RESISTANCE Review

“A good laugh heals a lot of hurts”
 

 
 
Terlahir sebagai orang Yahudi jelas bukan hal yang ingin kau gembar-gemborkan jika hidup di Perancis tahun 1940an. Dengan Gestapo ada di mana-mana, memang yang paling baik adalah menjaga kesehatan dengan – well, sama seperti kita sekarang -dengan memakai masker. Topeng. Nama palsu. Samaran. Marcel beneran merias wajahnya. Dia pasang ‘kumis-model-sikatgigi’ palsu. O tidak, dia tidak menyamar menjadi Hitler. Dia menjadi Charlie Chaplin. Dia tidak ingin membuat orang menderita. Dia ingin menjadi seperti idolanya; membuat orang tertawa.
Nama Marcel Marcaeu tercatat dalam sejarah bukan hanya sebagai seniman pantomim paling tersohor, melainkan juga sebagai seniman pantomim yang beneran ikut berjuang bersama gerakan Perlawanan Yahudi di Perancis. Film Resistance karya Jonathan Jakubowicz adalah cerita tentang perjuangan tersebut. Sebagai biografi sejarah, film ini memang tidak terlalu akurat karena menambahkan banyak bumbu-bumbu drama ke sekitar kehidupan Marcel. Tapi sebagai kisah kepahlawanan; film ini dengan tepat menggambarkan esensi perjuangan Marcel. And it is an unique one. Karena bagi Marcel, perjuangan itu bukanlah balik mengangkat senjata mengalahkan musuh. Menumbangkan mereka sebanyak mereka menumbangkan kita. Melainkan, berjuang berarti menyelamatkan sebanyak mungkin korban. Membangkitkan kembali semangat hidup mereka. Marcel Marceau tercatat sudah menyelamatkan ratusan anak-anak Yahudi korban Nazi, membawa mereka nyebrang ke perbatasan. Film ini tidak mengabaikan perjuangan tersebut. Sekaligus tidak lupa untuk menekankan, bahwa hal terpenting yang dilakukan Marcel si tukang pantomim – hal sesungguhnya yang ia lakukan dalam menyelamatkan kehidupan mereka – adalah telah membangkitkan kembali semangat hidup anak-anak tersebut dengan seni dan tawa.

Seni adalah eskapis, dan tawa adalah obat yang paling mujarab. Marcel menggabungkan keduanya, dan dengan itulah ia menolong banyak anak. Tawa membuat kita melupakan kebencian dan ketakutan. Tawa menutup luka-luka emosional. Tertawa bersama membuat kita lebih mudah merasakan empati terhadap orang lain. Itulah yang persisnya dibutuhkan oleh dunia, dan Marcel adalah master dari seni tersebut.

 
hiburan di kala duka

 
Jadi film ini memang sudah semestinya menyentuh saraf-saraf emosional kita dengan kehangatan yang dipancarkan oleh Marcel lewat usahanya berpantomim, menghibur hati para anak-anak yatim piatu korban Nazi emotionally, dan secara literal menyelamatkan mereka ke tempat yang aman. Misi film ini terang dan jelas. Melandaskan kecintaan Marcel terhadap profesinya, memperlihatkan konflik Marcel dengan ayahnya sehubungan dengan pilihan profesi alias passionnya tersebut – yang dianggap malu-maluin dan membuat kelaparan – serta tentu saja menguatkan hubungan Marcel dengan anak-anak yang ia lindungi serta hubungannya dengan Nazi yang jadi pendorong utama untuk menjadi lebih baik. Lika-liku Marcel secara personal haruslah diperdalam oleh film yang katanya biografi ini. Terlebih setelah ditetapkan bahwa Marcel berawal sebagai seorang yang mementingkan diri sendiri.
Durasi dua jam semestinya cukup untuk memadatkan itu semua. Namun entah kenapa, film seperti meme cowok yang berjalan bersama pacarnya, terpana menatap wanita lain. Alias, film ini seperti teralihkan perhatiannya membahas ke hal-hal yang seharusnya hanyalah pendukung bagi Marcel. Bahasan Marcel dengan ayahnya yang tukang daging misalnya, harusnya bisa lebih diperdalam, mengingat background sang ayah yang kompleks dan tak kalah mengejutkan. Yang tentu saja tak cukup dan terasa diburu-buru jika hanya dilakukan dalam lingkup satu babak cerita dan beberapa percakapan di antara mereka, seperti yang kita dapatkan dalam film ini.
Momen kunci yang menjadi hati cerita adalah relasi yang terbangun antara Marcel dengan anak-anak yang mereka jaga di penampungan. Pada beberapa waktu, film berhasil menghadirkan adegan yang benar-benar terasa genuine. Kekuatan pantomim berhasil menghubungkan hati para tokoh, digambarkan lewat pengadeganan yang menghanyutkan. Jesse Eisenberg tampak benar-benar berusaha mempersembahkan ‘the art of silence’ tersebut, meskipun sama seperti aksen frenchnya; performa Eisenberg goyah. Kita perlu lebih banyak adegan yang menceritakan Marcel berusaha berkomunikasi lewat pantomim. Terlebih jika tokoh Marcel sendiri memang seperti diniatkan untuk tampil sebagai orang yang cukup canggung dalam berkomunikasi langsung. You know, layaknya tipikal tokoh-tokoh yang diperankan oleh Eisenberg sebelum ini. Aku gak pernah yakin tokoh Marcel ini orangnya seperti apa. Saat ia bicara seringkali persona nerd dan social-awkward ala Eisenbergnya mencuat. Kemudian saat dia berpantomim, ketika aku yakin dia bakal magnificent, dia tetap sering tampak gak lepas dari gestur awkwardnya. Judgment kita soal performa pantomimnya masih belum bisa kuat, karena adegan berpantomim di film ini kurang banyak, sehingga kita jadi sukar menyimpulkan apa yang terjadi di sini. Apa ia benar-benar bermaksud melucu, apa anak-anak itu tertawa bersamanya, atau mereka menertawakannya.
Padahal pantomim mestinya adalah seni yang powerful nan beautiful. Ditambah dengan konteks perang, kekejaman Nazi dan mengerikannya perang, seharusnya semua bisa tersampaikan di sana. Tapi penampilan Marcel tidak pernah sedalam itu. Apalagi menyentuh ranah surealis. Film yang mengangkat seorang yang berpantomim, dan menyelamatkan orang-orang, tidak berhasil sepenuhnya untuk membuat kita konek kepada subjek ceritanya sendiri. Karena memang cerita tidak disusun untuk fokus ke sana. Film malah sepertinya tidak paham bagaimana menggali sisi dramatis yang genuine dari sana. Maka ditambahkanlah, dipusatkanlah, bumbu-bumbu yang dirancang untuk menjadi dramatis. Bumbu yang bahkan enggak ada di sejarah kehidupan tokoh aslinya. Bunch of time dihabiskan untuk mengedepankan kehidupan cinta Marcel dengan seorang tokoh fiktif, hanya untuk berakhir dengan tidak kemana-mana, selain film butuh sesuatu untuk ditangisi oleh Marcel (dan supposedly penonton). Film menghabiskan banyak waktu untuk tidak membuat kita fokus ke personal Marcel. Momen-momen penyadaran – dia yang tadinya selfish lalu berubah menjadi peduli dan sayang pada anak-anak – diceritakan terlalu cepat dan dengan tidak banyak kejadian penting. Ada loncatan periode di paruh awal film yang sungguh disayangkan karena mestinya digunakan untuk mengembangkan hubungannya dgn semua orang, sehingga perjalanan arcnya lebih kerasa.
Kita harusnya jadi punya respek lebih kepada pantomim setelah nonton ini

 
 
Bangunan ceritanya sendiri memang aneh. Pertama, menit-menit itu dipilih untuk memusatkan kita pada kesadisan Nazi. Kedua, cerita lompat ke saat aman, ada jenderal yang pidato di depan – menceritakan kisah Marcel (tontonan kita ceritanya adalah kisah yang diceritakan oleh jenderal ini. Setelah itu baru kita dibawa ke kehidupan Marcel. Bangunan penceritaan begini membuat yang bagian jenderal itu kayak tempelan. Dan opening film membuat kisah ini terset dalam tone yang berbeda. Seolah film ini adalah tentang kekejaman Nazi, bukan tentang orang yang berjuang dalam cara yang berbeda melawannya. Dalam film superhero, lumrah kita diliatin kebangkitan penjahat sebelum kita bahkan mengenal pribadi yang bakal jadi tokoh superhero. Ini dilakukan untuk membuild up tantangan yang bakal dihadapi oleh si hero. Membuat kita mencemaskan gimana kalo nanti dia yang sekarang ini ketemu sama si penjahat sadis tadi. Dalam cerita superhero, bercerita begini dapat bekerja dengan efektif karena si hero pada akhirnya memang akan beneran berinteraksi dan berhubungan langsung dengan kejahatan si penjahat. Resistance tampak mengincar efek ini. Yang sayangnya terasa setengah-setengah karena walaupun si Barbie Nazi berhasil dibuild up sebagai karakter yang jahat dan bengis (tidak ada yang mempertanyakan soal kekejaman Nazi di sini; itu seeksak satu tambah satu sama dengan dua), Marcel sebagai pahlawan tidak pernah merasakan langsung dan interaksinya dengan si Nazi yang ditampakkan justru interaksi humanis. Dampaknya hanya ke kita. Marcel tidak pernah benar-benar terasa ada yang dipertaruhkan.

Harusnya sekalian Marcel saja yang dibuat kabur saat Nazi menyergap persembunyian. Selain karena memberikan kepadanya kesempatan untuk merasakan bahaya, juga make more sense karena arcnya dia di awal memang seorang yang lebih mentingin diri sendiri. Sehingga bakal lebih dramatis ketimbang terjun nyelametin orang yang mau bunuh diri – yang jelas-jelas adalah adegan lebay yang diorkestrasi untuk memancing efek dramatis. Momen Marcel dan anak-anak itu diburu di gunung salju juga akan lebih berasa karena kali ini dia harus lari sambil menyelamatkan orang. Resistance pada akhirnya memang seperti jatuh pada perangkap biopic pahlawan; takut untuk memperlihatkan cela. Di saat tokoh jahat dengan leluasa diperlihatkan sebenar jahat karena gak bakal ada yang protes, tokoh baiknya dibiarkan untuk tidak dieskplorasi karena terbatas pada keinginan untuk menunjukkan yang baik-baiknya aja. Padahal pandangan Marcel terhadap Nazi, pandangan Marcel terhadap inti dari berjuang, pandangannya terhadap pantomim itu sendiri, itulah yang harus ditonjolkan. Jadi kita bisa melihat perubahan yang membuat kita menjadikan sang pahlawan itu inspirasi. Bukan sebatas apa yang ia lakukan. Namun cerita dan konflik di balik perjuangan. Konflik yang personal dan tumbuh natural, tentu saja. Bukan yang dirancang hanya untuk memenuhi struktur naskah.

 
 
 
Cerita mestinya fokus dulu pada pengembangan Marcel. Mulai dari Marcel, tidak perlu memperlihatkan ke kita kekerasan yang dihadapi anak-anak di awal. Bikin Marcel merasakan itu atau melihatnya langsung pada satu titik. Buang saja adegan dengan Jenderal yang bercerita itu; film ini gak butuh dua ‘intro’ yang hanya merusak tone dan bikin aneh bangunan cerita. Film ini punya potensi untuk menjadi indah dan menyentuh, dan untuk beberapa kecil bagian, film ini memang menyentuh. Melengkapi kisah powerful bertema Nazi dan anak-anak yang kita dapatkan di tahun 2020 ini. Sayangnya arahan malah membuat film ini jadi biopik yang hanya tok menyoroti kejadian, tanpa benar-benar mengeksplorasi. Tone cerita pun jadi setengah-setengah. Antara mau sadis atau enggak. Film ini seperti antonim dari pantomim itu sendiri; tidak indah, tidak nyeni, dan terlalu ribut oleh subplot-subplot yang diset untuk heboh. Bahkan untuk memahami tokoh dan pantomim itu saja, film ini masih seperti belum pasti.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for RESISTANCE.

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian terhadap seni pantomim? Menurut kalian apa bedanya pantomim dengan badut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GREYHOUND Review

“If you’re in control, they’re in control”
 
 

 
 
 
Setelah menonton begitu banyak film perang, kita sudah mengestablish bahwa perang itu mengerikan. Karena menelan begitu banyak korban. Dan tentu saja korban-korban itu bukan hanya berjatuhan di garis terdepan. Film Greyhound arahan Aaron Schneider menunjukkan dahsyatnya peperangan di garis belakang. Bahkan, tepatnya, sebelum garis pantai. Alias di samudera. Tempat kapal-kapal logistik peperangan berkonvoi dan dikawal menuju medan tempur.
Tom Hanks kini berperan sebagai Krause, kapten salah satu kapal tempur yang mengawal kapal-kapal yang membawa supply dan tentara tersebut sepanjang Samudra Atlantik. Awalnya perjalanan mereka aman-aman saja. Namun begitu sampai perbatasan Amerika dan Eropa, pesawat yang menjadi mata mereka di udara harus mundur. Keadaan sepenuhnya berada pada pundak Krause, memimpin perjalanan setidaknya sampai pesawat dari Eropa tiba. Inilah momen-momen krusial karena di jendela-waktu sempit tersebut, konvoi kapal mereka bagai sitting duck. Diincar oleh sekelompok kapal selam pemburu milik Nazi Jerman. Musuh mengincar dari bawah laut. Mencoba menenggelamkan kapal-kapal tersebut.  Krause harus melindungi semua kapal, mengupayakan semua taktik yang ia tahu untuk menghadapi sergapan musuh!

“You sunk my battleship!”

 
 
Tadinya aku mengira ini adalah film biografi; film yang menceritakan perjuangan dan kepahlawanan tokoh nyata di medan perang. Tapi ternyata enggak. Film ini adalah adaptasi dari novel The Good Shepherd. Dan alasan aku menyangka ini adalah kisah asli adalah karena film ini mampu membuat kita mengapresiasi perjuangan Krause, membuat kita memikirkan sebegitu berbahayanya perjalanan yang ia tempuh. Sebesar itu resiko yang ia hadapi, sebanyak itu tanggungjawab yang ia emban. Film ini menunjukkan menjadi kapten atau pemimpin itu sulit. Kita enggak menjadi pahlawan hanya dengan selamat dari pertempuran. Hanya dengan memerintah ini itu kepada bawahan. Melainkan di balik setiap keputusan ada beban. Bahwa untuk membuat satu langkah ada yang jadi korban. Dan kapten akan menanggung beban-beban tersebut sepanjang umurnya.
Greyhound kuat dalam penggambaran. Adegan tembak-tembakan kapalnya seru dan menegangkan. Film ini nyaris nonstop aksi. Kapal Krauser secara konstan mendapat ancaman dan serangan. Kita akan mengawasi Krauser mengeker torpedo yang merayap dari balik ombak. Bayangkan film Jaw, hanya saja bukan hiu yang berenang lurus dengan cepat ke arah kita. Setiap kali Krauser memantau keadaan dengan teropong, kita bisa melihat pemandangan CGI kapal-kapal yang bisa meledak terbakar begitu saja. Ya, kadang CGI film ini sangat kentara, tapi untungnya kesan dikepung dan diburu itu masih bisa cukup terasa. Sehingga misi film ini untuk memberi kita pengalaman-langsung bisa dikatakan berhasil.
Menulis sendiri naskah adaptasi ini, Tom Hanks tampak paham luar dalam mengenai karakter yang ia perankan. Dengan kekuatan aktingnya yang telah teruji, Hanks menggambarkan beban tindakan dan pilihan yang dirasakan oleh Krauser dengan tepat mengena. Dia mengerti cerita ini tentang apa. Hanya saja, Hanks seperti lupa bahwa kita yang nonton juga butuh untuk memahami konteks tokohnya. Untuk memahami siapa Krauser sehingga kita bisa peduli. Naskah yang Hanks tulis tidak terstruktur dengan mantap sehingga tidak mampu untuk memuat segala informasi yang bisa berguna bagi kita untuk menjadi tersedot masuk ke dalam cerita. Tentu, kita mengerti ini adalah cerita kapten pahlawan yang berusaha bertanggungjawab atas hidup banyak orang; di kapalnya, di kapal tempur rekan mereka, di kapal-kapal supply yang mereka kawal, dan orang tersayang yang menantinya di rumah. Namun itu tidak membuat tokoh ini unik. Toh semua pahlawan memang begitu. Kasarnya; udah tugas kapten untuk bertindak seperti itu. Film mestinya memuat karakter yang spesial, karena tentu saja tidak semua kisah pahlawan harus difilmkan. Yang spesial-spesila aja. Ini namanya urgensi. Film harus urgen. Selain tantangan lingkungan-perang yang unik, harus ada juga kekhususan pada karakternya sehingga kita tertarik dan peduli dengan yang ditonton. Misalnya, tokoh pahlawan perang tapi gak mau menembakkan senjata seperti pada Hacksaw Ridge (2016). Atau seperti 1917 (2020) yang paket komplit menyediakan tantangan berupa tokoh harus berjalan kaki masuk ke wilayah musuh dengan tekanan waktu, sekaligus memberikan keadaan karakter yang tak-biasa yakni tokohnya adalah orang yang menolak untuk terbuka.
Krause di Greyhound bukannya tidak punya kekhususan itu. Masalahnya adalah film tidak membuka ini dengan segera. Kita baru akan tahu hal yang membuat dirinya berbeda sehingga kisahnya pantas untuk disaksikan saat keadaan sudah aman. Saat film sudah mau habis. Sungguh amat terlambat kita diberitahu bahwa Krauser ternyata adalah kapten yang kurang berpengalaman. Misi pengawalan ini adalah misi pertama baginya. Maaan, bayangkan betapa kuatnya konflik terasa jika kita mengetahui ini sedari awal. Tentulah dramanya bakal jadi lebih impactful. Jadi kupikir kali ini kalian yang belum nonton tapi sudah baca review ini akan berterima kasih udah kena spoiled, karena mengetahui ‘rahasia’ Krause itu eventually akan membuat karakternya menjadi lebih berasa.
You’re welcome.

 

Seperti yang disampaikan oleh judul novelnya, ini adalah tentang menjadi pemimpin yang baik. Seorang kapten atau pemimpin hanya akan terbukti kecakapannya dengan berada di bawah serangan keadaan yang begitu menekan. Reaksi mereka dalam keadaan tersebutlah yang menunjukkan kualitas mereka. Seorang pemimpin harus dapat mengendalikan diri. Tidak menunjukkan keraguan, tidak gentar, meski di dalam hatinya boleh jadi dia yang paling takut di antara semua. Seperti Krause dalam film ini yang menahan sakit di kakinya, yang makan saja ia tahan, karena ia tahu pasukannya sangat membutuhkan panutan dan arahan dalam situasi di mana bersin aja gak boleh.

 
Melihat durasi film ini, sesungguhnya memang memunculkan keraguan. Setidaknya jadi ancang-ancang untuk menurunkan ekspektasi. Karena film perang yang ‘serius’ biasanya jarang yang di bawah dua-jam. Karena bahasan moral, karakter, drama, dan aksi tembak-tembak tentu saja membutuhkan waktu yang enggak sebentar untuk matang. Greyhound ternyata singkat, ya karena memang cuma aksi saja yang film ini punya. Karakter enggak pernah dibahas dengan dalam. Kita gak tahu siapa orang-orang yang ada di sana, mereka hanya pasukan yang karakternya seringkali tak lebih dari sekadar nama. Film toh tetap mencoba menggali drama dari mereka. Usaha minim karakterisasi dalam film ini mencakup koki yang terus memasakkan makanan untuk Krause meski tak dimakan, prajurit muda yang canggung, dan Krause yang menulis tapi pensilnya patah. Film ini butuh lebih banyak drama. Karakter yang lebih kompleks. Mereka bisa bikin ada satu tokoh yang kelihatan seperti mata-mata/pengkhianat atau semacamnya; at least dengan begitu tokoh-tokohnya akan jadi lebih seru.
Dan memandang film ini begitu selesai, aku malah merasa sembilan-puluh-menit itu saja sudah seperti dipanjang-panjangin. Kejadian dalam film ini itu-itu melulu. Kita akan melihat ancaman dan tembak-tembakan yang nyaris sama persis. Dialog dalam film ini juga enggak ngangkat. Tidak banyak (alias sedikit sekali) hal penting yang mereka ucapkan, karena sebagian besar waktu dipakai oleh para tokoh untuk meneriakkan instruksi dan melaporkan status posisi musuh pada radar dalam bahasa militer, yang butuh beberapa waktu bagi kita untuk mengerti apa yang mereka teriakkan.
 
 
Antara tembakan torpedo dan berondongan istilah-istilah navigasi laut, film ini menunjukkan gambaran kelam keadaan perang di laut. Memberikan pengalaman langsung betapa mencekamnya perang itu sendiri. Sebagai kendaraan untuk hal tersebut, film ini memang persis dengan kapal Krause itu sendiri; sea-worthy. Namun sebagai sebuah tontonan, film ini hanya sebatas ‘C-worthy’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GREYHOUND

 

 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian apa keputusan paling sulit yang harus dibuat oleh Krause dalam film ini?
Dan bicara tentang kapten dan pemimpin, bagaimana pendapat kalian tentang langkah yang diambil kapten negara kita dalam mengarungi laut pandemi sekarang ini?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

DA 5 BLOODS Review

“And the whole thing is that you’re treated like a step-child”
 

 
 
Spike Lee memang sangat vokal menyuarakan kesetaraan sosial kulit hilam. Dari Malcolm X (1992) hingga BlacKkKlansman (2018), dia terus membangun cerita berdasarkan soal pandangan politik dan kritikannya terhadap isu-isu tersebut. Maka tidak ada waktu yang lebih tepat lagi daripada sekarang ini – ketika #BlackLivesMatter kembali digemakan karena pelanggaran oleh seorang polisi kulit putih di Amerika – untuk film terbaru Spike Lee tayang. Da 5 Bloods, drama yang turns out to be a genre action-adventure tentang para veteran perang Vietnam, dibuat oleh Spike Lee untuk membahas nasib tentara kulit hitam selepas perang. Bahwa mereka tidak mendapat apa-apa selain trauma. Bahkan tidak pula terima-kasih. Apalagi sebuah kata maaf.
Begini gambaran besar kondisi mereka yang pada poin tertentu diutarakan lewat karakter fiktif dalam film ini: Kulit hitam adalah minoritas di Amerika, tapi di medan perang – di Vietnam sana – kulit hitam mendominasi. Kebanyakan mereka dikirim memperjuangkan kebebasan bangsa asing, padahal di negara sendiri mereka sama terkekangnya. Atas bahaya perang, kekerasan yang terpaksa dilakukan – karena dalam perang, setiap perbuatan adalah mengerikan, para tentara ini menanggung semua trauma sementara kebebasan bagi mereka tak kunjung datang. Perang bagi mereka sendiri tak-pernah berakhir.
Empat dari mereka itu adalah Paul, Otis, Melvin, dan Eddie. Empat tentara yang sudah menjadi seperti saudara karena semua yang telah mereka lalui di belantara Vietnam sana. Da 5 Bloods adalah cerita tentang keempat orang ini, yang tadinya berlima. Satu ‘blood’ lagi, teman, sahabat, sekaligus junjungan mereka semua, Norman, gugur di medan perang. Untuk dialah geng Bloods yang kini udah gaek itu berkumpul kembali di kota Ho Chi Minh. Mereka akan menyusur hutan, menjemput jasad Norman, sekaligus mengambil harta karun, like, literally emas batangan, yang tertimbun di tempat terakhir mereka berperang. Namun tentu saja perjalanan itu tidak bakal sedamai yang mereka duga. Sebab pencarian harta karun ini membuat mereka menapaki kembali tragedi dan kecamuk personal di masa lalu. Sekali lagi mereka harus berperang. Orang bilang emas mampu mengubah manusia menjadi yang terburuk. tapi itu bukan satu-satunya ‘musuh’ yang harus mereka kalahkan. For each of them punya kepentingan personal; kebutuhan yang harus disegerakan dalam usaha berdamai dengan masa lalu. Particularly menarik adalah dua orang tokoh; Otis yang served as protagonis sekaligus hero, dan Paul sebagai tokoh utama. Dan masalah kedua orang ini berkaitan dengan anak, yang bisa kita tarik garis keparalelan dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh film dalam isu penduduk kulit hitam yang selama ini diperlakukan seperti anak tiri oleh negara.

‘Emas hitam’ itu adalah darah persahabatan

 
Meskipun dimulai dengan berondongan montase video Muhammad Ali yang menolak enlist jadi soldier dan cuplikan-cuplikan foto sejarah perang Vietnam lengkap sama nama dan tanggal-tanggal penting (cuplikan ini bisa bikin tidak nyaman karena nampilkan mayat korban dan eksekusi real), dan aksi-aksi protes terhadapnya, Da 5 Bloods yang sarat akan komentar politik ini tidak terasa berat untuk dinikmati. Lee sukses mengaduk ketegangan isu ras, emosi, kemarahan di dalamnya, dengan momen-momen menyentuh dan komedi yang akrab, dan lalu menutupnya dengan aksi brutal ala film laga. Tidak akan susah bagi kita untuk mengikuti drama yang melatarbelakangi cerita film ini. Simpati itu juga tidak diminta kepada kita, film tidak mengemis belas kasihan kita kepada para tokoh kulit hitam dan ketidakadilan yang mereka terima. Instead, yang kita lihat di sini adalah karakter-karakter yang bercela karena dampak perang. Kadang kita takut kepada mereka. Kadang kita ingin mereka mendapat keadilan. But mainly, kita semua akan merasakan deep connection, apalagi ketika film mulai membahas hubungan karakter dengan anaknya.
Lewat tokoh Otis yang diperankan oleh Clarke Peters, film mengangkat topik anak yang berasal dari hubungan tentara dengan penduduk lokal selama perang. Sebelum berangkat ke hutan, Otis mengunjungi perempuan Vietnam yang dulu pernah berhubungan dengannya. Di rumah perempuan itu, unexpectedly Otis bertemu dengan anak gadis yang tidak-lain-tidak-bukan adalah buah hubungannya dengan si perempuan. Namun tidak satupun dari mereka yang berani menyebutkan hal tersebut kepada si anak. Bohong diciptakan untuk menutupi hal tersebut, dan Otis hanya bisa diam. Dia ingin ‘menyapa’ anak kandungnya ini so bad,  kita jadi peduli kepadanya, kita ingin mereka benar-benar ‘bertemu’. Dan ini dikontraskan sekali dengan hubungan antara Paul dengan anaknya, David, yang diam-diam menyusul ke Vietnam dan ikut serta dalam perjalanan mereka. David gak pernah diaku anak oleh Paul, sepanjang dua jam lebih film ini kita akan melihat perlakuan Paul kepada David – sekali waktu dia cemas ketika David nginjek ranjau, dan kali lainnya dia tidak lagi menganggap David anaknya hanya karena David menolak untuk ikut meninggalkan kelompok. Tapi film membiarkan kita tetap lekat kepada Paul supaya kita bisa mengerti akar dari permasalahannya dengan David.
Dan oh boy, betapa Paul adalah tokoh yang kompleks, dan dimainkan dengan luar biasa oleh Delroy Lindo!

 
 
This is my favorite acting performance so far this year. Lindo berhasil memaksimalkan intensitas dari karakter Paul yang benar-benar… haunting. Paul adalah yang paling terpengaruh oleh kematian Norman dibanding tiga rekannya yang lain. Dia yang paling terpukul oleh dampak perang. Bayangkan amarah, takut, sakit, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, lalu hidup. Itulah Paul. Paul ini kayak ngeliat Big Show di WWE, kadang dia baik, kadang jahat banget. Kadang kita mencemaskan dirinya saat PTSD-nya kumat. Kadang kita bisa merasakan kebencian tulen menguar dari dirinya. Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, Lee menuliskan Paul sebagai seorang supporter Trump. Menunjukkan rasa patriotnya yang tinggi, yang kontan menjadi tambahan konflik buatnya once he realized itu tidak membuat hidup menjadi lebih mudah baginya. Malahan makin susah, bukan hanya baginya tapi juga bagi keluarga – bagi anaknya. Transformasi karakter ini diperlakukan dengan sangat unik. Lindo akan banyak melakukan monolog, dan pada beberapa monolog Lee membuat Lindo secara close up bicara langsung kepada kamera. Sehingga efek yang dihasilkan menjadi luar biasa. Yang membuat monolog itu unik adalah yang ditampilkan bukanlah tokoh yang perlahan menjadi gila karena perbuatannya. Melainkan tokoh yang mengalami sebuah penyadaran dahsyat. Paul menjadi a better man, sekaligus dia sadar seberapa banyak dosa-dosanya.

Paul adalah ayah, yang harusnya mengayomi anak seperti negara mengayomi warganya. Tapi Paul membunuh ‘orang’nya sendiri. Seperti negara yang kerap membunuhi warganya sendiri, for no reason. Arc Paul beres begitu dia meminta maaf, yang membuatku berpikir jangan-jangan inilah seruan Lee kepada negaranya. Bahwa yang dibutuhkan adalah meminta maaf. Kemudian mengakui warga selayaknya anak, tanpa pandang bulu, tanpa pandang warna.

 
 
Menyadari betapa pentingnya bagi kita para penonton untuk tetap berpegang kepada para tokoh, untuk melihat mereka sebenar-benarnya diri mereka, Spike Lee enggak repot-repot mencari dua pemain untuk memerankan dua versi karakter. Dia juga tidak menggunakan efek untuk memudakan, yang beresiko membuat tokohnya tidak tampak alami dan melepaskan kita dari mereka. Da 5 Bloods dari waktu ke waktu akan membawa kita ke masa lalu, masa perang saat Paul, Otis, dan teman-teman sebagai tentara muda, dan dia menampilkan mereka benar-benar seperti mereka tidak pernah berubah lagi setelah perang mengubah mereka terlebih dahulu. Kontras karakter versi muda dan tua ini cuma di kekuatan fisik – in modern day kita melihat Otis harus berjalan dengan bantuan tongkat karena pinggangnya udah gak kuat, sedangkan di masa lalu ia kuat berlarian. Lee menghandle dua masa itu dengan sangat mulus. Dia juga menggunakan perbedaan ratio pada layar. Adegan perang di masa lalu punya ratio yang lebih kecil sehingga menimbulkan kesan seperti melihat rekaman masa lalu.
Perpindahan masa ini tidak pernah terasa mengganjal karena Lee tidak melakukannya dengan berlebihan. Melainkan dia melakukannya dengan timing yang precise, dia tahu kapan untuk ngeflashback sehingga terasa impactful. Ada satu flashback yang terus diulur, adegan sebenarnya antara Paul dan Norman di medan perang, kita punya dugaan tentang adegan ini, kita ingin konfirmasi, tapi film tidak melakukannya sehingga kita terus terbuild up, dan dying for the flashback. Aku biasanya gak demen sama flashback, tapi di film ini aku jadi merasa butuh. Dan BAMM! ketika beneran tiba, efek adegannya menjadi berkali lipat. Buatku ini adalah cara yang pintar dalam menggunakan flashback; tidak berlebihan melainkan yakinkan dulu penonton sudah terinvest dan buat mereka merasa butuh untuk melihat flashback.
Sisipan dalam film ini bukan hanya flashback, melainkan juga footage-footage adegan nyata, yang seperti sudah kusinggung di atas; dapat menjadi disturbing untuk kita lihat. Korban-korban perang, mayat wanita, balita… Ini ditampilkan oleh film bukan untuk ajang biar edgy atau menarik penonton haus darah. Ini harus ada sebagai penekanan atas narasi yang dibentuk oleh film. Mayat-mayat itulah yang dipikirkan para tentara, itulah oleh-oleh yang dibawa pulang kalo kita berperang. Film menekankan bahwa mereka melakukan itu semua untuk apa. Secara konsep juga film menunjukkan mereka tidak segan-segan untuk menampilkan aksi kekerasan. Ada banyak adegan tembak-tembakan disebar – penggemar film perang akan enjoy main tebak-tebakan reference saat nonton ini – dan di babak akhir ada konfrontasi gede sebagai final-fight yang buatku sedikit terlalu ngegenre, tapi diperlukan oleh salah satu karakter sebagai full-circle arcnya.
 
 
 
 
Dalam durasi dua setengah jam, Spike Lee membawa kita mengarungi perjalanan emosi. Membuat kita berpikir tentang keadilan dalam sudut yang baru. Mengenai makna sebenarnya dari sebuah patriotisme. Ada banyak yang bisa kita pikirkan dari karakter-karakter di sini. Yang membuat ini menjadi tontonan bergizi yang mengasyikkan adalah ia tidak berhenti hanya sebagai komentar soal politik. Film ini menyentuh dunia nyata keras-keras, menjitaknya kalo boleh dibilang, tapi tidak lupa untuk menjadi menghibur. Tanpa mengurangi bobot pesannya. Ini kemampuan yang gak semua sutradara mampu, dan kupikir dunia sangat berterima kasih atas kehadiran film ini.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DA 5 BLOODS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Para tentara itu bertanya kepada diri mereka sendiri kenapa mereka mau berperang untuk negara yang tetap saja memperlakukan mereka seperti warga kelas-dua saat kembali nanti. Bagaimana menurut kalian, apakah itu adalah bentuk pengabdian kepada negara?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

1917 Review

“A warrior is defined by his scars, not his medals”
 

 
Semua pejuang Perang Dunia I – termasuk di dalamnya adalah kakek sang sutradara yang namanya disebutkan pada kredit akhir film 1917 – melewati pengalaman hidup-mati yang benar-benar mengerikan. Mereka bukan superhero yang senantiasa selamat ketika musuh menyerang, dipuja-puja semata karena mengalahkan musuh dengan jurus ciamik. Mereka manusia yang semata menggebah diri untuk menjadi berani, yang berjuang membela yang dipercaya sekaligus berkutat untuk tidak menjadi seperti yang mereka lawan. Perjuangan yang sangat berat adalah mempertahankan kemanusiaan, dan dalam perang semua nilai-nilai kemanusiaan dapat dengan mudah tergadai.

Film 1917 dibuat oleh Sam Mendes bukan sebagai medali dari sebuah peristiwa peperangan. Melainkan – di sinilah letak keurgenan film ini – sebagai pengingat perang semestinya jangan sampai terjadi lagi. 

 
Ada dua hal esensial yang bisa bikin kita jatuh cinta sama suatu film. Cerita, dan pencapaian teknisnya. Film yang ‘dewa’ banget bakal punya keduanya. Film 1917 enggak begitu mentereng dari segi cerita. Enggak ada pengungkapan gede, enggak ada plot ribet. Film ini mengisahkan dua orang tentara Inggris yang lagi nyantai di tengah medan perang yang lagi adem ayem. Minggu depan mereka bakal makan malam ayam di rumah masing-masing. Jerman udah dipukul mundur ke belakang garis depan. Tentara Inggris di bawah pimpinan Kolonel MacKenzie sudah bersiap melakukan serangan terakhir esok pagi. Namun ada kabar baru; keadaan tersebut hanya jebakan. Jerman yang diketahui sudah mundur, ternyata siap menyambut Inggris dengan serangan balik kekuatan berkali lipat. Dua tentara yang lagi ngaso tadi – kopral Blake dan Schofield – dikirim ke garis depan untuk memberitahukan ini kepada Sang Kolonel. Mereka berdua harus berpacu dengan waktu sebelum pagi tiba, melintasi daerah musuh yang berbahaya, demi menyelematkan seribu enam ratus nyawa tentara.

Sebelum Jerman berteriak “I activated my trap card!”

 
Jika kalian menganggap kisah simpel yang menggerakkan film ini tampak seperti storyline video game – aku sendiri teringat sama opening game Suikoden II begitu melihat adegan-adegan awal film ini, maka tunggu sampai kalian menyadari cara film ini menceritakan kisah tersebut. It is exactly kayak video game. Menonton ini sensasinya sama kayak lagi main game perang, atau petualangan, karena sebagian besar adegan akan menyorot tokoh dari belakang dan kita mengikutinya. Gerak kamera begitu immersive sehingga kita serasa ikut bergerak bersama. Kejadian film pun dibuat seperti mengacu kepada bagaimana video game menyusun adegan-adegan. Ada porsi aksi saat intensitas naik, player mengambil kendali, kamera menyorot dari belakang, mengikuti perjalanan. Setiap belokan di parit penjagaan itu terasa berbahaya. Belum lagi suara tembakan atau even apapun di kejauhan, Scho dan Blake seperti selalu diancam bahaya. Kemudian ada kalanya mereka tiba di tempat baru, dan kamera merekam sekeliling, sudut pandang kita lebih luas – ini seperti bagian cutscene pada videogame, pemain rileks menikmati cerita. Tokoh-tokoh pendukung dalam film ini bahkan diberikan fungsi seperti penjelasan-level pada video game. I mean, dari waktu ke waktu Scho akan bertemu dengan pimpinan-pimpinan seperti MacKenzie, dan mereka akan memberikan eksposisi sedikit tentang situasi , just like bagian penjelasan antar-level dalam game. Penonton yang sering main game pasti akan merasakan kesamaan ini. Setelah percakapan perpisahan dengan satu tokoh yang mengantarkan Scho ke jembatan, tanganku malah sampe otomatis meraih ke depan tempat duduk mencari joystick karena untuk beberapa detik aku merasa sedang bermain game alih-alih menonton sinema.
Kadang kamera akan berjalan duluan, menjauhi tokoh, sehingga kita mendapat jangkau pandang yang lebih luas dan pemahaman tentang sekitar medan menjadi lebih lebar. Dan karena ini adalah beneran medan perang, maka yang kita lihat benar-benar pemandangan mengerikan medan peperangan. Film memperlihatkan mayat manusia dengan mulut menganga, mayat-mayat kuda, mata kita dilarang untuk menoleh ke kiri ke kanan karena set yang dibangun begitu mendetil dan menyokong rasa yang ingin disampaikan. Ketakutan Scho dan Blake mengarungi perjalanan tersebut nyampe dengan sukses kepada kita. Film membuat mereka mengalami begitu banyak hal mengerikan yang bisa terjadi kepada manusia di medan perang, mulai dari tangan tertusuk kawat hingga menghindari bom di tempat yang penuh tikus. Inilah kenapa film menggunakan cara pengambilan gambar yang seperti one-take dari awal hingga akhir. Inilah kenapa film terlihat seperti video game. Kamera tidak ingin melepaskan kita sedetik pun dari pengalaman yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Sense of real time yang mereka bangun dengan gerakan kamera yang seamless seolah tanpa cut, dan terbukti sangat berhasil.
Film 1917 ini menggunakan gimmick seolah ia dishot dalam satu take, seperti Birdman (2014). Semua pengadeganan sudah dipikirkan, posisi pemain, jalur kamera, gerakan tokoh – seluruh elemen tersebut dirancang untuk menampilkan ilusi film ini diambil dengan satu take yang panjang. Namun peran besar editing dan efek di sini juga tak bisa kita abaikan. Film memanfaatkan adegan-adegan seperti tokoh yang tertembak sehingga jatuh dan gelap, atau masuk ke dalam air, atau tokoh berjalan di antara benda seperti pohon atau tembok, sebagai celah untuk mengcut dan menyatukan kembali dengan shot berikutnya. Precise sekali sambung menyambung yang dilakukan, sehingga ilusinya gak kentara. Film melakukan ‘gimmick’ ini dengan tidak sembarangan, melainkan dengan cita rasa seni yang tinggi. Lingkungan dan aksi ditangkap oleh kamera dengan sangat menawan. Dengan warna-warna, misalnya pada scene di malam hari yang tampak kece sekali. Departemen musik dan suara juga ikut menyumbangkan suasana intens yang enggak dibuat-buat ataupun terasa lebay. Pencapaian teknis film ini memang sukar untuk diabaikan
harus ditenangin dulu setelah lihat tikus jerman segede gaban!

 
While film ini niscaya dengan gampang menghibur banyak penonton – kita bisa menjamin kata-kata ‘seru, tegang, ataupun dahsyat’ bakal keluar dari mulut teman yang menyaksikan – aku juga masih bisa melihat beberapa penonton akan menyebut kekurangan film ini adalah kurang berisi. Lantaran cerita yang sangat simpel. Film ini memang kurang lebih seperti Dunkirk (2017); menempatkan kita begitu saja ke tengah-tengah peperangan, mendadak mengikuti orang-orang yang berjuang nyawa. Namun Dunkirk memang dibuat lebih ke arah thriller. Sedangkan 1917 masih berusaha mengangkat lebih banyak drama, walaupun memang penceritaannya dilakukan dengan cepat, dan berkat teknis yang mencuri perhatian kita bakal mengoverlook drama dan bakal mainly mengingat film ini sebagai pengadeganan dan ilusi one-shotnya itu saja.
George MacKay dan  Dean-Charles Chapman, respectively sebagai Scho dan Blake, diberikan peran yang bukan tanpa arc. Karakter mereka ditulis berlawanan dengan Blake memiliki fungsi sebagai pendukung bagi pertumbuhan karakter Scho. Pada permulaan film, Scho tidak terlihat punya semangat juang sebesar Blake. Ia malah tampak kesal sudah ditunjuk Blake untuk menemani melakukan misi. Dan takut – Scho tanpa ragu nunjukin keengganannya, ketakutan, keraguannya terhadap misi mereka. Scho percaya pada hal terburuk yang bisa terjadi. Kontras sekali dengan Blake yang semangat dan optimis, dia penuh motivasi karena abang kandungnya ada di pasukan MacKenzie, dan si abang akan jadi korban jika mereka gagak datang menghentikan serangan tepat waktu. Sifatnya inilah yang menurun kepada Scho setelah peristiwa mengenaskan di pertengahan cerita. Kita melihat transformasi dari Scho, dia benar-benar berjuang kali ini. Arcnya comes full circle dengan adegan akhir yang mirip dengan adegan awal, hanya saja kita tahu tokohnya sudah bukan lagi pribadi yang sama. Scho yang tadinya bahkan enggak peduli dengan medali, menjadi sadar dan bangga berjuang atas nama luka-luka dan jerih payah ia tempuh dengan semangat untuk membuat hidupnya lebih bermakna daripada sekadar cari aman. Scho rela berjuang bukan saja demi dirinya tapi juga demi orang lain.

Perjuangan itu seharusnya bukan hanya bertahan hidup. Yang terutama adalah mengisi hidup tersebut; menjadikan hidup berguna, terhormat, berjasa bagi orang lain. Sehingga akan ada bedanya bagi dunia saat kita hidup dengan saat kita tidak ada lagi di dunia.

 
Arc Scho sebagai tokoh utama sebenarnya sangat memuaskan. Pada babak akhir itu kita benar-benar pengen melihat usahanya tidak sia-sia dan dia selamat, karena kita akhirnya melihat dia tulus berjuang. Hanya saja kepedulian kita terhadapnya tidak muncul sedari awal. Kita tidak melihat alasannya berjuang hingga menjelang ending, Schofield ditulis sebagai karakter ‘ternyata’ alias backstorynya perlahan diungkap – dan sayangnya, itu termasuk motivasinya. Makanya ada sebagian penonton yang masih merasa kurang padat soal pengkarakteran yang dipunya oleh film ini. Aku pun setuju, motivasi Scho seharusnya bisa diperkenalkan sedari awal supaya saat menontonnya kita bisa lebih relate dan enggak hanya terpukau oleh teknis. Tapinya lagi, aku pikir, Scho bisa jatoh lebih buruk, like, di tangan penulis yang lebih kurang kompeten aku yakin Scho bakal jadi annoying dengan keengganannya ikut misi di awal-awal tersebut. Jadi paling enggak, aku menyimpulkan film ini menempuh resiko dengan membuat perjalanan Scho seperti yang kita saksikan, yang ditulis memang untuk sesuai dengan gaya one long take yang ingin mereka lakukan.
 
 
 
 
Meskipun bukan satu-satunya atau malah bukan yang pertama yang menggunakan konsep one-take, tetapi film ini tetap punya pencapaian teknis yang enggak bisa dipandang sebelah mata. Penceritaannya menerjunkan langsung ke medan perang dan menyaksikan sendiri perasaan mencekam di tengah-tengah sana. Kisahnya punya drama yang cukup untuk membuat kita ikut terengah-engah menontonnya. Sebab semuanya terasa begitu nyata, berlangsung tepat di depan kita. Tekanan waktu terasa mencekam, bahaya terasa mengincar dari setiap adegan. Ilusi dari gabungan teknis yang luar biasa sebagai cara film bercerita sungguhlah kuat. Sehingga jika film ini adalah peluru, maka ia adalah peluru yang membekas sangat dalam ke dalam pengalaman menonton kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for 1917.

 
 
 
That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Perang Dunia 3 yang sedang gencar ‘dipromosikan’ oleh pemerintah Amerika? Bagaimana perasaan kalian jika diharuskan untuk berperang?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

JOJO RABBIT Review

When you know love then that is the time you forget hate”
 

 
Setiap film perang sebenarnya adalah film-film anti-perang yang menyamar. Buktinya ya kayak Jojo Rabbit ini. Kisah dalam film ini diadaptasi dari novel serius karangan Christine Leunens yang berjudul Caging Skies. Membahas tentang prejudis dan diskriminasi Yahudi oleh Nazi Jerman, sebagai pembuka mata bahwa perang yang mereka lakukan selama itu sesungguhnya sebuah kehilangan besar dari kemanusiaan yang satu. Oleh Taika Waititi pesannya tersebut disamarkan lebih dalam lagi. Jojo Rabbit dihadirkan dengan nada komedi, gagasannya difokuskan lagi olehnya menjadi sebuah pesan anti-kebencian. Yang membuat film ini menjadi lebih relevan lagi dengan keadaan dunia sekarang; dunia tempat di mana kebencian digunakan sebagai propaganda dan api untuk menakuti-nakuti dan mengontrol kepentingan politik beberapa pihak.
Tantangan pertama cerita ini adalah bagaimana cara membuat tokoh utamanya yang seorang kadet nazi yang udah benar-benar terpatri untuk membenci dan menghabisi setiap yahudi yang ia lihat menjadi simpatik. Sebagai film, tentu saja ini akan menjadi journey sangat menarik; perjalanan seorang yang penuh kebencian menjadi menyadari hal-hal indah yang membuat dia mengubah pandangannya. Dan menjadi berkali lipat menarik karena tokoh dalam Jojo Rabbit adalah anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun. Waititi sudah berpengalaman menangani cerita dalem yang bertokoh anak-anak (tonton juga Hunt for the Wilderpeople yang keluar 2018) sehingga ia mengerti menampilan ‘penuh kebencian’ ini dengan cara dan takarannya sendiri.

bukankah kita semua adalah anak kecil yang polos di hadapan doktrin-doktrin kebencian?

 
 
Jojo Rabbit dibuka dengan set up Jojo si calon tentara Nazi yang dilatih di kamp pelatihan. Pelatihan di kamp yang kita bayangkan bakal intens dan penuh disiplin dan jenderal galak ternyata tampil lucu. Waititi menekankan posisi dan sudut pandang anak kecil untuk menggambarkan dan mengomentari doktrin kebencian yang menjadi api perang ini dengan sarkas. Informasi yang diberikan film persis seperti kita mengingatkan kepada anak-anak, simpel. Pisau itu berbahaya. Granat apalagi. Semuanya dihampar lewat pengadeganan yang lucu, lewat tokoh-tokoh yang ‘ajaib’. Namun dunia Jojo adalah dunia yang mengharuskan perang. Jojo hidup dengan pemahaman bahwa semua hal ironi (berbahaya namun sia-sia), semua peperangan dan kebencian terhadap yahudi adalah hal yang patriotis.
Opening film ini ‘meledek’ salam Nazi dengan menampilkannya diiringi lagu I Wanna Hold You Hand-nya The Beatles yang dibahasa-jermankan. Ada adegan petinggi-tinggi Nazi yang saling menyapa “Heil, Hitler!” setiap kali bertemu dilakukan Waititi dengan adegan satu menit dan salam itu terdengar lebih dari dua puluh kali. Tokoh Nazi dalam film ini gak ada yang sadar yang mereka lakukan itu tak lebih dari kebencian dan perbuatan kosong. Mereka bahkan gak ngeh kalo dunia mereka vibrant dan begitu berwarna, kota itu seperti bukan tempat yang kita bayangkan jika mengimajinasikan kebencian. Salah satu elemen penting yang dipunya film ini adalah percakapan antara Jojo dengan Hitler yang diperankan oleh sang sutradara sendiri. Aku membaca banyak kritikus ataupun penonton luar yang gak suka dengan portayal Hitler dalam film ini. Mereka mengatakan menjadikannya parodi, seperti tokoh kartun, adalah langkah tidak-sensitif oleh film; mengecilkan dosa dan perbuatan laknat Hitler itu sendiri. Dan hal tersebut tidak lucu. Well, mengkartunkan Hitler bukan pertama kali terjadi di sini. Charlie Chaplin sudah lebih dahulu mempermalukan sang diktator di tahun 1940 lewat film The Great Dictator. Lagipula, yang dilakukan oleh Waititi bukan sekadar menghumorkan. Karena ketika kita teliti, Hitler yang di film ini bukan Hitler ‘asli’. Melainkan Hitler yang ada di kepala Jojo.
Tokoh ini penting karena dia adalah perwujudan dari doktrin yang bersarang di dalam kepala Jojo – yang sama sekali belum tau dunia dan pilihan lain di luar mindset swastika yang dipaksakan kepadanya. Bagi Jojo, Hitler asli adalah tokoh idola, pemimpin yang harus dihormati, ditakuti. Yang tak boleh dilawan kehendaknya. Relasi antara Jojo dengan Hitler imajinasi tersebut bukan menunjukkan bahwa si Jojo gila, ngomong sendirian. Melainkan untuk menunjukkan anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, — eh salah, itu lirik lagu, maksudku anak kecil juga – ralat lagi; AJA! – bisa berpikir, bisa bergumul dengan pikirannya, mempertimbangkan rasa. Ia tidak menutup pintu debat. Ia, tanpa ia sadari, berani mempertanyakan sifat-sifat bentukan doktrin yang bersarang di benaknya.

Musuh terburuk kemanusiaan yang sesungguhnya adalah doktrin yang didasarkan pada kebencian. Doktrin yang membuat kita menutup mulut, mata, telinga. Menjauhkan kita dari argumen karena menyangka doktrin tersebut tidak bisa diperdebatkan. Padahal dunia tidak pernah sesatu dimensi itu. 

 
Film di balik quirkiness-nya menunjukkan kepada kita bahwa doktrin kebencian sudah meraga ke pribadi Jojo, namun belum ke jiwanya. Jojo masih punya harapan. Malah, semua orang sesungguhnya masih punya harapan. Jojo payah dalam latihan perang, dia ngebom dirinya sendiri. Jojo gak tega membunuh kelinci, sehingga giliran dia yang diejek kelinci – makanya judul film ini Jojo Rabbit. Simbolisme bermain di sini; kelinci adalah hewan yang berani, cerdas, kuat, dan panjang akal. Jojo sesungguhnya benar seperti kelinci. Hanya saja, semua sifat itu belum terbentuk karena masih ada dilema pada moralnya. Dilema yang terbentuk oleh doktrin Nazi yang penuh kebencian tadi.
Enter Elsa. Bukan Ratu Salju dari Arendelle. Melainkan gadis Yahudi dari balik tembok di atap rumah Jojo. Awalnya tentu saja Jojo jauh dari Elsa, takut malah. Elsa (Thomasin McKenzie mencuri perhatian dengan begitu wonderful) juga enggak punya keinginan untuk berakrab-akrab. Mereka musuh, Nazi dan Yahudi. Jojo menyalurkan semua kebenciannya dengan menulis buku tentang Yahudi, hasil observasinya alias imajinasinya atas apa yang diceritakan Elsa – hanya supaya Jojo tetap takut dan tidak mengadukannya kepada tentara. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa Jojo hanya mempraktekkan kebencian tanpa actually merasakan kebencian itu. As the story goes, dia merasakan sesuatu dan perlahan kebencian-buta itu memudar. Film menunjukkan kepada kita bahwa apapun yang kita perbuat akan kalah sama apa yang kita rasakan di dalam hati. Inilah kunci dari semua kebencian tersebut. Hati yang dipupuk oleh cinta (bagi Jojo itu berarti dari ibunya dan perasaan genuine yang tumbuh dari interaksinya dengan Elsa) jauh lebih bermakna daripada benak yang ditempa oleh kebencian. Perasaan ini bukan hanya tumbuh pada Jojo. Film dengan nekat memperlihatkan satu tindakan pahlawan dari seorang panglima Nazi yang diperankan oleh Sam Rockwell.

Besar kemungkinan film ini bakal dihujat karena ingin menggambarkan Nazi sebagai sosok simpatik. Namun justru di sinilah poin yang ingin diutarakan oleh film. Bahwa nun jauh di hati kita semua sama. Bukan hanya yahudi yang harus dilihat manusia, bukan sebagai monster bertanduk. Tentara Nazi juga. Pandangan mereka terhalang oleh doktrin kebencian, dan begitu juga kita. Padahal seharusnya kita semuanya cukup dengan merasakan rasa. Tidak ada gunanya saling menebar kebencian. Lebih baik tumbuhkan cinta dan benci itu akan hilang dengan sendirinya.

 

karena ini film dengan anak-anak, maka: “Make friends, not war!”

 
 
Soal feel itulah yang dihamparkan dengan kuat. Meskipun filmnya bernada satir, tapi kita akan merasakan banyak hal sekaligus ketika menonton film ini. Kita bisa meraksakan bangganya Jojo sebagai Nazi. Malunya dia ketika dianggap pengecut. Marahnya dia ketika dia enggak mengerti apa yang ia banggakan sebagai Nazi. Takutnya dia ketika berada di tengah-tengah peperangan beneran. Uwiiih, kerasa benar bagi Jojo perang itu jauh seperti latihannya, jauh seperti yang ia bayangkan – dan ia gak siap. Ia menolak. Adegan perangnya terlihat mengerikan deh pokoknya. Waititi juara di sini menyatukan berbagai tone cerita, membawa kita mengarungi masing-masingnya dengan mulus. Ketika Jojo rindu dengan hangatnya cinta sang ibu, kita juga akan terhenyak.
Wajar dan pantes banget makanya jika si Roman Griffin Davis mendapatkan penghargaan di debutnya sebagai aktor cilik ini. Setiap emosi berhasil ia sampaikan lewat ekspresinya yang juga sama luwesnya. Davis mengimbangi penampilan Scarlett Johansson yang berperan sebagai ibunya. Kita akan melihat sisi lain dari Johansson karena di sini dia memainkan peran yang sedikit berbeda dari yang biasa ia tangani. Masih sok galak, dan pinter sih, tapi there are lot more to it. Ada satu adegan monolog darinya yang keren karena butuh  banyak range emosi dan ekspresi. Hubungan Jojo dengan ibunya jelas adalah yang paling penting, bahkan mungkin inti dari journey Jojo. Film memperlakukan hubungan ini juga dengan unik. Memanfaatkan sepatu sebagai simbol adegan. Gestur sesimpel mengingatkan tali sepatu dijadikan bentuk cinta yang luar biasa. Di luar iti, aku gak mau bilang banyak, tapi kujamin; it’s beautiful. Kalo menurut kalian enggak indah dan menyengat di hati, boleh jitak pala Hitler.
 
 
 
Karikatur komedi itu tidak lagi terlihat sedangkal yang kita bayangkan, di menjelang akhir babak kedua. Film ini punya niat yang begitu, menyebarkan semangat anti-kebencian, dan bermaksud memekarkan bunga-bunga cinta di hati kita. Dan semua ini dilakukan oleh film dengan melewati begitu banyak emosi. Horor dan humor bisa jadi datang bergantian, namun tak sekalipun kita merasakan film terbata menceritakannya. Waititi mengambil resiko dan upaya yang besar dalam membentuk ulang cerita adaptasi ini. Alhasil, semua yang mestinya jadi aneh malah tampak begitu indah. Satir itu punya makna yang mengena. Semua itu karena film ini berhasil menyentuh hati kita.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for JOJO RABBIT.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa doktrin kebencian bisa begitu tertanam pada diri manusia? Apakah membenci sesuatu memang lebih mudah daripada mencinta?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL Review

“Unity does not mean sameness”
 

 
Maleficent yang dibuat tahun 2014 merupakan remake live-action animasi klasik Disney yang berani untuk menjadi berbeda. Tidak sekadar menceritakan ulang (atau menyuruh kita menonton hal yang sama pada dua kali hanya untuk perbedaan medium visual). Namun actually menghadirkan sudut pandang yang baru. Film tersebut punya ceritanya sendiri; bahkan membuat twist bahwa film animasi yang kita tonton sebelumnya ternyata ‘salah’. Si Maleficent, salah satu villain paling legendaris dan disegani sejagad Disney, ternyata enggak sejahat itu. Adalah ciumannya yang membangunkan Aurora, alih-alih ciuman pangeran. Memang beginilah seharusnya remake live-action atau remake pada umumnya) dibuat. Berbeda. Dan mengambil resiko. Sekuel dari Maleficent – Mistress of Evil – kali ini mengambil resiko yang lebih besar. It’s an entirely new story. Namun tampaknya resiko yang diambil oleh film kali ini terlalu besar untuk kebaikannya sendiri.
Peri penyihir bertulang pipi menonjol dan bersayap serupa kelelawar gede itu ternyata masih ditakuti oleh manusia. Rumor prestasi-prestasi jahatnya masih beredar di kerajaan manusia sebagai gosip. Dan lambat laun berubah menjadi mitos. Padahal Maleficent dan Aurora hidup serba berkasih sayang di kerajaan mereka di hutan, damai dan ceria bersama bangsa peri beraneka rupa. Inciting incident datang kepada Maleficent berupa Aurora dipinang oleh Pangeran Philip. Anak asuhnya yang punya senyum paling menceriakan tersebut bakal segera menikah. Maka Maleficent dan Aurora diundang ke kerajaan Philip, bertemu raja dan ratu calon besannya. Jamuan makan malam yang awkward dengan cepat menjadi intens lantaran terjadi seteru antara Maleficent dengan Ratu Ingrith. Raja pun kemudian tiba-tiba roboh dari kursinya, tertidur bagai mati. Semua mata tertuju kepada Maleficent yang sedari tadi berusaha keras untuk menjaga sikap terbaiknya. Pandangan Aurora yang bingung diartikannya sebagai pandangan menuduh, maka Maleficent pun terbang pergi dari sana. Tapi tidak berapa jauh sebelum peluru besi kelemahan bangsa peri ditembakkan menembus badannya oleh prajurit istana.

My Mom is a Heel Fairy

 
Dinamika antara Maleficent dengan Aurora seharusnya dibiarkan menjadi fokus utama. Ada lahan baru untuk digali dari Aurora yang mengetahui ibu-asuhnya tersebut masih dianggap jahat oleh sebagian besar manusia. Ada drama ibu anak yang bisa dipanen dari sana. Momen-momen terindah film ini datang dari Maleficent berusaha tampak baik – atau setidaknya tidak tampak berbahaya – demi Auroranya tercinta. Maleficent dari luar memang masih membuat setiap mata yang melihatnya gentar. Presence Angelina Jolie benar-benar pas dalam menghidupkan tokoh ini. She’s so fierce we would automatically adore her. Penampilannya hitam menjulang. Belum lama di layar dia sudah mengancam kita untuk tidak mengganggu paginya. Maleficent bermula sebagai seorang tokoh jahat. Di film pertama, seiring berjalannya waktu detil-detil tentang dirinya semakin terungkap dan pandangan kita berubah melihat dia sebagai seorang yang baik. Karena diapun perlahan mengubah diri untuk menjadi baik. Jadi meskipun seorang villain, cerita Maleficent tidak pernah cerita tentang  berbuat jahat – tidak seperti Joker (2019). Kemisteriusan Maleficent diberikan sisi humanis pada film pertama. Pada film kedua ini, meskipun judulnya literally berarti Nyonya Kejahatan, kita tidak akan pernah lagi memandang dia sebagai penyihir hitam yang berbuat baik demi anaknya.
Yang kita lihat di sini adalah Maleficent sebagai penyihir yang dijudge jahat karena punya tanduk, sayap, dan taring. There’s actually an antagonist to her protagonist this time. Antagonis yang benar-benar plek jahat. Jadi judul film ini bukan tentang si Maleficent. Film ini dibuat fokus ke kontras antara ratu putih berhati hitam dengan penyihir hitam yang sudah ditetapkan dari film sebelumnya berhati cukup putih. Dan segitulah kesubtilan hitam-putih karakter yang dipunya oleh film ini. Sebenarnya masih bisa dibuat bagus, meskipun film ternyata bermain di level untuk anak-anak. Namun yang film ini lakukan kepada tokoh Maleficent itu sendiri merupakan apa yang aku takutkan yang sempat aku bicarakan soal tokoh villain pada review Joker. Kita tidak perlu diberikan backstory yang terlalu jauh karena akan mengurangi kemisteriusan si tokoh. Kita tidak diharapkan untuk menjadi terlalu dekat dan merelasikan diri dengan tokoh penjahat. Joker pada akhirnya tidak melakukan hal tersebut, karena akan berbahaya jika kita justru menganggap dia sebagai pahlawan. Pada Maleficent di film ini, aku paham pada kebutuhan untuk membuatnya sebagai hero karena di sini dimunculkan tokoh jahat lain. Tetapi mereka juga menelanjanginya dari kemisteriusan dan keunikan Maleficent dalam proses membuatnya tampak semakin manusiawi. Sebagian besar babak kedua adalah eksposisi yang menjelaskan bahwa ternyata Maleficent bukanlah satu-satunya di dunia. Kita akan dibawa mengikuti dirinya menemukan bangsa Fey – keluarga serumpun baginya – yang terasing karena dianggap menakutkan oleh manusia. Jadi dia tidak jahat, dia tidak unik, Maleficent setelah film ini hanya punya sihir CGI untuk membuatnya menarik.
Sebaliknya Elle Fanning mendapat banyak kesempatan untuk lebih aktif sebagai putri, dia tampak cukup tegas. Kritik terbesar yang konstan diberikan kepada Disney klasik adalah mereka membuat para princess tak lebih sebagai bucin. Wanita yang butuh kehadiran pria sebagai penyelamat dan penyokong diri. Aurora dalam film ini bukan lagi helpless, tertidur untuk diselamatkan. Ia dapat menjadi role model yang kuat bagi remaja cewek karena mengajarkan secara langsung menghormati orang tua – bahkan jika bukan orangtua kandung – dan tidak melupakan teman-teman. Aurora tidak diperlihatkan sebagai contoh stockholm syndrom – yang bersimpati pada siapapun ‘penculik’nya. Cintanya kepada Maleficent adalah genuine, dan dia juga diberikan pilihan untuk mengambil keberpihakan.

Pernikahan seharusnya mempersatukan, bukannya menyamakan atau malah memisahkan.  Dalam satu keluarga, kita bakal bisa saja berbeda pendapat dengan anggota keluarga lain – tapi bertengkar bukan satu-satunya jalan keluar mutlak; seberapa pun ‘sakit’nya. Film ini menyugestikan jikapun konfrontasi diperlukan, maka kita bisa mengharapkan kedamaian hadir dari ‘abu peperangan’. 

 
 
Aurora bisa jadi adalah salah satu hal bagus yang dipunya oleh film ini. Karena, ingat ketika aku bilang film ini punya moral begitu simpel sehingga tampak ditujukan untuk anak kecil? Well, sutradara Joachim Ronning punya arahan yang aneh untuk membuat ini sebagai film anak-anak. Sebab dia praktisnya sama saja dengan mengarahkan film ini tampil mirip seperti Game of Throne.

Perempuan Tanah Jahanam

 
Politik. Perebutan kekuasan. Perang. Itulah yang menjadi fokus sebenarnya pada Maleficent: Mistress of Evil. Pembunuhan besar-besaran bangsa peri. Ratu yang penuh intrik. Ledakan-ledakan bubuk besi dan material dongeng. Aku nulis dengan kalimat-kalimat pendek untuk menunjukkan betapa simpelnya film ini. Kata perang dan kata simpel tidak seharusnya untuk berada dalam satu konteksnya yang sama. Namun justru itulah yang dijadikan jualan utama oleh film ini. Tokoh Ratu Ingrith yang diperankan oleh Michelle Pfeiffer itu bahkan tidak diberikan motivasi yang kuat. Kenapa dia begitu benci sama bangsa peri. Apa alasan perang itu terjadi. Menikahkan anaknya dengan Aurora berarti mempersatukan manusia dengan bangsa peri; itulah yang ia tolak. Hanya saja motivasi dari penolakan itu tidak benar-benar jelas selain sebagai alat untuk memungkinkan terjadinya perang. Satu-satunya jawaban yang diperlihatkan film ternyata cukup komikal. Ingrith alergi bunga. Jadi kupikir keseluruhan film ini bekerja karena Ingrith enggak tahan dengan bunga-bunga yang bakal dibawa oleh bangsa peri. Dia menyebarkan ketakutan kepada manusia karena hal tersebut. Mungkin penjahat sebenarnya bukanlah Ingrith. Melainkan produser yang kerap menginginkan ada perang simpel pada film anak-anak; seri remake Alice in Wonderland, The Nutcracker and the Four Realms (2018), Oz the Great and Powerful (2013), empat film ini punya kesamaan yakni sama-sama ‘dirusakkan’ oleh hobinya memasukkan adegan perang yang hanya berdasarkan hitam-putih yang sederhana.
Philip yang ‘kehilangan’ ibu karena perbedaan pendapat dan berperang, orang-orang yang jadi korban karena penguasa mengendalikan mereka lewat ketakutan, makhluk-makhluk sihir yang diberangus hanya karena manusia tak suka dengan tampang mereka, semua itu tau ubahnya kepulan asap bagi cerita. Kita lihat dan kemudian menghilang. Betapa mudahnya perhatian kita teralihkan oleh visual cantik dari makhluk-makhluk sihir yang berseliweran mengisi layar. Pada satu titik, kita bahkan melihat petualang peri imut seperti Sonic. Film memperlihatkan tapi tak pernah sampai ke titik eksplorasi. Dialog tentang ‘using fear to control’ seperti tersia-siakan. Semuanya berakhir dengan nada bercanda sehingga film semakin terasa tak berbuat apa-apa terhadap gagasan soal perbedaan – dua spesies yang berperang di sini bisa dimaknai sebagai dua golongan ras, atau malah dua pandangan politik – yang mereka angkat.
 
 
 
Kali ini, film tidak benar-benar meneruskan pilihan kreatif yang ia ambil. Elemen perang yang dihadirkan tidak mendapat kedalaman yang cukup, malahan tampil begitu satu dimensi. Film memastikan manusia sebagai penyerang pertama. Ratu yang dibuat murni jahat untuk alasan yang gak jelas, atau malah konyol tergantung darimana kita melihat. Keunikan sosok tokoh utamanya pun terpaksa dikorbankan. Menonton ini seperti menyaksikan bola api yang besar, visualnya bisa cantik tapi di dalam sana adalah hot-mess, sayangnya kita gak mungkin mengharapkan ada cerita yang lebih bagus hadir dari abunya nanti. There’s no bounce back dari tokoh yang udah kehilangan keunikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL

 

PERBURUAN Review

“He who is prudent and lies in wait for an enemy who is not, will be victorious”

 

 

Perburuan yang ditayangkan serentak bersama Bumi Manusia (2019) oleh Falcon Pictures benar-benar memenuhi fungsinya sebagai alternatif. Keduanya merupakan adaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, sama-sama berlatar zaman penjajahan , sama-sama menggambarkan ketimpangan kelas manusia, tapi cerita bercerita keduanya terletak di dua spektrum yang berbeda. Perburuan diserahkan kepada Richard Oh, yang meraciknya dengan menyuguhkan lebih banyak kreasi sehingga muncul sebagai penyeimbang buat Bumi Manusia yang hadir lebih ngepop. It’s nice, dan langka, menonton film tentang kemerdekaan dari dua penulis sumber yang sama tapi digarap dengan berbeda. Meski menurutku agak ‘jahat’ juga Falcon ‘mengadu’ keduanya. Aku nonton dua film ini secara berturut-turut di hari yang sama (Bumi duluan, baru Perburuan), dan ketika Bumi aku langsung bisa menuliskan ulasannya pada hari itu juga, maka untuk Perburuan aku butuh untuk memikirkannya terlebih dulu. Karena ada banyak kandungan yang tak bisa langsung dijabarkan. Banyak pilihan yang dilakukan oleh film yang sepintas tampak seperti keputusan yang buruk, tapi ada subteks yang membayanginya, yang membuatku tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Saat ditulis untuk novel, sepertinya memang cerita ini diniatkan sebagai alternatif sejarah. Di buku pelajaran kita tertulis pemberontakan PETA terhadap pasukan Jepang dipimpin oleh Soeprijadi pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh kejamnya penjajah Jepang terhadap rakyat pribumi. Perbuatan semena-mena bahkan di kalangan tentara dan janji-janji yang tak kunjung ditepati memantik api agresi Soeprijadi. Namun buku sejarah kita tak menulis tentang Hardo. Pribumi asal Blora, Jawa Tengah, yang juga serdadu PETA. Yang masih memegang harap, namun tak bisa lagi menunggu. Maka ia mendukung gerakan Soeprijadi. Malang, ada pemberontak di dalam barisannya sendiri. Pasukan Hardo kocar-kacir ditembaki. Sejak malam itu, Hardo dan orang-orangnya buron. Kali berikutnya kita melihat Hardo, pemuda itu sudah hampir tak dapat dikenali. Ia berjalan di malam hari seperti gelandangan yang hilang kewarasan. Dan selagi Hardo menunggu harapan merdeka itu di dalam gelap, orang-orang yang ia kasihi mulai terancam karena kepala Hardo masih terus dicari oleh Jepang.

Ketika kau tahu Kempetai rindu pada batang lehermu

 

Begitu menjadi film, Perburuan oleh Oh diperkecil skalanya. Kita hanya akan melihat lewat mata nanar Hardo. Sisi buruk penjajahan akan kita lihat lewat Hardo saat dirinya menyusuri padang jagung bergelimang mayat-mayat rakyat. Karena Hardo yang dalam pelarian hanya keluar di waktu malam, jadi semuanya gelap. Suasana dimainkan menjadi rasa yang disampaikan kepada kita. Menonton ini kita akan merasa kelam, bingung, sendirian (karena besar kemungkinan kita beneran sendiri nyaksiin ini di dalam studio bioskop), persis seperti yang dirasakan oleh Hardo. Kita menanti cercahan cahaya. Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti Hardo yang menanti kabar kemerdekaan, karena ia percaya – ia janjikan ini kepada tunangannya – bahwa keadaan akan membaik setelah Indonesia merdeka.

Bagi Hardo tentu saja penantian itu terasa sangat lama. Dia belum tahu Indonesia bakal merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dia mungkin sudah tidak tahu lagi hari apa saat itu. Untuk menyampaikan perasaan kecamuk demikian, film pun dengan sengaja membuat kita disorientasi terhadap waktu dan tempat. tidak pernah tahu di mana persisnya Hardo, atau ke arah mana dia berjalan. Di bawah jembatan, di ladang jagung, di sungai besar, kita tidak mengerti lokasi dunia Hardo. Yang kita mengerti adalah dia kembali ke Blora. Dia ketemu dengan orang-orang yang mengenalnya, dia reuni dengan rekan pelarian, tapi kita tidak pernah diberikan sense of direction yang benar. Pergerakan kamera akan bolak-balik, seperti adegan maju-mundur yang acap dimasukkan. Flashback adalah cara film mengaburkan dimensi waktu. Kita dipindah begitu saja antara masa lampau ke masa kini. Dengan bahkan petunjuk waktu masa kini tidak dapat dipercaya. Bekas luka yang disebut sebagai penciri Hardo tampak hilang-timbul saat dia sudah brewokan. Kadang ada kayak pas di adegan akhir, kadang tidak ada seperti saat ‘reunian’ di bawah jembatan

Disorientasi berfungsi untuk menambah suspens cerita. Sebagai cara film menyampaikan kepada kita susahnya hidup dalam pelarian, yang menunggu kesempatan untuk keluar dan menampakkan diri. Perburuan menggunakan benturan antara berburu dan menunggu sebagai gagasan utama cerita. Di adegan pembuka kita melihat Hardo berhasil menang kendo atas komandan Jepang karena dia menunggu celah serangan dan balas menyerang dari sana. Lantas kemudian kita melihat dampaknya ketika Hardo terburu napsu marah sehingga malah memimpin pemberontakan alih-alih menunggu badai reda. Hardo mengkhianati kepercayaannya sendiri. Membuatnya berada di titik rendah dalam hidupnya. Secara lowkey, film juga menyinggung soal menunggu ketimbang kesusu dari percakapan Ayushita dengan anak muridnya yang terluka karena berlari takut terlambat ke sekolah. Akibatnya kita melihat adegan kontemplasi dia dengan korek api yang digambarkan film dengan sungguh magis. Api yang hidup mati itu bagai harapan Hardo yang meredup, kemudian menyala kembali, kemudian mati lagi, dan seterusnya. Adipati Dolken diberikan kesempatan untuk bermain ekspresi gila untuk menunjukkan penguasaan range. Ada banyak versi Hardo di film ini, mulai dari Hardo yang optimis penuh harap, Hardo yang nyaris putus asa, Hardo yang menemukan kembali harapan. Dolken mampu menggapai note yang diminta. Tapi kemudian dia tidak diuntungkan ketika harus memakai brewok palsu yang kadang menutupi ekspresinya. Di saat-saat itu aku berharap kamera lebih banyak lagi melakukan close up wajah.

Lamurkah mataku atau did Rizky Mocil just shot two enemies, in the dark?

 

Adegan satu lagi yang niscaya membuat kita menggelinjang jelas adalah adegan Hardo mengobrol dengan his aware-but-not-so-sure father. Lokasi dan suasananya di gubuk tengah ladang jagung yang temaram benar-benar menakjubkan. Bahasa mulut dalam film ini terbagi menjadi tiga macam; monolog puitis, bantering filosofis, dan paparan informasi. Ketiga-tiganya muncul sekaligus dalam adegan tersebut. Resiko dialog-dialog tersebut adalah film praktis akan menjadi berat. Tapi film melakukannya dengan indah, karena paham kuncinya adalah menghadirkan latar yang menawan untuk mengakomodasi kalimatnya.

Gagasan yang diangkat film ini seperti mengacu pada filsuf dan ahli perang dari Cina, Sun Tzu, yang pernah menuliskan dalam buku The Art of War bahwa salah satu kunci kemenangan adalah bersabar dan tidak gegabah. Dengan bijaksana memperhatikan langkah musuh sambil mempersiapkan diri. Siapa yang bergerak sembaranganlah yang akan kalah. Dalam film ini kita melihat wujud dari itu semua. Kemenangan datang kepada Hardo saat dia sendiri muncul di saat yang tepat. Jepang kalah karena mereka terlalu gegabah dan merasa di atas angin

 

Masuk babak tiga, jelas sudah film lebih berfokus kepada psikologi Hardo ketimbang suasana sosial Indonesia secara menyeluruh. Dan di sini jualah film terasa berhenti bekerja. Justru di saat teranglah, film seperti tidak tahu lagi cara menampilkan cerita sesuai fokusnya. Maka film kembali menoleh kepada buku, dia berusaha menjadi lebih ‘gampang’ dari sebelumnya. Mencoba keluar dari Hardo. Lantaran Hardo yang literally dan figuratively menemukan jalan pulang menjadi pasif. Dia tidak melakukan apa-apa untuk menang, karena memang jalan benar baginya adalah dengan menunggu. Ini tentunya tidak menarik untuk akhir film karena film butuh satu cekcok yang besar. Maka sorotan pindah ke temannya yang tadi berkhianat, untuk memberikan dia pembenaran, meskipun di titik itu kita mengerti Hardo tidak lagi menganggap dia salah. Intensitas film ini lenyap terlebih ketika Hardo tiba-tiba sudah tidak dalam bahaya. Aku tidak mau bilang banyak, tapi ini adalah jenis cerita ‘diselamatkan oleh bel’. Untuk memberikan final big moment, film yang sedari awal sudah membuat Jepang kayak penjahat dalam komik yang kejam tanpa nilai baik – dia bahkan tidak mengenal rasa terhormat apalagi harakiri – membuat semuanya sederhana; Hardo benar, Jepang jahat, dan teman-teman Hardo salah.

Mungkin, cara ini masih bisa berhasil memberikan momen final besar yang diincar. Sayangnya, film ini sendiri seperti tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak studio. Pengadeganan bagian terakhir itu mestinya epik karena melibatkan banyak orang banyak, tapi tampak kecil dan awkward. Sepertinya melihat pertunjukan di panggung teater. Suasananya tidak semegah yang film ini pantas dapatkan. Tapinya lagi, ini adalah keputusan film untuk memilih kembali ke jalur yang lebih accessible.

 

 

 

Meski berlatar zaman penjajahan, film ini sebenarnya bekerja dalam skala yang lebih kecil. Skala personal seorang tokoh. Dan kita hanya melihat dari tokoh itu. Film melakukan banyak kreasi saat mengadaptasi untuk kepentingan itu. Sengaja memilih untuk tidak menjadi lebih besar, tidak membahas lebih luas soal sosial yang menjadi kekuatan cerita-cerita Pram. Jadi, film ini adalah alternatif dari cerita yang total ngepop, yang punya pesona sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PERBURUAN

 

 

 

CAPTAIN MARVEL Review

“Emotions are what make us human.”

 

 

Berbeda dengan cerita-cerita origin superhero yang biasa, Captain Marvel tidak bercerita tentang gimana Vers mendapatkan kekuatan supernya. Kita melihat Vers sudah jago berkelahi, dia bisa mengeluarkan gelombang photon dari tangannya, namun dia diminta untuk mengendalikan kekuatan tersebut. Alih-alih kekuatan, perjalanan Vers berfokus kepada perjalanan menemukan siapa dirinya yang literally berdarah biru tapi bukan bangsawan, dan untuk melakukan hal tersebut, jagoan cewek ini tampaknya harus menggeliat melawan sistem yang memintanya untuk menahan diri.

Vers adalah bagian dari pasukan bangsa Kree, yang sedang dalam peperangan melawan bangsa Skrull, bangsa ‘kadal’ penipu yang bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka lihat. Atau begitulah yang diajarkan oleh komandan kepada Vers. Vers diminta untuk tidak membawa perasaan ke dalam peperangan mereka. Karena emosi membuat seorang pejuang lemah. Vers, sebagai seorang wanita, tentu saja punya dorongan emosional yang kuat. But also, Vers juga bukan manusia yang lemah-pikir. Dia punya rasa penasaran dan ‘attitude’. Apalagi ketika dia menemukan kepingan-kepingan adegan di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan tersebut mengusik Vers yang enggak ingat siapa dirinya sebenarnya. Mengganggu pikirannya dengan luapan emosi yang tak terjelaskan. Vers mengejar sumber kenangan tersebut, yang bisa jadi merupakan petunjuk tentang siapa jati dirinya, siapa musuhnya sebenarnya, dan seberapa kuat dirinya sesungguhnya. Bagian-bagian awal di mana Vers berlatih bertarung dengan sang komandan, dan Vers secara sengaja ‘menyelipkan’ emosinya dan buff! there goes down her superior – buatku ini keren dan menunjukkan sisi menarik dari tokoh yang acap disebut sebagai superhero terkuat semesta Marvel – dan juga kilasan ingatan yang muncul ketika Vers ngobrol dengan pemimpin bangsa Kree, sesungguhnya merupakan komentar tersembunyi yang dimasukkan oleh film.

Tentang bagaimana perjuangan seorang wanita dalam dunia yang seringkali didominasi oleh pria, bagaimana cewek diremehkan lantaran mereka kebanyakan pake emosi dibandingkan otak. But hey, coba tebak; justru emosilah yang membuat seorang manusia, manusia. Tahukah kalian bahwa emotion adalah singkatan dari energy in motion? Kita tidak bisa berfungsi dengan benar hanya mengandalkan satu, tak peduli kita cowok dan cewek. Inilah yang dipelajari Vers ketika dia terdampar di planet C-53 (alias Bumi); Vers melihat – dan terselamatkan – berkat Nick Fury, Agen Coulson, yang menggunakan emosi mereka.

 

lagi mikir “harusnya aku mampir ke 90an Indonesia aja ya, biar digodain dan bisa ngembat motor plus jaketnya Dilan”

 

Tetap dengan candaan dan one-liner khas film-film superhero Marvel, film inipun mampu membuat kita tersenyum-senyum simpul mengikuti jalan ceritanya. Paling ngakak tentu saja adalah interaksi antara Vers dengan Nick Fury yang masih muda. Film ini boleh saja mengambil tempat di tahun 90an, namun – oh boy – kita hidup di jaman modern, jaman di mana teknologi komputer sudah begitu luar biasa sehingga seperti tak ada bedanya melihat Samuel L. Jackson di film ini dengan melihatnya di film Pulp Fiction (1994). Ini bukan kali pertama Marvel menggunakan CGI untuk memudakan seorang tokoh, tapi yang sudah-sudah, kita hanya melihat ini dalam adegan flashback. Not in the entire movie. Dan kupikir, seperti beginilah contoh pemanfaatan CGI yang baik dan benar. Membuat kita lupa bahwa itu adalah aktor yang sama dengan yang jadi penjahat tua di Glass yang tayang beberapa bulan yang lalu. Penampilan visual yang begitu menyatu dengan bangunan dunia, dan tentu saja ilusi tersebut tak-kan terjual jika tidak dibarengi dengan penampilan akting. Jackson memberikan nyawa tersendiri sebagai Nick Fury muda yang baru saja melihat berbagai macam alien nongol di depan matanya. Seperti yang kutulis tadi, chemistry Brie Larson dengan Jackson sangat kuat, tokohnya Larson – si Vers – juga berakar pada elemen cerita fish-out-of-water ketika dia sampai di Bumi dan melakukan berbagai hal yang dianggap luar biasa oleh penduduk lokal seperti Jackson. Kita melihat komedi ala buddy-cop terpancar dari interaksi mereka berdua; mereka beragumen dengan kocak, dan pinter – leluconnya enggak receh – sungguh terhibur aku melihat mereka berdua.

Kalo dia beneran superhero, kekuatan super Larson agaknya adalah kekuatan ekspresi. Kita bisa melihat dia berjuang untuk menghidupkan tokoh Vers ini. Mimik dan gestur-gestur kecil yang diberikan oleh Larson, seperti ketika dia berteriak “yess!” sambil tersenyum saat gips metal yang membelenggu kedua tangannya akhirnya lepas, benar-benar menambah hidup karakter yang ia mainkan. Sekuen Vers berantem dengan gips metal ini merupakan porsi aksi favoritku, karena memang terasa fresh dan actually adalah momen langka film memberikan kevulnerablean kepada tokoh kita tersebut. Sungguh menghibur melihat Vers berusaha melepaskan metal tersebut dari tangannya dengan membenturkannya ke dinding pesawat, namun gagal. Dia lalu memukulkannya kepada musuh sekuat tenaga, dan metal tersebut masih belum hancur juga, effort dan tantangannya terasa sangat natural. Aku berharap sekuen seperti ini terus hadir, film terus berusaha mencari cara untuk membuat susah superhero yang kekuatannya dahsyat ini, namun sayangnya arahan sutradara dalam mengembangkan cerita sungguh tidak berimbang.

Istilah terburuknya, datar. Hampa. Larson tampak sudah berdedikasi tinggi memainkan tokohnya, hanya saja cerita seperti tidak pasti mau dibawa ke mana. Setelah kita diajak bernostalgia 90an dengan tempat rental video, kita ketawa dengan komedi Vers dengan Fury, cerita berubah menjadi tentang dua sahabat cewek yang sudah lama terpisah; elemen fish-out-of-waternya menguap begitu saja. Vers menjadi tidak lebih dari karakter yang kaku. Penggemar WWE yang menonton film ini pasti menangkap kemiripan antara Vers dengan Ronda Rousey yang hanya seperti disuruh berdiri menunjukkan tampang antara bingung dan marah. Sesungguhnya sebuah kesempatan yang besar untuk mengambil resiko saat kita punya cerita dengan elemen tokoh yang punya masa lalu yang tak mampu ia ingat, dan mereka berusaha menyusun kembali kepingan ingatan tersebut. Lihat apa yang dilakukan Memento (2000). Terlalu jauh? Well, lihat Alita: Battle Angel (2019). Kita belajar bersama tokoh Alita melalu aksi yang ia lakukan, melalui muscle-memory; somehow tubuhnya bisa bereaksi melawan android jahat dan dari aksi tersebut kita paham Alita dulunya seperti apa. Pada film Captain Marvel, masa lalu Vers dibeberkan lewat flashback, lewat dialog, lewat potongan adegan. I mean, enggak gaya amat. Alih-alih membiarkan tokohnya berkembang menjadi disukai dan sejajar dengan penonton, film ini membangun Vers sebagai sosok yang nun-jauh di atas yang lain dan harus didukung karena, lihat guys, dia baik-pinter-cakep-dan-kuat. Aku tidak menemukan alasan kenapa mereka tidak bisa membuat pendekatan dan bangunan cerita dan tokoh menjadi lebih menantang serta accessible. Seperti elemen makhluk pengubah-wujud yang ada dalam film ini; arahan tokoh ini juga hambar, mereka seharusnya bisa dibuat lebih menarik dengan segala misteri dan kebingungan dan muslihat, tapi aku bisa memaklumi kurang penggaliannya karena kita sudah melihat hal yang serupa pada Loki dalam dunia Thor.

sehubungan dengan itu, mungkin aku harus segera mengecek kucingku alien atau bukan

 

 

Marvel Cinematic Universe sudah sering mengambil penulis dan sutradara dari film indie dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan sinarnya. Lucunya, Anna Boden dan Ryan Fleck yang dipilih untuk menangani film ini lebih kayak tamu yang masih malu-malu padahal udah dipersilahkan masuk dan makan-minum apapun, ngapain aja sama yang punya rumah. Mereka seperti terpaku pada gaya Marvel. Sehingga gaya mereka sendiri enggak keluar sama sekali. Tengok betapa vibrant dan penuh warnanya Thor: Ragnarok (2017) di tangan Taika Waititi. Atau kerja James Gunn memvisualkan dua film Guardians of the Galaxy. Mereka membuat apa yang sudah punya gaya, menjadi lebih bergaya lagi. Captain Marvel mendapat perlakuan dan arahan yang begitu standar sehingga pada beberapa titik filmnya nyaris terasa seperti berubah wujud menjadi film-film yang pernah kutonton. Adegan memori Vers diacak-acak mengingatkanku pada adegan Harry Potter yang dibaca pikirannya oleh Snape. Adegan kejar-kejaran pesawatnya hampir membuatku merasa lagi nonton Star Wars. Dan adegan berantemnya, well, selain adegan berantem dengan tangan bermetal yang kusebut tadi, Captain Marvel tidak menyuguhkan sesuatu yang membekas di ingatan. Bahkan terkadang perlakuan adegan kelahinya, koreografinya, sukar untuk diikuti.

 

 

 

Film superhero Marvel paling malu-malu kucing yang pernah ada. Untungnya gak sampai malu-maluin, sih. Cuma datar saja. Seperti Vers, film ini butuh untuk menjadi lebih bebas lagi. Karena dia punya potensi, seperti yang terlihat menjelang pertengahan dan menjelang penghabisan. Ceritanya sebenarnya juga enggak datar-datar amat, ada beberapa agenda yang berusaha diselipkan, karena begitulah lumrahnya film superhero masa kini; selalu ada sisipan agenda yang mengomentari keadaan sosial kita dan semacamnya. Film ini masih bisa menghibur penonton; baik itu penonton biasa, penonton anak-anak, maupun penonton nerd kayak aku. Jarang-jarang ada cerita pahlawan super yang tokoh utamanya cewek, kan. Hanya saja memang inner beauty yang dipunya kurang tergali, lantaran pembuat film ini tidak berani mengeluarkan suaranya sendiri. Cuma seperti mereka ditugaskan membuat film untuk memperkenalkan siapa Captain Marvel untuk episode terakhir Avengers, dan mereka melakukannya. Hanya itu. Dan kita bisa sesegera mungkin move on nungguin tanggal tayang film berikutnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for CAPTAIN MARVEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih emosi dilibatkan dalam tindakan atau pekerjaan kita? Apakah memang ada pekerjaan yang sama sekali enggak perlu melibatkan emosi? Apakah ada logika dalam menggunakan perasaan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FOXTROT SIX Review

“Why don’t presidents fight the war?”

 

 

 

Lirik lagu band System of a Down tersebut mungkin bakal terngiang-ngiang di kepala kita saat menyaksikan film laga distopia Indonesia garapan Randy Korompis. Foxtrot Six pada performa terbaiknya memuat komentar politik tentang bagaimana dalam setiap kekacauan, selalu rakyat jelata yang menjadi korban. Film ini bicara tentang kelaparan dalam rentang mulai dari lapar makanan beneran hingga lapar kekuasaan di mana pemimpin terus saja menyuapi rakyat dengan kebohongan alih-alih makanan. Ada satu adegan menjelang akhir yang membuatku tertawa sinis ketika setelah bak-bik-buk dan gencatan senjata di ruang presiden, salah satu pintu ruangan tersebut terbuka dan masuklah sang pemimpin negara dengan biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa beberapa detik sebelumnya. Tak-terluka. Tak-bernoda. Tak tesentuh oleh semua padahal rakyat menderita atas namanya.

Kenapa bukan presiden yang ikut berperang? Bukankah pada cerita-cerita jaman dahulu para raja langsung turun dengan kudanya ke medan tempur? Karena bukan begitu cara kerja dunia sekarang. Presiden tidak ikut berperang karena bukan tugasnya, presiden harusnya adalah orang yang mencegah terjadinya perang sedari awal. Dia yang memastikan keamanan rakyat, kestabilan nasional bisa tercapai melalui perjuangannya di balik meja.

 

Presiden Indonesia tahun 2031 dalam Foxtrot Six toh memang berusaha untuk menstabilkan keadaan. Namun demi keuntungan dirinya sendiri. Dia ingin terlihat sebagai pahlawan sejati di mata rakyat. Aku mengira film akan mengembangkan motivasi tokoh ini lebih lanjut, kupikir tujuan besar si presiden adalah ingin menguasai dunia, sebab di sepuluh-menit awal kita diperlihatkan serangkaian klip-klip yang berfungsi sebagai eksposisi yang menjelaskan keadaan Indonesia saat itu di mata seluruh dunia. Gimana Indonesia jadi pusat pangan, tetapi rakyatnya menderita kelaparan sehingga tindakan kepala negara tak pelak akan jadi sorotan. Tapi ternyata cerita menguncup tatkala kita mulai memasuki wilayah tokoh protagonis; Angga, anggota Dewan yang seorang mantan tentara. Angga tadinya punya rencana untuk ‘menyelamatkan’ dunia. Kemudian rencananya tersebut disabotase, diambil alih. Dan malah Angga yang dituduhkan sebagai teroris, rencana yang ia bikin malah berbalik menyerang dirinya.

sekarang coba pikir cerita manga apa yang seperti itu, aku hitung sampai enam ya.. satu…dua…

 

Aku benar-benar langsung kepikiran manga 20th Century Boys buatan Naoki Urasawa saat menonton film ini. Kejadiannya memang gak mirip seratus persen, tapi bentukan konflik Angga dengan Presiden sangat mirip apa yang terjadi pada Kenji dan sosok pemimpin yang ia ‘lawan’; Sahabat. Rencana kanak-kanak Kenji juga dicuri oleh Sahabat, yang balik menggunakannya untuk menimpakan kesalahan pada Kenji dan kelompok. Mereka dituduh teroris dan Sahabat akan dielu-elukan rakyat dengan membasmi teroris yang ia sebut Faksi Kenji. Persis seperti apa yang terjadi pada Angga. Angga dan teman-teman mantan tentaranya diburu oleh pasukan Presiden, lantaran mereka dituduhkan sebagai teroris yang udah membuat kekacauan nasional. Hanya saja film ini bekerja dalam skala yang lebih simpel. Padahal seperti yang kubilang tadi, cukup aneh presiden hanya ingin berkuasa di negara yang kacau – maksudku, kalo memang udah mirip ya miripin aja semua sekalian. Angga pun, sebagai tokoh utama, mendapat pengembangan yang nanggung. Kita diperlihatkan bagaimana cerita menjadi personal buatnya karena ini menyangkut keluarga dan teman-temannya – seperti Kenji, hanya saja film melewatkan banyak hal penting.

Bibit drama yang mestinya berkembang dari persahabatan Angga dan rekan-rekan seketika menjadi tumpul lantaran pilihan aneh yang dilakukan oleh cerita; menge-skip bagian di mana mereka menjadi sahabat, malah langsung membawa kita ke sekuen Angga berusaha mengajak kembali satu-persatu dari mereka untuk bergabung menumpas rencana jahat negara. Tak pernah kita lihat mereka di momen-momen akrab sehingga apa yang terjadi pada masing-masing mereka sepanjang cerita akan susah untuk kita pedulikan. kasihan sih ada melihat seorang vlogger yang berusaha berbuat benar musti mati ketusuk – selalu sedih melihat orang mati – tapi sedih itu tidak sama dengan kita peduli sama karakternya. Keenam pasukan protagonis ini terlihat canggung, dan itu bukan semata karena pemerannya. Aktor-aktor kayak Oka Antara, Rio Dewanto, Verdi Solaiman, Chicco Jericho, Mike Lewis, Arifin Putra – mereka bukan aktor yang buruk, kita sudah pernah melihat mereka bermain menakjubkan di film-film sebelum ini. Hanya saja kedangkalan tokoh di Foxtrot Six membuat bahkan sekelas mereka saja tampak bingung dan enggak nyaman dalam berakting. Meskipun diberikan sifat yang berbeda, semua tokoh film ini terdengar sama. Sama-sama sarkas. Suka ngomong keras-keras. Suka tampak sok-jago. Sama-sama stoic, lifeless.

Hubungan Angga dengan anaknya – ya seperti Kenji yang punya Kanna untuk dijaga – juga tak pernah berbuah manis dan menghangatkan hati. Film sempat mengambil waktu untuk menghadirkan momen khusus untuk kedua tokoh ini, hanya saja follow-upnya tidak terasa sama sekali. Ada adegan di mana Angga harus memilih menyelamatkan anak atau Julie Estelle yang mestinya bisa banget dibuat hangat dan mengharukan sebagai kerjasama keluarga yang sudah lama terpisah. Tapi film tidak menggali adegan ini; dipersembahkan dengan datar. Angga bahkan tidak berinteraksi dengan anak tersebut sampai ke adegan konyol di dalam elevator.

Telunjuk kita mungkin akan dengan cepat menuding kepada bahasa saat kita membicarakan tentang betapa kikuknya film ini terdengar. Aku sebenarnya tak pernah melarang keputusan-kreatif menyangkut penggunaan bahasa – kalian tahu sendiri bahasa blog ini seperti apa. Yang aku pertanyakan adalah keuntungan apa yang ingin dicari dalam membebankan para aktor untuk berakting seluruhnya dalam bahasa inggris? Pikirkan seperti begini, Crazy Rich Asians (2018) sedapat mungkin menyisipkan kata bahasa Melayu dalam dialognya supaya daya tariknya tersebut langsung menonjol dan dapat dikenali oleh orang luar. Bahkan Buffalo Boys (2018) dengan sengaja menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dialog yang tadinya ditulis dengan mindset orang luar. Menggunakan bahasa inggris seluruhnya pada cerita yang bertempat di Indonesia, dengan semua aktor adalah orang Indonesia, pada film yang ditayangkan di Indonesia – apa yang mau mereka ‘jual’ dari hal tersebut? Menurutku pilihan ini tidak akan membantu banyak film ini dikenali di luar negeri. Karena tidak lagi dirinya tampak dan terdengar unik. Kalolah memang supaya terdengar akrab buat penonton luar, jangan paksakan kepada para aktor. Maksudku, anime saja dibuat dahulu versi bahasa aslinya. Kemudian saat dijual di negeri barat, dibuat dubbing resmi oleh pengisi suara yang bahasa ibunya adalah bahasa inggris. Kenapa Foxtrot Six tidak dibuat seperti demikian – kenapa tidak dibuat bener-bener supaya orang luar tertarik membuat versi dub oleh sebab melihat nuansa Indonesia yang ditampilkan. Kenapa bergerak mendahului mimpi, belum ada yang minta bahasa inggris tapi sudah dibuat untuk orang luar duluan.

mari kita berkontemplasi sambil bertelanjang dada ngeliatin papan iklan sponsor

 

Tren sinema Indonesia kepada dunia luar memang sepertinya tersemat kepada genre horor dan laga. Namun begitu, bahkan laga di film ini pun tidak memiliki jurus yang ampuh sehingga terlihat spesial. Generik banget koreografi maupun kerja kameranya. Menjadi penuh kekerasan dengan darah dan tulang belulang yang patah belum cukup untuk menyebut film ini sebuah laga yang bagus. Karena dengan duit dan CGI yang memadai, semua itu bisa tercapai. Yang terpenting tetap adalah bagaimana dunia dan ceritanya terbangun. Foxtrot Six punya teknologi yang cukup untuk menghadirkan jubah tembus-pandang ala thermoptic suit dalam Ghost in the Shell (2017) tapi tetap saja mereka ‘berhasi’ bikin adegan berlogika konyol yang bikin guling-guling sehubungan dengan jubah tersebut. Ada adegan ketika si tak-kelihatan berhadapan dengan sejumlah orang bersenjata api, dan yang ia lakukan malah ‘mengumumkan’ di mana posisi dirinya dengan mengambil tubuh satu orang dan menggerakkannya seperti perisai untuk melindungi diri dari peluru. Kenapa? Tidakkah lebih gampang kalo dia tetap tak kelihatan dan mengendap membunuh ala ninja? Lagian, kenapa orang-orang itu begitu begonya non-stop menembak padahal yang kelihatan adalah teman mereka sendiri?

 

 

 

“Quick. Simple. Graphic.” Benar-benar cocok mendeskripsikan dirinya. Dan tampaknya kitalah orang miskin yang disebut oleh film ini, yang mengira kita akan mudah terpuaskan oleh tiga hal tersebut, oleh dirinya. Kalo aku sih lapar terhadap film yang lebih berdaging. Dengan semua dialog dibawakan dalam bahasa asing dan adegan yang penuh CGI, akan jarang sekali kita menemukan hal yang tampak asli dalam film ini. Ambisi untuk menjadi spesial tersebut tak berbuah karena pada akhirnya film ini tampak seperti laga kelas-B Hollywood dengan aktor-aktor dari Indonesia. Dunia distopianya tampak seperti dunia The Purge, ceritanya kayak versi ringkasan simpel dari 20th Century Boys, dengan ending pengen dramatis seperti Glass (2019), tidak ada lagi yang spesial dipunya oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold star for FOXTROT SIX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah salah jika presiden lebih memilih untuk berbohong demi menenangkan suasana di mata rakyat? Apakah pemimpin negara seharusnya langsung turun tangan memimpin perang alih-alih berdiplomasi untuk menghentikan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

OVERLORD Review

“Heroism has a dark side”

 

 

Hari-H memang bikin deg-degan. Kita belajar mati-matian menjelang ujian, dan menit-menit dalam perjalanan ke sekolah, kita diam tak bergeming mikirin segala hal yang buruk-buruk tentang kemungkinan kita gak lulus ujian. Di lain tempat, ada yang bersuka cita mau menikah, dan di malam hari tepat sebelum nikahan, nervous itu datang membuat terdiam duduk mikirin gimana kalo ternyata pilihan kita salah. Mungkin karena H-nya itu singkatan dari Hantu, kali ya, makanya bikin gugup dan gelisah. Membuat takut. Kita cuma bisa membayangkan gimana kecamuknya hati dan kepala para tentara yang dikirim untuk berperang. Yang pergi membela negara di medan tumpah darah. Yang beberapa saat lagi bakal dibunuh atau membunuh duluan. Yang tidak peduli lagi mana salah, mana yang benar.

“Kita harus jadi sebusuk para musuh” kata komandan dalam film Overlord, mencoba sebisa mungkin terdengar seperti Samuel L. Jackson. Dan itu bukan sekedar remark-sindiran dariku, karena poinku adalah film ini berusaha membuat kita bersimpati (nada dan gaya bicara Jackson memang terdengar penuh wibawa dan simpatis) dengan pilihan yang harus diambil oleh para protagonis dalam cerita perang di mana satu sisinya memang pure evil.

Kita bisa bilang film ini bermain-main dengan genre film perang lebih banyak daripada ia berusaha menggali dilema moral seperti layaknya cerita perang itu sendiri. Adegan pembukanya terlihat menggoda kita dengan memberikan komentar tentang kejadian di opening Saving Private Ryan (1998), film perang karya Stephen Spielberg. Lebih baik di atas pesawat daripada masuk medan dengan kapal-kapal, kata salah satu tokoh Overlord saat mereka dari udara mengawasi garis pantai Perancis. Saat itu malam buta, kala Perang Dunia Kedua, platon protagonis kita bersiap untuk melakukan pendaratan ke pedesaan Perancis yang sudah dikuasai oleh tentara Nazi Jerman. Dan tokoh utama kita, duduk diam di sana. Gemetar di dalam sepatunya sendiri. Si luapan perasaan bimbang dan takut itu namanya Boyce (Jovan Adepo memainkan tipe karakter yang biasanya mati duluan). Dia sempat diolok-olok oleh teman-temannya, dikatain enggak cocok berada di medan perang. Dan kemudian pesawat mereka diberondong peluru. Dalam sebuah long-shot keren, kita melihat Boyce berjuang selamat dengan terjun payung sementara backgroundnya penuh huru-hara.

Ngeliat si Boyce yang tadinya duduk cemas menunggu bahaya pasti akan datang, aku serta merta kepikiran; gimana ya kalo ada Final Destination yang set ceritanya tentang tentara mau perang kayak begini. Tokohnya mendapat penglihatan tentang peristiwa naas, yang kemudian membuatnya jadi bisa menolong teman-teman seperjuangan selamat dari perang. Kupikir itu akan memberi twist buat franchise tersebut, tapi aku tidak bisa mengkhayal terlalu lama, karena Overlord segera menarikku masuk kembali berkat ceritanya yang benar-benar menggigit. Misi pasukan Boyce adalah meledakkan menara komunikasi di desa. Film memastikan tone tegang dan berdarah-darah itu tetap menguar sedari awal, dan tak pernah terputus saat cerita berbelok menjadi sci-fi horor oleh pengungkapan yang disaksikan oleh Boyce. Nazi yang mereka hadapi bukan jahat sembarang jahat. Mereka literally gak manusiawi.

klop banget tadi malam aku habis menghajar beberapa Zombie Nazi di game South Park: The Stick of Truth (2014)

 

Menonton Overlord adalah pengalaman yang menyenangkan, terutama jika kita suka sama adegan-adegan laga bersimbah darah. Drama perangnya masih ada, tokoh utama kita adalah seorang dengan moral kompas yang lurus, dia enggak setuju dengan cara interogasi menghajar musuh. Bahkan ada cerita menarik dari masa-masa pelatihan mereka soal Boyce yang enggak sampai hati membunuh tikus, yang berujung seluruh pasukan mereka dihukum fisik. Hanya saja, kedalaman lapisan moral itu semakin mendangkal mendekati akhir film. Di mana cerita berubah menjadi sajian horor kemanusiaan melawan monster. Narasi tetap mengalir koheren, tetapi gizi itu lama-lama semakin menghilang. Menonton film ini kayak menyantap seporsi lengkap mie. Awalnya masih ada telor, ayam, mungkin sayur mayur. Ketika semua itu habis, hanya tersisa bumbu mie yang enggak begitu bergizi, namun rasanya masih enak untuk dinikmati.

Arc Boyce adalah soal gimana dia mempertahankan moral kemanusiaan dirinya. Dia berubah dari yang ogah-ogahan, gak cocok berperang, menjadi penyintas yang bahkan lebih dari berkompeten untuk memimpin pasukan kecilnya sendiri. Tapi dia tidak pernah kehilangan sense baik-buruk tersebut. Dia tidak pernah melanggar garis yang membuatnya menjadi sekeji pihak yang ia lawan. Sepanjang film, pilihan-pilihan yang diambil oleh Boyce yang membuat narasi bergerak maju. Yang membuat dirinya termasuk ke dalam situasi mengerikan, dan kita mendapatkan aksi-aksi yang seru. Tidak ada yang salah dari Boyce sebagai tokoh utama. Pemeranannya pun meyakinkan. Tapi aku tidak bisa bilang menyukai tokoh ini. Dia terlihat ‘terlalu sempurna’ di sana, kayak Pak Ustadz di dalam kelab malam. Dia terlalu lurus sehingga tampak lebih membosankan daripada temannya, Chase, yang lebih suka menembak dengan kamera alih-alih dengan senapan.

Kepahlawanan punya sisi gelap. Perang begitu mengkhawatirkan, karena tidak seperti ujian sekolah, kita tidak pernah benar-benar seutuhnya menang dalam peperangan. Dan, ironisnya, seperti ujian sekolah; kita perlu perang untuk menggenjot diri naik ke tingkat selanjutnya. 

 

 

Pun, plot tokoh seperti Boyce sudah sering kita temukan. Hal penting yang harus dilakukan pada plot semacam ini adalah kita diperlihatkan perubahan si tokoh, untuk itu kita harus tahu dia seperti apa sebelum sampai di medan perang. Full Metal Jacket (1987) bisa dijadikan acuan. Dalam film tersebut, Kubrick mengambil keputusan beresiko. Dia membuat kita melihat si tokoh sedari masa pelatihan, gimana dia lebih memilih jadi posisi jurnalis perang, dan akhirnya harus menarik pelatuk di hadapan musuh yang ternyata adalah wanita muda, tetapi film itu terasa terbagi menjadi dua bagian. Overlord sepertinya tidak ingin cerita menjadi seperti demikian, maka kita hanya mendengar cerita tentang Boyce sebelum masa perang. Untuk membuat Boyce menjadi jagoan, mereka simply menyederhakan cerita menjadi laga ala video game; Boyce dan pasukan harus menjalankan misi menyusup ke dalam markas musuh, menghabisi bos besar, dan berlari keluar dengan pemandangan markas musuh hancur lebur – exactly kayak ending-ending video game petualangan. Boyce, secara pribadi, sebenarnya enggak benar-benar berubah. Perubahan yang kita rasakan terjadi, berasal dari pandangan orang tentang dirinya. Teman-teman Boyce jadi lebih hormat kepadanya.

sepertinya masih perlu ya diingetin bahwa Nazi itu jahat?

 

Dengan penampilan yang seragam meyakinkannya, banyak tokoh-tokoh minor yang terasa lebih menarik dibandingkan si sudut pandang utama. Aku suka sekali sama hubungan yang terjalin antara salah satu tentara, Tibbet, dengan anak kecil yang mereka tolong. Sersan mereka yang sudah siap-segala-resiko pun lebih menggugah minat dan mengundang simpati. Tapi sekali lagi, ini adalah keputusan yang diambil oleh film. Jadi walaupun cerita jadi harus mengandalkan beberapa ‘kebetulan’, menggunakan elemen ‘damsel in distress’ yang usang, dan Boyce-nya kalah menarik, Boyce dinilai paling bentrok dengan antagonis, dia yang paling punya stake. Tidak ada yang lebih berharga lagi yang bisa dipertaruhkan daripada rasa kemanusiaan.

Setidaknya ada dua kali ‘bolak-balik’ pada cerita; tokoh yang udah sampai di tempat menarik, kemudian ditarik mundur lagi oleh cerita, yang mengindikasikan penulisan seharusnya bisa lebih baik lagi. Tapi tone cerita yang konsisten, mampu membuat elemen menghibur itu terus terjaga. Ringan, penuh aksi brutal, dan makhluk horor dengan prostetik yang tampak semakin creepy – low budget itu berhasil dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Estetiknya tidak pernah kelihatan jelek.

 

 

Ini adalah film yang berjaya di dalam dunianya sendiri. Jikapun bertahan di ranah horor drama perang, film ini tak pelak akan lebih bermakna, tapi dia tidak akan pernah benar-benar stand out karena sudah begitu banyak cerita yang seperti demikian. Pilihan yang membawa genre ini berfusion dengan body horror; katakanlah eksperimen yang mereka lakukan, pada akhirnya lebih mungkin membuat film menjadi seperti para pahlawan seharusnya; dikenang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for OVERLORD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi Nazi? Apakah kekerasan dibalas dengan kekerasan? Atau memilih berdiri di atas moral? Bagaimana sih moral yang tinggi itu? Apa maknanya memenangkan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017