“A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself.”
Aku gak akan bohong, aku super excited nungguin film ini keluar. I mean, siapa yang enggak?!! Begitu banyak jagoan buku komik bermash-up seru, team up, lengkap dengan potensi aksi-aksi kekuatan super yang begitu beragam, jelas sisi nerdy kita semua akan menjerit kegirangan. Sekaligus juga, sebagai penonton film, aku mengelinjang demi penasaran gimana mereka menghandle sekian banyak tokoh superhero, gimana cara mereka membagi porsinya, cerita macam apa yang bakal mereka sajikan, siapa yang jadi tokoh utama?
Well, yea, Marvel Studio sendiri dalam rangkaian promo mereka menyebut, dalam film ini akan ada enam-puluh-empat tokoh utama. Yang mana adalah angka yang sangat luar biasa, yang bagi yang ngerti penulisan skenario pastilah lebih mencengangkan lagi karena bagaimana bisa memfokuskan pada segitu banyak sudut pandang, akankah dua setengah jam will do justice kepada semua tokoh. Akan selalu ada satu perspektif yang berdiri lebih tinggi daripada yang lain. Ketika trailer pertama film ini dirilis, para fans dan penggemar film ramai berspekulasi. Kafe eskrimku pun pernah seketika jadi ruang debat seru, para pengunjung terlibat percakapan berlarut mengenai spekulasi mereka tentang apa yang bakal terjadi di film ini. Aku sempat berkelakar bahwa Thanos yang menjadi tokoh utama alih-alih Ironman atau Captain America. Dan setelah menonton ini (setelah semua asap ledakan kefanboyan itu menipis dan sirna), kelakarku berubah menjadi pendapat utuh. Aku pikir Thanos lah – si raksasa ungu yang menghancurkan planet-planet itu – yang menjadi tokoh utama sebenarnya bagian satu dari film final Avengers ini. Dan sekalipun mungkin aku salah, melihat film dari titik pandang Thanos tetap adalah cara paling menarik bagi kita menikmati cerita Infinity War. Thanos punya motivasi, dan film ini adalah tentang para superhero berusaha mencegah motivasi tersebut menjadi kenyataan, dan pertanyaan besar yang menggantung adalah apakah Thanos berhasil meraih apa yang ia inginkan.

Thanos sedang dalam pergerakan mengumpulkan enam Batu Keabadian dari seluruh penjuru galaksi. Dia sudah berhasil mendapatkan Power Stone. Adegan pembuka film memperlihatkan detik-detik dia mengambil Space Stone alias Tesseract dari tangan Loki dalam sekuens menyayat hati. Dalam rentang sepuluh menit pertama, kita akan kehilangan dua tokoh yang masuk kategori ‘favorit’ di kalangan fans, yang tentu saja melandaskan mood sekaligus peringatan; film ini tidak ragu-ragu untuk mencabut entah berapa nyawa favorit lain hingga penghujung ceritanya. Sementara Thanos bisa saja sudah mengetahui kemana harus mencari Soul Stone dan Reality Stone, kita tahu pasti dua Batu terakhir ada di Bumi. Doctor Strange literally memakai Time Stone sebagai kalung demi menjaganya. Dan Mind Stone adalah sumber nyawa dari Vision. Cepat atau lambat Thanos akan berurusan dengan Avengers. Serta dengan Guardians of the Galaxy, mengingat Gamora punya urusan personal sebagai putri angkat Thanos. Para superhero tersebut harus berjuang sekuat tenaga, sebab jika Thanos berhasil mendapat kekuatan maha dahsyat dari mengumpulkan batu-batu tersebut, Thanos akan mampu menghapus setengah eksistensi di alam semesta hanya dengan satu jentikan jari saja.
Sejak nongol di trailer, Thanos langsung hits. Banyak yang berkomentar soal penampilan karakter CGI ini yang dinilai terlalu manusiawi. Aku banyak melihat meme yang menyebut Thanos seperti Stone Cold Steve Austin, Goldberg, atau banyak lagi superstar WWE lain. Well, turns out ternyata Thanos lebih mirip Alexa Bliss ahahaha, penggemar wrestling pasti paham lelucon ini, I mean, lihat aja gerakan Thanos ketika menggunakan kekuatan gauntlet Infinity saktinya; persis kayak gaya Alexa dengan sarung tangannya hihihi… Anyway, perihal wujud Thanos dirancang enggak begitu intimidating jika kita bisa overlook badan raksasanya; itu karena ternyata Thanos memang punya sedikit hati. Kita diniatkan untuk merasakan sedikit simpati kepadanya. Thanos percaya apa yang ia lakukan adalah hal yang benar; bahwa dia juga melakukan tindak yang heroik. Keseimbangan dunia adalah apa yang ingin diwujudkan oleh Thanos. Dia punya moral kompas sendiri. Sering adegan akan membawa kita berkunjung melihat Thanos, mengenali Thanos dalam lapisan yang lebih dalam. Adegan-adegannya dengan Gamora menjadi inti cerita yang mengungkap siapa Thanos. Sirkumtansi memang lebih sedikit terlalu popcorn, terlalu membuatnya seperti penjahat buku komik, tapi Thanos tetap adalah karakter yang menarik dengan moral kompasnya sendiri. Enggak gampang memainkan karakter yang sepenuhnya CGI, namun Josh Brolin berhasil menghidupkan Thanos, memanusiawikannya.
Ini mungkin aku yang kebanyakan nonton My Hero Academia, tapi aku pikir film ini punya ‘suara’ yang sama dengan anime tentang sekolah superhero tersebut. Jika ada yang bisa kita petik dari Thanos di film ini, maka itu adalah Thanos mengajarkan kepada kita perbedaan antara hero dengan villain; pahlawan dengan penjahat. Thanos boleh saja merasa pahlawan di sini, karena ini adalah ceritanya. Namun sejatinya, pahlawan enggak akan pernah mengorbankan sebahagian yang lain. Pahlawan akan mengorbankan dirinya sendiri.
Selain beberapa menit terakhir yang terasa begitu dingin, suram, sekaligus mengundang penasaran (saking penasarannya aku jadi nungguin post-credit, padahal sejak Ironman 1 aku gak pernah peduli sama post-credit scenes), sebagian besar film ini terasa menegangkan dengan sangat menyenangkan. Memuaskan melihat tokoh-tokoh superhero itu bertemu untuk pertama kali. Akan ada banyak interaksi yang kocak, yang datang dari para tokoh yang sengaja dikontraskan. Thor dengan Star-Lord misalnya, film menggali komedi dari Star-Lord yang merasa minder karena kalah macho, jadi dia berusaha untuk tampil ‘sangar’. Infinity War menjadi menarik dan benar-benar kocak ketika komedi-komedi yang dihadirkan diangkat dari sifat dan watak karakter. Dari betapa berbedanya mereka satu sama lain, dan gimana mereka diharuskan untuk bekerja sama. Kita akan melihat grup superhero terbagi menjadi beberapa grup, Thor dengan Rocket dan Groot Remaja (yang begitu angsty kerjaan main mobile legends melulu hihi) berusaha mencari pembuat senjata, Tony Stark dengan Dr. Strange dan Spider-man (how awesome is that!), berusaha menyetop Thanos di kandangnya sendiri, ada juga Scarlet Witch dan Vision yang berusaha mencari jalan keluar menghancurkan Mind Stone tanpa membahayakan nyawa Vision sambil diburu oleh anak buah Thanos. Dan bicara tentang itu, aku suka gimana pasukan alien tersebut justru berhasil dipukul mundur oleh divisi pasukan asli Bumi – Captain America, Black Widow, Falcon. Satu lagi yang menurutku keren adalah Thor lawan Thanos yang menguar referensi mitologi – Thor yang padanan Zeus pada budaya celtic berhadapan dengan Thanos yang namanya dimodifikasi dari Chronos, titan yang dikalahkan Zeus.

Sebaliknya, komedi khas Marvel tersebut menjadi cheesy dan membawa kita keluar dari cerita ketika mereka menyisipkan celetukan-celetukan yang enggak ada hubungannya dengan karakter, misalnya ketika Dr. Strange nimpalin “Thanos siapa?” di adegan yang seharusnya enggak perlu diliteralkan seperti demikian, yang enggak ada kepentingan selain mencairkan suasana. Atau ketika Tony Stark membuat some remark musuhnya mirip Squidward di tengah pertempuran. Film ini bicara tentang keseimbangan, tetapi keseimbangan adalah tugas yang susah jika kita punya begitu banyak tokoh untuk ditampilkan. Akibatnya, banyak yang enggak dapat peran yang signifikan. Black Panther aja perannya di sini cuma sebagai komando perang yang bertempat di Wakanda. Hulk, yah, kita cuma melihat monster hijau ini di sekuen pembuka karena Banner diberikan arc apa yang ia lakukan jika Hulk menolak muncul di saat yang dibutuhkan. Bahkan beberapa tokoh harus diwrite off gitu aja.
Infinity War adalah culmination dari banyak penokohan, semua tone karakter yang ditulis dan divisikan oleh beberapa penulis dan sutradara berbeda digodok menjadi satu, sehingga tentu saja akan ada beberapa tokoh yang tampak bertindak di luar karakter mereka. Ini kayak waktu aku ikutan estafet nulis novel; aku harus melanjutkan apa yang ditulis orang lain, tetap berusaha ngikutin karakterisasi yang udah ditetapkan sambil menegmbangkan sesuai visi sendiri, dan setelah itu akan ada penulis lain yang melanjutkan menulis karakter yang aku buat. Jelas akan ada sedikit ketidakkontinuan, dan di film ini kita menjumpai hal tersebut misalnya pada karakter Thor, dia sudah berevolusi di film terakhirnya, untuk kemudian di film ini dia kembali revert back seperti dirinya yang dulu; matanya yang hilang ada lagi, palunya yang hancur dibuat lagi.
Sementara semua jajaran pemain kelas atas itu bersenang-senang dengan karakter mereka seolah film ini adalah sebuah pesta pora di mana undangannya enggak sabar untuk menunjukkan kelebihan masing-masing, sutradara Anthony dan Joe Russo tidak berhasil mencetak sesuatu yang distinctive pada arahan mereka. Setelah Thor: Ragnarok (2017) dan Black Panther (2018), Infinity War tampak seperti kembali ke dasar di mana yang penting adalah superhero dan villain yang berantem dengan dahsyat dan seru.
Enggak gampang menampilkan begitu banyak dalam ruang yang lumayan sempit. Penceritaan film ini pada dasarnya memberikan ruang gerak yang sangat terbatas bagi pengembangan dan kualitas cerita semacamnya, makanya kita dapat begitu banyak adegan ngobrol, entah itu di dalam ruangan, bahkan adegan aksinya pun dilakukan sambil ngobrol. Tapi film berhasil melakukannya, katakanlah dengan subtil – enggak begitu terasa. Ada eksposisi, namun tidak begitu memberatkan. Karena kita sudah excited duluan. Film berhasil bermain-main dengan karakter sebanyak itu, menjelang penghabisan, film berubah menjadi sesuatu yang depressing. Namun tetap berhasil menutup cerita. Jika ada satu kata yang menggambarkan Thanos dan para superhero, maka itu adalah ‘sersan’; serius tapi santai. Eh, tapi itu tiga kata, ding!
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for AVENGERS: INFINITY WAR.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017