FEAR STREET PART 3: 1666 Review

“Intelligence is the biggest blessing that a human being has, but right now it has become a curse upon humanity”

 

Fear Street Part Three: 1666 seharusnya bisa jadi yang entry yang paling fresh karena sudah keluar dari bayang-bayang slasher 90an dan 70an yang menghantui dua bagian sebelumnya. Mustinya di film ini, sutradara Leigh Janiak bisa lebih leluasa mengepakkan sayap, mengembangkan period-horor supernatural, sebab cerita kali ini akan membawa kita mundur jauh ke belakang. Di mana tak banyak yang bisa mempengaruhi, kecuali mungkin horor-horor seperti The Witch (2016).  Yang juga mengusung tema penyihir, yang dikaitkan dengan posisi perempuan dipandang oleh pria. Film ini bekerja terbaik saat berusaha menggali soal tersebut. Akan tetapi, fungsinya sebagai pengikat dan penutup trilogi, membuat film tak bisa berlama-lama di sana. Dan justru membuat film ini jadi entry yang paling tak bisa berdiri sendiri.

Dan untuk membuat hal semakin parah, di bagian terakhirnya ini, film masih berkutat untuk membuat protagonisnya tampak relevan dengan mitologi dan semua masalah pada cerita.

So, here we go again!

Konsep yang dipakai film ini dalam membentuk ‘episode-episode’ triloginya mengangkat peristiwa masa lalu lebih dari sekadar flashback. Mereka adalah cerita tersendiri. Untuk mengikat itu semua, film menggunakan mitologi penyihir, yang harus dipecahkan misterinya oleh satu karakter yang merupakan perwakilan penonton dalam mempelajari apa yang sesungguhnya terjadi. Satu karakter itu adalah Deena. Dalam film ketiga ini, Deena memang akhirnya mendapat banyak porsi untuk beraksi dan menentukan pilihan, dialah yang tau dan mengungkap rahasia.

Setelah mengembalikan tangan yang hilang ke mayat Sarah Fier, Deena tertransport back ke tahun 1666. Tepat pada saat perburuan penyihir akan dimulai. Deena akan mengalami kejadian yang sama dengan yang dialami oleh Sarah Fier. Sayangnya bukan kejadian menyenangkan. Sebab penyihir yang diburu komunitas petani Union itu (sebelum mereka terpisah menjadi dua kota) memang adalah si Sarah Fier. Pada dua bagian sebelumnya, kita telah mendengar begitu banyak tentang urban legend penyihir bernama Sarah Fier. Mitologinya, kutukannya, dan akhir hidupnya sampai-sampai dijadikan lagu anak-anak di kemudian hari. Sekarang, kita akan dikasih lihat bagaimana Sarah Fier saat masih hidup di tahun 1666, di masyarakat Puritan yang masih bersatu, tapi masih sangat terbelakang. Selagi Sarah nantinya akan bertemu dengan nasib yang tragis, Deena belajar tentang kenyataan di balik kutukan yang membuat kota tempat tinggalnya, Shadyside, menjadi kota penuh pembunuhan. Tidak seperti Sunnyvale yang makmur. Kenyataan itulah yang nanti digunakan Deena untuk menghancurkan musuh sebenarnya dan membebaskan seantero kota dari kutukan.

fearstreet3
Apa mungkin harus ganti pemimpin?

 

Namun tugas krusial film bukan sebatas menetapkan apa yang harus dilakukan oleh Deena, tapi tentu salah satunya juga adalah untuk dapat menjelaskan kepentingan Deena di dalam semua cerita in the first place. Bagaimana dia bisa terkonek dengan semua. Kenapa mesti Deena, kenapa bukan karakter lain seperti Ziggy. Dan di titik inilah, di fondasi awalnya inilah, Fear Street Part Three – kalo gak mau dibilang keselurahan trilogi ini – falls apart.

Deena, yang menghabiskan seantero film bagian pertama dengan running around mencari kerelevanan dirinya dengan mitologi, tentu saja by the law of screenwriting akan secara ajaib diungkap related dengan penyihir Sarah Fier. Sebagaimana yang akan kita lihat pada bagian ketiga – dan terakhir – trilogi ini. Deena menjadi Sarah Fier. Yang pada era terbelakang itu dituduh sebagai penyihir, karena dia perempuan yang mandiri, capable, pintar. Dan ya, karena dia adalah perempuan yang suka sama perempuan. Inilah satu-satunya koneksi antara Deena dengan Sarah. Mereka sama-sama lesbian. I was right saat mengatakan di review film bagian pertama, bahwa sexual preference Deena begitu ditonjolkan karena itulah satu-satunya karakterisasi yang dia miliki. Tapi tentu saja aku enggak bilang kalo lesbian itu adalah karakterisasi yang buruk untuk protagonis perempuan. Hanya saja, punya karakterisasi yang sama dengan Sarah Fier tersebut tetap bukanlah alasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan ‘kenapa mesti Deena’ itu tadi. I mean, masa iya cuma Deena lesbian yang lahir di Shadyside dalam rentang tiga ratus tahun itu. Relasi ini terlalu lemah. Deena harusnya punya relasi yang lebih kuat lagi kepada Sarah Fier.

Dan padahal film ini punya banyak kesempatan untuk membuat relasi tersebut lebih kuat. Kenapa mereka tidak membuat Sarah Fier sebagai leluhur Deena saja. Akan bisa lebih tragis. Karena kisah cinta Deena dengan Sam akan naik status menjadi sebuah takdir, karena Sarah juga jatuh cinta sama karakter yang sepertinya adalah leluhur Sam. It also would make more sense, karena memang pada bagian cerita di tahun 1666 itu kita melihat karakter-karakter yang telah muncul pada dua film sebelumnya, ada sebagai karakter lain yang merupakan leluhur mereka. Ada Berman, ada Goode, ada teman-teman Deena tahun 1994 – mereka semua diperankan oleh aktor yang sama dengan yang memerankan karakter mereka sebelumnya. Tapi Deena dan Sarah Fier diperankan oleh dua aktor yang berbeda; Kiana Madeira dan Elizabeth Scopel. Kita tidak melihat ada Deena yang lagi jadi Sarah Fier, bertemu dengan Deena versi 1666 di dunia itu. Padahal adik Deena dan adik Sarah Fier di situ diperankan oleh aktor yang sama (I find it even funnier because I’m not sure if the ‘real’ Sarah Fier a black person or not). Kalopun memang Sarah Fier bukan leluhur Deena, kenapa saat cerita bagian ini yang kita lihat itu tidak tetep Sarah Fier yang asli aja? Jadi keberadaan Deena yang ‘didempetkan’ dengan Sarah Fier benar-benar messed up. Benar-benar terasa seperti film try too hard untuk meyakinkan kita bahwa Deena punya tempat di cerita ini.

Aku lebih prefer kalo protagonis utama cerita ini adalah Britta.. eh, Ziggy. Karena dialah yang telah benar-benar kehilangan. Benar-benar kena dampak kutukan. Ziggy punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh Deena. Koneksi personal ke ‘pelaku yang sebenarnya’, yang demikin terestablish dari film sebelumnya. Atau, bikin saja Sarah Fier asli yang jadi tokoh utama kali ini. I mean, dari posternya aja udah make sense. Udah keliatan kalo sebenarnya lebih cocok Sarah Fier beneran, bukan Deena. Bagian pertama tentang Deena, bagian kedua tentang Ziggy, dan bagian ketiga? Randomly leluhur Sam yang mejeng, padahal dia bukan karakter utama. Padahal sudah jelas cerita kali ini akan membahas kehidupan Sarah Fier.

fear1a182f032558b368568ecd4a02ad3019
Satu lagi dosa film ini adalah tidak nongolin kembali Maya Hawke, kasih jadi siapa kek gitu di tahun 1666

 

Secara arc pun, Sarah Fier lebih kuat daripada Deena. Dalam cerita Sarah Fier, film men-tackle soal perempuan yang dituduh penyihir. Soal pria yang seperti tidak bisa menerima perempuan ternyata bisa lebih pintar dan capable daripada mereka. Soal hubungan asmara yang juga berarti bahwa perempuan ternyata bisa untuk ‘tidak butuh’ laki-laki. Sekalian juga memotret tentang betapa ketakutan bisa menyebarkan tuduhan bermacam-macam, dan kelompok orang yang ketakutan ternyata sangat mudah untuk diperdaya. Sarah Fier yang dianggap membawa kutukan dan memiliki sihir hitam, akhirnya mengembrace anggapan tersebut dengan memutuskan untuk benar-benar membawa celaka bagi para penuduh dirinya. Ini development yang tragis dan sangat personal. Aku benar-benar pengen cerita Sarah Fier ini dijadiin satu film beneran aja.

Dalam sebuah masyarakat terbelakang, kecerdasan bisa menjadi kutukan. Ini bukan soal perempuan bisa secakap atau malah lebih jago saja. Kita sendiri sekarang berada pada masa terbelakang versi modern. Karena sering kita lihat sekarang perkataan para ahli sering dibenturkan dengan perkataan ngasal, dan orang-orang lebih memilih percaya kepada yang ngasal. Karena kenyataan yang diberitahukan oleh yang ahli lebih mengerikan.

 

Coba bandingkan dengan cerita Deena – yang terus dipush oleh film ini. Kisah Deena itu gak ada apa-apanya. Sudah tiga film, tapi perkembangan karakternya nyaris nihil. Plot Deena bukan tentang dia berubah menjadi baik. Melainkan hanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana dia bisa selamat. Perkara dia Shadysider yang muak sama kota juga diresolve dengan bukan sebagai pembelajaran bagi dirinya. Konflik Shadyside yang ternyata selama ini jadi ‘tumbal’ untuk kemakmuran Sunnyvale berakhir bukan dengan para penduduk akhirnya menghormati Shadyside (ingat, Sarah Fier harusnya adalah paralel bagi kota Shadyside), melainkan Sunnyvale akhirnya ada kecelakaan juga. Ini kayak, kita merasa lebih baik sekarang karena kau ternyata enggak seperfect itu.

Usaha film meng-immerse Deena sehingga seolah ini sepenuhnya adalah cerita miliknya pada akhirnya tetap sia-sia karena film harus tetap mengacknowledge bagian ketiga ini terdiri dari dua bagian. 1666 dan 1994 (lagi!) Ini menciptakan problema baru. Pada film kedua, bagian Deena untuk mengikat ke trilogi sangat sedikit sehingga bisa kita acuhkan, 1978 itu diceritakan full dalam tiga babak. Pada bagian ketiga ini, tidak seperti itu. Tidak benar-benar ada struktur tiga-babak di sini. Porsi Sarah Fier 1666 jatohnya tetap terasa seperti flashback yang sangat panjang, lalu cerita ini hanya punya satu jam lagi untuk mulai-dan-penghabisan.

Di saat-saat kayak ginilah, kekurangtajaman Janiak menghidupkan dunia terpampang nyata. Bagian 1666 dengan bagian 1994 tidak terasa banyak berbeda. Hanya setting dan visualnya saja. Tahun 1666 kayak orang modern yang lagi cosplay jadi orang jadul, karena pengarahan akting yang seadanya. Karakter-karakter remaja itu goyah sekali pada aksen dan mannerism, dan segala macam. Sedangkan pada bagian 1994, Janiak yang masih berniat untuk tampil trendi dengan neon dan segala macam, hanya punya walkman dan Konami Code sebagai pengingat kita akan periode yang sedang disaksikan. Karakter-karakter yang tersisa pun tak ada yang bisa kita pedulikan, kecuali Ziggy, yang berusaha dimentahkan oleh film demi Deena.

 

 

Untuk aspek horor bunuh-bunuhannya, aku gak akan bilang banyak. Karena itulah yang satu-satunya dipunya oleh film sebagai hiburan yang membuatnya mengasyikkan. Aku akan membiarkan mereka untuk kalian nikmati sendiri. Aku cuma akan bilang, porsinya gak banyak, tapi masih setara-lah kesadisannya dengan dua film sebelumnya. Ada juga aksi yang melibatkan strategi keren melawan bala tentara pembunuh psikopat, yang buatku mixed feeling karena aku masih melihat rule yang ditetapkan film ini gak konsisten. Tapi secara keseluruhan film berhasil menutup trilogi ceritanya dengan sebuah penyelesaian. Secara cerita, satu jam pertama film ini lebih bisa dinikmati ketimbang film pertama. Meskipun posisinya sebagai film itu sendiri adalah yang paling goyah di antara yang lainnya. It is less than a movie. Seharusnya ada cara yang lebih baik lagi untuk membuat konsepnya immersive dengan cerita. Tapi, ini udah gak tertolong, karena sudah dikutuk, eh salah, desain seperti itu.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FEAR STREET PART 3: 1666

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian setuju bahwa pada kondisi pandemi yang makin parah sekarang, para nakes dan para ahli sudah sama nasibnya seperti pada orang-orang yang dicurigai penyihir alias dianggap berbahaya, dibandingkan omong kosong para influencer atau pihak yang menganggap semua baik-baik saja?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

TILL DEATH Review

“An unhappy marriage chronically feels bad. It’s like a cold that lingers, leaving you drained and vulnerable”

 

 

Ada alasannya kenapa pernikahan dikiaskan sebagai sebuah ikatan. Sepasang orang yang di dalamnya memang terikat permanen, mengarungi sisa hidup mereka bersama dalam suka dan duka. Dalam sebuah pernikahan yang sehat, akan ada tarik menarik dalam ikatan tersebut. Ada interaksi, pasangannya akan bertindak selayaknya sebuah tim. Ikatan tersebut akan terasa hangat. Sebaliknya, dalam ikatan pernikahan kayak dalam rumah tangga si Emma dalam Till Death, well, terasa sangat dingin. Gak ada interaksi, apalagi yang penuh cinta. Salah satu dari pasangan itu akan merasa dirinya terikat seumur hidup pada batu. Karena hanya dialah yang berjuang menarik hubungan tersebut. Itulah yang kemudian literally terjadi kepada Emma. Di tengah salju, Emma harus menyeret-nyeret benda mati yang terborgol bersama dirinya. Benda mati yakni tubuh tak bernyawa milik sang suami.

Premis cerita Till Death ini memang mengingatkan kita kepada film Gerald’s Game (2017), thriller yang diadaptasi dari novel Stephen King. I love that movie very much; buktinya film tersebut nangkring di posisi keempat dalam daftar Top-Delapan-Film 2017-ku. Nuansa ketegangan psikologisnya kentara sekali, perempuan dalam cerita tersebut enggak hanya harus berjuang melepaskan diri dari borgol, tapi juga dari her inner demondemon yang jadi akar dari masalah pernikahan mereka jadi unhappy in the first place. Gerald’s Game diwarnai oleh banyak adegan-adegan surealis, oleh imaji-imaji yang aneh. Till Death, dibuat oleh sutradara S.K. Dale yang memulai debut featurenya, sebagai thriller atau horor yang tidak menapaki jalur psikologis. Melainkan lebih blak-blakan ke action thriller kucing-kucingan, as Emma yang terikat tak berdaya di rumah sepi di tengah salju itu akan disatroni oleh dua orang jahat yang mengincar harta peninggalan suaminya.

Till.Death_.202123.160
“Kata mama, bilang mama pergiii”

 

 

Basically, film ini adalah setengah drama pernikahan tanpa-cinta, dan setengah thriller home invasion. Namun dalam matematika sutradara Dale, setengah tambah setengah itu sama dengan sebuah survival horor yang seru lagi menegangkan. 

Perhitungan tersebut memang tidak salah. Till Death really thrives dalam memperlihatkan Emma simply berjuang, entah itu mencari jalan keluar dari situasinya, ataupun supaya enggak ketahuan sama dua penjahat. Dale tahu persis apa yang ia hadapi ketika memutuskan untuk membuat cerita thriller dalam satu lokasi khusus; The simplicity. Sekilas memang terasa gampang. Tinggal ‘memenjarakan’ karakter dan kemudian membuat keadaan menjadi berbahaya sehingga si karakter tadi harus terus bergerak meskipun dalam kondisi yang nyaris mustahil. Tapi actually, menuliskan adegan seperti demikian itu cukup sukar, karena lawan berat di sini adalah logika. Dale harus bisa melandaskan berbagai rintangan, harus bisa menempatkan tantangan demi tantangan supaya tensi itu terus naik, dengan mempertimbangkan banyak kemungkinan. Setiap aksi harus believable. Setiap opsi harus make sense. Setiap objek harus memenuhi fungsi. Kesimpelan itu pada nyatanya menuntut Dale untuk menyiapkan ‘panggung’ yang detil. Yang berbahaya sekaligus punya banyak celah untuk dieksploitasi jadi tempat bersembunyi. Keberhasilan Dale di sini, diukur dari reaksi-reaksi kita saat menontonnya.

Ketika kita menonton film ini sambil lebih banyak menahan napas ketimbang mempertanyakan aksi karakternya (Kenapa Emma gak lari ke sana? Kenapa Emma bisa cepet banget melakukan itu?), di situlah kita tahu suspens film ini terbangun dengan efektif. Film ini menemukan cara untuk membuat kita memaklumi. Kenapa Emma gak memotong atau menghancurkan saja tangan mayat suaminya — karena suaminya sudah ‘membersihkan’ rumah tersebut dari berbagai benda. Relationship toxic keduanya telah terestablish sehingga kita tahu suaminya melakukan semua ini untuk menghukum Emma, dan bahwa dia tidak merencanakan Emma untuk bisa selamat hidup-hidup (Dale membuat kita circled back ke judul filmnya) Lagipula, keseluruhan Emma terborgol dan harus menyeret-nyeret mayat suami adalah poin utama dari cerita. State yang harus ada, sehingga ini jadi demand dari film kepada kita. Dan Dale menghandle demand tersebut dengan cukup baik. Demand itu kemudian berlanjut saat masuk ke porsi kucing-kucingan. Sekali lagi, Dale tidak sekadar meminta, tapi membuat kita mempertimbangkan kembali tuntutan logika. Membuat kita kembali melihat kepada karakternya. Emma yang seperti bisa berpindah sekejap dengan kondisi jalan aja susah itu bisa saja karena Emma menemukan suatu cara, seperti saat dia membuat sepatu dari sobekan gaun, atau seperti saat dia bersembunyi di salju.

Ini membawa kita kepada the elephant in the room. Megan Fox. Jika Emma yang aktris ini perankan terborgol oleh dead weight suaminya, maka Megan Fox dalam film ini sesungguhnya menyeret demand-demand tadi, yang terikat kepadanya. Permintaan untuk kita mau suspend disbelief tersebut hanya akan beresiko tinggi jika tidak ada dukungan dari permainan akting yang meyakinkan. Akting Megan Fox di sini meminimalisir resiko tersebut. Karena dia berhasil menyampaikan emosi yang lebih lanjut juga berarti mengejakan karakter Emma yang tertulis sederhana pada naskah kepada kita. Simpelnya, Megan Fox is so good in this. Kita percaya Emma cukup pintar dan resourceful, kita peduli Emma punya masalah yang menghantuinya. Kita bisa merasakan vulnerability dan strong-willnya bersamaan. Tadinya aku skeptis dan males nonton film ini karena melihat nama Megan Fox. Tapi ternyata, dia berhasil membebaskan namanya dari bersinonim dengan film jelek, lewat penampilan aktingnya di Till Death ini.

Till-Deathsa
Akankah dia jadi the next Kristen Stewart dan Robert Pattinson?

 

Naskah dengan bijak mempertahankan keseimbangan. Cerita Till Death ini tidak pernah menjadi sebuah agenda, di mana para pria jahat keluar untuk memburu perempuan teraniaya. Meskipun yang menderanya adalah hubungan yang gak-sehat – suami yang kerap mengingatkan bahwa karir Emma sudah diselamatkan olehnya – Emma juga punya salah di sini. Karakter Emma juga bercela. Inilah yang membuat karakternya jadi menarik, dan terasa punya kedalaman. Emma kinda deserved to be in the position she’s in, tapi kita juga cukup bersimpati sehingga kita ingin dia benar-benar selamat dari semuanya.

Emma yang bersimbah darah dan babak belur menyeret dirinya keluar dari ikatan yang membebani. Keadaan Emma ini bekerja literally dan metaphorically. Karena selain bersama mayat, Emma memang berada dalam sebuah pernikahan yang gak-sehat. Keadaan yang persis sama dengan yang Emma rasakan di tengah salju. Dingin dan melelahkan.

 

Makanya ketika adegan Emma akhirnya berhasil melepas borgol, aku jadi sedikit kurang puas. Keadaan terikat itu kan pernyataan yang kuat, eksistensi sebenarnya dari cerita ini. Tapi film ini – karena dibangun berdasarkan formula setengah-setengah tadi, semacam melupakan kepentingan keadaan tersebut. Dale malah menempatkan momen Emma lepas dari borgol itu di luar kamera. Alias kita enggak lihat. Keadaan lengkapnya adalah Emma sedang bersembunyi dalam suatu tempat, dan dia berusaha memotong rantai borgol sebelum penjahat masuk ke ruangan tempat dia bersembunyi. Adegan kemudian cut ke memperlihatkan si penjahat udah masuk, dan penjahat itu melihat mayat suami Emma, tanpa Emma di dekatnya. Jadi, film tidak memberikan kita momen Emma merasa terbebas dari suami. Melainkan langsung lanjut ke tensi berikutnya. Dan ini menurutku sedikit terlalu cepat, dan mengurangi kepentingan dari situasi terborgol itu sendiri.

Perubahan yang terlalu cepat juga kita rasakan saat cerita menarik pelatuk mengakhiri babak pertama. Dari melodrama langsung ke thriller yang intens. Karakternya langsung ‘melonjak’ aktif. Tau-tau cerita bersimbah darah. Babak awal yang slow dan sepi dan dapat disebut membosankan terasa sangat kontras sebagai setengah-bagian pertama dari formula cerita. Bagian awal tersebut kurang melandaskan seperti apa sebenarnya film ini nanti, yang ternyata sadis dan enggak sepi. Sesekali ada kilasan flashback soal dulu Emma pernah jadi korban penusukan, yang menurutku flashback itu seharusnya bisa digunakan untuk mengeset tone film dengan lebih baik di awal cerita. Sekalian bisa membuat babak set up itu menjadi lebih spicy dan gak bosenin. Film-film horor atau thriller yang ada bunuh-bunuhan kan biasanya begitu, dimulai dengan adegan sadis untuk mengeset tone overall, entah itu pembunuhan yang unrelated ke protagonis atau sesuatu yang terjadi pada dirinya di masa lalu.

Film ini mungkin ingin tampil beda. Namun sayangnya dia tetap mempertahankan ‘charm’ genre horor biasa, yakni karakter yang pilihannya bego. Emma mungkin berhasil dijustifikasi. Tapi tidak untuk karakter-karakter lain. Film ini masih memberikan waktu kepada kita untuk meneriaki karakternya dengan berbagai sumpah serapah lantaran bego (dan lambannya) tindakan mereka.

 

 

Jadi, di debut film panjangnya ini S.K. Dale memberikan kita sajian thriller survival yang menghibur. Simpel tapi nendang. Sedikit meminta untuk kita melupakan logika, dan melakukannya dengan menawarkan karakter yang dibuat meyakinkan. Kejutan untuk kita adalah bahwa karakter tersebut dimainkan oleh Megan Fox, yang usually adalah staple untuk blockbuster receh. Penampilan Fox di sini sebenarnya sudah cukup untuk dijadikan alasan menonton. Dia berhasil mengangkat plothole dan kebegoan-kebegoan yang dimiliki film ini menjadi sesuatu yang masih pantas untuk disaksikan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TILL DEATH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Salah satu adegan konyol film ini adalah Emma yang tau-tau sudah memakai kemeja suami, padahal tangan mereka dalam keadaan diborgol. Menurut kalian benarkah itu bisa dilakukan, atau ini hanyalah sebuah lubang lagi di dalam cerita?

Bagaimana pendapat kalian tentang kiprah Megan Fox dalam perfilman sejauh ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

FEAR STREET PART 1: 1994 Review

“This City is what it is because our citizens are what they are”

 

Enggak salah kalo dibilang, Fear Street adalah kakak dari Goosebumps. Lahir dari penulis yang sama; R.L. Stine, seri buku Fear Street juga bercerita tentang misteri, horor, supranatural, bersama jumpscare dan twist ending. Tapi dari sudut pandang anak remaja. Aku belum pernah baca Fear Street karena ketika dua seri buku ini booming, aku masih seusia anak-anak di cerita Goosebumps. Bukannya aku tidak tertarik. Goosebumps sukses berat memperkenalkan horor sejak usia dini kepada pembacanya, dan buatku, maaaan, aku menulis cerita horor versi sendiri dari judul-judul Goosebumps yang selesai aku baca! Segitunya pengaruh Goosebumps kepada kesukaanku terhadap menulis dan horor. Aku masih ingat dulu itu aku berusaha keras supaya bisa meminjam Fear Street di taman bacaan atau perpus. Tapi susyeee… yang jaga tempatnya galak, dan lagi, harga sewa bukunya lebih mahal dari jatah jajan anak SD dulu. Sempat curi-curi baca di tempat sih, satu buku Fear Street, tapi gak sampai tamat. Jadi yang kutahu tentang Fear Street hanyalah bahwa cerita horor di buku-buku itu lebih seram, lebih sadis, dan sedikit lebih dewasa juga (“kamu belum boleh ya, ini banyak pacar-pacarannya” kata yang jaga perpus dulu kepadaku). 

Dan persisnya tiga hal itulah yang dijanjikan oleh film Fear Street yang oleh sutradara Leigh Janiak digarap sebagai loosely adaptation dari buku-bukunya.

Janiak membuat Fear Street menjadi sebuah trilogi, yang kesemua filmnya bakal dirilis dalam rentang per minggu dimulai dari film pertamanya ini. Dengan mitologi penyihir di kota fiksi Shadyside (mitologi yang dikembangkan dari bukunya) sebagai perekat kejadian di tiga filmnya nanti. Bayangkan serial horor kayak American Horror Story yang setiap seasonnya punya setting cerita berbeda, nah Janiak membuat trilogi ini seperti demikian. Setiap film akan mengambil periode waktu berbeda, demi mengupas mitologi penyihir hingga ke akar-akarnya. Konsep yang seperti begini memastikan setiap film bisa punya cerita standalone; cerita tersendiri khusus untuk ‘episode’nya. Yang artinya, meskipun di akhir setiap film akan ada cliffhanger ‘to be continued’, tapi film-film tersebut bakal tetap bisa punya plot personal yang menutup pada masing-masingnya. Pada Bagian Pertama ini, cerita mengambil setting tahun 1994, dan mengisahkan tentang remaja bernama Deena yang masih sakit hati dan belum move on semenjak ditinggal pindah kekasihnya, sementara pembunuhan berantai kembali aktif (ya Bun!) di kota tempat tinggal mereka.

Fear_Street_Part_1__1994_A096C003_190405_R2QE_1.153.1_R_rgb-1
Horornya putus cinta melebihi segalanya

 

Sesuai dengan semangat bukunya (Fear Street, sebagaimana Goosebumps, juga cukup terkenal dengan twist ceritanya), Janiak sudah menyiapkan beberapa spin dan kelokan di sepanjang cerita. Salah satu yang tidak sabar untuk dia lakukan adalah soal (mantan) kekasih Deena yang ternyata bukan seorang dumb jock ala-ala cerita remaja kebanyakan. Kamera, editing, dan bahkan penulisan nama di babak set up terasa kompak untuk membangun persepsi kita ke arah lumrah ini, dan kemudian dengan jumawa film memperlihatkan bahwa Sam yang udah matahin hati Deena itu adalah seorang cewek blonde. Boom, kita dapat kejutan yang progresif. Protagonis lesbian jelas adalah kebanggaan sekaligus soft spot bagi audiens kekinian. Kebanggaan, karena hubungan Deena dan Sam yang selalu difokuskan oleh cerita – melebihi segalanya. Soft spot, karena sampai detik ulasan ini ditulis aku tidak mengerti kenapa situs-situs film memberikan penilaian tinggi untuk Fear Street 1994 padahal nyatanya film ini enggak sebagus itu. Terutama karena terlalu sibuk di Deena dan Sam itu tadi.

Kota Shadyside tempat Deena dan teman-teman tinggal punya reputasi yang buruk. Julukan kota itu adalah Killer Kapital USA, karena selama bertahun-tahun kota tersebut menyumbang catatan pembunuhan berantai terbanyak. Keadaan ini menciptakan tensi antara penduduk Shadyside dengan kota tetangga, Sunnyvale, karena reputasi kota tentu saja menurun ke penduduknya (atau obviously tercipta karena penduduknya). Film ini punya sesuatu di elemen ini. Menarik, saat film memperlihatkan dua SMA dari masing-masing kota, berantem saat acara berkabung untuk pelajar korban pembunuhan. Ataupun ketika ternyata ada dua pandangan dari penduduk Shadyside sendiri soal pembunuhan berantai di kota mereka; ada sebagian yang berpendapat semua kriminal itu berhubungan dengan legenda kota, dan ada juga yang menganggap kota mereka memang bukan tempat yang bagus. Deena sendiri punya pandangan terhadap kotanya, yang sebagian besar terpengaruh oleh hubungan asmaranya yang kandas bersama Sam yang pindah ke kota. Yang mau kukatakan adalah, Shadyside semestinya bisa dijadikan ‘karakter tersendiri’. Sayangnya permasalahan antarkota tersebut tak pernah dibahas lagi karena film memilih memusatkan Deena dan Sam, yang hubungan keduanya bahkan belum terestablish juga dengan baik, sebagai drive utama cerita.

Benar kata Plato, kota memang seperti manusia. Punya personality dengan kekhasan penduduknya. Bisa terasa hangat berkat kenangan di dalamnya. Bahkan bisa juga terasa mengurung, sebab sentimen orang-orangnya. 

 

Sebagai film pembuka trilogi, semua hal yang ada di film ini terasa begitu diburu-buru. Film ini tidak berhasil menjadi landasan yang solid. Bahkan untuk melandaskan mitosnya pun, terasa terlalu cepat. Hanya sekadar ucapan-ucapan eksposisi. Deena punya adik, yang tahu banyak tentang mitos penyihir. Hanya begitu. Aku yakin saat menulis legenda Fear Street, R.L. Stine menjadikan It-nya Stephen King sebagai referensi. You know, kota Derry yang punya mitologi badut alien yang suka membunuh anak-anak. Maka film yang kita saksikan ini pun sedikit banyaknya ada kemiripan dengan It. Dari investigasi mereka terhadap mitologi, dari situasi mencekam kota, dan sebagainya. Namun ada satu hal lagi yang hilang; Penyihir tersebut tidak langsung bersinggungan personal dengan Deena ataupun adiknya. Penyihir itu tidak khusus menyerang remaja. Penyihir tersebut bertindak random. Dan kali ini, kebetulan Sam ngerusak kuburannya, maka Penyihir ngamuk dan mengejar… Sam. Bukan Deena sang tokoh utama.

Jadi film ini sedari karakterisasi aja udah bolong. Janiak literally hanya punya ‘pasangan lesbian’ sebagai eksistensi Deena. Dan itulah yang berusaha Janiak kepada mitologi. Hasilnya, ya film slasher kejar-kejaran yang susah untuk kita pedulikan. Deena semakin annoying karena dia seperti membuat segala sesuatu about her. Teman sekolahnya baru saja dibunuh, dan dia hanya sibuk mikirin how to get back to Sam. Film berusaha memberikan Deena aksi, like, kalo bukan karena Deena, Sam gak akan nyentuh kuburan Penyihir in the first place. Tapi itu tidak lantas memberikan peran besar kepada Deena. Film berusaha membuat film ini punya cast yang out-of-the box. Tampilan geng Deena benar-benar di luar stereotipe geng remaja pada film-film kebanyakan. Hanya saja mereka pun sebenarnya tidak breaking apa-apa. Adik Deena hanya mesin eksposisi, dua teman Deena yang jualan ‘obat’ hanya tiruan Randy di Scream dan tipikal  mean cheerleader (cuma enggak pirang). Deena dengan rambut hitam keriting, yang seharusnya tokoh utama, gak ada ikatan apa-apa sama konflik. Karena yang dikejar-kejar tetaplah Sam si blonde girl. Jajaran cast mereka sebenarnya fresh, aku percaya remaja-remaja itu memainkan sebaik yang mereka bisa. Tapi karena karakter mereka gak menarik, sepanjang film kita akan menyayangkan kenapa mereka yang kita dapat setelah ‘mengorbankan’ Maya Hawke dengan segala bakat dan attitude karakternya.

fearstreetpart11994officialtrailerblogroll-1624912571682
Aku suka film ini ketika dia mirip Scream. Dan itu literally cuma 7 menit saja.

 

Adegan pembuka yang menampilkan Maya Hawke jelas adalah homage untuk Scream (1996). Janiak yang sebelum ini pernah ngedirect episode serial TV Scream buatan MTV, paham menyatukan gaya Scream tradisional dengan slasher modern yang lebih haus darah. Dan itu tercermin di film ini. Fear Street 1994 lebih terang-terangan di adegan sadis. Masalahnya, adegan sadis tidak membuat film otomatis bagus. Scream original enggak perlu terang-terangan banget ngeliatin penusukan, tapi setiap killingnya berhasil membekas tak lekang waktu. Selain rasa nostalgia, tidak terasa lagi rasa apa-apa yang dikuarkan oleh adegan-adegan Fear Street 1994. Tidak ada ritme dalam pengadeganannya, melainkan hanya rentetan kejadian. Ada pembunuh, lari, dibunuh, sembunyi. Film ini tidak punya statement cerdas, atau celetukan meta, atau apapun seperti Scream. Semuanya tidak lebih didesain untuk homage ke horor-horor lain. Scream, It, Stranger Things, Friday 13th, The Shining, beberapa referensi film malah disebutkan gamblang seperti Jaws, House of the Dead. Jalan keluar yang dipikirkan geng Deena bahkan mirip sama film Netflix baru-baru ini, Awake (2021). Dan bicara soal kemiripan tersebut, di akhir film suara aku serak abis neriakin layar. Geng remaja tersebut berusaha menghidupkan seseorang, tapi kesusahan gak ada alat yang bener, padahal sepanjang cerita ini mereka berkendara ke sana kemari naik mobil ambulans!!!

Itu bisa terhitung nitpick sih, mungkin remaja-remaja itu gak tau defibrillator, mungkin ambulansnya kere atau apa, tapi tetep aja terkesan konyol. Dan hal-hal ‘logika lemah’ yang gampang kita nitpick ini ada banyak sekali bertebaran selama durasi. Seperti, pembunuh yang katanya cuma ngincar Sam (pake dibuktiin segala pembunuhnya lewat di samping adik Deena tanpa membunuh) tapi, kenapa beberapa orang di rumah sakit tetep mereka bunuh. Sebagai pembelaan, mereka bisa berkilah karena misteri kekuatan Penyihir belum diungkap seluruhnya. Tapi tetap saja, melihatnya sekarang, film ini did a poor job dalam melandaskan mitologi berupa aturan-aturan kekuatan si Penyihir. And there is a thing about internet dalam film bersetting tahun 1994 ini yang mengganjal buatku. Like, kok bisa Deena menggunakan sambungan telepon saat adeknya lagi chatting di Internet. Mungkin alatnya memang udah ada di Amerika, tapi bukankah lebih umum untuk relate bahwa di tahun 90an koneksi Internet masih tersambung ama telepon?

See, ini uneg-uneg terakhirku. Film ini punya banyak referensi untuk nostalgia 90an. Seting ceritanya pun di periode 90an. Tapi film ini terasa modern, enggak benar-benar terasa kayak berada di tahun 94. Begitu lumrahnya si adek chatting dan dapat info dari Internet – kayak di zaman sekarang aja. Cara ngomong dan elasi karakternya yang udah maju. Bahkan visualnya. Sinematografi dengan cahaya-cahaya neon film ini malah membuatnya terasa kontemporer alih-alih jadul dan low-budget ala horor 90an. Dan please, mana quote badass yang cheesy abis yang udah jadi cap-dagang horor 90an?

 

 

Ini bukan awal yang menjanjikan untuk sebuah proyek trilogi. Tapi yang namanya horor, suka gak suka aku pasti akan nonton. Dengan harapan besar, film keduanya nanti akan jauh lebih baik. Punya karakter yang ditulis jauh lebih dalam dan kompleks. Punya dialog yang lebih fun sekaligus berbobot. Punya pengadeganan yang lebih fun sekaligus berbobot. Yea I said that twice. Berusaha tampil sebagai standalone sekaligus cerita bersambung, film ini sebenarnya punya kans yang lebih baik jika dipersembahkan sebagai serial, tapi mereka memilih menjual ini sebagai ‘film panjang’, so yea…
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for FEAR STREET PART 1: 1994.

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian merasa marah atau malu atau malah bangga sama kota tempat tinggal kalian? Kenapa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

CENSOR Review

“Art should disturb the comfortable”

 

Saat angka kekerasan meningkat, orang-orang akan mulai mencoba mencari kambing hitam. Bukan, bukan kambing hitam untuk pemujaan setan. Melainkan ‘kambing hitam’ sebagai yang dipersalahkan. Di Inggris tahun 80an, kepala orang-orang menoleh ke media. Ke film. Tepatnya, ke film yang beredar secara bebas dalam bentuk kaset video. Bebas dalama artian belum dinaungi oleh regulasi hukum penyiaran saat itu. Film-film atau video-video yang jadi kambing hitam itu adalah video-video genre eksploitasi. Kekerasan segala rupa memang jadi jualannya. Maka video-video tersebut dikenal dengan istilah ‘Video Nasty’. Adegan-adegan kekerasan dalam tayangan itu disinyalir sebagai pemicu nafsu buas pada diri penonton; membuat mereka meniru dan melakukan tindakan kriminal. Di saat seperti itulah, sensor seperti benar-benar dibutuhkan. Tukang-tukang gunting bertangan dingin seperti Enid Baines dalam film Censor, menyangka kerjaan mereka sebagai pahlawan penyelamat moral. 

Enid memang memandang tinggi pekerjaannya tersebut. Enid betah duduk sendirian di ruangan, menonton detik demi detik adegan sadis (dan menjijikkan), dan membuat catatan terhadap mereka. Dia juga strict banget dalam potong-memotong adegan. Sehingga Enid ini terkenal kaku, bahkan oleh sejawatnya sendiri. Makanya ketika dilaporkan ada kasus pembunuhan sadis yang tampaknya seperti meniru adegan dalam film yang seharusnya sudah disensor oleh dirinya, Enid jadi terguncang. Untuk menebus kesalahan, Enid mulai memburu lebih banyak film. Inilah ketika Enid menemukan sebuah film horor yang adegan pembukanya mirip sekali dengan ‘adegan’ traumatis di masa lalu dirinya. Selagi berusaha menguak misteri antara film tersebut dengan masa lalunya, Enid mulai kehilangan pegangan. Tak jelas lagi baginya apakah dia sedang menyensor sebuah karya atau mengedit kenyataan sesuai dengan kehendaknya

censormaxresdefault
Mungkin saking ketatnya, namanya sebaiknya diubah jadi Edith hahaha

 

This film is really great, sebagai sebuah horor psikologis. Karena keadaan jiwa Enid terus menerus disorot, dan actually jadi ladang horornya. Sebagai karakter, Enid akan ‘berubah’ dari seseorang yang sepertinya stabil (divisualkan lewat dandanan ala bu guru galak, lengkap dengan kacamata dan rambut yang disanggul) turun dalam spiral kewarasan menjadi seseorang yang sinting dan lepas kendali (rambut terurai berantakan, plus baju compang-camping bernoda darah). Niamh Algar membuat arahan-arahan sutradara Prano Bailey-Bond sebagai panggung personal karakternya, ngetackle setiap adegan dan setiap deteriorasi tokohnya dengan benar-benar menjiwai.

Setidaknya ada tiga spektrum dari karakter Enid ini; seorang karyawan yang mengenali ‘musuhnya’ (gaze dan kreativitas bablas pembuat film), seorang anak yang merasa bersalah kepada orangtuanya, dan seorang kakak yang berniat menyelamatkan adik pada akhirnya. Bahkan ada poin ketika Enid ini jadi kayak detektif yang menginvestigasi kasus, sebagai bridge pada inner journeynya. Basically sutradara menyuruh Niamh untuk terjun bebas ke dalam psikologis karakter Enid, dan dia melakukannya dengan sangat sukses sehingga kita yang menonton tahu si Enid ini sedang dalam proses menjadi sinting, tapi kita tetap bertahan mendukungnya. Tantangan terberat bagi cerita-cerita yang menampilkan kemunduran jiwa tokoh utamanya; yakni bagaimana membuat karakter yang pilihannya semakin gak rasional tanpa membuat si karakter tersebut tampak bego. Misalnya kayak di Saint Maud (2021), horor terbaik pada caturwulan pertama tahun ini; Kita paham bahwa karakter di film tersebut hanya halu – bahwa dia mendengar bisikan setan alih-alih wahyu Tuhan, namun kita berempati padanya. Kita paham dukanya, kita mau memahami kenapa dia halu seperti itu. Censor berhasil menjajaki tantangan serupa demikian. Karena di sini, Enid mulai percaya adiknya masih hidup, mulai percaya ada filmmaker yang telah menculik dan menyembunyikan identitas si adik, tapi kita tidak sekalipun percaya itu semua. Kita duduk menonton karena kita begitu termesmerize oleh journey Enid. Ya, kita bersimpati.

Atau mungkin, film telah berhasil ikut membuat kita terhipnotis. Kita telah dibuatnya ikut blur di antara garis halusinasi dan realita. If this is the case, ini hanya menunjukkan betapa kuatnya arahan sang sutradara dalam debut film panjangnya. Bailey-Bond berhasil membangun tensi, berhasil membuat kemunduran state of mind Enid sebagai suatu perjalanan yang menghantui, kita tidak bisa terlepas darinya. Treatment unik, craft spesial, dilakukan oleh Bailey-Bond untuk membuat pengalaman psikologis Enid terasa nyata. Kabut-kabut dikerahkan untuk menghasilkan estetik surealis perihal ketidakpastian, sebagai kontras dari ruangan kantor yang serbategas. Dengan seamless, misalnya lagi, Bailey-Bond memainkan rasio layar. Lebar normal jika adegan memang nyata, dan semakin menyempit untuk mengindikasikan semua itu hanya di layar kaca yang ditonton oleh Enid. Dan layar bahkan lebih sempit lagi ketika menampilkan keadaan sedang dalam proses suting, yang sejalan dengan sempit (dan kalutnya) perasaan yang menggelayuti Enid. Puncak dari craft film ini ada pada menjelang akhir; kontras visual, dengan efek glitch, berhasil dimainkan ke dalam efek yang benar-benar bikin kita uneasy karena menyadari sesuatu yang tidak disadari (atau mungkin sesuai konteksnya; dicut keluar) oleh Enid.

Aspek menghibur dari sebuah film horor dicapai film ini lewat persembahan kepada ‘genre’ Video Nasty itu sendiri. Yea, those were real. Sebagian besar judul film yang disebut dalam cerita adalah judul-judul film yang memang beneran ada. Ketika harus menciptakan video nasty versi sendiri, film ini enggak ragu untuk membuat layarnya menjadi grainy supaya mirip betul dengan video-video horor tahun 80an yang berbudget rendah. Pun direkam dengan gaya yang persis sama dengan style horor jadul tersebut. Bukan hanya itu, film yang bercerita tentang karakter yang percaya pentingnya sensor film ini bahkan menampilkan juga adegan-adegan kekerasan/sadis yang membuat video nasty begitu digemari (dan dikambinghitamkan sekaligus).

Jadi kalo begitu, bagaimana dengan permasalahan ‘kekerasan dalam media’ itu sendiri? Apakah penyensoran memang dibutuhkan? Di mana film ini berpijak sehubungan dengan itu?

censorsasa
Pengertian dasar dari sensor mandiri

 

Sehubungan dengan sensor, film Censor sendiri memang menilik dari banyak sudut. Peredaran kaset video film-film nasty yang menyuguhkan adegan full-tanpa sensor itu juga sempat disorot. Film ini dengan membuatnya ‘terbuka’, apakah video-video itu disebar oleh pembajak – dan siapa yang membajak, apakah orang dalam lembaga sensor, atau malah justru filmmakernya sendiri yang menyebarkan sebagai bentuk protes dari tindak penyensoran.

Tapi memang sebenarnya ada sikap kuat yang dideklarasi oleh film ini. Censor mengakui bahwa tindakan penyensoran sebenarnya memang ‘akal-akalan’ pemerintah untuk mengatur kreativitas, dan tidak benar-benar punya pengaruh langsung dengan tindak kriminal di dunia nyata. Sikap ini ditunjukkan oleh film ini lewat revealing yang menyebut bahwa pelaku kasus pembunuhan sadis yang disebut-sebut meniru film yang harusnya udah disensor oleh Enid, ternyata sama sekali tidak pernah menonton film tersebut. Namunnya lagi, bagaimana dengan Enid? Tidakkah Enid berubah menjadi sinting dan bertindak ekstrim karena pengaruh film-film sadis yang sudah dia tonton secara khusyuk selama bertahun-tahun sebagai kerjaannya untuk menyambung hidup?

Tentu kita bisa berargumen Enid telah terpengaruh kekerasan, tapi itu tidak serta merta berarti dia membunuh karena menonton film atau sebagai penyaluran dari film, bukan? See, di sinilah menurutku kekuatan dari film ini. Meskipun dialog-dialognya sendiri banyak yang terlalu gamblang, tapi film ini tetap didesain untuk bekerja sebagai sesuatu yang membuka terhadap argumen-argumen. Memantik diskusi soal sensor. Kesubtilan film ini ditujukan khusus kepada menunjukkan sikap atau pendapat pembuatnya. Ada begitu banyak lapisan pada backstory karakter Enid, sehingga kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa karakter ini terpengaruh langsung oleh film. Dan begitu jugalah semestinya pada dunia nyata. 

Censor meletakkan tanda tanya di belakang kalimat “Life imitates art”. Dan ini adalah perwujudan sikap yang paralel dan benar-benar kuat sehubungan dengan tindak sensor itu sendiri. Sebab seni, kan, adalah sesuatu yang mengguncang kenyamanan. Censor adalah art karena mengguncang kalimat tadi. Film-film eksploitasi adalah art, karena kestabilan hidup Enid terguncang begitu dia melihat film yang serupa dengan pengalaman traumatisnya. Tapi tindak sensor tidak akan pernah menjadi art, karena art bukan soal kenyamanan.

 

 

Sebut ini sebagai surat cinta terhadap Video Nasty dan film-film sadis lainnya. Sebut ini sebagai cerita psikologis seorang manusia yang harus berkonfrontasi dengan rasa bersalah yang dipendam bertahun-tahun. Sebut ini sebagai sikap untuk sebuah tindak penyensoran. This film is certainly will go by those names. Didesain dengan craft yang benar-benar beralasan. Bagiku, film ini utama dan terutama sekali adalah sebagai sebuah horor psikologis yang benar-benar unsettling. Lengkap dengan visual yang bikin gak bisa tidur. Aku suka gimana sutradara mengarahkannya, sehingga bahkan bagian yang paling artifisialnya pun masih bisa kita pedulikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CENSOR.

 

 

 

That’s all we have for now.

So which is it menurut kalian? Apakah film atau media memang berpengaruh sama tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang? Perlukah diadakan yang namanya sensor-menyensor? Tindakan apa yang mestinya dilakukan oleh sebuah lembaga sensor?

Bagaimana pendapat kalian tentang sensor film di Indonesia?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

TARIAN LENGGER MAUT Review

“Calm the troubled heart”

 

Sejak merebaknya pandemi yang meng-cancel jadwal tayang film-film bioskop lepas Maret tahun lalu, antisipasi penonton Indonesia untuk sebuah cerita horor yang viral tentang sekelompok mahasiswa di desa mistis yang punya ritual menari memang lagi tinggi-tingginya. Dan enggak lantas surut. At least, setiap teman yang kutanyai, hingga sekarang masih pada penasaran dan setia menantikan film tersebut muncul kembali jadwal tayangnya di bioskop. Salut untuk mereka. Salut untuk PH film tersebut yang terus bertahan menunggu rilis di bioskop – tidak serta merta menyerah dan memindahkannya ke platform streamingan. Dan sebaliknya, kurasa kita juga harus salut juga sama PH Visinema yang menunjukkan dukungannya kepada bioskop secara nyata dengan masih berani merilis film ke bioskop walau sedang pandemi. Visinema membeli satu film horor buatan Aenigma Pictures (or as they’d like to call it ‘bekerjasama’), mengganti judulnya untuk bermain-main dengan antisipasi penonton terhadap horor penari, dan menayangkan pada momen lebaran.

Akankah Tarian Lengger Maut ini bisa sesukses dan viral seperti cerita yang film adaptasinya mereka dahului?

lenggerTarian-Lengger-Maut-2
Kenapa jadi kayak nama jurus silat “Hup.. Tarian Lengger Maut! Ciaatt!!!”

 

To be frank with you guys; jawabannya tidak. 

Film karya Yongki Ongestu ini, jikapun ramai dibicarakan, maka itu niscaya bukan karena filmnya bagus. People would more likely talking about bagaimana penggantian judul film ini jadi Tarian Lengger Maut jelas-jelas adalah usaha menyedihkan untuk memancing perhatian penonton. Dengan judul dan materi promonya yang sekarang, film ini seperti dijual seperti sebuah film hantu dengan unsur penari mistis. Padahal isinya sama sekali tidak seperti demikian. Bayangkan artikel dangkal dengan judul click-bait. Nah, begitulah persisnya film ini.

Tari Lengger sendiri memang diperkenalkan, tapi sama sekali tidak pernah dibahas ataupun dicuatkan sebagai elemen penting cerita. Apalagi soal tari lengger yang membawa maut. Cerita film ini justru mengambil perspektif utama seorang pria yang menjadi dokter di siang hari, dan menjadi pembunuh berantai pengoleksi jantung di malam hari. Si Dokter kemudian pindah ke desa kecil, buka praktek di sana. Di desa yang terkenal dengan tarian lenggernya tersebutlah, si Dokter bertemu dengan perempuan muda calon penari. Perempuan yang bakal mengacaukan denyut jantung – dan denyut kerjaan psikopatnya.

See, ‘Dokter Maut’ lebih cocok dijadikan tajuk, kalo memang mau diganti. But, in fact, film ini seharusnya dibiarkan saja dengan judul originalnya. ‘Detak’. Karena memang soal detak jantung itulah yang menjadi heart dari cerita film ini. Motivasi si dokter sebenarnya cukup intriguing. Heck, karakter seorang serial killer karena trauma kekerasan rumah tangga semasa kecil memanglah intriguing. Sayangnya film ini sendiri gak punya ide yang pasti soal bagaimana menceritakan, menggali, dan mengembangkan itu semua. Sepertinya inilah film pertama yang kutonton yang sukses membuat pembunuh berantai tampak membosankan. Bahkan menakutkan pun tidak. Karakternya begitu… datar dan gakjelas. Kita tahu dia mencabut jantung korban-korban, dan mengumpulkan jantung-jantung tersebut. Kita tahu dia merasa nyaman mendengar bunyi detak jantung yang teratur, dan kemudian nanti dia kalut sendiri saat jantungnya dag-dig-dug gak karuan karena melihat gadis penari yang cantik. Seharusnya ada sesuatu yang diceritakan di sini, tapi film tidak berhasil mencuatkan hal tersebut. Dan ini bukan karena film tergagap dalam menyampaikan topik yang berat, atau semacamnya. Melainkan karena film memang tidak membahas apa-apa sepanjang durasinya.

Anugerah dan kutukan tampaknya merupakan tema besar pada cerita. Kita lihat gadis yang punya talent menari tapi gak pede. Kita lihat pemuda yang punya trauma di masa kecil, kini menjadi dokter dan pembunuh yang sukses. Ini seperti menemukan ketenangan di antara chaos, dan sebaliknya. Dengan sedikit reaching, kita bisa mengaitkan ini dengan motivasi si dokter yang menginginkan ketenangan dan ngamuk ketika jantungnya sendiri berdetak kacau saat berada di sekitar gadis penari.

 

Penulisan dan arahannya begitu parah sehingga aku merasa film ini hampir seperti tidak tahu apa yang ingin mereka jual (selain satu-dua shot yang tampak cantik dan judul yang ‘click-bait’, so to speak). Mereka punya tokoh seorang pembunuh, tapi tidak pernah menyelami masuk pikirannya. Ketika memperlihatkan aksi pembunuhan sinting pun, film bermain aman – tidak pernah tampil sadis ataupun sekadar nunjukin darah. Adegan si dokter membelah dada pasiennya hidup-hidup pun, dilakukan dengan bersih. Tidak ada darah muncrat. Lupakan adegan Kano nyabut jantung Reptile di Mortal Kombat (2021). Di Tarian Lengger Maut ini semua yang ‘fun’ kayak gitu itu ditutupin.

Bagaimana dengan si gadis penari lengger? Gadis itu pemalu, dia kelihatan naksir sama si dokter baru, dia kelihatan gugup saat penampilan tari pertamanya ditonton warga (yang sebagian besar adalah cowok, lengkap dengan suit-suitan dan mata lapar mereka). Dan cuma segitu film sanggup menuliskan karakternya. Itupun tidak pernah ada development atau follow up yang benar-benar berarti. Dia merasa takut salah sebelum menari, dia gak konfiden, tapi saat nari tidak diperlihatkan ada masalah apa-apa. Dia ‘naik peringkat’ sampai jadi penari utama, dengan gampang dan tanpa rintangan. Ketika dia mewarisi pusaka yang diceritakan bakal melindunginya, satu-satunya perbedaan yang kita lihat dari karakter ini sebagai bukti dari perkembangan karakternya hanyalah sekilas ekspresi percaya diri yang diperlihatkan Della Dartyan. Selebihnya, gak ada lagi. Ngomongnya pun monoton, dilembut-lembutin. Terasa sekali dibuat-buat. Persis kayak Refal Hady yang juga keliatan banget dibuat-buat sok cool-nya. Bahkan orang desa yang ngomongnya medhok pun terdengar kayak medhok yang dibuat-buat.

lenggerTarian-Lengger-Maut-_-sumber-Visinema-Picturess-696x410
Pada suatu hari sebelum era nonton joget tiktok…

 

Tidak ada satupun yang berhasil dibangun oleh film. Suasana seram? Apaan. Musik sepanjang durasi monoton banget, persis karakter-karakternya. Suasana desa? Nihil. Tempat itu dengan konsisten kehilangan warga, tapi tidak ada kenaikan intensitas ataupun aksi yang tampak dilakukan. Film hanya memperlihatkan obrolan di warung, ada satu warga yang curiga. Itu saja. Tidak ada pencarian orang hilang skala besar atau semacamnya yang bisa membuat cerita film ini menjadi semakin menarik atau otentik. Bahkan untuk menyetir cerita ke arah yang lebih lumrah seperti romansa saja, film ini tidak mampu. Padahal ‘modal’nya sudah tersedia di sana. Dua karakter sentral yang tampak tertarik satu sama lain. Si Gadis Penari (serius aku gak ingat nama karakternya siapa – Bocah Ayu kah?) dan si Dokter Pembunuh (ini aku ingat namanya, tapi malas nyebutin karena bikin malu namaku sendiri) sebenarnya bisa saja diarahkan untuk menjadi sebuah hubungan gothic/dark romance; relationship mereka bisa jadi sangat menarik sebagai sentral cerita. Tapi film tidak pernah memposisikan keduanya selain lewat bantering dialog-dialog yang kosong. Percuma saja ada montase yang nyaris seperti nge-match cut tindakan operasi cabut jantung dengan persiapan menari lengger itu dilakukan.

Percuma juga film ini ngebuild up soal tusuk rambut atau apalah itu benda yang punya kekuatan yang akhirnya didapat oleh gadis penari saat dia berhasil jadi penari lengger utama. Sepanjang film, si gadis itu kerjaannya cuma antara nari atau megang-megang sesajen. Seolah bakal ada something big about mistis atau semacamnya. Terus ada dialog yang sangat eksposisi tentang gadis itu sekarang punya perlindungan. Tapi pay off-nya di akhir ternyata sangat minimalis. Film ini kayak gak tahu cara menulis penutup yang gede untuk sebuah cerita thriller. Malah, aku nunggu-nunggu. Kupikir film yang so far so boring ini mungkin nyimpan over-the-top di akhir sehingga setidaknya kita diantar pulang dengan seru. Aku udah bersumpah di dalam hati untuk gak akan ngeluh kalo film ini nanti akan berakhir dengan pertempuran antara dokter pembunuh dengan kekuatan gaib benda pusaka or whatever. Karena paling enggak bakal ada komentar soal klenik lawan sains, ataupun keseruan soal desa yang ternyata jadi pelanduk di antara serial killer dengan kekuatan gaib. Tapi mengharap ternyata adalah dosa. Film ini menghukum kita yang udah bertahan nonton dan berharap dapat hiburan, dengan ending/resolusi yang ditulis dan dieksekusi dengan sangat buruk.

Tidak ada konfrontasi leading up to that, tidak ada pemecahan misteri (melainkan tau-tau kesurupan dan melihat fakta), dan tidak ada – katakanlah – final battle. Ending film ini juga akan jadi hal yang dibicarakan oleh penonton, karena kebegoannya yang begitu paripurna. Saat menonton malah awalnya kukira si dokter bunuh diri. Kayak, mereka lupa ngasih efek di adegan terakhir tersebut, seharusnya ada sesuatu yang bisa dilihat penonton ketika dokter menyerang si gadis.

 

 

 

Jadi ya, untuk kalian yang masih belum tahu, film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerita horor viral yang mungkin lagi kalian tunggu-tunggu. This is a completely different movie. Ini bukan horor mistis. Melainkan sebuah thriller dengan sedikit sentuhan mistis. Dan dengan banyak sekali arahan yang mengerikan, akting yang mengerikan, dan dialog yang mengerikan. Tapi ‘mengerikan’ di sini as in awful, loh ya. Which is really really bad. Ceritanya tanpa ritme dan irama. Penulisnya seperti benar-benar gak tahu harus nulis apa. Gak tau harus mengembangkan apanya. Padahal ada banyak potensi cerita seperti gothic/dark romance, atau malah cerita perseteruan. Sepanjang durasi terasa sangat menjemukan karena bahkan adegan pembunuhan psikopatnya pun tidak bisa mereka buat menarik. Kehancuran film ini semakin lengkap berkat kehadiran penutup yang eksekusinya sangat gakjelas. Jangan tergoda sama nama-nama pada poster. Karena aku yakin mereka sendiri juga gak tau mereka tuh sebenarnya ngapain di sini, saking gak jelasnya bangunan dan arahan film. Dan tentu saja, jangan tergoda sama judulnya.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TARIAN LENGGER MAUT.

 

 

That’s all we have for now.

Karena film ini sama sekali gak bicara tentang apa-apa, yuk kita bikin bahan obrolan sendiri. Apakah kalian punya fakta-fakta menarik tentang Tari Lengger?

Share  with us in the comments  yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THOSE WHO WISH ME DEAD Review

“No time to grieve for roses when the forests are burning”

 

Membahas sebuah film memang tak bisa dilakukan tanpa sedikit-banyak menceritakan tentang alur film tersebut. Namun, menceritakan tentang Those Who Wish Me Dead ini terasa mirip sekali dengan memantik api yang bakal menjalar membakar habis hutan. ‘Api’ di sini adalah spoiler, dan hutannya adalah the entire review. Karena film ini memang terdiri dari kejadian-kejadian kecil, yang kemudian membesar, menjalar, saling berhubungan membentuk konflik besar film. Ada perempuan yang trauma oleh kegagalannya sendiri, ada anak kecil yang dikejar pembunuh. Ini adalah thriller kejar-kejaran, sekaligus juga merupakan kisah bencana alam. Film ini begitu all over the place. Tapi juga so little – setelah api itu padam, tidak ada banyak hal tersisa selain abu untuk kita bicarakan. Yang jelas, ya, akan ada api besar, jadi kalian yang suka nontonin kebakaran masih akan bisa terhibur olehnya.

Tapi aku akan tetap mencoba. Ngasih tahu gambaran besar kisah film yang diangkat dari novel ini, dengan sesedikit mungkin membeberkan detil-detil di dalamnya. Cerita ini dimulai dari ayah dan anak yang sedang dikejar oleh dua pembunuh yang gak segan-segan melenyapkan siapapun yang menghalangi mereka. Dalam pelarian, ayah dan anak itu mengalami nasib naas sehingga kini tinggal si anak yang jadi buronan. Si anak kabur ke belantara hutan Montana. Di sana, dia ditolong oleh seorang pemadam kebakaran. Mereka berdua harus berjuang keluar dari hutan – segera menuju tempat yang bisa melindungi sang anak. Dengan dikejar oleh dua pihak yang memburu berapi-api; tim pembunuh, dan api beneran yang tengah berkobar melalap hutan tempat mereka bersembunyi.

dead013325_1142x642_637534307234461060
Some people just wanna watch the world burn.

 

Aku suka sama naskah tulisan Taylor Sheridan, khususnya Sicario (2015) dan Hell or High Water (2016). Naskahnya selalu berhasil memuat studi karakter yang kompleks ke dalam thriller yang menegangkan. Sheridan sepertinya juga cukup beruntung dapat sutradara yang sevisi, yang mampu menggambarkan apa yang ia niatkan. Dalam Those Who Wish Me Dead ini, sebenarnya naskah Sheridan juga lumayan kompleks. Setidaknya, sesuai dengan zona nyaman dia selama ini. Perempuan pemadam kebakaran dalam cerita ini adalah Hannah yang suka ngelakuin hal nekat (dan bodoh ala jackass) karena nurani dan perasaannya terbebani oleh kesalahan yang ia lakukan dalam tugas beberapa waktu yang lalu. Hannah trauma tidak bisa menyelamatkan tiga cowok remaja dari kebakaran. Pasal ini dibentrokkan oleh Sheridan dengan Connor, si anak kecil yang dikejar-kejar pembunuh. Naskah Sheridan berhasil mencuatkan bahwa Connor adalah kesempatan bagi Hannah menebus diri, sekaligus juga bahwa ada kesamaan pada keduanya. Yakni dua pribadi yang sama-sama mengalami trauma. Naskah film ini akanlah bersinar jika benar-benar mendalam membahas hubungan antara karakter Connor dengan Hannah.

Kali ini memang sepertinya Sheridan kurang mendapat kebebasan kreatif, walaupun dia juga merangkap sebagai sutradara. Karena film ini diadaptasi dari novel, yang juga melibatkan penulis novel aslinya. Jadi ada kebutuhan untuk membuat semirip mungkin dengan cerita novelnya. Dan di sinilah kejatuhan dari film Those Who Wish Me Dead (dan juga kejatuhan dari banyak film adaptasi novel yang penulis novelnya juga mendapat kredit nulis naskah). Film ini masih enggan lepas dari bentuk novelnya. Sudut pandang cerita ini tidak fokus, melainkan sering berpindah-pindah. Juggling dari Hannah-Connor ke pasangan lain yang ada di dalam kisah. Ada pasangan polisi lokal dengan istrinya yang tengah mengandung. Dan tentu saja duo pembunuh yang mengejar Connor. Dua pasangan itu juga punya cerita sendiri, tapi karena porsi mereka dibagi-bagi bersama porsi Hannah dan Connor, tidak ada pasangan ataupun satu karakter yang benar-benar mencuat sebagai tokoh utama. Mereka semua sama-sama kurang tergali. Sama-sama satu dimensi.

Kita harusnya peduli sama Connor dan Hannah, karena merekalah yang sebenarnya diniatkan sebagai center piece. Merekalah yang paling bertragedi. Namun film ini tidak berhasil membangun center itu sendiri. Dan malangnya, baik Connor dan Hannah kalah menarik dibandingkan dengan polisi-dan-istri dan dua pembunuh itu. Polisi dan istrinya basically adalah cool couple, terutama sang istri yang ternyata jago survival (including naik kuda sambil menembak senapan). Mereka punya stake yang tak kalah berharga – yakni bayi di kandungan. Dinamika keduanya asyik untuk diikuti, mereka dengan gampang bisa jadi tokoh utama film ini karena punya petualangan pribadi yang lebih seru. Terus, kedua pembunuh; mereka boleh jadi penjahat yang ‘hanya jahat tanpa karakter’, tapi sudut pandang jahat mereka ini menarik. Salah satu dari mereka ada yang bilang gak mau menyakiti wanita hamil, tapi di adegan pembuka film kita melihat baju mereka bebercak darah sehabis masuk rumah yang ada penghuni perempuan dan suara anak balita (and yes, they blow up the house after that). Atau ketika salah satu mereka bilang benci sekali sama kota ini. Aku lebih penasaran sama kenapa sikap mereka begitu ketimbang harus melihat lagi Hannah terkenang kejadian kebakaran hutan yang naas, ataupun Connor yang berperilaku sedikit lebih dewasa ketimbang usianya.

Sepertinya itu karena memang kekuatan naskah Sheridan masih kentara di balik keputusan kreatif lainnya. Kesubtilan naskah itu masih dapat kita rasakan, terutama ya pada kedua penjahat itu. Pada pihak yang jadi judul film ini; “Mereka yang ingin aku mati”. Mereka itu siapa? Tentunya ada kelompok yang lebih besar di balik dua pembunuh suruhan tersebut. Nah, naskah bermain cantik dengan hanya memberi tahu kita secara tersirat. Menggoda kita. Film menampakkan sedikit siapa dalangnya (diperankan oleh cameo Tyler Perry), tapi dengan bijak meninggalkan lebih banyak di dalam bayang-bayang. Ada serangkaian orang-orang berkuasa yang gak senang dengan kerjaan ayah Connor, dan itulah yang menyebar jadi masalah seperti api membakar hutan.

Sepercik kecil api mampu menghanguskan berhektar hutan. Ayah Connor sebagai forensic auditor mungkin dianggap memantik api tersebut, mengungkap banyak kasus, mungkin seperti korupsi, oleh orang-orang besar. Tapi sebenarnya yang dilakukan ayah Connor justru menyibak, mengingatkan bahwa ‘hutan’ itu memang sedang terbakar. Bahwa sedang ada masalah besar yang harus dihadapi. Ayah Connor melawan api dengan api.

 

dead41454350-9445619-image-m-36_1617806590435
Oke, api dan kebakaran memang cool untuk ditonton!

 

Kesubtilan problem dalam dunia cerita ini diseimbangkan dengan menampilkan visual yang benar-benar red hot sebagai puncaknya. Itulah saat ketika percikan-percikan kejadian akhirnya terhubung. Sheridan benar-benar menaruh kita dan karakternya di tengah kobaran api. Di momen inilah film mencapai titik tertingginya. Kebakarannya tampak beneran mengukung dan terkesan berbahaya. Adegan-adegan aksi seperti berantem di situ atau berlari dikejar api berhasil bikin kita menggigit jari dengan tegang. Angelina Jolie sebagai Hannah tampak nyaman sekali kembali ke ranah aksi, malah penampilannya di sini yang kerap menyadarkanku bahwa film ini sejatinya juga adalah sebuah laga survival.

Bahkan spektakel itupun terlambat untuk benar-benar menyelamatkan film. Tidak benar-benar ada sesuatu yang berisi di baliknya. Anak kecil yang nyawanya terancam, itu stake yang gampang sekali untuk dramatisasi. Film ini tidak berbuat banyak dalam menggali itu. Kejar-kejarannya jadi datar karena selain soal keselamatan nyawa, dan hubungan yang jadi makin akrab, tidak banyak perkembangan karakter yang diperlihatkan. Tidak banyak pertumbuhan yang personal. Dan lagi karena kita tidak benar-benar difokuskan kepada harus peduli ke siapa. Aku tidak berniat terdengar kasar atau terlihat terlalu menghina, tapi ya, pemandangan hutan yang terbakar lebih punya kedalaman ketimbang film ini secara keseluruhan.

 

 

Film ini bukan burung phoenix yang makin cantik setelah apinya padam. Film ini justru paling bagus saat kebakaran hutan dan konflik-konflik dari tiga pasang karakter itu bertemu dan ‘terbakar’ bersama. Setelahnya, film jadi datar karena kita tidak berhasil dibuat untuk peduli. Sepanjang perjalanan, cerita sibuk menjuggling kita dari satu pasangan karakter ke pasangan lainnya. Tidak tersisa banyak ruang dan waktu untuk pengembangan dan penggalian masing-masing. Melainkan hanya episode kejar-kejaran yang terlalu gampang untuk dituliskan. Karakter yang seharusnya jadi pusat cerita juga justru jadi kalah menarik. Ini definitely bukan karya terbaik dari Taylor Sheridan. Terasa subpar, malah jika dibandingkan dengan Sicario ataupun Hell or High Water. Naskah dan struktur bercerita perlu lebih banyak ditempa lagi supaya bisa benar-benar membentuk cetakan sebuah film.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THOSE WHO WISH ME DEAD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian siapa sebenarnya yang sudah terusik oleh ayah Connor? Bagaimana sekiranya laporan Connor ke media dapat menghentikan kasus tersebut?

Share  with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE EAST Review

“A guilty conscience needs to confess.”

 

Dari dulu aku penasaran gimana sih peristiwa penjajahan negara kita, yang katanya berlangsung selama 350 tahun, di mata ‘pelakunya’ alias orang-orang Belanda sendiri kini. Tentunya, bagi orang Belanda, peristiwa tersebut menjadi catatan sejarah yang gelap juga. Film The East (aslinya diberi judul De Oost) sempat dirundung kontroversi, sama seperti ketika ada yang berusaha bercerita tentang PKI atau sejarah kelam lainnya di sini. Tapi segera mereda karena memang The East hadir dengan tujuan mulia. Film ini muncul bukan sebagai pengorek luka yang kemudian berusaha menyembuhkannya dengan berbagai pembelaan. Melainkan hadir hampir seperti sebuah permintaan maaf. Dan seperti yang ditunjukkan oleh pilihan protagonis pada ending nanti, film ini sesungguhnya adalah sebuah pelampiasan dari rasa bersalah berkepanjangan, pelampiasan yang diniatkan sebagai perwakilan dari yang dirasakan oleh orang-orang Belanda selama ini.

Cerita yang disuguhkan mengambil sudut pandang karakter fiksi bernama Johan de Vries (diperankan oleh Martijn Lakemeier dengan tantangan range emosi yang cukup lebar oleh developmentnya). Karakter inilah yang nanti mengarungi berbagai peristiwa yang beneran tercatat dalam buku sejarah, bertemu dengan tokoh-tokoh beneran. Johan jadi tentara relawan yang dikirim ke kamp di Semarang. Kondisi daerah koloni Belanda tersebut memang sedang tidak stabil selepas konflik dengan Jepang. Ada pemberontakan dari penduduk lokal yang sudah siap untuk menggaungkan kemerdekaan. Misi Johan adalah melindungi tanah properti Belanda tersebut dengan berpura-pura menjadi pelindung bagi penduduk. Namun yang dilihat dan dirasakan Johan di sana membuat nuraninya konflik dengan tugas yang diberikan. Terlebih ketika Johan terpilih sebagai salah satu orang kepercayaan Raymond Westerling (Marwan Kenzari tampak berkarisma, sekaligus bikin ciut), komandan yang tadinya dielukan sebagai Ratu Adil.

east32780_135829_st_sd-high
Supaya gak spoiler, coba buka lagi buku sejarahmu dan lihat hal mengerikan apa yang dilakukan oleh Westerling di Makassar

 

Sutradara Jim Taihuttu memang adalah orang yang tepat untuk mengangkat tragedi ini menjadi cerita dengan perspektif yang berimbang. Karena bukan saja dia berkebangsaan Belanda, dia juga memiliki darah Maluku. Jadi dia bertapak di antara dua kubu. Ini membuat film The East sendiri jadi punya weight atau bobot. Aku tahu aku sudah berkali-kali nulisin soal ini – bahkan mungkin ada pada setiap review film perang; Bahwa cerita perang tidak pernah merupakan soal hitam-putih. Selalu ada dilema. Selalu ada pertentangan moral yang hebat. Bayangkan seseorang yang mau mengakui kesalahan, tapi dia melakukannya jadi terkesan setengah hati karena terlalu mencoba untuk membela diri, memperlihatkan kebimbangan moral dan resiko dan keharusan yang terpaksa dia ambil. Film The East tidak pernah tampil seperti orang yang sedang berusaha membela diri. Dan itulah yang membuat film ini nyaman untuk ditonton. Terutama bagi kita, descendants dari pihak terjajah yang ada di dalam cerita.

Film ini tidak pernah tampil seperti membenarkan tindakan Belanda, tidak pernah tampil dengan sikap seorang savior. Dia mempersembahkan apa adanya. Penjajahan bagaimanapun juga tidaklah berperikemanusiaan. Kita tidak bisa jadi pahlawan dengan menjajah orang di negara mereka sendiri. Keberimbangan itu tercapai berkat lapisan yang diberikan cerita kepada pihak satunya. Film ini pun tidak ragu untuk memperlihatkan Indonesia sebagai kelompok teroris, paling enggak beberapa kelompok yang bertentangan. Gambaran kacaunya situasi politik yang memecah-belah persaudaraan sendiri ditampilkan oleh film sebagai salah satu pendorong plot.

Tak pelak, karakter Johan memang dirancang sebagai perwakilan dari serdadu-serdadu Belanda, bahkan mungkin jutaan orang Belanda yang merasa bersalah. Plot atau Journey karakter ini menggambarkan semua proses penyadaraan yang mungkin mereka alami. Kita melihat Johan awalnya sebagaimana anak-anak muda yang udah gak sabar untuk melakukan sesuatu untuk negaranya. Johan, menjalin persahabatan dengan teman-teman di kamp, bangga menjadi prajurit. Interaksi mereka mungkin klise, seperti yang selalu ada pada film-film perang, tapi konteks cerita membuat kita memakluminya. Karena untuk beberapa bulan tidak ada perang. Jadi mereka tidak ‘menceritakan kisah hidup lalu mati’ seperti yang sudah-sudah. Ada pertanyaan yang menghantui benak mereka, terutama Johan mengenai sebenarnya apa yang mereka lalukan di situ. Pertanyaan itu yang lantas berkembang menjadi developmental bagi karakter Johan. Steps dari seseorang yang bangga ke yang merasa perlu ada di sana ke merasa harus menjadi penyelamat ke rasa bersalah yang mengubah dengan cepat (dalam sense penceritaan) mood karakter menjadi depresi dan kelam; inilah yang jadi medan penceritaan, dan film berhasil melakukan dengan benar dan menyentuh. Mainly karena berimbang itu tadi.

Nurani yang dirundung rasa bersalah butuh melakukan sebuah pengakuan.  Albert Camus bilang, pengakuan itu bisa dilakukan dalam bentuk seni. Film ini adalah salah satu bentuk seni yang dimaksud. Karena film ini berhasil menggambarkan pengakuan rasa bersalah yang dilakukan oleh Johan dengan cara kelam tersendiri.

 

Kamera tak luput merekam, menunjukkan dengan tepat seperti apa rasanya berada di daerah yang rawan konflik. Kita lihat Johan dijamu minum kelapa oleh anak kecil, dan beberapa menit kemudian film memperlihatkan kepada kita imaji mengerikan kepala manusia tertancap pada pancang. Perhatian yang tajam pada detil dramatis, serta historis seperti demikian membuat film ini terasa benar-benar memeluk kita. Mengukung kita ke dalam cerita kemanusiaan, sehingga tak bisa berpaling dari horor yang datang ketika kemanusiaan tersebut berada pada konflik.

Supaya terasa semakin otentik, film benar-benar turun suting ke Indonesia. Menggunakan bahasa dan (berjuang dengan) dialeg Indonesia. Beberapa aktor Indonesia seperti Lukman Sardi, Yayu Unru, Putri Ayudya juga turut menyumbangkan permainan peran. Kalian bisa sedikit bersenang-senang menantikan penampilan mereka. Kolaborasi studio Belanda dan Indonesia demi mewujudkan film ini secara tak-langsung tentu saja menambah bobot kepada apa yang ingin disampaikan dalam cerita. Bagaimana mampu mengenali persahabatan di dalam perang bisa jadi adalah hal yang diperlukan untuk menghentikan perang tersebut.

eastin-productie-de-oost-2
Kenapa tentara Belanda begitu benci ama monyet?

 

Dengan cerita yang sudah detil dan karakter yang berlapis, yang harus dipikirkan oleh film ini kemudian tentu saja adalah cara menceritakannya. Unfortunately, film ini memilih menggunakan flashback. Jadi actually periode cerita terbagi ke dalam dua bagian, Johan masih serdadu di Semarang (ditampilkan lewat warna-warna yang lebih natural) dengan Johan yang sudah kembali ke negaranya – terbebani oleh rasa bersalah yang ia dapatkan sebagai oleh-oleh (ditampilkan lewat warna monokrom entah itu biru atau abu). Dua periode ini disebar saling berganti sepanjang durasi film. Perpindahan antara dua periode inilah yang seringkali membuat kita terlepas dari cengkeraman cerita. Film tidak berhasil menemukan, atau mungkin lebih tepatnya merancang, momen perpindahan yang benar-benar selaras. Periode Johan depresi sebenarnya penting karena membahas satu lapisan lagi dari karakternya, yakni soal hubungannya dengan ayah yang ex-nazi. Relasi ini adalah kunci yang membentuk sudut pandang Johan yang sebagian besar kita lihat.

Tapi dengan memperlihatkannya berpindah-pindah, film jadi kehilangan ritme cerita. Bobot ke ayahnya itu tidak terasa sekuat yang diincar. Belum lagi, karena adegan-adegan Johan di Semarang jelas lebih menarik daripada saat dia kembali ke Belanda. Sehingga secara natural kita yang nonton akan lebih peduli dengan adegan di daerah konflik, pingin cerita cepat-cepat balik ke sana lagi. Film jadinya kehilangan keseimbangan dari segi penceritaan. Tingkat dramatis yang diincarpun jadinya gagal tercapai. Terutama karena di babak ketiga, ketika setting pindah ke Makassar saat Johan sudah jadi pasukan Westerling, cerita jadi seperti melompat dan seperti ada pengembangan yang ketinggalan. Karakter yang berubah mendadak, tidak lagi terflesh-out perlahan seperti di awal.

Mestinya film diceritakan dengan linear saja. Dimulai dari dikirim ke Semarang, di kamp, terus jadi pasukan Westerling, dan kembali ke Belanda untuk penyelesaian. Resikonya paling cuma membuat film terasa seperti terbagi jadi dua episode. Tapi setidaknya emosi yang diincar akan bisa terhampar dengan lebih runut. I mean, Full Metal Jacket (1987) aja dibuat Kubrick dengan linear, menempuh resiko tersebut; filmnya terasa seperti episode pelatihan dan episode medan perang. Tapi kita tidak terlepas dari development dan emosi dan bobot cerita. The East ini punya potensi, paling tidak, bisa seperti saga seorang tentara yang disturbing. Formula dan bahan-bahannya sudah benar. Cetakannya saja yang perlu diperbaiki.

 

 

Tak berlindung di balik fiksi, film ini berani tampil membahas sudut pandang yang tak banyak mau dieksplorasi. Tentang Belanda di jaman kolonial Indonesia. Tentang pihak yang menjajah. Dan film ini menampilkannya dengan imbang. Tak ada agenda glorifikasi atau pembelaan diri. Film ini pure memperlihatkan sisi kemanusiaan yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat. Sebagai film perang, however, film ini mengikuti formula dengan baik. Kita bisa bilang klise, tapi masih unik berkat sudut pandang. Pada penceritaannya-lah film ini ‘kena tembak’. Alur flashback yang dipakai actually menghambat kita dalam mengikuti dan tidak banyak membantu untuk filmnya sendiri. Tapi yang perlu ditekankan sedikit lagi adalah, keberanian film ini mengangkat isu. Sehingga mungkin film ini break something new di perfilman Belanda; mungkin perbandingannya seperti kalo ada sineas sini yang berani bikin film tentang PKI.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE EAST.

 

 

That’s all we have for now.

Jika film ini dianggap sebagai surat permintaan maaf dan penyesalan dari Belanda, apakah menurut kalian yang dilakukan film ini untuk itu sudah cukup?

Share  with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

NOBODY Review

“Obscurity can be liberating”

 

 

Menjadi bukan siapa-siapa ternyata merupakan sebuah impian – atau malah anugerah – bagi beberapa orang. Ketika normalnya kita berusaha, berjuang, bekerja sekeras mungkin untuk mendapat pengakuan sosial, untuk diterima dan kemudian dikenal mencuat lewat hal spesial yang ahli kita lakukan, ternyata ada sebagian orang yang ingin dan merindukan untuk dianggap biasa-biasa saja. Sebagian orang itu adalah mereka yang udah mencapai puncak. Udah sukses. Selebriti misalnya. Tak ada lebih mereka inginkan selain tidak jadi pusat perhatian dan dikerubutin saat mereka berada di tempat umum. Atau filmmaker sukses, yang hanya ingin bikin film murni untuk menceritakan isi hati tapi tidak bisa karena di atas situ karya buatannya akan selalu dibanding-bandingkan dan dioveranalyze. Atau juga karakter yang diperankan Bob Odenkirk dalam film Nobody.

Hutch nama pria tersebut. Dan yang ia inginkan adalah punya kehidupan berkeluarga yang biasa-biasa aja. Mengejar truk sampah di pagi hari. Membuat sarapan untuk anak dan istri. Berjalan kaki ke kantor. Pulang. Ketemu anak dan istri. Tidur. Hutch telah meninggalkan kehidupannya yang dulu. Kehidupan masa lalu Hutch yang disiratkan oleh film ini adalah kehidupan yang penuh bahaya. Hutch tidak ingin kembali ke sana, akan tetapi kehidupannya sebagai bukan siapa-siapa itu ternyata tidak berjalan seperti yang diidamkan olehnya. Dia malah merasa jadi semakin kecil, dan bahkan keamanan yang ia inginkan untuk keluarganya pun tidak pula terwujud. Karena rumah mereka malam itu kemalingan. Kejadian itu berbuntut panjang. Membuat Hutch harus bersinggungan dengan geng Rusia. Dan mau tak mau dia harus kembali ke siapa dirinya yang sebenarnya.

Nobody
Nobody is special. I am nobody. You do the math

 

Sepertinya memang dari permainan kata itulah sutradara Ilya Naishuller mengembangkan konsep karakter Hutch. Seorang yang mengaku nobody, tapi ternyata dia berkemampuan spesial. Memang, konsep film ini bukanlah konsep yang paling original seantero dunia sinema. Sudah banyak cerita yang menampilkan karakter yang sekilas kayak orang biasa padahal mempunyai kehebatan tersendiri. Malahan, film ini mirip sekali dengan John Wick (2014). Banyak aspek cerita Hutch yang membuatnya serupa-tapi-tak sama dengan John Wick, mulai dari dia adalah ‘pensiunan’ pembunuh, terus tak-sengaja terlibat masalah dengan sanak keluarga bos penjahat. Jika di John Wick pemicu utama kemarahan karakter adalah anjing peliharaan yang dibunuh, maka di Nobody ini Hutch mulai beraksi karena orang jahat yang menyatroni rumahnya telah mengambil gelang milik kucing peliharaan anaknya. Semua kemiripan tersebut tentu saja ditampilkan on-point karena memang penulis naskah dan produer kedua film ini merupakan orang yang sama. Yakni si Derek Kolstad. Sehingga kemiripannya tidak sampai di elemen karakter saja. Dalam soal koreografi aksi berantem pun, film Nobody ini tampil dengan gaya dan level kekerasan yang sama menghiburnya.

Perbedaan yang membuat Nobody distinctive dari John Wick terletak pada karakter Hutch dan cara sutradara membangun karakter tersebut. Cerita dan bangunan karakter Hutch sedikit lebih kompleks. Hutch ini adalah pria yang berusaha menyamankan dirinya sebagai bukan siapa-siapa, meskipun hidup normal yang ia jalani itu tidaklah menyenangkan. Dengan efektif Ilya menempatkan montase rutinitas kehidupan Hutch pada awal-awal durasi. Sehingga kita jadi tahu konflik yang melanda si Hutch ini secara pribadi. Life’s not great for him, keluarganya gak exactly suka padanya, tapi inilah kehidupan yang ia mau – yang ia pilih karena kehidupannya yang dulu jauh lebih berbahaya. Ketika dia memang harus kembali menapaki ‘jalan lamanya’, cerita pun tidak lantas membuat dia berubah. Ada keengganan yang ditampilkan. Ada keraguan dan kebimbangan dalam diri Hutch. Dia sempat urung membalas dendam kepada kedua perampok karena menemukan sesuatu di markas mereka yang membuat dirinya teringat akan nilai keluarga yang ia inginkan. Ilya membuat rangkaian kejadian yang melambangkan progres state of mind Hutch soal mau tidak mau dia harus kembali ke dirinya yang dulu. Dengan begitu, Ilya membuat kita mengerti apa yang harus rela dibuang oleh Hutch, kenapa dia harus kembali — persoalan personal inilah yang lantas jadi stake dalam cerita.

Menjadi bukan siapa-siapa memang kadang membuat frustasi dan bikin kita meragukan eksistensi diri sendiri. Tapi bukankah semua orang adalah bukan siapa-siapa bagi kebanyakan orang yang lain? Obscurity atau jadi bukan siapa-siapa itu hanyalah bagian dari journey kita dalam mencari apa yang ingin kita kerjakan. Jadikan itu sebagai kesempatan untuk memperbaiki dan meningkatkan diri.

 

Bob Odenkirk menerjemahkan karakterisasi tersebut dengan menarik pula. Olehnya, Hutch tidak tampak boring. Melainkan sangat vulnerable. Dia mengundang simpati, tapi juga bisa jadi badass, dan juga kocak dalam menampilkan kebadass-annya. Permainan akting dan penampilan aksi-aksi berantem (yang sebagian besar dilakukannya sendiri tanpa stunman) Hutch juga mempelihatkan progres yang dialami oleh karakternya. Sekuen berantem di dalam bus dengan anak-anak muda berandalan adalah contoh yang bagus untuk membahas ini. Di adegan-adegan itulah Hutch untuk pertama kalinya memantapkan diri kembali menjadi pembunuh. Hutch enggak langsung jago. Dia toh babak belur juga. Dikeroyok, dikerjai, dan dilempar keluar jendela oleh lawan-lawannya. Dia vulnerable, tapi bukan lemah. Seiring berjalannya durasi kita akan melihat Hutch menemukan kembali kenyamanan dalam kembali pada aksi-aksinya. Sampai akhirnya dia telah menemukan kembali dirinya yang lama. Dan kita akan mendapat adegan final fight yang meskipun terlalu perfect dan over-the-top, tapi amat sangat menghibur.

Untuk itu salut pantas kita panjatkan buat Bob Odenkirk. Karena selama ini, dia adalah aktor yang terkenal bukan sebagai aktor laga. Dia lebih sebagai spesialis peran dramatik dan komedi. Perannya sebagai Hutch adalah pertama kali namanya tersematkan sebagai bintang film laga. Dan di sini tantangan peran baginya bukan sekadar bermain fisik, tapi juga ada tuntutan untuk menyampaikan karakter Hutch itu sendiri.

null
Bayangkan kalo ada cross-over John Wick dengan Nobody, pasti seru!!

 

Nobody sebenarnya bisa saja menjadi the next John Wick. Sayangnya, film ini tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang film tersebut. Pembuatnya seperti lupa bahwa cerita kali ini punya lebih banyak ruang untuk digali. Hutch punya keluarga, John Wick tidak. Tapi Nobody tetap dibuat ‘sama’ seperti John Wick, fokus di aksi seru nan menghibur. Mereka membiarkan keluarga itu tetap jadi lubang yang menanti untuk diisi. Hubungan Hutch dengan istri,  dengan anak laki-lakinya, dengan gadis ciliknya tak pernah digali dengan memadai oleh film ini. Keluarga Hutch hanya jadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Tidak pernah terasa seperti layaknya karakter cerita. Musuh utama Hutch juga karakterisasinya lemah sekali. Padahal dia sudah punya latar yang menarik. Boss gede tapi kerjaannya penampil karaoke. Dinamika protagonis dan antagonis dalam film ini diikat oleh keparalelan yang tipis sekali. Masalah di antara mereka berdua malah hanya tercipta oleh suatu rangkaian kejadian yang terjadi secara kebetulan. Sekeren-kerennya Hutch berinteraksi dengan si bos, tetep tidak terasa ada kaitan atau bobot yang membuat pertemuan mereka benar-benar bisa kita pedulikan.

Yang membuat film ini akhirnya berada pada posisi di bawah John Wick adalah kesan bahwa film ini terlalu sibuk ngebuild untuk sekuel. John Wick punya dunia yang bikin penasaran sebagai latar, sementara kejadian seputar karakternya berlangsung dengan melingkar. Tidak banyak eksplorasi tapi juga tidak banyak menyisakan ruang yang sengaja dibiarkan kosong. Film itu straight-to-the-point, simpel, dan tuntas. Sekuelnya hadir dengan kesan natural, karena kita memang pengen melihat dunia John Wick dengan lebih luas. Sebaliknya, film Nobody lebih kompleks tapi justru meninggalkan banyak ruang tak-tereskplor. Berharap supaya kita tertarik untuk melihat lebih banyak partner dan ayah Hutch yang ternyata juga bukan ‘orang-biasa’. Memohon kepada kita untuk meminta ada sekuel yang membahas mereka. Malah ada adegan ekstra di kredit penutup untuk memancing ini. Padahal ini adalah cara yang salah. Karakter pendukung film ini – dengan minimnya bahasan – membuat mereka terlupakan oleh kita. Fokus kita tetap pada Hutch, yang setelah problemnya tuntas, setelah dia memilih untuk kembali ke siapa dirinya, ketertarikan dia kepadanya pun semakin berkurang. Karena walaupun dia berkemampuan khusus, karakternya sendiri tidaklah original ataupun spesial.

 

 

 

Buat yang suka aksi ala John Wick, film ini jelas sayang untuk dilewatkan. Ceritanya mirip. Laganya seru, dengan koreografi yang hard-hitting dan in-the-face dan bergaya sama dengan John Wick. Film ini pure seru dan menghibur. Apalagi ditambah dengan elemen-elemen tak biasa seperti karakter yang curhat sama radio, ataupun pemilihan musik yang beda dari musik-musik film laga biasanya. Salah satu daya tarik utama film ini adalah cast-nya. Bob Odenkirk kini merambah genre aksi, dan penampilan di sini bukanlah penampilan abal-abal. Melainkan sangat totalitas. Keren dan menghibur sekaligus. Film ini bisa menjadi lebih besar lagi, tapi terjebak dalam bayang-bayang John Wick. Potensi yang dipunya tidak direalisasikan semua, sehingga film ini dalam kondisi terbaiknya hanyalah berupa copy-paste beda varian dari film John Wick.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for NOBODY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian menjadi nobody itu memang lebih baik daripada menjadi somebody?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE MAURITANIAN Review

“It’s been flipped: Now it’s guilty until proven innocent.”
 

 
 
Dua bulan setelah serangan teroris di World Trade Center, ada pesta di negara Mauritania. Jika kalian berpikir apakah pesta tersebut ada sangkut pautnya dengan tragedi yang bikin sengsara umat manusia di bulan September itu, maka kalian cocok jadi seorang polisi. Karena pesta tersebut memang lantas disatroni polisi. Pria bernama Mohamedou Ould Slahi dibawa pergi oleh polisi dari pesta keluarganya tersebut. Untuk beberapa waktu, kamera memperlihatkan bagaimana Slahi memandangi sosok ibunya yang semakin menjauh dan mengecil dari kaca spion mobil. Pemandangan emosional yang seolah mengisyaratkan pemuda ini bisa jadi tidak akan pernah melihat lagi perempuan yang telah melahirkannya itu.
Mohamedou Ould Slahi ditangkap oleh polisi bukan karena terbukti bersalah. Melainkan karena kena kecurigaan berlapis. Pertama dari namanya; yang mirip sama nama ‘langganan’ pelaku teroris. Kedua, dari jejak akademisnya. Ketiga, dari rekam jejak teleponnya; yang pernah terhubung dengan satelit seluler Osama bin Laden himself. Tiga hal tersebut cukup untuk membuat Slahi tertuduh sebagai Head Recruiter untuk peristiwa 9/11. Slahi dipenjarakan untuk waktu yang sangat lama. Sebagian besar dari empat-belas tahun di balik jeruji itu dia habiskan di penjara yang dikenal sadis, Guantanamo Bay. Selama itulah, Slahi berjuang. Menguatkan diri, menjaga kewarasan. Menjaga ke-innocent-annya. Membuktikan, bersama pengacara, bahwa dirinya tidak sesuai dengan yang dituduhkan. Mengajukan bahwa tidak ada alasan baginya untuk ditahan. Slahi menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku. Dan buku itulah yang kini kita tonton; buku itulah yang kini dijadikan film oleh sutradara Kevin MacDonald. Film drama yang luar biasa pedih dan bikin darah kita ikutan mendidih.

Masuk, dan lupakan Guantanamo Bay yang kau ketahui dari Harold dan Kumar

 
Sedihnya, kita memang sering mendengar kisah kayak gini di dunia nyata. Kisah polisi atau penegak hukum yang menangkap orang, menahan dan memenjarakan mereka meskipun belum jelas apakah mereka beneran bersalah. Meskipun memang gak ada dakwaan resmi. Orang-orang itu ditangkap karena fit ke dalam narasi, dan karena memang harus ada yang ditangkap. Polisi harus kelihatan kerja. Yang nambah sedihnya lagi adalah, sekalipun sudah terbukti tidak bersalah dan dilepaskan, mereka tidak pernah mendapat permintaan maaf dari polisi yang menangkap. ‘Bintang’ dokuseries Netflix Making a Murderer misalnya, Steven Avery pernah ditangkap dan dilepaskan kembali (setelah 18 tahun dipenjara), dan kini Avery dipenjarakan kembali (sejak 2007) untuk kasus lain yang sama shady-nya dengan kasus pertama yang ternyata ia tidak terbukti tidak bersalah tersebut. Kita juga udah nyaksiin betapa gak adilnya sistem peradilan itu untuk pihak-pihak yang ingin dijadikan – dan udah diset sebagai – tersangka lewat drama pengadilan-dari-kisah-nyata The Trial of the Chicago 7 (2020) yang baru-baru ini menang Naskah Terbaik di Golden Globes. Temanku sendiri pernah dituduh teroris; dia ditangkap oleh polisi di warnetnya di Medan, dan ditahan beberapa bulan di Bogor. Ketika akhirnya dilepaskan karena memang terbukti salah tangkap, temanku itu tidak mendapat sepatah pun kata maaf.

Secara teori, hukum memang idealnya adalah ‘tidak bersalah sampai terbukti bersalah’. Namun pada prakteknya, yang dilihat itu adalah jika kita tidak tak-bersalah, maka kita bersalah. Semuanya jadi selalu adalah soal membuktikan bahwa kita tidak bersalah. Tapi bagaimana bisa kita membuktikan seseorang tidak bersalah. Innocent adalah pembelaan yang terlemah. Maka, sekarang kejadiannya selalu terbalik. Semua orang dianggap bersalah dulu, dan untuk sebagian besar waktu mereka akan tetap seperti itu.

 
The Mauritanian ini adalah salah satu lagi contoh perjuangan seseorang membuktikan dirinya tak-bersalah. Satu lagi contoh tindak yang nyaris mustahil. Film ini hebat sekali dalam menampilkan kejadian. Tensi dan emosi itu dibangun. Kita bisa merasakan ketegangan terus meningkat seiring dengan berkembangnya rintangan yang ditemukan oleh pengacara Slahi, dan dari semakin berkecamuknya psikologis dan harapan si Slahi sendiri di dalam penjara. Perjuangan dalam cerita ini memang disampaikan lewat dua proses yang berjalan paralel. Tentang usaha dua orang pengacara yang nyari ‘celah’ dan bukti-bukti bahwa penahanan Slahi sama sekali tidak berdasar, dan tentu saja tentang Slahi sendiri yang harus mengalami segala tekanan sembari mempertahankan siapa dirinya.
Film memang tidak membuang waktu mengangkat pertanyaan apakah Slahi beneran bersalah atau tidak. Kita semua diasumsikan sudah mengetahui kisah Slahi yang memang sempat marak beberapa tahun silam. Jadi film ini fokus ke arah menggambarkan periode gelap yang harus dilalui Slahi di penjara, dan menilik soal kekejian di penjara Guantanamo Bay itu sendiri. Para ‘penegak hukum’ itu gak cukup dengan menahan mereka di sana, tapi juga menyiksa mereka. Memanipulasi. Melecehkan. Supaya pengakuan itu terpaksa akhirnya terucapkan, meskipun itu bukan kenyataan. Film ini efektif dalam menggambarkan itu semua. Di menjelang akhir film kita akan melihat sekuen penyiksaan yang digambarkan dengan cukup sureal. 
Untuk itulah, penampilan akting dari Tahar Rahim sebagai Mohamedou Slahi pantas sekali untuk kita apresiasi. Bahasa tubuhnya berkembang sesuai dengan yang keadaan yang ia rasakan. Bahasa tubuhnya menjadi salah satu penanda dalam penceritaan film yang dilakukan bolak-balik. Setelah opening dia ditangkap, kita bertemu lagi dengan karakter ini saat dia sudah dalam keadaan hampir hopeless. Rahim memainkan Slahi sebagai seorang yang udah cuek ketika dua pengacara datang kepadanya. Lalu film akan membawa kita balik ke masa dia baru ditangkap, kita merasakan perjuangan masih berkobar dalam diri Slahi. Dan seiring dengan penyiksaan yang ia alami, kita melihat perubahan yang bukan hanya saja pada fisik (badannya jadi membungkuk, wajahnya memar) tapi juga pada mental karakter ini. Dan ketika arc Slahi sudah hampir komplit, Rahim memainkan karakter ini dengan ketulusan yang menguar. Progres dan perjalanan emosi karakter ini dimainkan dengan kuat sekali.
Penanda satu lagi yang dilakukan oleh film dalam penceritaan bolak-baliknya muncul lewat arahan yang efektif pada aspek teknis seperti rasio, gerak kamera, dan editing. Misalnya ketika Slahi diinterogasi, ketika di-stressing, film akan menggunakan rasio 4:3 yang sempit supaya perasaan terkungkung dan tertekan semakin kuat tersampaikan. Ketika harus menampilkan kekerasan, kamera akan bergerak frantic, bersama editing, untuk menimbulkan kesan mengerikan yang terefleksi dari yang dirasakan (dan dimainkan dengan menakjubkan) oleh Slahi. Film ini tahu kapan harus memberikan jarak dan paham persisnya akan cara menangkap esensi yang ingin disampaikan oleh naskah.

Ndak bisa basa enggres!

 
Tapi untuk urusan menggali ke dalam, film ini kurang lihai. Atau mungkin tepatnya, film ini tidak benar-benar menaruh concern ke kedalaman. Karena memang tujuan utama film ini ya untuk menggambarkan tindak mengerikan yang disangsikan kepada orang tak bersalah itu sendiri. Jangan salah, film ini sebenarnya tetap berusaha untuk menyeimbangkan narasi. Karena di sini juga ada karakter dari pengacara pihak penuntut (diperankan oleh Benedict Cumberbatch) yang perjuangannya menuntut keadilan juga diberikan konflik sendiri. Aku actually suka dengan konflik karakter ini. Karakter ini punya motivasi personal untuk menghukum Slahi. Dia adalah sahabat dari pilot pesawat yang dibajak teroris 9/11, jadi kalo ada orang yang ingin Slahi dihukum mati, maka karakter pengacara ini pasti adalah salah satu orang tersebut. Tapi dalam perjuangannya menyusun tuntutan, dia menyadari kejanggalan dalam tindakan aparat. Dia tahu ada penyimpangan hak dan kemanusiaan yang sedang terjadi. Jadi dendam pribadinya ia kesampingkan. This is really great drama, kita benar-benar melihat tindakannya, dan kuharap film ini melakukan yang seperti ini pada setiap karakternya.
Karena karakter-karakter lain tidak actually diperlihatkan seperti demikian. Bahkan tidak pula si Slahi itu sendiri. Dengan penceritaan bolak-balik, kita melihat karakter ini sebagai fragmen-fragmen. Dan kalo bukan akting Rahim yang keren dan detil, karakter ini gak akan mencuat dan niscaya akan tampak sebagai karakter untuk dikasihani aja. Banyak aspek perubahan pada karakter ini yang tidak diperlihatkan oleh film. Dia dimulai dengan bahasa Inggris terbatas, hingga menjadi benar-benar fasih; yang menyiratkan dia punya hubungan akrab dengan para penjaga. Film harusnya menyorot lebih dalam soal bagaimana dia berkehidupan sosial di dalam sana. Di kredit kita melihat Slahi yang asli bernyanyi, menari, dia seperti punya pandangan baru terhadap dunia, dan penyekapnya. Harusnya delevopment itulah yang juga dieksplorasi oleh film. Bagaimana orang yang sepertinya sudah tidak ada harapan, menjadi seperti terlahir kembali, tidak dengan dendam, melainkan dengan energi positif. The Mauritanian ini hanya menampilkan fragmen-fragmen dari itu semua. Yang beneran di-build up ya memang cuma kengerian dan siksaan di penjara.
Pembahasan yang paling cetek adalah pada kedua pengacara Slahi. Yang satu diperankan oleh Shailene Woodley, dan satunya lagi oleh Jodie Foster. Foster surely looks like a perfect cast for this role, tapi film gak berikan dia banyak tugas selain untuk pasang tampang serius yang sedih dan tertohok setiap membaca surat-surat pengakuan dari Slahi. Karakter yang ia perankan hampa. Dengan motivasi yang sekadar menegakkan kebenaran, karakternya yang sabar dan paling flawless di antara yang lain ini dapat dengan gampang jatuh ke dalam tudingan ‘white savior’. Karakter pengacara yang diperankan Woodley jauh lebih menarik. She wants to help, tapi dia mendapat kecaman dari keluarga dan kerabat karena telah memilih menolong tersangka teroris. Dia gak sanggup memikul beban tersebut, dan sempat hengkang. Jika saja bahasan moral dia dikecam itu benar-benar diperlihatkan kepada kita (bukan hanya dari omongan), dan jika dia comeback nanti benar-benar diberikan waktu dan bahasan tersendiri, maka tentu karakter ini akan lebih berbobot dan memperkaya film dengan lebih banyak emosi yang signifikan membuat keseluruhan cerita lebih beresonansi tentang kemanusiaan, alih-alih tentang ngerinya penegak hukum di Amrik.
 
 
 
I really felt something saat menyaksikan film ini. Sungguh emosional dan menggerakkan. Berhasil film ini menggambarkan peristiwa dan kejadian, bahkan emosi yang dirasakan karakternya dengan efektif. Film ini berpotensi menjadi lebih kompleks, tapi memilih fokus untuk menjadi gambaran saja. Dan itu adalah pilihan yang sah-sah saja, sebuah film tidak bersalah hanya karena memilih untuk tidak kompleks. Namun untuk menjadi yang ia pilih itu, film ini tidak berbuat banyak dalam mencegah karakternya tampak sebagai device semata. Beruntunglah film ini bisa punya aktor yang bersungguh-sungguh menghidupkan perannya, lebih daripada yang disiapkan oleh naskah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE MAURITANIAN.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Benarkah kita tidak bisa membuktikan ke-innocent-an? Bagaimana kalian membuktikan tidak-bersalah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DON’T TELL A SOUL Review

“Every man is guilty of all the good he did not do.”
 

 
 
Kakak beradik Matt dan Joey punya rahasia besar. Mereka baru saja merampok uang sejumlah lebih dari sepuluh ribu dolar dari rumah yang sedang dikosongkan sementara oleh pemiliknya. Dan dalam pelarian mereka dari seseorang berseragam sekuriti yang memergoki, Matt dan Joey tanpa sengaja menyebabkan security yang bernama Hamby itu jatuh ke lubang sumur yang tak-terpakai. “Jangan bilang siapa-siapa!” perintah Matt kepada adiknya. Matt bermaksud membiarkan satu-satunya saksi mata perbuatan mereka terperangkap di dalam sumur tersebut. Matt sama sekali tidak paham bahwa menyimpan rahasia ternyata bukan apa-apa dibandingkan dengan menyimpan perasaan bersalah. Adiknya, Joey, justru semakin hari semakin merasa bertanggungjawab dan peduli terhadap Hamby yang terus memohon-mohon untuk segera diselamatkan (dan janji untuk tutup mulut soal perbuatan kriminal mereka) dari dasar sumur.
Dan karena larangan “Jangan bilang siapa-siapa” itu hanya ditujukan oleh Matt kepada Joey, maka di sini aku mau bilang kepada kalian semua bahwa Don’t Tell a Soul ini adalah drama thriller yang menyimpan banyak kejutan sehingga menyenangkan dan seru untuk ditonton!

Film ini mengingatkanku pada almarhum Kakek yang dulu suka cerita tentang Kancil menipu Harimau masuk ke dalam lubang

 
 
Tahun lalu kita dapat Onward (2020) yang bicara tentang hubungan antara dua saudara laki-laki sehubungannya dengan absennya figur ayah dalam sebagian besar hidup mereka sebagai pusat cerita. Kini, sutradara merangkap penulis naskah Alex McAulay memberikan Don’t Tell a Soul kepada kita. Film ini punya center cerita yang sama dengan animasi Pixar tadi, tapi dengan nuansa yang lebih kelam. Film ini menampilkan tindak-tindak kriminal, menunjukkan hubungan kakak adik dalam satu keluarga yang meningkat intensitasnya menjadi penuh mental-abuse dan kekerasan fisik. Ceritanya akan mengeksplorasi sibling rivalry dalam wujud-wujud paling mengerikan. Sehingga yang kita tonton ini terasa kasar dan kadang-kadang seperti bener-bener diset untuk jadi tragedi, tapi walaupun begitu ada pengembangan karakter menarik – ada interaksi menarik – untuk kita simak. Karakter dan sikap dan pilihan mereka inilah yang bikin film ini segar dan.. yea, unpredictable.
Matt dan Joey udah gak punya ayah. Tapi mereka gak sedih, mereka justru somewhat happy karena diinfokan dengan subtil (sebagai paparan di latar belakang) bahwa ayah mereka ini perangainya buruk. Abusive. Untuk mengurus ibu mereka yang sakit-sakitan-lah maka Matt memerintahkan Joey untuk membantunya mencuri uang. Matt berpikir kini dialah yang jadi kepala keluarga,  dan Matt (tentu saja karena ‘terbentuk’ oleh sikap dan didikan ayahnya) memerintah dengan tangan besi dan knows no boundaries. Ini menciptakan tensi emosional untuk kita santap. Emosional dari betapa kontrasnya Matt dengan Joey. Joey ini anaknya lebih ‘pendiam’ – he still is a good kid. Anak polos yang gak punya banyak pilihan selain ngikutin apa yang diperintahkan oleh sang abang. Karena bagaimanapun juga, abangnya bersikeras bahwa apapun yang mereka lakukan itu sesungguhnya adalah demi kebaikan dan kesehatan ibu mereka.
Film tidak menghabiskan banyak waktu untuk membuat Matt tampak seperti “sebenarnya baik cuma caranya salah aja”. Sudut pandang kita actually dijejerkan kepada sudut pandang Joey. Aktor muda Jack Dylan Grazer menghidupkan emosi dan psikologis karakter ini dengan cukup pas. Grazer setidaknya paham bahwa Joey diniatkan untuk menimbun marah dan kesalnya kepada Matt seiring durasi berjalan. Di paruh awal Grazer membatasi tingkah laku dan gerakgerik karakternya ini, karena di paruh awal itu Joey memang masih menimbang dan belum berani. Ketika Joey bertindak, tindakannya itu masih berbalut rasa ketakutan, dan masih merasa harus mematuhi abangnya. Kita dapat melihat jelas perubahan psikologis Joey dan perubahan pandangannya terhadap si abang. Bukan karena memang film begitu visual dalam menampilkan kesemena-menaan dan ketoxican Matt (Fionn Whitehead sukses jadikan karakternya ngeselin), tapi juga karena kita merasakan pemberontakan dan choice itu terbentuk bertahap dalam diri dan perilaku Joey.
Dan pemicu perubahan Joey itu yang membuat film ini menarik. Don’t Tell a Soul actually menjadikan ‘perasaan bersalah’ sebagai benang merah yang menyatukan karakter-karakternya. Each of them akan merasakan hal tersebut dan dijadikan titik-balik atau puncak pembelajaran dari para karakter. Bagi Joey, perasaan bersalah itu yang jadi ‘main force’ yang menggerakkan aksinya. Perasaan bersalah Joey yang menghantarkan kita kepada satu lagi relasi menarik yang dipunya oleh film ini. Yakni hubungan yang terjalin antara Joey dengan Hamby.

Menyimpan perbuatan buruk sebagai rahasia gelap ternyata bukan apa-apa jika dibandingkan dengan menyimpan rasa bersalah kita terhadap perbuatan baik yang tidak kita lakukan. Tidak menolong Hamby terus menghantui Joey. Yang memakan ketenangannya dari dalam bukanlah soal perbuatan mencuri yang ketahuan, melainkan perihal seseorang yang bisa saja terluka dan butuh pertolongan yang tidak mereka tolong.

 
Sayangnya, aku gak etis kalo bicara banyak soal hubungan Joey dengan Hamby karena ini actually ada rahasia yang disimpan oleh cerita. Yang kalo dibeberkan, hilanglah sudah kejutan demi kejutan yang disiapkan dan jadi merusak experience menonton. Bakal spoiler banget lah pokoknya. Jadi aku akan coba to keep it light
Joey yang merasa bersalah kerap kembali ke lubang untuk mengirimkan makanan dan minuman kepada Hamby. Salah satu barang yang ia jatuhkan ke bawah adalah, walky talky. Dan dari sini hubungan mereka dimulai. Menariknya itu adalah, while kita bisa merasakan nada tipu muslihat yang dihembuskan oleh Rainn Wilson di balik kata-kata positif karakternya, perhatian kita tetap terpusat kepada Joey. Yang mengajak Hamby bicara dengan nada yang seolah seperti menemukan teman bermain yang baru. Seharusnya film ini punya durasi yang sedikit lebih panjang lagi supaya development relationship ini bisa berjalan dengan benar-benar bertahap. Bisa kelihatan lebih jelas progres dari Joey yang tadinya tergerak oleh rasa bersalah menjadi terkadang seperti menganggap Hamby teman, terkadang sebagai pengganti abang, malah terkadang seperti pengganti sosok sang Ayah. Di paruh kedua, akan ada revealing soal Hamby, yang meng-escalate relationship Joey dengan Hamby ke arah yang sama sekali tidak tertebak. Dan ini fun buatku. Aku sadar keputusan tindakan karakter itu datang dengan masih terlalu cepat – film benar-benar butuh waktu untuk membuatnya jadi lebih matang lagi – tapi kejadian-kejadian yang disuguhkan benar-benar caught me by surprise.

Sebenarnya justru Joey-lah yang jatuh ke lubang. Lubang rasa bersalah.

 
Kalo kalian suka nulis cerita, atau sekadar ngayalin cerita, pasti pernah ngerasain serunya membayangkan berbagai kemungkinan yang terjadi sebagai kelanjutan cerita. Kemungkinan yang terpikirkan, bakal selalu lebih liar dan tak-terduga dibandingkan kemungkinan sebelumnya. Nah, film ini, di bagian menjelang terakhirnya, persisnya tuh kayak mengambil semua kemungkinan cerita dan menyatukannya. Konteks, tema sibling rivalry, tema perasaan bersalah, semua masih ada sebagai tulang punggung cerita, tapi kejadiannya benar-benar menjadi berkembang liar. Seperti ngeliat Big Show melakukan semua pertukaran heel-dan-face-nya dalam satu malam.
Semuanya itu boleh saja seru dan fun – film ini punya selera humor yang cukup dark, tapi sejatinya tidak menutup mata kita dari elemen penting yang jadi tidak bisa hadir oleh begitu singkatnya waktu untuk membuat semua pilihan dan kejadian unexpected itu terjadi. Yakni elemen depth dari konflik moral karakter. Suspens yang sudah cukup terbendung di paruh pertama, menjadi terasa lenyap dan mengempis. Film jadi fokus ke kejadian demi kejadian. Aku minta maaf karena harus menggunakan analogi gulat sekali lagi; adegan akhir itu ya rasanya seperti adegan dalam gulat ketika satu persatu superstar muncul dan menyerang dengan finisher mereka. Seru, tapi kita jadi just don’t care anymore. Kita teralihkan dari karakter, dari cerita yang tadinya terbangun. Simpelnya adalah, apapun yang terjadi kita bakal senang karena seru dan tak-tertebak. Kita gak peduli untuk bersimpati lagi kepada karakternya. Dan untuk cerita film ini, hal tersebut jadi tak lagi in-line dengan yang sudah diset di awal. Perjuangan anggota keluarganya, konflik di dalam mereka, semuanya jadi tak teperhatikan lagi.
 
 
Seperti Charlie Chaplin, musuh utama film ini adalah waktu. Aku percaya kalo diberikan waktu lebih banyak lagi – jika dibikin dengan durasi yang lebih panjang lagi – elemen kejutan dan berbagai komplikasi adegan di paruh akhir bisa lebih ter-flesh out. Memungkinkan untuk tetap terjadi tapi kali ini dengan membuat perhatian kita tak terlepas dari konflik karakter; moral dan pilihan mereka. Kalo soal seru sih, ya film ini bakal menghibur berkat itu. Kupikir film ini bakal punya team-up karakter yang sangat unik – bahkan, hero di akhirnya juga out of the box, dan juga sekaligus berani. Untuk kondisinya yang sekarang, kita bisa bilang film ini masih terlalu liar for it’s own good.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DON’T TELL A SOUL.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian memendam rasa bersalah? How did you manage to climb out of your guilty conscience?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA