BABY DRIVER Review

“Music plays the melody of our being.”

 

 

Apa soundtrack hidupmu hari ini? Well, yea, oke, kalimat tersebut terdengar cheesy, tapi memang kita sering mendengarkan musik buat mengamplify apa yang sedang kita rasakan. Banyak orang menggunakan musik sebagai cara ‘melarikan diri’ dari kehidupan yang membosankan. Misalnya ketika lagi disuruh nyapu rumah, kita ngerjainnya sambil dengerin musik rock supaya menjadi lebih menarik dan kita bisa ngayal jadi Slash – ngejrengin sapu seolah benda itu adalah gitar. Kita merelasikan emosi terhadap musik, bahkan terkadang kita bertindak sesuai iramanya. Musik entrance pemain WWE yang kita dengar mengiringi kedatangan mereka itu bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarana untuk menguatkan karakter. Maka tak jarang superstar berjalan ke atas ring dengan gerakan yang selaraskan dengan hentakan musik. Satu hal lagi yang sering dilakukan orang kalo lagi punya perasaan yang membuat mereka ingin ‘melarikan diri’ adalah ngebut di jalanan. Jadi, begitulah film Baby Driver menemukan jalannya masuk menjadi sangat dekat dengan kita semua. Melalui musik yang keren dan adegan kebut-kebutan yang seru!

coba deh sesekali ngebut sambil dengerin lagu anak-anak jadul Aku Cinta Rupiah

 

Film terbaru dari salah satu sutradara favoritku ini adalah cerita tentang seorang cowok yang noleh kalo dipanggil Baby. Hobinya cukup aneh. Bukan hanya selalu mendengarkan musik yang ia dengar melalui ipodnya, Baby juga suka merekam percakapan orang-orang dan mengubah potongan-potongan dialog tersebut menjadi semacam mix tape untuk ia dengarkan di kemudian hari. Rekan kerjanya pada heran ngeliat Baby yang jarang bicara dan lebih suka menghentak-hentak asik sendiri dengan earphone senantiasa di telinga. “Is he slow?” tokoh Jamie Foxx meledek seolah Baby mengalami keterbelakangan mental. Namun, jika ada satu yang tidak bisa dilakukan Baby, maka itu adalah pelan-pelan. Gini, Jamie Foxx dan ‘rekan kerja’ Baby sebenarnya adalah perampok elit, Bos mereka adalah Kevin Spacey, dan kerjaan Baby adalah sebagai supir yang menghantarkan para perampok itu pulang ke markas dengan selamat.  Baby kerja begini demi melunasi hutangnya kepada si bos. Hanya tinggal satu perampokan lagi sebelum utang tersebut lunas, akan tetapi berkat kefantastisan kecepatan dan teknik mengemudi Baby yang seng ada lawan, tidak semudah itu bagi dirinya untuk minta berhenti dari pekerjaan.

Baby is the best at what he does. Ngebut sambil mengapresiasi musik dengan caranya sendiri. Dari kekerenan apa yang dilakukan oleh Baby, perlahan akan terungkap bahwa itu adalah caranya mengekspresikan his vulnerability. Musik dan ngebut adalah cara Baby ‘mengalahkan’ trauma masa kecil yang masih terus menghantui. Dua hal tersebut juga jadi jalan buat Baby menenggelamkan rasa bersalah atas pekerjaan yang enggak disetujui oleh hatinya. Baby ingin memberi arti kepada kenyataan yang ia hadapi. Namun, dalam setiap belokan, Baby – dan juga kita – diingatkan bahwa  ada hal yang tak bisa kita lari darinya. Bahwa selalu ada ujung di setiap jalan gak peduli betapa lihainya kita mengemudikan hidup.

 

Edgar Wright, lewat film ini membuktikan, bahwa ia juga adalah the best at what he does. Banyak kritik yang menyebut karya-karya sutradara ini masih terlalu memikirkan gaya. Dan kata-kata tersebut benar. Namun aku enggak setuju untuk menyebutnya sebagai kritik. Karena menurutku, gaya adalah salah satu faktor penting yang harus terus diasah oleh pembuat film supaya film mereka kentara perbedaannya dengan film-film karya orang lain. Bayangkan kalo semua film style berceritanya seragam gitu-gitu mulu, pasti kita yang nonton lama-lama bakal bosen ke bioskop. Setiap karya Edgar Wright selalu insanely kocak serta punya pace yang extremely cepet dengan editing yang sangat precise. Ketika kita nonton Baby Driver, walaupun jika kita belum tahu ini dibuat oleh Wright,  atau bahkan kita hanya nonton sepotong adegan acak, kita akan langsung spontan tahu bahwa aksi kebut-kebutan kriminal ini dibuat olehnya. Sebab arahan Edgar Wright sangat spesial, tidak ada filmmaker lain yang menangani adegan per adegan seperti yang ia lakukan.

Tidak ada pengadeganan yang membosankan. Babak satu film ini – dan ini tidak berlebihan – adalah kesempurnaan dalam filmmaking. Sekuen kejar-kejaran mobilnya adalah yang terbaik yang bisa kita minta ke mbak-mbak penjaga tiket. Hebatnya, semua stunt dahsyat itu tampak benar-benar bisa dilakukan di dunia nyata, meskipun memang ada sebagian kecil yang memanfaatkan teknologi grafik komputer.

Tidak seperti pada Atomic Blonde (2017) yang musiknya malah terdengar menerobos dan enggak benar-benar paralel terhadap film, penggunaan musik dalam Baby Driver teramat sangat integral sama narasi. Musik adalah bagian penting dalam penokohan Baby. In a way, kita bisa bilang bahwa ini adalah film SETENGAH-MUSIKAL sebab gedenya pengaruh elemen musik. Lagu-lagu asik tersebut disulam sempurna, diedit dengan sangat precise sebagai bagian dari adegan. Pada bagian awal film, ada satu adegan panjang yang diambil gak-putus di mana Baby pergi beli kopi dan dia ngelip-sync lagu yang ia dengar sepanjang jalan; adegan yang sangat menyenangkan dan bakal bikin kita melotot lantaran Edgar Wright juga sangat visual dalam bercerita. Perhatiin deh gambar graffiti yang dilewati oleh Baby. Ataupun pada adegan ending, Wright memutuskan untuk mengakhiri cerita dengan nada yang sedikit ambigu, dan clue-clue pada layar dapat membantu kita untuk sampai ada kesimpulan bagaimana menurut kita masing-masing kelanjutan kisah romansa Baby.

Ya, kisah cinta adalah salah satu elemen besar di sini. Setelah babak pertama yang luar biasa exciting, film sempat ngerem dikit demi membangun romance antara Baby dengan waitress kece yang juga demen mendengar musik. Relationship mereka tampak cute banget. Dari hubungan Baby dengan Debora ini bisa aja menimbulkan tren pacaran baru di dunia kita; duduk mesra sambil nyari lagu-lagu yang ada nama pacar masing-masing. Hihihi, so sweet yaa.. Anyway, yang bernama Howuo pasti juara, dan nama Arya menangnya saat absensi kelas doang hhuuff..

 

Debora mirip banget yaa sama Shelly yang di serial Twin Peaks

 

Sekalipun sangat kuat dalam gaya, namun Edgar Wright tidak pernah melupakan substanti pada setiap ceritanya. Penulisan Baby Driver sangatlah on-point. Strukturnya berhasil memberikan banyak kepada Baby meskipun tokoh utama kita ini hanyalah semacam orang suruhan yang tidak mau berada di sana. I mean, Baby kebanyakan bereaksi ketimbang beraksi – sesuatu yang kebalikan dari rumus tokoh utama –  tetapi film masih mampu mengolahnya sehingga senantiasa menarik. Baby adalah karakter unik yang sangat menarik. Ada adegan menarik ketika tokoh Jamie Foxx kesel atas kurangnya perhatian yang diberikan Baby kepada rencana perampokan mereka. Baby asik dengerin musik. He was like, Boss I don’t trust him, he’s not paying attention. Nanggepin protes ini, Kevin Spacey dengan bangganya menyuruh Baby mengulang rencana tadi, dan Baby dengan lancar banget menjelaskan ulang semuanya. Pada babak ketigalah, karakter Baby mekar sempurna. Dia memilih jalan hidupnya sendiri, dan naskah to some extent terus memberi rintangan. Kita dapat banyak sekali sekuens aksi yang sangat menakjubkan di babak ini sampai-sampai kita melihat Baby harus melakukan pekerjaan terbaiknya, yaitu ngebut, tanpa mobil. Nah lo!

Jamie Foxx yang so sly and badass, Kevin Spacey yang bisa ngomong begitu cepat tanpa meninggalkan satu ekspresi pun di belakang, Jon Hamm yang mampu mengembangkan karakter dari sepenggal dialog backstory, Lily James yang namanya ngeri banget gabungan orangtua Harry Potter, ini adalah jajaran cast tidak bisa membuat film menjadi buruk – malahan menjadi semakin menghibur. Yang membuatku khawatir memang cuma Ansel Elgort seorang. Sebab biasanya dia main di film-film adaptasi novel young adult, dan dia enggak pernah benar-benar stand out. Perannya sebagai Baby adalah peran yang enggak kita sangka bakal ditujukan buat dirinya. Setelah menonton ini, aku membuang kekhawatiranku ke luar jendela. Ansel Elgort bermain sangat baik dalam adegan-adegan aksi, juga di bagian yang lebih intens. Karakternya yang pendiam, dan dalam diamnya terluka secara psikologis dapet banget dimainkan oleh Elgort. Menurutku dia lebih cocok berperan di film-film seperti ini.

Ketika aku nulis babak kedua lebih lambat dibanding babak pertama, maka itu sebagian besar lebih disebabkan oleh bagian romance yang kurang masuk dibandingkan oleh minimnya porsi aksi. Aku enggak mampu terinvest banyak kepada elemen relationship mereka karena I didn’t find development tokoh Debora benar-benar kuat dan esensial. Kenalan dan percakapan mereka manis tapi terasa abrupt. Terasa cepat dan kurang dalem. Dalam makna, sepertinya hidup Baby mudah diarahkan begitu aja oleh keinginan Debora. Cewek ini juga mudah terbawa gitu aja, padahal situasinya mengancam nyawa. Entah ini lantaran karakternya dibuat cinta mati ama Baby atau film memang kepengen ngebuild cinta mereka seolah fantasi sehingga bisa bekerja membangun ending yang ambigu tadi.

 

 

Setengah musikal, setengah kejar-kejaran mobil yang sangat intens dan menakjubkan. Penulisannya sangat on-point. Babak kedua di bagian romance adalah bagian yang paling lemah dalam film ini. Di luar itu, menonton ini adalah perjalanan yang sangat seru. Musik asik yang keras, mobil keren yang ngebut, fast and loud, this movie is a total blast! Edgar Wright directs the shit out of this movie. Kocaknya juga khas banget, bagi yang suka karyanya yang terdahulu, pasti bakal merasa seperti pulang ke rumah. Kita akan merasakan ketertarikan emosional yang kuat sama seperti Baby terattach dan menjadikan lagu-lagu itu sebagai pengisi hidupnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for BABY DRIVER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE HITMAN’S BODYGUARD Review

“Blaming others is nothing more than excusing yourself.”

 

 

Samuel L. Jackson adalah pembunuh bayaran ternama yang kemampuan dan kelihaiannya membunuh orang-orang dunia hitam tidak perlu diragukan lagi. Ryan Reynolds adalah bodyguard kelas kakap (Level Top-A, seperti yang biasa ia ingatkan kepada dirinya sendiri) yang selalu sukses mengawal bos-bos berkantong tebel. Dan The Hitman’s Bodyguard adalah komedi aksi dengan gimmick klasik yang berhasil dieksekusi dengan baik; Alih-alih diadu, Jackson’s Kincaid malah dipasangkan dengan Reynolds’ Bryce dalam sebuah misi escort di mana si bodyguard harus mengawal si hitman – sepanjang jalan mereka diberondong peluru – memastikan Kincaid sampe dengan selamat di pengadilan sehingga dia bisa memberikan kesaksian untuk memenjarakan seorang diktator kejam yang dimainkan oleh Gary Oldman.

Mana pekerjaan yang lebih mulia; membunuhi orang-orang jahat atau malah melindungi mereka. In a way, konsep film ini mirip dengan Death Note (2017). Apakah kita punya kuasa untuk menegakkan hukum sendiri, atau memang lebih baik membiarkan hukum dan segala prosedurnya mendirikan kebenaran.

 

Practically, The Hitman’s Bodyguard adalah REYNOLDS DAN JACKSON SHOW. Chemistry komedi kedua aktor kawakan ini luar biasa natural. Menghibur sekali melihat Bryce dan Kincaid saling ‘menghina’. Ryan Reynolds tampil prima, perannya di sini lebih sebagai reactor dari tek-tok komedi mereka. Samuel L. Jackson, however, seperti all-around player dan jika Goku di Dragon Ball punya wujud Super Saiya, maka Jackson dalam film sudah total dalam wujud ‘motherf*cker’ yang benar-benar entertaining dan tak-terkalahkan. Aku paling ngakak di adegan Kincaid bernyanyi di dalam mobil, and it’s pissing Bryce off, sehingga Bryce juga tau-tau nyanyiin lagu I Saw the Signnya Ace of Base. Momen yang sangat kocak. Tipisnya penokohan masing-masing terbukti bukan alasan buat mereka untuk gak tampil maksimal. Terutama bagi Ryan Reynolds, yang tampaknya either masih belum cukup dengan Deadpool atau gak mau kalah sama Ryan satu lagi yang sukses dengan komedi aksi The Nice Guys (2016), dan ingin ngepush komedik deliverynya lebih jauh lagi. Jackson dan Reynolds terlihat seperti memainkan diri mereka sendiri dalam tone yang komikal, dan inilah yang membuat cerita lawan-jadi-teman mereka begitu menarik perhatian.

you give motherf*cker a bad name

 

 

Akan ada banyak adegan kejar-kejaran. Kincaid dan Bryce entah berapa kali diudak-udak sambil terus ditembaki. Banyak dari adegan tersebut akan membuat kita melupakan sejenak bahwa ini adalah cerita yang nyaris dua jam. Dan sebagian besar sebabnya adalah arahan yang diberikan oleh Patrick Hughes. Dibandingkan dengan saat menangani aksi dalam The Expendables 3 (2014), sekuens aksi Hughes mengalami banyak peningkatan. Ketergantungan terhadap CGI ia kurangi sedikit, sehingga membuat kejadian-kejadian dalam film ini lebih mudah dipercaya. Walau tetap saja fairly ridiculous dengan jumlah ledakan. Tapi paling enggak, kali ini setiap bagian aksi diedit dengan leboh baik. Menjelang babak ketiga, ada sekuen aksi yang hebat ketika Bryce harus berhadapan satu lawan satu dengan salah satu orang suruhan Gary Oldman. Bryce harus menggunakan berbagai macam benda yang bisa ia temukan dalam toko peralatan bangunan tersebut, seperti aksi-aksi pada film Jacky Chan. It was a lot of fun, sama seperti kata yang kita gunakan untuk menggambarkan film ini secara keseluruhan.

Ketika kita berpikir kita sudah mengusahakan sebaik mungkin apa yang bisa kita upayakan, kita sudah memperhitungkan segala kemungkinan gagal dan sebagainya, kita sudah mempersiapk diri. Kita kira kita sudah memikirkan semua, dan sesuatu yang kita usahakan tersebut turns out gagal karena ada satu hal di luar perkiraan, maka kita akan kecewa bukan kepalang. Ngamuk, bahkan lebih parah, kita bisa depresi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang insecure, jadi kita ingin meyakinkan diri bahwa kita sudah memegang kendali. Makanya, sesuatu kegagalan yang di luar perkiraan, akan membuat kita ingin ada yang dipersalahkan. Tapi kita tidak akan menyalahkan diri sendiri, kita terlalu bangga atas diri. Kita berbalik menyalahkan orang lain.

 

Nyaris di setiap kesempatan, film ini akan berbelok ke arah kekonyolan. Hal terbaik yang datang dari sana adalah Salma Hayek yang berperan singkat sebagai istri Kincaid. Tokoh ini dipenjara terpisah, dan ia jadi motivasi dari tindakan ‘baik’ yang dilakukan oleh Kincaid. Sendirinya, tokoh Salma Hayek ini bersikeras enggak bersalah, namun jika kita lihat sikapnya yang ngebos, terlebih di adegan flashback ketika Kincaid bercerita tentang bagaimana dia pertama kali bertemu dengan sang Istri, kita tahu lebih baik bahwa mestinya cewek ini memang dipenjara. Naskah selalu menemukan cara untuk ngebanyol dengan apa yang dilakukan oeh tokoh ini. I mean, the stuff they do with her character, maannn.. sehingga meskipun screentimenya memang gak banyak, Salma Hayek sukses berat mencuri perhatian. Dan menurutku, adalah keputusan yang baik untuk enggak sering-sering amat resorting ke tokoh ini, lantaran she’s actually sangat kocak tapi bakal jadi annoying jika kebanyakan.

relationship Kincaid dan istrinya membuktikan bahwa benar, love hurts. Menyakiti orang lain, tepatnya

 

Terutama jika kita melihat gambar besar keseluruhan cerita. The Hitman’s Bodyguard pada lapisan terluarnya bicara tentang kasus otoritas penguasa, di mana tokoh yang diperankan oleh Gary Oldman didakwa sudah membunuh warga negaranya sendiri. Seharusnya ini adalah tema yang sangat kelam. Namun narasinya berkembang dalam arahan yang hilarious. Ini membuat film terasa enggak imbang. Kit akan terombang ambing antara komedi absurd ke action yang enggak kalah absurdnya, terus ke elemen yang lebih kelam ketika film membahas topik penjahat utama. Rasanya enggak klop aja. Kasus yang mereka tangani itu terlihat berada di ranah yang berbeda dengan aspek-aspek film yang lain. Gary Oldman memainkan penjahat klasik yang kayak ditarik dari film action yang lain. Beneran deh, lima-belas menit terakhir film, yang bagian courtroom itu, lebih terasa kayak extended ending dibandingkan konklusi beneran. Seolah ada dua penyelesaian; aksi dan komedi yang ringan dan plot tragis soal racial dan politik. Dan penulisan antara kedua aspek itu enggak pernah benar-benar seimbang.

 

 

 

Perfectly enjoyable action comedy. Kali ini kerja sutradara bagus banget mengarahkan bagian aksi sehingga kita enjoy menonton ini. Komedinya yang konyol namun kocak juga bekerja dengan baik, para aktor ngedeliver line dan timing mereka tanpa cela. Fokusnya ada di hubungan yang terjalin antara dua karakter yamg berlawanan dan aksi kejar-kejar yang dibikin sebelievable mungkin. Penulisan ceritanyalah yang sedikit tidak berimbang. Tapi sepertinya, hal tersebut tidak akan menjadi masalah buat sebagian besar penonton.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE HITMAN’S BODYGUARD.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

DEATH NOTE Review

“I’m for truth, no matter who tells it. I’m for justice, no matter who it’s for or against.”

 

 

Sebagai seorang full-pledged nerd ada tiga hal yang kuidam-idamkan di dunia ini; surat undangan masuk Hogswart, kostum Iron Man, dan buku Death Note. Tapi kutebak, setiap dari kita pasti pernah berada di dark place of our live sehingga begitu pengen punya Death Note supaya bisa menghapus ‘masalah’ dengan gampangnya. Konsep seseorang bisa membunuh orang lain semaunya, hanya dengan mengetahui nama dan wajah diolah ke dalam perang prinsip dan mental yang sangat menantang pikiran. Aku enggak ngikutin anime ataupun manganya, but I do nonton adaptasi orisinal Jepang yang tayang tahun 2006, dan aku ngefan berat sama film tersebut. Mengenai adaptasi Amerika yang tayang di Netflix ini, aku excited sekaligus ngeri. Aku menganut kepercayaan bahwa adaptasi adalah interpretasi, demi kreativitas dan penyesuaian, sudah sebaiknya adaptasi berbeda dari source materialnya. Tapinya lagi, aku ngeri film ini jadi beda banget hingga hancur seperti Dragonball: Evolution (2009).

Anime adalah media entertainmen yang paling sering disepelekan oleh penonton. Kita kalah keren deh di depan cewek kalo ngaku suka anime, dibandingkan kalo kita bilang suka film action. Padahal anime punya pengaruh yang sangat gede buat perfilman dunia, apalagi perfilman Amerika. The Matrix aja berkiblat ke Ghost in the Shell. Maka, ketika anime-anime itu disadur ke layar lebar, mereka akan mendapat penyesuaian supaya ide cerita dan konsep yang menarik dapat diterima oleh masyarakat yang lebih luas. Jadi, ya aku mengerti serta sudah mengharapkan bakal menjumpai banyak perubahan; latar, peatau mungkin sudut pandang, antara Death Note versi Netflix dengan versi orisinalnya.

Cowok SMA jenius bernama Light Turner (versi Light yang lebih ‘cengeng’ dimainkan oleh Nat Wolff) memungut buku hitam yang jatuh bersama air hujan dari langit. Buku yang bisa membunuh siapapun yang namanya tertulis di sana. Light lantas disapa oleh Shinigami Ryuk si empunya buku. Ryuk (suara Willem Dafoe adalah salah satu hal terbaik di sini) menggebah Light untuk menggunakan kemampuan buku ajaib tersebut demi ‘kebaikan’. Dengan kemampuan ini, Light eventually menjelma menjadi persona yang dikenal orang sebagai Kira; anonim yang membunuhi penjahat-penjahat tak tersentuh hukum di seluruh dunia. Kira boleh saja dipuja sebagai dewa, namun pembunuhan tetaplah pembunuhan. Seorang detektif muda yang sangat brilian muncul dan menangani kasus Kira. Dan mind games kucing-kucingan di antara Kira melawan L (Lakeith Stanfield sebagian besar memainkan mannerism eksentrik tokoh ini) pun dimulai.

Setiap orang yang berpikir benar akan melakukan tindakan yang benar. Implikasi di balik cerita buku yang bisa membunuh orang dengan hanya menuliskan nama sambil mengingat rupa si target sesungguhnya adalah bahan pemikiran yang benar-benar menarik. Kira dan L sama-sama berjuang demi kebenaran. Tapi kebenaran yang mana? Masing-masing percaya bahwa kebenaran versinya lah yang hakiki. Tidak ada hitam dan putih di dunia yang penuh oleh orang-orang jahat.

 

Sukurnya, film ini enggak separah Dragonball: Evolution. Kita bisa merasakan usaha dari sutradara Adam Wingard, ia tidak sekadar memasukkan elemen-elemen signature Death Note ke dalam satu jam empat puluh menit. Film ini masih kompeten meski memang beberapa pilihan style, artistik, juga musik terasa aneh dan benar-benar di luar karakteristik cerita yang dark seperti begini.  Aku mengerti mereka ingin membawa cerita yang kompleks ini menjadi lebih ramah buat ke pasar Amerika. Oleh karena itu, pilihan castingnya bisa dimaklumi. Sayangnya, pengertian lebih ramah buat pasar Amerika itu berarti  menyederhanakan sehingga malah merubah drastis beberapa hal yang justru adalah kekuatan dari konsep Death Note.

Light merancang episode Final Destination

 

 

Perbedaan yang bisa langsung kita dengar adalah Death Note kali ini SANGAT ‘RIBUT’. Menjelang akhir  banyak sekuens kejar-kejaran yang sama sekali tak terasa lagi bobot drama ceritanya. Ada perbedaan signifikan antara elemen kematian. Merasa meninggal mendadak oleh serangan jantung enggak serem-serem amat buat penonton, film ini malah membuat setiap korban Kira meninggal dengan sangat brutal. Darah muncrat dan potongan tubuh jadi andelan. Kira adalah yang paling menderita. Mereka basically membagi dua karakter Kira orisinal ke dalam dua tubuh; Light dan Mia (padanan Amane Misa diperankan oleh Margaret Qualley). Dan ini benar-benar melemahkan Light sebagai tokoh utama. Tokoh ini tidak lagi kompleks. Dia berubah menjadi remaja tipikal film-film Hollywood. Light dalam film ini diajarkan oleh Ryuk, baik dari penggunaan buku maupun cara menjadi persona ‘Kira’. Keputusan yang dibuat Light semuanya kalah kuat dibandingkan dengan keputusan-keputusan Mia regarding penggunaan Death Note. Reaksi Light saat pertama kali melihat Ryuk konyol banget, dia seperti seorang yang penakut dan no business megang title Kira. Dan oh ya, sepertinya aku lupa bilang kalo Light di sini menggunakan Death Note supaya dia bisa pedekate sama Mia.

Yea, aku bisa mendengar teriakan protes kamu-kamu semua. Death Note ngeskip begitu banyak adegan-adegan penting yang integral dengan kehidupan Light. Kita hanya dapat montase sekilas. Bahkan jika kalian belum pernah denger tentang Death Note, ataupun baru sekali ini nonton Death Note, kalian akan mendapati perubahan Light dari yang tadinya anak sekolahan menjadi Kira sang Dewa Penghukum yang punya pengikut tak-sedikit sangat abrupt. Film pun tidak pernah benar-benar memperlihatkan intensnya mind games antara L dengan Kira. Sebagai perbandingan; Dalam versi Jepang, Light dan L pertama kali duduk ngobrol sambil mereka main catur, percakapan mereka berdua sangat subtil, L berusaha menebak apakah Light adalah Kira dan sebaliknya, Kira ingin membongkar nama asli L. Percakapan mereka sangat tenang, namun kita bisa merasakan ketegangan. Adegan tersebut diakhiri dengan Light ngskak mat L. Dalam film Death Note kali ini, L dan Light bertemu di meja kafe. Perbincangan mereka penuh emosi, tuduh dan sangkal-sangkalan dengan nada-nada tinggi. Berakhir dengan L menyapu piring-piring di atas meja ke lantai. Benar-benar berbeda dengan karakter asli mereka, dan sesungguhnya ini adalah perubahan yang enggak perlu.

Aku lebih suka dengan Mia, dia membuat pilihan cerdas dan beraksi lebih seperti Kira dibandingkan si Kiranya sendiri. L memberikan warna berbeda dari segi penampilan, dengan karakter yang kurang lebih sama: introvert nyentrik yang suka banget makan permen. Namun, menjelang akhir L lepas kontrol emosi dan tidak lagi seperti L. Ada konflik yang digali mengenai dia yang enggan membunuh, tapi tetap saja tidak membuat kita lebih peduli lantaran bobot drama yang tidak mampu bertahan oleh keputusan penceritaan. Penyelidikan L di sini juga relatif gampang, karena Kira diberikan background keluarga yang berbeda. Dari latar belakang tersebut, sesungguhnya L  (atau bahkan kita, jika disuruh jadi detektif) bisa dengan gampang menebak siapa Kira hanya dengan menyimak korban pertama. If anything, Ryuk adalah tokoh yang membuat kita bertahan. Jika versi aslinya, Ryuk adalah Shinigami yang bosan sehingga dia ‘main-main’ ke dunia manusia, maka Ryuk dalam film ini sudah seperti Jimmy Jangkrik bagi Light. Wujudnya juga awesome, kita harusnya melihat tokoh ini lebih banyak.

“We could change the world.” “We? Maksudnya kita berdua?” cue suara cie cieeeee

 

 

 

Seharusnya ini adalah cerita yang gelap dengan tema moral yang kaya. Adaptasi memang perlu untuk melakukan perubahan sebab adaptasi adalah interpretasi yang baru terhadap suatu sumber. Hanya saja ada perbedaan tegas antara mengambil sudut pandang ataupun mengubah angle dengan menyederhanakan materi sehingga kehilangan esensinya. Film ini melakukan yang kedua. Pilihan musik yang gak cocok, adegan dansa, plus slow-motion, mengubah dari apa yang mestinya cerita kucing-kucingan menjadi drama romansa yang melibatkan buku aneh pencabut jiwa. Bahkan ketika kita ingin menganggap film ini lepas dari universe Death Note pun, film tidak bekerja dengan baik lantaran menggunakan montase ngeskip-skip bagian yang semestinya diperlihatkan kepada kita. Yah, kupikir apel pun akan susah segar lagi jika dibawa dari Jepang ke Amerika.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEATH NOTE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

NYAI AHMAD DAHLAN Review

“Behind every great man is a great woman.”

 

 

“Bajumu jangan membuatmu lupa untuk berjuang,” nasihat Nyai Ahmad Dahlan kepada Jenderal Besar Soedirman ketika dua tokoh sejarah ini berdiskusi. Adegan yang kita jumpai di babak ketiga tersebut benar-benar menunjukkan sebesar apa pengaruh dan peranan Nyai terhadap Indonesia. Aku suka gimana Soedirman tidak sekalipun menatap mata Nyai, mengisyaratkan wanita di depannya adalah seorang yang penting luar biasa. Nyai bukan sebatas istri dari seorang Kyai hebat yang disegani. Nyai sudah berjuang bersama dalam dakwah, beliau adalah seorang tegas, agamis, guru yang cerdas dan begitu bijak dia berbicara dengan alat peraga dan analogi yang sangat mengena kepada lawan bicaranya. Dan di poin adegan Nyai dan Soedirman tiba di babak ketiga itu,  Nyai sudah berjuang sendiri. Tanpa Kyai di sisi, kita melihat perubahan yang terjadi pada Nyai baik dari gestur, cara dia memandang orang, dan bahkan suaranya. Tegas dan kinda creepy melihat determinasinya. Tika Bravani menunjukkan pemahaman kepada gejolak yang dirasakan oleh tokoh ini. Membuat kita ingin melihat lebih banyak perjuangan yang dialami oleh Nyai Ahmad Dahlan sendiri.

Nyai dan Kyai Ahmad Dahlan berjuang lewat dakwah demi memberantas jahiliyah dari tanah Jawa. Kala itu rakyat umum masih percaya takhayul, masih banyak yang puas di garis kebodohan, belum lagi ancaman dari londo-londo yang membawa ajaran yang merusak akidah. Perjuangan mereka masih relevan dengan keadaan sekarang ini, di mana musuh kita adalah masih banyak yang percaya hoax internet, gampang dibegoin troll di sosial media, dan tentu saja bablasnya budaya luar yang malah mengikis  atau katakanlah membuat kita mengenyampingkan akidah.

 

Ini adalah film biopik yang enggak menawarkan banyak selain PELAJARAN SEJARAH BERBALUT CERAMAH. Namun bahkan menyebut menonton film ini seperti membaca buku sejarah adalah sebuah pujian yang melebihi dari yang pantas diterima olehnya. Karena, to be fair, aku enggak banyak tahu tentang Nyai Ahmad Dahlan, jadi setelah nonton aku nyari informasi tentang tokoh pahlawan ini. Aku membaca Wikipedia dan menonton film ini terasa sama persis dengan aku membaca halaman Wikipedia Nyai Ahmad Dahlan.

I mean, narasi cerita film ini – plot poin-plot poin yang menghantar kita dari satu adegan ke adegan lain – sama sederhana dan melompat-lompatnya sama poin-poin yang ditulis di Wikipedia. Nyai Ahmad Dahlan menggunakan struktur bercerita yang linear; kita melihat Nyai sedari kecil hingga beliau wafat, tanpa ada inti atau benang merah yang merangkai perjalanan tokohnya. Kita tahu Nyai ingin mencerdaskan kaum kecil dan wanita, ingin ajaran Islam ditegakkan. Tapi sampai film berakhir, kita tetap enggak kenal siapa dirinya. Kenapa dia bisa menjadi begitu alim dan cerdas. Apa konflik internal yang melandaskan pembentukan karakternya. Film ini terjangkit penyakit yang kusebut dengan “Jyn Erso Problem” di mana narasi malah ngeskip bagian yang penting; bagian ketika pribadi tegas nan cerdas itu terbentuk. Sama seperti Jyn Erso yang tau-tau udah gede dan jagoan, Nyai juga tau-tau sudah menjadi istri Kyai Ahmad Dahlan and she’s instaniously mulia dan sangat bijak. Kita gak liat dari mana segala kebijakan itu hadir di diri Nyai. Dan setelah itu, kita ngikutin dia ngikutin suaminya sepanjang besar film. Semua terasa sangat membosankan hingga babak ketiga dimulai ketika kita melihat perjuangan Nyai seperti yang kusebut di atas. Akan tetapi, bukan hanya sudah sangat telat, film juga membahas perjuangan sendiri ini dengan sangat singkat. Tidak ada arahan yang jelas, film sepertinya tidak tahu apa yang menarik untuk dibahas dari materi tokoh sejarah yang mereka punya.

Mereka gagal melihat konflik menarik yang bisa datang dari Kyai menganggap dokter sebagai setan yang menghalanginya berdakwah

 

Sebagai period piece pun, film ini tidak pernah berhasil membawa kita ke puncak interest. Ada banyak yang bisa kita kritik dari tampilannya seperti wardrobe error ataupun ‘kebocoran’ properti yang lain. Penampilan film ini tidak pernah kelihatan megah. Dari segi teknik, film tidak terasa professional. Di awal-awal ada adegan warga ngobrol di pasar yang sama sekali tidak meyakinkan, terlihat seperti adegan di sinetron-sinetron kolosal. Jangankan dengan Hollywood, jika dibandingkan dengan Kartini (2017) biopik yang juga bicara tentang emansipasi dan pemberdayaan, film ini masih terasa subpar. Editingnya kasar, dialognya antara ceramah ama eksposisi, musiknya nerobos banget hingga terdengar komikal ketimbang epik.  Ada sekuen aksi yang diambil dengan biasa aja. Kamera memang sepertinya terbatas dalam hal pergerakan, soalnya ada banyak syut yang ngambil dari kanan kemudian kamera muter 90 derajat ke kiri.

Sebagian besar adegan di film ini berupa sekelompok orang duduk di sekitar Nyai, ataupun Kyai, yang sedang bicara memberikan pelajaran. Sungguh, hanya ada tenggang waktu beberapa kali sebelum kita menguap lebar-lebar demi melihat pemandangan orang manggut-manggut ngedengerin ceramah. Film ini tidak pernah menghandle ceramah mereka sebagai sesuatu yang menarik. Menjelang midpoint ada adegan pengajian Wal Asri yang boring banget, selama beberapa menit kita duduk di antara ibu-ibu tanpa ada hal menarik yang terjadi. Saking bosennya, aku berdoa Rick dan Morty datang kemudian menghabisi mereka dengan trash talk dan pistol laser, kemudian Nyai membuka kedoknya yang ternyata alien dengan seribu tentakel yang bisa kungfu dan SopoTresno itu ternyata adalah nama planet asalnya!

It is easy to nitpick this tapi masalah sebenarnya terletak pada ketidakpahaman film soal mengbuild up adegan. Pengadeganan film ini rumusnya begini: orang lain ngutarakan pendapa atau masalah, Nyai menanggapi dengan bijak pake analogi, dan musik latar akan berkumandang seolah menyimpulkan bahwa setiap yang Nyai katakana sangat mindblowing dan begitu megah. Tapi kita enggak akan benar-benar peduli karena tidak pernah ada build up atas apa yang dikatakan Nyai. Misalnya, ketika Kyai bilang tantangan mereka adalah duit, dan Nyai masuk ke dalam rumah mengambil harta warisan orangtuanya untuk kemudian diberikan kepada Kyai, dan musiknya menggelegar mengamini yang dilakukan Nyai adalah mulia walau berat, but we don’t feel that karena kotak warisan tersebut tidak pernah dibuild up terlebih dahulu. Kita tidak pernah tahu stake yang dipertaruhkan Nyai ketika dia menyerahkan bantuan tersebut.

 

The one time music did it right adalah saat mereka melelang barang. Selebihnya, konflik-konflik film ini datang dan pergi gitu aja. Salah satu ‘rintangan’ yang dihadapi Nyai dan Kyai adalah organisasi Muhammadiyah mereka diprotes warga lantaran dianggap sesat. Namun kita enggak pernah diperlihatkan kenapa warga menganggap begitu. Mereka bilang penjajah menghalang-halangi ajaran mereka, tapi hanya satu kali kita melihat penjajah dateng dan mengusik asrama Nyai. Dialog dan adegan dimasukkan gitu aja, tanpa pernah benar-benar diperhatikan ritme ataupun kepentingannya. Ketika penghuni rumah dan murid-murid menyambut kedatangan Nyai dan Kyai dengan cemas, percakapan gulir begitu saja dari “Kami dengar Kyai hendak dibunuh” menjadi kurang lebih ke “Kami ingin seperti Nyai, dapet cowok sekeren Kyai hehehe” tanpa ada weight ke adegan possible murder sebelumnya. Dan yang buatku jadi hilarious adalah actually adegan Kyai dan Nyai mau dibunuh itu, mereka ‘ribut’ dengan beberapa warga di… PANTAI! I mean, betapa randomnya, kenapa bisa di pantai coba. Aku jadi membayangkan sebelumnya mereka bertemu kayak gini… crrriiiingggg *bunyi efek adegan fantasi*

WARGA A: Kami mau memprotes ajaran Kyai dan Nyai!
WARGA B: Betul! Biarkan parang kami bicara!
KYAI: Baiklah, kita bicarakan sambil santai di pantai

NYAI: Cihuuuii, aku lagi butuh vitamin sea nih! *ngedipin mata ke Kyai*

 

 

Jika film ini ingin menceritakan tentang perjuangan Nyai, mestinya dia mengambil babak ketiga dan mengeksplorasi narasi dari sana. Jika film ini ingin memperlihatkan kehidupan Nyai dari kecil hingga wafat, mestinya mereka memfokuskan kepada pertumbuhan tokoh Nyai alih-alih membuat kita lompat langsung ke saat bersama Kyai. Juga mestinya kita tidak lagi dihadapkan dengan flashback, terutama jika flashback itu ditujukan buat mancing dramatisasi semata. Jika film ini ingin bercerita tentang Nyai, mestinya dia tidak membuat Nyai terlalu ngekorin Kyai – sebab sesungguhnya di balik pria hebat ada wanita yang sama hebatnya, jika tidak lebih. Dan kehebatan Nyai tidak kita lihat hingga film benar-benar berakhir. Biopik mestinya membuat sejarah tidak membosankan, namun sebenarnya tidak ada yang lebih bosan dari tokoh utama yang lurus saja tanpa kita pernah kenal konflik personal dan internalnya.
The Palace of Wisdom gives 3 out 10 gold stars for NYAI AHMAD DAHLAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners .
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MEGAN LEAVEY Review

“Whoever said diamonds are a girl best friend, never owned a dog.”

 

 

Anjing dapat merasakan ketakutan seseorang. Aku tahu teori itu seratus persen benar. Aku hanya enggak tahu apakah kalimat tersebut seharusnya bisa menenangkan orang yang takut sama anjing. Maksudku, setiap kali papasan sama anjing di jalan, lututku malah semakin lemas terutama jika teringat saran “Jangan takut, nanti anjingnya tahu kalo kau takut”. Arya kecil memang sering dikejar anjing-anjing tetangga, malah aku bersumpah istilah yang tepat adalah Arya kecil sering dibully anjing tetangga. Karena mereka tahu aku gugup dan takut banget sama mereka.

Bukan hanya rasa takut, para ahli berpendapat bahwa anjing bisa mengetahui perasaan atau emosi seseorang. Kemampuan ini sejalan dengan penciuman anjing yang luar biasa tajam. Mereka dapat membaui adrenalin, pheromone, ataupun senyawa lain yang menguar dari manusia. Saat anjing menggonggongi orang tak-dikenal, bisa saja karena mereka mencium senyawa yang keluar dari perasaan negatif manusia. And they didn’t like to sniff those feelings. Orang yang sedang disalaki biasanya antara sedang cemas, gelisah, sedih, atau sedang merasa bersalah.

 

Bahkan ketika kita membawa anjing jalan-jalan, getaran perasaan yang kita alami bisa sampai ke anjing melalui tali leash mereka. “Semua yang kau rasakan mengalir di tali itu,” Sersan Andrew Dean menasehati Megan Leavey seperti itu ketika Megan terihat tidak nyaman dipasangkan dengan anjing paling galak di camp pelatihan mereka, “Aku tidak bisa mengajarkan gimana hubungan tercipta di antara kalian” lanjut Sersan Andrew. Mempertahankan hubungan sosial, berakrab-akrab ria jelas bukan kelebihan yang dimiliki Megan. Malahan, alasan cewek ini ikutan gabung di US Marine Corps awalnya adalah semata karena dia males berhubungan sama manusia. Megan dipecat dari berbagai pekerjaan. Dia berantem melulu sama ibunya. Dan sekarang Megan justru harus dealing with anjing pelacak bom yang belum apa-apa sudah menggigit separoh bokongnya.

Apapun yang terjadi jangan nurunin celana di depan K-9. Apalagi nungging!

 

Film ini diangkat dari kisah nyata VETERAN PERANG DAN ANJING PAHLAWAN, bersama mereka sudah berhasil menemukan sejumlah besar bom dan ranjau, dan menyelematkan nyawa banyak orang. Pada beberapa kesempatan, film ini bisa menjadi sedikit too much buat para penyayang binatang. Terutama penyayang anjing. Sekuens perang yang dihadirkan sangat intens. Kita dapat banyak build up yang sangat menegangkan. Megan dan anjingnya, Rex, berjalan di depan garis depan mengendus bom, mencari ranjau dan peledak tersembunyi yang lain. You know, adegan-adegan yang membuat kita mendapati diri berdoa dalam hati “semoga anjing itu enggak terluka”. Kita begitu terinvest terhadap keselamatan mereka dan itu disebabkan oleh penampilan akting yang sangat hebat dari Kate Mara (Megan Leavey adalah penampilan terbaiknya sejauh yang pernah kutonton) dan dari anjing (mungkin juga anjing-anjing) yang memerankan Rex.

Elemen pelacak bom memberikan semacam pengalaman baru buat kita.  Ada sudut pandang segar yang orisinil sebab kita melihat perang dari bagian militer yang belum banyak dieksplorasi sebelumnya. Kita melihat Megan dan Rex berlatih. Anjing diajarkan untuk mengenali peledak, dan tentara pendampingnya harus belajar bagaimana memberikan perintah, membimbing, memberi anjing-anjing itu pujian, dan merawat – jika diperlukan – memberikan pertolongan medis. Dari sinilah bond mereka yang sangat menyentuh hati itu berkembang. Film ini melakukan kerja yang fantastis dalam menunjukkan gimana hubungan yang dalam bisa tumbuh dan terjalin antara manusia dengan hewan. Dengan terasa sangat real. Namun begitu, beberapa orang mungkin akan menangkap film ini sebagai terlalu overdramatis. Menurutku, hanya penyayang binatang yang benar-benar bisa mengerti bonding tersebut.

Jikapun aku penyayang binatang, maka obviously aku bukan penggemar anjing. Bisa dibilang I’m more of a cat person. Tapi aku tetap tersentuh oleh film ini, sebab aku bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Megan ketika unexpected bonding terjadi. Dulu pernah ada kucing hitam yang terluka ngabur cari perlindungan ke kamar kosanku. Lukanya parah, kakinya patah. Karena takut kalo-kalo tuh kucing isdet di balkon kamar dan mikirin betapa repotnya harus menguburkan dan segala macem, kucing itu aku kasih makan. Eh setelah sembuh, bukannya pergi, dia malah betah di kamar. Masalahnya adalah aku juga enggak berani-berani amat sama kucing, sementara kucing yang satu ini liarnya bukan main. Mungkin dia ngajak main, tapi kukunya enggak pernah dimasukin. Kaki dan tanganku penuh luka goresan. Saking liarnya, kucing item jantan itu aku kasih nama Gelap Jelita dengan harap supaya jadi jinak. Namun enggak ngaruh. Jadi aku ngerti deh ketakutan yang dialami Megan ketika disuruh masangin perban ke Rex yang pernah menggigit tentara lain sampai tangan tuh orang patah. Dan ketika nonton film ini, mau-tak-mau aku teringat sama kucing itu.

Wajah nginyemmu ketika mereka bawa pulang tulang-tulang sebagai balas jasa

 

Belum lama ini di Netflix tayang film Okja (2017) yang juga menceritakan tentang hubungan antara manusia dengan binatang. Namun, di balik kisah manis anak kecil dengan babi mutan peliharaannya itu, terasa ada ambisi lain yang turut dibicarakan oleh film. Megan Leavey terasa lebih manusiawi karena film ini hanya memfokuskan tentang gimana manusia yang begitu mendambakan hubungan sosial dan apa yang terjadi ketika dia mendapatkannya dari makhluk hidup lain. Film ini lebih mengeskplorasi feeling tanpa benar-benar menjadi cengeng atau sappy. Persahabatan dalam Okja terhalang oleh komentar soal perangai konsumtif dan ekonomis manusia. Dalam Megan Leavey, persahabatan manusia dan hewan ini terhalang oleh aspek teknikal; di mana anjing veteran perang – terutama yang galak kayak Rex – dicap berbahaya jika kembali hidup di masyarakat. Ada tema perang yang digunakan untuk mewarnai narasi dengan sedikit elemen budaya – gimana perlakuan negara muslim terhadap anjing – tapi itu dibahas dengan ringan, tanpa menjadi terlalu hitam-dan-putih.

Siapapun yang berkata berlian adalah teman terbaik wanita, pastilah belum pernah memelihara anjing. Atau belum pernah mendengar cerita tentang Megan Leavey.

 

Kehidupan normal Megan juga diberikan kesempatan untuk tampil. Kita melihat hubungannya dengan orangtua, masalah pribadinya. Juga ada kisah cinta dengan sesama tentara. Hanya saja romansa ini tidak benar-benar pergi ke mana-mana. Seolah hanya untuk menunjukkan perubahan personal Megan setelah dia menyintai Rex. Lebih sering daripada enggak, transisi kehidupan Megan ini terlihat dipercepat. Misalnya, ketika dia abis dipecat, kemudian dia melihat dua tentara masuk toko, dan dia kontan jadi berniat masuk angkatan bersenjata juga. Lalu ada sedikit masalah bullying, yang kalo di naskah ini adalah bagian ‘tantangan pertama’, yang berakhir begitu saja. Aku mengerti film ingin memperlihatkan banyak sisi kehidupan Megan. Durasi keseluruhan film sudah nyaris dua jam, sehingga terkadang mereka sengaja mempercepat proses. Menggunakan montase untuk menjelaskan momen-momen emosional, ataupun dengan menggunakan teks. Ini dapat menjadi menyebalkan sebab kita ingin merasakan progres tokohnya, mengalami transisi itu secara langsung.

 

 

Kita tidak butuh penciuman setajam anjing untuk dapat mengendus sense of realism perasaan dan emosi yang terkandung dalam film ini. Menghadirkan drama excellent soal hubungan persahabatan manusia dan hewan dengan tidak pernah menjadi terlalu cengeng. Namun tetap bakal menarik-narik hati kita, terutama para penyayang binatang. Penampilan aktingnya memukau, sekuens aksinya sukses bikin kita khawatir.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for MEGAN LEAVEY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE DARK TOWER Review

“Mind over matter”

 

 

Jake Chambers punya mimpi. Mimpi buruk sekali. Ada menara hitam menjulang tinggi, seolah menopang seluruh semesta. Anak-anak diculik oleh sekelompok orang yang kulit wajahnya bisa melorot. Lalu ‘pikiran’ anak-anak itu diperas untuk meruntuhkan menara tersebut. Dan Jake melihat Pria berpakaian hitam berlari di gurun, diikuti oleh seorang Gunslinger. Perang sedang berlangsung di suatu tempat. Sesuatu yang buruk sedang terjadi terhadap dunia, Jake sadar mimpinya berhubungan erat dengan gempa yang semakin sering terjadi di kota tempat dia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Tapi tentu saja enggak ada yang percaya. Malahan, alih-alih senang anak punya imajinasi yang hebat, demi melihat sketsa-sketsa yang digambar Jake untuk menjelaskan mimpinya, Ibu Jake yang cakep itu malah hendak mengirim Jake ke rumah sakit jiwa. Jake kabur, dia lantas menemukan sebuah portal yang membawanya ke dunia yang ia lihat lewat mimpi. Tak lama bagi Jake untuk bertemu dengan Gunslinger, mereka bertualang bersama. Untuk menyelamatkan dunia. Serta membalaskan dendam personal si Gunslinger kepada si Penyihir berbaju hitam.

Kecuali kalian punya pistol, percaya sajalah pada mimpimu.

 

Setiap kali kita hendak mengadaptasi entah itu novel, anime, serial tv, atau bahkan film dari negara lain, menjadi sebuah film, kita akan selalu menemukan masalah. Ekspektasi dari fans akan senantiasa tinggi, mereka akan minta film yang semirip mungkin ama source materialnya, dan itu bisa jadi penghalang kreativitas yang dimiliki oleh pembuat film. Jika ada yang aku setujui dari pola pikir Vince McMahon dalam menyuguhkan konten acara gulat WWE, maka itu adalah bahwa fans enggak tahu apa yang mereka mau. The Dark Tower benar-benar menerangkan DEFINISI ‘ADAPTASI’ kepada fansnya. Cerita The Dark Tower diangkat dari seri terkenal dari salah satu author horor favoritku, Stephen King, dan aslinya cerita ini ada delapan buku. Ketika jadi film, tim penulis skenario tidak mengambil satu buku dan meringkasnya. Film ini mengambil resiko; mereka ngemash up kejadian kedelapan buku sekaligus! Aku belum ngatamin membaca semua seri The Dark Tower, maka buatku film ini adalah sebuah petualangan aksi supernatural yang oke-oke saja. Suka amat enggak, sepele juga enggak. Ada fun juga deh ngikutin petualangan yang satu ini. Tapi meski begitu, aku bisa menebak para fans dari serial ini akan kecele berat, karena film jelas akan sangat berbeda dengan apa yang sudah mereka nanti-nantikan.

Ketiga tokoh sentral The Dark Tower  berkembang lewat kemampuan mereka menggunakan mental yang kuat, lebih daripada kemampuan fisik. Jake punya bakat psikis yang luar biasa. Penjahat utama film ini adalah seorang penyihir yang mampu memerintahkan orang lain melakukan apa yang ia sampaikan kepada mereka. Dalam salah satu jampi-jampinya, si Gunslinger bilang bahwa ia membunuh bukan dengan pistol, melainkan dengan hati. Kedisiplinan pikiran sejatinya bisa mengalahkan kekuatan otot. Latihlah kekuatan otak, imajinasi, dan keyakinan hati sebelum belajar untuk menggunakan fisik sebagai solusi.

 

Langsung keliatan beda adalah tokoh utamanya. Bukan lagi kepada Gunslinger, film menempatkan kita ngikutin Jake Chambers. Alasan yang terpikirkan olehku adalah karena cerita tentang remaja bermasalah dianggap mewakili lebih banyak kalangan penonton; untuk alasan yang sama juga kenapa kita mendapat adaptasi Stephen King yang berating PG-13, padahal King punya nama bukan sebagai pengarang novel young adult. Apart from that, aktor muda Tom Taylor memerankan Jake dengan mumpuni. Dia dapet range karakter yang lumayan luas, dari yang tadinya pendiam menjadi pemarah, dia melalui banyak perasaan emosional. Stephen King adalah master dari cerita balas dendam, tokoh Roland si Gunslinger meski agak kedorong ke belakang, namun kita masih bisa ngerasain elemen personal yang menghantui dirinya. Mata Idris Elba menyimpan banyak emosi. Jake dan Roland selain punya hubungan yang menyentuh hati juga diberikan momen-momen humor yang terdeliver bagus. Seperti pada Wonder Woman (2017), ada aspek fish-out-of-water yang menghibur saat Jake belajar tentang dunia Roland, dan begitu juga sebaliknya saat Roland dilarang ngeluarin – bahkan bicara tentang – pistol di Bumi kita.

Tokoh antagonisnya lah yang sedikit membuat aku khawatir. Menjelang The Dark Tower rilis, aku ngadain pemutaran spesial film-film adaptasi Stephen King setiap malam di kafe eskrimku (boleh kaka cek insta kita di @warungdaruratbdg ~~), filmnya enggak semua bagus, dan tokoh jahat cerita-cerita itu kerap menjadi terlalu over the top. Matthew McConaughey is kinda perfect mainin Man in Black yang licik kayak ular. Gaya bicaranya worked really well. Dia tampak menikmati perannya. Masalah datang dari si tokoh sendiri; he’s just an evil powerful sorcerer. Kita enggak diberikan pengetahuan soal kenapa dia ingin menghancurkan menara dan memanggil monster-monster itu. Darimana dia bisa ngumpulin organisasi Wajah M’lorot, apa motivasi terdalamnnya. Kita enggak mendapatkan semua itu. Kita hanya mendapat apa yang kita lihat di permukaan, dan menurutku ini sangat mengecewakan.

Secara lengkapnya, ‘mantra’ yang dikumandangkan Roland sebelum beraksi berbunyi “I do not kill with my gun; he who kills with his gun has forgotten the face of his father. I kill with my heart.” Dengan penekanan kepada ‘(who) has forgotten the face of his father.’ Ada tema tentang ayah yang juga diparalelkan dengan kehidupan Jake. Orang yang melupakan wajah ayahnya, dalam artian tidak lagi orang tersebut ingat latar belakang dirinya sendiri, adalah orang yang tidak pantas untuk memegang senjata; dalam hal ini bisa diartikan sebagai enggak pantas untuk memegang power. Sebab dia tidak lagi ingat apa yang mendasari motivasinya, dia tidak lagi punya kekuatan hati.

 

some of us will not forgot the face of Jake’s mother soon

 

 

 

Sayangnya, resiko yang berani diambil oleh The Dark Tower hanyalah sebatas ngerangkum keseluruhan buku dan ngurangin durasi. Masih ada hiburan serta pelajaran yang bisa kita ambil dari nonton ini.  Sekuen aksinya pretty good, banyak stunt dan spesial efek yang menarik. Hanya saja semuanya terasa terlalu konvensional. Tidak ada adegan ataupun momen yang benar-benar mindblowing. Lupakan juga aspek horor. Film ini jatohnya seperti film-film petualangan biasa sebab kita tidak pernah benar-benar merasakan pembangunan semesta cerita. Padahal sebagian besar dialog film ini wujudnya berupa eksposisi. Jake, dalam perspektif penceritaan, tak lebih dari sekadar device gampang untuk menghadirkan penjelasan universe. Dan tetap saja di akhir cerita kita sadar kita enggak belajar banyak mengenai dunia fiksi ini. The way they present certain things seolah semua penonton sudah punya pengetahuan dasar tentang serial bukunya.

Ngebangun cerita sudah semestinya jadi tujuan filmmaker demi membuat film yang bagus. Namun, seperti banyak film modern yang lain, film ini juga cenderung lebih fokus dalam membangun franchise instead. Ada banyak referensi terhadap karya Stephen King lain yang bisa kita temukan seakan-akan mereka ingin membuat Universe Stephen King. Kekuatan psikis yang dimiliki oleh Jake disebut “Shine” as in The Shining. Sebenarnya cukup annoying, tapi oleh karena aku lumayan bosen sama narasi film yang basic banget, aku toh jadi menikmati juga ketika melihat angka 1408, reruntuhan sirkus bertulisan Pennywise lengkap dengan balonnya, poster Rita Hayworth, mobil Christine, dan banyak lagi.

 

 

 

Enggak begitu buruk. Buat aku yang enggak nuntasin semua seri bukunya, film ini adalah tontonan yang bisa dijadikan hiburan, jika benar-benar enggak ada pilihan lain. Tapi buat fans berat, film ini bakal sama rasa mengecewakannya dengan diphpin ama cewek. Dengan source material sekompleks ini, film mestinya bisa menjadi lebih jauh lagi. Nyatanya dia tampil datar dan sangat konvensional. Mitologinya menarik, dengan background karakter yang mendalam. Namun film hanya membahas di permukaan. Tidak ada yang benar-benar berbeda yang bisa kita jadikan pengingat yang ikonik. Penampilan aktornya bagus; Elba dan MacConaughey is so great sehingga kita ingin meraih ke layar, mengangkat mereka, untuk dipindahkan ke film yang lain. Ibarat kata, film ini lupa membangun menara cerita terlebih dahulu untuk menopang semesta yang sekaligus berusaha mereka ciptakan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE DARK TOWER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

BAYWATCH Review

“If you think you’re too big for small jobs, maybe you’re too small for big jobs”

 

 

Tugas penjaga pantai bukan sekedar berlari-lari di pasir dengan memakai pakaian renang. Bahkan kalopun tampang kalian kece dan jago berenang, bukan berarti bisa langsung diterima jadi anak buah Mitch Buchannon. Seperti juga kerjaan laih, ada keahlian spesifik yang harus dikuasai, dan terutama kita harus ngeset prioritas utama; keselamatan pengunjung, di atas segalanya.

Matt Brody pikir dia sudah lebih dari berkualifikasi. Ketika rekruitan baru harus di’audisi’ dulu, Matt malah duduk santai, mamerin motor keren, kacamata hitam, dan otot perutnya. Higher ups boleh saja sudah otomatis melantik dirinya sebagai anggota Baywatch, namun ‘Letnan’ Mitch still giving him a hard time. Terutama karena Mitch tidak melihat Matt sebagai pribadi yang menghormati pekerjaan penjaga pantai, Matt masih terlalu mikirin diri sendiri. Jadi, kedua orang ini enggak akur. But then of course, pantai mereka enggak jauh dari masalah. Ada kasus penyelundupan narkoba, dan di samping menyelamatkan orang-orang dari tenggelam dan tergulung ombak, Mitch dan Matt pada akhirnya harus bekerja sama demi membongkar drug case yang sudah menjatuhkan banyak korban tersebut.

lebih bagus lagi jadi penjaga pantai yang bisa berslow-motion ria

 

Semua orang punya pekerjaan, dan tentunya masing-masing dari kita akan melakukan yang terbaik atas apa yang kita usahakan, Pekerjaan boleh saja dinilai dengan gaji, akan tetapi tidak semestinya kita mengecilkan pekerjaan, menghargainya hanya dari apa yang kita tahu tentangnya. Sekecil apapun, jika dimaknai dengan sesungguh hati, maka akan menjadi gede. Penjaga pantai mungkin memang enggak punya yurisdiksi seperti polisi, tapi pada esensinya adalah sama-sama pekerjaan yang melindungi. It is as important. Pekerjaan apapun yang kita lakukan hendaknya dikerjakan sungguh-sungguh, jangan hanya asal dapet sesuap nasi.

 

Ketika kita dapat lumba-lumba CGI berakrobat dengan latar tulisan Baywatch gede sebagai sekuen pembuka, maka dosa akan ada di tangan kita apabila kita tetap nerusin nonton film ini dengan harapan bakal mendapat cerita yang bergizi. Yea, dalam film ini kita akan banyak melihat otot, daging, dan bagian-bagian tubuh lain lebih dari yang kita pedulikan. Yea, ini adalah film berdasarkan serial tv jadul yang populer bukan karena kejeniusan penulisan ceritanya. Yea, singkatnya ini adalah film bego, Kita sudah mengharapkan itu. Film ini pun tahu how awful they are. Dan mereka mengEMBRACE KE’BEGO’AN.  Ketika kita berada di dasar, tidak ada jalan lain selain ke atas. Film ini, however, nekat untuk terjun ke dasar lebih jauh lagi. Dijadikan sutradara Seth Gordonlah ini sebagai komedi yang sangat raunchy, banyak lelucon ‘jorok’, dan bagi kita yang menontonnya siap mencatat segala hal-hal negatif, we will absolutely get that.

Oke, honestly aku nonton ini karena pengen liat Alexandra Daddario. She’s good, ehm matanya bening aneeettt, tapi part cewek ini seperti yang sudah diharapkan dalam film-film genre action-komedi begini; not much. Yang sedikit mengejutkan adalah tokoh Ronnie yang diperankan oleh Jon Bass. Biasanya, tokoh tipe gini bakal hanya jadi comedic relief yang annoying, dan benar, komedi vulgar banyaknya datang dari dia, tapi Ronnie benar-benar pengen masuk ke dalam tim, dan kita melihat usahanya. Jika Mitch menyelamatkan orang-orang di pantai, maka Dwayne Johnson menyelamatkan keseluruhan film ini. Well, mungkin agak kurang berhasil, tapi bener deh, The Rock membuat film ini tampak lebih baik. Selalu kocak ngeliat The Rock diberikan kelenturan untuk ngeledek nama orang, seperti yang biasa dia lakukan di WWE dulu. Banteringnya dengan Zac Efron adalah salah satu dari sedikit sekali bright spot dalam film ini.  Menghibur melihat Zac dan The Rock saling ‘pamer otot’, berusaha saling mengungguli. Mereka berkompetisi dalam serangkaian tes fisik, dan kekonyolan dari situlah yang pengen kita liat. First half of the movie definitely entertaining, film ini menuaikan tugasnya dengan lebih baik ketika ia tetap di ranah aksi komedi yang konyol. Makanya, ketika film malah pindah ngedevelop aktivitas tokoh antagonis, jadi terasa ngedrag. Kita pengen segera balik ke Mitch dan kawan-kawan

Dan mandi di pantai. Dan tenggelam. Dan diselamatkan oleh Daddario

 

Sebenarnya enggak semudah nulis yang jelek-jelek aja ketika mengulas film ini. Secara teknis, memang ini adalah  film yang jelek. Di lain pihak, film ini berusaha untuk menjadi jelek. Source materialnya parah, dan film ini gak berniat untuk menjadi lebih dari itu. So in way, dia berhasil mencapai tujuannya. Buat penggemar serial tvnya, aka nada suntikan nostalgia dari cameo. Aku bukan fan, jadi kemunculan David Hasselhoff dan Pamela Anderson enggak sampe hilarious banget buatku. Secara keseluruhan, film ini kadang lucu, dan setengah bagian pertamanya lumayan seru. Saat film ingin membahas aspek yang membuatnya sedikit keluar dari komedi konyol, ia jadi terbentur.

Benturan paling keras adalah ketika film ini menghandle adegan aksi. Baik itu pas berantem ataupun saat adegan penyelamatan. Terdapat banyak penggunaan CGI dan masing-masing terlihat lebih tidak meyakinkan dibandingkan efek sebelumnya. Green screennya agak kasar. Api dan asap saat adegan kebakaran tidak pernah terlihat realistis. Sekuen berantem pukul-pukulan ditangani dengan banyak adegan close up dengan lebih banyak lagi pergantian angle. Sungguh sebuah langkah yang tidak perlu. Karena, sekali lagi, kita bicara tentang The Rock di sini. Dwayne Johnson bukan hanya sudah terlatih trash talking orang. CVnya yang bertuliskan mantan pegulat WWE seharusnya sudah lebih dari mengisyaratkan bahwa orang ini sudah terbiasa ‘berpura-pura’ kelahi dan direkam dalam wide shot. Ngejual adegan berantem sudah menjadi keahlian The Rock, ketika dia beraksi, kita enggak perlu capek-capek ngedit; memotong dan nyambungin adegan untuk membuat berantemnya intens. Dalam film ini, however, mereka mengacuhkan hal tersebut dan memecah adegan berantem menjadi banyak potongan adegan sehingga jadinya annoying, kita susah mengikuti.

 

 

Film ini tidak takut untuk menjadi absurd. It’s bad, but it was intended to be bad. Singkat kata, nonton film ini adalah guilty pleasure. Humornya jorok. Bagian aksinya konyol, tapi digarap mengecewakan. Pengungkapan kasusnya ala Scooby Doo. Karakternya meski tipis (penokohannya loh, bukan baju renangnya) tapi setiap dari mereka didorong oleh motivasi. Dan dari segi teknis film, it was bad. Tapi toh kita bisa juga sedikit terhibur.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for BAYWATCH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

CARS 3 Review

“Those who can’t do, teach.”

 

 

What is your goal in life? Well, entah itu jadi seniman sukses, orang kaya, selebriti tenar, penulis hits, kita mestinya ngeset tujuan kita segede-gedenya. Lupakan jadi yang biasa-biasa aja. Apalagi berhenti mengejar keinginan tersebut. Teruslah ngegeber gas untuk mengejar  mimpi mulia yang kita punya. Lightning McQueen tahu persis akan hal ini. Sebagai pembalap dia enggak bisa untuk enggak meniatkan diri menjadi juara satu. Untuk menjadi yang tercepat. Makanya, dia terus mendorong dirinya untuk menjadi lebih baik dan lebih cepat. McQueen punya ‘mantra penyemangat’ sendiri yang selalu dia ikrarkan setiap kali hendak mulai balapan.

It is about self empowerment. Kita harus punya mindset juara. Akan tetapi, yang diingatkan oleh Cars 3 kepada kita semua adalah definisi juara sebenarnya lebih dari piala semata.

 

Cars adalah franchise kedua dari Pixar – selain Toy Story – yang udah sampai pada film ketiga. Cars pertama tayang di tahun 2006 dan entah sudah berapa kali aku menonton film ini. Bukan karena suka banget, melainkan karena film itu adalah satu-satunya yang bisa mendiamkan tangisan adek bungsuku. Jadi dulu, nyaris setiap hari dvd Cars disetel di rumah. Filmnya sih oke. Apakah butuh sekuel?  Jawabannya tentu saja tidak, jika kita melihat betapa ‘kacaunya’ Cars 2 (2011). Bisa jadi Cars 2 adalah film Pixar terburuk yang pernah dibuat. Aku mengerti sekuel sebaiknya memang dibuat berbeda dengan film orisinalnya. Cars 2 punya nyali untuk tampil beda. Tetapi, mengubah dari apa yang tadinya film tentang mobil balap menjadi film tentang mobil yang jadi mata-mata, dengan practically memasangkan karakter paling annoying di sejarah Pixar sebagai tokoh utama, jelas bukan langkah yang brilian.

Cars 3 sepertinya sadar akan kekhilafan mereka.

Film kali ini dikembalikan ke jalan yang lurus.Kembali ke soal mobil balapan, separuh bagian awal Cars 3 nyaris terasa seperti Pixar mencoba menyematkan kata maaf. Mater, dalam film ini, didorong jauh ke latar. Dia cuma muncul di beberapa adegan singkat, hanya supaya fansnya enggak ngamuk. Itu juga kalo ada hihi. Selebihnya kita akan mengikuti McQueen as dia belajar untuk mengingat kembali apa yang membuat dia menjadi pembalap in the first place.

Kalian bisa jadi apa saja. Jadilah mobil balap.

 

Lightning McQueen yang disuarakan oleh Owen Wilson sudah semakin tua. Sebenarnya tidak ada yang salah dengannya, dia masih bisa melaju cepat. Hanya saja, teknologi semakin berkembang. Jadi, McQueen mulai sering kalah. Mobil-mobil balap generasi baru bermunculan, dengan teknologi paling mutakhir terpasang pada mereka. Zamanlah yang sekarang harus dipacu oleh McQueen. Dia lantas belajar untuk menjadi pembalap yang lebih baik, dia pergi berlatih ke sebuah tempat canggih yang sudah disediakan oleh sponsor. Di sana, McQueen dilatih oleh seorang pelatih bernama Cruz. Which is a fresh, interesting new character yang berhasil menyeimbangkan kementokan karakterisasi McQueen sendiri.

Trailer film ini menyugestikan seolah Cars 3 diberikan arahan yang lebih serius. Film ini tampak hadir lebih gelap, kita melihat McQueen terpelintir rusak, sebelum akhirnya terbanting ke jalan. Nyatanya, film ini basically MIRRORING KEJADIAN PADA FILM PERTAMA. Di mana kala itu McQueen adalah pembalap baru dan dia bertemu – kemudian diajarkan banyak – oleh Doc Hudson. Relationship McQueen dan Hudson akan banyak dieksplorasi dalam Cars 3 karena adalah aspek yang penting, essentially McQueen sekarang berada di posisi Hudson. An old, tired race car. Kita akan melihat McQueen berlatih untuk menjadi lebih kencang, untuk menjadi lebih baik. Dia bersedia belajar menggunakan teknologi baru yang somehow tidak berjalan begitu baik buatnya. Bersama pelatih barunya, McQueen balapan di pantai berpasir. Mereka berdua ikutan demolition derby. McQueen benar-benar mencoba untuk mencari ke dalam dirinya, apa yang membuatnya jadi pembalap. Di bagian latihan ini, film picks ups considerably. Ada pesan yang baik di sini, dan menjelang akhir semuanya menjadi surprisingly menyentuh dengan sebuah keputusan yang diambil. Mungkin banyak yang bisa menebak ke mana arah cerita, tapi tetep aja kerasa sangat touching karena kita akhirnya melihat karakter McQueen berputar satu lap, he comes full circle di akhir cerita. Dan menurutku, ending film ini sangat memuaskan.

Jika enggak ada manusia, kenapa mobil-mobil itu punya pegangan pintu?

 

While penonton cilik mungkin akan ileran ngeliat mobil-mobil baru nan mengkilap – Cars 3 tampak mulus seperti biasa, jika tidak lebih – penonton yang lebih dewasa bakalan sedikit berkontemplasi dibuat oleh pesan yang terkandung di dalam narasi.

Apakah kelak kita akan undur diri dengan sukarela, menyerahkan obor itu kepada generasi berikutnya, atau apakah kita akan terus melaju dalam jalan yang kita tahu ada ujungnya, risking everything just to keep up? Keseluruhan pembelajaran Cars 3 adalah tentang warisan. Kapan harus berhenti, merelakan, dan menyadari bahwa bukan semata kemenangan yang akan abadi. It’s our excellency.

 

Jika setiap mobil punya akselerasi, maka film ini pun ada. Antara film baru di’starter’ dengan kita mulai menikmati cerita, sesungguhnya memakan waktu yang enggak cepet. Paruh pertama film ini boring banget. Ada banyak lelucon yang jatoh bebas menjadi datar sedatar-datarnya. Kalian tahu, serial Cars selalu memancing jokes dan anekdot seputar personifikasinya terhadap dunia manusia. Yang memang sekilas terdengar amusing, tapi kalo dipikir-pikir rada gak make sense.

Banyak yang membandingkan film ini dengan sekuel-sekuel Rocky. Aku agak berbeda dengan pendapat itu, karena buatku, Cars 3 lebih kepada personal McQueen. Dia enggak necessarily pengen mengalahkan Storm, si mobil balap yang lebih muda namun rada angkuh dan kasar. McQueen ingin buktikan kalo dia sendiri masih mampu berlari di lintasan itu, bahwa dia adalah pembalap yang punya tujuan hanya satu. Aspek ‘ketika si muda menjadi tua’ ini bisa kita tarik garis lurus dengan keadaan Pixar sekarang. Bagi anak-anak, Cars adalah Pixar. Sedangkan bagi kita yang udah nonton lebih duluan, Cars adalah franchise Pixar yang paling ‘lemah. Bandingkan saja dengan Toy Story (1995). Pixar sudah exist cukup lama, dia sudah enggak ‘muda’ lagi, dan kita bisa lihat karya mereka juga enggak sekonsisten dulu lagi briliannya. Cars 3 adalah usaha Pixar menunjukkan mereka still can go wild-and-young. Tapi pertanyaan yang harus kita tanyaka adalah, akankah kita melihat successor ataupun rival baru yang lebih muda, yang bakal membuktikan bahwa mereka lebih baik dari Pixar?

 

 

 

Tidak banyak ‘pergantian gigi’ seperti yang kita kira, namun tak pelak ini adalah kisah mentorship yang menyentuh. It work best as a bigger picture, jika kita menonton ini setelah menonton film yang pertama. Bagusnya pun kurang lebih sama, deh. Kita bisa ngeskip Cars 2 entirely dan enggak akan banyak nemuin lobang di continuity. Penokohan membuat karakter lama jadi punya depth baru. Even newcomer diberikan penulisan yang lebih nendang lagi. Tapi leluconnya kinda datar, it’s hard enough membayangkan peraturan universe mobil-mobil itu. Dent pada konsep, dan Pixar berusaha sebaik mungkin menggali apa yang mereka bisa dari sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CARS 3.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ATOMIC BLONDE Review

“A secret makes a woman, woman.”

 

 

Perang informasi dan spionase selalu adalah soal fleksibilitas moral, atau bahkan meniadakan moral sejenak, hanya untuk menghancurkan musuh.

 

Makanya, historically setelah Perang Dunia Kedua, secret services MI6 mulai merekrut pria-pria pemakai narkoba, alkoholik, dan para homoseksual untuk dijadikan mata-mata. Lagian, kelompok orang-orang yang dianggap gampang menanggalkan moral tersebut sudah luar biasa berpengalaman dalam menyimpan rahasia. Kalo soal moral sih, yang namanya manusia ya jelas bukan malaikat. Namun, sebenarnya, cewek lebih ampuh dalam menyimpan rahasia. Serius, cewek mana pun yang tahu banyak akan berkata bahwa mereka belum pernah melihat ke dalam hati pria. Dan lagipula aku punya teman cowok yang kalo bohong pasti langsung ketahuan karena terlalu banyak ngedip dan keringetan, persis Nick di serial New Girl.

Di luar kemasannya yang mirip John Wick versi cewek, Atomic Blonde yang diadaptasi dari graphic novel The Coldest City adalah cerita tentang mata-mata. Kalo biasanya di akhir setiap review aku bilang, “in life there are winners and there are losers”, maka film ini punya petuah yang sedikit berbeda. Di dunia dengan orang-orang yang memakai nama alias itu, hanya ada kebohongan dan kebenaran. Kelemahan adalah ketika seseorang mempercayai orang lain. Jadi, jangan heran akan ada BANYAK TWIST-AND-TURN dalam cerita Atomic Blonde.

Paralel dengan setting sejarahnya yang menjelang peruntuhan Tembok Berlin, film ini bilang bukan senjata yang membuat kita saling tak-percaya. Senjata ada karena kita enggak bisa percaya pada siapa-siapa. Charlize Theron adalah agen mata-mata bernama Lorraine Broughton, dia tersohor oleh kemampuan penyamaran sekaligus keahlian kombatnya. Oleh atasan dan CIA, Lorraine diminta untuk berangkat ke Berlin demi menemukan List ‘penting’ berisi nama-nama orang yang diduga double-agent. Di Berlin, Lorraine akan dibantu oleh Percival (sekali lagi James McAvoy devilishly menghibur). Mereka juga harus melindungi seorang agen yang rumornya sudah hafal isi List tersebut, sehingga dia juga ikutan buron oleh orang-orang jahat.

Bukan List of Jericho loh ya!

 

Meskipun ini lebih kepada sebuah cerita mata-mata yang kompleks dengan ledakan aksi, maaaan, enggak usah ragu deh sama sekuens berantemnya. Setiap masing-masing mereka dihandle dan difilmkan dengan gaya keren, juga intens. The shots were beautiful. Lorraine bener-bener menghajar banyak orang. Kabarnya, Theron menampilkan sebagian besar adegan aksinya tanpa peran pengganti, which is incredibly amazing! Atomic Blonde digarap oleh salah seorang sutradara John Wick (2014). Dan David Leitch sekali lagi membuktikan kepiawaiannya mengarahkan adegan pertarungan tangan kosong, ataupun kejar-kejaran mobil. Bandingkan deh editing dan gerak kamera pada sekuens aksi film ini dengan Kidnap (2017). Oke, aku akan nunggu sampai sakit kepala kalian mereda setelah ngeliat adegan Kidnap.

Udah?

Well, Leitch membuat setiap bak-bik-buk terlihat menakjubkan. Gerak kameranya mulus sejalan dengan arah mata kita. Particularly sekuen pertarungan di tangga, yang kemudian berlanjut di jalanan Berlin yang ramai oleh warga yang demo. It is such a blast. Salah satu porsi aksi sinema yang paling stand out di tahun 2017.

Theron excellent banget. Ada sesuatu dari tokoh Lorraine yang membuat kita terinvest. Ya, cerita memang mengeksploitasi dirinya yang seorang cewek, but again, itu untuk menunjukkan cewek adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan spy yang badass. Lorraine ditulis sangat dingin. Personanya udah Ice Queen banget. Itu bukan hanya karena kita ngeliat dia dua kali mandi berendem dalam es batu, ataupun minumnya selalu es kosong campur Vodka. Karakter ini seolah diselubungi misteri. Dia pintar, kata-katanya tajam, tindakannya tangkas, dia membuktikan dirinya adalah orang yang tepat untuk tugasnya. Tapi ada secercah vulnerabilitas di dalam pribadi cewek ini yang kadang terlihat. Film ini mencerminkan personality Lorraine lewat penggunaan warna. Most of the time, di momen-momen cool, Lorraine akan didominasi oleh warna biru seperti kita melihatnya di bawah air dari balik akuarium. Kemudian semburat merah akan lantas mewarnai sosok ini, entah itu api dari pemantik ataupun cahaya neon, dan sekilas kita melihatnya kembali sebagai ‘manusia biasa’. Pun begitu, Lorraine enggak selalu langsung menang berkelahi. Adegan pertama kita melihat tokoh ini, dia dalam keadaan babak belur. Karakter dan treatmentnya sendiri akan membuat kita tetap tertarik, kayak cowok kalo lagi naksir ama cewek kece yang jutek.

 

Namun tertarik enggak bisa membawa kita jauh-jauh amat. Sebab selalu ada saatnya kita ingin belajar lebih banyak tentang karakter tersebut. Hingga menjelang babak akhir, aku enggak pernah benar-benar mengerti apa sih motivasi si Lorraine. Ataupun kenapa banyak orang mengincar daftar nama yang menjadi masalah tersebut. Oke, Lorraine dan teman-temannya ingin mengamankan List, dan bad guys pengen menjualnya, tapi inner motivasi dari kenapa mereka bersedia melakukan itu adalah hal yang bikin kita berjuang untuk mengerti. Dunkirk (2017) membuktikan bahwa kita bisa kok mengikuti karakter hanya di momen yang sedang berlangsung saat itu. Hanya saja, Atomic Blonde tidak berhasil membuat rasa tertarik kita terpuaskan. Investasi kita terhadap karakter tidak membuahkan apa-apa karena kita struggling berat memahami kompleksititas ceritanya.

Penulisan tokoh-tokoh seolah dibuat sengaja untuk mengecoh kita, it full of turns. Setiap mereka diperkenalkan sebagai sesuatu dan pada akhirnya mereka ternyata adalah ‘sesuatu’ yang lebih besar. Sesuatu yang berbeda. Kita enggak diberikan banyak waktu untuk mengenal mereka. Kita dapat dream sequence untuk Lorraine. Tapi itu belum cukup. Selebihnya, untuk karakter-karakter minor, perubahan mereka terjadi begitu saja. Misalnya tokoh si Sofiia Boutella. Dia juga bermain sangat baik, namun masih belum termanfaatkan dengan sama baiknya. Relationship Delphine dengan Lorraine dapat memberikan layer yang lain pada narasi, tapi film tidak mengeskplorasinya. Cuma sebatas, there we did it.

Sofia Nutella, Charlize Terong, James McD. Oke aku lapeeerrrr

 

Film ini mengecewakan ku dari segi sudut pandang bercerita. Petualangan dengan tokoh-tokoh yang penuh muslihat, aksi yang mendebarkan, menjadi berkurang intensitasnya lantaran film menggunakan flashback. Mereka memilih untuk bertutur dengan cara Lorraine duduk diinterogasi, untuk kemudian dia menceritakan apa yang sudah terjadi. Banyak film yang juga memakai cara bercerita seperti ini, kita diperlihatkan kondisi tokoh utama sekarang seperti apa untuk kemudian kita mundur sembari dia menceritakan kisahnya. Aku enggak begitu suka cara begini karena ketegangan film jadi berkurang. Kita melihat Lorraine matanya hitam abis ditonjok, sekujur badannya dihiasi borok luka, akan tetapi kita tahu dia akan baik saja. Because she sit was there to tell the tale. Jadi, setiap berantem yang kita lihat akan bikin kita, like, “wuiihhh idih!… ah, tapi dia selamat kok.” Cerita film ini bisa menjadi lebih exciting, tensi serta stakenya lebih gede jika dimulai lurus aja dari awal ke akhir, tanpa perlu bolak-balik antara present dengan timeline sebelumnya. Lagipula, setiap kali cerita balik ke ketika Lorraine diinterogasi, segalanya terasa berjeda. Sekuens di ruang interogasi itu kering dan hampa banget, kita pengen cepet-cepet balik ke bagian Lorraine melakukan sesuatu yang badass.

Satu lagi gaya yang diambil oleh Atomic Blonde, yang menurutku agak berlebihan, adalah penggunaan musiknya. While it is nice denger lagu-lagu upbeat dari 80an – pilihan lagunya bagus – namun timing pemakaian lagu ini terasa memberatkan film lebih daripada membantunya. Soundtrack film ini ABRASIVE sekali, seolah menjadi bagian dari narasi. Seperti ketika Lorraine masuk ke bar, lagu rock itu kemudian berganti gitu saja jadi musik jazz ketika ada yang menyalakan pemantik api saat Lorraine duduk di meja bar. Ada dua atau tiga kali kejadian, di mana musik latar pelan banget, dan ketika Lorraine mulai menghajar orang, musiknya menggede sendiri begitu saja. Mereka tampaknya ingin bikin lagu-lagu itu standout, akan tetapi sepertinya bukan ide yang bagus sebab lagu-lagu itu tidak menambah kepada narasi, ataupun benar-benar penting untuk pengembangan karakter.

 

 

 

Not to say film ini style over substance. It does have a complex spy story. Dan gaya film ini memang keren luar biasa. Banyak shot ciamik. Sekuens aksi yang nampol. Tapi film ini bukan orang Jerman yang enggak bikin kesalahan simpel. Terdapat banyak pilihan editing yang tampak seperti ‘just because they can’ alih-alih yang benar dibutuhkan untuk kepentingan cerita; susunan narasi yang bolak-balik dan terasa amburadul, membuat kita sering terlepas. Apalagi di bioskop Indonesia, sensornya banyak, jadi makin terlepas, deh kita. Dan musik yang sangat menggebu-gebu, meski kepentingannya enggak segede itu buat narasi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ATOMIC BLONDE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KIDNAP Review

“When I grow up, I’ll be a man like Mom.”

 

 

Kasih anak sepanjang jalan. Kasih ibu sepanjang masa. Well, dalam film ini Halle Berry membuktikan kasih sayang sepanjang masanya dengan desperately mengejar penculik anaknya, ngebut-ngebutan di sepanjang jalan tol.

Sembilan-puluh menit sensasi menegangkan mestinya bisa kita alami bareng Halle Berry yang hari itu lagi sial banget. Dia memerankan tokoh bernama Karla. She’s a single mom yang lagi ngurusin perceraian. Di tempatnya bekerja sebagai waitress – kafe paling enggak bersih seAmerika, setidaknya menurut salah satu pelanggan cerewet – Karla dibuat repot karena temen waitressnya enggak masuk kerja. Di sini karakter Karla diset up, kita lantas paham bahwa dia enggak akan nerimo diperlakukan rendah, that she doesn’t take shit from anybody. Karla akhirnya bisa refreshing jalan-jalan ke taman bareng anaknya, Frankie. Kita melihat betapa dekat mereka. Kita bisa merasakan naluri ibu pelindung Karla semakin teramplify oleh perceraian, dia enggak mau pisah ama Frankie. Dan di momen itulah, Frankie justru diculik oleh seseorang (atau sekelompok). Basically, film enggak pake ngerem berubah menjadi full adegan kejar-kejaran.

Lebih dari sebuah misi penyelamatan, Ini adalah jalan pembuktian bagi Karla bahwa dia bisa menjadi ibu yang baik. Bahwa dia sanggup mengurus anak. At heart, Kidnap bekerja sebagai cerminan struggle seorang single mother yang menolak untuk terlihat lebih ‘rendah’ dari mantan suami. Ataupun dari pasangan suaminya yang baru. Desperate, putus asa, namun gigih. Film ini mengingatkan kepada siapapun di luar sana bahwa tidak ada yang mengalahkan tekad dan perjuangan seorang ibu yang menginginkan anaknya.

 

 

Dari konsep sendiri, ini adalah cerita yang menjanjikan. Jika diolah oleh tangan-tangan yang tepat, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian thriller yang asik sekaligus seru. This could work great, film televisi Duel (1971)  buatan Stephen King, kan, juga mirip-mirip kayak gini. Tapi struggle is real buat orang-orang di balik pembuatan film Kidnap. Halle Berry melakukan sebaik mungkin yang mampu ia usahakan. Dan that’s about the nicest thing yang bisa aku bilang untuk film ini. Penulisan plot poin serta penghalang buat tokoh Karla begitu seadanya sehingga kita terhibur juga oleh keover-the-topan yang dihasilkan. Di satu titik, Karla sengaja bikin mobil-mobil tak berdosa saling tabrakan seolah mereka cuma bom-bom car sebab dia ingin disetop oleh polisi sehingga dia bisa mengadukan kasus penculikan tersebut. Oh ya, sebagai plot device, narasi sengaja membuat hape Karla terjatuh, so yea, supaya kita dapat halangan pertama. Setelah itu, tidak banyak variasi kegiatan Karla. Dia antara berlari-lari, ataupun berdoa dan bicara kepada dirinya sendiri.

Mungkin dia juga sengaja nyala sein ke kiri terus beloknya ke kanan

 

Bayangkan film Nay (2015), gabungkan dengan Taken (2008). Tapi batasi porsi dialognya dengan hanya “Oh my god” dan “Frankie!”. Rekam dengan audio. Kemudian potong-potong adegan aksi dan kebut-kebutannya, susun ulang dengan serampangan-pokoknya-asal-cepet. Sudah? Sip, kalian sudah dapat gambaran besar tentang seperti apa film Kidnap dipersembahkan. EDITINGNYA ADALAH SALAH SATU YANG TERBURUK yang pernah kita saksikan dalam dunia sinema. Demi memancing adrenalin penonton, film ngeshot back-and-forth dengan cepat. Jarang sekali kita bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Sekuen Karla berantem cekek-cekekan seatbelt dalam terowongan adalah sekuen yang bikin mata berair, eye-tracingnya completely off. ALih-alih merasakan ketegangan, kita malah sibuk berusaha fokus, sehingga sama sekali enggak ada emosi yang kita pungut dari adegan tersebut.  Banyak informasi yang literally terpotong oleh proses editing yang kasar banget. Seperti pada akhir, kita melihat Karla dikejar anjing dan salah satu penjahat. Karla sembunyi dengan menyelam di dalam air. Kemudian dia tiba-tiba muncul dari belakang si penjahat, ada pergulatan, dan kita enggak pernah lihat apa yang sebenarnya terjadi kepada anjing galak tadi.

Ketika Karla berlari keluar dari mobil, dia setengah mati berusaha secepat mungkin ke tempat yang ia tuju, sesungguhnya ini adalah momen yang sangat intens. Namun, berkat editing horrible – alihalih pake continuous shot yang panjang, mereka malah memotongnya menjadi banyak shot – momen tersebut jadi kehilangan energi. Pilihan yang dilakukan oleh filmmakernya bakal bikin kita ngakak, dan dari sinilah letak enjoy nonton film ini datang. Beneran, kalian bisa bikin semacam drinking game atau apa dari banyaknya shot speedometer yang beranjak naik dari 40 ke 60, seolah minivan si Karla ngebut banget.

Seperti Karla yang desperate ngejar penculik anaknya, film ini desperate agar kita terhibur menontonnya. Ia gunakan trik-trik filmmaking supaya filmnya seru. Eh malah jadi tampak konyol. To pinpoint one moment in particular; dalam salah satu adegan kebut-kebutan, film ini menggunakan efek fade black dan terang lagi dengan cepet-cepet sekitar enam atau tujuh kali. Tujuannya sih supaya kita turut ngerasain tegangnya melaju dalam kendaraan yang nyaris tabrakan, akan tetapi kelihatannya malah kayak adegan di trailer film-film action. Merasa enggak cukup, film ini pun turut memakai teknik Dutch Angle. Eh, tau Dutch Angle gak? Itu tuh, teknik kamera miring atau ditilt beberapa derajat sehingga bagian bawahnya enggak lagi sejajar garis horizontal. Seperti yang biasa kita jumpai pada film-film psikologis ataupun arthouse. Teknik ini sebenernya digunakan untuk menggambarkan suasana yang eerie biar lebih dramatis. Jika karakter bingung, maka dengan diceritakan pake kamera ngeoblige kayak gini, rasa bingungnya bisa meningkat menjadi kecemasan yang luar biasa. Dalam film ini, aku tanya deh, kenapa? Kenapa momen nyeni kayak gini digabung begitu saja ke dalam action thriller klise. Dutch angle jika salah penempatan, atau dilakukan dengan enggak pas, jadinya malah konyol. Dan itulah yang terjadi pada salah satu car chase di film ini.

“You took a wrong movie!”

 

Ketika kita punya cerita yang sederhana, yang konsepnya begini basic, kita bakal enggak bisa menahan diri untuk memasukkan twist sekecil apapun yang kita bisa.  Yang tidak termaafkan adalah ketika kita memasukkan twist, dan kemudian kita merasa perlu untuk menjelaskan kepada penonton. Setelah kita melihat cerita tembak-langsung, Kidnap dengan tanpa dosanya merangkum narasinya dengan memasukkan adegan berupa suara di radio memberitakan apa yang telah terjadi. Menurutku, ini adalah salah satu bentuk penceritaan yang meremehkan intelensia penonton. Closing dengan siaran berita itu sama sekali enggak perlu.

Jika pria adalah seorang yang menyintai unconditionally,yang senantiasa melindungi dan peduli. Maka, ya, Ibu adalah seorang pria.

 

 

 

Complete failure of production. Film ini sangat berantakan. Editingnya yang parah membuat konsep thriller yang punya potensi menjadi hilang begitu saja. Tergunting-gunting di dapur studio. Sebagian besar durasi kita akan capek untuk mengikuti alur editing yang parah. Sehingga kita lupa untuk menikmati emosi dan struggle tokoh utamanya. Namun aku gak bisa bohong, aku terhibur juga dibuat oleh film ini. Pilihan-pilihan yang mereka lakukan dalam menyampaikan cerita sangat konyol.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for KIDNAP.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.