THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS Review

“It’s not what you say, it’s what people hear.”

 

 

Anggota keluarga, entah kenapa, suka bikin kita malu di depan umum. Hampir seperti misi mereka untuk berlomba-lomba melakukan hal di tempat yang banyak orang, yang pada akhirnya membuat kita pengen hilang ditelan bumi. Paman si Lewis menjemputnya, masuk ke dalam bis, dengan mengenakan kimono. Di lain kesempatan, Lewis dijemput oleh Paman ke sekolah dengan mobil butut. Merasa belum cukup mempermalukan Lewis di depan teman baru yang susah payah diperolehnya, Paman kemudian menawarkan diri untuk tancap gas – hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi kepada mobil tersebut jika distarter keras-keras.

Sesungguhnya, Paman Jonathan ingin memperlihatkan kepada Lewis bahwa menjadi aneh itu adalah sesuatu yang hebat. We have to embrace our quirkiness. Tapi Lewis adalah anak cowok yang sedang dalam masa perkembangan yang sulit. Orangtuanya baru saja meninggal. Membuat Lewis harus pindah ke kota lain untuk tinggal bersama pamannya. Dalam sebuah rumah dengan banyak jam, beraneka jenis, nemplok di setiap jengkal dindingnya. Lewis sendiri sebenarnya sudah cukup aneh, dia mengenakan kacamata pilot ke mana-mana. Buku favoritnya saja kamus tebel. Tapi bagi Lewis, Paman dan Wanita berbaju ungu sahabat pamannya tersebut luar biasa aneh. Tidak ada peraturan di bawah atap rumah mereka. Lewis boleh makan cookies kapan aja. Kenapa enggak jadiin cookies sebagai menu makan malam, ujar pamannya sambil tersenyum. Dan kenapa pula tidak boleh ada kacang di dalam cookies?

Itu semua belum apa-apa dibandingkan dengan keanehan yang terjadi di rumah tersebut pada malam hari. Lewis sempat takut, karena bukan hanya suara jam di dinding, melainkan rumah dan seisinya itu sepertinya punya nyawa sendiri. Salah satu tema cerita penting yang bisa kita lihat dari film ini datang dari gimana Lewis berusaha menyeimbangkan hidupnya. Dia pengen terlihat normal biar bisa punya temen di sekolah, dan ketika pulang ke rumah bersama Pamannya, dia harus berurusan dengan segala keanehan yang ada karena ternyata Pamannya adalah seorang Warlock. Tentu saja, Lewis pengen belajar semua ilmu sihir yang bisa ia dapatkan dari sang Paman. Apalagi karena dia ingin membantu Pamannya memecahkan misteri mencari alat pengembali waktu yang tersimpan di suatu tempat di dalam rumah tersebut.

Lewis yang perbendaharaan katanya begitu kompleks lantaran suka ‘makan’ kamus, tetap mengalami kesulitan dalam mempelajari ilmu sihir. Sihir bukan sekedar merapal kata-kata aneh. Ini bukan masalah seberapa fancy kata yang kita gunakan. Adalah cara menggunakannya yang menjadi poin penentu. Semua yang kita lakukan, cara tersendiri yang kita lakukan saat menanganinya lah yang menjadi hal terpenting. Karena itulah yang didengar oleh orang lain, yang membuat kita berbeda dan ternotice oleh mereka. Yang membuat kita unik, dari situlah datangnya kekuatan kepercayaan diri.

 

Aspek paling menarik yang dipunya oleh film ini adalah fakta bahwa dirinya dibuat oleh sutradara yang punya rekam jejak menangani film-film horor ngegore dan gak nyaman untuk dilihat semacam Hostel (2005) dan Grindhouse (2007). Kita akan benar-benar melihat ‘sihir’ gaya khas Eli Roth diimplementasikan ke dalam cerita fantasi adaptasi novel yang ditujukan untuk konsumsi anak kecil. Dan Roth berhasil. The House with a Clock in Its Walls menjelma menjadi film anak-anak yang dengan berani mendorong batas kekanakan itu sendiri. Imaji-imaji creepy masih dapat kita saksikan di sini. Salah satu yang membekas bahkan oleh kepala dewasaku adalah pemandangan bayi dengan wajah Jack Black. Boneka-boneka automaton yang mendadak hidup itu juga sukses bikin anak kecil di sebelahku menutup matanya dengan dus popcorn. Langka, di jaman sekarang, fantasi anak-anak dibuat dengan gaya seram sebagai poin vokal. Bahkan Goosebumps (2015) saja enggak berani untuk tampil seram, ia lebih menekankan sisi petualangan fantasinya, padahal kita tahu source film tersebut adalah buku horor untuk anak-anak. House with a Clock, enggak punya masalah dalam memperlihatkan gambar-gambar bernuansa seram. Menonton film fantasi ini mengingatkanku kepada serial horor Are You Afraid of the Dark? yang dulu sering kurental VCD-nya.

CLB – Crybaby Little Bastard

 

Set film luar biasa imajinatif. Rumah itu penuh tempat-tempat rahasia, dengan benda-benda sihir yang memanjakan khayalan kita. Semua elemen artistik digunakan efektif untuk menguatkan karakter para tokoh cerita, memberikan mereka bukan hanya misteri melainkan juga sedikit tambahan kedalaman. Untuk menyeimbangkan visualisasi yang menghoror buat fantasi anak kecil, Eli Roth menebar lelucon di sana sini. Lewat practical jokes, memang agak kelewat kekanakan. Kita melihat poop joke diulang-ulang. Tapi kita bisa paham kepentingannya adalah untuk membuat film tetap ringan bagi penonton cilik.

Lewat dialog, lelucon film dipercayakan kepada Paman Jonathan yang begitu eksentrik. Jack Black adalah pilihan yang tepat, malahan bisa dibilang sedikit di atas kualifikasi untuk perannya tersebut. I mean, aku suka komedi Jack Black. Tik-tok dialognya dengan Cate Blanchett – yang mana juga sangat hebat, dengan range emosi yang lebih luas – selalu sukses jadi sumber tawa buat film ini. Jika ada aktor yang harus kupercaya mainin tokoh yang begitu unik dan tidak peduli apa kata orang tentang dirinya, aku juga akan memilih Jack Black. Di film ini, entah karena begitu nyaman dengan perannya, ataupun karena diberikan arahan yang membebaskan, Black seringkali tampak terlalu dominan. Dia di atas tokoh yang lain. Pada adegan bersama dengan tokoh utama, kita bisa melihat jelas kejomplangan permainan aktingnya. Lewis yang diperankan Owen Vaccaro tidak pernah berhasil menjadi menarik setiap ada Paman satu adegan dengannya. In fact, Lewis malah tampak seperti bocah cengeng yang menangis begitu saja karena tiba-tiba ia teringat almarhum ibunya. Sedih memang ketika kita kehilangan orangtua, tetapi transisi tone cerita enggak mulus karena Jack Black mengeset rentang yang terlampau tinggi. Jarak antara fantasi dengan momen realita itu kemudian terasa terskip begitu saja karena pemain muda kita tidak mampu mengimbangi.

Untuk sebagian waktu, aku memang menikmati kejutan-kejutan kecil yang dipunya oleh film ini. Aku sama sekali enggak tahu Kyle MacLachlan turut ambil peran, dan ya seperti di terakhir kali aku melihat penampilannya di Twin Peaks season 3 (2017), aktor senior ini totally mantep mainin tokoh yang creepy, dia begitu ‘di luar dunia ini’. Toh ada beberapa kesempatan yang, buatku, film ini terlalu berusaha membuat kejutan alih-alih bercerita dengan asik. Seperti pada separuh bagian awal, ada tokoh-tokoh yang diset sebagai red herring; kita gak yakin mereka jahat atau beneran baik, yang keputusan untuk membuat mereka demikian terasa enggak konsisten dan membingungkan. Ada elemen reverse psychology yang dijadikan device, seperti sebuah hal yang penting. Misalnya ketika Paman mengajarkan ilmu sihir kepada Lewis dengan mengatakan bahwa anak itu gak mungkin bisa karena sihir begitu rumit untuk dipelajari, yang kita tangkap konteksnya adalah dia percaya Lewis mampu dan sengaja bilang begitu supaya Lewis semakin tertantang dan bersemangat. Namun di lain kesempatan, Paman menyuruh Lewis untuk tidak membuka kabinet yang terkunci. Yang membuat kita kebingungan, apakah konteks yang sama masih berlaku, atau itu benar-benar larangan. Apalagi kemudian kita melihat ada tokoh lain yang menyuruh Lewis untuk membuka kabinet. Sehingga penuturan cerita menjadi sedikit kusut, enggak benar-benar jelas apa yang harusnya kita rasakan bersama si Lewis.

mungkin kita bisa tanya kepada Magic 8-Ball kenapa film ini seperti versi kurang asik dari serial Gravity Falls

 

 

Banyak penyihir yang lebih dewasa dan lebih bijak dari Lewis sudah terbuai oleh kekuatan ressurection, film juga tidak berhasil dengan baik menyampaikan sisi menyentuh dari seorang anak yang ingin melihat orangtuanya satu kali lagi. Struktur, poin ke poin cerita, mestinya bisa dirapikan sedikit lagi dengan lebih memfokuskan kepada perkembangan emosi tokoh utama alih-alih rangkaian kejadian fantastis. Sekuen regroup film ini tidak bekerja sama sekali buatku. Mereka kehilangan rumah tidak kelihatan seperti mereka akhirnya belajar sesuatu, malah lebih terasa sebagai sebuah detour yang melepaskanku dari pegangan cerita. Konflik dari tokoh antagonis juga tidak benar-benar memposisikan Lewis, dan tentu saja kita, ke dalam sebuah dilema. Yang mana adalah kekuatan sebenarnya dari cerita. Alih-alih merasa, kita hanya mendapatkan penjelasan dari tokoh jahat, mengenai bagaimana kondisi mengerikan tersebut semestinya menjadi menarik buat Lewis.

 

 

 

Aku suka gimana film ini berani menggandeng tangan anak-anak untuk melewati dunia fantasi yang bukan sekedar seru melainkan juga mengerikan. Bahkan lebih creepy dari The Nun (2018), misterinya juga asikan ini. Beberapa adegannya memenuhi fungsi untuk memberikan mimpi buruk buat anak kecil. It also has a nice lesson too, mengenai gimana membawa diri dalam pergaulan – bahwa penting untuk menjadi diri sendiri, seberapapun anehnya. Mestinya Goosebumps dibuat dengan nuansa begini. Tontonan sempurna buat anak kecil yang ingin mempelajari gimana caranya untuk berani. Petualangannya juga asik untuk diikuti. Bagi orang dewasa, film ini bisa menjadi sedikit over; leluconnya, tokoh utama yang cengeng dan annoying, ceritanya juga bakal bikin kita pengen bergerak buat merapikannya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa keluarga kalian punya kebiasaan aneh yang kalian gak mau teman-teman pada tahu tentangnya? Kenapa, menurut kalian, kita merasa malu kalo ketahuan oleh orang lain?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PETUALANGAN MENANGKAP PETIR Review

“The object is not truth but persuasion.”

 

 

 

Bikin film itu gampang. Punya kamera, punya cerita, tinggal syut. Semua hal yang bisa dipikirin, yang bisa ditulisin, bisa dijadikan film. Menjual film pun nantinya bisa diakali. Kita harus tahu dibuat untuk siapa, gimmick-gimmick pemasarannya bisa disesuaikan dengan kemampuan. Yang susah itu adalah, minta ijin orangtua. Kita gak ijin, mereka gak restu, gak bakal bener deh yang kita usahakan – gak berkah. Kita bohong, ketahuan; filmnnya gak bakal jadi. Terus gimana dong. “Boleh gak kita ngejar mimpi, tapi dilarang orangtua?” pertanyaan Sterling tak pelak akan berdering di dalam setiap kita yang punya mimpi.

Sterling (Bima Azriel dalam peran utamanya yang pertama) punya mama yang banyak aturan banget. Dulunya mereka tinggal di Hongkong, Sterling diajarin bikin vlog supaya bisa punya banyak temen meskipun enggak keluar rumah. Main di luar rumah itu bahaya! Sterling nanti kotor, Sterling nanti jatoh dan terluka. Jadilah Sterling ini anak yang tidak banyak bisa apa-apa, naik sepeda aja dia gak bisa. Cuma kamera dan bikin video yang ia bisa. Cuma ‘follower’ yang ia punya. Ketika keluarga Sterling mampir ke rumah kakek di desa, Sterling dapat kesempatan untuk bikin film beneran. Untuk dapat teman beneran. Tetapi mengejar mimpi itu butuh pengorbanan. Menangkap petir adalah perbuatan yang berbahaya. Sterling harus menyadari, mamanya bukan antagonis di dalam cerita ini. Orangtua hanyalah salah satu dari rintangan yang harus ia hadapi demi menghadapi pertempuran besar yang sesungguhnya; Pembuktian diri.

daripada ngerjain LKS terus, mending sekali-kali main sepeda

 

 

Menyenangkan sekali melihat anak-anak bermain di luar, mengajak teman-temannya untuk berembuk bersama menyusun langkah, actually melakukan sesuatu. Sterling bagai ikan di luar kolam di desa itu. Dia kenalan dengan teman-teman baru, melihat langsung hal-hal yang sebelumnya hanya ia tahu dari internet. Sense of discovery membuat cerita ini hangat. Buatku, melihat Sterling dan Gianto (alias Giant) mencoba melakukan sesuatu yang gede melampui batas umur mereka, memang cukup bikin rindu. Juga malu. Rindu karena aku merasa masa-masa itu sudah lama kulewati. Malu, sama semangat mereka yang meskipun bikin film sembunyi-sembunyi, dengan alat yang seadanya – mereka pakai alat curling rambut sebagai papan sutradara – tetapi mereka tak ragu untuk bergerak. Berusaha mewujudkan mimpi. Sedangkan aku, belum mulai ngapa-ngapain, sudah pesimis duluan. Pikiran buruk sudah nyampe ke mana-mana; kebanyakan mikir dan takut gagal. Ya gimana mau maju kalo gerak aja takut? Sterling dan teman-temannya enggak gitu. Film ini pun enggak mangkir dari resiko yang harus dihadapi seorang yang punya karya; Dikata-katain.  Sterling dan teman-teman juga dihadapkan sama ketidakpedean, sama akting yang dinilai lebay, sama karya yang dianggap jelek. Dan anak-anak itu menghadapinya dengan lebih baik dari sebagian kita. Mereka enggak patah semangat.

Begitu positifnya film ini untuk anak kecil. Mengajarkan mereka untuk berani mencoba. Untuk tidak gentar dalam menghadapi rintangan. Untuk tidak takut gagal. Seperti naik sepeda, jika terjatuh, kita simply duduk lagi di atas sadel dan meneruskan mengayuh, membuat roda itu berputar. Memang terdengar cheesy, kita bisa berdalih itu semua hanya impian kanak-kanak yang tidak realistis. Tapi objeknya di sini terletak kepada usaha kita, seberapa besar kita mendorong diri untuk mewujudkan keinginan.

 

 

Sekarang, setiap orang punya kamera di handphonenya. Semua orang bisa membuat film, jika mereka percaya mereka bisa. Tingkat keindahan yang bisa film ini capai adalah jika mereka mampu membuat anak-anak kecil jaman sekarang pergi keluar, mencabut handphone mereka dari saku, dan merekam video sendiri, tertawa-tawa membuat film bersama. Oh, betapa aku berharap para orangtua yang membawa anak mereka menonton film ini, ikutan nyaksiin dengan serius. Supaya mereka bisa merefleksikan diri sendiri; apa benar kita ingin anak bahagia, atau hanya ingin anak nurut sama kita. Siapa sih sebenarnya egois di sini. Hubungan antara Sterling dan mamanya sangat relatable buat banyak orang. Terkadang orangtua bisa menjadi overprotektif, mereka lupa rasanya menjadi anak-anak.

Film ini akan sangat menyenangkan untuk keluarga. Permainan perannya mungkin tidak terlalu menonjol, kecuali satu anak, Fatih Unru pemeran Giant, yang mencuri pertunjukan dengan luwesnya akting yang dia lakukan. Giant actually adalah teman yang menggebah Sterling untuk membuat film, dia menjadi tokoh utama dalam film superhero yang mereka buat, jadi dia berada di tingkatan peran yang berbeda dari tokoh yang lain. Hubungan Sterling dengan Giant akan membuat kita tertawa.  Bagaimana Giant membautanya tergerak, membuka mata terhadap apa itu yang namanya film. Giant bisa menjadi sedikit meta dengan pengetahuannya tentang film-film lama. Tokoh ini pun punya lapisan yang cukup dalam, motivasinya pengen jadi terkenal adalah supaya ibunya yang enggak pulang-pulang bisa melihatnya di televisi. Ia mengisi hari-hari kosongnya tanpa ibu dengan menonton film, ini cukup sedih memang.

Giant seperti Nelson di The Simpsons, tapi kehilangan ibu alih-alih ayah

 

 

Saat kita membawa adik atau anak untuk nonton ini, mungkin akan timbul kekhawatiran. Film ini kinda membawa mixed message buat anak kecil sehubungan dengan berbohong. Giant berbohong nyaris setiap waktu, ia gunakan bohong untuk membujuk orang. Sterling berbohong kepada mamanya. Kadang kakek Sterling melarang ia berbohong, kadang beliau turut berpura-pura. Malahan, film dan akting itu sendiri adalah seni berbohong, tak ubahnya pertunjukan tukang obat yang Sterling lihat di jalanan. Anak kecil akan butuh bimbingan untuk memahami konteks berbohong yang ditampilkan oleh film ini. Karena, to be honest, film ini juga tidak pernah benar-benar gamblang dalam menjelaskan sikapnya dalam berbohong. Berbohong seperti apa yang diperbolehkan? Bolehkah gak sih, bikin video tetapi pake stuntman? Pembuat film itu, ditunjukkan sama dengan tukang obat; mereka berbohong atas nama pertunjukan. Tapi pembuat film pada film ini mendelik sewot dikatain tukang obat. Seharusnya ada adegan yang memperlihatkan kedua kubu kompak, ataupun paling enggak, berinteraksi, hanya untuk menunjukkan di mana sebenarnya film ini berdiri.

Membuat orang percaya terhadap suatu hal yang gak nyata, hal yang tidak benar-benar terjadi, ada seninya. Tujuannya adalah bukan untuk menipu; bukan untuk membuat orang lain tidak melihat kebenaran, melainkan untuk membujuk mereka untuk melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang bisa dipercaya dalam momen itu. Film adalah salah satu bentuk dari seni berbohong. Dan itu tak sejauh kedengarannya, sebab dalam hidup, kita bersandiwara setiap waktu. kIta merasa perlu untuk menutupi beberapa hal terhadap beberapa orang tertentu. Rahasia untuk tidak saling menyakiti adalah, kita tidak menciptakan sesuatu yang palsu – kita hanya mengatakan seperlunya dari satu kebenaran utuh.

 

I have a weak spot untuk film-film dengan adegan backstage atau pembuatan film. Petualangan Menangkap Petir ini, aku malah langsung tertarik untuk alasan itu.  Tapi aku pun tak bisa bohong, film ini punya banyak kelemahan. Naskahnya, for one. Konflik filmnya terasa tidak kuat, stakenya tidak benar-benar membuat semua menjadi memprihatinkan buat Sterling. Alasan mamanya melarang terasa mengada-ngada, I mean, kalo memang ngelarang main, kenapa gak dibawa aja anaknya ikut ke kota. Kenapa lantas ngelarang bikin film, kan bisa aja nyuruh bikin film tapi harus di dalam rumah. Elemen anak berusaha stand up dan membuktikan diri kepada orangtuanya tidak begitu terasa, karena kurasa film enggak ingin terlihat terlalu keras untuk konsumsi anak kecil. Lapisan-lapisan yang ada di cerita mestinya bisa digali lagi. Sterling akan meminta bantuan kepada dua orang dewasa yang terkenal di kampung sebagai pembuat film fenomenal, padahal mereka hanya bekerja sebagai tukang video kawinan. Seharusnya ada momen lebih banyak seputar Sterling belajar dari mereka, karakter si tukang video yang diperankan oleh Abimana Aryasatya mestinya dibuat saling mengisi dengan karakter Sterling – mereka saling belajar, hubungannya mestinya bisa lebih digali, seperti hubungan antara Bima dengan Chef Rama di Koki-Koki Cilik (2018). Karena dalam setiap cerita underdog (Sterling adalah underdog di mata mamanya, dia harus memenangkan pengakuan sang mama) selalu dibutuhkan sosok mentor yang dijadikan pembelajaran oleh tokoh utama. Petualangan Menangkap Petir kurang menggali elemen ini.

 

 

 

Aku harap film ini dapat kesempatan untuk merasakan kepuasan sudah membuat anak kecil penontonnya tergerak untuk membuat film. Seperti aku yang ketika membuat film pendek, meskipun hasilnya jelek, tapi aku merasa senang tak terkira demi melihat anak-anak kecil yang nonton syuting tau-tau bikin film sendiri dengan handphone mereka di sekitar lokasi. Cerita film ini hangat, akrab, tidak menampilkan anak kecil sebagai aksesoris dari orang dewasa. Mereka punya pikiran, punya keinginan, film ini membuat mereka bergerak layaknya anak-anak. I do feel bad mengritik film anak-anak seinspiratif ini, tapi ya film ini mestinya diceritakan dengan lebih mendekap lagi. Ada elemen-elemen cerita yang masih bisa digali, ada emosi-emosi yang mestinya bisa dikeluarkan lebih kena lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PETUALANGAN MENANGKAP PETIR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION Review

“Celebrate our differences”

 

 

 

Monster juga sama kayak manusia. Punya rasa, punya hati. Buktinya, Dracula yang kini sudah menjomblo beratus-ratus tahun mulai merasa kesepian. Kita lihat dia diam-diam main Tinder versi monster. Namun dari sekian banyak “Ping”, Drac belum juga menemukan yang benar-benar nge-”Zing!”. Meskipun belum tahu soal gundah gulana ayahnya, toh Mavis kasian juga demi ngelihat gelagat Drac. Vampir cewek ini mikir, mereka sekeluarga butuh liburan, Drac butuh jalan-jalan keluar dari kesibukan di Hotel. Jadi, Mavis nge-book perjalanan naik kapal pesiar untuk seluruh keluarga dan kerabat monster. Liburan mewah khusus monster sehingga Drac bisa bertemu dan kenalan ama mahluk-makhluk baru. Mulai dari yang seram, yang berbulu, yang bermata banyak, yang manusia, hingga ke yang berusaha membinasakan keluarga mereka.

kukira Zing itu shampoo anti ketombe

 

Sutradara Genndy Tartakovsky – yang kali ini juga turut menulis naskahnya – mempertahankan keunggulan yang dimiliki Hotel Transylvania sejak film pertama; keunikan desain para tokohnya. Pada film ketiga ini, bahkan animasi mereka tampak lebih ‘liar’ lagi. Aku benar-benar menikmati level kreativitas yang dihadirkan oleh film ini, karena hal itulah yang sebagian besar membuat kita bertahan menonton film ini. Kita akan penasaran komedi apalagi yang bakal mereka eksplorasi in regards of karakteristik dan kemampuan dari masing-masing monster. Lelucon dan animasi film ini bukan tipikal animasi normal, katakanlah seperti Pixar. Menonton film ini akan lebih terasa seperti menonton kartun konyol Bugs Bunny ketimbang Toy Story. Latar belakang Tartakovsky sebagai pembuat kartun-kartun Nickelodeon semacam Dexter’s Laboratory dan Samurai Jack benar-benar menunjukkan taringnya. Salah satu sekuen ‘gila’ favoritku adalah ketika Drac dan dunsanaknya terbang naik pesawat, yang dikelola oleh makhluk-makhluk Gremlin. Banyak sekali candaan sehubungan dengan apa yang Gremlin lakukan – you know, bahwa mereka adalah makhluk perusak. Di penerbangan paling-tak-nyaman tersebut, pramugara pramugari kru kabin Gremlin gak peduli sama penumpangnya, lihat saja gimana cara mereka menangani koper dan masker udara. Ada banyak momen seperti demikian, yang membuat kita tertawa tanpa merendahkan IQ, lantaran ada kreativitas dan tentu saja pesan di dalamnya.

Satu hal lagi yang dilakukan berbeda oleh Tartakovsky adalah gimana dia membuat kontinuitas terhadap tokoh, dengan tidak mengorbankan komedi yang ia sampaikan. I mean, detil seperti Dracula yang tertancap sejumlah anak panah, dan di adegan berikutnya anak panah tersebut masih ada di badannya – tidak lantas menghilang kayak di animasi kebanyakan – adalah bukti bahwa kekonyolan yang ada di permukaan tersebut enggak dibuat asal-asalan. Ada pemikiran di baliknya, ada perhatian ekstra yang diberikan oleh pembuatnya. Dalam istilah singkat, filmnya boleh tampak ugal-ugalan, tapi tidak sembarangan receh.

Hotel Transylvania 3 benar-benar total – lebih sebagai film kartun yang menghibur, akan tetapi tidak membuat kita merasa seperti orang blo’on. Kita bisa menikmati keunikan tokoh-tokohnya, kita menertawakan situasi yang menimpa mereka. Sekaligus kita bisa mengapresiasi imajinasi dan pesan tersembunyi yang dimiliki film seputar manusia dan monster dapat hidup berdampingan.

 

Dari segi cerita, memang Hotel Transylvania 3 ini bisa dengan mudah kejegal. Jika film pertama membahas mengenai halangan cinta antara vampir dan manusia, dan film kedua menelaah soal ketakutan Drac apakah keturunannya malah menjadi makhluk mortal ketimbang mengikuti garis darah abadinya, maka film kali ini tak lebih dari sekadar liburan keluarga. Khas Adam Sandler banget! Kita bisa mengritik gimana film ini udah gak sesuai ama judulnya lagi, karena tempatnya udah bukan di Hotel. Kita bisa nyeletuk bahwa cerita film ini hanya sekedar rentetan lelucon dan seri sketsa komedi konyol tentang monster. Tubuh utama cerita adalah tentang teman dan keluarga Drac yang berusaha untuk membantu si “Blah-blah-blah” mendapatkan pasangan baru, dan enggak banyak yang bisa kita salami dari permukaan cerita ini. Dalam cahaya yang positif, bagaimana pun juga, film ini mencoba untuk mencari keseimbangan antara hiburan untuk anak kecil dan orang dewasa. Karena film ini diniatkan untuk menjadi ‘Liburan Keluarga’ yang sesungguhnya.

Setiap kali engkau menambah kata “keluarga” ke sesuatu, niscaya sesuatu itu akan menjadi riweuh

 

Ketika anak-anak terhibur oleh wajah-wajah seram yang sudah mereka anggap lucu, karakter-karakter yang sudah mereka kenal, para orang dewasa niscaya akan bisa mendapat lebih dari humor yang dituturkan oleh film ini. Sebab banyak humor ‘bapak-bapak’ yang diselipin dalam adegan-adegan film ini. Seperti misalnya ketika keluarga manusia serigala yang punya anak satu RT melihat tempat penitipan anak di kapal. Anaknya segitu banyak, beberapa mereka gendong, atau lebih tepatnya gelayutan di badan begitu saja, dan sisanya berlarian ke sana ke mari. Dua pasang manusia serigala ini tak punya waktu kosong, sibuk ngurusin anak, muka mereka kelihatan letih sekali. Dan ketika mereka mendengar penitipan anak itu bilang mau mengurusin anak mereka, by choice – you know – reaksi mereka mendengar “by choice” ini benar-benar bikin terbahak. Yang aku paham anak kecil gak akan ngerti karena ini merujuk kepada pemahaman bahwa anak-anak mereka itu semua karena ‘kecelakaan’ sebab mereka adalah werewolve yang ‘buas’. Jadi, memang film ini memfokuskan diri dalam menyeimbangkan lelucon yang bisa mereka gali dari karakteristik tokoh-tokohnya, alih-alih kedalaman cerita. Bahkan ada lelucon mengenai tentakel yang seratus persen anak kecil belum ngeh di mana lucunya.

Semua makhluk diciptakan berbeda, bahkan manusia punya warna kulit, rambut, bentuk wajah yang berbeda. Kita tidak harus meniadakan perbedaan tersebut, embrace it. Karena yang terpenting adalah bukan bagaimana kita dan mereka adalah sama, melainkan adalah kita bisa mengapresiasi setiap orang meskipun berbeda dengan kita. Pesan inilah yang bisa dibawa pulang oleh anak kecil, dan semoga mereka mengaplikasikannya dalam hidup mereka yang masih tak-berdosa.

 

 

Sesuka-sukanya aku sama arahan kreatif film ini. Sama gimana presisinya timing dan editing dan penyampaian yang mereka punya. Toh, kurangnya elemen kebaruan masih terasa mengganggu buatku. As far as the storytelling goes, nyaris tahap demi tahap ceritanya bisa kita tebak. Siapapun yang pernah menonton film bakal bisa menyimpulkan ke arah mana cerita akan berjalan. Kita akan mengantisipasi pilihan-pilihan yang bakal diambil oleh para tokoh dan apa yang terjadi sesudahnya. Yang bikin beda cuma karena film ini bergerak dengan cepat, dan betul-betul edan. Mereka mengerahkan semuanya demi kekocakan dan hiburan. Satu hal yang took me by surprise, dan aku gak bisa bilang aku menyukainya, adalah ujung-ujungnya masalah selesai lewat tarian dan nyanyian. Jenaka, tapi aku akan lebih suka kalo film mengeset elemen ini sedari awal, sedari sepuluh menit pertama. Sebab, dari saat aku menonton, adegan flashback di awal tersebut terlihat kayak melandaskan film ke arah yang totally berlawanan dengan nyanyi-nyanyian. Mereka ngebuild Dracula dengan musuh bebuyutannya, Abraham Van Helsing, manusia yang sangat membenci monster dan bagaimana Dracula bisa meloloskan diri darinya. Dan later, kita mendapat konfrontasi di antara kedua orang ini dalam sebuah show down yang terasa seperti out-of-place buatku.

 

 

 

 

Film yang banyak memakai referensi monster-monster bersejarah sebagai materi komedinya ini memang tidak akan tercatat di dalam buku sejarah sebagai animasi klasik yang berpengaruh besar dalam dunia perfilman. Ia bahkan tak sanggup melebihi film pertamanya, meski aku pikir seimbang dengan film yang kedua. Tapi dia digarap dengan perhatian khusus sehingga menjadi sajian yang total menghibur, namun tidak terasa totally receh. Gila dan tampak kacau, memang, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa diapresiasi oleh seluruh anggot akeluarga yang menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

KOKI-KOKI CILIK Review

“Don’t do something just because you ‘should’”

 

 

 

Daftar menu perfilman tanah air bertambah lengkap berkat kehadiran Koki-Koki Cilik. I mean, film anak-anak aja jarang kita dapatkan, film tentang masak memasak apalagi. Dan Koki-Koki Cilik ini berani dan kreatif sekali menggabungkan keduanya. Enggak sekadar hadir sebagai alternatif penggembira dalam industri perfilman kita; sendirinya Koki-Koki Cilik adalah sajian film yang lengkap dan bergizi tinggi! (Hmmm.. psst… sekiranya ada produser ataupun filmmaker yang baca ulasan ini, aku punya dua cerita yang belum nemu ‘jodoh’ loh; satu  tentang anak-anak, dan satu lagi tentang masakan, bikin juga yuk ahayyy)

Dua hal yang dibutuhkan oleh anak kecil adalah dianggap ‘bisa’ oleh orang dewasa dan mendapatkan kebebasan untuk bermain menyalurkan hobi mereka.  Berdasarkan inilah cerita Koki-Koki Cilik dibangun. Tokoh utamanya, Bima, sudah dikenal sama orang-orang di kampung tempat tinggalnya sebagai anak baik yang suka memasak. Makanya, begitu tabungan Bima dan ibunya ternyata tidak cukup untuk membayar biasa masuk sebuah kemah memasak khusus untuk anak-anak, para tetangga di rumah patungan untuk membantu. Bima senang. Hatinya riang. Di cooking camp yang berlokasi di perbukitan hijau itu, Bima bertemu dengan dua-puluh anak-anak lain yang juga hobi memasak. Mereka bermain bersama, beraktivitas sehubungan dengan memasak bareng-bareng, dan ya berkompetisi. Gol di perkemahan itu adalah memilih juara pertama, yang paling jago masak. Untuk menentukan ini, akan ada babak-babak seleksi segala macem. Buat Bima yang masuk karena murni kecintaannya pada memasak, keadaan di kemah dapat menjadi sangat menekan.  Bima tidak bisa membuat menu-menu modern ala masakan hotel, dia belum pernah makan sushi, dan dia diledek dan dimarahi karenanya. Dia hanya tahu masakan yang tertulis dalam buku resep warisan almarhum ayahnya.  Stress sempat membuat Bima pengen pulang saja, tapi ia tetap berusaha belajar. Dan demi mentor yang ia kagumi di camp, Bima berjuang untuk menjadi koki jawara.

bentuknya boleh gak cantik, tapi masakan Bima punya kepribadian yang bagus

 

Since kita bicara tentang anak-anak dan kompetisi, maka aku akan membandingkan film ini dengan satu lagi film anak yang baru saja tayang, dan sudah kureview; Kulari ke Pantai (2018). Kedua film ini sama-sama menyenangkan, sama-sama sarat pelajaran berharga; mereka melaksanakan misinya sebagai tontonan yang bisa dinikmati oleh anak-anak bareng keluarga. Bukan hanya keceriaan dan tawa yang dibawa pulang oleh penonton cilik sehabis keluar dari bioskop. Akan tetapi, penulisan Koki-Koki Cilik jauh lebih baik. Perspektif tokoh utamanya terhampar kuat. Sekuen-sekuen yang tersusun dalam tiga babak film ini mengalir dengan rapi. Tokoh utama pada Kulari ke Pantai tidak benar-benar merasakan rintangan, kita lebih gravitate ke arah karakter yang lain; Happy lebih relatable buat penonton anak-anak kekinian dibandingkan Sam. Sedangkan Bima pada Koki-Koki Cilik, man, anak ini digempur habis-habisan. Untuk alasan entah apa, kepala koki di kemah itu galak kepadanya. Dia dipandang remeh karena masakannya sederhana.  Dia juga digalak-galakin sama mentornya, Chef Rama (Morgan Oey tampak sudah terestablish sebagai aktor kawakan di sini).

Kita akan konek instantly kepada Bima. Bukan karena dia anak miskin yang perlu menabung setahun untuk bisa sampai di sana, tapi karena dia adalah underdog yang menempuh banyak halangan bahkan untuk terdaftar sebagai peserta saja.

 

 

Film bijaksana sekali dalam membangun tokoh Bima.  Kita begitu peduli saat anak ini menangis dan merasa tidak sanggup melanjutkan, dan kita kembali turut ceria melihat teman-teman camp, yang sudah tersentuh oleh pribadi Bima yang elok, berusaha untuk membuat Bima bersenang hati. Diberikan range emosi yang jauh, enggak gampang buat anak cowok berakting nangis dan merasakan banyak hal menyerangnya dari segala arah, Faras Fatik gemilang memainkan tokoh ini. Bima memang dibuat sebagai anak yang menyebalkan dengan kebawelannya, tapi dia tidak pernah terasa annoying buat kita. Dia adalah anak yang mau belajar. Dia bikin catatan sendiri mengenai masakan. Dia mendengarkan apa yang diajarkan. Dia membuat keputusan yang menguarkan kreativitasnya sendiri. Salah satu kait emosi pada film ini adalah hubungan yang terjalin antara Bima dengan Chef Rama, yang awalnya menolak untuk mengajari Bima – pada dasarnya, Rama menolak untuk terlibat, dia merahasiakan kemampuan masaknya kepada semua orang. Kita diperlihatkan backstory antara Bima dengan almarhum ayahnya. Juga backstory tentang siapa Rama sebenarnya. Dan keduanya akan bertemu, menambahkan kedalaman terhadap kedua karakter ini. Aku suka gimana di babak final Bima membuat keputusan yang menunjukkan dia benar-benar bergerak sesuai pilihan hatinya dan it means a lot karena gentian, kini Bima yang ngajarin Rama suatu hal tentang kemenangan di dalam hidup. In the end, Bimalah yang pulang dengan membawa ‘hadiah’.

Jika ini “Kulari ke Pantai”, maka chef-chef di kamp itu akan menyuruh anak-anak untuk memasak masakan tradisional, mengatakan masakan indonesia akan punah jika tak ada yang memasak. Koki-Koki Cilik, sebaliknya, tahu untuk lebih baik tidak melarang anak-anak melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Film ini paham cara untuk menghargai budaya nasional. Masakan tradisional buatan Bima dinilai paling enak, dan Bima pun tidak segan untuk belajar gimana cara membuat makanan modern. Tidak ada pengguruan secara subtil di dalam film ini. Actually, kita akan menemukan adegan di mana Audrey, juara bertahan yang jadi ‘saingan’ Bima, diminta untuk ngobrol berbahasa Indonesia. Aku juga membahas masalah ini dalam review “Kulari ke Pantai” karena ada adegan yang mirip. Hanya saja,  Koki-Koki Cilik memainkan adegan ini dalam konteks yang enggak menggurui. Bimalah yang meminta Audrey untuk tidak berbahasa Inggris, dan itu karena Bima memang tidak bisa bahasa Inggris. Bima bukan bule ataupun anak yang ngerti Inggris. Jadi adegan ini enggak come-off sebagai ngejudge dan menyuruh, melainkan untuk memberi tahu sedikit-banyak tentang toleransi; kepada bukan saja anak kecil, melainkan kepada kita semua. Mengajarkan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.

sebelum dipake pastikan dulu enggak ada kepala emak-emak di dalam rice cookernya ya, Dek

 

 

Lebih baik memang untuk membuat hal simpel supaya enggak menyulitkan dan gak bikin bosen anak-anak. Film ini enggak melakukan banyak, namun cukup untuk membuat tokoh-tokoh yang ada pada ceritanya hidup dan sukses menghibur kita. Ada anak yang difungsikan untuk total ngelawak dengan lagaknya yang kecentilan sok kayak orang dewasa. Ada anak yang saat tidur juga masih meluk snack. Yang kocak, ada anak yang mengecek data diri peserta lain di internet, dan di layar kita bisa lihat data yang ditampilkan tidak hanya sebatas nama dan umur, bahkan sampai sifatnya “cool, bully” benar-benar tertulis di sana hahaha…  I mean, dari mana yang bikin data tersebut tahu sifat anak itu suka ngebully.

Audrey, si penyendiri,  digambarkan membawa headphone ke mana-mana sebagai bagian dari karakternya. Anak-anak ini, bersama Bima, akan melakukan kegiatan polos khas anak-anak, entah itu membebaskan kambing yang mereka curigai bakal dijadikan bahan pelajaran masak selanjutanya ataupun menransfer kegembiraan lewat telapak tangan. Dan hal yang mereka lakukan itu sangat menyenangkan untuk diikuti. Hubungan antara Audrey dengan Bima juga berkembang menjadi persahabatan yang manis. Semua orang tersentuh oleh pribadi Bima, dari situlah kehangatan cerita ini hadir. Film juga mengeksplorasi bagaimana anak-anak ini berinteraksi dengan orang dewasa di sekitar mereka. Sebagian besar memang ditampilkan polos sehingga menjadi lucu. But on a slightly serious note, film juga memperlihatkan gimana BERBEDANYA ANAK-ANAK DAN ORANG DEWASA DALAM MEMANDANG SEBUAH AJANG KOMPETISI. Pun, cerita tidak berpaling dari konsekuensi. Film tidak punya masalah untuk menghukum anak kecil, demi mengajarkan mereka tanggung jawab. Misalnya ketika ada anak yang ketahuan berbohong dan nyaris membuat Bima dikeluarkan dari perkemahan, anak tersebut dihukum dengan dipulangkan ke rumah.

Kita tidak selalu harus menang untuk ‘menang’. Melakukan sesuatu karena hal tersebut adalah pilihan kita, actually akan berdampak sangat berbeda dengan ketika kita melakukan sesuatu karena kita diharuskan untuk melakukannya. Perbedaan di antara keduanya itulah yang membuat Bima menjadi labih ‘jago’ dibandingkan teman-temannya.

 

 

Aku enggak merasa pengen makan saat menonton film ini. Aku justru jadi kangen bekerja di dapur kafe dibuat olehnya. You know, bereksperimen membuat menu-menu baru dan berusaha untuk menjualnya ke orang. Karena dalam film ini, kita akan melihat anak-anak tersebut masak dan menyiapkan hidangan-hidangan menggugah selera. Well, sort of. Karena yang kita lihat actually adalah proses penyajian makanan secara close-up. Pernah lihat foto-foto makanan cantik di instagram? kurang lebih kayak begitulah masakan dalam film ini. But we do get to see anak-anak tersebut beraktivitas memetik bahan-bahan makanan, menyirami sayuran, ini seperti metafora bahwa mereka perlu memupuk persahabatan sebelum dapat menikmati indahnya.

Bima harus, dan rela, bekerja lebih keras daripada yang lain. Membuat kita ngecheer perjuangan dia. Persis kayak formula cerita serial anime My Hero Academia. Tokoh utama yang justru gak punya kekuatan superhero, ia dipinjami kekuatan, dan dengan itu ia berusaha keras mengejar ketinggalannya daripada yang lain, demi mencapai keinginannya untuk menjadi superhero terhebat. In turn, teman-teman di akademi terkena bias semangat dan kegigihan hatinya. Bima juga begini. Dia yang paling kurang dalam pengetahuan dan teknik memasak, dia butuh banyak bantuan, namun dia tidak berleha-leha dengan bantuan tersebut. Bima yang baik hati justru yang belajar paling giat, memberikan pengaruh positif kepada orang di sekitarnya. Bahkan, hubungan Bima dengan anak cewek bernama Niki juga sama kayak Deku dan Uraraka di “My Hero Academia”. I’m not saying film ini mengopi, kemungkinannya tipis sekali Ifa Isfansyah dan tim di balik film ini menonton anime tersebut. Aku ingin menunjukkan bahwa film ini berhasil menemukan resep cerita yang sama, karena memang beginilah cerita tentang underdog yang menarik ditulis.

Tapi toh ada juga beberapa elemen cerita yang membuatku teringat sama Harry Potter. Seperti pada saat Lima Besar sebelum penyisihan ke Semifinal, Bima dan peserta lain ditantang untuk membuat sushi. Bima membalik-balik halaman buku resepnya, dan dia come out dengan membuat lemper. Seperti Harry Potter yang disuruh membuat penawar racun, dia mencari-cari di buku ramuan si Half-Blood Prince, only to come out dengan lancang menunjukkan bezoar kepada gurunya. Bagian ini mungkin cukup ‘jauh’ dan kelihatan lebih seperti kebetulan ketimbang disengaja. Namun kemudian di menjelang akhir, kita akan lihat ada anak – si Bully – yang berpura-pura tangannya patah supaya Bima berada dalam masalah. Sama seperti Malfoy membuat cedera tangan berkali lebih parah pada film ketiga Harry Potter. Patah tangan di sini adalah insiden yang bisa diganti, mereka tidak harus melakukan ini. Like, ada banyak cara untuk membuat tokoh ini nyalahin Bima, dan mereka memilih insiden yang pernah terjadi di Harry Potter. Sengaja atau tidak, buatku, sudah strike two.

 

 

 

 

Kalo ini adalah makanan, maka ini adalah paket komplit dengan minuman sekalian. Lucu, hangat, musiknya catchy, tidak merendahkan anak-anak, seru karena memberikan kepada kita pandangan dari dunia kuliner. It is a very good movie, dengan skenario yang kuat. Lebih baik daripada Kulari ke Pantai. Saat berurusan dengan anak-anak, kita bisa menjadi sedikit lunak. Aku harap aku bisa ‘lunakkan’ aturan penilaian angkaku karena ini film anak anak, but I won’t. Aku tidak ingin membedakan mereka dengan film orang gede. Dengan script sengelingker ini, cukup disayangkan juga kenapa di akhir cerita hanya Bima yang kelihatannya bener-bener berakhir sebagai koki. Judulnya toh jamak, aku pengen melihat teman-teman Bima mendapat arc yang menutup seperti Audrey. Juga ada elemen-elemen yang membuat film ini tak-terasa terlalu orisinil, meski memang dia mengekspan menu perfilman kita dengan sukses. Semoga filmmaker yang lain jadi ngiler dan kepancing untuk bikin lebih banyak film anak-anak yang berani berkompetisi dengan naskah film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KOKI-KOKI CILIK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

KULARI KE PANTAI Review

“Sometimes it’s a journey that teaches you a lot about your destination.”

 

 

Uang tidak dapat menyelesaikan semua masalah. Tentu, dengan uang kita bisa beli semua barang, kita bisa dapetin semua fasilitas untuk mempermudah hidup. Tapi ada hal-hal tertentu yang tidak bisa diakhiri dengan uang. Melempar uang ke semua hal sesungguhnya adalah salah satu pelajaran terburuk yang bisa kita ajarkan kepada anak kecil. Karena itu tidak mengajarkan kemandirian, malas berusaha. Anak-anak harusnya diajarkan tidak sejumlah uangpun di muka bumi yang bisa membeli hormat dan diri kita sebagai manusia. If anything, larilah ke pantai, untuk mengingat kita bisa menunggangi ombak-ombak itu.

 

Samudra sih enak, ada atau enggak pun masalah, dia bisa lari ke pantai yang tak jauh dari rumahnya di Rote, Nusa Tenggara Timur. Mengendarai ombak dengan papan surf membuat anak ini tampak begitu bahagia. Sam ingin bisa seperti surfer idolanya, Kailani Johnson. Jadi begitu sekolahnya libur, Sam merencanakan liburan menyusur pulau Jawa bersama Ibunya. Dimulai dari merayakan hari ulang tahun nenek di Jakarta, hingga ke pantai tempat Kailani berselancar. Tentu saja di perjalanannya itu Sam juga bertemu dengan sepupunya. Sam melewati dan menemukan tempat-tempat indah di Jawa. Dan pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi saudara sekaligus sahabat yang baik. Dan pengetahuan tentang siapa itu Chuck Norris.

Berlari di pantai tut..tuuu! Berlari di pantai tut..tuuu!

 

Dalam sebuah film roadtrip, kita akan mendapati  tokoh utama jarang sekali mencapai tempat yang ingin ia tuju di awal cerita. Ini karena setelah semua perjalanan yang dilalui, both inner and outer journey,  karakter tersebut akan belajar apa yang mereka butuhkan ternyata lebih penting ketimbang apa yang mereka mau. By the end of the movie, mereka sudah finish sebagai sebuah karakter. Kulari ke Pantai boleh saja agak sedikit berbaik hati lantaran tak ingin mengecewakan bagi penonton anak-anak, namun dari segi ceritanya, bukan hanya Sam melainkan juga Ibunya dan saudara sepupunya, Happy, yang ketemu dan belajar dari orang-orang yang mereka temui dalam perjalanan. Dan kita semua kecipratan oleh-oleh, ada banyak yang  bisa kita ambil dari perjalanan mereka. Selain fakta bahwa film ini bergulir dengan penuh canda yang hangat. Yang ingin merangkul kita semua dalam debur kekeluargaan. Pada satu adegan diperlihatkan Happy terpisah dari Sam dan ibunya, dia merasa takut untuk menghubungi mereka, dan kemudian dia ditenangkan oleh salah satu tokoh yang basically mengatakan keluarga akan begitu sibuk mencemaskanmu sehingga akan lupa marah kepada kita

Hati film ini terletak pada bagaimana Sam dan Happy – dua anak perempuan – yang begitu berbeda. Sam dengan flannel dan kamera fotonya, Happy dengan poni dan kacamata hitam dan handphonenya. Film dengan ceria menyentil bagaimana kita seringkali begitu nyaman dengan teknologi sehingga menganggap orang-orang seperti Sam, yang memotret alam tanpa mengunggahnya ke dalam akun instagram, sebagai orang yang kampungan. Ada momen yang begitu lucu ketika Sam dan ibunya melihat sekumpulan turis seperti mereka yang berfoto di depan Gunung Bromo, tapi mereka berfoto begitu dekat sehingga gunungnya sama sekali tidak kelihatan di kamera. Terkadang kita menukar keindahan alam dengan keindahan artifisial yang kita ciptakan untuk terlihat ‘gagah’ di dunia maya. “No fake” menjadi semacam mantra yang berulang kali disebut dan dilanggar secara aware oleh mereka berdua. Menyaksikan gimana perlahan-lahan mereka mulai saling jujur, mereka membuka ke masing-masing, Sam dan Happy saling belajar dari satu sama lain adalah apa yang membuat film ini begitu menyenangkan…

“..untuk kontemplasi, wuuu-ow!!!”

 

Masalah itu sama seperti perjalanan. Bukan soal  di mana akhirnya, melainkan bagaimana kita menuju kepadanya. Seberapa besar usaha yang mau kita lakukan untuk mencapai ujungnya. Bahkan tak jarang perjalananlah yang mengarahkan kita ke tujuan yang sebenarnya. Dari situlah rasa puas itu berasal.

 

Sebagai seorang karakter, Sam dibuat begitu hidup. She’s so fully realized. Banyak yang tokoh ini lakukan selain hobi surfing. Dia mengambil foto-foto selama perjalanan. Dia menyelipkan hasil jepretannya pada sun blocker di atas, jadi mereka bisa melihat kenangan-kenangan lucu itu di dalam mobil sambil berjalan. Dia suka bernyanyi bersama Ibu ketika mobil mereka melaju. Dia jago berantem, anaknya jagoan. Sam juga punya kebiasaan jelek berupa suka kentut sebelum tidur, dan gak boleh makan atau minum yang ada gulanya. Karena anak yang aktif ini akan berkali-kali lipet pecicilan gak mau diem setelah mengonsumsi gula. Semua aspek tokoh itu dimainkan bukan hanya untuk lucu-lucuan, namun juga berarti dalam pembentukan hubungan antara Sam dengan Happy. Maisha Kanna tampak tak canggung bermain peran, dia hits note komikal sebaik dia tampil serius.

Sayangnya, sebagai tokoh utama, dalam perkembangannya Sam menjadi kalah menarik dibanding Happy. Di cerita ini, stake lebih kerasa buat Happy yang dibesarkan jauh dari alam dan pantai. Alasan kenapa Happy ikut dalam perjalanan Sam dan Ibunya adalah sebagai ‘hukuman’ karena Happy meledek Sam sebagai anak-kampung yang norak. Jadi Happy harus kembali akrab dengan Sam karena mereka sodara. Dan the only reason Happy setuju ikut adalah karena perjalanan ini sebagai syarat dia boleh ikutan nonton konser sama teman-teman gengnya. Dibanding Sam yang sedari kecil udah akrab sama pantai dan alam,  posisi Happy di cerita ini adalah semacam fish-out-of-water. Dia melihat banyak hal yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dia ketemu tipe orang-orang yang sama sekali baru baginya. Dan semakin jauh mereka berjalan, Happy mulai belajar untuk menyukai hal-hal yang ia temui. Dia literally ‘naksir’ sama seorang peselancar yang sebenarnya ia kategorikan sebagai ‘orang kampung’. Perkembangan Happy sebagai karakter melebihi Sam yang di akhir cerita hanya berganti gaya pakaian menjadi lebih girly. Perjalanan karakter ini terasa lebih kuat, Happy punya motivasi, dia melakukan lebih banyak pilihan sulit bagi dirinya, dia bahkan harus take care Sam yang sugar rushnya kumat. I think Happy akan menjadi pilihan tokoh utama yang lebih kuat, but I guess mereka pengen tokoh utamanya bisa berselancar sebagai hal unik yang dilakukan, dan untuk memperkuat kepentingan ‘kenapa mesti pantai’; toh jika Lil’li Latisha tidak bisa berselancar, sebenarnya mereka bisa saja menukar peran antara kedua pemain cilik ini.

Maisha dan Lil’li got spotted oleh Riri Riza dan Mira Lesmana ketika mereka bermain dalam teater musikal Petualangan Sherina. Kedua anak ini belum pernah main film sebelumnya, atau bahkan mengetahui sosok sutradara di balik film favorit mereka, Petualangan Sherina. Jadi, jangan heran melihat Mimi (panggilan Maisha) dan Lil’li begitu excited main di Kulari ke Pantai ini. Saat media gathering di Hotel Kytos, Bandung, dengan semangat khas anak-anak, mereka menceritakan pengalaman mereka syuting, yang bener-bener roadtrip.  Mimi cerita dia harus latihan surfing dulu beberapa bulan, sempet jatuh saat take adegan di atas sepeda, “Rambutku juga dipirangin” katanya ceria. Lil’li dengan bahasa inggrisnya juga mengenang bagaimana dia memang beneran gak suka main ke alam, harus berurusan dengan panas dan bahkan cacing, tapi dia menyukainya karena dia sudah lama ingin bermain film. So yea, sekarang kita tahu kenapa rintangan-rintangan yang dilalui Happy terasa real.

mereka tampak begitu in-character

 

 

Salah satu elemen unik yang dipunya oleh film adalah Happy yang bicara bahasa Inggris dipertemukan dengan seorang bule yang fasih berbahasa Indonesia. Tokoh bule ini somewhat refreshing, dia memberikan warna tersendiri lewat kebiasaan dan tindakannya, meskipun terkadang kemunculannya di sepanjang jalan kerap terasa kebetulan. Aku memang agak terbagi soal karakter ini. Interaksinya dengan Sam dan Happy dan Ibu asik untuk disimak. Tapi ada satu adegan spesifik antara Happy dengan Kak Dani ini yang buatku terasa film menjadi agak terlalu menggurui. Adalah ketika dia menolak diajak ngobrol dengan bahasa inggris dan gentian menyuruh Happy untuk stop berbahasa inggris. It’s cool dia menghormati budaya tempat ia berpijak, ia menggunakan bahasa Indonesia di sini. Tapi menyuruh anak kecil untuk berhenti menerapkan bahasa asing yang ia pelajari, yang anak itu gunakan di dalam lingkungan yang mengerti bahasa tersebut, dengan alasan bahasa Indonesia akan hilang, agak terlalu mendikte secara berlebihan menurutku.

Di awal-awal, di sela-sela product placement yang blatant dan obvious itu, film juga mengangkat dari sudut pandang orangtua Sam. Tentang ayahnya yang seperti dijauhi oleh ayah Happy dan sanak keluarga yang lain, they were giving him cold shoulders, karena keputusan ayah yang mengajak ibu dan Sam pindah ke tempat yang jauh dari keluarga yang lain. Mereka juga secara implisit menunjukkan ketidaksukaan dengan mengomentari betapa Sam tampak semakin hitam dan kumal, rambutnya pirang kusam. Dan ini membuat sedikit tensi antara ibu Sam dengan ayah Happy – mereka kakak beradik. Penyelesaian terhadap plot yang ini, terasa tiba-tiba. Masalahnya beres begitu saja. Aku ingin melihat lebih banyak penggalian tentang masalah ini, dan film mestinya bisa lebih padat dengan actually membahas ini lebih dalam.

 

 

 

Kita tidak perlu uang untuk memecahkan masalah, tapi if we do have money, gunakanlah untuk menonton film ini. Cerita keluarga yang bagus, relatable, yang memfokuskan kepada anak-anak. Menyentil banyak mengenai kecendrungan sosial yang terjadi di sekitar kita perihal teknologi dan modernisasi. Film mengajarkan anak untuk lebih dekat dengan alam, untuk berhenti menjadi pretentious. Tapi filmnya sendiri kadang tampak tampil menggurui, disebabkan oleh tokoh utama yang enggak merasakan stake cerita secara langsung. Bukan Sam yang harus berpura-pura demi diterima dalam geng pertemanan. Meskipun film juga mengajarkan kita untuk enggak keburu ngejudge orang-orang seperti Happy, tapi pandangan dari perspektif Happy akan membuat film lebih dekat – karena penonton diajak berkembang bersamanya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for KULARI KE PANTAI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HEREDITARY Review

“Free will is an illusion.”

 

 

Mengarungi hidup yang penuh konsekuensi, kita seperti berjalan pada sebuah jalur yang begitu banyak percabangan. Setiap kelokan mengarah ke lebih banyak persimpangan. Jika menemui jalan buntu, kita balik dan mengulang kembali dari bagian mana kita salah mengambil jalan. Kita merasa bersalah, merasa berhasil, kecewa, terutama kita bangga kita punya pilihan. Kita bertanggung jawab terhadap arah yang kita pilih. Ini membuat kita percaya bahwa kita punya kehendak pribadi, bahwa kita mengendalikan sendiri jalan hidup kita – bahkan jika kita percaya pada konsep takdir.

Ada tujuan yang sudah dipilih untuk kita semua, terserah kita lah untuk bagaimana mencapainya. Tapi jika demikian, bukankah itu berarti kita tidak punya kehendak pribadi? Apakah masih bisa disebut kehendak jika sedari awal kita sudah diassign untuk suatu tujuan, untuk suatu rencana? Jalan-jalan bercabang itu, kita hanya menapaki – tidak membuatnya? Apakah free will benar-benar hanyalah ilusi – apakah kita ini tak lebih dari tikus-tikus yang berlarian di dalam labirin yang dibuat oleh seorang ilmuwan gila?

 

Keluarga Graham, dalam kasus film Hereditary, tak ubahnya boneka diorama dalam rumah mini yang dibuat oleh Annie Graham sebagai seorang perancang miniatur bangunan. Film tak bisa lebih tepat lagi dalam mengambil metafora pekerjaannya terhadap apa yang terjadi kepada keluarga. Lewat adegan pembuka yang benar-benar creepy – walaupun tak ada penampakan hantu yang kelihatan – kita diperlihatkan pemandangan ruang kerja yang penuh rumah boneka. Kamera ngezoom ke salah satu ruangan, like, kita dibawa masuk ke kamar, untuk kemudian kamarnya ternyata berisi orang beneran, dan kita bertemu dengan anak tertua dan suami Annie; Peter yang masih remaja dan Steve yang tampak penuh pikiran. Dengan segera kita kenalan sama sisa anggota keluarga yang lain, ada si bungsu Charlie; anak cewek ini tampak kayak orang tua dengan lingkaran mata yang mencekung. Dan tentu saja Annie sendiri. Mereka tengah bersiap mengurusi acara pemakaman nenek yang baru saja meninggal. Toh, Annie mengakui dia tidak betulan merasa sedih, karena ia tak pernah dekat dengan sosok sang ibu. Karena sang ibu punya sifat yang tak bisa ditebak dan semacam ‘pengaruh’ buruk. Garis keluarga Annie dipenuhi oleh penyakit-penyakit kejiwaan yang berujung pada kematian ganjil. Namun ‘warisan’ itu tetap tak bisa diputus, ia tetap diturunkan. Annie mulai merasakan penampakan yang tak biasa, anggota keluarga yang lain juga mulai kena imbasnya. Satu tragedi kembali terjadi, kita akan menyaksikan keluarga ini satu persatu terjatuh ke dalam jurang  kegilaan. Turunan darah memang tak bisa ditolak. Either that, atau memang keluarga ini adalah keluarga boneka yang tak punya kendali atas nasib sendiri, mereka hanya ada untuk dimainkan oleh seorang dalang dalam sebuah rencana mengerikan yang besar.

“D-O-L-L-H-O-U-S-E I see things that nobody else sees”

 

Dari adegan pembuka tadi, kita bisa segera tahu bahwa film ini ditangani oleh pembuat film yang benar-benar punya passion dan peduli sama cerita yang ia punya. Ari Aster baru  tiga-puluh-satu tahun, dan ini malahan ‘baru’ film pertamanya. Ini debutnya sebagai sutradara film panjang.Aku yakin tidak ada pecinta film yang tidak terinspirasi oleh fakta ini. I want to be just like him; berani bikin film yang berbobot dan penuh passion. Namanya juga sama-sama Ari. Ngomongin soal free will? Yea kupikir sutradara ini baru saja membuktikan setidaknya ia berjuang untuk mewujudkan kehendaknya.

Tidak ada horror mainstream yang diolah penuh jiwa seperti Hereditary. I mean, beginilah Pengabdi Setan (2017) semestinya dibuat. Kedua film ini punya tema yang sama, ada sangkut pautnya dengan cult alias sekte terlarang. Hereditary, bedanya, berani untuk mengambil akhir yang definitive. Ceritanya tersimpulkan dengan arc tokoh-tokoh dibuat melingkar menutup. Misteri dan mitos seputar sektenya pun benar-benar dibangun. Film ini membuat kita takut pada apa yang terjadi pada tokoh-tokohnya, bukan hanya sekedar takut kepada sosok hantunya. Hereditary menggarap dengan berani dan penuh jiwa seni, dengan tidak mengorbankan keutuhan. Semuanya bekerja sama membentuk sebuah tontonan yang aku gak nyesel membayar harga weekend. Malahan aku pengen nonton lagi meskipun nanti harganya naik lagi menjadi dua kali lipat.

Hereditary paham tidak mesti bergantung kepada penampakan dan hantu yang nyeremin. Tentu, film ini punya unsur supranatural yang kental. Penampakan di tempat gelap, suara-suara yang seolah berasal dari sebelah kita, imaji yang bikin bulu kuduk berdiri, hal-hal ganjil, juga darah dan potongan kepala yang menggelinding – bahkan nekat di-close up untuk nyaris satu menit. Tapi Ari Aster adalah orang yang mengerti gimana cara kerja imajinasi. Apa yang tidak kita lihat akan berkali lipat jauh lebih menyeramkan, karena film ini membiarkan kita untuk menyipitkan mata memandang latar yang diblur ataupun bayangan di pojok wide shot dan menerjemahkan sendiri di dalam kepala apa yang sedang kita lihat. Tak jarang pula kita melakukan hal tersebut dengan menahan napas, siap-siap dikagetkan dengan musik keras. Setiap adegan seramnya dirancang untuk membendung ketakutan dan jerit kita, tapi film tidak membiarkan kita segampang itu untuk melepaskannya. Film dengan kejam menahan ketakutan, kewaspadaan, antisipasi kita sampai akhir banget. Bahkan ketika film usai pun, kita akan masih terus terbawa cemas dan masih terguncang oleh ceritanya.

Aku tak pernah menyangka bunyi “Klok” bisa membuat permen karetku tertelan

 

Bicara horor, berarti kita membicarakan hal yang subjektif. Beberapa hal yang menakutkan bagi orang lain, bisa saja menggemaskan bagi kita, atau sebaliknya. Kecuali kecoak. Boleh saja kalau kalian termasuk orang yang lebih takut sama jumpscare, penampakan yang ngagetin, kalian lebih suka nonton horor yang actually setannya muncul gamblang di depan kamera disertai musik menggetarkan sukma gendang telinga (gendang telinga ada sukmanya gak sih, hahaha) jadi kalian bisa menebak dan teriak barengan teman-teman. Atau mungkin kalian lebih suka nonton horor yang seperti Hereditary, di mana kita akan jarang-jarang melihat hantu, kalian lebih suka merasakan nuansa mencekam yang ditimbulkan, seperti pada Hereditary ini kita akan merasakan kepowerlessan para tokohnya yang semakin retak hubungan dalam upaya berurusan dengan peristiwa mengerikan  yang menimpa mereka. Poinnya adalah, Hereditary bisa saja tidak terasa semenyeramkan itu buat sebagian orang. Apalagi film ini mempercayakan hatinya kepada drama dan tidak segampang itu menghamparkan misteri. Banyak misdirection di babak kedua yang membuat kita tak pasti film ini bergerak ke arah mana, hasil akhirnya tetap dibuat tersembunyi di dalam kabut. Kita dibuat tak tahu harus mengharapkan apa.

Meskipun jika ternyata buat kalian film ini kurang seram, aku yakin kita semua bisa terkonek dengan apa yang dialami oleh para tokoh. Karena pada drama tragedi keluargalah sebenarnya letak hati film ini. Pada kejadian yang benar-benar bisa terjadi pada kita di dunia nyata. Ada istri yang begitu terguncang dan takut akan masa lalu keluarganya, dia ingin lari dan membawa orang-orang tersayangnya jauh-jauh dari masa lalu itu, tapi pada akhirnya dia malah melukai orang-orang yang cintai. Ada bapak yang berusaha tetap tegar (dan waras) karena dia tahu dia adalah kepala keluarga dan keselamatan keluarga bergantung di pundaknya. Ada anak yang menyaksikan perbuatannya berujung pada suatu musibah sehingga ia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Rasa bersalah dan tanggung jawab seperti yang mereka alami tentu saja juga kita rasakan. Menyadari kita tidak benar-benar punya kontrol atasnya sejujurnya adalah hal yang begitu menyeramkan buatku.

Tidak banyak dari kita yang mau begitu saja mengakui apa yang sudah kita lakukan. Mencari yang bisa dipersalahkan adalah langkah yang lebih mudah.

 

 

Dari awal sampai akhir film menyerang kita dengan gambar-gambar dan efek suara yang mengerikan. Penampilan akting yang luar biasalah yang bakal membimbing kita melewati semua itu. Alex Wolff menunjukkan determinasinya dengan membenturkan hidungnya ke meja dalam sebuah adegan yang buatku keren; Peter mengambil alih kendali dalam kelas yang sama ketika dia belajar tentang manusia arogan lantaran masih berusaha meski sudah melihat tanda-tanda yang sudah digariskan. Aktor cilik Milly Saphiro benar-benar sold her role sebagai Charlie, bocah yang disturbing. Dan dia melakukan itu dengan peran yang tak banyak berkata-kata. Permainan ekspresi dan gestur yang menakjubkan. Ultimately, aku berharap Oscar kembali berani untuk mengapresiasi film horor karena penampilan Toni Collette sebagai Annie sungguh akan sia-sia jika tidak diganjar penghargaan. Dia ditantang untuk melakukan banyak emosi dalam satu adegan, dan sesungguhnya jika ini dilakukan ngasal maka Annie akan jadi over-the-top. Toni berhasil menemukan titik seimbang dalam permainan perannya, dia melakukan perubahan dari normal menjadi ‘orang gila’ dengan sangat fenomenal. Dua babak terakhir benar-benar total ia mainkan sebagai ibu yang sudah melewati batas kesabaran, break down karakternya sangat mengagumkan.

Toni membuat karakternya menjadi begitu menarik sehingga ketika dia hanya bicara tentang eksposisi, kita dibuat enggak bosan. Paparan cerita, dialog yang menjelaskan backstory dan misteri, nyaris merupakan aspek yang tidak bisa dihindari dalam film horor. Dalam Hereditary, begitu Annie mulai cerita tentang apa yang terjadi kepada keluarga ibunya di masa lalu, aku tidak menguap, aku mendengarkan dengan tekun, sebab film sudah mengset karakter ini dengan amat baik. Aku peduli padanya, aku ingin tahu apa yang sudah terjadi kepadanya. Dan begitulah salah satu cara menceritakan elemen eksposisi yang benar; buat peduli dulu kepada tokoh yang menceritakannya, bikin ia layak untuk didengarkan.

 

 

 

 

Enggak gampang menemukan formula yang seimbang antara tontonan mainstream dan konsumsi festival. Salah satu horor terbaik tahun ini, ia adalah contoh langka yang berhasil melakukannya. Dia bermain di lingkungan trope-trope mainstream, ada penampakan dan sekte, dan aspek-aspek lain yang sudah pernah diangkat oleh film-film lain. Penanganannya yang penuh passion dan idealisme lah yang membuat film ini stand out. Treatment yang artsy, yang tidak pernah kita lihat sebelumnya. Tragedi keluarga yang diolah menjadi drama yang dapat direlasikan oleh banyak orang yang menjadi pusat film, membuatnya juga kokoh sebagai film art house. Karena horor yang kita dapat di dalamnya sungguh bisa balik terjadi kepada keluarga kita. Inilah yang membuatnya menjadi menyeramkan, karena begitu kejadian kita tahu kita tidak akan bisa lari darinya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for HEREDITARY.

 

 

That’s all we have for now.
Mengenai apa yang sebenarnya terjadi kepada keluarga Graham, tentu saja aku punya teori. Tapi aku tidak ingin merusak pengalaman kalian menemukan sendiri teori ataupun menghalangi kalian yang ingin memberanikan diri menontonnya. Jadi, aku tidak menuliskannya di review. Kalo kalian mau diskusi, kita bisa melakukannya di kolom komen.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

INCREDIBLES 2 Review

“All parents are super heroes.”

 

 

Dipersalahkan padahal kita tahu kita melakukan sesuatu yang benar itu  memang rasanya menyebalkan. Kita sudah berjuang, tapi orang-orang salah mengerti apa yang kita lakukan. Karena semua itu memang soal perspektif. Apalagi pada dasarnya, seringkali kita semua menilai dari hasil. Dalam dunia criminal misalnya, kita pengen penjahat segera ditangkap dan dijebloskan ke dalam bui. Namun kita kerap kesal melihat cara kerja polisi yang lamban, bertele-tele dengan segala prosedur itu. Di lain pihak, keberadaan pihak yang main hakim sendiri, yang bertindak di atas hukum, seringkali dituduh meresahkan.

Katakanlah, pahlawan super.

Kehancuran yang mereka sebabkan bukan tidak mungkin lebih gede dari yang diakibatkan oleh penjahat yang hanya ingin merampok bank. Not to mention, penjahat yang cerdik itu juga tidak seratus persen berhasil ditangkap. Karena kejadian seperti demikianlah, superhero-superhero di film Incredibles 2 dicap undang-undang sebagai sesuatu yang dilarang. Keluarga Bob Parr yang sudah kita kenal baik (mereka dan kerabat mereka tak berubah banyak semenjak terakhir kali kita melihat mereka empat belas tahun silam) termasuk yang dicekal keberadaannya lantaran mereka semua berkekuatan super. Mereka disuruh hidup normal, menghentikan profesi menangkap penjahat karena itu sama saja dengan mereka melanggar hukum.

Pahlawan dan penjahat sebenarnya adalah masalah perbedaan perspektif. Pahlawan bagi satu orang bukan tidak mungkin penjahat bagi beberapa orang lain yang melihatnya dalam ssudut pandang dan alasan yang berbeda. Dan terkadang, untuk membuat hal lebih menarik, media menyederhanakan atribut dan kelemahan mereka untuk menyetir sudut pandang kita – membuat kita melihat mereka semakin ke entah pahlawan atau penjahat.

 

Yang dengan berani disampaikan oleh animasi sekuel buatan Brad Bird ini adalah bahwa terkadang untuk memperbaiki peraturan, kita harus melanggar aturan tersebut terlebih dahulu. Bob dan Hellen diajak kerjasama oleh pasangan kakak beradik yang punya perusahaan telekomunikasi untuk mengembalikan citra baik superhero ke mata masyarakat. Mereka bermaksud merekam semua aksi menumpas penjahat lewat kamera kecil yang dipasang di kostum, supaya pemirsa sekalian dapat melihat langsung sudut pandang superhero, apa yang tepatnya rintangan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam upaya menegakkan kebenaran. Tak peduli harus melanggar bejibun peraturan dalam prosesnya. Tapi untuk melakukan itu, superhero yang dipasangi kamera haruslah main aman, enggak yang gasrak gusruk terjang sana sini seperti Mr. Incredible. Maka, jadilah Elastigirl yang dipilih sebagai perwakilan superhero. Dan selama Elastigirl jadi the face of a good cause, memerangi tokoh penjahat baru bernama Screenslayer yang bisa menghipnotis orang-orang lewat monitor apapun, Bob Parr terpaksa kudu diam di rumah – menjadi bapak rumah tangga yang baik, ngurusin tiga anaknya yang bandel, yang baru merasakan gejolak remaja, dan yang baru tumbuh gigi.. eh salah, baru tumbuh kekuatan super.

sekalian aja Elastigirl bikin vlog pembasmian penjahat

 

Incredibles 2 membuktikan perbedaan besar kualitas antara sebuah sekuel yang dipatok kontrak dengan sekuel yang benar-benar dipikirkan dengan matang. Maksudku, lihat saja bagaimana sekuel yang jaraknya deket-deket kayak sekuel Cars, atau bahkan ada yang jaraknya cuma setahun kayak sekuel Jailangkung – mereka adalah franchise yang diniatkan harus punya sekuel yang keluar dalam batas waktu yang dekat, jadi pembuatnya belum sempat mengolah cerita dengan benar-benar baik. Sebagian besar kasus malah sengaja membagi satu cerita besar menjadi tiga agar bisa punya trilogi. Pembuat Incredibles, Brad Bird, semenjak film The Incredibles (2004) rilis sudah mengatakan akan ada sekuelnya, hanya saja dia tidak akan membuatnya sampa dia merasa punya cerita yang lebih baik, atau paling enggak sama baiknya dengan film yang pertama.

Penantian kita toh benar-benar terbayar tuntas.

Ini adalah salah satu terbaik yang ditelurkan oleh Pixar. Dikeluarkan dengan pesan yang relevan dengan tidak hanya iklim superhero, namun juga keadaan sosial dan poltik di jaman sekarang. Incredibles 2 adalah film anak-anak, namun tidak merendahkan mereka. Film ini mengajak anak-anak untuk memikirkan perihal yang cerdas dan serius. Tentang baik dan jahat, tentang peran keluarga. Brad Bird menceritakan filmnya dengan efektif dan penuh gaya. Sure, percakapan yang ada sebenarnya tergolong berat. Misalnya ada debat antara Elastigirl dengan Mr. incredible soal bagaimana dia akan menyelamatkan anak-anak dengan meninggalkan mereka di rumah. Film begitu mempercayai anak-anak kecil yang menonton bahwa mereka bisa memahami ini. Dan ketika kita menunjukkan respek kepada orang, respek itu akan berbalik kembali kepada kita. Itulah yang terjadi antara film ini dengan anak kecil penontonnya. Bukan hanya adikku saja yang antusias menyaksikannya, studio tempatku menonton hampir penuh dengan bisik anak-anak yang berdiskusi kepada orangtuanya, gumaman approval dari mereka ketika superhero melakukan aksi heroik, dan teriakan seru ketika mereka mengalahkan penjahat. Untuk sekali itu, aku tidak keberatan bioskop menjadi berisik.

Sama seperti ceritanya, animasi film ini juga menunjukkan kedalaman yang luar biasa. Helaian rambut Elastigirl terender dengan sempurna. Kita bahkan dapat serat-serat kain kostum para superhero dengan jelas. Porsi aksi digarap dengan menyerupai aksi live action. Pergerakannya sangat mengalir, cepat, dan tidak membingungkan. Ada begitu banyak momen aksi yang membuat kita menahan napas, karena indah dan menariknya animasi yang digambarkan. Sekali lagi, sama seperti ceritanya, animasi film ini pun terlihat dewasa. Teknik lightning yang digunakan membuat intensitas setiap adegan tampak menguat berkali lipat. Favoritku adalah adegan flashback tentang keluarga Deavor; tonenya sangat precise namun tidak melupakan hakikatnya sebagai film anak-anak.

Teknik visual seperti ini membuatku teringat sama film-film anime berkualitas yang membuat kita bertanya ini kartun anak apa dewasa sih. Incredibles 2 masih tetap konyol, seperti film anak-anak biasanya, ada lelucon kentut dan segala macam, tapi dia bekerja di dalam konteks yang benar. Like, kalo kita berurusan dengan bayi, maka tidak bisa tidak kita akan bertemu dengan popok dan segala macam isinya. Sehubungan dengan anime, tentu saja aku yang lagi getol-getolnya ngikutin anime My Hero Academia menemukan kesamaan antara pesan dan beberapa karakter. Seperti gimana pandangan penjahatnya terhadap para superhero, ada karakter yang kekuatannya sama. Kekuatan teleportasi kayak game Portal itu benar-benar keren. Yang stand out dilakukan oleh film ini adalah gimana dia tidak serta merta membuat superhero dan lantas ahli, ada kevulnerablean manusiawi yang dihadirkan saat superhero gagal menargetkan kekuatannya, dan mencobanya kembali.

Pertukaran tugas dalam rumah tangga tidak dihadirkan sekedar untuk komedi dan gimmick saja. Film ini menghormati kedua pekerjaan yang dilakukan oleh orangtua dengan menukar peran ibu dan ayah. Karena kalo kita pikirkan secara mendalam, tugas sebagai orangtua bagaimanapun juga adalah misi superhero yang sesungguhnya dalam dunia nyata. Bagaimana mereka seringkali tampak kejam dan antagonis di mata anak-anaknya adalah bukti nyata perspektif hero-villain itu bekerja. Butuh kesabaran dan kerja yang ekstra super untuk menjaga anak-anak, menyelamatkan kebutuhan mereka, membesarkan mereka, dan semua itu tergali lewat bagian cerita Bob Parr di rumah. Tentu, menjaga dan mengawasi itu terdengar jauh kalah keren dari bertindak menghajar penjahat. Itulah yang dikeluhkan oleh Bob, dia ingin beraksi. Itu juga yang bikin Violet kesel, kenapa saat melawan musuh harus dia yang disuruh menjaga Jack-Jack, si bayi.

Dilindungi bukan berarti lemah. Mendapat tugas sepele bukan berarti karena kita kurang mampu mengerjakan yang lebih. Karena sebenarnya, menjadi superhero bukan seberapa mentereng tugas dan alat-alat yang kita gunakan. Superhero adalah soal seberapa berat tanggungjawab yang berani kita emban. Berapa banyak amanat yang sanggup kita penuhi.

 

Paralel dengan pembelajaran protagonis, di film ini kita dapat tokoh antagonis yang juga membenci bagaimana penduduk hanya suka menjadi penonton, hanya suka mengawasi superhero yang mereka elu-elukan. Villain film ini berpendapat superhero membuat orang-orang menjadi semakin lemah, tidak bisa melindungi – membuat keputusan untuk diri sendiri. Dia ingin menghukum semua orang yang hanya mau menonton dengan kekuatan hipnotis melalui monitor. Melalui tokoh ini, film juga bicara mengenai ajakan untuk menikmati dunia secara langsung. Ketergantungan terhadap monitor – kalo ada yang belum sadar, kita menatap layar nyaris seluruh waktu dalam sehari kita terjaga sekarang – bahwa kita baru percaya kalo melihat sesuatu yang tayang di monitor, alih-alih melihat dan mengalami langsung, adalah suatu hal yang tak sehat. Panjahat dalam film ini punya motivasi yang bagus. Hanya saja personanya sendiri, gimana film berputar di sekitarnya, tampak lemah. Film memasukkan twist, but not really. Tidak ada surprise yang kurasakan ketika menonton ini. Semua elemen cerita tampak jelas berujung ke mana, siapa akan menjadi apa. Kupikir film yang berfokus pada dilema superhero sebenarnya tidak perlu ada yang dicap literal sebagai penjahat, I would be fine jika ini totally tentang drama keluarga superhero saja. Tapi ini kan juga dibuat sebagai film anak-anak jadi mereka harus punya tokoh yang dijahatkan.

Namanya saja udah terbaca “Evil Endeavor”, mengungkap kedoknya jauh sebelum twist terjadi

 

 

 

 

Film lebaran terbaik yang aku tonton tahun ini, dengan nilai yang jauh di atas. Pixar menunjukkan kematangan sekaligus konsistensi yang luar biasa dalam persembahannya ini. Animasi yang aku tidak tahu ternyata bisa lebih dalem dan menggugah lagi berhasil mereka hadirkan. Cerita superhero yang mengangkat sudut pandang yang jarang dilakukan, terlebih dalam film untuk anak-anak. Tokoh-tokohnya menarik, aksinya seru, kocak, dan jangan heran dan sampai kewalahan saat nonton ini adik-adik kita akan melontarkan pertanyaan yang cerdas. Karena film ini memberikan pesan dan bahan pemikiran yang berbobot di balik aksi kartunnya; untuk kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INCREDIBLES 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

KUNTILANAK Review

Stepparents can be awesome because their love is a choice.

 

 

Bersetting di rumah asuhan yang interiornya dihiasi pajangan-pajangan antik, Kuntilanak berhasil mengejutkanku  – atau kita semua yang belum pernah menyaksikan trailernya – lewat tokoh utama ceritanya yang tak disangka-sangka. Anak kecil loh, dalam film horor. Manalagi film Indonesia yang berani melakukan itu, coba.

Dinda (Sandrinna Michelle diberikan kesempatan untuk membuktikan aktor cilik mampu bermain lebih dari sekedar korban yang perlu diselamatkan), tertua dari lima bocah yang diangkat anak oleh Mama Donna sejak setahun yang lalu, masih mengalami kesulitan untuk mengamini mereka semua sebagai sebuah keluarga. Padahal dia pengen banget, dia pengen punya keluarga, dia ingin berterimakasih kepada Donna. Dalam isaknya Dinda meminta maaf karena ia tidak tahu kenapa ia tidak bisa memanggil “Mama” kepada wanita tersebut. Gadis cilik ini pun berjanji bakal menganggap yang lain sebagai saudara. Pembuktian janjinya lantas tertantang saat sebuah cermin kuno dipasang di dalam rumah sebagai kejutan untuk Donna yang harus pergi ke Amerika. Suara aneh terdengar memanggil Dinda dan anak-anak yatim piatu tersebut tatkala malam. Nyanyian Lengsir Wengi berkumandang mengisi kediaman mereka. Yah, tahulah hal-hal serem yang dating sebagai penghantar penampakan kuntilanak mengerikan yang bermaksud untuk membawa mereka semua satu per satu ke dalam cermin.

kuntilanak sikap wewe gombel

 

Kuntilanak bermain dengan jejeran tokoh anak kecil yang asik. Film ini memberi kesempatan kepada tokoh anak-anak tersebut untuk mengambil keputusan sendiri. Ada yang hobi banget baca buku klenik, sehingga sedikit banyak ia mengerti tentang ‘musuh’ yang bakal mereka hadapi. Tingkah polah mereka semua dibuat sangat menggemaskan. Tentu saja, anak yang paling kecil, dapat dengan mudah memancing gelak tawa penonton, lewat kata-katanya yang kelewat dewasa maupun reaksinya yang polos. Film  berusaha mengeksplorasi hantu dari sudut pandang anak-anak. Mereka, layaknya anak kecil biasa, pengen beli mainan tapi gak punya uang. Jadi, mereka ikut sayembara yang diselenggarakan oleh acara horror di tv; motoin penampakan kuntilanak! Mereka berlima beneran pergi menyusur hutan, menuju rumah angker tempat asal cermin jahat yang dipajang di rumah mereka, dalam misi mulia mengambil potret kuntilanak. Mereka melakukan investigasi sendiri, mereka berusaha memanggil si hantu, tingkah mereka yang begitu innocent tak pelak terasa menyegarkan sekaligus juga menimbulkan rasa peduli kita kepada mereka. Kita tidak ingin mereka bernasib naas. We fear for them. Namun seringnya, kekhawatiran dan kecemasan itu berubah menjadi gelak tawa karena mereka begitu polos. “Kalau ketemu Kuntilanak, langsung difoto ya!” Begitu ringannya perintah salah satu anak saat Dinda berpencar, seolah melihat Kuntilanak itu segampang melihat kancil di hutan saja.

Tapinya lagi, segala kepolosan yang jadi lucu jika kita melihatnya dalam sudut pandang anak-anak benar-benar berjalan dalam garis tipis batas kebegoan. Ada satu adegan ketika Ambar, anak yang paling kecil diculik, dan Dinda melawan sang hantu dengan basically bilang, kami keluarga, culik satu culik semua. Ketika tiba saatnya memperlihatkan tokoh dewasa, barulah segala unsur lucu itu hilang dan film berubah menjadi total bego. Cerita memperkenalkan kita pada dua tokoh dewasa selain Donna.

Yang pertama ada Aurelie Moeremans yang berperan sebagai Lydia, yang dimintai tolong oleh Donna untuk menjaga anak-anak selama ia pergi.  Dan Lydia ini adalah baby sitter paling tak kompeten, paling parah dalam perkerjaannya, di seluruh dunia. Sedari awal saja sudah diungkap dia pernah kepergok pacaran oleh anak-anak. Percakapan mereka membuat kita berasumsi Lydia sedang kedapatan berciuman atau sesuatu yang lebih parah. Kebiasaan dia berpacaran ini lantas berlanjut dengan kita melihat adegan Dinda dan anak-anak asuhan literally bikin rencana untuk menggagalkan Lydia pacaran ketika menjaga mereka. Dan ngomong-ngomong soal menjaga, tidak sekalipun kita melihat Lydia melaksanakan tugasnya itu. Dia selalu absen di adegan-adegan untuk pengembangan karakter. Kita hanya melihat anak-anak. Di momen penting, Lydia malah pamit untuk kuliah sampe sore, meninggalkan Dinda cs di rumah sendirian. Membuat semakin parah adalah Lydia tidak pernah tampak peduli sama anak-anak ini. Dia tidak percaya sama cerita mereka tentang penampakan kuntilanak. Suatu plot poin yang sudah usang di dalam genre horror; orang dewasa yang tidak percaya kepada anak-anak. Dan ini membuat tokoh Lydia menjadi salah satu tokoh paling tak berguna yang pernah kutonton.

Tokoh pacar Lydia juga tak kalah tiada bergunanya. Cowok ini bekerja sebagai host acara televisi yang menyelidiki tempat-tempat angker. Dalam suatu episode acaranya lah, dia melihat cermin kuno dan  ia mengetahui tempat itu santer sebagai sarang kuntilanak, namun dengan sengaja membawa benda tersebut ke rumah Donna. Melihat tindakannya itu, aku bahkan tidak yakin tokoh ini tahu satu ditambah satu jawabannya sama dengan dua.

cermin tarsah versi horror

 

Aku mencoba untuk melihat film ini dalam tingkatan yang lebih dalam. Clearly, film ini bicara tentang keluarga, khususnya orangtua. Meskipun mungkin bagi sebagian besar kita keberadaan ibu dan ayah tampak sepele, namun tidak semua orang punya ibu dan ayah. Tokoh-tokoh dalam film ini either yatim, atau piatu, atau bahkan keduanya. Kuntilanak menggambarkan dengan caranya sendiri bagaimana ketiadaan sosok ibu bisa begitu mengguncang keluarga. It’s hard, bagi sang ayah, apalagi buat sang anak.

Bocah-bocah malang korban kuntilanak itu, mereka cuma ingin bersama dengan ibu. Satu hal yang perlu diingat adalah ketika kita mencari pengganti ibu atau orangtua, bukan berarti kita benar-benar menukar posisi mereka. Tak perlu khawatir kita tidak bisa menumbuhkan cinta, karena if anything, cinta yang ada bisa saja tumbuh lebih besar, karena ini adalah cinta yang kita pilih.

 

Aku bukan ahli dunia perhantuan atau apa, aku tidak dalam kapasitas bisa mengatakan film ini kurang riset atau gimana, namun aku merasa sedikit ganjil terhadap mitos kuntilanak yang diceritakan. Kuntilanak adalah jenis hantu yang paling aku takuti, like, kalo lagi mimpi buruk pasti tak jauh dari aku diuber-uber sama kuntilanak yang ketawa ngikik bilang bacaan ayat-ayat kursiku enggak mempan. Serius deh, bahkan mengetik namanya saat nulis ulasan ini aja aku merinding disko sendiri. Jadi, mendengar nama si kunti disebut dengan bebas, berkali-kali oleh anak kecil di film rasanya sedikit lucu, membuatku berjengit sambil geli-geli sendiri. Dan aku tidak pernah tahu, kuntilanak suka menculik anak-anak, film ini pun tidak menjelaskan motivasi di balik si hantu. Kita tidak mendapat gambaran dari cerita latar atau asal-usul cermin dan penghuninya itu. Film tampak mengangkat mitos kuntilanak dari tanah Jawa, lengkap dengan pakaian adat dan lagu Lengisr Wengi, juga ada paku di puncak kepala. Tapi aku tidak merasa penggalian mitos dan motivasi karakter utama benar-benar menyatu dengan klop dan berjalan paralel.

Film tampak seperti membuat aturan main sendiri. Misalnya pada adegan ending, berkaitan dengan hal yang dilakukan oleh Dinda untuk mengalahkan kuntilanak. I was led to believe, tokoh Dinda akan berkembang menjadi anak yang kesulitan mengakui pengganti ibunya ke semacam membuat sosok ibu bagi dirinya sendiri. Yang jika dikaitkan dengan mitos kuntilanak dan pakunya, aku mengira Dinda akan mendapat ibu baru berupa kuntilanak yang sudah ia ‘jinakkan’. Film sayangnya tidak jelas dalam membahas hal ini. Kita melihat cerita ditutup dengan foto keluarga yang di-close up, tapi aku tidak menemukan keanehan pada mama yang ada pada foto tersebut. Pertanyaannya adalah apakah mama di situ adalah mama kuntilanak, atau mama Donna yang sudah kembali dari Amerika. Menurutku film butuh paling enggak satu adegan yang menunjukkan bagaimana nasib mama Donna, sebab setelah kepergiannya, tokoh ini tidak ada pembahasan lagi.

 

 

Ini adalah salah satu dari film horror Indonesia belakangan ini yang tampil lebih baik (walaupun itu bukan exactly sebuah prestasi), dia mengolah tokoh dan elemen dengan cukup detil dan menutup. Selera humor pembuatnya jelas tinggi, juga keberaniannya mengangkat tokoh utama anak kecil dalam sajian horor. I think kekurangan film ini mainly datang dari penceritaan yang sedikit terlalu melebar. Ada banyak bagian yang mestinya dihilangkan saja; seperti bagian mimpi dua kali, ataupun jumpscare yang melibatkan kucing hitam yang sama dua kali. Menurutku cerita ini bisa dibuat lebih ketat dan terarah, misalnya dengan memulainya dari perburuan foto kuntilanak oleh para anak kecil, terus kemudian berkembang menjadi kita mengenal siapa mereka, dan apa yang harus mereka lakukan. Tone ceritanya agak sedikit kurang bercampur, setelah kita melihat adegan berdarah di awal, cerita menjadi penuh efek suara-suara lucu untuk mengangkat nuansa kocak dan kekanakan. Desain hantunya pun tampak terlalu generik, padahal film ini tampak lumayan dari segi artistik. Mestinya mereka bisa menguarkan gaya sendiri, enggak harus bercermin – apalagi di cermin setan – dari gaya film yang sudah-sudah.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for KUNTILANAK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MARY AND THE WITCH’S FLOWER Review

“To see ourselves as others see us can be eye-opening.”

 

 

Mary and the Witch’s Flower yang datang dari tangan yang sudah membawa The Secret World of Arietty (2010) dan When Marnie was There (2015) kepada kita ini actually adalah animasi paling pertama yang ditelurkan oleh Studio yang bisa dibilang ‘anak’ dari Studio Ghibli; yakni Studio Ponoc. Jadi, tentu saja aku senang. Bahwa masih ada yang mau mewarisi fantasi dan dongeng kanak-kanak simpel di dunia sinematik yang sepertinya begitu sibuk berlomba-lomba membangun universe yang ‘wah’ untuk mencetak uang dan jumlah penonton, tapi nyaris melupakan akar rasa, cipta, dan karsa. Mary and the Witch’s Flower dengan segera menjerat imajinasi kita lewat sekuens aksi yang menguar kuat pesona animasi Studio Ghibli; menawan dengan begitu banyak hal-hal kreatif yang bisa dinikmati. Cerita akan membawa kita ke dalam dunia yang penuh dengan makhluk hidup yang aneh, teknologi yang kelihatan tidak mungkin, simpelnya kita bisa bilang film ini akan membawa kita menonton hal-hal yang mungkin hanya ada di dunia mimpi. Tidak akan pernah bosan rasanya melihat animasi secantik yang ditampilkan film ini, gambar-gambar yang seolah menyeruak lompat keluar dari layar.

Sesuai dengan dongeng yang jadi adaptasi ceritanya, ‘Hero’ kita dalam film ini adalah Mary, seorang anak cewek berambut merah berantakan yang anak-anak banget. Dia gampang tertarik dengan banyak hal, bahkan kerjaan tukang kebun mengikat bunga agar tegak lurus aja terlihat sebagai sebuah tugas yang mengasyikkan baginya. Namun Mary ini anaknya ceroboh. Dia ingin membantu seputar pekerjaan rumah Bibi Charlotte, hanya saja setiap yang ia sentuh berakhir berantakan. Mary sebenarnya bosan, libur musim panas masih seminggu lagi, dia enggak tahu harus ngapain. Mau main juga sama siapa? Anak seusianya yang gak pergi liburan ke luar kota cuma Peter, yang nyebelin karena hobi menggoda Mary. Jadi, Mary memutuskan jalan-jalan ke hutan. Di mana ia bermain dengan dua ekor kucing.  Suatu saat, Mary mengikuti kedua kucing tersebut terlalu jauh ke dalam hutan, sampai ia menemukan bunga biru aneh dan sapu jerami. Karena kecerobohannya, bunga bundar itu pecah, cairannya mengenai tangan Mary, dan hal aneh bin ajaib pun terjadi. Mary jadi punya kemampuan sihir, dia jadi bisa terbang dengan sapu jerami tadi. Eventually, dia terbang menembus awan menuju sebuah tempat fantastis yang mengajarkan ilmu sihir!

bahkan J.K. Rowling sepertinya juga baca kisah “The Little Broomstick”

 

Dari seseorang yang suka kesel sendiri ama rambutnya, Mary jadi dipuja karena rambut merahnya dikenal sebagai ciri penyihir yang sangat cakap. Dari yang selalu fail ngerjain sesuatu, Mary jadi punya kekuatan dan tentu saja tanggung jawab yang enggak kecil. Mary, dalam esensi cerita, harus figure out apa yang sebenarnya ia butuhkan; untuk tetap menjadi dirinya sendiri yang ceroboh dan selalu ‘salah’ dalam ngerjain sesuatu, atau menjadi penyihir yang kuat agar bisa membantu lebih banyak makhluk. Perjalanan tokoh Mary mestinya adalah sebuah perjalanan yang menarik, karena kita pun lebih sering daripada enggak, menginginkan diri kita menjadi sedikit lebih sempurna.

Aku menyebut arc tokoh seperti Mary ini sebagai arc-komik, karena sebagian besar beginilah tokoh-tokoh superhero dalam buku komik mendapatkan kekuatan. Ambil contoh Spiderman. Peter Parker digigit oleh laba-laba dan mendadak dia jadi punya kekuatan super, dia bertanggung jawab menyelamatkan dunia dari orang-orang jahat. Mary mendapat kekuatan sihir dari bunga yang tanpa sengaja ia temukan. Kekuatan Mary, seperti kekuatan Spiderman, bukanlah sesuatu yang pantas untuk mereka dapatkan. Mary bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Di Endor, sekolah sihir yang ia datangi, semua orang begitu kagum akan kekuatan Mary, sementara dia sendiri tahu persis kekuatannya dari bunga – bukan miliknya sendiri. Perjalanan tokoh Mary adalah membuktikan apakah dia pantas punya kekuatan seperti itu, bagaimana jika nanti dia tidak lagi punya. Film ini menceritakan pertanyaan tersebut dengan cara yang lumayan fresh di sepertiga akhir cerita. Hanya saja, aku tidak merasa begitu peduli terhadap tokoh ini lantaran segala perjalanan dan arcnya tersebut enggak pernah terasa begitu jelas, dalam sense penokohan.

Kita ingin untuk punya semua jawaban. Mary benar-benar mewakili kanak-kanak dalam diri kita yang menginginkan perubahan. Kita mau tampak lebih baik untuk diri kita sendiri. Karena kita pikir, orang-orang di sekitar kita menginginkan hal tersebut. Namun kenyataannya adalah, mereka tidak akan melihat diri kita sebagaimana kita melihat ourselves. Kualitas yang kita miliki, hanya bisa dinilai oleh orang lain yang merasakan langsung apa yang kita perbuat demi, untuk, dan kepada mereka.

 

Yang membedakan Mary dengan Peter Parker, atau bahkan dengan Harry Potter sekalipun, adalah kehidupan Mary sebelum dia ketemu bunga dan sapu terbang adalah kehidupan yang minim drama. Jadi ketika dia mendapat kemampuan baru, semua itu hanya tampak seperti ‘mainan baru’ baginya. Petualangan magical tersebut seperti hal menyenangkan yang bisa ia kerjakan selama satu malam. Biasanya, sebuah cerita dengan tokohnya yang mengalami petualangan, tokohnya akan menemukan sesuatu yang integral dengan masalah dalam hidupnya, dan sesuatu yang ia temukan tersebut akan membuatnya belajar, akan mengubah hidupnya. Seberapa besar perubahan yang mereka alami akan bertindak sebagai bukti kesuksesan penokohan. Mary tidak punya masalah apa-apa, selain dia ingin mengisi hari dengan hal yang berguna yang ia lakukan. Di luar keputusan kesatria yang ia ambil di akhir petualangan, Mary tidak benar-benar belajar banyak tentang apapun yang ia alami selama bertualang. Sebagai tokoh, Mary tidak diberikan ‘kerjaan’ yang membuatnya terlalu stand out. Dia hanyalah seorang anak yang enggak bisa mengerjakan apapun dengan baik, sehinggadia mendapat kekuatan yang menyebabkan dia bisa melakukan sihir-sihir yang keren tentu adalah gagasan yang bagus, namun film membuat kekuatan itu tampak seperti hal yang ia temukan, tanpa membuat Mary melakukan hal yang benar-benar signifikan dengan kekuatan tersebut terhadap dirinya yang terdahulu.

bayangkan Rey balik jadi scavenger lagi setelah belajar dan menguasai The Force

 

Adegan pembuka film ini sebenarnya sudah sangat memukau. Sayangnya, tokoh-tokoh yang kita temukan setelah itu tidak berhasil untuk menarik minat dengan sama kuatnya. Malahan, aku merasa openingnya sendiri lebih menarik untuk dijadikan film utuh ketimbang apa yang actually kita dapatkan. Apa yang Mary pelajari tentang sejarah keluarganya tak pelak akan lebih nendang buat penokohannya. Padahal, film ini sebenarnya juga menyinggung soal ilmu pengetahuan dan dampaknya terhadap lingkungan. Tokoh antagonis film ini berencana untuk melakukan rangkaian eksperimen yang membuat hewan-hewan dan manusia bertransformasi menjadi makhluk baru. Sebuah tindakan yang tentu saja melawan etika dan kemanusiaan. Tapinya lagi, selain kerjaan yang jahat ini, kita tidak mengerti apa motivasi tegas dari antagonis untuk melakukan hal tersebut.

 

 

 

Dari segi visual dan musik, film ini sungguh bikin takjub. Adegan pembukanya juga membuat kita geregetan. Aspek teknikal film ini sepertinya tidak perlu dikhawatirkan. Sebagai film pertama, aku punya harapan gede buat Studio Ponoc. Terutama aku berharap mereka dapat bercerita dengan lebih baik lagi, karena apa yang kita dapat pada film ini adalah spektakel yang thrilling, namun naskahnya kosong dalam penokohan, karakter-karakternya masih butuh a lot of work dengan cerita yang mestinya bisa dibuat lebih jelas dan tegas lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MARY AND THE WITCH’S FLOWER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GURU NGAJI Review

“…. we all have the urge to be a clown”

 

 

Tiada yang lebih membahagiakan bagi Mukri selain menjadi guru yang mengajari anak-anak kecil di desanya mengaji. Bagi Mukri, guru ngaji adalah pekerjaan yang mulia. Tapi toh dia masih belum bisa membayar utang, duitnya masih kurang, apalagi buat ngajak istri dan anaknya jalan-jalan ke Istiqlal. Jadi guru ngaji, Mukri dibayar pake sembako. Maka ia pun berusaha di lapangan pekerjaan lain, dengan bayaran berupa duit beneran. Mukri menjadi badut di sebuah Pasar Malam. Kerjaan yang Mukri lakukan dengan sama cakapnya, hanya saja ia khawatirkan akan mengundang malu kepada keluarga. Jadi, Mukri tutup mulut rapat-rapat soal badut ini. Sebagian besar waktu di Guru Ngaji, kita akan melihat Mukri yang berjuang juggling di antara dua pekerjaan. Toh yang namanya diam-diam, suatu saat akan ketahuan juga. Mukri pun harus bersiap menghadapi reaksi dari warga kampung dan keluarganya mengenai pekerjaannya satu lagi yang selama ini ia rahasiakan.

Kesederhanaan yang terhampar membuat film terasa begitu dekat. Sederhana bukan berarti gak cantk loh. Polesan warna membuat film ini meriah, bahkan ketika tempat bukan di lingkungan Pasar Malam. Film ini punya humor, punya cinta, dan punya hati. Para pemain juga membawakan peran mereka dengan tidak sekalipun menjadi over-the-top. Donny Damara menghadirkan sosok ayah yang berjuang di balik masker badutnya dengan sangat meyakinkan, gesture-gestur seperti Mukri yang tidak pernah menatap mata bosnya di Pasar Malam turut memberi lapisan dan kedalaman bagi karakter ini. Guru Ngaji terasa benar-benar down-to-earth sehingga jadi mudah untuk dinikmati semua kalangan. Film ini bicara tentang gimana pandangan orang lain, pandangan dunia luar, masih menghantui orang-orang seperti Mukri. Padahal tidak ada yang salah dengan cari makan. Tidak ada yang ganjil dari berusaha membuat orang yang kita cintai bahagia. Mukri, mungkin memang dibuat sedikit terlalu ‘baik hati’, tapi apa yang terjadi kepada tokoh ini – terhadap pilihan yang dibuatnya – bisa kita jadikan cermin ketika kita dihadapkan pada pilihan yang serupa.

Kita semua berusaha keras untuk membuat yang tersayang bahagia. Tertawa. Kita semua jadi ‘badut’ demi mereka. Untuk apa malu karenanya?

 

Sebenarnya, film punya set up yang menarik. Kita diperlihatkan dua dunia kerjaan Mukri, yang semuanya punya universe sendiri – Mukri bersosialisasi dengan orang-orang dengan ragam kepercayaan dan sudut pandang yang berbeda. Untuk kemudian kita diperlihatkan ke kehidupan rumah tangganya, kita lihat istrinya yang jualan kerupuk tapi matanya ijo lihat kain jilbab baru yang ditawarkan teman, kita lihat anak Mukri dibully karena pinter. Set up di babak awal film mengisyaratkan seolah-olah Mukri nantinya harus berkronfontasi dengan keluarga, dia harus memilih satu di antara dua, yang bakal membawa kita ke false resolusi sebelum akhirnya Mukri menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Aku menunggu-nunggu adegan yang bakal jadi realisasi besar bagi Mukri. Namun Guru Ngaji berjalan dengan sangat lempeng. Konflik-konflik yang dihadirkan beres dengan gampangnya. Konfrontasi itu datang untuk selesai dengan sekejap. Mukri punya keinginan, tapi sedari awal dia sudah tahu apa yang dia butuhkan. Sehingga kita tidak menemukan Mukri sebagai karakter yang banyak belajar. Sisi emosional film datang dari luar seperti Mukri digebukin orang, baju badutnya dirampas, alih-alih dari dia sendiri yang memilih untuk menjadi badut. Seperti jalan cerita filmnya sendiri, Mukri juga sangat lempeng. Istrinya jelas-jelas bohong gak bayar utang, Mukri masih punya tenaga untuk mengikhlaskan. Dan pada akhirnya masalah soal kegilabelanjaan istrinya ini pun dimaafkan begitu saja di akhir cerita.

“usaha maksimal!” kata Deadpool, eh salah… kata badut!

 

Film seperti bingung dalam menggali masalahnya. Mukri akhirnya dikasih ultimatum enggak boleh lagi mengajar ngaji karena warga desa resah sama kerjaannya sebagai badut. Mukri sedih. Di sinilah letak anehnya. Sebagai guru ngaji dia cuma dibayar sembako, enggak dapet respect pula. Saat jadi badutlah baru ia mendapat terima kasih ditambah duit yang ia perlukan untuk bayar utang dan mewujudkan cita-cita, jadi di mana sebenarnya letak masalah? Menurutku, mestinya di titik ini film bisa membelokkan karakter Mukri menjadi lebih menarik. Aku menunggu konflik gede saat Mukri yang dilarang jadi guru ngaji malah tampil sebagai sinterklas di publik. Tapi momen tersebut tidak pernah datang. Film tampak tidak pasti dalam bagaimana mengakhiri kisah Mukri, penyelesaian film terasa sangat dragging, ada banyak momen ketika kita berpikir ceritanya sudah habis ternyata belum, karena mereka menggali di tempat yang salah, serta tidak menanamkan hal-hal yang penting untuk karakter Mukri sedari awal.

Sedikit banyak aku bisa relate sama pilihan yang dihadapi Mukri. Currently aku punya dua pekerjaan, yang satu buka kafe eskrim yang menghasilkan uang, satu lagi sebagai blogger kritik film di mana aku dibayar pake nonton gratis. Jikalau aku dilarang nonton dan diharuskan buka kafe saja setiap hari, aku akan bisa dapat lebih banyak uang, tapi aku tidak akan bahagia karena itu bukan diriku yang sebenarnya. Passionku di menulis, dan buatku itu akan menjadi pilihan yang sulit. Namun pada kasus Mukri, aku tidak dibuat benar-benar percaya bahwa menjadi guru ngaji begitu penting bagi Mukri. Karena sedari awal, film sudah menetapkan perihal duit sebagai stake. Hanya ada satu anak yang kita lihat diajari mengaji oleh Mukri. Sementara saat membadut, dia bikin tertawa banyak anak-anak. Jadi, jika pilihan guru ngaji dihilangkan, aku tidak melihat ada masalah bagi Mukri untuk jadi badut saja – dia dibayar dan membuat bahagia anak-anak.

Cerita berakhir bagi Mukri dengan gampang. Jalan keluar datang dari partner badut yang bermurah hati dan dari anaknya yang jago mengaji. Perihal anak, sebenarnya gak jadi soal asalkan relationship Mukri dengan anaknya dieksplorasi secara fokus sebelumnya. Tapi tidak. Kita bahkan tidak melihat Mukri mengajar anaknya sendiri mengaji. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada Mukri dari ia mulai di awal hingga cerita berakhir. Kerjaannya tetap guru ngaji dan badut. Dia tetap pribadi yang ikhlas. Kalo aku yang punya cerita, aku akan memutar sedikit narasi dan menjadikan Mukri naik kelas sebagai ustadz di desa pada akhir cerita, di mana dia menggabungkan pengetahuan agama dengan showmanship natural yang dimilikinya sebagai badut.

atau malah bikin Mukri turn heel dengan marahin anaknya gaboleh jual ngaji di tivi hhihi

 

Secara berkala kita akan dibawa ke lingkungan Pasar Malam tempat Mukri bekerja, untuk melihat satu subplot yang heartwarming tentang perjuangan cinta partner badut si Mukri, Parmin (penampilan paling emosional dalam karir Ence Bagus). Bagian cerita ini sangat likeable, porsi komedi yang pas hadir dari bagian ini. Akan kocak sekali melihat Yanto (Dodit Mulyanto, seperti biasa sukses deliver komedi dengan ciri khasnya) unjuk gigi dengan motor dan handphone, sedangkan Parmin hanya gigit jari dan terus bermimpi ingin punya motor juga demi merebut hati si cantik Rahma (peran pertama Andania Suri tanpa adegan nangisnya!!) Parmin actually belajar lebih banyak dari Mukri, kita akan melihat dia belajar untuk berani stand up buat dirinya sendiri dan menyadari bahwa dia tidak butuh motor untuk dapat cewek. Meskipun film tetap menggambarkan perubahan Parmin ini dengan ‘aneh’. Maksudku, pertama kalinya Parmin stand up for himself dengan menggunakan sepeda sebagai alat. Dia juga membelikan Rahma helm, yang mana tetap adalah sebuah materi. Dan menggunakan sulap untuk practically ‘nembak’ Rahma – padahal sulap literally adalah sebuah trik. Jadi, adalah sebuah stretch untuk kita bisa percaya apa yang dipelajari Parmin jika kita melihat hal yang ia lakukan sebagai bukti perubahan/pembelajaran karakternya.

Salah satu aspek mengharukan dalam film ini adalah ketika gimana baik Mukri maupun Parmin yang siap menghapus wajah sedih banyak masalah mereka dengan riasan badut yang tertawa, demi tugas mereka sebagai penghibur. Sayangnya, aspek ini juga tidak benar-benar dieksplorasi oleh film. Yang mana adalah satu lagi kesempatan untuk genuinely menjadi emosional yang dilewatkan. Lihatlah betapa kuatnya adegan ketika Mukri masih berdandan badut duduk merenung di belakang rumahnya, kita perlu melihat adegan ‘bentrok’ seperti ini lebih banyak lagi.

 

 

Seujug-ujug film akan menyuarakan pesan toleransi, kerukunan dan saling pengertian dalam kehidupan beda agama, menjadikan paruh akhir film terasa berjubel, tanpa jelas ujungnya di mana. Film ini sederhana, meski ia ceria dalam warna. Kisah komedi dan mengharukan dibuat seimbang sehingga tidak mengganggu tone cerita. Membuat film ini gampang untuk disukai banyak orang. Hanya penyelesaian yang terlalu cepatlah yang membuat cerita menjadi tidak terpatri dengan kuat. Secara teknis, kita masih mendapati editing yang enggak tight, latar yang enggak klop antara frame satu dengan frame berikutnya, juga beberapa obvious dubbing dan stuntmen yang cukup mengganggu telinga serta mata. Jika kalian merindukan film dengan suasana down-to-earth seperti ini, gak ada salahnya coba menyaksikan langsung ke bioskop.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GURU NGAJI.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017