“When women are oppressed, it’s tradition.”
Keabadian memang milik Tuhan, tapi toh ada juga beberapa hal di dunia yang begitu mendarah daging, gak lekang, sehingga jadi sesuatu yang bersifat nyaris seperti kekal selamanya. Represi perempuan dalam sosial masyarakat Indonesia, misalnya. Dalam film terbarunya, Before, Now & Then (Nana), sutradara Kamila Andini menggambarkan bagaimana hal tersebut bertumbuh seperti jadi tradisi – bahwa perempuan dulu, kini, hingga nanti harus menyimpan siapa diri mereka, luka-luka hati mereka, di balik tuntutan untuk tampil lemah lembut dan patuh sesuai fitrah sebagai seorang ibu dan istri. Persoalan ini dituturkan oleh Kamila bukan dalam ledakan emosi, melainkan dengan sama ter-restrained-nya. Film ini, seperti perempuan Indonesia, tampil elok dan menghanyutkan, tapi dengan suatu perasaan tragis di baliknya. Kesan yang ketika ditranslasikan ke dalam bahasa sinema, menjelma menjadi satu lagi hal di dunia yang bakal hidup selamanya; sebuah excellency.
The excellence of execution film ini bukan hanya tertampil lewat visual, melainkan juga dari bagaimana ceritanya terstruktur. Just like any great film should, Before, Now & Then mengerti pentingnya awal, tengah, dan akhir cerita. Kehidupan protagonisnya, terhampar menyeluruh untuk kita simak. Nana boleh jadi menyembunyikan banyak hal pada dirinya kepada orang lain, tapi bagi kita, Nana seperti air – yang tampak tenang meski kelam – untuk diselami. Semua yang kita lalui di masa lalu akan membentuk siapa kita di masa sekarang, dan siapa kita nanti di masa yang akan datang bergantung dari bagaimana kita menyingkapi masa lalu di masa sekarang, apakah kita belajar darinya atau terus tenggelam bersamanya. Tahap fundamental seperti demikianlah yang jadi jalur pergerakan film ini; Nana will go through life, dengan konteks bahwa keadaan di sekitar Nana gak berubah – merupakan sistem mengurung yang sama, sehingga terciptalah konflik personal yang berlayer itu dari sana.
Untuk membuat kita mengerti apa yang bakal bersarang di hati Nana sehari-hari, film membawa kita melihat ke masa ‘before’ Nana. Yakni saat dia dalam pelarian di dalam hutan. Nana yang saat itu menggendong bayi, menerobos hutan bersama saudaranya, Ningsih. Mereka diburu, bukan oleh Belanda, bukan oleh Jepang, melainkan oleh ‘gerombolan’. Gerombolan itu juga yang telah membawa suami Nana, dan yang diyakini Ningsih telah membunuh bapak mereka. Eksposisi ‘before’ yang dilakukan film ini di awal cerita serta merta menjadi opening yang efektif karena bukan saja melandaskan setting serta konflik yang membuat karakter keluar dari zona amannya, tapi juga langsung memperkenalkan kita kepada penceritaan audio visual level tinggi yang dilakukan. Lihat bagaimana film menggambarkan Nana saking rindunya dia sampai gak ingat wajah suaminya. Film menggambarkan ini dengan actually meletakkan sosok suami di kejauhan, like, waaay di belakang layar sosoknya hanya blur saja. Batas realita dengan hal di benak Nana saat itu dikaburkan, sehingga hutan itu jadi sureal, dan dengan konteks mereka lagi diuber-uber (diperkuat oleh musik mengiris di latar), sense ketakutan, sense pengalaman traumatik bisa langsung tersampaikan kepada kita.
‘Now’ dalam cerita Nana adalah lima-belas tahun kemudian. Nana hidupnya tampak nyaman sebagai istri Kang Lurah. Statusnya terpandang di masyarakat. Anaknya sekarang bukan cuma satu, tapi ada empat orang, dan yang paling dekat dengan Nana adalah gadis cilik bernama Dais. Tapi gak satupun dari Kang Lurah ataupun Dais tahu bahwa perempuan yang melayani dan mengasihi mereka itu masih terus dibayangi oleh kejadian di masa lalunya. Tidak, dengan hanya melihat wajah Nana yang ekspresinya sekilas tampak teduh dan tenang. Briliannya film ini memang terutama datang dari bagaimana Nana dimainkan oleh Happy Salma (kalo dari perannya ini cocoknya namanya Sadie Salma) Happy Salma tampak benar-benar mengerti karakter ini, benar-benar paham tugas yang harus ia lakukan dalam memerankan karakter ini. Dia memainkan Nana dengan sangat contained. Dari ekspresinya, dari bagaimana Nana bergerak, dan bahkan dari bahasa. Bukannya mau membandingkan (karena memang bukan apple to apple), tapi film pertama yang membuatku tertarik lebih jauh dengan sinema; tertarik bagaimana film dibuat, bagaimana cerita dirancang, bagaimana menonton itu dapat menjadi sebuah pengalaman adalah Mulholland Drive-nya David Lynch. Karena semua aspek di film itu ‘diatur’ oleh treatment sutradara, dan itu mindblowing buatku. Aku menemukan bahwa Before, Now & Then juga adalah film seperti itu, jadi aku semakin excited. Semua aspek Nana adalah treatment khusus yang dilakukan untuk menguatkan gambaran keterkurungan jiwa yang dirasakan Nana. Judulnya memang gak bohong, keseluruhan Before, Now & Then adalah Nana. Adalah bagaimana Nana berurusan dengan kehilangan, ketakutan, dan keterbatasan yang bakal terus bersama dia selamanya.
Sesuai dengan latar tempatnya, film ini menggunakan dialog full bahasa Sunda. Aku memang bukan ahlinya, ngerti juga gak banyak (aku sebagian besar menyimak obrolan karakter dari baca subtitle), yang kutahu cuma bahasa Sunda ada tingkatan intensitasnya, dan film menggunakan itu untuk memperkuat gejolak perasaan yang dialami oleh karakter. Sehingga percakapan jadi hidup. Anak-anak terdengar seperti anak-anak, perempuan yang ngobrol dengan suami akan terdengar berbeda dengan saat dia ngobrol di malam hari dengan dirinya sendiri, dan sebagainya. Bahasa lantas diperkuat oleh ekspresi. Di aspek ini film sedikit mengambil resiko. Lantaran Nana yang di separuh awal masih berkubang di perasaan terkukung (even tho it’s not her fault) memang bakal tampak melelahkan bagi penonton yang capek bermuram dan berhening terus. Penawar dari Nana akan hadir di pertengahan dalam wujud karakter Mak Ino yang diperankan oleh Laura Basuki. Totally berkebalikan dari Nana. Blak-blakan, berani, lebih cheerful-lah. Momen-momen ringan juga bakal banyak datang dari Ino, yang bakal menularkan vibe ini ke Nana. Hubungan antara Nana dan Ino jadi salah satu relationship penting dalam cerita, karena dari Ino yang awalnya dia anggap sebagai trigger ketakutannya-lah Nana belajar bagaimana ‘membebaskan’ diri. Well, at least dalam perasaannya sendiri.
Tentu ada alasannya kenapa Laura Basuki yang dicast sebagai Ino. Karakter itu bagi Nana awalnya adalah seperti manifestasi dari kehilangannya dulu. Nana yang masih belum melupakan bayang-bayang suami terkait PKI dan antikomunis, melihat Ino yang bermata sipit dan menjual daging lebih dari seorang suspect mistress dari Kang Lurah. Di iklim yang lagi trend pelakor seperti sekarang memang mudah melihat persoalan mereka sebagai perselingkuhan, tapi sungguh film ini lebih dari itu. Ketakutan Nana bahkan bukan benar-benar soal diselingkuhin. Melainkan lebih kepada kehilangan keluarga lagi, kehilangan anak lagi. See, relationship yang lebih penting di film ini dari Nana dan Ino yang akhirnya jadi temenan begitu Nana sadar betapa ‘kuatnya’ Ino sebagai perempuan cina di masa hidup mereka itu, adalah antara Nana dengan Dais. Yang membawa penyadaran bahwa konflik Nana adalah generational, bahwa masalah itu akan turun temurun. Bahwa perempuan akan selalu ditindas mau itu di jaman Belanda, jaman Jepang, ataupun jaman-jaman lain. Salah satu adegan favoritku adalah setelah Nana menyisiri rambut Kang Lurah yang feelnya so serene, film lantas menarik perbandingan dengan memperlihatkan adegan Nana bersama Dais menyisir rambut. Dais menanyakan kenapa perempuan rambutnya panjang tapi malah disanggul, dan Nana menjawab sanggul adalah simbol rahasia yang disimpan oleh perempuan. Ibu anak itu lantas berbagi rahasia. Lalu sepeninggal Dais, Nana mengenang masa lalunya sambil menatap konde, dan lantas dia mengenakan konde itu sebagai simbol menguatkan diri. Gestur Nana nguat-nguatin diri di depan cermin setelah konde terpasang really gets me. Pemandangan bahwa untuk keluar rumah perempuan seperti Nana harus membebat perut, berdandan, menyanggul rambut, itulah bentuk represi diri dalam hal terkecil. Makanya adegan-adegan Nana dengan Ino terjun ke sungai, merokok dengan pakaian dalam, jadi menyentuh sekali bagi penonton. Itulah momen ketika karakter perempuan bisa menjadi diri mereka sendiri. Gak ada rahasia.
Kamila lebih menonjolkan cerita lewat simbol visual dan gerak, dalam usaha membuatnya lebih dalam secara personal. Daripada mengatakan kuat referensi film karya orang luar, aku lebih suka menyebut ini film Kamila yang paling mirip dengan film-film bapaknya. Aku merasa film ini adalah companion dari Kucumbu Tubuh Indahku (2019) karya Garin Nugroho. Karena di situ Garin juga bercerita tentang trauma masa lalu tergambar dalam gerak tubuh, terpetakan dalam tubuh pria yang menjadi feminim. Kisah Nana ini menilik permasalahan itu dari sudut perempuan. Bagaimana pembatasan diri perempuan – saat mereka bahkan tidak bisa bebas mengekspresikan trauma – juga membatasi gerak pada akhirnya. Dalam film Before, Now & Then, Kamila membatasi gerak-gerak aktornya untuk menguatkan kesan ini. Akan ada banyak adegan yang terasa kayak terlalu frame-in, yang terasa kayak teatrikal, demi menyampaikan karakter yang secara inner terbelenggu tersebut. Perbandingan yang menarik perhatianku adalah gerak slow motion yang dilakukan film ketika Nana mengikuti Ino – menatap punggung Ino – saat pertama kali ke ruang potong daging, saat mereka belum kenal, dengan gerak cepat ketika tatapan Nana mengikuti punggung Ino yang meloncat dari tebing ke sungai.
Film tampil balance dengan gak lantas menjadi karakter laki sebagai antagonis. Justru ‘penjahat’nya di sini adalah sistem, yang tak terlawan. Bagaimana masyarakat akan selalu nganggap PKI jahat, bagaimana perempuan bakal terus harus nurut, dan sebagainya. Yang dihadirkan film ini adalah perbandingan. Pada laki-laki represi tentu juga ada, tapi itu jadi problem yang harus segera diluruskan. Bagi perempuan, represi dan opresi adalah tradisi, yang bakal terus berlanjut.
Tentunya aspek surealis gak ketinggalan. Film ini punya adegan-adegan mimpi, punya musik biola yang bisa ngasilin perasaan berbeda setiap kali muncul, dan bahkan ada karakter misterius. Di film ini Nana akan berjumpa dengan perempuan muda yang diperankan oleh Arawinda Kirana, yang muncul setiap kali ada sesuatu yang berhubungan dengan anak-anak. Aku pikir karakter ini adalah manifesti ingatan Nana akan anaknya yang tewas, dan nanti setelah dia juga kehilangan Dais, baru si karakter misterius hadir sebagai Dais. Yang berbisik-bisik kepada Nana. Seperti Dais kecil bisik-bisik kepada Nana. Seperti Ino berbisik-bisik kepada Nana. Inilah yang menghantarkan kita kepada ‘then’. Nana posisinya gak banyak perbaikan di akhir, tapi sekarang dia tidak lagi senelangsa di awal cerita. ‘Then’ juga menanyakan balik kepada kita, gimana ‘sekarang’? Jadi, pesan / statement film ini mirip dengan yang disampaikan Kamila di film Yuni (2021), bahwa perempuan hanya punya perempuan lain sebagai penawar rasa terkukung bahwa sistem yang mendikte posisi perempuan sudah terlanjur mendarah daging. Bedanya, di film kali ini, Kamila menumpahkan uneg-uneg itu ke dalam presentasi yang lebih ‘teknis’, kalo gak mau disebut lebih artsy.
Sungguh kejutan menyenangkan di bulan Agustus, walau agak sedih juga sih tidak menonton ini bioskop melainkan di platform. Tapi film sepersonal ini memang lebih cocok ditonton secara personal pula, jauh dari hingar bingar. Mungkin sekilas tampak berat, tapi ini adalah cerita yang pengen kita tonton berulang-ulang. Bukan sekadar untuk menebak maksud simbol-simbolnya, melainkan juga karena cerita ini dihadirkan sebagai perjalanan personal karakter sehingga mudah terkoneksi. Karena kita mengerti problem karakternya real dan tidak dibuat-buat. Meskipun bisa dibilang film ini terlalu mengatur dengan treatment melingkupi banyak hal mulai dari ekspresi, gerak, hingga bahasa. Kesan yang dihasilkan bukan membuat film jadi kaku, melainkan jadi magis. Dan itu juga sesuai konteks dan bahasan yang coba diangkat film. Yang pada akhirnya jadi buah pikiran lain untuk direnungkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEFORE, NOW & THEN (NANA)
That’s all we have for now.
Lucunya, banyak penonton yang jadi ngeship Nana dengan Ino. Menurut kalian kenapa itu bisa terjadi?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA