AQUAMAN Review

“Don’t let a legacy become a burden”

 

 

 

Enggak segampang itu mengarungi kehidupan jika kita terombang-ambing di antara dua identitas keluarga yang berbeda, antara bangsawan dan jelata misalnya. Bahkan jika kita ternyata adalah bangsawan yang memiliki kekuatan super. Khususnya ketika kekuatan khusus yang kita punya ‘hanyalah’ bisa berbicara dengan ikan.

 

Aquaman, sebelum film ini muncul, memang tak lebih dari lelucon jika dibandingkan dengan superhero-superhero lain. Berenang dengan ngebut tentu saja kalah keren dibandingkan dengan berlari secepat kilat. Dapat bernapas di dalam air terlihat demikian kurang efisien ketimbang bisa terbang di angkasa. Di tangan James Wan sebagai nakhoda, ke-cheesy-an Aquaman tersebut toh terfasilitasi dengan amat baik. Mengembalikan sedikit respek kita kepada si superhero beserta mitologi di balik dunia bawah airnya. Tentu, ini memang bukan film superhero dengan naskah terbaik di dunia, namun tak pelak, Aquaman adalah salah satu yang teratas dalam urusan menghibur.

Yang dibawa oleh sutradara yang menggarap The Conjuring itu adalah gerak kamera yang begitu fluid merekam setiap aksi. Di menit-menit pertama kita akan dimanjakan oleh pertempuran di dalam rumah yang dilakukan dengan shot panjang kamera yang bergerak memutar. Teknik ini sukses membuatku menantikan adegan berantem berikutnya, karena aku pengen lihat cara hampir-kontinu seperti gimana lagi yang akan dilakukan oleh James Wan. Dan penantian itu terbayar lunas oleh sekuen berantem dan kejar-kejaran di atap rumah pada babak kedua. I looove it, semua dalam layar saat itu bergerak, di belakang, maupun di depan. Kameranya berkedalaman dan kontinu shotnya ditahan cukup panjang. Departemen aksi film ini jelas penuh dengan keseruan.

Sebelum pertempuran bawah laut yang begitu epik – kita bakal melihat pertemuan menarik antara hiu melawan mosasaurus, ataupun prajurit berkendaraan kuda laut raksasa mengeroyok kraken, yang tak kalah raksasa, berlumur oleh lava berpijar – film bakal banyak bermain-main dengan eksplorasi paparan mitologi cerita dan banyak hal yang mengingatkan kita pada cerita lain. Bagian Arthur kecil di akuarium dunia laut mengingatkan aku sama bagian Harry Potter bicara sama boa pembelit di kebun binatang. Juga ada bagian mobil diterjang ‘tsunami’ yang seperti versi dark dari kejadian dalam animasi Studio Ghibli, Ponyo. Ada petualangan di kuil ala Indiana Jones mencari harta karun (atau ala anak-anak kekinian main escape room). Ada juga bagian orang yang ditemukan masih hidup di dunia lain yang mengingatkan kepada Antman. Mereka mereferensikan Pinokio, sebagai cerita dan film. Bahkan literally ada boneka Annabelle di salah satu dasar lautnya. Durasi yang melebihi dua jam itu diisi dengan maksimal sehingga kita tetap terus terhibur.

mereka bisa saja masukin Raja Naga Laut Timur dari Kera Sakti dan kita masih tertawa karenanya

 

 

Secara kontekstual, cerita film ini memang tergolong tradisional. Kuno kalo boleh dibilang. Aquaman, terlahir sebagai Arthur Curry, adalah putra dari pasangan seorang manusia daratan penjaga mercusuar dengan Ratu Atlantis yang kabur karena menolak dikawinkan. Sedari bayi, Arthur sudah dipatri oleh ibunya untuk menjadi raja yang bakal menyatukan penduduk lautan dengan penduduk di darat. Mungkin di antara kalian, generasi millenial, ada yang sedari kecil sudah diarahkan jadi dokter sama seperti mama? jadi pegawai Chevron sama seperti papa? Atau jadi pegawai negeri, mungkin, biar hidupnya terjamin sampai tua? Ya, besar kemungkinan kita ada yang senasib seperti Arthur; yang enggak mendapat kehormatan langka untuk ditanya oleh orangtua sendiri “kamu mau jadi apa kelak? jadi youtuber aja? sana silahkan gausah sekolah”.

Tapi sebagai pembelaan, Arthur tidak sempat ditanya ibunya karena mereka keburu dipisah. Dunia tempat Arthur tinggal adalah dunia di mana sumbu peperangan sudah tersulut diam-diam. Tidak diketahui oleh manusia di daratan, kaum Atlantis yang sudah muak dengan perilaku manusia mencemari lautan, sudah siap tempur untuk mengadakan Perang Dunia Ketiga. Film Aquaman ternyata bukanlah origin story – paling tidak bukan origin story seperti yang kita bayangkan. Alih-alih melihat Arthur tumbuh gede dan mempelajari siapa dirinya sebenarnya, waktu akan membawa kita meloncat melewati timeline di Justice League (2017) saat Arthur sudah fully-developing persona Aquamannya. Kita akan melihat Arthur diminta untuk kembali ke Atlantis, untuk segera menjadi raja, lantaran pemimpin yang sekarang yakni adik tirinya sudah begitu bernapsu untuk menyatukan kekuatan militer tujuh samudra demi menghimpun kekuatan menyerbu daratan. Ceritanya memang seperti kebalikan dari cerita Black Panther (2018)kalian tahu, T’Challa kan raja; harus menghadapi seorang dari luar yang ingin memanfaatkan teknologi Wakanda untuk perang, sebaliknya Arthur adalah ‘orang luar’ yang disuruh menjadi raja supaya pemimpin yang sekarang gagal memanfaatkan teknologi Atlantis untuk perang.

Yang jeli membaca akan menyadari penggunaan kata ‘disuruh’ yang aku gunakan pada paragraf di atas. Karena buatku, ‘disuruh’ itu adalah faktor kunci yang menentukan seberapa menarik sih sebenarnya cerita Aquaman; di mana posisi film ini dalam kancah superhero-superhero yang lain. Ini kaitannya dengan penulisan naskahnya. Tokoh utama dalam cerita kudu diberikan motivasi. Dalam kisah superhero, jagoan kita selalu punya keinginan dramatis yang akan jadi akar dari perjuangannya. Diana Prince ingin menyetop peperangan karena dia dengan naifnya percaya setiap manusia berhati baik. Bruce Wayne ingin ‘balas dendam’ tanpa mengubahnya menjadi speerti penjahat, ia tidak mau ada lagi yang bernasib seperti dirinya yang dirampas dari orangtua. Arthur Curry dalam Aquaman, dia adalah pahlawan super yang ingin…. dia tidak ingin menjadi raja. Arthur adalah orang yang seumur hidupnya mencari tempat untuk dirinya, dan sekarang dia sudah menemukan yang ia cari – sekarang dia sudah diterima sebagai pahlawan di atas permukaan laut. Dia tidak butuh untuk membuktikan apapun, karena dirinya sendiri tidak ingin menjadi raja, karena dia tidak merasa kerajaan Atlantis sebagai tempatnya.

cerita fish-out-of-water di dalam air

 

 

Keseluruhan cerita tampak seperti pihak-pihak luar yang berusaha membujuk Arthur. Mereka yang berusaha membuktikan kepada Arthur bahwa ia pantas menjadi raja. Arthur’d be like, “Gue kayaknya gak pantes deh” dan mentor dan temannya kayak “Kamu bisa kok, cuma kamu yang bisa mendapatkan Trisula Atlantis Legendaris”. Saking kurang termotivasinya, Arthur sering menanyakan langkah kepada putri berambut merah. Bahkan yang semangat mencari senjata yang hilang itu si Mera, yang tanpa tedeng aling-aling langsung terjun dari pesawat. Arthur mengikuti cerita yang maju karena tindakan tokoh lain.

Aku menunggu momen ketika Arthur ‘kehilangan’ senjata terkuat yang sudah ia temukan, supaya dia bisa belajar bahwa dirinya benar adalah raja – terlebih dia tak perlu semua itu karena memang sudah takdirnya atau apa, kalian tahulah, sekuen kehilangan yang pasti ada dalam setiap cerita-cerita seperti ini; seperti ketika Spider-Man diambil kembali kostumnya oleh Iron-Man. Tapi momen seperti begini tidak pernah datang. Aquaman, jagoan kita, butuh bantuan trisula legendaris untuk percaya diri menjadi raja hingga akhir cerita.

Tema besar pada film ini adalah soal warisan, dan bagaimana pandangan kita jika ditinggali hal untuk dilakukan yang mungkin tidak ingin kita lakukan. Ada yang menganggap warisan sebagai anugerah, sebagai hadiah. Ada yang menganggapnya sebagai kewajiban, sebagai misi yang harus dituntaskan. Ada juga yang menganggapnya sebagai beban. Film memperlihatkan keparalelan antara Arthur dengan tokoh Black Manta di mana mereka sama-sama diwarisi senjata dari kedua orangtua, dan keduanya diperlihatkan melakukan hal yang berbeda terhadap benda warisan masing-masing. 

 

Lautan digambarkan sebagai tempat yang keras, penghuninya tidak mengenal belas kasih. Para penduduk Atlantis menghukum Ratu mereka dengan mengumpankannya kepada monster-monster. Penghuninya mungkin kejam begitu lantaran mereka tak bisa melihat airmata mereka sendiri. Film menggunakan ungkapan-ungkapan seperti “menerjang bersama kekuatan tujuh samudera” untuk menguarkan kekuatan yang lantas dikontraskan dengan Arthur, si surface dweller yang penuh dengan komentar kocak jika sedang tidak memberantas bajak laut. Jason Momoa benar-benar sosok yang keren sebagai tokoh ini. Dia punya kharisma yang kuat, dia juga mampu menyampaikan one-liner kocak. Plus tampilannya badass banget, penggemar gulat pasti akan menyebutnya antara mirip Roman Reigns ataupun mirip Tama Tonga. Hal menarik yang dilakukan oleh film ini adalah fakta bahwa Momoa sama sekali tidak terlihat seperti Aquaman di dalam komik. Secara tampang, malah Patrick Wilson (yang bermain jadi adik tirinya, Norm si Ocean Master) yang lebih mirip sama sosok Aquaman klasik. Sayangnya, seperti efek CGI dan visual yang kadang enggak benar-benar tampak menyatu, penulisan dialog ringan dan tone komedi itu tidak bercampur baik dengan bagian cerita yang lebih serius.

Seperti pada bagian ketika Arthur bertualang mencari Trisula hingga ke tempat paling kering sedunia. Untuk develop hubungan karakter antara Arthur dan Mera, film menggunakan komedi. Tapi gap antara tone cerita bagian ini dengan bagian sebelum dan sesudahnya begitu jauh sehingga menonton sekuen Arthur dan Mera bertingkah kekanakan di Gurun Sahara terasa seperti menyaksikan Sherina dan Sadam nyasar di kebun teh. Menjadi semakin receh juga beberapa adegan berkat alunan lagu latar yang antara terlalu ngepop dengan terlalu konyol (seperti gejrengan gitar di adegan introduksi awal Aquaman bersama para bajak laut).

Satu hal yang benar-benar mengangguku, yang kurasa film seharusnya mencari cara lain, satu hal yang terus mereka ulang-ulang adalah adegan ‘penyergapan’; akan sering sekali kita melihat adegan suasana lagi tenang – tokoh di layar lagi ngobrol, nyusun rencana atau apa, dan BLASSST! Pasukan musuh menembak sesuatu di sekitar mereka, menghancurkan objek di sana. Paling tidak ada tiga kali adegan pembuka sekuen aksi seperti demikian dilakukan oleh film. Dan ini konyol sekali kenapa musuhnya selalu meleset menembak target yang lagi lengah, apa mungkin musuh-musuh itu sengaja menembak dengan meleset – mungkin itu ekuivalen dari mengetuk pintu bagi mereka. Aku enggak tahu. Aku sudah mati tertawa setiap kali adegan ini dilakukan.

 

 

 

Untuk sebuah cerita yang secara konteks ketinggalan zaman, film ini berhasil menjelma menjadi hiburan kekinian yang menyegarkan. Film berjuang mencari poin seimbang. Sama seperti tokoh ceritanya, film mencari di mana ia menempatkan diri. Tone yang cheesy diseimbangkan dengan cerita yang diarahkan untuk tidak terlalu gelap. Nice aja rasanya melihat orang-orang mengelukan tokoh yang selama ini ditertawakan, dan mereka jadi tertawa bersamanya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AQUAMAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Film sempat bicara tentang memenuhi kewajiban terhadap keluarga dan bangsa meski hati kita bertentangan dengannya. Apakah kalian setuju dengan pernyataan tersebut? Menurut kalian apa sih kewajiban kita terhadap keluarga dan terhadap negara?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

TUSUK JELANGKUNG DI LUBANG BUAYA Review

“We always do things for a reason.”

 

 

Satu lagi cerita tentang insan manusia yang begitu ingin mengejar kontroversi; yang ingin dibicarakan lantaran sudah melakukan sesuatu yang tak berani dilakukan banyak orang. Adalah kebutuhan mendasar untuk merasakan adrenaline rush, euforia setelah melakukan hal berbahaya itu memang bikin nagih.

Makanya Sisi ingin mengunjungi tempat-tempat angker di seluruh penjuru, merekam vlog pengalamannya yang menyerempet dunia gaib demi dilihat dan disanjung oleh jutaan follower dunia maya. Ya, paling enggak skenario film horor terbaru dari Erwin Arnada ini berusaha untuk ‘bener’. Tokoh utama kita punya motivasi, ada stake dan rintangan waktu yang harus ia tempuh, ada langkah pertama yang gagal dan peningkatan usahanya untuk berhasil. Sisi nekat melakukan pemanggilan jelangkung tepat di tempat terangker di Desa Pucung, yang membawanya terseret masuk ke sisi lain (pemakaian nama yang cerdas, Sisi Lain adalah channel vlog Sisi). Tapi cerita tidak bisa menjadi lebih menarik lagi, karena tokoh utama kita eventually menjadi orang yang butuh untuk diselamatkan. Cerita nantinya akan berpindah-pindah antara adik Sisi di dunia nyata yang berusaha mencari komponen-komponen yang dibutuhkan untuk ritual masuk ke alam goib menyelamatkan kakaknya, dengan Sisi yang berusaha survive dengan muter-muter di ‘sarang hantu’. Perpindahan dua dunia ini semakin tak terkontraskan, tak nampak lagi perbedaannya. Karena di dunia nyata, selain harus berjuang menyisir air terjun yang berbahaya, juga ada hantunya. Malahan lebih banyak dari yang dihadapi Sisi. Film terus saja menguncup menjadi non-sense yang kacau dengan begitu banyak kekurangan.

film ini memberi kesimpulan wanita seperti Sisi mustinya main kadal aja di rumah

 

 

Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya bisa saja menjadi alegori perilaku manusia terhadap dunia maya atau bahkan malah dunia showbiz yang punya relevansi kuat dengan keadaan sosial masa kini. Di mana orang lebih tertantang untuk berbuat sesuatu supaya terkenal di dunia palsu alih-alih melakukan hal yang benar di dunia nyata. Ada obsesi yang disebutkan bersarang pada penduduk desa yang terus memainkan boneka jelangkung meskipun setiap pemainnya berakhir dengan menghilang. Obsesi yang senada dirasakan oleh Sisi; bahwa dia, juga mereka, terdorong untuk melakukan sesuatu di luar ‘dunia’ masing-masing. Tapi film tidak pernah benar-benar mengeksplorasi ini.

Hal paling mengerikan ditunjukkan oleh pengalaman Sisi pada film ini adalah gimana masuk ke dunia gaib ternyata lebih gampang daripada masuk ke dunia entertainment.

 

Padahal mungkin sebenarnya film ini sadar ceritanya bisa mengarah menjadi lebih berisi dan berbobot lagi. Bahwa masuk ke dunia gaib itu kayak berusaha masuk ke dunia hiburan atau dunia maya. Mungkin itulah sebabnya kita melihat hantu-hantu di sini pada berpendar ala-ala Vanellope nge-glitch di film Ralph Breaks the Internet (2018) hihihi.. Serius deh, I love it. Aku suka desain hantu anak kecil yang pake topeng kayak terbuat dari tempurung kelapa itu. Aku suka gimana penampakan-penampakan hantu di sini dibuat seperti konsep penampakan di serial Netflix The Haunting of Hill House (2018); mereka dimunculkan di latar belakang, di sudut-sudut, di mana para tokoh enggak menyadari kehadiran mereka. Hanya saja, teknik subtil ini lantas dikacaukan oleh suara ketawa hantu-hantu yang volumenya begitu menggelegar. Maksudku, apa faedahnya suara-suara non-diegetik itu dipakai? Apakah film sebegitu tidak yakinnya penonton bakal melihat ada hantu di balik pepohonan? Aku gak tahu apa yang terjadi di balik dapur studio mereka, namun pilihan-pilihan editing kerap membuat hal menjadi tidak menguntungkan bagi kebagusan film.

Pada narasi, misalnya. Di awal-awal, film berhasil melangkahi jebakan flashback. Kita diperlihatkan cerita yang runut. Dari ‘tragedi’ desa, nasib boneka jelangkung, ke pengenalan tokoh utama. Adegan demi adegan bisa saja mulus melenggang dalam kurun waktu yang lurus. Tetapi, eits, jangan senang dulu, Ferguso! Pacing film diperlambat dengan sebuah adegan flashback yang cukup panjang mengenai backstory penemuan boneka yang sebenarnya sama sekali enggak perlu untuk dijadikan adegan flashback! Mereka bisa saja membuat waktunya real-time, maksudku, urutan adegan tidak perlu dibolak-balik, toh tidak akan mengubah banyak pada kejadian, dan tentu saja tidak akan menghambat pace cerita. Campur tangan editing film ini terasa begitu mengganggu. Seolah tidak kompak dengan narasi. Hampir seperti naskah dan editingnya tidak bekerja dengan otak yang sama; mereka jalan masing-masing.

Menyadari penuh pemain yang digunakan tergolong baru semua, tetapi tetap nekat mengandalkan teknik CGI; hal seperti begini yang membuatku bengong dan bertanya “Ada aaaa-pa ya sebenarnya?” Maksudku, benar-benar bukan sebuah pilihan yang bijak menyerahkan tugas seberat berakting ketakutan melihat sesuatu yang tidak ada kepada pemeran-pemeran seperti Anya Geraldine dan Rayn Wijaya yang menyambung in-character tokoh mereka saja masih terpatah-patah. Dan lagi, efek-efek tersebut tidak pernah tampak meyakinkan di mata kita. Visualisasi hantu kain itu terlihat sangat konyol. Padahal ketika diperlihatkan kostum-kostum hantunya, mereka tampak berbeda dan lumayan menyeramkan. Hantu ‘boss’ digambarkan bertanduk, kita hanya melihat tampang utuhnya sekilas, tapi dia cukup sopan dengan menarik Nina Kozok pada perutnya. Mengenai editing ini sebenarnya memang sudah ada pertanda; di adegan awal kita melihat pemanggilan Jelangkung yang menjadi petaka. Sekelompok orang melakukan ritual Jelangkung di pondok kecil, dan di ruang sempit itu semua beterbangan, tapi kita tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi karena editingnya yang tidak beraturan bahkan di tempat yang sebenarnya tidak perlu dilakukan shot yang banyak editing.

 

Misi utama film ini adalah meremajakan cerita lama. Desa dengan kota. Anak-anak muda melek teknologi itu dihadapkan dengan ritual. Tetapi usaha terbesar film mewujudkan ini adalah dengan memakai bahasa yang keminggris; yang mana bagiku tidak masalah, jika dilakukan dengan benar. Masalahnya adalah para pemain ini masih saja terdengar kaku bahkan saat dialog mereka berbahasa Inggris, which is supposedly their (and also their characters’) comfort zone. Mantra pemanggilan Jelangkung di film ini juga kocak sekali. Jelangkungnya sudah bagaikan anak gaul Jak-Sel yang dipanggil dengan “Jelangkung, Jelangkung, datang untuk dimainkan, please help me find something”. Di satu sisi aku suka gimana setiap film bertema Jelangkung belakangan ini memikirkan cara baru untuk membuat ritual pemanggilan ini menjadi fresh, menggunakan mantra yang actually berpengaruh terhadap cerita. Namun di sisi lain toh aku heran juga, menggunakan mantra beda ini memang disengaja atas alasan kreativitas atau karena mereka simply enggak bisa menggunakan mantra yang ‘asli’ karena alasan copyright atau apa.

Meskipun kita tidak benar-benar melihat Buaya beserta Lubangnya, tapi kita tetap akan menemukan lubang di sana sini. Selain ‘lubang’ pada teknik editing dan kemampuan pemain, wajah film ini utamanya tercoreng oleh lubang-lubang pada logika. Orang bilang terkadang cacat itu adalah seni; film sepertinya setuju terhadap pernyataan tersebut. Atau mungkin film berusaha untuk menjadikan lubang-lubangnya sebagai kekuatan sebab tidak mungkin pembuatnya tidak melihat ini. Lubang-lubang logika itu mereka masukkan ke dalam pembangunan cerita; actually ada alasannya kenapa hal-hal konyol itu ada di dalam film. Seperti misalnya ritual orang desa untuk melenyapkan boneka. Mereka berkumpul di atas tebing air terjun, memasukkan boneka ke dalam kotak, kemudian melemparkan boneka tersebut ke bawah. Terlihat sangat berlebihan jika tujuan ritual tersebut adalah untuk menenggelamkan boneka itu, bukan? Toh kita diperlihatkan Sisi menemukan boneka itu di dasar air terjun, dan kemudian dia dipergoki oleh orang desa. Kenapa ritualnya tidak dilakukan di dasar air terjun saja? Enggak perlu dilempar segala. Kalo tujuannya untuk menghancurkan boneka, kenapa enggak sekalian dibanting ke batu atau malah langsung dibakar saja? Kenapa orang-orang desa itu ribet dan begitu dramatis?

Ada tokoh kakek yang cucunya hilang karena diajak main Jelangkung. Kakek ini sok dramatis banget, dia yang tahu cara ke alam gaib tapi gak mau jemput cucunya malah nyuruh orang lain, kemudian malah dia yang sok berkorban mengurung diri di alam sana sambil bilang “Ikhlaskan saya!” padahal kenal juga kagak sama Sisi dan teman-teman.  Dan keseluruhan konteks adegan itu malah lebih konyol lagi lantaran si Kakek Dramatis sebenarnya enggak perlu ngorbanin diri dengan menyeret masuk seorang tokoh jahat ke dunia gaib karena, guess what, si penjahat cuma sendirian sedangkan Kakek, Sisi, adik Sisi, pacar adik Sisi – mereka berempat! Mereka bisa ngetakedown si penjahat lemah yang baru saja tercebur sungai dengan mudah.

Dasar orang ndeso kampungan!

 

 

Kekurang logisan di sana-sini lah yang bakal menghibur kita habis-habisan. Membuat kita tertawa-tawa. Salah satu favoritku adalah adegan ketika Sisi ‘mengundi’ tempat angker yang pengen dia kunjungi. Sisi menggunakan bola-bola plastik yang dimasukkan ke dalam mesin mainan. Slot di mesinnya diputar, satu bola jatuh, dan Sisi membaca kertas berisi tempat angker di dalam bola. Bagian lucunya adalah; Sisi memasukkan lima bola, dan menggunakan mesin mainan itu sampai kelima-lima bolanya dibaca semua. Betapa sia-sianya tuh mainan. Kalo semua bola mau dibaca, Sisi enggak perlu pake mesin, toh dia bisa milih langsung secara acak bola-bola itu di lantai.

See, bahkan kadang orang kota, orang muda pun terjebak oleh ‘ritual’ yang eksesif, yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan. Namun tetap dikerjakan karena dinilai lebih mengundang perhatian. Sebab, seperti bola-bola yang ditarik Sisi, pada akhirnya semua itu tidak acak. Sisi melakukannya di depan viewer vlog. Si Kakek Dramatis melakukan ritual di depan penduduk desa. Sisi dan Kakek, meski beda usia dan lingkungan, adalah pribadi yang sama hihihi

 

 

 

For a good measure, film akan mengirim kita pulang dengan shot boneka Jelangkung yang diangkat ala Simba di Lion King. Gimana kita enggak cinta coba sama film ini? Menghasilkan banyak hal-hal yang lucu secara tidak sengaja, dan ini gak sehat untuk film yang merasa dirinya serius, seram, dan masuk akal.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TUSUK JELANGKUNG DI LUBANG BUAYA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Punya kah kalian ritual sendiri – sesuatu yang kalian lakukan sehari-hari meski sekarang udah gajelas lagi kenapa kalian melakukannya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ROBIN HOOD Review

Thievery is what unregulated capitalism is all about

 

 

 

“Salah sasaran!” Tadinya, aku ingin mengatakan hal tersebut kepada pasangan suami istri yang duduk menonton di barisan di depanku, dengan dua anak balita mereka. Maksudku, kenapa ada keluarga yang lebih memilih menonton film Robin Hood ini padahal ada Ralph Breaks the Internet di studio sebelah benar-benar di luar logika buatku. Namun kata-kata tadi aku tarik kembali sebelum melesat dari busur bibir, karena aku menemukan ‘sasaran’ yang lebih tepat.

Bayangkan merasa bosan karena sudah lama enggak ke bioskop, dan sekalinya datang yang kau tonton malah film Robin Hood. Itulah “Salah sarasan!” yang sebenarnya. Film ini tidak akan mengobati rasa jemu. Kalopun iya, itu karena kita akan menemukan banyak hal untuk ditertawakan sehubungan dengan pilihan-pilihan yang diambil dan bagaimana mereka tidak cukup kompeten untuk dapat mengeksekusinya dengan baik.

masih mendingan iklan obat; langsung ke pusat sakit kepala

 

Sudah berulang kali cerita pencuri yang menjadi pahlawan bagi rakyat jelata ini diceritakan di layar lebar. Menyadari penuh hal tersebut, Robin Hood versi 2018 sesegera narasi pembuka bergulir mengajak kita meruntuhkan apa yang telah kita ketahui tentang legenda Robin Hood, dan bersiap mengarungi kisah yang katanya tidak seperti kita kenal sebelumnya. Film ini tidak kusebut jelek karena memang menjadi sedikit berbeda dari yang sudah-sudah, malahan aku senang film punya keinginan bercerita dengan caranya sendiri. Heck, aku bakalan girang banget kalo mereka merombak totatl; katakanlah menjadikan Robin cewek atau suku minoritas. Walau enggak mengubah ampe segitunya, toh film ini berusaha menyesuaikan cerita dengan kejadian di masa sekarang – memberikannya relevansi. Orang kaya yang dirampok Robin pada film ini, adalah penguasa korup yang mencopet rakyat secara halus. Lewat slogan-slogan politik. Lewat ayat-ayat Kitab Suci. Perang Salib antara bangsa Eropa dengan bangsa Arab dijadikan latar film ini yang seharusnya berfungsi sebagai cerminan motivasi – berkaitan dengan panji pencitraan agama yang dikibarkan oleh cerita. Robin Hood tidak lagi sekedar anti-hero. Sutradara Otto Bathurst mengarahkan tokoh ini menjadi superhero bagi kaum papa. Sayangnya naskah sepertinya terlalu berat bagi pundak film ini. Segala aspek-aspek politik dan agama yang menarik tersebut hanya laksana tudung yang tak pernah benar-benar membungkus. Dan film ini pada akhirnya dikata-katai film superhero hanya karena usaha ngeset sekuel yang terang-terangan meniru Marvel atau DC.

Segala tetek bengek gimana orang menggunakan agama untuk menakuti, mengontrol massa – menguatkan posisi secara politik, dan pada akhirnya UUD (Ujung-ujungnya Duit) tidak pernah menunjukkan dampak secara emosional karena tokoh utama cerita tidak diperlihatkan benar-benar tertarik kepada itu semua. Robin si Bangsawan dari Loxley (Taron Egerton pembawaannya terlalu boyband untuk karakter sebroke-down ini) sedari sepuluh menit awal yang krusial dikukuhkan motivasinya adalah cinta kepada Marian (begitu juga Eve Hawson yang covergirl jelita banget untuk ukuran rakyat kelaparan jelata). Kebersamaan dua orang yang lebih cocok sebagai idola remaja tersebut dipersingkat oleh surat perintah wajib militer yang datang dari sheriff di kota. Robin kudu ikutan berperang di gurun pasir Arab. Sekembalinya dari medan perang – ia dikirim pulang lantaran gagal patuh terhadap perintah membunuhi orang tak berdosa – Robin mendapati rumah kastilnya disita oleh si sheriff. Eksistensinya juga direnggut lantaran sheriff memasukkan namanya dalam daftar korban perang. Dan paling parah baginya, ia juga mendapati sang istri sudah menjadi istri orang lain. Mendadak miskin, tanpa teman maupun pasangan, Robin sudah akan hancur jika bukan karena John, pejuang Arab yang mengikuti dirinya lantaran terkesan sama sikap Robin di peperangan. John-lah yang ‘membisiki’ Robin apa yang harus dia lakukan. John yang melatihnya melakukan hal-hal keren dengan busur dan anak panah. John yang memberikannya tudung trendi yang bakal jadi seragam ikoniknya. John yang diperankan oleh Jamie Foxx-lah yang sedikit menyelamatkan film ini.

Memparalelkan Robin Hood dengan penguasa lalim; korupsi personal dengan korupsi institusi, benar ini adalah cerita tentang para pencuri. Salah satu kerusakan itu akan memakan kerusakan yang satunya, dan memperbesar diri. Semuanya karena uang. Dalam film ini, uang adalah simbol kekuasaan. Ngerinya, sepertinya di dunia nyata juga begitu.

 

 

Enggak ada yang salah dengan aktor-aktor yang meramaikan film ini. Hanya saja, kita melihat mereka bermain lebih bagus di film lain, kalian tahu, sedangkan di Robin Hood ini mereka semua terlihat biasa-biasa saja. Malah cenderung annoying. Jamie Foxx kelewat over-the-top. Dia lucu saat tidak sedang melucu – seperti sewaktu dia berteriak-teriak sebelum menggantung orang. Sedangkan ada tokoh lain seperti si Friar Tuck yang memang ditampuk sebagai peran komedi malah jatohnya garing; tidak ada yang tertawa mendengar komentarnya yang seperti menyindir. Karakter-karakter yang ada, semuanya tumpul kayak anak panah yang belum diasah. Dan ini lucu mengingat anak panah dalam film ini digambarkan mempunyai kekuatan perusak seperti peluru senjata api. Motivasi tokoh utamanya, seperti yang sudah aku tulis, terasa sepele. Tokoh ceweknya butuh untuk diselamatkan, dan enggak benar-benar punya manfaat selain berdiri di sana, dengan pakaian nyaris tertutup, tersenyum dan terlihat flawless – seolah dia tidak berada di zaman dan kondisi yang sama dengan orang lain di sekitarnya. Gimana dengan tokoh antagonisnya, kalian tanya? Hahahaha mereka jahat, culas. Kalo ngomong selalu keras-keras. Benar-benar komikal dan satu dimensi. Ada satu adegan seorang tokoh petinggi gereja yang tertawa membahana, kemudian mendadak mengubah nada bicaranya dengan mengancam, dan musik juga dramatis banget, dan si tokoh itu enggak pernah dibangun dulu karakternya.

curi… curi-curi pandang

 

 

Kita enggak bakal mampu untuk peduli sama tokoh-tokohnya. Bahkan aspek cinta segitiga tidak mampu untuk membawa kehangatan ke dalam film yang berskala warna coklat dan biru keabuan ini. Aspek mata-mata turut mewarnai cerita; di saat enggak merampok kas pajak, Robin akan bertugas sebagai bangsawan dermawan yang senantiasa di sekitar sheriff dan penguasa. Cara film menggarap bagian ini persis berasa sinetron. Dengan close-up Robin yang senyam-senyum ke kamera ketika dia berhasil mengelabui penjahat, ataupun tampang cemasnya saat ada hal ‘gak enak’ yang harus dia lakukan. Intriknya tidak pernah benar-benar terasa.

Jika kalian merasa porsi aksi akan menjadi obat penawar, maka kalian juga sama salahnya seperti aku. Karena bagian aksi film ini malah lebih memalukan lagi. Di antara hujan anak panah dan derapan kuda-kuda CGI itu, kita akan menemukan orang-orang berlarian dalam gerakan lambat, kemudian melompat dan menjadi cepat, melepaskan anak panah, kembali dalam slow-motion, dan cepat lagi. Aku gak percaya masih ada film yang masih memakai teknik editing yang mengesalkan seperti begini. Cara yang sangat malas dalam upaya membuat adegannya tampak intens. Aku bahkan merasa bosan melihat adegan aksinya. Sama seperti para pemainnya, aku yakin orang-orang yang bekerja di spesial efek dan editing ini bukan orang sembarangan, mereka punya keahlian khusus. Hanya saja pilihan yang dilakukan film membuat semuanya tampak enggak kompeten.

 

 

 

 

Seharusnya bukan cuma aktor saja yang diajari cara memanah. Film harusnya juga belajar menentukan sasaran mereka, menembaknya dengan tepat. Segala unsur modernisasi dan kerelevanan yang ada pada cerita dimentahkan oleh penceritaan dan arahan yang begitu konservatif. Hampir seperti mereka tidak cukup mampu untuk menangani cerita yang bener. Semua penampilan di film ini jatohnya jadi memalukan. Setidak-tidaknya film yang udah kayak cerita superhero ini bisa menghadirkan bagian aksi yang exciting, namun mereka bahkan tidak sanggup untuk melakukannya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for ROBIN HOOD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah mencuri demi orang lain membuatmu pahlawan?

Pernahkah kalian mencuri untuk kebaikan, share dong pengalamannya

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

CREED II Review

“My family is my strength and my weakness”

 

 

 

Ada tujuh-puluh tujuh juara dunia tinju yang tercatat menurut film ini. Namun hanya ada berapa yang masih dikenal orang? Karena untuk menjadi juara yang hebat, tidak cukup dengan jago bertinju. Apollo Creed paham betul akan hal tersebut; bahwa petinju harus punya ‘cerita’ – kudu tahu apa yang sedang ia perjuangkan. Mempertahankan hal tersebutlah yang membuat seorang petinju kuat, yang dijadikan alasan kenapa dia harus menang, for he will lose evertyhing. Sebaliknya, ‘got nothing to lose’ membuat seseorang menjadi berbahaya. “Aku berbahaya!” raung anak Apollo di film yang kita tonton ini. Tapi di balik kata-katanya kita bisa melihat, Adonis Creed bimbang. Dia ragu. Dia takut.

Creed II adalah tentang pertarungan warisan antara dua anak petinju. Sedikit ‘pelajaran sejarah’; dalam Rocky IV (1985) Apollo Creed tewas saat bertanding melawan Ivan Drago, ia terbunuh oleh tinju lawannya, dan Rocky yang waktu itu di sudut Creed dipersalahkan banyak pihak lantaran tidak menghentikan pertandingan tak-seimbang tersebut. Dan sekarang, anak Apollo – Adonis Creed (kedua kalinya di tahun 2018 ini, Michael B. Jordan memerankan tokoh yang harus mengalahkan anak dari pembunuh ayahnya) yang baru saja menjadi juara dunia, ditantang oleh petinju baru dari Ukrainia, Viktor (Florian Munteanu ini petinju beneran ternyata), yang tak-lain dan tak-bukan adalah anak dari Ivan Drago. Jadi, pertandingan mereka punya banyak kemarahan sebagai bahan bakar. Banyak bobot yang ditanamkan secara personal kepada dua belah pihak. Film ini dengan sukses ngeflesh out bukan saja Creed dan keluarganya, melainkan juga keluarga Drago sehingga kita peduli kepada mereka semua. Kita akan menjadi begitu terinvest ke dalam cerita. Kalo dalam istilah wrestling; film ini berhasil ngebangun feud di antara mereka dengan sangat baik secara emosional. Sehingga bahkan terkadang aku hampir merasa kasian menyadari salah satu dari mereka harus kalah – karena cerita masing-masingnya sama kuat.

Dan actually ada satu pihak lagi yang berperan sangat penting. yakni si Rocky Balboa sendiri (Sylvester Stallone membuat kita teringat kembali kefenomenalan dirinya memainkan peran yang dibuat ikonik olehnya). Rocky yang tadinya menolak mempersiapkan Creed untuk pertandingan besar ini, lantaran dia merasa Creed masih belum siap, diberikan arc cerita yang juga sama menyentuhnya yang berkaitan dengan keluarga yang dulu ia tinggalkan demi perjalanan karirnya.

Siapa bilang drama cuma milik ibu-ibu berdaster?

 

Aku bisa melihat film ini bakal kena pukulan bertubi-tubi dari para kritikus dan reviewer soal formula ceritanya yang begitu standar; seperti film pertama Creed tiga tahun yang lalu. Ini adalah seri ke delapan dan exactly mengikuti formula cerita film-film Rocky terdahulu. Petinju yang kalah, kemudian dia mencari pelatih, ada montase latihan dengan musik yang membangkitkan semangat, dan kemudian pertandingan tinju yang spektakuler. Ini sama seperti memasak, katakanlah, nasi goreng. Resep itu akan selalu sama. Aku pengen lihat ada yang mencoba bikin film tentang petinju tanpa ada adegan latihan inspirasional dan tanpa pertandingan tinjunya. Hasilnya tentu saja bukan seperti film Rocky. Creed dan Creed II memang menggunakan formula dan resep yang sama – supaya kelihatan ciri film Rocky-nya – karena mereka ingin menghidupkan dan meneruskan kembali cerita warisan ini. Seperti Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) yang juga setia dengan formula cerita-cerita horor Suzzanna, hanya saja dengan ruh dan napas yang segar. Creed II menangani formulanya dengan kepedulian dan arahan yang hebat. Dia mengembangkan tokoh-tokohnya, dan itulah yang membuat film ini terasa seger dibandingkan film-film Rocky lain yang memiliki formula yang serupa.

Sutradara Steven Caple Jr. mengambil tokoh-tokoh Rocky IV dan mengubah apa yang tadinya cerita yang cheesy menjadi kisah yang begitu grounded dan realistis. Melihat Creed yang tidak ingin melewatkan kesempatan membalaskan dendam ayahnya, aku merasakan lebih banyak emosi dari yang kuharapkan. Demi ngeliat Creed menetestkan air mata, Michael B. Jordan benar-benar memainkan tokoh ini dengan penuh passion. Creed, di atas semuanya, sesungguhnya pengen membuktikan diri. Kalimat “Kau lebih kecil daripada ayahmu” yang dilontarkan oleh Ivan Drago benar-benar membuat Creed ketrigger. ‘Kecil’ dalam kalimat tersebut memiliki makna besar bagi Creed. Dia ingin keluar dari bayang-bayang ayahnya, untuk itulah dia menerima tantangan Viktor, namun orang-orang di sekitarnya mencemaskan keselamatannya. Dan hal ini diam-diam – tak mau ia akui -mempengaruhinya. Dia punya keluarga, istrinya baru saja melahirkan. Ada adegan yang sangat hebat (disertai dengan chemistry yang tak kalah kuatnya) ketika Creed bicara empat mata dengan istrinya, tentang tinju sebagai satu-satunya hal yang ia ketahui. Dia tidak bisa mengerjakan hal lain sebaik ia bertinju. Ia tidak bisa berhenti karena tinju adalah bagian dari dirinya dan kita melihat sang istri dapat dengan mudah memahami karena dia sendirinya juga adalah seorang yang begitu mencintai pekerjaan sebagai musisi.

Lucu, dalam sebuah film tentang bertinju, kita diingatkan untuk tetap berpikir dengan menggunakan hati.

 

Pria-pria dalam film ini boleh saja digambarkan berotot baja dan bertinju besi, akan tetapi hati mereka tidak terbuat dari batu. Mereka semua memendam sisi kelemahan yang membuat kita melihat mereka sebagai manusia yang utuh, alih-alih ‘jagoan’ dan penjahat. Adegan ketika kedua petinju disemangati di sudut ring masing-masing dalam setiap pergantian ronde, kita mengerti stake dan motivasi dan emosi yang mengalir pada kedua belah pihak. Viktor dan ayahnya bukan sekedar petinju raksasa yang melototin semua orang. Memang, kita pengen melihat Viktor yang main curang walaupun super kuat kena tonjok tepat di wajah, namun mereka enggak sebatas ‘culas’. Film memberikan kita kesempatan untuk memahami apa yang menjadi dorongan buat mereka. Kita dibuat mengerti di mana posisi mereka setelah kekalahan yang dialami Ivan Drago beberapa tahun yang lalu, dan gimana Viktor ingin mengembalikan kehormatan keluarganya.

tulis ulang sejarah itu, atau kau akan mengulanginya.

 

Begitu kita sudah mengerti landasan baik dari sisi Creed maupun Drago, pertandingan tinju yang merupakan kulminasi dari emosi-emosi tersebut akan terasa sangat dramatis. Pertarungan mereka terkoreografi dengan sempurna; emosinya nyata, namun kita lebih seperti menonton main event acara WWE ketimbang duel beneran. Tapinya lagi, itulah sebabnya film ini sangat menghibur. Jika dalam film Creed adegan tinjunya tampak sungguh in-the-moment lewat take panjang yang tak-terputus, di sekuelnya ini sutradara ingin menjejakkan kekhasannya sendiri. Dan yang ia pilih adalah shot-shot dengan sudut pandang orang pertama (pov shot) yang menghantarkan kepada kita pengalaman langsung terhadap emosi dan apa yang sedang dirasakan oleh kedua petinju.

Meskipun secara gamblang film ini bicara soal pertarungan dua anak lelaki petinju-petinju legendaris; hubungan ayah dengan putranya menguar kuat; bahkan Rocky tidak terbantahkan lagi adalah sosok ‘ayah’ bagi Adonis Creed, tetapi sesungguhnya baik Creed maupun Drago menarik kekuatan mereka dari wanita-wanita yang mereka cintai. Si Rusia punya ibu yang ingin ia banggakan, Mother Russia dan ibu kandungnya. Creed punya tiga wanita yang menunggu kepulangannya. Dan ini memberikan mereka keyakinan.

 

 

 

Legacy Adonis Creed memang baru saja dimulai. Film melakukan kerja yang sangat baik mengtransisikan warisan Rocky ke film ini, membawanya ke tingkat lebih tinggi, mengekspansi semestanya. Tapi aku sendiri berharap ini menjadi film terakhir. Arc Creed sudah sempurna. Aku pikir aku setuju dengan Creed ketika dia bicara soal karirnya, sebelum Drago datang menantang, “berhentilah selagi di puncak.” Film ini akan menjadi kado terakhir yang manis buat para penggemar. Mereka berhasil menggarap film tinju yang walaupun formulaic, namun menghibur dan tetap menginspirasi, menyentuh – hati kita digebuk-gebuk olehnya. Karena meskipun yang beraksi adalah tinju, namun dalam film ini yang berbicara tetap adalah hati.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CREED II

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, untuk apa Creed bertinju? Sudahkah kita sendiri memahami untuk apa kita melakukan pekerjaan yang kita lakukan sekarang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

RALPH BREAKS THE INTERNET Review

“Sometimes being a friend means mastering the art of timing.”

 

 

 

Ketika memikirkan tentang penjahat dalam video game, kita akan membayangkan monster supergede yang bertampang menyeramkan, dengan kekuatan dan ketangguhan super. King Koopa, M Bison, Shao Kahn, adalah bos-bos video game yang bangga sebagai penjahat. Beda ama Ralph (John C. Reilly mengundang simpati kita lewat suaranya) dari game Wreck-It Ralph yang pengen berbuat baik. Dalam film pertamanya enam tahun yang lalu (timeline cerita sekuel dibuat paralel dengan waktu IRL kita), Ralph si raksasa penghancur bertualang untuk membuktikan kebaikan hatinya yang sering disalahartikan hanya karena dia merusak apapun yang ia sentuh. Ralph pada akhirnya berhasil mengukuhkan diri sebagai penjahat video game paling ‘manis’ seantero dunia arcade tempat mereka tinggal. Ralph bersahabat erat dengan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman adalah manusia langka yang bisa terdengar annoying sekaligus cute), ‘Princess’ super-enerjik dari game balap anak-anak Sugar Rush di mesin game sebelah.

Dalam sekuel ini kita akan melihat Ralph dan Vanellope benar-benar sobat kental. Meminjam istilah 90an – karena film ini erat dengan konsep nostalgia – kedua tokoh kita ‘nempel terus kayak perangko’. Ralph tetaplah Ralph; dia masih selalu ingin membantu walaupun hasil perbuatannya di luar yang ia harapkan. Mendengar Vanellope merasa bosan dengan lintasan balap yang itu-itu melulu – semua jalan pintas rahasia di dunia gamenya sudah ia temukan, Ralph membuatkan ‘lintasan’ baru. Yang berujung dengan rusaknya mesin game Sugar Rush, membuat Vanellope dan teman-teman kehilangan tempat tinggal. Dan Vanellope pun tetaplah Vanellope, cewek ini suka petualangan dan selalu menghargai apa yang dilakukan oleh Ralph. Vanellope melihat masalah ini sebagai kesempatan untuk mengarungi dunia ‘game’ yang baru saja dipasang di toko arcade mereka. Dia langsung menyetujui rencana Ralph untuk masuk ke internet demi mencari suku cadang untuk mesin Sugar Rush. Satu lagi rencana ‘jenius’ buah pikiran Ralph yang bekerja tidak sesuai dengan yang ia harapkan; lantaran Ralph melakukan itu semua demi Vanellope bisa tetap tinggal di arcade. Hanya saja, menapaki kegemerlapan dunia internet yang tanpa batas – mengalami asiknya game balap berbahaya yang tanpa aturan – Vanellope merasa dia sudah menemukan rumah barunya.

syukur peran Fix-It Felix dikurangi dan kita dapat Gal Gadot instead!

 

Seperti film pertamanya yang membuai penonton dengan berbagai referensi video game arcade, film kali ini juga secara konstan membuat kita mengangguk, bertepuk, dan tertawa oleh banyaknya easter egg yang kali ini berasal dari dunia internet. Dunia maya tergambarkan dengan begitu immersive oleh animasi yang penuh warna. Ya kita akan melihat banyak produk placement, namun mereka ‘ditempatkan’ dengan kreatif. Environment terlihat sama sibuknya dengan kejadian dalam cerita. Internet adalah tempat tersibuk di dunia, dan film dengan cerdas menggambarkan hal tersebut. Berbagai user berseliweran ke sana kemari, gimana iklan-iklan pop up bermunculan dan dikaitkan ke dalam cerita, bagaimana komen-komen dan situs seperti ebay dan plattform video dan social media bekerja. Tidak seperti The Emoji Movie (2017)  yang hanya menampilkan tanpa benar-benar meniupkan ruh ke dalam bobot cerita, Ralph Breaks the Internet berhasil membuat kita peduli kepada tokoh-tokohnya karena mereka bukan sekedar produk tak bernyawa. Dan ini membuat perbedaan yang besar, tentu saja. Jika kita tidak peduli dengan tokoh cerita, kita akan segera mengenali produk-produk seperti google, youtube, snapchat, instagram, kita akan memandang kemunculan mereka sebagai hal yang negatif. Namun jika seperti yang dilakukan oleh film ini – kita benar-benar ingin tahu apa yang bakal terjadi sama Ralph dan Vanellope, kita akan melihat produk-produk tersebut sebagai bagian dari cerita; sebagai elemen yang turut membentuk tubuh narasi.

Anak-anak mungkin memang akan melihat film dari sisi kelucuan dan petualangan yang seru. Yang mana film memang melimpah dari dua hal tersebut. Namun tema yang menjadi hati cerita tetap akan tersampaikan dan bisa mereka bawa pulang untuk diobrolin kepada orang tua ataupun pendamping dewasa yang juga peduli akan cerita yang diangkat. Film ini bersuara tentang perasaan insecure; rasa cemas kita terhadap banyak hal di sekeliling kita yang tak bisa kita kontrol. Vanellope akan berpendar, nge-glitch setiap kali dia merasa insecure. Ralph yang tubuhnya gede, actually adalah tokoh yang paling vulnerable karena dia mempunyai rasa insecure yang paling besar yang berasal dari rasa takutnya kehilangan satu-satunya orang yang menganggap dia berjasa – yang memahami value dari tindakannya. Di babak akhir, film menggunakan virus komputer sebagai metafora dari racunnya perasaan insecure yang semakin menyebar. Seluruh dunia internet hancur hanya karena kecemasan satu orang.

Penting untuk menjadi diri sendiri. Maka dari itu, sama pentingnya untuk kita membiarkan orang lain menjadi diri mereka, untuk memilih apa yang mereka mau – yang mereka sukai, yang mereka yakini. Teman satu geng kita tidak harus menyukai hal yang sama dengan kita. Kita tidak harus punya selera, punya idola, atau bahkan punya seragam yang sama untuk menjadi satu kelompok. Teman kita enggak harus menjadi sama seperti kita. Enggak setiap saat kita harus bersama dengan mereka.

Ralph breaks our hearts

 

 

Aksi-aksi dalam film tergerak oleh Ralph yang mengambil resiko, dan sama seperti itulah, film juga bekerja terbaik saat melakukan pilihan yang beresiko. Misalnya ketika Vanellope bertemu dengan para Princess dari universe Disney. Film tidak sebatas menampilkan Cinderella, Snow White, Ariel, Elsa, Moana, dan Vanellope, dan banyak lagi dalam satu layar. Film sungguh-sungguh melakukan sesuatu dengan mereka, kita mendengar candaan tentang tropes dan pakem para putri tersebut – gimana sebagian dari mereka butuh diselamatkan oleh pria berbadan kekar, gimana kemampuan bernyanyi mereka datang dari menatap air dengan sedih, dan gimana sekarang mereka ‘hanya’ sebatas idola sebagai jawaban dari kuis trivia. Film dengan berani make fun of that, sehingga hasilnya beneran lucu. Kita melihat mereka berganti baju menjadi gaya kekinian; it’s a fresh look. Film memainkan dengan cerdas soal Vanellope yang technically juga princess Disney, tapi dia begitu berbeda – Vanellope lebih suka tinggal di dunia balap berbahaya ketimbang di kastil impian. Film seharusnya lebih banyak memperlakukan referensi-referensi seperti begini. Mereka dibecandaain, bikin tokoh yang sudah dikenal melakukan sesuatu di luar kebiasaan, seperti pada game Kingdom Hearts di mana kita bantuin tokoh-tokoh Disney memecahkan masalah yang sudah diekspansi.

Tapi masih sering kita mendapati referensi yang hanya ada untuk bikin kita senang. Seperti pada kasus film Ready Player One (2018) belum lama ini. Menjadi begitu kekinian sekarang, dengan elemen-elemen internet dan hal modern lain, film ini sesungguhnya masih harus melewati ujian waktu untuk membuktikan diri bisa menjadi timeless – membuktikan ceritanya bisa berdiri sendiri tanpa semua referensi dan lelucon internet tersebut. Film yang pertama, dengan referensi jadul, setidaknya sudah membuktikan diri enak untuk ditonton di era sekarang. Aku pengen melihat lebih banyak eksplorasi. Di satu titik cerita, Ralph akan mengunjungi Dark Web yang seharusnya bisa diberikan lebih banyak pengaruh lagi. Ralph juga sempat berusaha bikin video viral untuk mendapatkan uang; di sekuen ini diselipkan komentar soal perilaku orang-orang di sosial media, tapi tidak benar-benar terasa menambah banyak bagi arc Ralph ataupun keseluruhan cerita. Malah lebih seperti stage yang harus dilewati dalam permainan video game. Aku paham mungkin masalah durasi, jadi film berusaha tampil seefektif mungkin, dan mereka mengambil resiko di sana-sini, menyeimbangkan porsi sehingga paling tidak, produk akhirnya tidak terlalu kelihatan sebagai proyek cari duit korporasi yang ingin menjual banyak sekali merengkuh dayung

Internet adalah soal waktu. Begitu juga dengan pertemanan. Ada waktu untuk diam. Ada waktu untuk membiarkan orang mengejar mimpi mereka. Ada waktu untuk menunggu sekembalinya mereka di sana

 

 

 

 

Film ini bekerja lebih dari sekedar pengganti babysitter, you know, lebih dari sekedar bikin anak-anak tenang selama dua jam kurang. Di balik semua keriuhan produk dan referensi itu, dia memang punya gizi untuk dinikmati. Kebanyakan film anak-anak akan bercerita tentang pentingnya untuk bersatu, untuk bekerja sama, mengalahkan orang jahat dan menyelesaikan masalah. Film ini – seperti juga lagu anti-princess yang diusungnya – berani membuat anak-anak untuk berani bukan hanya menjadi diri mereka sendiri, melainkan juga memberi ruang bagi teman atau sahabatnya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Mungkin terbaca sedikit depressing, tapi film ini benar-benar meriah dan menyenangkan, dan ini adalah prestasi tak terbantahkan dari kelihaian bercerita dan memanfaatkan konsep dalam upaya menyeimbangkan toneAn all-around entertainment yang sukses menghibur banyak kalangan dalam berbagai tingkatan, setidaknya untuk saat sekarang
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RALPH BREAKS THE INTERNET.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Orang berubah. Pernah gak sih kalian ngerasain teman yang dulu dekat, kini cuma ngeliat namanya di instatory, atau cuma kontakan sekali setahun pas ngucapin selamat ulangtahun? Kenapa, menurut kalian, kita perlu move on? Seberapa clingy sih, clingy dalam pertemanan itu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Kuis Undangan Acara Puncak Festival Film Bandung 2018

 

Acara puncak anugerah FFB 2018 tanggal 24 November nanti akan berbunga-bunga oleh para bintang. Gedung Sate, Bandung, bakal meriah deh pokoknya!

Buat para pembaca dan pengunjung setia My Dirt Sheet, ada kuis nih, hadiahnya undangan ke acara tersebut, jadi kalian bisa nonton dan seru-seruan langsung bareng kita-kita.

 

 

Caranya gampang, cukup jawab 3 pertanyaan ini di kolom komen:

  1. Pilih satu dari foto adegan film-film nominasi FFB 2018 berikut; repost fotonya di twitter dengan menyertakan caption kreatif versi kalian sendiri, jangan lupa tag atau mention @aryaapepe
  2. Sebutkan quote dari review film mydirtsheet mana yang jadi favorit kalian
  3. Prediksi kalian, film yang mana nih yang bakal dianugerahi FILM BIOSKOP TERPUJI 2018 – apakah Hujan Bulan Juni, Koki-Koki Cilik, Love for Sale, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, atau Sultan Agung?

 

 

KETENTUAN MENJAWAB:

Di kolom komen, tulis nama, akun twitter, dan kota domisili. Terus langsung deh dijawab.

Untuk pertanyaan pertama, cukup kasih link ke twit jawaban.

Untuk pertanyaan kedua dan ketiga, tulis sebebas-bebasnyaaa

Jawaban ditunggu sampai hari Kamis pukul 17:00

Pemenang dipilih dari jawaban yang paling ‘menarik’, dan akan langsung dihubungi lewat DM Twitter untuk pengambilan Undangan

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

Sampai ketemu di Acara Puncak FFB 2018 hari Sabtu~

Or not.

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR Review

“Admitting we’re wrong is courage, not weakness”

 

 

 

Suzzahnya untuk enggak berprasangka buruk duluan terhadap film yang berusaha menghidupkan kembali legenda. Selalu ada dugaan, jangan-jangan ini proyek cari duit semata. Palingan cuma ngikut-ngikut Pengabdi Setan. Terlebih proyek ini sendiri sejak awal sudah dikonfirm bukan sebagai cerita remake, maupun reboot, melainkan cerita baru dengan tokoh Suzzanna – basically mereka membuat film berdasarkan mitos-mitos yang membuat seorang Suzzanna populer. Jadi, ya, aku bernapas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke bioskop menyaksikan film ini.

Dan saat kredit penutup bergulir, aku menghembuskan napasku dengan lega!

 

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur bukan proyek berkedok ‘reborn’ yang dibuat ala kadarnya alias asal-asalan. Film ini benar-benar punya cerita untuk disampaikan, mereka menggali sudut pandang dengan lebih dalam. Film ini nyatanya juga menghibur, tetapi enggak terpuruk ke level receh, dan enggak sekadar menunggang ombak kepopuleran horor dan Suzanna itu sendiri. Kita bisa merasakan passion terhadap genre ini. Rasa hormat terhadap sang Ratu Horor pun menguar dengan kuat. Di kemudian hari, aku yakin this will be a ‘go to’ movie kalo kita lagi pengen maraton horor atau ngadain nobar. Film ini enggak takut untuk menggunakan formula standar, dengan cerita yang tradisional, karena mereka paham sudut mana yang belum tergali, dan film fokus dalam area ini. Sehingga terasa seperti sesuatu yang pernah kita lihat sebelumnya, namun sekaligus seger. Seperti Suzzanna sendiri; kita tahu siapa dirinya, tapi juga merasa masih banyak misteri padanya yang membuat kita penasaran.

Dalam film, jika ada tokoh yang mengucapkan janji, maka niscaya naskah akan sekuat tenaga membuat janji tersebut terlanggar. Satria (rambut Herjunot Ali membuatnya mirip Eddie Guerrero masih muda) berjanji kepada Suzzanna, istrinya, tidak akan membiarkan apapun mengganggu keluarga kecil mereka. Tidak berapa lama setelah itu, kerjaan mengirimnya ke Jepang – berpisah sementara dengan istri yang sedang mengandung. Meninggalkan Suzzanna (penampilan horor terbaik Luna Maya!) yang begitu cinta dan setia di rumah besar mereka ‘hanya’ bersama tiga orang pembantu. Benar-benar mangsa empuk buat empat karyawan Satria yang berniat menyatroni rumah. Merampok mereka. Malam minggu hujan deras itu, para rampok menjalankan aksi. Untuk beberapa saat, cerita mengambil bentuk thriller home-invasion, Suzzanna yang saat itu lagi sendirian harus berurusan dengan sekelompok orang yang menodai kedamaian malamnya. Dia melawan sekuat tenaga, bahkan membuat empat pria tersebut kalang kabut. Rencana matang itu berantakan. Dari yang tadinya tak berniat mencelakai sama sekali, perlawanan Suzzanna membuat para rampok terpaksa membunuhnya dengan tidak sengaja. Kebayang gak tuh, mentoknya gimana? terpaksa dengan tidak sengaja haha.. Cerita berkembang menjadi menarik ketika Suzzanna yang dikubur hidup-hidup bersama jabang bayinya dalam tanah basah yang dingin, terbangun di ranjangnya yang putih nan hangat. Bukan sebagai manusia, melainkan sebagai hantu Sundel Bolong yang sangat kuat. Dia ada di sana untuk balas dendam, namun terikat oleh cinta kepada sang suami. Dia bisa saja segera membunuh keempat perampok yang bikin rusuh keluarga mereka, akan tetapi itu akan membuatnya benar-benar terpisah dari suami yang sangat ia cintai.

Itu seperti ketika Nobita dalam kartun Doraemon pengen makan dorayaki tetapi ia enggak sudi makanannya habis. Konflik utama film ini datang dari Suzzanna yang mencoba figure out apa yang sebaiknya dia lakukan.  Lucu, kalo dalam konteks cerita anak-anak. Tidak demikian halnya ketika kita melihat dari sisi Suzzanna. Sedih melihat Suzzanna yang ingin menuntut balas, hanya saja dia tidak bisa langsung melakukannya. Sejatinya ini adalah kisah balas dendam. A GHOST’S REVENGE STORY. Film dengan pintar membalutnya ke dalam mitologi klenik lokal. Cerita menetapkan aturan-aturan soal gimana Sundel Bolong ‘bekerja’, bagaimana cara mengalahkannya, dan bekerja dengan konsisten di dalam kotak aturan tersebut. Strukturnya juga sangat jelas; dari set up kematian, babak kedua yang basically Suzzanna ‘bereksperimen’ dengan kekuatan hantunya, hingga penutup saat ‘kedoknya’ sebagai hantu yang menyamar menjadi manusia terungkap.

Jika tujuan hidupmu adalah balas dendam, apakah kau akan tetap melakukannya bahkan ketika itu berarti kau akan kehilangan orang yang kau sayangi? Film ini bicara tentang pengorbanan sebenar besar yang rela kita lakukan ketika begitu kuat rasa cinta tersebut mengakar.

 

Film ini tampak dibuat dengan usaha yang maksimal. Bernapas dalam Kubur adalah salah satu horor paling good-looking yang bisa kita saksikan tahun ini. Efek dan prostetiknya sangat meyakinkan. Untuk riasan Suzzanna sendiri, wah gak sia-sia sih mereka datangin tata rias dari Rusia. Penampilan wajah yang udah kayak diphotoshop ditunjang oleh permainan akting Luna yang diarahkan supaya mirip banget sama gestur dan cara ngomong Suzzanna. Dunia tahun 80an akhir itu pun semakin terlihat sempurna dengan detil-detil artistik yang begitu diperhatikan. Bahkan dialog dan pengucapannya pun terdengar vintage sekali. Film ini boleh dibilang lebih mirip sebuah tindak restorasi jika saja dia tidak memberikan cerita baru. Personally, aku suka opening credit yang menampilkan shot-shot dari angkasa, memberikan nuansa seperti pembuka dalam film horor Stanley Kubrick – yang juga berjaya di tahun 80an. Satu shot paling aku suka ketika Suzzanna melayang pergi sambil mengangkat kepala korbannya, momen kemenangan paling eery yang pernah kita lihat, dan kamera dengan bijaknya bergerak miring melakukan Dutch Tilt menghasilkan kesan yang luar biasa sureal.

Di akhir-akhir Suzzannanya jadi keriting dan jadi lebih mirip Boneka Sabrina hhihi

 

 

Bekerja dengan lumayan baik sebagai komedi, dari bagaimana Suzzanna yang passionate sekali dalam menghantui musuh-musuhnya. Dia tahu dia punya kekuatan atas mereka, kita melihat Suzzanna selalu bermain-main dengan mereka. Mencoba masuk ke dalam kepala mereka satu persatu, membuat mereka takut, memancing mereka ke tempat-tempat membahayakan nyawa, sehingga mereka bisa terbunuh secara tak langsung. Atau bahkan membuat mereka tidak sengaja saling membunuh. Ada satu perampok yang sangat ketakutan – dia actually dipelototin Suzzanna yang lagi meregang nyawa – sampai-sampai dia takut untuk tidur sebab setiap kali memejamkan mata, dia melihat wajah melotot Suzzanna. Cara yang pintar untuk menunjukkan psikologi seorang yang merasa bersalah, dan sedikit mengingatkanku pada elemen Freddy Krueger dalam seri horor A Nightmare on Elm Street. Film benar-benar memanfaatkan durasinya untuk pengembangan karakter, kita diberikan kesempatan untuk melihat dari sisi para perampok – gimana takutnya mereka, gimana usaha mereka untuk selamat dari dendam Suzzanna, bahkan ada satu yang diberikan motivasi yang cukup simpatik. Dan semua itu membuat cerita menjadi semakin berisi. Para penjahat enggak sekedar duduk di sana, menunggu giliran untuk dibunuh.

Dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengakui kesalahan. Untuk meminta maaf. Dalam kasus ini, untuk mengakui perbuatan  kriminal kepada polisi. Suzzanna punya kekuatan atas para perampok bukan karena dia benar dan mereka salah. Berbuat kesalahan tidak membuat kita lemah. Tidak mengakuinya lah yang menunjukkan seberapa ‘kuat’ kita

 

 

Inilah yang menyebabkan porsi horor film ini tidak tampil sekuat versi dramanya. Kita tidak pernah benar-benar merasa takut kepada si Sundel Bolong, malahan kita mendukungnya. Kita senang melihat dia berhasil menemukan cara untuk balas dendam. Wujudnya memang mengerikan, tapi fakta bahwa Sundel Bolong hanya memburu orang yang terlibat dalam kematian dirinya, membuat kita merasa aman. Kita gak salah, jadi kita gak akan dikejar oleh Suzzanna. Well, kecuali kalo kalian pernah berbuat salah sama orang yang sudah meninggal, maka film ini tidak akan membuat kalian tersentak terbangun dari mimpi buruk. Sekuen-sekuen kematian hadir dengan cukup sadis, meyakinkan sekali, sehingga kadang muncul sedikit rasa kasihan juga melihat orang-orang jahat itu mendapatkan ganjarannya. Satu lagi dampak positif dari hantu sebagai tokoh utama ini adalah film tidak merasa perlu-perlu amat untuk bikin kita kaget dengan kemunculan Sundel Bolong, sehingga mereka dengan gagah berani memunculkan hantu begitu saja, tanpa disertai suara keras yang ngagetin. Suatu kemajuan buat horor Indonesia.

tanggal mati Suzzanna di film ini sama ama tanggal lahirku, hiii!

 

 

Untuk sebuah cerita yang memasang Suzzanna sebagai hantu yang mencoba hidup sebagai manusia, mengelabui pembantu-pembantu di rumahnya, film sebenarnya agak kurang memperlihatkan bagaimana keseharian Suzzanna. Para pembantu bingung oleh kabar dari tetangga sekitar, mereka bicara seputar gosip yang beredar, tapi kita enggak pernah benar-benar melihat efek Suzzanna terhadap penduduk kota mereka. Kita tidak banyak diperlihatkan bagaimana tepatnya dia berusaha tampil sebagai manusia, sampai menjelang babak akhir di mana Satria pulang ke rumah dan mendengar segala desas desus keanehan Suzzanna selama dia pergi. Sudah cukup bagus sebenarnya, film ngebangun Suzzanna tadinya seorang muslim yang rajin ke mesjid, dan kemudian kita diperlihatkan Suzzanna banyak alesan ketika diajak sholat oleh Satria. Kita merasakan sebersit ketakutan di mata Suzzanna – dia takut ketahuan sudah menjadi hantu – dan ini menakjubkan, maksudku, seberapa sering kita melihat adegan hantu yang ketakutan. Hampir enggak pernah, kan ya. Pun, Suzzanna-lah yang pada akhirnya belajar untuk melepaskan. Film ini memainkan semacam role-swap antara dua makhluk beda-dunia. Namun begitu, menurutku, ending yang dipilih oleh film justru melemahkan arc Suzzanna sendiri.

Aku tidak benar-benar setuju dengan keputusan film di akhir, karena membuat kejadian pada konfrontasi final yang enggak se-tight kejadian-kejadian pada bagian lain. Malah ada beberapa yang konyol seperti kenapa mereka yang bisa mengikat tangan Sundel Bolong enggak sekalian aja menyumpal mulutnya supaya dia enggak bisa bicara dan memperingatkan Satria. Tapi yang paling lucu buatku adalah gimana Satria melihat pantulan dari bola mata Suzzanna seolah sedang melihat cermin spion. Film seperti ‘kesusahan’ mencari cara supaya Satria percaya dan akhirnya melakukan langkah lucu yang tak perlu seperti demikian. Maksudku, toh kalo memang outcome dari pertarungan terakhir itu harus Satria luka di punggung (paralel dengan lubang di punggung Suzzanna), kenapa enggak membuat Satria tertusuk saja di sana? Kenapa mesti dia melihat pantulan dari bola mata, baru sadar, berantem, kemudian tertusuk. Ada cara yang lebih simpel dengan membuat langsung tertusuk dari belakang, sehingga Satria sadar, dan baru deh berantem.

 

 

 

Menyentuh melihat ada hantu yang rela kepanasan dengerin bacaan Al-Quran demi cintanya yang besar dan murni. Ini adalah salah satu film dengan cerita dan usaha yang paling fully-realized yang kutonton tahun ini. Yang perlu diingat adalah, film ini hebat bukan karena kesuksesannya meniru tokoh ataupun menghidupkan legenda. Film ini hebat karena berhasil membangun cerita, dan kemudian menyampaikannya sebagai sebuah tontonan drama cinta yang lumayan heartbreaking, dengan undertone horor yang meriah oleh warna darah. Menghibur juga, meski di akhir aspek fun tersebut agak sedikit kebablasan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Dalam cerita film ini, para penjahat menemukan solusi ekstrim untuk mengalahkan Suzzanna. Tapi apakah itu satu-satunya cara? Bagaimana jika ada satu penjahat yang insaf, dia bertobat dan rajin sholat – apakah menurut kalian dia bisa lolos dari Suzzanna, apakah tindakannya akan mempengaruhi banyak hal dalam cerita? Atau apakah menurut kalian balas dendam itu memang harus dituntaskan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD Review

“The question isn’t whether the world is perfect. The real question is: If it were, would you still be in it?”

 

 

 

 

Kejahatan yang dilakukan oleh Grindelwald bersumber dari keinginannya untuk membuat dunia penyihir hebat kembali.

 

Terdengar familiar? J.K. Rowling tampaknya memang punya visi yang lebih besar ketika diminta untuk melayarlebarkan buku saku kecilnya tentang binatang-binatang dunia sihir. Lanjutan dari petualangan seorang magizoologis, Newt Scamander, ini terhadir lebih sedikit tentang menangkap makhluk legendaris (bayangkan pokemon, hanya yang ini pake tongkat sihir alih-alih pokeball), dan lebih banyak tentang eksplorasi keadaan politik ala jaman Nazi – yang terkadang secara eksplisit diparalelkan dengan kehidupan modern kita yang sekarang.

Tidak butuh waktu lama buat penyihir sebrilian Grindelwald – yang ditahan di kementrian sihir Amerika di film pertama – untuk berhasil melarikan diri. Bermaksud mengumpulkan faksi, Grindelwald mengejar si cowok dengan kekuatan Obscural, si Credence, sampai ke negeri Perancis. Untuk alasan yang diungkap di momen terakhir film, Grindelwald percaya Credence adalah satu-satunya penyihir yang bisa mengalahkan Dumbledore, dan itu berarti mengenyahkan satu-satunya penyihir yang ia tahu mampu menghalangi niat mulia dirinya. Sementara itu, jagoan kita Newt Scamander sedang berjuang supaya larangan bepergiannya dicabut. Newt masih ingin mengoleksi hewan-hewan sihir. Saat itulah Dumbledore datang kepadanya; meminta Newt untuk mencari Credence ke Paris, sebelum Grindelwald berhasil merekrut sang pemuda malang yang sedang kebingungan dengan identitasnya. Cerita film ini sudah cukup njelimet sejak dari bagian awal. Perjuangan di film ini lebih kepada bagaimana mereka menempatkan Newt Scamander di tengah-tengah pusaran konflik dan pencarian identitas tersebut dan drama tokoh-tokoh yang datang silih berganti.

adegan paling lucu buatku adalah melihat bentuk boggart yang menampilkan ketakutan terbesar Newt Scamander

 

 

Sesekali film akan mencuri kesempatan membawa kita masuk ke dalam koper ajaib Newt, just to live it up to its title. kita akan melihat Newt berinteraksi dengan hewan dunia sihir. Ada satu adegan dengan CGI menakjubkan ketika Newt berenang menenangkan Kelpie – si kuda air peliharaannya. Film dengan susah payah berhasil menemukan cara untuk membuat makhluk-makhluk kesayangan Newt tampak berperan di dalam cerita yang punya undertone lebih kelam daripada film yang pertama. Namun, jika ingin menarik benang merah antara Newt sebagai tokoh utama dengan keseluruhan tema cerita, tempat pertama yang harus kita tengok adalah motivasi dari si tokoh itu sendiri. Bukan beban yang ringan sebenarnya bagi Eddie Redmayne untuk memainkan tokoh yang sejatinya diniatkan sebagai pengganti Harry Potter sebagai protagonis sihir yang benar-benar bikin kita peduli. Newt adalah karakter dengan punya banyak cinta untuk diberikan, tapi sikap dan gelagatnya yang eksentrik membuat dia terkadang tampak sama anehnya dengan makhluk yang ia pelajari di mata orang-orang. Cinta lah yang membuat Newt melakukan hal yang benar. Dan di film ini, cinta itu yang tepatnya membuat Newt melanggar peraturan bepergian yang disanksikan kepada dirinya. Newt ingin mencari Tina Goldstein, cewek auror yang ia cinta, yang ia ketahui berada di Paris untuk tujuan yang sama; menghentikan Grinderwald. Terlihat seperti cerita punya pijakan untuk memperkuat posisi Newt sebagai tokoh sentral; asmara itu bukan hanya satu, melainkan ada satu lagi yang bersumber dari Leta Lestrange yang lebih menarik karena menyangkut, well, kalian tahulah, Lestrange adalah nama yang cukup ‘besar’ dalam universe Harry Potter.

Untuk pertama kalinya film akan terasa nyaman untuk dinikmati, ketika cerita membawa kita ke balik dinding sekolah sihir; kita serasa alumni yang mengunjungi kembali sekolah kita yang lama. Dan ini lucu, mengingat kejadian di film ini adalah masa lampau dari cerita Harry Potter. Film terasa berhenti saat semua subplot dan tokoh-tokoh itu berganti menjadi suasana yang kita kenal. Kita melihat Dumbledore di masa mudanya. Di kesempatan berikutnya, kita melihat Newt dan Lestrange remaja. Kenapa mereka gak bikin film tentang mereka masih sekolah aja ya? Momen-momen ini yang kita pengen lebih banyak dimunculkan. Tapi film menemukan kembali rute chaotic-nya. Karena menjelang babak akhir, film banyak membahas drama silsilah keluarga Lestrange dan penelusuran darah Credence yang membingungkan sebelum akhirnya kembali diikat ke dalam masalah Grindelwald yang ingin mempersatukan penyihir di atas kaum non-penyihir.

Dunia yang sempurna adalah dunia di mana kita bisa menjadi diri sendiri dan bebas mencintai siapapun sesuai kata hati kita. Cinta sama muggle. Cinta sama makhluk aneh. Batasan itu bahkan bisa saja dinaikkan ke cinta sama jenis. Grindelwald ingin menciptakan dunia di mana penyihir bebas berkuasa, dia membujuk beberapa calon anggotanya dengan ‘bebas mencintai’. Tapi kebebasan mencinta tersebut sebenarnya adalah ekstensi dari kita tidak terpaksa oleh keadaan, atau rasa bersalah, ataupun rasa takut dan ketidakpastian

 

Yang dihormati Albus Dumbledore dari Newt adalah gimana Newt melakukan sesuatu yang benar tanpa ada apa-apanya, bahwasanya Newt tidak bergerak dengan motivasi mencari kekuasaan. Newt tak pelak adalah orang baik, namun dia sedikit terlalu baik. Karena, bahkan dalam film ini saja, dia enggak protes ketika porsinya tergeser oleh subplot-subplot yang susah dilihat koherensinya lantaran lebih terasa seperti pion-pion catur yang digerakkan, alih-alih progres natural cerita. Newt ‘pasrah’ aja (atau mungkin tepatnya; cuma bisa pasrah) padahal mestinya dia tokoh utama, dia seharusnya yang pimpin cerita. Ada banyak pengungkapan dalam narasi, tapi film tidak pernah terasa seberpetualang ataupun semengagetkan itu. Takjub yang kita rasakan sebagian besar datang dari efek visual, yang sering enggak benar-benar menambah pada bobot cerita.

Actually, banyak aspek pada film ini yang membuatku bertanya-tanya dalam hati “kok gini ya?” sehubungan dengan aspek kecil yang dijadikan detil dalam dunia film. Saat menonton Harry Potter, kita merasakan ada gejolak “whoaa, begitu ya ternyata penyihir itu” Ada sense of wonder melihat mereka begitu berbeda dengan muggle. Begitu kita masuk ke tembok Hogwarts, kita melihat dunia yang berbeda. Dunia dengan orang-orang yang berkeliaran dengan tongkat sihir dan jubah yang aneh. Aku tidak melihat atau merasakan yang serupa pada film ini. Para auror, pengikut Grindelwald, mereka mengenakan… jas. Mantel. Suit. Kenapa penyihir dalam film ini memakai busana yang sama dengan muggle? Bahkan Dumbledore; alih-alih jubah dan topi kerucut dan kacamata separuh bulan, Dumbledore di sini memakai setelan muggle yang sangat necis. Ingat gak betapa ‘norak’nya pakaian Dumbledore ketika dia mengunjungi Tom Riddle muda di panti asuhan muggle; dia pakai dress plum ungu. Kalo di film, dia pakai syal bermotif kembang-kembang. Apakah karena di kala itu Dumbledore sudah openly mengaku gay sedangkan di jaman Newt belum? Penyihir, di dunia Harry Potter yang itungannya modern, memandang aneh kepada selera muggle – mereka tidak tahu teknologi dan segala macem.

na gini dong, bukan begitu

 

Buatku aneh sekali hal seperti begini luput dari perhatian J.K. Rowling; jadi ini mungkin bukan kesalahan. Mungkin, aku mencoba untuk memahami elemen ini, mungkin di tahun 1927 itu hukum antara penyihir dan muggle belum disahkan. Mungkin saat itu mereka masih hidup berdampingan sehingga sedikit banyak fashion dan gaya hidup muggle berpengaruh terhadap penyihir. Tindak Grindelwald dan pengikutnyalah yang merenggangkan hubungan penyihir dengan muggle, yang menyebabkan gap di antara keduanya semakin jauh. Mungkin karena masalah sentimentil golongan aja yang menyebabkan di jaman Harry Potter, gaya hidup penyihir begitu berbeda dengan muggle. Who knows? Mungkin di seri berikutnya akan ada penjelasan mengenai ini.

Inilah menariknya dunia karangan J.K. Rowling. Kita bisa berspekulasi macam-macam. Dalam film ini, mungkin tokoh yang paling banyak dibicarakan adalah Nagini. Ular Pangeran Kegelapan yang ternyata dulunya manusia. Berasal dari Indonesia pula (bahkan sempat heboh kabarnya Acha Septriasa yang tadinya dapet peran ini sebelum akhirnya dibatalkan karena lagi hamil). Menarik melihat gimana tokoh Nagini diceritakan dalam film ini. Gimana tadinya dia adalah pemain sirkus. Bahkan gagasan ada sirkus di dunia penyihir aja sudah cukup aneh buatku haha. Anyway, Nagini dalam film ini dekat dengan Credence yang mencari sang ibu – mirip dengan Voldemort yang juga penasaran dengan ibunya. Ada sesuatu nih mestinyaa.. Film sepertinya menyimpan ini untuk cerita yang akan datang. Yang membuat aku penasaran karena ada bagian dari elemen Nagini yang enggak konsisten; dalam adegan disebutkan dia tidak akan bisa berubah lagi menjadi manusia setelah berubah menjadi ular, namun pada kenyataannya kita melihat Nagini bisa berubah wujud sebanyak yang ia mau. Aku hanya bisa berharap ini bukan kesalahan penulisan.

 

 

 

 

Bagian terburuknya adalah, setelah semua subplot yang bergilir muncul tanpa kesan yang berarti, seolah subplot-subplot itu ber-Disapparate begitu saja, cerita tidak benar-benar punya konklusi. Film ini hanya terasa sebagai jembatan untuk menghantarkan kita ke episode berikutnya. Kita tidak akan mengerti menonton ini jika tidak menonton film sebelumnya, pun kita tidak akan mendapat jawaban yang berarti sebelum menonton film berikutnya. Mengecewakan sekali, karena dari segi narasi, ini adalah cerita yang ‘penting’ dalam sejarah dunia sihir. J.K. Rowling sekali lagi menunjukkan kebolehannya membangun semesta yang kompleks. Tapi sepertinya memang lebih baik dibukukan terlebih dahulu. Sebagai naskah, it’s just too much. Para Potterhead sih, bakal seneng-seneng aja, soalnya mendapat eksplorasi dunia sihir yang lebih dalam. Tapi sebagai film, ini sudah bukan lagi cerita Newt Scamander. Ini adalah crimes of maksain cerita demi menghidupkan franchise yang semestinya sudah kelar.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Grindelwald dan Dumbledore punya motto “for the greater good” sebagai ungkapan untuk membenarkan aksi-aksi mereka. Apakah kalian setuju jika hasil itu adalah hal yang paling penting? Bagaimana menurut kalian perihal kita dibenarkan menempuh tindakan apapun demi kebaikan yang lebih besar?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

DREADOUT: Menjawab Ketakutan Para Fans – [Movie Preview]

 

Film horor Indonesia pertama yang diangkat dari game!

um… wait, let me rephrase that..

Game Indonesia pertama yang begitu sukses secara internasional akhirnya diangkat menjadi film!!!

panjang, but I like the sound of that better.

 

Karena DreadOut buatku, dan aku yakin buat penggemar game survival-horror lainnya juga, adalah game yang fenomenal. Aku malah pertama kali tahu game ini dari channel youtuber luar. Padahal game PC ini terlahir di Bandung, lho! Melalui crowdfunding, developer Digital Happiness berhasil mewujudkan khasanah mitologi horor lokal, terinspirasi dari mekanik game Fatal Frame (2001) dari Jepang, menggabungkan dua elemen tersebut membentuk dunia dan atmosfer yang nyata-nyata fresh nyeremin, seketika membuat para gamer di seluruh dunia berlomba-lomba untuk berpetualang motoin hantu bersama tokohnya, Linda. Jadi, mengatakan ini film pertama yang berani mengadaptasi dari game (lewatlah sudah adaptasi novel dan personal literatur) terdengar agak sedikit ‘mengecilkan’ di telingaku, lantaran, enggak setiap hari kita melihat ada game buatan Indonesia yang menarik perhatian dunia seperti yang berhasil dilakukan oleh game Dreadout. It was more than deserved to have its own movie. Dan lagi, buatku yang penggemar film, sekaligus penggemar game, also, horor adalah genre favoritku untuk keduanya, Dreadout adalah kulminasi dari apa yang namanya ultimate entertainment.

Fans sudah lama bermain-main dengan kemungkinan misteri Linda dengan The Lady in Red diangkat ke layar lebar. Beruntung produser Wida Handoyo
(Petak Umpet Minako)
yang kebetulan juga penggemar horor, dan pengembang DreadOut Rachmad Imron, peka dan actually listen to the fans, and long story short, ini teaser film DreadOut garapan mereka:

 

 

Tapi…. kok agak lain ya?

Seperti lumrahnya film adaptasi video game di luar negeri, DreadOut ini cukup ‘mengerikan’ buat fans gamenya. Karena ada ekspektasi, ada standar yang sudah di-set. Apakah film ini nantinya akan sesuai dengan ekspektasi. Kita takut filmnya nanti enggak sama. Takut kalo nanti hanya berupa proyek cari duit yang gagal paham mengenai apa sih yang membuat gamenya dicintai in the first place. Aku punya segudang pertanyaan yang menumpuk setelah melihat teaser tadi, to be honest, sebagian besar berupa keraguan.

Beruntung, Minggu tanggal 11 November lalu, aku dapat kesempatan duduk semeja bareng cast dan pembuat film DreadOut. Di antaranya ada Caitlin Halderman, Irsyadillah, Wida Handoyo, dan Rachmad Imron. Kita cuap-cuap seru seputar film ini. Pertanyaan pertamaku literally apakah pocong naik motor bakal ada dalam film hahaha.. Jadi ini dia, lima hal yang dikhawatirkan oleh para fans, dijelaskan dengan penuh passion oleh tim DreadOut:

 

Ceritanya kok beda?

Game DreadOut menceritakan tentang Linda bersama teman-teman sekolah dan ibu Guru mereka yang ‘terdampar’ di sebuah kota mati. Linda menemukan dia bisa melihat makhluk gaib lewat smartphonenya. Sebagai pemain, kita memerankan Linda; menguak misteri di kota, di sekolah kosong, di bangunan-bangunan angker, motoin hantu-hantu yang muncul sebagai cara untuk survive. Ada tema reinkarnasi pada plot game. Dari teaser, set versi film memang cukup mirip, hantu-hantunya bisa kita kenali, tapi ada sedikit perbedaan dari rangkaian adegan. Menurut sinopsis, film ini bakal bercerita tentang Linda dan teman-teman sekolahnya yang berkunjung ke apartemen kosong, dalam usaha mereka mencari konten yang bisa viral. Mereka menemukan portal ke dunia lain, dan semua kengerian terlepas dari sana. Tokoh-tokohnya pun ada yang tidak kita tahu. Seperti Irsyadillah, salah satu cast yang hadir malam itu, yang memerankan Beni – tokoh yang tidak ada di game.

Mbak Wida dan mas Imron menjelaskan, naskah film yang dikembangkan dalam empat tahun ini (gamenya rilis 2013) dikawal ketat oleh pengembang game. Perbedaan yang kita rasakan di teaser dikarenakan film DreadOut mengambil timeline sebelum kejadian yang dialami Linda di dalam game. IT’S A PREQUEL STORY. Film basically membawa kita berkenalan dengan Linda lebih jauh lagi, siapa dirinya, darimana dia mendapat ‘kekuatan’ bisa melihat makhluk halus lewat media tertentu. Film ini membahas akar dari mitologi semesta DreadOut, termasuk menggali lebih dalam hubungan Linda dengan Lady in Red dan The Three Sisters yang jadi bos terakhir dalam versi game.

 

 

Kok Kimo Stamboel sih?

Jika memikirkan sutradara Kimo Stamboel dan video game dalam satu frame konteks, maka aku akan kepikiran Mortal Kombat. Rasanya lebih klop. Kimo yang rekam jejaknya menggarap horor dengan aksi brutal berdarah-darah tampak long stretch jika dikaitkan dengan DreadOut; game survival yang senjata utama protagonisnya (cewek pula) adalah kamera. Hanya ada sedikit porsi aksi dalam game yang mengutamakan menguak misteri ini. Yang aku ingat hanya ada satu adegan laga di mana kita harus kabur dari kejaran teman Linda yang berubah menjadi semacam zombie. Jadi, sebenarnya ke mana arahan film ini akan dibawa? Apakah Kimo adalah pilihan yang tepat jika mengincar horor untuk remaja?

“Awalnya, memang film ini rasa mas Kimo banget” Mas Imron mengenang kisah pertama kali proyek DreadOut mendapat lampu hijau, “Sedari bikin gamenya dulu, saya memang sudah berangan-angan kalo ntar dijadiin film, sutradaranya kalo bisa Kimo Stamboel” Harapan tersebut kewujud, karena Kimo-nya sendiri yang menawarkan diri ikut kerja sama. Ada alasannya kenapa butuh empat tahun untuk merampungkan naskah. Masing-masing kepala bekerja untuk mencari jalan tengah yang paling baik. “Semuanya terasa kekeluargaan,” kata mbak Wida. Banyaknya re-write, brainstorming ide-ide, semua saling mendengarkan dan mengisi.

Rest assured, film DreadOut akan tetap punya ciri khas Kimo sebagai sutradara, ciri yang sudah menjadi trademark dan yang digemari oleh fans – mbak Wida bilang film akan jatuh di rating 17 – dengan tidak mengenyahkan elemen-elemen yang membuat gamenya begitu diminati. Elemen seperti memotret hantu tetap dijadikan sebagai poin utama.

 

 

Lindanya gimana, gak salah casting tuh?

Aku sendiri tidak pernah begitu mempermasalahkan soal casting, malah sebagai tukang review film, aku selalu senang jika ada pemain yang berani mengambil tantangan; yakni peran di luar kebiasaan genre film yang biasa dimainkannya. Apalagi bintang muda seperti Caitlin Halderman, yang masih punya banyak untuk dibuktikan.

Sebenarnya perihal ini, mbak Wida sama mas Imron-lah yang curhat, bahwa mereka mendapat banyak komen dari fans seputar pemilihan pemain regarding penampilan fisik. “Seperti ketika banyak yang protes Lara Croft dimainkan oleh Alicia Vikander,” ujar mbak Wida. Saat mencari pemain, mbak Wida ngescout talent dengan nonton film remaja, dan dia melihat ‘sesuatu’ dari Caitlin. Dia percaya aktris remaja tersebut bisa memberikan sesuatu buat Linda. Untungnya, Caitlin enggak menolak ditawarin main horor.

“Aku gak main gamenya, karena… alasan utamanya sih takut,” gelak Caitlin, “Tapi horor adalah pertama buatku. Aku biasanya main di drama, it’s a big opportunity buatku bisa main di horor, apalagi sutradaranya mas Kimo” Caitlin lebih lanjut menceritakan gimana Kimo ngepush para cast untuk memberikan penampilan yang berbeda, yang enggak standar. “Misalnya meja gerak sendiri nih, kalo di horor lain, kan, biasanya tokohnya ketakutan tapi takutnya itu takut bengong. Nah, mas Kimo mendorong kami untuk memberikan ekspresi takut yang benar-benar mendalam dengan gestur-gestur yang ekspresif,” sambil cerita Caitlin actually memperagakan dengan kocak mana yang takut bengong, mana takut yang nyata.

tips survive di horor game ala Linda dan Beni: Ikutlah menjerit saat yang main gamenya menjerit hhihi

 

Menjalani banyak latihan fisik yang intens, Caitlin bangga bisa melakukan sendiri stun-stun ‘keras’ yang diberikan kepada tokoh yang ia perankan. “Dilempar-lempar. Ditarik-tarik pake sling. Sampe kena celurit. Prop sih, tapi luka juga hahaha” Dari pengkarakteran sendiri, banyak ruang bagi Caitlin untuk menghidupkan Linda. Dalam game, Linda kan hampir enggak ada dialog – dia tipe silent character. Jadi tugas Caitlin-lah untuk meniupkan ruh kepada tokoh ini. “Nanti setelah filmnya keluar, penonton akan melihat Linda dalam film ini dan berpikir, ya inilah Linda yang sebenarnya” kata mas Imron.

 

 

Hantunya muncul semua gak?

Sayangnya, memang tidak semua hantu yang muncul di game bisa dihadirkan di film karena cerita yang mengambil set sebagai prekuel. The Three Sisters akan banyak mendapat sorotan sehubungan cerita yang menggali latar Linda. Tapi jangan khawatir, hantu-hantu lain yang ikonik seperti pocong-pocong bersenjata akan tetap muncul. Bahkan, menurut mas Imron, secara detil Kimo memasukkan throwback elemen-elemen yang ada di dalam gamenya sebagai reference atau ajang seru-seruan yang pasti langsung bisa dikenal oleh penonton yang pernah memainkan gamenya.

Pertimbangan kemunculan hantu-hantu ini adalah mereka tidak mau mengumbar terlalu banyak, para pembuat ingin menyimpan misteri untuk kesempatan yang akan datang.

 

Jadi apakah bakal ada sekuel? What next in line dalam franchise DreadOut?

Mitologi DreadOut memang luas sekali. “Kami memang sudah membuat cabang-cabang cerita dan lore di dunia game tersebut” kata mas Imron. Gamenya sendiri sudah dalam pembuatan sekuel. Harapannya memang filmnya juga bakal ada sekuel lantaran cerita yang begitu kompleks dari semesta ini. Makanya, film DreadOut ingin tampil netral; maksudnya mereka ingin DreadOut tidak hanya membuat penasaran para gamer, namun juga para penonton yang tidak bermain game. Pasar internasional juga turut menjadi inceran mengingat gamenya sendiri memang lebih banyak menuai untung dari pasar luar. “Yang diincar terutama adalah branding productnya” sambung mbak Wida. Mereka percaya para gamer pasti akan menonton film ini, tantangannya adalah bagaimana menarik appeal dari penonton casual. Melihat dari jajaran cast yang sudah punya fans base kuat – mereka juga memasang Jefri Nichol, Marsha Aruan, Hannah Al Rashid, Ciccio Manaserro, Susan Sameh – sepertinya jumlah penonton enggak bakal menjadi masalah buat film ini.

“Kalo game sehits DreadOut yang udah terkenal di luar negeri dibikin filmnya, masa iya sih penggemar game di sini pada gak mau nonton?”

 

 

 

Jadi apakah film ini bakal terhindar dari kutukan-film adaptasi game?

Well, kita hanya bisa menjawab pertanyaan itu setelah film DreadOut tayang bulan Januari 2019 nanti.

thank you, we’ll see you soon

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pada pernah main DreadOut belum? share dong momen terWTF kalian, hantu favorit, kejadian lucu dan segala macem hihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BURNING Review

If you play with fire you will get burned.”

 

 

 

Ketika kedinginan, menyalakan api berarti menimbulkan kehangatan. Secara metafora, menyalakan api berarti menimbulkan perubahan terhadap seseorang. Memberikan mereka entah itu harapan, semangat, ataupun gairah.

Seperti Jong-Su yang api cintanya menyala setelah bertemu dengan Hae-mi. Tadinya Jong-su ini hidupnya garing banget. Dia tinggal sendirian di rumah peternakannya di pinggiran Korea Selatan. Hae-mi, yang mengaku teman lama yang dulu tetanggaan ama Jong-su, mengajak cowok yang pengen jadi novelis itu main ke apartemennya. Mereka jadi intim. Tapi kangen-kangenan mereka enggak berlangsung lama. Hae-mi pergi liburan ke Afrika. Jong-su dengan sabar menunggu si cewek kece, mengasuh kucing Hae-mi yang tak pernah ia lihat setiap hari, sebelum akhirnya Hae-mi pulang bareng cowok yang seratus delapan puluh derajat berbeda ama dirinya. Ben, si cowok baru berdompet tebel, ‘boil’nya porsche, tinggal di Gangnam, orangnya super supel, dan semua-semuanya yang bikin Jong-su iri. Api kecemburuan itu berkobar dan dengan cepat berubah menjadi api kecurigaan. Ini memang tampak seperti kisah cinta segitiga normal, tapi enggak pernah ada yang sesimpel dan senormal itu dalam hidup. Jong-su ingin membuktikan ‘kejelekan’ Ben kepada Hae-mi. Masalahnya adalah, sebelum sempat membuktikan kecurigaannya, Hae-mi malah hilang entah kemana dan hanya Tuhan yang tahu penyebab hilangnya kenapa! Tapi itu tidak menghentikan pikiran Jong-su menyimpulkan kengerian apa yang terjadi

“….membakar jiwa yang meranaaa”

 

 

Menakjubkan, malah hampir seperti sihir, gimana film ini membuat misteri dari cerita yang sebenarnya begitu dekat dengan kita. Susah untuk mendeskripsikan perasaan yang dihasilkan olehnya setelah kita menonton. Ini SEPERTI MELIHAT ILUSI OPTIK. Pernah gak kalian melihat gambar ilusi optik berupa barisan kotak-kotak  yang jika kita memperhatikan gambar tersebut lekat-lekat, kemudian kita lihat titik-titik hitam muncul begitu saja di antara sudut-sudut antarkotak seperti titik rintikan air hujan (klik di sini untuk ilustrasi Grid Illusion). Atau gambar ilusi optik berupa tiga gambar pacman dan tiga sudut lancip yang diposisikan sedemikian rupa sehingga mata kita menangkap sebentuk segitiga di tengah (Kanizsa Triangle). Hanya saja tidak ada segitiga di sana. Titik hitam pada ilusi pertama juga sebenarnya tidak ada. Tapi mata kita terkecoh oleh persepsi dan menganggapnya ada. Dan saat sadar akan yang sebenarnya, kita tertohok sekaligus takjub pada saat yang bersamaan. Tema melihat apa yang tak ada seperti demikianlah yang mendasari cerita film ini. Petunjuk mengenai ini bisa kita dapatkan dari adegan Hae-mi yang berpantomim makan jeruk di depan Jong-su yang melongo di awal-awal cerita. Saking kayak realnya, Jong-su bisa ikut merasakan manisnya jeruk yang lagi dimakan oleh Hae-mi, tapi sebenarnya tidak ada jeruk sama sekali di sana. Film ini membingungkan, mencengkeram kita erat, bikin kita nelangsa oleh pikiran buruk kita sendiri, it’s so good and entertaining dalam caranya sendiri.

Adegan favoritku adalah ketika Hae-mi menari berlatar belakang keunguan langit senja dan musik jazz yang bikin suasana semakin magis. Ini berasa adegan David Lynch banget, buatku film-film Lynch punya gaya disturbing yang sangat kuat merekat. Burning berhasil nyaris menyamainya. Hanya kurang ‘aneh’ saja. Yang diomongin dalam film ini adalah misteri kenapa kita begitu mudah terbakar. Dan seperti lidah api itu sendiri, Burning dengan eloknya meliuk-liuk, menjilat pikiran dan hati kita, semua emosi kita akan berkobar di penghujung cerita.

Api dapat melalap habis apa saja tanpa bersisa, bahkan dalam kitab suci saja, dosa dengki disimbolkan sebagai api mampu melenyapkan pahala-pahala kita. Toh kita membutuhkan api; kecil menjadi teman, kata pepatah. Tapi yang harus kita sadari adalah betapa rentannya api tersebut menjadi besar. Terlalu dekat dengannya, kita pun sedemikian mudah terbakar. Dinamika manusia dengan api disejajarkan oleh film sebagai suatu attachment yang begitu emosional. Saat kita terbakar emosinya; kita akan berubah completely. Jadi apa? Paling sering sih, jadi abu.

 

Hae-mi adalah api dalam cerita Jong-su. Dan cewek itu bukan satu-satunya. Tokoh utama kita practically hidup di dalam lingkaran bara api, Jong-Su punya masa lalu yang tidak menyenangkan sehubungan dengan keluarganya. Banyak hal yang berarti siraman bensin buat dirinya. Rasa-rasanya aku belum pernah melihat tokoh utama yang begitu combustible seperti Jong-su, tapi kemudian film membuat kita berefleksi, dan bam! Jong-su mungkin tidak begitu jauh dari kita secara manusiawi.

hayoo siapa yang golongan sumbu pendek kayak si Jong-su?

 

 

Kejadian dalam film ini diniatkan sebagai misteri, terbuka bagi interpretasi setiap penontonnya, bagaimana masing-masing kita melihat suatu hal. Ketidakpastian akan apa yang sebenarnya terjadi adalah kekuatan utama film ini. Jadi, sampai di sinilah ranah non-spoiler ulasan ini. Karena jika kita ingin menyelam lebih dalam, aku tidak bisa melakukannya tanpa menyebut poin-poin plot penting yang sebenarnya tidak akan asik jika tidak kalian saksikan sendiri. Peringatanku adalah, jangan sampai kalian terbakar rasa penasaran dan membaca lebih lanjut sebelum menonton film ini, karena nanti pengalaman misterinya bakal berkurang. Kalian bisa saja tidak bakal merasakan apa-apa jika baru menonton filmnya setelah membaca.



 

With that being said; kecurigaan, kecemburuan, dan ketidakpastian benar-benar membakar habis Jong-su. Dia adalah pria yang insecure sedari awal karena dia tidak bisa mengingat sama sekali kenangan masa kecil yang Hae-mi bilang dialami oleh mereka berdua. Tambahkan faktor tragedi keluarganya, dosa terbesar Jong-su adalah dia selalu melihat yang terburuk dari semua orang. Dia percaya pada yang terburuk dari segala hal. Juga tidak membantu fakta bahwa di rumahnya, Jung-so digambarkan secara subtil dengan konstan mendengar siaran propaganda Korea Utara yang mengudara. Ketika Ben datang dan akrab dengan Hae-mi, Jong-su seketikanya melihatnya sebagai rival yang berbahaya. Momen-momen penyelidikian Jong-su adalah untuk mencari keburukan dari Ben. Dia terbakar oleh ide Ben seorang psikopat yang suka membakar rumah kaca. Terkadang, bikin frustasi gimana kita tidak diberikan kesempatan masuk ke dalam kepala Jong-su. Kita hanya melihat dari luar, kita melihat apa yang tidak ia lihat, kita punya kesimpulan berbeda dengannya, dan buatku menjelang babak tiga, sudah cukup jelas aku sedang melihat bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan tidak ada jalan untuk mencegahnya. Kadang film membuat kita powerless seperti demikian.

Beberapa petunjuk penting sudah sukses disebar oleh film, yang bisa kita jadikan pegangan untuk merangkai teori apa yang sesungguhnya terjadi. Kucing Hae-mi misalnya; apa makhluk ini beneran ada? apa dia benar kucing yang sama dengan kucing yang dipelihara oleh Ben setelah Hae-mi menghilang? Buatku, kucing itu ada dan dia bukan kucing yang ada di apartemen Ben. Kucing itu menurut ketika dipanggil tidak membuktikan apa-apa, karena dari mana kita tahu pasti kucing itu mengenali bahasa manusia? Ada adegan di awal yang membuktikan dugaanku ini, yaitu ketika Hae-mi memanggil kucingnya, si kucing tidak nongol – jadi kenapa kita mesti percaya itu kucing yang sama ketika dia mendekat kepada Jung-so yang memanggil namanya? Film tidak pernah menunjukkan si kucing mengenali namanya sendiri.

Dari situ aku mendapat kesimpulan, Hae-mi tidak pernah berbohong kepada Jung-so. Soal operasi plastik dan teman dekat itu benar adanya, dibuktikan dengan keluarga Hae-mi. Soal kucing, bener ada karena ada bukti kotoran dan makanan. Soal sumur, ibunya sendiri mengonfirmasi benar ada sumur di daerah rumah mereka. Soal Hae-mi yang jatuh ke dalam sumur, perlu kita ingat, ini adalah kebohongan Hae-mi, tapi tidak ditujukan kepada Jong-su. Melainkan kepada Ben. Hae-mi ingin Jong-su berpartisipasi dalam kebohongan ini, tapi Jong-su enggak mengerti. Dari perkataan Ben di kafe setelah dikonfrontasi oleh Jong-su begitu Hae-mi menghilang, ada pengungkapan bahwa Hae-mi menganggap Jong-su sangat penting – ada indikasi cewek ini beneran naksir – dan Ben merasa cemburu (meski cemburunya kepada siapa masih bisa diperdebatkan lagi) Jong-su tidak melihat semua ini. Dia hanya melihat ‘bukti-bukti’ lemah yang tidak menyimpulkan apa-apa. Ben bisa saja memang punya banyak teman cewek, mungkin dia beneran klepto sehingga punya banyak barang cewek di lemarinya, tapi yang pasti kita diperlihatkan satu adegan Ben mengenakan riasan kepada teman ceweknya. Jadi, di mana Hae-mi dalam cerita ini? Kebenaran mungkin lebih simpel dari yang ingin kita percaya. Pembahasan soal debt collector yang sempat diangkat boleh jadi cuma satu-satunya jawaban karena film tidak menampilkan kontradiksi terhadap hal ini, malahan didukung oleh pernyataan orangtua Hae-mi sendiri.

 

 

 

 

Adaptasi dari cerita pendek Murakami yang terinspirasi cerita pendek William Faulkner ini memang bukan film pertama tentang cewek yang menghilang pas lagi sayang-sayangnya. Tapi ini adalah salah satu yang pertama kali menggarapnya dengan keindahan balutan misteri dengan berakar kepada ketidakpastian yang menyulut berbagai perasaan dan pikiran jelek dalam hati seorang manusia. Penceritaannya yang subtil menghasilkan ilusi sebuah misteri yang begitu captivating. Para pemain pun berdedikasi sekali dalam ‘pertunjukan sihir’ ini, memberikan kemampuan terbaik mereka. Mengerikan gimana kita tidak bisa benar-benar paham isi kepala mereka. Tetapi terkadang hal tersebut tidak sepenuhnya menyenangkan jika kita membawanya kepada tokoh utama. Secara perlahan dimekarkan, kita tidak tahu motivasi protagonis sebelum peristiwa utama terjadi. Kita melihat dia mengaku pengen menulis novel, kita lihat dia banyak referensi bacaan, tapi sepanjang film yang ‘berhasil’ ia tulis hanya sebuah petisi untuk kasus ayahnya. Di bagian-bagian awal sebelum ‘api’ itu membesar, kita mungkin bakal susah mengikuti cerita. Tapi setelahnya – setelah beberapa kali pergantian tone dengan mulus tersebut – film ini akan membekas parah di benak kita, seperti jejak branding dari bara api panas pada sapi-sapi ternak.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BURNING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Share dong menurut kalian apa yang sebenarnya terjadi pada Hae-mi dan siapa sebenarnya Ben. Apa Jong-su sudah melakukan hal yang benar?

Apa menurut kalian, seorang cowok yang ditinggalkan, pantas menuntut kejelasan kenapa ia ditinggalkan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017