GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2 Review

“Sometimes the family we make for ourselves is more important than the family we are given through blood.”

 

 

“Hey Marvel, mari kita bersenang-senang. Berikan kepadaku karakter-karakter bercela yang kalian punya, kuterbangkan mereka seantero jagat raya, kupasangkan walkman, kuputarkan hits dari tahun delapan puluhan, dan kubiarkan mereka menari sambil beraksi seasik-asiknya!” Begitu kiranya yang dicetuskan sutradara James Gunn ketika dia menangani film Guardians of the Galaxy (2014). Jadilah kita dapet superhero unik yang menggabungkan aksi amat seru, musik supernendang, dengan hubungan antarkarakter yang kocak abis. Dan di film yang kedua ini, right at the start, kita langsung diterjunkan ke dalam sekuen aksi yang cantik dan luar biasa, yang juga memberikan kita gambaran akan seperti apa tone film ini.

Kita bisa lihat lelucon dan gaya dari film yang pertama tetap dibawa ke film terbaru ini. Star-Lord, Rocket, Drax, Gamora, dan Baby Groot (gemessshh!!) sekarang sudah berteman makin erat. Kita turut ngerasa kian akrab sama mereka. Mengemban nama Penjaga Galaksi, kumpulan orang keren ini menerima pesenan ngelakukan tugas di ruang angkasa. As of right now, mereka sedang dalam misi mengalahkan sesosok monster besar. Dan alih-alih nyorot aksi pertempuran tersebut secara langsung, kita dikasih fokus ke kegiatan Baby Groot yang mencoba dengerin musik di antara desingan peluru cahaya dan tentakel si monster. Pertempuran seru berlangsung di latar, dan terkadang Gamora ataupun tokoh lain terlempar ke arah Groot, dan mereka nyempetin diri untuk menyapa. Lucu, manis, dan tetap menegangkan. Sebenarnya apa sih yang bisa kita pelajari dari adegan tersebut? Apa yang ingin dibicarakan oleh film ini?

Sekali lagi, kevulnerablean muncul ke permukaan. Para tokoh menurunkan sedikit ‘pertahanan’ mereka untuk berinteraksi dengan Groot, dan aka nada banyak momen lagi di sepanjang film saat seorang karakter menunjukkan kualitas terburuk mereka. Berbahaya, memang. Tapi not so much, jika kita menunjukkannya kepada keluarga. Film ini ingin memperlihatkan bahwa keluarga adalah tempat kita bisa mengeluarkan sisi terjelek sama amannya dengan kita mengeluarkan sisi terbaik. We can show both of sides of ourselves kepada keluarga karena keluarga akan memaafkan dan kita pun siap untuk memaafkan anggota yang lain. Bahwa cinta keluarga adalah tak-bersyarat.

 

Ada peraturan tak-tertulis yang dipatuhi oleh beberapa film dalam menggarap sekuel. Film kedua kebanyakan akan berpusat di masa lalu yang balik menghantui tokoh utama. Di balik semua lelucon, Guardians of the Galaxy Vol.2 adalah TENTANG KELUARGA. Star Lord akan dihadapkan kepada garis keluarganya. Dia akan bertemu dengan ayahnya yang sudah lama menghilang. Bersamanya, kita akan belajar tentang siapa sih ayah si Peter Quill, apa yang membuat orang ini menjadi begitu spesial dan berbeda. Bukan hanya Star Lord, film ini pun mengeksplorasi sisi keluarga dari tokoh-tokoh lain. Both heroes and some of the villain characters. Yang kemudian akan menghantarkan kita untuk belajar mengenai asal muasal mereka, membuat kita bersimpati atas trauma masa lalu yang menimpa, dan ultimately membuat setiap karakter dalam film ini memiliki bobot yang sangat kuat.

Mari berharap di misi selanjutnya Star Lord cs ketemu ama geng Cowboy Bebop

 

Ketika mendengar sebuah film akan dibuat sekuelnya, biasanya kita langsung mengharapkan yang tinggi-tinggi. Kita pengen film baru itu akan dua kali lebih seru, aksinya dua kali lipat lebih menegangkan, emosinya dua kali lipat bikin baper, dan hey, ledakan yang du…em, lima kali lebih banyak! The thing is; sekuel enggak selalu harus lebih besar. Karena yang lebih besar belum tentu lebih baik. Beberapa film hebat menggarap sekuel dengan jalur yang berbeda dari film originalnya. Ambil contoh franchise Alien (1979); film pertamanya lebih kepada thriller sci-fi yang sangat efektif. Ketika membuat sekuelnya, James Cameron enggak mau menapaki langkah yang persis sama dengan Ridley Scott, maka ia mengarahkan Aliens (1986) menjadi lebih ke elemen action. Dalam kasus Guardians Vol 2, jelas James Gunn paham akan hal ini. Dia bisa saja membuat film ini punya ground yang sama dengan yang pertama, dengan mengedepankan banyak aksi exciting dan tokoh-tokohnya berkelakar setiap saat. Tapi enggak. James Gunn membuat Volume 2 sebagai less of a bigger action film, dia membuatnya GEDE DI BAGIAN KARAKTERISASI.

Kekuatan dan daya tarik film ini tidak lagi ada pada sekuen aksi. Meskipun tentu saja film ini punya banget beberapa aksi yang bakal bikin kita bersorak. Apa yang dilalui oleh tokoh-tokoh dalam film ini akan membuat mereka sedikit kurang cool, dibandingkan pada film yang pertama, namun hal-hal yang mereka lalui akan menjelaskan banyak karakter yang mereka punya. Kenapa Rocket merasa perlu untuk mencuri, apa yang sebenarnya ia berusaha untuk buktikan, misalnya. Kita akan belajar lebih banyak tentang masing-masing tokoh, sehingga membuat mereka jadi punya bobot – jadi punya alasan untuk kita cheer dan punya alasan untuk berada di dalam cerita, lebih dari sekedar orang kocak, ataupun rakun imut yang sangat badass. James Gunn menekankan kepada detil traumatis masa lalu yang mereka hadapi yang membuat mereka pribadi yang kita kenal sekarang. Setiap tokoh terflesh out dengan sangat emosional. Terutama Nebula dan Yondu.

Dibesarkan oleh Thanos pasti bukanlah pengalaman masa kecil yang menyenangkan. Dalam film pertama kita belum benar-benar tahu alasannya kenapa. Kita belum mengerti apa yang membuat Nebula sangat jahat, tidak seperti kakaknya yang lebih bisa diajak kompromi. Dalam Volume 2 ini, kita akan mengetahui alasannya, dan ternyata alasan tersebut sangat heartbreaking dan luarbiasa tragis, khususnya untuk Nebula. Saat kit mikirin tentang masalalunya ini, kita jadi merasa terattach kepadanya. Penampilan Karen Gillan mungkin agak sedikit over, namun kita jadi melihat Nebula sebagai makhluk yang sangat manusiawi – walaupun dia bukan manusia. Michael Rooker sebagai Yondu juga sukses mencuri setiap adegan yang ia mainkan. Tokohnya di sini lebih baik dibanding film pertama, dan bahkan aku sudah suka sejak film originalnya itu. Senjatanya keren banget, kayak Shinso di anime Bleach. Dalam film kedua ini, berkat penulisan yang hebat, kita belajar banyak sehingga membuat kita sangat peduli padanya. Yondu punya penokohan yang paralel dengan Rocket, dan the later character benar-benar diuntungkan dari Groot yang sekarang menjadi bayi. While Groot bener-bener kayak bayi, dia tak pelak bikin kita bilang “aaaaaawwwhh” setiap kali muncul di layar, di sini dia kinda dumb. Jadi persahabatannya dengan Rocket enggak dieksplor banyak, instead kita dapat eksplorasi tokoh Rocket yang membuat dia juga terasa lebih manusiawi.

Semua aktor bermain dengan fantastis. Di antara para tokoh yang paling sedikit kebagian dieksplor adalah Drax. But oh boy, James Gunn menulis tokoh ini dengan meniatkannya menjadi tokoh humor. Drax adalah yang paling kocak dan Batista bener-bener deliver komedi dengan baik. Celetukan dan lelucon terbaik datang dari tokoh ini, dari cara pandangnya terhadap sesuatu yang amat sangat tak-biasa.

Aku ngakak berat di bagian Mary Poppins xD

 

Satu jam pertama film memang terasa riweuh. Ada banyak pergantian kejadian yang membuat emosi kita kayak diombang-ambing ombak, flownya sedikit kurang mulus. Aku pikir ini banyak sangkut pautnya dengan salah satu pihak antagonis; itu loh, orang-orang emas yang mengejar Guardians pake pesawat dengan teknologi kayak game arcade. Mereka muncul sewaktu-waktu dan memberikan tantangan kecil-kecilan untuk tokoh pahlawan kita. Buatku, Ratu Ayesha dan pengikutnya ini lumayan useless, kita enggak benar-benar butuh mereka. Tapi aku paham film butuh tipe penjahat ‘bego’ kayak gini sebagai distraction sebelum pertempuran yang sebenarnya dimulai.

Kadang kita bertengkar dengan mereka. Kadang kita saling enggak tahan kepada masing-masing, tapi pada akhirnya kita tetap berdiri bersama. Itulah keluarga. Tidak selalu harus ada hubungan darah. Keluarga adalah orang-orang yang saling berbagi dengan kita, yang kita saling menumbuhkan kekuatan, yang kita nyaman menjadi diri sendiri saat bersama mereka. Bahkan Dewa, menurut film ini, berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menanggulangi rasa kesepian – berusaha untuk konek dengan seseorang, mencari seseorang untuk berbagi.

 

Karena karakter-karakternya telah disetup dengan teramat baik, menjelang menit-menit akhir, film ini sukses membungkusku dengan emotional weight. Momen indah hadir susul menyusul. Tapi aku harus bilang, visual film juga memegang peranan penting. Sebab untuk beberapa bagian, film ini terdengar agak cerewet. Maksudku, momen-momen emosional itu, kita sudah benar-benar ngerasain apa yang diniatkan – emosinya sudah terdeliver. Hanya saja, momen tersebut kinda lecet karena dialog dari tokoh yang overstating apa yang kita rasakan. Mestinya enggak semuanya perlu diucapkan. Efek yang lebih kuat bisa dirasakan jika tidak dikatakan. Masalah yang mirip juga aku temukan pada tokoh Ego yang diperankan oleh Kurt Russel. Ayah Quill ini charming banget, sayang perannya kerap berkurang menjadi sebatas penyampai eksposisi. Karakter ini mestinya bisa ditulis lebih baik lagi.

 

 

 

 

Tidak lantas menjadi lebih bagus, lebih exciting, lebih gede dari film pertamanya, petualangan para superhero luar angkasa kali ini memang difokuskan kepada karakterisasi. Porsi aksi keren dengan visual stunningnya mesti ngalah buat pengembangan relationship antarkarakter; yang diolah dengan fantastis dan benar-benar efektif sehingga kita merasa lebih peduli kepada mereka. Setiap tokoh yang punya bobot lebih banyak. Dan ini membuat kita menantikan petualangan-petualangan mereka selanjutnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? I am Groot. Eh sori, maksudnya… We be the judge.

MEMBABI-BUTA Review

“Curiosity killed the cat.”

 

 

You can tell dari posternya yang lumayan keren, film ini bakal berdarah-darah. Prisia Nasution kelihatan sangat mengancam mejeng bareng kapak gede dari abad pertengahan tersebut. Genre Thriller apalagi yang berturunan slasher akan selalu dapat sambutan yang hangat, akan sangat menarik untuk melihat apa yang bisa dilakukan oleh sutradara Joel Fadly dalam film debutannya ini sehubungan dengan efek-efek praktikal anggota tubuh yang tercincang-cincang. Kita bisa mengharapkan film ini bakal goes medieval on us.

Membabi-Buta adalah cerita tentang wanita bernama Mariatin yang baru saja mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Sundari dan Sulasmi, kakak-beradik yang masih memegang teguh budaya Jawa. Kedua wanita paruhbaya tersebut sayangnya bukan tipe nenek-nenek yang suka masakin kue. Mereka galak. Sulasmi suka ngebentak. Sundari dingin banget, meski dia masih nunjukin kepedulian sama anak kecil yang menggigil kedinginan. Namun kepada Mariatin, mereka berdua ini udah kayak ibu tiri. Mariatin diberikan peringatan dan aturan-aturan yang cukup aneh begitu dia masuk ke dalam rumah tersebut. Pintu dan jendela yang senantiasa tertutup rapat, kamar yang hanya bisa dimasuki dengan ijin terlebih dahulu, telepon yang tak boleh ia pakai, dan peraturan utama rumah tersebut adalah jangan banyak tanya. Untuk memperaneh suasana lagi, Mariatin kerap mendengar suara wanita di tengah malam; jeritan yang seolah sedang disiksa. Mariatin berusaha untuk enggak mikirin semua ini, dia tetap bekerja meski rasa ingin tahunya semakin gede. Garis batas bagi Mariatin adalah ketika putri kecilnya, Asti, makin hari makin menunjukkan gelagat aneh dan kemudian jatuh sakit. “Mungkin kebanyakan main”, kata Ndoro Sundari ketika ditanyai. Eventually, misteri yang terjadi di rumah tersebut terkuak dan Mariatin bertindak membabi buta demi keselamatan putrinya dan kita mendapatkan sebuah film slasher.

A very bad one.

Film ini MEMBOSANKAN. Oke, aku sendiri enggak percaya seumur-umur aku bakal ketemu slasher yang bikin mataku berair karena kebanyaka menguap. I mean, hakikatnya genre ini pastilah brutal dan menegangkan, dan jika kau berhasil membuat hal-hal brutal tersebut menjadi boring, maka kupikir, itu bisa menjadi prestasi tersendiri. Jadi, selamat deh buat film Membabi-Buta, you are breaking a new ground!

Hingga babak ketiga, film ini akan datar-datar aja. Tak sekalipun elemen lokasi tertutup dimanfaatkan dengan benar-benar maksimal. Kita hanya melihat Mariatin yang disuruh-suruh. Thriller haruslah punya set up, segala ketegangan mestinya dibendung dari awal untuk kemudian dilepaskan di akhir. Menciptakan sensasi seram tanpa membuat penonton merasa lega. Film ini tidak mampu menguarkan ketegangan. Untuk bikin takut, film ini hanya mengandalkan kepada trope-trope horor. Banyak adegan berupa; seseorang mengintip, lalu yang diintip menoleh mendadak, dan BLAAARR suara keras di layar saat yang ngintip tersentak kaget. Dan memang kelihatannya film ini berusaha terlalu keras untuk menjadi seram dan menegangkan. Sundari dan Sulasmi bersikap misterius dan kejam sepanjang waktu sampai ke titik aku bingung sendiri; ini film pembantu yang teraniaya atau film tentang majikanku misterius kayak hantu, sih? Di akhir-akhir, film bahkan mencoba memancing sisi dramatis, yang nyatanya juga berdampak datar karena enggak disetup dengan baik.

“Sifat sok-seram kamu yang berlebihan akan menyusahkan kamu sendiri!”

 
Tokoh utama kita sebenarnya punya karakter yang cukup ‘berdaging’. Mariatin dituliskan punya sifat ingin tahu yang besar, dia cenderung nekat. Sebagian besar bentakan majikannya datang dari Mariatin yang dinilai bersikap kurang sopan, main masuk kamar seenaknya. Ada satu adegan yang bikin aku ngakak, yaitu ketika mereka makan malam. Sundari dan Sulasmi mempersilakan Mar dan anaknya makan bareng di meja makan, tapi Mar pada awalnya menolak. Selain takut gasopan, aku mikirnya mungkin Mar sedikit jijik ngeliat mata cacat Sulasmi, atau mungkin dia masih kebayang kuku kaki Sulasmi yang panjang-panjang yang baru saja ia cuci (ewwww!), jadi dia enggan makan bareng mereka. Namun ternyata, setelah mereka makan, justru ternyata Sulasmi yang ilang selera demi mendengar Mar yang makannya ngecap alias ngunyah dengan mulut terbuka sehingga bunyi decapannya konser ke mana-mana ahahhaha. Mariatin ternyata makannya lahap loh, sebodo amat kalo tempat ama majikannya nyeremin gilak!

Hal menarik dalam film ini adalah gimana Sundari dan Sulasmi bersikap lebih ramah kepada Asti dibandingkan kepada Marianti.Yea, mungkin karena dia anak kecil dan dua saudari ini punya latar belakang sehingga numbuhin soft spot kepada anak kecil. Tapi kupikir ini juga ada kaitannya dengan Asti yang patuh dan Mar yang bertindak atas rasa ingin tahunya. Asti dianggap baik, tapi is it truly what makes a “good girl”? Apakah memang kemampuan untuk mengikuti perintah atau intruksi tolak ukur seseorang bisa dikatakan anak baik?

 

Masalahnya adalah, dengan sifat yang penuh ingin tahu sehingga bikin kesel majikannya itu, narasi tidak memberikan banyak ruang bertindak kepada Mariatin. She’s rarely making any choices. Dan di waktu-waktu langka tokoh yang mestinya relate buat kita ini memilih suatu keputusan, yang dia ambil adalah keputusan yang bego. Gini contohnya, Mariatin baru saja melihat sesuatu yang menyeramkan di bawah sana, ada cewek yang dirantai dan disiksa, in fact, dirinya sendiri practically baru saja lolos dari maut, dan bukannya langsung kabur bawa anaknya, dia malah naik ke atas minta tolong ke kamar salah satu majikan yang gak bisa dibilang ramah kepadanya. Konteks film ini adalah Mariatin menahan diri untuk kemudian, akibat tekanan yang terus menempa, dia akan membabi buta melepaskan semuanya. Tapi konteks ini tidak diisi dengan konten-konten yang meyakinkan. Alih-alih bermain di ranah pengembangan karakter Mariatin, film ini fokus ke mengorkestrain serem dan drama. Yang dibutuhkan film ini adalah layer untuk mmeperkuat perspektif tokohnya. Tapi film tidak pernah mempedulikan hal tersebut, film ingin terus menakuti-nakuti penonton. Makanya kita dapat adegan mimpi yang entah dari mana dan gak make sense dan gak klop dengan tema cerita, like, kenapa Mariatin ngalamin mimpi tersebut? Emangnya ada hantu yang minta tolong or something?

Ada banyak pertanyaan yang ditimbulkan oleh film ini lantaran memang plot-plot thread tersebut tidak dibungkus dengan baik. Atau malah lantaran kelupaan dibahas. Kita dianggap nerimo begitu saja ‘jawaban’ yang diberikan, tanpa cerita benar-benar menjelaskan kenapa dan bagaimananya. Aku gak mau ngespoiler terlalu banyak, tapi motivasi dua saudari ini rada gak jelas dan enggak benar-benar klop dengan jawaban sebab musabab yang diberikan.

nah ini, baru seram!

 

Bahkan adegan yang paling kita tunggu-tunggu, adegan ketika semuanya menjadi hantam-hantaman, tubuh terpotong-potong, enggak dihandle dengan cakap. Kamera seringkali ngecut di setiap momen-momen penting. Koreografi kelahinya juga terlihat gemulai, enggak intens. Mungkin karena keterbatasan fisik para pemain, tapi masa sih enggak pake pemeran pengganti? Inti problemnya memang di pengarahan. Penampilan akting di sini terletak di antara over-the-top dengan enggak meyakinkan. Bahkan Prisia Nasution yang biasanya bermain bagus, dalam film ini enggak convincing enough. Karakter Mariatin seharusnya babak belur secara fisik dan emosi, tapi sama sekali tidak tergambar ke layar. Tidak ada bobot emosi yang terdeliver kepada kita para penonton. Dan tokoh anak kecilnya, ya sesuai standar film Indonesia lah; anak-anak hanya sebagai device yang tokohnya enggak berjiwa, enggak berattitude. Film ini ditutup dengan ending yang sebenarnya bisa bekerja baik jika didevelop telaten sedari awal. Dari plot standpoint sendiri, memang endingnya harus begitu karena membuat tokohnya mengalami perubahan. Sayangnya, karena narasi yang amburadul dan tidak dieksplor dengan genuine, jadinya terasa maksa dan out-of-nowhere.

 

 

 
Bertemakan tentang tindakan nekat, tapi filmnya sendiri malah bermain aman. Tidak ada resiko kreatif yang diambil. Sebelum sampai di bagian slashernya, kita akan dininabobokkan oleh cerita yang tidak dimasak, satu-satunya yang bikin kita tetap terjaga adalah suara musik yang keras dan suara bentakan Sulasmi. Dan ketika sampai di bagian slasher di akhir pun, rasanya penantian tidak terbayar tuntas. Adegan-adegannya tidak maksimal, aku mengharapkan praktikal efek yang bener-bener seger dan unik. Namun sama seperti bagian lain film ini, bagian akhir juga tidak menampilkan sesuatu yang baru. Jadi jangan dulu bilang sebagai karakter studi atau apa, sebagai media hiburan semata saja, film ini gagal menjalankan tugasnya.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for MEMBABI-BUTA.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

THE CIRCLE Review

“The price for safety is the loss of privacy.”

 

 

Teknologi berfungsi untuk mendekatkan yang jauh. Dan sebagai timbal baliknya, teknologi juga dapat menjauhkan yang dekat. Mae Holland merasakan langsung kebenaran pepatah masakini tersebut. Cewek muda yang diperankan oleh Emma Watson itu keterima kerja di sebuah perusahaan supergede yang bernama The Circle. Sebagai seorang cutomer service di company tak-ternama, Mae tentu saja girang ketika dia berhasil dapet posisi serupa di The Circle. Gini, bayangkan kantor Google, kemudian campurkan dengan social media, dan letakkan di lingkungan kerja yang sangat modern di mana semua ide akan dihormati dan pencetusnya akan dielukan seolah mereka adalah keturunan Albert Einstein. Begitulah lingkungan perusahaan The Circle; tempat yang sangat kekinian dan menyenangkan.

Dan semua pekerja di sana saling terhubung satu sama lain. Mae dan para karyawan yang dipanggil Circler digebah untuk selalu aktif di akun media sosial dan memberitahukan semua yang mereka lakukan ke semua pengguna. Dan eventually, Mae yang dengan cepat naik pangkat, setuju untuk menjadi seratus persen transparan. Dalam artian, dia secara sukarela memasang kamera canggih segede bola mata di badannya supaya orang-orang bisa ngikutin semua kegiatannya setiap detik dua-puluh-empat-jam sehari.

kecuali saat dia ke toilet, you pervert!

 

Elemen thriller coba dibangkitkan oleh film ketika Mae mulai bekerja di The Circle. Aku enggak mau repot-repot nonton trailer, jadi sebelumnya aku enggak tau ini film tentang apaan. Kesan yang datang saat melihat gestur dan aktivitas para eksekutif membuatku berpikir bahwa kantor Mae ini adalah semacam cult terselubung. Semua orang terlihat gembira ‘menjual’ kehidupan pribadi dan privasi mereka. Pemimpin dari organisasi ini; Eamonn Bailey, adalah pembicara yang begitu karismatis, membuat kita terbayang sosok Steve Jobs, hanya dengan sedikit nuansa jahat. Sepanjang film berlangsung kita akan melihat gimana mereka sama sekali tidak peduli dengan privasi, malahan mereka tampak ingin membuat ketiadaan privasi sebagai hal yang lumrah karena kita akan diperlihatkan sisi positif dari memasang kamera kecil di setiap sudut di berbagai tempat. Mae dapat banyak followers baru, posisinya kian naik, dan dia benar-benar suka dengan gagasan criminal bisa tertangkap hanya dalam beberapa menit saja. Tapi kita juga bisa melihat apa yang tidak terlihat oleh Mae, apa yang membuat keluarga dan sahabat Mae menolak online berlama-lama; semua ini mengarah kepada invasi privasi dan banyak lagi komplikasi hak-hak asasi.

Perkembangan teknologi sudah demikian pesatnya, sampai-sampai film yang didaptasi dari novel terbitan 2013 ini terasa agak ketinggalan jaman. Kita sudah tahu dan aware akan apa yang ingin disampaikan oleh film. Kata-kata “teknologi mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” sudah kita dengar sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi tetap saja, setiap hari perkembangan tersebut semakin gencar. Sekarang kita punya banyak aplikasi seperti Facebook Live, Insta-Story, atau malah Bigo live, yang pada beberapa kesempatan bikin kita geleng-geleng “wah, lagi liburan privasi juga liburan.”

Konsep sharing is caring adalah hal yang lumrah buat generasi milenial, namun sejatinya kita kudu berhenti sejenak dan berpikir; Apakah kita perlu ngeshare segalanya? Apakah semua pantas untuk dibagikan?

 

Ketakutan yang dirasakan oleh orang-orang sehubungan dengan teknologi digunakan oleh film sebagai pemancing drama. Ada ELEMEN SATIR yang lumayan kuat yang mampu mengundang sejumlah tawa. Ada elemen politik juga, di mana The Circle, demi hajat hidup orang banyak, ingin mengawasi kerja pemerintah secara langsung sehingga tidak ada penyelewengan. Namun, cara film ini mengeksplorasi elemen thriller dan dramanya sangat kacau sehingga ceritanya nyangkut di level aneh, alih-alih menarik, let alone thought-provoking. Susah aja bagi kita nerima kenyataan film bahwa ratusan orang – atau malah milyaran, seperti yang disebutkan film – mendukung ide soal kamera yang benar-benar meniadakan privasi. Iya, kita melihat beberapa komen yang enggak setuju, orang-orang terkasih dari Mae juga enggan untuk terlibat, namun film ini tidak pernah dengan mulus membahas konflik yang mestinya muncul dari potensi invasi privasi gede-gedean ini.

Instead, dari awal sampai akhir kita hanya mendapat satu insiden. Satu momen konflik. Sebagian besar film ini adalah tentang Mae ataupun pemimpin organisasi yang berbicara mempersembahkan ide mereka di depan karyawan dan eksekutif. Kita bisa melihat beberapa gagasan mereka ada yang benar, ada yang salah. Hanya saja tidak pernah berkembang menjadi konflik. Semuanya mengempis begitu saja; terlupakan, karena di adegan berikutnya semua tampak menjadi normal dan termaafkan. Di tengah-tengah film aku ngarep ada kejadian apa kek, paling enggak Mae sama sahabatnya berantem jambak-jambakan. Aku ingin lihat orang-orang itu mendapat pelajaran dan berubah. Tapi enggak ada kejadian apapun di film ini. Tidak ada resolusi yang menohok, tidak ada jawaban. Pada beberapa adegan terakhir, film mencoba untuk menjadi dramatis, hanya saja dengan absennya set up, satu konflik tersebut malah jadi abrupt dan tetep saja membuat film ini sebagai tontonan yang gampang untuk kita lupakan.

MINIMNYA KONFLIK tentu selaras dengan MINIMNYA KEPUTUSAN YANG DIBUAT OLEH KARAKTER. Inilah masalah terbesarku terhadap film The Circle. Tokoh utama kita, ‘pahlawan’ yang mestinya kita relasikan dengan diri sendiri, enggak banyak ngapa-ngapain. Mae ditulis dengan datar dan enggak menarik. Emma Watson adalah aktris yang cakap dan believable jika diberikan peran yang sesuai. Tetapi sebagai Mae, dia terdengar monoton, dengan banyak ekspresi bingung menatap layar. Interaksinya dengan karakter lain tidak lebih hanya sebagai sebagai device.

Film ini punya kebiasaan untuk memperkenalkan karakter tanpa memberinya plot ataupun hook buat kita pegang. Tom Hanks is barely in this film padahal perannya cukup penting; Bailey adalah yang terdekat yang kita punya dari seorang antagonis. Tapi meski demikian, bahkan karisma Tom Hanks enggak membantu banyak. John Boyega malah tampil lebih sedikit lagi, dengan peran yang selalu tenggelam ke background. Perannya di sini adalah sebagai Circler misterius yang mulai ‘curiga’ dan berontak terhadap organisasi. However, film menerjemahkan tokohnya ini hanya sebagai orang yang sesekali muncul untuk memperingatkan Mae. Tokoh favoritku di film ini justru adalah kedua orangtua Mae; Ayahnya (rest in peace Bill Paxton) yang mengidap MS dan Ibu yang setia mendampingi. Mereka berdua sangat penasaran sama kerjaan Mae, dan mereka adalah the voice of reason yang actually lebih mudah untuk kita dukung, dan punya relationship yang lebih menarik untuk diikuti.

ngestalk siapa lagi yaa kali ini?

 

Secara visual, ini adalah film yang mentereng. Namun secara teknis, film ini terasa kurang professional. Kita bisa melihat film ini dibuat dengan cakap, akan tetapi hasilnya secara keseluruhan tidak tampak seperti demikian. Yang paling kentara tentu saja adalah arahannya; sama sekali enggak spesial. Talenta para aktor disiasiakan, enggak satu pun dari mereka menyuguhkan penampilan yang memuaskan. Bahkan Tom Hanks terdengar lumayan monoton di sini. Aku baru saja pulang dari ngintip proses syuting film, maka mau tak mau aku memperhatikan gimana struktur pengambilan gambar; buat yang suka memperhatikan editing ataupun teknik ngesyut, maka pastilah bisa mengerti bahwa film ini menggunakan teknik yang enggak baik. Particularly, the way mereka menyambung adegan terasa kasar. Contohnya di adegan ketika Mae dan sahabatnya ngobrol di dalam bilik toilet terpisah. Film ini menggunakan sudut pengambilan standar untuk kedua tokoh, di mana Mae dan sahabatnya sama-sama diposisikan di tengah shot. Dan kemudian mereka ditampilkan bergantian, dengan sudut yang sama. Hasilnya cukup menggelikan, seolah Mae dan temannya itu muncul bergantian di bilik yang sama, padahal itu adalah bilik yang berbeda.

Mengetahui semua tidak pernah adalah hal yang baik. Karena itu berarti tidak ada ruang bagi kita untuk mempertanyakan sesuatu. Yang ultimately berarti tidak ada kesempatan untuk berkembang menjadi lebh baik lagi. Dan tentu saja mengetahui semua berarti tidak ada rahasia, sedangkan manusia perlu untuk menyimpan rahasia. Karena setiap kita sejatinya punya dua kehidupan, personal dan sosial. Dan di dunia di mana semuanya sudah overexposed,hal paling keren yang bisa kita lakukan adalah menjaga kemisteriusan diri.

 

 

 

Jika ini adalah cerita satir tentang society yang memutuskan untuk menjadi transparan sehingga tidak ada yang ditutupi, maka aku akan blak-blakan bilang ini adalah film yang membosankan. Penampilan datar dari barisan aktor yang sangat cakap. Arahan yang biasa aja dari sutradara yang mumpuni. Editing yang awful. Penulisan yang poor. Film ini is a complete mess, ia terlihat amatir padahal digarap oleh orang-orang yang bisa kita katakan sudah professional di bidangnya. Pesannya pun tidak seprovokatif yang diniatkan, lantaran we already know that.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE CIRCLE.

 

 
That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

STIP & PENSIL Review

“It’s easy to look sharp when you haven’t done any work.”

 

 

Banyak yang menyerukan hapuskan kesenjangan, namun ketika si kaya melakukan hal yang baik, kita masih menudingnya sebagai pencitraan. Saat kita berbuat salah, kita masih suka membela diri atas nama kemiskinan, seolah dengan menjadi orang susah berarti kita lemah dan punya alasan untuk melakukan ‘pemerasan kecil-kecilan’ kayak yang dilakukan oleh ibu pemilik warung dalam film ini. Orang miskin tidak perlu hal lain karena masalah kita satu-satunya adalah uang. And in turn, ketika kita beneran punya duit rada lebihan dikit aja, kita suka melempar uang gitu aja kepada masalah. It seems like, kita sengaja membuat gap antara miskin dan kaya. Tanpa sadar kita sendiri yang menulis kesenjangan dengan memanfaatkan dinamika unik yang tercipta oleh uang.

Menyinggung masalah sosial paling asik memang lewat nada komedi. Stip & Pensil mengerti ini dan melakukan kerja yang sangat luar biasa dalam mempersembahkan dirinya sebagai parodi. Yea, this film WORKS BEST AS A PARODY. Celetukan lucu terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Tentang dinamika antara si kaya dan si miskin, as kita sebagai penonton ditempatkan di tengah-tengah kelas yang saling kontras ini. Gedung sekolah darurat dan kampung kumuh bisa bekerja sebagai simbol dunia pendidikan yang mulai kotor oleh kepentingan. Tawa yang dihasilkan film adalah tawa yang menyentil kita dengan akrabnya.

Pelaku dalam cerita ini adalah satu geng anak SMA yang dijauhin dan disirikin sama teman-teman yang lain lantaran mereka berasal dari keluarga yang tajir mampus. Toni (Ernest Prakasa nampak paling tua namun naskah mampu berkelit memberikan alasan) dan tiga sohibnya; Bubu yang cakep namun telmi (Tatjana Saphira memainkan perannya dengan gemesin), Saras yang manis namun hobi ngelempar kursi (dari empat, Indah Permatasari yang kualitas aktingnya paling menonjol), dan Aghi yang paling ‘waras’ namun gak banyak berbuat apa-apa (aku bahkan gak yakin tokohnya Ardit Erwandha ini punya karakter), mereka layaknya anak sekolahan mendapat tugas menulis essay sosial. Setelah bertemu dengan, atau lebih tepatnya dikibulin oleh, seorang anak jalanan, mereka kemudian memutuskan untuk mengambil topik pendidikan di daerah pinggiran, tampat anak-anak jalanan tadi tinggal. Pada awalnya, tentu saja remaja kaya ini menyangka semuanya bakal segampang ngibasin duit, tetapi cibiran, tuduhan, dan prasangka dari teman-teman sekelas membuat mereka nekat terjun langsung ke lapangan. Karena terus diprovokasi, Toni malah kepancing emosi buat bikin sekolah darurat di kampung kumuh tersebut! Jadilah mereka sepulang sekolah harus ngajar ke sekolah bikinan sendiri, mereka kudu nanganin warga kampung yang enggak peduli amat sama dunia pendidikan, bahkan mereka wajib membujuk anak-anak jalanan dengan duit sebelum anak-anak itu mau diajari membaca oleh mereka.

they are not strangers if they drove fancy cars.

 

Walaupun dirinya adalah suguhan komedi dengan tone yang ringan, bukan berarti film ini tidak mempunyai urgensi di dalam ceritanya. Stip & Pensil tidak kalah penting dibandingkan A Copy of My Mind (2016). Dialog-dialognya diolah dengan cerdas sehingga bisa memuat tema dan isu-isu yang relevan, dan menyampaikannya dengan lancar. Komedi film ini bahkan lebih efektif dibandingkan Buka’an 8 (2017) yang juga berusaha memuat banyak singgungan terhadap tema sosial. Dengan sukses menggambarkan karakter masyarakat masa kini yang suka berlindung dengan mental kelas bawah meski enggak malu-malu untuk menunjukkan arogansi kelas atas, tanpa terasa terlalu menggurui. Film akan memaparkan kita dengan kenyataan, yang dikemas dengan konyol, dan kita menerimanya sebagai fakta. Sebagai fenomena yang benar-benar terjadi di masyarakat.

Semua orang mau yang gampang. Buat apa kerja, mendingan langsung dikasih duit saja. Tapi di film ini kita melihat anak-anak jalanan yang tak mau belajar tersebut kerepotan mencari jalan saat dikejar petugas lantaran mereka enggak bisa membaca tulisan-tulisan ‘jalan ini ditutup’ di tembok. Di lain pihak, yang punya duit mikirnya, buat apa repot-repot, tinggal bayar semua beres. Antara kerja langsung dengan membayar, bedanya hanya dignity. Ibarat pensil; pensil yang paling panjang dan paling runcing adalah pensil yang tidak melakukan apa-apa. Inilah yang dirasakan Toni cs ketika mereka harus bersusah-susah menjaga dan mengaktifkan sekolah bikinan mereka.

 

 

Cerita seperti ini sebenarnya cukup tricky untuk digarap. Parodi dengan banyak isu, artinya mereka enggak bisa terpaku kepada satu karakter tertentu. Dan lagi, the closest thing we have to protagonists pada film ini adalah kelompok remaja kaya yang menyabotase pagelaran seni sekolah demi mendapat perhatian. It is hard enough buat kita menumbuhkan kepedulian kepada mereka. Apalagi ketika keempat anak SMA ini tidak diberikan penokohan yang benar-benar berarti. Pengembangannya tipis, mereka share the same trait dengan elemen komikal sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Motivasi mereka enggak sepenuhnya terasa jujur, karena pihak ‘antagonis’ film ini toh punya poin yang bagus about them, dan kita bisa melihat praduga mereka benar, so yea, yang berusaha aku bilang adalah kita akan masuk ke dalam narasi tanpa ada hook yang kuat. We just go in sebab segala adegan dan dialog ditangani dengan kocak dan nyata, sehingga kita ingin melihat lebih lanjut. At times, kita malah ingin melihat di luar karakter utama karena tokoh-tokoh penghuni kampung yang dibuat lebih berwarna. Dan film ini memberikan mereka kepada kita; menjelang akhir ada pergantian perspektif di mana kita melihat penghuni kampung bekerja sama menghadapi penggusuran, which is some nice sight to see, akan tetapi membuat kita bertanya; ke mana Toni dan kawan-kawan, kenapa di peristiwa penting begini mereka malah absen?

See? Masalah terbesar yang menahan Stip & Pensil bukan pada penulisan, not necessarily ada pada penokohan, melainkan terletak pada struktur cerita; pada bagaimana film ini menceritakan dirinya. Separuh bagian pertama penuh oleh adegan-adegan lucu yang seputar pendirian sekolah darurat dan tantangan kegiatan belajar mengajar di sana, tetapi ‘the real meat’ datang dengan rada telat. Maksudku, kita ingin melihat remaja-remaja SMA yang kaya tersebut bonding dengan bocah-bocah pengamen, kita ingin melihat gimana mereka work it out dengan neighborhood yang belum pernah mereka tapaki sebelumnya, kita ingin lihat gimana mereka actually mengajar di kelas, dan rasanya akan lama sekali sebelum kita mencapai bagian ini.

Dan begitu elemen tersebut sudah masuk — aku menyangka paruh akhir akan lebih menyenangkan lagi – film malah memberi kita penyelesaian yang terburu-buru. Semuanya terasa rushed dan dipermudah. Mereka mungkin seharusnya tidak membuat kita invest so much kepada Toni dan kawan-kawan, karena toh ada pergantian perspektif, dan Toni enggak benar-benar menyelesaikan apapun. Pun begitu, film malah menambah elemen baru, drama kok-elo-naksir-si-anu-sih-kan-gue-yang-suka itu misalnya, yang pada akhirnya juga diselesaikan dengan abrupt. Aku juga merasakan masalah ‘masuk terlalu lambat, diselesaikan dengan terlalu cepat’ yang sama juga menghantui A Copy of My Mind, namun paling enggak dalam film tersebut tidak ada penambahan elemen mendadak ataupun pergantian sudut pandang.

karena tidak ada persahabatan tanpa fists bump.

 

Setiap dialog mengandung lelucon yang berhasil diintegralkan dengan mulus. Tapi masih ada juga bagian yang serta merta ada buat kepentingan tawa semata. Sama seperti bagian drama cinta remaja yang kusebut di atas, yang eksistensinya cuma buat menarik perhatian penonton. Dan kadang-kadang, antara satu lelucon dengan lelucon lain, terasa enggak make sense – enggak klop logikanya. Misalnya adegan tenda; aku enggak ngerti kenapa mereka yang anak-anak orang kaya cuma bisa nyewa satu tenda, aku enggak ngerti kenapa mereka enggak tidur di dalam sekolah darurat saja alih-alih di pekarangan luarnya, dan aku enggak ngerti kenapa Saras jadi histeris heboh ngeliat tikus padahal bukankah di adegan pembuka kita melihatnya mengancam panitia di belakang panggung sekolah dengan literally mengayun-ayunkan tikus di depan wajahnya.

 

 

 

Komedi yang cerdas dan bekerja dengan highly effective menjadikan film ini tontonan yang tidak hanya menghibur, namun juga sarat isi. Bicara soal bullying, persahabatan, status sosial, prasangka, semua materi dipikirkan dan digodok bersama humor dengan sangat matang. Kuat di bagian ‘apa’, sayangnya film ini runtuh di ‘bagaimana’. Semestinya pensil itu digunakan untuk menulis ulang struktur sehingga bagian penyelesaiannya tidak terburu-buru dan tidak dipermudah. Sebagaimana setip itu mestinya digunakan untuk menghapus elemen-elemen yang dimasukkan just for the audience.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for STIP & PENSIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

PERSONAL SHOPPER Review

“The medium is the message.”

 

 

Fotografi abstrak pertama di dunia adalah jepretan dari seorang spiritualis. Begitu juga dengan lukisan abstrak; Hilma af Klint, pelukis Swedia yang mempercayai keberadaan dunia lain di luar dunia fana kita, menyelesaikan lukisan pertamanya (barisan bangun ruang yang terlihat tak beraturan) bertahun-tahun sebelum konsep seni abstrak dikenal oleh publik. Keabstrakan dipercaya berasal dari kesadaran yang lebih tinggi, yang dipengaruhi oleh spiritualisme dan theosofi. Bentuk-bentuk sembarang tersebut, actually adalah semacam bentuk dari komunikasi. Ada tatanan dalam keserampangan. Sebelum dahi kalian mulai mengernyit dan berkata cempreng ala ala Chris Tucker dalam Rush Hour, “This is bullshit!”, aku mau menekankan bahwa film Personal Shopper berlandaskan kepada pemikiran atau KONTEKS KEABSTRAKAN DENGAN KONTEN SPIRITUALIS. Menonton film ini akan sama seperti melototin lukisan abstrak; gak jelas. Ini adalah film arthouse yang teramat aneh, jadi kubilang, tontonlah segera film ini begitu nemu!

Narasinya sangat enggak-biasa. Sejujurnya, meski sudah banyak menonton film misteri dan horor, aku belum pernah melihat film yang seperti ini. Jika kalian mengharapkan film setan-setan dengan jumpscares ataupun tontonan horor thriller semacam American Horror Story dengan Americannya diganti dengan French, maka kalian akan kecewa. Saking misterinya, malah kita akan kesulitan untuk meletakkan ada di genre mana film ini. Hororkah, thriller, atau malah drama? Jawabannya; Semuanya. Keanehan film ini merupakan akibat dari BANYAKNYA PERGANTIAN TONE yang bakal kita temukan sepanjang durasi. Film ini ngepingpong kita dari satu tone ke tone lain dengan cara yang sangat sangat haunting. Mainnya cantik, memang, namun bakal bikin sangat enggak-enak. Merinding.

Film ini adalah gabungan dari banyak elemen cerita yang bedanya lumayan jauh juga satu sama lain. Ini adalah cerita hantu. Serta adalah sebuah potret duka. Sekaligus tentang seseorang yang frustasi terhadap pekerjaannya. Juga merupakan kisah misteri tentang penguntit yang ngintilin lewat teknologi. Di pusat semesta itu semua, ada Kristen Stewart sebagai seorang cewek bernama Maureen. Dia bekerja sebagai asisten belanja buat model terkenal. Maureen akan pulang-pergi Paris dan London mengambil pesanan baju untuk kemudian diserahkan kepada sang model. Di tengah-tengah kesibukannya itu, Maureen yang baru saja ditinggal mati oleh saudara cowok kembarnya berusaha menggunakan bakat ‘bisa-ngeliat’ yang ia miliki untuk mencari dan reach out kepada saudaranya tersebut. Maureen berusaha membuat koneksi antara dunia sini dengan dunia sana.

kita akan jantungan mendengar bebunyian di rumah setelah melihat ending film ini

 

Maureen adalah PENAMPILAN TERBAIK DARI KRISTEN STEWART sepanjang karirnya sejauh ini. Sudah lewat masa-masa ketika dia nampilin muka datar. Sebelum ini, aku pernah melihat Stewart turut bermain jadi asisten pribadi pada Cloud of Sils Maria (2014) yang juga digarap oleh Olivier Assayas, dan aktris ini bermain bagus banget di sana. Aku sudah ngereview film tersebut di Path beberapa waktu yang lalu, namun belum sempet menyadurnya jadi tulisan full ke blog. Highly recommended deh pokoknya, terutama buat yang suka soal idealisme melawan komersialisme.

Balik lagi ke Kristen Stewart dalam Personal Shopper; penampilan aktingnya meningkat. Di film ini dia bermain dengan fenomenal. Tokohnya sangat real, totalitas banget. At one point in the movie, Maureen yang ia perankan akan ngerasa malu kepada dirinya sendiri karena dia sangat ingin mencoba pakaian-pakaian pesenan klien yang tidak mampu ia beli. Di poin lain, Maureen nerima pesan Line yang sangat creepy dari seseorang misterius yang menurutnya mungkin saja itu adalah pesan dari abangnya yang sudah mati. Reaksi-reaksi emosi dari Maureen terlihat sangat nyata. Kita bisa merasakan dia terdetach dari dunia profesinya, dia terbebani oleh masalah-masalah yang she’s trying to deal with. Maureen akan berhubungan dengan banyak orang, dengan desainer, dengan manajer, dengan mantan abangnya, dengan calon pembeli rumah abangnya, dengan model kliennya, tapi kita tetap melihat dia sebagai dirinya sendiri. Pegangan kepada tokoh ini begitu kuat.

Ketika berduka mendalam, ketika proses berduka itu menghantui setiap langkah, kita tidak lagi mengerti apa itu hidup. Kita akan melakukan hal di luar nalar. Kita akan mengambil keputusan-keputusan yang tidak dipikirkan dengan matang. Kita tidak memikirkan apapun kecuali yang ganjil-ganjil. Gimana cara kerja otak saat berduka nestapa, semua tersebut ditangkap dengan sempurna lewat campur aduk dan abstraknya tone film ini.

 

Elemen-elemen dan tone campur aduk ini tidak pernah membuat film keluar dari jalur harmonis. Mereka menyatu membentuk satu tema spesifik, yakni bicara TENTANG APA YANG KITA ALAMI KETIKA KITA SEDANG BERDUKA. Menurutku gagasan itulah yang ingin dibicarakan oleh sutradara Olivier Assayas, dan dia benar-benar berhasil mengeksplorasi itu semua dengan sangat baik. Sukses berat membuatku kepikiran sama film ini, hingga lama setelah ceritanya berakhir. Bagian paling menawannya adalah kita tidak bisa memperkirakan cerita. Kita tidak tahu ke mana arah cerita ini, kita tidak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya, dan film ini dengan segenap hati mematahkan semua prediksi dan ekspektasi penonton yang berusaha menebak misterinya. Biasanya, film misteri akan memberikan kita kepingan puzzle, kalian tahu, kita akan diperlihatkan adegan yang berisi petunjuk yang bakal membuat kita menjentikkan jari bilang “Aha, aku ngerti sekarang! Begitu rupanyaaa!!” Tapi Assayas enggak memberikan kita momen buat kegirangan kayak itu. Nyaris setiap ada kesempatan, dia lebih memilih untuk menyembunyikan kepingan puzzle tersebut. Dia melemparkan kepada kita sebuah sekuen sambil bilang “tuh, cari tahu sendiri deh pake otak!” dan kita memang harus melakukannya supaya mengerti dan konek dengan para karakter.

Personal Shopper tidak menyia-nyiakan satu adegan pun. Tiada satu aspek yang tidak punya maksud dan arti. Aku literally bengong dua jam mikirin apa makna dari gaun berkilau yang diam-diam dikenakan oleh Maureen. Tone cerita memang diniatkan untuk berbeda, keabstrakan adalah nuansa yang berusaha dibangun, saking samarnya bahkan kita enggak pernah betul-betul tahu Maureen bekerja untuk seorang model atau siapa. Film tidak pernah menyebutkan terang-terangan. Akan tetapi, setiap layer cerita pada akhirnya tetap koheren satu sama lain.

Pekerjaannya sebagai asisten belanja pribadi dan keistimewaan Maureen dapat melakukan kontak dengan makhluk astral, dua hal ini menunjukkan kehidupan profesional dan personal Maureen sebenarnya berjalan beriring; Maureen adalah seorang medium, dia adalah perantara. Dan ini bentrok sekali dengan kehidupan sosialnya. Orang-orang yang ditemui Maureen, yang melakukan interaksi sosial dengannya, tidak berurusan langsung dengannya. Kepada pemilik butik atau desainer, dia bicara karena urusan kerja. Kepada teman-teman saudara kembarnya, well technically mereka bukan temannya secara langsung. Maureen tidak punya kehidupan sosial sendiri, dan saat itulah dia menyadari bahwa dia hanyalah ‘hantu’ dari eksistensi saudara kembarnya, dia adalah ‘bayangan’ dari kliennya. Adegan ketika Maureen mencoba semua pakaian yang ia beli untuk kliennya adalah cerminan dari dia ingin menjadi orang lain, dia ingin dirinya menyeruak menjadi ‘ada’. Percakapan lewat pesan teks juga bekerja baik menunjukkan gimana anonimnya internet membuat kita tak ubahnya seperti berkomunikasi dengan hantu.

Sebagai perantara maka sekaligus kita menjadi pesan. Dalam konteks komunikasi, konsekuensi sosial dari segala bentuk media yang kita gunakan, sejatinya adalah konsekuensi pribadi sebab media adalah perpanjangan atau perluasan dari diri kita sendiri.

 

 

Nasib film ini sebelas dua belas ama Swiss Army Man (2016), Personal Shopper mendapat sambutan “booo!” yang dingin dari kritik dan penonton di Festival Film Cannes. Aku kadang heran juga dibuat oleh para kritik yang selalu bilang bosen dan ingin sesuatu yang baru, namun begitu ada film yang benar-benar orisinil seperti ini mereka malah ngebantai filmnya. Pada awalnya memang film ini akan terasa rada bego. Pada bagian panjang soal Maureen yang ‘diteror’ pesan misterius, cewek ini mau-mau aja ngikutin apa yang dimau oleh lawan chattingnya. Maureen melakukan apa yang ia suruh, dan tak jarang Maureen mengetikkan jawaban dengan sedikit nada antusias. Aku sempat geram, paling enggak harusnya dia ngediemin, atau malah langsung lapor polisi. Tetapi aku sadar kita harus melihat kepada konteks gedenya; bahwa Maureen adalah orang yang sedang dealing sama proses berkabung yang begitu intens, juga ada satu hal lagi yang membebani pikirannya yang masih terkait dengan kematian saudara kembarnya. Jadi perspektif kita harus disejajarkan sehingga kita bisa mengerti dengan kondisi serapuh diri Maureen sekarang, tokoh ini tidak akan membuat keputusan yang tokcer dan cemerlang.

We don’t respond to anonymous texts at the Palace of Wisdom.

 

 

Dari adegan pertama sampai detik terakhir tidak ada momen yang sudah pernah kita lihat sebelumnya, membuktikan bahwa film ini bener-bener orisinil. Ia tidak ubahnya seperti lukisan abstrak yang penuh dengan bentuk-bentuk cerita yang dicampur aduk. Tapi ada keharmonisan narasi di balik keenggak jelasannya. Semua elemen cerita mengarah kepada satu tema spesifik, semua lapisan konten actually koheren satu sama lain, membuat satu bigger picture cerita tentang orang yang berjuang keras menangani proses berduka dan identitas dirinya sendiri. Sangat refreshing menonton film yang menangani misterinya dengan cara yang tidak biasa, yang membuat para penontonnya bekerja keras mengungkap apa di balik gambar demi gambar yang disusun seolah secara ngawur. Unsettling and haunting, kita tidak akan mendapat horor soal penampakan hantu yang sepele seperti Danur (2017) pada film ini. Keliatan dari judulnya, this is one very unconventional movie, dan kita semua harus menyaksikannya hanya untuk alasan tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for PERSONAL SHOPPER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

KARTINI Review

“I know why the caged bird sings”

 

 

Bicara Kartini berarti kita bicara emansipasi. Perjuangan kesetaraan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, untuk menentukan pilihan, untuk mendobrak sistem patriarkal yang mengakar, dan terutama untuk mengatakan “Memang kenapa bila aku perempuan?”. Aku pikir kita semua udah tahu bahwa tinggal waktu saja kisah kepahlawanan Kartini ini jatuh ke tangan sutradara Hanung Bramantyo. Hanung paling demen ngegarap cerita yang protagonisnya berontak melawan sistem, dia paling jago memercik drama (dan, kalo perlu, sedikit kontroversi) kemudian memperkuatnya lagi dengan elemen yang relevan. Kartini dan Feminisme sangat cocok sebagai lahan Hanung.

Namun kali ini, lebih daripada mengandalkan sensasi – akan gampang sekali mengingat ide soal kepahlawanan Ibu Kartini sudah sering mendapat kontroversi di jaman modern ini – Hanung mengarahkan film biopik ini ke jalan yang lebih EMOSIONAL DAN MANUSIAWI. Dalam Kartini kita akan melihat karakter-karakter menjadi fokus utama. Kita akan melihat hubungan Kartini dengan keluarga, bersama kakak-kakak cowoknya, dan bersama kedua adiknya; Roekmini dan Kardinah. Kita akan melihat gimana Kartini berteman dengan Belanda yang menyemangatinya untuk menulis. Gimana dia mengisi hari selama masa pingitan sebagai persiapan menjelang mengemban status Raden Ajeng. Dan, yang paling personal baginya, gimana Kartini menyingkapi soal poligami, in which dia adalah produk dari – serta akan kembali jadi pemain dalam tradisi jawa tersebut. Urgensi datang dari Kartini dan adik-adiknya yang mengembangkan kerajinan ukiran Jepara, membuka sekolah bagi anak-anak pribumi, sementara sebenarnya mereka sedang menunggu waktu satu persatu ‘dipetik’ untuk menjadi seorang istri.

Dian Sastro apa Dian Iaya nih?

 

Ketika melihat trailer film ini untuk pertama kalinya di bioskop, aku merasa tertarik. Kalimat yang diucapkan Kartini di akhir trailer tersebut, tentang kebebasan ibarat burung, membuatku kepikiran kenapa film ini enggak dikasih judul Trinil aja ya? Dan setelah menyaksikan filmnya secara utuh, I still think that way; judul Trinil akan memberikan kesan yang lebih impresif dan benar-benar klop dengan ceritanya. Dalam review Surat Cinta untuk Kartini (2016) aku nyebutin cerita Kartini yang dipanggil burung trinil oleh ayahnya dalam majalah Album Ganesha Bobo. Kartini adalah pribadi yang enerjik, periang, punya bakat membandel, dan dalam film ini, begitu melihat Kartini dan dua adiknya nangkring di atas tembok, aku langsung menggelinjang; That’s her, that’s Kartini si burung Trinil yang aku baca waktu kecil!

Betapa menyenangkannya demi mengetahui diri kita sudah membuat perubahan hari ini. Dan that feeling alone harusnya udah bisa membuat kita terbebas dari boundary apapun yang memasung kita. Kartini, menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya bebas. Karena batas-batasan itu akan selalu ada, dan perjuangan sejatinya bukan untuk menghilangkan pembatas melainkan untuk membebaskan pikiran. Perjuangan Kartini adalah perjuangan gagasan, meskipun tubuhnya terkurung, gagasan positifnya akan terus terbang memberikan pengaruh positif kepada generasi demi generasi.

 

 

Kualitas produksi film ini top-notch sekali. Ini adalah film yang cantik. Gambarnya disyut dengan perhatian pada maksud dan detil. Set dan kostumnya sangat meyakinkan. Londo-londo itu terlihat classy sekaligus modern sebagai kontras dari pakaian bangsawan Jawa yang terlihat kaku dan mengurung. Kartini berada di tengah-tengah mereka. Kita memang enggak tahu seperti apa pembawaan Ibu Kartini aslinya, namun Dian Sastro udah pas meranin Kartini sebagai wanita yang berjiwa mandiri dan ‘pemberontak’. Tapi enggak exactly in a way kayak dia bilang “aku enggak butuh lelaki.” Ini adalah film yang membahas hubungan emosional yang terbangun. Motivasi Kartini adalah supaya dia, adik-adiknya, dan para wanita tidak perlu lagi capek berjalan-jongkok dan ‘latihan makan ati’ seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Supaya para wanita tidak hanya jadi pilihan melainkan bisa punya pilihan. Tembok pakem wanita-jaga-badan-dan-nunggu-kawin itu musti runtuh, begitu tekad Kartini. Semua itu tercermin dari gimana dia ‘menggembleng’ dua adiknya, yang oleh film ini diperlihatkan sebagai ‘murid pertama’ yang dimiliki oleh Kartini. Dian Sastro excels at playing this kind of role. Membuat kita ingin melihat lebih banyak tindak ‘pemberontakan’ Kartini. Kita akan melihat darimana asal tekad dan semangat Kartini, dan semua itu dimainkan dengan sangat heartwarming.

Hal berbeda yang dapat kita saksikan adalah Hanung memasukkan elemen imajinasi ke dalam cerita. It’s the power of books, people! Dengan membaca buku, kita bisa berkunjung ke mana saja kita mau. Adegan ketika pertama kali Kartini membaca buku adalah adegan yang sangat menyenangkan. Kita melihat dirinya melihat apa yang ia baca terwujud di depan mata. Sepanjang film, setiap kali Kartini membaca, entah itu buku ataupun surat balesan dari korespondensinya di Belanda, kita akan dikasih lihat visual Kartini sedang ngobrol dengan si penulis. It was shot very beautifully and actually menambah banyak hal buat pengembangan tokoh Kartini.

Tiga Gadsam foto buat cover lagi kaah? hhihi

 

Dengan jajaran pemain yang masing-masing saja kayaknya sudah pantes buat nulis buku sendiri tentang kepiawaian berakting, film ini enggak bisa untuk enggak menjadi meyakinkan. Lihat saja tatapan dingin Djenar Maesa Ayu, tapi masih terlihat bayangan mimpi yang kandas dari matanya. Pembawaan dan intonasi Deddy Sutomo yang terang-terang sedang conflicted antara acknowledging kemampuan putrinya dengan adat yang ia junjung. Aku bahkan ngakak ketika Kardinah bilang perasaannya enggak enak seolah ia tahu bakal dijodohin di akhir hari. Bahasa Jawa mereka sampaikan tanpa gagap. Kapasitas penampilan yang kelas atas membuat kadang beberapa musik dalam pengadeganan toh terasa sedikit eksesif. Maksudku, film ini sebenarnya bisa untuk enggak banyak-banyak masukin pancingan emosi karena setiap adegan, dari segi performances, sudah terdeliver dengan begitu compelling.

The bigger picture of this movie adalah gimana kehidupan Kartini bisa menginspirasi banyak orang, bukan hanya wanita. Namun, film ini masih kelihatan artificial ketika mengolah elemen-elemen dramatis. Kayak, film ini berusaha terlalu keras buat menghasilkan air mata dari penonton. Dibandingkan dengan porsi bagian cerita yang lebih ringan, menit-menit awal yang jadi set up terasa terlalu menghajar kita dengan emosi. Kita melihat Kartini kecil dalam momen yang menyedihkan, baik visual maupun tulisan mendikte kita untuk sedih. Kemudian narasi melompat dan kita dapat Kartini dewasa dengan segala attitude ingin-bebas. Ini masalah yang sama dengan pengarakteran Jyn Erso pada Rogue One (2016), di mana kita hanya melihat sad part of her childhood untuk kemudian kita melihatnya lagi setelah dewasa dengan kemampuan yang tinggi. Aku pikir akan lebih baik jika film ini mengajak kita untuk mengintip kehidupan sekolah Kartini kecil, you know, just to see seperti apa sih pintarnya Kartini itu hingga dikenal baik di kalangan meneer Belanda. Karena sepanjang film kita akan mendengar para tokoh ngereferensikan betapa pintarnya Kartini di sekolah.

Pun pada babak akhir kita akan merasa diseret oleh emosi. Tidak ada yang benar-benar menarik pada babak ketika sampailah giliran Kartini dilamar seorang Bupati. Kita semua – paling enggak kita-kita yang masih melek waktu pelajaran sejarah di sekolah – tahu tepatnya apa yang akan terjadi. Cara film ini bercerita mendadak kembali terlalu artifisial, sehingga adegan-adegan emosional itu rasanya kering. Pancingan-pancingan dilakukan, ada elemen sakit, ada tokoh yang jadi antagonis sekali, ada yang berubah baik hati, semuanya datang gitu aja, it did felt rushed. Banyak film yang enggak berhasil menjembatani dua tone narasi, dan film ini termasuk ke dalam kelompok film yang gagal tersebut. Alih-alih membahas dari perspektif yang lebih kompleks – dan film ini sebetulnya bisa melakukan itu – film ini lebih memilih untuk menyederhanakannya menjadi semacam pihak yang baik sama Kartini dan pihak yang jahat. Although, menarik gimana ‘yang jahat’ dalam film ini enggak necessarily adalah laki-laki.

 

 

 

Habis gelap terbitlah terang. Kemudian gelap lagi. Begitulah kira-kira garis besar menikmati film ini. Perbedaan antartone film ini sangat drastis, karenanya momen-momen dramatis yang kerap dihadirkan terasa artifisial. Set up film mestinya juga bisa diperkuat lagi karena gedenya toh apik tenan. Selain masalah tone dan hook yang dibuat terlalu pengen jadi dramatis, aku tidak melihat banyak masalah. Film ini  tahu ingin jadi apa, dan bekerja baik mewujudkan dirinya. Ia menyenangkan oleh interaksi antarkarakter. Potret penuh emosi dari kehidupan sosok pahlawan yang kita peringati setiap bulan April. Aku merasakan dorongan untuk keluar dari bioskop dengan berjalan jongkok just to pay my respect kepada pengorbanan perempuan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KARTINI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE EYES OF MY MOTHER Review

“Being alone with your feeling is the worst because you have nowhere to run.”

 

 

Tumbuh di lingkungan peternakan sepertinya menyenangkan. Dekat dengan alam. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Hamparan hijau seluas mata memandang. Kesannya segar sekali gitu ya. Namun bagi anak-anak, kondisi melegakan tersebut bisa sekaligus jadi kurungan buat mereka. Dengan rumah tetangga paling dekat bermil jauhnya, Francisca bermain boneka sendirian. Aktivitas setiap harinya diselingi dengan melihat Ibu bekerja, memberi makan sapi-sapi, merawat, dan memotongnya sebagai makan malam.

Yup, ibu Francisca enggak segan-segan membawa pulang kepala sapi dan membedah matanya di depan mata Franny yang lugu, yang memegang teguh setiap cerita yang keluar dari mulut ibunya. Dia belajar apa yang diakukan oleh ibunya, dan untuk anak seusianya melakukan hal seperti demikian, jelas bukanlah pengalaman yang bikin sehat jiwa. Lingkungan tidak membaik bagi Franny karena kedatangan seorang asing ke rumah mereka, membuat Franny menyaksikan lebih banyak trauma. Film ini adalah tentang Franny yang perlahan ‘menggila’ sekaligus berusaha keras mempertahankan interaksi sosial. Dia mengurus jasad ayahnya, dia memberi makan orang yang ia sekap di gudang, The Eyes of My Mother akan membawa kita mengintip sedikit ke dalam kehidupan seorang yang berubah drastis dari korban menjadi seorang pembunuh.

meja makan keluarga ini isinya mata sapi beneran, bukan yang telur.

 

Kamera yang statis ngerekam adegan-adegan long take, komposisi warna hitam-putih, desain suara dan scoring yang mengendap dengan eerie abis, drama horor ini diarahkan dengan gaya yang sangat nyeni. Perspektif tokoh utama tidak kita alami langsung, melainkan kita amati dari jauh. Kita enggak diajak masuk ke dalam kepala Francisca yang trauma secara emosi, kita cuma melihatnya berinteraksi seperti Francisca melihat apa yang dilakukan oleh ibunya. Dan di sinilah ketika film menjadi sangat disturbing. Kita tidak pernah melihat Franny kecil bertanya kenapa. Moral tidak pernah jadi permasalahan bagi cerita. Ini murni selayang pandang (sukur Alhamdulillah horor ini hanya satu jam lebih sedikit, siapa tahan ngerasa unsettling lama-lama) kehidupan ‘normal’ yang abnormal, sehingga pertanyaan ‘kenapa’ itu justru datang bertubi-tubi kepada kita. Kenapa kita mesti ngeliat ini semua? Kenapa film ini dibikin, apa sih maksud sutradara Nicolas Pesce memperlihatkan ini semua? Kenapa membunuh itu mendatangkan perasaan menakjubkan? Kenapa oh kenapa?

Karena, baik sebagai pembunuh ataupun sebagai korban, mereka sama-sama adalah manusia.

 

Film ini membagi narasinya ke dalam tiga chapter, masing-masing berjudul Mother, Father, dan Family. Ketiganya dapat kita translasikan sebagai trait ataupun personality yang membentuk pribadi Francisca. Insting merawat yang ia dapat dari ibunya, insting kerahasiaan dan bertindak yang ia peroleh dari ayahnya, dan keduanya terhimpun menjadi jawaban atas masalah Francisca; dia butuh keluarga.

Di balik segala ke-uneasy-an, segala perasaan mengganggu, sesungguhnya ini adalah cerita psikologikal yang sangat humanis. Bukan tidak mungkin orang-orang biasa seperti kita mengalami hal yang sama. Sebab, ketakutkan hakiki dari cerita ini BERINTI KEPADA RASA KESEPIAN. Layaknya film-film horor modern yang keren, film ini pun mengerti bahwa rasa takut itu datangnya dari dalam jiwa manusia. Untuk kemudian diperkuat dengan monster, hantu, ataupun hal-hal gaib yang tak berwujud. Dalam film ini, rasa takut akan kesepian tersebut diamplify menjadi berkali-kali lebih kuat dan disturbing dengan membenturkannya dengan elemen psikopat. Francisca merasa menakjubkan saat membunuh orang, sementara tidak ada yang lebih dia inginkan daripada punya company, punya teman. Konflik inilah yang jadi emotional core dan pusat cerita. Motivasi Fransiska yang terpecah antara pembunuhan dengan merawat, sampai kepada titik Francisca terlihat menyalurkan insting keibuan, itulah yang membuat kita susah untung berpaling dari film ini, meskipun penceritaannya sangat bikin kita enggak-nyaman.

Kesepian juga adalah penyakit mental manusia sebagai makhluk sosial. Banyak orang merasa sepi padahal sedang berada di tengah-tengah kerumunan pesta. Bahkan faktanya, lebih dari 60% pasangan yang sudah menikah masih merasakan kesepian. Rasa sendiri dan sepi itu bergantung kepada kualitas hubungan yang kita jalin. Namun kesepian tidak pernah digolongkan sebagai abnormal. Campurkan ia dengan kejadian traumatis? Nah, barulah kita bicara dengan Francisca!

 

 

Dalam kasus ini, Francisca mendapat personality dari apa yang ia lihat pada ibunya. Her deepest desire adalah merawat, singkatnya bisa dibilang ia ingin menjadi seorang ibu. Sepanjang film kita akan melihat dia berusaha keras untuk melakukan hubungan sosial dengan orang-orang. Ada adegan ketika ia ingin memberi makan sapi, namun sapinya malah mundur menjauh. Dan kemudian kita melihat usahanya menjalin relationship gagal karena pasangannya menjauh, takut. For her psychopathic behavior. Jadi dia menemukan cara termudah dengan menyekap mereka. Dia tidak butuh teman yang balas bicara, dia cuma butuh tubuh untuk dia kasih makan, dia rawat sebaik yang ia yakini.

Gaya macabre film ini, toh, bukan lantas berlebihan. Kita tidak melihat kekerasan yang benar-benar gamblang. Enggak ada yang bikin kita memejamkan mata, dari segi kesadisan adegan. Warna monokrom juga berperan dalam menyamarkan imaji-imaji berlumuran darah. Dalam kata lain, dari segi gore, film ini enggak benar-benar bikin mual. Adegan-adegan sadis itu justru terjadi di luar kamera. Atau sangat jaaaauuuh dari kamera. Kita tidak betul-betul melihat apa yang dilakukan oleh Fransiska kepada cewek yang dia ajak pulang ke rumah. As far as blood splatters, kita hanya melihat darah ketika cairan itu sedang dibersihkan. Tapi tutur film ini begitu efektifnya, sampai-sampai kita merasa seolah tahu apa yang terjadi di antara potongan adegan. Hampir seperti adegan kekerasan tersebut terjadi di depan mata kita walaupun kita tidak pernah melihatnya. Dan jika apa yang tidak dinampakkan oleh film ini bisa dengan jelas kita bayangkan, maka gambar-gambar yang secara eksplisit ditampakkan – bak mandi dengan air seputih susu tempat Francisca berendam dengan mayat ayahnya, misalnya – akan terus terpatri dalam pandangan kita, bahkan jauh setelah kita menyaksikannya.

“look in my eyes, what do you see?”

 

Penampilan para pemain dieksekusi dengan hati-hati. Francisca diniatkan untuk terasa jauh sehingga saat rasa simpati timbul kepada tokoh ini, kita akan merasa semakin tidak nyaman. Kika Magalhaes memerankan Francisca dewasa dengan keanggunan dan level kemisteriusan yang membuatku membandingkannya dengan aktor lokal Shareefa Daanish yang juga kerap bermain di ranah horor. Di bawah pendekatannya, tokoh ini mampu menumbuhkan rasa simpati meskipun tak jarang aksi yang ia lakukan tak dapat kita pahami. Ada perasaan sedih yang merasuk kala kita melihat dia berusaha untuk berfungsi secara sosial in her own screwed up way.

 

 

Di babak awal, pace terasa agak sedikit diburu-buruin, namun secara keseluruhan, film ini digarap dengan kalkulasi yang sangat spesifik. Trauma dan Kesepian seolah dijahit dengan precise ke dalam narasi, menghasilkan sebuah cerita yang sangat mengganggu. Clearly, apa yang diceritakan oleh film ini bukan untuk semua orang. Film ini enggak butuh jumpscare ataupun trik-trik pembunuhan besar untuk bikin kita ngeri. Secara artistik, ini adalah arthouse horror yang amat ambisius. Untuk sebuah karya pertama, pencapaian Nicolas Pesce tergolong luar biasa. Kita bisa melihat visinya. Meskipun mungkin tidak selalu jelas kenapa. Perspektifnya yang enggak necessarily subjektif, membuatnya sedikit artifisial.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE EYES FOR MY MOTHER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

THE GUYS Review

“Vulnerability is the only bridge to build connection.”

 

 

Tidak ada penulis yang mengeksplorasi laki-laki dan kejombloan lebih sering dari yang dilakukan oleh Raditya Dika. Sejak Kambing Jantan (2009), formula cerita comedian yang mengawali karir dari blog ini selalu adalah tentang cowok awkward yang desperately pengen punya pacar, dia mencoba banyak tips ajaib yang justru bekerja di luar harapan, dan sebagian besar memang berakhir tragis. Namun di situlah letak lucunya; bagi penonton muda pengalaman kocak yang diceritakan Raditya Dika sangat mudah buat direlasikan. Dia berani tampil unik, yakni TAMPIL VULNERABLE. Mengeluarkan sisi lemah untuk ditertawakan bersama-sama. Namun begitu, hal tersebut juga jadi alasan kenapa karya-karya Raditya Dika lebih mudah diterima oleh pembaca cewek. Sebab cowok enggak suka menunjukkan vulnerability atau ‘kelemahan’. Dan manusia secara umum; semakin dewasa orang-orang akan semakin lebih nyaman menyimpan sisi vulnerable mereka dalem-dalem. Makanya Pak Jeremy dalam film The Guys terlihat galak dan kontras sekali dengan tokoh yang Alfi yang diperankan oleh Raditya Dika. Di film ini, kita akan melihat dua generasi yang berbeda mengekspresikan kevulnerablean mereka dalam relationship. Dan ini adalah elemen yang paling menarik yang ditawarkan oleh The Guys.

Being vulnerable mengimplikasikan kita berani untuk menjadi diri sendiri. Dan meskipun adalah menakutkan untuk menunjukkan kelemahan, seperti Jeremy yang segera mengganti ikat pinggangnya yang seragam dengan Alif – yang menunjukkan dia mungkin se’lemah’ Alif, vulnerability adalah hal yang penting dalam menjalankan hubungan sosial, terlebih hubungan percintaan. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa menjalin hubungan kepercayaan di antara dua orang, tapi jika dan hanya jika, kedua belah pihak mau bersikap vulnerable bersama-sama.

 

Alfi pengen jadi orang yang sukses. Punya istri cantik dan pekerjaan yang ia senangi. Yang ia punya dari kerjaannya sebagai karyawan kantor marketing Pak Jeremy adalah tiga sohib sekontrakan dan status jomblo dua-tahun. Keinginan-keinginan Alif sudah akan terwujud sekaligus; dia berhasil deket sama temen kantornya yang bernama Almira, cewek cantik yang ternyata adalah anak dari bosnya, Pak Jeremy. Tapi kemudian kejadian menjadi membingungkan bagi Alif karena setelah keluarga mereka makan malam bersama, Pak Jeremy yang lama menduda malah jatuh cinta kepada ibunya yang juga sudah lama ditinggal oleh ayah. Aku jadi teringat cerita si Mandra di sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang batal ngelamar lantaran hari itu bapaknya keburu bikin acara lamaran nikah buat dirinya sendiri. Elemen cerita ini menciptakan semacam sense kompetisi dan urgensi. Alif, tentu saja dia harus segera mengungkapkan cintanya (sukur-sukur diterima!) sebelum Almira malah berakhir menjadi sodara tirinya.

gimana awkwardnya coba kalo jadi kakak-adek beneran!

 

Konflik drama tersebut datang sebagai midpoint, menjadikan film ini seperti terbagi menjadi dua bagian. Paruh pertama kita melihat kehidupan sosial Alif. Dan dalam kasus film ini, sosial adalah berarti beredar mencari cewek. Kita menyaksikan cinta Alif yang kandas, melihat dia mendengar saran-saran dari teman-temannya, dan ketika dia kenalan dan pedekate kepada Almira. Bagian ini penuh oleh trope-trope komedi cinta untuk remaja, yang cenderung konyol. Separuh akhir lagi adalah giliran elemen-elemen dramatis untuk unjuk gigi. Kita sesekali diperlihatkan si Alif ini mikir apa aja kala dia sedang sendirian di kamar mantengin skema ‘Life Goal’ yang ia buat; soal relationshipnya dengan Almira, haruskah dia ngalah buat ibu dengan Pak Jeremy. Ada bicara soal menjadi bos bagi diri sendiri juga. Meski tone cerita tetap dijaga enggak jauh-jauh dari komedi konyol, bagian akhir film ini agak sedikit berat oleh pecahnya fokus cerita. Usaha film ini memancing sisi dramatis kerap terasa out of nowhere sebab mereka terlalu bermain ringan di babak set up.

Motivasi Alif tidak pernah tercermin dengan baik, dan terasa dijejelin begitu saja. Naskah yang baik seharusnya mampu menggali tiga sisi kehidupan tokoh; profesional, sosial, dan personal. Kita tidak pernah melihat karakter Alif dalam lingkup cahaya profesional. Maksudnya, ini adalah cerita dengan set kantoran, Alif digambarkan jenuh dengan kerjaan, tapi kita tidak pernah melihat kerjaan dia tuh ngapain aja. Ada adegan ketika tim mereka ketinggalan flashdisk buat presentasi, dan yang dilakukan Alif hanya berdiri di sana, enggak ngapa-ngapain. Harusnya bisa dibikin dia nekat presentasi impromptu walaupun toh tetep ketahuan dan gagal. Niat mulia yang keluar kuat dari Alif adalah dia pengen punya cewek, karena film ini sebagian besar akan mengekspos hal tersebut. Penyelesaian dari elemen kerja ini juga datang begitu saja, tanpa ada build up ataupun rintangan yang dihadapi. Dia cuma kayak “Oke gue selesai, gue sekarang berani ngambil langkah ini, gue bisa kok bikinnya” dan memang semuanya jadi serba gampang. Bahkan perjuangan cinta Alif juga dibahas dengan ‘cepat’ dan enggak benar-benar ada rintangan selain kekonyolan yang terus dipancing due to this film’s comedy nature.

Aku sempat bengong juga harus mulai mengulas film ini dari mana. Sebab semua elemen cerita serta elemen penggarapannya DIOLAH DENGAN SANGAT BASIC. Alasan Almira enggak ngasih tau siapa bapaknya kepada Alif sampai sebelum dinner adalah karena dia takut Alif nanti kaget; dari sana saja mestinya udah bisa ngasih gambaran tentang kualitas dialog dan penalaran tokoh pada film ini. Lima menit pertama film udah nyamain remaja dengan air conditioner yang belum diservis, not to mention kita juga sudah dapat dua lelucon kamar mandi dalam rentang waktu segitu. Dan hitungannya masih bakal terus meningkat lagi sampai akhir. Situasi, jokes, karakter, semuanya ditulis dengan standar. Film ini punya kecenderungan buat ngejelasin jokesnya lewat percakapan, yang sebetulnya enggak perlu, tapi mungkin karena filmnya sendiri sadar bahwa materi yang mereka punya enggak cukup kuat. Delivery dan pengintegralan lelucon-lelucon tersebut pun biasa sekali. Hanya ditargetkan buat memancing tawa dengan gampang. Materi komedinya kebanyakan diambil dari anekdot-anekdot yang sedang ngehits sekarang ini. Bagus sih, jadi kekinian, tapi bayangkan kalo film ini ditonton sepuluh tahun lagi. But hey, paling enggak di film ini ada orang yang ‘bola’nya sakit, itu pasti lucu sepanjang waktu kan?

Iya sih, kalo film ini dibuat atas dasar ngetawain diri sendiri, mestinya kita sadar dong seberapa gede kans film ini dibuat dengan mereka menghormati para penonton.

 

Sebagai tokoh utama, Alif sebagian besar waktu enggak ngapa-ngapain. Dia dapat info-info penting dari orang lain, dia nyaris enggak figure out anything. Raditya Dika hanya berdiri di sana pasang tampang komedi (alias ekspresi sangsi campur bloon). Ketiga sahabatnya enggak diberikan penokohan yang cukup. Hanya ada satu yang diperhatikan lebih, yaitu si Sukun dari Thailand yang jago bikin teh beraneka khasiat. Dia adalah sahabat Alfi yang vulnerable dan itu membuatnya mudah konek dengan penonton. Namun film ini masih terasa sengaja membuat tokoh ini sebagai karakter ‘bego’ sehingga dengan bisa digunakan dengan mudah untuk memantik sisi dramatis. Penampilan yang bisa dinikmati adalah dari Tarzan dan Widyawati, mereka terasa humane. Namun menjelang akhir, film berpindah ke aspek persahabatan yang enggak pernah sebelumnya diset dengan meyakinkan. There’s so much things going on. Jika film lebih fokus, mungkin jika mereka bener-bener mengeksplorasi dari aspek saingan yang konyol dengan Pak Jeremy sebagai ‘antagonis’, narasi akan lebih rewarding. Bagian akhir terasa sangat numplek, beberapa bagian narasi juga kelupaan untuk dibahas lagi. Almira enggak nongol lagi. Tokoh-tokoh cewek, selain ibu Alif, juga ditulis dengan basic. Almira is nothing but a love interest. Sejak Aach… Aku Jatuh Cinta (2016), Pevita nunjukin peningkatan dalam penyampaian dan intonasi, namun permainan ekspresinya masih lemah. Dan sebagai Almira, comedic delivery Pevita Pearce masih minim, dia masih sebland biasanya.

aku bisa relate sama perasaan diajak ketemuan ama Pevita

 

Elemen romansa seputar Alif enggak ditangani dengan cara yang dewasa. Para tokoh film ini kayak anak abg yang pake kemeja kantoran. Ada banyak film atau juga serial di mana tokoh-tokohnya udah gede namun masih kekanakan, tapi dalam film ini, they are just dumb. Aku pikir, ini enggak exactly masalah umur ataupun enggak cocok sama demografi pasar ceritanya, karena toh memang ada beberapa momen yang bisa kurelasikan. Tapi sebagian besar film memang terasa datar, emosinya artifisial, enggak ada nuansa fun – bahkan para pemain tidak tampak fun memainkan tokoh mereka, dan yang paling menarik adalah bagian ketika tokoh-tokoh yang lebih dewasa menunjukkan sisi vulnerable mereka. Everything about this film is so basic. Raditya Dika mungkin nyaman dengan itu, tapi film enggak bisa mengandalkan vulnerabilitas semata. Strukturnya harus diperhatikan. Penulisannya perlu dimatangkan. Sebagai penonton kita akan selalu punya banyak pilihan film lain yang lebih relatable dan lebih menantang.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE GUYS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And they are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE VOID Review

“Keeping your shape hidden with your triangle intact.”

 

 

Reaksi terwajar ketika melihat ada pemuda merangkak-rangkak hingga tersungkur di pinggir jalan pada malam yang sepi tentu saja adalah “meh, mabok noh orang!” Pikir dahulu sebelum bertindak suka kita panjang-panjangin menjadi pikir negatif dulu – maklumi – baru kemudian ambil tindakan seperlunya. Meski kalo aku sendiri yang nemuin orang berdarah-darah di jalanan gelap, maka kemungkinan besar aku akan langsung ngabur balik arah tanpa mikir dua kali. Tapi Daniel Carter adalah seorang polisi. Tugasnya melindungi. Jadi, dia mendekat ke si pemuda misterius, dan dengan segera dia menyadari orang ini butuh pertolongan serius. Opsir junior Daniel membawanya ke rumah sakit kecil di pinggir kota. Dan di sanalah kejadian mulai menjadi teramat aneh. Pelataran rumah sakit yang nyaris kosong tersebut mendadak ramai oleh sosok-sosok berjubah putih yang menggenggam pisau. Misteri film ini enggak sebatas pada ancaman anggota cult di luar saja. Listrik di dalam pun lantas ikutan berulah. Dan ada makhluk mengerikan bertumbuh dari mata seorang suster!! Kejadian di film betul-betul menjadi kacau dan di luar akal sehat, tapi ini adalah jenis kekacauan yang amat sangat bisa kita nikmati!

Beberapa tahun ini, banyak kita dapatkan horor-horor independen seperti It Follows (2015) ataupun The Babadook (2014) yang dibuat dengan arahan yang keren. Horor tapi nyeni, aku menyebutnya. Tentu saja ini adalah perkembangan yang sangat menyegarkan lantaran generasi sebelum ini punya arahan yang, ah katakanlah, lebih fisikal. Horor klasik generasi tahun 80an biasa disebut sebagai generasinya BODY HORROR. Karena memang dalam film tersebut banyak kita jumpai potongan-potongan tubuh yang bikin mual, monster-monster aneh yang bikin jijik, pesta pora gore, deh, pokoknya! Banyak orang yang memandang 80an sebagai periode puncak dari genre horor, filmmaker udah gak pakai mikir dan langsung ambil tindakan nekat. Dengan berani mengambil kesempatan sekaligus ngambil resiko, kala itu trennya adalah semua saling berlomba bikin horor yang paling aneh, dan filmmaker itu, mereka tidak pedulikan apapun. Semuanya mengambil creative risk. Bahkan Indonesia juga terjangkit fenomena yang sama, di sini kita punya Bayi Ajaib, Malam Satu Suro, Pengabdi Setan, dan banyak lagi yang nampilin horor dengan praktikal efek yang sangat graphic. Aku salah satu dari sekian banyak fans horor 80an, yeah, bukankah aku sudah pernah bilang aku berangkat dari genre horor?

Makanya The Void ini adalah sesajen yang sangat delightful bagiku. Film ini, jelas sekali, adalah throwback buat horor era 80an. Di sini kita akan ngeliat monster dengan sulur-sulur mengerikan ‘memakan’ manusia, kita akan liat kulit wajah yang mengelupas, perut yang menggelegak sebelum pecah mengeluarkan makhluk aneh yang lain. Makhluk-makhluk yang nampil dalam film ini begitu luar biasa. Walaupun ada sedikit efek komputer, menjelang akhir malah para tokoh kita akan masuk ke dunia green screen. Namun sejatinya MAKE UP DAN EFEK PROSTETIK ADALAH BINTANG dalam The Void, yang tentu saja dibuat dengan budget rendah. Kalian tahu, sebagian besar adegan menakutkan film ini adalah mimpi indah buat penggemar horor klasik.

Kehamilan selalu merupakan fenomena horor bagi cowok

 

As much as bikin kita nostalgia ke jamannya John Carpenter, The Void juga mengEKSPLORASI KETAKUTAN DARI HAL-HAL FILOSOFIS DAN KOSMIK YANG TIDAK KITA KETAHUI, yang dipengaruhi oleh gaya penceritaan H.P.Lovecraft. Rumah sakit jadi lokasi tertutup yang menjebak tokoh-tokoh film. Mereka ketakutan setengah mati, tidak tahu harus percaya kepada apa. Mereka diberi persenjataan yang sama lengkapnya dengan informasi tentang apa yang terjadi, dan itu sangatlah sedikit sekali. They are really just grasping at straws. Mereka enggak tahu di kota kecil mereka ada kelompok cult. Mereka enggak paham sama pandangan ajaran ‘sesat’ ataupun filosofi ngawur soal menentang Tuhan dengan menihilkan kematian lewat mutasi atau semacamnya, yang jadi motivasi utama pihak antagonis cerita. Dan kita, sebagai penonton, melewati pengalaman menakutkan itu bersama para tokoh. Sebab kita dan mereka, kita semua sama-sama enggak tahu apa-apa. Makanya ketika tokoh-tokoh ini belajar sesuatu hal, they discover things, atau bahkan ketika mereka cuma berdiri diam ketakutan hendak dimamam monster, kita juga merasakan hal yang sama. Kita ikut takut, bingung. Perasaan yang kita alami sangat in-sync dengan mereka. Dan setelah semua efek-efek menakjubkan itu, semua elemen cerita akan terkonek dengan cara yang juga sangat aneh.

Segitiga menjadi objek sakral yang terus kita jumpai sepanjang durasi. Geometri ini melambangkan dua lapisan tema cerita. Umumnya, segituga adalah simbol dari keharmonisan. Film ini juga membahas segitiga sebagai ‘formasi’ keluarga bahagia, sama seperti yang sekilas disebutkan oleh film animasi The Boss Baby (2017); sistem dua-orang yang distabilkan oleh orang ketiga, dalam hal ini adalah anak. Dalam The Void, ada implikasi tokoh-tokoh yang ngalamin penampakan ‘dunia lain’ adalah tokoh yang pernah ngalamin kehilangan anak. Tokoh yang segitiganya pernah rusak. Ini adalah tentang orang yang ingin membentuk kembali segitiga tersebut, but unfortunately segitiga juga berarti sebuah doorway, dan mereka menginterpretasikannya sebagai jalan masuk ke dunia horor.

 

Meskipun memang tokoh dinomorduakan, di mana segala kreatifitas dan kerja keras sepertinya memang didedikasikan untuk recreating segitiga keharmonisan horor klasik, The Void enggak sepenuhnya nyerah menjadi kosong. Sutradara merangkap penulis Jeremy Gillespie dan Steven Kostanski terlihat ingin memanfaatkan elemen filosofis untuk menutupi kekurangan di narasi dengan menjadi ambigu. Kayak, “Hey let’s just make this ambiguous so we can have fun with prosthetic and make up stuff!”. Dan kerjaan mereka tersebut memang sukses berat. Ini adalah salah satu film horor dengan efek praktikal paling gile di era 2000an. Ada beberapa jawaban yang diberikan secukupnya sehingga kita bisa menghimpun pemahaman sendiri soal apa yang sebenarnya mereka bicarakan di sini. Tapi tetep saja, keambiguitas itu menjadi salah satu kelemahan sebab hasil akhir produknya memang lebih terasa sebagai proyek have-fun bernostalgia semata.

Get ready for Chau Down!!! Eh, salah film…

 

Enggak semua film kudu menjadi studi karakter dengan tokoh-tokoh dan screenplay yang amazing dan semuanya harus sempurna. Film boleh saja bermain-main dengan teknik pembuatan model ataupun efek dan make up sadis. Asalkan jangan setengah-setengah. Film harusnya dibuat dengan komitmen ke satu arahan. Untuk The Void ini, aku ngerasa sayang aja mereka enggak menulis karakternya dengan lebih well-rounded lagi karena film ini toh memang meminta kita untuk peduli sama tokoh-tokoh. Penampilan aktingnya memang enggak dalem, namun dari babak pertama mereka sudah diset up dengan baik sehingga kita beneran peduli sama mereka menjelang akhir. Aku genuinely ngarep biar tokoh yang enggak bisa bicara itu selamat sampe ending. Tapi terutama kepada Polisi Daniel Carter dan istrinyalah kita banyak menyilangkan jari. Ada banyak momen ketika film ini kita masuk ke dalam hubungan mereka, namun pengeksplorasiannya terlalu tipis. Kita bahkan enggak jelas apakah mereka ini udah cerai atau lagi pisah doang.

Ketika sebuah film punya set up yang menarik udah menghamparkan banyak kepingan puzzle yang kalo disusun sungguh-sungguh bakalan jadi satu gambar yang keren, harusnya film tersebut ngedeliver penghabisan dengan gede. You know, throw a big punch as a finisher. Namun alih-alih begitu, The Void memilih untuk berakhir dengan menggantung kita. Membuat kita bertanya-tanya dan ingin lebih banyak. Saat di babak akhir, film ini agak menyebar begitu saja, enggak difokuskan ke satu penyelesaian. Film kehilangan semangatnya di akhir dan buatku ini mengecewakan. Padahal mereka mulai dengan so promising.

Harmoni kehidupan mungkin dilambangkan oleh bentuk segitiga, akan tetapi sejatinya kita tidak terbentuk dari kejadian yang menimpa hidup. Kepercayaan kita akan arti dari kejadian itulah yang membantuk kita.

 

 

 

Pengalaman misterius yang terasa genuine, horor ini akan membawa kita ke dalam realm of unknown. Penggemar horor seperti aku akan mendapati film ini sangat mengasyikkan. Efek praktikal dan make upnya sangat menakjubkan. Set rumah sakit dijadikan ruang tertutup yang menyeramkan. Menghadirkan cerita yang ambigu, akan tetapi menilik dari sebagian besar waktu, itu hanyalah cara dari film ini untuk menyamarkan alasan sebenarnya ia dibuat; hanya untuk bermain-main dengan efek dan nostalgia kepada horor klasik. Penyelesaiannya harusnya bisa lebih dipikirkan lagi. Karakternya harusnya bisa ditulis lebih well-rounded lagi. Mungkin memang harus beginilah akhirnya jika kita memulai sesuatu dengan bertindak duluan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE VOID.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

GET OUT Review

“We are afraid of sharing power. That’s what it (racism) is all about.”

 

 

Aku enggak tahu tepatnya gimana perasaan menjadi satu-satunya orang berkulit hitam di tengah-tengah pesta. Namun Jordan Peele tahu persis rasa canggung dan sedikit paranoidnya berada di dalam kondisi seperti demikian. Jadi, komedian yang mengawali suksesnya dari serial sketsa komedi di Youtube (Key and Peele, coba deh tonton sekali-kali, kocak!) tersebut mengangkat sudut pandang seorang yang dealing with that situation. Dan oh boy, film Get Out ini berhasil menjadi debut penyutradaraan yang menjamin setiap penonton untuk menanti-nanti karya selanjutnya dari Jordan Peele. I know I did.

Pusat dari cerita Get Out adalah seorang fotografer kulit hitam bernama Chris (mainnya brilian banget, aksen Inggris Daniel Kaluuya bener-bener enggak kedengaran di sini) yang lagi mesra-mesranya pacaran. Hubungan mereka baru jalan empat bulan dan pacarnya, Rose (penampilan Allison Williams juga fantastis, dia memenangkan hati kita dari adegan pertama), meminta Chris untuk datang menemui kedua orangtuanya di kediaman private mereka. Oke, kita harus nekankan ke hubungan yang baru empat bulan, karena memang segitu singkatnya lah hingga Rose belum sempat ngasih tau ke mama papa kalo mereka ngejalanin hubungan antarras. Meskipun Rose bilang hal tersebut bukan masalah karena keluarga mereka bukan rasis, tetapi hal beda kulit ini lumayan alarming buat Chris. Ketika dia sampai ke rumah keluarga Rose, dia disambut hangat. Semua orang di sana perhatian kepadanya, mama Rose yang psikiater bahkan nawarin jasa hipnotis buat nyembuhin kecanduan rokok Chris. Semua kelihatan baik-baik saja sampai Chris menyadari ada sesuatu hal yang ganjil terjadi di belakang layar keluarga ini.

“Bye, Georgina!”

 

Aku cinta horor. Aku berangkat sebagai penonton film ya dari genre ini. Namun aku sadar, bahwa film horor yang bagus itu sangat jarang. Obviously jaman sekarang kita bakal lebih mudah nemuin orang yang masih memandang status dari warna kulit ketimbang nemuin film horor yang benar-benar bisa membuat kita bergidik oleh rasa merinding. Horor yang bagus datang dari psikologi manusia, karena takut itu bukan fakta, melainkan perasaan. Ketika kita nonton horor yang begini, kita akan merasa unsettling sekaligus jadi terinspirasi karena layaknya film-film genre lain yang bagus; horor semestinya juga mampu memberikan kita suatu topik kemanusiaan untuk jadi bahan diskusi. Dan aku harus bilang, Get Out adalah film yang punya SUDUT PANDANG YANG SANGAT BERANI. Sebelum ini, Peele nulis dan main bareng sobatnya Key (look for him jadi cameo sekilas di film Get Out) di komedi aksi berjudul Keanu (2016) tentang kucing; kocak namun bukan film yang hebat, tapi punya perspektif yang unik. Makanya aku jadi penasaran karena di Get Out kali ini yang dibuatnya adalah horor, dan yes, film ini definitely diceritakan dari perspektif yang tidak pernah kita lihat sebelumnya pada genre ini. Dan setelah menonton, aku sangat terkesan, I love this film.

Peele nunjukin bahwa dia paham gimana mengarahkan film horor, dia mengerti cara membuat setiap adegan menakutkan menjadi menarik. Bahkan menyenangkan. Ini adalah pandangan PSIKOLOGIS SEKALIGUS SANGAT SATIRICAL terhadap pandangan sosial soal masalah racial. Sepanjang film akan banyak momen-momen yang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal namun serius (eh kebayang enggak tertawa serius itu gimana? Ketawa yang kalo disenggol ngebacok! Hahaha), karena penulisan film ini mengerti bagaimana menempatkan elemen horor yang seram dan over-the-top sebagai lapisan luar buat elemen grounded yang lebih menakutkan. Film ini punya sesuatu yang ingin ia katakan perihal kecanggungan yang dirasakan seseorang ketika dia berada di tengah-tengah tempat yang tidak biasa baginya. Dalam The Visit (2015), M. Night Shyamalan juga melakukan hal yang serupa, dia mengambil hal sesederhana interaksi canggung antara anak kecil dengan orang lanjut usia dan mengubahnya menjadi pengalaman menakutkan. Cerita Get Out, however, lebih urgen sebab ia mengangkat tema yang berada di zona sensitif buat beberapa orang. Terlebih buat audiens Amerika yang memang menganggap serius masalah kulit hitam dan kulit putih.

Kita semua adalah manusia. Like, it doesn’t matter warna kulitnya apa. Film ini juga menegaskan bahwa masalah rasis sebenarnya adalah masalah psikologis. Kaitannya dengan penyakit mental. Dengan cara berpikir. Jika kita merasa punya kelebihan dibanding yang lain, jika kita merasa berbeda dari orang, maka itu udah termasuk rasis. Pengotak-kotakan itu bukan dari biologis, melainkan datang dari konstruksi sosial. Kita yang menganut bhinneka tunggal ika juga bisa tergolong rasis jika kita mengelaskan orang dari kelakukan golongannya.

 

 

Di balik subjek dan gagasan yang serius, Peele bisa menemukan celah untuk mengintegralkan humor yang sangat menyegarkan. Meskipun film ini penuh oleh stereotipe trope-trope horor, jumpscare tidak bisa dihindari, kita dikagetkan oleh musik keras yang mengiringi bayangan orang yang berjalan di background, kita histeris saat sesuatu muncul dengan mendadak disertai suara lantang, suara dan visi si sutradara tetap bisa dipertahankan. Keoriginalitasnya tetap enggak tercoreng berkat cerita utamanya. Dari adegan pembukanya saja, udah terasa gimana fantastis dan menyenangkannya film ini. Sepenglihatakanku, sekuen ‘pencidukan oleh mobil misterius’ di jalan perumahan itu dilakukan dengan one-take, yang merupakan teknik pengambilan gambar yang aku suka, dan that whole scenes amat creepy sekaligus juga kocak karena humor datang dari tubuh yang diseret bergerak seirama dengan musik. Menuju ke babak tiga akan ada nuansa horor yang sangat intens yang dibangun dengan sangat baik, it builds up into some really satisfying moments yang bikin penonton sestudio ngecheer.

Penulisan film memang dipikirkan dengan teramat baik. Semua simbolisme dan metafora pada akhirnya akan terbayar tuntas.Adegan menabrak rusa actually punya peran yang penting dalam pertumbuhan karakter Chris, dan dengan efektif diintegralkan dalam adegan final. Segala detil diperhatikan dan benar-benar digunakan untuk membangun lapisan cerita. Sebagai protagonis, Chris digambarkan dengan kompleks. At one time, kita mencurigai jangan-jangan dia yang pikirannya ngerasis. Chris sendiri adalah orang yang suka berprasangka, kita bisa melihat dia cemburuan dan kurang senang ngeliat pacarnya bercanda dengan sahabatnya di telepon. Really, penampilan akting dalam film ini diarahkan dengan kompeten sehingga menjadi poin kuat film. Comic relief disandarkan kepada pundak LilRel Howery yang berperan sebagai polisi bandara sahabat Chris, dan aktor ini mencuri setiap adegan yang ia mainkan. He’s so hilarious. Perannya pun ditulis lebih gede dari sekedar teman tukang ngocol.

Kita tidak terlahir rasis, kita terajar untuk jadi rasis. Terkadang kita malah enggak sadar kita punya bias ke arah rasis. Kita ngedevelop tendensi rasis berdasarkan sosialisasi dan lingkungan.Prasangka muncul dari hubungan kita dengan orang, seperti Chris yang mulai ragu dan takut ketika berada di tengah keluarga Rose yang ia noticed berbeda dari dirinya. Namun seperti apapun yang bisa kita pelajari, kita juga bisa unlearn it.Denganberbagi dengan orang lain. Tapinya lagi, sebagian besar oranglebih takut untuk berbagi, untuk jadi sama dengan orang lain.

 

kita bisa memotong tensi adegan dengan pisau dapur rumah Rose.

 

Masalah yang bisa kita temukan dari pengalaman menonton film ini adalah soal pacing dan keseimbangan tonenya. Pacingnya sedikit tidak konsisten. Terkadang kita akan dibawa melompat antara tone serius dengan tone kocak dengan agak terlalu cepat.  Banyak sekuens yang terlihat aneh dengan horor ataupun humor yang terasa dilampirkan begitu saja, tanpa ada kepentingan yang lebih dalem buat cerita. Tapi tentu saja, ini adalah jenis film yang akan lebih mudah kita apresiasi jika kita udah nonton untuk kedua kalinya, atau jika kita udah mengerti konteks dan paham apa yang sebenarnya terjadi di balik lapisan terluarnya. Seperti misalnya adegan di malam hari ketika ada tokoh yang berlari cepat menuju Chris seakan ingin menabrak atau menyerangnya. Di detik-detik mau nubruk, si pelari mendadak berbelok arah begitu saja. Ketika melihatnya pertama kali, aku merasa adegan ini purely buat serem-sereman atau malah lucu-lucuan belaka, kayak adegan horor gajelas. Tapi kemudian in retrospect, begitu aku sudah mengerti ‘misteri’nya, aku bisa melihat ada dua skenario yang dapet membuat adegan tersebut menjadi beralasan.

 

 

Horor yang dengan tepat menggambarkan keadaan canggung yang penuh oleh komentar-komentar dan sindiran sosial. Aku terutama sangat terkesan dengan kemampuan Jordan Peele menggarap horor sebagai humor satir yang dekat, dan dia juga membuktikan bahwa filmmaker masih bisa untuk punya suara sekaligus memuaskan tuntutan untuk memasukkan stereotipe dan trope yan sudah umum dari genre ini. Meskipun tone filmnya belumlah sempurna, namun ini adalah sajian bagus yang langka. Perspektifnya berani dan sangat unik dapat membuat kita jadi ‘rasis’ kepada film-film horor lain; just because we noticed betapa berbeda dan superiornya film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for GET OUT.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.