MANGKUJIWO 2 Review

 

“The sins of parents bleed further in the children”

 

 

Moral kebanyakan cerita horor adalah soal manusia ternyata lebih seram, lebih jahat, daripada hantu. Mangkujiwo karya Azhar Kinoi Lubis menekankan ‘moral’ tersebut dengan lebih jelas lagi, karena yang ia bikin di sini sebenarnya lebih sebagai sebuah thriller sadis perebutan kekuasaan supernatural. Thriller tentang manusia-manusia yang saling serang dengan ilmu hitam, saling memanipulasi untuk tujuan duniawi, dan para makhluk gaib tak lebih dari senjata yang diperebutkan. Dan manusia yang lebih lemah, jadi budak yang diperalat. Bagai pion yang digerakkan ke sana kemari. Or worst, jadi tumbal. Eksistensi film ini sebenarnya menarik, dan patut disyukuri. Karena ngasih warna berbeda pada genre horor lokal, memusatkan pada galian yang identitas klenik yang benar-benar lokal. Tapi film pertamanya tahun 2020 lalu itu, aku kurang suka. Mainly, karena kurang baiknya penggarapan naskah. Mangkujiwo pertama kayak orang yang mumbling nonsense. Begitu sibuk berkutat pada lore, istilah-istilah, dan eksposisi pembangunan dunia. Jadi aku tahu perbaikan apa yang kuharapkan pada sekuelnya kali ini. Satu hal yang pasti, Mangkujiwo 2 berpegang erat pada elemen-elemen yang diapresiasi penonton pada film pertamanya. Desain produksi dan artistik.  Yang paling kuingat di film pertamanya itu memang adalah penggunaan binatang-binatang horor (alias jijik) yang kayak asli. Nasi dicampur isi perut tikus, wheew masih kebayang ampe sekarang. Dan di film kedua ini, tikus-tikusnya memang dihadirkan lebih banyak lagi!!

As far as the opening goes, aku suka sama film kedua ini. Di pembuka itu kita ditempatkan di dalam studio bioskop. Lagi ada pemutaran film. Lalu kita melihat Uma, gadis yang bisa memanggil Kunti setiap kali dia terluka tak sadarkan diri, nonton di tengah-tengah barisan. Di belakang Romo-nya dan orang-orang penting lain. Bagi Uma, something feels off. Awalnya kupikir dia diserang gelombang panik. Mendadak dia melihat penonton lain di sekelilingnya dibantai oleh gerombolan orang yang datang entah dari mana. Uma berlarian, nangis kejer kalo istilah sekarang. Belakangan, kita tahu yang dilihat Uma roh-roh orang yang dulu memang pernah dibantai di situ. Ini opening yang decent banget, gak sih, buat cerita horor. Perfectly ngeset up tone keseluruhan, sekaligus ngasih tau permasalahan apa yang bakal menghantui karakternya.  Tapi kemudian film sampai pada bagian dialog-dialog karakter, dan it was still a meh. Mangkujiwo 2 masih tetap terbebani oleh segala macam eksposisi. Barulah ketika penjelasan dan intrik-intrik cerita sudah out-of-the-way, ceritanya kembali jadi sedikit lebih enak untuk dinikmati.

Jadi kenapa karakter Sujiwo Tejo ini bersikeras nyuruh orang memanggil dia Romo?

 

Masih ingat kemaren kita membahas film Autobiography yang serasa film horor meski tanpa setan? Nah, Mangkujiwo 2 ini kayak Autobiography jika film itu beneran film horor, dan agak sedikit lebih susah dalam berbicara. Permasalahannya mirip.  Mangkujiwo 2 juga punya latar politik yang seperti gambaran dari rezim-horor kita. Tapi di sini diceritakan ada higher power dari politik itu. Ada mastermind yang mengatur semua. Orang itu adalah Romo Brontosaurus. Eh salah, Romo Brotoseno. Bayangkan pemain catur, itulah posisi si Romo. Bidak-bidaknya adalah Jenderal, orang-orang gede lain, dan rakyat tak berdosa, seperti Uma, dan karakter fotografer yang diperankan oleh Marthino Lio, bernama Rimba. Rimba ini anak seorang aktivis yang dibunuh oleh Jenderal. Ya, sekarang bidak-bidak lama dan baru itu sedang diadu oleh Romo. Film mulai kerasa ‘enak’ ketika konflik seputar Rimba mulai dikembangkan. Pada review Mangkujiwo pertama aku menyebut film tersebut  tidak meninggalkan kesan apa-apa. Melainkan hanya nonsense dan kekerasan (pada perempuan pula!) Film itu tidak punya genuine feeling di baliknya. Film itu tidak punya cinta. Aku bukannya ge-er bilang film ini mendengarkanku atau apa, cuma yang jelas step up yang dilakukan film kedua ini adalah mereka actually memasukkan cinta ke dalam narasi. Ada suntikan feeling yang bisa kita rasakan, bisa kita ikuti di balik sadis dan jijiknya tikus-tikus itu sekarang. Cinta itu salah satunya datang dari hubungan antara Rimba dengan Uma. Dunia Mangkujiwo terasa jadi sedikit lebih hidup karena sekarang ada karakter dengan perasaan yang bisa kita relasikan, enggak melulu soal rebutan kekuatan dan kekuasaan. Anyway, jadi nanti Rimba ceritanya mulai sadar dan mengajak Uma untuk basically wake up.  Untuk melihat bahwa si Brotoseno bisa jadi bukan Romo, bukan ayah, sebaik yang Uma sangka. Anak muda seperti mereka harus melek, harus mengenali siapa, darimana; sejarah mereka. Jika tidak, mereka akan mengulangi ‘dosa’ negara, orang-orang sebelum mereka. Karena Romo sedang membuat mereka berjalan di siklus horor rezim dendam antar-generasi.

Perihal sejarah kelam akan terus berulang dijadikan film sebagai latar dari dunia horor cerita. Bahwa dosa orangtua, dosa generasi sebelumnya, akan diteruskan. Akan terpetakan pada generasi muda sesudahnya. Dan itu terjadi karena ada satu orang yang mengendalikan semuanya. Ada satu  pihak, dalam hal ini si Romo, yang seolah gak ikut campur dan kayak orang baik, tapi ternyata mengatur dan menghendaki itu semua demi kepentingannya sendiri. Jadi sebenarnya menarik juga untuk menelisik, di mana film ini meletakkan garis antara fiksi dan gambaran nyatanya?  Apakah film ini suggest ada higher power, ada sosok ‘Romo’ di balik kemelutnya negeri kita?

 

Seharusnya film menjadikan kisah Rimba dan Uma sebagai fokus. Paruh akhir ketika kita sudah bisa ‘melihat’ jelas karakter-karakter ini adalah bagian terbaik dari Mangkujiwo 2. Sayangnya, bagian ini seperti joke “kamu itu punya inner beauty, tapi terlalu dalam, gak keliatan”. Secara keseluruhan film masih sumpek oleh tetek-bengek istilah dan segala macamnya. Cerita dengan dunia dan logika sendiri memang selalu punya tantangan besar untuk membangun dunia itu. Terlalu banyak eksposisi, penonton bingung sama ‘aturan’ dunianya, memang jadi sandungan yang lumrah. Beberapa film toh mampu untuk melakukannya tanpa terlalu banyak merusak narasi dan tempo. Avatar pertama misalnya, aku kagum gimana dengan cepat dan efektif film itu menghamparkan sains teknologi avatar dan soal bulan Pandora. Ketika bicara Avatar, kita selalu kepikiran soal visual dan teknisnya, sehingga lupa kunci rahasia dari pencapaian film itu adalah naskah yang efektif. Penempatan dan pemampatan eksposisi yang terukur dan tepat-guna, karena film punya alur yang jelas. Sebaliknya, ini jugalah kenapa dua film Mangkujiwo seperti kesusahan dalam bertutur.

Film ini tidak punya plot yang jelas. Film ini cuma punya kejadian demi kejadian demi kejadian yang diungkap oleh ternyata, ternyata, dan ternyata. Plot yang dimaksud di sini adalah alur dari karakter, perspektifnya apa, maunya apa, journey-nya apa. Film ini bahkan gak punya bangunan yang jelas merujuk karakter utamanya. Dari opening, sepertinya Uma yang diperankan Yasamin Jasem adalah karakter utama. Tapi bukan, Uma terlalu pasif untuk jadi protagonis utama. Peran karakternya di sini ya cuma untuk manggil si Kunti. Uma repetitif banget. Ngelihat bayangan pembantaian – dirinya dipukulin beneran – pingsan – nyanyi Lingsir Wengi – lalu muntah setelah Kunti beraksi. Yang benar-benar aktif sebagai hero dan punya motivasi adalah Rimba. He’s the perfect choice untuk bawa plot yang jelas, tapi dia treatment-nya layaknya karakter pendukung saja. Karena sebenarnya film sudah mengeset Romo sebagai karakter utama. Ya, sama seperti pada film pertama, Mangkujiwo 2 juga sebenarnya adalah cerita tentang villain. It’s okay sebenarnya buat film menjadikan not-good person sebagai karakter utama. Malah bisa jadi menarik, kan, kita langsung melihat dari perspektif penjahat kayak di film Henry: Portrait of a Serial Killer. Hanya saja, sudah melakukan dua kali, tapi film ini tetap belum benar-benar total merangkai ceritanya ke dalam perspektif jahat si Romo. Karakternya gak punya journey, gak ada stake kuat, dan dia selalu ‘benar’. Film ini sempat juga mencoba untuk membuatnya menghibur kayak Jigsaw, yang sekilas John Kramer kayak kalah, tapi semua terkuak ternyata berjalan sesuai perhitungannya. Romo juga ada bagian kayak dia ‘kalah’, tapi enggak. Dan di momen itu, yang diinginkan film belum nyampe karena karakter Romo belum ada di level simpatik ataupun kita pedulikan seperti itu.  Film ini pengen kompleks dan different, tapi sendirinya belum mampu merangkai yang diincar dengan lancar.

Who lets the rats out? Who, who, who

 

Ambisius, sepertinya memang begitu. Walaupun karakter-karakternya banyak yang dihidupkan agak over-the-top, tapi film ini punya dialog yang cukup bermakna. Bukan dialog receh. Film ini cukup serius. Apalagi ketika menggarap horor dan adegan sadisnya, kita bisa lihat film ini gak main-main. Meski memang gak semua usahanya work out. Yang berhasil, kayaknya ya tikus-tikus itu. Aku nonton ini sampai – maaf – angkat kaki ke kursi, karena takut kalo-kalo ada tikus beneran di bawah tempat duduk hahaha.. Penempatan tikus untuk horor, fungsinya dalam narasi, berhasil dimasukkan. Adegan pembunuhan sadisnya, juga cukup oke. Cuma yang aneh adalah sosok kuntilanaknya. Asmara Abigail tidak reprising her role sebagai Kanti di sini, dan sebagai gantinya kita dapat kuntilanak merah yang generik banget. Cuma melayang di sana sebelum menyerang. Sama seperti Uma, Kuntinya repetitif dan gak berkesan. Atau mungkin kita yang sudah terlalu capek untuk terkesan. Capek sama mumbo-jumbo dan kerumitan bercerita. Terakhir, yang enggak banget, yaitu kekerasan pada perempuannya. Elemen ini dipertahankan oleh film. Aku ngerti, bukan ini saja horor yang ‘nyerang’ cewek. Bahwa ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh horor saat menjadikan karakter perempuan berjuang hidup-mati. Di sini, mungkin untuk menyimbolkan patriarkal, kepemimpinan laki-laki, tapi yang film ini lakukan untuk itu kadang ‘maksa’. Jatuhnya ya jadi kayak eksploitatif. Salah satu yang paling ‘maksa’ itu adalah saat adegan yang goalnya adalah mempertemukan Rimba dengan Kunti. Gak natural banget kelihatannya Rimba bisa gak sengaja mukul Uma, sampai berdarah dan pingsan.  Bukan hanya ditonjok ampe berdarah-darah, adegan kekerasan film ini malah ada yang gross banget melibatkan Romo dan Uma; yang meskipun off-cam, tapi tetep hard-to-watch.

 

 




Sempat terpikir olehku, bahwa mungkin film ini sebenarnya gak jelek. Film ini membuatku teringat sama dialognya Joker, soal ‘ahead of the curve’. Film ini adalah monster di luar horor normal. Yang kita semua belum siap untuk menerimanya. Horor yang basically membahas mastermind, dalang, dari kekacauan di kehidupan. Yang berangkat dari perebutan kekuatan mistis. Bahkan pembuatnya sendiri belum siap untuk horor ‘sebesar’ ini. Ya, mungkin itulah sebabnya kenapa film ini masih tampak begitu mentah. Olahan ceritanya masih sumpek, tidak ada alur yang jelas, karakter yang belum efektif dan berfungsi sebagaimana mestinya. Aku gak tahu mereka nyiapin berapa judul lagi, tapi paling enggak di film keduanya ini sudah ada sedikit perbaikan. Mungkin, sepertinya lebih pada sebuah harapan, saat film terakhirnya tayang kita semua lebih siap untuk menerima, dan mereka pun lebih siap untuk membuat dengan sebenar-benarnya potensi yang dipunya cerita.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MANGKUJIWO 2

 

 




That’s all we have for now.

Jadi, menurut kalian apa yang sebenarnya ingin dikatakan film ini dengan memperlihatkan bahwa ada kuasa yang lebih tinggi di atas Jenderal, kuasa di luar tatanan yang resmi?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE DOLL 3 Review

 

“It is never acceptable for us to be the cause of any child to feel unloved or worthless”

 

 

Perasaanku buat franchise The Doll garapan Rocky Soraya cukup mixed. Film keduanya mengejutkanku. Dari franchise ini, The Doll 2 (2017) yang kutonton pertama, and it was not bad. Dramanya bekerja cukup baik, tapi yang paling menghibur adalah babak ketiga yang seru penuh darah. Beberapa waktu setelah itu, baru aku coba tonton film The Doll original (2016), Dari situ baru aku tahu kalo film ini ngincer gimmick boneka-hantu, tema cerita keluarga, dengan tone bunuh-bunuhan yang maksimal – plus twist (yang sekarang udah jadi kayak becandaan; karakter ayah/cowok selalu jahat atau punya kesalahan yang ditutupi). Meskipun akting di film pertama buatku annoying, dan aku gak suka sama spin-off Sabrina (2018), yang jadi sekuel terpisah dari The Doll 2, franchise ini punya konsep yang keren. sense horor franchise ini juga bagus. Yea, obviously they kinda rip-off Hollywood; boneka Sabrina itu Annabelle, Laras dan karakter si Jeremy Thomas (lupa namanya) basically Lorraine dan Ed Warren, dan di film ketiga ini ada boneka baru bermerk Bobby yang tentu saja adalah ‘kw-an’ dari Chucky si boneka Buddi. Tapi ini bisa dioverlooked-lah, selama The Doll masih terus punya cerita dan gaya sendiri untuk menghidupi kemiripan tersebut,

Film ketiga ini menyoroti keluarga Tara yang baru ditimpa kemalangan besar. Kecelakaan mobil menewaskan ayah dan ibu, serta meninggalkan luka membekas (fisik dan mental!) kepada adik laki-lakinya, Gian, yang berhasil selamat dari kejadian tersebut. Tara yang manajer di toko mainan kini tinggal berdua saja dengan Gian. Tapi kemudian datanglah Aryan, pacar Tara, melamar. Gian gak suka ada yang deketin kakaknya, karena menurutnya itu bakal berarti cinta sang kakak tidak akan lagi utuh dicurahkan untuknya. Disogok boneka Bobby (boneka canggih yang diprogram bisa bicara dan bergerak) pun gak mempan. Gian masih cemburu, marah, merasa ditinggalkan, sampai akhirnya bunuh diri. Hancur hati Tara sungguh tiada tara! Nestapa dan gak tenang adiknya pergi dalam perasaan tak-dicintai, Tara nekat pake dukun untuk memasukkan arwah Gian ke dalam tubuh boneka Bobby. Tara ingin mengucapkan proper goodbye. Saat itulah masalah dimulai. Gian yang masuk ke dalam boneka diam-diam melakukan hal yang membahayakan nyawa orang-orang yang menurutnya telah merebut kakak darinya.

Kenapa sih selera boneka orang-orang dalam film horor jelek semua?

 

Topik yang diangkat sangat matang dan kelam sekali. The Doll 3 bicara tentang hubungan kakak adik, yang basically gak punya keluarga lain, dan adiknya jadi cemburu melihat kakaknya ‘diambil’ oleh orang lain. Ini angle yang film-film horor Indonesia yang gak jamah. Not even original Chucky punya ini. ‘Cerita’ semacam itulah yang jarang dipunya oleh horor lokal, yang kebanyakan cuma melempar adegan-adegan seram di sana-sini sepanjang durasi.  Tapi The Doll 3 punya. Horornya bukan sekadar bersumber dari boneka yang bisa membunuh karena kemasukan roh jahat, tapi juga bersumber dari personal karakternya. Kakak yang merasa bersalah kurang menunjukkan cinta kepada adiknya. Adik yang dalam keadaan begitu vulnerable merasa terpinggirkan. Ini adalah subjek yang bisa jadi fondasi drama yang serius. Perkara elemen horornya, The Doll 3 perfectly mengcover itu dengan gaya berdarah-darah yang dipertahankan franchise ini.

Hal baru yang jadi ‘mainan’ oleh teknis franchise ini tentu saja adalah Bobby si boneka yang supposedly ‘beneran’ bisa bergerak alih-alih melotot diam sambil kemudian ngucurin darah kayak di film-film sebelumnya. Tadinya aku sempat meragukan bagaimana film akan melakukan hal tersebut. Bagaimana teknologi kita bisa membuat yang seperti Chucky, you know, apa bakal kelihatan banget orang pakai kostum? Ternyata enggak, film memang menggunakan boneka animatronic yang gak kalah luwes ama film barat. Aku gak tahu mereka pakai berapa boneka di film ini, tapi seenggaknya ekspresi si Bobby tampak cukup beragam. Khususnya pada ekspresi marah, yang lumayan meyakinkan. Jumpscare dalam kamus film ini berarti tusukan pisau Bobby yang datang tiba-tiba. Pisau itu mengarah ke tempat-tempat yang bikin ngilu, batang leher-lah, pergelangan kaki-lah. Adegan pembunuhan dalam film ini sadis, dan seringkali tidak tampak fun kayak di film Chucky. Pure mengenaskan, like, mereka melakukannya karena butuh untuk ada yang mati karena roh si anak ini sudah jadi begitu jahat. Rating ‘Dewasa’ memungkinkan The Doll 3 mengangkat materi yang lebih kelam, dengan cara yang lebih gelap juga tentunya. Pengadeganan horornya pun gak lepas dari kait emosional yang dramatis. Kita akan lihat momen ketika Tara hadap-hadapan sama mayat adiknya yang sudah membiru dan mulai membusuk ketika dia harus menggali kuburan sang adik. Aku sebelumnya tertawa melihat adegan dengan mayat seperti ini dalam kartun Rick and Morty, tapi dalam film The Doll 3, feelingnya pure naas. Satu lagi momen dahsyat film ini adalah pada saat gambarin adegan kematian Gian. So dramatic yet so haunting. Detik-detik kakak lari mencari-cari adiknya yang mau terjun dari suatu tempat dipadupadankan dengan keriuhan orang-orang lagi menanti momen tahun baru. Lalu ketika semuanya terjadi, si kakak menangisi dengan latar kembang api. Bukan lagi soal efek atau apa, melainkan perasaan yang dihadirkan benar-benar pas untuk menghantarkan kita terbenam ke dalam tragedi yang bakal jadi horor keluarga ini.

Horor memang selalu jadi tempat/medium puitis untuk menggambarkan tragedi, termasuk juga yang menimpa anak kecil. Film-film seperti It, The Babadook, bahkan The Shining, dan banyak lagi sangat hati-hati dalam memvisualkan horor tersebut. Anak kecil bisa terabuse mental atau fisik, tugas film untuk memperlihatkannya ke dalam bentuk seperti ditakut-takuti, atau malah jadi menjahati dengan penuh pertimbangan sehingga ketika membahasnya tidak malah tampak seperti sedang mengeksploitasi. Film The Doll 3 memperlihatkan anak yang memilih untuk bunuh diri. Ini bukan persoalan main-main, bunuh diri pada anak harus dapat perhatian yang serius karena di dunia nyata itu memang masalah serius. Jangan sampai ketika jadi film, malah kayak meromantisasi tindakan tersebut. It is a heavy subject, dan The Doll 3 kayak menghindari ini. Kupikir persoalan matinya Gian akan mendapat pembahasan yang serius, tapi ternyata hanya disapu singkat. Film menempatkan ke dalam value moral ‘orang yang mati seperti Gian tempatnya berbeda dengan  orang yang mati seperti ayah dan ibunya’ tapi enggak pernah spesifik kembali ke persoalan bunuh dirinya. Gian di dalam Bobby sudah jadi jahat, dan dia gak ragu membunuh orang termasuk anak-anak seperti dirinya. Di film ini, anak kecil adalah subjek sekaligus objek kekerasan. Penggambaran gak tanggung-tanggung, anak kecil terjun bunuh diri, anak kecil ditusuk, disabet pisau, didorong dari atas, diinjak. Aku sudah banyak nonton horor, dari yang paling sadis hingga paling cupu, dan penggambaran kekerasan seperti film ini seperti jarang ditemukan. Anak-anak ditakut-takuti, diserang, tapi biasanya dilakukan dengan layer. I dunno, mungkin karena pengaruh berita penembakan SD di Amerika yang kubaca sebelum nonton film ini, tapi kupikir harusnya film seperti The Doll 3 harus berhati-hati, bermain lebih cantik lagi, dalam menampilkan anak-dalam-skena-horor supaya gak jadi kayak eksploitasi aja. Gak jadi sebagai pemuas adegan darah saja.

Bicara tentang anak yang merasa tak-dicintai, tapi hampir seperti film ini sendiri kurang ‘mencintai’ karakter anaknya. Yang seharusnya bisa sebagai subjek, malah tidak dibahas lanjut. Film ini kayak mau nampilin boneka yang membunuh saja, tanpa benar-benar peduli kalo di dalam situ adalah anak yang bunuh diri, dan ada anak lain yang terus dijadikan target serangan. Untuk menyeimbangkannya mestinya harus ada bahasan yang benar-benar mewakili perspektif sebagai karakter manusia.

 

Apalagi memang film yang secara nature adalah cerita yang sangat mature ini terasa hanya di permukaan. Dia kayak gak benar-benar mau tampil sebagai cerita yang dewasa. Pengen tetep appeal buat seluruh lapisan umur. Bayangkan kalo anak-anak (yang somehow oleh bioskop diloloskan masuk) nonton ini, dan hanya melihat bunuh diri dan penyerangan-penyerangan itu sebagai seru-seruan horor semata. Bakal horor beneran kalo mereka main bunuh-bunuhan di taman kompleks ntar sore! Konteks dark dan trauma harusnya tetap kuat. This is not a movie for children. Maka film harusnya memperdalam dialog-dialognya. Karena yang kita dengar sepanjang nyaris dua jam itu adalah dialog standar “Kakak gak cinta sama aku!” “Kakak sayang sama kamu!” Dengan kualitas dialog seperti itu, kayak, mereka bukannya masukin persoalan anak karena pengen membahas dan ngobrol mendalam secara dewasa, melainkan supaya anak-anak bisa ikut nonton sadis-sadis yang dibikin. Kan aneh. Dialognya terlalu receh untuk tema sedalam ini. Alhasil karakternya juga gak pernah jadi benar-benar terfleshout.

Dari segi akting jadi gak ada yang menonjol. Jessica Mila, Winky Wiryawan, Montserrat Gizelle, mereka gak dapat tantangan apa-apa dari film ini. Selain teriak ketakutan dan kesakitan. Bahkan peran Gian yang unik pun diarahkan untuk jadi datar. Kurang personality, apalagi jika dibandingkan dengan Chucky. Yang bikin Chucky seru kan campuran dari perangainya yang arogan, kasar, suka nyumpah serapah dan suara kekeh khas dari Brad Dourif – yang semuanya jadi kontras menyenangkan dengan tubuh kecil bonekanya. Chucky jahat, tapi dia jadi karakter jahat yang fun. Gian alias Bobby kayak robot. Datar. Bahasanya kayak anak kecil yang bahkan lebih kecil dari usianya kelihatannya. Aktor cilik Muhammad Zidane yang menyuarakannya bisa apa untuk menghidupkan karakter ini tanpa arahan yang baik. Karakter ini perlu lebih banyak menunjukkan personality. Lihat ketika di final battle dia mulai ngelucu dengan ‘pusing’ atau mulai menjadikan tawa datarnya sebagai signature ejekan, penonton baru bereaksi dan have fun bersamanya. Sebelumnya, Gian hanya tampak seperti anak cemburuan yang annoying, dia butuh lebih banyak momen membahas karakternya.

Gimana caranya si Bobby bisa pindah-pindah tempat secepat itu???

 

Sebenarnya naskah film ini memang tersusun lebih proper (setidaknya dari horor lokal kebanyakan) Babak set up beneran tersusun, plot Tara sebagai protagonis juga, secara teori, bisa dibilang benar. Ada perubahan pemikiran. Hanya saja, perubahan atau pembelajarannya itu tidak earn dari dalam dirinya. Dialog konfrontasinya dengan Gian hanya seperti dia ngeguilt trip anak itu. Oke, membunuh orang memang perbuatan salah, tapi selain Gian diberitahu dia salah, Tara juga perlu mengenali apa sebenarnya awal dari ini semua. Tara harus mengenali kesalahan yang ia buat sebagai sumber masalah sehingga aksi dia membenahi diri – secara perspektifnya – akan jadi penyelesaian kisah ini. Tapi momen pembelajaran seperti itu gak ada. Sepanjang film, Tara hanya menyaksikan adiknya mencelakai orang, Tara sendiri tidak pernah benar-benar dalam bahaya. Harusnya ini bisa jadi akar inner journey Tara. Kenapa orang sekitar yang mencintainya semua terluka. Ortunya yang kecelakaan saat mau menjemput dirinya, adiknya, pacarnya, adik pacarnya. Kenapa adiknya bisa sampai cemburu. Dan ngomong-ngomong soal adik pacarnya, mestinya si Mikha itu bisa jadi redemption buat Tara. Bentuk maaf Tara gak mesti harus kata-kata yang ia ucapkan ke depan Gian, apapun bentuk si Gian saat itu. Bisa dengan benar-benar menunjukkan kepedulian sama yang mencintai dia atau semacamnya. Namun sekali lagi, karakter Tara juga gak dibahas mendalam karena film terus menerus ke soal Gian cemburu saja.

Pembelajaran Tara datang lewat twist berupa revealing yang tahu-tahu menambah motivasi dirinya di menit-menit akhir. Ada penjelasan panjang mengenai kejadian yang awalnya kayak cuma prolog saja. Protagonis kita berubah jadi better person karena pengungkapan ini. Karena ternyata ada karakter yang ternyata menyimpan rahasia kejadian sehingga dia gak perlu lagi merasakan hal yang ia rasakan kepada si karakter. Sehingga dia kini bisa menghormati pilihan hidup (atau mati) adiknya. Ini cara yang aneh dilakukan film untuk berkelit dari bahasan rumit kakak-adik. Mereka cukup memaparkan kejadian dari luar dalam bentuk ‘twist mencengangkan’. Supaya audiens suka. Tapi nyatanya, yang kulihat di studio, penonton malah mulai kasak-kusuk sendiri begitu momen twist yang gak perlu ini muncul sebelum penghabisan. Karena memang di bagian ini bagi penonton casual (yang hanya menonton adegan-adegan), film kayak ngestretch waktu aja. Ceritanya sebenarnya sudah abis.

 

 

 

Bagus sebenarnya di skena horor Indonesia ada yang berbeda seperti franchise ini. Yang menawarkan materi yang lebih dewasa, gaya yang lebih sadis, sebagai alternatif. Cuma sayangnya, filmnya sendiri gak komit betul dengan tawarannya. Film ini masih dibuat seperti supaya semua lapisan umur menonton. Padahal tema dan ceritanya sangat dewasa. Adegan-adegan horornya juga berdarah dan lebih kelam. Tapi dialog dan karakternya masih ditulis sederhana. Kurang personality. Tidak mendalam. Plot karakternya juga disesuaikan dengan twist yang somehow masih dianggap perlu. Padahal harusnya karakter berubah dari dalam. Cerita padahal akan baik-baik saja jika mendalami perihal kakak dan adiknya yang cemburu. Kalo ada yang bunuh diri di sini, maka film ini pun membunuh dirinya sendiri dengan terjun bebas lewat pengungkapan mengejutkan yang tak perlu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE DOLL 3

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian cara yang tepat untuk menangani adik atau anak yang cemburu karena merasa kurang disayangi?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE NORTHMAN Review

 

“He who seeks revenge digs two graves.”

 

 

Dongeng-dongeng kerajaan selalu diwarnai oleh perang, perebutan kekuasaan, dan pengkhianatan. Mulai dari Ken Arok hingga Game of Thrones, selalu ada yang namanya pertikaian menggulingkan raja. Kudeta dari sanak keluarga. Entah itu untuk menjadikan hal lebih baik atau lebih buruk. tahta dan kekuasaan tampaknya memang mengeluarkan sisi ‘binatang’ dari manusia. Betapun beradabnya hidup kita. Mungkin itulah yang bikin Robert Eggers tertarik untuk mengangkat cerita dari mitologi bangsa Viking. Terkenal lewat dua film-panjang pertamanya, The Witch (2015) dan The Lighthouse (2019), sutradara ini bilang dia enjoy mengangkat cerita dari periode dahulu kala karena menurutnya manusia itu tidak berubah. Walaupun zaman dan keadaan bisa demikian berbeda, nature manusia tetap sama. Maka tentu saja menarik sekali mengulik apa sebenarnya yang ingin Eggers sampaikan lewat The Northman, karya terbarunya. Yang membahas tragedi satu kerajaan bangsa Viking di awal-awal tahun Masehi, paket-lengkap perebutan kekuasaan dengan pengkhianatan dengan penceritaan penuh fantasi dan machismo!

Bayangkan The Lion king, jika ceritanya lebih menekankan kepada balas dendam sehingga berkembang menjadi antitesis petualangan si Simba. Gak ada hakuna matata. Hanya balas dendam yang membara.  The Northman menceritakan kisah Amleth. Calon penerus kerajaan yang harus menyaksikan kematian ayahnya, sang raja, di tangan pamannya sendiri. Kisah Amleth ini memang jadi inspirasi William Shakespeare, yang menuliskannya ke dalam apa yang kita kenal sebagai Hamlet – yang diyakini sebagai salah satu literatur paling berpengaruh di dunia. Hamlet telah diadaptasi dan jadi inspirasi bagi banyak karya lain. Salah satunya adalah si Lion King. So yea, Amleth pun diburu oleh kaki tangan pamannya. Seperti Simba diburu oleh para hyena atas perintah Scar, pamannya. Tapi gak seperti Simba yang terbenam dalam rasa bersalah, Amleth tumbuh dengan rasa dendam mengendap dalam dadanya. Mantra yang terus ia ulangi selama mendayung perahu saat melarikan diri adalah “I will avenge you, Father! I will save you, Mother! I will kill you, Fjolnir!” Hingga dewasa – berotot dan buas sesuai didikan klan Berserker yang memungutnya – Amleth terus mengulangi mantra itu. Dan ketika dia mendengar kabar keberadaan Fjolnir pamannya, Amleth menyamar sebagai budak belian sang paman. Dengan bantuan Olga – perempuan yang juga jadi budak – dan  sihir leluhur, Amleth bermaksud untuk memenuhi apa yang ia yakini sebagai tugasnya hidup di dunia.

Ini gambaran cerita Viking paling badass yang pernah aku lihat (bye-bye Viking yang selama ini kutahu dari Asterix!)

 

 

Bahkan untuk film yang sudah kuharapkan bakal sangar, The Northman tetep terasa amat sangat cadas! Aksi-aksinya beneran kekerasan yang tingkat barbar. Yang terasa semakin efektif berkat dukungan warna dan visual yang dingin. Sinematografinya indah  memang, tapi terkesan dingin. Pemandangan Islandia terhampar luas, mau itu daratan bersalju ataupun padang rumput. Malam-malam dengan api unggun. Dan itu semua works out perfectly, ngasih kita pengalaman nonton yang bikin adrenalin naik. Serupa kayak kalo lagi dengerin musik supermetal. I wish film ini tayang di bioskop supaya cinematic experiencenya bisa kita rasakan naik berkali lipat. Gerak kamera film ini benar-benar menyampaikan sensasi hewan buas, seperti yang dirasakan oleh karakternya. Karena dari perspektif Amleth, dirinya adalah serigala liar. Dia diajarkan identitas hidup dan survive seperti demikian, Eggers benar-benar memastikan perspektif protagonisnya itulah yang hanya kita rasakan sepanjang durasi film.

Saking immersivenya semua terasa, aku jadi kesulitan menentukan bagian mana yang paling aku suka dari film ini. Aku terbagi tiga! Bagian menyerbu ke desa untuk dijajah punya gerak kamera yang intens, sesuai dengan konflik yang bersarang di hati Amleth. Karena sekarang dia yang jadi ‘teroris’. Adegan-adegan di sekuen itu bengis-bengis dan Eggers memastikan kameranya gak berpaling dari itu semua. Aku suka. At one time, Amleth menangkap tombak yang dilempar kepadanya, dan melemparkan tombak itu balik ke si pelempar. Bad ass!! Sementara, final battle pun nanti tak kalah poeticnya. Malah bisa jadi terakhir itu adalah adegan swordfight paling ngerock yang pernah kita lihat di dalam film. Amleth dan Fjolnir, one on one, berduel hidup-mati, berlatar volkano yang tengah memuntahkan lava. Hasil akhir duel mereka bikin aku berdiri di kursi dan bertepuk tangan karena begitu keren pengadeganannya. Tapi bagian-bagian yang surealis pun tak kalah cakepnya. Ya, seperti film Robert Eggers yang sebelum-sebelumnya, The Northman juga kental oleh elemen fantasi atau mitologi yang  digarap dengan pendekatan surealis, nyaris mistis. Dan memang gaya ‘horor’nya inilah pemanis film Eggers sejauh ini. Set pieces dan kostum dan sinematografi tadi semakin dahsyat begitu masuk ke ranah ini. Amleth bakal dapat banyak bantuan dari makhluk-makhluk misterius, dia juga bakal banyak mendapat penglihatan. Eggers menjalin semua elemen dunia ceritanya dengan mulus. Also, kita bisa langsung mengerti makna di balik elemen surealis tersebut – atau setidaknya gak butuh banyak pemikiran rumit, karena The Northman, untuk sebagian besar, tidak tampil seambigu dua film Eggers sebelumnya. Ini cerita yang lebih straightforward. Tapi benar-benar ter-enhance berkat gaya penceritaan Eggers. Man, kalo memang harus mutusin, kayaknya aku bakal pilih bagian surealis aja sebagai favorit. Afterall, Anya Taylor-Joy ditempatkan di estetik dream-like tersebut betul-betul pemandangan yang:

*chef kiss*

 

 

Tentu saja penampilan akting dalam film ini juga berada di level ‘out-of-the-world’, alias sama-sama fantastis. Dialog-dialog mereka untungnya enggak setraditional dialog pada The Lighthouse, sehingga gak sukar dimengerti walaupun memang ada beberapa yang berupa chant bahasa nordik kuno (dan pelafalan nama yang cukup bikin lidah mikir dulu). Selain Anya, ada Willem Dafoe, Nicole Kidman, Ethan Hawke, dan banyak lagi aktor yang maksimal menghidupkan karakter mereka. But I do think development karakternya minimal. The Northman ini mengincar Dramatic Irony. Drama dari kejadian yang kita sebagai penonton tahu lebih banyak atau lebih dahulu daripada protagonisnya. Diharapkan, kita semakin peduli sama tindakan yang dipilih si karakter karena, misalnya, kita tahu yang ia pilih untuk yakini adalah sesuatu yang salah, sehingga kita merasakan dramatis dari sana. Nah di film ini, kita bisa melihat jauh lebih dahulu daripada si Amleth perihal apa sih sebenarnya di balik pengkhianatan si paman. Kita melihat Amleth sepanjang durasi terbakar oleh rasa dendam, bahwa segala tindakannya berujung kepada rencana untuk membalas dendam, tapi kita juga mengerti sepertinya ada kenyataan yang mengejutkan bagi Amleth di balik pengkhianatan tersebut. Di situlah letak kurangnya perkembangan karakter. Amleth hanya termotivasi oleh satu hal, dan ketika dia tahu kenyataan, bagi Amleth cuma jadi sebuah shock value. Pada akhirnya dia tetap harus membunuh sang paman, tapi perubahan alasan kenapa dia harus membunuh – tidak lagi semata karena balas dendam – tidak benar-benar diolah maksimal oleh film.

Percaya bahwa hidup untuk menjalankan satu tujuan atau fungsi tertentu. Begitulah orang memaknai takdir. Semua orang punya takdir, tapi adalah satu kesalahan meyakini takdir hidup hanya untuk membalas dendam. Perjuangan Amleth pada awalnya untuk membalas dendam, demi merebut kembali tempatnya sebagai penerus raja bersama keluarga. Itulah takdirnya yang sebenarnya. Amleth harus menyadari cara lain yang bisa ia ambil untuk memenuhi takdirnya sebagai raja. Cerita Amleth baru benar-benar jadi tragedi saat dia sudah menyadari hal tersebut, tapi tetap memutuskan untuk membalas dendam.

 

Amleth yang diperankan penuh dedikasi secara fisik maupun emosional oleh Alexander Skarsgard terasa stagnan karena film tidak memperlihatkan perkembangan atau pembelajaran yang ia alami. Misalnya, film melompat begitu saja dari saat dia kecil kabur dari buronan pembunuh, ke masa dia sudah jadi pejuang di klan Berserker. Kita tidak dikasih lihat perjuangannya bisa sampai sejago itu. Film hanya terus menekankan kepada revenge. Keinginan balas dendamlah yang bikin Amleth kuat. Ketika dia mulai jadi budak keluarga pamannya, seharusnya ada banyak psikologis yang bisa digali dari karakter Amleth. Karena di situ dia bertemu dengan ibunya, dengan adik tirinya, dengan pamannya, dan bahkan dengan penjaga yang dulu hampir mencelakainya. Fokus film tetap memperlihatkan balas dendam, Amleth menyusun rencana bersama Olga. Di babak kedua, pas jadi budak inilah film kayak meraba apa yang mau dibahas. Sempat diperlihatkan soal cinta pada keluarga. Ada sekuen yang memperlihatkan adegan Amleth menyelamatkan nyawa adik tirinya. Anak pamannya dengan ibunya. Tapi ini gak lanjut digali. Alih-alih membuat Amleth mengkonfrontasi perasaan atau penyebab kenapa dia menolong, film malah kembali membuatnya seolah itu adalah bagian dari rencana balas dendam. Amleth kerap dibuat kembali ke soal balas dendam. Karakternya jadi kurang dalam.

Hubungan dia dengan ayahnya pun kurang dalam penggaliannya. Like, untuk sebuah tekad membalaskan dendam, Amleth tidak digambarkan sedekat itu dengan sang ayah yang di menit-menit screen timenya diperlihatkan baru saja pulang dari perang dan sudah lama tidak melihat Amleth. Ketika mengetahui fakta tentang siapa ayahnya di akhir pun, Amleth tidak tampak demikian terguncang. Dia lebih terguncang buat ibunya. Menurutku ada penekanan yang kurang tegas dilakukan oleh film. Motivasi Amleth mestinya sudah berubah di titik dia tahu kebenaran. Bahwa the revenge it’s not just really about his father. Maskulinitas kerajaan itu kini hancur oleh terkuaknya peran perempuan. Ada sesuatu yang sepertinya ingin disampaikan film ini tentang perempuan di dalam narasinya. Ibu dan Olga bahkan terlihat punya keparalelan pada peran karakter mereka. Begitu juga dengan kemunculan Valkyrie – pejuang perempuan – dalam penglihatan Amleth. Kedamaian yang akhirnya dicapai oleh Amleth tampak datang dari dia sudah punya keluarga bersama Olga, tapi siklus balas dendam itu masih ada. Menurutku film ini, setelah terlalu straightforward mengisi dua babak awal karena kebutuhan untuk memunculkan dramatic irony tadi, malah tampak seperti kehabisan waktu mengembangkan kisahnya di babak akhir. Karena mendadak yang straightforward jadi balik ke ambigu. Film memang tidak sampai tergagap dan masih mempertahankan pesonanya, tapi kupikir hasil akhirnya harusnya bisa lebih baik lagi.

 

 

 

Meskipun film ketiganya ini enggak sekuat dua film sebelumnya, tapi aku masih amat sangat puas oleh cara Robert Eggers mempersembahkan ceritanya. Gambar dan aksi film ini hits very hard. So many epic scenes!! Mitologi nordik pun berhasil disematkan dengan mulus, dijadikan elemen surealis yang cukup bikin merinding. Karakternya juga punya dramatic point yang sangar, Hanya kurang pengembangan saja. Film ini terasa straightforward untuk sekitar 70-80 persen durasi, tapi lantas menjadi pengen lebih dalem – dan sudah tak cukup waktu. Bukan lantas kusebut berakhir abrupt, hanya memang terasa ada yang kurang ditekankan setelah misi dramatic irony-nya selesai. But hey, itu ‘cuma’ masalah pada naskah. Secara arahan dan visual film ini menghibur sekali dan benar-benar ngasih pengalaman yang berbeda.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE NORTHMAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi bagaimana menurut kalian cerita Amleth yang membalas dendam kepada pamannya yang berkhianat merebut tahta ini bisa relate dengan manusia jaman sekarang menurut Robert Eggers tadi?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

X Review

 

“The old often envy the young”

 

 

 

Horor mirip ama bokep. Keduanya adalah genre yang ditonton orang-orang bukan untuk plot. Penonton memilih film horor supaya bisa melihat karakter-karakter mati mengenaskan. Nilai plus bagi penonton kalo si karakter itu sempat telanjang dulu sebelum dibunuh ajal (which is why paduan horor-bokep easily jadi yang paling laris). Sementara bokep sendiri, jelas,  penonton cuma mau melihat orang gak pakai baju, dalam apapun situasi fantasi mereka. Keduanya adalah eksploitasi,  dan yang terburuk dari mereka adalah bahwa keduanya penuh oleh male-gaze. Tentu saja gak semuanya begitu, ada juga pembuat-pembuat yang mencoba membuat horor, maupun porn, sebagai sebuah seni. Dalam horor, lahir istilah elevated-horor. Horor yang artsy banget, sampai-sampai susah untuk dimengerti. Dalam bokep, I don’t know honestly, tapi dalam film X yang merupakan comeback horor sutradara Ti West ada karakter filmmaker bokep yang berusaha membuat tontonan yang benar-benar nyeni dan cinematik. Memang, fenomena horor dan porn yang saling bersilangan ini jadi circle back together di bawah X (come to think of it, aku jadi gak yakin judul film ini dibacanya memang “ex”, atau “cross”) yang merupakan produksi studio A24. Studio yang khusus bikin apa yang disuka oleh orang banyak dengan gaya yang super duper nyeni.

Yang Ti West bikin kali ini memang film yang ada unsur horor dan bokepnya. Tapi bukan dalam sense ‘horor-bokep’ seperti yang dulu sempat hits banget di negara kita. West membuat sebuah sajian horor yang seperti ditarik langsung dari jaman puncak kebangkitan mainstream genre ini (akhir 70-an) dengan cerita tentang sekelompok kecil pembuat film dewasa.  Mereka menyewa kabin di daerah pedesaan Texas, tapi enggak bilang kepada pasangan tua yang punya kabin tersebut kalo bangunan dan lokasi sekitarnya itu akan dijadikan lokasi suting film bokep. Siang harinya memang suting mereka berjalan lancar (yang berarti peringatan kepada kalian untuk tidak menonton film ini saat sedang berpuasa). Pas malam tiba, baru semua rusuh. Nenek tua yang sedari siang ngintipin mereka mulai kumat dan membunuh semua tamunya satu persatu.

Jenna Ortega sekali lagi bermain di film yang bicara tentang elevated horror.

 

 

Biasanya film-film A24 memang cukup angker bagi penonton mainstream. Karena memang biasanya nyeni dalam kamus mereka berarti film yang bercerita dengan pace lambat, minim dialog, dan secara general sukar untuk langsung dimengerti. Film X ini tidak dibuat dengan seperti itu. X ini benar-benar dibuat mainstream. Dibuat untuk bikin penonton merasakan sensasi sama dengan saat menyaksikan horor, atau bokep. Seperti yang kubilang, jangan nonton ini pas puasa karena adegan-adegan filmmaking mereka meskipun dibuat dengan sinematik tapi tetap straightforward. Kalian bahkan perlu buat ngecilin suara untuk beberapa adegan tertentu. Elemen horornya pun dibuat sedekat mungkin dengan horor ‘fun’ yang biasa kita cari kalo lagi kepengen nonton sambil santai. Lokasi terpencil. Orangtua aneh dan menyeramkan. Pembunuhan sadis berdarah-darah. Ke-overthetop-an kejadian sebagai kontras efek low budget yang jadi pesona khas horor jadul juga ada. Bahkan hewan buas juga jadi aspek horor di sini. Era 79 yang dijadikan latar waktu cerita memang terasa sangat hidup. Kamera, audio, desain produksi. Semuanya membuat film ini kayak beneran dibikin di tahun segitu. Dengar saja dialognya yang kayak percakapan jadul. Kurang lebih pencapaiannya mirip ama Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) yang berhasil melukiskan era action 80-an. Film X ini vibenya mirip banget sama The Texas Chain Saw Massacre original (1974). Bahkan set up cerita yang mereka semua datang dengan mobil van, terus lokasi dan rumahnya yang bakal jadi TKP-nya pun pasti bakal ngingetin fans horor kepada film si Leather Face. Yang selalu paling kuapresiasi tentu saja adalah gak ada jumpscare suara-suara pencopot jantung sama sekali. Adegan yang mengagetkan buat karakter dalam cerita sih ada, tapi tidak pernah disertai dengan treatment yang memaksa kita untuk melompat dari kursi.

Di situlah letak seninya. West benar-benar menguatkan pada kreasi. Dia memilih setting dan estetik 70-80an bukan tanpa alasan. Bukan sekadar throwback nostalgia. Tema yang disilangkannya di sini adalah soal tua dan muda. Secara visual dan penampakan luar, film ini membawa kita ke horor jadul, tapi dia menambahkan unsur-unsur kebaruan – unsur yang mendobrak – merayap di balik itu semua. Pertama kamera, West menggunakan kamera melayang di atas pada beberapa adegan yang bikin kita menahan napas, seperti pada adegan di danau (dengan buaya gede!) dan adegan di ranjang (protagonis kita ngumpet di bawah kolong). Kamera itu ngeshot dari atas langsung ke bawah, kayak lagi tengkurap di langit. Menghasilkan pandangan wide yang kerasa benar-benar horor dan mencekat yang ada di bawah. Penggunaan kamera demikian seperti benar-benar menempatkan film di batas antara film lama dengan film baru. Terasa modern dengan semacam drone, tapi juga closed dan feel traditional dengan scare yang dihasilkan. Ada satu lagi teknik aneh yang dipakai oleh West, yaitu editing transisi pada beberapa adegan. Meski gak berhubungan dengan old-and-new, tapi editing ini in-theme dengan gambaran atau simbol X yang diangkat. Karena West memang menyambungkan dua adegan berbeda seperti saling silang. Agak sulit digambarkan dengan kata-kata, tapi kalo dari urutan editing tersebut bekerja begini: Adegan B akan masuk gitu aja saat Adegan A masih berlangsung, selama beberapa detik lalu balik lagi ke Adegan A, lalu baru benar-benar tiba di Adegan B. Tadinya kupikir ini kesalahan editing, karena tau-tau ada adegan sapi saat mereka ngobrol di dalam mobil. Tapi ternyata editing masuk bersilangan itu muncul sekitar dua-tiga kali lagi sepanjang durasi.

Secara kronologi adegan juga film ini bergaya. Cerita actually dimulai dengan polisi menyelidiki rumah dan menemukan banyak korban. Lalu kita dibawa mundur dan melihat kejadian apa yang terjadi di sana sebelumnya; kejadian itulah yang jadi menu utama film. Sekilas memang ini struktur kronologi yang sudah lumrah digunakan oleh film-film. Tapi sesungguhnya di film ini, struktur tersebut punya fungsi yang lebih signifikan ke dalam tema besar narasi. Dengan menjadikannya berjalan seperti demikian, West membuat cerita film ini menjadi melingkar. Namun dengan karakter reveal yang jadi saling bersilang. Penting bagi kita untuk mendengar ‘pengajian’ gereja di televisi itu duluan karena itu bagian dari development karakter utama, yang nanti bakal ngecircled back berkat struktur melingkar, menandakan pembelajaran karakter yang jika dilakukan dengan linear maka hanya akan terasa ambigu.

Pelototkan mata untuk berbagai adegan yang ‘meramalkan’ kematian karakter-karakter

 

 

Bagian terbaik yang dilakukan film ini terkait tema old-new tersebut adalah karakterisasi tokoh-tokohnya. Seperti halnya horor jadul, karakter yang hadir di X pun sering melakukan pilihan bego. Keputusan mereka sering bikin kita ketawa. Kayak karakter si Jenna Ortega yang setelah diselamatkan, tau-tau malah marah dan pergi gitu aja. Hebatnya, mereka gak hanya tampil bego untuk mati. Mereka gak otomatis annoying, karena film sesungguhnya mendekonstruksi stereotipikal karakter mereka. Dalam horor jadul, yang mati duluan adalah karakter yang ‘nakal’, yang biasanya adalah cewek pirang yang isi otaknya cuma berduaan sama pacarnya, si atlet yang pikirannya ngeres. Final Girl (protagonis/heroine) film jadul selalu adalah cewek baek-baek, yang erat ditandai oleh si karakter masih perawan. Film X merombak ulang semuanya. Yang mati duluan di sini adalah karakter yang tidak have sex, at least tidak di depan kamera. Cewek pirang di sini otaknya berisi pemikiran progresif tentang peran wanita dan kemandirian. Protagonis alias Final Girl cerita adalah Maxine (diperankan oleh Mia Goth yang setengah wajahnya dikasih freckles), salah satu bintang film bokep yang mereka bikin. Arc Maxine benar-benar kebalikan dari sosok Final Girl tradisional.

Konstruksi karakter tersebut membuat film dengan vibe 70an ini jadi relevan. Dengan Final Girl yang bukan lagi ‘orang suci’, film X ingin mengangkat diskusi soal pandangan lama yang sepertinya sudah kadaluarsa di masa modern. Pandangan soal otonomi perempuan dalam hidup atau karirnya. Pembicaraan karakter film ini seputar menjadi seorang bintang bokep (atau soal membuat film porno sebagai sebuah pekerjaan, yang juga bagian dari seni) mirip dengan persoalan di dunia kita mengenai pelacur yang statusnya dinilai lebih terhormat. Tentunya ‘antagonis’ yang tepat untuk perspektif ini adalah agama. Old couple yang jadi pembunuh dalam cerita berasal dari keluarga yang taat beragama, mereka mendengarkan dakwah degradasi moral anak muda. Di tangan yang salah, bidak-bidak ini akan berkembang menjadi cerita yang bakal ofensif dan one-sided. Memojokkan agama. X di tangan West tidak pernah menjadi seperti itu. Bahasan agama ia handle dengan hati-hati. Dikembalikan kepada karakter itu sendiri. Perhatikan perbedaan intonasi dan pilihan kata Maxine saat menyebut dirinya adalah simbol seks di depan cermin pada beberapa adegan. Those would reveal banyak hal, mulai dari development karakter (realisasi dianggap objek hingga menjadi subjek) hingga sedikit backstory karakter itu.  See, dalam menganani bahasannya, film ini jadi sangat ber-layered, akan mudah melihat film menjadi ambigu jika kita ketinggalan satu lapisan. Yang ultimately membuat X jadi punya rewatch value tersendiri.

Tema old-new tadi digunakan untuk memperhalus lagi bahasan sensitif  tersebut. Film tidak sekasar itu menyebut pasangan tua itu jadi sadis karena maniak agama. Film membawa bahasannya ke arah mereka sudah tua, sudah terlalu lama menahan diri. Terlalu lama mengejar bahagia di hari nanti. Kenapa tidak bahagia di masa muda? Konflik film ini sebenarnya bisa disederhanakan sebagai sebuah rasa penyesalan di usia tua. Maka dari itulah West ngasih Mia Goth dua peran. West membuat si Nenek Tua diperankan juga oleh Mia sehingga adegan-adegan antara Maxine dengan si Nenek punya bobot yang lebih besar – kita jadi mengerti si Nenek bisa melihat Maxine sebagai dirinya di masa muda, sebagaimana juga kita melihat Maxine gak mau menjadi seperti Nenek nanti saat tua. Again, karakter mereka juga jadi simbol seperti X yang saling bersilangan.

Alasan Nenek Tua membunuh semua orang (bukan hanya geng Maxine saja, tapi sepertinya beliau sudah sering melakukan ini sebelumnya) bukan semata karena sange. Si Nenekiri dengan anak muda yang masih bisa mengejar segalanya, Iri sama anak muda yang berani memilih untuk bahagia atas kemauan dan sebagai dirinya sendiri. Orang tua memang selalu cemburu kepada anak muda. Karena anak muda punya kekuatan untuk memilih.

 

 

 

Ini boleh jadi adalah horor favoritku tahun ini (belum bisa mutusin, karena baru bulan Apriilll!!). But for sure, film ini beneran keren dan dibuat dengan penuh kreasi dan pemikiran. Film ini membuktikan kalo sajian horor artsy gak harus selalu berat. Sekaligus membuktikan horor mainstream yang fun dan ‘genre’ abis, serta bahkan yang tampak eksploitatif sekalipun, bisa sarat oleh muatan dan memantik diskusi. Horor yang fun gak musti total bego di atas sadis dan seram. Setiap film, apapun genrenya, dapat menjadi tontonan yang menarik dengan naskah cemerlang, gaya yang asik, dan sutradara yang benar-benar peduli sama craft dan punya visi. Film ini punya semua itu. Ada banyak lapisan untuk dibincangkan. Tak lupa sebagai horor, dia mengerikan – punya antagonis creepy, pembunuhan sadis, setting terkurung, dengan stake hidup atau mati. Paduan atau persilangan yang benar-benar seimbang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for X.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menjadi bintang bokep lebih mulia daripada maniak agama?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HALLOWEEN KILLS Review

“… and that fear turns them into monsters.”

 

 

SURAT DARI MICHAEL MYERS

 

Dear Penduduk Haddonfield,

Sebagai putra daerah yang udah meneror kota kesayangan kita empat puluh tahun lamanya, saya akhirnya merasa senang. Harapan saya sih pengen bisa sedikit bangga juga sama kalian. Kalian tidak lagi cuma berdiam diri di rumah masing-masing, menunggu saya yang dalam perjalanan mencari Laurie Strode, untuk mampir dan membunuh kalian sekeluarga. Kini kalian berkumpul dan dengan berani menyusun rencana untuk balik memburu saya. Sebenarnya, dulu sudah ada juga sih yang nekat membentuk pasukan seperti itu. Tapi film Halloween 4 yang bercerita tentang itu, beserta sekuel-sekuel yang lain, udah dianggap enggak ada oleh trilogi terbaru buatan David Gordon Green. Tapi saya masih ingat kok. Dulu itu skalanya kecil. Sekarang, wuih, hampir semua dari kalian yang turun ke jalan. Saya kan jadi gak perlu repot-repot lagi!

Sebelum lanjut, saya mau mengucapkan terima kasih kepada tim pemadam kebakaran kota. Karena telah menyelamatkan saya dari dalam jebakan kobaran api di basement rumah Laurie. Coba kalo pemadam kebakaran tidak datang. Pastilah topeng William Shatner kesukaan saya hangus terbakar. Untung mereka datangnya cepet, topeng saya cuma rusak setengah, dan itu jadinya malah tampak lebih keren. Sebagai rasa terima kasih, saya sudah berikan para pemadam kebakaran itu tiket satu-arah ke alam barzah. 

halloween-kills-michael-myers-fire-survival
Sambutan hangat di kampung halaman

 

Yang jelas, Laurie Strode pasti tidak menyangka jebakan briliannya di film Halloween 2018 bakal berakhir sia-sia. Bukan saja dia gagal menghabisi saya, tapi dia juga kehilangan rumah. Padahal rumah itu sakral loh. Seperti yang akhirnya kalian duga, bagi saya rumah adalah segalanya. Saya akan selalu kembali ke sana. Tidak peduli rumah tersebut sudah dihuni orang lain. Ya tinggal bunuh saja. Pokoknya saya harus bisa menatap jendela di kamar kakak saya. Kalo kalian ingin menyakiti saya, harusnya kalian bakar saja rumah saya. Ah, tapi kalian mungkin tidak kepikiran ke sana. Padahal lihat saja Laurie, sekarang dia gak punya rumah. Dia jadi lemah. Dia malam itu tidur di rumah sakit. Enggak bisa ikut berburu saya, bareng kalian. Aksi Laurie di sini cuma menghajar seorang dokter. Random banget. Jujur saya kecewa juga sih. Soalnya meskipun sekarang kalian jadi jagoan semua, lawan saya jadi banyak, tapi enggak ada yang sekuat Laurie. Bahkan anak dan cucu Laurie saja pun, tetap tidak sekuat dirinya. Saya gak dapat lawan yang sepadan di sini. 

Saya pengen banget ngunjungin Laurie di rumah sakit. Biar persis kayak film Halloween jadul kita yang kedua. Tapi yang ke rumah sakit, justru orang lain. Saya bahkan gak kenal siapa. Kayaknya bukan orang kota kita, deh, guys. Yang bikin saya makin kesal adalah kok bisa-bisanya kalian semua menyangka orang asing itu saya. Ayolah. Orang asing bertubuh kecil, setengah botak, tua, penakut, dan gak bisa naik mobil itu? Sayaa?? Mirip dari Hong Kong!! Oke, mungkin kalian memang tidak tahu atau tidak ingat wajah saya yang sebenarnya seperti apa. Dan mungkin kalian sudah jadi sebegitu takut dan marahnya sampai-sampai gak berpikir jernih. Tindakan kalian malah lebih monster daripada saya loh. Saya mana pernah ngeroyok orang tak-bersalah. Saya membunuh orang tak-bersalah satu-lawan-satu. Nasib si orang itu jadi naas di tangan kalian. Serupa ama nasib orang yang juga dituduh sebagai saya di film Halloween 4.

Itu satu lagi yang bikin saya jengkel. Pak Sutradara pengen bikin cerita baru, dan menganggap kisah saya dan Laurie yang segitu banyak versinya itu tidak ada, tapi dia tetep masukin hal-hal yang membuat saya bernostalgia. Saya kan jadi bingung. Harus flashback atau tidak. Masa lalu saya beberapa dibuat ulang, pake efek yang mulus sekali seolah beneran cerita lama. Lalu masa lalu itu ditambah-tambah. Yang sudah ada diruntuhkan, serpihannya dipake untuk cerita baru. Tapi bagi saya, itu kan tetap cerita lama. Makanya bingung. Laurie kan dibuat jadi bukan adik saya. Lah terus kenapa saya kejar-kejar. Saya juga punya perasaan, tau Pak! Nanti deh, setelah kelar nulis surat ini, saya akan nyamperin beliau.

Sekarang saya mau menyapa teman-teman lama saya dulu. Perawat yang dulu ternyata tidak sampai terbunuh oleh saya. Dan tiga anak kecil, Tommy Doyle, Lindsey Wallace, Lonnie Elam. Dulu mana mau saya menyakiti anak kecil. Yang saya kejar itu ya babysitter-babysitter mereka yang kurang ajar. Yang sikapnya ngingetin saya sama kakak saya. Anak kecil dulu saya biarkan lari. Sekarang aja yang aneh, saya disuruh membunuh satu anak kecil oleh Pak Sutradara. Mungkin biar kalian makin marah kali, ya, sama saya. Tapi Tommy, Lindsey, dan Lonnie sekarang juga sudah bukan anak kecil. Mereka udah gede dan hebat-hebat semua. Mereka bertiga kan, pemimpin kalian? Mereka bertiga kan yang nyuruh kalian untuk bergabung, menyorakkan “Evil Dies Tonight”, memburu saya padahal juga ujung-ujungnya yang jadi tewas terpotong-potong ya kalian-kalian juga. Saya agak kasihan juga sama kalian, makanya mayat-mayat itu saya dandani pake topeng-topeng. 

Halloweenss
Biar gak keliatan sedih-sedih amat.

 

Tau gak, kenapa kalian walaupun ramean tapi tetap gagal? Banyak korban-korban saya yang seperti begini nih: Ketika ketakutan dan dalam bahaya, mereka bukannya kabur, tapi malah berjalan ke arah saya bersembunyi. Kan bego sekali ya. Coba kalo mereka pintar. Pastilah segera kabur dan mencari pertolongan. Kalo kalian pinter-pinter, kalian pasti gak bakal ngeroyok saya begitu saja. Kalian pasti tahulah kalo saya ini manusia berkekuatan supranatural yang gak segampang itu mati. Kalo kalian pinter, kalian pasti sudah membakar saya, menabrak saya, atau mungkin kalian akan mengikat anggota tubuh saya ke kendaraan berbeda dan menarik maju sampai tubuh saya putus-putus. Tapinya kalian semua masih begitu takut dan marah untuk bisa berpikir. Saya senang kalian akhirnya pasang aksi. Menjadikan cerita yang cukup baru. Tapi mbok ya, pinter-pinter dikit lah. Tau-tau malah ribut di antara kalian sendiri, ngejar orang yang jelas-jelas bukan saya, megang pistol aja gak bener! Atau mungkin memang kalian sebenarnya bukan apa-apa selain penambah jumlah korban. Enggak ada tuh satupun dari kalian yang punya motivasi di luar kejadian di malam itu. Kalian yang penyintas juga gak keliatan punya kehidupan lain. Masih mending saya. Paling tidak, motivasi saya jadi terjawab pas akhir cerita. Saya merasa kayak Thanos di film Avengers Infinity War. Sayalah jagoannya di sini.

Jadi, ya, saya kangeeen banget ama Laurie. Kalian jaga Laurie dan keluarganya yang tersisa baek-baek ya. Biarlah Laurie istirahat dan menyembuhkan luka-lukanya terlebih dahulu. Sementara kalian juga sambil belajar mempertahankan diri yang bener. Nanti di film terakhir trilogi ini, di kali berikutnya kita bertemu, saya mengharapkan perlawanan yang seru. Itung-itung buat pemanasan sebelum ketemu Laurie. Jangan kayak kali ini lagi. Kita gak mencapai apa-apa di cerita yang sekarang ini. Banyak dari kalian yang mati sia-sia loh. Palingan cuma buat adegan-adegan mati yang kreatif aja. Matinya kalian di sini itu cuma jadi hiburan loh. Kasian amat.

Saya kasih 3 dari 10 bintang emas deh, untuk perjuangan kalian di HALLOWEEN KILLS.

 

 

Sekian dulu, surat pesan dari saya. Semoga bisa diambil hikmahnya.

Happy Halloween semuaa

 

 

 

Hormat saya, Michael Myers

 

CANDYMAN Review

“We need to define gentrification as separate from the process of displacement”

 

Awalnya, Candyman diciptakan sebagai horor tentang mitos. Ia merupakan gabungan dari legenda-urban Bloody Mary (panggil namanya di depan cermin berulang kali!) dan The Hookman (pembunuh bertangan kait-tajam). Cerita original Candyman menyebut, sosok Candyman akan muncul di belakang siapapun yang menyebut namanya lima kali di depan cermin “Candyman.. Candyman.. Candyman.. Candyman.. (kalian sambung sendiri, aku ogah!)”, lalu mengoyak tubuh mereka dari ujung ke ujung.

Tentu saja film originalnya tersebut sukses menjadi cult-horror, namun bukan karena terbangun atas unsur mitos yang fun dan oleh kesadisan berdarah-darah semata, melainkan juga karena kengerian gagasan yang dibicarakan sebagai tema yang menyelimuti cerita. Candyman bicara terutama tentang ketimpangan sosial antara si hitam dan si putih. Bahasan yang – to no one surprise – masih relevan dan penting untuk dibicarakan di masa sekarang, nyaris tiga-puluh-tahun kemudian. Sutradara Nia DaCosta dan produser Jordan Peele jeli melihat ini. Mereka tahu horor ketimpangan sosial itu masih berlanjut meskipun keadaan seperti sudah dipoles untuk mengesankan perbaikan. Candyman 2021 mereka hadirkan dengan turut memoles mitos dan legenda dalam cerita franchise horor ini supaya lebih cocok untuk memuat problematika injustice yang dihadapi saat ini.

candyman2992287039
Nyanyi lagu Candyman Aqua saat cuci muka di depan cermin masuk itungan nge-summon Candyman gak ya? Duh, gawat….

 

 

Film ini dengan cueknya mengabaikan film-film Candyman terdahulu, kecuali film originalnya yang rilis tahun 1992. Cabrini-Green (kompleks apartemen ghetto alias hunian warga kulit-hitam di Chicago) yang jadi lokasi begitu banyak pembunuhan sadis terkait Candyman, sudah dibangun ulang, diremajakan. Kini jadi kompleks yang cukup elit untuk kalangan seniman. Sejarah kelamnya ikut terkubur. Sampai ketika Anthony McCoy (peran mimpiburuk bagi Yahya Abdul-Mateen II karena intens dan beragamnya horor yang harus ia lakoni), yang lagi berjuang mencari ide untuk installment seni di galeri mendatang, mendengar tentang legenda Candyman. Anthony tadinya hanya tertarik untuk menjadikan Candyman sebagai karya seninya, tapi riset-risetnya tentang itu justru menguak kembali mitos kelam di daerah tersebut. Yang berarti satu hal; Candyman juga ikut bangkit, dengan kesadisan yang sama untuk menempuh tujuan dan bentuk yang sedikit berbeda. 

Naskah film ini dikerjakan bareng oleh Peele, DeCosta, dan Win Rosenfield. Mereka mengambil cerita film pertama sebagai landasan, dan kemudian berhasil mengikatkan cerita asli tersebut ke dalam naratif yang mereka kembangkan. Meskipun ada sedikit yang berubah, atau mungkin tepatnya disesuaikan untuk fit pada narasi yang mereka bikin, tapi film ini tetap menghormati apa yang sudah dilandaskan. Kejadian di film pertama jadi urban-legend baru pada dunia film kedua ini. Karakter-karakternya jadi sosok legenda. Malahan, ada karakter yang sama dimunculkan kembali; ada karakter yang di film pertama masih bayi, di sini akan dijumpai sebagai karakter yang berperan dalam cerita. Untuk karakter utamanya sendiri, si Anthony, well.. Pada review Fear Street Trilogy (2021) sebelum ini, aku sudah menekankan betapa pentingnya bagi cerita untuk mengeset kepentingan tokoh utama yang membuat dia pantas untuk berada di dalam cerita. Horor di dalam cerita harus benar-benar berkenaan, kalo tidak personal, bagi dirinya. Film Candyman terbaru ini tidak punya masalah dalam hal tersebut. Karena Anthony betul-betul digarap sebagai titik sentral. Kita bisa bilang horor film ini berputar di sekelilingnya. Tadinya aku SangChi — eh itumah film Marvel… tadinya aku sangsi karena Anthony ‘hanya’ baru saja mendengar urban-legend Candyman dari karakter lain. Tapi ternyata film berhasil memberikan Anthony purpose dan andil dan keterikatan yang kuat. Bukan saja baginya ini personal karena dia telah memilih Candyman untuk dijadikan proyek seni, tapi juga karena semua itu diungkap berkaitan dengan masa lalu Anthony. Kejadian di film ini jadi sungguh-sungguh berarti baginya, yang membuat kita jadi peduli dan jadi berarti juga bagi kita.

Mitologinya terkait banget, namun juga tidak benar-benar perlu untuk menonton film pertamanya bagi penonton yang belum pernah menyaksikan. Karena film ini sudah menyiapkan beberapa bagian eksposisi yang menuturkan apa yang terjadi sebelumnya. Dan penjelasan itu dilakukan dengan kreatif. Dari segi visual, film menceritakan itu lewat gaya animasi seperti wayang (alias berupa boneka bayangan). Lalu dari segi ceritanya sendiri, film melakukannya dengan variasi, seperti pertama-tama diceritakan sesuai dengan bagaimana kejadian tersebut dipandang oleh masyarakat kulit-hitam sekarang, lalu baru kemudian diceritakan bagaimana kejadian itu sebenarnya terjadi. Jadinya, walaupun cukup banyak eksposisi, tapi tidak terasa membosankan. Karena memang dari segi gaya, film ini melakukan perombakan yang bahkan mencuat di antara genre horor itu sendiri. Like, ada adegan pembunuhan yang dilakukan sembari film ngezoom out – selagi kita dibuat menjauh dari ruangan tempat pembunuhan itu berlangsung. Kita dibiarkan menyipitkan mata berusaha melihat apa yang terjadi. Dan ini menambah misteri dari sosok Candyman itu sendiri. Sosok yang dalam film ini ditampilkan beraksi lewat pantulan-pantulan di cermin. Pembunuhan di galeri seni jadi terasa benar-benar berkreasi saat film hanya membiarkan Candyman bisa kita lihat lewat cermin.

Indikasinya tentu saja adalah bahwa Candyman dipersembahkan sebagai refleksi dari situasi ketimpangan itu sendiri. Anthony melihat dirinya menjadi Candyman di cermin, Anthony mengerang ketika sengatan lebah di tangannya menyebar, membentuk kulit bolong-bolong kayak sarang lebah. Body horor seperti demikian juga merupakan cerminan yang memperkuat gagasan film ini tentang si Candyman. “He’s not a man” Melainkan situasi atau sesuatu yang dirasakan yang terpersonifikasi menjadi makhluk horor. Anthony menjadi Candyman berarti Anthony perlahan mulai merasakan situasi tersebut, perlahan paham bahwa dia perlu mengambil tindakan atas situasi tersebut.

candymanc3MjljZGI3MGQzXkEyXkFqcGdeQXVyMTE4Nzk0MzE4._V1_
Tadinya aku kira sedang nonton versi bajakan karena credit pembuka film ini diberi font terbalik atau mirrored.

 

Sekarang saatnya kita berjingkat memasuki ranah spoiler. Apa sebenarnya makna dari Candyman. Bagaimana film mengembangkan mitologi Candyman dari film pertama menjadi bentukan yang sekarang, menjadi sosok horor yang membawa semangat keadilan bagi masalah ras.

Dalam film pertama, Candyman adalah entitas – atau katakanlah hantu – yang hidup sebagai mitos. Aslinya dia adalah anak seorang budak yang disiksa sampai mati karena ketahuan jatuh cinta sama wanita kulit putih. Candyman bangkit untuk memastikan cerita ketimpangan yang ia alami terus tersampaikan. Dia kembali setiap kali ada orang yang menganggapnya tidak nyata, dan bermain-main dengan ‘mantra pemanggilannya’. Rekam jejak nasib naas orang kulit hitam tetap hidup selama mitos Candyman hidup. Sesuai dengan yang diperlihatkan film baru ini, setiap kali ada korban ketimpangan, mereka akan berubah menjadi versi berikutnya dari Candyman. Namun, keberadaan Candyman mengalami peyorasi. Di opening film diperlihatkan ada orang hitam yang dikeroyok oleh polisi kulit putih karena dia dituduh sebagai pelaku yang mencelakai anak-anak lewat permen berisi silet. Si orang tadi mati dan menjadi Candyman, tapi orang-orang malah mengingatnya bukan sebagai korban hakim polisi, melainkan dari sesuatu yang tidak ia lakukan. Inilah yang jadi motivasi dalang dalam cerita film baru ini. Dia ingin mengembalikan Candyman kepada ‘fungsi’ terdahulu. Karena si dalang tahu yang sebenarnya terjadi pada si Candyman terakhir. Bahwa ini masih masalah kulit putih menghakimi kulit hitam hanya karena warna kulit yang berbeda. Sistem, tidak peduli sudah dipercantik, tetap busuk seperti demikian di dalamnya. Jadi sekarang si dalang, menggunakan Anthony yang membangkitkan Candyman, berusaha menciptakan Candyman baru untuk tujuan tersebut. Memberantas racial injustice yang merayap di balik kemajuan zaman, di balik gentrifikasi tempat tinggal mereka.

Bangunan bisa direnovasi. Brand bisa di-rebrand. Reputasi bisa diperbaiki. Bahkan sejarah bisa ditulis ulang. Orang-orang bisa lupa akan kejadiannya yang sebenarnya jika tidak ada yang namanya legenda. Peristiwa yang turun temurun diceritakan dari mulut ke mulut. Film Candyman memperlihatkan bahwa legenda itulah yang seharusnya tidak boleh hilang. Karena sebelum mereka dikesampingkan menjadi mitos, mereka memuat yang paling dekat yang kita sebut sebagai kebenaran. Dan dalam sistem yang timpang, yang memandang ras satu lebih mulia atau lebih nestapa, sedang terjadi ‘gentrifikasi’ untuk menutupinya. Candyman, di film ini telah berubah menjasi sosok pelindung, sosok yang memastikan bahwa permasalahan racial injustice masih ada – di mana-mana.

 

Jadi, ya, film yang disebut sebagai ‘spiritual sequel’ ini lebih fokus pada satu gagasan. Tidak seperti film originalnya yang hanya menjadikan Candyman sebagai sosok mitos yang pengen eksistensinya selalu dibicarakan orang, dijadikan “writing on the wall”. Candyman yang baru ini mengaitkan mitos tersebut lebih jauh, mencerminkannya dengan realita sehingga film ini bisa lebih berbobot untuk jadi sesuatu yang dipikirkan. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, film baru ini malah jadi terasa kurang kompleks. Jangkauan film pertama ternyata lebih luas. Selain tentang ras, film itu juga bicara tentang dinamika gender dan kelas. Dan tentang rasnya itu sendiri, film tersebut lebih… apa ya, mungkin lebih balance tapi kurang tepat juga. Begini, pada film pertama Candyman menyerang siapapun yang mengucapkan namanya lima kali. In fact, Candyman khusus tampil di Cabrini-Green, kepada sesama kulit hitam. Dia jadi momok di sana. Candyman tidak peduli menumpahkan darah tak-bersalah. Film pertama itu berakhir dengan protagonis kulit putih yang balik mendapat prejudice sebagai black-hater, dan kemudian dia mendapat respek kembali dari komunitas minoritas tersebut. Bahkan diperlihatkan cewek yang bukan kulit hitam bisa juga kok jadi Candyman. Film itu terasa ‘whole’. Sedangkan pada film baru ini, Candyman hanya menyerang kulit putih. Candyman kini punya agenda untuk menegakkan keadilan. Dia tidak lagi membunuhi semua orang yang ada di ruangan (ada beberapa kali adegan Candyman tidak menyentuh orang kulit hitam yang ada saat dia beraksi)

Tentu, masalah polisi rasis, dan timpang ras secara umum adalah masalah serius yang perlu mendapat concern, dan kita semua perlu aware demi dunia yang lebih baik. Tapi dalam konteks conversations sebagai muatan film, Candyman baru ini terasa lebih sempit. Percakapannya terbatas jika dibandingkan Candyman original yang observasinya dari dua sisi. Film ini terlalu berusaha memberikan arti kepada sosok Candyman – bahwa dia harus melambangkan suatu gerakan atau agenda – sehingga bahkan elemen-elemen karakter lain jadi kurang mendapat porsi. Padahal karakter pacar Anthony punya backstory yang menarik; tentang hubungannya dengan adik, dengan ayahnya, juga soal pekerjaan dan perspektifnya sendiri. Menjelang akhir, memang ada seperti pergantian karakter utama – dari Anthony ke pacarnya ini, dan film kurang mulus pada transisi ini karena baik si pacar maupun Anthony selama durasi adalah nomor dua (dan tiga). Nomor satunya tetap bahasan Candyman. Dan itu kayak beating the dead horse, kita paham filmnya udah set Candyman sebagai penghukum orang putih yang cenderung rasis, jadi kenapa tidak expand the conversations a little more.

 

 

 

Bicara soal gentrifikasi, film ini sendiri juga melakukan perbaikan dalam beberapa hal yang ada pada film originalnya. Kesadisan masih tetap ada, tapi kali ini, nuansa film terlihat mewah dan stylish dengan gaya-gaya bercerita (bahkan gaya-gaya saat adegan pembunuhan) yang membuat film ini mencuat dari jenis horor pembunuh-hantu yang biasa. Ceritanya berhasil menyambungkan dengan film pertama sebagai landasan. Tapi juga dengan beberapa penyesuaian. Mitologi sosok ikoniknya juga diperbaiki sedikit, supaya sesuai dengan narasi yang diagendakan. Film ini punya gagasan, dan fokusnya pada gagasan tersebut membuat film sedikit terlalu banyak berusaha memberikan makna kepada sosok itu. Sehingga bahasannya jadi terbatas. Tidak sekompleks film originalnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CANDYMAN.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang perubahan Candyman seperti yang digambarkan pada film ini? Film Candyman mana yang lebih kalian sukai?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

MALIGNANT Review

“It’s just a beast under your bed, in your closet, in your head”

 

Malignant adalah horor terbaru dari sutradara James Wan, dan actually merupakan horor pertama yang di-direct olehnya semenjak The Conjuring 2 di 2016. Kupikir, James Wan ini sudah move on dari horor. Di proyek Conjuring Universe aja, dia kayak ngasih ide-ide cerita untuk digarap sutradara lain, sementara dia duduk di kursi produser. James Wan kayak udah siap untuk melebarkan sayap, menjajal ke ranah-ranah mainstream lainnya. Dia nge-tackle superhero, misalnya. Dan laku juga. Tapi kehadiran film Malignant ini ternyata membuktikan bahwa cinta dan passion adalah dua hal yang susah untuk ditinggalkan. Passion gak bisa hilang, melainkan akan terus membesar. Kalo dipikir-pikir ya udah kayak kanker ganas. Cuma bedanya, hidup yang terus memupuk passion bukanlah hidup yang sakit. Melainkan hidup yang bahagia. Enggak kayak kanker, yang semakin hari akan… eh, tunggu-tunggu… Hmm, sungguh sebuah ‘kebetulan’. Tau enggak kanker ganas itu sebutan medis resminya apa? Maligna. Alias Malignant!

Kanker yang merubungi tokoh utama dalam cerita Malignant bukanlah aktual sel kanker, melainkan sebuah perumpamaan. Madison di sini dihantui oleh entitas misterius bernama Gabriel, yang diyakini sebagai teman-khayalan di masa kecilnya. Setelah kejadian KDRT yang membuat Madison keguguran yang keempat kali, Gabriel yang selama ini telah terlupakan, muncul kembali. Lewat apa yang terasa seperti mimpi, Madison melihat Gabriel membunuhi sejumlah orang satu persatu, termasuk suaminya. Semua itu ternyata bukan mimpi. Orang-orang tersebut memang mati mengenaskan. Seiring detektif mengusut kasus – siapa dan hubungan antara para korban – kecurigaan pun memusat kepada Madison sendiri. Madison yang tak ingat masa kecilnya, tapi percaya seratus persen bahwa semua ini memang ulah Gabriel yang juga bahkan tidak bisa ia ingat.

Jadi, di sini Gabriel adalah sesuatu yang gak bisa lepas dari Madison. Yang terus menggerogotinya dari dalam. Perumpaannya di sini adalah bisa jadi Gabriel adalah simbol keadaan psikologis Madison sendiri. Sementara juga, film mampu menjelaskan secara literal bahwa Gabriel adalah sebuah fenomena dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Inilah kenapa karya Wan ini segaris dengan horor-horor hebat. Cerita horor yang hebat selalu adalah metafora, dan Wan mampu membuat metafora dengan ikatan ke fenomena nyata yang kuat.

malignant-brings-us-a-new-vision-of-terror
Teman atau malign-kundang?

 

Lebih lanjut membahas siapa, atau apa, sebenarnya Gabriel akan seru, tapi juga akan membuat ulasan ini spoiler berat. Jadi aku tidak akan melakukannya. Cukup disebutkan saja bahwa James Wan sekali lagi berhasil menciptakan sosok ‘hantu’ atau villain horor yang ikonik. Meski gak fresh-fresh amat. Namun memang itulah salah satu kekuatan Wan di ranah horor mainstream. Gaya bercerita. Ia selalu sukses menceritakan kembali trope-trope usang dengan gaya yang unik, sehingga jadi suatu wahana seram yang kerasa baru. Karena sering makek Voldo sebagai karakter di game Soul Calibur, aku jadi bisa menduga what exactly Gabriel yang berjaket hitam, dan berwarah merah darah di balik rambut lurus hitam panjang tersebut. Namun karena momen ke pengungkapannya digarap dengan begitu well-built, aku tetep ikutan teriak. Padahal itu ‘bingkai’ pengadeganannya cuma berupa karakter lagi nonton video pasien diwawancara. Timing tarik-ulur, set atmosfer, posisi dan sudut kamera, serta cut-to-cut editing. Empat itu memang nyaris selalu jadi penentu dalam pembangunan adegan berpunchline –  terutama seperti pada horor, dan James Wan benar-benar sudah ahli dalam menangani empat itu semua. Orang bilang selera pasar itu susah dipahami. James Wan, seperti sudah memahami selera orang terhadap horor – serta titik takut mereka luar-dalam.

Dari yang terlihat di layar sepanjang durasi nyaris dua jam ini, aku bisa membayangkan baginya bikin film ini udah kayak silaturahmi ama teman lama. Tentu saja bukan teman lama yang nyeremin dan nyusahin kayak Gabriel. Kasian ya si Madison hihi.. Ngomong-ngomong ngapain aja sih kita saat ketemu lagi ama sahabat lama? Kita jabat tangan – memeluk mereka, kangen-kangenan, kemudian seru-seruan seperti dulu lagi bersama-sama. Itulah yang exactly terjadi pada film ini. James Wan benar-benar mengembrace akar horornya. Horor yang penuh darah. Dia banyak membuat pengadeganan yang mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya. Ada situasi orang disekap yang mengingatkan pada Saw. Ada juga adegan serangan setan yang dilakukan dengan cepat kayak yang dijumpai pada Insidious. Selanjutnya, seru-seruan James Wan berhoror ria dapat kita rasakan dari beragam cara yang ia terapkan dalam merekam adegan-adegan horor. Kamera gak putus, merekam dari atas sehingga kita kayak menonton rumah boneka? Cek. Jumpscarenya dengan build up yang efektif lewat panning atau ayunan kamera dan refleksi di permukaan kaca? Cek. Jumpscare yang gak pake suara menggelegar melainkan mengalir kayak horor 80an? Cek. Sekuen aksi atau pembunuhan sadis ditambah oleh warna-warna creepy? Cek. Semua adegan horornya efektif dan terencanakan dengan sangat baik. Kita gak bosan menontonnya, karena dinamika yang terjaga. Film ini juga sangat fleksibel, kadang bermain dengan CGI dan efek-efek komputer (saat adegan dream-like Madison melihat perbuatan Gabriel), kadang dengan efek praktikal (aksi-aksi si Gabriel itu semuanya beneran dilakukan loh!), James Wan menyatukannya dengan mulus.  

Ketidakbisaan kita membahas banyak tentang Madison dan Gabriel tanpa membuat ulasan ini jadi spoiler tersebut sebenarnya adalah indikasi yang mengatakan bahwa film Malignant ini terlalu menumpahkan fokus kepada kejadian. Pada apa yang terjadi. Ternyata begini, selanjutnya begitu. Detektif mencari petunjuk, karakter menguak misteri, villain membunuh orang. Ruang untuk bahasan tersirat di balik kejadian luar tersebut jadi tidak luas. Cerita ini tidak bisa membahas lebih jauh tentang kekerasan dalam rumah tangga. Tidak bisa mendalami tentang perempuan yang selalu kehilangan anaknya. Dan ini sangat disayangkan. Terlebih karena film memang mengandung muatan yang cukup banyak.

Yang paling kuat itu sebenarnya adalah bahasan tentang anak yang terbuang. Konflik antara ibu yang terpaksa memilih untuk mengesampingkan buah hatinya karena keadaan. Yang juga dikaitkan keluarga dan ikatan darah. Tapi semua itu tidak terasa terdevelop atau terceritakan dengan natural. Hanya ter-conjure begitu saja menjelang akhir. Disimpan hingga akhir. Karena film di awal fokusnya pada mempersembahkan kejadian-demi kejadian for shock value, bukan untuk menilik muatan.  

 

Penampilan akting dari para aktor jadinya tidak termanfaatkan maksimal. Pemeran Madison, Annabelle Wallis, misalnya. Dia menunjukkan permainan akting yang berkualitas. Akan tetapi karena film ‘merahasiakan’ apa yang terjadi pada karakternya – basically membuat tokoh utama ini sama tidak tahunya mengenai dirinya sendiri dengan kita – Wallis sebagian besar waktu hanya digunakan untuk menunjukkan ekspresi takut atau terkejut melulu. Motivasi Madison adalah pengen punya koneksi-darah, dan ini kita tahu bukan lewat informasi visual atau pembelajaran dari adegan-adegan yang mendukung ke sana. Melainkan lewat dialog gamblang yang diucapkan Madison kepada adik angkatnya.

malignant-trailer-james-wan-the-conjuring
Si McKenna Grace laku banget ya, setiap ada peran versi masa kecil, dia kepakek

 

Walaupun film excellent sekali dalam pembangunan misteri, adegan berdarah, dan adegan menakutkan, untuk urusan bercerita lewat karakter dan dialog film ini terasa demikian lemah. Semua hal-hal yang mestinya bisa penonton simpulkan sendiri, atau bisa ditangkap sendiri maknanya, diucapkan dengan terang-terangan. Oh jadi lewat flashback diungkap waktu kecil Madison dibisikin oleh Gabriel untuk ngambil pisau untuk menusuk perut ibunya, yang ini tentu dengan mudah bisa kita cerna sebagai Gabriel mengendalikan dan bertanggungjawab atas perbuatan Madison. Adegan itu saja ternyata dinilai tidak cukup oleh film. Karena persis setelah itu, kita akan mendengar seorang karakter menyebutkan kesimpulan itu “Jadi, pelakunya adalah… teman khayalanmu?” Banyak dialog-dialog yang tidak diperlukan seperti demikian tersebar pada film ini. Semuanya seperti diejakan kepada kita.

Agaknya James Wan sudah terlalu nyaman menggarap film mainstream, sehingga insting bercerita lewat dialognya jadi menumpul. Kalah tajam sama naluri untuk menyuapi penonton. Untuk memfasilitasi penonton dengan berlebihan sehingga jatohnya jadi kayak tidak percaya sama kemampuan penonton. Tidak hanya itu, film juga tampak tidak pecaya bahwa penonton bakal ngikutin cerita sampai akhir tanpa merasa bosan. Film ini seperti takut, penonton bakal bosan. Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari banyaknya dialog-dialog yang cringe, dan juga dari karakter-karakter pendukung yang dihadirkan untuk komentar-komentar lucu saja. Simak adegan ketika detektif meminta forensik untuk mencari pasangan senjata pembunuh yang hilang. Saat itu, film menyelipkan guyon lewat karakter si forensik yang dibuat naksir ama si detektif kurang lebih bilang, kita semua perlu nyari pasangan hihihi.. Lucu sih lucu, tapi perlu tidak? Penting tidak untuk keseluruhan narasi. Nyatanya, film tidak pernah memfollow up soal hubungan dua karakter tersebut (detektif dan forensik). Dialog itu mengangkat sesuatu tapi tidak menjadikannya apa-apa. Karena sebenarnya ya fungsi dialog itu ada cuma untuk selipan lucu-lucuan supaya penonton gak bosan aja. 

Ok, memang benar film tidak mesti serius selalu, atau ngeri setiap saat. Harus ada momen-momen ringan. Namun juga, menghadirkan lelucon di sela-sela adegan serius itu tanggungjawabnya besar loh. Sebab menyangkut tone – nada film. Sebuah film harus konsisten pada nadanya. Tentu kita gak mau horor yang kita buat malah jatuh sebagai komedi. Drama cinta yang kita garap malah bikin orang takut tidur matiin lampu alih-alih sedih. Keseimbangan tone harus dijaga. Malignant did a poor job dalam hal ini. Film ini tampak ingin tampil sebagai horor personal yang serius, dengan konflik keluarga yang menyentuh. Tapi banyaknya lucu-lucuan membuat nadanya bergeser menjadi komedi. Beberapa hal yang mestinya gak lucu, jadi ikut kebawa lucu. Orang jatuh dari attic, menimpa patah sebuah meja. Aku nyaris ketawa melihat itu. Bukan ketawa defensif saking seramnya. Melainkan karena ketawa lucu. Apalagi kemudian diikuti jeritan Madison yang memang semakin ke belakang jadi hilarious saking seringnya. Setan yang kabur terseok-seok dikejar detektif? Aku terkikik melihatnya. Dan obrolan di ending, soal konklusi dan pembelajaran ingin merasakan koneksi-darah – dengan ibu kandung terbaring di sebelah mereka, ibu kandung yang baru kebuka identitasnya – dicuekin gitu aja. Aku ngakak. Ups.

 

 

 

Sepertinya James Wan terlampau bersenang-senang kembali menggarap horor. Dengan cerita yang membahas entitas misterius membuat karakter tertuduh melakukan kejahatan, film ini jadi kayak versi seru dan fresh dari The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) yang tampil kaku dan membosankan. Film kali ini, memang kuat di pembangunan adegan seram lewat lewat teknis-teknis atau craft pembuatnya. Adegan revealingnya bakal bikin kita jerit-jerit saking gilanya. Namun sebaliknya, film ini di dialog dan karakter terasa lemah. James Wan tidak berhasil mempertahankan tone film ini. Diawali sebagai horor serius, yang perlahan mulai berat ke arah horor konyol. Malah setelah kita bisa menduga sendiri, film ini gak lagi seram. Traumanya gak digali, kita gak benar-benar bisa relate. Hanya jadi melihat kejadian-kejadian yang semakin edan. Kebiasaan James Wan menangani film-film mainstream mungkin perlu sedikit dievaluasi, di tone down sedikit, karena jika tidak bisa-bisa malah berubah jadi kanker yang tidak diinginkan dalam kreasinya sebagai filmmaker horor yang kreatif.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for MALIGNANT.

 

 

 

That’s all we have for now

Mengapa menurut kalian penting sekali bagi Gabriel untuk membuat ibunya melihat ‘monster’ seperti apa dirinya sekarang?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

DON’T BREATHE 2 Review

“Don’t turn a blind eye to sin”

 

Benar-benar gak napas aku saat pertama kali denger kalo Don’t Breathe bakal dibuat sekuelnya. Ya, Don’t Breathe (2016) yang unik itu, yang ngasih twist seru pada genre thriller home-invasion. Iya, yang sepanjang durasi melempar-lempar simpati kita dari protagonisnya yang maling, ke bapak-tua-buta yang dimaling, dan kemudian menghempaskan simpati tersebut dengan revealing yang sekali lagi mengubah pandangan kita tentang mana yang orang baik dan orang jahat — iya, film seram yang itu!! Kayaknya film tersebut udah perfect dan gak perlu dibuatkan sekuelnya. Kalopun mau ada sekuel, cara paling gampang sebenarnya adalah membuat cerita yang completely gak nyambung sama film sebelumnya; yang karakternya berbeda total; mereka cuma perlu menciptakan situasi yang baru dari keadaan “Don’t breathe – jangan napas” itu sendiri. Tapi, produser Rodo Sayagues (bukan Kamuelos hihihi) justru melihat potensi dari karakter si Blind Man, sehingga langsung turun tangan menjadi penulis skenario serta sutradara untuk film lanjutannya ini. Lanjutan yang membahas lebih dalam, dan lebih dekat, siapa si Blind Man. Dan oh boy – aku masih belum narik napas lagi – karena di sini, Sayagues benar-benar menempatkan Blind Man sebagai protagonis. Pertanyaan besarnya tentu saja adalah bagaimana. 

Bagaimana membuat karakter yang telah terestablish sebagai orang yang telah melakukan perbuatan brutal dan tidak manusiawi kembali menjadi semacam hero yang mengundang simpati?

dontScreenshot_20210812-042725_YouTube-1-824273262-1628787297939
Yang jelas tidak dengan menyuruhnya “Goyang Dontbreath, Goyang Dontbreath~~”

 

Logisnya, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan cerita dengan tujuan seperti itu. Antara membuat ceritanya sebagai prekuel atau origin, atau mengembrace diri sebagai cerita anti-hero. Tahulah, seperti yang lumrah dilakukan oleh live-action Disney belakangan. Rodo Sayagues tidak melakukan salah satu di antara dua itu. Dia menyambung cerita ini delapan tahun setelah kejadian di film pertama. Dalam kurun tersebut, Blind Man memungut seorang bocah dari rumah yang kebakaran, dan membesarkan anak perempuan tersebut sebagai ganti anaknya sendiri. Kini, anak yang ia beri nama Phoenix itu sudah cukup gede untuk minta sekolah normal dan berinteraksi sosial. Blind Man di cerita ini dipersembahkan sebagai orang yang ‘insaf’ dari semua perbuatan mengerikan yang ia lakukan di masa lalu. Tapi dia tetap tahu betapa bahayanya di luar sana. Benar saja, Phoenix ternyata ‘diikuti’ oleh sekawanan orang jahat. Rumah Blind Man sekali lagi disatroni, Phoenix diculik, dan Blind Man harus menyelamatkan sebelum terlambat sementara juga bergulat dengan a right thing yang harus dilakukannya demi Phoenix.

Barulah aku menarik napas. Bukan dengan lega, melainkan dengan kecewa. Sayagues ternyata menyetir film ini ke arah yang paling generik. Keunikan film pertama adalah muatan ambigu moral pada setting home-invasion ruang tertutup, yang menitikberatkan pada aksi-aksi dengan presisi timing dan design suara yang menguarkan atmosfer seperti nyata. Film keduanya ini hanya seperti cerita penyelamatan dan/atau balas dendam yang biasa, dengan ayunan pendulum moral yang tidak terasa didapatkan dengan genuine. Di sini Blind Man didesain seperti memohon, banget-banget, simpati kita. Dia kini mengasuh anak. Dia menyayangi anjing. Dia peduli sama kenalan yang mati. Pandangannya terhadap Tuhan pun sudah berbeda dengan saat di film pertama. Dia yang dulu dengan dia yang sekarang sudah berbeda jauh, dan sayang sekali justru proses perubahannya itulah yang seharusnya jadi fokus film. Film harusnya berkubang mengeksplorasi bagaimana seorang pembunuh, penyekap orang, pemerkosa bisa menumbuhkan hati untuk merawat anak kecil. Itulah cerita manusia yang ingin kita lihat, yang ingin kita dengar. Blind Man harusnya dibuat earned title protagonis itu. Karena jika tidak, jika film hanya langsung membuat dia tiba-tiba kayak orang baik, menggunakan shortcut dengan menghadirkan karakter antagonis yang jahat sebagai lawannya (bagi film ini sesimpel tokoh yang ingin lindungi anak melawan tokoh yang ingin mencelakai anak), maka dengan kata lain film seperti meminta kita untuk membutakan mata dari siapa karakter protagonisnya tersebut. Apa bedanya sama kejadian di dunia nyata kita saat ada mantan predator ujug-ujug diangkat untuk tampil ngasih edukasi bahaya predator.

Dengan menjadikannya begitu, film juga malah mengkhianati konteks ceritanya sendiri. Journey Blind Man dalam film ini adalah soal dirinya tidak lagi menyembunyikan masa lalu. Untuk tidak lagi turn a blind eye terhadap apa yang sudah ia lakukan. Dia tidak bisa membesarkan Phoenix dalam lingkungan bahaya, dan kebohongan; bahwa dia bukan orang yang tepat untuk mengasuhnya. Tapi filmnya sendiri justru memanipulasi simpati kita, meminta kita melupakan yang ia lakukan. Supaya dia bisa tampak simpatik.

 

Oleh karenanya, sekuel ini justru paling baik jika kita menontonnya dengan tidak tahu cerita di film yang pertama. Which is berlawanan dengan poin keberadaan sebuah sekuel. Kenapa tidak sekalian saja membuat cerita baru tentang orang buta yang mati-matian menyelamatkan anak yang bukan anaknya. Blind Man ini dihadirkan lagi kan, mestinya karena film ingin mengembangkan – mengeksplorasi – karakternya. Tapi malah bagian paling penting, bagian developmentnya tidak ditangkap oleh kamera. Hasilnya, ya kita gak bisa benar-benar mendukungnya. Gak simpati, betapapun seringnya dia meringis kesakitan, menitikkan darah dan air mata.

Stephen Lang padahal bermain dengan maksimal. Dia berhasil menjajal tuntutan akting yang diberikan kepadanya. Mulai dari range emosi hingga ke tuntutan bermain fisik. Secara aksi, film cukup berhasil mengulang prestasi film pertamanya. Kita akan melihat sejumlah adegan-adegan yang memanfaatkan suara, bunyi-bunyi, dan cahaya, yang sanggup membuat kita menahan napas menanti ledakan aksinya. Tapi karena sekarang cakupan medannya lebih luas (film tidak berlama-lama di setting rumah karena hanya akan menimbulkan kesan meniru film yang pertama), aksi-aksi film ini tidak lagi terasa spesial. Walaupun karakter yang berlaga itu adalah orang buta. Hanya ada sekian banyak aksi berantem yang bisa diadegankan, sebelum akhirnya semua elemen dalam action itu terasa convenient. 

dont-breathe-2-trailer-2_62c558d4-45a3-4cb6-977c-0aa656d99e52
Berantem gitu doang sih Si Buta Dari Goa Hantu udah duluan kalee

 

 

Film ini masih berusaha memainkan pembalikan moral atau role karakter. Ada yang keliatan jahat, tapi ternyata dia tampaknya seperti baik. Ada yang kayak baik dan simpatik, tapi ternyata busuk. Malah sebenarnya ada satu karakter anak buah penjahat yang menarik. Si karakter ini diam-diam membelot dan membantu Blind Man. Tapi film tidak menggali ini. Dia hanya ada sampai di situ aja. Alih-alih karakter, dia malah jatohnya sebagai ‘kemudahan lain’ yang diset untuk membantu perjuangan Blind Man. Semua karakter dan moral mereka memang itu tidak pernah benar-benar jadi soal, karena film begitu pengen untuk mengecat Blind Man ini sebagai protagonis. Padahal sebenarnya bisa-bisa saja si Blind Man ini jadi protagonis tapi tetep dibuat jahat dan gak ngemis simpati kayak yang kita lihat di sini. Melihat cara film memperlakukan karakter Blind Man di sini, membuat aku jadi suudzon bahwa jangan-jangan si pembuat film enggak mengerti makna dari protagonis dan antagonis itu sendiri. Jangan-jangan mereka hanya menyederhanakan protagonis itu baik, dan antagonis itu jahat. Padahal protagonis itu ya karakter yang motivasinya kita dukung, meskipun bisa saja aksi-aksinya enggak tergolong ‘baik’. Dan antagonis ya karakter yang motivasinya bertentangan dengan protagonis. Nah, akibat dari pembalikan role yang tidak benar-benar earned dan berarti tersebut, alur cerita film ini jadi terasa ngada-ngada. Semua hanya terjadi karena ‘memang begitu ceritanya’. Tidak ada bobot di balik semua.

Sebenarnya masih ada satu cara logis lagi untuk mengembangkan cerita dengan bentuk seperti ini. Yaitu dengan menjadikan si anak, Phoenix, sebagai tokoh utama. Menjadikan cerita dari sudut pandang dirinya. Benar-benar bergerak lewat pilihan-pilihannya. Dengan begitu, kita akan bisa merasakan kebaikan Blind Man ataupun misterinya melalui apa yang dirasakan oleh Phoenix. Mirip-mirip seperti pada formula cerita anak sahabatan ama monster/hewan buas/atau apapun yang dianggap orang-orang berbahaya. Namun film ini juga tidak mau ke arah sana. Mereka lebih suka membuat Phoenix sebagai device. Hanya sebagai karakter yang perlu diselamatkan. Dengan sesekali diberikan aksi-aksi fisik dan pilihan-pilihan kecil. Karakter ini sangat underused, sampai-sampai relasinya dengan Blind Man juga tidak pernah benar-benar mencuat sebagai muatan dalam cerita.

 

 

 

Nulis review ini, aku baru bernapas lega. Karena kayaknya semua uneg-uneg sudah keluar. Film pertama Don’t Breathe adalah salah satu favoritku di tahun 2016. Berhasil menggeliat dalam premis yang sederhana sehingga hasilnya benar-benar tontonan seram yang bikin surprise. Film kedua ini sebaliknya, nontonnya tidak terasa apa-apa. Aku tidak bisa mendukung Blind Man, juga tidak bisa percaya bahwa dia vulnerable dan ada dalam masalah besar. Karena aku nonton film pertamanya. Mungkin, kalo gak nonton yang pertama, aku bisa lebih menikmati film ini. Aksinya cukup mendebarkan – bagian yang di dalam rumah tetap masih jadi highlight. Journey karakternya ada. Tapi itu semua pun tidak pernah keluar dari batasan generik. 
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DON’T BREATHE 2.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana menurut kalian seorang yang pernah berbuat kejahatan mengerikan dapat termaafkan? Pantaskah mereka dimaafkan?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE SUICIDE SQUAD Review

“Everyone in life has a purpose”

 

The Suicide Squad dibuka dengan sebuah swerve. Dan kemudian untuk menit-menit seterusnya, hingga durasi kelar, sutradara dan penulis naskah James Gunn benar-benar mendedikasikan seluruh urat bersenang-senang dan denyut kreatif yang ada dalam hati dan kepalanya untuk menjadikan film serupa wujud dari karakter-karakter di dalam ceritanya, yang bukan orang baik-baik. Karakter-karakter yang beberapa di antaranya bahkan gak cukup baik sebagai kriminal super. Tapi justru itulah poinnya. Film ini, juga bukan film baik-baik. Namun dengan mengembrace sisi ‘bad’ tersebut, Gunn berhasil mengerahkan ‘pasukannya’ ini untuk menyelesaikan misi yakni menghibur kita, para penontonnya, dengan aksi dan komedi yang benar-benar super.

Not-so-direct-sequel ini adalah kelanjutan cerita dari proyek kelompok rahasia ‘korbanin napi untuk membereskan kerjaan kotormu’ yang digagas oleh officer Amanda Waller (Mata bulat penuh rahasia Viola Davis kembali menghidupkan karakter ini). Kali ini dia punya tugas baru untuk para napi-super di dalam tahanan. Menghentikan Proyek Starfish yang misterius di Pulau Corto Maltese yang penuh oleh tentara musuh. Bloodsport (Idris Elba menggantikan Will Smith’s Deadshot) ditunjuk sebagai pemimpin – dari kelompok penjahatsuper yang aneh-aneh. Demi sang anak, Bloodsport yang mematikan dan cukup handal – dia dipenjarakan karena menembak Superman dengan peluru kryptonite – harus rela digabungin ama hewan yang ia benci, yakni tikus. Sebab tikus-tikus itu adalah ‘senjata andalan’ rekan setimnya, Ratcatcher 2 (karakter Daniela Melchior ini bersalah atas mencuri hati kita!) Supervillain lain yang dipaksakan kepada Bloodsport untuk rekan tim adalah Peacemaker (John Cena bilang karakternya adalah Captain America versi douchebag), seorang pria bersenjata polka dot (jangan ngetawain Polka-Dot Man yang dimainkan David Dasmaltchian dengan aneh-tapi-charming kayak Neil di serial komedi Inggris The Inbetweeners), dan seoran-ehm, seekor makhluk setengah hiu yang kekuatannya berupa nafsu untuk memangsa manusia (disuarakan oleh Sylvester Stallone). Oh ya, Harley Quinn yang udah semakin luwes oleh Margot Robbie juga akan bergabung bersama mereka di tengah misi, membawa lebih banyak chaos dan warna-warni.

Tim orang-orang gak beres tersebut harus patuh sama perintah Waller yang bisa meledakkan kepala mereka kapan saja dari jauh. Tapi kemudian pemahaman mereka ditantang oleh kenyataan yang mereka temukan tentang Proyek Starfish yang super fishy. Bloodsport dan rekan-rekan harus memilih apakah mereka memang orang jahat tak-berguna atau mereka bisa jadi pahlawan.

suicidemaxresdefault
Aku akan bilang kepada anak-anakku kelak, bahwa ini adalah geng Jackass

 

Tapi bukan tim Bloodsport-lah yang kita lihat pertama kali. Inilah swerve yang aku maksud di pembuka tadi. Demi pembuka yang gak boring kayak Suicide Squad tahun 2016, Gunn siap untuk melanggar banyak aturan. Gunn totally memperlihatkan kita karakter lain, membentuknya seolah itulah karakter utama, membuat dia tergabung ke dalam tim penjahat super yang kocak dan absurd, dan lantas meledakkan mereka semua begitu saja. Darah mereka dipakai untuk membentuk ejaan judul. Aku tahu, sebenarnya normal sebuah film punya sekuen prolog seperti demikian. Seperti Scream yang memperlihatkan aktor muda yang lagi naik daun kayak Drew Barrymore di awal, yang kemudian ternyata hanya untuk membunuhnya sebagai pengantar. Di The Suicide Squad ini, Gunn berniat untuk menyambut kita dengan gemilang. Langsung ke pusat chaos, absurd, dan stake bahwa karakter-karakternya di sini bukanlah tipikal protagonis film superhero yang biasa – mereka semua either adalah orang jago tapi jahat, atau orang jahat tapi bego, dan mereka semua bisa mati tanpa terkecuali. Gunn tahu sebenarnya dia cukup dengan memperlihatkan kegagalan tim pertama, tapi Gunn tidak gentar untuk melangkah lebih jauh. Insting kreatifnya membuat dia mengambil keputusan untuk menjadikan film ini juga ‘jahat’ – gak peduli sama aturan. Jadi Gunn lanjut dengan menanamkan kecohan ‘karakter utamanya ternyata bukan dia’ tersebut. Kecohan yang efektif dan menghibur, walaupun memang jika dipandang lewat lensa penulisan itu bukanlah hal yang benar.

Dan setelah pembuka itu, instantly aku tahu sedang berurusan dengan apa. Sebuah film aksi komedi yang bakalan ‘susah’ untuk dinilai. Di opening tersebut Gunn telah sukses memberi isyarat dan melandaskan kehebohan seperti apa yang ia incar. Film ini akan gagal jika Gunn tidak berhasil mengfollow up opening tersebut dengan semakin banyak dan semakin gila lagi aksi dan semua-semuanya. Yang juga berarti bahwa keberhasilan film ini ditentukan dengan seberapa banyak lagi Gunn berani untuk melakukan hal-hal yang ‘gak bener’ dalam bangunan filmnya. Jadi, dengan memahami itu semua, aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku akan menilai film ini hanya dengan sebagai hiburan, atau menilainya dari seberapa banyak kesalahan yang sengaja diambil. Kreativitas yang ditonjolkan oleh Gunn, alih-alih usaha untuk menjaga film tetap stay di jalur kebenaran, memberiku pilihan ketiga. Menilai film ini dari kreasi yang dilakukan Gunn dalam mengolah hal-hal ‘gak bener’ yang harus ia lakukan dalam bangunan filmnya.

Cerita dengan karakter sebanyak ini cenderung untuk memerangkap sutradara ke dalam momen-momen pengembangan karakter yang gak imbang, ataupun dilakukan dengan tampak terpaksa; menyelipkan adegan-adegan ngobrol di antara aksi-aksi. Yang kaitannya dengan eksposisi. Film itu akan tampak terbagi oleh aksi dan penjelasan yang boring. Gunn melempar begitu saja karakter-karakternya kepada kita. Mengutamakan untuk memperlihatkan langsung apa yang karakter-karakter itu lakukan daripada lebih banyak menjelaskan origin. Dialog-dialog set up film ini cepat, sambar menyambar. Visualnya dibikin unik, mencolok dan berwarna bukan hanya untuk pamer, melainkan sebagai penguat karakter itu sendiri. Ketika momen-momen lambat itu betul-betul diperlukan, Gunn juga gak sekadar memberitahu kita, atau juga tidak sekadar flashback. Dia melakukannya lewat visual unik juga. Dia menggunakan jendela bus sebagai ‘jendela’ untuk melihat ke masa lalu karakter yang sedang diceritakan. Dia bahkan memindahkan sudut pandang, membuat kita masuk ke pandangan certain character supaya kita bisa langsung merasakan keanehan dirinya yang kocak (I love the ‘mom jokes’ di film ini!). Dengan membiarkan kita melihat sekaligus mendengar tentang mereka; mengexperience mereka, maka karakter-karakter dalam film ini bisa dengan mudah terkenang. Akan susah bagi kita untuk memilih siapa favorit, karena masing-masing mereka ternyata sudah kita pedulikan. Mereka bukan hanya komentar-komentar lucu, bukan hanya aksi-aksi keren. Mereka gabungan keduanya.

Adegan-adegan aksinya tentu saja sangat kreatif juga. Gunn tidak perlu khawatir menampilkan aksi yang impossible ataupun aksi yang klise kayak gedung runtuh, karena dia sudah berhasil melandaskan karakter dan dunia tersebut. Semua karakter berhasil dicuatkan pesonanya, dan itulah yang digunakan untuk memperkuat adegan-adegan berantem mereka. Salah satu hal keren yang dilakukan oleh film adalah memperlihatkan adegan berantem lewat pantulan helm. Aku sudah pernah melihat yang seperti ini di opening game Resident Evil 3 di PS satu; saat zombie bikin kacau kota diperlihatkan lewat pantulan di kaca helm polisi. Tapi aku belum pernah lihat adegan berantem yang bekerja efektif dari pantulan semacam itu di film sebelumnya. Satu lagi hal penting yang dimengerti oleh film ini adalah timing. Baik itu timing delivery dialog komedi maupun timing visual komedinya. Walaupun fast-paced dan kadang ceritanya balik bentar ke beberapa menit sebelumnya, karena banyak sekali karakter dan kejadian, film ini selalu tahu kapan harus ‘mengerem’. Kita tidak pernah dibiarkan bingung mengikuti ceritanya. Tulisan-tulisan konyol (dan keren) sebagai penanda bab/misi akan sering kita jumpai menuntun kita. Ini juga menghadirkan feels kayak sedang baca komik. Saat ceritanya balik sebentar pun akhirnya tidak terasa sebagai jeda atau sesuatu yang redundant, melainkan kita malah senang karena terasa seperti waktu tambahan untuk menyimak aksi karakter.

suicidesmaxresdefault
John Cena kabarnya di peran ini menggantikan Dave Bautista; rivalnya dalam storyline gulat

 

 

Ngomong-ngomong soal dunia gulat, aku selalu kepikiran Marvel dan DC ini kayak WWE dan AEW. Yang satu produk yang lebih ke hiburan keluarga, sementara satunya lebih mengincar ke penonton yang remaja/dewasa. Perbandingan itu semakin kentara melihat kerja Gunn di film ini. Gunn tadinya menyutradarai film Marvel, lalu dipecat, dan pindah bikin DC. Dan dia membuat film yang jauh lebih edgy di DC. Ini kan sama banget kayak superstar ex WWE yang dipecat, kemudian masuk ke AEW, dan merasa bebas, secara kreatif, untuk bermain dalam match yang lebih ‘brutal’. Gunn membuat The Suicide Squad penuh oleh aksi-aksi yang fun, as in penuh darah dan potongan tubuh yang melayang ke sana ke mari. King Shark makan orang aja ditampilin gak malu-malu. Afterall, karakter-karakter itu toh memang orang jahat. Kalo Suicide Squad pertama hanya mengingatkan kita lewat dialog yang setiap beberapa menit sekali menyebut “we are bad guy”, maka film kedua ini just having fun dengan karakter-karakter tersebut. Malah ada adegan tim Bloodsport membunuhi orang-orang tak bersalah, dan later mereka cuma salting dan bercanda gak mau mengakui perbuatannya. Dan maaan, sebagai penonton gulat yang sudah lama meminta John Cena untuk kembali jadi karakter jahat; film ini somehow terasa refreshing. Cena hillarious jadi karakter yang menjunjung perdamaian, tapi gak peduli siapa korban yang harus ia akibatkan demi perdamaian itu tercapai. Mungkin inilah yang terdekat yang bisa kita dapat kalo Cena masuk ke AEW?

Sepertinya karena itulah film ini jadi ngena. Karakter-karakternya terasa dalem. Ratcatcher 2 definitely favorit dan jadi hati di film ini. Pilihan yang para karakter buat setelah mengetahui kenyataan sebenarnya jadi terasa lebih bermuatan. Dan sebagai bigger picture, film ini memberikan kita sesuatu untuk dipikirkan. Cerita-cerita superhero DC dibuat dark dan gritty, kita butuh untuk melihat pahlawan dalam keadaan terbawah mereka, untuk menunjukkan perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan. Sebaliknya, cerita penjahat seperti The Suicide Squad ini justru paling tepat ternyata dibuat konyol dan menghibur, meskipun tujuan arcnya juga sama; untuk melihat apa yang mereka perjuangkan. Jadi kenapa formulanya seperti itu? Apakah itu merefleksikan kalo baik itu boring, dan jahat lebih fun? Apakah membuatnya lebih ringan membuat kita jadi lebih mudah untuk mendekatkan diri melihat kenapa seseorang menjadi jahat?

Share pendapat kalian di komen yaa

 

Yang dilakukan film ini tidak lain hanya memperlihatkan bahwa orang-orang rendahan seperti para kriminal tersebut – yang bahkan beberapa gak kuat-kuat amat – sebenarnya juga punya kegunaan. Seperti juga ‘kesalahan-kesalahan’ yang ada pada film sebenarnya punya purpose.

 

 

 

 

Embracing bad side tidak hanya dilakukan oleh karakter-karakternya, tapi juga dilakukan untuk membentuk film ini. Namun film ini bukanlah proyek bunuh diri. Film ini melakukan hal yang gak benar, dan kemudian berkreasi dari hal tersebut. Dan dia menjadi sajian yang menghibur dan seru dan sangat asik karenanya. Kita dapat action, blood, lovable karakter, dan begitu banyak momen-momen memorable. Aturan dibuat untuk dilanggar. James Gunn melakukannya dengan passionate, mengerahkan kreasi terbaik yang ia mampu dari sana. Ia mencapai yang terbaik, meskipun naskah yang all-over-the-place, karakter yang gak dalem-dalem amat, dan struktur yang bolak-balik. Aku gak akan bandingin ini lebih lanjut sama film yang pertama, karena perbedaannya cukup jauh. Gak perlu tanya malaikat untuk tau siapa juaranya. Ini actually feels like a movie. Pembuatnya peduli sama cerita. Peduli sama karakter. Dan peduli sama kreasi.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SUICIDE SQUAD.

 

 

 

That’s all we have for now

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

THE FOREVER PURGE Review

“Putting yourself in somebody else’s shoes”

 

Film The Purge, kata sutradara Everardo Gout, adalah film yang akan dipertontonkannya kepada alien jika suatu saat nanti makhluk-makhluk luar angkasa itu beneran datang ke bumi untuk mempelajari manusia. Karena menurutnya, The Purge ini memang salah satu dari sepuluh film yang benar-benar tepat merepresentasikan siapa kita. Manusia. Frasa ‘siapa kita’ yang disebutkan Gout tersebut secara lebih spesifik menyorot ke orang-orang Amerika. Panggung tempat semesta Purge berlangsung.

Lima film, dua serial tv; Purge selepas film pertamanya memang mulai mendedikasikan diri sebagai komentar dari berbagai situasi politik Amerika, di balik tema utama berupa kebrutalan manusia yang butuh pelampiasan kekerasan. They once released film Purge seputar kampanye presiden, bertepatan dengan masa-masa Pemilu mereka. Dunia Purge sendiri memang bicara tentang pemimpin Amerika yang melegalkan segala bentuk kekerasan untuk satu malam kepada warga sebagai gerakan untuk membuat Amerika jaya kembali. Yang padahal hanya membuat yang kaya semakin kaya, dan miskin semakin mati sia-sia

purgeThe-Forever-Purge-1170x642
Hey, kalo yang miskin makin mati sia-sia itu sih, Indonesia juga bisa relate!

 

Gout melanjutkan dunia Purge pada film kelima ini seiring dengan maraknya gerakan Hate yang berkembang di antara warga kulit putih terhadap warga pendatang, sebagai bentukan dari politik mantan presiden Donald Trump. Dan sebagaimana layaknya yang terbaik dilakukan oleh franchise Purge, Gout mengembangkan persoalan tersebut menjadi horor krisis kemanusiaan berskala yang bahkan lebih besar daripada biasanya, as tradisi Purge dibuatnya menjadi tak-terkendali. Namun juga sebagaimana layaknya yang failed dilakukan oleh franchise Purge, Gout juga ikut terlena ke dalam aksi thriller, dengan tidak membiarkan cerita menyelami lebih dalam aspek horor tersebut.

Empati dijadikan inti cerita kali ini. Gout menempatkan kita di sepatu ‘alien’ yakni pasangan imigran dari Meksiko, yang tinggal di Texas. Adela (Ana de la Reguera kembali jadi perempuan tangguh), yang jadi pekerja manufaktur, dan suaminya Juan (peran Tenoch Huerta di sini adalah yang paling stoic di antara yang lain) yang jadi pengawas kuda di rumah peternakan milik keluarga Dylan yang kaya raya. Gout memang gak membuang waktu untuk langsung men-tackle yang ingin ia komentari. Texas bukan saja dipilih karena paling dekat dengan perbatasan Meksiko, tapi juga karena sudah jadi rahasia umum negara bagian tersebut paling tinggi jumlah white spremacistnya. Keahlian Juan sebagai koboy diperlihakan dengan jelas bikin insecure bossnya, Dylan (Josh Lucas masuk banget ke image ‘koboi modern’ beneran). Tensi antara Juan (yang keliatan enggan menggunakan bahasa Inggris) dengan Dylan langsung ditonjolkan, dieksplorasi. Tapi tidak tanpa depth. Karena Dylan diniatkan oleh Gout sebagai wakil dari kulit putih Amerika yang nantinya akan ‘mengenakan sepatu’ Juan. Yang nantinya akan belajar menumbuhkan empatinya karena sebenarnya Purge dan Hate dan everything adalah masalah bersama kemanusiaan. Ya, keluarga Juan dan keluarga Dylan harus saling membantu dan bergerak menuju keselamatan di perbatasan, sepanjang hari yang penuh malapetaka itu.

Hari. Bukan lagi malam. Inilah salah satu keunikan The Forever Purge dibanding film-film Purge sebelumnya. Saat nonton ini, aku udah siap-siap karakter-karakter sentral bakal dikerjai (atau malah mengerjai) begitu malam Purge dimulai. Tapi ternyata enggak, mereka melewati malam yang relatif aman-aman saja. Bahaya justru datang di siang hari – film berkesempatan memasukkan lumayan banyak jumpscare pada sekuen-sekuen pagi sesudah malam Purge tersebut, mumpung kita yang nonton juga masih dalam state ‘merasa aman’. Diceritakan rakyat merasa gak cukup dengan hanya satu malam, dan ternyata ada kegiatan terorganisir untuk mengobarkan Purge selamanya. Menghabisi non-Amerika setuntas-tuntasnya.  

Situasi horor seketika berkembang dari development tersebut. Siapa orang-orang bertopeng yang masih nekat membunuh siang itu, siapa yang menggerakkan mereka, bagaimana kebencian bisa mendadak menyebar secepat itu, bagaimana dengan orang-orang Amerika yang gak rasis kayak anggota keluarga Dylan yang lain. Bagaimana hidup sosial Amerika survive di tengah peristiwa ini. Awalnya aku menyangka development ini sebagai kejutan yang menyegarkan. Sudah sejak lama toh kita penasaran dan pengen Purge menyorotkan kamera bukan hanya ke malam atau menjelang hari H itu saja. Kita mau melihat bagaimana masyarakat menata hidup setelah bunuh-bunuhan di pagi hari. The Forever Purge memberi kita sorotan baru tersebut, meskipun memang enggak exactly seperti yang kita pengen. Tapi at least, ini tetap berbeda dan membuka ke banyak masalah baru. Karena para penduduk cerita pasti pada bingung. It could be lead to tinjauan yang lebih mendalam mengenai reaksi dan kekacauan yang menggunung. 

Maka dari itulah aku kecewa. Karena film ini ternyata enggak menyelam ke sana. Melainkan tetap diarahkan ke ranah lari-larian. Protagonis-protagonis kita akan berusaha kabur naik mobil, dikejar-kejar pendukung Purge. Basically aksinya sama aja dengan Purge yang sudah-sudah. Hanya beda siang hari, tok. Dan ini malah mengurangi kespesialan seri Purge itu sendiri. Yang ciri khasnya orang-orang melakukan kekerasan yang dilegalkan selama batas waktu tertentu. Dengan membuat kali ini kekerasan dan kriminal itu legal untuk sepanjang hari (gak ada batas waktu), film ini jadi gak ada bedanya ama cerita-cerita thriller yang biasa. I mean, judul apapun kalo bikin cerita tentang imigran yang diburu untuk dibunuh, ya pasti filmnya bakal kayak gini. Di akhir film, para karakter akan mendengar berita soal keadaan Amerika yang jadi semacam kondisi perang-saudara (pro-Purge lawan anti-Purge) dengan visual Amerika seperti lautan api; Nah, potongan berita tersebut jauh lebih menarik ketimbang keseluruhan film ini. Aku ingin kita benar-benar ditaruh ke tengah-tengah development kekacauan Purge lepas-kendali ini. Ketimbang cerita karakter yang lari menuju keselamatan, yang paralel dengan film ini lari dari inti yang seharusnya diceritakan. In that way, film ini jadi terasa seperti filler. Jembatan sebelum the real meat yakni film berikutnya (kalo ada) yang aku yakin baru akan membahas kejadian di tengah-tengah perang saudara tersebut.

purgethe-forever-purge-1280x720
Gambaran sebenarnya orang Amerika?

 

Untuk tidak terus menangisi apa yang tidak terjadi, mari bahas bagaimana film ini tampil sebagai dirinya sendiri. Kayak laga thriller generik. Tidak kurang tidak lebih. Ini adalah tipe film yang saat ditonton itu kita akan ngerasa udah sering nontonn film kayak gini sebelumnya. Enggak benar-benar spesial. Meski begitu, Gout sebenarnya tetep berusaha untuk memasukkan pesan-pesan subtil sepanjang durasi kejar-kejaran.

Diberikannya subplot dua karakter interracial yang tumbuh cinta sebagai cara untuk bilang persatuan. Dunia lebih baik dengan cinta. Gout juga mengingatkan kepada Amerika bahwa the land is not their in the first place. Bahwa mereka juga pendatang yang menjarah dari bangsa native Indian. Dengan adanya Indian, Koboi, dan bahkan Koboi yang bukan orang Amerika, film ini udah kayak film koboi yang sangat unik. Ada banyak referensi juga ke genre koboi tersebut. Dan actually film bisa mengaitkan koboi dengan lasso itu sebagai simbol, bahwa semua orang bisa dan berhak menangkap kesempatan. Resolusi film terkait Dylan yang harus menyeberang ke Meksiko, juga mengusung semangat yang positif sekali. Bukan hanya untuk circled back karakternya – melainkan untuk truly menguatkan soal ‘wearing someone else’s shoes’. Untuk merasakan keperluan menjadi imigran, merasakan bagaimana rasanya mencari kesempatan, dan untuk diterima di tanah orang.

For all it’s worth, itulah sebenarnya yang kurang dimiliki oleh manusia jaman sekarang. Rasa empati. Kita telah menjadi lebih gampang untuk begitu curigaan, begitu takut, begitu insecure, sehingga melupakan semua orang punya perjuangan masing-masing.

 

Arc karakter Dylan memang lebih dramatis daripada arc karakter utamanya, Juan. Aku bisa mengerti kenapa bukan Dylan saja yang dijadikan karakter utama. Untuk menghindari cerita ini tampak sebagai another story of kepahlawanan kulit putih. Dan lagi karena film memang ingin membuat penonton berempati kepada imigran seperti Juan dan Adela. Supaya penonton lebih mudah mengalami apa yang mereka rasakan, sehingga berarti membuka perspektif baru bagi penonton yang mungkin masih ada juga yang bersikap seperti Dylan. Namun memang lagi, karakter Juan dan Adela arc-nya terlalu minimalis disiapkan oleh film. They are still murky. Adela yang berusaha menjadi nyaman sebagai warga Amerika, Juan yang sebenarnya juga berprasangka kepada Dylan; mereka ini kurang ada penyelesaian yang jelas. Di akhir itu hanya terlihat kayak mereka lega karena ada orang-orang seperti Dylan. Bahwa ada jalan untuk membuat orang mengubah pandangan sinis mereka. Yang berarti gak banyak perkembangan karakter yang mereka berdua alami sebagai karakter utama.

 

 

 

Refleksi mengerikan dari society yang penuh prasangka dan saling benci diberikan oleh film ini. Gambaran simbolik yang mungkin benar-benar tepat. Sayangnya film lebih memilih untuk mengembangkan ke arah thriller aksi generik, ketimbang ke aspek horor kemanusiaan itu sendiri. Semua cepat aja dibikin panas. Padahal di film The First Purge (2018) sebelum ini aja, diliatin saat pertama kali ada Purge gak semua warga yang langsung resort ke bunuh-bunuhan. Ada perkembangan menuju ke sana. Cerita film ini jadi kayak filler, sebelum ke cerita pembahasan yang lebih ditunggu hadir nantinya. Tapi perlu diapresiasi juga usaha film menghadirkan pesan-pesan positif dan semangat persatuan dengan subtil di balik cerita dan akting dan laga yang sama-sama generiknya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FOREVER PURGE

 

 

 

That’s all we have for now

Nonton film-film Purge selalu membuatku berandai bertanya-tanya. Kali ini terbersit, kalo ada Purge beneran kira-kira siapa ya yang datang ke rumah untuk membunuhku.

Bagaimana dengan kalian, kira-kira kalo ada Purge, kalian bisa menerka tidak siapa saja yang mungkin bakal datang untuk melampiaskan emosi terpendam kepada kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA