A SILENT VOICE Review

“It’s the way you say it.”

 

 

A Silent Voice menampilkan tokoh tunarungu-wicara, namun tidak sulit bagi kita untuk dapat mendengar bahwa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh  anime ini adalah komunikasi merupakan hal yang harus kita pelajari, karena kita semua, kebanyakan, tidak bisa berkomunikasi dengan benar.

 

Aku jadi kepikiran buat mencanangkan November sebagai bulan apresiasi anime sebab sudah beberapa tahun belakangan ini, setiap sekitaran November, aku selalu mendapat suntikan harapan bahwa masih akan selalu ada pembuat-pembuat film anime di luar sana yang berani menembus batas dan mengeluarkan tayangan berkualitas semacam Your Name (2016) dan A Silent Voice ini.  I mean, yea, memang memprihatinkan melihat Studio Ghibli masih harus berjuang secara keuangan, namun ternyata ini bukan akhir dari anime. Aku senang, meskipun aku bukan penggemar anime garis keras. Aku hanya memberikan kredit kepada yang pantas. Dan anime adalah salah satu media yang paling sering dioverlook. Di sini, aku ingin membujuk kalian buat meluangkan waktu dan mencari anime-anime yang baik. A Silent Voice adalah satu yang kurekomendasikan. Aku melewatkan film ini saat tayang di bioskop, dan lumayan nyesel karena ternyata ini film yang bagus banget. Bahkan jika kalian bukan penggemar anime, aku yakin setiap yang menontonnya akan  bisa menemukan apa yang bisa diapresiasi dari film ini.

Pada lapisan yang paling luar, kita bisa melihat film ini sebagai kisah drama relationship antara seorang cowok dengan cewek yang tunarungu-wicara. Tapi cerita ini tidak digarap dengan klise. Ceritanya bicara lebih banyak daripada romansa semata. Film ini menghindari banyak melodrama dan elemen-elemen pemancing baper yang banyak anime bahkan film lain terjerumus ke dalamnya. Tentu, salah satu bagian paling manis film ini adalah bagian percakapan antara kedua tokoh dengan menggunakan bahasa isyarat. Akan ada banyak kesempatan ketika mereka bercakap-cakap, saling melempar bahasa isyarat – dalam diam, semua emosi itu kita baca lewat pandangan mata mereka. Semua itu dapat tersampaikan dengan amat baik lewat animasi yang benar-benar menawan. Ini adalah film yang cantik dan punya cerita yang sangat menyentuh.

‘Menyentuh’ sebenarnya cukup mengecilkan karena apa yang tepatnya dilakukan oleh film adalah; ia menggenggam hati kita, kemudian meremasnya erat-erat. Membuat kita merasa sesak. Nyaris sebagian besar film ini terisi oleh adegan-adegan yang tough untuk ditonton. Terutama jika kalian pernah menjadi korban bully, pernah dikucilkan oleh teman-teman di sekolah. DAMPAK PERUNDUNGAN MENJADI KONFLIK UTAMA yang menyelimuti narasi. Dan film ini tidak ragu untuk menjadi menyedihkan. Namun tidak pernah sekalipun tokohnya meminta kita untuk mengasihani mereka. Film ini melakukan hal dengan sangat berbeda.  Biasanya film-film akan menempatkan kita di sudut pandang tokoh yang paling gampang dikasihani, dalam kasus film ini; sudut pandang Nishimiya, si cewek tunarungu-wicara yang dibully. Kita sudah pasti akan menginginkan Nishimiya untuk hidup bahagia. Film ini paham membahas dari perspektif demikian hanya akan membuat cerita menjadi terlalu dramatis dan kurang menantang. Jadi, cerita menempatkan kita di belakang Shoya Ishida, cowok yang tadinya paling getol ngebully Nishimiya.

senjata makan tuan adalah ungkapan yang tepat

 

Saat masih duduk di kelas enam, kelas Ishida kedatangan murid pindahan. Seorang anak perempuan yang membawa buku catatan ke mana-mana karena ia begitu bersemangat untuk mengobrol dengan teman-teman baru. Nishimiya tidak dapat mendengar, ia tidak dapat berbicara dengan lancar, jadi dia menggunakan tulisan untuk berkomunikasi. Teman-temannya disodorkan buku sebagai cara untuk bicara kepadanya. Tak butuh waktu lama bagi teman-teman satu kelas untuk menganggap Nishimiya merepotkan. Apalagi ketika mereka disuruh belajar bahasa isyarat, wuih Ishida langsung menertawakan. Di saat teman-teman yang lain mulai menjauhi Nishimiya, Ishida menjadikan anak itu bahan candaan. Dia meledek cara Nishimiya berbicara. Dia membuang buku komunikasi Nishimiya ke kolam. Ishida bahkan nekat mencabut alat bantu pendengaran dari telinga Nishimiya dan melemparkannya ke mana-mana. Eventually, hal tersebut membuat Nishimiya pindah dari sekolah mereka. Ishida pun dikecam teman-teman yang lain sebagai tukang bully kelas kakap, sekarang gantian ia yang dijauhi. Dikucilkan. Dan dikerjai oleh anak-anak satu sekolah. Kemudian film akan membawa kita melompati beberapa tahun hingga Ishida SMA. Dan yang kita lihat tidak lagi anak laki-laki yang ceria, melainkan seorang cowok yang begitu sendirian, tak punya teman, traumatized oleh kelakukan masa kanak-kanaknya sendiri.

Normal bagi anak kecil untuk menggoda, mengganggu, teman yang mereka sukai. Karena begitulah cara mereka berkomunikasi. Kekanakan, kata orang. Namun, Ishida tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan mengerti itu. Sudah terlambat untuk dia mengerti apa yang ia lakukan sudah kelewat batas, segala yang ia lakukan berbalik kepadanya. Dia tumbuh menjadi cowok dengan trauma mendalam oleh derita yang ia berikan kepada orang lain. Begitu traumanya sehingga dia tidak mengerti apa itu teman, apa yang membuat seseorang bisa dianggap sebagai teman.

 

Biasanya dalam anime romantis kita dapat dua tokoh yang saling menyintai dan mereka terpisahkan oleh sirkumtansi dari luar, entah itu jarak ataupun hal lain. Dalam A Silent Voice, Ishida dan Nishimiya benar saling menyintai, tapi masing-masing mereka merasa bersalah – sudah melakukan hal mengerikan di masa lalu – sehingga mereka tidak tahu harus bagaimana untuk meruntuhkan tembok itu, bagaimana harus menjadi teman. Kita melihat usaha Ishida untuk mencari keberadaan Nishimiya saat mereka remaja. Ishida sungguh-sungguh belajar bahasa isyarat, karena dia menyangka karena tidak bisa saling bicara itulah masalah mereka. Tapi redemption itu tak kunjung datang kepadanya.

bahkan setelah gede pun kita masih paling sok kasar sama orang yang disukai

 

Komunikasi itu bukan masalah suara. Komunikasi bisa berbentuk apa saja. Akan tetapi, Ishida remaja bahkan menolak untuk kontak mata dengan orang lain. Dia tidak lagi tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan orang, dia takut salah, takut dipersalahkan. Film ini mengambil langkah kreatif yang sangat kuat dalam menggambarkan keengganan dan ketakutan Ishida terhadap suara-suara sosial. Wajah semua orang di sekitar Ishida akan ditempeli tanda silang gede. Ketika ada orang yang mengajaknya bicara, berusaha berhubungan dengan Ishida, barulah tanda silang ini terlepas jatuh ke lantai.

 

 

Lebih memfokuskan kepada struggle yang dihadapi oleh remaja seperti Ishida, juga Nishimiya, film ini adalah studi karakter yang sangat relevan, terutama lantaran banyak anak-anak di luar sana yang juga berurusan dengan masalah perundungan. Korban maupun pelaku, semua kena dampaknya. Film ini dengan berani membahas semua itu, dengan lingkupan sudut pandang yang berbeda. Namun dua jam lebih durasi itu bisa sangat memberatkan, apalagi film ini begitu menoreh hati kita, it’s hard to watch sometimes. Penting bagi film untuk memperlihatkan interaksi antara Ishida dengan tokoh selain Nishimiya, akan tetapi masih banyak kita jumpai adegan-adegan percakapan antara para tokoh sampingan ini yang enggak begitu mempengaruhi atau menyumbangkan bobot emosi kepada fokus cerita. Film mestinya bisa memangkas beberapa, membuat cerita lebih ketat. Di luar itu, ini adalah film penting, and I really like it. Serta menurutku, film ini masih memiliki lapisan lain yang bisa kita eksplorasi, karena ada beberapa bagian yang sangat tersirat seperti reinkarnasi ataupun kenapa kita tidak pernah diperlihatkan wajah kakak Ishida, yang belum sepenuhnya aku mengerti.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for A SILENT VOICE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

JIGSAW Review

“If you obey all the rules, you’ll miss all the fun.”

 

 

Kita kadang suka ngeyel kalo dilarang, kalo dikasih aturan-aturan. Di mana asiknya hidup kaku, apa-apa gak boleh. Peraturan kan dibuat untuk dilanggar. Well, coba deh pikir lagi. Prinsip tersebut tidak bakal banyak berguna dalam menyelamatkan nyawa, jika kalian tertangkap dan dipaksa bermain X-Factor maut oleh Jigsaw. Kunci selamat dari jebakan-jebakan maut John Kramer memang sesederhana itu; ikuti aturan – terkadang malah disebutkan harafiah olehnya, dan kalian akan bisa melihat mentari besok pagi. Masalahnya, ngikuti aturan tidak akan pernah sesimpel kedengarannya.

Pengalamanku mengenal film ya dimulai dari nonton film-film berdarah kayak gini. In fact, dulu aku hanya nonton slasher, thriller, horror, aku menikmati adrenalin rush dari ngeliat orang dikejar-kejar oleh monster berparang nan menyeramkan. Aku terhibur sekali melihat tokoh-tokoh bego menemui ajal secara menggenaskan karena ulah tolol mereka sendiri. Dan setelah nemu film Saw yang pertama (2004), aku jadi sadar bahwa film sadis enggak melulu musti bego. Bahwa ada metode di balik kegilaan para pembunuh berantai. ADA PERATURAN YANG MEREKA TAATI. Akar Saw adalah elemen psikologis yang membuat kita berpikir soal apa kesalahan para korban karena kita bisa melihat palu justifikasi yang disandang oleh pelaku. Kenapa mereka pantas berada di sana. Hukuman-hukuman Jigsaw dirancang untuk ‘menyembuhkan’ penyakit para korban – untuk membantu mereka menghapus dosa. Pada film pertama, elemen ini begitu kuat terfokus, dan itulah yang membuatku selalu menantikan sekuel-sekuelnya. Meskipun setelah film yang kedua, franchise Saw semakin melupakan akar psikologis dan malah berubah menjadi ‘torture porn’.

cap cip cup kembang kuncup

 

Seri Saw harusnya sudah berakhir di film ketujuh yang tayang di tahun 2010. I still remember it fondly, itu pertama kalinya aku nonton Saw di bioskop. Dan filmnya memang jelek, terburuk di antara franchise ini kalo boleh kutambahkan. John Kramer – dalang di balik jebakan Saw – sudah lama mati (sejak Saw III) dan setelah itu ceritanya jadi fokus antara persaingan anak-anak murid Kramer. Tujuh tahun setelah itu kita  mendapati lima orang diculik dan diperangkap dalam permainan penuh jebakan maut. Pesan suara dikirim kepada kepolisian, menantang mereka sekaligus ngasih tahu Jigsaw Killer sudah kembali. Siapa di baliknya? Sekedar peniru ataukah Kramer beneran hidup lagi? Aku excited banget duduk nonton film ini, terlebih karena Jigsaw ditangani oleh, tidak hanya satu melainkan dua orang sutradara – Michael dan Peter Spierig – yang sama sekali belum pernah terlibat dalam franchise Saw. Jadi, aku tahu kita bisa mengharapkan pembaruan besar-besaran.

Perubahan yang Spierig Bersaudara lakukan terletak pada gaya film. Jigsaw lebih terlihat LEBIH CINEMATIK  berkat pilihan aspek rasio layar yang mereka pilih. Kesannya lebih serius dibandingkan beberapa sekuel terakhir Saw yang lebih kelihatan seperti serial TV. Tidak lagi kita jumpai editing quick-cut antara jebakan dengan wajah korban. Efek suara aneh dan teriakan over-the-top pun juga dihilangkan di sini. Jebakan-jebakan pada Jigsaw tidak sesadis seri-seri terburuk Saw, makanya semua adegan film ini jadi bisa lolos dari gunting sensor badan perfilman tanah air.

 

“Hello, filmmakers.

I want you to play a game.

Ada penggemar yang suka Saw karena elemen psikologis dan mereka terganggu sama efek darah dan gore yang berlebihan.

Ada penggemar yang totally haus darah dan semakin sadis jebakan, semakin menggelinjang mereka.

Pilihlah dengan bijak”

Begitu kiranya kata boneka badut bersepeda kepada mereka, dan mereka melanjutkan dengan mengambil pilihan yang aman. Film ini enggak benar-benar liar dalam nampilin gore, banyak adegan berdarah namun tidak bikin kita bergidik dan pengen muntah ngeliatnya. Seperti pada film pertama, Jigsaw banyak mengcut dim omen-momen yang tepat dan membiarkan imajinasi kita membayangkan apa potongan paling besar yang tersisa dari tubuh korban. Di lain pihak, film juga tidak kontan kembali ke ranah psikologis. Jigsaw tampak ingin memuaskan kedua golongan penonton, film berusaha mempertahankan sekaligus menyeimbangkan aspek-aspek khas franchise Saw.

Akibatnya, Jigsaw tidak melakukan hal yang benar-benar baru. Film ini ngikutin formula dan ‘aturan’ yang sudah ditetapkan oleh pendahulunya. Kita dapat dua cerita kali ini. Sekelompok detektif yang berusaha mencari tahu siapa pelaku di balik kasus jigsaw yang baru. Dan tentu saja ada sekelompok orang berdosa yang sedang diuji nuraninya, terkurung di suatu tempat. Tokoh-tokoh ini pun generic sekali, kita udah pernah dapet yang serupa. Mereka selalu adalah Si Tenang dan Pintar, Si Clueless, Si Baik Hati, Si Egois, dan Si Paling Nyusahin Mati Aja Lo!

The Deadfast Club

 

Kedua cerita ini, however, akan bertemu di babak ketiga, di mana bakal ada big reveal – twist yang membuat kita “ooh begitu, njir keren banget gak kepikiran!” Inilah yang membuat aku kecewa. Sebab, aturan memang ada untuk dilanggar, ngikutin aturan hanya akan membuat kita melewatkan hal-hal yang menyenangkan. Dalam kasus ini, dengan begitu ngikutin formula, film Jigsaw melewatkan kesempatan melakukan pembaruan yang asyik. Tujuh tahun, dan tetep aja tidak ada alasan menarik atas kembalinya franchise ini, selain studio ingin memperkenalkan ulang Saw.

Aku berharap lebih dari sisi cerita. Aku tidak ngerasa peduli-peduli amat sama lima orang yang tertangkap, ataupun kepada lima polisi yang berusaha melacak Jigsaw. Mereka sebenarnya berjalan paralel, kejutan yang disiapkan oleh film lah yang tidak. Dan dari standpoint kejutan ini, Jigsaw buatku adalah salah satu sekuel yang punya twist jinak dan dapat ditebak. Maksudku, kita sudah dibekali dan belajar dari tujuh film sebelum ini, dan Jigsaw tidak melakukan hal yang baru. So yea, we saw that twist coming. Dan menurutku, twistnya ini hanya bekerja kepada kita para penonton. Jika kita memposisikan diri sebagai salah satu detektif, kita tidak akan melihat hebohnya pengungkapan di akhir. Kita tidak ngerasain apa yang dilakukan oleh si Jigsaw. Yang akan kita tahu hanyalah mayat-mayat ditemukan, dan dari mereka ada petunjuk yang membawa kita ke sarang Jigsaw yang baru. Kita tidak akan ngeliat efek pintar dari dua timeline yang diparalelkan. Jadi memang twistnya lebih terasa seperti menipu. Kita akan merasa “wah, ternyata dia! Bagaimana bisa?!!” lalu terungkap lagi kenyataan setelah false resolution yang bikin kita “oh ternyata enggak”

Mengakui kesalahan itu enggak gampang. Apalagi mengakui orang lain benar, dan kita salah. Perangkap Jigsaw adalah tentang mematuhi aturan, mematuhi mana yang benar. Jangan injak, jangan melarikan diri, jangan tembak – dan orang-orang tetap melakukannya. Jigsaw memperlihatkan kepada kita bahwa di saat nyawa di ujung tanduk pun, kebanyakan orang masih berusaha menentang perintah atau aturan yang diberikan, demikian beratlnya mengaku dosa.

 

 

Untuk sebuah kejutan setelah tujuh tahun, film tidak berubah banyak selain secara gaya penyajian. Aku memang sedikit kecewa, namun juga tidak menyangkal aku terhibur. Ini adalah sajian yang lebih baik daripada kebanyakan sekuel Saw. Tidak lagi dia menjadi fokus ke alat-alat penyiksaan, film ini tidak terlalu sadis, pun tidak terasa begitu psikologikal. Berada di level oke di mana para penggemar beratnya tidak akan keberatan menyukai walaupun filmnya tidak luput dari banyak kritikan, karena toh sejatinya banyak kekurangan dari standpoint cerita. Yang harus diingat cuma satu; tidak ada peraturan baku bahwa kita hanya boleh suka sama film-film bagus. It’s your choice.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for JIGSAW.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

HUJAN BULAN JUNI Review

“Love is walking in the rain together”

 

 

 

Previously on My Dirt Sheet:

Writer: “Oke ehem.. jadi, ini adalah film tentang seorang pengemudi bus yang menulis puisi..”
Studio: (tanpa mengangkat kepala, pura-pura baca sinopsis padahal lagi ngeliatin foto ibu guru si Amel di hp) “Terus? Terus? Ntar bomnya di mana?”
Writer: “anu.. enggak ada bom.. dia cuma nulis puisi.”
Studio: “Enggak ada bom? Teroris ada? Kebut-kebutan di jalan harus ada sih ya, biar seru.” (sinopsisnya sekarang dijadiin kipas, maklum gerah mau ujan)
Writer: “umm..bisnya ntar sempat rusak sih sekali.. electrical problem gitu..”
Studio: “Bisnya enggak bisa jalan-jalan ke luar negeri dong? Cinta segitiganya mana? Vampirnya?”
Writer: “e..e..enggak ada”
Studio: (ngobrol di telepon)
Writer: “gimana he, Pak?… Pak?”

 

Di atas barusan adalah kutipan dialog yang kutulis Februari silam di halaman ulasan Paterson (2016), sebuah film puisi yang begitu mengena walaupun digarap dan bercerita dengan teramat sederhana, sehingga membuat aku takjub membayangkan usaha keras yang punya ide untuk menjadikannya sebuah film. Karena bikin film itu sudah susah sejak dari tahap meyakinkan yang punya dana bahwa cerita kita menjual. Studio, produser, atau PH  pengen jaminan duit kembali; yang biasanya berupa cerita yang sudah laris sebagai novel, apalagi kalo cerita dengan tema cinta yang bisa bikin baper. Hujan Bulan Juni berawal dari puisi, yang kemudian dipindah duniakan menjadi novel dan banyak lagi sebelum akhirnya, berdasarkan novelnya, mengambil wujud sebuah film yang sedang kita bicarakan sekarang.

Hujan Bulan Juni adalah kelanjutan dari apa yang terjadi kalo penulis Paterson mengalah kepada studio dan membiarkan ceritanya dirombak susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan aspek-aspek yang ditujukan demi menjadi ngepop.

 

Sepasang dosen UI yang sedang saling cinta. Pingkan yang dosen sastra Jepang dengan Sarwono yang asli Solo mengajar di Antropologi. Informasi ini dengan cepat melandaskan kepada penonton bahwa jarak akan dengan gampang menjadi musuh mereka. Pingkan hendak distudikan ke Jepang selama dua tahun, sedangkan Sarwono jelas harus bepergian di dalam ruang batas wilayah Indonesia. Menjelang waktu keberangkatan Pingkan, misalnya, Sarwono ditugaskan ke Manado. Pingkan yang berkampung halaman di Manado dibawa serta, “Aku butuh guide. Setiap saat aku butuh kamu.” Tampaknya bukan jarak saja yang menguji coba cinta mereka; kedekatan Pingkan dengan sepupu angkatnya, keakraban Pingkan dengan sejawat dari Jepang, perjodohan, beda kepercayaan, dan rasa percaya itu sendiri. Pingkan bukan tak menyadari. Cinta adalah usaha. Sebuah misi. Dan ini adalah tentang siapa yang berusaha di dalam cinta.

Sarwono, Katsuo, Solo, Manado, karena puisi ada rima maka nama Pingkan mestilah Pingkan Mambo!

 

Sosok penyair yang sudah menulis puisi dan novel Hujan Bulan Juni yang udah sukses bikin baper banyak orang dapat kita saksikan dalam film ini. Sapardi Djoko Damano kebagian peran singkat sebagai ayah dari Sarwono. Dan aku enggak tahu seberapa besar peran beliau di dalam pembuatan film ini, apakah hanya sebagai cameo atau punya andil yang lebih besar lagi. Karena to be honest, aku berulang kali mengucek mata saat menonton. Mengucek bukan karena ngantuk bosen, tetapi mengucek karena aku tidak percaya pada apa yang kulihat. Dan kuharap dugaanku benar bahwa penulis puisinya tidak banyak campur tangan. Ada begitu banyak pilihan yang diambil oleh film, yang membuat keseluruhan presentasinya terasa disulam tambal oleh aspek-aspek yang enggak bekerja dengan baik dalam konteks memfilmkan puisi.

Bait-bait puisi kerap muncul di layar, disuarakan oleh para tokoh. Bayangkan seperti voice over narasi, namun yang ini berupa bacaan puisi. Bukanlah seberapa indah kata, melainkan seberapa besar kata tersebut menyampaikan rasa. Masalah film ini datang ketika ia memindahwacanakan bahasa kata-kata itu ke dalam bahasa gambar. Kutekankan sekali lagi, ini bukan masalah source materialnya. Puisi Sapardi bergaung lantang oleh kata-kata yang mencerminkan rasanya. Namun saat menjadi film, puisi dan segala keadaan diolah TERLALU CATERING KE BIKIN PENONTON BAPER – tanpa benar-benar memikirkan apakah sudah diset-up, apakah worked atau enggak. Misalnya kalimat “Apa angin sudah sampai ke situ, tadi aku titip salam buat kamu ke dia” yang dikirim Sarwono lewat pesan Whatsapp. Kalimat tersebut puitis dan bekerja baik jika dituliskan di buku, dikirimkan secara tidak langsung, dan si Pingkan baru membacanya ketika dia merasa sangat rindu. Namun ketika Sarwono ngeWA, bilang langsung, kontan itu adalah pesan paling gombal yang pernah dikirimkan oleh seseorang lewat hape. Kesan puitisnya berkurang drastis sebab, hey Whatsapp itu practically langsung bicara ke orang, kita bisa bilang rindu tanpa muter-muter bragging bilang nitip salam ke angin.

Dosen-dosen itu bicara bahasa puisi, tetapi most of the time ketika lagi dua-duaan, mereka terutama  Pingkan terdengar kayak remaja yang lagi pacaran. Mungkin memang benar cewek kalo lagi bareng orang yang dicinta akan bertingkah seperti anak kecil, dan film sering menampilkan seperti itu sehingga aku sering lupa sedang menonton orang dewasa. Velove Vexia memainkan peran yang cenderung gampang buat dirinya, she hits the notes just perfectly. Adipati Dolken sekali lagi bermain sebagai karakter yang bisa dikatakan cenderung posesif. Sarwono digambarkan sebagai tokoh yang kelewat insecure. Kerjaannya cemburu, malah ketika Pingkan lagi nari pesta sama keluarga, si Sarwono ngeliat cemburu sampe menimbulkan efek trippy di kamera hhihihi… Dolken di sini seharusnya jadi orang Jawa, but he’s not really good at it. Dan ketika membacakan dialog-dialog panjang yang subtil, ataupun dengar ketika dia berpuisi, dia melafalkannya dengan kayak orang lagi ngafal teks banget. Aku enggak bisa melihat Sarwono sebagai seorang penyair. Buatku, departemen akting diselamatkan oleh Baim Wong yang berperan sebagai sepupu angkat Pingkan. Wong sangat underrated di Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017), dan kali ini pun dia mencuri perhatian. Dia menghidupkan dinamika antara Sarwono dan Pingkan.

Sudah semestinya Sarwono cemburu, spotlightnya direbut oleh Benny

 

Puisi menggambarkan lewat kata-kata, sementara film menggambarkan lewat visual. Sinematografi bekerja dengan baik, shotnya cantik-cantik. Aku suka terutama di adegan-adegan surreal mimpi Pingkan. Malahan, menurutku film bisa menjadi lebih asyik dinikmati jika adegan-adegan surreal mendominasi film. Like,  just drop the whole road trip element, dan tampilkan saja perbincangan dengan suasana aneh. Alih-alih dari itu, kita dapatkan banyak pilihan gajelas dalam bercerita. Di awal mereka nyewa dua kamar hotel, kemudian di pertengahan mereka nyewa hotel satu kamar – ini adalah bentuk keinkonsistensian yang tak terjelaskan yang dapat kita temui. Wide shots kebanyakan difungsi sebagai papan iklan sponsor. Ada satu shot yang membuatku bingung, yaitu ketika di meja makan keluarga Pingkan, mereka makan sambil ngobrol serius tentang hubungan Pingkan, dan tau-tau kamera nyorot tempe. Ada banyak hal gapenting kayak gitu yang terekam, bukan sebatas  visual. Film juga mengajak kita mengikuti perbincangan tentang pembagian jurusan di kampus yang mereka datangi di Manado,  yang ternyata hanya dimainkan untuk komedi. Yeah, apa banget.

Sesungguhnya mengenai kenapa mesti Jepang, aku juga sempat bingung. Masa iya sih karena Japanesse dan Javanesse itu cuma beda satu huruf? Apa mungkin film ingin mempertemukan puisi dengan haiku? Di sepuluh menit pertama Jepang begitu dijejelin kepada kita, namun film berubah menjadi cerita perjalanan dengan tokoh yang cemburu dan cewek yang ramah dan ditaksir banyak orang. Barulah di akhir, Jepang kembali lagi. Actually, Jepang penting lantaran film banyak menggunakan analogi sakura dan samurai untuk menggambarkan perjalanan inner Pingkan dan Sarwono.

Ini bisa menjawab puisi Hujan Bulan Juni: Jika seseorang bisa membuat dirinya terperangkap, maka dia pasti bisa membebaskan diri sendiri. Kau yang memulai, dan benar, kaulah yang mengakhiri. Dan setelahnya usai, akan ada pelangi di sana. Hujan di bulan Juni biasanya tidak pernah ada, dan ini adalah metafora yang pas mengenai apa yang terjadi kepada Pingkan dan Sarwono.

 

Dalam denyut nadinya, film mengangkat tentang permasalahan beda agama yang membayangi relationship Pingkan dan Sarwono. Dan seperti Pingkan yang tidak menjawab pertanyaan Ben tentang anak mereka nanti ikut siapa, film ini juga tidak memberikan jawaban terhadap polemik yang diangkatnya. Film dalam kepentingannya membuat penonton baper memilih jawaban termudah yang pernah diambil oleh film-film. Aku gak akan bilang, tapi kalian pasti punya dugaan, dan setelah menonton sendiri, kalian juga pasti akan kecewa.

Actually, kita bisa bikin teori lengkap mengenai kapan tepatnya timeline kejadian di film ini berlangsung. Para tokoh berkomunikasi dengan whatsapp, mereka sudah kenal selfie, penyair puisi dilabeli jadul, semuanya mengisyaratkan kejadian berset di Juni somewhat recent. Tapi seberapa recent? Sarwono sempat mengatakan mereka duduk makan seperti di bulan Ramadhan, yang berarti Juni itu mereka belum puasa. Jadi kemungkinan enggak jauh-jauh amat di belakang tahun 2017. Namun yang bikin mindblown adalah tahun yang tertera di buku puisi Sarwono adalah 1991. Puisi tak lekang waktu, dan Sarwono mengatakan pusinya ada di dunia sendiri. Mungkin film ini memang bertempat di universe yang surreal dari sudut pandang ingatan Pingkan. Atau yang lebih likely; sekali lagi film menggunakan perkataan Sarwono tadi sebagai jawaban termudah.

 

 

 

Menonton ini diniatkan sebagai pengalaman membaca puisi dalam sebuah buku dengan gambar yang bergerak. Tetapi film terlalu mengorkestrasi keadaan. Menafsirkan puisi dengan lingkupan dan cara yang cheesy, dan beserta pretty much good things about this movie dibuat jadi latar belakang sebuah roman yang sudah acap kita lihat. Mengambil banyak pilihan untuk humor dan baper, sebagai langkah menjawab permintaan pasar. Aku bisa lihat film ini akan menemukan tak sedikit penggemar yang tidak akan mempedulikan sejumlah kekurangan pada penceritaannya. Dan lantaran ini dari puisi Sapardi, khalayak sastra akan bisa jadi bias melihat atau menyingkapinya. Apalagi ini adalah kali pertama sastra puisi nongol di ranah mainstream kekinian, which is a good thing buat perkembangan kesusastraan. Tapi puisi ya puisi, film ya film. Film ini bukan dibuat oleh Sapardi, dan filmnya jelek enggak seketika berarti sastranya juga jelek.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HUJAN BULAN JUNI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

BRAWL IN CELL BLOCK 99 Review

“If you love something, you have to protect it.”

 

 

Jadi orang baik itu enggak gampang. Kita bisa saja menjadi orang paling sopan sedunia, dan masih ada orang yang tersinggung ama kita. Kita boleh saja berusaha berbuat benar, dan coba tebak, tetap masih akan ada yang menyalahkan kita. Mantan petinju Bradley Thomas sudah mencoba.  Tapi kemudian dia dipecat dari bengkel tempatnya bekerja. Istrinya selingkuh. Dunia enggak adil, memang. Thomas, sebagai seorang yang punya kompas moral yang kuat, tidak pernah menyalahkan dunia. Sebagaimana dia selalu berusaha meluruskan postur tubuh raksasanya saat berjalan, Thomas selalu berusaha untuk tetap di jalan yang lurus. Lurus menurutnya, loh. Thomas ingin jadi orang baik. Dia cinta istrinya, dia ingin jadi ayah yang baik buat anak yang dikandung istrinya.  Jadi, Thomas bekerja menjadi kurir narkoba yang baik.

Seberapa baik sih, kurir narkoba yang baik itu?

Yang bertanggung jawab dengan barang yang ditanganinya, yang enggak cari masalah, yang tahu kapan musti lari sembunyi – kapan harus melawan polisi. Kalian yang sering berkendara di jalan raya pasti tahu kan, kecelakaan itu penyebabnya selalu antara dua; kalo bukan kita yang kurang hati-hati, ‘lawan’kita yang kurang hati-hati. Apa yang terjadi kepada Thomas saat dia lagi bertugas analoginya persis seperti itu. Thomas terpaksa membunuh rekan kerjanya yang kurang berhati-hati, dan dia pun harus tertangkap polisi. Perbuatan dengan maksud baik, buahnya baik juga. Kelakuan Thomas yang baik, actually tindakannya dilihat sebagai membantu polisi, membuat hukumannya tergolong ringan. Lima tahun dan Thomas bisa berkumpul lagi dengan istri dan anaknya. Tapi sekali lagi, dunia enggak adil. Di dalam penjara, keadaan berubah buruk bagi Thomas. Dia mendapati dirinya dalam posisi yang sulit. Dia harus mencari jalan ke penjara paling brutal demi mencari seseorang demi keselamatan jabang bayi dan sang istri.

Di zaman edan, paling enggak pegang erat moral sendiri

 

Film ini akan membangkitkan minat dan gairah para penggemar action 70’an, tepatnya periode berkembangnya tema genre yang dikenal dengan grind house. Brawl in Cell Block 99 terasa seperti flick GRIND HOUSE, BUT NOT REALLY. Disebut grind house lantaran ini adalah film yang benar mengeksploitasi kekerasan. Brutal, aksi berantem yang disajikan bukan untuk santapan semua orang. Film ini sepertinya memang ditujukan sebagai surat cinta buat tema genre yang satu ini. Kita akan melihat Thomas menghancurkan tengkorak lawan, hidup-hidup, dengan tumitnya. Melihat kulit wajah orang terlepas dari muka. Menyaksikan gimana Thomas mematahkan tangan orang sehingga tidak lagi terlihat seperti tangan. Tapi sekaligus juga ini adalah tempat di mana pengembangan karakter tidak dilupakan. Babak perkenalan Brawl in Cell Block 99 benar-benar dimanfaatkan oleh film supaya kita bisa melihat Thomas sebagai manusia dan supaya kita paham kondisi keluarganya. Kita dibuat mengerti bahwa dia sebenarnya menolak untuk melakukan itu semua, akan tetapi ini demi keluarga dan dia enggak punya pilihan lain. Film meluangkan banyak waktu memperlihatkan Thomas berpikir dan merenung dalam kesendiriannya. Dan tidak seperti grind house traditional yang fungsi tokoh ceweknya tiada lain untuk diselamatkan, dalam Brawl in Cell Block 99 istri Thomas diberikan ruang untuk bergerak dan berperan lebih banyak.

Grind dalam grind house sebenarnya juga bisa kita pake untuk menjelaskan gimana film-film bergenre seperti ini mengembangkan karakter utamanya. Ambil contoh film The Raid (2011). Sang jagoan biasanya harus ngelawan banyak orang, berjuang dengan darah untuk sampai ke tingkat atas, tingkat di mana bos bersembunyi. Layaknya video game. Setiap kali bertemu musuh, berhadapan dengan maut, tokoh utama akan naik level, mereka menjadi semakin kuat, baik secara literal dan figuratif. Mereka menjadi orang yang lebih baik. Thomas dalam Brawl in Cell Block 99 adalah lawan dari ini.

Dia literally harus turun tingkat. Dari penjara paling nyante ke penjara dengan keamanan paling ketat – yang berarti kebebasannya semakin minim. Premis ini pernah dibahas kocak di komik Bowling King, di mana tokohnya harus nyusup ke sekolah untuk anak-anak criminal demi nyari salah satu orang dunia hitam, hanya saja dia ditempatkan di kelas hijau tempat criminal ‘cupu’ alih-alih kelas hitam – jadi dia sengaja buat onar biar dipindahin. Setiap kali encounter, baik dengan inmate penjara maupun dengan polisi penjaga, Thomas berdegradasi. Yeah, dia babak belur – they all do. Terutama, dia menjadi semakin sadis, semakin marah, tapi hatinya tidak berubah. Kompas moralnya masih dipegang teguh. Dan melihatnya seperti begini, membuat kita peduli. Membuat kita ngecheer buat dia, meski apa yang ia lakukan enggak menyehatkan buat semua orang.

Seberapa jauh kita rela turun untuk melindungi orang-orang yang kita cintai? Setiap hari kita membuat pilihan untuk memastikan hal-hal yang kita cinta tetap ada, terus berkembang. Kalo ada yang dihajar hingga bonyok oleh film ini, maka itu adalah saran “kalo benar cinta, lepaskan”. Hal paling simpel dan logis adalah jika kita sudah menemukan yang baik untuk hidup kita, maka lakukan apapun untuk mempertahankannya.

 

 

Sekuens berantemnya akan membuat kita teringat kepada film John Wick (2014), namun juga, not really. Brutal, menghibur dalam cara yang bikin meringis, tetapi kelahinya enggak diolah dengan koreografi yang stylish kayak John Wick. Kata ‘brawl’ pada judul benar-benar dihidupkan. Thomas adalah mantan petinju yang baik, jadi dia hanya menggunakan kepalan tinjunya, menumbuk yang menghadang jalannya yang lurus. Dia menghancurkan semuanya dengan bogem. Gebak-gebuk itu enggak indah, oleh sebabnya masih terasa realistis. Kesan tersebut hanya dilunturkan sedikit oleh keputusan sutradara S. Craig Zahler untuk mengarahkan film ini sebagai tribute ke film aksi 70an, jadi di film ini dia dengan sengaja turut memakai efek shot prostetik untuk beberapa adegan kekerasan. Manekin dan anggota tubuh palsu akan bisa kita temukan dengan jelas

Ryu, here comes your new challenger

 

Jadi, Bradley Thomas basically seorang monster Frankenstein. Kesatria, terhormat, dia bisa matahin kaki orang dengan sangat gentle. Thomas mungkin satu-satunya orang yang adil di sana. Ini adalah peran yang noble sekaligus keras-dan-kumuh, dan Vince Vaughn menyelam sempurna ke dalamnya. Sudah begitu lama kita melihat Vaughn bermain di posisi tokoh yang rada komikal. Terakhir kita melihatnya serius di season 2 serial True Detective (2015) dan peran kecilnya sebagai sersan di Hacksaw Ridge (2016). Tidak satupun dari peran-peran tersebut sebanding dengan tantangan dan apa yang berhasil Vaughn capai di Brawl in Cell Block 99. Bayangkan Stone Cold Steve Austin; botak, violent, resourceful, bedanya Thomas adalah pribadi yang menyembunyikan emosinya dengan baik. Vince Vaughn benar-benar memberikan penampilan terhebat dari karirnya. He’s so badass, dan ketika kita diliatin dia sedang sendiri di dalam sel kurungannya, kita mulai bisa melihat seberapa terluka dan tersiksanya dia. Dan pada beberapa kesempatan, adegan kesendiriannya lebih menggebuk ketimbang ketika dia meledakkan kemarahannya saat berantem.

 

 

Drama karakter yang sangat efektif tersembunyi di balik tarung tangan brutal yang bertempat di penjara. Kepentingannya memperlihatkan set up karakter dan memberikan alasan buat kita peduli kepada tokohnya mengorbankan sedikit kestabilan pacing. Penonton yang mengharapkan pure grindhouse mungkin akan mengeluhkan betapa dua jam film ini terasa panjang. Namun dengan penampilan sebaik yang diberikan oleh Vince Vaughn, dan adegan kekerasan yang disturbingly menghibur – masalah pacing tersebut bisa dengan mudah kita overlook. Sebaik-baiknya film grindhouse, ini adalah salah satu yang terbaik.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BRAWL IN CELL BLOCK 99.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE GLASS CASTLE Review

“Family are the people who must make you feel ashamed when you are deserving of shame”

 

 

Lumrah adanya orangtua suka bohong kepada anak-anak. Dan pada gilirannya akan membuat anak-anak suka bohong kepada – dan terutama, tentang – orangtua mereka. Waktu kecil, beberapa dari kita ada yang enggak mau ngajak teman main ke rumah kalo ayah dan ibu lagi enggak kerja. Terkadang kalo lagi ngobrol bareng teman-teman, kita akan menceritakan yang keren-keren tentang keluarga kita. Keluarga, bagi kita jauh di dalam adalah salah satu kebanggaan terbesar, namun kita masih sering merasa malu karena mereka. Dan tak jarang, perasaan malu saat keluarga ini kebawa hingga dewasa. Memperkenalkan pasangan kepada orangtua jelas adalah momok buat sebagian besar orang. Karena setiap keluarga punya rahasia, tidak ada keluarga yang sempurna. “Let me do the lying about my family,” begitu kara Jeanette Walls kepada tunangannya, mengisyaratkan setelah selama bertahun-tahun diajarkan mandiri dengan cara sangat tak-konvensional, Jeannette masih respek sekaligus malu sama keluarganya.

Tahun 2016 kita dibuat kagum sama Captain Fantastic yang dengan cueknya menantang moral kita dengan gaya hidup dan parenting orangtua yang mengajarkan anak-anaknya dekat dengan alam dan melawan sistem. Aku pikir, wah kalo beneran ada keluarga kayak gitu gimana ya. Dan kemudian, di tahun 2017, keluarlah The Glass Castle; film yang membuktikan bahwa aku tidak tahu banyak. Karena film ini adalah kisah nyata. Jeannette Walls adalah pengarang dan jurnalis, terutama terkenal sebagai  columnist gossip yang nulis memoir tentang masa kecilnya. Jeannette adalah saksi hidup seorang anak yang dibesarkan oleh orangtua dengan pemahaman begitu nyentrik; orangtua yang membiarkan anak dua-belas tahunnya masak sendiri, yang melempar anaknya begitu saja ke kolam, orangtua yang memberikan bintang di langit sebagai kado natal.

Aku dilarang keras berada di rumah kalo teman-teman cewek adekku dateng, mainly she was afraid norakku kumat.

 

 

Kita akan dibawa maju mundur, antara masa kini (1989) dan masa lalu, ketika Jeannette dewasa berkontemplasi tentang masa kecilnya. Kita bisa melihat jelas betapa sukarnya hidup Jeannette dan keluarga. Mereka berpindah-pindah tinggal dari satu bangunan kosong, ke rumah reyot lain. Dari Woody Harrelson sebagai ayah yang tak pernah menyelesaikan apa yang dia mulai ke Naomi Watts seorang ibu yang lebih mentingin ngelukis-tak-dibayar daripada masak, film ini dipersembahkan dalam lingkupan keluarga yang berakting sangat baik. Sebagai ujung tombak dari sekumpulan talenta, film punya Brie Larson  dan Ella Anderson yang menyuguhkan penampilan yang amat stricken sebagai sudut pandang utama. Jadi, ada alasannya kenapa saat menonton ini kita akan merasakan tone yang sangat berbenturan. Jeannette kecil dan saudara-saudaranya percaya bahwa apa yang dilakukan ayah mereka adalah hal yang benar. Bahwa mereka enggak miskin, bahwa yang mereka lakukan adalah melawan sistem demi kebaikan yang lebih besar.

Sesungguhnya, memang ada cara yang benar dan cara yang salah dalam hidup. Rumah tangga Wells terbangun dari cara-cara benar yang dilanggar. Istana mereka memang transparan, namun ada atap kaca patriarki yang tidak bisa dipecahkan oleh Jeanette. Akan tetapi pada akhirya, seperti kata Ibu, strugglelah yang membuat indah. Pengalaman kita bersama keluarga, baik atau buruk, akan membentuk integritas personal, keberanian, suatu jati diri. Jika kita tidak bisa menghargai keluarga satu persatu, palign tidak hargailah apa yang sudah keluarga sumbangkan dalam membentuk siapa kita.

 

Film mengeksplorasi aspek kelam dari kehidupan keluarga Jeanette. Narasinya panen drama dan emosi. Masalah alkohol sang ayah, juga ada situasi yang benar-benar disturbing dengan nenek mereka. Kita melihat banyak hal dan situasi terrible terjadi kepada keluarga Jeannette. Namun masalahnya adalah, film tidak paham akan kelamnya apa yang terjadi kepada mereka. Kita melihat basic skenario yang sama dimainkan berulang kali, sehingga lama-kelamaan jadinya bosenin. Kita kerap terflashback ke masa lalu, lalu kembali ke saat mereka dewasa, tapi ketertarikan itu malah semakin sirna. Sudut pandang Jeannette yang mixed banget digambarkan oleh film lewat benturan tone. Akibat dari ini adalah beberapa adegan really misses the mark lantaran malah terlihat dimainkan sebagai komedi.

Aku selalu punya masalah dengan film-film yang menggunakan musik yang terlalu menyuruh penonton untuk merasakan suatu emosi tertentu. Di film ini, aku mendapati musiknya sangat gak klop nan mengganggu penyampaian emosi. Film ini mencoba membuat kita merasakan apa yang dirasa oleh anak-anak itu ketika orangtua memanfaatkan mereka dengan harapan. Maksudku, sangat sering kita jumpai dalam film ini adegan-adegan yang sebenarnya tragis, sedih dengan dilatari oleh score musikal yang ‘memaksa’ kita untuk melihat bahwa ini adalah adegan yang bahagia. Pemandangan seorang ayah dan ibu yang basically membiarkan anak mereka enggak makan, ataupun mengambil duit tabungan anak mereka, atau membiarkan mereka berada dalam situasi yang berbahaya sesungguhnya adalah pemandangan yang sukar untuk dilihat – disturbing. Akan tetapi, musik yang dimainkan saat adegan kelam ini begitu uplifting seolah itu adalah momen keluarga yang hangat. Mungkin sebagian orang akan suka dengan cara bercerita seperti ini, namun buatku adegan-adegan tersebut menjadi kurang otentik, emosi yang disampaikan tidak tersampaikan dengan impactful.

keluarga kaca apa keluarga cemara

 

 

Kurang-kurangin deh berbohong kepada anak-anak. Berikan anak-anak kredit perspektif yang lebih sehingga mereka bisa melihat sebening melihat kaca. Buat mereka mengerti situasi dengan mempersembahkan konsekuensi, bahaya, ketakutan, kejelekan dengan transparan. Karena hanya dengan begitu, orangtua akan lebih dihormati oleh anak-anak yang tumbuh lebih kuat.

 

 

Dengan tema yang sama-sama mengangkat pertanyaan apakah membesarkan anak jauh dari sistem dan sosial adalah hal yang bertanggung jawab, film ini tetap terasa tumpul dan kurang greget. Absennya ambiguitas moral yang membuat film ini kalah menarik dan penting dibandingkan Captain Fantastic. Naskah meminta kita untuk merasakan suatu perasaan tertentu untuk karakter-karakter yang ada, namun apa yang kita lihat-kita dapatkan- kita rasakan tidak selaras dengan perasaan mengangkat yang diberikan dengan terlalu banyak. Rex Walls bisa saja memang jujur terhadap anak-anaknya mengenai teori sistem sosial yang ia percaya. Film ini, however, tidak transparan dalam menyampaikan emosi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE GLASS CASTLE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

1922 Review

“It’s easier to fool people than to convince them that they have been fooled”

 

 

“Di tahun 1922, kebanggaan seorang pria adalah tanah miliknya. Juga putranya. “ Dengan suara bergetar dan tangan gemetar, dari dalam kamar hotel, Wilfred James menceritakan pengakuan atas apa yang sudah ia lakukan ke atas kertas.  Di tahun 1922, tulisnya, aku membunuh istriku.

Di balik pria yang hebat, ada wanita yang hebat. Wilfred tahu dia bukan pria yang bego. Makanya dia menolak keras keinginan istrinya untuk menjual tanah pertanian dan pindah hidup ke kota. “Kota itu tempat orang bego” cerca Wilfred. Ego adalah soal hati, dan hati Wilfred sudah meyakinkannya bahwa pergi ke kota sama dengan menyerah pada keuangan, mengakui bahwa dia bukan petani yang cakap. Wilf punya pepatah tandingan yang lebih ia percaya; di dalam setiap pria, ada pria lain. Seorang asing. Seorang pria yang siap melakukan tindakan yang amoral dan ilegal. Setelah argument demi argument tak berkesudahan dengan istrinya, Wilfred tampaknya mulai berpaling kepada si pria di dalam dirinya. Petani tersebut lantas menyusun rencana untuk membunuh sang istri, dan dia akan membujuk putra kebanggaannya untuk membantu.

Di tahun 1922, untung belum ada Sadako

 

2017 adalah waktu yang paling asyik untuk menjadi penggemar Stephen King. Susul menyusul film adaptasi dari cerita si maestro horor spesialis cerita balas dendam ini bermunculan. Dari The Dark Tower, ke It, ke Gerald’s Game, it keeps getting better and better. 1922 diangkat dari cerita pendek, dan jika dibandingkan dengan dua horor King lain yang kita dapatkan recently, memang  1922 adalah film adaptasi yang paling lemah. Tapi tetap saja, ini adalah cerita psikologis yang sangat menegangkan. Oleh sutradara Zak Hilditch, source material dijadikan panduan layaknya ngikutin walkthrough game sehingga film ini menjadi sangat setia dengan cerita pendek orisinalnya. Dan itu bagus, sebab film ini berhasil tepat menggambarkan gimana rasanya diuber-uber oleh dosa sudah menghilangkan nyawa. Perasaan terkungkung juga dibawa keluar oleh sense klaustrofobik yang sangat kental. Shot-shot ruang tertutup dengan tikus-tikus, sebagian nyata sebagian lagi hanya produk imajinasi trauma, membuat film menjadi beneran tertutup rapat. Basically, penceritaan film ini bilang kita enggak bisa lari dari guilt, dari trauma masa kecil, trauma pernikahan yang gak sehat. Masalah keuangan yang dihadirkan sesungguhnya hanyalah device untuk mengikat kita dengan pesan bagaimana satu keputusan yang salah dapat menghancurkan, bukan hanya hidup sendiri, melainkan juga hidup orang lain.

Buat kita yang belum pernah membunuh, tindak pembunuhan hanyalah sebuah contoh dari perbuatan yang mengerikan. Sebuah kejahatan yang besar dan meski dihukum seberat-beratnya. Film ini akan membawa kita masuk ke dalam pribadi seorang yang sudah meyakinkan dirinya sendiri untuk membunuh istri – pasangan hidupnya. Dan dari sini kita tahu, bahwa membunuh adalah dosa tak termaafkan yang akan selamanya mengutuk pelaku – dan orang-orang yang membantunya.

 

Babak pertama benar-benar membuatku melongo. Wilfred mulai memikirkan rencana pembunuhan, dengan seksama membujuk putranya untuk membantu. Practically, dia memanfaatkan remaja lima-belas tahun itu, menggunakan kelemahannya – kalo ikut Ibu ke kota, kau tak akan bisa bersama pacarmu lagi. Sedari awal, narasi menyerang cinta sebagai titik lemah, dan ini sejalan dengan tokoh Wilf yang berkembang menjadi benci kepada istrinya. Dan selagi rencana pembunuhan tersebut terbangun, kita akan dikurung dalam suspens dan ketegangan.

Ketika aksi berdarah itu tiba, film tidak menggambarkannya dengan, katakanlah, dengan glorious. Aksi bunuh dalam 1922 tidak seperti pada film lain, ambil pisau-tusuk-darah yang banyak-dan mati. Semuanya dihandle dengan sangat cakap, setiap frame menghasilkan ketegangan yang terus bertambah. Sekaligus semakin memberatkan sisi emosional. Wilfred tidak mau membunuh dengan menyekap nafas dengan bantal seperti yang disarankan anaknya, sebab itu akan terlalu menyakitkan. Beberapa kekerasan dalam film ini kadang jatoh lebih seperti dark-comedy lantaran benar-benar menyentuh emosi manusiawi. Terutama perasaan bersalah.

aku sudah lama enggak nyaris ketawa liat sapi menderita sejak game Earthworm Jim 2

 

Memasuki babak kedua, pace film menjadi semakin melambat lagi. Fokus cerita sekarang adalah tentang seorang pria dan putranya yang secara perlahan digerogoti rasa bersalah. Sebegitu gampanganya mereka membujuk – dan dibujuk, apakah benar tidak ada cara lain. Wilfred dan si anak ‘membusuk’ karenanya. Sebagai Wilfred, aktor Thomas Jane memberikan penampilan terbaiknya. Actually ini adalah film adaptasi Stephen King ketiga yang dilakoni oleh Thomas, sebelumnya dia main di Dreamcather (2003) dan The Mist (2007), dan perannya di kedua film tersebut enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan perannya sebagai Wilfred. Ia paham bahwa Wilfred bukanlah petani yang simple-minded, melainkan seorang yang sangat pintar. Seorang yang tahu apa yang ia mau, dan dia enggak ragu untuk meyakinkan moralnya terhadap cara-cara keji yang ia tempuh. Wilfred akan tersiksa jiwa dan raga, dan Thomas sangat menakjubkan pada kedua teror tersebut.

Reperkusi dari sebuah tindakan dosa yang sangat berat adalah mental dan perasaan yang semakin terbebani olehnya. Rasa itu akan terbendung tak terkira sehingga hal-hal lain di luar masalah tersebut akan menjadi tak penting lagi – kita tak akan bisa mikirin apa-apa selain rasa bersalah. It would consume our life, dan hampir semua hal, semua orang di sekitar kita. Ultimately, akan memburamkan kompas mana yang baik dan mana yang buruk seperti yang terjadi pada putra Wilfred.  

 

Ketika kita ingin  mengadaptasi dengan loyal sebuah cerita pendek menjadi film panjang, tak pelak akan ada beberapa bagian yang terasa dipanjang-panjangin. Inilah yang menjadi aspek paling lemah dari 1922. Setelah poin ceritanya tersampaikan, film seperti enggak tahu lagi musti ngapain. Maka mereka kerap mengulang-ngulang adegan dengan maksud yang sama, meskipun mereka fully aware poin tersebut sudah disampaikan. Melihat Wilfred tersiksa, dia ‘membusuk’ begitu saja, film ini bisa saja menjadi lebih singkat – aku enggak melihat ada kepentingan untuk menjadi satu jam empat puluh menit. Malahan akan bisa menjadi lebih padet sekiranya mereka memangkas menjadi sekita delapan puluh atau sembilan puluh menit.

 

 

 

 

Pesan mengenai dampak, konsekuensi raksasa sebuah pilihan tindakan yang salah terhantar dengan teramat baik. Ini adalah salah satu adaptasi Stephen King yang paling setia dengan sumber aslinya, indah, cerita yang sangat contained. Thriller psikologis dengan beberapa creepy imageries yang semakin manusiawi berkat permainan akting yang menarik dan meyakinkan. Terasa sedikit terlalu panjang, membuat pacing sedikit keteteran. But all in all, aku pikir enggak bakal sulit untuk meyakinkan kalian untuk menonton film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for 1922.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

POSESIF Review

“If our love is only a will to possess, it is not love”

 

 

Ada hal-hal tertentu yang enggak bisa dilalui bersama tanpa kita menjadi dekat, dan dihukum ngiterin lapangan sekolah berdua dengan tali sepatu saling bersimpulan adalah salah satunya. Perkenalan antara Lala (pendatang baru Putri Marino bermain cemerlang) dengan si anak baru Yudhis (akting Adipati Dolken semakin matang) berawal dari warna sepatu yang melanggar peraturan sekolah. Lala dan Yudhis jadi deket, tak sulit buat temen sekelas Lala nyomblangin mereka, dan jadianlah kedua remaja tersebut. Cinta pertama Lala awalnya manis banget. Kehadiran Yudhis membantu Lala melewati hari-hari. Sekolah, latihan loncat indah, hang out, Yudhis selalu ada di dekat Lala.

Oktober adalah waktu yang aneh untuk menayangkan drama percintaan dengan tokoh anak SMA. Biasanya film-film remaja ramenya sekitaran Februari ataupun pas musim liburan sekolah. Tapi setelah menyaksikan sendiri, aku jadi bisa melihat keserasian film ini tayang berdekatan dengan Halloween. Posesif bukan seperti drama cinta biasa. Sutradara Edwin mengarahkan film ini LEBIH SEPERTI SEBUAH SAJIAN THRILLER. Adegan-adegan film ini dipersembahkan dengan perlahan, meski runtunan dari fase kenalan ke jadian ke deket banget disampaikan dengan cepat. Emosi dan rasa ragu akan merayap masuk sembari hubungan Yudhis dan Lala mekar. Dua pemain lead bermain dengan sangat baik, chemistry tumbuh tanpa tersandung ekspresi yang dibuat-buat. Mereka ngelewatin banyak transformasi emosi, dan mereka nailed each and every one of it. Bagi dunia, Lala mungkin cuma seseorang. Namun buat Yudhis, Lala seoranglah yang jadi dunia. Kita akan menyaksikan hubungan romansa di antara kedua anak muda ini berbelok ke arah yang mengerikan. Kalo lagi enggak bersama Lala, Yudhis akan ngestalk social media, nelfonin nanyain kabar – ada shot yang memperlihatkan Yudhis missed call lebih dari tiga-puluh kali dalam rentang waktu kurang dari satu jam. Dolken bener-bener tepat sasaran memainkan note-note yang creepy.

Sebelum kenalan, Yudhis udah tahu nama Lala dari video instagram, wow that’s not creepy at all

 

 

Posesif benar-benar mengeskplorasi apa yang relationship bisa lakukan kepada jiwa-jiwa muda yang insecure. Betapa  kadang kita lebih memilih untuk mempertahankan hubungan tak-sehat daripada untuk melepasnya dan memulai dari awal. “Belum tentu loh, kamu bisa dapat cowok kayak gitu lagi” saran teman kepada Lala yang bimbang.

 

Menurutku, film ini penting untuk ditonton – bukan hanya karena ini adalah sudut pandang yang berbeda dari film remaja kebanyakan – melainkan juga karena ceritanya yang sangat dekat. Setiap kita pasti pernah jatuh cinta, pasti ngalamin sensasi deg-degannya cinta pertama. Pada beberapa titik dalam hidup, kita pernah berada di posisi Yudhis, atau di posisi Lala, atau di posisi sahabat cowok yang diam-diam naksir Lala, atau malah pernah berada di tiga posisi itu sekaligus. Maksudku, nonton ini juga bisa bikin baper. This movie hits home more than I expected. Personally, I might be or might not be, …. Oke jujur, aku pernah bikin takut anak gadis orang kayak yang dilakukan Yudhis, secara gak sengaja. Dan itulah masalahnya. Untuk sebagian besar kasus hubungan yang mengekang, yang terlalu gak-ngasih jarak, kita gak sadar sudah membuat pasangan merasa tak nyaman. Padahal niatnya, sumpah! padahal niatnya baik

mengapaaa aku beginiiiii??

 

Tema ‘dikungkung oleh tuntunan dari luar’ kerap terdengar di sepanjang narasi. Lala yang terus digebah oleh ayah untuk jadi atlet, nyaingin almarhum ibunya. Yudhis yang enggak boleh ngekos, musti deket terus dengan ibu. Yudhis yang gak ngasih space ke Lala. Sekolah dengan peraturan gak jelas sepatu harus hitam. Bahkan Lala jadian dengan Yudish adalah hasil comblangan dari teman sekolah – yang menyimbolkan persetujuan dari lingkungan terus saja mempengaruhi pilihan dan keputusan tokoh kita. Jika ditelanjangi dari layer masing-masing, film Posesif dan film The Lobster (2015) memiliki kesamaan inti cerita. Perjalanan Lala ialah perjalanan membebaskan diri dari kurungan tak terlihat orangtua, teman-teman, dari orang yang ia masih ragu cinta atau enggak. Kita akan belajar bahwa Lala dan Yudhis sebenarnya punya masalah yang sama, hanya saja Yudish memproyeksikannya dengan cara yang sedikit mengerikan. Pada akhirnya kedua orang ini akan saling posesif terhadap masing-masing, dan itu enggak sehat.

Sesuai dengan overlaying symbol yang disebutkan oleh film; cinta dengan olahraga yang ditekuni Lala, loncat indah adalah pengalaman yang sama bagi anak muda. Terjun ke dalam relationship sama menakutkannya dengan terjun ke kolam dari menara loncat tingkat paling atas. Lala dilatih oleh ayahnya  Naik ke atas papan loncat adalah suruhan, namun actually meloncat adalah murni keputusan Lala. Kamera menangkap resah dan gejolak tersebut dalam shot-shot menarik Lala yang jungkir balik terjun. Menjalin hubungan percintaan itu adalah kerja keras, karena hidup adalah kerja keras dan cinta adalah bagian dari hidup. Ini adalah tentang kontrol – masing-masing memegang kendali atas hidupnya. Dalam film ini, air kolam di bawah itu adalah hidup dengan segala konsekuensinya. Terjun ke dalam itu adalah sebuah pilihan pribadi – kita bisa menyuruh orang untuk naik, tapi pada akhirnya yang bisa kita miliki adalah diri kita sendiri.

 

Perbedaan antara film komersil dengan film yang enggak mainstream bisa jadi hanya terletak pada bagian akhirnya. Posesif bisa saja menutup ceritanya di saat Lala ditinggalin di tengah jalan. Menurutku, jika selesai di sini, saat Lala berjalan di jalan tol yang bercabang, memilih sendiri langkahnya, pesan yang disampaikan akan bisa menjadi lebih kuat. Tapi Posesif ingin appeal buat lebih banyak orang, dan sebagian besar penonton ingin ending yang enggak muram-muram banget. Dan di babak ketiga inilah, film tampak enggak yakin bagaimana mengakhiri cerita dengan memuaskan target penontonnya. Menuju ke ending, cerita menjadi agak terseret – kayak, udah beres, eh ternyata belum. Padahalnya mestinya cerita ditutup either dengan ninggalin Lala tadi, atau Lala dan Yudish enggak pernah kabur sedari awal. Hanya ngeliatin Lala menghapus foto-foto di Instagramnya sudah dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat. Pilihan final adalah membungkus cerita dengan freeze-frame close up Lala, wow such a cool way to end -,-

Ada beberapa poin cerita yang enggak konsisten. HP Yudhis yang ketinggalan di dalam mobil adalah contoh plot device yang terasa enggak klop dengan karakter Yudhis yang punya issue dengan kepemilikan. Maksudku, berdasarkan sikap ‘melindungi’nya terhadap  Lala, aku membayangkan Yudhis sebagai orang yang ngeprotect barang-barang pribadi, dia tidak akan lupa dan meninggalkan HP di tempat yang dapat dijangkau orang. Aku juga sempet bingung dengan lokasi cerita, apakah di Jakarta atau di Bandung, sebab di awal-awal Lala dan Yudhis jalan-jalan di NuArt yang terletak di Bandung – aku tahu karena pernah ke sana dan nekat moto-moto daerah workshop patung, kemudian dibentak satpam yang meminta foto-foto yang kuambil di sana harus dihapus; yea, bicara tentang aturan, right..

Soal status anak baru Yudhis juga cukup membuatku mengangkat sebelah alis, dia pindahan dari mana, kenapa dia pindah sekolah di tahun terakhir, apakah ada indikasi sifat violentnya yang menyebabkan dia pindah sekolah, apakah cinta pertama itu di pihak Lala saja – like, apakah sebelum ini Yudhis yang ganteng pernah terlibat cinta ga-sehat dengan cewek lain dan kekerasan yang dilakukannya membuatnya harus pindah sekolah? Menurutku latar belakang Yudhis perlu digali sedikit lagi, karena bisa saja mereka malah meninggalkan backstory yang menarik.

Konteks cerita juga membuat tidak ada konsekuensi nyata yang diperlihatkan oleh film mengenai apa yang dilakukan Yudhis. Yang membuat film ini terasa setengah-setengah. Ini bukan cerita romansa biasa, sekaligus tidak pernah mekar sebagai thriller yang benar-benar mengerikan. Kesan yang diincar adalah keragu-raguan, semua orang melakukan kesalahan, namun dengan absennya konsekuensi yang benar-benar nyata, pesan film tidak sampai pada ketinggian loncat yang diinginkan.

 

 

Cinta bisa jadi adalah ilusi yang tercipta dari kebutuhan kita akan sesuatu yang nyaman, yang terbentuk bukan dari pilihan kita melainkan dari jawaban tergesa atas tuntunan dari luar. Film ini akan mengingatkan kita semua akan itu, dia tidak ragu untuk menjadi menakutkan dalam menyampaikannya. Karena, seperti Lala, terkadang kita harus belajar dalam cara yang keras. Kisah cinta bukan semata milik suka ria. Film ini paham betul dia punya pesan penting, dan dia rela menerjunkan diri di dalam kolam mainstream, menempuh riak resiko kreatif, ini bukan film sempurna, melainkan sebuah kesempatan penting untuk berefleksi diri yang sayang untuk tidak dimiliki.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for POSESIF.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ONE FINE DAY Review

“We lie best when we lie to ourselves.”

 

 

Syuting ke luar negeri, bagi film Indonesia, ekuivalen dengan penggunaan efek komputer yang canggih. Semacam, PH punya duit banyak, namun teknologi yang ada belum memadai, jadi yeah film-film lokal banyak stak dengan cerita berlayer sedikit (malah sering juga satu) dan sebagai gantinya mengandalkan kepada jalan-jalan ke tempat mewah penuh pesona peradaban kayak New York, London, Amsterdam, Paris. Dan kali ini Barcelona. Film-film jenis begini musti mampu menjalin cerita yang benar-benar mengconvey kota yang dijadikan latar, membuat cerita beserta karakter-karakternya punya kepentingan untuk berada di sana. Paling enggak, mereka harus bisa menjelaskan lebih dari sekadar “dunia ini sempit” kenapa pelancong dari Indonesia kerap bertemu ataupun rasanya banyak banget orang Indonesia di negara tersebut. One Fine Day, misalnya (bukan yang film George Clooney dan Michelle Pfeiffer loh ya),  film ini memasukkan elemen pengawal pribadi yang membuat ceritanya memang kudu terjadi di luar negeri.  Elemen musik dengan genre  yang lagi hits juga dibuat film ini sebagai salah satu alasan kenapa ceritanya harus berlokasi di Barcelona.

nyaingin Despacito ni yee

 

Aku sendiri juga sebenarnya enggak punya kepentingan apa-apa pergi nonton film ini. Aku tahu benar drama cinta anak muda kekinian bukanlah genre yang biasa kunikmati. Aku gak ngefans sama pemain-pemainnya. Aku gak pernah mimpi jalan-jalan ke Barcelona. Niatku adalah paling enggak, keluar dari studio aku bisa bikin tulisan yang mengedukasi gimana sih drama yang bagus itu semestinya. Jadi, aku masuk mengharapkan yang terburuk. Dan film ini  ternyataaa….. sepertinya judulnya, IT WAS FINE. Digarap dengan cukup kompeten. Punya skenario yang strukturnya bener. Dari tokoh-tokohnya juga, film ini punya sesuatu yang ingin disampaikan. Ada titik ketika film terasa jadi terlalu dramatis sih, ada bagian-bagian ketika cerita menyerah ke kepentingan untuk bikin baper penonton sebaper-bapernya, dan para aktor benar-benar up for it. Penampilan mereka tepat menghasilkan kesan dan reaksi seperti yang ditargetkan.

Jefri Nichol di sini berperan sebagai Mahesa, seorang yang easy going, sepertinya sedikit slengekan, dia beredar banget di jalanan, dia menyapa orang-orang, terutama cewek. Polisi juga tampak kenal padanya, “hey kamu, jangan lari!” hihihi. Mahesa ini anak band juga, a shirtless band, yang dari main di jalanan bersama dua temannya, sekarang mereka terkenal di youtube.  Dalam rentang sepuluh menit pertama, kita diperlihatkan gimana Mahesa dan kedua temannya itu ngescam cewek cakep yang kaya dan desperate. Itulah yang trio ini lakukan di waktu senggang mereka – yang mana hampir sepanjang waktu – nilep duit cewek dengan memanfaatkan kegantengan Mahesa. Susah untuk peduli pada karakter ini di awal,  apalagi stake cerita ini personal banget bagi Mahesa, dan kita butuh untuk segera di belakang tokoh ini. Namun melakukan itu bahkan lebih susah lagi ketika sedikit demi sedikit pribadinya terbuka. Karena, Mahesa jatuh hati pada Alana’s Michelle Ziudith, dan di sekitar cewek itu Mahesa nunjukin sisi baik, namun kita masih gak yakin apakah baiknya itu beneran dari hati atau muslihat si Don Juan.

KEBOHONGAN DAN KEJUJURAN menjadi tema utama cerita yang muncul berulang dan menjadi benang merah antara tokoh-tokoh yang ada. Bagusnya, benang tersebut enggak tersimpul atau malah putus di akhir. Setiap tokoh diberikan resolusi memuaskan, meskipun beberapa cheesy. Tokoh bodyguard pun mendapat subplot yang sejajar dengan tokoh-tokoh mayor sehingga Surya Saputra yang bermain really contained tidak terlihat seperti tokoh yang out-of-place. Alana, aku sempat cuek juga sama tokoh ini, keinginannya sepertinya cuma punya pacar. You know, kita liat dia duduk sendirian, terus entah kenapa dia punya bodyguard. Tapi kemudian as the story goes, kita mengerti dia sudah punya cowok, dia enggak bahagia dengan relationshipnya, dan bodyguard itu ditugaskan oleh si cowok untuk menjaga Alana ke mana-mana.

Setiap kita pernah gak jujur kepada orang lain, pura-pura, ngeles, atau malah kayak Mahesa – penipu ulung. Namun, kita adalah pembohong yang sangat baik ketika kita berbohong kepada diri sendiri. Pesan inilah yang menggarisbawahi narasi. Sebagian besar poin cerita yang terlihat  lemah di awal; Aku mencibir ketika Mahesa bilang ke Alana “Saya yang bisa jaga kamu” dan Alana percaya, sebab aku masih ingat Alana pertama kali ketemu Mahesa; Dia ngeliat sendiri Mahesa lagi ngedate sama cewek bule, kemudian dia dihajar oleh penagih hutang, di meja kafe. Meski dari sisi Mahesa itu hanya skenario, tapi kalo jadi Alana, aku akan takut pacaran sama orang ini, apa jaminannya dia enggak berantem lagi. Juga poin cerita yang belum-terjelaskan; karena selalu dikawal, Alana ingin bersama orang yang membuat ia merasa bebas, walau mungkin kebebasan tersebut ada harganya. Kemudian datang adegan yang kontras dengan itu, ketika Mahesa nyuruh Alana untuk diam di tempat, dan Alana benar-benar enggak bergerak. Tidak bisakah ia melihat Mahesa gak begitu berbeda dengan cowoknya? Poin-poin cerita tersebut, juga hubungan yang rasanya terjalin terlalu cepat antara Mahesa dan Alana, ternyata bekerja dengan baik dalam konteks pesan ‘kita penipu ulung diri sendiri’

Setiap karakter film ini berbohong kepada diri mereka. Danu, pacar Alana, tahu bahwa Alana gak cinta kepadanya, jadi dia memakai pengawal untuk menjaga agar Alana tidak diambil orang. Danu bohong kepada dirinya sendiri, dia bertindak seolah Alana ada di dekatnya karena cinta, karena nyaman. Tapi enggak. Begitu jua dengan Alana; dia tahu rasa cintanya kepada Danu sudah tergantikan oleh Mahesa, tapi dia tetap balik ke Danu ketika dia mendengar di balik apa yang selama ini dilakukan Mahesa. Cuma Mahesa yang enggak bohong ke diri sendiri, dia hanya bohong kepada orang lain. Mahesa dengerin kata hati, dan ultimately dia belajar untuk tidak bohong sama sekali.

Kita bohong kepada hati. Kita cenderung suka mengabaikan kata hati sendiri hanya demi nyenengin orang lain. Hanya demi memuaskan kebutuhan yang enggak benar-benar kita perlukan. Hanya demi secuil rasa security.

 

Dari nonton film ini, sepertinya aku jadi bisa ngerti kenapa drama cinta Indonesia itu kebanyakan kayak dibuat-buat, gak genuine. One Fine Day adalah cerita yang mature by nature, konfliknya dewasa. Bicara soal kejujuran, soal passion, pilihan hati. Aku paham film ingin membahas sesuatu yang serius dalam tone yang lighthearted, namun tetep terasa ada batasan-batasan adegan yang tidak bisa dilakukan. Tokoh dalam film ini mestinya sudah dewasa, tapi gak benar-benar meyakinkan karena acapkali mereka terasa seperti anak baru gede. Di sinilah letak masalahnya. Tokoh-tokoh tidak meyakinkan, mereka tidak terasa nyata karena tidak bertindak dalam bingkai-usia yang benar. Dialognya sering revert back ke kutipan-kutipan yang cheesy. Film ini juga catering ke pasar terlalu banyak dari yang semestinya mereka lakukan. Penggarapan filmnya, arahan, cara pengadeganan diolah untuk menyampaikan pesan masih mengandalkan trope dan pancingan dramatis yang over. Dalam film ini kita akan melihat montase pacaran, lengkap dengan musik yang ngehip. Soal musik, ya eksesif sekali, maksudku, mereka memasang di adegan sedih seolah akting nangis Ziudith belum cukup untuk menyampaikan rasa. Narasi juga terasa convenient. Ada banyak kebetulan yang terjadi, seperti kebetulan sekali cewek-cewek yang ditipu oleh Mahesa dan teman-teman tidak pernah nonton video youtube mereka atau melihat mereka nampil. But mainly, kebetulan-kebetulan digunakan oleh film untuk memancing tawa ataupun sepercik drama tambahan.

ini cuma aku sih, tapi aku cukup kecele oleh judul, kirain ini film real-time satu hari

 

 

Pada akhirnya semua plot keiket. Yang jahat kena batunya. Yang baik muncul ke permukaan dengan bahagia. Menari dan menyanyi. Berpelukan. It’s a fine day for everyone. Dan aku enggak akan bohong, ini adalah film yang oke. Punya cerita untuk disampaikan, dan tau cara menceritakannya. Kalian bisa ngajak seseorang yang spesial untuk nonton bersama, dan belajar soal kepercayaan. Kejujuran dan kebohongan. Tapi hanya itu. This movie doesn’t break any ground, or taking risk, atau menjadi lebih menantang – atau bahkan lebih dewasa, or anything else di luar jangkauan target pasarnya. If anything, justru malah bisa jadi lebih baik lagi jika tidak terlalu terpaku kepada trope-trope drama.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ONE FINE DAY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

WIND RIVER Review

“Nothing burns like the cold.”

 

 

Kuda dan hewan ternak di pegunungan bersalju kawasan reservasi pribumi Amerika pada tewas dimangsa oleh hewan-hewan liar. Serigala. Oke, masih mending. Singa gunung. Well, now there’s a problem. Orang-orang pada umumnya gak mau berurusan dengan singa, Cory Lambert malah memburu kucing gede itu dengan motor salju dan senapan. Sebab itulah pekerjaan mantan pemburu tersebut, dia mengurusin masalah hewan liar yang mengganggu kedamaian ternak di sana. Saat melacak jejak singa di padang salju, Cory menemukan jejak lain yang mengawalnya ke mayat cewek Indian remaja. Tempat dan kondisi yang sangat mengenaskan untuk beristirahat selamanya; paru-paru meledak, telapak kakinya yang tanpa sepatu biru membeku.

Jelas bagi Cory, ada predator lain yang lebih berbahaya yang harus ia buru.

 

Sebuah misteri pembunuhan, akan tetapi sesungguhnya Wind River adalah cerita yang sangat manusiawi yang punya bobot dan hook lebih dari sekadar siapa sih pelakunya. Sedari bait-bait puisi yang menjadi narasi mulai bisa kita dengar, setiap dimensi cerita yang dimiliki oleh film ini penuh oleh simbolisme. Wind River melengkapi trilogi bertema pria yang berada di dua sisi hukum buah tangan penulis skenario Taylor Sheridan. Dan kali ini, tidak seperti Sicario (2015), dan Hell or High Water (2016), Sheridan mengomandoi sendiri skenario yang ia tulis. Nulis dan jadi sutradara itu beda banget, enggak banyak yang bisa cakap pada kedua bidang sekaligus. Untungnya bagi Taylor Sheridan, dia sudah berpikir layaknya sutradara dalam setiap skenario yang ia buat. Dia punya pandangan luas tentang keadaan masyarakat, apa-apa yang menjadi salah dalam pandangan khalayak, dan hal tersebutlah yang diekspresikan olehnya. Dan hal tersebut bukan sekadar justifikasi tindakan moral yang lantang ketimbang menohok, Sheridan membuat cerita yang ditulis (dan kali ini digarapnya) menghantui layaknya puisi.

Dialog-dialog mengalir dengan brutal. Sementara di belakangnya, visual dan lingkungan tergambarkan persis seperti salju putih itu; DINGIN DAN SUNYI. Para aktor penampil mendapat arahan yang sangat baik, semua orang di sini tampak berada di puncak penampilan aktingnya masing-masing. Jeremy Renner menghilang ke dalam perannya sebagai Cory. Dia berurusan dengan masa lalu yang pahit – dia juga kehilangan anak perempuan – dan hal tersebut menjadi jembatan baginya untuk terkoneksi dengan warga-warga lokal di daerah tersebut. Terutama kepada ayah mayat cewek yang ia temukan, yang diperankan dengan sama fantastisnya oleh Gil Birmingham. Martin akan bikin kita terenyuh, ini adalah karakter yang penuh bukan saja oleh duka nestapa, melainkan juga oleh amarah, lantaran perlakuan yang didapat oleh keluarga dari pemerintah. Dan ultimately oleh dunia. Konflik yang dihadapi oleh Martin dan Cory sangat paralel, setiap adegan yang melibatkan mereka berdua saling curhat dan menghibur – dengan cara dingin film ini – adalah adegan yang kuat dan sangat menyentuh.

aku punya perasaan tak terjelaskan bahwa nama Indian si Cory ini adalah Hawkeye.

 

Wind River adalah salah satu dari sedikit film yang berhasil menjadikan lokasi sebagai karakter tersendiri. Kota yang diambil dari kota beneran, lengkap dengan masalah beneran di Amerika, punya peran yang penting di dalam cerita. Kota tersebut mempengaruhi penduduk yang tinggal di sana. Ada kegelapan, hypothetically, yang timbul dari kota yang dirasakan oleh penduduknya. Film benar-benar menangkap hal tersebut. Cory dan penduduk Indian lain stak di sini, di kota yang hanya ada salju dan tak banyak yang bisa dilakukan, dan mereka juga nyaris tidak dipedulikan oleh pemerintah. Ada banyak poin yang nunjukin susyenya birokrasi penyelidikan kasus, yang menunjukkan betapa tak-adil perlakuan yang penduduk kota ini dapatkan. Teks di akhir film literally bikin aku speechless, fakta dan kebenaran itu memang menyeramkan.

Apa persamaan antara salju, duka, dan menjadi Indian di tanah reservasi Wyoming? Sama-sama dingin dan sunyi. Itulah yang dirasakan oleh Cory dan penduduk Wind River. Mereka terpaksa tinggal di tempat yang dicuekin oleh pemerintah, oleh dunia, dan mereka tak bisa melakukan apa-apa selain menerimanya saja. Seperti menelan duka kehilangan. Kita terus mengingat orang yang telah meninggalkan kita, walau pahit, hanya karena kita enggak mau kehilangan kenangan dan hal-hal bahagia bersamanya. Dalam perkembangan diri, demi survival, Cory tahu Wind River adalah tempat yang memohon ada kejadian terjadi kepadanya, meski buruk, thus Cory will hunt them. Sebab tak ada lain yang bisa dilakukan Cory sebagai pemburu, dan batasan buruk bagi dirinya terpampang di kalimat “Singa harus berburu, tapi tidak pada ternak.”

 

Untuk mewakili penonton, film memasang tokoh Jane, si FBI cewek, yang dikirim untuk menangani kasus. Tokoh yang diperankan Elizabeth Olsen ini adalah orang dari luar kota. Saat datang pertama kali, Jane malah ‘salah kostum’. Pakaian yang ia bawa tidak ada yang mampu membuatnya bertahan hidup di cuaca sedingin Wind River. Bersama Jane kita akan belajar banyak atas apa yang terjadi pada kota dan bagaimana kota tersebut mempengaruhi penduduk. Biasanya, karakter kayak gini digambarkan oleh film-film sebagai tokoh yang lemah, dia mendapat banyak bantuan. Tak nutup kemungkinan juga tokoh yang annoying, dia akan banyak nanya-nanya dan dalam keadaan tak mengerti yang konstan. Jane, memang, banyak bertanya dan dia jujur-jujur bilang butuh bantuan kepada Cory. Kemampuan melacak Cory superior daripada yang ia punya. Tetapi Jane bukanlah karakter yang lemah. Dia tidak perlu diselamatkan setiap sepuluh menit sekali. In fact, dia membuat banyak pilihan. Dan, oh boy, dia benar-benar mengambil tindakan.

Untuk begitu lama, film ini mempersembahkan diri sebagai drama. Karena memang ini bukan film aksi. Namun, menjelang akhir, orang-orang berguguran, kejadian menjadi menegangkan. Kelanjutannya bahkan lebih brutal dan intens lagi. Porsi aksinya dibangun dengan cara yang sangat keren, sekitar sepuluh orang bersenjata berdiri siap menembak, stand-off tersebut tergambar dengan cara yang keren dan bikin kita gigit jari sambil melempar pandangan mata ke kanan dan ke kiri. Kita enggak yakin kelompok mana yang lebih terintimidasi, kita harap-harap cemas mana yang salah langkah duluan, yang menarik pelatuk duluan. Semua yang terlibat sama-sama takut, dan di momen krusial tersebut Jane mengambil tindakan. Adegan yang sangat memuaskan yang hanya bisa ditandingi oleh kejadian di babak terakhir di puncak gunung. Aku gak mau spoiler tentang adegan ini, karena perasaan cathartic yang kualami saat melihatnya sungguh-sungguh melegakan, super tegang namun puas secara emosi.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.  Wind River begitu sadis menangkap bagaimana sebuah tempat, lokasi yang dipaksakan untuk lama ditinggali oleh kita, dapat mendikte pandangan kita terhadap keseluruhan dunia. Membuat kita terkurung, mencegah kita berkembang ataupun melakukan hal-hal yang lebih selain bertahan hidup.

 

 

 

Tak pelak, film yang mengangkat masalah dunia nyata ini penting untuk ditonton. Taylor Sheridan menangkap sesuatu yang lebih putus asa, yang lebih gede dari kriminal biasa, dan itu adalah tentang keserampangan hidup manusia yang disebabkan oleh keadaan emosional yang mengurung. Duka adalah tempat paling sepi untuk tinggal, namun terkadang kita harus tetap tinggal di sana. Seperti orang-orang di reservasi Indian yang tak bisa pindah. Dalam film ini disebutkan teori forensik tentang seberapa cepat dingin dapat membunuh orang, well, dalam lapisan terdalamnya film berkata tentang seberapa cepat dinginnya perlakuan dapat membuat orang melakukan hal-hal yang di bawah derajat moral.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for WIND RIVER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE Review

“Kindness is still the best antidote.”

 

 

Pernahkah, selagi duduk di meja sarapan mengaduk teh manis hangat sambil nontonin berita tentang pengedar narkoba yang tertangkap, kalian berhenti sejenak dan berpikir bahwa sesungguhnya gula membunuh orang lebih banyak ketimbang obat-obatan terlarang? Berpikir bahwa gula nyata-nyata lebih adiktif, sembari kalian menyadari orang-orang di tv itu sebagian besar udah tergolong overweight, mengonsumsi gula berlebihan setiap hari? Jika gula yang secara data lebih berbahaya bisa dijual bebas, maka kenapa pengedar drugs kelas kakap seperti gue harus direndahin, kudu jualan diem-diem, musti ngasingin diri di oasis nostalgia 1950an di tengah belantara, begitu kiranya pikir Poppy si ratu kartel narkoba. Jadi, demi mendapat pengakuan, dia ngespike dagangannya yang paling laku, you know sebangsa heroin, dengan virus yang berujung kematian massal. Practically dia menyandera semua pemakai, about sebagian besar penduduk dunia – no surprise there – dengan mengeluarkan ultimatum; serum penawar virus akan dibagikan jika Amerika gencatan senjata dengan narkoba. Melegalkan usahanya.

Itulah musuh yang harus dihadapi oleh agen-agen Kingsman dalam film sekuel ini. Seperti pendahulunya, The Golden Circle juga berusaha untuk menangkap masalah dunia yang relevan dengan keadaan recent dan membalutnya dengan aksi yang begitu gila dan komedi yang in-your-face sehingga hasilnya adalah tontonan yang sangat over-the-top namun tak pelak seru dan menarik. Actually, Eggsy harus bekerja sama dengan agensi agen rahasia Amerika, Statesman, yang menyamarkan organisasi mereka dalam bisnis minuman beralkohol. Eggsy yang kehilangan sebagian besar rekan-rekan Kingsmannya tak punya pilihan. Sama seperti kita yang tidak diberikan waktu senggang untuk berpikir tentang betapa lemahnya alasan dan motivasi villainnya, thus membuat film ini juga enggak sekuat yang pertama. Sebab Kingsman tidak menawarkan pemikiran ataupun emosi, dia cuma punya aksi-AKSI KEKERASAN YANG DIBUAT SEMUSTAHIL MUNGKIN SEHINGGA TAMPAK AMAT GAYA. Dan nyali untuk mempertontonkannya.

Tempat tanpa pemakai narkoba mungkin adalah utopia yang nyaman untuk ditinggali. Orang-orang hidup bersih. Hidup sehat. Enggak ada si brengsek yang bertindak nekat. Namun kenyamanan tempat itu dipertanyakan jika untuk mencapainya berarti kita harus menciptakan terlebih dahulu tempat tanpa ada yang mau menolong pemakai narkoba. Kingsman: The Golden Circle, at its best, akan mengingatkan kita akan hal tersebut.

 

Tidak ada titik lemah dalam jajaran pemain. Taron Egerton sekali lagi sangat bagus sebagai Eggsy. Attitude dan timing comedynya pas banget. Channing Tatum menghibur, Colin Firth, Mark Strong, dan karakter-karakter lain bermain sama baiknya. Aku suka Julianne Moore bertindak sebagai gembong penjahat di sini. Yang dia berikan adalah performance yang sangat menarik dan sangat fun, meskipun naskah memilih untuk menggunakan tokoh Poppy ini dengan cara yang aneh. Aneh yang not in the good way.

Untuk sebagian besar waktu, Poppy ditampilkan terpisah dengan tokoh lain. Dia enggak pernah keluar dari persembunyiannya, yang enggak benar-benar tempat persembunyian ataupun tempat yang terpencil, as kita melihat berbagai macam orang keluar masuk tempat yang hanya dilindungi oleh ranjau itu. Dia punya dua anjing robot sebagai henchmennya yang paling diandalkan. Dia menculik seorang penyanyi terkenal yang dibiarkan ikut tinggal di area hideout (by the way, Elton John juga teramat menghibur di film ini, dan perannya actually lebih gede dari kelihatannya). Jadi kejahatan dan kekejaman Poppy tidak banyak tercermin, kecuali melalui rencana narkobanya. Dalam sense dan moral film ini, orang jahat dan orang baik tidak bisa gitu aja diputuskan lewat apakah dia memakai narkoba atau enggak, yang mana membuat kekejaman tindak Poppy lagi-lagi bergantung kepada pandangan kita tentang suara besar film tersebut. Secara pribadi, Poppy adalah karakter yang fun dan menarik, akan tetapi buatku tindakan Poppy enggak cukup jahat, dia tidak begitu mengancam sebagai penjahat, dan ultimately aku enggak begitu khawatir akan keselamatan tokoh utama.

kekuatan film diukur dari kekuatan penjahatnya

 

Pujian terbesar yang bisa kita berikan kepada film ini disarangkan buat departemen sinematografi. Adegan-adegan percakapan, lokasi set yang beragam, semuanya terlihat begitu menawan dan simetris. Ini adalah film yang sangat cantik. However, prestasi bagian action film pertamanya tampak menjadi beban. Kingsman terkenal dengan aksi yang sangat over-the-top, yang sangat liar, masih ingat dong ya dengan Gazelle yang tendangan kaki spesialnya mampu mengupas orang menjadi dua kayak kulit pisang yang dibuka. Pada Kingsman terbaru, meski adegan aksinya dibuat dengan sangat menarik secara visual, film kali ini tampak terlalu bergantung kepada penggunaan CGI. Efek dipakai untuk menyatukan shot-shot. Sekuens berantem dan aksinya lebih tampak seperti adegan keren dalam video game, mereka ingin melakukan begitu banyak hal-hal mustahil yang menghibur, mereka mencoba untuk menjadi super over-the-top, namun orang-orang yang dilempar ke sana ke mari, meloncat melakukan hal-hal gila, tidak lagi tampak masuk akal sebagai manusia biasa.

“Terlalu penuh” biasanya bukanlah ungkapan yang memiliki arti positif. Begitu juga buat Kingsman: The Golden Circle. Film ini memasukkan banyak subplot, ada banyak kejadian ataupun cerita yang berusaha disampaikan oleh naskah. Kita melihat tentang pilihan hidup, sekaligus ada romansa dan loyalitas, ada pembahasan soal bagaimana jika orang yang kita jadikan panutan berubah menjadi pribadi yang sama sekali berbeda. There are some many different things yang terjadi di sini. Ketika sekuen aksi berlangsung, film menjadi exciting. Namun ketika kita berada di kejadian di antara sekuen-sekuen aksi, film menjadi membosankan. Durasinya yang dua-setengah-jam terasa semakin berat dan panjang. Film berkembang menjadi semacam banyak adegan-adegan kecil yang diulur-ulur dan enggak benar-benar perlu.

Karakter berangkat dari titik A menuju titik B terlebih dahulu, dengan tujuan aslinya ada di titik Z. Alih-alih menggunakan alasan logis untuk membuat karakter tersebut maju, film  ini menggunakan ‘perjalanan’ yang berbelit. Contohnya ketika Eggsy harus menemukan lokasi suatu tempat, dan untuk mendapatkannya dia harus menyusup ke konser musik untuk mencari cewek salah satu bandit. Dan dia bersama agen lain berusaha untuk ngeflirt sama cewek itu supaya mereka bisa menaruh tracker di dalam tubuh si cewek sehingga mereka bisa ngikutin si cewek kalo dia pergi ke markas. Dipanjang-panjangin dan sangat gak-perlu. I mean, masa sih gak ada cara lain yang lebih singkat dan praktikal lagi.

Pengen liat Statesman lawan Gin dan Vodka dan pasukan Baju Hitam dari Detektif Conan

 

 

 

Tak jarang memang sekuel merasa punya tuntutan untuk menjadi lebih besar dan lebih baik dari film pertama. Kadang mereka mencoba untuk menghadirkan penjahat yang lebih dahsyat ataupun sinting, kadang dengan sekuens aksi yang lebih banyak dan edan, dengan penggunaan efek yang lebih dahsyat. Film ini sebagian besar menderita karena ingin tampil lebih grand ini. Mereka gagal. Penjahatnya enggak mengancam, actions mencoba untuk lebih seru dengan efek yang lebih banyak – hanya membuat tokoh-tokoh yang terlibat tidak lagi terlihat sebagai manusia normal. Menderita dari kebanyakan hal yang ingin mereka lakukan. Naskahnya digarap lebih santai dibandingkan aksi yang benar-benar dienchance dan dikoreografi dengan matang. Dari perspektif narasi, mestinya banyak yang bisa dipotong demi mempersingkat. Dan membuat film yang seru ini lebih menyenangkan lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.