SPEAK NO EVIL Review

 

“The only people mad at you for speaking the truth are those living a lie”

 

 

Not gonna lie, bicarain film remake memang agak tricky. Kita gak mau film remake beda ama film aslinya, sementara kita juga gak ingin film tersebut sama persis sehingga kayak tinggal nyontek. Karena walaupun kita tahu materinya saduran, tapi at least kita pengen ada hal original lain yang diberikan oleh pembuatnya. Mungkin kita pengen lihat sudut pandang lain dari cerita yang sama. Mungkin kita pengen lihat gimana kalo cerita itu terjadi di tempat yang lain, kepada orang yang lain. Mungkin kita pengen lihat gimana cerita yang sama diceritakan lewat suara atau visi atau gagasan yang berbeda. But yea, basically, ukuran ‘bagus’ untuk film remake itu adalah film yang gak sama persis, akan tetapi berani berbeda juga belum tentu bagus. Sebab banyak pertimbangan lain; hal baru yang digali itu apakah make sense, worked out gak, sesuai konteks gak. Untuk alasan itulah aku mengacak-ngacak rambut membandingkan Speak No Evil garapan James Watkins ini dengan film originalnya yang berasal dari Denmark, released just two years ago. Masing-masing versi ini, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi mari kita pelan-pelan mengurai perbandingan mereka dengan blak-blakan (bodo amat spoiler) in order to reach conclusion film versi mana yang lebih bagus!

Secara cerita, film ini sama ama originalnya. Ini yang membuatku sempat skeptis ama remake ini. Di paruh awal, adegan, dialog, bahkan aspek-aspek kecilnya sebagian besar sama. Ada keluarga lagi liburan, ketemu sama keluarga lain. Mereka jadi akrab. Apalagi mereka sama-sama punya anak. Si keluarga tokoh utama anaknya cewek ketergantungan ama boneka kelinci, keluarga satunya punya anak cowok yang gak bisa bicara karena gak punya lidah; they could be friends with each other. Sampai-sampai setelah liburan selesai, keluarga asing tadi mengundang keluarga tokoh utama untuk menginap menghabiskan weekend di rumah peternakan mereka. Di situlah nanti keluarga tokoh utama ngerasa ada yang aneh sama keluarga teman baru mereka ini. Dari bungkusan luar, Speak No Evil adalah thriller – karena dia tentang psikopat yang menipu keluarga saat liburan. Tapi begitu kita masuk ke dalam bahasannya, film ini thrillernya ternyata psikologikal. Yang dibahas adalah bentrokan pola pikir, yang intens adalah situasi, dan dengan pola pikirnya karakter mungkin malah semakin terjerat dalam situasi berbahaya.

Another definition of ‘saksi bisu’!

 

Di sanalah letak perbedaan signifikan pertama antara versi original dengan versi remake. Permainan psikologikalnya. Yang berkaitan erat dengan identitas karakter. Atau kalo di kita istilahnya ‘kelokalan’. Pada versi Denmark (original) keluarga tokoh utama cerita adalah Bjorn dan Louise, orang Denmark. Teman baru mereka adalah keluarga Belanda, Patrick dan Karin. Film tersebut mengobarkan kengerian melalui perbedaan-perbedaan kebiasaan yang dirasakan keluarga Bjorn ketika tinggal di rumah Patrick. Karena ternyata orang Denmark itu kayak orang kita, gak enakan. Sikap itulah yang bikin film tersebut kerasa ‘bleak’. Bjorn gak yakin, keanehan keluarga Patrick memang red flag atau cuma beda tata cara aja, sopan gak dia kalo nolak. Kemudian film mengembalikan kepada penonton mereka. Ya, Patrick psikopat, tapi jangan-jangan keengganan Bjorn dan keluarga yang bikin mereka sampai tragis begitu. Sementara versi remake yang dibuat oleh Amerika – mereka mana kenal ama yang namanya gak enakan – membawa permasalahan kepada bahasan gender, ke perbedaan gaya parenting, ke perbedaan prinsip hidup dengan keluarga Paddy dan Ciara , serta konflik internal antara Ben dengan Louise istrinya. Kayak pas adegan Louise yang vegetarian disuapin daging oleh Patrick/Paddy. Pada film originalnya, Louise bilang memakannya karena jaga kesopanan, dan next time, Louise ngingetin Patrick bahwa dia gak makan daging, dan Patrick minta maaf. Film tersebut membiarkan intensi Patrick terbuka kepada kita dan Louise; apakah Patrick beneran lupa dan minta maaf, atau enggak. Sementara di film remake ini, Louise bilang memakannya karena gak enak hati karena daging itu adalah angsa kesayangan keluarga Paddy yang dipotong khusus untuk menyambut mereka. Dan the next time Louise ngingetin Paddy, pria bertubuh kekar tersebut lanjut ‘menantang’ gaya hidup vegetarian  yang gak makan daging tapi makan ikan. Mereka jadi berdebat lumayan angot soal itu. Memang,perbedaan bahasan itu membuat versi remake ini terasa lebih ‘komunikatif’ dan lebih meledak-ledak.

Tema besar dari cerita sebenarnya maskulinitas. Ini perbedaan signifikan kedua. Film originalnya punya karakter utama yang pasti. Bjorn. Plot maju semuanya karena aksinya. Dia yang stumbled upon rahasia Patrick. Bjorn adalah pria yang merasa kurang ‘jantan’ sebagai ayah. Dia tertarik jadi teman Patrick karena pria itu memuji tindakannya mencarikan boneka yang hilang milik putrinya sebagai tindakan heroik. Sekali direcognize seperti itu, Bjorn ‘ketagihan’. Dia merasa perlu untuk terus nunjukin dia pahlawan, tapi dia gagal, seperti yang kita saksikan setiap kali ada kejadian di rumah Patrick. Meminjam kata-kata psikopat itu “you let us do it”. Bahkan hingga di momen terakhir yang dia harus melawan demi keluarganya, Bjorn gagal. Dia gak melawan, padahal Patrick dan istrinya gak bawa senjata. Kalo mau berkelahi, mereka bisa ngimbangin sebenarnya. Versi remake juga bicara tentang Ben ngerasa ‘kecil’ sebagai ayah dan suami, tapi juga menambah banyak bahasan lain sehingga dia bukan karakter utama tunggal lagi. His whole family kebagian porsi yang sama besar. Ben dibikin ‘tertarik’ kepada Paddy as in dia ingin bisa kayak Paddy yang nyantai, kharismatik, mesra sama istrinya. Louise punya peran lebih besar dibandingkan Louise di film asli yang bahkan kayak gak nyadar (until it’s too late) kalo keluarga mereka dalam bahaya. Louise di sini remake ini aktif dan punya backstory tersendiri – malah dia yang jadi lawan sepadan alias paralel buat Paddy. Terus juga anak mereka, Agnes, dibikin jadi menjelang abg, dan diberikan banyak ‘aksi’ – seperti juga Ant, anak Paddy yang gagu, diberikan lebih banyak peran.

Makna Speak No Evil pun di film ini jadi lebih luas. Bukan hanya soal demi menjaga kesopanan, kita seringkali enggan menyuarakan kejujuran, tapi film ini juga mengangat soal gimana dalam keluarga sendiripun kadang kita lebih memilih untuk diam, Untuk tidak mengonfrontasi masalah. Yang pada akhirnya, tidak ada yang mau saling jujur. Makanya Paddy juga jadi karakter antagonis menarik, karena meskipun dia sendiri melakukan sandiwara besar dengan modus operandi ngibulin keluarga lain – dia yang sengaja motong lidah anak korbannya supaya gak bisa menceritakan kejadian sebenarnya – tapi justru sikap red flag-nya yang seringkali mendorong Ben dan Louise untuk terbuka untuk mendebatkan masalah mereka.

 

Secara muatan, film ini memang jadi lebih kompleks. Dan sutradara memang tahu apa yang dia incar, jadi dia benar-benar ngasih ruang untuk kompleksitas muatan ceritanya bekerja. Makanya film ini jadi lebih panjang. Hebatnya, tetap rapi. Temponya tetap terjaga. Babak set upnya juga terasa klop melandaskan perbedaan para karakter yang nanti akan berlaga mental (dan fisik, sesuatu yang kurang di film pertama). Contoh simpelnya soal si boneka kelinci. Pada film pertama, boneka itu adalah device bagi Bjorn untuk menunjukkan dia pahlawan, like, anak gue butuh boneka ya gue harus cariin dong. Tapi pada film kali ini, boneka itu adalah simbol dari development para karakter. Boneka itu jadi semacam benang merah yang mengikat masing-masing karakter kepada bentuk development yang mereka tempuh sepanjang cerita. Makanya bentuk boneka itu sendiri dibikin ‘berubah’, untuk menegaskan perannya sebagai simbol atau bukti perkembangan karakter.

Kenapa lagunya mesti Eternal Flame sih, aku jadi ngerasa ikutan psikopat juga hahaha

 

Banyak yang membandingkan dua film ini dari ‘gaya’nya. Speak No Evil remake ini, aku setuju sama pendapat yang bilang, lebih mementingkan keseruan namun gayanya sendiri jadi agak generik. Lihat saja Paddy. Dia udah kayak psikopat 101 di film-film. Penampilan akting James McAvoy, however, terutama jadi highlight di sini. Hiburannya tuh di sini. Bukan dari karakternya ternyata jahat, tapi dari gimana James memerankannya. Kita udah lihat di film Split (2017) kemampuan dan range akting James; dalam satu karakter yang sama itu dia bisa jadi orang ramah, tapi juga bisa jadi completely different pada adegan berikutnya. Paddy di tangannya ya jadi seperti itu; orang yang tampak simpatik, asik, keren malah, tapi dia bisa jadi berbahaya. James ngasih gerakan senyuman khusus pada karakternya ini. Kita tahu ini karakter pasti jahat. Aku nonton film remake ini duluan, baru nonton film originalnya, dan aku bisa tahu Paddy ini karakter apa. Kita jadi semacam mengantisipasi kemunculan sisi psikopat Paddy karena penampilan akting yang begitu on-point. Tapi menurutku menjadikan Paddy generik psikopat itu agak bentrok dengan kompleksnya muatan yang dibawa cerita. Bandingkan dengan film pertama. Patricknya tidak digambarkan sebagai kharismatik yang gimana, cuma orang Belanda tapi di mata Bjorn terlihat lebih mapan dan lebih macho – dan yang memuji tindakan heroiknya sebagai ayah. Muatannya yang sederhana jadi tapi bisa tetap intens karena yang kompleks di situ bukan muatan atau bahasannya, melainkan sudut pandang karakternya di dalam ruang sikap yang terbatas. Also, versi remake ini karena pengen jadi aksi thriller seru, jadi banyak momen-momen yang biasa diada-adain supaya seru dalam genre ini, misalnya kayak ngambil kunci diam-diam dari penjahat yang tidur.

 




Decision time!! Kalo bicara suka, aku lebih suka versi remake ini karena memang lebih seru. Sutradaranya paham mana yang harus di-enhance supaya membuat cerita ini lebih seru; dia banyakin aksi, dia membuat bahasan jadi lebih kompleks, dia pasang pemain yang dikenal menjual secara range (dia membuat ini jadi soal bagaimana si aktor memerankan karakter ini), dan film ini juga put efforts supaya naskahnya bisa memuat semua itu tapi masih bisa mirip film aslinya. Momen final battlenya aku suka banget karena sutradara kayak ngasih reference ke ending film original soal mati karena batu, Tapi kalo bicara ‘teknis’ dan gaya, film originalnya itu masih sedikit lebih kuat. Punya karakter utama yang lebih jelas. Intens dan kompleksnya datang benar-benar dari karakter, bukan dari bahasan yang diberikan kepada mereka. Pilihannya untuk jadi tragis juga akhirnya lebih membekas (walau bikin frustasi karena kurang aksi) ketimbang pilihan untuk jadi aksi thriller seru tapi banyak momen-momen generik. Maka, kalo film aslinya itu aku beri 7 dari 10 bintang emas, untuk versi remake ini: 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPEAK NO EVIL

 

 




That’s all we have for now.

Versi Speak No Evil mana yang lebih kalian suka, kenapa?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRANSFORMERS ONE Review

 

“Good friends, better enemies”

 

 

Sama seperti Prof. X dan Magneto di X-Men, ataupun Splinter dan Shredder di TMNT, musuh bebuyutan Optimus Prime dan Megatron di Transformers dulunya juga berteman. Gatau juga, mungkin ‘kawan-jadi-lawan’ itu trope trendy di kartun Amerika 80-90an apa gimana haha… Yang jelas, kisah persahabatan dua robot yang kita kenal sedari versi kartunnya sebagai pemimpin Autobots dan Decepticons yang berseteru, akhirnya diangkat menjadi cerita origins yang baru oleh Josh Cooley. Dan ini untuk pertama kalinya aku excited menyambut Transformers di bioskop. Karena, lihat saja sendiri; Transformers One dihadirkan sebagai animasi petualangan, para robot mengambil pusat cerita, dengan desain karakternya kreatif dan ‘jelas’ – mirip sama kartun yang dulu udah sukses bikin aku suka ama robot-robot yang bisa berubah bentuk. Kalo Transformers live-action yang kemaren-kemaren itu aku anggap musuh, maka film ini certainly kuanggap kayak teman masa kecil yang kini sudah berubah, namun masih tetap kukenali dan kurindukan.

Optimus Prime dan Megatron tadinya bernama Orion Pax dan D-16. Mereka berdua adalah robot penambang. Istilahnya kelas-pekerja kasar lah. Mereka stuck sebagai penambang karena mereka tidak punya roda-gigi, sehingga mereka tidak bisa punya kemampuan optimal seperti robot-robot elit lain. Tapi Orion punya mimpi, Dia ingin nunjukin kepada Sentinel Prime, pemimpin para robot, bahwa robot penambang juga bisa lebih daripada sekadar menambang energon. Jadi Orion mengajak sahabatnya, D-16, untuk mencari Matrix of Leadership untuk diserahkan kepada Sentinel. Mereka ingin membuktikan diri mereka bisa. Setelah melanggar beberapa aturan, petualangan Orion dan D-16 bersama dua robot lain, membawa mereka ke sebuah temuan pahit. Bahwa selama ini mereka hidup dalam kebohongan. Bahwa Sentinel bukan pemimpin yang baik seperti yang dielu-elukan, melainkan robot culas yang manfaatin rakyat kecil dan dia cuma peduli sama diri sendiri (mirip siapa hayooo…) Temuan itu mengubah hal di antara Orion dan D-16. Persahabatan mereka merenggang. Keduanya punya pandangan dan reaksi yang extremely berbeda.

Hey, kenapa ya tokoh pemimpin yang dipuja itu biasanya selalu evil at heart?

 

Hati. Robot-robot itu boleh saja dadanya kosong karena gak punya roda-gigi, tapi mereka punya hati yang besar. Film ini punya jiwa meskipun karakternya cuma mesin-mesin animasi berjalan. Mereka beneran terasa seperti karakter yang hidup, dengan dunia dan permasalahan yang nyata, dan kita dibuat peduli sama keadaan mereka. Persahabatan Orion dan D-16 akan sangat berasa karena film benar-benar meluangkan waktu supaya dinamika dan persahabatan mereka terjalin genuine.  Orion yang seperti gak-sabaran untuk melakukan hal-hal yang gak biasanya – atau malah gak seharusnya – dilakukan oleh kelas penambang. D-16 yang agak reluctant dan lebih taat aturan, sebenarnya ingin nolak, tapi mereka sahabat dan supposedly always have each other back. Ini formula yang sebenarnya cukup sering kita temui, tapi film berhasil berjalan tanpa harus membuat karakternya beneran kayak trope yang lumrah, kayak Orion di sini gak jatoh kayak karakter annoying ataupun dinamika mereka gak jatoh jadi si tukang ngoceh dan si pendiam yang simpel. Bahkan karakter kayak B-127 (alias Bumblebee) yang fungsinya sebagai karakter komedi, tidak sedemikian terasa template. karena at least dia punya charm dan ‘kegilaan’ unik tersendiri.

Build up ke mereka akhirnya mendapat roda-gigi sehingga akhirnya bisa berubah juga sangat solid. Naskah film ini memang tidak terburu-buru. Tahu gimana membangun antisipasi dan tahu kapan waktu yang tepat untuk merelase semua build up-an tadi menjadi kejadian yang memorable buat kita para penonton. Secara narasi memang tidak banyak kejutan ataupun experience baru yang berarti, beberapa eksposisi dan sedikit kemudahan dapat kita temui, hanya saja film ini storytellingnya sangat well done sehingga bahkan momen-momen ‘biasa’ film ini tidak terasa mengganggu. Ketika para robot sudah bisa berubah pun, mereka tidak dibuat langsung jago. Mereka harus belajar menggunakan kemampuan baru tersebut, sambil melarikan diri menuruni lereng dari kejaran robot jahat. Sehingga momen mereka belajar tidak mengganggu tempo melainkan tetap intens karena berlangsung dalam sekuen aksi. Dan ngomong-ngomong sekuen aksi, film udah nunjukin kemampuan bikin adegan yang seru sedari saat di awal-awal Orion dan D-16 insert themselves ke kejuaraan balap antarrobot. Aku melihat ada dua kunci keberhasilan keseruan aksi di film ini. Pertama, desain kreatif yang benar-benar mewakili karakterisasi dan keunikan tiap robot. Kedua, animasi yang fluid dan colorful sebagai wadah dari desain-desain unik tersebut. Ruh dari serial kartunnya ketangkep banget oleh gaya animasi 3D modern, membuat para robot bisa dengan mudah dikenali. Gak kayak seri film live-actionnya, yang desain robotnya begitu gak-jelas; kita gak bisa ngikuti setiap perubahan wujud robotnya, karena kita bahkan gak ‘tau’ apa yang sedang kita lihat.

Yang para robot penambang itu alami juga aku yakin bakal nyampe banget ke kita. Problem mereka relatable. Bukan literally soal gak bisa berubah wujud, tapi soal mereka dibiarkan jadi begitu terus oleh pemimpin culas mereka. Mereka adalah rakyat yang dibiarkan gak bisa apa-apa selain terus bergantung kepada pemimpin, mereka rakyat yang distrip dari kebebasan untuk bergerak, berpikir, dan punya kekuatan sendiri. Sentinel sebagai pemimpin sengaja membiarkan mereka seperti itu, supaya rakyatnya tersebut terus bekerja untuk dirinya. Mengisi pundi-pundi dia dan golongannya. Like, wajah para robot memang dibuat eskpresif, tapi aku rasa yang bikin adegan saat Orion dan D-16 melihat energon-energon yang mereka tambang dengan susah payah dan mempertaruhkan nyawa ternyata digunakan Sentinel untuk ‘membayar’ Quintessons (klan musuh para robot di Cybertron) itu kena kan karena itu kayak yang kita rasakan ketika tahu uang pajak seambrek yang kita berikan kepada negara ternyata digunakan untuk menggaji buzzer dan pejabat yang tujuannya bukan untuk kepentingan bersama. Rasa kecewa, rasa dikhianatinya, itu grounded dan kena banget. Maka Orion dan D-16 lantas jadi dua kasus reaction atau perjuangan yang bisa kita mengerti. Ada yang berusaha melawan dengan diplomasi seperti Orion. Membentuk kelompok sendiri. Aku baru tahu di film ini kalo Autobots ternyata artinya robot dengan autonomi – robot dengan kebebasan. Bukan automatic robot seperti yang kukira waktu kecil dulu. Dan kita juga paham ketika ada yang marah, dan memilih pemberontakan yang bisa lebih violence, sebagai perlawanan seperti yang dilakukan oleh D-16. Konsekuensi tragisnya pun kita paham. Dua kubu rakyat tersebut jadi saling ‘berperang’ satu sama lain.

Antara kawan dan lawan, batasannya memang tipis. Lawan yang paling berbahaya biasanya justru adalah orang yang kita sangka teman. Orang yang berpura-pura manis dan peduli, padahal tidak sama sekali. Seperti Sentinel Prime, pemimpin yang membawa dirinya sebagai teman dari rakyatnya, tapi ternyata dia justru hanya memanfaatkan kelemahan mereka. As in membiarkan mereka semua lemah supaya bisa terus dimanfaatkan. Kasus Orion dan D-16 lain lagi, teman baik yang jadi musuh bebuyutan, karena mereka sebenarnya sama hanya pilihannya saja yang berbeda, dan mereka saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing. 

 

Cuma aku atau memang si Bumblebee wajahnya kayak Tom Holland haha

 

Cuma pada satu kesempatan naskah film ini terasa terburu-buru. Pengembangannya tidak serapih dan se-well-timed yang lain. Yaitu ketika D-16 jadi jahat; ketika Orion dan D-16 jadi musuhan. Hal ini harusnya jadi klimaks, tapi terasa abrupt saat D-16 ‘mengenyahkan’ sahabatnya itu begitu saja. Seperti ada beat yang hilang atau keskip dari development karakternya tersebut. Also, menurutku D-16 agak mengambil alih spot utama dari Orion. Perubahan sikap D-16 terasa lebih ekstrem dan lebih kentara ketimbang Orion yang agak terdorong ke background dan seolah dia tidak mengalami journey atau pembelajaran karakter. Padahal sebenarnya kan ada semacam pembalikan, dari siapa yang tadinya ingin langgar aturan dan siapa yang mau play by rules di awal dan di akhir cerita. Namun pada proses penceritaannya, aspek development ini turn-nya kurang kerasa menyeluruh ada pada kedua karakter. Perubahan mereka jadi fisik (literally, karena mereka beneran jadi Optimus Prime dan Megatron di akhir), dengan bobot dramatis lebih kuat pada D-16 dibandingkan pada Orion yang adalah tokoh utama sebenarnya.

 

 




Sebelum mengubah dunia, kita harus mampu mengubah diri sendiri dulu – mengubah sudut pandang, mengubah pemikiran, mengubah segala hal pada diri menjadi lebih baik. Film petualangan animasi ini mungkin dibuat supaya anak kecil terhibur oleh robot-robot yang bisa berubah bentuk, tapi kita bisa melihat ada nilai lebih yang ditawarkan oleh ceritanya. Atau seenggaknya, nilai lebih yang bisa kita serap karena ceritanya punya permasalahan yang grounded dan relate dengan keadaan kita. Dan yang gak kalah pentingnya lagi, film ini menceritakan itu dengan hati dan penceritaan yang telaten. Yang ngasih waktu untuk build up. Yang ngasih karakter uniknya ruang untuk mengembangkan diri. Lalu kemudian melepaskan semuanya dengan adegan aksi yang seru serta dramatis. Ini film Transformers yang aku tunggu-tunggu. Film yang bisa dinikmati bukan hanya keunikan desain karakter robotnya tapi juga ceritanya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRANSFORMERS ONE

 

 




That’s all we have for now.

kalo dibawa ke keadaan pemerintah sekarang, kalian lebih condong masuk atau setuju ke perlawanan ala D-16, atau Orion?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BEETLEJUICE BEETLEJUICE Review

 

“Sometimes you will never know the value of a moment until it becomes a memory.”

 

 

Halloween datang sebulan lebih cepat, dibawakan oleh Tim Burton di atas nampan nostalgia kepada kita. Yup, Beetlejuice – karakter ikonik dan horor komedi populer dengan konsep afterlife yang bisa dibilang cukup groundbreaking pada era 80an itu – akhirnya beneran dibikinin sekuelnya. Dan seperti judulnya, Beetlejuice Beetlejuice memang dua kali lebih fun ketimbang film aslinya. Dua kali lebih random dengan segala keantikan dunianya. Mind you, Tim Burton sama sekali tidak ingin mengubah Beetlejuice dan kegilaan karakternya – eventho untuk standar era sekarang karakter tersebut certainly semakin tidak appropriate.  Dan ini memang akhirnya jadi groundwork yang unik buat pengembangan cerita dark fantasy-nya. Film ini mencoba nge-tackle bahasan yang juga dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Dua kali lebih crowded, dua kali lebih ribet, dan sayangnya juga jadi dua kali lebih messy. Chaos yang tidak serta merta selalu funny.

Tiga puluh enam tahun yang lalu, Lydia Deetz berhasil selamat dari jadi pengantin remaja bagi Betelguise (dibaca Beetlejuice); si hantu bio-exorcist, alias hantu tukang onar yang kerjaannya membantu hantu-hantu untuk mengusir manusia dari rumah mereka. Lidya selama ini berusaha move on, punya keluarga, punya anak, punya acara tv sendiri sebagai cenayang. Tapi dia masih dihantui oleh kenangan buruk Beetlejuice tersebut. Sementara di alam baka, Beetlejuice yang kini cukup sukses dan bisnis exorcistnya makin gede, juga masih menyimpan Lydia dalam kenangannya. Ketika kematian ayah membawa Lydia bersama ibu dan anaknya kembali  ke Winter River, ke rumah tempat semuanya dimulai, Lydia bukan saja terpaksa harus bertemu kembali dengan Beetlejuice, dia bahkan terpaksa harus meminta bantuan kepadanya. Astrid, anak Lydia yang marah kepada Lydia yang dianggapnya cuma menjual sensasi ‘bisa melihat hantu’ tanpa sengaja masuk ke dunia orang mati dan jiwanya ada dalam bahaya.

Nenek seniman, ibu cenayang, cucu aktivis tree-hugger. Keluarga rame!!

 

Dunia Beetlejuice put Tim Burton’s specialty dalam bangun dunia dark fantasy on the map. Bukan cuma karakter nyentrik, wacky, zany, dengan kostum unik, dia ngecreate konsep afterlife yang dibikin kayak perusahaan tapi sangat komikal. Semua itu dihidupkannya dengan permainan animasi dan efek praktikal. Era 80an memang terkenal dengan desain produksi seperti begitu, namun ketika yang lain lean towards realisme, atau eksploitasi hal-hal yang disturbing dan gory, Beetlejuice membawa ruh cerita horornya ke dalam fantasi komedi. Nonton film itu udah kayak nonton kartun, dengan segala kegilaan, kerandoman, dan efek-efek konyol. Begitu film Indonesia tahun ini mulai marak genre horor komedi, aku sempat ngarep ada yang arahannya ke kayak Beetlejuice. Cerita tentang kematian, hantu-hantu, nakut-nakutin orang, tapi tone dan gaya dan dunianya beda sendiri. Tentang keluarga hantu, atau gimana dunia kematian versi sendiri. Beneran bikin konsep dan fantasi, bukan cuma cerita yang ngada-ngada. So far film kita belum ada yang begitu, but at least sekuel Beetlejuice beneran keluar, dan film ini beneran ngasih warna berbeda. Dunia yang sama itu kembali kita kunjungi, only bigger. Dan tentu saja lebih ‘flashier’ karena efek komputer semakin mendukung kepada penggunaan animasi stop motion dan efek praktikal lainnya. Karakter-karakternya kembali kita temui, dan pemerannya masih sama!

Michael Keaton kembali untuk meranin Beetlejuice yang begitu unhinged. Dan dia bisa membuat karakternya ini sangat entertaining, meskipun kacamata kita sekarang mungkin agak lebih sensitif. Beetlejuice ini kan juga produk dari 80an, dia juga dibuat dari trope yang ramai di kala itu. Semacam ‘bapak-bapak cabul’. Dulu mulai dari film Boboho hingga kartun Dragon Ball, trope ini ada. Film ini bukan ingin melanggengkan atau malah membela trope tersebut, melainkan hanya identitas saja. Bahwa karakter dan cerita ini ya produk dari era itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana menceritakan karakter tersebut di era modern. Film ini tidak lantas bikin Beetlejuice jadi bermoral, ataupun punya something untuk bikin kita simpati ataupun meretcon karakternya. Film ini tidak lantas membuat dia yang basically anti-hero, jadi hero. Beetlejuice tetap digambarkan sebagai karakternya yang ‘kalo gak penting amat, kita gak usah berurusan dengannya’. Sebagai karakter yang ‘menyeramkan’ dan tidak bisa dipercaya. Again, konflik tetap dipancing dari gimana kalo ternyata kita memang terpaksa harus berurusan dengan dia. Dan ini juga yang bikin ceritanya mutar-mutar. Film berusaha mencari cara nge’tone-down’ dari cerita. Beetlejuice diberikan lawan. A Frankenstein-like lady yang menuntut balas kepadanya. Jadi, selain urusan keluarga Lydia (dengan ibunya, dengan anaknya), film ini juga punya tentang masa lalu Beetlejuice. Dan ini bikin keseluruhan film ini jadi lebih padat dan lebih ribet. Jika random dan konyol tadi jadi nilai plus yang membuat sekuel ini semakin fun, maka padatnya cerita membuat film ini jadi punya poin minus karena penceritaan akhirnya menjadi messy dengan subplot-subplot yang lemah.

Cerita film pertamanya dulu simpel. Ada pasangan muda mati, jadi hantu, lalu kemudian keluarga Deetz yang nyentrik pindah ke rumah mereka. Sebagai hantu baru yang baik, mereka kesusahan mengusir keluarga Deetz. Maka mereka minta bantuan ke Beetlejuice. Akhirannya ya mereka jadi gak tega ke keluarga Deetz karena Beetlejuice minta macem-macem, termasuk mau menikah sama Lydia yang saat itu masih remaja. Kita langsung nangkep tema intinya tentang co-exist, bahasan keluarganya juga relate, along with komedi tentang kematiannya; gimana pembalikan dari biasanya yang mau diusir adalah hantu jahat.  Sedangkan film sekuelnya ini; hati dramanya tentang ibu yang ‘jauh’ dari putrinya karena kematian ayah, tenggelam alias ketutup oleh banyak lagi bahasan karakter lain. Apa coba paralelnya urusan Lydia dan Astrid, dengan Beetlejuice dan mantannya. Atau dengan karakternya Willem Dafoe; kepala polisi di afterlife yang dulunya seorang aktor. Benang-benang karakter ini seolah dibuild up untuk akhirnya bertemu dan jadi penyelesaian besar, tapi penyelesaian yang kita dapatkan di akhir ya tetap random, dan pertemuan mereka terasa lemah. Gak benar-benar kuat jadi sesuatu. Padahal sebenarnya kalo dipikirin lagi, ada keparalelan di antara mereka. Yaitu tentang memories.

Lydia sibuk dengan kenangan buruknya akan Beetlejuice. Astrid sibuk dengan kenangannya akan sang ayah. Ibu dan anak sama-sama dihantui oleh kenangan, sehingga mereka gak sempat untuk bikin kenangan baru di antara mereka. Padahal hidup ya seharusnya kita sibuk membuat kenangan baru dengan orang-orang di dekat kita, sebelum mereka menjadi kenangan buruk yang menghantui kita karena tidak sempat dekat dengan mereka. 

 

Winona Ryder mirip Cut Mini gak sih?

 

Penceritaan semakin terbebani oleh way too much explanation. Aku gak tahu kenapa film fantasi cartoonish yang lucunya justru dari hal-hal random seperti ini merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal. Paruh awal film ini banyak banget dialog yang naturenya eksposisi; entah itu karakter menceritakan masa lalu atau ya rangkuman dari eskposisi tersebut. Like, ada karakter yang baru dimunculin sekitar 30-menit into the story, tapi percakapan antara Astrid dan karakter ini cuma rangkuman kejadian yang baru saja kita lihat. Seolah kita tidak bisa menyimpulkan sendiri, atau kita lupa. Padahal kan, waktu-waktu tersebut seharusnya bisa digunakan untuk lebih nge-flesh out hubungan antar-karakter. Alasan yang terpikir paling ya, karena ini sekuel yang rentang waktunya jauh (supaya penonton gak lupa) atau karena ini juga ngincer penonton baru dari generasi short-attention-span sehingga tiap beberapa menit perlu ada rangkuman cerita. Atau karena film salah ambil perspektif cerita sedari awal? Hmm..

Aku ngerti Lydia dijadikan perspektif utama karena dia karakter dari film sebelumnya, yang punya arc yang langsung berkaitan dengan Beetlejuice (dan also karena dia Winona Ryder, gitu loh!) Tapi menurutku justru karena itulah film ini jadi merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal/cerita dari film sebelumnya. Karena kita harus mengerti sudut pandang dia yang tokoh utama, maka kita harus dikasih penjelasan dulu atas hal-hal apa yang sudah ia lalui. Sebaliknya, menurutku, jika film ini mengambil perspektif utama dari si Astrid yang diperankan Jenna Ortega; karakter baru yang diceritakan not even care sama kemampuan ibunya, cerita dan segala konsep dunianya juga akan bisa berlangsung cuek, dan lebih fokus kepada hubungan Astrid dan ibunya itu sendiri. Karena kita akan berada di belakang Astrid yang awalnya tidak percaya mistis, tapi lantas dia discover banyak hal secara langsung, sehingga film gak perlu sering-sering stop untuk menjelaskan di awal dan kitapun nyemplung lebih mulus seperti baru pertama kali masuk ke dunia itu, seperti Astrid.

 




Dua kali lebih random, membuat film ini fun. Tapi dua kali lebih crowded, lebih ribet, membuat film ini lebih messy dari film originalnya. Dunia dan konsep afterlife dengan karakter unik dan cartoonish memang menghibur, sayangnya penceritaan film ini terbebani oleh penjelasan yang terlalu banyak di paruh awal. Aku pikir dunia gila seperti dunia Beetlejuice ini tidak perlu penjelasan yang terlalu banyak karena randomnya itulah letak lucu dan serunya. Aku suka Beetlejuice dan would like to explore dunianya lebih jauh. Tapi kalo setiap film bakal semakin padet dan sumpek kayak gini, aku jadi takut juga menyebut judulnya sampai tiga kali. Takut kalo beneran datang, dan bukannya lebih menghibur dengan ‘menakutkan’, tapi malah lebih mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BEETLEJUICE BEETLEJUICE

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa cerita horor komedi yang muatannya bangunan dunia fantasi ini gak jalan di penonton kita, kenapa kita belum punya film seperti ini?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KAKA BOSS Review

 

“All parents are an embarrassment to their kids”

 

 

Arie Kriting sepertinya punya beberapa keresahan. Tentang stereotype orang Timur yang karena perawakannya, sering dianggap seram, garang, kayak preman, dan sebagainya. Like, jaman ospek kuliah di kampusku dulu (aku mahasiswa teknik geologi), teman-teman yang dari Timur gak pernah ditempatkan jadi petugas medis yang urusannya nolongin mahasiswa baru yang tumbang atau sakit. Mereka selalu kebagian ‘peran’ jadi senior ‘paling galak’, yang cuma dikeluarkan ke depan maba saat kegiatan yang bersifat stressing level maksimal. Mereka di-hype sebagai pertanda bahwa ospek hari ini akan ‘berdarah-darah’. Padahal aslinya, mereka ya biasa aja, gak ada yang jahat, malah juga suka bercanda. Selain itu, sebagai seorang bapak, Arie Kriting juga sepertinya punya keresahan yang khusus menghantui para orangtua. Tentang relasi dengan anak-anaknya nanti. Bagaimana nanti jika anak malah malu dengan orangtuanya, bukannya bangga. Bagaimana kalo ternyata sebagai orangtua, kita not good enough bagi anak-anak kita. Keresahan-keresahan itulah yang sepertinya digodok menjadi cerita oleh Arie Kriting dalam drama komedi Kaka Boss. ‘Anak-keduanya’ di layar lebar.

Kaka Boss adalah panggilan yang diberikan oleh anak-anak buah kepada Ferdinand. Karena dia bukan saja sosok pemimpin yang baik, yang ngasih saudara-saudara sedaerahnya kerjaan yang jujur dan bersih, tapi juga jadi teladan yang jempolan dengan kompas moral yang mantap di ranah pekerjaan mereka. Sebagai agen sekuriti, Kaka Boss dan bawahannya memang ngehandle kerjaan yang menyerempet dunia malam dan baku hantam; mereka harus provide tenaga di antaranya buat jadi bouncer, bodyguard, ataupun jadi debt-collector. Perawakan sepertinya memang jadi modal lahiriah mereka di bidang kerjaan ini, tapi karena kerjaan itu jugalah, banyak orang yang menganggap Kaka Boss dan teman-temannya sebagai preman. Mereka dikira gangster tukang palak, tukang pukul. Anak Kaka Boss, si Angel yang masih SMA, aja sampai malu sama bapaknya. Kaka Boss yang tiap hari mengantar ke sekolah itu tidak diperbolehkan turun dari mobil. Nanti teman-teman pada takut, alasan putri semata wayangnya tersebut. Sekarang, Kaka Boss percaya satu-satunya cara supaya Angel bangga sama dirinya adalah dengan nyari kerjaan baru. Dia mutusin buat jadi penyanyi. Bikin album. Nampil di acara sekolah Angel. Masalahnya, untuk urusan  dunia tarik-suara, Kaka Boss tidak punya modal lahiriah.

Alias suaranya lebih fals daripada suara Giant di Doraemon

 

Seorang ayah yang cuma pengen bikin anaknya bangga, tapi anaknya malu sama pekerjaan dirinya. Itu premis drama yang jadi hati film ini. Membuatku teringat sama film Jepang tentang drama pegulat, My Dad is a Heel Wrestler (2019). Di film itu dibahas gimana seorang anak SD merasa malu karena ayahnya bukan pegulat juara, melainkan justru antagonis dari bintang gulat saat itu. Ayahnya adalah Topeng Kecoa yang licik, curang, penakut. Pokoknya tidak heroik, tidak bisa dia banggain kepada teman-teman sekelas. Haru deh ketika kita melihat sikap anaknya tersebut sebagai kontras dari perjuangan si ayah untuk bikin dia bangga. Karena menjadi orang jahat dan dibenci penonton itulah yang jadi kerjaannya, dia harus melakukan yang terbaik sebagai seorang pecundang di atas ring. Angel dan Ferdinand pada film Kaka Boss ini punya dinamika serupa. Kita juga akan dibikin haru karena kita tahu Kaka Boss bukan preman, dia justru sangat cakap dan jujur dalam kerjaannya. Hanya ya soal kerjaannya itu saja yang menuntutnya harus tegas, perawakannya saja yang bikin dia tampak galak, nada bicara alaminya saja yang bikin dia kayak ngajak berantem terus. Godfred Orindeod dan Glory Hillary – sebagai Kaka Boss dan Angel – tampak genuine dan play off their on-screen dynamic very well, sehingga kita tersedot untuk peduli. Kita ikut merasakan downnya Kaka Boss ketika dia merasa gagal dan ‘mati langkah’, ketika dia sadar dia gak bisa nyanyi. Kita pengen dia berhasil bikin bangga Angel. Tapi kita juga dibuat mengerti ama tuntutan Angel dan kita pengen dia tahu gimana kerjaan ayahnya yang sebenarnya. Film menggali sudut pandang Angel dengan cukup maksimal, yang mengarah kepada penyadaran dirinya. Dan yang aku suka dari perspektif Angel ini adalah bahwa film ngasih lihat kepadanya bahwa ‘buah jatuh gak jauh dari pohonnya’. Angel punya ‘bakat’ ngeboss yang sama dengan ayahnya hihihi…

Kayaknya memang sudah lumrah bagi anak-anak untuk merasa malu dengan orangtua mereka, akan ada satu masa ketika anak mengganggap apapun yang dilakukan orangtuanya sebagai hal yang memalukan. Bahkan diajak ngobrol sama ayah atau ibu di depan orang ramai pun bisa jadi hal yang memalukan bagi seorang anak. Dan itu penyebabnya apalagi kalo bukan adalah hal yang lumrah juga bagi orangtua untuk merasa dirinya harus jadi panutan dan jadi kebanggaan bagi anak mereka. Orangtua forcing themselves to do that, ngerasa harus perlu membuktikannya sepanjang waktu, dan itulah yang membuat interaksi jadi awkward – dan tampak malu-maluin bagi si anak.

 

Sayangnya, Kaka Boss kurang maksimal dalam pengembangan perspektif karakter titularnya. Karakter Kaka Boss dibuat harus mengalah sama satu premis lagi yang dipunya cerita. Yaitu premis komedi. Dan film, di pertengahan, memang jadi condong mengeksplorasi ini saja. “Orang yang pengen jadi penyanyi, tapi gak sadar suaranya enggak bagus.” Dan premis komedi ini ditimpakan kepada karakter lain; si produser musik (diperankan oleh Ernest Prakasa) yang dimintai tolong mengorbitkan Kaka Boss sebagai penyanyi. Bagaimana memberitahu seseorang bahwa dia not good at doing something, apalagi kalo si orang itu menakutkan dan punya kemampuan untuk menggamparmu habis-habisan? Di pertengahan, film malah fokus di sini. Stakenya seolah dipindah ke si produser yang harus mempertaruhkan banyak untuk mencari cara gimana caranya bikin suara nyanyian Kaka Boss enak didengar. Yang action ya dia, dan orang-orang sekitar Kaka Boss yang sepakat merahasiakan soal suara jeleknya Kaka Boss karena gak ada yang berani jujur to his face. Sementara Kaka Boss, yang semestinya adalah karakter utama, dibiarkan dalam ketidaktahuannya, ditreat semacam bom waktu yang bisa meledak marah kalo produser gagal bikinin album atau mereka ketahuan bohong bilang suaranya bagus.

Padahal film sebenarnya masih bisa membuat premis komedi ini bergerak untuk development Kaka Boss. Contohnya kayak yang dilakukan oleh film Popstar: Never Stop Never Stopping (2016). Di film itu Andy Samberg jadi penyanyi idola remaja yang songong, dan dia gak nyadar penjualan albumnya merosot karena lagu-lagunya ciptaannya itu jelek semua. Dia gak sadar dia gak berbakat nyiptain lagu karena semua orang, mulai dari manager, groupie, hingga kru teknisnya pada ‘yes man’ semua. Ngangguk-ngangguk bagus doang ketika dimintain pendapat. Gak pernah ada yang berani ataupun peduli untuk ngasih kritik. Nah film itu tetap menempatkan karakter Andy sebagai perspektif utama karena dia yang perlahan menyadari sikap orang sekitarnya, yang leads kepada dia menyadari kesalahan-kesalahannya dalam bersikap sehingga semua orang di sekitarnya jadi ‘fake’ dan gak berani jujur padanya. Development dia menjadi lebih baik itu ada. Sedangkan pada Kaka Boss, hampir tidak ada ruang dan waktu untuk si Kaka Boss punya development. Karena perspektifnya berpindah, dan si Kaka Boss ini sendiri sudah sedemikian baik dan mulia – against his stereotype – sedari awal. Hanya putrinya saja yang belum menyadari betapa baiknya ayahnya.

Low key pengen bilang berani kritik itu penting!

 

Memang saat nonton aku ngerasa aneh sama naskahnya. Kirain Kaka Boss mau ganti kerjaan dan milih jadi penyanyi itu cuma sekuen ‘langkah pertama’ doang. Kirain abis itu dia gagal, dan nyoba kerjaan lain tapi gagal juga, until he realize bukan kerjaannya yang sebenarnya perlu dia ganti. Tapi ternyata film ini memang stay di pindah kerjaan jadi penyanyi tersebut. Ini membuatku kembali menengok ke film My Dad is a Heel Wrestler tadi untuk membandingkan bagaimana kedua film ini mencapai resolusi anaknya jadi bangga dengan ayahnya, no matter apapun pekerjaannya. Film tersebut berakhir dengan si anak nonton pertandingan ayahnya, dan untuk menunjukkan si anak kini sudah mengerti dan bangga kepada ayahnya, si anak berdiri dan ikut mencaci maki ayahnya yang lagi bertanding curang di ring. Temannya ampe bertanya “Kenapa kau meneriaki ayahmu seperti itu?” Si anak dengan tenang dan ekspresinya bangga banget menjawab “Karena itu kerjaan ayahku”. Film tersebut ngasih penyelesaian yang benar-benar tertutur manis, respek terhadap karakter dan juga kerjaannya karena pekerjaan itu adalah bagian dari karakternya. Sementara Kaka Boss, berakhir dengan nunjukin si produser somehow berhasil menemukan cara bernyanyi yang cocok untuk si Kaka Boss, sehingga bisa tetap nampil, sementara Angel sendiri  sebenarnya sudah berdamai dengan rasa malunya, dan dia sudah menghargai ayahnya, sebelum performance tersebut. Jadi gak benar-benar terasa klop. Performance itu jadi gak urgen (walaupun aku sendiri suka banget dengan penampilannya karena film nampilinnya benar-benar seperti penampilan musik untuk film) ‘Pindah kerjaannya’ itu jadi kayak hiasan, alasan kenapa alternatifnya ke ‘jadi penyanyi’ juga tidak kuat dilandaskan. Toh Angel tidak dibangun sebagai karakter yang suka musik atau semacamnya.

Aku berpikir mungkin film memindahkan kerjaan dari agen sekuriti ke penyanyi dan stay mengeksplorasi dunia nyanyi ini karena agen sekuriti yang semua pekerjanya orang Timur itu not a real job. Sehingga film ini gak tahu harus ngangkat apa lagi dari sana. Beda dengan kerjaan heel wrestler di film Jepang tadi. Gulat memang bohongan alias hasil tandingnya sudah diatur, tapi kerjaannya itu asli. Beneran ada pegulat yang khusus untuk meranin karakter curang dan dibenci orang banyak, supaya mengangkat karakter baiknya untuk jadi hero. Drama film tersebut jadi tetap terasa real, genuine. Film Kaka Boss kehilangan pijakan ketika memutuskan pindah tanpa alasan yang kuat. Bahasan prejudice terhadap stereotype-nya pun jadi tidak lagi terasa real, dan lebih kayak diadain buat lucu-lucuan aja ketimbang genuine concern karena karakter utamanya tidak berjuang di sana sebagai pamungkas cerita. Film ini seperti kejebak sendiri di stereotype, dan kurang maksimal jadi genuine drama menyentuh hati sambil menghibur dan mematahkan prasangka karena kurang maksimal dalam karakterisasi. Gak kayak sodara se-PHnya, Agak Laen (2024). Film tersebut thrive more than representasi, ceritanya kena dan lebih konek universally karena kita tidak melihat karakternya sebagai orang batak yang susah dapat kerjaan karena dianggap preman, melainkan sebagai mantan napi- sebagai orang yang pernah melakukan kesalahan yang cukup besar sehingga mereka susah dapat kerjaan lain.

 




Berangkat dari apa yang sepertinya sebuah genuine concerns terhadap stereotype orang Timur dan hubungan parenting ayah terhadap anaknya, film ini menggodok premis drama dan premis komedi ke dalam cerita. Sayangnya kedua premis tersebut belum tergabung dengan maksimal. Walau film ini masih bisa bikin kita haru dari hubungan karakter Kaka Boss dengan putri yang malu sama kerjaannya, tapi premis komedi kayak lebih mengtake over. Dan membuat cerita jadi pindah perspektif dan malah membahas lucu-lucuan soal Kaka Boss gak bisa nyanyi tapi gak ada yang berani bilang. Akibatnya karakterisasi menjadi lemah, dan berdampak kepada film ini jadi berakhir jadi cuma sebatas feel good moment tanpa benar-benar punya something to say terhadap concerns yang diangkat karena ditutup manis dengan penyadaran yang kurang klop development atau journeynya. Kalo film adalah ‘anak’ dan sutradara adalah ‘orang tua’, film ini memang belum sempurna, tapi paling tidak, enggak begitu malu-maluin karena masih punya momen-momen yang lucu dan haru di sana-sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KAKA BOSS

 

 




That’s all we have for now.

Ada gak sih kelakuan ortu yang pernah bikin kalian malu?

Share cerita kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KINDS OF KINDNESS Review

 

“Genuine kindness doesn’t have ulterior motives”

 

 

Baru juga kita move on dari absurdnya dunia Poor Things (2024) yang mempertanyakan siapa sebenarnya yang malang dalam dinamika pria-wanita, Yorgos Lanthimos udah ngajak kita ke dunia yang lain lagi – yang juga tak kalah aneh. Enggak tanggung-tanggung. Isi dunianya kali ini bukan cuma satu, melainkan ada tiga cerita. Sekilas dari judulnya sih, kayaknya Yorgos ingin ngasih tau kita tentang rupa-rupa kebaikan. Makanya dia membuat ini sebagai antologi. Tiga cerita, dengan aktor-aktor yang sama memerankan karakter yang berbeda-beda pada setiap kisah. Tapi yah namanya juga dark comedy, film ini menyentil bahwa ternyata kebaikan seringkali punya motivasi. Kita manusia dengan kondisi kita yang kompleks, justru seringkali berada dalam kebaikan yang pura-pura.

Film antologi harus punya satu tema, benang merah, atau apalah yang mengikat kisah-kisahnya. Membuat mereka paralel dan berjalan menuju arah yang sama. Jadi gak bisa asal menghimpun banyak cerita pendek yang tidak saling berkaitan lalu ntar tinggal dicari cocokologinya untuk bisa dijual ‘bundel’. Menilai film antologi, kita perlu menyorot kepada desainnya. Konsepnya. Filmografi Yorgos toh membuktikan bahwa sutradara asal Yunani ini paham dan dia memang selalu punya desain dan konsep unik tersendiri. Kinds of Kindness ini, walau tiga cerita di dalamnya random dan aneh-aneh semua, tapi mereka semua punya kesamaan. Misalnya, pada tiap cerita ada momen karakter bermimpi. Ada yang mimpi dunia saat anjing jad berperilaku layaknya manusia. Ada yang mimpi bisa bernapas di dalam air. So, sudah pasti keseluruhan film ini bakal punya vibe yang sangat absurd. Menyaksikannya bakal kayak menonton film thriller, tapi begitu absurd oleh karakter; motivasi dan kejadian mereka. Dan meski absurd, karakter utama tiap kisahnya ngalamin journey yang sama. Bahasannya juga serupa, selalu ada orang yang berusaha pleasing someone, ada orang yang try to control everything, dan tentu saja ketiganya bermain-main dengan term ‘kebaikan’ itu sendiri. Sehingga pada akhirnya buatku film ini konyol tapi juga begitu mendebarkan karena daaangg, yang dikatakannya sebenarnya realistis dan grounded juga loh ke kita.

Bersiap masuk ke dunia yang anehnya kayak mimpi

 

Cerita pertama Jesse Plemons jadi karyawan ‘baik’, yang mau mengerjakan semua perintah Willem Dafoe, bosnya yang juga ‘baik’.  Jadi dia merasa utangbudi sama si bos, karena selama ini semua yang terjadi di hidupnya – istrinya, karirnya, harta bendanya – literally diatur oleh bos. Ini kan sebenarnya hal yang bisa relate juga kepada kita – harus tau terima kasih – hanya, oleh Yorgos absurdnya dinaikkan ke level maksimal. Ada satu perintah si bos yang gak bisa dituruti oleh karakter Jesse, si Roberts. Yaitu staging a fake car crash; menabrak mati seorang pria. Karakter bosnya membuatku teringat sama Arswendi pada Autobiography (2023). Tampak santai, friendly, tapi setiap kata-katanya adalah tuntutan. Perintah. Mangkir dari perintahnya berarti tersiksa pelan-pelan. Dan itu jugalah yang dirasakan Roberts setelah dia misuh-misuh menolak. Hidup Roberts, semua yang ia miliki, jadi hilang. Cerita ketiga Emma Stone jadi ibu yang ‘baik’. Ibu yang rindu dan sayang sama putrinya, sehingga dia diam-diam ke rumah saat suami dan anaknya pergi. Si Emily ini memang sudah cerai, karena dia mendedikasikan hidupnya untuk sekte yang ia percaya. Nah lo! Emily sebenarnya sedang dalam misi dari sekte untuk mencari seorang perempuan kembar yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan Emily sudah siap untuk melakukan apapun demi membawa perempuan itu kepada sekte. Cerita kedua sengaja aku taroh belakangan karena ini yang paling aneh. Sureal. Lucunya, mirip ama cerita Primbon (2023). Jesse Plemons, kini jadi polisi ‘baik’. Ini pasti kita semua sudah ngerti dark joke dari polisi yang baik hihihi, tapi mesti begitu toh film tetap gaspol nunjukin gimana polisi ‘baik’ itu. Istrinya yang juga polisi, hilang dalam tugas di pulau. Daniel, nama karakternya, stress berat. Lalu kemudian istrinya ketemu. Pulang. Sehat wal-afiat. Tapi Daniel merasa ada yang beda dari istrinya. Dia curiga perempuan itu mungkin kloningan atau apa. Sehingga dia  jadi tega menyuruh istrinya melakukan hal-hal tak terbayangkan. Hal yang membahayakan diri. Dan si istri mau aja. Ya namanya juga istri yang ‘baik’.

Kebaikan itu ternyata subjektif ya, jika kita melihat para karakter film ini. Berbuat baik ternyata punya maksud di baliknya, kebaikan ternyata tergantung orangnya. Jasa atasan harus kita balas dengan jasa yang diminta, no question asked. Bahkan dari sekte itu, film seperti bilang sebagai umat yang baik, kebaikan berarti kita harus rela mengorbankan apapun termasuk mati demi ramalan. Aku rasa alasan film mengambil gaya yang aneh dan nada komedi adalah supaya kita lebih mudah melihat dan memahami kalo ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut sebenarnya bukan kebaikan. Melainkan hal yang toxic. Urgensi film ini adalah ya karena ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut juga relate dan lumrah di kita, meskipun memang tidak sampai ke taraf edan kayak yang digambarkan film. Gimana istri terlalu patuh ama suami, padahal suaminya kasar. Oleh film ini, cerita kedua tadi juga ditambah konteks tentang dunia anjing; yang juga bisa kita hubungkan menjadi teguran dari film. Bahwa anjing peliharaan – seeing anjing dianggap sebagai hewan paling patuh – aja bisa gigit kalo ownernya kasar.

Memang, Kinds of Kindness bukan cuma gambaran. Film ini juga punya statement tentang kebaikan yang sebenarnya itu seperti apa. Tentu saja, statementnya ini pun dengan sama absurdnya. Ketika Jesse Plemons, Emma Stone, Willem Dafoe, serta aktor-aktor lain menjadi peran-peran yang berbeda pada setiap cerita, karena masing-masing cerita itu dimaksudkan sebagai gambaran kejadian yang semuanya aneh-aneh dan sekilas tampak tidak saling berhubungan, ada satu aktor yang memerankan peran yang sama pada ketiga cerita. At least, nama karakternya sama. Karakter ini perannya sebenarnya minor, tapi karena dia satu-satunya yang konstan maka dia mencuat. Film bahkan menjadikan dia sebagai nama chapter atau judul dari masing-masing cerita. Karakter itu adalah pria paruh baya bernama R.M.F. – diperankan dengan, seingatku, tanpa dialog oleh Yargos Stefanakos. Cerita pertama diberi judul “The Death of R.M.F.” – dia adalah pria yang harus ditabrak oleh Roberts. Cerita kedua berjudul “R,M.F. is flying” – dia adalah pengemudi helikopter yang menyelamatkan istri Daniel. Cerita ketiga “R.M.F. Eats a Sandwich” – dia adalah mayat yang dihidupkan kembali, dan di penutup dia makan sandwich di kafe. Ni orang kayak asik sendiri hahaha, kalo memang dia orang yang sama pada ketiga cerita, berarti ya hidupnya ngelingker sendiri. Namanya yang cuma inisial mengundang kita untuk bertanya-tanya, mungkin memang karakter ini punya makna besar sendiri. Buatku, yang cukup jelas dari gimana karakter ini berbeda dari yang lain, dan gimana dia simpel sendiri, adalah itu semua karena dia adalah karakter yang tanpa motivasi. He just accept what happens to him. Dia tidak ingin mengontrol, tidak ingin dicinta, tidak ingin diakui, tidak ingin balas budi. Dia menolong karena dia menolong. Dia jadi korban karena dia korban. Dia hidup karena dia hidup. Dan itulah bentuk ‘kebaikan’ yang dianggap film sebagai kebaikan sejati. Kebaikan tanpa motivasi. Kebaikan yang enggak subjektif.

Kebaikan yang pure tidak perlu rupa-rupa. Apalagi pura-pura. Kebaikan yang pure tidak punya motivasi apa-apa di baliknya. Justru seharusnya kebaikan itu sendirilah yang jadi motivasi kita dalam hidup. Tapi yah, mungkin memang lebih mudah memimpikan hidup seperti itu ketimbang benar-benar menjalankannya

 

Cocok deh tema sama pilihan lagu pembukanya “Sweet Dreams”

 

Dengan karakter yang aneh, alur masing-masing cerita yang juga aneh, dan durasi yang juga menuntut perhatian lebih (clocking at 2 jam 44 menit, ini kayaknya film terpanjang dari Yorgos) film ini memang perjuangan yang menantang untuk diikuti. Sebenarnya gak bener-bener bikin bingung atau berat segimana sih. Cuma ya looking back at it, karena tiga cerita yang paralel, yang pada intinya juga formula dan journeynya sama, maka bisa ada semacam rasa repetitif.  Tapi pas saat sedang ditonton gak kerasa kok. Paling kerasanya justru cerita agak ke mana-mana karena absurd. Malahan, kerja film sebenarnya cukup maksimal untuk bikin kita kehook dan terus penasaran, Being absurd itu salah satunya. Kedok yang menarik untuk nutupin kesamaan formula antara tiga cerita. Penampilan akting para aktornya certainly gak bikin kita bosan. Dari wujud, hingga pembawaan karakter, wuih semuanya unjuk range dan timing dan pemahaman karakterisasi level atas! Film ini juga punya momen-momen brutal to keep us on edge. Ada beberapa kali aku kelepasan neriakin layar, biasanya pas adegan-adegan yang aku sontak ngeh si karakter mau ngapain selanjutnya. Nah, menurutku film ini did a great job pada penceritaan karena di tengah segala keanehannya, masih kerap ada momen-momen seperti itu; momen-momen yang kita bisa ngerti precisely karakternya mau melakukan hal seram apa. Dan kita bereaksi; nunjukin kita peduli sama orang-orang yang katanya ‘baik’ itu.

 

 




Baiklah, biar gak makin bingung, diperjelas aja. Ini satu lagi film Yorgos yang menantang banget untuk didiskusikan. I think sutradara ini sekali lagi berhasil menggunakan gayanya sebagai cara untuk membicarakan sesuatu, dan menerapkan gaya tersebut menjadi ‘something’. Film ini jadi unik, menarik; apalagi ini kan sebuah antologi. Basically cuma kumpulan cerita pendek. Namun ini bukan cerita-cerita yang dikumpulkan lalu lantas dihubungkan dengan tema. Film ini dibuat menjadi antologi karena sutradaranya punya desain sendiri terhadap gagasan yang ingin dia bicarakan. Aku yakin banyak tanda tanya muncul setelah kita nonton ini, karena memang absurdnya bukan main, tapi kan di situ daya tariknya. Lagipula film ini tidak memaksudkan tanda tanya itu untuk dijawab secara eksak, melainkan  ya bebas aja, It could work sebagai satir, sebagai komedi konyol, atau umpama seni abstrak yang nyeleneh aja. Secara penceritaan memang tidak sefektif film-film ‘greatest hit’ Yorgos sebelumnya. Ini toh lebih ke kreasi atau desain cerita yang sayang dilewatkan jika kita suka sama tantangan. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KINDS OF KINDNESS

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, R.M.F. singkatan dari apa?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ODDITY Review

 

“The only true voyage of discovery would be not to visit strange lands, but to possess other eyes”

 

 

Kau sendirian malam itu di rumah barumu yang belum selesai direnovasi. Lampu-lampunya bahkan belum terpasang semua. Kesunyian membuat tiupan angin dan derit-derit rumah terdengar mengancam. Sudut-sudut gelap mengundang pikiran macam-macam. Mendadak, pintu depan diketuk dengan lantang. Seorang pria asing berdiri di luar sana, bersikeras supaya kau segera membuka pintu, karena dia bilang tadi dia melihat seseorang masuk ke rumahmu. Akankah kau percaya dengan kata-katanya – maukah kau membuka pintu? Tergantung, mungkin pikirmu. Tergantung siapa yang di balik pintu itu. Maka kau membuka slot jendela di pintu untuk melihat siapa di luar sana. Walau asing, tapi kalo penampilannya cukup meyakinkan, mungkin kau akan percaya. Afterall lebih aman berdua daripada sendirian di rumah yang memang udah bikin senewen sedaritadi. Tapi ternyata orang itu pucat, tampak liar dengan rambut gondrong, terdengar edan dengan kata-katanya yang semakin tidak masuk di akal, matanya cacat sebelah pula. Kau semakin terperosok ke lubang dilema yang bisa-bisa berujung kehilangan nyawa. Itulah opening dari Oddity, horor kedua karya Damian Mc Carthy. Dia langsung membenturkan antara ketakutan kita terhadap sesuatu yang tak terlihat, dengan ketakutan kita terhadap hal di depan mata – yang kita kira kita lihat. Suspens cerita ini begitu kerasa. Karakternya gak tahu harus percaya apa. Kita gak tahu harus percaya apa! Akhirnya, Dani – si karakter – memutuskan untuk membuka pintu. Lantas adegan tersebut dicut, kita pindah ke karakter lain, beberapa waktu kemudian.

Nasib Dani jadi misteri yang menghantui karakter-karakter lain yang dia tinggalkan. Namun buat kita, nasib Dani ‘baru’ set up yang melandaskan betapa hebatnya Oddity dalam bercerita horor. Baru teaser for more great storytellings to come. Karena, hal terbaik pada Oddity ini adalah pembuatnya kentara sekali punya passion yang kuat terhadap cerita horor, dan paham bagaimana menceritakan itu, khususnya lewat editing yang cut to cutnya precise sekali dalam membangun misteri kemudian mereveal, tanpa sedikitpun mengurangi suspens yang terus saja dibangun. Momen-momen di Oddity ini vibenya kayak kumpulan cerita-cerita pendek horor klasik yang dikemas menjadi satu cerita-panjang modern. Ada elemen supernatural dari karakter yang literaly punya kekuatan cenayang, ada elemen mitos yang dipadukan dengan horor creature; dari makhluk yang kayak golem kayu, ada elemen psikologikal thriller, home invasion, bahkan rumah-berhantu, serta juga ada elemen misteri whodunit. See, ini bakal jadi exactly my choice untuk ditonton lagi pas merayakan musim halloween nanti!

Paket komplit banget gak tuh!?

 

Dari elemen-elemen itu, yang mau kuhighlight di sini adalah soal rumah-berhantu dan creature Wooden Man-nya. Aku takjub aja sama gimana film menggunakan elemen tersebut, uniknya film ini lebih mudah kita rasakan jika melihatnya dari sana. Dalam horor, rumah berhantu adalah panggung. Set piece yang bakal jadi tempat karakter lari menyelamatkan nyawa, tempat kamera bermanuver membangun atmosfer atau juga membuild up jumpscare dan penampakan lainnya, juga menjadi latar yang menambah identitas dan karakterisasi ceritanya itu sendiri. Makanya biasanya rumah itu jadi ruang tertutup yang ‘mengunci’ karakter, tapi juga biasanya dibuat besar. Supaya ruang gerak galian horornya lebih luwes. Rumah berhantu di Oddity punya interior yang tidak biasa. Rumahnya gede, tapi yang actually digunakan sebagai panggung hanya sebagian kecil. Dan itu bentuknya basically cuma ruangan yang panjang, dengan balkon di atas. Ruangan yang benar-benar diset supaya sudut pandang karakternya cuma lurus, dan they will always have to turn their back untuk melihat porsi ruangan lainnya. Ini ngasih sensasi seram tersendiri. Ditambah pula posisi pintu masuk yang basically di tengah set, sehingga siapapun yang masuk dan keluar pasti ke-notice, dan untuk mencapai pintu berarti mereka mengekspos diri mereka. Membuat diri mereka terlihat.  Kata ‘lihat’ bakal banyak dijumpai, karena merupakan bagian dari tema besar cerita ini.

Jadi yang dilakukan film ini adalah membalikkan fungsi, menggulingkan ekspektasi -mengsubversi apa yang biasanya kita ketahui dari fungsi rumah sebagai panggung. Bukan lagi untuk survival, melainkan supaya karakter stay in the center, supaya terlihat dan melihat, serta memberikan tantangan karakter dalam proses melihat tersebut. Subversi yang sama kita jumpai juga pada elemen creature horornya. Si Wooden Man yang mirip Golem tanah liat dalam mitos; bisa melakukan apapun jika dimasukkan suatu barang personal ke dalamnya. Enggak seperti makhluk horor lain yang biasanya ‘diumpetin’ dulu atau kayak ‘dispesialkan’, Wooden Man ditarok Oddity gitu aja di tengah-tengah ruangan. Di tengah-tengah cerita. Duduk, diam, bikin takut karakter yang melihat. Ngasih uneasy feelings yang konstan kepada kita, karena kita bakal ‘ngarep’ untuk menangkap momen dia bergerak di latar itu.  Perasaan semacam itu yang terus diincar oleh film; semacam dramatic irony yang kita ngerasa waspada lebih dahulu daripada karakternya, dan juga semacam ekspektasi untuk melihat horor. Bahkan pada adegan terakhirnya pun, ekspektasi kita terhadap gimana makhluk horor hadir sebagai penutup juga dijungkirkan. Aku kinda berharap bakal ada jumpscare, tapi kalo aku udah keburu nutup mata aku gak bakal lihat nada berbeda film ini menutup cerita horornya. Jadi alih-alih membuat kita siap-siap menutup mata, film ini seolah menantang kita untuk meminta horor itu datang.  Meminta makhluk kayu kayak manusia tadi itu bergerak. Film menantang untuk kita membuka mata. Untuk melihat. There goes that word again.

Melihat. Dengan apa? Dengan mata. Mata apa? Soal mata dan penglihatan jadi tema berulang yang hadir di sepanjang cerita. Pria asing yang matanya cacat sebelah (mata yang rusak ia tutup dengan mata porselen). Kembaran Dani, Darcy, yang buta tapi bisa melihat hal-hal beyond normal dengan mata batin. Suami Dani, Ted, seorang dokter di asylum yang – biasalah tipikal man of science gini – hanya melihat hal-hal logis dan menutup diri kepada hal supernatural. Oddity menempatkan karakter-karakternya ke dalam situasi yang mengharuskan mereka memperlebar pandangan. Cerita sebenarnya berpusat pada Darcy yang ingin menyelidiki kematian kakak kembarnya, maka dia – dengan segala perlengkapan cenayangnya, termasuk si Wooden Man tadi – menginap di rumah baru Dani. Rumah yang kini ditempati Ted bersama pacar barunya. Darcy dan Ted punya pandangan, kepercayaan, dan rahasia masing-masing. Cerita suggest harusnya mereka bukan hanya melihat dari sudut lain, tapi juga dari literally mata yang lain.

Bukan soal sejauh apa kita main, memperluas pemahaman terhadap suatu hal bisa jadi justru adalah soal kemauan kita melihat hal yang dekat tapi kali ini coba dari kacamata yang lain.

 

Best quote “I’m a doctor, Yeah, of course, I can be the villain”

 

Sadisnya film ini, para karakter tersebut tidak didorong untuk berubah, untuk sadar, untuk punya journey – bagi Darcy dan Ted, Oddity ini adalah tragedi naas dan cerita kelam antara karakter yang tidak mau dan yang  tidak bisa membuka pandang mereka. I mean, tega banget film ngasih Darcy adegan ‘terjun’ seperti itu. Mata batin bahkan tidak bisa banyak membantu ataupun jadi jaminan kebenaran. Sama lamurnya sama mata dokter Ted yang pongah; Ted juga sepertinya gak jadi selamat karena mata dunianya terlalu sempit.  Maka itu Oddity ini jadi literally keganjilan juga sebagai sebuah film. Oddity gak mau ngasih development buat karakternya. Mereka lebih dekat jadi sebagai cautionary tale – dalam sebuah kisah yang bentukannya persis dongeng horor jaman dulu. Alih-alih development dan journey karakter, sebagai film, Oddity justru hanya seperti terstruktur dari lembaran-lembaran revealing. Ternyata demi ternyata. Aku bahkan gak bisa ngomong banyak tentang karakterisasi ataupun misterinya, karena bakal bikin revealing itu jadi gak istimewa lagi, dan Oddity kinda bersandar ke sana. Tema sudut pandang melihat tadi ditranslasikan menjadi film ini tidak punya tokoh utama yang sejati. Kita melihat cerita dari perspektif berbagai karakter; Darcy, Dani, Ted, pacar Ted, dan bahkan si ‘pelaku’, perspektif mereka yang seperti cerita-cerita pendek itu amprokan membentuk cerita-besar film ini.  Oddity adalah cerita horor yang perfect, but it went on against bentukan film yang kita kenal.

 

 




Oddity adalah keganjilan. Baik itu tentang temanya, maupun juga tentang posisinya sebagai film itu sendiri. Sialnya, ini bikin aku susah menilai hahaha.. Sebagai cerita horor, ini perfect banget buat halloween. Cerita yang benar-benar spooky, dengan arahan yang kerasa banget passionnya ke genre ini. Precisenya editing, desain, set piece, dan timing revealing membuatnya enak banget diikuti. Ditambah elemen-elemen horornya paket komplit. Diangkat pula oleh penulisan yang memuat tema dan gagasan serta konsep yang ganjil di balik pengungkapan-pengungkapan kejadian.  Sebagai tontonan horor, ini favoritku tahun ini; 8.5 out of 10. Love it very much. Tapi ini adalah review film. Keganjilan ataupun resiko yang diambil Mc Carthy dalam mempresentasikan cerita horor ini enggak in-line dengan nilai-nilai plus sebuah film. Teknisnya bagus, teknik berceritanya juara, tapi yang kumaksud adalah cetakannya. Cerita tanpa development, tanpa journey, tanpa perspektif utama yang utuh, bukan cetakan ‘film’ yang selama ini jadi standar penilaian kita. Ah, I wish aku tidak perlu melihat cerita ini sebagai film, lebih baik kalo ini tuh kayak video-video atau klip yang kita tonton di internet – yang so good sampai kita bilang “ah. cinema!” 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ODDITY

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian seharusnya kita memandang/melihat sebuah film? Apakah bisa hanya dari cerita atau faktor hiburannya saja – terpisah dari struktur atau cetakan yang membuat dia berbeda dari video-video tayangan lain yang lebih bebas?

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ALIEN: ROMULUS Review

 

“No one wants to be the one left behind”

 

 

Franchise film yang udah bertahan lama seperti Alien-nya Ridley Scott kerap diuji resiliensinya. Kudu bisa ngikutin perkembangan. Jangan sampai genre-nya stuk di situ melulu. Sementara juga harus tetap bisa memuaskan penggemar lama. Ini membuat si film ada di posisi sulit. Kayak waktu franchise ini try to dig deeper, dengan bahasan filosofis tentang creation atau penciptaan. Prometheus dan Alien: Covenant jadinya malah dinilai aneh, berat, terlalu ‘jauh’ mainnya. Gak semua fans appreciated it. Padahal secara kualitas, filmnya enggak ‘sejelek’ itu. Dunia alias role franchise Alien justru diperluas oleh mereka. Mungkin karena itu makanya Fede Alvarez membuat Alien: Romulus kali ini kembali ke akar horornya. Langkahnya itu bukan tanpa kontra. By the time aku bikin review ini, Romulus pun tetap dapat mixed reaction. Utamanya, penonton bilang film ini terlalu mirip ama Alien yang sudah-sudah. Padahal menurutku, sebenarnya Alvarez pengen ngasih sesuatu yang baru loh. Dia kayak pengen bikin gabungan dari elemen horor-remaja yang sudah ia tahu, dengan lore Alien yang kita semua kenal. Dia pengen nyiptain hybrid baru untuk franchise ini. And oh boy, dia memang literally ngasih monster hybrid baru di film ini!

Alvarez berusaha membawa ‘kesegaran’ dengan membuat cerita dari grup anak-anak muda. As opposed to grup pekerja ataupun grup ilmuwan dalam film-film Alien sebelumnya. Ini menarik karena musuh ‘sesungguhnya’ tetap sama. Corporation yang lebih memprioritaskan alien berbahaya ketimbang manusia itu sendiri. Jadi ceritanya, Rain dan saudaranya, Andy yang hobi becanda garing, ditolak untuk pindah dari settlement pertambangan tempat mereka sekarang. Dua anak muda ini pengen pindah, gak muluk, mereka cuma mau ke tempat yang bisa melihat matahari. Beruntung ada satu kesempatan lagi. Di orbit sana, ada stasiun luar angkasa yang tampaknya telah ditinggalkan. Rain dan Andy, bergabung dengan teman-teman yang menemukan stasiun tersebut; mereka sepakat untuk menggunakan stasiun itu untuk cabut ke planet koloni lain. Alien: Romulus menjadi horor survival begitu Rain dan teman-teman tiba di stasiun luar angkasa yang bernama Romulus dan Remus, dan soon mereka sadar ada alasannya kenapa tempat itu kosong. Romulus basically adalah tempat perusahaan Weyland-Yutani ternak Facehuggers untuk melahirkan Xenomorph, the ultimate life-form!

Hybrid horor-remaja dengan alien dad jokes!

 

Di tangan dingin Alvarez, stasiun luar angkasa tersebut jadi set-pieces horor yang bukan hanya super-deadly, tapi juga jadi kayak maze dalam video game petualangan horor. Beberapa adegan dengan alien-alien itu memang tampak sebagai referensi kepada adegan-adegan ikonik franchise ini, kayak alien meledak keluar dari dalam tubuh orang, atau terkurung di ruangan sempit bersama Facehugger yang bisa melompat ke wajahmu dari mana saja, atau bahkan shot-shotnya sengaja dibuat mirip dengan yang dulu-dulu. Ini makanya sebagian penonton pada bilang film ini terlalu banyak ‘reka ulang-adegan’. Alvarez memang did that, tapi paling enggak dia melakukannya dengan volume horor maksimal. ‘More is more’, prinsip itu kayaknya yang dia pegang dalam nanganin ini.  Jadinya memang Alien: Romulus ini seru, survivalnya simpel; ada ruangan dengan banyak alien, dan karakter harus survive menyeberangi ruangan tersebut. Berbagai challenge dia kasih untuk karakternya. Ada yang ingetin kita sama horor Alvarez terdahulu, yaitu Don’t Breathe (2016). Rain dan company kudu nyari jalan keluar dengan diam-diam tanpa bersuara, karena Facehuggers actually buta. Action horor set piece terbaik yang dipunya film ini hadir pada beberapa adegan setelahnya. Ketika Rain dengan peluru (dan kemampuan menembak) terbatas harus melumpuhkan sejumlah Xenomorph dan dia menggunakan informasi tentang darah Xenomorph yang bersifat asam dan sistem gravitasi di pesawat itu untuk membalikkan situasi menjadi menguntungkan. Selain taktik yang jenius, adegannya juga tertranslasi sebagai visual yang sangat ciamik ke layar. Ngasih momen survival yang intense yang benar-benar fresh.

Orang sering bilang jaman sekarang sudah gak ada lagi yang original, semua sudah direcycle sedemikian rupa. Semuanya jadi saling mereferensikan, apalagi tentu kita semua berkarya karena terinspirasi oleh orang lain dan we have to pay that respect. Aku antara setuju dan tidak-setuju dengan pernyataan tersebut. Mungkin memang dari sekian banyak film, buku, dan media storytelling lain sedari dulu, sudah tidak ada lagi cerita yang benar-benar baru. Tapinya lagi menurutku, originalitas atau kebaruan itu bukan exactly datang dari tema atau tentang apanya. Melainkan dari sudut pandang yang diangkat. Satu film bisa membahas tentang hal yang sama, misalnya sama-sama tentang spaceship berisi alien yang meneror awaknya, tapi cerita tersebut akan jadi berbeda jika diangkat dari dua sudut yang berbeda.

Rain memang cetakannya sama dengan Alien’s Ripley. Sama-sama cewek yang jadi jagoan saat keadaan memaksa. Teman-teman Rain, cetakannya memang serupa dengan ala karakter horor-remaja. Ada yang sok keren tapi ternyata cupu/penakut, ada yang teriak-teriak annoying ngelakuin tindakan bego. Tapi  yang bikin film ini lebih hidup dan less kayak cetakan-pabrik adalah sudut pandang dua tokoh sentral. Rain dan saudaranya, Andy. Dinamika mereka mengangkat film, jadi hati yang bikin film ini jadi grounded dan menarik untuk disimak, lebih dari survival alien dari lensa horor maksimal (again, aku masih kebayang-bayang wujud dan jumpscare terakhir dari Xenomoprh hybrid ciptaan film ini!) Aku suka cara film ngehandle relasi Rain dan Andy sebagai sajian utama, tapi tidak menghambat pace horornya, ataupun bikin film jadi terbebani oleh bobot mereka. Aku suka gimana film work around their story, sehingga masuk ke dalam cetakan dan lore dunia franchise Alien itu sendiri. Hubungan mereka juga tergambar dalam judulnya, karena Romulus juga refer kepada dua saudara dalam mitologi -Remus dan Romulus, yang dibesarkan oleh serigala, dan nanti Romulus harus membunuh Remus; in a sense, harus meninggalkannya. Jadi, Andy bukan saudara Rain beneran, melainkan android atau makhluk-sintetik yang udah dianggap saudara oleh Rain. Robot yang diprogram untuk melakukan apapun asal Rain senang. Ini berbuah konflik dramatis tatkala tempat baru yang ingin mereka tuju tidak memperbolehkan android, sehingga Rain terpaksa harus meninggalkan Andy nantinya. Sedih? tentu saja. Lalu masalah semakin pelik tatkala kejadian di station membuat Andy tanpa sengaja terprogram ulang, dan kini misi utamanya jadi sama dengan android jahat di pesawat, yakni mengutamakan kepentingan perusahaan. Yang berarti bagi Andy kini keselamatan Rain dan teman-teman sudah bukan prioritasnya lagi.

Andy jadi jahat begitu jadi budak-korporat

 

Momen paling nyess datang ketika Rain marah ke Andy yang menutup pintu sehingga hampir membuat temannya tertinggal di ruangan penuh Facehugger. But as soon as dia protes soal jangan ninggalin teman, kita bisa melihat realisasi menjejak di air mukanya; bahwa dia sendiri was about to do the same ke Andy yang tadinya akan ia tinggalkan di pesawat. Ini semacam momen pembalikan yang menohok, dan meskipun saat itu kita tau Andy udah keprogram ‘jahat’, feelingnya tetap kena. Karena kita bisa ngerasakan Rain dan Andy udah kayak sodara beneran. Jangankan sodara, gak ada orang yang mau ditinggalkan. 

 

Sekaligus, itu juga adalah testament dari betapa kerennya penampilan akting mereka. Cailee Spaeny, always mencuri hati. Dia buktiin betapa versatilenya penampilan aktingnya. Di sini sebagai Rain, dia jadi cewek jagoan, yang harus survive monster mengerikan sementara juga memendam banyak perasaan. Dia believable sebagai tough girl, padahal mukanya tipikal anak baik-baik, gitu. Like, Shailene Woodley jadi polisi di To Catch a Killer tahun lalu aja aku masih belum sold out sepenuhnya. Tapi Cailee, maann. Serunya, banyak penonton barat sono yang menilai dari penampilan dia di sini, nganggap Cailee lebih cocok jadi Ellie di serial The Last of Us. Terus si David Jonsson; nama itu belum pernah aku dengar sebelumnya, tapi setelah melihat dia sebagai Andy di sini, aku berharap bakal lebih sering mendengar namanya lagi di film-film ke depan. Karena yang diachieve-nya di film ini bukan sesuatu yang gampang. Dia ngasih penampilan yang emosional, sebagai android yang supposedly datar! Kita bisa percaya bahwa ada something more pada android ini, bahwa mungkin saja dia yang lebih mendekati sosok makhluk sempurna yang dicari korporat itu.

Dan mungkin film memang mengeset mereka berdua untuk sesuatu yang lebih besar. Sekuel maybe? Karena – dan sayangnya ini juga jadi poin kelemahan film ini buatku –  bahasan konflik Rain dan Andy terasa selesai early, lalu film pindah fokus ke survival lagi (final battle dengan si makhluk hybrid, resep natural mimpi buruk malam ini), sementara permasalahan sebenarnya soal gimana mereka di tempat baru yang tidak menerima android itu seperti sengaja disimpan untuk berikutnya. Karena gak ada development yang benar-benar ‘drastis’ dari dinamika Rain dan Andy, kecuali satu-dua momen yang nunjukin mereka berubah menjadi lebih baik. Tapi secara garis besar, mereka seperti kembali ke posisi semula dalam plot cerita. Menurutku film ini berkembang ke arah yang sedikit berbeda dari masalah yang diangkat di awal. Aku terhibur film ini ngasih horor survival maksimal, tapi mungkin arahan ke sini baiknya bisa lebih ditegaskan lagi pada menit-menit set up yang masih dominan seolah ini cerita tentang Rain dan Andy bersama ke tempat yang baru.

Satu lagi arahan yang menurutku agak jadi bumerang adalah soal praktikal efek dan CGI. Alien: Romulus, just like any great horror, mengutamakan kepada praktikal efek – dan ini bagus, kreatif. Tapi tentu saja penggunaan CGI sebagai enchancement masih diperlukan – dan ini kita maklum. But still. sama seperti ceritanya sendiri yang tentang korporat dengan keputusan yang bikin kita angkat alis perkara ethical kemanusiaan, film ini pun mengangkat pertanyaan etis yang sama. Karena film menggunakan CGI untuk membuat ada karakter android dengan wajah Ian Holm – aktor yang telah meninggal, yang di film Alien pertama berperan sebagai android korporat yang basically ‘sifatnya’ sama dengan android korporat di film ini. Tentu saja ini bikin kita bertanya, seberapa besar kepentingan si android ini wajahnya harus sama? Toh ada android model lain sepanjang universe franchise Alien. Bagaimana pendapat kalian tentang ini? Apakah yang dilakukan film bisa justified dalam konteks film ataupun apabila mungkin telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga Holm? Silakan share di komen yaa

 

 




Secara timeline, film ini sebenarnya bisa dibilang sebagai sekuel langsung dari Alien original.  Referensi dan elemen yang menyambungnya pun disebar oleh film ini. Beat-beat cerita dan adegannya mirip dengan Alien yang sudah-sudah, cuma memang kali ini arahannya ada dalam lensa horor maksimal. Membuat film ini worked out greatly sebagai hiburan yang menegangkan. Karakternya kini dalam perspektif anak muda, dan yang dititikberatkan oleh film sebagai tema adalah soal keluarga tidak saling meninggalkan. Center dinamika antara Rain dan ‘saudaranya’, Andy, jadi hati yang mengelevate dan pada fungsinya, mendaratkan, cerita. Yang bikin dia jadi lebih dari sekadar tontonan yang mirip ama Alien yang sudah-sudah. Menurutku harusnya film bisa ngasih bahasan yang lebih dramatis lagi terkait konklusi mereka berdua, alih-alih seolah selesai tapi sebenarnya lebih mirip di’damai’kan dulu gitu aja, karena mungkin mau ada sekuelnya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ALIEN: ROMULUS

 

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KABUT BERDURI Review

 

“The truth isn’t always blinding light, sometimes it’s a deep and dazzling darkness…”

 

 

Misteri menyelimuti daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Jika di hari itu ditemukan jenazah tanpa-kepala di Serawak. Besoknya bisa saja giliran kepalanya yang dijumpai gelantungan di hutan tempat orang Dayak mengambil madu. Kasus yang paling seru sih ketika ada jenazah yang menggelinding jatuh tepat di dekat garis batas wilayah. Turns out, badan ama kepalanya ternyata milik identitas dua orang berbeda!! Polisi dua negara berebut ngeklaim ini urusan negara satunya (“jaraknya lebih dekat ke elu, kok!”) Sebelum akhirnya kasus terpaksa harus diambil Polisi Indonesia lantaran si mayat mengenakan seragam TNI. Kasus demi kasus pembunuhan dengan cueknya melangkahi batas-batas wilayah yang ditoreh manusia tersebut. Namun saling lempar dan bikin batas wilayah bagi manusia, sebenarnya sama alaminya dengan hutan, pepohonan, kabut, dan misteri dunia lainnya. Manusia cenderung untuk bikin konflik, lalu mati-matian berusaha menutupinya. Berusaha tidak melihat kemelut yang ruwet yang tercipta darinya. Kasus dalam Kabut Berduri, crime thriller karya Edwin, adalah gambaran dari kemelut tersebut. Dengan latar yang berpijak dari situasi sospol beneran (Dayak dengan aparat di perbatasan go all the way back, dari masa-masa pemberontakan partai komunis), film ini jadi senter yang menyorot, menengahi, atau setidaknya yang memungkinkan kita untuk melihat ke balik blinding-truth ataupun kabut tak berujung – borderless fog – tersebut.

Kebenaran bisa berupa cahaya yang begitu menyilaukan, perih untuk dilihat. Bisa juga berupa kabut pekat yang membingungkan, menyeramkan untuk dilihat. Cahaya silau maupun kabut pekat, kita sama-sama terbutakan oleh mereka. Tapi di baliknya ada hal penting yang harus kita ketahui. Maka kita harus pilih. Kita harus endure it. Seperti kata-kata terakhir seorang Dayak yang terngiang di telinga Ipda Sanja “Kamu harus memilih apa yang kamu lihat”

 

Halo, Ambong? next bisa ke IKN yaa

 

Kasus pembunuhan berantai tersebut ditangani oleh Sanja. Inspektur Polisi Dua dari Jakarta, yang kemana-mana selalu pake kacamata dengan lensa berwarna. Tapi itu bukan kacamata gaya; tangkisnya setiap kali mendapat remark dari rekan polisi pria di Kalimantan. Mata Sanja sensitif terhadap cahaya. Dia gampang silau. Jadi dia butuh kacamata dengan resep untuk membantunya melihat dengan normal. Seperti kacamata Sanja itulah fungsi film ini. Kabut Berduri bukan film detektif gaya-gayaan. Melainkan sebuah thriller yang membantu kita melihat di mana sebenarnya letak masalah konflik dayak dengan polisi di perbatasan. Kondisi mata Sanja juga adalah metafor, for she can not see the truth. Kepindahan Sanja berkaitan dengan kejadian di masa lalunya. Saat masih training, Sanja tanpa sengaja membuat seorang anak kecil kehilangan nyawa. Sebagian besar karirnya dihabiskan untuk mengelak dari kenyataan tersebut, dengan ayah dan rekan-rekan membantunya menutupi kejadian itu. Tapi kini, di tempat barunya, Sanja berniat berubah. Tidak mau jadi pengecut lagi. Makanya film ini bilang, Sanja harus belajar melihat. Hanya saja kali ini, dia juga harus belajar melihat dari balik kabut misteri. Kasus di perbatasan yang ia tangani ini sama seperti kasusnya dulu, ribet karena melibatkan banyak pihak. Banyak pemain. Begitu Sanja dan partnernya, Thomas, menggali kasus ini terlalu dalam, mereka menemukan kasus perdagangan anak yang jadi akar semuanya, dan membuat mereka terlibat dengan orang-orang licin seperti ‘toke’ alias crime-lord lokal, dan bahkan mungkin orang-licin beneran alias lelembut seperti mitos Ambong, hantu komunis Paraku yang dipercaya warga bersemayam di hutan.

It is such an haunting look. Bukan saja Kabut Berduri adalah thriller kriminal, dengan momen-momen investigasi detektif yang membawa kita ikut mengernyit menyambung-nyambung petunjuk dan melihat-lihat mayat dengan kondisi brutal bersama karakternya, film ini juga punya banyak nuansa sureal. Presence Ambong sebagai sosok momok selain ngasih teka-teki ekstra, juga ngasih eerie feelings. Karena warga lokal yang ditanyai Sanja semuanya percaya. Mengaku bicara dengan Ambong tanpa menyebut jelas detilnya kendati Sanja sering agak tinggi juga nadanya ketika bertanya – toh bagaimana pun juga ‘Ambong’ tetap adalah petunjuk yang harus dia kejar. Dalam menangani bagian ‘mistis-lokal’ dengan investigasinya, film ini melakukannya dengan lebih baik daripada LongLegs (2024). Kabut Berduri lebih bijak, tahu untuk tidak sampai harus ngasih eksposisi yang menerangkan semuanya. Kesan misterius dan ambigunya dipertahankan; bahkan jika kita merasa udah clear, film kembali menebar kabut misteri. Ambong bisa jadi hanya desas-desus, atau dia beneran sosok pohon besar yang kerap dilihat Sanja. Ambong boleh jadi hanya kedok pelaku sebenarnya, tapi dia bisa juga entitas gaib yang nyata – menyabetkan parang justicenya sendiri. Afterall, film ini didesain untuk menjadi just the right balance, untuk membuat kita seperti Sanja. Melihat lebih mantap antara kabut dan cahaya, eventho apa yang kita lihat mungkin masih sesuatu yang mengundang tanda tanya.

Ini sekaligus bukti keberhasilan film ini membangun latar suasana. Daerah itu bukan saja hidup oleh visual – benar-benar di hutan dengan segala tempat-tempat tersembunyi dan kemisteriusan alaminya, tapi suasana, feeling, dan vibenya kerasa nyata.  Film membawa kita mengunjungi tempat-tempat yang menunjukkan identitas kedaerahan, seperti misalnya rumah panjang ataupun hutan sawit. Panasnya, lengketnya, gerahnya, film benar-benar menampilkan semuanya. Ini membuat kasus itu semakin terasa mencengkeram. Apalagi tidak satupun karakter di film ini yang dibuat lempeng (kecuali mungkin Nicholas Saputra yang jadi TNI – muncul cuma di awal dan di akhir – but still institusinya merupakan bidak penting dalam kemelut ini) Dayak yang seteru sama aparat, rakyat kecil yang merasa terus dioppress, polisi yang lempar-lemparan tugas karena sudah ada di dalam kantong si berduit, ada juga polisi yang posisinya susah. Thomas yang diperankan Yoga Pratama – polisi yang diremehkan sejawat karena dia asal dayak, tapi juga tidak dipercaya kerabat sekampung karena sekarang dia  masuk polisi. Penampilan aktingnya pun natural semua. Logat kalimantan-melayunya cair, kalo aku tutup mata dengar dialog Thomas, bisa-bisa aku nyangka itu orang sono beneran. Dan memang katanya film ini juga banyak pakai talent lokal. Makanya kerasa otentik, dan para aktor harus ngerahin yang maksimal untuk immerse sepenuhnya.

Sedangkan Sanja, orang luar seperti kita, berada di tengah semua itu.  Putri Marino memang tidak dapat kesempatan untuk akting serupa orang lokal, dan bermain-main dengan logat. Tapi di sini dia kebagian akting yang fokus pada olah fisik dan gerak. Oh betapa Sanja tidak ragu untuk snap back melawan atau mempertanyakan hal yang menjurus ke superiority gak sehat di lingkungan kerjanya. Bentukan karakternya memang agak seperti jagoan-perempuan barat, tapi vulnerabilitas dari kesalahan di masa lalunya mendaratkan karakter ini.

Sautan kritik pun sontak terdengar. Polisi kok gak kompeten!

 

Walau karakter outsider di tengah elemen-elemen volatile (detektif yang terlalu ‘nosy’ sehingga menyenggol sistem yang ada) memang sebuah resep sedap untuk thriller kriminal, tapi sebuah film biasanya akan punya pijakan sendiri within that system. Dalam artian, film biasanya akan memilih posisinya sendiri. Mungkin film akan bilang pihak A gak salah. Mungkin film akan memihak B karena mereka cuma dituduh.  Atau mungkin bisa saja menurut film ada pihak C yang mendalangi semua. . The truth mungkin berduri, dan memang harus disembunyikan, dan film ini jadi alat yang memudahkan kita melihatnya (tanpa mengurangi tajam durinya). Ini pilihan yang diambil oleh Kabut Berduri. Mengapproachnya begini, maka kesan ambigu tadi ternyata bukan soal dipertahankan atau tidak oleh film, melainkan lebih karena film ini  ya harus jadi ambigu karena dia ingin menyorot tanpa mengambil pijakan. It is the only way. Dan karena pilihannya ini, Kabut Berduri jadi, katakanlah, gak bisa punya ultimate punchline untuk kemelut yang dia sorot. Ini resiko. Karena akan ada penonton yang jadi menganggap keambiguan sebagai statement yang tidak tegas dari film ini.

 

 




Film kayak gini yang membuat kita menghargai eksistensi Netflix ataupun platform sejenis. Isu lokal yang masih tergolong sensitif, genre yang bukan kalangan mainstream untuk film kita, penceritaan yang bukan jenis hiburan popcorn, susah kayaknya bioskop jaman sekarang untuk mau nayangin ini. Kalopun ditayangin paling juga hanya dipajang beberapa hari karena kalah oleh yang dianggap lebih cepat menguntungkan. Padahal yang kita butuhkan  adalah tontonan yang diverse. Yang berani. Dan tentu saja tidak dibuat main-main dan asal jadi. Film ini kelasnya spesial. Note-note crime thriller dikenainya semua. Kesan misteri dan investigasi benerannya nyampur jadi satu. Penampilan aktingnya nyampur jadi genuine semua. Dia mengambil pilihannya yang membuatnya ambigu tapi juga bisa dinilai kurang nendang, namun cara dia menceritakan pilihannya itu benar-benar, again, spesial. 
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for KABUT BERDURI

 




.

That’s all we have for now.

Menurut kalian apa maksud pelaku menyatukan mayat aktivis dayak dengan kepala anggot TNI, lalu membuat mayatnya mengenakan seragam TNI?  Kenapa pula Ambong tidak membunuh Agam?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRAP Review

 

“We are never trapped by where we are, the trap is always who we are”

 

 

Trap, thriller terbaru M. Night Shyamalan, berhasil memberikan apa yang aku harapkan – namun ternyata tidak kudapat – ketika nonton In a Violent Nature (2024) kemaren. Perspektif yang menyeluruh dari seorang serial-killer. Bukan hanya itu, film ini juga terasa fresh dengan sudut pandang yang diangkat tersebut. Memang, film yang mengambil cerita dari sudut pandang psikopat pembunuh bukan barang yang langka. Sebut saja mulai dari Henry: Portrait of a Serial Killer (1986) ke The House That Jack Built (2018), dari American Psycho (2000) hingga ke In a Violent Nature tadi, dari yang pembunuhnya charming sampai ke yang monster gak-bisa mati, pengalaman mengerikan masuk ke pikiran ‘orang gila’ yang bermacam-macam itu sudah pernah kita rasakan (ampe ketagihan!) Hanya semuanya relatif sama. Kita melihat mereka sebagai pembunuh. They might jalanin kerjaan lain sebagai kedok, tapi most of the time, cerita akan berpusat kepada saat aksi utama mereka yakni membunuhi orang. Trap berbeda, karena kita tidak melihat si serial killer saat actually sedang ‘dinas’. Melainkan cerita khusus menyorot ketika dia sedang berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Like, membawa putrinya nonton konser. Shyamalan dikenal karena twist pada film-filmnya; dia selalu took risks dengan ‘mematahkan’ filmnya menjadi something else, sampai-sampai banyak filmnya yang jatohnya antara tidak dimengerti atau salah dimengerti oleh penonton. Trap, sepertinya bakal jadi satu lagi film Shyamalan yang easily di-misunderstood. Banyak penonton yang gak puas dan menganggap film tentang ayah-anak ini sendirinya adalah jebakan yang dipasang Shyamalan supaya kita nonton konser putrinya.

Cooper dan putrinya yang masih 12 tahun, Riley, was about to have a great ‘father-daughter day’ di konser Lady Raven. Penyanyi yang lagi hits banget terutama di kalangan remaja dan anak-anak muda. Cooper berhasil dapetin floor ticket, di row yang lumayan deket juga dari panggung. Tapi sedari masuk tadi, Cooper notice stadion konser ini dijaga oleh banyak sekali sekuriti. Dengan persenjataan lengkap pula. Oalah, ternyata mereka FBI! Kabarnya, mereka ada di sana karena tahu bahwa di antara tiga-puluh-ribu penonton konser itu ada satu serial killer most wanted – The Butcher – yang juga hadir. Konser musik ini dijadikan perangkap buat si The Butcher. Film mereveal twistnya dengan sangat dini, karena si serial killer tidak lain tidak bukan adalah Cooper, ayah yang sayang banget ama pada putrinya, pemadam kebakaran yang simpatik. pria baik hati yang bisa diandalkan all around. Ini ternyata bukan cerita tentang ayah-anak yang terjebak di tengah-tengah kucing-kucingan pembunuh dengan FBI, melainkan cerita tentang pembunuh yang harus mikirin cara keluar dari stadion yang dijaga ketat, sementara juga naluri banditnya itu berkonflik dengan keinginannya satu lagi sebagai seorang ayah; dia pengen Riley yang lagi dikucilin teman-teman segeng itu tetap have fun di konser.

Aku kinda relate, karena pas nonton WWE live dulu fokusku malah jelalatan cari cara menyelinap ke backstage hihi

 

Bisa dilihat konsep cerita Trap ini benar-benar brilian kenekatannya. Biasanya, pada film antihero atau yang bahkan protagonisnya penjahat yang journey ceritanya paling degradasi moral sekalipun,  simpati itu akan terus dipantik dari si karakter. Tujuannya adalah kita sebagai penonton merasakan dramatic irony dari ‘kejatuhan’ si karakter menjadi seorang penjahat. Meskipun tujuannya menyimpang, tapi kita masih peduli karena kita paham apa yang membuat dia seperti itu. Itulah kenapa namanya protagonis; karakter yang ingin sesuatu dan kita get behind them regardless kita setuju atau tidak terhadap pilihannya. Tapi Trap ini sebaliknya. Shyamalan membuat Cooper ini sebagai.. apa ya, kita karang aja istilahnya; Anti-protagonis, mungkin. Cooper berangkat dari karakter simpatik, lalu diungkap dia orang jahat, dan film akan terus mendevelop dirinya menjadi semakin unlikeable hingga cerita usai. Ini dibilang salah, ya salah karena gak sesuai aturan. Tapi dibilang jelek, ya enggak juga, karena desain konsep ini brilian dan bukan perkara mudah untuk dilakukan. Bagaimana membuat karakter yang sedari awal sudah diungkap sebagai pembunuh, tapi kita tetap sempat peduli dia selamat?

Film mencapai ini pertama dari kekuatan akting Josh Hartnett sebagai Cooper. Aktingnya di sini sangat intriguing, sehingga kita tertarik. Ada momen ketika kita percaya dia beneran peduli sama Riley. Ada momen ketika kita bisa melihat jurus ‘menarik simpati ala serial killer’nya keluar untuk membohongi orang-orang demi mendapat informasi – bahkan kepada Riley. Ada momen ketika dia beneran panik dan pikirannya berkecamuk nyari jalan keluar. Ada momen ketika dia kontemplasi dengan traumanya sendiri. Masing-masing momen ini hidup oleh permainan ekspresi. Film juga mastiin buat semua ekspresi itu tertangkap, karena akan banyak sekali shot yang close up wajah Cooper. Kesannya mungkin bisa tampak unnatural (apalagi pas Cooper matanya kosong tapi senyumnya ngembang), tapi kita harus ingat yang berusaha ditangkap kamera adalah psyche seorang serial killer yang punya trauma sendiri, yang sendirinya bergulat dengan dua ‘dunia’, dengan dua kebutuhan.

Kedua, dan ini yang paling penting supaya kita di awal peduli, adalah dari hubungan Cooper dengan Riley. Dunia yang lebih relatable; ayah dan anak di tempat konser. Film ngerti betapa krusial bagian ini, maka M. Night Shyamalan arahannya jor-joran banget di first-half ini.  Ariel Donoghue natural banget jadi anak seusia Riley yang starstruck lihat idolanya nampil, yang benar-benar menikmati hari yang spesial dalam hidupnya. Dramatic irony yang membuat kita peduli sama Cooper, dipancing film dari sini. We don’t want Cooper gagal supaya hari Riley gak rusak, tapi juga kita tahu hari itu gak akan berakhir baik buat Riley. Lalu, experience nonton konser itu sendiri. Gak salah juga kalo penonton pada julid film ini akal-akalan sutradara buat ngasih panggung putrinya sendiri yang memang penyanyi (Saleka Shyamalan berperan jadi Lady Raven, dan dia beneran ‘manggung’ ampe bikin album buat ngisi film ini). Pak Sutradara ngisi konser itu dengan crowd beneran, kesibukan kru panggung, isi stadion, hingga pagelaran konsernya, suasananya terasa otentik. Beneran hidup. Dan jadi kontras yang kuat ketika ada petugas bersenjata yang merazia penonton secara giliran. ‘Mengganggu’ mereka dari aktivitas nonton konser. Keseluruhan experience di paruh-pertama ini rasanya imersif banget. Kita ngenalin euforia dan serunya di sana, kita gak mau Riley terampas oleh pengalaman tersebut, so naturally kita jadi peduli sama keberhasilan ayahnya walaupun kita tahu ayahnya orang jahat. At least, biarkan Riley dapat momen dulu. Dan film memang ngasih dengan selera humor tersendiri.

Lalu diambillah resiko berikutnya. Paruh-kedua yang normalnya dimulai dengan sekuen ‘taktik baru’, oleh naskah ini dimaknainya sebagai literally kayak different movie. Belokin cerita kayak ampe patah-dua ini kelebihan sekaligus kekurangan M. Night Shayamalan. Bisa bikin filmnya seru, unpredictable, tapi semua kenekatan itu tetap bergantung kepada storytellingnya. Skala cerita diperbesar. Seluruh kota seolah jadi tempat yang memerangkap Cooper. Sedangkan untuk Cooper sendiri, ‘baru’ baginya sayangnya adalah kali ini dia jadi lebih banyak bereaksi. Inilah kenapa banyak yang bilang babak ketiganya aneh. Karena mendadak cerita malah bergerak karena aksi-aksi si Lady Raven. Dia jadi kayak hero di bagian ini. Sebenarnya kalo dari desain, ini masih kelihatan ada alasan dan kepentingannya dengan tema. Bagi serial killer yang lagi di dunia seorang ayah, Cooper tentu familiar soal apa yang ditampilkan supaya orang melihat kita sebagai apa yang kita mau. Dan ketika Lady Raven mendadak punya rencana sendiri, ini caught Cooper off guard. Dia gak sadar seleb yang tampaknya gak bisa apa-apa, ternyata bisa punya persona yang berbeda di luar panggung (apalagi di backstage dia ngeliat rapper yang cuma bisa songong minta ini itu). Bisa punya kemampuan lain, bisa punya ‘power’ dari follower. Cuma, karena ujug-ujug Lady Raven jadi hero tanpa benar-benar ada build up, naturally kita sebagai penonton gak bisa get behind her. Tindakannya malah dianggap bego, dan lebih terasa kayak manjang-manjangin cerita.

Give new meaning to a “Parent Trap”

 

I do feel film ini bingung mau narok akhiran di mana. Stakenya padahal udah dibikin mengerucut, dibikin lebih personal. Ini juga sekaligus cara film mengembalikan kendali kepada Cooper sebagai protagonis. Bahwa pilihan ultimate bagi dia adalah memilih kehidupan mana yang ia jalani. Dia gak harus jadi serial killer. Hanya saja Cooper merasa terjebak di mana-mana. Modus operandi Cooper sebagai serial killer adalah dia memilih orang-orang yang ia anggap ‘utuh’ untuk jadi korban. Karena dia pengen liatin bahwa gak ada yang utuh di dunia ini. Bahwa seperti dirinya, semua orang adalah kepingan-kepingan. Backstory Cooper diungkap dengan subtil di balik gumaman kecil dan perilaku OCDnya (betul-betulin letak barang yang miring). Jadi film membuat Cooper harus berkonfrontasi dengan kepingan-kepingan hidupnya. Dengan istrinya. Dengan bayangan ibunya. Ini yang bikin film jadi seolah gak beres-beres. Film harusnya bisa lebih mempertegas mana yang beneran ‘konflik utama’ bagi Cooper. Ketika di awal seperti dibuild up, Cooper seperti menganggap ibu tua FBI sebagai antagonis utamanya, mestinya ini saja yang dijadikan fokus untuk penyelesaian cerita. Film harusnya bisa lebih menggodok segala ‘pieces’ konflik Cooper dan madatin babak ketiga ceritanya.

Terlepas dari bagaimana hal tampak bagi kita, kita sesungguhnya tidak pernah terjebak oleh tempat kita berada. Perangkap itu sebenarnya selalu soal siapa kita. Dengan membiarkan diri torn to pieces, kita memerangkap diri sendiri. Cooper merasa trauma membuat dia harus menjalani dua hidup, sebagai serial killer dan sebagai ayah, akibatnya dia terjebak di antara dua ‘dunia’ tersebut. Tidak pernah punya kekuatan untuk mengonfrontasi siapa dirinya, masalahnya, yang sebenarnya. Padahal lihat saja Exodia di kartu Yugioh, kalo lima anggota badannya terkumpul, kekuatannya jadi infinity hihihi

 

 




Sori, karena judulnya, dan bicara soal pieces, aku jadi gak tahan buat nyama-nyamain ama Yugioh. Tapi itu  tandanya film ini sukses menghibur. Dan aku memang beneran suka kok. Aku suka suasana di konser, experiencenya kerasa banget dan film feels genuinely life dan epic. Aku suka nekatnya M. Night Shyamalan bikin konsep ampe jadi kayak anti-protagonis.  Aku suka sudut pandang yang diangkat, serial killer bukan exactly soal dia membunuh orang dengan sadis, tapi soal dia takut ketahuan karena sumpah mati dia pengen banget berhasil membangun keluarga. Bahkan patahan ceritanya bisa kita apresiasi, karena masih bergerak dalam konteks perspektif dan backstory si karakter. Meskipun memang paruh kedua itu mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi. dengan lebih mulus lagi. Terutama di kejadian-kejadian, biar less kayak ‘naskah maunya begitu’ dan more kayak keputusan natural karakter di saat darurat. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRAP.

 

 




That’s all we have for now.

Film ini could get unintentionally funny. Buat kalian, bagian mana yang paling lucu dari film ini? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MAXXXINE Review

 

“To be a star is to own the world”

 

 

Quick recap untuk trilogi horor karya Ti West ini; film pertamanya, X (2022), bentukannya horor slasher, tentang Maxine bersama kru ‘film independen’ (baca: film bokep)nya syuting di farm house terpencil dan mereka semua dibunuh satu persatu oleh pasangan tua psycho pemilik rumah. Film keduanya, Pearl (2022), bentukannya lebih ke horor psikologis, karena ceritanya tentang masa muda Pearl, si nenek psycho di film pertama, tentang gimana Pearl ingin jadi artis namun keadaan (termasuk kejiwaannya) membuat dia bounded to the place. Benang merah trilogi ini adalah tentang stardom, dan how bad you want it, yang juga bisa dikerucutkan menjadi tentang sebuah empowerment bagi perempuan seperti Maxine dan Pearl – yang harus bertarung melawan waktu (if you old, game over) dan dunia glamor yang keras. Sebagai sajian penutup, West membawa kita ke Hollywood 80an. Menengok Maxine yang berjuang mendapatkan peran di film ‘beneran’. Bentukan yang dipilih kali ini adalah semacam horor misteri kriminal. Karena ada serial killer(s?) on the loose. Semua orang bisa jadi korban dan tersangka. Jika ada satu hal yang dengan mantap dijadikan tema oleh West kali ini, maka itu adalah Hollywood itu dosa.

Maxine keterima jadi lead di projek sekuel The Puritan – horor yang disebut oleh sutradaranya sebagai film kelas B dengan ide kelas A. Sang sutradara cewek itu terkesan dengan audisi Maxine. Genre horor mungkin memang masih sebelas-duabelas ama bokep dalam artian sama-sama masih bersifat eksploitatif, tapi toh Maxine aktingnya extraordinary.  Namun ada hal yang membuat transisinya ke industri besar itu terhambat. Maxine yang kini pirang, boleh saja jadi lebih tangguh, tapi tetap saja dia masih terguncang akibat masa lalunya di film pertama. Di mana dia membunuh untuk survive. Bukan hanya bayang-bayang Pearl yang menghantui. Serangkaian pembunuhan misterius terjadi di area City of Angels, Maxine khawatir detektif bakal mengaitkan itu dengan masa lalunya. Tapi ketika teman dan orang-orang di sekitarnya jadi korban, Maxine mau gak mau ikut terseret, dia harus hadapi meski itu berarti pertaruhan bagi hidup dan karirnya.

She’s a staarrrr!!

 

Dunia fiksi Maxxxine dibuat overlap dengan dunia nyata Hollywood era 80an. Karena latar pada cerita ini memang demikian signifikan. Ti West telah sukses membangun keinginan karakternya; mereka ingin jadi bintang, dan seiring itu tentu saja tempat tujuan mereka juga ikut terbuild up, gimana Hollywood sudah menjadi tujuan akhir – katakanlah, ‘Mekah’ – bagi baik itu Pearl, ataupun tentu saja Maxine. Maka sekarang otomatis giliran City of Angels itu yang diperlihatkan karakternya. Bukan tempat suci, melainkan tempat penuh dosa. Tempat gemerlap iming-iming mimpi. Di sana orang bisa dan hanya bisa sukses jika mau melakukan apa saja. Rela memberikan apa saja, dan ya tempat itu akan meminta. Merampas kalo perlu. Maxine saja gak cukup hanya nunjukin kebolehan aktingnya, dia juga masih harus menunjukkan dadanya. Cerita Maxine boleh jadi fiksi, namun bukan tidak mungkin part of it pernah dialamin atau bisa terjadi beneran karena tempat itu nyata. Beserta ‘dosa-dosanya’. Film ini mengontraskan antara referensi-referensi sinema (yang bikin kita jumpalitan kayak meme si Leonardo DiCaprio, yang berasal dari filmnya yang juga berlatar dunia Hollywood nyata) dengan kejadian horor yang juga terjadi di Hollywood di kala itu. Masa ketika satanisme populer. Saat pembunuh berantai seperti Richard Ramirez alias Night Stalker gentayangan di jalanan.

Dari situlah Maxxxine menyematkan genre horor misteri kriminalnya. Ada serial killer juga di sekitar Maxine. Membunuhi teman-temannya, range mulai dari teman di bisnis film biru hingga ke aktris film The Puritan sebelumnya. Akan ada sepasang detektif yang mengendus hubungan antara si pembunuh dengan Maxine yang baru saja dicast untuk film Puritan kedua. Aku suka di sini kesannya jadi mendua, antara detektif itu beneran pengen minta tolong petunjuk atau informasi dari Maxine, atau mereka ada sedikit curiga kepadanya. Kesan mendua ini bikin misterinya hidup, dan kesan itulah yang gak aku temukan pada Longlegs (2024) yang detektifnya percaya aja kepada firasat cenayang protagonisnya. Anyway, film Maxxxine sendiri tidak pernah benar-benar belok jadi cerita pemecahan misteri, lantaran tetap berpegang kepada perspektif Maxine yang menjauh dari polisi karena gak mau ketahuan dia dulu pernah membunuh. Film tetap jadi horor misteri dengan terus berada di belakang Maxine yang menemukan semakin susah baginya untuk jadi syuting karena selain detektif, ada juga orang yang dikirim oleh pelaku sebenarnya untuk mengikutinya.

Yang menarik di sini menurutku bukan exactly siapa pelaku (meski memang hubungan dia dengan Maxine sebenarnya personal). Melainkan bagaimana motivasi si pelaku clash dengan keinginan Maxine, dan benturan tersebut membentuk gagasan atas apa yang sebenarnya film ini ingin katakan. Si Pelaku dan cult yang merekam aksi pembunuhannya ingin membuat film dokumenter untuk menunjukkan betapa ‘setan’nya Hollywood. Mengiming-imingi banyak gadis muda kepada kehidupan yang jauh dari agama, dengan janji manis popularitas duniawi.  Bahwa Hollywood sebenarnya tempat jahat yang justru membahayakan nyawa. Statement tersebut tentu saja ironis karena untuk menguatkan narasi dokumenternya tersebut, si Pelaku justru melakukan pekerjaan setan – dia membunuhi orang-orang yang cuma mau mengejar mimpi. Orang-orang seperti Maxine. Sedari kecil Maxine diajarin mantra “I will not accept a life I didn’t deserve”. Aku tidak akan menerima hidup yang tak pantas aku dapatkan. Maxine, bekerja keras dan survive selama ini dari kerjaan yang dipandang rendah (baca: bintang bokep) merasa bahwa ia pantas dan inilah jalannya menjadi bintang film beneran. Dia ready menghadapi kerasnya Hollywood. Tapi kemunculan si Pelaku, serta bayang-bayang Pearl yang masih terus menghantui, membuatnya ragu. Bagaimana jika hidupnya bukan pada bintang terang?

Kalo jaman sekarang mah orang-orang pada ngaku-ngaku jadi something yang bahkan they don’t understand

 

Menjadi bintang berarti kita telah ‘menaklukan’ dunia, menaklukan orang-orang penghuninya. Bagaimana cara menaklukan dunia? Well, Maxine telah menemukan cara tercepat untuk menaklukan dunia. Yaitu dengan membuat sendiri dunia yang pantas buat diri kita.

 

Akhiran film ini sekilas bakal terasa happy ending. Maxine mengalahkan Pelaku. Dia sukses jadi artis horor. Dia bakal stay di Hollywood for a long time. Tapi selama menatap kepala palsu Maxine properti syuting itu, aku kepikiran mantranya tersebut. Kepikiran dunia seperti apa yang pantas dan sedang ia dapatkan. And that’s when it strikes me. Maxxxine sebenarnya berakhir dengan implikasi mengerikan. Si Maxine rise to fame karena hal yang diinginkan oleh Jill, si ghostface di Scream 4 (2011). Because some f*up shit happens to her. Itulah sebabnya kenapa Maxine ‘berterima kasih’ kepada si Pelaku sebelum menembaknya. ‘Divine intervention’ yang dimaksud Maxine saat itu adalah berkat ulah Pelaku, maka dia jadi punya momen dramatis. Action mengalahkan penjahat yang adalah darah dagingnya, berlatar sign Hollywood, di puncak dunia gemerlap, Maxine langsung jadi hero in her ‘real life.’ Sesaat sebelum menembak, di bawah sorot lampu helikopter, Maxine membayangkan dirinya jadi bintang besar. Diwawancara. Dijadikan idola, dimintai pendapat dan saran. Menurutku di saat itulah Maxine sadar dunianya. Dunia horor. Dan seramnya, dia jadi akan terus menciptakan dunia itu. Kata-kata terakhir Maxine bikin aku bergidik. Saat ditanya sutradara, “Kau telah dikenal dan mendapat perhatian semua orang. Apa yang mau kau lakukan selanjutnya?” Maxine menjawab “Aku tidak ingin semua ini berakhir” – sambil menatap kepala palsu berdarah tadi. I swear, ini film kalo mau lanjut lebih dari trilogi, Maxine pasti jadi penjahatnya. She would do anything to keep attention to her. 

Bicara tentang trilogi, well, Maxxxine yang ceritanya beneran kelanjutan dari film pertama jadi punya kelemahan dibandingkan dua film sebelumnya yang bisa dibilang dua cerita yang berdiri sendiri. Penonton yang gak nonton X, bakal kurang mengerti journey Maxine secara utuh.  Paling enggak, mereka akan bingung siapa nenek-nenek yang ‘terlihat’ oleh Maxine. Apalagi ada dua adegan penting yang merupakan satu rangkaian terkait ‘penampakan’ Pearl. Yaitu ketika Maxine melihat sosoknya di jendela rumah Norman Bates di set film Psycho. Karena nanti akan ada adegan kejar-kejaran, Maxine lari ke rumah tersebut, dan ternyata isinya ya hanya set film, Bukan rumah beneran. Kepentingannya adalah penampakan Pearl yang bikin Maxine kaget di awal, membuat rumah tersebut jadi simbol bagi Maxine. Pearl adalah sosok yang ia takuti, dan ia kalahkan. Sehingga wajar, ketika dikejar orang jahat, Maxine lari ke tempat itu. Makna adegannya jadi ada. Tapi jika penonton tidak tahu Pearl, maka adegan lari ke rumah Psycho itu hanya kayak adegan Maxine ngumpet dan kebetulan selamat dari pengejarnya. Jadi untuk berdiri sendiri, film ini tidak sekuat dua film lainnya. Mia Goth tetep ngasih performance yang luar biasa, karakter Maxine kayaknya udah mendarah daging kepadanya. Hanya saja di sini, dengan cerita misteri pembunuh, Maxine sebagai karakter lebih banyak bereaksi. Baru di pertengahan-akhir nanti cerita membuat dia banyak melakukan pilihan.

 

 




Film pertama bermain dengan pembalikan ‘final girl’ archetype. Film kedua bermain dengan psikologis karakter. Film ketiga dalam trilogi ini bermain dengan dunia, panggung bagi karakternya. Ini membuat karakter sering jadi pihak yang bereaksi terhadap dunia tersebut, ketimbang jadi penggeraknya. Also, sebagai penutup, film ini juga jadi kurang kuat untuk berdiri sendiri. Besides that, Ti West bisa dibilang berhasil-lah. Hatrick. Trilogi. Tiga-tiganya bagus, film horor modern yang cool. Berbobot. Punya karakter memorable. Punya adegan dan dialog yang ikonik. Dan sebagai crime horor, film ini kerasa suspensnya. Tapi kengerian paling besar itu datang bukan dari misterinya, ataupun pembunuhannya. Tapi dari pilihan-pilihan yang akhirnya dibuat oleh karakter utama. Terkait bahwa dia sekarang membuat dunianya sendiri di sana.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MAXXXINE.

 

 




That’s all we have for now.

Kalo diurut, posisi pertama yang aku suka adalah Pearl. Lalu X. Terakhir Maxxxine. Bagaimana dengan kalian? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL