SRI ASIH Review

 

“The best fighter is never angry”

 

 

Waktu mewawancarai Sri Asih tempo hari (videonya bisa ditonton di sini), aku bertanya kenapa penting bagi film-film jaman sekarang untuk menampilkan karakter perempuan yang badass. Pevita Pearce dan Jefri Nichol kompak menjawab bahwa karena sudah bosan melihat pria-pria terus yang berantem dan jadi jagoan. Aku setuju dengan jawaban mereka. Perempuan bisa kok jadi jagoan. Setelah sekian lama selalu ditampilkan sebagai ‘dayang-dayang’ yang fungsinya untuk diselamatkan oleh pahlawan cowok, sekarang sudah waktunya untuk menampilkan keberdayaan perempuan. Film, khususnya genre superhero, harus aware karena inilah medium yang tepat untuk menyimbolkan hal tersebut. Like, tahun ini saja Marvel sudah membuat terobosan dengan mulai memperkenalkan ‘versi cewek’ dari  masing-masing karakter superhero laki-laki yang mereka punya. Perempuan mampu membela diri, menghajar orang jahat dan menyelamatkan dunia. Ini haruslah diperlihatkan dalam konten yang lebih daripada sekadar memperlihatkan perempuan bisa lebih jago daripada lelaki.

Dalam soal itulah aku agak kurang setuju dengan bagaimana Sri Asih garapan Upi menampilkan dan mengembangkan sosok karakter superhero perempuannya. Where do I start?

Alana punya origin story yang bisa dibilang paling aneh di antara superhero-superhero lain yang aku tahu, lokal maupun mancanegara. Alana tidak ditempa oleh tragedi. Dia seperti dilahirkan dengan kekuatan karena ibunya actually ngidam melihat gunungapi saat mengandung baby Alana. Seperti ada koneksi antara kekuatan api dengan dirinya semenjak masih bayi. Gunung Merapi seperti tahu kehadiran Alana yang keturunan Sri Asih, sehingga memuntahkan asap panas, Kedua orangtua Alana lantas meninggal dunia dalam peristiwa naas setelah mereka kabur dari letusan gunung. Alana jadi dibesarkan di panti asuhan, dan sejak kecil dia mimpi didatangi oleh Dian Sastro.. eh, Dewi Api! Mengenai kekuatannya, kita tidak diperlihatkan gimana Alana bisa mengendalikan atau dia sendiri tahu persisnya gimana. Karena sejak kecil dia sudah cakap berantem. Dia menghajar tukang bully di panti. Alana kecil lantas diadopsi oleh ibu-ibu yang ternyata adalah agen profesional underground fighter. Kali berikutnya kita melihat Alana, dia udah gede dan jadi fighter yang menghajar lawan-lawan cowok. See, jadi Alana ini adalah tipe karakter chosen one, tapi kita tidak pernah diperlihatkan dia belajar atau berjuang untuk menggunakan kekuatannya. Alana ini kayak Mulan yang versi live-action; yang sudah jago. Dan kesamaan itu otomatis jadi red flag.

Padahal Sri Asih mestinya bawa red selendang hihihi

 

Kenapa red flag, karena kalo sudah jago begitu, maka apa dong yang harus dipelajari oleh si protagonis? Journey apa yang harus ditempuh oleh karakter utama sebagai plot yang bisa kita simak. Mulan live-action adalah bukti kegagalan naskah mengeksplorasi cerita keberdayaan perempuan, dengan membuat karakternya sudah hebat dan gak punya pembelajaran. Beda dengan cerita film animasinya. film versi modern itu hanya seperti memperlihatkan si Mulan lebih jago dari siapapun, terutama laki-laki. Sri Asih sebenarnya masih punya ruang untuk menggali, film ini tidak sepenuhnya ngesok membuat Alana jagoan seperti yang dilakukan film Mulan kepada karakter pahlawan legendanya. Film Sri Asih sebenarnya masih membuka ruang untuk pengembangan dengan membuat Alana harus belajar mengendalikan amarahnya. Diceritakan meskipun Alana adalah keturunan Sri Asih, tapi jika dia membiarkan diri terbakar oleh rasa marah, maka kekuatan pengrusak dari Dewi Api – musuh dari Sri Asih – yang akan menguasainya. Jadi Alana, dengan bantuan teman-temannya, berusaha mengendalikan amarah.

Marah memang sebaiknya tidak ditahan-tahan. Marah jika disalurkan dengan baik, maka juga bisa jadi kekuatan – dan justru menyehatkan. Lihat saja Gohan di Dragon Ball. Kuncinya adalah di penyaluran. Alana harusnya membaca bukunya Lao Tzu. Karena founder Taoisme itu mengajarkan seorang pejuang haruslah tidak mempertontonkan amarah. Karena seorang pejuang bisa menang jika berpikir dengan tenang, membuat keputusan dengan melihat semua dengan jelas. Semua itu hanya bisa dilakukan ketika hati dan kepala tidak sedang terbakar oleh emosi.

 

Naskah harusnya berkutat di sini. Di pergulatan personal Alana dengan dirinya. Dengan amarahnya. Masalah pada naskah Sri Asih adalah it gets too ambitious. Durasi dua jam jika memang fokus kepada karakter Alana, luar – dalam, bukan soal dia mengalahkan lawan dalam caged fight saja, tentulah akan menghasilkan cerita yang lebih grounded. Cerita superhero yang lebih menginspirasi buat penonton, karena bagaimanapun juga manusia menonton film hakikatnya adalah untuk menyimak perjalanan seseorang dalam usaha menjadi orang yang lebih baik. Wonder Woman pertama (2017), misalnya. No wonder film itu jadi salah satu cerita superhero buku-komik terbaik – superhero wanita pula! sebab mengeksplorasi kenaifan Diana Prince yang menganggap manusia itu innocent. Film itu tahu sisi vulnerable Diana, dan sepanjang durasi dimanfaatkan untuk menggali hal tersebut. Diana ditempatkan di zona perang, dan sebagainya. Bagi Alana, sisi vulnerable itu adalah rage. Rasa marah. Formulanya sebenarnya bisa sama dengan Wonder Woman. Namun, naskah ambisius film ini membuat pembahasan soal itu melompat-lompat. Karena ada banyak lagi hal-hal di luar personal Alana yang hendak dibahas.

Kita bahkan gak pernah yakin si Alana ini jadi gampang marah karena apa. Masa iya karena sering mimpi api? Dari sebelumnya dia menang telak di dalam arena, kita lantas melihat Alana tanding gak stabil karena guncangan amarah. Tau-tau dia jadi disebut punya masalah kontrol emosi saja. Pengembangan soal Alana ini jadi semakin terasa choppy karena naskah tampak lebih tertarik nunjukin elemen cerita yang lebih berbau politik dengan segala kekelamannya. Orang kaya yang memandang rendah orang miskin. Polisi yang tidak memihak rakyat. Dan tentu mereka-mereka adalah cowok yang sebagian besar brengsek. Ada lebih banyak durasi yang digunakan untuk dengan gamblang menyebut cowok lawan cewek, ketimbang durasi yang disediakan untuk Alana confront emosinya. Like, kupikir dia bakal susah menjelma sebagai Sri Asih karena begitu banyak amarah. Tapi ternyata persoalan itu selesai dengan gampang. Alana tinggal menari tradisional dalam sebuah ritual untuk menerima/membangkitkan kekuatan Sri Asih. Enggak tau juga kapan dia belajar tariannya. Persoalan kostum juga sama sekelebatnya. Sudah tersediakan!

“Darimana mereka bisa tahu ukuran gue…?!” cue musik DHUAR DHUAR!!!

 

Sama halnya dengan Gundala (2019), film pertama dari Bumi Langit Universe, naskah Sri Asih dengan cepat membesar dari yang tadinya serius dalam ranah personal, menjadi seperti serius tapi semakin mendekati konyol. Serum amoral kini digantikan posisinya oleh tumbal mistis 1000 jiwa, dengan rakyat penghuni rusun miskin jadi calon korbannya. Buatku lucu sekali si tumbal mistis ini begitu spesifik sehingga kentara banget maksanya. Seribu jiwa harus dibunuh bersamaan. Like, emangnya siapa yang ngitung. Kalo kurang atau lebih satu, apakah si penjahat harus ngulang lagi ngumpulin seribu jiwa yang lain. Dan itu keadaannya jelas kurang satu, karena Tangguh – teman dari masa kecil Alana – sebagai salah satu penghuni rusun sudah tidak ikut terjebak karena ada di markas bareng Alana. Motif penjahat serta karakter jahatnya sendiri juga jadi tidak terestablish dengan baik, saking banyaknya yang mau diceritakan. Berpindah dari yang tadinya cowok kaya yang asshole abis ke sosok mistis dari mitologi ke seorang yang diniatkan sebagai revealing yang mengejutkan. Alias twist. Dan twist ini, sodara-sodara, justru bikin satu-satunya perspektif menarik yang digali oleh cerita, jadi kayak terbuang gitu aja. Karena tidak lagi berarti, toh ternyata si karakternya beneran jahat!

So yea, Sri Asih adalah tipikal film yang menganggap dirinya sangat serius sehingga semua dialognya jadi intense. Karakter yang ngucapinnya juga, kayak orang paling misterius dan serius-you-don’t-wanna-mess-with-me semua. Kalo butuh sedikit mencairkan suasana, film akan membuat Alana dan Tangguh ‘berubah’ jadi karakter dengan dialog ala Marvel sebentar. Tapi sebagian besar waktu, film ini punya dialog-dialog superintens, yang bahkan lebih intens daripada sekuen berantem superheronya.  Kalo mau diurutin bagian intensnya, nomor satu adalah dialog-dialog, kedua adalah berantem martial arts di arena fight, dan ketiga berantem superhero. Yang aku suka adalah berantem martial arts ala UFC yang grounded.  Tapi itu juga mungkin karena pengaruh Pevitanya, karena kita tahu dia menjalani ‘transformasi’ untuk peran ini – peran yang bisa dibilang di luar kebiasaannya, jadi kinda like melihat Pevita yang berantem. Kita jadi ada ketegangan ekstra, karena ada sedikit believe ni si Pevita yang jadi Alana bisa kalah. Camera worknya juga dibuat dramatis di adegan berantem yang ini. Beda dengan ketika sudah jadi full superhero. Karena sudah jagoan banget, kita udah ngerasa kayak mustahil Sri Asih kalah melawan gerombolan penjahat cecunguk yang senjatanya cuma pistol. Shot-shotnya pun sudah mulai pakai efek komputer kayak Sri Asih atau musuhnya beterbangan. Kesannya tidak sereal dan grounded lagi. Sehingga ya jadi kurang seru, gak peduli semirip apapun genjreng-genjreng musiknya dengan tema Wonder Woman.

 




Si Sri Asih memang ‘badass’. Aku setuju kita juga gak boleh ketinggalan menampilkan cerita dengan superhero perempuan, yang punya daya, bisa menyelamatkan dunia, dan bisa mengalahkan kelemahannya sendiri. Sosok Alana juga berhasil dihjdupkan dengan cukup ikonik oleh Pevita – yang aku yakin ke depan akan terus dipanggil orang sebagai Sri Asih berkat perannya di sini. Hanya saja, sebagai cerita, film ini sesuatu yang masih berantakan. Alurnya jadi lebih peduli sama hal yang lebih ambisius, alih-alih journey personal karakter perempuannya. Plot si protagonis jadi kayak lompat-lompat perkembangannya. It was just ‘bad’. Karakternya jadi kayak sudah jago aja. Dia kayak benar sedari awal. Makanya filmnya jadi kayak soal cewek bisa lebih jago daripada cowok saja.  Namun sukurnya, film ini masih menyisakan ruang untuk Alana sedikit belajar (meskipun tidak digarap maksimal oleh naskah) sehingga, yah lumayan lah,  tidak sampai segagal Mulan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SRI ASIH

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian siapa yang menang duel antara Sri Asih lawan Wonder Woman?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 6 (SMILE, BARBARIAN, PEARL, BULLET TRAIN, PIGGY, HELLRAISER, PINOCCHIO, THE WOMAN KING)

 

 

Atau bisa juga dibilang ini adalah Mini-Review edisi Halloween! Gimana enggak, bulan kemaren hampir semua film yang keluar dalah film horor, aku sampai kelimpungan nonton, nulis dan edit video reviewnya hihihi. But yea, halloween tahun ini jadi sangat berkesan. Karena memang filmnya sebagian besar bagus-bagus. Kalo saja aku punya waktu lebih dari 24 jam sehari, pastilah film-film di sini kubikinin full-reviewnya. Sayangnya gak ada Peri Biru yang datang mengabulkan permintaanku, sehingga jadilah Mini-Review Volume Keenam ini untuk dibaca oleh kalian yang setia nanyain “mana nih review-reviewnyaa?”!

 

 

 

BARBARIAN Review

Barbarian garapan Zach Cregger adalah dua kejadian struktur yang tak-biasa. Pertama, struktur rumah airbnb yang ada dalam kisah horor ini. Basement bangunan tersebut bukan saja menyimpan ruang rahasia, melainkan lorong panjang tersembunyi seperti labirin, tempat sesosok deformed creature tinggal. Kedua, struktur narasinya. Barbarian yang awalnya mengisahkan Tess, cewek yang menginap di airbnb, tapi rumah itu sudah ditempati oleh penyewa lain (mereka berdua bakal aware ada penghuni satu lagi di bawah sana dalam cara yang mengerikan!) ternyata di tengah durasi juga akan bercerita tentang AJ, cowok terkenal pemilik rumah tersebut, yang pengen menyepi ke sana tapi menemukan ada sesuatu yang aneh yang tidak ia tahu sebelumnya.

Struktur tak-biasa yang dimiliki film ini, pertama memberikan pengalaman horor two-in-one yang cukup seamless (meskipun ceritanya sempat terjeda). Misteri yang melatarbelakangi horor dalam Barbarian jadi punya cara reveal yang unik, memberikan kejutan-kejutan yang tak pernah terasa lebih besar daripada gagasan yang diusung. Kedua, struktur tak-biasa itu walau memberi kita momen untuk terlepas dari cerita saat switch karakter, ternyata juga membuka ruang untuk perspektif yang lebih luas. Dan itulah yang diincar film ini dengan resiko tukar-karakter tersebut.

Bahwa gagasan soal gender perspektif-lah yang ingin dikuatkan. Film ingin bukan saja memperlihatkan bagaimana cowok dan cewek memandang dunia dengan begitu berbeda karena situasi juga meng-treat mereka berbeda, tapi juga membuat kita mengerti bahwa sesungguhnya hal tersebut adalah horor. Tolak banding perempuan dan laki-laki (yang satu bisa seenaknya merasa dirinya baik dengan semena-mena ngatur, sementara yang satunya lagi harus toughen up karena seems like tidak ada tempat aman di dunia bagi mereka) itulah yang membuat Barbarian sebagai horor yang menarik. Karena perspektif itu bukan saja dari Tess dan AJ, melainkan juga dari si creature dan dalang di balik semua.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for BARBARIAN.

.

 

 

BULLET TRAIN Review

Ada masa ketika aku merasa diri sebagai orang paling sial di muka bumi. Email yahoo-ku dulu jaman sekolah literally ‘the most unlucky man’. Guru-guru, dan dosen, ampe ketawa-ketawa membacanya. Disuruh ganti, kutak mau. Aku sial, and proud of it. Duh, coba kalo David Leitch udah bikin Bullet Train pada masa itu!

Di balik fast-pace action di ruangan sempit atau terbatas dan sejumlah karakter unik yang kocak – yang membuat film ini jadi paket hiburan yang seru dan benar-benar menyenangkan – ada filosofi tentang memandang hidup pada narasi. Ladybug yang diperankan oleh Brad Pitt juga merasa dirinya sial. Sepanjang perjalanan di dalam kereta peluru itu, Ladybug yang jadi agen bayaran, rebutan koper dengan geng kriminal, agen saingan, dan pihak-pihak lainnya, dan mereka semua bicara tentang takdir. Tapi manusia adalah beragam karakter, sehingga hidup biarpun lurus seperti rel, manusia bukanlah kereta api yang cuma ngikut rel. Kita melihat begitu banyak ‘perubahan’ dari karakter-karakter. Dinamika mereka membuat film ini semarak dan hanya jadi semakin seru.

Film ini saking kreatifnya dalam menekankan bahwa mereka semua ditakdirkan di sana, bahwa sial atau untung hanyalah tergantung kita – manusia yang gak bisa melihat gambaran besar – memaknainya, membuat semacam flashback introduksi untuk setiap karakter. Yang bahkan botol mineral saja ada fungsi dan pengenalannya! Hihihi

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BULLET TRAIN

 

 

 

HELLRAISER Review

Dari beberapa remake/sekuel modern horor ikonik yang tayang musim halloween kemaren, Hellraiser  adalah yang paling enjoyable, dan terlihat benar-benar dapet inti horor dan respek kepada versi originalnya. David Bruckner mengerti bahwa Hellraiser dan para Cenobite adalah soal manusia dapat menjadi begitu tamak, sehingga dengan pain atau derita saja bisa kecanduan. Di sini, Bruckner memperlihatkan journey seorang perempuan yang kecanduan alkohol untuk menyadari dan berjuang keluar dari neraka dunia yang sedang ia gali sendiri. Dan ya, itu adalah perjuangan berat penuh godaan dan berdarah-darah.

Tantangan untuk film ini adalah membuat protagonis dari karakter seperti demikian. Film tidak berhasil sepenuhnya melepaskan karakter dari label annoying dan mudah untuk dipedulikan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Riley yang diperankan oleh Odessa A’Zion adalah protagonis horor yang bagus, and she will win us over. Bicara soal karakter, Cenobite adalah ikon dari Hellraiser, dan kali ini Bruckner menghidupkan mereka dengan bahkan lebih ngeri lagi. Desainnya benar-benar juara. Aku suka gimana film membuat para Cenobite seperti menyimbolkan manusia yang mengenakan derita mereka. Cenobite di sini gak lagi pakai pakaian berbahan kulit, kulit sendirilah yang seolah jadi pakaian. Lihat saja ‘rok’ si Pinhead, itu kulit tersayat. Jamie Clayton juga dapet banget memainkan persona Pinhead sebagai khas dirinya sendiri.

Soal desain dan horor (body horor) memang film ini peningkatan. Kostum dan efek praktikal dimainkan dengan mulus bersama efek komputer yang digunakan sebagai penunjang. Salah satu adegan yang masih terbayang olehku adalah ketika salah satu karakter ditusuk lehernya pakai jarum, dan kita akan melihat gambar dari sudut dalam kerongkongan si karakter. Ngilu!!

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HELLRAISER

 

 

 

PEARL Review

Masih ingat nenek jablay antagonis di film X sekitaran paruh-awal tahun ini? Sesuai judulnya, Pearl adalah film yang menceritakan backstory si nenek yang namanya Pearl itu. Tapi yang paling penting adalah, Pearl merupaka pertunjukan kehebatan Mia Goth sebagai bintang horor!

Banyak film yang ngangkat tokoh jahat atau pembunuh sebagai protagonis, namun failed malah bablas ngasih simpati sehingga karakter itu jadi tampak tidak jahat lagi. Sutradara Ti West lebih bijak dari film-film tersebut. Pearl di balik keluguan gadis desa yang nyaris kayak anak kecil itu no doubt adalah seorang yang jiwanya ‘agak laen’. Tentu, kita relate ke Pearl soal betapa dia pengen mengejar mimpi; Pearl merasa terkurung di rumah peternakan, dia percaya bisa jadi bintang film terkenal, tapi simpati kita tidak pernah lebih dari itu. Salah satu film yang berhasil menggarap perspektif tokoh pembunuh sebagai karakter utama adalah Henry: Portrait of a Serial Killer (1986), di film itu dramatic irony-nya adalah kita dibuat merasakan yang dirasa oleh calon korban. Kita berpikir mungkin Henry enggak jahat, untuk kemudian di ending film menegaskan orang seperti apa dirinya. Nah, film Pearl memang tidak sampai membuat kita  seperti korban, atau malah menyalahkan korban Pearl. Dramatic irony yang dikeluarkan oleh film ini adalah kita merasa sayang melihat talent dan mimpi polos tersebut harus ada di dalam tubuh dan jiwa dan mental yang sudah beyond repair. Makanya adegan-adegan seperti monolog dan senyum panjang di kredit itu sangat powerful. Pearl bukan hanya membunuh orang tua dan sahabatnya. Pearl membunuh ke-innocent-an dirinya.  Dan glimpse dari itu nongol saat monolog dan senyum tersebut.

Itu juga sebabnya kenapa Mia Goth harus diganjar award tahun ini, apapunlah itu awardnya. Penampilannya sebagai Pearl luar biasa. Selain monolog, dan senyum kredit, yang aku yakin bakal jadi ikonik tersebut, Goth tackle banyak lagi adegan keren, seperti adegan nyanyi saat audisi dan di peternakan. Range yang sungguh luar biasa!

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PEARL

 




PIGGY Review

Premis drama horor/thriller karya Carlota Pereda ini menarik. Sara si anak tukang daging dibully oleh remaja sepantarannya karena berat badan. Sara jadi nutup diri, gak pede. Yang akhirnya datang membela Sara bukan orangtua ataupun sahabat, melainkan adalah seorang pria asing, yang ternyata adalah serial killer.

Piggy jelas menyasar soal bullying. Film Spanyol ini mengeksplorasi gimana pembullyan pada remaja bisa demikian parah dan kasarnya, sehingga berdampak mengerikan bukan saja kepada psikologis korban, namun juga jadi mengacaukan moral korban. Film ini ingin membuat kita merasa Sara berhak marah dan memilih untuk melakukan apa yang ia lakukan. Konflik batin pada Sara inilah yang mestinya kita perhatikan. Jadi diceritakan Sara sebenarnya melihat teman-temannya diculik oleh si serial killer, tapi karena mereka semua jahat kepadanya, maka Sara memilih diam. Tidak lapor ke polisi. Tidak menceritakan ke orangtua. Film bahkan dengan berani mengangkat Sara justru jadi punya hubungan romantis dengan si pembunuh yang telah ‘baik hati’ memberikan dirinya pakaian tatkala teman-teman menyembunyikan bajunya. Saking trauma dan jahatnya pembullyan, Sara sampai dibuat lebih simpati sama serial killer!

Ini pesan dan narasi yang sungguh kuat konfliknya. Melihat Sara terus didera pergulatan personal mengenai apakah yang ia lakukan adalah benar, menghasilkan perasaan yang juga memakan kita dari dalam. Sayangnya, menurutku film kurang ketat menjaga naskah dan arahan. Piggy jadi kurang nendang karena seperti mau mengarah ke satu hal lain yang lebih ekstrim, tapi balik lagi ke hal lain yang lebih grounded. If anything, film ini tampak seperti urungkan horornya, karena masih ingin sopan kepada si subjek. Singkatnya, film ini agak menahan diri sehingga impactnya jadi kurang kuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PIGGY

 

 

 

PINOCCHIO Review

Anak kecil juga tahu, Pinokio adalah dongeng yang ngajarin untuk gak boleh bohong, dan bahwa anak manusia haruslah rajin belajar dan membantu serta menghormati orangtua. Disney, however, dalam usaha minimalnya untuk nyari duit sembari terlihat woke, mengubah cerita si boneka kayu sedemikian rupa, sehingga pesan moral yang jelas tersebut jadi hilang entah ke mana. Pinocchio versi live-action yang digarap Robert Zemeckis hanya menang di visual, sementara dari sisi cerita, film ini ngasih moral yang ngawang lewat pembelajaran karakternya.

Bayangin, Pinokio di film ini menggunakan hidungnya yang memanjang untuk membebaskan diri. Jadi, dia sengaja bohong supaya idungnya sampai menggapai kunci kurungan yang digantung di sebelah pintu. Alih-alih ngajarin supaya anak mengakui kesalahan dan belajar jadi lebih baik dari kesalahan tersebut (dengan tidak mengulangi), film ini membuat Pinokio sebagai tokoh yang tidak punya salah. Dia mau sekolah, tapi sekolahnya yang gak mau nerima dia karena dia berbeda. Pinokio tidak tampak tertarik bersenang-senang di Negeri Nikmat. Dan malah di akhir, Pinokio enggak lagi masalah harus soal jadi anak manusia. Film mengaburkan pembelajaran dengan masukin soal ‘jadi diri sendiri’ yang salah kaprah.

Secara kreativitas, film ini juga kosong sebenarnya. ‘Live-action’nya gak benar-benar live action, karena jam-jam mainan yang lucu-lucu itu saja masih efek komputer. Those are things yang mestinya bisa dibikin beneran oleh studio dengan duit sekenceng Disney. Pinocchio versi baru ini sebenarnya hanya mengulang shot-shot dari film animasi klasiknya, dengan sedikit mengubah dan menambah sana-sini. Peri Biru diubah, tapi hanya muncul satu kali. Ada beberapa karakter baru juga, tapi yaah, tidak menambah banyak untuk bobot narasi. Dan Tom Hanks, maaan, kasian banget main di sini untuk bemper jualan saja. Masih lebih ‘live-action’ Pinokio versi Ateng-Iskak, deh!

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for PINOCCHIO

 

 

 

SMILE Review

Sehabis nonton, aku sadar senyum di wajahku sirna sudah. Sebab Smile ternyata gak sebagus itu. Kuakui aku tertarik melihat trailernya. Adegan orang jalan ke mobil tapi kemudian kepalanya jungkir balik sold me untuk menonton film ini. Dan ternyata memang cuma adegan itu yang benar-benar fresh di seantero film ini buatku.

Karena ternyata Smile yang bicara tentang kutukan berantai misterius hanya punya trik-trik jumpscare. Sutradara Parker Finn menyiapkan cerita yang memang didesain untuk bisa memuat banyak jumpscare. Seorang shrink wanita menyaksikan pasiennya tersenyum lalu bunuh diri, dan setelahnya dia mengalami semua yang dicurhatin oleh si pasien sebelum tewas. Orang-orang yang tersenyum mengerikan. Kejadian-kejadian tak terjelaskan. Film ini sebenarnya telah menyelam ke dalam horor psikologis saat si karakter utama mengalami semua peristiwa ganjil yang entah beneran terjadi atau hanya ada dalam kepalanya. Tapi film hanya menggunakan itu sebagai tempat buat meletakkan jumpscare. Bahasan psikologis tentang trauma tak benar-benar digali, selain menyebut bahwa trauma akan terus berulang.

Investigasi seputar misteri kutukannya pun tidak memuaskan. Karena tidak benar-benar diperlihatkan sumber kutukan, dan bagaimana itu bisa mengait kepada trauma personal karakter. Bisa dibandingkan dengan investigasi kutukan pada film Ring. Menguak misteri kutukan video Ring, mengarahkan protagonis kepada Sadako, dan dia resolve urusan personal berbarengan dengan misteri Sadako berusaha diselesaikan. Dalam Smile, semua itu kayak pointless, karena hubungan-hubungannya tidak diestablish dengan jelas. Nonton film ini jadinya ya hanya menikmati kejutan jumpscare saja.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for SMILE

 

 

 

THE WOMAN KING Review

Aku keingetan Barbarian saat nonton The Woman King. Bukan karena judul Barbarian lebih cocok disematkan kepada film tentang perlawanan suku tribal Afrika terhadap penjajah kulit putih, melainkan karena The Woman King juga seperti dua cerita dalam satu, namun dilakukan dengan lebih nyatu. Tidak ada keraguan, The Woman King adalah tentang karakter Viola Davis, si Miganon alias kapten pasukan warrior perempuan Agojie, yang mengusung gagasan bahwa dalam berjuang kita harus ingat untuk siapa kita berjuang.

Meskipun juga bercerita dari sudut Nawi, gadis desa yang menolak dikawinkan sehingga diserahkan ayahnya kepada Raja untuk jadi ‘tentara’, sutradara Gina Prince-Bythewood tetap mengembalikan semua kepada perspektif Miganon Nanisca sebagai tokoh utama. Pemimpin pasukan itu belajar banyak dari Nawi yang masih polos sehingga masih melihat jelas mana kawan mana lawan. Nanisca bukan hanya tangguh di luar, tapi di dalam dia sudah ‘mengeras’ berkat begitu banyak derita yang ia pendam sehingga perjuangannya membela bangsa jadi perang tanpa-rasa. The Woman King, di balik aksi-aksi berantem yang begitu grounded itu, ternyata punya hati dan jiwa yang kuat mengakar. Film ini juga tidak niat mengadu-adu cowok lawan cewek semata, karena gak ada tuh di sini bentukan kayak cowok jahat, cewek baik dan teraniaya. Semuanya dibikin balance. Dalam kelompok Nanisca, ada raja – cowok – yang gak dibuat bego atau culas. Ada cowok sesama pejuang yang gak lantas kalah jago. Kevulnerable-an menguar kuat di balik ketangguhan. Gak banyak film yang berani dan bisa menampilkan dua sisi ini sekaligus. The Woman King berhasil menghanyutkan kita ke dalam dinamika keduanya.

Gina tidak mengarahkan The Woman King ke nada yang serius ala-ala The Northman. Gina melihat urgensi dari cerita yang ia angkat ini, dan dia mau semuanya dengan mudah tersampaikan. Jadilah film ini dibuat dengan nada yang bisa dibilang agak ngepop, menggunakan trope yang mudah mencapai penonton. Tapi tidak sampai membuat The Woman King terkesan easy. Film ini tetap terasa epik. Karakter-karakternya terasa big dan tetap akrab, ceritanya tetap tampak penting tanpa menjadi ribet. Pengembangan karakter dan sekuen aksinya berjalan seimbang. Ini film epik paket lengkap, yang sayang tidak banyak dibicarakan orang.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE WOMAN KING

 

 




That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



QODRAT Review

 

“When the devil tempts you to doubt, don’t let your circumstance determine your God”

 

 

Horor dulu simpel. Baik lawan jahat. Hitam lawan putih. Setan lawan Tuhan. Namun hal jadi semakin kompleks seiring kita sadar kalo manusia dapat menjadi lebih iblis daripada setan.  Bahwa agama sekarang bisa dijadiin kedok oleh manusia untuk nurutin hawa nafsunya. Like, setan aja minder ngelihat perilaku manusia sekarang. Agama direduce jadi alat politik, kampanye kebencian. Malah tahun 2000an dulu sempat marak acara tv yang menjual ustadz bak superhero pengusir setan dengan jungkir balik baca ayat yang dijadikan mantra. Sehingga orang jadi gak percaya. Kini semua itu jadi membaur, yang putih ternyata hitam, dan yang hitam ternyata bisa jadi pihak yang baik. Makanya film horor pun sekarang banyak yang agak ‘ribet’. Film Qodrat garapan Charles Gozali tampak dibuat untuk mengembalikan kodrat baik lawan jahat yang mulai mengabu tersebut. Mengembalikan harapan akan masih ada pembela kebenaran, ustadz-ustadz, orang-orang yang truly baik, yang benar-benar bisa memberikan pertolongan.  Orang-orang seperti Ustadz Qodrat.

Ketika kita pertama kali bertemu dengannya, Ustadz Qodrat sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Dia gagal merukiyah putranya sendiri. Alif, sang putra, tewas. Qodrat dipenjara, Dan dia jadi ogah sholat. Setelah kejadian horor yang membuatnya sempat ngerasain mati, Ustadz Qodrat pulang ke Pesantren Kahuripan. Hanya untuk menemukan pesantren dan desanya dalam kondisi bak neraka dunia. Gersang, air dan makanan kurang, dan banyak penduduk, terutama anak-anak yang sakit dan kesurupan. Salah satu dari mereka adalah putra dari Yasmin, yang kebetulan juga bernama Alif. Kesamaan itulah yang digunakan oleh setan musuh bebuyutan Ustadz Qodrat untuk sekali lagi membunuh Qodrat dan mengkafirkan sebanyak mungkin manusia di sana dalam prosesnya.

Pak Ustadz pake jaket kulit jadi kayak Kotaro Minami

 

Kesurupan memang trope yang sudah sering dipake, baik itu di horor lokal maupun horor mancanegara. Qodrat sendiri bahkan sudah ngasih nod  – adegan dengan sesuatu yang clearly mereferensikan – ke film horor yang memulai soal kesurupan dan usir setan, The Exorcist (1973) di adegan pembuka.  Dengan menyajikannya di depan seperti demikian, film tidak hanya ngasih respek ke film ‘senior’ tersebut, tapi juga ngasih tahu ke kita “oke, we’ve done the reference, itu selesai, sekarang; inilah yang baru, yang kami tawarkan”  Dan memang sesegera itu Qodrat berusaha bermain-main dengan cara menampilkan trope kesurupan, dan berusaha menjadi dirinya sendiri. Kayak di awal itu, film actually menggunakan pov orang-pertama, jadi kita belum melihat wajah Qodrat. Kita seolah melihat dari posisi Qodrat langsung, bagaimana tampang si anaknya ketika setan Assauala merajalela di dalam sana. Menit-menit awal itu udah kayak mainin game first-person horor. Setelah itu, vibe film ini jadi kayak film silat jadul, apalagi dengan lokasi desa di bukit. Si Qodrat udah kayak pesilat yang mengembara hingga sampai ke suatu desa. Bedanya. pesantren dan desa itu adalah semacam kampung halaman baginya. Tapi tempat itu jadi nyaris sepenuhnya asing bagi Qodrat. Ini memberikan lapisan kepada konflik karakternya karena menyelamatkan desa tersebut bagi Qodrat juga berarti adalah menyelamatkan sesuatu yang dia kenal, menyelamatkan dirinya sendiri.

Setan telah bersumpah untuk berusaha sekuat tenaga tak kenal lelah demi menyesatkan umat manusia. Kita melihat di film ini bahkan pemuka agama seperti Qodrat berada pada ancaman terjerumus yang nyata. Pesan moral kebaikan dan kejahatan yang dikandung film ini memang tidak lantas menjadikan cerita hitam-putih polos aja, melainkan jadi cerita dengan elemen hitam dan putih yang begitu volatile, dan kita akan merasakan dan merefleksikan kengerian dari bagaimana kedua elemen itu tertampilkan dalam desain film ini.

 

Vibe film silat makin berasa karena ustadz-ustadz di sini jago berantem semua. Rukiyah yang mereka lakukan didesain oleh film melibatkan aksi-aksi fighting seolah ustadz adalah hero dan setan yang merasuki orang adalah supervillain. Tapi tidak pake jurus-jurus flashy, sehingga film ini terasa lebih grounded daripada Jagat Arwah (2022) yang memang lebih menguatkan pada fantasi. Dan perlu diingat, yang dirasuki di sini ini adalah sebagian besar anak kecil jadi aksi di film ini bisa terasa sangat intens. Ustadz Qodrat pasang jurus tapi bukan untuk melukai, tapi setan yang mengamuk lewat wujud anak kecil akan full force menyerang melakukan hal-hal mengancam nyawa. Mereka gak peduli nyakitin siapa saja. Untuk tetap stay true dengan genre horornya, film ini tak lupa memasukkan adegan-adegan yang pure hantu-hantuan. Yang dilakukan dengan cukup variatif, enggak hanya sekadar orang kesurupan teriak-teriak. Ada makhluk-makhluk  horor dengan make up dan efek seram, pastinya. Malah ada creature anjing besar hitam yang berhasil juga blend dengan environment sehingga tampilannya mulus. Terus ada adegan surealis juga; favoritku adalah adegan kue ulang tahun. Yang jadi Bapak di sekuen itu (sori, aku gak tau nama aktornya), kupikir aktingnya brilian juga ngasih vibe supercreepy. Aktor-aktor cilik yang kesurupan juga lumayan sih, cuma aku kurang suka ketika untuk adegan kesurupan maksimal, film mengoverlay suara mereka dengan suara seram. Aku susah mendengar yang mereka katakan, dan kuharap film juga ngasih subtitle untuk dialog-dialog kesurupan, jangan cuma pada dialog ayat Al-Qur’an aja. Bicara soal itu, selalu merinding melihat setan mencemo’oh manusia dengan ayat-ayat kitab suci, dan film ini ngasih banyak momen merinding seperti demikian. Also, film berhasil ngambang di batas yang netral sehingga bacaan ayat-ayat di sini tidak terdengar kayak jampi-jampi konyol ala acara tv pengusir setan, ataupun tidak terdengar totally preachy.

Sebelum ini, di thriller horor Inang (2022) kita sudah gimana pasangan ibu dan anak di real life,  dicast sebagai antagonis dan protagonis, dijadikan efek ekstra untuk horor yang dipersembahkan cerita. Tapi film yang lebih psikologis itu tidak memberikan momen ibu dan anak ini berantem horor beneran. Nah di Qodrat ini, akhirnya kita mendapat hal yang semacam itu. Film ini ngecast Vino G. Bastian sebagai Ustadz Qodrat, dan istri aslinya, Marsha Timothy sebagai Yasmin, janda dua anak yang minta pertolongan karena anaknya kesurupan.  Dan later sebagai final battle kita akan lihat Vino dan Marsha ‘bunuh-bunuhan’. Maan, pastilah fun bagi mereka hahaha. Bagi kita, however, intens adegan tersebut jadi semakin bertambah. Karena selain kita udah terbuild up bahwa mereka pasangan beneran, kita juga terbuild up dan terinvest sama karakter masing-masing.  Film actually memberi subplot keluarga Yasmin porsi yang cukup besar, it was easy bersimpati kepada single mother yang anaknya yang masih kecil kesurupan, sementara anaknya yang remaja, well, berada di umur gak suka semua yang dilakukan ibunya. Vino dan Marsha memainkan part mereka dengan baik, namun naskahlah yang sebenarnya berhasil membuat Ustadz Qodrat tidak kerebut spotlightnya oleh Yasmin. Naskah actually berjuang untuk terus mengembalikan kendali di Ustadz Qodrat sebagai tokoh utama. Yaitu dengan cara membuat semua masalah di film ini berakar kepada luka menganga di hatinya yang terbentuk sejak gagal menyelamatkan putranya sendiri.

Bahkan dengan elemen sebanyak itu, film ini sepertinya masih menyimpan lebih banyak lagi untuk very-possible sekuel!!

 

Enggak gampang dengan muatan elemen sebanyak itu menjaga cerita masih tetap pada rel karakter utama. Black Adam (2022) aja gagal kok, film itu malah jadi kayak cerita karakter lain. Makanya, aku mengapresiasi film Qodrat ini, karena usahanya untuk melakukan hal yang benar terkait naskah. But yea, it is a hard thing to do. Qodrat ceritanya oke, karakternya punya plot, naskah menjaga supaya karakter utamanya tetap utama, hanya saja berusaha navigate cerita supaya ‘benar’ dengan elemen sebanyak itu, Qodrat terasa clunky saat berjalan. Pengembangannya masih belum mengalir benar, masih kayak poin-poin saja. Perubahan si Qodrat dari yang tadinya mulai goyah iman gak mau shalat ke menasehati orang supaya memegang kuat iman terasa berlangsung gitu aja. Segampang efek mati suri saja. Padahal efek-efek itu yang mestinya jadi tempat film menggali supaya lebih genuine. Efek setelah sembuh dari kesurupan yang saat kesurupan melukai keluarga sendiri. Efek setelah sahabat meninggal. Alih-alih itu, film berjalan simply karena naskah menuliskan. Bukan seperti rangkaian progresi natural yang ditulis menjadi naskah. Akibat yang utama terasa adalah karakternya jadi kurang bebas terekspresikan.  Ustadz Qodrat jadi kayak beneran munafik ‘berdakwah’ pada orang lain tentang Tuhan sementara dirinya sendiri masih bergulat dengan rasa bersalahnya hingga tak mau shalat subuh. Karakter putrinya si Yasmin juga begitu. Dia jadi kayak beneran gak sayang sama adiknya lantaran naskah menginginkan Qodrat lah yang membongkar kuburan, menyelamatkan anak bungsu Yasmin. Usaha si cewek remaja tersebut menggali kuburan jadi tidak genuine seperti usaha seorang kakak menyelamatkan adiknya yang dikubur hidup-hidup. Nah, itulah maksudku soal naskah menemukan kesulitan membuat situasi jadi genuine dalam usahanya menjaga supaya si Qodrat yang tetap beraksi, supaya semua kembali kepada masalah personal Qodrat.

Contoh yang terakhir sebenarnya agak lucu sih. Jadi setelah menyelamatkan desa dan Kepala Pesantren, Qodrat dapat reward berupa… motor keren!! Hahaha, ini kayak outofnowhere banget. Karena kita gak pernah diperlihatkan interest Qodrat ama motor, ataupun transportasi sendiri sebelumnya. Motor itu sepertinya diberikan sepertinya karena nanti di sekuel Qodrat harus punya kendaraan atau semacamnya. Jadi motor itu gak terasa genuine masuk sebagai reward, melainkan dituliskan karena ya harus ada itu, gitu. But at least, karena ini toh kita jadi dapat adegan keren Ustadz Qodrat naik motor di jalanan sepi, udah persis kayak penutup Satria Baja Hitam 90an! XD

 




This could be start for an exciting franchise. For real, this time. Franchise  yang superhero-ish tapi genre horor bermuatan lokal. I’ve been saying this for a long time: mungkin genre superhero Indonesia akan benar-benar meledak bukan dari meniru jagoan-jagoan super dari komik luar melainkan, dari mengangkat cerita-cerita seperti Wali Songo, pahlawan nasional, atau sesuatu yang lokal seperti yang dilakukan film ini, yang dibentuk menjadi seperti superhero. Yang ditiru cukup konsep jagat sinematiknya saja. Mungkin Ustadz memerangi setan seperti inilah konsep superhero yang cocok bergaung pada masyarakat kita. Aku senang film ini hadir dengan kelihatan seperti benar-benar mengembalikan kodrat film ala Indonesia itu seperti apa. Ceritanya ngasih putih lawan hitam, tapi dengan pemikiran yang tidak saklek lewat pengembangan karakternya. Punya banyak elemen, yang sekaligus mengset up sekuel, tapi berhasil membuat cerita stay di jalur milik karakter utama. Walaupun memang, progres ceritanya jadi clunky, ngalirnya kurang genuine. Tapi sekali lagi, film ini mungkin jadi awal franchise kesuperhero-superheroan yang sebenarnya bagi Indonesia, setelah cukup banyak superhero ala barat yang kesannya hanya adem ayem saja.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for QODRAT

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian film ini berhasil ngasih cerita yang kental agama tanpa menjadi preachy? Apakah menurut kalian film modern butuh untuk kembali seperti film jadul yang punya garis hitam-putih yang jelas?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



TERRIFIER 2 Review

 

“Evil wants what it wants and won’t stop until it’s won or you kill it. And the only way to kill it is to be meaner than evil.”

 

 

Ini pertama kali aku kenal Art the Clown. Aku gak nonton film pertamanya. But, sekarang halloween, dan aku dengar sekuel dari film 2016 lalunya tayang, dan jadi hit box office di Amerika. Awalnya aku mutusin ikut nonton, mau bandingin aja horor laku di negara kita ama negara mereka sama-sama bego atau tidak. So, yea. Art the Clown ternyata badut yang lebih gila dari yang kusangka. Jahat. Sadis. Setan. Brutal. Jijik. Sinting. Edan. Busuk. And I like it!

Aku pun lantas tahu bahwa aku baru saja ‘berkenalan’ dengan ikon slasher modern yang sebenarnya. Art the Clown seperti didesain menjadi gabungan sekaligus berlawanan dengan ikon-ikon slasher dari 80-90an. Dia pendiam seperti Jason dan Michael Myers, tapi sekaligus usil dan berisik seperti Freddy Krueger. Bisa dibayangin tidak? Baiknya jangan deh, ntar mimpi buruk. Art juga dibikin gak bisa mati, dan seperti punya kekuatan mistis yang membuatnya bisa masih ‘aktif ya bun’ walau di kepalanya sendiri ada lubang menganga bekas peluru. Art juga bisa muncul di tempat-tempat yang mustahil, seolah bisa berteleport. Senjata pembunuhnya dibikin komikal, Art ke mana-mana membawa karung plastik berisi berbagai perkakas yang digunakannya untuk menyerang, mulai dari pisau berkarat hingga rantai.  Seperti badut-badut kebanyakan, Art memang hobi memainkan trik dan ketawa-ketawa, tapi ‘selera humor’ Art sungguh-sungguh menyakitkan bagi orang lain. Badut setan ini menganggap orang kesakitan itu lucu! Jadi, Art akan menyiksa korbannya, dan dia melakukannya seolah sedang bermain-main. Setelah mengelupasin batok kepala orang sehingga keliatan otak dalam salah satu adegan film ini, misalnya, Art akan ketawa dan tepuk tangan melihat korbannya itu menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Ketawanya si Art bukannya nyaring dan mengerikan menyumpah serapah kayak Freddy, melainkan ketawa tanpa suara. Namun film membuatnya seolah jeritan korban menjadi suara tawa Art. Di lain adegan, suara rekaman di rumah hantu dijadikan seolah suara Art menikmati ‘show berdarah’ buatannya sendiri. David Howard Thornton benar-benar great menghidupkan psikonya, jahatnya, badut ini lewat mime yang seringjuga kocak tapi dijamin selalu creepy. Pennywise jadi kayak anak pesantren jika dibandingkan dengan Art.Film ini actually ngasih eksplorasi soal siapa – atau lebih tepatnya – apa sebenarnya si Art ini, ada pengembangan lore yang dilakukan sekaligus dengan mengaitkannya dengan apa yang sepertinya sebuah gagasan yang dikandung oleh cerita di balik semua pembunuhan berdarah itu.

Michael Myers bisa istirahat dengan tenang, karena ini waktunya era badut!!

 

Oh boy, menyebut ‘pembunuhan berdarah’ sebenarnya sangat-sangat mengecilkan apa yang ditampilkan oleh film ini. Berita soal banyak penonton bioskop di Amerika yang muntah, hingga sampai pingsan, yah sekarang aku yakin itu bukan strategi marketing biar viral. Aksi kekerasan film ini sungguh-sungguh di level repulsive yang tinggi seperti demikian. Kayaknya sudah lama aku enggak panas-dingin nonton horor yang gore. Sutradara Damien Leone gak sungkan-sungkan! Dia menampilkan adegan potong kepala, full on-cam. Adegan ngelupas-ngelupasin kulit. Kepala meledak. Body horror dengan efek yang jijik. Kekerasan kepada anak – Art gak pandang bulu, cowok, cewek, anak kecil, orang dewasa, semuanya disayat-sayat dan dibikinnya bermandi darah. Leone tahu persis bikin horor – apalagi slasher ampe gore-gorean (istilah serem buat jor-joran, hihihi) – kudu bikin protagonisnya tersiksa luar dalam. Itulah yang ia pastikan. Protagonis cerita ini, si Sienna, dan adiknya, dan juga manusia-manusia lain yang ketemu dengan Art (baca: yang jadi korban) bener-bener dibikin berdarah-darah. Efek praktikal yang digunakan menambah pekatnya level sadis dan jijik film ini. Membuat semua ‘pembunuhan berdarah’ film ini terasa real, maka jadi makin menyeramkan. Satu adegan yang buatku benar-benar merasa gak nyaman adalah ketika Art muncul menyambut dan membagikan permen kepada anak-anak yang lagi trick or treat. Permennya ditarok di kepala korban dong! Kepala yang sudah dipenggal itu, dibuka batoknya, trus ditempat yang tadinya otak, diganti jadi buat naro permen-permen, dan si Art dengan gaya biasa aja bagiin permen seolah kepala itu adalah baskom yang sudah dihias kayak kepala. Salah satu anak yang ngambil permen dengan polosnya bilang “Ih, jijik lengket” karena di permennya masih ada darah beneran (atau malah sel otak, ewwww) dari orang yang baru saja diacak-acak isi kepalanya! Sick man!!

Bukan cuma darah, there’s literally shit in this movie. Aku yang udah antisipasi bakal ketemu adegan menjijikkan saja gak siap begitu si  Little Pale Girl, tahu-tahu menumpahkan limbah coklatnya ke lantai. Just “Proottt!!”. ‘Ya Allah lindungilah kami dari setan yang terkutuk’ moment banget!! Di film ini Art diberikan semacam sidekick yaitu badut anak kecil, yang interesting, bukan saja karena diperankan tak kalah meyakinkan oleh Amelie McLain (kok anak-anak barat bisa bagus sih kalo akting?) tapi juga karakternya yang dibentuk sebagai ambigu. Gak jelas apakah cewek cilik ini hantu atau sesuatu yang lebih simbolik dan lebih sinister. Kalo kalian pengen tahu, mungkin nanti malam bisa tanya langsung PAS DIA DAN ART DATANGKEKAMARMU!!!

Yang jelas kalo kalian bertanya kepadaku, jadi apakah ini film eksploitatif yang ‘murahan’ yang hanya gore-fest saja? Maka aku akan menjawab “Iya dan tidak”. Soal murah, memang film ini tipikal low-budget movie, namun dia berpesta pora dengan apa yang ia punya. Film ini menyuguhkan yang terbaik dari segi visual, kebrutalan, desain produksi dan estetiknya, hanya dengan budget yang tidak di level studio raksasa. Malah konon, film ini difund  sum-sum oleh para penggemar yang menginginkan sekuel dari cerita Art. Dari orang-orang sakit yang mendukung film ini jadi lebih sadislah kita mestinya berterima kasih. Serius. Jangan ngarep deh studio gede bikin yang penuh resiko dan melanggar batas kayak yang film ini lakukan. Makanya penggemar horor harusnya merayakan ini. Lalu, untuk soal ‘hanya gore-fest’, aku dengan bangga bilang tidak karena film ini actually berusaha menjadi lebih daripada itu. Terrifier 2 berusaha untuk menjadikan elemen mistisnya bukan sekadar cheap supernatural, melainkan jadi surealis yang ARTsy (alias banyak si Art-nya hihihi) Sureal film ini terutama datang dari si Little Pale Girl, ketika eksplorasi power Art, dan terutama ketika menggali koneksi antara Art dengan protagonis cerita. Film ini ada meggunakan menakuti lewat mimpi, yang adegannya cukup panjang. Biasanya aku gak suka adegan mimpi, tapi film ini melakukannya dengan benar karena mimpi tersebut tidak dibentuk untuk mengecoh ‘udah serem-serem taunya mimpi’, melainkan kita diingatkan ini mimpi. Adegannya seramnya diselingi shot si Sienna lagi tidur, dan tidurnya gelisah. Mimpi ini adalah bagian dari galian karakterisasi, karena inilah waktu film menyelami psikologis Sienna. Dia memimpikan Art, dan mimpinya itu crossover dengan dunia nyata. Adegan tersebut jadi mengsetup banyak elemen cerita, tanpa kita merasa terkecoh melainkan jadi berpikir. Film ini bukan tipe gore yang kita tinggal istirahatin otak untuk bisa menikmatinya.

 

Aku, ketika teror sudah usai, tapi ternyata ada mid credit scene dengan Chris Jericho!

 

Film slasher biasanya tak ngembangin karakter karena tahu penonton bakal lebih suka untuk peduli sama karakter pembunuh maniaknya. Terrifier 2 gak mau jadi fllm slasher yang biasa. Adegan mimpi yang panjang itu jadi bukti Terrifier 2 peduli sama karakter manusia, dan benar-benar punya plot dan pengembangan untuk protagonisnya. Jadi ceritanya, Sienna dan adik cowoknya, Jonathan, yang masih 12 tahun, masing-masing sedang dealing with kematian ayah mereka yang sepertinya seorang komikus. Apa yang terjadi pada ayahnya mereka ini penting, dan direveal bertahap oleh film. Tapi tidak pernah sepenuhnya. Film masih menyisakan ruang untuk misteri dan kita berteori.  Yang jelas, si ayah meninggalkan buku yang berisi kasus-kasus si Art kepada Jonathan dan karakter superhero (wanita berarmor dan bersayap ala Valkyrie) kepada Sienna, yang actually membuat sendiri kostum sang superhero untuk halloween. Implikasinya adalah si ayah tahu tentang Art dan percaya Art bisa dibunuh dengan pedang si superhero. Koneksi ini, plus kedua kakak beradik ini juga bisa melihat The Little Pale Girl membuat Art menjadikan mereka sasaran utama. Sienna (Lauren LaVera tampak perfect di kostu, eh di perannya ini) kini harus berjuang untuk benar-benar bisa menjadi superhero bagi keluarganya, menyelamatkan mereka dari Art.

Ada drama keluarga yang legit membahas grief dan koneksi dari anggota keluarga yang ditinggalkan misteri di balik ini gore-fest yang memang jadi sajian utama. Drama dan konflik yang lebih personal yang dibuat oleh film tidak punya easy answer. Terrifier 2 tidak memberikan jawaban apa-apa. Melainkan membuat kita lebih berpikir lagi karena sekarang drama dan mistis dan lore dan koneksi ajaib para karakter, dan bahkan something dari film pertamanya, jadi satu. Jadi puzzle besar, yang setiap kepingannya begitu aneh, untuk kita susun. Film ini bijak tidak memberikan jawaban, melainkan memastikan ceritanya masuk ke dalam logika dunia yang mereka ciptakan. Inilah yang harusnya dilakukan oleh film-film horor. Bukan semata menciptakan misteri, kemudian memberikan jawabnya – or worse, bertingkah seolah ada jawaban untuk misterinya (“Ayo penonton yang bisa menangkap clue-cluenya berarti kalian cerdaasss”). Melainkan memberi ruang bagi penonton untuk menyelami misteri tersebut. Untuk berteori, kemudian merasa ngeri sendiri. Terrifier 2 memberikan itu semua kepada kita. Momen untuk jerit-jerit. Momen untuk mual. Momen untuk bergidik. Momen untuk refleksi ke karakter. Momen untuk menebak dan berteori, tanpa harus tahu mana yang benar-mana yang salah.

Teoriku, alasan Sienna dan Jonathan bisa melihat The Little Pale Girl seperti Art, adalah karena selain sebagai sosok ‘hantu’ si badut cilik ini adalah simbol darkness dalam diri. Sienna dan Jonathan bisa melihat karena mereka punya sisi kelam akibat ditinggal ayah. Itulah kenapa Art menyasar mereka. Karena untuk membunuh setan, manusia harus melakukan hal yang lebih kejam daripada setan itu sendiri. Sienna dan Jonathan bisa melihat si cilik, jadi bukti bahwa mereka berpotensi jadi ‘bahaya’ bagi Art. Terutama si Sienna, yang punya jiwa pemberani yang belum ia sadari. Jiwa yang jadi pembeda dirinya dengan Art. Makanya juga si karakter dari film pertama dimunculkan, karena dia survivor Art, yang actually jadi sinting seperti Art. Dia tidak punya yang dimiliki Sienna. Sifat pemberani dan heroik, yang lebih lanjut disimbolkan oleh armor, sayap, dan pedang kostum Valkyrie yang Sienna kenakan.

Art the Clown yang tak bisa mati sejatinya diniatkan oleh film sebagai perwujudan dari evil itu sendiri. Dan yang namanya evil tidak bisa dibunuh. Kenapa? karena untuk membunuh evil, seseorang harus bertindak lebih setan daripada si evil itu sendiri. Sehingga jadi semacam kejahatan melahirkan kejahatan. Ya, melahirkan. Menurutku itulah makna yang disimbolkan film ketika memperlihatkan kepala Art terlahir dari survivor kebrutalan dirinya. Orang yang selamat dari dirinya yang evil, berarti sendirinya telah menjadi evil yang bahkan lebih brutal. Siklus kejahatan akan terus berulang, jika tidak banyak yang seperti Sienna.

 




Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan (kecuali kalian lagi bikin video challenge try not to vomit) Karena film ini memberikan semua yang diminta, yang diidam-idamkan oleh penggemar horor slasher berdarah, yakni gore brutal yang kelewat real. Badanku literally panas-dingin nonton ini. Tapi aku suka, karena inilah yang kurindukan dari horor sadis. Karakter yang konyol tapi super seram. Suasana yang mencekam tapi ada surelisnya juga. Film ini memberikan itu semua, and more! Karena di sini, karakterisasi, plot, benar-benar diberikan pengembangan. Kita tidak hanya menonton orang-orang mati dibunuh dalam cara yang semakin bikin meringis. Film ini memang ngasih itu, tapi juga ada cerita – drama yang mumpuni di baliknya. Aktingnya juga gak jelek dan cheap kayak film-film horor biasa yang menjual wahana. Malah aku bisa bilang film ini berhasil menciptakan karakter yang bakal ikonik di horor. Antagonis, maupun protagonisnya. Ini adalah kontender legit untuk horor terbaik 2022, asal kita sanggup menguatkan diri untuk bertahan hingga durasinya habis. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TERRIFIER 2

 

 




That’s all we have for now.

Apa yang membuat karakter horor bisa menjadi ikon? Apakah kalian punya kriteria tertentu?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



V/H/S/99 Review

 

“An era can be said to end when its basic illusions are exhausted”

 

 

Generasi 90an dulunya tidak menghabiskan hari dengan menonton YouTube main TikTok. Mereka nonton MTV, Jackass, American Pie, tv show yang cheesy (mulai dari game show hingga acara horor seperti Goosebumps). Mereka bermain di luar, melakukan sesuatu yang bego. Jika pengen merekam video, mereka tidak melakukannya dengan kamera HD dan gadget canggih yang punya berbagai fitur edit. Mereka merekamnya dengan kamera yang gambarnya bakal bersemut-semut dan goyang-goyang. Aspek-aspek simpel namun fun dari 90an itulah yang ingin benar-benar disajikan oleh seri horor antologi V/H/S/ yang menggunakan konsep segmen atau clip dari rekaman video ketika mereka menggarap 94 tahun lalu. Tapi film itu kurang berhasil, tidak semua segmennya yang akur berusaha menghadirkan dunia 90an. Sehingga kini mereka, kinda rushed out, untuk menghadirkan V/H/S/99, yang setelah kutonton aku memang merasa seperti menonton video jadul beneran. Mulai dari estetik hingga jalan cerita yang simpel dan campy. Dan aku merasa superterhibur menontonnya, it’s a nice change of pace dari horor modern. Namun juga, aku bisa melihat film ini bakal membagi penonton, karena gak semua akan lantas terbiasa dengan bentuk 90an yang film ini sajikan luar-dalam.

Ada lima segmen atau cerita dalam V/H/S/99, plus satu cerita ekstra yang sebenarnya adalah bagian dari satu segmen tapi sebelum itu digunakan sebagai transisi antara satu segmen dengan segmen lain. Aku akan mengurutkan segmen-segmen ini berdasarkan dari yang paling aku suka hingga ke yang paling tak disuka. So, here they are:

  1.  Segmen “To Hell and Back”. Sutradara Joseph dan Vanessa Winter bikin yang bahkan sangat unik untuk standar horor-horor di  V/H/S/. Mereka membuat mockumentary singkat tentang aktivitas kelompok sekte di malam tahun baru. Jadi, dua kameramen dalam kisah ini ceritanya disewa untuk ngedokumentasiin ritual pemanggilan setan, tapi ada yang salah, sehingga kedua kru dokumentasi malah masuk ke neraka. Yang kita tonton adalah bagaimana mereka mencari jalan keluar kembali ke dunia manusia. Segmen ini dihandle dengan nada yang ‘tidak serius’, sehingga nontonnya jadi fun dan kocak.
  2.  Segmen “Suicide Bid”. Awalnya kupikir segmen ini bakal bikin aku jengkel, karena yang dihadirkan sutradara Johannes Roberts adalah seputar geng senior cewek yang mengospek anak baru yang mau masuk ke perkumpulan mereka. Tapi ternyata segmen ini ngasih pengalaman yang bener-bener horor. Karena ceritanya, si anak baru harus masuk ke peti dan dikubur sebagai bentuk ospek. Segmen ini ngasih pengalaman dikubur hidup-hidup, plus nanti ada sosok zombie/demon di dalam sana. Udah kayak cerita Goosebumps!
  3. Segmen “Ozzy’s Dungeon”. Ketika salah satu kontestan game show untuk anak-anak mengalami cedera, keluarga balas dendam dan menculik si host game show. Dia disuruh memainkan game ala-ala, yang ya bisa ditebak sebenarnya ditujukan supaya si host menderita. Sampai sini aja sebenarnya sutradara Flying Lotus sudah cukup kreatif. Dia memparodikan industri tv 90an ke dalam nada horor. Namun dia tancap gas, menjadikan ini horor yang lebih gross lagi dengan penutup berupa si keluarga dan si host masuk ke puncak permainan di game show tv, yang ternyata isinya adalah makhluk dan horor yang bisa bikin perut kita jungkir balik
  4. Segmen “The Gawkers”. Yang bikin segmen buatan sutradara Tyler MacIntrye masuk ke kotak yang tak aku suka adalah ceritanya terlalu simpel sehingga tidak terasa ada apa-apa. Sekelompok cowok remaja yang ngintipin tetangga baru yang kece. Mereka sampai masang kamera tersembunyi di rumah perempuan tersebut. Hanya untuk melihat sesuatu yang tak boleh mereka lihat. Misteri siapa sebenarnya perempuan itu sebenarnya sudah dibuild up sedari awal, dan revealingnya cukup bikin menggelinjang. Tapi ya, cerita ini hanya itu. Aku malah lebih suka cerita ekstra yang merupakan bagian awal dari segmen ini, yaitu ketika salah satu karakter memainkan tentara-tentara plastik kecil, dan bikin cerita perang lawan monster dari mainan-mainan. Konsep visual segmen ekstra ini menarik, hampir kayak stop-motion, dan ya seru dan kocak juga.
  5. Segmen “Shredding”. Harusnya garapan sutradara Maggie Levin ini bisa lebih lagi. Sekelompok remaja anak band yang suka onar karena kayaknya kebanyakan nonton Jackass masuk ke bawah tanah, tempat satu band perempuan beberapa tahun lalu meninggal karena terbakar dan terinjak-injak fans mereka sendiri. Kelompok remaja ini melakukan sesuatu yang disrespectful, dan yah, hantu para anggota band perempuan itu lantas ngamuk. Ini lebih parah daripada The Gawkers, karena cerita ini mestinya bisa menggali lebih soal backstory insiden, atau bahkan adegan kejar-kejarannya mestinya bisa dibuat lebih fun
Nostalgia 90an lewat video-video horor!

 

Bisa dilihat, V/H/S/99 benar-benar berusaha memasukkan hal-hal 90an dan menjadikan segmen-segmen itu begitu imersif seperti memang tidak dibikin pada hari ini. Baik itu dari estetik videonya, maupun dari apa yang mereka tampilkan. Like, aku gak tau apakah masih ada anak muda yang main tentara plastik kecil-kecil di jaman sekarang. Buat penonton yang terlahir dan besar di 90an, film ini sudah pasti jadi serangan nostalgia besar-besaran. Nostalgia ke gaya hidup jaman masih muda dahulu. Sebaliknya, bagi penonton yang lebih muda, pengalaman nonton film ini seperti bakal lebih mixed. Mungkin tampak aneh dan konyol. Namun itulah yang lebih diincar oleh film, lebih daripada nostalgia. Film ingin memperlihatkan kebiasaan dari, katakanlah, era yang telah lewat. Supaya penonton di masa sekarang membandingkan. Dan dengan suara horornya, film memperlihatkan bahwa ada alasannya kebiasaan dari era tersebut telah lewat. Merayakan milenium baru dengan menganggapnya sebagai hari kiamat, acara televisi yang gak actually ngasih hadiah kepada pemirsa, ospek alias perploncoan, remaja yang do nothing kecuali hal bego, perverted, dan tak berfaedah. See, ya ujung-ujungnya dikembalikan kepada penonton. Horor yang sebenarnya adalah ketika yang tampak aneh di layar ternyata masih ada relate-relatenya ke kita di masa sekarang.

Era 90an dengan segala kebiasaan dan gaya hidup yang terekam dalam video bersemutnya memang telah lewat seiring munculnya teknologi dan format video baru. Akan tetapi, paradigma atau cara berpikir masyarakat bisa saja terus berulang. Menjadikan era baru hanya sebagai ilusi berikutnya yang akan segera hilang.

 

Meski begitu, kalo ada kebiasaan 90an yang pengen diulang ke jaman sekarang, bagiku itu adalah kebiasaan orang bikin film dengan efek yang simpel dan praktikal. Film V/H/S/99 ini adalah salah satu yang membuatku pengen era praktikal efek itu kembali lagi. Terutama buat film horor. Nontonin segmen-segmen seperti “Suicide Bid”  dan “To Hell and Back” tentu akan berbeda rasanya jika aktornya berakting takut dengan green screen. Tapi dengan praktikal efek, prostetik, kostum, make up, kesan seram yang disturbing itu jadi benar-benar terasa real. Dan oh, dua segmen itu memang banyak banget makhluk seram kreatifnya. “Suicide Bid” cuma punya satu, tapi bakal nyantol di mimpi buruk. Kreasinya sungguh menakjubkan. Mereka di “To Hell and Back” benar-benar bikin lingkungan seperti-neraka, dengan segala makhluk-makhluk seramnya. Kesan low budget jika dimanfaatkan dengan baik memang akan menambah banyak untuk pengalaman horor. Karena bagaimanapun juga ‘sesuatu yang ada di sana’ akan terasa lebih real dan grounded. Kupikir mestinya filmmaker Indonesia yang sekarang lagi hobi bikin horor, lebih sering juga menerapkan efek praktikal. Efek komputer digunakan untuk meng-enhance saja. Kayak, kalo harus ada adegan binatang seperti kelabang dan sebagainya, pakai praktikal saja. Memudahkan juga bagi para aktor (apalagi genre horor sering pake aktor muda yang belum benar-benar matang berakting) untuk berakting takut dengan melihat yang benar-benar ada.

Here’s the thing about horror: yang mainnya harus beneran takut dulu

 

Sedangkan jika dibandingkan dengan film-film pendahulunya di franchise ini, V/H/S/99 mengambil resiko dengan menghilangkan adegan ‘benang merah’. Biasanya selalu ada adegan yang mengikat semua segmen, misalnya seperti film tahun lalu; semua klip alias segmen yang kita tonton adalah tayangan yang dilihat oleh polisi yang menyergap bangunan tempat terduga sekte. Adegan ‘benang merah’ ini sendirinya seringkali membuat keseluruhan film tampak ‘maksa’. V/H/S/99 meniadakan adegan semacam itu, tidak lagi repot memikirkan kenapa dan dari mana klip yang kita tonton itu bisa kita tonton, apa klip itu sebenarnya di dunia film, apa ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sehingga film kali ini bisa lebih bebas mengeksplorasi segmen-segmen.  Yang kini terasa saling lepas, dan hanya diikat oleh benang merah berupa tema yang disebut pada judul. Yakni semuanya direkam pada tahun 99.  Buatku ini perubahan yang bisa dibilang positif, meskipun aku bisa melihat penggemar franchise ini akan terganggu. Karena tidak lagi ada progres dari yang sudah dibuild seri-seri terdahulu. Bahwa ada misteri yang mengikat video atau segmen ini semuanya.

 




Secara keseluruhan, memang film ini membagi penonton. Karakter-karakter yang bertingkah sok keren akan susah untuk dipedulikan sehingga pada akhirnya nasib yang menimpa mereka (karena berurusan dengan orang atau urban legend yang salah) tidak lagi terasa menakutkan bisa jadi penghambat utama penonton menyukai film ini. Begitu pula dengan kamera yang kelewat goyang-goyang.  Tapi itu semua adalah resiko yang diambil oleh film yang menginginkan  estetik 90an yang low budget dan amatir dan grounded terkesan real. It cannot get any simpler than this. Video demi video yang nunjukin cerita horor dengan kreasi dari era yang telah lewat. Buatku ini seperti baca Goosebumps, nonton horor jadul, nostalgia yang super refreshing. Tentu saja aku punya favorit, tapi kayaknya baru ini V/H/S/ yang kutak punya masalah berarti kepada masing-masing ceritanya. Sama seperti satu show WWE, tentu saja dalam satu antologi tidak bisa semuanya wah dan seru. Melainkan persoalan gimana mengaturnya supaya semuanya terangkai jadi satu tontonan yang punya flow dan pace yang stabil. Film ini adalah tontonan horor yang segmennya slightly terasa panjang, tapi terhimpun manis jadi pengalaman horor yang bikin merinding dan menghibur.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for V/H/S/99

 




That’s all we have for now.

Apa yang kalian rindukan atau yang paling ingin kalian lihat comeback dari tahun 90an?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



BLACK ADAM Review

 

“Sometimes it’s better to let people handle their own problems”

 

 

The Rock dijuluki sebagai The People’s Champion. Di sisi lain, The Rock menyuguhkan penampilan terbaik saat berperan sebagai heel/antagonis. Bahkan, sebagai babyface/protagonis pun, The Rock adalah seorang heel yang dahsyat untuk para antagonis. Kenapa aku malah mengungkit peran Dwayne Johnson di jaman dia masih bergulat di atas ring?  Karena dalam Black Adam garapan Jaume Collet-Serra, Dwayne seperti dikembalikan ke akar WWEnya tersebut. Karakter Black Adam originally adalah seorang penjahat, dan dia juga adalah Champion di antara bangsanya. Makanya, karakter ini dan Dwayne Johnson tampak begitu klik. Aku pergi menonton film superhero DC ini dengan sedikit harapan melihat Dwayne kembali ke persona lamanya, seenggaknya barang sedikit. You know, sudah mulai jenuh gak sih melihat Dwayne dapat peran template cowok jagoan berbadan kekar yang gitu-gitu melulu, yang rumornya bahkan dikontrak untuk tidak boleh tampak lemah apalagi kalah. Black Adam, memang memberikan aktor ini sesuatu yang bisa dibilang keluar dari kebiasaan yang belakangan. Hanya saja film ini kelupaan mengembalikan satu hal yang juga merupakan trait The Rock. Kharisma.  Di film ini, Dwayne sebagai Black Adam is all about action, tapi diberikan karakterisasi yang minim perkembangan, selain cuma “ternyata dia begini”

Jadi Black Adam aslinya bernama Teth-Adam. Juara Shazam pilihan para Wizard lima ribu tahun yang lalu. Dia ditunjuk setelah berani mengobarkan semangat revolusi pada bangsanya, bangsa Kahndaq, yang diperbudaq. Fast forward ke masa sekarang, bangsa negara fiktif itu ternyata masih belum merdeka. Tanah mereka kini dijajah oleh sindikat kriminal yang disebut Intergang yang mencari mahkota Sabbac, relik berkekuatan super yang disembunyikan oleh Teth-Adam di masa lalu. Makanya, supaya bangsanya selamat, Adrianna dan kelompok kecilnya berusaha menemukan mahkota itu terlebih dahulu. In the process, Adrianna membebaskan Teth-Adam. Bangsa Kahndaq modern yang mengenal Sang Juara lewat legenda, langsung mengelu-elukan makhluk super itu sebagai pahlawan yang bakal membebaskan mereka semua. Teth-Adam memang pelindung bangsa, hanya saja dia menegakkan keadilan dengan caranya sendiri. Cara yang membuat pasukan Justice Society pimpinan Hawkman harus datang dari jauh untuk campur tangan mengamankan Teth-Adam yang justru dianggap sebagai monster perusuh.

Si Adidaya yang selalu ikut campur urusan tetangga

 

Kepada genre superhero, film ini sebenarnya menawarkan cerita yang tak biasa. Mengangkat penggalian baru dengan sedikit mengubah Black Adam yang aslinya total villain menjadi lebih seperti anti-hero. Hero, tapi aksinya bikin gerah superhero yang lain.  Jadi si Adam ini punya sense of justice sendiri. Dia percaya yang namanya penjahat, penjajah, ya mestinya dibunuh. Kinda like ketika masyarakat udah geram ama hukum yang bertele-tele, terus lebih milih penghukuman ‘netijen’. Teth-Adam sendiri sebenarnya gak pernah mengakui dirinya pahlawan. Dia hanya mau bangsanya gak tunduk dan pasrah lagi. Dia maunya revolusi.  Seteru paling seru di film ini justru datang dari konflik antara Adam dengan Hawkman, pemimpin geng Justice Society yang datang untuk menangkap dirinya jika tidak mau bekerja sama. Jika Teth-Adam masih terus membunuh. Basically Hawkman di sini bertingkah seperti polisi moral, yang mencoba mengatur bagaimana cara menjadi pahlawan yang benar. Cara film ini menampilkan ‘cara’ Teth-Adam menghukum penjahat versus reaksi Hawkman seringkali jadi kocak. Walaupun konteksnya cukup dark, film berhasil menampilkan dalam nada yang cukup ringan sehingga menghibur melihat konflik paham antara Adam dengan Hawkman. Teth-Adam bukan saja tidak suka diatur, dia juga tidak suka melihat ada bangsa lain yang datang mengusik tanah airnya. Bagi Teth-Adam, Justice Society tak ada bedanya ama Intergang, sama penjajah yang mau ikut campur.

Bangsa Kahndaq cuma ingin merdeka. Mengatur sendiri urusan mereka. Menyelesaikan sendiri masalah mereka. Namun sejarah bangsa ini mencatat, sedari dulu mereka dijajah dan dicampuri oleh penguasa ataupun pihak dari luar yang lebih kuat. Makanya ketika Justice Society datang ke sana untuk menangkap sosok pahlawan bagi bangsa Kahndaq, keadaan menjadi semakin kacau. Inilah yang mestinya diperhatikan. Bahwa seringkali sebaiknya kita tidak mencampuri urusan pihak lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita.

 

Menurutku tema cerita Black Adam ini menarik sekali, terutama karena datang dari negara yang terkenal suka ikut campur urusan negara orang lain. Bukan satu dua kali Amerika mengirimkan bala tentara ke negara-negara yang tengah berkonflik, untuk berperang dengan agenda membantu perdamaian. Bukan satu dua kali pula, Teth-Adam di film ini balas ngotot ke Hawkman untuk tidak ikut campur dan membiarkan dirinya dan bangsa Kahndaq mengenyahkan sendiri masalah mereka. Tadinya kupikir film ini sendiri akan memihak kepada Teth-Adam dan bangsa Kahndaq. Kupikir pembuat film ini akan berani menyentil negara mereka. Namun makin  ke sini dinamika itu tidak diubah. Hawkman dan Justice Society tidak mengubah pandangan mereka soal mencampuri urusan, mereka tetap memandang Adam sebagai monster yang harus dikerangkeng. Sekalipun akhirnya film menunjukkan Black Adam sadar dirinya memang pahlawan di balik segala dosa-dosa personal dan Adrianna beserta para rakyat Kahndaq diberikan kesempatan untuk berjuang membela tanah mereka, tapi tetap diperlihatkan mereka harus dibantu oleh pihak asing, yakni si Justice Society. Dan meskipun film menyebut Black Adam adalah white knight yang dibutuhkan, tapi pada kenyataannya cerita film ini literally membuat Doctor Fate dari Justice Society, dengan helm super, seolah kesatria berbaju zirah yang menggiring mereka kepada taktik keselamatan. Yang lucunya, tidak perlu dilakukan; Masalah tidak akan menjadi segede di akhir itu – mahkota Sabbac tidak akan jatuh ke tangan penjahat – jika Justice Society tidak pernah datang dan ikut campur dan membiarkan Adam membereskan urusan dengan caranya tersendiri sedari awal.

Setidaknya kali ini The Rock jauh-jauh dari template lingkungan hutan

 

Itulah tanda film ini punya masalah pada naskah. Alih-alih fokus mengembangkan bagaimana Teth-Adam di dunia modern, berusaha mengsort out urusan personalnya – pilihannya di masa lalu, membuat Teth-Adam belajar apa itu arti menjadi pahlawan,  film malah membagi perhatian kita kepada karakter superhero dari luar. Tau-tau kita dijejalin banyak karakter superhero. Ada Hawkman, Dr. Fate, Cyclone, Smasher. Karakter-karakter yang di atas kertas otomatis lebih menarik dibanding Adrianna dan putranya. Relationship antara Teth-Adam dengan kelompok Adrianna – relasi antara leluhur yang dianggap pahlawan dengan rakyat jadi terpingkirkan. Bahasan relasi itu masih ada, sebagai benang utama cerita, tapi tidak diceritakan dengan pengembangan. Melainkan hanya lewat revealing demi revealing, ‘ternyata’ demi ‘ternyata’. Karena film membagi porsi tadi. Progres cerita terutama datang dari pilihan Hawkman and the gank, dan Adam bereaksi terhadap itu. Poin-poin film jadi bergantung kepada karakter luar. Buatku menonton film ini jadi persis seperti yang dirasakan rakyat tertindas bangsa asing. Kenapa yang ditonton jadi malah disetir oleh orang-orang ini?

Mungkin masih bisa dimaafkan jika mereka-mereka itu benar-benar digali. Mind you, mereka ini bukan karakter yang pernah muncul di film lain sebelumnya, melainkan yang sama sekali baru. Yang juga butuh introduksi solid. Masalahnya, dengan begitu banyak karakter, semuanya jadi terasa instan saja. Para karakter superhero punya trait  dan kekuatan khusus, dan hanya dimensi itulah yang ditampilkan. Tak membantu pula beberapa di antara mereka mengingatkan kita kepada karakter superhero DC lain, bahkan kepada karakter superhero sebelah. The Rock jadi kena imbasnya. Sisi komedi hingga sisi humanis yang tampak diniatkan untuk karakter ini jadi tidak bisa mencapai maksimal karena cerita terus saja membawa kita kembali kepada seteru Hawkman dengan Teth-Adam. The Rock di sini jadi hanya marah dan berguyon di sela-sela menghajar musuh. Padahal yang sebenarnya dibutuhkan lebih banyak adalah The Rock bersama anak Adrianna, Teth-Adam menyelami fungsinya hadir di sana. Jadi tidak ada di antara mereka yang konek ke kita secara emosi. Film ini hanya aksi dan eksposisi, dengan sedikit komedi untuk mengikat kita kepada karakter. Kita tidak nyambung ke mereka melainkan hanya lewat unsur-unsur luar yang artifisial. Oh, si Cyclone cakep. Oh, si Smasher lucu. Oh, si Adam ngeyel kalo dibilangin. Actionnya juga sebenarnya imersif, bangunan-bangunan yang hancur karena ulah Teth-Adam ‘menyelamatkan’ dunia dijadikan integral ke dalam plot, namun karena ke karakter-karakter sendiri kita gak masuk, maka ya jadinya kita hanya sebatas melihat aksi saja.

 

 




Padahal dengan tema yang menarik, karakter anti-hero dan superhero yang menantang pemahaman terhadap konsep kepahlawanan, film ini harusnya bisa jadi sesuatu yang diperbincangkan. Teth-Adam yang tampak dibuild untuk menjadi penjahat besar seharusnya bisa dibuat benar-benar dramatis. Marvel sejauh ini baru Civil War yang benar-benar menggali di daerah moral antar-pahlawan itu sendiri. Sedangkan, film-film DC kalo kita lihat sepertinyalebih sering bermain-main dengan perspektif hitam-putih. Pahlawan-penjahat. Mereka lebih sering menjadikan cerita dengan villain sebagai perspektif utama. Bahkan superheronya saja juga diberikan pilihan yang menantang moral (we’re looking at you, Wonder Woman 2) Eksekusinya saja yang seringkali melempem. Film The Rock ini juga salah satu yang kurang nendang. Film ini malah menyesakkan diri dengan superhero lain. Tidak benar-benar membuat karakter judulnya mendapat eksplorasi yang mendalam. Batman lawan Superman, Justice League lawan ‘dark’ Superman, aku hanya berharap jika nanti Black Adam lawan Superman benar-benar terasa seperti clash epic alih-alih pertemuan yang ‘main aman’ seperti sebelumnya. Dan to be honest, harapanku itu mengecil melihat film ini belum apa-apa sudah mengesampingkan banyak penggalian karakternya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for BLACK ADAM




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian Hawkman dan Justice Society di film ini memang telah lancang mencampuri urusan negara orang?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 



HALLOWEEN ENDS Review

 

“Be careful fighting someone else’s demons – it may awaken your own”

 

 

Oke, this is it! Empat-puluh tahun trauma. Setelah begitu banyak korban berjatuhan, setelah begitu banyak sekuel-sekuel yang diberangus.  Kita akhirnya melihat klimaks dari Laurie Strode, one time a babysitter, dan Michael Myers, sang babysitter killer. Pertemuan akhir dua ikon horor ini benar-benar punya big-match feel. Meskipun film-filmnya sendiri kurang memuaskan, tapi toh sutradara David Gordon Green berhasil juga membuild up babak akhir dari trilogi Halloween modern, dengan perspektif yang fresh. Dalam Halloween (2018) dia membuat Laurie jadi penyintas paranoid, yang hampir berbalik dari yang diburu menjadi pemburu. Dan dalam Halloween Kills (2021), Green memperlihatkan betapa kuat dan mengerikannya demon yang harus disingkirkan oleh Laurie. Monster yang telah berefek begitu besar bahkan hingga ke seluruh penduduk Haddonfield. Saking gede feelnya, ini bisa dengan gampang kubayangkan nongol jadi headline match WrestleMania; Laurie vs. Michael! Namun karena sering nonton gulat itulah, aku jadi sudah sedikit mengantisipasi bahwa build up dan hype kadang bisa tak diikuti oleh eksekusi yang sepadan. Untuk final battle Laurie dan Michael ini, bayangkan kalo match Stone Cold lawan The Rock di WrestleMania 17 tapi sebagian besarnya diisi oleh interferensi kisah romance dari dua pegulat lain yang nongol mengacau. Karena itulah yang literally terjadi pada film terakhir dari trilogi Halloween David Gordon Green ini.

Halloween Ends memang memenuhi janji judulnya untuk mengakhiri semua mimpi buruk yang muncul setiap kali halloween di Haddonfield, tapi juga tidak terasa seperti akhir dari sebuah trilogi. Setting waktu kisah ini adalah empat tahun sesudah Halloween Kills (yang mengambil kejadian hanya beberapa menit setelah ending film pertamanya), dan dari waktunya ini saja keurgenan cerita sudah seperti lepas. Ketika kita masuk ke film terakhir ini, mood atau suasananya udah beda. Laurie sudah menata kehidupan baru bersama cucunya, Allyson. Sang cucu kini jadi perawat, sementara Laurie berusaha mencari ketenangan personal dengan menuliskan buku tentang Michael Myers. Si pembunuh bertopeng ini memang sudah lama tak tampak, namun setiap halloween teror dan trauma yang ia bawa masih membekas. Penduduk masih dirundung takut, walau kini mereka mengekspresikan takut tersebut dengan cara yang mulai mengkhawatirkan. Termasuk si Laurie. Diceritakan, Allyson pacaran sama pemuda bernama Corey. Sebagian besar durasi dihabiskan Laurie menjadi seorang nenek yang mengkhawatirkan (sampai menguntit) kehidupan cinta cucunya. Laurie memang kembali jadi gak tentram, Karena Laurie merasa, Corey si pemuda yang juga sedang berusaha merajut hidup setelah trauma yang berhubungan dengan tragedi malam halloween,  punya mata yang sama dengan Michael Myers.

Tatap mata, Ojan!

 

Sebenarnya, film ini punya cerita yang lebih baik dibanding film Halloween Kills yang hampa dan praktisnya gak ada plot, melainkan cuma Michael bunuhin penduduk kota yang bersatu maju memburunya (hal yang dilakukan dengan lebih ‘boss’ oleh Laurie di film pertama) Halloween Ends, seenggaknya, punya bahasan seputar inner demons. Bagaimana ketika sekelompok manusia adalah penyintas harus berdamai dengan trauma bersama, berusaha saling suport, sembari tidak saling membangkitkan demon masing-masing, karena setiap manusia punya momok tersendiri dalam kehidupannya. Kisah Corey yang diperankan dengan duality atau ambigu yang tepat oleh Rohan Campbell sesungguhnya adalah penggalian yang cukup dalam tentang seberapa besar efek trauma bisa membentuk orang. Karena Corey yang dituduh membunuh anak kecil bukan saja harus menyembuhkan diri dari itu, tapi dia melakukannya sembari didera oleh orang-orang yang berusaha menyembuhkan trauma mereka dengan ‘melemparkan batu’ kepada dirinya. Kisah Corey ini adalah materi yang bisa banget berdiri sendiri. Yang menurutku pantas untuk mendapat babak tersendiri. Halloween Ends tampak seperti masih berusaha mengekspansi cerita, walau sudah di penghujung. Alhasil, kisah Corey tidak bisa maksimal. Film mengecilkannya seperti hanya jadi persoalan cinta ‘terlarang’. Yang juga membawa kita ke karakter Allyson yang jadi semakin annoying sebab di umur segitu permasalahan yang ia punya cuma gak senang neneknya gak setuju dia pacaran ama Corey. Kasian banget memang si Andi Matichak. Percuma muncul di trilogi, tapi dari film pertama hingga terakhir, karakternya tidak mendapat peran yang benar-benar berarti.

Semua orang cepat atau lambat bakal berhadapan dengan demon atau masalah menakutkan tertentu di dalam hidupnya. Mentality fight atau flight ketika berhadapan dengan itu yang bakal menentukan jadi seperti apa seseorang ke depannya. Laurie tahu untuk tidak kabur dari demonnya. Dia memilih bertempur. Halloween Ends pada hakikatnya menegaskan yang sudah dibuild pada film yang lalu, bahwa bukan hanya Laurie yang trauma. Melainkan seluruh kota. Setelah empat tahun, semua orang masih berjuang untuk healing. Masalah yang dihadapi Laurie sekarang terjadi ketika dia berusaha membantu orang lain menghadapi demon mereka. Secara simbolik film memperlihatkan ketika kita bertarung dengan demon orang lain, kita harus berhati-hati untuk tidak membangkitkan demon dari diri sendiri.

 

Laurie Strode, di pihak satunya, jadi tidak banyak yang dilakukan untuk awal-awal. Film hanya memperlihatkan dia berusaha menjalin kehidupan normal, sementara tetap menaruh curiga dan mengkhawatirkan cucunya. Jujur, untuk yang udah kehype film ini bakal jadi duel terakhir Laurie, aku gak expect melihat karakternya direset ke bentuk baru oleh film. Padahal yang kebayang ya melihat Laurie langsung jadi badass, apalagi setelah di film kedua dia gak ngapa-ngapain. Dan memang, ketika pada akhirnya dapat kesempatan beraksi, Jamie Lee Curtis menunjukkan dia tahu dan paham menunjukkan di taraf ruthless seperti apa karakter yang sudah ia perankan bertahun-tahun tersebut. Kita nonton ini pengen lihat aksi Laurie, dan Curtis benar-benar jadi heroine yang cadas. Dia bahkan melakukan lebih banyak aksi ketimbang Tara Basro di dua film Pengabdi Setan digabung jadi satu. Untuk urusan aksi dan bunuh-bunuhan, film ini memang masih nunjukin kreativitas dan sisi fun di tingkat hiburan yang tinggi. Walaupun masih bersandar pada referensi dan throwback, tapi adegan-adegan mati di film ini terasa segar dan bikin melek. Favoritku adalah kill yang berhubungan dengan piringan hitam.

This is how you do a heroine in horror movie

 

Final battle Laurie dan Michael terdeliver secara emosional. Apalagi buat kita yang sudah bolak-balik ngikutin kisah mereka dalam berbagai versi. Halloween Ends ngasih sesuatu yang benar-benar terasa seperti this is the end. Namun ada ‘tapinya’. Aku merasa Michael Myers sedikit terlalu banyak kehilangan ‘tuahnya’ di sini. Istilahnya, terasa lemah. Michael persis seperti yang dikatakan oleh Corey kepadanya saat merebut topeng. Michael yang sekarang hanyalah si tua dengan topengnya. Film ini mengulang kesalahan yang ada pada Halloween 2018. Suasana mencekam malam halloween itu tidak terasa. Padahal itu yang sebenarnya jadi ciri khas setiap installment Halloween. Dan film ini bukannya meniatkan memang gak ada. Lihat saja openingnya. Keren sebenarnya. Horor dan trauma itu masih menyelimuti. Malah ada satu sekuen montase singkat yang memperlihatkan tetap terjadi berbagai pembunuhan yang dibuat seolah dilakukan oleh Michael Myers. Nah, sebenarnya kalo film benar-benar fokus mengeksplorasi, suasana mencekam itu harusnya hadir sejalan dengan aspek warga masih merasa diteror. Bahwa dalam healing mereka, justru muncul ‘Michael-Michael’ lain. Sejalan dengan kisah Corey. Film tidak berhasil memvisualkan maksudnya tersebut. Suasana mencekamnya hanya berusaha dihadirkan lewat aksi Corey setelah bertransformasi, tapi itupun kurang nendang karena malah tampak lebih seperti korban bully yang mau balas dendam. Singkatnya, film ini butuh presence real Michael Myers lebih banyak lagi.

Mungkin sebenarnya film pengen membuat Michael juga berhadapan dengan demonnya (which is his humanity) sehingga sekarang dia vulnerable dan terlihat lemah dan tak bertuah. Tapi jika benar demikian, film tidak melakukannya dengan baik dan jelas. Film terburu-buru memuat ada karakter baru yang sepertinya bakal jadi pembunuh bertopeng William Shatner kedua, sehingga dua sentral utama tidak mendapat pengembangan ultimate yang maksimal. Malah, semuanya tidak ada yang benar-benar maksimal. Corey itu malah kayak, bayangkan kalo dalam trilogi sekuel Star Wars, Anakin baru muncul di film ketiga – dia dari baik ke jatuh ke dark side dalam satu film. Corey kayak si Anakin. Sehingga mestinya cerita dia bisa juga dibuild up dari film pertama. Trilogi seharusnya seperti demikian. Sementara yang kita lihat pada Halloween Ends ini, kayak sekuel biasa. Yang malah jadi membahas orang baru, serta orang lama dengan karakterisasi yang baru (karena loncat empat tahun) Jadinya malah kayak another reboot.

 




For now, film ini memang benar tampak memenuhi janjinya sebagai kisah akhir Laurie dan Michael. Film memberikan kita final battle yang emosional – puncak dari nostalgia seluruh franchise dan build up yang dilakukan sedari dua film sebelumnya. Hanya saja, untuk sampai ke momen tersebut, film melakukan ekspansi yang mengundang pertanyaan. Kenapa mereka baru melakukan semua itu di film terakhir. Kenapa tidak dibuild up juga dari sebelumnya. Film ini punya kisah yang oke, yang kalo diberikan waktu lebih banyak, dijadikan babak atau episode tersendiri, akan bisa jadi bahasan yang keren. Namun karena film ini adalah bagian akhir trilogi, kisah yang dipersembahkan di sini terasa seperti lompatan jauh yang tidak benar-benar terajut ke dalam sebelumnya. Melainkan lebih mirip seperti sekuel yang mereset kisahnya menjadi satu episode yang baru. Sehingga ya, aku tidak bisa bilang trilogi Halloween modern ini sebagai trilogi yang bagus. Tentu, trilogi ini berhasil ngasih penggalian baru, tapi tidak terasa benar-benar work sebagai kesinambungan. Melainkan kayak corat-coret ide saja. Like, soal Corey dan kota Haddonfield, itu menurutku ide bagus. Cuma karena di film ini keliatannya cuma seperti pengisi durasi saja (dan malah jadi romance dan kisah bully cheesy), maka ya jadinya kayak berantakan. Apakah ini beneran cerita Laurie? Kenapa film malah lebih banyak bahas Corey, lalu ujug-ujug final battle Laurie dan Michael? 
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for HALLOWEEN ENDS

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya film ini bakal jadi film Halloween terakhir? Kenapa?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



PAMALI Review

 

“Sometimes superstitions can have a soothing effect, relieving anxiety about the unknown and giving people a sense of control over their lives.”

 

 

Pernah sekali aku main game Pamali. Nyaliku langsung ciut pas diketawain kuntilanak dari atas atap. Aku ambil kunci di dinding, dan membuat karakter game itu keluar dari pagar rumah secepat kilat.  Ya, prestasiku memang tidak membanggakan untuk urusan game dengan sudut-pandang first-person. Bawaannya takut kena jumpscare melulu. Makanya, begitu tahu game ini diadaptasi menjadi film layar lebar, aku girang. Karena akhirnya aku akan bisa mengexperience misteri cerita yang katanya diangkat dari mitos-mitos lokal atau takhayul khas Indonesia. Sutradara Bobby Prasetyo memang bekerja sedekat mungkin dengan materi aslinya, menghidupkan misi membersihkan rumah angker untuk dijual tersebut ke dalam sebuah cerita drama pilu, surrounding rumah yang jadi berhantu. Meski memang tidak berhasil menjadi sedalam ataupun senendang drama horor seri ‘Haunting of’ kayak yang di luar itu, namun yah, paling tidak film Pamali cukup bisa menjadi cerita pengantar mimpi buruk. At least, bisa jadi pilihan untuk membuka musim Halloween tahun ini.

Sama seperti pada chapter gamenya, kita akan ngikutin karakter bernama Jaka yang kembali ke rumah masa kecilnya yang sudah lama tidak dihuni. Rumah di pedesaan ini hendak dijual, sudah ada yang menawar, sehingga Jaka harus memastikan rumah tersebut cakep dan layak huni. Di sinilah letak masalahnya. Rumah Jaka keadaannya jauh dari layak-ditinggali. Bukan karena berantakan dan listriknya mati, melainkan karena rumah tersebut dibayangi oleh ruh kakak Jaka.  Tapi Jaka belum ingat ini. Karena dia sudah tidak tinggal di sana sejak umur enam tahun, maka cowok itu cuek aja ngajak istrinya yang tengah hamil turut serta nginap dan membersihkan rumah itu selama tiga hari. Pengalaman mereka selama di sanalah yang perlahan membawa ingatan buruk kembali ke Jaka.

The White Lady enjoys AEW’s National Scissoring Day

 

Keunikan yang jadi ciri khas yang membuat game Pamali populer, bahkan hingga di kalangan gamer horor luar negeri, adalah banyaknya skenario konsekuensi tindakan yang dilakukan para pemain selama tiga malam membersihkan dan mengungkap misteri di rumah tersebut. Pemain diberikan kebebasan penuh. Bisa beneran beresin rumah sambil memecahkan misteri lewat membaca beragam catatan yang ditemukan, atau mau kayak aku yang langsung cabut dan gak jadi jual rumah pun bisa. Game akan memberikan beragam ending tergantung pilihan tindakan pemain. Sebagian besar dari cabang ending itu berasal dari sikap pemain terhadap pamali itu sendiri. Kita bisa menyingkirkan sesajen, yang mengakibatkan hantunya bakal marah, misalnya. Kita bisa membuang gunting, yang nantinya bakal berujung roh jahat berdatangan. Atau sebaliknya, pemain bisa memilih untuk jadi orang paling percaya takhayul sedunia dengan patuh sama pamali-pamali dan mendapat good ending. Nah, ruh Pamali ada di sana. Ini bukan hanya cerita tentang tragedi keluarga salah satu karakternya, tapi juga memuat bagaimana pamali itu sendiri bisa menjadi bagian dari misteri.

Ketika tertranslasikan jadi film, pilihan-pilihan yang free dilakukan oleh pemain dibentuk ke dalam karakteristik karakter cerita. Film Pamali menambah karakter, bukan hanya Jaka, tapi jadi ada Rika istri Jaka, lalu ada Cecep yang bantu menjaga rumah. Merekalah yang nanti akan kita lihat melakukan hal-hal, entah itu melanggar pamali, atau menekankan kepentingan respek terhadap benda-benda atau kegiatan tertentu. Film cukup bijak untuk tidak membuat hal menjadi annoying, membuat karakter skeptis yang bertingkah sompral atau semacamnya. Sompral sendiri memang jadi ‘gaya humor’ dalam gamenya, tapi film ini, berusaha membuat duo karakter sentral sebagai karakter yang berpikir logis dahulu, sebelum kemudian akhirnya mulai ‘terganggu’ oleh pamali, Sebelum akhirnya mereka mulai memikirkan dan terkena dampak pamali-pamali. Dengan melakukan seperti ini, film masih menapak di ground yang balance. Tidak hadir dengan menyuruh penonton ikutan superstitious, dan juga tidak menampik itu keras-keras. Perhatian penonton malah lebih diarahkan kepada karakter-karakter dari backstory juga dihidupkan oleh film. Menjadi orang-orang yang kita tonton alih-alih hanya membaca tentang mereka. Pamali tidak sekadar ingin membuat penonton takut, tapi juga pilu. Tidak seperti film horor biasanya yang baru mereveal siapa sebenarnya hantu di babak akhir, Pamali membuat kita langsung dibuat mengikuti perjalanan sedih karakter hantunya. Sejalan dengan pengalaman mengerikan ataupun catatan yang dibaca oleh Jaka ataupun istrinya, kita akan langsung dibuat flashback ke kehidupan Nenden sebelum ia jadi hantu.

Teknik begini membuat Pamali jadi salah satu horor Indonesia dengan cerita yang paling ter-flesh out. Karena ada begitu banyak waktu yang diberikan untuk kita mengenal karakter-karakternya. Dari yang awalnya mungkin meragukan ‘kecerdasan’ Jaka membawa istrinya yang hamil nginap di antah berantah, kita jadi peduli sama kesusahan yang harus mereka lewati bersama. Kita terinvest sama keselamatan karakter yang diperankan Putri Ayudya. Kita pengen tahu lebih banyak kenapa Marthino Lio bisa gak ingat sama kejadian masa kecil, dan kita jadi pengen lihat terus. Kepada Nenden yang jadi hantu juga, maan, Taskya Namya sukses menghidupkan karakter tragis ini, baik pas jadi manusia ataupun hantu. Suara tawanya saja bisa menghasilkan kesan yang berbeda. Yang jelas, suara tokek itu kalah seram begitu suara kekeh khas sejak dari versi gamenya terdengar jadi backsound adegan.

Hidup memang terkadang mengerikan. Like, perempuan hamil seperti Rika saja masih harus ikut membersihkan rumah kosong, supaya mendapat perbaikan nasib. Karena hidup berurusan dengan resiko-resiko seperti itulah, aturan-aturan muncul di masyarakat. To protect their own. Aturan-aturan yang akhirnya jadi sebuah pamali, sesungguhnya hanyalah reaksi manusia untuk saling melindungi, khususnya ketika dalam hidup ada begitu banyak hal yang tidak bisa diatur oleh manusia. 

 

Resiko film hadir seperti ini adalah dapat terasa ‘berat’ di cerita. Untuk memperingan ini, biasanya pembuat film akan berusaha mencari cara menceritakan backstory dan kejadian seram di present day dengan intensitas yang semakin naik, jika tidak bisa semakin unik. Karena jika tidak, penonton akan bosan. Cerita akan cepat menjadi repetitif karena penonton pasti akan berusaha mengaitkan apa yang terjadi di masa lalu dengan kejadian sekarang, lebih cepat dari yang dilakukan film. Di sinilah kekurangan film Pamali. Tidak berbuat banyak untuk meningkatkan pace ataupun intensitas cerita. Sehingga tiga malam yang dilalui Jaka dan istrinya terasa sangat dragging. Film benar-benar membuatnya terasa seperti video game. Setelah setiap malam akan ada ruangan baru yang bisa dijelajahi untuk membuka informasi baru. Ruangan ultimate yang harus dibuka adalah kamar Nenden. Hanya saja, sebagai film, excitement dari eksplorasi tentu saja sudah berganti menjadi eksposisi. Jadi dalam film ini, ruangan-ruangan itu terbuka untuk sebuah eksposisi baru. Yang terbuka setelah sejumlah eksposisi kita cerna. Makanya nonton ini bisa jadi suntuk. Film kurang menghiasi diri dengan adegan-adegan seram. Instead, film berusaha menggunakan humor sebagai change of pace. Yang mungkin masih bisa berhasil, kalo film melakukannya dengan tidak setengah-setengah.

Jadi terngiang-ngiang lagu gula jawa

 

Sebenarnya film memberikan porsi komedi dengan natural, lewat karakter Cecep yang diperankan oleh Fajar Nugra. Karakter ini tampak kayak warga lokal yang pengen beramah tamah, Tapi kemudian menjadi ‘aneh’ tatkala film memberikannya tugas untuk menyembunyikan tentang Nenden. Tingkah lucunya yang berusaha mengelak dari pertanyaan kemudian menjadi annoying karena gak benar-benar ada alasan kenapa dia gak mau cerita. Film hanya melakukannya untuk ngelama-lamain durasi. Karena kalo dia cerita, urusan jadi beres, padahal mestinya Jaka dan istrinya harus tiga hari ada di rumah itu (supaya sama ama gamenya). Nah, aspek mengulur-ngulur gak jelas ini yang bikin film makin tersendat di pertengahan babak kedua.

Yang paling bikin aku gak abis pikir adalah demi mengulur itu, film sampai membuat si Cecep membawa tukang listrik dan tukang kunci di hari yang berbeda, padahal tukang listrik dan tukang kuncinya diperankan oleh aktor yang sama! (Iang Darmawan) Ini kan lantas jadi menimbulkan pertanyaan bagi kita yang nonton. Film memancing ‘keanehan’ gak jelas yang sebenarnya gak ada fungsi apa-apa bagi misteri cerita. Like, dengan satu orang jadi dua karakter yang beda, tentu kita akan mempertanyakan apakah ceritanya dia memang kembar, atau malah apa mereka pengen nipu, atau apa kan? Pada akhirnya keputusan mengulur plot poin ini bikin penonton terdistraksi, kepada hal-hal yang mungkin sebenarnya trivial. Film harusnya bisa mengisi durasi dengan lebih padat dan tak mengulur-ngulur. Bikin saja Jaka langsung berurusan dengan memori masa kecilnya, kembangkan sepanjang durasi, daripada hanya dimunculkan di malam terakhir. Terutama, gak semua elemen narasi film harus dibikin benar-benar sama dengan di game. Jaka dan istrinya tidak harus nunggu tiga malam, baru semuanya memuncak. Malahan, ketika kita bicara film, himpitan waktu justru adalah hal yang diincar untuk meningkatkan stake dan intensitas. Jika dibikin dalam satu malam saja, mungkin bakal bisa bikin horor di film ini jadi lebih urgen – sehingga jadi lebih seram. Kita gak harus berlama-lama ngikutin kisah yang malah jadi terasa boring dan repetitif.

 




Horor Indonesia memang membanggakan, setidaknya sudah sering direcognize oleh luar, baik itu film maupun video game. Film ini salah satu yang ada karena sukses video game. Ceritanya berhasil memuat ruh dan karakteristik versi gamenya dengan baik. Hanya saja, seperti halnya adaptasi-adaptasi yang lain, ‘terpaku harus sama dengan game’ pada akhirnya jadi batu sandungan film ini. Karena pengen sama banget, film ini jadi mengulur-ngulur bahasan. Sehingga apa yang tadinya adalah sebuah cerita tragedi keluarga yang pilu, dan terflesh out, malah terasa jadi kisah yang membosankan dan repetitif, Padahal film ini punya karakter hantu dan desain musik serta suara yang horor abis. Namun tidak banyak adegan-adegan horor yang fresh dan nendang sebagai pengisinya. Film ini harusnya bisa jadi memorable, terutama karena ini baru film adaptasi game horor kedua yang dipunya Indonesia, akan tetapi karena penceritaannya yang tidak banyak menaikkan intensitas, film ini malah jadi datar dan takutnya hanya akan jadi another horror movie yang nangkring di bioskop.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PAMALI

 




That’s all we have for now.

Apakah pamali dan takhayul itu perlu disingkapi dengan respek?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JAGAT ARWAH Review

 

The choices we make are ultimately our responsibility”

 

 

Dengan hitsnya horor dan superhero, hanya masalah waktu sampai ada yang menggabungkan keduanya. Bayangkan kalo para hantu lokal ‘kesayangan’ kita berkumpul membentuk tim pemberantas kejahatan. Well, ya itulah yang basically terjadi dalam Jagat Arwah, garapan sutradara Ruben Adrian. Konsep yang sangat menarik. Jagat Arwah tampak punya niat dan ambisi besar untuk menjadi sebuah cerita petualangan fantasi yang unik berdasarkan mitologi khas Indonesia.  Aku tertarik. Dan dari apa yang kutonton, film ini memang kayaknya sudah memilih untuk menjadikan ini sinematik universe yang gak kalah gede dari film-film superhero. Jagat Arwah bisa dengan mudah dikembangkan menjadi sekuel-sekuel. Namun seperti yang digagaskan oleh cerita filmnya, ketika sudah memilih berarti ada tanggungjawab untuk melakukan pilihan tersebut sebaik-baiknya. Tanggungjawab bercerita dengan baik inilah yang kulihat masih belum tampak betul adanya. Sebab film Jagat Arwah ini masih terasa seperti ledakan ide-ide keren semata.

Setelah menit-menit awal yang menampilkan seseorang bertindak bego terhadap alat guillotine, kita akan dapat eksposisi mitologi cerita film yang dilakukan sepenuhnya lewat animasi visual yang ciamik (untuk ukuran efek Indonesia). Penjelasan di eksposisi pembuka itu juga cukup encer dan mudah dicerna. Penjelasannya tentang pusaka Batu Jagat membantu mengeset tone fantasi. Dan kemudian, setelah the most unconvincing musical performance ever in movies, kita akhirnya bertemu dengan karakter utama. Raga, anak muda yang lebih suka ngeband bareng teman-temannya daripada ikut jualan obat bareng ayahnya. Raga belum tau saja bahwa ternyata ayahnya punya kekuatan, darah mereka adalah turunan penjaga Batu Jagat, dan bahwa dirinya sendiri telah ditakdirkan untuk menjadi Aditya Ketujuh yang punya kekuatan membuka portal ruang dan waktu. Informasi tersebut diketahui oleh Raga setelah tragedi menimpa sang ayah. Sekarang Raga harus digembleng dulu oleh Pak Le. Sebab pemuda ini diwarisi begitu banyak. Tugas, tanggungjawab, serta penjaga-penjaga ghoib yang ditugasi membantu keluarganya secara turun temurun.

Malah jadi kayak Kera Sakti; 3 siluman mengabdi kepada seorang annoying

 

Meskipun memang situasinya cukup kelam (anak yang mendadak harus dealing with kematian orangtua satu-satunya), tapi toh dunia dan mitologi cerita ini memang menarik. Mendadak punya pengawal Genderuwo yang suka cekakak-cekikik. Mendadak ada Kuntilanak yang practically bilang ‘I miss you‘ setelah selama ini diam-diam ngikutin terus kemana-mana. Mendadak belajar banyak hal di luar dunia manusia. Bertemu banyak hal tak kasat mata. Experience ini mestinya dieksplor oleh film. Kita harusnya menyelami ini bareng Raga. Tapi film membuat Raga sungguh-sungguh tak antusias. Antipati sama semua. Bayangkan kalo Harry Potter pas dikasih tahu dirinya penyihir cuma bilang ‘oh’ lalu ‘kalian semua penyihir pada di mana saat keluargaku dibunuh Voldemort, ha! HA!!!?’ Hagrid pasti mingkem dan nangis-nangis di pojokan. Begitulah Raga didesign oleh film ini. Dirinya tenggelam di antara sedih dan marah sehingga cuek bebek sama keadaan dirinya sekarang jadi jagoan dua dunia. Kenegatifan Raga membuat kita pun jadi tidak bisa menikmati konsep film sepenuhnya.

Sikap Raga sebenarnya bisa dimaklumi. Dia toh memang mendadak dibebani tanggungjawab yang berat. Apalagi selama ini dia juga lebih suka bermusik. Gagasan atau pesan film di balik kisah Raga ini sepertinya adalah soal tanggungjawab kita terletak pada hal yang kita pilih. Raga enggak mau semua jagat-jagatan itu, dia tidak mau punya pengawal genderuwo, dia tidak mau dan tidak akan bisa memenuhi takdirnya sebagai Aditya terkuat, sampai dirinya sendiri memilih untuk memikul semua itu in the first place. Sesungguhnya yang dirasakan Raga adalah hal yang relate untuk anak muda. Karena gak sedikit anak-anak muda yang terpaksa harus melanjutkan apa yang telah dicanangkan orangtua kepada mereka. Harus kuliah jurusan ini. Harus kerja di bidang itu. Film tampaknya ingin ngasih satu dua hal dalam menjembatani keinginan orangtua dan keinginan anak seperti demikian. Makanya dalam Jagat Arwah juga diperlihatkan solusi berupa Raga harus ‘ngomong’ langsung dulu dengan ayahnya. Relationship yang harus dijalin itulah yang jadi kunci, yang sudah terlambat untuk dilakukan Raga karena ayahnya tewas. Sehingga kini dia harus melakukan itu lewat hubungan-hubungannya dengan hantu-hantu pelindung warisan ayahnya.

Yang harus diingat adalah setiap orang hanya bertanggungjawab atas pilihan yang mereka buat sendiri. Raga enggan memikul takdir karena takdir tersebut sudah dibebankan kepadanya sedari lahir. Apapun yang ayah lakukan untuk mempersiapkan Raga tidak akan bisa membuatnya mau menyandang tanggungjawab, karena itu bukan pilihannya. Raga harus kenal dan memilih dulu. Pembelajaran soal tanggungjawab ini pada akhirnya tercermin pada diri Raga saat dia membebaskan para hantu pelindung dari tanggungjawab, dan menyuruh mereka memilih mau masing-masing apa.

 

Di atas kertas memang kayaknya enak. Film ini punya konsep dan gagasan yang tertulis menarik dan menantang. Hanya saja eksekusinya yang jauh dari kata bagus. Efek visual gak akan bisa mendorong film ini maju jauh jika tidak diimbangi dengan teknik bercerita lainnya. Contoh kekurangan film ini  salah satunya ada pada si Raga itu sendiri. Konflik Raga yang berontak gak dikasih kesempatan memilih sendiri hidupnya dilakukan oleh film segitu minimnya sehingga Raga malah kelihatan seperti anak cengeng yang manja. Ada adegan ketika dia disuruh jaga lapak obat, terus ternyata dia dikeroyok oleh anak muda di pasar karena that was a weird job, dan sampai di rumah Raga misuh-misuh bilang semua gara-gara ngikutin kerjaan ayah, padahal dia sukanya musik. Di sini Raga kesannya merengek dan manja karena film tidak membangun dulu seperti apa sikap ayah terhadap Raga dan main musik. Kita hanya melihat murungnya Raga, Ketika pindah ke ayah, kita diperlihatkan sosok orangtua yang baik, hangat, tidak menentang dengan keras soal musik. In fact, introduksi ayah dilakukan lebih baik oleh film ini. Kita diperlihatkan dia mengusir ruh jahat dari rumah penduduk, dan menolak dikasih imbalan. Bandingkan dengan cara film memperkenalkan Raga. Tidak memperlihatkan personality apa-apa. Begitu ada konflik, langsung merengek dan marah-marah aja. Gimana kita tidak ter-alienated  ke dia. Aku malah lebih simpati kepada ayahnya, meski aku yang waktu kuliah disuruh ngambil jurusan yang bukan keinginan sendiri harusnya lebih relate ke Raga.

Jangankan itu, aku malah merasa kok lebih enak si Genderuwo yang diperankan Ganindra Bimo sebagai tokoh utama. Personalitynya lebih menarik. Genderuwo agak usil, suka ledekin Raga yang menurutnya lemah. Genderuwo yang udah ikut ayah bertahun-tahun kini dipersalahkan oleh Raga (sekali lagi Raga terlihat kayak anak manja). Dituduh lalai melindungi ayahnya. Ini jadi retakan konflik di antara keduanya. Sampai akhirnya Raga mengusir Genderuwo. Dan nanti si Genderuwo harus dealing with all of this, dan bahkan melakukan sesuatu pengorbanan untuk melindungi Raga. Perasaan Genderuwo jiga tak kalah kompleks dari Raga. Malahan, mungkin yang paling terflesh out. Hantu-hantu lain kayak si hantu belanda Nonik Cinta Laura cuma jadi healer setia, dan si Kunti Sheila Dara cuma bucin. Yang lucunya dari interaksi Raga dengan mereka-mereka ini adalah si Raga kalo sama Genderuwo marah-marah nyalahin melulu, sementara sama hantu yang cewek dia baik. Dan karena si Raga ini baiknya cuma kalo pas ngobrol sama hantu cewek, dia jadi malah kayak ngeflirt ke hantu. Aku gak tau kenapa film memantik romansa antara Raga dengan Kunti, karena ini bahkan lebih aneh daripada Bella dan Edward. Dan lagi, yang bikin parah, relasi Raga dan Kunti menghancurkan pesan soal memilih tanggungjawab yang diusung naskah. Bahkan penonton di sebelahku aja nyeletuk ‘kacau’ kok. Karena pas di akhir itu, Raga memaksa Kunti untuk ikut meskipun Kunti sudah memilih untuk pergi karena tugasnya sudah berakhir.

Raga, si agen arwah 007

 

Kesan lemah dan manja itu muncul berkat akting Ari Irham yang memang sama sekali tidak bertenaga. Mungkin di Mencuri Raden Saleh (2022) dia masih tampak santai bilang “Nyet” dan akting kebut-kebutan. Karakternya gak banyak yang dilakukan secara emosi. Sayangnya bagi kita, perannya kali ini, Raga adalah karakter dengan gejolak perasaan sehingga banyak sekali adegan yang mengharuskan dia teriak emosi, marah, frustasi dan sebagainya. Ari Irham gak bisa lepas. Teriakannya kayak tertahan, sehingga jadi emotionless. Cuma gedein suara doang. Lihat saja pas bagian dia marah kepada ayahnya setelah dipukuli di pasar. Kelihatannya manja alih-alih luapan emosi seorang anak yang merasa gak bebas. Perkembangan karakter Raga yang memang kayak langsung lompat dari gak mau ke ‘ayuk kita latihan’ juga membuat akting Irham semakin kayak akting-di-momen-terpisah aja. Gak kayak kesinambungan progres karakter yang belajar dan memperbaiki dirinya. Dengan kata lain, Raga gak pernah tampak natural. Dari pemuda yang tertekan ke punya kekuatan, semuanya terjadi gitu aja. Yang konsisten cuma tampak lemahnya saja. Satu hal yang buatku dilewatkan oleh film ini adalah soal Raga dengan hobi musiknya. Harusnya bisa dibuat musik itu sebagai cara unik Raga menyalurkan kekuatan, karena musik selama ini adalah cara dia mengekspresikan diri. Raga gak harus jadi orang super yang generik (sama gayanya ama karakter ayah dan lainnya) karena dia toh punya musik. Kenapa film tidak lagi mengeksplor musik sebagai identitas Raga adalah hal yang buatku lebih misterius ketimbang scheme Pak Le Raga.

Yea I said it. It was supposed to be a spoiler, but I said it.  Pak Le yang diperankan oleh Oka Antara adalah surprise antagonis, dan aku harus menyebut ini karena ingin menyinggung soal betapa basic dan kadaluarsanya karakter ini dibentuk oleh film. C’mon, tahun berapa ini sekarang. Trope karakter yang ternyata-jahat lalu tiba-tiba sikapnya berubah jadi sok asik, ini sudah ketinggalan jaman banget. Gak semua karakter yang dari baik ternyata diungkap jahat harus mengalami perubahan sikap. Kenapa begitu jadi jahat orang harus berubah jadi bersikap sok asik. Sok gila.  Sok keren. Yang jadi masalah lagi adalah di film ini gak pernah dikasih lihat jelas apakah si Pak Le beneran jahat atau hanya pengaruh Hollow dari guillotine, mengingat ada karakter manusia satu lagi yang jadi jahat karena Hollow. Sehingga film inilah yang jadinya terasa sok asik.

 




Mistis dan horor adalah kesukaanku. Aku literally punya mainan kuntilanak karena aku suka apapun yang menyangkut mitologi hantu-hantuan. Film ini jadi mengecewakan buatku. Aku tertarik sama konsepnya yang menjadikan hantu jadi kayak superhero, memberantas kejahatan dalam petualangan fantasi. Aku suka sama desain karakternya, membuat hantu jadi stylish dan segala macem. Sayang, eksekusi bercerita film ini masih standar dan generik. Mau terlihat keren tapi melupakan banyak aspek dan detil penceritaan. Sehingga jadinya ya kayak Raga. Letoy. Pengembangannya karakternya kurang. Karakter utamanya jadi annoying karena malah terlihat manja ketimbang berkecamuk oleh konflik. Antagonisnya juga annoying karena sok asik. Hantu-hantu jagoannya malah underdevelop, dengan hanya si Genderuwo yang menarik, kayak Kera Sakti yang sering ribut ama biksu Tong Sam Chong.  Kalo benar ini mau dikembangkan jadi banyak petualangan lagi, aku mengharapkan perbaikan yang sebesar-besarnya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for JAGAT ARWAH

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana cara yang tepat untuk memberikan tanggungjawab kepada anak muda?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BODIES BODIES BODIES Review

 

“Sometimes your dearest friend whom you reveal most of your secrets to becomes so deadly and unfriendly…”

 

 

Bersahabat berarti kita tahu baik-dan-boroknya perangai sobat-sobat sekalian. Tolerate them, just like they tolerate us – at some degree. Nah, batasan degree inilah yang menarik. Berbagai cerita telah mengeksplor apa yang terjadi kepada satu grup pertemanan saat dark secret masing-masing dibongkar, dihamparkan keluar. Udah jadi kayak trope tersendiri. The ‘revealed secrets’ trope. Serial sitcom Community, misalnya, punya tiga episode dengan trope ini. Karena memang menarik mengulik karakter melalui rahasia terdalam mereka, dan tentunya juga membuat relationship mereka jadi semakin berwarna. Namun, belum banyak yang menggali trope ini lewat lensa horor atau thriller. Itulah hal fresh yang dibawa oleh Bodies Bodies Bodies garapan Halina Raijn. Yang dalam prosesnya, juga balik menyajikan sesuatu yang baru terhadap perspektif dan juga trope lain, yakni, whodunit itu sendiri.

Kata Bodies Bodies Bodies merujuk kepada permainan yang dilakukan oleh geng karakter di film ini. Mereka berkumpul di rumah gede, merayakan kembalinya Sophie dari rehab. Di luar lagi badai, jadi mereka mengisi waktu dengan permainan yang mirip kayak Werewolf atau Among Us. Mereka akan berusaha menebak satu ‘killer’. Dan saat itulah tuduh-tuduhan itu semakin menjadi. Dari dialog-dialog kita bisa mendengar bahwa ada rekah-rekah kecil – tapi serius – di balik keakraban mereka. Kehadiran orang baru seperti Bee, pacar baru Sophie, juga tidak banyak membantu. Ketegangan menjadi benar-benar memuncak menjadi horor saat salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan luka sabetan pada leher. Ada ‘killer beneran’ yang menginginkan mereka semua mati satu persatu. Kita lantas melihat geng ini semakin hancur as semua mulai saling serang dengan fakta-fakta kelam demi mencari siapa pembunuh di antara mereka.

Anak Borat main film thriller!!

 

Yang nonton film ini mengharapkan whodunit standar, bakal either surprise berat atau malah kecewa parah. Dan itu bukan salah penonton, melainkan karena memang itulah resiko yang diambil oleh film ini. Misteri siapa pelakunya, apakah pelakunya ada di antara mereka atau ada orang lain (ada satu anggota geng yang menghilang sedari awal cerita dimulai) memang dibangun penuh tensi dan misteri. Namun di balik tensi dan mayat-mayat bersimbah darahnya, Bodies Bodies Bodies sebenarnya terutama diniatkan sebagai satir. Sindiran buat perilaku komunikasi sosial seperti yang diperlihatkan oleh karakter-karakternya. Sophie dan gengnya adalah anak-anak orang kaya, trendi, mereka ini istilahnya anak gaul banget. Bahkan karakter utama kita, Bee, walaupun berasal dari luar circle, dia foreigner di antara yang lain, gak share lifestyle yang sama, tapi tetap punya ‘gaya’ sosial yang serupa. Salah satu dialog yang jadi diulang saat Sophie muncul bersama Bee di rumah itu adalah persoalan anak-anak yang lain surprise melihat Sophie beneran dateng karena selama rehab Sophie tidak pernah membalas grup chat di Whatsapp. Ya, karakter-karakter di cerita ini merepresentasikan Generasi Z. Anak-anak muda yang secara konstan bergaul di internet, sosial media. Karakter-karakter di sini punya podcast, bicara dengan kamus ala anak-anak woke di Twitter, dan cari pacar di dating app. Furthermore, film ngasih lihat sedikit perbandingan antara generasi mereka dengan generasi yang sedikit lebih tua lewat karakter Greg. Outsider seperti Bee, karena adalah pacar tinder si Alice, salah satu teman geng Sophie.

Rahasia buruk mereka semua berkenaan dengan betapa fake-nya mereka terhadap masing-masing. Satu adegan menunjukkan mereka nari TikTok bareng, lalu ada juga adegan lain yang nunjukin mereka berargumen soal apakah satu orang karakter beneran suka sama podcast karakter yang satunya. See, dari karakter-karakternya saja film ini sudah divisive. Sebagian penonton akan merasa relate sama permasalahan sosial ‘kekinian’, sebagian penonton lagi akan jengkel. Aku termasuk yang sebagian kedua. Buatku mereka semua annoying,  candaan mereka gak masuk ke aku, aku tahu kalo aku seatap dengan circle seperti mereka itu aku pasti sudah cabut daritadi. Aku hanya bisa relate sama game bodies bodies bodies mereka karena.. well, karena game. Selebihnya aku hanya seperti benar-benar menonton saja. Nah, ketika seorang yang gak care dan gak relate bisa betah menonton, itu sebenarnya sudah ‘prestasi’. Bahwa di balik itu, film ini punya ‘sesuatu’. Dan ‘sesuatu’ itu bukan hanya soal misteri whodunit atau misteri bunuh-bunuhannya saja, melainkan juga pesan di dalamnya. Relate atau tidak, suka atau tidak dengan revealing di endingnya (mungkin lebih tepatnya, merasa ‘tertipu’ atau tidak) gagasan film ini adalah sesuatu yang beresonansi dengan kita yang hidup di masa sekarang. Film hanya membungkusnya dengan rapi ke dalam misteri whodunit dan karakter-karakter annoying.

Memikirkan tujuannya sebagai satir untuk pergaulan Gen Z, film ini sebenarnya cukup ‘keras’. Banyak dialog yang benar-benar menyindir tajam betapa insignifikan hal yang merasa jadi masalah buat mereka. Gen Z yang nonton kayaknya bakal tersentil. Like, sebegitu pentingnyakah orang harus balas chat Whatsapp sehingga dia datang saja dianggap ‘tiba-tiba’ dan dianggap sombong sama teman satu geng. Atau soal podcast, segitu pentingnyakah kita harus suka sama konten yang dibuat teman kita untuk populer di sosmed. Ini kayak gue like punya lu, lu like punya gue, karena harus saling menghargai usaha bikin konten. Atau juga soal bahasan toxic, dan istilah-istilah itu. Film dengan blatant menyebut anak jaman sekarang menggunakan istilah-istilah trending just because it is trend, dan padahal sebenarnya mereka tidak punya pendapat personal soal permasalahan yang bersangkutan. Bagian-bagian mencekam ketika lampu mati dan mereka harus berjalan dalam gelap hanya dengan bantuan cahaya dari layar hp seperti menguatkan gagasan film soal betapa anak muda sudah merasa gede dan ‘aman’ hanya dengan melihat lewat gadget. Ultimately, ending filmlah yang ngasih toyoran paling kuat. Film rela whodunitnya jadi ‘agak laen’ supaya gagasan dan sindiran tersebut benar-benar nonjok.

Yang film ini ingin tunjukkan adalah betapa lemahnya pertemanan dan bahkan relationship yang didasari oleh bagaimana orang bertindak di internet. Yea, sesama teman mungkin bisa khilaf dan keeping secret lalu membocorkan rahasia, tapi dengan perilaku bersosial media sekarang, semua itu terasa lebih rapuh. People will have no idea how to act genuinely ketika berhadapan langsung, dan bakal ended up hurting each other more. Yang baru saja kita lihat adalah kisah bagaimana sekelompok Gen Z menghancurkan koneksi, menghancurkan diri mereka sendiri karena ketika bertemu, mereka tidak bisa bonding secara natural melainkan jadi merasa saling ekspos satu sama lain

Mungkin karena settingnya seringkali gelap, tapi si Emma ini sekilas-kilas tampak mirip Mawar de Jongh

 

Horor atau thriller biasanya suka membunuh karakter yang paling likeable atau simpatik, you know, untuk menaikkan tensi dramatis. Untuk karakter utama, kematian karakter likeable ini biasanya diset sebagai pukulan berat. Malangnya bagiku, karakterBodies, Bodies, Bodies yang likeable – yang mikir pakai logika dan gak berdialog pake istilah-istilah kekinian –  juga dibuat mati, yang berarti aku ditinggal bersama karakter-karakter annoying, dengan situasi kematiannya yang juga sama-sama annoying. Karena dari adegan kematiannya itulah aku sadar bahwa karakter utama film ini juga tidak akan diniatkan untuk belajar inline dengan penonton. Bahwa karakter utamanya juga bergerak dalam design tipikal karakter Gen Z. Itulah yang jadi bahan koreksi untukku pada film horor keluaran A24 ini. Karakter utamanya, si Bee, tidak benar-benar punya pembelajaran yang kuat, melainkan hanya dijadikan sadar, dan dia itu tetap adalah bagian dari kerapuhan relasi.

Maria Bakalova sebenarnya memerankan Bee dengan sesuai. Dia mengerti kebutuhan naskah, paham kapan harus mengundang simpati, kapan harus bertingkah sus, kapan harus cerdik, dan mainly itu dilakukannya dengan ekspresi. Sama seperti si Amanda Stenberg yang jadi Sophie, jago dan ngertinya juga dalam memainkan ekspresi. Design karakter mereka saja yang ngambil resiko. Kayak si Bee,  momen dia membunuh karakter likeable satu-satunya, adalah momen kita meragukan dirinya sebagai tokoh utama. Momen ketika tokoh utama tidak bertindak seperti penonton jika mereka ada di posisi yang sama. Karena kita tidak bisa melihat alasan dia harus membunuh. Bee hanya berubah dari yang tadinya cinta, overly kalo boleh disimpulkan sesuai aksinya, ke jadi takut sama pacarnya. Ini bukan plot yang kuat untuk karakter utama. Sehingga karakternya malah jadi kurang kuat punya alasan untuk ada di sana, melainkan hanya sebagai pasangan dari karakter lain. Film tidak mengeksplorasi banyak siapa dirinya. Aku malah mikir, kalo karakter Bee gak ada, ceritanya jadi hanya tentang Sophie yang balik dari rehab untuk menjalin pertemanan lagi dengan teman-teman gengnya – film ini masih bisa jalan. Gagasan dan sindiriannya masih bisa juga tersampaikan tanpa harus lewat sudut pandang Bee. So yea, Maria Bakalova memainkan Bee dengan hebat, hanya saja Bee ini kurang kuat sebagai karakter. Hampir seperti dia ada karena film butuh romance, dan butuh dua orang untuk moment final.

 

 




Aku gak nyangka bisa betah juga nonton film yang karakternya benar-benar annoying semua dan gak relate. Mungkin itulah kekuatan dari cerita. Kekuatan dari naskah. Film ini benar-benar punya sesuatu untuk dikatakan, dan mendesign ceritanya untuk memenuhi itu. Menempuh banyak resiko, di antaranya membuat bangunan misteri whodunit jadi punya ‘surprise’ yang might not working well buat penonton. Untukku, endingnya worked great, design atau konsepnya bisa dimaklumi karena film ini mengincar ini sebagai satir. Yang kurang hanya pembangunan karakter utamanya, yang gak benar-benar dieksplor. Cerita dan fungsi film menurutku masih bisa jalan tanpa dia
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BODIES BODIES BODIES

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian society generasi kekinian memang akan menghancurkan dirinya sendiri?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA