“Marriage is never meant to be a power struggle”
Lewat House of Gucci, Ridley Scott mengajak kita mengunjungi kembali peristiwa kriminal yang pernah menggemparkan dunia fashion di tahun 1995. Pembunuhan Maurizio Gucci – yang saat itu adalah kepala dari rumah fashion Gucci – oleh istrinya sendiri. Technically, aku baru saja ngasih spoiler ending film, tapi sebagaimana Scott yang membuat film berdasarkan kasus yang hasil akhirnya sudah diketahui semua orang, kita harusnya gak peduli. House of Gucci bukanlah cerita yang ditonton untuk mengetahui akhirnya apa. Scott membuat ini untuk kita menyaksikan drama power struggle dalam sebuah pernikahan, dan dalam sebuah keluarga besar. Menyaksikan relationship dan konflik yang menyebabkan peristiwa kriminal tersebut bisa sampai terjadi. House of Gucci harusnya adalah drama ketamakan manusia yang sensasional. Namun antara keglamoran dunia fashion, intrik keluarga italia, dan karakter penghuni cerita yang ambisius dan eksentrik, film ini tampil kurang efektif dalam menyuguhkan cerita tersebut.
Bisnis bareng keluarga itu susah. Jangankan bisnis. Barang dipinjam ama keluarga aja, kita segan memintanya kembali. Disetel untuk menjadi cerita sepanjang dua jam setengah, Ridley Scott memang meluangkan waktu untuk mengembangkan drama dan relationship para karakter di balik bisnis keluarga Gucci. Bisnis fashion item dengan drama keluarga. Scott memperlihatkan awal semuanya. Memperlihatkan bagaimana Maurizio Gucci bertemu pertama kali dengan perempuan yang soon-to-be-his wife, Patrizia. Cinta yang mekar tersebut tidak direstui oleh ayah Maurizio. Yang membuat Maruizio rela meninggalkan semua privilege dan kekayaannya, demi Patrizia. Tapi begitu mereka menikah, perempuan dari ‘rakyat jelata’ yang ia nikahi tersebut sadar betapa besar nama belakang yang kini melekat juga sebagai namanya. By then, Gucci yang dibangun sebagai bisnis keluarga sudah jadi brand fashion ternama. Patrizia lantas ‘menyemangati’ Maurizio untuk ikut berkecimpung kembali ke bisnis itu. Cerita kemudian mulai jadi ‘seram’ karena begitu karakter-karakter tersebut mencicipi hasil usaha, mereka pengen nambah lagi dan lagi. Maurizio dan Patrizia bahkan pengen mengangkangi bisnis tersebut sendiri saja, mendepak keluarga yang lain – yang telah membantu mereka. Dan ya, ini tidak berakhir baik bagi mereka berdua beserta seluruh keluarga.
Yang paling kita nikmati pada film ini adalah alurnya. Konflik yang bertumbuh semakin pelik, karena perlahan kita mulai melihat sisi kelam karakter, dan mereka memilih untuk terjun ke dalamnya. House of Gucci seperti terbagi dalam episode cerita yang jelas. Berawal dari romansa, ke perjuangan memajukan bisnis, kemudian berkembang lagi menjadi intrik dan konsekuensi yang lebih kelam. Taring penyutradaraan Scott kelihatan di sini. Dari intensitas cerita yang perlahan semakin membesar. Semakin serius. Kita tahu apa yang bakal terjadi, dan Scott memanfaatkan pengetahuan kita tersebut – katakanlah, spoiler ending tadi – untuk menghasilkan dramatic irony yang kuat. Film ini dimulai dengan kisah roman, supaya kita bisa tumbuh peduli sama karakter Maurizio dan Patrizia. Lalu tantangan bagi film ini adalah membuat dua karakter tersebut punya sisi kelam, mereka melakukan pilihan yang bakal bertentangan dengan moral kita, tapi dilakukan tanpa membuat kita otomatis meninggalkan mereka. Tantangan tersebut berhasil dijawab dengan cukup sukses oleh film.
Maurizio dan Patrizia legit kayak pasangan beneran, dan saat waktunya tiba mereka completely kelihatan sebagai orang egois. Film berhasil menunjukkan kepada kita pengaruh power kepada manusia. Kuasa bahkan bisa menjatuhkan cinta dari singgasana. Supaya elemen ini tidak membuat film serta merta menjadi melodramatis saking kelamnya, Scott berusaha menghidupkan sisi glamor dari bisnis fashion Gucci itu sendiri. Perkara tetek bengek bisnisnya, film sebenarnya cukup berhasil. Cerita tidak jadi membosankan ketika yang kita lihat di layar adalah meeting dan negosiasi. Kita juga gak perlu ngerti fashion atau akrab ama produk Gucci untuk bisa paham. Film menyediakan latar belakang yang cukup lewat hubungan keluarga Maurizio, lewat karakter-karakter unik itu semua. Scott memang melakukan sedikit penyederhanaan. Keluarga besar Gucci tidak semuanya disorot, malah hanya ayah, paman, dan sepupu Maurizio saja yang diadakan di dalam narasi. Scott ingin memastikan ceritanya fokus. Namun masalah yang dipunya film ini bukan dari penyederhanaan tersebut, melainkan dari penyeimbangan yang dilakukan oleh film setelah usaha-usaha memadatkan narasi.
Seperti misalnya pada karakter. Adam Driver memainkan Maurizio dengan tone drama yang simpatik dan serius. Dia inilah karakter yang bakal paling ekstrim menunjukkan perubahan, tapi juga dia yang bakal dapat konsekuensi paling naas. Maka dia jugalah karakter yang harus dibentuk sebagai loveable karakter; kita harus benar-benar peduli padanya. Jika film ini bekerja pada rancangan yang sama dengan rancangan untuk karakter Maurizio seorang, maka film ini bakal jadi drama yang serius. Yang enggak benar-benar sesuai dengan dunia glamor atau keeksentrikan lapangan bermainnya. Dunia desainer dan bisnis. Karakter keluarga Gucci yang lainnya semuanya udah kayak over-the-top. Ayah Maurizio diperankan oleh Jeremy Irons merupakan mantan aktor film yang kini tegas dan idealis. Pamannya, Aldo diperankan dengan looks so easy oleh Al Pacino, karakternya lebih nyantai. Sepupunya, Paolo, udah kayak komedi dibawakan oleh Jared Leto dengan aksen dan sikap yang benar-benar tak biasa. Mereka semua itu udah kayak karikatur jika dibandingkan dengan karakter Maurizio.
Karakter Maurizio butuh jembatan untuk ke mereka, butuh penghubung tone dramatis dengan yang lebih nyentrik. Karakter Patrizia-lah jembatan tersebut. Lady Gaga memainkan karakter yang dibikin romantis tapi juga penuh ambisi. Dan karenanya, Gaga seperti yang paling kena getahnya. Gaga memainkan Patrizia dengan cemerlang, jangan salah. Tapi cemerlang dalam konteks dan fungsi sebagai jembatan di sini berarti Gaga memainkan karakter yang paling gak konsisten pada tone. Pada pembawaan. Dia ada di antara over-the-top dengan drama yang serius. Beberapa momen karakternya (misalnya saat bersama ‘penasihat’nya yang seorang peramal) tampak lucu dan mengundang tawa, walaupun mereka sedang berkomplot untuk suatu tindak kejahatan. Film ini hebat menampilkan fashion dan kostum-kostum. Tapi begitu di Gaga, kelihatannya setengah-setengah. Aku melihat Gaga jauh lebih over-the-top dengan kostum-kostum pada serial American Horror Story: Hotel ketimbang pada film ini.
Padahal Patrizia yang paling kompleks. Dia tokoh utama cerita. Kita bisa melihatnya sebagai banyak. Perempuan yang masuk ke dalam keluarga bisnis patriarki. Jelata yang masuk ke dalam sebuah ‘dinasti’. Orang biasa yang masuk ke dalam lingkaran para pedagang dan seniman. Hampir setiap kesempatan Patrizia diingatkan bahwa dia bukan siapa-siapa. Patrizia ingin benar-benar mengenakan nama Gucci itu sebagai lencana. Bukan sebatas itu, perempuan ini pengen buktiin dia lebih berharga untuk nama dan bisnis tersebut. Namun naskah tidak seketat itu mengikutinya. Pada pertengahan kita sering dilepaskan darinya. Kita juga jarang sekali benar-benar dibuat memasuki pikirannya; ketakutannya, ambisinya, cintanya. Kita baru masuk mendalam lagi ke Patrizia menjelang akhir, dan itu jatohnya malah datar. Kita telah melewati perpindahan perspektif. Ditambah pula dengan tone karakter ini yang di tengah-tengah, susah untuk dengan segera konek kembali kepadanya.
Alasan sebenarnya Patrizia membunuh Maurizio adalah karena dia merasa dikucilkan dari power atau kekuasaan Gucci yang berusaha dia rebut demi suami in the first place. Walau Patrizia memang cinta sama Maurizio, tapi kecemburuannya bukan semata sama suaminya yang dekat ama cewek lain. It is a power struggle. Pada akhirnya kedua karakter ini gagal karena mereka tidak lagi melihat pernikahan sebagai penyatuan kekuatan.
Bagian paling penting yang tidak diperlihatkan detil oleh film adalah momen-momen penangkapan Patrizia. Mungkin karena sudah kepanjangan atau karena bagian tersebut udah tercover oleh berita tentang kasusnya di dunia nyata. Tapi, sebagai karakter utama, sikapnya yang menolak dipanggil dengan nama-belakang asli; hingga detik terakhir Patrizia bersikekeuh untuk dipanggil sebagai Nyonya Gucci, adalah sikap yang penting untuk narasi. Film sebenarnya perlu menekankan adegan tersebut, memberikan lebih banyak konteks, ketimbang memperlihatkan sekilas sehingga malah terkesan kayak gaya-gayaan. Ending film ini mestinya powerful sekali, tapi efek yang dihasilkan tidak maksimal karena naskah yang tak seketat itu ada pada Patrizia. Ujungnya, ya keputusan menjadikan karakter utama sebagai ‘jembatan’ jadi terlihat seperti keputusan yang aneh. Tidak efektif untuk penceritaan.
Cerita yang menyuguhkan begitu banyak ini, baik itu konflik maupun karakter, jadinya kayak sajian prasmanan yang gak semuanya bisa kita nikmati karena tidak benar-benar sejalan atau melengkapi antara satu dengan yang lain. Pada film ini yang tidak sejalan itu adalah tone antara dramatis, kelam, dan kemunculan elemen over-the-top sebagai panggung dunia cerita. Karakter-karakter yang dibawakan seperti parodi aksen berbenturan dengan elemen dramatis, dan sebagai penghubung keduanya adalah karakter utama. Si karakter jadi seperti tak konsisten. Ditambah pula dengan kita tidak selalu berada bersama perspektifnya. Kembali ke sajian; film ini adalah sajian yang mahal, exciting, excuisite, tapi menunya perlu diseimbangkan ulang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for HOUSE OF GUCCI
That’s all we have for now
Film ini bicara tentang bisnis keluarga yang gagal, dalam artian tidak menyatukan keluarga. Justru Gucci kini berhasil tanpa drama keluarga Gucci di baliknya. Bagaimana pendapat kalian tentang seteru keluarga dalam bisnis ini? Mengapa kayaknya susah sekali berbisnis dengan keluarga?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA