MINI REVIEW VOLUME 3 (KIMI, AMBULANCE, NO EXIT, JACKASS FOREVER, JAKARTA VS. EVERYBODY, THE BUBBLE, RED ROCKET, UMMA Review)

Sebelum dihebohkan oleh film-film lebaran, di bulan April blog kesayangan kalian (eh masa iya sih kesayangan?) ini memang lagi sepi dulu.  Karena selain karena bulan puasa mager ke bioskop, My Dirt Sheet juga lagi dalam proses pindah-rumah. Jadi memang banyak fase-fase bengongnya.

Untuk itulah maka, Mini Review dihadirkan kembali. Isinya? Ulasan singkat beberapa film yang belum sempat ditulis secara panjang lebar kayak persegi panjang.

 

 

AMBULANCE REVIEW

Ada tiga jenis sutradara di dunia. Pertama, yang sangat berciri khas sampai-sampai bisa jadi begitu idealis. Kedua, yang cuma bikin film untuk jualan dan gak peduli kerja kayak menuhin pesenan produk. Dan yang terakhir, ada Michael Bay.

Ya dia udah terkenal sebagai pembuat film meme-able yang bombastis penuh ledakan, namun  begitu-begitu toh dia tetap stay dengan visi dan punya gayanya sendiri. Ledakan segala kebombastisan itu dijadikannya signature yang membekas. Dan mau gak mau kita harus respek sama ini. Seperti juga yang akhirnya kulakukan kepada film Ambulance. Kisah dua brother (bonded not by blood tapi persaudaraan mereka sangat kuat) yang merampok bank, kemudian menjadikan mobil ambulans – lengkap dengan petugas medisnya – sebagai kedok untuk kabur dari buronan polisi. So yea, wall-to-wall action is to be expected. Mulai dari sekuen perampokan hingga kejar-kejaran mobil hingga ke akhir film, Bay tancap gas. Semua gaya lebay, ledakan – humor – dan tentu saja kamera, dikerahkan Bay atas nama entertainment dan ketegangan untuk kita. Kamera literally beterbangan dari puncak gedung dan sudut-sudut tak terduga, menghasilkan perspektif heboh kepada kita.

Di momen-momen aksi, gaya Bay ini memang work out rather nicely. Ambulance jadi sajian seru yang bisa kita tonton tanpa harus takut nilai IQ berkurang.  Tapi Bay memang kelewatan juga. Dia kayak pengen semuanya di filmnya ini seru. Sehingga kamera juga hiperaktif di momen-momen selow. Kayak, orang jalan masuk garase – tanpa ada konteks suspens – pun direkam Bay dengan cepat-cepat dan frantic. Buatku ini berlebihan. Ini seperti nonton gulat, yang superstarnya selalu pake move-move dahsyat.  Jadinya malah gak spesial lagi.  Film juga seperti itu, butuh momen-momen selow supaya keseruan yang ada semakin berarti. Supaya penceritaannya punya ritme. Ambulance butuh lebih banyak momen-momen karakter. Bukan hanya karena aktornya – terutama Jake Gyllenhaal yang ngangkat banget film ini lewat aktingnya – tapi juga karena di balik kehebohan itu ada cerita kemanusiaan. Arc si petugas medis cewek yang terpaksa ikut mereka sesungguhnya cukup menghangatkan untuk disimak.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AMBULANCE.

.

 

 

JACKASS FOREVER Review

Jackass sebenarnya lebih cocok dianggap sebagai kumpulan video-video konyol daripada disebut sebuah film. Jackass hanya punya premis; sekumpulan orang-orang ngelakuin hal edan. Berbahaya. Menjijikkan. Tapi super fun. Untuk anak-anak generasi MTV, nonton Jackass itu adalah level kekerenan tersendiri. Apalagi kalo sampai berani niruinnya hahaha.

With that being said,  review film keempat Jackass ini sebenarnya pun lebih tepat disebut sebagai komenan aku saja. Terhadap hal-hal baru yang disuguhkan. Misalnya pada cast-nya. Johnny Knoxville dan kru original Jackass udah pada tua-tua. They need some young blood. Inilah yang awalnya bikin aku sanksi. Gimana mereka ngehandle orang-orang baru. Apakah anak-anak muda yang sekarang bisa segila dan senekat original. Turns out, gak ada masalah. Cast yang baru gak canggung dan gak kalah begonya. Level stunt yang dilakukan pun jadi bisa lebih beragam. Kru Jackass bisa mewujudkan ide yang lebih gila. Misalnya dengan double bungee jumping, karena kini ada dua pria tambun yang bisa digunakan. Paling yang kerasa kurang lucu adalah cast yang cewek. Untuk pertama kali ada perempuan dalam kru Jackass, dan dia gak seheboh yang lain. Mainly karena sepertinya Knoxville dan sutradara Jeff Tremaine masih meraba-raba sejauh apa peran cast perempuan bisa digunakan dalam stunt ini. Segimana batasan propernya. Tau sendirilah, sekarang jaman yang agak-agak sensitif.

Overall, Jackass terbaru ini agak sedikit lebih safe, tapi tetep chaos. Cast yang lama sudah terbatas, kita kehilangan dua original kru yang kocak, maka kini semuanya dibebankan kepada Ehren. Yang kasian banget lihat ‘penyiksaan’ yang harus ia dapat di sini (hahaha rasain!) Yang jelas, dengan ini Jackass semakin gak bakal bisa masuk Indonesia.

The Palace of Wisdom decide to not give score for JACKASS FOREVER 

 

 

 

JAKARTA VS. EVERYBODY Review

Yea, yea hidup di Ibukota itu keras. Tapi tentunya bakal banyak perspektif yang bisa diangkat sehubungan dengan perjuangan hidup di Jakarta, kan? Well, sayangnya ‘Everybody’ dalam karya Robby Ertanto hanya segelintir orang yang bersinggungan dengan Dom, pemuda asal Minang yang gagal jadi aktor dan malah jadi orang kepercayaan geng pengedar narkoba.

Naskah film ini ternyata tidak menggali seluas dan sedalam yang harusnya bisa dicapainya. Dom yang diperankan oleh Jefri Nichol sebenarnya karakter yang menarik. Latar belakangnya, motivasinya, bahkan plot untuk developmentnya juga bagus. Passionnya terhadap film juga kerap mencuat keluar. Hanya saja film tidak banyak menggali, melainkan lebih banyak menampilkan Dom berjuang sebagai pengedar – where he good at it – dalam balutan kejadian yang dengan cepat jadi repetitif. Peralihan kerjaannya juga tidak digambarkan dengan mendalam. It is just happen. Dom merasa diperlakukan kasar, dan dilecehkan saat nyari kerjaan akting, dan kemudian saat diajak ‘ikut’ geng karakternya si Wulan Guritno, Dom langsung mau aja.  Walaupun pekerjaan tersebut lebih beresiko, dan gak ada jaminan dia enggak dapat perlakuan yang serupa dengan pengalamannya sebagai pemeran figuran. Jika Dom diniatkan untuk ‘terpaksa’ jadi pengedar, film ini tidak berhasil menampilan kesan ‘terpaksa’ tersebut.

Pertemuannya dengan karakter lain pun tidak banyak menambah narasi. Padahal kita semua juga tahu, design cerita seperti ini adalah Dom bakal belajar banyak dari karakter yang ia jumpai. Tapi lebih seringnya, karakter-karakter pendukung tersebut terlalu banal. Mereka lebih kayak ada buat penyampai dialog ‘bijak’ ketimbang terasa kayak manusia yang beneran punya hidup di luar frame kamera. Sehingga pada akhirnya, film ini terasa kayak menghajar kita dengan curhatan yang sama. Yea, yea, hidup di Ibukota itu keras.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JAKARTA VS. EVERYBODY.

 

 

 

KIMI Review

Whoa tadinya kupikir Zoe Kravitz main jadi Sasha Banks haha. . Ternyata karakternya yang berambut biru adalah perempuan yang bekerja di depan komputer, menanggapi keluhan-keluhan konsumen. Kimi lantas menjadi thriller saat karakter Kravitz mendengar sesuatu yang seperti percobaan pembunuhan dari salah satu file kerjaannya. Jadi sekarang dia harus pergi menggagalkan yang ia dengar, meski itu berarti dia harus keluar rumah. Di era pandemi. Jeng-jeng!!

Kimi adalah satu lagi film yang naskahnya terlalu simpel untuk karakter yang kompleks. Unsur thrillernya sendiri memang kuat mengakar. Sutradara Steven Soderbergh bukan orang awam soal thriller dengan elemen teknologi. Tapi begitu mengingat protagonis kita adalah pengidap agoraphobia – yang membuatnya gampang cemas dan gak percayaan – aku pengennya film lebih bermain-main sebagai thriller psikologis. Benar-benar menggali kecemasan dari perspektif protagonisnya. Tapi yang kita dapatkan di sini adalah cerita yang seperti thriller generik. Apa yang harusnya gabungan dari Rear Window dan gimmick kekinian ternyata hanya menjelma jadi thriller kejadian. Yang aku justru merasa diskonek dengan karakternya.

Bagian terbaik dari film ini adalah babak ketiga. Saat film mulai mengembrace sisi fun dari thriller ini. Aku jauh lebih suka bagian akhir ini ketimbang set up yang boring dan agak sedikit terlalu serius.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KIMI.

 

 

 

NO EXIT Review

Aku lebih suka thriller garapan Damien Power ini dibandingkan Kimi. Meskipun bangunannya sama-sama generik (No Exit bermain sebagai thriller ruang-tertutup dengan sedikit misteri who the bad guy) tapi film ini lebih mengundang. Lebih gampang konek kepada kita.

Pertama karena karakternya. Tentu saja thriller harus mampu merancang situasi sehingga kita bukan saja mendukung protagonis untuk selamat dari misteri, tapi juga mendukungnya untuk menyelesaikan masalah personal. No Exit konsisten menggali keduanya, bersamaan. Tidak seperti Kimi yang di awal-awal kita hanya ‘memandang’ karakternya, No Exit langsung mengundang  kita masuk ke dalam permasalahan protagonisnya.  Darby, yang lagi rehab, tapi mendengar ibunya sakit. Untuk sekali ini, Darby pengen cabut dari tempat rehab bukan karena ingin kabur dan relapse. Ini perjuangan yang lebih gampang kita rasakan. Ketika elemen thrillernya datang – Darby menemukan sesuatu yang membuatnya menyimpulkan ada orang jahat yang berbahaya di antara mereka semua yang sedang terkurung di kabin oleh cuaca buruk – film semakin menarik kita masuk. Kita disuruh ikutan menebak. Karakter-karakternya dibuat compelling semua.

Film ini tidak menunggu sampai babak akhir untuk semuanya jadi seru dan fun.  Seiring durasi bakal banyak yang direveal, membuat kita tetap engage dan menambah intensitas. Hanya memang, hal yang diungkap terasa semakin mengada-ada. Just for sake of surprise. Flashback dipilih sebagai cara pengungkapan, yang membuat pace film ini agak terbata.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO EXIT.

 

 

 

RED ROCKET Review

Lo itu problematik. Pengen sebenarnya bilang itu kepada film Red Rocket, tapi setelah dipikir-pikir justru problematik itu yang dijadikan konteks utama oleh sutradara Sean Baker. Lewat protagonis yang mantan bintang porno, Baker di film ini mengisahkan dark-comedy tentang seseorang bisa begitu gak tahu malu, dia terus bermimpi dan membawa/memanipulasi orang jatuh bersama dirinya.

Red Rocket dihadirkan sangat ringan dan penuh pesona. Kayak cerita kehidupan sehari-hari. Di awal ini seperti kisah penebusan diri seseorang terhadap masa lalunya. Mikey kembali ke Texas, dalam keadaan gak punya apa-apa selain yang ia kenakan. Mikey membujuk istri yang telah ia tinggalkan untuk mau menampungnya tinggal. Mikey berjanji cari kerja dan ngasih kehidupan yang lebih baik. Istrinya percaya, mertuanya percaya, dan bahkan kita juga. Kita percaya ini kisah orang yang mau memperbaiki hidup. Kita akan bersimpati melihat Mikey ditolak beberapa tempat hanya karena dia pernah bekerja sebagai pornstar. Karakter karismatik, bermulut manis, dan keringanan tone sebenarnya adalah film memberi waktu kepada kita untuk mengenali ‘ular’ di depan mata. Film mau kita sendiri yang menyadari problematis karakternya. Seiring berjalannya durasi, pengungkapan yang disebar semakin banyak, kita bahkan melihat Mikey mulai ngegrooming cewek remaja, untuk kepentingan dirinya sendiri – kembali jaya di bisnis adult film.

Di sinilah film dan Mikey mulai berbeda. Film memang didesign untuk problematis karena dia ingin kita tahu seperti apa problematik di dunia sekarang – kita cenderung percaya pada kata-kata dan janji-janji palsu. Sementara Mikey, gak nyadar dia itu problematis. Mikey seperti terlalu optimistis, dari awal sampai akhir dia gak berubah. Pada film biasanya kita pengen karakter berubah, entah itu jadi lebih baik atau buruk, pokoknya karakter harus ada development. Belajar hal. Film ini tidak begitu. Untuk dapat bekerja sesuai tujuannya, Red Rocket harus membuat Mikey gak berubah.  Film ini sejatinya adalah karakter-studi, yang kita penontonnya diharap untuk merasakan tragisnya si karakter, tapi tidak lagi bersimpati kepadanya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for RED ROCKET.

 

 

 

THE BUBBLE Review

Setuju gak sih kalo kubilang The Bubble ini adalah film terburuk pada caturwulan pertama tahun 2022? I feel like segala hinaan buat film Don’t Look Up (2021)trying too hard to be funny, gak cerdas, karakter annoying, gak jelas – lebih cocok dialamatkan untuk komedi satir garapan Judd Apatow ini.

Cerita dengan setting belakang panggung film adalah soft-spot buatku. Aku selalu suka film-film tentang orang bikin film. Tapi tidak untuk film yang satu ini. Aku tidak menemukan yang bisa aku suka, lantaran bagian bikin-filmnya ternyata digarap sebagai satir konyol yang begitu dipaksakan sehingga gak lagi lucu. The Bubble adalah tentang produksi film yang terpaksa berhenti karena pandemi, tapi kru dan artis-artisnya tetap tinggal di hotel yang jadi tempat syuting mereka. Dan di sana, dengan pandemi yang terus merajalela gak tau sampe kapan, semua orang termasuk para pemain film jadi stres. Dan demi menjaga produksi mereka tetap jadi, pihak studio film mulai ngasih kebijakan-kebijakan absurd supaya gak ada yang bisa keluar dari sana. Sounds fun? Yea. Tapi eksekusiknya sama sekali tak bernyawa.

Film ini hanya peduli pada satir apa yang pengen disampaikan, mereka tidak membuat karakter-karakternya kayak ‘manusia’. Mereka kayak melempar semua hal ke dinding, dan melihat apa yang nempel – itulah bentuk film ini. Dari adegan suting, tau-tau karakternya marah, dan lalu berikutnya mereka joget sama-sama. Kayak alurnya gak ada poin selain parade satir. Stakenya ngambang antara benar-benar bahaya atau cuma lucu-lucuan. Dan penampilan aktingnya, maan. Pembawaan komedi di sini membuat bintang-bintang komika yang main film di kita jadi kayak orang-orang paling lucu sedunia akhirat. Mereka di film ini cuma gak-jelas. Lucunya ketinggalan entah di mana.

The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for THE BUBBLE.

 

 

 

UMMA Review

Di perfilman kita yang didominasi horor ada saying yang menyebut “Semua akan main horor (jelek) pada waktunya” Dan, ladies and gentlemen, ini adalah waktunya buat Sandra Oh. Waktu dan tempat kami persilakan!

Banyak yang ngeluh film debut sutradara Iris K. Shim ini jelek karena gak serem. Karena lebih kayak drama ibu-anak yang ada unsur gaibnya. Well, bukan karena itu tepatnya. Horor justru bisa jadi sangat baik muatan drama keluarga. Horor-horor terbaik justru adalah cerita tentang trauma yang menjadikan hantu-hantuan sebagai lapisan yang menyimbolkan trauma tersebut.  Ini berusaha dilakukan Shim di film Umma. Membahas trauma yang turun termurun berkat relationship ‘khas’ ibu dan anak perempuan dalam tradisi Korea. Umma adalah Turning Red (2022) yang diceritakan tanpa panda merah melainkan dengan lapisan horor. Umma sebenarnya bisa sangat haunting dan membekas, penuh dengan local-wisdom dari pembuatnya pula. Namun perkara menyeimbangkan bahasan dan horornya itulah yang belum fasih dilakukan, sehingga Umma terasa seperti eksperiens nonton yang kurang ngena.

Shim kayak gak klik sama Oh, Yang satu kayak try to make impression, yang satunya lagi stay di tempat cerita seharusnya. Sandra Oh berusaha mengeluarkan horor yang lebih natural lewat yang dirasakan dan yang dipilih oleh karakternya, dan film bekerja paling efektif saat fokus ke karakter ini. Tapi di sisi lain, Shim masih banyak berusaha menarik horor dari trik-trik horor yang generik. Sehingga tensi film gak benar-benar klik. Seperti pembuatnya sendiri  yang takut. Takut kalo penonton gak takut jika disuguhkan psikologikal horor yang total.

Jadi, sebenarnya film ini gak sejelek itu, cuma memang tidak maksimal saja.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UMMA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now

Dengan Mini Review Vol.3 ini maka caturwulan pertama film 2022 My Dirt Sheet telah rampung. Untuk rapor film cawu ini bisa disimak di Twitter @aryaapepe.

Selamat libur lebaran semuayaa. Mohon maaf lahir dan batin.

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

Top-Eight Serial Drama Netflix dengan Semangat Kartini

 

 

 

Bersyukurlah kita tinggal di era yang modern. Yang manusianya mulai banyak yang sadar dan berpola pikir progresif. Perjuangan Ibu Kartini untuk memuliakan derajat kaum perempuan mulai berbuah. Dunia perfilman yang dahulu dikaitkan dengan dunia milik laki-laki, kini tidak lagi. Banyak filmmaker perempuan yang mencuat. Karya film pun demikian. Sudah banyak sekarang film-film maupun serial TV yang mengangkat isu kesetaraan gender, yang menempatkan perempuan sejajar di kursi kemudi. Pokoknya Ibu Kita Kartini pasti tersenyum kalo diajak ke bioskop. Atau kalo lagi mager musim ujan ke bioskop, kita tinggal ajak Bu Kartini nonton di rumah, bersama keluarga.

Ya, kita juga mesti bersyukur tinggal di era dengan teknologi maju. Film dan serial TV berkualitas tinggal sejangkauan tangan. Banyak platform, seperti Netflix, yang mulai fokus ke membuat film dengan agenda feminis dan mengangkat perempuan sebagai sudut pandang utama. Dengan WiFi cepat, kita bisa nonton puas tanpa batas. Kayak kata salah satu provider internet dari Telkom Group; Internet menyatukan keluarga. Salah satunya, ya dengan tontonan.

Makanya,  mumpung lagi Kartinian, My Dirt Sheet ngumpulin daftar serial drama terbaik untuk dipakai ngabisin kuota internet keluarga kalian di rumah. Kenapa serial? Biar ngumpul dengan keluarganya lebih lama, dong! Nah, serial drama di daftar ini, sebagian besar adalah favoritku, dan kupilih sebagai terbaik untuk Hari Kartini karena benar-benar mengandung semangat perjuangan Ibu Kartini. Yang membahas tentang perempuan, dari sudut pandang perempuan.  Yang feminis, tapi tidak lantas agenda-ish.  Yuk, langsung kita simak!

 

 

8. NEVER HAVE I EVER (2020-2023)

Serial komedi coming-of-age remaja ini relatable bukan saja karena memotret kehidupan sekolah remaja perempuan kekinian, tapi juga relate bagi kita karena menampilkan representasi Asia, yang enggak stereotipe. Tokoh utamanya adalah Devi, anak India-Amerika, yang baru saja sembuh dari trauma berat akibat kematian ayah. Kini Devi berusaha menaikkan status sosialnya. Tentu saja bukan usaha yang gampang. Kebiasaan atau aturan keluarga, lingkungan pertemanan, hingga asmara, jadi bentrokan pemanis kehidupan Devi.

Perjuangan Devi yang berusaha menikmati masa mudanya, sebagai remaja normal, melanggar pandangan Ibu memang mengingatkan kita kepada Kartini si burung trinil. Yang juga lincah dan gak mau ‘dikurung di sangkar’.  Serial ini menurutku memang cocok sekali ditonton oleh orangtua dan anak karena bisa membuka perspektif masing-masing. Serial ini tidak membuat karakter si remaja selalu benar, karena memperlihatkan konsekuensi. 

 

 

7. SELF MADE (2020)

Kartini memang berasal dari kalangan bangsawan. Beliau sempat mengenyam pendidikan (meski distop bapaknya), berteman dengan orang-orang Belanda, tapi Kartini selalu jadi dirinya sendiri. Berkulit kuning langsat di antara kulit putih pucat, tidak pernah kita dengar RA Kartini pengen tampil seperti orang Belanda. Kebaya tetap jadi pilihan pakaiannya. Soal fit in, bagi Kartini tidak pernah jadi soal dia mendapat tempat di antara bangsawan Belanda yang terpelajar. Melainkan lebih kepada dirinya memikirkan tempat kaum, dan bangsanya.

Perilaku Kartini yang demikian itulah yang terpikirkan olehku ketika menonton Octavia Spencer bermain akting dalam serial limited-drama Self Made. Merupakan cerita biopik Madam C.J. Walker, milyuner kecantikan yang berasal dari seorang tukang cuci. Tokoh perempuan dalam cerita ini berjuang melawan standar kecantikan dan rasisme dengan memegang teguh jati dirinya. Jadi diri kaumnya itulah berhasil dia tempatkan setinggi mungkin.

 

 

6. BLACK DOG (2019-2020)

Baru banget masuk Netflix awal bulan April, serial drama dari Korea ini memang lebih khusus bicara tentang kehidupan guru. Tapi bukankah Kartini juga seorang guru? Kartini mendirikan tempat belajar di rumahnya. Bersama adik-adiknya, Kartini ngajarin anak-anak kecil membaca dan menulis.  Sampai akhirnya beliau mendirikan yayasan khusus perempuan.

Karakter dalam Black Dog juga begitu.  Perempuan yang jadi guru pengganti  di SMA, tapi benar-benar memikirkan dan mendukung impian murid-muridnya.  Keren sekali menggambarkan hubungan guru-murid dan latar pendidikan (lengkap dengan politik di dalamnya!) Tapi sebenarnya, aku suka nonton ini karena ada Lee Eun Saem jadi salah satu murid, Itu loh, yang jadi Mi-Jin di serial zombie All of Us are Dead (2022). Aku naksir berat ama karakternya hihihi

 

 

5. UNBELIEVABLE (2019)

Salah satu semangat feminis Kartini adalah perempuan harus saling bantu. Harus saling dukung, Karena memang pada kenyataan, relasi kuasa itu ada. Dunia bisa sangat susah untuk mempercayai kata seorang perempuan. Inilah yang dipotret dalam serial kriminal Unbelievable. Gak ada yang percaya kalo perempuan muda di cerita ini adalah korban perkosaan. Adalah dua detektif perempuan yang berusaha untuk mengungkap kebenaran, dan menegakkan keadilan, both literally (yang salah memang harus dihukum) and figuratively (perempuan juga berhak mendapat perlakuan dan kepercayaan yang sama) 

Penyuka kisah detektif dan kasus kriminal pasti bakal betah nonton ini. Gak ada salahnya juga jika ini ditonton bareng keluarga.  Karena selain seru, konklusi yang dihadirkan juga benar-benar memuaskan. Bisa ngasih pelajaran juga, karena kisah dalam serial ini diangkat dari peristiwa nyata.

 

 

4. GILMORE GIRLS (2000)

Single Mother yang besarin anak seorang diri udah jadi staple bagi cerita-cerita bertema feminis. Bukan hanya film, serial juga. Misalnya yang populer itu ada Maid, terus When the Camellia Blooms. Aku masukin Gilmore Girls karena merupakan salah satu yang paling duluan mengangkat bahasan tersebut. Dan juga karena di serial ini, hubungan antara ibu dan anak remajanya yang juga perempuan lebih ditonjolkan.

Tema kemandirian, serta ‘perempuan’nya kerasa banget. Inilah yang bikin serial ini menonjol dan gak sekadar drama nangis-nangisan. Aku merasa serial ini kalo jadi orang, maka dia akan jadi R.A. Kartini. Tampak lembut dan tangguh secara bersamaan.  Di Amerika serial ini memang sangat populer, sampai dibikinkan sekuelnya, enam-belas tahun setelah serial originalnya kelar. Dan sekuel tersebut; Gilmore Girls: A Year in the Life (2016) masih digarap dengan sama respek dan menghiburnya.

 

 

 

3. NEW GIRL (2011-2018)

Ya, aku tahu ini entry yang sekilas tampak aneh. Tapi kalo dipikir-pikir, serial komedi persahabatan yang quirky ini memang berjiwa feminis. Jess, karakter utamanya, ngekos bareng tiga cowok asing di sebuah apartemen. Throughout enam season, mereka akhirnya jadi berteman akrab, dengan Jess jadi pusat interaksi mereka. Sering dibandingkan dengan Friends, serial ini actually juga relate sekali buat generasi milenial karena selain soal cinta dan persahabatan, juga membahas soal kerjaan, soal hidup di usia 30an – memenuhi ekspektasi orangtua dan lingkungan.

Nilai-nilai feminis yang diperjuangkan Kartini seperti kemandirian dan kesetaraan menjelma di dalam Jess dengan nada yang lebih ringan, dengan tetap terasa grounded. Serial ini bahkan juga memperlihatkan feminis dari perspektif laki-laki, yang diwakili oleh karakter-karakter teman Jess. Dan begitu-begitu, Jess juga seorang guru, loh!

 

 

2. GLOW (2017-2019)

Perempuan, seperti yang diperjuangkan Kartini, berhak mendapat pendidikan setinggi yang bisa dicapai laki-laki. Begitu juga dengan pekerjaan. Dunia bukan hanya milik laki-laki. Perempuan gak harus di dapur saja. Bisa kok jadi filmmaker, detektif, guru, dokter, dan bahkan pegulat.

Glow terinspirasi dari acara pro-wrestling beneran di tahun 80an, yang khusus menampilkan pegulat perempuan. Serial ini dalam kondisi terbaiknya adalah tentang menaklukkan male-gaze, khususnya di dalam industri hiburan. Perempuan dalam acara gulat bukan hanya objek untuk jual tampang dan bodi semata. Mereka bisa kuat-kuatan, mereka bisa perform, beraksi sendiri sebagai persona di atas ring. Satu episode favoritku adalah ketika karakter serial ini menolak skenario gulat yang harus ia perankan, karena rasis dan merendahkan perempuan.  Jadi mereka menulis ulang peran dan storyline di atas panggung. Bersama-sama mengarahkan acara gulat versi mereka, yang akhirnya terbukti tak kalah menghibur. Girl Power!!!

 

 

1. THE QUEEN’S GAMBIT (2020)

Ngomong-ngomong soal hal yang erat dikaitkan dengan dunia lelaki, The Queen’s Gambit bercerita tentang perempuan yang berhasil menjadi grandmaster catur (alias olahraga bapak-bapak), di usia yang tergolong masih sangat muda. Kemenangan Beth Harmon atas lawannya (yang tentu saja adalah pria-pria yang jauh lebih tua) diperlihatkan cukup ‘mengguncang’ dunia percaturan di masa itu, karena benar-benar telak membuktikan perempuan bisa lebih pintar daripada laki-laki. Serial ini juga menggali kenapa perempuan jago catur itu dijadikan berita yang sensasional, apakah itu berarti memang ada batas di antara dua gender dan masyarakat secara gak sadar mengakui keberadaan batas tersebut.

The Queen’s Gambit membahas persoalan gender dan kesetaraan dengan cerdas. Di balik tanding catur, kita akan dibawa menyelami psikologis Beth Harmon. Karena sebenarnya serial ini adalah tentang karakter tersebut menyadari kemandirian – menyadari apa artinya sebagai perempuan di dunia. Seperti cerita-cerita terbaik, serial ini tidak menggambarkan karakternya sehitam putih papan catur. Duh, gara-gara ini aku jadi kepingin lihat pertandingan catur antara Beth melawan Ibu Kartini.

 

 

 

Delapan serial drama dalam daftar rekomendasi ini, semuanya udah bisa disaksikan di Netflix. Tinggal klik.  Kalo dulu Ibu Kartini bilang “Habis gelap terbitlah terang”, maka sekarang aku bilang habis sudah masa kita berbingung-bingung nyari akun yang jualan Netflix di reply komenan sosmed orang. Sekarang terbitlah kemudahan. Karena buat langganan Netflix, sekarang kita bisa sekalian ama paket IndiHome!

Netflix via IndiHome tersedia dengan mudah dan praktis karena telah tergabung dalam satu tagihan bulanan.  Ada dua paket yang bisa dipilih, yaitu paket dengan kecepatan 50mbps dan paket 100mbps (bonus 100 menit telepon!) Sementara untuk pelanggan Telkomsel, Netflix dibundling dengan kuota data Telkomsel. Jadi gak perlu pakai kartu kredit. Hiburan tanpa batas IndiHomeXNetflix ini langsung bisa dinikmati setelah melakukan aktivasi. Pelanggan lama cukup klik link di email yang terdaftar di aplikasi myIndiHome. Untuk pelanggan baru, tinggal ke Nonton Puas Tanpa Batas. 

Yuk aktifkan supaya bisa nonton serial-serial di atas, dan tentu saja banyak film dan serial lainnya. Semoga ke depan Indonesia juga gak mau kalah dan bikin serial dengan spirit Kartini supaya bisa ditonton bersama keluarga, ya!

 

 

So, that’s all we have for now.

Apa film atau serial tentang perempuan favorit kalian?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

X Review

 

“The old often envy the young”

 

 

 

Horor mirip ama bokep. Keduanya adalah genre yang ditonton orang-orang bukan untuk plot. Penonton memilih film horor supaya bisa melihat karakter-karakter mati mengenaskan. Nilai plus bagi penonton kalo si karakter itu sempat telanjang dulu sebelum dibunuh ajal (which is why paduan horor-bokep easily jadi yang paling laris). Sementara bokep sendiri, jelas,  penonton cuma mau melihat orang gak pakai baju, dalam apapun situasi fantasi mereka. Keduanya adalah eksploitasi,  dan yang terburuk dari mereka adalah bahwa keduanya penuh oleh male-gaze. Tentu saja gak semuanya begitu, ada juga pembuat-pembuat yang mencoba membuat horor, maupun porn, sebagai sebuah seni. Dalam horor, lahir istilah elevated-horor. Horor yang artsy banget, sampai-sampai susah untuk dimengerti. Dalam bokep, I don’t know honestly, tapi dalam film X yang merupakan comeback horor sutradara Ti West ada karakter filmmaker bokep yang berusaha membuat tontonan yang benar-benar nyeni dan cinematik. Memang, fenomena horor dan porn yang saling bersilangan ini jadi circle back together di bawah X (come to think of it, aku jadi gak yakin judul film ini dibacanya memang “ex”, atau “cross”) yang merupakan produksi studio A24. Studio yang khusus bikin apa yang disuka oleh orang banyak dengan gaya yang super duper nyeni.

Yang Ti West bikin kali ini memang film yang ada unsur horor dan bokepnya. Tapi bukan dalam sense ‘horor-bokep’ seperti yang dulu sempat hits banget di negara kita. West membuat sebuah sajian horor yang seperti ditarik langsung dari jaman puncak kebangkitan mainstream genre ini (akhir 70-an) dengan cerita tentang sekelompok kecil pembuat film dewasa.  Mereka menyewa kabin di daerah pedesaan Texas, tapi enggak bilang kepada pasangan tua yang punya kabin tersebut kalo bangunan dan lokasi sekitarnya itu akan dijadikan lokasi suting film bokep. Siang harinya memang suting mereka berjalan lancar (yang berarti peringatan kepada kalian untuk tidak menonton film ini saat sedang berpuasa). Pas malam tiba, baru semua rusuh. Nenek tua yang sedari siang ngintipin mereka mulai kumat dan membunuh semua tamunya satu persatu.

Jenna Ortega sekali lagi bermain di film yang bicara tentang elevated horror.

 

 

Biasanya film-film A24 memang cukup angker bagi penonton mainstream. Karena memang biasanya nyeni dalam kamus mereka berarti film yang bercerita dengan pace lambat, minim dialog, dan secara general sukar untuk langsung dimengerti. Film X ini tidak dibuat dengan seperti itu. X ini benar-benar dibuat mainstream. Dibuat untuk bikin penonton merasakan sensasi sama dengan saat menyaksikan horor, atau bokep. Seperti yang kubilang, jangan nonton ini pas puasa karena adegan-adegan filmmaking mereka meskipun dibuat dengan sinematik tapi tetap straightforward. Kalian bahkan perlu buat ngecilin suara untuk beberapa adegan tertentu. Elemen horornya pun dibuat sedekat mungkin dengan horor ‘fun’ yang biasa kita cari kalo lagi kepengen nonton sambil santai. Lokasi terpencil. Orangtua aneh dan menyeramkan. Pembunuhan sadis berdarah-darah. Ke-overthetop-an kejadian sebagai kontras efek low budget yang jadi pesona khas horor jadul juga ada. Bahkan hewan buas juga jadi aspek horor di sini. Era 79 yang dijadikan latar waktu cerita memang terasa sangat hidup. Kamera, audio, desain produksi. Semuanya membuat film ini kayak beneran dibikin di tahun segitu. Dengar saja dialognya yang kayak percakapan jadul. Kurang lebih pencapaiannya mirip ama Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) yang berhasil melukiskan era action 80-an. Film X ini vibenya mirip banget sama The Texas Chain Saw Massacre original (1974). Bahkan set up cerita yang mereka semua datang dengan mobil van, terus lokasi dan rumahnya yang bakal jadi TKP-nya pun pasti bakal ngingetin fans horor kepada film si Leather Face. Yang selalu paling kuapresiasi tentu saja adalah gak ada jumpscare suara-suara pencopot jantung sama sekali. Adegan yang mengagetkan buat karakter dalam cerita sih ada, tapi tidak pernah disertai dengan treatment yang memaksa kita untuk melompat dari kursi.

Di situlah letak seninya. West benar-benar menguatkan pada kreasi. Dia memilih setting dan estetik 70-80an bukan tanpa alasan. Bukan sekadar throwback nostalgia. Tema yang disilangkannya di sini adalah soal tua dan muda. Secara visual dan penampakan luar, film ini membawa kita ke horor jadul, tapi dia menambahkan unsur-unsur kebaruan – unsur yang mendobrak – merayap di balik itu semua. Pertama kamera, West menggunakan kamera melayang di atas pada beberapa adegan yang bikin kita menahan napas, seperti pada adegan di danau (dengan buaya gede!) dan adegan di ranjang (protagonis kita ngumpet di bawah kolong). Kamera itu ngeshot dari atas langsung ke bawah, kayak lagi tengkurap di langit. Menghasilkan pandangan wide yang kerasa benar-benar horor dan mencekat yang ada di bawah. Penggunaan kamera demikian seperti benar-benar menempatkan film di batas antara film lama dengan film baru. Terasa modern dengan semacam drone, tapi juga closed dan feel traditional dengan scare yang dihasilkan. Ada satu lagi teknik aneh yang dipakai oleh West, yaitu editing transisi pada beberapa adegan. Meski gak berhubungan dengan old-and-new, tapi editing ini in-theme dengan gambaran atau simbol X yang diangkat. Karena West memang menyambungkan dua adegan berbeda seperti saling silang. Agak sulit digambarkan dengan kata-kata, tapi kalo dari urutan editing tersebut bekerja begini: Adegan B akan masuk gitu aja saat Adegan A masih berlangsung, selama beberapa detik lalu balik lagi ke Adegan A, lalu baru benar-benar tiba di Adegan B. Tadinya kupikir ini kesalahan editing, karena tau-tau ada adegan sapi saat mereka ngobrol di dalam mobil. Tapi ternyata editing masuk bersilangan itu muncul sekitar dua-tiga kali lagi sepanjang durasi.

Secara kronologi adegan juga film ini bergaya. Cerita actually dimulai dengan polisi menyelidiki rumah dan menemukan banyak korban. Lalu kita dibawa mundur dan melihat kejadian apa yang terjadi di sana sebelumnya; kejadian itulah yang jadi menu utama film. Sekilas memang ini struktur kronologi yang sudah lumrah digunakan oleh film-film. Tapi sesungguhnya di film ini, struktur tersebut punya fungsi yang lebih signifikan ke dalam tema besar narasi. Dengan menjadikannya berjalan seperti demikian, West membuat cerita film ini menjadi melingkar. Namun dengan karakter reveal yang jadi saling bersilang. Penting bagi kita untuk mendengar ‘pengajian’ gereja di televisi itu duluan karena itu bagian dari development karakter utama, yang nanti bakal ngecircled back berkat struktur melingkar, menandakan pembelajaran karakter yang jika dilakukan dengan linear maka hanya akan terasa ambigu.

Pelototkan mata untuk berbagai adegan yang ‘meramalkan’ kematian karakter-karakter

 

 

Bagian terbaik yang dilakukan film ini terkait tema old-new tersebut adalah karakterisasi tokoh-tokohnya. Seperti halnya horor jadul, karakter yang hadir di X pun sering melakukan pilihan bego. Keputusan mereka sering bikin kita ketawa. Kayak karakter si Jenna Ortega yang setelah diselamatkan, tau-tau malah marah dan pergi gitu aja. Hebatnya, mereka gak hanya tampil bego untuk mati. Mereka gak otomatis annoying, karena film sesungguhnya mendekonstruksi stereotipikal karakter mereka. Dalam horor jadul, yang mati duluan adalah karakter yang ‘nakal’, yang biasanya adalah cewek pirang yang isi otaknya cuma berduaan sama pacarnya, si atlet yang pikirannya ngeres. Final Girl (protagonis/heroine) film jadul selalu adalah cewek baek-baek, yang erat ditandai oleh si karakter masih perawan. Film X merombak ulang semuanya. Yang mati duluan di sini adalah karakter yang tidak have sex, at least tidak di depan kamera. Cewek pirang di sini otaknya berisi pemikiran progresif tentang peran wanita dan kemandirian. Protagonis alias Final Girl cerita adalah Maxine (diperankan oleh Mia Goth yang setengah wajahnya dikasih freckles), salah satu bintang film bokep yang mereka bikin. Arc Maxine benar-benar kebalikan dari sosok Final Girl tradisional.

Konstruksi karakter tersebut membuat film dengan vibe 70an ini jadi relevan. Dengan Final Girl yang bukan lagi ‘orang suci’, film X ingin mengangkat diskusi soal pandangan lama yang sepertinya sudah kadaluarsa di masa modern. Pandangan soal otonomi perempuan dalam hidup atau karirnya. Pembicaraan karakter film ini seputar menjadi seorang bintang bokep (atau soal membuat film porno sebagai sebuah pekerjaan, yang juga bagian dari seni) mirip dengan persoalan di dunia kita mengenai pelacur yang statusnya dinilai lebih terhormat. Tentunya ‘antagonis’ yang tepat untuk perspektif ini adalah agama. Old couple yang jadi pembunuh dalam cerita berasal dari keluarga yang taat beragama, mereka mendengarkan dakwah degradasi moral anak muda. Di tangan yang salah, bidak-bidak ini akan berkembang menjadi cerita yang bakal ofensif dan one-sided. Memojokkan agama. X di tangan West tidak pernah menjadi seperti itu. Bahasan agama ia handle dengan hati-hati. Dikembalikan kepada karakter itu sendiri. Perhatikan perbedaan intonasi dan pilihan kata Maxine saat menyebut dirinya adalah simbol seks di depan cermin pada beberapa adegan. Those would reveal banyak hal, mulai dari development karakter (realisasi dianggap objek hingga menjadi subjek) hingga sedikit backstory karakter itu.  See, dalam menganani bahasannya, film ini jadi sangat ber-layered, akan mudah melihat film menjadi ambigu jika kita ketinggalan satu lapisan. Yang ultimately membuat X jadi punya rewatch value tersendiri.

Tema old-new tadi digunakan untuk memperhalus lagi bahasan sensitif  tersebut. Film tidak sekasar itu menyebut pasangan tua itu jadi sadis karena maniak agama. Film membawa bahasannya ke arah mereka sudah tua, sudah terlalu lama menahan diri. Terlalu lama mengejar bahagia di hari nanti. Kenapa tidak bahagia di masa muda? Konflik film ini sebenarnya bisa disederhanakan sebagai sebuah rasa penyesalan di usia tua. Maka dari itulah West ngasih Mia Goth dua peran. West membuat si Nenek Tua diperankan juga oleh Mia sehingga adegan-adegan antara Maxine dengan si Nenek punya bobot yang lebih besar – kita jadi mengerti si Nenek bisa melihat Maxine sebagai dirinya di masa muda, sebagaimana juga kita melihat Maxine gak mau menjadi seperti Nenek nanti saat tua. Again, karakter mereka juga jadi simbol seperti X yang saling bersilangan.

Alasan Nenek Tua membunuh semua orang (bukan hanya geng Maxine saja, tapi sepertinya beliau sudah sering melakukan ini sebelumnya) bukan semata karena sange. Si Nenekiri dengan anak muda yang masih bisa mengejar segalanya, Iri sama anak muda yang berani memilih untuk bahagia atas kemauan dan sebagai dirinya sendiri. Orang tua memang selalu cemburu kepada anak muda. Karena anak muda punya kekuatan untuk memilih.

 

 

 

Ini boleh jadi adalah horor favoritku tahun ini (belum bisa mutusin, karena baru bulan Apriilll!!). But for sure, film ini beneran keren dan dibuat dengan penuh kreasi dan pemikiran. Film ini membuktikan kalo sajian horor artsy gak harus selalu berat. Sekaligus membuktikan horor mainstream yang fun dan ‘genre’ abis, serta bahkan yang tampak eksploitatif sekalipun, bisa sarat oleh muatan dan memantik diskusi. Horor yang fun gak musti total bego di atas sadis dan seram. Setiap film, apapun genrenya, dapat menjadi tontonan yang menarik dengan naskah cemerlang, gaya yang asik, dan sutradara yang benar-benar peduli sama craft dan punya visi. Film ini punya semua itu. Ada banyak lapisan untuk dibincangkan. Tak lupa sebagai horor, dia mengerikan – punya antagonis creepy, pembunuhan sadis, setting terkurung, dengan stake hidup atau mati. Paduan atau persilangan yang benar-benar seimbang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for X.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menjadi bintang bokep lebih mulia daripada maniak agama?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE Review

 

“Losing something is the only way to show you how important it was”

 

 

Fantastic Beasts seharusnya adalah proyek yang ajaib. Dan pada awalnya memanglah ajaib! Bayangkan sebuah buku pelajaran yang konsepnya lebih cocok disebut sebagai katalog, diubah menjadi kisah hidup ‘pengarangnya’ sepanjang karir mengumpulkan hewan-hewan fantastis.  Dijadikan cerita petualangan yang mungkin the easy way to do it adalah dengan membuatnya jadi kayak Pokemon, dengan pesona dunia sihir Harry Potter. Namun, empunya cerita ternyata punya misi yang lebih besar. Begitu sekuel Fantastic Beasts tayang di 2018, jelas sudah makhluk-makhluk sihir itu ternyata hanya tunggangan untuk sebuah greater good. Tapi greater good menurut penulisnya, loh. J.K. Rowling pengen mengembangkan lebih dalam sejarah dunia Harry Potter yang telah kita kenal. Dan sebagaimana para karakternya yang berusaha mencapai greater good dengan mengorbankan banyak hal, Rowling sendiri rela untuk menulis-ulang role dunia, mengubah-ngubahnya, membuat kita para fans mempertanyakan ulang informasi yang sudah kita dapatkan dari Harry Potter sebelumnya. Franchise Fantastic Beasts tak lagi terasa sebagai petualangan yang ajaib, melainkan sebagai sebuah perbaikan statement yang ambisius, Jadi, aku menonton film ketiganya (dari lima yang sudah direncanakan) yang masih digarap David Yates ini  dengan maksud untuk mencari jawaban atas dua pertanyaan. Seberapa besar lagi peran karakter utama – si Newt Scamander – dipinggirkan demi episode karakter lain. Dan seberapa besar lagi kehancuran yang dibuat film ini kepada nama Dumbledore.

Jawaban untuk pertanyaan yang pertama agak sedikit menggembirakan. Eddie Redmayne gak lagi sekadar bengong-bengong gugup di latar, gabut nungguin apa lagi yang harus dilakukan oleh karakternya, Newt Scamander. Makhluk-makhluk ajaib yang ia kumpulkan juga gak lagi cuma jadi penghias. Fantastic Beasts ketiga berusaha untuk kembali membuat cerita yang tentang hewan sihir, alih-alih cerita yang  hanya menampilkan mereka. Hewan sihir kembali diintegralkan ke dalam plot. Makhluk kuda bersisik yang disebut Qilin jadi rebutan Newt dengan gengnya si Grindelwald. Lantaran Qilin yang langka ini punya kemampuan untuk melihat hati penyihir. Qilin hanya akan bungkuk hormat kepada penyihir berhati mulia lagi bijaksana. Grindelwald pengen punya Qilin karena di dunia sihir lagi masa pemilu. Apparently, penyihir di masa hidup mereka memilih pemimpin internasional dengan cara voting. Qilin ingin digunakan Grindelwald, katakanlah, untuk semacam kampanye. Untuk jadi bukti dirinya pantas jadi pemimpin. Cerita film ini berkutat seputar Newt Scamander dan teman-temannya berusaha menggagalkan Grindelwald mendapatkan semua Qilin. Apa lagi kalo bukan dengan bantuan Dumbledore. Dumbledore dan Grindelwald udah kayak Prof X dan Magneto – jika dua mutant itu saling cinta. Mereka saling ngumpulin orang-orang kepercayaan, dan perang di antara kedua penyihir yang saling respek ini berlangsung lewat kelompok mereka.

 

So yea, exactly like Prof X – Magneto

 

 

Secara pengembangan mitologi dunia dan masukin cerita Newt ke dalam sejarah Dumbledore-Grindelwald, Fantastic Beasts ketiga ini memang terasa masih bego dan maksa. Tapi paling tidak, adegan-adegannya lebih enjoyable. Aku prefer lebih banyak adegan konyol seperti Newt jalan kepiting ketimbang eksposisi dunia politik sihir yang menjemukan. Dumbledore yang masih belum bisa turun tangan langsung melawan Grindelwald karena perjanjian darah yang mereka lakukan saat masih muda, membantu dengan cara khas dirinya sendiri. Potterhead pasti familiar dengan gaya Dumbledore tersebut, karena hal yang sama juga penyihir itu lakukan kepada trio kesayangan kita yang disuruh berburu Deathly Hallows. Di Fantastic Beasts kali ini, Dumbledore memberikan benda-benda khusus kepada Newt dan teman-temannya – tanpa penjelasan, dan mereka disuruh melakukan tugas masing-masing. Keseruan nonton film ini datang dari melihat bagaimana fungsi benda-benda tersebut terkuak seiring tugas yang terlihat random (baik bagi kita, apalagi bagi karakter cerita yang melakukannya). Jacob, misalnya. Fan-favorit karakter yang diperankan Dan Fogler ini dikasih tongkat sihir palsu oleh Dumbledore. Apa yang Jacob lakukan dengan tongkat itu bakal jadi salah satu pemantik komedi, dan pada gilirannya juga jadi alat yang membawa karakter ini kepada konsekuensi yang cukup tragis.

Lalu si Newt sendiri. Ia disuruh untuk memberikan koper ajaibnya yang berharga (karena berisi semua hewan sihir, termasuk satu lagi Qilin yang tersisa) kepada karakter penyihir cewek yang ceroboh. Kita bisa melihat dengan jelas Newt agak-agak gak rela, tapi jika kita jadi anak buah Dumbledore pertanyaannya akan selalu apakah kita benar-benar percaya dia atau tidak. ‘Blind faith’ orang-orang kepada Dumbledore memang jadi salah satu pesona dari karakter ini sejak dari franchise Harry Potter (ada konflik yang didedikasikan untuk mempercayai Snape yang dipercayai oleh Dumbledore). Itulah yang coba diulang kembali oleh film Fantastic Beasts ketiga ini. Elemen ini membuat film berhasil jadi sedikit lebih ringan. Enggak melulu jenuh oleh bahasan politik dan intrik dunia sihir. Cerita film ini memang masih terlampau too much (meski udah durasi dua setengah jam), tapi tidak terlalu terasa sesak. Kali ini terasa lebih punya ritme. Lebih kayak screenplay ketimbang novel yang divisualkan. Kehadiran penulis naskah memang langsung berasa. Tidak lagi Rowling menulis skrip sendirian, kali ini dia dibantu oleh Steve Kloves yang dulu jadi penulis naskah untuk film-film Harry Potter. Aku pribadi sih ngarepnya; ke depannya si Rowling enyah aja. Mending dia nulisin novel Fantastic Beasts lagi aja. Baru novelnya ‘disihir’ jadi skenario oleh scripwriter beneran. That’s how Harry Potter berjaya, kan. Tapi yah, mungkin sudah ogah balik berlama-lama seperti itu. Studio dan Rowling udah jadi males dan terus menggeber.

Akibatnya, baru di titik pertengahan ini, film ketiga Fantastic Beasts udah kerasa lifeless. Ini cerita tentang dunia sihir tapi tanpa sihir penceritaan.  Petualangan tadi, makhluk-makhluk magical, beberapa adegan di Hogswarts, bahkan akting-akting para pemeran tampak bagus sendiri-sendiri tapi tidak lantas jadi sebuah experience yang asik untuk disimak. Development karakter Newt hanya dipoint out dengan gamblang. Tidak jadi sebuah journey karakter yang mengalir. Film jadi kayak rentetan poin-poin dan statement belaka. Oh mereka harus nunjukin hewan ajaib. Oh mereka harus lihatin Dumbledore cinta ama Grindelwald. Oh mereka harus masukin quote-quote bijak dari Dumbledore. Oh mereka harus berikan diversity. Film cuma ingin memuat itu. Makanya sekalipun narasi bicara tentang cinta, pengorbanan, ataupun kehilangan, feeling tersebut gak nyampe. Malahan keseluruhan film ini terasa gak tulus, melainkan hanya seperti sebuah mesin pengungkap kejadian saja. Karakter penyihir internasional – yang jadi kandidat pemimpin – malah gak dapat dialog ataupun karakterisasi. Mereka cuma berdiri di sana sebagai simbol cerita film ini melingkupi belahan dunia lain.

Tema yang paralel pada karakter-karakter film ini adalah soal mengenali cinta lewat kehilangan. Newt harus pisah dengan Tina (yang btw direduce perannya dari heroine cewek ke karakter yang cuma muncul di akhir), dan dengan kopernya. Dumbledore yang harus bergulat dengan perasaannya terhadap Grindelwald yang jadi penyihir jahat. Dan bahkan Aberforth (adik Dumbledore) juga dapat bahasan yang serupa. Yakni mereka harus belajar bahwa kehilangan dan berpisah jalan bukan berarti hilangnya rasa cinta. Melainkan justru memperbesar karena baru dengan kehilangan sesuatulah kita jadi menghargai betapa pentingnya sesuatu tersebut.

 

Yang membawa kita kepada jawaban atas pertanyaanku yang kedua. Dumbledore. Film kedua berakhir dengan satu pengungkapan stupid soal Credence ternyata adalah keluarga Dumbledore. Kupikir film ketiga bakal banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya hubungan Credence dengan Albus. Kembali ke persamaan dengan Prof X dan Magneto tadi, kupikir Credence paling enggak bakal semacam Juggernaut dan Prof X. Yang jelas, dari film kedua berakhir, seolah film ketiga bakal bahas keluarga ini lebih dalam. Tapi ternyata enggak. Albus Dumbledore gak banyak beda perannya dengan di film kedua. Credence hanya bertingkah galau sepanjang waktu (peran karakter Ezra Miller ini actually tetap gak bertambah dibanding sebelumnya) Peran Grindelwald juga tak banyak mendorong kemajuan franchise ini. Selain soal dia mau jadi pemimpin dunia, tidak banyak porsi cerita yang dialamatkan kepadanya. Walaupun basically Grindelwald yang kali ini punya pendekatan yang berbeda. Mads Mikkelsen yang menggantikan Johnny Depp memainkan Grindelwald yang lebih grounded. Dia tetap kejam tapi lebih ‘kalem’, sehingga terlihat lebih berbahaya.

Film ini punya Mikkelsen yang menghembuskan nyawa baru bagi sisi dramatis karakternya, dan di sisi satunya punya Jude Law sebagai Albus Dumbledore yang juga bermain sama manusiawinya, tapi yang berhasil dihasilkan film dari keduanya ini hanyalah “puff” angin kosong. Cerita tidak memberikan mereka lebih banyak waktu untuk berinteraksi. Sekalinya berduel, mereka juga tidak diberikan sesuatu yang wah. Aku paham film bisa jadi memang pengen menyimpan pertemuan epic itu untuk film terakhir. Tapi ya seenggaknya di film ini kasih sesuatu ‘teaser’lah. Yang bikin kita pengen melihat lebih banyak. Kedua aktor tersebut udah kayak memohon diberikan momen yang emosional, lihat saja akting mereka. Tapi film cuek bebek. Perihal cinta antara keduanya, film lebih memilih untuk membuat Dumbledore menyembut dengan gamblang “Because I love you” Gak ada subtlety, gak ada dinamika emosi, gak ada seni. Gak ada hati. Bagiku film ini kayak supaya J.K. Rowling punya kesempatan untuk membuktikan dirinya memang mendesain Dumbledore dan Grindelwald sebagai pasangan sedari awal. That scene seolah lebih penting untuk si Rowling ketimbang untuk para karakter cerita itu sendiri.

 

Dan mereka masih tetap kekeuh memperlihatkan Minerva McGonagall memang sudah mengajar di Hogwarts

 

 

Last straw bagiku adalah film kayak enggak mau capek-capek untuk membangun dunia dan komunitas sihir di era tersebut. Film banyak berjalan-jalan ke negara lain, tapi gak banyak perbedaan antara penyihir di Inggris dengan yang di Jerman, misalnya. They look all the same. Sama-sama kayak Muggle. Film ini udah kayak spy action biasa, kalo tongkat sihir diganti pistol atau pedang, potongan adegan film ini bisa diselipin ke dalam adegan King’s Man, and no one will notice. Inilah satu hal yang paling aku gak suka dari franchise Fantastic Beasts sedari awal; penyihirnya banyak yang berpakaian muggle, dengan sempurna. Dumbledore yang nyentrik – dan kalo lagi ‘nyamar’ jadi muggle selalu pakai kombinasi pakaian yang norak – di film ini dandan sharp dress semua. Bahkan di lingkungan Hogwarts dia memakai setelan necis muggle. Udah seri ketiga tapi film belum berhasil menjawab kenapa. Kenapa Dumbledore di Harry Potter seolah gak ngerti fashion muggle tapi di film ini yang timelinenya sebelum era cerita Potter, Dumbledore bisa kok berpakaian ‘normal’. Yang paling lucu adalah si Grindelwald. Dia yang begitu membenci muggle, pengen menghabisi muggle dari muka bumi, malah berpakaian ala muggle.

Aku gak ngerti kenapa film mengabaikan soal pakaian, karena justru pakaian itulah salah satu faktor yang bikin dunia sihir itu seru di Harry Potter. Pakaian mengingatkan kita bahwa kita berada di dunia sihir. Makanya film ini jadi semakin bland.  Udahlah penceritaannya standar, gak ada keajaiban dan gairah storytelling. Visualnya pun gak ajaib. Karakter-karakternya didesain dengan sama boringnya. Kecenderungan narasi untuk lebih membahas politik, dan ngasih statement sok relate (Grindelwald kayak presiden yang pengen membuat dunia sihir great again!), membuat setiap film Fantastic Beasts terasa sangat melelahkan. Film ketiga ini enggak terkecuali.

 

 

 

Meskipun lebih enjoyable karena mengembalikan sisi adventure yang fun, tapi film ini tetap penuh oleh hal-hal yang maksa. Tema politik kekuasannya dibahas hanya ala kadar, sehingga hanya jadi memberatkan. Perkembangan karakter disampaikan ala kadarnya. Begitu juga dengan bahasan konflik. Banyak yang dilanjutkan sekenanya, kayak persoalan Queenie yang tau-tau masuk kelompok jahat di film kedua. Sehingga di akhir, film ini kayak gak ada bedanya kalopun urutannya ditempatkan sebagai film kedua. Film tidak punya banyak kesempatan untuk berkembang dengan penuh wonder dan keajaiban karena fokus pada memperlihatkan statement-statement.  Seperti yang dilakukan oleh Grindelwald, film ini juga mencoba menghidupkan kembali franchise yang mestinya sudah mati di film kedua dan memaksanya untuk mengeluarkan feeling.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang franchise Fantastic Beasts sejauh ini? Apakah kalian masih penasaran menunggu kelanjutannya?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SONIC THE HEDGEHOG 2 Review

“Be a hero, and they will notice your bad”

 

 

Jadi pahlawan itu enggak gampang. Kita gak bisa seenaknya ke sana kemari nolongin orang. Tanggung jawabnya berat. Dokter aja nih ya, gak bisa menyuntik orang gitu aja; mereka harus dapat consent dulu dari calon pasien. Kalo calon pasien keberatan dan menolak suntik atau minum obat, gak bisa dipaksakan walau si dokter tahu semuanya hanya demi kesehatan si orang itu sendiri. Dokter yang memaksa, justru akan ditanggap enggak etis. Sonic memang bukan dokter. Sonic adalah landak biru, yang di film keduanya ini kebetulan lagi punya permasalahan yang sama ama dokter-dokter yang lagi kebingungan gimana caranya menolong orang yang keberatan divaksinasi.

Sonic pengen jadi pahlawan di kota Green Hills. Dia ingin menggunakan kekuatannya untuk menolong orang-orang yang telah menerima dirinya tinggal di sana, sebagai bagian dari keluarga. Tapi Sonic ini so bad at being good hero. Tengok apa yang terjadi ketika dia berusaha menangkap perampok bank. Jalanan porak poranda. Gak ada yang bilang terima kasih padanya. Malahan, di rumah, Sonic dinasehati oleh Sheriff Tom yang udah jadi bapak angkatnya. Makanya Sonic bingung, niatnya kan cuma ingin menolong. Dalam sekuel ini, sutradara Jeff Fowler membuat Sonic seperti seorang anak muda yang penuh semangat, optimis, dan enerjik, tapi masih harus belajar untuk lebih ‘dewasa’ dalam bersikap. Fowler membuat Sonic relatable bagi target baru penontonnya. Anak muda toh sering merasa dirinya gak nakal, tapi tetap aja yang dilakukannya tampak selalu salah. Film enggak mau hanya membuat Sonic untuk penggemar lama yang tentu saja sekarang sudah tua-tua, mengingat Sonic ‘terlahir’ ke dunia dalam bentuk game di tahun 1991. Cara Fowler berhasil. Karakter Sonic di film ini jadi gak hanya fun untuk ditonton, gak hanya seru untuk ajang nostalgia para gamer, tapi juga berisi oleh permasalahan yang membuat penontonnya serasa sama ama Sonic.

With that being said, film juga berhasil membuat Sonic yang beberapa detik setelah Tom pergi ke Hawaii langsung berpesta berantakin rumah – ampe mandi gelembung di ruang tengah segala! tidak jatoh sebagai makhluk yang menjengkelkan. Sonic justru jadi karakter yang lucu berkat flaw-pandangan yang ia miliki.  Terlebih karena Sonic memang dibentuk  sebagai karakter dengan celetukan-celetukan dan sikap yang kocak. Attitude seperti Sonic memang sudah banyak kita temui, apalagi di era superhero harus punya snarky comment belakangan ini. Tapi setidaknya suara Ben Schwartz terdengar menyegarkan setelah melulu mendengar karakter seperti itu dengan suara Deadpool.

sonicimage
Sonic and the legend of the ten rings.

 

Cerita Sonic 2 menawarkan konflik dan petualangan yang lebih besar – dan lebih meriah – dibandingkan film pertamanya yang tayang tahun 2020 lalu. Kalo diliat-liat, cerita kali ini diadaptasi dari game kedua dan ketiga. Karakter sidekick dan rival Sonic – Tails yang bisa terbang dengan ekornya dan Knuckles si pejuang Echidna – dimunculkan di sini lewat situasi yang tak tampak dipaksakan. Tails nyusul ke Bumi untuk memperingatkan Sonic tentang bahaya, sementara Knuckles datang karena berkaitan dengan aksi yang dilakukan oleh penjahat utama, Dr. Robotnik, yang masih dendam ama Sonic karena telah mengasingkan dirinya ke planet ‘piece of shittake’. Robotnik memang punya peranan besar di dalam narasi, hampir seperti dialah yang tokoh utama. Semua kejadian karena ulah dirinya. Jadi ketika Sonic di rumah seorang diri, Robotnik yang telah menciptakan alat di planet jamur, berhasil memanggil orang yang bisa membantunya keluar dari sana. Orang itu adalah Knuckles, yang memang lagi mencari Sonic terkait legenda Zamrud yang menimpa klan Echidna. Robotnik dan Knuckles bekerja sama, sementara Sonic dan Tails mulai bergerak mencari Zamrud legenda karena gak mau batu permata sakti itu jatuh ke tangan penjahat. Petualangan video game mereka pun dimulai!

Kontras protagonis dan antagonis langsung terlihat. Sonic, pengen jadi pahlawan, tapi dianggap mengacau. Robotnik, punya niat jahat, tapi dapat teman yang salah mengira intensi dirinya baik. Ini semua terjadi exactly karena Sonic ‘baru’ sebatas pengen jadi – pengen dianggap – pahlawan. Robotnik ‘sukses’ karena dia yang pure jahat, bertingkah seperti penjahat. Menipu, memanipulasi. Sonic perlu seperti itu. Belajar untuk bertingkah seperti pahlawan, alih-alih pengen disebut pahlawan. Untuk itulah Sonic perlu tahu dulu seperti apa sih pahlawan itu. Perlu tahu bahwa pahlawan mengutamakan dan bertindak demi orang lain.

 

Film ini super fun memperlihatkan petualangan tersebut. Aksi-aksinya disisipin banyak elemen video game, mulai dari snowboarding hingga ke setting labirin yang memang salah satu setting stage ikonik dalam video game. Dengan karakter yang lebih banyak, film ini juga mulai semakin mengembrace sisi cartoonish yang dipunya. Setiap keunikan karakter ditonjolkan, seheboh mungkin, film gak lagi ngerem-ngerem untuk membuat aksinya grounded atau apa. Menonton ini buatku memang terasa lebih dekat dengan Sonic versi serial kartun. Suara Colleen O’Shaughnessey yang jadi si Tails aja vibe-nya udah kartun banget. Idris Elba yang nyuarain Knuckles juga punya sisi kartun tersendiri dari sikap dan reaksi karakternya yang baru pertama kali ada di Bumi. Fish-out-of-waternya kocak, dan sendirinya juga kontras yang klop dengan karakter Sonic yang lebih ‘ringan-mulut’.

Vibe kartun semakin diperkuat oleh penampilan the one and only Jim Carrey yang luar biasa over-the-top dengan permainan intonasi dan mimik ekspresi. Kali ini porsi Robotnik lebih banyak. Dia muncul duluan sebagai prolog, dia punya banyak momen-momen menyusun rencana, dia punya transformasi. Penampilannya yang lebay mode bakal annoying jika kita melihatnya dalam tone dunia yang lebih serius ataupun lebih grounded. Aku merasa ada simbiosis mutualisme antara Jim Carrey dengan film ini, like, Carrey bisa sepuas-puasnya ‘menggila’, dan film bisa fully embrace super fun yang ada pada game maupun kartun Sonic. Mau itu aksi sendiri maupun interaksi dia dengan karakter-karakter video game, dia bikin kita gak bosan duduk selama dua jam. Makanya juga, Jim Carrey jugalah satu-satunya karakter manusia yang bener-bener worked out di sini. Cuma dia karakter manusia yang terlihat berada di dunia yang sama dengan karakter-karakter video game.

Karakter manusia lain, termasuk Tom, kayak dipaksakan. Ketika mereka melucu dan berlebay ria, enggak klik. Film memang bukan hanya menyorot petualangan si Sonic. Tadinya, pas di awal Tom dan istrinya pergi, aku udah lega. Kupikir itu cara film nge-ditch karakter mereka. Kupikir film akan fokus ke Sonic aja, dan 48 jam mereka di Hawaii itu jadi batas waktu (sebagai penambah intensitas) petualangan Sonic. Tapi ternyata enggak. Sering film membuat kita melihat ke suasana Tom di Hawaii, di tempat pernikahan sahabat istrinya. Pernikahan tersebut ternyata tidak seperti kelihatannya, ada major plot point juga di sini. Film yang tadinya mengasyikkan jadi membosankan ketika pindah ke bagian manusia-manusia ini. Mentok banget rasanya ketika setelah seru-seruan berseluncur di gunung salju, kita dibawa pindah melihat petualangan dua perempuan berusaha menyusup ke dalam hotel, mencoba lucu dengan reaksi terhadap alat-alat canggih. Sonic dan yang lain – yang beneran seru tadi – totally absen. Film harusnya membuang semua di pernikahan tersebut, membuang semua manusia yang tidak bernama Robotnik, supaya cerita makin seru dan gak perlu jadi dua jam. I mean, kita beli tiket Sonic yang pengen lihat Sonic. Mana ada pembeli tiket film ini yang peduli sama acara pernikahan itu asli atau bukan, mana peduli penonton sama apakah mempelainya beneran cinta atau enggak.

Sonic-2-header
Operation Wedding itu kayaknya judul film yang lain deh

 

Kita mengerti Tom ada di cerita untuk mendaratkan Sonic, dia sebagai sumber pembelajaran. Juga untuk membuat film beresonansi sebagai cerita keluarga – karena Sonic dan Tom serta istrinya memang benar adalah keluarga unik, yang jadi fondasi cerita sedari film pertama. Hanya saja pembelajaran dari Tom sudah dimunculkan di awal. Narasi film kedua ini berjalan dengan formula Sonic bakal berkembang karena belajar dari masing-masing karakter lain. Dia melihat nasehat Tom di awal itu benar dari apa yang ia alami bersama Tails, Knuckles, dan juga Robotnik. Tidak perlu lagi sering kembali ke Tom, ke pesta pernikahan, apalagi ke memperlihatkan Tom diterima oleh mempelai pria di sana. Film masih kesusahan untuk melepaskan karakter manusia, sehingga pada akhirnya memberikan mereka tempat yang sebenarnya merusak tempo dan menghambat jalannya narasi. Menjelang babak ketiga, jadi ada banyak kejadian, ada banyak pihak yang terlibat, terasa kacau.

Daripada memperlihatkan itu, lebih baik membuild up sisi vulnerable Sonic. Karena memang itulah yang kurang. Sonic hanya sebatas kalah kuat ama Knuckles. Tapi selebihnya, Sonic bisa dengan gampang menjalani petualangannya. Dia dengan gampang melewati jebakan. Dia dengan gampang kabur dari kejaran. Dia bahkan dengan gampang menang kontes menari di bar. Yang sempat diperlihatkan oleh film adalah soal Sonic gak bisa berenang (kontinu dari film pertama), tapi rintangan ini pun enggak pernah benar-benar jadi soal, karena Sonic akhirnya bisa melewatinya dengan tak banyak usaha atau kesulitan.

 

 

 

Rasa-rasanya gak banyak perbedaan review kali ini dengan review film pertamanya. Karena memang enggak begitu banyak perbedaan yang dihadirkan dalam sekuel ini selain penambahan karakter (dan kumis Robotnik!) Tapi dengan begitu, feelsnya memang gedean yang sekarang ini. Film ini super menghibur sampai bagian yang membahas para manusia di pesta pernikahan itu datang. It’s just lebay yang boring karena aktor yang lain gak bisa mengejar tone kartun over-the-top yang sudah dilandaskan oleh Jim Carrey. Kehadiran mereka jadi memperlambat dan mengusik tone. Film ini baik-baik saja dengan embrace sisi cartoonish. Yang berarti film ini sebenarnya hanya perlu Robotnik, Knuckles, Tails, dan Sonic saja. You know, karakter-karakter yang memang ada di video gamenya. Tapi jika melihat bigger picture, franchise Sonic memanglah berita yang cukup baik untuk kiprah film-film adaptasi video game dalam sejarah perfilman.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SONIC THE HEDGEHOG 2.

 

 

 

That’s all we have for now.

Katanya, ini bakal jadi film terakhir Jim Carrey. Bagaimana pendapat kalian tentang karir Jim Carrey dalam film-film komedi? What did he bring to that table? Apa film Jim Carrey favorit kalian?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

WrestleMania 38 Review

wmFPWWHb1UYAAgGFl
Dua malam paling ‘stupendous’ itu telah usai. Ngomong-ngomong, apa sih artinya ‘stupendous’? Kalo dari kamus sih, kata tersebut memiliki arti “menakjubkan, hebat, raksasa”. Dan memang begitulah ternyata adanya. WrestleMania 38 yang dilangsungkan di stadion AT& T, Dallas, Texas memang terasa begitu gede. Heboh. Super spektakuler. Begitu banyak kejutan untuk disoraki, begitu banyak pertandingan untuk dijingkrak-jingkraki, begitu banyak momen untuk diselebrasi! Semuanya merata disebar selama dua malam berturut-turut, masing-masing berdurasi sekitar 4 jam dan total 7 pertandingan. Bayangin gimana gak serak tuh suara yang pada nonton langsung di arena. Aku yang nonton livestream di pagi pertama puasa (yang biasanya masih nyenyak molor karena masih jadwal tidur masih beradaptasi dengan sahur) langsung dibuat melek oleh keseruannya. Mata udah gak peduli lagi cuma dipejemin dua jam. Ke’stupendous’an itu pun tak lantas sirna. Walau acaranya udah masuk ke buku sejarah dengan gemilang, ternyata masih ada satu pertandingan lagi untuk kita simak. Kita urusi. Because that’s what we do in the Palace of Wisdom; kita ngereview yang telah kita tonton. Jadi apa dong satu pertandingan yang masih nyisa itu?

Pertandingan siapa yang paling hebat di antara Malam Kesatu vs. Malam Kedua WrestleMania 38!

Pembagian acara menjadi dua malam ini bermula dari bencana yang berjudul WrestleMania 35 (2019). Bencana bukan exactly karena buruk, tapi karena begitu melelahkan bagi semua orang yang ada di sana (kita yang nonton di rumah sih enjoy-enjoy aja). Dua-belas pertandingan, delapan jam, terutama bikin lelah para penonton. Dampaknya, di paruh akhir, energi itu sudah habis. Keseruan match gak lagi bisa diapresiasi maksimal karena udah pada capek. Maka demi mengantisipasi keadaan itulah, tahun depannya WWE mengubah konsep WrestleMania menjadi dua malam, yang dipertahankan hingga sekarang. Keputusan tersebut tentu saja disambut bukan saja pro, tapi juga kontra.
Kebanyakan kontra datang dari fanatik dan penjaga kemurnian wrestling yang percaya bahwa WrestleMania sebagai acara puncak tahunan WWE haruslah tetap dibikin sakral. Dalam artian, tidak perlu menjadi sepanjang itu. WrestleMania harusnya sesuai dengan jargonnya – showcase for the immortal. Yang berarti yang berhak tampil, ya yang udah berhasil mencapai atau mendekati status ‘immortal’ tersebut. Spot pertandingan di WrestleMania harusnya diisi oleh yang superstar yang benar-benar pantas, oleh cerita yang benar-benar sudah dibuild up. Jadi para kontrarian melihat WrestleMania 35 sebagai awal dari WWE telah menggadaikan kesakralan tradisi WrestleMania itu sendiri. Pertandingannya terlalu banyak, sebagian besar tampak seperti filler yang gak perlu. Mengubah konsepnya menjadi dua malam berarti WWE tak lagi fokus merangkai sesuatu yang immortal, melainkan jadi bikin apapun untuk memenuhi kuota belasan pertandingan yang dibagi dua. Nah, kekhawatiran akan WrestleMania jadi ‘perayaan cuma-cuma’ itu jadi makin menjadi-jadi demi melihat susunan pertandingan yang sudah disiapkan WWE untuk WrestleMania 38 kali ini. Tiga pertandingan seleb, sementara tidak ada kejuaraan menengah seperti Intercontinental atau U.S. Lebih banyak nama-nama ‘aneh’, sementara talent beneran yang lebih populer (dan tentu saja yang belum dipecat) dianggurin.
Jujur aku sendiri juga gak kehype oleh overhype yang dilakukan WWE terhadap susunan match medioker mereka. Aku tertarik, paling cuma sama tiga match, di luar main event title unification juara lawan juara Brock Lesnar lawan Roman Reigns. Tapi WWE ternyata mengejutkan kita semua, baik itu yang pro ataupun yang kontra. Matches yang tampak lemah di atas kertas tadi disulap jadi suguhan yang bervariasi positifnya. Ada yang menghibur banget, ada juga yang klasik banget. Para seleb yang bertanding sebagai bintang tamu pun sukses menampilkan ‘gulat hiburan’ dalam versi mereka sendiri. Kalo disuruh milih mana yang paling bagus dan yang paling kusuka, well, yuk kita langsung breakdown aja, malam mana dari WrestleMania 38 yang paling oke.

wm00331-16490490187380-1920
Don’t let Mark Henry’s son stop you!

WrestleMania 38 Night ONE

wmcody-rhodes-wrestlemania-38
Malam Kesatu disusun berdasarkan satu hal. Kejutan. Hal yang paling diantisipasi dan diperbincangkan oleh fans di bulan-bulan awal tahun 2022 ini, dijanjikan akan diungkap di sini. Siapa yang bakal ngelawan Seth Rollins. Leading up to this show, intensitas semakin gede karena berseliweran nama-nama yang tampak sama mungkinnya untuk dipilih WWE sebagai kejutan. Mulai dari Undertaker yang tega banget bilang “Never Say Never” pada penutup pidato Hall of Fame-nya (yang efektif sekali bikin fans gak bisa tidur), hingga ke Shane McMahon yang di detik-detik terakhir masih dijadikan kecohan oleh Seth Rollins yang nyebut “Time is money!”. Aku sendiri sebenarnya gak nyangka WWE bakal berbaik hati ngasih yang actually benar-benar diinginkan fans. But there he is. Cody Rhodes yang diberitakan hengkang dari kompani gulat sebelah (yang turut ia bangun sendiri) akhirnya beneran muncul di atas panggung. Lengkap dengan attribut, musik, dan persona American Nightmare yang dibangunnya di kompani pesaing WWE tersebut. Malam Kesatu bakal memorable oleh momen ini. Ada banyak layer untuk dikupas dari peristiwa kembalinya Rhodes saja.
Kejutan gede berikutnya adalah Stone Cold Steve Austin. Semua sudah tahu Austin bakal muncul di Kevin Owens Show, Owens nantangin dan jelek-jelekin Austin (dan Texas). Tapi gak ada yang mengantisipasi legend dengan riwayat cedera leher, lutut, dan banyak lagi ini bakal turun kembali bergulat. And that’s what exactly happened. Tadinya aku memang merasa susunan match acara ini aneh. Kenapa Talk Show jadi main event. Itu hanya akan membuat acara ini seperti bersambung, tanpa penutup yang real. Keanehan tersebut terjawab ketika Austin menyetujui tantangan Owens untuk bertarung di NO HOLDS BARRED!! Bukan single match biasa, melainkan match tanpa-aturan.  Salut lihat Austin; ini adalah pertandingan pertamanya setelah 19 tahun (dan juga jadi pertandingan terakhir) dan dia buktiin dia benar-benar pantas disebut legend. Matchnya ini, katakanlah gak cengeng. Austin actually took bumps. Dia disuplex ke lantai, bayangin! Tentu saja ini juga berarti salut buat Kevin Owens yang udah buktiin dirinya dipercaya untuk nampil sefisikal itu terhadap legenda yang punya cedera.

wmFPY-E2UXsAMNgLE
Bayangkan kalo tampil di Indonesia, Owens bakal dicekal karena menghina kota, dan Stone Cold dicekal karena minum bir di depan orang puasa.

Susunannya match malam pertama terasa kurang penting, dan banyak yang gimmick dan yang gak penting, tapi kualitas pertandingannya tidak mengecewakan. Di luar ekspektasi semua. Aku bahkan happy dengan match Happy Corbin, karena at least ada rekor yang dipecahkan. Drew McIntyre jadi orang pertama yang kick out dari finisher End of Days. Match Rhodes lawan Rollins jangan ditanya, mereka bermain spam finisher tapi dengan intensitas yang benar-benar kebangun. Rhodes juga diberikan waktu luang untuk ngebangun karakternya sekarang, hingga nostalgia dengan karakter dan orang terpenting dalam karirnya. Bahkan match si YouTuber Logan Paul juga gak kalah seru. Paul earns viewer respects karena sanggup keep up dengan gulat hiburan gaya WWE. Paul mainin heel dengan gemilang. Dia niruin Eddie Guerrero coba, lancang kan. Tapi keren. Yang aneh dari tag teamnya bareng Miz lawan Keluarga Mysterio cuma setelah akhiran saat Miz tau-tau turn heel ke dirinya. Kejuaraan Tag Team yang membuka acara ini sebenarnya juga berpotensi seru, cuma sayang kemalangan menimpa Rick Boogs yang kakinya cedera beneran sehingga match tersebut terpaksa dicut short.
So far, match terbaik adalah Bianca Belair melawan Becky Lynch. Cerita tentang redemption Belair terbangun dan tersampaikan sempurna. Laganya berjalan dengan pace mantap, banyak close call, dan aksi-aksi keren. Bahkan entrance mereka asik punya semua. Berbeda sekali dengan kejuaraan cewek satu lagi antara Ronda Rousey dengan Charlotte Flair yang terkesan chaotic karena kayak terburu-buru. Banyak botch. Kegedean ego, dan fakta bahwa ini adalah match yang gak ada satu orang pun yang minta untuk terjadi.

WrestleMania 38 Night TWO

wmWWE-WrestleMania-38-Edge-Entrance-1024x581
Sekilas susunan Malam Kedua tampak lebih solid dan somehow lebih serius dibandingkan Malam Kesatu. Tapi nyatanya, Malam Kedua gak mau kalah. Malahan sekalinya seru-seruan, Malam Kedua tampil lebih hura-hura loh!
Oh how I enjoyed match Sami Zayn lawan Johnny Knoxville, lebih daripada yang seharusnya. Karena itu bukan wrestling. Lebih seperti live action kartun Tom & Jerry, tapi memang begitu menghibur. Semua ‘perabotan’ Jackass keluar. Mulai dari kru hingga alat-alat prank konyol mereka. I got huge “Called it” moment tatkala sempat mikir di match ini mereka haruslah pakai adegan Wee Man datang bantuin Knoxville dari bawah ring, Hornswoggle style! Dan itu beneran kejadian. Wee Man also body slam Zayn hahaha. Party Boy juga muncul, begitu-begitu dia pernah tanding lawan Umaga. Meskipun yah, dihajar babak belur juga pastinya. Point is, ini jadi match hardcore terkocak yang bisa kita dapatkan di era kekerasan di televisi harus diperhalus. Match ini dengan gemilang memenuhi konteks dan fungsinya. Karena tentu gak bakal ada yang ngarepin Knoxville main di match yang serius.
Bukan berarti selebriti alias orang di luar pegulat gak bisa nyuguhin match wrestling yang kece. Logan Paul udah buktiin di malam pertama, dan di malam kedua ada Pat McAfee. Footballer yang baru banting stir menjadi pegulat. Pertandingannya melawan Austin Theory – anak baru juga – tidak tampak hijau. Melainkan sebuah cerita menggapai mimpi yang seru dan menghibur. Yang tampak hijau justru Omos. Raksasa yang lagi dapat push gede-gedean, dan di sini dia ditandingkan melawan Bobby Lashley. Omos keliatan banget masih ‘kasarnya’ dan butuh banyak latihan dalam penguasaan ring. Matchnya dengan Lashley tampak clumsy, Lashley seharusnya dibikin kayak jadi underdog di sini, tapi itu sama sekali gak kerasa berkat kecanggungan Omos, bahkan dalam bergerak.
Pat McAfee dan Austin Theory statusnya jadi makin terangkat dengan kehadiran Vince McMahon himself di pinggir ring. Menjagokan anak emasnya – Theory. Pemilik WWE itu kayak gak mau ketinggalan have fun, karena ujug-ujug dia juga turun bertanding. Kupikir nobody saw that coming. However, aku mendapat momen “Called it!” kedua saat berpikir pasti bakal kocak kalo Stone Cold ada di Malam Kedua ini, silaturrahmi sama Vince yang ‘kawan lama’nya. As soon as I’m done thinking that, musik kaca pecah itu muncul, dan datanglah Stone Cold Steve Austin!! Bisa ditebak arena langsung ikut pecah oleh sorak sorai. Agak sedikit terharu juga, ini 2022, Austin dan Vince masih berlaga menghibur kita semua.

wmIMG_6733-scaled
Kita semua tahu adegan ini bakal berujung apa hihihi

Pada akhirnya Malam Kedua jadi ‘receh’ juga. Dua kejuaraan tag team yang masing-masing melibatkan multiple team, terlalu cepat dan rusuh untuk jadi kejuaraan yang solid. The right teams win, tapi agak kurang terasa karena tempo yang cepat tersebut. Padahal ada momen Sasha Banks keluar dari kutukan selalu-kalah di WrestleMania. Dua match yang digadangkan bakal dahsyat, gak perform sesuai perkiraan. AJ Styles lawan Edge yang berusaha tampil klasik, justru jadi terasa lamban karena out of place dengan rest of the cards yang tempo matchnya luar biasa cepat semua. Storyline-nya pun ternyata masih kayak belum tuntas, karena match ini dijadikan awal dari sesuatu yang baru untuk Edge, yang tampil kayak Dracula di game Castlevania.
Yang bisa dibilang paling mengecewakan adalah main eventnya. Lesnar dan Reigns. Padahal dengan pembalikan role; Lesnar baik dan Reigns jahat, feud mereka bener-bener ter-refresh dengan pembawaan karakter masing-masing. Aku suka sekali gimana Lesnar ikut merebut mic dan memperkenalkan dirinya sendiri, sambil ngeledek gaya Reigns dan Paul Heyman. Namun sayang, WWE tidak mengubah apa-apa dalam match mereka. Tetap berupa saling spam finisher. Tidak ada match metodikal yang bercerita. Tidak match klasik seperti Styles-Edge. Receh juga enggak. Hanya itung-itungan finisher yang biasa. Akhirannya pun terasa ujug-ujug, karena gak ada yang ngarepin matchnya bakal begitu lagi. Dari build up yang dahsyat, dari cerita yang udah chapter kesekian, dari stake yang tinggi, penonton ngarepin sesuatu yang benar-benar epik. WWE enggak ngasih itu di akhir Malam Kedua.
WWE ternyata masih bisa menarik sesuatu keseruan dari apa yang tampak biasa-biasa aja, bahkan malah meragukan. WrestleMania 38 ini jadi buktinya. Tapi untuk menyimpulkan, ya Malam Kesatu terasa lebih hebat. Kalo disuruh memilih delapan match saja dan menjadikan WrestleMania ini sebagai satu show, maka dengan melihat bagaimana pertandingan tersebut dilakukan oleh WWE, maka aku akan banyak memilih pertandingan di Malam Kesatu. That is THE night. Dan matchnya, sampai Malam Kedua berakhir, ternyata pendapatku masih tetap. Bianca Belair vs. Becky Lynch tetap yang paling solid, paling aksi, paling bercerita. Kejuaraan Perempuan RAW itulah Match of the Stupendous Nights. 
Full Results:
FIRST NIGHT
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos bertahan dari Shinsuke Nakamura dan Rick Boogs
2. SINGLE Drew McIntyre mengalahkan Happy Corbin
3. TAG TEAM The Miz dan Logan Paul menang atas Rey dan Dominik Mysterio
4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair jadi juara baru ngalahin Becky Lynch
5. SINGLE Cody Rhodes muncul jadi misteri opponent dan ngalahin Seth Rollins
6. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara Bertahan Charlotte Flair ngalahin Ronda Rousey
7. NO HOLDS BARRED Stone Cold Steve Austin menghajar Kevin Owen

8. BONEYARD The Undertaker mengubur AJ Styles

SECOND NIGHT
1. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Tim RK-BRO Randy Orton dan Riddle masih juara atas Street Profits dan Alpha Academy 
2. SINGLE Bobby Lashley unggul dari Omos
3. ANYTHING GOES Johnny Knoxville bikin Sami Zayn babak belur
4. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL FOUR WAY Sasha Banks & Naomi merebut sabuk dari Queen Zelina & Carmela, Natalya & Shayna Baszler, dan Rhea Ripley & Liv Morgan
5. SINGLE Edge mengungguli AJ Styles
6. TAG TEAM Sheamus dan Ridge Hollang (bareng Butch) menang atas New Day Kofi Kingston dan Xavier Woods
7. SINGLE Pat McAfee mengalahkan Austin Theory

8. SINGLE Vince McMahon balik mengalahkan Pat McAfee
9. WWE & UNIVERSAL CHAMPIONSHIP WINNER TAKES ALL Roman Reigns jadi Undisputed Champion ngalahin Brock Lesnar

That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.