“Don’t let a legacy become a burden”
Enggak segampang itu mengarungi kehidupan jika kita terombang-ambing di antara dua identitas keluarga yang berbeda, antara bangsawan dan jelata misalnya. Bahkan jika kita ternyata adalah bangsawan yang memiliki kekuatan super. Khususnya ketika kekuatan khusus yang kita punya ‘hanyalah’ bisa berbicara dengan ikan.
Aquaman, sebelum film ini muncul, memang tak lebih dari lelucon jika dibandingkan dengan superhero-superhero lain. Berenang dengan ngebut tentu saja kalah keren dibandingkan dengan berlari secepat kilat. Dapat bernapas di dalam air terlihat demikian kurang efisien ketimbang bisa terbang di angkasa. Di tangan James Wan sebagai nakhoda, ke-cheesy-an Aquaman tersebut toh terfasilitasi dengan amat baik. Mengembalikan sedikit respek kita kepada si superhero beserta mitologi di balik dunia bawah airnya. Tentu, ini memang bukan film superhero dengan naskah terbaik di dunia, namun tak pelak, Aquaman adalah salah satu yang teratas dalam urusan menghibur.
Yang dibawa oleh sutradara yang menggarap The Conjuring itu adalah gerak kamera yang begitu fluid merekam setiap aksi. Di menit-menit pertama kita akan dimanjakan oleh pertempuran di dalam rumah yang dilakukan dengan shot panjang kamera yang bergerak memutar. Teknik ini sukses membuatku menantikan adegan berantem berikutnya, karena aku pengen lihat cara hampir-kontinu seperti gimana lagi yang akan dilakukan oleh James Wan. Dan penantian itu terbayar lunas oleh sekuen berantem dan kejar-kejaran di atap rumah pada babak kedua. I looove it, semua dalam layar saat itu bergerak, di belakang, maupun di depan. Kameranya berkedalaman dan kontinu shotnya ditahan cukup panjang. Departemen aksi film ini jelas penuh dengan keseruan.
Sebelum pertempuran bawah laut yang begitu epik – kita bakal melihat pertemuan menarik antara hiu melawan mosasaurus, ataupun prajurit berkendaraan kuda laut raksasa mengeroyok kraken, yang tak kalah raksasa, berlumur oleh lava berpijar – film bakal banyak bermain-main dengan eksplorasi paparan mitologi cerita dan banyak hal yang mengingatkan kita pada cerita lain. Bagian Arthur kecil di akuarium dunia laut mengingatkan aku sama bagian Harry Potter bicara sama boa pembelit di kebun binatang. Juga ada bagian mobil diterjang ‘tsunami’ yang seperti versi dark dari kejadian dalam animasi Studio Ghibli, Ponyo. Ada petualangan di kuil ala Indiana Jones mencari harta karun (atau ala anak-anak kekinian main escape room). Ada juga bagian orang yang ditemukan masih hidup di dunia lain yang mengingatkan kepada Antman. Mereka mereferensikan Pinokio, sebagai cerita dan film. Bahkan literally ada boneka Annabelle di salah satu dasar lautnya. Durasi yang melebihi dua jam itu diisi dengan maksimal sehingga kita tetap terus terhibur.

Secara kontekstual, cerita film ini memang tergolong tradisional. Kuno kalo boleh dibilang. Aquaman, terlahir sebagai Arthur Curry, adalah putra dari pasangan seorang manusia daratan penjaga mercusuar dengan Ratu Atlantis yang kabur karena menolak dikawinkan. Sedari bayi, Arthur sudah dipatri oleh ibunya untuk menjadi raja yang bakal menyatukan penduduk lautan dengan penduduk di darat. Mungkin di antara kalian, generasi millenial, ada yang sedari kecil sudah diarahkan jadi dokter sama seperti mama? jadi pegawai Chevron sama seperti papa? Atau jadi pegawai negeri, mungkin, biar hidupnya terjamin sampai tua? Ya, besar kemungkinan kita ada yang senasib seperti Arthur; yang enggak mendapat kehormatan langka untuk ditanya oleh orangtua sendiri “kamu mau jadi apa kelak? jadi youtuber aja? sana silahkan gausah sekolah”.
Tapi sebagai pembelaan, Arthur tidak sempat ditanya ibunya karena mereka keburu dipisah. Dunia tempat Arthur tinggal adalah dunia di mana sumbu peperangan sudah tersulut diam-diam. Tidak diketahui oleh manusia di daratan, kaum Atlantis yang sudah muak dengan perilaku manusia mencemari lautan, sudah siap tempur untuk mengadakan Perang Dunia Ketiga. Film Aquaman ternyata bukanlah origin story – paling tidak bukan origin story seperti yang kita bayangkan. Alih-alih melihat Arthur tumbuh gede dan mempelajari siapa dirinya sebenarnya, waktu akan membawa kita meloncat melewati timeline di Justice League (2017) saat Arthur sudah fully-developing persona Aquamannya. Kita akan melihat Arthur diminta untuk kembali ke Atlantis, untuk segera menjadi raja, lantaran pemimpin yang sekarang yakni adik tirinya sudah begitu bernapsu untuk menyatukan kekuatan militer tujuh samudra demi menghimpun kekuatan menyerbu daratan. Ceritanya memang seperti kebalikan dari cerita Black Panther (2018); kalian tahu, T’Challa kan raja; harus menghadapi seorang dari luar yang ingin memanfaatkan teknologi Wakanda untuk perang, sebaliknya Arthur adalah ‘orang luar’ yang disuruh menjadi raja supaya pemimpin yang sekarang gagal memanfaatkan teknologi Atlantis untuk perang.
Yang jeli membaca akan menyadari penggunaan kata ‘disuruh’ yang aku gunakan pada paragraf di atas. Karena buatku, ‘disuruh’ itu adalah faktor kunci yang menentukan seberapa menarik sih sebenarnya cerita Aquaman; di mana posisi film ini dalam kancah superhero-superhero yang lain. Ini kaitannya dengan penulisan naskahnya. Tokoh utama dalam cerita kudu diberikan motivasi. Dalam kisah superhero, jagoan kita selalu punya keinginan dramatis yang akan jadi akar dari perjuangannya. Diana Prince ingin menyetop peperangan karena dia dengan naifnya percaya setiap manusia berhati baik. Bruce Wayne ingin ‘balas dendam’ tanpa mengubahnya menjadi speerti penjahat, ia tidak mau ada lagi yang bernasib seperti dirinya yang dirampas dari orangtua. Arthur Curry dalam Aquaman, dia adalah pahlawan super yang ingin…. dia tidak ingin menjadi raja. Arthur adalah orang yang seumur hidupnya mencari tempat untuk dirinya, dan sekarang dia sudah menemukan yang ia cari – sekarang dia sudah diterima sebagai pahlawan di atas permukaan laut. Dia tidak butuh untuk membuktikan apapun, karena dirinya sendiri tidak ingin menjadi raja, karena dia tidak merasa kerajaan Atlantis sebagai tempatnya.

Keseluruhan cerita tampak seperti pihak-pihak luar yang berusaha membujuk Arthur. Mereka yang berusaha membuktikan kepada Arthur bahwa ia pantas menjadi raja. Arthur’d be like, “Gue kayaknya gak pantes deh” dan mentor dan temannya kayak “Kamu bisa kok, cuma kamu yang bisa mendapatkan Trisula Atlantis Legendaris”. Saking kurang termotivasinya, Arthur sering menanyakan langkah kepada putri berambut merah. Bahkan yang semangat mencari senjata yang hilang itu si Mera, yang tanpa tedeng aling-aling langsung terjun dari pesawat. Arthur mengikuti cerita yang maju karena tindakan tokoh lain.
Aku menunggu momen ketika Arthur ‘kehilangan’ senjata terkuat yang sudah ia temukan, supaya dia bisa belajar bahwa dirinya benar adalah raja – terlebih dia tak perlu semua itu karena memang sudah takdirnya atau apa, kalian tahulah, sekuen kehilangan yang pasti ada dalam setiap cerita-cerita seperti ini; seperti ketika Spider-Man diambil kembali kostumnya oleh Iron-Man. Tapi momen seperti begini tidak pernah datang. Aquaman, jagoan kita, butuh bantuan trisula legendaris untuk percaya diri menjadi raja hingga akhir cerita.
Tema besar pada film ini adalah soal warisan, dan bagaimana pandangan kita jika ditinggali hal untuk dilakukan yang mungkin tidak ingin kita lakukan. Ada yang menganggap warisan sebagai anugerah, sebagai hadiah. Ada yang menganggapnya sebagai kewajiban, sebagai misi yang harus dituntaskan. Ada juga yang menganggapnya sebagai beban. Film memperlihatkan keparalelan antara Arthur dengan tokoh Black Manta di mana mereka sama-sama diwarisi senjata dari kedua orangtua, dan keduanya diperlihatkan melakukan hal yang berbeda terhadap benda warisan masing-masing.
Lautan digambarkan sebagai tempat yang keras, penghuninya tidak mengenal belas kasih. Para penduduk Atlantis menghukum Ratu mereka dengan mengumpankannya kepada monster-monster. Penghuninya mungkin kejam begitu lantaran mereka tak bisa melihat airmata mereka sendiri. Film menggunakan ungkapan-ungkapan seperti “menerjang bersama kekuatan tujuh samudera” untuk menguarkan kekuatan yang lantas dikontraskan dengan Arthur, si surface dweller yang penuh dengan komentar kocak jika sedang tidak memberantas bajak laut. Jason Momoa benar-benar sosok yang keren sebagai tokoh ini. Dia punya kharisma yang kuat, dia juga mampu menyampaikan one-liner kocak. Plus tampilannya badass banget, penggemar gulat pasti akan menyebutnya antara mirip Roman Reigns ataupun mirip Tama Tonga. Hal menarik yang dilakukan oleh film ini adalah fakta bahwa Momoa sama sekali tidak terlihat seperti Aquaman di dalam komik. Secara tampang, malah Patrick Wilson (yang bermain jadi adik tirinya, Norm si Ocean Master) yang lebih mirip sama sosok Aquaman klasik. Sayangnya, seperti efek CGI dan visual yang kadang enggak benar-benar tampak menyatu, penulisan dialog ringan dan tone komedi itu tidak bercampur baik dengan bagian cerita yang lebih serius.
Seperti pada bagian ketika Arthur bertualang mencari Trisula hingga ke tempat paling kering sedunia. Untuk develop hubungan karakter antara Arthur dan Mera, film menggunakan komedi. Tapi gap antara tone cerita bagian ini dengan bagian sebelum dan sesudahnya begitu jauh sehingga menonton sekuen Arthur dan Mera bertingkah kekanakan di Gurun Sahara terasa seperti menyaksikan Sherina dan Sadam nyasar di kebun teh. Menjadi semakin receh juga beberapa adegan berkat alunan lagu latar yang antara terlalu ngepop dengan terlalu konyol (seperti gejrengan gitar di adegan introduksi awal Aquaman bersama para bajak laut).
Satu hal yang benar-benar mengangguku, yang kurasa film seharusnya mencari cara lain, satu hal yang terus mereka ulang-ulang adalah adegan ‘penyergapan’; akan sering sekali kita melihat adegan suasana lagi tenang – tokoh di layar lagi ngobrol, nyusun rencana atau apa, dan BLASSST! Pasukan musuh menembak sesuatu di sekitar mereka, menghancurkan objek di sana. Paling tidak ada tiga kali adegan pembuka sekuen aksi seperti demikian dilakukan oleh film. Dan ini konyol sekali kenapa musuhnya selalu meleset menembak target yang lagi lengah, apa mungkin musuh-musuh itu sengaja menembak dengan meleset – mungkin itu ekuivalen dari mengetuk pintu bagi mereka. Aku enggak tahu. Aku sudah mati tertawa setiap kali adegan ini dilakukan.
Untuk sebuah cerita yang secara konteks ketinggalan zaman, film ini berhasil menjelma menjadi hiburan kekinian yang menyegarkan. Film berjuang mencari poin seimbang. Sama seperti tokoh ceritanya, film mencari di mana ia menempatkan diri. Tone yang cheesy diseimbangkan dengan cerita yang diarahkan untuk tidak terlalu gelap. Nice aja rasanya melihat orang-orang mengelukan tokoh yang selama ini ditertawakan, dan mereka jadi tertawa bersamanya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AQUAMAN.
That’s all we have for now.
Film sempat bicara tentang memenuhi kewajiban terhadap keluarga dan bangsa meski hati kita bertentangan dengannya. Apakah kalian setuju dengan pernyataan tersebut? Menurut kalian apa sih kewajiban kita terhadap keluarga dan terhadap negara?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017