ARTEMIS FOWL Review

“Trust is that rare and priceless treasure…”
 

 
 
Menyebut cerita fantasimu seperti gabungan Harry Potter dengan Spy Kids seharusnya merupakan pujian. I mean, otomatis kita akan berasumsi itu adalah pujian karena bayangkan saja sebuah dunia dongeng hunian makhluk-makhluk sihir yang mentereng oleh teknologi-teknologi canggih! Tapi entah bagaimana, sutradara Kenneth Branagh mengacaukan imajinasi tersebut. Film Artemis Fowl yang ia adaptasi dari salah satu novel fantasi populer ini seperti penggabungan yang terburuk, karena arahannya justru membuat dunia khayal tersebut jadi tak-berbobot, tak-berhati, dan tak-berjiwa.
Ceritanya malah begitu amburadul, sehingga menuliskannya ke dalam sinopsis akan membuat paragraf ini seperti racauan gelandangan bermulut bau alkohol murahan yang sering kita temukan nongkrong di sudut kota. Tersebutlah Artemis Fowl, anak dua-belas tahun putra seorang jutawan barang antik. Tapi ada sesuatu yang mencurigakan dari ayahnya yang hobi nyeritain dongeng. Suatu hari ayah Fowl diculik dari ‘perjalanan dinas’ dan disekap oleh seorang misterius yang meminta tebusan berupa Aculos. Artifak berkekuatan super milik bangsa peri. Yea, ternyata di bawah tanah, merahasiakan diri dari manusia hiduplah bangsa peri, kurcaci, troll, dan-kawan-kawan, dengan teknologi yang jauh lebih maju daripada manusia. Artemis Fowl harus memaksa dirinya mempercayai dongeng yang ia dengar sejak kecil, dan berusaha menangkap satu peri, supaya dia bisa mendapatkan Aculos untuk nego membebaskan ayahnya dari penculik misterius. Masalahnya adalah, bahkan bangsa peri sendiri tidak tahu di mana Aculos yang sudah lama hilang dari dunia mereka, dibawa ke dunia manusia. Jadi keseluruhan film pertama dari apa yang diniatkan sebagai seri film Artemis Fowl ini akan membahas perebutan ‘The Lost Aculos’ di atas fungsinya sebagai origin atau perkenalan sebuah dunia magis yang baru.

Dan ‘aku-lost’ oleh hiruk pikuk cerita film ini

 
 
Film ini udah sekitar dua-puluh tahunan mengembara di dapur produksi. Begitu novelnya rampung, sudah banyak yang ngebet pengen memfilmkan ini sebelum dibeli oleh Disney. Gak tau deh berapa banyak draft untuk film ini sejak saat itu. Namun yang jelas, poster ‘coming soon’nya mulai mejeng dari tahun lalu di bioskop. Dan akhirnya Disney merilis ini di tengah pandemi. Di saat film-film unggulan Disney yang lain ditunda hingga bioskop buka, Artemis Fowl muncul begitu saja di layanan streaming official Disney+, sehingga lantas saja menimbulkan pertanyaan kenapa sekarang menjadi waktu yang tepat? Mereka udah nunggu bertahun-tahun, apalah arti menunggu sedikit lagi supaya tayang di bioskop? Melihat keseluruhan film ini, kita boleh lancang menjawab karena Disney sendiri tau hasilnya jelek, sehingga menunggu lebih lama akan makin memperbesar ekspektasi orang-orang, maka to lessen the inevitable damage dirilislah sekarang. Akan tetapi, kalo boleh bersikap positif sedikit, mungkin film ini ditayangkan hari-hari ini karena ceritanya mengandung sedikit pesan yang relevan dengan keadaan.

Bangsa peri dan manusia terpisah karena masing-masing takut dengan yang lain. Ada rasa tidak percaya yang tumbuh. Aculos yang berakhir menjadi pemersatu dua bangsa ini adalah simbol dari trust. Ia adalah harta tak-ternilai, yang punya kekuatan super, yang berhasil menyelamatkan semua berkat dua makhluk; manusia dan peri, yang sepakat untuk saling percaya menjaga dan menyimpannya jauh dari tangan-tangan jahat.

 
Dalam ngereview film, biasanya aku selalu menggunakan formula ‘utarakan nilai plus filmnya dulu, ceritakan yang baik-baik di atas, lalu kemudian ditutup dengan kekurangan dan nilai minus film’. Namun untuk Artemis Fowl ini aku benar-benar kesusahan mencari nilai positif untuk disampaikan kepada pembaca. Karena sama seperti suasana wow dan magis, pencapaian bagus film ini juga sama sekali gak ada. Pesan yang kutulis di atas tadi besar kemungkinan adalah long-reach, yang justru terasa karena menontonnya di tengah masa-masa berita #BlackLivesMatter santer alih-alih karena filmnya memang menyematkan pesan untuk keadaan itu. Karena faktanya, film ini tidak pernah melakukan banyak hal terhadap tokoh-tokohnya yang beragam rupa tersebut.
Aku ingin bisa bilang bahwa petualangan dan pencarian Aculosnya seru, mengasyikkan, ataupun menegangkan, tapi gak bisa. Sebab film ini tidak punya adegan petualangan itu sendiri. Lucu gak sih. Ini benar-benar cocok sebagai film yang ditayangkan di masa pandemi karena Artemis Fowl ini adalah FILM PETUALANGAN YANG TOKOH UTAMANYA DI RUMAH AJA! Artemis gak ke mana-mana. Dunia peri bawah tanah itu, dia tidak ke sana. Tidak ada momen dia tercengang oleh dunia atau makhluk-makhluk yang sama sekali belum pernah ia lihat, not to mention mereka adalah eksistensi yang selama ini tidak ia percayai ada di muka bumi. Kita, penonton doang, yang tau-tau dipindah dari rumah gede Artemis ke bawah tanah melihat bangsa peri. Kita melihat teknologi mereka, di bawa masuk ke antara barisan pasukan peri yang bersenjata unik. Namun kita tidak diberikan waktu untuk meresapi semua itu. Hal-hal berlalu begitu cepat, lenyap dalam lontaran-lontaran eksposisi. Lupakan soal eksplorasi, kita bahkan enggak pernah benar-benar diperkenalkan kepada tokoh-tokoh yang muncul satu persatu. Film cuma menampakkan mereka di layar, sementara informasi tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, semuanya disebutkan. Kita enggak belajar apapun. Fantasi dan wonder itu sama sekali enggak nyangkut, sehingga film ini tumpul secara emosional.
Padahal setidaknya ada beberapa karakter yang menarik. Komandan peri yang udah beratus tahun membenci manusia kemudian menyadari hal penting. Dwarf yang gak diterima oleh bangsanya sendiri karena punya fisik yang berbeda. Pejuang peri yang diremehkan karena ayahnya melakukan sesuatu di masa lalu sehingga dicap pengkhianat. Film tidak pernah sepenuhnya stop untuk mereka. For the sake of Artemis yang benar-benar membosankan. Tokoh utama kita ini enggak punya sesuatu yang spesial. Sikapnya standar anak orang kaya yang bisa jadi annoying atau sedikit brengsek kepada orang lain. Dia diperlihatkan suka surfing, tapi apa hubungannya itu dengan ini semua. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai ‘criminal-mastermind’, tapi sama seperti banyak hal pada film, semua itu hanya diucapkan tanpa pernah diperlihatkan buktinya. Visual storytelling film ini sungguh gak-jalan. Sutradara sendiri sepertinya bingung untuk menggali karakter ini, bagaimana membuat sebuah anak-kriminal sebagai tokoh film anak-anak, jadi dia memberikan petunjuk kepada Ferdia Shaw – aktor cilik yang memerankan Artemis – untuk diam berekspresi kaku saja setiap kali berbicara. Aku berharap dia terus-terusan memakai kacamata hitam, soalnya paling tidak matanya tak lagi terlihat mengawang menghapal dan nunggu dialog berikutnya.
Untuk sebuah dunia fantasi yang supposedly luas, film memaksa kita untuk mendengarkan saja narasi. Menonton ini seperti terikat kepada paparan yang dicuapkan oleh seorang karakter – dan ini adalah konsep yang benar-benar aneh untuk bercerita tentang sebuah petualangan fantasi. Begini, cerita yang kita ikuti di sini basically adalah flashback yang dikisahkan oleh seorang dwarf raksasa (bayangkan Hagrid, tapi less-simpatik). Di raksasa sedang diinterogasi karena punya hubungan dengan keluarga Fowl dan dia disuruh menjelaskan semua kejadian. Yang ia ceritakan itulah yang kita tonton, dengan konteks yang meragukan karena di menjelang akhir ia menjelaskan bahwa penangkapan dirinya sudah direncanakan, dan dia memang diberikan tugas untuk membeberkan informasi sehingga kita gak bisa yakin semua yang kita tonton beneran terjadi atau cuma karangan berbumbu dari si dwarf. Mungkin inilah pembelaan film; penceritaan mereka begitu simpang siur, kita tidak pernah benar-benar kenal dengan si Artemis yang jadi tokoh utama, kita malah melihat lebih banyak dan lebih tertarik sama bangsa peri, karena si dwarf-lah yang mendongeng dan ia adalah pendongeng yang buruk.

More like, ‘Artemis Foul’

 
 
Dari situ aja, film ini udah sedikit cacat pada logika. Salah satu alasan bangsa peri mencari Aculos adalah supaya rahasia keberadaan mereka tidak terbongkar. Tapi kemudian, setelah Aculos berhasil terselamatkan dan Artemis dan bangsa peri menjadi ally, si dwarf tadi disuruh untuk membeberkan cerita pertempuran mereka kepada manusia? Membuka rahasia bangsa peri dan kemudian pergi dari sana dengan cara yang tidak bersahabat? Aku tidak mengerti endgame si bocah kriminal itu sama sekali. Dan bicara soal aksi, mau bilang porsi action film ini keren, aku juga gak bisa, karena adegan pertempuran gede-gedean di rumah Fowl itu sungguh sukar untuk diikuti dengan mata telanjang kita yang gak dibekali teknologi peri. Semua hanya berlangsung se’duar-duar’nya pembuat film aja, segimana yang kira-kira bikin penonton bengong dan berhenti sejenak mengumpat film ini. Begitu banyak yang beterbangan ditangkap oleh kamera, mulai dari tokoh-tokoh yang tidak kita pedulikan hingga hal-hal kecil yang tidak terjelaskan. Misalnya, kenapa Artemis dan pengawalnya tidak terpengaruh time freeeze, ataupun kenapa kemudian time freeze itu mendadak rusak, dan udah tau rusak mereka semua masih diem di sana aja. Dan ketika ada satu tokoh yang terluka, dan mau-tak-mau kita mulai peduli padanya, film membantah itu semua dengan elemen penyelamat; bangsa peri bisa menyembuhkan segalanya. Dan hey, kalopun ada apa-apa, Aculos bisa memperbaiki apapun karena sangat kuat!
 
 
 
 
Hal paling parah dari film ini adalah dia tidak tau mau menjadi apa. Katanya ini adalah film pertama yang seharusnya membahas origin, tapi banyak hal esensial yang terskip dan hanya disebutkan oleh eskposisi, dan film langsung merapel ke konflik pada buku berikutnya. Katanya ini adalah film petualangan, tapi tokoh utamanya sama sekali tidak ke mana-mana untuk mencari benda yang harus dicari. Dan ultimately, film ingin kita menyukai tokoh utama – mereka mengubah cukup drastis karakter tokoh ini dibandingkan dengan novel – tapi si tokoh sama sekali tidak menarik dan gak ngapa-ngapain, kita juga lebih banyak mengikuti tokoh yang lain. Ini bahkan tidak terlihat seperti film dengan narasi dan karakter-karakter yang hidup, melainkan hanyalah rangkaian adegan-adegan gak spesial. My final words, ini adalah kekacauan storytelling yang mentereng.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ARTEMIS FOWL.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sekarang kebanyakan justru polisi atau yang bersenjata semakin tidak percaya dan semakin takut kepada orang biasa?
Who can we trust now?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SHIRLEY Review

“Art wasn’t supposed to look nice; it was supposed to make you feel something.” 
 

 
 
Biopik atau film biografi biasanya ‘terkekang’ untuk menjadi sebenar-benarnya sesuai dengan kenyataan. Seperti film dokumenter, film biopik juga dituntut akurat; beda sedikit aja beberapa pihak yang berkaitan dengan sang tokoh bisa-bisa tersinggung. Film memang bukan media pemberitaan/jurnalisme, tapi tetap saja diharapkan untuk menyajikan fakta-fakta. Yang tentu saja semua itu dilakukan sebagai penghormatan untuk tokoh yang sedang diceritakan. Namun bagaimana jika tokoh yang diceritakan begitu unik? Bagaimana jika bentuk penghormatan yang layak terhadapnya adalah merancang kisah hidupnya sesuai dengan cara dan gaya yang kita tahu ia suka? Ya, tokoh seperti Shirley Jackson; pengarang novel misteri yang karyanya sudah banyak diadaptasi jadi film horor (salah satunya adalah The Haunting of Hill House yang recently jadi serial ngehits di Netflix), tentu akan bete kalo kisah hidupnya diceritakan dengan biasa-biasa saja. Makanya sutradara Josephine Decker yang biasa ngegarap film-film ‘eksperimental’ membuat Shirley ini sebagai biopik yang lain daripada yang lain. Bukan saja genrenya menyerempet horor, ceritanya pun dibuat mengaburkan batas antara fakta dan fantasi.
Shirley diangkat dari masa kehidupan sang pengarang saat proses kreatif penulisan novel misteri Hangsaman, sekitar tahun 50an. Publicly known, Jackson mendapat inspirasi dari kasus menghilangnya seorang mahasiswi yang pergi hiking dan tak pernah kembali. Selain itu dan fakta bahwa Jackson tinggal bersama suaminya seorang profesor literasi di kampus, cerita film ini dikembangkan dengan banyak elemen fiksi. Protagonis utamanya justru adalah seorang tokoh fiktif bernama Rose yang pindah ke kota yang sama dengan Jackson, ikut sang suami yang mulai bekerja di kampus sebagai asisten Stanley, suami Jackson. Rose tadinya berniat sekalian kuliah di sana, tetapi Stanley menggunakan karisma dan kata-katanya untuk ‘membujuk’ Rose tinggal di rumah bersama Jackson. Sekadar bantu-bantu selama novel terbaru itu selesai ditulis. Rose dan suami diberikan kamar sendiri, bebas dari biaya sewa. Namun itu berarti Rose harus memasak, bersih-bersih, dan mengerjakan segala pekerjaan rumah yang lain. Sementara para pria bekerja di kampus, dan Jackson, di kamarnya, mengerjakan tulisan. Rose dan Jackson kemudian tumbuh hubungan yang aneh, as Jackson mulai membayangkan Rose sebagai tokoh utama cerita yang ia tulis.

write me like one of those french girl

 
Kinda like Persona (1966) atau Portrait of a Lady on Fire (2019), heart dari film ini adalah hubungan yang terjalin antara Rose dengan Shirley Jackson. Namun dengan konflik yang lebih kompleks, kalo gak mau dibilang ruwet. Pada Shirley ini kita enggak dengan gampang bisa menyimpulkan relasi yang tumbuh dari mereka; ini bukan soal pekerjaan kayak suster dengan pasien atau pelukis dengan model, jadi apakah ini soal penulis dengan penggemarnya, atau semacam hubungan mentorship, atau malah rasa saling suka, film tidak benar-benar memfokuskan kita kepada satu hal. Karena si Jackson ini sikapnya benar-benar aneh. Look, Jackson memang pribadi yang eksentrik. Pada adegan pesta di rumah saat kita melihat tokoh ini pertama kali, dia sedang mengobrolkan kepada tamu-tamu penggemar novelnya perihal dia gak excited berkenalan dengan suaminya. Jackson adalah seorang yang lebih suka mengurung diri di rumahnya yang tertutupi sulur-sulur tanaman daripada harus ngumpul-ngumpul ke luar. Jackson literally harus ditarik dari kasurnya setiap pagi oleh sang suami. Dia gak gampang akur sama semua orang, dan terhadap Rose sikapnya jauh lebih ‘labil’. Di satu kesempatan dia menjadi teman curhat bagi Rose, dan di kesempatan berikutnya dia membuka rahasia Rose perihal tengah mengandung bayi.
Berbeda dengan kebanyakan biopik yang ‘mengagungkan’ tokoh real yang jadi bintangnya, Shirley justru membuat Shirley Jackson menjadi hampir mustahil untuk disukai. Bukan sekali dua kali, dia membuat protagonis kita meninggalkan meja makan menahan tangis. “Aku penyihir” kata Jackson kepada Rose, dan suatu kali Rose pernah ditipunya; dipaksa makan jamur yang ia sebut beracun. Kita bisa merasakan ada penyiksaan mental di sini. Namun Rose tetap mau deket-deket sama Jackson, karena Jackson membawa pengaruh yang kuat dan somehow positif kepadanya. Berkat Jackson, Rose jadi lebih vokal mengekspresikan diri dan mengutarakan kecurigaan yang muncul di hati. In a way, sikap Jackson membantu Rose dealing with her own domestic problems. Kita juga susah menyimpulkan kenapa Jackson seringkali bersikap ekstra-tidak menyenangkan kepada Rose. Kita lihat dia punya rencana tersendiri dengan Stanley suaminya, tapi tetap tidak jelas apakah dia murni jahat atau dia beneran peduli atau bahwa dia sedang menempa Rose sehingga bersikap sesuai dengan tokoh utama dari novel yang sedang berusaha ia selesaikan.

If anything, lewat tokoh-tokohnya ini film ingin menunjukkan kepada kita kekuatan sebuah seni (dalam hal ini seni tulisan). Seni bisa membebaskan seperti Shirley yang terlepas dari tekanan Stanley begitu Rose hadir menjadi inspirasi baginya. Seni bisa membuka kebenaran seperti Rose yang mulai mengetahui banyak hal-sebenarnya dan berani mengungkapkan diri saat dia terlibat proses mengarang bersama Shirley. Film ini bercerita dengan tidak mengindahkan aturan, karena – sama seperti seni – film ini bermain dengan perasaan, bukan dengan moral.

 
Kekompleksan film ini juga hadir dari banyaknya aspek yang bekerja membangun ceritanya. Dia juga bicara tentang powerplay antara dua pria dan dinamika suami-istri dengan sama banyaknya. Kita bisa menarik isu tentang pemberdayaan perempuan dari cara salah satu tokohnya yang memanipulasi dan berpegang pada pandangan tradisional bahwa cewek harusnya ngurusin rumah tangga aja. There’s also a baby at play, kelahiran-rahasia yang dikontraskan dengan kematian misterius yang menyelimuti daerah tempat tinggal mereka; kasus yang jadi inspirasi Jackson menulis in the first place. Ini semua membuat film terasa berat dan membingungkan. Shirley adalah jenis film yang tidak bisa kita nikmati kalo kita menontonnya dengan niat melepaskan penat.
Tapi bukan berarti film ini tanpa hiburan. Penampilan akting yang luar biasa, misalnya dari Elisabeth Moss jelas jadi salah satu faktor yang membuat kita betah menonton film ini. Begitu unpredictable, begitu raw, begitu kasar kayak kertas amplas, namun tokoh ini sangat mengundang karena kita ingin tahu apa yang sebenarnya bekerja di balik kepalanya tersebut. Tantangan akting dalam film padet dan berani-tampil-unlikeable seperti ini tentu saja sangat berat. Dialog-dialog yang kita temukan persis seperti dialog yang umumnya ada pada novel; tidak konklusif, mengundang pertanyaan, dan memaksa kita untuk menggunakan imajinasi. Namun Moss mampu mendeliver semua itu dengan muatan emosi yang saklek. Kita kira dia sudah jempolan di The Invisible Man (2020)? Well, di film ini Moss membuktikan dia masih punya banyak untuk kita kagumi. Mengimbangi Moss adalah Odessa Young, sebagai Rose yang lebih ‘inosen’, naif, dan lebih gampang menuai simpati. Namun bukan berarti perannya kalah urgen. Rose adalah karakter yang sama kompleksnya, malahan dia punya tugas ekstra mengemban plot yang lebih luas rangenya, dan Young melaksanakan misinya ini dengan sempurna.

Film tentang penulis yang penulisannya mencerminkan penulisnya.

 
Belum lama ini serial animasi Rick and Morty Season 4 mengeluarkan episode ke-enam yang benar-benar mindblowing karena episode yang alurnya membingungkan tersebut practically adalah depiction dari proses-kreatif kreator acara tersebut dalam mencari cerita baru. Kenapa aku membahas soal itu di sini, karena Shirley juga melakukan hal yang sama. Menceritakan proses kreatif seorang penulis kepada kita. Kamera akan bergerak dengan aktif menangkap drama, no… tepatnya, menjadi bagian dari drama mereka. Menempel pada setiap momen dengan intens, bahkan ketika adegan dengan seenaknya mulai melakukan lompatan oleh jump-cut antara momen yang nyata dengan momen yang merupakan imajinasi penulisan Jackson. Membuat garis batas di antara keduanya seolah sirna. Membiarkan kita terpana menebak mana yang mana. Dalam kondisinya yang paling intens, film akan membuat kita bingung membedakan mana yang Rose asli mana yang Paula alias Rose pada novel. Imajinasi itu seperti tanpa batas, hanya disekat oleh interaksi nyelekit dari tokoh-tokohnya.
 
 
 
Seperti si Shirley Jackson, film ini enggak peduli dirinya bisa kita sukai atau tidak. Pilihan ini tentu saja bukan tanpa akibat. Babak ketiga film merupakan bagian yang seharusnya menjadi paling emosional dari keseluruhan. Dan emosi ini besar kemungkinan tidak akan sampai kepada penonton yang sudah memutuskan untuk menyerah kepada Shirley. Ia tidak membuat hal gampang buat kita menyukainya. Desain ceritanya terasa begitu kacau. Antara adegan proses mengarang, interaksi antartokoh sentral, dan tema-tema seperti seni, kreativitas, psikologi orang, dan bahkan soal senioritas, menonton ini sekiranya dapat menjadi seperti chores alih-alih.. tontonan. Aku sendiri mengumpakan film ini seperti puzzle. Yang tersusun atas kepingan yang unik-unik yang jumlahnya banyak banget. Sehingga menyusunnya enggak akan menyenangkan, lebih enak menikmati kepingannya sendiri-sendiri.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SHIRLEY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Shirley jelas punya cara unik dalam mencari inspirasi. Bagaimana dengan kalian, how far will you go dalam berproses kreatif? Apakah kalian punya cerita unik seputar mencari ilham?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE RHYTHM SECTION Review

“When you dance to your own rhythm, life taps it toes to your beat”
 

 
 
Blake Lively yang kutahu adalah makhluk magnificent yang memancarkan aura bidadari yang lembut, bahkan saat ia berdarah-darah berhadapan dengan hiu. Ia adalah tipe yang kau impikan untuk jadi kakak perempuanmu. Namun aku tak mengenali Lively lagi di film The Rhythm Section ini. Ia jadi kumal banget. Begitu broken sehingga aku gak yakin bakal membukakan pintu jika ia datang bertamu. Aku akan memilih untuk bersimpati padanya dari balik tembok, hoping for the best dia kembali ke jalan yang benar. Namun film ini akan memaksa kita untuk berada di balik kepalanya, atau paling tidak di sebelahnya – menggenggam tangannya – melewati segala aksi balas dendam yang ia kira bakal memberinya ketenangan jiwa.
Tahulah kita bahwa Lively di sini bukanlah Lisa sang junkie PSK. Melainkan dia adalah Stephanie Patrick, mahasiswi teladan yang hidupnya menukik tajam setelah seluruh keluarganya – ayah, ibu, kakak, adik – tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Steph yang last minute urung ikut naik pesawat technically selamat, tapi dia sebenarnya juga korban. “Kau hanya belum mati saja“, kata reporter yang menemukan Stephanie. Sang reporter sedang menginvestigasi kasus kecelakaan tersebut karena itu ternyata bukan kecelakaan biasa. Melainkan teror bom yang ditutupi. Pembuat bomnya masih bebas berkeliaran. Dalangnya masih di luar sana, bersembunyi di balik nama alias. Mengetahui hal ini, Steph bangkit, memungut dirinya sendiri dari nestapa untuk mencari pelaku. Menorehkan cerita balas dendam sendiri. Bekerja sama dengan sekumpulan orang di pihak si reporter, Steph meminta untuk dilatih menjadi assassin. Namun balas dendam tidak segampang yang dikira, khususnya ketika berhadapan dengan organisasi tersembunyi. Dan ketika dirimu sendiri juga bersembunyi di balik sesuatu yang bukan dirimu.

Jadi assassin wanita yang kuat supaya bisa dikirim misi ke sana kemari oleh pria

 
Paling baik bagi kita untuk tidak mengharapkan film thriller yang penuh laga seru saat menonton film ini. Karena The Rhythm Section diarahkan oleh sutradara perempuan Reed Morano untuk menyanyikan nada yang berbeda. Film ini adalah jeritan hati dari Stephanie, sepanjang waktu kita akan diminta untuk melihat ke dalam Stephanie. Semua adegan laga akan di-examined dari sudut pandang dan perasaannya. Pemberantasan teroris dan politik kriminal di baliknya tidak akan dibahas jika Stephanie tidak meluangkan emosi terhadapnya. Kamera akan strictly melayang di depan wajahnya. Akan ada banyak sekali adegan Stephanie ‘berhenti’, close up ke wajah, dan kita menyelam masuk ke flashback memorinya. Di sinilah peran Blake Lively menjadi sangat penting. She’s the perfect personification untuk tokoh Stephanie yang terlihat ‘keras’ di luar tapi begitu lembek dan rapuh di dalam. Kita akan menemukan simpati menatap lekat-lekat wajah Lively, dan semakin broken tokohnya ini efek yang dihasilkan semakin kuat.
Stephanie pada masa-masa nelangsanya adalah penampilan terbaik dari film ini. Setiap kali dia berada di fase jatuh, gagal, seperti gak punya harapan, dan menyesali kepergian keluarganya, di sinilah film bersinar. Berkat penampilan akting dan struggle genuine yang dikeluarkan. Film paham cara menonjolkan ini semua. Misalnya pada adegan Steph dilatih bertarung satu lawan satu. Morano memerintahkan kameranya untuk merekam aksi dalam single take tanpa-putus, dan mereka membuat adegan ini berlangsung di ruangan sempit. Laga pada adegan ini gak ada flashy-flashy-nya, tapi begitu memukau karena dengan efektif merekam kefrustasian dan usaha Stephanie untuk menjadi jago berkelahi. Ada transformasi karakter yang tampak genuine sepanjang adegan laga yang gak-sempurna ini. Dan adegannya, seperti semua adegan laga dalam film ini deliberately dibuat amatir karena penting bagi kita untuk dapat melihat Stephanie gak mampu untuk menjadi Petra, persona assassin yang harus ia isi.
Setelah semua latihan, dia berenang di danau yang dingin itu, coba tebak apa yang Stephanie lakukan pada misi pertamanya menghabisi orang? Stephanie babak belur dihajar oleh penjahat di kursi roda. Pada bagian-bagian Stephanie jadi penyusup dalam misi membunuh lingkaran tersangka terorislah film berpotensi menjadi sangat membosankan. Dia gak keren kayak John Wick. Dia enggak mematikan kayak Atomic Blonde. She can’t do shit kayak Jackie Chan. Melainkan, misi Stephanie nyaris selalu gagal karena dia terperangkap dalam pikiran dan emosinya sendiri. Rencananya selalu kacau. Film juga membuat on-point soal Stephanie balas dendam karena tindakan teroris membunuh orang tak berdosa, tetapi saat bertindak sebagai assassin, justru Stephanie sendiri yang membuat banyak orang tak berdosa turut menjadi korban. Setiap rencana yang gagal itu membuahkan damage yang berlebihan, yang memberatkan nuraninya sendiri.
Ini sebenarnya merupakan fresh take dalam genre action. Jika kebanyakan seringkali menampilkan tokoh cewek yang membalas dendam dan langsung jago, The Rhythm Section ini berani memperlihatkan ‘kenyataan’, bahwa gak semudah itu menjadi seorang pembunuh. Manusia biasa gak bisa latihan instant untuk menjadi secakap CIA. Terutama, ini cocok dengan gagasan film soal Stephanie yang berusaha mencari comfort dengan kabur dari dirinya. Pertama dia menciptakan Lisa, sebagai alasan untuk mengasihani diri sendiri, berkubang di jalanan. Kemudian dia tertarik untuk menjadi Petra, assassin wanita yang terkenal sangar. Film juga memunculkan tokoh antagonis yang paralel dengan kondisi Stephanie; yang berlindung di balik persona U17, bedanya hanya si antagonis berhasil memanfaatkan identitas tersebut.

Untuk bisa menembak dengan jitu, Steph harus mendengarkan irama jantung dan napasnya. Film bicara soal setiap makhluk punya ritmenya sendiri, dan itulah yang harus didengar oleh masing-masing. Kita harusnya menari dalam irama sendiri, dan ini maksudnya adalah untuk stay true to who you are. Steph gagal sebagai Petra, dia nista menjadi Lisa. Langkahnya baru mulus, dia lebih berjaya saat mengenali dendamnya sebagai Stephanie, putri dari keluarga Patrick yang mengasihani diri dan berani untuk mengubah itu semua.

 

Jantung adalah drum, napas adalah bass… dan mulut adalah riff gitar “tininiw tinininiiiwww”!

 
Film sayangnya tidak cukup bijak untuk mendengarkan gagasannya sendiri. Alih-alih bergerak dalam irama yang menjadi keunikannya, film mengambil banyak keputusan editing dan bercerita yang aneh. Yang bukan-dia-banget. Pemilihan musiknya, for instance, sangat misleading. At heart, ini adalah cerita yang muram. Gagasannya membutuhkan sang tokoh untuk menjadi ‘bego’ dalam setiap misi, entah itu gagal atau ketahuan dan kabur. Supaya ia lantas memikirkan tindakan yang ia lakukan, mempertimbangkan kembali approachnya dalam balas dendam. Namun film malah memperdengarkan kepada kita musik-musik penyemangat, tak ubahnya film laga yang tokohnya keren dan gak-annoying karena sebentar-bentar flashback. Kesalahan besar saat menonton adalah menciptakan ekspektasi lalu hidup dalam ekspektasi tersebut, membuat film terasa jelek karena gak sesuai dengan harapan kita. Dalam kasus film ini, si film sendiri yang mendorong kita untuk berharap sesuatu yang keren. Padahal cerita dan design yang ditetapkan jauh dari semua itu.
Kemudian soal editing gambar dan kamera. The Rhythm Section sebenarnya punya adegan keren, kayak di Extraction (2020), yakni kejar-kejaran mobil yang seolah single take. Bedanya di film ini, kamera menetap di sebelah Steph yang lagi mengemudikan dengan panik, sambil sesekali nge-pan untuk memperlihatkan kerusuhan di belakang, samping, ataupun depan jalanan. Sekuen adegan yang keren, hanya saja terlalu goyang untuk dapat benar-benar dinikmati. In fact, kebanyakan adegan close up dalam film ini terlalu shaky sehingga fungsinya sebagai penghantar kita merasakan langsung emosi tokoh ini jadi buyar. Belum lagi saat dialog, film menggunakan teknik splicing cut ke momen lain – yang merupakan cara film supaya bisa merangkum banyak plot poin dan kejadian karena cerita ini merupakan adaptasi dari novel yang punya lebih banyak ruang untuk bertutur – yang pada akhirnya jadi flat out confusing. Serta merenggut kita dari perasaan ikut terbonding sama para tokoh. Itulah sebabnya kenapa tokoh-tokoh lain tidak terasa nempel dan kita tidak peduli amat dengan mereka. Relasi Stephanie dengan mereka tidak berkembang dengan normal, dan tidak diberikan waktu yang cukup. Film hanya memuat sebanyak mungkin dan mencoba melakukannya dengan bergaya.
 
 
 
Pendekatan film ini terhadap genre thriller laga balas dendam dengan protagonis cewek sebenarnya cukup segar. Tokoh kita berubah dari mengasihani diri sendiri menjadi berani dan mengkonfrontasi masalah langsung sebagai dirinya. No more pretending. Tidak lagi berkubang dalam nestapa. Namun untuk belajar semua itu banyak kegagalan yang harus dilewati. Dan fase kegagalan ini dapat dengan mudah tertranslasi kepada penonton sebagai laga-yang-membosankan, juga annoying karena tokohnya terlihat bego. Film sendirinya seperti ragu terhadap ritmenya, bimbang untuk menjadi muram dan depressing seperti yang dilalui oleh tokohnya, maka memilih beberapa elemen untuk ‘menceriakan suasana’, but it’s not working karena malah membawa penonton semakin jauh ke bagaimana sebenarnya film ini. Buatku, nonton ini seperti mendengarkan cerita teman mengenai seberapa keren dirinya, tapi aku tidak merasakan hal yang sama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RHYTHM SECTION.

 

 
 
That’s all we have for now.
Tidak ada yang mudah jika kita melakukan sesuatu untuk diri kita, tapi melakukannya dengan standar orang lain. Stephanie tidak gagal jadi assassin, dia hanya gagal menjadi Petra.
Apakah kalian setuju bahwa menjadi diri sendiri itu jauh lebih susah dan lebih membutuhkan keberanian daripada menjadi orang lain?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

EXTRACTION Review

“Don’t let yourself drown”
 

 
 
Extraction, yang baru saja tayang di Netflix dan bikin gempar lantaran adegan aksi-tanpa-putus sepanjang 11 menitnya, adalah tipe film yang dengan gampang bakal disukai oleh orang Indonesia ‘saja’. Karena oh karena, orang kita sudah terkenal demen menyaksikan keributan. Entah itu keributannya tersebut berfaedah atau unfaedah.
Proyek terbaru Joe Russo ini sama seperti Avengers; sama-sama berdasarkan komik – lebih tepatnya, graphic novel. Extraction bercerita tentang seorang mercenary alias tentara bayaran yang dapat panggilan kerjaan ke India. Tugasnya adalah menyelamatkan putra seorang gembong narkoba dari tawanan pesaing bisnis ilegal di daerah tersebut. Sang mercenary, Tyler (bukan lagi Dewa Petir, Chris Hemsworth kini memainkan karakter yang lebih stereotipikal dan dangkal) awalnya hanya memikirkan duit upah saja. Namun begitu sampai di sana, setelah ia beraksi langsung – berhadapan dengan begitu banyak pihak mulai dari preman ampe polisi bobrok – Tyler menyadari bahwa nasib si anak tak ubahnya seperti daging bangkai yang diperebutkan oleh hyena-hyena. Jadi Tyler memutuskan untuk benar-benar tuntas menyelamatkan si anak, mengeluarkannya dari kota yang panas, kumuh, dan kejam tersebut.

kirain seragam putih abu

 
Kursi sutradara dipercayakan Russo kepada Sam Hargrave, yang biasa menangani aksi-aksi atau stunt dalam film-film laga ngehits seperti Avengers ataupun yang stylish kayak Atomic Blonde. Nah, sekarang kita paham darimana ‘datangnya’ take panjang 11-menit itu. Dalam debutnya sebagai sutradara, Hargrave berhasil menorehkan jejak yang mendalam lewat sekuen aksi yang menjadi jantung dari film ini. Ketegangan berhasil ia deliver secara maksimal. Mulai dari kebut-kebutan mobil di jalanan tanah sempit, hingga ke pengejaran dan baku hantam di apartemen yang gak kalah padetnya, untuk kemudian aksi itu dihamburkan kembali ke jalanan. Sama halnya pada seantero film 1917 (2020), unbroken shot pada film ini sebenarnya juga gak bener-bener kontinu tanpa putus. Kita dapat melihat pada setiap panning shot, atau gerakan kamera ‘melengos’, di situlah letak jahitan adegan per adegan. Tapi keseluruhan ilusi sama sekali tidak terputus, karena dilakukan dengan begitu mulus, yang tentu saja tidak akan bisa tercapai tanpa perencanaan dan keselarasan tingkat super dari kerja kamera, akting, koreografi, dan semua-semuanya.
Tyler is ridiculously strong. Dia ditanamkan kepada kita sebagai petarung keren nan tangguh, di adegan awal kita melihat dia terjun begitu saja dari tebing tinggi, nyemplung ke air dan duduk bersila di sana. Dibandingkan dengan pemuda-pemuda ceking yang kulit coklatnya keliatan semakin dekil karena terbakar terik matahari jalanan, Tyler menjulang tegap. Perkasa sekali. Menyaksikan dia menghajar para musuh kadang terlihat begitu mudah, sukar dipercaya dia bisa kalah dari mereka jika bukan karena jumlah. Film tahu persis akan hal ini. Maka, setiap adegan berantem dipastikan oleh sutradara untuk bergulir dengan real. Tyler dibuat harus selalu memposisikan diri agar tidak dikeroyok, dia juga bertarung dengan otak. Film berhasil mengelak dari jebakan ‘musuhnya datang kayak gantian’ berkat tempo dan koreografi yang benar-benar dipikirkan. Kita akan melihat banyak adegan berantem yang keren dan bikin nahan nafas.
Terlebih karena level kekerasan yang ditampilkan juga bukan main-main. Inilah salah satu kelebihan platform seperti Netflix dibandingkan bioskop; pembuat bisa lebih bebas berkreasi terkait soal rating tayangan tanpa perlu overthinking soal jumlah penonton dan layar. Kita yang nonton, juga, gak perlu khawatir ada yang kena sensor. Cukup harus kuat ‘perut’ aja. Si Tyler dalam film ini, orangnya senang menyerempet bahaya. Dia suka minum, dia memilih berjalan di antara hidup dan mati, untuk melampiaskan penyesalan pribadinya terkait anak di masa lalu. Jadi untuk ‘memuaskan’ si protagonis, film benar-benar memberondongnya dengan bahaya. Tubuh ditusuk, tertembus peluru, orang melayang ketabrak truk; adegan-adegan semacam demikianlah yang bakal jadi asupan untuk mata yang menyaksikan film ini. Dan beberapa akan semakin gak-enak, karena adegan kekerasannya melibatkan anak di bawah umur.
sayang anak, sayang anak

 
Salah satu tema yang digaungkan oleh film ini adalah soal ayah dengan anaknya. Mau itu tentara upahan, kroco, maupun pemimpin sindikat narkoba, mereka semua adalah bapak-bapak yang sayang kepada buah hati mereka. Presence anak-anak/remaja akan secara konstan dihadirkan dalam cerita yang nyaris non-stop kekerasan ini. Hingga ke poin, kekerasan terhadap anak jadi hal yang tak bisa dihindari untuk muncul di sini. But hey it’s okay karena film actually punya hal yang ingin disampaikan lewat itu semua. Dalam sekuen setelah midpoint, misalnya, kita akan melihat Tyler harus mengubah taktik perlawanannya karena ia sekarang berhadapan dengan musuh yang masih di bawah umur semua. Aku suka bagian ini, karena development Tyler diposisikan dengan tepat di sana. Sepanjang cerita Tyler, obviously, akan bonding dengan anak yang sedang ia selamatkan. Karena baginya, si anak remaja ini adalah kesempatan untuk menebus dosa atau kegagalan ia buat anak kandungnya. Hati film ini, journey Tyler, berputar pada masalah ia menyingkapi kehilangan anak. Film berusaha mengisi setiap jeda aksi dengan menanamkan persoalan tersebut. Membenturkan Tyler dengan anak-anak jahat adalah layer berikutnya dalam pembelajaran yang harus ia lewati. Anak-anak itu jadi device yang sempurna bagi perkembangan Tyler.

Setiap orangtua, setiap orang dewasa akan merasa bertanggungjawab terhadap anak atau orang yang lebih muda di sekitar mereka. Kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut akan mengakibatkan rasa bersalah. Tyler deals with this feeling. Begitu juga dengan beberapa tokoh pria dewasa lagi dalam film ini. Namun mereka lebih baik daripada Tyler, karena saat kita bertemu dengannya Tyler literally membiarkan dirinya terbenam dalam perasaan tersebut. Misinya di India adalah perjuangan yang membuka matanya untuk terus berenang.

 
Di sinilah letak kekurangdalaman eksplorasi cerita. Yakni ada ketidakseimbangan antara Tyler dengan tokoh anak-anak/remaja, terutama remaja yang ia selamatkan. Anak-anak dalam film ini persis seperti yang diucapkan dalam salah satu dialog; hanya dipandang sebagai objek. Film belum menyentuh mereka sebagai subjek. Dalam kasus anak yang diselamatkan oleh Tyler; pengembangan itu datang terlambat, film hanya menguak permukaannya saja. Anak ini sebenarnya cukup banyak diperlihatkan sebagai tokoh dengan kondisi yang memancing keingintahuan kita. Dia diperlihatkan hobi main piano, dan punya cukup banyak teman. Sebagai anak bos narkoba dia dikawal ke mana-mana, karena bapaknya punya banyak musuh. Film tidak mengeksplorasi ini lebih dalam. Perjalanan anak ini tidak benar-benar paralel dengan Tyler yang seharusnya ia dukung secara journey. Bagi si anak, ini semua adalah persoalan keberanian. Dia yang di awal film bicara ke cewek aja takut, diperlihatkan menjadi orang yang mewarisi keberanian Tyler setelah berkali-kali nyaris mati dan selamat dari inceran orang-orang jahat. Namun semuanya itu memang hanya ditampilkan di awal dan akhir saja, sebatas untuk memperlihatkan ada yang berubah. Film tidak membahas kenapa si anak bisa tumbuh menjadi seperti itu pada awalnya, tidak seperti saat membahas Tyler yang kita bisa mengerti kenapa dia suka minum dan menantang maut.
Selain itu, ada pasangan remaja-dewasa yang lagi yang punya sesuatu yang menarik tapi tidak dibahas tuntas oleh film. Melalui mereka, film ingin memperlihatkan dunia kriminal sebenarnya adalah siklus hasil didikan tak-bertanggungjawab dari seorang pria dewasa kepada anak muda. Kita hanya dikasih lihat mereka ini ada, tanpa pernah diajak untuk menyelami persoalan tersebut – karena hingga film berakhir mereka tetap musuh. Objek untuk dibasmi oleh Tyler. Akibatnya gagasan dan keberadaan film sendiri jadi tidak cocok. Dia bicara tanggungjawab dan pentingnya relasi dan jadi pendukung satu sama lain, tapi bersuara lewat glorifikasi kekerasan seolah Tyler tokoh video game yang mendapat poin dengan membunuhi orang-orang yang dipukul rata semuanya jahat, padahal jelas-jelas banyak pihak dan kepentingan yang terlibat.
 
 
 
With all being said, film ini tidak akan dijadikan teladan dari penulisan ataupun dari penokohan. Terlalu generik, dengan banyak trope dan stereotipe. Ada sudut pandang yang cukup ‘berani’, tapi film memilih untuk tidak menggali. Ceritanya sangat basic, kita seperti sudah menontonnya berulang kali. Akan tetapi, film ini akan banyak dibicarakan orang mengenai teknis pembuatannya. Dia menunjukkan kemungkinan baru dalam merekam adegan berantem. Bagaimana supaya musuh yang mengeroyok tidak kelihatan menunggu. Bagaimana aksi selalu dinamis dan memanfaatkan surrounding dengan tampak natural. Sebagai laga, film ini sukses memenuhi fungsinya. Walaupun masih ada bentuk yang lebih prima dari cerita ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for EXTRACTION.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film ini jatuh ke dalam lubang ‘cerita white savior’? – pahlawan kulit putih datang membereskan persoalan bangsa lain, sementara ada antihero di sana yang perjuangannya lebih personal – Do you think film udah ngasih alasan yang cukup bagi Tyler untuk stay dan jadi penyelamat di sana?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WILLOUGHBYS Review

“When everything goes to hell, the people who stand by you without flinching — they are your family.”
 

 
 
Alessia Cara main film! Berita tersebut tentu saja langsung membuatku menggelinjang. Tapi kemudian gelisah. Begini, ketika nonton film yang melibatkan either orang yang kita kenal atau orang yang kita sukai, yang kita ngefan abiss, rasanya tuh selalu ngeri-ngeri sedap. Karena kita akan berada di posisi pengen objektif alias gak mau terlalu bias, tapi juga khawatir bakal terlalu kritikal terhadap idola sendiri. Ini sama seperti kepada keluarga, kita berharap mereka gak doing something bad karena kita gak mau terlalu keras kepada mereka; kita berharap mereka doing great supaya punya alasan bagus untuk memujinya tanpa dianggap bias. Untungnya, animasi Netflix The Willoughbys yang memang bercerita tentang menyingkapi keluarga dengan hati ini punya banyak keunikan dan hal unggul alami sehingga aku tidak merasa tidak-enak memujinya.
Yang didirect oleh sutradara Kris Pearns dan Cory Evans ini sungguhlah sebuah cerita yang aneh dan tak biasa diusung dalam bentukan tontonan keluarga. Mimpi yang mereka jual tergolong ‘mengerikan’. Bagaimana jika anak-anak menginginkan orangtua mereka pergi? The Willoughbys mengisahkan Tim dan tiga adiknya – Jane dan si kembar, Barnaby – tinggal bersama orangtua mereka di rumah kuno di tengah kota modern. Seperti bangunannya, keluarga ini juga tergolong ‘old fashioned’. Silsilah Keluarga besar Willoughbys penuh oleh orang-orang dengan pencapaian, dan kumis, luar biasa. Semua itu seakan putus pada ayah Tim yang berkumis tipis. Ayah Tim tak peduli pada banyak hal di luar cintanya kepada ibu Tim. Beliau bahkan tidak peduli sama anak-anaknya. Mereka tak mau berbagi makanan kepada Tim, yang malah dikurung di bawah tanah. Mereka melarang Jane bernyanyi. Mereka enggak mau repot ngasih dua nama – dan dua sweater – untuk si kembar. Tim dan saudaranya merasa diabaikan. Mereka jadi kepengen jadi yatimpiatu supaya bisa bebas. Maka mereka mengirim ayah dan ibu ke sebuah paket travel romantis namun amat berbahaya. Tentu saja harapan mereka adalah kedua orangtua mereka celaka dalam perjalanan.

Dan kemudian Mary Poppins dan Willy Wonka jadian dan berpotensi jadi orangtua angkat Tim dan adik-adiknya

 
Gagasan yang berupa kita bisa memilih keluarga kita sendiri, ataupun gagasan untuk tidak merasa terikat oleh orang yang harus kita pedulikan hanya karena punya hubungan darah dengan mereka, tentunya adalah bahasan yang lumayan kompleks dan bisa dibilang cukup kelam untuk anak kecil. Secara bahasa memang tidak ada yang sadis, vulgar, atau gimana. Melainkan film ini punya humor yang receh, dan mirip seperti kartun-kartun konyol di televisi. Namun secara topik, film ini bersuara dewasa. Ia menyinggung kekerasan anak, abandonment, perihal merencanakan kematian. Dan memang akan ada tokoh-tokoh yang menemui ajal, yang dipresentasikan sebagai komedi. Saat membahas cinta laki-laki kepada wanita, film juga tidak mendaratkan kepada anak, ia menghamparkannya sebagaimana anak-anak melihat cinta. Sesuatu hal rahasia yang dilakukan oleh orangtua. Film menampilkan banyak gestur terselubung, but again, dalam sorotan cahaya dark jokes.
Jadi film ini sebenarnya masih satu kotak sama animasi seperti Coraline (2009), atau Frankenweenie (2012), karena sama-sama film anak/keluarga yang horor. The Willoughbys, however, dapat terasa lebih seram karena bahasannya yang sangat dekat. Gak sembarang anak-anak yang aman menonton ini. Paling enggak harus ngerti konsep sarkas dulu, karena jika tidak bisa dengan gampang ketrigger ke arah yang enggak-enggak. Karena di film ini kita akan melihat hal-hal yang mengundang pertanyaan berat bagi anak-anak polos seperti kenapa orangtua benci kepada anaknya, kenapa anak-anak itu enggak dikasih makan, boleh tidak anak benci kepada orangtua dan mengirimnya ke tempat berbahaya.
Di pihak lain, film ini juga lebih warna-warni dan lebih cerah. Berkat visual yang imajinatif dan sangat kreatif. Film ini menggunakan animasi CGI dengan konsep pergerakan yang menyerupai stop-motion. Seperti yang kita nikmati pada film-film LEGO. Dunia yang dihadirkan sangat kartun, rambut para Willoughby ini misalnya, berserat kayak benang. Awannya kayak gula kapas. Dan ada pelangi sebagai pengganti asap dari pabrik permen. Film ini berusaha menyinari elemen kelam ceritanya dengan penampakan dan tone yang ceria. Hebatnya, dua elemen tersebut; cerita yang kelam dan tone yang konyol cartoonish, akan jarang sekali terasa bertabrakan. Ini karena film berhasil mengeset pemahaman kita terhadap logika yang bekerja pada dunianya. Belum apa-apa kita disambut oleh kucing yang bisa berbicara, sebagai narator. Untuk merangkum semuanya, pengalaman nonton film ini sama seperti kita sedang dibacain dongeng, dan kita melihat lembar-per lembar buku dongeng yang penuh warna dan hal-hal unik.
“my kind of fun doesn’t make any sense”

 
Kita semua tahu, dongeng-dongeng klasik sekalipun memang semuanya punya ‘keseraman’. Film ini bertindak sebagai dongeng modern yang gak shy away dari aspek mengerikan yang terkandung dalam gagasan tak-biasanya. Karena film tahu dia punya pesan yang hangat untuk disampaikan. Film ingin berdiri sebagai mercusuar harapan bagi anak-anak yang merasa orangtuanya jahat first, dan kepada anak yang orangtuanya beneran jahat second. Things could get that ugly. Maka anak-anak seperti Tim perlu untuk melihat semua sudut supaya mereka bisa belajar untuk kembali percaya kepada orang dewasa. Karena setiap anak butuh pendamping, baik itu wali maupun orangtua.
Sepanjang cerita kita akan melihat perjalanan Tim dan Jane dan Kembar Barnaby. Kita dipahamkan akar dari mereka jadi bisa berpikir untuk lebih baik hidup tanpa ada orangtua. Kita mengerti kenapa mereka awalnya tidak percaya kepada Nanny yang datang untuk mengasuh mereka. Kita melihat Tim pelan-pelan belajar bahwa punya keluarga itu adalah suatu berkah. Belajar bahwa makna dari keluarga bukan sekadar kesamaan fisik dan tradisi. Melainkan saling menerima perbedaan dan saling menyintai. Alur cerita film ini dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pengembangan pola pikir Tim, tokoh yang difungsikan sebagai wakil dari anak-anak dalam keluarga yang broken atau disfungsional. Kepercayaannya terhadap peran masing-masing dalam sistem keluarga perlahan timbul. Hampir seperti ia menyerah, kelihatannya bagi kita, saat Tim memutuskan untuk menempuh perjalanan jauh demi menjemput dan menyelamatkan nyawa orangtua mereka. Tapi sekaligus kita lega. Karena itulah satu-satunya cara. Anak butuh orangtua. Kemudian film mendaratkan kita kembali bahwa kadang keluarga itu just not working. Kadang orangtua memang begitu egois. Kadang mereka memang jahat. Tapi pada saat itu, Tim dan adek-adeknya sudah paham nilai sebuah keluarga. Perjalanan mereka telah sempurna, maka cerita memberikan mereka ‘hadiah’. Resolusi yang diberikan film ini sungguhlah manis. Kita mungkin sudah bisa melihat hal ini datang, tapi endingnya akan tetap nonjok karena kita sudah terinvest sama tokoh-tokoh colorful yang dihadirkan.

Keluarga bukan soal rumah. Bukan juga semata soal darah. Terkadang, keluarga adalah soal orang-orang yang memilih untuk bersamamu. Orang-orang yang ada di dekatmu tanpa diminta. Terkadang, memang orang pilihanlah yang membuat keluarga terbaik.

 
Tokoh-tokoh tersebut sekilas memang tampak satu dimensi. Tapi jika kita teliti, film sebenarnya memberikan mereka lapisan, hanya saja elemen komedi yang membungkusnya terlalu menghalangi. Orangtua Tim saling cinta, mereka bisa survive dari apa aja berkat kekuatan cinta mereka. Tapi mereka jahat kepada anak-anaknya, dan kepositifan dari cinta itu terhalangi karena film menunjukkannya sebagai ‘kekuatan’ jahat – orang-orang actually celaka di sekitar cinta mereka. Nanny yang baik hati juga dibeberkan punya masa lalu sebagai anak yatim sehingga kita punya ruang untuk mengenali emosinya. Commander Melanoff juga diperlihatkan bukan sekadar sebagai orang aneh yang punya pabrik permen, selalu ada sesuatu di balik penokohan, meskipun memang sebagian besar dimainkan sebagai komedi oleh film ini. Sehingga bisa dengan mudah teroverlook dan membuat tokohnya satu dimensi. Aku sih berharapnya mereka ngecilin sedikit volume kekonyolan agar karakter dapat bersinar. Namun justru ekstrimnya rentang konyol dan dark-nya itulah yang menjadi appeal dan gaya film ini.
And finally, saatnya membahas Alessia Cara yang memulai debutnya sebagai bermain akting pengisi suara. Film ini berisi jejeran seperti Maya Rudolph (yang enerjinya menghidupkan film ini ke level maksimal) ataupun Tim Forte, dan even Ricky Gervais yang terdengar natural sebagai kucing pemalas. Alessia paling muda di sini. But I gotta say, suaranya cocok sekali dengan karakter Jane. Terdengar ringan dan sedih bersamaan. Juga penuh optimisme. Salah satu ciri Jane adalah kalimat ‘what if’. Dialah yang pertama kali mengajukan ide ‘membuang’ orangtua mereka. Tokoh ini penuh oleh ide liar, yang dihidupkan dengan klop oleh akting suara Alessia. Lagu yang dinyanyikan oleh tokoh ini kupikir bakal bisa ngehits karena sangat efektif sebagai klimaks emosional dalam cerita.
 
 
 
 
Dark jokes pada elemen cerita – anak yang pengen jadi yatimpiatu biar bebas – berusaha disamarkan film lewat kekonyolan dan warna-warni pelangi khas kartun. Campuran dua tone inilah yang menjadikan film unik. Visual dan design karakter dan dunianya jelas santapan bagi mata dan imajinasi. Film ini juga punya cerita yang manis tentang menemukan sebuah keluarga. Memahami makna sebuah keluarga. Tapi aku juga bisa melihat film yang diadaptasi dari buku ini bakal membuat penonton terbagi dua. Atau setidaknya merasa was-was dan berpikir dua kali untuk menayangkan ini kepada buah hati. But oh boy, animasi berani seperti ini sedang ‘menang’ ketimbang animasi ‘isi angin’. Dari sisi yang lebih aman, kita sudah dapat Onward (2020), lalu yang sedikit kontroversial dan berani seperti ini ada Red Shoes and The Seven Dwarfs (2020). Yang sebenarnya diminta oleh film-film seperti ini adalah duduk menonton bersama keluarga, sebab pertanyaan berat akan mereka hadirkan, dan diskusi terhadap itulah yang coba dihadirkan
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE WILLOUGHBYS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film ini cocok ditonton untuk anak-anak?
Dulu waktu kecil aku kalo ngambek sering berangan-angan minggat dan kabur jadi anak keluarga lain yang lebih keren. Apakah kalian pernah mengalami hal yang sama? Pernahkah kalian menganggap orangtua jahat?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FANTASY ISLAND Review

“Revenge is best left to fantasy”
 

 
 
Dalam imajinasi pembuatnya, tentulah sebuah karya akan sangat keren. Kita senang berpikir ide kita groundbreaking, akan bikin semua orang kagum; bahwa kita sangat cerdas dan punya jawaban atas semua masalah yang bakal menghadang. Namun kenyataan seringkali berkata lain. Film Fantasy Island pastilah dianggap pembuatnya sebagai reboot yang unik. Sutradara Jeff Wadlow memastikan tim penulis menelurkan alur yang gak tertebak, dengan balutan dialog komedi yang happening. Dalam fantasinya, film ini cerdas dan efektif sebagai horor mainstream yang seru menegangkan. Kenyataan menghantam keras-keras. Setelah ditonton, mata kita akan terbuka atas seperti apa rupanya film yang uninspiring, boring, dan sok keren.
Fantasy Island mengusung konsep yang serupa dengan serial televisi awal 80-an yang sedang berusaha ia tiupkan napas baru ini. Tentang sebuah pulau yang bisa ‘mendengar’ keinginan terdalam hati manusia dan mewujudkannya ke dunia nyata. Pulau tersebut dikelola oleh Mr. Roarke, seorang pria misterius berstelan putih. Pada setiap episodenya dibuka dengan pesawat yang datang ke pulau, membawa beberapa tamu sebagai ‘pasien’ dari Mr. Roarke; yakni orang-orang yang bakal hidup dalam fantasi masing-masing, dan belajar bahwa imajinasi bisa begitu liar sehingga menjadi tak-terkontrol dan bagaimana seharusnya kita tidak terlena oleh khayalan. Film Fantasy Island terbaru ini mencoba untuk menekankan kepada aspek horor supranatural dari konsep kekuatan pulau tersebut. Kita akan melihat lima orang tamu datang ke pulau untuk ‘terapi’. Mereka bersalaman dengan Mr. Roarke (yang miscast banget diperankan oleh Michael Pena; ini kayak kalo Dwi Sasono disuruh meranin tokoh misterius) dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan imajinasi mereka, hingga fantasi tersebut menjadi terlalu mengerikan dan nyata-nyata berbahaya!

karena ini rated PG-13, maka bahkan ngayal pun ada aturan dan etikanya

 
Konsep orisinal Fantasy Island itu lantas dengan segera membuat film ini kewalahan. Naskahnya enggak cukup kompeten untuk merangkul segitu banyak tokoh – segitu banyak kepala dan motivasi. Arahannya pun tidak tampak cukup peduli untuk menghasilkan sesuatu tontonan yang lebih berarti daripada sekadar pengisi dompet dan produk generik. Fantasy Island kekinian ini bingung, film seperti tidak bisa memutuskan tokoh mana yang jadi karakter utama. Posisi sebagai protagonis cerita akan dipingpong dari satu tokoh ke tokoh lain sepanjang durasi, karena ada begitu banyak twist and turn dalam alur cerita. Jadi, kita yang nonton juga bengong. Siapa yang harus ‘dijagokan’. Kita tidak tahu mana yang sudut pandang utama yang menjadi batang tubuh cerita. Apakah ini tentang Mr. Roarke yang memilih untuk jadi abdi pulau karena ia punya gelora desire pribadi yang tak kunjung padam. Atau tentang salah satu dari lima tamunya. Kita punya cowok pengecut yang pengen mencoba jadi tentara supaya bisa ketemu ayahnya yang pahlawan perang. Lalu ada seorang wanita yang menyesal menolak lamaran dari pria yang ia cintai. Berikutnya ada dua bersaudara (Candy Andy dari 2 Broke Girls dan Jian-Yang Silicon Valley jadi kakak-adek di sini hahaha!) yang pengen ngerasain hidup mewah dan berpesta sepanjang malam. Lalu ada Lucy Hale yang jadi korban bully semasa sekolah, jadi sekarang ia pengen mewujudkan imajinasinya menyakiti si pembully, tapi nantinya dia harus berkonfrontasi dengan si pembully yang sekarang sudah insaf dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak satupun dari lima (atau tepatnya, tujuh) sudut pandang tersebut yang inspiring karena mereka semua gak punya motivasi yang jelas. Film banyak menutup-nutupi demi tujuan ngetwist. Journey masing-masing jadi tidak bisa kita ikuti sebagai akibat dari tujuan tersebut. Karena kita tidak pernah benar-benar mengenal para tokoh. Mereka cuma spektrum-spektrum yang diurai bebas, yang bahkan antara satu dengan yang lain tidak ada benang merah atau keparalelan selain bahwa mereka semua bercela karena rakus dan terbuai oleh imajinasi.

Bagi kebanyakan manusia, fantasi adalah tempat paling aman untuk melampiaskan balas dendam. Karena balas dendam itu sendiri sama persis dengan hutan – kita akan mudah tersesat dalam mengarunginya. Terlalu jauh berkubang dalam misi balas dendam akan membuat kita kehilangan jejak terhadap siapa diri kita dan tujuan pada awalnya. Maka dari itulah, sebaiknya balas dendam itu jangan diwujudkan. Biarkan saja jadi imajinasi, supaya memotivasi untuk memperbaiki diri. Bukannya melampiaskan, sebab sesuatu yang telah terjadi tak akan bisa kita tarik kembali.

 
Banyaknya tokoh ini biasanya akan berujung ketidakseimbangan tone jika digarap oleh arahan dengan visi tidak kuat dan cerita yang ala kadar. Inilah yang persis terjadi pada Fantasy Island. Masing-masing fantasi punya tone yang berbeda. Ada yang lebih ke drama. Ada yang petualangan. Ada yang torture-horror level ‘balita’. Dan ada komedi yang gak-lucu. Komedi adalah salah satu usaha terburuk yang dilakukan oleh film ini. Tek-tokan dialognya garing, terlalu sok nge-hip dengan referensi pop-culture. Para tokoh gak punya karakter, mereka cuma makhluk-makhluk sok asik. Tokohnya si Lucy Hale, misalnya, tanpa alasan dia ngeflirt dengan agresif begitu saja. Ketika bicara fantasy experience, bagian tokohnya memang cukup seru. Begitu juga dengan bagian tokoh yang berfantasi di hutan perang. Namun begitu film membawa kita ke fantasi pesta di rumah, kegaringan akan kembali menyatroni. Dan ketika film membawa kita ke drama wanita yang ingin ngerasain hidup bahagia berumah tangga, film seketika menjadi dead-beat membosankan. Bahkan film ini sendiri tahu cerita tokoh wanita yang berfantasi menikah itu going nowhere, maka setelah pertengahan, film membuat tokoh ini mengubah permintaan fantasinya – yang membuat film melanggar sendiri aturan yang sudah ia tetapkan sebagai mekanisme konsep pulaunya.
Pulau itu punya aturan. Ada syarat dalam menampilkan fantasi kepada pengunjungnya. Maka, pulau dalam film ini seharusnya bertindak sebagai karakter tersendiri. Dia digambarkan punya aksi dan jalan pikiran sendiri. Tapi lagi-lagi, film tidak mampu untuk mengembangkan ini. Peraturan yang menjadi mekanisme dan karakter pulau, dilanggar begitu saja. Jika di awal kita mungkin sedikit tertarik pada bagaimana sebenarnya pulau ini bekerja, maka semakin ke akhir ketertarikan itu menguap ke udara karena clearly film hanya mampu menampilan pulau sebagai gimmick dan alasan untuk keberadaan zombie mata-item yang sama sekali enggak mengerikan.

sudah bisakah kita pindah ke Pleasure Island?

 
Setelah nonton, di Twitter aku actually ngepost cuplikan adegan dari dua menit pertama film ini. Adegan yang langsung dengan tepat melandaskan kebegoan naskah dari kesimpelan tokoh dan penulisan dialognya. Adegannya berupa seorang cewek lari dikejar-kejar seseorang di malam hari, dia masuk ke rumah, ngumpet di balik meja, dan kemudian telefon di atas meja itu berdering, yang ia lantas jawab; dengan panik minta tolong ke siapapun penelfon itu.
Setidaknya ada dua kebegoan pada adegan tersebut. Pertama; Si cewek memilih sembunyi di balik meja yang tengahnya bolong (hanya karena naskah butuh dia untuk menjawab telepon). Dan kedua adalah; Kalimat si cewek saat ngangkat telfon masuk “Aku diculik di pulau aneh” – ini adalah kalimat yang tidak akan terjadi di logika nyata. Melainkan adalah dialog yang sangat artifisial. ‘Di pulau aneh’ itu adalah informasi yg sebenarnya disampaikan buat penonton – cara film menyampaikan/menanamkan setting cerita yang tergambar pada naskah. Si penelpon tak butuh informasi itu. Karena mana ada orang yang nelfon suatu tempat tapi tidak tahu tempat yg ia telfon. Sehingga reaksi si cewek yang lagi dikejar-kejar tak tepat (gak make sense). Normalnya adalah ia akan bilang “Tolong aku diculik, ini di mana?”, ia tidak perlu membuang kesempatan berharga menjelaskan tempat seperti apa kepada orang yang menghubungi tempat itu. Dialog itu lebih tepat jika adegannya adalah si cewek yang menelepon duluan. Jadi, sedari menit awal aja film ini udah nunjukin kecenderungan untuk spouting information, alih-alih bercerita.
Dan memang sampai akhir, isi dialog film ini adalah tokoh-tokoh yang nyerocos info aja. Setiap adegan ngobrol isinya pasti seseorang ngebeberin kisah hidupnya ataupun alur cerita yang tidak mau repot-repot digambarkan oleh film. Oh sepertinya itu ibu si anu. Benar, aku melihat mata mereka mirip. Kalo begitu dialah yang jahat. Ya, dia sengaja blablabla. Film gemar sekali menjelaskan hal-hal gak penting, mengejakan kepada kita informasi apa yang harus kita mengerti untuk saat itu, karena beberapa adegan kemudian informasi yang sudah dijejelin ke kepala itu jadi tidak berguna karena selalu bakal ada twist. Twist ini nanti dijelaskan lagi – para tokoh akan ngobrol lagi, ngadep ke kamera biar kita merasa bagian dari mereka – mereka akan nyebut hal-hal yang tidak pernah dibuild up lagi kepada kita, untuk kita percaya, dan kemudian akan ditwist lagi. Begitu seterusnya. Misteri film ini adalah omong-kosong yang bergerak semau pembuatnya aja. Dan bahkan dengan penjelasan terus-menerus tersebut, twist pamungkas film ini tetap saja gagal untuk dimasukakalkan. Kita bukannya tidak mengerti alur ceritanya. Kita hanya tidak mengerti kenapa film seperti ini bisa eksis tayang di bioskop.
 
 
 
Aku tahu banyak dari kalian yang sudah mendengar betapa jeleknya film ini, atau sudah mengalami sendiri betapa memalukannya tayangan ini. Aku sendiri bahagia sudah melewatkan ini di bioskop. Dan sekarang, aku di sini untuk menjelaskan kenapa film ini begitu bego. Karena filmnya enggak berniat bercerita. Film ini terobsesi menjadi hits maka ia masukkan banyak komedi cringe, banyak twist-and-turn gak masuk akal, banyak tokoh-tokoh bloon supaya penonton bisa merasa lebih baik daripada mereka. Keseluruhan paket film ini bukanlah tontonan yang menyenangkan. Kuharap film ini hanyalah fantasi pembuatnya aja. Sayangnya, ini adalah kenyataan yang harus kita endure bersama.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FANTASY ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
What’s your deepest fantasy? Seberapa besar fantasi itu berperan dalam hidup kalian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE TURNING Review

“We all go little mad sometimes”
 

 
 
The Turning sedianya memang bikin kepala kita berputar-putar saat berusaha mencerna yang sedang ia ceritakan. Apakah hantunya nyata atau tidak. Apakah kejadian dalam film ini beneran terjadi atau bukan. However, horor sebenarnya yang mengendap-ngendap di balik cerita ini adalah soal betapa menjadi gila itu merupakan hal yang paling menakutkan di seluruh dunia.
Diperankan dengan ceria (pada awalnya loh ya, pada awalnya) oleh Mackenzie Davis, Kate Mandell menerima kerjaan menjadi pengasuh pribadi seorang anak perempuan yang mengalami trauma karena melihat orangtua meninggal. Kate tahu persis rasanya besar jauh dari orangtua, maka ia dengan personal menganggap pekerjaan barunya tersebut sebagai tugas mulia. Kate sempat mampir dulu menengok ibunya yang dirawat di tempat yang sepertinya adalah sebuah rumah sakit jiwa, sebelum berangkat ke rumah sang anak di pedalaman terpencil. Rumah yang ternyata sangat besar, halamannya luas, ada istal kuda segala. Sedangkan penghuninya cuma dua orang, si anak yang bernama Flora (yaay akhirnya Brooklyn Prince yang natural banget di The Florida Project dapat film lagi) yang ternyata cerdas dan adorable banget, dan pelayan rumah yang tampak sedikit kaku dan misterius. Kenyamanan Kate bekerja di sana mulai terusik tatkala penghuni lain rumah itu – Miles (Finn Wolfhard menggali sisi creep dan dark-nya), abang Flora yang sudah remaja – kembali karena dikeluarkan dari sekolah. Hubungan mereka gak akrab. Miles ini selain jail, juga creepy banget. Ditambah pula, Kate menemukan buku harian milik pengasuh anak-anak sebelum dirinya. Kate belajar kejadian mengerikan sepertinya pernah terjadi di antara pengasuh tersebut dengan instruktur berkuda yang akrab dengan Miles. Kini keduanya telah almarhum, tapi Kate merasa arwah mereka masih berada di sana. Corrupting the mind of the children. Sekaligus meneror dirinya.

Ssst jangan bilang-bilang kami pernah main film kayak gini yaa

 
Cara terbaik kita menonton film ini mungkin adalah dengan menganggapnya sebagai cerita wanita yang menjadi gila. Aku menyebutnya ‘mungkin’ karena memang tidak ada yang pasti dalam film ini. Sutradara Floria Sigismondi tidak menebarkan cukup banyak bukti-bukti penentu untuk kita memecahkan misterinya. Karena film didesain untuk bergerak dalam konteks membingungkan. Tema yang bergaung kuat pada novel The Turn of the Screw yang merupakan materi asli horor ini adalah disorientasi. Bahkan narator pun dipersembahkan sebagai orang yang tidak bisa kita percaya. Kegilaan tadi itu adalah bawaan dari materinya. Sedangkan Sigismondi mengadaptasi ini dengan lumayan ambisius. Ada pesan kekuatan perempuan yang turut ia gulirkan di bawah cerita.
Konflik sentral pada The Turning adalah hubungan antara Kate dengan Miles. Wanita muda yang mandiri ‘versus’ cowok abg yang gede dalam lingkungan berprivilege. Adalah Kate yang pertama kali mampu melihat Miles tumbuh menjadi pribadi yang bermasalah. Dia arogan, full of himself, suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan, dan percaya bahwa kuda harus dikerasin biar nurut – dan siapa yang tahu seberapa jauh jangkauan kepercayaan Miles tersebut, apakah dia juga menganggap manusia harus dikerasin dahulu? Mungkin karena prinsip itulah Miles juga agak semena-mena sama Kate; dia sebenarnya ingin berteman. Namun interaksi mereka semuanya sangat awkward. Miles tampak seperti stalker di mata Kate. Wanita ini – set to be the best parents or whatever – berusaha untuk memperbaiki sikap Miles. Kate tidak mau menyerah, ia terus mengulik akar perangai Miles. Ia sampai pada kesimpulan Miles berpanutan kepada orang yang salah. Sosok Quint si instruktor berkuda lantas menghantui pikiran Kate, just like ia menghantui Miles seperti dalam pikiran Kate.
Sutradara mengikat visinya dengan materi cerita di sini. Sumber kegilaan Kate adalah pengaruh Quint yang kuat melekat. Terwujud sebagai hantu Quint, dalam pikirannya. Ini menantang Kate sebegitu kuatnya. Kate merasa gagal dan gak cukup kuat, dan orang yang ia kenal yang gagal ‘memperbaiki’ anak adalah ibu kandungnya. Yang sekarang melukis di fasilitas penyembuhan mental. Main force di balik perjalanan karakter Kate adalah dia takut menjadi seperti ibunya, ia takut gagal mengasuh Miles dan Flora (Kate gagal total menyembuhkan ketakutan Flora untuk bepergian keluar dari gerbang rumah). Maka tokoh ini perlahan semakin panik dan jadi gila sendiri. Sedari luar, film menampilkan ini lewat semakin intensnya gangguan hantu-hantu. Suara-suara yang Kate dengar, wajah-wajah di cermin. Sedangkan dari dalam, film memperlihatkan perubahan Kate lewat bukti-bukti visual. Kita bisa menangkap ini dengan membandingkan penampilan dan sikap Kate dengan sosok pelayan rumah Mrs. Grose (Barbara Marten menyuguhkan permainan akting paling kuat di sini, karena berhasil memainkan misteri yang ia ketahui dengan sangat mengundang). Kate dan Grose awalnya kontras sekali. Kate selalu memakai baju-baju berwarna terang, sementara Grose berwarna abu-abu. Nyaris menyatu dengan latar rumah. Dua tokoh ini juga melambangkan dua aspek yang berlawanan. Yang satu adalah perlambangan kepatuhan yang dapat berujung sesuatu yang lebih fatal. Dan satunya lagi adalah perjuangan dengan resiko gagal yang membuat hilang akal. Sepanjang cerita berjalan, Kate berkembang menjadi campuran yang parah-parah dari kedua tokoh ini. Dia cerah namun juga semakin kelabu.

Orang gila, meskipun bakal pasti masuk surga, tapi di dunia selalu tampak menyedihkan. Umum bagi kita untuk mengucilkan orang gila, dulu istilahnya ada yang dipasung, dikurung di rumah sakit, disuntik macem-macem. Bahkan tak jarang diasosiasikan sebagai kemasukan setan. Maka kita naturally takut dianggap gila. I mean, bagaimana pun juga ketika sudah dicurigai gila, kita membantah segimanapun hanya akan dianggap semakin gila. Jadi kita takut gila bukan karena gila itu sendiri. Sehingga banyak dari kita yang gak sadar bahwa jadi gila itu sebenarnya mudah, losing touch with reality adalah penyakit yang bisa saja timbul dari ego, kesombongan, dan penyakit hati lainnya. Kita harusnya takut pada hal ini. Takut bahwa kita semua sudah pernah gila sesekali.

 
It’s a lost cause bagi Kate. Bukan lagi masalah apakah kegilaan ibu menurun kepadanya, atau ia gila diganggu hantu beneran atau enggak. Poinnya adalah, kejadian di rumah tersebut – masalah sikap dua anak itu – terlalu gede untuk ia tangani. Ketakutannya bukan kepada hantu. Melainkan kepada kegagalan dan kepada jadi gila seperti ibunya; terkucilkan, dianggap aneh. Inilah membuat ia jadi benar-benar gila. Atau paling tidak, rusak seperti boneka milik Flora yang ia jatuhkan.

Are you me or am I you?

 
Meski gagasan yang diusung film ini dapat diterima. Kita memutar otak cukup keras dan menjangkau cukup jauh – mau tak mau harus berpedoman kepada sumber aslinya, dan baru dapat mengerti dan menerima. Tapi semua itu tetaplah gak bisa dijadikan alasan untuk menyampaikan cerita seperti yang dilakukan oleh film ini. Disorientasi yang jadi tema utama digambarkan oleh film ini  lewat kabut-kabut, lewat labirin, lewat adegan mimpi yang disebar, dan ultimately flat out mengecoh penonton. The Turning turned out to be exactly like modern horror. Penuh jumpscare, sinematografi yang ala-ala goth sebagai appeal. Dan punya twist. Ini mengidap penyakit film kontemporer yang membangun cerita dengan premis ‘ternyata’. Dan memang hanya ‘ternyata’ itulah yang dipunya oleh film ini.
Menge-spoil apa yang terjadi di menjelang akhir film ini actually adalah tindakan yang lebih respectful ketimbang sekuen di menjelang akhir film itu sendiri. Aku benar-benar gak bisa paham kenapa pembuat yang punya visi mau-mau saja mengambil arahan seperti yang dilakukan oleh film ini. Kenapa mereka tidak mengambil rute lain yang lebih menghormati penonton. Jadi; false resolution cerita yang berlangsung sekitar sepuluh menit sebelum ending adalah ternyata semua yang Kate alami sejak masuk babak tiga hanyalah ada di dalam kepala wanita ini semata. Hanyalah imajinasi yang menunjukkan seberapa gilanya dia. Sehingga kita yang menonton, yang sudah melihat perjuangannya untuk kabur dari sana, yang sudah menyaksikan untuk melihat Kate menemukan jawaban dan pembelajaran, dikecoh sebab ternyata film ini sama sekali tidak memberikan penyelesaian. Tidak ada solusi asli. Yang kita lihat sepanjang film adalah wanita yang perlahan menjadi gila, dan tidak ada kesembuhan. Film bisa berakhir lebih cepat tanpa harus perlu ada sekuen false resolution yang ternyata beneran mengecoh. Tidak ada aksi, pilihan, yang sesungguhnya dilakukan. Ini seperti menonton adegan mimpi yang panjang sekali.
Film ini hanya ingin menunjukkan Kate jadi gila. Itu saja. False resolutionnya berfungsi untuk menyampaikan informasi hantu-hantu itu gak ada. Namun film melakukan dengan cara yang mengecoh kita. Mereka gak mau repot nyari penyampaian false resolution yang lebih baik. Dan bahkan settle di ‘Kate gila’ juga tidak menjawab semua pertanyaan yang dipancing oleh film. Kepala manekin yang bergerak sendiri saat Kate pertama bermalam di sana. Lukisan ibunya yang seolah jadi pertanda. Misteri kematian Quint. Bagaimana dengan Flora yang melukis hantu persis seperti imajinasi Kate – jika hantu-hantu itu beneran dalam kepala Kate. Film tidak komit membahas ini, dengan tidak pernah tegas menginformasikan sesuatu yang krusial seperti anak-anak ini beneran bandel dan sengaja ngeprank. Atau ibunya beneran gila dan lukisannya tak berarti apa-apa. Dan dengan agendanya sendiri, film justru seperti menghukum protagonisnya sendiri tanpa alasan yang jelas.
 
 
 
 
Aku sebenarnya sudah sangat enjoy menonton ini. Aku masih bisa memaklumkan jumpscare, ataupun pemilihan musik yang agak ngerock yang gak klop dengan tone cerita. Aku menikmati penampilan akting para tokoh, meski ada beberapa yang sedikit overacting. Dan karena film enggak pernah benar-benar memberi kita sesuatu untuk dipegang, nonton ini tuh sepanjang durasi memang sebatas pengen lihat penyelesaiannya. Namun ternyata film mengecoh, dia tidak punya penyelesaian, ending film hanya berfungsi sebagai konfirmasi tokohnya gila. Kalo ada yang perlu diperbaiki, maka itu bukanlah wajah boneka. Melainkan sekuen false resolution yang menghina kita itu, adegan-adegan repetitif prank anak-anak, adegan mimpi. Hampir semuanya ya ternyata haha.. Yang mau aku tekankan adalah film tentang perjalanan deteriorating seorang tokoh mestinya bisa lebih terhormat daripada ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE TURNING.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kate membayangkan skenario kabur dari rumah dengan melihat lukisan ngasal ibunya, di titik inipun dia belum sadar dirinya gila. Dia sadar setelah konfrontasinya dengan anak-anak menjelang ending. Menurut kalian, in real life, bagaimana cara kita tahu kita sudah gila?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MARIPOSA Review

“Do not chase people.”
 

 
 
Mariposa akan bekerja dengan lebih baik jika dijadikan berfungsi sebagai cautionary tale – kisah peringatan – tentang naksir sampe mengejar cinta sesungguhnya dapat bermetamorfosis menjadi hal yang menjurus ke pelecehan atau interaksi yang tidak ‘sehat’. Hanya saja sutradara Fajar Bustomi mengarahkan cerita ini ke ranah romantisasi. Khas anak remaja yang mendambakan kehidupan cinta ajaib yang berbunga-bunga mekar pada waktunya.
Sebagian besar cerita akan mengambil tempat di lingkungan terdekat dengan remaja. Di sekolah, di rumah, ini adalah tempat-tempat sakral bagi remaja sebagaimana dua tokoh sentral cerita ini juga mendapat nasihat, masukan, dan bahkan larangan dari orangtua maupun sahabat perihal kehidupan sosial dan pendidikan mereka. Kita bertemu dengan Acha, gadis jago kimia, lagi curhat sama sahabatnya. Acha sudah lama naksir berat ama cowok pinter di kelas, si Iqbal, tapi si cowok ini cuek sehingga kini Acha sudah gak tahan lagi. Diwanti-wanti oleh sahabatnya, Acha justru semakin menggebu. Dia mendatangi Iqbal. Ngenalin diri. Nyerocosin eksposisi dalam waktu kurang dari lima menit. Kemudian practically ‘nembak’ Iqbal. Reaksi yang ia dapat? Dingin. Iqbal yang lebih tertarik memenangkan olimpiade sains tidak mempedulikan Acha. Namun ini malah membuat Acha semakin manja (dan maksa) dan terus mengejar Iqbal. Di lain pihak, si cowok ini gak bisa begitu saja mencampakkan Acha, karena mereka harus bekerja sama sebagai tim dalam olimpiade, mewakili sekolah mereka.

sekolah jaman now, hukumannya bukan bersihin wc, melainkan bersihin kolam renang!

 
 
Hal berbeda yang ditawarkan oleh film yang berangkat dari cerita di platform Wattpad ini adalah lekatnya para tokoh dengan ‘profesi’ mereka yakni pelajar. Biasanya cerita-cerita remaja meskipun lokasinya di dalam kelas, tapi jarang sekali menampilkan mereka belajar. Persoalan nilai atau prestasi akademik tak dibahas, tokohnya pada sibuk pacaran aja. Ini semua bisa ditelusuri akarnya, yakni pengaruh trope film-film barat bahwa dalam kelas sosial remaja, tokoh yang suka belajar alias pintar akan mengisi sebagai karakter cupu. Biasanya mereka akan jadi sidekick atau sahabat dari tokoh utama yang biasanya adalah anak baru atau berstatus anak yang biasa-biasa saja. Lawan dari karakter pintar dan cupu adalah tokoh populer, entah itu jago olahraga, atau supercakep, dan mereka ini biasanya jadi karakter antagonis dan seringkali suka membully. Dalam Mariposa, trope khas cerita barat seperti demikian tidak ada.  Trope ketimuranlah yang kental; kepintaran dihormati dan anak-anak pelajar mengambil posisi teratas di kelas sosial mereka. Acha maupun Iqbal tersohor di sekolah karena kepintaran mereka. Cerita pun mengaitkan konfliknya kepada aspek ‘pekerjaan’ mereka sebagai pelajar saat kita diperlihatkan momen-momen mereka membahas soal dan adegan di olimpiade sains. Pendidikan dijadikan salah satu poros utama, dan ini sesungguhnya dapat membawa gambaran dan pengaruh yang baik bagi penonton remaja, terutama yang sering ‘terwarnai’ oleh cerita remaja di barat yang situasinya tidak serta merta cocok. Kita tetap bisa menjadi anak pintar sekaligus cakep, populer, dan ya bahkan bisa punya pacar.
Pacar. Persoalan klasik anak muda. Meskipun film cukup menonjolkan kehidupan tokohnya sebagai anak sekolahan, tapi yang namanya remaja tetaplah remaja. Bagi mereka punya pacar itu adalah nomor satu. Bagi penonton yang lebih dewasa, konflik utama film ini besar kemungkinan akan terasa receh. Motivasi nomor satu Acha (lebih penting di atas menang olimpiade!) adalah punya pacar. Pacar bukan sembarang pacar. Iqbal. Harus Iqbal. Motivasi tokoh sesepele ini sebenarnya bukan masalah, it doesn’t necessarily make or break a movie. Ambil contoh salah satu karya Bustomi yang lain, Dilan 1990 (2018), di film itu motivasi Milea sang tokoh utama adalah mengenang cintanya waktu SMA. ‘Kecil’ sekali, tapi kita gak bisa bilang filmnya jelek hanya karena kita gak menganggap penting persoalan si tokoh. Melainkan kembali kepada penceritaannya. Mariposa ini persis Dilan 1990. Dengan role tokoh di balik. Tokoh utama ceweknya di sini lebih aktif. Sebagai tokoh utama, Acha lebih masuk, fit into structure, ketimbang Milea. But somehow, ceritanya terasa lebih ‘parah’.
Dilan dengan gombalan. Acha dengan centil manja. Sesungguhnya masing-masing tokoh ini adalah sisi dari satu koin yang sama; koin cringe alias koin bikin-geli-telinga. Adhisty Zara sangat pas memainkan karakter ini, dialog-dialog panjang ditampilkannya effortless dalam nada manja. Ini peran yang tampak paling nyaman dimainkan oleh Zara sepanjang karir filmnya yang masih muda. Tapi jika kita melihat perkembangannya; Zara dapat recognize pertama dari perannya sebagai Euis yang berkonflik dengan ayah yang mendadak miskin, lalu jadi tokoh yang hamil di usia sekolah, sebagai Acha yang sepertinya tidak begitu berbeda dengan remaja keseharian, dengan range yang relatif lebih sempit – She nails it, hanya saja tantangannya enggak besar –  Mariposa ini bisa dibilang sebagai kemunduran bagi Zara. Kelakuan Acha yang sangat agresif mengejar cinta Iqbal ditampilkan sebagai perbuatan yang lucu.  Disuruh ngelupain Iqbal, dia malah bilang jadi semakin kangen. Di dalam kelas, Acha yang pinter bisa mengerjakan latihan dengan lebih cepat dari siapapun, sehingga dia bisa memandangi pemandangan di kursi sebelahnya; tak lain-tak bukan adalah Iqbal. Acha ngomong, ngomong, dan ngomong dia suka kepada Iqbal, bahkan mengaku sebagai pacarnya padahal Iqbal bukan sekali dua kali menolak dan menunjukkan ketidaksukaan terang-terangan kepada Acha. Di mana ada Iqbal, di suatu tempat dekat situ ada Acha yang siap mendekati. Dia minta nomor telepon, begitu gak dikasih; ia cari sendiri. Acha terus berjuang, menahan diri untuk ‘menyerang’ Iqbal adalah hal yang susah buat Acha; tak-tertahankan. Baginya ini seperti menangkap kupu-kupu; terkejar tapi tak tergapai.
‘Unrequited love’ pada seni selalu dipandang sebagai elemen yang romantis. Cinta yang indah, begitupun tragis. Mariposa menampilkannya lewat warna-warni yang cerah, film ini terhampar penuh warna. Karena ini adalah cara Acha memandangnya; perjuangan cinta yang cute. Tapi ada batasan antara perjuangan dan perbuatan yang menjurus ke harassment. Salah satu filosofi Acha mengenai dirinya dan Iqbal adalah bahwa dia air dan Iqbal batu. Acha ingin menetesi Iqbal sampai berlubang karena menurutnya begitulah air dan batu bersatu. It’s a really twisted philosophy sebab batu yang kena air itu berlubang dan eventually bisa hancur. Dengan konstan ‘meneror’, memaksa Iqbal jatuh cinta kepadanya, bukan tidak mungkin hidup Iqbal beneran hancur karena Acha. Dan film actually memberikan penyelesaian dan ending yang menampilkan karakter Iqbal yang kayak ‘rusak’. Less-humane kalo boleh dibilang.
MariPusAp setiap kali Acha nyebut dia pacar Iqbal di Mariposa

 
Interaksi apapun, dari dan kepada siapapun, yang sifatnya tidak ada konsen mutual – dalam artian yang satu ngerasa seneng, yang satunya lagi merasa gak nyaman, atau dirugikan, atau direndahkan – masuk ke dalam kategori pelecehan. I mean, bayangkan kalo posisinya di balik. Iqbal ngejar-ngejar Acha meski sudah ditolak; mungkin akan ada bahasan restraining order dalam cerita. Namun jika pelakunya cewek, justru cowok yang menolak dan membentaknya yang dianggap berhati batu. Film bahkan nunjukin ada tokoh cowok pinter (kali ini tipe cupu) satu lagi yang nunjukin ada rasa ama Acha, tapi Acha yang cinta ke Iqbal menganggap si cupu itu mengganggu dan bikin sebal. Ini semacam standar ganda pada film. Tidak pernah ada konsekuensi pada Acha. Padahal mengejar orang yang enggak mau sama kita sebenarnya juga bisa bikin hidup sendiri berantakan. Kita bisa kehilangan kesempatan merasakan cinta yang asli, kita bakal halu sehingga mudah dimanfaatkan orang, apalagi kalo orang yang kita kejar bukan orang baek-baek kayak Iqbal. Sedihnya, film justru menghajar semua kepada Iqbal. Ada adegan Iqbal meledak karena gak tahan lagi karena ulah Acha, dan dia malah dikecam kasar oleh sahabat Acha. Di rumah, Iqbal semakin digencet oleh ayah yang ingin dia menang olimpiade, tapi karena Acha dia sakit, konsentrasinya belajar keganggu.
Dunia dalam film ini memaksa Iqbal untuk jadian sama Acha. Bahkan ada adegan yang memperlihatkan Iqbal dimanipulasi oleh teman-temannya untuk merasa galau ketika dia gak diundang ke pesta ulangtahun Acha. Film seperti bingung membuat kedua tokoh ini bersatu – karena supaya laku, tokoh haruslah jadian – maka sampai-sampai film pun ‘memaksa’ Iqbal untuk jatuh cinta, walaupun itu harus mengorbankan plot si tokoh. Aku beneran sedih melihat perkembangan Iqbal dalam film ini. Awalnya dia cool, hanya ngurusi urusan sendiri, dia pintar sehingga bisa terpilih jadi peserta olimpiade – Angga Yunanda paling cocok meranin tokoh ‘pendiem’ , namun seiring durasi, di balik kejengkelannya, ia tampak semakin galau. Benar-benar susah memastikan Iqbal genuinely in love kepada Acha – paling enggak, seperti cinta si cupu – atau karena seluruh dunia yang menyuruhnya. Motivasi tokoh ini kemudian dienyahkan begitu saja, dia gak punya apa-apa selain wujud yang dicintai oleh Acha. Kalimat yang ia ucapkan di bagian akhir film itulah yang ultimately break the movie for me, yang juga jadi bukti si batu sudah beneran hancur. Kurang lebih; “Aku gak suka sains. Aku gak mau kuliah ke luar negeri. Aku sukanya sama kamu.”  THAT’S DUMB. Okelah mungkin dia gak suka fisika, kimia, rumus-rumus, tapi sempit sekali yang ia suka cuma Acha. Setelah sepanjang film dia tampak beneran jengkel, tapi kemudian berubah. Hidupnya cuma Acha, dia membuang semua demi sesuatu yang sesungguhnya juga masih dipaksakan kepadanya. Bukankah bisa saja dia dibuat nerima beasiswa, dan masih suka sains, sambil pacaran ama Acha.

Berat memang suka ama orang tapi gak berbalas. Alih-alih berkutat dengan pesan ambigu dari film soal mendekati orang itu jangan dengan berisik (atau malah: berisik dahulu, ghosting kemudian?) sebaiknya kita berfokus kepada menjalankan hidup sesuai passion sendiri. Berhenti mengejar orang. Karena jika kita menjalankan hidup sebagai diri sendiri, orang yang tepat akan datang menemukan kita. 

 
 
 
Ini udah kayak Anti-La La Land. Dua tokohnya memilih untuk jadian dan membuang hidup mereka. Mereka bahkan tidak punya passion sedari awal, padahal pintar-pintar tapi gak ada yang beneran niat ikut olimpiade. Pembelaannya adalah, mereka masih pelajar. Mereka belum tau yang baik dalam hidup. Perjalanan mereka toh masih panjang. Biarlah mereka menikmati cinta. Dan jika kalian juga menikmati cinta monyet, kalian akan menikmati film ini, karena cerita mereka gak mulai dari langsung pacaran, melainkan ada perjalanan pedekate, nembak, ditolak, dan terus berjuang. Meski udah dikata-katai. Tapi jika bagi kalian ke-cringe-an mereka meromantisasi keinginan punya pacar itu annoying, atau dumb, atau bahkan ofensif karena menjurus harassment – perbuatan Acha dan sekitarnya bisa jadi membuat Iqbal berpikir ia juga cinta, atau lebih parah merasa bersalah udah pernah ngasarin – maka kalian gak akan asik menontonnya. Buatku, mestinya film ini difungsikan sebagai pembelajaran saja, gak ngejar pacaran, melainkan menemukan cinta itu sendiri; endingnya ya mesti gak bersatu.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MARIPOSA.

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian kapan dan apa yang membedakan cinta-yang-tak-terbalas dengan/menjadi kejahatan(harassment) atau gejala penyakit mental? Apa batas keinginan dengan obsesi? Bagaimana menurut kalian perbuatan Acha kepada Iqbal itu?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

#TEMANTAPIMENIKAH2 Review

“Unplanned moments are always better than planned ones.”
 

 
 
Namanya udah nikah, urusannya sudah bukan lagi siap atau tidak siap. Melainkan ‘harus siap’. Siap dalam mengubah kebiasaan. Siap dalam berhadapan dengan yang ‘terburuk’ dari teman hidup yang sudah dipilih. Terutama, siap untuk mengurungkan rencana hidup yang sudah disusun. Menjadi pasangan berarti kudu siap menerima kejutan-kejutan rumahtangga. Toh, lagipula hidup tidak akan pernah berjalan sesuai rencana, dan di situlah letak indah dan berharganya kehidupan.
Ayu dan Ditto belum benar-benar siap dalam menghadapi kehidupan baru mereka. Sekian lama menjadi sahabat akrab, hal menjadi sedikit kikuk pada awal-awal pernikahan mereka. Tapi kurang lebih, Ayu bahagia, karena hidup mereka tidak banyak berubah. Berkarir, jalan-jalan. Sampai datanglah karunia tak terduga itu. Ayu hamil. Kehidupan ia yang dulu, rencana-rencananya, jadi harus ditunda. Kalo enggak mau dibilang harus dikesampingkan begitu saja. Ayu stress. Terutama ia takut kehamilan ini akan mengubah total dirinya. Namun dengan berpikir demikian, ia sudah berubah. Kalo kata Ditto, Ayu sekarang berasa serigala. Keseluruhan durasi Teman tapi Menikah 2 ini akan membawa kita mengarungi hari-hari kehamilan Ayu yang dihiasi oleh pertengkarannya dengan Ditto, kecemasannya melahirkan sesar, dan manis yang nanti ia rasakan saat bingkisan karunia dari Pencipta itu hadir ke dunia.

Teman tapi Menyiksa

 
Hal terbaik dari film ini adalah penampilan akting Mawar Eva de Jongh yang memerankan Ayudia Bing Slamet. Dan ini ‘harga’nya mungkin cukup tinggi, karena film actually mengganti pemeran dari film pertamanya yang meraih lebih dari satu-juta-lima-ratus orang penonton. Film sampai melakukan reka ulang beberapa adegan di film pertama sebagai montase pembuka. Langkah ini menimbulkan tandatanya cukup besar karena biasanya jika sebuah film tergolong laku sampai mendorong hadirnya sebuah sekuel, maka pemain terutama pemain utama akan dipertahankan sebab penonton asumsinya sudah klop dengan mereka. Kalopun ada penggantian, maka akan lebih mudah mengganti semuanya misalnya dengan membuat cerita yang periodenya berjarak jauh, sehingga pergantian tersebut menjadi beralasan. Dalam kasus Mawar menggantikan Vanesha Prescilla di film kedua ini, kita tidak melihat alasan yang jelas selain pernyataan sebagian penonton yang beranggapan Vanesha masih belum matang untuk memainkan karakter Ayu di film ini. Kalo memang itu alasannya, maka menurutku Falcon ‘jahat’ juga karena film ini seharusnya jadi kesempatan Vanesha membuktikan dirinya sebagai aktor karena maaaan, Ayu di film ini punya range yang luar biasa. Dan Mawar, untungnya, berhasil capitalized this chance dengan menunjukkan permainan akting yang terasa seperti ia benar-benar melalui semua kecamuk, kegelisahan, bahkan kesenangannya menjadi seorang ibu di usia muda.
Interaksi Mawar dengan Ditto yang masih diperankan oleh Adipati Dolken juga terlihat natural, maupun saat berantem ataupun saat mode pacaran. Malah Adipati yang terlihat lebih ‘lemah’ aktingnya di sini karena dia gak ada peningkatan dari film pertama. Jika dulu Adipati dan Vanesha sama-sama lemah dalam adegan emosional seperti menangis, atau berantem, maka film itu bisa menutupi dengan lebih banyak menonjolkan interaksi unyu hubungan tanpa-status mereka. Namun kali ini, film punya cerita yang lebih menguras emosi. Dengan Mawar bermain luar biasa, momen-momen emosional sering jadi timpang. Ngeliat Ditto di film ini nangis, kita gak pernah yakin dia beneran nangis atau lagi ngelucu.
Kehamilan yang tak direncanakan merupakan sebuah situasi yang tumpah meruah oleh begitu banyak emosi. Takut, panik, bingung, excitement, dan kebahagiaan. Mawar, sebagai Ayu, akan mengalami itu semua satu persatu. Soal kehamilan yang tiba-tiba ini adalah inti dari cerita Teman tapi Menikah 2, yang harusnya bisa menjadi pembahasan yang lebih padat, lebih berisi, dan menginspirasi pasangan suami istri muda seperti Ayu dan Ditto. Film ini bersinar saat mengangkat pembahasan pentingnya suami dan istri untuk saling support, dan bagaimana mereka juga butuh space. Salah satu poin perkembangan karakter Ayu adalah awalnya dia merasa harus selalu dekat dengan Ditto sebagai usaha menunjukkan support. Namun dia akhirnya untuk tidak harus memaksakan, karena dirinya sendiri butuh penyesuaian, ada batasan yang hadir dengan kehamilan. Dan seperti halnya melahirkan; tidak bisa dengan asal ngepush.
Film mencoba mengangkat konflik dramatis dari pasangan muda yang masih punya ego masing-masing, serta bagaimana mereka masing-masing berjuang untuk damai dengan kenyataan bakal punya anak; bahwa mereka kini hanya punya waktu sembilan bulan untuk puas-puasin mengejar mimpi/cita-cita. Baik Ditto maupun Ayu pada awalnya menghitung bulan ini, untuk alasan yang berbeda. Ditto menghitung waktu kebebasan bagai orang yang lagi di penjara, sedangkan Ayu seolah menghitung mundur hari penghabisan bagi dirinya. Tidak keduanya berkesan positif bagi kelangsungan rumah tangga. Namun sembilan bulan itulah durasi pembelajaran bagi keduanya. Dua-ratus-tujuh-puluh hari adalah waktu yang cukup bagi kebanyakan orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, dan mengarahkan diri ke mindset yang lebih positif. Kita akan melihat Ayu semakin menumbuhkan cinta kepada bayi yang bertumbuh di dalam tubuhnya. Dia membuat banyak perubahan positif, dia berolahraga dengan benar, berusaha mencari cara kehamilan yang lebih sesuai. Begitu juga dengan Ditto yang mulai seperti mengeset ulang prioritas hidupnya. Setengah paruh akhir, sekitar babak ketiga film, adalah bagian yang paling ingin kita lihat dari cerita semacam ini. Di bagian ini lebih mudah untuk peduli kepada tokoh-tokohnya, karena saat ini kita melihat mereka memilih langkah yang, ditambah pula dengan penulisan yang lebih ketat dan lebih ekslusif kepada pekerjaan mereka sebagai publik figur alias bintang televisi. Layer inilah yang seharusnya ditonjolkan film sedari awal.

Terkadang kita harus menerima kenyataan bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali ke sedia kala. Things do change. Plans got scrapped, dan musti dipikirin lagi dari awal. Hanya ada satu yang konstan, dan itu adalah cinta. Si cinta ini bekerja secara misterius. Momen-momen yang terjadi atas nama cinta tidak bisa diprediksi. Sama seperti ketika Ayu yang tidak menyangka bakal nikah sama sahabatnya sendiri. Setiap bumil – direncanakan atau tidak – bakal merasakan kebahagiaan. Sehingga alih-alih berkubang pada hal yang harus digugurkan, nantikanlah cinta dan kedamaian yang hendak didapat sebagai gantinya.

 
Akan tetapi skenario seperti mengulur-ngulur dengan memasukkan banyak hal yang less-signifikan. Paruh awal, mungkin malah sekitar 60-70%nya diisi dengan konflik yang ngeselin. Film ini kasusnya seperti Dilan 1990 (2018) – bukan kesamaan dari cerita, melainkan sama-sama mengandung konflik, hanya saja sebagian besar konfliknya itu gak penting dan kayak diada-adain.

Teman tapi Memaksa

 
“Gak mungkinlah, kita kan baru nikah masa udah hamil” ucapan Ditto merefleksikan kualitas naskah film ini. Atau paling enggak, begitulah naskah nge-depict sifat kekanakan Ditto. Dengan narasi demikian, film seolah membuat kehamilan Ayu sebagai hal yang gak lumrah; ia berusaha membuat kehamilan ini lebih sebagai ‘kecelakaan’ ketimbang hal yang tidak direncanakan. Padahal mereka melakukan, lalu hamil, ya wajar, tapi film membuat mereka kaget karena mereka baru saja menikah. Reaksi ini terlalu dibuat-buat, bahkan untuk mereka berdua yang pasangan muda. I mean, mereka bukan di film Dua Garis Biru. Mereka menikah, komit, tahu cara kerja dan konsep kehamilan. Namun di awal-awal, oleh naskah kedua tokoh ini tampak seperti sedang main rumah-rumahan. Ini mungkin salah satunya disebabkan oleh film ingin tampil untuk penonton dengan rentang usia tiga-belas tahun ke atas, jadi pembahasannya gak boleh mature-mature amat.
Masalah yang membuat mereka berantem hanyalah masalah kecil seperti beda kebiasaan, sehingga setiap kali mereka ribut rasanya gak penting dan buang-buang waktu. Kita bisa melihat keduanya sama-sama salah. Dan ini terus berulang – formulanya selalu ribut, kemudian sadar udah emosi, kemudian maafan – dengan berbagai versi kejadian. Yang semakin mengada-ada. Di satu titik mereka berantem karena Ditti cemburu Ayu lebih perhatian kepada janinnya. See what I mean?
Dengan kejadian selemah itu, tidak pernah sekalipun mereka berantem terasa seperti hal yang mengancam. Kita tidak mengkhawatirkan mereka bakal pisah, kita tidak mencemaskan keadaan bayinya; tidak ada stake yang kuat. Film semestinya segera bermain dengan lapisan-lapisan supaya mereka berantem dengan masalah yang lebih natural dan gak repetitif. Soal kerjaan, soal posisi sebagai artis, soal duit, normal bagi film tentang pasangan muda membahas ini, dan normal juga untuk memantik sedikit dramatisasi demi film berjalan lebih menarik. Daging sesungguhnya ada di paruh akhir, namun pada poin itu sudah terlambat karena menjelang penghabisan film terasa nge-drag luar biasa.
 
 
 
It still has its charms. Ayu dan Ditto begitu lovable, kita suka melihat interaksi mereka. Dimainkan dengan sangat baik pula, terutama di bagian-bagian mereka berbagi suka. Secara narasi, film ini tidak terasa lebih besar dan signifikan dibanding film yang pertama. Padahal ceritanya sekarang mereka sudah menikah dan punya masalah dari kehadiran bayi yang tak-disangka. Masalah yang notabene lebih menguras emosi ketimbang persoalan ngungkapin cinta kepada sahabat. Mestinya ada banyak yang bisa digali, tapi film mengulur dengan menghadirkan konflik-konflik yang kurang menggigit sebagai penghantar.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for #TEMANTAPIMENIKAH2.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sih menurut kalian menjadi ibu atau orangtua itu begitu membahagiakan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MILEA: SUARA DARI DILAN Review

“The best way to love someone is not to change them, but instead, help them reveal the greatest version of themselves.”
 
 

 
 
Sepanjang pengalaman menonton dua film Dilan (yang mengambil perspektif tokoh Milea) ada gak sih – pernah gak sih – tebersit rasa penasaran cowoknya Milea itu kenapa bisa hobi berantem dan bergeng motor-ria, atau darimana si Dilan ini dapat alamat rumah Milea, atau siapa yang ngajarin dia jurus gombal yang sanggup bikin cewek SMA hingga emak-emak cekikian, atau -mungkin- kemana Dilan pada saat Milea mandi? Nah, jika pertanyaan-pertanyaan semacam itu pernah singgah di benak kalian; yang mengisyaratkan kalian peduli pada karakter si Panglima Tempur, maka film Milea: Suara dari Dilan garapan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini adalah sajian untuk kalian.
Karena kali ini giliran Dilan himself untuk buka suara. Film ini dibuka dengan semacam breaking the fourth wall; memperlihatkan Dilan meng-acknowledge keberadaan buku Dilan 1990 dan 1991 yang merupakan kata hati dari Milea tentang dirinya. Narasinya menyebut Pidi Baiq telah memberikannya kesempatan untuk menuliskan segala kejadian dari sisi Dilan sebagai penyeimbang cerita Milea. Ketikan Dilan akan membawa kita dari masa dirinya kecil hingga ke momen Milea masuk ke dalam hidupnya, sesaat untuk dua tahun yang indah sebelum akhirnya mereka harus berpisah.

Origin story kenapa Dilan begitu cringey

 
Namun bahkan untuk memenuhi tujuan itu, film ini gagal untuk menjadi sebuah sudut pandang lantaran minim sekali elemen baru yang dihadirkan. Penonton yang ingin melihat seperti apa sebenarnya Dilan, tidak mendapatkan banyak hal berbeda dari tokoh ini karena penggalian yang dangkal yang tidak benar-benar dilakukan oleh film. Alih-alih berfokus kepada pembahasan untuk pembangunan perspektif karakter Dilan, beserta dunianya – melingkupi kehidupan sosial terkait geng motor, pribadi dalam hal hubungannya dalam keluarga – cerita tetap berpusat pada relasinya dengan Milea seperti yang sudah kita tahu dari dua film sebelumnya. Kita tidak diperlihatkan akar kesetiaan Dilan pada geng motor; kenapa dia masuk ke sana in the first place. Kita tidak diperlihatkan hubungan yang lebih detail antara Dilan dengan ayahnya; sosok yang sedari luar dapat kita lihat sebagai yang paling berpengaruh terhadap apa yang membuat Dilan seperti Dilan yang kita dan Milea kenal. Bahkan dalam urusan yang lebih receh seperti sumber ketertarikan Dilan kepada Milea, atau kenapa Dilan begitu maut rayuannya, kenapa dia bisa seajaib itu ngasih kado berupa TTS yang udah diisi — we never get to the bottom of this behavior.
Menceritakan kisah ini sebagai ketikan Dilan yang aware akan keadaan cintanya sekarang, yang berusaha menjelaskan kenapa dirinya dan Milea berpisah, actually membuat keseluruhan cerita semakin buruk lantaran yang ia ceritakan – yang kita tonton ini – tidak terkesan sejujur ketika Milea menceritakan sudut pandangnya. Cerita Milea: Suara dari Dilan tidak bisa dipegang kebenarannya dan lebih seperti pembelaan diri dari seorang yang memandang dirinya sebagai bucin dan pribadi yang cool dan ajaib. Sebuah cerita yang begitu self-centered. Misalnya ketika periode dia masih kecil ditanya cita-cita, Dilan menjawab cita-citanya pengen menikah. Ketika bundanya pengen masuk kamar, dia balik bertanya bundanya siapa. Sure, it’s cute dan unik. Namun karena film tidak menggali karakter ini lebih dalam, dan kita tahu adegan tersebut ‘ditulis’ oleh Dilan dewasa yang menceritakan kisah versi dirinya kepada kita, semua itu jadi terasa gak-real alias dibuat-buat untuk becandaan. Sama sekali tidak mengandung development yang genuine.
To make things even worse; Dilan yang jago berkata-kata, ternyata bukan storyteller yang baik. Kisah yang ia sampaikan melompat-lompat. Dan itu tertranlasi kepada kita sebagai rangkaian penggalan adegan yang sudah pernah kita lihat di dua film sebelumnya. Begitulah keseluruhan film ini. Rangkaian adegan ulangan yang disambung-sambungkan dengan adegan tambahan. Pertama kupikir, okelah mungkin ini montase penghantar yang menyambungkan Dilan 1990 dan 1991 untuk merefresh sekaligus pondasi bagi penonton yang belum tau cerita mereka. Namun dua puluh menit, tiga-puluh, hingga satu setengah jam kemudian montase alias adegan-adegan film lampau yang menandakan poin-poin cerita itu terus bermunculan. Mana cerita barunya, mana sisi lain dari Dilan yang seharusnya dikasih lihat kepada kita. Dan tahulah aku bahwa film ini sama sekali tidak punya hal baru, tidak ada penggalian sudut pandang yang dilakukan – motivasi Dilan yang ditetapkan sedari ia kecil adalah pengen nikah, namun pembahasan arc ‘ajaib’ ini juga sangat minim, jauh lebih parah daripada Milea’s di film pertama. Melainkan, film ini hanya mengulur-ngulur waktu karena sekuen yang benar-benar baru hanya ada di dua-puluh menitan akhir. Yakni saat Dilan dan Milea sudah dewasa, dan setelah berpisah mereka confront each other, dan menyadari ‘kesalahan’ masing-masing.
Dua-puluh menit terakhir itu; that’s our new movie. Pembuatnya gak mau capek mengembangkan cerita singkat itu menjadi film utuh beneran, materi aslinya benar-benar dikultuskan. Ini bisa jadi adalah film dengan usaha produksi yang paling kecil yang bisa dikeluarkan oleh sebuah studio/rumah produksi. I mean, ini adalah semacam trilogi tapi adegan-adegannya cuma kayak dari stock shot alias dicomot dari dua film pertama, kemudian disatukan, ditambah beberapa lagu dari Pidi Baiq untuk menggiring mood, dan jadi deh satu film lagi. Aku bahkan gak yakin Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla dan pemain-pemain mengikuti suting lagi, karena film ini – keseluruhan triloginya – kayak dishoot dari proyek pertama dan kemudian hasil syut dibagi-bagi oleh pembuat sehingga jadi tiga film. Kalopun suting lagi, mereka hanya ngambil untuk tambalan dan memperlihatkan lebih banyak Adhisty Zara yang jadi adek Dilan, karena kepopuleran Zara sudah melesat jauh sekali sehingga kali ini jebolan JKT48 ini perlu lebih banyak dikedepankan sebagai nilai jual. Nonton film ini buatku terasa kayak sedang di-scam oleh orang, karena sama sekali tidak terasa seperti film baru. Melainkan lebih seperti menonton versi extended dari cerita yang sudah pernah aku saksikan. Or even; a highlight. Kalo kalian penggemar WWE dan familiar sama show kayak Velocity atau Afterburn – acara recap dengan narasi penjelasan dari host, film Milea: Suara dari Dilan ini rasanya persis kayak nonton acara tersebut.
Tapi paling enggak kita tahu darimana Dilan mengasah skill meramal yang ia punya.

 
Pengungkapan paling memuaskan yang dipunya oleh film adalah soal kebohongan-kebohongan Dilan. Pada film kedua kita melihat perubahan sikap Dilan ke Milea. Dilan tampak sebagai pribadi yang jelek sekali di menjelang akhir film, aku bahkan menuliskannya sebagai karakter Dark Triad dan merupakan pilihan tepat bagi Milea untuk melepaskan diri darinya karena kadang kita tidak bisa begitu saja mengubah seseorang. Di film terakhirnya ini (semoga bener-bener terakhir!), kita melihat alasan sesungguhnya – paling enggak, alesan dari narasi Dilan – kenapa Dilan bersikap demikian, bahwa itu semua sebenarnya konflik yang menyakitkan bagi dirinya, dan betapa ternyata dia sedang menutupi sisi terbaik dari dirinya yang mekar oleh cintanya kepada Milea.

Jika kita perhatikan, Dilan yang suka berantem itu, sesungguhnya hanya berbohong ketika menyangkut menjaga perasaan Milea. Dilan adalah karakter kompleks dengan relationship yang sama kompleksnya. Keduanya pantas mendapatkan film dan naskah yang lebih baik daripada ini. Keinginan Milea mengubah Dilan actually membuat Dilan mengungkap sisi terbaik dirinya, meskipun itu menyakitkan baginya. Dilan sebaliknya tidak pernah meminta Milea untuk berubah menjadi lebih sesuai dengan dirinya, dan dengan bersikap seperti demikian, keduanya tanpa menyadari telah saling mendorong untuk menjadi lebih baik, thus membuktikan besarnya cinta di antara mereka berdua. 

 
 
Film harusnya bercerita lebih banyak tentang pengungkapan seperti demikian. Seharusnya kisah yang sekarang lebih berfokus kepada karakter dan motivasi, sebab ini cerita tentang pembelaan atau pengakuan dari Dilan, terlebih kita sudah puas dengan adegan-adegan manis pacaran di dua film sebelumnya. Namun bahkan dengan sebagian besar adegan yang diambil dari film-film sebelumnya, film ini somehow gak memasukkan adegan Dilan ‘berantem’ ama Milea disaksikan oleh Bunda yang actually salah satu yang paling penting untuk pendalaman. Aku gak ngerti kenapa adegan itu diabaikan dalam film yang seharusnya penjelasan dari sudut pandang Dilan. Entah kenapa film seperti menolak untuk ‘memanusiakan’ karakter Dilan. Dia dijaga untuk tetap seperti karakter ‘ajaib’ yang kekerenannya bersumber dari semakin banyak hal yang tidak kita mengerti dari dirinya. Di awal ada adegan Dilan bercerita dia sebenarnya sudah punya pacar saat Milea baru masuk ke sekolah. Adegan dari Dilan yang tau-tau terpana mendengar nama si anak baru hingga ke pacar lamanya yang nyosor duluan di bioskop terlihat sangat lemah untuk menjadi akar karakter ini karena sama sekali tidak mengungkap motivasi tokoh utamanya, tidak memaklumkannya sehingga Dilan bisa menjadi dekat dengan kita.  Inilah kenapa padahal sudah ada dua film, dan kini tiga, aku masih merasa susah untuk peduli dan percaya kepada karakter Dilan.
Walaupun dalam film ini Dilan mematahkan soal dirinya adalah Pidi Baiq, namun tetap terasa sang penulis memproyeksikan dirinya terlalu banyak ke dalam diri Dilan, sehingga tokoh ini seperti pada kasus tokoh utama dalam Koboy Kampus (2019). Enggak salah sih penulis memasukkan dirinya ke dalam tokoh cerita. Contohnya Lousia Maya Alcott yang menjadikan kisah hidupnya sebagai panggung cerita Little Women, dan Jo Marsh sudah rahasia umum sebagai proyeksi personal dirinya. Dan di situlah letak perbedaan Jo Marsh dengan Dilan. Jo ditulis dengan logis secara universal, ceritanya digrounded-kan sehingga kita berada di sepatunya. Sedangkan Dilan dibuat terlalu ajaib, kita tidak mengidentifikasi diri kepadanya melainkan seakan diminta untuk mengagungkan dan mengidolakan dirinya. Adaptasi film seharusnya ‘memperbaiki’ ini. Sayangnya, arahan film ini tampak tidak punya visi dan hanya sekadar mewujudkan buku menjadi tontonan bioskop. Dialog pun kali ini terasa jauh lebih cheesy dan brainless. Ada dialog Dilan dan Milea unyu-unyuan, Milea bilang “Kan aku bisa nyusul.” Dilan nanya “Naik apa?”, yang lantas dijawab “Naik kamuuu” oleh Milea, disusul oleh ambyarnya seisi studio bioskop. Sungguh dialog tak logis yang menggadai nalar penonton demi adegan pacaran.
.
 
 
Semestinya bisa jadi cerita yang solid yang menjustifikasi sikap dan siapa sebenarnya Dilan yang pada dua film sebelumnya ditetapkan sebagai tokoh penyelamat, panutan, sekaligus tambatan hati seorang Milea – dan menariknya, tokoh ini bukan ‘anak baik-baik’. Namun film hanya bercerita ulang, separuh adegannya adalah adegan di film Dilan 1990 dan 1991 dipajang kembali, dan baru benar-benar ngasih sesuatu yang belum pernah kita lihat di menit-menit menjelang akhir. Bahkan untuk penonton yang gak nonton dua film sebelumnya, film ini at best adalah cerita lompat-lompat dari seorang tokoh yang motivasinya gak jelas dan stake yang gak greget – dia toh bisa dengan mudah berhenti dari geng motor tanpa ada konsekuensi. Shameless effort dalam nyari duit. Atau ketidakmampuan sutradara mengadaptasi dan meng-refresh cerita. Atau kedangkalan materi. Masalah film ini terletak pada tiga kemungkinan tersebut. But who am I kidding; seperti jawaban soal ujian di sekolah, selalu ada pilihan keempat. Semua jawaban benar. Besar kemungkinan itulah jawaban yang tepat.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for MILEA: SUARA DARI DILAN

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian Dilan dan Milea seharusnya bersama? Kenapa?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.