“Mathematics is not about numbers, equations, computations, or algorithms; it’s about understanding.”
Quick questions!
Ayo sebutkan siapa manusia pertama yang terbang ke luar angkasa? “Yuri Gagarin!”
Siapa orang Amerika pertama yang mengelilingi orbit bumi? “John Glenn!!”
Orang pertama yang menjejakkan kaki di bulan adalah? “Neil Armstrong!!!”
Kita semua pasti tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita semua pasti pernah baca mengenai tokoh-tokoh bersejarah itu. Everyone talks about them, pria-pria yang paling pertama menjelajah ruang angkasa. Mereka adalah bagian penting dalam sejarah umat manusia. Tapi tahukah kita siapa yang bekerja di belakang sana, ilmuwan-ilmuwan yang membuat segala perjalanan meninggalkan gravitasi itu menjadi mungkin? Fokus kita enggak pernah mengarah kepada scientists yang manjat-manjat tangga nulis di papan itu, padahal mereka juga tak kalah pentingnya, and yea some of them are women. Dan untuk bikin hal lebih mengejutkan lagi, terutama di tahun 1960an yang penuh diskriminasi, ‘komputer-komputer’ di meja NASA tersebut adalah wanita berkulit hitam.
I didn’t really know much aboutKatherin G. Johnson, Dorothy Vaughan, Mary Jackson, atau beberapa tokoh sejarah lain yang diceritakan dalam film ini. On the other hand, aku selalu tertarik sama astronomi dan luar angkasa, and I kind of like math, jadi space movie yang ada matemnya benar-benar memancing rasa ingin tahuku. Rasanya keren aja, melalui film ini kita bisa belajar lebih banyak tentang para ‘hidden-figure’ yang berjasa di balik peluncuran manusia ke luar angkasa. See, judul filmnya ada udah fun abis. Punya makna yang mendua. Ini adalah tentang angka-angka rumus yang berhasil ditemukan to make the said breakthrough. Dan dalam artian yang lebih dalam lagi, Hidden Figures juga adalah tentang wanita-wanita di balik suksesnya NASA, wanita-wanita yang tersembunyikan oleh status sosial mereka di masa yang masih kental oleh prejudice masalah warna kulit.
Aku kadang recognized apa yang ditulisnya… so yea.. NERD! *sorakin rame-rame*
Dalam film ini tergambarkan bagaimana ketiga wanita yang kerja di NASA tersebut meski termasuk pelopor dalam kerjaan mereka, mereka actually masih harus kerap dealing with prasangka-prasangka publik, yang mana adalah hal lumrah kala itu. Dalam bekerja mereka menemui banyak kesulitan; rekan-rekan kerja yang tidak mengizinkan mereka melakukan kerjaan yang harus mereka lakukan, mereka tidak dikasih izin buat mengakses file-file tertentu. Mereka juga tidak diperkenankan berada pada beberapa lokasi di kantor. Katherine, malahan, harus berlari menempuh jarak yang lumayan jauh cuma buat ke kamar kecil karena kulit hitam ditempatkan di restroom khusus yang terpisah dari pegawai kulit putih. Everything is difficult for them. Hidden Figures adalah tentang seputar karakter-karakter ini navigate lingkungan kerja NASA, memecahkan masalah prejudicenya sembari menemukan formula matematika yang bisa digunakan dalam ‘perlombaan tak-resmi’ antarnegara adi-daya soal pengiriman manusia terbang ke angkasa luar.
Hidup itu kayak matematika. Setelah menambah dan mengurangi, kita akan bisa mendapatkan hasil. Dan lebih penting lagi, hidup, sebagaimana menyelesaikan masalah matematika, membutuhkan pengertian dan pemahaman.
Setiap film yang membahas mengenai masalah rasisme selalu cenderung untuk menjadi serius. Kebanyakan akan digarap dengan arahan yang membuat filmnya hanya cocok untuk konsumsi penonton dewasa, you know, dengan kata-kata tak senonoh dan adegan yang overly intense. Padahal sangatlah penting bagi anak-anak muda untuk menonton film dengan pesan yang baik seperti ini. Hidden Figures, untungnya, berani tampil sebagai film yang bisa ditonton bahkan oleh anak kecil. Film ini memastikan pesannya mengenai kesetaraan manusia tanpa mengenal perbedaan ras dapat mencapai dan accessible kepada seluruh lapisan masyarakat. Film ini tidak takut dianggap terlalu jinak atau terlalu family-friendly sehingga jatoh di pasaran. And guess what? Film ini justru tampil really well di box office luar, actually termasuk yang dapat penjualan paling baik di antara nominasi Best Picture Oscar 2017 yang lain. Hidden Figures adalah FEEL GOOD-MOVIE YANG DILAKUKAN DENGAN CARA YANG TEPAT. What you see is what you get, pesannya terhampar jelas.
Terkadang memang film ini terasa sedikit teatrikal, elemen stick-it-to-the-man benar-benar ditonjolkan. Namun tidak pernah menjadi terlalu oversentimentil. Maksudnya, kita tidak dimanjakan, filmnya tidak sekonyong-konyong nyuruh kita puas dengan menyajikan adegan-adegan di mana orang ‘jahat’ mendapat balasan setimpal. This is a feel-good movie, akan tetapi film ini berhasil ngemanage sehingga dirinya doesn’t get too unrealistic. Ada beberapa adegan di mana kita bakal pengen melihat tokoh-tokoh tertentu eventually really get what’s coming to them, dalam batasan yang masih wajar dan enggak lebay. Ini adalah jenis film di mana kita akan melihat tokohnya mencoba menggapai tujuan mereka, dengan cara mereka menghadapi tantangan, tidak peduli rintangan or everything else around them, dan menggunakan kemampuan mereka — dalam hal ini kepintaran otak kiri dan kanan yang seimbang – semaksimal mungkin. Ada satu adegan hebat dan sangat emosional dalam film ini, di mana Katherine akhirnya ngerasa ‘sudah cukup’ dan dia menyuarakan semuanya harus disudahi. Adegan tersebut punya flow yang really well. Membuktikan bahwa semua teknis storytelling; arahan, akting, dan penulisan bekerja dengan sangat mulus.
“ABC is easy as 123” Well, it should be. Right..?
Cukup langka melihat karakter-karakter seperti yang dimiliki oleh Hidden Figures dalam tayangan yang berdasarkan kisah nyata. Performances mereka pun teramat fantastis secara merata. Taraji P. Henson is very good memainkan Katherine, mathematician yang berpikir rasional di tengah keadaannya, she wants to get the job done because she loves what she does, dan dia menambah berkali lipat emosi pada karakternya. Sebagai Dorothy Vaughan ada Octavia Spencer yang selalu bermain amazing, perannya di film ngingetin aku sama perannya dalam film The Help (2011). Aku suka sekali reaksinya saat anak-anaknya diusir dari perpustakaan. Peran Mary Jackson oleh Janelle Monae juga punya obstacle sendiri dalam usahanya menjadi black female engineer pertama. Kita merasakan koneksi kepada orang-orang ini. Kita ngerasain struggle mereka, bahwa mereka bukan tokoh pasif. Kita ngecheer aksi ‘perlawanan’ mereka. Kita mulai menjadi begitu peduli sama mereka, sehingga kita jadi ingin nonjok muka tokohnya Jim Parsons.
Angin segar adalah kenyataan bahwa film ini tidak diarahkan menjadi cerita serius dengan some political agenda. In the end, ini adalah tentang gimana menghilangkan prejudice, gimana untuk tidak menjadi rasis, karena yang terpenting adalah mewujudkan keinginan bersama.
Karakter yang dimainkan oleh Kevin Costner bilang “Everybody in NASA pees the same color.” Itu adalah momen yang sangat keren menyaksikan orang yang punya mindset spesifik tentang gimana mereka memandang orang lain. Baginya it’s all about finishing the job dan semuanya harus work around prasangka rasis. Malahan ada tokoh seperti astronot John Glenn yang dimainkan asik oleh Glenn Powell, yang just don’t even recognized ada perbedaan di antara barisan mereka. Dia justru mempercayakan keberangkatannya kepada wanita-wanita ini.
Being a story yang mau memperkenalkan ketiga wanita berjasa tersebut, cerita Hidden Figures sayangnya tidak hanya mengambil tempat di kantor NASA (yang terdepict compelling dengan segala kesibukannya). Kenapa aku bilang ‘sayangnya’ karena actually film akan membawa kita pulang ke rumah tokoh masing-masing untuk melihat kehidupan mereka bersama keluarga. Di sinilah elemen romance film ini pasang-sabuk-dan-meluncur, namun I didn’t feel that. Romansa film ini tidak terflesh out dengan baik, tak lebih hanya sebagai subplot supaya membuat kita semakin terhanyut ke dalam the feel-good momen. Diniatkan, romansanya sweet banget. Harapnya, sih, ada spark antara Katherine dengan Kolonel Johnson yang diperankan dengan sangat charming oleh Mahershala Ali, namun enggak pernah aku terattach ke dalam hubungan mereka. Elemen drama cinta ini tidak menambah banyak bobot kepada keseluruhan cerita. Film ini menyadari itu, makanya dengan bijak kita dibawa sesegera mungkin kembali ke lingkungan NASA. Sisi dramatis film ini sesungguhnya memang terletak di perjuangan Katherine dan teman-temannya dalam menemukan terobosan dalam aerospace engineering.
Yang suka film-film historical science bakalan jatuh cinta sama film ini. Setelah membaca tentang sejarah mereka lebih lanjut, sepertinya memang film ini secara sejarah lumayan akurat untuk sebagian besar waktu. Dalam usahanya menyampaikan pesan kesetaraan dan tidak membeda-bedakan demi kepentingan yang lebih utama, film ini mengambil langkah berani, take-off dengan menjadi family friendly alih-alih film yang menunjukkan keseriusan dengan serentetan kata vulgar dan adegan ‘keras’. Tentu, drawbacknya adalah film ini jadi menjurus ke teatrikal, namun it holds on the tension dan intensitas very well. The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HIDDEN FIGURES.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners And there are losers.
“Boundaries don’t keep other people out, they fence you in.”
Entah itu untuk menjaga agar pihak luar enggak bisa sembarangan masuk, atau supaya yang di dalem enggak bisa sekonyong-konyong ngelayap ke luar, orang membangun pagar dengan alasan keamanan.
Rose Maxson mengingatkan suaminya, Troy, untuk segera menyelesaikan pagar di halaman belakang rumah mereka. Rose wants to keep her family together. Troy, sebaliknya, lebih melihat kegunaan pagar sebagai poin yang pertama; to keep things out. Dan as much as dia fearless dan percaya kepada kebebasan, being a negro membuatnya terbatas dalam beberapa hal, Troy membuat pagar lebih kepada bentuk pembuktian that he’s capable of providing his family. He wants to keep people out jauh-jauh dari pahamnya sendiri. Dualitas simbolisasi pagar adalah garis batas yang mengelilingi cerita film yang diangkat dari drama teater ini. Troy dan Rose adalah pasangan suami istri yang hidup di daerah urban amerika 1950, and this film tells how they live their live dengan segala problematika dan strugglenya.
Cukup lucu banyak orang yang meragukan film ini disebabkan oleh filmnya sendiri hanya berupa serangkaian SEKUENS DIALOG-DIALOG PANJANG di lokasi yang di situ situ melulu. Terasa sekali seperti play yang disadur ke media film. Dalam film ini yang akan kita lihat adalah orang-orang beragumen atau saling bercanda, bernyanyi, ataupun lagi mendongeng. Padahal, banyaknya dialog tidak pernah jadi penghambat sebuah film yang ditulis dengan sangat hebat. I mean, lihat saja 12 Angry Men (1957) atau Carnage (2011)nya Roman Polanski atau sesama adaptasi teater August: Osage Country (2013), some of the best movies of all time menampilkan dialog demi dialog maha-panjang set in one or two locations. Fences tidak pernah keluar dari pagar environmentnya, dan itu pulalah yang bikin kita tersedot masuk terus ke dalam cerita.
Sekuens percakapan panjang dalam film ini were so well-crafted, emosi kita akan dibawa turun naik olehnya, kayak, percakapannya dimulai dengan ringan, kita tersenyum dan tertawa bersama para tokoh, sampai kemudian seseorang mengatakan sesuatu. Atau mungkin mereka cuma ngelakuin hal yang not necessarily gak-sopan, misalnya anak Troy yang menatap ayahnya dengan pandangan yang sedikit merendahkan, and snap! Semuanya berubah menjadi gak-enak dan Troy, oh boy, bapak yang satu ini akan berubah menjadi seorang yang lantas marah-marah; galak dan keras kepala.
Pagar ngehajar tanaman
Kunci film seperti ini selain di writing, juga terletak pada performancenya. Film ini punya beberapa penampilan terbaik yang bisa kita saksikan di 2016. Denzel Washington, menyutradai sekaligus memerankan Troy, bermain luar biasa brilian dengan range emosi yang fleksibel dan powerful. Tokoh Troy adalah pribadi yang sangat kompleks. Aku suka karakter yang satu ini terus bicara soal dia mengalahkan Kematian di pintu rumah, karena itu actually adalah momen yang nunjukin betapa vulnerablenya dia sebagai kepala keluarga. Babak pertama film mengestablish dia sebagai pria yang bertanggung jawab, pekerja keras, pria yang bercerita tentang gimana dia melaksanakan kewajiban dan menuntut haknya. Troy adalah good old fashioned man yang mencoba untuk provide to his family need, menyediakan atap bagi mereka, memastikan makanan tersaji di atas meja. Kita merelasikan diri kepadanya easily. Namun sepanjang film, kita akan mendapat informasi tersirat bahwa Troy punya banyak cela. That he’s not that great of a person. Dia terus saja menjatuhkan anak-anaknya (even sahabatnya sendiri) dengan batasan yang menegasi keputusan mereka. Kita perlahan belajar siapa diri Troy lewat backstory yang diceritakan dengan subtle; apa yang ia hadapi, how he was raised, dan kemudian masalah mulai menimpa keluarganya. Semua itu, semua pemahaman yang kita dapatkan terhadap karakter Troy akan terasa sangat menyayat hati.
Penampillan akting dalam film ini sungguh kuat, membuat pengalaman nonton kita menjadi berlipat lebih dahsyat, secara emosi. Aku suka gimana film ini, dengan kodratnya sebagai sebuah sandiwara teater, memberikan banyak ruang bagi setiap karakter untuk bertumbuh. Viola Davis sebagai Rose tentu saja pantes banget-banget untuk dinominasikan ke Oscar. In fact, Denzel Washington dan Viola Davis teramat loud dan explosive. Namun begitu, mereka tetap terasa genuine karena kalo kita bawa ke dunia nyata, memang seperti yang mereka portray jugalah reaksi pasangan yang dealing masalah mereka. That there’s gonna big dramatic moments. Tanpa bisa dielakkan. Ada banyak momen di dalam film ini di mana aku sempat lupa sedang menonton sebuah film. And that feeling is so rare dibandingkan film sekarang yang kebanyakan dramanya terasa orchestrated dengan really memancing rasa kasihan kita.
cue “Aaaauuuummmm” in one, two,…
Fences juga menyinggung tentang gimana lingkungan sekitar kita turut membentuk pribadi kita. Ini tercermin dari sikap Troy dan sikap anaknya, Cory. Kedua orang ini sama-sama tumbuh menjadi atlet baseball, only dalam jaman yang berbeda. Dan itu actually membuat perbedaan yang sangat besar. Sebagai manusia, naturally, kita mewariskan apa yang sudah membentuk kita. Inilah menjadi problem, karena orangtua will eventually ‘mewariskan’ apa yang sudah ia alami kepada anak-anak. Entah berusaha mendoktrin agar tidak seperti orangtuamereka, ataupun to pass the ‘legacy’. Begitu juga saat anak-anak tersebut dewasa, mereka pada akhirnya akan melanjutkan hal yang sama turun-menurun.
Turunan kesalahan menjadi tema berulang yang kerap muncul dalam elemen cerita. Kesalahan orangua seringkali menjadi sumber dari masalah, atau katakanlah derita, yang dialami oleh anak-anak. Ada satu kalimat dari Rose yang menyatakan di sisi mana film ini berdiri, “You can’t visit the sins of the father upon a child.” Film ini percaya bahwa dosa generasi yang satu tidak mesti dibawa turun ke generasi berikutnya. Bahwa sebuah generasi bisa tumbuh lebih baik dari sebelumnya, tidak perlu menjadi seperti mereka. In that way, Rose tidak ingin ada pagar, dan ini memberikan konflik dengan outer journey di mana dia yang ingin membangun pagar. It is also make an ever greater konflik, karena apapun yang Rose pilih, pagar atau tanpa pagar, selalu bertentangan dengan prinsip Troy.
Tidak banyak suara kita dengar membahas kiprah Denzel Washington sebagai seorang sutradara. Film ini, however, membuktikan bahwa Denzel adalah director yang lebih dari sekadar mumpuni. Dia baru punya tiga dalam gudang film panjang karyanya, dan Fences actually adalah film terbaik yang ia hasilkan sejauh ini. Arahan Denzel benar-benar berhasil memancarkan hati dan emosi dengan ledakan yang tak terasa over heboh. Fences adalah film tentang keluarga, setiap adegannya adalah adegan ngobrol sambil duduk-duduk di halaman belakang, di teras rumah, ataupun di meja makan. Tapi film ini managed tidak sekalipun kita melihat adegan mereka ngobrol over sarapan atau dinner atau lunch. I mean, bandingkan deh dengan film Indonesia di mana sepertinya adegan ngobrol dengan occasion duduk ngeliling sambil makan menjadi sebuah pakem film. Kalo enggak ada makan-makannya, gak rame!
Meski begitu, ada satu momen dalam film ini yang mengkhianati segala rasa compelling dan aura realitanya. Momen tesebut datang di adegan penutup. Kita lihat keluarga Maxson menengadah langit, diiringi terompet rusak, mereka memandang awan yang, ah lihat sendiri deh. Alih-alih mendatangkan rasa hangat di hati, malah membuat film menjadi cheesy dan jadi terkesan fake.
Selain masalah di ending tersebut, ini tidak lain dan tidak bukan adalah film yang excellent. Mengajarkan tanggungjawab dan sejauh mana batasan tanggungjawab itu sendiri sebaiknya kita apply. Film ini menyuguhkan penampilan luar biasa dari setiap aktornya. Apa yang paling aku suka adalah, sama seperti teater, ada banyak ruang luas tak-berpagar yang disediakan naskah untuk pengembangan dan penampilan para tokoh. Drama keluarga yang sangat memilukan dan indah karena tersaji dengan perasaan yang nyata. The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for FENCES.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners And there are losers.
Hal terbaik dari film yaitu menontonnya merupakan personal experience. Film adalah seni, sifatnya sangat subjektif. Kita bebas menyukai film apapun, meski begitu kita harus recognized flaws yang ada di dalamnya. 2016 bukanlah tahun yang hebat jika kalian penggemar film-film blockbuster, tho. Banyak dari franchise berbudget gede tersebut yang gagal – secara kritikal maupun secara pasar. Dan aku masih belum habis pikir kenapa film tentang dua superhero ikonik bisa lebih jelek ketimbang film tentang cewek yang baca novel.
Secara diversity, kita dapet wide range of film-film yang unik, for better or worse. Ada lebih dari satu film tentang kucing, kita nyaksiin banyak drama tentang ibu dengan anaknya, especially the daughter, para superhero either seling berantem atau bikin grup, western genre mulai menggeliat berusaha bangun, animasi yang got real mature dari segi cerita – dan wah! dari segi visual. Dari panggung Indonesia, konten lokal mulai berani digali, however, nostalgia masih menggila
Aku menonton banyak film tahun 2016 yang menurutku dioverlook oleh banyak orang. Regarding to the filmmaking, aku sangat senang melihat banyak film yang berusaha bercerita di luar pakem genrenya. Kita melihat film emosional yang tampil tanpa banyak bicara, horor yang fokusin ke rasa takut dari dalam diri manusia, film alien tanpa tembak-tembakan, you know ada banyak film yang so different dan unconventional dan original dalam cara bertuturnya.
Mengerucutkan film kesukaan menjadi delapan menjadi hal yang semakin menantang. Sebelum mencapai mereka, simak dulu sederetan film hebat yang sebenarnya ingin sekali aku masukin ke daftar but didn’t quite make it.
HONORABLE MENTIONS:
– Swiss Army Man(komedi satir yang punya ide dan cerita yang sangat original)
– Zootopia(makin ke sini, animasi ini menjadi semakin penting berkat kerelevanan cerita yang diangkatnya)
– Popstar: Never Stop Never Stopping(mockumentary tentang penyanyi pop dan pretty much marodiin bisnis musik sekarang ini)
– Ouija: Origin of Evil(best horror sequel of the year! Directionnya berani keluar arus, dan really took times memperhatikan detil dalam filmmaking)
– Hush(whiteknuckled thriller tentang cewek tunarungu yang distalk oleh seorang pembunuh)
– The Invitation(psychological thriller yang really sneak up on you)
– 10 Cloverfield Lane(psikologikal thriller yang satu ini bagaikan anti dari Allegory of the Cave)
– Hunt for the Wilderpeople (penuh dengan interaksi dan gestur yang so funny!)
– Hell or High Water(film yang emosional dan felt real yang bicara tentang ambiguitas moral)
– Silence(film yang sangat kompleks dan emotionally gutting tentang gimana orang yang mengalami krisis keimanan, one of the Scorsese’s best!)
– Moonlight(a really mature, genuine, dan beautiful way menceritakan cerita tentang perjalanan hidup, about a self-healing)
– Manchester by the Sea(drama yang paling realistis yang pernah kutonton, diisi oleh performances yang incredibly brilliant!)
– Arrival(sci-fi yang sangat unik, membahas tentang bahasa, untuk bekerja sama, dan ultimately tentang menghadapi masa depan yang menakutkan)
– Captain America: Civil War(it wasn’t just about battle and action, ada konflik hebat yang compelling di dalamnya. Film box-office seharusnya seperti ini!)
– The Neon Demon(tentang obsesi pada beauty, film yang perlu ditonton oleh semua cewek)
– Captain Fantastic(punya banyak ide menarik seputar parenting, adegan musical menjelang akhir terasa sangat surreal dan menyentuh, nyaris bikin aku nangis!)
– Surat dari Praha(untuk sebagian besar 2016, ini adalah film Indonesia yang kuberi rating paling tinggi, 8/10 – it’s about rekonsiliasi dengan orang yang kita cinta)
– Istirahatlah Kata-Kata(film indonesia kedua di 2016 yang kuberikan 8/10, emosi filmnya benar-benar terasa lewat hamparan visual)
– Hacksaw Ridge (film perang denagn arahan yang gritty dan so terrific, juga punya pesan yang ngena dan relevan dengan keadaan sekarang)
– Nocturnal Animals(the ultimate ‘suck it up’ buat mantan, film ini punya storytelling yang sangat unconventional)
Dan special shout out diberikan buat Ada Apa Dengan Cinta 2 yang udah mecahin rekor jumlah view terbanyak review kami.
8. DEADPOOL
Director: Tim Miller Stars: Ryan Reynolds, Morena Baccarin, T.J. Miller MPAA: R IMDB Ratings: 8.1/10 “You’re probably thinking, “My boyfriend said this was a superhero movie but that guy in the suit just turned that other guy into a fucking kabab!” Well, I may be super, but I’m no hero.”
Salah satu adaptasi terbaik dari komik yang menjelma ke layar besar. Menangkap dengan sempurna tone, the feels, dari karakternya. Sekali lagi, film blockbuster ya seharusnya seperti ini. Awalnya aku memang agak meragukan, tapi kemudian, baru nonton adegan openingnya saja I know this would be great superhero movie. Eh, super tapi bukan hero, ding!
Film Deadpool adalah Deadpool itu sendiri. Dia kurang ajar, kasar, suka ngatain orang, selera humornya seringkali keterlaluan, seksual innuendo nya kentara sekali, enggak baik buat anak-anak deh pokoknya. Deadpool bisa dibilang anti-hero dalam dunia Marvel, kita tahu dia aneh, mentalnya seperti agak terganggu, protagonis yang ngelakuin hal-hal tercela, tapi kita cinta. Thus, membuat filmnya menjadi kurang ajar juga. In fact, kurang ajar adalah seni pada film ini. The writing is so good. At the heart, dan percayalah sekasar dan sekurangajarnya Deadpool, film ini masih punya hati kok.
My Favorite Scene:
https://www.youtube.com/watch?v=DVMVWQIfT88
Opening yang efektif sekali menunjukkan siapa sih Deadpool itu? Nyeleneh, kocak, dan yea dia bukan hero.
And oh btw, review Deadpool kami menangin kontes review dari Cinemags!
*slow-clap*
7. KUBO AND THE TWO STRINGS
Director: Travis Knight Stars: Art Parkinson, Charlize Theron, Matthew McConaughey MPAA: PG IMDB Ratings: 7.9/10 “If you must blink, do it now.”
Kubo and the Two Strings bukan hanya peduli soal seperti apa rasanya jadi seorang anak, film ini juga punya hal penting yang ingin disampaikan seputar persoalan tersebut. It is an action packed, extremely fun adventure film. Beautiful to look at, yang engage it’s audience untuk berpikir. Kubo adalah animasi stop-motion yang sangat fantastis.
Lewat kekuatan Kubo yang involving seni melipat kertas dan tema ceritanya sendiri, film ini akan meminta anak kecil untuk menggunakan imajinasi mereka. So they can see beyond our physical world. Mengajak anak kecil untuk berkhayal sehingga mereka mengerti dan siap akan sesuatu hal nyata yang sangat penting; kematian orang yang kita cintai. Memang sih, anak-anak kecil mungkin saja belum nangkep aspek cerita yang lebih ‘serius’ ini until they get older, but at least mereka sudah ‘dipersiapkan’ sambil tetap terhibur. Karena film ini worked on multiple levels.
Petualangan Kubo bersama si Monyet, si Kumbang, dan si Prajurit Kertas mencari tiga senjata legendaris untuk mengalahkan kekuatan jahat dari masa lalu akan bikin penonton cilik betah. Kita juga bisa menonton film ini sambil mikirin deeper messagenya.
My Favorite Scene:
Aku paling ngakak di momen ketika Kubo dengan semangat swinging pedang ke sana kemari dan just dishoot down sama si Monyet yang selalu serius.
6. EVERYBODY WANTS SOME!!
Director: Richard Linklater Stars: Blake Jenner, Zoey Deutch, Glenn Powell MPAA: R IMDB Ratings: 7.0/10 “We came for a good time, not for a long time.”
Film ini kayak kita, sometimes it’s dumb. Kita selalu cenderung untuk menganggap segala hal sebagai sebuah lomba. Appeal tergede bisa jadi adalah buat penonton pria karena tentang persahabatan cowok, but take notes, girls! Everybody Wants Some!! bener-bener menangkap gimana cowok menyelesaikan masalah mereka; Enggak pake diem-dieman kayak cewek kalo lagi berantem. Dalam dunia cowok; kalo ada slek, langsung turning it into a fight. Dan voila! masalahnya beres dan move on mencari sesuatu yang bisa dijadikan bahan pertandingan lagi.
Hanya ada sedikit adegan yang nunjukin mereka bermain baseball karena ini memang bukan film olahraga. Majority adegan adalah mereka ke klub, minum-minum, ngasep, ngeceng, party, yah having fun khas anak muda sonolah. Dalam tiga hari saja mereka udah ngunjungin empat pesta loh haha! Yang bikin berbeda adalah pendekatan nearly-philosophical yang film ini lakukan. Dengerin deh, di balik bego-bego yang mereka lakukan, dialog yang terucap punya makna yang mengena
Arahannya membuat semua terasa natural. Selalu ada sesuatu yang terjadi di background setiap shotnya. Sangat lucu dengan komedi yang enggak lebay, romantizing yang tepat sasaran. Yang ingin film ini sampaikan adalah manusia memilih mengerjakan sesuatu hal karena hal tersebut membuat mereka jadi memiliki arti.
My Favorite Scene:
Sums the movie perfectly; precise and awesome!
5. THE NICE GUYS
Director: Shane Black Stars: Russel Crowe, Ryan Gosling, Angourie Rice MPAA: R IMDB Ratings: 7.4/10 “You’re the world’s worst detective.”
Film seger ini membuktikan kita tidak perlu ledakan untuk menikmati action. Dialognya kocak, aksinya seru, misterinya nyedot perhatian, ceritanya bagus, karakter-karakternya di-handle dengan baik. Penulisan dan arahan film ini was so on-point.
Ini adalah action klasik dua detektif yang berujung menjadi teman. Menariknya The Nice Guys adalah tidak banyak perbedaan antara kedua tokoh ‘hero’ kita. Mereka sama-sama pecandu alkohol. Mereka sama-sama punya masalalu yang tragis. Mereka mengerti seperti apa di Los Angeles. Mereka mengerti aturan mainnya. Karena itulah mereka playing off of each other so good. Segar dan tidak-biasa. And of course, their performances. Chemistry nya, makjaaangg, Ryan Gosling dan Russel Crowe work magic together.
The Nice Guys juga punya satu tokoh anak kecil yang bersikap jauh lebih mature dibandingkan umurnya. Holly, putri kecil si Holland, kerap membantu Holland dan Healy dalam berbagai misi mereka. In fact, peran Holly lumayan besar, like, misi mereka seringkali terancam gatot jika bukan karena Holly. Peran ini dimainkan dengan sangat amazing oleh Angourie Rice. She really sells her character well. Like, soo greaaatt. Tokoh ini terasa sangat real dan otentik. So perfect and so fun. The script is incredible. Sudah jarang sekali kita ngeliat cerita kayak gini.
My Favorite Scene:
https://www.youtube.com/watch?v=-LT8i_88A00
Saking gak kompetennya, Holland March mixed up kejadian di dalam mimpinya dengan kejadian di dunia nyata hahahaha
4. LA LA LAND
Director: Damien Chazelle Stars: Ryan Gosling, Emma Stone, J.K. Simmons MPAA: PG-13 IMDB Ratings: 8.6/10 “Here’s to the ones who dream / Foolish as they may seem. / Here’s to the hearts that ache. / Here’s to the mess we make.”
Jelas sekali Damien Chazelle terinspirasi oleh musik. Dan sebagai filmmaker yang masih terhitung muda, tampak benar dia mengerti gimana rasanya menginginkan mimpi, passion, terwujud. Dia mengerti godaan, struggle, dan ultimately pengorbanan yang harus dilakukan agar mimpi tersebut menjadi nyata. Dan film ini sukses berat menceritakan semua tersebut dengan balutan musikal yang hebat. Adegannya mengalun seamlessly. Semulus para pemain menghidupkan perannya. I mean, performances dalam film ini sungguh gemilang. Enggak salah kalo film ini diganjar, bukan hanya Best Director, namun juga Best dari penampilan kedua leadnya. Ryan Gosling is always so awesome, ditambah oleh sangat mesmerizing gimana dia memainkan piano itu. Dan Emma Stone memberikan performance terbaik dalam karirnya, sejauh ini.
Genre musikal bukanlah genre film yang paling aku sukai. Namun hal ini bukannya jadi penghalang bagiku untuk menyukai La La Land. Because this is a well-made film. Musical numbers dalam film ini tidak pernah terasa annoying. Dan oh, betapa cantiknya. Los Angeles, kota para bintang, sangat rupawan tergambar oleh film ini.
Namun demikian, apa yang paling aku suka, melebihi kualitas teknikal dan penampilannya yang luar biasa, adalah film ini mendorong penontonnya untuk mencapai impian mereka masing-masing. Ini adalah surat cinta kepada orang-orang yang penuh passion.
My Favorite Scene:
https://www.youtube.com/watch?v=RvWhKWhFWoc
Lagu Audition terasa personal sekali, namun adegan Sebastian dan Mia bernyanyi dan menari dengan latar belakang sunset L.A. sungguh sebuah pemandangan yang indah, penuh arti, dan sangat playful.
3. SING STREET
Director: John Carney Stars: Ferdia Walsh-Peelo, Lucy Boynton, Jack Reynor MPAA: PG-13 IMDB Ratings: 8.0/10 “Your problem is that you’re not happy being sad. But that’s what love is, Cosmo. Happy sad.”
Satu lagi musikal dalam list ini, aku juga surprised loh. Meski memang ‘aliran’ Sing Street ini berbeda dari La La Land, namun tetap senada.
Dengan cara tak biasa, mengolah premis sederhana – cowok yang ingin menarik perhatian cewek dengan main band, hanya saja dia tidak punya band. – menjadi drama remaja yang bittersweet namun kuat penuh heart and soul. Tidak ada nada sumbang dalam film ini. Tapi itu hanya satu dari sekian banyak cara kita menikmati film ini. It was so beautifully written. Penuh great humor, pula. Dengan lagu-lagu yang catchy, yang menyuarakan ambisi Connor, ketakutannya, romantic feelings, his growing pains, akan tetapi membuat film ini tidak terasa pretentious.
Kita juga bisa melihat film ini sebagai drama pembebasan diri dari sebuah sistem. Karena pemusik pada dasarnya adalah pemberontak. Dan eventually, film ini bisa dibaca sebagai drama persaudaraan kakak-beradik yang sangat emosional. Film yang terbaik adalah film dengan banyak elemen yang saling berlapis. Each of Sing Street’s stories berkumpul manis di akhir, pada lokasi yang disimbolkan oleh lautan lepas. Yang mana film ini berakhir dengan sangat rewarding sebagai sebuah suara harapan yang menginspirasi benak-benak muda untuk mengekspresikan mimpi.
My Favorite Scene:
Aku kena banget ama percakapan yang intens, hearwrenching, dan emosional antara Connor dengan abangnya menjelang babak akhir.
2. THE WITCH
Director: Robert Eggers Stars: Anya Taylor-Joy, Ralph Ineson, Harvey Scrimshaw MPAA: PG-13 IMDB Ratings: 6.7/10 “Wouldst thou like to live deliciously?”
Kita akhirnya sampai di era kebangkitan film-film horor yang dibuat secara artistik! Jump-scares pergi jauh-jauh!!
Bukan hanya tentang sosok nenek sihir mengerikan, tapi juga bagaimana kehadirannya mempengaruhi kehidupan. Kita akan melihat dampak yang disebabkan oleh keberadaan makhluk tersebut keluarga Thomasin. Kita akan menyaksikan keutuhan keluarga yang tercabik-cabik, mereka saling curiga, feeling insecure dan unsure atas apa yang terjadi. I love this movie, sungguh horor yang hebat, penuh suspens dari awal hingga akhir.
Lewat stylenya, film ini sungguh menangkap esensi menyeramkan dari situasi yang horrible. Nuansa klaustofobik yang kental. Film ini membuat kita merasakan environment New England 1630annya sebagai suatu tempat yang nyata. Seolah kita berdiri di tengah-tengah mereka. Musiknya really creep up on us. Long takes dengan shot-shot lambat yang bikin kita penasaran meski dalam hati makin takut dan enggak nyaman. Skema warnanya juga merefleksikan depresi yang dialami tokoh-tokohnya sehingga situasinya semakin terasa mengerikan.
Kalo di Indonesia, mungkin film ini bisa dikategorikan sebagai religi horor. Ketaatan beragama diperlihatkan sebagai desperate attempt yang dilakukan oleh keluarga Thomasin. And it tends to get disturbing. Sejatinya,The Witch adalah cerita tentang feminine empowerment yang seolah di-craft dengan sihir hitam.
My Favorite Scene:
Anya Taylor- Joy made a breakthrough lewat penampilannya dalam film ini. Namun ada satu scene yang dicuri oleh Harvey Scrimshaw yang jadi adek Thomasin. Adegan ini scared the crap outta me, a really jawdropping performance.
Oh betapa salahnya diriku yang berpikir animasi 2016 dipegang hanya oleh Zootopia dan Kubo and the Two Strings. Beneran, aku gak expecting anime yang satu ini sebagai tontonan yang luar biasa. Turns out, this movie really touched me.
Inilah film 2016 peringkat pertama kami:
1. YOUR NAME
Director: Makoto Shinkai Stars: Ryunosuke Kamiki, Mone Kamishiraishi, Ryo Narita MPAA: – IMDB Ratings: 8.7/10 “Treasure the experience. Dreams fade away after you wake up.”
Punya keunikan penceritaan yang luar biasa, sampai-sampai aku tidak bisa menemukan apa yang aku tidak suka dari animasi yang cantik jelita ini. Aku enggak pernah melihat drama tukar-tubuh diceritakan dengan cara seperti yang dilakukan film yang judul aslinya Kimi no na wa. Humornya yang beda bekerja sukses, drama emosionalnya bekerja sukses, aspek misteri dan mekanisme dunianya bekerja sukses, everything works out great in this movie. Your Name punya cara yang hebat sehingga transisi antara bagian yang kocak dan fun dengan part of story yang lebih serius, emotionally powerful, dan ultimately penuh suspens menjadi mulus tak terasa.
Dengan cara unconventional tersebut, film ini examining today’s youth culture dan apa yang bisa membuat dua orang jatuh cinta meski jika mereka belum pernah bersua.
Yang berhasil dicapai oleh Makoto Shinkai pada filmnya ini adalah betapa accessiblenya film ini buat banyak lapisan penonton; ceritanya tidak terlalu abstrak. Film ini imbued with elemen mimpi. Juga ada banyak simbolisasi yang memparalelkan antara kejadian di alam semesta, mekanisme dunia film ini, dengan hubungan yang dimiliki oleh kedua tokoh leadnya. It never gets too confusing, malahan semakin menarik kita. Tidak membiarkan kita terlepas sedetik pun dari ceritanya. Namun, tidak seperti mimpi yang lebih sering terlupakan saat kita bangun, film ini akan terus terngiang di kepala. Bahkan saking kuatnya sehingga kamu-kamu bisa saja bermimpi tentangnya. Please, cari dan tonton film ini. Aku yakin kalian akan menemukan pengalaman menonton yang amat sangat menyenangkan.
My Favorite Scene:
Semua dari animasi yang digambar dengan cantik ini amat menyenangkan. Rangkaian montase yang sweet dan kocak sebelum babak kedua akan memberikan kita a whole new meaning dari phrase “try walk in my shoes”. Ini bukan soal si cewek ntar jadi tomboy, sedangkan yang cowok jadi feminin. It explores more. Kita akan menyaksikan apa yang tadinya kebingungan berubah menjadi kerja sama. Lovely!
Jika rajin ngikutin blog ini (TERIMA KASIH BANYAK! :D), kalian akan tahu bahwa hampir semua film tersebut sudah aku review, so yea, fell free to hit the search button. Aku yakin beberapa dari film dalam daftar delapan-besarku belum banyak yang kalian tonton. Karena memang film-film tersebut just fly off the radar, malah tidak semuanya sempat ditayangkan di bioskop sini. Apa yang mau kubilang adalah; masih banyak yang bikin film-film bagus. Mereka tidak ‘terlihat’ karena kalopun sempat masuk ke bioskop, they got tanked karena yang nonton cuma sedikit. In fact, banyak film bagus – luar maupun dalam negeri – yang suffer from keignorant kita. Jadi, berhentilah menonton film-film horor jump-scares atau komedi bego (jorok pula!) atau drama kacangan yang hanya jualan jalan-jalan. Dan ketahuilah, kita enggak akan pernah dapat film adaptasi video game yang bagus. Pilihan dan sambutan penontonlah yang menentukan apa yang bakal tayang. Aku pun feel bad nonton film bagus yang enggak tayang dengan ngedonlot because I really want to support them.
Semoga di tahun 2017 nanti, film-film bermutu mendapat tempatnya yang layak di layar bioskop!
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are…
Tidak ada yang bersuara ketika tiga penduduk desa yang tertuduh sebagai pemeluk katolik, disalib di atas karang yang digempur keras oleh ombak. Warga yang lain menatap dari balik ujung tombak pasukan Jepang yang berbaris, sama diamnya. Begitu juga Father Rodrigues dan Father Gorupe yang menyaksikan semua penyiksaan dari balik rimbunan semak. Bungkam oleh ketakutan, segala aksi dan rasa tersenyap. Kecuali satu yang berdering keras di dalam hati masing-masing, terutama di dalam jiwa yang dilatih putih suci Father Rodrigues; Keraguan. Benarkah Tuhan akan meringankan derita mereka, atau apakah siksaan mereka sia-sia belaka? Apakah mereka suffer atas nama Tuhan yang mereka yakini atau tiga orang Jepang Kristen itu sesungguhnya sedang mengorbankan diri mereka demi keselamatan dirinya dan Gorupe?
Silence, didirect oleh salah seorang sutradara terbaik yang hidupnya masih terus didedikasikan untuk membuat film klasik yang fantastis hingga sekarang, akan membawa kita on middle ground ke Jepang jaman feudal, tepat di tengah-tengah perang agama. Pengikut ajaran Kristen diburu. Para Father ditangkap, disiksa, hingga tidak ada lagi pilihan selain menanggalkan keimanan mereka. Father Rodrigues dan Father Gorupe datang dari Portugis karena mereka mendapat kabar tentang guru mereka, Father Ferreira, tertangkap penguasa di Nagasaki. Mereka mendengar simpang siur; apakah benar Ferreira sudah denounced his Christianity atau apakah dia masih hidup at all. Dalam film ini kita akan mengikuti kedua Jesuit muda tersebut mencari keberadaan guru mereka sembari berusaha menolong sebanyak mungkin penduduk Jepang yang menganut Kristen di bawah tekanan dan siksaan yang berat. This is a VERY STAGGERING FILM. Kita akan struggle banget menontonnya. It is so difficult. Bukan karena film ini cukup sadis secara fisik. Juga bukan karena film ini durasinya panjang banget. Tetapi karena film ini akan menyayat-nyayat hati kita secara emosional.
Menelaah dengan sangat kuat soal krisis keimanan yang dialami oleh seseorang. Apa yang orang lakukan ketika kepercayaan dan keimanannya mendapat cobaan yang mahadahsyat. Meskipun mungkin bukan pemeluk agama yang diceritakan, kita semua bisa put aside our personal belief selama dua jam setengah lebih untuk menikmati filmmakingnya. Kita semua bisa merelasikan diri kepada film ini dalam tingkatan bahwa ini adalah cerita tentang orang-orang yang mengimani apa yang yang mereka yakin, that mereka memeluknya dengan teguh, tidak akan membiarkan apapun yang menghalangi mereka dari yang mereka percaya tersebut.
Beneran deh, it’s emotionally gutting melihat orang-orang tercabik dari faithnya seperti yang digambarkan oleh film ini. Father Rodrigues, awalnya kita melihat dia sebagai seseorang yang sangat kuat-iman. He has the upmost faith you could possibly have in God. Dan begitu film berakhir, kita sudah menyaksikan tokoh ini terjun sampai ke dasar paling bawah secara emosi. Dihadapkan pada pernyataan agama yang ia bawa, kebenaran yang ia ajarkan, tidak cocok untuk diterapkan pada ranah ‘rawa’ Jepang. Namun Rodrigues tidak bisa menerima pernyataan tersebut karena if he accepts that statement, itu berarti dia mengakui kebenaran yang ia bawa bukanlah kebenaran bagi semua orang seperti yang selama ini dia imani. Itu berarti dia meragukan agamanya sendiri.
Ini adalah CERITA YANG SANGAT KOMPLEKS bagi kedua belah pihak; Rodrigues dan Jepang. It’s not like Jepang tidak punya toleransi sama sekali, as in kekerasan dan siksa itu datang dari mereka. Mereka brutally violated penduduk agar mau meludahi salib dan menginjak gambar Tuhan mereka sebagai bentuk denouncing faith di muka publik. Adalah aksi converting yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Jepang. They just want to show their pride and love kepada faith mereka. Bahwa gara-gara kepercayaan asinglah mereka sesama saudara tanah air menjadi terpecah belah.
talk about penistaan agama huh
Toleransi, ya, bisa jadi jawaban. Tapi sekarang kata tersebut sudah mengalami penurunan arti, digunain begitu saja agar sama-sama senang. Toleransi bukan berarti “apa salahnya ngikutin apa yang dilakukan orang lain”. Kita bisa ikut merayakan hari kebesaran agama lain as along as hati kita tetap beriman kepada agama sendiri, but that is a weakest form of faith. Mungkin tidak banyak yang suka film ini karena membuat diri kita merasa seperti Kichijiro, while tokoh ini easily come off sebagai pengecut yang cari aman. Open minded, bertoleransi, dan punya keyakinan adalah seperti Father Ferreira. Persisnya seperti apa? Go figure out yourself
Tidak seperti Sausage Party (2016) yang merupakan satir soal kepercayaan, Silence dengan a lot of respect kepada penonton, mengambil jarak secukupnya. It doesn’t judge,and tidak menggiring kita untuk melakukannya. Yang Silence lakukan adalah menghujani kita – yang terpatri oleh cerita – dengan batu-batu pertanyaan. Kita bakal mengalami sensasi krisis tanpa diberikan pencerahan mana yang baik dan mana yang buruk. Kita akan melihat hamba Tuhan diuji. Kita akan melihat ia menderita for his belief, for things he treasured the most. Dan di titik inilah Silence berbicara banyak. Apakah iman kita tidak berarti apa-apa jika kita tidak diuji – apakah hidup kita meaningless jika kita tidak pernah menderita karena sesuatu yang kita percaya atau cintai? Dan tentu saja, arti mendalam tentang kata ‘silence’ itu sendiri; apakah absennya tindakan kita atau absennya Tuhan? Atau, diam karena kita sedang berdialog dengan Tuhan. Ada beberapa adegan yang menggambarkan Rodrigues dalam diamnya bicara dengan suara Tuhan. Yang membuat kita bertanya-tanya apakah diam hanya arogansi Rodrigues belaka? Secara konstan dia ‘membandingkan’ kondisinya dengan Tuhan, sementara orang-orang desa yang disiksa hingga mati tidak pernah meminta ‘dibandingkan’ dengan juru selamat.
Meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan.
Martin Scorsese mengarahkan film ini dengan sungguh luar biasa. Bekerja sama dengan sinematografer yang ngegarap The Wolf of Wall Street (2013), Scorsese memastikan apa yang ditangkap lensa semuanya gorgeous. Kalian akan suka mencermati film ini jika punya rasa penasaran gimana setiap adegan disyut. Yang paling remarkable dari pengambilan gambarnya adalah gimana mereka sebagian besar waktu bekerja pada environment yang tertutup. Adegan film ini kebanyakan berlokasi di pondok kecil yang gelap, di daerah hutan yang terpencil, atau di sel penahanan. Tidak pernah Scorsese salah langkah dalam menjalin cerita. Sudut pandang penceritaan benar-benar dihadirkan compelling dan sangat intens. Kita dibuatnya bereaksi dan merasakan yang dialami oleh seseorang yang dealing with an extreme crisis of faith.
This movie brought to life by many fantastic performances.Adam Driver sebagai Father Gorupe dan Andrew Garfield sebagai Father Rodrigues menyuguhkan penampilan yang amazing. Dalam tahun yang penuh oleh penampilan yang sangat baik, Andrew Garfield kembali bersinar dalam film ini, dan sekali lagi sebagai seorang yang taat beragama. Yea, walaupun dia enggak selalu taat sama aksen portugis yang supposedly dimiliki oleh tokohnya. Liam Neeson, yang bermain sebagai supporting role, was also very very good. Dan tokoh yang ia perankan teramat kompleks.
Spiderman dan Kylo Ren lagi nyari Qui-Gon Jinn
Staggering film yang menantang bukan hanya keimanan dan kepercayaan, tetapi juga menantang intelektualitas penonton. Bikin frustasi at times, gutting our emotion completely, it is a really complex movie. Tidak heran jika banyak orang yang ngerasa hard to come by apa yang disampaikan oleh film ini, thus membuatnya susah untuk disukai. Personally, aku heran juga kenapa film ini enggak masuk nominasi Best Picture Oscar 2017. Setelah menontonnya, aku jadi kebayang sedikit alasannya kenapa. Sesungguhnya, film yang luar bisa unconventional ini adalah jenis film yang mesti ditonton dan disupport oleh orang-orang yang benar menyintai film. Karena di atas itu semua, ini adalah filmmaking yang sangat remarkable; arahan luar biasa, akting fantastis, beautifully shot – salah satu film tercantik Scorsese, penulisan yang begitu cakap, editing yang perfect. The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for SILENCE.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners And there are losers.
“Tradition is not to preserve the ashes, but to pass on the flame.”
Tradisi enggak berarti banyak jika tidak ada lagi yang mengapresiasi, begini kiranya kemelut hati Kho Huan. Jadi buat apa disimpan?
Hari itu, tiga penghuni rumah-merangkap sanggar kesenian Kho Huan kedatangan tiga surat. Surat buat dirinya, ia biarkan begitu saja. Cuma undangan lomba barongsai, lagi. Kho Huan sudah lama jengah sama kesenian tradisional tersebut, beliau menyalahkan barongsai atas kepergian istrinya, dan tontonan musiman itu juga semakin hari semakin seret ngasilin duit, selain dengan dijual. Padahal Kho Huan – sekarang nekunin usaha bikin furnitur kayu – butuh banget duit, supaya putranya, Aguan, bisa menjawab surat dari Universitas di Singapura. Aguan lagi cengar-cengir melototin selembar jawaban mimpinya. Mereka berdua tidak ada yang peduli isi surat tunggakan spp dari sekolah untuk adek cewek Aguan yang masih SMA, karena Ai memang menyembunyikan suratnya.
The Last Barongsai adalah cerita tentang struggle satu keluarga keturunan Tionghoa hidup di Tangerang masa kini, yang mana terkadang cuma mimpi dan tradisi yang jadi harta berharga. Drama film ini mulai mengambil tempat sesegera mungkin setelah Aguan tahu dari adeknya – dalam sebuah adegan sparring kungfu ringan (atau tai chi?) yang so subdued namun somewhat intens – bahwa ayah mereka menolak undangan lomba barongsai dengan alasan kompetisi tersebut tidak bisa menerbangkan Aguan ke Singapura. Mengerti betapa besar arti barongsai bagi mereka, Aguan sets out ngumpulin kembali para pemain sanggar mereka buat ikutan lomba. Dan ini membuat Kho Huan marah. Ini adalah KONTES SENGIT ANTARA REALITA DAN TRADISI. Melihat keluarga ini worked out their problems lewat banyak teriak dan air mata bisa menjadi sangat menyentuh, terutama menjelang akhir. Drama keluarga ini sebenarnya capable to floored us berkat konfliknya yang grounded.
Jika kita ngestrip down kepada karakter-karakternya, The Last Barongsai adalah film berlapis dengan penokohan yang cukup kuat dan dihidupkan oleh performances para tokoh yang secara seragam bagus. Terutama Kho Huan yang cintanya dimakan barongsai dan Ai, the left-out daughter. Kita bisa lihat sebenarnya Kho Huan sangat menyayangi anaknya, kita bisa rasakan konflik perasaannya. He just can’t rely on barongsai anymore, dia benar-benar kerja keras bikin furniture kayu sambil sesekali ngesabotase latihan Aguan dan tim. Tyo Pakusadewo benar-benar mengangkat film ini dengan penampilannya yang berapi-api.I like how he just snap his heart out di meja makan. Di akhir cerita kita jadi ikutan tenang saat Kho menemukan cintanya yang hilang, berkat anak-anaknya. Ai diperankan oleh Vinessa Inez dengan sama berapinya, but she’s like more contained. Dia begitu ingin buktikan diri bisa ngelebihin kakaknya, but even the thought of that membuatnya semakin merasa neglected. Dia kayak ingin menjerit tapi tidak tahu ke siapa. Sedangkan karakter Aguan, pertama-tama aku enggak bisa nangkep arahnya ke mana. Dion Wiyoko terasa bermain lebih datar di sini. Baru di pertengahanlah aku realized dia adalah karakter yang salah-dimengerti. His frustration connects with us, loud and clear.
Dalam film ini kita juga melihat beberapa penampilan spesial. Beberapa mereka muncul tidak hanya sebagai cameo namun adalah kehadiran yang actually important. Mereka memberikan pelajaran buat karakter-karakter lead, dan tentu saja kepada kita yang nonton. Penampilan komedik yang hadir pun tidak pernah terasa mengambil alih. Film ini ngehandle tone emosional drama dan komedi dengan sangat mulus, tidak terasa episodic. Meskipun ada juga penampilan spesial yang enggak benar-benar add something kepada cerita, it was just like “hey, aku yang main di drama remaja terkenal itu loh, I’m relevant so I’m gonna make this movie relevant too with my presence”
itu oplet mandra?? Oh aku honestly seneng ngeliatnya masih bagus
Salah satu penampilan spesial tersebut adalah dari pemilik rumah produksi, Rano Karno. Bermain sebagai teman Kho Huan sesama battered-down seniman, Rano Karno adalah kontras dari tokohnya Tyo. Lewat tokohnya, film sedikit menyentil soal terkadang kita harus menyerah dan mulai mengerjakan apa yang orang-orang mau alih-alih keinginan kita, meskipun itu hal yang susah untuk dilakukan. Film ini juga mematrikan kepada kita bahwa kehidupan yang beragam penuh toleransi itu sangat mungkin untuk dilakukan, seperti hubungan antara Aguan dengan rekan barongsainya yang diperankan oleh Azis Gagap. Benar-benar sebuah hubungan akrab yang based-on mutual respect.
Isu yang relevan yang berusaha diangkat, bahwa tradisi – apapun itu – selalu adalah prioritas. Kita tidak menyimpan, kita justru harus terus mengobarkannya. Dan adalah diversity sebagai tradisi yang harus kita pertahankan, because that’s what make us strong in the first place.
Hanya saja, all-in-all aku kecewa sama The Last Barongsai. Menurutku film ini tidak mencapai kemampuan bercerita yang maksimal. Padahal kita bisa lihat, film ini ngerti dan tahu menyelaraskan tone. Cerita dari tokoh Rano Karno yang sekarang nyesal jadi montir sesungguhnya intriguing. Backstory tokoh Azis tentang kenapa dia awalnya menolak main barongsai lagi dibeberkan dengan build ups. Ketika pada akhirnya kita learned alasan tepatnya kenapa Kho Huan enggak mau ikutan lomba meski butuh uang, momen yang tercipta terasa powerful. Film ini punya kemampuan untuk bercerita dengan subtle. Tapii, untuk sebagian besar waktu kita mendengar dialog-dialog yang ‘CEREWET’ OLEH EKSPOSISI. Kualitas dialognya, tho, terlihat seperti fokus penulisannya antara ingin terdengar ‘gede’ oleh kata-kata emosional, dengan buat jelasin semua sedetil-detilnya. I mean, apakah perlu kita mendengar gimana Aguan bisa dapet balasan surat beasiswa?
Kupikir ini ada hubungannya dengan cara film memperkenalkan kita kepada tokoh-tokoh minor. Eventually itu tentu berhubungan dengan cara film ini ngenalin ke kita akar konfliknya. Kita ngikutin Aguan bertemu mereka, satu per satu. Dan semua orang just telling him something, memberikan piece of information kepada Aguan. Adeknya jelasin situasi sang ayah. Pacarnya jelasin backstory dan konflik yang terjadi antara Aguan dengan ayah. Hengky Solaiman jelasin apa yang sebenarnya dirasakan oleh sang ayah. Bahkan ibu Aguan datang di dalam mimpi, dan jelasin ke kita apa yang dirasakan oleh tokoh si Aguan! And btw, mimpi Aguan tentang ibunya adalah TERMASUK SALAH SATU ADEGAN-MIMPI PALING JELEK yang pernah aku lihat. Enggak terasa emosional, enggak terasa surreal, enggak terasa apa-apa. Tujuannya murni eksposisi. Padahal bisa aja film ini membuat lampu di atas mereka duduk menyala sebagai simbol penanda Aguan sudah mengerti, bisa menjawab pertanyaannya sendiri, tanpa si ibu harus ngucapinnya dalam kalimat.
ubah tiangnya jadi deathschyte yang diayunkan oleh ibu Aguan or something!
Film ini just doesn’t trust us bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Mereka memberitahu terlalu banyak, alih-alih menggambarkan apa yang terjadi. Ada satu adegan di mana Azis bilang ke Aguan bahwa tadi Koh Huan mendatangi dirinya; Kenapa kita tidak melihat adegan tersebut? Kenapa film ini memilih menyampaikan informasi itu lewat kata-kata tak langsung alih-alih menyuguhkan kita adegan yang prolly emosional antara Kho Huan dengan Azis? Juga adegan ketika Aguan duduk disemangati oleh ayahnya, beliau bilang bisa melihat Aguan melatih tim dengan hati. Why we never see that scene!? Adegan latihan di mana Aguan pouring his heart adalah adegan yang perlu kita lihat karena penting untuk showing us the character, namun film ini memutuskan cukup dengan kata-kata saja.
Elemen kompetisi dalam cerita memang mesti ngalah sama porsi drama, tapi tidak berarti juga harus kehilangan greget. Problem lain dari The Last Barongsai adalah dia terlalu meminta untuk kita terus merasa kasihan sama tokoh-tokoh. Or even the film takes itself too seriously, untung saja tidak menjadi terlalu depressing. Kita tidak lagi merasakan fun dan semangatnya mereka bermain barongsai. Montase saja tidak cukup. We need more hook. Kita perlu merasa terlibat sebagai bagian dari tim mereka. Tentu saja nggak jelek juga kalo Dion Wiyoko, Tyo Pakusadewo, dan Azis Gagap diliatin latihan gerakan barongsai yang susah beneran, daripada ngecut adegan dan cuma bilang “g-g-g-gerakannya susah, s-s-sih!”. Padahal film ini sempat nanamin sedikit obsctacle, seperti Azis yang mules sebelum final, namun ternyata poin tersebut tidak pernah dibahas lagi. Akibatnya memang elemen barongsai tersebut menjadi jadi gak greget dan mundur sebagai tak-lebih dari latar saja.
Editingnya kadang terasa off juga. I don’t know what happens sama warna di kamar Ai, sih, mungkin saja intentional. Akan tetapi, ada satu shot adegan yang aku suka banget; ketika Aguan dan pacarnya ngobrol di jembatan dan di bagian dengan pinggir atas layar, melintaslah pesawat. Momen yang sangat precise, klop dengan dialog yang mengudara saat itu.
Seharusnya bisa jadi selebrasi tradisi, akan tetapi film ini lebih memilih untuk gempita berkata-kata. Yang hanya menjadikannya eksposisi saja. Bukan berarti ini film yang jelek, it’s a watchable movie untuk ditonton bersama keluarga. Tidak tampil terlalu depressing, film ini adalah keseimbangan yang hangat antara drama emosional dengan komedi. It has the capability untuk bercerita dengan proper, yang kadang muncul malu-malu. Film ini enggak konsisten. Arahan sayangnya tidak membantu apa-apa bagi film ini supaya bisa tampil pe-de menjadi spesial. The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LAST BARONGSAI.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
Kenangan itu kayak lautan, kita berlayar di atasnya. Terombang-ambing. Kadang membawa perahu pikiran kita maju, kadang kita harus berenang dan menjadi tangguh. Kadang kita tenggelam di dalamnya. Or worse, kita membiarkan diri tenggelam di dalam pusaran kenangan sedih menuju lubang penyesalan tanpa dasar.
Itulah yang dibicarakan oleh Manchester by the Sea. Kita bisa mengartikan adegan pertamanya – perahu berlayar penuh canda mengenai sebuah pilihan – sebagai simbol yang dengan efektif ngeset mood (atau kecurigaan) bahwa film ini tidak bisa dipastikan akan berakhir bahagia, sebagaimana air tidak akan selalu setenang itu.
Benar saja, dengan segera pemandangan kita dikontraskan oleh kehidupan Lee Chandler. Seorang tukang reparasi merangkap janitor apartemen yang kurang begitu ramah. Dia kelihatan sama tidak sukanya diajak ngobrol oleh orang lain saat bekerja ataupun saat dia minum di bar. Lirikan kecil mengundang tinju Lee mendarat di hidung orang asing. Kenapa Lee begitu antisosial, dia lebih suka dibiarkan sendiri, terus disembunyikan oleh film. Sampai ketika Lee mendapat kabar bahwa kakak laki-lakinya meninggal dunia akibat penyakit jantung. Mendadak saja, Lee harus balik ke Manchester dan menangani segala tetek bengek ‘peninggalan’ sang abang. Termasuk ditunjuk menjadi wali yang sah atas keponakannya. Tentu saja ini adalah skenario yang buruk bagi kehidupan-tertutup Lee. Dan as Lee berusaha menyabotase dirinya keluar dari arrangement yang digariskan oleh abangnya, kita akan mulai discover masa-lalu yang sangat heartwrenching tentang Lee. Gimana ternyata perilaku-perilaku buruk tersebut bukanlah bawaan dia sedari lahir.
Film ini did a very good job mencamkan image pria penyendiri yang kasar kepada sosok Lee Chandler. At first, he’s just so impossible untuk disukai. Juga misterius. Joe, almarhum abangnya, tidak pernah menjelaskan kenapa dia mempercayakan Lee sebagai wali anaknya, Patrick, meskipun memang Lee dan Patrick akrab sedari Patrick kecil. But this is clearly a very broken Lee now. Kita tahu Lee punya ‘reputasi’; orang-orang di hometownnya tersebut saling berbisik dan mendelik setiap kali melihat Lee lewat atau mampir nyari kerjaan di kantor mereka. Film ini sungguh berani mempercayakan kepada kita para penonton untuk terus ngikutin Lee, karena untuk waktu yang panjang kita akan bertanya-tanya sendiri kenapa kita harus peduli kepada karakter ini. Tiga-puluh-menit pertama aku bahkan tidak yakin arah film ini ke mana. Akan tetapi, begitu kita sudah belajar alasan kenapa Lee sungguh membenci hidupnya, keseluruhan film akan membuka sebagai suatu tontonan DRAMA YANG KUAT LAGI MANUSIAWI. Film ini menyapu emosiku, I was blown away oleh karakter-karakternya yang terasa nyata. Konflik mereka, apa yang mereka hadapi, terus saja terbangun dan akhirnya menumpuk, memberikan bobot pada hati. Dan tidak sekalipun drama dan tensi tersebut terasa dibuat-buat demi memancing rasa sedih dari kita.
Manchester tepi laut, siapa suka boleh ikut
Kehadiran formula karakter pada Lee dan Patrick bakal membuat kebanyakan film Hollywood bernafsu untuk membahas hubungan yang terjalin antara broken man dengan remaja-penuh-kehidupan, di mana mereka akan saling mengubah sikap satu sama lain. Namun dalam Manchester by Sea, sutradara sekaligus penulis skrip Kenneth Lonergan lebih tertarik mendalami pergulatan emosi dan derita yang dialami oleh seseorang seperti Lee. It doesn’t necessarily has a plot, even. Paman dan ponakan ini sama-sama berduka, mereka sebenarnya mengerti problematika masing-masing, dan itu tergambar jelas dari bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Dengan fokus demikian, film ini berhasil menghidupkan karakter-karakter sehidup-hidupnya. Seoverconfidentnya Patrick, Lucas Hedges tidak pernah menjelmakan perannya tersebut sebagai remaja yang annoying. Filmnya TOUGHT TO WATCH, tetapi karakter-karakter yang terus memberikan kita tumpangan emosi yang powerful membuat kita tidak pernah merasa cukup. Biasanya kita sudah bosan duluan melihat atau menyadari durasi film yang sampe dua jam. Buatku honestly, aku bisa menonton enam jam film dengan karakter so well-realized seperti ini.
Penampilan para aktor juga teramat heartwrenching. Bantering mereka, momen-momen emosional mereka, dan sometimes momen yang membuat kita tertawa kering, terdeliver dengan mulus dan very believable. Peran sebagai Lee Chandler definitely adalah kerja terbaik dari Casey Affleck. Tidak salah kenapa ia bisa masuk nominasi Aktor Terbaik, malah aku bisa lihat dia memenangkan penghargaan itu, berkat penampilannya yang begitu subdued. Emosinya tersirat dalam-dalam. Kata-katanya tidak mengatakan apapun soal apa yang ia rasakan, apalagi menyuruh kita untuk merasakan apa yang seharusnya disampaikan. Penampilannya lebih menekankan kepada apa yang tidak ia katakan. Kita justru membaca emosi dalam diamnya. Pergerakan kecil gestur, perubahan ekspresi wajah, hal tersebutlah yang justru meledak-ledak dari penampilan Affleck memainkan tokoh Lee.
Kesedihan yang amat mendalam membuat Lee menutup diri. Dia merasa bersalah atas apa yang terjadi. Adegan mimpinya di babak ketiga menunjukkan bahwa Lee doesn’t trust himself berada di sekitar orang lain. Bahwa dia adalah manusia yang lemah, he can’t beat it. Ada banyak scene yang mengindikasikan Lee seorang peminum berat, and he hated himself for being weak dan selalu resort ke kebiasaannya itu eventhough itulah penyebab utama tragedi masa lalunya. Itu juga sebabnya kenapa Lee despises ibu Patrick so much. Ini adalah cerita tentang seseorang yang memilih berkubang dalam kesedihan, karena terkadang selain our personal demon, hanya kesedihanlah yang kita punya.
Percakapan-percakapan dalam film ini ditulis dan dimainkan sedemikian rupa sehingga kita seolah sedang nguping pembicaraan orang yang sangat intens alih-alih melihat sebuah tontonan drama. Adegan menjelang akhir film di mana Lee tidak sengaja ‘reunian’ dengan Randi, mantan istrinya (Michelle Williams enggak muncul banyak, tapi she’s managed setiap penampakannya begitu berarti). Percakapan mereka perfectly menggambarkan gimana kedua orang yang berusaha move on dari hidup yang penuh luka, but deep inside they just can’t. Membuatnya semakin heartbreaking adalah tidak satupun dari mereka berdua mampu mengutarakan sesak di dada, Randi bursts apart penuh sesal sementara Lee menolak to connect with all emotions dengan nyaris berkata-kata. Ini adalah momen paling bikin terenyuh as kedua aktor bener-bener touched us lewat penyampaian mereka yang masterful.
“Kok tangannya diperban?” / “Luka.” / “Oh.”
Film adalah tentang kehidupan, namun tidak semua bagian kehidupan layak untuk difilmkan. You know, films tend to skip over the boring parts of the day di mana kita ngobrol basa-basi atau nanganin hal-hal biasa yang enggak signifikan. Manchester by the Sea, dalam rangka menyuguhkan drama bersubstansi semanusiawi dan senyata yang ia bisa, nekat menerobos garis pembeda antara film dengan kehidupan tersebut. Dan film ini adalah kasus langka di mana hal-hal basic itu worked dengan sangat hebat. Situasi drama dalam film ini dipancing oleh masalah sehari-hari; Lee lupa parkir mobil di mana, Lee ngurusin paperwork pemakaman, berdebat dengan Patrick yang enggak mau jasad ayahnya dimasukin ke freezer sementara menunggu salju mencair, nanganin masalah biaya kapal. Kita akan ‘dihibur’ oleh dialog-dialog sepele tapi jadi important berkat karakter dan timing mereka. Kita pun tidak lagi mempermasalahkannya karena kita begitu hooked untuk melihat apa yang terjadi kepada mereka berikutnya. Kamera menangkap remeh temeh semacam pintu mobil yang kelupaan dibuka kuncinya atau pemain yang kesusahan mengangkat roda stretcher, dan Kenneth Lonergan membiarkan hal tersebut included, menjadikan film ini lebih grounded evenmore. Semua elemen menyatu mulus, film ini bahkan tidak terasa seperti film dengan babak satu-dua-tiga yang biasa, semuanya ngalir kayak kejadian beneran gitu aja.
Yang juga menarik adalah gimana film ini menangani penceritaan backstorynya dengan cara yang tidak biasa. Kita tidak diberikan batasan jelas mana yang flashback mana yang present. Film ini tersusun atas adegan-adegan pendek dan panjnag dengan TIME SEPERTI MOSAIK RANDOM. Kadang setelah beberapa adegan, baru aku sadar sedang nonton potongan adegan yang cukup panjang dari kenangan Lee. Pembedanya cuma antara sifat Lee yang ceria dan rambut Lee yang lebih berantakan. In that way, film ini sekali lagi percaya bahwa penonton mampu memilah adegan tanpa harus dikasih tahu dengan gamblang. Penonton tidak diremehkan, kita dipercaya bisa menangkap petunjuk-petunjuk dan menyatukan elemen-elemen cerita yang terjadi. Kita dipercaya bisa memahami apa yang terjadi meskipun tidak bisa mendengar percakapan di ujung lapangan hoki, misalnya. Sehingga pada akhirnya efek emosi yang kita rasakan akan berlipat ganda.
Jika kalian tertarik dengan dunia akting, penampilan Casey Affleck, Michelle Williams, atau Lucas Hedges saja akan ngajarin banyak tentang performance yang sangat subdued lagi emosional. Walaupun pacingnya lumayan lambat dan tiga-puluh-menit pertama membuat kita cukup terombang-ambing, tapi ini sesungguhnya adalah film dengan penceritaan yang berani. Mempercayai kita untuk menyelam sendiri ke dalam ceritanya. Untuk kemudian dibenturkan gently oleh konflik-konflik yang timbul secara manusiawi soal grief dan vulnerablenya interaksi sosial dunia-nyata. Well directed, well-written, tragedi dan komedi adalah apa yang ditekankan oleh drama realita film ini. The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for MANCHESTER BY THE SEA.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners And there are losers.
“Only through recognizing and accepting our inner wounds can we find true healing.”
We are all have been there before, right? Dikucilkan, dibully, enggak ada yang mengerti kita, ngerasa kita begitu berbeda sama yang lain, kayak makhluk asing, you know, kayak lagu dari Simple Plan. Aku sendiri waktu SD sering pulang sekolah dikejar-kejar. At first, teman-teman memang lagi nyari pemeran yang cocok untuk jadi atlet main smekdon-smekdonan; untuk peran babak-belur, of course. But then they just enjoyed chasing me around, even aku sendiri pun jadi suka. Aku memang enggak cepat, tapi aku lihai sembunyi di mana saja. Lama-lama itu jadi permainan yang mengakrabkan kami. Poinnya adalah, growing up jadi hal yang sulit karena kita naturally ingin mengidentifikasikan diri. Dan proses itu semua bergantung erat sama lingkungan kita bertumbuh. Beberapa anak mengalami masa-masa yang lebih berat ketimbang anak-anak lain.
Film Moonlight, however, bukan sekadar film ‘find-who-you-are’ yang biasa. It’s not cerita angst ga-jelas either. Ini adalah cerita yang sangat humane, dengan drama yang dead-fokus kepada karakter. MEMISAHKAN CERITA MENJADI TIGA BAGIAN, MOONLIGHT ADALAH PERJALANAN HIDUP Chiron dari dia kecil, kemudian saat dia remaja di sekolah, hingga menjadi dewasa. Dalam detil yang begitu excruciating, kita akan melihat gimana sulitnya Chiron hidup dan tumbuh di dalam lingkungan yang very harsh, gimana dia eventually menjadi dewasa dengan belajar mengerti siapa dirinya sementara dunia sekeliling tidak paham dan tidak menerima dirinya.
In regards to identifying the story, you know, I’m very pleased to discover tentang apa film ini sebenarnya. Maksudku, perjalanan yang sangat emosional yang ditempuh oleh Chiron itu diceritakannya dengan menggugah. Kita akan dibuat terenyuh melihat Chiron menyadari apa-apa mengenai dirinya. Film ini dengan perfect menangkap lingkungan keras tempat Chiron tinggal, urban Miami actually terasa in-the-moment karena di luar sana memang banyak anak kecil yang tumbuh di dalam lingkungan seperti demikian. Dan film ini menangkap segala momen dan emosi dengan tanpa menjadikan ceritanya klise. Aku belum pernah menonton film dengan denyut storytelling sespesifik ini; cowok kulit hitam yang tumbuh di lingkungan yang keras, dia menyaksikan sekitarnya sangat, katakanlah enggak-normal, dia harus belajar how to live with that, dan sementara itu dia juga menyadari something about himself, dia harus belajar gimana mengapresiasi sisi tersebut, namun a lot of people just don’t accept who he is.
“No, you don’t know what is liiike. Welcome to my life!~”
Banyak yang membandingkan Moonlight dengan Boyhood (2014). Keduanya dengan menakjubkan sama-sama menelaah kehidupan, pertumbuhan seseorang dari kecil hingga dewasa. Namun bagiku, Boyhood terasa ada yang kurang, enggak tahu juga mungkin terlalu fokus ke gimmick apa gimana. Moonlight adalah apa yang sebenarnya aku harapkan ketika nonton Boyhood. Penceritaannya luar biasa. It is such an intimate movie yang mengeksplorasi dengan stunning gimana susahnya bagi seseorang tumbuh pada lingkungan yang tidak mengerti dirinya.
Tidak sepertiku, Chiron kecil dikejar-kejar bukan hanya karena dirinya bertubuh paling mini di sekolah. Dia noticeable paling happy di pelajaran nari. Temannya bilang dia negro yang ‘soft’. Ibunya sendiri menyindir cara Chiron berjalan. Little, begitu anak-anak di sekolah memanggilnya, mulai menyadari things about himself meskipun saat itu dia belum mengerti. Babak pertama cerita revolves around Little yang ‘diselamatkan’ oleh Juan (dimainkan singkat tapi sungguh berkesan oleh Mahershala Ali). Ini adalah babak penting dalam cerita karena kita melihat Chiron merasa lebih nyaman berbicara – dalam kapasitas anak pendiam – kepada Juan ketimbang kepada ibunya sendiri. Dalam hidupnya, Chiron tidak punya father figure dan dia enggak bisa benar-benar look up kepada ibunya yang seorang pecandu drugs. Chiron berusaha menemukan sosok orang di mana dia bisa merasa comfortable, tetapi semakin dia bertambah usia hal tersebut menjadi semakin susah baginya. Sebabnya ya lingkungan keras tadi itu; he just feels separated from everyone else around. Chiron learns semua orang ternyata ‘punya masalah’. Act kedua film menjadi babak yang paling psyhically intense, kita lihat Chiron muda resort ke kekerasan dalam upayanya merasa lebih baik or even to think violence as a way to fit in.
Sungguh susah bagi kita untuk melepaskan diri dari cerita Moonlight. It was filmed in such a raw way dengan kerja kamera yang amat fascinating. Tidak sekalipun adegan-adegannya terasa misplaced. Arahan tingkat dewa lah, pokoknya. Penampilan akting dalam film ini, oh boy, mereka semua almost too good to be true. Ketiga pemain yang jadi Chiron; Alex R. Hibbert, Ashton Sanders, Trevante Rhodes, mereka semuanya luar biasa excellent. Sebenarnya film dengan tiga bagian cerita seperti ini gampang untuk jadi terasa episodic. Bagi Moonlight, that was never the case. There is never a case! Setiap babak usia menambah layer kepada pribadi Chiron dengan sama realnya. Masing-masing pemeran berhasil memberikan perspektif yang sukses ngefek dalam membangun karakter Chiron. Apalagi di babak ketiga, ketika Chiron datang bertemu seorang teman lama, teman yang not expecting what Chiron turns out to be. Adegan di diner menjelang akhir film genuinely terasa kayak kejadian beneran yang unfolding di depan mata kita. It was STUNNING, MATURE, DAN SANGAT POWERFUL.
There’s nothing “sawft” about this movie
Sutradara Barry Jenkins sepertinya memang paham betul soal bahwa hubungan antarmanusialah yang ultimately membentuk siapa kita. Arahannya menyeimbangkan dialog-dialog penuh makna dengan visual yang lantang oleh emosi. Meskipun semua pemainnya black, ini bukan necessarily film dengan suara yang loud. Film ini tahu kapan saatnya ngomong dan kapan waktu yang tepat berekspresi dengan tanpa suara. Ada banyak adegan karakter saling tatap yang begitu deep-in-the-feel, seperti saat Little menangkap pandangan Juan yang baru saja memberitahunya soal kerjaan yang Juan lakukan, ataupun saat Chiron dan Kevin duduk di pasir pinggir pantai. Semua pemain beserta peran mereka bersinar di dalam cahaya film ini, bersinar biru so to speak.
Paralel nama Chiron tidak hanya pada nama centaurus yang berbeda dari kumpulannya di dalam mitologi. Dalam astrologi, Chiron adalah komet yang melambangkan luka terdalam; derita yang tak kunjung-pergi, dan usaha kita untuk menyembuhkan luka tersebut. Moonlight adalah cerita-tiga-bagian tentang Chiron yang tumbuh dengan penuh derita masa kecil, that he tries to explore that, yang meski membuatnya tampak ‘tangguh’ setelah dewasa; luka tersebut tidak pernah bisa sembuh sepenuhnya.
Kata orang, ngereview itu nyari-nyari kekurangan film. Well, benar demikian sih, reviewer kudu point out secara jujur flaws yang ditemukan. But keep in mind, movie adalah ide. Dalam gagasan tidak ada masalah benar atau salah – it’s about apa yang worked dan enggak worked di dalam penceritaannya. Supaya film, in general, bisa makin terus berkembang. Jadi itu jualah yang kulakukan saat nonton Moonlight. Aku terus membuka mata lebar-lebar untuk mencari hal yang menjatuhkan. Aku terus menunggu seseorang mengatakan hal yang bego. Aku terus melek mencari kemunculan subplot horrible atau elemen yang bosenin dari tiga bagian ceritanya. Dan aku tidak menemukan apa-apa. Biasanya kan kita sering, tuh, nonton film yang mestinya bisa bagus banget namun di tengah filmnya make a really stupid choice demi jadi mainstream atau apa. Tahun 2015 ada film Dope yang juga berpusat cowok kulit hitam yang not fit in dengan lingkungan yang keras, sayangnya film tersebut dengan cepat menjadi cerita kehidupan ‘hood’ yang biasa. Momen-momen jelek yang kutunggu tidak pernah muncul dalam Moonlight. Again, everything shines in this film.
So well-realized, visi ceritanya tergambar tanpa cela pada layar. Film ini benar-benar punya pesan tanpa terasa membombardir moral kita dengannya. Ini adalah penceritaan yang sangat dewasa. Easily, salah satu film terbaik di 2016. Menelaah dengan stunning gimana susahnya tumbuh dalam lingkungan yang tidak ada satupun yang mengerti diri kita. Tidak ada ada satu elemen pun yang terasa out-of-place dalam tiga bagian kisahnya. Penuh oleh penampilan yang genuinely feel so real. Arahan dan editing yang luar biasa dari mulai sampai habis. This is a masterwork! The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MOONLIGHT.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
“Action speaks louder than words, except mine, my words are pretty awesome.”
Untuk sebuah film yang judulnya menyuruh kata-kata tidur siang, Istirahatlah Kata-Kata benar-benar punya sepatah dua patah sesuatu untuk disampaikan. Dan dia enggak bohong, kata-kata bisa ongkang kaki, sebab film ini adalah selebrasi dari tutur visual. Segala yang terpampang di layar berkoar bahasa sinematik, mengajak setiap pasang mata yang menonton untuk mengalami langsung apa yang sedang berusaha untuk diceritakan.
Action speaks louder than words. Kecuali kata-kata Wiji Thukul. His words are pretty awesome. Buktinya puisi-puisi karangan penyair asal Solo ini sukses bikin rezim Orde Baru Suharto ketakutan. Puisi-puisinya yang tentang rakyat kecil, mengobarkan semangat kebangkitan. Baca saja karya yang berjudul Peringatan. Namun itu belum cukup, kita tidak bisa mengubah dunia dari depan komputer – atau mungkin mesin ketik, di jaman Wiji Thukul merangkai kata. Jadi dibentuknya Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai aksi langsung menuntut demokrasi. Dan jadilah Wiji Thukul sebagai pelanggar hukum, kala itu tidak boleh ada partai keempat. Wiji Thukul hidup sebagai buronan militer, dia angkat kaki dari Solo meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Oke, sampai di sini marilah kita biarkan film Istirahatlah Kata-Kata mengambil alih kisah kehidupan seorang Wiji Thukul. Karena film tersebut menceritakan celoteh sejarahku di atas dengan jauh lebih efektif dan simpel; cukup lewat satu adegan kompor dengan teks singkat di atas gelegaknya. Mulai dari sini, biarkanlah film membawa kita menyimpang sedikit dari ranah sejarah, sebab ini bukanlah biografi, apalagi dokumenter. Sutradara Yosep Anggi Noen tidak membuat film ini sebagai sebuah rangkuman peristiwa sejarah. Ini adalah sebuah drama kemanusiaan dengan pendekatan rather psychological; a very closed look tentang gimana KEHIDUPAN SESEORANG DI DALAM PELARIAN. Gimana keterasingan slowly consumed him, dan juga dampaknya terhadap orang-orang yang ia cintai, sebelumnya akhirnya Wiji Thukul akhirnya benar-benar menghilang tanpa bekas. Seperti bunga yang dicabut dari akarnya kemudian ditiup oleh angin.
Ouija Too Cool …. Oke, I’m a seven-year old hhihi
This is a really contained film. Peran-peran yang ada ditulis dan dimainkan dengan sungguh real. Percakapan mereka adalah percakapan yang benar terjadi, kita bisa dengar obrolan di warung kopi seperti apa. The way they react to things juga sangat manusiawi. Sebagai Wiji adalah Gunawan Maryanto (aku serius jadi penasaran beliau cadel beneran atau enggak, karena aku gasempat merhatiin waktu diajar nulis tahun lalu), kita bisa merasakan sembunyi-sembunyinya, takut-ketahuannya. There’s this one scene yang real-ironis yaitu saat hal pertama yang secara spontan Wiji tanyain ke pemilik rumah tempat dirinya ‘ngumpet’ adalah apakah ada pintu lain kalo-kalo dia perlu kabur mendadak. Sebagian besar waktu, emosi para tokoh ini ditahan-tahan, yang as the story goes semakin memuncak. Wiji Thukul dan Sipon, istrinya, ultimately akan dapet momen ketika semua emosi tersebut terlepas, dan film ini ngehandlenya dengan baik sehingga jadi sangat powerful. Sipon (Marissa Anita mirip-mirip Renee Young yang di Smackdown enggak sih, wdyt?)actually dapat dua adegan emosional yang berhasil terdeliver dengan menggugah.
“Kalah terus, ya tidur!” Masalahnya, bagi Wiji, adalah dia tidak bisa tidur. Di sinilah letak betapa efektifnya film ini menggambarkan isolasi. Hidup sebagai buronan adalah hidup yang gelisah. Kata-kata Wiji boleh beristirahat, sementara dirinya sendiri menjadi restless. Di bis, dia noleh-noleh ke belakang. Makannya enggak lahap oleh suara-suara di luar. Di dalam kamar tumpangan di Pontianak, ada saja yang membuat Thukul tidak bisa menidurkan matanya. Dan kerja film ini pun sama efektifnya ketika menutup cerita dengan membiarkan pintu kecemasan terbuka lebar; Begitu dia sudah bisa tertidur, when he finally embrace his status, dia malah mendapati istrinya menangis, dan kita tidak melihat Thukul lagi semenjak dia masuk ke dapur.
Arahan luar biasa ‘dekat’ dari sutradara Yosep Anggi Noen memastikan adegan-adegan menggandeng tangan kita melewati segala yang dirasakan oleh tokoh yang terlibat. Pace film sengaja dibuat lambat supaya semua emosi tersebut bisa perlahan menghujam ke dalam rasa kita. Ambil adegan pembuka sebagai contoh; a still-shot seorang polisi yang berusaha mengorek informasi dari anak Wiji, namun ada begitu banyak kejadian yang bisa kita rasakan. Lihat saja betapa ‘sibuk’nya actually satu adegan tersebut. There’s so much things and emotions happening there. Adegan tersebut juga sukses jadi pengantar yang perfectly ngeset mood keseluruhan film. Bahwa FILM INI SENDIRIPUN BERBICARA LEBIH BANYAK DARI SEKADAR LEWAT KATA-KATA.
Rahasianya terletak pada gimana sutradara Yosep Anggi mengontruksi adegan-adegan tersebut. Tata letak, komposisi, bahkan jarak kamera, dimainkan dengan sangat precise sehingga tak sekalipun kita merasa terlepas dari seolah ikutan duduk langsung di dalam layar. Not even ketika editing memisahkan shots dengan lumayan kontras. Everything was so on-point, everything was so in-the-moment. Makanya dalam film ini ada banyak sekali adegan-adegan yang memorable. Malahan, semuanya terhampar unik, kalian tahu, aku tidak bisa memilih favorit di sini. Adegan potong rambut, adegan lukisan The Last Supper, adegan ABRI main bulutangkis. Semuanya sungguh beautiful. Satu sama lain, semua adegan tersebut, dirangkai dengan tepat dan cermat. It’s LIKE A POETRY on its own, you know. Dan mungkin memang begitulah adanya. Dalam film ini majunya narasi kerap diselingi oleh voice-over pembacaan puisi oleh Wiji Thukul sembari kita menatap suguhan interpretasi visual dari bait-baitnya.
Di atas itu semua, kualitas teknikal yang paling menonjol buatku adalah ketidakhadiran musik. Nyaris keseluruhan film dihidupkan hanya oleh suara-suara asli; derap sepatu, siulan, bebunyian ekosistem malam , yea sound design film ini sangat awesome. Ini adalah langkah filmmaking yang sangat berani, mempercayakan sepenuhnya kepada emosi penonton untuk merasakan apa jujur terasa. Kecuali saat adegan di closing, tidak ada musik yang mendikte kita harus merasakan apa. Tidak ada musik yang menyuruh kita kapan musti takut, kapan musti gelisah, kapan musti tertawa. Ketika ada seseorang yang mengungkapkan emosinya, tidak ada suara musik yang mengiringi, tidak ada yang bilang “hey ini lagu sedih, maka kalian harus merasa sedih.” Makanya meskipun bidikan disetup sedemikian rupa – Yosep Anggi menjamin setiap yang tertangkap kameranya (bahkan yang keluar dari frame) memiliki makna – emosi film ini terasa compelling dan real. Karena kita dibuat seolah mengalaminya, alih-alih sekedar menonton.
Begitu jualah tampangku on a picture day
Sebagai period-piece, set film ini juga tampak sama realnya. There’s no way orang bisa salah mengidentifikasi film ini, no matter mereka mengenalnya dengan judul Solo, Solitude atau Istirahatlah Kata-Kata. Aspek budaya lokal menguar kuat, bukan hanya sebagai penanda jaman, namun juga sebagai simbol yang turut berkontribusi ke dalam adegan-adegan filmnya yang bak puisi. Kalo mau dibandingan, film ini kayak gabungan aspek-aspek positif yang dimiliki oleh Athirah (2016) dan Terpana (2016).
Cukup lucu gimana pembangunan film ini bertolak belakang dengan pembangunan negara yang jadi salah satu kritikan Wiji Thukul pada masa itu. Kontruksi film ini dilakukan Yosep Anggi Noen sedemikian rupa, memperhatikannya secermat mungkin agar bisa dinikmati oleh penonton; supaya penonton bisa ikutan mengalaminya. Sedangkan pembangunan negara beneran, also masih relevan sampai sekarang, seringkali malah kita-kita yang dibangun yang tidak dapat menikmatinya.
Dalam usahanya mengistirahatkan kata-kata, however, film ini masih terdengar sedikit cerewet. Simbolisme kadang datang terlalu in-our-face; misalnya pada adegan The Last Supper, film merasa perlu untuk benar-benar ngeclose up lukisan alih-alih membiarkan kita menemukan sendiri fokus adegan tersebut. Ekposisi kejadian sejarah mungkin bisa dimaafkan karena memang perlu dan film ini meniatkannya sebagai informasi latar saja. Namun pada beberapa dialog, film ini seperti meragukan kemampuan penonton dalam mendeduksi arti suatu adegan. Film akhirnya turun tangan dan menjelaskan apa yang dialami karakter dengan dialog yang gamblang. Adegan terakhir saat Sipon sepertinya bisa lebih kuat jika Siponnya cuma menangis, sebab at this point kita tentu sudah bisa menyimpulkan sendiri gejolak gundah mereka.
Sebuah film yang paham what it takes to be humane. Berucap banyak lewat visual yang dikonstruksi layaknya puisi. Arahan yang luar biasa, penampilan yang seragam meyakinkan. Gimana film ini diambil, gimana setiap adegannya tercipta, filmmaking yang seperti inilah yang dibutuhkan dunia perfilman yang makin sekarang makin condong ke arah produk jualan. In a way, kita bisa bilang film ini melakukan pemberontakan, kayak Wiji yang melarang Sipon ngambil Koka-Kola. Ini adalah selebrasi tokoh Wiji Thukul. Ini adalah perayaan buat bahasa sinematik visual. Dan dalam kapasitasnya sebagai media bercerita, film ingin memastikan pesan ini sampai ke semua lapisan: kata-kata belum binasa, they just go out and take some action! The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ISTIRAHATLAH KATA-KATA/SOLO, SOLITUDE.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners and there are losers.
“A different language is a different vision of life”
Apa yang tidak kita bicarakan ketika sedang membicarakan film-film tentang alien? Haha yea, bahasa. Inggris serta merta jadi bahasa universal enggak peduli kalian berasal dari Mars, Tatooine, ataupun dari Namek. Masalah perbedaan bahasa, kalopun ada, biasanya dapat dengan mudah dijembatan dengan inserting alat penerjemah teknologi tinggi ke dalam cerita, kayak chip translator yang dimiliki oleh semua prajurit Andalite di Animorphs.
Arrival hadir dengan actually menekankan kepada MASALAH BAHASA ini. Diceritakan dua belas aircraft misterius telah mendarat begitu saja di berbagai belahan dunia. Tidak ada yang tahu apa maunya alien-alien yang mirip gurita berkaki-tujuh tersebut mendarat di sini. Apa mereka mau berwisata? Apa ada niat mempelajari Bumi? Apa mereka datang mau gandain uang? Apakah mereka datang dengan damai? Atau mau ngajakin ribut? Jadi, PBB mengirim Louise Banks, ahli bahasa di suatu universitas, untuk masuk ke dalam ‘pesawat’ para heptapod. Mencoba berkomunikasi dengan mereka. Arrival bukanlah film invasi alien dengan banyak aksi-aksi heboh. Kita tidak akan melihat tembak-tembakan photon laser atau semacamnya. Film ini lebih kepada DRAMA PENUH SUSPENS dengan pusat gravitasi kepada karakterisasi. What we will see adalah Banks berkutat ngajarin para alien membaca dan belajar bahasa mereka.
ini ibu Budi?
Bahasa hanyalah salah satu dari sekian banyak lapisan cerita yang dimiliki oleh Arrival. Kita akan diperlihatkan bahwa belajar bahasa sebenarnya lebih dari sekadar melafal dan menghapalkan kosa kata baru. Namun juga belajar memahami cara berpikir yang berbeda. Kita tidak bisa langsung menerjemahkan meski sudah tahu all the words. ‘Masuk angin’ tidak bisa dinggriskan begitu saja menjadi ‘enter wind’. Seorang youtuber, Malinda Kathleen, punya channel yang isinya meng-googletranslate lirik lagu ke dalam berbagai bahasa, kemudian menginggriskannya kembali, dan menyanyikan hasilnya; jadinya kocak. Bahasa bukan hanya kosa kata, it is a way of thinking. Dengan menyadari hal tersebut, Banks bisa dengan relatif lebih cepat mengerti apa yang coba dikatakan oleh alien. In regards kepada cerita tentang usaha berkomunikasi dengan makhluk asing ini, Arrival punya pesan yang bagus soal gimana bahasa sejatinya adalah alat paling ampuh untuk menyelesaikan masalah, bukan malah untuk menimbulkan dan manas-manasin suatu problem.
Dalam hubungannya langsung dengan komunikasi, film ini serta merta membahas kerja sama. There are a lot of tensions yang justru datangnya berasal dari kegagalan manusia – yang bahasanya sudah seragam – menyeleraskan cara berpikir mereka. Like, kita bahkan seringkali gagal berbicara meski sudah gunakan bahasa yang sama. KERJA SAMA INTERNASIONL dan gimana masing-masing negara harus mengenyahkan perbedaan mereka, sekali ini saja. Sutradara Denis Villeneuve sukses berat mengeset tensi sedari babak pertama. Bukan hanya kita dibawa belajar perlahan mengenai tokoh utama dan masalah pribadi yang membayanginya. Kita juga diperlihatkan sense kepanikan massal ketika film terkadang nunjukin laporan berita dari seluruh dunia. Kita wondering apa yang sedang terjadi. Ketakutan akan hal yang tidak kita ketahui, there is a hint of that kind of struggle yang diperlihatkan dengan compelling oleh film ini.
Akan tetapi, sesungguhnya pikiran kita akan dipermainkan oleh film ini. Karena begitu sampai di babak ketiga, akan ada pengungkapan yang bakal membuat kita memikirkan ulang apa yang sebenarnya terjadi. Dan itulah sebabnya kenapa tidak salah kalo ada yang bilang Arrival mempunyai penceritaan yang luar biasa. Ini adalah bentuk bercerita yang sangat unik, karena begitu kita mengerti apa yang tejadi di akhir, kita akan segera melihat keseluruhan film ini sebagai sesuatu yang berbeda. Semua akan menjadi mind-blowingly masuk akal, jika kita benar-benar memperhatikan detil sedari adegan yang pertama.
Seperti nama Hannah, kata malam, kodok, atau telolet, film ini sendiripun adalah sebuah palindrom. Kita bisa membacanya dari dua arah, dengan tetap mendapatkan pengertian yang sama.
Benar, film ini bercerita tentang apa yang rasa takut bisa lakukan terhadap manusia. Ketakutan membuat kita berjuang. Tetapi, sebagaimana kalimat yang diucapkan Banks menjelang akhir, at its core, film ini menantang kita dengan pertanyaan “beneran yang ditakutin adalah the unknown?” Gimana kalo kita sudah tahu apa yang bakal terjadi, apakah kita masih sudi untuk terus melanjutkan hidup? Proses lebih penting daripada hasil akhir, dan dalam kamus film ini tidak ada frasa ‘hasil akhir’. Semuanya adalah lingkaran besar.
Perjalanan Banks sebagai karakter adalah sebuah realisasi perlahan akan tema besar yang diusung; soal tanggung jawab dan kehendak personal. Flashback kehidupan pribadi Banks yang kita lihat actually bukanlah flashback, melainkan sekelabatan masa depan yang dia kenang. Nah lo, aneh kan! Persepsi Banks teralterasi; Dengan mengerti bahasa spesies asing, dia jadi mengerti gimana cara mereka memandang dunia. Narasi menjermahkan hal tersebut dengan Banks yang jadi melihat waktu di luar urutan-kejadiannya, persis seperti para heptapod mengexperience dimensi waktu. Banks melihat gimana nanti suami meninggalkan dirinya. Banks melihat putri mereka meninggal jauh sebelum si putri dilahirkan (or even direncanain). Yang dilakukan Banks adalah contoh betapa kuatnya manusia bisa mengontrol kehendak; Banks memilih untuk tidak mengubah masa depan, dan dengan melakukan hal tersebut Banks bukan hanya memastikan namun juga menciptakan masa depan, that she is responsible terhadap masa depannya sendiri. Sebagaimana kita juga seharusnya begitu.
Hiduplah dengan menghargai setiap momen. Karena setiap pilihan kita dalam menjalani hidup adalah tindakan yang tak-ternilai for kita harusnya melihat hidup sebagai sebuah perjalanan.Manusia memang terbentuk dari kenangan, namun pilihan kitalah yang menentukan. Ini adalah soal menerima what’s to come. Soal memahami pilihan-pilihan dalam kehidupan.
Ada begitu banyak aspek yang bisa kita apresiasi. Sinematografinya adalah salah satu yang terbaik dari yang kulihat di tahun 2016. Terutama saat kita diperlihatkan ‘pesawat’ alien tersebut untuk pertama kali. Seluruh padang terhampar luas dengan benda asin besar di tengah, belum lagi asap/kabut yang mengelilingi daerah sekitar. Semua yang ada di layar pada shot tersebut sungguh-sungguh breathtaking. Film ini really take time ngesyut adegan-adegannya. Pacenya disengajakan lambat supaya kita bisa menikmati setiap detiknya. Sehingga tidak ada satu visual beauty pun, along dengan purposenya, yang terlewatkan. Dan actually, jika kita menikmati gorgeousnya keindahan tersebut, adegan demi adegan, film ini enggak lagi terasa lambat-lambat amat.
Aku bahkan gak bisa ngajarin kucing duduk tanpa kena cakar
Keseluruhan film benar-benar dipikul oleh penampilan Amy Adams dengan progresi karakternya yang tak-biasa sebagai Louise Banks. Interaksinya dengan makhluk tersebut terlihat sangat berdeterminasi, while also kita bisa merasakan trouble di dalam dirinya yang membuat Banks vulnerable as a person. Aku mengerti sebuah film butuh untuk benar-benar menggali tokoh utamanya secara personal, namun dalam film ini, aspek bercerita tersebut berdampak sedikit mengecewakan. Amy Adams is great dan aku juga mengapresiasi karakternya, hanya saja film ini turns out jadi lebih banyak tentang Banks sehingga semua aspek yang lain terasa diburu-buruin. Jawaban atas pertanyaan gede “Kenapa para alien berada di sini?” kayak dilempar begitu saja, kita harus memprosesnya dengan cepat, karena cerita akan segera melupakannya. Begitu kita bisa menjawab pertanyaan tersebut ; aspek aliennya, jadi enggak begitu penting lagi. It is just a device buat simbolisme, yang by the way adalah simbolisme yang great.
Louise Banks juga nyisakan sedikit kali kerjaan untuk ‘tokoh-tokoh’ yang lain. Ada banyak dari pendukung yang cuma terasa sebagai penambah suspens drama. You know, they are so left out. Banyak tokoh yang gegabah ngambil keputusan. Kemudian tindakannya tersebut enggak berdampak gede, it didn’t really build up to something ataupun enggak benar-benar ngefek ke cerita film. Tokoh yang diperankan oleh Jeremy Renner; Ian Donnelly, scientist yang turut dikirim bareng Banks, malah literally bilang dia enggak tau apa yang bakal terjadi kepada tim mereka jika tidak ada Banks di sana. Karakter Ian bland banget, kayak ikut-ikutan doang. Hanya satu kali Ian berguna, he figured out something useful tanpa bantuan, selebihnya, tokoh Ian tak lebih dari nampang di background, tanpa memberikan hal yang benar-benar penting sebagai seorang karakter.
Begitu kita paham the way certain things are going in the background, kita akan bisa melihat film ini dengan berani mengambil cara yang berbeda dalam bercerita. Visual yang menakjubkan, performance yang hebat, meski karakter yang benar-benar patut disimak cuma tokohnya si Amy Adams. Penampakan alien dalam film ini akan selalu sukses bikin kita takjub. Aspek paling luar biasa dari film ini adalah gimana babak ketiganya membuat kita memikirkan ulang keseluruhan film ini. That there’s a bigger message yang ingin disampaikan di balik lapisan narasinya. Namun the subtlety tends to get lost in the translation as cerita lebih favor untuk mengeksplor tokoh utama, membuat aspek-aspek yang lain terasa rushed. Kendatipun begitu, untuk sebuah film tentang alien, film ini termasuk di urutan teratas berkat how different and thought-provoking it is. The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for ARRIVAL.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners and there are losers.
Selain seorang Batman, kita juga mengenal Ben Affleck sebagai seorang produser, sutradara, writer, dan aktor. Live by Night adalah karya teranyar Tuan Affleck. Cerita film yang ia bintangi ini adalah tentang kehidupan gangster di era prohibition, you know, kala di mana perjudian dilarang, minuman keras dijual underground, dan jalanan dipenuhi oleh tikus-tikus semacam mafia, geng jalanan, dan polisi korup. Tokoh yang Affleck mainkan, si Joe Coughlin, tadinya dia enggak mau ikutan masuk geng manapun. Oke baiknya kita mundur sedikit lagi – tadinya Joe adalah tentara, namun dia melihat begitu banyak yang terburuk dari manusia sehingga dia jadi memilih untuk tidak lagi tunduk pada peraturan, so dia menjadi perampok bank. Dia tidur dengan pacar bos gangster. Dia ngelakuin hal yang tidak seharusnya ia lakukan, deh pokoknya. Siapa yang menanam benih, maka dia sendiri juga yang bakal menuai. Eventually, Joe – dengan peraturan buatannya tersendiri – bergabung dengan salah satu kelompok, dan he’s actually mendapat posisi di mana segala keputusan kerjaan dan penyelesaian masalah geng mereka berada di tangannya. Sepanjang film kita akan ngeliat gimana Joe keluar-masuk urusan dunia hitam pada jaman tersebut, while also mencoba sebisa mungkin menjalani kehidupan normal yang baik bersama wanita yang dia cintai.
Pernahkah kalian melanggar peraturan? Seberapa sering kalian malah jadi pengen dan tertantang untuk nyobain saat dilarang untuk ngelakuin suatu hal? Kata orang sih, peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Kita enggak mau diatur karena kita ingin bebas.Tapi, berontak itu adalah kerjaannya orang bawah. The real outlaw adalah penguasa-penguasa di atas sana, karena mereka akan doing everything to make sure peraturan yang ada tidak kena kepada dirinya dan pihak-pihak yang menguntungkan bagi mereka. Think about that. Joe Coughlin did think about it, makanya dia sekarang hidup dengan menulis aturannya sendiri.
By far, HAL TERBAIK DARI FILM INI ADALAH KUALITAS TEKNIKAL yang dimilikinya. Gimana Affleck, dalam kapasitasnya sebagai seorang sutradara, menangani adegan-adegan dalam film. Set Tampa dan kota-kota di sekitar pada tahun 1920an terfilmkan dengan brilian. Terkhusus bagus adalah gimana sekuen-sekuen action digelar oleh film. Ada tembak-tembakan seru. Ada adegan kejar-kejaran mobil yang luar biasa awesome di babak pertama, ketika Joe ngerampok bank. Stuntwork dan arahannya bekerja dengan sama-sama great. Juga ada sejumlah teknik CG yang digabungkan mulus dengan efek praktikal.
Technical qualities sejak 2007’s Gone Baby Gone sudah menjadi kekuatan terbesar yang dimiliki oleh Affleck dalam kiprahnya di dunia penyutradaraan. Kita bisa lihat bukti kalimatku tersebut dalam film Live by Night ini, because ini adalah sebuah film yang sangat tampan, very good looking, dengan bumbu drama yang diracik pas dan tentu saja memberikan kita the rush of terrific actions. Penampilan dalam film ini semuanya excellent. Para pemain mengerahkan segenap kemampuan mereka memberikan emosi dan kehidupan kepada tokoh-tokoh yang ditulis oleh Affleck. Ada backstory yang hebat antara tokoh ayah dan putrinya, diperankan respectively oleh Chris Cooper dan Elle Fanning. Elemen cerita mereka actually sangat kuat, dan bakal menarik kita ke sebuah momen yang intens. Elle Fanning is real good on that particular scene. Ada dua drama cinta yang mekar pada film ini; yang satu adalah relationship yang sangat interesting antara Joe dengan Emma yang diperankan oleh Sienna Miller. Relationship yang satu lagi ditulis dengan niatan sebagai device agar dramanya lebih nohok lagi, yaitu Joe dengan tokohnya Zoe Saldana, Graciela. Dan jangan lupakan hubungan antara Joe dengan para bos mobster di sana.
na-na-na-na-na-na Bad maaannn!
I say, tiga-puluh-menit pertama film ini sukses menyeretku masuk ke dalam cerita. Aku ingin tahu ke mana Joe bertumbuh setelah ia dipenjara, setelah ia kehilangan the first love of his life. Sayang beribu sayang, setelah masuk babak kedua sampai nyaris seluruh babak ketiga, film ini kehilangan sense bagaimana menceritakan kisahnya. Tidak ada kejadian yang benar-benar menarik yang bisa kta simak hingga adegan tembak-tembakan final datang membangunkan kita dari betapa bosannya film ini.
Dengan kualitas teknis yang mumpuni, tentu saja salahnya bukan pada musik atau kostum ataupun penampilan para pemain. Yea meski pada beberapa adegan aku notice ada frames yang nyambungnya agak off, misalnya pada adegan di stasiun saat turun dari kereta. Itu masih minor sih. Masalah yang sebenarnya itu terletak pada karakter-karakter dalam cerita. Mereka tidak semenarik yang ingin film ini capai. Dalam film Argo (2012), kita melihat arahan Affleck sangat luar biasa dalam menyusun potongan-potongan cerita. However, dalam Live by Night, potongan-potongan cerita tersebut terlihat jelas letaknya mau kemana, dan film ini benar-benar enggak tahu cara yang menarik buat nampilin gimana potongan-potongan tersebut menyatu. Akibatnya, kita merasakan cerita menjadi tidak fokus. It cannot really find it’s footing. Untuk sebagian besar waktu, terasa sekali oleh kita perjuangan film ini membuat elemen-elemen ceritanya menjadi compelling, and it’s not make a very interesting watching experience.
Malam membuat bintang-bintang bersinar. Aku suka mengaitkan kalimat tersebut dengan apa yang terjadi kepada tokoh-tokoh film ini. Particularly, Joe dan Loretta. Mereka berdua sama-sama anak polisi, yang satu jadi tentara – satunya lagi pergi Hollywood menjadi aktris. Dan sekembalinya dari ‘medan’ masing-masing, mereka sudah menjadi orang yang berbeda. Like, jika bintang adalah mereka dan malam adalah dunia kelam yang mereka jalani, so yea mereka mulai menunjukkan sinarnya. Joe took pride pada pandangannya bahwa melanggar hukum bukan berarti kriminal. Loretta menjadi religious dan berdakwah melawan alkohol dan judi dan dosa-dosa yang ia lihat. Mereka memilih malam karena pada waktu itu mereka bisa truly ‘bersinar’. Ada TEMA YANG MENYANGKUT MORAL DAN KEMUNAFIKAN yang berusaha untuk diangkat. Namun somehow, durasi 120 menitan tampak belum cukup untuk film ini as the story malah jadi numpuk gak jelas. Pada akhirnya, karakter- karakter film ini jatohnya hambar. Sisi menarik mereka either got lost atau berakhir abrupt sebagai device cerita.
Kerja di malam hari, tidur di siang hari. Kurasa berat, kurasa berat, beban hidupkuu
Secara teknis, ini bukan film yang jelek. Production value film ini top-notch banget. Directorial effort dari Affleck sekali lagi menunjukkan kebolehannya. Sekuens aksinya bikin greget, scoring yang really great. Semua pemain memberikan penampilan yang jempolan. Hanya saja, cerita yang ia sajikan sungguh terasa kempis tho. It looks tight namun hampa begitu dialami. Dull. Dua bagian terpenting cerita film ini, it’s just not that intriguing. Struggle banget untuk menyuguhkan cerita yang compelling. Sayang sekali, film ini definitely adalah karya terburuk dari Ben Affleck sebagai seorang sutradara. The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for LIVE BY NIGHT
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners and there are losers.