AVATAR: THE WAY OF WATER Review

 

“Anywhere you go the problems will go with you”

 

 

Karanglah cerita setinggi langit, lalu daratkan ia dengan permasalahan realita. Itu memang bukan peribahasa, melainkan karanganku saja. Kenapa aku tega niru-niruin pepatah? Karena aku masih dalam pengaruh semangat James Cameron yang bikin film luar biasa mentereng dan jauhnya, tapi dengan permasalahan yang merakyat. Yang kita semua bisa mengerti bisa terjadi kepada kita. Semua film memang harusnya begini. Permasalahan yang kita bisa relate, tapi diceritakan dalam panggung yang seliar-liarnya.  Dua film Avatar adalah bukti James Cameron paham soal ini.  Dia telah menciptakan dunia nun jauh di sana, dengan makhluk-makhluk, ekosistem, aturan-aturan, hingga mumbo jumbo fiksi ilmiah dan spiritual lainnya tanpa menjadikan semua itu ribet. Inti ceritanya tetap membumi. Di  sisi lain, ceritanya boleh saja mirip dengan film lain yang kita ingat, namun karena pembangunan dunianya luar biasa, film tersebut lantas jadi beda. Pada Avatar pertama (aku actually nonton untuk pertama kali pada malam sebelum ke bioskop nonton sekuel ini) Cameron bicara urusan sesimpel menjaga hutan di balik perkara penjajahan dan tembak-menembak. Film kedua kali ini, cerita bahkan lebih dekat lagi. Kali ini urusannya adalah urusan keluarga. Bagaimana menjadi orangtua yang baik terhadap anak-anak.

Dulunya manusia, kini Jake Sully sudah tenteram hidup bersama bangsanya baru. Bangsa Na’vi bertubuh biru yang menghuni pedalaman hutan bulan Pandora. Anak Jake ada tiga, plus satu anak angkat, dan satu lagi anak manusia yang selalu bermain bersama. Keluarga yang besar berarti tanggungjawab yang juga besar. Ini membuat Jake jadi kepala keluarga yang sedikit kaku. Ketika Sky People (alias militer dari Bumi) kembali ke Pandora, kali ini dengan tujuan utama membalas dendam kepada dirinya, Setelah reunian berbahaya dengan former enemy, Jake langsung tahu ia tidak bisa membiarkan keluarga tetap dalam bahaya. Tak ingin melukai siapapun, mantan tentara ini memaksa istri dan anak-anaknya untuk pindah. Kabur sebelum Kolonel Quaritch yang dihidupkan kembali dari klone memory – dan kini juga bertubuh Na’vi – menyerang rumah mereka. Jake mengira dengan pindah, berbaur tinggal dengan klan air di Selatan, keluarganya bisa aman. Tapi tentu saja, kepindahan itu tidak mudah bagi anak-anak dan istri Jake. And also, tindakan Jake bisa berarti sama dengan ia menggiring musuh untuk membahayakan Na’vi-Na’vi air dan makhluk sekitarnya yang tak berdosa.

Jagalah laut dan jangan lupa hormat sama makhluk hidup di sekitarnya

 

Durasi yang sampai tiga jam lebih berusaha dimanfaatkan film ini untuk menggali banyak perspektif. Oh man, film ini punya banyak sekali perspektif. Kita gak hanya ngikutin Jake seorang. Kita juga diperlihatkan mulai dari masalah beberapa anak Jake, hingga ke persoalan personal klone kolonel Quaritch dan anaknya. Perspektif-perspektif tentu saja menambah layer dan bikin kita makin termasuk ke dalam dunia cerita. Karena dengan begini, film semakin nunjukin betapa hidupnya dunia mereka. Karakter-karakter di sana beneran punya sesuatu. Tidak sekadar ‘serang dan bertahan’. Dari putra tengah Jake, si Lo’ak kita melihat cerita anak yang berusaha memenuhi ekspektasi ayah untuk menjadi pejuang yang sama dengan abangnya. Cerita si Tengah yang selalu dibandingkan, padahal dia punya kelebihan lain dan so desperate untuk memperlihatkan siapa dirinya itu kepada orangtua. Lo’ak akan sering memisahkan diri, dia nanti akan punya sahabat-hewan tersendiri – yang sama-sama terkucil dari kelompok. Persahabatan Lo’ak dengan hewan kayak paus berbaju zirah itu actually jadi salah satu relasi yang heartwarming yang dipunya oleh film ini. Sehubungan soal misahin diri, kita juga diperlihatkan cerita Kiri, anak angkat keluarga Jake, yang merasa berbeda dari yang lain. Kiri punya origin dan kekuatan yang sama-sama misterius.

Dan satu lagi yang menarik adalah tentang Spider. Bocah manusia di antara keluarga mereka. Yang actually dipanggil monkey boy, karena dia memang kayak tarzan di sana. Spider sebenarnya adalah anak dari Kolonel – antagonis film pertama yang telah tewas, dan di film ini klonenya hidup kembali dan jadi musuh utama juga. Sehingga si Spider sebagian besar waktu akan berada di state yang bimbang dia sebenarnya harus apa, harus ada di pihak siapa. Koneksi antara Spider yang di lubuk hati pengen punya seorang bapak tapi bapaknya dia tahu adalah orang jahat, ketemu dengan si jahat yang punya reputasi to uphold (juga dendam yang harus dibayar tuntas kepada Jake dan keluarga birunya) sementara di lubuk hati dia pengen nunjukin sayang sama anaknya, sesungguhnya betul-betul menarik. Film ini sebetulnya kayak berada di dalam sebuah tambang emas emosional. Mestinya bisa kaya sekali oleh perasaan, Spider dengan ayahnya ini toh juga paralel dengan Jake dengan anak-anaknya. Bagi para orangtua itu, ini adalah soal “melihat” anak mereka. Ini adalah persoalan yang sama dengan yang dibicarakan oleh Pinokio versi Guillermo del Toro (2022), dan lihat gimana film tersebut mencapai ketinggian emosional  dengan benar-benar menggali relasi emosional tersebut. Level ketinggian emosional yang sayangnya tidak bisa dicapai oleh Avatar 2. Karena Cameron hanya membuka perspektif tapi tidak sedemikian dalam membahas masing-masingnya. Avatar 2 tetap dibiarkan simpel, dan sebagian besar hook emosional berusaha dihadirkan lewat cara lain. Yaitu lewat pengalaman visual.

Memang, kalo bicara soal visualnya, Cameron benar-benar menyuguhkan penampakan yang bikin kita berlinang air mata saking bagusnya. Atau kayak temenku, yang katanya matanya berair karena keberatan makek 3D dan kacamata beneran hahaha.. Intinya, semua dikerahkan Cameron supaya visual film ini maksimal. Shot-shot di bawah air semuanya tampak genuine. Cakep banget. Makhluk-makhluk fantastis itu juga kayak beneran hidup. Ini punya kepentingan khusus pada narasi, karena makhluk-makhluk itu diceritakan bakal berkomunikasi dengan karakter kita. Bahwa mereka adalah bagian dari planet dan masalah yang menimpa (thanks for the human) dalam cara yang lebih grande, lebih spiritualis ketimbang gimana kita melestarikan alam di dunia nyata kita. Makanya bagi film ini adegan-adegan seperti Lo’ak berenang bareng Tulkun (udah kayak menari!), Tuk dan Kiri eksplorasi laut, lebih penting untuk difungsikan sebagai penghantar emosi. Film ini lebih jor-joran menggali Tulkun melawan manusia, lebih menggali arc si manusia yang menganggap remeh mereka, ketimbang karakter lain, misalnya Spider yang malah tampak sengaja gak beneran dibahas dulu untuk hook ke film ketiga. Aku ngakak dan ngecheer melihat si paus armor ngadalin si manusia. Aku juga terhanyut sama pemandangan dan pembangunan dunianya. Tapi gimana pun juga, prioritas utama kita nonton kan cerita. Journey karakter. Ketika film berdurasi panjang, bioskop ber-AC dingin, sehingga bikin kebelet dan harus ngatur strategi kapan ke WC, aku tentu saja memilih untuk ‘break’ saat showcase visual ketimbang harus melewatkan adegan-adegan ngobrol. What I’m trying to say is, kemegahan visual enggak akan berarti banyak kalo ujung-ujungnya cuma jadi bathroom break lantaran adegan itunyalah yang terlalu extend dilakukan oleh film. Jadi, ya, menurutku film ini harusnya bisa mengatur waktu lebih erat lagi, karena ada begitu banyak spot indah dibanding adegan yang actually membahas konflik personal karakter. Like, berenang ama Tulkun aja muncul beberapa kali. Mestinya bisa bercerita dengan memanfaatkan waktu dengan lebih efektif lagi.

Pendapatku masih sama dengan pas nonton film pertama; Nih film kalo dijadiin game SNES pasti seru deh!

 

Film yang pertama, dengan bahasan yang lebih sempit, terasa lebih terarah. Pemanfaatan waktunya terasa pas. Babak set upnya saja sudah bikin aku kagum karena betapa efektifnya film tersebut menyampaikan eksposisi dan informasi. Tidak pernah terasa sumpek dan lambat, melainkan dilakukan dengan cepat dan tepat guna. Kita langsung mengerti rules dan konflik karakter dan segala macamnya. Sehingga ketika film itu masuk ke bagian yang total action, emosi itu semuanya tinggal mengalir dari bendungan build up yang telah tersusun rapi. Film kedua ini, tidak terasa begitu. Babak set upnya boring sekali (dan perlu diingat ini film tiga-jam, sehingga set up di sini berarti sekitar satu jam-an). Avatar 2 praktisnya persis dengan yang dikatakan Kolonel saat pep talk; using the same song. Lagu lama, digunakan untuk membangun masalah. Manusia yang datang untuk menjajah. Kolonel yang mau ngasih hukuman ke Jake, si manusia yang membelot ke pribumi. Cuma masalah lama (aku juga gak bilang aku suka sama pengulangan villain, dengan alasan teknologi klon memori blablabla) dengan cara yang sedikit dibedain. Penjelasannya, ditambah dengan pengenalan singkat keluarga Jake, terasa tumpang tindih. Film ini baru benar-benar menarik dan terasa beda saat Jake sudah pindah ke klan atau suku air. Ketika environment jadi baru. I wish film menemukan cara yang lebih baik lagi untuk menceritakan Jake harus pindah dan sebagainya, karena alasan Jake di sini pun sebenarnya sudah ada pada film pertama. Dia nyuruh pindah dan nyelametin diri, tapi istri dan na’vi hutan lain gak ada yang mau. Jadi basically, arc si Jake gak banyak beda ama film pertama.

Enggak ada orang yang jadi damai dengan kabur dari masalah. Tenangnya cuma sebentar, masalah itu pasti akhirnya akan menyusul. Masalah tidak akan hilang sebelum dihadapi, dan justru akan bisa semakin bertambah besar jika diabaikan. Karena problem sesungguhnya berasal juga dari dalam. Jake yang memutuskan membawa keluarganya lari supaya selamat, pada akhirnya membawa masalahnya itu kepada orang lain. Keselamatan keluarga semakin nyata terancam. 

 

Dan kalo dipikir-pikir lagi, bahkan konflik karakter lain tadi juga mirip kayak yang pernah dialami Jake di film pertama. Spider yang seperti berpindah-pindah, kadang dia mihak ke ayahnya, lalu next time dia ikut sepupu-sepupu angkatnya lagi; ini kayak Jake di film pertama berada pada titik dia bimbang mau menyelesaikan misi militer atau berpihak kepada bangsa Na’vi. Lo’ak yang menyendiri sama kayak Jake yang akhirnya jadi tidak diakui oleh dua pihak, dikucilkan oleh manusia dan juga Na’vi yang merasa dikhianati. Memang, sebenarnya film kedua ini punya beat-beat yang sama dengan film pertama. Hanya pelakunya saja yang dibikin beda-beda. Hanya tempat dan lingkungan saja yang bikin terasa fresh. Kali ini di air, dengan makhluk-makhluk air. Anak-anak Jake yang harus belajar berada di lingkungan itu sama saja kayak Jake di film pertama yang belajar bagaimana hidup bersama bangsa Na’vi di hutan. Di antara soal itu, dengan konflik karakter yang tidak dibahas mendalam either karena pengen tetap simpel ataupun karena disimpan untuk sekuel, film ini jadi kurang menggigit. Yang memuaskan di film ini jadinya cuma bagian aksi di akhir, yang sukurnya memang dibuat jor-joran dan epik.

 




Sebagai hiburan tentu saja film kedua ini punya nilai lebih. Dengan banyak karakter dan personality, cerita jadi lebih hidup. Lebih enak juga untuk ditonton bersama seluruh keluarga (meskipun ada beberapa adegan aksi yang terlalu intens untuk anak kecil). Dari segi cerita film ini ringan, dan sedikit terlalu simpel. Sampai ke titik film ini terasa kayak hanya punya visual sebagai senjata utama. Galian konfliknya kurang, padahal ada banyak perspektif. Cerita juga tidak banyak bergerak, sampai saat karakter sudah pindah ke dunia baru. Lalu baru di satu jam terakhir, di porsi aksilah, film jadi benar-benar hiburan untuk ditonton, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk mereka berusaha memasukkan narasi-narasi simpel mengisi durasi. Dibandingkan dengan film pertama, menurutku film ini tidak lebih baik. Waktunya tidak termanfaatkan efektif. Bukannya terasa lama, tapi tidak efekti dari segi muatan cerita. Lebih fun, sih iya, tapi fun yang lebih kurang mengalir.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AVATAR: THE WAY OF WATER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian tiga jam adalah waktu yang lama untuk sebuah film yang sesimpel ini? Atau justru sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO Review

 

“Obedience keeps the rule, Love knows when to break them”

 

 

“Pure magic.” Begitu kata Stephen King buat Pinocchio versi Guillermo del Toro. Komentar yang bukan sekadar basa-basi promosi dari pengarang misteri dan fantasi hebat ke pengarang misteri dan fantasi hebat satunya. Pinokio si boneka kayu selalu punya tempat di hatiku, karena itulah salah satu dongeng pertama yang pernah aku dengar. Nino bobo ku waktu kecil adalah kaset sandiwara Pinokio versi Indonesia yang jadul itu. Gedean dikit, aku dikasih VCD Pinokio Ateng & Iskak. Baru, lama setelah itu, aku baru nonton Pinokio versi animasi Disney klasik. Petualangan Pinokio yang gak boleh bohong, bolos sekolah ke negeri nikmat, kemudian menari-nari di dalam perut ikan paus, benar-benar tertanam jadi khayalan menarik bagiku, karena waktu kecil aku termasuk anak yang males sekolah hehe.. Jadi Pinokio semacam pengingatku untuk menjadi lebih baik. Karena nonton berbagai macam versi Pinokio itulah, aku bisa mengonfirmasi, komentar King tadi benar adanya. Selain pure magic, Pinocchio punya del Toro adalah versi terbaik karena dia ngasih sesuatu yang vibe dongeng klasiknya kuat, sekaligus juga menghadirkan elemen baru – sesuatu yang lebih! untuk kita pikirkan.

Dan aku senang dengan kehadiran Pinocchio yang ini. Soalnya belum lama ini kan, Disney ngeluarin versi live-action dari animasi Pinocchio klasik mereka. Disney pengen ngebalikin pesan yang ada dari dongengnya. Bukan lagi soal Pinokio berusaha menjadi lebih baik (menjadi anak manusia) tapi jadi soal dunia-lah yang harus menerima Pinokio sebagai boneka kayu, sementara si Pino gak perlu berubah. Pinokio yang kukenal, yang kujadikan panutan untuk jadi anak yang sedikit lebih baik tatkala merasa malas sekolah, jadi berasa soulless. Disney sok-sok mau ngubah cerita Pinokio jadi ‘kekinian’, tapi failed. Untungnya, cerita Pinokio direset kembali oleh kehadiran versi Guillermo Del Toro ini. Dikembalikan ke state klasik, namun dengan muatan modern yang dilakukan dengan jauh lebih baik.  Di animasi stop-motion ini, Pinokio tetep harus belajar jadi lebih baik, dan begitupun juga dengan dunia sekitarnya harus belajar memperlakukan Pinokio – someone yang berbeda – dengan lebih baik.

Mamam tuh, Disney!!

 

Guillermo del Toro bukan saja dengan sukses merebut kembali dongeng si boneka kayu dari cengkeraman kapitalis sok woke, beliau juga berhasil membuat film ini seperti miliknya sendiri. Panggung fantasi Pinokio dibawanya ke timeline signature dirinya, ke masa-masa perang. Pinokio kini juga seperti Ophelia dan banyak lagi karakter dalam film del Toro; anak yang mengarungi hidup dalam periode perang. Dongeng ini jadi slightly darker, tapi bukankah dongeng-dongeng anak memang selalu punya akar atau origin yang kelam seperti itu? Anyway, cita rasa khas tersebut sudah dihadirkan del Toro sejak menit pembuka. Instantly kita langsung tahu bahwa ini Pinokio yang sama, tapi juga berbeda. Di film ini, Pinokio tidak dibuat dengan cinta. Melainkan oleh rasa marah, sedih, duka yang melebur jadi satu. Geppetto (disuarakan oleh David Bradley dengan penuh range emosi) kehilangan anak semata wayang, keluarga satu-satunya, akibat perang. Kita melihat pak tua itu mabuk-mabukan di dekat kuburan anaknya dari perspektif Sebastian Cricket (kepentingan karakter jangkrik yang disuarakan Ewan McGregor sebagai narator lebih kelihatan di film ini) yang nangkring di dalam pohon pinus. Dalam galaunya, Geppetto menebang pohon itu, memotong-motongnya, serabutan membuat boneka dari kayu-kayu itu. Ketika spirit hutan menghidupkan boneka asal-asalan tersebut – sambil menugasi si jangkrik yang hidup dalam bolongan kayu yang kini ada di dada si boneka untuk jadi ‘hati nurani’ – Geppetto tidak melihatnya sebagai anugerah. Dia hanya melihat Carlo, anaknya. Jadilah, Pinokio di cerita ini bertualang menghadapi mulai dari sirkus boneka hingga monster laut, bukan untuk menjadi anak manusia, melainkan jadi seperti anak Geppetto yang tiada.

Enggak perlu animasi mentereng ‘seolah-nyata’, film ini tahu bahwa animasi hanyalah medium bercerita. Dan itulah yang digunakannya semaksimal mungkin untuk membuat  cerita ini layaknya dongeng yang magis. Animasi stop-motion yang ditampilkan tampak fluid dan cocok dengan estetik fantasi yang dihadirkan. Karakter manusianya unik-unik, ada kesan grounded sekaligus ‘masuk akal’ bagi kita di dunia mereka ada hewan-hewan yang bisa bicara atau bertingkah kayak manusia. Satu lagi elemen yang gak ada di versi sebelumnya adalah dunia cerita yang kali ini, menyandingkan fantasi (spirit) dengan agama. Pinokionya bahkan dibikin kayak ‘paralel’ dengan Yesus. Sama-sama dibuat dari kayu, sama-sama putra yang harus menjawab sang ayah, malah ada dialog Pinokio yang menyebut “Dia sama seperti saya, tapi kenapa saya dibenci dan dia disembah” saat melihat ibadat di gereja,  Khususnya memang, aku suka desain si Pinokio.  Walaupun cuma kayu yang kasarnya kayak diukir dan dirangkai susun kayak ngasal, tapi nyatanya karakter ini begitu ‘hidup’. Matanya gak kosong kayak Pinokio versi live action Disney. Buktinya, kita benar-benar bisa membedakan dari matanya mana Pinokio saat hidup dengan dia saat cuma boneka. Dan itu hanya bisa tercapai karena karakter ini benar-benar dikasih personality. Bukan sekadar boneka polos. Mulai dari adegan-adegan dia bernyanyi, merusak barang di rumah penuh keingintahuan, nekat kerja di sirkus supaya ayahnya punya duit, film terus berusaha ngasih sesuatu yang membuat Pinokio ini punya spark. Suara Gregory Mann yang anak-anak banget pun menambah banyak dalam membuat karakter ini begitu likeable, apalagi permasalahan dia relate buat penonton yang pernah ngalamin berjuang memenuhi ekspektasi orangtua.

Paham modern yang diangkat del Toro dalam cerita yang aslinya tentang boneka yang pengen jadi anak manusia adalah soal seperti apa sih sebenarnya anak yang baik itu. Multiple perspective dilakukan oleh film sehingga kita bisa melihat gimana contoh hubungan anak dan orangtua dapat menjadi tidak sehat lantaran orangtua, dalam film ini sosok ayah, terlalu maksain keinginan.  Seperti Geppetto yang ingin Pinokio jadi Carlo. Ataupun karakter bernama Podesta yang mewajibkan anaknya jadi tentara ke medan perang. Anak-anak memang harus patuh kepada orangtua, tapi itu bukan lantas berarti harus membuang siapa diri mereka sebenarnya. Itu bukan lagi cinta, melainkan tak ubahnya aturan militer.

 

Apa yang dilakukan film ini terhadap Negeri Nikmat, aku juga suka banget. Jika di Pinokio yang dulu kita melihat anak-anak nakal bermain sepuasnya, manjat-manjat, lari-lari, tertawa-tawa, maka film kali ini mengganti bagian tersebut dengan anak-anak yang memanjat dan berlari-lari menyelesaikan tantangan ketangkasan di tempat latihan militer. Anak-anak ini, termasuk Pinokio, disuruh jadi tentara sejak dini. Harus disiplin dan segala macem. Sekilas ini tampak sungguh berkebalikan dengan Negeri Nikmati dan Pinokio jadul, tapi kalo disimak ternyata efeknya sama. Anak-anak yang nakal sama tidak baiknya dengan anak-anak yang patuh tapi kaku. Apalagi jika itu di luar kemauannya sendiri seperti karakter Candlewick, atau anak yang sama sekali tidak mengerti yang ia lakukan kecuali buat nyenengin orangtua seperti Pinokio yang antusias bilang “I love war!” meskipun kita tahu boneka kemaren sore seperti dia tahu apa soal perang. Image anak-anak yang disuruh pakai topeng gas saat berperang itu pun eerily mirip sama anak-anak di Negeri Nikmat yang jadi keledai. Mereka udah bukan anak-anak lagi, intinya.

And also, tentara berarti sama aja ama keledai, sama-sama dicolok hidungnya buat ngikut perintah sang tuan.

 

Dua hal, sebenarnya, yang bikin aku was-was. Yang pada awalnya bikin aku gak yakin sama keputusan film ini. Yang membuatku berpikir “tidakkah ini melemahkan kepada karakternya?”. Pertama adalah soal Pinokio di sini dibikin tidak bisa mati, tapi dia ‘bisa’ mati. Nah lo, bingung kan? Jadi, Pinokio bakal ngalamin kejadian yang membuat dia bakal mati kalo dia adalah manusia beneran.  Tapi karena si Pinokio bukan manusia, jadi setiap kali dia ngalamin mati, dia hanya masuk other realm, tempat saudaranya si Spirit Hutan yang memberi dia hidup.  Pinokio tinggal menunggu waktu (yang semakin lama, semakin panjang) untuk bisa kembali ke dunia. Awalnya kupikir ini meniadakan stake. Pinokio jadi tidak perlu takut gagal atau mati, dia tinggal nunggu dan balik lagi. Kupikir ini cuma cara film memindahkan Pinokio ke dalam situasi lain. Tapi ternyata ini deep juga. Dimanfaatkan untuk hook emosional di akhir. Ternyata ini cara film untuk membuat Pinokio ‘ada kerjaan’. Supaya Pinokio bisa punya pilihan. Karena kalo dia mau jadi anak manusia, berarti dia akan kehilangan ability tidak bisa mati. Dan dia nanti memilih ini demi menyelamatkan orang yang ia sayangi ketika mereka semua dalam bahaya yang berhubungan dengan gencetan waktu.

Hal kedua yaitu soal hidung Pinokio. Jujur pas ngeliat adegan Pinokio gunain hidungnya untuk keluar dari masalah, aku bengong. Aku sudah percaya film ini lebih baik dari versi live-action Disney. Tapi kemudian mereka melakukan hal yang sama dengan Pinokio versi tersebut. Mengapprove menggunakan kebohongan untuk menyelamatkan diri. Aku mikir panjang setelah nonton, like, kenapa film malah ngelakuin ‘kesalahan’ yang sama di menit-menit terakhir. Ternyata jawabannya simpel. Dan adegan tersebut sama sekali tidak melemahkan film ini. Perbedaan mendasar adegan itu di antara kedua film adalah, di Pinokio del Toro, usulan berbohong supaya idung panjang Pinokio bisa digunakan untuk selamat bukan berasal dari Pinokio itu sendiri. Sekali lagi, Pinokio diberikan waktu untuk mengambil keputusan sesuai dengan konteks pembelajaran karakternya. Pinokio akhirnya memutuskan untuk mengikuti usulan tersebut, selain demi keselamatan, juga karena itulah bentuk dari pembelajaran yang ia alami. Bahwa cinta kepada orangtua berarti juga siap untuk melanggar aturan. Pinokio walau wujudnya kayu tapi hatinya belajar untuk jadi manusia tulen, karena ia akhirnya mampu mengenali cinta dengan tulus, dia tidak lagi blindly following love. Tinggal Geppetto (dan para orangtua) yang  masih harus belajar mencintai tanpa ada aturan yang mengharapkan seseorang harus menjadi seperti apa.

 

 




Jika diurut, certainly, versi del Toro ini adalah yang terbaik dari Pinokio-Pinokio yang kutonton. Gagasan cerita lamanya masih ada, tapi juga ditambah dengan gagasan baru yang akhirnya jadi saling menambah satu sama lain. Menghasilkan pengalaman nonton yang magical sekaligus menyentuh. Cerita tentang hubungan anak dengan orangtua yang kental nuansa fantasi. Nyanyian-nyanyiannya pun gak kalah asik dengan versi Disney. Elemen yang lebih kelam soal kematian dan perang dan bahkan di balik bisnis sirkus/hiburan tidak pernah memperibet cerita. Melainkan justru menambah kaya perspektif. Kekuatan utama film ini setelah penceritaan, memang karakter-karakter. Yang punya personality kuat. Pinokionya beneran jenaka dan extremely loveable. Ada beberapa momen yang bikin aku sempat meragukan, tapi film ini berhasil kelar dengan gemilang. Guillermo del Toro really owns this. Sekali lagi. Mamam tuh, Disney!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian soal disiplin terhadap anak? Bagaimana supaya tidak terlalu ‘militer’ seperti yang dilakukan salah satu karakter ayah pada film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



LIKE & SHARE Review

 

“To look beyond your own pain, to see the pain of others.”

 

 

Anak-anak cowok sih, sudah lama punya film ‘kebangsaan’ yang mewakili rasa penasaran ingin eksplorasi tubuh dan gejolak jiwa. Yang mengangkat pertemanan mereka bersama-sama mengarungi masa muda. Judul film ‘kebangsaan’ para anak cowok itu adalah American Pie (1999). Seru, ketawa-ketawa, filmnya komedi banget. It’s all fun and games ketika anak-anak cowok nonton bokep, pengen punya pacar dan bersaing gaet cewek. Film itu bahkan tetap kocak ketika ada yang kepepet pengen mencari penyaluran lewat makanan. Sebagai yang juga ikut keseruan yang ditampilkan film itu, aku selama ini memang tidak kepikiran di luar yang dialami cowok saat puber dan mulai naksir cewek. Sama sekali tidak terpikirkan olehku sebelumnya bahwa cewek-cewek, mau itu modelan cewek biasa kayak si cewek band-geek, atau model beneran, atau bahkan Stifler’s Mom, pasti juga mengalami gejolak eksplorasi yang sama. Saat nonton Like & Share, film panjang ketiga Gina S. Noer sebagai sutradara sekaligus penulis, inilah baru aku melihatnya. Melihat cewek juga ngalamin rasa penasaran yang sama dengan cowok-cowok. Cewek juga nonton bokep. Tapi berkebalikan dengan film-film remaja cowok kayak American Pie, saat nonton Like & Share aku baru sadar, eksplorasi gejolak muda pada anak cewek ternyata bisa sangat disturbing.

“Gue dan Lisa masih eksplorasi, Bang” kata Sarah, sahabat Lisa, ketika ditanya oleh abangnya perihal kegiatan mereka.  Dua sahabat ini memang sering ditanyain keluarga masing-masing. Lisa sendiri, sering ditegur oleh ibunya. Dilarang bikin video ASMR lagi. Disuruh nyari teman yang lebih baik daripada Sarah yang dianggap bawa pengaruh buruk. Lisa kegep nonton video bokep. Tapi itu memang bukan salah siapa-siapa. Namanya juga dalam fase eksplorasi diri. Lisa penasaran. Akhirnya dia jadi kecanduan. Film Like & Share berangkat dari sini. Dari persahabatan dua remaja yang terancam bubar. Film ini juga membuatku teringat sama satu lagi film anak cowok, Superbad (2007), yang juga tentang dua sahabat yang mau menempuh next step di kehidupan sehingga ada potensi mereka bakal berpisah. Bedanya, ya itu, Lisa dan Sarah terancam pisah oleh kejadian yang berat dan tragis. Ketika yang satu harus dealing with problem kecanduan video bokep, yang satu lagi harus berurusan dengan kekerasan seksual. Ketika Lisa belajar bikin ragi roti yang udah kayak makhluk hidup, Sarah dipaksa ngelakuin kegiatan yang bisa membuatnya bikin makhluk hidup beneran.

Penasaran, cewek kalo nonton bokep, yang ditonton apanya sih?

 

Menyaksikan Lisa (terbaik dari Aurora Ribero sejauh ini!) nonton video bokep diam-diam dari balik selimut, memang membuat pertanyaan itu terbesit di pikiranku. Apa yang ditonton oleh cewek kalo lagi nonton bokep, Toh kita kan sama-sama tau yang begituan, baik itu secara industri ataupun yang homemade (istilah jelatanya, video 3gp), dibuat oleh laki-laki. Dengan gaze laki-laki. Video yang ditonton Lisa juga digambarkan film dalam gaze yang sama. Then it strikes me. Yang bikin Lisa kecanduan ternyata bukan sekadar adegan yang ia tonton. Tapi di situ, film ingin memperlihatkan efek dari sudut pandang. Ketika pandangan perempuan Lisa bertemu video untuk kesenangan cowok, Ya, penasaran terhadap seksualitas itu ada (pikiran Lisa kemana-mana melihat mulut ikan di pasar), tapi kita juga bisa melihat bahwa Lisa tidak menonton video seperti kita yang cowok menontonnya. Lisa tidak melihatnya untuk kesenangan ataupun olok-olok, seperti yang dilakukan oleh Sarah. Lisa looks beyond , dan dia menemukan simpati. Lebih dari itu, Lisa merasakan empati kepada perempuan yang ada di dalam video yang ia saksikan diam-diam tersebut. Lisa menjadi ‘tertarik’ dengan orang itu. Lalu apa yang kemudian dilakukan oleh film ini? Mempertemukan Lisa dengan sang ‘bintang’. Fita (Aulia Sarah gak mau kalah ngasih penampilan terbaik), seorang wanita yang kayak kita temui di tempat perbelanjaan sehari-hari. Wanita yang nanti ngajarin Lisa bikin roti. Hubungan yang tercipta antara Lisa dengan Fita, actually jadi elemen terbaik yang dipunya oleh film ini. Apalagi karena Lisa digambarkan tidak akur dengan ibu kandungnya. Jadi hubungan mereka semacam jadi ibu-anak kedua, tempat curhat yang ultimately jadi saling menguatkan keduanya.

Lewat Lisa dan apa yang terjadi kepada Sarah, film mengajak kita untuk menumbuhkan rasa simpati lalu kemudian berempati.  Supaya kita tidak gampang ngejudge. Bukan sekadar kita merasa kasihan sama korban, it is easy to feel sorry lalu gak ngapa-ngapain. Film ingin lebih dari itu, Ingin supaya kita ikut merasakan apa yang dialami oleh korban. Untuk mengerti situasi mereka. Orang yang kecanduan bokep bukan lantas berarti otaknya cabul. Orang yang jadi korban kekerasan seksual jangan buru-buru dikasih nasihat ini itu, yang seolah menyalahkan. At least, film ingin kita yang berada dalam ruang aman menonton atau mendengar berita atau kasus semacam Lisa dan Sarah, untuk bisa mengambil langkah yang tepat dalam mendampingi mereka.

 

Dari situlah aku jadi tau bahwa film ini benar-benar mengembangkan ceritanya lewat desain dan konteks yang detil. Serta juga penuh rasa respek terhadap karakter dan permasalahan mereka. Ceritanya kaya oleh perspektif perempuan, di dunia yang sepertinya gampang menyalahkan perempuan. Sudut pandang yang kemudian diperimbang dengan sudut dari keluarga, dari laki-laki sebagai kepala keluarga, dan juga dari sudut agama.  Like & Share diframe dengan ratio yang lebih sempit ketimbang film-film pop bioskop lainnya. Demi menguatkan kesan remaja perempuan seperti Lisa dan Sarah memang dipepet oleh frame di sana-sini. Di lingkungan sekolah, di rumah, di tempat publik – Lisa diceritakan ikut bantu-bantu kerja di usaha seafood ayah tirinya – mereka ini punya aturan yang harus dijunjung. Punya ekspektasi yang harus dituruti. Film lantas mengontraskan itu dengan visual. Lisa dan Sarah enjoy membuat video ASMR. Mereka mendirect sendiri yang mereka lakukan. Mereka membuat video dengan makanan dan warna-warna cerah, Shot-shot yang indah dan estetik yang banyak dilakukan film ini pada akhirnya memang membuat film jadi lebih kerasa disturbing. Ceritanya gradually gets darker. Pada babak kedua, kita akan berpindah melihat cerita Sarah (penampilan akting Arawinda Kirana buktiin bahwa award yang diterimanya tahun lalu bukanlah beginner’s luck) yang terlibat relationship dengan pemuda yang sepuluh tahun lebih tua. Di sinilah ketika film mulai membahas soal kekerasan seksual, grooming, tipu-daya laki-laki. Film jadi nyelekit banget untuk ditonton. Dua adegan perkosaan yang ditampilkan oleh film ini dengan begitu intens, hanya akan lebih sakit lagi berkat kehadiran dialog antara Lisa dan Sarah, saat Sarah menolak mengakui dirinya diperkosa. Excruciating banget adegannya, apalagi karena direkam dengan long-take. Soal itu, ya film ini banyak memakai long take, yang bukan saja menantang para aktor untuk ngasih penampilan terbaik, tapi juga semuanya efektif menyampaikan emosi.

Saking intensnya, ku jadi canggung pas wawancara karena serasa nanya ke filmmaker di industry porn beneran

 

Terakhir kali film ini mengingatkanku pada sesuatu, yaitu adalah mengingatkan kepada serial 13 Reasons Why (2017) yang nunjukin adegan bunuh diri dan perkosaan yang problematik. Depictions, penggambaran, kekerasan seksual yang dilakukan Like & Share buatku jadi seproblematik serial tersebut karena sebenarnya tidak harus dilakukan dengan seperti itu. Aku ngerti, lewat adegan itu sebenarnya film ingin memperlihatkan gimana cewek udah nolak tetep dipaksa, gimana cewek bisa termanipulasi dalam sebuah hubungan yang dinamika powernya amat tak seimbang (dalam hal ini cowoknya lebih tua dan selalu pakai kata “kamu kayak anak kecil” buat balik-nyalahin). Film memperlihatkan itu supaya kita benar-benar melihat posisi korban. Namun ini membuat film tampak jadi punya cara penceritaan yang lemah. Orang-orang mungkin ada yang menyebutnya terlalu frontal (bukan saja adegan seksual, tapi juga dialog-dialog lainnya). Tidak lagi estetik. Tapi concernku sebenarnya adalah pada soal kita tidak lagi inline dengan karakter utamanya, yaitu si Lisa. Film berpindah antara Lisa ke Sarah membuat jadi tidak ada pembelajaran kepada Lisa, film jadi hanya ngajarin kita saja. Dan ngajarinnya itu ya agak ‘aneh’. Like, apakah kita memang harus melihat dulu supaya bisa simpati dan empati? Padahal di dunia nyata, kita yang membaca berita di zona aman, dari balik layar komputer masing-masing, tidak akan bisa melihat kejadian yang sebenarnya dari suatu kasus kekerasan seksual yang korbannya butuh pendampingan.

Bukankah justru sebaiknya; Yang harusnya film ini perlihatkan adalah gimana caranya kita bisa seperti Lisa. Gimana supaya bisa demikian percaya, peduli dan memihak kepada Sarah, tanpa harus melihat bagaimana kejadian Sarah diperkosa. Seperti ASMR yang mereka bikin, bukankah seharusnya cukup dengan ‘dengar dan rasakan’. Tidak perlu melihat mereka mengunyah mie, relaksasi bukankah datangnya dari mendengar suaranya? Apalagi untuk kasus kekerasan seksual. Kenapa kita harus melihat dulu baru bisa percaya dan peduli dengan korban. Seharusnya kita tetap dibikin stay dengan Lisa dan disejajarkan dengan posisi Lisa yang berusaha mengerti masalah sahabatnya tersebut.

Tapi film ini membagi dua. Yang membuatnya malah seperti permasalahan Lisa dipinggirkan untuk masalah Sarah. Membuat stake Lisa jadi kalah urgen ketimbang Sarah yang actually jadi korban. Di sini aku merasanya film seperti kebingungan menghimpun pokok-pokok konflik yang dimuat oleh naskah, Babak penyelesaian film ini jadinya terasa sangat keteteran, baik itu dalam tempo dan penceritaan. Banyak yang diburu-burukan. Permasalahan keluarga Lisa jadi tidak maksimal, padahal di awal-awal seperti disiratkan keadaan keluarga Lisa – bagaimana dia ditinggal ayah kandungnya yang “bule tapi kere”, gimana keluarganya seperti ‘diselamatkan’ oleh seorang bapak-bapak muslim. Akar dari karakter-karakter ini, yang di awal seperti ditanam untuk jadi penting di akhir jadi hilang tak terbahas karena film malah jadi sibuk mencari keadilan dan penyelesaian yang dramatik. Tidak terasa lagi sebagai story, bagian terakhir itu. Development Lisa pun jadi hambar karena dengan membuat kita tidak lagi inline dengannya (film membuatnya jadi dramatic irony saat kita melihat yang tidak Lisa lihat, tapi dia tetap peduli kepada Sarah tanpa ada kebimbangan), Lisa yang tadinya anak bermasalah kecanduan bokep, yang pengen ngaji tapi enggak bisa, jadi pihak yang paling baik tapi yang paling sedikit menempuh perubahan ataupun paling sedikit dikenai permasalahan. Soal mereka tak-terpisahkan pun juga kurang terasa, Tidak seperti Superbad yang karakternya akhirnya belajar untuk hidup masing-masing tapi tetap sebagai sahabat, film Like & Share yang ingin nunjukin perempuan saling support, ya akhirnya membuat mereka tetap bersama, dan Lisa terus percaya akan itu sepanjang durasi.

 

 




Eksplorasi diri pada remaja perempuan ternyata bisa jadi sedisturbing ini. Berbeda sekali penggambarannya dengan yang selama ini kita lihat dalam film yang dibuat oleh laki-laki, untuk laki-laki. Film ini punya maksud yang sangat mulia di balik cerita dua sahabat perempuan remajanya. Ingin meningkatkan awareness, ingin menumbuhkan rasa peduli kita. Supaya kita mendengar dan memihak korban, first. Hadir dengan sangat terencana dan hormat kepada karakter-karakternya. Dimainkan dengan usaha maksimal ngasih penampilan terbaik. Penggambarannya yang sangat intens, mungkin bakal membuat film ini susah untuk ditonton oleh sebagian orang. Dan menurutku sebenarnya tidak perlu sampai sedemikian intens. Film terlalu fokus ke sini, dan malah tampak agak sedikit keteteran membungkus semua yang diangkat. Film sepenting ini, menurutku, masih bisa dirapikan, dipercantik sedikit lagi, karena bagaimanapun juga yang diangkatnya adalah masalah yang benar-benar harus mendapat perhatian lebih. Apalagi di masa-masa sekarang ini. Semoga film ini tidak malah jadi di-guilt & shame.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LIKE & SHARE

 

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian, kita memang harus melihat dan mendengar dahulu baru bisa merasakan? Kenapa harus?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



TRIANGLE OF SADNESS Review

 

“Beauty is a currency system like the gold standard”

 

 

Aku gak tau ternyata daerah kecil di pangkal hidung, di antara dua alis mata, punya nama tersendiri. Triangle of sadness. Segitiga kesedihan. Sepertinya itu istilah dari dunia permodelan, karena di lingkungan itulah istilah itu disebut pada film karya Ruben Ostlund ini. Seorang model pria yang lagi audisi, disuruh dengan ketus oleh juri untuk menghilangkan kerutan di triangle of sadness-nya. Suruhan yang malah bikin kerutan itu semakin banyak, sebab si model sendiri bingung. Dia juga baru dengar istilah tersebut hihihi. Itulah, Ruben mungkin memang sengaja menggunakan istilah tersebut sebagai judul internasional dari karya terbarunya, karena dia pengen kita juga berkerut. Mikir. Bukan mikir soal gimana lolos audisi model, melainkan mikir mengenai gender dan social role di masyarakat modern. Segitiga dalam Triangle of Sadness salah satunya adalah cowok-cewek-harta. Film ini mengemas bahasan tersebut dalam komedi satir, diwarnai oleh kejadian dan terutama oleh karakter yang boleh jadi aneh, tapi yaaa, kok kayak nyata juga!

Atau bisa juga segitiga dalam film ini merujuk kepada chapter penceritaannya. Robert memang membagi ke dalam tiga chapter, yang kayak segitiga – dari setup, menanjak ke transisi di mana semua memuncak, terus kembali seperti kepada posisi set up namun dengan pembalikan. Model yang audisi tadinya hanyalah prolog, tapi dengan efektif melandaskan pokok masalah. Like, di bagian itu ada dialog soal aturan bahwa semakin mahal busana yang diperagakan, model harus pasang tampang yang semakin jutek juga. Cerita Triangle of Sadness juga lantas menelisik tentang gimana si model, Carl (perhatikan betapa konsisten si Harris Dickinson nampilin ekspresi triangle sadness di wajahnya), memandang perannya di dalam relationship. Secara garis besar, ini adalah tentang Carl dengan pacarnya, Yaya (rest in peace Charlbi Dean) – seorang model dan influencer yang jauh lebih populer daripada Carl sendiri. Ketika pertama kali melihat pasangan ini, kita udah dihadapkan pada debat kekinian yang somehow kocak. Tentang split bill. Bukan cuma di Twitter thread, ternyata masalah split bill cowok dan cewek memang universal ya.  Nah, Carl dan Yaya beres dinner di restoran fancy, tapi si Yaya belagak cuek sama tagihan di atas meja, sampai akhirnya ditegor oleh Carl yang bilang “Gue lagi yang bayar? Lah elo kemaren bilang mau bayarin yang sekarang”. Just like Carl dan Yaya yang dalam pembelaannya masing-masing mengatakan ini bukan soal duit, film ini juga berusaha mengestablish bahwa adegan ini bukan sekadar soal cowok harus bayarin. Melainkan soal equality dalam gender dan kelas sosial yang membuat masing-masing punya role atau tugas, dan hak masing-masing. Film ingin mengangkat pertanyaan apakah cowok dan cewek memang sama, dan berusaha menghadirkan jawaban versi mereka lewat portrayal yang digambarkan karakter-karakternya ini.

Si Yaya bintangnya pasti Taurus

 

Debat mereka gak dituliskan lewat saling bentak, tuding, hardik. Nadanya memang marah, tapi film ini bijak untuk tidak kayak film atau sinetron Indonesia yang taunya pasangan berantem itu ya harus adu jerit, kemudian lantas ada satu yang tertindas. Berlinanglah air mata. Cara kamera ngeframe, berpindah dari Carl ke Yaya, suasana dan musik yang dibuat seolah menahan napas melihat mereka berusaha melempar argumen tanpa melukai perasaan yang lain. Build up berupa celah kentara di masing-masing sisi argumen. Jelas, film ingin memfokuskan kita kepada perspektif mereka sama besarnya. Dari semua chapter, memang chapter pertama inilah yang paling grounded, dan aku pikir bagian inilah yang paling mudah konek kepada penonton. Sementara dua bagian lagi, bisa jadi agak mixed buat penonton yang merasa landasan grounded ini akan terhampar selamanya. Triangle of Sadness didesain sebagai komedi satir yang menggambar paham atau ideologi karakter, kelas sosial karakter, untuk membuat kita menyadari cela dan cacatnya. Karena itulah chapter kedua berkembang menjadi lebih komikal (meski gak pernah terlalu over) dan chapter terakhir bisa dibilang sebagai konklusi berupa nyaris terasa seperti skenario ‘what if’

Meskipun penjelasanku tentang film ini bisa terdengar ngejelimet dengan ideologi, kelas sosial dan sebagainya, tapi film ini sesungguhnya bermain di nada yang kocak. Alurnya gak ribet. Pun juga tidak pernah mempersimpel persoalan yang diangkat. Kayak, oke debat split bill Carl dan Yaya clearly debat dengan paham feminis – dengan klimaks Carl frustasi nyeletuk ‘bullshit feminism’ saat sambil berjalan menuju kamar, tapi film ini tidak untuk mengecam bahwa feminis mungkin salah. Ataupun ketika memperlihatkan orang-orang kaya sebagai worst people karena merasa udah kayak paling benar dan jumawa, dan terlihat kayak dengan jam tangan rolex bisa beli apa saja, film ini tidak lantas seperti menyerang dan mengolok-olok mereka. Seperti meniti pada garis balance, film ini kayak mau nampilin horrible person, tapi juga pengen liatin mereka juga gak seburuk itu. Puncaknya adalah pas di ending. Alih-alih menegaskan bahwa kalo situasi atau peran gender dan kelas sosial itu dibalik ternyata matriarki gak lebih baik daripada patriarki, film malah menjadikan itu sebagai open-ended.  Dengan tujuan supaya masing-masing penonton memikirkan kenapa kita percaya ending film ini menutup seperti yang kita sangka. Semua itu kembali ke soal perspektif gender dan sosial yang aku percaya jadi benang merah semua kejadian absurd film ini.

Semua orang berhak menikmati hasil yang mereka kerjakan. Ya beberapa orang kerja keras untuk jadi kaya. Tapi beberapa orang bisa juga kaya tanpa melakukan apa-apa, atau kaya dengan melakuin something horrible. Kenapa bisa begitu? karena kita memandang kecantikan sebagai privilege. Sebagai alat tukar untuk mendapatkan sesuatu, range from sesimpel food hingga ke kekuasaan. Karakter-karakter dalam Triangle of Sadness sering sekali bicara tentang kerjaan mereka. Apa yang telah mereka lakukan sehingga sekarang mereka pantas mendapatkan suatu kuasa. Kelas sosial ini dibenturkan oleh film dengan perspektif dari gender. Makanya film ini sebenarnya kompleks, di balik kejadian yang tampak absurd dan artifisial.

 

Jadi nanti cerita di chapter kedua adalah si Carl dan Yaya liburan di kapal yatch mewah, bersama milyuneran lain. Bedanya mereka berdua ada di sana karena job Yaya sebagai influencer. “We mostly get free stuff” jawab Carl ketika ditanya oleh juragan pupuk dari Rusia yang lagaknya udah kayak pemimpin mafia. “Kecantikan yang membayar semua” kekeh si juragan pupuk menanggapi jawaban Carl. Chapter keduanya ini kalo diliat-liat sebenarnya memang cuma transisi, ‘dalih’ film untuk membawa Carl dan Yaya ke situasi yang merupakan pembalikan dari kondisi mereka di awal. Situasi di chapter terakhir adalah kapal mereka diterjang badai dan diserang pembajak, sehingga sebagian kecil penumpang terdampar di pulau. Mereka harus survive di pulau dengan menegakkan aturan kelompok tersendiri. Aturan yang ditetapkan oleh ibu-ibu janitor kapal, yang mendeklarasikan diri sebagai kapten karena cuma dia yang bisa nyari ikan, masak, dan kebutuhan survival lainnya. Itulah plot atau alur film. Beda titik A dan titik B ‘cuma’ pembalikan posisi. What if mereka hidup di sistem matriarki. Pembelajaran karakter terjadi saat mereka menyadari (atau tepatnya pura-pura tidak menyadari) bahwa mereka saat berada di posisi B ternyata melakukan hal yang berkebalikan dengan paham yang mereka argumenkan di titik A. Yaya yang mengaku gak benar-benar looking for love, relationshipnya bareng Carl hanya berdasar atas kebutuhan yang sama, ternyata akhirnya cemburu juga. Carl yang not feeling konsep dunia glamor mereka di mana kecantikan jadi semacam alat tukar, ternyata malah menjadikan dirinya ‘jaminan’ supaya mereka dapat makanan dengan ‘sleeping with the boss‘. Sementara dialognya memang tidak benar-benar subtil , karakternya kayak parodi, dan kejadiannya komikal, ternyata film ini menjalin plot yang tersirat sempurna di balik semua. Kepentingan kenapa semua itu dibuat seperti demikian, benar-benar terasa jadinya.

Segitiga kesedihan juga bisa berarti cinta segitiga Yaya, Carl, dan si janitor dengan ending yang (sepertinya) tragis

 

Penulisan yang tajam sudah bisa terlihat dari bagaimana film mempersembahkan chapter kedua yang sebenarnya cuma transisi. Distraksi konyol, kalo boleh dibilang, dari chapter pertama yang grounded dan chapter ketiga yang kejadian pembalikannya bikin kita takjub dan tertantang di saat bersamaan. Bagian mereka di kapal itu adalah bagian saat film menempuh resiko terbesar. Mereka membuat Carl dan Yaya agak ‘tersingkir’ karena mau melandaskan perspektif orang-kaya. Menyiapkan set up untuk bahasan kelas sosial. Kapal besar yang adalah ruang tertutup, dijadikan film tempat bermanuver untuk memuat banyak celetuka konyol dan gambaran sosial itu sendiri. Di sela-sela itu, film masih menyempatkan diri untuk menyisipkan perbandingan dengan konsep Marxisme, komunis, lewat karakter kapten kapal yang tak kalah ajaib (Woody Harrelson memang kocak mainin karakter chaos macam gini). Patriarki yang gak strict, kelas atas yang merakyat (makannya burger, bukan makanan fancy kayak tamu lain). Namun bahkan karakter nyantai macam ini pun ada flawnya. Chapter di kapal would also involving muntah dan kotoran, yang diperlihatkan tanpa malu-malu. Hillarious, memang. Tapi ya, bisa terasa tasteless dan literally bikin penonton ilang selera nonton ini. Tapi di samping segala resiko itu, film berhasil memuatnya menjadi kejadian konyol yang masih inline dengan konteks, sekaligus menghantarkan plot ke tempat berikutnya.

 




Jika tahun lalu ada Don’t Look Up, maka tahun ini, film Robert Ostlund jadi ekuivalen dari film tersebut.  Komedi satirnya yang telak membuat film ini pun seperti kayak hanya menyenggol yang sudah jelas, dengan komedi yang nyaris terlampau konyol, dan dialog yang tajam tapi gak subtil. Kubilang, kedua film ini hanya terlampau dekat dan nekat. Secara naskah, mereka sesungguhnya berada pada kelas yang tak bisa dipandang sebelah mata. Film ini, punya desain naskah tersendiri. Yang merayap dengan sukses merangkai semua kejadian dan bahasannya menjadi satu event yang bermakna. Nilai plus cerita dengan setting dunia model dan lingkungan jet set ini buatku adalah walau sarkasnya telak dan tajam, tapi kalo diliat-liat, dipikir-pikir, film masih manage untuk berada di posisi yang seimbang. Konklusinya diserahkan kepada kita untuk memikirkan kenapa kita berkesimpulan endingnya seperti itu. Bagaimana kita sendiri memandang gender role dan sosial.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for TRIANGLE OF SADNESS

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian soal pembalikan gender role yang dilakukan film ini di chapter terakhir?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



QORIN Review

 

“Real women support women”

 

 

Kesurupan rupanya masih jadi trope andalan film horor Indonesia. Di satu sisi, memang kesurupan bisa tampak konyol. Teriak-teriak pakai suara-dua, muntah, kayang, manjat-manjat tembok. Tapi jika dilakukan dalam konteks dan lingkungan yang benar, kesurupan terbukti mujarab. Karena, ya, super-relate. Kasus kesurupan sering terdengar dalam lingkungan masyarakat yang berakar agama. Much easier bagi masyarakat kita untuk ‘percaya’ sama orang kemasukan roh halus sehingga jadi jahat, ketimbang menyelami psikologis seseorang – rasa bersalah, duka, dan sebagainya ‘menjelma’ menjadi perwujudan jahat. Lebih gampang bagi masyarakat kita untuk deal with setan yang merasuki manusia. Kita telah melihat bukti kesurupan yang bercerita dengan lingkungan yang tepat berhasil jadi horor yang konek, pada film Qodrat (2022). Ustadz yang bisa rukiyah, literally jadi penyelamat. Menjadi layaknya superhero dalam cerita horor. Tanpa tendensi macam-macam, film itu mengembalikan tuhan lawan setan, baik lawan buruk, ustadz lawan orang kesurupan, ke kodrat yang langsung bisa dicerna penonton. Dan sekarang, saudari dari Qodrat; Qorin, tampak mau melakukan hal yang sama.

Kenapa aku bilang ‘saudari’? Karena Qorin garapan Ginanti Rona berangkat dari potret kesurupan yang grounded dengan masyarakat lewat agama, dalam sudut pandang perempuan. Santri-santri di sebuah Pesantren khusus perempuan sering kesurupan. Zahra (Zulfa Maharani dalam peran utama horor pertamanya) pun mulai sering menangkap ada yang aneh di pesantren mereka. Tapi Zahra si anak teladan, memilih diam. Tidak mengadu kepada ustadz dan ummi di sana. Zahra bahkan tampak takut kepada sang ustadz kepala, Jaelani. Sampai ketika Yolanda, si anak baru (Aghniny Haque dalam peran tomboy dan tangguhnya yang biasa) mempertanyakan ujian praktek memanggil qorin yang diberikan kepada seluruh kelas oleh Ustadz Jaelani. Kehadiran Yolanda sebagai teman, tampak menumbuhkan keberanian bagi Zahra. Namun hal mengerikan seperti menjadi-jadi. Teror qorin, ‘kembaran jahat’ para santri semakin tak terkendali. Zahra dan Yolanda harus mengumpulkan keberanian santri-santri yang lain untuk melawan kemaksiatan yang sepertinya sedang dilakukan oleh Ustadz Jaelani.

Ujian praktek manggil qorin tu yang dinilai apanya ya kira-kira?

 

Sudut pandangnya itulah yang membuat Qorin jadi punya sesuatu. Gak sekadar hantu-hantuan. Pun juga membuat Qorin meski punya identitas agama yang kental tapi masih bisa ditonton secara universal. Ada bahasan keberdayaan perempuan yang mengalir di dalam narasi Qorin. Persoalan power tercuatkan saat santri-santri perempuan ini harus tunduk di bawah sistem pendidikan tegas ustadz laki-laki. Film dengan berani memperlihatkan di balik identitas agama, para karakter ini hanyalah manusia. Dan manusia akan selalu punya dosa. Tentu kita masih ingat berita soal kepala pesantren yang mencabuli siswi-siswi, sampai ada yang hamil dan sebagainya, Nah, Qorin mengeksplorasi permasalahan tersebut dalam bungkus horor, tanpa mengurangi esensi yang ingin mereka sampaikan. Film ini menghadirkan hantu tapi tidak menjadikannya kambing hitam, sehingga tidak tampak mengelak dari permasalahan yang nyata tersebut. Menurutku langkah film dengan cepat mengestablish Ustadz Jaelani bukan orang baek-baek adalah langkah bold yang membuat statement ceritanya kuat dan langsung menuju sasaran. Alih-alih menyimpan si jahat sebagai misteri yang baru diungkap belakangan, film sedari awal sudah menanamkan petunjuk kejahatan Jaelani, dan begitu masuk babak kedua question yang diangkat sudah ke fokus ke permasalahan utama berikutnya. Ke pokok sebenarnya. Bagaimana perempuan bisa berjuang, not only di tengah sistem yang patriarki seperti ini, tapi juga yang menutupi sesuatu yang lebih sinister – seperti pelecehan seksual.

Aku berani bilang bahwa Qorin ini memuat soal keberdayaan perempuan lebih baik daripada film-film superhero atau film dengan jualan feminis yang biasanya kita lihat. Karena di Qorin inilah aku baru lihat perempuan-perempuan lemah itu berusaha bekerja sama. Lemah dalam artian, mereka cuma siswa – di sekolah agama, gak punya suara apalagi power untuk berontak. Biasanya di film-film yang koar memperjuangkan perempuan, karakter perempuan either udah jago sehingga jadi panutan karakter sekitarnya, menyelamatkan semua orang, atau  ditindas oleh semua orang di kehidupannya. Yang jelas, mereka dibikin selalu benar, gak ada flaw. Mereka gak ada pembelajaran, perjuangan mereka hanya untuk validasi. Tidak terasa real. Zahra, Yolanda, Ummi Hana, dan karakter-karakter perempuan dalam Qorin, mereka belajar untuk bekerja sama. Mereka yang ‘lemah’ itu berjuang bersama-sama. Babak kedua film ini memperlihatkan proses berat sebelum akhirnya mereka melawan bersama. Berat karena ‘perempuan saling dukung perempuan’ memang tidak semudah itu. Film memperlihatkan sempat ada friksi di antara Yolanda dan teman Zahra yang lain. Terkait Yolanda yang ‘berandal’ tidak sama dengan mereka yang alim. Zahra bahkan awalnya tidak berani menghadapi kejadian buruk yang menimpanya. Ia menyimpan sendiri. Kehadiran Yolanda, persahabatan mereka, mengajarkan Zahra untuk menjadi berani. Dari situ, dari santri-santri yang akhirnya berkumpul dan melawan itu, tema perempuan harus saling dukung benar-benar terpampang real.

Perjuangan perempuan seperti inilah yang bakalan konek ke penonton. Benar-benar menunjukkan fondasinya ya dari perempuan harus saling dukung dulu, lalu maju bersama. Tidak ada satu yang paling mencuat dan paling benar. Zahra harus belajar untuk berani. Yolanda yang jagoan harus belajar untuk lebih terbuka. Ummi harus belajar untuk percaya. Dengan flaw dan pembelajaran bersama, mereka jadi kayak real women. Dan real women akan saling support. Penggambaran itulah yang dilakukan dengan sangat baik oleh film Qorin.

 

Istilah ‘Final Girl’ dalam film horor (yang merujuk kepada satu protagonis yang bakal survive dari kengerian) seperti ditantang keras-keras oleh semangat perempuan film Qorin. Karena di sini ‘final girl’nya banyak! Film membuatnya clear bahwa bahkan si protagonis utama, Zahra, tidak akan bisa selamat tanpa yang lain juga selamat. Sebagai cowok yang hobi nonton horor, aku sudah melihat berpuluh-puluh final girl di ending horor. Melihat final battle Qorin, serasa ada sensasi tersendiri. Rasa kemenangan mereka terasa berbeda. Lebih menohok. Ending film ini buatku hanya diperlemah oleh kejutan di akhir; penutup shocker tipikal horor, yang gak ada nambahnya ke tema ataupun cerita, melainkan hanya untuk mengirim penonton pulang dengan teka-teki (sukur-sukur ada yang minta sekuel). Tapi yah, ibarat kado, final shock itu cuma pita hiasan yang membungkus film. Sementara isinya, tetep terasa urgen dan penting. Yang bijaknya adalah Qorin juga membahas dengan berimbang. Gak semua karakter cowok dibikin jahat, Patriarki tidak lantas dijadikan antagonis. Film masih respek sama nilai-nilai yang dikandung identitasnya. Ini membuat film tampak lebih elegan.

Soal hantu-hantu qorinnya, menurutku kembaran-kembaran jahat itu juga difungsikan sebagai metafor yang mendukung narasi. Bahwa semua orang punya sisi buruk. Setiap orang harus menghadapi sisi buruk masing-masing seperti Zahra dan Yolanda yang harus confront their fears, tapi juga di film ini ditunjukkan juga bahwa para perempuan itu melihat qorin jahat teman masing-masing sebagai cara untuk membuat mereka saling menerima kekurangan, dan akhirnya jadi saling bantu. Ngomong-ngomong soal qorin itu, cara film menampilkan dan mengadegankan horor cukup variatif sih. Ada yang lewat adegan mimpi, ada yang pakai kamera work sehingga shot-shotnya eerie, ada yang jumpscare. Adegan kesurupan yang selalu pake suara tawa cekikian juga bikin merinding. Lumayan seram juga overall. Mungkin karena dekat gitu sih ya, perihal qorin memang ada dalam agama, sehingga aku cukup merinding juga pas malam setelah nontonnya ke WC. Aku jadi segan melirik cermin di WC, takut kalo bayangan ku malah nyengir sambil bilang “Ih, bau!”

Stresnya kalo ketemu qorin sendiri adalah, gimana kalo dia lebih baik dari kita?

 

Yang kurang dari film ini adalah world-buildingnya. Bayangin kalo misalnya film Harry Potter Pertama, tapi isinya cuma Harry and the genk berusaha ngintipin Batu Bertuah. Tidak ada bagian mereka di kelas ngapain, apa aja yang dipelajari, dan sebagainya. Sayangnya, kayak begitulah Qorin. Ceritanya yang langsung to the point, tidak menyisakan ruang untuk pembangunan dunia pendidikan pesantren. Ujug-ujug langsung disuruh ujian prakter ritual manggil qorin. Mungkin karena bukan fantasi seperti dunia sihir Harry Potter, maka film merasa tidak perlu untuk memperlihatkan di pesantren itu ngapain aja sih, sistem belajarnya seperti apa, qorin itu apa sih – kok bahaya dan sebagainya. Padahal ya gak semua penonton tahu. Apalagi film ini menyasar permasalahan sosial yang global, harusnya ada something yang lebih memperkenalkan pada penonton umum. World building yang lebih mantap juga akan membuat karakter lebih natural, karena setidaknya kita jadi kebayang rutinitas mereka. Sementara yang actually kita lihat di film ini kan tidak terasa natural-natural amat. Progres ceritanya masih kayak poin-poin. Belum benar-benar berkesinambungan secara mulus. Melainkan hanya seperti adegan kunci ke adegan kunci, planting satu ke planting berikutnya, yang masuk gitu aja silih berganti. Akibatnya, kadang emosi karakternya terasa tidak kontinu antara adegan satu dengan adegan dia berikutnya. Ada juga adegan yang gak jelas juga kenapa ada. Misalnya kayak Zahra yang selalu mimpi buruk, tapi satu kali dia mimpi sampe ngompol (padahal visual mimpinya kita lihat sama aja). Ngompolnya dia itu jadi gak jelas karena apa, kirain ada kepentingannya. Tapi ternyata hanya di situ aja. Enggak jelas juga maksudnya untuk apa, kenapa harus ngompol, apakah untuk lucu-lucuan, apakah mau reference Zulfa meranin Nunung (pelawak yang punya ciri khas suka ketawa sampai ngompol) di film Srimulat yang satu ph ama Qorin, atau apa.

 




Kadang memang terasa jenuh juga sama horor. Apalagi yang bahasannya yang itu-itu terus, seperti kesurupan, kayang, dan semodelnya. Tapi film ini ngasih lihat bahwa ternyata masih ada loh galian-galian baru. Masih ada konteks yang bisa dilandaskan untuk membuat something jadi kerasa baru. Aku gak kepikiran final girl, perjuangan perempuan, dan horor kembaran jahat bisa digabung dan menghasilkan yang seperti film ini. Yang bisa ngasih gambaran gagasan yang berbobot di balik narasi hantu-hantuan. Berani mengangkat identitas agama, tanpa tendensi, sekaligus tetap berimbang. Sehingga semuanya terasa matang, aspek horornya tidak tertampilkan murahan. Jika diceritakan dengan world-building yang lebih baik, film ini bakal jadi pengalaman yang lebih immersive saat disaksikan.
The Palace of Wisdom gives sembilan-kayang alias 6 out of 10 gold stars for QORIN

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian mendengar tentang qorin sebelumnya? Atau malah ada yang punya pengalaman nyobain manggil qorin?

Share cerita-cerita kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE MENU Review

 

“…the only thing more pretentious than pretentious art is the people who love it”

 

 

Sebagai jemaat warteg, aku ternyata lupa kalo kuliner alias makanan bisa begitu.. fancy. Mewah. Dalam lingkup yang bukan sekadar estetik untuk dipajang di Instagram, melainkan mewah sedari konsep penyajian, pembuatan, dan cara menikmatinya. Kalo diliat-liat, seperti film ya, ada yang artsy-nya. Malahan saat nonton The Menu karya Mark Mylod, aku sempat kepikiran bahwa mestinya seorang sutradara film haruslah seperti si Chef di film ini. Apapun yang mereka sajikan haruslah punya konsep dan makna yang jelas dan terarah. Jika menu-menu masakan bisa dirangkai menjadi satu pesan storytelling, tentunya film juga bisa – dan harus – dibegitukan. Tapi ternyata bukan soal harus fancy begitu saja yang diingetin oleh film The Menu. Film ini mengulik dengan lebih dalam sehingga pada akhirnya memunculkan pertanyaan ultimate: apakah menjaga kemurnian kultur kuliner (dan mungkin, sinema) memang harus lewat seni yang fancy seperti itu? Tidakkah itu membuatnya pretentious? Apakah tidak cukup dengan sekadar menikmatinya saja? Bagaimana dengan kita, apakah kita benar-benar seorang penikmat seni, atau hanya menikmati ide bahwa ia harus mewah dan ide bagaimana kita adalah termasuk dalam kelompok elit yang mengerti kemewahannya?

Makanan dalam medium film sering dijadikan simbol, kadang dikaitkan sebagai imaji seksual, dan sering juga dimunculkan sebagai ungkapan-visual dalam cerita-cerita horor. Sepertinya itu karena makanan memang yang paling dekat dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia. Sesuatu yang kita butuhkan untuk survive, sesuatu yang mengingatkan bahwa manusia punya urge. Dalam The Menu yang dikemas dalam horor bernada dark-comedy, makanan yang ditampilkan adalah suatu kemewahan. Karakter-karakternya adalah orang-orang kelas atas yang klaim mengerti dan merasa berhak mendapatkan kemewahan dalam makanan tersebut. Kritikus makanan, seorang foodie, bintang film, karyawan perusahaan besar, konglomerat: duabelas orang diundang untuk jamuan makan malam oleh resto resort Hawthorne di sebuah pulau. Chef Slowik (Ralph Fiennes dapet banget mainin juru masak yang tampak kaku tapi brilian dan benar-benar perhatian terhadap yang ia lakukan) bukan saja telah mempersiapkan berbagai course menu sebagai sajian untuk malam itu, melainkan juga disertai oleh konsep storytelling mengerikan yang terselubung.  Sajian demi sajian sebenarnya didesain untuk ‘menghukum’ para tamu. Namun kesempurnaan rencana yang dimasak olehnya terancam cacat. Karena di sana duduk Margot (Anya Taylor-Joy dengan mata bulat besarnya seolah menantang masakan dan maksud sang Chef), perempuan yang sebenarnya tak masuk ke dalam daftar undangan. Margot hadir karena menggantikan pacar dari teman yang mengajaknya. The show must go on, Margot dituntut harus menentukan sikap dan pilihan, yang tentu saja baginya berarti hidup atau ikut mati.

Enggak lagi-lagi deh nyuruh Voldemort ngurusin konsumsi

 

Horor ruang sempit The Menu bukan datang dari siapa pelaku sebenarnya. Cerita dengan cepat mengestablish ‘penjahatnya’ dari sikap Chef yang udah kayak pemimpin cult itu.  Intensi dan maksud si Chef di balik makanan-makanan dan aksi teatrikal penyajiannyalah yang dijadikan sebagai umpan horor. Kalo course-nya dibahas satu persatu, makanannya apa, maksudnya apa, maknanya apa bagi karakter yang sedang ‘dihukum’ tentulah akan jadi sangat spoiler. I won’t do that karena bakal sama aja dengan membeberkan semua isi filmnya. The Menu memang ‘rapuh’ seperti demikian, namun kerapuhannya itu hanyalah remahan kecil dari kelemahannya sebagai film. Yang mau aku fokuskan di sini adalah, bahwa sebenarnya The Menu memang berpotensi menjadi film yang sendirinya pretentious, dengan naskah yang disokong oleh karakter utama yang lemah, jika diracik oleh tangan-tangan yang salah. Untungnya, sutradara Mark Mylod beserta dua penulis naskah Seth Reiss dan Will Tracy paham pada kelemahan yang cerita mereka punya. Sehingga mereka work around it. Dan kalo ada satu kata yang harus kugunakan untuk mendeskripsikan taste nonton ini, maka kata itu bukan “maknyoss”, tapi “lincah!”

Gimana tidak lincah. Begini, salah satu flaw dari desain cerita The Menu adalah protagonisnya. Si Margot, yang merupakan outsider. Literally orang luar. Dia tidak berkenaan dengan masalah di dalam cerita. Dia bukan penggemar makanan. Dia tidak diundang di sana. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan konflik yang dijadikan motivasi oleh Chef Slowik. Gimana coba membuat seorang outsider ini menjadi tokoh utama yang akhirnya jadi penggerak alur cerita? See, di sinilah kecerdikan naskah. Kelincahan The Menu. Penulis yang cuek ama skenario dan cuma mau ngasih kejutan dan melempar pesan-pesan kemanusiaan gak akan peduli dan akan menghasilkan horor yang sama sekali kosong. Sebaliknya, penulis The Menu berjuang untuk mengukuhkan posisi Margot. Memberikannya alasan untuk ada di sana. Kayaknya aku belum pernah menyaksikan yang seperti ini. The way film menemukan cara supaya kejadian di pulau itu jadi personal bagi Margot. Cara film memberikan pilihan yang harus diputuskan oleh Margot, lewat Chef yang langsung ‘menunjuknya’ Misteri satu lagi yang dipunya film adalah siapa sebenarnya Margot, dan revealing yang dilakukan film terhadap karakter utamanya ini bukan membuat kita semakin jauh darinya, melainkan justru semakin dekat. Margot perlahan menjadi semakin grounded dan relatable. Penulisannya ini kalo mau pakek istilah makanan lagi; bener-bener *chef’s kiss!

Gagasan yang diusung cerita pun lantas masuk lewat sini. Lewat persamaan Margot dengan si Chef. Lewat perbedaan Margot dengan karakter-karakter lain, termasuk dengan Tyler – cowok yang actually mengundang dia ke sana in the first place. Untuk gampangnya, kita ibaratkan saja si Margot dan mereka semua sebagai penonton di sebuah pemutaran film. Namun Margot cuma penonton casual. Dia bukan sinefil, bukan kritikus, bukan seniman. Margot gak peduli sama color grading, ratio, sinematografi, bahkan tema filmnya. Sementara yang lain sok ‘mengerti’ film dengan ber-fafifuwasweswos akan segala hal kecuali cerita film itu sendiri, Margot merasa tidak dapat  menikmati film ini. Cuma Margot yang tidak menikmati hidangan yang disuguhkan Chef, karena ibarat kita yang ke bioskop untuk nonton film, Margot ada di sana untuk memenuhi ajakan temennya makan-makan. Sedangkan si Chef, menyuguhkan sesuatu yang lebih kompleks karena tuntutan kelas atas yang ingin menikmati – bukan actual masakannya, tetapi menikmati mereka ada di sana untuk sesuatu yang spesial. Menonton si kritikus makanan yang tampak lebih enjoy mengkritik dan mencari kata-kata untuk menulis ulasan alih-alih makanan itu sendiri, aku merasa tersentil juga. Apakah aku juga telah jadi seperti itu saat menonton film – asik berkutat nyari ide ulasan saja ketimbang menikmati si film di momen itu. Semoga tidak. Menyaksikan para konglomerat dan kelas jet set di film ini lebih peduli sama gambar yang menampilkan kelakukan mereka di atas roti ketimbang menikmati roti itu, membuatku teringat sama pejabat-pejabat di pemutaran atau festival film yang lebih heboh sama citra dan waktu mereka tampil di kata sambutan daripada peduli sama film yang diputar. Yang paling amit-amit ya jangan sampai kita jadi sinefil yang seperti foodie di film ini. Dalam salah satu course disajikan ke hadapan mereka roti, tapi tanpa roti (cuma piring kosong dan toping), dan si foodie dengan soknya mengatakan itu sajian paling lucu dan paling keren. Cuma Margot yang tampak tersinggung disajikan makanan yang gak ada makanannya.

Itulah, jangan sampai kita, atas nama menjaga kemurnian makanan, sinema, atau apapun, menjadi pretentious seperti karakter-karakter di film ini. Yang telah menodai bisnis kuliner dengan kepentingan untuk memuaskan ego, merasa paling elit, merasa paling jago, paling nyeni sehingga saat dikasih makanan padahal gak ada yang mau dimakan pun, kita senang-senang aja. Film ini menunjukkan bahwa seni ternyata bisa menjadi pretentious karena dinikmati oleh orang-orang yang pretentious.

 

Kalo suka bilang ke orang, kalo gak suka bilang ke saya

 

Jadi sebenarnya The Menu adalah cerita tentang Chef yang merasa mulai kehilangan passion. Dia memasak tapi bukan lagi supaya masakannya dinikmati orang, melainkan untuk mengenyangkan ego para elitis yang sebenarnya tidak cinta sama kuliner. Hal tersebut memakannya dari dalam, sehingga ia memilih untuk melakukan horor yang ia lakukan. Makanya juga, interaksi Chef dengan Margot berkembang menjadi dalam tingkatan sentimentil. Cara Margot keluar dari sana buatku sangat menyentuh. Karena ternyata begitu sederhana, simpel, semua orang bisa. Tapi gak semua orang mau melakukannya. Sebagai orang yang pernah bekerja di bidang melayani orang kayak mereka (aku pernah buka kafe dan served customers myself), aku jadi ngepick up sesuatu yang ekstra. Bahwa film juga bicara tentang gimana kita bisa kurang menghargai para pembuat atau penyedia jasa, seperti chef atau koki. Perkara sepele seperti tak ucapkan terima kasih, minta bumbu esktra, atau lupa nama makanan, ternyata dapat begitu menyinggung bagi pembuatnya. Dan di film ini aku juga baru tau kalo mau motoin makanan aja sebenarnya perlu ijin atau concent pembuat juga. Semuanya itu kembali ke soal respek terhadap sesama dan kepedulian atas orang lain di atas diri sendiri.

 




Dengan motivasi penggerak berasal dari ‘penjahat’, dengan kejadian dan karakter yang diset untuk memenuhi suatu gagasan – sehingga dark comedy digunakan untuk menutup tingkah gak make sense dari karakternya, seperti yang kubilang tadi, film ini berangkat dari resep yang kemungkinan gagalnya lebih gede. Tapi sebagaimana hasil dari sebuah resep tergantung dari tangan yang bikin, film ini ternyata jadinya bagus. Fresh dan ngasih sesuatu untuk dipikirkan tanpa ikutan menjadi pretentious.  Sepanjang durasi kita akan dibuat terus penasaran mengikuti apa yang sebenarnya terjadi, mengikuti course demi course yang janggal dari Chef. Permainan akting pemerannya pun pada takaran yang pas, sehingga karakter mereka yang gak relate-relate amat jadi tidak over annoying dan kita masih merasakan simpati meski borok dan angkuhnya mereka tercuat ke permukaan. Film ini memang seperti dibuat untuk dinikmati sambil tertawa-tawa renyah, tanpa mengurangi nilai estetik dan kandungan ‘gizi’ yang dimuat oleh ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE MENU

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian cara yang tepat untuk menikmati film itu seperti apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KERAMAT 2: CARUBAN LARANG Review

 

“Culture is the arts elevated to a set of beliefs.”

 

 

Yang keramat dari genre mockumentary (dokumenter ala-ala, yang sering ditampilkan dengan gaya found footage) adalah kesan otentiknya. Dalam artian, penting bagi genre ini untuk menjaga ilusi bahwa mereka adalah ‘dokumenter-asli’ meskipun kita semua tahu yang di layar itu cuma film yang bentuknya saja yang seperti dokumenter, sementara ceritanya adalah fiksi dan sebagian besarnya merupakan parodi dari bentuk-bentuk dokumenter yang ada. Untuk menjaga kesakralan ilusi otentik tersebut, maka biasanya mokumenter menggunakan gimmick-gimmick, mulai dari teknis seperti kamera handheld yang goyang-goyang, hidden cam, adegan-adegan interview, dan estetik kamera jadul – atau at least grainy supaya kesan raw footagenya dapet.  Beberapa bahkan sengaja dibuat dengan skrip minimalis (hanya poin-poin, sementara pemeran bebas improvisasi dialog, dan sebagainya). Hingga gimmick di luar teknis pembuatan, seperti pemasaran yang menyatakan filmnya adalah kisah nyata. Dan oh boy, betapa di horor, mokumenter dapat jadi storytelling yang begitu efektif. Film found footage The Blair Witch Project di tahun 1999 bisa sangat fenomenal – orang pada nyangka itu kejadian horor beneran – karena terbantu oleh mokumenter Curse of the Blair Witch yang ditayangkan di televisi sono beberapa minggu sebelumnya. Sementara di skena film lokal, Keramat – found footage tentang dokumentasi kru film – jadi sensasi di tahun 2009. Sukses membuat penonton yang belum kenal hiruk pikuk internet terheran-heran apakah itu kejadian yang beneran dialami oleh Poppy Sovia dkk saat syuting film.

Jadi, ya, memang yang harus digarisbawahi adalah kesan otentik – yang kini, bisa dibilang semakin ‘susah’ untuk dicapai. Pertama, karena people sekarang bisa lebih cepat tahu dan dapat informasi apapun dari internet. Ini terjadi juga di dunia pro-wrestling. Kayfabe is dead. Ilusi gimmick semacam Kane adalah adik dari Undertaker gak bakal laku dipakai di jaman sekarang karena orang-orang bisa nyari sendiri info siapa sebenarnya dua pegulat itu di real life. Dan kedua, karena seperti yang sudah sering kukeluhkan dalam review-review film mokumenter ataupun found footage sebelum ini; jaman sekarang orang bikin video YouTube saja sudah canggih semua. Grainy video sudah ditinggalkan, semua bisa dengan mudah ditouch up pake efek, sehingga bahkan video asli pun bisa dicurigai settingan saking semuanya overedit. Makanya buatku menarik, kini, setelah tiga-belas tahun, Monty Tiwa membuat sekuel dari Keramat. Tentu dengan gimmick dan estetik mokumenter yang disesuaikan dengan keadaan sekarang – keadaan di mana kesan otentik itu tampak tidak lagi begitu ajaib. Apakah film Keramat 2 ini bakal bisa jadi sensasi seperti pendahulunya? Trik apa yang akan mereka gunakan supaya bikin film ini terlihat ‘asli’? Atau mungkin, cerita seseram apa yang disajikan supaya kelemahan ilusi itu bisa teroverlook?

MKN di Langgar Penari

 

Ternyata setelah ditonton, tidak ada satupun kutemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut yang benar-benar memuaskan buatku.

Dari segi cerita, sebenarnya Keramat 2 dimulai dengan cukup menjanjikan. Set up karakternya ada, kenapa mereka harus ada di sana, backstory tugas akhir  dan persahabatan yang melandaskan stake para karakter di sini clearly terbangun lebih solid daripada film yang karakternya lagi KKN itu. Keramat 2 berkisah tentang Umay Shahab dan dua teman YouTubernya; Ajil Ditto dan Keanu pengen membantu mendokumentasikan tugas akhir kelompok tari gebetannya si Umay. Jadi pergilah mereka bersama Arla, Jojo, dan Maura ke Cirebon, ke sanggar tari Caruban Larang yang ternyata sudah lama kosong. Di sana, mereka membuka peti terlarang, dan menemukan soal The Lost Dance. Tarian yang sudah lama hilang (beserta penari-penarinya) semenjak jaman penjajahan Jepang. Saat meriset itulah mereka semua bersinggungan dengan dunia mistis. Dan seperti pada film pertama, anak-anak muda ini harus masuk ke dalam dunia gaib demi mencari teman mereka yang hilang. Selain itu juga ada substory tentang tim YouTuber Keanu, yang pecah karena Lutesha si cenayang memisahkan diri sehingga Keanu dan Ajil – yang gak punya kemampuan mistis – harus bikin channel horor yang baru  (MKN) sebisa mereka, yakni dengan bumbu komedi. Misteri kenapa Lutesha cabut nanti akan mengikat kepada masalah Lost Dance yang mereka semua harus hadapi.

Bicara tentang seni tari yang hilang, dari Keramat 2 sebenarnya kita bisa memetik pesan soal melestarikan seni. Heck, hantu di film ini aja kayak lebih aware soal itu dengan meminta tari mereka ditonton supaya bisa diturunkan ke manusia. Memang agak miris sih, ketika tarian – seni aktualnya justru hilang sementara ritual seputarnya tetap ada dan lestari menjadi pantangan-pantangan sakral (yang aneh dan kayak takhayul) yang tidak boleh dilanggar.

 

Benar-benar terlihat seperti set up cerita horor yang mumpuni. Semua karakter punya masalah, ada drama. Elemen mitologi dan investigasi mistis yang mampu membawa penonton ikutan nebak-nebak juga ada. Namun, kesemuanya itu ternyata tidak dikembangkan menjadi plot yang ‘bener’. Keramat 2 adalah tipe film yang menghabiskan paruh-paruh awal untuk setup dan untuk eksposisi, lalu tiga puluh menit terakhirnya hanya menampilkan karakter yang berlarian, berusaha mencari jalan keluar. Masing-masing karakter tidak punya progres journey yang personal. Pengalaman horor itu seperti tidak berarti apa-apa untuk growth mereka as a character, melainkan ya cuma untuk konten saja. Dan karena ini didesain dengan skrip yang gak ketat mengatur, maka dengan cepat karakter-karakter muda ini resort ke hal-hal yang annoying. Marah-marah, berantem, teriak-teriak. Keluar kata-kata makian. Untuk mengisi durasi, kadang mereka juga melakukan hal horor yang konyol. Yang jelas, mereka seperti lebih enjoy bermain di elemen konyol ketimbang horor – saat mereka harus ‘berpura-pura’ ketakutan. Mitologi penari juga tidak dikembangkan lebih jauh dari sekadar apa yang terjadi pada para penari sebenarnya. Padahal kupikir film ini bisa menggali fantasi tarian dan ritual yang seperti pada mitologi game Fatal Frame, ternyata harapanku terlalu muluk. Dan misteri soal Lutesha, itu juga sama zonknya. Lutesha nanti datang gitu aja. Dan karakter ini sebagian besar jadi convenience ke dalam plot. Ngasih petunjuk ini itu, harus kemana, harus ngapain. Totally membunuh misteri dan eksplorasi dalam cerita.

The best part tetap adalah bagian ketika mereka udah masuk dunia lain. Tapi, yah, experience horor yang dihadirkan film ini tidak pernah sekuat film yang pertama, Yang karakter-karakter saat itu bener-bener gaktau harus ngapain, sehingga kita seperti ikut mereka ‘meraba-raba’ misteri. Dalam Keramat 2, kita cuma menonton mereka ngikutin kata Lutesha. Tidak ada elemen surprise, pengungkapan edan, dan sebagainya. Ada sih satu yang menggelitik, yang bikin penggemar Keramat bakal gembira karena memperdalam galian mistis dunia tersebut. Dan kupikir itu juga ide yang bagus, tapi aku gak akan bocorin di sini, kecuali satu hal. Yakni sebaiknya memang kita nonton Keramat original dulu sebelum nonton sekuelnya ini. Ngomongin soal Keramat pertama, memang film kedua ini memakai formula yang sama. Seperti memegang teguh tradisi, Keramat 2 mengikuti Keramat pertama nyaris beat per beat. Hanya saja seperti salah menduga. Karena seperti yang sudah kutulis di atas, Keramat pertama jadi sensasi bukan semata karena adegan lari-larian, atau kelompok yang berantem, atau bahkan misterinya dieksekusi dengan baik, tapi juga karena ilusi otentik. Film tersebut berhasil menguarkan kesan raw yang kuat. Sebaliknya Keramat 2, dengan tampilan mulus seperti video-video YouTube masa kini, dan dengan karakter yang lebih nyaman melucu ketimbang berhoror ria, jadi tampak seperti video settingan yang panjang banget.

Nabrak kucing hitam, buka peti, main jailangkung, mau berapa larangan lagi yang mereka langgar sebelum jera?

 

Penonton yang lebih muda mungkin gak akan mempermasalahkan. Aku boleh jadi terdengar kayak bapak-bapak tua yang ngomel lihat kelakuan anak muda. Mungkin, bagi penonton muda otentik itu datang dari betapa naturalnya para karakter berinteraksi antarsesama. Like, mungkin memang ‘hectic’ seperti itulah anak muda bersosialisasi sekarang. Bukan soal kamera yang terlalu poles dan bagus, karena toh memang seperti itulah tren sekarang.  Sehingga ya, film ini masih mungkin untuk menjadi sensasi di kalangan penonton muda. Walau bukan untuk hal yang sama dengan film pertamanya. Tapi bahkan jika itu benar, bahwa mungkin aku saja yang sudah terlalu tua untuk film kayak ini, tetap saja magic dari movie itu sendiri yang sebenarnya dipermasalahkan. Dan visual itu membantu kita masuk dan percaya. Kualitas gambar yang sederhana membantu kita percaya bahwa video yang kita lihat benar-benar direkam candid, tidak ada settingan. Nonton awal-awal Keramat 2, adegan-adegan tampak meragukan – beneran hantu yang mereka lihat atau mereka lagi ngerekam prank atau trik sebagai konten YouTube.

 




Dalam mokumenter seperti begini, gak cukup hanya dengan menggunakan real name para aktor. Apalagi jika kita tahu mereka di real life tidak melakukan hal yang mereka lakukan di film. Semua konsepnya harus didesain matang demi mencapai ilusi otentik.  Effort ke sanalah yang masih tampak minimal dilakukan oleh film ini. Konsep mokumenternya sebenarnya kurang kuat. Film ini tidak akan banyak beda pencapaiannya jika dibuat dengan konsep penceritaan yang biasa. POVnya tidak terasa urgen karena gagal untuk digunakan  ngasih gambar-gambar horor yang unik (pas adegan terjun aja, pov kameranya gak dimainin). Mitologinya tidak dibahas mendalam, sebatas apa yang terjadi saja. Tidak ada hooknya ke journey personal karakter. Film ini seperti film pertamanya, tapi tanpa magic dan ilusi yang bikin film tersebut jadi disukuri ada sekuelnya. Setelah ditonton, yah, film ini tidak semembekas itu. Untuk seru-seruan bareng teman, sih sepertinya masih bisa. Bagian di hutan goibnya tambah menarik dengan surprise from the past. Karakternya yang annoying dan gak ngapa-ngapain mungkin masih bisa beresonansi dengan anak muda dan pergaulan keseharian mereka. Karena otentik film ini sepertinya dimunculkan dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KERAMAT 2: CARUBAN LARANG

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, apa sih yang menarik dari genre mokumenter?

Share  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SRI ASIH Review

 

“The best fighter is never angry”

 

 

Waktu mewawancarai Sri Asih tempo hari (videonya bisa ditonton di sini), aku bertanya kenapa penting bagi film-film jaman sekarang untuk menampilkan karakter perempuan yang badass. Pevita Pearce dan Jefri Nichol kompak menjawab bahwa karena sudah bosan melihat pria-pria terus yang berantem dan jadi jagoan. Aku setuju dengan jawaban mereka. Perempuan bisa kok jadi jagoan. Setelah sekian lama selalu ditampilkan sebagai ‘dayang-dayang’ yang fungsinya untuk diselamatkan oleh pahlawan cowok, sekarang sudah waktunya untuk menampilkan keberdayaan perempuan. Film, khususnya genre superhero, harus aware karena inilah medium yang tepat untuk menyimbolkan hal tersebut. Like, tahun ini saja Marvel sudah membuat terobosan dengan mulai memperkenalkan ‘versi cewek’ dari  masing-masing karakter superhero laki-laki yang mereka punya. Perempuan mampu membela diri, menghajar orang jahat dan menyelamatkan dunia. Ini haruslah diperlihatkan dalam konten yang lebih daripada sekadar memperlihatkan perempuan bisa lebih jago daripada lelaki.

Dalam soal itulah aku agak kurang setuju dengan bagaimana Sri Asih garapan Upi menampilkan dan mengembangkan sosok karakter superhero perempuannya. Where do I start?

Alana punya origin story yang bisa dibilang paling aneh di antara superhero-superhero lain yang aku tahu, lokal maupun mancanegara. Alana tidak ditempa oleh tragedi. Dia seperti dilahirkan dengan kekuatan karena ibunya actually ngidam melihat gunungapi saat mengandung baby Alana. Seperti ada koneksi antara kekuatan api dengan dirinya semenjak masih bayi. Gunung Merapi seperti tahu kehadiran Alana yang keturunan Sri Asih, sehingga memuntahkan asap panas, Kedua orangtua Alana lantas meninggal dunia dalam peristiwa naas setelah mereka kabur dari letusan gunung. Alana jadi dibesarkan di panti asuhan, dan sejak kecil dia mimpi didatangi oleh Dian Sastro.. eh, Dewi Api! Mengenai kekuatannya, kita tidak diperlihatkan gimana Alana bisa mengendalikan atau dia sendiri tahu persisnya gimana. Karena sejak kecil dia sudah cakap berantem. Dia menghajar tukang bully di panti. Alana kecil lantas diadopsi oleh ibu-ibu yang ternyata adalah agen profesional underground fighter. Kali berikutnya kita melihat Alana, dia udah gede dan jadi fighter yang menghajar lawan-lawan cowok. See, jadi Alana ini adalah tipe karakter chosen one, tapi kita tidak pernah diperlihatkan dia belajar atau berjuang untuk menggunakan kekuatannya. Alana ini kayak Mulan yang versi live-action; yang sudah jago. Dan kesamaan itu otomatis jadi red flag.

Padahal Sri Asih mestinya bawa red selendang hihihi

 

Kenapa red flag, karena kalo sudah jago begitu, maka apa dong yang harus dipelajari oleh si protagonis? Journey apa yang harus ditempuh oleh karakter utama sebagai plot yang bisa kita simak. Mulan live-action adalah bukti kegagalan naskah mengeksplorasi cerita keberdayaan perempuan, dengan membuat karakternya sudah hebat dan gak punya pembelajaran. Beda dengan cerita film animasinya. film versi modern itu hanya seperti memperlihatkan si Mulan lebih jago dari siapapun, terutama laki-laki. Sri Asih sebenarnya masih punya ruang untuk menggali, film ini tidak sepenuhnya ngesok membuat Alana jagoan seperti yang dilakukan film Mulan kepada karakter pahlawan legendanya. Film Sri Asih sebenarnya masih membuka ruang untuk pengembangan dengan membuat Alana harus belajar mengendalikan amarahnya. Diceritakan meskipun Alana adalah keturunan Sri Asih, tapi jika dia membiarkan diri terbakar oleh rasa marah, maka kekuatan pengrusak dari Dewi Api – musuh dari Sri Asih – yang akan menguasainya. Jadi Alana, dengan bantuan teman-temannya, berusaha mengendalikan amarah.

Marah memang sebaiknya tidak ditahan-tahan. Marah jika disalurkan dengan baik, maka juga bisa jadi kekuatan – dan justru menyehatkan. Lihat saja Gohan di Dragon Ball. Kuncinya adalah di penyaluran. Alana harusnya membaca bukunya Lao Tzu. Karena founder Taoisme itu mengajarkan seorang pejuang haruslah tidak mempertontonkan amarah. Karena seorang pejuang bisa menang jika berpikir dengan tenang, membuat keputusan dengan melihat semua dengan jelas. Semua itu hanya bisa dilakukan ketika hati dan kepala tidak sedang terbakar oleh emosi.

 

Naskah harusnya berkutat di sini. Di pergulatan personal Alana dengan dirinya. Dengan amarahnya. Masalah pada naskah Sri Asih adalah it gets too ambitious. Durasi dua jam jika memang fokus kepada karakter Alana, luar – dalam, bukan soal dia mengalahkan lawan dalam caged fight saja, tentulah akan menghasilkan cerita yang lebih grounded. Cerita superhero yang lebih menginspirasi buat penonton, karena bagaimanapun juga manusia menonton film hakikatnya adalah untuk menyimak perjalanan seseorang dalam usaha menjadi orang yang lebih baik. Wonder Woman pertama (2017), misalnya. No wonder film itu jadi salah satu cerita superhero buku-komik terbaik – superhero wanita pula! sebab mengeksplorasi kenaifan Diana Prince yang menganggap manusia itu innocent. Film itu tahu sisi vulnerable Diana, dan sepanjang durasi dimanfaatkan untuk menggali hal tersebut. Diana ditempatkan di zona perang, dan sebagainya. Bagi Alana, sisi vulnerable itu adalah rage. Rasa marah. Formulanya sebenarnya bisa sama dengan Wonder Woman. Namun, naskah ambisius film ini membuat pembahasan soal itu melompat-lompat. Karena ada banyak lagi hal-hal di luar personal Alana yang hendak dibahas.

Kita bahkan gak pernah yakin si Alana ini jadi gampang marah karena apa. Masa iya karena sering mimpi api? Dari sebelumnya dia menang telak di dalam arena, kita lantas melihat Alana tanding gak stabil karena guncangan amarah. Tau-tau dia jadi disebut punya masalah kontrol emosi saja. Pengembangan soal Alana ini jadi semakin terasa choppy karena naskah tampak lebih tertarik nunjukin elemen cerita yang lebih berbau politik dengan segala kekelamannya. Orang kaya yang memandang rendah orang miskin. Polisi yang tidak memihak rakyat. Dan tentu mereka-mereka adalah cowok yang sebagian besar brengsek. Ada lebih banyak durasi yang digunakan untuk dengan gamblang menyebut cowok lawan cewek, ketimbang durasi yang disediakan untuk Alana confront emosinya. Like, kupikir dia bakal susah menjelma sebagai Sri Asih karena begitu banyak amarah. Tapi ternyata persoalan itu selesai dengan gampang. Alana tinggal menari tradisional dalam sebuah ritual untuk menerima/membangkitkan kekuatan Sri Asih. Enggak tau juga kapan dia belajar tariannya. Persoalan kostum juga sama sekelebatnya. Sudah tersediakan!

“Darimana mereka bisa tahu ukuran gue…?!” cue musik DHUAR DHUAR!!!

 

Sama halnya dengan Gundala (2019), film pertama dari Bumi Langit Universe, naskah Sri Asih dengan cepat membesar dari yang tadinya serius dalam ranah personal, menjadi seperti serius tapi semakin mendekati konyol. Serum amoral kini digantikan posisinya oleh tumbal mistis 1000 jiwa, dengan rakyat penghuni rusun miskin jadi calon korbannya. Buatku lucu sekali si tumbal mistis ini begitu spesifik sehingga kentara banget maksanya. Seribu jiwa harus dibunuh bersamaan. Like, emangnya siapa yang ngitung. Kalo kurang atau lebih satu, apakah si penjahat harus ngulang lagi ngumpulin seribu jiwa yang lain. Dan itu keadaannya jelas kurang satu, karena Tangguh – teman dari masa kecil Alana – sebagai salah satu penghuni rusun sudah tidak ikut terjebak karena ada di markas bareng Alana. Motif penjahat serta karakter jahatnya sendiri juga jadi tidak terestablish dengan baik, saking banyaknya yang mau diceritakan. Berpindah dari yang tadinya cowok kaya yang asshole abis ke sosok mistis dari mitologi ke seorang yang diniatkan sebagai revealing yang mengejutkan. Alias twist. Dan twist ini, sodara-sodara, justru bikin satu-satunya perspektif menarik yang digali oleh cerita, jadi kayak terbuang gitu aja. Karena tidak lagi berarti, toh ternyata si karakternya beneran jahat!

So yea, Sri Asih adalah tipikal film yang menganggap dirinya sangat serius sehingga semua dialognya jadi intense. Karakter yang ngucapinnya juga, kayak orang paling misterius dan serius-you-don’t-wanna-mess-with-me semua. Kalo butuh sedikit mencairkan suasana, film akan membuat Alana dan Tangguh ‘berubah’ jadi karakter dengan dialog ala Marvel sebentar. Tapi sebagian besar waktu, film ini punya dialog-dialog superintens, yang bahkan lebih intens daripada sekuen berantem superheronya.  Kalo mau diurutin bagian intensnya, nomor satu adalah dialog-dialog, kedua adalah berantem martial arts di arena fight, dan ketiga berantem superhero. Yang aku suka adalah berantem martial arts ala UFC yang grounded.  Tapi itu juga mungkin karena pengaruh Pevitanya, karena kita tahu dia menjalani ‘transformasi’ untuk peran ini – peran yang bisa dibilang di luar kebiasaannya, jadi kinda like melihat Pevita yang berantem. Kita jadi ada ketegangan ekstra, karena ada sedikit believe ni si Pevita yang jadi Alana bisa kalah. Camera worknya juga dibuat dramatis di adegan berantem yang ini. Beda dengan ketika sudah jadi full superhero. Karena sudah jagoan banget, kita udah ngerasa kayak mustahil Sri Asih kalah melawan gerombolan penjahat cecunguk yang senjatanya cuma pistol. Shot-shotnya pun sudah mulai pakai efek komputer kayak Sri Asih atau musuhnya beterbangan. Kesannya tidak sereal dan grounded lagi. Sehingga ya jadi kurang seru, gak peduli semirip apapun genjreng-genjreng musiknya dengan tema Wonder Woman.

 




Si Sri Asih memang ‘badass’. Aku setuju kita juga gak boleh ketinggalan menampilkan cerita dengan superhero perempuan, yang punya daya, bisa menyelamatkan dunia, dan bisa mengalahkan kelemahannya sendiri. Sosok Alana juga berhasil dihjdupkan dengan cukup ikonik oleh Pevita – yang aku yakin ke depan akan terus dipanggil orang sebagai Sri Asih berkat perannya di sini. Hanya saja, sebagai cerita, film ini sesuatu yang masih berantakan. Alurnya jadi lebih peduli sama hal yang lebih ambisius, alih-alih journey personal karakter perempuannya. Plot si protagonis jadi kayak lompat-lompat perkembangannya. It was just ‘bad’. Karakternya jadi kayak sudah jago aja. Dia kayak benar sedari awal. Makanya filmnya jadi kayak soal cewek bisa lebih jago daripada cowok saja.  Namun sukurnya, film ini masih menyisakan ruang untuk Alana sedikit belajar (meskipun tidak digarap maksimal oleh naskah) sehingga, yah lumayan lah,  tidak sampai segagal Mulan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SRI ASIH

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian siapa yang menang duel antara Sri Asih lawan Wonder Woman?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 6 (SMILE, BARBARIAN, PEARL, BULLET TRAIN, PIGGY, HELLRAISER, PINOCCHIO, THE WOMAN KING)

 

 

Atau bisa juga dibilang ini adalah Mini-Review edisi Halloween! Gimana enggak, bulan kemaren hampir semua film yang keluar dalah film horor, aku sampai kelimpungan nonton, nulis dan edit video reviewnya hihihi. But yea, halloween tahun ini jadi sangat berkesan. Karena memang filmnya sebagian besar bagus-bagus. Kalo saja aku punya waktu lebih dari 24 jam sehari, pastilah film-film di sini kubikinin full-reviewnya. Sayangnya gak ada Peri Biru yang datang mengabulkan permintaanku, sehingga jadilah Mini-Review Volume Keenam ini untuk dibaca oleh kalian yang setia nanyain “mana nih review-reviewnyaa?”!

 

 

 

BARBARIAN Review

Barbarian garapan Zach Cregger adalah dua kejadian struktur yang tak-biasa. Pertama, struktur rumah airbnb yang ada dalam kisah horor ini. Basement bangunan tersebut bukan saja menyimpan ruang rahasia, melainkan lorong panjang tersembunyi seperti labirin, tempat sesosok deformed creature tinggal. Kedua, struktur narasinya. Barbarian yang awalnya mengisahkan Tess, cewek yang menginap di airbnb, tapi rumah itu sudah ditempati oleh penyewa lain (mereka berdua bakal aware ada penghuni satu lagi di bawah sana dalam cara yang mengerikan!) ternyata di tengah durasi juga akan bercerita tentang AJ, cowok terkenal pemilik rumah tersebut, yang pengen menyepi ke sana tapi menemukan ada sesuatu yang aneh yang tidak ia tahu sebelumnya.

Struktur tak-biasa yang dimiliki film ini, pertama memberikan pengalaman horor two-in-one yang cukup seamless (meskipun ceritanya sempat terjeda). Misteri yang melatarbelakangi horor dalam Barbarian jadi punya cara reveal yang unik, memberikan kejutan-kejutan yang tak pernah terasa lebih besar daripada gagasan yang diusung. Kedua, struktur tak-biasa itu walau memberi kita momen untuk terlepas dari cerita saat switch karakter, ternyata juga membuka ruang untuk perspektif yang lebih luas. Dan itulah yang diincar film ini dengan resiko tukar-karakter tersebut.

Bahwa gagasan soal gender perspektif-lah yang ingin dikuatkan. Film ingin bukan saja memperlihatkan bagaimana cowok dan cewek memandang dunia dengan begitu berbeda karena situasi juga meng-treat mereka berbeda, tapi juga membuat kita mengerti bahwa sesungguhnya hal tersebut adalah horor. Tolak banding perempuan dan laki-laki (yang satu bisa seenaknya merasa dirinya baik dengan semena-mena ngatur, sementara yang satunya lagi harus toughen up karena seems like tidak ada tempat aman di dunia bagi mereka) itulah yang membuat Barbarian sebagai horor yang menarik. Karena perspektif itu bukan saja dari Tess dan AJ, melainkan juga dari si creature dan dalang di balik semua.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for BARBARIAN.

.

 

 

BULLET TRAIN Review

Ada masa ketika aku merasa diri sebagai orang paling sial di muka bumi. Email yahoo-ku dulu jaman sekolah literally ‘the most unlucky man’. Guru-guru, dan dosen, ampe ketawa-ketawa membacanya. Disuruh ganti, kutak mau. Aku sial, and proud of it. Duh, coba kalo David Leitch udah bikin Bullet Train pada masa itu!

Di balik fast-pace action di ruangan sempit atau terbatas dan sejumlah karakter unik yang kocak – yang membuat film ini jadi paket hiburan yang seru dan benar-benar menyenangkan – ada filosofi tentang memandang hidup pada narasi. Ladybug yang diperankan oleh Brad Pitt juga merasa dirinya sial. Sepanjang perjalanan di dalam kereta peluru itu, Ladybug yang jadi agen bayaran, rebutan koper dengan geng kriminal, agen saingan, dan pihak-pihak lainnya, dan mereka semua bicara tentang takdir. Tapi manusia adalah beragam karakter, sehingga hidup biarpun lurus seperti rel, manusia bukanlah kereta api yang cuma ngikut rel. Kita melihat begitu banyak ‘perubahan’ dari karakter-karakter. Dinamika mereka membuat film ini semarak dan hanya jadi semakin seru.

Film ini saking kreatifnya dalam menekankan bahwa mereka semua ditakdirkan di sana, bahwa sial atau untung hanyalah tergantung kita – manusia yang gak bisa melihat gambaran besar – memaknainya, membuat semacam flashback introduksi untuk setiap karakter. Yang bahkan botol mineral saja ada fungsi dan pengenalannya! Hihihi

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BULLET TRAIN

 

 

 

HELLRAISER Review

Dari beberapa remake/sekuel modern horor ikonik yang tayang musim halloween kemaren, Hellraiser  adalah yang paling enjoyable, dan terlihat benar-benar dapet inti horor dan respek kepada versi originalnya. David Bruckner mengerti bahwa Hellraiser dan para Cenobite adalah soal manusia dapat menjadi begitu tamak, sehingga dengan pain atau derita saja bisa kecanduan. Di sini, Bruckner memperlihatkan journey seorang perempuan yang kecanduan alkohol untuk menyadari dan berjuang keluar dari neraka dunia yang sedang ia gali sendiri. Dan ya, itu adalah perjuangan berat penuh godaan dan berdarah-darah.

Tantangan untuk film ini adalah membuat protagonis dari karakter seperti demikian. Film tidak berhasil sepenuhnya melepaskan karakter dari label annoying dan mudah untuk dipedulikan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Riley yang diperankan oleh Odessa A’Zion adalah protagonis horor yang bagus, and she will win us over. Bicara soal karakter, Cenobite adalah ikon dari Hellraiser, dan kali ini Bruckner menghidupkan mereka dengan bahkan lebih ngeri lagi. Desainnya benar-benar juara. Aku suka gimana film membuat para Cenobite seperti menyimbolkan manusia yang mengenakan derita mereka. Cenobite di sini gak lagi pakai pakaian berbahan kulit, kulit sendirilah yang seolah jadi pakaian. Lihat saja ‘rok’ si Pinhead, itu kulit tersayat. Jamie Clayton juga dapet banget memainkan persona Pinhead sebagai khas dirinya sendiri.

Soal desain dan horor (body horor) memang film ini peningkatan. Kostum dan efek praktikal dimainkan dengan mulus bersama efek komputer yang digunakan sebagai penunjang. Salah satu adegan yang masih terbayang olehku adalah ketika salah satu karakter ditusuk lehernya pakai jarum, dan kita akan melihat gambar dari sudut dalam kerongkongan si karakter. Ngilu!!

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HELLRAISER

 

 

 

PEARL Review

Masih ingat nenek jablay antagonis di film X sekitaran paruh-awal tahun ini? Sesuai judulnya, Pearl adalah film yang menceritakan backstory si nenek yang namanya Pearl itu. Tapi yang paling penting adalah, Pearl merupaka pertunjukan kehebatan Mia Goth sebagai bintang horor!

Banyak film yang ngangkat tokoh jahat atau pembunuh sebagai protagonis, namun failed malah bablas ngasih simpati sehingga karakter itu jadi tampak tidak jahat lagi. Sutradara Ti West lebih bijak dari film-film tersebut. Pearl di balik keluguan gadis desa yang nyaris kayak anak kecil itu no doubt adalah seorang yang jiwanya ‘agak laen’. Tentu, kita relate ke Pearl soal betapa dia pengen mengejar mimpi; Pearl merasa terkurung di rumah peternakan, dia percaya bisa jadi bintang film terkenal, tapi simpati kita tidak pernah lebih dari itu. Salah satu film yang berhasil menggarap perspektif tokoh pembunuh sebagai karakter utama adalah Henry: Portrait of a Serial Killer (1986), di film itu dramatic irony-nya adalah kita dibuat merasakan yang dirasa oleh calon korban. Kita berpikir mungkin Henry enggak jahat, untuk kemudian di ending film menegaskan orang seperti apa dirinya. Nah, film Pearl memang tidak sampai membuat kita  seperti korban, atau malah menyalahkan korban Pearl. Dramatic irony yang dikeluarkan oleh film ini adalah kita merasa sayang melihat talent dan mimpi polos tersebut harus ada di dalam tubuh dan jiwa dan mental yang sudah beyond repair. Makanya adegan-adegan seperti monolog dan senyum panjang di kredit itu sangat powerful. Pearl bukan hanya membunuh orang tua dan sahabatnya. Pearl membunuh ke-innocent-an dirinya.  Dan glimpse dari itu nongol saat monolog dan senyum tersebut.

Itu juga sebabnya kenapa Mia Goth harus diganjar award tahun ini, apapunlah itu awardnya. Penampilannya sebagai Pearl luar biasa. Selain monolog, dan senyum kredit, yang aku yakin bakal jadi ikonik tersebut, Goth tackle banyak lagi adegan keren, seperti adegan nyanyi saat audisi dan di peternakan. Range yang sungguh luar biasa!

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PEARL

 




PIGGY Review

Premis drama horor/thriller karya Carlota Pereda ini menarik. Sara si anak tukang daging dibully oleh remaja sepantarannya karena berat badan. Sara jadi nutup diri, gak pede. Yang akhirnya datang membela Sara bukan orangtua ataupun sahabat, melainkan adalah seorang pria asing, yang ternyata adalah serial killer.

Piggy jelas menyasar soal bullying. Film Spanyol ini mengeksplorasi gimana pembullyan pada remaja bisa demikian parah dan kasarnya, sehingga berdampak mengerikan bukan saja kepada psikologis korban, namun juga jadi mengacaukan moral korban. Film ini ingin membuat kita merasa Sara berhak marah dan memilih untuk melakukan apa yang ia lakukan. Konflik batin pada Sara inilah yang mestinya kita perhatikan. Jadi diceritakan Sara sebenarnya melihat teman-temannya diculik oleh si serial killer, tapi karena mereka semua jahat kepadanya, maka Sara memilih diam. Tidak lapor ke polisi. Tidak menceritakan ke orangtua. Film bahkan dengan berani mengangkat Sara justru jadi punya hubungan romantis dengan si pembunuh yang telah ‘baik hati’ memberikan dirinya pakaian tatkala teman-teman menyembunyikan bajunya. Saking trauma dan jahatnya pembullyan, Sara sampai dibuat lebih simpati sama serial killer!

Ini pesan dan narasi yang sungguh kuat konfliknya. Melihat Sara terus didera pergulatan personal mengenai apakah yang ia lakukan adalah benar, menghasilkan perasaan yang juga memakan kita dari dalam. Sayangnya, menurutku film kurang ketat menjaga naskah dan arahan. Piggy jadi kurang nendang karena seperti mau mengarah ke satu hal lain yang lebih ekstrim, tapi balik lagi ke hal lain yang lebih grounded. If anything, film ini tampak seperti urungkan horornya, karena masih ingin sopan kepada si subjek. Singkatnya, film ini agak menahan diri sehingga impactnya jadi kurang kuat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PIGGY

 

 

 

PINOCCHIO Review

Anak kecil juga tahu, Pinokio adalah dongeng yang ngajarin untuk gak boleh bohong, dan bahwa anak manusia haruslah rajin belajar dan membantu serta menghormati orangtua. Disney, however, dalam usaha minimalnya untuk nyari duit sembari terlihat woke, mengubah cerita si boneka kayu sedemikian rupa, sehingga pesan moral yang jelas tersebut jadi hilang entah ke mana. Pinocchio versi live-action yang digarap Robert Zemeckis hanya menang di visual, sementara dari sisi cerita, film ini ngasih moral yang ngawang lewat pembelajaran karakternya.

Bayangin, Pinokio di film ini menggunakan hidungnya yang memanjang untuk membebaskan diri. Jadi, dia sengaja bohong supaya idungnya sampai menggapai kunci kurungan yang digantung di sebelah pintu. Alih-alih ngajarin supaya anak mengakui kesalahan dan belajar jadi lebih baik dari kesalahan tersebut (dengan tidak mengulangi), film ini membuat Pinokio sebagai tokoh yang tidak punya salah. Dia mau sekolah, tapi sekolahnya yang gak mau nerima dia karena dia berbeda. Pinokio tidak tampak tertarik bersenang-senang di Negeri Nikmat. Dan malah di akhir, Pinokio enggak lagi masalah harus soal jadi anak manusia. Film mengaburkan pembelajaran dengan masukin soal ‘jadi diri sendiri’ yang salah kaprah.

Secara kreativitas, film ini juga kosong sebenarnya. ‘Live-action’nya gak benar-benar live action, karena jam-jam mainan yang lucu-lucu itu saja masih efek komputer. Those are things yang mestinya bisa dibikin beneran oleh studio dengan duit sekenceng Disney. Pinocchio versi baru ini sebenarnya hanya mengulang shot-shot dari film animasi klasiknya, dengan sedikit mengubah dan menambah sana-sini. Peri Biru diubah, tapi hanya muncul satu kali. Ada beberapa karakter baru juga, tapi yaah, tidak menambah banyak untuk bobot narasi. Dan Tom Hanks, maaan, kasian banget main di sini untuk bemper jualan saja. Masih lebih ‘live-action’ Pinokio versi Ateng-Iskak, deh!

The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for PINOCCHIO

 

 

 

SMILE Review

Sehabis nonton, aku sadar senyum di wajahku sirna sudah. Sebab Smile ternyata gak sebagus itu. Kuakui aku tertarik melihat trailernya. Adegan orang jalan ke mobil tapi kemudian kepalanya jungkir balik sold me untuk menonton film ini. Dan ternyata memang cuma adegan itu yang benar-benar fresh di seantero film ini buatku.

Karena ternyata Smile yang bicara tentang kutukan berantai misterius hanya punya trik-trik jumpscare. Sutradara Parker Finn menyiapkan cerita yang memang didesain untuk bisa memuat banyak jumpscare. Seorang shrink wanita menyaksikan pasiennya tersenyum lalu bunuh diri, dan setelahnya dia mengalami semua yang dicurhatin oleh si pasien sebelum tewas. Orang-orang yang tersenyum mengerikan. Kejadian-kejadian tak terjelaskan. Film ini sebenarnya telah menyelam ke dalam horor psikologis saat si karakter utama mengalami semua peristiwa ganjil yang entah beneran terjadi atau hanya ada dalam kepalanya. Tapi film hanya menggunakan itu sebagai tempat buat meletakkan jumpscare. Bahasan psikologis tentang trauma tak benar-benar digali, selain menyebut bahwa trauma akan terus berulang.

Investigasi seputar misteri kutukannya pun tidak memuaskan. Karena tidak benar-benar diperlihatkan sumber kutukan, dan bagaimana itu bisa mengait kepada trauma personal karakter. Bisa dibandingkan dengan investigasi kutukan pada film Ring. Menguak misteri kutukan video Ring, mengarahkan protagonis kepada Sadako, dan dia resolve urusan personal berbarengan dengan misteri Sadako berusaha diselesaikan. Dalam Smile, semua itu kayak pointless, karena hubungan-hubungannya tidak diestablish dengan jelas. Nonton film ini jadinya ya hanya menikmati kejutan jumpscare saja.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for SMILE

 

 

 

THE WOMAN KING Review

Aku keingetan Barbarian saat nonton The Woman King. Bukan karena judul Barbarian lebih cocok disematkan kepada film tentang perlawanan suku tribal Afrika terhadap penjajah kulit putih, melainkan karena The Woman King juga seperti dua cerita dalam satu, namun dilakukan dengan lebih nyatu. Tidak ada keraguan, The Woman King adalah tentang karakter Viola Davis, si Miganon alias kapten pasukan warrior perempuan Agojie, yang mengusung gagasan bahwa dalam berjuang kita harus ingat untuk siapa kita berjuang.

Meskipun juga bercerita dari sudut Nawi, gadis desa yang menolak dikawinkan sehingga diserahkan ayahnya kepada Raja untuk jadi ‘tentara’, sutradara Gina Prince-Bythewood tetap mengembalikan semua kepada perspektif Miganon Nanisca sebagai tokoh utama. Pemimpin pasukan itu belajar banyak dari Nawi yang masih polos sehingga masih melihat jelas mana kawan mana lawan. Nanisca bukan hanya tangguh di luar, tapi di dalam dia sudah ‘mengeras’ berkat begitu banyak derita yang ia pendam sehingga perjuangannya membela bangsa jadi perang tanpa-rasa. The Woman King, di balik aksi-aksi berantem yang begitu grounded itu, ternyata punya hati dan jiwa yang kuat mengakar. Film ini juga tidak niat mengadu-adu cowok lawan cewek semata, karena gak ada tuh di sini bentukan kayak cowok jahat, cewek baik dan teraniaya. Semuanya dibikin balance. Dalam kelompok Nanisca, ada raja – cowok – yang gak dibuat bego atau culas. Ada cowok sesama pejuang yang gak lantas kalah jago. Kevulnerable-an menguar kuat di balik ketangguhan. Gak banyak film yang berani dan bisa menampilkan dua sisi ini sekaligus. The Woman King berhasil menghanyutkan kita ke dalam dinamika keduanya.

Gina tidak mengarahkan The Woman King ke nada yang serius ala-ala The Northman. Gina melihat urgensi dari cerita yang ia angkat ini, dan dia mau semuanya dengan mudah tersampaikan. Jadilah film ini dibuat dengan nada yang bisa dibilang agak ngepop, menggunakan trope yang mudah mencapai penonton. Tapi tidak sampai membuat The Woman King terkesan easy. Film ini tetap terasa epik. Karakter-karakternya terasa big dan tetap akrab, ceritanya tetap tampak penting tanpa menjadi ribet. Pengembangan karakter dan sekuen aksinya berjalan seimbang. Ini film epik paket lengkap, yang sayang tidak banyak dibicarakan orang.

The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE WOMAN KING

 

 




That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



QODRAT Review

 

“When the devil tempts you to doubt, don’t let your circumstance determine your God”

 

 

Horor dulu simpel. Baik lawan jahat. Hitam lawan putih. Setan lawan Tuhan. Namun hal jadi semakin kompleks seiring kita sadar kalo manusia dapat menjadi lebih iblis daripada setan.  Bahwa agama sekarang bisa dijadiin kedok oleh manusia untuk nurutin hawa nafsunya. Like, setan aja minder ngelihat perilaku manusia sekarang. Agama direduce jadi alat politik, kampanye kebencian. Malah tahun 2000an dulu sempat marak acara tv yang menjual ustadz bak superhero pengusir setan dengan jungkir balik baca ayat yang dijadikan mantra. Sehingga orang jadi gak percaya. Kini semua itu jadi membaur, yang putih ternyata hitam, dan yang hitam ternyata bisa jadi pihak yang baik. Makanya film horor pun sekarang banyak yang agak ‘ribet’. Film Qodrat garapan Charles Gozali tampak dibuat untuk mengembalikan kodrat baik lawan jahat yang mulai mengabu tersebut. Mengembalikan harapan akan masih ada pembela kebenaran, ustadz-ustadz, orang-orang yang truly baik, yang benar-benar bisa memberikan pertolongan.  Orang-orang seperti Ustadz Qodrat.

Ketika kita pertama kali bertemu dengannya, Ustadz Qodrat sedang dalam titik terendah dalam hidupnya. Dia gagal merukiyah putranya sendiri. Alif, sang putra, tewas. Qodrat dipenjara, Dan dia jadi ogah sholat. Setelah kejadian horor yang membuatnya sempat ngerasain mati, Ustadz Qodrat pulang ke Pesantren Kahuripan. Hanya untuk menemukan pesantren dan desanya dalam kondisi bak neraka dunia. Gersang, air dan makanan kurang, dan banyak penduduk, terutama anak-anak yang sakit dan kesurupan. Salah satu dari mereka adalah putra dari Yasmin, yang kebetulan juga bernama Alif. Kesamaan itulah yang digunakan oleh setan musuh bebuyutan Ustadz Qodrat untuk sekali lagi membunuh Qodrat dan mengkafirkan sebanyak mungkin manusia di sana dalam prosesnya.

Pak Ustadz pake jaket kulit jadi kayak Kotaro Minami

 

Kesurupan memang trope yang sudah sering dipake, baik itu di horor lokal maupun horor mancanegara. Qodrat sendiri bahkan sudah ngasih nod  – adegan dengan sesuatu yang clearly mereferensikan – ke film horor yang memulai soal kesurupan dan usir setan, The Exorcist (1973) di adegan pembuka.  Dengan menyajikannya di depan seperti demikian, film tidak hanya ngasih respek ke film ‘senior’ tersebut, tapi juga ngasih tahu ke kita “oke, we’ve done the reference, itu selesai, sekarang; inilah yang baru, yang kami tawarkan”  Dan memang sesegera itu Qodrat berusaha bermain-main dengan cara menampilkan trope kesurupan, dan berusaha menjadi dirinya sendiri. Kayak di awal itu, film actually menggunakan pov orang-pertama, jadi kita belum melihat wajah Qodrat. Kita seolah melihat dari posisi Qodrat langsung, bagaimana tampang si anaknya ketika setan Assauala merajalela di dalam sana. Menit-menit awal itu udah kayak mainin game first-person horor. Setelah itu, vibe film ini jadi kayak film silat jadul, apalagi dengan lokasi desa di bukit. Si Qodrat udah kayak pesilat yang mengembara hingga sampai ke suatu desa. Bedanya. pesantren dan desa itu adalah semacam kampung halaman baginya. Tapi tempat itu jadi nyaris sepenuhnya asing bagi Qodrat. Ini memberikan lapisan kepada konflik karakternya karena menyelamatkan desa tersebut bagi Qodrat juga berarti adalah menyelamatkan sesuatu yang dia kenal, menyelamatkan dirinya sendiri.

Setan telah bersumpah untuk berusaha sekuat tenaga tak kenal lelah demi menyesatkan umat manusia. Kita melihat di film ini bahkan pemuka agama seperti Qodrat berada pada ancaman terjerumus yang nyata. Pesan moral kebaikan dan kejahatan yang dikandung film ini memang tidak lantas menjadikan cerita hitam-putih polos aja, melainkan jadi cerita dengan elemen hitam dan putih yang begitu volatile, dan kita akan merasakan dan merefleksikan kengerian dari bagaimana kedua elemen itu tertampilkan dalam desain film ini.

 

Vibe film silat makin berasa karena ustadz-ustadz di sini jago berantem semua. Rukiyah yang mereka lakukan didesain oleh film melibatkan aksi-aksi fighting seolah ustadz adalah hero dan setan yang merasuki orang adalah supervillain. Tapi tidak pake jurus-jurus flashy, sehingga film ini terasa lebih grounded daripada Jagat Arwah (2022) yang memang lebih menguatkan pada fantasi. Dan perlu diingat, yang dirasuki di sini ini adalah sebagian besar anak kecil jadi aksi di film ini bisa terasa sangat intens. Ustadz Qodrat pasang jurus tapi bukan untuk melukai, tapi setan yang mengamuk lewat wujud anak kecil akan full force menyerang melakukan hal-hal mengancam nyawa. Mereka gak peduli nyakitin siapa saja. Untuk tetap stay true dengan genre horornya, film ini tak lupa memasukkan adegan-adegan yang pure hantu-hantuan. Yang dilakukan dengan cukup variatif, enggak hanya sekadar orang kesurupan teriak-teriak. Ada makhluk-makhluk  horor dengan make up dan efek seram, pastinya. Malah ada creature anjing besar hitam yang berhasil juga blend dengan environment sehingga tampilannya mulus. Terus ada adegan surealis juga; favoritku adalah adegan kue ulang tahun. Yang jadi Bapak di sekuen itu (sori, aku gak tau nama aktornya), kupikir aktingnya brilian juga ngasih vibe supercreepy. Aktor-aktor cilik yang kesurupan juga lumayan sih, cuma aku kurang suka ketika untuk adegan kesurupan maksimal, film mengoverlay suara mereka dengan suara seram. Aku susah mendengar yang mereka katakan, dan kuharap film juga ngasih subtitle untuk dialog-dialog kesurupan, jangan cuma pada dialog ayat Al-Qur’an aja. Bicara soal itu, selalu merinding melihat setan mencemo’oh manusia dengan ayat-ayat kitab suci, dan film ini ngasih banyak momen merinding seperti demikian. Also, film berhasil ngambang di batas yang netral sehingga bacaan ayat-ayat di sini tidak terdengar kayak jampi-jampi konyol ala acara tv pengusir setan, ataupun tidak terdengar totally preachy.

Sebelum ini, di thriller horor Inang (2022) kita sudah gimana pasangan ibu dan anak di real life,  dicast sebagai antagonis dan protagonis, dijadikan efek ekstra untuk horor yang dipersembahkan cerita. Tapi film yang lebih psikologis itu tidak memberikan momen ibu dan anak ini berantem horor beneran. Nah di Qodrat ini, akhirnya kita mendapat hal yang semacam itu. Film ini ngecast Vino G. Bastian sebagai Ustadz Qodrat, dan istri aslinya, Marsha Timothy sebagai Yasmin, janda dua anak yang minta pertolongan karena anaknya kesurupan.  Dan later sebagai final battle kita akan lihat Vino dan Marsha ‘bunuh-bunuhan’. Maan, pastilah fun bagi mereka hahaha. Bagi kita, however, intens adegan tersebut jadi semakin bertambah. Karena selain kita udah terbuild up bahwa mereka pasangan beneran, kita juga terbuild up dan terinvest sama karakter masing-masing.  Film actually memberi subplot keluarga Yasmin porsi yang cukup besar, it was easy bersimpati kepada single mother yang anaknya yang masih kecil kesurupan, sementara anaknya yang remaja, well, berada di umur gak suka semua yang dilakukan ibunya. Vino dan Marsha memainkan part mereka dengan baik, namun naskahlah yang sebenarnya berhasil membuat Ustadz Qodrat tidak kerebut spotlightnya oleh Yasmin. Naskah actually berjuang untuk terus mengembalikan kendali di Ustadz Qodrat sebagai tokoh utama. Yaitu dengan cara membuat semua masalah di film ini berakar kepada luka menganga di hatinya yang terbentuk sejak gagal menyelamatkan putranya sendiri.

Bahkan dengan elemen sebanyak itu, film ini sepertinya masih menyimpan lebih banyak lagi untuk very-possible sekuel!!

 

Enggak gampang dengan muatan elemen sebanyak itu menjaga cerita masih tetap pada rel karakter utama. Black Adam (2022) aja gagal kok, film itu malah jadi kayak cerita karakter lain. Makanya, aku mengapresiasi film Qodrat ini, karena usahanya untuk melakukan hal yang benar terkait naskah. But yea, it is a hard thing to do. Qodrat ceritanya oke, karakternya punya plot, naskah menjaga supaya karakter utamanya tetap utama, hanya saja berusaha navigate cerita supaya ‘benar’ dengan elemen sebanyak itu, Qodrat terasa clunky saat berjalan. Pengembangannya masih belum mengalir benar, masih kayak poin-poin saja. Perubahan si Qodrat dari yang tadinya mulai goyah iman gak mau shalat ke menasehati orang supaya memegang kuat iman terasa berlangsung gitu aja. Segampang efek mati suri saja. Padahal efek-efek itu yang mestinya jadi tempat film menggali supaya lebih genuine. Efek setelah sembuh dari kesurupan yang saat kesurupan melukai keluarga sendiri. Efek setelah sahabat meninggal. Alih-alih itu, film berjalan simply karena naskah menuliskan. Bukan seperti rangkaian progresi natural yang ditulis menjadi naskah. Akibat yang utama terasa adalah karakternya jadi kurang bebas terekspresikan.  Ustadz Qodrat jadi kayak beneran munafik ‘berdakwah’ pada orang lain tentang Tuhan sementara dirinya sendiri masih bergulat dengan rasa bersalahnya hingga tak mau shalat subuh. Karakter putrinya si Yasmin juga begitu. Dia jadi kayak beneran gak sayang sama adiknya lantaran naskah menginginkan Qodrat lah yang membongkar kuburan, menyelamatkan anak bungsu Yasmin. Usaha si cewek remaja tersebut menggali kuburan jadi tidak genuine seperti usaha seorang kakak menyelamatkan adiknya yang dikubur hidup-hidup. Nah, itulah maksudku soal naskah menemukan kesulitan membuat situasi jadi genuine dalam usahanya menjaga supaya si Qodrat yang tetap beraksi, supaya semua kembali kepada masalah personal Qodrat.

Contoh yang terakhir sebenarnya agak lucu sih. Jadi setelah menyelamatkan desa dan Kepala Pesantren, Qodrat dapat reward berupa… motor keren!! Hahaha, ini kayak outofnowhere banget. Karena kita gak pernah diperlihatkan interest Qodrat ama motor, ataupun transportasi sendiri sebelumnya. Motor itu sepertinya diberikan sepertinya karena nanti di sekuel Qodrat harus punya kendaraan atau semacamnya. Jadi motor itu gak terasa genuine masuk sebagai reward, melainkan dituliskan karena ya harus ada itu, gitu. But at least, karena ini toh kita jadi dapat adegan keren Ustadz Qodrat naik motor di jalanan sepi, udah persis kayak penutup Satria Baja Hitam 90an! XD

 




This could be start for an exciting franchise. For real, this time. Franchise  yang superhero-ish tapi genre horor bermuatan lokal. I’ve been saying this for a long time: mungkin genre superhero Indonesia akan benar-benar meledak bukan dari meniru jagoan-jagoan super dari komik luar melainkan, dari mengangkat cerita-cerita seperti Wali Songo, pahlawan nasional, atau sesuatu yang lokal seperti yang dilakukan film ini, yang dibentuk menjadi seperti superhero. Yang ditiru cukup konsep jagat sinematiknya saja. Mungkin Ustadz memerangi setan seperti inilah konsep superhero yang cocok bergaung pada masyarakat kita. Aku senang film ini hadir dengan kelihatan seperti benar-benar mengembalikan kodrat film ala Indonesia itu seperti apa. Ceritanya ngasih putih lawan hitam, tapi dengan pemikiran yang tidak saklek lewat pengembangan karakternya. Punya banyak elemen, yang sekaligus mengset up sekuel, tapi berhasil membuat cerita stay di jalur milik karakter utama. Walaupun memang, progres ceritanya jadi clunky, ngalirnya kurang genuine. Tapi sekali lagi, film ini mungkin jadi awal franchise kesuperhero-superheroan yang sebenarnya bagi Indonesia, setelah cukup banyak superhero ala barat yang kesannya hanya adem ayem saja.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for QODRAT

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian film ini berhasil ngasih cerita yang kental agama tanpa menjadi preachy? Apakah menurut kalian film modern butuh untuk kembali seperti film jadul yang punya garis hitam-putih yang jelas?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA