengembangan, film memilih bercerita cepat dan resiko bolak-balik untuk mengakomodir banyaknya elemen dalam cerita. Kisah emansipasi di dunia jahat ini pack quite a punch, dan kupikir hal terbaik dari film ini bagi cowok-cowok adalah gak bakal terlalu kesusahan lagi ngajak pacar nonton film dari buku komik, bahkan mungkin kalian yang diajak duluan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for BIRDS OF PREY: AND THE FANTABULOUS EMANCIPATION OF ONE HARLEY QUINN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Pelajaran apa yang kalian ambil dari putusnya Harley Quinn dengan Joker? Apa hal tergokil yang pernah kalian lakukan demi lepas dari bayang-bayang mantan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

1917 Review

“A warrior is defined by his scars, not his medals”
 

 
Semua pejuang Perang Dunia I – termasuk di dalamnya adalah kakek sang sutradara yang namanya disebutkan pada kredit akhir film 1917 – melewati pengalaman hidup-mati yang benar-benar mengerikan. Mereka bukan superhero yang senantiasa selamat ketika musuh menyerang, dipuja-puja semata karena mengalahkan musuh dengan jurus ciamik. Mereka manusia yang semata menggebah diri untuk menjadi berani, yang berjuang membela yang dipercaya sekaligus berkutat untuk tidak menjadi seperti yang mereka lawan. Perjuangan yang sangat berat adalah mempertahankan kemanusiaan, dan dalam perang semua nilai-nilai kemanusiaan dapat dengan mudah tergadai.

Film 1917 dibuat oleh Sam Mendes bukan sebagai medali dari sebuah peristiwa peperangan. Melainkan – di sinilah letak keurgenan film ini – sebagai pengingat perang semestinya jangan sampai terjadi lagi. 

 
Ada dua hal esensial yang bisa bikin kita jatuh cinta sama suatu film. Cerita, dan pencapaian teknisnya. Film yang ‘dewa’ banget bakal punya keduanya. Film 1917 enggak begitu mentereng dari segi cerita. Enggak ada pengungkapan gede, enggak ada plot ribet. Film ini mengisahkan dua orang tentara Inggris yang lagi nyantai di tengah medan perang yang lagi adem ayem. Minggu depan mereka bakal makan malam ayam di rumah masing-masing. Jerman udah dipukul mundur ke belakang garis depan. Tentara Inggris di bawah pimpinan Kolonel MacKenzie sudah bersiap melakukan serangan terakhir esok pagi. Namun ada kabar baru; keadaan tersebut hanya jebakan. Jerman yang diketahui sudah mundur, ternyata siap menyambut Inggris dengan serangan balik kekuatan berkali lipat. Dua tentara yang lagi ngaso tadi – kopral Blake dan Schofield – dikirim ke garis depan untuk memberitahukan ini kepada Sang Kolonel. Mereka berdua harus berpacu dengan waktu sebelum pagi tiba, melintasi daerah musuh yang berbahaya, demi menyelematkan seribu enam ratus nyawa tentara.

Sebelum Jerman berteriak “I activated my trap card!”

 
Jika kalian menganggap kisah simpel yang menggerakkan film ini tampak seperti storyline video game – aku sendiri teringat sama opening game Suikoden II begitu melihat adegan-adegan awal film ini, maka tunggu sampai kalian menyadari cara film ini menceritakan kisah tersebut. It is exactly kayak video game. Menonton ini sensasinya sama kayak lagi main game perang, atau petualangan, karena sebagian besar adegan akan menyorot tokoh dari belakang dan kita mengikutinya. Gerak kamera begitu immersive sehingga kita serasa ikut bergerak bersama. Kejadian film pun dibuat seperti mengacu kepada bagaimana video game menyusun adegan-adegan. Ada porsi aksi saat intensitas naik, player mengambil kendali, kamera menyorot dari belakang, mengikuti perjalanan. Setiap belokan di parit penjagaan itu terasa berbahaya. Belum lagi suara tembakan atau even apapun di kejauhan, Scho dan Blake seperti selalu diancam bahaya. Kemudian ada kalanya mereka tiba di tempat baru, dan kamera merekam sekeliling, sudut pandang kita lebih luas – ini seperti bagian cutscene pada videogame, pemain rileks menikmati cerita. Tokoh-tokoh pendukung dalam film ini bahkan diberikan fungsi seperti penjelasan-level pada video game. I mean, dari waktu ke waktu Scho akan bertemu dengan pimpinan-pimpinan seperti MacKenzie, dan mereka akan memberikan eksposisi sedikit tentang situasi , just like bagian penjelasan antar-level dalam game. Penonton yang sering main game pasti akan merasakan kesamaan ini. Setelah percakapan perpisahan dengan satu tokoh yang mengantarkan Scho ke jembatan, tanganku malah sampe otomatis meraih ke depan tempat duduk mencari joystick karena untuk beberapa detik aku merasa sedang bermain game alih-alih menonton sinema.
Kadang kamera akan berjalan duluan, menjauhi tokoh, sehingga kita mendapat jangkau pandang yang lebih luas dan pemahaman tentang sekitar medan menjadi lebih lebar. Dan karena ini adalah beneran medan perang, maka yang kita lihat benar-benar pemandangan mengerikan medan peperangan. Film memperlihatkan mayat manusia dengan mulut menganga, mayat-mayat kuda, mata kita dilarang untuk menoleh ke kiri ke kanan karena set yang dibangun begitu mendetil dan menyokong rasa yang ingin disampaikan. Ketakutan Scho dan Blake mengarungi perjalanan tersebut nyampe dengan sukses kepada kita. Film membuat mereka mengalami begitu banyak hal mengerikan yang bisa terjadi kepada manusia di medan perang, mulai dari tangan tertusuk kawat hingga menghindari bom di tempat yang penuh tikus. Inilah kenapa film menggunakan cara pengambilan gambar yang seperti one-take dari awal hingga akhir. Inilah kenapa film terlihat seperti video game. Kamera tidak ingin melepaskan kita sedetik pun dari pengalaman yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Sense of real time yang mereka bangun dengan gerakan kamera yang seamless seolah tanpa cut, dan terbukti sangat berhasil.
Film 1917 ini menggunakan gimmick seolah ia dishot dalam satu take, seperti Birdman (2014). Semua pengadeganan sudah dipikirkan, posisi pemain, jalur kamera, gerakan tokoh – seluruh elemen tersebut dirancang untuk menampilkan ilusi film ini diambil dengan satu take yang panjang. Namun peran besar editing dan efek di sini juga tak bisa kita abaikan. Film memanfaatkan adegan-adegan seperti tokoh yang tertembak sehingga jatuh dan gelap, atau masuk ke dalam air, atau tokoh berjalan di antara benda seperti pohon atau tembok, sebagai celah untuk mengcut dan menyatukan kembali dengan shot berikutnya. Precise sekali sambung menyambung yang dilakukan, sehingga ilusinya gak kentara. Film melakukan ‘gimmick’ ini dengan tidak sembarangan, melainkan dengan cita rasa seni yang tinggi. Lingkungan dan aksi ditangkap oleh kamera dengan sangat menawan. Dengan warna-warna, misalnya pada scene di malam hari yang tampak kece sekali. Departemen musik dan suara juga ikut menyumbangkan suasana intens yang enggak dibuat-buat ataupun terasa lebay. Pencapaian teknis film ini memang sukar untuk diabaikan
harus ditenangin dulu setelah lihat tikus jerman segede gaban!

 
While film ini niscaya dengan gampang menghibur banyak penonton – kita bisa menjamin kata-kata ‘seru, tegang, ataupun dahsyat’ bakal keluar dari mulut teman yang menyaksikan – aku juga masih bisa melihat beberapa penonton akan menyebut kekurangan film ini adalah kurang berisi. Lantaran cerita yang sangat simpel. Film ini memang kurang lebih seperti Dunkirk (2017); menempatkan kita begitu saja ke tengah-tengah peperangan, mendadak mengikuti orang-orang yang berjuang nyawa. Namun Dunkirk memang dibuat lebih ke arah thriller. Sedangkan 1917 masih berusaha mengangkat lebih banyak drama, walaupun memang penceritaannya dilakukan dengan cepat, dan berkat teknis yang mencuri perhatian kita bakal mengoverlook drama dan bakal mainly mengingat film ini sebagai pengadeganan dan ilusi one-shotnya itu saja.
George MacKay dan  Dean-Charles Chapman, respectively sebagai Scho dan Blake, diberikan peran yang bukan tanpa arc. Karakter mereka ditulis berlawanan dengan Blake memiliki fungsi sebagai pendukung bagi pertumbuhan karakter Scho. Pada permulaan film, Scho tidak terlihat punya semangat juang sebesar Blake. Ia malah tampak kesal sudah ditunjuk Blake untuk menemani melakukan misi. Dan takut – Scho tanpa ragu nunjukin keengganannya, ketakutan, keraguannya terhadap misi mereka. Scho percaya pada hal terburuk yang bisa terjadi. Kontras sekali dengan Blake yang semangat dan optimis, dia penuh motivasi karena abang kandungnya ada di pasukan MacKenzie, dan si abang akan jadi korban jika mereka gagak datang menghentikan serangan tepat waktu. Sifatnya inilah yang menurun kepada Scho setelah peristiwa mengenaskan di pertengahan cerita. Kita melihat transformasi dari Scho, dia benar-benar berjuang kali ini. Arcnya comes full circle dengan adegan akhir yang mirip dengan adegan awal, hanya saja kita tahu tokohnya sudah bukan lagi pribadi yang sama. Scho yang tadinya bahkan enggak peduli dengan medali, menjadi sadar dan bangga berjuang atas nama luka-luka dan jerih payah ia tempuh dengan semangat untuk membuat hidupnya lebih bermakna daripada sekadar cari aman. Scho rela berjuang bukan saja demi dirinya tapi juga demi orang lain.

Perjuangan itu seharusnya bukan hanya bertahan hidup. Yang terutama adalah mengisi hidup tersebut; menjadikan hidup berguna, terhormat, berjasa bagi orang lain. Sehingga akan ada bedanya bagi dunia saat kita hidup dengan saat kita tidak ada lagi di dunia.

 
Arc Scho sebagai tokoh utama sebenarnya sangat memuaskan. Pada babak akhir itu kita benar-benar pengen melihat usahanya tidak sia-sia dan dia selamat, karena kita akhirnya melihat dia tulus berjuang. Hanya saja kepedulian kita terhadapnya tidak muncul sedari awal. Kita tidak melihat alasannya berjuang hingga menjelang ending, Schofield ditulis sebagai karakter ‘ternyata’ alias backstorynya perlahan diungkap – dan sayangnya, itu termasuk motivasinya. Makanya ada sebagian penonton yang masih merasa kurang padat soal pengkarakteran yang dipunya oleh film ini. Aku pun setuju, motivasi Scho seharusnya bisa diperkenalkan sedari awal supaya saat menontonnya kita bisa lebih relate dan enggak hanya terpukau oleh teknis. Tapinya lagi, aku pikir, Scho bisa jatoh lebih buruk, like, di tangan penulis yang lebih kurang kompeten aku yakin Scho bakal jadi annoying dengan keengganannya ikut misi di awal-awal tersebut. Jadi paling enggak, aku menyimpulkan film ini menempuh resiko dengan membuat perjalanan Scho seperti yang kita saksikan, yang ditulis memang untuk sesuai dengan gaya one long take yang ingin mereka lakukan.
 
 
 
 
Meskipun bukan satu-satunya atau malah bukan yang pertama yang menggunakan konsep one-take, tetapi film ini tetap punya pencapaian teknis yang enggak bisa dipandang sebelah mata. Penceritaannya menerjunkan langsung ke medan perang dan menyaksikan sendiri perasaan mencekam di tengah-tengah sana. Kisahnya punya drama yang cukup untuk membuat kita ikut terengah-engah menontonnya. Sebab semuanya terasa begitu nyata, berlangsung tepat di depan kita. Tekanan waktu terasa mencekam, bahaya terasa mengincar dari setiap adegan. Ilusi dari gabungan teknis yang luar biasa sebagai cara film bercerita sungguhlah kuat. Sehingga jika film ini adalah peluru, maka ia adalah peluru yang membekas sangat dalam ke dalam pengalaman menonton kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for 1917.

 
 
 
That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Perang Dunia 3 yang sedang gencar ‘dipromosikan’ oleh pemerintah Amerika? Bagaimana perasaan kalian jika diharuskan untuk berperang?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

UNDERWATER Review

“If you hit rock bottom, the only way to go is up”
 

 
Pesimistis merupakan gambaran sikap atau keadaan pikiran seseorang yang mengharapkan yang terburuk dalam hal apapun. Yang belum apa-apa udah gak antusias duluan, hilang harapan, dan gak mau muluk-muluk mikir bakal berhasil. Si pesimis inilah yang jadi tokoh utama kita dalam sci-fi horror/thriller Underwater. Namanya Norah. Salah satu kalimat perkenalannya kepada kita literally soal dia yang menjadikan sifat pesimis sebagai zona nyaman. Sebagai seorang mekanik di stasiun pengeboran minyak raksasa di bawah laut, ia curhat ketika soal di bawah sana, dia enggak tahu lagi hari dan hanya melakukan kerjaannya. Dia gak ngeluh, just stating a fact. Aku akan kehilangan minat sama sekali ama tokoh ini, jika kemudian aku tidak melihatnya bimbang sejenak dan mengurungkan niatnya mengguyur laba-laba di wastafel. Adegan kecil inilah penentu yang mengisyaratkan cewek bondol yang diperankan Kristen Stewart ini bukan satu-dimensi, bahwa ada sesuatu yang menyebabkan dia ‘menipu’ diri dengan bersikap pesimis.
Jadi jangan pesimis duluan sama film ini. Memang, film jenis ini sudah banyak. Dan dengan ‘jenis ini’, yang aku maksud adalah film-film sci-fi horor yang meniru Alien (1979). Let’s just face the fact, di tahun 2020 ini Alien sudah sah jadi kakeknya horor-horor sci fi. Setiap film generasi baru dalam genre ini hampir pasti bakal mirip, entah itu nyontek, ngasih tribute, ataupun memparodikan dirinya. Sebegitu hebatnyalah Alien. Kita bakal terus membanding-bandingkan cerita seperti ini dengan Alien, karena film itu udah jadi batas atas. Salah satu poin minus Underwater toh memang meminjam banyak elemen dari Alien. Dalam film ini kita bahkan akan menjumpai adegan bayi monster yang melompat keluar dari tubuh korbannya. Formula ceritanya mirip, karakter-karakter pendukungnya mirip. Banyak yang menyipitkan mata menyebut film ini hanyalah Alien di dasar laut, alih-alih luar angkasa. Namun actually, perbedaan tempat ini berhasil menjadi penanda yang memisahkan antara keduanya.
Stasiun raksasa tempat Noah bekerja meledak. Bersama beberapa orang yang selamat, Norah berusaha mencari cara untuk menyelamatkan diri ke permukaan. Mereka harus berjalan kaki di dasar laut, menuju stasiun sebelah yang masih memiliki kapsul penyelamat. Masalahnya adalah kondisi di sana sama sekali belum stabil. Ledakan susulan bisa terjadi kapan saja. Belum lagi tekanan air dan jarak tempuh yang berkemungkinan perjalanan menjadi terlalu beresiko bagi mereka. Dan ketika mereka beneran nekat mencoba, satu faktor bahaya lagi muncul. Penyebab ledakan fasilitas pengeboran mereka ternyata adalah monster-monster. Norah beserta rekan-rekan kini tak ubahnya bebek mainan di kolam. Menunggu monster-monster datang ‘mempermainkan nyawa’ mereka.

gimana gak pesimis; sudah 2020 dan tetep, blackman game over duluan

 
Underwater mengikuti semua klise sekelompok orang yang terjebak kemudian harus survive dari monster yang satu persatu memangsa mereka. Namun semuanya dilakukan dengan kompeten, dan menarik. I did enjoy this very much. Dalam teori skenario yang keren, tokoh utama akan selalu dipaksa untuk mengambil tindakan. Rintangan demi cobaan selalu datang menghantam. Tokoh akan selalu ditempatkan di posisi yang mengganggu baginya, yang menantang kepercayaannya. Underwater punya ini semua. Norah si pesimis terus disuruh untuk aktif menyelamatkan diri. Musuh Norah bukan hanya monster-monster kayak alga. Melainkan juga keadaan. Ledakan dan runtuhnya struktur stasiun. Tekanan air. Film enggak membuang waktu untuk terus menyerang Norah. Belum ada lima-belas menit, kita sudah melihat adegan aksi menyelamatkan diri dari stasiun yang meledak, bocor, kemasukan air. Lingkungan film ini semuanya digunakan sebagai halangan untuk tokoh utama, menyebabkan cerita selalu berada dalam kondisi menegangkan.
Setiap menit yang disediakan, berusaha dimanfaatkan oleh sutradara William Eubank untuk membangun kengerian sekaligus karakter. Kredit pembuka film ini saja dipakai untuk menampilkan judul-judul berita, sebagai usaha film melandaskan cerita seputar pembangunan stasiun pengeboran, batas alam mana yang mereka langgar sehingga bumi, katakanlah, menyerang balik. Antara adegan survival satu dengan yang lain, cerita akan mengerem sebentar untuk mengembangkan karakter. Norah diberikan hubungan emosional dengan rekan-rekannya. Dan di sinilah peran Kristen Stewart sangat dibutuhkan oleh film. Sekali lagi, jangan pesimis dulu padanya mentang-mentang ia jebolan Twilight. Stewart adalah bagian terbaik dalam film ini.
Dari nyeletuk soal apapun yang mereka lakukan mereka bakal jadi mayat yang ngambang di permukaan laut, hingga ke keteguhannya untuk tinggal dan menyelamatkan, Norah punya banyak momen pembelajaran. Stewart membawakan itu semua dengan sangat meyakinkan. Helm dan baju selam bukan hambatan bagi aktingnya. Jujur, waktu yang dipunya oleh film ini untuk development karakter sebenarnya enggak cukup. Underwater pada akhirnya masih tampak seperti aksi demi aksi dengan tokoh-tokoh yang mudah dilupakan. Jika bukan karena Stewart yang kini kuat dalam permainan ekspresi dan emosional, Norah bisa ikut-ikutan terlupakan. Tapi enggak. Perjalanan tokoh ini soal mengubah pesimis menjadi amunisi yang produktif tetap terasa sebagai tulang punggung film.

Sifat pesimis tidak melulu menghasilkan sesuatu yang negatif. Norah dalam film ini menyontohkan bahwa pesimis justru membuat dirinya bisa berpikir selangkah lebih maju. Membuatnya mengantisipasi hal-hal merugikan, dan mengubahnya menjadi langkah pencegahan dan menolong orang. Pesimis bisa dijadikan sebagai tameng defensif yang mencegah kita untuk terlalu kecewa tatkala sesuatu yang buruk sudah dikenali sedari awal. Orang-orang yang pesimis, dalam kondisi terbaik mereka, selalu adalah yang pertama kali sadar mereka berada di bawah dan jalan satu-satunya bagi mereka adalah ke atas.

 

orang yang optimis akan jalan kaki sambil membayangkan lewat di depan rumah nanas

 
Dunia Underwater terwujud dengan ciamik. Set dan desain produksi film ini cukup niat, sehingga semua yang terjadi di depan mata kita tampak otentik. Baju selam yang mereka kenakan aja terbangun dengan kuat, sampe-sampe aku merinding sendiri saat melihat mereka yang berdiri di dalam lift yang turun hingga terendam air. Baru sekali itu aku kepikiran betapa mengerikan rasanya mengetahui tubuh kita berada di dalam air, tapi badan kita sama sekali enggak basah. Itu gak normal. Dan aku beneran jadi merinding sendiri di bioskop.
Aku suka satu adegan kematian yang melibatkan helm baju selam yang rusak, karena ini juga menambah suspens dan dilakukan dengan menarik. Monster-monster juga diperlakukan dengan pas. Aku enggak tau budget film ini, tapi melihat banyaknya adegan gelap – jalan di dasar laut dapat jadi cukup membosankan karena gelap dan berlumpur tak kelihatan apa-apa jika dibandingkan dengan adegan-adegan di awal film – seperti mengisyaratkan film ini berusaha memaksimalkan budget mereka (terkait penggunaan efek). Dan ini efektif. Monster-monster hanya diperlihatkan sekelebat di tempat-tempat gelap, yang menambah kesan seram berkali lipat. Dan ketika mereka ngejumpscare, rasanya alamiah, sebab tentu saja makhluk yang mendekat diam-diam ingin memangsa kita akan menerkam di detik-detik terakhir. Ada shot keren yang aku suka banget menjelang akhir saat Norah menembakkan flare ke laut untuk melihat sosok ‘bos’ film ini, dan kita juga hanya melihat monster raksasa itu dari pendaran flare yang menembus air. Memberikan ruang bagi imajinasi kita untuk berenang liar, membuat monster ini jadi lebih seram dari yang bisa diciptakan oleh film ini. Pikiranku malah sampe ke Emerald Weapon FFVII saat menyaksikannya.
Range yang cukup curam dari ledakan dan runtuhnya bangunan ke berjalan dalam kegelapan membuat bagian tengah film ini memang terasa membosankan. Apalagi film juga tak menghindar dari membuat tokoh-tokoh pendukung melakukan hal-hal bego, seperti balik mengambil pistol yang ketinggalan di dalam goa. Namun tidak ada yang lebih merusak tone daripada tokoh yang diperankan oleh TJ Miller. Sepertinya memang dalam setiap grup harus selalu ada satu orang yang aneh, yang begitu random sehingga membawa boneka kelinci ke manapun dalam situasi apapun, orang yang suka ngelucu meskipun tak-pada tempatnya. Tokoh tipe ini memang dimasukkan sebagai peringan suasana, biar film gak serius amat, mengendorkan tensi dan semacamnya. Akan tetapi, mengingat film ini punya waktu yang sempit untuk memberikan dorongan dramatis untuk tokoh utama, gimmick tokoh yang dimainkan Miller ini kerasa mengganggu development Norah, dia tampak enggak cocok berada di sana, dan ya, terasa membuang-buang waktu saja.
 
 
 
 
Baru dua minggu di 2020, dan kita sudah mendapat kejutan yang menyenangkan. Film ini benar klise, banyak mengambil adegan dari film lain, punya tokoh-tokoh yang tipikal. Tapi ia melakukannya dengan sangat baik. Ini adalah jenis horor/thriller yang simpel; lari, ngobrol, lari, ngobrol, lari, tapi ia terus menemukan cara untuk membuat memaksimalkan perjalanan tokoh utama. Semuanya dijadikan sebagai musuh, sebagai tantangan. Membuat cerita original dengan shot-shot menegangkan ini menjadi superseru. Jikalau proyek ini mendapat perhatian yang lebih serius lagi, dapat waktu yang lebih banyak untuk cerita lebih dieksplorasi, bukan tidak mungkin dia bakal jadi salah satu mutiara di tengah lautan perfilman. Untuk saat ini, ia cukup menjadi pembuka memuaskan dari skena horor di tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for UNDERWATER.

 
 
 
That’s all we have for now.
Jika menjadi optimis terlalu susah, cobalah untuk memanfaatkan pesimismu sebagai keuntungan. Menurut kalian apa sih bedanya antara pesimis dengan mudah menyerah? Pernahkah kalian punya masalah overthinking?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

DOLEMITE IS MY NAME Review

“Just do it”
 

 
 
Kalian yang pernah atau mungkin sering dikasih saran bikin film gak usah pake nunggu, kelarin naskahmu, kumpulkan teman-teman buat jadi kru, dan langsung rekam gambarmu; film Dolemite is My Name bisa dijadikan inspirasi untuk mewujudkan karyamu.
Film yang edar di Netflix ini adalah drama biografi komedian, penyanyi rap yang jadi sensasi di Amerika 70n karena ia dengan ‘seenak udel’ mengubah diri menjadi bintang dan produser film – yang semuanya ia kerjakan sendiri. Rudy Ray Moore bukan seniman, tapi ia bisa menjadi begitu banyak karena kemauan dan kegigihan untuk mewujudkan. Rudy mencoba semuanya. Di awal film kita melihat dia memohon kepada penyiar radio supaya album R&B yang ia rekam sendiri di ruang tamu tantenya diputarkan untuk didengar banyak orang. Permintannya ditolak. Kemudian kita melihat dia ngebanyol sebagai stand up komedi. Enggak ada yang ketawa. Ketika Rudy mendengar cerita tentang “little bad motherfucker called Dolemite” dari gelandangan yang sedang ia usir dari toko, seketika dia terinspirasi. Oleh cerita dan gaya bercerita si gelandangan. Jadi Rudy mengambil jas ngejreng, bergaya ala Goodfather WWE, dan hidup dalam persona Dolemite. Gaya Rudy cukup ampuh. Dari stand up, ia lantas menjual ribuan kopi album ngerap/bercerita. Rudy ingin menjadi bintang sebagai tanda bahwa ia eksis. Goal berikutnya adalah membuat film, tampil sebagai bintang film. Supaya lebih banyak lagi orang yang menonton dan terhibur olehnya. Selanjutnya adalah sejarah, film Dolemite yang ia buat sukses menjadi salah satu cult classic, fenomena dalam skena Blaxpoitation perfilman Amerika 70an.

His name is Dolemite, and selling is his game.

 
Sebagai kulit-hitam yang sebenarnya bukan gak punya talent, Rudy adalah jack-of-all-trades; dia bisa banyak hal tapi yang ia bisa itu gak ada yang menonjol. Dia seperti Anna di awal-awal Frozen yang sepanjang hidupnya melihat ‘pintu’ di depan wajahnya. Alias selalu ditolak. Jadi Rudy menciptaka… enggak, dia mendobrak sendiri pintu untuknya. Setelah terkenal sebagai Dolemite, Rudy masih menemui kesulitan mencari investor yang mau membiayai ceritanya. Setelah filmnya jadi pun, dia susah payah mencari bioskop yang mau memutarkan filmnya. Ini relatable banget. Aku paham dan merasakan sendiri sukarnya mewujudkan karya karena kita bukan siapa-siapa. Perjuangan Rudy memang terdengar cukup heroik. Namun ada komplikasi; film yang ia usahakan tersebut bukan film baek-baek. Karya-karya Rudy sebagai Dolemite bukanlah karya yang innocent, melainkan penuh kevulgaran, kata-kata kasar. Bentuk terendah dari sebuah hiburan. Oleh karena perjuangan dan yang diperjuangkan mentok banget inilah, film Dolemite is My Name terasa sangat menarik dan menghibur.
Proses Rudy dan teman-temannya mengerjakan film dengan profesionalisme yang terbatas jadi main-course buat komedi. Mereka mengubah hotel terbengkalai menjadi studio film, tempat suting, dan segalanya. Mereka bahkan gak punya listrik dan mencuri dari bangunan sebelah. Segala source mereka sangat terbatas, tapi Rudy ini nembaknya tinggi. Ada sekuen ngumpulin orang semacam sekuen yang biasa kita lihat dalam film-film heist. Banyak kelucuan datang dari dia berusaha meyakinkan artis beneran yang ia jumpai di klub untuk menjadi sutradara. Membawa anak muda pembuat film pendek untuk jadi DOP – karena gak ada satupun gengnya Rudy yang ngerti kamera, apalagi teknik-teknik mengambil gambar. Dia juga membujuk penulis teater untuk jadi penulis naskah; yang mengantarkan kita pada adegan brainstorming kocak. Film yang mereka kerjakan secara objektif memang sangat jelek, tapi Rudy paham pada menjual apa yang ingin ia jual. Sehingga tawa kita yang tadinya mengarah kepada Rudy dan para kru, perubahan berubah menjadi tertawa bersama mereka. Kita ikut merasa puas bareng mereka.

Jika mau sesuatu, ambil. Jika bisa sesuatu, lakukan. Jangan tunggu ‘waktu yang tepat’. Jangan tunggu persetujuan dari orang, selama itu tidak berkaitan dengan mereka. Jangan takut gagal, ditolak, dan diledek; karena tentu kita akan gagal, ditolak, dan diledek habis-habis. Tapi kita belajar dengan mencoba. Dengan melakukan apa yang ingin kita lakukan. Kita yang mengejar kesempatan, mencari jalan masuk. Jadi, ya, biarlah kayak iklan sepatu: just do it!

 
Nonton kisah Dolemite ini kayak nonton The Disaster Artist (2017). Bedanya, tokoh kita diberikan backstory yang lebih dalam. Dalam Disaster Artist, ‘kemistisan’ Tommy Wisaeu dipertahankan, kita tidak pasti dia dapat duit produksi darimana, kita enggak yakin siapa dia sebenarnya – bahkan umurnya saja misterius ada di kepala berapa. Itu jadi pesona pada film; sebagai bagian dari gimmick Wiseau sebagai seniman, sebagai brand yang dijual. Sedangkan dalam Dolemite is My Name, kita actually akan mengeksplorasi Rudy sebagai seorang manusia. Kita diberi ruang supaya mengerti cara berpikirnya, apa keinginannya. Hubungan Rudy dengan salah satu ‘artis’nya akan memperlihatkan kepada kita semua hal tersebut; ketakutan, passion, dan semangat Rudy. Jadi, film ini enggak sebatas pada tentang pembuatan film jelek-yang-jadi-ngehits. Melainkan juga lebih memfokuskan kepada manusia di baliknya.

Dolemite udah nyarutin orang sebelum Samuel L. Jackson

 
Makanya penggemar Eddy Murphy niscaya akan bersorak girang. Perannya sebagai Rudy si Dolemite yang bergaya crude namun tampak sedikit flamboyan ini enggak sembarang receh. Melainkan juga bisa dramatis dan penuh kemanusiaan. Sudah lama sekali Murphy gak meranin tokoh yang komplit sepertinya. Terakhir kali aku melihatnya bermain bagus di Mr. Church (2017), tapi di sana dia agak sangat serius. Murphy yang sudah lama ‘terjebak’ mainin komedi keluarga yang receh, akhirnya dapat pelampiasan dalam film ini. Rudy cheap, ego tinggi, ngomong jorok berirama (rapnya mirip kayak pantun), tapi memiliki makna dan kepentingan. Kita bisa merasakan passion Rudy bukan ke bersikap demikian, tapi ke pekerjaan menghibur orang. Di atas senyuman personanya, kita melihat mata yang penuh rasa lapar. Selain kesuksesan, Rudy seperti pengen menelan semua kesempatan yang bisa ia dapatkan. Ya, kita bisa bilang Rudy adalah loser, tak-bertalenta, yang oportunis. Namun dia punya modal tersembunyi; dia mengerti pada apa yang ia bisa dan apa yang tidak bisa ia lakukan. He works on both things, tanpa mengunyah lebih banyak dari yang ia bisa telan. And oh boy, how he has a ‘big mouth’

Pelajaran lanjutan yang bisa kita ambil dari Rudy Ray Moore adalah kendati kita bergerak demi passion dan mimpi, kita mengambil tindakan tanpa perlu dengar kata dan persetujuan orang lain, kita masih tetap perlu untuk mengisi diri untuk terus melakukan perbaikan jika ingin maju. Rudy membuat film hiburan untuk kaumnya, tapi dinilai rendah kritikus – he owns every words of them, dia bahkan senang melihat filmnya dikatain kasar dan receh. Rudy gak mau bikin film yang bagus, dia hanya bikin film yang menghibur teman-temannya.

 
Durasi panjang film ini pada beberapa bagian cukup terasa. Mainly karena sikap Rudy yang berfokus kepada mengembangkan apa yang bisa ia lakukan secara eksternal. Rudy kian terasa kayak pembuat film yang kita remehkan; yang mau lebih banyak ledakan, lebih vulgar, lebih banyak hal nonsense, sementara pengembangan dan innernya tidak banyak perubahan karena Rudy sudah paham betul kemampuannya. Ada satu dua adegan ia bimbang filmnya gak laku, tapi itu semua terlihat seperti cara film memancing drama saja. Tadinya kupikir film ini lewatin kesempatan gak bahas stake lebih banyak; soal Rudy ngambil ide dari gelandangan kurasa bisa jadi konflik yang pas untuk internal Rudy – mungkin dia bisa dibuat dituntut karena mencuri ide, atau malah dia mempekerjakan gelandangan supaya bisa mengambil lebih banyak ide komedi. Namun memang elemen itu jika dimasukkan hanya akan membuat  cerita semakin terlalu Hollywood. Dan aku yakin sutradara Craig Brewer mengarah pada tone yang lebih realistis karena bagaimanapun, sefantastis apapun perjalanan Rudy, ini adalah biografi. Dan di dunia nyata, memang gelandangan gak bisa gitu aja punya suara, ataupun gelandangan gak bisa gitu aja diajak kerja. Karena sekalipun mereka jago bercerita, belum tentu mereka bisa jadi kru atau penulis naskah. Emangnya Rey Palp,..Skywalker yang scavanger tapi ternyata bisa betulin Milennium Falcon – Han Solo yang punya pesawatnya aja gak bisa.
 
 
Jadi aku menghormati pilihan yang dilakukan oleh film ini. Walaupun di pertengahan film menjadi agak lambat. Stakenya kurang nendang, melainkan menjadi agak komikal karena Rudy-nya sendiri pengen begitu. In sense, film komedi ini sangat grounded – ia juga membahas manusianya dan tidak satupun mereka tampak eksentrik. Kita mengerti kebutuhan mereka terkait persona dan jualan. Meskipun begitu, fenomena film yang dibuat oleh para tokoh kurang terasa menguar buat kita terutama yang awam sama sejarah film Blaxploitation dan baru mendengar Dolemite untuk pertama kalinya di sini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DOLEMITE IS MY NAME.