THE DOLL 3 Review

 

“It is never acceptable for us to be the cause of any child to feel unloved or worthless”

 

 

Perasaanku buat franchise The Doll garapan Rocky Soraya cukup mixed. Film keduanya mengejutkanku. Dari franchise ini, The Doll 2 (2017) yang kutonton pertama, and it was not bad. Dramanya bekerja cukup baik, tapi yang paling menghibur adalah babak ketiga yang seru penuh darah. Beberapa waktu setelah itu, baru aku coba tonton film The Doll original (2016), Dari situ baru aku tahu kalo film ini ngincer gimmick boneka-hantu, tema cerita keluarga, dengan tone bunuh-bunuhan yang maksimal – plus twist (yang sekarang udah jadi kayak becandaan; karakter ayah/cowok selalu jahat atau punya kesalahan yang ditutupi). Meskipun akting di film pertama buatku annoying, dan aku gak suka sama spin-off Sabrina (2018), yang jadi sekuel terpisah dari The Doll 2, franchise ini punya konsep yang keren. sense horor franchise ini juga bagus. Yea, obviously they kinda rip-off Hollywood; boneka Sabrina itu Annabelle, Laras dan karakter si Jeremy Thomas (lupa namanya) basically Lorraine dan Ed Warren, dan di film ketiga ini ada boneka baru bermerk Bobby yang tentu saja adalah ‘kw-an’ dari Chucky si boneka Buddi. Tapi ini bisa dioverlooked-lah, selama The Doll masih terus punya cerita dan gaya sendiri untuk menghidupi kemiripan tersebut,

Film ketiga ini menyoroti keluarga Tara yang baru ditimpa kemalangan besar. Kecelakaan mobil menewaskan ayah dan ibu, serta meninggalkan luka membekas (fisik dan mental!) kepada adik laki-lakinya, Gian, yang berhasil selamat dari kejadian tersebut. Tara yang manajer di toko mainan kini tinggal berdua saja dengan Gian. Tapi kemudian datanglah Aryan, pacar Tara, melamar. Gian gak suka ada yang deketin kakaknya, karena menurutnya itu bakal berarti cinta sang kakak tidak akan lagi utuh dicurahkan untuknya. Disogok boneka Bobby (boneka canggih yang diprogram bisa bicara dan bergerak) pun gak mempan. Gian masih cemburu, marah, merasa ditinggalkan, sampai akhirnya bunuh diri. Hancur hati Tara sungguh tiada tara! Nestapa dan gak tenang adiknya pergi dalam perasaan tak-dicintai, Tara nekat pake dukun untuk memasukkan arwah Gian ke dalam tubuh boneka Bobby. Tara ingin mengucapkan proper goodbye. Saat itulah masalah dimulai. Gian yang masuk ke dalam boneka diam-diam melakukan hal yang membahayakan nyawa orang-orang yang menurutnya telah merebut kakak darinya.

Kenapa sih selera boneka orang-orang dalam film horor jelek semua?

 

Topik yang diangkat sangat matang dan kelam sekali. The Doll 3 bicara tentang hubungan kakak adik, yang basically gak punya keluarga lain, dan adiknya jadi cemburu melihat kakaknya ‘diambil’ oleh orang lain. Ini angle yang film-film horor Indonesia yang gak jamah. Not even original Chucky punya ini. ‘Cerita’ semacam itulah yang jarang dipunya oleh horor lokal, yang kebanyakan cuma melempar adegan-adegan seram di sana-sini sepanjang durasi.  Tapi The Doll 3 punya. Horornya bukan sekadar bersumber dari boneka yang bisa membunuh karena kemasukan roh jahat, tapi juga bersumber dari personal karakternya. Kakak yang merasa bersalah kurang menunjukkan cinta kepada adiknya. Adik yang dalam keadaan begitu vulnerable merasa terpinggirkan. Ini adalah subjek yang bisa jadi fondasi drama yang serius. Perkara elemen horornya, The Doll 3 perfectly mengcover itu dengan gaya berdarah-darah yang dipertahankan franchise ini.

Hal baru yang jadi ‘mainan’ oleh teknis franchise ini tentu saja adalah Bobby si boneka yang supposedly ‘beneran’ bisa bergerak alih-alih melotot diam sambil kemudian ngucurin darah kayak di film-film sebelumnya. Tadinya aku sempat meragukan bagaimana film akan melakukan hal tersebut. Bagaimana teknologi kita bisa membuat yang seperti Chucky, you know, apa bakal kelihatan banget orang pakai kostum? Ternyata enggak, film memang menggunakan boneka animatronic yang gak kalah luwes ama film barat. Aku gak tahu mereka pakai berapa boneka di film ini, tapi seenggaknya ekspresi si Bobby tampak cukup beragam. Khususnya pada ekspresi marah, yang lumayan meyakinkan. Jumpscare dalam kamus film ini berarti tusukan pisau Bobby yang datang tiba-tiba. Pisau itu mengarah ke tempat-tempat yang bikin ngilu, batang leher-lah, pergelangan kaki-lah. Adegan pembunuhan dalam film ini sadis, dan seringkali tidak tampak fun kayak di film Chucky. Pure mengenaskan, like, mereka melakukannya karena butuh untuk ada yang mati karena roh si anak ini sudah jadi begitu jahat. Rating ‘Dewasa’ memungkinkan The Doll 3 mengangkat materi yang lebih kelam, dengan cara yang lebih gelap juga tentunya. Pengadeganan horornya pun gak lepas dari kait emosional yang dramatis. Kita akan lihat momen ketika Tara hadap-hadapan sama mayat adiknya yang sudah membiru dan mulai membusuk ketika dia harus menggali kuburan sang adik. Aku sebelumnya tertawa melihat adegan dengan mayat seperti ini dalam kartun Rick and Morty, tapi dalam film The Doll 3, feelingnya pure naas. Satu lagi momen dahsyat film ini adalah pada saat gambarin adegan kematian Gian. So dramatic yet so haunting. Detik-detik kakak lari mencari-cari adiknya yang mau terjun dari suatu tempat dipadupadankan dengan keriuhan orang-orang lagi menanti momen tahun baru. Lalu ketika semuanya terjadi, si kakak menangisi dengan latar kembang api. Bukan lagi soal efek atau apa, melainkan perasaan yang dihadirkan benar-benar pas untuk menghantarkan kita terbenam ke dalam tragedi yang bakal jadi horor keluarga ini.

Horor memang selalu jadi tempat/medium puitis untuk menggambarkan tragedi, termasuk juga yang menimpa anak kecil. Film-film seperti It, The Babadook, bahkan The Shining, dan banyak lagi sangat hati-hati dalam memvisualkan horor tersebut. Anak kecil bisa terabuse mental atau fisik, tugas film untuk memperlihatkannya ke dalam bentuk seperti ditakut-takuti, atau malah jadi menjahati dengan penuh pertimbangan sehingga ketika membahasnya tidak malah tampak seperti sedang mengeksploitasi. Film The Doll 3 memperlihatkan anak yang memilih untuk bunuh diri. Ini bukan persoalan main-main, bunuh diri pada anak harus dapat perhatian yang serius karena di dunia nyata itu memang masalah serius. Jangan sampai ketika jadi film, malah kayak meromantisasi tindakan tersebut. It is a heavy subject, dan The Doll 3 kayak menghindari ini. Kupikir persoalan matinya Gian akan mendapat pembahasan yang serius, tapi ternyata hanya disapu singkat. Film menempatkan ke dalam value moral ‘orang yang mati seperti Gian tempatnya berbeda dengan  orang yang mati seperti ayah dan ibunya’ tapi enggak pernah spesifik kembali ke persoalan bunuh dirinya. Gian di dalam Bobby sudah jadi jahat, dan dia gak ragu membunuh orang termasuk anak-anak seperti dirinya. Di film ini, anak kecil adalah subjek sekaligus objek kekerasan. Penggambaran gak tanggung-tanggung, anak kecil terjun bunuh diri, anak kecil ditusuk, disabet pisau, didorong dari atas, diinjak. Aku sudah banyak nonton horor, dari yang paling sadis hingga paling cupu, dan penggambaran kekerasan seperti film ini seperti jarang ditemukan. Anak-anak ditakut-takuti, diserang, tapi biasanya dilakukan dengan layer. I dunno, mungkin karena pengaruh berita penembakan SD di Amerika yang kubaca sebelum nonton film ini, tapi kupikir harusnya film seperti The Doll 3 harus berhati-hati, bermain lebih cantik lagi, dalam menampilkan anak-dalam-skena-horor supaya gak jadi kayak eksploitasi aja. Gak jadi sebagai pemuas adegan darah saja.

Bicara tentang anak yang merasa tak-dicintai, tapi hampir seperti film ini sendiri kurang ‘mencintai’ karakter anaknya. Yang seharusnya bisa sebagai subjek, malah tidak dibahas lanjut. Film ini kayak mau nampilin boneka yang membunuh saja, tanpa benar-benar peduli kalo di dalam situ adalah anak yang bunuh diri, dan ada anak lain yang terus dijadikan target serangan. Untuk menyeimbangkannya mestinya harus ada bahasan yang benar-benar mewakili perspektif sebagai karakter manusia.

 

Apalagi memang film yang secara nature adalah cerita yang sangat mature ini terasa hanya di permukaan. Dia kayak gak benar-benar mau tampil sebagai cerita yang dewasa. Pengen tetep appeal buat seluruh lapisan umur. Bayangkan kalo anak-anak (yang somehow oleh bioskop diloloskan masuk) nonton ini, dan hanya melihat bunuh diri dan penyerangan-penyerangan itu sebagai seru-seruan horor semata. Bakal horor beneran kalo mereka main bunuh-bunuhan di taman kompleks ntar sore! Konteks dark dan trauma harusnya tetap kuat. This is not a movie for children. Maka film harusnya memperdalam dialog-dialognya. Karena yang kita dengar sepanjang nyaris dua jam itu adalah dialog standar “Kakak gak cinta sama aku!” “Kakak sayang sama kamu!” Dengan kualitas dialog seperti itu, kayak, mereka bukannya masukin persoalan anak karena pengen membahas dan ngobrol mendalam secara dewasa, melainkan supaya anak-anak bisa ikut nonton sadis-sadis yang dibikin. Kan aneh. Dialognya terlalu receh untuk tema sedalam ini. Alhasil karakternya juga gak pernah jadi benar-benar terfleshout.

Dari segi akting jadi gak ada yang menonjol. Jessica Mila, Winky Wiryawan, Montserrat Gizelle, mereka gak dapat tantangan apa-apa dari film ini. Selain teriak ketakutan dan kesakitan. Bahkan peran Gian yang unik pun diarahkan untuk jadi datar. Kurang personality, apalagi jika dibandingkan dengan Chucky. Yang bikin Chucky seru kan campuran dari perangainya yang arogan, kasar, suka nyumpah serapah dan suara kekeh khas dari Brad Dourif – yang semuanya jadi kontras menyenangkan dengan tubuh kecil bonekanya. Chucky jahat, tapi dia jadi karakter jahat yang fun. Gian alias Bobby kayak robot. Datar. Bahasanya kayak anak kecil yang bahkan lebih kecil dari usianya kelihatannya. Aktor cilik Muhammad Zidane yang menyuarakannya bisa apa untuk menghidupkan karakter ini tanpa arahan yang baik. Karakter ini perlu lebih banyak menunjukkan personality. Lihat ketika di final battle dia mulai ngelucu dengan ‘pusing’ atau mulai menjadikan tawa datarnya sebagai signature ejekan, penonton baru bereaksi dan have fun bersamanya. Sebelumnya, Gian hanya tampak seperti anak cemburuan yang annoying, dia butuh lebih banyak momen membahas karakternya.

Gimana caranya si Bobby bisa pindah-pindah tempat secepat itu???

 

Sebenarnya naskah film ini memang tersusun lebih proper (setidaknya dari horor lokal kebanyakan) Babak set up beneran tersusun, plot Tara sebagai protagonis juga, secara teori, bisa dibilang benar. Ada perubahan pemikiran. Hanya saja, perubahan atau pembelajarannya itu tidak earn dari dalam dirinya. Dialog konfrontasinya dengan Gian hanya seperti dia ngeguilt trip anak itu. Oke, membunuh orang memang perbuatan salah, tapi selain Gian diberitahu dia salah, Tara juga perlu mengenali apa sebenarnya awal dari ini semua. Tara harus mengenali kesalahan yang ia buat sebagai sumber masalah sehingga aksi dia membenahi diri – secara perspektifnya – akan jadi penyelesaian kisah ini. Tapi momen pembelajaran seperti itu gak ada. Sepanjang film, Tara hanya menyaksikan adiknya mencelakai orang, Tara sendiri tidak pernah benar-benar dalam bahaya. Harusnya ini bisa jadi akar inner journey Tara. Kenapa orang sekitar yang mencintainya semua terluka. Ortunya yang kecelakaan saat mau menjemput dirinya, adiknya, pacarnya, adik pacarnya. Kenapa adiknya bisa sampai cemburu. Dan ngomong-ngomong soal adik pacarnya, mestinya si Mikha itu bisa jadi redemption buat Tara. Bentuk maaf Tara gak mesti harus kata-kata yang ia ucapkan ke depan Gian, apapun bentuk si Gian saat itu. Bisa dengan benar-benar menunjukkan kepedulian sama yang mencintai dia atau semacamnya. Namun sekali lagi, karakter Tara juga gak dibahas mendalam karena film terus menerus ke soal Gian cemburu saja.

Pembelajaran Tara datang lewat twist berupa revealing yang tahu-tahu menambah motivasi dirinya di menit-menit akhir. Ada penjelasan panjang mengenai kejadian yang awalnya kayak cuma prolog saja. Protagonis kita berubah jadi better person karena pengungkapan ini. Karena ternyata ada karakter yang ternyata menyimpan rahasia kejadian sehingga dia gak perlu lagi merasakan hal yang ia rasakan kepada si karakter. Sehingga dia kini bisa menghormati pilihan hidup (atau mati) adiknya. Ini cara yang aneh dilakukan film untuk berkelit dari bahasan rumit kakak-adik. Mereka cukup memaparkan kejadian dari luar dalam bentuk ‘twist mencengangkan’. Supaya audiens suka. Tapi nyatanya, yang kulihat di studio, penonton malah mulai kasak-kusuk sendiri begitu momen twist yang gak perlu ini muncul sebelum penghabisan. Karena memang di bagian ini bagi penonton casual (yang hanya menonton adegan-adegan), film kayak ngestretch waktu aja. Ceritanya sebenarnya sudah abis.

 

 

 

Bagus sebenarnya di skena horor Indonesia ada yang berbeda seperti franchise ini. Yang menawarkan materi yang lebih dewasa, gaya yang lebih sadis, sebagai alternatif. Cuma sayangnya, filmnya sendiri gak komit betul dengan tawarannya. Film ini masih dibuat seperti supaya semua lapisan umur menonton. Padahal tema dan ceritanya sangat dewasa. Adegan-adegan horornya juga berdarah dan lebih kelam. Tapi dialog dan karakternya masih ditulis sederhana. Kurang personality. Tidak mendalam. Plot karakternya juga disesuaikan dengan twist yang somehow masih dianggap perlu. Padahal harusnya karakter berubah dari dalam. Cerita padahal akan baik-baik saja jika mendalami perihal kakak dan adiknya yang cemburu. Kalo ada yang bunuh diri di sini, maka film ini pun membunuh dirinya sendiri dengan terjun bebas lewat pengungkapan mengejutkan yang tak perlu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE DOLL 3

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian cara yang tepat untuk menangani adik atau anak yang cemburu karena merasa kurang disayangi?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE Review

 

“Nobody exists on purpose. Nobody belongs anywhere. Everyone’s gonna die. Come watch TV?”

 

 

Malu aku kalo jadi Marvel (or any other Blockbusters), melihat film Everything Everywhere All at Once. Karena garapan Dan Kwan dan Daniel Scheinert ini dengan telak menendang bokong alesan-alesan yang bilang film menghibur itu harus ringan-ringan aja. Duo sutradara ini mengambil yang terbaik dari Shang-Chi – yakni adegan-adegan aksi yang bikin kung-fu kayak jadi kekuatan superhero dan menempatkannya ke dalam setting multiverse. Dan oh boy, multiverse yang mereka bangun, bukan sekadar dunia luas untuk memunculkan cameo-cameo dan memperbesar franchise. Melainkan multiverse yang benar-benar diintegralkan ke dalam plot. Bagaimana orangtua bisa ngertiin anak mereka? Everything Everywhere All at Once menilik problem keluarga ‘Asia’ serupa Turning Red (2022) dari sudut pandang ibu, dalam tone penuh kegilaan lintas-semesta serupa serial kartun Rick and Morty!

Sehabis nonton, aku masih gak percaya kalo film ini bukan live-action dari kartun tersebut. Bukan hanya karakternya mirip, tapi karakternya juga membicarakan masalah yang sama. Tapi tentu saja yang terpenting adalah perspektif. Dan dengan puas aku mengatakan bahwa Everything Everywhere All at Once ini terasa spesial berkat fokus dan dalamnya penggalian perspektif di balik hingar bingar multiverse dan kekocakan adegan-adegan yang menyertainya.

Yang jadi tokoh utama adalah Evelyn (Michelle Yeoh mainin ‘Beth Smith’ versi lebih stress). Hari itu sibuk banget bagi Evelyn. Usaha laundrynya sehectic yang biasa, pun begitu dia masih harus mempersiapkan makan malam tahunbaruan bersama ayah yang standarnya tinggi. Ugh, tunggu sampai putrinya, Joy, yang memilih untuk jadi lesbi itu sampai ke rumah. Belum apa-apa pikiran Evelyn udah penuh sesak aja. Dia masih harus pergi berurusan dengan auditor usaha laundry, sembari sudah menunggu untuk diurus; perkara perceraian yang suratnya kini ada di dalam tas pinggang sang suami. Yang paling ditunggu Evelyn adalah soal cerai itu. Dia udah gak tahan sama urusan suaminya yang kayak Jerry di Rick and Morty. But hey, mendadak Waymond si suami bersikap aneh. Bawa-bawa alat aneh. Ngakunya sih, Waymond yang ada di tubuh suaminya ini berasal dari universe lain. Semesta canggih di mana Evelyn dan keluarga menemukan alat yang memungkinkan mereka ‘menjenguk’ versi diri mereka di berbagai semesta. Tapi bencana datang dari sana. Ada makhluk bernama Jobu Tupaki yang jadi liar, berpindah semesta sesuka hati, dan dia membawa kehancuran pada setiap semesta yang ia datangi. Evelyn diharapkan jadi penyelamat. Bukan saja karena Jobu Tupperware (nama karakter ini memang dijadikan running joke oleh film lol) mengincar dirinya untuk dimasukkan ke dalam bagel alias donat raksasa. Melainkan juga karena si Jobu Tutupodol ini actually adalah anak Evelyn dari versi semesta yang lain!

Would love to see Evelyn dan Waymond met Beth and Jerry in some crazy-bat shit-adventure together XD

 

 

Di sinilah letak jeniusnya penulisan film ini. Bahkan saat disandingkan mirip dengan karakter Rick and Morty pun, Kwan dan Scheinert melakukan penulisan karakternya lebih kompleks dan lebih fokus. Karakter Rick Sanchez seolah mereka bagi dua dan dimasukkan menjadi karakterisasi Joy dan Gong Gong; ayah dari Evelyn. Ini otomatis menjadikan konflik Evelyn lebih complicated dibandingkan Beth. Evelyn adalah seorang ibu yang berusaha mengerti sikap anaknya, sekaligus mencoba memuaskan ayahnya. Sekali lagi siklus ‘keluarga-Asia’ yang turun temurun penuh harapan yang mengukung tampil di layar lebar.  Dan untuk kali, kita dibuat benar-benar merasakan kecamuk dan hiruk pikuk itu semua.

Untuk beberapa menit pertama, film memang terasa hingar bingar sekali. Begitu banyak karakter berseliweran, begitu banyak permasalahan yang harus mereka urus. Lalu datanglah elemen multiverse yang membuat semuanya semakin terasa terus membesar. Tapi konflik utama dalam Everything Everytime All at Once sesungguhnya begitu grounded. Multiversenya hadir dengan infinite possibilities, yang actually tetap dikembalikan kepada si karakter. Ya kita akan melihat Evelyn melihat berbagai versi dirinya (dan karakter lain) di berbagai versi alam semesta. Dari luar, semesta-semesta itu seperti dirancang untuk memancing tertawa, karena kita lihat di antaranya ada dunia yang semua manusia berjari sosis, ada dunia yang seperti live-action dari suatu film animasi. Apalagi di sini ada konsep berupa para penyebrang universe bisa mendownload keahlian mereka dari universe lain, menjadikan keahlian tersebut kekuatan untuk berkelahi. Dan untuk membuka keahlian itu, mereka harus melakukan hal-hal super random! Adegan-adegan aksi datang dari sini. Kreativitas film ini gila dan kocak menampilkan semuanya. Favoritku adalah ketika melihat Jamie Lee Curtis ngedropkick ahli kung-fu hahaha. Namun ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu semua. Gak cuman bak-bik-buk yang hahahihi. Bagi Evelyn, universe-universe tersebut adalah kemungkinan-kemungkinan pilihan hidupnya. Bagaimana hidupnya jika dia tidak pergi dari rumah dan pergi ke Amerika semasa remaja. Bagaimana hidupnya jika dia menolak cinta Waymond. Bagaimana hidupnya jika dia fokus pada hobinya menyanyi. Di Rick and Morty ada juga episode Beth melihat berbagai versi hidupnya jika dia menolak Jerry. Tapi jika Beth di episode Rick and Morty tenggelam dalam memelototi pilihan-pilihan yang ia lewatkan, Evelyn menggali ini semua dengan lebih aktif. Universe itu di paruh kedua film dia pandang sebagai ‘bagaimana jika ayahnya tidak membiarkan dirinya pergi’. Semua universe yang kita lihat reflected kepada perjalanan karakter Evelyn yang mencoba mengenali kembali rasa cintanya. Cinta yang terkubur cukup dalam oleh rutinitas dan kesibukan, dan juga oleh tuntutan dari keluarga itu sendiri.

Sebagai kontras dari Evelyn yang mencoba ‘merapikan’ pilihan hidup manusia yang naturally begitu beragam kita gak akan sanggup untuk menangisi dan menyesali semuanya, film bicara tentang nihilism. Membuat mencapai-kenihilan sebagai motif dari versi Joy yang jadi jahat. Bagel/donat yang jadi monumen alias simbol dirinya sejatinya adalah figur 0, sesuai dengan yang ia yakini. Dan film memasukkan banyak visual soal 0 tersebut sepanjang durasi. Inilah yang membuat karakternya kusebut sama ama Rick Sanchez. Rick dan Jobu Tobacco sama-sama bisa pindah universe sesuka hati, mereka telah melihat banyak, mengalami lebih banyak, namun mereka percaya semua itu tidak berarti. Saking infinitenya semesta, semua hal jadi tidak spesial. Mereka jadi berpandangan seperti itu karena sama-sama terluka sebagai seorang person. Bedanya, Rick jadi nihilist karena trauma kehilangan. Sementara Joy jadi Jobu TobatMak! karena ekspektasi orangtua. Generation gap dan banyak faktor luar lainnya (ingat mereka keluarga Asia, tapi Joy besar sebagai orang Amerika) membuat apapun yang dilakukan Joy tidak disetujui oleh ibunya. Dari sinilah awal mula Joy mulai capek dan memandang semuanya sebagai sia-sia. See, film merangkai motivasi dan konflik para karakter dengan begitu detil ke dalam elemen multiverse. Menjadikan bukan saja karakter-karakternya yang tereksplorasi dengan baik, tapi juga multiverse itu sendiri. Ini bukan sekadar cerita dengan multiverse. Melainkan cerita tentang multiverse sebagai akibat/perwujudan dari konflik karakter.

Argumen nihilism di antara begitu banyak kemungkinan pilihan hidup jadi pusat cerita, yang membuat film ini seru untuk terus diperbincangkan. Film tidak melempar jawaban mana yang lebih benar atau mana yang salah dengan gamblang. Melainkan dengan bijak dan seksama memperlihatkan perjuangan karakter orangtua dan anak, dan istri dan suami, menemukan  penyelesaian dari konflik perasaan mereka. Multiverse dijadikan sarana visual untuk memperkuat psikologis dari berbagai ‘what if’ yang bersarang di hati masing-masing. Argumen love yang akhirnya dijadikan titik tengah pun tidak hadir dengan preachy. Film tetap berpegang pada penceritaan yang seperti absurd tapi di baliknya penuh filosofi. Nonton film ini jangan heran jika saat sedang asik-asik tertawa, air mata haru tau-tau turun membasahi pipi.

Isi adalah kosong, kosong adalah isi

 

 

Elemen teknologi multiversenya mungkin memang bisa sedikit bikin terlalu padat, tapi itu semua intentional. Dan cocok bekerja ke dalam sensasi chaos dan hectic yang ingin dikuarkan oleh cerita. Film ingin kita mengalami kehebohan yang dirasakan Evelyn. Segala tetek bengek alat dan teknis pindah universe itu dijadikan salah satu dari kehebohan tersebut. Ngomongin soal teknis, well aku yakin film ini bakal membuat Marvel dan film-film Blockbuster lebih malu lagi. Kenapa? Coba deh tonton lagi film ini dan tebak. Tebak dari efek dan visual yang trippy dan penuh dunia-dunia aneh dan editing-editing tegas, berapa budget film ini. Dibandingkan film Marvel dan tipikal Blockbuster, budget Everything Everywhere All at Once ini tergolong minim. Aku kaget saat beres nonton baca-baca tentang produksinya, dan menemukan bahwa budgetnya ‘cuma’ dua-puluh-lima million dollars. Belum juga kelar kagumnya, aku udah takjub lagi demi membaca tim visual effect film ini terdiri dari… eng ing eng lima orang kru saja! Saat menonton it was certainly enggak terlihat ‘sesederhana’ itu. Saat menonton, film ini terasa kayak film dengan efek mahal. Ternyata mereka mencapai gambar-gambar menakjubkan (adegan tersedot ke ruang janitor dan montase multiverse berulang kali itu) mainly dengan ‘sulap’ alat dan kamera. Groundednya cerita ternyata saling dukung dengan groundednya pembuatan film. Dan memang beberapa adegan film ini (khususnya setiap adegan berantem yang seru dan lucunya kung-fu abis itu) tampak hanya bisa jadi maksimal dengan tidak diovertouch.

Misalnya soal mata ketiga yang di dahi Evelyn saat dia sudah belajar membuka hatinya untuk cinta, seperti yang selama ini dilakukan oleh suaminya. Kalo pake efek komputer, mata tiga itu bisa aja bakal lebih jelek daripada efek mata ketiganya Doctor Strange di Multiverse of Madness (2022). Alih-alih itu, film membuat mata tiga dari mainan mata-mataan. Yang tentu saja tetap tampak konyol jika dihadirkan gitu aja. Maka film pun benar-benar merancang supaya mata tiga mainan itu punya makna yang mendalam. Build up mereka lakukan dengan nicely. Kita malah bisa bilang mata yang tengahnya gak bolong itu adalah kontras dari bagel yang bolong di tengah. Poinku adalah, film ini hadir tidak bergantung budget. Melainkan justru semakin kreatif dengan apa yang mereka punya. Dan hasil dari itu semua ternyata tidak kalah dari film mahal. Pembuatan film seperti inilah yang buatku benar-benar, dan lebih, menginspirasi. Mereka jor-joran di bagian yang tepat. Di manakah itu? Ya di pembuatan filmnya. Pengadeganannya. Di penceritaannya. Bukan pada hype atau semacamnya. Kelihatan bahwa pembuatnya benar-benar peduli sama film. Apalagi terlihat jelas film ini punya banyak sekali sisipan referensi buat film-film populer lain.

 

 




Jika Evelyn menemukan lagi cintanya kepada keluarganya, nonton film ini bakal membuat kita menemukan lagi cinta kepada sinema. Banyak sekali aspek dalam film ini yang pantas untuk kita sambut penuh suka cita. Teknisnya, yang benar-benar menjadikan film tampak meyakinkan. Kreasi dan craft filmmaking yang menginspirasi. Komedi yang disampaikan dengan witty sereceh atau seabsurd apapun jokesnya. Konsep atau gimmick penceritaan (dalam hal ini multiverse) yang  ternyata diolah lebih dalam dan kompleks sehingga menjadi bagian penting dari perjalanan karakter. Dan tentu saja karakter dan permasalahan mereka yang dibahas mendalam tapi gak pernah jadi membosankan dan menggurui. Tak ketinggalan, permainan akting yang juga sama emosional dan grounded di balik kelebayan yang tampak di luar. Film ini tahu mereka punya semua itu, mereka did hell of a job menceritakan semua itu, mengembangkan perspektif yang kuat sehingga referensi dan kemiripan dengan film atau materi lain bisa dimasukkan tanpa mengurangi nilai orisinal diri sendiri. I tell you, ini adalah film yang supermenghibur sekaligus thoughtful dan penuh emosional berkat konflik yang dekat dan dibahas mendalam. All. At, Once!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE.

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang paham nihilism – paham yang menganggap eksistensi segalanya tidak berarti apa-apa?

Bagaimana kalian memandang kehidupan dalam luasnya semesta dengan jutaan kemungkinan hingga tak berhingga?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL – BABAK PERTAMA Review

 

“Keep your eyes on the stars and your feet on the ground”

 

 

Grup lawak dulu ada banyak. Each of them had their own TV show. Dengan gaya lawakan masing-masing; bukan hanya antara satu grup lawak dengan grup lawak lain, tapi juga antaranggota dalam satu grup lawak sendiri. Meski bervariasi begitu, toh mereka punya kesamaan. Sama-sama digandrungi penonton. Candaannya selalu dekat dengan penonton. Salah satu grup lawak yang paling fenomenal adalah Srimulat. Seperangkat komedi asal Surakarta ini sudah ada bahkan sebelum stasiun televisi menjamur di tahun 90an. Illustrious career grup yang anggota pelawaknya banyak banget inilah yang coba diadaptasi oleh sutradara Fajar Nugros. Dijadikan hiburan sesuai dengan hashtag yang diusung. ‘SaatnyaIndonesiaTertawa’. Kalimat yang mengisyaratkan bahwa film ini dibuat untuk mengembalikan kita ke masa-masa tertawa bersama. Makanya alih-alih memperlihatkan struggle grup lawak yang sudah lewat keemasannya di masa kini seperti yang dilakukan oleh film Finding Srimulat di tahun 2013, kitalah yang diajak oleh Nugros ke periode Srimulat masih muda, masih aktif manggung dengan segala suka dukanya. I was so ready mencemplung ke kehidupan mereka, untuk menyimak gimana sih kisah mereka, seperti apa mereka aslinya. Dalam salah satu adegan ceritanya, karakter Basuki menasehati karakter Gepeng. “Karena jelek, maka harus lucu!” Sayangya, nasehat tersebut dijadikan literal pedoman oleh Nugros dalam mempersembahkan kisah grup legendaris ini.

Ternyata ceritanya tidak dimulai dari bagaimana Srimulat pertama kali bisa sampai terbentuk. Frame ‘Babak Pertama’ film ini ternyata dimulai dari Srimulat sudah terkenal di Jawa. Tarzan, Nunung, Asmuni, Timbul, Kabul, Basuki, Djudjuk sudah jadi bintang panggung. Kelompok seniman pimpinan Teguh Slamet Rahardjo ini siap menjadi lebih besar saat undangan untuk tampil di stasiun televisi tiba. Mereka diminta ke Ibukota, dan manggung di depan presiden Soeharto! Tapi ada satu masalah yang mengganjal Pak Teguh. Dia menemukan lawakan grupnya mulai gak lucu. Mulai stale. Adalah Aris alias Gepeng, anak dari salah seorang musik pengiring yang menyuntikkan candaan segar lewat celetukannya kepada Srimulat setiap kali nampil. Pak Teguh mempercayakan Gepeng untuk ikut bersama rombongan Srimulat ke Jakarta. Tentu saja ini jadi kesempatan emas bagi Gepeng untuk menggapai mimpinya sebagai anak desa yang sukses jadi pelawak di ibukota!

Aku baru tahu kalo Asmuni ternyata seperti Undertaker. Sama-sama ‘locker room leader!’

 

 

So essentially, film ini adalah cerita Gepeng membuktikan diri untuk dapat diterima oleh rekan-rekan pelawaknya yang udah lebih dulu punya nama (yang tidak berarti banyak begitu mereka semua tiba di Jakarta) dan berpengalaman manggung lebih banyak. Gepeng terutama disinisin ama Tarzan, yang merasa ‘senior’. Asmuni basically jadi semacam mentor bagi Gepeng, dan Basuki yang tampak seumuran dengannya jadi sahabat sekaligus jadi ally yang paling percaya dan mendukung Gepeng masuk menjadi bagian dari keluarga Srimulat. Karakter Gepeng diperdalam dengan sedikit lapisan asmara; dia naksir sama gadis betawi, Royani, anak pemilik kontrakan. Arc si Gepeng sebenarnya udah cukup kuat untuk jadi pondasi sebuah drama komedi, semacam tipe underdog story. Tapi tentu saja Srimulat bukan tentang Gepeng seorang. Seperti yang sudah kita sama tahu, Srimulat adalah grup lawak, jadi naturally ada banyak karakter yang menanti untuk digali. Untuk dibahas. Apalagi mereka semua ini adalah tokoh nyata, yang sudah ikonik penampilan, gaya, bahkan cerita hidupnya.

Hal pertama yang dilakukan Fajar Nugros dalam menghandle ini adalah menghimpun castnya. Menarik sekali pilihan pak sutradara soal cast ini. Salah satu concern-ku sama film Indonesia beberapa tahun terakhir ini adalah soal pengotakan cast, berdasarkan fungsi peran mereka. Banyak kita jumpai film yang membagi urusan komedi akan khusus dimainkan oleh komika atau komedian, sementara cerita utama – pemain utama – hanya mengurusi drama alias bagian-bagian yang serius. Bahkan seperti sudah ada bagian khusus, seperti Asri Welas atau Ence Bagus yang selalu kebagian mengisi peran minor untuk komedi. Ini kan jadi membatasi range para aktor. Bintang utama jadi harus kayak jaim melulu, bintang pendukungnya jadi receh terus. Dalam Srimulat ini, untungnya Nugros memberikan kepercayaan kepada aktor untuk bermain komedi. Bintang-bintang muda seperti Bio One, Zulfa Maharani, Elang El Gibran diberikan kesempatan untuk meggali akting komedi mereka. Masing-masing mereka killed their role perfectly. Bukan hanya mimik, Gibran beneran seperti Basuki muda (vokal dan gaya ngomongnya), dan Bio One berhasil menjaga karakternya lewat range yang tampak natural. I would love to see apalagi yang bisa dilakukan Zulfa sebagai Nunung muda, karena di film ini perannya masih agak terbatas. Dialognya masih terus-terusan either soal dia pengen nembang  atau soal running jokes singkatan anu kepanjangannya apa. Dan harus diapresiasi juga Zulfa dan Bio One menempuh transformasi fisik untuk mendukung penampilan akting mereka. Sungguh berdedikasi anak muda mau mengubah berat badan mereka demi peran.

Para aktor muda itu bermain bersama more established stars seperti Ibnu Jamil, Teuku Rifnu Wikana, Dimas Anggara, Morgan Oey, bahkan Rano Karno, yang juga dipersilakan menjenguk kembali sisi banyol yang mereka miliki. Refreshing aja melihat mereka bermain di peran yang berbeda dari biasanya. Terutama Morgan Oey yang paling jauh dari perannya yang biasa. Sementara aktor yang paling sering muncul dalam comedic role singkat, Erick Estrada, kebagian peran yang sebenarnya justru paling dalem secara emosional sebagai Tessy. Selain Gepeng, aku memang paling tertarik sama cerita Tessy alias Kabul. Naskah memang melingkupi proses kenapa seniman pria bernama Kabul itu memilih untuk jadi persona Tessy di atas panggung. Ada bagian cerita ketika para Srimulat harus mencari gaya atau ‘gimmick’ mereka masing-masing. Mereka semacam menempuh perjalanan terpisah. Bagaimana Tarzan bisa sampai memilih seragam tentara sebagai ciri khasnya, bagaimana Gepeng memilih haircut, kita bahkan dapat bagaimana ceritanya Paul bisa jadi punya kostum Drakula (for this reason, film ini juga punya sedikit elemen horor hihihi). Nah si Kabul, perjalanannya sebenarnya bisa sangat kompleks. Ini bukan saja soal dia memakai cincin batu akik di semua jari (kalah deh Thanos!) ataupun soal dia jadi bencong. Ada emotional core perihal Kabul merasa ‘terganggu’ sejak dilempari sepatu dan dianggap gak lucu oleh Pak Teguh di awal cerita. Aku sebenarnya pengen melihat ini lebih banyak termanifestasi sebagai actual storyline.

Masing-masing karakter pelawak di grup Srimulat datang ke Jakarta membawa mimpi. Mereka mau sukses. Jadi bintang seperti Titiek Puspa. Namun lessons yang harus mereka ingat adalah seniman harus selalu membumi. Impian boleh setinggi bintang di langit, tapi mereka harus tetap membaur. Seragam ABRI, waria, pembantu, majikan, bahkan hantu adalah sesuatu yang mereka pilih untuk tetap menapak dengan penonton. Dan tentu saja itu juga tersimbol pada tantangan utama yang harus mereka hadapi bersama di cerita ini. Tampil dengan full berbahasa Indonesia!

 

Langkah kedua adalah mempersembahkan cerita. Diniatkan sebagai ‘Babak Pertama’ (asumsiku ini Srimulat bakal jadi trilogi, but I might be wrong) film ini ternyata beneran kayak babak pertama dari film-panjang tiga babak. Pembahasannya memang menutup; film ini berakhir dengan tinggi seperti plot poin satu ngehook untuk masuk ke babak kedua. Setelah problem yang dipermasalahkan kelar, all lessons learned, dan grup protagonis kita mendapat angin kedua. It’s fine berhenti seperti ini. Malah, sebenarnya mereka gak perlu kasih Babak Pertama di judul. Mereka bisa aja ngasih judul Hil yang Mustahal tok, atau apa kek, untuk menegaskan ini cerita tentang Gepeng. The fact they feel the need to put ‘Babak Pertama’ out di judul justru membuat ‘bersambung’nya jadi kerasa. Mereka seperti gak yakin penonton bakal hook (padahal dunia dan karakternya sudah cukup terestablish) malah instead build around cerita yang bersambung seperti televisi.

Seperti yang kusinggung sedikit di pembuka, film ini enggak mau jadi serius. Dia memilih untuk jadi lucu aja. Poin-poin yang kusebutkan tadi disebar acak sepanjang durasi film yang nyaris dua jam. Pembahasannya enggak dibanyakin. Malahan hanya kayak terselip di antara begitu banyak sketsa-sketsa tingkah lucu khas lawakan Srimulat. Aku gak tahu para pelawak ikonik itu aslinya mereka gimana sehari-hari, boleh jadi mereka memang ngebanyol setiap waktu seperti yang diperlihatkan oleh film ini, tapi untuk sebuah sajian film aku mengharapkan karakter atau kejadian yang lebih menapak. Cerita film ini harusnya bisa punya range, dengan segala permasalahan Gepeng dan Tessy, dan karakter lain – jika diangkat. Tapi pada akhirnya film ini rangenya tetap kurang tergali karena banyakan komedi, yang beberapa adegan malah komedinya berulang. Ada running joke yang kocak dan timingnya tepat, kayak soal ‘minuman rasa lalat’, dan ada lebih sering lagi joke berulang yang tasteless. Misalnya, candaan ‘toilet’.  Oh film ini went overboard dengan lelucon orang boker.

Kita juga akan dapat satu momen multiverse hihihi

 

Bukan hanya para karakter Srimulat yang bertingkah ala lelucon panggung Srimulat di kehidupan sehari-hari. Karakter pendukung seperti pemilik kontrakan ataupun orang-pinter juga melakukan hal yang sama. Adegan terlucu film ini surprisingly datang dari saat geng Srimulat mengadukan perihal rumah angker kepada orang-pinter. Hal yang paling lucu dari gimana film mempersembahkan cerita mereka sebagai makhluk ajaib sehari-hari seperti ini adalah, adegan mereka melawak di atas panggung justru gak diperlihatkan. Hanya di-skip-skip. Kita gak lihat mereka di atas panggung seperti apa. Kita hanya diberikan informasi bahwa mereka mulai gak lucu, mereka mungkin butuh Gepeng supaya lucu, dan bapak presiden yang nonton mereka manggung tidak tertawa – sehingga semua orang dilarang ketawa (singgungan bagus, dan btw Soeharto-nya mirip banget ama yang asli!) Ini membuatku bingung. Kita melihat – dan tertawa bersama – Srimulat yang ngelucu sepanjang hari (dengan atau tanpa Gepeng), tapi begitu di atas panggung kita diarahkan juga untuk percaya lawakan mereka gak maksimal. Pak Teguh melempar dengan sepatu, Pak Presiden tak tertawa. Jadi agak rancu; apakah film ini ingin memperlihatkan mereka itu lucu atau tidak sebenarnya di bagian pertama ini.

 

 

 

Setelah berturut-turut nonton hal yang mustahil – alias film-film action dan fantasi barat – menonton Hil yang Mustahal memang terasa seperti nice change of pace. Film ini memang terasa lebih dekat. Aku tahu satu-dua hal tentang Srimulat (walau gak pernah benar-benar ngefans) dan film berhasil mengenai saraf nostalgia dan kenangan menyenangkanku perihal acara Srimulat dan juga era show komedi di televisi. Yang bikin aku terkesan di sini adalah penampilan akting (khususnya bintang muda yang gak jaim) dan nuansa jadul yang cukup terasa. Aku juga tertarik sama cerita Gepeng dan Tessy, yang sayangnya film enggak benar-benar build around it. Fokusnya lebih ke mengisi durasi panjang itu dengan komedi-komedi, yang sometimes go overboard. Jadi aku agak sedikit kecewa film ini ngambil rute ‘yang penting lucu’. Dan terutama karena mencuatkan diri sebagai babak pertama dari entah berapa babak. Padahal dari yang ingin disampaikan di sini, film bisa saja hadir sebagai cerita utuh. Dan memang berakhir sebagai closed story, hanya garapannya terlalu loose dan mengincar hook untuk bersambung, tidak seperti film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL – BABAK PERTAMA

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian ada perbedaan antara pelawak jaman dulu dengan pelawak masa kini? Bagaimana dengan selera komedi masyarakat, apakah juga mengalami perubahan?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS Review

 

“To be content doesn’t mean you don’t desire more, it means you’re thankful for what you have and patient for what’s to come”

 

 

Bukankah sudah kubilang bahwa cerita seorang ibu paling baik diapproach sebagai horor? I mean, toh memang di antara horor-horor bagus yang beredar, cukup banyak mengangkat tema bagaimana sih psikologis atau perasaan perempuan sebagai ibu. Bahkan mungkin setengah dari horor yang kita bahas di blog ini adalah horor tentang ibu. Marvel Studio pun tampaknya sependapat. Begitu sudah jelas sekuel Doctor Strange (2016) akan melingkupi saga Wanda Maximoff yang merasa kehilangan keluarga/anaknya, Marvel lantas mendapuk Sam Raimi untuk duduk di kursi sutradara.

Raimi terkenal lewat trilogi The Evil Dead (1981-1992). Gaya horornya yang seram-dan-menghibur-secara-bersamaan (gak percaya? coba tonton salah satu horor modernnya; Drag Me to Hell) cukup banyak jadi panutan oleh filmmaker. Namun begitu, ini bukan kali pertama Raimi menangani proyek superhero. Film Spider-Man Sony tahun 2002 yang punya dua sekuel itu kan, Raimi yang garap. Dia telah sukses mengimplementasikan gaya horornya ke dalam format superhero, sesuai kebutuhan. Tapi proyek tersebut terhenti setelah Raimi merasa gak puas oleh campurtangan studio di film ketiga. Makanya sekuel Strange kali ini jadi big deal. Marvel pastilah ngasih kebebasan yang luas bagi Raimi untuk mengkreasikan gayanya, sehingga sutradara ini mau aja untuk kembali ke ranah superhero. Setelah kutonton (akhirnya! yang nyebelin dari masa liburan ialah kupasti telat nonton sebab bioskop penuh), benar saja. Kita udah dapet film superhero dengan rating Dewasa yang penuh adegan sadis, tapi Doctor Strange in the Multiverse of Madness ini menawarkan sesuatu yang lain. Benar-benar ngepush PG-13 dengan cerita ibu yang jadi jahat hanya demi bersama anaknya, lengkap pake zombie, orang terpotong dua, dan kepala meledak!

Multiverse of Madness literally jadi MOM (ibu) kalo disingkat!

 

 

“Was there any other way?” adalah kalimat yang jadi kunci tema pada narasi. Apa ada cara lain, tanya Wanda kepada dirinya sendiri yang terus memimpikan dua putra ciliknya, cara lain untuk bisa bersama mereka. Multiverse yang jadi judul film inilah cara tersebut. Jadi cerita film ini intinya adalah tentang Wanda yang berusaha mendapatkan kekuatan untuk pindah-semesta. Wanda memburu satu-satunya makhluk di seluruh alam semesta yang bisa menyebrang semesta sesuka hati. Makhluk berupa perempuan remaja bernama America Chavez. Nyawa remaja tersebut ada dalam bahaya karena Wanda yang semakin gak sabar menjadi semakin terbenam dalam kejahatan.  Di dalam tidur melihat Chavez dikejar monster bersama dirinya yang tampak agak lain, Strange awalnya mengira itu cuma mimpi buruk. Tapi kemudian Chavez beneran muncul. Strange kini harus melindungi Chavez, yang tentu saja membuat Wanda jadi menganggapnya musuh. Wanda ngamuk, Kamar-Taj diporakporanda, orang-orang jadi korban, Strange dan Chavez terpaksa kabur ke semesta lain guna mencari kitab yang bisa mengimbangi kekuatan Wanda yang udah total jadi Scarlet Witch dengan buku sihir jahat DarkHold!

Dari sinopsis singkat tadi itu aja udah kelihatan. Berlawanan dengan kalimat kunci tadi, there is no other way, cerita seperti ini didirect bukan oleh Raimi. Dia adalah orang yang tepat untuk menghidupkan dunia penuh sihir, karakter berkekuatan aneh, dan segala universe yang ajaib. Aku suka gimana Raimi tampak gak tertarik sama cameo-cameoan. Mungkin fans akan berpikir liar melihat ada kata Multiverse, you know, kebanyakan mungkin akan berpikir bahwa ini bakal jadi kesempatan emas untuk memunculkan banyak surprise character. Sialnya bagi mereka, Multiverse menurut Raimi adalah sebuah lapangan bermain yang luas. Tempat dia bisa memasukkan gaya bercerita horor ringan-tapi-seramnya. Raimi memilih fokus kepada memvisualkan hal yang grounded dari cerita fantastis yang dipercayakan kepadanya. Dan dia gak tanggung-tanggung dalam visualisasinya. When it moves, semua bergerak cepat tapi kita bisa merasakan sensasi horor di sana sini. Gak ragu dia memasukkan elemen jumpscare; eksistensi jumpscare di superhero ada sudah cukup ngagetin! Adegan aksinya walau gak frontal pakai darah, tapi tetap bikin ngilu karena brutal datang secara subtil. Kamera akan ngezoom ke wajah untuk nunjukin intensitas karakter. Elizabeth Olsen yang jadi Wanda dapat banyak momen untuk menunjukkan permainan akting dan dialog ekspresifnya, dan semuanya dimanfaatkan maksimal. Dari Avenger terkuat yang bikin kita merasa aman dia berubah jadi bikin kita merasakan teror. Adegan Wanda nyerang Kamar-Taj intens banget. Asap yang datang menyelimuti pasukan good guys, ngasih kekelaman yang langsung kerasa sunyi-sunyi berbahaya kepada kita. Voldemort harusnya konsultasi ke Wanda dulu sebelum dia menyerang Hogwarts. Olsen could go dari bikin kita simpati, ke ‘njir gila lo ye?’, ke bikin kita pengen ikutan kabur (bayangin dikejar penyihir ngamuk yang lari terseok berdarah-darah dengan rambut terurai!) ke bikin kita merasa kasihan lagi dengan amat sangat mulus.

Arahan Sam Raimi membuat film ini lebih dari sekadar watchable, berkat sensasi superhero-tapi-horornya itu. Arahannya justru mengangkat film dengan naskah yang sebenarnya agak minimalis ini. Multiverse of Madness paling kompleks dalam membahas Wanda alias Scarlet Witch. Sementara tokoh utamanya, si Doctor Strange itu sendiri, pembahasannya sama minimalisnya seperti protagonis dalam The Northman (2022) yang baru kureview sebelum ini. Untungnya memang Strange enggak segabut Newt Scamander di film kedua Fantastic Beasts (2018). Keberadaan Strange di dalam cerita masih tampak penting. Dia gak cuma buat nolong si Chavez. Melainkan ada keparalelan yang coba ditarik antara dirinya dengan Wanda. Mereka sama-sama orang yang punya kehilangan di semesta mereka. Jika Wanda pengen hidup bersama anaknya lagi, maka Strange ini, well untuk gambaran; kita melihat dia datang ke nikahan mantan. See, orang yang udah move on pasti gak bakal ke nikahan mantan (padahal karena gak diundang hihihi) kan? eh atau karena udah move on makanya datang?..  Stephen Strange datang. Inilah yang sepertinya mau dijadikan konflik dirinya sepanjang cerita. Sepertinya ingin ditunjukkan bahwa Strange berlagak nyante dan udah move on padahal belum. Keberadaan Multiverse yang bisa dikunjungi dengan cara tertentu jadi nawarkan kemungkinan baru bagi hidupnya. Dia bisa saja seperti Wanda, pindah hidup ke universe yang lebih bahagia. Ke universe yang ia lihat di mimpi-mimpi indahnya, maybe. Nah minimalisnya naskah adalah konflik Strange yang diniatkan itu tidak pernah tercuatkan maksimal. Tentu, konfrontasi dia dengan mantan di universe lain ada, tapi resolusi dirinya tidak tampak memuaskan. Bilang “aku cinta kamu di semua semesta” gak benar-benar ngasih perkembangan yang berarti kepada karakternya. Apalagi jika dibandingkan dengan development Wanda di akhir cerita; saat dia menyadari yang ia lakukan kepada anak-anaknya di semesta lain sebenarnya.

Konsep bahwa mimpi sebenarnya adalah jendela ke kehidupan kita di semesta yang lain, memang menggiurkan. Honestly, aku langsung merasa relate dan sempat mendukung Wanda demi mengenang mimpi-mimpi indah. Kalo bisa, akupun mau pindah hidup ke semesta where ‘you’ still talk to me, atau ke semesta aku punya teman gaib, atau ke semesta Max masih hidup dan kucing-kucingku semua bisa ngomong. I don’t blame Wanda for wanting that life. Tapi kemudian di akhir, film ini hits me hard. Film ini bicara tentang bagaimana merasa content walau kita merasa ada yang kurang dari hidup. Bahwa cukup itu bukan berarti puas dengan yang kita punya. Bukan pula harus berjuang mengejar untuk mendapatkan apa yang gak kita punya. Melainkan, merasa cukup berarti juga berdamai dengan kesalahan yang kita lakukan dan lantas optimis untuk perbaikan.

 

Plot Wanda tetap terasa lebih kuat menghidupi cerita sementara plot yang lain struggle untuk relevan kepada tema. Yang paling disayangkan jelas plot si anak baru, America Chavez. Diperankan dengan energik dan pesona tersendiri oleh Xochitl Gomez, karakter ini jarang dieksplor. Backstorynya hanya dipaparkan di satu momen, lalu persoalan dia gak bisa mengendalikan kekuatan pindah-universenya beres dengan nasihat/semangat singkat dari Strange. Sayang banget. Apalagi jika kita menoleh ke Wanda, kayak, semuanya udah ada di sana padahal. Anak yang nyari ibunya – ibu yang mau anaknya; seharusnya ada sesuatu yang bisa dipantik dari Chavez dan Wanda. Tapi interaksi manusiawi antarmereka aja nyaris gak ada, let alone ada percakapan personal. Mereka sebagian besar tergambar sebagai pemburu dan buruan. Hanya di penyelesaian saja seperti ada pengertian antara kedua karakter ini.

Stephen Universe lol “Scarlet, America, and Wong, and Stephen!~”

 

 

Maka kayaknya bener juga sih kalo ada yang bilang cocoknya ini jadi WandaVision 2 aja. Multiverse of Madness selain berat ke Wanda, juga kurang stabil untuk bisa berdiri sendiri. Penonton yang gak nonton serial WandaVision mungkin bisa mengerti keinginan seorang ibu untuk bersama anaknya, tapi keseluruhan konteks Wanda-jadi-jahatnya gak bakal utuh didapat. Soal konsep Multiverse, juga sama. Aku sendiri gak nonton serial What If dan Loki. Alih-alih itu, modalku mengerti multiverse di sini adalah nonton serial kartun Rick & Morty yang juga punya bahasan multiverse yang sama kompleks. Bahwa berbagai versi diri kita ada, exist di dunia. Ada kita yang jahat, ada yang baik, ada yang mirip, ada yang mukanya beda, ada yang versi makhluk lain. Kemungkinan versi masing-masing orang tak terbatas. Di satu sisi memang jadi tontonan yang menarik, bikin penasaran melihat versi-versi itu. Namun di sisi lain, konsep multiverse juga bisa jadi bumerang. Salah satunya adalah soal kematian.

Kematian satu karakter gak akan jadi persoalan lagi jika ada multiverse. Satu karakter yang mati, tapi dia itu masih hidup (dan banyak versi) di semesta-semesta lain. Di episode Rick & Morty malah kedua karakter utamanya membunuh versi diri mereka gitu aja, karena mereka udah messed up di semesta sendiri jadi mereka pindah hidup ke semesta yang paling mendekati kenormalan versi mereka. Pada akhirnya, stake film jadi gak ada lagi. Kita bakal casual aja melihat karakter mati karena toh nanti ada versi lain yang muncul di film/serial lain. Para karakter bisa diperankan oleh aktor yang sama, bisa juga tidak, di setiap semesta. Ini bukan teori atau gimana ke depan, loh. Melainkan langsung terasa buktinya di film Multiverse of Madness ini.

Dalam satu rangkaian adegan (yang aku yakin ini adalah permintaan studio, karena tone di sini benar-benar berbeda dari keseluruhan film) diperlihatkan Doctor Strange bertemu sama tim Illuminati. Ada Captain Marvel universe lain, Captain Carter, Mordo, Richards Fantastic Four, Black Bolt, dan Prof. X! (satu-satunya waktu saat penonton yang menanti cameo bersorak hihihi) Karakter-karakter yang sebenarnya berperan besar dalam universe atau cerita masing-masing, di film ini kayak muncul seadanya saja. Nantinya, mereka akan bertarung dengan Scarlet Witch. And they just dead. Matinya seru sih, cuma ya itu. Mati. Gak banyak pikiran di baliknya. Mereka mati gitu aja karena sudah dalam multiverse plot armor. Setiap karakter kini mati pun tak apa. Mereka bisa ‘direvive’ kapan saja sesuai kemauan studio. Kita yang nonton melihat kematian mereka pun jadi datar aja, demi menyadari itu semua. Nonton keseluruhan film jadi gak ada greget. Strange mati pun kupikir gak bakal ngaruh banyak karena toh ada infinite number of him yang bisa dimunculkan oleh studio. Satu-satunya yang bikin kita bisa peduli adalah si Chavez (dia cuma satu-satunya di semesta) dan melihat development si Wanda (itupun bagi penonton yang ngikutin serialnya).

 

 

 

Visi dan gaya unik sutradara adalah hal yang benar-benar dibutuhkan oleh sinematik universe yang sudah berjalan begitu lama seperti MCU. Kita bisa membuktikan itu pada film ini. Terasa benar bagaimana arahan Sam Raimi yang bermain kreasi horor di ranah superhero, mengangkat film ini jadi pengalaman seru yang berbeda. Aku benar-benar suka pada apa yang ia lakukan dalam menghidupkan naskah yang kurang balance dan cukup minimalis ini ke layar lebar. Ya, weakest part dari film ini sebenarnya bukan arahan Raimi yang di luar kebiasaan Marvel. Melainkan pada naskahnya. Karakter utamanya kalah solid penulisannya dibandingkan dengan karakter antagonis. Karakter baru yang dihadirkan juga tidak didalami. Dan juga, naskah film ini ngasih kita pe-er yang banyak kalo mau mengerti dan lebih enjoy menonton. Beruntung arahannya tadi sangat keren. This is truly ketika yang horor-horor jadi pahlawan!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang multiverse? Apakah konsep multiverse bikin satu film lebih menarik, atau malah membingungkan? Apakah kalian gak keberatan sama untuk mengerti satu film kita harus nonton sejumlah serial dan film lain dulu?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE NORTHMAN Review

 

“He who seeks revenge digs two graves.”

 

 

Dongeng-dongeng kerajaan selalu diwarnai oleh perang, perebutan kekuasaan, dan pengkhianatan. Mulai dari Ken Arok hingga Game of Thrones, selalu ada yang namanya pertikaian menggulingkan raja. Kudeta dari sanak keluarga. Entah itu untuk menjadikan hal lebih baik atau lebih buruk. tahta dan kekuasaan tampaknya memang mengeluarkan sisi ‘binatang’ dari manusia. Betapun beradabnya hidup kita. Mungkin itulah yang bikin Robert Eggers tertarik untuk mengangkat cerita dari mitologi bangsa Viking. Terkenal lewat dua film-panjang pertamanya, The Witch (2015) dan The Lighthouse (2019), sutradara ini bilang dia enjoy mengangkat cerita dari periode dahulu kala karena menurutnya manusia itu tidak berubah. Walaupun zaman dan keadaan bisa demikian berbeda, nature manusia tetap sama. Maka tentu saja menarik sekali mengulik apa sebenarnya yang ingin Eggers sampaikan lewat The Northman, karya terbarunya. Yang membahas tragedi satu kerajaan bangsa Viking di awal-awal tahun Masehi, paket-lengkap perebutan kekuasaan dengan pengkhianatan dengan penceritaan penuh fantasi dan machismo!

Bayangkan The Lion king, jika ceritanya lebih menekankan kepada balas dendam sehingga berkembang menjadi antitesis petualangan si Simba. Gak ada hakuna matata. Hanya balas dendam yang membara.  The Northman menceritakan kisah Amleth. Calon penerus kerajaan yang harus menyaksikan kematian ayahnya, sang raja, di tangan pamannya sendiri. Kisah Amleth ini memang jadi inspirasi William Shakespeare, yang menuliskannya ke dalam apa yang kita kenal sebagai Hamlet – yang diyakini sebagai salah satu literatur paling berpengaruh di dunia. Hamlet telah diadaptasi dan jadi inspirasi bagi banyak karya lain. Salah satunya adalah si Lion King. So yea, Amleth pun diburu oleh kaki tangan pamannya. Seperti Simba diburu oleh para hyena atas perintah Scar, pamannya. Tapi gak seperti Simba yang terbenam dalam rasa bersalah, Amleth tumbuh dengan rasa dendam mengendap dalam dadanya. Mantra yang terus ia ulangi selama mendayung perahu saat melarikan diri adalah “I will avenge you, Father! I will save you, Mother! I will kill you, Fjolnir!” Hingga dewasa – berotot dan buas sesuai didikan klan Berserker yang memungutnya – Amleth terus mengulangi mantra itu. Dan ketika dia mendengar kabar keberadaan Fjolnir pamannya, Amleth menyamar sebagai budak belian sang paman. Dengan bantuan Olga – perempuan yang juga jadi budak – dan  sihir leluhur, Amleth bermaksud untuk memenuhi apa yang ia yakini sebagai tugasnya hidup di dunia.

Ini gambaran cerita Viking paling badass yang pernah aku lihat (bye-bye Viking yang selama ini kutahu dari Asterix!)

 

 

Bahkan untuk film yang sudah kuharapkan bakal sangar, The Northman tetep terasa amat sangat cadas! Aksi-aksinya beneran kekerasan yang tingkat barbar. Yang terasa semakin efektif berkat dukungan warna dan visual yang dingin. Sinematografinya indah  memang, tapi terkesan dingin. Pemandangan Islandia terhampar luas, mau itu daratan bersalju ataupun padang rumput. Malam-malam dengan api unggun. Dan itu semua works out perfectly, ngasih kita pengalaman nonton yang bikin adrenalin naik. Serupa kayak kalo lagi dengerin musik supermetal. I wish film ini tayang di bioskop supaya cinematic experiencenya bisa kita rasakan naik berkali lipat. Gerak kamera film ini benar-benar menyampaikan sensasi hewan buas, seperti yang dirasakan oleh karakternya. Karena dari perspektif Amleth, dirinya adalah serigala liar. Dia diajarkan identitas hidup dan survive seperti demikian, Eggers benar-benar memastikan perspektif protagonisnya itulah yang hanya kita rasakan sepanjang durasi film.

Saking immersivenya semua terasa, aku jadi kesulitan menentukan bagian mana yang paling aku suka dari film ini. Aku terbagi tiga! Bagian menyerbu ke desa untuk dijajah punya gerak kamera yang intens, sesuai dengan konflik yang bersarang di hati Amleth. Karena sekarang dia yang jadi ‘teroris’. Adegan-adegan di sekuen itu bengis-bengis dan Eggers memastikan kameranya gak berpaling dari itu semua. Aku suka. At one time, Amleth menangkap tombak yang dilempar kepadanya, dan melemparkan tombak itu balik ke si pelempar. Bad ass!! Sementara, final battle pun nanti tak kalah poeticnya. Malah bisa jadi terakhir itu adalah adegan swordfight paling ngerock yang pernah kita lihat di dalam film. Amleth dan Fjolnir, one on one, berduel hidup-mati, berlatar volkano yang tengah memuntahkan lava. Hasil akhir duel mereka bikin aku berdiri di kursi dan bertepuk tangan karena begitu keren pengadeganannya. Tapi bagian-bagian yang surealis pun tak kalah cakepnya. Ya, seperti film Robert Eggers yang sebelum-sebelumnya, The Northman juga kental oleh elemen fantasi atau mitologi yang  digarap dengan pendekatan surealis, nyaris mistis. Dan memang gaya ‘horor’nya inilah pemanis film Eggers sejauh ini. Set pieces dan kostum dan sinematografi tadi semakin dahsyat begitu masuk ke ranah ini. Amleth bakal dapat banyak bantuan dari makhluk-makhluk misterius, dia juga bakal banyak mendapat penglihatan. Eggers menjalin semua elemen dunia ceritanya dengan mulus. Also, kita bisa langsung mengerti makna di balik elemen surealis tersebut – atau setidaknya gak butuh banyak pemikiran rumit, karena The Northman, untuk sebagian besar, tidak tampil seambigu dua film Eggers sebelumnya. Ini cerita yang lebih straightforward. Tapi benar-benar ter-enhance berkat gaya penceritaan Eggers. Man, kalo memang harus mutusin, kayaknya aku bakal pilih bagian surealis aja sebagai favorit. Afterall, Anya Taylor-Joy ditempatkan di estetik dream-like tersebut betul-betul pemandangan yang:

*chef kiss*

 

 

Tentu saja penampilan akting dalam film ini juga berada di level ‘out-of-the-world’, alias sama-sama fantastis. Dialog-dialog mereka untungnya enggak setraditional dialog pada The Lighthouse, sehingga gak sukar dimengerti walaupun memang ada beberapa yang berupa chant bahasa nordik kuno (dan pelafalan nama yang cukup bikin lidah mikir dulu). Selain Anya, ada Willem Dafoe, Nicole Kidman, Ethan Hawke, dan banyak lagi aktor yang maksimal menghidupkan karakter mereka. But I do think development karakternya minimal. The Northman ini mengincar Dramatic Irony. Drama dari kejadian yang kita sebagai penonton tahu lebih banyak atau lebih dahulu daripada protagonisnya. Diharapkan, kita semakin peduli sama tindakan yang dipilih si karakter karena, misalnya, kita tahu yang ia pilih untuk yakini adalah sesuatu yang salah, sehingga kita merasakan dramatis dari sana. Nah di film ini, kita bisa melihat jauh lebih dahulu daripada si Amleth perihal apa sih sebenarnya di balik pengkhianatan si paman. Kita melihat Amleth sepanjang durasi terbakar oleh rasa dendam, bahwa segala tindakannya berujung kepada rencana untuk membalas dendam, tapi kita juga mengerti sepertinya ada kenyataan yang mengejutkan bagi Amleth di balik pengkhianatan tersebut. Di situlah letak kurangnya perkembangan karakter. Amleth hanya termotivasi oleh satu hal, dan ketika dia tahu kenyataan, bagi Amleth cuma jadi sebuah shock value. Pada akhirnya dia tetap harus membunuh sang paman, tapi perubahan alasan kenapa dia harus membunuh – tidak lagi semata karena balas dendam – tidak benar-benar diolah maksimal oleh film.

Percaya bahwa hidup untuk menjalankan satu tujuan atau fungsi tertentu. Begitulah orang memaknai takdir. Semua orang punya takdir, tapi adalah satu kesalahan meyakini takdir hidup hanya untuk membalas dendam. Perjuangan Amleth pada awalnya untuk membalas dendam, demi merebut kembali tempatnya sebagai penerus raja bersama keluarga. Itulah takdirnya yang sebenarnya. Amleth harus menyadari cara lain yang bisa ia ambil untuk memenuhi takdirnya sebagai raja. Cerita Amleth baru benar-benar jadi tragedi saat dia sudah menyadari hal tersebut, tapi tetap memutuskan untuk membalas dendam.

 

Amleth yang diperankan penuh dedikasi secara fisik maupun emosional oleh Alexander Skarsgard terasa stagnan karena film tidak memperlihatkan perkembangan atau pembelajaran yang ia alami. Misalnya, film melompat begitu saja dari saat dia kecil kabur dari buronan pembunuh, ke masa dia sudah jadi pejuang di klan Berserker. Kita tidak dikasih lihat perjuangannya bisa sampai sejago itu. Film hanya terus menekankan kepada revenge. Keinginan balas dendamlah yang bikin Amleth kuat. Ketika dia mulai jadi budak keluarga pamannya, seharusnya ada banyak psikologis yang bisa digali dari karakter Amleth. Karena di situ dia bertemu dengan ibunya, dengan adik tirinya, dengan pamannya, dan bahkan dengan penjaga yang dulu hampir mencelakainya. Fokus film tetap memperlihatkan balas dendam, Amleth menyusun rencana bersama Olga. Di babak kedua, pas jadi budak inilah film kayak meraba apa yang mau dibahas. Sempat diperlihatkan soal cinta pada keluarga. Ada sekuen yang memperlihatkan adegan Amleth menyelamatkan nyawa adik tirinya. Anak pamannya dengan ibunya. Tapi ini gak lanjut digali. Alih-alih membuat Amleth mengkonfrontasi perasaan atau penyebab kenapa dia menolong, film malah kembali membuatnya seolah itu adalah bagian dari rencana balas dendam. Amleth kerap dibuat kembali ke soal balas dendam. Karakternya jadi kurang dalam.

Hubungan dia dengan ayahnya pun kurang dalam penggaliannya. Like, untuk sebuah tekad membalaskan dendam, Amleth tidak digambarkan sedekat itu dengan sang ayah yang di menit-menit screen timenya diperlihatkan baru saja pulang dari perang dan sudah lama tidak melihat Amleth. Ketika mengetahui fakta tentang siapa ayahnya di akhir pun, Amleth tidak tampak demikian terguncang. Dia lebih terguncang buat ibunya. Menurutku ada penekanan yang kurang tegas dilakukan oleh film. Motivasi Amleth mestinya sudah berubah di titik dia tahu kebenaran. Bahwa the revenge it’s not just really about his father. Maskulinitas kerajaan itu kini hancur oleh terkuaknya peran perempuan. Ada sesuatu yang sepertinya ingin disampaikan film ini tentang perempuan di dalam narasinya. Ibu dan Olga bahkan terlihat punya keparalelan pada peran karakter mereka. Begitu juga dengan kemunculan Valkyrie – pejuang perempuan – dalam penglihatan Amleth. Kedamaian yang akhirnya dicapai oleh Amleth tampak datang dari dia sudah punya keluarga bersama Olga, tapi siklus balas dendam itu masih ada. Menurutku film ini, setelah terlalu straightforward mengisi dua babak awal karena kebutuhan untuk memunculkan dramatic irony tadi, malah tampak seperti kehabisan waktu mengembangkan kisahnya di babak akhir. Karena mendadak yang straightforward jadi balik ke ambigu. Film memang tidak sampai tergagap dan masih mempertahankan pesonanya, tapi kupikir hasil akhirnya harusnya bisa lebih baik lagi.

 

 

 

Meskipun film ketiganya ini enggak sekuat dua film sebelumnya, tapi aku masih amat sangat puas oleh cara Robert Eggers mempersembahkan ceritanya. Gambar dan aksi film ini hits very hard. So many epic scenes!! Mitologi nordik pun berhasil disematkan dengan mulus, dijadikan elemen surealis yang cukup bikin merinding. Karakternya juga punya dramatic point yang sangar, Hanya kurang pengembangan saja. Film ini terasa straightforward untuk sekitar 70-80 persen durasi, tapi lantas menjadi pengen lebih dalem – dan sudah tak cukup waktu. Bukan lantas kusebut berakhir abrupt, hanya memang terasa ada yang kurang ditekankan setelah misi dramatic irony-nya selesai. But hey, itu ‘cuma’ masalah pada naskah. Secara arahan dan visual film ini menghibur sekali dan benar-benar ngasih pengalaman yang berbeda.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE NORTHMAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi bagaimana menurut kalian cerita Amleth yang membalas dendam kepada pamannya yang berkhianat merebut tahta ini bisa relate dengan manusia jaman sekarang menurut Robert Eggers tadi?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

THE BAD GUYS Review

 

“Gives everyone a chance to show you who they are”

 

 

Bayi terlahir ke dunia dalam keadaan suci. Katanya sih, bagaikan kertas putih yang belum bertuliskan apa-apa. Masih kinclong banget. Namun dalam kurun hidupnya nanti, kertas tersebut akan cepat sekali ternoda. Penuh oleh catatan-catatan jelek yang ditulisnya sendiri. Si bayi gak bakal betah jadi orang suci. Dia akan mudah tergoda ke dark side. Orang jahat lebih keren daripada orang baik. Bandingkan saja karakter jahat di dalam film, yang biasanya lebih kompleks dibandingkan karakter baik yang cenderung annoying. Film yang karakter utamanya benar melulu terasa membosankan. Kita suka karakter yang bercela. Anak-anak cewek juga lebih suka pacaran ama bad boy ketimbang anak yang kalem. Jadi orang jahat dipandang lebih menarik, dan menguntungkan (kalo salah dan lantas viral – tinggal minta maaf!). Jadi mempertahankan ‘kertas’ bawaan lahir tetap putih itu susah, lantaran memang berbuat kebaikan lebih berat dan sulit untuk dilakukan. Kita actually harus belajar untuk menjadi orang yang baik. Kita harus belajar moral, agama, PPKn, Animasi-panjang debut sutradara Pierre Perifel memotret soal tersebut. The Bad Guys mengajak kita  merampok bank bersama hewan-hewan jahat, bertualang seru di dunia animasi sembari memperlihatkan struggle untuk menjadi orang baik itu begitu real.

Sebagai film heist, The Bad Guys actually banyak ‘mencuri’ dari film-film lain. Selain memuat banyak referensi dan trope-trope khas dari genre heist itu sendiri, nonton film ini terutama membuatku keingetan sama Despicable Me (2010) dan Zootopia (2016). Karena bermain di tema yang sama. Yakni tentang prasangka dan soal orang jahat yang harus berbuat baik. Geng Bad Guys terdiri dari Wolf, Snake, Shark, Tarantula, dan Piranha yang sudah bersahabat – merampok bank bersama-sama – sejak lama. Kiprah mereka sudah jadi legenda di kota. Semua orang takut kepada mereka. Untuk aksi puncak mereka, hewan-hewan antropomorfik ini berencana merebut Golden Dolphin, piala emas untuk orang paling dermawan di kota. Dalam aksi mereka, Wolf terpaksa harus menolong seorang ibu tua, membuat dirinya merasakan untuk pertama kalinya dipuji sebagai orang baik. Rencana mereka malam itu memang gagal, tapi Wolf yang tertangkap punya rencana lain. Wolf dan teman-temannya mengaku insaf, dan belajar jadi warga yang baik, padahal mereka masih berniat mencuri piala. Selama periode berpura-pura itulah, Wolf mulai mempertanyakan diri sendiri. Dia orang jahat atau orang baik. See, untungnya, pak sutradara Perifel tetap mengolah elemen-elemen ‘curian’ dari film lain tadi dengan baik. sehingga dia sukses mencuatkannya sebagai warna unik film The Bad Guys tersendiri.

Also, aku ingin mempersembahkan ulasan ini kepada the original Bad Guy, Razor Ramon (Scott Hall) yang telah berpulang beberapa bulan yang lalu

 

 

Punya karakter berupa hewan buas, yang ternyata baik, dan real antagonis yang berupa hewan yang biasanya dimangsa, The Bad Guys memang paling gampang untuk dikatain mirip Zootopia. Kedua film sama-sama membahas wujud fisik seseorang seringkali membuat mereka terlalu cepat di-judge oleh masyarakat. Dalam The Bad Guys, Wolf diceritakan sudah turun temurun dianggap sebagai orang jahat berkat kemunculannya di cerita-cerita klasik seperti pada cerita 3 Babi Kecil ataupun Little Red Riding Hood. Begitu pula dengan teman-temannya yang basically adalah hewan-hewan predator yang menakutkan. Soal prasangka atau prejudice film ini pada perkembangannya, mulai menggali ke tempat yang berbeda dari Zootopia. Para karakter hewan itu, mereka semua diceritakan jadi perampok karena mereka percaya itulah role mereka di masyarakat. Orang-orang enggak pernah ngasih mereka kesempatan jadi yang lain, maka jadi orang-jahat itulah yang mereka lakukan. Perbedaan pengolahan lantas semakin ditunjukkan film ini lewat treatment world-building ceritanya.

Jika dalam dunia Zootopia semua penghuninya adalah hewan yang bertingkah seperti manusia, maka dalam The Bad Guys ini, hanya karakter-karakter sentral yang berspesies hewan-antropomorfik. Mereka hidup bertetangga dengan manusia. Dan bahkan hewan-hewan lain seperti kucing dan guinea pig masih bertingkah seperti binatang kayak di dunia kita. Film tidak memberikan penjelasan terhadap hal tersebut secara blak-blakan.  Awalnya kupikir ini cukup aneh. Kenapa setengah-setengah. Ternyata ini bukanlah kealpaan film dalam menjelaskan. Tidak, dunia cerita ini tidak ada sejarah sci-fi yang menyebabkan sebagian hewan-hewan itu bisa pakai baju dan berbicara. Melainkan penyimbolan yang digunakan film untuk semakin mencuatkan perihal prasangka yang jadi tema cerita.  Karakter sentral perampok yang hewan buas – Wolf yang bicara penuh tipuan, Shark yang ahli nyamar, Piranha dengan aksen dan suka nyari ribut, Snake yang egois, hingga Tarantula yang jago ngehack – mereka semua digambarkan sesuai dengan stereotipe tertentu. Jadi bukan sekadar cocok dengan ‘sikap’ hewannya, melainkan juga mewakili karakter manusia yang sudah jadi stereotipe. Akan lebih aman dan more accessible untuk membuat karakter-karakter seperti demikian sebagai hewan ketimbang membuat mereka jadi manusia. Karena pasti bakal menimbulkan “wah, filmnya rasis nih” Bayangkan kalo Piranha digambarkan sebagai manusia yang berkebangsaan sesuai dengan aksen bicaranya. Dengan menampilkan mereka sebagai karakter hewan di antara manusia, film sebenarnya ingin menunjukkan secara halus kepada kita bahwa seringkali kita juga memandang sesama dengan penuh kecurigaan. Kita melihat fisik (yang biasanya memang dikaitkan dengan ras)

Maka bisa dibilang, Perifel memanfaatkan medium animasi untuk mengkorporasikan visinya menyampaikan tema dengan maksimal. Bukan sekadar lucu-lucuan hewan bisa ngebut-ngebutan dan mencuri. Film ini mengandung layer bahkan sejak karakterisasinya. The Bad Guys toh memang seketika memancing perhatian kita ke animasinya. Karakter-karakter yang disuarakan oleh jejeran bintang top seperti Sam Rockwell, Awkwafina, Craig Robinson, Marc Maron, Anthony Ramos juga tampak hidup dan sangat lincah oleh animasi bergaya ala komik; dengan shade pinggiran yang tebal sehingga literally mencuat. Tampilannya ini jadi sangat fresh, karena berbeda dari animasi tradisional. Hampir seperti campuran supermulus antara animasi 2D dengan 3D. Humor juga ditampilkan lewat visual, sebagai penyeimbang dari dialog-dialog yang konyol. Bagian aksi heist mungkin sedikit repetitif, tapi karena disuguhkan dengan gaya yang berbeda, sama sekali tidak terasa membosankan.

Film ini bahkan tidak butuh lagu Billie Eilish  untuk membuat persembahannya terkesan seru

 

 

Yang paling aku suka dari film ini adalah cara mereka menghandle tema yang kupikir bakal sama persis dengan Despicable Me. Yaitu soal cara ‘mengubah’ karakter protagonis yang perampok ini menjadi hero dalam cerita. Dalam cerita yang ditargetkan untuk penonton muda (khususnya anak-anak) biasanya ya tinggal ngasih karakter penjahat sebagai lawan dari karakter baik. Kalo karakter baiknya orang jahat, ya tinggal kasih karakter yang lebih jahat dan culas dan curang untuk jadi lawannya. Cara seperti ini cenderung untuk melemahkan kompleksitas yang menyusun karakter-karakter. Membuat narasi mereka jadi simpel. Dan memang dalam The Bad Guys ada karakter yang lebih jahat. In fact, ada beberapa pengungkapan yang terbuild up dan jatoh cukup ngetwist perihal karakter mana sebenarnya siapa, mereka baik atau tidak. Tapi naskah enggak melupakan saga atau plot karakter sentralnya. Keberadaan penjahat tidak lantas membuat geng protagonis kita jadi hero, jadi baik. Film ini terus menggali karakter mereka. Film benar-benar membuat mereka merasakan sendiri proses menjadi baik. Film benar-benar memberi ruang bagi karakter-karakter itu untuk memilih mereka mau jadi baik atau jadi jahat. Dengan kata lain, perkembangan karakter itu ada di sini.

Konflik antarmereka; persahabatan mereka yang dijadikan stake, ultimately dimanfaatkan film untuk mengenhance karakterisasi. Memperdalam bahasan di balik kejar-kejaran, rampok-rampokan, dan kekocakan belajar bertingkah baik. Tengok bagaimana film menghandle plot si Snake. Mungkin karakter sobat si Wolf ini yang paling ngena buat kita karena naskah benar-benar membangunnya dengan seksama. Di akhir cerita, Snake jadi baik dan gak egois itu kerasa earned banget karena progresnya itu kita rasakan, terbangun plot poin demi plot poin. Tema ngasih kesempatan kepada orang itupun tercerminkan dengan sempurna bukan hanya kepada Wolf, tapi juga pada banyak karakter lain.

Dulu Bang Napi di televisi bilang kejahatan ada karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah. Film The Bad Guys menunjukkan, ternyata kebaikan juga seperti itu. Tercipta dari kesempatan. Berikan seseorang kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya, dan most of the time, seseorang itu akan menunjukkan yang terbaik dari dirinya. Jangan berprasangka dulu. Ya, berbuat baik itu sulit dan butuh kerja ekstra, maka sebaiknya jangan dipersulit lagi dengan menuduh hanya dari fisik atau dari kecurigaan semata.

 

 

Pepatah ‘Don’t judge a book by it’s cover’ sekali lagi terbuktikan oleh film ini. Bukan saja dari ceritanya, tapi juga dari eksistensinya. Pertama kali melihat trailer film ini di bioskop, kupikir bakal kayak animasi hura-hura yang biasa. Kekonyolan aksi perampokan saja. Catering untuk audience dengan berlebay-lebay. Tapi ternyata enggak. Selain satu-dua momen karakternya unnecessarily break the 4th wall, film ini ternyata terdesain sangat sempurna. Baik itu dari penceritaan, maupun tampilan visualnya. Animasinya hidup, sangat berlayer, persis seperti karakterisasi karakter-karakternya. Berlapis. Mereka semua actually punya plot dan perkembangan di balik aksi seru-seruan yang kocak. Sutradara Pierre Perifel tampak benar-benar memanfaatkan medium animasi sebagai media penyampai visinya. Dan dia gak segan-segan ngambil dari elemen film-film lain, untuk kemudian berusaha menggubahnya menjadi warna tersendiri.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BAD GUYS.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya orang-orang bakal melakukan yang terbaik jika diberikan kesempatan? Atau apakah manusia memang sudah hopeless gak bisa diharapkan untuk jadi baik?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

KKN DI DESA PENARI Review

 

“We need to remember across generations that there is as much to learn as there is to teach.”

 

 

 

Semua hal yang populer, perlu untuk dibuatkan menjadi film. Kalimat itu benar mutlak, kalo kalian punya pemikiran seperti studio/PH gede. Maka dari itulah film-film yang kita dapati sekarang, semakin banyak yang dibuat dari cerita yang entah itu remake dari film lain, adaptasi dari novel atau sastra, adaptasi komik – atau game – atau lagu – atau bahkan ‘adaptasi’ dari apapun.  It is just easier (dan less riskier) menjual sesuatu yang udah ketahuan ada pembelinya. Cerita original bukannya gak ada peminat ataupun gak ada yang mau bikin. Hanya memang munculnya agak jarang karena ‘perjuangannya’ lebih panjang untuk bisa lolos difilmkan. Harus dipopulerkan dahulu. Caranya? Ya beragam; bisa digimmick-kan, bisa dengan ambil aktor atau pembuat yang lagi hits, atau yang lucunya – ‘terpaksa’ dijadiin buku dulu. Sehingga jadi gak dianggap original lagi.

Di detik ini, udah susah untuk  mastiin apakah cerita KKN di Desa Penari adalah cerita original yang didesain untuk viral dulu sebelum digarap jadi film, atau memang karena viral maka difilmkan. Wallahualam. Yang jelas, thread Twitter yang muncul di 2019 itu memang sensasional. Semua orang yang kukenal, bilang sudah membacanya. Kalo sudah serame itu, kehadiran filmnya memang tinggal menunggu waktu (dan damn Covid memastikan kita menunggu untuk waktu yang bertambah-tambah). Hanya saja, here’s the thing about adaptation. Ekspektasi bakalan tinggi. Menyadur alih-medium itu gak gampang. Tantangan sutradara Awi Suryadi di proyek KKN ini berat. Karena jika ternyata film ini kalah seram ama threadnya yang berhasil viral itu, maka ya berarti storytelling-nya kalah telak dan juga berarti studio filmnya gak mampu ngehandle cerita seram yang bagus.

Seenggaknya buatku nonton film ini terasa original, karena aku gak baca thread-nya sebelum ini

 

Genre Horor, sejak meledak oleh Hollywood di 70-90an, suka mengangkat kisah remaja yang terdampar di hutan atau tempat asing, dengan pembunuh atau makhluk menyeramkan mengincar. Sekelompok remaja yang modern dan bebas akan dikontraskan hal-hal yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Biasanya awal masalah dimulai ketika ada satu orang yang melanggar ‘aturan’ di tempat tersebut. Horor itu sendiri adalah simbol dari nilai-nilai yang diantagoniskan oleh sosok remaja. Aturan, orang tua, tanggung jawab, dan sebagainya. Cerita KKN di Desa Penari fits that mold perfectly. Enam orang mahasiswa harus KKN supaya bisa lulus, tapi sialnya desa yang mereka pilih adalah desa yang sungguh misterius. Lokasinya jauh di dalam hutan, penghuninya orang tua semua, banyak sesajen di mana-mana, dan sesekali terdengar suara gamelan entah dari mana. Tadinya kupikir bakal keren sekali, film horor lokal yang gak sekadar niru formula horor barat melainkan punya identitas lokal. Para mahasiswa bener-bener ada alasan kuat untuk berada di TKP. Bukan alasan sepele kayak liburan, ngevlog, atau semacamnya. Dan sebagai yang pernah ngerasain KKN, ya cerita ini relate. Anak KKN mana sih yang gak punya pengalaman horor sepulang dari desa yang ditugaskan.

Pengalaman horor tersebut erat kaitannya dengan cueknya remaja dengan aturan desa yang aneh dan gak logis, atau juga dengan kebiasaan di sana yang berbeda sekali dengan di tempat asal. Singkatnya, only natural bagi cerita seperti ini untuk memakai formula fish-out-of-water. Dalam KKN di Desa Penari, ‘fish’nya adalah Nur dan lima orang teman. Mereka gak boleh sompral. Gak dianjurkan pake pakaian terbuka. Terutama gak boleh masuk ke wilayah hutan yang disebut penduduk desa Tapak Tilas. Tentu saja aturan-aturan tersebut tetap terlanggar juga oleh teman-teman Nur. Keberadaan mereka jadi ternotice oleh lelembut penguasa di situ, Badarawuhi, yang langsung menempel ke teman yang cewek, merayu teman yang cowok, dan bikin perjanjian sama teman yang satu lagi. Sebelum mereka semua diambil, Nur yang punya ‘pelindung’ berusaha mengarahkan teman-temannya kembali ke ‘jalan yang benar’.

“Sebagai yang waktu kuliah dulu sering harus tinggal di daerah pelosok (bukan hanya saat KKN), aku memang sependapat sama film ini. Bahwa semuanya adalah soal respect. Betapapun gak logisnya aturan dan tahayul di hutan, ikutin aja. Bukan soal percaya atau gak percaya. Melainkan soal menghormati yang punya tempat, alias penduduk lokal. Dialog di ending saat orang desa merasa bersalah atas tragedi yang menimpa Nur dkk, sementara Nur juga merasa bersalah karena lalai menjaga kepercayaan benar-benar menunjukkan bahwa di mana pun, kapan pun, siapapun, sebenarnya sama-sama ingin saling menjaga.”

 

Cukup banyak sebenarnya poin-poin kejadian menarik yang dikandung oleh film ini. Aku suka bagian ketika para mahasiswa dihidangkan kopi hitam oleh tetua desa. Adegan tersebut digunakan sebagai set up untuk menghantarkan ke bagaimana para karakter nanti tahu siapa di antara mereka yang sedang ketempelan makhluk halus. Soal makhluk halus, film ini punya cukup banyak (emangnya film superhero doang yang bisa punya villain lebih dari satu!) Yang paling berkesan memang si Badarawuhi yang tampil magis dan merinding sekali dibawakan oleh Aulia Sarah berbusana penari tradisional. Setidaknya film ini got it right dengan membuat karakter-karakter hantunya terasa berada di level yang berbeda dengan karakter manusia. Sekuen di ‘hajatan’ juga aku suka, meskipun agak klise, tapi kejadian seperti itu paling relate buat cerita-cerita nyasar di hutan. Dan adegan di sana digambarkan dalam ‘nada’ yang paling berbeda dibandingkan dengan rest of the movie, sehingga jadi terasa sangat fresh.

Nada atau tone sebagian besar durasi itulah masalah yang pertama kali kurasakan saat masuk ke film ini. Terasa begitu monoton. Film tidak menampilkan banyak emosi atau suasana lain selain mood yang seram nan angker melulu. Para karakter mahasiswa tampak cemas, bingung, takut sepanjang waktu. Mereka udah kayak kurcaci di cerita Snow White, karakterisasinya hanya terdefinisikan oleh satu emosi. Si Jutek, Si Alim, Si Misterius, Si Pelawak. Nur, misalnya, dia kayak gak boleh bersuka ria atau bercanda oleh naskah. Kerjaannya cuma mencemaskan yang lain, dan ngingetin ibadah. Kita pengen melihat lebih banyak interaksi mereka, entah itu sesama mahasiswa ataupun dengan penduduk – you know, sekadar untuk ngingetin kalo mereka itu ada di desa untuk KKN. Ada tugas, ada goal. Poin-poin menarik yang kusebut di atas tadi mestinya bisa disebar dengan natural, bikin cerita benar-benar ada flow. Toh KKN beneran kan gak serem-sereman sepanjang waktu. Kita butuh untuk melihat para karakter sebagai manusia normal, mereka harusnya  ngalamin banyak hal di tempat itu. Cerita ini punya banyak elemen dan lingkungan yang bisa digali, tapi sutradara Awi Suryadi terpaku pada keadaan film yang sekarang sudah jadi sebuah adaptasi thread viral.

Keviralan tersebut malah jadi beban, ketimbang sesuatu yang membebaskan kreativitas. Alih-allih menjawab tantangan dia bisa bercerita lebih hebat daripada thread Twitter bercerita, Pak Sutradara lebih memilih untuk ngikutin apa yang sudah tertulis. Dan dia tidak melakukan hal selain itu. Makanya film ini nadanya jadi monoton. Karena ‘adaptasi’ dalam konteks KKN di Desa Penari ini bagi pembuatnya adalah tentang mewujudkan semua bagian-bagian mengerikan yang bikin ceritanya viral. Bukan adaptasi yang menafsirkan ke dalam bahasa film. Film ini hanya berisi scare demi scare. Struktur naskahnya tidak dipedulikan lagi. Di paruh akhir, baru para karakternya mengerti konflik dan apa yang harus mereka lakukan (mencari bangle Badarawuhi) Menit-menit awal aja aku udah ngakak karena film ini actually punya dua adegan opening, dan dua kredit pembuka. Dua kali kita ngeliat adegan baru-tiba-di-desa, naik motor masuk ke hutan – pembukaan pertama ceritanya masih survei desa, yang kedua baru beneran datang KKN dengan formasi lengkap. Dan di dua adegan pembuka yang mirip itu gak ada informasi yang berbeda. Benar-benar gak perlu – dan bisa saja dibikin jadi satu. Gak usah ngikut cerita di Twitter. Ketika jadi film, mestinya cerita bisa ditambah, misalnya, adegan mereka di kampus  ditunjuk KKN bareng. Dikasih tahu kalo ini kesempatan terakhir mereka untuk lulus sebelum di DO, misalnya. Menurutku adegan seperti itu harusnya ada supaya siapa para mahasiswa dan situasi mereka bisa benar-benar terbuild up dan kita jadi peduli.

Gabut amat KKN tapi kerjaannya kesurupan melulu

 

Ketawaku malah jadi lebih gede lagi ketika sampai di menjelang akhir. Tau-tau film ini membuat seolah Nur dan yang lain adalah tokoh asli, dengan ada adegan yang membuat film jadi kayak sebuah mockumentary. Gimmick ‘kejadian dari kisah nyata’ yang dipakai oleh thread Twitter-nya turut diadaptasi mentah-mentah oleh film ini, menghasilkan konsep tontonan yang benar-benar gak konsisten. Jika memang mau membuat ini jadi semacam mockumentary, menjual ini sebagai seolah kisah nyata, kenapa bangunan bercerita filmnya tidak dibentuk seperti itu sedari awal. Bisa dibilang, tidak ada tindak adaptasi yang dilakukan di sini, karena hanya tumplek plek kayak memvisualkan setiap kejadian seram. Tanpa dikomandoi ritme dan alunan alur cerita. Pun dalam memvisualkan juga gak bisa dibilang istimewa.  Kalo para bocil yang baca thread KKN dikasih kamera dan disuruh mengadegankan yang mereka baca, aku yakin hasilnya gak akan jauh dari adegan yang kita saksikan di film ini.  Sebegitu standarnya yang dilakukan pembuat film untuk menghidupkan ceritanya. Gak ada yang spesial. Pan kanan – pan kiri. Jumpscare. Kamera miring dikit. Drone. Menari. Jika MCU punya machination alias template pada arahan actionnya, maka film ini nujukin film horor kita punya template khusus adegan horor, dan  KKN ini ngikutin semuanya.

Konfrontasi terakhir dengan si ratu jin ular penari? Beuh, jangan ditanya! Konklusi Nur dengan ‘pelindung’nya? Jangan disebut! Karena memang film gak ngasih development apa-apa untuk protagonis utama kita. Tissa Biani pastilah ngerasa gabut banget meranin Nur. Dia cuma meringis karena bahunya berat. Gak ada aksi, gak ada pilihan, nyawaya pun tak pernah terancam bahaya. Cara dia menemukan bangle Badarawuhi pun cuma ‘kebetulan’ sekali. Nemunya gak susah. Nur cuma karakter moral, yang kadang tampak segala tahu. Siapa dia, backstorynya gak pernah digali. Di babak akhir dia cuma nangis merasa bersalah. Yang save the day justru karakter lain, yang namanya bahkan bisa tidak kusebutkan di sini tanpa banyak pengaruh apa-apa.

Dengan sering mundur tayang, film ini padahal punya banyak waktu untuk revisi. Jika gak bisa suting ulang, paling enggak editingnyalah diberdayakan. Tapi sekali lagi mereka membuktikan bahwa mereka tak peduli sama film ini selain untuk jualan. Karena yang actually mereka lakukan cuma merilis dua versi; reguler dan uncut. Aku tahu sex sells, tapi maan mereka membuatnya sangat obvious cuma mau menjual filmnya dengan adegan dewasa. Di bulan puasa! Padahal bisa aja rilis bersamaan dengan dua ending; taktik ini padahal di luar juga cukup langka. Yang benar-benar melakukannya pada rilis teater bersamaan (bukan di platform lain setelah filmnya turun) paling bisa diitung jari, misalnya Clue (1985) dan Unfriended: Dark Web (2018) Atau si KKN ini, since kayak pengen banget ngikutin threadnya, kenapa gak rilis dua sudut pandang yang berbeda (bersi Nur dan versi Widya)? Samar-samar terdengar tembang berisi jawaban: ya karena butuh kerja keras, bego!

 

 

 

Yea, this is bad. Namun bukan jelek dari materinya. Kita masih bisa merasakan potensi dan hal-hal menarik terkait horor remaja di desa di dalam sana. Afterall, threadnya bisa sukses tentu salah satunya berkat cerita yang bisa relate sekaligus bikin penasaran. Film ini terasa bad karena yang sekarang ini terasa kayak produk  jualan komplementer, pelengkap dari keviralannya. Pembuatnya enggak melakukan banyak untuk menghidupkan dan mengangkatnya ke dalam film. Karakter gak ada plot. Pengadeganan super standar. Bercerita dengan nada monoton, cuma wahana scare. Aku harap beberapa tahun ke depan, cerita ini diadaptasi oleh pembuat yang benar-benar peduli.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for KKN DI DESA PENARI.

 

 

That’s all we have for now.

My Dirt Sheet dan CineCrib sempat ngobrolin soal pengalaman seram selama KKN, di Episode Talks Youtube

Apakah kalian punya atau pernah mendengar pengalaman horor saat sedang KKN?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA