KELUARGA CEMARA 2 Review

 

“I ask them why is it so hard to keep a promise”

 

 

Di tengah maraknya film horor yang menjual kesadisan, superhero yang berwarna kekerasan, dan drama yang mengutamakan keganjenan, film Indonesia memang agaknya cukup kekeringan cerita untuk anak-anak. Film yang totally aman dan berguna untuk ditonton anak-anak. Film yang benar-benar berangkat dari sudut pandang anak-anak. Film yang berani menunjukkan permasalahan yang bisa dialami oleh anak-anak. Film  yang karakter anaknya beneran ditulis seperti anak-anak. Awal tahun ini, ada sih satu, cuma terlewat olehku karena at that time aku masih belum boleh ke bioskop. Untungnya, Visinema sekali lagi mengangkat cerita anak-anak. Keluarga Cemara 2 – kali ini ditangani oleh Ismail Basbeth – dijadikan drama yang lebih berfokus kepada suka duka petualangan Ara dalam menagih sekaligus mempertahankan janji.

Oh man, ngomongin soal dijanjiin hal-hal saat masih kecil…  Kalo semua janji orangtua dan oom-tante kepadaku waktu masih kecil dulu beneran mereka pegang, aku sekarang bakal punya snack kentang sekontener, mainan serta buku komik satu truk, serta permen segudang uang Gober Bebek, dan banyak lagi! I’ve lost count karena sudah capek menghitung janji. Lebih banyak yang gak ditepatinnya ketimbang yang beneran diwujudkan. Janji-janji tersebut di mata orangtua mungkin sekadar supaya anak mau mengerjakan tugas atau mau menjaga sikap. You know, supaya anak melakukan sesuatu untuk kebaikan sendiri. Tapi bagi si anak, janji itu berarti demikian besar. Buat orangtua yang gak percaya; tonton saja Keluarga Cemara 2. Di film ini Ara merasa jauh dari keluarganya yang mulai sibuk hingga melupakan janji mereka.  Emak sibuk ngurus Agil, sedangkan Abah sibuk sama kerjaan baru di peternakan sehingga janji benerin kamar Ara masih ditangguhkan. Kamar? Ya, Ara kini tidur sendiri karena kakaknya, Euis butuh privasi sebagai remaja SMA yang mulai pacar-pacaran. Untuk alasan itu jualah Euis tidak bisa lagi memenuhi janjinya kepada Ara untuk pulang sekolah bersama-sama. Ara jadi sedih. Yang Ara punya sekarang cuma anak ayam yang ia pungut di jalan. Dan Ara bersama teman sekelasnya nekat berjalan ke kampung sebelah yang jauh, demi mencari keluarga si anak ayam yang tersesat. Yang jelas saja bikin panik keluarga Ara di rumah!

Secretly, ini juga journey Ara menjadi seorang vegetarian hihihi

 

Motivasi Ara memang terlihat sepele. Ingin nganterin si anak ayam ke keluarganya yang hilang. Dan memang seperti itulah kebanyakan orangtua memandang perbuatan atau sikap anaknya. Sebagai hal yang sepele. Makanya mudah mengobral janji. Menganggap pada anak semua adalah main-main. Lihat betapa kekinya Abah ketika Ara bilang dirinya bisa bicara sama ayam, dan ayam itu bilang rindu pada keluarga. Abah menganggap imajinasi Ara sudah keterlaluan. Ayam mana bisa ngomong? Tapi ayam si Ara bisa. Buktinya bukan karena Mang Romli waktu kecil bisa bicara dengan kodok, ataupun bukan karena kita actually dibuat oleh film mendengar suara ayam-ayam memanggil nama Ara (yang awalnya dikira hantu oleh Ara) Melainkan karena ayam Ara punya makna di baliknya.

Ayam itu bagi Ara adalah pengganti sosok sahabat yang selama ini dia lihat pada kakaknya. Semenjak kakaknya sibuk pacaran dan mereka tidur di kamar yang berbeda, Ara jadi kesepian. Also, anak ayam ini juga jadi bentuk sikap dari Ara. Anak perempuan ini tau gak enaknya diingkari janji, maka ia bertekad untuk benar-benar menemukan keluarga si anak ayam, seperti yang ia janjikan. Setelah sebelumnya ia sempat gak mau berjanji kepada abah dan kakaknya, karena dia enggak mau jadi seperti mereka yang ingkar janji. Ketika kita mensejajarkan pandangan kepada level Ara, semua tidak lagi terasa sepele. Yang karakter ini lalui sepanjang durasi merupakan problematika trust yang cukup merenyuhkan hati. Kita bisa merasakan begitu pentingnya bagi seorang anak seusia Ara untuk dipercaya oleh orang lain (khususnya orang dewasa) dan in turn bisa menaruh kepercayaan kepada orang dewasa. Apalagi Ara ini anak tengah, yang biasanya paling butuh untuk dinotice sebab posisinya di antara sodara pertama yang punya banyak masalah dan sodara bungsunya yang ‘mencuri’ perhatian dari dirinya. Ara butuh banyak atensi, tapi justru itu yang tidak ia dapatkan.  Memerankan karakter seperti demikian, aku takjub Widuri Sasono tidak kehilangan aura anak kecilnya. Kita harus berterima kasih juga kepada naskah yang benar-benar mencoba menggali perspektif Ara sehingga karakter ini tidak nestapa semata. Widuri memperlihatkan passion dan semangat pada karakternya ini, while also memberikan emotional journey. Menurutku amazing sekali di tengah jejeran cast seperti Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, dan bintang muda yang hits Adhisty Zara, film mempercayakan peran utama kepada karakter anak kecil, dan Widuri membuktikan dirinya bisa membawa cerita.

Tapi tau gak kenapa aku gak pernah menagih janji-janji masa kecil kepada orangtua dan oom-tante? Karena seiring bertumbuh aku sadar bahwa janji-janji itu bukannya tidak mau ditepati, tapi karena situasi tertentu, beberapa janji memang tidak mungkin untuk ditepati. Momen penyadaran seperti itu tidak aku temui pada cerita Ara di Keluarga Cemara 2.

 

Tiba di bagian akhir, film seperti jadi ragu dan kembali seperti kebanyakan film untuk anak-anak; sugarcoating things. Di akhir cerita, tidak banyak pembelajaran yang dialami Ara, dia ‘cuma’ memaafkan Euis dan Abah. Dia ‘hanya’ mencoba mengerti kenapa mereka gak menuhin janji tanpa belajar tentang ‘janji’ itu sendiri. Kenapa aku menyimpulkan begini? Karena film membuat Ara berhasil memenuhi janjinya kepada si anak ayam. Sesuatu yang bahkan dalam konteks imajinasi/fantasi pun merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan. Menurutku, pembelajaran mestinya bisa lebih kuat jika Ara dibikin gagal saja. Dengan begitu, Ara akan natural mengerti bahwa janji bisa tidak terwujud karena situasi. Yang tentu saja mencerminkan masalah janji Abah yang sibuk atau janji Euis yang memang sudah pada masa butuh privasi. Pembelajaran Ara untuk bisa sampai di titik yang diperlihatkan akhir cerita bisa lebih tegas. Ara bisa sekaligus belajar tentang kehilangan, tanggungjawab, dan lain-lain yang menyertainya.

Keluarga Cemana

 

Aku punya dua adik sepupu cewek yang jarak umur mereka sama seperti Euis dan Ara, dan yang terjadi pada Euis dan Ara pada film ini persis terjadi juga kepada mereka. Adik yang secretly ngefans ama kakaknya, sehingga terus berusaha nyari perhatian sang kakak, dan ujung-ujungnya kena marah karena si kakak lagi pengen sendiri. Atau karena adiknya simply bertingkah annoying kayak si Ara yang mainin lagu atau merebut sisir. Jadi aku bisa bilang penggambaran relasi kakak-adik usia segitu dilakukan oleh film ini dengan otentik. Aku juga nonton film Ramona and Beezus (2010), adaptasi novel anak dibintangi Joey King dan Selena Gomez. Ramona juga harus pisah kamar ama kakaknya, karena si Beezus udah beranjak gede dan butuh privasi. Kalo Keluarga Cemara 2 dibandingkan dengan film itu, Keluarga Cemara 2 cenderung lebih muram. Kalah ceria. Hanya Ara yang menghidupkan suasana. Euis di sini bener-bener gak asik.  Beezus juga punya masalah cinta sama cowok di sekolah, tapi aku masih melihat dia menggoda adiknya, ngejailin adiknya, bersikap enggak satu note-lah pokoknya. Euis di Keluarga Cemara 2 adalah gadis yang impossible diajak ngobrol. Cemberut dan dingin selalu, bahkan sama teman gengnya dia gak tampak asyik.

Abah dan Emak juga begitu. Sekali lagi, dibandingkan dengan Ramona and Beezus yang masalah keluarganya juga soal duit dan kerjaan, Abah dan Emak lebih depresif. Kurang momen ceria. Padahal kalo dilihat-lihat dari cerita, enggak mesti juga dikasih stake ekonomi, apalagi di akhir juga tidak terlalu dikembangkan. Cerita harusnya stick aja kepada Ara, stakenya bisa diambil dari Ara yang hilang dan semacamnya. I mean, cerita keluarga yang hidup di desa toh gak harus bersusah-susah, yang penting kan kesederhanaan dan kehidupan di sananya terpotret. Menilik dari peran-peran yang lain, akar masalah film ini sebenarnya sama juga dengan kebanyakan film Indonesia lain. Mengotak-ngotakkan fungsi peran. They did free it up buat Ringgo sebagai Abah, yang harus bermain dengan nada dramatis alih-alih komedi. Tapi karakternya tetap terasa terbatas karena yang lain masih ada di kotak. Euis, Abah, Emak ‘dilarang’ ceria karena porsi ceria dan jenaka sudah diberikan kepada Romli dan Ceu Salma. Porsi Asri Welas di sini lebih banyak daripada di film pertama (mungkin karena masuk nominasi FFI hihi) meskipun karakternya tidak berperan banyak selain untuk memantik kelucuan, juga tidak berbeda banyak dengan tipikal peran komedi yang diperankan Welas biasanya. Mengingat baru-baru ini kita mendapat dua film yang berani mendobrak pengotakan fungsi peran seperti demikian (Ngeri-Ngeri Sedap dan Srimulat) maka film Keluarga Cemara 2 ini jadi terasa sedikit ketinggalan zaman.

 

 

 

Janji untuk memberikan film Indonesia yang bermutu mestinya tidak sesusah janji Euis untuk diwujudkan oleh filmmaker tanah air. Buktinya, film yang kita bahas kali ini sebenarnya sudah hampir bisa mewujudkannya. Film ini tampil dengan hati. Menyuguhkan kisah keluarga dari perspektif anak kecil yang relate dan genuine. Ini masih jauh lebih baik dibandingkan film-film lain yang katanya untuk anak-anak. Hanya, pembelajaran karakternya mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Lebih nendang lagi.  Karakter-karakter lainnya pun mestinya bisa lebih dihidupkan lagi ketimbang sekadar fungsi-fungsi. Sebagai franchise reboot-an – aku  gak tau mereka merencanakan apakah ini untuk trilogi atau untuk berapa film lagi – kupikir franchise ini cukup solid, walaupun yang film kedua ini terasa lebih kecil dan gak lebih wow dibanding film pertamanya. Tapi aku suka mereka mempersembahkan ini dengan perspektif karakter yang berbeda. Pergantian sutradara yang tadinya kupikir cukup aneh (jarang ada film pertama yang sukses secara jumlah penonton, mengganti sutradara untuk sekuel) tapi setelah melihat filmnya yang angkat sudut pandang berbeda, jadi agak make sense. Mungkin film ketiga nanti bisa dari sisi Agil? Please…? Tingkah baby Agil udah scene stealer banget di sini hihihi
The Palace of Wisdom gives 6  out of 10 gold stars for KELUARGA CEMARA 2

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian anak-anak lebih menghargai janji daripada orang dewasa?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

BACKSTAGE Review

“A sister is both your mirror —and your opposite.”

 

 

Dunia panggung hiburan yang gemerlap ternyata juga ada hantunya. Tapi hantu di sini bukan hantu yang mati penasaran itu, melainkan yang penasaran pengen merasakan jadi bintang yang dipuja banyak orang tapi gak bisa karena fisik yang gak menjual. Fenomena ‘ghost singer’ – penyanyi yang suaranya dipakai sebagai suara orang lain – memang tak selangka yang kita kira. It happens every so often. Bahkan di Hollywood jaman old aja udah dinormalize aktor-aktor ngelip sync adegan musikal dengan menggunakan suara orang lain. Seperti yang kemudian dieksplorasi dalam cerita film Singing’ in the Rain (1952). Bahasan ghost singer dalam film-film memang biasanya seputar industri dan tentang tubuh (yang suaranya bagus biasanya yang kurang atraktif dibandingkan yang mau diorbitin sama produser). Backstage garapan sutradara Guntur Soeharjanto juga bercerita dengan panggung ghost singer. Tapi drama musikal ini punya lapisan yang lebih membumi, lebih personal. Karena film ini actually lebih banyak bicara soal persoalan kakak beradik perempuan. Bagaimana yang satu selalu ada bagi yang lain, meskipun perlahan itu memakan dirinya dari dalam.

Ngecast kakak-adik beneran jadi shortcut yang sangat kita apresiasi. Chemistry Sissy Priscillia dan Vanesha Prescilla menguar, drip out of screen, setiap kali mereka beradegan berdua. Benar-benar menambah banyak untuk realisme film. Sissy di sini jadi Sandra. Kakak yang sayang banget sama adiknya, sekaligus jadi tumpuan keluarga mereka. Vanesha jadi Elsa, adik yang lebih naif dan punya mimpi jadi aktris terkenal. Saat kafe tempat mereka bekerja bangkrut, mereka berdua bikin video Elsa bernyanyi lip sync pake suara Sandra, untuk audisi film. Tembus dong! Produser yang juga lagi kepepet, memilih untuk mengorbitkan Elsa sebagai penyanyi. Dengan memakai suara dan lagu Sandra. Awalnya Sandra ragu, karena itu membohongi publik dan resikonya besar. Tapi demi sang adik, dia bersedia. Video mereka diupload. Dan viral. Elsa terkenal. Mereka sudah on the way luncurin album. Tapi Sandra nelangsa. Kontrak menyebut dia tidak lagi boleh kelihatan bersama adiknya. Tidak mendapat kredit, namanya bahkan tidak muncul dalam pemberitaan soal keluarga Elsa. Things dengan cepat menjadi out of sync bagi hubungan persaudaraan mereka.

backstage1099676036
Elsa <knock knock knock> do you want to build a trouble?

 

Sudut pandang cerita ditampilkan berimbang. Elsa juga disorot. Bahwa itu semua juga tidak mudah baginya. Kita akan melihat ‘perasaannya’ ketika mau nampil. Film juga membawa kita masuk ke dalam Elsa, bahkan lebih sering ketimbang kepada Sandra. Walaupun dia bisa akting, tapi pura-pura bernyanyi – actually tampil live di depan orang-orang -tetaplah tidak gampang. Sebab Elsa tidak hanya ngerekam suara atau syut music video. Dia juga harus konser di atas panggung. Kita diperlihatkan bahwa dia juga, katakanlah stress menjaga rahasianya , dan semakin gamang juga dengan apa yang ia lakukan. Teruskan atau tidak. Terlebih karena ini adalah passionnya. Itu semua menguatkan karakternya yang memang tidak bisa jauh dan sebenarnya sangat membutuhkan sang kakak. 

Tentu, adegan musikalnya bakal bikin kita “bernyanyi-nyanyi” kayak lagi karaokean lagu-lagu pop populer. Lagu original film ini pun nendang dan indah banget, but I don’t wanna talk too much about them. Harus tonton, dengar dan rasakan sendiri! Pembawaan dan penempatan sekuens lagu-lagu itu juga tampak diperhatikan. Film menyesuaikannya dengan rancangan mood. Sehingga walaupun sering juga ditampilkan dengan sedikit terlalu banyak cut, membuat agak susah melihat koreografi seperti susah melihat adegan aksi dalam film action yang banyak cut-to-cutnya, kita tidak terlepas dari emosi. Dan karena enjoy, somehow kita memaklumi. Misalnya ketika adegan opening, banyak cut tapi kayak it’s okay karena ternyata adegannya semacam ‘dream sequence’. Atau ketika nyanyi di panggung, kamera juga udah kayak ngerekam konser beneran, dan kita menontonnya dari layar operator yang banyak sekali monitor dari berbagai sudut panggung. Dan tentunya juga, drama backstage industri entertainment di cerita ini – betapa fakenya semua, betapa mereka hanya melihat bakat dan bahkan kecantikan sebagai produk untuk dijual – bakal bikin kita geregetan.

Tapi sebenarnya hubungan kakak-adiklah yang jadi inti dan hati cerita. Strip film ini dari setting ghost singer dan musikalnya, maka sebenarnya Backstage adalah cerita tentang persaudarian yang ternyata bisa lebih kompleks dan lebih emosional dibandingkan dengan saudara cowok dengan cewek atau cowok dengan cowok. Ini bukan sekadar soal menjaga adik, atau soal saling berkompetisi. It is kinda both. Sandra ingin membantu adiknya mencapai cita-cita, tapi tentu saja dia juga punya cita-cita sendiri. Dan sekarang si adik ini justru mengambil cita-citanya. Si adik yang selama ini mengikuti dirinya, kini berada di depan. Casting a shadow untuk dirinya di dunia yang, katakanlah, tadinya miliknya, sehingga kini justru dirinya sendiri harus menghilangkan diri dari sana. Perihnya, Sandra gak bisa apa-apa karena dia sendiri yang mengizinkan itu terjadi sedari awal. Inilah yang bikin semuanya perih. 

Penyair Amerika Lousie Gluck bilang dari dua sisters, akan selalu yang satu jadi penonton sementara yang satunya menari. Yang menonton akan meniru yang menari, lalu kemudian dinamika tersebut akan berbalik. Inilah yang juga terjadi pada Sandra dan Elsa. Inilah yang harus mereka pecahkan bersama. Masing-masing harus menyadari bahwa mereka bukanlah bayangan satu sama lain, melainkan pantulan. Mereka bisa menari – atau dalam kasus film ini – menyanyi bersama.

 

Meski memang aspek emosional itu terasa juga pada akhirnya, walaupun kita mengerti konflik di antara kedua karakternya di balik potret ghost singer, tapi sebenarnya film ini tidak mulus dalam penceritaannya. Naskah tidak benar-benar fokus pada karakter dan perspektif mereka berdua. Like, soal stake saja misalnya. Menurutku justru lucu sekali yang punya stake duluan di cerita ini adalah karakter produser. Kita dibuat mengenali masalah dia, bahwa ini adalah proyek terakhirnya, sehingga dia gak boleh gagal mengorbitkan bintang. Film berjalan dengan hal tersebut sebagai taruhan. Sementara bagi Sandra dan Elsa, mereka butuh duit, dan enggak sampai satu jam, kita udah lihat keberhasilan mereka. Dari rumah sederhana ke rumah mewah seiring suksesnya Elsa. Di titik itu, sekalipun mereka gagal, yang paling ‘mati’ adalah si produser. Stake Sandra dan Elsa – beserta perspektif mereka – seharusnya dikuatkan lagi. Salah satu di antara merekalah (tergantung mana yang mau dijadikan karakter utama) yang harusnya push ide penyanyi bayangan itu karena butuh duit. Itu akan memberikan lapisan personal kepada karakter, sehingga tekanan lebih besar dan ceritanya jadi fokus kepada kedua sentral ini aja.

Karena memang ini adalah cerita yang menggali personal karakter. Tapi pengembangan yang dilakukan film, malah dari luar. Si produser, terus ada karakter seleb cowok yang tau rahasia mereka tapi lantas jadi seperti jatuh cinta sama Elsa, dan banyak lagi elemen romansa yang benar-benar diniatkan. Ini membuat permasalahan yang jadi topik utama kayak poin-poin saja. Sandra ragu untuk setuju. Lalu Sandra senang videonya viral. Lalu Sandra ngerasa dikucilkan. Sandra marah. Di antara poin-poin itu diisi oleh kejadian dari luar sebagai penggerak plot. Dan kejadian itu gak semuanya kokoh, like, ada yang konyol kayak Sandra ketauan nyanyi di Panti, membuat mereka dimarahi karena melanggar kontrak. Anehnya kontraknya kan soal gak boleh tampil berdua saja, sementara Sandra nyanyi sendirian. Gak ada Elsa di situ.  Turns out, peristiwa tersebut ternyata bukan masalah genuine. Naskah gak perlu sebenarnya pake yang ribet kayak gini. Karena inti kakak-adik itu sudah cukup jika benar-benar dari situ saja menggalinya.  

backstage-4--600x330
Not on this picture: Vanesha kebanting ama Sissy

 

Sejak suara Sissy nongol jadi suara Milea dalam Dilan 1990 (2018) aku udah penasaran pengen melihat dua kakak beradik ini adu akting bareng. Apalagi mereka berdua ini mirip bangeeettt… aku surprise pas menjelang Gadis Sampul 2014 ada finalis yang mirip ama Sissy, dan ternyata memang adiknya. Cuma waktu itu aku belum tahu kalo Vanesha juga bisa akting, taunya cuma bisa nyanyi. Jadi film ini benar-benar menjawab rasa penarasanku. I’m happy for them, pastilah seru akting bersama saudara sendiri, di film musikal pula. Dan ternyata mereka berdua memang klop. Meskipun jika ditengok lebih dalam, akting Sissy lebih kuat. Range karakter diterabasnya dengan mantap. Vanesha belum konsisten. Kadang bagus, kadang terdengar kurang masuk dengan karakternya, khususnya pada adegan-adegan yang menuntutnya bermain lebih emosional. Dan ada tantangan dalam karakternya yang aku bingung antara dia berhasil atau tidak. Yakni soal Elsa yang tidak bisa bernyanyi. Tapi ada nanti adegan Elsa nyanyi, dan buatku suaranya fine kok. Penonton yang ada film pun tidak menunjukkan reaksi. Enggak sejelek butuh untuk didubbing oleh suara orang. Aku jadi gak yakin apakah Vanesha sulit akting bernyanyi jelek, atau memang film meniatkan bahwa sebenarnya Elsa bisa bernyanyi tapi dia gak sadar/gak pede, atau gimana.

 

 

Dengan menonjol relationship antara dua kakak-beradik, film ini mampu menjadi cerita tentang ghost-singer dalam industri hiburan menjadi lebih emosional. Ini gak sekadar soal bakat atau mimpi yang kandas karena standar kecantikan atau sekadar soal enterainment itu jahat. Tapi inti sebenarnya adalah soal seorang kakak dan pengorbanan yang dilakukan dan bagaimana menghargai itu semua. Film ini dimulai dengan ‘lucu’ dan berjalan dengan cukup ngembang ke mana-mana, namun pada akhirnya cukup berhasil mendaratkan pesan itu. Semua tersampaikan berkat akting dan chemistry natural kedua pemain sentral. Desain produksi yang gemerlap serta musik-musik yang enak didengar serta menyentuh turut membuatnya lebih gampang untuk disukai. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BACKSTAGE.

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya cerita suka dan duka bersama abang/adik/kakak? Bagaimana pendapat kalian tentang persaingan di dalam keluarga?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FEAR STREET PART 2: 1978 Review

“Beware of that monster called ‘self-loathing'”

 

Bagian kedua dari trilogi Fear Street garapan Leigh Janiak mengambil tempat pada sebuah perkemahan musim-panas tahun 1978. Kemah musim-panas sendiri memang tahun 80an sudah menjadi staple dalam cerita-cerita horor Amerika, termasuk dalam film dan dalam cerita-cerita karangan R.L. Stine sendiri. Dalam seri Goosebumps originalnya aja ada tujuh cerita yang berset di kemah musim-panas. Sehingga tentu saja makes perfect sense jika Fear Street melangkahkan kaki ke sana. Membuat cerita perkemahan anak sekolah itu menjadi lebih sadis dan lebih berdarah-darah. Sesuai dengan ‘fitrahnya’ dalam jagat film horor. Kita tentunya tahu persis nama-nama kemah Crystal Lake, kamp Arawak, kamp Stonewater, Hurrah, beserta nama-nama pembunuh psikopat yang mengganas di masing-masingnya.

Kemah musim-panas adalah panggung bermain ideal untuk horor slasher, dan untungnya bagi Leigh Janiak, film-film tersebut tidak mengeset standar yang tinggi – paling enggak, tidak setinggi standar Scream yang berusaha dicapai (dengan gagal gemilang) oleh Janiak di Bagian Pertama Trilogi ini. Subgenre dari slasher 80an ini enggak harus cerdas. Enggak harus trendi. Untungnya bagi kita, Janiak kali ini paham mengenai advantage-nya tersebut. Dia menyuntikkan segenap hati pada cerita bunuh-bunuhan dan misteri supernatural. Membuat Fear Street Part Two sedikit lebih berbobot dan lebih gampang dinikmati daripada bagian sebelumnya.

fearstreethttps___netflixlife.com_files_image-exchange_2021_07_ie_70794-850x560
Kalo di kita, summer camp ini mungkin padanannya adalah pesantren kilat (?)

 

Pencarian kebenaran mitologi penyihir bernama Sarah Fier yang mengutuk kota Shadyside dengan serial-killer psikopat tak berkesudahan, membawa Deena (protagonis film bagian pertama) dan kita ke Camp Nightwing tahun 78 silam. Tepat beberapa saat sebelum kutukan penyihir itu menghantam, mewarnai kabin-kabin di tengah hutan itu dengan warna darah. Di masa lalu itulah kita bertemu dengan protagonis film bagian kedua ini. Dua kakak beradik Berman. Ada Ziggy, yang dibully oleh teman-teman dari Sunnyvale. Dan Cindy, yang bekerja sebagai pengawas perkemahan. Hubungan antara dua saudari inilah yang jadi hati dalam cerita. Karena hubungan mereka sebagai kakak-adik actually sangat tidak akur karena situasi keluarga, tapi mainly karena keduanya punya reaksi yang sangat bertolak belakang perihal dipandang kecil sebagai warga Shadyside. Ketika malam tiba, dan pacar Cindy disihir oleh kutukan sehingga menjadi Pembunuh Berkapak, Ziggy dan Cindy yang terpisah harus berusaha menyelamatkan diri sembari mencari cara untuk menghentikan kutukan tersebut. Berdua, atau tidak sama sekali.

Instantly, cerita yang jadi tubuh film bagian kedua ini terasa lebih kuat dan menarik dibandingkan film bagian pertama. Di sini kita dapat protagonis kakak-beradik yang berkonflik langsung dengan semuanya. Cerita ini sepenuhnya milik mereka. Ini bukan sekadar cerita survival dari pembunuh (yang kenal mereka secara personal), melainkan ada konflik sisterhood yang bisa kita pedulikan. Penulisan film kali ini bekerja dengan efektif mengaitkan karakter dengan bangunan mitologi, more importantly dengan kota yang menjadi bagian dari mitologi tersebut.

Soal kota tersebut actually adalah poin lemah pada bangunan film 1994. Film itu terlalu sibuk live it up ke slasher 90an sekaligus kepayahan untuk membuat protagonisnya tampak penting. Sehingga lupa untuk menghidupkan mitologi secara natural. Kebanyakan hanya lewat eksposisi, sedangkan kota Shadyside yang harusnya jadi karakter tempat mitologi tersebut bisa bersemayam dilewatkan begitu saja. Film 1978 kali ini, meskipun memang masih terdapat banyak eksposisi (kali ini tampak lebih natural karena hanya lewat buku catatan), tapi menyebut lebih banyak tentang bagaimana rasanya menjadi penduduk sebuah kota yang terkenal ‘sial’ karena banyak terjadi pembunuhan sadis. Film dengan bijak menggunakan setting kemah musim panas untuk melakukan hal tersebut. Kemah tersebut dihuni oleh anak-anak dari Shadyside dan Sunnyvale. Lewat interaksi para karakternya lah, kota-kota ini (terutama Shadyside) mulai terasa hidup sebagai karakter tersendiri. Kita melihat perbedaan status (dan bahkan nyaris perbedaan fisik) yang ditimbulkan oleh tinggal di kota tersebut. Setiap kali nama Shadyside disebut dalam perbincangan, kepercayaan kita akan kutukan dan ‘jelek’nya kota tersebut bertambah. Kita jadi seperti merasakan langsung pengaruh buruk kota tersebut kepada karakter-karakter penghuninya. Karena baik Ziggy, Cindy, maupun karakter pendukung seperti Alice dibuat punya kebencian dan ‘mekanisme bertahan’ sendiri terhadap status mereka sebagai warga.

Sadie Sink lebih beruntung dibandingkan alumni Stranger Things yang muncul di film 1994, karena dia mendapat peran yang lebih demanding secara emosi, dan literally lebih penting, pada film 1978 ini. Sebagai Ziggy, Sink harus memainkan angst remaja ke dalam note-note emosi yang intens. Ada kemarahan dan keputusasaan yang nyaris konstan harus dia keluarkan. Ziggy membenci fakta bahwa dia adalah warga Shadyside, dan tak ada yang bisa dia lakukan dengan hal itu. Dia hanya bisa menjadi diri sendiri, yang itu berarti dia harus dibully sepanjang waktu oleh anak-anak Sunnyvale. Dan ini membuatnya menjadi benci ama diri sendiri. Lalu datanglah kakaknya. Cindy (Emily Rudd diberikan karakter yang seperti ‘bermain’ dengan trope heroine slasher 80an), remaja baek-baek dengan kemeja polo putih sebagai lambang kemurnian atau kepolosan, atau apalah. Masalah Ziggy kepada Cindy adalah, kakaknya itu fake. Mencoba untuk menjadi seperti anak-anak Sunnyvale yang mentereng. Tapi tentu saja, sebenarnya ada alasan yang mengundang simpati juga kenapa Cindy memilih bertingkah ekstra-suci, tidak seperti sahabatnya, Alice, yang benar-benar embracing sisi gelap dari perkataan Sunnyvale seputar warga Shadyside.

Film bagian kedua ini memainkan konteks kota sebagai kutukan dengan lebih baik, karena semua ditempatkan ke dalam karakter. Manusia-manusia remaja dalam film ini semuanya membenci kota mereka. Bagi mereka melawan Sarah Fier adalah berjuang mengalahkan reputasi kota.  Ini membuat mereka lantas membenci diri mereka sendiri. Dan nantinya mereka harus menyadari, bahwa self-loathing itulah justru sebenarnya monster yang lebih berbahaya. Mereka akan menghancurkan diri sendiri jika terus berkubang di dalamnya. 

 

Untuk aspek horornya sendiri, film ini really embrace satu-serial-killer, dan juga tampak lebih fokus. Karena kesuperanaturalan cerita enggak jauh beda dengan monster-monster slasher seperti Jason Vorhees. Sama-sama inhuman. Dibandingkan film pertama yang tampil lebih blak-blakan dan kreatif, film kedua ini secara aksi tampil lebih tradisional. Penggal kepala dan beberapa yang seperti body-horror kayak tulang patah ataupun digerayangi lintah (dan berkecimpuk dalam kotoran) jadi sajian horor di sini. Tapi film ini justru membuktikan minimalis seperti demikian, bukan berarti tidak seram. Secara konteks justru sebenarnya lebih mengerikan, karena di sini yang dibunuhi dengan kejam pake kapak itu adalah anak-anak. Bahkan slasher 80an tidak banyak yang berani melakukannya, kebanyakan hanya menyerang remaja. Karena melibatkan anak-anak itulah, maka pembunuhan dalam 1978 ini banyak yang dilakukan di luar kamera. Tapi film memainkan semuanya dengan baik. Memperlihatkan potongan-potongan kecil anggota tubuh, membuat kita jadi membayangkan sendiri kejadiannya, and in a way, cara tersebut terasa lebih seram. Dan lebih membekas. 

fear-street-2
Adegan terakhir Ziggy dan Cindy aja udah no mercy banget

 

Apa lagi ya yang bisa kita bandingkan antara film ini dengan film pertama… oiya, keotentikan suasana. Buatku film 1994 itu gagal karena semua kemudahan dalam ceritanya malah membuat film terasa seperti sangat modern. Sementara itu, film 1978 ini punya keuntungan dari panggung kemah musim-panas tersebut. Secara kehororan, it is easier to replicate. Secara gimmick, juga enggak perlu banyak repot-repot. Film ini cukup memperlihatkan tape dan kaset berisi lagu-lagu 70an populer. Aku suka lagu-lagu rock semacam Cherry Bomb atau Carry On My Wayward Son, I mean who doesn’t. Tapi toh memang film ini terasa trying too hard untuk menghidupkan suasana, dengan memainkan lagu-lagu tersebut secara over. Yang gak benar-benar berhasil mereka perlihatkan alasan kenapa adegannya harus pakai lagu.

Fear Street 1978 adalah tontonan slasher ala 70-80an yang perfect, jika ceritanya dibuat berdiri sendiri. Sayangnya, ini adalah bagian dari trilogi. Dan konsep trilogi yang dipakai oleh Janiak membawa banyak, katakanlah, pengurangan nilai bagi performa film. Jadi, semua kejadian di perkemahan itu diceritakan kepada Deena dan adiknya, oleh C. Berman dewasa. Problema itu datang dari sini. Pertama, film ini bisa terlihat sebagai kelanjutan cerita Deena, yang Deenanya benar-benar total gak ngapa-ngapain selain duduk dengerin flashback. Ini akan membuat film bagian dua ini seperti cuma jembatan. Kedua, soal posisinya sebagai flashback itu sendiri. Ini adalah kisah dua bersaudara yang diceritakan oleh satu orang. Film akan membawa kita antara melihat sudut pandang Ziggy, dan sudut pandang Cindy. Kan jadi gak masuk akal, dari mana si satu orang yang bercerita ini tahu sudut pandang dari saudaranya – apa yang dialami oleh saudaranya. Padahal kita lihat adegannya lengkap, dan waktunya mepet sekali untuk ada tenggat si saudara telah menceritakan petualangannya. Jadi, film ini bermasalah pada perspektifnya. Dan ketiga, ini nitpick sih, tapi menurutku aneh sekali bagaimana film ini membuat siapa C. Berman itu sebagai twist, padahal siapa dia sebenarnya pasti sudah bisa langsung ditebak (karena memang gak perlu dirahasiakan). Mending mereka mengungkap kenapa C. Berman itu banyak banget ngoleksi jam di rumahnya.

Tentu, ini baru bagian kedua dari tiga cerita. Pertanyaan-pertanyaan belum terjawab pasti ada. Bisa dimaklumi film ingin ngebuild up dengan menyinggung atau memberi clue sedikit. Seperti soal mitologi penyihir, soal kekuatannya. Kita diperlihatkan ada benda berdenyut mengerikan di bawah tanah yang bikin penasaran banget. Mungkin itu hati si Sarah Feir, aku gatau. Kita mulai paham bahwa kekuatan Fier ditujukan untuk para warga Shadyside. Di film ini yang dibunuhnya cuma anak-anak berbaju biru. Tapi ketika darah menetes tulang atau kuburannya, Feir akan melepas semua pasukan psikopatnya untuk mengejar si empunya darah. Melihatnya sekarang, rule dari kekuatan penyihir ini masih membingungkan. Apalagi jika membandingkannya dengan film pertama, saat tentara si penyihir membunuh tiga orang Sunnyvale di rumah sakit, dalam rangka mengejar si Sam yang darahnya mengenai kuburan. Kinda breaking the rules? Kenapa yang dikapak paling parah di akhir film kedua ini justru bukan orang yang darah mimisannya netes (bukan orang yang harusnya jadi target pengejaran)? Dan bagaimana soal mimisan – kenapa ada beberapa orang yang mimisan, apa artinya mimisan itu?

 

 

 

Film ini bekerja terbaik saat dilihat sebagai cerita yang berdiri sendiri. Dia berhasil membangun mitologi dengan cara yang lebih efektif. Eksposisinya dimainkan dengan seimbang dengan penggalian karakter. Bahkan kota Shadyside berhasil dicuatkan. Karena ceritanya enggak melulu tentang orang panik dikejar-kejar. Ada momen-momen manusiawi yang bisa kita resapi di antara bunuh-bunuhan sadis ala slasher 80an. Sayangnya saat harus mengikatkan diri kepada film pertama, sebagai bagian dari trilogi, film ini justru jadi banyak minusnya. Perspekifnya jadi gak kuat, kepentingannya jadi berkurang. Eksistensi keseluruhannya jadi lemah. Tapi, sekali lagi, sebagai film sendiri, ini lebih baik daripada film bagian pertama. Lebih bisa dinikmati.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for FEAR STREET PART 2: 1978.

 

 

 

That’s all we have for now.

Sebelum mencapai penutup trilogi, sudahkah kalian punya teori-teori sendiri mengenai Sarah Fier?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

NOCTURNE Review

“No one remembers who came in second.”
 

 
 
Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.
Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.

Bukunya mirip Death Note, cuma ini notenya not balok.

 
 
Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.
Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.
Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.

Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.

 

Malah ada studi yang mengungkap, orang-orang justru lebih bahagia berada di posisi tiga dibanding posisi dua.

 
 
Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.
Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.
 
 
 
Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

NEVER RARELY SOMETIMES ALWAYS Review

“A person’s right to abortion is a person’s right to their own body”
 

 
 
Sebelum Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dicabut dari prioritas polegnas, bapak-bapak dan ibu-ibu Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat mestinya menonton film Never Rarely Sometimes Always karya sutradara wanita Eliza Hittman supaya bisa ngerti pilu dan sepinya perjalanan seorang korban kekerasan seksual mengarungi sistem dan ranah sosial.
Autumn (debut akting yang luar biasa dari Sidney Flanigan) merahasiakan kehamilannya dari keluarga. Tentu saja. Remaja tujuh-belas tahun manapun pasti akan dihukum dan dipersalahkan duluan jika mengadu dirinya mengandung anak sebelum waktunya. Jangankan begitu, nyanyi sambil curhat di talent show sekolah aja Autumn dihujat kok. Sehingga Autumn memutuskan untuk ‘mengurus’ perut mblendungnya seorang diri. Sayangnya, peraturan klinik atau rumah sakit di kota dan negara bagian tempatnya tinggal mengharuskan Autumn untuk didampingi oleh orangtua. Ini membuat Autumn harus pergi ke New York, yang peraturan aborsinya sudah lebih luwes. Maka berangkatlah Autumn bersama sepupunya yang sangat suportif, Skylar (Talia Ryder memerankan karakter yang lebih outgoing, mengimbangi tokoh utama yang tertutup).

Autumn tidak mengadu karena tahu ‘pembahasannya agak sulit’

 
‘Pelarian’ mereka selama beberapa hari itulah yang menjadi penyusun cerita film ini. Dua gadis belia mengarungi kota asing, tak pelak merupakan kiasan dari dua gadis yang memasuki usia dewasa dan segala masalah-masalahnya. Sulaman kiasan seperti itulah yang membuat film ini begitu menohok. Hittman dengan sangat cakap merajut kesubtilan sehingga film ini terasa sangat real. Tidak ada masalah yang dilebay-lebaykan di sini. Tidak ada plot poin yang “wow!”. Tidak ada pancingan-pancingan yang kelewat dramatis. New York yang seringkali dicap kota yang kejam di berbagai film atau cerita lain aja, di sini seperti kota-kota biasa; orang sibuk berlalu lalang, cuek, tapi reasonable. Yang dihadapi oleh Autumn adalah persoalan yang lumrah. Dia butuh duit makan. Untuk ke klinik, untuk naik bus dan transportasi umum. Dia butuh tempat untuk beristirahat dan memejamkan mata barang sejenak. Hittman menyisipkan gagasannya di dalam rintangan Autumn yang tampak sederhana itu.

Bahwa hidup memang bukanlah tempat semua urusan dimudahkan, tapi hal dapat menjadi dua kali lebih susah jika kita adalah seorang wanita yang memilih dengan kesadaran sendiri untuk mengaborsi kandungan, apalagi kita masih remaja.

 
Fakta bahwa Autumn harus pergi jauh dari rumah. Merahasiakan; justru takut ketahuan oleh keluarganya – oleh ibunya sendiri padahal kita lihat Autumn ingin sekali reach out to her (alih-alih bersandar di kaca bus atau tembok dingin). Sistem yang membuat seorang perempuan dicap salah saat memilih ingin menggugurkan kandungan – or even get pregnant in the first place – sehingga mereka harus berjuang sendiri di luar sana, nyaris terlunta-lunta seperti yang dialami oleh Autumn. Itulah masalah yang disorot oleh Never Rarely Sometimes Always. Akan ada banyak adegan yang bermuatan seruan kepada wanita untuk membangun kekuatan sendiri. Mulai dari Autumn yang menindik hidungnya sebelum pergi dari rumah; yang menandakan dia berani untuk mengambil alih kendali atas tubuhnya sendiri. Ataupun adegan berpegangan tangan dengan Skylar dari balik pilar yang menyimbolkan para wanita sudah seharusnya bersatu dan saling menguatkan satu sama lain.
Hubungan erat antara Autumn dan Skylar memang menjadi hati dari cerita ini. Kita akan melihat seberapa jauh Skylar bertindak demi membantu sepupunya. Autumn bukan exactly teman-menggelandang yang baik sepanjang waktu karena kondisinya, tapi Skylar tetap bertahan di sana. Keduanya sudah seperti anak kembar; bisa mengomunikasikan banyak tanpa perlu banyak bersuara. Actually, inilah yang jadi salah satu kekuatan pada penceritaan yang dilakukan oleh Hittman. Dia berani untuk menampilkan adegan-adegan yang sunyi tanpa suara. Kedua tokohnya dipampang tanpa saling bicara. Mereka memilih keputusan begitu saja sehingga membuat adegan dalam film ini semakin nyata dan terasa begitu in-the-moment. Alih-alih menggunakan dialog yang bisa-bisa membuat tokohnya terdengar whiny, film lebih memilih untuk menggunakan kamera sedekat mungkin dengan Autumn, ataupun Skylar. Menyuruh kita untuk menangkap emosi dari mata dan ekspresi mereka. Supaya lebih mudah bagi kita untuk berempati. Tantangan bercerita begini tentu saja ada pada pundak kedua pemain yang bisa dibilang masih baru dalam dunia film, tapi mereka berhasil. Autumn adalah salah satu tokoh paling real yang kutonton sepanjang tahun ini. Untuk membuktikan banyak-diam itu bukan cara sutradara menutupi kekurangan akting pemainnya, film memberikan kita adegan dialog dengan dokter yang luar biasa menyentuh. Adegan yang juga jadi jawaban untuk kita-kita yang mungkin penasaran maksud dari judul film ini. Yang jelas, adegan tersebut benar-benar mengungkap luka yang selama ini disimpan oleh Autumn. Exposing her as a wounded person, dan menguatkan kepada drama pilihannya untuk aborsi.

Tentu saja di titik ini sudah bukan lagi jadi soal siapa ayah kandungan Autumn

 
Namun melihat ke belakang setelah menonton, film ini hanya punya itu. Autumn ingin aborsi, dan pada akhirnya dia mendapatkan yang ia inginkan. Tidak ada yang berubah dari diri atau pandangannya terhadap hidup. Impresi yang hadir saat ending adalah Autumn akan kembali ke rumah, melanjutkan hidup yang sama dengan sebelum dia aborsi. Things never gets better for her. Dan memang itulah message film ini. Tidak ada perbaikan untuk wanita-wanita, mereka jadi korban kehamilan. Strong message, memang, tapi juga menjadikan Never Rarely Sometimes Always ini film yang bercela. Karena harus ada plot dan development. Perubahan. Film ini, berdedikasi menampilkan hal yang real seputar pandangan sosial terhadap aborsi dan kesulitan yang harus ditempuh pelakunya, tidak memiliki dua hal tersebut. Sehingga ia tidak lagi terasa seperti film. Kalo boleh dibilang; film ini malah jadi seperti iklan layanan masyarakat (yang ‘modern’). Or worse; seperti sebuah propaganda.
Kesubtilan Hittman membuat kita tidak menyadari bahwa film yang seperti gambaran nyata ini ternyata begitu artifisial, dunianya terbangun atas satu ide tertentu. Mempersembahkan Autumn sebagai korban, sehingga aborsi yang ia pilih tidak lagi dipertanyakan. Sehingga tokoh ini seolah berhak untuk melakukan aborsi. Sedari awal film – literally adegan awalnya – Autumn sudah diperkenalkan kepada kita sebagai korban dari hubungan yang enggak sehat dengan cowok yang mendominasi. Itulah antagonis pada film ini. Laki-laki. Patriarki. Mulai dari cowok yang meledeknya saat nyanyi dan di restoran, atasannya di supermarket yang hobi nyiumin tangan karyawan cewek, ayah tirinya yang cabul, hingga ke lelaki di kereta, semua tokoh cowok di film ini digambarkan gak beres. Bahkan cowok yang menolong Autumn dan Skylar pada akhirnya diperliahtkan sebagai tokoh yang merasa pantas untuk mendapatkan sesuatu dari mereka. Rintangan terbesar yang dihadapi Autumn dalam ‘perjalanan emansipasi otonomi dirinya’ adalah jebakan-jebakan maskulin.
Film ini tidak pernah membahas soal aborsi itu sendiri. Tidak perlu, karena di dunia seperti itu – dan seperti inilah dunia nyata menurut film – Autumn dan wanita-wanita entitled untuk memilih aborsi karena itu adalah tubuh mereka. Bicara soal kesubtilan, mengapa kita tidak menengok hal ini; film sungguhlah detil memperlihatkan usaha Autumn memperoleh kembali tubuhnya – kita diperlihatkan dia menindik hidung, kita dipertontonkan dia meninju-ninju perutnya sendiri, bahkan memar bekas pulukan itu on-point dalam sebuah shot, tapi Autumn sama sekali tidak pernah melihat apa itu aborsi. Dia dibius saat prosesnya, kita bisa bilang dia menutup mata ketika semua itu berlangsung. Paralelnya adalah, Autumn tidak pernah diperlihatkan berkutat dengan moral atau apapun mengenai aborsi. Karena film memang sudah mendesain aborsi itu sebagai jawaban. Padahal perihal moral justru adalah hal paling penting jika kita membicarakan aborsi. Wanita-wanita muda seharusnya tidak dibiarkan menutup mata dari apa sih tindak aborsi itu sebenarnya. Instead, permasalahan yang diangkat oleh film ini justru adalah bagaimana supaya aborsi itu bisa dapat lebih mudah dijangkau oleh wanita. Keseluruhan film adalah tentang perjuangan dan kesusahan yang harus dilalui oleh Autumn ke New York – perjuangan yang harusnya bisa dipermudah jika klinik di dekat rumahnya mengizinkan aborsi tanpa orangtua. Itulah yang dibutuhkan oleh Autumn dalam cerita ini; proses yang tidak dipersulit karena dia berhak atas tubuhnya.
 
 
 
Bukan masalah bagiku jika sebuah film berbeda pandangan moral dengan diriku, justru akan jadi tontonan yang membuka pikiran. Tapi ada syaratnya. Film itu haruslah diceritakan dengan meyakinkan, mantap, dan menantang. Film ini hanya memainkan tokohnya di ranah victim untuk kita kasihani, supaya kita melihatnya pantas dan berhak melakukan aborsi. Film ini mengabaikan kompleksitas sebuah pilihan. Adegan-adegannya dibuat se-real mungkin, akan tetapi desain di baliknya sungguh artifisial. Memaksa kita untuk percaya dunia sejahat itu dan aborsi bukanlah salah perempuan. Sejujurnya, aku mulai annoyed sama film-film ‘art’ kekinian, mereka dibuat terlalu agenda-ish. Lihat Vivarium (2020) yang failed untuk melihat cacat dalam analogi yang mereka ajukan soal membesarkan anak, ataupun Gretel & Hansel (2020) yang menyisipkan penyihir gak-usah nikah dalam cara yang membuat mual. Padahal aku suka gaya bercerita yang berbeda. Aku suka pendekatan akting yang berani. Sinematografi yang lugas. Penokohan yang gak dibuat-buat demi menyenangkan satu target pasar tertentu. Film ini punya semua hal tersebut. Hanya saja di sisi lain, ia tidak lagi terasa seperti film melainkan sebuah iklan dengan elemen-elemen yang pretensius karena dibangun sesuai agenda yang mereka cekokan kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NEVER RARELY SOMETIMES ALWAYS

 

 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian soal aborsi? Bagaimana seharusnya pemerintah mengatur soal kasus kehamilan akibat paksaan seperti yang dialami oleh Autumn? Jaminan apa yang seharusnya diberikan kepada wanita seperti Autumn?
Dan bagaimana pendapat kalian soal DPR yang mau kabur dari pembahasan RUU PKS?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LITTLE WOMEN Review

“Women now have choices”
 

 
Dulu waktu hidup masih simpel, judul Little Women terdengar seperti sesuatu yang cute, yang hangat. Ketika pengarang Lousia May Alcott menuliskan itu sebagai judul novel yang aslinya dibagi menjadi dua bagian, ia memaksudkan Little Women sebagai istilah untuk masa-masa di mana masalah dewasa mulai merayapi gadis-gadis yang beranjak dewasa. It was the 19th century, tepatnya tahun 1890an, dan ‘masalah dewasa’ tersebut berarti gadis-gadis harus mulai memikirkan pernikahan untuk menaikkan status mereka. Karena membahas masalah inilah, cerita ini menjadi klasik. Sudah berkali-kali ia diadaptasi ke medium film, mulai dari 1933 hingga yang terbaru sebelum ini di tahun 2018. Sebab romansa begitu universal dan timeless, cerita tentang empat kakak beradik cewek yang berubah menjadi wanita berdikari dan menemukan cinta masing-masing akan selalu nyantol di hati enggak peduli era berapa. Kini, ada satu hal yang berubah. Di masa SJW dan pergolakan feminisme sekarang ini, judul Little Women kemungkinan bisa dianggap merendahkan. Udahlah wanita, kecil pula. Jika memanglah benar judul ini menghighlight ketimpangan sosial wanita dan pria, maka Greta Gerwig berhasil mengadaptasi cerita ini menjadi sebuah film yang memiliki semangat pemberdayaan yang membuatnya semakin beresonansi lagi.
Sekali lagi kita mengunjungi Jo, Meg, Amy, Beth, sehingga aku merasa agak mubazir juga menuliskan kembali sinopsis cerita mereka. Empat gadis remaja yang seringkali harus saling mengurus diri lantaran ibu dan ayah masih punya urusan di dunia yang baru saja menyudahi perang. Jo pengen jadi penulis, Amy pengen jadi pelukis, Beth pengen jadi pianis, dan si sulung Meg play along with them. Mereka berteman akrab dengan tetangga mereka yang bangsawan kaya. Particularly kepada Theodore Laurence. Ada percikan cinta. Namun Jo belum siap menerimanya. Ini adalah cerita kekeluargaan, sisterhood, perjuangan wanita menggapai cita-cita sebelum siap menerima cintanya. Gerwig yang sukses berat dalam debut penyutradaan film panjangnya di Lady Bird (2017) tampaknya memang jago menguatkan cerita sehingga menjadi sangat personal. Secara literasi, Little Women originally sudah bisa dikategorikan sebagai otobiografi lantaran Alcott menulis cerita ini berdasarkan kejadian hidupnya dan keluarga, namun ia harus membuat beberapa penyesuaian demi penjualan. Di sinilah letak jasa Gerwig; ia mendedikasikan adaptasi versinya ini ini untuk pilihan hidup personal personal yang sudah dipilih oleh pengarang. Dalam sebuah penceritaan yang begitu manis,

memblurkan fiksi dan kayfabe (fakta-dalam-fiksi)

 
Gak gampang membuat cerita lama terasa berbeda. Setiap adaptasi Little Women menggunakan pendekatan berbeda, misalnya versi 2018 yang mengangkut cerita dasar dan meletakkannya di suasana modern kita sekarang ini; film itu bisa bagus jikasaja aktingnya enggak selevel sinetron atau FTV. Gerwig, however, tetap menempatkan Little Women versinya sebagai period piece. Beberapa elemen yang tak berani ditampilkan oleh film-film versi yang lebih lawas, seperti pembakaran naskah tulisan Jo oleh Amy ataupun Amy yang jatuh ke dalam kolam beku, ditampilkan tanpa masalah oleh Gerwig. Sebab ia ingin menonjolkan interaksi, keakraban dalam keluarga Jo March. Inovasi signifikan yang dilakukan Gerwig terhadap materi ini berawal dari penggunaan alur maju mundur sebagai cara bercerita. Literally mengoverlap masa remaja dengan masa dewasa, seperti yang dimaknakan oleh judul menurut sang pengarang bukunya.
Penonton film Indonesia bakal akrab dengan teknik bercerita begini mengingat sepanjang 2019 kemaren hingga ke 2020 ini kita menyaksikan banyak film lokal yang tersusun demikian. Bebas dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini misalnya. Film crime-drama Darah Daging juga, meski dengan penggarapan dan timing yang lebih buruk. Cerita akan dimulai dari Jo yang sudah dewasa, di kantor percetakan, bermaksud menjual dan menerbitkan cerita yang ia tulis. Seiring proses kreatif Jo saat ia merevisi tulisannya nanti, kita akan dibawa flashback ke masa remajanya karena memang Jo menuliskan masa-masa itu sebagai cerita (walau ia nyangkal dan bilang itu cerita temannya kepada pimred). Penggunaan dua timeline yang saling tindih ini dilakukan dengan cermat oleh Gerwig. Ia memastikan tidak ada emosi yang ketinggalan sebelum sempat terbangun saat mengontraskan antara masa dewasa yang tokoh-tokohnya bergulat dengan profesi dan pilihan hidup masing-masing dengan masa remaja saat mereka masih bersama-sama mengadakan pertujukan drama dan menghias pohon natal. Gerwig sangat precise mengatur waktu, menjahit dua timeline, tidak akan ada tokoh yang diizinkan pergi sebelum kita benar-benar sudah peduli kepadanya.
Kita tidak akan tersesat karena akan senantiasa dibimbing oleh time image, alias gambar-gambar yang menunjukkan waktu. Misalnya gaya rambut para tokoh. Atau yang paling obvious; tone warna. Cerita di masa lalu Jo akan dikuas warna-warna yang lebih hangat dan terang oleh film, menandakan perasaan para karakter pada saat itu. Sedangkan masa ‘kini’ cerita, warnanya lebih dominan biru sehingga terasa lebih ‘dingin’. Film tak perlu repot-repot meng-cast dua aktor untuk masing-masing tokoh. Mungkin kalian masih ingat kesalahan terbesar Little Women 1994 yang bagus itu? ya, menggunakan dua aktor untuk Amy; Samantha Mathis tidak bisa mengimbangi pesona Kirsten Dunst sebagai Amy remaja. Cast pilihan Gerwig terbukti luar biasa solid. Mereka mengarungi dua masa dengan tanpa cela, pertumbuhan mereka yang di babak awal terasa cukup menganga perlahan menutup dan terikat sempurna. Rentang yang harus mereka lakukan tidak membuat satu tokoh terasa seperti dua orang yang berbeda. Saoirse Ronan perfect sebagai Jo, sekali lagi dia menunjukkan permainan peran gak meledak-ledak tapi tetap ‘membakar’. Florence Pugh mencuri perhatian meniti karakter Amy dan tidak pernah terjatuh menjadikan tokoh ini annoying dan jahat meskipun Amy dan Jo paling sering bertengkar dan berbeda pendapat. Emma Watson sebagai Meg juga flawless mendukung Jo lewat keputusannya menikah bukan karena harta – yang menunjukkan menikah bukan tanda kelemahan wanita.
dan Timothy Chalamet sudah siap membuat penonton bersenandung dangdut “Chalamet malam duhai kekasih”

 

Little Women versi Gerwig ini punya agenda untuk menunjukkan bahwa kini wanita punya pilihan. Bahwa pernikahan bukan semata tujuan akhir kehidupan. Meskipun begitu memilih untuk menikah juga bukanlah sebuah pengakuan wanita butuh pria, melainkan pilihan untuk merayakan cinta.

Dalam film ini Gerwig menunjukkan mengakui cinta itu juga sama pentingnya dengan mengejar mimpi dan kemandirian. Film memutuskan untuk tidak lagi mengabaikan pilihan yang diambil oleh pengarang cerita, dan menampilkan sebenar-benarnya dengan cara unik tersendiri. Alcott tidak menikah hingga akhir hayatnya. Dalam film, Jo menulis cerita yang endingnya tanpa pernikahan dan pimred memintanya untuk mengubah dan menjadikan tokohnya menikah. Romansa dan pernikahan itulah yang kita dapat dalam Little Women original dan adaptasi-adaptasi lainnya sebelum ini.
Gerwig mencoba menghormati Alcott, menghormati Jo March. Menghormati wanita-wanita modern. Akhir inovasi maju-mundur film ini menghantarkan kita – tanpa sadar – kepada satu inovasi lagi. Batas masa lalu dan masa kini film semakin tidak jelas, mereka berpindah dengan sangat cepat, dan tau-tau kita melihat Jo duduk kembali di kantor redaksi. Jo penuh konfiden sekarang, sedangkan kita enggak pasti dan mempertanyakan ulang kepada diri sendiri, apakah semua momen manis – malah sempat-sempatnya ada ‘bandara momen’ versi jadul – itu hanya cerita karangan Jo. Tone warna sudah tidak membantu lagi sekarang. Kita di akhir cerita diminta melihat dengan rasa.

Menyaksikan Jo memandang kelahiran buah karyanya seolah film mengajak kita untuk merasakan yang dialami oleh Alcott. Merasakan kebanggaan, sebuah happy ending yang terasa positif dan membawa semangat optimisme bahwa pilihan kita itulah kebahagiaan kita.

 
 
 
Persaingan antar-saudara, cinta yang tak dibalas, penyakit yang memisahkan, perjalanan yang meraih mimpi; semua formula sebuah cerita yang loveable ada dalam film ini. Semuanya itu memang diceritakan dengan manis. Adegan-adegan film ini bakal gampang banget ngena di hati. Castnya aja sudah lebih dari cukup untuk membuat kita jatuh cinta. Film ini punya gagasan yang sangat relevan, namun tidak terasa begitu urgen. I mean bukan untuk merendahkan kepentingan wanita. Hanya saja, dengan fakta film ini sudah adaptasi film panjang kelima dari materi yang sama, enggak semuanya jadi terasa kurang menantang. Penggunaan maju-mundur juga bukan exactly hal baru. Film ini memang beda, inovasinya berhasil membuat cerita jadi segar, dan tak lupa membuat kita merasakan sesuatu right there in the heart, hanya saja kemagisannya berkurang begitu kita ingat ini adalah reinkarnasi dan semua perbedaan tadi gampang diusahakan jika kita sudah punya empat sebagai ‘contoh’nya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LITTLE WOMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian akhir film ini, apakah Jo sebaiknya menikah atau tidak? Apa masih pada gemes dia gak jadi sama Laurence? ahahaha

Apa pendapat kalian tentang perempuan yang tidak menikah?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

IMPERFECT: KARIER, CINTA & TIMBANGAN Review

“We are our own worst critic”
 

 
Adalah kecenderungan alami bagi kita untuk berusaha menjadi lebih baik, terlebih dalam urusan penampilan. Karena memang bagaimana kita terlihat oleh muka umum sangat berpengaruh pada setiap aspek dalam hidup. Orang pendek, misalnya, gak bakal langsung keterima jadi tim inti basket di kelurahan. Orang gendut, seperti Rara dalam drama komedi terbaru dari Ernest Prakasa ini, memiliki kesempatan yang lebih kecil – dan lebih susah untuk sukses – dalam dunia pekerjaan ketimbang orang yang lebih singset. Jadi bukan ‘mendadak’ setiap orang begitu insecure terhadap dirinya masing-masing. Kecemasan tubuh kurang langsing, kurang berisi, kurang putih, kurang tinggi, kurang seksi terjadi bukan sebatas pada wanita, bahkan juga pada pria. Media mengeset standar kecantikan dan kita suka pada apa yang mereka jual. Society mengamini standar tersebut. Dan kita menjadi begitu keras kepada diri sendiri supaya terhindar dari body-shaming, supaya sempurna menjadi sesuai standar penampilan yang menjadi ilusi dari ‘lebih baik’.
Secara konstan Rara (Jessica Mila actually put on a little more weight for her role here) hidup di bawah tekanan dan body-shaming dari sekitarnya. Terlahir mirip almarhum ayah (ungkapan halus untuk berkulit hitam) dan suka makan banyak – dengan batang coklat sebagai pelengkap 4 sehat 5 sempurnanya – Rara bahkan dapat tekanan di lingkungan rumah. Ibu Rara yang mantan model kerap menegur Rara untuk mengurangi porsi makan, memperhatikan berat badan, dan membanding-bandingkannya dengan sang adik yang punya potongan kayak gadis sampul majalah. Rara tadinya cuek, toh dia punya Dika, pacarnya yang menyintai Rara – yang melihat cahaya di dalam diri Rara. Tapi kemudian, tekanan pekerjaan mendera. Untuk bisa naik pangkat menjadi manager di perusahaan make-up, Rara enggak bisa hanya mengandalkan kepintaran. Sebab image dan penampilan adalah hal yang utama – you can’t be important if you’re not pretty enough. Rara bertekad mengubah penampilan, dia mendorong dirinya sampai-sampai Dika dan orang-orang terdekat tidak mengenali lagi siapa dirinya. Dan itu bukan hal yang bagus, sebab dia mungkin saja sudah kehilangan kecantikan dirinya yang sebenarnya.

brand-brand kecantikan nyuruh kita untuk menjadi diri sendiri sembari menawarkan produk untuk mengubah penampilan.

 
Aku sendiri bukan orang yang paling secure sedunia untuk urusan penampilan. Sejak kecil aku berurusan dengan ledekan fisik (diledekin karena pendek, dibecandain karena cadel) dan meski aku sudah ‘menaklukkan’ itu, kini muncul lagi hal yang bikin insecure. Rambutku yang sekarang hanyalah bayangan dari kemegahannya dahulu yang sukses bikin jealous cewek-cewek di kampus. Kupluk adalah relic ke-insecure-anku perihal rambut yang kupakai ke mana-mana. Aku juga pernah gendut dan mengurangi makan (nyaris) secara gila-gilaan, persis Rara. No shit. Makanya aku suka sama cerita kayak gini. Makanya aku kepikiran untuk bikin film pendek Gelap Jelita, yang terinspirasi dari lagu Scars to Your Beautiful dari Alessia Cara. Aku tau first hand bahwa insecure fisik adalah masalah yang serius bagi setiap individu. Aku pengen pesan menguatkan untuk melawan ke-insecure-an bisa terus berlanjut. Dan Imperfect yang diadaptasi oleh Ernest dari cerita buku karangan sang istri, Meira Anastasia, buatku menyempurnakan hidangan bergizi soal melawan ke-insecure-an.
Digarap oleh seorang komika/komedian, film ini punya dosis sehat guyonan yang bukan merecehkan malahan memberikan nada yang unik dalam menggambarkan permasalahan insecure fisik tersebut. Sepanjang durasi kita akan bertemu dengan banyak tokoh-tokoh yang merasa minder dengan ketidaksempurnaan dirinya, mereka diledek karenanya, dan mereka bukan hanya berani nge-call out yang ngata-ngatain, melainkan juga berani secara kasual membicarakan ketidaksempurnaan tersebut sebagai becandaan dengan teman. Just like ketika Ernest menertawakan kesipitannya pada film debut yang meloncatkan karirnya sebagai sutradara dan penulis – Ngenest (2015). Tokoh-tokoh Imperfect lowkey empowering. Kita melihat mereka dalam berbagai wujud ketidaksempurnaan seperti gendut, item, tonggos, tompelan. Dan kita seperti diajak untuk menertawakan para pelaku body shaming sebagai garda pertama pertahanan diri dari menghilangkan keinsecurean tersebut. In this way, film menjadi sangat relatable, karena dengan beragamnya ‘contoh kasus’ maka kita akan menemukan satu yang bisa dikaitkan dengan diri. Film menggebah kita untuk menatap kekurangan diri sendiri, dan menjadi bangga terhadapnya alih-alih memaksa diri untuk berubah. 
Dan Rara adalah sosok yang sempurna untuk dijadikan pusat dari ketidaksempurnaan itu semua. Naskah benar-benar menghormati tokoh ini. Rara bukan hanya pintar dan real good at her job di perusahaan make-up. Hal pertama yang kita pahami dari Rara adalah dia suka makan dan dia oke dengan itu. Ketika stake cerita naik, dan dia harus menurunkan berat badan, Rara tidak serta merta dibuat menyiksa dirinya dengan mengurangi makan. Rara selalu mencoba untuk menghormati dirinya sendiri terlebih dahulu dibanding apapun. Makanya, Rara kemudian menjadi ‘lawan’ dari Marsha (Clara Bernadeth memainkan Regina George versi kantoran). Lewat dinamika antara Rara dan Marsha film menjelaskan kenapa cewek cantik populer selalu memandang cewek yang tidak menonjol dan hanya punya satu sahabat yang sama dipandang ‘aneh’ sebagai ancaman. Semua kembali kepada insecure tadi. Cewek-cewek cantik ala trope ‘mean girl’ berjalan pada sistem yang dibentuk oleh media dan society. Sementara cewek seperti Rara – dan protagonis film-film yang ada trope ‘mean girl’nya, mereka ini kayak wild card, mereka punya kemampuan untuk berada di luar sistem dan conformity dalam society, mereka tidak mesti berada di dalam sana. Oleh karena itu dalam setiap cerita mean girl; Regina, Heather, dan sekarang Marsha, selalu membuat protagonis menjadi bagian dari geng mereka – memasukkan protagonis kembali ke sistem.
Imperfect, however, mengolah elemen ini dengan lebih dewasa sebab Rara bukan lagi di lingkungan sekolah seperti cerita trope mean girl pada umumnya. Masalah Rara bukan lagi sesepele pengen punya pacar atau jadi populer. Rara ingin naik jabatan, dia sendiri yang memilih untuk jadi kurus dan mendapat respek dari Marsha. Seperti Marsha. Karena hanya dengan menjadi Marsha-lah tujuannya bisa tercapai. Perubahan Rara terasa lebih powerful karena kita dapat merasakan bingung dan perjuangan Rara untuk bertahan menjadi diri sendiri sekaligus juga mengubah diri secara fisik. Akhirannya memang masih tertebak oleh kita. Aku bisa melihat film ini akan dikritik oleh banyak orang sebagai stereotip banal lebih baik gendut daripada modis. Apalagi karena pemeran Rara bukan orang gendut beneran dan tetap tergolong atraktif untuk standar masyarakat. Pada satu titik menjelang akhir, Rara dijadikan contoh untuk produk make-up terbaru di kantornya; dia yang pintar dan berusaha keras memperbaiki penampilan, ter-reduce menjadi stereotip. Cliche as it is, tapi sesungguhnya inilah cara film untuk menegaskan kepada kita bahwa hal itulah yang terjadi kepada siapapun yang lebih mementingkan penampilan luar; kita hanya akan menjadi sebuah stereotip.

Seribu pujian tetep gak akan berefek segede satu kritikan. Karena kita gak bakal tahu pasti seberapa tulus pujian tersebut dan seberapa objektifnya komentar ngritik tersebut. Sehingga kita ditinggal untuk bertanya kepada diri sendiri. Inilah mekanisme dasar mengimprove diri. Yang seringkali kita bersikap keras kepada diri sendiri sehingga kita berubah menjadi orang yang bukan siapa kita. Dan semua itu bermula dari satu komentar orang soal penampilan fisik kita.

 
Ernest Prakasa membangun satu dunia yang dengan tepat mencerminkan keseluruhan insecurity dan body-shaming bekerja di dunia nyata. Hubungan antara Rara dengan Dika, pacarnya yang fotografer berfungsi lebih dari sekadar menjalankan tugasnya sebagai bagian drama romance dari drama komedi romantis ini. Arc Dika (diperankan dengan hangat dan sangat simpatik oleh Reza Rahadian) mengajarkan kepada society, dan kita, cara memperlakukan orang dengan benar; yakni dengan tidak meletakkan pressure kepada mereka – untuk respek terhadap pilihan orang karena sebagian besar waktu mereka berusaha untuk menjadi diri sendiri, tapi dunianya punya tuntunan, dan kita sebaiknya tidak menambah mumet dan biarkan mereka membuat pilihan, dan respek kepada apapun pilihan mereka. Tidak perlu kita terlalu banyak mengatur, atau malah jadi menyalahkan dirinya – seperti mama Rara kepada Rara. Film ini juga menggambarkan soal victim-blaming yang bisa saja terjadi secara kasual, tanpa kita sadari, yang sebenarnya justru menambah pressure kepada orang.
Satu lagi tokoh yang berperan besar bagi perkembangan karakter Rara, tentu saja adalah adiknya; Lulu (dimainkan dengan manis oleh Yasmin Napper yang juga manis). Si anak ’emas’ sang mama. Rara dan Lulu akrab, tapi diam-diam ke-perfect-an Lulu juga menjadi sumber ke-insecure-an bagi Rara. Ada satu adegan emosional yang melibatkan kakak beradik ini, dan juga mama mereka, yang dihandle dengan begitu grounded dan menghangatkan oleh film. Rara begitu ‘jealous’ sama Lulu sehingga dia tidak melihat bahwa adiknya ini punya ke-insecure-an sendiri. Film menjadikan Lulu sebagai wakil untuk mengatakan orang-orang yang terlihat sempurna juga punya masalah insecure. Kita juga diperlihatkan bahwa di masa kini orang bisa jatoh bahkan lebih artifisial daripada stereotipe jika terlalu mengagungkan penampilan lewat tokoh pacarnya Lulu yang hanya peduli pada bagaimana dia terlihat oleh followernya di sosial media.
Semua tokoh dalam film ini diberikan peran dan kepentingan, bahkan tokoh-tokoh yang terlihat konyol. Ini adalah pencapaian yang paling pantas kita selebrasi pada Imperfect. Ernest berusaha menyempurnakan gaya komedinya; tokoh-tokoh minor yang biasanya cuma jadi guyonan sketsa yang ditempatkan hanya sebagai selingan atau transisi di antara adegan-adegan penting, kali ini mereka (sejawat komika Ernest dan obrol-candaan mereka) dibuat paralel dengan permasalahan tokoh utama. Tidak lagi adegan-adegan mereka bisa dibuang begitu saja, karena di film ini mereka menambah bobot bagi narasi. Konklusi film ini akan terasa sangat nendang oleh emosi, berkat cara film mengikat masalah-masalah insecure yang melanda para tokoh. It is really empowering, and beautiful. Kalo dipaksa nitpick, aku cuma mau bilang sedikit kekurangan film ini adalah masih ada beberapa tokoh yang tampak tak tersentuh oleh insecure padahal mestinya di akhir itu mereka merayakan ketidaksempurnaan bersama-sama.

mereka basically bikin video musik Scars to Your Beautiful

 
 
 
Padet, lucu, bikin jatuh cinta, tapi bukan Jessica Mila – apakah itu? Film ini jawabannya. Komedinya yang bikin terpingkal itu tidak pernah terasa sia-sia, malahan menambah banyak bobot untuk cerita. Hubungan keluarganya bikin hangat, begitu juga romansa – kita melihat dua orang yang berusaha saling menghargai no matter what, mereka berusaha melihat masing-masing di luar penampilan fisik. Dan yang paling penting film ini mengajak kita untuk lebih mencintai dan menghormati diri sendiri. Tidak serta merta menyalahkan dunia yang sudah mengeset standar kecantikan. Film ini juga berani untuk menjadi stereotipe alias klise demi menyampaikan gagasannya. Cerita ini penting untuk disaksikan bukan hanya wanita, tapi juga pria. Karena insecure bisa melanda semua orang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for IMPERFECT: KARIER, CINTA & TIMBANGAN.

FROZEN II Review

“Sometimes growing up means growing apart.”
 

 
Angin perubahan bertiup di Kerajaan Arandelle. Enam tahun sejak dinobatkan menjadi Ratu, betapapun dia ingin keadaan mereka tidak berubah seperti yang dinyanyikan oleh Anna dan Olaf, Elsa yang punya kekuatan sihir es tetap tidak bisa membekukan waktu. Elsa bahkan belum mampu menentramkan hatinya – dia masih merasa tidak berada di tempat yang benar di Arandelle. Dan kemudian, suara nyanyian misterius – terdengar oleh Elsa seorang – datang bersama angin. Ada legenda tentang tempat magical nun jauh di utara. Malam itu, Arandelle kedatangan ‘tamu’; angin badai, surutnya air, kobaran api, dan gempa. Elsa merasakan nyanyian, bencana, dan kekuatannya sendiri ada hubungannya dengan tempat legenda yang pernah diceritakan oleh ayah mereka tersebut. Maka ia pergi mencari tempat itu. Dan karena persaudaraan yang begitu erat, Anna juga ikut serta. Membawa sahabat-sahabat mereka bertualang ke utara.
Aku salah satu dari orang dewasa – cowok dewasa – yang suka sekali sama Frozen (2013). Aku udah nonton berkali-kali. Aku sampai bikin subtitle-nya sendiri karena aku merasa film tersebut punya pengkarakteran yang keren dan aku pengen tahu bagaimana menulis karakter yang bagus. Bahkan lagu Let It Go yang diputer berlebihan di mana-mana itu pun tidak mengganggu buatku. Frozen adalah animasi modern Disney yang merekonstruksi seperti apa menjadi Princess dan Ratu. Film tersebut menggebrak dengan statement Ratu tidak butuh Raja, Putri tidak butuh diselamatkan oleh Pangeran. Dinamika Elsa dan Anna – kakak beradik kerajaan – cinta mereka dijadikan ‘senjata’ utama dalam cerita. Frozen II berusaha mendorong narasi relasi ini lebih jauh. Koneksi Elsa dan Anna digambarkan semakin solid, sampai pada titik kita paham pertanyaan ‘bagaimana jika mereka harus berpisah’ cepat atau lambat akan tersaji. Frozen II bahkan berusaha tampil lebih beda lagi daripada animasi-animasi Disney dengan tidak memasang tokoh penjahat; tidak ada sosok yang harus dikalahkan oleh Elsa dan Anna di sini. Sekuel ini harusnya punya potensi. Namun melihat dari hasil akhir, sebaiknya Disney membiarkan cerita ini pergi.

bahkan Elsa herself meringis dengerin dirinya nyanyi Let It Go

 
Kita tak perlu punya kekuatan sihir untuk bisa menebak film ini bakal punya visual yang bikin kita lupa menarik napas. Efek angin, detil gambar, ekspresi, tata cahaya – Frozen II tanpa cacat di departemen ini. Beberapa momen seperti Elsa berlari menerjang ombak, Anna dan Olaf berlayar di sungai dengan banyak raksasa batu, benar-benar tampak luar biasa sehingga aku berharap porsi petualangan seperti ini mestinya diperlama. Sayangnya dari segi cerita, film ini seringkali diperlambat oleh berbagai penjelasan. Mulai dari cerita legenda, cerita konfirmasi legenda tersebut oleh pihak pertama, dan bahkan ada beberapa menit dipakai untuk menjelaskan kembali cerita Frozen pertama lewat Olaf dan patung-patung es. Meskipun setiap eksposisi dihadirkan lewat visual menawan dan cara yang berbeda sehingga tidak bosan, tetapi tetap saja cerita menjadi terbebani. Petualangan tokoh-tokoh kita jadi kurang terasa.
Dibandingkan Frozen yang simpel, sekuelnya ini punya cerita yang needlessly rumit. Sama seperti Maleficent: Mistress of Evil (2019) ataupun beberapa film-film live-action princess Disney baru-baru ini, Frozen II pun memiliki elemen politik di dalam narasinya. Perdamaian dua kerajaan yang tidak berlangsung mulus karena pihak satunya begitu ketakutan. Ada ketakutan terhadap ras yang disimbolkan di sini. Tema seperti demikian memang sepertinya klik banget dengan penonton-penonton muda zaman sekarang. Anak-anak sekarang sepertinya lebih cerdas dan lebih tertarik membahas intrik. Bencana yang terjadi di masa Elsa nyatanya adalah dosa dari generasi terdahulu; ini bergaung kuat dengan konteks modern yang diusung pada Elsa dan Anna. Karena merekalah yang membereskan masalah, dan mereka melakukannya dengan cara tersendiri. Hidup dengan pemahaman bahwa mereka melanjutkan kehidupan dan membuatnya menjadi lebih baik juga merupakan bagian dari fase growing up, yang jadi tema utama film ini.
Empat tokoh sentral – Elsa, Anna, Kristoff, dan (keluh) Olaf – punya perjalanan yang melambangkan tantangan yang dihadapi seseorang ketika ia bertumbuh dewasa, ketika ia harus berubah sebagai bagian dari pendewasaan. Voice-akting keempat tokoh ini sudah bisa ditebak luar biasa. Terutama Idina Menzel yang suaranya begitu powerful, klop sama tokoh Elsa. Keempatnya pun diberikan lagu pribadi untuk mencerminkan proses pendewasaan itu. Elsa dapat lagu terbaik. Ia menyuarakan keberanian untuk menempuh sesuatu yang baru. Yang mengajarkan kepada penonton muda bahwa it’s okay untuk mencari diri sendiri, untuk mencoba keluar dari perasaan nyaman yang mulai terasa mengukung ketika kita mulai dewasa. Menyambung Elsa ada Olaf. Pribadi, aku gak suka Olaf. Dia annoying, dan di film ini dia dapat porsi yang lebih banyak lagi sehingga saat menontonnya aku harus menggigit kedua tinjuku hanya supaya aku tidak menggunakannya untuk meninju telingaku sendiri. Tapi aku mengerti bahwa peran Olaf di sini memang besar dan diperlukan. Olaf, dan nyanyian solonya, melambangkan kepolosan kanak-kanak yang menanggap dunia orang dewasa penuh hal yang tidak dimengerti, dan Olaf mengajarkan bahwa nanti kita semua akan mengerti secara natural.
Karakter yang paling sial dalam film ini adalah si Kristoff. Sepanjang durasi dia tidak diberikan apa-apa selain running-joke klise mau melamar – ngasih cincin ke – Anna, tapi Anna-nya gak pernah ngeh, sehingga rencana Kristoff selalu gagal. Kristoff juga dapat lagu Lost in the Woods yang aneh banget, animasinya ada yang kayak Bohemian Rhapsody, musiknya kayak musik rock 80-an, kelihatan dan kedengarannya canggung aja. Padahal lagu Kristoff tersebut melambangkan fase penting anak muda yang merasa kehilangan, atau tersesat, ketika ia jauh dari orang yang ia cintai. Untuk melengkapi lingkaran fase bertumbuh yang diusung cerita, Frozen II memasang Anna. Yang begitu berdeterminasi, yang sayang kepada kakaknya. Elsa sudah memilih. Dan kali ini giliran Anna. Perjalanan karakter Anna, yang adalah gagasan utama film, dihimpun dalam lagu The Next Right Thing, yang mengajarkan dalam kebingungan lakukanlah hal yang menurutmu benar – inilah ultimate part dari bertumbuh. Kita mengambil keputusan.

Bertumbuh bersama bukan lagi secara tradisional harus bersama-sama. Frozen II memperlihatkan bahwa kadang, dalam proses pendewasaan, kita akan berpisah dengan yang disayang. Tapi itu tidak berarti kita berhenti tumbuh bersama. Karena cinta di antara kita adalah konstan yang tidak berganti. Perubahan tidak bisa dihentikan, perpisahan serta merta akan terjadi – itulah makna menjadi dewasa. Dewasa yang berarti tidak melupakan orang yang kita cinta.

 

pengen dewasa tapi masih ketawa setiap kali teringat Adele Dazeem

 
Elsa dan Anna jadi simbol sisterhood dan kemandirian perempuan yang kuat. Pada film ini diperlihatkan, walaupun hanya Elsa yang punya kekuatan es, mereka berdua adalah wanita yang kuat saat sendiri-sendiri. Kebersamaan mereka tidak pernah menjadi toxic. Ini adalah pesan yang powerful. Maka dari itu, aku merasa aneh pada satu keputusan yang diambil oleh film untuk mewakili satu karakter di menjelang akhir film ini. Untuk menghindari spoiler berlebihan; aku hanya bisa bilang mereka membuat Elsa dan Anna berpisah jalan. Keputusan salah satu tokoh setelah itu terasa sangat abrupt, seperti film ingin tergesa menyelesaikan sehingga tidak memikirkannya dengan matang. Tokoh ini membuat keputusan yang bakal berpengaruh besar kepada banyak orang. Keputusan yang pada naskah sebenarnya adalah fake solution, dan akan dibenarkan pada sekuen berikutnya. Namun dari sudut pandang si tokoh yang mengambil keputusan, ini adalah keputusan sepihak yang beresiko dan sedikit keluar dari karakternya sendiri. Keputusan ini kembali mencerminkan politik; menunjukkan sedikit kepada kita pemimpin seperti apa si tokoh ini kelak. Dan aku enggak tahu apakah sutradara Chris Buck dan Jennifer Lee sengaja atau tidak – sadar atau tidak – menempatkan si tokoh dalam posisi demikian.
 
 
 
Sebagai dongeng modern Disney, film ini adalah salah satu yang paling berani dan ambisius. Dia berkembang menjadi lebih dewasa daripada film pertamanya. Secara visual, film ini tampil lebih baik. Lagu-lagunya juga enggak begitu over. Catchy juga, suara Menzel juara, Namun secara cerita, mengalami penurunan. Ceritanya padat tak beraturan, dengan selingan eksposisi yang memperlambat tempo. Petualangan yang dihadirkan tak begitu terasa seperti petualangan yang menyenangkan. Tapi jika kita sudah mencintai karakter-karakternya, maka akan mudah untuk tetap menyukai film ini. Pada dasarnya mereka semua lovable. Termasuk tokoh-tokoh baru. But gosh.. I hate Olaf.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FROZEN II

 

THE WAY I LOVE YOU Review

“The way to love someone is to lightly run your finger over that person’s soul…”

 

 

 

Bagi remaja yang pendiem seperti Senja, curhat yang nyaman itu kalo enggak sama sepupunya, Anya, yang super rame ya sama buku jurnal. Dia bisa memuaskan uneg-uneg dengan kreatif dan tanpa perlu malu karena buku adalah pendengar yang baik. Dan remaja seperti Senja ini, yang orangtuanya sudah tidak ada, yang mulai bisa naksir ama cowok, memang butuh teman curhat yang aman. Makanya dia sempat sedih ketika buku jurnalnya hilang di bawah pengawasan Anya yang lagi pedekate sama cowok baru keren bernama Bara di sekolah mereka. Gimana Senja bisa marah sebab dia kepalang sayang ama si sepupunya tersebut, apalagi kemudian Anya membelikan Senja laptop. Kini curhatan Senja terasa mendapat respon langsung karena lewat blog dia bisa membagikan apa yang ia rasa. Senja menemukan teman bicara itu pada user-name Badboy yang setia mendengar keluh kesahnya, berbagi hati dengannya.

kurang lebih seperti Ginny Weasley membuka hati pada buku Tom Riddle

 

Secara keseluruhan memang film ini enggak melenceng jauh dari yang dijabarkan tiga pemainnya Syifa Hadju, Rizky Nazar, dan Baskara Mahendra presscon di Bandung pada saat beberapa hari yang lalu. Film ini memang benar mengajarkan kepada remaja-remaja penontonnya ada lebih dari sekedar hubungan cowok dan cewek yang dibahas ketika kita membicarakan cinta. Bahwa ada banyak bentuk cinta yang seharusnya lebih kita perhatikan di sekeliling kita.

Dalam wujud teruniknya, film ini menunjukkan, cinta itu bisa juga datang ketika kita bahkan tidak mengenal siapa yang kita rasa cintai tersebut. Cinta bisa tumbuh cukup dengan kedekatan emosi yang kita rasakan bersama. Seperti yang berbunga di hati Senja begitu ia berkomunikasi dengan Badboy yang tak ia ketahui siapa. Atau sebaliknya, cinta tak cukup hanya dengan ketemu, melihat wujud fisiknya sepanjang waktu. Seperti yang kita simak pada Bara dengan ayahnya. Bahkan saat kita bertengkar dengan seseorang, bukan berarti kita tidak mencintai mereka.

 

 

Film garapan Rudy Aryanto ini menilik cinta bukan dari segi fisik. Melainkan bentuk cinta yang biasa dikenal dengan emotional intimacy – kedekatan emosional. Kedekatan ini terbentuk ketika dua orang menjadi begitu dekat karena mereka merasakan hal yang sama, mereka jadi merasa saling mengerti, saling dukung, dan tak ragu untuk membeberkan hal-hal personal yang bahkan mungkin mereka rahasiakan terhadap diri sendiri. The Way I Love You benar-benar tepat menggambarkan gelora yang dirasakan oleh Senja ketika dia merasakan kedekatan semacam ini kepada Badboy. Film membungkus soal kedekatan emosional ini ke dalam elemen ‘dunia maya vs dunia nyata’ ketika Senja akhirnya bertemu dengan cowok yang mengaku di balik username Badboy tersebut, menjadikannya konflik ketika Senja merasa ada yang tak cocok dengan Rasya. Tapi kukira siapapun bakal langsung melihat ada yang tak beres ketika Rasya tiba-tiba nari Pulp Fiction di acara Valentine padahal musik dan dandanannya enggak merujuk ke sana hihi..

Enggak hanya seru-seruan, film juga menilik sisi yang lebih dramatis dalam lingkup keluarga. Satu yang menarik perhatianku adalah film sempat nunjukin adegan Bara dengan ayahnya bermain basket. Ini adalah kedua kalinya dalam waktu dekat aku melihat adegan ayah-anak bonding dengan bermain basket ini dalam film Indonesia – satunya lagi di Terlalu Tampan (2019). Adegan main basket ayah anak ini digunakan untuk membangun kedekatan emosional pada kedua tokoh; yang membuat aku penasaran adalah kenapa basket? Aku gak sadar apa memang basket sudah menjadi sepopuler itu di Indoneisa. Atau apakah ada filosofi di baliknya? Kalo di film luar, yang kita sering lihat adalah ayah dan putranya bonding lewat permainan lempar tangkap di mana mereka bisa punya waktu untuk mengobrol, ada koneksi yang tersimbolkan ketika bola itu berpindah tangan; emosi ayah ditangkap oleh anaknya. Atau pergi mancing seperti Bart dengan Homer. Atau ngajarin naik sepeda kalo anaknya masih kecil banget kayak Kun di Mirai (2018). Sekali, seingatku, di Barbershop: The Next Cut (2016) aku melihat Ice Cube main basket sambil nasehatin anaknya, dengan konteks anaknya mengalahkan si bapak, menunjukkan ketidaksetujuan terhadap idealismenya. Anyway, percakapan antara Bara dengan ayahnya truly menunjukkan jalinan hubungan emosional yang kuat, dan meski aku gagal melihat pentingnya harus-basket, setidaknya film membuat basket tetap ada hingga akhir cerita.

Mungkin kalian bingung kenapa aku malah begitu mempermasalahkan basket, well, itu karena saat menonton ini aku seperti melihat seorang pebasket yang udah lumayan meyakinkan namun meleset saat berusaha menembak tiga-angka. The Way I Love You punya amunisi yang cukup sebagai cerita remaja yang beneran hangat dan istimewa. Dia juga berani karena bukan adaptasi dari apa-apa. Film ini punya sesuatu untuk diceritakan, penampilannya pun udah remaja banget. Aku suka sekali gimana film menggunakan blog di era facetime-an untuk menguatkan karakter Senja dan si Badboy. Aku suka gimana film ini menangkap ‘gembira’nya punya chatting sama orang yang mengerti kita, membuat kita merasa mengenal dirinya. Aku juga suka humor ringan yang enggak kelihatan untuk melucu yang hadir sebagian besar lewat penampilan natural dari Tissa Biani yang memerankan Anya. Hanya saja bangunan ceritanya rusak karena pilihannya untuk menjadi punya twist. ‘Penyakit’ klasik film-film Indonesia yang berusaha mencari jumlah penonton.

Maaf aku enggak menyesal akan membeberkan banyak poin-poin yang dijadikan twist pada film ini karena menurutku film ini enggak perlu untuk punya twist. Maksudku, lihat saja posternya, Senja dan Bara mejeng berdua, mereka sudah terang-terangan dipajang begitu sehingga kenapa ceritanya musti nitip-nutupin kedua tokoh ini pada akhirnya akan bersama. Film ini begitu twist-minded, merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu, sehingga seperti sendirinya lupa ingin menceritakan apa. Sepuluh menit pertama, diperlihatkan Senja yang enggak mau pisah ama Anya, dia gak marah saat buku jurnal/diarinya dihilangkan Anya. Elemen dua tokoh ini punya pasangan itu adalah konflik untuk menguji apakah si Cewek-yang-Telah-Kehilangan-Segalanya tega mengambil kepunyaan orang yang ia sayang. Siapa sebenarnya Badboy tidak pernah menjadi persoalan utama, semestinya. Namun the way this film goes seolah Badboy itu adalah twist, padahal bagi kita yang mengerti twist yang berhasil mereka buat adalah bahwa ini adalah cerita tentang cinta antara dua sepupu yang udah kayak kakak-adik; Senja dan Anya.

gimana Rasya bisa tahu percakapan Senja dengan Badboy adalah antara dia begitu pintar menerka atau naskah yang memang lemah

 

 

Skrip film ini jadi terasa begitu-belum sempurna. Ada banyak poin-poin yang hilang tak terjelaskan. Seperti si Rasya yang enggak nongol lagi, kita tidak tahu siapa dia sebenarnya, kenapa dia suka ama Senja, atau bahkan dari mana ia datang. Dengan tujuan untuk ngasih kejutan, tentu kita mengira film ini matang memikirkan urutan kejadian yang ditampilkan, dari A ke B harus ada penggerak, setidaknya kita bisa mengandalkan film memperhitungkan hal tersebut kan? Tidak, sayangnya. Tiga-puluh menit pertama, kita mendapatkan dua adegan tabrakan, tiga adegan ‘enggak sengaja’, film ini berjalan dengan banyak kebetulan. Menakjubkan, untuk sebuah cerita tentang cinta yang menemukan jalan, apakah film tidak bisa memikirkan jalan lain untuk menyampaikan cerita dengan lebih matang dan masuk akal? Lucunya, bahkan film ini menjadi semakin meta dengan ada tokoh yang sengaja menciptakan adegan tabrakan.

Ada satu aspek yang buatku meruntuhkan bangunan cerita film ini. Katakanlah semacam plot-hole. Karena cerita film ini bakal beda jika si satu tokoh ini enggak berbuat demikian bego. Ceritanya diserahkan kepada kerelaan kita untuk menganggap tokohnya enggak bisa berpikir. Yang mana plot film ini jadi terlihat maksa karena si tokoh sama sekali enggak bego. Kalian tahu, manis banget memang melihat Bara mencoba mencari pemilik tulisan buku yang ia pungut, ia diam-diam membandingkan tulisan itu dengan tulisan cewek-cewek lain kayak Pangeran nyari pemilik sepatu kaca. Tapi toh semua usaha Bara itu tak perlu, karena di buku itu tertulis nama Senja. Dia tinggal mencari anak di sekolah mereka yang bernama Senja. Dan masa iya dia hingga babak ketiga tidak tahu tokoh si Syifa Hadju ini bernama Senja? Padahal seharinya Bara bersama-sama Anya yang ceplas-ceplos. Dia bahkan melihat buku yang ia pungut itu sebelumnya dipegang oleh Anya. Tinggal tanya Anya!! Bara juga sempat membaca tulisan Senja di majalah ketika dia berkonfrontasi dengan Senja, ia tahu cewek itu yang nulis – tidak terterakah nama penulis di majalah tersebut. Aku sempat ‘ngalah’ dengan berpikir mungkin Bara memang ditulis bego, pasif, dan begitu pemalu jadi mungkin dia sudah tahu Senja adalah yang punya buku tapi tidak mau come up, lagipula dia punya hubungan dengan cewek di blog. Namun datanglah adegan ketika Bara melihat buku catatan Senja dan langsung bisa menyimpulkan pemilik buku dan cewek di blog adalah orang yang sama. Mungkin juga, melalui tokoh Bara ini film ingin menunjukkan contoh creepy dari emotional intimacy.

 

 

 

Buatku elemen buku jurnal itu sama sekali tidak perlu karena membingungkan logika. Pencarian tulisan tangan itu maksa make sense-nya. Cukup dengan blog. Karena lebih masuk akal dan efeknya lebih kuat, lihat saja di Love, Simon (2018).  Juga gak perlu di-twist siapa Badboy, karena tanpa itu kita bisa lebih terarah dibangun ke pertengkaran atau konflik antara Senja dan Anya karena merekalah fokus utama yang sebenarnya. Film ini sebenarnya punya pesona tersendiri, lucu, hangat, bukanlah tontonan yang dibuat dengan ngasal. Kalian tahu betapa aku sangat menghargai cerita orisinil. Tapi cerita film ini terasa masih seperti draft yang butuh beberapa kali penyesuaian lagi supaya menjadi maksimal.
The Palace of Wisdom gives 2.5 out of 10 gold stars for THE WAY I LOVE YOU.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Nyamankah kalian curhat di blog atau sosial media? Ataukah kalian lebih suka curhat di jurnal atau diari? kenapa?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

THE WAY I LOVE YOU – Beragam Cinta dan Cara Menunjukkannya [Movie Preview]

 

Banyak cara menunjukkan rasa cinta kepada orang yang kita sayangi. Namun yang sering dilupakan adalah cinta itu sendiri sebenarnya bukan sebatas ama pacar. Antara cowok dan cewek. The Way I Love You, cerita asli tulisan Johanna Wattimena dan Gendis Hapsari, mengembangkan cinta yang biasa dikenal oleh kalangan remaja calon penontonnya. Dan ini buatku menarik karena meskipun film remaja Indonesia kebanyakan memang bergenre cinta alias drama romantis, namun yang benar-benar original bukan adaptasi novel dan semacamnya bisa kita hitung dengan jari.

“Film ini berbeda karena tidak seratus persen cinta-cintaan, enggak melulu seru-seruan. Ada harunya juga. Cerita TWILY melingkupi keluarga. Ada rasa persaudaraan. Ada persahabatan,” terang Rizky Nazar, yang bermain dalam film ini sebagai Bara, saat konferensi pers yang diadakan dengan asik di HARRIS Hotel & Conventions Festival Citylink, Bandung, siang 2 Februari 2019.

Bercerita tentang Senja yang dekat dengan sepupu ceweknya. Akrab banget udah kayak kakak-adik. Berbeda dengan sang sepupu, Senja ini anaknya pendiem. Pemikir. Pikiran-pikirannya biasanya ia tuangkan ke dalam tulisan. Blog-lah yang membawanya kenal dengan seorang cowok. kedekatan mereka membawa pengaruh terhadap hubungan Senja dengan sepupu, dengan cowok sepupunya, dan bahkan Senja sendiri merasa ada yang berbeda saat dia beneran ketemuan sama cowok teman blognya tersebut. Kisah keempat tokoh ini bahkan bakal dijanjikan semakin menarik karena Rizky Nazar juga menyebutkan ada twist di dalam plot ceritanya.

Bukan hanya Rizky Nazar seorang yang menempuh macet dari Jakarta untuk bincang-bincang dengan teman-teman media dan komunitas di Bandung. Aktor muda itu hadir bersama dua pemeran lain; Baskara Mahendra yang berperan sebagai Rasya, dan tentu saja tak ketinggalan (nyaris, karena datangnya belakangan hihi) Syifa Hadju yang menjadi Senja. Dengan ceria mereka berbagi cerita keseruan saat proses reading dan syuting. Syutingnya berlangsung selama dua-puluh hari, dan sebagian besar berlokasi di Jakarta. “Di Bogor kita cuma dua hari” tambah Rizky. Ketika ditanya mengenai tantangan saat syuting oleh salah satu media, ketiga aktor remaja yang lagi naik daun itu sepakat menjawab selain pendalaman karakter, mereka tidak menemukan kesulitan yang berarti. Kecuali ketika Rizky sedikit kesusahan mengendarai sepeda motor tahun 70-an. Malahan Baskara dan Rizky menyebutkan keseruan karena sutradara Rudy Aryanto memberikan mereka semua kebebasan. “Pak Rudy open terhadap masukan. Beliau selalu ngobrolin scene bareng pemain. Menerima sudut pandang dari kita-kita” tembah Rizky lagi.

para pemain banyak mendapat pelajaran dari karakter mereka masing-masing

 

Syifa Hadju yang tampil dengan rambut menggulung yang membuatnya tampak semakin cute punya cerita sendiri tentang mendalami karakter Senja. Ia menerangkan perannya itu justru sebenarnya lebih banyak berinteraksi dengan tokoh sepupu, Anya (diperankan oleh Tissa Biani). “Kalo Bara dan Rasya kan, bagi Senja mereka sama-sama ‘orang baru’. Sedangkan sama Anya ini udah deket banget. Padahal aku ama Tissa juga belum lama kenal. Kita jadi sering jalan bareng buat numbuhin chemistry dua sepupu yang akrab itu”, jelas Syifa. Para pemain memang dipertemukan lewat proses casting, dan inilah yang terutama membuat proses syuting mereka menjadi seru. Syifa lanjut membicarakan dia dan Tissa bahkan jadi sering memanggil masing-masing dengan nama tokoh yang mereka perankan supaya feel karakternya lebih dapat lagi.

Kepada keluarga, kepada teman dan sahabat, rasa cinta itu juga sama pentingnya untuk kita tunjukin. Kepada pekerjaan juga. Apa yang diceritakan tiga pemain The Way I Love You ini membuktikan kecintaan dan dedikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Syifa, Rizky, dan Baskara dengan bangga menyebutkan aktor-aktor yang bukan sekedar favorit, melainkan juga inspirasi mereka dalam berakting. Rizky menyebut dia sangat mengidolakan Tio Pakusadewo dan Robert Downey Jr. Baskara dengan detil menyebut satu persatu kiprah almarhum Heath Ledger yang ia jadikan panutan. Dan Syifa… psst tau gak siapa aktor yang diidolakan oleh artis yang pernah bermain di Beauty and the Best (2016) dan Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) itu?

Siapa ya kira-kira?

Hmmm..

 

Yakin, mau tau?

“Rizky Nazar dan Baskara Mahendra!”, jawab Syifa mantap. “Aku kagum dan selalu ngikutin perjalanan karir film kakak-kakak ini” Waaaah, manis sekali yaaa

 

 

Film The Way I Love You bakal tayang ke hadapan seluruh Indonesia tanggal 7 Februari 2019, segera temukan jalan kalian ke bioskop yaa, jangan sampai lupa dan nyasar sehingga ketinggalan berbaper ria menyambut Valentine bersama film yang satu ini~

ceria-ceria amat ya sehabis makan siang hhihi

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.